Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 20
Sebenarnya Gendhuk Tri tidak mendalami seperti yang diperkirakan Manmathaba. Jurus-jurusnya meluncur begitu saja. Begitu menemukan reaksi, segera menjawab dengan sendirinya. Dengan dasar-dasar ajaran Mpu Raganata, dimatangkan dengan tenaga Kitab Bumi dan menerima didikan tidak langsung dari Naga Nareswara Gendhuk Tri menjadi gadis yang sulit dikalahkan oleh mereka yang seusia dengannya.
Keluwesan itulah yang menyebabkan Gendhuk Tri mampu berpasangan dengan Singanada, ataupun dengan Pangeran Anom. Padahal jelas sumber tenaga dalam kedua tokoh itu sangat berbeda.
Sepuluh jurus telah berlalu. Perlahan tetapi pasti, Manmathaba mulai bisa membaca pengerahan tenaga yang belum sempurna. Maka memasuki jurus ketiga belas, Manmathaba memancing Gendhuk Tri merasuk masuk, dan dengan segera memapak maju. Tangan kanan miring, lurus ke atas dengan jari yang lengket satu sama lain, sementara tangan kirinya memainkan dua bandring sekaligus. Gendhuk Tri masuk perangkap.
Nyai Demang berteriak keras. “Awas… Awas… Mundur…!”
Dalam kilatan pikiran, agaknya hubungan Nyai Demang dengan Gendhuk Tri muncul kembali. Pribadi Nyai Demang yang utuh menguasai pikiran dan perasaannya. Itu sebabnya Nyai Demang tidak memedulikan keselamatan dirinya, menyerbu masuk.
Manmathaba telah siap. Kedua kakinya menyapu keras, dan tubuh Nyai Demang terungkit ke atas. Gerakan Nyai Demang memang tidak sempurna. Baik karena beban mayat di punggungnya maupun karena tenaga dalamnya tak bisa sepenuhnya menyatu dengan tenaga dalam Eyang Kebo Berune. Makanya bisa diungkit. Hingga sempoyongan. Bahkan terjatuh.
Sementara pada saat yang sama dengan terungkitnya tubuh Nyai Demang, Gendhuk Tri tak bisa meloloskan diri. Ia telanjur masuk ke daerah serangan lawan. Mundur atau menjatuhkan diri sangat sulit. Kalaupun bisa, bandul Bandring Cluring siap menghancurleburkan. Maju berarti dada atau wajahnya kena tebas tangan Manmathaba yang telah rapat oleh pengerahan tenaga.
“Ladlahom…”
Tak ada yang mendengar ucapan kaget Puspamurti. Karena ketiganya tengah bergulat dalam pertarungan yang tak memungkinkan pecahnya perhatian. Manmathaba mengeraskan tenaganya. Kelima jari yang rapat, dalam Gerakan miring menebas dada Gendhuk Tri, yang tubuhnya sedang melaju ke arahnya. Kalaupun Gendhuk Tri mencoba mendahului atau menangkis, adu tenaga dalam yang terjadi. Ini berarti Gendhuk Tri akan terluka parah.
Manmathaba merasakan kemenangan. Batas kelingking seakan memecahkan tubuh Gendhuk Tri! Hanya anehnya, tubuh Gendhuk Tri justru melesat jauh! Menerobos ke dalam Keraton. Tanpa kurang suatu apa! Berdiri tegar sambil mengumbar senyum. Manmathaba mengeluarkan seruan kagum.
Ia begitu yakin telah merebut kemenangan. Ia yakin bahwa tak ada orang lain yang secara diam-diam menolong Gendhuk Tri. Tapi nyatanya Gendhuk Tri segar bugar. Bisa lolos. Bahkan senyumannya berubah menjadi tawa yang meringkik, mendesis.
“Wanara Seta…”
Gendhuk Tri meringis. Seakan malah gembira dan sekaligus bangga dikenali sebagai kera putih atau Wanara Seta. “Lahir dari batu, akulah lawanmu sekarang ini…”
Tubuh Manmathaba menggigil. Bandringnya terkulai. Jurus yang baru saja dimainkan oleh Gendhuk Tri sangat dikenali oleh Manmathaba sebagai jurus yang mengambil pengerahan tenaga dari batu yang terbelah. Batu itu adalah tenaga dalam lawan yang mengurung secara sempurna.
Ini adalah ilmu dari Sembilan Jalan Buddha yang paling sulit dipelajari. Dasar jurus Wanara Seta adalah kisah mengenai kelahiran seekor kera dari kandungan batu. Yang menjadi kisah klasik, karena kera putih inilah yang kelak kemudian hari menuntun sang ksatria utama menuju Jalan Buddha yang sesungguhnya.
Kalau benar Gendhuk Tri sampai di tingkat itu, berarti Manmathaba keliru menduga. Satu lagi kekeliruan yang bisa berarti kematian bagi Manmathaba. Karena jika saat itu Gendhuk Tri berbalik dan melancarkan serangan, Manmathaba tamat riyawatnya. Tapi kalau sekarang tubuhnya menggigil, itu karena sebab yang lain.
Pertemuan Mahamanusia
MANMATHABA menggigil karena tulang kakinya menjadi ngilu, sehingga tak kuat menahan tubuhnya. Sesaat ketika mengungkit kaki Nyai Demang dan menggajul, menendang ke atas dengan keras, kelihatannya sepintas ia unggul. Tubuh lawan bisa terpental, terbanting jatuh karena beban di punggung.
Akan tetapi yang juga tak diduganya sama sekali ialah bahwa setelah itu Manmathaba merasa kakinya tak bisa digerakkan. Menjadi ngilu luar biasa, seakan semua tulangnya remuk, berkeping-keping, dan setiap serpihan menimbulkan rasa sakit yang menggigit sarafnya. Manmathaba menggigil karena hatinya terguncang.
Selama ini dirinya tokoh kelas satu di negerinya. Pemimpin para pendeta sekaligus juga empu yang tidak mempunyai lawan. Sewaktu melihat peluang untuk menanamkan pengaruh di tanah Jawa yang telah dirintis oleh Pendeta Sidateka, ia berangkat disertai tiga pengikutnya.
Langkah-langkah pendahuluan menunjukkan siapa dirinya. Dengan bubuk pagebluk ia bisa menguasai semua bangsawan di Keraton tanpa kecuali. Termasuk Raja dan Permaisuri. Dengan ilmu silatnya dan senjata andalan Bandring Cluring ia merontokkan semua ksatria di tanah Jawa. Termasuk Upasara Wulung yang sudah menyandang gelar lelananging jagat. Gebrakan sapu bersih, tanpa ada yang mampu menghadang.
Siapa sangka belum sebulan ia telah terjungkal kembali di tempat di mana ia mampu mengalahkan semuanya? Rasa-rasanya tak habis pikir. Apalagi dikalahkan seorang gadis, dan seorang wanita yang menggendong mayat. Betapa nanti semua tumbuhan dan batu di negerinya akan menertawakan kalau mengetahui hal ini.
Saat itu Manmathaba menyadari kesalahannya. Pertama ia tak menduga bahwa Gendhuk Tri ternyata bisa lolos dari kurungannya. Bisa jadi ini dikarenakan ia menganggap enteng lawan. Ini berdasarkan perhitungan bahwa yang paling perkasa seperti Upasara Wulung mampu ditekuk habis. Kedua karena hal yang sama, tak menduga bahwa tenaga dalam Nyai Demang bisa menerobos masuk, dan menghancurkan.
Perhitungan Manmathaba yang paling jauh pun tak menemukan bahwa sesungguhnya Nyai Demang dialiri tenaga dalam yang dimiliki Eyang Kebo Berune. Tenaga dalam yang luar biasa, yang dihimpun dalam Pukulan Pu-Ni. Pukulan yang pada intinya bertenaga menghancurkan sekaligus. Seperti diketahui jurus-jurus yang dahsyat itu diciptakan oleh tokoh-tokoh kelas utama sebagai penangkal Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang telah diajarkan secara luas, dan diperdalam oleh hampir semua ksatria.
Ilmu-ilmu itu diciptakan karena kekuatiran bahwa kalau Dua Belas Jurus Nujum Bintang menjadi kekuatan yang disalahgunakan, tetap ada penangkalnya. Walaupun yang kemudian sangat dikenal adalah Delapan Jurus Penolak Bumi akan tetapi ilmu-ilmu yang lain tak kalah saktinya. Baik ilmu Mpu Raganata, Paman Sepuh, maupun Kebo Berune sendiri, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pada ajaran ilmu Mpu Raganata, jurus-jurus penangkal itu disebut sebagai Weruh Sadurunging Winarah, yang intinya Mengetahui Sebelum Terjadi. Sebelum lawan memainkan jurus tertentu, sudah bisa diketahui. Bahkan sebelum satu gerakan yang paling kecil sekalipun. Dengan kata lain mengembangkan kekuatan batin untuk menangkap apa yang dirasakan lawan.
Pada ajaran Eyang Sepuh, terciptalah jurus-jurus yang kemudian dikenal sebagai Tepukan Satu Tangan, yang intinya menjadikan dirinya tumbal, menjadikan dirinya sebagai korban. Semakin rela diri kita berkorban, menyerahkan diri, semakin mungkin untuk mementahkan serangan. Dengan kata lain, inti utamanya ialah pasrah.
Pada ajaran Paman Sepuh, lahirlah jurus-jurus yang terangkai dalam Banjir Bandang Segara Asat, yang intinya memindahkan tenaga serangan lawan untuk memerangi sendiri. Dengan kata lain, tenaga dalam lawan yang membanjir dipindahkan untuk menghantam balik, dengan perumpamaan terjadi banjir besar saat laut surut.
Pada ajaran Kebo Berune, lahir jurus-jurus yang dikenal dengan sebutan Pukulan Pu-Ni, yang intinya menghancurleburkan tenaga lawan saat serangan lawan datang. Keras dilawan dengan lebih keras. Dengan kata lain, saling menghancurkan tenaga dalam.
Pada ajaran lain, yang sebenarnya bukan semata-mata diciptakan untuk menangkal, adalah Kitab Air. Eyang Putri Pulangsih mencari pengembangan tenaga dari sifat air, sebagai kemungkinan lain dari pengembangan tenaga dalam yang bersifat bumi. Bahwa kemudian yang diakui secara resmi adalah Tumbal Bantala Parwa, itu semua merupakan kesepakatan para tokoh utama, yang direstui oleh Baginda Raja.
Besar sekali kemungkinannya karena inti ajaran Eyang Sepuh dalam Kitab Penolak Bumi adalah sikap pasrah, sumarah. Sikap menyerah secara tulus dalam artian yang luas, baik kepada sang Maha Pencipta ataupun kepada Raja, lebih sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat maupun Keraton.
