Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 30
Apa maksud utama Eyang Sepuh? Setelah sampai pada tingkat moksa, rasanya Eyang Sepuh tak perlu muncul kembali secara wadag. Bahkan dalam pertarungan yang sangat menentukan antara mati dan hidup Keraton dengan prajurit Tartar, Eyang Sepuh hanya membisikkan secara halus juga saat merestui Upasara Wulung sebagai pewaris utama Perguruan Awan, hanya lewat wangsit.
Apa maksud utama Eyang Sepuh? Jaghana tak memperoleh jawaban. Apalagi kemudian diketahui, bahwa dalam pertarungan di Trowulan Eyang Sepuh bisa terluka dan kemudian menghilang kembali. Apa…?
Tak ada jawaban. Setiap hari, setiap saat, Jaghana menikmati alam, melihat matahari terbit dan tenggelam. Melihat bunga mekar, buah tumbuh, dan daun gugur dalam irama alami yang menenteramkan. Sampai suatu ketika Jaghana melihat selembar kapuk diterbangkan angin. Pohon-pohon kapuk randu sejak Jaghana masih kecil selalu dilihat, dikenal, bahkan juga dari pohon yang masih diinjak.
Akan tetapi kali ini memberi sentuhan yang lain. Kapuk randu alas yang telah kering, yang seperti biasanya jatuh terbawa angin diikuti. Perlahan, untuk tidak memberi dorongan angin. Kapuk yang berisi kelenteng, atau biji kapuk yang hitam, melayang jatuh ke tanah. Lama. Bergoyang. Kemudian tergerak kembali, terkena sentuhan angin.
Jaghana mengikuti terus. Menunggu dengan sabar. Sebagian kapuk itu kandas, terkena tanah, air, jatuh ke sungai, dan hanyut. Sebagian ada yang bisa melintasi sungai, jauh di seberang. Suatu saat nanti, kalau suasananya memungkinkan, kelenteng itu akan tumbuh. Tumbuh di luar Perguruan Awan.
Tumbuh? Mungkin juga mati. Mati. Mati? Tumbuh? Kapuk yang di seberang dan di dalam Perguruan Awan adalah kapuk. Kapuk? Kapuk. Jaghana berlutut, bersemadi. Lama sekali. Inikah yang dikehendaki Eyang Sepuh? Inikah maksud utama Eyang Sepuh dengan merestui Upasara Wulung?
Upasara Wulung yang akan melangkah keluar dari Perguruan Awan. Upasara Wulung yang mempunyai hubungan dengan Keraton. Upasara Wulung yang masih terbakar oleh daya asmara, oleh keinginan-keinginan. Upasara Wulung sebagai kapuk randu yang masih terbawa angin.
Jaghana menenteramkan hatinya beberapa waktu, sebelum akhirnya memutuskan bahwa ia merasa mantap melangkah ke luar. Yang lebih membuatnya makin yakin, saat itu ada semacam kilatan cahaya dalam batinnya, sehingga melihat sisi beda dan juga persamaan antara Kidungan Paminggir dan Kidungan Pamungkas. Inikah jawaban dari kemauan utama Eyang Sepuh?
Jaghana terus melanjutkan perjalanan sebagai Truwilun, ditemani Wilanda, sebagai Cantrik. Sampai kemudian bertemu dengan Mada, Madana, Senggek, Genter serta Kwowogen. Yang seperti diutarakan Wilanda, mengusiknya dengan ajaran Kidungan Pamungkas. Segalanya menunjukkan ke sana. Batinnya membisikkan ke arah itu. Jaghana merasakan getaran yang sama melihat kapuk yang terbang. Merasakan kembali kata-kata “perpisahan” dengan Eyang Sepuh mengenai kidungan untuk “menyambut tamu yang datang”. Wilanda masih menunggu.Jaghana merangkapkan kedua tangannya.
“Pencerahan itu datang pada Paman Wilanda. Bahagialah Paman atas kemurahan Dewa.”
Wilanda merangkapkan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar. Bisa dimengerti. Selama ini Wilanda merasa dirinya orang luar, merasa belum sepenuhnya diterima dalam Perguruan Awan. Ia mulai mengenal dunia persilatan dan ajaran kehidupan dalam Perguruan Awan sejak masih kecil. Di alam yang tenteram itu dirinya mengenal arti hidup, asal mula, dan tujuannya.
Akan tetapi kemudian sekali hatinya bercabang. Ia ingin melihat dan merasakan dunia di luar perguruan. Itu sebabnya kemudian ia pergi dan nyuwita, mengabdi sebagai prajurit Keraton Singasari. Jauh dalam hati Wilanda ada beban dosa, beban rasa bersalah. Karena siapa pun yang meninggalkan Perguruan Awan, apalagi menjadi prajurit Keraton, tak akan pernah diterima kembali di Perguruan Awan.
Namun nasib menunjukkan lain. Sewaktu ada berita akan adanya Tamu dari Seberang, ia ditunjuk sebagai penunjuk jalan. Mengantarkan Upasara Wulung dan Ngabehi Pandu. Dan sejak itu tak kembali ke Keraton. Karena merasa menemukan ketenteraman dan jawaban dari yang dicarinya. Sehingga mau mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan orang lain. Nilai luhur dan kesediaannya berkorban inilah yang menyebabkan Wilanda diterima kembali berdiam di Perguruan Awan.
Akan tetapi jauh dalam hatinya masih tersisa sepenggal rasa mengganjal, bahwa dirinya belum diterima secara utuh. Semua dijalani, diyakini, tapi masih ada rasa kurang. Sampai ketika Jaghana mengatakan mengenai pencerahan! Inikah maksud utama Eyang Sepuh? Bagi Jaghana pertanyaan itu lebih jelas dari pertanyaan batin: Apa maksud utama Eyang Sepuh? Saat itu juga Jaghana dan Wilanda mengumpulkan kelima murid jalanan.
“Mulai sekarang, kalian berlima mandi-keramas hingga bersih. Semua yang kotor yang melekat dalam tubuh kalian, dari ujung kuku, lubang hidung, telinga, mata, lubang tubuh yang lain, harus dibersihkan. Selama menyiapkan diri tak boleh berbicara satu sama lain, makan atau minum, atau memikirkan yang lain.”
“Tidak boleh bertanya?”
“Sekarang pun tidak.”
Lima hari lima malam berturut-turut Jaghana dan Wilanda berdiam bersama kelima pemuda. Tanpa sepatah kata, tanpa petunjuk tertentu. Berdiam bersama. Tidak menyentuh air, tanpa menyentuh dedaunan. Sampai hari ketujuh, Wilanda diam-diam mengakui tekad besar dalam diri kelima murid yang diajari. Mereka berlima, tanpa kecuali, melakukan apa yang diajarkan. Tak ada yang bertanya. Tak ada yang saling sapa. Tak ada apa-apa. Lapar, dahaga, keinginan bicara, semuanya bisa dipendam dalam-dalam.
Hari kesepuluh, kelimanya secara bersamaan mulai mengikuti setiap gerak Jaghana. Duduk bersemadi. Menghela napas. Semua diikuti. Sebisanya. Hari keempat puluh, tarikan napas mereka berlima mulai mengikuti tarikan napas Jaghana. Yang kemudian menyatukan tangan, dan mulai membimbing lewat batin, lewat suara tak terucapkan.
Satu-satunya tuntunan yang ada hanyalah suara kidungan lambat dari Wilanda. Sampai kemudian Jaghana dan Wilanda mengucapkan selamat berpisah sementara dan meneruskan perjalanan. Sampai kemudian terlibat dengan utusan dari Keraton, yang membawanya ke Keraton Majapahit.
Percakapan Dua Ksatria
EYANG PUSPAMURTI tak mendengar jawaban Jaghana mengenai keinginannya untuk mengikuti ke mana pun Jaghana pergi. Karena dirinya tenggelam dalam alam pikirannya sendiri. Sesuatu yang terjadi dengan sendirinya setelah sekian lama berkutat dengan pengerahan tenaga dalam secara terus-menerus. Kelonggaran dan istirahat menyeretnya ke masa lalu.
Saat dirinya masih berada dalam Keraton. Masih menjadi kerabat yang mempunyai darah biru. Puspamurti merasa paling bangga, karena di antara putra wayah, anak-cucu Sri Baginda Raja, dirinya termasuk istimewa. Paling sering diajak bicara oleh Sri Baginda Raja, untuk membicarakan beberapa persoalan. Terutama mengenai tata pemerintahan dan keinginan-keinginan besar yang kadang mengganggu kelelapan Sri Baginda Raja.
Sehingga tengah malam pun Sri Baginda Raja bisa memanggil sepuluh orang lain untuk diajak mendengarkan apa yang dikehendaki. Seperti ketika suatu malam, Sri Baginda Raja memanggilnya. Di dalam sudah duduk berjajar para sesepuh Keraton, termasuk Mpu Raganata. Yang termasuk anak muda saat itu hanya Pandu dan dirinya.
“Malam ini ingsun pribadi ingin mendengar suara kalian yang biasanya hanya mengangguk dan mengiya. Ingsun bawa dua anak muda, karena biasanya mereka ini bodoh dan suka melihat dari sisi yang berbeda. Raganata, apa keberatanmu kalau Kitab Bumi yang menjadi ajaran kanuragan resmi?”
Mpu Raganata menyembah hormat. “Kitab itu belum lengkap.”
“Itu berarti kamu setuju. Karena tak pernah ada kitab yang lengkap dan sempurna. ingsun bisa memutuskan sendiri, dan akan memperbesar wibawa. Tapi ada baiknya mendengarkan dari kalian, ingsun hanya mau mendengar keberatan, bukan pujian. Pandu?”
