Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 48
Suara tipis, mengembang antara terdengar dan tidak, menyambar kesadaran Mpu Sina. Ini yang membuatnya makin geram, makin gusar, makin mendidih darah dan segenap kesadarannya. Karena Mpu Sina tahu yang membisikkan suara itu adalah Halayudha. Yang sengaja mengucapkan nama itu.
“Prana… Pra-na… Pra… Na…
Diiringi teriakan lirih, tubuh Mpu Sina tertekuk, mengejang. Kepedihan batinnya tak tertanggungkan lagi. Sirna.
Prana, Pangkat Anugerah
PUKULAN Halayudha yang dilakukan hanya dengan berbisik membidik tepat. Mpu Sina lebih dari sekadar dikeplek, dibanting hingga rata dengan tanah. Kata yang diucapkan Halayudha hanya satu patah, Pranajaya. Yang diucapkan perlahan, mendesis, terpotong menjadi Prana. Ini yang diulang. Ini yang menggilas harga diri tokoh liat yang berwatak keras.
Dari catatan di perpustakaan, Halayudha bisa mengetahui asal-usul Mpu Sina. Dan sebagaimana biasanya, Halayudha mencari peluang untuk menemukan kelemahan siapa pun yang dipelajari. Sejak Senopati Nambi diangkat menjadi mahapatih, Halayudha sudah meneliti. Guna menemukan perangai, sifat, yang bisa memberikan peluang baginya untuk masuk. Apakah dengan memberikan arca, apakah dengan memberikan tanah sebagai upeti, ataukah wanita. Tapi yang ditemukan malah sebaliknya.
Mpu Sina mempunyai catatan yang mengesankan. Ia adalah prajurit Keraton Singasari yang gagah berani, menunaikan tugas tanpa mengenal siang dan malam, tanpa membedakan kaki dan kepala. Meskipun mulai dari bawah, Mpu Sina menunjukkan pengetahuan yang luas dan menunjukkan jiwa kepemimpinan yang menonjol. Satu-satunya halangan adalah sifatnya yang keras, yang tak mengenal warna abu-abu. Yang ada hanya hitam dan putih. Musuh atau sahabat.
Itu sebab ketika Raja Muda Jayakatwang dari Gelang-Gelang menyerbu Keraton Singasari, Mpu Sina lebih suka memilih jalan melarikan diri. Pengampunan yang diberikan serta pangkat yang lebih tinggi ditolak. Baginya Raja Muda Jayakatwang salah. Itu yang diperangi. Sampai kapan pun. Meskipun untuk itu Prajurit Sina harus berada di hutan, di lereng gunung, di medan pertarungan.
Ketika Raden Sanggrama Wijaya menggempur Keraton, Prajurit Sina seperti berjuang sendirian. Ia tidak termasuk dalam tata keprajuritan, akan tetapi terus melakukan perlawanan. Beberapa kali nyaris menjadi korban. Bahkan dalam pertarungan yang menentukan ketika mengusir pasukan Tartar, Prajurit Sina yang diangkat menjadi senopati tetap menunjukkan jiwanya sebagai prajurit sejati. Yang berada di depan, yang membawa keris terhunus.
Kemenangan yang gilang-gemilang tak menyebabkan Senopati Sina menjadi silau. Tata krama hidupnya tidak mengalami perubahan sedikit pun. Putranya sendiri, Nambi, tidak pernah mendapat perlakuan istimewa. Tidak juga anggota keluarga yang lain. Sewaktu Raden Sanggrama Wijaya naik takhta dan mulai memberikan anugerah pangkat dan jabatan kepada prajuritnya yang berjuang, nama Senopati Sina tak terlewatkan.
Atas kemurahan Baginda, Senopati Sina diangkat menjadi pranapraja, dan berhak memakai gelaran Pranapraja. Pesta kemeriahan dan keunggulan yang mengelukan namanya ternyata disambut dengan dingin. Pranapraja bukanlah pangkat yang rendah. Bukan pula menengah. Sebagai senopati utama yang bertugas dalam praja, dalam Keraton, jabatan Mpu Sina saat itu, setingkat dengan apa yang diduduki Halayudha sekarang ini.
Tingkatnya sejajar dengan para senopati perang yang lain, dengan penghargaan dan kehormatan yang sama, akan tetapi mempunyai kelebihan karena bisa berada dalam Keraton. Bisa selalu mendampingi Baginda, tanpa perlu turun tangan langsung dalam pertarungan. Lebih dari itu nasihat dan kalimatnya sering dipakai Baginda sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu. Boleh dikatakan sangat dekat dengan puncak kekuasaan.
Pranapraja merupakan jabatan yang istimewa. Prana bisa berarti napas, kehidupan, perasaan, atau juga pikiran. Dengan demikian merupakan indria Keraton. Yang menyampaikan segala sesuatu mengenai tata pemerintahan Keraton. Meskipun resminya di bawah Mahapatih, akan tetapi tidak menjadi halangan bagi Baginda untuk meminta pertimbangan secara langsung.
Akan tetapi, prana juga meliputi tugas dan kewajiban sebagai kepala bagian rumah tangga Keraton. Karena prana sendiri tetap bisa diartikan sebagai bagian dari kewanitaan yang paling tersembunyi. Sehingga semua urusan mengenai wanita-wanita di Keraton menjadi tugas dan wewenangnya.
Pada masa itu, jabatan yang diberikan kepada Senopati Sina, yang karena dekat dengan Baginda dan dianggap tempat bertanya berarti tokoh cendekiawan dan boleh memakai gelar Mpu, adalah jabatan yang sangat terhormat. Terhormat dan dianggap sangat penting. Karena hanya mereka yang dianggap bisa dipercaya Baginda dapat menduduki jabatan tersebut. Biasanya, bahkan orang menjadi wadat, menjadi tidak kawin seumur hidupnya. Terutama dengan jalan meminum reramuan tertentu.
Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaan yang menjadi tanggung jawabnya. Setiap saat berurusan dan berhubungan dengan gadis ayu dan muda usia. Mpu Sina dipercaya untuk tugas tersebut tanpa harus menjadi kasim. Tanpa kehilangan kehidupannya sehari-hari sebagai lelaki. Sesungguhnya itu kehormatan yang besar. Anugerah yang besar artinya. Sesuai dengan sifat keras Mpu Sina yang tak mengenai keraguan.
Di masa Baginda, jabatan itu termasuk yang banyak diperebutkan. Meskipun memang jabatan pranapraja menjadi semacam sindiran yang tidak mengenakkan telinga. Terutama masa sesudah Sri Baginda Raja turun takhta. Karena di masa Sri Baginda Raja, terjadi banyak penyelewengan. Akan tetapi dari segi jabatan, pangkat pranapraja tetap terhormat. Bahkan jabatan itu bisa dipakai sebagai nama, tak berbeda dengan demang ataupun mahapatih.
Upacara pemberian anugerah berjalan dengan lancar tak kurang suatu apa. Hanya esoknya, pagi-pagi sekali, Mpu Sina sowan kepada Baginda dan memohon ampun kepada Baginda.
“Apa kamu merasa pangkat itu kurang tinggi?”
“Duh, Baginda. Kehormatan yang begini besar dan membanggakan, dalam mimpi pun hamba tak berani berharap.”
“Apa kamu merasa lebih berjasa?”
“Duh, Baginda. Hamba melakukan tugas prajurit. Tanpa mengharap jasa, tanpa menolak cela.”
“Apa kamu merasa jabatan itu terlalu tinggi?”
“Duh, Baginda. Tinggi atau rendah, anugerah dari Baginda adalah segalanya bagi hamba.”
“Sina, seperti semua prajuritku yang ikut berjuang memeras keringat dan darah, aku ingin selalu berada di antara kalian. Katakan apa salahku sehingga kamu lebih suka mengundurkan diri?”
“Duh, Baginda. Hamba prajurit bodoh. Sehingga tata krama Keraton yang adiluhur ini menjadi berantakan. Tak nanti hamba menyimpan hitam mengatakan putih.”
“Katakan, Sina.”
“Hamba bersedia menerima murka, karena memang hina. Hamba hanya ingin mengabdi, tanpa harus berada dalam jajaran pangkat dan derajat. Duh, Baginda. Kalau ada sesuatu, tanpa diminta, Baginda berkenan melihat darah. hamba, hamba dengan rela dan ikhlas akan menyerahkan sekarang juga.”
Menurut catatan yang dibaca Halayudha, Baginda kurang berkenan dengan sikap Mpu Sina. Akan tetapi Mpu Sina tetap pada pendiriannya. Menyingkir, mengasingkan diri ke Lumajang. Bahkan kemudian sama sekali tak mau mendengar jabatan pranapraja. Kata itu seakan dimusnahkan. Dan di Keraton sendiri kekosongan jabatan itu tidak pernah secara jelas diduduki senopati yang lain.
Banyak perhitungan bisa ditarik dari sikap keras Mpu Sina. Bisa berarti kurang menyetujui beberapa keputusan Baginda mengenai pembagian pangkat dan derajat. Bisa dalam arti yang lain. Semuanya hanyalah dugaan. Yang jelas, Mpu Sina menyerahkan kembali. Dan tak mau mendengar lagi. Itulah sebabnya perasaannya terpukul balik dengan keras dan menghantam ketika Halayudha membisikkan nama itu!
Seakan membuka kembali bagian yang selama ini tersembunyi. Bagian yang dianggap lembaran kusut. Karena, bagaimana mungkin prajurit sejati berani menolak anugerah Baginda? Justru itu yang dipakai senjata oleh Halayudha. Jatuhnya Mpu Sina serentak mengubah situasi. Keris yang terhunus di tangan Mahapatih terlepas, tubuhnya melompat menubruk Mpu Sina. Pada saat itu Halayudha bisa memakai kesempatan untuk menyerang. Tepat untuk meraih kemenangan.
Akan tetapi yang terlihat justru Halayudha meloncat lebih cepat, lebih sigap, menuju tubuh Mpu Sina dan bersujud. Gerakannya begitu tergesa dan seketika, sehingga kedua tangannya bergerak tak menentu. Padahal saat itu tenaga dalam yang sejak tadi bergumpal di perutnya dilontarkan. Dilepaskan ke arah pinggang Mahapatih. Yang mendadak menjadi limbung. Tiga tindak sebelum mendekati ayahandanya, Mahapatih Nambi seperti tak kuasa berdiri. Tubuhnya bergoyang.
Tepukan Sumantali
TERDENGAR seruan kaget. Menggema di seluruh pendapa, dari ujung ke ujung. Kejadiannya berlangsung sangat mendadak. Pertama Mahapatih Nambi sudah menghunus kerisnya. Berdiri dengan gagah di depan Halayudha yang pasrah menerima. Sesaat kemudian sudah berubah menjadi langkah sempoyongan, sementara Mpu Sina terkulai.
