Senopati Pamungkas Kedua Jilid 33

Senopati Pamungkas Buku Kedua Jilid 33 karya Arswendo Atmowiloto
Sonny Ogawa
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 33

Bukankah ini sekali langkah dua lawan perkasa bisa tumbang?

“Sayang… Tetapi apa yang harus kukatakan kalau itu yang terpikirkan dan dianggap benar? Padahal hanya dengan memeriksa nadi adistara, bisa diketahui apakah betul karena ilmu hitam atau tangan yang kotor.”

Sekali ini Halayudha menjadi kecut. Dengan menyebutkan nadi atau jalan hidup adistara, sebenarnya Mahapatih Nambi sudah membongkar segala kebusukan Halayudha. Sebab kalau benar totokan di adistara bisa dibuka, bukan tidak mungkin akan diteliti jalan hidup lain yang ada. Berarti Praba Raga Karana bisa disembuhkan. Sekurangnya bisa berbicara. Tamatlah riwayat Halayudha. Tak ada pilihan lain!

Tapi Dewa masih melindungiku, kata hati Halayudha. Justru dengan mengatakan ini, Mahapatih Nambi menjadi musuh utama. Bisa tak bisa harus dilenyapkan, sebelum mengatakan perkiraannya. Makin tak terbantah keinginan untuk memusnahkan Mahapatih. Yang ternyata musuh dalam segala hal.

“Sayang… Memang seribu sayang, Mahapatih… Kalau saja Raja mau mendengar barang sepatah dari Mahapatih Nambi yang perkasa, kejadiannya tak akan berlarut-larut…”

“Apakah Raja tidak berkenan hatinya?”

“Hamba berdosa kalau mengatakan hal ini.”

“Apa alasanmu mengatakan bahwa Raja kurang berkenan denganku? Apakah pengabdianku selama ini dianggap kurang?”

“Sedikit pun tidak.”

“Apakah karena aku tidak segera menghaturkan semua perawan Lumajang ke Keraton?”

“Rasanya juga bukan.”

“Bagiku mengundurkan diri pun bukan soal besar. Apakah kamu yang naik menjadi mahapatih atau cacing tanah, kalau itu kehendak Raja, tak ada yang menghalangi. Kenapa lagi? Apa alasannya? Karena aku senopati yang berasal dari Baginda?”

“Semua senopati juga begitu, Mahapatih….”

“Lalu apa dasar pemikiranmu sehingga mempunyai perkiraan Raja tak berkenan denganku?”

Halayudha meneguk ludah. Kelu. Mahapatih menunggu. Gelisah.

“Raja pernah menyebut-nyebut Bapa Pranajaya….”

Dahi Mahapatih berkerut. Mendadak terasa ada yang menyodok di perut. Pandangannya seperti berkabut. “Apa kamu tidak salah dengar?”

“Mudah-mudahan demikian….”

Sepi. Tak ada bunyi.

“Hai… Halayudha, apa yang disabdakan Raja?”

“Pernah diucapkan bahwa Bapa Panji Panjarakan lebih mengagungkan batu di Desa Ganding….”

Mahapatih meringis. Bibirnya menjadi tipis. Mendesiskan suara berdesakan dari dada. Ini memang merupakan bagian yang paling peka dalam kehidupan Mahapatih Nambi, yang bahkan tak mau diingat sedikit pun. Karena sangat menyakitkan. Ayahnya Pranajaya, adalah prajurit Keraton yang selama hidupnya mengabdikan diri di Keraton. Sejak masih di Singasari, sampai kemudian mengikuti Raden Sanggrama Wijaya mendirikan Keraton Majapahit bersama dirinya, putranya.

Mahapatih Nambi merasakan getar ketulusan yang tumbuh dari sanubari yang dalam. Sampai ketika lahirnya Bagus Kala Gemet, dan prajurit tua yang selama itu patuh, mendadak mengajukan pengunduran diri dengan alasan sudah tak sanggup lagi mengabdi. Padahal saat itu Baginda Kertarajasa mengangkatnya sebagai sesepuh di Daha untuk mengasuh Bagus Kala Gemet.

Geledek tengah hari tak membuat Senopati Nambi, saat itu, seterkejut mendengar penolakan ini. Tak disangsikan sedikit pun bahwa ayahandanya masih cukup kuat untuk mengabdi. Bahkan ilmu silat dan pengetahuan keprajuritannya makin menjadi. Tapi itulah jalan yang dipilih.

“Bapa tak bisa bicara, Nambi. Teruskan mengabdi sebab kamu prajurit. Bapa sudah bukan prajurit.”

