Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 47
Tanpa sempat tahu apa penyebabnya. Dari jarak empat tombak, Halayudha mampu menahan gerak laju pedati yang ditarik dua ekor sapi. Dengan kepercayaan diri penuh inilah Halayudha merasa tak sangsi lagi menghadapi panggilan Raja, yang bertanya mengenai Praba Raga Karana.
“Kudengar ilmumu tambah maju pesat, Halayudha. Tapi bagaimana dengan permaisuriku?”
“Hamba berhasil menyadap tusuk dlamakan yang dimiliki Dewa Maut. Hanya saja, duh Raja, rasanya permaisuri Dalem terkena kutukan Dewa. Rasanya tak banyak yang bisa hamba lakukan.”
“Berarti tak bisa menyembuhkan?”
“Raja yang Dimuliakan. Kalau Raja berkenan mengetahui yang sesungguhnya….”
Tak terlalu sulit bagi Halayudha untuk melakukan apa yang direncanakan. Totokan dalam tubuh Praba Raga Karana diubah. Kini tubuhnya bisa bergerak, bisa duduk, berjalan. Hanya nadi yang menyebabkan berbicara tetap ditutup. Lebih dari itu, Halayudha menutup nadi wadon, nadi kewanitaan, yang ada. Sehingga Praba Raga Karana tak akan bisa merasakan getaran berahi! Tak ada pancaran itu dari gerak tubuh, pandangan mata, ataupun tarikan napas. Menjadi dingin. Tanpa getaran. Raja mengelus rambutnya sambil menghela napas.
“Kutukan Dewa? Kenapa, Halayudha?”
“Hamba tak mampu menerangkan. Barangkali saja Dewa melindungi Raja yang Mulia, dengan memperlihatkan bahwa tubuh Permaisuri tak bisa menerima Raja. Sesuatu yang hampir tak masuk akal, karena kodrat wanita adalah menerima.”
“Apakah berarti Ingsun tak pernah perlu berhubungan asmara dengan permaisuriku?”
“Lebih dari itu. Hamba kuatir jika daya asmara Raja terpengaruh karenanya.”
Raja menggeleng. “Tak masuk akal. Aku tak bisa percaya begitu saja. Di Keraton ini hanya ada satu tabib yang diakui Dewa. Panggil Tanca menghadap sekarang juga. Hari ini juga kamu menjemput ke Simping.”
“Sendika dawuh, Ingkang Sinuhun…”
Dharmaputra Tanca, senopati pilihan sejak zaman Baginda memang tetap merupakan tumpuan. Karena selama ini masih dianggap yang paling mumpuni, paling menguasai cara-cara penyembuhan. Lebih dari kemampuannya yang luar biasa, Senopati Tanca dianggap tak pernah berubah kesetiaannya. Di saat Bagus Kala Gemet belum secara resmi memegang takhta kekuasaan, Senopati Tanca secara tulus mengabdi. Meskipun dirinya tetap mengikuti Baginda, namun kesetiaan kepada yang memerintah melebihi siapa pun.
Juga ketika huru-hara terjadi dengan kedatangan Pendeta Syangka, Senopati Tanca yang menunjukkan kesetiaan tanpa batas. Apa yang menjadi perintah resmi, itu yang dijalani. Tanpa bertanya, tanpa menunda. Dalam perhitungan Halayudha, Senopati Tanca tetap tak akan berubah. Kalau sekarang Raja memerintahkan menghadap, Senopati Tanca tak akan menunda barang sekejap. Kalau didawuhi menyembuhkan Praba Raga Karana, sepenuh kemampuannya akan dikerahkan. Senopati Tanca adalah gunung lain yang kukuh dalam pengabdian.
Ini yang perlu diperhitungkan Halayudha. Karena bukan tidak mungkin Senopati Tanca bisa mengetahui apa yang sesungguhnya diderita Praba Raga Karana. Pemahamannya yang begitu mendalam mengenai jampi dan pengobatan selama ini belum ada tandingannya. Mudah ditebak, apa yang dilihat dan diketahui, Senopati Tanca akan mengatakan secara terbuka. Tokoh yang satu ini memang aneh. Sekurangnya dibandingkan tujuh dharmaputra yang lain. Tak setitik debu dibelah seribu pun bisa menggoyang kesetiaannya.
Ini yang menyulitkan Halayudha. Akan tetapi dalam perjalanan menuju Simping, Halayudha sudah menemukan langkah-langkah untuk mengalihkan sasaran. Yang pertama ditemui justru Nyai Makacaru, istri Senopati Tanca. Halayudha menuju ke tempat Nyai Makacaru memelihara segala jenis tanaman. Itu pun tidak langsung menemui. Beristirahat di gubuk. Sehingga Nyai Makacaru yang mempersilakan datang.
“Saya tak berani masuk, Nyai. Takut tubuh saya akan mengotori tempat yang bersih, sajian yang suci….”
Dengan kalimat itu, Halayudha menyinggung tempat sajian, atau sesuatu yang bakal dijadikan sajian, yang sesungguhnya itulah arti nama yang dipakai, makacaru.
Rasa Kamanungsan
NYAI MAKACARU, wanita yang tetap tampak bersih, segar pada usianya yang melewati separuh abad, tetap tenang mendengarkan. Tak ada sunggingan senyum atau reaksi atas ucapan Halayudha. Bahunya yang telanjang tetap tak bergerak sedikit pun. Kemben di dadanya juga tak memperlihatkan tarikan napas yang berbeda.
Keramahan yang terpancar dari seluruh tubuhnya yang terjaga sempurna adalah keramahan seorang nyonya rumah. Seorang istri yang bekti kepada suami. Perjalanan waktu yang tidak pendek, pergolakan hidup yang memanjang, tak membuat penampilan Nyai Makacaru sedikit pun berubah. Tidak juga rambutnya yang tetap hitam berkilat, tanpa warna lain selembar pun.
“Saya menjalankan perintah Raja, meskipun sebenarnya saya lebih rela dihukum untuk tidak menyampaikannya. Itu sebabnya, Nyai, saya tak berani melangkah masuk. Rasanya berada di kebun pun hanya akan mengotori tempat yang suci ini.”
“Senopati telah melangkah masuk, dan duduk dengan enak. Kalau saja ada sesuatu yang bisa saya bantu, walau mungkin hanya mendengarkan saja, rasanya tidak ada salahnya untuk diutarakan.”
Suara dengan nada merendah. Entah berapa ratus sudah para prajurit, senopati, para keluarga bangsawan, dan masyarakat setempat yang mendapat pengobatan langsung dari Nyai Makacaru ataupun Senopati Tanca. Akan tetapi, penampilannya tetap seolah tak berbuat apa-apa.
“Barangkali Nyai telah bisa membaca….”
“Kalaupun begitu, adalah tidak layak saya mendahului.”
Halayudha mengangguk. “Sungguh bijak kata Nyai. Ini menyangkut kebijakan, kelayakan. Bahkan lebih dari itu menyangkut rasa kamanungsan, rasa kemanusiaan. Itu yang memberati lidah saya untuk menyampaikan. Karena saya merasa Nyai tak pernah menolak permintaan orang yang datang meminta pertolongan. Itu yang membebani hati saya, Nyai. Sedemikian beratnya, sehingga tak kuasa saya panggul. Kalau beban itu barang, saya bisa meletakkan untuk satu saat dan mengangkatnya kembali. Akan tetapi ini lebih menyangkut rasa. Rasa kemanusiaan. Kemanusiaan yang membedakan manusia dengan binatang. Nyai… Nyai, apakah harus saya sampaikan bahwa Raja berkenan meminta ramuan jamu dan bedak lulur untuk kedua calon pengantin wanita yang masih saudara satu ayah, putri-putri Baginda?”
Kali ini tangan Nyai Makacaru bergetar. Daun sirih yang digenggam seperti lumat oleh jari-jarinya yang halus, yang berwarna hijau kekuningan karena selalu meramu jamu. Halayudha mengetahui adanya reaksi Nyai Makacaru. Dan memuji dirinya sendiri telah mengambil langkah yang tepat. Pilihan untuk menemui Nyai Senopati Tanca, sambil mengisikkan rencana pernikahan Raja dengan kedua putri Permaisuri Rajapatni, lebih dari tepat.
Akan lain jika Halayudha menyampaikan seperti yang dikehendaki Raja. Tepat, karena keluarga Senopati Tanca berbeda dari keluarga para senopati yang lain. Bahkan di antara tujuh dharmaputra, Senopati Tanca menunjukkan ketidaksamaan. Di antara sekian banyak senopati, hanya Senopati Tanca yang selama ini dikenal selalu rukun dengan istrinya. Rukun lahir-batin, seperti yang bisa disaksikan semua orang.
Senopati Tanca tidak mengambil wanita lain untuk mendampingi, meskipun kalau itu dilakukan bukan sesuatu yang aib. Kedudukan dan pengaruh Nyai Senopati sangat besar. Memang ada kabar burung yang mengatakan, bahwa Nyai Senopati mampu menguasai suaminya luar-dalam. Mampu menciptakan suasana atau jejamuan sehingga suaminya tak mungkin bisa berhubungan dengan wanita lain. Selain dengan Nyai.
Lepas dari kabar burung itu benar atau tidak, Halayudha melihat kenyataan bahwa selama ini Nyai Makacaru berhasil mendampingi Senopati Tanca. Mereka berdua boleh disebutkan sebagai pasangan suami-istri yang patut menjadi panutan. Terutama bagi kaum wanita. Kemuliaan Nyai Senopati diakui secara luas.
Juga karena pada keluarga ini segala kesederhanaan itu tetap terjaga. Sejak masih menjadi prajurit, atau senopati, bahkan kemudian diangkat sebagai dharmaputra yang berarti mempunyai wewenang dan hak khusus, kehidupan sehari-hari Nyai Senopati tidak berubah. Rumah pondoknya masih seperti yang dulu. Kebun tanaman masih seperti dulu. Tanaman, bunga, daun, dibenihkan dengan tangannya sendiri. Kehidupan yang nyaris tanpa cela. Godaan duniawi tak bisa menyentuh apalagi mempengaruhi. Ada satu sikap kukuh yang selama ini terus dipertahankan.
