Senopati Pamungkas Kedua Jilid 19

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 19 karya Arswendo Atmowiloto
Sonny Ogawa
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 19

“Ya sudah, selalu begitu! Yang sekarang ini, raja sekarang ini, ternyata mulai mengasingkan Baginda. Dalam pengaruh Manmathaba yang sakti dan jahat, seluruh Keraton bisa porak-poranda. Agaknya yang bernama Halayudha juga masih berperan. Saya mempunyai dugaan kuat, bahwa Halayudha yang langsung melaporkan kepada Raja, bahwa Baginda datang ke Kiai Truwilun Dan mengusulkan sesuatu, agar Raja berada di tanah yang lapang, tak ada batu sandungan. Melihat ketelengasan hati Raja dan cara memutuskan perkara begitu cepat, bukan tidak mungkin sekarang ini semua telah terbasmi."

"Semua siapa saja?" Hampir saja Gendhuk Tri menyebutkan nama Upasara. Nama itu sudah bergantung di ujung lidahnya, akan tetapi ditelan kembali.

“Raja benar-benar sendirian. Senopati Agung Brahma dikirim ke seberang. Kemudian Baginda ditempatkan di sanggar pamujan, di Simping. Mahapatih Nambi diistirahatkan. Tak ada lagi yang tersisa. Kalau semua yang menghalangi dihabisi, atau yang dianggap melawan dihabisi seketika, wah, akan banyak korban. Termasuk Upasara Wulung yang masih menjadi tawanan.”

“Kenapa Pangeran lebih memperhatikan Kakang Upasara?"

"Tak ada yang tidak saya kagumi dalam diri Upasara Wulung. Ksatria yang begitu luhur budinya, tetapi begitu buruk nasibnya. Mudah-mudahan jasadnya dimakamkan dengan baik.”

“Ngawur!” Kali ini Gendhuk Tri berteriak keras, hingga seluruh isi rumah terkejut. “Siapa yang bilang Kakang Upasara sudah meninggal?"

Tata Tentrem
JANAKA RAJENDRA terkejut melihat reaksi Gendhuk Tri. Lebih terkejut lagi karena serentak dengan itu puluhan prajurit menyerbu masuk. Ruangan bagian dalam yang tadinya lengang, sepi, kini dipenuhi para prajurit yang berdiri dengan senjata terhunus. Gendhuk Tri dan Janaka Rajendra yang berada di balik ruang utama melihat bayangan Cantrik menyelinap masuk. Wajahnya tampak kuyu, sedih, prihatin, menggeleng lembut.

“Barang siapa menyebut-nyebut nama Upasara Wulung, harap segera keluar,” terdengar perintah dari salah seorang pemimpin prajurit.

Gendhuk Tri ragu antara menampakkan diri atau bersembunyi.

“Kalian tak bisa menyembunyikan diri terus-menerus. Kalau tikus tak mau keluar, rumahnya yang dibakar.”

Ini yang tersirat dari wajah Cantrik. Bahwa kesulitan yang utama, rumah yang didiami ini bisa diobrak-abrik atau bahkan dibakar. Dengan demikian akan terjadi keonaran, dan masyarakat yang sedianya datang berobat kepada Kiai Truwilun jadi tidak mempunyai tempat lagi.

“Maaf…,” kata Gendhuk Tri lirih. Sekali menekuk lututnya, tubuhnya melayang dari bagian belakang. Sehingga memancing para prajurit agar ke bagian lain rumah. Namun ternyata di sana sudah ada pasukan yang menunggu.

“Mau lari ke mana, tikus kecil?”

Rasa dongkol Gendhuk Tri meninggi sampai sebatas leher. “Aku di sini. Marilah mendekat, biar kalian mengetahui siapa aku. Jangan main sesongaran, membusungkan dada seperti anak kecil. Kalian boleh menjajal menangkapku, setelah kalian mengatakan apa salahku.”

“Sungguh tak kukira, anak gadis kemarin sore berani bermulut lebar. Masih berani bertanya apa salahnya? Sungguh berlebihan. Ketahuilah bahwa kami semua ini para prajurit penjaga keamanan, menjaga tata tentrem, agar semua berjalan tertib dan damai. Kami berhak menahan dan mengetahui serta menanyakan hal-hal yang dianggap bisa mengganggu tata tentrem. Karena kamu meneriakkan nama Upasara, lebih baik kita bicara di tempatku bekerja.”

Diam-diam Gendhuk Tri merasa heran. Rasanya belum sepekan lalu ia malang-melintang di Keraton. Rasanya saat itu seluruh prajurit Keraton melihat ke arahnya. Meskipun sekarang penampilannya sedikit berbeda, akan tetapi bukan berarti tak bisa dikenali dengan gampang. Namun nyatanya para prajurit yang mengepungnya ini sama sekali tak mengenali. Berarti mereka adalah para prajurit yang baru.

Yang agaknya dibentuk secara mendadak untuk menjadi prajurit yang menjaga tata tentrem, agar masyarakat menjadi tertib dan damai. Dilihat dari sisi ini benar dugaannya semula. Bahwa selalu banyak perubahan mendadak yang dilancarkan dari Keraton. Bahkan membicarakan Upasara saja dinilai mengganggu tata tentrem sehingga harus berurusan dengan pihak prajurit Keraton.

“Memangnya apa salahnya menanyakan Kakang Upasara?”

“Tak perlu berpura-pura. Larangan pertama yang dikeluarkan adalah dilarang keras membicarakan siapa atau apa yang melakukan kraman di hari penobatan. Kalau mau sok gagah, akui kesalahanmu.”

