Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 58
Gemuka adalah Gemuka yang lebih mengenal kekerasan padang pasir, lahir di antara barisan yang berperang. Hubungannya dengan Pangeran Hiang sangat dekat. Boleh dikatakan satu perasaan dan satu pikiran. Akan tetapi Gemuka tetap bisa berbeda kesimpulan.
Terutama untuk pertama kalinya secara terbuka, adalah mengenai pendudukan tanah Jawa. Gemuka merasa bahwa jalan yang ditempuh Pangeran Hiang terlalu berbahaya. Justru karena berusaha menaklukkan dengan kekuatan kekerasan. Gemuka sedikit pun tak menyangsikan kekuatan Barisan Api serta kehebatan Pangeran Hiang ataupun kelengkapan perahu Siung Naga Bermahkota. Tapi ia juga punya perhitungan lain.
Yang lebih jelas. Yaitu gagalnya tiga utusan utama, yang dilengkapi puluhan perahu dengan persenjataan yang lengkap. Demikian juga kedatangan pendeta resmi Raja Segala Naga yang tak ada kabar beritanya. Ini yang membuatnya tujuh kali lebih waspada.
Terutama karena banyak kemungkinan yang tak terduga, yang menyebabkan seluruh kemenangan berubah menjadi kekalahan. Rombongan Pangeran Hiang yang perahunya bisa ditenggelamkan, hancurnya Barisan Api yang selama ini belum pernah terpatahkan di Jepun maupun Koreyea, semua adalah bukti-bukti yang membuatnya menahan diri untuk meraih kemenangan.
Sebenarnya dengan menyusup ke dalam Keraton dan berduaan dengan Raja, Gemuka sudah berhasil. Sudah bisa mengibarkan bendera kemenangan. Akan tetapi hati kecil Gemuka mengatakan bahwa kemenangan itu tak akan berarti banyak. Bukan kemenangan seperti yang diraih prajurit Tartar menundukkan seluruh jagat.
Karena dengan dibawanya Raja, tidak berarti tanah Jawa dengan sendirinya tunduk, dan setiap tahun kemudian akan menyerahkan upeti sebagai tanda pengakuan adanya kekuasaan yang lebih tinggi. Raja yang menggantikan bisa menantang perang dan menyerbu sampai Tartar. Atau paling tidak raja-raja di tempat lain akan lebih mengakui kekuasaan keraton ini.
Itu yang menahannya berbuat seketika. Karena Gemuka ingin mereguk kemenangan dalam arti yang sebenarnya. Kalaupun ia kembali ke Tartar dengan membawa tawanan seorang raja, itu benar-benar dalam arti segalanya. Nyatanya tidak begitu mudah. Nyatanya baru selangkah saja sudah terpatahkan. Ternyata Permaisuri Praba mengetahui apa yang direncanakannya bersama Raja.
Bisa dimengerti kalau Raja mencurigainya. Bisa dimengerti kalau Gemuka mencurigai Raja. Dalam pengertian Gemuka, tanah yang liat dan kuat ini mulai memperlihatkan keperkasaannya. Inilah kekuatan yang tak terduga, yang diperhitungkan, akan tetapi tetap saja meleset. Alasan Gemuka semakin kuat untuk mengumpulkan semua tokoh yang ada, dan ia akan memperlihatkan keunggulannya menaklukkan semuanya tanpa kecuali.
Memang ada keraguan yang menyebabkan Gemuka menjadi lebih waspada. Yaitu disebutnya tokoh utama dalam pembebasan Baginda yang bernama Upasara Wulung. Yang menurut cerita yang sampai ke telinganya lewat penuturan para senopati kepada Raja, Upasara Wulung mampu mematahkan Barisan Api. Lebih menggetarkan lagi karena mulai disebut-sebut adanya kekuatan sukma sejati.
Alasan-alasan itulah yang makin menahan Gemuka untuk bertindak. Pilihannya adalah sekali melakukan harus berhasil. Seperti selama ini. Seperti selama ini dirinya belum pernah gagal melakukan tugas Keraton.
“Gemuka…”
“Meskipun berbaring, aku mendengarkan, Raja Tanah Jawa. Aku berbaring, karena inilah cara untuk menghimpun kekuatan. Dengan tidak bergerak. Dengan diam. Semua tindakan akan terhimpun menjadi tenaga dalam. Raja Tanah Jawa bisa belajar kalau mau.”
“Ingsun bisa memutuskan sendiri kapan dan apa perlunya. Apa benar kamu yang menyembuhkan Praba, ataukah karena kidungan?”
“Raja Tanah Jawa. Ketahuilah aku bisa bergerak ke mana pun aku mau. Telingaku terbuka lebar sehingga mengetahui yang dikatakan orang. Dengan begitu aku mengerti pentingnya Permaisuri Praba bagi Raja. Aku segera melihat dan menemukan penyembuhannya. Kebetulan Raja membawa kidungan. Kalaupun tidak, akan sembuh kembali. Karena aku telah membebaskan, dengan mengatur kesembuhannya sebelum matahari terbenam.”
“Apakah Praba mengetahui hal ini?”
“Rasanya tidak.”
“Ingsun baru percaya sepenuhnya, kalau kamu membuktikan satu keunggulan lagi. Satu keajaiban lagi.”
Pendeta Empyak Jagat
GEMUKA. mendesis. Tangannya bergerak. Serentak dengan itu senjata pusaka yang berada dalam ruangan saling beradu, mengeluarkan bunyi. Bahkan dua keris lepas dari sarungnya, bergerak sendiri, menuju ke arah Raja. Yang hanya bisa memandangi. Karena kakinya membeku. Tak bisa digerakkan sama sekali. Bahkan untuk menggeser. Bahkan untuk menggerakkan pinggang. Juga kedua tangannya. Bahkan lehernya. Inilah hebat.
Bahwa senjata bisa lepas dari sarungnya, itu bukan sesuatu yang luar biasa. Tanpa kekuatan langsung dengan disentuh pun, keris pusaka bisa lepas dari sarungnya, bila disandingkan dengan keris pusaka sakti yang lainnya, yang kebetulan kekuatannya bertentangan. Akan tetapi bahwa itu disertai dengan bergeraknya semua senjata, mencengangkan juga. Apalagi Raja seperti terpaku di tempatnya. Semuanya terjadi tanpa Gemuka mengubah posisi tidurnya.
“Gemuka!”
“Apa lagi yang Raja Tanah Jawa inginkan?”
“Ini permainan anak-anak.”
“Apa Raja Tanah Jawa ingin menderita gering seperti Permaisuri? Itu lebih mudah.”