“Kitab itu terlalu merepotkan, Sri Baginda Raja. Hanya memungkinkan dipelajari dari awal. Sehingga hanya berguna untuk bayi-bayi yang baru dilahirkan dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat sebelumnya, serta…”
“Mulai hari ini, kamu cari semua bayi yang lahir. Tak peduli anak pangeran, atau anakku, atau anak orang sudra parisangka yang hina. Ambil mereka, didik sebagaimana ada di kitab itu. Senamata Karmuka akan membantu untuk mengadakan Ksatrian Pingitan ini. Jelas?”
Sri Baginda Raja membuat seluruh darah Puspamurti bergerak ke arah kepala ketika menoleh ke arahnya. “Kamu, apa yang kamu ketahui? Jangan hanya bisa makan enak dan jadi senopati saja nantinya. Apa kata kamu?”
“Sembah bagi Sri Baginda Raja. Barangkali yang menciptakan sendiri bisa ditimbali”
“Baik, ingsun akan bicara dengannya… Sekarang.”
Saat itulah Puspamurti bisa melihat jelas ksatria muda yang kemudian dikenal sebagai Eyang Sepuh. Ia memasuki Keraton dengan langkah gagah. Hanya selembar kain dikenakan di tubuhnya. Kakinya masih mengesankan kotor ketika duduk bersila.
“Kamu, kamu senang kalau Kitab Bumi menjadi ajaran resmi Keraton?”
“Senang, Baginda Raja. Seperti semua yang ada di sini, yang menyetujui, karena itu kitab paling gampang.”
“Apa maksudmu?”
“Raganata menulis lebih hebat. Ajaran Kitab Air juga lebih halus. Tetapi yang ini lebih gampang, sehingga tak akan menimbulkan kesulitan apa-apa dalam mengajarkan. Tetapi juga tak menghasilkan apa-apa.”
“Apa maumu?”
“Sri Baginda Raja juga memberi kesempatan lahirnya ajaran resmi dalam kanuragan, kitab yang membasmi, menghancurkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang ini.”
“Hmmm…”
“Hamba sudah menyusun.”
“Hmmm…”
“Hamba bisa memainkan sekarang.”
Puspamurti tergetar. Seumur-umur belum pernah melihat ada orang yang sedemikian wungkul, sedemikian wadag, lahiriah, dalam berbicara dengan Sri Baginda Raja. Bahwa Sri Baginda Raja Kertanegara sangat terbuka, terutama dalam menerima para ksatria dan pendeta, itu sudah menjadi pengetahuan umum. Akan tetapi bahwa seorang ksatria berani menunjukkan dirinya, itu termasuk luar biasa. Kalau tidak hebat sekali, pastilah kurang waras. Eyang Sepuh yang ini menyimpan dua-duanya.
“Ingsun tidak butuh sekarang….”
“Setelah itu nanti masih ada satu ajaran lagi, yang akan menuntaskan semua ajaran yang ada. Kitab terakhir…”
“Kamu juga sudah siap?”
“Segera setelah kitab petunjuk penangkal yang ini.”
“Kamu ini keras kepala dan sombong. Tak tahu tata krama.”
“Sri Baginda Raja yang mengajarkan.”
“Ingsun?”
“Sri Baginda Raja adalah raja yang berkuasa. Yang bisa memanggil mahapatih, para patih, para senopati, bukan manusia macam hamba ini Apakah itu juga menganjurkan tata krama? Sri Baginda Raja mengantar kepada kegelisahan karena banyak petinggi Keraton digeser tempatnya….”
“Ingsun tidak butuh mendengar.”
“Maaf, ampun, Baginda Raja….”
“Ingsun hanya mengatakan mengenai Kitab Bumi….”
Tak ada suara.
“Apa lagi kata-katamu, Bejujag?”
“Kalau saja raja sebelum Sri Baginda Raja memerintahkan ini, saat sekarang ini seluruh bumi, seluruh jagat, dan langitnya berada di tangan Sri Baginda Raja. Dewa akan turun kemari menyembah.”
Sri Baginda Raja mendesis perlahan. “Mulutmu lancang. Kamu manusia kurang unggah-ungguh. Sekarang semuanya bubar.”
Semua menyembah dengan hormat, berlalu dengan hormat. Hanya Puspamurti yang ditahan.
“Kamu ini punya darah Keraton, punya kesempatan besar, tapi kamu ini bukan ksatria. Kamu bahkan lelaki pun bukan.”
Puspamurti menggigil.
“Bejujag itulah ksatria. Ia ksatria yang sesungguhnya. Ingsun juga ksatria. Lebih dari dia, lebih dari siapa saja. Sayang, kalian anak-cucuku tak lebih dari lumpur basah. Padahal sebentar lagi seluruh jagat akan jadi milik kalian. Dewa akan datang ke bumi dan menyembah padaku.”
Puspamurti merasa terpukul. Sejak itu ia mulai jarang dipanggil menghadap. Dan untuk membuktikan dirinya pantas sebagai senopati, Puspamurti menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar tapa brata, di samping mempelajari ilmu silat. Bahkan kemudian ketika diangkat sebagai senopati Keraton, Puspamurti menunjukkan pilihan lain
Namun kejadian itu tak pernah lepas dan ingatannya. Pengaruhnya mengendap ke dalam hatinya, batinnya, kesadarannya. Bahwa di jagat ini hanya ada dua ksatria sejati. Ksatria yang sesungguhnya, yaitu Sri Baginda Raja dan Eyang Sepuh. Puspamurti menghabiskan semua kemampuannya untuk menjadikan dirinya ksatria. Itulah yang menenggelamkan dirinya. Dengan harapan suatu ketika nanti muncul bisa mengimbangi Eyang Sepuh. Suatu ketika Sri Baginda Raja nanti akan menyebutnya sebagai ksatria.
Siapa nyana jika semuanya berubah? Siapa nyana jika dirinya akan bertemu dengan murid Eyang Sepuh yang dengan jitu menunjukkan perbedaan dan juga persamaan antara Kidungan Paminggir dan Kidungan Pamungkas? Semua kemampuan, kedalaman yang diselami, ditelanjangi dengan ucapan Jaghana. Sehingga ilmunya untuk menahan usia pun rontok kemudian. Seperti juga cara menahan kematian yang dilakukan Kebo Berune. Tak ada alasan lain untuk tidak mengikuti Jaghana.
“Eyang Puspamurti, apakah saya pantas diikuti?” Suara Jaghana terdengar datar, tidak berusaha merendahkan diri. “Saya sendiri masih mengikuti langkah yang tersesat. Bahkan Wilanda yang selalu bersama saya bisa terpisah seperti sekarang ini.”
“Rasanya saya menemukan kembali jalan yang harus saya lalui, Jaghana.”
“Kalau Eyang bersedia jalan bersama, marilah kita berjalan bersama. Kalau nanti ada jalan yang berbeda, kita akan menempuh sendiri-sendiri….”
“Sekian lama saya merasa meniti jalan yang tepat. Tapi hari ini bisa dipertemukan denganmu. Itu sudah lebih dari cukup. Saya belum terlambat untuk melihat jalan. Walau untuk sesaat saja.”
Percakapan Tumimbal Lahir
JAGHANA untuk pertama kalinya menggeser duduknya. Tangannya menjauhkan sandal kayunya, yang ternyata cukup lama di tempat itu sehingga beberapa binatang yang berlindung di dalamnya berlarian.
“Tidak semestinya Eyang mendahului kehendak Dewa.”
“Hanya karena saya menyadari hidup yang tinggal sesaat saja? Jaghana, saya sudah tua. Eyang Sepuh masih menjadi ksatria, saya sudah seusia dengannya. Yang membedakan adalah Eyang Sepuh bisa menciptakan maha karya, sedang saya untuk memahami diri sendiri pun masih susah. Tapi selebihnya sama. Kami sama-sama menuju ke kematian. Eyang Sepuh mempunyai cara yang lebih luhur. Jaghana, saya mengenal semua ksatria yang gagah perkasa. Saya sezaman, menghirup udara yang sama dengan Eyang Sepuh, Paman Sepuh, Mpu Raganata. Tapi apa yang saya lakukan? Menahan usia. Menyimpan umur. Dua raja yang memerintah berlalu, saya tidak mengetahui. Jagat berubah, saya tak tahu. Apa sesungguhnya yang telah saya lakukan?”
“Masih ada yang bisa dilakukan, Eyang.”
“Ada, memang. Tapi apa lebih baik untuk kehidupan? Jaghana, murid kekasih Dewa… Kalau sekarang saya berbuat sesuatu, saya tak tahu apakah itu berarti atau tidak. Apakah itu bukannya malah menyengsarakan manusia lain? Saya telah buta dalam dua kali tata pemerintahan Keraton. Kalau sekarang saya bertindak…”
“Maaf, Eyang, apakah kebenaran bisa berubah?”
“Entah. Saya tak tahu. Saya benar-benar tak tahu. Saya tak tahu kenapa ada senopati yang sakti seperti Halayudha. Apakah ia berbuat kebaikan atau tidak, saya tak mengerti. Sehingga saya tak tahu apakah harus memerangi atau membantu. Saya tak tahu kenapa ksatria berbakat luar biasa seperti Upasara Wulung harus tewas. Jaghana, kamu masih bertanya mengenai kebenaran?”
“Saya menjalani dengan mengikuti suara hati.”
“Kapan selesainya?”
“Tak ada selesainya, Eyang."
“O-oo.”
“Semua mengikuti irama alam yang telah dikodratkan. Semuanya akan tumimbal lahir, akan lahir kembali. Karena tak ada yang bisa diselesaikan. Eyang Sepuh tak berhenti dengan Kitab Bumi, tak berhenti dengan Kitab Penolak Bumi, tak berhenti setelah menyelesaikan Kitab Paminggir.”
“Ya, Eyang Sepuh pepunden kamu itu pasti akan melahirkan lagi, kalau mau. Tapi apa yang sebenarnya ia lakukan? Apa yang kamu lakukan? Menolong orang dengan menjadi dukun, menjadi peramal? Berapa yang bisa kamu tolong, dan berapa yang tak bisa kamu tolong?”
