Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 36
Mahapatih mengambil dua kerisnya. “Sekarang kita maju.”
Perintahnya jelas sekali. Ia sendiri melangkah maju, diiringi para senopati yang membawa obor. Akan tetapi sebelum mendekat ke arah rakit, terjadi lagi perubahan. Rakit-rakit yang menghubungkan ke perahu bergerak-gerak. Beberapa prajurit yang menjaga terpelanting ke sungai. Suatu bayangan muncul dari dasar. Pasukan buaya, yang kini, bahkan siap naik ke darat!
Mata Mahapatih berkejap-kejap. Serangan buaya itu ternyata sangat merepotkan. Rakit sebagai jembatan penghubung sebagian rusak. Sehingga para prajurit tak bisa meloncat ke perahu.
“Lepaskan panah api,” bisik Halayudha.
“Baginda dan Permaisuri masih berada di dalam.”
“Mahapatih, kita tak yakin apakah Baginda berada di dalam atau ditawan di tempat lain. Perahu itu akan menjadi sangat sempit jika begitu banyak orang di dalam. Ataukah Mahapatih memikirkan Ayahanda?”
Halus suaranya, lembut nadanya, akan tetapi Halayudha bisa menelusupkan gagasan yang membuat Mahapatih tersudut. Kalau alasan utama tidak menyerbu adalah adanya Mpu Sina di dalam, pamor Mahapatih jadi guncang. Berarti mementingkan keluarga di atas keselamatan yang lain.
Nyai Demang bisa membaca siasat busuk Halayudha. “Kalau Baginda tak berada dalam perahu, untuk apa kita menyerbu ke sana?”
Mahapatih terdiam. Sesaat seperti tak mempunyai ketegasan tindakan apa yang harus diambil.
Pendekar Api
TAK ada yang tahu persis apa yang terjadi. Tidak juga Jaghana. Ketika atap rumah-rumahan membuka, Jaghana langsung meloncat masuk. Semua kemampuan dan kekuatannya dikerahkan untuk menangkis serangan model apa pun. Untuk itu Jaghana siap menghadapi segala kemungkinan. Akan tetapi justru ketika meloncat masuk, tubuhnya tak bisa bergerak. Baru kemudian Jaghana sadar dirinya masuk ke jala yang dipasang sebagai perangkap.
Dengan tubuh menggantung, berada dalam jaring yang mengecil, Jaghana tak bisa bergerak sama sekali. Demikian juga dengan Gendhuk Tri. Hanya Mpu Sina yang sedikit berbeda. Karena begitu masuk ke jaring, kerisnya menetas, memutus tali jaring. Sehingga sesaat kemudian tubuhnya bisa menginjak lantai kayu. Berdiri gagah.
Dengan dua jaring berisi Gendhuk Tri serta Jaghana berayun-ayun di sebelah kanan dan kirinya. Di depannya duduk bersila beberapa lelaki yang memandangi dengan sorot mata tajam. Tubuh mereka tak bergerak sama sekali, tak terpengaruh dengan kegaduhan di luar atau keris di depan mata.
Ruangan dalam sangat sempit, sehingga lelaki yang berada di depannya seolah saling bertumpuk. Sekilas seperti yang didengar, jumlah mereka sekitar dua belas atau tiga belas orang. Mpu Sina membungkuk hormat.
“Selamat datang, prajurit tua yang gagah berani.”
“Terima kasih, Kisanak Jalugeni…”
“Kami tidak menghendaki orang luar masuk ke tempat suci ini. Akan tetapi karena kalian sudah berada di dalam dan tak mau segera keluar, tak ada cara lain untuk menyambut..Maaf kalau tempat ini tak pantas untuk menerima kedatangan kalian bertiga.”
Mpu Sina bersila di lantai. Kerisnya dimasukkan ke sarung. “Bolehkah saya tahu nama-nama besar kalian?”
“Kami semua ini pengawal Pangeran Sang Hiang. Sebagian menyebut kami Pendekar Api, sebagian menyebut kami entah apa lagi. Karena kami selamanya berada di dalam perahu, nama di antara kami tidak menjadi penting benar. Akan tetapi untuk tidak mengecewakan, bolehlah kami disebut dengan nama Jalugeni, Jalulatu, Jaluapi, Jaluapyu, Jaluagni, Jalubahni, Jaludahana, Jalubtama, Jaluguna, Jaluanala, Jalusiking, Jalupawaka, dan Jalupuja….”
Dalam hati Gendhuk Tri merasa geli. Meskipun tubuhnya sama sekali tak bisa bergerak, senyumnya mengembang juga. Jawaban Jalugeni seperti mengada-ada. Karena nama-nama yang disebutkan Jalugeni seperti namanya sendiri. Yang berarti taji api.
“Terima kasih… Saya sendiri bernama Sina, dan teman yang datang ini Jaghana dari Perguruan Awan, serta Jagattri…”
Agaknya Mpu Sina tidak tega menyebut nama Gendhuk. “Kami ingin menegaskan apakah betul Baginda dan para permaisuri berada di dalam perahu ini?”
“Segalanya telah jelas. Tak ada yang ditutup-tutupi.”
“Baik. Kedatangan kami pun cukup jelas bagi Kisanak.”
“Jelas. Kami tak bisa berbuat yang lain. Pangeran Sang Hiang memerintahkan, agar kami membawa Baginda ke negeri Tartar. Dan itu yang akan kami lakukan. Tak ada yang lain.”
“Apakah saya diperkenankan sowan menghadap Pangeran Hiang?”
“Terima kasih atas penghormatan Kisanak. Kami tak tahu apa-apa. Kalau Pangeran Sang Hiang bersedia menerima kalian, pasti sudah menemui di sini. Karena tidak ada, berarti tidak bisa. Kami sedang menunggu perintah, apakah memusnahkan kalian atau membiarkan seperti sekarang.”
“Bagus, bagus sekali. Ini sangat menarik,” kata Gendhuk Tri keras. “Kalian para Pendekar Api ternyata sangat patuh. Tidak sia-sia menjadi prajurit kawal. Hanya saya bertanya-tanya, apakah yang kalian sebut-sebut sebagai Pangeran Sang Hiang itu Dewa yang sesungguhnya? Yang mampu menentukan manusia?”
“Kami tak mau berdebat soal itu.”
"Tentu saja tidak. Kalian tidak tahu tentang tata krama Keraton. Kalian hanya mengerti bagaimana membuat perahu yang bisa menjeblak dan menutup, bagaimana memelihara ular, buaya, kumbang, kecoa, dan tikus. Kalau kalian tahu… Tidak mungkin. Sejak semula kalian tidak dididik untuk itu. Percuma juga bicara mengenai hal itu.”
Sunyi. Sepi.
“Paman Jaghana, agaknya kita berhadapan dengan bagian perahu ini. Apakah Paman menduga bahwa yang memerintah tak jauh berbeda dengan mereka ini?”
“Barangkali…” Suara Jaghana menggantung. Ia bukannya tidak tahu bahwa Gendhuk Tri berusaha memancing keluar Pangeran Hiang. Hanya saja ia sendiri tak biasa berbicara seperti itu.
“Kekuasaan. Ini masalah kekuasaan. Kekuatan. Kita tak bisa bicara dengan akal budi. Kekuasaan adalah kekuatan. Kekuasaan adalah kemenangan. Kalau bisa membawa Baginda ke Tartar, berarti kemenangan yang sempurna. Sempurnalah Tartar yang menguasai jagat. Tak ada yang membantah lagi. Sungguh berbeda dengan Sri Baginda Raja. Kekuasaan Sri Baginda Raja tidak selalu dibuktikan dengan kemenangan dan kekuatan. Paman Jaghana, apakah Paman berpikir bahwa Sri Baginda Raja keliru menangkap arti kekuasaan?”
“Barangkali…”
“Kalau begitu, kenapa Pangeran Hiang ragu? Buat apa menunggu lagi? Kami sudah kalah. Terjebak. Pangeran Hiang menang. Dengan cara apa pun. Karena kekuasaan yang ditegakkan ini tidak memperhitungkan sikap ksatria atau bukan. Itu tidak penting. Selama bisa membantu, mendukung kekuasaan, semua adalah benar, baik, dan tepat. Bukan begitu, Paman?”
“Barangkali… Karena kekuasaan yang ada mutlak. Seorang raja adalah pilihan Dewa. Selama dirinya bertanggung jawab kepada Dewa Yang Maha dewa, tak ada kesalahan, tak ada kekeliruan.”
“Dewa Yang Maha dewa. Aha, bagaimana kita tahu itu semua pilihan Dewa?”
"Yang mempertanyakan bukan kita.”
“Lalu apa bedanya Keraton dengan hutan rimba, Paman?”
“Barangkali sama.”
“Paman Jaghana pernah mendengar sebutan mahamanusia…” Kalimat Gendhuk Tri menggantung di tengah. Dari ruangan dalam terdengar helaan napas.
Barisan Api menunduk. Jalugeni menunduk sampai kepalanya menyentuh lantai. Dengan satu gerakan tangan menarik, dua jala yang mengikat Gendhuk Tri dan Jaghana lepas. Keduanya terbanting ke lantai. Karena tak menduga, dan karena urat-urat dalam tubuh seperti membeku.
“Jagattri, apa arti mahamanusia?”
“Aa, agaknya Pangeran Hiang merasa tinggi hati untuk bertanya langsung. Tak apa, Jalugeni. Kalian bisa mengatur suara untuk bisa saling mendengar. Akan tetapi saya akan mengatakan dengan cukup keras, agar Pangeran Hiang dan Putri Koreyea mendengar. Mahamanusia adalah manusia yang akan menjadi apa saja. Menjadi Dewa, memakai mahkota, memakai akal budi. Menjadi manusia bagi sesama manusia yang lain.”
Bukan hanya Jaghana, Gendhuk Tri sendiri tidak paham benar mengenai mahamanusia. Akan tetapi tahu secara garis besar dan dengan kemampuannya berusaha untuk menuangkan kembali. Karena inilah satu-satunya jalan untuk memancing keluarnya Pangeran Hiang.
“Apakah manusia tidak bisa memerintah manusia yang lain?”
“Bisa. Itu sebabnya ada Keraton. Ada raja, ada senopati, ada perangkat yang lain. Tapi dasar memerintahnya bukanlah kekuasaan, bukanlah kekuatan.”
“Apa dasarnya, Jagattri?”
“Dasarnya manusia.”
“Manusia yang bagaimana?”
“Jalugeni, susah kalau kamu bertanya begini. Kami mempunyai kitab yang menguraikan secara gamblang mengenai hal itu.”
“Manusia yang bagaimana?” Pertanyaan Jalugeni seperti tak memedulikan jawaban Gendhuk Tri.