Sekurangnya jika dibandingkan dengan ajaran Kebo Berune ataupun Paman Sepuh yang lebih mengandalkan kepada tenaga keras menghancurkan. Atau dibandingkan ajaran Mpu Raganata yang mengacu kepada kebatinan yang terkuasai.
Manmathaba bukannya tidak mengetahui bahwa ada begitu banyak ilmu atau ajaran yang tangguh di jagat ini. Yang tak diduganya, bahwa seorang Nyai Demang menyimpan tenaga merusak yang dahsyat. Itulah yang dirasakan kini. Tulang-tulang kakinya seakan remuk jadi bubuk. Dalam keadaan di mana dirinya menjadi pemenang satu-satunya, tiba-tiba harus menyadari kekalahan yang memalukan.
Manmathaba menghimpun kekuatannya yang terakhir. Bandul bandringnya memutar dengan keras, dan meluncur lepas ke arah Nyai Demang. Yang tengah terduduk. Yang tak sepenuhnya sadar bahaya mengancam. Gendhuk Tri tak sempat memberi peringatan atau menolong. Terdengar bunyi pletok keras. Kipas kayu besar Puspamurti yang dilemparkan untuk menghadang remuk menjadi bubuk. Seakan ditumbuk oleh palu godam yang besar.
“Ladlahom. Siapa suruh kamu membunuh?”
Satu tangan Puspamurti bergerak, dan tubuh Manmathaba terjatuh ke bawah. Tanpa tenaga dorongan keras pun, Manmathaba sudah akan ambruk!
“Siapa kamu?” Pertanyaan Nyai Demang dalam nada yang ganjil menandai bahwa Eyang Kebo Berune yang menguasai alam pikiran.
“Aku adalah aku. Sejak kapan kamu main-main di tubuh orang lain?”
“Sejak aku mau.”
“Sejak kamu mau. Baik juga. Tak kuduga ada juga yang mau mempelajari Kitab Pamungkas”
Nyai Demang berdiri dengan gagah. Gerakannya cepat dan agak patah. “Ngawur. Aku adalah Kebo Berune, senopati ulung dan ksatria utama Keraton Singasari yang menguasai dan menaklukkan tlatah Berune. Mana mungkin aku mempelajari ilmu lain? Aku hanya mempelajari dari ajaranku sendiri.”
“Ladlahom. Kok teganya kamu ini mengingkari harkatmu sebagai manusia. Apa kurangnya?”
“Ngawur.”
“Memang. Itulah kita berdua. Manusia-manusia yang perkasa. Yang mementahkan soal dunia dan alam. Soal mati dan hidup tanpa jarak. Ladlahom. Baguslah itu. Kita sesama manusia.”
Nyai Demang meludah ke arah Puspamurti, yang justru bergelak. “Rasanya baru sekarang aku ketemu sesama manusia. Manusia yang tengik yang busuk, yang mahamanusia. Yang malu mengakui sebagai manusia. Yang tidak mau disebut penjilat, pencuri ajaran orang lain. Hei Kebo, siapa kamu ini? Semakin kamu menolak, semakin jelas bahwa kamu ini mengintip ajaran yang bukan milikmu. Tapi ya memang begitu. Itulah maha manusia.”
Kali ini Gendhuk Tri yang bengong. Berbagai pengertian masuk ke dalam kesadarannya. Yang bukan tidak mungkin akan menyingkap apa yang terjadi selama lima puluh tahun lalu. Puspamurti, tokoh yang aneh ini, selalu menyembunyikan diri dan mengaku sebagai penganut ajaran Kidung Pamungkas. Kitab yang dianggap paling sesat oleh Kiai Sambartaka, karena mengagungkan manusia.
Setelah sekian lama bersembunyi, kemudian muncul untuk lebih meyakini Kidung Pamungkas, Puspamurti merasa sekian banyak ksatria tak ada satu pun yang mempelajari. Baru sekarang merasa bertemu dengan seorang yang menurut dugaannya, diam-diam mempelajari. Tanpa pemberitahuan Kiai Sambartaka mengenai Kidung Pamungkas, Gendhuk Tri tak bisa mengerti arah pembicaraan Puspamurti dengan Kebo Berune.
Gelombang Tanpa Buih
DALAM kepala Gendhuk Tri terbentuk gambaran apa yang sedang terjadi. Puspamurti menemukan “saudara seperguruan”, sementara Kebo Berune menolak dengan keras.
“Kebo tua, sekian lama aku mencari tahu bagaimana bentuk mahamanusiaitu sebenarnya. Bagaimana mahamanusia itu bisa mengatasi soal hidup dan soal mati. Sekarang baru aku tahu. Ternyata seperti ini kelihatannya. Kamunya sudah mati, akan tetapi masih bisa berkuasa atas manusia lain, masih bisa bercakap, masih bisa menjawab. Ladlahom, inilah rupanya yang kupertanyakan.”
“Kamu… kamu menuduhku…”
“Apa bedanya? Kamu merasa hina? Ladlahom. Apa artinya kehinaan dan tidak? Menjadi hina atau mulia, kamu kan tetap manusia. Dan akan selalu tetap manusia. Kalau kamu hina, kamu tidak berubah jadi cacing. Kalau kamu mulia, kamu tidak akan menjadi bunga. Ladlahom. Sayangnya kamu tidak mau mengakui sebagai manusia. Tapi tak apa. Tak mau mengakui sebagai manusia, karena ia mahamanusia, itu juga manusia dan sekaligus mahamanusia. Ladlahom. Dasar-dasar ilmu silat kamu boleh juga. Tak buruk. Tapi mengganggu. Begitu kamu mempelajari Kidung Pamungkas, semua itu tak ada gunanya. Malah merusakmu. Iya, kan? Lihat dan rasakan sendiri. Tenaga dalammu jadi ngawur dan saling berebut, sehingga tubuhmu jadi cacat. Lihat dan rasakan sendiri, bagaimana aku tetap tegak seperti layaknya manusia.”
Sekarang, sedikit-banyak Gendhuk Tri lebih memahami latar belakang Eyang Kebo Berune. Tokoh yang satu ini di masa mudanya tak pernah diperhitungkan oleh Raganata, Eyang Sepuh, Paman Sepuh, maupun Putri Pulangsih. Bahkan dalam menyusun kitab kanuragan yang akan dijadikan babon, induk segala ilmu silat, pun tak diajak bicara.
Akan tetapi karena tekadnya yang besar, Kebo Berune terus mempelajari. Dari kemungkinan besar selalu gundah, karena merasa tak bisa mengungguli empat tokoh yang lain. Sampai kemudian merasa mendapat “pencerahan” dari Kidung Pamungkas. Itulah yang diperdalam.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Puspamurti, kesadaran batin Kebo Berune tidak siap untuk menerima nilai-nilai menjadi mahamanusia. Ini menjadi sumber pertarungan batin, yang ternyata tak pernah selesai. Akibatnya tubuhnya menjadi lumpuh. Lumpuh seluruhnya.
Gambaran ini tak seluruhnya bertentangan dengan apa yang pernah diperkirakan oleh Gendhuk Tri, bahwa gangguan dalam latihan tenaga dalam yang menyebabkan Kebo Berune menjadi cacat. Mengikuti cara berpikir Puspamurti, soal mencuri ajaran ilmu lain, soal tidak mau mengakui adalah hal yang biasa. Hal yang biasa terjadi pada maha manusia.
Akan tetapi justru karena Kebo Berune belum bisa menerima ajaran dalam Kidung Pamungkas sepenuhnya, tuduhan itu membuatnya murka dan terhina. Agaknya ini yang dilihat pula oleh Puspamurti.
“Kebo manusia, lihat diriku. Aku adalah aku. Apakah aku lelaki atau perempuan, apa bedanya kalau aku manusia? Apakah aku bersuami atau beristri, apa salahku? Apakah aku mencuri ilmu silat atau mengajarkan, apa bedanya? Kalau aku mau pakai kipas, biar saja kipas ukuran seberapa pun. Aku adalah aku. Aku adalah manusia. Dan kamu juga manusia, Kebo. Ilmu curian atau bukan, apa bedanya? Ilmu ciptaan sendiri atau orang lain, apa membedakanmu sebagai manusia? Satu jurus atau seratus jurus, apa perlu dipertanyakan?”
“Tidak… aku bukan…”
“Ya, kamu bukan daun, bukan cacing, bukan Dewa. Kamu manusia. Sama dengan aku, sama dengan Upasara Wulung, sama dengan yang lainnya, hanya lebih mengerti…”
Puspamurti berbicara seolah membuka simpanan pembicaraan yang telah dipendam puluhan tahun. Nyatanya begitu. Hingga tidak menyadari bahwa ketika mengucapkan nama Upasara Wulung, seketika itu pula Gendhuk Tri bereaksi. Tubuhnya meloncat ke atas, satu tangan meraup tubuh Manmathaba dan tangan yang lain segera menggampar pipi.
Plok-plok-plok!
Keras dan geram pukulan Gendhuk Tri, karena membekas di kedua pipi Manmathaba yang disusul cairan darah menetes dari sudut bibir. Gerakan Gendhuk Tri menyambar tubuh Manmathaba dan mengangkat serta menampar, merupakan rangkaian gerakan “menjadi gelombang tanpa menimbulkan buih”. Penamaan yang mulai dihayati Gendhuk Tri. Dalam kaitan ini, sebenarnya buih dimaksudkan sebagai emosi, sebagai rasa kasar yang mencuat ke luar. Seharusnya Gendhuk Tri tidak mengikuti perasaan hatinya.
Akan tetapi hal ini memang sulit terkuasai. Bukan karena Gendhuk Tri tidak memahami. Sebab utama ia “berbuih” yang membuatnya menggampar pipi, karena secara emosional kepekaannya terlukai oleh sikap Manmathaba pada Upasara Wulung. Padahal itu yang menyebabkan ia datang dan menerjang ke Keraton.
“Katakan di mana Kakang Upasara. Jawab atau…”
Plak-plak… Plak.
Tamparan yang terakhir membuat kepala Manmathaba terkulai ke belakang. Sewaktu Gendhuk Tri melepaskan pegangannya, tubuh Manmathaba melongsor ke bawah. Yang segera disambut dengan tekukan lutut Gendhuk Tri, sehingga tubuhnya mental lagi ke atas. Tangan kiri Gendhuk Tri kembali bergerak. Seiring dengan suara plak, Manmathaba memuntahkan darah disertai beberapa buah gigi yang somplak sampai ke akar-akarnya.
“Akan kubikin ompong. Akan kutelanjangi di sini, dan kukencingi kalau kamu tetap kepala batu…”
Puspamurti jadi menengok. “Ladlahom. Manusia kok bisa kesetanan. Harusnya setan yang kemanusiaan. Gadis dusun, jangan ganggu omongan sesama manusia.”
