Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 38
Akan tetapi Barisan Api mengejar ke atas. Bisa lebih gawat. Justru karena berada di tiang kapal tidak memungkinkan bergerak leluasa. Apalagi kini diserang dari bawah yang merayap dengan cekatan. Benar-benar situasi yang sulit. Rumit. Tak ada bala bantuan yang bisa menyelamatkan.
Saat itu dari pohon Mada sudah meloncat turun dan berlari kencang ke arah perahu. Tidak memedulikan kiri dan kanan atau larangan sebelumnya. Meskipun demikian, jaraknya kelewat jauh.
Gerakan Satu Jurus
EYANG PUSPAMURTI hanya bisa terus naik hingga ke ujung. Dari tempat itulah matanya melihat tubuh Upasara melesat ke atas dari sungai. Seakan muncul begitu saja, menyobek air bengawan. Seperti ketika datang bersama Dewa Maut, Upasara menginjakkan kakinya di perahu dengan gerakan yang sangat indah. Seluruh tubuhnya yang basah hingga ke ujung rambut malah menambah kesan kegagahannya. Apalagi di mulutnya tersungging senyuman.
Upasara Wulung memang kena pukulan di pinggangnya. Tubuhnya memang amblas ke dalam air. Akan tetapi saat itu juga mumbul kembali ke atas dengan menjejakkan kakinya ke dasar sungai. Ketika salah satu Jalu yang terkena sodokan sikunya ikut tercebur, tak terlalu sulit bagi Upasara untuk menggunakan sebagai tenaga loncatan. Kini berdiri gagah menghadapi sepuluh Jalu.
“Haik!” Serempak mereka maju menerjang.
Upasara tidak mundur. Tidak maju. Hanya memiringkan tubuhnya ke arah kanan. Tangan kirinya yang tertekuk, menutupi dagunya, sementara tangan kanannya seakan bersiap melontarkan pukulan tiba-tiba. Kedua kakinya yang diserampang sama sekali tak dipedulikan.
Eyang Puspamurti melihat jelas Barisan Api yang memepet habis. Dua Jalu yang berada di depan menyerang bersamaan. Terjadi pengulangan adegan seperti semula. Siku tangan kiri Upasara yang dipasang menyodok keras, dan satu Jalu terlempar jatuh seketika. Jalu yang kedua dibiarkan melepaskan pukulan. Tangan kanan Upasara ternyata tetap berjaga-jaga.
“Duk!”
Terdengar suara keras. Pundak Upasara seperti terkena bantingan gunung. Tapi Upasara justru melangkah maju.
“Hindari tangan kiri. Haik!”
Terdengar aba-aba yang mendadak mengubah Barisan Api. Kini menyerang dari sisi kanan. Upasara tak mengubah gerakannya menjadi maju atau mundur. Hanya kini tubuhnya miring ke arah sebelah kiri. Siku kanannya yang dipakai untuk menerobos pukulan lawan yang begitu dekat.
“Hek!”
Kembali satu Jalu terjengkang sambil memegangi dadanya. Tubuhnya menggeliat dalam kelojotan yang meregang. Dalam dua putaran bergulung tubuh itu berhenti dengan sendirinya. Dalam dua gerakan, dua Jalu terbungkam. Tapi seperti semula, pukulan lain berhasil masuk. Kembali pinggang Upasara menjadi sasaran empuk. Tubuhnya limbung dua langkah. Akan tetapi maju kembali. Wajahnya tetap menyunggingkan senyuman.
“Haik!”
Kini delapan Jalu seperti menyerbu bersama. Upasara tidak bergerak, tidak mundur, tidak maju. Juga tidak memiringkan tubuh. Kali ini kedua sikunya terarah ke depan tegak lurus. Dua jeritan terdengar. Dua Jalu kembali terkapar. Meskipun tubuh Upasara sendiri terkena belitan lawan dan terbanting keras. Sedemikian kerasnya sehingga perahu seakan diraup oleh gelombang pasang. Akan tetapi begitu tubuhnya terbanting, tubuh itu kembali berdiri dengan gagah. Siap menghadapi enam Jalu yang menggerung keras.
“Ladlahom, Dewa Yang Maha dewa, wuah-wuah-wuaaah… Mada, kamu perhatikan baik-baik, kan? Inilah yang disebut Jurus Satu Jurus, Gerakan Satu Jurus yang seumur hidup kupelajari sampai titisan kesepuluh. Wuah tahtitah. Wer uweruwer. Bagaimana mungkin aku yang mempelajari sampai mati dan hidup kembali tak pernah mengetahui?”
Bersamaan dengan itu tubuh Eyang Puspamurti melayang ke bawah. Langsung berada di depan Upasara. Berlutut.
“Mahamanusia…”
Adalah Puspamurti yang sejak masih senopati secara tuntas mempelajari Kitab Paminggir, kitab yang dikenal dengan sebutan mahamanusia. Kitab yang dalam pemahamannya mengajarkan ilmu satu jurus. Jurus yang selalu sama. Adalah Puspamurti yang kemudian menjadi tua dan disebut dengan panggilan Eyang, merasa satu-satunya yang mewarisi dan memahami kidungan dari Kitab Paminggir. Bukan tanpa alasan.
Karena sejak semula dirinya belum pernah menemukan tokoh mana pun yang memainkan satu jurus seperti dirinya. Bahkan dari segi ajaran saja, Eyang Puspamurti ini tidak yakin ada yang pernah mendalami kitab yang menurut pendapatnya merupakan kitabnya segala kitab. Perjumpaan dengan Eyang Kebo Berune juga menyadarkan bahwa ilmu yang dimainkan tokoh dari Berune itu tetap bukan ajaran murni dari kitab yang selama ini menjadi napasnya. Siapa sangka kalau sekarang justru diperlihatkan oleh Upasara dan berhasil?
Halayudha yang berada di pinggir dan menjadi penonton, melebarkan matanya, mengecilkan sesaat. Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk menangkap gambaran yang berlangsung di depan matanya. Memang benar sejak mencuat dari bengawan, Upasara hanya memainkan satu jurus. Bahkan jurus yang paling sederhana. Meskipun jitu sekali. Menyodok lawan dengan menggunakan siku, karena Barisan Api yang mengepungnya tidak memberi ruang gerak sama sekali. Dibandingkan dengan pukulan, siku jelas tidak terlalu meminta ruang gerak.
Untuk tingkat Upasara, pengerahan tenaga ke siku semudah memindahkan pandangan bola matanya. Memang benar gerakan Upasara hanya miring ke kanan, lalu ke kiri, lalu berdiri lurus. Ketiga gerakan itu tetap mempergunakan siku untuk menyodok. Dan menemui sasaran. Akan tetapi bukankah Barisan Api juga berhasil mengenainya? Sangat tidak mungkin tidak mempunyai akibat apa-apa. Karena dari gebrakan pertama justru Upasara menjadi limbung langkahnya. Tubuhnya terhuyung. Dalam gebrakan kedua tubuhnya bisa diulat lawan dan dibanting.
Ilmu yang mana pun juga, tak mungkin memberikan kekuatan kebal seperti pada tubuh Upasara yang dilihat sekarang ini. Kalau jegalan kaki lawan tak mengguncangkan, Halayudha sepenuhnya bisa mengerti. Dasar ilmu silat Upasara adalah kuat pada bagian kuda-kuda. Tak ubahnya dengan kaki banteng. Baik untuk menyerang tiba-tiba ataupun bertahan. Akan tetapi kalau tubuh yang terkena pukulan?
Dua kali Halayudha menggeleng karena tak bisa menangkap apa yang tengah terjadi. Sebenarnya itulah yang terlihat oleh Eyang Puspamurti. Yang serta-merta melayang ke bawah dan berlutut di depan Upasara Wulung. Pemandangan menarik, di mana seorang kakek secara tiba-tiba berlutut dan menghaturkan sembah kepada seorang lelaki yang lebih pantas menjadi cucunya. Padahal sementara itu Barisan Api masih bersiaga. Masih separuh dari jumlah yang ada. Masih bisa membakar!
Bagi Eyang Puspamurti, kejadian yang baru saja berlangsung sangat jelas, sangat gamblang. Upasara memainkan gerakan satu jurus, seperti yang diajarkan dalam kidungan. Seperti dirinya melakukan selama ini. Bedanya, Upasara memakai satu jurus, dan setiap kali berhasil menjatuhkan lawan. Pertanyaan yang menggeluti hati Halayudha, bagi Eyang Puspamurti adalah jawaban.
Justru dengan membiarkan bagian tubuhnya diserang, jurusnya bisa masuk. Bisa menjatuhkan! Kalaupun diulang lagi hasilnya sama. Kalau dua menyerang, dua pula yang jatuh. Kalau sekarang menyerang serempak di depan, lutut Upasara bisa pula menjatuhkan lawan. Kuncinya justru pada kesempatan lawan memukul. Dengan terkena pukulan yang berat, Upasara tergoyang. Akan tetapi justru saat itu tenaga untuk memainkan jurus satu-satunya menjadi berisi kembali. Kembali ada. Kembali ke mula.
Kalau tidak membiarkan dirinya terkena, yang terjadi adalah pengeluaran tenaga terus-menerus, yang artinya seperti menguras diri. Kalau Eyang Puspamurti sampai berlutut, karena selama ini tidak mendapatkan pencerahan bagaimana memainkan gerakan satu jurus dalam situasi seperti sekarang ini. Eyang Puspamurti memainkan seperti yang selama ini dilakukan. Memainkan satu jurus, memulai lagi dengan jurus yang sama. Yang membedakan ialah pengumpulan tenaga dalam.
Tumbal Empan Papan
PADA Upasara Wulung, pukulan lawan itu justru diharapkan. Secara sengaja Upasara “mematikan” diri, menyerahkan bagian tubuhnya untuk terkena pukulan lawan. Dengan tenaga dalam yang dimiliki, pukulan atau bantingan ataupun gelutan Barisan Api tidak benar-benar membunuhnya. Melainkan menghancurkan kekuatan menyerang saat itu. Dengan demikian pada penyerangan berikutnya, kekuatannya pulih seperti sediakala.
