Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 45
Yang kedua adalah Jaghana. Paman yang bersahaja itu sedang menderita luka. Dalam keadaan seperti itu, lawan yang menganggapnya bahaya bisa melenyapkan. Demikian juga Nyai Demang. Ah. Rasanya Upasara menjadi kangen untuk mengetahui apa yang terjadi. Dorongan itu membuat langkahnya makin lama makin cepat. Hanya saja jarak menuju ke Keraton bukan jarak pesisir Sumbermanjing dengan pesisir Ngliyepan. Dua kali Upasara beristirahat di tempat yang tidak mengganggu siapa pun.
Ingin rasanya bermalam di rumah penduduk, mendengarkan obrolan. Akan tetapi hati kecilnya menahan keinginan itu. Karena hanya akan merepotkan. Dan ia tak bisa berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan. Bukan artinya kebaikan harus segera dibayar lunas, akan tetapi Upasara menyadari dirinya tidak siap untuk itu. Tak ada sekeping uang di sakunya.
Malam ketiga, ketika Upasara mulai masuk ke wilayah Keraton, baru ia mendengar kabar. Kabar pertama yang mengagetkan. Bahwa Raja Jayanegara akan menikahi secara resmi Tunggadewi maupun Rajadewi. Sesuatu yang tidak masuk akalnya sama sekali. Bukan karena Upasara merasa sangat dekat dengan dua putri Permaisuri Rajapatni sejak masih kecil, melainkan karena kedua putri itu saudara seayah dengan Raja. Niatan lama Raja yang pernah mendapat banyak tantangan itu kini diwujudkan kembali.
Banyak isyarat yang dimunculkan dari keberanian ini. Sekurangnya Raja ingin menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya penguasa. Bahwa sekarang Baginda yang berada di Simping tak lagi berhak mencampuri urusan Keraton. Sesuatu yang terasakan oleh Upasara dari pembicaraan tersamar yang didengar. Bahwa sejak Baginda tertawan Pangeran Hiang, pamornya menyusut dengan keras, walau tidak secara terang-terangan. Apa pun alasannya, Upasara tidak akan membiarkan pernikahan resmi itu terjadi. Dengan jalan apa pun.
Harta dan Wanita
UPASARA tidak menyadari bahwa sejak pertarungan di Lodaya, terjadi beberapa perubahan. Kalau kemudian hatinya tergerak untuk melibatkan diri dalam rencana pernikahan Raja dan dua putri Permaisuri Rajapatni, itu adalah bagian yang memang direncanakan Halayudha. Sejak pertarungan yang diakhiri dengan pembakaran perahu Siung Naga Bermahkota hingga karam dan tinggal arang yang mengapung, Halayudha merasa segalanya sudah di tangan.
Apalagi telah disaksikannya sendiri beberapa mayat yang hangus tak bisa dikenali lagi. Meskipun tidak yakin mana mayat hangus Upasara, untuk sementara Halayudha merasa terhibur. Terutama karena kini kekuasaan sebagai mahapatih telah berada dalam tangannya. Wewenang telah diisyaratkan Raja, dan ia telah memakai kesempatan dengan baik. Mahapatih Nambi telah disingkirkan. Baik dalam pengertian pangkat dan jabatan serta derajat, maupun dalam pengertian badaniah.
Mahapatih Nambi telah dikembalikan ke Lumajang. Lengkap dengan ayahnya dan seluruh prajurit, dengan beban telah melakukan kesalahan. Baginda tidak banyak berbuat. Karena lebih berkenan mencari dirinya melalui semadi yang panjang di Sanggar Pamujan Simping. Berarti secara resmi halangan di sekitar Keraton tak ada lagi. Tidak juga Permaisuri Indreswari yang selalu lebih awas dan penuh perhitungan.
Dalam perhitungan Halayudha, Raja Jayanegara tak banyak menimbulkan persoalan. Memang begitu. Hanya saja ada yang tidak diduga oleh Halayudha. Ketika Raja menanyakan apakah benar Dewa Maut bisa membebaskan Gendhuk Tri, Jaghana, serta Senopati Sina hanya dengan menusuk telapak kaki.
“Perhitungan raja sangat tepat sekali.”
“Bawa dia menghadap kepadaku. Aku ingin menyembuhkan Permaisuri Praba Raga Karana.”
Bagai disambar petir di tengah hari, Halayudha mendengar perintah Raja. Betapa tidak. Kalau Dewa Maut bisa membebaskan Praba Raga Karana, sama juga dengan dirinya menyerahkan kepala untuk dipenggal. Pengakuan Praba akan memusnahkan seluruh impiannya. Justru di saat telah dipegang erat.
“Hamba akan usahakan, Raja yang Bijaksana. Hanya Dewa Maut agak aneh kelakuannya.”
“Lakukan segala bujuk rayu.”
“Demi Raja…”
“Lakukan, Halayudha.”
“Sendika dawuh, Ingkang Sinuhun…”
“Lakukan. Di jagat ini semua lelaki sama. Menginginkan harta atau wanita atau dua-duanya. Berikan apa saja yang diminta.”
Inilah yang merepotkan. Dewa Maut, meskipun kelakuannya tak bisa ditebak dan kemauannya serba ngawur, akan tetapi tak akan menolak kalau mendengar ada yang meminta bantuannya. Dengan ilmunya, bukan tidak mungkin mampu menerobos totokan nadi yang dilakukan Halayudha. Inilah repotnya. Karena Halayudha tak bisa menunda, atau tidak menjalankan sama sekali. Sebab Praba Raga Karana bagi Raja adalah segalanya. Takhta dan kehormatan akan menjadi urutan kesekian.
“Raja yang Maha bijaksana. Hamba mengetahui sedikit rasa dan daya asmara Raja. Permaisuri Praba Raga Karana cepat atau lambat akan segera baik kembali. Hanya saja, selama menunggu, apakah Raja tidak berkenan menyanding putri yang lain?”
“Siapa yang kamu maksudkan?”
“Hamba hanya mengingatkan bahwa di taman kaputren masih ada dua putri yang elok, dan mempunyai darah raja….”
“Kalau itu saja, apa susahnya?”
“Maksud hamba, Raja berkenan mengangkat sebagai salah satu selir kesayangan, kalau bukan permaisuri.”
“Halayudha! Ingsun bisa melakukan itu tanpa saranmu. Dulu bisa, sekarang pun bisa.”
“Dalam suatu pesta Keraton.”
“Apa itu perlu? Apa itu tidak membuat Permaisuri Praba Raga Karana bertambah sedih karenanya?”
Halayudha menyembah hingga menunduk. Dalam hatinya tersenyum. Umpan Raja mengenai arta lan wanita, harta dan wanita, untuk Dewa Maut, kini yang disodorkan Halayudha. Untuk Raja! Inilah taktik.
“Hamba mengetahui, merasakan daya asmara Raja. Apalagi Permaisuri Praba Raga Karana. Sedih sesaat, akan tetapi akan berbahagia bila kemudian Raja berkenan mengangkatnya sebagai permaisuri. Di lain pihak, duh Raja, semua hati wanita mempunyai rasa sujana, selalu mempunyai rasa tidak mau mempercayai karena rasa cemburu. Mohon maaf, Raja. Hati wanita siapa pun, akan tetap memiliki rasa itu. Dalam kaitan ini, Permaisuri Praba Raga Karana justru akan mendekat ke Raja untuk nyuwita, untuk mengabdikan dirinya. Dan juga pertimbangan lain.”
“Apa itu?”
“Raja yang Bijaksana sekarang benar-benar penguasa tertinggi di tanah Jawa. Tak ada yang lain. Bayangan kebesaran tak akan tertutupi oleh yang lain. Melihat suasana pembebasan Baginda di pinggir Kali Brantas, hamba merasa bahwa Baginda masih berusaha menempatkan diri pada pusat kekuatan. Sehingga merasa tetap berkuasa, karena Mahapatih Nambi yang sedang palapa karya bersedia datang. Kini saatnya Raja membuktikan bisa menentukan sendiri. Menganggap sepi Baginda. Dengan mengawini dua putri Baginda sekaligus. Pertimbangan yang lain, demi keamanan takhta Raja. Kita tak tahu, apakah kedua putri Permaisuri Rajapatni masih mempunyai dendam yang bersarang dalam tubuh Permaisuri Tribhuana, yang ingin meneruskan keturunan memegang takhta. Kemungkinan yang ada, bersandar pada harapan kedua putri Permaisuri Rajapatni. Siapa pun suami mereka di belakang hari, akan mudah terkena kisikan bahwa, maaf sekali, Raja bukan turunan darah asli Singasari. Suatu pikiran licik yang bisa dipakai untuk memanaskan suasana. Dengan mengambil kedua putri Permaisuri Rajapatni, kemungkinan itu tak ada sama sekali. Pertimbangan lain, agaknya kedua putri sekar kedaton, bunga Keraton, cukup elok dan hangat serta bisa meladeni Raja.”
“Boleh juga pertimbangan kamu, Halayudha. Hanya dari mana semua perhitungan itu? Apakah dari hatimu yang juga busuk, sehingga mengetahui secara jelas?”