Mana mungkin Gendhuk Tri memedulikan Puspamurti. Sekali tangannya bergerak, leher Manmathaba tercekik. “Satu tenaga kecil, kamu mati dengan mendelik. Katakan di mana Kakang Upasara…”
“Ya, di mana Adimas…” Kali ini suara Nyai Demang nyaring sekali. Langkahnya perlahan mendekat.
“Ladlahom. Kebo, kamu kalah dengan manusia yang kamu pakai, kan?”
“Di mana?” Suara Nyai Demang meninggi. Tangannya mengusap wajah Manmathaba yang sudah berubah bentuknya akibatnya tamparan berturut-turut dari Gendhuk Tri. “Manmathaba, kamu pendeta tinggi. Tidak baik mati dengan cara seperti ini. Katakan di mana Adimas Upasara…”
“Di mana dia?”
Kali ini baik Gendhuk Tri maupun Nyai Demang terkesima. Suara kuatir yang menanyakan di mana Upasara terdengar sangat menggeletar. Seperti suara rintihan yang terendam luka lama. Suara Ratu Ayu. Suara seorang istri yang memprihatinkan suaminya!
Sepersekian kejap, Nyai Demang dan Gendhuk Tri saling pandang. Seolah dalam sepersekian kejap keduanya menyadari bahwa sebenarnya yang paling berhak kuatir adalah Ratu Ayu. Pada kejapan berikutnya sekaligus juga lucu. Mereka bertiga mempertanyakan orang yang sama. Seorang gadis, seorang janda, dan seorang ratu!
“Kamu tak akan memperoleh jawaban,” jawab Manmathaba tenang sekali. “Kalian bisa mengalahkanku, akan tetapi kalian tak bisa memaksaku.”
Nyai Demang terdiam. Ratu Ayu melangkah mundur.
Gendhuk Tri malah tersenyum. “Kamu pikir, aku tak bisa memaksa kamu buka mulut?”
“Coba saja,” tantang Manmathaba. “Kalau kamu kencingi saya, siapa yang lebih malu?”
Puspamurti tertawa lebar. Kalimat-kalimat yang terdengar membuat perhatiannya teralihkan, untuk sesaat.
“Akan aku bawa tubuhmu ke Kiai Sambartaka. Biar ia bawa kamu ke negerimu sana…”
Gendhuk Tri asal mengancam saja. Karena mengetahui bahwa mereka berdua mempunyai dendam permusuhan yang mendarah daging sejak beberapa keturunan. Di luar dugaannya, Manmathaba menutupkan matanya.
“Bunuh aku.”
“Enak saja.”
“Akan kukatakan di mana Upasara. Setelah itu bunuh aku. Kamu harus berjanji. Atau beri kesempatan aku membunuh diri. Bagaimana?”
Duka yang Tertunda
“BOLEH juga permintaanmu. Aku tak mau membunuhmu karena akan mengotori tanganku. Sekarang katakan di mana Kakang Upasara.”
Manmathaba mengerjapkan matanya. Menelan ludahnya dengan perasaan penuh. Seolah merasakan setiap getaran urat tubuhnya sebagai akhir semua gerakan. Jauh dalam hati Manmathaba mengagumi bahwa jiwa ksatria sangat berharga. Kalau Gendhuk Tri sudah berjanji, biar bagaimanapun ia akan memenuhinya. Itu seratus kali lebih baik baginya. Dibandingkan harus diserahkan hidup-hidup kepada Kiai Sambartaka. Manmathaba tak bisa membayangkan berapa puluh turunannya bakal menanggung kehinaan kalau hal itu sampai terjadi.
“Katakan…”
“Upasara telah lama mati.”
Tangan Gendhuk Tri terangkat ke atas. Siap menampar keras. Kalau itu dilakukan, tulang pipi Manmathaba bakal hancur. Nyai Demang menjerit keras. Tubuhnya bergoyang-goyang dan ambruk. Sementara Ratu Ayu merintih kecil sebelum akhirnya jatuh tak bergerak. Sekelebat, Gendhuk Tri menduga bahwa Manmathaba sengaja memainkan perasaannya. Akan tetapi dugaan itu melemah dengan sendirinya.
Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kehormatan terakhir sangat tergantung pada Gendhuk Tri, sulit dibayangkan bahwa Manmathaba akan memainkan peranan mempermainkan perasaan. Kalau Halayudha, sangat boleh jadi. Sepicik apa pun, agaknya Manmathaba tak perlu bersiasat lagi. Tak ada gunanya, di saat-saat yang terakhir. Jalan pikiran Gendhuk Tri berbalik lagi. Jangan-jangan memang sengaja begitu. Agar… Agar apa? Agar ia membunuhnya!
“Kamu keliru, Manmathaba. Aku tak akan membunuhmu karena gusar berita yang kamu sampaikan. Akalmu bisa ketahuan. Dari mana kamu mengetahui Kakang Upasara telah…”
Manmathaba menghela napas. “Upasara terluka dalam di pundak kirinya. Sumber kekuatannya selama ini. Dalam tawanan keadaannya memburuk, karena siksaan. Baik dari aku maupun dari Halayudha. Usahanya untuk mengembalikan kekuatan makin membuat parah lukanya. Itulah sesungguhnya.”
“Dusta! Tak mungkin.”
“Di belakang Keraton, di bawah pohon sawo kecik yang membelukar ada gundukan tanah. Kenalilah sendiri. Barangkali bukan dia, tapi itulah yang kusaksikan. Aku sendiri tak begitu mudah percaya. Upasara Wulung tokoh yang sakti. Bahkan lebih dari siapa pun, ia bisa memulihkan tenaga dalamnya yang hilang. Mampu mengembangkan dan mengerahkan kembali tenaga cadangan yang, barangkali, hanya dia satu-satunya yang memiliki.”
“Baik, aku akan seret kamu ke sana. Kalau dusta, aku panggil Kiai Sambartaka…”
Perlahan Manmathaba mengangguk.
“Ladlahom. Duka saja kok bisa tertunda. Dasar bukan manusia. Apa kalian bertiga ini tak punya perasaan sebelumnya? Tak punya firasat apa-apa? Kok sampai ditinggal mati saja tidak merasakan…”
“Tutup mulutmu, kanyawandu…” Makian Gendhuk Tri terdengar sangat kasar. Dengan menyebut kanyawandu, Gendhuk Tri menyamakan Puspamurti sebagai “wanita yang tidak mempunyai jenis kelamin”. Kata-kata yang paling kasar yang diteriakkan dengan murka.
“Kalau Upasara mau mempelajari Kidung Pamungkas, nasibnya tak akan seburuk ini.”
“Aku bilang, tutup mulutmu.” Kali ini tubuh Gendhuk Tri yang gemetaran. Menahan kemurkaan dan perasaan campur aduk tak menentu.
“Tenangkan perasaan. Yang mati memperoleh ketenangan, kalau kita rela melepaskan.”
Gendhuk Tri berpaling ke arah datangnya suara. Pandangannya hampir tak bisa dipercaya. Kiai Truwilun mendatangi dengan langkah perlahan. Penuh ketenangan dan kearifan. Di balik mata yang selalu menyiratkan kedamaian dan kebahagiaan, tersirat duka yang sarat. Tetapi juga kepasrahan.
“Kiai…”
“Dewa Yang Maha dewa menghendaki yang terbaik…”
Gendhuk Tri menyeka wajahnya, dengan tangan masih gemetar. Kalau tadi masih ada setitik harapan bahwa apa yang dikatakan Manmathaba bohong, kini seakan tak ada lagi pegangan. Rasanya lebih tidak mungkin kalau Truwilun berdusta. Ia tak mempunyai alasan untuk itu! Ia bisa mengetahui apa yang terjadi bukan sekadar dari ramalan, melainkan ia sendiri baru berada dalam Keraton. Mungkin…
“Saya berusaha menolong sebisa mungkin, akan tetapi nasib dan takdir telah digariskan…”
“Kakang…” Tubuh Gendhuk Tri menjadi limbung. Dadanya sesak. Semua urat tubuhnya melemah. Tarikan napas yang sangat dalam dan panjang, tak sedikit mengurangi kepekatan yang menindih. Apa arti ini semua?
Upasara Wulung, Upasara kakangnya, yang selalu hidup dalam angannya tiba-tiba saja diberitakan sudah mati. Tidak dalam pertarungan habis-habisan yang menegangkan. Tidak dalam pertarungan utama seperti di Trowulan, atau ketika menghadapi senopati Tartar di ujung benteng selama pembebasan Singasari. Tapi meninggal karena luka oleh keris.
Meninggal tidak secara ksatria gagah. Apa artinya ini semua? Apakah ini juga kemauan Dewa? Dewa yang mana yang menghendaki kematian Upasara? Apa dosa Upasara sehingga harus meninggal sedini ini? Bibir Gendhuk Tri mengering. Pandangannya berputar. Kepalanya menjadi pening.
“Mungkin kematian yang menyenangkan.” Suara Puspamurti memecah kesunyian yang berlangsung lama. “Upasara lahir tanpa diketahui siapa sanak saudara atau orangtuanya. Tapi ia ditangisi sedikitnya tiga wanita, seorang dukun sakti, dan masih banyak yang lain. Entahlah, aku tak tahu. Apakah kenangan itu perlu atau tidak. Ladlahom”
Perlahan ia mendekati Nyai Demang. Berjongkok. “Ilmumu masih dangkal, Kebo. Kekuatanmu kalah oleh yang hidup. Kematianmu benar-benar tak menguasai hidup. Bangkitlah. Jawablah aku kalau kuasa.”
Nyai Demang yang diajak bicara melongo. Pandangannya tak berkedip. Puspamurti berdiri. Dengan satu gerakan memutar yang cepat sekali, kedua tangannya menyerang Eyang Kebo Berune yang membeku. Dengan sekali sentak, tubuh yang sudah lama menjadi mayat terangkat dan melayang di tengah udara. Seketika tercium bau busuk.
Agaknya setelah sekian lama meninggal, karena kekuatan tertentu dari tenaga dalam yang dilatih, Eyang Kebo Berune masih bisa mempertahankan jasad kasar dan kemauannya. Sehingga meskipun sudah menjadi mayat, tubuhnya masih utuh. Hanya setelah Nyai Demang terkena pukulan batin yang tak tertahankan, penguasaan itu terputus. Saat itulah Puspamurti melepaskan.
Agaknya juga kekuatan yang menahan proses pembusukan alami itu hanya bertahan sementara. Karena begitu terlepas, tubuh Eyang Kebo Berune seperti telah membusuk sekian lama. Sehingga tubuh itu hancur meleleh dan memancarkan bau busuk ke seluruh penjuru.