Percakapan Kekuasaan
“TAK ada manusia yang bagaimana. Yang ada manusia.”
“Manusia yang bagaimana?”
“Manusia adalah manusia. Pangeran Hiang adalah manusia. Mpu Sina adalah manusia.”
“Bukankah Baginda manusia juga?”
“Ya.”
“Dan memerintah, dan berkuasa?”
“Ya, tetapi memerintah untuk kejayaan dan kemakmuran. Raja dipilih Dewa, tapi kekuasaan dititipkan.”
“Kenapa kamu membela Baginda?”
“Membela manusia yang direndahkan oleh manusia yang lain.”
“Siapa yang merendahkan kalian?”
“Yang bahkan menunjukkan hidup pun tak berani.”
Jalugeni menggerakkan kedua tangannya. Serentak, bersama Jalu yang lain. Dalam gerakan yang sama. Gendhuk tak bisa menahan tubuhnya hingga menabrak dinding di belakangnya. Punggungnya serasa hancur. Dengan memusatkan tenaga dalam di tubuh, Gendhuk Tri memasang kuda-kuda. Ketika sambaran kedua datang, Gendhuk Tri merendahkan badannya. Tenaganya disalurkan ke seluruh tubuh. Upayanya adalah mengalirkan tenaga yang datang menyambar. Tangannya gemetar.
Tenaga yang menyeruak masuk demikian keras, dan tangannya menjadi ngilu. Gendhuk Tri berusaha membebaskan diri, akan tetapi rasa berat justru makin lama makin mendidih. Dadanya terasa sakit. Seluruh tubuhnya menjadi ngilu mendadak. Jaghana menepukkan tangan dan membantu Gendhuk Tri. Akan tetapi hal yang sama terulang. Jaghana pun terbanting ke belakang, menabrak bagian belakang dengan sangat keras.
Mpu Sina meraih kerisnya dan maju. Sambaran angin dari Jalu salah satu Jalu atau dua di antaranya membuatnya miring ke kiri. Ayunan kerisnya seperti memancarkan tenaga ganas yang ditakuti. Dalam sekejap terjadi pertarungan di ruang yang begitu sempit. Keris Mpu Sina menusuk kiri-kanan, sementara kedua kakinya tak terhindarkan lagi beradu dengan kaki-kaki yang lain. Jaghana menggelundungkan tubuhnya, terlibat dalam pertarungan jarak dekat.
Begitu merasa tekanan lawan melonggar, Gendhuk Tri menerjang maju. Kini semuanya terlibat dalam pertarungan jarak pendek. Dengan menjatuhkan diri, beberapa kali Gendhuk Tri menghindar. Selendang menampar wajah lawan beberapa kali, akan tetapi seperti tak mengubah apa-apa. Tak berpengaruh sedikit pun. Benturan tubuh Jaghana membuat dua lawan tersudut, akan tetapi sebaliknya ia sendiri kena dibekuk dan terbanting. Tak bergerak lagi.
Gendhuk Tri merasakan seluruh tulangnya hancur ketika kena bekuk. Gulatan mereka betul-betul mematahkan. Tanpa terasa Gendhuk Tri mengeluarkan jeritan. Air matanya menetes menahan rasa perih. Hanya Mpu Sina yang masih bertahan. Keris pusakanya bahkan bisa melukai dua lawan, sebelum tangannya tertekuk dan mengeluarkan suara krak, keras. Untuk kemudian terkulai. Ketiganya diseret menjadi satu dan ditumpuk.
“Kami sudah berkata bahwa tak ada yang bisa masuk ke perahu suci ini dan meninggalkan begitu saja. Hanya kematian yang bisa membebaskan kalian. Apalagi kalian telah melukai kami.”
“Bawa ke atas!” perintah Jalugeni. “Biarkan mereka yang di luar mengetahui apa yang terjadi.”
Ketiganya dibawa ke atas, ke lantai perahu. Ditumpuk. Ketika itulah rombongan Mahapatih mencoba naik ke perahu. Hanya dengan menggerakkan tiang utama kapal yang bergerak memutar, rombongan Mahapatih betul-betul tersapu. Jatuh kembali ke sungai, dengan mengenaskan. Nyai Demang bahkan tak bisa bergerak karena satu anak panah menancap di pundaknya.
“Habis sudah,” teriak Eyang Puspamurti. “Semuanya sudah keok. Sudah melata. Tak bersisa lagi. Seharusnya Jaghana tidak mengajak bertarung di ruangan yang sempit. Itu keunggulan pasukan Tartar. Mada, kamu mau ke mana? Senggek, atau Genter, atau siapa kamu, kenapa ikut? Kwowogen, kamu…”
Mada tak memedulikan lagi. Ia memberosot turun, diikuti dua temannya. Eyang Puspamurti sejenak tercenung, sebelum akhirnya meloncat turun.
“Kalian bandel. Naik kembali. Eyang akan turun tangan sendiri.”
Siapa pun yang melihat pemandangan di atas perahu tergetar hatinya. Tersayat. Terkelupas habis. Di perahu, Gendhuk Tri, Jaghana, dan Mpu Sina ditumpuk bagai batang kayu. Sementara sepuluh Jalu berdiri membentuk satu barisan, mendongak melawan langit. Di pinggir bengawan, Mahapatih masih berada dalam perawatan Nyai Demang. Hanya Halayudha yang berdiri kaku.
“Kalian para ksatria tanah Jawa, sungguh luar biasa. Selama kami mengelilingi jagat, belum pernah kami menampakkan diri seperti sekarang ini. Akan tetapi kalian memaksa kami. Atas nama Pangeran Sang Hiang dan Putri Koreyea, kami akan melaksanakan hukuman bagi yang berani melanggar masuk ke perahu. Di sini ada semut api, ada barisan kumbang, dan ular hijau. Ketiganya akan berpesta pora. Bagi siapa yang ingin bersimpati, silakan naik. Dan setelah tak ada lagi, kami akan segera berangkat. Kalau kalian memang ksatria dan mempunyai dendam, kami semua menunggu di Keraton Langit, negeri kami.” Suaranya lantang. Garang. "Kami masih memberi kesempatan terakhir.”
Sepi. Halayudha mengusap bibirnya. Ini saatnya tampil. Menunjukkan bahwa dirinya tetap ksatria, dirinya senopati yang ulung. Akan tetapi Halayudha juga sadar bahwa kemungkinan selamat sangat kecil. Kalau tingkatan Jaghana saja bisa ditekuk begitu mudah, kemungkinan baginya juga sangat sulit. Padahal sekarang justru posisi yang menguntungkan.
Dengan tumbangnya para senopati, berarti tak ada lagi yang akan menghalangi dirinya di belakang hari. Jalan makin lapang. Bukankah Mahapatih sendiri sudah bisa dikalahkan dan tercebur ke sungai? Kalaupun ada yang mengganjal, itu hanya urusan dengan Raja. Yang Halayudha yakin bisa menyelesaikan dengan baik. Dengan sangat baik. Dengan sangat baik sekali.
Habisnya para senopati dan hilangnya para ksatria membuat dirinya sendirian. Bahkan Raja pun akan tunduk di bawah kekuasaannya. Bahkan dirinya bisa menduduki kursi Keraton, secara resmi. Siapa lagi yang bisa menghalangi? Kesempatan seperti sekarang ini tidak datang dua kali. Halayudha berdiri kaku. Pada saat seperti sekarang ini tak ada yang memperhatikan dirinya. Karena yang lain dicekam ketakutan dan kecemasan.
“Masih ada kesempatan bagiku?” Suara Eyang Puspamurti terdengar bagai tetesan air di kegersangan.
“Kami menunggu.”
“Aku akan ke sana. Tapi lewat mana? Kenapa bukan kalian saja yang menuju kemari?”
“Kami tak akan pernah meninggalkan perahu.”
“Baik, baik, aku mengerti. Sebentar aku cari rakit atau kayu…”
Eyang Puspamurti betul-betul menunjukkan gerakan orang yang bingung. Mada dan kedua temannya sudah menyediakan kayu, akan tetapi malah diusir.
“Kalian bertiga ke pohon. Segera!”
Mada malah menatap gagah.
“Kalau tidak, aku tak jadi bertarung.”
Mada surut dua langkah.
Eyang Puspamurti mencari galah untuk mendayung. Akan tetapi baru dua tombak menghilir, rakitnya oleng. Sehingga Eyang Puspamurti melayang kembali ke pinggir.
“Susah, susah, susah.” Eyang Puspamurti berputar-putar mencari kayu yang lain.
“Kalau susah pakai rakit, kenapa tidak meloncat pakai galah?”
Mendadak terdengar suara halus, tapi jelas terdengar. Jelas tak ada nada mengejek, tak ada nada menggurui. Suara yang membuat Nyai Demang membelalak. Sesaat lupa akan rasa sakitnya! Suara itu! Suara yang membuat Gendhuk Tri terjaga dan waspada. Matanya mencari-cari arah datangnya suara dengan debaran jantung yang aneh sekali. Jaghana yang berada di bawahnya tersenyum. Pasti. Pasti Kakang Upasara?
Kekuasaan dan Kodrat (1)
BAHKAN Halayudha menengok ke arah datangnya suara. Bibirnya gemetar. Apakah betul itu suara Upasara Wulung? Suara tokoh sakti yang bisa muncul pada situasi yang sangat gawat? Seolah ksatria yang sempurna?
Benar. Itu suara Upasara Wulung. Tak mungkin. Sangat tidak mungkin. Halayudha menyaksikan sendiri tubuh Upasara Wulung yang dipoteng-poteng. Lebih dari itu, Halayudha ikut menanganinya, Halayudha ikut merajah tubuh Upasara. Dan meyakinkan diri di kuburannya!
Dewa pun tak akan bangkit kembali dari kematiannya yang begitu mengenaskan. Tak mungkin. Sama sekali tak mungkin. Gendhuk Tri juga merasa tak mungkin. Barangkali ini hanya lamunannya. Ataukah sesungguhnya dirinya sudah mati, sehingga arwahnya bisa bertemu dengan kakangnya? Tapi kenapa Jaghana tersenyum?
Seolah membenarkan. Ah, ini pikirannya sendiri! Selama ini Paman Jaghana selalu menampilkan wajah penuh senyuman. Bahkan senyuman dan sorot mata yang penuh welas asih itu tetap tak berubah ketika menyamar sebagai Truwilun. Ah. Kenapa dirinya begitu bodoh, begitu peka dan cengeng di saat-saat terakhir seperti ini?
