Senopati Pamungkas Kedua Jilid 53

Cerita silat jawa serial senopati pamungkas buku kedua jilid 53 karya Arswendo Atmowiloto
Sonny Ogawa
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 53

“Perhatikan baik-baik, Mada. Mahapatih itu menengok kemari. Wajahnya tolol, bingung, dan bertanya-tanya. Tapi wajah itu tetap saja wajah yang kotor, hina, dan berbekas. Jangan mencoba mendengarkan getarannya. Mada, apa yang kamu rasakan?”

“Tidak ada, Eyang.”

“Kwowogen, apa yang kamu rasakan?”

“Eyang, apakah betul saya melihat ksatria lelananging jagat, yang sangat gagah dan perkasa?”

Eyang Puspamurti bersila di samping Kwowogen. Kedua tangannya membuat gerakan lingkaran terbalik, yang menyatu di depan, terhenti, dan kemudian membentuk sembah. “Yang mana?”

“Yang gagah, Eyang.”

“Tidak. Kamu keliru mengikuti. Itu sudah terjadi. Bukankah yang ditemui Permaisuri Rajapatni?”

“Saya tak tahu, Eyang.”

Kwowogen terbatuk. Tubuhnya mengeluarkan keringat. Perjalanan sukma, latihan pengenalan tenaga yang merampas semua kemampuan Kwowogen. Yang membuat Halayudha mengurut rambutnya. Lagi-lagi pameran kekuatan yang lain. Kekuatan Merogoh Sukma Sejati yang bisa dimulai pada pemuda seusia Kwowogen dan Mada.

Bisa dibayangkan di kemudian hari akan menjadi tokoh yang kelewat sakti. Dan kalau pengabdiannya benar, prajurit seperti ini bisa menjadi senopati yang linuwih, yang mengungguli senopati yang terpilih sekalipun. Tergerak hati Halayudha untuk mengikuti latihan mereka, akan tetapi pikirannya masih terombang-ambing oleh peristiwa yang baru saja dialami. Yang masih menggelombang dan memantulkan gema kuat.

“Kwowogen, sudahi….”

“Eyang, apa mungkin Permaisuri Rajapatni berkulit sangat putih?”

“Cukup.”

“Dan kenapa Ksatria Upasara Wulung berubah menjadi wanita, wanita yang dulu ada di perahu, Eyang?”

Tangan Eyang Puspamurti mencekal erat pundak Kwowogen yang tergetar. Ketika tangan kanannya mengusap wajah Kwowogen, yang terusap mengeluarkan suara tertahan. Tubuhnya lemas. Terbaring di rumput. Mada bergegas mendekat.

“Perhatikan baik-baik, Mada. Jangan terlalu memaksa kalau memanggil kekuatan sukma sejati. Setiap pemaksaan hanya akan melahirkan kesesatan. Karena bertentangan dengan gerak yang lahir. Perhatikan, Mada.”

“Eyang, siapa tokoh yang dijumpai Kwowogen?”

“Upasara Wulung. Saya juga mengetahui.”

“Wanita di perahu, bukankah itu Jagattri?”

“Itu yang namanya tersesat. Tak mampu meniti jalan, sehingga melesat tanpa tujuan. Bisa ke mana-mana, tapi tak bisa kembali.”

“Kalau begitu Jagattri masih hidup, Eyang?”

“Mana saya tahu. Bisa saja sudah mati. Mada, jangan coba-coba menembus sendiri.”

Mada mengurungkan niatnya.

“Kamu suka Jagattri?”

“Ya, Eyang.”

“Ya, saya tahu. Matamu terbelalak, jakunmu bergerak waktu melihatnya. Akan tetapi perhatikan baik-baik. Jangan kamu paksa. Latihan kalian masih jauh. Padahal usia saya kurang dari separuh. Mahapatih, untuk apa kamu berdiri di situ?”

Halayudha menggerakkan tangannya. Melangkah perlahan menuju kepatihan. Masih dengan busana putih, Halayudha menuju senthong, kamar yang selama ini hanya dipakai untuk menyimpan senjata dan bersemadi. Halayudha bersila. Berusaha melepaskan tindihan pikirannya. Tapi yang kemudian dirasa adalah tubuhnya malah melemah kembali. Sehingga dengan cepat ditariknya kembali kekuatannya. Tubuhnya kini terasa sangat pegal, letih. Halayudha memejamkan mata. Mengikuti irama aturan napasnya tanpa mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya.

Panggilan Guritan
SESUNGGUHNYA apa yang dilakukan Kwowogen menimbulkan kekaguman di hati Eyang Puspamurti. Kekuatan sukma sejati yang dijajal oleh Kwowogen menunjukkan keberhasilan. Hal yang juga dilihat oleh Halayudha. Yang masih belum bisa dikendalikan adalah penguasaan dengan mengendarai kekuatan itu. Itu yang terjadi ketika Kwowogen berusaha berlatih, yang membersit adalah bayangan tubuh Upasara Wulung dan Permaisuri Rajapatni.