Bahwa Mpu Sina menderita gering, semua prajurit mengetahui. Sejak pertarungan dengan Barisan Api, kesehatan Mpu Sina makin mundur. Akan tetapi saat terakhir masih bisa tampil dengan gagah. Jauh dari dugaan bahwa ini polah Halayudha.
Mahapatih Nambi sendiri tak menduga bahwa benturan kejiwaan yang menghancurkan batas kekuatan Mpu Sina. Hatinya masih menduga-duga pasti ada sebab mendadak. Tak mungkin penyakit yang diderita tiba-tiba menyerang begitu hebat. Karena kejadiannya begitu cepat, kewaspadaan Mahapatih menjadi lengah. Bisa dimengerti. Karena Mpu Sina adalah pepunden, tokoh junjungan yang sangat dihormati.
Dalam keadaan kurang waspada, serangan tenaga dalam Halayudha menghantam langsung pinggangnya. Yang menjadi kaku sehingga udara susah ditarik lewat hidungnya. Jalannya menjadi limbung. Geraknya kaku. Saat itu Halayudha yang berada sangat dekat bergerak.
“Sabar, Mahapatih….”
Suara Halayudha terdengar keras, sehingga seluruh pendapa bisa menangkap jelas. Ketika itu tubuhnya berdiri, membopong Mahapatih untuk dibawa duduk. Caranya tetap sangat menghormat. Telapak tangannya membuka dan mengelus sebelum menuntun Mahapatih. Mahapatih Nambi mengeluarkan pekikan keras. Pekik kesakitan yang menyayat. Tubuhnya memberontak keras, berkelojotan, terlepas dari Halayudha. Ambruk di lantai. Jarinya menuding, matanya melotot. Kaku. Menakutkan.
Halayudha sendiri tersentak, mundur terhuyung sebelum terduduk. Semua prajurit dan senopati berdiri serentak, menghunus senjatanya. Mengurung. Satu aba-aba saja, maka akan terjadilah pertarungan yang mengerikan. Kebuasan dan dendam yang memuncak, menghancurleburkan apa saja yang menghalangi. Tapi tak ada yang memberi komando. Mpu Sina sudah sirna. Mahapatih Nambi mengerang kaku dan wajahnya mengerikan.
Napas Halayudha naik-turun. Berguncang di dadanya. Tenaganya berbenturan. Sehingga seluruh anggota tubuhnya gemetar, dengan tulang-tulang mengeluarkan bunyi kerotokan.Kalau saja saat itu ada yang menusukkan senjata, Halayudha tak akan mampu menangkis. Tubuhnya gemetar, pasrah, tanpa perlawanan. Barangkali ini yang malah menyelamatkan. Karena kepasrahan sikap Halayudha seakan mencuci tindakan sebelumnya. Seakan memperlihatkan bahwa dirinya tak akan melawan. Seperti ketika Mahapatih siap menusuk.
Bahwa kejadian yang sebenarnya bagaimana, hanya Halayudha yang tahu. Gemetar yang kedua dengan kepasrahan, adalah karena Halayudha tak mempunyai sisa tenaga. Seluruh kemampuannya, tenaga dalamnya yang tersimpan, telah diemposkan, membludak dan menabrak tubuh Mahapatih. Itu terjadi saat mengelus tadi, Halayudha memainkan Tepukan Sumantali.
Tepukan Sumantali, atau Tepukan Pawang Gajah, adalah pengerahan tenaga dalam serta kekuatan batin yang dahsyat. Seperti yang dilakukan pawang gajah. Tangan mengelus halus, akan tetapi saat itu sebenarnya sedang mengerahkan tenaga batin, tenaga dalam yang kuat untuk menundukkan gajah. Agar gajah mengikuti apa kemauannya.
Jurus semacam ini bukan hal yang luar biasa bagi Halayudha. Karena memang tenaga dalam yang dikuasainya bisa dilakukan dengan pendekatan tenaga sumantali, tenaga pawang gajah. Gajah sebagai binatang dengan kekuatan besar bisa ditundukkan! Hubungan dengan gajah juga bukan sesuatu yang istimewa. Karena justru sejak awal, Halayudha menyebut gurunya sebagai Gajah Mahabengis!
Perumpamaan ini menyiratkan asal-usul penggunaan tenaga dalam untuk menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan gajah. Jurus yang tepat sekali. Itu sebabnya Mahapatih Nambi bisa terjengkang dan kejang.
Pada saat menyadari bahaya besar, Mahapatih Nambi menyusun kekuatan terakhir untuk memberontak. Tenaga dalamnya yang penghabisan dikerahkan sepenuhnya untuk menyerang Halayudha. Hanya karena pinggangnya telah terkena pukulan telak, tak bisa tersalur sepenuhnya. Ada empat persepuluh bagian yang macet. Empat persepuluh bagian yang lain menghantam dirinya sendiri karena tak bisa dikendalikan.
Sisanya masih terpisah, antara perlawanan yang terarah dan tidak mengenai sasaran. Namun toh itu cukup untuk melemparkan tubuh Halayudha. Hingga jatuh terduduk, gemetar. Buku-buku tulangnya berbunyi seolah saling beradu. Untuk yang terakhir ini Halayudha tak menyadari sebelumnya. Bahwa tenaga dalamnya bisa terempos sepenuhnya.
Bahwa pengerahan tenaga dalam bisa total dan tuntas memang merupakan ciri utama ajaran Paman Sepuh Dodot Bintulu. Yang pada Ugrawe, bisa melahirkan pukulan andalan yang kesohor, yaitu Banjir Bandang Segara Asat. Intinya mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menguras tenaga dalam lawan. Pengerahan tenaga dalam habis-habisan. Tanpa sisa.
Pada Halayudha hal ini ternyata berakibat lebih dalam dari itu. Sejak tenaga dalam yang berawal dari kekuatan planangan bisa dibuka oleh Dewa Maut dan dilanjutkan olehnya, Halayudha tak memperhitungkan tenaga dalamnya bisa terkuras habis. Terlontar seluruhnya!
Sehingga kemudian tubuhnya tak menyisakan apa-apa. Ini yang tidak sepenuhnya disadari, tetapi justru membuahkan hasil yang di luar dugaannya. Tak sepenuhnya disadari, karena baru sekarang ini Halayudha sadar kekuatannya yang demikian hebat bisa mencuat hingga dasar. Hingga kekuatan simpanan dari pengalihan tenaga planangan ikut tersedot.
Hasil yang di luar dugaannya, karena Mahapatih Nambi ternyata tetap lebih kuat dari yang diduga. Pukulan ke arah pinggang sudah bisa melukai dan melumpuhkan, akan tetapi toh Mahapatih Nambi masih bisa mengumpulkan erangan terakhir. Yang bila berhasil akan menyebabkan Halayudha mati bersama. Napas Halayudha berangsur-angsur menjadi teratur. Tangannya menyembah ke arah Mahapatih Nambi sebelum menyapu keringat di dahinya.
“Para senopati yang mulia, kita reksa Mahapatih Nambi dan Mpu Sina….”
Ajakan merawat yang terluka dari Halayudha membuat beberapa senopati bergegas meninggalkan kepungan. Akan tetapi sisanya masih mengurung. Halayudha menarik napas panjang. Hawa panas dalam perutnya kembali terasa. Berarti tenaga dalamnya mulai pulih kembali. Halayudha tak kuasa membendung senyuman di bibirnya.
Inilah yang dulu dilihatnya pada Barisan Api! Seperti yang dikatakan Dewa Maut. Bahwa tenaga mereka akan berlipat jika bersinggungan. Kini dengan cara lain, tenaga dalamnya yang tadi terlontar tuntas bisa mengumpul kembali. Inilah yang dulu dipakai Upasara Wulung. Tenaga dalam yang diperlihatkan ketika mematahkan Barisan Api. Dengan membiarkan dirinya dipukul, lawan kena pukul ganas.
Ketika menyerang kembali, tenaga dalam Upasara Wulung kembali seperti pada awal pertarungan. Pulih. Bali kaya wingi uni. Kembali seperti sediakala! Kalau ada perbedaan, bagi Halayudha hanyalah Upasara Wulung bisa memulihkan sepenuhnya dalam waktu yang singkat. Dalam satu tarikan napas saja. Sedang dirinya, memerlukan waktu yang lebih lama, sehingga sempat berada dalam situasi kritis, dalam keadaan kosong.
Akan tetapi itu bukan perbedaan yang tak bisa diatasi. Dengan melatih diri secara keras, Halayudha yakin akan segera bisa mencapai tingkat Upasara. Apalagi kalau mengingat dirinya baru sekarang ini betul-betul menggunakan tenaga dalam yang bertambah dari pengalihan tenaga planangan. Masih banyak waktu. Halayudha berdiri. Bibirnya mengeluarkan desisan ular berbisa.
“Dewa telah menjatuhkan hukuman bagi tuduhan yang keliru. Mpu Sina dan Mahapatih menerima peringatan. Kalau masih ada yang tak mau mendengar peringatan Dewa, saya tak akan menyesali apa yang bakal terjadi. Silakan mundur.”
Gajah Tiga Gading
TANTANGAN Halayudha terdengar lantang. Suaranya garang, menundukkan. Dengan pandangan beringas dan kaki mengangkang, seolah siap menerima gempuran dari depan, samping, maupun belakang. Halayudha merasa dalam posisi merebut keunggulan secara mutlak. Dua lawan utama yang disegani telah dikalahkan dengan satu-dua gebrakan.
Tewasnya Mpu Sina dan jatuhnya Mahapatih Nambi berarti membongkar akar. Tinggal satu sentakan dan tercabut seluruhnya. Kenyataannya begitu. Tantangan Halayudha dipatuhi dengan cara beberapa senopati dan prajurit utama mundur. Tiga langkah. Sebagian masih mengurusi Mahapatih dan Mpu Sina, selebihnya mundur. Hanya satu yang tetap berdiri di tempatnya. Matanya memandang lurus. Tak berkedip. Halayudha berdeham lunak.
“Saya terima tantangan Senopati Gandhing.”
Yang dipanggil Senopati Gandhing tidak mengangguk, tidak pula bergeser dari berdirinya. Tangannya meraup tombak yang tergeletak di sampingnya. Tombak bermata tiga, yang membalikkan cahaya di bagian ujungnya. Tiga ujung mata tombak langsung menuding ke arah Halayudha, ketika Senopati Gandhing mengangkat dan memegang bagian tengah. Wajahnya keras, pegangannya mantap.
