Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 23
Gendhuk Tri menghela napas duka. Sesak. Pandangannya tidak berubah. Bagi Senopati Kuti, Gendhuk Tri bukan orang lain. Semasa masih memakai kemben, sudah berada di medan laga menggempur pasukan Jayakatwang, dan terakhir malah terlibat pertarungan mati-hidup dengan pasukan Tartar. Sejak itu memang jarang bisa bertemu dan berbicara karena kesibukan dan urusan yang berbeda.
“Paman Kuti tak usah kuatir. Baginda dalam keadaan aman. Tak akan ada musuh yang bisa menyusup masuk. Kecuali kalau di dalam terpeleset atau masuk ke perapian.”
Senopati Kuti mengangguk. Meskipun kalimat Gendhuk Tri sembrono dan kurang ajar, akan tetapi rasa kuatirnya punah mendengar jaminan keselamatan yang diucapkan.
“Akan lebih baik Paman menunggu di sini. Sehingga kalau ada apa-apa, bisa berbuat sesuatu.”
Senopati Kuti mendekati Gendhuk Tri. “Katakan apa yang terjadi di sini. Aku bisa edan….”
“Paman Kuti, sebelum saya mengatakan, Paman harus menjawab pertanyaan saya lebih dahulu. Selama ini Paman berada di Keraton. Apakah betul Kakang Upasara tewas terbunuh?"
Senopati Kuti mengejapkan matanya. Senopati Sariq menunggu. Tubuhnya seolah berubah menjadi kuning pertanda menyimpan perasaan yang bergolak.
“Aku di Keraton, akan tetapi sejak lama aku tak mempunyai tangan dan kaki. Hanya melihat dan mendengar. Aku ibarat manusia lumpuh tak ada gunanya. Apa yang bisa kulakukan, kalau aku hanya senopati yang tidak memegang kekuasaan memerintah?”
“Paman belum menjawab pertanyaan saya. Apa benar Kakang Upasara mangkat?”
Senopati Kuti mengangguk. “Upasara ksatria sejati. Lelananging jagat kang sejati. Di jagat ini hanya ada satu orang ksatria yang begitu mulia, itulah Upasara Wulung. Yang tidak tertarik pangkat dan derajat. Yang sakti, yang mulia hatinya. Bagaimanapun, Upasara gugur sebagai pahlawan. Sebagai Senopati Utama, lebih dari Tujuh Senopati Utama ini! Dewa menghendaki begitu.”
Sesaat Gendhuk Tri mengeluarkan suara tertahan. “Aku akan membalaskan sakit hati, dendam ini, kepada Halayudha, segera setelah urusan ini selesai. Paman Kuti, apakah benar Kakang Upasara dipoteng-poteng jasadnya?”
Tubuh Gendhuk Tri gemetar. Kentara sekali masih terguncang batinnya. Ketika mengucapkan kata dipoteng-poteng-dipotong-potong, getaran itu masih menyayat.
Tubuh Senopati Kuti juga gemetar. Tak kuasa mengangguk. Hanya bisa menunduk. Selama ini ia tak percaya bahwa seorang senopati, seorang ksatria seperti Upasara Wulung harus menerima hukum poteng. Tubuhnya dipotong-potong, dipisahkan kedua kaki, kedua tangan, kepalanya… "Lupakan yang…”
“Tak akan pernah kulupakan, Paman. Sekarang Paman jawab pertanyaan ini. Apa benar itu semua perintah Gayatri?”
Cara menyebut Gayatri, benar-benar ditandai dengan kebencian yang bergetah. Biar bagaimanapun, Senopati Kuti tak bisa menerima junjungannya dijangkar, disebut nama kecilnya begitu saja. Tak sembarangan lidah boleh menyebutkan nama Permaisuri Rajapatni. Namun agak sulit Senopati Kuti melampiaskan kemarahannya. Ia menyadari bahwa Upasara adalah pujaan bagi masyarakat Majapahit secara keseluruhan.
Sejak pertarungan di Kediri, keunggulannya atas pasukan Tartar secara gemilang dalam pertarungan yang disaksikan dengan mata telanjang, sejak itu nama Upasara menjadi nama harum yang semakin melegenda. Di Kalangan para ksatria, nama Upasara memuncak tatkala pertarungan di Trowulan berakhir. Kabar kematiannya sudah mengguncang seluruh masyarakat. Apalagi mengenai hukum poteng yang menyebar luas sebagai pelaksanaan perintah dari Permaisuri Rajapatni.
“Sesungguhnya aku tak mengetahui pasti dadarri mana asal mula perintah"
“Tapi hukum potong itu benar?”
“Ya….”
“Paman Kuti, dengar baik-baik. Kita sama-sama di sini. Menunggu Baginda, dengan keinginan dan tujuan yang berbeda. Paman berniat melindungi Baginda, saya berniat bertanya. Saya ingin mengetahui, apa yang ada di hati Baginda yang membiarkan atau malah merestui hukum poteng bagi Kakang Upasara, sementara di tempat ini Baginda ingin meresmikan Candi Senopaten Pamungkas. Saya tak tahu siapa yang waras dan siapa yang berubah ingatan.”
“Jaga mulutmu baik-baik.”
“Saya ulangi, saya tak tahu siapa yang waras. Kalau benar Baginda membiarkan Kakang Upasara dihukum pisah tubuh, dan sekarang meresmikan candi untuk mengenang kedigdayaannya, apa-apaan ini semua? Serigala yang paling busuk pun tak memakai cara seperti ini.”
Kedua tangan Senopati Kuti terangkat. Senopati Sariq maju selangkah. Gendhuk Tri berdiri dengan gagah.
“Kalau Paman tidak terima, majulah. Saya siap menghadapi.”
Lamaran Sodagar Galgendu
TANTANGAN main keras.
“Ada waktunya tersendiri.”
“Baik, sampai kapan pun saya siap menghadapi orang yang membela manusia berhati serigala.”
“Tidak sekasar itu omongan gadis yang waras. Apa pun yang kamu katakan, sebagai senopati Keraton saya akan membela Baginda. Masalahnya belum jelas benar, apakah itu betul-betul perintah Permaisuri Rajapatni atau hanya ulah Halayudha… Dengar baik-baik, Gendhuk Tri. Aku senopati, aku prajurit. Bayangan tubuh Baginda yang dipelototi pun, akan kucari sebabnya, akan kucungkil matanya. Salah atau tidak salah, itulah tugasku. Dengar dulu baik-baik, agar mulutmu tak lancang. Dalam kekisruhan sekarang ini, agaknya perlu menenangkan hati. Selama ini Halayudha bisa terus-menerus malang-melintang dan mengatur segala apa yang terjadi di Keraton. Sejak semula, Halayudha mempunyai dendam kepada Upasara. Siapa yang melukai tangan kanan Upasara, sehingga tak bisa leluasa digerakkan? Sehingga Upasara harus menggunakan tangan kirinya? Siapa yang meneruskan sabetan keris Senopati Agung Brahma, kalau bukan Halayudha? Kenapa yang diarah persis pundak kiri? Agar seluruh kemampuan Upasara musnah. Setelah tangan kanannya dilumpuhkan, kemudian tangan kirinya. Setelah ditawan, muncul kekuatiran bahwa Upasara Wulung bisa bangkit kembali. Hal yang bisa diterima kalau mengingat bahwa Upasara Wulung bahkan mampu mengembalikan tenaga dalamnya yang musnah. Satu-satunya jalan untuk memusnahkan secara total adalah memotong tangan dan kakinya. Bukankah ini lebih masuk akal dibandingkan permintaan atau perintah Permaisuri Rajapatni yang bijak dan mulia? Berpikirlah yang luas.”
“Tapi Paman mendengar sendiri kabar bahwa hukum poteng itu perintah Gayatri?”
“Dalam suasana seperti sekarang, kabar yang paling aneh memang sengaja disebarluaskan.”
“Untuk Apa?”
“Jangan tanya padaku. Semua orang juga akan mengetahui untuk apa.”
“Paman Kuti, saya minta maaf kalau saya berlaku lancang. Mari kita teruskan pembicaraan ini. Untuk apa Halayudha menyebar berita ini kalau kenyataannya tidak begitu?”
“Untuk mengadu.”
“Tak mungkin.” Gendhuk Tri menggeleng keras. “Paman, Halayudha adalah manusia busuk. Paling busuk. Di seluruh jagat ini, Kakang Upasara hanya pernah mendendam pada satu orang. Namanya si busuk lahir-batin Halayudha….”
“Nah, jalan pikiran kamu mulai waras.”
“Paman yang tidak waras.”
Kali ini Senopati Kuti benar-benar berkeringat karena gusar. Diikuti omongannya, akan tetapi setiap kali Gendhuk Tri justru mempermainkan.
“Paman yang tidak waras. Halayudha memang culas, hina, dan segala yang busuk. Tapi Halayudha tak akan sebodoh itu menyebarkan kabar bahwa Kakang Upasara dipotong-potong karena perintah Gayatri, kalau hal itu tidak benar. Karena akan sangat mudah dibantah. Bukankah ini jalan pikiran yang waras?”
Diam-diam Senopati Kuti mengakui kebenaran omongan Gendhuk Tri. Halayudha pastilah tidak sebodoh itu. Menyiarkan kabar yang akan sangat mudah dibantah. Kalau benar begitu… Tubuh Senopati Kuti kini sepenuhnya mandi keringat. Desisan napasnya memburu.
“Aku tak tahu. Barangkali kamu bisa menunggu….”
“Itu sebabnya saya berada di sini. Saya sengaja datang bersama Nyai Demang dan Ratu Ayu untuk mengetahui hal yang sebenarnya.”
“Dari mana kamu tahu Baginda berkenan mampir kemari?”
Gendhuk Tri menyunggingkan bibirnya. Seakan meremehkan nama yang dibicarakan. “Siapa yang berkenan? Baginda datang kemari karena Sodagar Galgendu. Sodagar Galgendu yang membuat Baginda terkesima dan ingin melihat Gua Kencana. Yang membuat Sodagar Galgendu melakukan itu karena ada saya, ada Nyai Demang, dan terutama karena ada Ratu Ayu….”
Mata Senopati Kuti berkejap-kejap. Seakan kalimat sederhana Gendhuk Tri terlalu sulit diterima. Agak tidak masuk akal bahwa Baginda berkenan singgah ke suatu tempat, dalam perjalanan penting ke Simping, karena terkesima Gua Kencana. Yang ternyata dimiliki oleh seseorang yang disebut Sodagar Galgendu. Dan yang disebut Sodagar Galgendu ternyata diperintah oleh Gendhuk Tri, Nyai Demang, dan Ratu Ayu!
“Paman Kuti, saya tak mendengar apa-apa selain kabar kematian Kakang Upasara ketika berada di Keraton. Dalam kekecewaan yang besar, kami bertiga-saya, Nyai Demang, dan Ratu Ayu-berniat melanjutkan perjalanan sendiri-sendiri. Saat itulah kami mendengar berita bahwa cara Kakang Upasara menemui ajalnya sangat mengerikan. Kami berniat membuktikan sendiri dengan menanyai Gayatri. Tapi ternyata kemudian ia bersama Baginda. Atas kemauan baik Sodagar Galgendu, daripada susah-susah mengejar Baginda dan belum tentu mau menjawab, lebih baik di tempat ini. Galgendu mengirimkan utusan, dan rombongan Baginda membelok. Berada di sini. Apa tidak hebat yang namanya Galgendu itu?” Nada suara Gendhuk Tri sudah mulai kembali seperti biasanya.