“Hamba…”
“Tak apa. Ingsun menerima apa yang kamu sarankan. Tetapi, sambil mengupayakan pesta itu, Ingsun pribadi ingin mengetahui mengenai pengobatan oleh Dewa Maut.”
“Sembah bagi Raja….”
“Lakukan!”
Ada kesempatan untuk mengambil napas. Walau waktunya terbatas. Tak mudah Halayudha menyingkirkan Dewa Maut begitu saja. Kecurigaan Raja bisa mengubah segala rencana. Juga tak bisa membiarkan Dewa Maut lolos serta melarikan diri ke gua bawah Keraton. Karena kini semua berada dalam tanggung jawab dan wewenangnya.
Cara terbaik hanyalah mempengaruhi sehingga Dewa Maut tetap kacau dan ngawur.Juga dalam penyembuhan. Tapi ini yang sulit ditebak. Tak ada jalan lain kecuali mengadakan pendekatan sendiri. Mendekati Dewa Maut, dengan jalan mengajaknya ke kapustakan.
“Untuk apa? Aku bisa ke sana sendiri.”
“Dewa Maut, maukah Dewa Maut memberi petunjuk bagaimana menentukan penyakit lewat totokan dan tusukan jari pada telapak kaki?”
“Jarimu ada yang putus, mau apa? Haha. Tapi aku tak boleh bilang begitu. Aku ingin tanya dulu. Di mana Tole, di mana Dewa Maut? Di mana jalan menuju ke gua? Di mana Jaghana, Nyai Slemok yang tubuhnya bagus? Di mana siapa?”
“Semua menunggu Dewa Maut di bawah gua.”
“Bagus itu. Terima kasih. Kalau kamu mau belajar ilmu itu, ada di kapustakan. Di situ ada kitab, ada tulisan, ada kidungan. Begitu.”
“Kitab yang mana?”
“Yang mana saja.”
Kekuatan Wadat
HALAYUDHA tersenyum geli dalam hati. “Kitab mana?” tanyanya mengulang.
“Mana saja,” jawab Dewa Maut sama.
“Dalam Kitab Bumi…”
“Ya.”
“Atau Kidungan Paminggir?”
“Ya.”
“Kidungan Pamungkas?”
“Ya.”
“Atau kitab Dlamakan Megar..”
“Bisa juga…”
Tangan Halayudha mengusap bibirnya. Hatinya berkata, bahwa dalam gilanya Dewa Maut sebenarnya tidak ngawur dalam segala hal. Jawaban-jawaban yang sekenanya, sebenarnya memang kena. Bukan tidak mungkin cara penyembuhan lewat telapak kaki itu ada dalam kitab-kitab yang disebutkan. Ketika Halayudha menyebutkan kitab Dlamakan Megar, Dewa Maut tidak langsung mengiya. Melainkan membuka kemungkinan.
Sudah barang tentu Halayudha hanya main-main untuk menjajal Dewa Maut. Selama ini tak pernah ada kitab Dlamakan Megar, atau Telapak Kaki Membuka. Ternyata Dewa Maut tidak asal mengiya.
“Bagaimana kalau kita coba saja?”
“Mencoba apa?”
“Saya pura-pura diperiksa.”
“Tak bisa pura-pura.”
“Coba Dewa Maut periksa, apa yang salah dalam diri saya.” Tanpa ragu Halayudha berbaring. Telapak kakinya membuka.
“Tapi kamu siapa?”
“Saya Halayudha.”
“Halayudha itu siapa?”
Dewa Maut menunduk. Telunjuk tangannya menusuk telapak kaki kiri pada beberapa bagian. Mendadak meloncat kaget. Berdiri. Halayudha juga tersentak kaget.
“Kamu siapa?”
Pandangan mata Dewa Maut luar biasa bernas, tajam, menghunjam. Kepalanya bergerak ke kiri, sedikit miring.
“Aku tahu kini, kamu Dewa Maut yang sedang ngrogoh sukma sejati, mau mengetahui asal-usulku. Aha, tak begitu gampang. Aku bukan orang yang gampang dimasuki, ditelanjangi, dan dilihat. Aku adalah Halayudha, senopati, sekaligus juga mahapatih, juga calon penguasa tertinggi. Aku adalah batu karang. Kamu tak akan menang denganku, Dewa Maut. Aku sedang mempermainkan, agar kamu tak bisa menyembuhkan wanita menyebalkan itu.”
Halayudha mengeluarkan keringat dingin. Adalah di luar dugaannya bahwa Dewa Maut bisa mengubah diri. Menjadi dirinya dan mengeluarkan isi hatinya. Inilah celaka. Jika sampai diketahui orang lain. Jika sampai didengar telinga lain. Akan tetapi ada rasa aman. Pertama, karena mereka berdua berada di tempat tersendiri. Kedua, siapa yang mau percaya omongan Dewa Maut yang dikenal kurang waras?
Namun hatinya bercekat juga. Kata-kata yang membuatnya mengeluarkan keringat dingin, bukan hanya karena dengan demikian Dewa Maut bisa menelanjangi bawah sadar dan keinginannya yang terpendam saja, melainkan juga karena Dewa Maut menyebut mengenai merogoh sukma sejati. Selama ini Halayudha hanya mendengar saja, belum pernah melihat sendiri. Baru sekarang ini.
“Aku tahu kamu heran, Dewa Maut. Karena aku adalah Halayudha yang selama ini tak diketahui orang. Aku senopati yang paling tersamar, paling tak dikenali. Itulah keuntunganku. Aku senopati kitab tertutup, yang tak bisa dibaca. Dewa Maut, percuma kamu masuk dan menukik ke dalam diriku.”
Ludah Halayudha tertahan. Matanya nyalang. Dewa Maut menusuk kembali telapak kaki Halayudha. Dan untuk kedua kalinya meloncat kaget.
“Kamu baru tahu, Dewa Maut? Akulah ksatria wadat yang sesungguhnya.”
Kali ini Halayudha yang sesungguhnya meloncat kaget. Tubuhnya mencelat dari pembaringan. Kedua tangannya terulur cepat. Tapi urung dengan sendirinya. Halayudha masih bisa berpikir untuk tidak berlaku gegabah melukai Dewa Maut. Kali ini bukan hanya pertimbangan dirinya pengawas hidup Dewa Maut, melainkan, lagi-lagi, kalimat Dewa Maut yang menyebut wadat. Selama ini, Halayudha selalu menyembunyikan hal itu. Rapat tertutup. Rapi terkunci.
Wadat adalah istilah yang diberikan kepada lelaki atau perempuan yang menyendiri selama hidupnya. Tidak mau mengenal dan berhubungan dengan lawan jenisnya. Para pendeta, resi, banyak yang memilih cara hidup seperti ini. Bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi bahwa Dewa Maut bisa mengetahui dan memahami hanya dengan menusuk telapak kaki satu kali saja, itulah yang luar biasa.
“Urat planangan masih utuh dan buntu. Bagaimana mungkin bisa begitu?”
Wajah Halayudha pias. Tenggorokannya tercekik. Matanya membalik. Yang kelihatan hanya putihnya.
“Urat planangan, itu urat kelelakian. Yang membuat lelaki menjadi jantan, menjadi pejantan yang menyemprotkan bibit keturunan. Kamu punya itu. Tapi buntu. Jadi, bagaimana bisa begitu?”
“Tid… tidak…”
“Halayudha, kamu keliru. Aku bisa mengetahuinya, dengan merogoh sukmamu.”
Halayudha menunduk. Tubuhnya gemetar dan mandi keringat. Basah hingga menyungai di lantai. Pukulan dan guncangan yang dahsyat. Selama ini Halayudha selalu menyembunyikan apa yang pernah terjadi atas dirinya. Tak pernah ada yang mengetahui. Ada. Ada. Eyang Puspamurti. Hanya Eyang Puspamurti yang berhasil membuatnya telanjang, dan menelungkupkan serta menelentangkan tubuhnya!
Selebihnya tak ada. Selebihnya, Halayudha sendiri tak mau melihatnya. Kini dengan tepat, Dewa Maut bisa melihatnya. Dan mengatakannya! Halayudha berusaha memusatkan tenaga batinnya. Ia tak mau sukmanya dibetot oleh Dewa Maut. Tapi ternyata tak ada gunanya. Dewa Maut yang berada di depannya, seolah menjadi Halayudha yang berdiri goyah.
“Dewa Maut, apakah betul kamu ingin mengetahui keadaan diriku? Aku ini Halayudha. Murid kesayangan, murid utama, tumpuan segala keinginan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang menciptakan Kitab Bumi. Tokoh sakti mandraguna dan baik hati. Aku menjadi tumpuan setelah kakak seperguruanku, Ugrawe, meninggalkan guruku. Aku adalah segalanya. Kalau saja… Kalau saja… tak terjadi peristiwa itu.”
Halayudha yang sesungguhnya bengong. Kedua bibirnya membuka. Dewa Maut, yang berperan sebagai Halayudha, sebaliknya hanya menggeleng berulang kali. Berusaha menembus rintangan batin, untuk menjadi Halayudha secara total. Tapi agaknya mengalami kesulitan.
“Kalau saja peristiwa itu tak terjadi. Bukan salahku. Bukan mauku. Aku, aku, aku telah melakukan semua demi guruku. Semuanya. Tapi, apa yang harus kuderita?” Dewa Maut terhuyung-huyung, tubuhnya melemah. Dan ambruk.