Gendhuk Tri merasa sebal. Tangannya bergerak cepat. Memutar ke depan, sementara kakinya juga membuat gerakan memutar. Tubuhnya bergerak, dan seirama dengan itu, dua prajurit yang berada di depan terdorong dalam putaran. Hanya dengan sekali menyentak dan menarik tenaganya, dua prajurit itu bertubrukan. Jatuh berimpitan dan berteriak. Tidak berhenti di situ saja, Gendhuk Tri menerjang maju. Setiap gerakan, baik dengan siku, tinju, tendangan, sabetan, membuat para prajurit yang bersiaga gagah jadi tunggang-langgang. Buyar tak tentu tempatnya berdiri.

Apalagi ketika Janaka Rajendra ikut bergabung. Belum tiga jurus dimainkan bersama, para prajurit yang mengepung terpontang-panting. Sebagian besar malah tergeletak di tanah sambil memegangi bagian tubuhnya yang benjol atau kesakitan.

“Adik, jangan kita buat onar di sini. Pasti sebentar lagi akan datang bantuan.”

“Sayang juga. Ini permainan menarik. Tetapi daripada Cantrik tertimpa bencana, kita lebih baik pergi.”

Gendhuk Tri menotol dan tubuhnya melayang ke angkasa dengan indah. Janaka Rajendra melakukan gerakan yang sama. Sehingga keduanya bagai pasangan penari yang sedang memamerkan kebolehannya. Apalagi ketika keduanya turun bersamaan, menotol tanah, dan kemudian dengan gerakan yang sama melayang kembali. Bagai sepasang kupu-kupu yang menari. Hanya karena Gendhuk Tri tak ingin melibatkan Truwilun dan Cantrik serta penduduk yang berobat, ia segera melarikan diri ke arah yang lebih jauh lagi.

“Pangeran, berapa lama sebenarnya kita berjalan?”

“Kenapa, Adik?”

“Bukan kenapa-kenapa. Rasanya belum ada sepasar kita berada di Keraton kini keadaannya jauh berubah. Para prajurit yang siap mengamankan tata tentrem berkeliaran di sembarang tempat. Memata-matai setiap sudut, menangkap semua pembicaraan.”

“Mereka menjadi sangat hati-hati.” Hal ini terbukti pada keesokan harinya. Ketika keduanya melintas di depan pasar yang biasanya ramai di pagi hari. Tempat yang menguntungkan karena di pinggiran jalan menuju ke arah Keraton. Beberapa waktu yang lalu, Gendhuk Tri selalu menemukan tempat yang menyenangkan untuk mengisi perut. Sekali ini sangat sepi. Masih ada satu atau dua warung yang berjualan. Akan tetapi selebihnya tutup, dan lebih banyak prajurit yang membawa tombak dan pedang, berjalan kian-kemari mengawasi keadaan secara mencolok.

“Saat pasukan Tartar menyerbu Keraton, tak dijaga seperti sekarang ini.”

“Sssttt, jangan bicara keras-keras, Adik.”

“Ini benar-benar keterlaluan. Kalau menjaga tata tenteram dengan berlebihan, pasar pun menjadi sepi.”

Tetapi Gendhuk Tri menyadari bahwa cara pengamanan yang sekarang ini sangat membatasi gerak-geriknya. Jangan kata mendekat ke arah Keraton, di jalan pun diawasi dengan ketat. Lebih membuatnya kecut, karena hampir semua yang ditemui tak mau menjawab apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan beberapa orang segera memalingkan mukanya dan pergi meninggalkan begitu saja. Kesadaran lain yang menyelinap dalam benaknya ialah bahwa rumah yang dipakai Truwilun bisa ditutup. Kalau dilihat sebagai sumber keonaran, Cantrik akan menemui kesulitan besar. Juga masyarakat yang datang ke tempat itu. Gendhuk Tri sedikit menyesali apa yang diperbuat.

“Kita masih bisa berbuat sesuatu, kalau mau…”

“Apa?”

“Misalnya kita memberi laporan kepada pengawal Keraton, bahwa Cantrik dan Truwilun tak pernah berbuat jahat atau merencanakan gangguan…”

“Siapa yang bisa menjamin? Pangeran Anom? Dengan menyebut nama itu saja pasti sudah mengundang bahaya.”

“Repot juga. Bagaimana sebaiknya, Adik?”

Pembicaraan mereka juga tidak bisa berjalan lancar. Karena sesekali harus berdiam, sewaktu ada iringan prajurit yang berbaris bersama.

“Saya tak tahu. Kalau mau tahu apa yang terjadi di dalam Keraton, hanya dengan satu jalan. Mendaftarkan diri menjadi prajurit.”

“Mana mungkin? Saya akan segera dikenali.”

“Masa Pangeran tak mempunyai kenalan sedikit pun? Dulu kan berdiam di Keraton.”

“Semua yang dekat hubungannya dengan saya ikut pindah.”

“Pasti bukan semuanya. Masih ada yang tersisa.”

Janaka Rajendra membenarkan gagasan Gendhuk Tri. Keduanya menyusup ke arah salah seorang kerabat Keraton. Dengan mengendap-endap, Janaka Rajendra bisa menemui, dan setelah meyakinkan bahwa dirinya sekadar mampir untuk pergi lagi, bisa memperoleh keterangan. Yang intinya seperti yang telah diduga Gendhuk Tri.

Sejak penobatan Raja Jayanegara, wilayah sekitar Keraton dijaga oleh prajurit khusus. Tugas utamanya ialah menjaga agar tata tenteram bisa terlaksana. Siapa saja yang dicurigai berbuat onar, bisa ditangkap. Siapa saja dapat dikenai tuduhan seperti itu. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, beberapa orang lebih suka meninggalkan wilayah dekat Keraton secara diam-diam.

Karena yang terjadi semacam balas dendam. Para prajurit baru bisa menangkap siapa saja, dengan alasan mengganggu ketenteraman. Situasi sangat buruk karena para pedagang dan para saudagar tak bisa bergerak. Bahkan di pelabuhan tak ada kegiatan sama sekali. Kegiatan seolah berhenti. Hanya mereka yang sakit, sudah tua, dan tak bisa menjadi prajurit yang berani bertahan. Janaka Rajendra menitikkan air matanya.