Suara lembut itu juga membuat Permaisuri Rajapatni tergetar. Darahnya mendesir cepat sekali. Meskipun berada dalam ruang yang sangat sempit, yang membuatnya tak bisa bergerak, akan tetapi gema dan getaran itu tetap terasakan. Inilah akhirnya.
Upasara akan datang. Suara hatinya mengatakan begitu, sejak ia memutuskan bergabung dengan Baginda. Hanya dengan cara begini Upasara akan muncul kembali ke dunia. Lebih ada alasan kuat, dibandingkan hanya untuk membebaskan Baginda. Permaisuri Rajapatni sadar bahwa jalan pikiran seperti ini sangat mungkin sekali salah. Jalan pikiran semacam ini seperti membuat penilaian yang rendah.
Tapi jauh dalam sudut hatinya yang masih bisa jujur, Permaisuri Rajapatni seperti ingin mengatakan demikian. Bahwa Upasara Wulung akan muncul untuk membebaskannya. Seperti dulu juga. Ketika ditawan pasukan Tartar. Tak ada yang berubah. Bahkan peristiwanya sama. Sama persis.
Rajapatni menyadari bahwa getaran darahnya membuat duduknya jadi tidak jenak, jadi gelisah. Dan di ruang yang sangat sempit, tempat ia duduk bersinggungan dengan permaisuri yang lain, dengan Baginda, sedikit tarikan napas yang berbeda saja bisa diketahui. Tapi Rajapatni tak peduli. Getaran itu dirasakan sepenuhnya.
Siapa lagi yang bisa membuatnya menggeletar, membuat darahnya mengalir cepat, angannya melambung? Siapa lagi? Siapa lagi, selain Upasara? Kakangmas Upasara Wulung? Rajapatni tertegun sendiri. Kenapa ia menjadi sangsi? Apakah karena kemudian tak ada suara apa-apa?
Nyai Demang berdiri terhuyung-huyung. Prajurit yang menjaganya dikibaskan. Rasa ngilu tak dipikirkan lagi. Dengan berdiri terhuyung, pandangan Nyai Demang menyapu ke arah pinggir sungai yang lain. Di mana kamu, Adimas Upasara? Nyai Demang menghela napas panjang. Berat. Tidak. Tak ada bayangan Upasara.
Yang ada adalah bayangan putih, tinggi sekali, seolah sedang melayang menuju perahu. Enteng bagai sayap burung yang tidak mengepak. Bayangan putih itukah Upasara? Bukan. Bukan. Upasara-nya tidak setinggi itu, dan tidak pernah memakai pakaian putih.
“Kamu benar.” Kini suara Eyang Puspamurti yang terdengar. Tubuhnya mengayun tinggi dengan lontaran galah. Sekali hinggap, berdiri di samping bayangan putih tinggi.
Halayudha menepuk jidatnya. Dugaannya benar. Yang muncul adalah Upasara Wulung. Yang dengan gagah seolah terbang, turun dari angkasa. Bagai gerakan Dewa. Kalau sekilas seperti tinggi, itu karena Upasara digendong di pundak seseorang. Yang untuk sementara ini belum dikenali Halayudha. Terutama karena pikirannya mendadak menjadi tumpang-tindih.
Kalau Upasara muncul, pertarungan bisa menjadi lain. Apalagi ada Eyang Puspamurti-setidaknya yang mengaku itu dan pernah ditemui. Bahkan pernah menelanjanginya! Halayudha tak menunggu kesempatan. Kakinya menjejak tanah, tubuhnya melayang ke atas. Ke arah galah yang ditinggalkan Eyang Puspamurti, yang masih menancap di sungai. Dengan sekali ayun tubuhnya hinggap di perahu. Ini kesempatan terbaik untuk ikut tampil.
Bertarung atau tidak, masih bisa diperhitungkan kemudian. Tapi kalau sampai ia muncul belakangan dan peristiwanya sudah selesai, namanya tak akan diperhitungkan lagi.
“Kakang…”
Suara Gendhuk Tri yang lirih, membuat lelaki berpakaian putih menoleh ke arahnya. “Tole, kamukah itu….”
“Dewa Maut…” Suara yang lirih, suara yang samar. Akan tetapi Nyai Demang seperti bisa mendengar semuanya. Seperti dibisikkan di daun telinganya.
Yang baru saja datang memang Upasara Wulung! Tubuhnya tampak tinggi karena digendong Dewa Maut. Yang tampak lebih putih lagi karena seluruh rambutnya berupa uban. Bagaimana mungkin bisa muncul berdua?
Pertanyaan itu tertelan dalam hati. Nyai Demang menunduk, bersujud, mengucap terima kasih yang tulus kepada Dewa Yang Maha dewa. Apa yang terjadi di perahu tak penting lagi. Dibandingkan dengan kemunculan Upasara. Itu saja sudah jawaban dari doa yang selama ini dipanjatkan. Yang diam-diam memperbesar harapannya sejak Permaisuri Rajapatni menunjukkan tanda-tanda yang tidak biasanya. Permaisuri Rajapatni, ketika itu, Nyai Demang yakin sekali hal itu, menyembunyikan sesuatu.
Sesuatu yang agaknya membuat Permaisuri Rajapatni kemudian ragu. Apakah benar Upasara Wulung masih hidup? Sesuatu yang sempat tercium oleh Gendhuk Tri juga.
Sementara itu di atas pohon, ketiga lelaki muda menajamkan pandangannya. Antara kagum, heran, dan keinginan besar yang membludak untuk ikut terjun ke perahu. Yang terlihat hanyalah tubuh Eyang Puspamurti bergoyang-goyang. Di sebelahnya berdiri seorang lelaki tua yang seluruh rambutnya putih, wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa-apa, yang kemudian menuju ke arah Gendhuk Tri. Di sebelahnya lagi, seorang lelaki yang gagah, tegap, akan tetapi tampak kurus, berdiri dengan kaki sedikit membuka. Itukah Upasara Wulung?
Di sebelahnya lagi Senopati Halayudha berdiri gagah. Melirik ke arah Upasara. “Kamu datang pada saat yang tepat, Upasara.”
Yang terdengar sebagai jawaban justru teriakan Dewa Maut yang menyayat hati. “Tole, Tole… kenapa kamu? Apanya yang sakit?”
“Dewa Maut, bukankah itu Kakang Upasara?”
“Yang mana?”
“Yang datang bersama Dewa Maut.”
“Ya, ya, dia Dewa Maut. Itu gelarannya.”
“Masih linglung juga. Dewa maut….”
Gendhuk Tri menahan rasa sakit yang mengilukan. Semua tulang punggungnya seperti rontok, retak, sehingga untuk bernapas pun sulit.
“Apakah semua sudah datang?” Suara Jalugeni terdengar lantang. “Jangan salahkan kalau kami tak memberi kesempatan lagi.”
“Rasanya salah satu dari kami sudah lebih dari cukup. Rasanya dengan satu jurus saja, bisa selesai semuanya. Mada, Kwowogen, kalian bisa lihat dengan baik? Perhatikan ya!”
Mata Gendhuk Tri tak berkedip. Memandang lelaki yang berdiri gagah. Yang membalas menatap mata Gendhuk Tri.
“Adik Tri, tahan sebentar. Dewa Maut akan menolong. Paman Jaghana, Paman…” Suara halus itu terhenti.
“Saya Sina, prajurit tua. Benarkah ini Upasara Wulung, ksatria lelananging jagat?”
Kekuasaan dan Kodrat (2)
UPASARA menunduk hormat. “Oh, kiranya Senopati Sina yang gagah dan budiman. Maafkan saya tidak mengenal Paman yang agung. Benar, saya Upasara Wulung. Mengenai sebutan itu, saya belum pantas menyandangnya.”
Jalugeni maju setindak. “Apakah benar ini Upasara Wulung, lelananging jagat yang menggetarkan langit?”
“Sebutan yang berlebihan lebih susah ditanggalkan, meskipun sebenarnya hanya beban.”
“Saya Jalugeni, siap menghadapi siapa pun.”
“Kalau memang itu yang kita cari bersama,” suara Upasara tetap lembut. “Apakah tidak lebih baik adik saya dan Paman Jaghana serta…”
“Tak ada yang meninggalkan tempat ini.”
Upasara mengangguk.
“Kakang… Kakang baik-baik saja?”
“Berkat bantuan Dewa Maut.”
“Jangan sebut-sebut nama itu lagi. Kamu sudah janji.”
Mpu Sina menutup mata. Dunia persilatan memang dunia yang ganjil. Di saat segenting ini masih bisa saling bercanda. Memang agak susah diterangkan dengan satu-dua kalimat untuk menjawab pertanyaan Gendhuk Tri maupun ucapan Dewa Maut.
Upasara Wulung sendiri tak menduga bahwa perjalanan hidupnya akan membawanya ke tengah dunia ramai. Ke tengah pertarungan. Ketika pundak kirinya dilukai Halayudha dan beberapa pukulan keras menghantam tubuhnya, Upasara tak sadarkan diri. Kekuatannya benar-benar habis. Untuk mengambil napas pun dadanya terasa ngilu. Antara sadar dan tidak, tubuhnya diseret ke dalam bagian Keraton.
Berada dalam pengawalan ketat. Upasara tak mampu bergerak. Hanya pikirannya coba dijernihkan untuk menerima kenyataan sebenarnya. Kenyataan yang sebenarnya itu adalah munculnya Permaisuri Rajapatni.
“Kakangmas, saya tak tahu harus berbuat apa. Tapi sebelum saat terakhir, biarlah saya mengusahakan sesuatu. Mohon Kakangmas Upasara tidak menolak.”
Tubuh Upasara dingin. Jangan kata menolak, untuk mengatakan sesuatu saja tak mampu.
“Saya tahu Kakangmas tidak menyukai cara-cara seperti ini. Akan tetapi kalau belum pesti, Dewa akan menolong Kakangmas.”
Upasara merasa tubuhnya diangkat, dibawa ke suatu tempat. Yang diingat bahwa yang mengangkat Permaisuri Rajapatni dengan dua putrinya. Seperti dimasukkan ke sumur. Upasara baru mengingat kemudian, bahwa sehari-hari yang menemani adalah Dewa Maut.
“Kamu hidup lagi. Celaka. Celaka. Padahal kematian jauh lebih membahagiakan.”
Yang membuat Upasara sedikit risi adalah Dewa Maut menjejalkan buah-buahan ke dalam mulutnya. Kadang menjilati luka Upasara, mengurut hingga beberapa saat.
“Tak ada gunanya lagi. Simpanan tenaga di pundak saya telah musnah.”
“Memang. Itu bagus. Berarti kamu tak usah main silat lagi. Di sini terus menemani aku. Tapi aku tak butuh teman. Mudah-mudahan kamu lebih cepat tua dan mati lebih dulu.”