“Siapa itu Sodagar Galgendu?”
“Paman tidak tahu?”
“Tidak.”
“Saya juga tidak.”
Gendhuk Tri tertawa lebar. Disusul, “Sampai sekarang saya juga tidak tahu siapa dia. Yang saya tahu orangnya gemuk, gede. Yang saya tahu sejak lama ia tergila-gila kepada Ratu Ayu. Ia mau melakukan ini semua, termasuk membuat Candi Senopaten Pamungkas, karena berharap bisa mendekati dan mendapatkan Ratu Ayu… Sariq, kamu tak usah malu. Itu biasa. Belum tentu Ratu Ayu mau…”
“Apa lagi hebatnya?”
“Tak perlu banyak. Satu saja kehebatannya cukup. Galgendu mempunyai gua emas, yang sanggup membuat seratus pohon kelapa sebesar aslinya. Semua dari emas. Nah, Baginda saja tergiur…”
Kembali tangan Senopati Kuti melayang. Senopati Sariq menangkis cepat. Dua benturan tangan mengeluarkan suara keras. Pada kejap yang bersamaan, seluruh jalanan penuh dengan prajurit yang bersiaga.
“Paman, Paman boleh merasa unggul. Tapi di tempat ini, terlalu banyak orang sakti yang mau bertarung karena mendapat emas. Kalau Paman lihat sekeliling, di lapangan terbuka semua manusia ada. Ksatria, prajurit, sodagar atau pedagang besar-kecil, pendeta, semua mau berada di sini. Mau mendengarkan dan mengikuti perintah Galgendu yang mempunyai gua emas. Nah kalau Paman masih mau adu tenaga, silakan.”
Senopati Kuti menggeleng. “Baik, kita tunggu persoalannya.”
“Itu yang sejak tadi dikatakan Senopati Sariq. Ada tempat untuk menunggu. Yang saya kira lebih bagus dari rumah senopaten. Seperti Paman, saya pun menunggu. Hanya saja saya menunggu di sini, karena lebih cepat mendengar dari Ratu Ayu….”
“Siapa saja yang berada dalam Gua Kencana?”
“Galgendu, karena ia yang punya. Baginda, karena ia yang ingin tahu. Dan tentu saja semua permaisurinya, yang juga ingin tahu seperti apa gua emas itu. Saya bisa masuk, akan tetapi untuk apa melihat barang rongsokan yang dipuja itu?”
Senopati Kuti menghirup udara keras-keras. Dadanya menggembung. “Gendhuk Tri, terima kasih atas penjelasan ini semua.”
“Aha, Paman jadi kelihatan sungkan. Sejak dulu kita tak berhubungan erat, akan tetapi juga tidak bermusuhan. Entah sebentar lagi. Kecuali kalau di dalam gua sana Ratu Ayu sudah membereskan semuanya.”
Itu yang dikuatirkan Senopati Kuti! Baginda boleh jadi masih sakti, masih bisa memainkan ilmu silatnya yang memang hebat. Akan tetapi kalau bersama empat permaisuri, berada di tempat yang belum diketahui medannya, pastilah sulit menyelamatkan diri. Apalagi yang dihadapi adalah Ratu Ayu Bawah Langit. Yang sewaktu diadakan sayembara pilih jodoh, hanya bisa diungguli oleh Upasara. Itu yang membuat Senopati Kuti tak bisa berbuat apa-apa. Karena tetap tak bisa menyusul masuk. Tak bisa berbuat apa. Apa yang terjadi dalam gua sekarang ini?
Perjalanan Kangkam Kencana
RATU AYU sendiri tak membayangkan perjalanan hidupnya hingga ke Gua Kencana. Sejak berkelana dari Negeri Turkana, keinginannya hanya satu. Menemukan ksatria yang mampu mengalahkannya, yang akan membebaskan negerinya dari cengkeraman bangsa Tartar. Sampailah perjalanannya ke tanah Jawa.
Selain mendengar dari gurunya bahwa ada pertemuan yang berlangsung setiap lima puluh tahun, juga mendengar kabar bahwa hanya di tanah Jawa pasukan Tartar bisa ditundukkan. Pasukan yang menguasai separuh jagat ini ternyata tak berkutik menghadapi raja tanah Jawa, baik semasa Sri Baginda Raja maupun penerusnya.
Dalam sayembara yang menemukan, Upasara yang muncul sebagai pemenang. Yang bisa mengalahkannya. Lebih dari itu, Upasara memiliki Kangkam Galih, pedang tipis panjang yang tadinya tersembunyi di dalam tongkat galih pohon asam. Pedang itu dipercayai sebagai pusaka dari Negeri Turkana, sehingga baik Ratu Ayu maupun para senopati pengiringnya percaya setulusnya, bahwa Upasara adalah pembebas yang dicari.
Sejak saat itu tekad Ratu Ayu sudah bulat untuk nyuwita, mengabdi sebagai istri. Sambil menunggu hari baik, saat Upasara bersedia menduduki takhta di Turkana. Akan tetapi Upasara seperti lenyap ditelan bumi. Ratu Ayu tak bisa mencari, tak bisa menemukan tempat bertanya. Serta rasanya tak mungkin terus-menerus bertahan di Keraton.
Maka mulailah petualangan, perjalanan yang melelahkan. Sangat melelahkan karena sebagai ratu, tak bisa berhenti di sembarang tempat untuk beristirahat, makan, atau mandi. Tak bisa bertanya langsung. Kerepotan yang utama, selain pembiayaan yang besar, masalah yang dihadapi selalu muncul. Sebagai wanita yang mendapat julukan Ratu Ayu Bawah Langit, selalu ada saja yang mencoba mendekati. Baik yang sekadar ingin tahu, atau memang tergila-gila.
Selama ini para senopatinya yang setia mengawal bisa menyelesaikan, akan tetapi persoalan yang sama selalu datang. Ke mana pun pergi, rombongannya selalu menjadi pusat perhatian. Pada saat itu, Senopati Sariq menghadap dan mengatakan bahwa ada yang berniat mempersembahkan sesuatu kepada Ratu Ayu.
“Untuk apa kamu laporkan, kalau kamu sudah tahu jawabannya?”
“Maaf, Gusti Ratu. Sekali ini lain. Utusan yang datang ingin menyerahkan Kangkam Kencana, pedang emas yang sama bentuknya, sama rupanya dengan Kangkam Galih, hanya seluruhnya terbuat dari emas.”
“Untuk apa membawa barang yang hanya akan memberati?”
“Selain itu juga bisa memberi pertolongan mencari dan menemukan Raja Turkana Upasara Wulung…”
“Orang macam apa dia itu?”
Ratu Ayu mendengar laporan lebih lengkap. Bahwa yang ingin bertemu bernama Galgendu, biasa disebut Sodagar Galgendu. Sodagar, atau saudagar, adalah sebutan untuk kaum pedagang besar. Yang biasanya menggunakan perahu besar dalam melancarkan usahanya.
Kaum sodagar ini tak pernah mendapat tempat terhormat dalam tata masyarakat. Yang dianggap mempunyai darah pilihan ialah kaum ningrat, kaum pendeta, serta kaum ksatria. Derajat dan pangkat kaum sodagar dianggap sama dengan masyarakat biasa.
Yang sedikit membedakan hanyalah ketika Sri Baginda Raja memegang pemerintahan. Saat itu para saudagar mendapat tempat yang lebih terhormat. Karena Baginda Raja banyak membutuhkan bantuan untuk mengirimkan puluhan armadanya ke negeri seberang. Untuk pertama kalinya pula, Sri Baginda Raja mengizinkan saudagar hadir dalam pasewakan agung, pertemuan besar Keraton.
Menurut cerita, Sri Baginda Raja tidak segan-segan menanyakan pendapat secara terbuka, dan memperlakukan tak beda dengan para pendeta. Salah satu yang sejak kanak-kanak sudah sering sowan ke Keraton adalah Galgendu, yang mengikuti ayahnya. Menurut cerita pula, nama itu pemberian langsung dari Sri Baginda Raja.
Semasa pemerintahan Baginda Kertarajasa, Galgendu dengan setia pula memberikan upeti, memberikan bantuan dalam melancarkan perdagangan. Baik dalam urusan di tanah Jawa maupun ke negeri seberang. Hanya saja yang terakhir ini sangat kecil kegiatannya. Kapal yang membawa Senopati Agung Brahma juga merupakan sumbangan Galgendu. Senopati Sariq telah menyaksikan sendiri dan berhasil menemui Galgendu untuk meyakinkan hatinya. Itu sebabnya berani mengajukan usul kepada Ratu Ayu.
Dalam pertemuan itu, Senopati Sariq yakin bahwa bukan tidak mungkin pencarian Upasara bisa lebih cepat. Karena semua pejabat Keraton dikenal dan sangat mengenal Galgendu. Termasuk para permaisuri yang perhiasannya dibuat Galgendu.
Itu sebabnya kemudian, Ratu Ayu bisa berada dalam Keraton. Kali ini sepenuhnya atas jaminan Galgendu. Bulan demi bulan, Ratu Ayu menerima laporan di mana dan bagaimana keadaan Upasara. Tinggal mencari waktu yang tepat untuk menemui.
Akan tetapi sebelum saat yang tepat tiba, muncullah rombongan pendeta Syangka yang dipimpin oleh tetuanya sendiri, Pendeta Manmathaba. Penguasa yang naik ke permukaan satu ini, tak mempunyai ikatan dengan Galgendu Atas kemauannya sendiri, dengan diam-diam Ratu Ayu dikenai pengaruh racun bubuk pagebluk. Meskipun ramuannya sangat tipis, akan tetapi perlahan-lahan Ratu Ayu berada di bawah pengaruh bubuk beracun.
Sehingga bisa disembunyikan dari incaran dan pusat kegiatan. Kangkam Galih yang tak pernah lepas dari sisinya itu bahkan bisa diambil. Pedang itulah yang dilihat Gendhuk Tri ketika ia juga jatuh ke tangan Manmathaba.
Betapa kemudian perjalanan hidup Ratu Ayu makin menyuruk ke dasar penderitaan. Antara sadar dan tidak ia mendengar bahwa Upasara Wulung raja Turkana, suaminya, sang pembebas, telah tiada. Justru di halaman Keraton, di mana dirinya berada! Tanpa sempat bisa berbuat suatu apa. Dalam keadaan terombang-ambing jiwanya, sekali lagi Galgendu mengulurkan tangan, berusaha menolong. Memberi jaminan keamanan, dan menyediakan semua keperluan Ratu Ayu.