Di Langit, Mega Pun Tak Bersisa
GENDHUK TRI tak menduga keprihatinan Pangeran Anom sedalam itu. Selama ini dianggapnya hanya sekadar basa-basi kalau membicarakan Keraton atau rakyat kecil. Kalau ada sedikit perhatian, itu juga sebatas para pengikutnya. Akan tetapi ternyata Pangeran Anom mempunyai perhatian yang mendarah daging. Tetesan air mata duka memperlihatkan hubungan batin selama ini.

“Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, entah apa jadinya nanti. Adik Tri, saya akan sowan ke Raja.”

“Mana mungkin…”

“Saya sangat mengenal Raja. Kami dilahirkan dengan usia yang tak jauh berbeda. Kami dibesarkan dalam tradisi yang sama. Kami masih dipertalikan oleh darah yang berdekatan. Rasanya segarang apa pun, Raja masih akan mendengarkan apa yang saya katakan. Seperempat bagian saja didengarkan, akan memperbaiki keadaan.”

“Apa yang Pangeran rencanakan?”

“Menyampaikan bahwa keadaan ini sangat gawat. Kalau sampai pasar dan pelabuhan tak ada kegiatan, berarti habislah semuanya. Kalau sampai penduduk merasa tak tenteram berdiam di rumahnya sendiri, itu pertanda keruntuhan kepercayaan.”

“Lalu?”

“Saya tahu Adik akan menertawakan saya. Akan tetapi inilah kewajiban saya menyampaikan hal yang sebenarnya.”

“Itu baik, Pangeran. Akan tetapi Pangeran justru akan menemui bahaya. Senopati Agung Brahma akan diungkit-ungkit, demikian juga Ibu. Semua jadi berantakan.”

"Barangkali akan begitu. Namun saya tak bisa berdiam diri. Demi kebesaran Keraton, demi kebenaran…”

“Kalau Pangeran memang mantap, silakan.”

Janaka Rajendra mengangguk. “Selama ini saya ingin menemani Adik. Tetapi ternyata saya tak bisa memenuhi janji. Segera setelah semua urusan ini selesai, saya tetap akan mencari Adik.”

Gendhuk Tri seperti tertusuk sentuhan halus di relung hatinya. Selama ini mereka selalu berduaan. Selama ini Gendhuk Tri menduga bahwa Pangeran Anom mati-matian ingin berdekatan dengannya. Sehingga melupakan segala urusan. Termasuk kembali ke tanah seberang. Ternyata itu belum semuanya. Ternyata di balik itu, masih ada nada ksatria yang tetap bisa berbicara. Kalau selama ini Gendhuk Tri ingin melepaskan diri dari Pangeran Anom sekarang justru merasa berat. Akan tetapi, sebaliknya dari menahan, Gendhuk Tri malah mengangguk.

“Selama ini semua kebaikan Pangeran…”

“Saya tak ingin mendengar ucapan terima kasih dari Adik. Kita bukan orang lain yang perlu mengutarakan itu.”

“Baik kalau tak perlu ucapan seperti itu.bPangeran… saya minta Pangeran berhati-hati.”

“Demikian juga Adik. Kalau sempat bertemu Kakang Singanada, sampaikan permintaan maaf saya. Dan salam saya, serta rasa iri saya akan kebahagiaannya.”

Gendhuk Tri menjilat bibirnya.

“Juga kepada Upasara Wulung, ksatria yang saya kagumi. Kalau saya mau bicara jujur, saya rela kalau Adik hidup berdampingan dengan Upasara. Maaf, saya tak berhak berbicara seperti ini. Barangkali karena akan berpisah sebentar lagi, saya bicara secara ngawur. Tapi ini semua perasaan saya, yang menjadi lebih lega kalau saya katakan. Adik Tri mau mengerti?”

Tak ada cara lain selain mengangguk.

“Saya tak tahu nasib apa yang akan terjadi pada diri saya. Keraton telah berubah menjadi kuburan raksasa. Siapa yang masuk ke dalamnya tak bisa keluar lagi. Barangkali hal yang sama akan terjadi pada diri saya. Kalau semua itu terjadi, Adik Tri… biarlah saya alami sendiri. Saya sempat mempunyai kenangan kehidupan yang paling indah. Sewaktu bersama Adik.”

Wajah Gendhuk Tri berganti antara merah malu dan dingin kuatir.

“Kalau saya selamat, orang yang pertama saya cari adalah Adik Tri. Maukah Adik bertemu lagi dengan saya?”

“Dengan senang hati, Pangeran.”

Janaka Rajendra tersenyum. Tangannya gemetar memegang bahu Gendhuk Tri. Tanpa suara. Tanpa kata-kata. Lalu bergegas berjalan menjauh. Melangkah ke arah pintu luar tanpa menoleh. Gendhuk Tri ingin meneriakkan sesuatu, akan tetapi mulutnya terkunci. Dan hati kecilnya merasa dingin. Ada sesuatu yang turut hilang bersama langkah-langkah Pangeran Anom. Seperti langit sekarang ini. Bersih dari mega. Tampak sedemikian luas tapi mengesankan kosong. Gendhuk Tri termangu. Apa sesungguhnya yang telah terjadi dengan dirinya?

Hanya dalam waktu yang singkat, sangat singkat. Sewaktu dirinya kena racun pagebluk, diam-diam Pangeran Anom membantu. Lalu di tengah pertarungan di halaman Keraton, terang-terangan Pangeran Anom membantunya. Sampai ketika merawat dan mencoba mengobati Singanada, kemudian mempelajari Kitab Air bersama Kiai Sambartaka. Sehingga akhirnya mengikuti perahu ke negeri seberang, dan lebih dulu ke pinggir. Ada sesuatu yang aneh, yang menggembirakan. Tetapi juga memilukan.