Senopati Gandhing sadar bahwa yang dihadapi bukan tokoh sembarangan. Lebih sadar lagi bahwa dirinya bukan tandingan yang setimpal. Akan tetapi itu bukan alasan untuk melangkah mundur. Tekadnya sudah bulat.
Halayudha bersiaga. Tangan kirinya mengepal, menyilang serong di depan tubuhnya. Tangan kanannya membuka, sejajar dengan bahu. Tenaga dalamnya dikerahkan, meluncur dari pusar, ke seluruh tangan dan kaki. Hingga mengeluarkan getaran dan hawa panas. Halayudha juga tak memandang sebelah mata.
Senopati Gandhing memiliki beberapa keunggulan dibandingkan para senopati yang lain. Sejak semula Senopati Gandhing adalah senopati yang sangat setia kepada Mahapatih. Ilmu silatnya selama ini kurang terdengar karena sangat jarang terlibat dalam pertarungan. Akan tetapi jabatannya sebagai kepala prajurit utama di Benteng Gandhing menjadikan alasan untuk memberi nilai lebih.
Kalau selama ini ilmu silat Senopati Gandhing tak begitu terkenali, terutama karena selama ini selalu bergerak di belakang layar. Senopati Gandhing lebih diakui keunggulannya dalam mengatur strategi untuk menjebak strategi lawan. Semua gerak-gerik Halayudha di Keraton bisa diketahui dengan gamblang, pastilah karena kelihaian Senopati Gandhing. Sedemikian bisa menyembunyikan kegiatannya sehingga tak ada yang bisa mengendus. Itu pula sebabnya Senopati Gandhing yakin bahwa Halayudha benar-benar culas.
Bagi Halayudha, ada dendam tersendiri pula. Ketika ia berangkat ke Lumajang, di dalam wilayah yang dikuasai Senopati Gandhing pula dirinya dilucuti. Siapa lagi yang mampu berbuat seperti itu selain penguasa wilayah tersebut? Benteng di wilayah Gandhing adalah benteng yang paling kuat. Menurut kabar dan cerita yang tersebar, jauh lebih kuat dan terencana dibandingkan Keraton. Senopati Gandhing mengatur perangkap dan pengaturan sedemikian rupa, sehingga tak bisa dimasuki orang lain tanpa tersambar bahaya.
Sedemikian besar perhatiannya akan Benteng Gandhing, sehingga ketika Mahapatih Nambi dan rombongan menuju Lodaya untuk membebaskan Baginda, Senopati Gandhing tetap berada di sarangnya. Meskipun secara resmi mewakili Mahapatih untuk wilayah Lumajang dan sekitarnya, Senopati Gandhing tidak meninggalkan kubu pertahanannya. Juga sebelum melucuti Halayudha.
Getaran telapak tangan Halayudha makin keras. “Gadhil kalawai yang lumayan bagus. Rasanya saya perlu menjajal dengan tiga gading.” Tiga jari tangan kanan Halayudha membuka. Dengan gerakan ringan ketiga jari itu mencawuk ke depan. Langsung ke arah tiga ujung mata tombak.
Senopati Gandhing tidak mundur. Tidak beranjak sedikit pun, meskipun merasakan kesiuran angin yang kuat. Tombaknya digerakkan, berputar, dan secepat tarikan napas, membenam ke tubuh Halayudha. Yang juga tak bergerak. Malah menangkis dengan tiga jari. Seakan mengisyaratkan bahwa tiga jari yang disebutkan sebagai tiga gading, cukup untuk menandingi tombak andalan Senopati Gandhing! Memang memesona.
Pameran kekuatan yang memikat.
Halayudha tadi menyebut gadhil, yang artinya taring babi hutan. Halayudha sengaja merendahkan lawan, seolah hanya memakai senjata taring babi hutan. Dengan mengatakan gadhil kalawai, sama juga mengatakan bahwa yang dipakai Senopati Gadhing tetap tombak bermata tiga, kalawai, akan tetapi ujungnya hanyalah taring babi hutan. Cara merendahkan lawan termasuk keunggulan Halayudha.
Di antara para binatang, ada yang mendapat tempat terhormat. Seperti harimau, yang bahkan pernah menjadi simbol Keraton Singasari, atau kuda, atau rajawali, atau gajah. Yang terakhir ini yang diakui sebagai penggambaran diri Halayudha. Sebenarnya yang terakhir ini tidaklah terlalu berlebihan. Karena memang Paman Sepuh Dodot Bintulu memakai pendekatan tenaga gajah dalam menciptakan ilmunya, termasuk jurus-jurus dalam Timinggila Kurda, atau Ikan Gajah Murka. Sebutan itu pula yang menyebabkan Halayudha menyebut gurunya sebagai Gajah Mahabengis.
Maka sebenarnya kalimatnya yang mengatakan tiga gading gajah dengan menunjukkan ketiga jarinya, Halayudha melemparkan umpan cemoohan yang bisa diterima akal. Biar bagaimanapun ada persamaan antara gading, gandhing, dengan gadhil. Sehingga persamaan bunyi ini lebih mengena. Seolah bisa dibandingkan secara jelas. Apalagi babi hutan termasuk binatang buas yang paling rendah tingkatannya.
Hebat cacian Halayudha, akan tetapi hebat pula tangkisannya. Ketiga jarinya yang membuka, bukan menebas arah tombak. Melainkan menyelinap masuk. Seolah menggunting kalawai, di antara mata tombak yang ada. Jarak antara satu ujung dan ujung yang lainnya cukup lebar, dibandingkan jarak antara jari satu dan lainnya. Akan tetapi toh Halayudha seperti tak terpengaruh oleh itu. Tetap menyabet ke bawah. Menahan serangan tombak yang berputar. Meskipun Halayudha seperti hanya menggunakan tiga jari, akan tetapi sebenarnya jarinya yang keempat berbicara juga. Ikut menahan dari bawah.
Sementara itu tangan kirinya yang terkepal, bahkan lebih dulu melontarkan pukulan kosong. Keras. Cepat. Sepenuh tenaga. Keras, karena serangan-serangan yang diciptakan Paman Sepuh intinya tenaga keras. Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang pertama kali diciptakan jelas-jelas menunjukkan unsur kekerasan tenaga. Demikian juga perkembangan yang mencapai kesempurnaan pada Ugrawe dengan jurus Banjir Bandang Segara Asat. Yang secara tuntas mengerahkan seluruh tenaga keras untuk berhasil atau menjadikan dirinya lumpuh.
Cepat, karena Halayudha mengatakan tiga gading gajah untuk memancing perhatian. Pada saat pikiran lawan tertuju pada gerakan jari, saat itu pukulan kosong dengan tangan kiri telah menyerang! Sepenuh tenaga, karena Halayudha juga mengerahkan tenaga dalam tambahan yang berasal dari kekuatan planangan. Sehingga pukulan tangan kirinya merupakan pukulan utama. Yang bila mengenai sasaran, ujung tombak lawan tak akan berisi tenaga yang sempurna karena sudah dihancurkan di pusatnya. Bukan sesuatu yang baru, akan tetapi terbukti jitu, ketika Halayudha menghajar Mahapatih.
Senopati Gandhing menyadari situasi yang berat. Sewaktu Halayudha bersuara, ia merasakan sambaran angin panas yang keras ke arah perutnya. Sedemikian kerasnya hingga tangannya yang memegangi tombak seperti tersengat panas yang menggigit. Tanpa terasa pegangannya menjadi longgar. Sehingga tenaga tusukan yang memutar menjadi kendur karenanya. Dan dengan mudah bisa ditepis Halayudha. Yang dalam penglihatan para prajurit seolah tenaga tusukan yang begitu keras bisa ditangkis, cukup dengan tiga jari. Lebih dari itu. Halayudha tidak sekadar menepis, akan tetapi mengerahkan tenaga sekaligus untuk membalikkan. Menyungkit tombak bermata tiga ke atas.
“Lepas!”
Sentakan yang mendadak. Tubuh Halayudha sendiri sudah melayang ke atas. Kaki kirinya melayang. Mendepak batang tombak yang akan terlontar balik. Menembus ke arah pemiliknya. Semua gerakan yang terangkai dalam jurus yang sama. Mengalir secara bersambungan. Dari menepis, menyungkit, dan menendang. Dari diserang menjadi menyerang, tanpa mundur satu tindak pun.
Lumajang Rebah
HALAYUDHA sengaja memamerkan keunggulannya. Dalam beberapa hal, kelasnya jauh lebih tinggi dari Senopati Gandhing. Dalam pertarungan satu lawan satu yang biasa, Halayudha akan bisa merebut kemenangan. Walaupun barangkali tidak dicapai dalam lima jurus. Sebenarnya yang ditakuti atau termasuk diperhitungkan hati-hati adalah jika para senopati datang menyerang bersamaan. Halayudha harus berjuang keras untuk mengatasi. Akan tetapi kalau hanya salah seorang, Halayudha bisa tenang.
Apalagi kini Halayudha sedang berada dalam kondisi semangat yang menyala. Karena menemukan pendekatan baru dalam mengerahkan tenaga. Kalau tadi semua tenaganya terlontar sehingga tubuhnya seperti kosong, kini dijajal dengan pendekatan lain. Sepenuh tenaga dilontarkan dengan pukulan lewat tangan kiri, akan tetapi satu entakan tarikan napas bisa juga tersalur kembali ke jari tangan kanannya. Dan nyatanya berhasil. Pengendalian tenaga dalamnya bisa bermain seperti yang dikehendaki.
Makanya Halayudha melanjutkan dengan tendangan. Karena yakin tombak Senopati Gandhing akan terlepas. Nyatanya begitu. Tombak itu berbalik arah. Menuju dada Senopati Gandhing. Yang meskipun kaget setengah mati, tidak kehilangan akal membiarkan dadanya ditusuk tiga ujung mata tombak yang mengilat. Dengan memutar tubuh, Senopati Gandhing malah maju. Tangan kirinya yang berada di belakang punggung meraup tombak kalawai, dan dalam satu putaran menusuk langsung ke arah tubuh Halayudha yang sedang meluncur turun setelah menendang.
Halayudha mendesis. Mengakui perhitungannya yang sedikit meleset. Bahwa tombak bermata tiga itu adalah tombak andalan Senopati Gandhing. Yang dengan sendirinya sangat menguasai gerakannya. Sehingga bisa dengan mudah meraup dan dipakai untuk menyerang. Tubuh Halayudha meluncur ke bawah, sedikit miring sehabis melakukan tendangan. Akan tetapi pada saat seperti itu, bisa dengan mudah mengegos. Berkelit sedikit, ketika kaki kanannya menginjak lantai pendapa. Sehingga ujung tombak hanya berjarak beberapa jari dari tubuhnya.