Bekas pukulan lawan melukai, akan tetapi tidak mempengaruhi karena tidak menguras tenaga dalamnya. Yang sebenarnya luar biasa ialah bahwa Upasara Wulung memainkan secara tepat. Bahwa penyerahan tubuh itu berawal dari ajaran tumbal, atau pengorbanan diri seperti yang diajarkan dalam Tumbal Bantala Parwa, agaknya tak sulit dipahami. Akan tetapi bahwa secara sangat cepat dan tepat Upasara memakai gerakan itu untuk melawan Barisan Api, sungguh mengagumkan bagi Eyang Puspamurti.
Tadi jelas bahwa Barisan Api menggunakan cara penggandaan tenaga dengan bersinggungan diri. Setiap kali bersinggungan tiga kali, kekuatan mereka berubah. Karena gerakan mereka kaku, lurus, dan searah, kemungkinannya kecil mereka akan terus merangsek maju. Hanya saat daya tarik serangan lawan, baik yang menggesek udara atau pukulan keras, mampu membelokkan gerakan mereka, ketika itulah mereka bersinggungan.
Akan tetapi jika diikuti terus gerakan mereka, kemungkinan bersinggungan menjadi kecil. Caranya ialah dengan mengikuti gerakan mereka, bukan melawannya. Kemungkinan pertama itulah yang dijajal oleh Upasara, ketika tubuhnya melayang di udara dan pinggangnya kena jotosan. Kepalan yang begitu keras membuat tubuhnya amblas ke bengawan. Akan tetapi paling tidak satu Jalu telah terkena. Sementara satu Jalu menjadi korban, dirinya masih bisa bangkit lagi. Dan itulah yang dilakukan.
Gendhuk Tri merasa bisa menyeimbangkan tenaga dalamnya dengan Mpu Sina sewaktu keduanya melayang jatuh. Pilihan yang tepat untuk melakukan gerakan itu, tak jauh berbeda dengan pilihan Upasara untuk memainkan hanya satu jurus. Namun Gendhuk Tri tetap mengagumi Upasara, yang memang memiliki tenaga dalam berlebih, dan kerelaan untuk berkorban yang sangat besar, dan empan papan, tepat dengan yang dihadapi. Kesediaan berkorban saja tak cukup. Harus disertai wawasan pilihan yang tepat. Seperti yang dilakukan Upasara.
“Sumangga, Eyang….” Upasara menggapai dengan tangan kanan. Mengajak Eyang Puspamurti berdiri. Ia sendiri kembali tegak menghadapi kepungan.
“Memadamkan api seperti sekarang ini tak perlu banyak waktu. Mada, kamu di mana? Jangan ke mana-mana. Ini bagian yang menarik. Aku yang ingin mengajari kalian, malah diajari habis-habisan. Tapi tak apalah. Kalau aku sampai berteriak ladlahom, karena apa yang diperlihatkan Upasara memang ladlahom. Tunggu, kenapa jadi diam semua?”
Keenam Jalu berdiri tegak. Kedua tangan tersilang di dada. Upasara mendesis.
“Silakan mulai….”
Tak ada reaksi. Upasara tersenyum.
“Pangeran Hiang, apakah Pangeran menghendaki saya yang mulai?”
Tak ada suara jawaban. Tak ada angin. Hanya Eyang Puspamurti yang mendengar sesuatu yang tidak biasa. Semacam getaran udara yang menjadi lain gemanya di telinga. Eyang Puspamurti hanya bisa menebak-nebak, bahwa Upasara tengah mendengarkan percakapan antara Pangeran Hiang dan enam anggota Barisan Api. Hal yang sangat mungkin sekali.
Sewaktu Upasara bisa menghancurkan gebrakan tadi, ia mulai dengan bertahan. Sekarang, dijajal bagaimana kemungkinannya jika ia yang mulai! Suatu tantangan ksatria. Kini bukan lagi sekadar mengadu mati-hidup, akan tetapi juga memperlihatkan tingkat kelihaian. Mengadu mutu ilmu silat.
Upasara mulai dengan persiapan. Kedua kakinya sedikit mengangkang seperti posisi orang naik kuda. Kedua tangannya membuka, siku rapat dengan pinggang, tangan berada di depan. Perlahan pundaknya berputar dari belakang ke depan, seirama dengan tarikan udara dari hidung naik ke dahi, tersimpan di kepala bagian belakang dan turun lewat bagian belakang, untuk kemudian terkumpul di pusar.
Seperti pemula. Akan tetapi siapa pun bisa merasakan getaran tenaganya yang menggelombang. Dan sesaat tangannya membuka ke depan, sambaran tenaga dalam bagai dimuntahkan dari endapan. Bersamaan dengan itu, enam Jalu bergerak. Membuat putaran. Semua berputar. Upasara menyedot udara di hidungnya. Dengan satu tarikan tangan kanan, bagian yang berada di depan dibetot dari lingkaran. Pada saat yang sama, kakinya bergerak menyapu.
Begitu cepat sehingga satu Jalu lagi terangkat tubuhnya dan tergeser. Upasara menempatkan dirinya dalam lingkaran. Dan memutari lantai perahu dengan cepat. Cepat. Cepat. Makin cepat. Barisan Api seolah diputar pada porosnya. Mengikuti irama perputaran bumi yang semakin lama semakin cepat. Eyang Puspamurti mundur dua-tiga tindak. Kini disaksikannya lagi, bagaimana dengan cepat Upasara membaca kekuatan lawan.
Ketika ia harus bergerak lebih dulu, Upasara memilih Jalu yang di depan. Sesuatu yang tidak gampang untuk menentukan, mengingat mereka berada dalam lingkaran. Pada saat yang sama, dirinya menggantikan posisi itu, sehingga berada dalam lingkaran yang sama. Dari sinilah Upasara memaksakan kecepatan. Hal yang juga dirasakan oleh Halayudha. Baginya, ksatria yang seperti tidak tambah usianya itu menyimpan berbagai tanda tanya yang tak bisa dijawab.
Dalam segi ilmu silat, Halayudha merasa dirinya tidak kalah. Juga dalam mempelajari kitab-kitab atau ajaran ilmu silat berbagai aliran. Bahkan Halayudha merasa dirinya sedikit lebih unggul. Dalam hal kemampuan menyelamatkan diri, Halayudha merasa tujuh belas kali lebih hebat. Akan tetapi selalu terbukti, bahwa Upasara Wulung lebih unggul. Apa yang diperlihatkan Upasara Wulung bisa dimengerti, dan dirinya bisa melakukan. Akan tetapi selalu Upasara yang melakukan pertama.
Seperti sekarang ini. Dengan masuk ke lingkaran, dan ikut berputar, Upasara bukan hanya bisa mendikte apa keinginannya secara mutlak, akan tetapi sekaligus juga bisa memakai tenaga lawan untuk bertubrukan. Inilah yang membedakan dirinya dengan Upasara. Barisan Api kini sepenuhnya sudah terjebak. Salah satu dari mereka tak bisa melambatkan jalannya. Tak bisa mempercepat atau keluar dari barisan. Justru karena sejak semula gerakan mereka boleh dikatakan sama persis. Kalau ada yang berbeda, mereka dengan sendirinya akan bertubrukan. Saling tabrak. Ini bisa celaka. Dan inilah situasi yang ada.
Ketika Jaghana, Gendhuk Tri, Halayudha, Mpu Sina menyerbu ke perahu, mereka mempunyai tekad yang sama. Maju menyerbu untuk “membalikkan perahu”. Akan tetapi tetap memakai gerakan dan jurus yang berbeda. Ada untungnya karena tak bisa dipatahkan seketika, akan tetapi ternyata juga lebih mudah dipatahkan.
Pusaran semakin cepat. Makin cepat lagi. Pada putaran kesekian, Upasara mendadak berhenti dan merentangkan kedua tangannya lurus. Ke arah kiri dan kanan. Menyamping. Tubuhnya sedikit menurun karena kakinya memantapkan kuda-kuda. Apa yang terjadi bisa diduga. Keenam Barisan Api bertabrakan. Dari dua sisi. Tubuh mereka saling menabrak, ke depan, kembali ke belakang, ke depan lagi. Baik di antara mereka, atau dua Jalu yang langsung bertabrakan dengan telapak tangan Upasara.
Semua tadi hanya terjadi dalam satu jurus. Bahkan satu gerakan. Memancing dalam putaran dan mengempaskan. Dibarengi suara peletakan keras, keenam Jalu bergoyang-goyang sebelum akhirnya roboh. Secara bersamaan.
Percakapan Debu dengan Kapas
TEPUK tangan dan sorak-sorai membahana. Sepanjang bengawan berubah seketika. Wajah-wajah yang suram, tubuh yang tanpa semangat, berbalik seketika. Samar atau jelas, semua yang melihat ke tengah perahu menyaksikan keperkasaan Upasara Wulung. Yang mempermainkan Barisan Api, yang tadinya begitu ditakuti. Yang semua dibikin rontok dalam seketika. Hanya Upasara yang kini berdiri sendirian. Tanpa lawan.
Dari pinggir bengawan, ketika sorak-sorai makin meninggi, terdengar pekikan nyaring. Gendhuk Tri meloncat jungkir-balik, tubuhnya memutar di udara, dan ujung kakinya menyentuh salah satu rakit, langsung meloncat kembali.
“Awas, Kakang…”
Gerakan Gendhuk Tri sangat indah. Tubuhnya yang berisi memperlihatkan garis kewanitaannya. Apalagi selendangnya yang warna-warni sebagian menyerap, dan sebagian lagi memantulkan cahaya. Dengan tubuh berjumpalitan, memberikan pemandangan yang sangat menarik. Terlebih lagi karena rambutnya terurai dan mengembang di udara. Agaknya Gendhuk Tri melompat ke tengah perahu tanpa rencana sebelumnya.
Mata batinnya yang mengatakan Upasara Wulung berada dalam bahaya. Nyatanya begitu. Ketika Gendhuk Tri melompat ke tengah udara tadi, Upasara merasa perahu bergoyang keras. Dan bersamaan dengan itu terdengar bunyi krak yang panjang. Tiang utama yang tegak lurus secara kokoh dengan langit, mendadak roboh. Tepat ke arah di mana Upasara berdiri.