Mendadak seiring dengan tarikan napas Gemuka yang keras, dua keris itu melesat. Langsung menuju Raja yang tak bisa bergerak. Raja memejamkan matanya. Trang! Dua keris itu berbenturan sendiri. Jatuh ke lantai.
“Masih perlu bukti lagi? Raja Tanah Jawa, sekarang ini tak ada kekuatan lain di seluruh jagat yang akan mampu menyatroni Raja. Tak ada, karena Gemuka yang tanpa tanding ini berada di belakang Raja Tanah Jawa. Karena Kiai Sambartaka dari tlatah Hindia akan mendukung tanpa upah. Sebentar lagi Pangeran Hiang pun akan bergabung. Siapa lagi yang bisa mengalahkan, menandingi kami selain Pendeta Empyak Jagat?”
Suara Gemuka terdengar dalam nada tinggi. Seolah dibakar dengan semangat yang kelewat tinggi dari kebiasaannya yang selama ini terlihat. Pendeta Empyak Jagat, atau Pendeta Puncak Dunia, adalah sebutan untuk menggambarkan tokoh sakti mandraguna yang berasal dari puncak dunia, tempat yang tertinggi di seluruh jagat. Gambaran ini menjadi semacam ukuran, bahwa tak ada lagi yang lebih tinggi darinya kecuali langit.
Sebutan ini sebenarnya bukan mengada-ada. Karena memang dulunya, menurut kisah dituturkan secara turun-temurun, tokoh yang pertama kali mengembangkan ilmu silat, mula-buka-nya, asal-usulnya, dari seorang pendeta yang mampu menaklukkan gunung tertinggi di jagat. Yang mampu melintasi dan menyebarkan ilmunya sampai ke negeri Cina, yang menjalar sampai Jepun, Koreyea, dan menyebar ke arah sekitar. Di balik gunung yang lain, ke Nepal, Tibet, tlatah Hindia, yang menurut anggapan menyebar antara lain ke tanah Jawa.
Ditimbang dari sisi ini, apa yang dikemukakan Gemuka sangat beralasan untuk meletakkan posisinya di tempat teratas. Apalagi dengan menyebut nama Kiai Sambartaka yang juga menjadi pendukungnya. Raja bukan baru dua kali ini mendengar Gemuka menyebut Pendeta Empyak Jagat, atau kadang disebut sebagai Ksatria Empyak Jagat, dan membahasakan dirinya sebagai kera putih yang berada di sisinya.
“Raja Tanah Jawa. Bahkan Kaisar di Tartar sekarang ini pun tak memiliki susunan kekuatan pendukung yang begini dahsyat! Kenapa masih ragu?”
Raja mengakui apa yang dikatakan Gemuka. Akan tetapi wajahnya tetap tak menunjukkan perubahan.
“Jadi apa yang kamu takutkan? Kenapa menunda puncak pesta?”
“Saya tak akan membuat kesalahan seperti yang lain. Saya akan siap mengalahkan siapa pun juga. Kalaupun yang kalian sebut sebagai Eyang Sepuh muncul kembali, saya siap. Semua akan saya tumpas. Habis.”
Raja menarik napas dalam. Tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuhnya kembali bisa digerakkan. “Gemuka, apa yang sebenarnya kamu perhitungkan?”
“Pertama, para ksatria, para pendekar, para thay hiap, yang setingkat dengan Upasara Wulung. Kedua, para senopati yang menjadi antek Mahapatih Halayudha. Ketiga, para cerdik dan culas yang selalu mencurangi. Semua akan saya sikat dalam waktu yang bersamaan.”
“Dan kalau semua bisa kamu kalahkan, apa yang tersisa bagi Ingsun?”
“Raja Tanah Jawa. Raja yang bijaksana. Tak ada yang tersisa bagi Raja Tanah Jawa, selain pengakuan atas kebesaran Kaisar di Tartar. Selain tanda penyerahan yang tak bersyarat sampai turunan terakhir. Sampai Raja Tanah Jawa yang turunan mana nanti mampu mengulang kebesaran Sri Baginda Raja.”
“Tahukah kamu bahwa ini semua bukan pekerjaan gampang?”
“Saya merasakan dendam Raja Tanah Jawa. Atau semua yang tumbuh di bumi Jawa. Akan tetapi, kalau semua tak ada yang bisa melawan kami, apa yang kalian pilih? Mati dengan percuma pun tak mudah.”
“Kenapa kamu masih menguatirkan Upasara Wulung?”
“Dia dianggap ksatria lelananging jagat. Ia dinobatkan sebagai yang tak terkalahkan, dan mampu selamat dari perahu Siung Naga Bermahkota. Ilmunya dengan penguasaan Kitab Bumi yang luar biasa membuat saya gatal untuk mencoba. Apalagi saya mendengar ia menguasai ilmu Merogoh Sukma Sejati.”
“Kenapa kamu masih menguatirkan para senopati?”
“Perang di Lodaya, sejauh saya tahu, membuktikan bahwa para senopati mau mati bergiliran sampai habis untuk membela rajanya. Ini harus ditundukkan dari atasan. Mahapatih cukup digdaya. Akan tetapi komandonya bisa beralih ke tangan senopati yang lain.”
“Siapa yang kamu maksudkan para cerdik pandai yang culas?”
“Siapa saja. Para ksatria atau para senopati. Para pendeta atau para prajurit. Para istri atau para kuda. Semua bisa bergerak, berubah, dan harus diperhitungkan.”
“Kenapa kamu tidak jegal mereka satu demi satu?”
“Raja Tanah Jawa. Saya tak akan mengulangi kesalahan para pendahulu. Di tanah Jawa ini, ksatria bisa menjadi senopati, akan tetapi juga bisa menjadi prajurit biasa. Dan begitu pula sebaliknya. Semua bisa saling berkait. Satu-satunya jalan adalah menumpas habis.”
“Pada puncak pesta nanti?” Raja berdiri, menuju pintu. Tapi berhenti. “Ingsun tak pernah diperhitungkan. Itu kekeliruanmu, Gemuka. Ingsun masih tetap yang paling menentukan. Adalah keliru besar kalau kamu menganggap telah bisa menguasaiku dengan menakut-nakuti. Kalau kamu berharap pesta puncak nanti, sebelum pesta itu bisa terjadi sesuatu. Sebelum kamu bergerak, mereka akan bergerak lebih dulu. Ingsun bahkan bisa merasakan sekarang ini. Halayudha bisa menghimpun kekuatan besar. Mendahuluimu. Upasara bisa menghimpun kekuatan besar. Mendahuluimu. Dalam soal strategi kamu masih pupuk bawang, meskipun usiamu melebihiku.”
