Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 26
Suara Permaisuri terdengar bagai rintihan memelas. Tubuhnya bergoyang, sambil berlutut terus berusaha maju ke arah lubang, dengan merangkak. “Hati-hati… ada Kakangmas….” Permaisuri melorot ke bawah. Tangannya mengibas, melepaskan lapisan kainnya bagian luar. Tubuhnya tergetar keras. “Kakangmas….”
Selamat Beristirahat Selamanya
TANGISAN yang memilukan. Gendhuk Tri mencium bau tak enak dan salah satu sudut yang didatangi Permaisuri. Benar saja. Dengan satu sentuhan perlahan, tangannya menyentuh sesuatu yang lunak. Tubuh manusia! Gendhuk Tri tersentak. Ia pernah terkubur hidup-hidup dalam Gua Lawang Sewu, alias Pintu Seribu. Pernah mengalami saat-saat bersama mayat yang telah membeku dan kemudian membusuk. Sekarang semua ingatan kembali menyeruak.
Nyai Demang menunduk lemas. Ratu Ayu melepaskan kainnya bagian luar, juga selendangnya. Demikian juga Gendhuk Tri, yang akhirnya melakukan sendiri. Mengambil bagian-bagian tubuh yang sebagian masih ada sisa daging. Hanya di bagian tertentu telah berubah menjadi tulang. Dengan segala rasa hormat dan getaran hati, Gendhuk Tri mengumpulkan semuanya dalam kain, dan membungkusnya hati-hati.
Bersemadi sebentar. Menghela napas berat. Lalu membawa kembali ke atas tanah dengan sekali lompat. Tangannya terulur ke bawah. Nyai Demang menyusul sambil membopong tubuh Permaisuri, disusul oleh Ratu Ayu.
“Paman prajurit, terima kasih atas semua bantuan Paman….”
“Kami hanya melakukan tugas.”
“Sekarang kami akan kembali ke Kedung Dawa untuk memberi tempat istirahat yang layak dan selamanya bagi Kakang….”
Gendhuk Tri bersiaga kalau-kalau terjadi sesuatu. Ternyata bahkan sampai gerbang Keraton bagian luar, tak ada yang mengganggu, bahkan tak ada yang menegur sapa. Para prajurit yang mengawal juga berhenti dan segera meninggalkan.
Yang kemudian menyambut ialah mereka yang tadi melayani Gendhuk Tri. Yang malah lebih siap dengan peti dan kain putih, dan segera merukti, merawat, dengan sangat hormat. Dengan memberi wangi-wangian dari bunga serta dupa. Bahkan kemudian menyediakan kereta sapi.
“Kami siap mengantarkan sampai ke Kedung Dawa….”
“Terima kasih. Sampaikan rasa terima kasih yang dalam dari kami, kepada siapa pun telah berbuat begitu baik. Karena kami tak mau menunggu lama, sebaiknya berangkat sekarang juga.”
“Sesuai dengan perintah Putri….”
Yang agak merepotkan hanyalah Permaisuri yang tidak pernah sadar sejak keluar dari Keraton. Berkali-kali dan berganti-ganti Nyai Demang dan Ratu Ayu berusaha menyadarkan, akan tetapi hasilnya sia-sia.
Gendhuk Tri lebih memusatkan perhatian di depan, untuk memimpin perjalanan. Sampai matahari tenggelam, tak ada gangguan apa-apa. Ketika rombongan mengusulkan beristirahat, Gendhuk Tri mengatakan bahwa ia akan terus melanjutkan perjalanan.
“Saya tak mau menahan Kakang dalam perjalanan. Kalian cukup mengantar sampai di sini. Selanjutnya saya bisa mengawal sendiri….”
“Kami berkewajiban mengantar sampai selesai….”
“Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan….”
Tekad Gendhuk Tri sudah tak terbantah oleh siapa pun. Ratu Ayu sendiri tak memberi reaksi apa-apa. Demikian juga Nyai Demang yang merasa bahwa Gendhuk Tri mampu memutuskan secara tegas dan jelas.
Hari kedua rombongan pengantar benar-benar tak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Namun Gendhuk Tri tetap berkeras melanjutkan perjalanan. Ketika itulah rombongan lain datang dan siap membantu melanjutkan perjalanan. Gendhuk Tri tak mempertanyakan siapa yang menyuruh dan bagaimana urusan di belakang hari. Ia hanya mengangguk sebagai isyarat dilanjutkannya perjalanan ke Kedung Dawa.
Ternyata perjalanan yang terus-menerus tak mengubah kesadarannya sedikit pun. Gendhuk Tri tetap bersemangat, tetap berada di depan, dengan pandangan mata nyalang. Hanya menjelang memasuki perkampungan Gua Kencana, Gendhuk Tri memerintahkan rombongan berhenti. Nyai Demang turun dari kereta.
“Kamu jaga di sini. Sekarang giliran saya menyelinap ke dalam. Agaknya ada yang tak beres.”
“Hati-hati, Mbakyu… Saya, akan segera menyusul ke sana.”
“Hati-hati juga. Jaga dirimu, dan Adimas Upasara….”
Gendhuk Tri mengangguk. Nyai Demang menepuk pundak Gendhuk Tri, lalu segera bergegas pergi. Langkahnya tidak terlalu ringan, akan tetapi dengan mengerahkan tenaga terus-menerus, tak berapa lama bisa sampai di lapangan terbuka. Benar dugaannya. Tempat yang ramai belum sepuluh hari lalu, kini tampak berubah sunyi. Hanya ada beberapa orang yang masih tinggal. Ketika Nyai Demang berusaha masuk ke rumah Wong Agung Galgendu hanya ada empat prajurit yang mengawal.
“Siapa yang datang?”
“Namaku Nyai Demang. Aku sahabat Wong Agung. Izinkan aku masuk dan menemui beliau….”
“Ada urusan apa?”
Tangan Nyai Demang terulur, mendorong keempat prajurit yang tidak siap. Dengan sekali menggertak, Nyai Demang melangkah masuk.
“Maaf, aku tergesa….”
Dengan sekali membalik, tangan dan kaki Nyai Demang bergerak bersamaan. Keempat prajurit, semuanya, menerima tendangan dan pukulan. Tanpa bisa mengelak. Nyai Demang serasa terbang masuk ke rumah. Sepi. Hatinya bercekat. Begitu masuk ke ruangan dalam, hatinya lebih bercekat lagi. Karena ruangan utama yang mewah itu sekarang porak-poranda. Hanya ada satu ranjang, dan di atasnya berbaring tubuh yang mengerang. Sementara beberapa orang yang mengelilingi memandang takut kepada Nyai Demang.
“Wong Agung…”
Nyai Demang segera mendekat. Tangannya memegang nadi Wong Agung yang terbujur tak bergerak. Terasakan bahwa Wong Agung sangat menderita. Segera Nyai Demang mematikan sementara saraf yang menyebabkan rasa sakit. Wong Agung mengerang satu kali, setelah itu terlelap. Mereka yang mengelilingi memandang hormat.
“Ceritakan apa yang terjadi….”
Baru kemudian keadaannya menjadi jelas. Bahwa setelah keberangkatan rombongan Ratu Ayu, Kedung Dawa kedatangan tamu lain, yang jumlahnya tak lebih dari lima orang. Para tamu ini memaksa masuk ke Gua Kencana. Terjadilah pertarungan yang tak seimbang. Semua prajurit kawal dibunuh tanpa kecuali. Bahkan seluruh isi rumah diobrak-abrik, semua barang yang ada dijungkirbalikkan.
“Apa yang mereka cari?”
“Kami kurang mengetahui. Hanya Wong Agung yang mulia yang mengetahui… Saat itu Wong Agung yang mulia sedang menyiapkan pencandian Ksatria Pa…”
“Cukup. Kalian rawat baik-baik. Sampai esok, Wong Agung masih akan terlelap. Saya akan segera kembali kemari. Kalau ada apa-apa, hadapi sebisanya.”
Nyai Demang tidak membuang waktu. Segera kembali ke tempat Gendhuk Tri, yang ternyata tak menunggu. Sehingga mereka bisa bertemu di separuh perjalanan. Gendhuk Tri mendengarkan dengan pandangan tak berubah sedikit pun.
“Mbakyu Demang, rencana kita tak boleh berubah. Kita adakan upacara untuk Kakang….”
“Rasa-rasanya harus dalam bentuk lain. Kini tak ada lagi pendeta, tak ada lagi…”
“Dalam bentuk yang bagaimanapun. Mbakyu melihat keanehan apa?”
“Sulit dikatakan sekarang. Rombongan yang datang mengacau, jelas dari kalangan yang mengerti ilmu silat dan bertindak bengis. Semua prajurit dibunuh tanpa peduli. Tak ada yang bersisa lagi.”
“Sasaran mereka adalah Gua Kencana, untuk merampok emas….”
“Tidak juga. Kalau hanya itu, agaknya tak perlu menghancurleburkan. Dan agak susah juga, karena prajurit Keraton pun ada di situ. Pastilah bukan orang biasa.”
“Mbakyu, kita membagi tugas. Mulai sekarang ini agaknya hanya kita yang masih bisa waras. Kita mempersiapkan pencandian Kakang, dan melihat kemungkinan yang terjadi. Mulai sekarang ini, siapa pun yang menghalangi, akan kita hadapi bersama.”
Untuk pertama kalinya sejak mengenal Gendhuk Tri, Nyai Demang merasa gentar. Kalimat Gendhuk Tri seakan membeset dari luka hati yang dalam. Tekad yang meniadakan kemungkinan lain. Gendhuk Tri yang tadinya dianggap paling jernih, kini telah berubah. Gendhuk Tri saat ini memancarkan sorot mata ganas dan telengas.
Dalang Kurang Sesaji
APA yang dilakukan Gendhuk Tri seperti apa yang biasa dilakukan oleh lima orang sekaligus. Dengan wajah dingin ia memerintahkan persiapan upacara pencandian Upasara Wulung. Pada saat yang sama ia ikut mengumpulkan kayu bakar, menyiapkan dupa, mengatur letak pemasangan batu utama, dan mencari tujuh ekor sapi yang tanduknya gagah untuk dikorbankan.
Rambutnya sengaja dibiarkan tergerai. Kain yang dipakai adalah kain yang digunakan untuk mengangkat tulang Upasara. Nyai Demang merasa ngeri, akan tetapi tak bisa berbuat sesuatu untuk menahan. Juga tak ada alasan. Hanya sekali Gendhuk Tri kembali ke ruang dalam, memeriksa nadi Wong Agung Galgendu. Lalu menggeleng.
“Tak ada harapan lagi. Bagian dalamnya luka parah, hancur…”
Suara Ratu Ayu seperti bergema di ruang kosong. “Siapa lagi yang tega berbuat seperti ini? Rasanya tak ada lagi tokoh yang bisa berkeliaran tanpa kita kenal. Mungkinkah Kiai Sambartaka muncul kembali?”