Eyang Puspamurti yang mencoba mengikuti lesatan sukma Kwowogen, bisa merunut dan melihat bahwa pertemuan itu sebenarnya sudah berlalu. Ketika Kwowogen mengalihkan kepada hal lain, yang menyeruak adalah bayangan tubuh Jagattri, atau Gendhuk Tri. Hanya karena kemampuan tenaganya masih terbatas, Kwowogen kemudian menggelepar.

Bagi Eyang Puspamurti itu satu loncatan besar. Kwowogen lebih mudah mengerahkan tenaga dan kekuatan sukma sejati dibandingkan Mada. Tubuhnya lebih terbuka, dan pemanggilan tenaga sukma sejati lebih mengalir. Kalau sekarang seperti kehabisan tenaga, itu hanya soal waktu untuk memulihkan kembali. Dan berlatih kembali, dengan cara yang lebih baik.

Sesungguhnya, kalau saja Kwowogen bisa mengetahui apa yang terjadi dalam pengembaraan sukmanya, kejadian yang menimpa dirinya akan lain. Karena Upasara Wulung memang bertemu dengan Permaisuri Rajapatni. Dugaan yang dilemparkan oleh Bango Tontong serta Jabung Krewes sangat tepat. Yang berbeda hanyalah tempat pertemuan. Bukan di Sanggar Pamujan Simping, melainkan di luar dinding Keraton!

Sesuatu yang tak diduga Upasara Wulung sendiri. Ketika ia kembali ke wilayah Keraton dan mendengar rencana pernikahan Raja dengan Putri Tunggadewi serta Rajadewi sekaligus, hati Upasara memberontak. Upasara tak akan membiarkan hal itu terjadi.

Hanya saja sekali ini ia tidak akan bertindak. Banyak pertimbangan yang menahan Upasara Wulung untuk langsung menuju ke dalam Keraton dan menggagalkan rencana. Tindakan itu terlalu memancing keributan, yang rasanya sekarang ini kurang cocok dilakukan.

Bagi Upasara yang lebih penting adalah melakukan apa yang dianggap baik, tanpa menimbulkan keonaran. Makin tidak diketahui orang, rasanya makin baik. Yang lebih utama adalah keberhasilan mencapai tujuan, bukan memamerkan kegagahan.

Kadang Upasara merasa tindakannya yang hati-hati ini karena perkembangan usia yang memaksanya untuk membuat perhitungan dari pelbagai segi. Yang sangat mendesak adalah jangan sampai Raja menjadi murka, yang bisa berakibat luas. Yang akan mengubah persoalan pernikahan menjadi persoalan Keraton, antara masalah satu-dua orang menjadi masalah seluruh masyarakat luas yang justru akan menderita karenanya.

Dalam mencari jalan keluar yang tepat, Upasara Wulung sengaja “mengikuti gerak mata dan langkah kaki”. Artinya berjalan mengikuti mata dan kaki. Berbelok ke kanan atau ke kiri, masuk ke pasar atau melewati alun-alun. Hingga akhirnya sampai di bagian luar benteng. Berdiri di bawah tembok luar. Kakinya membawa ke tempat itu tanpa disadari.

“Aku tahu, Adimas Upasara akan datang kemari.”

Upasara merasa sedikit heran. Selama perjalanan ini ia merasa menyamar, dan melindungi kepalanya dengan caping yang lebar. Yang menenggelamkan seluruh kepalanya. Hingga tak akan mudah dikenali. Makanya Upasara heran ketika ada yang mengenali. Lebih heran lagi karena suara itu sangat lembut, indah, dan seperti menimbulkan gema yang dikenal. Sewaktu Upasara menoleh, rasa herannya bertambah.

“Mbakyu Ayu…” Suara Upasara menunjukkan rasa heran dan rasa hormat yang tinggi. Betapa tidak heran kalau mengetahui bahwa yang datang mendekat padanya adalah Permaisuri Tribhuana!

Selama ini Upasara merasa kikuk terhadap Permaisuri Tribhuana. Apalagi setelah pertemuan dengan Permaisuri Rajapatni di kapustakan, dan kemudian dibawa ke dalam kameswaren, tempat para permaisuri. Betapa tidak kikuk, karena sesungguhnya dalam hatinya Upasara sangat menghormati Permaisuri Tribhuana, tetapi juga menyadari bahwa selama ini dirinya merepotkan hati Permaisuri Tribhuana.

Merepotkan karena Permaisuri Tribhuana adalah kakak kandung Permaisuri Rajapatni, yang sama-sama mengabdi kepada Baginda bersama dua saudara perempuan yang lainnya. Pengabdian yang total, yang utuh kepada suami, kepada Baginda. Akan tetapi pada saat yang sama, Permaisuri Tribhuana juga memberi kelonggaran pertemuan Permaisuri Rajapatni dengan dirinya. Upasara menjadi makin kikuk dan merasa serbasalah.