Senopati Gandhing sudah memperhitungkan. Dengan mengubah pergelangan tangan, ujung tombak beralih sasaran. Mendongkel ke atas, ke arah tubuh Halayudha. Bisa-bisa menusuk ke arah dagu, dari sisi bawah. Kalaupun tidak, dalam gerakan berputar bisa melukai bagian leher. Jakun Halayudha bakal terjepit di antara tiga ujung tombak. Kalau tadi Halayudha bisa mendikte dengan berteriak “lepas” dan tombak Senopati Gandhing benar-benar terlepas, kini dongkelan lawan yang memaksanya “lepas” meloncat mundur atau menjatuhkan diri atau menggelundung pergi.
Halayudha tidak melakukan ketiganya. Sebaliknya dari itu. Tubuhnya tetap di tempat. Tangan kanannya menangkap tombak, tepat di bawah ketiga ujungnya. Kuat, dan merasakan getaran dari tombak yang berputar. Adu kekuatan bisa terjadi di sini. Halayudha tidak melakukan itu. Karena tahu posisinya kurang menguntungkan. Putaran tombak dari ujung, menjadi lebih bertenaga pada ujung yang lain. Halayudha tidak memaksakan untuk menghentikan. Hanya menahan sesaat.
Tangan kirinya menggenggam di bagian bawahnya. Begitu juga kemudian tangan kanannya menggenggam lagi sekitar setengah depa bagian lebih ke bawah. Tiga kaki-tangannya bergerak, tubuhnya telah berhadapan dengan Senopati Gandhing.
“Cukup!”
Dengan tangan memegang tombak, sementara Senopati Gandhing juga melakukan hal yang sama di depannya, tarik-menarik terjadi. Halayudha menyentakkan tenaga, seiring dengan putaran tombak. Sehingga pijakan tenaganya lebih kuat. Dengan mengentak keras seolah Halayudha menarik tombak. Padahal bersamaan dengan itu kedua kaki Halayudha melibat patah lutut Senopati Gandhing. Yang tanpa ampun lagi terperangah. Mulutnya mengeluarkan teriakan kesakitan karena dua tempurung lututnya kena ganjulan yang keras. Teriakan yang menandai rasa sakit dan kaget bersamaan dengan bunyi keletak.
Halayudha unggul segalanya. Dari segi kecepatan, kekuatan, maupun ketepatan. Kecepatan, karena dengan cekatan tangannya berpindah sewaktu menahan serangan. Dengan perpindahan yang cepat, Senopati Gandhing tak sempat bertahan pada bagian tertentu. Pemusatan perhatiannya terpecah, ketika tangan Halayudha makin berpindah dan tubuhnya makin merapat dengan tubuhnya sendiri.
Kekuatan tenaga dalam Halayudha termasuk dua kelas di atas Senopati Gandhing. Apalagi kini pengerahan dan pengaturannya lebih leluasa. Ketepatan, karena ketika terjadi perebutan tombak, Halayudha tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menggempur kuda-kuda lawan. Serangan yang tak terduga ke tempurung lutut, di saat keduanya berdiri berhadapan. Cara melengkungkan tubuh Halayudha terjadi dalam gerakan yang lentur, luwes, dan cepat.
Semuanya berlangsung dalam gerakan yang mengalir, sehingga Senopati Gandhing tersuruk-suruk. Dan berakhir dengan tubuh yang melayang ke atas. Halayudha mengibaskan kalawai dengan memutarkan tubuh. Tombak mata tiga itu melayang, lurus. Menembus tubuh Senopati Gandhing, mendorong beberapa tombak ke belakang, sebelum terbanting di pinggir pendapa. Darah membasah. Menggenang. Mengalir kental. Halayudha menepuk kedua tangannya.
“Siapa lagi yang ingin maju, silakan. Yang tunduk kepada Keraton, harap merebahkan diri.”
Hebat dan cepat kalimat serta gerakan Halayudha. Dengan menjatuhkan Senopati Gandhing secara telak, Halayudha memperlihatkan keunggulan dan seperti mempermainkan lawan sesukanya. Kini mengancam dan melakukan ancaman. Sambaran pukulannya terarah ke kiri dan kanan, sementara tubuhnya bergerak dari ujung pendapa ke ujung yang lain. Dalam gerakan berputar, Halayudha melancarkan serangan.
Barang siapa yang masih berjongkok atau ragu, terjengkang seketika. Sisanya tak ada pilihan lain, selain merebahkan diri. Pemandangan yang mengerikan. Tapi memuaskan Halayudha. Dirinya berjalan dengan gagah mengawasi sekitar. Sementara di sekitarnya, di seluruh pendapa, darah masih mengalir dari tubuh Senopati Gandhing, tubuh Mahapatih dan tubuh Mpu Sina yang masih tergeletak, dan para prajurit yang berebahan. Halayudha berdiri sendirian.
“Lumajang rebah. Kraman telah padam. Barang siapa berani menentang, aku tak akan menarik tangan.”
Tantangan kali ini adalah tantangan kemenangan. Tak ada yang berani bergerak. Baik karena Halayudha telah berhasil memamerkan keunggulannya, maupun karena sebutan kraman, atau pemberontakan bagi yang akan membela. Dua ancaman yang meratakan perlawanan. Lumajang benar-benar rebah dan kalah. Halayudha memerintahkan agar para prajurit Keraton yang masih diikat supaya dilepaskan. Dan semua prajurit Lumajang tanpa kecuali diharuskan berkumpul di depan pendapa. Ganti sebagai tawanan.
Sangat mudah bagi Halayudha untuk segera menghabisi. Akan tetapi yang dilakukan oleh Halayudha adalah mengumpulkan seluruh prajuritnya, dan menggiring prajurit Lumajang menuju Benteng Gandhing. Untuk meratakan dengan tanah, dan membawa semua senjata pusaka serta harta berharga.
“Tak boleh ada satu senjata atau besi yang tertinggal. Semua diangkut ke Keraton, sebagai bukti tindakan pemberontakan.”
Halayudha melaksanakan dendam lama. Benar-benar meratakan Lumajang dari segi kemungkinan pembalasan di belakang hari. Dengan disitanya semua senjata pusaka dan dibawa ke Keraton, Halayudha bisa menyampaikan kepada Raja sebagai bukti pemberontakan bersenjata yang terencana. Jumlah senjata yang tidak habis dimuat ke dalam sepuluh pedati, akan memaksa Raja memercayai. Prajurit Keraton yang terluka juga bisa menjadi bukti tambahan, di samping prajurit Lumajang yang dibunuh. Sekali menggenggam kemenangan, tak akan dilepaskan.
Lumajang, dengan Mahapatih Nambi dan apalagi Mpu Sina, bagi Halayudha adalah pengganjal keras bagi impiannya menduduki jabatan mahapatih. Maka kini tak akan dilepaskan lagi. Tak akan disisakan kemungkinan untuk mengganjal di belakang hari. Ketika rombongan meninggalkan Lumajang dan kembali ke Keraton, Lumajang serta Benteng Gandhing dan juga Panjarakan benar-benar rata dengan tanah. Tak ada bangunan utama untuk berteduh. Tak ada sisa.
Ancaman Kaputren
JALAN lapang, lempeng, lurus, dan terbuka mengiringi langkah kemenangan Halayudha. Diiringi sorak-sorai membahana, Halayudha menyebarkan kabar lebih dulu mengenai pemberontakan Lumajang yang bisa ditumpas habis sebelum sempat berkembang luas. Lebih dari itu semua, Halayudha juga menyebarkan kabar bahwa Raja sebenarnya ikut dalam penyamaran ketika penumpasan para pemberontak.
Kabar yang ngayawara, berlebihan, akan tetapi Halayudha sengaja memaklumkan sebagai usaha untuk menghentikan keraguan sebagian prajurit. Untuk meyakinkan bahwa Mahapatih Nambi dengan para prajuritnya memang benar-benar akan melakukan pemberontakan atas takhta Majapahit. Saat itu juga Halayudha mengumumkan bahwa semua anak-cucu prajurit Lumajang yang tersangkut dalam kraman tidak diperkenankan menjadi prajurit. Bagi mereka yang menerima sebagai prajurit, dianggap menyusun kekuatan untuk memberontak.
Dengan cara itu, Halayudha memastikan diri bahwa untuk waktu yang cukup lama ancaman dari wilayah timur tak akan pernah ada lagi. Tinggal, sekali lagi tinggal, langkah utama. Diangkat secara resmi menjadi mahapatih. Dalam upacara Keraton secara resmi dan sah. Kalau itu sudah terjadi, tak ada lagi yang bisa menghalangi dirinya. Satu per satu lawan, atau yang dianggap lawan, akan direbahkan, diratakan dengan tanah. Kalau itu semua terlaksana, hanya selangkah lagi ke arah dampar kencana, kursi emas, kursi tertinggi.
Halayudha sudah membayangkan bahwa semua itu tak akan lama lagi terjadi. Begitu indah. Begitu mudah mencapainya. Rasanya, kemenangan telah dibukakan oleh Dewa. Ketika tenaga dalamnya sudah terbuka, ketika itu pula keinginannya menemukan jalan keluar. Akan tetapi, Halayudha masih harus menahan diri. Karena sebelum sampai di Keraton, utusan Raja telah menyusulnya. Menyampaikan laporan yang membuatnya mengerutkan kening.
“Dua putri calon permaisuri menghilang dari Keraton.” Tangan Halayudha bergerak.
Prajurit yang memberi laporan tewas seketika. Baginya kini, tak akan ada lagi yang mempertanyakan kenapa ia bertindak begitu atau begini. Halayudha tak mau berpikir panjang untuk hal yang sepele. Yang kini dikuatirkan adalah kenyataan bahwa dua putri Permaisuri Rajapatni bisa hilang dari Keraton. Rasanya tak masuk akal. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Pengawasan di kaputren boleh dikatakan berlapis-lapis. Tak ada bayangan yang bisa menembus. Sehingga tak mungkin tokoh dari luar bisa menerobos masuk. Halayudha telah menyiapkan pasukan jaga khusus. Karena menyadari bahwa sedikit saja perubahan di kaputren, bisa menjadi ancaman bagi keunggulannya. Nyatanya telah terjadi. Itu yang membuatnya gondok. Semua persiapan telah dirinci. Tapi masih bisa diterobos. Sebelum ke Lumajang, telah disusun kekuatan dan strategi. Akan tetapi tetap saja bisa dilucuti.
Kini juga begitu. Pengawasan kaputren bisa kecolongan. Padahal penjagaan yang dilebihkan, sengaja dilakukan Halayudha untuk keamanan yang mantap. Itu sebabnya seluruh kaputren, termasuk tempat Praba Raga Karana dibaringkan, berada dalam siaga penuh. Praba Raga Karana yang jika karena satu dan lain hal bisa disembuhkan, dapat membongkar semua kebusukan, yang akan dipercaya Raja. Tetapi kini yang terjadi sama bahayanya.