Seperti memperlihatkan perhitungan yang sangat matang, dan batangan kayu lebih dari sepemelukan itu bisa diatur gerakannya. Jangan kata tubuh manusia yang terdiri atas darah dan daging, barang keras pun akan hancur berantakan tertimpa benda seberat itu. Hanya karena bentuknya sangat besar, desiran anginnya menyadarkan orang akan adanya sesuatu. Sehingga bisa bersiap-siap menghindar.
Bagi Upasara, hanya dengan mengingsut sedikit terhindar dari gempuran. Akan tetapi ternyata bukan itu bahaya yang sesungguhnya. Tiang itu rebah, jatuh, dan begitu sampai di bawah bisa berputar pada porosnya. Sedemikian besar tenaga untuk memutar, sehingga perahu bergoyang keras. Kalaupun bisa menghindar, Upasara bakal tersapu!
Tak mungkin menghindar ke arah samping mana pun. Karena hampir semua tempat diputari, bakal terkena sapuan raksasa. Satu-satunya kemungkinan hanyalah merebahkan diri, rata dengan lantai. Seperti Barisan Api yang menggeletak. Itu pun terlambat!
Karena papan perahu yang biasanya bisa melesak ke dalam sekarang justru sebaliknya. Dalam gerakan yang bersamaan jatuhnya tiang dan kemudian berputar, lantai perahu justru terangkat naik. Inilah rumit. Segala apa dalam perahu Siung Naga sudah diperhitungkan dengan sangat teliti. Sehingga setiap gerakan dan kemungkinan bisa diperhitungkan dengan teliti.
Gendhuk Tri yang melayang di udara hanya bisa menutup matanya. Peringatannya seakan sia-sia. Karena kini tiang utama itu sudah bergerak cepat menyapu. Mungkinkah Upasara bisa meloncat tinggi? Mengambil pijakan dari lantai yang meninggi? Yang harus dilakukan pada saat yang tepat?
Agaknya hanya gerakan meloncat tinggi, melewati sapuan tiang utama, yang bisa menyelamatkan. Tapi itu juga berarti bahaya lain sudah menunggu. Karena bersamaan dengan itu pula tebaran tombak pendek melepas dari berbagai sudut perahu. Kalau sebelumnya saja sudah demikian banyak, sekali ini lebih lagi. Tak ada tempat yang tersisa.
Seseorang yang berada di perahu akan merasakan bahwa tiba-tiba cahaya matahari tertutup. Bersitan tombak pendek atau panah yang tidak mengenai sasaran melintas ke sekitar. Bahkan sampai di pinggir sungai. Suatu pertanda memang dilepaskan dengan tenaga penuh. Tenaga manusia atau tenaga alat yang sudah dipersiapkan untuk itu.
Gendhuk Tri tak mampu meneruskan loncatan, karena sambaran senjata bertebaran ke arahnya. Terpaksa ia menggulung diri dan menutupi dengan selendangnya, dengan memberatkan tubuhnya yang melorot ke bawah. Gendhuk Tri adalah Gendhuk Tri. Begitu kakinya menyentuh batang kayu di bawah, langsung membal kembali ke atas. Berjumpalitan ke perahu. Ke perahu!
Sumber bencana yang mengerikan. Yang membuat para prajurit yang berjaga di pinggir mundur karena hujan panah. Sebagian malah terluka. Terkena tembus amblas dari dada hingga punggung. Bunyi gemeretak keras mengisi suasana karena tiang utama masih terus berputar. Kini justru Gendhuk Tri yang masuk ke bahaya besar. Tempat di mana pun kakinya hinggap, akan kena sapuan tiang. Kalaupun bisa menarik kembali tubuhnya, hal itu sudah terlambat.
Bibir Mahapatih tergetar hebat sekali. Giginya beradu. Dalam situasi yang kritis panggilan jiwanya sebagai prajurit muncul. Kedua tangannya terangkat ke udara, memberi aba-aba untuk segera menyerbu ke perahu. Apa pun yang terjadi nantinya, sekarang panggilan itu bergema. Perhitungan keprajuritan mengatakan bahwa inilah pertempuran yang terakhir. Untuk sia-sia atau sebisanya menahan perahu.
Kalau saja tangan itu bergerak turun, para prajurit akan menyerbu ke dalam. Bagai iringan semut yang tak memedulikan nyawanya. Semangat dan ketegasan Mahapatih Nambi bergema di dada semua prajurit. Diam-diam, sambil berbaring, Mpu Sina tersenyum dalam wajah memucat. Ada kebanggaan yang bersemi. Yang bisa dibawa sebagai kenangan terakhir yang membahagiakan.
Kalau saja tangan Mahapatih bergerak turun! Tapi tangan itu tertahan. Karena melihat satu titik hitam di tiang yang memutar. Titik yang menyerupai sosok manusia. Dalam kejapan berikutnya, Mahapatih yakin bahwa itu adalah Upasara Wulung! Yang menggantung, memeluk tiang utama. Keyakinannya menjadi jelas karena kemudian tubuh Gendhuk Tri juga berada di tempat yang sama. Menakjubkan.
Dada Mahapatih bergerak naik-turun. Tangannya yang terbuka dan berada di udara gemetar. Upasara bisa lolos. Bisa lolos dengan sempurna. Mahapatih tak mampu menggambarkan kekuatan apa yang dimiliki Upasara sehingga bisa luput dari maut yang begitu mengerikan.
Sebenarnya Upasara tidak melakukan sesuatu yang luar biasa. Ketika mengetahui bahaya besar tak terhindar, nalurinya mengatakan bahwa justru pada pusat bahaya itulah adanya keselamatan. Itu berarti tiang. Dan Upasara tidak merunduk atau meloncat.
Merunduk belum tentu selamat, meloncat kena sambaran anak panah. Upasara berdiam diri, mengosongkan tenaga perlawanan yang ada dalam dirinya. Kekuatan tenaga bumi lepas sama sekali, menjadi bagian debu. Yang ringan, yang melaju bersama tiang. Upasara seolah memeluk tiang. Dan ikut berputar.
Gerakannya sangat lembut sehingga tiang itu tidak menubruk ke arahnya. Tenaga benturan itu menjadi kosong. Karena kemudian Upasara mencoba menyatukan dengan putaran. Dan sewaktu melihat Gendhuk Tri nekat menerjang, Upasara tinggal mengulurkan tangan. Meraup tangan Gendhuk Tri. Yang tubuhnya ringan bagai kapas. Menempel di tiang. Memeluk tiang. Seperti pasangan yang berpelukan dan terhalang oleh tiang.
Sorot mata Gendhuk Tri bertatapan dengan sorot mata Upasara. Keduanya saling pandang, berangkulan, kemudian secara serentak pula saling melepaskan diri. Itulah ketika tiang mendadak tegak lurus dengan langit. Yang menimbulkan suara sangat keras. Guncangan sangat kuat, sehingga kali ini perahu terseret arus! Perahu bergerak.
Kedua tangan Mahapatih turun mendadak. Para prajurit segera mengejar ke arah perahu. Bagian tepi kiri-kanan bagai digerakkan dengan kekuatan raksasa. Semuanya bergerak. Serentak. Prajurit yang menahan segala jenis rakit, dengan batang kayu untuk menghalangi perahu menuju ke laut, bersiaga penuh. Kini medan pertarungan bergeser beberapa ratus tombak. Sementara itu dari tiang bagian atas, ratusan kumbang mengeluarkan suara nyaring. Lepas dan mencari mangsa.
Dupa Kencana
KEMUNGKINAN pertama, barisan lebah itu bagian dari serangan yang direncanakan. Kemungkinan kedua, penahan lebah itu hancur karena tiangnya bergerak sangat keras dan menimbulkan benturan besar. Apa pun alasannya, itu berarti suasana bertambah keruh dan bahaya silih berganti. Siapa pun bisa turut merasakan. Kecuali di bagian hulu, tempat tiba-tiba semua prajurit dan masyarakat sekitar menunduk hormat, menyembah ke tanah. Karena saat itu tercium bau dupa kencana. Dupa emas.
Yang menandai kedatangan Raja Jayanegara. Memang itu yang terjadi. Ratusan tombak sebelum rombongan Raja datang, para prajurit kawal sudah mendahului. Baik barisan yang berjalan kaki, mengendarai kuda, ataupun rombongan yang mengendarai gerobak sapi. Jumlahnya sedemikian banyak, sehingga iringan panjang sekali. Dengan panji-panji dan payung kebesaran, maupun tetabuhan.
Raja sendiri berada dalam tandu berkilauan warna prada, warna emas. Rombongan Raja yang lengkap dengan semua prajurit kawal dan perlengkapan besar, sebagaimana lazim terjadi kalau Raja mengadakan anjangsana atau kunjungan. Sejak masuk wilayah pertempuran, rombongan sedikit kacau. Karena semua pusat perhatian sedang terserap sepenuhnya ke tengah perahu, sementara itu mereka harus merunduk dan menyembah.
Dari sekian prajurit dan senopati, Halayudha yang segera bertindak begitu mencium bau dupa kencana. Dengan serta-merta ia berbalik, menuju ke arah tandu prada. Halayudha menyembah dengan hormat.
“Kamu di sini, heh?”
“Sembah bagi Raja.”
“Apa yang terjadi, Halayudha?”
“Kami para prajurit sedang berusaha membebaskan Rama Prabu, Raja….”
Halayudha tidak memakai sebutan baginda, akan tetapi menyebut sebagai “ayah raja”. Karena tetap ingin meninggikan kedudukan Raja Jayanegara.
“Aku dengar itu sejak di ujung, ketika sebagian orang berusaha membelokkan arus bengawan. “Siapa saja yang di depan?”
“Semua senopati, Raja sesembahan.”
“Apakah mereka tidak tahu Ingsun datang? Ataukah keadaan sudah begitu gawatnya sehingga Ingsun tak perlu disembah lagi? Semua senopati harusnya mengetahui. Bahwa lebih dari siapa pun di sini ini, Ingsun yang paling merasakan kepedihan. Karena yang berada dalam tawanan adalah darah daging Ingsun. Dan bukan yang lainnya….”