Hanya itu. Dugaan yang berkembang menjadi kepastian adalah penolakan Senopati Pranajaya akan pengangkatan Bagus Kala Gemet sebagai putra mahkota pewaris takhta. Senopati Nambi tak bisa melupakan peristiwa itu. Tak bisa melupakan sedikit pun, meskipun perlahan-lahan berita tentang pembangkangan halus tak lagi dibicarakan. Namun, kejadian yang sama terulang kembali. Itu terjadi saat dirinya diangkat menjadi mahapatih.

Tata upacara yang gegap gempita itu tak dihadiri oleh senopati tua yang telah mengundurkan diri. Beberapa kali utusan ke Panjarakan tak mendapat jawaban. Bahkan senopati tua itu memilih mengundurkan diri ke Desa Ganding, karena, seperti dikatakan, ingin menikmati pemandangan desa yang berbatu-batu indah. Senopati, dan kemudian Mahapatih, Nambi menerima sebagai kenyataan yang tak mungkin diubah. Ayahnya tak pernah berkata dan bersikap lain dari isi hatinya.

Perlahan, diusirnya perasaan bersalah dalam hatinya. Karena merasa tak ada yang memedulikan dan menanyakan. Sungguh tak nyana, bahwa Raja Jayanegara ternyata teringat. Seperti yang dikatakan Halayudha. Halayudha! Yang merasa beruntung selalu berada di Keraton sehingga mendengar segala kabar, dan bisa memanfaatkan! Halayudha! Orang yang bisa memuji dirinya karena merasa berhasil.

“Maaf, Mahapatih… Saya pernah mengajukan nama Mahapatih untuk mengobati Praba Raga Karana….”

“Dan Raja menggeleng?”

“Raja Jayanegara mengatakan, apakah orang yang tidak bisa menyembuhkan ayahnya bisa menyembuhkan orang lain?”

Tangan Mahapatih terkepal. Matanya memancarkan sinar kesal. “Apakah Raja Jayanegara menganggap Bapa kurang waras? Itu yang kamu katakan, Halayudha?”

Percakapan Rasa Istri
PADA saat yang sama, di tempat yang berbeda, Senopati Tanca memasuki tempat tinggalnya. Sebuah rumah di dekat dinding benteng. Tenang. Tenteram. Seperti sediakala. Tak ada selembar daun di pelataran, tak ada rumput yang tumbuh sembarangan. Tak ada ranting yang menjulur lebih dari yang lain. Juga di ruangan dalam. Semua tertata apik, peni, asri, sejuk dalam pandangan.

Seperti biasanya pula, Nyai Tanca sudah duduk menunggu di ruangan dalam. Sudah berdandan, sudah membersihkan tubuhnya yang tampak makin gemuk singset dalam kemben yang menekan secara pas. Punggung dan setengah dadanya terbuka, memperlihatkan kulit yang teramat sempurna. Seperti juga sanggulan rambutnya. Wajahnya menunduk, akan tetapi sekilas pun orang yang melihat pertama-tama akan memperoleh kesan kesabaran, kepasrahan. Sikap menerima segala sesuatu dengan tenang. Nyai Tanca menyorongkan daun sirih.

“Nyai.. .”

“Saya tahu Kakang akan segera berangkat, karena kewajiban. Tidak ada salahnya Kakang nginang barang segagang daun sirih.”

Senopati Tanca mengangguk pelan. Mengenakkan duduknya, pelan. Kalimat yang perlahan, yang diucapkan Nyai Tanca tanpa tekanan tertentu, bisa berbunyi di hati suaminya. Bukan karena kebiasaan saja, melainkan karena rasa yang tumbuh dan saling bisa menangkap. Bahkan andai Nyai Tanca tidak menyodorkan tempat sirih, Senopati Tanca mengetahui bahwa ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Sesuatu yang sangat mendesak. Mata bulat Nyai Tanca, serta sorot pandangan yang seakan tidak memperlihatkan perubahan dari biasanya, memberikan arti lain.

“Saya hanya menjalankan kewajiban, Nyai…”

“Saya mengerti, Kakang. Saya turut berdoa bersama langkah kaki Kakang.”

“Bukan kewajiban yang menyenangkan.”

“Tidak semua kewajiban harus menyenangkan. Adakalanya menyenangkan, adakalanya kurang menyenangkan. Namanya saja kewajiban.”

Tak ada nada menyesali. Tak ada nada menghakimi dengan penilaian. Justru sebaliknya, mendukung apa yang akan dilakukan Senopati Tanca.

“Ya, Nyai…”

“Kakang akan berangkat sekarang juga?”

“Ya, Nyai…”

“Berangkatlah segera, Kakang.”

Senopati Tanca mengangguk. “Sebelum gelap malam, saya bisa sampai di tujuan.”

“Hati-hati, Kakang.”