Nyai Demang sendiri seperti lepas dan pengaruh gaib yang selama ini menguasainya. Seperti memperoleh kembali pribadinya. Hanya saja, di saat memperoleh kembali penguasaan jiwa dan raganya, saat itu justru merasakan sentakan batin yang mengguncang kekuatannya.
Truwilun mendekati Nyai Demang, menuntun ke pinggir. “Dewa Maha kasih, Nyai… Maha Di Atas, Maha… Ingat, Nyai…”
Truwilun juga mengajak Gendhuk Tri. Akan tetapi dengan mata merah dan pandangan buas, Gendhuk Tri mengibaskan tangannya. Truwilun hanya menghela napas dalam, lalu membopong Ratu Ayu.
“Kakang… Rakyat Turkana menunggu Kakang… Takhta Turkana…”
Semua prajurit dan senopati yang melihat sejak awal tetap terdiam. Juga ketika Manmathaba berusaha menyeret tubuhnya sambil menahan kesakitan yang menghebat. Hanya Puspamurti yang masih berdiri. Wajahnya menengadah, mencari sesuatu di langit. Kedua tangannya ditekuk beberapa kali, dan setiap kali menimbulkan suara tak-tak-tak.
“Maha manusia menguasai mati atas hidup. Apa hanya dalam bentuk Kebo tadi? Kalau kematian memang ada, apa arti Kidung Pamungkas sesungguhnya?”
Tangis di Perjalanan
PUSPAMURTI masih tertegun. Pertarungan pikiran terus berlangsung. Tak banyak yang mengetahui bagaimana riwayat hidupnya, dan bagaimana keadaan dirinya. Hingga lebih banyak menganggap sebagai orang aneh, yang mempunyai hubungan langsung dengan Permaisuri Indreswari.
Sesungguhnya Puspamurti sejak awal mempelajari Kidung Pamungkas, dan memilih kitab itu sebagai babon utama untuk mempelajari ilmu silat. Terutama sejak awal gagasan itu dituliskan. Tenggelam dalam kesendiriannya, Puspamurti masuk merasuk dalam ajaran Kitab Pamungkas. Puluhan tahun dihabiskan hanya dengan membaca dan mempelajari kitab yang mengagungkan manusia.
Sesuai dengan ajaran itu, sekurangnya dalam tanggapan Puspamurti, ia bisa melakukan segalanya seorang diri. Tak memerlukan orang lain. Sampai kemudian mendengar cerita mengenai ksatria lelananging jagat, sehingga Puspamurti meninggalkan persembunyiannya. Karena tidak mengetahui di mana pertemuan, serta tak mau bertanya, Puspamurti nyasar ke Keraton.
Saat itu di Keraton sedang diadakan penghimpunan kekuatan yang setia kepada Raja Jayakatwang. Sehingga kedatangannya tidak menimbulkan kecurigaan. Karena memang saat itu banyak senopati dan ksatria yang datang bergabung. Baik dari tanah Jawa maupun dari negeri seberang. Karena kebetulan bisa bertemu langsung dengan Permaisuri Indreswari yang memperlakukan dengan baik, Puspamurti kerasan di Keraton. Apalagi ia mendapat perlakuan sangat istimewa.
Pada saat itulah Permaisuri Indreswari menjanjikan akan memberikan Kitab Pamungkas yang asli. Itu yang ditunggu. Setelah diberikan, kembali mempelajari dari awal. Puspamurti tak merasa berhubungan atau tergantung perintah siapa pun. Maka sebenarnya kedudukannya dalam hal ini tidak memihak siapa saja, atau bisa diperalat oleh salah seorang penguasa.
Kalau ia keluar dari kamarnya karena mendengar keributan, juga tak jelas akan berpihak ke mana. Karena baginya, tak ada perbedaan benar harus ke mana atau berbuat apa. Satu-satunya yang menggembirakan hanyalah bahwa dirinya mendapat pelayanan sangat istimewa, dan di sekitarnya begitu banyak manusia yang memainkan ilmu silat.
Sampai kemudian melihat Nyai Demang yang menggendong Kebo Berune, dan serta-merta mengenali perwujudan nyata dari salah satu sifat maha manusia dalam soal mengalahkan kematian. Kegembiraan karena menemukan saudara seperguruan “satu aliran” runtuh ketika mengetahui bahwa Kebo Berune tak berkuasa atas tubuh Nyai Demang. Itu yang menyebabkannya tertegun.
Bukan karena dari dalam Keraton muncul rombongan yang berarakan dengan rapi. Ia hanya melihat dari kejauhan, memandangi apa yang terjadi. Baginda Kertarajasa ternyata jengkar kedaton, meninggalkan Keraton. Dalam iringan yang panjang, penuh dengan simbol kebesaran. Hanya karena rombongan terhenti di mulut pintu, perhatiannya jadi tersedot. Baginda terhenti karena melihat Truwilun yang berada di pinggir.
“Aku melihat kamu pertama kali bersedih, Truwilun. Pandangan matamu tak bercahaya lagi…”
Truwilun menyembah hormat.
“Apa yang bisa membuatmu sedih?”
Truwilun menceritakan apa yang dilihat, kaitannya dengan kematian Upasara Wulung yang menyebabkan Gendhuk Tri, Nyai Demang, serta Ratu Ayu tenggelam dalam duka.
Baginda menggeleng. “Bagus juga kalau hal ini diketahui langsung oleh Gayatri. Ksatria yang menjadi pujaan hatinya, yang dianggap masih selalu mengenangnya, ditangisi tiga wanita…”
Truwilun menyembah hormat.
“Aku bisa membaca perasaanmu, Truwilun. Kenapa aku lebih memasalahkan kematian Upasara yang ditangisi, dibandingkan dengan kekalahan Manmathaba, atau bahkan kematian Upasara itu sendiri. Itu yang akan kamu katakan? Aku bisa membacamu. Seterang matahari. Truwilun, aku masih belum bisa membebaskan rasa manusia yang biasa. Kecemburuan, keirian, keinginan untuk merasakan getaran duniawi masih besar. Itu sebabnya aku berpikir, apa yang akan kulakukan di Simping? Bersemadi? Berdoa? Apa itu mungkin, kalau hatiku masih di sini?”
Baginda menoleh ke belakang. Sebentar. Lain menutup tirai tandu, dan memerintahkan rombongan berangkat. Berurutan, perlahan dalam kehormatan besar. Iringan berlalu. Sampai kemudian Halayudha muncul dan membubarkan kerumunan
“Senopati Jaran Pengasihan, Kebo Pengasihan, Gudel Pengasihan, Lembu dan segala macam binatang pengasihan atau yang dikasihani… adalah tugas kalian bersama untuk menjaga tata tenteram Keraton. Hal semacam ini tak boleh terjadi lagi. Aku perintahkan segera tempat ini dibersihkan. Dan mulai sekarang tak perlu ada keributan lagi. Hanya ada satu perintah, dari Raja.”
Dari suaranya jelas Halayudha ingin segera tampil kembali. Kekalahan Manmathaba membuka peluangnya untuk maju dan mengisi. Selama ini dirinya dikesampingkan. Maka segala cara dicari untuk membuat suasana serba onar. Sehingga Manmathaba tak bisa sepenuhnya menguasai, bahkan terhadap senopati-senopati yang baru diangkat.
Hal yang pertama dilakukan ialah menggosok para senopati lama, untuk tidak patuh begitu saja. Arakan Ratu Ayu untuk menunjukkan masih adanya kekuatan yang harus diperhitungkan. Karena ini tak ada perintah dari Manmathaba, yang secara tidak resmi menjadi mahapatih.
Demikian juga usulan kepada Raja agar Baginda bisa segera berangkat ke Simping. Keresahan akan mencuat ke permukaan, karena tindakan-tindakan ini pasti akan menyinggung pengikut Baginda yang setia, di samping menampar kekuasaan Manmathaba. Ada kegiatan yang tidak dikuasai secara penuh.
Tidak tahunya rencananya yang telah disusun sedemikian rapinya menjadi berantakan gara-gara Gendhuk Tri maupun Nyai Demang. Yang ternyata dengan tidak mengalami banyak kesulitan bisa mengalahkan Manmathaba. Dengan cara begitu, posisi Halayudha jadi berubah lagi. Bisa-bisa, dirinyalah yang dimusuhi pengikut Baginda.
Padahal dukungan itulah yang tadinya diharapkan agar posisinya di hadapan Raja bisa dianggap kuat. Kini, dengan mundurnya Manmathaba, Raja akan berpaling ke arahnya. Tak bisa tidak. Maka ketika malam harinya ditimbali, Halayudha segera bergegas. Raja Jayanegara sedang bercengkerama dilayani para dayang dan penari sewaktu Halayudha merunduk masuk.
“Halayudha, agaknya pengawasan di Keraton masih belum sempurna. Apalagi dengan mundurnya Manmathaba. Aku perintahkan hari ini juga kamu berangkat ke Lumajang. Panggil kembali Mahapatih Nambi. Kurasa hanya dia yang bisa menyatukan kembali keamanan dan ketenteraman.”
Tiga geledek yang berbunyi sekaligus saat itu tak akan membuat Halayudha seterkejut sekarang ini. Tak masuk akal bahwa ternyata Raja masih lebih memperhitungkan Nambi.
“Nambi lebih setia. Padanya aku bisa percaya. Temui dia, Halayudha…”
“Sendika dawuh…” Halayudha menyembah dan segera berlalu. Dengan perasaan masih belum menentu. Baginya keputusan Raja sangat tidak masuk akal. Pengaruh siapa yang membuat Raja memanggil kembali Nambi?
Kalau itu yang terjadi nanti, Halayudha makin merasa terjepit. Selama ini hubungannya dengan Mahapatih Nambi boleh dikatakan kurang baik. Kalau Mahapatih kembali, keleluasaannya akan sangat terbatas. Kenapa kembali ke Nambi?
Ataukah Raja melihat bahwa pergolakan yang akan muncul dari pengikut Baginda akan bisa ditenangkan dengan pulihnya kekuasaan Nambi? Karena mahapatih yang satu ini pilihan Baginda? Benarkah Raja yang masih muda usia ini mempunyai strategi yang begitu hebat? Apa pun yang dirisaukan saat ini, tak ada alasan untuk tidak segera menjalankan tugas. Perjalanan duka.
Keluwesan itulah yang menyebabkan Gendhuk Tri mampu berpasangan dengan Singanada, ataupun dengan Pangeran Anom. Padahal jelas sumber tenaga dalam kedua tokoh itu sangat berbeda.
Sepuluh jurus telah berlalu. Perlahan tetapi pasti, Manmathaba mulai bisa membaca pengerahan tenaga yang belum sempurna. Maka memasuki jurus ketiga belas, Manmathaba memancing Gendhuk Tri merasuk masuk, dan dengan segera memapak maju. Tangan kanan miring, lurus ke atas dengan jari yang lengket satu sama lain, sementara tangan kirinya memainkan dua bandring sekaligus. Gendhuk Tri masuk perangkap.