“Mohon ampun, Raja….”
“Halayudha, apa Nambi berada di depan?”
“Mahapatih yang memegang pimpinan….”
“Tidak buruk, heh?”
Halayudha kembali menyembah.
“Kenapa kamu diam?”
“Hamba…”
“Buka mulutmu.”
“Hamba tak berani matur, tak berani melaporkan….”
“Tentang Nambi? Kenapa?”
“Raja lebih maha tahu. Mahapatih Nambi yang gagah perkasa bersiaga dan langsung memimpin pertempuran sebagai senopati ing ngalaga, senopati medan perang. Hanya kalau dilihat dari sudut tata krama keprajuritan, barangkali kurang seirama. Karena atas perkenan Raja saat ini sesungguhnya Mahapatih Nambi sedang menjalani palapa karya. Masa istirahat ini atas perkenan Raja….”
Pundak Halayudha bergerak seolah menggigil. Menahan rasa gentar karena mengatakan sesuatu yang tidak berkenan di hati Raja. Padahal sesungguhnya itulah arah yang dituju. Dengan menyinggung masalah lepas dari tugas, Mahapatih Nambi menyalahi tata krama, melanggar angger-angger, atau undang-undang keprajuritan. Bahwa pada tingkat senopati ke atas, bisa istirahat tugas atau menjalankan tugas atas perkenan Raja. Dan bukan menentukan sendiri semaunya.
Dengan mengaitkan tata krama keprajuritan serta kata “perkenan Raja”, Halayudha memperlihatkan kenyataan dari sisi tertentu. Yaitu sisi bahwa sesungguhnya tindakan Mahapatih di satu sisi baik, tapi sisi lainnya sangat buruk. Bagaimana mungkin seorang mahapatih melanggar tata krama keprajuritan? Bagaimana mungkin Mahapatih yang resminya meminta restu dan perkenan Raja untuk cuti begitu saja kembali memegang komando? Halayudha tahu bahwa kalimat ini akan masuk ke pemikiran Raja.
“Tata krama dan angger-angger harus ditegakkan. Ingsun pribadi yang akan mengatakan.”
“Mohon ampun, Raja sesembahan yang mulia. Perkenankan Raja berlapang dada memaafkan, untuk tidak menarik mundur Mahapatih sekarang ini.”
“Pendapatmu jujur. Kamu senopati yang masih bisa berpikir jernih. Lebih mengutamakan kekokohan dan kebesaran Keraton. Ingsun bisa memerintahkan dengan satu telunjuk tangan, dan Nambi akan kembali ke Lumajang.”
“Sesungguhnya.”
“Tapi ia akan kehilangan segalanya. Ia tak menjadi apa-apa di mata para prajurit.”
Raja mengangguk pelan. “Kamu siapkan diri, Halayudha….”
Dengan satu gerakan tangan, Raja memerintahkan untuk berangkat. Kembali teriakan aba-aba perjalanan dimulai. Bau dupa kencana makin menyesakkan udara, meskipun sebagian terbawa angin ke segala penjuru. Dalam penciuman Halayudha, bau dupa itu sangat harum, memanjakan bulu-bulu hidungnya. Hanya karena ia menengok ke belakang, dan menemui Raja untuk pertama kalinya sebelum senopati lain, situasinya berubah.
Bukan hanya dirinya yang tak ditanyai kenapa bisa muncul di bengawan- pertanyaan yang ditujukan kepada Mahapatih, melainkan juga sudah memindahkan tanggung jawab kepada Mahapatih Nambi. Halayudha bukannya tidak mengetahui, bahwa Raja bisa seketika memerintahkan pergantian senopati ing ngalaga. Tanpa merenung terlalu lama pun, Raja bisa menitahkan dirinya menjadi mahapatih sekarang ini. Sesuatu yang sangat diimpikan oleh Halayudha. Tapi bukannya sekarang ini.
Situasi medan pertarungan masih rawan dan bahaya besar masih bisa menggelombang setiap saat. Kalau dirinya yang memegang tongkat komando, Halayudha seperti mengumpankan diri. Akan lebih aman kalau sekarang ini menahan diri. Dan sebentar lagi, kalau situasinya memungkinkan, tinggal mengambil alih. Halayudha melesat ke depan. Melewati barisan para prajurit. Langsung kembali ke dekat perahu yang kini makin menjauh. Langkahnya terhenti karena berpapasan dengan Mahapatih Nambi.
“Mahapatih…”
“Raja berkenan memimpin langsung?”
“Raja sepenuhnya mempercayai Mahapatih,” kata Halayudha tergesa. “Itu sebabnya saya mendahului Raja untuk menyampaikan kabar ini. Menyelamatkan Baginda adalah kehormatan yang terbesar. Raja mengetahui dan merestui kalau Mahapatih tidak menghadap sekarang ini.”
Mahapatih menghela napas. “Suasana begini gawat. Para prajurit sedang menyerbu….”
“Sumangga, Mahapatih… Apakah Mahapatih ingin sowan lebih dahulu…?”
“Iya.”
“Atau melanjutkan pertarungan yang tengah menunggu kepemimpinan?”
Mahapatih ragu sesaat. “Karena Raja telah mendapatkan laporan jauh sebelumnya mengenai apa yang tengah terjadi…”
Terdengar pekik dan jerit ngeri. Di bagian yang dekat dengan perahu, jerit ngeri itu makin keras terdengar. Halayudha meloncat ke depan. Mahapatih tak bisa menahan diri. Karena yang terlihat adalah barisan prajurit yang kini cerai-berai tak beraturan. Hancur berantakan karena serbuan kumbang yang mendenging. Pemandangan yang mengerikan.
Karena prajurit yang terkena sengatan wajahnya berubah hitam seketika, dan berkelojotan lama. Dua puluh prajurit yang sekarat bisa membubarkan barisan. Betapapun gagah beraninya. Obor, api, asap sudah dinyalakan. Akan tetapi kumbang itu seperti gulungan awan hitam. Seratus terusir pergi, seribu yang terus menerjang.
It-Pait-Pait
GEGERAN yang berlangsung sangat cepat dan ganas membuyarkan rencana serangan besar-besaran. Mada yang kini berada di bawah menyaksikan sendiri apa yang tadi ditertawakan oleh Eyang Puspamurti. Bahwa prajurit yang andal bisa porak-poranda oleh binatang. Pada situasi yang genting itu, Dewa Maut malah menari-nari. Tubuhnya kurus, kecil, dengan rambut semuanya putih bagai mempertajam kekisruhan yang terjadi.
Dewa Maut mengosongkan peti yang berisi senjata, lalu dengan terhuyung-huyung memanggulnya.
"It-pait-pait... aku pahit…"
Gerakan tubuhnya berputar, menari, disertai bunyi mendesis. Dari sekian banyak, hanya Jaghana yang segera menangkap apa yang dimaksudkan Dewa Maut. Meskipun belum pulih benar, Jaghana mendekati Dewa Maut. Langsung memegangi kaki Dewa Maut. Mencengkeram kuat.
"It-pait-pait
aku pahit,
ini madu
ini gula
segala kumbang
segala lebah
datang padaku…"
Suara tembangan Dewa Maut terdengar seperti desisan, seperti lengkingan yang tinggi.
Nyai Demang, yang meskipun mendapat perawatan sementara, masih tampak lemah. Tak bisa bergerak leluasa, terutama karena luka yang membuat separuh tubuhnya kaku sama sekali. Dalam hati masih bisa menertawakan Dewa Maut yang dianggap gila, dan menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan Dewa Maut yang tetap saja bercanda dalam situasi yang mencemaskan.
Betapa tidak? Dewa Maut menembangkan lagu dolanan, lagu mainan anak-anak. Sewaktu dirinya masih kecil, Nyai Demang juga menembangkan lirik it-pait-pait, bila didekati kumbang atau lebah. Waktu kecil, Nyai Demang percaya penuh dengan meneriakkan it-pait-pait tubuhnya benar-benar menjadi pahit. Dan kumbang serta lebah tak menyukai pahit. Pasti akan terbang menjauh. Kecuali kalau meneriakkan du-madu-madu, yang menyebabkan kumbang mengetahui ada madu.
Itulah sebabnya Nyai Demang geli, tapi juga ngeri. Tembangan Dewa Maut tidak diucapkan secara benar. Menjadikan dirinya pahit, akan tetapi juga menyebut madu. Hanya jalan pikiran melenceng dari seorang seperti Dewa Maut. Hal lain yang membuat Nyai Demang menertawakan dirinya sendiri ialah bagaimana mungkin dalam gua bawah tanah lelaki itu bisa mencuri tubuhnya!
Kenyataan sesaat dulu itu bagi Nyai Demang tak akan pernah terlupakan. Karena sejak suaminya meninggal dunia, Nyai Demang tak pernah disentuh dan menyentuh lelaki lain. Tekad itu tak berubah serambut pun, walau kabar mengenai dirinya malah sebaliknya. Kenyataan sesaat dulu itu tak mengganggu pikiran Nyai Demang, karena selama ini Dewa Maut tidak memperlihatkan diri. Sehingga tak mengganggu hati kewanitaannya.
Pemunculan Dewa Maut membongkar kenangan Nyai Demang, karena selama ini Dewa Maut mengendap dalam, yang disembunyikan rapat-rapat dan dianggap sebagai mimpi buruk. Nyatanya tak bisa. Terjebol dari akarnya. Memang sejak pemunculan tadi, Dewa Maut mengalami perubahan total dari sikapnya. Nyai Demang bisa merasakan. Bukan karena Dewa Maut menjadi sehat dan tidak linglung lagi. Melainkan bahwa Dewa Maut tak lagi kelimpungan menghadapi Gendhuk Tri. Bagi Nyai Demang atau yang mengetahui bagaimana Dewa Maut tertunduk-tunduk bila menghadapi Gendhuk Tri, perubahan sikap itu sangat besar artinya.
"It-pait-pait... Aku pahit…"
Dengingan tak terdengar jelas itu makin lama makin sering. Memberengeng, seperti tembang yang digumamkan. Tetapi ajaib. Ratusan atau ribuan kumbang yang berpencar menyengat kiri-kanan, yang masih berada di udara, tiba-tiba menuju ke arah Dewa Maut.