“Saya telah memperhitungkan itu. Raja Tanah Jawa bisa memilih kekuatan mana. Kekuatan Gemuka, dukungan para senopati, atau dari para ksatria. Yang pasti tidak dari ketiga-tiganya secara bersamaan. Apakah cukup jelas?”
“Kamu lupa, bahwa Ingsun inilah sesungguhnya Pendeta Empyak Jagat itu.”
Raja melangkah ke luar, dengan satu gerakan cepat sekali. Sekali tubuhnya bergerak, pintu terbuka dan tertutup kembali. Gemuka memuji kehebatan Raja. Bukan dari loncatannya, akan tetapi dari gagasan yang dimuntahkan ke wajahnya. Seolah kotoran yang menyapu kegagahan Gemuka yang hampir saja terpancing. Dari arah tumpukan senjata pusaka terdengar suara perlahan.
“Kenapa Gemuka menyebut-nyebut nama saya?”
“Kiai Sambartaka, tutup mulutmu rapat-rapat. Saya mengatakan apa adanya, karena Raja juga mengatakan apa adanya. Dan saya menjunjung tinggi sifat ksatria seorang raja. Beliau memang raja yang sesungguh-sungguhnya. Saya tahu kamu pun menyimpan dendam busuk dan rencanamu sendiri, akan tetapi sekarang kamu akan selalu tunduk pada saya. Bukankah ini juga terus terang?”
Perjalanan Hamba Sahaya
KIAI SAMBARTAKA seperti menemukan dirinya telanjang bugil. Tak ada yang bisa disembunyikan dari sorot mata Gemuka. Sejak pertama kali bertemu. Itu terjadi ketika Kiai Sambartaka menyembunyikan diri untuk menyempurnakan ilmunya. Merasa aman berada dalam suatu tempat yang selama ini tak diendus siapa pun. Tekadnya hanya satu: memperdalam ilmunya untuk membalas dendam, atau kalau tidak berhasil lebih baik terkubur hidup-hidup tanpa diketahui siapa pun.
Sejak melarikan diri dengan menenggelamkan diri di Kali Brantas, Kiai Sambartaka merasa tak bisa dengan tegak memandang langit. Bagaimana mungkin dirinya yang dijuluki Kiai Kiamat yang menghancurkan seluruh jagat dan isinya bisa dipecundangi dan dikalahkan beberapa kali. Bahkan usahanya untuk bersatu dengan para pendeta Syangka juga kandas. Padahal dengan melakukan hal itu, para tetua di tlatah Hindia tak akan pernah memaafkannya.
Makanya kalau Kiai Sambartaka memilih untuk melatih ilmunya atau binasa, bukan pilihan yang mengada-ada. Yang membuatnya terusik hanyalah ketika menemukan tujuh ular kobra yang menjadi senjata andalannya mati dengan saling gigit. Ini tak pernah terjadi.
Ular kobra adalah jenis ular paling berbisa yang langka, yang menjadi simbol kesuburan, simbol bencana, simbol kebesaran dan keganasan. Selama hidupnya, Kiai Sambartaka sangat yakin bisa menguasai ular kobra lebih dari siapa pun di jagat ini. Sehingga tak ragu lagi menyembunyikan pasangan kobra di balik jubahnya, atau bahkan dalam mulutnya. Tak mungkin mereka saling menyerang sendiri.
“Bagaimana mungkin kamu melatih ular kecil, kalau kamu tak bisa menghidupkan?” Sesosok tubuh yang tinggi, tegap, terselimuti jubah kedodoran berdiri kukuh di depannya. “Kalau ksatria dari mana asalmu, kalau pendeta dari mana perguruanmu.”
“Menggelikan. Bagaimana orang setua kamu, dari ilmu silat Hindia, tak bisa mengenaliku? Akulah sumber ilmu silat yang kamu pelajari. Pembagian empat tenaga berlipat tak mempunyai makna kalau kamu padukan dengan Jalan Buddha. Karena Jalan Buddha justru menghapus perbedaan pembagian pengerahan tenaga.”
“Apakah engkau datang dari negeri Empyak Jagat?”
“Pandanganmu tajam. Tapi keliru. Aku pangeran dari Tartar, yang pernah melewati Empyak Jagat. Namaku Gemuka. Aku membutuhkanmu, seperti sang Ksatria Utama membutuhkan hamba sahaya. Kamu salah satunya.”
“Aku tak pernah mendengar nama Gemuka. Tapi aku mengenal kiasanmu mengenai sang Ksatria Utama yang menaklukkan Empyak Jagat, diiringi hamba sahayanya yang berwujud kera, babi, kuda…”
“Kamulah babi. Akulah kera. Mulai sekarang, kita menuju ke Keraton.”
Kiai Sambartaka mengernyitkan jidatnya. Ia merasa asing dan tak begitu saja menyerah, meskipun mengetahui bahwa Gemuka mempunyai ilmu yang cukup tinggi. Karena bisa membuat ular kobranya saling menggigit. Gemuka menebak jalan pikiran Kiai Sambartaka. Dengan bersuit keras, ia mendengingkan suara, dan mendadak saja puluhan ular muncul bersama, menggeliat-geliat dan garang.
Kiai Sambartaka tak sedikit pun gentar dengan ular walau jumlahnya banyak sekali. Akan tetapi bahwa Gemuka bisa memanggil dalam sekejap, itu sungguh luar biasa. Apalagi ketika dengingannya berubah, ratusan kumbang mendesing di atas kepalanya.
“Dalam penguasaan kemauan binatang, kamu tak akan menang. Tenagamu tak akan mampu menandingi. Geseran dua kaki ke arah yang bertentangan untuk mengacaukan suara juga akan percuma. Karena titik pusarmu terbuka. Adalah sangat mudah mematahkan seranganmu, dengan mendesiskan ular di balik jubahmu.”
Kiai Sambartaka benar-benar tak habis pikir. Semua yang akan dilakukan bisa ditebak.
“Seperti kera menaklukkan babi, itulah yang kulakukan kini. Semua ilmumu ada dalam genggaman tanganku.”
“Apa maumu, Gemuka?”
“Seperti kamu. Menaklukkan tanah Jawa. Kita bisa bekerja sama untuk sementara. Setelah itu, kita boleh beradu kemenangan.”
“Bagaimana kamu mengetahui diriku?”
“Dari gerakanmu bisa terbaca jelas. Dari undangan pertemuan setiap lima puluh tahun bisa terbaca jelas. Namamu saja menunjukkan kekalahanmu pada tanah Jawa.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Keterangan sebanyak mungkin mengenai tanah Jawa. Kamu pasti mengetahui karena kamu lebih lama di sini. Kita bersama melakukan pembalasan dan meratakan tanah Jawa.”