Satu nilai utama yang mendasari semua tindakannya. Pada saat seseorang bisa berbuat seperti itu, berarti ada satu kekuatan yang diyakini, yang membuatnya bertahan sampai mati. Ini perhitungan Halayudha. Yang berlanjut kepada, jika nilai dasar utama itu yang diganggu, kehidupan pula yang akan menjadi taruhannya. Itu sebabnya Halayudha langsung mengangkat persoalan rasa kemanusiaan. Suatu yang paling peka dalam kehidupan Nyai.
“Saya sudah mendengar hal itu, Senopati Halayudha. Tak ada yang memberati. Selama ini Raja selalu kami sembahi dengan persembahan, segala jejamuan dan rawatan tubuh. Senopati Halayudha tak perlu risau menyampaikan hal ini.”
“Maaf, maaf yang besar, Nyai. Bukan saya membantah kehendak Raja. Sama sekali bukan. Akan tetapi rasa risi, rikuh, malu, sungkan, dan hina menyatu dalam diri saya kalau mengingat pilihan Raja sekarang ini. Apakah tidak ada putri lain yang bisa dipersunting?”
“Raja berhak apa saja.”
“Sangat benar, Nyai. Sangat benar sekali. Hanya apa yang akan diceritakan anak-cucu kita di belakang hari? Apa yang akan dikatakan anak-cucu saya, jika mengetahui bahwa saat ini saya menjadi senopati dan menjabat sebagai mahapatih? Apa yang akan dikatakan anak-cucu Senopati Tanca yang selama ini mendapat nama harum, kalau mengetahui bahwa Senopati Tanca juga membantu?”
“Pengabdian tidak membutuhkan pertanyaan dan keraguan.”
“Sabda Raja adalah kebenaran,” sambung Halayudha cepat, sambil menghela napas berat. “Saya akan menyampaikan timbalan Dalem, panggilan Raja.”
“Seribu terima kasih, Nyai. Maafkan ketololan saya yang rendah ini.”
Seorang pelayan wanita menyuguhkan minuman aren dari kelapa. Berjalan berjongkok dan tak melirik.
“Senopati, minuman ini bisa mengurangi haus.”
“Sangat terima kasih, Nyai….”
Hening. Tak ada yang menyentuh.
“Senopati Halayudha yang memegang jabatan mahapatih, lebih didengar dari yang lain. Apakah saya keliru?”
Halayudha menggeleng. Hatinya mengangguk. Menggeleng untuk membenarkan kalimat Nyai Senopati, mengangguk untuk kalimatnya sendiri, yang tadinya sempat cemas, karena Nyai Makacaru seperti tak tersentuh.
“Saya hanyalah abdi dalem, tidak mempunyai apa-apa, Nyai. Tidak juga kehormatan besar seperti yang dimiliki Senopati Tanca. Itu alasan yang lain lagi, sehingga saya tidak berani bertemu muka dengan Senopati Tanca.”
“Sekarang sedang menghadap Baginda….”
“Rasanya saya ingin menunggu, kalau Nyai tidak keberatan. Akan tetapi apa saya bisa menyampaikan dengan kata-kata kepada Senopati Tanca?”
Tak ada jawaban.
“Dengan bahasa apa saya bisa menyampaikan hal ini?”
Halayudha menunduk.
“Silakan…”
Halayudha meneguk.
“Sebentar lagi…”
Suaranya tak perlu dilanjutkan. Langkah kaki terdengar mendekat. Lelaki yang tetap bersemangat, dengan pandangan yang jernih. Suaranya tetap tenang, mengucapkan selamat datang, menanyakan kabar, dengan suara tetap sabar.
“Angin kebesaran apa yang mengiringi Mahapatih datang ke gubuk hina ini?”
“Angin yang mematikan rasa kemanusiaan. Senopati Tanca, apakah saya diizinkan bermalam di sini barang dua malam?”
Bagi Halayudha itu cara yang terbaik. Dengan membiarkan Nyai Makacaru menyampaikan sendiri, dalam bahasa suami-istri, hasilnya akan lebih mencapai sasaran. Dalam satu-dua malam, ia bisa melihat perkembangan. Sebenarnya Halayudha tak perlu menunggu terlalu lama. Senja itu pula, Nyai Makacaru telah memutuskan diri untuk berada di tengah kebunnya. Tak mau masuk rumah. Untuk selamanya.
Rembetan Api
LANGKAH berikutnya, Halayudha sudah siap. Dan segera melakukan. Para prajurit pengawalnya diperintahkan untuk menyamar sebagai penduduk biasa, dan berkumpul di depan sanggar pamujan. Kalau kemudian masyarakat sekitar ikut serta, makin kuat kesan bahwa di kalangan penduduk juga muncul kegelisahan.
Sebagaimana posisi mereka yang rakyat kecil, mereka hanya bisa mempertanyakan dengan cara berdiam diri, berjemur di depan sanggar pamujan. Kalaupun jumlahnya tak seberapa, itu sudah akan menyebar sebagai kabar yang besar. Bahwa penduduk berani unjuk diri, mempertanyakan kepada Baginda. Dengan demikian suasana panas mulai meletik.
Seperti halnya api, rembetan menjalar dengan cepat dan makin lama makin santer. Setitik api bisa diucapkan kembali sebagai bara, setitik bara bisa diungkapkan kembali sebagai kebakaran. Dalam suasana yang panas, Halayudha memastikan langkah. Ia menyusun prajurit pilihan yang benar-benar tepercaya. Menyiagakan untuk sewaktu-waktu bisa bergerak cepat. Sasarannya hanya satu. Melenyapkan Mahapatih Nambi di Lumajang.
Kepada Raja, Halayudha sama sekali tidak menyinggung mengenai Tabib Tanca. Halayudha melaporkan bahwa rakyat mulai dihasut oleh kaki tangan Mahapatih Nambi yang mendapat restu resmi dari ayahandanya.
“Baginda sendiri secara pribadi tidak menyalahkan atau melarang pernikahan. Berarti Baginda secara resmi telah melepaskan tanggung jawab, wewenang, sepenuhnya. Hanya Mahapatih Nambi yang tetap menunjukkan kepalanya yang mendongak. Dengan perintah Raja yang Mulia, hamba akan mengamankan. Sebelum merembet terlalu jauh. Sebab kalau dibiarkan, rakyat yang tidak mengerti duduk persoalan sebenarnya akan terpengaruh.”
“Halayudha. Ingsun percaya kamu sepenuhnya. Tapi kadang juga ragu. Kamu ini banyak sekali omongannya. Tapi, tak ada salahnya kamu urus Mahapatih Nambi.”
“Sedia menjalankan perintah.”
“Jangan gegabah, jangan memancing pertumpahan darah. Kalau perlu Nambi ditimbali kemari.”
“Sedia menjalankan perintah….”
Halayudha sudah tahu. Bahwa bukan timbalan atau perintah yang akan disampaikan. Melainkan… Halayudha segera menyiapkan pasukan yang terpilih. Menyusun menjadi tiga barisan. Yang pertama berangkat bersamanya dalam jumlah yang tidak seberapa. Yang kedua akan mengepung seluruh wilayah Lumajang secara tersembunyi. Ini dilakukan dengan cara menyamar, dan sudah lebih dulu berada di tempat. Sedang barisan ketiga berjaga di Keraton.
Yang ketiga ini bagi Halayudha sebagai upaya untuk menjaga diri. Ia tak ingin terpancing sepenuhnya keluar, dan Keraton secara mendadak dikuasai senopati lain. Sesuatu yang pernah terjadi. Seorang Senopati Tantra saja pernah dan bisa melakukan. Dalam barisan ketiga ini, sebagian menjadi penghubung. Begitu ada kejadian yang tak menjerat perhatian dan meminta ketegasan, Halayudha siap memilih prajurit agar bisa menyampaikan langsung kepada Raja. Bahwa Keraton berada dalam keadaan gawat. Sehingga perlu diambil tindakan keras.
Dalam perjalanan, Halayudha merinci seluruh kegiatan dengan cermat, sehingga kemungkinan kecil pun tak ada yang lolos dari perhitungannya. Setelah beberapa kali usahanya yang cermat gagal pada saat terakhir, Halayudha kini lebih berhati-hati.
Adalah di luar dugaan Halayudha, ketika rombongan tengah dalam perjalanan, rombongan dari Lumajang justru telah bersiap menunggu. Yang begini adalah di luar dugaannya sama sekali. Mahapatih Nambi telah mengendus adanya bahaya. Sehingga secara sengaja memasang barisan untuk pacak baris, bersiaga penuh. Ini sengaja dipertunjukkan. Sebagai peringatan bagi Halayudha. Karena barisan yang menjemput dalam keadaan siap siaga. Lengkap dengan semua persenjataan.
“Senopati Halayudha diminta menghadap Mahapatih…,” tutur utusan yang langsung menghadap Halayudha.
“Tanpa diminta pun aku sebagai utusan Raja akan menemui.” Suara Halayudha mengguntur saking kerasnya. “Sampaikan kepada Mahapatih….”
“Kami akan menyertai Senopati.”
Halayudha mengeluarkan suara keras dari hidungnya. “Apakah aku perlu dikawal dan diawasi?”
“Hamba sekadar menjalankan perintah Mahapatih.”
Halayudha mengangguk. “Para prajurit Keraton Majapahit yang setia kepada kebenaran, sebagian dari kalian boleh kembali ke Keraton. Saya pribadi yang akan menghadapi ini. Saya memerintahkan kalian segera kembali. Tak perlu ada pertumpahan darah yang tak berarti.”
Dengan berangkat seorang diri, Halayudha menunjukkan keberanian. Tapi sekaligus juga untuk mengelabui Mahapatih Nambi. Karena prajuritnya yang lain telah berada di Lumajang! Itu perhitungannya. Akan tetapi ternyata sebagian besar justru meleset. Ketika melangkah masuk ke pendopo Lumajang, yang berada di halaman depan justru para prajuritnya yang diikat tangannya. Menunduk, seakan dipertontonkan untuk menyambut Halayudha. Kali ini Halayudha bercekat.