Gendhuk Tri tak menjawab. Meskipun dalam hatinya setengah membenarkan dugaan Ratu Ayu. Tokoh sakti yang bisa berbuat telengas sekarang ini boleh dikatakan tinggal Kiai Sambartaka. Yang bisa berbuat jahat menghabisi semua prajurit atau ksatria yang menghalangi jalannya. Satu per satu dihabisi. Dan dilihat dari rontoknya bagian dalam tubuh Wong Agung Galgendu, hanya mungkin dilakukan oleh tokoh setingkat Kiai Sambartaka. Apalagi bekas luka dalam yang diakibatkan jelas menunjukkan pengaruh itu.
“Agak aneh juga. Untuk apa ia menghancurkan ini semua?”
Pertanyaan yang sama bukannya tidak menggoda Gendhuk Tri. Hanya saja ia lebih suka memusatkan perhatian kepada hal lain. Karena siapa pun. Yang begitu ganas melakukan hal itu, tak akan mengubah kenyataan yang ada. Sehingga akan lebih baik memikirkan langkah apa yang akan dihadapi.
“Tunggui Wong Agung, Ratu… Biarkan di saat-saat terakhir dalam hidupnya Wong Agung merasa bahagia karena berada di dekat orang yang dicintainya.”
Tanpa terasa Ratu Ayu meneteskan air mata. “Gendhuk manis, sekarang ini aku tahu bahwa Wong Agung lebih bahagia dari Raja Turkana. Yang di saat terakhir tak ada yang menunggui…”
Suara keharuan yang terulang. Seakan setiap kali, setiap saat, setiap peristiwa bisa ditarik perbandingannya dengan Upasara. Dan itu berarti membeset luka lama yang belum bisa pulih. Sebenarnya baik Ratu Ayu, Gendhuk Tri, maupun Nyai Demang sadar bahwa usaha mendampingi Wong Agung sia-sia belaka. Mereka bertiga sadar bahwa keadaan Wong Agung lebih buruk dari yang diperkirakan. Kalau sekarang masih terbaring dan bernapas satu-satu, hanya jasmaninya saja yang bertahan. Selebihnya tak bisa merasakan apa-apa, tak bisa bereaksi. Pun kelopak matanya.
Namun Ratu Ayu melakukan apa yang dikatakan Gendhuk Tri. Bersila di samping Wong Agung, memanjatkan doa mengantarkan kepergian untuk selamanya. Ketika itu dari ruang tengah terdengar jeritan ketakutan. Gendhuk Tri baru saja akan melangkah ketika dari pintu berhamburan beberapa orang yang tadi menjaga peti Upasara. Mereka menabrak begitu saja. Apa yang terjadi di ruang tengah memang bisa membuat rasa takut setengah hidup.
Peti yang berada di tengah ruangan, mendadak bergerak sendiri. Bergoyang-goyang. Sesaat ada bersitan dalam pikiran Gendhuk Tri bahwa suatu keajaiban telah terjadi. Tapi Gendhuk Tri bisa menenangkan diri pada bersitan pikiran berikutnya. Adalah tak mungkin sama sekali potongan tubuh yang sebagian sudah menjadi tulang, sebagian sudah membusuk, bisa utuh kembali. Selendangnya bergerak, suaranya mengguntur.
“Dalang gendheng, jangan main-main….”
Dari langit-langit rumah melayang turun tubuh yang sedikit bongkok, wajah yang keruh tapi keras. Ki Dalang Memeling! Hanya Ki Dalang yang mampu menggerakkan benda dari jarak jsuh. Sebutan dalang gendheng, atau dalang kurang waras, merupakan tebakan yang sangat tepat. Dengan sekali melihat Gendhuk Tri bisa mengetahui siapa yang membuat ulah.
“Bagaimana kamu tahu aku ini dalang gendheng? Aku adalah dalang paling hebat dari Desa Memeling yang tanpa tanding. Yang bisa memainkan wayang kulit sambil berbaring.”
“Hari ini aku tidak butuh ucapan kotor semacam itu.”
“Di jagat ini tak ada ucapan kotor, tak ada ungkapan kotor. Kalau ada yang bocor, itu memang kehendak alam.”
“Menyingkirlah dari sini….”
“Lho, kenapa kamu lebih galak dari enam ekor anjing yang sedang beranak? Tubuhmu tegak, matamu membelalak, tapi tak nanti aku bisa kamu gertak. Di jagat ini tak ada gertak. Kamu bilang aku harus menyingkir, justru aku mau berada di sini. Mau terus hadir. Kamu larang aku mempermainkan peti, aku justru mau mengambil….”
Apa yang dikatakan benar-benar dilakukan. Dari tubuhnya, Ki Dalang mengeluarkan tali kampar, tali yang dibuat dari sabut kelapa pilihan. Besarnya separuh kepalan, dan cukup panjang karena sekali disentakkan bisa langsung menggulung peti.
Gendhuk Tri tak membuang waktu sedikit pun. Begitu tali bergerak ujung selendangnya lebih dulu berkibar. Desiran angin menyampok keras, membelokkan ujung tali. Akan tetapi ternyata Ki Dalang cukup lihai memainkan talinya. Bagai ular hidup, ujung tali satunya justru melenggok ke dalam, menyusup, dan menggulung peti. Sementara ujung yang tak tertolak sapuan selendang, kini dipegang. Pada saat itu tubuh Gendhuk Tri sudah berada di sampingnya. Sehingga sebelum Ki Dalang sempat menarik, pinggangnya disodok dengan siku, bersamaan dengan guntingan dua kaki sekaligus.
“Lepas….”
Ki Dalang mengeluarkan seruan tertahan. Serangan Gendhuk Tri mengguyur bagai siraman air hujan. Tak ada peluang sedikit pun untuk menghindar, kalau ingin tetap di tempat. Bahwa Gendhuk Tri lebih mengisyaratkan “lepas”, karena tidak ingin petinya terganggu. Jalan yang terbaik memang melepaskan ujung tali. Di luar dugaan Gendhuk Tri, Ki Dalang meloncat mundur sambil berjumpalitan, dengan tangan tetap memegang tali. Ini berarti peti yang tadi tergulung bisa melayang bagai disentakkan!
Nyatanya tidak. Gulungan tali itu lepas dengan manis, tanpa membuat getaran. Sungguh kemampuan mengendalikan tenaga yang luar biasa. Kalau itu yang terjadi, bisa dibayangkan betapa murka Gendhuk Tri. Kini sambil berdiri tegak, Ki Dalang memainkan tali di bagian tengah. Sehingga dua ujungnya bisa digunakan untuk menyerang. Mematuk, menyelinap, melibat tubuh Gendhuk Tri. Yang tidak membiarkan dirinya dilibat begitu saja. Rentetan serangan dari Kitab Air mengalir dalam tubuh Gendhuk Tri.
Kelihatan tetap tenang, gerakan Gendhuk Tri yang serba perlahan justru bisa mementahkan ikatan. Setiap kali ujung tali mematuk, setiap kali pula Gendhuk Tri bisa menerobos maju. Dua kali mencoba menangkap bagian tengah tak, akan tetapi setiap kali bisa lolos. Ini termasuk mengherankan juga. Tali kampar yang dipilin dari sabut kelapa bukan barang yang licin. Malah boleh dikatakan sangat kasar. Akan tetapi toh di tangan Ki Dalang bisa menjadi licin!
Lima jurus berlalu. Gendhuk Tri mulai mengubah gerakannya. Kini tak lagi mengikuti arus sungai yang tenang, akan tetapi menambah getaran di tangan, dan terutama kaki. Pertarungan berkembang tajam, karena empat selendang Gendhuk Tri secara langsung mengarah ke wajah lawan, menyingkirkan tali, di samping guntingan kaki yang mau tak mau membuat Ki Dalang berloncatan, seakan menghindari rembesan air.
“Aku tahu jalan pikiranmu. Kamu heran kenapa aku ingin peti itu. Karena itu milikku. Akulah yang harus merawatnya dan memperlakukan seperti tubuhku. Kalian tak punya hak untuk mencampuriku. Aku tahu jalan pikiranmu. Kamu heran kenapa aku tak mau mengurusi Galgendu. Tubuhnya sudah mulai bau, sudah kaku, dan tak ada apa-apanya yang berharga, bahkan juga kukunya.”
Nyai Demang yang berada di pinggir, merasakan betapa tajam ungkapan Ki Dalang. Bisa mengutarakan secara pas apa yang dipikirkan orang lain. Pertanyaan pertama tentunya: Kenapa Ki Dalang mau mengurusi peti Upasara, sementara Wong Agung Galgendu dibiarkan begitu saja? Bukankah sejauh ini hanya dua orang yang bebas keluar-masuk Gua Kencana, yaitu Ki Dalang dan Wong Agung? Bukankah itu pertanda hubungan yang sangat dekat dan istimewa?
“Aku tahu semuanya, meskipun dibilang dalang kurang sesaji, dalang kurang persembahan. Aku lebih waras dari kalian.”
Tangisan Masa Lalu
SAMBIL terus mengoceh, Ki Dalang berusaha membebaskan diri dari serangan Gendhuk Tri. Yang terakhir ini menjadi tidak sabar. Dengan mengertakkan gigi, Gendhuk Tri merangsek lebih dalam. Gerakannya menjadi makin tajam, menyuruk masuk. Bentrokan tenaga tak dihindari, sabetan dan gulungan tali yang jelas-jelas mengarah ke leher tak dipedulikan.
Gendhuk Tri terus mengurung dengan tebaran selendangnya. Ia memainkan bagian yang disebut ngelebi, menggenangi. Sifat dasar permainan silat Gendhuk Tri ialah sifat air. Yang tenang, mengalir ke tempat rendah. Sekarang pun pola itu yang dipakai, hanya saja bukan ketenangan yang digunakan, melainkan tenaga keras. Sehingga bukan tenaga air mengalir ke tempat rendah, melainkan tenaga air yang ngelebi yang mengurung dan menggenangi, untuk membenamkan.
Tanpa memedulikan hambatan yang ada. Semua serangan yang datang disampok keras. Kibaran selendangnya benar-benar mengurung habis, sehingga Ki Dalang tampak tak bisa menghindarkan diri. Satu gulungan tubuh disertai tebaran selendang, membuat Gendhuk Tri dua tindak maju. Tangan kirinya memapak serangan keras tangan kanan, kedua kakinya siap menjebol kuda-kuda Ki Dalang. Kena! Seruan dalam hati ini tertahan. Karena meskipun selendang Gendhuk Tri berhasil menutup wajah Ki Dalang, kedua ujung tali Ki Dalang berhasil menggulung peti. Sehingga kalau Gendhuk Tri berbuat sesuatu, peti itu yang rontok lebih dulu.
“Aku yang menang. Aku yang bisa membaca dengan tenang. Saat kamu menguasaiku, sebetulnya aku yang menguasaimu. Masih akan kamu teruskan melumatkan wajahku?”