Itu sebabnya ketika keluar dari Keraton, Ratu Ayu mengajak Gendhuk Tri dan Nyai Demang untuk menuju Kedung Dawa. Mereka diterima dengan segala kebesaran dan kemewahan, tak ubahnya seperti ketiganya adalah ratu-ratu-ratu. Memenuhi janjinya, Galgendu menceritakan apa yang bisa diketahui mengenai Upasara. Termasuk kabar yang merobek hati dan menyayat perasaan. Bahwa tubuh Upasara dipisah-pisahkan sebelum akhirnya dikubur di kebun Keraton.
Galgendu yang mempunyai kekuasaan atas gua emas, bisa memperoleh kabar yang barangkali tak pernah didengar oleh kalangan yang berdiam di Keraton sekalipun. Dari berbagai sumber yang bisa diperoleh kabar, hukum poteng yang dilaksanakan atas Upasara Wulung berasal dari perintah Permaisuri Rajapatni. Walau kabar itu pertama kali dari pengakuan Halayudha yang nyatanya sangat mengindahkan Galgendu-tetapi sumber yang lain membenarkan.
Galgendu kemudian mengajukan usulan, agar sebaiknya Upasara Wulung dimakamkan sebagai layaknya ksatria, dengan segala kebesaran dan kegagahannya. Bahkan untuk itu akan didirikan Candi Senopaten Pamungkas. Bahwa selama ini hanya para raja yang dimuliakan pemakamannya dalam bentuk candi, tidak menghalangi sedikit pun niat Galgendu. Atas kekuasaannya, para pendeta dan para bangsawan di Keraton bisa menyetujui. Termasuk Baginda.
Dalam perasaan tertindih dan hati yang dibalut derita, Ratu Ayu merasa bahwa pertolongan Galgendu sangat diharapkan. Bantuan Galgendu berarti banyak bagi dirinya. Apalagi, Galgendu bahkan menyanggupi akan menyelesaikan semua mengenai pemindahan tubuh Upasara dari dalam Keraton hingga ke Kedung Dawa, atau bahkan sampai ke Negeri Turkana sekalipun!
Sewaktu Ratu Ayu mengisikkan bahwa ia ingin mendengar sendiri dari Permaisuri Rajapatni mengenai pelaksanaan hukum poteng, Galgendu pula menyanggupi mendatangkannya ke Kedung Dawa. Bahwa saat itu Permaisuri Rajapatni sedang mengikuti ke Simping, tetap tak mempengaruhi niatnya. Sesuai dengan janjinya, Baginda memang benar-benar bisa dibelokkan arahnya.
“Galgendu, kamu begitu baik padaku. Sangat baik. Apa yang sebenarnya kamu harapkan dariku?”
Lelaki bertubuh gemuk, wajahnya tampak welas asih dengan gerakan lembut, menunduk lama. “Duh Ratu, sejak pertama melihat Ratu Ayu, saya tak bisa memejamkan mata barang sekejap pun. Saya merasakan getaran daya asmara. Malu atau tidak, daripada saya membawa mati kerinduan asmara ini, lebih baik saya katakan kepada Ratu.”
“Galgendu yang budiman, selama ini aku hanya mengenal satu lelaki. Dan hanya Raja Turkana itulah tempatku mengabdi sepanjang hidupku ini. Tak akan pernah ada orang lain. Bukankah kamu bisa mencari yang lainnya? Di Keraton puluhan banyaknya wanita yang harum bau tubuhnya, yang mengalahkan para bidadari. Kekuasaanmu atas Gua Kencana akan membuka semua pintu kaputren.”
“Ratu, saya bukan anak muda lagi. Biarkanlah saya menyimpan perasaan hati saya. Ratu tak perlu memberi nasihat seperti itu. Karena yang begitu, cacing dan burung di sini sudah lebih dulu mengetahui.”
Ki Dalang Memeling
RATU AYU meminta maaf dengan suara lembut. “Ratu, kalaupun saya tak bisa bersanding dengan Ratu, rasanya lebih dari bahagia menerima kehadiran Ratu di tempat ini. Segalanya saya sediakan untuk Ratu, dan segalanya disediakan dengan rasa bahagia. Saya berharap, lamaran saya ini tidak menimbulkan rasa kurang enak atau kekikukan hati, sehingga Ratu tergesa meninggalkan tempat ini.”
“Aku bisa mengerti keinginanmu, sejak kamu berani menawarkan membuat Kangkam Kencana. Aku tak bisa merangkai kata-kata dengan baik, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat berterima kasih. Kamu sangat baik padaku, pada Negeri Turkana. Akan tetapi, mengenai satu hal itu, rasanya aku tak bisa mengatakan apa-apa. Setengah menjanjikan pun tak bisa. Kamu bisa mengerti, Galgendu?”
“Sebisanya, Ratu.”
“Kalau mau mengerti, aku akan berada di sini sampai segalanya jelas. Sampai aku membalaskan sakit hatiku, dan kemudian aku akan kembali ke Negeri Turkana.”
“Baik, Ratu. Saya bisa memperpanjang waktu agar Ratu tetap berada di sini. Tetapi saya tidak akan melakukan itu. Saya sudah terhibur dan bahagia dengan kedatangan Ratu.”
“Galgendu, apa yang menyebabkan kamu menginginkan aku? Maaf kalau tata krama di sini tidak biasa dengan pertanyaan semacam itu. Aku dibesarkan dalam tradisi yang berbeda, dan bahkan di negeriku pun aku tidak sehalus mereka.”
“Duh, Ratu, saya tak bisa menerangkan. Itu perasaan dan suara batin saya. Selebihnya saya tak mengerti. Maaf, Ratu… Tadinya saya mengira bahwa saya menghendaki wanita paling ayu. Ada benarnya. Ratu adalah Ratu Ayu Bawah Langit. Akan tetapi tetap bukan yang satu-satunya. Tadinya saya mengira bahwa saya menghendaki derajat dan pangkat yang luhur. Dengan mempermaisurikan Ratu, saya dan seluruh keturunan saya akan terangkat. Benar, Ratu… Di negeri ini, atau di negeri mana pun, sodagar bukanlah kaum yang terpandang. Kami ini kaum yang wadag, yang raga, yang kasar, yang mencari sesuap nasi. Bukan yang menenteramkan jagat, bukan pahlawan, bukan ksatria. Saya memiliki segalanya, tetapi seperti tak memiliki apa-apa. Rama mendapat gelar kebangsawanan dari Sri Baginda Raja, akan tetapi tetap saja kami ini keturunan saudagar. Maka pernikahan dengan Ratu merupakan pembebasan yang sesungguhnya, sampai ke keturunan yang terakhir. Tadinya saya kira itu alasannya. Bukan tidak mungkin memang itu alasan yang ada. Akan tetapi jika hanya menghendaki wanita paling ayu, saya bisa menemukan yang lain. Jika hanya keselamatan dan derajat untuk anak-cucu, saya bisa mencari yang lain. Yang berasal dari keraton ini. Nyatanya selama ini hati dan batin saya tak pernah tergetar. Malah sebaliknya.”
“Kata-katamu menggetarkan hati, Galgendu.”
“Saya tak pandai menyusun kata-kata. Saya bukan dari kaum susastra, bukan ksatria, bukan pendeta….”
Ratu Ayu menghela napas panjang. “Sudahilah perasaan kurang itu, Galgendu. Apa yang kamu lakukan lebih baik dan berguna bagi penduduk, daripada ksatria, pangeran, atau pendeta yang lain.”
“Sembah nuwun, Ratu, beribu terima kasih saya haturkan… Biarlah sekarang ini saya menyiapkan upacara untuk pencandian Senopaten Pamungkas….”
Apa yang dilakukan Galgendu memang luar biasa. Ia mengerahkan kemampuannya untuk mengadakan persiapan yang luar biasa besarnya. Agar upacara nanti dianggap sebagai upacara resmi. Para pendeta yang dipanggil adalah para pendeta yang biasa melayani di Keraton. Alun-alun dibuka, jalan yang besar diciptakan. Rasanya, kalau perlu memindahkan gunung dan membuat samudra, akan dilakukan juga.
Dari Senopati Sariq, Ratu Ayu mendapatkan laporan bahwa semua kegiatan yang dilakukan serba istimewa. Kadang di tengah malam, Ratu Ayu merasakan getaran suara dan permintaan Galgendu. Hanya satu yang diinginkan lelaki itu, memperistrinya! Tetapi justru itu yang ia tak bisa menerima. Hanya satu keinginannya. Itu yang tak tercapai. Dalam banyak hal, Ratu Ayu sering membandingkan dirinya dengan Galgendu. Ada persamaan dalam hal bisa melakukan semua-tapi justru yang diimpikan sekali tak terpegang.
Akan tetapi untuk perasaan semacam ini, Ratu Ayu tidak menceritakan kepada Galgendu. Hati kecilnya mengatakan justru sebaiknya ia membatasi diri, juga dalam percakapan, agar Galgendu tidak tenggelam dalam harapan yang makin melambung. Tujuan hidup dan tekad utamanya ketika meninggalkan Turkana hanya satu. Menemukan sang pembebas. Dan ia berhasil. Walau tak mungkin membawa ke Negeri Turkana.
Sekarang, ketika Galgendu mengatakan bahwa Baginda berkenan masuk ke Gua Kencana, Ratu Ayu menyiapkan batinnya. Itulah saat yang sangat ditunggunya. Untuk bisa bertemu langsung dengan Baginda, dengan Permaisuri Rajapatni. Untuk mengetahui jawaban yang sesungguhnya!
Sejak dini Ratu Ayu telah bersiap. Maka ketika utusan menjemput, Ratu Ayu tidak menunggu tarikan napas kedua. Nyai Demang yang mendampingi, karena Ratu Ayu merasa kurang enak hanya menemui bersama Galgendu. Nyai Demang berdandan sebagaimana putri Keraton. Walau tubuhnya masih tampak pucat dan lemah, akan tetapi terlihat jelas bahwa semangatnya pulih kembali. Seolah jawaban mengenai cara matinya Upasara memberi dorongan untuk hidup kembali.
Baginda diiringkan para dayang ketika muncul di pendapa. Galgendu menyembah hingga menyentuh lantai, demikian juga Nyai Demang. Hanya Ratu Ayu yang menunduk tanpa menyembah.
“Seperti permintaanmu, Galgendu, aku datang tanpa pengawalan. Tanpa prajurit. Kita berangkat setelah saatnya tiba.”
“Sendika dawuh dalem, Gusti….”
“Sebelum kita berangkat, ingsun mempunyai satu pertanyaan. Apa benar Ki Dalang Memeling akan kamu tanggap untuk memainkan wayang kulit di sini…?”
“Semuanya jika Baginda tidak berkenan…”
“Ingsun sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi yang memutuskan adalah Raja Jayanegara, bukan aku. Aku ini raja palapa, raja yang telah beristirahat. Galgendu, kenapa kamu memilih Ki Dalang Memeling untuk memainkan wayang kulit saat pencandian?”
“Sendika dawuh dalem, Gusti… Hamba tak tahu banyak. Hamba hanya mencari tahu, yang memberitahu…” Galgendu menunduk. Pundaknya bergetar. Keringat menetes dari daun telinga. Seakan membuat kesalahan dengan memanggil Ki Dalang Memeling.
Nyai Demang menyembah dengan hormat. “Mohon petunjuk Baginda….”