Senopati Tanca menghela napas. Agak keras. Dan mengembuskan. Perlahan. “Saya prajurit yang menjalankan kewajiban dan pengabdian. Lebih mudah mengalami peperangan, lebih mudah dihitung kepahlawanan.”

“Kakang…”

“Saya tahu, Nyai tidak memberati pikiran saya. Ah, berapa lama sudah kita hidup bersama, Nyai? Berapa lama kita mengerti rasa hati masing-masing? Berapa lama saya menyadari suara hati wanita? Percakapan rasa wanita, terutama sebagai istri, bisa saya tangkap tanpa diucap. Ada sesuatu yang mengganggu dengan tugas semacam ini. Mencarikan jamu, mengobati gundhik yang…”

“Kakang, seorang tabib menemukan kemurahan Dewa untuk menolong sesama. Apa artinya Kakang menjadi tabib kalau tak mau menolong orang yang membutuhkan?”

“Itu betul sekali. Akan tetapi saya menangkap suara hati Nyai…”

“Saya tak…”

"Saya menangkap suara hati yang mendengung dari rasa kewanitaanmu. “Apakah bukan kesalahan kalau saya mencari obat untuk Praba Raga Karana? Lebih tepat lagi, apakah tepat pengabdian kepada Raja untuk hal-hal semacam ini…”

Hening, tapi udara terasa menghangat.

“Apakah ada gunanya menolong seorang lelaki, yang harusnya menjadi panutan, menjadi teladan, selalu mengumbar nafsu asmara? Praba Raga Karana, atau sepuluh Praba….”

“Kakang…”

“Saya tahu.”

“Kakang… Raja adalah sesembahan, adalah segalanya. Dalam mimpi pun kita tak boleh meragukan kalau tak ingin dikutuk Dewa.”

“Apa yang tersisa dalam rasa batinmu, Nyai?”

“Tak ada, Kakang…”

“Tak ada? Tak ada. Kamu tidak berkeberatan saya mengobati Gusti Praba?”

“Sama sekali tak ada rasa menahan…”

“Atau karena junjungan kita Putri Tunggadewi?”

Nyai Tanca menghela udara dari dadanya. Matanya berkaca-kaca. Pandangannya menderita. Tak ada suara.

“Saya merasa itu semua, Nyai. Inilah siksaan yang berat. Apalagi Nyai menunjukkan rasa yang sesungguhnya. Ah! Hampir sepanjang usia, kita selalu bersama. Dan selama ini, Nyai tak pernah tidak mendoakan semua tindakan saya secara tulus, secara rela, secara ikhlas. Sejak pertarungan mengikuti Baginda, sampai yang terakhir ketika Senopati Tantra berusaha masuk ke Keraton. Dalam tawanan, dalam pengasingan, Nyai selalu menyertai dengan doa dan puji. Tak pernah Nyai menahan bayang-bayang tubuh yang melangkah. Baru sekali ini. Tanpa diucapkan. Tapi saya menangkap getar rasa Nyai. Nyai…”

Suara Senopati Tanca terdengar gemetar. “Putri Tunggadewi adalah junjungan kita semua. Lebih dari itu, putri junjungan kita adalah putri Baginda. Demikian juga Raja di mana saya mengabdi sekarang ini. Dewa segala Dewa akan mengutuk sampai turunan yang terakhir. Apa lagi yang akan terjadi jika manusia tak bisa dibedakan dari binatang?”

Bibir Nyai Tanca gemetar. Ada kalimat yang tak sanggup diucapkan.

“Nyai kalau ada telinga lain yang menempel di lantai dan mendengarkan serta melaporkan, saya merasa bersyukur. Karena dengan demikian ada yang menyampaikan peringatan, sebelum kiamat kobra, kiamat habis-habisan datang. Kutukan itu terjadi tidak pada satu atau dua orang yang menjalani, akan tetapi seluruh Keraton. Sampai ke keturunannya yang terakhir. Nyai, ini yang akan Nyai katakan dengan lidah. Tapi saya bisa mendengar sebelum menjadi kata-kata. Nyai…”

“Kakang, semuanya belum tentu benar. Putri junjungan kita memang dikurung Raja. Beberapa perawan memang disowankan. Akan tetapi, rasa-rasanya…”

“Mudah-mudahan Nyai benar. Akan tetapi jika semua itu terbukti, Nyai, tangan saya sendiri yang akan menumpas petaka itu.”

Nyai Tanca bergoyang tubuhnya. Tersandar ke tiang tanpa tenaga. “Saya tak akan menarik kata-kata. Tangan saya sendiri yang akan basah oleh darah.”

Air mata Nyai Tanca meleleh.

“Nyai…”

“Kakang, saya tidak pernah menyesali apa yang Kakang ucapkan. Ke mana Kakang melangkah, di mana Kakang berada, di situ saya menitipkan hidup saya.”

