Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 49
Bahaya bagi Raja yang kurang mempercayai kemampuan, berbahaya bagi dirinya. Perhitungan Halayudha ini berdasarkan keinginan dan sabda Raja yang bisa berubah setiap saat. Kalau Raja menganggap Halayudha tidak becus, bisa saja mengangkat senopati lain untuk menjadi mahapatih. Berbahaya bagi dirinya, karena ternyata masih ada kekuatan yang diam-diam berkembang di luar kemampuannya.
Hilangnya Putri Tunggadewi dan Rajadewi, menunjukkan tantangan yang berat. Secara nyata, lawan-lawannya ingin memperlihatkan masih bisa bergerak leluasa di Keraton. Bahkan di pusat Keraton. Ini bisa berarti tokoh yang menculik sangat hebat atau mempunyai hubungan dengan orang dalam. Bisa kedua-duanya.
Siapa tokoh yang menculiknya? Sekarang ini Halayudha tidak mempunyai gambaran siapa tokoh sakti yang berani memamerkan kekuatan untuk menampar wajahnya. Upasara Wulung? Itu yang paling mungkin. Tokoh yang satu itu bagi Halayudha merupakan lawan tangguh dalam segala segi. Apalagi selama ini selalu terbukti bahwa Upasara Wulung selalu muncul dan keluar sebagai pemenang.
Meskipun Upasara Wulung bisa jadi tidak ikut tenggelam dan meledak dalam perahu, rasa-rasanya menculik putri bukan perbuatan yang biasa dilakukan. Upasara Wulung akan memilih menghadapi dengan dada terbuka. Kalau bukan Upasara Wulung, siapa lagi?
Siapa lagi kalau bukan dari kelompoknya! Atau yang berasal dari Perguruan Awan! Pasti sekitar itu. Akan tetapi siapa tokoh dari Perguruan Awan yang melakukan?
Kemungkinan terbesar adalah Gendhuk Tri, dan Jaghana. Gendhuk Tri, kalau benar bisa selamat dari perahu, paling mungkin melakukan hal itu. Perempuan satu itu, sejak masih kanak-kanak telah memecundanginya. Jaghana, sekarang ini rasanya tidak mungkin. Baik karena luka tubuhnya belum sembuh sempurna, atau karena sebab lain. Terutama karena Jaghana tak mungkin mencampuri urusan pernikahan Raja. Itu bukan wilayah permasalahan yang menarik baginya.
Atau Nyai Demang? Sangat mungkin juga. Meskipun sedang dalam keadaan terluka, janda yang tubuhnya molek merangsang itu akan melakukan apa saja secara berani, walau ilmu silatnya tidak begitu tinggi.
Atau dari Simping? Para senopati dharmaputra yang mendapat perintah dari Permaisuri Rajapatni. Ini juga sangat mungkin. Biar bagaimanapun, kesetiaan para senopati ini tak bisa diubah dengan pemaksaan atau tawaran pangkat dan derajat yang lebih tinggi.
Halayudha merasa makin terseret ke dalam perhitungannya sendiri ketika sampai di Keraton dan mendapatkan laporan lebih lengkap. Bahwa penculik atau penculik-penculiknya memaksa masuk, dan membunuh 25 prajurit jaga yang ada. Ini berarti kemungkinan yang tadinya diperkirakan masuk akal, menjadi buyar.
Karena biar bagaimanapun juga, Upasara Wulung, Gendhuk Tri, Nyai Demang, tak akan melakukan tindakan ganas seperti itu. Mereka tak akan tega membunuh para prajurit. Mereka lebih suka memilih jalan diam-diam. Kalaupun melukai atau membunuh, pastilah tidak perlu sebanyak itu. Jadi siapa? Siapa yang begitu tega menghabisi para prajurit Keraton?
Otak Halayudha bekerja cepat. Kemungkinan pertama bisa saja masuk hitungan. Upasara Wulung atau siapa saja dari Perguruan Awan, sengaja melakukan hal itu untuk menghilangkan jejak atau karena terpaksa. Tapi kemungkinan itu dibenamkan kembali. Kemungkinan kedua adalah musuh dari luar yang selama ini tak diperhitungkan. Mungkinkah ada tokoh sakti yang selama ini tersembunyi?
Rasanya tidak. Tetapi kalau itu tokoh dari luar, kenapa sasarannya kedua calon permaisuri? Halayudha menjadi bimbang dan setengah menyesali diri sendiri. Bimbang karena tak bisa menentukan perkiraan siapa yang menimbulkan ancaman bagi kaputren. Setengah menyesali karena dirinyalah yang membuka persoalan dengan mengangkat masalah dua putri Permaisuri Rajapatni. Ternyata ia sendiri terkena getahnya.
“Ingsun tak mau tahu. Kalau dalam selapan calon permaisuri tak ditemukan, tak ada gunanya kamu mengabdi kepadaku. Tak ada artinya semua kepahlawananmu menghabisi pemberontakan Lumajang.”
“Duh, Raja. Hamba akan berusaha sekuat jiwa-raga hamba. Hanya saja kekuatan hamba terbatas. Sebagai senopati, hamba tak bisa memerintahkan senopati yang lain dengan leluasa.”
“Apakah kamu mencoba mengajari Ingsun, bahwa dengan menjadi mahapatih segalanya akan beres?”
Halayudha mengertakkan giginya. “Hamba menjalankan dawuh, sekuat kekuasaan yang ada…”
“Baik, kalau itu permintaanmu. Aku kuasa menentukan langit dan bumi. Hari ini juga, umumkan kepada semua prajurit, kamu menjadi mahapatih Keraton. Selapan hari setelah ini, kalau gagal, kepalamu kupenggal.”
Rake Dyah Halayudha
UNTUK pertama kalinya, Keraton seakan memperpanjang waktu siang hari. Sinar surya sore hari belum sepenuhnya lenyap, telah disambung dengan cahaya terang. Seluruh sudut Keraton tanpa kecuali mendapat sorotan cahaya obor, api, dan penerangan, dibarengi bau dupa wangi yang memenuhi seluruh udara.
Semua jenis bunga ditebar hingga ke bagian benteng luar, sambung-menyambung bagai permadani layaknya. Semua prajurit mengenakan kain baru lengkap dengan sabuk serta keris pusaka. Janur dan umbul-umbul seakan rumput tinggi yang menjulang, menutupi seluruh Keraton. Hingga ke atapnya yang paling tinggi. Untuk pertama kalinya kemeriahan ini merata hingga ke bagian luar Keraton dalam waktu yang sangat singkat.
Halayudha memperlihatkan kesigapannya mengubah keadaan dengan tenaga yang tidak kepalang tanggung. Semua pilar, lantai, genteng sirap dicuci kembali. Semua ukiran di pintu dilap hingga mengilat. Warna emas pada ukiran-ukiran diperbarui, seperti juga halnya semua senjata di-dus, dimandikan dalam upacara yang khusyuk.
Halayudha turun tangan sendiri mengawasi, meneliti, dan tidak mau melihat sesuatu yang tidak disenangi. Sitinggil dibuka untuk pentas segala macam tontonan, termasuk dua tempat khusus pagelaran wayang kulit dengan memainkan lakon khusus pula. Kisah pengabdian seorang mahapatih di Keraton Ayodya yang bernama Bambang Sumantri. Sementara di alun-alun semua jenis buah-buahan, padi-padian, umbi-umbian, ditumpuk bagai gunung yang mengalahkan pucuk pohon beringin.
Pada bagian yang lain, semua ternak yang gemuk, elok, dikumpulkan menjadi satu. Barisan kambing, ayam, kerbau, sapi, rasa, babi hutan, seolah dipindahkan begitu saja dari hutan. Pada deretan yang lain, kuda-kuda perang juga berjajar rapi, lengkap dengan prajuritnya dalam pameran senjata. Barisan demi barisan berjajar memutari alun-alun, menjadi tontonan yang mengagumkan bagi masyarakat yang datang berduyun-duyun. Deretan para penari sudah sejak sore hari berkumpul dan menunggu.
Di pasewakan, tempat pertemuan berlangsung, merupakan puncak segala kekaguman. Deretan pada abdi wanita, para emban yang membopong semua perhiasan emas permata berbentuk berbagai binatang, berjongkok rapi. Para prajurit dari berbagai pasukan bisa dibedakan dari tanda kain yang dikenakan. Baik prajurit telik sandi, prajurit kawal Keraton, prajurit perang, maupun prajurit yang mengurusi rumah tangga.
Para senopati berjajar membentuk barisan rapi, tertib sambil bersila di lantai. Raja sendiri kelihatan mengangkat sebelah alisnya ketika muncul di balairung. Iringan gamelan yang keras membarengi langkahnya yang menjadi bersinar dalam siraman cahaya. Halayudha menunduk di depan kursi kebesaran.
“Hari ini Ingsun berkenan mengangkat dan menganugerahkan jabatan Mahapatih Keraton Majapahit kepada Senopati Halayudha, karena jasa-jasa dan pengabdiannya. Mulai malam ini Mahapatih Halayudha berhak memakai gelaran rake. Rake Dyah Halayudha. Semua jabatan dan kehormatannya akan menyesuaikan diri dengan derajat yang sekarang disandang. Pengangkatan ini berlaku sampai Ingsun pribadi yang mencabut kembali. Barang siapa tidak menyetujui pengangkatan ini berarti berkhianat kepada Keraton, kepada Raja, dan akan ditumpas tujuh turunan. Rake Dyah Halayudha, terimalah anugerah Ingsun…”
Halayudha menyembah hormat. Rambutnya yang digelung rapi, tak sehelai pun lepas terurai, tampak mengilat, memperlihatkan lehernya yang jenjang memanjang dan bersih. Tubuhnya menjadi lebih kuning bercahaya berkat bedak lulur yang diusap ke seluruh permukaan kulitnya. Halayudha menyembah tiga kali, sebelum berjongkok ke depan, dengan gerakan perlahan. Tangannya menggeser di lantai pendapa balairung, seirama dengan gerakan kakinya. Sampai kira-kira jarak satu tombak berhenti. Menyembah kembali. Tiga kali.
Raja Jayanegara melangkah turun. Seorang prajurit membawa nampan yang seluruhnya tertutup bunga melati terangkai sambil berjongkok. Raja mengambil kelat bahu dan memasangkan di lengan Halayudha. Pertama sebelah kanan. Kemudian sebelah kiri.
Halayudha menyembah kembali. Diiringi gamelan yang melonjak iramanya, mendesakkan suasana bergembira. Sorak-sorai lamat terdengar dari alun-alun. Kelat bahu atau pontoh adalah lingkaran yang dikenakan di lengan, sekitar satu tangan dari pundak. Semua prajurit Keraton yang memegang jabatan tertentu, biasa mengenakan pontoh. Demikian juga para senopati. Pada hari-hari tertentu, pada upacara kebesaran seperti sekarang ini, semuanya mengenakan. Dari bahan yang dibuat serta bentuk hiasan, bisa diketahui pangkat dan derajatnya.