“Ah, aku sama sekali tidak berkeberatan, Nyai Demang. Bagiku tak ada bedanya dari dalang yang lain. Hanya memang semasa ingsun masih memegang kekuasaan, Memeling , tak pernah ditanggap. Aku dengar ia dalang yang hanya bisa memainkan lakon zaman Keraton Singasari. Apa betul?”
“Hamba belum pernah melihat sendiri.”
“Ah, lupakan itu. Nyai Demang, kamu dan Ratu Ayu berada di sini, dan akan mengikuti masuk ke Gua Kencana yang belum pernah dimasuki orang lain. Aku ingin tahu apa maksud kedatangan kalian. Ingin menemui aku, atau…?”
Ratu Ayu menatap Baginda. “Baginda, pepujen seluruh Keraton. Ratu Ayu Azeri Baijani ingin mendengar langsung dari Permaisuri Rajapatni. Apa benar Raja Turkana yang perkasa, Upasara Wulung, sebelum mangkat dihukum poteng atas perintah langsung Permaisuri?”
Sejenak Baginda tergetar. Pandangannya samar. Sampai sepuluh hitungan Baginda terdiam. “Ratu Ayu, apakah itu masih menjadi persoalan? Tidakkah lebih baik kalau kita mendoakan arwahnya, membuat candi yang besar dan berwibawa?”
“Kehinaan tak pernah bisa dibiarkan. Apalagi bagi seorang Raja Turkana….”
Baginda berdiri dengan geram. Wajahnya berubah seketika. “Galgendu, kamu ingin menyudutkan ingsun? Kamu kira siapa yang berdiri di depanmu ini? Anak kecil yang bisa dikelabui? Pangeran yang tertarik atas upeti lempengan emas yang kamu unggulkan?”
Galgendu menyembah hingga rata dengan tanah. Tak bergerak. Kaku.
Buddha Murka
BISA dimengerti kalau Galgendu rata dengan tanah. Biar bagaimanapun kekayaannya berlimpah dengan memiliki gua emas, tak nanti kesadarannya bisa menerima kemurkaan Baginda. Bahkan Nyai Demang pun terdiam kaku. Nyai Demang pernah melabrak masuk kamar peraduan Baginda, pernah berusaha melawan. Akan tetapi saat itu hatinya sedang dibakar dendam dan merasa sangat terhina. Pada suasana yang normal, rasa hormat dan memuja seorang raja tak bisa dihapus.
Yang paling tidak terlalu terpengaruh adalah Ratu Ayu. Karena di negerinya ia ratu yang dihormati. Tak nanti begitu saja kena pengaruh dan wibawa sesama raja. Apalagi ia merasa dirinya tidak bersalah.
“Tunggu, Baginda… Jangan mengumbar suara keras. Aku juga ratu. Aku tak bisa menerima kemurkaan seperti itu. Aku yang kamu hadapi, jangan kawula yang bisa kamu injak sesuka kakimu.”
Baginda balik menantang sorot mata Ratu Ayu. “Apa maumu, akan kuladeni.”
Keadaan tubuh Ratu Ayu belum sepenuhnya sehat. Pengaruh bubuk beracun masih menggerogoti dirinya. Akan tetapi pada saat seperti sekarang ini, tak ada pilihan lain. “Aku hanya meminta keterangan, apakah benar Raja Turkana mangkat dengan cara hukum poteng.”
“Ratu telah tahu hal itu.”
“Apa benar Permaisuri Rajapatni yang memerintahkan?”
Tangan kanan Baginda menepuk paha karena murka. Telunjuknya menuding garang. “Ratu, jangan kurang ajar. Ingsun ini raja tanah Jawa. Sembahan seluruh umat di Jawa. Ratu jangan sembarangan menuding dengan pertanyaan semacam itu. Tata krama adalah segalanya”
“Baginda tak menjawab pertanyaan saya...?"
"Tak ada gunanya! Tak ada hak Ratu menanyai.”
Kedua kaki Ratu Ayu sedikit membuka. Bahu kanan dan kiri bergerak. “Apakah aku akan kualat, terhukum karena tak mengenal tata krama? Apakah kakiku akan berada di atas, dan kepalaku di bawah karena berlaku kurang ajar kepada Baginda? Siapa yang lebih tidak mengenal tata krama? Sikapku yang kurang ajar, atau orang yang memerintahkan memotong ksatria yang tak bisa melawan?”
“Lancang mulutmu….” Tangan kanan Baginda melayang. Menampar pipi Ratu Ayu dengan gerakan yang masih perkasa. Pergelangan tangan menekuk, sehingga telapak tangan menyambar keras.
Galgendu tetap tak bergerak. Nyai Demang tetap menunduk. Ratu Ayu mengangkat tangannya untuk menangkis. Satu kelebatan, mengubah menjadi memiringkan wajahnya. Tamparan Baginda mengenai angin. Dalam gebrakan yang singkat dan pendek, Ratu Ayu merasa bahwa tenaga dalamnya belum sepenuhnya pulih. Penguasaan kekuatan masih belum sepenuhnya terkuasai. Apalagi serangan lawan mengandung tenaga yang penuh.
Ini agak mengherankan karena selama ini yang dilihat gerakan Baginda sangat lamban. Dengan memiringkan wajah, Ratu Ayu mengakui tak berani menggempur keras lawan keras. Baginda tidak melanjutkan serangan. Hanya sekilas seperti menelan ludah, karena jakunnya bergerak naik-turun.
“Sebelum kita melanjutkan pertarungan, aku ingin kepastian. Apakah benar…”
“Ratu, itu tak ada urusannya. Aku raja, aku suami. Kalau ada apa-apa dengan bawahanku, akulah yang bertanggung jawab.”
“Itulah hebat. Yang kutanyakan apakah benar Permaisuri memerintahkan.”
“Ya atau tidak apa bedanya.”
Kedua tangan Ratu Ayu lurus ke bawah. Pundaknya kaku. Dari pusar ke atas seperti beku. Itulah awal dari pemusatan tenaga dalam Tathagata Pratiwimba, jurus-jurus Arca Buddha yang Kaku. Bergerak bagai boneka kayu, terpatah-patah, akan tetapi telah dibuktikan mampu mengungguli lawan-lawannya. Kalimat yang membakar Ratu Ayu bukanlah tantangan dari Baginda. Melainkan ucapan “ya atau tidak apa bedanya”. Seakan cara apa pun kematian Upasara tak punya makna apa-apa.
Selama ini Ratu Ayu bisa menahan diri. Karena merasa bahwa yang dihadapi adalah raja, yang oleh suaminya pun sangat dihormati. Sehingga dengan sendirinya, secara tulus Ratu Ayu juga menghormati. Akan tetapi batas kesabarannya jebol begitu Raja Turkana direndahkan. Satu gerakan pendek kaku, Baginda segera menyilangkan kedua tangannya di dada. Seketika jurus-jurus Kerta Rajasa Jaya Wardhana mengurung Ratu Ayu. Yang masih dengan gerakan kaku menyamplok setiap serangan yang datang.
Satu putaran tubuh, Ratu Ayu merenggangkan kedua tangannya. Kali ini seakan mengisap Baginda untuk masuk di antara kedua tangannya yang terulur kaku. Bersamaan dengan itu, lututnya terangkat naik. Kalau bisa menjepit tubuh lawan dan menyaduk dengan lutut, akibatnya bisa membuat tubuh lawan patah tulangnya. Meskipun dengan demikian, besar kemungkinan Ratu Ayu sendiri terluka.
“Ilmu sesat….”
Baginda memutar tubuh. Satu tangan dipakai untuk menangkis, sementara kakinya memasang kuda-kuda yang kuat. Tubuh Ratu Ayu terputar terkena tangkisan, akan tetapi lutut yang terangkat, membuat dada Baginda sesak seketika. Pertarungan yang lain dari biasanya. Seorang raja yang selama ini boleh dikatakan tak pernah memperlihatkan diri berlatih ilmu silat, mendadak mengeluarkan ilmunya. Sementara yang dihadapi seorang wanita, yang juga ratu, yang bergerak dengan kaku.
Keduanya seakan tidak siap bertarung saat itu. Baik dilihat dari cara berpakaian maupun kedudukannya. Sehingga meskipun saling serang, sebenarnya tidak sepenuh tenaga. Ratu Ayu sendiri makin sadar bahwa lebih dari dua pertiga bagian tenaga dalamnya tersendat. Kadang malah mengganjal. Kalau tidak, dalam sepuluh jurus sudah bisa menguasai lawan. Yang meskipun luas pengetahuannya, akan tetapi gerakannya terlihat kaku karena kurang latihan.
Pengetahuan yang luas, karena dalam satu pertarungan, Baginda segera bisa mengenali jurus yang tidak biasanya. Jurus yang kelihatan bertentangan. Sekurangnya tak seharusnya wanita menyerang dengan cara merangkul dan menggunakan lututnya. Tata krama kesopanan tidak memungkinan gerakan seperti itu
. Penilaian yang bisa dibenarkan. Bahkan oleh Nyai Demang sekalipun. Yang mengetahui bahwa sumber ilmu Ratu Ayu adalah apa yang dikenal sebagai jurus-jurus dalam Tathagati, atau Buddha Wanita. Penamaan yang bertentangan. Antara pengerahan tenaga dalam Buddha, tetapi dilakukan oleh wanita. Antara sifat welas asih dan kemurkaan. Bau harum Ratu Ayu menyebar.
Kali ini malah rambutnya terurai, dan ketika menyerang maju, entakan rambut panjang ikal ini yang lebih dulu menyambar. Baginda mengeluarkan dehaman kecil seakan memperlihatkan bahwa gerakan apa pun yang akan dilakukan Ratu Ayu sudah terbaca jelas. Tetapi tak urung Baginda meloncat mundur. Inilah kekeliruan. Karena dengan meloncat mundur, membuka peluang Ratu Ayu menyergap maju dengan demikian rangkaian susunan langkah jong muncul. Enam Puluh Empat Langkah yang berbeda kembangan dan gerakannya.
Baginda menyadari, tetapi terlambat. Terlibat dalam kepungan bayangan Ratu Ayu, sehingga makin lama makin bertahan dan mundur. Kalau saja Ratu Ayu tidak sangat parah kondisi tubuhnya, jegalan kaki Ratu Ayu sudah berhasil merobohkan lawan.
“Ratu Ayu, tahan sebentar….” Suara Nyai Demang terdengar lirih. “Adimas Upasara sendiri pastilah tak ingin menyaksikan hal ini…”
Dengan cara yang tepat, kalimat Nyai Demang membuat Ratu Ayu melompat mundur, mengendurkan tekanan. “Kamu benar, Nyai….”
“Duh, Baginda, karena Permaisuri yang memerintahkan hal ini, biarlah Permaisuri yang menjawab dan menanggung akibatnya.”
Meskipun tadi melindungi Baginda, sikap Nyai Demang bergeming. Bahwa ia bermaksud menuntut balas. Bahwa Baginda akan melindungi, itu soal lain. Ia tak akan mundur karenanya. Meskipun yang dihadapi adalah rajanya.