Senopati Tanca berdiri. “Saya salah seorang dharmaputra, dan tak akan bergeser seujung rambut pun."

Nyai Tanca tetap menunduk sampai suaminya lepas dari pandangan. Agak lama baru berdiri, menuju ke bagian belakang. Mencuci tubuh, mencuci rambut, membersihkan kuku, dan mengenakan kemben warna putih dengan rambut terurai. Hanya asap dupa yang menemani. Hanya puji dan doa yang menyertai. Hanya persatuan rasa suami-istri yang berhubungan, mencoba menemukan satu arti.

Percakapan Rasa Ibu
PERMAISURI INDRESWARI sengaja berdiam lama di kamar Praba Raga Karana, sehingga Raja Jayanegara yang tak sabar menunggu terpaksa menemui. Keduanya tidak berpandangan. Raja Jayanegara berada di sisi pembaringan Praba Raga Karana, sementara Permaisuri Indreswari duduk di bawah. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua.

“Praba akan segera sembuh, Putraku Raja…”

“Ibu mau menyebut namanya?”

“Kalau itu sudah menjadi kemauan Putraku Raja, siapa yang bisa menghalangi? Kalau itu menjadi kebahagiaan putraku, apa seorang ibu tega membebani? Seorang ibu tetap seorang ibu. Tak bisa berubah.”

Raja Jayanegara tak terpengaruh oleh kalimat yang digetarkan dengan perasaan penuh. Ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya.

“Praba akan kembali sehat?”

“Ibu percaya kemurahan Dewa."

“Sepenuhnya.”

“Cukup. Ibu mau kembali ke kamar?”

“Ibu akan ke Simping.”

Raja Jayanegara hanya menggerakkan alisnya. Permaisuri Indreswari merasa terpukul ulu hatinya. Merasa tercekik lehernya. Merasa terbanting ke tanah berlumpur. Pilihan untuk mengikuti Baginda ke Simping adalah pilihan yang paling hina, paling menyakitkan hatinya. Betapa tidak. Di saat Baginda menyingkir, atau tersingkir ke Simping, saat itu ia memilih berada di Keraton. Sehingga semua penilaian buruk tertuju ke arahnya.

Itu semua diterima dengan lapang dada. Demi putranya. Demi terwujudnya impian dan kenyataan dari doa-doanya. Tapi kemudian dirinya dicampakkan. Putranya yang dikasihi, tumpuan segala puji, tidak menghendaki. Itu semua diterima dengan tabah. Demi putranya. Demi kelangsungan kejayaan putranya. Baginya, apa yang dilakukan putranya adalah sesuatu yang berada dalam batas-batas kewajaran. Batas-batas yang dimungkinkan bagi seorang raja.

Hatinya, hati seorang ibu, masih bisa menerima. Biarpun terluka. Biarpun tersisihkan. Akan tetapi kemudian merasa sia-sia. Merasa bahwa dirinya tak bisa berbuat apa-apa setitik pun. Itulah sebabnya diputuskan untuk menuju Simping. Menuju ke tempat di mana dirinya akan menerima perlakuan yang tidak menyenangkan, di mana dirinya akan menerima kehinaan yang nista. Sebagai permaisuri yang tak bekti, tak setia, tak mempunyai harga.

Tapi barangkali itu masih lebih berarti daripada di Keraton. Dan sungguh luar biasa! Pilihan yang begitu menyedihkan, tak membuat putranya bereaksi sedikit pun. Tak membuat putranya bertanya kenapa! Batas kasih seorang ibu telah habis. Telas, tuntas.

“Putraku Raja, Ibu minta izin….”

Raja Jayanegara mengangguk. “Segala keperluan Ibu akan tersedia.”

Rasa sakit yang makin tak tertahankan. Kenapa justru soal keperluan, soal prajurit yang mengantar, emas-berlian sebagai bekal yang dipersoalkan?

“Putraku Raja. Ibu berangkat segera. Biarlah Tunggadewi dan Rajadewi menemani Ibu….”

Raja Jayanegara terbatuk. Tangannya masih mengelus Praba Raga Karana. “Saya tahu ke mana Ibu bersabda. Bagi saya Tunggadewi berada di mana pun tak ada gunanya.”

“Putraku Raja. Jadi benar apa yang Ibu dengar?”

“Apa yang Ibu dengar?”

“Bahwa Tunggadewi, saudaramu sendiri…”

“Apa bedanya?”

Permaisuri Indreswari benar-benar merasa tercekik. Pandangannya membelalak, napasnya mengeluarkan bunyi sebelum tubuhnya jatuh. Sesaat sebelum jatuh pingsan serasa selaksa matahari bertabrakan di depan matanya. Menyilaukan, membutakan, mematikan seluruh rasa. Terutama sekali rasa seorang ibu. Terobek, compang-camping, leleh, dan lebur berdebu!