Gendhuk Tri menarik selendangnya dengan kesal. Ki Dalang juga melepaskan ikatan pada peti. Sekali lagi tanpa membuat peti itu bergoyang sedikit pun. Hanya saja yang tidak diperhitungkan oleh Ki Dalang bisa terjadi! Begitu terlepas dari belitan peti, Gendhuk Tri menjatuhkan dirinya ke bawah merosot ke arah depan. Kedua kakinya terangkat ke atas, menggunting tubuh Ki Dalang.
“Apa ini?”
Seruan keras dibarengi dengan loncatan tubuh ke atas, melengkung dengan punggung ke dalam. Loncatan yang memesona, karena Ki Dalang mempergunakan tenaga yang berada di tulang belakang. Sehingga bisa jatuh secara jungkir balik dan menarik untuk ditonton. Nyai Demang memuji cara Ki Dalang meloloskan diri dari serangan mendadak. Cara mempergunakan tenaga di bagian punggung adalah sesuatu yang luar biasa. Tapi Gendhuk Tri jauh lebih siap. Begitu kedua tangan Ki Dalang menyentuh tanah, langsung kena serimpung kedua kakinya. Tanpa bisa menghindar lagi, Ki Dalang terbanting.
“Apa hebatnya Siasat Sembilan Bintang yang sudah ketinggalan zaman?”
Ki Dalang meringis. “Siapa kamu?”
“Namaku Gendhuk Tri.”
“Bagaimana mungkin kamu tahu apa yang aku tidak tahu?”
Wajah Gendhuk Tri sedikit berubah. Tak ada lagi perasaan gelisah. “Ilmu silatmu cukup bagus, Paman. Sejak Paman bisa memainkan wayang dari jarak jauh, saya sudah bisa menduga dari mana asal-usul ilmu silat yang merupakan tetiron ajaran Kitab Bumi. Begitu Paman membalikkan tubuh dengan tenaga bagian belakang, semua anak juga tahu itu jurus Nawagraha, sehingga sekali tebas, Paman akan meraung kesakitan.”
Dalam pendengaran Nyai Demang, gaya penyebutan Gendhuk Tri yang memanggil “Paman”, merupakan tanda hormat. Bisa dimengerti karena kemudian Gendhuk Tri menjelaskan dengan menyebut Siasat Sembilan Bintang. Rangkaian jurus pelipatan tenaga sembilan kali yang selama ini dimainkan oleh Maha Singanada!
Gendhuk Tri bukan hanya mengetahui, akan tetapi bahkan pernah memainkan. Lebih dari itu semua, Gendhuk Tri pernah memainkan bersama-sama Maha Singanada. Bisa dimengerti kalau ketika Ki Dalang memainkan jurus itu, sekali lihat langsung tahu titik lemahnya. Yaitu dengan menyerimpung tangan Ki Dalang. Bukan sesuatu yang luar biasa. Bukan sesuatu yang luar biasa kalau Gendhuk Tri bisa mematahkan serangan lawan seketika.
Yang luar biasa adalah bahwa bisa dengan cepat mengenali gerakan lawan, dan memastikan langkah penangkalnya. Bahkan ia mengenali ilmu silat Nawagraha, tidak berarti segera mengenali hanya dari satu jurus. Dalam hal ini, Nyai Demang mengakui Gendhuk Tri bisa maju pesat ilmunya, karena memiliki naluri yang sangat tajam. Naluri mengenali lawan, dan dengan sama cepatnya berani mengambil keputusan.
Nyai Demang merasa, unsur inilah yang membuat Gendhuk Tri bisa melebihi sesama pendekar. Termasuk dirinya. Yang dalam situasi seperti yang dialami Gendhuk Tri, tak berani menghadapi risiko dengan memotong gerakan tangan lawan. Gendhuk Tri memang berbeda dan Nyai Demang. Kalau yang terakhir ini mempelajari dari berbagai kitab dan mengolah dalam pikiran, sebaliknya Gendhuk Tri terjun ke lapangan, jauh sebelum mengenal kitab. Semua yang dilakukan mengalir dengan sendirinya, sebagaimana orang yang melatih reaksi secara langsung.
“Paman Senopati Mapanji, tak perlu berpura-pura menjadi dalang gila…”
Mendadak Ki Dalang meraung keras. Tubuhnya berkelojotan. Tangannya memukul lantai ruangan sehingga batunya retak. Tangannya sendiri berdarah. “Itu tidak betul. Senopati Mapanji Paksa sudah lama menyerahkan keris Keraton. Ia sudah tak ada lagi. Itu tidak betul. Kamu kena kibul.”
“Apa pun yang Paman katakan, Paman tak bisa menyembunyikan diri terus-menerus….”
“Lihat, aku hampir menangis. Hatiku teriris, karena dituduh yang bukan-bukan. Apa yang kamu omongkan?”
Gendhuk Tri mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kemudian meluruskan rambutnya, dan menggelung dengan rapi. Sorot matanya berubah iba. “Baik, kalau begitu kemauan Paman. Sebagai Ki Dalang Memeling, apa yang Paman inginkan sekarang ini?”
Nyai Demang mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali, disertai helaan napas yang dalam. Sangat dalam. Sekali lagi tak bisa dipungkiri, ia memuji kemajuan Gendhuk Tri. Bukan hanya dalam ilmu silat, akan tetapi juga dalam kedewasaan berpikir dan bertindak. Dalam sekejap bisa menduga jurus lawan, dan kemudian mematahkan. Dalam sekejap bisa menebak siapa lawan, dan kemudian membiarkan saja. Ini luar biasa.
Justru setelah Gendhuk Tri mengetahui bahwa Ki Dalang adalah Senopati Mapanji Paksa, pada saat yang sama Gendhuk Tri menyadari tak perlu mendesakkan kenyataan itu kepada yang bersangkutan. Karena Ki Dalang sudah menolak mengakui dirinya sebagai Senopati Mapanji Paksa, senopati utusan Keraton Singasari ke Negeri Campa. Menolak keras, karena peristiwa yang dialami dengan Dyah Ayu Tapasi.
Duka lama yang ditelan untuk dihancurluluhkan. Berubah menjadi Ki Dalang yang dipaksakan, menjadi dirinya yang baru pribadinya yang baru, sehingga semua jalan pikiran benar ditolak. Ada tepatnya sebutan dalang gendheng, karena secara total ingin mengubah sosoknya. Dan Gendhuk Tri cukup arif untuk tidak menelanjangi kenyataan yang sesungguhnya.
“Aku mau peti itu. Karena yang berada di dalam itu milikku.”
Ki Dalang berdiri kembali. Suaranya lantang. “Kamu bisa mengalahkanku satu kali. Tanganku keduanya sakit sekali. Tapi aku tetap akan merebut.”
“Ki Dalang keliru. Yang Ki Dalang inginkan adalah Sodagar Galgendu….”
“Orang itu hanya gemuk tubuhnya. Tak lebih. Aku sedih. Karena selama ini Galgendu hanya mau membuat semua dari emas, menggali emas. Itu juga aku yang mengajari. Tidak, Galgendu tak pantas dirawat dan dicandikan. Orang dalam peti itu yang pantas.”
“Kita akan merawat bersama-sama, Paman.”
“Tidak bisa. Jangan coba.”
Permaisuri Pengayom
KI DALANG MEMELING yang tak lain adalah Senopati Mapanji Paksa menggerakkan tali kamparnya. Seketika menjadi lurus mengarah ke peti. Bahwa orang yang mempelajari tenaga dalam bisa menyalurkan lewat seutas tambang bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi bahwa Ki Dalang mampu menyalurkan secara penuh pada tambang yang panjangnya hampir dua setengah tombak secara lurus, boleh dikatakan termasuk luar biasa.
Kali ini Nyai Demang yang bergerak cepat. Begitu ujung tali hampir menyentuh peti, Nyai Demang mengibaskan keras. Akibatnya agak di luar dugaan Nyai Demang. Ujung tali tambang mematuk tangan Nyai Demang.
“Aduh!” Teriakan yang mengagetkan.
Gendhuk Tri sendiri tidak menduga bahwa Nyai Demang bisa kena diserang dalam satu jurus yang dimainkan secara lurus. Lempeng saja gerakan tali mengeras itu. Nyatanya Nyai Demang tak sempat menghindar. Kibasan berikutnya, Ratu Ayu yang berada di tengah ruangan. Di tangannya tergenggam Kangkam Galih.
Tanpa memberi pembukaan, Ratu Ayu menebaskan pedangnya yang tipis hitam panjang. Ki Dalang menarik pulang tambangnya, mengganti dengan ujung yang lain untuk menyerang. Tapi Ratu Ayu sempat dengan mudah menggerakkan batang pedangnya untuk menangkis, mengusir, dan sekaligus balas menyerang. Satu lompatan panjang, Ratu Ayu sudah bisa berdiri dekat sekali. Ketika Ki Dalang melibatkan talinya, hanya dengan sekali sentak tali itu putus jadi beberapa potongan kecil.
“Ratu, kita tak perlu membuat permusuhan dan pertumpahan darah di depan Kakang….”
Suara Gendhuk Tri menghentikan pertarungan, untuk sesaat. Gendhuk Tri memang merasa kurang enak membiarkan Ratu Ayu melukai Ki Dalang. Baik karena Ki Dalang ayah kandung Maha Singanada maupun sebab yang diutarakan.
“Biar bagaimanapun, aku yang merawat peti. Aku yang memiliki. Suara hatiku mengatakan, persis yang kukatakan sekarang ini.”
“Kalau begitu kita rawat bersama, Paman.”
“Begitu juga boleh.”
“Nah sekarang Paman mencari pendeta yang bijak untuk memimpin upacara.”
“Bisa saja. Apa susahnya. Dengan emas segede kepala, apa saja bisa.”
Ratu Ayu menangkap maksud Gendhuk Tri. Yang memperlakukan Ki Dalang sebagai orang yang kurang waras. Agaknya itu jalan keluar yang lebih baik. Untuk sesaat mereka semua malah bisa berbagi tugas. Dan ternyata Ki Dalang mempunyai wawasan yang luas. Pandangan yang selama ini tak dimengerti Gendhuk Tri. Meskipun saat itu sebenarnya Gendhuk Tri tak mempunyai minat mendengarkan.
“Kamu tahu apa, gadis manis? Kulit manusia itu tipis. Mudah tergores, apalagi oleh emas dan oleh keris. Emas dianggap sangat luar biasa berharga. Seakan jagat dan isinya bisa dibeli semua. Memang benar begitu. Aku dan Galgendu menemukan tempat penambangan emas di sini. Itu biasa-biasa. Sampai kemudian aku menemukan cara yang baik untuk mengelabui sesama mata. Aku bisa melapis. Aku bisa membuat tali tambang ini seakan seluruhnya dari emas. Padahal hanya dilapis saja. Semua orang percaya. Termasuk Raja, termasuk orang seberang. Jadilah kami berdua sangat kaya raya. Mampu membangun pohon kelapa dari emas. Memang bisa. Tapi sebenarnya hanya lapisan luar. Hanya kulitnya yang bisa terbakar. Gadis manis, kapan-kapan kamu akan kuajari bagaimana membuat lapisan seperti itu. Peti itu kita lapis, dan semua orang mengira seluruhnya emas. Bukankah itu menarik?”