Dua tangan Gemuka bergerak. Kumbang menyerbu ke arah barisan ular, yang balas menyerang. Dalam sekejap terjadi pertarungan yang aneh. Yang mengerikan, karena ular dan kumbang kemudian saling bunuh sendiri.
“Itulah yang dinamakan tenaga Mo yang sebenarnya. Tenaga Tao yang sesungguhnya. Memindahkan tanpa menggerakkan. Aku tahu kamu bisa melakukan, akan tetapi hanya terhenti pada kekuatan untuk mengeluarkan suara tanpa menggerakkan bibir. Ilmu yang sebenarnya baru tahap awal. Lima puluh tahun lagi, kamu tak akan pernah bisa maju, dan usiamu sudah membunuhmu.”
Kiai Sambartaka menggeram dalam hati. Namun akhirnya mengikuti jejak Gemuka. Yang selama perjalanan bertanya terus-menerus, mencoba menggali keterangan selengkap mungkin, dan hanya beberapa kali saja memberi petunjuk di mana kemungkinan terbesar Kiai Sambartaka bisa dikalahkan.
“Cara berpikirmu yang salah. Selama kamu menganggap ilmu silat di tanah Jawa berasal dari tanah Hindia, itu betul. Akan tetapi kalau kamu menganggap sama, kamu keliru. Pengerahan tenaga dalam yang kamu paksakan akan lumer menghadapi tenaga dalam yang berkembang di tanah Jawa ini. Itulah sebabnya kamu bisa dengan mudah dikalahkan.”
“Kalimatmu serba jemawa. Tapi aku melihat adanya kebenaran yang kamu katakan.”
“Tak ada ilmu silat yang bisa membungkam ilmu silat tanah Jawa, selama ia tidak mengikuti cara-cara yang dipakai di sini. Tapi begitu kamu mengikuti cara pernapasan di sini, kamu bisa terseret oleh cara mereka. Dua-duanya berarti kalah.”
“Tak mudah menaklukkan tanah Jawa.”
“Tidak akan pernah, dengan kekerasan yang kita miliki. Semakin keras kita mengimpit, semakin lenyet mereka, akan tetapi justru semakin liat. Sebagai sesama hamba sahaya, kita bisa berbagi pengalaman.”
Itulah sebabnya kemudian Kiai Sambartaka bersedia mengikuti Gemuka. Kembali menyusup ke dalam Keraton. Pada permulaannya mereka berpisah, akan tetapi kemudian selalu berada di tempat penyimpanan senjata. Dan setiap kali Gemuka memberondong dengan berbagai pertanyaan tanpa henti. Yang membuat Kiai Sambartaka bertanya-tanya dalam hati ialah karena ternyata Gemuka menyimpan beberapa hal yang sudah diketahui. Hanya ingin dicocokkan saja.
Terutama mengenai kekuatan-kekuatan yang ada. Terutama mengenai jurus-jurus ilmu silat, terutama mengenai tata krama dalam Keraton. Yang tetap mengherankan ialah bahwa Gemuka seperti tidak menutupi perasaannya. Apa yang dipikirkan, apa yang direncanakan, bisa dikatakan secara terbuka. Seperti juga mengenai persahabatan sebagai sesama hamba sahaya, akan tetapi juga kemungkinan mereka berdua akan saling memperebutkan kemenangan. Sungguh rasa percaya diri yang berlebihan.
“Kiai Sambartaka, aku minta kamu sebarkan tanda siung naga di berbagai tempat. Aku masih berharap saudaraku, Pangeran Sang Hiang, mengetahui keberadaanku.”
“Kenapa tidak kamu lakukan sendiri, Gemuka?”
“Aku perlu menghimpun seluruh kemampuanku. Dengan berdiam diri di sini, aku mengumpulkan tenaga dalam yang bisa disimpan, dan bisa dikerahkan sewaktu-waktu. Aku adalah kera sakti, yang bisa menyimpan makanan dalam mulut. Kamu belum bisa melakukan itu.”
Meskipun tersinggung, Kiai Sambartaka melakukan juga. Karena pada pikirnya, saudara Gemuka yang disebut Pangeran Sang Hiang pastilah tokoh yang sakti. Atau bahkan mungkin yang dimaksudkan sebagai Ksatria Utama. Itu berarti kekuatan mereka lebih sempurna. Benar-benar merupakan rencana penaklukan yang sempurna. Itu sebabnya Kiai Sambartaka mengusulkan untuk menghimpun lebih banyak lagi. Terutama raja-raja atau utusan yang berasal dari seberang. Termasuk dari negeri Turkana.
“Aku mendengar ilmu Jalan Buddha Wanita adalah ilmu yang sesat. Dan aku tidak melihat keuntungannya ia berpihak pada kita.”
“Ratu Ayu adalah istri Upasara Wulung.”
Wajah Gemuka berubah keras.
Pribadi Ambalung Usus
TINJUNYA terkepal. Bukan hanya itu saja. Tubuhnya bergerak, melayang turun, sementara dua tombak yang dijadikan tempat berbaring lepas jatuh ke lantai. “Aku dengar nama besar thay hiap yang bergelar lelananging jagat. Aku sudah gatal tangan untuk menjajal Upasara Wulung. Yang pastilah sedemikian saktinya sehingga selama ini tak ada yang bisa mengalahkan. Ada yang bisa membunuhnya, akan tetapi ternyata bukan mengalahkannya. Itulah kekeliruanmu, Kiai. Apakah kamu kira jika Ratu Ayu berpihak ke kita, Upasara Wulung akan mengikuti? Kamu tidak mengenal manusia tanah Jawa. Manusia di belahan bumi ini adalah manusia yang ambalung usus, satu-satunya pengertian yang bisa menerangkan siapa mereka.”
Kiai Sambartaka bukannya tak mengerti apa maksud kata-kata Gemuka. Ambalung berarti menjadi tulang, seperti tulang, karena balung berarti tulang. Sedangkan ambalung usus, mengandung dua pengertian yang sangat berbeda. Antara pengertian keras, seperti tulang, dan pengertian lembut, seperti usus. Ini berarti usus pun bisa menjadi keras seperti tulang. Sebaliknya juga mungkin, yaitu tulang yang keras berubah menjadi lembut dan bisa ditekuk seperti usus.
