Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 22
Yang kedua, Permaisuri memanggil para tetua yang bisa merenggangkan hubungan Raja. Tak kurang dari sepuluh dukun dipanggil untuk diminta pertolongannya, termasuk Pendeta Manmathaba sendiri.
“Ilmu pelet apa yang digunakan wulanjar tua itu?”
“Tidak ada yang secara khusus digunakan,” kata Pendeta Manmathaba ketika itu. “Hamba tak menemukan…”
“Sama sekali tidak mungkin kalau putraku sampai terseret daya asmara dengan Wulanjar tua seperti itu. Apa yang dilakukan seakan secara sengaja memilih yang terjelek dan terhina.”
“Hamba melihat sebagaimana adanya. Raja memang sedang terpesona, sedang tenggelam dalam lautan asmara…”
Semua pendeta dan juru ramal yang ditanyai mengeluarkan jawaban yang sama.
“Aku tak peduli. Cari jalan untuk memisahkan…”
“Dengan sedikit kekerasan sangat gampang, Permaisuri. Suatu bubuk racun akan menyebabkan wanita itu berbau seluruh kulit dan keringatnya, menjadi gatal-gatal di seluruh lubang tubuhnya secara menjijikkan. Melenyapkan, sama mudahnya. Namun hamba tak melihat itu membawa ke suasana yang lebih baik. Setidaknya untuk sekarang ini…”
Baik Manmathaba atau para peramal yang lain, tak bisa menyelami bahwa kegundahan Permaisuri disebabkan oleh hal-hal yang bisa diterangkan dan tidak. Yang tak sepenuhnya bisa diterangkan ialah, kenapa putranya yang dianggap paling tampan, paling gagah, paling berwibawa memilih wanita yang jidatnya menonjol dan bibirnya tebal serta berkulit hitam!
Apakah ini bukan tamparan keras, kalau ibunya justru berkulit putih sehingga dijuluki Dyah Dara Petak? Apa yang sesungguhnya tumbuh di dalam jiwa putranya? Yang selama ini diketahui segala sesuatu yang disukai, dan tak disukai, lalu tiba-tiba menentukan pilihan semacam ini?
Yang makin membuat Permaisuri geram ialah sewaktu bisa menawan Ratu Ayu Bawah Langit yang kesohor itu, dan berhasil menguasai dengan ilmu sirep, Raja tetap tak menoleh. Bahkan ketika diberitahu bahwa Ratu Ayu sudah berada di kaputren, belum sekali pun Raja menengok. Seakan Ratu Ayu yang pernah diperebutkan dalam sayembara itu tak menyentuh emosi sedikit pun.
Ciptakan Kidung Onengan
SAAT itu Raja Jayanegara seakan mendengar suara batin kegelisahan Permaisuri, atau kebetulan merasa perlu menjawab pertanyaan yang tak disuarakan Praba Raga Karana. Raja menghentikan langkahnya. Tangannya memainkan bunga-bunga secara sembarangan. Praba yang berada lima langkah di belakangnya, berdiam. Menunduk. Sementara para pengawal pribadi, berada puluhan tombak di belakang, tak tampak dalam pandangan.
“Ingsun bukan bocah. Langkah ingsun sama lebar dengan semua raja sebelumnya. Tahukah kamu itu semua, Praba?”
“Sembah dalem, Sinuwun….”
“Marilah mendekat kemari. Saat berdua seperti sekarang ini, aku ingin merasakan kehidupan, ingin hidup sebagai manusia. Adakah kamu masih bertanya-tanya terus dalam batinmu kenapa aku memilihmu?”
“Sembah dalem, ingkang Sinuwun….”
“Dengar, Praba. Hanya kepadamulah aku mengatakan ini. Karena aku tak merasa perlu berkata kepada yang lain. Aku sudah dewasa. Jangan pernah kamu ragu mengenai hal itu. Jangan kamu menganggap ini perbuatan kanak-kanak. Ibu akan mengatakan bahwa usiaku belum genap dua windu, belum ada enam belas tahun, akan tetapi aku sama dewasanya seperti Baginda ketika naik takhta, sama dewasanya ketika Sri Baginda Raja naik takhta. Aku memang lebih cepat dewasa. Aku mengerti lebih cepat dari siapa pun seluruh isi Keraton ini. Sejak lahir aku memiliki kelebihan ini. Kalau aku memilihmu yang usianya lebih tua, karena aku sebenarnya sama tua, sama dewasa denganmu. Aku tahu bagaimana menjadi raja. Aku sudah belajar hal itu sejak belum berjalan. Aku diberi pengertian itu, aku belajar keras selama di Daha. Dengan sangat cepat aku bisa mengerti, bagaimana tata pemerintahan, bagaimana kekuasaan dan tanggung jawabku. Bahwa dari tanganku, dan bibirku, nasib manusia lain akan ditentukan baik atau buruknya. Aku menguasai hidup dan mati seluruh isi Keraton. Lebih dari siapa pun. Jangan gelisah, jangan takut kalau aku memberimu gelaran Praba Raga Karana. Karena kamu sesungguhnya seperti itu, karena aku sudah mensabdakan itu. Tak ada bedanya dengan Baginda ketika akhirnya memilih ibu sebagai permaisuri utama. Semua bisa terjadi karena sabda Raja. Karena akulah yang menentukan.”
Raja menarik tangan Praba, mendekap tubuhnya. Satu tangan mengusap wajah Praba. Sambil tertawa. “Apa yang kamu takutkan, Praba?”
“Hamba…”
“Tak ada yang perlu kamu takutkan. Kalau aku mau memelukmu sekarang, itu yang terjadi. Kalau aku mengajakmu bermain asmara sekarang, di sini, itu yang akan terjadi. Tak ada yang menghalangi, tak ada yang buruk. Tak ada yang ditakuti.”
“Ingkang Sinuwun, hamba tak akan pernah menolak bayangan Sinuwun yang menghendaki apa pun….”
“Itulah semuanya. Aku tahu apa yang dikatakan orang, nantinya. Kenapa aku memilihmu, dan bukannya Tunggadewi atau Rajadewi, atau siapa saja. Aku tahu kenapa sekarang ini aku tak mau melihat Ratu Ayu. Sebab aku tak ingin. Sebab aku tak ingin. Sebab aku ingin kamu, Praba, yang menjadi permaisuriku, mendampingiku di takhta kerajaan. Merasakan kehormatan ini.”
“Ingkang Sinuwun, izinkanlah hamba menyampaikan…”
“Katakan, katakan…”
“Adalah karunia Dewa Yang Mahakuasa, lewat keluhuran nama besar Paduka, sehingga nasib hamba yang hanya juru pijat…”
Raja bergelak. Tampak betul menikmati suasana dan perubahan wajah Praba. “Sebentar, Praba, aku potong sebentar. “Kamu mengatakan dirimu hanya juru pijat. Hanya. Juru pijat. Ehem. Siapa yang memberi pangkat dan derajat itu? Ingsun, aku! Mulai dari juru pijat, mahapatih, senopati, permaisuri, selir, prajurit, semua karena aku. Saat ini aku bisa memanggil prajurit yang menjaga kita dan aku bisa mengangkatnya menjadi senopati utama. Atau bahkan mahapatih. Aku bisa juga memenggal kepalanya sekarang. Karena aku. Karena aku raja. Dan aku akan mengubahmu, sehingga tak ada lagi hanya juru pijat. Tak perlu lagi.”
“Sinuwun, hamba akan tetap melayani, mengabdi, dengan seluruh jiwa dan raga ke hadapan Sinuwun, sampai turunan yang entah kapan. Namun rasanya, hamba belum bisa merasakan anugerah yang maha besar itu.”
“Kalau aku menginginkan, siapa yang bisa melarangku?”
“Hamba tak bisa menjalankan….”
“Apa?”
“Mohon maaf atas segala kelancangan….”
“Praba, kamu menolak kuangkat sebagai permaisuri?”
“Hamba tetap akan melayani sampai…”
“Jawab, kamu akan menolak kuangkat sebagai permaisuri?”
Praba menunduk, bersila, melepaskan diri dari rangkulan Raja. Menyembah. Mengangguk.
Raja mengisap udara keras. Dan tertawa sangat keras. “Praba… Praba… Tahukah kamu, bahwa caramu menghadapiku, membuatku makin tergetar oleh asmara? Bahwa di seluruh jagat ini hanya ada dua wanita yang bisa membuatku mencabut keinginanku? Hanya kamu dan Ibu. Ibu yang bisa dan berani melarangku memetik bunga, menangkap burung dan kupu-kupu. Selebihnya tak ada lagi. Seluruh Keraton menunduk, menyembah, dan melakukan apa yang ku minta. Juga Baginda, yang paling berkuasa meluluskan apa yang ku minta. Tapi Ibu berani melarangku. Berani mengatur tidurku. Itu dulu. Ketika aku makin dewasa, tak ada lagi yang berani. Tak ada yang terang-terangan berani menolak selain kamu. Dan aku akan mendengar kata-katamu. Haha…”
Praba menelan ludahnya dengan seret.
“Kalau sekarang ini Ibu memintaku jangan mengangkatmu sebagai permaisuri, justru saat itu juga aku akan mengangkatmu. Kalau saat ini Kanjeng Ibu meminta aku mengangkatmu sebagai permaisuri, aku tetap akan bertanya padamu. Praba, kamu mendengar kata-kata ini dari Raja.”
Praba melangkah beberapa tindak ke depan. Tangan kirinya terulur, dan Praba menggandeng dengan hati-hati.
“Kenapa kamu menolak, Praba? Merasa tak pantas?”
“Sinuwun, pantas atau tidak, apalah artinya kalau Sinuwun sudah bersabda? Tak ada lagi perbedaan itu. Sementara ini hamba ingin menikmati kebahagiaan bersama Sinuwun.”
“Apakah kalau kamu menjadi permaisuri akan terganggu?”