Tak disangkanya Mahapatih Nambi begitu tajam penciumannya. Tak disangkanya bahwa Mpu Sina sedemikian mudah membaca gerakannya, dan menyiapkan perangkap. Sekarang ini benar-benar gawat. Bagi dirinya. Namun itu semua tidak membuat Halayudha melangkah surut. Dengan langkah gagah yang sama lebarnya, Halayudha masuk ke tengah pendopo. Ruangan yang terbuka lebar, tanpa dinding, tanpa pintu. Mahapatih Nambi duduk di tengah. Halayudha menyembah, duduk di depannya. Suasana hening.
“Sugeng rawuh di tanah Lumajang, Senopati Halayudha. Saya sudah lama menunggu.”
“Sambutan yang keliru, Mahapatih,” jawab Halayudha dengan suara tetap mengguntur keras. “Saya datang sebagai utusan Raja. Sambutan Mahapatih seperti ini pasti kurang berkenan di hati Raja.”
“Itu tanggung jawab kami,” jawab Mahapatih Nambi sambil mengangguk hormat kepada ayahandanya. “Saya telah memutuskan untuk mengamankan Keraton. Dan membersihkan pembuat onar. Pengakuan para prajuritmu, yang dengan mudah ditangkap, akan membuka kebenaran. Halayudha, kita sesama lelaki. Kalau mengikuti darah panasku, aku tak akan menerimamu di sini, atau mengajak berbicara. Akan tetapi Rama menghendaki demikian.”
Halayudha tersenyum. “Apa sebab Senopati Sina masih mempertimbangkan saya? Karena sangat dekat dengan Raja?”
“Karena Senopati bisa berbuat lebih baik untuk Keraton.”
“Mahapatih, apakah selama ini saya telah berbuat kurang baik?”
Mahapatih Nambi menepuk lututnya. “Halayudha, semua telah cukup jelas. Selama ini para prajurit yang masih setia denganku, melaporkan segala sesuatu yang kamu lakukan. Termasuk rencana pernikahan Raja. Kamu tak akan bisa menyangkal lagi. Dalam tata keprajuritan, kamu tak ada artinya dibandingkan denganku, pemimpin prajurit telik sandi. Semua rencanamu terbaca dengan jelas seperti tangan yang membuka. Semua bukti kebusukanmu ada di tangan.”
Halayudha memandang sekeliling. Semua prajurit bersiaga. “Mahapatih, apa lagi yang ditunggu? Apa susahnya melawan saya seorang diri, sementara seluruh Lumajang telah siaga perang? Biarlah orang lain yang menilai, siapa yang ksatria dan siapa yang main keroyokan.”
“Aku sudah menduga kalimatmu, Halayudha. Aku tak akan terpancing. Kamu terlalu yakin bisa mengelabui semua orang. Dalam tata keprajuritan kamu tak mengerti sendi-sendinya. Kamu salah besar dalam hal ini.”
Senopati Sina terbatuk. Bahkan Senopati Sina sudah diatur tempatnya agak di belakang. Sehingga kalau terjadi keributan yang kasar, tidak berada dalam titik bahaya. Mau tidak mau Halayudha mengakui bahwa dalam bidang keprajuritan, Mahapatih Nambi tetap unggul dua atau bahkan tiga tingkat di atasnya. Bagaimana tidak, jika walaupun tetap berada di Lumajang akan tetapi bisa mengetahui semua gerak-geriknya? Alangkah tolol dirinya. Sama sekali tak memperhitungkan hal ini. Sekarang sudah terlambat untuk menyesali.
Kesalahan dan Kekalahan
TAK ada yang perlu disesali. “Mahapatih Nambi, rasanya saya tak perlu membantah apa yang Mahapatih katakan. Barangkali sebagian besar benar, sebagian kecil salah. Barangkali terbalik, sebagian kecil benar, sebagian besar sebenarnya masih samar. Tak ada untungnya mengadu kebenaran. Saya menerima sepenuhnya penilaian Mahapatih.”
“Lidahmu memang luwes berbelit. Dalam keadaan tergigit atau terjepit, selalu tak mau menerima dan mengakui kesalahanmu.”
“Saya menerima, Mahapatih.”
“Saya tahu itu tidak keluar dari hatimu yang tulus.”
Halayudha mendongak. “Apa yang Mahapatih kehendaki? Apa lagi yang Mahapatih kehendaki? Semua prajurit saya telah ditawan. Diikat sebagai bandan, sebagai kayu ikatan dan dipertontonkan. Semua kebusukan saya telah diketahui. Tak ada lagi alasan untuk pembelaan. Apa lagi yang Mahapatih kehendaki? Saya bertelanjang di sini dan berteriak mengakui kesalahan? Membunuh diri? Melawan dan dicincang? Sejak di perjalanan saya telah dilucuti. Di sini diadakan pertemuan besar untuk menyaksikan pengadilan dan penjatuhan hukuman atas diri saya. Mahapatih, kalau sudah sedemikian yakin saya bersalah, mengapa harus membuang-buang waktu dengan mengadakan tanya-jawab?”
Mpu Sina yang memandang dari kejauhan tak bisa menahan rasa gusar dan sekaligus menganggap bahwa Halayudha memiliki kekuatan bertahan dan berkelit yang sangat licin. Dalam posisi sudah sangat terdesak dan tak bisa mengelak, masih bisa menantang. Yang bagi telinga biasa seperti masuk akal. Karena apa yang dikatakan Halayudha sangat sederhana nalarnya. Kalau dirinya bersalah, kenapa tak dihabisi saja?
Padahal Halayudha justru mempermainkan perasaan keraguan yang bersarang di dada para senopati atau para prajurit. Dengan kalimat itu, seakan ia ingin menunjukkan bahwa masih ada hal yang gelap. Masih ada celah yang membuat Mahapatih tak sepenuhnya yakin akan tuduhannya.
“Cukup, Halayudha.”
“Semua seperti titah Mahapatih.”
“Kamu tak akan pernah berhasil mempermainkan perasaan saya. Tidak mulai sekarang ini.”
Halayudha malah mengangguk. “Apa yang Mahapatih inginkan dari saya? Apa masih ada?”
“Halayudha, dengarkan baik-baik. Saat ini Keraton sedang dalam keadaan kacau. Dari luar kelihatan aman sentosa, akan tetapi sesungguhnya terjadi kekeroposan yang bisa menghancurkan. Kamu sadar hal itu. Kamu penyebab utamanya. Akan tetapi sesungguhnya kamu masih bisa berbuat kebaikan untuk menebus kesalahan besar itu. Dengan cara apa saja, agar ketenteraman Keraton tetap terjaga.”
“Mahapatih menganggap saya masih ada artinya? Masih ada kesempatan untuk menebus kesalahan? Dosa saya masih bisa diampuni? Maaf, barangkali kita bicara ngelantur. Dari satu sisi, saya adalah tokoh yang jahat yang meracuni Keraton, menebarkan kebusukan menular. Hingga tak ada setitik darah kebaikan dalam tubuh saya. Dari sisi yang lainnya, saya masih bisa menjadi penyelamat, karena hubungan yang dekat dengan Raja. Dua penilaian yang sama sekali tak bisa akur. Kalau saya sedemikian busuknya, apakah Raja mau mendengar kata-kata saya? Apa yang Mahapatih harapkan? Mempengaruhi Raja agar mengurungkan niatan palakrama, menikahi putri-putri Permaisuri Rajapatni? Rasanya mustahil. Baginda sendiri tak tergerak menghalangi. Permaisuri Rajapatni juga tidak. Senopati Tanca dan Nyai Tanca bahkan sudah menyiapkan peralatan untuk jejamuan. Bukankah harapan Mahapatih berlebihan akan kemampuan saya? Saya, saya berani menyebut diri sebagai saya dan bukan hamba sekarang ini, bukanlah seorang mahapatih. Bukan senopati kinasih, yang terpilih dan disayang Raja. Saya tak berbeda dari prajurit yang lain, senopati yang lain. Yang menjalankan dawuh sejauh kemampuan dan pengabdian saya. Kalau Mahapatih murka ketika saya menyilakan kembali ke Lumajang, semata-mata demi keutuhan, demi kerukunan dan ketenteraman Keraton. Saat itu, hingga sekarang ini, Mahapatih masih dalam status palapa karya. Raja sendiri yang memberi restu. Itu sebabnya Raja kurang berkenan dengan tindakan Mahapatih. Karena semua prajurit bisa melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Kalau Mahapatih masih mengingat, saat itu kita berangkat dari tempat ini. Kalau sekadar mencari keuntungan pribadi, saya lebih suka membiarkan semuanya. Rasanya itu lebih baik. Daripada sekarang ini, prajurit Keraton dipertontonkan dan diperlakukan seperti pengkhianat. Sejauh saya tahu, utusan dari Tartar pun tidak melakukan penghinaan seperti ini. Mahapatih. Kalau Mahapatih menganggap semua kesalahan adalah tanggung jawab saya, hukumlah sekarang juga. Dengan kekalahan saya, lunaslah semua dosa-dosa terkutuk. Kesalahan dan kekalahan, semuanya bisa ditimbunkan dalam diri saya. Sekarang. Sebenarnya tak ada lagi yang menghalangi.”
Suara Halayudha berapi-api, akan tetapi pengutaraannya dengan nada masih bisa menguasai diri.
“Kemenangan berpihak kepada Mahapatih. Kebenaran yang mendasari itu.”
“Apakah itu berarti kamu menantang?”
“Saya mengatakan apa adanya. Sejarah Keraton yang gilang-gemilang menjadi demikian ruwet, penuh dengan belitan dendam, semuanya karena saya. Sayalah biang keladinya. Mahapatih ingat, bahwa sesungguhnya sejak Mahapatih Nambi yang memegang tata pemerintahan Keraton, sejak kendali di tangan Mahapatih, sejak itu pula keruwetan muncul. Pengangkatan yang menyebabkan Mahapatih dijauhi, ditakuti, dan dengan demikian menjadikan Mahapatih tak bisa mendengar mana yang benar dan mana yang asal berbunyi. Sejarah Keraton yang mengalirkan dendam, darah, dimulai justru saat Mahapatih memegang kepemimpinan. Saya tidak menyalahkan Mahapatih. Saya tidak mempertanyakan Baginda yang memilih dan menunjuk Mahapatih. Semuanya adalah suratan Dewa, yang sudah tertulis sebelum kita lahir ke jagat. Kita semua hanya menjalani. Kadang ada nasib baik. Kadang ada nasib buruk. Kadang nasib buruk dengan nasib baik datang bersamaan. Atau hanya berselisih beberapa kejap saja. Maaf, maaf semuanya. Saya harus mengatakan ini semua. Agar tak ada keraguan lagi, kalaupun ingin menjatuhkan hukuman ke tubuh saya. Apalah artinya seorang Halayudha? Kalaupun ia senopati yang unggul, yang dipercaya dan dekat dengan Raja, ia tetap seorang di antara sekian puluh senopati yang lain. Seorang yang bila dilenyapkan, tak ada yang menangisi, tak ada yang menahan. Halayudha seorang diri. Tanpa sanak kadang rowang. Tanpa saudara dekat atau jauh, tanpa teman. Apakah dengan kata-kata ini diartikan menantang?”