Daya asmara yang tulus, yang rela, yang murni dari Pangeran Anom menggugah jiwanya. Menyentuh kedewasaannya. Membuka simpul yang talinya tak disadari. Apakah selama ini Pangeran Anom kecewa kepada sikapnya yang tak memberi jaminan sesuatu di belakang hari? Ataukah sikapnya yang agak tiba-tiba ingin masuk ke Keraton lebih dikarenakan mendengar nama Upasara? Yang sangat dikagumi dan rela menyerah dalam persaingan asmara? Ternyata tidak gampang menerima kenyataan ini.

Jauh dalam hatinya, Gendhuk Tri tidak meremehkan Pangeran Anom. Tidak menganggap sebagaimana ia mengenal Galih Kaliki dulu, atau bahkan Dewa Maut. Bahkan diakui secara diam-diam, hatinya mulai tertarik dengan segala kebaikan dan kebajikan serta perhatiannya yang berlebih. Semua dirasakannya sebagai daya tarik utama Pangeran Anom. Di samping wajahnya yang bercahaya. Kalau ia tak bisa memberikan harapan atau janji tertentu, karena itulah kenyataan yang sesungguhnya.

Gendhuk Tri tak tahu harus mengatakan apa, harus menjanjikan apa. Ketulusannya tak menghendaki ia mengatakan sesuatu yang lebih banyak untuk menenteramkan hati atau menghibur. Tidak. Selama ini hatinya sudah tercabut untuk Kakang Upasara Wulung. Tak ada orang lain yang bisa menggantikan kedudukan Upasara di dalam hatinya. Tapi juga disadari bahwa itu semua tidak mungkin.

Saat kesadaran itu membayang, secara tidak langsung ia menjatuhkan pilihan kepada Singanada. Dan tekadnya sudah bulat. Ia tak bisa mempermainkan kepercayaan yang ditumpahkan kepadanya, dan telah disanggupi. Itu sebabnya ia merasa sangat kikuk terhadap Pangeran Anom. Di satu pihak daya asmara perlahan tumbuh, tapi di pihak lain dimatikan perlahan karena tak ingin membuat kekecewaan lebih besar di kelak kemudian hari. Kalau ada sesuatu yang menghibur Gendhuk Tri ialah bahwa selama ini hubungannya dengan Pangeran Anom baik-baik saja. Tidak saling menyakiti, tidak mendustai dari lubuk hati masing-masing.

Gendhuk Tri tersadar dari lamunannya ketika meninggalkan kediaman kerabat Keraton, dan di sudut jalan ada papan pengumuman yang ditulis besar-besar. Pemberitahuan bahwa barang siapa melihat orang atau menemukan senjata yang mencurigakan, diharapkan segera melaporkan kepada prajurit Keraton. Barang siapa melihat orang asing yang selama ini belum pernah dilihat ada di sekeliling Keraton, diharapkan melaporkan. Barang siapa merasa diajak membicarakan sesuatu mengenai tata kenegaraan, diharap melaporkan kepada prajurit Keraton.

Barang siapa… Makin lama Gendhuk Tri makin menyadari bahwa suasana Keraton memang lebih mengerikan dari yang dibayangkan. Membersit rasa kuatir akan nasib yang menimpa Pangeran Anom. Benarkah Keraton menjadi kuburan raksasa? Siapa yang masuk tak akan keluar lagi?

Gendhuk Tri menepi ketika terdengar langkah para prajurit. Di barisan depan terlihat enam belas prajurit berkuda yang mengibarkan panji. Diiringi barisan yang rapat. Agaknya mereka tengah mengawal seorang bangsawan, kalau dilihat cara pengawalannya. Agaknya sedang dalam keadaan tergesa. Gendhuk Tri tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya ketika melihat selintas bahwa yang dikawal beramai-ramai itu adalah Ratu Ayu Azeri Baijani. Atau matanya yang salah lihat?

Memasang dan Menelan Umpan
MESKIPUN jarak penglihatan cukup jauh, Gendhuk Tri bisa mengenali Ratu Ayu walau hanya sekelebatan. Baginya tokoh yang satu itu bisa menjadi jelas dalam angannya. Pertanyaan pertama yang segera muncul ialah apa yang sesungguhnya direncanakan di balik penampilan Ratu Ayu. Karena agaknya arak-arakan yang sekarang terjadi seperti sengaja mempertontonkan hal ini. Semacam memasang umpan. Kalau benar dugaannya, berarti memang ada yang diarah. Siapa lagi kalau bukan Upasara Wulung?

Gendhuk Tri bersorak dalam hati. Kalau ini benar, berarti Upasara bisa meloloskan diri. Rada mustahil, akan tetapi bukannya tidak mungkin. Dan karena masih berada di sekitar Keraton, atau diduga begitu, Upasara dipancing kembali pemunculannya dengan menampilkan Ratu Ayu. Atau ada hal lain? Gendhuk Tri tak bisa menebak dengan tepat, tak bisa mencari pegangan dugaannya, karena kemudian disusul barisan prajurit yang lain. Yang berjajar rapi, mendatangi penduduk sekitar.

“Aku, Senopati Jaran Pengasihan, yang berkuasa atas keamanan dan ketenteraman wilayah Keraton, dengan ini menyatakan bahwa para penduduk Majapahit tidak diperkenankan melakukan segala sesuatu yang tidak mendapat restu dariku. Segala hal yang bertentangan dengan ini dapat dikenai hukuman.”

Bahwa setiap penguasa baru memunculkan senopati baru, bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi bahwa penguasa yang baru kelihatan perlu turun tangan sendiri menerangkan kepada penduduk, di saat ada barisan lain yang secara sengaja mengarak Ratu Ayu ini membuatnya bertanya-tanya.

“Tak ada yang perlu ditonton, tak ada yang perlu dilihat. Semua penduduk dianjurkan kembali ke rumah masing-masing, dan hanya menerima komando dariku.”