Halayudha menarik cepat. “Dewa Maut…”
Dewa Maut menghela napas. Berat. Wajah dan tubuhnya tampak sangat letih.
“Halayudha, bukankah wadat itu kekuatan? Apakah kamu lupa Barisan Api di atas perahu itu?”
Dewa Maut memejamkan mata. Napasnya masih tersengal-sengal.
Pengalihan Planangan
HALAYUDHA menunduk. Menunggu. Tarikan dan embusan napas Dewa Maut masih menggeronjal, tak menentu. Sedikit demi sedikit, kalimat Dewa Maut masuk ke alam pikirannya. Wadat sebagai kekuatan, sudah lama disadari. Para pendeta, para resi, sengaja tetap membujang, karena dengan demikian pemusatan pikirannya bisa penuh, total, dan tuntas.
Yang tidak diketahui Halayudha sebelum ini ialah adanya hubungan dengan Barisan Api. Bagi para ksatria mana pun, Barisan Api yang dibawa Pangeran Hiang adalah kasunyatan yang amat menarik. Kenyataan yang membuka mata. Bahwa sesungguhnya kekuatan raga, kekuatan tenaga luar, ternyata bisa dikembangkan sampai tingkat yang tak terbayangkan sebelumnya. Yang bisa pula menindih kekuatan tenaga dalam. Apalagi dalam hal ini, Barisan Api bisa melipatkan tenaga jika bersentuhan.
Halayudha mengalami sendiri, karena langsung terlibat dalam pertarungan. Hanya tidak disadari bahwa kemungkinan pacuan tenaga itu antara lain karena Barisan Api berawal pada sikap wadat. Sesuatu yang bisa dengan mudah dilihat oleh Dewa Maut. Sebab pada dasarnya Dewa Maut juga melakukan sikap yang sama. Pada awalnya.
Kalaupun Dewa Maut tak mengetahui lebih dalam, itu tak mengurangi arti pemahamannya. Bahwa Barisan Api memang sengaja dididik dan dibentuk sebagai ksatria dengan kekuatan penuh. Bahwa kekuatan utamanya, antara lain digali dari kekuatan urat planangan, kekuatan kelelakian.
Dewa Maut tidak mengetahui bahwa itu semua perlu penanganan yang tidak sembarangan, karena melalui tusuk tubuh beberapa kali. Akan tetapi Dewa Maut bisa mengetahui pengalihan tenaga planangan itu, walau tidak tahu persis bagaimana caranya. Dengan melihat keadaan Halayudha, Dewa Maut seperti dibukakan kitab lama.
Halayudha sendiri merasa bahwa Dewa Maut sebenarnya telah menjadi tokoh yang sakti mandraguna. Pengenalannya selama ini, apa yang diketahuinya mengenai diri Dewa Maut, sudah meleset jauh. Selama bertahun-tahun mengurung diri dalam gua bawah Keraton dan bisa lebih leluasa berada di kapustakan atau perpustakaan resmi Keraton, Dewa Maut banyak sekali berubah.
Kemampuan dan keunggulan sebagai jago silat, yang pernah membuatnya dijuluki Dewa Maut, adalah modal yang luar biasa besarnya. Sehingga tidak mengalami kesulitan untuk memahami berbagai kitab. Lebih dari itu semua, Dewa Maut tidak berurusan dengan dunia yang lain. Segala sesuatu yang dilalui setiap hari, setiap saat, justru menyatu dengan ajaran dalam kitab. Itulah sesungguhnya yang telah mengubah diri Dewa Maut. Yang pada penampilannya tetap tak berbeda seujung rambut pun.
“Kekuatan planangan, Dewa Maut?”
“Ya. Itu yang terjadi pada Barisan Api. Urat planangan merupakan sumber kekuatan bagi lelaki. Kekuatan yang berasal dari kodrat. Sehingga lelaki bisa menjadi jantan. Bisa menurunkan, bisa memberikan benih. Yang saya tahu, kekuatan itu dari sumbernya dialihkan menjadi tenaga. Itu yang terjadi pada Barisan Api.”
“Hal yang sama…”
“Tidak. Kamu tidak. Aku juga tidak.” Napas Dewa Maut mulai teratur. “Pada diriku kekuatan planangan itu tidak dialihkan, melainkan dibunuh. Karena aku kecewa. Karena aku tak mau lagi. Pada dirimu kekuatan planangan itu tidak dialihkan, melainkan dibuntu. Karena apa aku tak tahu. Padahal itu bisa dialihkan menjadi kekuatan.”
Otak Halayudha cepat menangkap bersitan kemungkinan yang luar biasa. Bahwa tenaga dalamnya bisa meningkat dalam waktu singkat. Kalau ini terjadi, jagat akan dihadapi dengan kepala lebih mendongak. Itu bukan kemungkinan yang muskil. Selama ini, sepanjang usianya, Halayudha selalu berlatih ilmu silat, melatih tenaga dalam. Bahkan lebih dari ksatria mana pun di seluruh Keraton, Halayudha mengetahui berbagai kitab dan ajaran ilmu silat dari seberang. Baik dari Jepun, Syangka, Hindia, maupun dari Tartar. Tidak kepalang tanggung, Halayudha belajar secara langsung!
Dengan dasar-dasar Kitab Bumi yang dikuasai, semua itu bukan sesuatu yang sulit. Dengan cepat Halayudha bisa memahami. Akan tetapi tetap mengherankan bahwa dirinya bukan yang paling unggul. Ini merupakan pertanyaan lama yang tidak disadari. Dan tak diketahui jawabannya. Tapi terasakan. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Halayudha makin menyadari ketika melihat perkembangan diri Gendhuk Tri. Gadis galak yang mengganggu perjalanan hidupnya itu adalah contoh nyata.
Halayudha mengetahui persis kekuatan dan kelemahan ilmu silat Gendhuk Tri. Hanya karena keberanian dan kadang kenekatan saja Gendhuk Tri bisa selalu lolos, atau kadang bisa unggul tipis darinya. Akan tetapi Halayudha yakin, bahwa dalam satu pertarungan dirinya bisa mengalahkan dengan mudah. Walaupun Gendhuk Tri mengalami kemajuan besar di sana-sini.
Akan tetapi, tetap saja mengherankan. Karena kemudian Gendhuk Tri mampu melejit, menemukan sumber kekuatan baru yang mengubah seluruh penampilannya. Dengan memainkan jurus-jurus Sepasang Air, yang dimainkan bersama Pangeran Anom atau Maha Singanada, Gendhuk Tri seakan menjelma menjadi kekuatan baru yang hebat. Yang berbeda dari sebelumnya. Loncatan inilah yang rasanya tak dialami Halayudha. Ia berlatih keras. Ia memahami, menjalani. Dan menemukan kemajuan yang berarti. Tetapi tetap bukan loncatan.
Kemajuan yang setapak demi setapak, makin luwes dan menguasai ilmunya. Sementara Gendhuk Tri sudah melakukan lompatan besar. Padahal Halayudha berada pada kemungkinan yang lebih. Kitab Air yang disusun oleh Eyang Putri Pulangsih telah dikuasai. Bahkan padanan yang berasal dari tanah Syangka, yang membuat Pendeta Manmathaba seolah tanpa tanding, juga telah dikuasai dan dipahami. Akan tetapi semua itu menunjukkan hasil yang tak seberapa dibandingkan apa yang dicapai oleh Gendhuk Tri.
Di mana salahnya? Laku apa yang membedakannya? Pertanyaan itu menjadi lebih besar ketika Halayudha melihat Upasara Wulung, yang dengan gagah dan gemilang muncul pada saat gawat, dan menggilas habis lawan-lawannya. Menaklukkan Barisan Api. Sama-sama mendalami Kitab Bumi, Upasara bisa menemukan kekuatan yang berbeda. Penguasaan yang luar biasa, membuat Upasara mengungguli siapa pun yang mempelajari kitab yang sama sumbernya.
Lebih dari itu, ketika Upasara menjamah juga sentuhan dari kitab yang lain, Kidungan Paminggir dan Kidungan Pamungkas, ia menjadi satu tingkat lebih tinggi lagi. Sehingga seolah Halayudha merangkak berat, sementara Upasara melangkah tegar. Sekarang pertarungan itu terjawab. Lewat Dewa Maut! Jawaban itu antara lain, pengalihan tenaga planangan yang selama ini buntu.
Itukah jawabannya? Itu jawabannya! Halayudha bersorak dalam hati. Seolah mendapatkan pencerahan, melihat cahaya di ujung lorong gelap yang selama ini dijalani. Dalam berlatih ilmu silat, hubungan antara jiwa dan raga tak bisa dipisahkan. Sejak awal, siapa pun yang mempelajari ilmu silat mengetahui hal ini.
Hal ini yang membedakan bagaimana seorang bisa lebih kuat tenaga dalamnya dibandingkan yang lain, walaupun semua latihan, cara, dan waktu yang dihabiskan umpama kata sama. Titik yang membedakan adalah penyatuan raga dengan jiwa. Semakin bisa menyatu, pemusatan tenaga dalam itu bisa semakin kuat. Untuk itu diperlukan kebersihan hati, ketenangan, untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada tuntunan Dewa Yang Maha Menguasai.