Mahapatih mencabut kerisnya. Berdiri dengan gagah. “Semakin jelas sekarang. Bahwa memang kamulah sumber bencana. Semakin banyak yang kamu katakan, semakin menggambarkan keculasan dirimu. Kepintaranmu membalik yang hitam menjadi putih, yang putih menjadi kotor. Aku tidak ragu lagi, Halayudha.”
“Saya akan melawan sebisa saya.”
“Itu baik. Bersiaplah.”
“Saya telah bersiap, Mahapatih.”
Benar-benar tantangan. Sekaligus tamparan. Karena Halayudha mengatakan itu dengan menyembah, lalu bersidekap. Menyilangkan kedua tangan di depan dada, dengan mata terpejam. Seakan pasrah. Tapi mengatakan siap. Sekokoh karang sekalipun, kemurkaan Mahapatih Nambi jadi terguncang keraguan. Apakah Halayudha akan menerima hukuman? Ataukah menyiapkan serangan mendadak sebagai balasan?
Bader Bang Sisik Kencana
DUA pertanyaan yang membuat Mahapatih Nambi ragu-ragu sejenak, merambat kepada para prajurit yang berada di pendapa. Kecuali Mpu Sina yang terbatuk. Memegangi dadanya.
“Bader bang…”
Suaranya terdengar tersengal. Tapi Halayudha mendengar jelas. Karena dengan memejamkan mata sambil bersidekap, Halayudha sedang memusatkan pikiran dan kekuatannya. Apa yang dibisikkan Mpu Sina sangat diketahui Halayudha maksud tujuannya. Perkataan bader bang, lebih lengkapnya berbunyi bader bang sisik kencana. Artinya kira-kira, badar merah bersisik emas.
Ungkapan yang lebih luas dari itu adalah menggambarkan bahwa Mpu Sina menilai Halayudha sedang memainkan siasat ikan badar. Ikan badar adalah ikan yang kecil tak berarti. Akan tetapi dengan warna merah dan bersisik emas, ikan teri yang tak berarti itu menjadi bermakna. Menjadi incaran yang sangat besar artinya. Hal ini bisa diartikan bahwa Halayudha berusaha mengubah kedudukannya yang tanpa harapan menjadi peluang emas. Sehingga bukan tidak mungkin sekarang ini Halayudha sudah menyiapkan satu serangan balik. Atau menyerah pasrah. Keraguan. Keraguan menentukan yang mana.
Mpu Sina mengeluarkan kata bader bang, karena kata itu mengandung beberapa pengertian. Pada telinga Mahapatih, peringatan itu diterima dalam pengertian yang berbeda. Bader bang sisik kencana, bisa diartikan sesuatu yang tiada berarti. Tak ada gunanya. Karena sesungguhnya ikan teri merah bersisik emas itu tak pernah ada. Sehingga semua usaha untuk memburu juga tidak akan memberi hasil apa-apa. Berarti kesia-siaan.
Kalau dikaitkan dengan apa yang akan dilakukan, Mahapatih bisa menerimanya sebagai peringatan bahwa ia tak perlu melakukan tusukan atau hukuman. Para senopati yang berada di dekat Mahapatih sebenarnya juga menjadi bercabang. Mendua pilihannya. Karena dua kata Mpu Sina bisa ditafsirkan berbeda. Tafsir pertama seperti yang sementara ini berada dalam pengertian Mahapatih.
Tafsir kedua, bisa berarti kalau Mahapatih melakukan, itu tak ada apa-apanya. Tak ada dosa atau kesalahan. Sebab ikan teri merah bersisik emas itu tak pernah ada. Jadi ditiadakan pun tak apa-apa. Inilah pertarungan yang sesungguhnya. Pertarungan tanpa mengeluarkan tenaga. Tanpa mengadu ilmu silat. Tanpa bergerak. Tanpa menggerakkan tangan. Tidak juga satu tangan sekalipun.
Halayudha sangat memahami situasi yang tengah berlangsung. Sangat menyadari bahwa situasi bisa mengubah nasibnya dalam seketika. Menerima tikaman dan terjangan, atau sekurangnya menjadi penundaan. Pada saat yang genting itu justru Halayudha bisa merebut keunggulan. Tidak dengan mendahului bergerak.
Sebab secepat apa pun gerakannya, sekuat apa pun tenaga yang dikerahkan, hasilnya tak bakal menyelamatkan dirinya. Taruh kata pukulannya bisa menyeret Mahapatih atau merobohkan. Itu tak menghalangi semua senopati dan prajurit yang akan menyerbu bersamaan. Dibakar oleh dendam kesumat, dan mendapat pijakan alasan menerjang yang gamblang. Itu risiko yang berat, karena Halayudha tak akan bisa melarikan diri dengan leluasa. Tidak dengan pasrah menyerah.
Sebab sepasrah apa pun, tubuhnya akan bereaksi jika serangan datang. Halayudha tak akan membiarkan dirinya dicincang. Padahal saat dirinya bereaksi memberikan perlawanan, serangan tak akan terbendung lagi. Pertarungan yang sesungguhnya berlangsung.
Halayudha yang mulai menarik ke tengah permasalahan. Antara kesalahan dan kekalahan. Perdebatan, kalau boleh dikatakan begitu, meskipun ini dilakukan oleh Halayudha sendiri, mengenai kalah dan salah bisa berarti sama, tapi bisa berarti lain. Yang kalah belum tentu berarti salah. Dengan menyeret ke pembicaraan itu, Halayudha sengaja memaparkan kebusukannya sendiri. Semua rencananya ditelanjangi sendiri.
Sedemikian pekatnya sehingga seolah ia tengah membual. Tengah menceritakan sesuatu secara berlebihan. Dengan memecah perhatian dasar tindakan, Halayudha sebenarnya sedang menggempur bagian yang terdalam. Bagian yang lebih dalam dari tenaga dalam. Kemampuan itu mewujud dalam diri Halayudha seperti tidak direncanakan. Sekurangnya tidak direncanakan secara sadar.
Meskipun sejak awal Halayudha mengetahui peluang untuk menggoyahkan pikiran lawan, akan tetapi tidak menduga bahwa hasilnya bisa begitu luar biasa. Sekarang boleh dikata dirinya berada di atas angin. Sebab keraguan tindakan Mahapatih yang sepersekian kejap ini menjalar dan menjadi tanda tanya. Dari seluruh isi pendapa yang segera menyadari bahwa Halayudha unggul adalah Mpu Sina.
Tokoh tua yang kenyang pengalaman dan kokoh dalam pendirian itu terguncang. Kekuatan batinnya saling membentur dalam dadanya. Tubuhnya bergetar. Tangannya gemetar. Yang terdengar adalah giginya berkerutukan. Gempuran tenaga batin yang menusuk terlalu dalam. Mpu Sina adalah senopati tangguh yang pendiriannya sangat luas dan keras. Dalam tata pemerintahan yang sedang menanjak, Mpu Sina lebih suka mengundurkan diri. Sama sekali tak mau berurusan.
Ini saja sudah menandakan kekerasan yang tiada tandingannya, tiada duanya. Kalau akhirnya keluar dari sarang, karena jiwa keprajuritan yang sejati masih berdegup dalam darahnya. Itulah saat mengadu nyawa di perahu Siung Naga Bermahkota. Dalam pertarungan itulah matanya yang tajam bisa melihat bahwa sesungguhnya Halayudha tidak melawan Barisan Api dengan sepenuh hati. Hanya asal bertarung untuk menjaga dirinya tidak cedera.
Kelicikan yang memuakkan. Justru di saat yang lain tidak memperhitungkan mati atau hidup, Halayudha berpura-pura. Kutukan yang tak akan pernah dikeluarkan dari mata batin Mpu Sina meluncur dengan tajam dalam hati. Apalagi ketika pertarungan usai, Halayudha muncul seolah dialah yang menjadi pahlawan. Yang menyelesaikan persoalan. Berdiri dengan gagah dan memerintah. Ditambah dengan perintahnya untuk menenggelamkan perahu, serta kemudian mengusirnya kembali ke Lumajang. Dengan pongah dan melabrak semua tata cara.
Batu keras dalam hati Mpu Sina makin keras, makin keras. Itu sebabnya tak ada pilihan lain. Menangkap Halayudha hidup-hidup, menyeretnya, dan tidak akan memedulikan apa yang dikatakan. Karena dari tubuh yang busuk dan hina, tak mungkin mengalir bau sedap. Itu sebabnya kalimat apa pun dari Halayudha dianggap omong kosong yang menjijikkan. Jauh sebelum Halayudha dibawa, Mpu Sina telah mengatakan kepada putranya. Nyatanya begitu. Sampai ketika bibirnya mengucap bader bang.
Yang maksudnya merestui tindakan putranya. Tapi justru bisa diartikan lain. Mpu Sina merasa terpukul paling keras. Karena dari kebenciannya yang memuncak, malahan bisa berakibat lain. Justru dari kebencian ini, putranya gagal menangkap maksud yang sebenarnya. Mpu Sina merasa terpukul paling keras, karena merasa dirinya yang menyebabkan kegagalan itu. Kalau saja ada pilihan kata lain….
Tapi, semua sudah terjadi. Walau hanya sepersekian kejap, situasinya berubah. Kekerasan yang bulat seperti mengendur. Mpu Sina makin merasa bersalah karena suara giginya yang berkelutukan membuat perhatian terserap ke arahnya.