Belum habis bicaranya, prajuritnya segera membubarkan kerumunan. Sesuatu yang agak sia-sia, karena iringan prajurit yang membawa Ratu Ayu bersorak riuh rendah. Bahkan kemudian bernyanyi bersama:

Seekor kuda membawa beban
masuk ke Keraton
ia merasa dirinya prajurit
yang dimakan tetaplah rumput
seekor kuda tak pernah makan nasi
apa pun yang digendongnya…


Menurut Gendhuk Tri ini agak keterlaluan. Jelas bahwa rombongan yang mengiringkan Ratu Ayu sengaja menyindir dengan tembang yang biasa dimainkan anak-anak. Dari liriknya, arahnya meledek Senopati Jaran Pengasihan. Karena kuda yang dimaksudkan dalam lirik itu artinya sama saja dengan jaran.

“Jangan terpancing emosi. Kita prajurit menjaga ketenteraman. Selama mereka hanya bersorak-sorai, biarkan saja. Akan tetapi jika mulai membuat keonaran, aku perintahkan untuk mengambil tindakan tegas dan keras.”

Gendhuk Tri makin melongo. Mana mungkin dalam wilayah dinding Keraton bisa muncul dua komando yang bertentangan? Agaknya juga, kedua kelompok ini saling menunggu, saling memasang umpan, agar kelompok lain bergerak lebih dulu, untuk kemudian bisa diamankan. Persaingan bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi kalau diperlihatkan secara terbuka, dalam wilayah dinding Keraton, kelihatannya sangat tidak menggembirakan.

Mau tak mau Gendhuk Tri bertambah gelisah. Berarti di Keraton sendiri masih berlangsung perebutan kekuasaan secara terang-terangan. Sehingga sampai tingkat para senopati berebut keunggulan. Kalau begini situasinya, Pangeran Anom akan sia-sia. Sebelum ia melangkah masuk, sudah disergap oleh kelompok yang berbeda dan akan saling memanfaatkan. Gendhuk Tri tak habis mengerti. Dalam waktu yang sangat singkat, segala tata aturan bisa jungkir-balik tidak keruan. Kini bahkan pertengkaran pendapat itu mengakar sampai ke tingkat para prajurit.

“Penduduk tidak diperkenankan menyimpan senjata. Baik keris, tombak, pedang, cundrik, atau apa saja. Selain prajurit yang resmi, sama sekali tidak diperkenankan. Bagi yang lain, akan dikenai hukuman.”

Gendhuk Tri mendekat ke arah barisan prajurit yang mengawal Ratu Ayu. Kini dalam jarak yang lebih dekat, matanya bisa melihat bahwa Ratu Ayu memang masih seperti gelaran yang dipakai. Wajahnya benar-benar mencerminkan ratu. Keayuannya segera bisa diakui. Hanya sekarang tubuhnya kelihatan sangat kurus, wajahnya pucat, cara duduknya di atas joli terbuka seperti tak ada tenaga sama sekali.

Gendhuk Tri mencari-cari kalau-kalau melihat bayangan Senopati Sariq atau pengikut Ratu Ayu yang setia. Namun kelihatannya tak ada wajah yang asing. Gendhuk Tri menyadari bahwa Ratu Ayu seperti terkena pengaruh kekuatan sihir, atau semacam bubuk pagebluk, sehingga hanya badaniahnya saja yang dihadirkan. Pandangan matanya kosong melompong.

“Ratu Ayu, di mana Adimas Upasara?”

Teriakan yang sangat akrab di telinga Gendhuk Tri. Itulah suara Nyai Demang! Benar, bersamaan dengan itu muncul sosok bayangan yang menggendong mayat di punggungnya. Dengan pemunculan Nyai Demang, para prajurit pengawal segera membuat barisan pertahanan. Akan tetapi dengan menepiskan kiri-kanan sambil terus melangkah mendekat, barisan para prajurit terdepak ke kanan dan kiri. Bagai ditebas dengan kekuatan yang besar.

“Ratu, di mana Upasara?”

Mendadak terdengar terompet dan genderang ditabuh bertalu-talu. Dari arah Keraton muncul barisan yang lain. Dipimpin senopati yang lain, yang segera menuju ke arah Nyai Demang.

“Aku, Senopati Kebo Pengasihan, memerintahkan agar semua prajurit mundur. Biarlah aku yang membereskan wanita tidak waras ini.”

Belum habis kata-katanya, Nyai Demang menyambar ke arahnya. Dengan sekali tekuk, Senopati Kebo Pengasihan berada dalam cengkeramannya. Tubuhnya diangkat ke atas. Digoyangkan.

“Kamu mengerti apa urusan ini?”

Dengan sekali sentak, tubuh Senopati Kebo Pengasihan melayang dan ambruk ke tanah. Nyai Demang maju ke arah joli. Kedua tangannya bergerak cepat dan para prajurit yang menjaga joli terlempar sambil mengeluarkan jeritan mengerikan.

“Ratu Ayu, kamu masih mengenaliku?” Suara Nyai Demang sangat jelas nadanya. Tidak seperti sebelumnya yang hanya bisa berhaha-hihi tak keruan.

Ratu Ayu mengangguk.

“Di mana Adimas Upasara? Apa benar mereka telah menguburkannya di perut binatang buas?”

Gendhuk Tri tak bisa menahan diri. Tubuhnya melayang ke depan, dan hinggap di sisi Nyai Demang!

“Ke mana kamu selama ini?”

“Nyai, kamu baik-baik saja?”

“Apa benar Upasara diumpankan ke binatang buas?”