Jaghana mundur perlahan. Lalu berdiri perlahan. Tak terlihat sama sekali bahwa sudah beberapa malam ia duduk tanpa mengubah posisi sama sekali. “Saya akan meneruskan perjalanan, Eyang.”
“Saya akan mengikuti….” Puspamurti mencoba berdiri. Tersenyum. “Saya makin tua rasanya. Jaghana, katakan kamu mau ke mana?”
“Menuju ke depan, menemui yang ingin saya temui.”
“Baik, baik kalau kamu tak mau saya ikuti. Katakan apa yang harus saya lakukan sekarang ini?”
“Eyang lebih tahu.”
“Setelah tahu seperti sekarang, saya tak tahu apa-apa. O-oo. Jaghana, katakan. Kalau ada yang pernah kamu lakukan dan belum selesai, padahal kamu ingin melakukan, biarlah saya yang melanjutkan.”
“Eyang mengetahui ada lima pemuda yang sedang mempelajari Kidung Pamungkas.”
“Pamungkas?”
“Pamungkas, Eyang….”
“Saya akan meneruskan apa yang pernah kamu lakukan. Rasanya sebentar lagi mereka akan melewati jalan ini juga.”
Jaghana menunduk lembut, kemudian berlalu. Tinggal Puspamurti yang berdiri sendirian. Menatap ke langit dan menghela napas berat. Sendirian. Alam seperti tak berubah. Hanya tubuhnya yang berubah. Menjadi kakek-kakek dalam waktu sekejap. Itulah jawaban dari seluruh hidupnya selama ini. Bahwa manusia tidak bisa menahan kemudaan, tak bisa mengatasi kematian. Bahwa mahamanusia tak bisa mengenakan mahkota susun tujuh. Puspamurti kembali duduk di bawah pohon. Berkidung perlahan:
Semua bisa mati
juga mahamanusia
semua bisa perkasa
tapi hanya ada satu raja
tak ada yang perlu disesali
kalaupun tidak menjadi
tak ada yang digetuni
saat ini
mahamanusia tumimbal lahir
seperti air
seperti bumi
seperti senopati
seperti raja
seperti Dewa…
Suaranya terhenti, ketika suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya tak berubah sedikit pun ketika melihat bahwa yang ada di hadapannya adalah Halayudha.
“Apa maumu, Halayudha?”
Halayudha merangkapkan kedua tangannya. “Mohon diberitahu, siapa nama besar Eyang yang berada di bawah pohon….”
“Kamu juga tak akan percaya. Tapi kamu manusia yang cocok dengan Kidungan Paminggir. Kamu senopati yang kuat dan hebat. Kamu dekat dengan takhta, tapi kamu tak akan pernah menduduki. Sayang ada sinar hitam di atas kepalamu.”
Halayudha masih tetap bertanya-tanya dalam hati. Sejak tadi ia memang berusaha mengejar dan mengetahui ke arah mana larinya Puspamurti, karena masih mendongkol. Segala macam ilmunya ternyata masih belum bisa untuk menundukkan Puspamurti yang hanya memainkan satu jurus ilmu. Kini ia bertemu dengan kakek yang mengenakan pakaian aneh Puspamurti.
Yang pertama terlintas dalam kepalanya adalah bahwa kakek ini tokoh yang sakti. Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa mengenakan pakaian Puspamurti? Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa menyebabkan kipas kayu Puspamurti tergeletak patah? Dalam arti lain, kakek ini sudah bisa mengalahkan Puspamurti. Apalagi tadi seperti mengidungkan sesuatu. Itu saja yang menahan Halayudha bertindak sembrono.
“Maaf, Eyang mengenakan pakaian Puspamurti….”
“Kenapa kamu cari dia? Karena kamu kesal tak bisa mengalahkan?”
“Karena ada urusan Keraton, Eyang….”
“O-oo, urusan Keraton ataukah urusanmu pribadi? Sudahlah, kamu menyingkir dari depanku. Aku sedang memikirkan hal lain, dan aku kurang menyukaimu.”
“Kalau sebijak Eyang masih dipengaruhi suka dan kurang suka, di mana kebijaksanaan itu?”
Kalimat Halayudha terdengar sembarangan. Tapi justru mengena tepat di hati Puspamurti. Pertanyaan yang biasa-biasa itu justru merenggut makna yang mengguncang. Bagaimana tidak jika hal itu menggelisahkan hati Puspamurti?
Secara badaniah dirinya telah berubah. Tapi belum bisa menerima seluruhnya nilai-nilai yang baru. Apakah ketidaksukaannya pada Halayudha bukan bawaan dari sebelumnya?
Jaghana telah membuka simpul pergulatan batinnya, akan tetapi tak tuntas. Inilah yang membuatnya ragu. Sebaliknya, Halayudha merasa menemukan peluang untuk masuk. Jalan pikiran yang cepat menangkap sesuatu yang berbeda dari biasanya, segera menemukan bentuknya.
“Sebagai abdi Keraton yang disertai tanggung jawab, saya lebih banyak melakukan kesalahan, kekeliruan, dosa, daripada yang tidak memegang pangkat dan derajat apa-apa. Kalau itu yang menyebabkan Eyang tidak menyukai saya, saya tak bisa berbuat lain.”
Percakapan Calon Prajurit
HALAYUDHA menyembah hormat. Lalu membalik dan berlalu. Satu kejap berikutnya jalan pikirannya sudah menemukan langkah yang akan ditempuh. Kini ia yakin bahwa tokoh yang dihadapi tak bisa dipaksa, tak bisa disuruh-suruh. Bahkan kemudian Halayudha bisa yakin bahwa eyang tua itu adalah Puspamurti.
Sesuatu yang paling mungkin, mengingat pakaian yang dikenakan sama, dan bisa mengetahui bahwa ia dicari. Siapa lagi yang mengetahui hal itu kalau bukan orang yang bersangkutan? Dugaannya diperjelas lagi karena kidungan yang ditembangkan lirik-liriknya mengingatkan akan Kidung Pamungkas.
Sebenarnya Halayudha saat ini kurang begitu tertarik mengenal diri Puspamurti. Pikirannya sedang terpusat bagaimana bisa menyusun kekuatan yang sempurna, sehingga kesempatan mendapat pangkat dan derajat dalam Keraton tak tergoyahkan lagi. Akan tetapi dasar panggilan hati kecilnya sebagai pendekar tak bisa dialihkan begitu saja. Karena ini juga masalah yang nantinya ikut menentukan kursi yang diduduki.
Dalam hatinya sudah memperhitungkan siapa yang bakal menjadi lawan tangguh. Selama ini, jelas Eyang Sepuh kecil kemungkinannya muncul kembali. Lawan utama yang bisa menandingi saat ini ialah Kiai Sambartaka, kalau ia berada di pihak lawan. Diam-diam masih diakuinya kehebatan Kiai Kiamat yang selalu bisa meloloskan diri dari ancaman maut. Tokoh lain yang patut diperhitungkan ialah Jaghana yang tadi disebut-sebut. Akan tetapi secara keseluruhan, Halayudha yakin bisa menundukkan. Baik dalam pertarungan satu lawan satu ataupun ia mengerahkan para senopatinya.
Yang agak sulit diperhitungkan ialah munculnya tokoh muda yang kini tampak tumbuh cakar dan sayapnya. Di antaranya yang paling mengganggu ialah Gendhuk Tri. Wanita yang satu ini sejak kecil mempunyai dasar-dasar yang luar biasa, dididik langsung oleh Mpu Raganata. Dasar Kitab Air telah menemukan bentuknya yang menjila, yang unggul. Apalagi ketika dimainkan secara berpasangan, benar-benar perlu diperhitungkan tersendiri. Terutama juga karena Gendhuk Tri jelas bukan tokoh yang bisa dibujuk rayu oleh derajat, pangkat, harta, dan godaan yang lain.
Bahkan dalam perhitungan Halayudha sekarang ini, Gendhuk Tri bisa menjadi lebih berbahaya dari Upasara Wulung sendiri. Penguasaan ilmunya sudah mendekati, dan di balik itu Gendhuk Tri memiliki kecerdasan serta mampu mencium bau busuk, seratus kali di atas Upasara Wulung yang polos. Sehingga Gendhuk Tri lebih sulit dikuasai atau diliciki. Yang membuat Gendhuk Tri bisa lebih berbahaya ialah bahwa pada saat ini atau saat lain ia bisa bergabung dengan Ratu Ayu dan Nyai Demang. Gabungan kekuatan dan dendam yang bisa merobek semua rencana yang ada. Peluang yang ada adalah mengadu ketiganya. Walaupun Halayudha menyadari bahwa itu bukan sesuatu yang mudah.
Hal lain, adalah kemungkinan munculnya tokoh-tokoh baru yang selama ini belum diperhitungkan. Yang sangat mungkin sekali, mengingat undangan Eyang Sepuh untuk pertarungan di Trowulan menyebar ke seluruh penjuru jagat. Itu sebabnya Halayudha sangat hati-hati terhadap Eyang Puspamurti. Hati-hati dalam artian ia tak akan berdiri sebagai musuh. Itu merupakan prinsip hidupnya.
Sedangkan mengenai para senopati yang lain, Halayudha tak memandang sebelah mata. Ia merasa mampu menghadapi, baik pertarungan satu lawan satu, maupun dalam memperebutkan pengaruh Raja. Bahkan sampai tingkat Mahapatih pun, Halayudha merasa sekarang ini dengan sedikit mengeluarkan tenaga akan bisa menguasai. Karena tenggelam dalam alam pikirannya, Halayudha tak menyadari bahwa di depannya berjalan lima pemuda yang melangkah dengan gagah. Untuk bersembunyi pun tak sempat. Melihat cara jalan yang tergesa, Halayudha menduga ada sesuatu yang sedang tergesa dikejar. Halayudha meminggirkan tubuhnya.
“Bagaimana jika tidak bertemu?” tanya Senggek.
“Biasanya kita sudah bertemu,” tambah Genter.
“Ketemu atau tidak, kita jalan terus. Terus,” kata Mada, seolah menjadi perintah.