"It-pait-pait…"
Saat itu dari pohon Mada sudah meloncat turun dan berlari kencang ke arah perahu. Tidak memedulikan kiri dan kanan atau larangan sebelumnya. Meskipun demikian, jaraknya kelewat jauh.
Gerakan Satu Jurus
EYANG PUSPAMURTI hanya bisa terus naik hingga ke ujung. Dari tempat itulah matanya melihat tubuh Upasara melesat ke atas dari sungai. Seakan muncul begitu saja, menyobek air bengawan. Seperti ketika datang bersama Dewa Maut, Upasara menginjakkan kakinya di perahu dengan gerakan yang sangat indah. Seluruh tubuhnya yang basah hingga ke ujung rambut malah menambah kesan kegagahannya. Apalagi di mulutnya tersungging senyuman.
Upasara Wulung memang kena pukulan di pinggangnya. Tubuhnya memang amblas ke dalam air. Akan tetapi saat itu juga mumbul kembali ke atas dengan menjejakkan kakinya ke dasar sungai. Ketika salah satu Jalu yang terkena sodokan sikunya ikut tercebur, tak terlalu sulit bagi Upasara untuk menggunakan sebagai tenaga loncatan. Kini berdiri gagah menghadapi sepuluh Jalu.
“Haik!” Serempak mereka maju menerjang.
Upasara tidak mundur. Tidak maju. Hanya memiringkan tubuhnya ke arah kanan. Tangan kirinya yang tertekuk, menutupi dagunya, sementara tangan kanannya seakan bersiap melontarkan pukulan tiba-tiba. Kedua kakinya yang diserampang sama sekali tak dipedulikan.
Eyang Puspamurti melihat jelas Barisan Api yang memepet habis. Dua Jalu yang berada di depan menyerang bersamaan. Terjadi pengulangan adegan seperti semula. Siku tangan kiri Upasara yang dipasang menyodok keras, dan satu Jalu terlempar jatuh seketika. Jalu yang kedua dibiarkan melepaskan pukulan. Tangan kanan Upasara ternyata tetap berjaga-jaga.
“Duk!”
Terdengar suara keras. Pundak Upasara seperti terkena bantingan gunung. Tapi Upasara justru melangkah maju.
“Hindari tangan kiri. Haik!”
Terdengar aba-aba yang mendadak mengubah Barisan Api. Kini menyerang dari sisi kanan. Upasara tak mengubah gerakannya menjadi maju atau mundur. Hanya kini tubuhnya miring ke arah sebelah kiri. Siku kanannya yang dipakai untuk menerobos pukulan lawan yang begitu dekat.
“Hek!”
Kembali satu Jalu terjengkang sambil memegangi dadanya. Tubuhnya menggeliat dalam kelojotan yang meregang. Dalam dua putaran bergulung tubuh itu berhenti dengan sendirinya. Dalam dua gerakan, dua Jalu terbungkam. Tapi seperti semula, pukulan lain berhasil masuk. Kembali pinggang Upasara menjadi sasaran empuk. Tubuhnya limbung dua langkah. Akan tetapi maju kembali. Wajahnya tetap menyunggingkan senyuman.
“Haik!”
Kini delapan Jalu seperti menyerbu bersama. Upasara tidak bergerak, tidak mundur, tidak maju. Juga tidak memiringkan tubuh. Kali ini kedua sikunya terarah ke depan tegak lurus. Dua jeritan terdengar. Dua Jalu kembali terkapar. Meskipun tubuh Upasara sendiri terkena belitan lawan dan terbanting keras. Sedemikian kerasnya sehingga perahu seakan diraup oleh gelombang pasang. Akan tetapi begitu tubuhnya terbanting, tubuh itu kembali berdiri dengan gagah. Siap menghadapi enam Jalu yang menggerung keras.
“Ladlahom, Dewa Yang Maha dewa, wuah-wuah-wuaaah… Mada, kamu perhatikan baik-baik, kan? Inilah yang disebut Jurus Satu Jurus, Gerakan Satu Jurus yang seumur hidup kupelajari sampai titisan kesepuluh. Wuah tahtitah. Wer uweruwer. Bagaimana mungkin aku yang mempelajari sampai mati dan hidup kembali tak pernah mengetahui?”
Bersamaan dengan itu tubuh Eyang Puspamurti melayang ke bawah. Langsung berada di depan Upasara. Berlutut.
“Mahamanusia…”
Adalah Puspamurti yang sejak masih senopati secara tuntas mempelajari Kitab Paminggir, kitab yang dikenal dengan sebutan mahamanusia. Kitab yang dalam pemahamannya mengajarkan ilmu satu jurus. Jurus yang selalu sama. Adalah Puspamurti yang kemudian menjadi tua dan disebut dengan panggilan Eyang, merasa satu-satunya yang mewarisi dan memahami kidungan dari Kitab Paminggir. Bukan tanpa alasan.
Karena sejak semula dirinya belum pernah menemukan tokoh mana pun yang memainkan satu jurus seperti dirinya. Bahkan dari segi ajaran saja, Eyang Puspamurti ini tidak yakin ada yang pernah mendalami kitab yang menurut pendapatnya merupakan kitabnya segala kitab. Perjumpaan dengan Eyang Kebo Berune juga menyadarkan bahwa ilmu yang dimainkan tokoh dari Berune itu tetap bukan ajaran murni dari kitab yang selama ini menjadi napasnya. Siapa sangka kalau sekarang justru diperlihatkan oleh Upasara dan berhasil?
Halayudha yang berada di pinggir dan menjadi penonton, melebarkan matanya, mengecilkan sesaat. Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk menangkap gambaran yang berlangsung di depan matanya. Memang benar sejak mencuat dari bengawan, Upasara hanya memainkan satu jurus. Bahkan jurus yang paling sederhana. Meskipun jitu sekali. Menyodok lawan dengan menggunakan siku, karena Barisan Api yang mengepungnya tidak memberi ruang gerak sama sekali. Dibandingkan dengan pukulan, siku jelas tidak terlalu meminta ruang gerak.
Untuk tingkat Upasara, pengerahan tenaga ke siku semudah memindahkan pandangan bola matanya. Memang benar gerakan Upasara hanya miring ke kanan, lalu ke kiri, lalu berdiri lurus. Ketiga gerakan itu tetap mempergunakan siku untuk menyodok. Dan menemui sasaran. Akan tetapi bukankah Barisan Api juga berhasil mengenainya? Sangat tidak mungkin tidak mempunyai akibat apa-apa. Karena dari gebrakan pertama justru Upasara menjadi limbung langkahnya. Tubuhnya terhuyung. Dalam gebrakan kedua tubuhnya bisa diulat lawan dan dibanting.
Ilmu yang mana pun juga, tak mungkin memberikan kekuatan kebal seperti pada tubuh Upasara yang dilihat sekarang ini. Kalau jegalan kaki lawan tak mengguncangkan, Halayudha sepenuhnya bisa mengerti. Dasar ilmu silat Upasara adalah kuat pada bagian kuda-kuda. Tak ubahnya dengan kaki banteng. Baik untuk menyerang tiba-tiba ataupun bertahan. Akan tetapi kalau tubuh yang terkena pukulan?
Dua kali Halayudha menggeleng karena tak bisa menangkap apa yang tengah terjadi. Sebenarnya itulah yang terlihat oleh Eyang Puspamurti. Yang serta-merta melayang ke bawah dan berlutut di depan Upasara Wulung. Pemandangan menarik, di mana seorang kakek secara tiba-tiba berlutut dan menghaturkan sembah kepada seorang lelaki yang lebih pantas menjadi cucunya. Padahal sementara itu Barisan Api masih bersiaga. Masih separuh dari jumlah yang ada. Masih bisa membakar!
Bagi Eyang Puspamurti, kejadian yang baru saja berlangsung sangat jelas, sangat gamblang. Upasara memainkan gerakan satu jurus, seperti yang diajarkan dalam kidungan. Seperti dirinya melakukan selama ini. Bedanya, Upasara memakai satu jurus, dan setiap kali berhasil menjatuhkan lawan. Pertanyaan yang menggeluti hati Halayudha, bagi Eyang Puspamurti adalah jawaban.
Justru dengan membiarkan bagian tubuhnya diserang, jurusnya bisa masuk. Bisa menjatuhkan! Kalaupun diulang lagi hasilnya sama. Kalau dua menyerang, dua pula yang jatuh. Kalau sekarang menyerang serempak di depan, lutut Upasara bisa pula menjatuhkan lawan. Kuncinya justru pada kesempatan lawan memukul. Dengan terkena pukulan yang berat, Upasara tergoyang. Akan tetapi justru saat itu tenaga untuk memainkan jurus satu-satunya menjadi berisi kembali. Kembali ada. Kembali ke mula.
Kalau tidak membiarkan dirinya terkena, yang terjadi adalah pengeluaran tenaga terus-menerus, yang artinya seperti menguras diri. Kalau Eyang Puspamurti sampai berlutut, karena selama ini tidak mendapatkan pencerahan bagaimana memainkan gerakan satu jurus dalam situasi seperti sekarang ini. Eyang Puspamurti memainkan seperti yang selama ini dilakukan. Memainkan satu jurus, memulai lagi dengan jurus yang sama. Yang membedakan ialah pengumpulan tenaga dalam.
Tumbal Empan Papan
PADA Upasara Wulung, pukulan lawan itu justru diharapkan. Secara sengaja Upasara “mematikan” diri, menyerahkan bagian tubuhnya untuk terkena pukulan lawan. Dengan tenaga dalam yang dimiliki, pukulan atau bantingan ataupun gelutan Barisan Api tidak benar-benar membunuhnya. Melainkan menghancurkan kekuatan menyerang saat itu. Dengan demikian pada penyerangan berikutnya, kekuatannya pulih seperti sediakala.