“Pranajaya… Pranajaya… Pra-na-ja-ya…”
“Kudengar ilmumu tambah maju pesat, Halayudha. Tapi bagaimana dengan permaisuriku?”
“Hamba berhasil menyadap tusuk dlamakan yang dimiliki Dewa Maut. Hanya saja, duh Raja, rasanya permaisuri Dalem terkena kutukan Dewa. Rasanya tak banyak yang bisa hamba lakukan.”
“Berarti tak bisa menyembuhkan?”
“Raja yang Dimuliakan. Kalau Raja berkenan mengetahui yang sesungguhnya….”
Tak terlalu sulit bagi Halayudha untuk melakukan apa yang direncanakan. Totokan dalam tubuh Praba Raga Karana diubah. Kini tubuhnya bisa bergerak, bisa duduk, berjalan. Hanya nadi yang menyebabkan berbicara tetap ditutup. Lebih dari itu, Halayudha menutup nadi wadon, nadi kewanitaan, yang ada. Sehingga Praba Raga Karana tak akan bisa merasakan getaran berahi! Tak ada pancaran itu dari gerak tubuh, pandangan mata, ataupun tarikan napas. Menjadi dingin. Tanpa getaran. Raja mengelus rambutnya sambil menghela napas.
“Kutukan Dewa? Kenapa, Halayudha?”
“Hamba tak mampu menerangkan. Barangkali saja Dewa melindungi Raja yang Mulia, dengan memperlihatkan bahwa tubuh Permaisuri tak bisa menerima Raja. Sesuatu yang hampir tak masuk akal, karena kodrat wanita adalah menerima.”
“Apakah berarti Ingsun tak pernah perlu berhubungan asmara dengan permaisuriku?”
“Lebih dari itu. Hamba kuatir jika daya asmara Raja terpengaruh karenanya.”
Raja menggeleng. “Tak masuk akal. Aku tak bisa percaya begitu saja. Di Keraton ini hanya ada satu tabib yang diakui Dewa. Panggil Tanca menghadap sekarang juga. Hari ini juga kamu menjemput ke Simping.”
“Sendika dawuh, Ingkang Sinuhun…”
Dharmaputra Tanca, senopati pilihan sejak zaman Baginda memang tetap merupakan tumpuan. Karena selama ini masih dianggap yang paling mumpuni, paling menguasai cara-cara penyembuhan. Lebih dari kemampuannya yang luar biasa, Senopati Tanca dianggap tak pernah berubah kesetiaannya. Di saat Bagus Kala Gemet belum secara resmi memegang takhta kekuasaan, Senopati Tanca secara tulus mengabdi. Meskipun dirinya tetap mengikuti Baginda, namun kesetiaan kepada yang memerintah melebihi siapa pun.
Juga ketika huru-hara terjadi dengan kedatangan Pendeta Syangka, Senopati Tanca yang menunjukkan kesetiaan tanpa batas. Apa yang menjadi perintah resmi, itu yang dijalani. Tanpa bertanya, tanpa menunda. Dalam perhitungan Halayudha, Senopati Tanca tetap tak akan berubah. Kalau sekarang Raja memerintahkan menghadap, Senopati Tanca tak akan menunda barang sekejap. Kalau didawuhi menyembuhkan Praba Raga Karana, sepenuh kemampuannya akan dikerahkan. Senopati Tanca adalah gunung lain yang kukuh dalam pengabdian.
Ini yang perlu diperhitungkan Halayudha. Karena bukan tidak mungkin Senopati Tanca bisa mengetahui apa yang sesungguhnya diderita Praba Raga Karana. Pemahamannya yang begitu mendalam mengenai jampi dan pengobatan selama ini belum ada tandingannya. Mudah ditebak, apa yang dilihat dan diketahui, Senopati Tanca akan mengatakan secara terbuka. Tokoh yang satu ini memang aneh. Sekurangnya dibandingkan tujuh dharmaputra yang lain. Tak setitik debu dibelah seribu pun bisa menggoyang kesetiaannya.
Ini yang menyulitkan Halayudha. Akan tetapi dalam perjalanan menuju Simping, Halayudha sudah menemukan langkah-langkah untuk mengalihkan sasaran. Yang pertama ditemui justru Nyai Makacaru, istri Senopati Tanca. Halayudha menuju ke tempat Nyai Makacaru memelihara segala jenis tanaman. Itu pun tidak langsung menemui. Beristirahat di gubuk. Sehingga Nyai Makacaru yang mempersilakan datang.
“Saya tak berani masuk, Nyai. Takut tubuh saya akan mengotori tempat yang bersih, sajian yang suci….”
Dengan kalimat itu, Halayudha menyinggung tempat sajian, atau sesuatu yang bakal dijadikan sajian, yang sesungguhnya itulah arti nama yang dipakai, makacaru.
Rasa Kamanungsan
NYAI MAKACARU, wanita yang tetap tampak bersih, segar pada usianya yang melewati separuh abad, tetap tenang mendengarkan. Tak ada sunggingan senyum atau reaksi atas ucapan Halayudha. Bahunya yang telanjang tetap tak bergerak sedikit pun. Kemben di dadanya juga tak memperlihatkan tarikan napas yang berbeda.
Keramahan yang terpancar dari seluruh tubuhnya yang terjaga sempurna adalah keramahan seorang nyonya rumah. Seorang istri yang bekti kepada suami. Perjalanan waktu yang tidak pendek, pergolakan hidup yang memanjang, tak membuat penampilan Nyai Makacaru sedikit pun berubah. Tidak juga rambutnya yang tetap hitam berkilat, tanpa warna lain selembar pun.
“Saya menjalankan perintah Raja, meskipun sebenarnya saya lebih rela dihukum untuk tidak menyampaikannya. Itu sebabnya, Nyai, saya tak berani melangkah masuk. Rasanya berada di kebun pun hanya akan mengotori tempat yang suci ini.”
“Senopati telah melangkah masuk, dan duduk dengan enak. Kalau saja ada sesuatu yang bisa saya bantu, walau mungkin hanya mendengarkan saja, rasanya tidak ada salahnya untuk diutarakan.”
Suara dengan nada merendah. Entah berapa ratus sudah para prajurit, senopati, para keluarga bangsawan, dan masyarakat setempat yang mendapat pengobatan langsung dari Nyai Makacaru ataupun Senopati Tanca. Akan tetapi, penampilannya tetap seolah tak berbuat apa-apa.
“Barangkali Nyai telah bisa membaca….”
“Kalaupun begitu, adalah tidak layak saya mendahului.”
Halayudha mengangguk. “Sungguh bijak kata Nyai. Ini menyangkut kebijakan, kelayakan. Bahkan lebih dari itu menyangkut rasa kamanungsan, rasa kemanusiaan. Itu yang memberati lidah saya untuk menyampaikan. Karena saya merasa Nyai tak pernah menolak permintaan orang yang datang meminta pertolongan. Itu yang membebani hati saya, Nyai. Sedemikian beratnya, sehingga tak kuasa saya panggul. Kalau beban itu barang, saya bisa meletakkan untuk satu saat dan mengangkatnya kembali. Akan tetapi ini lebih menyangkut rasa. Rasa kemanusiaan. Kemanusiaan yang membedakan manusia dengan binatang. Nyai… Nyai, apakah harus saya sampaikan bahwa Raja berkenan meminta ramuan jamu dan bedak lulur untuk kedua calon pengantin wanita yang masih saudara satu ayah, putri-putri Baginda?”
Kali ini tangan Nyai Makacaru bergetar. Daun sirih yang digenggam seperti lumat oleh jari-jarinya yang halus, yang berwarna hijau kekuningan karena selalu meramu jamu. Halayudha mengetahui adanya reaksi Nyai Makacaru. Dan memuji dirinya sendiri telah mengambil langkah yang tepat. Pilihan untuk menemui Nyai Senopati Tanca, sambil mengisikkan rencana pernikahan Raja dengan kedua putri Permaisuri Rajapatni, lebih dari tepat.
Akan lain jika Halayudha menyampaikan seperti yang dikehendaki Raja. Tepat, karena keluarga Senopati Tanca berbeda dari keluarga para senopati yang lain. Bahkan di antara tujuh dharmaputra, Senopati Tanca menunjukkan ketidaksamaan. Di antara sekian banyak senopati, hanya Senopati Tanca yang selama ini dikenal selalu rukun dengan istrinya. Rukun lahir-batin, seperti yang bisa disaksikan semua orang.
Senopati Tanca tidak mengambil wanita lain untuk mendampingi, meskipun kalau itu dilakukan bukan sesuatu yang aib. Kedudukan dan pengaruh Nyai Senopati sangat besar. Memang ada kabar burung yang mengatakan, bahwa Nyai Senopati mampu menguasai suaminya luar-dalam. Mampu menciptakan suasana atau jejamuan sehingga suaminya tak mungkin bisa berhubungan dengan wanita lain. Selain dengan Nyai.
Lepas dari kabar burung itu benar atau tidak, Halayudha melihat kenyataan bahwa selama ini Nyai Makacaru berhasil mendampingi Senopati Tanca. Mereka berdua boleh disebutkan sebagai pasangan suami-istri yang patut menjadi panutan. Terutama bagi kaum wanita. Kemuliaan Nyai Senopati diakui secara luas.
Juga karena pada keluarga ini segala kesederhanaan itu tetap terjaga. Sejak masih menjadi prajurit, atau senopati, bahkan kemudian diangkat sebagai dharmaputra yang berarti mempunyai wewenang dan hak khusus, kehidupan sehari-hari Nyai Senopati tidak berubah. Rumah pondoknya masih seperti yang dulu. Kebun tanaman masih seperti dulu. Tanaman, bunga, daun, dibenihkan dengan tangannya sendiri. Kehidupan yang nyaris tanpa cela. Godaan duniawi tak bisa menyentuh apalagi mempengaruhi. Ada satu sikap kukuh yang selama ini terus dipertahankan.