Raja mengenakan pontoh satu lingkaran berwarna emas. Halayudha dipasangi dua lingkaran, satu warna emas, satu warna perak, dengan simbol belalai gajah. Dengan mengenakan kelat bahu sebagai tanda resmi kemahapatihan, kini Halayudha bisa merasa lebih leluasa. Apalagi Raja sendiri berkenan memberi gelaran rake. Gelaran yang tidak sembarangan. Karena gelar terhormat ini tidak dengan sendirinya disandang oleh mahapatih. Gelaran ini lebih menunjukkan adanya hubungan yang dekat sekali dengan Raja, seolah keluarganya sendiri dan bisa mewakili untuk satu atau dua urusan tertentu.
“Duh, Raja yang maha bijaksana, maha adil, dan penuh kasih sayang. Inilah kehormatan yang besar, keluhuran budi Raja yang memercayai hamba. Hamba bersumpah, dengan segala jiwa dan raga, seluruh anak turun hamba di kelak kemudian hari, hanya akan mengabdi kepada Raja Majapahit, di dunia dan di alam selanjutnya. Semoga para Dewa selalu memberkahi Raja, Keraton, dan para pengabdi yang setia.”
Raja mengangguk perlahan. Diiringi gamelan yang melembut, Raja berbalik. Diiringi payung kebesaran, barisan kehormatan, dan para dayang, Raja kembali ke dalam Keraton. Pasewakan menjadi sunyi. Untuk beberapa saat. Seolah menunggu saat-saat bekas kaki Raja tak kentara lagi. Baru kemudian para pendeta mendekat, memberi jampi-jampi, dan menaburkan ramuan.
Halayudha menunduk. Baru setelah tata upacara selesai, Halayudha menuju kursi kosong yang berada di depan, agak ke bawah. Di bawah naungan payung yang kini akan selalu menyertai, Halayudha duduk. Memandang ke bawah. Menyapu seluruh balairung.
“Saya, Mahapatih Rake Dyah Halayudha, hari ini juga melanjutkan sabda Raja. Yang pertama, seluruh prajurit tanpa kecuali, seluruh senopati tanpa kecuali, akan didaftar, akan dicatat kembali. Untuk menandatangani lajang penguatan, surat kekuatan, yang menyatakan kesetiaan kepada Keraton, kepada Raja, dan kepada Mahapatih Halayudha sebagai pemegang kendali tata pemerintahan. Barang siapa menolak, dengan sendirinya berhenti sebagai prajurit. Hak, pangkat, dan derajatnya sebagai prajurit ditiadakan sampai turunan ketiga. Yang kedua, para prajurit dan senopati tidak dibenarkan melakukan sesuatu tanpa perintah dari atasannya. Semua tindakan, semua gerakan, berada dalam satu komando. Prajurit mengabdi kepada Keraton, bukan kepada ksatria atau brahmana, atau golongan yang lain. Yang ketiga, semua kegiatan tata krama perdagangan ditentukan dan diatur dari Keraton. Dalam hal ini diawasi langsung oleh Mahapatih atau yang ditunjuk. Tidak dibenarkan mengirimkan sendiri beras, palawija, emas, intan, tembaga, ke negeri seberang tanpa izin resmi. Tidak diperkenankan mengadakan pembuatan senjata, perlengkapan prajurit secara sendiri-sendiri. Semua ditentukan oleh Mahapatih. Yang keempat, semua tumbuhan yang tumbuh di wilayah Keraton, semua ikan dan binatang di Kali Brantas dan sungai lain, semua isi kandungan bumi dan air hingga ke Laut Selatan, adalah milik Keraton sepenuhnya. Kalian semua tanpa kecuali hanya diperkenankan untuk nggaduh, untuk menyewa, merawat, tanpa berarti memiliki. Semua senjata, kekayaan, harus dilaporkan untuk ditentukan apakah perlu membayar upeti atau tidak. Yang kelima, semua ketertiban dan keamanan menjadi tujuan kita bersama. Barang siapa melawan, menahan, menghalangi, apalagi membuat onar, akan dihabisi tanpa ampun. Untuk mencegah terjadinya keributan, prajurit yang ditunjuk akan mengawasi kembali semua perguruan silat, semua perkumpulan, dan tempat-tempat untuk berlatih kanuragan dan ilmu kidungan. Untuk ini, saya akan membentuk prajurit khusus guna melaksanakan tugas pengawasan dan menjaga agar tata tentrem kerta raharja.”
Prajurit Kosala
MALAM itu juga, Mahapatih Halayudha mengumumkan dibentuknya prajurit khusus yang diberi nama Satuan Prajurit Kosala. Para prajurit yang dipilih dan masuk dalam Barisan Kosala mempunyai wewenang untuk menangkap dan memeriksa siapa saja yang dianggap mencurigakan, tanpa pemberitahuan lebih dulu. Siapa saja dalam hal ini bukan hanya masyarakat, melainkan juga para prajurit atau senopati beserta keluarganya.
Barisan Kosala bisa diartikan barisan yang menjaga kebaikan, kesejahteraan, ketenteraman, dan ketertiban. Kosala atau juga kausala mengandung pengertian itu. Yang sedikit mengherankan ialah malam itu Mahapatih Halayudha menunjuk Senopati Bango Tontong untuk menjadi pimpinan Barisan Kosala.
Mengherankan, karena selama ini Senopati Bango Tontong tidak termasuk yang pantas menduduki jabatan tersebut. Bukan karena dianggap tidak mampu, akan tetapi Senopati Bango Tontong termasuk yang paling keras dicurigai. Terutama sejak pemberontakan Lumajang bisa ditumpas. Dugaan yang keras adalah bahwa Senopati Bango Tontong yang berdiri di belakang semua pembocoran rahasia. Sehingga lebih tepat untuk dilengser, diturunkan pangkatnya atau dilepaskan semua jabatannya, atau bahkan dihukum mati.
Tak ada yang menduga justru sebaliknya yang terjadi. Dalam perhitungan beberapa senopati, rasanya tak mungkin Mahapatih Dyah Halayudha tidak mengendus hal ini. Tak ada yang menduga. Bahkan Senopati Bango Tontong sendiri tak percaya pada apa yang didengarnya. Daun telinganya seperti melebar, mencoba menangkap kata-kata dengan lebih baik. Selama ini dirinya memang cukup dekat hubungannya dengan Mahapatih, dan bisa mengetahui sebagian besar gerak-geriknya. Ditambah dengan pengetahuannya yang luas, rangkaian tindakan Mahapatih bisa diduga ke mana arahnya.
“Senopati Bango Tontong, terimalah tanggung jawab sebagai pemimpin Barisan Kosala.”
Senopati Bango Tontong merayap. Benar-benar seperti merayap ke depan. Bersujud di kaki Mahapatih Halayudha.
“Laksanakan tugasmu, mulai malam ini juga.”
Senopati Bango Tontong menyembah dalam. Halayudha mengangguk, mengusap kepala Bango Tontong, dan membubarkan pertemuan.
“Malam ini, semua makanan, semua minuman, semua kegembiraan, bisa dinikmati. Sebagai tanda syukur kepada Dewa.”
Malam itu, segala jenis hiburan dipertontonkan dengan meriah. Tumpukan buah-buahan, sayuran, jajaran hewan ternak, bisa disantap secara leluasa. Kegembiraan yang berbeda tajam dari para sentana dalem, keluarga Raja, yang menjadi waswas karena masih menduga-duga apa yang sebenarnya akan terjadi dengan pergantian pemimpin. Dugaan-dugaan yang sesungguhnya tidak perlu ada.
Karena sudah jelas, bahwa Mahapatih Halayudha, melalui Senopati Bango Tontong, sudah menunjukkan kegiatannya ketika matahari terbit. Pasukan Kosala yang terdiri atas barisan inti yang selama ini menyertai Mahapatih Halayudha ke Lumajang, langsung dikumpulkan. Diberi kenaikan pangkat satu tingkat, semuanya tanpa kecuali.
“Tugas yang pertama adalah mencari dua putri calon permaisuri. Tugas pertama dan satu-satunya. Kalian prajurit pilihan, sehingga tak ada alasan untuk tidak bisa melaksanakan perintah.”
Senopati Bango Tontong memerintahkan agar semua rumah, semua tempat, semua gundukan tanah di wilayah Keraton diperiksa. Kalau perlu bukan hanya masuk dan menggeledah isi rumah, akan tetapi membongkar tanah pekarangan atau atap. Yang mungkin bisa dijadikan persembunyian. Untuk membedakan dari prajurit yang lain, Barisan Kosala mengenakan cawat. Dan hanya Barisan Kosala yang boleh mengenakan cawat.
Kehadiran dan gerakan Barisan Kosala dalam waktu singkat menjadi sesuatu yang menakutkan. Siapa saja tanpa kecuali tak berani menentang, tak berani membantah. Dan merasakan betapa barisan ini masuk ke dalam rumah, mengaduk dan mengeduk apa saja. Sehingga akhirnya masyarakat tidak berani mengatakan nama Barisan Kosala. Sebagai gantinya dalam bahasa percakapan pelan, mereka menyebutnya sebagai Barisan Kopina, atau Barisan Cawat.
Disebut dengan nama apa pun, Barisan Kosala langsung terasa kehadirannya. Upaya mengejar dua putri yang hilang bisa menjadi alasan untuk melakukan apa saja. Bahkan Senopati Bango Tontong sendiri melakukan pembersihan dalam tubuh keprajuritan. Prajurit yang dulunya ikut memata-matai Senopati Halayudha, kini bisa diringkus.
Halayudha merasa puas menunjuk Senopati Bango Tontong sebagai perpanjangan tangannya. Pilihan yang tidak keliru. Senopati berkaki panjang, kurus, kecil, hingga disebut sebagai burung bangau tontong ini, orang yang tepat untuk melaksanakan perintahnya. Halayudha tahu bahwa pemimpin telik sandi yang dikirim dari Lumajang dulu adalah Senopati Bango Tontong. Karena selama ini, Halayudha tak banyak berbicara dengan senopati yang lain. Sehingga tak banyak pula yang mengetahui mengenai rencana sesungguhnya ke Lumajang.
Saat itu dengan gampang ia bisa saja menyeret dan menghukum mati. Tapi Halayudha justru tidak mau melakukan itu. Ia menghitung secara terbalik dari kebiasaan umum. Senopati Bango Tontong diberi jabatan yang tidak tanggung-tanggung. Dengan kekuasaan baru, Bango Tontong akan menyikat kawan-kawannya dulu. Dengan mudah bisa membaca siapa yang dulu mengikuti langkahnya.