Tak terlalu sulit mengetahui hal itu. Akan tetapi masuk ke pengertian untuk memahami wong Jawa, benar-benar menunjukkan ketajaman pandangan Gemuka. Dengan kata lain, satu istilah dari Gemuka sudah bisa mematahkan usulan Kiai Sambartaka. Bahwa ditariknya Ratu Ayu belum tentu berarti tertariknya Upasara. Bahkan bisa berarti lain sama sekali. Yaitu terbalik. Ratu Ayu yang mengikuti jalan yang ditempuh Upasara. Meskipun dalam penampilan bisa saja sama: Ratu Ayu berada di pihak mereka!
Meskipun dalam penampilan bisa saja sama, seperti tak bisa dibedakan di mana sebenarnya Ratu Ayu berpihak. Wajah yang serba bertentangan, yang tak bisa diduga arti anggukan dan gelengan, arti menyerang dan bertahan, arti gusar dan bangga, menurut Kiai Sambartaka telah menyesatkan pandangannya.
Yang dialami secara langsung ketika terlibat dalam pertarungan mati hidup habis-habisan di Trowulan. Saat itu ada bayangan Eyang Sepuh, ada Paman Sepuh, serta ada Upasara Wulung sebagai wakil ksatria Jawa. Yang bertarung habis-habisan melawan tokoh-tokoh kelas puncak, yang berarti saling melawan antar mereka sendiri. Di sinilah kehebatan itu terlihat jelas!
Naga Nareswara, Kama Kangkam, dan Paman Sepuh tewas seketika. Kiai Sambartaka hanya bisa menyelamatkan diri dengan cara yang tidak terpuji. Sementara Upasara Wulung dan Eyang Sepuh bisa muncul sebagai pemenang. Dua pemenang. Yang sebenarnya tidak mungkin, karena dalam perebutan gelar ksatria lelananging jagat, hanya ada satu pemenang. Akan tetapi nyatanya bisa.
Karena sejak semula Eyang Sepuh antara ada dan tiada. Antara muncul dan lenyap. Moksa. Tidak turun ke gelanggang, akan tetapi ikut bertarung. Sifat yang serba bertentangan, antara yang dan im, yang sejak awal disadari secara penuh oleh Gemuka. Yang justru menyatu dalam satu pribadi. Yang ambalung usus.
“Paling tidak, mereka berdua tidak secara terang-terangan berada di pihak lawan dan mengibarkan bendera atau umbul-umbul sendiri.”
“Kiai, aku hargai daya pikirmu. Tapi Upasara adalah ksatria yang telah membuktikan diri tak terkalahkan selama ini. Satu-satunya cara yang tepat adalah melindasnya. Menindak habis.”
“Saat yang terbaik sekarang ini. Musim kawin ular berbisa, segala binatang berbisa, sehingga akan bisa kita kerahkan seluruhnya.”
“Cara yang tidak gagah. Tapi aku akan melakukannya.”
Kiai Sambartaka mengangguk berat. “Kalau Pangeran Hiang mengenali tanda Gemuka, ia akan bergabung dengan kita. Dengan begitu, sampailah kita kepada kehendak yang sesungguhnya.”
“Keliru. Sampailah kita kepada puncak pesta yang sesungguhnya. Soal kemenangan, itu soal lain. Akan tetapi aku tak percaya Dewa akan melindungi mereka dan kemenangan yang mereka raih dengan kebetulan itu bisa terulang.”
“Apakah keberadaan kita selama ini belum diketahui?”
“Mereka akan mengetahui sebagai penyesalan karena terlambat.”
Apa yang diperkirakan Gemuka yang begitu cepat dan mendalam mencoba memahami budaya tanah Jawa memang tak teraba oleh yang lain. Bahkan Raja Jayanegara baru kemudian mengetahui adanya Kiai Sambartaka. Halayudha yang terkenal cerdik serta pandai membaca situasi dan mencari jalan untuk mengatasi situasi dan mencari jalan untuk mengatasi, sama sekali tak memperhitungkan kehadiran Kiai Sambartaka yang diam-diam mengalami kemajuan dalam melatih ilmunya di bawah petunjuk Gemuka.
Apa yang sangat berarti bagi Kiai Sambartaka, bukan saja hanya karena dirinya bisa lebih memahami ilmu yang selama ini dipelajari, melainkan juga bagaimana menggunakan ilmu serta jurus-jurus dahsyatnya untuk menghadapi Upasara Wulung, atau para ksatria yang akan menjadi lawannya. Keunggulan ilmunya tak akan ada artinya jika ketika menghadapi lawan jadi teperdaya. Seperti yang selama ini terjadi. Seolah ilmu dari tanah Hindia menjadi mandul dan menemui tembok buntu. Ketidaktahuan Halayudha bisa berakibat berat di belakang hari!
Akan tetapi saat itu Halayudha memang sedang memusatkan seluruh kemampuannya untuk menebak dan mencegat seorang tokoh yang menurut perhitungan Nyai Demang adalah Gemuka. Sedemikian terpusatnya perhatian Halayudha pada Gemuka, sehingga yang lainnya termasuk terlupakan. Terutama kehadiran Tujuh Senopati Utama, yang selama ini tak pernah berdiam diri.
Apalagi pada dasarnya mereka mengabdi sepenuhnya kepada Baginda. Dan jauh di dalam hati kurang utuh pengabdiannya kepada Raja, yang mencapai puncaknya saat pengusiran Baginda-atau menyebabkan Baginda mengungsi-ke Simping. Ditambah lagi dengan perbuatan Raja yang melabrak tata krama susila dengan menguasai Tunggadewi serta Rajadewi.
Alasan yang kuat mendesak yang membuat mereka siap mengorbankan apa saja. Kalau sampai saat itu mereka belum bergerak, terutama karena Senopati Tanca masih berusaha menahan. Namun suatu ketika saat mereka berkumpul di kediaman Senopati Yuyu, Senopati Tanca tak bisa menahan lagi gejolak yang ada.
“Para Kisanak, para Senopati Utama, saya tahu bagaimana Kisanak melihat dan memperhitungkan saya. Karena kelihatannya mengabdi setia kepada Raja. Sesungguhnyalah begitu. Saya tak ragu se-glugut pinara sasra, saya mengabdikan seluruh jiwa-raga saya kepada Yang Mulia Baginda…”
Suaranya lembut tak terpengaruh oleh gelora nafsu emosi. Pengakuan Senopati Tanca bahwa dirinya tak ragu “serambut bambu dibagi seribu”, atau tak ragu sedikit pun dalam mengabdi Raja, ternyata berlanjut dengan kata yang diucapkan sama tenangnya.
“…Kisanak Senopati Utama akan mengetahui, bahwa sayalah yang tetap akan melaksanakan hukuman pembalasan. Itu sumpah saya.”