“Prana… Pra-na… Pra… Na…
Diiringi teriakan lirih, tubuh Mpu Sina tertekuk, mengejang. Kepedihan batinnya tak tertanggungkan lagi. Sirna.
Prana, Pangkat Anugerah
PUKULAN Halayudha yang dilakukan hanya dengan berbisik membidik tepat. Mpu Sina lebih dari sekadar dikeplek, dibanting hingga rata dengan tanah. Kata yang diucapkan Halayudha hanya satu patah, Pranajaya. Yang diucapkan perlahan, mendesis, terpotong menjadi Prana. Ini yang diulang. Ini yang menggilas harga diri tokoh liat yang berwatak keras.
Dari catatan di perpustakaan, Halayudha bisa mengetahui asal-usul Mpu Sina. Dan sebagaimana biasanya, Halayudha mencari peluang untuk menemukan kelemahan siapa pun yang dipelajari. Sejak Senopati Nambi diangkat menjadi mahapatih, Halayudha sudah meneliti. Guna menemukan perangai, sifat, yang bisa memberikan peluang baginya untuk masuk. Apakah dengan memberikan arca, apakah dengan memberikan tanah sebagai upeti, ataukah wanita. Tapi yang ditemukan malah sebaliknya.
Mpu Sina mempunyai catatan yang mengesankan. Ia adalah prajurit Keraton Singasari yang gagah berani, menunaikan tugas tanpa mengenal siang dan malam, tanpa membedakan kaki dan kepala. Meskipun mulai dari bawah, Mpu Sina menunjukkan pengetahuan yang luas dan menunjukkan jiwa kepemimpinan yang menonjol. Satu-satunya halangan adalah sifatnya yang keras, yang tak mengenal warna abu-abu. Yang ada hanya hitam dan putih. Musuh atau sahabat.
Itu sebab ketika Raja Muda Jayakatwang dari Gelang-Gelang menyerbu Keraton Singasari, Mpu Sina lebih suka memilih jalan melarikan diri. Pengampunan yang diberikan serta pangkat yang lebih tinggi ditolak. Baginya Raja Muda Jayakatwang salah. Itu yang diperangi. Sampai kapan pun. Meskipun untuk itu Prajurit Sina harus berada di hutan, di lereng gunung, di medan pertarungan.
Ketika Raden Sanggrama Wijaya menggempur Keraton, Prajurit Sina seperti berjuang sendirian. Ia tidak termasuk dalam tata keprajuritan, akan tetapi terus melakukan perlawanan. Beberapa kali nyaris menjadi korban. Bahkan dalam pertarungan yang menentukan ketika mengusir pasukan Tartar, Prajurit Sina yang diangkat menjadi senopati tetap menunjukkan jiwanya sebagai prajurit sejati. Yang berada di depan, yang membawa keris terhunus.
Kemenangan yang gilang-gemilang tak menyebabkan Senopati Sina menjadi silau. Tata krama hidupnya tidak mengalami perubahan sedikit pun. Putranya sendiri, Nambi, tidak pernah mendapat perlakuan istimewa. Tidak juga anggota keluarga yang lain. Sewaktu Raden Sanggrama Wijaya naik takhta dan mulai memberikan anugerah pangkat dan jabatan kepada prajuritnya yang berjuang, nama Senopati Sina tak terlewatkan.
Atas kemurahan Baginda, Senopati Sina diangkat menjadi pranapraja, dan berhak memakai gelaran Pranapraja. Pesta kemeriahan dan keunggulan yang mengelukan namanya ternyata disambut dengan dingin. Pranapraja bukanlah pangkat yang rendah. Bukan pula menengah. Sebagai senopati utama yang bertugas dalam praja, dalam Keraton, jabatan Mpu Sina saat itu, setingkat dengan apa yang diduduki Halayudha sekarang ini.
Tingkatnya sejajar dengan para senopati perang yang lain, dengan penghargaan dan kehormatan yang sama, akan tetapi mempunyai kelebihan karena bisa berada dalam Keraton. Bisa selalu mendampingi Baginda, tanpa perlu turun tangan langsung dalam pertarungan. Lebih dari itu nasihat dan kalimatnya sering dipakai Baginda sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu. Boleh dikatakan sangat dekat dengan puncak kekuasaan.
Pranapraja merupakan jabatan yang istimewa. Prana bisa berarti napas, kehidupan, perasaan, atau juga pikiran. Dengan demikian merupakan indria Keraton. Yang menyampaikan segala sesuatu mengenai tata pemerintahan Keraton. Meskipun resminya di bawah Mahapatih, akan tetapi tidak menjadi halangan bagi Baginda untuk meminta pertimbangan secara langsung.
Akan tetapi, prana juga meliputi tugas dan kewajiban sebagai kepala bagian rumah tangga Keraton. Karena prana sendiri tetap bisa diartikan sebagai bagian dari kewanitaan yang paling tersembunyi. Sehingga semua urusan mengenai wanita-wanita di Keraton menjadi tugas dan wewenangnya.
Pada masa itu, jabatan yang diberikan kepada Senopati Sina, yang karena dekat dengan Baginda dan dianggap tempat bertanya berarti tokoh cendekiawan dan boleh memakai gelar Mpu, adalah jabatan yang sangat terhormat. Terhormat dan dianggap sangat penting. Karena hanya mereka yang dianggap bisa dipercaya Baginda dapat menduduki jabatan tersebut. Biasanya, bahkan orang menjadi wadat, menjadi tidak kawin seumur hidupnya. Terutama dengan jalan meminum reramuan tertentu.
Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaan yang menjadi tanggung jawabnya. Setiap saat berurusan dan berhubungan dengan gadis ayu dan muda usia. Mpu Sina dipercaya untuk tugas tersebut tanpa harus menjadi kasim. Tanpa kehilangan kehidupannya sehari-hari sebagai lelaki. Sesungguhnya itu kehormatan yang besar. Anugerah yang besar artinya. Sesuai dengan sifat keras Mpu Sina yang tak mengenai keraguan.
Di masa Baginda, jabatan itu termasuk yang banyak diperebutkan. Meskipun memang jabatan pranapraja menjadi semacam sindiran yang tidak mengenakkan telinga. Terutama masa sesudah Sri Baginda Raja turun takhta. Karena di masa Sri Baginda Raja, terjadi banyak penyelewengan. Akan tetapi dari segi jabatan, pangkat pranapraja tetap terhormat. Bahkan jabatan itu bisa dipakai sebagai nama, tak berbeda dengan demang ataupun mahapatih.
Upacara pemberian anugerah berjalan dengan lancar tak kurang suatu apa. Hanya esoknya, pagi-pagi sekali, Mpu Sina sowan kepada Baginda dan memohon ampun kepada Baginda.
“Apa kamu merasa pangkat itu kurang tinggi?”
“Duh, Baginda. Kehormatan yang begini besar dan membanggakan, dalam mimpi pun hamba tak berani berharap.”
“Apa kamu merasa lebih berjasa?”
“Duh, Baginda. Hamba melakukan tugas prajurit. Tanpa mengharap jasa, tanpa menolak cela.”
“Apa kamu merasa jabatan itu terlalu tinggi?”
“Duh, Baginda. Tinggi atau rendah, anugerah dari Baginda adalah segalanya bagi hamba.”
“Sina, seperti semua prajuritku yang ikut berjuang memeras keringat dan darah, aku ingin selalu berada di antara kalian. Katakan apa salahku sehingga kamu lebih suka mengundurkan diri?”
“Duh, Baginda. Hamba prajurit bodoh. Sehingga tata krama Keraton yang adiluhur ini menjadi berantakan. Tak nanti hamba menyimpan hitam mengatakan putih.”
“Katakan, Sina.”
“Hamba bersedia menerima murka, karena memang hina. Hamba hanya ingin mengabdi, tanpa harus berada dalam jajaran pangkat dan derajat. Duh, Baginda. Kalau ada sesuatu, tanpa diminta, Baginda berkenan melihat darah. hamba, hamba dengan rela dan ikhlas akan menyerahkan sekarang juga.”
Menurut catatan yang dibaca Halayudha, Baginda kurang berkenan dengan sikap Mpu Sina. Akan tetapi Mpu Sina tetap pada pendiriannya. Menyingkir, mengasingkan diri ke Lumajang. Bahkan kemudian sama sekali tak mau mendengar jabatan pranapraja. Kata itu seakan dimusnahkan. Dan di Keraton sendiri kekosongan jabatan itu tidak pernah secara jelas diduduki senopati yang lain.
Banyak perhitungan bisa ditarik dari sikap keras Mpu Sina. Bisa berarti kurang menyetujui beberapa keputusan Baginda mengenai pembagian pangkat dan derajat. Bisa dalam arti yang lain. Semuanya hanyalah dugaan. Yang jelas, Mpu Sina menyerahkan kembali. Dan tak mau mendengar lagi. Itulah sebabnya perasaannya terpukul balik dengan keras dan menghantam ketika Halayudha membisikkan nama itu!
Seakan membuka kembali bagian yang selama ini tersembunyi. Bagian yang dianggap lembaran kusut. Karena, bagaimana mungkin prajurit sejati berani menolak anugerah Baginda? Justru itu yang dipakai senjata oleh Halayudha. Jatuhnya Mpu Sina serentak mengubah situasi. Keris yang terhunus di tangan Mahapatih terlepas, tubuhnya melompat menubruk Mpu Sina. Pada saat itu Halayudha bisa memakai kesempatan untuk menyerang. Tepat untuk meraih kemenangan.
Akan tetapi yang terlihat justru Halayudha meloncat lebih cepat, lebih sigap, menuju tubuh Mpu Sina dan bersujud. Gerakannya begitu tergesa dan seketika, sehingga kedua tangannya bergerak tak menentu. Padahal saat itu tenaga dalam yang sejak tadi bergumpal di perutnya dilontarkan. Dilepaskan ke arah pinggang Mahapatih. Yang mendadak menjadi limbung. Tiga tindak sebelum mendekati ayahandanya, Mahapatih Nambi seperti tak kuasa berdiri. Tubuhnya bergoyang.
Tepukan Sumantali
TERDENGAR seruan kaget. Menggema di seluruh pendapa, dari ujung ke ujung. Kejadiannya berlangsung sangat mendadak. Pertama Mahapatih Nambi sudah menghunus kerisnya. Berdiri dengan gagah di depan Halayudha yang pasrah menerima. Sesaat kemudian sudah berubah menjadi langkah sempoyongan, sementara Mpu Sina terkulai.