“Sinuwun... hamba tak bisa membiasakan diri secepat Sinuwun…”
“Haha, kamu makin cerdik saja. Kalau itu maumu, itu yang akan terjadi. Praba tahukah kamu bahwa aku kedanan padamu? Bahwa aku tergila-gila oleh daya asmaramu yang hebat? Aku merasakan dari ujung rambut ke ujung kulit. Semua tubuhku tergetar merasakan daya asmaramu. Aku bisa memilih siapa saja. Aku bisa memanggil siapa saja. Tetapi aku memilihmu. Menetapkanmu. Haha, apakah ini bukan asmara yang sejati? Daya asmara yang sesungguhnya? Bukankah akan baik sekali jika sekarang ini dituliskan Kidung Asmara, Kidung Onengan, atau Kidung Kerinduan? Haha, akan menarik sekali. Semua raja begitu naik takhta ribut soal membuat Kidungan Para Raja, sibuk memikirkan kitab apa yang akan ditinggalkan sebagai warisan kebesarannya. Aku bisa membayangkan bagaimana Sri Baginda Raja siang-malam menghabiskan kebahagiaannya untuk merestui Kitab Bumi. Aku bisa memutuskan sesaat. Dengan gampang. Kidung Onengan. Haha, siapa yang akan mengatakan bahwa apa yang kutemukan dan kuwariskan sebagai raja kalah dari yang dilakukan Eyang Kertanegara? Bukankah itu hebat, Praba?”
“Hamba rasa begitu, Sinuwun.”
“Apakah di jagat ini kamu kira ada yang bisa menemukan asmara yang sejati seperti kita berdua?”
Praba tak segera menjawab. “Hamba pernah mendengar kisah Upasara Wulung dengan Permaisuri Gayatri…”
Pusthika Asmara
RAJA mengayun-ayunkan tangan secara bebas. Kentara sekali bisa membebaskan perasaan dari sikap kala bertindak menjadi raja. “Apa yang kamu dengar dari kisah asmara Upasara dan Ibunda Alit Gayatri?”
“Seperti semua kisah yang mendebarkan, menggemaskan, dan membuat kita merasa gegetun…”
“Haha… Kamu juga merasa getun, merasa sayang kenapa hal itu terjadi? Upasara memang ksatria yang lain dari yang pernah kudengar selama ini. Ia berani menolak tawaran Baginda untuk memegang jabatan mahapatih, walaupun Ibu Alit sendiri yang menemui. Ia memilih tinggal di hutan, di Perguruan Awan, sebelum akhirnya terjun ke gelanggang. Beberapa kali aku sempat melihatnya. Aku kagum. Tapi juga kasihan. Tahu kamu, Praba, apa sebabnya? Karena ia tidak ditakdirkan sebagai raja..."
"Sinuwun, karena itulah kisahnya menjadi kisah pusthika asmara. Kisah asmara yang akan selalu memberi tuah, memberi berkah, bagai batu permata.”
“Kenapa begitu?”
“Karena, Sinuwun, karena… Upasara memilih untuk tidak merebut kesempatan yang memenangkan dirinya. Upasara memilih cara lain untuk menyelamatkan asmara, dan dengan demikian menjadi langgeng, menjadi abadi. Upasara tidak memiliki, dan dengan demikian menjadi utuh selamanya.”
Wajah Raja sedikit berubah. “Itu yang kamu rencanakan, Praba?”
Praba menyembah. Duduk bersila di kaki Raja. Kedua tangannya memeluk kaki. Kepalanya tersandar ke lutut. Tangan Raja mengelus rambut, tanpa irama.
“Sinuwun, apalah artinya hamba ini? Janda yang tidak mempunyai keelokan apa-apa. Yang tak bisa menari, menembang, memasak, menghias diri, memuji. Hamba hanyalah juru pijat. Karena itulah Sinuwun mengangkat hamba. Untuk membuktikan bahwa Sinuwun sangat berkuasa. Menentukan derajat dan pangkat yang bisa berbalik-balik bagai bumi dan langit. Itu sudah kesampaian. Rasanya tak perlu ditambahi yang aneh-aneh, untuk mengangkat hamba sebagai permaisuri…”
“Dalam pandanganmu, aku hanya ingin memperlihatkan kekuasaanku semata, bukan karena dorongan daya asmara?”
“Mohon seribu ampun….”
“Praba… sejak pertama aku mengenalmu, aku tertarik akan kepolosanmu. Keberanianmu untuk mengutarakan apa yang kamu pikirkan di depanku. Hanya kamu yang berani melakukan itu. Katakan, Praba….”
“Sudah hamba katakan, Sinuwun….”
“Kamu tak percaya aku mempunyai daya asmara….”
“Sedikit pun hamba tak meragukan. Seperti juga hamba. Akan tetapi rasanya terlalu berlebihan jika hamba menjadi permaisuri. Akan lebih banyak mendatangkan bencana, permusuhan, yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Hamba tak akan pernah pergi dari bayangan Sinuwun, selama masih diperkenankan.”
“Jagat ini memang aneh. Sekian ratus wanita bermimpi kusanding. Sekian puluh berdoa agar bisa kujadikan garwa prameswari dalem. Menjadi permaisuri yang utama. Tetapi kamu justru menolak.”
“Hamba tidak menolak….”
“Tapi kamu tidak suka….”
“Hamba bersyukur, hamba bersuka…”
“Tidak juga. Kamu merasa apa yang kuambil sebagai putusan juga berlebihan. Atau memang begitu? Atau kamu terpengaruh kisah Upasara? Aku tahu kisahnya menjadi dongengan di antara rakyat. Pada malam yang baik, kisah kepahlawanannya ketika menghancurkan pasukan Tartar, kejagoannya dalam pertarungan di Trowulan, dan kisah asmaranya makin menjadi-jadi. Kini akan lebih abadi lagi karena kematiannya. Praba, dalam pandanganku, Upasara bukan ksatria dalam asmara, meskipun ia bisa digolongkan pahlawan. Kalau itu yang dikehendaki biar saja. Tetapi aku tak ingin menjalani nasib seperti itu. Aku juga tak ingin kamu menjalani hidup seperti itu, Praba….”
“Sabda Sinuwun berlaku sekarang dan selamanya….”
Raja berjalan menuju satu sisi tembok. “Praba, kamu tahu apa yang ada di balik dinding ini? Kebun yang indah, yang dibangun Ibu Alit untuk melepaskan hari-harinya kala menunggu Baginda. Di situ terkubur Upasara. Apakah itu kemenangan bagi Ibu Alit? Aku tak tahu pasti. Apalagi sekarang Ibu Alit harus mengikuti Baginda ke Simping. Kamu tahu di balik dinding sebelah sana….” Raja menunjuk ke dinding yang lain. “Di sana ada rumah yang bagus, yang ditata sangat elok Di sana ada seorang pangeran, seusia denganku, tampan, gagah, berjiwa ksatria. Aku mengurung Pangeran Anom di sana. Saat ini menunggu keputusanku, apakah esok atau lusa harus dihukum mati karena menentang perintahku untuk berangkat ke tanah seberang. Karena aku mengenal sejak kecil, aku menemuinya. Aku menanyakan kenapa ia melawanku, dan apa permintaan terakhir sebelum menjalani hukuman pati. Yang pertama ia menjawab, bahwa ia tak ingin Keraton hancur oleh perebutan kekuasaan yang tak menentu. Yang kedua ia menjawab, mohon perlindungan untuk dua orang. Yaitu Gendhuk Tri dan Maha Singanada. Apa alasannya? Pertama, ia kasmaran, dengan Gendhuk Tri, sehingga wajar bila meminta keselamatan bagi gadis itu. Yang kedua, karena Gendhuk Tri telah menetapkan pasangan hatinya, Maha Singanada. Aku tertawa dalam hati. Tetapi aku tak menertawakan. Aku tak mau menyakiti dengan menertawakan ketololannya. Dan ketika aku menyanggupi, ia kelihatan bahagia. Mati dengan tenang, nantinya. Aneh sekali. Kukira tadinya ia akan minta agar kedua orangtuanya juga diampuni. Atau sesuatu yang lain. Ternyata minta perlindungan bagi kekasihnya, serta kekasih dari kekasihnya. Aku tak bisa menertawakan. Karena mungkin aku tak akan menemukan kebahagiaan seperti dirinya. Karena keinginanku untuk membahagiakanmu tak terkabul…”
Praba memeluk kaki Raja untuk kesekian kalinya. Air matanya menetes. Membasahi. “Duh Sinuwun, hamba… hamba yang hina ini tak menolak… Hamba hanya mengatakan tanpa semua kehormatan itu, hamba tetap akan dan hanya mendampingi, selama masih diperkenankan…”
“Praba… Aku mengenal asmara, hari pertama aku merasa diriku lelaki. Selama itu tak pernah berhenti mencari dan mencari. Rasanya semua gerakan asmara pernah kujalani. Rasanya semua bentuk wanita yang pernah ada, sudah kujajal. Hanya padamu kurasakan semua kenikmatan duniawi dan surgawi ini…” Raja menghela napas. “Aku tak peduli kata jagat ini kalau kamu kuangkat sebagai permaisuri. Selama kamu mau…”
Praba tenggelam dalam isakan. Tubuhnya gemetar. Hingga ke ujung rambutnya yang tergerai karena sanggulnya terlepas.
Raja mengangkat tubuh Praba. Menuntun ke dalam. “Apa yang kamu rasakan, Praba?”
“Bahagia, Sinuwun… Bahagia…”
“Sekarang katakan sesuai dengan suara hati yang sesungguhnya. Apa yang harus kulakukan pada Ibu? Mengirim ke Simping? Atau membiarkannya berada di Keraton?”
“Di Simping, suara hati yang memenangkan hati hamba secara pribadi. Tetapi Sinuwun lebih arif. Sebelum tetap di Simping atau di Keraton, apakah hamba diperkenankan menghadap Permaisuri?”
Kali ini Raja menghela napas. Pegangannya terlepas. Kalimatnya terdengar keras. “Ingsun tak mengizinkanmu menemui Ibu.”
Mendadak Raja berbalik. Meninggalkan Praba yang bersila menyembah. Langkah Raja terasa tergesa.bBegitu di luar sendirian, para prajurit kawal segera mengawal, ada yang memayungi, ada yang menyembah, ada yang melihat kiri-kanan. Raja terus melangkah kembali ke dalam.