Gawat, pikir Gendhuk Tri. Dalam keadaan seperti ini, ternyata Nyai Demang belum pulih kesadarannya. Dilihat dari pembicaraannya yang masih melantur, bisa dimengerti keadaannya. Meskipun sudah lebih baik, akan tetapi pengaruh kekuatan Eyang Kebo Berune yang menempel di punggungnya tidak hilang sepenuhnya. Gawat juga karena ternyata Ratu Ayu, dalam pengertian yang berbeda, juga mengalami nasib yang sama.

“Nyai segalanya belum jelas. Mari kita sama-sama membuktikan di mana kebenaran yang sesungguhnya. Ratu Ayu, apakah kamu bisa berbicara?”

Ratu Ayu mendongak sebentar. Lalu menunduk lagi.

“Nyai, mari kita masuk ke Keraton. Kita jebol apa yang menghalangi.”

“Untuk apa?”

“Untuk menjemput Kakang Upasara.”

“Siapa?”

“Adimas Upasara!” teriak Gendhuk Tri kesal.

“Baik. Mari…”

Nyai Demang segera membalikkan tubuh. Tidak lagi memedulikan Ratu Ayu. Perhitungan Gendhuk Tri mengenai Nyai Demang tak meleset. Meskipun sudah lebih bisa diajak bicara, akan tetapi Nyai Demang yang sekarang ini hanya tubuhnya saja yang sehat. Pengaruh utama masih tetap kekuatan dalam dari Eyang Kebo Berune.

“Segala macam patung boneka kecil, menyingkirlah.”

Sekali menggebrak, Gendhuk Tri membuka jalan. Dengan Nyai Demang di sampingnya, lima jurus berikutnya mereka berdua telah sampai di depan pintu utama.

“Tak semudah itu masuk ke Keraton…” Pendeta Manmathaba tersenyum dingin. Di tangannya, Bandring Cluring berayun-ayun.

Pukulan Lima Arah
GENDHUK TRI bersiul. “Pendeta tua, kamu tak bisa main-main lagi dengan segala jenis ilmu kebal kulit kentang. Mari, aku jajal sedikit…”

Seperti watak yang sebenarnya, Gendhuk Tri benar-benar tak mau menunggu lawan atau kawan. Tidak menunggu reaksi Manmathaba ataupun persiapan Nyai Demang. Tidak menunggu apakah gertakannya berhasil mempengaruhi atau tidak. Tangan kirinya menyabet ke kiri, ke arah yang kosong, sementara tubuhnya membalik. Dengan tendangan kaki kanan. Tanpa memedulikan bandring yang tengah diputar. Nyai Demang dengan terhuyung-huyung ikut maju, ke arah tubuh Manmathaba bergerak.

Manmathaba justru menarik mundur bandringnya. Bunyi tok-pletok yang keras berurutan berganti deru angin. Agaknya Manmathaba jeri. Atau setidaknya memperhitungkan gerakan dan tenaga dalam Gendhuk Tri. Pukulan tangan kiri Gendhuk Tri yang diarahkan ke tempat kosong, tenaganya jauh berbeda sifatnya dengan tenaga tendangan kaki kanan.

Apalagi putaran tubuhnya mendesirkan tenaga yang berbeda lagi sifatnya. Dalam satu gerakan, Gendhuk Tri memperlihatkan pengaturan tenaga air, kayu, dan api. Yang sifatnya berbeda-beda. Manmathaba surut karena ingin mengetahui apakah rangkaian tenaga yang berikut tenaga bumi dan disusul dengan tenaga logam mulia.

Gebrakan semacam ini akan mudah dimengerti karena rangkaian yang agak urut ialah tenaga kayu, api, bumi, logam mulia, air, bisa diperkirakan. Dengan mengenali cara mengatur tenaga lawan, Manmathaba akan merasa lebih mudah menguasai. Karena hal semacam itu sudah dikenali. Kalau ada yang membuat Manmathaba sedikit ngeri terhadap gadis yang suka nekat ini hanyalah karena mereka mempunyai dasar ilmu yang sama.

Apa yang dikatakan Gendhuk Tri bahwa ia mengetahui ilmu kebal, pastilah bukan omong kosong belaka. Manmathaba menangkis tendangan kaki dengan telapak tangan mendongak ke atas, seakan siap memelintir. Dugaannya tidak meleset. Gendhuk Tri tidak menarik mundur kakinya, malah memakai sebagai pijakan kuda-kuda. Karena kemudian meloncat ke atas seakan terbang.

Gendhuk Tri boleh bangga dengan gerakannya, akan tetapi bagi Manmathaba ini keberuntungan. Dengan loncatan ke atas, Manmathaba sudah memperkirakan dua kaki yang akan mencoba menjepit lehernya dalam gerakan memutar. Manmathaba mengerahkan tenaga ke bahu. Dua bandringnya menghalau Nyai Demang, sementara lehernya dibiarkan dijepit. Jika Gendhuk Tri memakai tenaga bumi yang tenang, dan tenaga logam mulia yang berat, dari kaki kiri maupun kanan, ia siap mengandaskan. Dengan memakai tenaga sebaliknya!

Tenaga bumi akan dilawan dengan tenaga logam. Di sini, ia mengerti betul bahwa tenaga bumi menjadi kurang berarti dibandingkan tenaga logam mulia. Seakan bumi hanya berarti kalau menyimpan logam mulia. Demikian juga seterusnya. Tenaga kayu kalah oleh tenaga api, tenaga api kalah oleh tenaga air, tenaga air terserap oleh bumi. Dalam pertarungan cepat seperti sekarang ini, bisa saja urutan itu dibalik. Bisa jadi jepitan kedua kaki Gendhuk Tri memakai tenaga air, atau gabungan antara air dan kayu.

Kembangan atau variasi serangan yang bagaimanapun dibolak-balik urutannya, tak membuat Manmathaba takut. Karena merasa menguasai rangkaian gerakan. Dalam pertarungan semacam ini akan cepat diketahui siapa yang unggul dan siapa yang keteter atau terdesak. Semakin orang mengetahui kembangan serangan lawan dari inti gerakannya, semakin besar kemungkinannya untuk mematikan. Itu sebabnya dalam suatu pertarungan, betapapun berbeda-beda jurusnya, bisa tetap digolongkan dalam inti yang sangat mendasar.