“Aku tahu suatu hari Adimas Upasara akan berada di bawah benteng ini. Akan mendongak ke atas, mencari guritan di ujung benteng itu.”

Ah! Guritan asmara. Puisi asmara. Benarkah hatinya tergetar dan tertarik oleh guritan di benteng? Ah! Kalau tidak, kenapa kakinya melangkah menuju benteng? Dan berdiri lebih lama dari biasanya? Hmm, ho!

Upasara tak bisa menguasai dadanya yang bergolak. Guritan asmara yang disebutkan Permaisuri Tribhuana menoreh dan membukakan pengalaman manis. Sangat manis dan menyenangkan, menghangatkan perasaannya kala mengenang.

Kala itu Keraton Singasari dikuasai Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang. Benteng mendapat pengawasan yang luar biasa ketatnya. Apalagi di saat itu Ugrawe berada dalam puncak kejayaannya yang memegang komando keamanan sepenuhnya.

Di luar perhitungan siapa pun, di dinding luar benteng utama tergores guritan, atau puisi yang ditulis secara terbalik. Pemahat guritan itu seperti melayang dari langit, dengan kepala menghadap ke bawah, untuk menuliskan di dinding yang keras. Guritan itu sendiri tak akan terbaca dari bawah.

Akan tetapi bisa jelas kalau dibaca dalam air yang menggenang di tanah. Bayangan terbalik itu memudahkan untuk dibaca, sehingga banyak penduduk yang berkumpul untuk mengetahui apa yang terjadi.

Di lautan asmara
gelombang rindu menyapu
pada batu karang kesetiaan
tersisa pasir penantian
di pantai kemesraan

membadai kenangan
menjilati bersama pasang laut
mencumbu lumut berahi
meniti buih
saat purnama

kau tiba
karena begitulah
aku garam putih
tak mungkin pisah
dari laut birumu…


Guritan itu tidak luar biasa. Susunan dan pilihan kata-kata yang digunakan sangat pendek, sedikit liar dalam menggambarkan kerinduan, asmara, serta berahi.

Akan tetapi guritan ini serentak menjadi sangat kondang, sangat terkenal. Beberapa pemuda berusaha mengidungkan, dengan bersungguh-sungguh atau setengah main-main. Beberapa istri cemberut dan bangkit kecemburuannya bila suaminya menembangkan.

Guritan yang membuka banyak persoalan. Karena dari sisi keamanan Keraton dianggap satu penghinaan dan sekaligus tantangan. Bahwa ketenteraman dan keamanan yang dikumandangkan ternyata omong kosong. Apalagi ketika pintu gerbang, pintu Keraton, dinding, dan bahkan binatang kesayangan Raja dicoreti dengan guritan itu, sebaris atau dua baris.

Yang kemudian banyak dibicarakan adalah bahwa pahatan itu dibuat oleh Upasara untuk Permaisuri Rajapatni, yang ketika masih bernama Gayatri pernah diselamatkan Upasara di benteng tersebut. Ketika terjadi pertarungan mati-hidup, di mana sebelumnya Upasara Wulung diangkat sebagai senopati pamungkas, senopati terakhir yang menyelesaikan, dalam pertarungan yang disaksikan seluruh prajurit.

Upasara Wulung menjadi perhatian utama. Karena dia merupakan ksatria di luar jajaran para prajurit setia Raden Sanggrama Wijaya, yang diangkat sebagai senopati. Di samping itu, kisah kasih antara Upasara Wulung dengan Gayatri sudah banyak didengar.

Apalagi ketika kemudian secara resmi Gayatri dipersunting Baginda menjadi Permaisuri Rajapatni, dongengan asmara yang berkembang lebih berwarna-warni. Lebih banyak kembangan, yang dikembangkan oleh masing-masing pencerita.

Pamitan Asmara
KISAH kasih, daya asmara Upasara-Gayatri makin kental dan menjadi dongengan utama para orangtua kepada anak gadis dan anak lelakinya. Bahwa yang terkembang adalah yang serba manis dan sesuai dengan keinginan pencerita: Upasara adalah contoh ksatria sejati, yang buah hatinya pun rela dipersembahkan kepada Baginda, tak bisa dilacak mana yang lebih tepat.

Di satu pihak Upasara Wulung menjadi gambaran mulia seorang prajurit, senopati yang berbakti lahir-batin, jiwa-raga, kepada Keraton. Di lain pihak juga bisa menjadi gambaran bahwa sesungguhnya daya asmara yang sejati tak pernah mati. Betapapun terpisahnya raga Upasara dengan Gayatri, akan tetapi sesungguhnya daya asmara mereka kekal abadi.

Yang terakhir ini menjadi dongengan yang lebih langgeng. Bisa jadi karena dalam masalah asmara ini banyak yang merasa menemukan gambaran mulia dari daya asmaranya sendiri yang sejati.