Tujuh Senopati Utama
PADA saat yang sama di tempat yang berbeda, Senopati Kuti dan Senopati Semi hampir bersamaan masuk ke Keraton. Kedua senopati yang gagah menunggu khidmat di depan pintu dalam. Tanpa suara. Permaisuri hanya muncul sekilas.
“Atas nama Raja, kalian para senopati utama yang berjumlah tujuh mulai sekarang ini juga tidak boleh mengenakan dan atau memakai senjata. Hanya itu yang perlu kalian ketahui.”
Permaisuri segera meninggalkan ruangan. Pintu kembali tertutup. Senopati Semi menyembah bersamaan dengan Senopati Kuti. Keduanya mengambil keris dari pinggang. Dengan khidmat meletakkan di lantai. Setelah menyembah kembali, keduanya mundur dengan jalan berjongkok. Tanpa suara. Hanya setelah di halaman bagian luar, Senopati Kuti berkata lirih,
“Kakang Senopati yang memberitahukan hal ini kepada yang lain.”
“Apa yang Kakang katakan akan saya laksanakan.”
“Kita akan bertemu kalau bulan masih bersinar sempurna.”
Senopati Semi mengangguk perlahan. Saat itu juga Senopati Kuti segera mencari kuda yang bisa dipakai secepatnya. Tanpa menghiraukan persiapan, segera mengendarai ke arah luar. Apa yang dipikirkan hanya satu. Keselamatan Baginda. Begitu banyak tanda tanya dalam hatinya, akan tetapi keselamatan Baginda tetap menjadi perhatian utama. Senopati Kuti terus mengempos kudanya hingga menjelang matahari tenggelam, kudanya menjadi kelelahan. Ketika sedang mencari cara untuk melanjutkan perjalanan, mendadak terdengar derap kaki kuda mendatangi.
“Kamu menyusulku, Tantra?” Suaranya menggelegar menandakan keperkasaannya. “Majulah kemari, siapa pun kisanak yang kamu bawa…”
Dari arah bayangan pohon, Senopati Tantra muncul sambil membawa dua ekor kuda. “Maaf Senopati… Saya memberanikan menyusul, karena…"
“Kukira kamu membawa teman.”
Senopati Tantra menoleh ke arah belakang. Hatinya menjadi ciut seketika. Bukan karena takut, melainkan tidak menyadari apakah ada yang mengikuti tidak. Karena sangat terburu-buru, sehingga kurang waspada. Sebaliknya Senopati Kuti mengernyitkan dahinya. Rasanya ia mendengar tapak kuda yang lain. Adakah seseorang yang menguntit secara diam-diam? Adakah karena Tantra membawa lebih dari seekor kuda?
“Silakan, Senopati….”
“Terima kasih.” Senopati Kuti langsung meloncat ke punggung kuda. “Tantra sebaiknya kamu berjaga di Keraton. Biarkan aku sendiri yang berangkat ke Simping. Bila bulan purnama nanti…”
“Mohon maaf sebesarnya. Saya ditugaskan menemani Senopati Kuti, karena terbetik kabar bahwa ada rombongan yang mencegat perjalanan Baginda menuju Simping….”
“Dari mana kabar itu?”
“Dari Senopati Tanca… Beliau menuju Simping, akan tetapi ternyata rombongan Baginda belum sampai ke tempat itu. Sampai sekarang masih dilacak, karena tidak ketahuan di perjalanan yang mana.”
“Siapa lagi yang berbuat begitu kurang ajar?” Senopati Kuti mengepit perut kuda dan seakan terbang.
Senopati Tantra mengikuti dari belakang. Keduanya terus memacu kudanya. Melewati pedusunan, sawah, pedusunan, jalan menurun, mengikuti aliran sungai. Saat itu rombongan Senopati Pangsa muncul dari seberang sungai.
“Saya dari Simping. Baginda belum sampai di tempat. Hilang dalam perjalanan. Yang kutemukan di jalan adalah prajurit Halayudha…”
“Apa pendapatmu, Kakang?”
“Rombongan Baginda yang berjumlah sekian banyak tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi. Menghilang tanpa jejak. Ada kekuatan lain yang mendadak mengacaukan semua rencana. Mengingat bahwa kekuasaan di Keraton sendiri compang-camping, agak sulit memperhitungkan kelompok mana yang membelokkan rombongan Baginda.”
Senopati Kuti bersungut. “Kita lahir dan besar dalam pertempuran. Udara yang kita isap setiap harinya adalah udara medan laga. Tak nanti mereka bisa lolos. Kita hafal setiap lekukan tanah di sini. Hanya memang sangat mengherankan. Saat ini Raja sedang bercengkerama dan tak meninggalkan Keraton. Kelompok yang dipimpin Manmathaba sudah lama tak bergerak sejak pemimpinnya rontok. Rasanya terlalu gegabah kalau Halayudha yang melakukan ini.”
“Manusia yang satu itu sulit dipercaya….”
“Tetapi pasti tak akan pernah berani bermain-main dengan Baginda. Kakang Pangsa, ada kabar apa dari Lumajang?”
“Sama aneh dan sama ganjilnya. Mahapatih ternyata belum sampai ke Lumajang.”
Kali ini Senopati Kuti mengelus rambutnya. “Kakang Pangsa melihat sendiri?”
“Ya. Rombongannya memang ada di sana, akan tetapi sejak semula Mahapatih Nambi tak terlihat.”
“Jangan-jangan Mahapatih dan Baginda bergabung?”
“Mungkin sekali. Hanya saja untuk apa?”
“Apa pendapat Kakang Pangsa? Apa yang akan kita lakukan? Terus menuju ke Simping?”
“Terserah Kakang Kuti.”
Senopati Kuti mendongak. “Tantra, kamu melewati sebelah utara. Kakang Pangsa menelusuri jalan balik hingga ke Keraton. Aku sendiri akan memutar melewati Perguruan Awan.”
Senopati Pangsa mengangguk. “Apa yang terjadi di Perguruan Awan?”
“Aku belum mengerti, Kakang. Hanya firasatku mengatakan, setiap kali ada sesuatu yang ganjil, hutan itu bisa memberi jawaban. Tempat itu sangat memungkinkan untuk persembunyian sekian banyak orang tanpa mengganggu pohon yang tumbuh. Kalau selama ini tak ada kabar beritanya, itu tak berarti di tempat itu tak ada kegiatan.”
Senopati Kuti mengangguk, lalu dengan sebat memacu kudanya. Ke arah kiri dari keinginan semula. Kuda yang masih segar dipacu kembali dengan keras. Hingga penumpang dan yang ditumpangi seakan mandi keringat. Kadang Senopati Kuti masuk ke pedusunan, berhenti sebentar dan menanyakan kalau-kalau melihat adanya satu rombongan. Jawabannya ternyata gelengan.
Hanya sewaktu melewati pedusunan yang lain, Senopati Kuti mendengar adanya pembelian besar-besaran di pasar. Menurut penuturan, semua barang yang ada di pasar diborong, dan pembelinya seakan tak mengerti bagaimana cara menukar barang. Senopati Kuti segera menyemplak kudanya ke arah yang dilalui para pembeli. Kali ini lebih berhati-hati. Ketika mulai menemukan bekas-bekas kaki kuda yang agaknya sarat dengan muatan, hatinya mengatakan agar ia meneruskan perjalanan tanpa kuda.
Seperti biasanya, begitu mendapatkan pikiran tertentu, segera dilaksanakan. Kudanya dilepas begitu saja. Langsung meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Benar saja. Belum separuh hari, jejak-jejak yang diikuti makin lama makin jelas. Banyak tetumbuhan yang dipapras di sana-sini, bahkan ada tempat yang dipakai untuk beristirahat. Berarti apa yang diburu tak jauh lagi.
Gua Kencana
APA yang disaksikan Senopati Kuti sebenarnya bisa dilihat tanpa perlu bersembunyi. Karena begitu lepas dari pepohonan, jalan yang dilalui cukup lebar. Cukup untuk berpapasan dua kereta yang lewat bersamaan. Ini agak mengherankan. Biasanya jalan utama dari desa ke desa dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dikenali. Akan tetapi yang sekarang ini ternyata agak tersembunyi. Lebih membuatnya bertanya-tanya dalam hati karena jalanan ini masih dalam tahap penyelesaian. Di sana-sini masih ada perkakas, masih ada bongkahan batu besar yang belum disingkirkan.
Sekitar tiga ratus tombak, Senopati Kuti bertemu rombongan yang mengangkut barang-barang. Ada tujuh gerobak ditarik sapi, beriringan. Tampaknya ketujuh gerobak itu penuh muatan, sehingga jalannya perlahan sekali. Di salah satu jalanan, malah terhenti karena roda kayu menghantam batu keras yang masih bertonjolan. Senopati Kuti segera turun tangan. Dengan sekali sentak, kedua tangannya memutar roda dengan keras. Sapi-sapi di depan bersuara, sebelum akhirnya melangkah dengan tubuh bergoyang.
“Menghaturkan sembah dan terima kasih….”
Senopati Kuti mengangguk pendek.
“Kami mempunyai setetes air. Jika Paduka berkenan….”
Dari suaranya, Senopati Kuti mengetahui bahwa mereka umumnya penduduk biasa. Juga dari caranya menyebut paduka, yang tidak membedakan sebutan untuk senopati atau perwira Keraton tertentu, agaknya mereka ini tak mempunyai pengetahuan mengenai tata Keraton.
“Aku yang seharusnya berterima kasih. Saat ini aku belum haus. Kisanak, kalau aku boleh tahu, ke mana kalian akan pergi, dan apa saja bawaan kalian ini?”
Lelaki tua yang agaknya menjadi pemimpin rombongan mengangguk ramah. "Seperti Paduka, kami menuju ke Gua Kencana. Apa yang kami bawa hanyalah keperluan sehari-hari. Ada ayam, ada kambing, ada burung, ada bumbu-bumbu, serta gula…”
Rasa ingin tahu Senopati jadi bertambah. Selama ini dirinya sangat mengenal nama-nama tempat yang menjadi wilayah Keraton. Akan tetapi rasanya baru sekarang ini mendengar nama Gua Kencana. Nama itu sendiri termasuk di luar kebiasaan. Gua Kencana, berarti gua emas, Dan agak aneh jika ada nama tempat di desa kecil begitu bagus. Nama-nama yang berbau emas, permata, atau mutiara hanyalah nama-nama yang dipakai di Keraton. Mana mungkin tempat kecil begini berani dinamai kencana?