Nyai Demang berteriak keras. “Awas… Awas… Mundur…!”
Dalam kilatan pikiran, agaknya hubungan Nyai Demang dengan Gendhuk Tri muncul kembali. Pribadi Nyai Demang yang utuh menguasai pikiran dan perasaannya. Itu sebabnya Nyai Demang tidak memedulikan keselamatan dirinya, menyerbu masuk.
Manmathaba telah siap. Kedua kakinya menyapu keras, dan tubuh Nyai Demang terungkit ke atas. Gerakan Nyai Demang memang tidak sempurna. Baik karena beban mayat di punggungnya maupun karena tenaga dalamnya tak bisa sepenuhnya menyatu dengan tenaga dalam Eyang Kebo Berune. Makanya bisa diungkit. Hingga sempoyongan. Bahkan terjatuh.
Sementara pada saat yang sama dengan terungkitnya tubuh Nyai Demang, Gendhuk Tri tak bisa meloloskan diri. Ia telanjur masuk ke daerah serangan lawan. Mundur atau menjatuhkan diri sangat sulit. Kalaupun bisa, bandul Bandring Cluring siap menghancurleburkan. Maju berarti dada atau wajahnya kena tebas tangan Manmathaba yang telah rapat oleh pengerahan tenaga.
“Ladlahom…”
Tak ada yang mendengar ucapan kaget Puspamurti. Karena ketiganya tengah bergulat dalam pertarungan yang tak memungkinkan pecahnya perhatian. Manmathaba mengeraskan tenaganya. Kelima jari yang rapat, dalam Gerakan miring menebas dada Gendhuk Tri, yang tubuhnya sedang melaju ke arahnya. Kalaupun Gendhuk Tri mencoba mendahului atau menangkis, adu tenaga dalam yang terjadi. Ini berarti Gendhuk Tri akan terluka parah.
Manmathaba merasakan kemenangan. Batas kelingking seakan memecahkan tubuh Gendhuk Tri! Hanya anehnya, tubuh Gendhuk Tri justru melesat jauh! Menerobos ke dalam Keraton. Tanpa kurang suatu apa! Berdiri tegar sambil mengumbar senyum. Manmathaba mengeluarkan seruan kagum.
Ia begitu yakin telah merebut kemenangan. Ia yakin bahwa tak ada orang lain yang secara diam-diam menolong Gendhuk Tri. Tapi nyatanya Gendhuk Tri segar bugar. Bisa lolos. Bahkan senyumannya berubah menjadi tawa yang meringkik, mendesis.
“Wanara Seta…”
Gendhuk Tri meringis. Seakan malah gembira dan sekaligus bangga dikenali sebagai kera putih atau Wanara Seta. “Lahir dari batu, akulah lawanmu sekarang ini…”
Tubuh Manmathaba menggigil. Bandringnya terkulai. Jurus yang baru saja dimainkan oleh Gendhuk Tri sangat dikenali oleh Manmathaba sebagai jurus yang mengambil pengerahan tenaga dari batu yang terbelah. Batu itu adalah tenaga dalam lawan yang mengurung secara sempurna.
Ini adalah ilmu dari Sembilan Jalan Buddha yang paling sulit dipelajari. Dasar jurus Wanara Seta adalah kisah mengenai kelahiran seekor kera dari kandungan batu. Yang menjadi kisah klasik, karena kera putih inilah yang kelak kemudian hari menuntun sang ksatria utama menuju Jalan Buddha yang sesungguhnya.
Kalau benar Gendhuk Tri sampai di tingkat itu, berarti Manmathaba keliru menduga. Satu lagi kekeliruan yang bisa berarti kematian bagi Manmathaba. Karena jika saat itu Gendhuk Tri berbalik dan melancarkan serangan, Manmathaba tamat riyawatnya. Tapi kalau sekarang tubuhnya menggigil, itu karena sebab yang lain.
Pertemuan Mahamanusia
MANMATHABA menggigil karena tulang kakinya menjadi ngilu, sehingga tak kuat menahan tubuhnya. Sesaat ketika mengungkit kaki Nyai Demang dan menggajul, menendang ke atas dengan keras, kelihatannya sepintas ia unggul. Tubuh lawan bisa terpental, terbanting jatuh karena beban di punggung.
Akan tetapi yang juga tak diduganya sama sekali ialah bahwa setelah itu Manmathaba merasa kakinya tak bisa digerakkan. Menjadi ngilu luar biasa, seakan semua tulangnya remuk, berkeping-keping, dan setiap serpihan menimbulkan rasa sakit yang menggigit sarafnya. Manmathaba menggigil karena hatinya terguncang.
Selama ini dirinya tokoh kelas satu di negerinya. Pemimpin para pendeta sekaligus juga empu yang tidak mempunyai lawan. Sewaktu melihat peluang untuk menanamkan pengaruh di tanah Jawa yang telah dirintis oleh Pendeta Sidateka, ia berangkat disertai tiga pengikutnya.
Langkah-langkah pendahuluan menunjukkan siapa dirinya. Dengan bubuk pagebluk ia bisa menguasai semua bangsawan di Keraton tanpa kecuali. Termasuk Raja dan Permaisuri. Dengan ilmu silatnya dan senjata andalan Bandring Cluring ia merontokkan semua ksatria di tanah Jawa. Termasuk Upasara Wulung yang sudah menyandang gelar lelananging jagat. Gebrakan sapu bersih, tanpa ada yang mampu menghadang.
Siapa sangka belum sebulan ia telah terjungkal kembali di tempat di mana ia mampu mengalahkan semuanya? Rasa-rasanya tak habis pikir. Apalagi dikalahkan seorang gadis, dan seorang wanita yang menggendong mayat. Betapa nanti semua tumbuhan dan batu di negerinya akan menertawakan kalau mengetahui hal ini.
Saat itu Manmathaba menyadari kesalahannya. Pertama ia tak menduga bahwa Gendhuk Tri ternyata bisa lolos dari kurungannya. Bisa jadi ini dikarenakan ia menganggap enteng lawan. Ini berdasarkan perhitungan bahwa yang paling perkasa seperti Upasara Wulung mampu ditekuk habis. Kedua karena hal yang sama, tak menduga bahwa tenaga dalam Nyai Demang bisa menerobos masuk, dan menghancurkan.
Perhitungan Manmathaba yang paling jauh pun tak menemukan bahwa sesungguhnya Nyai Demang dialiri tenaga dalam yang dimiliki Eyang Kebo Berune. Tenaga dalam yang luar biasa, yang dihimpun dalam Pukulan Pu-Ni. Pukulan yang pada intinya bertenaga menghancurkan sekaligus. Seperti diketahui jurus-jurus yang dahsyat itu diciptakan oleh tokoh-tokoh kelas utama sebagai penangkal Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang telah diajarkan secara luas, dan diperdalam oleh hampir semua ksatria.
Ilmu-ilmu itu diciptakan karena kekuatiran bahwa kalau Dua Belas Jurus Nujum Bintang menjadi kekuatan yang disalahgunakan, tetap ada penangkalnya. Walaupun yang kemudian sangat dikenal adalah Delapan Jurus Penolak Bumi akan tetapi ilmu-ilmu yang lain tak kalah saktinya. Baik ilmu Mpu Raganata, Paman Sepuh, maupun Kebo Berune sendiri, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pada ajaran ilmu Mpu Raganata, jurus-jurus penangkal itu disebut sebagai Weruh Sadurunging Winarah, yang intinya Mengetahui Sebelum Terjadi. Sebelum lawan memainkan jurus tertentu, sudah bisa diketahui. Bahkan sebelum satu gerakan yang paling kecil sekalipun. Dengan kata lain mengembangkan kekuatan batin untuk menangkap apa yang dirasakan lawan.
Pada ajaran Eyang Sepuh, terciptalah jurus-jurus yang kemudian dikenal sebagai Tepukan Satu Tangan, yang intinya menjadikan dirinya tumbal, menjadikan dirinya sebagai korban. Semakin rela diri kita berkorban, menyerahkan diri, semakin mungkin untuk mementahkan serangan. Dengan kata lain, inti utamanya ialah pasrah.
Pada ajaran Paman Sepuh, lahirlah jurus-jurus yang terangkai dalam Banjir Bandang Segara Asat, yang intinya memindahkan tenaga serangan lawan untuk memerangi sendiri. Dengan kata lain, tenaga dalam lawan yang membanjir dipindahkan untuk menghantam balik, dengan perumpamaan terjadi banjir besar saat laut surut.
Pada ajaran Kebo Berune, lahir jurus-jurus yang dikenal dengan sebutan Pukulan Pu-Ni, yang intinya menghancurleburkan tenaga lawan saat serangan lawan datang. Keras dilawan dengan lebih keras. Dengan kata lain, saling menghancurkan tenaga dalam.
Pada ajaran lain, yang sebenarnya bukan semata-mata diciptakan untuk menangkal, adalah Kitab Air. Eyang Putri Pulangsih mencari pengembangan tenaga dari sifat air, sebagai kemungkinan lain dari pengembangan tenaga dalam yang bersifat bumi. Bahwa kemudian yang diakui secara resmi adalah Tumbal Bantala Parwa, itu semua merupakan kesepakatan para tokoh utama, yang direstui oleh Baginda Raja.
Besar sekali kemungkinannya karena inti ajaran Eyang Sepuh dalam Kitab Penolak Bumi adalah sikap pasrah, sumarah. Sikap menyerah secara tulus dalam artian yang luas, baik kepada sang Maha Pencipta ataupun kepada Raja, lebih sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat maupun Keraton.
Sekurangnya jika dibandingkan dengan ajaran Kebo Berune ataupun Paman Sepuh yang lebih mengandalkan kepada tenaga keras menghancurkan. Atau dibandingkan ajaran Mpu Raganata yang mengacu kepada kebatinan yang terkuasai.
Manmathaba bukannya tidak mengetahui bahwa ada begitu banyak ilmu atau ajaran yang tangguh di jagat ini. Yang tak diduganya, bahwa seorang Nyai Demang menyimpan tenaga merusak yang dahsyat. Itulah yang dirasakan kini. Tulang-tulang kakinya seakan remuk jadi bubuk. Dalam keadaan di mana dirinya menjadi pemenang satu-satunya, tiba-tiba harus menyadari kekalahan yang memalukan.
Manmathaba menghimpun kekuatannya yang terakhir. Bandul bandringnya memutar dengan keras, dan meluncur lepas ke arah Nyai Demang. Yang tengah terduduk. Yang tak sepenuhnya sadar bahaya mengancam. Gendhuk Tri tak sempat memberi peringatan atau menolong. Terdengar bunyi pletok keras. Kipas kayu besar Puspamurti yang dilemparkan untuk menghadang remuk menjadi bubuk. Seakan ditumbuk oleh palu godam yang besar.