Perhitungan Gendhuk Tri lain lagi. Bahwa Manmathaba tidak terlalu menggeser leher membuktikan bahwa ia siap menghadapi. Baik karena merasa menguasai, ataupun karena merasa tak terganggu. Tapi Gendhuk Tri tetap Gendhuk Tri. Adu keras pun akan dilayani. Menyadari lawan memberi umpan, tak disia-siakan. Disambut. Gerakan kakinya yang memuntir leher lawan malah diperkencang, dipercepat putarannya. Tubuhnya bagai gasing, sementara rambutnya yang tergerai menyapu angin. Gerakan yang indah.

Sangat berbeda dari gerakan Nyai Demang yang serba tanggung karena menggendong mayat, yang bagai gerakan limbung, menyusup dari sisi kiri tahu-tahu muncul dari sisi kanan. Biasan tangannya mendorong bandul bandring menjauh. Gendhuk Tri memperkeras jepitannya begitu menyentuh pundak lawan Terdengar teriakan keras. Tubuh Manmathaba terguling, mengerang, dan mendadak meloncat ke angkasa. Kali ini kedua tangannya mengembang dan mendorong tubuh Gendhuk Tri. Yang seketika terputar ke arah belakang!

“Wu…!”

Teriakan itu berasal dari Manmathaba yang alisnya sedikit berkerut. Ia bisa mengenali bahwa pengaturan tenaga dalam Gendhuk Tri seperti yang diduganya. Tak meleset sedikit pun. Hanya saja, Gendhuk Tri mampu mengembangkan lebih jauh. Dalam memainkan urutan tenaga dasar dari semua tenaga, yaitu tenaga emas kayu, air, api dan bumi, bukan dimainkan secara berurutan atau berbalik-balik, melainkan dalam satu pengaturan! Bisa dilakukan secara serentak!

“Aha, kamu mengenali ilmu kanak-kanak itu?”

Teriakan Gendhuk Tri seakan menertawakan lawan. Walau jelas ia sendiri terdesak, akan tetapi dalam soal adu silat lidah, ia tak pernah mau kalah.

“Wu apa ini?”

Kembali Gendhuk Tri menyerang. Tangan kanan memukul ke depan, tangan kiri ke samping, demikian juga dengan gerakan kaki, seakan kaki kanan dan kaki kiri tidak satu sasaran. Liukan tubuhnya juga dalam irama yang berbeda. Kali ini Manmathaba tak berani memandang enteng. Dengan menahan rasa herannya, ia terpaksa melangkah mundur hingga dekat pintu. Sehingga serangan lawan dari jurusan yang berbeda bisa terhalangi.

“Ilmu naga apa itu namanya?”

“Nyai akan segera tahu,” jawab Gendhuk Tri.

Jawaban Gendhuk Tri memperlihatkan bahwa ia menyadari pada saat seperti ini yang menguasai jalan pikiran Nyai Demang adalah Eyang Kebo Berune. Yang tidak mengenali jurus-jurus dan pengaturan tenaga yang dimainkan. Karena menurut dugaan Gendhuk Tri, gerakannya bukan sesuatu yang tak dimengerti Nyai Demang. Baik karena pengetahuannya yang luas, maupun karena secara langsung Nyai Demang bergaul dengan para ksatria dari Tartar. Kalau Manmathaba saja bisa segera mengenali, pastilah Nyai Demang juga bisa. Hanya karena kini yang menguasai adalah Eyang Kebo Berune, jadinya lain.

“Rasanya iya…”

“Nyai sudah pernah tahu. Coba perhatikan baik-baik…”

Tubuh Gendhuk Tri menggeliat, menerobos masuk pintu. Begitu bandul Manmathaba bergerak, Gendhuk Tri bisa membelokkan tubuhnya dengan gerakan indah. Sekarang, keterlindungan Manmathaba justru menjadi halangan! Dinding kiri-kanan menjadi penghalang. Dalam hati Manmathaba tak habis mengerti. Bagaimana mungkin gadis seusia Gendhuk Tri mampu mempelajari dan langsung mempraktekkan dengan leluasa beberapa dasar ilmu kelas utama. Bagaimana mungkin dasar-dasar Kitab Air bisa dimainkan dengan dasar-dasar ilmu dari negeri Tartar.

Apa yang diperlihatkan Gendhuk Tri dan diteriaki Wu adalah pameran kemahiran itu. Wu yang menekankan lima unsur tadi menjadi salah satu bagian saja. Yaitu yang biasa disebut Wuxing. Sedangkan serangan yang berbeda kanan dan kiri, kaki dan tangan, serta gerakan tubuh disebut Wufang-Pukulan Lima Arah. Utara, timur, selatan, barat, dan pusat. Wuxing dan Wufang adalah bagian dari lima Wu yang secara lengkapnya mencakup juga Wucai-Lima Asmara, Wucai-Lima Warna, serta Wujing- Lima Logam.

Kalau tadinya Manmathaba hanya menduga lima kemungkinan, sekarang sedikitnya harus berjaga-jaga dari lima kali lima kemungkinan, yaitu 25 kemungkinan pengaturan tenaga dari satu gerakan. Makin jelas bahwa Gendhuk Tri tak bisa dipandang enteng. Ini yang mengherankan sejak menyuruk masuk di tengah pintu. Dan akan tetap membuat Manmathaba heran jika dikatakan bahwa sesungguhnya Gendhuk Tri berguru langsung dari sumber utama ilmu tersebut, yaitu dari Naga Nareswara, Raja Segala Naga!