Hal kedua yang membuat bertanya-tanya ialah bahwa penduduk yang dijumpai sangat lugu, sangat polos. Sehingga tak mungkin rasanya berdusta. Dan mengatakan kebutuhan sehari-hari, pastilah itu yang sebenarnya. Akan tetapi jika kebutuhan sehari-hari saja begini banyak, apa yang sesungguhnya tengah terjadi?
“Masih berapa lama menuju Gua Kencana?”
“Sebelum matahari tenggelam. Kalau Paduka ingin berangkat lebih dulu, kami hanya bisa mengantarkan dengan doa. Silakan….”
Senopati Kuti mengangguk. Ia mempercepat jalannya, kemudian melesat setelah merasa tak diperhatikan. Ia tak ingin mengejutkan dengan ilmu meringankan tubuh, mengingat dirinya belum mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Kali ini di depan juga ada rombongan lain. Bahkan suasananya lebih meriah, karena terdengar bunyi gamelan. Sementara iringan yang ada jumlahnya mencapai puluhan. Beberapa di antaranya malah menenggak tuak. Seseorang tampak terpengaruh minuman keras, dan mulai bersenandung.
Begini indahnya hidup
tidur memeluk bidadari
bangun memeluk bidadari
biar saja ada apa di mana
asal Kedung Dawa masih ada
hidup di surga.
Ada sesuatu yang melecehkan dalam kidungan itu. Yang menyebutkan tak peduli apa saja yang terjadi-di mana saja-asal tidak terjadi di Kedung Dawa, yang disamakan dengan surga. Senopati Kuti menahan diri untuk tidak menanyakan sesuatu. Hatinya mencatat sendiri bahwa wilayah ini bernama Kedung Dawa, nama yang pantas untuk sebuah desa. Kedung berarti bagian sungai yang dalam, sedang dawa berarti panjang atau luas. Dinamai begitu, tentunya daerah ini dekat dengan aliran sungai. Bisa jadi ini simpangan dari Kali Brantas.
Kalau benar begitu, dirinya agak tersesat ke arah lebih ke timur dari yang direncanakan. Desa Simping lebih ke arah selatan dari Keraton. Senopati Kuti bersiap membalik mencari jalan lain, ketika mendengar suara-suara yang seakan ditujukan kepada dirinya.
“Tetamu sudah berdatangan. Kalau Baginda saja datang lebih dini, bukankah ini pesta besar? Bukankah yang berjalan tergesa itu penggede Keraton juga?"
"Mana saya tahu,” jawab yang diajak bicara. “Siapa saja bisa menjadi penggede, menjadi penguasa. Di Kedung Dawa segala apa bisa terjadi.”
“Kenapa Dewa memilih Kedung Dawa untuk menyimpan emas?”
“Apa pedulimu? Dewa itu seperti manusia juga. Mereka berperang, berebutan, dan melarikan diri. Salah satu Dewa itu kesasar di desa ini. Masuk ke Gua Kencana. Hartanya disimpan di sana. Menurut rencana akan membuat barisan pohon kelapa dari emas. Jumlahnya seribu pohon.”
“Setinggi pohon kelapa yang sesungguhnya?”
“Apa setinggi kamu!”
“Kalau satu Dewa saja bisa melarikan begitu banyak emas, bagaimana kalau sepuluh Dewa melarikan diri ya?”
Pembicaraan di antara minuman keras memang sering melenceng jauh. Akan tetapi Senopati Kuti merasa bahwa yang dibicarakan bukan sepenuhnya omong kosong. Ada sesuatu yang bergerak yang membuat desa Kedung Dawa menjadi pusat kegiatan yang mencengangkan. Mudah diduga bukan harta karun yang dibawa Dewa, akan tetapi ada kaitannya dengan emas yang menyebabkan ada sebutan Gua Kencana.
“Sebenarnya kita ini masih lebih baik dari penggede”
“Sudah tentu. Kita begini-begini masih melakukan sesuatu. Masih ada yang kita sumbangkan. Sedangkan para penggede itu hanya datang, melihat, dan pulangnya membawa harta.”
“Hei, jangan omong sembarangan. Kalau penggede itu mendengar, kamu tak bisa bertemu anak dan istrimu.”
“Untuk apa bertemu istri di rumah, kalau di sini saja banyak pesinden ayu?” Jawaban yang terdengar disertai gelak tawa yang keras.
“Benar kalau dikatakan di sinilah sesungguhnya surga dunia itu. Aku sedang membayangkan makan paling enak, tidur bersama pesinden paling ayu, selama hidup sampai berdiri pun tak mampu lagi.”
Makin lama pembicaraan makin ngawur. Senopati Kuti mempercepat jalannya. Jalan yang dibuat agak tergesa ini ternyata cukup panjang. Paling sedikit diperlukan ratusan orang dan memerlukan waktu beberapa bulan. Dan anehnya, selama ini Senopati Kuti tak pernah mendengar adanya rencana besar ini. Ketika sampai di suatu lapangan yang luas, Senopati Kuti benar-benar makin heran. Karena di sana ada puluhan gerobak. Semuanya seperti tengah menurunkan muatan. Benar-benar luar biasa.
Yang juga membuat lebih heran lagi ialah terlihatnya tanda payung kebesaran yang digunakan Baginda! Apa benar Baginda dan rombongannya juga nyasar kemari? Tidak, ini pasti tidak nyasar. Ada kesengajaan menuju Kedung Dawa. Kalau benar Baginda ada di sini… Jidat senopati Kuti berkerut. Kini sepenuhnya yakin bahwa rombongan Baginda berada di Kedung Dawa. Karena beberapa prajurit kawal yang mengenal segera menuju ke arahnya dan bersila di depannya.
“Bagaimana keadaan Baginda?”
“Semua dalam lindungan Dewa, sang Senopati…”
“Sejak kapan kalian berada di sini?”
“Sepekan lalu, Baginda memerintahkan bermalam di sini.”
Rasa lega mengguyur Senopati Kuti. Sekarang segalanya yang dikuatirkan tak ada sisanya lagi. Baginda dan rombongannya dalam keadaan selamat. Bahkan sudah bermalam selama sepekan. Sungguh tidak imbang dengan kecemasan para senopati yang mencari siang dan malam. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi di desa ini? Sehingga Baginda yang sedang menuju Simping pun berputar arah?
“Prajurit, sampaikan kepada atasanmu, aku Senopati Kuti ingin sowan kepada Baginda jika diperkenankan.”
“Maaf, Senopati… Baginda sedang berada dalam Gua Kencana…”
Candi Senopaten Pamungkas
“APA itu artinya?”
“Baginda sedang berkenan meninjau Gua Kencana, dan tak ada yang bisa dihubungi saat ini.”
“Jangan-jangan bahaya…,” desis Senopati Kuti yang mendadak keringat dinginnya mengucur. Kalau sampai Baginda pergi sendirian, tanpa pengawal itu berarti mengundang bahaya besar. Darahnya mendidih. “Di mana gua itu?”
“Di balik rumah, di lembah…”
Tanpa menunggu penjelasan, Senopati Kuti segera bergegas ke arah yang ditunjuk. Di seberang tanah lapang yang mirip alun-alun terdapat bangunan rumah yang luar biasa bagus dan besar. Bahkan kalau bangunan itu berada dalam Keraton, tetap terlihat mewah. Apalagi gerbangnya diukir dan dijaga ketat.
Tapi Senopati Kuti tak mempunyai perhatian sedikit pun. Tujuannya mengejar Baginda ke Gua Kencana. Maka langkahnya diteruskan lewat samping bangunan. Belum sepuluh tombak sudah tampak penjagaan yang berlapis-lapis. Senopati Kuti tak bisa menghindar karena jalanan setapak yang juga baru dibuat ini tak memungkinkan untuk menyelinap. Kalau ia nekat menerobos, berarti mengundang keributan.
“Selamat datang, Senopati… Boleh kami tahu siapa nama dan apa perlunya datang kemari?”
Senopati Kuti mengibaskan tangannya. Pandangan matanya tajam menatap penjaga yang berusaha memperlihatkan sikap hormat. “Aku Senopati Kuti, satu di antara Tujuh Senopati Utama Keraton Majapahit, seorang dharmaputra, ingin menghadap Baginda…”
“Nama besar Senopati Kuti sudah terdengar sampai ke pelosok jagat. Maafkan kami yang buta dan tidak mengenali. Saya Prajurit Sariq menyampaikan hormat. Hanya saja kami tak bisa memberikan jalan kepada Senopati. Kami silakan Senopati menunggu di dalem utama..."
“Rasa-rasanya aku mengenalmu. Apakah kamu senopati dari Turkana?”
“Dulunya begitu…”
“Hmmmmm… Tak kusangka, kamu menjadi pengabdi di sini. Senopati Sariq, karena kamu sudah mengerti tata Keraton, karena kamu sudah mengenal siapa aku, bukakan jalan. Rasanya tak bisa aku membiarkan Baginda berada dalam gua tanpa pengawalan."
Senopati Sariq membungkuk hormat. Dua orang yang berada di belakangnya bersiap. “Tugas saya di sini menjaga jalan ini, Senopati. Saya pun tak rela junjungan saya lepas tanpa pengawalan. Akan tetapi ini perintah.”
“Apa Ratu Ayu juga berada di dalam? Begitulah adanya.”
“Sejak kapan datang?”
“Sebelum Senopati…”
“Bagaimana mungkin kalian bergabung di sini?”
“Panjang ceritanya…”
“Katakan sekarang.”
“Tugas saya sekarang menjaga jalan ini.” Terlihat jelas bahwa meskipun sangat menghormat, Senopati Sariq bersikap keras, lugas. Siap menghadapi ancaman apa pun, untuk mempertahankan tugas.
“Apa yang ingin Paman ketahui?”
Senopati Kuti hafal dengan nada suara. Ketika pandangannya berpaling ke arah pembicara, matanya berkejap. Jakunnya bergerak. “Gendhuk Tri, kamu juga ada di sini?”