“Kalau Baginda ingin memanggil para senopati untuk melindungi, kami siap menunggu. Tidak adil memang meminta Baginda datang sendirian lalu kami mengeroyok. Jiwa besar Adimas Upasara akan tercoreng karenanya.
“Paman Kuti tak usah kuatir. Baginda dalam keadaan aman. Tak akan ada musuh yang bisa menyusup masuk. Kecuali kalau di dalam terpeleset atau masuk ke perapian.”
Senopati Kuti mengangguk. Meskipun kalimat Gendhuk Tri sembrono dan kurang ajar, akan tetapi rasa kuatirnya punah mendengar jaminan keselamatan yang diucapkan.
“Akan lebih baik Paman menunggu di sini. Sehingga kalau ada apa-apa, bisa berbuat sesuatu.”
Senopati Kuti mendekati Gendhuk Tri. “Katakan apa yang terjadi di sini. Aku bisa edan….”
“Paman Kuti, sebelum saya mengatakan, Paman harus menjawab pertanyaan saya lebih dahulu. Selama ini Paman berada di Keraton. Apakah betul Kakang Upasara tewas terbunuh?"
Senopati Kuti mengejapkan matanya. Senopati Sariq menunggu. Tubuhnya seolah berubah menjadi kuning pertanda menyimpan perasaan yang bergolak.
“Aku di Keraton, akan tetapi sejak lama aku tak mempunyai tangan dan kaki. Hanya melihat dan mendengar. Aku ibarat manusia lumpuh tak ada gunanya. Apa yang bisa kulakukan, kalau aku hanya senopati yang tidak memegang kekuasaan memerintah?”
“Paman belum menjawab pertanyaan saya. Apa benar Kakang Upasara mangkat?”
Senopati Kuti mengangguk. “Upasara ksatria sejati. Lelananging jagat kang sejati. Di jagat ini hanya ada satu orang ksatria yang begitu mulia, itulah Upasara Wulung. Yang tidak tertarik pangkat dan derajat. Yang sakti, yang mulia hatinya. Bagaimanapun, Upasara gugur sebagai pahlawan. Sebagai Senopati Utama, lebih dari Tujuh Senopati Utama ini! Dewa menghendaki begitu.”
Sesaat Gendhuk Tri mengeluarkan suara tertahan. “Aku akan membalaskan sakit hati, dendam ini, kepada Halayudha, segera setelah urusan ini selesai. Paman Kuti, apakah benar Kakang Upasara dipoteng-poteng jasadnya?”
Tubuh Gendhuk Tri gemetar. Kentara sekali masih terguncang batinnya. Ketika mengucapkan kata dipoteng-poteng-dipotong-potong, getaran itu masih menyayat.
Tubuh Senopati Kuti juga gemetar. Tak kuasa mengangguk. Hanya bisa menunduk. Selama ini ia tak percaya bahwa seorang senopati, seorang ksatria seperti Upasara Wulung harus menerima hukum poteng. Tubuhnya dipotong-potong, dipisahkan kedua kaki, kedua tangan, kepalanya… "Lupakan yang…”
“Tak akan pernah kulupakan, Paman. Sekarang Paman jawab pertanyaan ini. Apa benar itu semua perintah Gayatri?”
Cara menyebut Gayatri, benar-benar ditandai dengan kebencian yang bergetah. Biar bagaimanapun, Senopati Kuti tak bisa menerima junjungannya dijangkar, disebut nama kecilnya begitu saja. Tak sembarangan lidah boleh menyebutkan nama Permaisuri Rajapatni. Namun agak sulit Senopati Kuti melampiaskan kemarahannya. Ia menyadari bahwa Upasara adalah pujaan bagi masyarakat Majapahit secara keseluruhan.
Sejak pertarungan di Kediri, keunggulannya atas pasukan Tartar secara gemilang dalam pertarungan yang disaksikan dengan mata telanjang, sejak itu nama Upasara menjadi nama harum yang semakin melegenda. Di Kalangan para ksatria, nama Upasara memuncak tatkala pertarungan di Trowulan berakhir. Kabar kematiannya sudah mengguncang seluruh masyarakat. Apalagi mengenai hukum poteng yang menyebar luas sebagai pelaksanaan perintah dari Permaisuri Rajapatni.
“Sesungguhnya aku tak mengetahui pasti dadarri mana asal mula perintah"
“Tapi hukum potong itu benar?”
“Ya….”
“Paman Kuti, dengar baik-baik. Kita sama-sama di sini. Menunggu Baginda, dengan keinginan dan tujuan yang berbeda. Paman berniat melindungi Baginda, saya berniat bertanya. Saya ingin mengetahui, apa yang ada di hati Baginda yang membiarkan atau malah merestui hukum poteng bagi Kakang Upasara, sementara di tempat ini Baginda ingin meresmikan Candi Senopaten Pamungkas. Saya tak tahu siapa yang waras dan siapa yang berubah ingatan.”
“Jaga mulutmu baik-baik.”
“Saya ulangi, saya tak tahu siapa yang waras. Kalau benar Baginda membiarkan Kakang Upasara dihukum pisah tubuh, dan sekarang meresmikan candi untuk mengenang kedigdayaannya, apa-apaan ini semua? Serigala yang paling busuk pun tak memakai cara seperti ini.”
Kedua tangan Senopati Kuti terangkat. Senopati Sariq maju selangkah. Gendhuk Tri berdiri dengan gagah.
“Kalau Paman tidak terima, majulah. Saya siap menghadapi.”
Lamaran Sodagar Galgendu
TANTANGAN main keras.
“Ada waktunya tersendiri.”
“Baik, sampai kapan pun saya siap menghadapi orang yang membela manusia berhati serigala.”
“Tidak sekasar itu omongan gadis yang waras. Apa pun yang kamu katakan, sebagai senopati Keraton saya akan membela Baginda. Masalahnya belum jelas benar, apakah itu betul-betul perintah Permaisuri Rajapatni atau hanya ulah Halayudha… Dengar baik-baik, Gendhuk Tri. Aku senopati, aku prajurit. Bayangan tubuh Baginda yang dipelototi pun, akan kucari sebabnya, akan kucungkil matanya. Salah atau tidak salah, itulah tugasku. Dengar dulu baik-baik, agar mulutmu tak lancang. Dalam kekisruhan sekarang ini, agaknya perlu menenangkan hati. Selama ini Halayudha bisa terus-menerus malang-melintang dan mengatur segala apa yang terjadi di Keraton. Sejak semula, Halayudha mempunyai dendam kepada Upasara. Siapa yang melukai tangan kanan Upasara, sehingga tak bisa leluasa digerakkan? Sehingga Upasara harus menggunakan tangan kirinya? Siapa yang meneruskan sabetan keris Senopati Agung Brahma, kalau bukan Halayudha? Kenapa yang diarah persis pundak kiri? Agar seluruh kemampuan Upasara musnah. Setelah tangan kanannya dilumpuhkan, kemudian tangan kirinya. Setelah ditawan, muncul kekuatiran bahwa Upasara Wulung bisa bangkit kembali. Hal yang bisa diterima kalau mengingat bahwa Upasara Wulung bahkan mampu mengembalikan tenaga dalamnya yang musnah. Satu-satunya jalan untuk memusnahkan secara total adalah memotong tangan dan kakinya. Bukankah ini lebih masuk akal dibandingkan permintaan atau perintah Permaisuri Rajapatni yang bijak dan mulia? Berpikirlah yang luas.”
“Tapi Paman mendengar sendiri kabar bahwa hukum poteng itu perintah Gayatri?”
“Dalam suasana seperti sekarang, kabar yang paling aneh memang sengaja disebarluaskan.”
“Untuk Apa?”
“Jangan tanya padaku. Semua orang juga akan mengetahui untuk apa.”
“Paman Kuti, saya minta maaf kalau saya berlaku lancang. Mari kita teruskan pembicaraan ini. Untuk apa Halayudha menyebar berita ini kalau kenyataannya tidak begitu?”
“Untuk mengadu.”
“Tak mungkin.” Gendhuk Tri menggeleng keras. “Paman, Halayudha adalah manusia busuk. Paling busuk. Di seluruh jagat ini, Kakang Upasara hanya pernah mendendam pada satu orang. Namanya si busuk lahir-batin Halayudha….”
“Nah, jalan pikiran kamu mulai waras.”
“Paman yang tidak waras.”
Kali ini Senopati Kuti benar-benar berkeringat karena gusar. Diikuti omongannya, akan tetapi setiap kali Gendhuk Tri justru mempermainkan.
“Paman yang tidak waras. Halayudha memang culas, hina, dan segala yang busuk. Tapi Halayudha tak akan sebodoh itu menyebarkan kabar bahwa Kakang Upasara dipotong-potong karena perintah Gayatri, kalau hal itu tidak benar. Karena akan sangat mudah dibantah. Bukankah ini jalan pikiran yang waras?”
Diam-diam Senopati Kuti mengakui kebenaran omongan Gendhuk Tri. Halayudha pastilah tidak sebodoh itu. Menyiarkan kabar yang akan sangat mudah dibantah. Kalau benar begitu… Tubuh Senopati Kuti kini sepenuhnya mandi keringat. Desisan napasnya memburu.
“Aku tak tahu. Barangkali kamu bisa menunggu….”
“Itu sebabnya saya berada di sini. Saya sengaja datang bersama Nyai Demang dan Ratu Ayu untuk mengetahui hal yang sebenarnya.”
“Dari mana kamu tahu Baginda berkenan mampir kemari?”
Gendhuk Tri menyunggingkan bibirnya. Seakan meremehkan nama yang dibicarakan. “Siapa yang berkenan? Baginda datang kemari karena Sodagar Galgendu. Sodagar Galgendu yang membuat Baginda terkesima dan ingin melihat Gua Kencana. Yang membuat Sodagar Galgendu melakukan itu karena ada saya, ada Nyai Demang, dan terutama karena ada Ratu Ayu….”
Mata Senopati Kuti berkejap-kejap. Seakan kalimat sederhana Gendhuk Tri terlalu sulit diterima. Agak tidak masuk akal bahwa Baginda berkenan singgah ke suatu tempat, dalam perjalanan penting ke Simping, karena terkesima Gua Kencana. Yang ternyata dimiliki oleh seseorang yang disebut Sodagar Galgendu. Dan yang disebut Sodagar Galgendu ternyata diperintah oleh Gendhuk Tri, Nyai Demang, dan Ratu Ayu!
“Paman Kuti, saya tak mendengar apa-apa selain kabar kematian Kakang Upasara ketika berada di Keraton. Dalam kekecewaan yang besar, kami bertiga-saya, Nyai Demang, dan Ratu Ayu-berniat melanjutkan perjalanan sendiri-sendiri. Saat itulah kami mendengar berita bahwa cara Kakang Upasara menemui ajalnya sangat mengerikan. Kami berniat membuktikan sendiri dengan menanyai Gayatri. Tapi ternyata kemudian ia bersama Baginda. Atas kemauan baik Sodagar Galgendu, daripada susah-susah mengejar Baginda dan belum tentu mau menjawab, lebih baik di tempat ini. Galgendu mengirimkan utusan, dan rombongan Baginda membelok. Berada di sini. Apa tidak hebat yang namanya Galgendu itu?” Nada suara Gendhuk Tri sudah mulai kembali seperti biasanya.