Hal yang sebenarnya kurang bisa dilakukan oleh Halayudha. Baru sekarang ini disadari. Selama ini ganjalan yang coba ditutupi, coba ditenggelamkan, akan tetapi ternyata masih menjadi gangguan yang masih tersisa. Halayudha bersujud di kaki Dewa Maut.
“Terima kasih atas pencerahan Dewa Maut.”
“Kalau kamu berterima kasih padaku, kepada siapa aku berterima kasih?” jawab Dewa Maut kocak, sambil melihat kiri-kanan.
“Mohon pengarahan dan bimbingan selanjutnya.”
Asmara Dewi Renuka
DEWA MAUT masih bersandar lemas. Halayudha menyembah sekali lagi. Lalu bersila. Lama. Tangan kirinya membuka, terangkat ke atas. Perlahan bergerak ke depan. Tanpa suara. Tanpa angin. Tangan kirinya turun ke bawah, berhenti di bagian dada. Sementara tangan kanannya terangkat ke atas, membuka ke arah depan. Bergetar. Jarinya yang kutung terlihat jelas. Bekas codetan di perutnya tak tertutup lagi. Halayudha berusaha mengosongkan diri.
Telanjang. Dalam artian yang sebenarnya, karena kainnya lepas, terjatuh di samping. Gerakan kedua tangannya yang bergetar membuat kain yang menutupi tubuhnya sebagai baju sudah lama tanggal. Halayudha membuka diri. Sepenuhnya. Tarikan napasnya makin lama makin teratur. Satu titik dari matanya yang tertutup, tertuju kepada satu lingkaran cahaya. Yang makin mengecil, mengecil, mengecil, dan plas. Plas.
Menjadi titik yang berwujud bocah kecil, di suatu daerah yang lebat tetumbuhan kiri-kanan, tersamar dalam kabut dini hari. Halayudha kecil membawa batok kelapa yang berisi air. Berlari-lari melalui jalan berbatu, menuju rumah yang dibangun sederhana dari ranting-ranting pohon. Naik-turun hingga matahari tengah hari. Hingga matahari lenyap.
Ditemani rembulan, Halayudha kecil terus melakukan pekerjaan yang sama. Mengisi pojok-pojok bangunan rumah dengan siraman air. Terus melakukan itu, sampai Eyang Sepuh Dodot Bintulu meminta batok kelapa itu dan membuat lubang di samping kiri-kanan. Halayudha kecil kembali melakukan pekerjaannya. Memandikan rumah. Kali ini harus bergerak lebih cepat, karena air dalam batoknya mengalir keluar dari samping kiri dan kanan.
“Kalau air sampai di batas yang berlubang, tak ada gunanya kamu mempercepat langkah. Langkah bisa dipercepat, kalau ada artinya. Bergeraklah sebelum air memancar ke luar. Setelah mengalir tak ada gunanya.”
Halayudha terus melakukan. Terus-menerus melakukan. Hingga berganti tempat semadi. Hingga kemudian sekali batok kelapa itu dilubangi bagian dasarnya. Bolong menganga di bawah! Saat itu Halayudha kecil benar-benar tak bisa melakukan apa-apa. Karena air yang dibawa dengan kecepatan penuh pun selalu mengucur ke bawah. Sehingga hanya tinggal percikan belaka ketika ditumpahkan.
“Bodoh! Gerakan tenagamu untuk berlari, bukan untuk menggoyang batok. Bodoh! Percuma kamu berlatih napas.”
Suatu saat Halayudha mendapat tumpahan kalimat terburuk, ketika Paman Sepuh Dodot Bintulu mengetahui kemudian, bahwa dirinya bisa menuang air secara penuh karena jarinya ditutupkan di bagian yang berlubang.
“Kotor! Nista! Bagaimana pikiran kotor itu bisa ada di otakmu, kalau sejak kecil kamu mengikuti aku? Apakah kamu lahir sudah membawa kejijikan?”
Halayudha merasa wajahnya pedih. Segumpal cairan kental disemprotkan Paman Sepuh menyambar wajahnya.
“Coba lagi sampai mati.”
Halayudha kecil menangis. Tapi mencoba lagi. Kali ini tidak menutupi lubang dasar dengan jari, melainkan dengan tanah liat. Sehingga kesepuluh jarinya bisa terlihat dari kejauhan. Halayudha tidak menyumpal seluruhnya, melainkan hanya sebagian kecil saja. Karena kuatir gurunya mengetahui air dalam batok kelapa masih penuh.
Halayudha kecil selalu mengikuti gurunya. Sampai di pinggir laut. Sampai di tempat lain di tengah hutan. Tanpa pernah bertanya, tak pernah ditanya. Hanya berlatih, menuruti, mengikuti. Juga tak bertanya-tanya mengenai dirinya, orangtuanya dulu, desanya, atau apa saja. Hingga menjadi lelaki dewasa.
“Aku tidak mau kamu seperti bangsat Ugrawe.”
Halayudha juga tak bertanya siapa Ugrawe, atau bagaimana kisahnya. Gurunya selalu membatasi, dan berlindung di balik caping. Sampai suatu ketika Halayudha melihat seorang wanita yang berada di samping gurunya. Halayudha tidak bertanya, tidak menyapa. Melakukan apa yang diperintah. Itu saja. Itu selalu. Berlatih ilmu silat. Tenaga dalam. Dipuji. Diludahi. Dibiarkan. Sampai kemudian peristiwa yang selalu disembunyikan itu terjadi. Ia berada di telaga, ketika wanita itu mendekap tubuhnya, menggulatnya.
“Ia tak memedulikanku. Ia gila dengan ilmu silatnya.”
Halayudha muda tak menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Hanya kemudian sekali, gurunya mengetahui. Dan sekali menggerakkan lidi kecil, Halayudha kehilangan kelelakiannya. Di jagat ini selain gurunya, hanya Eyang Puspamurti yang pernah melihat itu. Juga muridnya. Tidak. Bahkan gurunya tidak melihat. Wanita itu juga tidak melihatnya.
“Dewi Renuka dulu dibunuh anaknya ketika menyeleweng saat menemani suaminya bertapa. Kamu akan mengalami hal yang sama. Minggat dari sisiku. Biarkan anak dalam kandunganmu itu membunuhmu nanti.”
Saat itu Halayudha tak mengetahui itu kisah tentang Dewi Renuka. Baru kemudian sekali telah melarikan diri dari gurunya karena tak tahan penderitaan, dengan membunuh gurunya dan membuang serta menindihi dengan tumpukan batu, Halayudha mengetahuinya. Seorang wanita yang menyertai suaminya bertapa, dan karena merasa tidak diperhatikan bermain asmara dengan seorang raja. Dewi Renuka dibunuh putranya sendiri, sebagai hukuman atas penyelewengan yang dilakukan.
Kisah yang dituturkan dengan kengerian yang luar biasa itu tak terlalu menggigit hati Halayudha. Berusaha melenyapkan. Berusaha menanggalkan. Bukan bagian dirinya. Perjalanannya sebagai prajurit Keraton menghapus semuanya. Tak ada yang bertanya, tak ada yang menyinggung, dan itu semua berjalan dengan sendirinya. Kebanggaan sebagai prajurit, keunggulannya dibandingkan para prajurit lain, menjadi dirinya yang sekarang. Yang terpupuk ketika menjadi senopati.
Melihat berbagai kesibukan sehingga praktis tak mengingat lagi hubungannya dengan Dewi Renuka atau Kiai Gajah Mahakrura, atau Gajah yang Mahabengis, sebutan untuk gurunya. Satu-satunya yang pernah menggetarkan hatinya ialah ketika diadakan pertarungan di Trowulan, Paman Sepuh Dodot Bintulu muncul lagi. Halayudha bagai dirobek masa lalunya. Untung tidak berkepanjangan, karena Paman Sepuh sirna dalam pertarungan itu. Baru sekarang terbuka kembali. Di depan Dewa Maut. Yang bersandar ke dinding seolah tertidur.
“Saya anak yang menjijikkan itu. Saya anak yang hina, yang tak tahu budi. Saya bisa balik bertanya, kenapa Guru Gajah yang Mahabengis itu memanggil dan mengajak? Kenapa tidak membiarkan saya sebagai anak desa yang biasa-biasa dan miskin? Saya bisa balik bertanya, kenapa wanita yang mempunyai daya asmara Dewi Renuka itu menubruk saya? Saya bisa balik bertanya, kenapa Guru Gajah yang Mahabengis menjatuhkan hukuman sehina ini? Saya bisa balik bertanya, kenapa ia tidak menghukum diri sendiri? Dan kenapa memilih saya yang lemah yang tak bisa melawan?”
Pertanyaan Berahi
DEWA MAUT menggerakkan tangan kanan seolah mengusir nyamuk. Suara Halayudha menurun. Tapi perihnya mendaki. Dorongan penderitaan yang tak dipahami selama bertahun-tahun.
“Saya bisa balik bertanya. Apa sesungguhnya daya asmara itu? Apa bedanya dengan daya berahi itu? Apa arti kesucian, kesetiaan? Saya balik bertanya, Dewa Maut. Siapa sesungguhnya wanita yang disebut sebagai Dewi Renuka itu? Istri Kiai Gajah Mahakrura? Kekasih? Kenapa tiba-tiba muncul bersama, dan kemudian ditelantarkan? Dan kenapa merasa disisihkan? Kenapa saya yang harus menjadi korban? Dosa apa yang saya lakukan?”