Tak tersisa. Hatinya tak kuat menahan semua kenyataan yang paling dicemaskan. Kenyataan yang oleh putranya dikatakan “apa bedanya?”. Betapa ajaibnya. Bisa terjadi hal semacam itu. Betapa telah terputusnya hubungan rasa ibu dengan putranya selama ini. Segala apa bisa dan boleh terjadi. Beringin utama ditumbangkan, payung kebesaran dipasang di alun-alun, semua perawan dibawa ke Keraton. Semua itu masih bisa diterima.

Akan tetapi, akan tetapi, akan tetapi, bukan Tunggadewi atau bahkan juga Rajadewi. Karena dalam hubungan ini rasa yang bertahan dan hidup adalah rasa ibu. Rasa sayang yang tak terhingga, yang paling tulus. Tetapi ternyata, ternyata sia-sia. Itu sebabnya tubuh Permaisuri Indreswari tak kuasa menahan beban hantaman kenyataan. Tubuhnya digotong ke luar, dirawat dengan sangat teliti, ditunggui dengan doa yang masih ada. Namun Permaisuri Indreswari seperti tak merasakan semua ini.

Di jagat ini, wanita yang paling hina dan sengsara, yang dikutuk semua Dewa, adalah tubuhku ini. Bukan Praba Raga Karana, bukan Rajapatni, bukan Nyai Demang, bukan Ratu Ayu, bukan Tunggadewi. Tetapi aku. Aku. Akulah wanita itu. Karena aku yang melahirkan putraku. Dewa segala Dewa, masihkah tersisa pengampunan bagiku, bagi putraku? Dewa segala Dewa, apa yang masih bisa… Suara batin Permaisuri Indreswari, suara batin seorang ibu, tak selesai. Tak ada lagi kekuatan untuk meneruskan. Betul-betul habis gusis. Bahkan kekuatan untuk menghentikan napasnya sendiri tak ada lagi.

Sementara Raja Jayanegara tak merasakan rasa yang dimiliki ibunya. Raja Jayanegara menunggui di samping Praba Raga Karana, mengelus dahi, memandang dengan dendam dan kecemasan.

“Praba, Praba… Apa keinginanmu? Apa maumu? Katakan sekarang ini juga. Isyaratkan. Ingsun bisa berbuat apa saja bagimu, Praba. Tutupkan kelopak matamu, jika kamu mendengar apa yang kukatakan. Tutup sebentar, Praba, sebagai isyarat….”

Tak ada reaksi. Mata Praba Raga Karana terbuka dan kosong.

“Kamu ingin aku pergi dari kamar ini? Tutup matamu sebentar jika ya jawabnya.”

Tetap menatap, terbuka.

“Kamu ingin Keraton ini diratakan dengan tanah? Kalau itu keinginanmu, isyaratkan. Kalau tidak, isyaratkan dengan menutup.”

Tak ada reaksi.

“Jadi kamu ingin Keraton ini rata dengan tanah?”

Mata tetap terbuka. Tanpa rasa.

Raja Jayanegara menyandarkan tubuhnya ke dinding. Memandang sekeliling. Mendadak bangkit. Meninggalkan kamar Praba Raga Karana. Bergegas. Menuju kaputren. Sampai di depan kamar Tunggadewi, Raja Jayanegara tidak memperlambat geraknya. Kedua tangannya membuka pintu dengan paksa. Lalu melangkah ke dalam. Pandangannya liar. Seluruh dendam membakar dan menjalar lewat gerakan tubuh dan urat-urat di wajahnya. Para dayang menyembah rata dengan lantai. Napas Raja Jayanegara menyulut sampai ke seluruh sudut.

“Tunggadewi, ingsun datang, sambutlah…”

Tak ada jawaban. Raja Jayanegara berpaling ke arah prajurit kawal pribadi yang selalu menyertai.

“Gantung semua yang ada di dalam kamar ini! Sekarang! Ingsun akan melihat sendiri. Sekarang!”

Percakapan Rasa Permaisuri
PADA saat yang bersamaan, di tengah perjalanan, Rajapatni mendadak menghentikan langkahnya. Jari-jari tangannya bergerak perlahan ke arah Gendhuk Tri dan Ratu Ayu.

“Saya keliru mengambil arah. Adik Tri, Ratu Ayu, maafkan… Arah perjalanan saya seharusnya ke Simping.”

Gendhuk Tri mengelus rambutnya. “Apakah Gusti Permaisuri lebih mementingkan mengabdi suami daripada menyelamatkan putri-putrinya?”

Rajapatni tersenyum tipis. “Itulah jawabannya, Adik Tri. Pertama-tama saya adalah permaisuri Baginda. Batin saya lelah mengalami pertarungan. Letih. Tapi tidak kalah. Saya telah memenangkannya. Pilihan saya adalah mendampingi Baginda.”