“Siapa itu Sodagar Galgendu?”
“Paman tidak tahu?”
“Tidak.”
“Saya juga tidak.”
Gendhuk Tri tertawa lebar. Disusul, “Sampai sekarang saya juga tidak tahu siapa dia. Yang saya tahu orangnya gemuk, gede. Yang saya tahu sejak lama ia tergila-gila kepada Ratu Ayu. Ia mau melakukan ini semua, termasuk membuat Candi Senopaten Pamungkas, karena berharap bisa mendekati dan mendapatkan Ratu Ayu… Sariq, kamu tak usah malu. Itu biasa. Belum tentu Ratu Ayu mau…”
“Apa lagi hebatnya?”
“Tak perlu banyak. Satu saja kehebatannya cukup. Galgendu mempunyai gua emas, yang sanggup membuat seratus pohon kelapa sebesar aslinya. Semua dari emas. Nah, Baginda saja tergiur…”
Kembali tangan Senopati Kuti melayang. Senopati Sariq menangkis cepat. Dua benturan tangan mengeluarkan suara keras. Pada kejap yang bersamaan, seluruh jalanan penuh dengan prajurit yang bersiaga.
“Paman, Paman boleh merasa unggul. Tapi di tempat ini, terlalu banyak orang sakti yang mau bertarung karena mendapat emas. Kalau Paman lihat sekeliling, di lapangan terbuka semua manusia ada. Ksatria, prajurit, sodagar atau pedagang besar-kecil, pendeta, semua mau berada di sini. Mau mendengarkan dan mengikuti perintah Galgendu yang mempunyai gua emas. Nah kalau Paman masih mau adu tenaga, silakan.”
Senopati Kuti menggeleng. “Baik, kita tunggu persoalannya.”
“Itu yang sejak tadi dikatakan Senopati Sariq. Ada tempat untuk menunggu. Yang saya kira lebih bagus dari rumah senopaten. Seperti Paman, saya pun menunggu. Hanya saja saya menunggu di sini, karena lebih cepat mendengar dari Ratu Ayu….”
“Siapa saja yang berada dalam Gua Kencana?”
“Galgendu, karena ia yang punya. Baginda, karena ia yang ingin tahu. Dan tentu saja semua permaisurinya, yang juga ingin tahu seperti apa gua emas itu. Saya bisa masuk, akan tetapi untuk apa melihat barang rongsokan yang dipuja itu?”
Senopati Kuti menghirup udara keras-keras. Dadanya menggembung. “Gendhuk Tri, terima kasih atas penjelasan ini semua.”
“Aha, Paman jadi kelihatan sungkan. Sejak dulu kita tak berhubungan erat, akan tetapi juga tidak bermusuhan. Entah sebentar lagi. Kecuali kalau di dalam gua sana Ratu Ayu sudah membereskan semuanya.”
Itu yang dikuatirkan Senopati Kuti! Baginda boleh jadi masih sakti, masih bisa memainkan ilmu silatnya yang memang hebat. Akan tetapi kalau bersama empat permaisuri, berada di tempat yang belum diketahui medannya, pastilah sulit menyelamatkan diri. Apalagi yang dihadapi adalah Ratu Ayu Bawah Langit. Yang sewaktu diadakan sayembara pilih jodoh, hanya bisa diungguli oleh Upasara. Itu yang membuat Senopati Kuti tak bisa berbuat apa-apa. Karena tetap tak bisa menyusul masuk. Tak bisa berbuat apa. Apa yang terjadi dalam gua sekarang ini?
Perjalanan Kangkam Kencana
RATU AYU sendiri tak membayangkan perjalanan hidupnya hingga ke Gua Kencana. Sejak berkelana dari Negeri Turkana, keinginannya hanya satu. Menemukan ksatria yang mampu mengalahkannya, yang akan membebaskan negerinya dari cengkeraman bangsa Tartar. Sampailah perjalanannya ke tanah Jawa.
Selain mendengar dari gurunya bahwa ada pertemuan yang berlangsung setiap lima puluh tahun, juga mendengar kabar bahwa hanya di tanah Jawa pasukan Tartar bisa ditundukkan. Pasukan yang menguasai separuh jagat ini ternyata tak berkutik menghadapi raja tanah Jawa, baik semasa Sri Baginda Raja maupun penerusnya.
Dalam sayembara yang menemukan, Upasara yang muncul sebagai pemenang. Yang bisa mengalahkannya. Lebih dari itu, Upasara memiliki Kangkam Galih, pedang tipis panjang yang tadinya tersembunyi di dalam tongkat galih pohon asam. Pedang itu dipercayai sebagai pusaka dari Negeri Turkana, sehingga baik Ratu Ayu maupun para senopati pengiringnya percaya setulusnya, bahwa Upasara adalah pembebas yang dicari.
Sejak saat itu tekad Ratu Ayu sudah bulat untuk nyuwita, mengabdi sebagai istri. Sambil menunggu hari baik, saat Upasara bersedia menduduki takhta di Turkana. Akan tetapi Upasara seperti lenyap ditelan bumi. Ratu Ayu tak bisa mencari, tak bisa menemukan tempat bertanya. Serta rasanya tak mungkin terus-menerus bertahan di Keraton.
Maka mulailah petualangan, perjalanan yang melelahkan. Sangat melelahkan karena sebagai ratu, tak bisa berhenti di sembarang tempat untuk beristirahat, makan, atau mandi. Tak bisa bertanya langsung. Kerepotan yang utama, selain pembiayaan yang besar, masalah yang dihadapi selalu muncul. Sebagai wanita yang mendapat julukan Ratu Ayu Bawah Langit, selalu ada saja yang mencoba mendekati. Baik yang sekadar ingin tahu, atau memang tergila-gila.
Selama ini para senopatinya yang setia mengawal bisa menyelesaikan, akan tetapi persoalan yang sama selalu datang. Ke mana pun pergi, rombongannya selalu menjadi pusat perhatian. Pada saat itu, Senopati Sariq menghadap dan mengatakan bahwa ada yang berniat mempersembahkan sesuatu kepada Ratu Ayu.
“Untuk apa kamu laporkan, kalau kamu sudah tahu jawabannya?”
“Maaf, Gusti Ratu. Sekali ini lain. Utusan yang datang ingin menyerahkan Kangkam Kencana, pedang emas yang sama bentuknya, sama rupanya dengan Kangkam Galih, hanya seluruhnya terbuat dari emas.”
“Untuk apa membawa barang yang hanya akan memberati?”
“Selain itu juga bisa memberi pertolongan mencari dan menemukan Raja Turkana Upasara Wulung…”
“Orang macam apa dia itu?”
Ratu Ayu mendengar laporan lebih lengkap. Bahwa yang ingin bertemu bernama Galgendu, biasa disebut Sodagar Galgendu. Sodagar, atau saudagar, adalah sebutan untuk kaum pedagang besar. Yang biasanya menggunakan perahu besar dalam melancarkan usahanya.
Kaum sodagar ini tak pernah mendapat tempat terhormat dalam tata masyarakat. Yang dianggap mempunyai darah pilihan ialah kaum ningrat, kaum pendeta, serta kaum ksatria. Derajat dan pangkat kaum sodagar dianggap sama dengan masyarakat biasa.
Yang sedikit membedakan hanyalah ketika Sri Baginda Raja memegang pemerintahan. Saat itu para saudagar mendapat tempat yang lebih terhormat. Karena Baginda Raja banyak membutuhkan bantuan untuk mengirimkan puluhan armadanya ke negeri seberang. Untuk pertama kalinya pula, Sri Baginda Raja mengizinkan saudagar hadir dalam pasewakan agung, pertemuan besar Keraton.
Menurut cerita, Sri Baginda Raja tidak segan-segan menanyakan pendapat secara terbuka, dan memperlakukan tak beda dengan para pendeta. Salah satu yang sejak kanak-kanak sudah sering sowan ke Keraton adalah Galgendu, yang mengikuti ayahnya. Menurut cerita pula, nama itu pemberian langsung dari Sri Baginda Raja.
Semasa pemerintahan Baginda Kertarajasa, Galgendu dengan setia pula memberikan upeti, memberikan bantuan dalam melancarkan perdagangan. Baik dalam urusan di tanah Jawa maupun ke negeri seberang. Hanya saja yang terakhir ini sangat kecil kegiatannya. Kapal yang membawa Senopati Agung Brahma juga merupakan sumbangan Galgendu. Senopati Sariq telah menyaksikan sendiri dan berhasil menemui Galgendu untuk meyakinkan hatinya. Itu sebabnya berani mengajukan usul kepada Ratu Ayu.
Dalam pertemuan itu, Senopati Sariq yakin bahwa bukan tidak mungkin pencarian Upasara bisa lebih cepat. Karena semua pejabat Keraton dikenal dan sangat mengenal Galgendu. Termasuk para permaisuri yang perhiasannya dibuat Galgendu.
Itu sebabnya kemudian, Ratu Ayu bisa berada dalam Keraton. Kali ini sepenuhnya atas jaminan Galgendu. Bulan demi bulan, Ratu Ayu menerima laporan di mana dan bagaimana keadaan Upasara. Tinggal mencari waktu yang tepat untuk menemui.
Akan tetapi sebelum saat yang tepat tiba, muncullah rombongan pendeta Syangka yang dipimpin oleh tetuanya sendiri, Pendeta Manmathaba. Penguasa yang naik ke permukaan satu ini, tak mempunyai ikatan dengan Galgendu Atas kemauannya sendiri, dengan diam-diam Ratu Ayu dikenai pengaruh racun bubuk pagebluk. Meskipun ramuannya sangat tipis, akan tetapi perlahan-lahan Ratu Ayu berada di bawah pengaruh bubuk beracun.
Sehingga bisa disembunyikan dari incaran dan pusat kegiatan. Kangkam Galih yang tak pernah lepas dari sisinya itu bahkan bisa diambil. Pedang itulah yang dilihat Gendhuk Tri ketika ia juga jatuh ke tangan Manmathaba.
Betapa kemudian perjalanan hidup Ratu Ayu makin menyuruk ke dasar penderitaan. Antara sadar dan tidak ia mendengar bahwa Upasara Wulung raja Turkana, suaminya, sang pembebas, telah tiada. Justru di halaman Keraton, di mana dirinya berada! Tanpa sempat bisa berbuat suatu apa. Dalam keadaan terombang-ambing jiwanya, sekali lagi Galgendu mengulurkan tangan, berusaha menolong. Memberi jaminan keamanan, dan menyediakan semua keperluan Ratu Ayu.
Itu sebabnya ketika keluar dari Keraton, Ratu Ayu mengajak Gendhuk Tri dan Nyai Demang untuk menuju Kedung Dawa. Mereka diterima dengan segala kebesaran dan kemewahan, tak ubahnya seperti ketiganya adalah ratu-ratu-ratu. Memenuhi janjinya, Galgendu menceritakan apa yang bisa diketahui mengenai Upasara. Termasuk kabar yang merobek hati dan menyayat perasaan. Bahwa tubuh Upasara dipisah-pisahkan sebelum akhirnya dikubur di kebun Keraton.