Hal lainnya, Bango Tontong akan merasa tertolong nyawanya, terangkat kehormatannya. Dengan pengampunan tersembunyi ini, Bango Tontong justru akan berubah menjadi pembantu yang sangat loyal kepadanya. Nyatanya begitu. Dibandingkan pembantu utamanya yang lain, Bango Tontong luar biasa sigap dan mengikuti semua kata dan perintahnya.
Dalam waktu kurang dari sepekan, kelima perintahnya telah membuahkan hasil. Pengaturan perdagangan, pembenahan tata niaga, dan terutama sekali pengawasan, bisa berjalan dengan sangat baik. Hanya saja, masalah utama masih tetap mengganjal. Yaitu hilangnya Tunggadewi dan Rajadewi.
“Bango Tontong, aku tahu siapa kamu,” kata Halayudha ketika memanggil Senopati Bango Tontong ke dalam dalem kepatihan. “Aku tahu ketika aku berangkat ke Lumajang, kamu hanya menyertai sampai Panjarakan, karena kamu kembali ke Keraton. Apakah betul kamu tidak mengetahui apa-apa mengenai hilangnya dua putri calon permaisuri?”
“Duh, Mahapatih Rake Dyah Halayudha yang mulia. Hamba ini sudah bisa hidup kembali dengan pangkat dan derajat yang sangat mulia, apakah mungkin hamba menyembunyikan sesuatu dari Paduka?”
“Itu bukan jawaban. Aku suka menggunakan kata-kata seperti itu.”
Halayudha mendesis. Apa yang dilihat pada Bango Tontong seperti pada dirinya sendiri, dalam bentuk yang kerdil. Tapi tetap menunjukkan persamaan mengenai bagaimana menyusun kata-kata merendah, dengan wajah menunduk ke bawah. Kemungkinan yang utama adalah masuknya orang luar yang secara sengaja atau tidak telah mengacaukan keamanan.
“Tidakkah kamu membaui itu?”
“Hamba kembali ke Keraton ketika penculikan sudah terjadi. Paduka Mahapatih mengetahui hal itu. Akan tetapi hamba mencoba melihat apa yang terjadi. Dari korban prajurit jaga kaputren saat itu, rasa-rasanya ada tokoh luar yang sangat telengas yang menyerbu masuk.”
“Bango Tontong, kamu sudah mengetahui prajurit yang terbunuh di Simping. Juga yang mati di Lodaya. Adakah persamaan korbannya dengan itu?”
“Hamba tak berani memastikan, Paduka Mahapatih. Kalau diperhitungkan jumlah Barisan Api, ada kemungkinan salah satu dari yang bisa lolos. Karena kalau tidak salah jumlahnya seharusnya tiga belas. Akan tetapi yang tersisa, kalau tidak keliru, baru dua belas.”
Halayudha memandang tak berkedip. Meskipun hatinya mencatat bahwa Bango Tontong mempunyai penyelidikan yang dalam dan mengetahui secara cermat.
“Akan tetapi, para korban tidak menunjukkan luka yang sama. Para prajurit jaga kaputren yang menjadi korban seperti terkena sabetan senjata tajam… yang sangat tajam. Bekas goresan dan tusukannya sangat panjang sekali. Ada yang sepanjang tubuh, dari ubun-ubun hingga ke kaki.”
“Aku mendengar laporan tentang hal itu.”
“Hamba tadinya menduga bahwa penculik dan Tuan Putri masih berada di sekitar Keraton. Bersembunyi di suatu tempat. Akan tetapi nyatanya tak ada bayangannya. Bahkan jalan menuju gua bawah tanah Keraton tertutup rapat.”
Halayudha makin sadar bahwa selama ini mata, telinga, dan hidung Bango Tontong terbuka lebar-lebar. Tentu saja Halayudha mengetahui bahwa jalan menuju gua bawah tanah Keraton tertutup. Karena ia sendiri yang memerintahkan!
“Jadi, menurut dugaanmu siapa?”
Prajurit Menghamba Satu
SENOPATI BANGO TONTONG menjawab dengan suara perlahan. “Paduka Mahapatih yang melakukan.”
“Aku?”
“Perhitungan hamba begitu. Seharusnya memang begitu.”
Wajah Halayudha sedikit pun tidak berubah. “Yang lebih penting, aku ingin mengetahui alasan dugaanmu.”
“Yang paling berkepentingan dengan dua putri calon permaisuri adalah Paduka Mahapatih. Hilang atau adanya kembali, menenggelamkan atau mengangkat nama Paduka di mata Raja. Dengan menghilangkan sebentar dan mengembalikan, Raja makin percaya kepada Mahapatih. Suatu perhitungan yang sederhana. Sama sederhananya dengan menyelusup masuk ke kaputren, dan sengaja membunuh prajurit untuk mengaburkan jejak. Tapi justru membuka petunjuk karena luka di tubuh para korban menunjukkan tusukan menyilang yang ganas. Ilmu yang hanya dimiliki oleh Paman Sepuh. Cara yang pernah Paduka tempuh ketika membunuh Toikromo.”
“Kamu cukup mengerti banyak hal, Bango Tontong.”
“Seperti juga yang menimpa Praba Raga Karana.”
Kali ini wajah Halayudha berubah dingin. Tangannya mengepal. “Apa yang kamu ketahui tentang Permaisuri Praba?”
“Ada seseorang yang membuatnya tak bisa mengutarakan apa yang terkandung dalam pikirannya. Ada yang membuntu. Seseorang itu hanya mungkin Paduka Mahapatih yang melakukan. Bagaimana caranya atau dengan cara apa, hamba tak mengetahui.”
“Kalau kamu mengetahui hal ini, kenapa tidak kamu laporkan kepada Raja?”
“Hamba harus melewati beberapa pemimpin untuk sowan Raja. Itu tidak memungkinkan. Belum tentu akan didengar, atau bahkan Paduka Mahapatih lebih dulu mengetahui dan melenyapkan hamba.”
“Kamu laporkan kepada Nambi?”
Senopati Bango Tontong mengangguk.
“Kenapa?”
“Hamba ditugaskan untuk mengamati gerak-gerik Paduka. Itulah yang hamba lakukan. Sepenuh kemampuan, sepenuh kekuatan yang bisa. Karena hamba adalah prajurit yang mengabdi kepada satu tuan. Hamba lakukan sepenuhnya.”
“Ehem, dengan kata lain kamu ingin mengatakan hanya menghamba kepadaku?”
“Kalau Paduka Mahapatih menerima.”
“Banyak persamaan di antara kita, Bango Tontong. Kamu cepat tanggap dan mengerti, bahwa kalau aku menemukan dan atau merasa kamu mempermainkan bayangan lain, aku akan memenggal kepalamu. Itu cara terbaik mengabdi kepadaku. Kuakui kamu bisa membaca situasi dan berterus terang tanpa malu-malu. Kamu mengakui busuk, buruk, culas, tapi tidak pada tuanmu. Untuk sementara aku bisa menerima.”
“Maaf, Paduka tak memiliki pilihan lain. Hamba adalah satu-satunya yang bisa diajak bicara sekarang ini. Yang lainnya merasa segan, takut, dan barangkali menutup telinga.”
“Bango Tontong, sebagai mahapatih aku tidak suka bicaramu yang kasar.”
“Hamba mohon ampun, Paduka Mahapatih.”
“Asal tidak kamu ulang. Sekarang jelaskan, kenapa aku yang menculik dua putri calon permaisuri?”
“Hamba sudah menyampaikan. Kalau bukan Paduka, harusnya Paduka.”
“Bagus juga perhitunganmu. Kalau kamu mengatakan sebelumnya, aku sudah melakukan. Tapi kalau bukan aku, siapa yang lainnya?”
“Jagat ini terlalu luas. Akan tetapi yang bisa melakukan terbatas. Penculik dua putri calon permaisuri, pastilah yang mempunyai hubungan dengan, paling tidak, Permaisuri Rajapatni.”
“Upasara Wulung?”
“Besar kemungkinannya ksatria yang gagah dan sakti itu. Akan tetapi kali ini bukan. Upasara Wulung tidak akan menculik apalagi melakukan pembantaian.”
“Gendhuk Tri juga bukan?”
“Maaf, dugaan Paduka sudah mendekati. Penculiknya pasti juga wanita. Yang merasa dekat dengan Permaisuri Rajapatni, sekaligus Upasara Wulung.”
“Nyai Demang, ilmunya tak…” Halayudha tersenyum. “Ratu Ayu Azeri Baijani?”
“Tepat dugaan Paduka. Dengan dugaan ini, rasanya masih ada kesempatan untuk memojokkan atau menarik muncul ke permukaan.”
“Apakah luka para prajurit jaga itu karena sabetan Galih Kangkam? Bisa dimengerti. Bisa dimengerti. Bango Tontong, tak perlu memancing. Aku tahu ke mana Ratu Ayu menyembunyikan mereka.”
“Desa Simping.”
“Bagus. Tidak jelek perhitunganmu. Mengapa tidak segera kamu arahkan ke sana?”
“Menunggu saat yang baik. Kalau dua putri calon permaisuri berada di Simping, untuk sementara dalam keadaan aman. Tak kurang suatu apa. Hanya soal waktu untuk bisa menemukan kembali. Akan tetapi dengan menunggu sesaat, hamba bisa melihat air mana yang berombak. Air kegembiraan mana yang bergejolak, sehingga mudah dibaca mereka ini dari kelompok yang kurang mendukung Raja.”
“Ternyata begitu banyak?”
“Benar dugaan Paduka Mahapatih. Banyak yang kurang menerima pernikahan Raja.”
“Perhitungan yang menarik. Tapi aku tak akan ambil tindakan apa-apa. Yang kurang menyukai Raja bisa menjadi bala bantuan bagiku di belakang hari. Bisa menjadi musuh di hari ini. Sekarang terlalu gampang menghancurkan mereka. Bango Tontong, siapkan prajurit. Aku sendiri akan menuju Simping.”
“Apakah Paduka akan membawa panji-panji kepatihan?”
“Aku tidak memerlukan pertimbanganmu. Di sana hanya akan kutemui Ratu Ayu, yang rasanya bisa kupersembahkan kepada Raja. Biar semua daya asmara dan kemampuan berahi menemukan kepuasannya. Saat yang baik untuk melakukan persiapan.”
“Maaf, Paduka melupakan bahwa masih ada ksatria yang tersembunyi yang bisa mendadak muncul.”
“Upasara lagi yang kamu takuti?”
“Maaf, maaf beribu ampun. Sekarang ini masih ada Kiai Sambartaka yang tak keruan di mana sarangnya. Yang masih tersembunyi dan menunggu kesempatan baik untuk melampiaskan dendam dari tanah Hindia. Masih ada pula Eyang Puspamurti yang sulit diduga arahnya. Di samping para ksatria dari Perguruan Awan yang bisa menyulitkan.”