“Adimas Upasara…”

Upasara masih melamun. Guritan asmara yang disebutkan tadi sebenarnya terpahat di dinding Keraton Singasari. Dan sekarang berada di benteng Keraton Majapahit. Walau bentuk dan susunannya dibuat sangat mirip, akan tetapi tetap berbeda. Toh itu yang membuatnya berdiri agak lama. Toh itu juga yang membuat Permaisuri Tribhuana menunggu, entah sudah berapa lama.

Apa sebenarnya kenangan itu? Kenapa menjadi begitu bermakna? Dinding benteng pun bisa menjadi idiom dan simbol yang berbicara mengenai daya asmara.

“Adimas Upasara…”

“Maaf, Mbakyu Ayu Permaisuri…”

“Mari kita menuju ke tempat yang lebih tenang, tidak menjadi pusat tontonan.”

“Maaf…” Upasara mengikuti langkah Permaisuri Tribhuana, menuju ke dalam gerobak pedati. Yang segera bergerak perlahan, seirama dengan langkah dua ekor sapi putih.

Pedati. Pedati ini pun bisa membuka kenangan Upasara pada seorang kusir yang sederhana. Seorang yang dipanggil Pak Toikromo. Sebuah nama yang tidak mengandung makna apa-apa. Bahkan tidak akan pernah berarti apa-apa bagi siapa pun, selain bagi Upasara.

Ketulusan Pak Toikromo untuk mengangkat Upasara sebagai menantu, tanpa mengetahui siapa sesungguhnya Upasara yang saat itu tengah terlibat dalam rencana pertarungan besar. Kenangan itu menyenangkan, menggetarkan. Akan tetapi hanya sekilas. Berbeda dengan guritan yang terpahat!

“Adimas Upasara Wulung. Aku sengaja menemui Adimas. Ini semua adalah keinginanku sendiri, dosa-dosaku. Dewa mengetahui dan mencatat ini dosa yang akan kutanggung sendiri.”

Permaisuri Tribhuana dikenal memiliki pengalaman yang paling luas, paling mengetahui seluk-beluk Keraton, dan mampu bertutur kata secara mengagumkan. Akan tetapi sekali ini terdengar agak tersendat.

“Adimas Upasara Wulung. Jagat telah berubah. Sang surya masih terbit dari timur dan tenggelam di barat. Sang purnama masih bersisa, kadang bersinar purnama. Jagat telah berubah. Tanpa terasa. Aku terlambat menyadari perubahan, terlambat menangkap suara alam. Adimas. Sejak meninggalkan Keraton menuju desa pamujan di Simping, sejak itu sesungguhnya panggilan Dewa sudah sangat jelas memberi isyarat. Tetapi kami buta. Tetapi kami tuli. Kecuali Baginda, semuanya tidak mendengar apa-apa, selain menerima sebagai kepindahan tempat. Saat itu sesungguhnya Baginda telah menyatu dengan Dewa Yang Maha Pencipta. Adimas. Kini panggilan itu kami dengar.”

Upasara berdiam. Tepekur.

“Adimas, kami berdua, aku dan adikku, ingin pamitan dengan Adimas Upasara. Pamit mungkur ing kadonyan, menjauhkan diri dari keduniawian dalam arti yang sesungguhnya. Betapapun tidak mungkinnya, kami akan mengikuti tapak kaki Baginda. Adimas Upasara Wulung. Itu sebabnya aku menemuimu. Aku akan memintamu, memohonmu, merelakan semuanya.”

Geraham Upasara beradu. Tangannya kaku. Pandangannya beku.

Permaisuri Tribhuana menghela napas. Dalam sekali. “Aku selalu mengatakan kepada adik-adikku agar tidak terbiasa menghela napas. Itu seperti penyesalan. Tapi aku melakukan kali ini. Untuk yang terakhir kali. Adimas. Mudah-mudahan Adimas menerimanya.”

Upasara mendongak. Pandangannya bersorot tajam. “Mbakyu Ayu, apa kesalahan hamba selama ini?”

“Tidak ada,” jawab Permaisuri Tribhuana cepat sekali. “Adimas tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tidak berbuat yang bisa dikenai hukuman karena melanggar tata krama kasusilan, kesusilaan. Tidak, sama sekali tidak. Adimas jangan salah mengerti. Aku sengaja datang, sengaja menunggu di bawah benteng penjagaan, karena aku masih merasakan ada getaran yang masih menemukan gemanya dalam hati Adimas. Aku merasa getar itu juga bergema dalam hati adikku, Permaisuri Rajapatni. Adimas. Selama ini tak sepatah kata pun namamu disebutkan. Tak sekelebat bayangan pun terbaca. Tidak sama sekali. Bahkan jauh dari itu. Akan tetapi sesungguhnya masih ada setitik debu dibagi sepuluh ribu yang masih membara. Masih meletik. Baik dalam diri Adimas. Maupun dalam diri adikku, Yayi Ayu. Itu yang kuminta, kumohon pada Adimas. Sebab kami berdua ingin mengikuti tapak kaki Baginda. Kami akan bertapa, kami akan melakukan perjalanan batin, menyatu kepada Dewa Yang Mahakuasa. Lapangkanlah perjalanan Yayi Ayu. Lepaskan yang memberati. Lupakan dari dasar hati. Adimas. Aku tahu ini sangat berat. Rasanya hampir tak mungkin. Karena puluhan tahun telah berlalu, tapi gema guritan itu yang sebenarnya tak ada hubungan apa-apa, masih bisa menggetarkan. Aku tahu ini mustahil. Tapi kerelaan adalah pemberian, pengorbanan yang pasrah, tulus, sedalam-dalamnya. Hanya dengan kerelaan dari Adimas, aku percaya adikku Yayi Ayu akan mencapai tujuannya yang mulia.”