“Ilmu pelet apa yang digunakan wulanjar tua itu?”
“Tidak ada yang secara khusus digunakan,” kata Pendeta Manmathaba ketika itu. “Hamba tak menemukan…”
“Sama sekali tidak mungkin kalau putraku sampai terseret daya asmara dengan Wulanjar tua seperti itu. Apa yang dilakukan seakan secara sengaja memilih yang terjelek dan terhina.”
“Hamba melihat sebagaimana adanya. Raja memang sedang terpesona, sedang tenggelam dalam lautan asmara…”
Semua pendeta dan juru ramal yang ditanyai mengeluarkan jawaban yang sama.
“Aku tak peduli. Cari jalan untuk memisahkan…”
“Dengan sedikit kekerasan sangat gampang, Permaisuri. Suatu bubuk racun akan menyebabkan wanita itu berbau seluruh kulit dan keringatnya, menjadi gatal-gatal di seluruh lubang tubuhnya secara menjijikkan. Melenyapkan, sama mudahnya. Namun hamba tak melihat itu membawa ke suasana yang lebih baik. Setidaknya untuk sekarang ini…”
Baik Manmathaba atau para peramal yang lain, tak bisa menyelami bahwa kegundahan Permaisuri disebabkan oleh hal-hal yang bisa diterangkan dan tidak. Yang tak sepenuhnya bisa diterangkan ialah, kenapa putranya yang dianggap paling tampan, paling gagah, paling berwibawa memilih wanita yang jidatnya menonjol dan bibirnya tebal serta berkulit hitam!
Apakah ini bukan tamparan keras, kalau ibunya justru berkulit putih sehingga dijuluki Dyah Dara Petak? Apa yang sesungguhnya tumbuh di dalam jiwa putranya? Yang selama ini diketahui segala sesuatu yang disukai, dan tak disukai, lalu tiba-tiba menentukan pilihan semacam ini?
Yang makin membuat Permaisuri geram ialah sewaktu bisa menawan Ratu Ayu Bawah Langit yang kesohor itu, dan berhasil menguasai dengan ilmu sirep, Raja tetap tak menoleh. Bahkan ketika diberitahu bahwa Ratu Ayu sudah berada di kaputren, belum sekali pun Raja menengok. Seakan Ratu Ayu yang pernah diperebutkan dalam sayembara itu tak menyentuh emosi sedikit pun.
Ciptakan Kidung Onengan
SAAT itu Raja Jayanegara seakan mendengar suara batin kegelisahan Permaisuri, atau kebetulan merasa perlu menjawab pertanyaan yang tak disuarakan Praba Raga Karana. Raja menghentikan langkahnya. Tangannya memainkan bunga-bunga secara sembarangan. Praba yang berada lima langkah di belakangnya, berdiam. Menunduk. Sementara para pengawal pribadi, berada puluhan tombak di belakang, tak tampak dalam pandangan.
“Ingsun bukan bocah. Langkah ingsun sama lebar dengan semua raja sebelumnya. Tahukah kamu itu semua, Praba?”
“Sembah dalem, Sinuwun….”
“Marilah mendekat kemari. Saat berdua seperti sekarang ini, aku ingin merasakan kehidupan, ingin hidup sebagai manusia. Adakah kamu masih bertanya-tanya terus dalam batinmu kenapa aku memilihmu?”
“Sembah dalem, ingkang Sinuwun….”
“Dengar, Praba. Hanya kepadamulah aku mengatakan ini. Karena aku tak merasa perlu berkata kepada yang lain. Aku sudah dewasa. Jangan pernah kamu ragu mengenai hal itu. Jangan kamu menganggap ini perbuatan kanak-kanak. Ibu akan mengatakan bahwa usiaku belum genap dua windu, belum ada enam belas tahun, akan tetapi aku sama dewasanya seperti Baginda ketika naik takhta, sama dewasanya ketika Sri Baginda Raja naik takhta. Aku memang lebih cepat dewasa. Aku mengerti lebih cepat dari siapa pun seluruh isi Keraton ini. Sejak lahir aku memiliki kelebihan ini. Kalau aku memilihmu yang usianya lebih tua, karena aku sebenarnya sama tua, sama dewasa denganmu. Aku tahu bagaimana menjadi raja. Aku sudah belajar hal itu sejak belum berjalan. Aku diberi pengertian itu, aku belajar keras selama di Daha. Dengan sangat cepat aku bisa mengerti, bagaimana tata pemerintahan, bagaimana kekuasaan dan tanggung jawabku. Bahwa dari tanganku, dan bibirku, nasib manusia lain akan ditentukan baik atau buruknya. Aku menguasai hidup dan mati seluruh isi Keraton. Lebih dari siapa pun. Jangan gelisah, jangan takut kalau aku memberimu gelaran Praba Raga Karana. Karena kamu sesungguhnya seperti itu, karena aku sudah mensabdakan itu. Tak ada bedanya dengan Baginda ketika akhirnya memilih ibu sebagai permaisuri utama. Semua bisa terjadi karena sabda Raja. Karena akulah yang menentukan.”
Raja menarik tangan Praba, mendekap tubuhnya. Satu tangan mengusap wajah Praba. Sambil tertawa. “Apa yang kamu takutkan, Praba?”
“Hamba…”
“Tak ada yang perlu kamu takutkan. Kalau aku mau memelukmu sekarang, itu yang terjadi. Kalau aku mengajakmu bermain asmara sekarang, di sini, itu yang akan terjadi. Tak ada yang menghalangi, tak ada yang buruk. Tak ada yang ditakuti.”
“Ingkang Sinuwun, hamba tak akan pernah menolak bayangan Sinuwun yang menghendaki apa pun….”
“Itulah semuanya. Aku tahu apa yang dikatakan orang, nantinya. Kenapa aku memilihmu, dan bukannya Tunggadewi atau Rajadewi, atau siapa saja. Aku tahu kenapa sekarang ini aku tak mau melihat Ratu Ayu. Sebab aku tak ingin. Sebab aku tak ingin. Sebab aku ingin kamu, Praba, yang menjadi permaisuriku, mendampingiku di takhta kerajaan. Merasakan kehormatan ini.”
“Ingkang Sinuwun, izinkanlah hamba menyampaikan…”
“Katakan, katakan…”
“Adalah karunia Dewa Yang Mahakuasa, lewat keluhuran nama besar Paduka, sehingga nasib hamba yang hanya juru pijat…”
Raja bergelak. Tampak betul menikmati suasana dan perubahan wajah Praba. “Sebentar, Praba, aku potong sebentar. “Kamu mengatakan dirimu hanya juru pijat. Hanya. Juru pijat. Ehem. Siapa yang memberi pangkat dan derajat itu? Ingsun, aku! Mulai dari juru pijat, mahapatih, senopati, permaisuri, selir, prajurit, semua karena aku. Saat ini aku bisa memanggil prajurit yang menjaga kita dan aku bisa mengangkatnya menjadi senopati utama. Atau bahkan mahapatih. Aku bisa juga memenggal kepalanya sekarang. Karena aku. Karena aku raja. Dan aku akan mengubahmu, sehingga tak ada lagi hanya juru pijat. Tak perlu lagi.”
“Sinuwun, hamba akan tetap melayani, mengabdi, dengan seluruh jiwa dan raga ke hadapan Sinuwun, sampai turunan yang entah kapan. Namun rasanya, hamba belum bisa merasakan anugerah yang maha besar itu.”
“Kalau aku menginginkan, siapa yang bisa melarangku?”
“Hamba tak bisa menjalankan….”
“Apa?”
“Mohon maaf atas segala kelancangan….”
“Praba, kamu menolak kuangkat sebagai permaisuri?”
“Hamba tetap akan melayani sampai…”
“Jawab, kamu akan menolak kuangkat sebagai permaisuri?”
Praba menunduk, bersila, melepaskan diri dari rangkulan Raja. Menyembah. Mengangguk.
Raja mengisap udara keras. Dan tertawa sangat keras. “Praba… Praba… Tahukah kamu, bahwa caramu menghadapiku, membuatku makin tergetar oleh asmara? Bahwa di seluruh jagat ini hanya ada dua wanita yang bisa membuatku mencabut keinginanku? Hanya kamu dan Ibu. Ibu yang bisa dan berani melarangku memetik bunga, menangkap burung dan kupu-kupu. Selebihnya tak ada lagi. Seluruh Keraton menunduk, menyembah, dan melakukan apa yang ku minta. Juga Baginda, yang paling berkuasa meluluskan apa yang ku minta. Tapi Ibu berani melarangku. Berani mengatur tidurku. Itu dulu. Ketika aku makin dewasa, tak ada lagi yang berani. Tak ada yang terang-terangan berani menolak selain kamu. Dan aku akan mendengar kata-katamu. Haha…”
Praba menelan ludahnya dengan seret.
“Kalau sekarang ini Ibu memintaku jangan mengangkatmu sebagai permaisuri, justru saat itu juga aku akan mengangkatmu. Kalau saat ini Kanjeng Ibu meminta aku mengangkatmu sebagai permaisuri, aku tetap akan bertanya padamu. Praba, kamu mendengar kata-kata ini dari Raja.”
Praba melangkah beberapa tindak ke depan. Tangan kirinya terulur, dan Praba menggandeng dengan hati-hati.
“Kenapa kamu menolak, Praba? Merasa tak pantas?”
“Sinuwun, pantas atau tidak, apalah artinya kalau Sinuwun sudah bersabda? Tak ada lagi perbedaan itu. Sementara ini hamba ingin menikmati kebahagiaan bersama Sinuwun.”
“Apakah kalau kamu menjadi permaisuri akan terganggu?”