“Apa hebatnya mereka? Aku bisa menghadapi satu demi satu.”
“Paduka bisa mengalahkan satu demi satu. Tapi akan sulit kalau mereka bersatu.”
“Perhitunganmu berlebihan, Bango Tontong. Tak ada yang bisa menjadikan alasan Kiai Sambartaka, Ratu Ayu, dan para ksatria Perguruan Awan bakal berjuang bersama.”
“Yang berlebihan bisa terjadi, Paduka lebih bisa memperhitungkan hal ini. Paduka bisa menarik keluar semuanya tanpa berada dalam bahaya. Sebab kini, tanpa terasa, Paduka dan hamba berada di tempat yang terang. Lebih banyak yang melihat ke arah kita daripada kita melihat ke arah mereka. Sehingga akan lebih sempurna jika kita melangkah ke utara, tapi mereka menduga ke selatan. Cukup dengan membawa Permaisuri Rajapatni kemari, dua putrinya akan menyertai. Paling tidak diketahui di mana berada.”
Halayudha menggigit bibirnya. Tak diduganya bahwa Bango Tontong memiliki ketajaman naluri untuk bersiasat lebih tinggi dari yang diduganya. Bango Tontong ternyata lebih julig, lebih licin, dan menyimpan kekuatan yang selama ini tak terbaca. Rasanya hampir semua peta kekuatan di Keraton dikuasai dengan baik. Semua data dan peristiwa dipegang kuat, dan menumbuhkan kekuatan untuk mengatasi. Pembantu seperti Bango Tontong bisa menjadi bahaya di belakang hari. Dan Bango Tontong agaknya juga menyadari hal ini. Sehingga Halayudha perlu setingkat lebih hati-hati.
Dalam banyak hal. Karena dugaan dan perhitungannya yang selama ini dianggap melebihi yang lain, ternyata bukan miliknya sendiri. Seorang senopati tak terdengar namanya seperti Bango Tontong bisa juga membuat perhitungan. Ini berarti permainan di atas permainan. Berpura-pura di atas kepura-puraan. Bagaimana mengendalikan seorang seperti Bango Tontong, yang perangainya aneh, tapi banyak miripnya dengan dirinya?
Pukulan Graksa, Pukulan Petit
ANEH, karena Bango Tontong mengakui dirinya hanya mengabdi pada satu tuan. Menghamba buta pada satu orang. Mengakui culas, tetapi ternyata masih menyembunyikan puluhan keculasan yang lain. Seorang yang sebenarnya menarik. Senopati yang selama ini menghamba kepada Mahapatih Nambi, dan kemudian bisa beralih total. Karena pokok pendiriannya ialah mengabdi satu orang, siapa pun orangnya!
Karena sadar kakinya buruk dan kurus tinggi, dirinya memakai nama Bango Tontong. Secara terang-terangan dan menantang, bahkan memakai pengenal para prajuritnya dengan mengenakan cawat. Yang berarti memperlihatkan seluruh bentuk kaki. Ganjil. Tapi kalimatnya bukan tak masuk akal. Itu sebabnya Halayudha menyetujui Bango Tontong menjadi utusan resmi ke Sanggar Pamujan di Simping. Untuk memanggil Permaisuri Rajapatni. Sekaligus mengetahui nasib dua putrinya.
Pendapatnya yang lain yang segera masuk ke dalam pikiran Halayudha ialah disebutnya nama Eyang Puspamurti. Tokoh sakti yang dikatakan angin-anginan ini bagi Halayudha masih tanda tanya. Posisinya bisa beralih dalam waktu sekejap. Lebih dari itu, ilmunya ternyata juga tak mudah diduga. Dengan disertai tiga muridnya, bisa-bisa di kemudian hari menjadi bencana yang merepotkan. Terutama secara pribadi! Karena merekalah yang mengetahui rahasia tubuhnya!
Halayudha tak bisa berbuat seperti Bango Tontong dengan jalan memamerkan kekurangannya! Halayudha tidak gegabah dengan mencari tahu di mana Eyang Puspamurti. Justru sebaliknya, ia memakai pendekatan gula menarik semut. Dengan cara itulah Halayudha mengumumkan bahwa Keraton saat ini sedang membutuhkan prajurit-prajurit baru. Kesempatan ini terbuka luas bagi siapa pun yang berminat, dan hari itu juga akan mendapat pangkat. Tak ada syarat berat yang mengikat, selain tidak tersangkut dengan keluarga yang pernah memberontak.
Tindakan yang diambil Halayudha juga mempunyai tujuan lain. Dengan masuknya para prajurit baru, tidak bisa tidak mereka ini masih polos dan akan mengikuti apa yang sedang berlangsung. Tanpa dibebani peristiwa masa lampau. Perhitungan Halayudha tidak meleset. Pada hari kelima, Eyang Puspamurti sendiri muncul dengan Mada Senggek, serta Kwowogen. Halayudha sudah menyiapkan agar mereka berempat diterima dan ditempatkan di suatu pondokan yang telah disediakan.
Pondokan yang terpisah dari yang lain, di mana Halayudha bisa mengetahui apa yang berlangsung tanpa mengganggu yang lain. Halayudha juga memerintahkan untuk memenuhi segala kebutuhan Eyang Puspamurti tanpa kecuali, tanpa perlu menanyakan lebih dulu dan minta persetujuan yang lainnya. Segala kebutuhan makanan, minuman, perlengkapan persenjataan diberikan tanpa batas.
“Mada, kini sudah terkabul keinginanmu menjadi prajurit. Apa lagi yang akan kamu lakukan?”
“Eyang, selama ini saya bertiga hanya menjadi prajurit yang makan enak, tidur nyenyak tanpa melakukan apa-apa. Apakah ini tidak berlebihan?”
“Saya tidak peduli dengan itu. Kalian bertiga adalah muridku. Umurku tidak panjang lagi. Sebelum aku mati, aku ingin kalian bertiga benar-benar mewarisi ilmuku. Sebab zaman telah bergerak sangat cepat. Perhatikan baik-baik. Kalian masih ingat Barisan Api?”
“Eyang sudah menceritakan selaksa kali.”
“Berarti masih kurang satu kali. Barisan Api yang hanya selintas itu membuka kemungkinan yang luar biasa. Mereka bisa melipatgandakan tenaga dalam secara luar biasa. Saya masih belum bisa memecahkan, meskipun dengan cara Upasara Wulung kita akan bisa mengalahkan. Sekarang tentang jurus Upasara Wulung. Saya yang mempelajari pukulan satu jurus, tetapi justru Upasara yang bisa memainkan.”
“Eyang…”
“Kamu harus dengar baik-baik.Umurku tak bersisa lama. Saya akan menunjukkan bahwa kalian bisa memainkan pukulan seperti yang dimainkan Upasara.”
Eyang Puspamurti menyeret ketiga muridnya. Halayudha menjilat bibirnya sendiri.
“Dalam Kidungan Pamungkas, kekuatan mahamanusia itu tak terbatas sampai titik takhta. Berarti bisa apa saja, selain menjadi raja.”
“Eyang…”
“Eyang…”
“Eyang…”
“Pada Barisan Api, semua kehendak, semua kemauan diubah menjadi tenaga. Tenaga luar. Sedemikian bersatunya mereka, sehingga tenaga selusin bisa menjadi satu tenaga. Yang berarti memindahkan kekuatan dari satu orang atau lebih kepada diri kita. Lihat baik-baik. Tangan kanan ini akan menyatukan semua tenaga yang ada dalam tubuh kita. Alirkan semua kekuatan ke ujung tangan kanan. Nah, begitu. Semua kekuatan. Semua hawa panas dalam tubuh. Semua kemauan. Semua semua. Nah, bagus. Gerakkan sesukamu.”
Dug-dug-dug.
Tiga pukulan menyerang bersamaan, meskipun Kwowogen menunjukkan kecepatan yang lebih. Halayudha mengakui bahwa murid didikan Eyang Puspamurti menghasilkan kemajuan yang pesat. Apalagi kalau diingat bahwa mereka bertiga bukan yang berawal dari tradisi persilatan. Terasa benar tenaga yang terlontar, dibandingkan ketika Halayudha bertemu mereka pertama kalinya.
“Ini bagus, tapi jelek. Itu pukulan manusia, tapi bukan mahamanusia. Itu pukulan Mada, Senggek atau siapa namamu, atau Kwo. Saya tidak memukul. Padahal tenaga itu bisa kita satukan. Tanpa kita berpegangan tangan. Tanpa ketahuan kita menempel satu sama lain. Sepenuhnya bisa terjadi dengan sendirinya. Mari kita jajal. Lupakan dirimu, juga saya. Kita akan berkumpul menyatu seperti air, seperti awan, seperti angin, seperti petir. Menjadi kuat dan bertenaga karena bersama. Karena bersatu. Petir…”
Eyang Puspamurti mengambil napas dalam. Tangan kanannya bergerak, melingkar, sebelum meninju ke depan. Bersamaan dengan gerakan ketiga muridnya.
Dug. Satu entakan keras. Menghantam dinding kayu di ujung yang bergoyang!
“Ini jurus pertama. Kita namai Pukulan Petir atau Pukulan Graksa.”
Halayudha menggaruk belakang telinganya. Cara pengajaran Eyang Puspamurti sangat sederhana. Baik kata-kata penjelasannya maupun gerakan bersama yang dilakukan. Ingatan Halayudha tak bisa lain kepada dirinya sendiri. Yang demikian sengsara dan hina sebelum memperoleh ilmu. Kalau saja dirinya dilatih oleh guru seperti Eyang Puspamurti…
Tapi yang membuat Halayudha menggaruk tengkuknya sambil menghela napas, terutama karena kemampuan Eyang Puspamurti menyatukan tenaga dalam. Keempat tenaga yang berlainan, menjadi satu pukulan. Memang hasil pertama tidak terlalu mengejutkan. Akan tetapi segera bisa terbaca dalam latihan pukulan berikutnya bisa menjadi ganas. Apalagi jika sudah dikuasai. Dengan pendekatan itu pula bukan tidak mungkin tenaga dalam yang dimiliki seluruh prajurit yang ada di sekitarnya bisa ditarik masuk. Dimainkan seperti satu orang saja. Ini yang menyebabkan tengkuk Halayudha serasa menjadi gatal tiba-tiba.
Kalau perkembangan berikutnya memakai pendekatan ini dan menunjukkan hasilnya, sebelum pergantian tahun mereka telah menjadi prajurit yang sakti. Halayudha tidak menyembunyikan kekagumannya. Tangannya bertepuk sehingga Eyang Puspamurti menoleh ke arahnya. Ketiga muridnya segera bersila dan menyembah.