Upasara menegakkan punggungnya. Matanya masih tajam.

“Adimas Upasara Wulung. Kalau aku mengatakan tujuan yang mulia, tidak berarti yang sekarang ini tidak mulia. Sekarang, masa lalu, tidak ada cacat celanya. Akan tetapi jagat berubah. Panggilan Dewa yang bisa keliru tak bisa salah. Hanya kerelaan Adimas yang akan menyempurnakan tapa brata adikku Yayi Ayu”

“Maaf…”

“Aku tahu, ini hal yang berat. Sangat berat. Karena justru kenangan, sisa yang masih ada tanpa bekas, harus Adimas relakan. Aku tahu, Adimas merasa terampas seutuhnya. Tetapi aku tidak melihat jalan lain. Akan merasa sangat sayang, kalau dalam melakukan tapa brata, dalam bertapa, nantinya Yayi Ayu tidak bisa menemukan kesempurnaan, karena masih ada yang diberati. Walau itu hanya setitik debu dibagi selaksa. Adimas bisa mengerti?”

Upasara tidak menjawab.

“Adimas mau mengabulkan keinginanku?”

Upasara memalingkan wajahnya.

“Adimas. Aku datang untuk pamit. Untuk memamitkan adikku Yayi Ayu. Juga meminta Adimas untuk pamit. Segala kebaikan, ketulusan, dan kerelaan Adimas…”

Upasara menelan ludahnya. “Maaf…”

Lila Legawa
SUARA Upasara menjadi keras. Satu kata, maaf, yang diucapkan terdengar bagai sebongkah batu yang dijatuhkan di atas papan kayu.

Permaisuri Tribhuana menindas dengan suara yang lembut, emosi yang terjaga. “Adimas. Aku tak ingin mengulang cerita lama. Akulah permaisuri utama Baginda, yang menyerahkan takhta keturunan kepada Permaisuri Indreswari. Aku yang mengangkat anak Bagus Kala Gemet, sehingga semua jalannya menuju takhta tak terganjal kerikil kecil. Aku permaisuri utama Baginda. Sampai saat ini masih Permaisuri Utama Baginda. Adimas, kalau aku menemui Adimas, menyempatkan diri, keraya-raya, memaksakan diri menemui Adimas, karena aku menghormati Adimas, karena aku rela melepaskan semua keunggulanku sebagai permaisuri utama. Adimas, kalau aku meminta Adimas, aku telah menjadikan diriku sebagai peminta-minta, sebagai pengemis yang menengadahkan tangannya meminta belas kasihan. Semua kulakukan demi Keraton. Demi Baginda. Demi Raja. Demi penduduk Majapahit. Bukan demi aku pribadi. Adimas Upasara Wulung. Adimas telah memberikan yang terbaik dan terbesar untuk Keraton, untuk Baginda, yang tidak bisa dilakukan yang lain. Segalanya serba sempurna dan serba luar biasa. Apalagi jika…”

“Maaf…”

Dalam soal bertutur kata, Upasara Wulung bukan tandingan Permaisuri Tribhuana. Seujung kuku pun Upasara tak bisa menyamai. Dalam percakapan seperti yang dilakukan mereka berdua ini, Upasara tak mempunyai peluang untuk mengutarakan pendapatnya. Akan tetapi sekali ini berbeda. Bukan karena keunggulan bertutur kata. Juga bukan karena keberanian menghentikan kalimat Permaisuri Tribhuana yang lembut dan berirama. Melainkan karena desakan yang memukul-mukul debaran jantungnya.