“Sinuwun... hamba tak bisa membiasakan diri secepat Sinuwun…”
“Haha, kamu makin cerdik saja. Kalau itu maumu, itu yang akan terjadi. Praba tahukah kamu bahwa aku kedanan padamu? Bahwa aku tergila-gila oleh daya asmaramu yang hebat? Aku merasakan dari ujung rambut ke ujung kulit. Semua tubuhku tergetar merasakan daya asmaramu. Aku bisa memilih siapa saja. Aku bisa memanggil siapa saja. Tetapi aku memilihmu. Menetapkanmu. Haha, apakah ini bukan asmara yang sejati? Daya asmara yang sesungguhnya? Bukankah akan baik sekali jika sekarang ini dituliskan Kidung Asmara, Kidung Onengan, atau Kidung Kerinduan? Haha, akan menarik sekali. Semua raja begitu naik takhta ribut soal membuat Kidungan Para Raja, sibuk memikirkan kitab apa yang akan ditinggalkan sebagai warisan kebesarannya. Aku bisa membayangkan bagaimana Sri Baginda Raja siang-malam menghabiskan kebahagiaannya untuk merestui Kitab Bumi. Aku bisa memutuskan sesaat. Dengan gampang. Kidung Onengan. Haha, siapa yang akan mengatakan bahwa apa yang kutemukan dan kuwariskan sebagai raja kalah dari yang dilakukan Eyang Kertanegara? Bukankah itu hebat, Praba?”
“Hamba rasa begitu, Sinuwun.”
“Apakah di jagat ini kamu kira ada yang bisa menemukan asmara yang sejati seperti kita berdua?”
Praba tak segera menjawab. “Hamba pernah mendengar kisah Upasara Wulung dengan Permaisuri Gayatri…”
Pusthika Asmara
RAJA mengayun-ayunkan tangan secara bebas. Kentara sekali bisa membebaskan perasaan dari sikap kala bertindak menjadi raja. “Apa yang kamu dengar dari kisah asmara Upasara dan Ibunda Alit Gayatri?”
“Seperti semua kisah yang mendebarkan, menggemaskan, dan membuat kita merasa gegetun…”
“Haha… Kamu juga merasa getun, merasa sayang kenapa hal itu terjadi? Upasara memang ksatria yang lain dari yang pernah kudengar selama ini. Ia berani menolak tawaran Baginda untuk memegang jabatan mahapatih, walaupun Ibu Alit sendiri yang menemui. Ia memilih tinggal di hutan, di Perguruan Awan, sebelum akhirnya terjun ke gelanggang. Beberapa kali aku sempat melihatnya. Aku kagum. Tapi juga kasihan. Tahu kamu, Praba, apa sebabnya? Karena ia tidak ditakdirkan sebagai raja..."
"Sinuwun, karena itulah kisahnya menjadi kisah pusthika asmara. Kisah asmara yang akan selalu memberi tuah, memberi berkah, bagai batu permata.”
“Kenapa begitu?”
“Karena, Sinuwun, karena… Upasara memilih untuk tidak merebut kesempatan yang memenangkan dirinya. Upasara memilih cara lain untuk menyelamatkan asmara, dan dengan demikian menjadi langgeng, menjadi abadi. Upasara tidak memiliki, dan dengan demikian menjadi utuh selamanya.”
Wajah Raja sedikit berubah. “Itu yang kamu rencanakan, Praba?”
Praba menyembah. Duduk bersila di kaki Raja. Kedua tangannya memeluk kaki. Kepalanya tersandar ke lutut. Tangan Raja mengelus rambut, tanpa irama.
“Sinuwun, apalah artinya hamba ini? Janda yang tidak mempunyai keelokan apa-apa. Yang tak bisa menari, menembang, memasak, menghias diri, memuji. Hamba hanyalah juru pijat. Karena itulah Sinuwun mengangkat hamba. Untuk membuktikan bahwa Sinuwun sangat berkuasa. Menentukan derajat dan pangkat yang bisa berbalik-balik bagai bumi dan langit. Itu sudah kesampaian. Rasanya tak perlu ditambahi yang aneh-aneh, untuk mengangkat hamba sebagai permaisuri…”
“Dalam pandanganmu, aku hanya ingin memperlihatkan kekuasaanku semata, bukan karena dorongan daya asmara?”
“Mohon seribu ampun….”
“Praba… sejak pertama aku mengenalmu, aku tertarik akan kepolosanmu. Keberanianmu untuk mengutarakan apa yang kamu pikirkan di depanku. Hanya kamu yang berani melakukan itu. Katakan, Praba….”
“Sudah hamba katakan, Sinuwun….”
“Kamu tak percaya aku mempunyai daya asmara….”
“Sedikit pun hamba tak meragukan. Seperti juga hamba. Akan tetapi rasanya terlalu berlebihan jika hamba menjadi permaisuri. Akan lebih banyak mendatangkan bencana, permusuhan, yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Hamba tak akan pernah pergi dari bayangan Sinuwun, selama masih diperkenankan.”
“Jagat ini memang aneh. Sekian ratus wanita bermimpi kusanding. Sekian puluh berdoa agar bisa kujadikan garwa prameswari dalem. Menjadi permaisuri yang utama. Tetapi kamu justru menolak.”
“Hamba tidak menolak….”
“Tapi kamu tidak suka….”
“Hamba bersyukur, hamba bersuka…”
“Tidak juga. Kamu merasa apa yang kuambil sebagai putusan juga berlebihan. Atau memang begitu? Atau kamu terpengaruh kisah Upasara? Aku tahu kisahnya menjadi dongengan di antara rakyat. Pada malam yang baik, kisah kepahlawanannya ketika menghancurkan pasukan Tartar, kejagoannya dalam pertarungan di Trowulan, dan kisah asmaranya makin menjadi-jadi. Kini akan lebih abadi lagi karena kematiannya. Praba, dalam pandanganku, Upasara bukan ksatria dalam asmara, meskipun ia bisa digolongkan pahlawan. Kalau itu yang dikehendaki biar saja. Tetapi aku tak ingin menjalani nasib seperti itu. Aku juga tak ingin kamu menjalani hidup seperti itu, Praba….”
“Sabda Sinuwun berlaku sekarang dan selamanya….”
Raja berjalan menuju satu sisi tembok. “Praba, kamu tahu apa yang ada di balik dinding ini? Kebun yang indah, yang dibangun Ibu Alit untuk melepaskan hari-harinya kala menunggu Baginda. Di situ terkubur Upasara. Apakah itu kemenangan bagi Ibu Alit? Aku tak tahu pasti. Apalagi sekarang Ibu Alit harus mengikuti Baginda ke Simping. Kamu tahu di balik dinding sebelah sana….” Raja menunjuk ke dinding yang lain. “Di sana ada rumah yang bagus, yang ditata sangat elok Di sana ada seorang pangeran, seusia denganku, tampan, gagah, berjiwa ksatria. Aku mengurung Pangeran Anom di sana. Saat ini menunggu keputusanku, apakah esok atau lusa harus dihukum mati karena menentang perintahku untuk berangkat ke tanah seberang. Karena aku mengenal sejak kecil, aku menemuinya. Aku menanyakan kenapa ia melawanku, dan apa permintaan terakhir sebelum menjalani hukuman pati. Yang pertama ia menjawab, bahwa ia tak ingin Keraton hancur oleh perebutan kekuasaan yang tak menentu. Yang kedua ia menjawab, mohon perlindungan untuk dua orang. Yaitu Gendhuk Tri dan Maha Singanada. Apa alasannya? Pertama, ia kasmaran, dengan Gendhuk Tri, sehingga wajar bila meminta keselamatan bagi gadis itu. Yang kedua, karena Gendhuk Tri telah menetapkan pasangan hatinya, Maha Singanada. Aku tertawa dalam hati. Tetapi aku tak menertawakan. Aku tak mau menyakiti dengan menertawakan ketololannya. Dan ketika aku menyanggupi, ia kelihatan bahagia. Mati dengan tenang, nantinya. Aneh sekali. Kukira tadinya ia akan minta agar kedua orangtuanya juga diampuni. Atau sesuatu yang lain. Ternyata minta perlindungan bagi kekasihnya, serta kekasih dari kekasihnya. Aku tak bisa menertawakan. Karena mungkin aku tak akan menemukan kebahagiaan seperti dirinya. Karena keinginanku untuk membahagiakanmu tak terkabul…”
Praba memeluk kaki Raja untuk kesekian kalinya. Air matanya menetes. Membasahi. “Duh Sinuwun, hamba… hamba yang hina ini tak menolak… Hamba hanya mengatakan tanpa semua kehormatan itu, hamba tetap akan dan hanya mendampingi, selama masih diperkenankan…”
“Praba… Aku mengenal asmara, hari pertama aku merasa diriku lelaki. Selama itu tak pernah berhenti mencari dan mencari. Rasanya semua gerakan asmara pernah kujalani. Rasanya semua bentuk wanita yang pernah ada, sudah kujajal. Hanya padamu kurasakan semua kenikmatan duniawi dan surgawi ini…” Raja menghela napas. “Aku tak peduli kata jagat ini kalau kamu kuangkat sebagai permaisuri. Selama kamu mau…”
Praba tenggelam dalam isakan. Tubuhnya gemetar. Hingga ke ujung rambutnya yang tergerai karena sanggulnya terlepas.
Raja mengangkat tubuh Praba. Menuntun ke dalam. “Apa yang kamu rasakan, Praba?”
“Bahagia, Sinuwun… Bahagia…”
“Sekarang katakan sesuai dengan suara hati yang sesungguhnya. Apa yang harus kulakukan pada Ibu? Mengirim ke Simping? Atau membiarkannya berada di Keraton?”
“Di Simping, suara hati yang memenangkan hati hamba secara pribadi. Tetapi Sinuwun lebih arif. Sebelum tetap di Simping atau di Keraton, apakah hamba diperkenankan menghadap Permaisuri?”
Kali ini Raja menghela napas. Pegangannya terlepas. Kalimatnya terdengar keras. “Ingsun tak mengizinkanmu menemui Ibu.”
Mendadak Raja berbalik. Meninggalkan Praba yang bersila menyembah. Langkah Raja terasa tergesa.bBegitu di luar sendirian, para prajurit kawal segera mengawal, ada yang memayungi, ada yang menyembah, ada yang melihat kiri-kanan. Raja terus melangkah kembali ke dalam.
Tujuh Senopati Utama
PADA saat yang sama di tempat yang berbeda, Senopati Kuti dan Senopati Semi hampir bersamaan masuk ke Keraton. Kedua senopati yang gagah menunggu khidmat di depan pintu dalam. Tanpa suara. Permaisuri hanya muncul sekilas.