“Siapa yang kalian cari?”
Kelima pemuda itu berhenti. Berpaling. Memandang sekilas. Lalu melanjutkan perjalanan dengan menjawab, “Kami mencari Guru….”
Halayudha menekuk lututnya. Sekali loncat, tubuhnya melayang di depan kelima pemuda. “Siapa gurumu?”
“Dukun Truwilun…,” jawab Kwowogen lantang.
“Sejak kapan dukun berewok tak tahu tata krama itu mempunyai…”
Halayudha belum menyelesaikan kata “murid”, ketika Mada mendadak maju. Bersamaan dengan jotosan pukulan ke arah ulu hati. Madana juga membarengi dengan sapuan kaki. Halayudha tersenyum dalam hati. Tanpa mengubah kaki, tangan, atau tubuh, Halayudha bahkan memejamkan matanya. Terdengar pukulan keras mengenai sasaran.
Buk, buk, buk.
Mada meringis, tangannya menjadi legam sesaat. Sementara Madana berlari-lari terputar terpincang-pincang. Senggek, Genter, dan Kwowogen bersiaga.
“Lalat pun tak bergoyang…,” kata Halayudha dengan dingin. Matanya menyorotkan sinar keras menikam. Sorot mata yang tidak biasanya. Memang tidak biasanya Halayudha terpancing kemurkaan yang dahsyat. Kali ini juga karena tidak menduga bahwa pukulan Mada yang kelihatan biasa-biasa itu sempat membuatnya terguncang. Dadanya terasa perih. Itu suatu pukulan yang luar biasa.
Sekurangnya karena Halayudha sama sekali tidak menyangka bahwa pukulan itu bisa membuatnya kaget. Jelas dari gerakan maupun cara berjalan mereka seperti anak ingusan. Tak ada tenaganya. Akan tetapi ternyata benturan tenaganya cukup kuat. Hanya karena Halayudha jauh lebih sakti, tangan Mada yang melepuh dan kaki Madana bagai menendang pohon.
“Kalian ternyata beringas dan kurang ajar. Tak tahu siapa yang kalian hadapi….”
“Siapa pun yang kami hadapi apa bedanya?”
“Siapa kamu?”
“Aku Mada. Siapa sampeyan?”
“Kalian akan mati berdiri kalau kusebutkan namaku. Aku tak mau membunuh dengan cara yang begitu mudah dan menyenangkan. Tidak seimbang dengan kekurangajaran kalian yang main pukul. Tapi, aku ingin melihat ilmu macam apa yang kalian pelajari.”
Tangan Halayudha terulur keduanya. Dengan mempergunakan tenaga membetot, kelimanya seperti ditarik paksa masuk ke jangkauan kakinya. Dan sekali bergerak, kelimanya menjadi jungkir-balik.
“Keluarkan ilmu kalian!”
Kelimanya terduduk.
“Ayo, keluarkan! Belum satu gebrakan kalian sudah nyungsep seperti cacing. Truwilun yang mengajari ilmu kalian ternyata sangat bodoh….”
Mada dan Madana kembali menggerung. Keduanya meloncat, meskipun gerakannya kurang sempurna. Sekali Halayudha menangkap tangan, terdengar sambaran angin keras. Sebelum Madana sadar apa yang terjadi, tubuhnya rontok ke tanah. Tulang tengkorak hingga ke leher hancur. Seakan kepalanya dipadatkan oleh tenaga yang luar biasa keras.
Mada yang tak bisa menemui sasaran, kembali meloncat. Kali ini Halayudha yang meloncat mundur. Ini tak masuk akal. Jelas mereka berlima bukan tandingannya. Sekali gebrak saja lumat habis. Akan tetapi toh masih ada yang menyerang.
“Kalian cari mati!”
“Tidak. Tapi kalau itu terjadi, apa salahnya?” Kwowogen maju.
“Sudah jelas kalian kalah, kenapa tidak menyembah minta maaf atau lari?”
“Sampeyan sudah menghina Guru. Saya tak bisa membiarkan begitu saja."
Halayudha mencibirkan bibirnya. “Bagus. Bagus itu, Mada. Heh, kalian pikir kalian ini siapa dan mau apa? Soal kecil saja diladeni dengan mati-hidup?”
“Kami adalah calon prajurit. Kami tak bisa membiarkan penghinaan. Sampeyan boleh hebat, akan tetapi tak akan bisa menghina kami.”
Halayudha mengangkat alis dan bersiap menyelesaikan urusan secepatnya ketika terdengar langkah kaki. Benar dugaannya, Eyang Puspamurti yang datang. “Itu sikap yang bagus. Sikap gagah ksatria sejati.”
Puspamurti berpaling ke arah Halayudha. “Halayudha, kamu ini senopati utama, tapi jiwamu tak sebesar kuku hitam para calon prajurit itu. Tidakkah kamu malu?”
Sejenak Halayudha menahan gemuruh dadanya.
“Mereka berlima menjadi tanggung jawabku karena aku sudah berjanji kepada Jaghana untuk menjaga. Kalau kamu mau mengganggu, hadapi aku.”
Senopati Alas Kaki
EYANG PUSPAMURTI tak hanya berhenti berkata, ia melambung ke atas kedua tangan dan kakinya menekuk bersamaan, mencengkeram kepala Halayudha. Yang segera mengangkat kedua tangannya untuk menangkis. Akan tetapi tubuh Puspamurti seperti bisa melengkung dan melebar sehingga pukulan Halayudha mengenai udara kosong. Bersamaan dengan itu, Halayudha meloloskan diri dengan merosot ke bawah.
“O-oo, sejak kapan kamu juga mencuri gerakan Kitab Air?”
Halayudha masih terhuyung-huyung ketika Puspamurti kembali melambung ke angkasa bagai kapas terbang, dan mendadak memberat ke arah tubuh Halayudha, yang kali ini memilih menyingkir ke samping kiri. Pukulan angin yang menderu menyebabkan Mada dan ketiga sahabatnya mundur tiga langkah.
“Jangan mundur! Maju! Kurung senopati ini!” Puspamurti berdiri tegak. “Ayo, gabungkan tenaga kalian. Pusatkan di tengah. Satu yang menyerang, yang lain mengalir. Jaghana sudah mengajarkan kekuatan inti manusia. Isap napas kuat-kuat, tahan di pusar, salurkan kepada teman…”
Halayudha benar-benar tak menyangka bahwa Puspamurti bisa mengatur serangan sambil mengajari. Yang lebih hebat lagi, ia sama sekali tak menyangka bahwa keempat pemuda dengan serta-merta mengikuti apa yang diperintahkan. Inilah hebat. Inilah yang dikuatirkan. Selalu ada kekuatan baru yang menyeruak. Yang tak diperhitungkan sebelumnya. Halayudha menjadi keder. Keberangasannya copot separuh.
Bisa dimengerti. Dalam tiga gerakan, Puspamurti bukan hanya bisa menebak dengan jitu apa yang dilakukan Halayudha, akan tetapi juga sekaligus mematahkan serangannya. Gerakan membebaskan diri yang mengikuti ajaran Kitab Air bisa terbaca dengan jelas, dan menyuruh keempat pemuda membentuk gerakan semacam tanggul yang menghalangi. Sehingga air tak bisa mengalir sempurna.
Lebih heran lagi ketika ia berusaha menjebol barisan itu, sambaran tubuh Puspamurti sudah menyentuh pundaknya. Menghunjam langsung ke arah tulang pundak. Yang kalau berhasil dicengkeram habis, musnahlah seluruh kemampuan silatnya! Seperti yang dilakukan pada Upasara!
Sesungguhnya inilah yang membuat Halayudha begitu cepat terdesak. Keempat pemuda itu menghayati pertarungan yang diajarkan seperti tak memedulikan hidup dan mati. Tak memedulikan siapa yang bakal terkena pukulan lebih dulu. Dipadu dengan tubuh Puspamurti yang kini bisa melayang dan hinggap sesukanya, Halayudha menjadi keteter. Justru karena itu ia terdesak.
Pada saat terdesak, keunggulannya dalam menyerang menjadi hilang. Itu yang agaknya secara tepat diperhitungkan Puspamurti. Yang secara luar biasa menguasai kemampuan perubahan jurus-jurus yang diandalkan Halayudha. Dasar-dasar ajaran Kitab Bumi dan paduan dengan Kitab Air terbaca jelas bagai menemukan sebungkah batu di siang hari. Halayudha menggerung keras, memutar tubuhnya, dan berbalik mundur. Kembali Puspamurti sudah mencengkeram tubuhnya dan ketika Halayudha terus mengegos, kainnya terlepas. Inilah gila.
“Senopati macam apa telanjang memalukan seperti itu?”
Tubuh Halayudha panas membara. Tapi gerakannya seperti kedinginan. Tak pernah dibayangkan dalam mimpi yang paling memalukan bahwa sekarang ini bisa dipecundangi dengan cara yang paling hina. Justru di saat kedua tangannya turun menutupi tubuh, Puspamurti menyambar. Halayudha menggerung, menarik kepalanya dari sambaran. Akan tetapi tak urung pinggangnya kena sodok keras, sehingga terjatuh kaku.
“Ayo, kalau kalian mau membasuh kaki di wajahnya, lakukan sekarang…”
Tapi keempat pemuda itu masih terus bergerak-gerak.
Puspamurti mengeluarkan suara “O-oo” sebelum melompat maju dan kedua tangannya meraup wajah keempatnya secara berurutan. Barulah keempatnya seperti tersadar kembali.
“Itu cara menghentikan penyatuan kekuatan. Tak peduli siapa yang mati, itu baik. Memang begitu cara mengatur kebersamaan. Tapi kalian baru bisa sekadar memainkan. Belum bisa menghentikan semau hati. Saat tenaga kembali ke pulung hati, jangan dituruti mengalir ke arah lain. Tahan. Kekuatan dialihkan ke dalam batin. Menjadi kekuatan menunggu. Kalau ada yang tergetar itu hanya bulu mata. Mengerti?”