“Hamba selalu kurang dalam tata krama. Perkenankan hamba menyampaikan, bahwa selama ini hamba tidak pernah mengganggu, tidak pernah berusaha mendekati Permaisuri Rajapatni Yang Mulia. Sejak perebutan benteng Singasari dalam perang besar, yang disambung pertarungan dengan pasukan Tartar, hamba berusaha tahu diri. Berusaha melihat diri hamba yang tak ada apa-apanya dibandingkan kebesaran Permaisuri…”

“Adimas…”

“Saat itu…” Upasara menyambung dengan suara meninggi. “Hamba lebih suka berada di Perguruan Awan. Meninggalkan kegiatan Keraton, ingkar sebagai ksatria. Akan tetapi, bukankah Baginda sendiri yang kemudian mengutus Permaisuri Rajapatni? Akan tetapi, bukankah Permaisuri Tribhuana sebagai mahalalila, yang berpandangan luas, pandai, dan bijaksana, menyetujui atau memberi pertimbangan kepada Baginda? Akan tetapi, bukankah Permaisuri Tribhuana yang menerima hamba dan merestui pemberian pakaian kebesaran busana kanendran yang dirajut Permaisuri Rajapatni?”

“Itu semua benar, Adimas…”

“Bukankah sekarang Permaisuri Tribhuana yang datang untuk mencabut semua itu?”

“Adimas…”

“Maaf…”

“Adimas, aku ingin menyampaikan sesuatu sebelum nanti giliranmu. Adimas Upasara Wulung. Apa yang Adimas katakan benar. Bahkan Baginda juga memberikan restunya ketika Yayi berusaha mengajak Adimas ke Keraton dan menawarkan jabatan mahapatih. Semua benar. Adimas tidak salah sedikit pun.”

“Maaf…”

“Dan tidak menyalahkan siapa pun. Aku merasa hina, malu, dan tak berharga di depan Adimas. Akan tetapi… Adimas, Adimas… Jagat sudah berubah. Tujuan dan arah kehidupan sudah beralih. Adalah sangat meniadakan perasaan yang suci, yang murni, kalau aku mengatakan apa artinya melupakan rasa yang ada, setelah Adimas memberikan semuanya kepada Keraton? Tidak, aku tidak mengetahui sedalam-dalamnya kemurnian kasih sayang, letikan daya asmara yang sejati. Yang aku minta Adimas bisa bersikap lila legawa, lahir-batin rela, ikhlas, demi wanita yang mengasihi dan dikasihi, untuk mencapai kesempurnaan yang kekal abadi. Adimas. Adimas Upasara Wulung. Kepada siapa aku meminta kalau tidak kepada Adimas? Dari siapa aku diberi kalau tidak dari keluhuran jiwa Adimas? Apakah di jagat ini ada yang bisa dimintai pertolongan seperti ini selain Adimas Upasara Wulung? Tidak juga Dewa, tanpa kerelaan Adimas.”

Suaranya gemetar. Menggeletar. Samar tertimpa bunyi roda pedati. Mata Upasara panas. Lubang hidungnya menjadi pedih. Tanpa terasa jiwanya terseret oleh kalimat-kalimat Permaisuri Tribhuana, dan tercipta dalam suasana yang dimaksudkan pembicara. Permaisuri Tribhuana memilih istilah lila legawa dan bukannya rila legawa. Arti harfiahnya tak jauh berbeda. Apalagi dalam pengucapan seolah satu arti yang sama.

Kata terakhir berarti kerelaan seorang yang murah hati. Yang memberikan sesuatu yang sangat dibutuhkan dengan kerelaan dermawan. Sedangkan lila bisa berarti indah, memesona, tenang, permai, menyenangkan, membahagiakan. Berarti kerelaan itu sesuatu yang indah, yang membahagiakan. Bagi yang diberi. Maupun yang memberi. Ketulusan yang indah ketika memberikan!

Dalam tutur kata semacam ini, Permaisuri Tribhuana tak akan meleset sedikit pun. Baik pilihan kata, cara pengucapan, maupun tarikan napas untuk berhenti sejenak. Pertanyaan seperti “kepada siapa lagi kalau bukan kepada Upasara” membuat Upasara tak bisa menghindar lagi. Apalagi dalam hal ini Upasara memang satu-satunya pelaku. Tidak ada yang lain. Tidak juga Dewa.

Tidak juga Dewa, kalau Upasara tidak rela melepaskan Permaisuri Rajapatni dari getaran hatinya yang paling tersembunyi. Untuk melepaskan secara ikhlas. Permaisuri Tribhuana termenung. Menunggu. Memberi kesempatan Upasara menenteramkan pergolakan batinnya. Agak lama.

“Adimas…” Suaranya lembut, menggantung. “Aku tak berhak meminta apa-apa dari Adimas. Aku hanya ingin menyampaikan hal ini kepada Adimas. Selebihnya, aku tak tahu harus berterima kasih seperti apa, dan meminta maaf secara bagaimana. Maaf, Adimas, aku tak mampu menatap Adimas lebih lama.”

Tangan Upasara masih terkepal.

“Adimas, aku minta pamit.”

Upasara masih terdiam. Baru kemudian sadar bahwa dirinya harus melangkah keluar dari pedati. Dengan hormat, Upasara menyembah ke arah Permaisuri Tribhuana. “Maafkan semua kekasaran hamba, Permaisuri Tribhuana…”

“Dewa Maha Mengetahui, Adimas.”