Galgendu yang mempunyai kekuasaan atas gua emas, bisa memperoleh kabar yang barangkali tak pernah didengar oleh kalangan yang berdiam di Keraton sekalipun. Dari berbagai sumber yang bisa diperoleh kabar, hukum poteng yang dilaksanakan atas Upasara Wulung berasal dari perintah Permaisuri Rajapatni. Walau kabar itu pertama kali dari pengakuan Halayudha yang nyatanya sangat mengindahkan Galgendu-tetapi sumber yang lain membenarkan.
Galgendu kemudian mengajukan usulan, agar sebaiknya Upasara Wulung dimakamkan sebagai layaknya ksatria, dengan segala kebesaran dan kegagahannya. Bahkan untuk itu akan didirikan Candi Senopaten Pamungkas. Bahwa selama ini hanya para raja yang dimuliakan pemakamannya dalam bentuk candi, tidak menghalangi sedikit pun niat Galgendu. Atas kekuasaannya, para pendeta dan para bangsawan di Keraton bisa menyetujui. Termasuk Baginda.
Dalam perasaan tertindih dan hati yang dibalut derita, Ratu Ayu merasa bahwa pertolongan Galgendu sangat diharapkan. Bantuan Galgendu berarti banyak bagi dirinya. Apalagi, Galgendu bahkan menyanggupi akan menyelesaikan semua mengenai pemindahan tubuh Upasara dari dalam Keraton hingga ke Kedung Dawa, atau bahkan sampai ke Negeri Turkana sekalipun!
Sewaktu Ratu Ayu mengisikkan bahwa ia ingin mendengar sendiri dari Permaisuri Rajapatni mengenai pelaksanaan hukum poteng, Galgendu pula menyanggupi mendatangkannya ke Kedung Dawa. Bahwa saat itu Permaisuri Rajapatni sedang mengikuti ke Simping, tetap tak mempengaruhi niatnya. Sesuai dengan janjinya, Baginda memang benar-benar bisa dibelokkan arahnya.
“Galgendu, kamu begitu baik padaku. Sangat baik. Apa yang sebenarnya kamu harapkan dariku?”
Lelaki bertubuh gemuk, wajahnya tampak welas asih dengan gerakan lembut, menunduk lama. “Duh Ratu, sejak pertama melihat Ratu Ayu, saya tak bisa memejamkan mata barang sekejap pun. Saya merasakan getaran daya asmara. Malu atau tidak, daripada saya membawa mati kerinduan asmara ini, lebih baik saya katakan kepada Ratu.”
“Galgendu yang budiman, selama ini aku hanya mengenal satu lelaki. Dan hanya Raja Turkana itulah tempatku mengabdi sepanjang hidupku ini. Tak akan pernah ada orang lain. Bukankah kamu bisa mencari yang lainnya? Di Keraton puluhan banyaknya wanita yang harum bau tubuhnya, yang mengalahkan para bidadari. Kekuasaanmu atas Gua Kencana akan membuka semua pintu kaputren.”
“Ratu, saya bukan anak muda lagi. Biarkanlah saya menyimpan perasaan hati saya. Ratu tak perlu memberi nasihat seperti itu. Karena yang begitu, cacing dan burung di sini sudah lebih dulu mengetahui.”
Ki Dalang Memeling
RATU AYU meminta maaf dengan suara lembut. “Ratu, kalaupun saya tak bisa bersanding dengan Ratu, rasanya lebih dari bahagia menerima kehadiran Ratu di tempat ini. Segalanya saya sediakan untuk Ratu, dan segalanya disediakan dengan rasa bahagia. Saya berharap, lamaran saya ini tidak menimbulkan rasa kurang enak atau kekikukan hati, sehingga Ratu tergesa meninggalkan tempat ini.”
“Aku bisa mengerti keinginanmu, sejak kamu berani menawarkan membuat Kangkam Kencana. Aku tak bisa merangkai kata-kata dengan baik, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat berterima kasih. Kamu sangat baik padaku, pada Negeri Turkana. Akan tetapi, mengenai satu hal itu, rasanya aku tak bisa mengatakan apa-apa. Setengah menjanjikan pun tak bisa. Kamu bisa mengerti, Galgendu?”
“Sebisanya, Ratu.”
“Kalau mau mengerti, aku akan berada di sini sampai segalanya jelas. Sampai aku membalaskan sakit hatiku, dan kemudian aku akan kembali ke Negeri Turkana.”
“Baik, Ratu. Saya bisa memperpanjang waktu agar Ratu tetap berada di sini. Tetapi saya tidak akan melakukan itu. Saya sudah terhibur dan bahagia dengan kedatangan Ratu.”
“Galgendu, apa yang menyebabkan kamu menginginkan aku? Maaf kalau tata krama di sini tidak biasa dengan pertanyaan semacam itu. Aku dibesarkan dalam tradisi yang berbeda, dan bahkan di negeriku pun aku tidak sehalus mereka.”
“Duh, Ratu, saya tak bisa menerangkan. Itu perasaan dan suara batin saya. Selebihnya saya tak mengerti. Maaf, Ratu… Tadinya saya mengira bahwa saya menghendaki wanita paling ayu. Ada benarnya. Ratu adalah Ratu Ayu Bawah Langit. Akan tetapi tetap bukan yang satu-satunya. Tadinya saya mengira bahwa saya menghendaki derajat dan pangkat yang luhur. Dengan mempermaisurikan Ratu, saya dan seluruh keturunan saya akan terangkat. Benar, Ratu… Di negeri ini, atau di negeri mana pun, sodagar bukanlah kaum yang terpandang. Kami ini kaum yang wadag, yang raga, yang kasar, yang mencari sesuap nasi. Bukan yang menenteramkan jagat, bukan pahlawan, bukan ksatria. Saya memiliki segalanya, tetapi seperti tak memiliki apa-apa. Rama mendapat gelar kebangsawanan dari Sri Baginda Raja, akan tetapi tetap saja kami ini keturunan saudagar. Maka pernikahan dengan Ratu merupakan pembebasan yang sesungguhnya, sampai ke keturunan yang terakhir. Tadinya saya kira itu alasannya. Bukan tidak mungkin memang itu alasan yang ada. Akan tetapi jika hanya menghendaki wanita paling ayu, saya bisa menemukan yang lain. Jika hanya keselamatan dan derajat untuk anak-cucu, saya bisa mencari yang lain. Yang berasal dari keraton ini. Nyatanya selama ini hati dan batin saya tak pernah tergetar. Malah sebaliknya.”
“Kata-katamu menggetarkan hati, Galgendu.”
“Saya tak pandai menyusun kata-kata. Saya bukan dari kaum susastra, bukan ksatria, bukan pendeta….”
Ratu Ayu menghela napas panjang. “Sudahilah perasaan kurang itu, Galgendu. Apa yang kamu lakukan lebih baik dan berguna bagi penduduk, daripada ksatria, pangeran, atau pendeta yang lain.”
“Sembah nuwun, Ratu, beribu terima kasih saya haturkan… Biarlah sekarang ini saya menyiapkan upacara untuk pencandian Senopaten Pamungkas….”
Apa yang dilakukan Galgendu memang luar biasa. Ia mengerahkan kemampuannya untuk mengadakan persiapan yang luar biasa besarnya. Agar upacara nanti dianggap sebagai upacara resmi. Para pendeta yang dipanggil adalah para pendeta yang biasa melayani di Keraton. Alun-alun dibuka, jalan yang besar diciptakan. Rasanya, kalau perlu memindahkan gunung dan membuat samudra, akan dilakukan juga.
Dari Senopati Sariq, Ratu Ayu mendapatkan laporan bahwa semua kegiatan yang dilakukan serba istimewa. Kadang di tengah malam, Ratu Ayu merasakan getaran suara dan permintaan Galgendu. Hanya satu yang diinginkan lelaki itu, memperistrinya! Tetapi justru itu yang ia tak bisa menerima. Hanya satu keinginannya. Itu yang tak tercapai. Dalam banyak hal, Ratu Ayu sering membandingkan dirinya dengan Galgendu. Ada persamaan dalam hal bisa melakukan semua-tapi justru yang diimpikan sekali tak terpegang.
Akan tetapi untuk perasaan semacam ini, Ratu Ayu tidak menceritakan kepada Galgendu. Hati kecilnya mengatakan justru sebaiknya ia membatasi diri, juga dalam percakapan, agar Galgendu tidak tenggelam dalam harapan yang makin melambung. Tujuan hidup dan tekad utamanya ketika meninggalkan Turkana hanya satu. Menemukan sang pembebas. Dan ia berhasil. Walau tak mungkin membawa ke Negeri Turkana.
Sekarang, ketika Galgendu mengatakan bahwa Baginda berkenan masuk ke Gua Kencana, Ratu Ayu menyiapkan batinnya. Itulah saat yang sangat ditunggunya. Untuk bisa bertemu langsung dengan Baginda, dengan Permaisuri Rajapatni. Untuk mengetahui jawaban yang sesungguhnya!
Sejak dini Ratu Ayu telah bersiap. Maka ketika utusan menjemput, Ratu Ayu tidak menunggu tarikan napas kedua. Nyai Demang yang mendampingi, karena Ratu Ayu merasa kurang enak hanya menemui bersama Galgendu. Nyai Demang berdandan sebagaimana putri Keraton. Walau tubuhnya masih tampak pucat dan lemah, akan tetapi terlihat jelas bahwa semangatnya pulih kembali. Seolah jawaban mengenai cara matinya Upasara memberi dorongan untuk hidup kembali.
Baginda diiringkan para dayang ketika muncul di pendapa. Galgendu menyembah hingga menyentuh lantai, demikian juga Nyai Demang. Hanya Ratu Ayu yang menunduk tanpa menyembah.
“Seperti permintaanmu, Galgendu, aku datang tanpa pengawalan. Tanpa prajurit. Kita berangkat setelah saatnya tiba.”
“Sendika dawuh dalem, Gusti….”
“Sebelum kita berangkat, ingsun mempunyai satu pertanyaan. Apa benar Ki Dalang Memeling akan kamu tanggap untuk memainkan wayang kulit di sini…?”
“Semuanya jika Baginda tidak berkenan…”
“Ingsun sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi yang memutuskan adalah Raja Jayanegara, bukan aku. Aku ini raja palapa, raja yang telah beristirahat. Galgendu, kenapa kamu memilih Ki Dalang Memeling untuk memainkan wayang kulit saat pencandian?”
“Sendika dawuh dalem, Gusti… Hamba tak tahu banyak. Hamba hanya mencari tahu, yang memberitahu…” Galgendu menunduk. Pundaknya bergetar. Keringat menetes dari daun telinga. Seakan membuat kesalahan dengan memanggil Ki Dalang Memeling.
Nyai Demang menyembah dengan hormat. “Mohon petunjuk Baginda….”
“Ah, aku sama sekali tidak berkeberatan, Nyai Demang. Bagiku tak ada bedanya dari dalang yang lain. Hanya memang semasa ingsun masih memegang kekuasaan, Memeling , tak pernah ditanggap. Aku dengar ia dalang yang hanya bisa memainkan lakon zaman Keraton Singasari. Apa betul?”