Keempatnya mengangguk.
“Jaghana pastilah belum menurunkan ilmu itu.”
“Kami berguru kepada Dukun Truwilun…”
Apa maksud utama Eyang Sepuh? Jaghana tak memperoleh jawaban. Apalagi kemudian diketahui, bahwa dalam pertarungan di Trowulan Eyang Sepuh bisa terluka dan kemudian menghilang kembali. Apa…?
Tak ada jawaban. Setiap hari, setiap saat, Jaghana menikmati alam, melihat matahari terbit dan tenggelam. Melihat bunga mekar, buah tumbuh, dan daun gugur dalam irama alami yang menenteramkan. Sampai suatu ketika Jaghana melihat selembar kapuk diterbangkan angin. Pohon-pohon kapuk randu sejak Jaghana masih kecil selalu dilihat, dikenal, bahkan juga dari pohon yang masih diinjak.
Akan tetapi kali ini memberi sentuhan yang lain. Kapuk randu alas yang telah kering, yang seperti biasanya jatuh terbawa angin diikuti. Perlahan, untuk tidak memberi dorongan angin. Kapuk yang berisi kelenteng, atau biji kapuk yang hitam, melayang jatuh ke tanah. Lama. Bergoyang. Kemudian tergerak kembali, terkena sentuhan angin.
Jaghana mengikuti terus. Menunggu dengan sabar. Sebagian kapuk itu kandas, terkena tanah, air, jatuh ke sungai, dan hanyut. Sebagian ada yang bisa melintasi sungai, jauh di seberang. Suatu saat nanti, kalau suasananya memungkinkan, kelenteng itu akan tumbuh. Tumbuh di luar Perguruan Awan.
Tumbuh? Mungkin juga mati. Mati. Mati? Tumbuh? Kapuk yang di seberang dan di dalam Perguruan Awan adalah kapuk. Kapuk? Kapuk. Jaghana berlutut, bersemadi. Lama sekali. Inikah yang dikehendaki Eyang Sepuh? Inikah maksud utama Eyang Sepuh dengan merestui Upasara Wulung?
Upasara Wulung yang akan melangkah keluar dari Perguruan Awan. Upasara Wulung yang mempunyai hubungan dengan Keraton. Upasara Wulung yang masih terbakar oleh daya asmara, oleh keinginan-keinginan. Upasara Wulung sebagai kapuk randu yang masih terbawa angin.
Jaghana menenteramkan hatinya beberapa waktu, sebelum akhirnya memutuskan bahwa ia merasa mantap melangkah ke luar. Yang lebih membuatnya makin yakin, saat itu ada semacam kilatan cahaya dalam batinnya, sehingga melihat sisi beda dan juga persamaan antara Kidungan Paminggir dan Kidungan Pamungkas. Inikah jawaban dari kemauan utama Eyang Sepuh?
Jaghana terus melanjutkan perjalanan sebagai Truwilun, ditemani Wilanda, sebagai Cantrik. Sampai kemudian bertemu dengan Mada, Madana, Senggek, Genter serta Kwowogen. Yang seperti diutarakan Wilanda, mengusiknya dengan ajaran Kidungan Pamungkas. Segalanya menunjukkan ke sana. Batinnya membisikkan ke arah itu. Jaghana merasakan getaran yang sama melihat kapuk yang terbang. Merasakan kembali kata-kata “perpisahan” dengan Eyang Sepuh mengenai kidungan untuk “menyambut tamu yang datang”. Wilanda masih menunggu.Jaghana merangkapkan kedua tangannya.
“Pencerahan itu datang pada Paman Wilanda. Bahagialah Paman atas kemurahan Dewa.”
Wilanda merangkapkan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar. Bisa dimengerti. Selama ini Wilanda merasa dirinya orang luar, merasa belum sepenuhnya diterima dalam Perguruan Awan. Ia mulai mengenal dunia persilatan dan ajaran kehidupan dalam Perguruan Awan sejak masih kecil. Di alam yang tenteram itu dirinya mengenal arti hidup, asal mula, dan tujuannya.
Akan tetapi kemudian sekali hatinya bercabang. Ia ingin melihat dan merasakan dunia di luar perguruan. Itu sebabnya kemudian ia pergi dan nyuwita, mengabdi sebagai prajurit Keraton Singasari. Jauh dalam hati Wilanda ada beban dosa, beban rasa bersalah. Karena siapa pun yang meninggalkan Perguruan Awan, apalagi menjadi prajurit Keraton, tak akan pernah diterima kembali di Perguruan Awan.
Namun nasib menunjukkan lain. Sewaktu ada berita akan adanya Tamu dari Seberang, ia ditunjuk sebagai penunjuk jalan. Mengantarkan Upasara Wulung dan Ngabehi Pandu. Dan sejak itu tak kembali ke Keraton. Karena merasa menemukan ketenteraman dan jawaban dari yang dicarinya. Sehingga mau mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan orang lain. Nilai luhur dan kesediaannya berkorban inilah yang menyebabkan Wilanda diterima kembali berdiam di Perguruan Awan.
Akan tetapi jauh dalam hatinya masih tersisa sepenggal rasa mengganjal, bahwa dirinya belum diterima secara utuh. Semua dijalani, diyakini, tapi masih ada rasa kurang. Sampai ketika Jaghana mengatakan mengenai pencerahan! Inikah maksud utama Eyang Sepuh? Bagi Jaghana pertanyaan itu lebih jelas dari pertanyaan batin: Apa maksud utama Eyang Sepuh? Saat itu juga Jaghana dan Wilanda mengumpulkan kelima murid jalanan.
“Mulai sekarang, kalian berlima mandi-keramas hingga bersih. Semua yang kotor yang melekat dalam tubuh kalian, dari ujung kuku, lubang hidung, telinga, mata, lubang tubuh yang lain, harus dibersihkan. Selama menyiapkan diri tak boleh berbicara satu sama lain, makan atau minum, atau memikirkan yang lain.”
“Tidak boleh bertanya?”
“Sekarang pun tidak.”
Lima hari lima malam berturut-turut Jaghana dan Wilanda berdiam bersama kelima pemuda. Tanpa sepatah kata, tanpa petunjuk tertentu. Berdiam bersama. Tidak menyentuh air, tanpa menyentuh dedaunan. Sampai hari ketujuh, Wilanda diam-diam mengakui tekad besar dalam diri kelima murid yang diajari. Mereka berlima, tanpa kecuali, melakukan apa yang diajarkan. Tak ada yang bertanya. Tak ada yang saling sapa. Tak ada apa-apa. Lapar, dahaga, keinginan bicara, semuanya bisa dipendam dalam-dalam.
Hari kesepuluh, kelimanya secara bersamaan mulai mengikuti setiap gerak Jaghana. Duduk bersemadi. Menghela napas. Semua diikuti. Sebisanya. Hari keempat puluh, tarikan napas mereka berlima mulai mengikuti tarikan napas Jaghana. Yang kemudian menyatukan tangan, dan mulai membimbing lewat batin, lewat suara tak terucapkan.
Satu-satunya tuntunan yang ada hanyalah suara kidungan lambat dari Wilanda. Sampai kemudian Jaghana dan Wilanda mengucapkan selamat berpisah sementara dan meneruskan perjalanan. Sampai kemudian terlibat dengan utusan dari Keraton, yang membawanya ke Keraton Majapahit.
Percakapan Dua Ksatria
EYANG PUSPAMURTI tak mendengar jawaban Jaghana mengenai keinginannya untuk mengikuti ke mana pun Jaghana pergi. Karena dirinya tenggelam dalam alam pikirannya sendiri. Sesuatu yang terjadi dengan sendirinya setelah sekian lama berkutat dengan pengerahan tenaga dalam secara terus-menerus. Kelonggaran dan istirahat menyeretnya ke masa lalu.
Saat dirinya masih berada dalam Keraton. Masih menjadi kerabat yang mempunyai darah biru. Puspamurti merasa paling bangga, karena di antara putra wayah, anak-cucu Sri Baginda Raja, dirinya termasuk istimewa. Paling sering diajak bicara oleh Sri Baginda Raja, untuk membicarakan beberapa persoalan. Terutama mengenai tata pemerintahan dan keinginan-keinginan besar yang kadang mengganggu kelelapan Sri Baginda Raja.
Sehingga tengah malam pun Sri Baginda Raja bisa memanggil sepuluh orang lain untuk diajak mendengarkan apa yang dikehendaki. Seperti ketika suatu malam, Sri Baginda Raja memanggilnya. Di dalam sudah duduk berjajar para sesepuh Keraton, termasuk Mpu Raganata. Yang termasuk anak muda saat itu hanya Pandu dan dirinya.
“Malam ini ingsun pribadi ingin mendengar suara kalian yang biasanya hanya mengangguk dan mengiya. Ingsun bawa dua anak muda, karena biasanya mereka ini bodoh dan suka melihat dari sisi yang berbeda. Raganata, apa keberatanmu kalau Kitab Bumi yang menjadi ajaran kanuragan resmi?”
Mpu Raganata menyembah hormat. “Kitab itu belum lengkap.”
“Itu berarti kamu setuju. Karena tak pernah ada kitab yang lengkap dan sempurna. ingsun bisa memutuskan sendiri, dan akan memperbesar wibawa. Tapi ada baiknya mendengarkan dari kalian, ingsun hanya mau mendengar keberatan, bukan pujian. Pandu?”
“Kitab itu terlalu merepotkan, Sri Baginda Raja. Hanya memungkinkan dipelajari dari awal. Sehingga hanya berguna untuk bayi-bayi yang baru dilahirkan dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat sebelumnya, serta…”
“Mulai hari ini, kamu cari semua bayi yang lahir. Tak peduli anak pangeran, atau anakku, atau anak orang sudra parisangka yang hina. Ambil mereka, didik sebagaimana ada di kitab itu. Senamata Karmuka akan membantu untuk mengadakan Ksatrian Pingitan ini. Jelas?”