“Di saat Baginda merelakan putrinya dari pengawasan, bukankah…”

“Adik Tri, yang ayu manis merak ati. Berat, sangat berat pilihan ini. Akan tetapi inilah yang terbaik saat ini, saat selanjutnya. Saya dilahirkan dan dididik untuk menjadi permaisuri. Itulah ajaran yang pertama dan satu-satunya. Kalau Adik Tri mau meneruskan perjalanan ke Keraton, saya silakan. Saya bisa meneruskan perjalanan sendiri.”

“Itu lebih baik,” tutur Ratu Ayu dengan suara lembut.

“Terima kasih atas bantuan kalian berdua selama ini. Saya lebih menemukan rasa persahabatan, kekeluargaan, kewanitaan yang sesungguhnya dalam perjalanan ini. Terima kasih, Adik Ayu… Terima kasih, Ratu Ayu… Terima kasih…” Rajapatni merangkapkan kedua tangannya.

Gendhuk Tri mengangguk. “Kalau itu pilihan Gusti Permaisuri, saya tak bisa menghalangi. Barangkali tekad dan sikap kepala batu ini yang dulu membuat Kakang Upasara Wulung tak pernah bisa memalingkan wajah ke arah lain. Tetapi saya tak bisa melepaskan begitu saja. Sekurangnya saya akan mengantarkan sampai Simping. Setelah itu, apa pun yang terjadi, bukan urusan saya.”

Gendhuk Tri memandang ke arah Ratu Ayu. “Silakan Ratu Ayu meneruskan perjalanan.”

“Kalian ini wanita-wanita yang aneh. Sebentar ke timur, sebentar ke barat. Sebentar gusar, sebentar menerima. Kita ini, kaum wanita, selalu aneh. Juga di mata kaum kita sendiri. Barangkali tak perlu kita persoalkan kenapa Rajapatni memilih ke Simping. Tak akan membuahkan pengertian, tak akan mengubah pemahaman. Kalau ada sesuatu yang menyamakan kita, kita semua ini terpesona dan bisa mengagungkan Raja Turkana. Itu saja. Selebihnya kita jalan sendiri-sendiri. Dengan keanehan dan keganjilan kita, dengan hati dan rasa wanita kita masing-masing. Untuk apa mengikuti ke Simping, kalau ada yang lebih bisa diselamatkan? Tapi pertanyaan itu juga tak perlu. Saya, permaisuri yang sesungguhnya Raja Turkana, tak mempunyai dendam dan hubungan apa pun dengan Raja Jayanegara. Bahwa Putri Tunggadewi pernah disayangi Raja Turkana itu soal lain. Tapi selebihnya tak ada. Baik. Baik. Kita berpisah di sini…” Ratu Ayu Bawah Langit merangkapkan kedua tangannya di depan dada, lalu membungkuk dalam.

Gendhuk Tri dan Rajapatni membalas bersamaan. Sebelum Rajapatni berdiri tegak, bayangan Ratu Ayu telah lenyap. Tinggal mereka berdua. Yang kemudian meneruskan perjalanan tanpa saling berbicara. Meskipun banyak yang menggoda untuk saling dipercakapkan.

“Adik Ayu manis merak ati. Barangkali ini perjalanan bersama kita yang terakhir. Setelah saya masuk ke Simping, saya tak tahu di titisan mana kita bisa bertemu lagi. Akan tetapi, saya bersumpah di bawah langit, disaksikan semua penghuni bumi, disaksikan semua Dewa, saya rela, ikhlas, menerima sepenuhnya Adik Ayu, Adik Tri, bergandengan dengan Kakangmas Upasara Wulung…”

Wajah Gendhuk Tri berubah. Tak bisa ditebak apa perasaan hatinya. Rajapatni seperti mendesis, mengutarakan pilihan kata yang merobek hatinya.

“Adik Ayu, Adik Tri yang manis merak ati. Maaf kalau saya katakan, selama ini sayalah yang merasa memiliki Kakangmas Upasara Wulung, karena merasa Kakangmas Upasara yang paling memenangkan asmara saya. Rasa itu tak pernah berkurang setitik pun. Juga saat Kakangmas Upasara bersama Nyai Demang untuk beberapa saat. Juga saat Kakangmas Upasara melangsungkan pernikahan dengan Ratu Ayu Bawah Langit. Saat Adik Ayu Tri memujanya. Di atas itu semua, saya merasa saya yang tetap memiliki asmara Kakangmas yang paling tulus dan murni. Maaf… Akan tetapi selama ini saya keliru. Keliru besar. Salah arah. Daya asmara yang sengaja saya simpan, saya kenang, hanya memberati Kakangmas Upasara. Hanya mengganggu perjalanannya sebagai ksatria utama, sebagai lelananging jagat. Adik Ayu Tri, kamulah wanita yang bisa mendampingi Kakangmas, menyertai dan mengangkat serta merasakan kebahagiaan tanpa beban. Lebih dari Ratu Ayu, lebih dari saya. Demi Dewa, saya rela lahir-batin, ikhlas tulus lahir-batin.”