“Pukulan Petir yang menyambar bumi. Hanya arahnya yang tidak jelas. Petir tidak menyambar secara ngawur, melainkan tubuh yang paling tinggi. Pukulan tadi kurang mengarah ke kepala, lebih tepat ke arah dada.”
Hilangnya Putri Tunggadewi dan Rajadewi, menunjukkan tantangan yang berat. Secara nyata, lawan-lawannya ingin memperlihatkan masih bisa bergerak leluasa di Keraton. Bahkan di pusat Keraton. Ini bisa berarti tokoh yang menculik sangat hebat atau mempunyai hubungan dengan orang dalam. Bisa kedua-duanya.
Siapa tokoh yang menculiknya? Sekarang ini Halayudha tidak mempunyai gambaran siapa tokoh sakti yang berani memamerkan kekuatan untuk menampar wajahnya. Upasara Wulung? Itu yang paling mungkin. Tokoh yang satu itu bagi Halayudha merupakan lawan tangguh dalam segala segi. Apalagi selama ini selalu terbukti bahwa Upasara Wulung selalu muncul dan keluar sebagai pemenang.
Meskipun Upasara Wulung bisa jadi tidak ikut tenggelam dan meledak dalam perahu, rasa-rasanya menculik putri bukan perbuatan yang biasa dilakukan. Upasara Wulung akan memilih menghadapi dengan dada terbuka. Kalau bukan Upasara Wulung, siapa lagi?
Siapa lagi kalau bukan dari kelompoknya! Atau yang berasal dari Perguruan Awan! Pasti sekitar itu. Akan tetapi siapa tokoh dari Perguruan Awan yang melakukan?
Kemungkinan terbesar adalah Gendhuk Tri, dan Jaghana. Gendhuk Tri, kalau benar bisa selamat dari perahu, paling mungkin melakukan hal itu. Perempuan satu itu, sejak masih kanak-kanak telah memecundanginya. Jaghana, sekarang ini rasanya tidak mungkin. Baik karena luka tubuhnya belum sembuh sempurna, atau karena sebab lain. Terutama karena Jaghana tak mungkin mencampuri urusan pernikahan Raja. Itu bukan wilayah permasalahan yang menarik baginya.
Atau Nyai Demang? Sangat mungkin juga. Meskipun sedang dalam keadaan terluka, janda yang tubuhnya molek merangsang itu akan melakukan apa saja secara berani, walau ilmu silatnya tidak begitu tinggi.
Atau dari Simping? Para senopati dharmaputra yang mendapat perintah dari Permaisuri Rajapatni. Ini juga sangat mungkin. Biar bagaimanapun, kesetiaan para senopati ini tak bisa diubah dengan pemaksaan atau tawaran pangkat dan derajat yang lebih tinggi.
Halayudha merasa makin terseret ke dalam perhitungannya sendiri ketika sampai di Keraton dan mendapatkan laporan lebih lengkap. Bahwa penculik atau penculik-penculiknya memaksa masuk, dan membunuh 25 prajurit jaga yang ada. Ini berarti kemungkinan yang tadinya diperkirakan masuk akal, menjadi buyar.
Karena biar bagaimanapun juga, Upasara Wulung, Gendhuk Tri, Nyai Demang, tak akan melakukan tindakan ganas seperti itu. Mereka tak akan tega membunuh para prajurit. Mereka lebih suka memilih jalan diam-diam. Kalaupun melukai atau membunuh, pastilah tidak perlu sebanyak itu. Jadi siapa? Siapa yang begitu tega menghabisi para prajurit Keraton?
Otak Halayudha bekerja cepat. Kemungkinan pertama bisa saja masuk hitungan. Upasara Wulung atau siapa saja dari Perguruan Awan, sengaja melakukan hal itu untuk menghilangkan jejak atau karena terpaksa. Tapi kemungkinan itu dibenamkan kembali. Kemungkinan kedua adalah musuh dari luar yang selama ini tak diperhitungkan. Mungkinkah ada tokoh sakti yang selama ini tersembunyi?
Rasanya tidak. Tetapi kalau itu tokoh dari luar, kenapa sasarannya kedua calon permaisuri? Halayudha menjadi bimbang dan setengah menyesali diri sendiri. Bimbang karena tak bisa menentukan perkiraan siapa yang menimbulkan ancaman bagi kaputren. Setengah menyesali karena dirinyalah yang membuka persoalan dengan mengangkat masalah dua putri Permaisuri Rajapatni. Ternyata ia sendiri terkena getahnya.
“Ingsun tak mau tahu. Kalau dalam selapan calon permaisuri tak ditemukan, tak ada gunanya kamu mengabdi kepadaku. Tak ada artinya semua kepahlawananmu menghabisi pemberontakan Lumajang.”
“Duh, Raja. Hamba akan berusaha sekuat jiwa-raga hamba. Hanya saja kekuatan hamba terbatas. Sebagai senopati, hamba tak bisa memerintahkan senopati yang lain dengan leluasa.”
“Apakah kamu mencoba mengajari Ingsun, bahwa dengan menjadi mahapatih segalanya akan beres?”
Halayudha mengertakkan giginya. “Hamba menjalankan dawuh, sekuat kekuasaan yang ada…”
“Baik, kalau itu permintaanmu. Aku kuasa menentukan langit dan bumi. Hari ini juga, umumkan kepada semua prajurit, kamu menjadi mahapatih Keraton. Selapan hari setelah ini, kalau gagal, kepalamu kupenggal.”
Rake Dyah Halayudha
UNTUK pertama kalinya, Keraton seakan memperpanjang waktu siang hari. Sinar surya sore hari belum sepenuhnya lenyap, telah disambung dengan cahaya terang. Seluruh sudut Keraton tanpa kecuali mendapat sorotan cahaya obor, api, dan penerangan, dibarengi bau dupa wangi yang memenuhi seluruh udara.
Semua jenis bunga ditebar hingga ke bagian benteng luar, sambung-menyambung bagai permadani layaknya. Semua prajurit mengenakan kain baru lengkap dengan sabuk serta keris pusaka. Janur dan umbul-umbul seakan rumput tinggi yang menjulang, menutupi seluruh Keraton. Hingga ke atapnya yang paling tinggi. Untuk pertama kalinya kemeriahan ini merata hingga ke bagian luar Keraton dalam waktu yang sangat singkat.
Halayudha memperlihatkan kesigapannya mengubah keadaan dengan tenaga yang tidak kepalang tanggung. Semua pilar, lantai, genteng sirap dicuci kembali. Semua ukiran di pintu dilap hingga mengilat. Warna emas pada ukiran-ukiran diperbarui, seperti juga halnya semua senjata di-dus, dimandikan dalam upacara yang khusyuk.
Halayudha turun tangan sendiri mengawasi, meneliti, dan tidak mau melihat sesuatu yang tidak disenangi. Sitinggil dibuka untuk pentas segala macam tontonan, termasuk dua tempat khusus pagelaran wayang kulit dengan memainkan lakon khusus pula. Kisah pengabdian seorang mahapatih di Keraton Ayodya yang bernama Bambang Sumantri. Sementara di alun-alun semua jenis buah-buahan, padi-padian, umbi-umbian, ditumpuk bagai gunung yang mengalahkan pucuk pohon beringin.
Pada bagian yang lain, semua ternak yang gemuk, elok, dikumpulkan menjadi satu. Barisan kambing, ayam, kerbau, sapi, rasa, babi hutan, seolah dipindahkan begitu saja dari hutan. Pada deretan yang lain, kuda-kuda perang juga berjajar rapi, lengkap dengan prajuritnya dalam pameran senjata. Barisan demi barisan berjajar memutari alun-alun, menjadi tontonan yang mengagumkan bagi masyarakat yang datang berduyun-duyun. Deretan para penari sudah sejak sore hari berkumpul dan menunggu.
Di pasewakan, tempat pertemuan berlangsung, merupakan puncak segala kekaguman. Deretan pada abdi wanita, para emban yang membopong semua perhiasan emas permata berbentuk berbagai binatang, berjongkok rapi. Para prajurit dari berbagai pasukan bisa dibedakan dari tanda kain yang dikenakan. Baik prajurit telik sandi, prajurit kawal Keraton, prajurit perang, maupun prajurit yang mengurusi rumah tangga.
Para senopati berjajar membentuk barisan rapi, tertib sambil bersila di lantai. Raja sendiri kelihatan mengangkat sebelah alisnya ketika muncul di balairung. Iringan gamelan yang keras membarengi langkahnya yang menjadi bersinar dalam siraman cahaya. Halayudha menunduk di depan kursi kebesaran.
“Hari ini Ingsun berkenan mengangkat dan menganugerahkan jabatan Mahapatih Keraton Majapahit kepada Senopati Halayudha, karena jasa-jasa dan pengabdiannya. Mulai malam ini Mahapatih Halayudha berhak memakai gelaran rake. Rake Dyah Halayudha. Semua jabatan dan kehormatannya akan menyesuaikan diri dengan derajat yang sekarang disandang. Pengangkatan ini berlaku sampai Ingsun pribadi yang mencabut kembali. Barang siapa tidak menyetujui pengangkatan ini berarti berkhianat kepada Keraton, kepada Raja, dan akan ditumpas tujuh turunan. Rake Dyah Halayudha, terimalah anugerah Ingsun…”
Halayudha menyembah hormat. Rambutnya yang digelung rapi, tak sehelai pun lepas terurai, tampak mengilat, memperlihatkan lehernya yang jenjang memanjang dan bersih. Tubuhnya menjadi lebih kuning bercahaya berkat bedak lulur yang diusap ke seluruh permukaan kulitnya. Halayudha menyembah tiga kali, sebelum berjongkok ke depan, dengan gerakan perlahan. Tangannya menggeser di lantai pendapa balairung, seirama dengan gerakan kakinya. Sampai kira-kira jarak satu tombak berhenti. Menyembah kembali. Tiga kali.
Raja Jayanegara melangkah turun. Seorang prajurit membawa nampan yang seluruhnya tertutup bunga melati terangkai sambil berjongkok. Raja mengambil kelat bahu dan memasangkan di lengan Halayudha. Pertama sebelah kanan. Kemudian sebelah kiri.
Halayudha menyembah kembali. Diiringi gamelan yang melonjak iramanya, mendesakkan suasana bergembira. Sorak-sorai lamat terdengar dari alun-alun. Kelat bahu atau pontoh adalah lingkaran yang dikenakan di lengan, sekitar satu tangan dari pundak. Semua prajurit Keraton yang memegang jabatan tertentu, biasa mengenakan pontoh. Demikian juga para senopati. Pada hari-hari tertentu, pada upacara kebesaran seperti sekarang ini, semuanya mengenakan. Dari bahan yang dibuat serta bentuk hiasan, bisa diketahui pangkat dan derajatnya.