Sri Baginda Raja membuat seluruh darah Puspamurti bergerak ke arah kepala ketika menoleh ke arahnya. “Kamu, apa yang kamu ketahui? Jangan hanya bisa makan enak dan jadi senopati saja nantinya. Apa kata kamu?”
“Sembah bagi Sri Baginda Raja. Barangkali yang menciptakan sendiri bisa ditimbali”
“Baik, ingsun akan bicara dengannya… Sekarang.”
Saat itulah Puspamurti bisa melihat jelas ksatria muda yang kemudian dikenal sebagai Eyang Sepuh. Ia memasuki Keraton dengan langkah gagah. Hanya selembar kain dikenakan di tubuhnya. Kakinya masih mengesankan kotor ketika duduk bersila.
“Kamu, kamu senang kalau Kitab Bumi menjadi ajaran resmi Keraton?”
“Senang, Baginda Raja. Seperti semua yang ada di sini, yang menyetujui, karena itu kitab paling gampang.”
“Apa maksudmu?”
“Raganata menulis lebih hebat. Ajaran Kitab Air juga lebih halus. Tetapi yang ini lebih gampang, sehingga tak akan menimbulkan kesulitan apa-apa dalam mengajarkan. Tetapi juga tak menghasilkan apa-apa.”
“Apa maumu?”
“Sri Baginda Raja juga memberi kesempatan lahirnya ajaran resmi dalam kanuragan, kitab yang membasmi, menghancurkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang ini.”
“Hmmm…”
“Hamba sudah menyusun.”
“Hmmm…”
“Hamba bisa memainkan sekarang.”
Puspamurti tergetar. Seumur-umur belum pernah melihat ada orang yang sedemikian wungkul, sedemikian wadag, lahiriah, dalam berbicara dengan Sri Baginda Raja. Bahwa Sri Baginda Raja Kertanegara sangat terbuka, terutama dalam menerima para ksatria dan pendeta, itu sudah menjadi pengetahuan umum. Akan tetapi bahwa seorang ksatria berani menunjukkan dirinya, itu termasuk luar biasa. Kalau tidak hebat sekali, pastilah kurang waras. Eyang Sepuh yang ini menyimpan dua-duanya.
“Ingsun tidak butuh sekarang….”
“Setelah itu nanti masih ada satu ajaran lagi, yang akan menuntaskan semua ajaran yang ada. Kitab terakhir…”
“Kamu juga sudah siap?”
“Segera setelah kitab petunjuk penangkal yang ini.”
“Kamu ini keras kepala dan sombong. Tak tahu tata krama.”
“Sri Baginda Raja yang mengajarkan.”
“Ingsun?”
“Sri Baginda Raja adalah raja yang berkuasa. Yang bisa memanggil mahapatih, para patih, para senopati, bukan manusia macam hamba ini Apakah itu juga menganjurkan tata krama? Sri Baginda Raja mengantar kepada kegelisahan karena banyak petinggi Keraton digeser tempatnya….”
“Ingsun tidak butuh mendengar.”
“Maaf, ampun, Baginda Raja….”
“Ingsun hanya mengatakan mengenai Kitab Bumi….”
Tak ada suara.
“Apa lagi kata-katamu, Bejujag?”
“Kalau saja raja sebelum Sri Baginda Raja memerintahkan ini, saat sekarang ini seluruh bumi, seluruh jagat, dan langitnya berada di tangan Sri Baginda Raja. Dewa akan turun kemari menyembah.”
Sri Baginda Raja mendesis perlahan. “Mulutmu lancang. Kamu manusia kurang unggah-ungguh. Sekarang semuanya bubar.”
Semua menyembah dengan hormat, berlalu dengan hormat. Hanya Puspamurti yang ditahan.
“Kamu ini punya darah Keraton, punya kesempatan besar, tapi kamu ini bukan ksatria. Kamu bahkan lelaki pun bukan.”
Puspamurti menggigil.
“Bejujag itulah ksatria. Ia ksatria yang sesungguhnya. Ingsun juga ksatria. Lebih dari dia, lebih dari siapa saja. Sayang, kalian anak-cucuku tak lebih dari lumpur basah. Padahal sebentar lagi seluruh jagat akan jadi milik kalian. Dewa akan datang ke bumi dan menyembah padaku.”
Puspamurti merasa terpukul. Sejak itu ia mulai jarang dipanggil menghadap. Dan untuk membuktikan dirinya pantas sebagai senopati, Puspamurti menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar tapa brata, di samping mempelajari ilmu silat. Bahkan kemudian ketika diangkat sebagai senopati Keraton, Puspamurti menunjukkan pilihan lain
Namun kejadian itu tak pernah lepas dan ingatannya. Pengaruhnya mengendap ke dalam hatinya, batinnya, kesadarannya. Bahwa di jagat ini hanya ada dua ksatria sejati. Ksatria yang sesungguhnya, yaitu Sri Baginda Raja dan Eyang Sepuh. Puspamurti menghabiskan semua kemampuannya untuk menjadikan dirinya ksatria. Itulah yang menenggelamkan dirinya. Dengan harapan suatu ketika nanti muncul bisa mengimbangi Eyang Sepuh. Suatu ketika Sri Baginda Raja nanti akan menyebutnya sebagai ksatria.
Siapa nyana jika semuanya berubah? Siapa nyana jika dirinya akan bertemu dengan murid Eyang Sepuh yang dengan jitu menunjukkan perbedaan dan juga persamaan antara Kidungan Paminggir dan Kidungan Pamungkas? Semua kemampuan, kedalaman yang diselami, ditelanjangi dengan ucapan Jaghana. Sehingga ilmunya untuk menahan usia pun rontok kemudian. Seperti juga cara menahan kematian yang dilakukan Kebo Berune. Tak ada alasan lain untuk tidak mengikuti Jaghana.
“Eyang Puspamurti, apakah saya pantas diikuti?” Suara Jaghana terdengar datar, tidak berusaha merendahkan diri. “Saya sendiri masih mengikuti langkah yang tersesat. Bahkan Wilanda yang selalu bersama saya bisa terpisah seperti sekarang ini.”
“Rasanya saya menemukan kembali jalan yang harus saya lalui, Jaghana.”
“Kalau Eyang bersedia jalan bersama, marilah kita berjalan bersama. Kalau nanti ada jalan yang berbeda, kita akan menempuh sendiri-sendiri….”
“Sekian lama saya merasa meniti jalan yang tepat. Tapi hari ini bisa dipertemukan denganmu. Itu sudah lebih dari cukup. Saya belum terlambat untuk melihat jalan. Walau untuk sesaat saja.”
Percakapan Tumimbal Lahir
JAGHANA untuk pertama kalinya menggeser duduknya. Tangannya menjauhkan sandal kayunya, yang ternyata cukup lama di tempat itu sehingga beberapa binatang yang berlindung di dalamnya berlarian.
“Tidak semestinya Eyang mendahului kehendak Dewa.”
“Hanya karena saya menyadari hidup yang tinggal sesaat saja? Jaghana, saya sudah tua. Eyang Sepuh masih menjadi ksatria, saya sudah seusia dengannya. Yang membedakan adalah Eyang Sepuh bisa menciptakan maha karya, sedang saya untuk memahami diri sendiri pun masih susah. Tapi selebihnya sama. Kami sama-sama menuju ke kematian. Eyang Sepuh mempunyai cara yang lebih luhur. Jaghana, saya mengenal semua ksatria yang gagah perkasa. Saya sezaman, menghirup udara yang sama dengan Eyang Sepuh, Paman Sepuh, Mpu Raganata. Tapi apa yang saya lakukan? Menahan usia. Menyimpan umur. Dua raja yang memerintah berlalu, saya tidak mengetahui. Jagat berubah, saya tak tahu. Apa sesungguhnya yang telah saya lakukan?”
“Masih ada yang bisa dilakukan, Eyang.”
“Ada, memang. Tapi apa lebih baik untuk kehidupan? Jaghana, murid kekasih Dewa… Kalau sekarang saya berbuat sesuatu, saya tak tahu apakah itu berarti atau tidak. Apakah itu bukannya malah menyengsarakan manusia lain? Saya telah buta dalam dua kali tata pemerintahan Keraton. Kalau sekarang saya bertindak…”
“Maaf, Eyang, apakah kebenaran bisa berubah?”
“Entah. Saya tak tahu. Saya benar-benar tak tahu. Saya tak tahu kenapa ada senopati yang sakti seperti Halayudha. Apakah ia berbuat kebaikan atau tidak, saya tak mengerti. Sehingga saya tak tahu apakah harus memerangi atau membantu. Saya tak tahu kenapa ksatria berbakat luar biasa seperti Upasara Wulung harus tewas. Jaghana, kamu masih bertanya mengenai kebenaran?”
“Saya menjalani dengan mengikuti suara hati.”
“Kapan selesainya?”
“Tak ada selesainya, Eyang."
“O-oo.”
“Semua mengikuti irama alam yang telah dikodratkan. Semuanya akan tumimbal lahir, akan lahir kembali. Karena tak ada yang bisa diselesaikan. Eyang Sepuh tak berhenti dengan Kitab Bumi, tak berhenti dengan Kitab Penolak Bumi, tak berhenti setelah menyelesaikan Kitab Paminggir.”
“Ya, Eyang Sepuh pepunden kamu itu pasti akan melahirkan lagi, kalau mau. Tapi apa yang sebenarnya ia lakukan? Apa yang kamu lakukan? Menolong orang dengan menjadi dukun, menjadi peramal? Berapa yang bisa kamu tolong, dan berapa yang tak bisa kamu tolong?”
Jaghana mundur perlahan. Lalu berdiri perlahan. Tak terlihat sama sekali bahwa sudah beberapa malam ia duduk tanpa mengubah posisi sama sekali. “Saya akan meneruskan perjalanan, Eyang.”