Saat itu Upasara hanya bisa membatin. Bahwa Dewa Maut adalah Dewa Maut yang sama seperti ketika di Perguruan Awan, ketika seluruh tenaga dalamnya sudah terkuras habis. Yang kini tetap linglung, berbicara tidak keruan juntrungannya, yang menanam sendiri buah-buahan, yang tiba-tiba lenyap beberapa hari. Dan muncul lagi tanpa memberitahukan apa-apa. Upasara menjalani hidup dalam gua di bawah Keraton. Beberapa kali mencoba mengerahkan tenaga dalamnya lagi. Beberapa kali mencoba berlatih kembali.
“Kamu keliru. Biasa saja. Jangan berangan menjadi jago silat lagi. Kitab Bumi yang kamu pelajari itu sebenarnya kitab yang baik. Yang mengajarkan kebaikan. Tapi Kitab Penolak Bumi lebih baik lagi. Tapi juga tidak baik.”
Upasara lebih suka berdiam diri.
“Tenaga dalammu pernah habis. Lalu kamu diajari untuk mengembalikan. Sekarang tangan kirimu lumpuh, itu bagus. Kamu bisa bangkit lagi. Setiap tenaga dalam mempunyai cadangan. Itu yang kita panggil kembali. Kalaupun pernah hilang, pasti ada tenaga cadangan yang berikutnya. Itu sebabnya pohon sawo yang kutanam akan selalu berbuah. Itu sudah kodrat. Kucing yang beranak juga akan beranak lagi. Raja yang pergi, akan ada raja lainnya. Raja yang pergi tetap bisa menjadi pergi.”
“Paman Dewa Maut…”
“Itu dulu. Sekarang lain namanya. Namaku yang sekarang Upasara Wulung. Dan kamu yang bernama Dewa Maut. Rasanya begitu lebih baik. Bukan lebih baik. Lebih tepat. Kalau berbuah mangga, kita akan menyebutnya pohon mangga, biarpun aku membuat pohon yang kecil sekali, yang bentuknya seperti pohon cemara. Kamu sudah melihat sendiri, kan? Itulah. Kalau kamu Upasara, tidak tepat. Ksatria lelananging jagat tak mungkin bersembunyi di sini. Tak mungkin ditolong dengan pengorbanan seorang ksatria gagah, atau pengorbanan seorang wanita.”
“Paman…”
“Aku yang memanggil kamu Paman. Karena aku Upasara.”
“Baik, Pa… Baik, Upasara. Bagaimana penjelasan pengorbanan tadi?”
“Lho, kamu yang tahu. Aku tidak sadar waktu itu.”
“Bagaimana kejadian yang sebenarnya?”
“Kodrat. Menurut kitab, kodrat itu ada. Itulah alam. Itulah manusia. Lalu ada kekuasaan. Ada raja. Menjadi raja itu kodrat. Tapi kodrat menguasai, kodrat kekuasaan hanya mempunyai arti kalau untuk manusia. Untuk kodrat. Menurut kitab, raja itu ditunjuk Dewa. Dewa memilih manusia untuk menjadi penerusnya. Siapa yang mengajarkan itu? Agama. Percaya kepada Dewa Yang Maha dewa. Lalu Dewa ini dewanya siapa? Dewanya Dewa, juga dewanya manusia. Jadi kekuasaan itu milik manusia. Bukan milik raja. Menurut kitab, kamu menjadi Dewa Maut. Aku Upasara Wulung. Yang dibawa Permaisuri dan putrinya sambil berurai air mata. Karena ada seorang ksatria gagah perkasa yang mau menjadi tumbal bagimu. Yang tubuhnya akan dipotong-potong, dipisahkan kaki dari tubuh, tangan dari tubuh. Sehingga semua percaya aku ini sudah mati. Sudah dikubur. Padahal aku yang sesungguhnya di sini. Walau memang sudah mati. Sudah dikubur oleh diriku sendiri. Menurut kitab… "
Dengan bahasa yang mencong ke sana kemari, Upasara seperti dituntun kembali menemukan dirinya. Yang membuat Upasara terkejut adalah bahwa Dewa Maut mempelajari Kitab Bumi, Kitab Pamungkas, Kidungan Para Raja, dan Kidungan Paminggir sekaligus. Dengan leluasa masuk dan keluar Keraton, Dewa Maut memang bisa memperoleh semua itu.
“Kamu pasti mengira aku terpengaruh kitab-kitab yang kubaca serampangan ini. Itu keliru. Semua kitab ini sama. Yang menciptakan juga sama. Apa bedanya Raganata atau Eyang Sepuh atau Sri Baginda Raja? Kamu keliru kalau mau memisah-misahkan. Bumi segalanya, itu kata kitab. Manusia segalanya, itu juga kata kitab. Raja itu segalanya, juga kata kitab. Perhitungan itu segalanya, juga kata kitab. Kodrat juga ada. Kekuasaan juga ada. Kekuasaan ada karena kodrat. Kodrat itu ada karena ada manusia. Bagaimana, Paman, sudah makin mengerti?”
Dalam dunia yang jungkir-balik itulah Upasara Wulung justru menemukan kembali semangatnya. Menemukan kebenaran, kekuatan yang selama ini timbul-tenggelam dalam dirinya.
“Aku Upasara. Ksatria, gagah, belum pernah menyentuh wanita. Aku mempunyai kekasih permaisuri. Tetapi aku juga lelananging jagat, sehingga tidak pantas kalau aku mengundurkan diri karena asmara yang ruwet. Itu hanya terjadi padamu, Paman. Ketika kamu mengundurkan diri dari dunia persilatan karena kekasihmu lari dengan lelaki lain, lalu kamu terus-menerus berada di sungai, tak mau menginjak daratan. Kamu selalu membunuh orang dalam pertarungan. Aha, kamu sekarang geli sendiri melihat dirimu. Karena kamu memilih bergaul dengan sesamamu. Yang kemudian mati, dan kamu jadi gila. Maaf, Paman, aku bicara terus terang padamu.”
Pergeseran Kekuasaan Dewa
DENGAN cara terbalik, Dewa Maut terus menganggap dirinya sebagai Upasara Wulung, dan menganggap Upasara Wulung sebagai dirinya.
“Paman sudah kehilangan tenaga dalam. Selesai sudah, karena rontok dari dalam. Karena terpatahkan tulang pundak, karena tenaga dalam Paman sudah terkuras oleh tenaga mengisap Banjir Bandang Segara Asat. Berbeda dengan diriku. Aku mempelajari inti Kitab Bumi. Tenaga dalam yang terkumpul selalu menyisakan tenaga simpanan. Semua yang kumiliki ada tenaga cadangannya. Yang tak bisa dikeluarkan kalau tidak diubah lebih dulu. Dengan mengetahui cara mengubahnya, tenaga dalam itu bisa dipanggil kembali. Aku pernah mengalami. Satu kali. Dan aku bisa mengalami lagi. Lagi. Lagi. Selama aku bisa memanggil kembali, tenaga dalamku tak bisa musnah. Kecuali kalau memang dimusnahkan. Kecuali kalau memang tak bisa memanggil dan mengubahnya. Kecuali kalau tak mau. Kecuali kalau gabungan dari semua. Aku juga mengalami keraguan. Apakah tidak lebih baik begini saja. Lebih tenteram, lebih ayem, bersembunyi dalam gua seperti Paman. Tapi aku tidak. Aku ksatria. Aku memilih memulihkan tenaga dalam dan kembali ke jagat.”
“Bagaimana kamu bisa memulihkan tenaga cadangan untuk kedua kalinya?” tanya Upasara yang menjadikan dirinya seolah Dewa Maut.
“Kamu tak tahu. Tetapi aku tahu.”
“Bagaimana caranya?”
“Dicari.”
“Sekarang tenaga cadangan itu tak ada lagi. Tak ada yang membantumu, seperti dulu Eyang Dodot Bintulu.”
“Paman salah menduga. Ilmu itu adalah cara. Adalah laku. Kalau ilmu itu benar adanya, siapa saja bisa menggunakan. Tidak selalu yang menciptakan. Bagaimana caraku? Mencari. Hanya aku yang tahu.”
Upasara mengangguk mantap.
“Itulah sebabnya ada kitab. Dituliskan untuk dipelajari siapa saja. Itulah kekuasaan. Tadinya hanya dimiliki para Dewa, yang dipinjamkan kepada manusia. Salah satu yang dipilih, jadilah ia raja, sebagai penerus kekuasaan Dewa. Raja tak bisa salah. Kalau salah ia bertanggung jawab kepada Dewa. Bukan kepada permaisurinya, prajuritnya, senopatinya, atau rakyatnya. Raja tak bisa diganggu gugat. Kekuasaannya adalah titipan Dewa. Itulah yang ditulis kitab. Tapi ada kitab lain, yang mengidungkan tentang manusia. Yang mengatakan bahwa kekuasaan dari Dewa adalah kodrat, yang memang diwariskan kepada mahamanusia. Dan mahamanusia ini bisa siapa saja. Bisa dititipi menjadi raja, menjadi senopati, menjadi segala yang namanya manusia. Dengan kata lain, Dewa telah menggeser kekuasaannya. Sehingga raja tidak saja bertanggung jawab kepada Dewa yang memberinya kekuasaan, tetapi juga kepada sesama manusia, yang sama-sama mahamanusia juga. Pergeseran itu sudah ditulis dalam kitab.”
“Apakah ajaran itu bukan yang tidak diperkenankan Sri Baginda Raja untuk dipelajari?”
“Kalau ya kenapa? Kalau tidak kenapa? Kamu tua, rambutmu putih, gelarmu Dewa Maut. Tapi tetap saja tak bisa mengerti bahwa mahamanusia bisa saling melarang, saling memperbolehkan. Saling mempercayai kitab atau tidak. Sri Baginda Raja sendiri juga menuliskan, dalam kitab. Berbeda? Ya. Tapi sama. Sebab sama-sama kitab.”
“Upasara Wulung, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
“Mencari...”
“Mencari apa?”
“Mencari diriku.”
“Caranya?”
“Dengan laku. Semua ilmu, semua jalan dicari dengan laku. Kalau aku sudah menemukan, aku bisa tahu apakah diriku menjadi ksatria, dan berarti keluar dari tempat ini. Apakah aku mau menjadi pohon, dan berdiri di sini sampai berbunga dan berbuah. Apakah diriku Dewa.”
“Upasara, kamu lihat aku ini seperti apa? Di mana laku-ku?”
Dewa Maut berkejap-kejap matanya. Agak bingung sesaat dengan pertanyaan Upasara yang agaknya mengena.
“Kenapa aku tidak mau meninggalkan tempat ini?”