Bekas pukulan lawan melukai, akan tetapi tidak mempengaruhi karena tidak menguras tenaga dalamnya. Yang sebenarnya luar biasa ialah bahwa Upasara Wulung memainkan secara tepat. Bahwa penyerahan tubuh itu berawal dari ajaran tumbal, atau pengorbanan diri seperti yang diajarkan dalam Tumbal Bantala Parwa, agaknya tak sulit dipahami. Akan tetapi bahwa secara sangat cepat dan tepat Upasara memakai gerakan itu untuk melawan Barisan Api, sungguh mengagumkan bagi Eyang Puspamurti.
Tadi jelas bahwa Barisan Api menggunakan cara penggandaan tenaga dengan bersinggungan diri. Setiap kali bersinggungan tiga kali, kekuatan mereka berubah. Karena gerakan mereka kaku, lurus, dan searah, kemungkinannya kecil mereka akan terus merangsek maju. Hanya saat daya tarik serangan lawan, baik yang menggesek udara atau pukulan keras, mampu membelokkan gerakan mereka, ketika itulah mereka bersinggungan.
Akan tetapi jika diikuti terus gerakan mereka, kemungkinan bersinggungan menjadi kecil. Caranya ialah dengan mengikuti gerakan mereka, bukan melawannya. Kemungkinan pertama itulah yang dijajal oleh Upasara, ketika tubuhnya melayang di udara dan pinggangnya kena jotosan. Kepalan yang begitu keras membuat tubuhnya amblas ke bengawan. Akan tetapi paling tidak satu Jalu telah terkena. Sementara satu Jalu menjadi korban, dirinya masih bisa bangkit lagi. Dan itulah yang dilakukan.
Gendhuk Tri merasa bisa menyeimbangkan tenaga dalamnya dengan Mpu Sina sewaktu keduanya melayang jatuh. Pilihan yang tepat untuk melakukan gerakan itu, tak jauh berbeda dengan pilihan Upasara untuk memainkan hanya satu jurus. Namun Gendhuk Tri tetap mengagumi Upasara, yang memang memiliki tenaga dalam berlebih, dan kerelaan untuk berkorban yang sangat besar, dan empan papan, tepat dengan yang dihadapi. Kesediaan berkorban saja tak cukup. Harus disertai wawasan pilihan yang tepat. Seperti yang dilakukan Upasara.
“Sumangga, Eyang….” Upasara menggapai dengan tangan kanan. Mengajak Eyang Puspamurti berdiri. Ia sendiri kembali tegak menghadapi kepungan.
“Memadamkan api seperti sekarang ini tak perlu banyak waktu. Mada, kamu di mana? Jangan ke mana-mana. Ini bagian yang menarik. Aku yang ingin mengajari kalian, malah diajari habis-habisan. Tapi tak apalah. Kalau aku sampai berteriak ladlahom, karena apa yang diperlihatkan Upasara memang ladlahom. Tunggu, kenapa jadi diam semua?”
Keenam Jalu berdiri tegak. Kedua tangan tersilang di dada. Upasara mendesis.
“Silakan mulai….”
Tak ada reaksi. Upasara tersenyum.
“Pangeran Hiang, apakah Pangeran menghendaki saya yang mulai?”
Tak ada suara jawaban. Tak ada angin. Hanya Eyang Puspamurti yang mendengar sesuatu yang tidak biasa. Semacam getaran udara yang menjadi lain gemanya di telinga. Eyang Puspamurti hanya bisa menebak-nebak, bahwa Upasara tengah mendengarkan percakapan antara Pangeran Hiang dan enam anggota Barisan Api. Hal yang sangat mungkin sekali.
Sewaktu Upasara bisa menghancurkan gebrakan tadi, ia mulai dengan bertahan. Sekarang, dijajal bagaimana kemungkinannya jika ia yang mulai! Suatu tantangan ksatria. Kini bukan lagi sekadar mengadu mati-hidup, akan tetapi juga memperlihatkan tingkat kelihaian. Mengadu mutu ilmu silat.
Upasara mulai dengan persiapan. Kedua kakinya sedikit mengangkang seperti posisi orang naik kuda. Kedua tangannya membuka, siku rapat dengan pinggang, tangan berada di depan. Perlahan pundaknya berputar dari belakang ke depan, seirama dengan tarikan udara dari hidung naik ke dahi, tersimpan di kepala bagian belakang dan turun lewat bagian belakang, untuk kemudian terkumpul di pusar.
Seperti pemula. Akan tetapi siapa pun bisa merasakan getaran tenaganya yang menggelombang. Dan sesaat tangannya membuka ke depan, sambaran tenaga dalam bagai dimuntahkan dari endapan. Bersamaan dengan itu, enam Jalu bergerak. Membuat putaran. Semua berputar. Upasara menyedot udara di hidungnya. Dengan satu tarikan tangan kanan, bagian yang berada di depan dibetot dari lingkaran. Pada saat yang sama, kakinya bergerak menyapu.
Begitu cepat sehingga satu Jalu lagi terangkat tubuhnya dan tergeser. Upasara menempatkan dirinya dalam lingkaran. Dan memutari lantai perahu dengan cepat. Cepat. Cepat. Makin cepat. Barisan Api seolah diputar pada porosnya. Mengikuti irama perputaran bumi yang semakin lama semakin cepat. Eyang Puspamurti mundur dua-tiga tindak. Kini disaksikannya lagi, bagaimana dengan cepat Upasara membaca kekuatan lawan.
Ketika ia harus bergerak lebih dulu, Upasara memilih Jalu yang di depan. Sesuatu yang tidak gampang untuk menentukan, mengingat mereka berada dalam lingkaran. Pada saat yang sama, dirinya menggantikan posisi itu, sehingga berada dalam lingkaran yang sama. Dari sinilah Upasara memaksakan kecepatan. Hal yang juga dirasakan oleh Halayudha. Baginya, ksatria yang seperti tidak tambah usianya itu menyimpan berbagai tanda tanya yang tak bisa dijawab.
Dalam segi ilmu silat, Halayudha merasa dirinya tidak kalah. Juga dalam mempelajari kitab-kitab atau ajaran ilmu silat berbagai aliran. Bahkan Halayudha merasa dirinya sedikit lebih unggul. Dalam hal kemampuan menyelamatkan diri, Halayudha merasa tujuh belas kali lebih hebat. Akan tetapi selalu terbukti, bahwa Upasara Wulung lebih unggul. Apa yang diperlihatkan Upasara Wulung bisa dimengerti, dan dirinya bisa melakukan. Akan tetapi selalu Upasara yang melakukan pertama.
Seperti sekarang ini. Dengan masuk ke lingkaran, dan ikut berputar, Upasara bukan hanya bisa mendikte apa keinginannya secara mutlak, akan tetapi sekaligus juga bisa memakai tenaga lawan untuk bertubrukan. Inilah yang membedakan dirinya dengan Upasara. Barisan Api kini sepenuhnya sudah terjebak. Salah satu dari mereka tak bisa melambatkan jalannya. Tak bisa mempercepat atau keluar dari barisan. Justru karena sejak semula gerakan mereka boleh dikatakan sama persis. Kalau ada yang berbeda, mereka dengan sendirinya akan bertubrukan. Saling tabrak. Ini bisa celaka. Dan inilah situasi yang ada.
Ketika Jaghana, Gendhuk Tri, Halayudha, Mpu Sina menyerbu ke perahu, mereka mempunyai tekad yang sama. Maju menyerbu untuk “membalikkan perahu”. Akan tetapi tetap memakai gerakan dan jurus yang berbeda. Ada untungnya karena tak bisa dipatahkan seketika, akan tetapi ternyata juga lebih mudah dipatahkan.
Pusaran semakin cepat. Makin cepat lagi. Pada putaran kesekian, Upasara mendadak berhenti dan merentangkan kedua tangannya lurus. Ke arah kiri dan kanan. Menyamping. Tubuhnya sedikit menurun karena kakinya memantapkan kuda-kuda. Apa yang terjadi bisa diduga. Keenam Barisan Api bertabrakan. Dari dua sisi. Tubuh mereka saling menabrak, ke depan, kembali ke belakang, ke depan lagi. Baik di antara mereka, atau dua Jalu yang langsung bertabrakan dengan telapak tangan Upasara.
Semua tadi hanya terjadi dalam satu jurus. Bahkan satu gerakan. Memancing dalam putaran dan mengempaskan. Dibarengi suara peletakan keras, keenam Jalu bergoyang-goyang sebelum akhirnya roboh. Secara bersamaan.
Percakapan Debu dengan Kapas
TEPUK tangan dan sorak-sorai membahana. Sepanjang bengawan berubah seketika. Wajah-wajah yang suram, tubuh yang tanpa semangat, berbalik seketika. Samar atau jelas, semua yang melihat ke tengah perahu menyaksikan keperkasaan Upasara Wulung. Yang mempermainkan Barisan Api, yang tadinya begitu ditakuti. Yang semua dibikin rontok dalam seketika. Hanya Upasara yang kini berdiri sendirian. Tanpa lawan.
Dari pinggir bengawan, ketika sorak-sorai makin meninggi, terdengar pekikan nyaring. Gendhuk Tri meloncat jungkir-balik, tubuhnya memutar di udara, dan ujung kakinya menyentuh salah satu rakit, langsung meloncat kembali.
“Awas, Kakang…”
Gerakan Gendhuk Tri sangat indah. Tubuhnya yang berisi memperlihatkan garis kewanitaannya. Apalagi selendangnya yang warna-warni sebagian menyerap, dan sebagian lagi memantulkan cahaya. Dengan tubuh berjumpalitan, memberikan pemandangan yang sangat menarik. Terlebih lagi karena rambutnya terurai dan mengembang di udara. Agaknya Gendhuk Tri melompat ke tengah perahu tanpa rencana sebelumnya.
Mata batinnya yang mengatakan Upasara Wulung berada dalam bahaya. Nyatanya begitu. Ketika Gendhuk Tri melompat ke tengah udara tadi, Upasara merasa perahu bergoyang keras. Dan bersamaan dengan itu terdengar bunyi krak yang panjang. Tiang utama yang tegak lurus secara kokoh dengan langit, mendadak roboh. Tepat ke arah di mana Upasara berdiri.