“Saya kurang mengerti, Paman.”
“Lebih banyak yang tidak mengerti makin baik. Jadi setiap orang tetap tertarik, matanya melirik.”
“Saya kurang mengerti kenapa Paman tertarik menjadi dalang.”
Agaknya ini pertanyaan yang keliru dilontarkan. Karena dengan sangat bersemangat Ki Dalang bercerita sejak awal bagaimana wayang kulit yang hanya terbuat dari kulit bisa membuat orang menangis, tertawa, mati, dan hidup lagi. Bagaimana memindahkan sukma ke dalam kulit, dan menggerakkannya. Tidak menggerakkan dengan tangan secara langsung, akan tetapi dengan rasa. Itulah sesungguhnya ilmu yang paling sejati.
Kalau hanya mewarisi bagaimana memainkan wayang, semua orang asal tidak buntung tangannya dan tidak kutung pikirannya, pasti bisa. Akan tetapi menerima nilai yang benar, yaitu menerima sukmanya, tak bisa ditangkap sembarang orang. Itu sebabnya Ki Dalang memilih menjadi dalang. Karena dengan menjadi dalang… Makin panjang cerita Ki Dalang, Gendhuk Tri makin tak betah mendengarkan.
“Bagaimana kalau Paman mencari pendeta sekarang ini?”
“Itu gampang. Asal ada uang, semua pendeta bakal datang. Doa sangat mudah melayang, dan biasanya menjadi panjang. Jangan kuatir, jangan terlalu banyak mikir. Tunggulah sesaat. Tak akan terlambat. Aku segera berangkat.”
Yang tertinggal dalam ingatan Gendhuk Tri hanyalah setitik pengertian. Bahwa Ki Dalang ataupun Singanada menjadi tidak waras kalau disinggung mengenai Dyah Tapasi. Tapi selebihnya biasa-biasa saja. Walau masing-masing mempunyai pembawaan yang berbeda. Setitik pengertian yang tertinggal itu adalah kenyataan betapa sesungguhnya hati manusia sangat rawan. Peristiwa yang hanya terjadi satu kali, satu saat, bisa berakibat begitu panjang. Sepanjang perjalanan hidup mereka masing-masing. Bahkan kadang melebihi.
Seperti yang terjadi pada Eyang Berune, yang bahkan setelah meninggal masih penasaran karena daya asmara yang terpendam terhadap Eyang Putri Pulangsih. Contoh yang juga terjadi pada diri Ki Dalang. Dyah Tapasi memutuskan untuk menghancurkan dirinya, menghancurkan daya asmaranya. Hal itu membuat Senopati Agung Brahma mengucilkan diri dan Ki Dalang melepaskan semua derajat dan pangkat, menanggalkan kewarasan pikiran, sehingga mengubah dirinya. Bukankah itu pula yang dialami Dewa Maut?
Yang memutuskan hidup sebatang kara di atas perahu, setelah kekasihnya lepas dari genggamannya? Sehingga melarikan diri untuk hidup bersama sesama kaum lelaki? Kalau benar begitu, apa sesungguhnya daya asmara itu? Yang mampu membuat manusia jungkir balik? Bagaimana dengan dirinya sendiri?
Gendhuk Tri tercenung. Daya asmara yang bersemi dalam dirinya terhadap Kakang Upasara dipendam. Yang muncul ke permukaan kemudian adalah penerimaan pada Singanada. Pada saat itu pula muncul Pangeran Anom, yang dengan tulus, yang dengan segala kepolosannya menyatakan daya asmaranya. Kenapa dirinya tidak bertemu dengan Pangeran Anom saja lebih dulu? Kenapa justru sesaat setelah hatinya menerima Singanada, muncul Pangeran Anom? Gendhuk Tri membuang pikiran mengenai Pangeran Anom. Akan tetapi menjadi kejutan yang tak dimengerti sendiri ketika Ki Dalang kembali dan bercerita tentang Pangeran Anom. Tak masuk akal!
“Betul, gadis manis, perawan manis. Ini aku membawa serombongan prajurit Keraton yang datang untuk menjemputmu, menjemput Permaisuri Rajapatni. Mereka mengetahui kamu di sini dari Pangeran Anom, putra Senopati Agung Brahma yang tak ikut ke seberang.”
“Apa hubungannya, Paman? Bukankah Paman mencari pendeta?”
“Aku memang mencari pendeta, tapi ketemu mereka. Jadi aku antar saja. Lagi pula mereka menginginkan Permaisuri untuk menjadi pengayom, untuk menjadi pelindung di Keraton. Permaisuri dan kalian semua harus berada di Keraton. Agar Keraton tidak sepi, agar… agar… apa tadi?”
Nyai Demang yang datang kemudian mengerutkan dahinya. Pandangannya bertatapan dengan Gendhuk Tri. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Nyai Demang mengetahui sesuatu telah terjadi di Keraton. Sesuatu yang sangat menentukan jalannya tata pemerintahan. Tanda pertama ialah ketika beberapa hari lalu mereka masuk ke halaman kaputren, dan hanya dikawal para prajurit biasa. Suasana Keraton boleh dikatakan sangat sepi. Tak ada yang secara resmi menguasai dan memutuskan sesuatu.
Bahkan sampai mereka selesai membawa balik jenazah Upasara, boleh dikata tak ada halangan yang berarti. Kalau dihubung-hubungkan dengan cerita Gendhuk Tri, adanya kidung pambagya di kulit pohon juga menunjukkan keleluasaan bagi orang luar. Seakan Keraton tak ada wibawanya lagi.
Takhta Tanpa Raja
TAK ada yang bisa menduga apa yang sebenarnya tengah terjadi. Tidak yang sekarang berada di Kedung Dawa, atau juga di Simping. Karena yang mengambil prakasa utama adalah Senopati Tantra. Senopati yang masih berdarah muda penuh gelegak merasa bahwa para Senopati Utama yang terdiri atas tujuh dharmaputra selama ini hanya berbisik-bisik dan tak jelas apa yang diinginkan. Setiap kali mau mengambil keputusan, selalu dibayangi keraguan.
Senopati Tantra tak sabar. Dengan prajurit seadanya yang setia kepadanya, senopati muda ini mengambil langkah gawat. Ia memimpin para prajurit utama, dan langsung menyergap ke dalam Keraton. Hampir tak ada pertumpahan darah. Senopati Tantra melucuti prajurit kawal di bagian dalam. Lalu dengan gagah perkasa menemui Raja di tempat peraduannya. Mengatakan bahwa mulai sekarang, semua perintah dan tata penyelenggaraan Keraton berada di tangannya. Tak ada yang berhak memberikan perintah apa pun juga.
Semua terjadi tanpa deru angin lebih keras. Tanpa debu terbang. Tanpa pohon bergoyang. Senopati Tantra menemukan apa yang selama ini dicari-cari. Apa yang ditakuti oleh Tujuh Senopati Utama yang selama ini dikagumi. Ia bisa melakukan. Baru setelah itu, Senopati Tantra mengirim utusan menuju Simping. Memberitahukan bahwa Keraton kini sudah dikuasai secara penuh, dan mohon agar Baginda bersedia duduk kembali di singgasana.
Apa yang menjadi tujuan utama Senopati Tantra bukanlah jabatan dan pangkat mahapatih yang akan diberikan sebagai ganjaran, sebagai hadiah. Melainkan dorongan untuk melakukan langkah besar. Yang tak berani dilakukan oleh mereka yang dikagumi. Mereka yang pernah menjadi senopati perang. Dengan sama girangnya, Senopati Tantra mengirim utusan ke Lumajang, untuk memanggil kembali Mahapatih Nambi, untuk kembali mengabdi kepada Baginda. Mengirim utusan ke Kedung Dawa untuk menjemput Permaisuri Rajapatni.
Karena menurut pandangannya, Permaisuri Rajapatni lah yang pantas menjadi permaisuri utama. Dari Pangeran Anom yang berada dalam tawanan, Senopati Tantra mengetahui bahwa Permaisuri Rajapatni bersama rombongan Gendhuk Tri berada di Kedung Dawa, dan bahwa mereka berhasil membawa kembali tubuh Upasara. Senopati Tantra merasa di puncak awang-awang, kakinya tak menyentuh tanah, tangannya bisa menyentuh awan di langit ketika itu. Maka adalah di luar semua perkiraannya ketika Senopati Kuti datang dengan murka.
“Bocah ingusan, apa yang kau lakukan, hah?”
“Paman Senopati Kuti, harap sabar.”
“Perbuatan terburuk apa yang sedang kau lakukan ini?”
Senopati Tantra mengertakkan giginya. “Paman, sayalah sekarang yang menguasai Keraton. Takhta sedang kosong, karena tak ada raja. Saya meminta, memohon agar Baginda kembali memerintah. Sesuai dengan keinginan Paman semua. Apa saya keliru?”
“Jagat Dewa! Demi Dewa! Langit murka! Kamu bocah ingusan, tak pernah mengerti dunia. Tantra, perbuatanmu sangat berbahaya. Kamu tak tahu apa-apa.”
“Paman, saya tak tahu apa-apa. Baik, tapi sekarang Paman tahu, bahwa saya tak suka dimarahi seperti itu. Sekarang ini Paman Kuti tak bisa mengatakan hal seperti itu kepada saya. Tinggal pilih. Paman ingin menempuh jalan yang mana.”
Senopati Kuti menepuk jidatnya keras sekali. “Tantra! Kamu menantangku?”
“Saya menantang keraguan. Karena setiap keraguan hanya menghasilkan gerutuan. Silakan, Paman Kuti.”
Senopati Kuti menunduk ketika beberapa prajurit bersiaga dengan tombak. Sebagian adalah prajurit-prajuritnya sendiri! Tak masuk akal. “Tantra! Tantra! Dagelan apa yang kau mainkan sekarang ini? Mimpi apa yang membuatmu mabuk seperti ini?”
Senopati Tantra berdiri. “Sekarang Paman mengatakan ingin memilih jalan yang mana? Mengecam saya dan berarti berhadapan, atau menyampaikan apa yang sebenarnya merupakan keinginan Paman sendiri?”
“Haha, kamu mau menawanku?”
Senopati Kuti tak bereaksi ketika para prajurit menyembah ke arahnya, akan tetapi kemudian mengikat kedua tangannya. Di bilik tempat penahanan, Senopati Kuti menangis. Menangis bagai anak-anak. Matanya masih sembap ketika Senopati Tanca masuk dengan tangan yang terikat pula.