Raja mengenakan pontoh satu lingkaran berwarna emas. Halayudha dipasangi dua lingkaran, satu warna emas, satu warna perak, dengan simbol belalai gajah. Dengan mengenakan kelat bahu sebagai tanda resmi kemahapatihan, kini Halayudha bisa merasa lebih leluasa. Apalagi Raja sendiri berkenan memberi gelaran rake. Gelaran yang tidak sembarangan. Karena gelar terhormat ini tidak dengan sendirinya disandang oleh mahapatih. Gelaran ini lebih menunjukkan adanya hubungan yang dekat sekali dengan Raja, seolah keluarganya sendiri dan bisa mewakili untuk satu atau dua urusan tertentu.
“Duh, Raja yang maha bijaksana, maha adil, dan penuh kasih sayang. Inilah kehormatan yang besar, keluhuran budi Raja yang memercayai hamba. Hamba bersumpah, dengan segala jiwa dan raga, seluruh anak turun hamba di kelak kemudian hari, hanya akan mengabdi kepada Raja Majapahit, di dunia dan di alam selanjutnya. Semoga para Dewa selalu memberkahi Raja, Keraton, dan para pengabdi yang setia.”
Raja mengangguk perlahan. Diiringi gamelan yang melembut, Raja berbalik. Diiringi payung kebesaran, barisan kehormatan, dan para dayang, Raja kembali ke dalam Keraton. Pasewakan menjadi sunyi. Untuk beberapa saat. Seolah menunggu saat-saat bekas kaki Raja tak kentara lagi. Baru kemudian para pendeta mendekat, memberi jampi-jampi, dan menaburkan ramuan.
Halayudha menunduk. Baru setelah tata upacara selesai, Halayudha menuju kursi kosong yang berada di depan, agak ke bawah. Di bawah naungan payung yang kini akan selalu menyertai, Halayudha duduk. Memandang ke bawah. Menyapu seluruh balairung.
“Saya, Mahapatih Rake Dyah Halayudha, hari ini juga melanjutkan sabda Raja. Yang pertama, seluruh prajurit tanpa kecuali, seluruh senopati tanpa kecuali, akan didaftar, akan dicatat kembali. Untuk menandatangani lajang penguatan, surat kekuatan, yang menyatakan kesetiaan kepada Keraton, kepada Raja, dan kepada Mahapatih Halayudha sebagai pemegang kendali tata pemerintahan. Barang siapa menolak, dengan sendirinya berhenti sebagai prajurit. Hak, pangkat, dan derajatnya sebagai prajurit ditiadakan sampai turunan ketiga. Yang kedua, para prajurit dan senopati tidak dibenarkan melakukan sesuatu tanpa perintah dari atasannya. Semua tindakan, semua gerakan, berada dalam satu komando. Prajurit mengabdi kepada Keraton, bukan kepada ksatria atau brahmana, atau golongan yang lain. Yang ketiga, semua kegiatan tata krama perdagangan ditentukan dan diatur dari Keraton. Dalam hal ini diawasi langsung oleh Mahapatih atau yang ditunjuk. Tidak dibenarkan mengirimkan sendiri beras, palawija, emas, intan, tembaga, ke negeri seberang tanpa izin resmi. Tidak diperkenankan mengadakan pembuatan senjata, perlengkapan prajurit secara sendiri-sendiri. Semua ditentukan oleh Mahapatih. Yang keempat, semua tumbuhan yang tumbuh di wilayah Keraton, semua ikan dan binatang di Kali Brantas dan sungai lain, semua isi kandungan bumi dan air hingga ke Laut Selatan, adalah milik Keraton sepenuhnya. Kalian semua tanpa kecuali hanya diperkenankan untuk nggaduh, untuk menyewa, merawat, tanpa berarti memiliki. Semua senjata, kekayaan, harus dilaporkan untuk ditentukan apakah perlu membayar upeti atau tidak. Yang kelima, semua ketertiban dan keamanan menjadi tujuan kita bersama. Barang siapa melawan, menahan, menghalangi, apalagi membuat onar, akan dihabisi tanpa ampun. Untuk mencegah terjadinya keributan, prajurit yang ditunjuk akan mengawasi kembali semua perguruan silat, semua perkumpulan, dan tempat-tempat untuk berlatih kanuragan dan ilmu kidungan. Untuk ini, saya akan membentuk prajurit khusus guna melaksanakan tugas pengawasan dan menjaga agar tata tentrem kerta raharja.”
Prajurit Kosala
MALAM itu juga, Mahapatih Halayudha mengumumkan dibentuknya prajurit khusus yang diberi nama Satuan Prajurit Kosala. Para prajurit yang dipilih dan masuk dalam Barisan Kosala mempunyai wewenang untuk menangkap dan memeriksa siapa saja yang dianggap mencurigakan, tanpa pemberitahuan lebih dulu. Siapa saja dalam hal ini bukan hanya masyarakat, melainkan juga para prajurit atau senopati beserta keluarganya.
Barisan Kosala bisa diartikan barisan yang menjaga kebaikan, kesejahteraan, ketenteraman, dan ketertiban. Kosala atau juga kausala mengandung pengertian itu. Yang sedikit mengherankan ialah malam itu Mahapatih Halayudha menunjuk Senopati Bango Tontong untuk menjadi pimpinan Barisan Kosala.
Mengherankan, karena selama ini Senopati Bango Tontong tidak termasuk yang pantas menduduki jabatan tersebut. Bukan karena dianggap tidak mampu, akan tetapi Senopati Bango Tontong termasuk yang paling keras dicurigai. Terutama sejak pemberontakan Lumajang bisa ditumpas. Dugaan yang keras adalah bahwa Senopati Bango Tontong yang berdiri di belakang semua pembocoran rahasia. Sehingga lebih tepat untuk dilengser, diturunkan pangkatnya atau dilepaskan semua jabatannya, atau bahkan dihukum mati.
Tak ada yang menduga justru sebaliknya yang terjadi. Dalam perhitungan beberapa senopati, rasanya tak mungkin Mahapatih Dyah Halayudha tidak mengendus hal ini. Tak ada yang menduga. Bahkan Senopati Bango Tontong sendiri tak percaya pada apa yang didengarnya. Daun telinganya seperti melebar, mencoba menangkap kata-kata dengan lebih baik. Selama ini dirinya memang cukup dekat hubungannya dengan Mahapatih, dan bisa mengetahui sebagian besar gerak-geriknya. Ditambah dengan pengetahuannya yang luas, rangkaian tindakan Mahapatih bisa diduga ke mana arahnya.
“Senopati Bango Tontong, terimalah tanggung jawab sebagai pemimpin Barisan Kosala.”
Senopati Bango Tontong merayap. Benar-benar seperti merayap ke depan. Bersujud di kaki Mahapatih Halayudha.
“Laksanakan tugasmu, mulai malam ini juga.”
Senopati Bango Tontong menyembah dalam. Halayudha mengangguk, mengusap kepala Bango Tontong, dan membubarkan pertemuan.
“Malam ini, semua makanan, semua minuman, semua kegembiraan, bisa dinikmati. Sebagai tanda syukur kepada Dewa.”
Malam itu, segala jenis hiburan dipertontonkan dengan meriah. Tumpukan buah-buahan, sayuran, jajaran hewan ternak, bisa disantap secara leluasa. Kegembiraan yang berbeda tajam dari para sentana dalem, keluarga Raja, yang menjadi waswas karena masih menduga-duga apa yang sebenarnya akan terjadi dengan pergantian pemimpin. Dugaan-dugaan yang sesungguhnya tidak perlu ada.
Karena sudah jelas, bahwa Mahapatih Halayudha, melalui Senopati Bango Tontong, sudah menunjukkan kegiatannya ketika matahari terbit. Pasukan Kosala yang terdiri atas barisan inti yang selama ini menyertai Mahapatih Halayudha ke Lumajang, langsung dikumpulkan. Diberi kenaikan pangkat satu tingkat, semuanya tanpa kecuali.
“Tugas yang pertama adalah mencari dua putri calon permaisuri. Tugas pertama dan satu-satunya. Kalian prajurit pilihan, sehingga tak ada alasan untuk tidak bisa melaksanakan perintah.”
Senopati Bango Tontong memerintahkan agar semua rumah, semua tempat, semua gundukan tanah di wilayah Keraton diperiksa. Kalau perlu bukan hanya masuk dan menggeledah isi rumah, akan tetapi membongkar tanah pekarangan atau atap. Yang mungkin bisa dijadikan persembunyian. Untuk membedakan dari prajurit yang lain, Barisan Kosala mengenakan cawat. Dan hanya Barisan Kosala yang boleh mengenakan cawat.
Kehadiran dan gerakan Barisan Kosala dalam waktu singkat menjadi sesuatu yang menakutkan. Siapa saja tanpa kecuali tak berani menentang, tak berani membantah. Dan merasakan betapa barisan ini masuk ke dalam rumah, mengaduk dan mengeduk apa saja. Sehingga akhirnya masyarakat tidak berani mengatakan nama Barisan Kosala. Sebagai gantinya dalam bahasa percakapan pelan, mereka menyebutnya sebagai Barisan Kopina, atau Barisan Cawat.
Disebut dengan nama apa pun, Barisan Kosala langsung terasa kehadirannya. Upaya mengejar dua putri yang hilang bisa menjadi alasan untuk melakukan apa saja. Bahkan Senopati Bango Tontong sendiri melakukan pembersihan dalam tubuh keprajuritan. Prajurit yang dulunya ikut memata-matai Senopati Halayudha, kini bisa diringkus.
Halayudha merasa puas menunjuk Senopati Bango Tontong sebagai perpanjangan tangannya. Pilihan yang tidak keliru. Senopati berkaki panjang, kurus, kecil, hingga disebut sebagai burung bangau tontong ini, orang yang tepat untuk melaksanakan perintahnya. Halayudha tahu bahwa pemimpin telik sandi yang dikirim dari Lumajang dulu adalah Senopati Bango Tontong. Karena selama ini, Halayudha tak banyak berbicara dengan senopati yang lain. Sehingga tak banyak pula yang mengetahui mengenai rencana sesungguhnya ke Lumajang.
Saat itu dengan gampang ia bisa saja menyeret dan menghukum mati. Tapi Halayudha justru tidak mau melakukan itu. Ia menghitung secara terbalik dari kebiasaan umum. Senopati Bango Tontong diberi jabatan yang tidak tanggung-tanggung. Dengan kekuasaan baru, Bango Tontong akan menyikat kawan-kawannya dulu. Dengan mudah bisa membaca siapa yang dulu mengikuti langkahnya.
Hal lainnya, Bango Tontong akan merasa tertolong nyawanya, terangkat kehormatannya. Dengan pengampunan tersembunyi ini, Bango Tontong justru akan berubah menjadi pembantu yang sangat loyal kepadanya. Nyatanya begitu. Dibandingkan pembantu utamanya yang lain, Bango Tontong luar biasa sigap dan mengikuti semua kata dan perintahnya.