Bibir Gendhuk Tri rapat. “Gusti Permaisuri…”

“Saya tak bisa bercerita sekarang. Tetapi kalau ada apa-apa, di kelak kemudian hari, maukah Adik Tri mendampingi Kakangmas Upasara…?”

“Saya tak pernah mengabulkan keinginan orang lain, apalagi sesama wanita, dalam soal asmara… Kecuali kalau itu sama dengan keinginan saya sendiri.”

“Ya. Maukah Adik Ayu membimbing Tunggadewi?”

“Itu yang pertama akan saya lakukan, sebelum kita berbalik ke Simping.”

“Ya. “Maukah Adik Ayu Tri memaafkan saya?”

“Itu yang saya tidak tahu. Tergantung apa yang harus dimaafkan.”

Rajapatni mengangguk. “Ya. Ya. Ya.” Untuk selanjutnya Rajapatni memilih berdiam. Bersemadi. Juga ketika melanjutkan perjalanan.

Justru pada saat itu sebenarnya hati Gendhuk Tri terusik. Apa tujuan Permaisuri Rajapatni menyinggung-nyinggung Upasara Wulung? Adakah yang disembunyikan selama ini? Ada kecurigaan semacam itu sejak awal. Tapi tak tahu di mana, dan sejauh mana. Akan tetapi keikhlasan dan sumpah Rajapatni menggetarkan batin Gendhuk Tri. Sumpah seorang permaisuri, sumpah seorang wanita yang selama ini berjanji pun sulit.

Pertanyaan dalam hati Gendhuk Tri tak terjawab saat itu. Karena begitu memasuki Desa Simping, yang segera menyambut adalah pemandangan yang mengerikan. Pedukuhan Simping seolah menjadi rata dengan tanah. Hancur bagai disapu dengan lidi logam yang perkasa. Segera Gendhuk Tri meneliti apakah masih ada yang bisa ditolong. Sebagian prajurit telah mati mengenaskan. Anggota tubuhnya tercerai.

Bekas-bekas yang ditinggalkan menjadi bukti jelas bahwa para prajurit berusaha mempertahankan diri dengan mati-matian hingga pengabdian yang terakhir. Gendhuk Tri mengeluarkan suara tertahan. Di antara mayat-mayat yang terbaring kaku, matanya mengenali salah seorang yang membuatnya bergidik.

“Paman…” Suaranya menggeletar ketika bersujud di samping mayat yang dadanya berbekas puluhan luka. Sebagian luka telah mengering kental. Yang membuat Gendhuk Tri tak mengerti ialah bahwa jumlah luka di dada berjumlah belasan. Seakan korban ditusuk berulang kali secara kasar.

“Paman… Paman Wilanda…”

Siung Naga Bermahkota
TUBUH Gendhuk Tri menggigil. Bahunya bergerak-gerak menahan guncangan yang menggempur batinnya. Kematian bukan sesuatu yang luar biasa ganjil dalam perjalanan kehidupannya. Hanya saja kali ini sukmanya tergetar hebat, terguncang keras Mayat Wilanda menumbuhkan pertanyaan besar, kekesalan berat yang menggemuruh secara tiba-tiba. Wilanda. Seorang paman yang baik hati yang tidak mempunyai polah macam-macam dalam hidupnya, tidak memusuhi dan memancing permusuhan.

Rasanya seumur hidup Wilanda, seperti juga Paman Jaghana, tidak akan berbuat jahat. Juga tidak secara sengaja turut campur urusan orang lain. Hanya dalam keadaan sangat mendesak, yang mengguncang masalah mendasar, menyebabkan mereka terjun ke gelanggang. Apa yang sesungguhnya telah terjadi?

Bahwa Wilanda bisa sampai ke Simping, akan bisa ditelusuri. Sekurangnya bisa diperkirakan, bahwa Wilanda berusaha menahan serangan yang datang untuk melindungi Baginda. Dan dari bekas-bekasnya, kejadiannya belum lama berlalu. Gendhuk Tri mengakui kepekaan batin yang dimiliki Permaisuri Rajapatni yang mendadak menuju ke Simping. Kalau saja mereka berdua lebih cepat, bukan tidak mungkin akan lain jalan ceritanya. Atau menemui nasib yang sama?