“Ladlahom. Siapa suruh kamu membunuh?”
Satu tangan Puspamurti bergerak, dan tubuh Manmathaba terjatuh ke bawah. Tanpa tenaga dorongan keras pun, Manmathaba sudah akan ambruk!
“Siapa kamu?” Pertanyaan Nyai Demang dalam nada yang ganjil menandai bahwa Eyang Kebo Berune yang menguasai alam pikiran.
“Aku adalah aku. Sejak kapan kamu main-main di tubuh orang lain?”
“Sejak aku mau.”
“Sejak kamu mau. Baik juga. Tak kuduga ada juga yang mau mempelajari Kitab Pamungkas”
Nyai Demang berdiri dengan gagah. Gerakannya cepat dan agak patah. “Ngawur. Aku adalah Kebo Berune, senopati ulung dan ksatria utama Keraton Singasari yang menguasai dan menaklukkan tlatah Berune. Mana mungkin aku mempelajari ilmu lain? Aku hanya mempelajari dari ajaranku sendiri.”
“Ladlahom. Kok teganya kamu ini mengingkari harkatmu sebagai manusia. Apa kurangnya?”
“Ngawur.”
“Memang. Itulah kita berdua. Manusia-manusia yang perkasa. Yang mementahkan soal dunia dan alam. Soal mati dan hidup tanpa jarak. Ladlahom. Baguslah itu. Kita sesama manusia.”
Nyai Demang meludah ke arah Puspamurti, yang justru bergelak. “Rasanya baru sekarang aku ketemu sesama manusia. Manusia yang tengik yang busuk, yang mahamanusia. Yang malu mengakui sebagai manusia. Yang tidak mau disebut penjilat, pencuri ajaran orang lain. Hei Kebo, siapa kamu ini? Semakin kamu menolak, semakin jelas bahwa kamu ini mengintip ajaran yang bukan milikmu. Tapi ya memang begitu. Itulah maha manusia.”
Kali ini Gendhuk Tri yang bengong. Berbagai pengertian masuk ke dalam kesadarannya. Yang bukan tidak mungkin akan menyingkap apa yang terjadi selama lima puluh tahun lalu. Puspamurti, tokoh yang aneh ini, selalu menyembunyikan diri dan mengaku sebagai penganut ajaran Kidung Pamungkas. Kitab yang dianggap paling sesat oleh Kiai Sambartaka, karena mengagungkan manusia.
Setelah sekian lama bersembunyi, kemudian muncul untuk lebih meyakini Kidung Pamungkas, Puspamurti merasa sekian banyak ksatria tak ada satu pun yang mempelajari. Baru sekarang merasa bertemu dengan seorang yang menurut dugaannya, diam-diam mempelajari. Tanpa pemberitahuan Kiai Sambartaka mengenai Kidung Pamungkas, Gendhuk Tri tak bisa mengerti arah pembicaraan Puspamurti dengan Kebo Berune.
Gelombang Tanpa Buih
DALAM kepala Gendhuk Tri terbentuk gambaran apa yang sedang terjadi. Puspamurti menemukan “saudara seperguruan”, sementara Kebo Berune menolak dengan keras.
“Kebo tua, sekian lama aku mencari tahu bagaimana bentuk mahamanusiaitu sebenarnya. Bagaimana mahamanusia itu bisa mengatasi soal hidup dan soal mati. Sekarang baru aku tahu. Ternyata seperti ini kelihatannya. Kamunya sudah mati, akan tetapi masih bisa berkuasa atas manusia lain, masih bisa bercakap, masih bisa menjawab. Ladlahom, inilah rupanya yang kupertanyakan.”
“Kamu… kamu menuduhku…”
“Apa bedanya? Kamu merasa hina? Ladlahom. Apa artinya kehinaan dan tidak? Menjadi hina atau mulia, kamu kan tetap manusia. Dan akan selalu tetap manusia. Kalau kamu hina, kamu tidak berubah jadi cacing. Kalau kamu mulia, kamu tidak akan menjadi bunga. Ladlahom. Sayangnya kamu tidak mau mengakui sebagai manusia. Tapi tak apa. Tak mau mengakui sebagai manusia, karena ia mahamanusia, itu juga manusia dan sekaligus mahamanusia. Ladlahom. Dasar-dasar ilmu silat kamu boleh juga. Tak buruk. Tapi mengganggu. Begitu kamu mempelajari Kidung Pamungkas, semua itu tak ada gunanya. Malah merusakmu. Iya, kan? Lihat dan rasakan sendiri. Tenaga dalammu jadi ngawur dan saling berebut, sehingga tubuhmu jadi cacat. Lihat dan rasakan sendiri, bagaimana aku tetap tegak seperti layaknya manusia.”
Sekarang, sedikit-banyak Gendhuk Tri lebih memahami latar belakang Eyang Kebo Berune. Tokoh yang satu ini di masa mudanya tak pernah diperhitungkan oleh Raganata, Eyang Sepuh, Paman Sepuh, maupun Putri Pulangsih. Bahkan dalam menyusun kitab kanuragan yang akan dijadikan babon, induk segala ilmu silat, pun tak diajak bicara.
Akan tetapi karena tekadnya yang besar, Kebo Berune terus mempelajari. Dari kemungkinan besar selalu gundah, karena merasa tak bisa mengungguli empat tokoh yang lain. Sampai kemudian merasa mendapat “pencerahan” dari Kidung Pamungkas. Itulah yang diperdalam.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Puspamurti, kesadaran batin Kebo Berune tidak siap untuk menerima nilai-nilai menjadi mahamanusia. Ini menjadi sumber pertarungan batin, yang ternyata tak pernah selesai. Akibatnya tubuhnya menjadi lumpuh. Lumpuh seluruhnya.
Gambaran ini tak seluruhnya bertentangan dengan apa yang pernah diperkirakan oleh Gendhuk Tri, bahwa gangguan dalam latihan tenaga dalam yang menyebabkan Kebo Berune menjadi cacat. Mengikuti cara berpikir Puspamurti, soal mencuri ajaran ilmu lain, soal tidak mau mengakui adalah hal yang biasa. Hal yang biasa terjadi pada maha manusia.
Akan tetapi justru karena Kebo Berune belum bisa menerima ajaran dalam Kidung Pamungkas sepenuhnya, tuduhan itu membuatnya murka dan terhina. Agaknya ini yang dilihat pula oleh Puspamurti.
“Kebo manusia, lihat diriku. Aku adalah aku. Apakah aku lelaki atau perempuan, apa bedanya kalau aku manusia? Apakah aku bersuami atau beristri, apa salahku? Apakah aku mencuri ilmu silat atau mengajarkan, apa bedanya? Kalau aku mau pakai kipas, biar saja kipas ukuran seberapa pun. Aku adalah aku. Aku adalah manusia. Dan kamu juga manusia, Kebo. Ilmu curian atau bukan, apa bedanya? Ilmu ciptaan sendiri atau orang lain, apa membedakanmu sebagai manusia? Satu jurus atau seratus jurus, apa perlu dipertanyakan?”
“Tidak… aku bukan…”
“Ya, kamu bukan daun, bukan cacing, bukan Dewa. Kamu manusia. Sama dengan aku, sama dengan Upasara Wulung, sama dengan yang lainnya, hanya lebih mengerti…”
Puspamurti berbicara seolah membuka simpanan pembicaraan yang telah dipendam puluhan tahun. Nyatanya begitu. Hingga tidak menyadari bahwa ketika mengucapkan nama Upasara Wulung, seketika itu pula Gendhuk Tri bereaksi. Tubuhnya meloncat ke atas, satu tangan meraup tubuh Manmathaba dan tangan yang lain segera menggampar pipi.
Plok-plok-plok!
Keras dan geram pukulan Gendhuk Tri, karena membekas di kedua pipi Manmathaba yang disusul cairan darah menetes dari sudut bibir. Gerakan Gendhuk Tri menyambar tubuh Manmathaba dan mengangkat serta menampar, merupakan rangkaian gerakan “menjadi gelombang tanpa menimbulkan buih”. Penamaan yang mulai dihayati Gendhuk Tri. Dalam kaitan ini, sebenarnya buih dimaksudkan sebagai emosi, sebagai rasa kasar yang mencuat ke luar. Seharusnya Gendhuk Tri tidak mengikuti perasaan hatinya.
Akan tetapi hal ini memang sulit terkuasai. Bukan karena Gendhuk Tri tidak memahami. Sebab utama ia “berbuih” yang membuatnya menggampar pipi, karena secara emosional kepekaannya terlukai oleh sikap Manmathaba pada Upasara Wulung. Padahal itu yang menyebabkan ia datang dan menerjang ke Keraton.
“Katakan di mana Kakang Upasara. Jawab atau…”
Plak-plak… Plak.
Tamparan yang terakhir membuat kepala Manmathaba terkulai ke belakang. Sewaktu Gendhuk Tri melepaskan pegangannya, tubuh Manmathaba melongsor ke bawah. Yang segera disambut dengan tekukan lutut Gendhuk Tri, sehingga tubuhnya mental lagi ke atas. Tangan kiri Gendhuk Tri kembali bergerak. Seiring dengan suara plak, Manmathaba memuntahkan darah disertai beberapa buah gigi yang somplak sampai ke akar-akarnya.
“Akan kubikin ompong. Akan kutelanjangi di sini, dan kukencingi kalau kamu tetap kepala batu…”
Puspamurti jadi menengok. “Ladlahom. Manusia kok bisa kesetanan. Harusnya setan yang kemanusiaan. Gadis dusun, jangan ganggu omongan sesama manusia.”
Mana mungkin Gendhuk Tri memedulikan Puspamurti. Sekali tangannya bergerak, leher Manmathaba tercekik. “Satu tenaga kecil, kamu mati dengan mendelik. Katakan di mana Kakang Upasara…”
“Ya, di mana Adimas…” Kali ini suara Nyai Demang nyaring sekali. Langkahnya perlahan mendekat.
“Ladlahom. Kebo, kamu kalah dengan manusia yang kamu pakai, kan?”
“Di mana?” Suara Nyai Demang meninggi. Tangannya mengusap wajah Manmathaba yang sudah berubah bentuknya akibatnya tamparan berturut-turut dari Gendhuk Tri. “Manmathaba, kamu pendeta tinggi. Tidak baik mati dengan cara seperti ini. Katakan di mana Adimas Upasara…”
“Di mana dia?”
Kali ini baik Gendhuk Tri maupun Nyai Demang terkesima. Suara kuatir yang menanyakan di mana Upasara terdengar sangat menggeletar. Seperti suara rintihan yang terendam luka lama. Suara Ratu Ayu. Suara seorang istri yang memprihatinkan suaminya!