Perintahnya jelas sekali. Ia sendiri melangkah maju, diiringi para senopati yang membawa obor. Akan tetapi sebelum mendekat ke arah rakit, terjadi lagi perubahan. Rakit-rakit yang menghubungkan ke perahu bergerak-gerak. Beberapa prajurit yang menjaga terpelanting ke sungai. Suatu bayangan muncul dari dasar. Pasukan buaya, yang kini, bahkan siap naik ke darat!
Mata Mahapatih berkejap-kejap. Serangan buaya itu ternyata sangat merepotkan. Rakit sebagai jembatan penghubung sebagian rusak. Sehingga para prajurit tak bisa meloncat ke perahu.
“Lepaskan panah api,” bisik Halayudha.
“Baginda dan Permaisuri masih berada di dalam.”
“Mahapatih, kita tak yakin apakah Baginda berada di dalam atau ditawan di tempat lain. Perahu itu akan menjadi sangat sempit jika begitu banyak orang di dalam. Ataukah Mahapatih memikirkan Ayahanda?”
Halus suaranya, lembut nadanya, akan tetapi Halayudha bisa menelusupkan gagasan yang membuat Mahapatih tersudut. Kalau alasan utama tidak menyerbu adalah adanya Mpu Sina di dalam, pamor Mahapatih jadi guncang. Berarti mementingkan keluarga di atas keselamatan yang lain.
Nyai Demang bisa membaca siasat busuk Halayudha. “Kalau Baginda tak berada dalam perahu, untuk apa kita menyerbu ke sana?”
Mahapatih terdiam. Sesaat seperti tak mempunyai ketegasan tindakan apa yang harus diambil.
Pendekar Api
TAK ada yang tahu persis apa yang terjadi. Tidak juga Jaghana. Ketika atap rumah-rumahan membuka, Jaghana langsung meloncat masuk. Semua kemampuan dan kekuatannya dikerahkan untuk menangkis serangan model apa pun. Untuk itu Jaghana siap menghadapi segala kemungkinan. Akan tetapi justru ketika meloncat masuk, tubuhnya tak bisa bergerak. Baru kemudian Jaghana sadar dirinya masuk ke jala yang dipasang sebagai perangkap.
Dengan tubuh menggantung, berada dalam jaring yang mengecil, Jaghana tak bisa bergerak sama sekali. Demikian juga dengan Gendhuk Tri. Hanya Mpu Sina yang sedikit berbeda. Karena begitu masuk ke jaring, kerisnya menetas, memutus tali jaring. Sehingga sesaat kemudian tubuhnya bisa menginjak lantai kayu. Berdiri gagah.
Dengan dua jaring berisi Gendhuk Tri serta Jaghana berayun-ayun di sebelah kanan dan kirinya. Di depannya duduk bersila beberapa lelaki yang memandangi dengan sorot mata tajam. Tubuh mereka tak bergerak sama sekali, tak terpengaruh dengan kegaduhan di luar atau keris di depan mata.
Ruangan dalam sangat sempit, sehingga lelaki yang berada di depannya seolah saling bertumpuk. Sekilas seperti yang didengar, jumlah mereka sekitar dua belas atau tiga belas orang. Mpu Sina membungkuk hormat.
“Selamat datang, prajurit tua yang gagah berani.”
“Terima kasih, Kisanak Jalugeni…”
“Kami tidak menghendaki orang luar masuk ke tempat suci ini. Akan tetapi karena kalian sudah berada di dalam dan tak mau segera keluar, tak ada cara lain untuk menyambut..Maaf kalau tempat ini tak pantas untuk menerima kedatangan kalian bertiga.”
Mpu Sina bersila di lantai. Kerisnya dimasukkan ke sarung. “Bolehkah saya tahu nama-nama besar kalian?”
“Kami semua ini pengawal Pangeran Sang Hiang. Sebagian menyebut kami Pendekar Api, sebagian menyebut kami entah apa lagi. Karena kami selamanya berada di dalam perahu, nama di antara kami tidak menjadi penting benar. Akan tetapi untuk tidak mengecewakan, bolehlah kami disebut dengan nama Jalugeni, Jalulatu, Jaluapi, Jaluapyu, Jaluagni, Jalubahni, Jaludahana, Jalubtama, Jaluguna, Jaluanala, Jalusiking, Jalupawaka, dan Jalupuja….”
Dalam hati Gendhuk Tri merasa geli. Meskipun tubuhnya sama sekali tak bisa bergerak, senyumnya mengembang juga. Jawaban Jalugeni seperti mengada-ada. Karena nama-nama yang disebutkan Jalugeni seperti namanya sendiri. Yang berarti taji api.
“Terima kasih… Saya sendiri bernama Sina, dan teman yang datang ini Jaghana dari Perguruan Awan, serta Jagattri…”
Agaknya Mpu Sina tidak tega menyebut nama Gendhuk. “Kami ingin menegaskan apakah betul Baginda dan para permaisuri berada di dalam perahu ini?”
“Segalanya telah jelas. Tak ada yang ditutup-tutupi.”
“Baik. Kedatangan kami pun cukup jelas bagi Kisanak.”
“Jelas. Kami tak bisa berbuat yang lain. Pangeran Sang Hiang memerintahkan, agar kami membawa Baginda ke negeri Tartar. Dan itu yang akan kami lakukan. Tak ada yang lain.”
“Apakah saya diperkenankan sowan menghadap Pangeran Hiang?”
“Terima kasih atas penghormatan Kisanak. Kami tak tahu apa-apa. Kalau Pangeran Sang Hiang bersedia menerima kalian, pasti sudah menemui di sini. Karena tidak ada, berarti tidak bisa. Kami sedang menunggu perintah, apakah memusnahkan kalian atau membiarkan seperti sekarang.”
“Bagus, bagus sekali. Ini sangat menarik,” kata Gendhuk Tri keras. “Kalian para Pendekar Api ternyata sangat patuh. Tidak sia-sia menjadi prajurit kawal. Hanya saya bertanya-tanya, apakah yang kalian sebut-sebut sebagai Pangeran Sang Hiang itu Dewa yang sesungguhnya? Yang mampu menentukan manusia?”
“Kami tak mau berdebat soal itu.”
"Tentu saja tidak. Kalian tidak tahu tentang tata krama Keraton. Kalian hanya mengerti bagaimana membuat perahu yang bisa menjeblak dan menutup, bagaimana memelihara ular, buaya, kumbang, kecoa, dan tikus. Kalau kalian tahu… Tidak mungkin. Sejak semula kalian tidak dididik untuk itu. Percuma juga bicara mengenai hal itu.”
Sunyi. Sepi.
“Paman Jaghana, agaknya kita berhadapan dengan bagian perahu ini. Apakah Paman menduga bahwa yang memerintah tak jauh berbeda dengan mereka ini?”
“Barangkali…” Suara Jaghana menggantung. Ia bukannya tidak tahu bahwa Gendhuk Tri berusaha memancing keluar Pangeran Hiang. Hanya saja ia sendiri tak biasa berbicara seperti itu.
“Kekuasaan. Ini masalah kekuasaan. Kekuatan. Kita tak bisa bicara dengan akal budi. Kekuasaan adalah kekuatan. Kekuasaan adalah kemenangan. Kalau bisa membawa Baginda ke Tartar, berarti kemenangan yang sempurna. Sempurnalah Tartar yang menguasai jagat. Tak ada yang membantah lagi. Sungguh berbeda dengan Sri Baginda Raja. Kekuasaan Sri Baginda Raja tidak selalu dibuktikan dengan kemenangan dan kekuatan. Paman Jaghana, apakah Paman berpikir bahwa Sri Baginda Raja keliru menangkap arti kekuasaan?”
“Barangkali…”
“Kalau begitu, kenapa Pangeran Hiang ragu? Buat apa menunggu lagi? Kami sudah kalah. Terjebak. Pangeran Hiang menang. Dengan cara apa pun. Karena kekuasaan yang ditegakkan ini tidak memperhitungkan sikap ksatria atau bukan. Itu tidak penting. Selama bisa membantu, mendukung kekuasaan, semua adalah benar, baik, dan tepat. Bukan begitu, Paman?”
“Barangkali… Karena kekuasaan yang ada mutlak. Seorang raja adalah pilihan Dewa. Selama dirinya bertanggung jawab kepada Dewa Yang Maha dewa, tak ada kesalahan, tak ada kekeliruan.”
“Dewa Yang Maha dewa. Aha, bagaimana kita tahu itu semua pilihan Dewa?”
"Yang mempertanyakan bukan kita.”
“Lalu apa bedanya Keraton dengan hutan rimba, Paman?”
“Barangkali sama.”
“Paman Jaghana pernah mendengar sebutan mahamanusia…” Kalimat Gendhuk Tri menggantung di tengah. Dari ruangan dalam terdengar helaan napas.
Barisan Api menunduk. Jalugeni menunduk sampai kepalanya menyentuh lantai. Dengan satu gerakan tangan menarik, dua jala yang mengikat Gendhuk Tri dan Jaghana lepas. Keduanya terbanting ke lantai. Karena tak menduga, dan karena urat-urat dalam tubuh seperti membeku.
“Jagattri, apa arti mahamanusia?”
“Aa, agaknya Pangeran Hiang merasa tinggi hati untuk bertanya langsung. Tak apa, Jalugeni. Kalian bisa mengatur suara untuk bisa saling mendengar. Akan tetapi saya akan mengatakan dengan cukup keras, agar Pangeran Hiang dan Putri Koreyea mendengar. Mahamanusia adalah manusia yang akan menjadi apa saja. Menjadi Dewa, memakai mahkota, memakai akal budi. Menjadi manusia bagi sesama manusia yang lain.”
Bukan hanya Jaghana, Gendhuk Tri sendiri tidak paham benar mengenai mahamanusia. Akan tetapi tahu secara garis besar dan dengan kemampuannya berusaha untuk menuangkan kembali. Karena inilah satu-satunya jalan untuk memancing keluarnya Pangeran Hiang.
“Apakah manusia tidak bisa memerintah manusia yang lain?”
“Bisa. Itu sebabnya ada Keraton. Ada raja, ada senopati, ada perangkat yang lain. Tapi dasar memerintahnya bukanlah kekuasaan, bukanlah kekuatan.”
“Apa dasarnya, Jagattri?”
“Dasarnya manusia.”
“Manusia yang bagaimana?”
“Jalugeni, susah kalau kamu bertanya begini. Kami mempunyai kitab yang menguraikan secara gamblang mengenai hal itu.”
“Manusia yang bagaimana?” Pertanyaan Jalugeni seperti tak memedulikan jawaban Gendhuk Tri.