“Kisanak Tanca, senopati yang bijak dalam soal pengobatan dan jiwa manusia, sesungguhnya ini semua lelakon apa?”
Senopati Tanca mengangkat alisnya.
Selamat Beristirahat Selamanya
TANGISAN yang memilukan. Gendhuk Tri mencium bau tak enak dan salah satu sudut yang didatangi Permaisuri. Benar saja. Dengan satu sentuhan perlahan, tangannya menyentuh sesuatu yang lunak. Tubuh manusia! Gendhuk Tri tersentak. Ia pernah terkubur hidup-hidup dalam Gua Lawang Sewu, alias Pintu Seribu. Pernah mengalami saat-saat bersama mayat yang telah membeku dan kemudian membusuk. Sekarang semua ingatan kembali menyeruak.
Nyai Demang menunduk lemas. Ratu Ayu melepaskan kainnya bagian luar, juga selendangnya. Demikian juga Gendhuk Tri, yang akhirnya melakukan sendiri. Mengambil bagian-bagian tubuh yang sebagian masih ada sisa daging. Hanya di bagian tertentu telah berubah menjadi tulang. Dengan segala rasa hormat dan getaran hati, Gendhuk Tri mengumpulkan semuanya dalam kain, dan membungkusnya hati-hati.
Bersemadi sebentar. Menghela napas berat. Lalu membawa kembali ke atas tanah dengan sekali lompat. Tangannya terulur ke bawah. Nyai Demang menyusul sambil membopong tubuh Permaisuri, disusul oleh Ratu Ayu.
“Paman prajurit, terima kasih atas semua bantuan Paman….”
“Kami hanya melakukan tugas.”
“Sekarang kami akan kembali ke Kedung Dawa untuk memberi tempat istirahat yang layak dan selamanya bagi Kakang….”
Gendhuk Tri bersiaga kalau-kalau terjadi sesuatu. Ternyata bahkan sampai gerbang Keraton bagian luar, tak ada yang mengganggu, bahkan tak ada yang menegur sapa. Para prajurit yang mengawal juga berhenti dan segera meninggalkan.
Yang kemudian menyambut ialah mereka yang tadi melayani Gendhuk Tri. Yang malah lebih siap dengan peti dan kain putih, dan segera merukti, merawat, dengan sangat hormat. Dengan memberi wangi-wangian dari bunga serta dupa. Bahkan kemudian menyediakan kereta sapi.
“Kami siap mengantarkan sampai ke Kedung Dawa….”
“Terima kasih. Sampaikan rasa terima kasih yang dalam dari kami, kepada siapa pun telah berbuat begitu baik. Karena kami tak mau menunggu lama, sebaiknya berangkat sekarang juga.”
“Sesuai dengan perintah Putri….”
Yang agak merepotkan hanyalah Permaisuri yang tidak pernah sadar sejak keluar dari Keraton. Berkali-kali dan berganti-ganti Nyai Demang dan Ratu Ayu berusaha menyadarkan, akan tetapi hasilnya sia-sia.
Gendhuk Tri lebih memusatkan perhatian di depan, untuk memimpin perjalanan. Sampai matahari tenggelam, tak ada gangguan apa-apa. Ketika rombongan mengusulkan beristirahat, Gendhuk Tri mengatakan bahwa ia akan terus melanjutkan perjalanan.
“Saya tak mau menahan Kakang dalam perjalanan. Kalian cukup mengantar sampai di sini. Selanjutnya saya bisa mengawal sendiri….”
“Kami berkewajiban mengantar sampai selesai….”
“Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan….”
Tekad Gendhuk Tri sudah tak terbantah oleh siapa pun. Ratu Ayu sendiri tak memberi reaksi apa-apa. Demikian juga Nyai Demang yang merasa bahwa Gendhuk Tri mampu memutuskan secara tegas dan jelas.
Hari kedua rombongan pengantar benar-benar tak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Namun Gendhuk Tri tetap berkeras melanjutkan perjalanan. Ketika itulah rombongan lain datang dan siap membantu melanjutkan perjalanan. Gendhuk Tri tak mempertanyakan siapa yang menyuruh dan bagaimana urusan di belakang hari. Ia hanya mengangguk sebagai isyarat dilanjutkannya perjalanan ke Kedung Dawa.
Ternyata perjalanan yang terus-menerus tak mengubah kesadarannya sedikit pun. Gendhuk Tri tetap bersemangat, tetap berada di depan, dengan pandangan mata nyalang. Hanya menjelang memasuki perkampungan Gua Kencana, Gendhuk Tri memerintahkan rombongan berhenti. Nyai Demang turun dari kereta.
“Kamu jaga di sini. Sekarang giliran saya menyelinap ke dalam. Agaknya ada yang tak beres.”
“Hati-hati, Mbakyu… Saya, akan segera menyusul ke sana.”
“Hati-hati juga. Jaga dirimu, dan Adimas Upasara….”
Gendhuk Tri mengangguk. Nyai Demang menepuk pundak Gendhuk Tri, lalu segera bergegas pergi. Langkahnya tidak terlalu ringan, akan tetapi dengan mengerahkan tenaga terus-menerus, tak berapa lama bisa sampai di lapangan terbuka. Benar dugaannya. Tempat yang ramai belum sepuluh hari lalu, kini tampak berubah sunyi. Hanya ada beberapa orang yang masih tinggal. Ketika Nyai Demang berusaha masuk ke rumah Wong Agung Galgendu hanya ada empat prajurit yang mengawal.
“Siapa yang datang?”
“Namaku Nyai Demang. Aku sahabat Wong Agung. Izinkan aku masuk dan menemui beliau….”
“Ada urusan apa?”
Tangan Nyai Demang terulur, mendorong keempat prajurit yang tidak siap. Dengan sekali menggertak, Nyai Demang melangkah masuk.
“Maaf, aku tergesa….”
Dengan sekali membalik, tangan dan kaki Nyai Demang bergerak bersamaan. Keempat prajurit, semuanya, menerima tendangan dan pukulan. Tanpa bisa mengelak. Nyai Demang serasa terbang masuk ke rumah. Sepi. Hatinya bercekat. Begitu masuk ke ruangan dalam, hatinya lebih bercekat lagi. Karena ruangan utama yang mewah itu sekarang porak-poranda. Hanya ada satu ranjang, dan di atasnya berbaring tubuh yang mengerang. Sementara beberapa orang yang mengelilingi memandang takut kepada Nyai Demang.
“Wong Agung…”
Nyai Demang segera mendekat. Tangannya memegang nadi Wong Agung yang terbujur tak bergerak. Terasakan bahwa Wong Agung sangat menderita. Segera Nyai Demang mematikan sementara saraf yang menyebabkan rasa sakit. Wong Agung mengerang satu kali, setelah itu terlelap. Mereka yang mengelilingi memandang hormat.
“Ceritakan apa yang terjadi….”
Baru kemudian keadaannya menjadi jelas. Bahwa setelah keberangkatan rombongan Ratu Ayu, Kedung Dawa kedatangan tamu lain, yang jumlahnya tak lebih dari lima orang. Para tamu ini memaksa masuk ke Gua Kencana. Terjadilah pertarungan yang tak seimbang. Semua prajurit kawal dibunuh tanpa kecuali. Bahkan seluruh isi rumah diobrak-abrik, semua barang yang ada dijungkirbalikkan.
“Apa yang mereka cari?”
“Kami kurang mengetahui. Hanya Wong Agung yang mulia yang mengetahui… Saat itu Wong Agung yang mulia sedang menyiapkan pencandian Ksatria Pa…”
“Cukup. Kalian rawat baik-baik. Sampai esok, Wong Agung masih akan terlelap. Saya akan segera kembali kemari. Kalau ada apa-apa, hadapi sebisanya.”
Nyai Demang tidak membuang waktu. Segera kembali ke tempat Gendhuk Tri, yang ternyata tak menunggu. Sehingga mereka bisa bertemu di separuh perjalanan. Gendhuk Tri mendengarkan dengan pandangan tak berubah sedikit pun.
“Mbakyu Demang, rencana kita tak boleh berubah. Kita adakan upacara untuk Kakang….”
“Rasa-rasanya harus dalam bentuk lain. Kini tak ada lagi pendeta, tak ada lagi…”
“Dalam bentuk yang bagaimanapun. Mbakyu melihat keanehan apa?”
“Sulit dikatakan sekarang. Rombongan yang datang mengacau, jelas dari kalangan yang mengerti ilmu silat dan bertindak bengis. Semua prajurit dibunuh tanpa peduli. Tak ada yang bersisa lagi.”
“Sasaran mereka adalah Gua Kencana, untuk merampok emas….”
“Tidak juga. Kalau hanya itu, agaknya tak perlu menghancurleburkan. Dan agak susah juga, karena prajurit Keraton pun ada di situ. Pastilah bukan orang biasa.”
“Mbakyu, kita membagi tugas. Mulai sekarang ini agaknya hanya kita yang masih bisa waras. Kita mempersiapkan pencandian Kakang, dan melihat kemungkinan yang terjadi. Mulai sekarang ini, siapa pun yang menghalangi, akan kita hadapi bersama.”
Untuk pertama kalinya sejak mengenal Gendhuk Tri, Nyai Demang merasa gentar. Kalimat Gendhuk Tri seakan membeset dari luka hati yang dalam. Tekad yang meniadakan kemungkinan lain. Gendhuk Tri yang tadinya dianggap paling jernih, kini telah berubah. Gendhuk Tri saat ini memancarkan sorot mata ganas dan telengas.
Dalang Kurang Sesaji
APA yang dilakukan Gendhuk Tri seperti apa yang biasa dilakukan oleh lima orang sekaligus. Dengan wajah dingin ia memerintahkan persiapan upacara pencandian Upasara Wulung. Pada saat yang sama ia ikut mengumpulkan kayu bakar, menyiapkan dupa, mengatur letak pemasangan batu utama, dan mencari tujuh ekor sapi yang tanduknya gagah untuk dikorbankan.
Rambutnya sengaja dibiarkan tergerai. Kain yang dipakai adalah kain yang digunakan untuk mengangkat tulang Upasara. Nyai Demang merasa ngeri, akan tetapi tak bisa berbuat sesuatu untuk menahan. Juga tak ada alasan. Hanya sekali Gendhuk Tri kembali ke ruang dalam, memeriksa nadi Wong Agung Galgendu. Lalu menggeleng.
“Tak ada harapan lagi. Bagian dalamnya luka parah, hancur…”
Suara Ratu Ayu seperti bergema di ruang kosong. “Siapa lagi yang tega berbuat seperti ini? Rasanya tak ada lagi tokoh yang bisa berkeliaran tanpa kita kenal. Mungkinkah Kiai Sambartaka muncul kembali?”