Ingin rasanya bermalam di rumah penduduk, mendengarkan obrolan. Akan tetapi hati kecilnya menahan keinginan itu. Karena hanya akan merepotkan. Dan ia tak bisa berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan. Bukan artinya kebaikan harus segera dibayar lunas, akan tetapi Upasara menyadari dirinya tidak siap untuk itu. Tak ada sekeping uang di sakunya.
Malam ketiga, ketika Upasara mulai masuk ke wilayah Keraton, baru ia mendengar kabar. Kabar pertama yang mengagetkan. Bahwa Raja Jayanegara akan menikahi secara resmi Tunggadewi maupun Rajadewi. Sesuatu yang tidak masuk akalnya sama sekali. Bukan karena Upasara merasa sangat dekat dengan dua putri Permaisuri Rajapatni sejak masih kecil, melainkan karena kedua putri itu saudara seayah dengan Raja. Niatan lama Raja yang pernah mendapat banyak tantangan itu kini diwujudkan kembali.
Banyak isyarat yang dimunculkan dari keberanian ini. Sekurangnya Raja ingin menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya penguasa. Bahwa sekarang Baginda yang berada di Simping tak lagi berhak mencampuri urusan Keraton. Sesuatu yang terasakan oleh Upasara dari pembicaraan tersamar yang didengar. Bahwa sejak Baginda tertawan Pangeran Hiang, pamornya menyusut dengan keras, walau tidak secara terang-terangan. Apa pun alasannya, Upasara tidak akan membiarkan pernikahan resmi itu terjadi. Dengan jalan apa pun.
Harta dan Wanita
UPASARA tidak menyadari bahwa sejak pertarungan di Lodaya, terjadi beberapa perubahan. Kalau kemudian hatinya tergerak untuk melibatkan diri dalam rencana pernikahan Raja dan dua putri Permaisuri Rajapatni, itu adalah bagian yang memang direncanakan Halayudha. Sejak pertarungan yang diakhiri dengan pembakaran perahu Siung Naga Bermahkota hingga karam dan tinggal arang yang mengapung, Halayudha merasa segalanya sudah di tangan.
Apalagi telah disaksikannya sendiri beberapa mayat yang hangus tak bisa dikenali lagi. Meskipun tidak yakin mana mayat hangus Upasara, untuk sementara Halayudha merasa terhibur. Terutama karena kini kekuasaan sebagai mahapatih telah berada dalam tangannya. Wewenang telah diisyaratkan Raja, dan ia telah memakai kesempatan dengan baik. Mahapatih Nambi telah disingkirkan. Baik dalam pengertian pangkat dan jabatan serta derajat, maupun dalam pengertian badaniah.
Mahapatih Nambi telah dikembalikan ke Lumajang. Lengkap dengan ayahnya dan seluruh prajurit, dengan beban telah melakukan kesalahan. Baginda tidak banyak berbuat. Karena lebih berkenan mencari dirinya melalui semadi yang panjang di Sanggar Pamujan Simping. Berarti secara resmi halangan di sekitar Keraton tak ada lagi. Tidak juga Permaisuri Indreswari yang selalu lebih awas dan penuh perhitungan.
Dalam perhitungan Halayudha, Raja Jayanegara tak banyak menimbulkan persoalan. Memang begitu. Hanya saja ada yang tidak diduga oleh Halayudha. Ketika Raja menanyakan apakah benar Dewa Maut bisa membebaskan Gendhuk Tri, Jaghana, serta Senopati Sina hanya dengan menusuk telapak kaki.
“Perhitungan raja sangat tepat sekali.”
“Bawa dia menghadap kepadaku. Aku ingin menyembuhkan Permaisuri Praba Raga Karana.”
Bagai disambar petir di tengah hari, Halayudha mendengar perintah Raja. Betapa tidak. Kalau Dewa Maut bisa membebaskan Praba Raga Karana, sama juga dengan dirinya menyerahkan kepala untuk dipenggal. Pengakuan Praba akan memusnahkan seluruh impiannya. Justru di saat telah dipegang erat.
“Hamba akan usahakan, Raja yang Bijaksana. Hanya Dewa Maut agak aneh kelakuannya.”
“Lakukan segala bujuk rayu.”
“Demi Raja…”
“Lakukan, Halayudha.”
“Sendika dawuh, Ingkang Sinuhun…”
“Lakukan. Di jagat ini semua lelaki sama. Menginginkan harta atau wanita atau dua-duanya. Berikan apa saja yang diminta.”
Inilah yang merepotkan. Dewa Maut, meskipun kelakuannya tak bisa ditebak dan kemauannya serba ngawur, akan tetapi tak akan menolak kalau mendengar ada yang meminta bantuannya. Dengan ilmunya, bukan tidak mungkin mampu menerobos totokan nadi yang dilakukan Halayudha. Inilah repotnya. Karena Halayudha tak bisa menunda, atau tidak menjalankan sama sekali. Sebab Praba Raga Karana bagi Raja adalah segalanya. Takhta dan kehormatan akan menjadi urutan kesekian.
“Raja yang Maha bijaksana. Hamba mengetahui sedikit rasa dan daya asmara Raja. Permaisuri Praba Raga Karana cepat atau lambat akan segera baik kembali. Hanya saja, selama menunggu, apakah Raja tidak berkenan menyanding putri yang lain?”
“Siapa yang kamu maksudkan?”
“Hamba hanya mengingatkan bahwa di taman kaputren masih ada dua putri yang elok, dan mempunyai darah raja….”
“Kalau itu saja, apa susahnya?”
“Maksud hamba, Raja berkenan mengangkat sebagai salah satu selir kesayangan, kalau bukan permaisuri.”
“Halayudha! Ingsun bisa melakukan itu tanpa saranmu. Dulu bisa, sekarang pun bisa.”
“Dalam suatu pesta Keraton.”
“Apa itu perlu? Apa itu tidak membuat Permaisuri Praba Raga Karana bertambah sedih karenanya?”
Halayudha menyembah hingga menunduk. Dalam hatinya tersenyum. Umpan Raja mengenai arta lan wanita, harta dan wanita, untuk Dewa Maut, kini yang disodorkan Halayudha. Untuk Raja! Inilah taktik.
“Hamba mengetahui, merasakan daya asmara Raja. Apalagi Permaisuri Praba Raga Karana. Sedih sesaat, akan tetapi akan berbahagia bila kemudian Raja berkenan mengangkatnya sebagai permaisuri. Di lain pihak, duh Raja, semua hati wanita mempunyai rasa sujana, selalu mempunyai rasa tidak mau mempercayai karena rasa cemburu. Mohon maaf, Raja. Hati wanita siapa pun, akan tetap memiliki rasa itu. Dalam kaitan ini, Permaisuri Praba Raga Karana justru akan mendekat ke Raja untuk nyuwita, untuk mengabdikan dirinya. Dan juga pertimbangan lain.”
“Apa itu?”
“Raja yang Bijaksana sekarang benar-benar penguasa tertinggi di tanah Jawa. Tak ada yang lain. Bayangan kebesaran tak akan tertutupi oleh yang lain. Melihat suasana pembebasan Baginda di pinggir Kali Brantas, hamba merasa bahwa Baginda masih berusaha menempatkan diri pada pusat kekuatan. Sehingga merasa tetap berkuasa, karena Mahapatih Nambi yang sedang palapa karya bersedia datang. Kini saatnya Raja membuktikan bisa menentukan sendiri. Menganggap sepi Baginda. Dengan mengawini dua putri Baginda sekaligus. Pertimbangan yang lain, demi keamanan takhta Raja. Kita tak tahu, apakah kedua putri Permaisuri Rajapatni masih mempunyai dendam yang bersarang dalam tubuh Permaisuri Tribhuana, yang ingin meneruskan keturunan memegang takhta. Kemungkinan yang ada, bersandar pada harapan kedua putri Permaisuri Rajapatni. Siapa pun suami mereka di belakang hari, akan mudah terkena kisikan bahwa, maaf sekali, Raja bukan turunan darah asli Singasari. Suatu pikiran licik yang bisa dipakai untuk memanaskan suasana. Dengan mengambil kedua putri Permaisuri Rajapatni, kemungkinan itu tak ada sama sekali. Pertimbangan lain, agaknya kedua putri sekar kedaton, bunga Keraton, cukup elok dan hangat serta bisa meladeni Raja.”
“Boleh juga pertimbangan kamu, Halayudha. Hanya dari mana semua perhitungan itu? Apakah dari hatimu yang juga busuk, sehingga mengetahui secara jelas?”
“Hamba…”
“Tak apa. Ingsun menerima apa yang kamu sarankan. Tetapi, sambil mengupayakan pesta itu, Ingsun pribadi ingin mengetahui mengenai pengobatan oleh Dewa Maut.”
“Sembah bagi Raja….”
“Lakukan!”