Percakapan Kekuasaan
“TAK ada manusia yang bagaimana. Yang ada manusia.”
“Manusia yang bagaimana?”
“Manusia adalah manusia. Pangeran Hiang adalah manusia. Mpu Sina adalah manusia.”
“Bukankah Baginda manusia juga?”
“Ya.”
“Dan memerintah, dan berkuasa?”
“Ya, tetapi memerintah untuk kejayaan dan kemakmuran. Raja dipilih Dewa, tapi kekuasaan dititipkan.”
“Kenapa kamu membela Baginda?”
“Membela manusia yang direndahkan oleh manusia yang lain.”
“Siapa yang merendahkan kalian?”
“Yang bahkan menunjukkan hidup pun tak berani.”
Jalugeni menggerakkan kedua tangannya. Serentak, bersama Jalu yang lain. Dalam gerakan yang sama. Gendhuk tak bisa menahan tubuhnya hingga menabrak dinding di belakangnya. Punggungnya serasa hancur. Dengan memusatkan tenaga dalam di tubuh, Gendhuk Tri memasang kuda-kuda. Ketika sambaran kedua datang, Gendhuk Tri merendahkan badannya. Tenaganya disalurkan ke seluruh tubuh. Upayanya adalah mengalirkan tenaga yang datang menyambar. Tangannya gemetar.
Tenaga yang menyeruak masuk demikian keras, dan tangannya menjadi ngilu. Gendhuk Tri berusaha membebaskan diri, akan tetapi rasa berat justru makin lama makin mendidih. Dadanya terasa sakit. Seluruh tubuhnya menjadi ngilu mendadak. Jaghana menepukkan tangan dan membantu Gendhuk Tri. Akan tetapi hal yang sama terulang. Jaghana pun terbanting ke belakang, menabrak bagian belakang dengan sangat keras.
Mpu Sina meraih kerisnya dan maju. Sambaran angin dari Jalu salah satu Jalu atau dua di antaranya membuatnya miring ke kiri. Ayunan kerisnya seperti memancarkan tenaga ganas yang ditakuti. Dalam sekejap terjadi pertarungan di ruang yang begitu sempit. Keris Mpu Sina menusuk kiri-kanan, sementara kedua kakinya tak terhindarkan lagi beradu dengan kaki-kaki yang lain. Jaghana menggelundungkan tubuhnya, terlibat dalam pertarungan jarak dekat.
Begitu merasa tekanan lawan melonggar, Gendhuk Tri menerjang maju. Kini semuanya terlibat dalam pertarungan jarak pendek. Dengan menjatuhkan diri, beberapa kali Gendhuk Tri menghindar. Selendang menampar wajah lawan beberapa kali, akan tetapi seperti tak mengubah apa-apa. Tak berpengaruh sedikit pun. Benturan tubuh Jaghana membuat dua lawan tersudut, akan tetapi sebaliknya ia sendiri kena dibekuk dan terbanting. Tak bergerak lagi.
Gendhuk Tri merasakan seluruh tulangnya hancur ketika kena bekuk. Gulatan mereka betul-betul mematahkan. Tanpa terasa Gendhuk Tri mengeluarkan jeritan. Air matanya menetes menahan rasa perih. Hanya Mpu Sina yang masih bertahan. Keris pusakanya bahkan bisa melukai dua lawan, sebelum tangannya tertekuk dan mengeluarkan suara krak, keras. Untuk kemudian terkulai. Ketiganya diseret menjadi satu dan ditumpuk.
“Kami sudah berkata bahwa tak ada yang bisa masuk ke perahu suci ini dan meninggalkan begitu saja. Hanya kematian yang bisa membebaskan kalian. Apalagi kalian telah melukai kami.”
“Bawa ke atas!” perintah Jalugeni. “Biarkan mereka yang di luar mengetahui apa yang terjadi.”
Ketiganya dibawa ke atas, ke lantai perahu. Ditumpuk. Ketika itulah rombongan Mahapatih mencoba naik ke perahu. Hanya dengan menggerakkan tiang utama kapal yang bergerak memutar, rombongan Mahapatih betul-betul tersapu. Jatuh kembali ke sungai, dengan mengenaskan. Nyai Demang bahkan tak bisa bergerak karena satu anak panah menancap di pundaknya.
“Habis sudah,” teriak Eyang Puspamurti. “Semuanya sudah keok. Sudah melata. Tak bersisa lagi. Seharusnya Jaghana tidak mengajak bertarung di ruangan yang sempit. Itu keunggulan pasukan Tartar. Mada, kamu mau ke mana? Senggek, atau Genter, atau siapa kamu, kenapa ikut? Kwowogen, kamu…”
Mada tak memedulikan lagi. Ia memberosot turun, diikuti dua temannya. Eyang Puspamurti sejenak tercenung, sebelum akhirnya meloncat turun.
“Kalian bandel. Naik kembali. Eyang akan turun tangan sendiri.”
Siapa pun yang melihat pemandangan di atas perahu tergetar hatinya. Tersayat. Terkelupas habis. Di perahu, Gendhuk Tri, Jaghana, dan Mpu Sina ditumpuk bagai batang kayu. Sementara sepuluh Jalu berdiri membentuk satu barisan, mendongak melawan langit. Di pinggir bengawan, Mahapatih masih berada dalam perawatan Nyai Demang. Hanya Halayudha yang berdiri kaku.
“Kalian para ksatria tanah Jawa, sungguh luar biasa. Selama kami mengelilingi jagat, belum pernah kami menampakkan diri seperti sekarang ini. Akan tetapi kalian memaksa kami. Atas nama Pangeran Sang Hiang dan Putri Koreyea, kami akan melaksanakan hukuman bagi yang berani melanggar masuk ke perahu. Di sini ada semut api, ada barisan kumbang, dan ular hijau. Ketiganya akan berpesta pora. Bagi siapa yang ingin bersimpati, silakan naik. Dan setelah tak ada lagi, kami akan segera berangkat. Kalau kalian memang ksatria dan mempunyai dendam, kami semua menunggu di Keraton Langit, negeri kami.” Suaranya lantang. Garang. "Kami masih memberi kesempatan terakhir.”
Sepi. Halayudha mengusap bibirnya. Ini saatnya tampil. Menunjukkan bahwa dirinya tetap ksatria, dirinya senopati yang ulung. Akan tetapi Halayudha juga sadar bahwa kemungkinan selamat sangat kecil. Kalau tingkatan Jaghana saja bisa ditekuk begitu mudah, kemungkinan baginya juga sangat sulit. Padahal sekarang justru posisi yang menguntungkan.
Dengan tumbangnya para senopati, berarti tak ada lagi yang akan menghalangi dirinya di belakang hari. Jalan makin lapang. Bukankah Mahapatih sendiri sudah bisa dikalahkan dan tercebur ke sungai? Kalaupun ada yang mengganjal, itu hanya urusan dengan Raja. Yang Halayudha yakin bisa menyelesaikan dengan baik. Dengan sangat baik. Dengan sangat baik sekali.
Habisnya para senopati dan hilangnya para ksatria membuat dirinya sendirian. Bahkan Raja pun akan tunduk di bawah kekuasaannya. Bahkan dirinya bisa menduduki kursi Keraton, secara resmi. Siapa lagi yang bisa menghalangi? Kesempatan seperti sekarang ini tidak datang dua kali. Halayudha berdiri kaku. Pada saat seperti sekarang ini tak ada yang memperhatikan dirinya. Karena yang lain dicekam ketakutan dan kecemasan.
“Masih ada kesempatan bagiku?” Suara Eyang Puspamurti terdengar bagai tetesan air di kegersangan.
“Kami menunggu.”
“Aku akan ke sana. Tapi lewat mana? Kenapa bukan kalian saja yang menuju kemari?”
“Kami tak akan pernah meninggalkan perahu.”
“Baik, baik, aku mengerti. Sebentar aku cari rakit atau kayu…”
Eyang Puspamurti betul-betul menunjukkan gerakan orang yang bingung. Mada dan kedua temannya sudah menyediakan kayu, akan tetapi malah diusir.
“Kalian bertiga ke pohon. Segera!”
Mada malah menatap gagah.
“Kalau tidak, aku tak jadi bertarung.”
Mada surut dua langkah.
Eyang Puspamurti mencari galah untuk mendayung. Akan tetapi baru dua tombak menghilir, rakitnya oleng. Sehingga Eyang Puspamurti melayang kembali ke pinggir.
“Susah, susah, susah.” Eyang Puspamurti berputar-putar mencari kayu yang lain.
“Kalau susah pakai rakit, kenapa tidak meloncat pakai galah?”
Mendadak terdengar suara halus, tapi jelas terdengar. Jelas tak ada nada mengejek, tak ada nada menggurui. Suara yang membuat Nyai Demang membelalak. Sesaat lupa akan rasa sakitnya! Suara itu! Suara yang membuat Gendhuk Tri terjaga dan waspada. Matanya mencari-cari arah datangnya suara dengan debaran jantung yang aneh sekali. Jaghana yang berada di bawahnya tersenyum. Pasti. Pasti Kakang Upasara?
Kekuasaan dan Kodrat (1)
BAHKAN Halayudha menengok ke arah datangnya suara. Bibirnya gemetar. Apakah betul itu suara Upasara Wulung? Suara tokoh sakti yang bisa muncul pada situasi yang sangat gawat? Seolah ksatria yang sempurna?
Benar. Itu suara Upasara Wulung. Tak mungkin. Sangat tidak mungkin. Halayudha menyaksikan sendiri tubuh Upasara Wulung yang dipoteng-poteng. Lebih dari itu, Halayudha ikut menanganinya, Halayudha ikut merajah tubuh Upasara. Dan meyakinkan diri di kuburannya!
Dewa pun tak akan bangkit kembali dari kematiannya yang begitu mengenaskan. Tak mungkin. Sama sekali tak mungkin. Gendhuk Tri juga merasa tak mungkin. Barangkali ini hanya lamunannya. Ataukah sesungguhnya dirinya sudah mati, sehingga arwahnya bisa bertemu dengan kakangnya? Tapi kenapa Jaghana tersenyum?
Seolah membenarkan. Ah, ini pikirannya sendiri! Selama ini Paman Jaghana selalu menampilkan wajah penuh senyuman. Bahkan senyuman dan sorot mata yang penuh welas asih itu tetap tak berubah ketika menyamar sebagai Truwilun. Ah. Kenapa dirinya begitu bodoh, begitu peka dan cengeng di saat-saat terakhir seperti ini?
Suara lembut itu juga membuat Permaisuri Rajapatni tergetar. Darahnya mendesir cepat sekali. Meskipun berada dalam ruang yang sangat sempit, yang membuatnya tak bisa bergerak, akan tetapi gema dan getaran itu tetap terasakan. Inilah akhirnya.