Gendhuk Tri tak menjawab. Meskipun dalam hatinya setengah membenarkan dugaan Ratu Ayu. Tokoh sakti yang bisa berbuat telengas sekarang ini boleh dikatakan tinggal Kiai Sambartaka. Yang bisa berbuat jahat menghabisi semua prajurit atau ksatria yang menghalangi jalannya. Satu per satu dihabisi. Dan dilihat dari rontoknya bagian dalam tubuh Wong Agung Galgendu, hanya mungkin dilakukan oleh tokoh setingkat Kiai Sambartaka. Apalagi bekas luka dalam yang diakibatkan jelas menunjukkan pengaruh itu.
“Agak aneh juga. Untuk apa ia menghancurkan ini semua?”
Pertanyaan yang sama bukannya tidak menggoda Gendhuk Tri. Hanya saja ia lebih suka memusatkan perhatian kepada hal lain. Karena siapa pun. Yang begitu ganas melakukan hal itu, tak akan mengubah kenyataan yang ada. Sehingga akan lebih baik memikirkan langkah apa yang akan dihadapi.
“Tunggui Wong Agung, Ratu… Biarkan di saat-saat terakhir dalam hidupnya Wong Agung merasa bahagia karena berada di dekat orang yang dicintainya.”
Tanpa terasa Ratu Ayu meneteskan air mata. “Gendhuk manis, sekarang ini aku tahu bahwa Wong Agung lebih bahagia dari Raja Turkana. Yang di saat terakhir tak ada yang menunggui…”
Suara keharuan yang terulang. Seakan setiap kali, setiap saat, setiap peristiwa bisa ditarik perbandingannya dengan Upasara. Dan itu berarti membeset luka lama yang belum bisa pulih. Sebenarnya baik Ratu Ayu, Gendhuk Tri, maupun Nyai Demang sadar bahwa usaha mendampingi Wong Agung sia-sia belaka. Mereka bertiga sadar bahwa keadaan Wong Agung lebih buruk dari yang diperkirakan. Kalau sekarang masih terbaring dan bernapas satu-satu, hanya jasmaninya saja yang bertahan. Selebihnya tak bisa merasakan apa-apa, tak bisa bereaksi. Pun kelopak matanya.
Namun Ratu Ayu melakukan apa yang dikatakan Gendhuk Tri. Bersila di samping Wong Agung, memanjatkan doa mengantarkan kepergian untuk selamanya. Ketika itu dari ruang tengah terdengar jeritan ketakutan. Gendhuk Tri baru saja akan melangkah ketika dari pintu berhamburan beberapa orang yang tadi menjaga peti Upasara. Mereka menabrak begitu saja. Apa yang terjadi di ruang tengah memang bisa membuat rasa takut setengah hidup.
Peti yang berada di tengah ruangan, mendadak bergerak sendiri. Bergoyang-goyang. Sesaat ada bersitan dalam pikiran Gendhuk Tri bahwa suatu keajaiban telah terjadi. Tapi Gendhuk Tri bisa menenangkan diri pada bersitan pikiran berikutnya. Adalah tak mungkin sama sekali potongan tubuh yang sebagian sudah menjadi tulang, sebagian sudah membusuk, bisa utuh kembali. Selendangnya bergerak, suaranya mengguntur.
“Dalang gendheng, jangan main-main….”
Dari langit-langit rumah melayang turun tubuh yang sedikit bongkok, wajah yang keruh tapi keras. Ki Dalang Memeling! Hanya Ki Dalang yang mampu menggerakkan benda dari jarak jsuh. Sebutan dalang gendheng, atau dalang kurang waras, merupakan tebakan yang sangat tepat. Dengan sekali melihat Gendhuk Tri bisa mengetahui siapa yang membuat ulah.
“Bagaimana kamu tahu aku ini dalang gendheng? Aku adalah dalang paling hebat dari Desa Memeling yang tanpa tanding. Yang bisa memainkan wayang kulit sambil berbaring.”
“Hari ini aku tidak butuh ucapan kotor semacam itu.”
“Di jagat ini tak ada ucapan kotor, tak ada ungkapan kotor. Kalau ada yang bocor, itu memang kehendak alam.”
“Menyingkirlah dari sini….”
“Lho, kenapa kamu lebih galak dari enam ekor anjing yang sedang beranak? Tubuhmu tegak, matamu membelalak, tapi tak nanti aku bisa kamu gertak. Di jagat ini tak ada gertak. Kamu bilang aku harus menyingkir, justru aku mau berada di sini. Mau terus hadir. Kamu larang aku mempermainkan peti, aku justru mau mengambil….”
Apa yang dikatakan benar-benar dilakukan. Dari tubuhnya, Ki Dalang mengeluarkan tali kampar, tali yang dibuat dari sabut kelapa pilihan. Besarnya separuh kepalan, dan cukup panjang karena sekali disentakkan bisa langsung menggulung peti.
Gendhuk Tri tak membuang waktu sedikit pun. Begitu tali bergerak ujung selendangnya lebih dulu berkibar. Desiran angin menyampok keras, membelokkan ujung tali. Akan tetapi ternyata Ki Dalang cukup lihai memainkan talinya. Bagai ular hidup, ujung tali satunya justru melenggok ke dalam, menyusup, dan menggulung peti. Sementara ujung yang tak tertolak sapuan selendang, kini dipegang. Pada saat itu tubuh Gendhuk Tri sudah berada di sampingnya. Sehingga sebelum Ki Dalang sempat menarik, pinggangnya disodok dengan siku, bersamaan dengan guntingan dua kaki sekaligus.
“Lepas….”
Ki Dalang mengeluarkan seruan tertahan. Serangan Gendhuk Tri mengguyur bagai siraman air hujan. Tak ada peluang sedikit pun untuk menghindar, kalau ingin tetap di tempat. Bahwa Gendhuk Tri lebih mengisyaratkan “lepas”, karena tidak ingin petinya terganggu. Jalan yang terbaik memang melepaskan ujung tali. Di luar dugaan Gendhuk Tri, Ki Dalang meloncat mundur sambil berjumpalitan, dengan tangan tetap memegang tali. Ini berarti peti yang tadi tergulung bisa melayang bagai disentakkan!
Nyatanya tidak. Gulungan tali itu lepas dengan manis, tanpa membuat getaran. Sungguh kemampuan mengendalikan tenaga yang luar biasa. Kalau itu yang terjadi, bisa dibayangkan betapa murka Gendhuk Tri. Kini sambil berdiri tegak, Ki Dalang memainkan tali di bagian tengah. Sehingga dua ujungnya bisa digunakan untuk menyerang. Mematuk, menyelinap, melibat tubuh Gendhuk Tri. Yang tidak membiarkan dirinya dilibat begitu saja. Rentetan serangan dari Kitab Air mengalir dalam tubuh Gendhuk Tri.
Kelihatan tetap tenang, gerakan Gendhuk Tri yang serba perlahan justru bisa mementahkan ikatan. Setiap kali ujung tali mematuk, setiap kali pula Gendhuk Tri bisa menerobos maju. Dua kali mencoba menangkap bagian tengah tak, akan tetapi setiap kali bisa lolos. Ini termasuk mengherankan juga. Tali kampar yang dipilin dari sabut kelapa bukan barang yang licin. Malah boleh dikatakan sangat kasar. Akan tetapi toh di tangan Ki Dalang bisa menjadi licin!
Lima jurus berlalu. Gendhuk Tri mulai mengubah gerakannya. Kini tak lagi mengikuti arus sungai yang tenang, akan tetapi menambah getaran di tangan, dan terutama kaki. Pertarungan berkembang tajam, karena empat selendang Gendhuk Tri secara langsung mengarah ke wajah lawan, menyingkirkan tali, di samping guntingan kaki yang mau tak mau membuat Ki Dalang berloncatan, seakan menghindari rembesan air.
“Aku tahu jalan pikiranmu. Kamu heran kenapa aku ingin peti itu. Karena itu milikku. Akulah yang harus merawatnya dan memperlakukan seperti tubuhku. Kalian tak punya hak untuk mencampuriku. Aku tahu jalan pikiranmu. Kamu heran kenapa aku tak mau mengurusi Galgendu. Tubuhnya sudah mulai bau, sudah kaku, dan tak ada apa-apanya yang berharga, bahkan juga kukunya.”
Nyai Demang yang berada di pinggir, merasakan betapa tajam ungkapan Ki Dalang. Bisa mengutarakan secara pas apa yang dipikirkan orang lain. Pertanyaan pertama tentunya: Kenapa Ki Dalang mau mengurusi peti Upasara, sementara Wong Agung Galgendu dibiarkan begitu saja? Bukankah sejauh ini hanya dua orang yang bebas keluar-masuk Gua Kencana, yaitu Ki Dalang dan Wong Agung? Bukankah itu pertanda hubungan yang sangat dekat dan istimewa?
“Aku tahu semuanya, meskipun dibilang dalang kurang sesaji, dalang kurang persembahan. Aku lebih waras dari kalian.”
Tangisan Masa Lalu
SAMBIL terus mengoceh, Ki Dalang berusaha membebaskan diri dari serangan Gendhuk Tri. Yang terakhir ini menjadi tidak sabar. Dengan mengertakkan gigi, Gendhuk Tri merangsek lebih dalam. Gerakannya menjadi makin tajam, menyuruk masuk. Bentrokan tenaga tak dihindari, sabetan dan gulungan tali yang jelas-jelas mengarah ke leher tak dipedulikan.
Gendhuk Tri terus mengurung dengan tebaran selendangnya. Ia memainkan bagian yang disebut ngelebi, menggenangi. Sifat dasar permainan silat Gendhuk Tri ialah sifat air. Yang tenang, mengalir ke tempat rendah. Sekarang pun pola itu yang dipakai, hanya saja bukan ketenangan yang digunakan, melainkan tenaga keras. Sehingga bukan tenaga air mengalir ke tempat rendah, melainkan tenaga air yang ngelebi yang mengurung dan menggenangi, untuk membenamkan.
Tanpa memedulikan hambatan yang ada. Semua serangan yang datang disampok keras. Kibaran selendangnya benar-benar mengurung habis, sehingga Ki Dalang tampak tak bisa menghindarkan diri. Satu gulungan tubuh disertai tebaran selendang, membuat Gendhuk Tri dua tindak maju. Tangan kirinya memapak serangan keras tangan kanan, kedua kakinya siap menjebol kuda-kuda Ki Dalang. Kena! Seruan dalam hati ini tertahan. Karena meskipun selendang Gendhuk Tri berhasil menutup wajah Ki Dalang, kedua ujung tali Ki Dalang berhasil menggulung peti. Sehingga kalau Gendhuk Tri berbuat sesuatu, peti itu yang rontok lebih dulu.
“Aku yang menang. Aku yang bisa membaca dengan tenang. Saat kamu menguasaiku, sebetulnya aku yang menguasaimu. Masih akan kamu teruskan melumatkan wajahku?”