Dalam waktu kurang dari sepekan, kelima perintahnya telah membuahkan hasil. Pengaturan perdagangan, pembenahan tata niaga, dan terutama sekali pengawasan, bisa berjalan dengan sangat baik. Hanya saja, masalah utama masih tetap mengganjal. Yaitu hilangnya Tunggadewi dan Rajadewi.
“Bango Tontong, aku tahu siapa kamu,” kata Halayudha ketika memanggil Senopati Bango Tontong ke dalam dalem kepatihan. “Aku tahu ketika aku berangkat ke Lumajang, kamu hanya menyertai sampai Panjarakan, karena kamu kembali ke Keraton. Apakah betul kamu tidak mengetahui apa-apa mengenai hilangnya dua putri calon permaisuri?”
“Duh, Mahapatih Rake Dyah Halayudha yang mulia. Hamba ini sudah bisa hidup kembali dengan pangkat dan derajat yang sangat mulia, apakah mungkin hamba menyembunyikan sesuatu dari Paduka?”
“Itu bukan jawaban. Aku suka menggunakan kata-kata seperti itu.”
Halayudha mendesis. Apa yang dilihat pada Bango Tontong seperti pada dirinya sendiri, dalam bentuk yang kerdil. Tapi tetap menunjukkan persamaan mengenai bagaimana menyusun kata-kata merendah, dengan wajah menunduk ke bawah. Kemungkinan yang utama adalah masuknya orang luar yang secara sengaja atau tidak telah mengacaukan keamanan.
“Tidakkah kamu membaui itu?”
“Hamba kembali ke Keraton ketika penculikan sudah terjadi. Paduka Mahapatih mengetahui hal itu. Akan tetapi hamba mencoba melihat apa yang terjadi. Dari korban prajurit jaga kaputren saat itu, rasa-rasanya ada tokoh luar yang sangat telengas yang menyerbu masuk.”
“Bango Tontong, kamu sudah mengetahui prajurit yang terbunuh di Simping. Juga yang mati di Lodaya. Adakah persamaan korbannya dengan itu?”
“Hamba tak berani memastikan, Paduka Mahapatih. Kalau diperhitungkan jumlah Barisan Api, ada kemungkinan salah satu dari yang bisa lolos. Karena kalau tidak salah jumlahnya seharusnya tiga belas. Akan tetapi yang tersisa, kalau tidak keliru, baru dua belas.”
Halayudha memandang tak berkedip. Meskipun hatinya mencatat bahwa Bango Tontong mempunyai penyelidikan yang dalam dan mengetahui secara cermat.
“Akan tetapi, para korban tidak menunjukkan luka yang sama. Para prajurit jaga kaputren yang menjadi korban seperti terkena sabetan senjata tajam… yang sangat tajam. Bekas goresan dan tusukannya sangat panjang sekali. Ada yang sepanjang tubuh, dari ubun-ubun hingga ke kaki.”
“Aku mendengar laporan tentang hal itu.”
“Hamba tadinya menduga bahwa penculik dan Tuan Putri masih berada di sekitar Keraton. Bersembunyi di suatu tempat. Akan tetapi nyatanya tak ada bayangannya. Bahkan jalan menuju gua bawah tanah Keraton tertutup rapat.”
Halayudha makin sadar bahwa selama ini mata, telinga, dan hidung Bango Tontong terbuka lebar-lebar. Tentu saja Halayudha mengetahui bahwa jalan menuju gua bawah tanah Keraton tertutup. Karena ia sendiri yang memerintahkan!
“Jadi, menurut dugaanmu siapa?”
Prajurit Menghamba Satu
SENOPATI BANGO TONTONG menjawab dengan suara perlahan. “Paduka Mahapatih yang melakukan.”
“Aku?”
“Perhitungan hamba begitu. Seharusnya memang begitu.”
Wajah Halayudha sedikit pun tidak berubah. “Yang lebih penting, aku ingin mengetahui alasan dugaanmu.”
“Yang paling berkepentingan dengan dua putri calon permaisuri adalah Paduka Mahapatih. Hilang atau adanya kembali, menenggelamkan atau mengangkat nama Paduka di mata Raja. Dengan menghilangkan sebentar dan mengembalikan, Raja makin percaya kepada Mahapatih. Suatu perhitungan yang sederhana. Sama sederhananya dengan menyelusup masuk ke kaputren, dan sengaja membunuh prajurit untuk mengaburkan jejak. Tapi justru membuka petunjuk karena luka di tubuh para korban menunjukkan tusukan menyilang yang ganas. Ilmu yang hanya dimiliki oleh Paman Sepuh. Cara yang pernah Paduka tempuh ketika membunuh Toikromo.”
“Kamu cukup mengerti banyak hal, Bango Tontong.”
“Seperti juga yang menimpa Praba Raga Karana.”
Kali ini wajah Halayudha berubah dingin. Tangannya mengepal. “Apa yang kamu ketahui tentang Permaisuri Praba?”
“Ada seseorang yang membuatnya tak bisa mengutarakan apa yang terkandung dalam pikirannya. Ada yang membuntu. Seseorang itu hanya mungkin Paduka Mahapatih yang melakukan. Bagaimana caranya atau dengan cara apa, hamba tak mengetahui.”
“Kalau kamu mengetahui hal ini, kenapa tidak kamu laporkan kepada Raja?”
“Hamba harus melewati beberapa pemimpin untuk sowan Raja. Itu tidak memungkinkan. Belum tentu akan didengar, atau bahkan Paduka Mahapatih lebih dulu mengetahui dan melenyapkan hamba.”
“Kamu laporkan kepada Nambi?”
Senopati Bango Tontong mengangguk.
“Kenapa?”
“Hamba ditugaskan untuk mengamati gerak-gerik Paduka. Itulah yang hamba lakukan. Sepenuh kemampuan, sepenuh kekuatan yang bisa. Karena hamba adalah prajurit yang mengabdi kepada satu tuan. Hamba lakukan sepenuhnya.”
“Ehem, dengan kata lain kamu ingin mengatakan hanya menghamba kepadaku?”
“Kalau Paduka Mahapatih menerima.”
“Banyak persamaan di antara kita, Bango Tontong. Kamu cepat tanggap dan mengerti, bahwa kalau aku menemukan dan atau merasa kamu mempermainkan bayangan lain, aku akan memenggal kepalamu. Itu cara terbaik mengabdi kepadaku. Kuakui kamu bisa membaca situasi dan berterus terang tanpa malu-malu. Kamu mengakui busuk, buruk, culas, tapi tidak pada tuanmu. Untuk sementara aku bisa menerima.”
“Maaf, Paduka tak memiliki pilihan lain. Hamba adalah satu-satunya yang bisa diajak bicara sekarang ini. Yang lainnya merasa segan, takut, dan barangkali menutup telinga.”
“Bango Tontong, sebagai mahapatih aku tidak suka bicaramu yang kasar.”
“Hamba mohon ampun, Paduka Mahapatih.”
“Asal tidak kamu ulang. Sekarang jelaskan, kenapa aku yang menculik dua putri calon permaisuri?”
“Hamba sudah menyampaikan. Kalau bukan Paduka, harusnya Paduka.”
“Bagus juga perhitunganmu. Kalau kamu mengatakan sebelumnya, aku sudah melakukan. Tapi kalau bukan aku, siapa yang lainnya?”
“Jagat ini terlalu luas. Akan tetapi yang bisa melakukan terbatas. Penculik dua putri calon permaisuri, pastilah yang mempunyai hubungan dengan, paling tidak, Permaisuri Rajapatni.”
“Upasara Wulung?”
“Besar kemungkinannya ksatria yang gagah dan sakti itu. Akan tetapi kali ini bukan. Upasara Wulung tidak akan menculik apalagi melakukan pembantaian.”
“Gendhuk Tri juga bukan?”
“Maaf, dugaan Paduka sudah mendekati. Penculiknya pasti juga wanita. Yang merasa dekat dengan Permaisuri Rajapatni, sekaligus Upasara Wulung.”
“Nyai Demang, ilmunya tak…” Halayudha tersenyum. “Ratu Ayu Azeri Baijani?”
“Tepat dugaan Paduka. Dengan dugaan ini, rasanya masih ada kesempatan untuk memojokkan atau menarik muncul ke permukaan.”
“Apakah luka para prajurit jaga itu karena sabetan Galih Kangkam? Bisa dimengerti. Bisa dimengerti. Bango Tontong, tak perlu memancing. Aku tahu ke mana Ratu Ayu menyembunyikan mereka.”
“Desa Simping.”
“Bagus. Tidak jelek perhitunganmu. Mengapa tidak segera kamu arahkan ke sana?”
“Menunggu saat yang baik. Kalau dua putri calon permaisuri berada di Simping, untuk sementara dalam keadaan aman. Tak kurang suatu apa. Hanya soal waktu untuk bisa menemukan kembali. Akan tetapi dengan menunggu sesaat, hamba bisa melihat air mana yang berombak. Air kegembiraan mana yang bergejolak, sehingga mudah dibaca mereka ini dari kelompok yang kurang mendukung Raja.”
“Ternyata begitu banyak?”
“Benar dugaan Paduka Mahapatih. Banyak yang kurang menerima pernikahan Raja.”
“Perhitungan yang menarik. Tapi aku tak akan ambil tindakan apa-apa. Yang kurang menyukai Raja bisa menjadi bala bantuan bagiku di belakang hari. Bisa menjadi musuh di hari ini. Sekarang terlalu gampang menghancurkan mereka. Bango Tontong, siapkan prajurit. Aku sendiri akan menuju Simping.”
“Apakah Paduka akan membawa panji-panji kepatihan?”
“Aku tidak memerlukan pertimbanganmu. Di sana hanya akan kutemui Ratu Ayu, yang rasanya bisa kupersembahkan kepada Raja. Biar semua daya asmara dan kemampuan berahi menemukan kepuasannya. Saat yang baik untuk melakukan persiapan.”
“Maaf, Paduka melupakan bahwa masih ada ksatria yang tersembunyi yang bisa mendadak muncul.”
“Upasara lagi yang kamu takuti?”
“Maaf, maaf beribu ampun. Sekarang ini masih ada Kiai Sambartaka yang tak keruan di mana sarangnya. Yang masih tersembunyi dan menunggu kesempatan baik untuk melampiaskan dendam dari tanah Hindia. Masih ada pula Eyang Puspamurti yang sulit diduga arahnya. Di samping para ksatria dari Perguruan Awan yang bisa menyulitkan.”
“Apa hebatnya mereka? Aku bisa menghadapi satu demi satu.”
“Paduka bisa mengalahkan satu demi satu. Tapi akan sulit kalau mereka bersatu.”