Bekas-bekas pertempuran yang hebat tidak menunjukkan bahwa telah terjadi perlawanan dalam waktu lama. Ini berarti lawan yang menyerbu cukup sakti. Sehingga bisa memusnahkan pasukan kawal dalam waktu singkat dan serentak. Yang lebih mengejutkan, semuanya meninggalkan luka yang sama dengan yang diderita Wilanda. Gendhuk Tri memandang sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Bahkan bayangan Permaisuri Rajapatni pun tak ada. Entah sejak kapan perginya. Pikiran Gendhuk Tri terserap oleh keterkejutan menemukan Wilanda yang sudah meninggal dunia.

Ketika memandang kiri-kanan tadi, pandangannya menemukan sepasang tombak yang sengaja didirikan. Gendhuk Tri mendekat, dan segera mengenali bukan tombak yang biasa dipergunakan prajurit kawal Keraton. Yang lebih menarik, di ujung kayu ada ukiran kecil bergambar naga merah yang seolah siap menerkam. Yang menonjol adalah ukiran siung, atau taring. Jelas bahwa tombak itu sengaja dipajang untuk menunjukkan siapa yang datang menyerbu. Naga yang diwarnai merah?

Apakah masih ada lagi pendekar dari Tartar yang datang? Gendhuk Tri mempunyai dugaan ke arah itu. Baik karena sedikit-banyak ia mengenal simbol naga ketika mengenal Raja Segala Naga, atau karena rasa-rasanya yang sekarang mungkin melakukan pembasmian hanyalah lawan dari Tartar, Syangka, maupun tanah Hindia. Sangat mungkin sekali karena sasarannya adalah Baginda. Kalau benar begitu, perjalanan ke arah ketenteraman Keraton masih lama.

Sejauh ini, Gendhuk Tri hanya menemukan dua kejadian ganjil. Ini yang kedua. Yang pertama adalah hadirnya tokoh yang tak dikenali asal-usulnya, yang menuliskan “ucapan selamat datang” ketika rombongan memindahkan mayat Upasara Wulung. Sampai sekarang tokoh itu belum bisa diraba asal-usulnya. Kini, yang lebih jelas, tokoh yang memakai simbol siung naga, yang sebagian diukir dan diberi warna merah. Warna darah, kemarahan, dendam.

Gendhuk Tri meloncat, mengitari keadaan sekitar. Sepi. Tak ada bayangan siapa-siapa. Tidak juga Permaisuri Rajapatni. Gendhuk Tri kembali ke tempat semula, menguburkan jenazah Wilanda dengan segala hormat dan puji. Setelah itu menyeka wajahnya, mengencangkan sanggul di rambutnya. Tak ada pilihan lain. Menuju ke arah pertarungan. Kini bukan soal apakah hatinya berpihak kepada Baginda atau tidak. Segala perselisihan batin, besar atau kecil, terhapus dengan sendirinya.

Seperti juga Wilanda, Gendhuk Tri merasa terpanggil untuk membela kehormatan Baginda. Tak terlalu sulit menemukan jejak-jejak yang agaknya sengaja ditinggalkan. Gendhuk Tri mengikuti dengan hati-hati, karena mengetahui bahwa si siung naga, atau siapa pun, bukan lawan yang sembarangan. Apalagi kalau dilihat caranya yang ganas dan telengas dalam menewaskan siapa yang menghalangi.

Setengah perjalanan, Gendhuk Tri berhenti. Ia sadar keliru mengikuti jejak. Karena jejak itu makin lama makin samar, bukannya makin jelas. Dan arahnya menuju… Kedung Amba! Apa hubungannya dengan Gua Kencana? Gendhuk Tri ragu. Meneruskan perjalanan ke Gua Kencana atau kembali ke Simping dan mengurut kembali jejak yang ada.

Jalan pikirannya kembali ke asal. Bahwa yang lebih penting adalah menolong Baginda. Apa pun yang terjadi di Gua Kencana, tak akan terlalu berpengaruh. Lebih banyak membuang waktu karena makin jauh dari Baginda. Tak ada kemungkinan lain kecuali mengikuti jejak ke arah Lodaya, di susuran Kali Brantas. Dugaannya menguat ke arah sana.

Ternyata tak keliru terlalu jauh. Sepenanak nasi ia melakukan perjalanan, bukti-bukti yang ditemukan makin banyak. Dan itu berarti jajaran mayat yang meninggal karena luka yang sama. Seperti digigit siung naga yang jumlahnya banyak sekali sekaligus. Darah gendhuk Tri berdesir lebih kuat ketika menyaksikan bahwa korban-korban ini sebagian terbesar adalah prajurit dan senopati Keraton. Sebagian lagi para ksatria.

“Yayi, Adik, Gendhuk Tri…”

JILID 32BUKU PERTAMAJILID 34
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.