Ada kesempatan untuk mengambil napas. Walau waktunya terbatas. Tak mudah Halayudha menyingkirkan Dewa Maut begitu saja. Kecurigaan Raja bisa mengubah segala rencana. Juga tak bisa membiarkan Dewa Maut lolos serta melarikan diri ke gua bawah Keraton. Karena kini semua berada dalam tanggung jawab dan wewenangnya.
Cara terbaik hanyalah mempengaruhi sehingga Dewa Maut tetap kacau dan ngawur.Juga dalam penyembuhan. Tapi ini yang sulit ditebak. Tak ada jalan lain kecuali mengadakan pendekatan sendiri. Mendekati Dewa Maut, dengan jalan mengajaknya ke kapustakan.
“Untuk apa? Aku bisa ke sana sendiri.”
“Dewa Maut, maukah Dewa Maut memberi petunjuk bagaimana menentukan penyakit lewat totokan dan tusukan jari pada telapak kaki?”
“Jarimu ada yang putus, mau apa? Haha. Tapi aku tak boleh bilang begitu. Aku ingin tanya dulu. Di mana Tole, di mana Dewa Maut? Di mana jalan menuju ke gua? Di mana Jaghana, Nyai Slemok yang tubuhnya bagus? Di mana siapa?”
“Semua menunggu Dewa Maut di bawah gua.”
“Bagus itu. Terima kasih. Kalau kamu mau belajar ilmu itu, ada di kapustakan. Di situ ada kitab, ada tulisan, ada kidungan. Begitu.”
“Kitab yang mana?”
“Yang mana saja.”
Kekuatan Wadat
HALAYUDHA tersenyum geli dalam hati. “Kitab mana?” tanyanya mengulang.
“Mana saja,” jawab Dewa Maut sama.
“Dalam Kitab Bumi…”
“Ya.”
“Atau Kidungan Paminggir?”
“Ya.”
“Kidungan Pamungkas?”
“Ya.”
“Atau kitab Dlamakan Megar..”
“Bisa juga…”
Tangan Halayudha mengusap bibirnya. Hatinya berkata, bahwa dalam gilanya Dewa Maut sebenarnya tidak ngawur dalam segala hal. Jawaban-jawaban yang sekenanya, sebenarnya memang kena. Bukan tidak mungkin cara penyembuhan lewat telapak kaki itu ada dalam kitab-kitab yang disebutkan. Ketika Halayudha menyebutkan kitab Dlamakan Megar, Dewa Maut tidak langsung mengiya. Melainkan membuka kemungkinan.
Sudah barang tentu Halayudha hanya main-main untuk menjajal Dewa Maut. Selama ini tak pernah ada kitab Dlamakan Megar, atau Telapak Kaki Membuka. Ternyata Dewa Maut tidak asal mengiya.
“Bagaimana kalau kita coba saja?”
“Mencoba apa?”
“Saya pura-pura diperiksa.”
“Tak bisa pura-pura.”
“Coba Dewa Maut periksa, apa yang salah dalam diri saya.” Tanpa ragu Halayudha berbaring. Telapak kakinya membuka.
“Tapi kamu siapa?”
“Saya Halayudha.”
“Halayudha itu siapa?”
Dewa Maut menunduk. Telunjuk tangannya menusuk telapak kaki kiri pada beberapa bagian. Mendadak meloncat kaget. Berdiri. Halayudha juga tersentak kaget.
“Kamu siapa?”
Pandangan mata Dewa Maut luar biasa bernas, tajam, menghunjam. Kepalanya bergerak ke kiri, sedikit miring.
“Aku tahu kini, kamu Dewa Maut yang sedang ngrogoh sukma sejati, mau mengetahui asal-usulku. Aha, tak begitu gampang. Aku bukan orang yang gampang dimasuki, ditelanjangi, dan dilihat. Aku adalah Halayudha, senopati, sekaligus juga mahapatih, juga calon penguasa tertinggi. Aku adalah batu karang. Kamu tak akan menang denganku, Dewa Maut. Aku sedang mempermainkan, agar kamu tak bisa menyembuhkan wanita menyebalkan itu.”
Halayudha mengeluarkan keringat dingin. Adalah di luar dugaannya bahwa Dewa Maut bisa mengubah diri. Menjadi dirinya dan mengeluarkan isi hatinya. Inilah celaka. Jika sampai diketahui orang lain. Jika sampai didengar telinga lain. Akan tetapi ada rasa aman. Pertama, karena mereka berdua berada di tempat tersendiri. Kedua, siapa yang mau percaya omongan Dewa Maut yang dikenal kurang waras?
Namun hatinya bercekat juga. Kata-kata yang membuatnya mengeluarkan keringat dingin, bukan hanya karena dengan demikian Dewa Maut bisa menelanjangi bawah sadar dan keinginannya yang terpendam saja, melainkan juga karena Dewa Maut menyebut mengenai merogoh sukma sejati. Selama ini Halayudha hanya mendengar saja, belum pernah melihat sendiri. Baru sekarang ini.
“Aku tahu kamu heran, Dewa Maut. Karena aku adalah Halayudha yang selama ini tak diketahui orang. Aku senopati yang paling tersamar, paling tak dikenali. Itulah keuntunganku. Aku senopati kitab tertutup, yang tak bisa dibaca. Dewa Maut, percuma kamu masuk dan menukik ke dalam diriku.”
Ludah Halayudha tertahan. Matanya nyalang. Dewa Maut menusuk kembali telapak kaki Halayudha. Dan untuk kedua kalinya meloncat kaget.
“Kamu baru tahu, Dewa Maut? Akulah ksatria wadat yang sesungguhnya.”
Kali ini Halayudha yang sesungguhnya meloncat kaget. Tubuhnya mencelat dari pembaringan. Kedua tangannya terulur cepat. Tapi urung dengan sendirinya. Halayudha masih bisa berpikir untuk tidak berlaku gegabah melukai Dewa Maut. Kali ini bukan hanya pertimbangan dirinya pengawas hidup Dewa Maut, melainkan, lagi-lagi, kalimat Dewa Maut yang menyebut wadat. Selama ini, Halayudha selalu menyembunyikan hal itu. Rapat tertutup. Rapi terkunci.
Wadat adalah istilah yang diberikan kepada lelaki atau perempuan yang menyendiri selama hidupnya. Tidak mau mengenal dan berhubungan dengan lawan jenisnya. Para pendeta, resi, banyak yang memilih cara hidup seperti ini. Bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi bahwa Dewa Maut bisa mengetahui dan memahami hanya dengan menusuk telapak kaki satu kali saja, itulah yang luar biasa.
“Urat planangan masih utuh dan buntu. Bagaimana mungkin bisa begitu?”
Wajah Halayudha pias. Tenggorokannya tercekik. Matanya membalik. Yang kelihatan hanya putihnya.
“Urat planangan, itu urat kelelakian. Yang membuat lelaki menjadi jantan, menjadi pejantan yang menyemprotkan bibit keturunan. Kamu punya itu. Tapi buntu. Jadi, bagaimana bisa begitu?”
“Tid… tidak…”
“Halayudha, kamu keliru. Aku bisa mengetahuinya, dengan merogoh sukmamu.”
Halayudha menunduk. Tubuhnya gemetar dan mandi keringat. Basah hingga menyungai di lantai. Pukulan dan guncangan yang dahsyat. Selama ini Halayudha selalu menyembunyikan apa yang pernah terjadi atas dirinya. Tak pernah ada yang mengetahui. Ada. Ada. Eyang Puspamurti. Hanya Eyang Puspamurti yang berhasil membuatnya telanjang, dan menelungkupkan serta menelentangkan tubuhnya!
Selebihnya tak ada. Selebihnya, Halayudha sendiri tak mau melihatnya. Kini dengan tepat, Dewa Maut bisa melihatnya. Dan mengatakannya! Halayudha berusaha memusatkan tenaga batinnya. Ia tak mau sukmanya dibetot oleh Dewa Maut. Tapi ternyata tak ada gunanya. Dewa Maut yang berada di depannya, seolah menjadi Halayudha yang berdiri goyah.
“Dewa Maut, apakah betul kamu ingin mengetahui keadaan diriku? Aku ini Halayudha. Murid kesayangan, murid utama, tumpuan segala keinginan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang menciptakan Kitab Bumi. Tokoh sakti mandraguna dan baik hati. Aku menjadi tumpuan setelah kakak seperguruanku, Ugrawe, meninggalkan guruku. Aku adalah segalanya. Kalau saja… Kalau saja… tak terjadi peristiwa itu.”
Halayudha yang sesungguhnya bengong. Kedua bibirnya membuka. Dewa Maut, yang berperan sebagai Halayudha, sebaliknya hanya menggeleng berulang kali. Berusaha menembus rintangan batin, untuk menjadi Halayudha secara total. Tapi agaknya mengalami kesulitan.
“Kalau saja peristiwa itu tak terjadi. Bukan salahku. Bukan mauku. Aku, aku, aku telah melakukan semua demi guruku. Semuanya. Tapi, apa yang harus kuderita?” Dewa Maut terhuyung-huyung, tubuhnya melemah. Dan ambruk.
Halayudha menarik cepat. “Dewa Maut…”
Dewa Maut menghela napas. Berat. Wajah dan tubuhnya tampak sangat letih.
“Halayudha, bukankah wadat itu kekuatan? Apakah kamu lupa Barisan Api di atas perahu itu?”