Bahwa Mpu Sina menderita gering, semua prajurit mengetahui. Sejak pertarungan dengan Barisan Api, kesehatan Mpu Sina makin mundur. Akan tetapi saat terakhir masih bisa tampil dengan gagah. Jauh dari dugaan bahwa ini polah Halayudha.
Mahapatih Nambi sendiri tak menduga bahwa benturan kejiwaan yang menghancurkan batas kekuatan Mpu Sina. Hatinya masih menduga-duga pasti ada sebab mendadak. Tak mungkin penyakit yang diderita tiba-tiba menyerang begitu hebat. Karena kejadiannya begitu cepat, kewaspadaan Mahapatih menjadi lengah. Bisa dimengerti. Karena Mpu Sina adalah pepunden, tokoh junjungan yang sangat dihormati.
Dalam keadaan kurang waspada, serangan tenaga dalam Halayudha menghantam langsung pinggangnya. Yang menjadi kaku sehingga udara susah ditarik lewat hidungnya. Jalannya menjadi limbung. Geraknya kaku. Saat itu Halayudha yang berada sangat dekat bergerak.
“Sabar, Mahapatih….”
Suara Halayudha terdengar keras, sehingga seluruh pendapa bisa menangkap jelas. Ketika itu tubuhnya berdiri, membopong Mahapatih untuk dibawa duduk. Caranya tetap sangat menghormat. Telapak tangannya membuka dan mengelus sebelum menuntun Mahapatih. Mahapatih Nambi mengeluarkan pekikan keras. Pekik kesakitan yang menyayat. Tubuhnya memberontak keras, berkelojotan, terlepas dari Halayudha. Ambruk di lantai. Jarinya menuding, matanya melotot. Kaku. Menakutkan.
Halayudha sendiri tersentak, mundur terhuyung sebelum terduduk. Semua prajurit dan senopati berdiri serentak, menghunus senjatanya. Mengurung. Satu aba-aba saja, maka akan terjadilah pertarungan yang mengerikan. Kebuasan dan dendam yang memuncak, menghancurleburkan apa saja yang menghalangi. Tapi tak ada yang memberi komando. Mpu Sina sudah sirna. Mahapatih Nambi mengerang kaku dan wajahnya mengerikan.
Napas Halayudha naik-turun. Berguncang di dadanya. Tenaganya berbenturan. Sehingga seluruh anggota tubuhnya gemetar, dengan tulang-tulang mengeluarkan bunyi kerotokan.Kalau saja saat itu ada yang menusukkan senjata, Halayudha tak akan mampu menangkis. Tubuhnya gemetar, pasrah, tanpa perlawanan. Barangkali ini yang malah menyelamatkan. Karena kepasrahan sikap Halayudha seakan mencuci tindakan sebelumnya. Seakan memperlihatkan bahwa dirinya tak akan melawan. Seperti ketika Mahapatih siap menusuk.
Bahwa kejadian yang sebenarnya bagaimana, hanya Halayudha yang tahu. Gemetar yang kedua dengan kepasrahan, adalah karena Halayudha tak mempunyai sisa tenaga. Seluruh kemampuannya, tenaga dalamnya yang tersimpan, telah diemposkan, membludak dan menabrak tubuh Mahapatih. Itu terjadi saat mengelus tadi, Halayudha memainkan Tepukan Sumantali.
Tepukan Sumantali, atau Tepukan Pawang Gajah, adalah pengerahan tenaga dalam serta kekuatan batin yang dahsyat. Seperti yang dilakukan pawang gajah. Tangan mengelus halus, akan tetapi saat itu sebenarnya sedang mengerahkan tenaga batin, tenaga dalam yang kuat untuk menundukkan gajah. Agar gajah mengikuti apa kemauannya.
Jurus semacam ini bukan hal yang luar biasa bagi Halayudha. Karena memang tenaga dalam yang dikuasainya bisa dilakukan dengan pendekatan tenaga sumantali, tenaga pawang gajah. Gajah sebagai binatang dengan kekuatan besar bisa ditundukkan! Hubungan dengan gajah juga bukan sesuatu yang istimewa. Karena justru sejak awal, Halayudha menyebut gurunya sebagai Gajah Mahabengis!
Perumpamaan ini menyiratkan asal-usul penggunaan tenaga dalam untuk menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan gajah. Jurus yang tepat sekali. Itu sebabnya Mahapatih Nambi bisa terjengkang dan kejang.
Pada saat menyadari bahaya besar, Mahapatih Nambi menyusun kekuatan terakhir untuk memberontak. Tenaga dalamnya yang penghabisan dikerahkan sepenuhnya untuk menyerang Halayudha. Hanya karena pinggangnya telah terkena pukulan telak, tak bisa tersalur sepenuhnya. Ada empat persepuluh bagian yang macet. Empat persepuluh bagian yang lain menghantam dirinya sendiri karena tak bisa dikendalikan.
Sisanya masih terpisah, antara perlawanan yang terarah dan tidak mengenai sasaran. Namun toh itu cukup untuk melemparkan tubuh Halayudha. Hingga jatuh terduduk, gemetar. Buku-buku tulangnya berbunyi seolah saling beradu. Untuk yang terakhir ini Halayudha tak menyadari sebelumnya. Bahwa tenaga dalamnya bisa terempos sepenuhnya.
Bahwa pengerahan tenaga dalam bisa total dan tuntas memang merupakan ciri utama ajaran Paman Sepuh Dodot Bintulu. Yang pada Ugrawe, bisa melahirkan pukulan andalan yang kesohor, yaitu Banjir Bandang Segara Asat. Intinya mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menguras tenaga dalam lawan. Pengerahan tenaga dalam habis-habisan. Tanpa sisa.
Pada Halayudha hal ini ternyata berakibat lebih dalam dari itu. Sejak tenaga dalam yang berawal dari kekuatan planangan bisa dibuka oleh Dewa Maut dan dilanjutkan olehnya, Halayudha tak memperhitungkan tenaga dalamnya bisa terkuras habis. Terlontar seluruhnya!
Sehingga kemudian tubuhnya tak menyisakan apa-apa. Ini yang tidak sepenuhnya disadari, tetapi justru membuahkan hasil yang di luar dugaannya. Tak sepenuhnya disadari, karena baru sekarang ini Halayudha sadar kekuatannya yang demikian hebat bisa mencuat hingga dasar. Hingga kekuatan simpanan dari pengalihan tenaga planangan ikut tersedot.
Hasil yang di luar dugaannya, karena Mahapatih Nambi ternyata tetap lebih kuat dari yang diduga. Pukulan ke arah pinggang sudah bisa melukai dan melumpuhkan, akan tetapi toh Mahapatih Nambi masih bisa mengumpulkan erangan terakhir. Yang bila berhasil akan menyebabkan Halayudha mati bersama. Napas Halayudha berangsur-angsur menjadi teratur. Tangannya menyembah ke arah Mahapatih Nambi sebelum menyapu keringat di dahinya.
“Para senopati yang mulia, kita reksa Mahapatih Nambi dan Mpu Sina….”
Ajakan merawat yang terluka dari Halayudha membuat beberapa senopati bergegas meninggalkan kepungan. Akan tetapi sisanya masih mengurung. Halayudha menarik napas panjang. Hawa panas dalam perutnya kembali terasa. Berarti tenaga dalamnya mulai pulih kembali. Halayudha tak kuasa membendung senyuman di bibirnya.
Inilah yang dulu dilihatnya pada Barisan Api! Seperti yang dikatakan Dewa Maut. Bahwa tenaga mereka akan berlipat jika bersinggungan. Kini dengan cara lain, tenaga dalamnya yang tadi terlontar tuntas bisa mengumpul kembali. Inilah yang dulu dipakai Upasara Wulung. Tenaga dalam yang diperlihatkan ketika mematahkan Barisan Api. Dengan membiarkan dirinya dipukul, lawan kena pukul ganas.
Ketika menyerang kembali, tenaga dalam Upasara Wulung kembali seperti pada awal pertarungan. Pulih. Bali kaya wingi uni. Kembali seperti sediakala! Kalau ada perbedaan, bagi Halayudha hanyalah Upasara Wulung bisa memulihkan sepenuhnya dalam waktu yang singkat. Dalam satu tarikan napas saja. Sedang dirinya, memerlukan waktu yang lebih lama, sehingga sempat berada dalam situasi kritis, dalam keadaan kosong.
Akan tetapi itu bukan perbedaan yang tak bisa diatasi. Dengan melatih diri secara keras, Halayudha yakin akan segera bisa mencapai tingkat Upasara. Apalagi kalau mengingat dirinya baru sekarang ini betul-betul menggunakan tenaga dalam yang bertambah dari pengalihan tenaga planangan. Masih banyak waktu. Halayudha berdiri. Bibirnya mengeluarkan desisan ular berbisa.
“Dewa telah menjatuhkan hukuman bagi tuduhan yang keliru. Mpu Sina dan Mahapatih menerima peringatan. Kalau masih ada yang tak mau mendengar peringatan Dewa, saya tak akan menyesali apa yang bakal terjadi. Silakan mundur.”
Gajah Tiga Gading
TANTANGAN Halayudha terdengar lantang. Suaranya garang, menundukkan. Dengan pandangan beringas dan kaki mengangkang, seolah siap menerima gempuran dari depan, samping, maupun belakang. Halayudha merasa dalam posisi merebut keunggulan secara mutlak. Dua lawan utama yang disegani telah dikalahkan dengan satu-dua gebrakan.
Tewasnya Mpu Sina dan jatuhnya Mahapatih Nambi berarti membongkar akar. Tinggal satu sentakan dan tercabut seluruhnya. Kenyataannya begitu. Tantangan Halayudha dipatuhi dengan cara beberapa senopati dan prajurit utama mundur. Tiga langkah. Sebagian masih mengurusi Mahapatih dan Mpu Sina, selebihnya mundur. Hanya satu yang tetap berdiri di tempatnya. Matanya memandang lurus. Tak berkedip. Halayudha berdeham lunak.
“Saya terima tantangan Senopati Gandhing.”
Yang dipanggil Senopati Gandhing tidak mengangguk, tidak pula bergeser dari berdirinya. Tangannya meraup tombak yang tergeletak di sampingnya. Tombak bermata tiga, yang membalikkan cahaya di bagian ujungnya. Tiga ujung mata tombak langsung menuding ke arah Halayudha, ketika Senopati Gandhing mengangkat dan memegang bagian tengah. Wajahnya keras, pegangannya mantap.
Senopati Gandhing sadar bahwa yang dihadapi bukan tokoh sembarangan. Lebih sadar lagi bahwa dirinya bukan tandingan yang setimpal. Akan tetapi itu bukan alasan untuk melangkah mundur. Tekadnya sudah bulat.