Upasara akan datang. Suara hatinya mengatakan begitu, sejak ia memutuskan bergabung dengan Baginda. Hanya dengan cara begini Upasara akan muncul kembali ke dunia. Lebih ada alasan kuat, dibandingkan hanya untuk membebaskan Baginda. Permaisuri Rajapatni sadar bahwa jalan pikiran seperti ini sangat mungkin sekali salah. Jalan pikiran semacam ini seperti membuat penilaian yang rendah.
Tapi jauh dalam sudut hatinya yang masih bisa jujur, Permaisuri Rajapatni seperti ingin mengatakan demikian. Bahwa Upasara Wulung akan muncul untuk membebaskannya. Seperti dulu juga. Ketika ditawan pasukan Tartar. Tak ada yang berubah. Bahkan peristiwanya sama. Sama persis.
Rajapatni menyadari bahwa getaran darahnya membuat duduknya jadi tidak jenak, jadi gelisah. Dan di ruang yang sangat sempit, tempat ia duduk bersinggungan dengan permaisuri yang lain, dengan Baginda, sedikit tarikan napas yang berbeda saja bisa diketahui. Tapi Rajapatni tak peduli. Getaran itu dirasakan sepenuhnya.
Siapa lagi yang bisa membuatnya menggeletar, membuat darahnya mengalir cepat, angannya melambung? Siapa lagi? Siapa lagi, selain Upasara? Kakangmas Upasara Wulung? Rajapatni tertegun sendiri. Kenapa ia menjadi sangsi? Apakah karena kemudian tak ada suara apa-apa?
Nyai Demang berdiri terhuyung-huyung. Prajurit yang menjaganya dikibaskan. Rasa ngilu tak dipikirkan lagi. Dengan berdiri terhuyung, pandangan Nyai Demang menyapu ke arah pinggir sungai yang lain. Di mana kamu, Adimas Upasara? Nyai Demang menghela napas panjang. Berat. Tidak. Tak ada bayangan Upasara.
Yang ada adalah bayangan putih, tinggi sekali, seolah sedang melayang menuju perahu. Enteng bagai sayap burung yang tidak mengepak. Bayangan putih itukah Upasara? Bukan. Bukan. Upasara-nya tidak setinggi itu, dan tidak pernah memakai pakaian putih.
“Kamu benar.” Kini suara Eyang Puspamurti yang terdengar. Tubuhnya mengayun tinggi dengan lontaran galah. Sekali hinggap, berdiri di samping bayangan putih tinggi.
Halayudha menepuk jidatnya. Dugaannya benar. Yang muncul adalah Upasara Wulung. Yang dengan gagah seolah terbang, turun dari angkasa. Bagai gerakan Dewa. Kalau sekilas seperti tinggi, itu karena Upasara digendong di pundak seseorang. Yang untuk sementara ini belum dikenali Halayudha. Terutama karena pikirannya mendadak menjadi tumpang-tindih.
Kalau Upasara muncul, pertarungan bisa menjadi lain. Apalagi ada Eyang Puspamurti-setidaknya yang mengaku itu dan pernah ditemui. Bahkan pernah menelanjanginya! Halayudha tak menunggu kesempatan. Kakinya menjejak tanah, tubuhnya melayang ke atas. Ke arah galah yang ditinggalkan Eyang Puspamurti, yang masih menancap di sungai. Dengan sekali ayun tubuhnya hinggap di perahu. Ini kesempatan terbaik untuk ikut tampil.
Bertarung atau tidak, masih bisa diperhitungkan kemudian. Tapi kalau sampai ia muncul belakangan dan peristiwanya sudah selesai, namanya tak akan diperhitungkan lagi.
“Kakang…”
Suara Gendhuk Tri yang lirih, membuat lelaki berpakaian putih menoleh ke arahnya. “Tole, kamukah itu….”
“Dewa Maut…” Suara yang lirih, suara yang samar. Akan tetapi Nyai Demang seperti bisa mendengar semuanya. Seperti dibisikkan di daun telinganya.
Yang baru saja datang memang Upasara Wulung! Tubuhnya tampak tinggi karena digendong Dewa Maut. Yang tampak lebih putih lagi karena seluruh rambutnya berupa uban. Bagaimana mungkin bisa muncul berdua?
Pertanyaan itu tertelan dalam hati. Nyai Demang menunduk, bersujud, mengucap terima kasih yang tulus kepada Dewa Yang Maha dewa. Apa yang terjadi di perahu tak penting lagi. Dibandingkan dengan kemunculan Upasara. Itu saja sudah jawaban dari doa yang selama ini dipanjatkan. Yang diam-diam memperbesar harapannya sejak Permaisuri Rajapatni menunjukkan tanda-tanda yang tidak biasanya. Permaisuri Rajapatni, ketika itu, Nyai Demang yakin sekali hal itu, menyembunyikan sesuatu.
Sesuatu yang agaknya membuat Permaisuri Rajapatni kemudian ragu. Apakah benar Upasara Wulung masih hidup? Sesuatu yang sempat tercium oleh Gendhuk Tri juga.
Sementara itu di atas pohon, ketiga lelaki muda menajamkan pandangannya. Antara kagum, heran, dan keinginan besar yang membludak untuk ikut terjun ke perahu. Yang terlihat hanyalah tubuh Eyang Puspamurti bergoyang-goyang. Di sebelahnya berdiri seorang lelaki tua yang seluruh rambutnya putih, wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa-apa, yang kemudian menuju ke arah Gendhuk Tri. Di sebelahnya lagi, seorang lelaki yang gagah, tegap, akan tetapi tampak kurus, berdiri dengan kaki sedikit membuka. Itukah Upasara Wulung?
Di sebelahnya lagi Senopati Halayudha berdiri gagah. Melirik ke arah Upasara. “Kamu datang pada saat yang tepat, Upasara.”
Yang terdengar sebagai jawaban justru teriakan Dewa Maut yang menyayat hati. “Tole, Tole… kenapa kamu? Apanya yang sakit?”
“Dewa Maut, bukankah itu Kakang Upasara?”
“Yang mana?”
“Yang datang bersama Dewa Maut.”
“Ya, ya, dia Dewa Maut. Itu gelarannya.”
“Masih linglung juga. Dewa maut….”
Gendhuk Tri menahan rasa sakit yang mengilukan. Semua tulang punggungnya seperti rontok, retak, sehingga untuk bernapas pun sulit.
“Apakah semua sudah datang?” Suara Jalugeni terdengar lantang. “Jangan salahkan kalau kami tak memberi kesempatan lagi.”
“Rasanya salah satu dari kami sudah lebih dari cukup. Rasanya dengan satu jurus saja, bisa selesai semuanya. Mada, Kwowogen, kalian bisa lihat dengan baik? Perhatikan ya!”
Mata Gendhuk Tri tak berkedip. Memandang lelaki yang berdiri gagah. Yang membalas menatap mata Gendhuk Tri.
“Adik Tri, tahan sebentar. Dewa Maut akan menolong. Paman Jaghana, Paman…” Suara halus itu terhenti.
“Saya Sina, prajurit tua. Benarkah ini Upasara Wulung, ksatria lelananging jagat?”
Kekuasaan dan Kodrat (2)
UPASARA menunduk hormat. “Oh, kiranya Senopati Sina yang gagah dan budiman. Maafkan saya tidak mengenal Paman yang agung. Benar, saya Upasara Wulung. Mengenai sebutan itu, saya belum pantas menyandangnya.”
Jalugeni maju setindak. “Apakah benar ini Upasara Wulung, lelananging jagat yang menggetarkan langit?”
“Sebutan yang berlebihan lebih susah ditanggalkan, meskipun sebenarnya hanya beban.”
“Saya Jalugeni, siap menghadapi siapa pun.”
“Kalau memang itu yang kita cari bersama,” suara Upasara tetap lembut. “Apakah tidak lebih baik adik saya dan Paman Jaghana serta…”
“Tak ada yang meninggalkan tempat ini.”
Upasara mengangguk.
“Kakang… Kakang baik-baik saja?”
“Berkat bantuan Dewa Maut.”
“Jangan sebut-sebut nama itu lagi. Kamu sudah janji.”
Mpu Sina menutup mata. Dunia persilatan memang dunia yang ganjil. Di saat segenting ini masih bisa saling bercanda. Memang agak susah diterangkan dengan satu-dua kalimat untuk menjawab pertanyaan Gendhuk Tri maupun ucapan Dewa Maut.
Upasara Wulung sendiri tak menduga bahwa perjalanan hidupnya akan membawanya ke tengah dunia ramai. Ke tengah pertarungan. Ketika pundak kirinya dilukai Halayudha dan beberapa pukulan keras menghantam tubuhnya, Upasara tak sadarkan diri. Kekuatannya benar-benar habis. Untuk mengambil napas pun dadanya terasa ngilu. Antara sadar dan tidak, tubuhnya diseret ke dalam bagian Keraton.
Berada dalam pengawalan ketat. Upasara tak mampu bergerak. Hanya pikirannya coba dijernihkan untuk menerima kenyataan sebenarnya. Kenyataan yang sebenarnya itu adalah munculnya Permaisuri Rajapatni.
“Kakangmas, saya tak tahu harus berbuat apa. Tapi sebelum saat terakhir, biarlah saya mengusahakan sesuatu. Mohon Kakangmas Upasara tidak menolak.”
Tubuh Upasara dingin. Jangan kata menolak, untuk mengatakan sesuatu saja tak mampu.
“Saya tahu Kakangmas tidak menyukai cara-cara seperti ini. Akan tetapi kalau belum pesti, Dewa akan menolong Kakangmas.”
Upasara merasa tubuhnya diangkat, dibawa ke suatu tempat. Yang diingat bahwa yang mengangkat Permaisuri Rajapatni dengan dua putrinya. Seperti dimasukkan ke sumur. Upasara baru mengingat kemudian, bahwa sehari-hari yang menemani adalah Dewa Maut.
“Kamu hidup lagi. Celaka. Celaka. Padahal kematian jauh lebih membahagiakan.”
Yang membuat Upasara sedikit risi adalah Dewa Maut menjejalkan buah-buahan ke dalam mulutnya. Kadang menjilati luka Upasara, mengurut hingga beberapa saat.
“Tak ada gunanya lagi. Simpanan tenaga di pundak saya telah musnah.”
“Memang. Itu bagus. Berarti kamu tak usah main silat lagi. Di sini terus menemani aku. Tapi aku tak butuh teman. Mudah-mudahan kamu lebih cepat tua dan mati lebih dulu.”