“Saya akan mengikuti….” Puspamurti mencoba berdiri. Tersenyum. “Saya makin tua rasanya. Jaghana, katakan kamu mau ke mana?”
“Menuju ke depan, menemui yang ingin saya temui.”
“Baik, baik kalau kamu tak mau saya ikuti. Katakan apa yang harus saya lakukan sekarang ini?”
“Eyang lebih tahu.”
“Setelah tahu seperti sekarang, saya tak tahu apa-apa. O-oo. Jaghana, katakan. Kalau ada yang pernah kamu lakukan dan belum selesai, padahal kamu ingin melakukan, biarlah saya yang melanjutkan.”
“Eyang mengetahui ada lima pemuda yang sedang mempelajari Kidung Pamungkas.”
“Pamungkas?”
“Pamungkas, Eyang….”
“Saya akan meneruskan apa yang pernah kamu lakukan. Rasanya sebentar lagi mereka akan melewati jalan ini juga.”
Jaghana menunduk lembut, kemudian berlalu. Tinggal Puspamurti yang berdiri sendirian. Menatap ke langit dan menghela napas berat. Sendirian. Alam seperti tak berubah. Hanya tubuhnya yang berubah. Menjadi kakek-kakek dalam waktu sekejap. Itulah jawaban dari seluruh hidupnya selama ini. Bahwa manusia tidak bisa menahan kemudaan, tak bisa mengatasi kematian. Bahwa mahamanusia tak bisa mengenakan mahkota susun tujuh. Puspamurti kembali duduk di bawah pohon. Berkidung perlahan:
Semua bisa mati
juga mahamanusia
semua bisa perkasa
tapi hanya ada satu raja
tak ada yang perlu disesali
kalaupun tidak menjadi
tak ada yang digetuni
saat ini
mahamanusia tumimbal lahir
seperti air
seperti bumi
seperti senopati
seperti raja
seperti Dewa…
Suaranya terhenti, ketika suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya tak berubah sedikit pun ketika melihat bahwa yang ada di hadapannya adalah Halayudha.
“Apa maumu, Halayudha?”
Halayudha merangkapkan kedua tangannya. “Mohon diberitahu, siapa nama besar Eyang yang berada di bawah pohon….”
“Kamu juga tak akan percaya. Tapi kamu manusia yang cocok dengan Kidungan Paminggir. Kamu senopati yang kuat dan hebat. Kamu dekat dengan takhta, tapi kamu tak akan pernah menduduki. Sayang ada sinar hitam di atas kepalamu.”
Halayudha masih tetap bertanya-tanya dalam hati. Sejak tadi ia memang berusaha mengejar dan mengetahui ke arah mana larinya Puspamurti, karena masih mendongkol. Segala macam ilmunya ternyata masih belum bisa untuk menundukkan Puspamurti yang hanya memainkan satu jurus ilmu. Kini ia bertemu dengan kakek yang mengenakan pakaian aneh Puspamurti.
Yang pertama terlintas dalam kepalanya adalah bahwa kakek ini tokoh yang sakti. Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa mengenakan pakaian Puspamurti? Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa menyebabkan kipas kayu Puspamurti tergeletak patah? Dalam arti lain, kakek ini sudah bisa mengalahkan Puspamurti. Apalagi tadi seperti mengidungkan sesuatu. Itu saja yang menahan Halayudha bertindak sembrono.
“Maaf, Eyang mengenakan pakaian Puspamurti….”
“Kenapa kamu cari dia? Karena kamu kesal tak bisa mengalahkan?”
“Karena ada urusan Keraton, Eyang….”
“O-oo, urusan Keraton ataukah urusanmu pribadi? Sudahlah, kamu menyingkir dari depanku. Aku sedang memikirkan hal lain, dan aku kurang menyukaimu.”
“Kalau sebijak Eyang masih dipengaruhi suka dan kurang suka, di mana kebijaksanaan itu?”
Kalimat Halayudha terdengar sembarangan. Tapi justru mengena tepat di hati Puspamurti. Pertanyaan yang biasa-biasa itu justru merenggut makna yang mengguncang. Bagaimana tidak jika hal itu menggelisahkan hati Puspamurti?
Secara badaniah dirinya telah berubah. Tapi belum bisa menerima seluruhnya nilai-nilai yang baru. Apakah ketidaksukaannya pada Halayudha bukan bawaan dari sebelumnya?
Jaghana telah membuka simpul pergulatan batinnya, akan tetapi tak tuntas. Inilah yang membuatnya ragu. Sebaliknya, Halayudha merasa menemukan peluang untuk masuk. Jalan pikiran yang cepat menangkap sesuatu yang berbeda dari biasanya, segera menemukan bentuknya.
“Sebagai abdi Keraton yang disertai tanggung jawab, saya lebih banyak melakukan kesalahan, kekeliruan, dosa, daripada yang tidak memegang pangkat dan derajat apa-apa. Kalau itu yang menyebabkan Eyang tidak menyukai saya, saya tak bisa berbuat lain.”
Percakapan Calon Prajurit
HALAYUDHA menyembah hormat. Lalu membalik dan berlalu. Satu kejap berikutnya jalan pikirannya sudah menemukan langkah yang akan ditempuh. Kini ia yakin bahwa tokoh yang dihadapi tak bisa dipaksa, tak bisa disuruh-suruh. Bahkan kemudian Halayudha bisa yakin bahwa eyang tua itu adalah Puspamurti.
Sesuatu yang paling mungkin, mengingat pakaian yang dikenakan sama, dan bisa mengetahui bahwa ia dicari. Siapa lagi yang mengetahui hal itu kalau bukan orang yang bersangkutan? Dugaannya diperjelas lagi karena kidungan yang ditembangkan lirik-liriknya mengingatkan akan Kidung Pamungkas.
Sebenarnya Halayudha saat ini kurang begitu tertarik mengenal diri Puspamurti. Pikirannya sedang terpusat bagaimana bisa menyusun kekuatan yang sempurna, sehingga kesempatan mendapat pangkat dan derajat dalam Keraton tak tergoyahkan lagi. Akan tetapi dasar panggilan hati kecilnya sebagai pendekar tak bisa dialihkan begitu saja. Karena ini juga masalah yang nantinya ikut menentukan kursi yang diduduki.
Dalam hatinya sudah memperhitungkan siapa yang bakal menjadi lawan tangguh. Selama ini, jelas Eyang Sepuh kecil kemungkinannya muncul kembali. Lawan utama yang bisa menandingi saat ini ialah Kiai Sambartaka, kalau ia berada di pihak lawan. Diam-diam masih diakuinya kehebatan Kiai Kiamat yang selalu bisa meloloskan diri dari ancaman maut. Tokoh lain yang patut diperhitungkan ialah Jaghana yang tadi disebut-sebut. Akan tetapi secara keseluruhan, Halayudha yakin bisa menundukkan. Baik dalam pertarungan satu lawan satu ataupun ia mengerahkan para senopatinya.
Yang agak sulit diperhitungkan ialah munculnya tokoh muda yang kini tampak tumbuh cakar dan sayapnya. Di antaranya yang paling mengganggu ialah Gendhuk Tri. Wanita yang satu ini sejak kecil mempunyai dasar-dasar yang luar biasa, dididik langsung oleh Mpu Raganata. Dasar Kitab Air telah menemukan bentuknya yang menjila, yang unggul. Apalagi ketika dimainkan secara berpasangan, benar-benar perlu diperhitungkan tersendiri. Terutama juga karena Gendhuk Tri jelas bukan tokoh yang bisa dibujuk rayu oleh derajat, pangkat, harta, dan godaan yang lain.
Bahkan dalam perhitungan Halayudha sekarang ini, Gendhuk Tri bisa menjadi lebih berbahaya dari Upasara Wulung sendiri. Penguasaan ilmunya sudah mendekati, dan di balik itu Gendhuk Tri memiliki kecerdasan serta mampu mencium bau busuk, seratus kali di atas Upasara Wulung yang polos. Sehingga Gendhuk Tri lebih sulit dikuasai atau diliciki. Yang membuat Gendhuk Tri bisa lebih berbahaya ialah bahwa pada saat ini atau saat lain ia bisa bergabung dengan Ratu Ayu dan Nyai Demang. Gabungan kekuatan dan dendam yang bisa merobek semua rencana yang ada. Peluang yang ada adalah mengadu ketiganya. Walaupun Halayudha menyadari bahwa itu bukan sesuatu yang mudah.
Hal lain, adalah kemungkinan munculnya tokoh-tokoh baru yang selama ini belum diperhitungkan. Yang sangat mungkin sekali, mengingat undangan Eyang Sepuh untuk pertarungan di Trowulan menyebar ke seluruh penjuru jagat. Itu sebabnya Halayudha sangat hati-hati terhadap Eyang Puspamurti. Hati-hati dalam artian ia tak akan berdiri sebagai musuh. Itu merupakan prinsip hidupnya.
Sedangkan mengenai para senopati yang lain, Halayudha tak memandang sebelah mata. Ia merasa mampu menghadapi, baik pertarungan satu lawan satu, maupun dalam memperebutkan pengaruh Raja. Bahkan sampai tingkat Mahapatih pun, Halayudha merasa sekarang ini dengan sedikit mengeluarkan tenaga akan bisa menguasai. Karena tenggelam dalam alam pikirannya, Halayudha tak menyadari bahwa di depannya berjalan lima pemuda yang melangkah dengan gagah. Untuk bersembunyi pun tak sempat. Melihat cara jalan yang tergesa, Halayudha menduga ada sesuatu yang sedang tergesa dikejar. Halayudha meminggirkan tubuhnya.
“Bagaimana jika tidak bertemu?” tanya Senggek.
“Biasanya kita sudah bertemu,” tambah Genter.
“Ketemu atau tidak, kita jalan terus. Terus,” kata Mada, seolah menjadi perintah.
“Siapa yang kalian cari?”
Kelima pemuda itu berhenti. Berpaling. Memandang sekilas. Lalu melanjutkan perjalanan dengan menjawab, “Kami mencari Guru….”