“Kenapa hanya diomongkan saja?” suara Senopati Kuti yang terbiasa lugas terdengar keras.
“Semua itu ada sangatnya. Ada waktu yang tepat. Dalam sehari ada lima sangat, lima waktu yang baik dan juga tidak baik. Alam yang mengatur. Mengatur kapan nangka berbunga, berbuah, dan masak. Kita tak bisa nggege mangsa, mempercepat waktu. Saya dalam mengobati, menyusun jamu, merawat tanaman, sangat yakin adanya sangat, kapan memberi minum, kapan bisa sembuh.”
“Maaf, saya tak mengenal kata-kata pujangga yang ahli pujasastra. Bagi saya setiap waktu adalah baik. Juga sekarang ini.”
“Terserah Kisanak.”
Senopati Wedeng berdeham kecil, mencoba melunakkan suasana yang panas menjarak. “Semua baik dan benar. Kita bertujuh berkumpul di sini bukan karena kita dharmaputra, senopati pilihan. Akan tetapi terutama karena kita digerakkan niatan yang sama, untuk meluhurkan asma Keraton. Maaf, kalau saya salah bicara. Beberapa kali usaha kita gagal. Bahkan Permaisuri Indreswari bisa melucuti kita sebelum bergerak…”
“Jangan diungkit soal itu.”
“Maaf, Kisanak Semi yang gagah berani. Saya hanya memperkirakan bahwa Raja sengaja mengadakan pahargyan, penghormatan besar-besaran kepada Permaisuri Praba Raga Karana sebagai siasat Mahapatih Halayudha untuk menarik keluar kita. Sehingga ketidaksukaan kita, ketidakpatuhan kita sebagai prajurit terbaca jelas, dan saat itu kita akan ditumpas.”
“Oleh sebab itu, kita akan mendahului,” kata Senopati Yuyu mantap. “Malam ini kita dahului.”
Pengabdian Tanpa Alis
APA yang dikatakan Senopati Yuyu tak perlu dipertanyakan lagi, karena sudah menjadi persetujuan bersama. Kecuali Senopati Tanca yang tidak segera mengangguk. Malah menghela napas, dan kedua tangannya bersidekap, menutup di depan dada. Di antara Tujuh Senopati Utama, Senopati Yuyu boleh dikatakan paling tidak mau menonjolkan diri. Selama ini selalu diam, dan tidak banyak menarik perhatian. Apalagi jika dibandingkan Senopati Semi maupun Kuti yang gagah dan bicara lantang.
Akan tetapi keberadaan Senopati Yuyu di antara ketujuh dharmaputra diakui sebagai penentu. Karena jika Senopati Yuyu telah memutuskan sesuatu, yang lainnya akan mengikuti. Tak ada keraguan untuk mempertanyakan kembali. Justru kalau merasa tidak perlu berpendapat, Senopati Yuyu tidak membuka mulut. Lebih suka menarik diri, seperti yuyu atau ketam. Yang tahan berada dalam tempat persembunyiannya untuk waktu yang lama, dan keluar pada saat yang tepat. Untuk menjapit mangsanya.
Dalam pertarungan dengan pasukan Tartar, Senopati Yuyu tidak muncul sebagaimana Senopati Kuti dan Semi yang langsung terjun ke gelanggang. Akan tetapi senopati inilah yang menyusun rencana penyerangan balik kepada pasukan Tartar. Yang berbisik di telinga Raden Sanggrama Wijaya ketika itu, bahwa ketiga Naga tak mengetahui kepada siapa harus membalaskan dendam.
Senopati Yuyu-lah yang dengan cepat dan tepat menjapit gagasan untuk membelokkan arah serangan pasukan Tartar ke Singasari, dan kemudian menyiapkan satu pukulan jitu di saat pasukan Tartar merayakan kemenangan. Semua dilakukan dalam diam. Dengan mulut tertutup.
Pertama kali terbuka di depan para senopati yang lain ialah ketika Baginda mengangkatnya sebagai dharmaputra. Senopati Yuyu satu-satunya yang mengatakan bahwa Baginda memberikan beban yang kelewat berat untuk pundak yang hina dan ringkih.
“Tanpa gelar resmi, tanpa sebutan yang dibuatkan prasasti, hamba adalah abdi yang sama. Dengan pemberian gelar kelewat terhormat ini hamba merasa tak mampu berbuat apa-apa, karena takut mengotori kehormatan anugerah, kebesaran yang Baginda limpahkan.”
Ketika Baginda tetap melaksanakan, Senopati Yuyu seperti ketam yang kembali ke sangkarnya. Mendapat sebutan sebagai yuyu rumpung ambarong rongge. Sebutan yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Yuyu rumpung adalah ketam yang buntung, yang kehilangan kakinya. Ambarong berarti menutup diri dengan dedaunan. Sedangkan rongge berarti rongga atau sarangnya.
Sikap yang ditunjukkan Senopati Yuyu adalah sikap bijak abdi dalem, pengabdi Baginda. Karena penolakannya berarti hanya untuk dirinya sendiri, dan itu dilakukan dengan memperkuat dirinya. Membuat benteng pertahanan, dalam hal ini tidak membuat huru-hara atau keonaran atas putusan Baginda. Sekarang ini, setelah sekian lama berdiam diri, Senopati Yuyu mengemukakan pendapatnya. Mendahului menyerang!
“Kisanak semua, para Senopati Utama yang diistimewakan Baginda. Mahapatih, atas restu Raja, berusaha memancing kita muncul ke permukaan, dan akan melibas habis. Tanpa sisa, tanpa bekas. Apa yang kita lakukan malam ini adalah menangkap dan mengamankan Mahapatih lebih dulu, dengan alasan bahwa Mahapatih ingin kraman, ingin memberontak, ingin menyusun kekuatan sendiri. Itu langkah pertama. Langkah kedua, menghaturkan peristiwa ini secepatnya kepada Raja. Jika Raja merestui, kita berhenti di sini. Jika Raja tidak merestui, kita tak bisa mundur lagi. Kita akan menyembah kepada Putri Tunggadewi, sebab beliaulah putri turunan Baginda, yang menurut Kitab dibenarkan menduduki takhta.”
Keenam Senopati Utama menunduk. Mendengarkan. Membenarkan.
“Selama ini Raja sesembahan telah berlaku welas tanpa alis, dan kita menerima dengan pengabdian yang bisa kita sungkemkan. Kalaupun nantinya harus berakhir dengan welas temahan lalis, itu suratan nasib yang terbawa sejak lahir. Hanya kalau boleh saya meminta dengan sangat dan hormat, demi persaudaraan dan pengabdian kita bersama, sebagai sesama prajurit, Kisanak Tanca tidak perlu turun tangan.”