Halayudha bersiaga. Tangan kirinya mengepal, menyilang serong di depan tubuhnya. Tangan kanannya membuka, sejajar dengan bahu. Tenaga dalamnya dikerahkan, meluncur dari pusar, ke seluruh tangan dan kaki. Hingga mengeluarkan getaran dan hawa panas. Halayudha juga tak memandang sebelah mata.
Senopati Gandhing memiliki beberapa keunggulan dibandingkan para senopati yang lain. Sejak semula Senopati Gandhing adalah senopati yang sangat setia kepada Mahapatih. Ilmu silatnya selama ini kurang terdengar karena sangat jarang terlibat dalam pertarungan. Akan tetapi jabatannya sebagai kepala prajurit utama di Benteng Gandhing menjadikan alasan untuk memberi nilai lebih.
Kalau selama ini ilmu silat Senopati Gandhing tak begitu terkenali, terutama karena selama ini selalu bergerak di belakang layar. Senopati Gandhing lebih diakui keunggulannya dalam mengatur strategi untuk menjebak strategi lawan. Semua gerak-gerik Halayudha di Keraton bisa diketahui dengan gamblang, pastilah karena kelihaian Senopati Gandhing. Sedemikian bisa menyembunyikan kegiatannya sehingga tak ada yang bisa mengendus. Itu pula sebabnya Senopati Gandhing yakin bahwa Halayudha benar-benar culas.
Bagi Halayudha, ada dendam tersendiri pula. Ketika ia berangkat ke Lumajang, di dalam wilayah yang dikuasai Senopati Gandhing pula dirinya dilucuti. Siapa lagi yang mampu berbuat seperti itu selain penguasa wilayah tersebut? Benteng di wilayah Gandhing adalah benteng yang paling kuat. Menurut kabar dan cerita yang tersebar, jauh lebih kuat dan terencana dibandingkan Keraton. Senopati Gandhing mengatur perangkap dan pengaturan sedemikian rupa, sehingga tak bisa dimasuki orang lain tanpa tersambar bahaya.
Sedemikian besar perhatiannya akan Benteng Gandhing, sehingga ketika Mahapatih Nambi dan rombongan menuju Lodaya untuk membebaskan Baginda, Senopati Gandhing tetap berada di sarangnya. Meskipun secara resmi mewakili Mahapatih untuk wilayah Lumajang dan sekitarnya, Senopati Gandhing tidak meninggalkan kubu pertahanannya. Juga sebelum melucuti Halayudha.
Getaran telapak tangan Halayudha makin keras. “Gadhil kalawai yang lumayan bagus. Rasanya saya perlu menjajal dengan tiga gading.” Tiga jari tangan kanan Halayudha membuka. Dengan gerakan ringan ketiga jari itu mencawuk ke depan. Langsung ke arah tiga ujung mata tombak.
Senopati Gandhing tidak mundur. Tidak beranjak sedikit pun, meskipun merasakan kesiuran angin yang kuat. Tombaknya digerakkan, berputar, dan secepat tarikan napas, membenam ke tubuh Halayudha. Yang juga tak bergerak. Malah menangkis dengan tiga jari. Seakan mengisyaratkan bahwa tiga jari yang disebutkan sebagai tiga gading, cukup untuk menandingi tombak andalan Senopati Gandhing! Memang memesona.
Pameran kekuatan yang memikat.
Halayudha tadi menyebut gadhil, yang artinya taring babi hutan. Halayudha sengaja merendahkan lawan, seolah hanya memakai senjata taring babi hutan. Dengan mengatakan gadhil kalawai, sama juga mengatakan bahwa yang dipakai Senopati Gadhing tetap tombak bermata tiga, kalawai, akan tetapi ujungnya hanyalah taring babi hutan. Cara merendahkan lawan termasuk keunggulan Halayudha.
Di antara para binatang, ada yang mendapat tempat terhormat. Seperti harimau, yang bahkan pernah menjadi simbol Keraton Singasari, atau kuda, atau rajawali, atau gajah. Yang terakhir ini yang diakui sebagai penggambaran diri Halayudha. Sebenarnya yang terakhir ini tidaklah terlalu berlebihan. Karena memang Paman Sepuh Dodot Bintulu memakai pendekatan tenaga gajah dalam menciptakan ilmunya, termasuk jurus-jurus dalam Timinggila Kurda, atau Ikan Gajah Murka. Sebutan itu pula yang menyebabkan Halayudha menyebut gurunya sebagai Gajah Mahabengis.
Maka sebenarnya kalimatnya yang mengatakan tiga gading gajah dengan menunjukkan ketiga jarinya, Halayudha melemparkan umpan cemoohan yang bisa diterima akal. Biar bagaimanapun ada persamaan antara gading, gandhing, dengan gadhil. Sehingga persamaan bunyi ini lebih mengena. Seolah bisa dibandingkan secara jelas. Apalagi babi hutan termasuk binatang buas yang paling rendah tingkatannya.
Hebat cacian Halayudha, akan tetapi hebat pula tangkisannya. Ketiga jarinya yang membuka, bukan menebas arah tombak. Melainkan menyelinap masuk. Seolah menggunting kalawai, di antara mata tombak yang ada. Jarak antara satu ujung dan ujung yang lainnya cukup lebar, dibandingkan jarak antara jari satu dan lainnya. Akan tetapi toh Halayudha seperti tak terpengaruh oleh itu. Tetap menyabet ke bawah. Menahan serangan tombak yang berputar. Meskipun Halayudha seperti hanya menggunakan tiga jari, akan tetapi sebenarnya jarinya yang keempat berbicara juga. Ikut menahan dari bawah.
Sementara itu tangan kirinya yang terkepal, bahkan lebih dulu melontarkan pukulan kosong. Keras. Cepat. Sepenuh tenaga. Keras, karena serangan-serangan yang diciptakan Paman Sepuh intinya tenaga keras. Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang pertama kali diciptakan jelas-jelas menunjukkan unsur kekerasan tenaga. Demikian juga perkembangan yang mencapai kesempurnaan pada Ugrawe dengan jurus Banjir Bandang Segara Asat. Yang secara tuntas mengerahkan seluruh tenaga keras untuk berhasil atau menjadikan dirinya lumpuh.
Cepat, karena Halayudha mengatakan tiga gading gajah untuk memancing perhatian. Pada saat pikiran lawan tertuju pada gerakan jari, saat itu pukulan kosong dengan tangan kiri telah menyerang! Sepenuh tenaga, karena Halayudha juga mengerahkan tenaga dalam tambahan yang berasal dari kekuatan planangan. Sehingga pukulan tangan kirinya merupakan pukulan utama. Yang bila mengenai sasaran, ujung tombak lawan tak akan berisi tenaga yang sempurna karena sudah dihancurkan di pusatnya. Bukan sesuatu yang baru, akan tetapi terbukti jitu, ketika Halayudha menghajar Mahapatih.
Senopati Gandhing menyadari situasi yang berat. Sewaktu Halayudha bersuara, ia merasakan sambaran angin panas yang keras ke arah perutnya. Sedemikian kerasnya hingga tangannya yang memegangi tombak seperti tersengat panas yang menggigit. Tanpa terasa pegangannya menjadi longgar. Sehingga tenaga tusukan yang memutar menjadi kendur karenanya. Dan dengan mudah bisa ditepis Halayudha. Yang dalam penglihatan para prajurit seolah tenaga tusukan yang begitu keras bisa ditangkis, cukup dengan tiga jari. Lebih dari itu. Halayudha tidak sekadar menepis, akan tetapi mengerahkan tenaga sekaligus untuk membalikkan. Menyungkit tombak bermata tiga ke atas.
“Lepas!”
Sentakan yang mendadak. Tubuh Halayudha sendiri sudah melayang ke atas. Kaki kirinya melayang. Mendepak batang tombak yang akan terlontar balik. Menembus ke arah pemiliknya. Semua gerakan yang terangkai dalam jurus yang sama. Mengalir secara bersambungan. Dari menepis, menyungkit, dan menendang. Dari diserang menjadi menyerang, tanpa mundur satu tindak pun.
Lumajang Rebah
HALAYUDHA sengaja memamerkan keunggulannya. Dalam beberapa hal, kelasnya jauh lebih tinggi dari Senopati Gandhing. Dalam pertarungan satu lawan satu yang biasa, Halayudha akan bisa merebut kemenangan. Walaupun barangkali tidak dicapai dalam lima jurus. Sebenarnya yang ditakuti atau termasuk diperhitungkan hati-hati adalah jika para senopati datang menyerang bersamaan. Halayudha harus berjuang keras untuk mengatasi. Akan tetapi kalau hanya salah seorang, Halayudha bisa tenang.
Apalagi kini Halayudha sedang berada dalam kondisi semangat yang menyala. Karena menemukan pendekatan baru dalam mengerahkan tenaga. Kalau tadi semua tenaganya terlontar sehingga tubuhnya seperti kosong, kini dijajal dengan pendekatan lain. Sepenuh tenaga dilontarkan dengan pukulan lewat tangan kiri, akan tetapi satu entakan tarikan napas bisa juga tersalur kembali ke jari tangan kanannya. Dan nyatanya berhasil. Pengendalian tenaga dalamnya bisa bermain seperti yang dikehendaki.
Makanya Halayudha melanjutkan dengan tendangan. Karena yakin tombak Senopati Gandhing akan terlepas. Nyatanya begitu. Tombak itu berbalik arah. Menuju dada Senopati Gandhing. Yang meskipun kaget setengah mati, tidak kehilangan akal membiarkan dadanya ditusuk tiga ujung mata tombak yang mengilat. Dengan memutar tubuh, Senopati Gandhing malah maju. Tangan kirinya yang berada di belakang punggung meraup tombak kalawai, dan dalam satu putaran menusuk langsung ke arah tubuh Halayudha yang sedang meluncur turun setelah menendang.
Halayudha mendesis. Mengakui perhitungannya yang sedikit meleset. Bahwa tombak bermata tiga itu adalah tombak andalan Senopati Gandhing. Yang dengan sendirinya sangat menguasai gerakannya. Sehingga bisa dengan mudah meraup dan dipakai untuk menyerang. Tubuh Halayudha meluncur ke bawah, sedikit miring sehabis melakukan tendangan. Akan tetapi pada saat seperti itu, bisa dengan mudah mengegos. Berkelit sedikit, ketika kaki kanannya menginjak lantai pendapa. Sehingga ujung tombak hanya berjarak beberapa jari dari tubuhnya.