“Perhitunganmu berlebihan, Bango Tontong. Tak ada yang bisa menjadikan alasan Kiai Sambartaka, Ratu Ayu, dan para ksatria Perguruan Awan bakal berjuang bersama.”
“Yang berlebihan bisa terjadi, Paduka lebih bisa memperhitungkan hal ini. Paduka bisa menarik keluar semuanya tanpa berada dalam bahaya. Sebab kini, tanpa terasa, Paduka dan hamba berada di tempat yang terang. Lebih banyak yang melihat ke arah kita daripada kita melihat ke arah mereka. Sehingga akan lebih sempurna jika kita melangkah ke utara, tapi mereka menduga ke selatan. Cukup dengan membawa Permaisuri Rajapatni kemari, dua putrinya akan menyertai. Paling tidak diketahui di mana berada.”
Halayudha menggigit bibirnya. Tak diduganya bahwa Bango Tontong memiliki ketajaman naluri untuk bersiasat lebih tinggi dari yang diduganya. Bango Tontong ternyata lebih julig, lebih licin, dan menyimpan kekuatan yang selama ini tak terbaca. Rasanya hampir semua peta kekuatan di Keraton dikuasai dengan baik. Semua data dan peristiwa dipegang kuat, dan menumbuhkan kekuatan untuk mengatasi. Pembantu seperti Bango Tontong bisa menjadi bahaya di belakang hari. Dan Bango Tontong agaknya juga menyadari hal ini. Sehingga Halayudha perlu setingkat lebih hati-hati.
Dalam banyak hal. Karena dugaan dan perhitungannya yang selama ini dianggap melebihi yang lain, ternyata bukan miliknya sendiri. Seorang senopati tak terdengar namanya seperti Bango Tontong bisa juga membuat perhitungan. Ini berarti permainan di atas permainan. Berpura-pura di atas kepura-puraan. Bagaimana mengendalikan seorang seperti Bango Tontong, yang perangainya aneh, tapi banyak miripnya dengan dirinya?
Pukulan Graksa, Pukulan Petit
ANEH, karena Bango Tontong mengakui dirinya hanya mengabdi pada satu tuan. Menghamba buta pada satu orang. Mengakui culas, tetapi ternyata masih menyembunyikan puluhan keculasan yang lain. Seorang yang sebenarnya menarik. Senopati yang selama ini menghamba kepada Mahapatih Nambi, dan kemudian bisa beralih total. Karena pokok pendiriannya ialah mengabdi satu orang, siapa pun orangnya!
Karena sadar kakinya buruk dan kurus tinggi, dirinya memakai nama Bango Tontong. Secara terang-terangan dan menantang, bahkan memakai pengenal para prajuritnya dengan mengenakan cawat. Yang berarti memperlihatkan seluruh bentuk kaki. Ganjil. Tapi kalimatnya bukan tak masuk akal. Itu sebabnya Halayudha menyetujui Bango Tontong menjadi utusan resmi ke Sanggar Pamujan di Simping. Untuk memanggil Permaisuri Rajapatni. Sekaligus mengetahui nasib dua putrinya.
Pendapatnya yang lain yang segera masuk ke dalam pikiran Halayudha ialah disebutnya nama Eyang Puspamurti. Tokoh sakti yang dikatakan angin-anginan ini bagi Halayudha masih tanda tanya. Posisinya bisa beralih dalam waktu sekejap. Lebih dari itu, ilmunya ternyata juga tak mudah diduga. Dengan disertai tiga muridnya, bisa-bisa di kemudian hari menjadi bencana yang merepotkan. Terutama secara pribadi! Karena merekalah yang mengetahui rahasia tubuhnya!
Halayudha tak bisa berbuat seperti Bango Tontong dengan jalan memamerkan kekurangannya! Halayudha tidak gegabah dengan mencari tahu di mana Eyang Puspamurti. Justru sebaliknya, ia memakai pendekatan gula menarik semut. Dengan cara itulah Halayudha mengumumkan bahwa Keraton saat ini sedang membutuhkan prajurit-prajurit baru. Kesempatan ini terbuka luas bagi siapa pun yang berminat, dan hari itu juga akan mendapat pangkat. Tak ada syarat berat yang mengikat, selain tidak tersangkut dengan keluarga yang pernah memberontak.
Tindakan yang diambil Halayudha juga mempunyai tujuan lain. Dengan masuknya para prajurit baru, tidak bisa tidak mereka ini masih polos dan akan mengikuti apa yang sedang berlangsung. Tanpa dibebani peristiwa masa lampau. Perhitungan Halayudha tidak meleset. Pada hari kelima, Eyang Puspamurti sendiri muncul dengan Mada Senggek, serta Kwowogen. Halayudha sudah menyiapkan agar mereka berempat diterima dan ditempatkan di suatu pondokan yang telah disediakan.
Pondokan yang terpisah dari yang lain, di mana Halayudha bisa mengetahui apa yang berlangsung tanpa mengganggu yang lain. Halayudha juga memerintahkan untuk memenuhi segala kebutuhan Eyang Puspamurti tanpa kecuali, tanpa perlu menanyakan lebih dulu dan minta persetujuan yang lainnya. Segala kebutuhan makanan, minuman, perlengkapan persenjataan diberikan tanpa batas.
“Mada, kini sudah terkabul keinginanmu menjadi prajurit. Apa lagi yang akan kamu lakukan?”
“Eyang, selama ini saya bertiga hanya menjadi prajurit yang makan enak, tidur nyenyak tanpa melakukan apa-apa. Apakah ini tidak berlebihan?”
“Saya tidak peduli dengan itu. Kalian bertiga adalah muridku. Umurku tidak panjang lagi. Sebelum aku mati, aku ingin kalian bertiga benar-benar mewarisi ilmuku. Sebab zaman telah bergerak sangat cepat. Perhatikan baik-baik. Kalian masih ingat Barisan Api?”
“Eyang sudah menceritakan selaksa kali.”
“Berarti masih kurang satu kali. Barisan Api yang hanya selintas itu membuka kemungkinan yang luar biasa. Mereka bisa melipatgandakan tenaga dalam secara luar biasa. Saya masih belum bisa memecahkan, meskipun dengan cara Upasara Wulung kita akan bisa mengalahkan. Sekarang tentang jurus Upasara Wulung. Saya yang mempelajari pukulan satu jurus, tetapi justru Upasara yang bisa memainkan.”
“Eyang…”
“Kamu harus dengar baik-baik.Umurku tak bersisa lama. Saya akan menunjukkan bahwa kalian bisa memainkan pukulan seperti yang dimainkan Upasara.”
Eyang Puspamurti menyeret ketiga muridnya. Halayudha menjilat bibirnya sendiri.
“Dalam Kidungan Pamungkas, kekuatan mahamanusia itu tak terbatas sampai titik takhta. Berarti bisa apa saja, selain menjadi raja.”
“Eyang…”
“Eyang…”
“Eyang…”
“Pada Barisan Api, semua kehendak, semua kemauan diubah menjadi tenaga. Tenaga luar. Sedemikian bersatunya mereka, sehingga tenaga selusin bisa menjadi satu tenaga. Yang berarti memindahkan kekuatan dari satu orang atau lebih kepada diri kita. Lihat baik-baik. Tangan kanan ini akan menyatukan semua tenaga yang ada dalam tubuh kita. Alirkan semua kekuatan ke ujung tangan kanan. Nah, begitu. Semua kekuatan. Semua hawa panas dalam tubuh. Semua kemauan. Semua semua. Nah, bagus. Gerakkan sesukamu.”
Dug-dug-dug.
Tiga pukulan menyerang bersamaan, meskipun Kwowogen menunjukkan kecepatan yang lebih. Halayudha mengakui bahwa murid didikan Eyang Puspamurti menghasilkan kemajuan yang pesat. Apalagi kalau diingat bahwa mereka bertiga bukan yang berawal dari tradisi persilatan. Terasa benar tenaga yang terlontar, dibandingkan ketika Halayudha bertemu mereka pertama kalinya.
“Ini bagus, tapi jelek. Itu pukulan manusia, tapi bukan mahamanusia. Itu pukulan Mada, Senggek atau siapa namamu, atau Kwo. Saya tidak memukul. Padahal tenaga itu bisa kita satukan. Tanpa kita berpegangan tangan. Tanpa ketahuan kita menempel satu sama lain. Sepenuhnya bisa terjadi dengan sendirinya. Mari kita jajal. Lupakan dirimu, juga saya. Kita akan berkumpul menyatu seperti air, seperti awan, seperti angin, seperti petir. Menjadi kuat dan bertenaga karena bersama. Karena bersatu. Petir…”
Eyang Puspamurti mengambil napas dalam. Tangan kanannya bergerak, melingkar, sebelum meninju ke depan. Bersamaan dengan gerakan ketiga muridnya.
Dug. Satu entakan keras. Menghantam dinding kayu di ujung yang bergoyang!
“Ini jurus pertama. Kita namai Pukulan Petir atau Pukulan Graksa.”
Halayudha menggaruk belakang telinganya. Cara pengajaran Eyang Puspamurti sangat sederhana. Baik kata-kata penjelasannya maupun gerakan bersama yang dilakukan. Ingatan Halayudha tak bisa lain kepada dirinya sendiri. Yang demikian sengsara dan hina sebelum memperoleh ilmu. Kalau saja dirinya dilatih oleh guru seperti Eyang Puspamurti…
Tapi yang membuat Halayudha menggaruk tengkuknya sambil menghela napas, terutama karena kemampuan Eyang Puspamurti menyatukan tenaga dalam. Keempat tenaga yang berlainan, menjadi satu pukulan. Memang hasil pertama tidak terlalu mengejutkan. Akan tetapi segera bisa terbaca dalam latihan pukulan berikutnya bisa menjadi ganas. Apalagi jika sudah dikuasai. Dengan pendekatan itu pula bukan tidak mungkin tenaga dalam yang dimiliki seluruh prajurit yang ada di sekitarnya bisa ditarik masuk. Dimainkan seperti satu orang saja. Ini yang menyebabkan tengkuk Halayudha serasa menjadi gatal tiba-tiba.
Kalau perkembangan berikutnya memakai pendekatan ini dan menunjukkan hasilnya, sebelum pergantian tahun mereka telah menjadi prajurit yang sakti. Halayudha tidak menyembunyikan kekagumannya. Tangannya bertepuk sehingga Eyang Puspamurti menoleh ke arahnya. Ketiga muridnya segera bersila dan menyembah.
“Pukulan Petir yang menyambar bumi. Hanya arahnya yang tidak jelas. Petir tidak menyambar secara ngawur, melainkan tubuh yang paling tinggi. Pukulan tadi kurang mengarah ke kepala, lebih tepat ke arah dada.”
JILID 48 | BUKU PERTAMA | JILID 50 |
---|