Sepersekian kejap, Nyai Demang dan Gendhuk Tri saling pandang. Seolah dalam sepersekian kejap keduanya menyadari bahwa sebenarnya yang paling berhak kuatir adalah Ratu Ayu. Pada kejapan berikutnya sekaligus juga lucu. Mereka bertiga mempertanyakan orang yang sama. Seorang gadis, seorang janda, dan seorang ratu!
“Kamu tak akan memperoleh jawaban,” jawab Manmathaba tenang sekali. “Kalian bisa mengalahkanku, akan tetapi kalian tak bisa memaksaku.”
Nyai Demang terdiam. Ratu Ayu melangkah mundur.
Gendhuk Tri malah tersenyum. “Kamu pikir, aku tak bisa memaksa kamu buka mulut?”
“Coba saja,” tantang Manmathaba. “Kalau kamu kencingi saya, siapa yang lebih malu?”
Puspamurti tertawa lebar. Kalimat-kalimat yang terdengar membuat perhatiannya teralihkan, untuk sesaat.
“Akan aku bawa tubuhmu ke Kiai Sambartaka. Biar ia bawa kamu ke negerimu sana…”
Gendhuk Tri asal mengancam saja. Karena mengetahui bahwa mereka berdua mempunyai dendam permusuhan yang mendarah daging sejak beberapa keturunan. Di luar dugaannya, Manmathaba menutupkan matanya.
“Bunuh aku.”
“Enak saja.”
“Akan kukatakan di mana Upasara. Setelah itu bunuh aku. Kamu harus berjanji. Atau beri kesempatan aku membunuh diri. Bagaimana?”
Duka yang Tertunda
“BOLEH juga permintaanmu. Aku tak mau membunuhmu karena akan mengotori tanganku. Sekarang katakan di mana Kakang Upasara.”
Manmathaba mengerjapkan matanya. Menelan ludahnya dengan perasaan penuh. Seolah merasakan setiap getaran urat tubuhnya sebagai akhir semua gerakan. Jauh dalam hati Manmathaba mengagumi bahwa jiwa ksatria sangat berharga. Kalau Gendhuk Tri sudah berjanji, biar bagaimanapun ia akan memenuhinya. Itu seratus kali lebih baik baginya. Dibandingkan harus diserahkan hidup-hidup kepada Kiai Sambartaka. Manmathaba tak bisa membayangkan berapa puluh turunannya bakal menanggung kehinaan kalau hal itu sampai terjadi.
“Katakan…”
“Upasara telah lama mati.”
Tangan Gendhuk Tri terangkat ke atas. Siap menampar keras. Kalau itu dilakukan, tulang pipi Manmathaba bakal hancur. Nyai Demang menjerit keras. Tubuhnya bergoyang-goyang dan ambruk. Sementara Ratu Ayu merintih kecil sebelum akhirnya jatuh tak bergerak. Sekelebat, Gendhuk Tri menduga bahwa Manmathaba sengaja memainkan perasaannya. Akan tetapi dugaan itu melemah dengan sendirinya.
Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kehormatan terakhir sangat tergantung pada Gendhuk Tri, sulit dibayangkan bahwa Manmathaba akan memainkan peranan mempermainkan perasaan. Kalau Halayudha, sangat boleh jadi. Sepicik apa pun, agaknya Manmathaba tak perlu bersiasat lagi. Tak ada gunanya, di saat-saat yang terakhir. Jalan pikiran Gendhuk Tri berbalik lagi. Jangan-jangan memang sengaja begitu. Agar… Agar apa? Agar ia membunuhnya!
“Kamu keliru, Manmathaba. Aku tak akan membunuhmu karena gusar berita yang kamu sampaikan. Akalmu bisa ketahuan. Dari mana kamu mengetahui Kakang Upasara telah…”
Manmathaba menghela napas. “Upasara terluka dalam di pundak kirinya. Sumber kekuatannya selama ini. Dalam tawanan keadaannya memburuk, karena siksaan. Baik dari aku maupun dari Halayudha. Usahanya untuk mengembalikan kekuatan makin membuat parah lukanya. Itulah sesungguhnya.”
“Dusta! Tak mungkin.”
“Di belakang Keraton, di bawah pohon sawo kecik yang membelukar ada gundukan tanah. Kenalilah sendiri. Barangkali bukan dia, tapi itulah yang kusaksikan. Aku sendiri tak begitu mudah percaya. Upasara Wulung tokoh yang sakti. Bahkan lebih dari siapa pun, ia bisa memulihkan tenaga dalamnya yang hilang. Mampu mengembangkan dan mengerahkan kembali tenaga cadangan yang, barangkali, hanya dia satu-satunya yang memiliki.”
“Baik, aku akan seret kamu ke sana. Kalau dusta, aku panggil Kiai Sambartaka…”
Perlahan Manmathaba mengangguk.
“Ladlahom. Duka saja kok bisa tertunda. Dasar bukan manusia. Apa kalian bertiga ini tak punya perasaan sebelumnya? Tak punya firasat apa-apa? Kok sampai ditinggal mati saja tidak merasakan…”
“Tutup mulutmu, kanyawandu…” Makian Gendhuk Tri terdengar sangat kasar. Dengan menyebut kanyawandu, Gendhuk Tri menyamakan Puspamurti sebagai “wanita yang tidak mempunyai jenis kelamin”. Kata-kata yang paling kasar yang diteriakkan dengan murka.
“Kalau Upasara mau mempelajari Kidung Pamungkas, nasibnya tak akan seburuk ini.”
“Aku bilang, tutup mulutmu.” Kali ini tubuh Gendhuk Tri yang gemetaran. Menahan kemurkaan dan perasaan campur aduk tak menentu.
“Tenangkan perasaan. Yang mati memperoleh ketenangan, kalau kita rela melepaskan.”
Gendhuk Tri berpaling ke arah datangnya suara. Pandangannya hampir tak bisa dipercaya. Kiai Truwilun mendatangi dengan langkah perlahan. Penuh ketenangan dan kearifan. Di balik mata yang selalu menyiratkan kedamaian dan kebahagiaan, tersirat duka yang sarat. Tetapi juga kepasrahan.
“Kiai…”
“Dewa Yang Maha dewa menghendaki yang terbaik…”
Gendhuk Tri menyeka wajahnya, dengan tangan masih gemetar. Kalau tadi masih ada setitik harapan bahwa apa yang dikatakan Manmathaba bohong, kini seakan tak ada lagi pegangan. Rasanya lebih tidak mungkin kalau Truwilun berdusta. Ia tak mempunyai alasan untuk itu! Ia bisa mengetahui apa yang terjadi bukan sekadar dari ramalan, melainkan ia sendiri baru berada dalam Keraton. Mungkin…
“Saya berusaha menolong sebisa mungkin, akan tetapi nasib dan takdir telah digariskan…”
“Kakang…” Tubuh Gendhuk Tri menjadi limbung. Dadanya sesak. Semua urat tubuhnya melemah. Tarikan napas yang sangat dalam dan panjang, tak sedikit mengurangi kepekatan yang menindih. Apa arti ini semua?
Upasara Wulung, Upasara kakangnya, yang selalu hidup dalam angannya tiba-tiba saja diberitakan sudah mati. Tidak dalam pertarungan habis-habisan yang menegangkan. Tidak dalam pertarungan utama seperti di Trowulan, atau ketika menghadapi senopati Tartar di ujung benteng selama pembebasan Singasari. Tapi meninggal karena luka oleh keris.
Meninggal tidak secara ksatria gagah. Apa artinya ini semua? Apakah ini juga kemauan Dewa? Dewa yang mana yang menghendaki kematian Upasara? Apa dosa Upasara sehingga harus meninggal sedini ini? Bibir Gendhuk Tri mengering. Pandangannya berputar. Kepalanya menjadi pening.
“Mungkin kematian yang menyenangkan.” Suara Puspamurti memecah kesunyian yang berlangsung lama. “Upasara lahir tanpa diketahui siapa sanak saudara atau orangtuanya. Tapi ia ditangisi sedikitnya tiga wanita, seorang dukun sakti, dan masih banyak yang lain. Entahlah, aku tak tahu. Apakah kenangan itu perlu atau tidak. Ladlahom”
Perlahan ia mendekati Nyai Demang. Berjongkok. “Ilmumu masih dangkal, Kebo. Kekuatanmu kalah oleh yang hidup. Kematianmu benar-benar tak menguasai hidup. Bangkitlah. Jawablah aku kalau kuasa.”
Nyai Demang yang diajak bicara melongo. Pandangannya tak berkedip. Puspamurti berdiri. Dengan satu gerakan memutar yang cepat sekali, kedua tangannya menyerang Eyang Kebo Berune yang membeku. Dengan sekali sentak, tubuh yang sudah lama menjadi mayat terangkat dan melayang di tengah udara. Seketika tercium bau busuk.
Agaknya setelah sekian lama meninggal, karena kekuatan tertentu dari tenaga dalam yang dilatih, Eyang Kebo Berune masih bisa mempertahankan jasad kasar dan kemauannya. Sehingga meskipun sudah menjadi mayat, tubuhnya masih utuh. Hanya setelah Nyai Demang terkena pukulan batin yang tak tertahankan, penguasaan itu terputus. Saat itulah Puspamurti melepaskan.
Agaknya juga kekuatan yang menahan proses pembusukan alami itu hanya bertahan sementara. Karena begitu terlepas, tubuh Eyang Kebo Berune seperti telah membusuk sekian lama. Sehingga tubuh itu hancur meleleh dan memancarkan bau busuk ke seluruh penjuru.
Nyai Demang sendiri seperti lepas dan pengaruh gaib yang selama ini menguasainya. Seperti memperoleh kembali pribadinya. Hanya saja, di saat memperoleh kembali penguasaan jiwa dan raganya, saat itu justru merasakan sentakan batin yang mengguncang kekuatannya.
Truwilun mendekati Nyai Demang, menuntun ke pinggir. “Dewa Maha kasih, Nyai… Maha Di Atas, Maha… Ingat, Nyai…”
Truwilun juga mengajak Gendhuk Tri. Akan tetapi dengan mata merah dan pandangan buas, Gendhuk Tri mengibaskan tangannya. Truwilun hanya menghela napas dalam, lalu membopong Ratu Ayu.
“Kakang… Rakyat Turkana menunggu Kakang… Takhta Turkana…”
Semua prajurit dan senopati yang melihat sejak awal tetap terdiam. Juga ketika Manmathaba berusaha menyeret tubuhnya sambil menahan kesakitan yang menghebat. Hanya Puspamurti yang masih berdiri. Wajahnya menengadah, mencari sesuatu di langit. Kedua tangannya ditekuk beberapa kali, dan setiap kali menimbulkan suara tak-tak-tak.