Gendhuk Tri menarik selendangnya dengan kesal. Ki Dalang juga melepaskan ikatan pada peti. Sekali lagi tanpa membuat peti itu bergoyang sedikit pun. Hanya saja yang tidak diperhitungkan oleh Ki Dalang bisa terjadi! Begitu terlepas dari belitan peti, Gendhuk Tri menjatuhkan dirinya ke bawah merosot ke arah depan. Kedua kakinya terangkat ke atas, menggunting tubuh Ki Dalang.
“Apa ini?”
Seruan keras dibarengi dengan loncatan tubuh ke atas, melengkung dengan punggung ke dalam. Loncatan yang memesona, karena Ki Dalang mempergunakan tenaga yang berada di tulang belakang. Sehingga bisa jatuh secara jungkir balik dan menarik untuk ditonton. Nyai Demang memuji cara Ki Dalang meloloskan diri dari serangan mendadak. Cara mempergunakan tenaga di bagian punggung adalah sesuatu yang luar biasa. Tapi Gendhuk Tri jauh lebih siap. Begitu kedua tangan Ki Dalang menyentuh tanah, langsung kena serimpung kedua kakinya. Tanpa bisa menghindar lagi, Ki Dalang terbanting.
“Apa hebatnya Siasat Sembilan Bintang yang sudah ketinggalan zaman?”
Ki Dalang meringis. “Siapa kamu?”
“Namaku Gendhuk Tri.”
“Bagaimana mungkin kamu tahu apa yang aku tidak tahu?”
Wajah Gendhuk Tri sedikit berubah. Tak ada lagi perasaan gelisah. “Ilmu silatmu cukup bagus, Paman. Sejak Paman bisa memainkan wayang dari jarak jauh, saya sudah bisa menduga dari mana asal-usul ilmu silat yang merupakan tetiron ajaran Kitab Bumi. Begitu Paman membalikkan tubuh dengan tenaga bagian belakang, semua anak juga tahu itu jurus Nawagraha, sehingga sekali tebas, Paman akan meraung kesakitan.”
Dalam pendengaran Nyai Demang, gaya penyebutan Gendhuk Tri yang memanggil “Paman”, merupakan tanda hormat. Bisa dimengerti karena kemudian Gendhuk Tri menjelaskan dengan menyebut Siasat Sembilan Bintang. Rangkaian jurus pelipatan tenaga sembilan kali yang selama ini dimainkan oleh Maha Singanada!
Gendhuk Tri bukan hanya mengetahui, akan tetapi bahkan pernah memainkan. Lebih dari itu semua, Gendhuk Tri pernah memainkan bersama-sama Maha Singanada. Bisa dimengerti kalau ketika Ki Dalang memainkan jurus itu, sekali lihat langsung tahu titik lemahnya. Yaitu dengan menyerimpung tangan Ki Dalang. Bukan sesuatu yang luar biasa. Bukan sesuatu yang luar biasa kalau Gendhuk Tri bisa mematahkan serangan lawan seketika.
Yang luar biasa adalah bahwa bisa dengan cepat mengenali gerakan lawan, dan memastikan langkah penangkalnya. Bahkan ia mengenali ilmu silat Nawagraha, tidak berarti segera mengenali hanya dari satu jurus. Dalam hal ini, Nyai Demang mengakui Gendhuk Tri bisa maju pesat ilmunya, karena memiliki naluri yang sangat tajam. Naluri mengenali lawan, dan dengan sama cepatnya berani mengambil keputusan.
Nyai Demang merasa, unsur inilah yang membuat Gendhuk Tri bisa melebihi sesama pendekar. Termasuk dirinya. Yang dalam situasi seperti yang dialami Gendhuk Tri, tak berani menghadapi risiko dengan memotong gerakan tangan lawan. Gendhuk Tri memang berbeda dan Nyai Demang. Kalau yang terakhir ini mempelajari dari berbagai kitab dan mengolah dalam pikiran, sebaliknya Gendhuk Tri terjun ke lapangan, jauh sebelum mengenal kitab. Semua yang dilakukan mengalir dengan sendirinya, sebagaimana orang yang melatih reaksi secara langsung.
“Paman Senopati Mapanji, tak perlu berpura-pura menjadi dalang gila…”
Mendadak Ki Dalang meraung keras. Tubuhnya berkelojotan. Tangannya memukul lantai ruangan sehingga batunya retak. Tangannya sendiri berdarah. “Itu tidak betul. Senopati Mapanji Paksa sudah lama menyerahkan keris Keraton. Ia sudah tak ada lagi. Itu tidak betul. Kamu kena kibul.”
“Apa pun yang Paman katakan, Paman tak bisa menyembunyikan diri terus-menerus….”
“Lihat, aku hampir menangis. Hatiku teriris, karena dituduh yang bukan-bukan. Apa yang kamu omongkan?”
Gendhuk Tri mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kemudian meluruskan rambutnya, dan menggelung dengan rapi. Sorot matanya berubah iba. “Baik, kalau begitu kemauan Paman. Sebagai Ki Dalang Memeling, apa yang Paman inginkan sekarang ini?”
Nyai Demang mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali, disertai helaan napas yang dalam. Sangat dalam. Sekali lagi tak bisa dipungkiri, ia memuji kemajuan Gendhuk Tri. Bukan hanya dalam ilmu silat, akan tetapi juga dalam kedewasaan berpikir dan bertindak. Dalam sekejap bisa menduga jurus lawan, dan kemudian mematahkan. Dalam sekejap bisa menebak siapa lawan, dan kemudian membiarkan saja. Ini luar biasa.
Justru setelah Gendhuk Tri mengetahui bahwa Ki Dalang adalah Senopati Mapanji Paksa, pada saat yang sama Gendhuk Tri menyadari tak perlu mendesakkan kenyataan itu kepada yang bersangkutan. Karena Ki Dalang sudah menolak mengakui dirinya sebagai Senopati Mapanji Paksa, senopati utusan Keraton Singasari ke Negeri Campa. Menolak keras, karena peristiwa yang dialami dengan Dyah Ayu Tapasi.
Duka lama yang ditelan untuk dihancurluluhkan. Berubah menjadi Ki Dalang yang dipaksakan, menjadi dirinya yang baru pribadinya yang baru, sehingga semua jalan pikiran benar ditolak. Ada tepatnya sebutan dalang gendheng, karena secara total ingin mengubah sosoknya. Dan Gendhuk Tri cukup arif untuk tidak menelanjangi kenyataan yang sesungguhnya.
“Aku mau peti itu. Karena yang berada di dalam itu milikku.”
Ki Dalang berdiri kembali. Suaranya lantang. “Kamu bisa mengalahkanku satu kali. Tanganku keduanya sakit sekali. Tapi aku tetap akan merebut.”
“Ki Dalang keliru. Yang Ki Dalang inginkan adalah Sodagar Galgendu….”
“Orang itu hanya gemuk tubuhnya. Tak lebih. Aku sedih. Karena selama ini Galgendu hanya mau membuat semua dari emas, menggali emas. Itu juga aku yang mengajari. Tidak, Galgendu tak pantas dirawat dan dicandikan. Orang dalam peti itu yang pantas.”
“Kita akan merawat bersama-sama, Paman.”
“Tidak bisa. Jangan coba.”
Permaisuri Pengayom
KI DALANG MEMELING yang tak lain adalah Senopati Mapanji Paksa menggerakkan tali kamparnya. Seketika menjadi lurus mengarah ke peti. Bahwa orang yang mempelajari tenaga dalam bisa menyalurkan lewat seutas tambang bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi bahwa Ki Dalang mampu menyalurkan secara penuh pada tambang yang panjangnya hampir dua setengah tombak secara lurus, boleh dikatakan termasuk luar biasa.
Kali ini Nyai Demang yang bergerak cepat. Begitu ujung tali hampir menyentuh peti, Nyai Demang mengibaskan keras. Akibatnya agak di luar dugaan Nyai Demang. Ujung tali tambang mematuk tangan Nyai Demang.
“Aduh!” Teriakan yang mengagetkan.
Gendhuk Tri sendiri tidak menduga bahwa Nyai Demang bisa kena diserang dalam satu jurus yang dimainkan secara lurus. Lempeng saja gerakan tali mengeras itu. Nyatanya Nyai Demang tak sempat menghindar. Kibasan berikutnya, Ratu Ayu yang berada di tengah ruangan. Di tangannya tergenggam Kangkam Galih.
Tanpa memberi pembukaan, Ratu Ayu menebaskan pedangnya yang tipis hitam panjang. Ki Dalang menarik pulang tambangnya, mengganti dengan ujung yang lain untuk menyerang. Tapi Ratu Ayu sempat dengan mudah menggerakkan batang pedangnya untuk menangkis, mengusir, dan sekaligus balas menyerang. Satu lompatan panjang, Ratu Ayu sudah bisa berdiri dekat sekali. Ketika Ki Dalang melibatkan talinya, hanya dengan sekali sentak tali itu putus jadi beberapa potongan kecil.
“Ratu, kita tak perlu membuat permusuhan dan pertumpahan darah di depan Kakang….”
Suara Gendhuk Tri menghentikan pertarungan, untuk sesaat. Gendhuk Tri memang merasa kurang enak membiarkan Ratu Ayu melukai Ki Dalang. Baik karena Ki Dalang ayah kandung Maha Singanada maupun sebab yang diutarakan.
“Biar bagaimanapun, aku yang merawat peti. Aku yang memiliki. Suara hatiku mengatakan, persis yang kukatakan sekarang ini.”
“Kalau begitu kita rawat bersama, Paman.”
“Begitu juga boleh.”
“Nah sekarang Paman mencari pendeta yang bijak untuk memimpin upacara.”
“Bisa saja. Apa susahnya. Dengan emas segede kepala, apa saja bisa.”
Ratu Ayu menangkap maksud Gendhuk Tri. Yang memperlakukan Ki Dalang sebagai orang yang kurang waras. Agaknya itu jalan keluar yang lebih baik. Untuk sesaat mereka semua malah bisa berbagi tugas. Dan ternyata Ki Dalang mempunyai wawasan yang luas. Pandangan yang selama ini tak dimengerti Gendhuk Tri. Meskipun saat itu sebenarnya Gendhuk Tri tak mempunyai minat mendengarkan.
“Kamu tahu apa, gadis manis? Kulit manusia itu tipis. Mudah tergores, apalagi oleh emas dan oleh keris. Emas dianggap sangat luar biasa berharga. Seakan jagat dan isinya bisa dibeli semua. Memang benar begitu. Aku dan Galgendu menemukan tempat penambangan emas di sini. Itu biasa-biasa. Sampai kemudian aku menemukan cara yang baik untuk mengelabui sesama mata. Aku bisa melapis. Aku bisa membuat tali tambang ini seakan seluruhnya dari emas. Padahal hanya dilapis saja. Semua orang percaya. Termasuk Raja, termasuk orang seberang. Jadilah kami berdua sangat kaya raya. Mampu membangun pohon kelapa dari emas. Memang bisa. Tapi sebenarnya hanya lapisan luar. Hanya kulitnya yang bisa terbakar. Gadis manis, kapan-kapan kamu akan kuajari bagaimana membuat lapisan seperti itu. Peti itu kita lapis, dan semua orang mengira seluruhnya emas. Bukankah itu menarik?”