Dewa Maut memejamkan mata. Napasnya masih tersengal-sengal.
Pengalihan Planangan
HALAYUDHA menunduk. Menunggu. Tarikan dan embusan napas Dewa Maut masih menggeronjal, tak menentu. Sedikit demi sedikit, kalimat Dewa Maut masuk ke alam pikirannya. Wadat sebagai kekuatan, sudah lama disadari. Para pendeta, para resi, sengaja tetap membujang, karena dengan demikian pemusatan pikirannya bisa penuh, total, dan tuntas.
Yang tidak diketahui Halayudha sebelum ini ialah adanya hubungan dengan Barisan Api. Bagi para ksatria mana pun, Barisan Api yang dibawa Pangeran Hiang adalah kasunyatan yang amat menarik. Kenyataan yang membuka mata. Bahwa sesungguhnya kekuatan raga, kekuatan tenaga luar, ternyata bisa dikembangkan sampai tingkat yang tak terbayangkan sebelumnya. Yang bisa pula menindih kekuatan tenaga dalam. Apalagi dalam hal ini, Barisan Api bisa melipatkan tenaga jika bersentuhan.
Halayudha mengalami sendiri, karena langsung terlibat dalam pertarungan. Hanya tidak disadari bahwa kemungkinan pacuan tenaga itu antara lain karena Barisan Api berawal pada sikap wadat. Sesuatu yang bisa dengan mudah dilihat oleh Dewa Maut. Sebab pada dasarnya Dewa Maut juga melakukan sikap yang sama. Pada awalnya.
Kalaupun Dewa Maut tak mengetahui lebih dalam, itu tak mengurangi arti pemahamannya. Bahwa Barisan Api memang sengaja dididik dan dibentuk sebagai ksatria dengan kekuatan penuh. Bahwa kekuatan utamanya, antara lain digali dari kekuatan urat planangan, kekuatan kelelakian.
Dewa Maut tidak mengetahui bahwa itu semua perlu penanganan yang tidak sembarangan, karena melalui tusuk tubuh beberapa kali. Akan tetapi Dewa Maut bisa mengetahui pengalihan tenaga planangan itu, walau tidak tahu persis bagaimana caranya. Dengan melihat keadaan Halayudha, Dewa Maut seperti dibukakan kitab lama.
Halayudha sendiri merasa bahwa Dewa Maut sebenarnya telah menjadi tokoh yang sakti mandraguna. Pengenalannya selama ini, apa yang diketahuinya mengenai diri Dewa Maut, sudah meleset jauh. Selama bertahun-tahun mengurung diri dalam gua bawah Keraton dan bisa lebih leluasa berada di kapustakan atau perpustakaan resmi Keraton, Dewa Maut banyak sekali berubah.
Kemampuan dan keunggulan sebagai jago silat, yang pernah membuatnya dijuluki Dewa Maut, adalah modal yang luar biasa besarnya. Sehingga tidak mengalami kesulitan untuk memahami berbagai kitab. Lebih dari itu semua, Dewa Maut tidak berurusan dengan dunia yang lain. Segala sesuatu yang dilalui setiap hari, setiap saat, justru menyatu dengan ajaran dalam kitab. Itulah sesungguhnya yang telah mengubah diri Dewa Maut. Yang pada penampilannya tetap tak berbeda seujung rambut pun.
“Kekuatan planangan, Dewa Maut?”
“Ya. Itu yang terjadi pada Barisan Api. Urat planangan merupakan sumber kekuatan bagi lelaki. Kekuatan yang berasal dari kodrat. Sehingga lelaki bisa menjadi jantan. Bisa menurunkan, bisa memberikan benih. Yang saya tahu, kekuatan itu dari sumbernya dialihkan menjadi tenaga. Itu yang terjadi pada Barisan Api.”
“Hal yang sama…”
“Tidak. Kamu tidak. Aku juga tidak.” Napas Dewa Maut mulai teratur. “Pada diriku kekuatan planangan itu tidak dialihkan, melainkan dibunuh. Karena aku kecewa. Karena aku tak mau lagi. Pada dirimu kekuatan planangan itu tidak dialihkan, melainkan dibuntu. Karena apa aku tak tahu. Padahal itu bisa dialihkan menjadi kekuatan.”
Otak Halayudha cepat menangkap bersitan kemungkinan yang luar biasa. Bahwa tenaga dalamnya bisa meningkat dalam waktu singkat. Kalau ini terjadi, jagat akan dihadapi dengan kepala lebih mendongak. Itu bukan kemungkinan yang muskil. Selama ini, sepanjang usianya, Halayudha selalu berlatih ilmu silat, melatih tenaga dalam. Bahkan lebih dari ksatria mana pun di seluruh Keraton, Halayudha mengetahui berbagai kitab dan ajaran ilmu silat dari seberang. Baik dari Jepun, Syangka, Hindia, maupun dari Tartar. Tidak kepalang tanggung, Halayudha belajar secara langsung!
Dengan dasar-dasar Kitab Bumi yang dikuasai, semua itu bukan sesuatu yang sulit. Dengan cepat Halayudha bisa memahami. Akan tetapi tetap mengherankan bahwa dirinya bukan yang paling unggul. Ini merupakan pertanyaan lama yang tidak disadari. Dan tak diketahui jawabannya. Tapi terasakan. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Halayudha makin menyadari ketika melihat perkembangan diri Gendhuk Tri. Gadis galak yang mengganggu perjalanan hidupnya itu adalah contoh nyata.
Halayudha mengetahui persis kekuatan dan kelemahan ilmu silat Gendhuk Tri. Hanya karena keberanian dan kadang kenekatan saja Gendhuk Tri bisa selalu lolos, atau kadang bisa unggul tipis darinya. Akan tetapi Halayudha yakin, bahwa dalam satu pertarungan dirinya bisa mengalahkan dengan mudah. Walaupun Gendhuk Tri mengalami kemajuan besar di sana-sini.
Akan tetapi, tetap saja mengherankan. Karena kemudian Gendhuk Tri mampu melejit, menemukan sumber kekuatan baru yang mengubah seluruh penampilannya. Dengan memainkan jurus-jurus Sepasang Air, yang dimainkan bersama Pangeran Anom atau Maha Singanada, Gendhuk Tri seakan menjelma menjadi kekuatan baru yang hebat. Yang berbeda dari sebelumnya. Loncatan inilah yang rasanya tak dialami Halayudha. Ia berlatih keras. Ia memahami, menjalani. Dan menemukan kemajuan yang berarti. Tetapi tetap bukan loncatan.
Kemajuan yang setapak demi setapak, makin luwes dan menguasai ilmunya. Sementara Gendhuk Tri sudah melakukan lompatan besar. Padahal Halayudha berada pada kemungkinan yang lebih. Kitab Air yang disusun oleh Eyang Putri Pulangsih telah dikuasai. Bahkan padanan yang berasal dari tanah Syangka, yang membuat Pendeta Manmathaba seolah tanpa tanding, juga telah dikuasai dan dipahami. Akan tetapi semua itu menunjukkan hasil yang tak seberapa dibandingkan apa yang dicapai oleh Gendhuk Tri.
Di mana salahnya? Laku apa yang membedakannya? Pertanyaan itu menjadi lebih besar ketika Halayudha melihat Upasara Wulung, yang dengan gagah dan gemilang muncul pada saat gawat, dan menggilas habis lawan-lawannya. Menaklukkan Barisan Api. Sama-sama mendalami Kitab Bumi, Upasara bisa menemukan kekuatan yang berbeda. Penguasaan yang luar biasa, membuat Upasara mengungguli siapa pun yang mempelajari kitab yang sama sumbernya.
Lebih dari itu, ketika Upasara menjamah juga sentuhan dari kitab yang lain, Kidungan Paminggir dan Kidungan Pamungkas, ia menjadi satu tingkat lebih tinggi lagi. Sehingga seolah Halayudha merangkak berat, sementara Upasara melangkah tegar. Sekarang pertarungan itu terjawab. Lewat Dewa Maut! Jawaban itu antara lain, pengalihan tenaga planangan yang selama ini buntu.
Itukah jawabannya? Itu jawabannya! Halayudha bersorak dalam hati. Seolah mendapatkan pencerahan, melihat cahaya di ujung lorong gelap yang selama ini dijalani. Dalam berlatih ilmu silat, hubungan antara jiwa dan raga tak bisa dipisahkan. Sejak awal, siapa pun yang mempelajari ilmu silat mengetahui hal ini.
Hal ini yang membedakan bagaimana seorang bisa lebih kuat tenaga dalamnya dibandingkan yang lain, walaupun semua latihan, cara, dan waktu yang dihabiskan umpama kata sama. Titik yang membedakan adalah penyatuan raga dengan jiwa. Semakin bisa menyatu, pemusatan tenaga dalam itu bisa semakin kuat. Untuk itu diperlukan kebersihan hati, ketenangan, untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada tuntunan Dewa Yang Maha Menguasai.
Hal yang sebenarnya kurang bisa dilakukan oleh Halayudha. Baru sekarang ini disadari. Selama ini ganjalan yang coba ditutupi, coba ditenggelamkan, akan tetapi ternyata masih menjadi gangguan yang masih tersisa. Halayudha bersujud di kaki Dewa Maut.