Saat itu Upasara hanya bisa membatin. Bahwa Dewa Maut adalah Dewa Maut yang sama seperti ketika di Perguruan Awan, ketika seluruh tenaga dalamnya sudah terkuras habis. Yang kini tetap linglung, berbicara tidak keruan juntrungannya, yang menanam sendiri buah-buahan, yang tiba-tiba lenyap beberapa hari. Dan muncul lagi tanpa memberitahukan apa-apa. Upasara menjalani hidup dalam gua di bawah Keraton. Beberapa kali mencoba mengerahkan tenaga dalamnya lagi. Beberapa kali mencoba berlatih kembali.
“Kamu keliru. Biasa saja. Jangan berangan menjadi jago silat lagi. Kitab Bumi yang kamu pelajari itu sebenarnya kitab yang baik. Yang mengajarkan kebaikan. Tapi Kitab Penolak Bumi lebih baik lagi. Tapi juga tidak baik.”
Upasara lebih suka berdiam diri.
“Tenaga dalammu pernah habis. Lalu kamu diajari untuk mengembalikan. Sekarang tangan kirimu lumpuh, itu bagus. Kamu bisa bangkit lagi. Setiap tenaga dalam mempunyai cadangan. Itu yang kita panggil kembali. Kalaupun pernah hilang, pasti ada tenaga cadangan yang berikutnya. Itu sebabnya pohon sawo yang kutanam akan selalu berbuah. Itu sudah kodrat. Kucing yang beranak juga akan beranak lagi. Raja yang pergi, akan ada raja lainnya. Raja yang pergi tetap bisa menjadi pergi.”
“Paman Dewa Maut…”
“Itu dulu. Sekarang lain namanya. Namaku yang sekarang Upasara Wulung. Dan kamu yang bernama Dewa Maut. Rasanya begitu lebih baik. Bukan lebih baik. Lebih tepat. Kalau berbuah mangga, kita akan menyebutnya pohon mangga, biarpun aku membuat pohon yang kecil sekali, yang bentuknya seperti pohon cemara. Kamu sudah melihat sendiri, kan? Itulah. Kalau kamu Upasara, tidak tepat. Ksatria lelananging jagat tak mungkin bersembunyi di sini. Tak mungkin ditolong dengan pengorbanan seorang ksatria gagah, atau pengorbanan seorang wanita.”
“Paman…”
“Aku yang memanggil kamu Paman. Karena aku Upasara.”
“Baik, Pa… Baik, Upasara. Bagaimana penjelasan pengorbanan tadi?”
“Lho, kamu yang tahu. Aku tidak sadar waktu itu.”
“Bagaimana kejadian yang sebenarnya?”
“Kodrat. Menurut kitab, kodrat itu ada. Itulah alam. Itulah manusia. Lalu ada kekuasaan. Ada raja. Menjadi raja itu kodrat. Tapi kodrat menguasai, kodrat kekuasaan hanya mempunyai arti kalau untuk manusia. Untuk kodrat. Menurut kitab, raja itu ditunjuk Dewa. Dewa memilih manusia untuk menjadi penerusnya. Siapa yang mengajarkan itu? Agama. Percaya kepada Dewa Yang Maha dewa. Lalu Dewa ini dewanya siapa? Dewanya Dewa, juga dewanya manusia. Jadi kekuasaan itu milik manusia. Bukan milik raja. Menurut kitab, kamu menjadi Dewa Maut. Aku Upasara Wulung. Yang dibawa Permaisuri dan putrinya sambil berurai air mata. Karena ada seorang ksatria gagah perkasa yang mau menjadi tumbal bagimu. Yang tubuhnya akan dipotong-potong, dipisahkan kaki dari tubuh, tangan dari tubuh. Sehingga semua percaya aku ini sudah mati. Sudah dikubur. Padahal aku yang sesungguhnya di sini. Walau memang sudah mati. Sudah dikubur oleh diriku sendiri. Menurut kitab… "
Dengan bahasa yang mencong ke sana kemari, Upasara seperti dituntun kembali menemukan dirinya. Yang membuat Upasara terkejut adalah bahwa Dewa Maut mempelajari Kitab Bumi, Kitab Pamungkas, Kidungan Para Raja, dan Kidungan Paminggir sekaligus. Dengan leluasa masuk dan keluar Keraton, Dewa Maut memang bisa memperoleh semua itu.
“Kamu pasti mengira aku terpengaruh kitab-kitab yang kubaca serampangan ini. Itu keliru. Semua kitab ini sama. Yang menciptakan juga sama. Apa bedanya Raganata atau Eyang Sepuh atau Sri Baginda Raja? Kamu keliru kalau mau memisah-misahkan. Bumi segalanya, itu kata kitab. Manusia segalanya, itu juga kata kitab. Raja itu segalanya, juga kata kitab. Perhitungan itu segalanya, juga kata kitab. Kodrat juga ada. Kekuasaan juga ada. Kekuasaan ada karena kodrat. Kodrat itu ada karena ada manusia. Bagaimana, Paman, sudah makin mengerti?”
Dalam dunia yang jungkir-balik itulah Upasara Wulung justru menemukan kembali semangatnya. Menemukan kebenaran, kekuatan yang selama ini timbul-tenggelam dalam dirinya.
“Aku Upasara. Ksatria, gagah, belum pernah menyentuh wanita. Aku mempunyai kekasih permaisuri. Tetapi aku juga lelananging jagat, sehingga tidak pantas kalau aku mengundurkan diri karena asmara yang ruwet. Itu hanya terjadi padamu, Paman. Ketika kamu mengundurkan diri dari dunia persilatan karena kekasihmu lari dengan lelaki lain, lalu kamu terus-menerus berada di sungai, tak mau menginjak daratan. Kamu selalu membunuh orang dalam pertarungan. Aha, kamu sekarang geli sendiri melihat dirimu. Karena kamu memilih bergaul dengan sesamamu. Yang kemudian mati, dan kamu jadi gila. Maaf, Paman, aku bicara terus terang padamu.”
Pergeseran Kekuasaan Dewa
DENGAN cara terbalik, Dewa Maut terus menganggap dirinya sebagai Upasara Wulung, dan menganggap Upasara Wulung sebagai dirinya.
“Paman sudah kehilangan tenaga dalam. Selesai sudah, karena rontok dari dalam. Karena terpatahkan tulang pundak, karena tenaga dalam Paman sudah terkuras oleh tenaga mengisap Banjir Bandang Segara Asat. Berbeda dengan diriku. Aku mempelajari inti Kitab Bumi. Tenaga dalam yang terkumpul selalu menyisakan tenaga simpanan. Semua yang kumiliki ada tenaga cadangannya. Yang tak bisa dikeluarkan kalau tidak diubah lebih dulu. Dengan mengetahui cara mengubahnya, tenaga dalam itu bisa dipanggil kembali. Aku pernah mengalami. Satu kali. Dan aku bisa mengalami lagi. Lagi. Lagi. Selama aku bisa memanggil kembali, tenaga dalamku tak bisa musnah. Kecuali kalau memang dimusnahkan. Kecuali kalau memang tak bisa memanggil dan mengubahnya. Kecuali kalau tak mau. Kecuali kalau gabungan dari semua. Aku juga mengalami keraguan. Apakah tidak lebih baik begini saja. Lebih tenteram, lebih ayem, bersembunyi dalam gua seperti Paman. Tapi aku tidak. Aku ksatria. Aku memilih memulihkan tenaga dalam dan kembali ke jagat.”
“Bagaimana kamu bisa memulihkan tenaga cadangan untuk kedua kalinya?” tanya Upasara yang menjadikan dirinya seolah Dewa Maut.
“Kamu tak tahu. Tetapi aku tahu.”
“Bagaimana caranya?”
“Dicari.”
“Sekarang tenaga cadangan itu tak ada lagi. Tak ada yang membantumu, seperti dulu Eyang Dodot Bintulu.”
“Paman salah menduga. Ilmu itu adalah cara. Adalah laku. Kalau ilmu itu benar adanya, siapa saja bisa menggunakan. Tidak selalu yang menciptakan. Bagaimana caraku? Mencari. Hanya aku yang tahu.”
Upasara mengangguk mantap.
“Itulah sebabnya ada kitab. Dituliskan untuk dipelajari siapa saja. Itulah kekuasaan. Tadinya hanya dimiliki para Dewa, yang dipinjamkan kepada manusia. Salah satu yang dipilih, jadilah ia raja, sebagai penerus kekuasaan Dewa. Raja tak bisa salah. Kalau salah ia bertanggung jawab kepada Dewa. Bukan kepada permaisurinya, prajuritnya, senopatinya, atau rakyatnya. Raja tak bisa diganggu gugat. Kekuasaannya adalah titipan Dewa. Itulah yang ditulis kitab. Tapi ada kitab lain, yang mengidungkan tentang manusia. Yang mengatakan bahwa kekuasaan dari Dewa adalah kodrat, yang memang diwariskan kepada mahamanusia. Dan mahamanusia ini bisa siapa saja. Bisa dititipi menjadi raja, menjadi senopati, menjadi segala yang namanya manusia. Dengan kata lain, Dewa telah menggeser kekuasaannya. Sehingga raja tidak saja bertanggung jawab kepada Dewa yang memberinya kekuasaan, tetapi juga kepada sesama manusia, yang sama-sama mahamanusia juga. Pergeseran itu sudah ditulis dalam kitab.”
“Apakah ajaran itu bukan yang tidak diperkenankan Sri Baginda Raja untuk dipelajari?”
“Kalau ya kenapa? Kalau tidak kenapa? Kamu tua, rambutmu putih, gelarmu Dewa Maut. Tapi tetap saja tak bisa mengerti bahwa mahamanusia bisa saling melarang, saling memperbolehkan. Saling mempercayai kitab atau tidak. Sri Baginda Raja sendiri juga menuliskan, dalam kitab. Berbeda? Ya. Tapi sama. Sebab sama-sama kitab.”
“Upasara Wulung, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
“Mencari...”
“Mencari apa?”
“Mencari diriku.”
“Caranya?”
“Dengan laku. Semua ilmu, semua jalan dicari dengan laku. Kalau aku sudah menemukan, aku bisa tahu apakah diriku menjadi ksatria, dan berarti keluar dari tempat ini. Apakah aku mau menjadi pohon, dan berdiri di sini sampai berbunga dan berbuah. Apakah diriku Dewa.”
“Upasara, kamu lihat aku ini seperti apa? Di mana laku-ku?”
Dewa Maut berkejap-kejap matanya. Agak bingung sesaat dengan pertanyaan Upasara yang agaknya mengena.
“Kenapa aku tidak mau meninggalkan tempat ini?”
JILID 35 | BUKU PERTAMA | JILID 37 |
---|