Selaksa badai menyambar bersama ke balik benak Senopati Tanca. Untuk beberapa saat bibir bawahnya seperti memberat. Helaan napasnya masih tertahan di dada. Dengan mengatakan welas tanpa alis, Senopati Yuyu ingin mengatakan bahwa selama ini pengabdian mereka tidak diterima dengan baik. Welas adalah belas kasihan, kasih atau dalam hal ini berarti pengabdian. Tanpa berarti tidak dengan. Sedangkan alis, sebenarnya berasal dari kata lalis, yang berarti sengsara.
Sedangkan welas temahan lalis, menggambarkan pengabdian yang mereka lakukan selama ini berakhir, temahan, dengan kesengsaraan. Yang juga bisa berarti kematian dengan cara hina. Itu dua kemungkinan yang digambarkan oleh Senopati Yuyu. Yang pertama, menilai keadaan pada masa lalu pengabdian mereka, yang kedua mengenai apa yang bisa terjadi.
Bagi Senopati Tanca, kemungkinan itu bukannya tak diketahui. Seperti senopati yang lain, kemungkinan terburuk sudah diketahui. Dan tidak membuat mereka gentar atau mundur. Justru karena ini merupakan panggilan jiwa prajurit pengabdi yang sejati. Akan tetapi perasaan disambar badai yang dirasakan Senopati Tanca terutama sekali karena dalam urusan ini dirinya tidak diikut sertakan!
Kalimat yang sangat keras. Dan tajam menusuk karena diucapkan Senopati Yuyu. Sehingga membuat Senopati Tanca terenyak. Selama ini Senopati Tanca mengakui di antara para senopati utama yang lain, dirinyalah yang paling sering tinimbalan, dipanggil, atau paling berkenan di hati Raja. Bahkan dalam pengasingan ke Simping pun, Senopati Tanca masih ditahan di Keraton. Karena jamu dan jampinya diperlukan Raja. Termasuk ketika mengobati dan menyiapkan pernikahan dengan Permaisuri Praba!
Seperti yang diakui sendiri, Senopati Tanca sama sekali tak membantah hal itu. Mengakui bahwa pengabdiannya selama ini tak terhenti. Namun kalau bahkan di antara sesama prajurit yang selalu galang-gulung bersama sejak semula, sikapnya tak bisa dimengerti, Senopati Tanca sangat berduka.
“Maaf, Kisanak Tanca. Saya memutuskan cara ini, karena kalau kami semua temahan lalis, akhirnya mati dan kalah, Kisanak masih bisa melakukan seorang diri. Hanya Kisanak Tanca yang mungkin melakukan sendiri.”
Terdengar helaan napas lega dari keenam Senopati Utama secara bersamaan. Dan juga desisan puji syukur.
Terutama untuk pertama kalinya secara terbuka, adalah mengenai pendudukan tanah Jawa. Gemuka merasa bahwa jalan yang ditempuh Pangeran Hiang terlalu berbahaya. Justru karena berusaha menaklukkan dengan kekuatan kekerasan. Gemuka sedikit pun tak menyangsikan kekuatan Barisan Api serta kehebatan Pangeran Hiang ataupun kelengkapan perahu Siung Naga Bermahkota. Tapi ia juga punya perhitungan lain.
Yang lebih jelas. Yaitu gagalnya tiga utusan utama, yang dilengkapi puluhan perahu dengan persenjataan yang lengkap. Demikian juga kedatangan pendeta resmi Raja Segala Naga yang tak ada kabar beritanya. Ini yang membuatnya tujuh kali lebih waspada.
Terutama karena banyak kemungkinan yang tak terduga, yang menyebabkan seluruh kemenangan berubah menjadi kekalahan. Rombongan Pangeran Hiang yang perahunya bisa ditenggelamkan, hancurnya Barisan Api yang selama ini belum pernah terpatahkan di Jepun maupun Koreyea, semua adalah bukti-bukti yang membuatnya menahan diri untuk meraih kemenangan.
Sebenarnya dengan menyusup ke dalam Keraton dan berduaan dengan Raja, Gemuka sudah berhasil. Sudah bisa mengibarkan bendera kemenangan. Akan tetapi hati kecil Gemuka mengatakan bahwa kemenangan itu tak akan berarti banyak. Bukan kemenangan seperti yang diraih prajurit Tartar menundukkan seluruh jagat.
Karena dengan dibawanya Raja, tidak berarti tanah Jawa dengan sendirinya tunduk, dan setiap tahun kemudian akan menyerahkan upeti sebagai tanda pengakuan adanya kekuasaan yang lebih tinggi. Raja yang menggantikan bisa menantang perang dan menyerbu sampai Tartar. Atau paling tidak raja-raja di tempat lain akan lebih mengakui kekuasaan keraton ini.
Itu yang menahannya berbuat seketika. Karena Gemuka ingin mereguk kemenangan dalam arti yang sebenarnya. Kalaupun ia kembali ke Tartar dengan membawa tawanan seorang raja, itu benar-benar dalam arti segalanya. Nyatanya tidak begitu mudah. Nyatanya baru selangkah saja sudah terpatahkan. Ternyata Permaisuri Praba mengetahui apa yang direncanakannya bersama Raja.
Bisa dimengerti kalau Raja mencurigainya. Bisa dimengerti kalau Gemuka mencurigai Raja. Dalam pengertian Gemuka, tanah yang liat dan kuat ini mulai memperlihatkan keperkasaannya. Inilah kekuatan yang tak terduga, yang diperhitungkan, akan tetapi tetap saja meleset. Alasan Gemuka semakin kuat untuk mengumpulkan semua tokoh yang ada, dan ia akan memperlihatkan keunggulannya menaklukkan semuanya tanpa kecuali.
Memang ada keraguan yang menyebabkan Gemuka menjadi lebih waspada. Yaitu disebutnya tokoh utama dalam pembebasan Baginda yang bernama Upasara Wulung. Yang menurut cerita yang sampai ke telinganya lewat penuturan para senopati kepada Raja, Upasara Wulung mampu mematahkan Barisan Api. Lebih menggetarkan lagi karena mulai disebut-sebut adanya kekuatan sukma sejati.
Alasan-alasan itulah yang makin menahan Gemuka untuk bertindak. Pilihannya adalah sekali melakukan harus berhasil. Seperti selama ini. Seperti selama ini dirinya belum pernah gagal melakukan tugas Keraton.