“Hamba belum pernah melihat sendiri.”
“Ah, lupakan itu. Nyai Demang, kamu dan Ratu Ayu berada di sini, dan akan mengikuti masuk ke Gua Kencana yang belum pernah dimasuki orang lain. Aku ingin tahu apa maksud kedatangan kalian. Ingin menemui aku, atau…?”
Ratu Ayu menatap Baginda. “Baginda, pepujen seluruh Keraton. Ratu Ayu Azeri Baijani ingin mendengar langsung dari Permaisuri Rajapatni. Apa benar Raja Turkana yang perkasa, Upasara Wulung, sebelum mangkat dihukum poteng atas perintah langsung Permaisuri?”
Sejenak Baginda tergetar. Pandangannya samar. Sampai sepuluh hitungan Baginda terdiam. “Ratu Ayu, apakah itu masih menjadi persoalan? Tidakkah lebih baik kalau kita mendoakan arwahnya, membuat candi yang besar dan berwibawa?”
“Kehinaan tak pernah bisa dibiarkan. Apalagi bagi seorang Raja Turkana….”
Baginda berdiri dengan geram. Wajahnya berubah seketika. “Galgendu, kamu ingin menyudutkan ingsun? Kamu kira siapa yang berdiri di depanmu ini? Anak kecil yang bisa dikelabui? Pangeran yang tertarik atas upeti lempengan emas yang kamu unggulkan?”
Galgendu menyembah hingga rata dengan tanah. Tak bergerak. Kaku.
Buddha Murka
BISA dimengerti kalau Galgendu rata dengan tanah. Biar bagaimanapun kekayaannya berlimpah dengan memiliki gua emas, tak nanti kesadarannya bisa menerima kemurkaan Baginda. Bahkan Nyai Demang pun terdiam kaku. Nyai Demang pernah melabrak masuk kamar peraduan Baginda, pernah berusaha melawan. Akan tetapi saat itu hatinya sedang dibakar dendam dan merasa sangat terhina. Pada suasana yang normal, rasa hormat dan memuja seorang raja tak bisa dihapus.
Yang paling tidak terlalu terpengaruh adalah Ratu Ayu. Karena di negerinya ia ratu yang dihormati. Tak nanti begitu saja kena pengaruh dan wibawa sesama raja. Apalagi ia merasa dirinya tidak bersalah.
“Tunggu, Baginda… Jangan mengumbar suara keras. Aku juga ratu. Aku tak bisa menerima kemurkaan seperti itu. Aku yang kamu hadapi, jangan kawula yang bisa kamu injak sesuka kakimu.”
Baginda balik menantang sorot mata Ratu Ayu. “Apa maumu, akan kuladeni.”
Keadaan tubuh Ratu Ayu belum sepenuhnya sehat. Pengaruh bubuk beracun masih menggerogoti dirinya. Akan tetapi pada saat seperti sekarang ini, tak ada pilihan lain. “Aku hanya meminta keterangan, apakah benar Raja Turkana mangkat dengan cara hukum poteng.”
“Ratu telah tahu hal itu.”
“Apa benar Permaisuri Rajapatni yang memerintahkan?”
Tangan kanan Baginda menepuk paha karena murka. Telunjuknya menuding garang. “Ratu, jangan kurang ajar. Ingsun ini raja tanah Jawa. Sembahan seluruh umat di Jawa. Ratu jangan sembarangan menuding dengan pertanyaan semacam itu. Tata krama adalah segalanya”
“Baginda tak menjawab pertanyaan saya...?"
"Tak ada gunanya! Tak ada hak Ratu menanyai.”
Kedua kaki Ratu Ayu sedikit membuka. Bahu kanan dan kiri bergerak. “Apakah aku akan kualat, terhukum karena tak mengenal tata krama? Apakah kakiku akan berada di atas, dan kepalaku di bawah karena berlaku kurang ajar kepada Baginda? Siapa yang lebih tidak mengenal tata krama? Sikapku yang kurang ajar, atau orang yang memerintahkan memotong ksatria yang tak bisa melawan?”
“Lancang mulutmu….” Tangan kanan Baginda melayang. Menampar pipi Ratu Ayu dengan gerakan yang masih perkasa. Pergelangan tangan menekuk, sehingga telapak tangan menyambar keras.
Galgendu tetap tak bergerak. Nyai Demang tetap menunduk. Ratu Ayu mengangkat tangannya untuk menangkis. Satu kelebatan, mengubah menjadi memiringkan wajahnya. Tamparan Baginda mengenai angin. Dalam gebrakan yang singkat dan pendek, Ratu Ayu merasa bahwa tenaga dalamnya belum sepenuhnya pulih. Penguasaan kekuatan masih belum sepenuhnya terkuasai. Apalagi serangan lawan mengandung tenaga yang penuh.
Ini agak mengherankan karena selama ini yang dilihat gerakan Baginda sangat lamban. Dengan memiringkan wajah, Ratu Ayu mengakui tak berani menggempur keras lawan keras. Baginda tidak melanjutkan serangan. Hanya sekilas seperti menelan ludah, karena jakunnya bergerak naik-turun.
“Sebelum kita melanjutkan pertarungan, aku ingin kepastian. Apakah benar…”
“Ratu, itu tak ada urusannya. Aku raja, aku suami. Kalau ada apa-apa dengan bawahanku, akulah yang bertanggung jawab.”
“Itulah hebat. Yang kutanyakan apakah benar Permaisuri memerintahkan.”
“Ya atau tidak apa bedanya.”
Kedua tangan Ratu Ayu lurus ke bawah. Pundaknya kaku. Dari pusar ke atas seperti beku. Itulah awal dari pemusatan tenaga dalam Tathagata Pratiwimba, jurus-jurus Arca Buddha yang Kaku. Bergerak bagai boneka kayu, terpatah-patah, akan tetapi telah dibuktikan mampu mengungguli lawan-lawannya. Kalimat yang membakar Ratu Ayu bukanlah tantangan dari Baginda. Melainkan ucapan “ya atau tidak apa bedanya”. Seakan cara apa pun kematian Upasara tak punya makna apa-apa.
Selama ini Ratu Ayu bisa menahan diri. Karena merasa bahwa yang dihadapi adalah raja, yang oleh suaminya pun sangat dihormati. Sehingga dengan sendirinya, secara tulus Ratu Ayu juga menghormati. Akan tetapi batas kesabarannya jebol begitu Raja Turkana direndahkan. Satu gerakan pendek kaku, Baginda segera menyilangkan kedua tangannya di dada. Seketika jurus-jurus Kerta Rajasa Jaya Wardhana mengurung Ratu Ayu. Yang masih dengan gerakan kaku menyamplok setiap serangan yang datang.
Satu putaran tubuh, Ratu Ayu merenggangkan kedua tangannya. Kali ini seakan mengisap Baginda untuk masuk di antara kedua tangannya yang terulur kaku. Bersamaan dengan itu, lututnya terangkat naik. Kalau bisa menjepit tubuh lawan dan menyaduk dengan lutut, akibatnya bisa membuat tubuh lawan patah tulangnya. Meskipun dengan demikian, besar kemungkinan Ratu Ayu sendiri terluka.
“Ilmu sesat….”
Baginda memutar tubuh. Satu tangan dipakai untuk menangkis, sementara kakinya memasang kuda-kuda yang kuat. Tubuh Ratu Ayu terputar terkena tangkisan, akan tetapi lutut yang terangkat, membuat dada Baginda sesak seketika. Pertarungan yang lain dari biasanya. Seorang raja yang selama ini boleh dikatakan tak pernah memperlihatkan diri berlatih ilmu silat, mendadak mengeluarkan ilmunya. Sementara yang dihadapi seorang wanita, yang juga ratu, yang bergerak dengan kaku.
Keduanya seakan tidak siap bertarung saat itu. Baik dilihat dari cara berpakaian maupun kedudukannya. Sehingga meskipun saling serang, sebenarnya tidak sepenuh tenaga. Ratu Ayu sendiri makin sadar bahwa lebih dari dua pertiga bagian tenaga dalamnya tersendat. Kadang malah mengganjal. Kalau tidak, dalam sepuluh jurus sudah bisa menguasai lawan. Yang meskipun luas pengetahuannya, akan tetapi gerakannya terlihat kaku karena kurang latihan.
Pengetahuan yang luas, karena dalam satu pertarungan, Baginda segera bisa mengenali jurus yang tidak biasanya. Jurus yang kelihatan bertentangan. Sekurangnya tak seharusnya wanita menyerang dengan cara merangkul dan menggunakan lututnya. Tata krama kesopanan tidak memungkinan gerakan seperti itu
. Penilaian yang bisa dibenarkan. Bahkan oleh Nyai Demang sekalipun. Yang mengetahui bahwa sumber ilmu Ratu Ayu adalah apa yang dikenal sebagai jurus-jurus dalam Tathagati, atau Buddha Wanita. Penamaan yang bertentangan. Antara pengerahan tenaga dalam Buddha, tetapi dilakukan oleh wanita. Antara sifat welas asih dan kemurkaan. Bau harum Ratu Ayu menyebar.
Kali ini malah rambutnya terurai, dan ketika menyerang maju, entakan rambut panjang ikal ini yang lebih dulu menyambar. Baginda mengeluarkan dehaman kecil seakan memperlihatkan bahwa gerakan apa pun yang akan dilakukan Ratu Ayu sudah terbaca jelas. Tetapi tak urung Baginda meloncat mundur. Inilah kekeliruan. Karena dengan meloncat mundur, membuka peluang Ratu Ayu menyergap maju dengan demikian rangkaian susunan langkah jong muncul. Enam Puluh Empat Langkah yang berbeda kembangan dan gerakannya.
Baginda menyadari, tetapi terlambat. Terlibat dalam kepungan bayangan Ratu Ayu, sehingga makin lama makin bertahan dan mundur. Kalau saja Ratu Ayu tidak sangat parah kondisi tubuhnya, jegalan kaki Ratu Ayu sudah berhasil merobohkan lawan.
“Ratu Ayu, tahan sebentar….” Suara Nyai Demang terdengar lirih. “Adimas Upasara sendiri pastilah tak ingin menyaksikan hal ini…”
Dengan cara yang tepat, kalimat Nyai Demang membuat Ratu Ayu melompat mundur, mengendurkan tekanan. “Kamu benar, Nyai….”
“Duh, Baginda, karena Permaisuri yang memerintahkan hal ini, biarlah Permaisuri yang menjawab dan menanggung akibatnya.”
Meskipun tadi melindungi Baginda, sikap Nyai Demang bergeming. Bahwa ia bermaksud menuntut balas. Bahwa Baginda akan melindungi, itu soal lain. Ia tak akan mundur karenanya. Meskipun yang dihadapi adalah rajanya.
“Kalau Baginda ingin memanggil para senopati untuk melindungi, kami siap menunggu. Tidak adil memang meminta Baginda datang sendirian lalu kami mengeroyok. Jiwa besar Adimas Upasara akan tercoreng karenanya.
JILID 22 | BUKU PERTAMA | JILID 24 |
---|