Halayudha menekuk lututnya. Sekali loncat, tubuhnya melayang di depan kelima pemuda. “Siapa gurumu?”
“Dukun Truwilun…,” jawab Kwowogen lantang.
“Sejak kapan dukun berewok tak tahu tata krama itu mempunyai…”
Halayudha belum menyelesaikan kata “murid”, ketika Mada mendadak maju. Bersamaan dengan jotosan pukulan ke arah ulu hati. Madana juga membarengi dengan sapuan kaki. Halayudha tersenyum dalam hati. Tanpa mengubah kaki, tangan, atau tubuh, Halayudha bahkan memejamkan matanya. Terdengar pukulan keras mengenai sasaran.
Buk, buk, buk.
Mada meringis, tangannya menjadi legam sesaat. Sementara Madana berlari-lari terputar terpincang-pincang. Senggek, Genter, dan Kwowogen bersiaga.
“Lalat pun tak bergoyang…,” kata Halayudha dengan dingin. Matanya menyorotkan sinar keras menikam. Sorot mata yang tidak biasanya. Memang tidak biasanya Halayudha terpancing kemurkaan yang dahsyat. Kali ini juga karena tidak menduga bahwa pukulan Mada yang kelihatan biasa-biasa itu sempat membuatnya terguncang. Dadanya terasa perih. Itu suatu pukulan yang luar biasa.
Sekurangnya karena Halayudha sama sekali tidak menyangka bahwa pukulan itu bisa membuatnya kaget. Jelas dari gerakan maupun cara berjalan mereka seperti anak ingusan. Tak ada tenaganya. Akan tetapi ternyata benturan tenaganya cukup kuat. Hanya karena Halayudha jauh lebih sakti, tangan Mada yang melepuh dan kaki Madana bagai menendang pohon.
“Kalian ternyata beringas dan kurang ajar. Tak tahu siapa yang kalian hadapi….”
“Siapa pun yang kami hadapi apa bedanya?”
“Siapa kamu?”
“Aku Mada. Siapa sampeyan?”
“Kalian akan mati berdiri kalau kusebutkan namaku. Aku tak mau membunuh dengan cara yang begitu mudah dan menyenangkan. Tidak seimbang dengan kekurangajaran kalian yang main pukul. Tapi, aku ingin melihat ilmu macam apa yang kalian pelajari.”
Tangan Halayudha terulur keduanya. Dengan mempergunakan tenaga membetot, kelimanya seperti ditarik paksa masuk ke jangkauan kakinya. Dan sekali bergerak, kelimanya menjadi jungkir-balik.
“Keluarkan ilmu kalian!”
Kelimanya terduduk.
“Ayo, keluarkan! Belum satu gebrakan kalian sudah nyungsep seperti cacing. Truwilun yang mengajari ilmu kalian ternyata sangat bodoh….”
Mada dan Madana kembali menggerung. Keduanya meloncat, meskipun gerakannya kurang sempurna. Sekali Halayudha menangkap tangan, terdengar sambaran angin keras. Sebelum Madana sadar apa yang terjadi, tubuhnya rontok ke tanah. Tulang tengkorak hingga ke leher hancur. Seakan kepalanya dipadatkan oleh tenaga yang luar biasa keras.
Mada yang tak bisa menemui sasaran, kembali meloncat. Kali ini Halayudha yang meloncat mundur. Ini tak masuk akal. Jelas mereka berlima bukan tandingannya. Sekali gebrak saja lumat habis. Akan tetapi toh masih ada yang menyerang.
“Kalian cari mati!”
“Tidak. Tapi kalau itu terjadi, apa salahnya?” Kwowogen maju.
“Sudah jelas kalian kalah, kenapa tidak menyembah minta maaf atau lari?”
“Sampeyan sudah menghina Guru. Saya tak bisa membiarkan begitu saja."
Halayudha mencibirkan bibirnya. “Bagus. Bagus itu, Mada. Heh, kalian pikir kalian ini siapa dan mau apa? Soal kecil saja diladeni dengan mati-hidup?”
“Kami adalah calon prajurit. Kami tak bisa membiarkan penghinaan. Sampeyan boleh hebat, akan tetapi tak akan bisa menghina kami.”
Halayudha mengangkat alis dan bersiap menyelesaikan urusan secepatnya ketika terdengar langkah kaki. Benar dugaannya, Eyang Puspamurti yang datang. “Itu sikap yang bagus. Sikap gagah ksatria sejati.”
Puspamurti berpaling ke arah Halayudha. “Halayudha, kamu ini senopati utama, tapi jiwamu tak sebesar kuku hitam para calon prajurit itu. Tidakkah kamu malu?”
Sejenak Halayudha menahan gemuruh dadanya.
“Mereka berlima menjadi tanggung jawabku karena aku sudah berjanji kepada Jaghana untuk menjaga. Kalau kamu mau mengganggu, hadapi aku.”
Senopati Alas Kaki
EYANG PUSPAMURTI tak hanya berhenti berkata, ia melambung ke atas kedua tangan dan kakinya menekuk bersamaan, mencengkeram kepala Halayudha. Yang segera mengangkat kedua tangannya untuk menangkis. Akan tetapi tubuh Puspamurti seperti bisa melengkung dan melebar sehingga pukulan Halayudha mengenai udara kosong. Bersamaan dengan itu, Halayudha meloloskan diri dengan merosot ke bawah.
“O-oo, sejak kapan kamu juga mencuri gerakan Kitab Air?”
Halayudha masih terhuyung-huyung ketika Puspamurti kembali melambung ke angkasa bagai kapas terbang, dan mendadak memberat ke arah tubuh Halayudha, yang kali ini memilih menyingkir ke samping kiri. Pukulan angin yang menderu menyebabkan Mada dan ketiga sahabatnya mundur tiga langkah.
“Jangan mundur! Maju! Kurung senopati ini!” Puspamurti berdiri tegak. “Ayo, gabungkan tenaga kalian. Pusatkan di tengah. Satu yang menyerang, yang lain mengalir. Jaghana sudah mengajarkan kekuatan inti manusia. Isap napas kuat-kuat, tahan di pusar, salurkan kepada teman…”
Halayudha benar-benar tak menyangka bahwa Puspamurti bisa mengatur serangan sambil mengajari. Yang lebih hebat lagi, ia sama sekali tak menyangka bahwa keempat pemuda dengan serta-merta mengikuti apa yang diperintahkan. Inilah hebat. Inilah yang dikuatirkan. Selalu ada kekuatan baru yang menyeruak. Yang tak diperhitungkan sebelumnya. Halayudha menjadi keder. Keberangasannya copot separuh.
Bisa dimengerti. Dalam tiga gerakan, Puspamurti bukan hanya bisa menebak dengan jitu apa yang dilakukan Halayudha, akan tetapi juga sekaligus mematahkan serangannya. Gerakan membebaskan diri yang mengikuti ajaran Kitab Air bisa terbaca dengan jelas, dan menyuruh keempat pemuda membentuk gerakan semacam tanggul yang menghalangi. Sehingga air tak bisa mengalir sempurna.
Lebih heran lagi ketika ia berusaha menjebol barisan itu, sambaran tubuh Puspamurti sudah menyentuh pundaknya. Menghunjam langsung ke arah tulang pundak. Yang kalau berhasil dicengkeram habis, musnahlah seluruh kemampuan silatnya! Seperti yang dilakukan pada Upasara!
Sesungguhnya inilah yang membuat Halayudha begitu cepat terdesak. Keempat pemuda itu menghayati pertarungan yang diajarkan seperti tak memedulikan hidup dan mati. Tak memedulikan siapa yang bakal terkena pukulan lebih dulu. Dipadu dengan tubuh Puspamurti yang kini bisa melayang dan hinggap sesukanya, Halayudha menjadi keteter. Justru karena itu ia terdesak.
Pada saat terdesak, keunggulannya dalam menyerang menjadi hilang. Itu yang agaknya secara tepat diperhitungkan Puspamurti. Yang secara luar biasa menguasai kemampuan perubahan jurus-jurus yang diandalkan Halayudha. Dasar-dasar ajaran Kitab Bumi dan paduan dengan Kitab Air terbaca jelas bagai menemukan sebungkah batu di siang hari. Halayudha menggerung keras, memutar tubuhnya, dan berbalik mundur. Kembali Puspamurti sudah mencengkeram tubuhnya dan ketika Halayudha terus mengegos, kainnya terlepas. Inilah gila.
“Senopati macam apa telanjang memalukan seperti itu?”
Tubuh Halayudha panas membara. Tapi gerakannya seperti kedinginan. Tak pernah dibayangkan dalam mimpi yang paling memalukan bahwa sekarang ini bisa dipecundangi dengan cara yang paling hina. Justru di saat kedua tangannya turun menutupi tubuh, Puspamurti menyambar. Halayudha menggerung, menarik kepalanya dari sambaran. Akan tetapi tak urung pinggangnya kena sodok keras, sehingga terjatuh kaku.
“Ayo, kalau kalian mau membasuh kaki di wajahnya, lakukan sekarang…”
Tapi keempat pemuda itu masih terus bergerak-gerak.
Puspamurti mengeluarkan suara “O-oo” sebelum melompat maju dan kedua tangannya meraup wajah keempatnya secara berurutan. Barulah keempatnya seperti tersadar kembali.
“Itu cara menghentikan penyatuan kekuatan. Tak peduli siapa yang mati, itu baik. Memang begitu cara mengatur kebersamaan. Tapi kalian baru bisa sekadar memainkan. Belum bisa menghentikan semau hati. Saat tenaga kembali ke pulung hati, jangan dituruti mengalir ke arah lain. Tahan. Kekuatan dialihkan ke dalam batin. Menjadi kekuatan menunggu. Kalau ada yang tergetar itu hanya bulu mata. Mengerti?”
Keempatnya mengangguk.
“Jaghana pastilah belum menurunkan ilmu itu.”
“Kami berguru kepada Dukun Truwilun…”