Seperti memperlihatkan perhitungan yang sangat matang, dan batangan kayu lebih dari sepemelukan itu bisa diatur gerakannya. Jangan kata tubuh manusia yang terdiri atas darah dan daging, barang keras pun akan hancur berantakan tertimpa benda seberat itu. Hanya karena bentuknya sangat besar, desiran anginnya menyadarkan orang akan adanya sesuatu. Sehingga bisa bersiap-siap menghindar.
Bagi Upasara, hanya dengan mengingsut sedikit terhindar dari gempuran. Akan tetapi ternyata bukan itu bahaya yang sesungguhnya. Tiang itu rebah, jatuh, dan begitu sampai di bawah bisa berputar pada porosnya. Sedemikian besar tenaga untuk memutar, sehingga perahu bergoyang keras. Kalaupun bisa menghindar, Upasara bakal tersapu!
Tak mungkin menghindar ke arah samping mana pun. Karena hampir semua tempat diputari, bakal terkena sapuan raksasa. Satu-satunya kemungkinan hanyalah merebahkan diri, rata dengan lantai. Seperti Barisan Api yang menggeletak. Itu pun terlambat!
Karena papan perahu yang biasanya bisa melesak ke dalam sekarang justru sebaliknya. Dalam gerakan yang bersamaan jatuhnya tiang dan kemudian berputar, lantai perahu justru terangkat naik. Inilah rumit. Segala apa dalam perahu Siung Naga sudah diperhitungkan dengan sangat teliti. Sehingga setiap gerakan dan kemungkinan bisa diperhitungkan dengan teliti.
Gendhuk Tri yang melayang di udara hanya bisa menutup matanya. Peringatannya seakan sia-sia. Karena kini tiang utama itu sudah bergerak cepat menyapu. Mungkinkah Upasara bisa meloncat tinggi? Mengambil pijakan dari lantai yang meninggi? Yang harus dilakukan pada saat yang tepat?
Agaknya hanya gerakan meloncat tinggi, melewati sapuan tiang utama, yang bisa menyelamatkan. Tapi itu juga berarti bahaya lain sudah menunggu. Karena bersamaan dengan itu pula tebaran tombak pendek melepas dari berbagai sudut perahu. Kalau sebelumnya saja sudah demikian banyak, sekali ini lebih lagi. Tak ada tempat yang tersisa.
Seseorang yang berada di perahu akan merasakan bahwa tiba-tiba cahaya matahari tertutup. Bersitan tombak pendek atau panah yang tidak mengenai sasaran melintas ke sekitar. Bahkan sampai di pinggir sungai. Suatu pertanda memang dilepaskan dengan tenaga penuh. Tenaga manusia atau tenaga alat yang sudah dipersiapkan untuk itu.
Gendhuk Tri tak mampu meneruskan loncatan, karena sambaran senjata bertebaran ke arahnya. Terpaksa ia menggulung diri dan menutupi dengan selendangnya, dengan memberatkan tubuhnya yang melorot ke bawah. Gendhuk Tri adalah Gendhuk Tri. Begitu kakinya menyentuh batang kayu di bawah, langsung membal kembali ke atas. Berjumpalitan ke perahu. Ke perahu!
Sumber bencana yang mengerikan. Yang membuat para prajurit yang berjaga di pinggir mundur karena hujan panah. Sebagian malah terluka. Terkena tembus amblas dari dada hingga punggung. Bunyi gemeretak keras mengisi suasana karena tiang utama masih terus berputar. Kini justru Gendhuk Tri yang masuk ke bahaya besar. Tempat di mana pun kakinya hinggap, akan kena sapuan tiang. Kalaupun bisa menarik kembali tubuhnya, hal itu sudah terlambat.
Bibir Mahapatih tergetar hebat sekali. Giginya beradu. Dalam situasi yang kritis panggilan jiwanya sebagai prajurit muncul. Kedua tangannya terangkat ke udara, memberi aba-aba untuk segera menyerbu ke perahu. Apa pun yang terjadi nantinya, sekarang panggilan itu bergema. Perhitungan keprajuritan mengatakan bahwa inilah pertempuran yang terakhir. Untuk sia-sia atau sebisanya menahan perahu.
Kalau saja tangan itu bergerak turun, para prajurit akan menyerbu ke dalam. Bagai iringan semut yang tak memedulikan nyawanya. Semangat dan ketegasan Mahapatih Nambi bergema di dada semua prajurit. Diam-diam, sambil berbaring, Mpu Sina tersenyum dalam wajah memucat. Ada kebanggaan yang bersemi. Yang bisa dibawa sebagai kenangan terakhir yang membahagiakan.
Kalau saja tangan Mahapatih bergerak turun! Tapi tangan itu tertahan. Karena melihat satu titik hitam di tiang yang memutar. Titik yang menyerupai sosok manusia. Dalam kejapan berikutnya, Mahapatih yakin bahwa itu adalah Upasara Wulung! Yang menggantung, memeluk tiang utama. Keyakinannya menjadi jelas karena kemudian tubuh Gendhuk Tri juga berada di tempat yang sama. Menakjubkan.
Dada Mahapatih bergerak naik-turun. Tangannya yang terbuka dan berada di udara gemetar. Upasara bisa lolos. Bisa lolos dengan sempurna. Mahapatih tak mampu menggambarkan kekuatan apa yang dimiliki Upasara sehingga bisa luput dari maut yang begitu mengerikan.
Sebenarnya Upasara tidak melakukan sesuatu yang luar biasa. Ketika mengetahui bahaya besar tak terhindar, nalurinya mengatakan bahwa justru pada pusat bahaya itulah adanya keselamatan. Itu berarti tiang. Dan Upasara tidak merunduk atau meloncat.
Merunduk belum tentu selamat, meloncat kena sambaran anak panah. Upasara berdiam diri, mengosongkan tenaga perlawanan yang ada dalam dirinya. Kekuatan tenaga bumi lepas sama sekali, menjadi bagian debu. Yang ringan, yang melaju bersama tiang. Upasara seolah memeluk tiang. Dan ikut berputar.
Gerakannya sangat lembut sehingga tiang itu tidak menubruk ke arahnya. Tenaga benturan itu menjadi kosong. Karena kemudian Upasara mencoba menyatukan dengan putaran. Dan sewaktu melihat Gendhuk Tri nekat menerjang, Upasara tinggal mengulurkan tangan. Meraup tangan Gendhuk Tri. Yang tubuhnya ringan bagai kapas. Menempel di tiang. Memeluk tiang. Seperti pasangan yang berpelukan dan terhalang oleh tiang.
Sorot mata Gendhuk Tri bertatapan dengan sorot mata Upasara. Keduanya saling pandang, berangkulan, kemudian secara serentak pula saling melepaskan diri. Itulah ketika tiang mendadak tegak lurus dengan langit. Yang menimbulkan suara sangat keras. Guncangan sangat kuat, sehingga kali ini perahu terseret arus! Perahu bergerak.
Kedua tangan Mahapatih turun mendadak. Para prajurit segera mengejar ke arah perahu. Bagian tepi kiri-kanan bagai digerakkan dengan kekuatan raksasa. Semuanya bergerak. Serentak. Prajurit yang menahan segala jenis rakit, dengan batang kayu untuk menghalangi perahu menuju ke laut, bersiaga penuh. Kini medan pertarungan bergeser beberapa ratus tombak. Sementara itu dari tiang bagian atas, ratusan kumbang mengeluarkan suara nyaring. Lepas dan mencari mangsa.
Dupa Kencana
KEMUNGKINAN pertama, barisan lebah itu bagian dari serangan yang direncanakan. Kemungkinan kedua, penahan lebah itu hancur karena tiangnya bergerak sangat keras dan menimbulkan benturan besar. Apa pun alasannya, itu berarti suasana bertambah keruh dan bahaya silih berganti. Siapa pun bisa turut merasakan. Kecuali di bagian hulu, tempat tiba-tiba semua prajurit dan masyarakat sekitar menunduk hormat, menyembah ke tanah. Karena saat itu tercium bau dupa kencana. Dupa emas.
Yang menandai kedatangan Raja Jayanegara. Memang itu yang terjadi. Ratusan tombak sebelum rombongan Raja datang, para prajurit kawal sudah mendahului. Baik barisan yang berjalan kaki, mengendarai kuda, ataupun rombongan yang mengendarai gerobak sapi. Jumlahnya sedemikian banyak, sehingga iringan panjang sekali. Dengan panji-panji dan payung kebesaran, maupun tetabuhan.
Raja sendiri berada dalam tandu berkilauan warna prada, warna emas. Rombongan Raja yang lengkap dengan semua prajurit kawal dan perlengkapan besar, sebagaimana lazim terjadi kalau Raja mengadakan anjangsana atau kunjungan. Sejak masuk wilayah pertempuran, rombongan sedikit kacau. Karena semua pusat perhatian sedang terserap sepenuhnya ke tengah perahu, sementara itu mereka harus merunduk dan menyembah.
Dari sekian prajurit dan senopati, Halayudha yang segera bertindak begitu mencium bau dupa kencana. Dengan serta-merta ia berbalik, menuju ke arah tandu prada. Halayudha menyembah dengan hormat.
“Kamu di sini, heh?”
“Sembah bagi Raja.”
“Apa yang terjadi, Halayudha?”
“Kami para prajurit sedang berusaha membebaskan Rama Prabu, Raja….”
Halayudha tidak memakai sebutan baginda, akan tetapi menyebut sebagai “ayah raja”. Karena tetap ingin meninggikan kedudukan Raja Jayanegara.
“Aku dengar itu sejak di ujung, ketika sebagian orang berusaha membelokkan arus bengawan. “Siapa saja yang di depan?”
“Semua senopati, Raja sesembahan.”
“Apakah mereka tidak tahu Ingsun datang? Ataukah keadaan sudah begitu gawatnya sehingga Ingsun tak perlu disembah lagi? Semua senopati harusnya mengetahui. Bahwa lebih dari siapa pun di sini ini, Ingsun yang paling merasakan kepedihan. Karena yang berada dalam tawanan adalah darah daging Ingsun. Dan bukan yang lainnya….”
“Mohon ampun, Raja….”
“Halayudha, apa Nambi berada di depan?”
“Mahapatih yang memegang pimpinan….”
“Tidak buruk, heh?”