“Hamba mohon…”

Ada dua pilihan kata yang bisa diucapkan Upasara, yaitu pamit dan mohon diri. Pamit, bisa diartikan secara keseluruhan Upasara menyanggupi permintaan. Mohon diri lebih berkesan ia meminta diri, tanpa berarti adanya ikatan memenuhi permintaan Permaisuri Tribhuana. Tapi kata yang dipilih tak terdengar.

Karena saat itu Permaisuri Tribhuana menubruk, merangkul Upasara. Dengan kasih seorang kakak, seorang yang mengucapkan kebahagiaan dan rasa terima kasih yang mendalam. Tinggal Upasara sendiri. Termangu di pinggir jalan, seolah masih berada dalam mimpi. Serasa berada di antara awan. Batinnya merintih, bertarung tanpa menindih, perih tanpa duka. Tawar tanpa rasa. Luka tanpa warna.

Asmara Pamungkas
UPASARA mengalami berulang kali kekecewaan asmara. Hubungannya dengan Permaisuri Rajapatni mengalami hilang dan bersemi lagi. Sejak pertama mengenalnya. Akan tetapi sekali ini menyengat kesadarannya dan membantingnya pada kesadaran yang pahit.

Ketika Upasara melepaskan daya asmara dan Gayatri menjadi permaisuri, Upasara merasa masih memiliki sesuatu yang utuh, terjaga sempurna dalam dirinya. Sesuatu yang menemukan gemanya ketika Permaisuri Rajapatni mengirimkan cundhuk mentul. Tapi sebenarnya tanpa itu pun, Upasara merasa hubungan itu tetap ada.

Daya asmara yang dikatakan Permaisuri Tribhuana sebesar setitik debu dibagi selaksa masih tersisa. Masih tetap bermakna. Tidak juga berkurang atau bergeser, meskipun secara resmi Upasara menjadi Raja Turkana mendampingi Ratu Ayu Bawah Langit Azeri Baijani.

Walau separuh dari usianya Upasara hanya bertemu, kadang saling melihat saja, beberapa kali saja dengan Permaisuri Rajapatni, itu tak mengurangi rasa yang bersemayam, yang masih menyemangati dan membuatnya tersenyum mesra dalam mimpi. Justru sisa yang tak seberapa itu yang diminta oleh Permaisuri Tribhuana untuk direlakan. Untuk diikhlaskan.

Kalau bukan Permaisuri Tribhuana, Upasara segera menentukan sikap. Tapi Permaisuri Tribhuana membuatnya ragu. Karena niatan itu tidak mengandung maksud jahat. Tidak ada untungnya Permaisuri Tribhuana melakukan pelepasan sisa asmara yang terakhir. Bahkan sebaliknya.

Tujuannya agar Permaisuri Rajapatni bisa mencapai kesempurnaan dalam bertapa, melepaskan segala keduniawian. Tak ada lagi yang nggondeli, tak ada yang memberati. Kalau saja Permaisuri Rajapatni sendiri yang meminta! Tidak, itu tak akan terjadi. Itu yang sedikit menghibur tapi juga menyakitkan.

Menghibur, karena Upasara menjadi tambah yakin bahwa sesungguhnya gema asmara yang bagaimanapun tipisnya masih mempunyai hubungan. Bahwa Permaisuri Tribhuana sampai turun tangan sendiri menemuinya, menandakan bahwa ia masih melihat kekuatan itu dari sanubari adiknya.

Menyakitkan, karena Upasara tidak menemukan jawaban yang menenteramkan: Apakah harus merelakan asmara pungkasan yang dimiliki, atau menahan sebagai sisa terakhir yang bisa disimpan.

Ketertegunan inilah yang sebenarnya membuat Kwowogen tidak mampu menembus sikap yang sesungguhnya. Pada tingkat Dewa Maut, barangkali bukan sesuatu yang luar biasa untuk bisa menggerakkan terus kekuatan sukma sejati. Atau Eyang Puspamurti.

Akan tetapi Eyang Puspamurti tidak merunut lebih jauh, bahkan sebaliknya mencoba mengembalikan Kwowogen ketika mendadak berbalik “menangkap” bayangan Jagattri dengan wanita berkulit putih.

Saat itu Gendhuk Tri memang bersama Putri Koreyea. Mereka sebenarnya belum berjalan terlalu jauh. Rakit yang mereka tumpangi tidak bisa dikendalikan dengan baik. Beberapa kali berputar-putar, menepi, kembali ke tengah. Akan tetapi justru inilah yang menyelamatkan keduanya dari pencarian Upasara dan Pangeran Hiang.

Keduanya berada di pantai sebelah Lodaya, ketika Pangeran Hiang sudah melalui daerah itu. Putri Koreyea tampak sangat lelah, sehingga ia berlindung di bawah pohon sambil menyeka keringat yang mengalir di lehernya.

“Adik Tri, terima kasih untuk semuanya.”