Satu nilai utama yang mendasari semua tindakannya. Pada saat seseorang bisa berbuat seperti itu, berarti ada satu kekuatan yang diyakini, yang membuatnya bertahan sampai mati. Ini perhitungan Halayudha. Yang berlanjut kepada, jika nilai dasar utama itu yang diganggu, kehidupan pula yang akan menjadi taruhannya. Itu sebabnya Halayudha langsung mengangkat persoalan rasa kemanusiaan. Suatu yang paling peka dalam kehidupan Nyai.
“Saya sudah mendengar hal itu, Senopati Halayudha. Tak ada yang memberati. Selama ini Raja selalu kami sembahi dengan persembahan, segala jejamuan dan rawatan tubuh. Senopati Halayudha tak perlu risau menyampaikan hal ini.”
“Maaf, maaf yang besar, Nyai. Bukan saya membantah kehendak Raja. Sama sekali bukan. Akan tetapi rasa risi, rikuh, malu, sungkan, dan hina menyatu dalam diri saya kalau mengingat pilihan Raja sekarang ini. Apakah tidak ada putri lain yang bisa dipersunting?”
“Raja berhak apa saja.”
“Sangat benar, Nyai. Sangat benar sekali. Hanya apa yang akan diceritakan anak-cucu kita di belakang hari? Apa yang akan dikatakan anak-cucu saya, jika mengetahui bahwa saat ini saya menjadi senopati dan menjabat sebagai mahapatih? Apa yang akan dikatakan anak-cucu Senopati Tanca yang selama ini mendapat nama harum, kalau mengetahui bahwa Senopati Tanca juga membantu?”
“Pengabdian tidak membutuhkan pertanyaan dan keraguan.”
“Sabda Raja adalah kebenaran,” sambung Halayudha cepat, sambil menghela napas berat. “Saya akan menyampaikan timbalan Dalem, panggilan Raja.”
“Seribu terima kasih, Nyai. Maafkan ketololan saya yang rendah ini.”
Seorang pelayan wanita menyuguhkan minuman aren dari kelapa. Berjalan berjongkok dan tak melirik.
“Senopati, minuman ini bisa mengurangi haus.”
“Sangat terima kasih, Nyai….”
Hening. Tak ada yang menyentuh.
“Senopati Halayudha yang memegang jabatan mahapatih, lebih didengar dari yang lain. Apakah saya keliru?”
Halayudha menggeleng. Hatinya mengangguk. Menggeleng untuk membenarkan kalimat Nyai Senopati, mengangguk untuk kalimatnya sendiri, yang tadinya sempat cemas, karena Nyai Makacaru seperti tak tersentuh.
“Saya hanyalah abdi dalem, tidak mempunyai apa-apa, Nyai. Tidak juga kehormatan besar seperti yang dimiliki Senopati Tanca. Itu alasan yang lain lagi, sehingga saya tidak berani bertemu muka dengan Senopati Tanca.”
“Sekarang sedang menghadap Baginda….”
“Rasanya saya ingin menunggu, kalau Nyai tidak keberatan. Akan tetapi apa saya bisa menyampaikan dengan kata-kata kepada Senopati Tanca?”
Tak ada jawaban.
“Dengan bahasa apa saya bisa menyampaikan hal ini?”
Halayudha menunduk.
“Silakan…”
Halayudha meneguk.
“Sebentar lagi…”
Suaranya tak perlu dilanjutkan. Langkah kaki terdengar mendekat. Lelaki yang tetap bersemangat, dengan pandangan yang jernih. Suaranya tetap tenang, mengucapkan selamat datang, menanyakan kabar, dengan suara tetap sabar.
“Angin kebesaran apa yang mengiringi Mahapatih datang ke gubuk hina ini?”
“Angin yang mematikan rasa kemanusiaan. Senopati Tanca, apakah saya diizinkan bermalam di sini barang dua malam?”
Bagi Halayudha itu cara yang terbaik. Dengan membiarkan Nyai Makacaru menyampaikan sendiri, dalam bahasa suami-istri, hasilnya akan lebih mencapai sasaran. Dalam satu-dua malam, ia bisa melihat perkembangan. Sebenarnya Halayudha tak perlu menunggu terlalu lama. Senja itu pula, Nyai Makacaru telah memutuskan diri untuk berada di tengah kebunnya. Tak mau masuk rumah. Untuk selamanya.
Rembetan Api
LANGKAH berikutnya, Halayudha sudah siap. Dan segera melakukan. Para prajurit pengawalnya diperintahkan untuk menyamar sebagai penduduk biasa, dan berkumpul di depan sanggar pamujan. Kalau kemudian masyarakat sekitar ikut serta, makin kuat kesan bahwa di kalangan penduduk juga muncul kegelisahan.
Sebagaimana posisi mereka yang rakyat kecil, mereka hanya bisa mempertanyakan dengan cara berdiam diri, berjemur di depan sanggar pamujan. Kalaupun jumlahnya tak seberapa, itu sudah akan menyebar sebagai kabar yang besar. Bahwa penduduk berani unjuk diri, mempertanyakan kepada Baginda. Dengan demikian suasana panas mulai meletik.
Seperti halnya api, rembetan menjalar dengan cepat dan makin lama makin santer. Setitik api bisa diucapkan kembali sebagai bara, setitik bara bisa diungkapkan kembali sebagai kebakaran. Dalam suasana yang panas, Halayudha memastikan langkah. Ia menyusun prajurit pilihan yang benar-benar tepercaya. Menyiagakan untuk sewaktu-waktu bisa bergerak cepat. Sasarannya hanya satu. Melenyapkan Mahapatih Nambi di Lumajang.
Kepada Raja, Halayudha sama sekali tidak menyinggung mengenai Tabib Tanca. Halayudha melaporkan bahwa rakyat mulai dihasut oleh kaki tangan Mahapatih Nambi yang mendapat restu resmi dari ayahandanya.
“Baginda sendiri secara pribadi tidak menyalahkan atau melarang pernikahan. Berarti Baginda secara resmi telah melepaskan tanggung jawab, wewenang, sepenuhnya. Hanya Mahapatih Nambi yang tetap menunjukkan kepalanya yang mendongak. Dengan perintah Raja yang Mulia, hamba akan mengamankan. Sebelum merembet terlalu jauh. Sebab kalau dibiarkan, rakyat yang tidak mengerti duduk persoalan sebenarnya akan terpengaruh.”
“Halayudha. Ingsun percaya kamu sepenuhnya. Tapi kadang juga ragu. Kamu ini banyak sekali omongannya. Tapi, tak ada salahnya kamu urus Mahapatih Nambi.”
“Sedia menjalankan perintah.”
“Jangan gegabah, jangan memancing pertumpahan darah. Kalau perlu Nambi ditimbali kemari.”
“Sedia menjalankan perintah….”
Halayudha sudah tahu. Bahwa bukan timbalan atau perintah yang akan disampaikan. Melainkan… Halayudha segera menyiapkan pasukan yang terpilih. Menyusun menjadi tiga barisan. Yang pertama berangkat bersamanya dalam jumlah yang tidak seberapa. Yang kedua akan mengepung seluruh wilayah Lumajang secara tersembunyi. Ini dilakukan dengan cara menyamar, dan sudah lebih dulu berada di tempat. Sedang barisan ketiga berjaga di Keraton.
Yang ketiga ini bagi Halayudha sebagai upaya untuk menjaga diri. Ia tak ingin terpancing sepenuhnya keluar, dan Keraton secara mendadak dikuasai senopati lain. Sesuatu yang pernah terjadi. Seorang Senopati Tantra saja pernah dan bisa melakukan. Dalam barisan ketiga ini, sebagian menjadi penghubung. Begitu ada kejadian yang tak menjerat perhatian dan meminta ketegasan, Halayudha siap memilih prajurit agar bisa menyampaikan langsung kepada Raja. Bahwa Keraton berada dalam keadaan gawat. Sehingga perlu diambil tindakan keras.
Dalam perjalanan, Halayudha merinci seluruh kegiatan dengan cermat, sehingga kemungkinan kecil pun tak ada yang lolos dari perhitungannya. Setelah beberapa kali usahanya yang cermat gagal pada saat terakhir, Halayudha kini lebih berhati-hati.
Adalah di luar dugaan Halayudha, ketika rombongan tengah dalam perjalanan, rombongan dari Lumajang justru telah bersiap menunggu. Yang begini adalah di luar dugaannya sama sekali. Mahapatih Nambi telah mengendus adanya bahaya. Sehingga secara sengaja memasang barisan untuk pacak baris, bersiaga penuh. Ini sengaja dipertunjukkan. Sebagai peringatan bagi Halayudha. Karena barisan yang menjemput dalam keadaan siap siaga. Lengkap dengan semua persenjataan.
“Senopati Halayudha diminta menghadap Mahapatih…,” tutur utusan yang langsung menghadap Halayudha.
“Tanpa diminta pun aku sebagai utusan Raja akan menemui.” Suara Halayudha mengguntur saking kerasnya. “Sampaikan kepada Mahapatih….”
“Kami akan menyertai Senopati.”
Halayudha mengeluarkan suara keras dari hidungnya. “Apakah aku perlu dikawal dan diawasi?”
“Hamba sekadar menjalankan perintah Mahapatih.”
Halayudha mengangguk. “Para prajurit Keraton Majapahit yang setia kepada kebenaran, sebagian dari kalian boleh kembali ke Keraton. Saya pribadi yang akan menghadapi ini. Saya memerintahkan kalian segera kembali. Tak perlu ada pertumpahan darah yang tak berarti.”
Dengan berangkat seorang diri, Halayudha menunjukkan keberanian. Tapi sekaligus juga untuk mengelabui Mahapatih Nambi. Karena prajuritnya yang lain telah berada di Lumajang! Itu perhitungannya. Akan tetapi ternyata sebagian besar justru meleset. Ketika melangkah masuk ke pendopo Lumajang, yang berada di halaman depan justru para prajuritnya yang diikat tangannya. Menunduk, seakan dipertontonkan untuk menyambut Halayudha. Kali ini Halayudha bercekat.
Tak disangkanya Mahapatih Nambi begitu tajam penciumannya. Tak disangkanya bahwa Mpu Sina sedemikian mudah membaca gerakannya, dan menyiapkan perangkap. Sekarang ini benar-benar gawat. Bagi dirinya. Namun itu semua tidak membuat Halayudha melangkah surut. Dengan langkah gagah yang sama lebarnya, Halayudha masuk ke tengah pendopo. Ruangan yang terbuka lebar, tanpa dinding, tanpa pintu. Mahapatih Nambi duduk di tengah. Halayudha menyembah, duduk di depannya. Suasana hening.