“Saya kurang mengerti, Paman.”
“Lebih banyak yang tidak mengerti makin baik. Jadi setiap orang tetap tertarik, matanya melirik.”
“Saya kurang mengerti kenapa Paman tertarik menjadi dalang.”
Agaknya ini pertanyaan yang keliru dilontarkan. Karena dengan sangat bersemangat Ki Dalang bercerita sejak awal bagaimana wayang kulit yang hanya terbuat dari kulit bisa membuat orang menangis, tertawa, mati, dan hidup lagi. Bagaimana memindahkan sukma ke dalam kulit, dan menggerakkannya. Tidak menggerakkan dengan tangan secara langsung, akan tetapi dengan rasa. Itulah sesungguhnya ilmu yang paling sejati.
Kalau hanya mewarisi bagaimana memainkan wayang, semua orang asal tidak buntung tangannya dan tidak kutung pikirannya, pasti bisa. Akan tetapi menerima nilai yang benar, yaitu menerima sukmanya, tak bisa ditangkap sembarang orang. Itu sebabnya Ki Dalang memilih menjadi dalang. Karena dengan menjadi dalang… Makin panjang cerita Ki Dalang, Gendhuk Tri makin tak betah mendengarkan.
“Bagaimana kalau Paman mencari pendeta sekarang ini?”
“Itu gampang. Asal ada uang, semua pendeta bakal datang. Doa sangat mudah melayang, dan biasanya menjadi panjang. Jangan kuatir, jangan terlalu banyak mikir. Tunggulah sesaat. Tak akan terlambat. Aku segera berangkat.”
Yang tertinggal dalam ingatan Gendhuk Tri hanyalah setitik pengertian. Bahwa Ki Dalang ataupun Singanada menjadi tidak waras kalau disinggung mengenai Dyah Tapasi. Tapi selebihnya biasa-biasa saja. Walau masing-masing mempunyai pembawaan yang berbeda. Setitik pengertian yang tertinggal itu adalah kenyataan betapa sesungguhnya hati manusia sangat rawan. Peristiwa yang hanya terjadi satu kali, satu saat, bisa berakibat begitu panjang. Sepanjang perjalanan hidup mereka masing-masing. Bahkan kadang melebihi.
Seperti yang terjadi pada Eyang Berune, yang bahkan setelah meninggal masih penasaran karena daya asmara yang terpendam terhadap Eyang Putri Pulangsih. Contoh yang juga terjadi pada diri Ki Dalang. Dyah Tapasi memutuskan untuk menghancurkan dirinya, menghancurkan daya asmaranya. Hal itu membuat Senopati Agung Brahma mengucilkan diri dan Ki Dalang melepaskan semua derajat dan pangkat, menanggalkan kewarasan pikiran, sehingga mengubah dirinya. Bukankah itu pula yang dialami Dewa Maut?
Yang memutuskan hidup sebatang kara di atas perahu, setelah kekasihnya lepas dari genggamannya? Sehingga melarikan diri untuk hidup bersama sesama kaum lelaki? Kalau benar begitu, apa sesungguhnya daya asmara itu? Yang mampu membuat manusia jungkir balik? Bagaimana dengan dirinya sendiri?
Gendhuk Tri tercenung. Daya asmara yang bersemi dalam dirinya terhadap Kakang Upasara dipendam. Yang muncul ke permukaan kemudian adalah penerimaan pada Singanada. Pada saat itu pula muncul Pangeran Anom, yang dengan tulus, yang dengan segala kepolosannya menyatakan daya asmaranya. Kenapa dirinya tidak bertemu dengan Pangeran Anom saja lebih dulu? Kenapa justru sesaat setelah hatinya menerima Singanada, muncul Pangeran Anom? Gendhuk Tri membuang pikiran mengenai Pangeran Anom. Akan tetapi menjadi kejutan yang tak dimengerti sendiri ketika Ki Dalang kembali dan bercerita tentang Pangeran Anom. Tak masuk akal!
“Betul, gadis manis, perawan manis. Ini aku membawa serombongan prajurit Keraton yang datang untuk menjemputmu, menjemput Permaisuri Rajapatni. Mereka mengetahui kamu di sini dari Pangeran Anom, putra Senopati Agung Brahma yang tak ikut ke seberang.”
“Apa hubungannya, Paman? Bukankah Paman mencari pendeta?”
“Aku memang mencari pendeta, tapi ketemu mereka. Jadi aku antar saja. Lagi pula mereka menginginkan Permaisuri untuk menjadi pengayom, untuk menjadi pelindung di Keraton. Permaisuri dan kalian semua harus berada di Keraton. Agar Keraton tidak sepi, agar… agar… apa tadi?”
Nyai Demang yang datang kemudian mengerutkan dahinya. Pandangannya bertatapan dengan Gendhuk Tri. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Nyai Demang mengetahui sesuatu telah terjadi di Keraton. Sesuatu yang sangat menentukan jalannya tata pemerintahan. Tanda pertama ialah ketika beberapa hari lalu mereka masuk ke halaman kaputren, dan hanya dikawal para prajurit biasa. Suasana Keraton boleh dikatakan sangat sepi. Tak ada yang secara resmi menguasai dan memutuskan sesuatu.
Bahkan sampai mereka selesai membawa balik jenazah Upasara, boleh dikata tak ada halangan yang berarti. Kalau dihubung-hubungkan dengan cerita Gendhuk Tri, adanya kidung pambagya di kulit pohon juga menunjukkan keleluasaan bagi orang luar. Seakan Keraton tak ada wibawanya lagi.
Takhta Tanpa Raja
TAK ada yang bisa menduga apa yang sebenarnya tengah terjadi. Tidak yang sekarang berada di Kedung Dawa, atau juga di Simping. Karena yang mengambil prakasa utama adalah Senopati Tantra. Senopati yang masih berdarah muda penuh gelegak merasa bahwa para Senopati Utama yang terdiri atas tujuh dharmaputra selama ini hanya berbisik-bisik dan tak jelas apa yang diinginkan. Setiap kali mau mengambil keputusan, selalu dibayangi keraguan.
Senopati Tantra tak sabar. Dengan prajurit seadanya yang setia kepadanya, senopati muda ini mengambil langkah gawat. Ia memimpin para prajurit utama, dan langsung menyergap ke dalam Keraton. Hampir tak ada pertumpahan darah. Senopati Tantra melucuti prajurit kawal di bagian dalam. Lalu dengan gagah perkasa menemui Raja di tempat peraduannya. Mengatakan bahwa mulai sekarang, semua perintah dan tata penyelenggaraan Keraton berada di tangannya. Tak ada yang berhak memberikan perintah apa pun juga.
Semua terjadi tanpa deru angin lebih keras. Tanpa debu terbang. Tanpa pohon bergoyang. Senopati Tantra menemukan apa yang selama ini dicari-cari. Apa yang ditakuti oleh Tujuh Senopati Utama yang selama ini dikagumi. Ia bisa melakukan. Baru setelah itu, Senopati Tantra mengirim utusan menuju Simping. Memberitahukan bahwa Keraton kini sudah dikuasai secara penuh, dan mohon agar Baginda bersedia duduk kembali di singgasana.
Apa yang menjadi tujuan utama Senopati Tantra bukanlah jabatan dan pangkat mahapatih yang akan diberikan sebagai ganjaran, sebagai hadiah. Melainkan dorongan untuk melakukan langkah besar. Yang tak berani dilakukan oleh mereka yang dikagumi. Mereka yang pernah menjadi senopati perang. Dengan sama girangnya, Senopati Tantra mengirim utusan ke Lumajang, untuk memanggil kembali Mahapatih Nambi, untuk kembali mengabdi kepada Baginda. Mengirim utusan ke Kedung Dawa untuk menjemput Permaisuri Rajapatni.
Karena menurut pandangannya, Permaisuri Rajapatni lah yang pantas menjadi permaisuri utama. Dari Pangeran Anom yang berada dalam tawanan, Senopati Tantra mengetahui bahwa Permaisuri Rajapatni bersama rombongan Gendhuk Tri berada di Kedung Dawa, dan bahwa mereka berhasil membawa kembali tubuh Upasara. Senopati Tantra merasa di puncak awang-awang, kakinya tak menyentuh tanah, tangannya bisa menyentuh awan di langit ketika itu. Maka adalah di luar semua perkiraannya ketika Senopati Kuti datang dengan murka.
“Bocah ingusan, apa yang kau lakukan, hah?”
“Paman Senopati Kuti, harap sabar.”
“Perbuatan terburuk apa yang sedang kau lakukan ini?”
Senopati Tantra mengertakkan giginya. “Paman, sayalah sekarang yang menguasai Keraton. Takhta sedang kosong, karena tak ada raja. Saya meminta, memohon agar Baginda kembali memerintah. Sesuai dengan keinginan Paman semua. Apa saya keliru?”
“Jagat Dewa! Demi Dewa! Langit murka! Kamu bocah ingusan, tak pernah mengerti dunia. Tantra, perbuatanmu sangat berbahaya. Kamu tak tahu apa-apa.”
“Paman, saya tak tahu apa-apa. Baik, tapi sekarang Paman tahu, bahwa saya tak suka dimarahi seperti itu. Sekarang ini Paman Kuti tak bisa mengatakan hal seperti itu kepada saya. Tinggal pilih. Paman ingin menempuh jalan yang mana.”
Senopati Kuti menepuk jidatnya keras sekali. “Tantra! Kamu menantangku?”
“Saya menantang keraguan. Karena setiap keraguan hanya menghasilkan gerutuan. Silakan, Paman Kuti.”
Senopati Kuti menunduk ketika beberapa prajurit bersiaga dengan tombak. Sebagian adalah prajurit-prajuritnya sendiri! Tak masuk akal. “Tantra! Tantra! Dagelan apa yang kau mainkan sekarang ini? Mimpi apa yang membuatmu mabuk seperti ini?”
Senopati Tantra berdiri. “Sekarang Paman mengatakan ingin memilih jalan yang mana? Mengecam saya dan berarti berhadapan, atau menyampaikan apa yang sebenarnya merupakan keinginan Paman sendiri?”
“Haha, kamu mau menawanku?”
Senopati Kuti tak bereaksi ketika para prajurit menyembah ke arahnya, akan tetapi kemudian mengikat kedua tangannya. Di bilik tempat penahanan, Senopati Kuti menangis. Menangis bagai anak-anak. Matanya masih sembap ketika Senopati Tanca masuk dengan tangan yang terikat pula.
“Kisanak Tanca, senopati yang bijak dalam soal pengobatan dan jiwa manusia, sesungguhnya ini semua lelakon apa?”
Senopati Tanca mengangkat alisnya.
JILID 25 | BUKU PERTAMA | JILID 27 |
---|