Gendhuk Tri mengangguk ringan.

“Saya tak akan merepotkan lebih jauh. Kita berpisah di sini, dan sekali lagi terima kasih untuk semuanya. Saya tak akan pernah melupakan.”

“Putri ingin meneruskan perjalanan sendiri? Dengan pakaian seperti mengundang keringat ini? Putri, masih ada perjalanan yang kita lakukan sama-sama, sebelum kita berpisah.”

“Adik Tri, kenapa hatimu begitu baik?”

“Karena semua orang di tanah Jawa ini baik hatinya.”

Putri Koreyea tersenyum. Sekejap kemudian berubah menjadi redup. “Silakan berjalan, Adik Tri. Saya tidak mempunyai harapan lagi. Penyakit yang saya derita tak akan pernah bisa disembuhkan. Ini kutukan Dewa yang pantas saya derita. Kasihan Pangeran Hiang.”

Gendhuk Tri menjauh. “Saya tidak akan memaksa Putri. Tetapi kalau saya menjadi Putri, saya akan berusaha sampai titik yang terakhir. Ini nasihat yang kuno dan paling mudah diucapkan. Akan tetapi apa salahnya kalau ternyata masih mempunyai arti.”

Sampai sore hari, Putri Koreyea berada di bawah pohon. Untuk kemudian dibimbing Gendhuk Tri masuk ke pedesaan, dan mencari tempat bermalam. Kedatangan mereka berdua serta-merta menarik perhatian penduduk. Akan tetapi kemudian cukup bisa merahasiakan untuk tidak menceritakan kepada yang lain. Ketika Gendhuk Tri menyodorkan kain, Putri Koreyea menggeleng.

“Saya ingin mati dengan pakaian negeri kami.”

“Baiklah, kalau nanti Putri merasa mau mati, pakai kembali pakaian bersulam itu. Sekarang rasanya masih ada harapan.”

Secara singkat Gendhuk Tri menceritakan bahwa ia baru mendengar akan adanya pesta besar di Keraton. Pesta yang merayakan kesembuhan Permaisuri Praba Raga Karana. Gendhuk Tri menceritakan bahwa Permaisuri Praba menurut cerita menderita penyakit yang kurang-lebih sama dengan Putri Koreyea. Bahkan mungkin lebih lagi, karena sebelumnya tak bisa bergerak. Bahkan tidak mampu menutupkan kelopak mata. Sambutan Putri Koreyea dingin sekali.

“Tak ada gunanya. Adik Tri, saya tahu bahwa satu atau dua hari lagi saya akan meninggal. Tak ada gunanya.”

“Bagaimana Putri bisa begitu yakin? Apakah Putri menganggap tabib di sini sedemikian tololnya?”

Wajah Putri Koreyea tidak berubah. Tetap dingin. “Adik Tri, saya tak akan pernah bisa bercerita. Penyakit yang saya derita sangat melumpuhkan dan sudah menghancurkan tubuh saya. Sebagai wanita saya tak bisa menceritakan kenapa sebabnya. Saya melarikan diri dari Pangeran Sang Hiang, karena saya tak ingin Pangeran Sang Hiang menderita penyakit yang sama.”

Gendhuk Tri mundur dua tindak. Hingga ke pintu gubuk.

“Adik Tri tak perlu kuatir. Penyakit ini tak akan menular kepada Adik Tri, selama kita tidak melakukan daya asmara.”

Leher Gendhuk Tri benar-benar terasa tercekik. Baru sekarang dimengerti betapa berat beban yang harus disandang Putri Koreyea. Karena sebab yang bagi Gendhuk Tri belum jelas, Putri Koreyea menderita kelumpuhan yang bisa menular kepada siapa saja yang melakukan daya asmara dengannya. Itu sebabnya Putri Koreyea menyingkir dari Pangeran Hiang. Hanya ini satu-satunya jalan, kalau ingin menyelamatkan Pangeran Hiang dari malapetaka yang tanpa harapan.

Secara samar Gendhuk Tri menebak-nebak sendiri bahwa Putri Koreyea mengetahui asal-usul penyakit yang dideritanya. Akan tetapi sebagai wanita, hatinya tak sampai untuk menceritakan. Gendhuk Tri harus mengambil kesimpulan sendiri. Gendhuk Tri melangkah maju. Duduk di dipan bambu yang sama. Sorot matanya akrab, penuh pengertian.

“Maaf, Putri…”

“Sudahlah, Adik Tri. Kita tak usah membicarakan itu lagi. Untuk mengurangi ingatan yang kurang baik. Saya sendiri selalu mengutuk dan tidak akan pernah memaafkan, tetapi semua tak ada gunanya. Lupakanlah, Adik Tri.”

“Baik. Kalau Putri Koreyea masih ingin berdiam di sini, saya tak bisa menemani. Tetapi rasanya penduduk di sini akan merasa senang melayani.”

JILID 52BUKU PERTAMAJILID 54
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.