“Sugeng rawuh di tanah Lumajang, Senopati Halayudha. Saya sudah lama menunggu.”
“Sambutan yang keliru, Mahapatih,” jawab Halayudha dengan suara tetap mengguntur keras. “Saya datang sebagai utusan Raja. Sambutan Mahapatih seperti ini pasti kurang berkenan di hati Raja.”
“Itu tanggung jawab kami,” jawab Mahapatih Nambi sambil mengangguk hormat kepada ayahandanya. “Saya telah memutuskan untuk mengamankan Keraton. Dan membersihkan pembuat onar. Pengakuan para prajuritmu, yang dengan mudah ditangkap, akan membuka kebenaran. Halayudha, kita sesama lelaki. Kalau mengikuti darah panasku, aku tak akan menerimamu di sini, atau mengajak berbicara. Akan tetapi Rama menghendaki demikian.”
Halayudha tersenyum. “Apa sebab Senopati Sina masih mempertimbangkan saya? Karena sangat dekat dengan Raja?”
“Karena Senopati bisa berbuat lebih baik untuk Keraton.”
“Mahapatih, apakah selama ini saya telah berbuat kurang baik?”
Mahapatih Nambi menepuk lututnya. “Halayudha, semua telah cukup jelas. Selama ini para prajurit yang masih setia denganku, melaporkan segala sesuatu yang kamu lakukan. Termasuk rencana pernikahan Raja. Kamu tak akan bisa menyangkal lagi. Dalam tata keprajuritan, kamu tak ada artinya dibandingkan denganku, pemimpin prajurit telik sandi. Semua rencanamu terbaca dengan jelas seperti tangan yang membuka. Semua bukti kebusukanmu ada di tangan.”
Halayudha memandang sekeliling. Semua prajurit bersiaga. “Mahapatih, apa lagi yang ditunggu? Apa susahnya melawan saya seorang diri, sementara seluruh Lumajang telah siaga perang? Biarlah orang lain yang menilai, siapa yang ksatria dan siapa yang main keroyokan.”
“Aku sudah menduga kalimatmu, Halayudha. Aku tak akan terpancing. Kamu terlalu yakin bisa mengelabui semua orang. Dalam tata keprajuritan kamu tak mengerti sendi-sendinya. Kamu salah besar dalam hal ini.”
Senopati Sina terbatuk. Bahkan Senopati Sina sudah diatur tempatnya agak di belakang. Sehingga kalau terjadi keributan yang kasar, tidak berada dalam titik bahaya. Mau tidak mau Halayudha mengakui bahwa dalam bidang keprajuritan, Mahapatih Nambi tetap unggul dua atau bahkan tiga tingkat di atasnya. Bagaimana tidak, jika walaupun tetap berada di Lumajang akan tetapi bisa mengetahui semua gerak-geriknya? Alangkah tolol dirinya. Sama sekali tak memperhitungkan hal ini. Sekarang sudah terlambat untuk menyesali.
Kesalahan dan Kekalahan
TAK ada yang perlu disesali. “Mahapatih Nambi, rasanya saya tak perlu membantah apa yang Mahapatih katakan. Barangkali sebagian besar benar, sebagian kecil salah. Barangkali terbalik, sebagian kecil benar, sebagian besar sebenarnya masih samar. Tak ada untungnya mengadu kebenaran. Saya menerima sepenuhnya penilaian Mahapatih.”
“Lidahmu memang luwes berbelit. Dalam keadaan tergigit atau terjepit, selalu tak mau menerima dan mengakui kesalahanmu.”
“Saya menerima, Mahapatih.”
“Saya tahu itu tidak keluar dari hatimu yang tulus.”
Halayudha mendongak. “Apa yang Mahapatih kehendaki? Apa lagi yang Mahapatih kehendaki? Semua prajurit saya telah ditawan. Diikat sebagai bandan, sebagai kayu ikatan dan dipertontonkan. Semua kebusukan saya telah diketahui. Tak ada lagi alasan untuk pembelaan. Apa lagi yang Mahapatih kehendaki? Saya bertelanjang di sini dan berteriak mengakui kesalahan? Membunuh diri? Melawan dan dicincang? Sejak di perjalanan saya telah dilucuti. Di sini diadakan pertemuan besar untuk menyaksikan pengadilan dan penjatuhan hukuman atas diri saya. Mahapatih, kalau sudah sedemikian yakin saya bersalah, mengapa harus membuang-buang waktu dengan mengadakan tanya-jawab?”
Mpu Sina yang memandang dari kejauhan tak bisa menahan rasa gusar dan sekaligus menganggap bahwa Halayudha memiliki kekuatan bertahan dan berkelit yang sangat licin. Dalam posisi sudah sangat terdesak dan tak bisa mengelak, masih bisa menantang. Yang bagi telinga biasa seperti masuk akal. Karena apa yang dikatakan Halayudha sangat sederhana nalarnya. Kalau dirinya bersalah, kenapa tak dihabisi saja?
Padahal Halayudha justru mempermainkan perasaan keraguan yang bersarang di dada para senopati atau para prajurit. Dengan kalimat itu, seakan ia ingin menunjukkan bahwa masih ada hal yang gelap. Masih ada celah yang membuat Mahapatih tak sepenuhnya yakin akan tuduhannya.
“Cukup, Halayudha.”
“Semua seperti titah Mahapatih.”
“Kamu tak akan pernah berhasil mempermainkan perasaan saya. Tidak mulai sekarang ini.”
Halayudha malah mengangguk. “Apa yang Mahapatih inginkan dari saya? Apa masih ada?”
“Halayudha, dengarkan baik-baik. Saat ini Keraton sedang dalam keadaan kacau. Dari luar kelihatan aman sentosa, akan tetapi sesungguhnya terjadi kekeroposan yang bisa menghancurkan. Kamu sadar hal itu. Kamu penyebab utamanya. Akan tetapi sesungguhnya kamu masih bisa berbuat kebaikan untuk menebus kesalahan besar itu. Dengan cara apa saja, agar ketenteraman Keraton tetap terjaga.”
“Mahapatih menganggap saya masih ada artinya? Masih ada kesempatan untuk menebus kesalahan? Dosa saya masih bisa diampuni? Maaf, barangkali kita bicara ngelantur. Dari satu sisi, saya adalah tokoh yang jahat yang meracuni Keraton, menebarkan kebusukan menular. Hingga tak ada setitik darah kebaikan dalam tubuh saya. Dari sisi yang lainnya, saya masih bisa menjadi penyelamat, karena hubungan yang dekat dengan Raja. Dua penilaian yang sama sekali tak bisa akur. Kalau saya sedemikian busuknya, apakah Raja mau mendengar kata-kata saya? Apa yang Mahapatih harapkan? Mempengaruhi Raja agar mengurungkan niatan palakrama, menikahi putri-putri Permaisuri Rajapatni? Rasanya mustahil. Baginda sendiri tak tergerak menghalangi. Permaisuri Rajapatni juga tidak. Senopati Tanca dan Nyai Tanca bahkan sudah menyiapkan peralatan untuk jejamuan. Bukankah harapan Mahapatih berlebihan akan kemampuan saya? Saya, saya berani menyebut diri sebagai saya dan bukan hamba sekarang ini, bukanlah seorang mahapatih. Bukan senopati kinasih, yang terpilih dan disayang Raja. Saya tak berbeda dari prajurit yang lain, senopati yang lain. Yang menjalankan dawuh sejauh kemampuan dan pengabdian saya. Kalau Mahapatih murka ketika saya menyilakan kembali ke Lumajang, semata-mata demi keutuhan, demi kerukunan dan ketenteraman Keraton. Saat itu, hingga sekarang ini, Mahapatih masih dalam status palapa karya. Raja sendiri yang memberi restu. Itu sebabnya Raja kurang berkenan dengan tindakan Mahapatih. Karena semua prajurit bisa melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Kalau Mahapatih masih mengingat, saat itu kita berangkat dari tempat ini. Kalau sekadar mencari keuntungan pribadi, saya lebih suka membiarkan semuanya. Rasanya itu lebih baik. Daripada sekarang ini, prajurit Keraton dipertontonkan dan diperlakukan seperti pengkhianat. Sejauh saya tahu, utusan dari Tartar pun tidak melakukan penghinaan seperti ini. Mahapatih. Kalau Mahapatih menganggap semua kesalahan adalah tanggung jawab saya, hukumlah sekarang juga. Dengan kekalahan saya, lunaslah semua dosa-dosa terkutuk. Kesalahan dan kekalahan, semuanya bisa ditimbunkan dalam diri saya. Sekarang. Sebenarnya tak ada lagi yang menghalangi.”
Suara Halayudha berapi-api, akan tetapi pengutaraannya dengan nada masih bisa menguasai diri.
“Kemenangan berpihak kepada Mahapatih. Kebenaran yang mendasari itu.”
“Apakah itu berarti kamu menantang?”
“Saya mengatakan apa adanya. Sejarah Keraton yang gilang-gemilang menjadi demikian ruwet, penuh dengan belitan dendam, semuanya karena saya. Sayalah biang keladinya. Mahapatih ingat, bahwa sesungguhnya sejak Mahapatih Nambi yang memegang tata pemerintahan Keraton, sejak kendali di tangan Mahapatih, sejak itu pula keruwetan muncul. Pengangkatan yang menyebabkan Mahapatih dijauhi, ditakuti, dan dengan demikian menjadikan Mahapatih tak bisa mendengar mana yang benar dan mana yang asal berbunyi. Sejarah Keraton yang mengalirkan dendam, darah, dimulai justru saat Mahapatih memegang kepemimpinan. Saya tidak menyalahkan Mahapatih. Saya tidak mempertanyakan Baginda yang memilih dan menunjuk Mahapatih. Semuanya adalah suratan Dewa, yang sudah tertulis sebelum kita lahir ke jagat. Kita semua hanya menjalani. Kadang ada nasib baik. Kadang ada nasib buruk. Kadang nasib buruk dengan nasib baik datang bersamaan. Atau hanya berselisih beberapa kejap saja. Maaf, maaf semuanya. Saya harus mengatakan ini semua. Agar tak ada keraguan lagi, kalaupun ingin menjatuhkan hukuman ke tubuh saya. Apalah artinya seorang Halayudha? Kalaupun ia senopati yang unggul, yang dipercaya dan dekat dengan Raja, ia tetap seorang di antara sekian puluh senopati yang lain. Seorang yang bila dilenyapkan, tak ada yang menangisi, tak ada yang menahan. Halayudha seorang diri. Tanpa sanak kadang rowang. Tanpa saudara dekat atau jauh, tanpa teman. Apakah dengan kata-kata ini diartikan menantang?”