“Maha manusia menguasai mati atas hidup. Apa hanya dalam bentuk Kebo tadi? Kalau kematian memang ada, apa arti Kidung Pamungkas sesungguhnya?”
Tangis di Perjalanan
PUSPAMURTI masih tertegun. Pertarungan pikiran terus berlangsung. Tak banyak yang mengetahui bagaimana riwayat hidupnya, dan bagaimana keadaan dirinya. Hingga lebih banyak menganggap sebagai orang aneh, yang mempunyai hubungan langsung dengan Permaisuri Indreswari.
Sesungguhnya Puspamurti sejak awal mempelajari Kidung Pamungkas, dan memilih kitab itu sebagai babon utama untuk mempelajari ilmu silat. Terutama sejak awal gagasan itu dituliskan. Tenggelam dalam kesendiriannya, Puspamurti masuk merasuk dalam ajaran Kitab Pamungkas. Puluhan tahun dihabiskan hanya dengan membaca dan mempelajari kitab yang mengagungkan manusia.
Sesuai dengan ajaran itu, sekurangnya dalam tanggapan Puspamurti, ia bisa melakukan segalanya seorang diri. Tak memerlukan orang lain. Sampai kemudian mendengar cerita mengenai ksatria lelananging jagat, sehingga Puspamurti meninggalkan persembunyiannya. Karena tidak mengetahui di mana pertemuan, serta tak mau bertanya, Puspamurti nyasar ke Keraton.
Saat itu di Keraton sedang diadakan penghimpunan kekuatan yang setia kepada Raja Jayakatwang. Sehingga kedatangannya tidak menimbulkan kecurigaan. Karena memang saat itu banyak senopati dan ksatria yang datang bergabung. Baik dari tanah Jawa maupun dari negeri seberang. Karena kebetulan bisa bertemu langsung dengan Permaisuri Indreswari yang memperlakukan dengan baik, Puspamurti kerasan di Keraton. Apalagi ia mendapat perlakuan sangat istimewa.
Pada saat itulah Permaisuri Indreswari menjanjikan akan memberikan Kitab Pamungkas yang asli. Itu yang ditunggu. Setelah diberikan, kembali mempelajari dari awal. Puspamurti tak merasa berhubungan atau tergantung perintah siapa pun. Maka sebenarnya kedudukannya dalam hal ini tidak memihak siapa saja, atau bisa diperalat oleh salah seorang penguasa.
Kalau ia keluar dari kamarnya karena mendengar keributan, juga tak jelas akan berpihak ke mana. Karena baginya, tak ada perbedaan benar harus ke mana atau berbuat apa. Satu-satunya yang menggembirakan hanyalah bahwa dirinya mendapat pelayanan sangat istimewa, dan di sekitarnya begitu banyak manusia yang memainkan ilmu silat.
Sampai kemudian melihat Nyai Demang yang menggendong Kebo Berune, dan serta-merta mengenali perwujudan nyata dari salah satu sifat maha manusia dalam soal mengalahkan kematian. Kegembiraan karena menemukan saudara seperguruan “satu aliran” runtuh ketika mengetahui bahwa Kebo Berune tak berkuasa atas tubuh Nyai Demang. Itu yang menyebabkannya tertegun.
Bukan karena dari dalam Keraton muncul rombongan yang berarakan dengan rapi. Ia hanya melihat dari kejauhan, memandangi apa yang terjadi. Baginda Kertarajasa ternyata jengkar kedaton, meninggalkan Keraton. Dalam iringan yang panjang, penuh dengan simbol kebesaran. Hanya karena rombongan terhenti di mulut pintu, perhatiannya jadi tersedot. Baginda terhenti karena melihat Truwilun yang berada di pinggir.
“Aku melihat kamu pertama kali bersedih, Truwilun. Pandangan matamu tak bercahaya lagi…”
Truwilun menyembah hormat.
“Apa yang bisa membuatmu sedih?”
Truwilun menceritakan apa yang dilihat, kaitannya dengan kematian Upasara Wulung yang menyebabkan Gendhuk Tri, Nyai Demang, serta Ratu Ayu tenggelam dalam duka.
Baginda menggeleng. “Bagus juga kalau hal ini diketahui langsung oleh Gayatri. Ksatria yang menjadi pujaan hatinya, yang dianggap masih selalu mengenangnya, ditangisi tiga wanita…”
Truwilun menyembah hormat.
“Aku bisa membaca perasaanmu, Truwilun. Kenapa aku lebih memasalahkan kematian Upasara yang ditangisi, dibandingkan dengan kekalahan Manmathaba, atau bahkan kematian Upasara itu sendiri. Itu yang akan kamu katakan? Aku bisa membacamu. Seterang matahari. Truwilun, aku masih belum bisa membebaskan rasa manusia yang biasa. Kecemburuan, keirian, keinginan untuk merasakan getaran duniawi masih besar. Itu sebabnya aku berpikir, apa yang akan kulakukan di Simping? Bersemadi? Berdoa? Apa itu mungkin, kalau hatiku masih di sini?”
Baginda menoleh ke belakang. Sebentar. Lain menutup tirai tandu, dan memerintahkan rombongan berangkat. Berurutan, perlahan dalam kehormatan besar. Iringan berlalu. Sampai kemudian Halayudha muncul dan membubarkan kerumunan
“Senopati Jaran Pengasihan, Kebo Pengasihan, Gudel Pengasihan, Lembu dan segala macam binatang pengasihan atau yang dikasihani… adalah tugas kalian bersama untuk menjaga tata tenteram Keraton. Hal semacam ini tak boleh terjadi lagi. Aku perintahkan segera tempat ini dibersihkan. Dan mulai sekarang tak perlu ada keributan lagi. Hanya ada satu perintah, dari Raja.”
Dari suaranya jelas Halayudha ingin segera tampil kembali. Kekalahan Manmathaba membuka peluangnya untuk maju dan mengisi. Selama ini dirinya dikesampingkan. Maka segala cara dicari untuk membuat suasana serba onar. Sehingga Manmathaba tak bisa sepenuhnya menguasai, bahkan terhadap senopati-senopati yang baru diangkat.
Hal yang pertama dilakukan ialah menggosok para senopati lama, untuk tidak patuh begitu saja. Arakan Ratu Ayu untuk menunjukkan masih adanya kekuatan yang harus diperhitungkan. Karena ini tak ada perintah dari Manmathaba, yang secara tidak resmi menjadi mahapatih.
Demikian juga usulan kepada Raja agar Baginda bisa segera berangkat ke Simping. Keresahan akan mencuat ke permukaan, karena tindakan-tindakan ini pasti akan menyinggung pengikut Baginda yang setia, di samping menampar kekuasaan Manmathaba. Ada kegiatan yang tidak dikuasai secara penuh.
Tidak tahunya rencananya yang telah disusun sedemikian rapinya menjadi berantakan gara-gara Gendhuk Tri maupun Nyai Demang. Yang ternyata dengan tidak mengalami banyak kesulitan bisa mengalahkan Manmathaba. Dengan cara begitu, posisi Halayudha jadi berubah lagi. Bisa-bisa, dirinyalah yang dimusuhi pengikut Baginda.
Padahal dukungan itulah yang tadinya diharapkan agar posisinya di hadapan Raja bisa dianggap kuat. Kini, dengan mundurnya Manmathaba, Raja akan berpaling ke arahnya. Tak bisa tidak. Maka ketika malam harinya ditimbali, Halayudha segera bergegas. Raja Jayanegara sedang bercengkerama dilayani para dayang dan penari sewaktu Halayudha merunduk masuk.
“Halayudha, agaknya pengawasan di Keraton masih belum sempurna. Apalagi dengan mundurnya Manmathaba. Aku perintahkan hari ini juga kamu berangkat ke Lumajang. Panggil kembali Mahapatih Nambi. Kurasa hanya dia yang bisa menyatukan kembali keamanan dan ketenteraman.”
Tiga geledek yang berbunyi sekaligus saat itu tak akan membuat Halayudha seterkejut sekarang ini. Tak masuk akal bahwa ternyata Raja masih lebih memperhitungkan Nambi.
“Nambi lebih setia. Padanya aku bisa percaya. Temui dia, Halayudha…”
“Sendika dawuh…” Halayudha menyembah dan segera berlalu. Dengan perasaan masih belum menentu. Baginya keputusan Raja sangat tidak masuk akal. Pengaruh siapa yang membuat Raja memanggil kembali Nambi?
Kalau itu yang terjadi nanti, Halayudha makin merasa terjepit. Selama ini hubungannya dengan Mahapatih Nambi boleh dikatakan kurang baik. Kalau Mahapatih kembali, keleluasaannya akan sangat terbatas. Kenapa kembali ke Nambi?
Ataukah Raja melihat bahwa pergolakan yang akan muncul dari pengikut Baginda akan bisa ditenangkan dengan pulihnya kekuasaan Nambi? Karena mahapatih yang satu ini pilihan Baginda? Benarkah Raja yang masih muda usia ini mempunyai strategi yang begitu hebat? Apa pun yang dirisaukan saat ini, tak ada alasan untuk tidak segera menjalankan tugas. Perjalanan duka.
Tak ubahnya dengan Permaisuri Gayatri yang terpaksa mengikuti Baginda, yang terpaksa mendengar kabar kematian Upasara Wulung. Bedanya, dirinya tidak mengikuti Baginda. Berarti masih ada peluang kecil yang akan dimainkan dengan hati-hati. Namun juga hatinya ciut. Tak gampang suasananya sekarang ini. Raja Jayanegara tak seperti dugaannya semula. Bukan bersuka ria menikmati singgasana, akan tetapi juga secara langsung memutuskan. Dengan pertimbangan yang cukup masak.
Perlawanan Semu
HALAYUDHA tak bisa bertahan lama-lama. Begitu menerima perintah Raja, segera menyiapkan sepuluh prajurit pilihan, dan memerintahkan berangkat secepatnya. Ia sendiri minta disiapkan tiga ekor kuda sekaligus, agar perjalanan tak tertunda. Lepas dari gerbang Keraton, Halayudha sedikit memperlambat gerak lajunya. Karena sadar bahwa ada yang mengikuti. Dengan cepat jalan pikirannya bekerja, karena mengetahui bahwa yang mengikuti bukan orang sembarangan.
“Ada perlu apa Senopati mendadak pergi dengan tergesa?”
Halayudha membalik tubuhnya. Kudanya ikut terangkat kaki depannya. Di depannya berdiri Senopati Tantra yang berjalan cepat mendekati. Otak Halayudha segera menemukan apa yang harus dilakukan, dikatakan, begitu mengetahui hadirnya Senopati Tantra, yang merupakan orang kepercayaan Senopati Semi serta Kuti.
“Rasanya Senopati Tantra lebih tahu.”
“Apakah tidak lebih baik dikatakan saja?”
JILID 19 | BUKU PERTAMA | JILID 21 |
---|