Senopati Gandhing sudah memperhitungkan. Dengan mengubah pergelangan tangan, ujung tombak beralih sasaran. Mendongkel ke atas, ke arah tubuh Halayudha. Bisa-bisa menusuk ke arah dagu, dari sisi bawah. Kalaupun tidak, dalam gerakan berputar bisa melukai bagian leher. Jakun Halayudha bakal terjepit di antara tiga ujung tombak. Kalau tadi Halayudha bisa mendikte dengan berteriak “lepas” dan tombak Senopati Gandhing benar-benar terlepas, kini dongkelan lawan yang memaksanya “lepas” meloncat mundur atau menjatuhkan diri atau menggelundung pergi.
Halayudha tidak melakukan ketiganya. Sebaliknya dari itu. Tubuhnya tetap di tempat. Tangan kanannya menangkap tombak, tepat di bawah ketiga ujungnya. Kuat, dan merasakan getaran dari tombak yang berputar. Adu kekuatan bisa terjadi di sini. Halayudha tidak melakukan itu. Karena tahu posisinya kurang menguntungkan. Putaran tombak dari ujung, menjadi lebih bertenaga pada ujung yang lain. Halayudha tidak memaksakan untuk menghentikan. Hanya menahan sesaat.
Tangan kirinya menggenggam di bagian bawahnya. Begitu juga kemudian tangan kanannya menggenggam lagi sekitar setengah depa bagian lebih ke bawah. Tiga kaki-tangannya bergerak, tubuhnya telah berhadapan dengan Senopati Gandhing.
“Cukup!”
Dengan tangan memegang tombak, sementara Senopati Gandhing juga melakukan hal yang sama di depannya, tarik-menarik terjadi. Halayudha menyentakkan tenaga, seiring dengan putaran tombak. Sehingga pijakan tenaganya lebih kuat. Dengan mengentak keras seolah Halayudha menarik tombak. Padahal bersamaan dengan itu kedua kaki Halayudha melibat patah lutut Senopati Gandhing. Yang tanpa ampun lagi terperangah. Mulutnya mengeluarkan teriakan kesakitan karena dua tempurung lututnya kena ganjulan yang keras. Teriakan yang menandai rasa sakit dan kaget bersamaan dengan bunyi keletak.
Halayudha unggul segalanya. Dari segi kecepatan, kekuatan, maupun ketepatan. Kecepatan, karena dengan cekatan tangannya berpindah sewaktu menahan serangan. Dengan perpindahan yang cepat, Senopati Gandhing tak sempat bertahan pada bagian tertentu. Pemusatan perhatiannya terpecah, ketika tangan Halayudha makin berpindah dan tubuhnya makin merapat dengan tubuhnya sendiri.
Kekuatan tenaga dalam Halayudha termasuk dua kelas di atas Senopati Gandhing. Apalagi kini pengerahan dan pengaturannya lebih leluasa. Ketepatan, karena ketika terjadi perebutan tombak, Halayudha tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menggempur kuda-kuda lawan. Serangan yang tak terduga ke tempurung lutut, di saat keduanya berdiri berhadapan. Cara melengkungkan tubuh Halayudha terjadi dalam gerakan yang lentur, luwes, dan cepat.
Semuanya berlangsung dalam gerakan yang mengalir, sehingga Senopati Gandhing tersuruk-suruk. Dan berakhir dengan tubuh yang melayang ke atas. Halayudha mengibaskan kalawai dengan memutarkan tubuh. Tombak mata tiga itu melayang, lurus. Menembus tubuh Senopati Gandhing, mendorong beberapa tombak ke belakang, sebelum terbanting di pinggir pendapa. Darah membasah. Menggenang. Mengalir kental. Halayudha menepuk kedua tangannya.
“Siapa lagi yang ingin maju, silakan. Yang tunduk kepada Keraton, harap merebahkan diri.”
Hebat dan cepat kalimat serta gerakan Halayudha. Dengan menjatuhkan Senopati Gandhing secara telak, Halayudha memperlihatkan keunggulan dan seperti mempermainkan lawan sesukanya. Kini mengancam dan melakukan ancaman. Sambaran pukulannya terarah ke kiri dan kanan, sementara tubuhnya bergerak dari ujung pendapa ke ujung yang lain. Dalam gerakan berputar, Halayudha melancarkan serangan.
Barang siapa yang masih berjongkok atau ragu, terjengkang seketika. Sisanya tak ada pilihan lain, selain merebahkan diri. Pemandangan yang mengerikan. Tapi memuaskan Halayudha. Dirinya berjalan dengan gagah mengawasi sekitar. Sementara di sekitarnya, di seluruh pendapa, darah masih mengalir dari tubuh Senopati Gandhing, tubuh Mahapatih dan tubuh Mpu Sina yang masih tergeletak, dan para prajurit yang berebahan. Halayudha berdiri sendirian.
“Lumajang rebah. Kraman telah padam. Barang siapa berani menentang, aku tak akan menarik tangan.”
Tantangan kali ini adalah tantangan kemenangan. Tak ada yang berani bergerak. Baik karena Halayudha telah berhasil memamerkan keunggulannya, maupun karena sebutan kraman, atau pemberontakan bagi yang akan membela. Dua ancaman yang meratakan perlawanan. Lumajang benar-benar rebah dan kalah. Halayudha memerintahkan agar para prajurit Keraton yang masih diikat supaya dilepaskan. Dan semua prajurit Lumajang tanpa kecuali diharuskan berkumpul di depan pendapa. Ganti sebagai tawanan.
Sangat mudah bagi Halayudha untuk segera menghabisi. Akan tetapi yang dilakukan oleh Halayudha adalah mengumpulkan seluruh prajuritnya, dan menggiring prajurit Lumajang menuju Benteng Gandhing. Untuk meratakan dengan tanah, dan membawa semua senjata pusaka serta harta berharga.
“Tak boleh ada satu senjata atau besi yang tertinggal. Semua diangkut ke Keraton, sebagai bukti tindakan pemberontakan.”
Halayudha melaksanakan dendam lama. Benar-benar meratakan Lumajang dari segi kemungkinan pembalasan di belakang hari. Dengan disitanya semua senjata pusaka dan dibawa ke Keraton, Halayudha bisa menyampaikan kepada Raja sebagai bukti pemberontakan bersenjata yang terencana. Jumlah senjata yang tidak habis dimuat ke dalam sepuluh pedati, akan memaksa Raja memercayai. Prajurit Keraton yang terluka juga bisa menjadi bukti tambahan, di samping prajurit Lumajang yang dibunuh. Sekali menggenggam kemenangan, tak akan dilepaskan.
Lumajang, dengan Mahapatih Nambi dan apalagi Mpu Sina, bagi Halayudha adalah pengganjal keras bagi impiannya menduduki jabatan mahapatih. Maka kini tak akan dilepaskan lagi. Tak akan disisakan kemungkinan untuk mengganjal di belakang hari. Ketika rombongan meninggalkan Lumajang dan kembali ke Keraton, Lumajang serta Benteng Gandhing dan juga Panjarakan benar-benar rata dengan tanah. Tak ada bangunan utama untuk berteduh. Tak ada sisa.
Ancaman Kaputren
JALAN lapang, lempeng, lurus, dan terbuka mengiringi langkah kemenangan Halayudha. Diiringi sorak-sorai membahana, Halayudha menyebarkan kabar lebih dulu mengenai pemberontakan Lumajang yang bisa ditumpas habis sebelum sempat berkembang luas. Lebih dari itu semua, Halayudha juga menyebarkan kabar bahwa Raja sebenarnya ikut dalam penyamaran ketika penumpasan para pemberontak.
Kabar yang ngayawara, berlebihan, akan tetapi Halayudha sengaja memaklumkan sebagai usaha untuk menghentikan keraguan sebagian prajurit. Untuk meyakinkan bahwa Mahapatih Nambi dengan para prajuritnya memang benar-benar akan melakukan pemberontakan atas takhta Majapahit. Saat itu juga Halayudha mengumumkan bahwa semua anak-cucu prajurit Lumajang yang tersangkut dalam kraman tidak diperkenankan menjadi prajurit. Bagi mereka yang menerima sebagai prajurit, dianggap menyusun kekuatan untuk memberontak.
Dengan cara itu, Halayudha memastikan diri bahwa untuk waktu yang cukup lama ancaman dari wilayah timur tak akan pernah ada lagi. Tinggal, sekali lagi tinggal, langkah utama. Diangkat secara resmi menjadi mahapatih. Dalam upacara Keraton secara resmi dan sah. Kalau itu sudah terjadi, tak ada lagi yang bisa menghalangi dirinya. Satu per satu lawan, atau yang dianggap lawan, akan direbahkan, diratakan dengan tanah. Kalau itu semua terlaksana, hanya selangkah lagi ke arah dampar kencana, kursi emas, kursi tertinggi.
Halayudha sudah membayangkan bahwa semua itu tak akan lama lagi terjadi. Begitu indah. Begitu mudah mencapainya. Rasanya, kemenangan telah dibukakan oleh Dewa. Ketika tenaga dalamnya sudah terbuka, ketika itu pula keinginannya menemukan jalan keluar. Akan tetapi, Halayudha masih harus menahan diri. Karena sebelum sampai di Keraton, utusan Raja telah menyusulnya. Menyampaikan laporan yang membuatnya mengerutkan kening.
“Dua putri calon permaisuri menghilang dari Keraton.” Tangan Halayudha bergerak.
Prajurit yang memberi laporan tewas seketika. Baginya kini, tak akan ada lagi yang mempertanyakan kenapa ia bertindak begitu atau begini. Halayudha tak mau berpikir panjang untuk hal yang sepele. Yang kini dikuatirkan adalah kenyataan bahwa dua putri Permaisuri Rajapatni bisa hilang dari Keraton. Rasanya tak masuk akal. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Pengawasan di kaputren boleh dikatakan berlapis-lapis. Tak ada bayangan yang bisa menembus. Sehingga tak mungkin tokoh dari luar bisa menerobos masuk. Halayudha telah menyiapkan pasukan jaga khusus. Karena menyadari bahwa sedikit saja perubahan di kaputren, bisa menjadi ancaman bagi keunggulannya. Nyatanya telah terjadi. Itu yang membuatnya gondok. Semua persiapan telah dirinci. Tapi masih bisa diterobos. Sebelum ke Lumajang, telah disusun kekuatan dan strategi. Akan tetapi tetap saja bisa dilucuti.
Kini juga begitu. Pengawasan kaputren bisa kecolongan. Padahal penjagaan yang dilebihkan, sengaja dilakukan Halayudha untuk keamanan yang mantap. Itu sebabnya seluruh kaputren, termasuk tempat Praba Raga Karana dibaringkan, berada dalam siaga penuh. Praba Raga Karana yang jika karena satu dan lain hal bisa disembuhkan, dapat membongkar semua kebusukan, yang akan dipercaya Raja. Tetapi kini yang terjadi sama bahayanya.
JILID 47 | BUKU PERTAMA | JILID 49 |
---|