Mahapatih mencabut kerisnya. Berdiri dengan gagah. “Semakin jelas sekarang. Bahwa memang kamulah sumber bencana. Semakin banyak yang kamu katakan, semakin menggambarkan keculasan dirimu. Kepintaranmu membalik yang hitam menjadi putih, yang putih menjadi kotor. Aku tidak ragu lagi, Halayudha.”
“Saya akan melawan sebisa saya.”
“Itu baik. Bersiaplah.”
“Saya telah bersiap, Mahapatih.”
Benar-benar tantangan. Sekaligus tamparan. Karena Halayudha mengatakan itu dengan menyembah, lalu bersidekap. Menyilangkan kedua tangan di depan dada, dengan mata terpejam. Seakan pasrah. Tapi mengatakan siap. Sekokoh karang sekalipun, kemurkaan Mahapatih Nambi jadi terguncang keraguan. Apakah Halayudha akan menerima hukuman? Ataukah menyiapkan serangan mendadak sebagai balasan?
Bader Bang Sisik Kencana
DUA pertanyaan yang membuat Mahapatih Nambi ragu-ragu sejenak, merambat kepada para prajurit yang berada di pendapa. Kecuali Mpu Sina yang terbatuk. Memegangi dadanya.
“Bader bang…”
Suaranya terdengar tersengal. Tapi Halayudha mendengar jelas. Karena dengan memejamkan mata sambil bersidekap, Halayudha sedang memusatkan pikiran dan kekuatannya. Apa yang dibisikkan Mpu Sina sangat diketahui Halayudha maksud tujuannya. Perkataan bader bang, lebih lengkapnya berbunyi bader bang sisik kencana. Artinya kira-kira, badar merah bersisik emas.
Ungkapan yang lebih luas dari itu adalah menggambarkan bahwa Mpu Sina menilai Halayudha sedang memainkan siasat ikan badar. Ikan badar adalah ikan yang kecil tak berarti. Akan tetapi dengan warna merah dan bersisik emas, ikan teri yang tak berarti itu menjadi bermakna. Menjadi incaran yang sangat besar artinya. Hal ini bisa diartikan bahwa Halayudha berusaha mengubah kedudukannya yang tanpa harapan menjadi peluang emas. Sehingga bukan tidak mungkin sekarang ini Halayudha sudah menyiapkan satu serangan balik. Atau menyerah pasrah. Keraguan. Keraguan menentukan yang mana.
Mpu Sina mengeluarkan kata bader bang, karena kata itu mengandung beberapa pengertian. Pada telinga Mahapatih, peringatan itu diterima dalam pengertian yang berbeda. Bader bang sisik kencana, bisa diartikan sesuatu yang tiada berarti. Tak ada gunanya. Karena sesungguhnya ikan teri merah bersisik emas itu tak pernah ada. Sehingga semua usaha untuk memburu juga tidak akan memberi hasil apa-apa. Berarti kesia-siaan.
Kalau dikaitkan dengan apa yang akan dilakukan, Mahapatih bisa menerimanya sebagai peringatan bahwa ia tak perlu melakukan tusukan atau hukuman. Para senopati yang berada di dekat Mahapatih sebenarnya juga menjadi bercabang. Mendua pilihannya. Karena dua kata Mpu Sina bisa ditafsirkan berbeda. Tafsir pertama seperti yang sementara ini berada dalam pengertian Mahapatih.
Tafsir kedua, bisa berarti kalau Mahapatih melakukan, itu tak ada apa-apanya. Tak ada dosa atau kesalahan. Sebab ikan teri merah bersisik emas itu tak pernah ada. Jadi ditiadakan pun tak apa-apa. Inilah pertarungan yang sesungguhnya. Pertarungan tanpa mengeluarkan tenaga. Tanpa mengadu ilmu silat. Tanpa bergerak. Tanpa menggerakkan tangan. Tidak juga satu tangan sekalipun.
Halayudha sangat memahami situasi yang tengah berlangsung. Sangat menyadari bahwa situasi bisa mengubah nasibnya dalam seketika. Menerima tikaman dan terjangan, atau sekurangnya menjadi penundaan. Pada saat yang genting itu justru Halayudha bisa merebut keunggulan. Tidak dengan mendahului bergerak.
Sebab secepat apa pun gerakannya, sekuat apa pun tenaga yang dikerahkan, hasilnya tak bakal menyelamatkan dirinya. Taruh kata pukulannya bisa menyeret Mahapatih atau merobohkan. Itu tak menghalangi semua senopati dan prajurit yang akan menyerbu bersamaan. Dibakar oleh dendam kesumat, dan mendapat pijakan alasan menerjang yang gamblang. Itu risiko yang berat, karena Halayudha tak akan bisa melarikan diri dengan leluasa. Tidak dengan pasrah menyerah.
Sebab sepasrah apa pun, tubuhnya akan bereaksi jika serangan datang. Halayudha tak akan membiarkan dirinya dicincang. Padahal saat dirinya bereaksi memberikan perlawanan, serangan tak akan terbendung lagi. Pertarungan yang sesungguhnya berlangsung.
Halayudha yang mulai menarik ke tengah permasalahan. Antara kesalahan dan kekalahan. Perdebatan, kalau boleh dikatakan begitu, meskipun ini dilakukan oleh Halayudha sendiri, mengenai kalah dan salah bisa berarti sama, tapi bisa berarti lain. Yang kalah belum tentu berarti salah. Dengan menyeret ke pembicaraan itu, Halayudha sengaja memaparkan kebusukannya sendiri. Semua rencananya ditelanjangi sendiri.
Sedemikian pekatnya sehingga seolah ia tengah membual. Tengah menceritakan sesuatu secara berlebihan. Dengan memecah perhatian dasar tindakan, Halayudha sebenarnya sedang menggempur bagian yang terdalam. Bagian yang lebih dalam dari tenaga dalam. Kemampuan itu mewujud dalam diri Halayudha seperti tidak direncanakan. Sekurangnya tidak direncanakan secara sadar.
Meskipun sejak awal Halayudha mengetahui peluang untuk menggoyahkan pikiran lawan, akan tetapi tidak menduga bahwa hasilnya bisa begitu luar biasa. Sekarang boleh dikata dirinya berada di atas angin. Sebab keraguan tindakan Mahapatih yang sepersekian kejap ini menjalar dan menjadi tanda tanya. Dari seluruh isi pendapa yang segera menyadari bahwa Halayudha unggul adalah Mpu Sina.
Tokoh tua yang kenyang pengalaman dan kokoh dalam pendirian itu terguncang. Kekuatan batinnya saling membentur dalam dadanya. Tubuhnya bergetar. Tangannya gemetar. Yang terdengar adalah giginya berkerutukan. Gempuran tenaga batin yang menusuk terlalu dalam. Mpu Sina adalah senopati tangguh yang pendiriannya sangat luas dan keras. Dalam tata pemerintahan yang sedang menanjak, Mpu Sina lebih suka mengundurkan diri. Sama sekali tak mau berurusan.
Ini saja sudah menandakan kekerasan yang tiada tandingannya, tiada duanya. Kalau akhirnya keluar dari sarang, karena jiwa keprajuritan yang sejati masih berdegup dalam darahnya. Itulah saat mengadu nyawa di perahu Siung Naga Bermahkota. Dalam pertarungan itulah matanya yang tajam bisa melihat bahwa sesungguhnya Halayudha tidak melawan Barisan Api dengan sepenuh hati. Hanya asal bertarung untuk menjaga dirinya tidak cedera.
Kelicikan yang memuakkan. Justru di saat yang lain tidak memperhitungkan mati atau hidup, Halayudha berpura-pura. Kutukan yang tak akan pernah dikeluarkan dari mata batin Mpu Sina meluncur dengan tajam dalam hati. Apalagi ketika pertarungan usai, Halayudha muncul seolah dialah yang menjadi pahlawan. Yang menyelesaikan persoalan. Berdiri dengan gagah dan memerintah. Ditambah dengan perintahnya untuk menenggelamkan perahu, serta kemudian mengusirnya kembali ke Lumajang. Dengan pongah dan melabrak semua tata cara.
Batu keras dalam hati Mpu Sina makin keras, makin keras. Itu sebabnya tak ada pilihan lain. Menangkap Halayudha hidup-hidup, menyeretnya, dan tidak akan memedulikan apa yang dikatakan. Karena dari tubuh yang busuk dan hina, tak mungkin mengalir bau sedap. Itu sebabnya kalimat apa pun dari Halayudha dianggap omong kosong yang menjijikkan. Jauh sebelum Halayudha dibawa, Mpu Sina telah mengatakan kepada putranya. Nyatanya begitu. Sampai ketika bibirnya mengucap bader bang.
Yang maksudnya merestui tindakan putranya. Tapi justru bisa diartikan lain. Mpu Sina merasa terpukul paling keras. Karena dari kebenciannya yang memuncak, malahan bisa berakibat lain. Justru dari kebencian ini, putranya gagal menangkap maksud yang sebenarnya. Mpu Sina merasa terpukul paling keras, karena merasa dirinya yang menyebabkan kegagalan itu. Kalau saja ada pilihan kata lain….
Tapi, semua sudah terjadi. Walau hanya sepersekian kejap, situasinya berubah. Kekerasan yang bulat seperti mengendur. Mpu Sina makin merasa bersalah karena suara giginya yang berkelutukan membuat perhatian terserap ke arahnya.
“Pranajaya… Pranajaya… Pra-na-ja-ya…”
JILID 46 | BUKU PERTAMA | JILID 48 |
---|