“Atas nama Raja, kalian para senopati utama yang berjumlah tujuh mulai sekarang ini juga tidak boleh mengenakan dan atau memakai senjata. Hanya itu yang perlu kalian ketahui.”
Permaisuri segera meninggalkan ruangan. Pintu kembali tertutup. Senopati Semi menyembah bersamaan dengan Senopati Kuti. Keduanya mengambil keris dari pinggang. Dengan khidmat meletakkan di lantai. Setelah menyembah kembali, keduanya mundur dengan jalan berjongkok. Tanpa suara. Hanya setelah di halaman bagian luar, Senopati Kuti berkata lirih,
“Kakang Senopati yang memberitahukan hal ini kepada yang lain.”
“Apa yang Kakang katakan akan saya laksanakan.”
“Kita akan bertemu kalau bulan masih bersinar sempurna.”
Senopati Semi mengangguk perlahan. Saat itu juga Senopati Kuti segera mencari kuda yang bisa dipakai secepatnya. Tanpa menghiraukan persiapan, segera mengendarai ke arah luar. Apa yang dipikirkan hanya satu. Keselamatan Baginda. Begitu banyak tanda tanya dalam hatinya, akan tetapi keselamatan Baginda tetap menjadi perhatian utama. Senopati Kuti terus mengempos kudanya hingga menjelang matahari tenggelam, kudanya menjadi kelelahan. Ketika sedang mencari cara untuk melanjutkan perjalanan, mendadak terdengar derap kaki kuda mendatangi.
“Kamu menyusulku, Tantra?” Suaranya menggelegar menandakan keperkasaannya. “Majulah kemari, siapa pun kisanak yang kamu bawa…”
Dari arah bayangan pohon, Senopati Tantra muncul sambil membawa dua ekor kuda. “Maaf Senopati… Saya memberanikan menyusul, karena…"
“Kukira kamu membawa teman.”
Senopati Tantra menoleh ke arah belakang. Hatinya menjadi ciut seketika. Bukan karena takut, melainkan tidak menyadari apakah ada yang mengikuti tidak. Karena sangat terburu-buru, sehingga kurang waspada. Sebaliknya Senopati Kuti mengernyitkan dahinya. Rasanya ia mendengar tapak kuda yang lain. Adakah seseorang yang menguntit secara diam-diam? Adakah karena Tantra membawa lebih dari seekor kuda?
“Silakan, Senopati….”
“Terima kasih.” Senopati Kuti langsung meloncat ke punggung kuda. “Tantra sebaiknya kamu berjaga di Keraton. Biarkan aku sendiri yang berangkat ke Simping. Bila bulan purnama nanti…”
“Mohon maaf sebesarnya. Saya ditugaskan menemani Senopati Kuti, karena terbetik kabar bahwa ada rombongan yang mencegat perjalanan Baginda menuju Simping….”
“Dari mana kabar itu?”
“Dari Senopati Tanca… Beliau menuju Simping, akan tetapi ternyata rombongan Baginda belum sampai ke tempat itu. Sampai sekarang masih dilacak, karena tidak ketahuan di perjalanan yang mana.”
“Siapa lagi yang berbuat begitu kurang ajar?” Senopati Kuti mengepit perut kuda dan seakan terbang.
Senopati Tantra mengikuti dari belakang. Keduanya terus memacu kudanya. Melewati pedusunan, sawah, pedusunan, jalan menurun, mengikuti aliran sungai. Saat itu rombongan Senopati Pangsa muncul dari seberang sungai.
“Saya dari Simping. Baginda belum sampai di tempat. Hilang dalam perjalanan. Yang kutemukan di jalan adalah prajurit Halayudha…”
“Apa pendapatmu, Kakang?”
“Rombongan Baginda yang berjumlah sekian banyak tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi. Menghilang tanpa jejak. Ada kekuatan lain yang mendadak mengacaukan semua rencana. Mengingat bahwa kekuasaan di Keraton sendiri compang-camping, agak sulit memperhitungkan kelompok mana yang membelokkan rombongan Baginda.”
Senopati Kuti bersungut. “Kita lahir dan besar dalam pertempuran. Udara yang kita isap setiap harinya adalah udara medan laga. Tak nanti mereka bisa lolos. Kita hafal setiap lekukan tanah di sini. Hanya memang sangat mengherankan. Saat ini Raja sedang bercengkerama dan tak meninggalkan Keraton. Kelompok yang dipimpin Manmathaba sudah lama tak bergerak sejak pemimpinnya rontok. Rasanya terlalu gegabah kalau Halayudha yang melakukan ini.”
“Manusia yang satu itu sulit dipercaya….”
“Tetapi pasti tak akan pernah berani bermain-main dengan Baginda. Kakang Pangsa, ada kabar apa dari Lumajang?”
“Sama aneh dan sama ganjilnya. Mahapatih ternyata belum sampai ke Lumajang.”
Kali ini Senopati Kuti mengelus rambutnya. “Kakang Pangsa melihat sendiri?”
“Ya. Rombongannya memang ada di sana, akan tetapi sejak semula Mahapatih Nambi tak terlihat.”
“Jangan-jangan Mahapatih dan Baginda bergabung?”
“Mungkin sekali. Hanya saja untuk apa?”
“Apa pendapat Kakang Pangsa? Apa yang akan kita lakukan? Terus menuju ke Simping?”
“Terserah Kakang Kuti.”
Senopati Kuti mendongak. “Tantra, kamu melewati sebelah utara. Kakang Pangsa menelusuri jalan balik hingga ke Keraton. Aku sendiri akan memutar melewati Perguruan Awan.”
Senopati Pangsa mengangguk. “Apa yang terjadi di Perguruan Awan?”
“Aku belum mengerti, Kakang. Hanya firasatku mengatakan, setiap kali ada sesuatu yang ganjil, hutan itu bisa memberi jawaban. Tempat itu sangat memungkinkan untuk persembunyian sekian banyak orang tanpa mengganggu pohon yang tumbuh. Kalau selama ini tak ada kabar beritanya, itu tak berarti di tempat itu tak ada kegiatan.”
Senopati Kuti mengangguk, lalu dengan sebat memacu kudanya. Ke arah kiri dari keinginan semula. Kuda yang masih segar dipacu kembali dengan keras. Hingga penumpang dan yang ditumpangi seakan mandi keringat. Kadang Senopati Kuti masuk ke pedusunan, berhenti sebentar dan menanyakan kalau-kalau melihat adanya satu rombongan. Jawabannya ternyata gelengan.
Hanya sewaktu melewati pedusunan yang lain, Senopati Kuti mendengar adanya pembelian besar-besaran di pasar. Menurut penuturan, semua barang yang ada di pasar diborong, dan pembelinya seakan tak mengerti bagaimana cara menukar barang. Senopati Kuti segera menyemplak kudanya ke arah yang dilalui para pembeli. Kali ini lebih berhati-hati. Ketika mulai menemukan bekas-bekas kaki kuda yang agaknya sarat dengan muatan, hatinya mengatakan agar ia meneruskan perjalanan tanpa kuda.
Seperti biasanya, begitu mendapatkan pikiran tertentu, segera dilaksanakan. Kudanya dilepas begitu saja. Langsung meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Benar saja. Belum separuh hari, jejak-jejak yang diikuti makin lama makin jelas. Banyak tetumbuhan yang dipapras di sana-sini, bahkan ada tempat yang dipakai untuk beristirahat. Berarti apa yang diburu tak jauh lagi.
Gua Kencana
APA yang disaksikan Senopati Kuti sebenarnya bisa dilihat tanpa perlu bersembunyi. Karena begitu lepas dari pepohonan, jalan yang dilalui cukup lebar. Cukup untuk berpapasan dua kereta yang lewat bersamaan. Ini agak mengherankan. Biasanya jalan utama dari desa ke desa dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dikenali. Akan tetapi yang sekarang ini ternyata agak tersembunyi. Lebih membuatnya bertanya-tanya dalam hati karena jalanan ini masih dalam tahap penyelesaian. Di sana-sini masih ada perkakas, masih ada bongkahan batu besar yang belum disingkirkan.
Sekitar tiga ratus tombak, Senopati Kuti bertemu rombongan yang mengangkut barang-barang. Ada tujuh gerobak ditarik sapi, beriringan. Tampaknya ketujuh gerobak itu penuh muatan, sehingga jalannya perlahan sekali. Di salah satu jalanan, malah terhenti karena roda kayu menghantam batu keras yang masih bertonjolan. Senopati Kuti segera turun tangan. Dengan sekali sentak, kedua tangannya memutar roda dengan keras. Sapi-sapi di depan bersuara, sebelum akhirnya melangkah dengan tubuh bergoyang.
“Menghaturkan sembah dan terima kasih….”
Senopati Kuti mengangguk pendek.
“Kami mempunyai setetes air. Jika Paduka berkenan….”
Dari suaranya, Senopati Kuti mengetahui bahwa mereka umumnya penduduk biasa. Juga dari caranya menyebut paduka, yang tidak membedakan sebutan untuk senopati atau perwira Keraton tertentu, agaknya mereka ini tak mempunyai pengetahuan mengenai tata Keraton.
“Aku yang seharusnya berterima kasih. Saat ini aku belum haus. Kisanak, kalau aku boleh tahu, ke mana kalian akan pergi, dan apa saja bawaan kalian ini?”
Lelaki tua yang agaknya menjadi pemimpin rombongan mengangguk ramah. "Seperti Paduka, kami menuju ke Gua Kencana. Apa yang kami bawa hanyalah keperluan sehari-hari. Ada ayam, ada kambing, ada burung, ada bumbu-bumbu, serta gula…”
Rasa ingin tahu Senopati jadi bertambah. Selama ini dirinya sangat mengenal nama-nama tempat yang menjadi wilayah Keraton. Akan tetapi rasanya baru sekarang ini mendengar nama Gua Kencana. Nama itu sendiri termasuk di luar kebiasaan. Gua Kencana, berarti gua emas, Dan agak aneh jika ada nama tempat di desa kecil begitu bagus. Nama-nama yang berbau emas, permata, atau mutiara hanyalah nama-nama yang dipakai di Keraton. Mana mungkin tempat kecil begini berani dinamai kencana?