Sesungguhnya, itu kelebihan yang tak disadari oleh lawan-lawan Gendhuk Tri. Karena mereka menduga bahwa keunggulan yang diperlihatkan Gendhuk Tri adalah keunggulan dari satu pendalaman akan suatu ilmu. Bukan rangkuman dari berbagai tradisi yang sumbernya berlainan. Sesungguhnyalah, ini yang juga kurang disadari oleh Gendhuk Tri sendiri. Kalau saja ia memahami kelebihannya, hasilnya akan lain. Gendhuk Tri bisa menghantam dan menyudutkan lawan dengan lebih terarah.

Pukulan Bertumbuh-Bertambah
PERJALANAN hidup Gendhuk Tri dalam dunia persilatan memang tidak biasa. Tidak seperti Upasara Wulung yang sejak lahir sudah dilatih secara tekun dan terarah oleh Ngabehi Pandu. Atau juga seperti Pangeran Anom yang mendapat didikan langsung dari ayahnya, Senopati Agung Brahma.

Gendhuk Tri, sejauh bisa mengenang dirinya, berasal dari penduduk biasa. Yang tumbuh tanpa darah bangsawan secara langsung dan jelas. Kulitnya hitam, raut wajah, bentuk hidung, bibir, mata, ataupun kening sama sekali tak menunjukkan dirinya keturunan bangsawan.

Ia begitu saja mengikuti apa yang biasa terjadi pada anak dusun. Belajar nembang, dan diajari untuk bisa menjadi sinden-penembang, dan menjadi penari untuk menghibur Baginda Raja. Saat itulah Mpu Raganata merasa eman, sayang kalau anak gadis kecil yang lugu ini hanya mengakhiri hidupnya sebagai wanita penghibur. Tanpa setahu Baginda Raja, Mpu Raganata melarikan dan menyerahkannya ke dalam asuhan Jagaddhita, yang juga murid tidak langsung Mpu Raganata, yang bisa saja dijadikan murid karena alasan yang tak sepenuhnya diketahui.

Perjalanan hidup ini membuat Gendhuk Tri tidak mempelajari ilmu silat dari tata aturan yang semestinya. Apalagi ia menerkam langsung berbagai pengalaman dalam berbagai medan pertarungan yang ganas. Baru belakangan Gendhuk Tri menyadari bahwa sumber ilmu silatnya ialah Kitab Air. Sewaktu mempelajari kembali bersama Singanada ataupun Pangeran Anom, dan terlebih lagi bersama Kiai Sambartaka, segalanya menjadi terbuka.

Apa yang dipelajari selama ini mempunyai dasar pijakan yang jelas dan ke arah mana hubungannya. Dengan keterbukaan yang sering diartikan pencerahan itulah Gendhuk Tri bisa menggabungkan dengan apa yang dipelajari dari Naga Nareswara. Apa yang selama ini diketahui secara terpisah, sekarang bisa disatukan. Lejitan pikiran dan rasa yang menyatu itulah yang membuat Gendhuk Tri bisa segera membaca rahasia ilmu kebal yang dimainkan Manmathaba!

Hal yang sama ketika menghadapi lawan, kekuatan jurus-jurus Wu bisa menyeruak dengan sendirinya. Ada semacam naluri yang muncul dengan sendirinya, yang terangkai untuk menggabungkan semua kekuatan yang ada, yang selama ini tersimpan. Sewaktu menyerang dengan tenaga air, kayu, api, bumi, dan logam mulia kombinasi dari rangkaian yang sama yang berasal dari tradisi lain bisa muncul dengan sendirinya. Itulah yang terlihat ketika memainkan jurus Pukulan Lima Arah atau Wufang.

Kalau simpul mengenai hal ini terbuka, kemungkinan yang lain juga bisa terjadi dengan sendirinya. Selama Gendhuk Tri menguasai. Ini sesungguhnya yang ditakuti atau setidaknya membuat Manmathaba menjadi sangat berhati-hati. Pengetahuannya yang luas, secara tidak sengaja justru membuatnya waswas. Seperti juga ketika berlindung di tengah pintu. Dari terlindung, menjadi terhalang.

Pengetahuan Manmathaba yang luas, membuatnya bersiaga kalau-kalau Gendhuk Tri nanti memainkan tidak dengan pengerahan Tenaga Wu, melainkan dengan mengubah menjadi pengerahan Tenaga Jiu atau memainkan Tenaga Sembilan. Seperti yang pernah ditunjukkan oleh Singanada, yang mampu melipat-gandakan tenaga dalam sembilan kali lebih besar. Sebenarnya kalau itu yang terjadi, masih tidak membuat Manmathaba kuatir.

Yang dikuatirkan adalah bila Gendhuk Tri mahir memainkan gabungan dari Pukulan Lima, Pukulan Sembilan, dan jenis pukulan lain. Sebab kembangan pukulan dari negeri Tartar sangat luas dan rangkaiannya tidak terduga. Pada seorang tokoh yang sudah menguasai, pengerahan tenaga itu bisa berarti memasuki tahap bertambah-bertumbuh. Tahap di mana ketika memainkan Tenaga Delapan Belas misalnya, berarti Tenaga Sembilan. Tenaga Tujuh Belas berarti Tenaga Delapan.

Rangkaian ini makin rumit, apabila rangkaian Tenaga Tiga dan Tenaga Delapan digabung. Hasilnya bukan Tenaga Sebelas atau Tenaga Dua. Melainkan tetap Tiga dan Delapan. Tenaga Tiga mirip dengan Tenaga Sheng yang berarti tenaga yang selalu bertambah saat mengenai sasaran. Sementara Tenaga Delapan mirip dengan Tenaga Fa, keamanan untuk bertahan, yang dilambangkan dengan kemakmuran. Kalau keliru mengenali sebagai Pukulan Dua bisa mengira bahwa pukulan tersebut kosong dan sebagai pancingan, dan akibatnya terkena sasaran.

JILID 18BUKU PERTAMAJILID 20
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.