“Terima kasih atas pencerahan Dewa Maut.”
“Kalau kamu berterima kasih padaku, kepada siapa aku berterima kasih?” jawab Dewa Maut kocak, sambil melihat kiri-kanan.
“Mohon pengarahan dan bimbingan selanjutnya.”
Asmara Dewi Renuka
DEWA MAUT masih bersandar lemas. Halayudha menyembah sekali lagi. Lalu bersila. Lama. Tangan kirinya membuka, terangkat ke atas. Perlahan bergerak ke depan. Tanpa suara. Tanpa angin. Tangan kirinya turun ke bawah, berhenti di bagian dada. Sementara tangan kanannya terangkat ke atas, membuka ke arah depan. Bergetar. Jarinya yang kutung terlihat jelas. Bekas codetan di perutnya tak tertutup lagi. Halayudha berusaha mengosongkan diri.
Telanjang. Dalam artian yang sebenarnya, karena kainnya lepas, terjatuh di samping. Gerakan kedua tangannya yang bergetar membuat kain yang menutupi tubuhnya sebagai baju sudah lama tanggal. Halayudha membuka diri. Sepenuhnya. Tarikan napasnya makin lama makin teratur. Satu titik dari matanya yang tertutup, tertuju kepada satu lingkaran cahaya. Yang makin mengecil, mengecil, mengecil, dan plas. Plas.
Menjadi titik yang berwujud bocah kecil, di suatu daerah yang lebat tetumbuhan kiri-kanan, tersamar dalam kabut dini hari. Halayudha kecil membawa batok kelapa yang berisi air. Berlari-lari melalui jalan berbatu, menuju rumah yang dibangun sederhana dari ranting-ranting pohon. Naik-turun hingga matahari tengah hari. Hingga matahari lenyap.
Ditemani rembulan, Halayudha kecil terus melakukan pekerjaan yang sama. Mengisi pojok-pojok bangunan rumah dengan siraman air. Terus melakukan itu, sampai Eyang Sepuh Dodot Bintulu meminta batok kelapa itu dan membuat lubang di samping kiri-kanan. Halayudha kecil kembali melakukan pekerjaannya. Memandikan rumah. Kali ini harus bergerak lebih cepat, karena air dalam batoknya mengalir keluar dari samping kiri dan kanan.
“Kalau air sampai di batas yang berlubang, tak ada gunanya kamu mempercepat langkah. Langkah bisa dipercepat, kalau ada artinya. Bergeraklah sebelum air memancar ke luar. Setelah mengalir tak ada gunanya.”
Halayudha terus melakukan. Terus-menerus melakukan. Hingga berganti tempat semadi. Hingga kemudian sekali batok kelapa itu dilubangi bagian dasarnya. Bolong menganga di bawah! Saat itu Halayudha kecil benar-benar tak bisa melakukan apa-apa. Karena air yang dibawa dengan kecepatan penuh pun selalu mengucur ke bawah. Sehingga hanya tinggal percikan belaka ketika ditumpahkan.
“Bodoh! Gerakan tenagamu untuk berlari, bukan untuk menggoyang batok. Bodoh! Percuma kamu berlatih napas.”
Suatu saat Halayudha mendapat tumpahan kalimat terburuk, ketika Paman Sepuh Dodot Bintulu mengetahui kemudian, bahwa dirinya bisa menuang air secara penuh karena jarinya ditutupkan di bagian yang berlubang.
“Kotor! Nista! Bagaimana pikiran kotor itu bisa ada di otakmu, kalau sejak kecil kamu mengikuti aku? Apakah kamu lahir sudah membawa kejijikan?”
Halayudha merasa wajahnya pedih. Segumpal cairan kental disemprotkan Paman Sepuh menyambar wajahnya.
“Coba lagi sampai mati.”
Halayudha kecil menangis. Tapi mencoba lagi. Kali ini tidak menutupi lubang dasar dengan jari, melainkan dengan tanah liat. Sehingga kesepuluh jarinya bisa terlihat dari kejauhan. Halayudha tidak menyumpal seluruhnya, melainkan hanya sebagian kecil saja. Karena kuatir gurunya mengetahui air dalam batok kelapa masih penuh.
Halayudha kecil selalu mengikuti gurunya. Sampai di pinggir laut. Sampai di tempat lain di tengah hutan. Tanpa pernah bertanya, tak pernah ditanya. Hanya berlatih, menuruti, mengikuti. Juga tak bertanya-tanya mengenai dirinya, orangtuanya dulu, desanya, atau apa saja. Hingga menjadi lelaki dewasa.
“Aku tidak mau kamu seperti bangsat Ugrawe.”
Halayudha juga tak bertanya siapa Ugrawe, atau bagaimana kisahnya. Gurunya selalu membatasi, dan berlindung di balik caping. Sampai suatu ketika Halayudha melihat seorang wanita yang berada di samping gurunya. Halayudha tidak bertanya, tidak menyapa. Melakukan apa yang diperintah. Itu saja. Itu selalu. Berlatih ilmu silat. Tenaga dalam. Dipuji. Diludahi. Dibiarkan. Sampai kemudian peristiwa yang selalu disembunyikan itu terjadi. Ia berada di telaga, ketika wanita itu mendekap tubuhnya, menggulatnya.
“Ia tak memedulikanku. Ia gila dengan ilmu silatnya.”
Halayudha muda tak menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Hanya kemudian sekali, gurunya mengetahui. Dan sekali menggerakkan lidi kecil, Halayudha kehilangan kelelakiannya. Di jagat ini selain gurunya, hanya Eyang Puspamurti yang pernah melihat itu. Juga muridnya. Tidak. Bahkan gurunya tidak melihat. Wanita itu juga tidak melihatnya.
“Dewi Renuka dulu dibunuh anaknya ketika menyeleweng saat menemani suaminya bertapa. Kamu akan mengalami hal yang sama. Minggat dari sisiku. Biarkan anak dalam kandunganmu itu membunuhmu nanti.”
Saat itu Halayudha tak mengetahui itu kisah tentang Dewi Renuka. Baru kemudian sekali telah melarikan diri dari gurunya karena tak tahan penderitaan, dengan membunuh gurunya dan membuang serta menindihi dengan tumpukan batu, Halayudha mengetahuinya. Seorang wanita yang menyertai suaminya bertapa, dan karena merasa tidak diperhatikan bermain asmara dengan seorang raja. Dewi Renuka dibunuh putranya sendiri, sebagai hukuman atas penyelewengan yang dilakukan.
Kisah yang dituturkan dengan kengerian yang luar biasa itu tak terlalu menggigit hati Halayudha. Berusaha melenyapkan. Berusaha menanggalkan. Bukan bagian dirinya. Perjalanannya sebagai prajurit Keraton menghapus semuanya. Tak ada yang bertanya, tak ada yang menyinggung, dan itu semua berjalan dengan sendirinya. Kebanggaan sebagai prajurit, keunggulannya dibandingkan para prajurit lain, menjadi dirinya yang sekarang. Yang terpupuk ketika menjadi senopati.
Melihat berbagai kesibukan sehingga praktis tak mengingat lagi hubungannya dengan Dewi Renuka atau Kiai Gajah Mahakrura, atau Gajah yang Mahabengis, sebutan untuk gurunya. Satu-satunya yang pernah menggetarkan hatinya ialah ketika diadakan pertarungan di Trowulan, Paman Sepuh Dodot Bintulu muncul lagi. Halayudha bagai dirobek masa lalunya. Untung tidak berkepanjangan, karena Paman Sepuh sirna dalam pertarungan itu. Baru sekarang terbuka kembali. Di depan Dewa Maut. Yang bersandar ke dinding seolah tertidur.
“Saya anak yang menjijikkan itu. Saya anak yang hina, yang tak tahu budi. Saya bisa balik bertanya, kenapa Guru Gajah yang Mahabengis itu memanggil dan mengajak? Kenapa tidak membiarkan saya sebagai anak desa yang biasa-biasa dan miskin? Saya bisa balik bertanya, kenapa wanita yang mempunyai daya asmara Dewi Renuka itu menubruk saya? Saya bisa balik bertanya, kenapa Guru Gajah yang Mahabengis menjatuhkan hukuman sehina ini? Saya bisa balik bertanya, kenapa ia tidak menghukum diri sendiri? Dan kenapa memilih saya yang lemah yang tak bisa melawan?”
Pertanyaan Berahi
DEWA MAUT menggerakkan tangan kanan seolah mengusir nyamuk. Suara Halayudha menurun. Tapi perihnya mendaki. Dorongan penderitaan yang tak dipahami selama bertahun-tahun.
“Saya bisa balik bertanya. Apa sesungguhnya daya asmara itu? Apa bedanya dengan daya berahi itu? Apa arti kesucian, kesetiaan? Saya balik bertanya, Dewa Maut. Siapa sesungguhnya wanita yang disebut sebagai Dewi Renuka itu? Istri Kiai Gajah Mahakrura? Kekasih? Kenapa tiba-tiba muncul bersama, dan kemudian ditelantarkan? Dan kenapa merasa disisihkan? Kenapa saya yang harus menjadi korban? Dosa apa yang saya lakukan?”
JILID 44 | BUKU PERTAMA | JILID 46 |
---|