Halayudha kembali menyembah.
“Kenapa kamu diam?”
“Hamba…”
“Buka mulutmu.”
“Hamba tak berani matur, tak berani melaporkan….”
“Tentang Nambi? Kenapa?”
“Raja lebih maha tahu. Mahapatih Nambi yang gagah perkasa bersiaga dan langsung memimpin pertempuran sebagai senopati ing ngalaga, senopati medan perang. Hanya kalau dilihat dari sudut tata krama keprajuritan, barangkali kurang seirama. Karena atas perkenan Raja saat ini sesungguhnya Mahapatih Nambi sedang menjalani palapa karya. Masa istirahat ini atas perkenan Raja….”
Pundak Halayudha bergerak seolah menggigil. Menahan rasa gentar karena mengatakan sesuatu yang tidak berkenan di hati Raja. Padahal sesungguhnya itulah arah yang dituju. Dengan menyinggung masalah lepas dari tugas, Mahapatih Nambi menyalahi tata krama, melanggar angger-angger, atau undang-undang keprajuritan. Bahwa pada tingkat senopati ke atas, bisa istirahat tugas atau menjalankan tugas atas perkenan Raja. Dan bukan menentukan sendiri semaunya.
Dengan mengaitkan tata krama keprajuritan serta kata “perkenan Raja”, Halayudha memperlihatkan kenyataan dari sisi tertentu. Yaitu sisi bahwa sesungguhnya tindakan Mahapatih di satu sisi baik, tapi sisi lainnya sangat buruk. Bagaimana mungkin seorang mahapatih melanggar tata krama keprajuritan? Bagaimana mungkin Mahapatih yang resminya meminta restu dan perkenan Raja untuk cuti begitu saja kembali memegang komando? Halayudha tahu bahwa kalimat ini akan masuk ke pemikiran Raja.
“Tata krama dan angger-angger harus ditegakkan. Ingsun pribadi yang akan mengatakan.”
“Mohon ampun, Raja sesembahan yang mulia. Perkenankan Raja berlapang dada memaafkan, untuk tidak menarik mundur Mahapatih sekarang ini.”
“Pendapatmu jujur. Kamu senopati yang masih bisa berpikir jernih. Lebih mengutamakan kekokohan dan kebesaran Keraton. Ingsun bisa memerintahkan dengan satu telunjuk tangan, dan Nambi akan kembali ke Lumajang.”
“Sesungguhnya.”
“Tapi ia akan kehilangan segalanya. Ia tak menjadi apa-apa di mata para prajurit.”
Raja mengangguk pelan. “Kamu siapkan diri, Halayudha….”
Dengan satu gerakan tangan, Raja memerintahkan untuk berangkat. Kembali teriakan aba-aba perjalanan dimulai. Bau dupa kencana makin menyesakkan udara, meskipun sebagian terbawa angin ke segala penjuru. Dalam penciuman Halayudha, bau dupa itu sangat harum, memanjakan bulu-bulu hidungnya. Hanya karena ia menengok ke belakang, dan menemui Raja untuk pertama kalinya sebelum senopati lain, situasinya berubah.
Bukan hanya dirinya yang tak ditanyai kenapa bisa muncul di bengawan- pertanyaan yang ditujukan kepada Mahapatih, melainkan juga sudah memindahkan tanggung jawab kepada Mahapatih Nambi. Halayudha bukannya tidak mengetahui, bahwa Raja bisa seketika memerintahkan pergantian senopati ing ngalaga. Tanpa merenung terlalu lama pun, Raja bisa menitahkan dirinya menjadi mahapatih sekarang ini. Sesuatu yang sangat diimpikan oleh Halayudha. Tapi bukannya sekarang ini.
Situasi medan pertarungan masih rawan dan bahaya besar masih bisa menggelombang setiap saat. Kalau dirinya yang memegang tongkat komando, Halayudha seperti mengumpankan diri. Akan lebih aman kalau sekarang ini menahan diri. Dan sebentar lagi, kalau situasinya memungkinkan, tinggal mengambil alih. Halayudha melesat ke depan. Melewati barisan para prajurit. Langsung kembali ke dekat perahu yang kini makin menjauh. Langkahnya terhenti karena berpapasan dengan Mahapatih Nambi.
“Mahapatih…”
“Raja berkenan memimpin langsung?”
“Raja sepenuhnya mempercayai Mahapatih,” kata Halayudha tergesa. “Itu sebabnya saya mendahului Raja untuk menyampaikan kabar ini. Menyelamatkan Baginda adalah kehormatan yang terbesar. Raja mengetahui dan merestui kalau Mahapatih tidak menghadap sekarang ini.”
Mahapatih menghela napas. “Suasana begini gawat. Para prajurit sedang menyerbu….”
“Sumangga, Mahapatih… Apakah Mahapatih ingin sowan lebih dahulu…?”
“Iya.”
“Atau melanjutkan pertarungan yang tengah menunggu kepemimpinan?”
Mahapatih ragu sesaat. “Karena Raja telah mendapatkan laporan jauh sebelumnya mengenai apa yang tengah terjadi…”
Terdengar pekik dan jerit ngeri. Di bagian yang dekat dengan perahu, jerit ngeri itu makin keras terdengar. Halayudha meloncat ke depan. Mahapatih tak bisa menahan diri. Karena yang terlihat adalah barisan prajurit yang kini cerai-berai tak beraturan. Hancur berantakan karena serbuan kumbang yang mendenging. Pemandangan yang mengerikan.
Karena prajurit yang terkena sengatan wajahnya berubah hitam seketika, dan berkelojotan lama. Dua puluh prajurit yang sekarat bisa membubarkan barisan. Betapapun gagah beraninya. Obor, api, asap sudah dinyalakan. Akan tetapi kumbang itu seperti gulungan awan hitam. Seratus terusir pergi, seribu yang terus menerjang.
It-Pait-Pait
GEGERAN yang berlangsung sangat cepat dan ganas membuyarkan rencana serangan besar-besaran. Mada yang kini berada di bawah menyaksikan sendiri apa yang tadi ditertawakan oleh Eyang Puspamurti. Bahwa prajurit yang andal bisa porak-poranda oleh binatang. Pada situasi yang genting itu, Dewa Maut malah menari-nari. Tubuhnya kurus, kecil, dengan rambut semuanya putih bagai mempertajam kekisruhan yang terjadi.
Dewa Maut mengosongkan peti yang berisi senjata, lalu dengan terhuyung-huyung memanggulnya.
"It-pait-pait... aku pahit…"
Gerakan tubuhnya berputar, menari, disertai bunyi mendesis. Dari sekian banyak, hanya Jaghana yang segera menangkap apa yang dimaksudkan Dewa Maut. Meskipun belum pulih benar, Jaghana mendekati Dewa Maut. Langsung memegangi kaki Dewa Maut. Mencengkeram kuat.
"It-pait-pait
aku pahit,
ini madu
ini gula
segala kumbang
segala lebah
datang padaku…"
Suara tembangan Dewa Maut terdengar seperti desisan, seperti lengkingan yang tinggi.
Nyai Demang, yang meskipun mendapat perawatan sementara, masih tampak lemah. Tak bisa bergerak leluasa, terutama karena luka yang membuat separuh tubuhnya kaku sama sekali. Dalam hati masih bisa menertawakan Dewa Maut yang dianggap gila, dan menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan Dewa Maut yang tetap saja bercanda dalam situasi yang mencemaskan.
Betapa tidak? Dewa Maut menembangkan lagu dolanan, lagu mainan anak-anak. Sewaktu dirinya masih kecil, Nyai Demang juga menembangkan lirik it-pait-pait, bila didekati kumbang atau lebah. Waktu kecil, Nyai Demang percaya penuh dengan meneriakkan it-pait-pait tubuhnya benar-benar menjadi pahit. Dan kumbang serta lebah tak menyukai pahit. Pasti akan terbang menjauh. Kecuali kalau meneriakkan du-madu-madu, yang menyebabkan kumbang mengetahui ada madu.
Itulah sebabnya Nyai Demang geli, tapi juga ngeri. Tembangan Dewa Maut tidak diucapkan secara benar. Menjadikan dirinya pahit, akan tetapi juga menyebut madu. Hanya jalan pikiran melenceng dari seorang seperti Dewa Maut. Hal lain yang membuat Nyai Demang menertawakan dirinya sendiri ialah bagaimana mungkin dalam gua bawah tanah lelaki itu bisa mencuri tubuhnya!
Kenyataan sesaat dulu itu bagi Nyai Demang tak akan pernah terlupakan. Karena sejak suaminya meninggal dunia, Nyai Demang tak pernah disentuh dan menyentuh lelaki lain. Tekad itu tak berubah serambut pun, walau kabar mengenai dirinya malah sebaliknya. Kenyataan sesaat dulu itu tak mengganggu pikiran Nyai Demang, karena selama ini Dewa Maut tidak memperlihatkan diri. Sehingga tak mengganggu hati kewanitaannya.
Pemunculan Dewa Maut membongkar kenangan Nyai Demang, karena selama ini Dewa Maut mengendap dalam, yang disembunyikan rapat-rapat dan dianggap sebagai mimpi buruk. Nyatanya tak bisa. Terjebol dari akarnya. Memang sejak pemunculan tadi, Dewa Maut mengalami perubahan total dari sikapnya. Nyai Demang bisa merasakan. Bukan karena Dewa Maut menjadi sehat dan tidak linglung lagi. Melainkan bahwa Dewa Maut tak lagi kelimpungan menghadapi Gendhuk Tri. Bagi Nyai Demang atau yang mengetahui bagaimana Dewa Maut tertunduk-tunduk bila menghadapi Gendhuk Tri, perubahan sikap itu sangat besar artinya.
"It-pait-pait... Aku pahit…"
Dengingan tak terdengar jelas itu makin lama makin sering. Memberengeng, seperti tembang yang digumamkan. Tetapi ajaib. Ratusan atau ribuan kumbang yang berpencar menyengat kiri-kanan, yang masih berada di udara, tiba-tiba menuju ke arah Dewa Maut.
"It-pait-pait…"
JILID 37 | BUKU PERTAMA | JILID 39 |
---|