Hal kedua yang membuat bertanya-tanya ialah bahwa penduduk yang dijumpai sangat lugu, sangat polos. Sehingga tak mungkin rasanya berdusta. Dan mengatakan kebutuhan sehari-hari, pastilah itu yang sebenarnya. Akan tetapi jika kebutuhan sehari-hari saja begini banyak, apa yang sesungguhnya tengah terjadi?
“Masih berapa lama menuju Gua Kencana?”
“Sebelum matahari tenggelam. Kalau Paduka ingin berangkat lebih dulu, kami hanya bisa mengantarkan dengan doa. Silakan….”
Senopati Kuti mengangguk. Ia mempercepat jalannya, kemudian melesat setelah merasa tak diperhatikan. Ia tak ingin mengejutkan dengan ilmu meringankan tubuh, mengingat dirinya belum mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Kali ini di depan juga ada rombongan lain. Bahkan suasananya lebih meriah, karena terdengar bunyi gamelan. Sementara iringan yang ada jumlahnya mencapai puluhan. Beberapa di antaranya malah menenggak tuak. Seseorang tampak terpengaruh minuman keras, dan mulai bersenandung.
Begini indahnya hidup
tidur memeluk bidadari
bangun memeluk bidadari
biar saja ada apa di mana
asal Kedung Dawa masih ada
hidup di surga.
Ada sesuatu yang melecehkan dalam kidungan itu. Yang menyebutkan tak peduli apa saja yang terjadi-di mana saja-asal tidak terjadi di Kedung Dawa, yang disamakan dengan surga. Senopati Kuti menahan diri untuk tidak menanyakan sesuatu. Hatinya mencatat sendiri bahwa wilayah ini bernama Kedung Dawa, nama yang pantas untuk sebuah desa. Kedung berarti bagian sungai yang dalam, sedang dawa berarti panjang atau luas. Dinamai begitu, tentunya daerah ini dekat dengan aliran sungai. Bisa jadi ini simpangan dari Kali Brantas.
Kalau benar begitu, dirinya agak tersesat ke arah lebih ke timur dari yang direncanakan. Desa Simping lebih ke arah selatan dari Keraton. Senopati Kuti bersiap membalik mencari jalan lain, ketika mendengar suara-suara yang seakan ditujukan kepada dirinya.
“Tetamu sudah berdatangan. Kalau Baginda saja datang lebih dini, bukankah ini pesta besar? Bukankah yang berjalan tergesa itu penggede Keraton juga?"
"Mana saya tahu,” jawab yang diajak bicara. “Siapa saja bisa menjadi penggede, menjadi penguasa. Di Kedung Dawa segala apa bisa terjadi.”
“Kenapa Dewa memilih Kedung Dawa untuk menyimpan emas?”
“Apa pedulimu? Dewa itu seperti manusia juga. Mereka berperang, berebutan, dan melarikan diri. Salah satu Dewa itu kesasar di desa ini. Masuk ke Gua Kencana. Hartanya disimpan di sana. Menurut rencana akan membuat barisan pohon kelapa dari emas. Jumlahnya seribu pohon.”
“Setinggi pohon kelapa yang sesungguhnya?”
“Apa setinggi kamu!”
“Kalau satu Dewa saja bisa melarikan begitu banyak emas, bagaimana kalau sepuluh Dewa melarikan diri ya?”
Pembicaraan di antara minuman keras memang sering melenceng jauh. Akan tetapi Senopati Kuti merasa bahwa yang dibicarakan bukan sepenuhnya omong kosong. Ada sesuatu yang bergerak yang membuat desa Kedung Dawa menjadi pusat kegiatan yang mencengangkan. Mudah diduga bukan harta karun yang dibawa Dewa, akan tetapi ada kaitannya dengan emas yang menyebabkan ada sebutan Gua Kencana.
“Sebenarnya kita ini masih lebih baik dari penggede”
“Sudah tentu. Kita begini-begini masih melakukan sesuatu. Masih ada yang kita sumbangkan. Sedangkan para penggede itu hanya datang, melihat, dan pulangnya membawa harta.”
“Hei, jangan omong sembarangan. Kalau penggede itu mendengar, kamu tak bisa bertemu anak dan istrimu.”
“Untuk apa bertemu istri di rumah, kalau di sini saja banyak pesinden ayu?” Jawaban yang terdengar disertai gelak tawa yang keras.
“Benar kalau dikatakan di sinilah sesungguhnya surga dunia itu. Aku sedang membayangkan makan paling enak, tidur bersama pesinden paling ayu, selama hidup sampai berdiri pun tak mampu lagi.”
Makin lama pembicaraan makin ngawur. Senopati Kuti mempercepat jalannya. Jalan yang dibuat agak tergesa ini ternyata cukup panjang. Paling sedikit diperlukan ratusan orang dan memerlukan waktu beberapa bulan. Dan anehnya, selama ini Senopati Kuti tak pernah mendengar adanya rencana besar ini. Ketika sampai di suatu lapangan yang luas, Senopati Kuti benar-benar makin heran. Karena di sana ada puluhan gerobak. Semuanya seperti tengah menurunkan muatan. Benar-benar luar biasa.
Yang juga membuat lebih heran lagi ialah terlihatnya tanda payung kebesaran yang digunakan Baginda! Apa benar Baginda dan rombongannya juga nyasar kemari? Tidak, ini pasti tidak nyasar. Ada kesengajaan menuju Kedung Dawa. Kalau benar Baginda ada di sini… Jidat senopati Kuti berkerut. Kini sepenuhnya yakin bahwa rombongan Baginda berada di Kedung Dawa. Karena beberapa prajurit kawal yang mengenal segera menuju ke arahnya dan bersila di depannya.
“Bagaimana keadaan Baginda?”
“Semua dalam lindungan Dewa, sang Senopati…”
“Sejak kapan kalian berada di sini?”
“Sepekan lalu, Baginda memerintahkan bermalam di sini.”
Rasa lega mengguyur Senopati Kuti. Sekarang segalanya yang dikuatirkan tak ada sisanya lagi. Baginda dan rombongannya dalam keadaan selamat. Bahkan sudah bermalam selama sepekan. Sungguh tidak imbang dengan kecemasan para senopati yang mencari siang dan malam. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi di desa ini? Sehingga Baginda yang sedang menuju Simping pun berputar arah?
“Prajurit, sampaikan kepada atasanmu, aku Senopati Kuti ingin sowan kepada Baginda jika diperkenankan.”
“Maaf, Senopati… Baginda sedang berada dalam Gua Kencana…”
Candi Senopaten Pamungkas
“APA itu artinya?”
“Baginda sedang berkenan meninjau Gua Kencana, dan tak ada yang bisa dihubungi saat ini.”
“Jangan-jangan bahaya…,” desis Senopati Kuti yang mendadak keringat dinginnya mengucur. Kalau sampai Baginda pergi sendirian, tanpa pengawal itu berarti mengundang bahaya besar. Darahnya mendidih. “Di mana gua itu?”
“Di balik rumah, di lembah…”
Tanpa menunggu penjelasan, Senopati Kuti segera bergegas ke arah yang ditunjuk. Di seberang tanah lapang yang mirip alun-alun terdapat bangunan rumah yang luar biasa bagus dan besar. Bahkan kalau bangunan itu berada dalam Keraton, tetap terlihat mewah. Apalagi gerbangnya diukir dan dijaga ketat.
Tapi Senopati Kuti tak mempunyai perhatian sedikit pun. Tujuannya mengejar Baginda ke Gua Kencana. Maka langkahnya diteruskan lewat samping bangunan. Belum sepuluh tombak sudah tampak penjagaan yang berlapis-lapis. Senopati Kuti tak bisa menghindar karena jalanan setapak yang juga baru dibuat ini tak memungkinkan untuk menyelinap. Kalau ia nekat menerobos, berarti mengundang keributan.
“Selamat datang, Senopati… Boleh kami tahu siapa nama dan apa perlunya datang kemari?”
Senopati Kuti mengibaskan tangannya. Pandangan matanya tajam menatap penjaga yang berusaha memperlihatkan sikap hormat. “Aku Senopati Kuti, satu di antara Tujuh Senopati Utama Keraton Majapahit, seorang dharmaputra, ingin menghadap Baginda…”
“Nama besar Senopati Kuti sudah terdengar sampai ke pelosok jagat. Maafkan kami yang buta dan tidak mengenali. Saya Prajurit Sariq menyampaikan hormat. Hanya saja kami tak bisa memberikan jalan kepada Senopati. Kami silakan Senopati menunggu di dalem utama..."
“Rasa-rasanya aku mengenalmu. Apakah kamu senopati dari Turkana?”
“Dulunya begitu…”
“Hmmmmm… Tak kusangka, kamu menjadi pengabdi di sini. Senopati Sariq, karena kamu sudah mengerti tata Keraton, karena kamu sudah mengenal siapa aku, bukakan jalan. Rasanya tak bisa aku membiarkan Baginda berada dalam gua tanpa pengawalan."
Senopati Sariq membungkuk hormat. Dua orang yang berada di belakangnya bersiap. “Tugas saya di sini menjaga jalan ini, Senopati. Saya pun tak rela junjungan saya lepas tanpa pengawalan. Akan tetapi ini perintah.”
“Apa Ratu Ayu juga berada di dalam? Begitulah adanya.”
“Sejak kapan datang?”
“Sebelum Senopati…”
“Bagaimana mungkin kalian bergabung di sini?”
“Panjang ceritanya…”
“Katakan sekarang.”
“Tugas saya sekarang menjaga jalan ini.” Terlihat jelas bahwa meskipun sangat menghormat, Senopati Sariq bersikap keras, lugas. Siap menghadapi ancaman apa pun, untuk mempertahankan tugas.
“Apa yang ingin Paman ketahui?”
Senopati Kuti hafal dengan nada suara. Ketika pandangannya berpaling ke arah pembicara, matanya berkejap. Jakunnya bergerak. “Gendhuk Tri, kamu juga ada di sini?”
JILID 21 | BUKU PERTAMA | JILID 23 |
---|