“Gemuka…”
“Meskipun berbaring, aku mendengarkan, Raja Tanah Jawa. Aku berbaring, karena inilah cara untuk menghimpun kekuatan. Dengan tidak bergerak. Dengan diam. Semua tindakan akan terhimpun menjadi tenaga dalam. Raja Tanah Jawa bisa belajar kalau mau.”
“Ingsun bisa memutuskan sendiri kapan dan apa perlunya. Apa benar kamu yang menyembuhkan Praba, ataukah karena kidungan?”
“Raja Tanah Jawa. Ketahuilah aku bisa bergerak ke mana pun aku mau. Telingaku terbuka lebar sehingga mengetahui yang dikatakan orang. Dengan begitu aku mengerti pentingnya Permaisuri Praba bagi Raja. Aku segera melihat dan menemukan penyembuhannya. Kebetulan Raja membawa kidungan. Kalaupun tidak, akan sembuh kembali. Karena aku telah membebaskan, dengan mengatur kesembuhannya sebelum matahari terbenam.”
“Apakah Praba mengetahui hal ini?”
“Rasanya tidak.”
“Ingsun baru percaya sepenuhnya, kalau kamu membuktikan satu keunggulan lagi. Satu keajaiban lagi.”
Pendeta Empyak Jagat
GEMUKA. mendesis. Tangannya bergerak. Serentak dengan itu senjata pusaka yang berada dalam ruangan saling beradu, mengeluarkan bunyi. Bahkan dua keris lepas dari sarungnya, bergerak sendiri, menuju ke arah Raja. Yang hanya bisa memandangi. Karena kakinya membeku. Tak bisa digerakkan sama sekali. Bahkan untuk menggeser. Bahkan untuk menggerakkan pinggang. Juga kedua tangannya. Bahkan lehernya. Inilah hebat.
Bahwa senjata bisa lepas dari sarungnya, itu bukan sesuatu yang luar biasa. Tanpa kekuatan langsung dengan disentuh pun, keris pusaka bisa lepas dari sarungnya, bila disandingkan dengan keris pusaka sakti yang lainnya, yang kebetulan kekuatannya bertentangan. Akan tetapi bahwa itu disertai dengan bergeraknya semua senjata, mencengangkan juga. Apalagi Raja seperti terpaku di tempatnya. Semuanya terjadi tanpa Gemuka mengubah posisi tidurnya.
“Gemuka!”
“Apa lagi yang Raja Tanah Jawa inginkan?”
“Ini permainan anak-anak.”
“Apa Raja Tanah Jawa ingin menderita gering seperti Permaisuri? Itu lebih mudah.”
Mendadak seiring dengan tarikan napas Gemuka yang keras, dua keris itu melesat. Langsung menuju Raja yang tak bisa bergerak. Raja memejamkan matanya. Trang! Dua keris itu berbenturan sendiri. Jatuh ke lantai.
“Masih perlu bukti lagi? Raja Tanah Jawa, sekarang ini tak ada kekuatan lain di seluruh jagat yang akan mampu menyatroni Raja. Tak ada, karena Gemuka yang tanpa tanding ini berada di belakang Raja Tanah Jawa. Karena Kiai Sambartaka dari tlatah Hindia akan mendukung tanpa upah. Sebentar lagi Pangeran Hiang pun akan bergabung. Siapa lagi yang bisa mengalahkan, menandingi kami selain Pendeta Empyak Jagat?”
Suara Gemuka terdengar dalam nada tinggi. Seolah dibakar dengan semangat yang kelewat tinggi dari kebiasaannya yang selama ini terlihat. Pendeta Empyak Jagat, atau Pendeta Puncak Dunia, adalah sebutan untuk menggambarkan tokoh sakti mandraguna yang berasal dari puncak dunia, tempat yang tertinggi di seluruh jagat. Gambaran ini menjadi semacam ukuran, bahwa tak ada lagi yang lebih tinggi darinya kecuali langit.
Sebutan ini sebenarnya bukan mengada-ada. Karena memang dulunya, menurut kisah dituturkan secara turun-temurun, tokoh yang pertama kali mengembangkan ilmu silat, mula-buka-nya, asal-usulnya, dari seorang pendeta yang mampu menaklukkan gunung tertinggi di jagat. Yang mampu melintasi dan menyebarkan ilmunya sampai ke negeri Cina, yang menjalar sampai Jepun, Koreyea, dan menyebar ke arah sekitar. Di balik gunung yang lain, ke Nepal, Tibet, tlatah Hindia, yang menurut anggapan menyebar antara lain ke tanah Jawa.
Ditimbang dari sisi ini, apa yang dikemukakan Gemuka sangat beralasan untuk meletakkan posisinya di tempat teratas. Apalagi dengan menyebut nama Kiai Sambartaka yang juga menjadi pendukungnya. Raja bukan baru dua kali ini mendengar Gemuka menyebut Pendeta Empyak Jagat, atau kadang disebut sebagai Ksatria Empyak Jagat, dan membahasakan dirinya sebagai kera putih yang berada di sisinya.
“Raja Tanah Jawa. Bahkan Kaisar di Tartar sekarang ini pun tak memiliki susunan kekuatan pendukung yang begini dahsyat! Kenapa masih ragu?”
Raja mengakui apa yang dikatakan Gemuka. Akan tetapi wajahnya tetap tak menunjukkan perubahan.
“Jadi apa yang kamu takutkan? Kenapa menunda puncak pesta?”
“Saya tak akan membuat kesalahan seperti yang lain. Saya akan siap mengalahkan siapa pun juga. Kalaupun yang kalian sebut sebagai Eyang Sepuh muncul kembali, saya siap. Semua akan saya tumpas. Habis.”
Raja menarik napas dalam. Tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuhnya kembali bisa digerakkan. “Gemuka, apa yang sebenarnya kamu perhitungkan?”
“Pertama, para ksatria, para pendekar, para thay hiap, yang setingkat dengan Upasara Wulung. Kedua, para senopati yang menjadi antek Mahapatih Halayudha. Ketiga, para cerdik dan culas yang selalu mencurangi. Semua akan saya sikat dalam waktu yang bersamaan.”
“Dan kalau semua bisa kamu kalahkan, apa yang tersisa bagi Ingsun?”
“Raja Tanah Jawa. Raja yang bijaksana. Tak ada yang tersisa bagi Raja Tanah Jawa, selain pengakuan atas kebesaran Kaisar di Tartar. Selain tanda penyerahan yang tak bersyarat sampai turunan terakhir. Sampai Raja Tanah Jawa yang turunan mana nanti mampu mengulang kebesaran Sri Baginda Raja.”
“Tahukah kamu bahwa ini semua bukan pekerjaan gampang?”
“Saya merasakan dendam Raja Tanah Jawa. Atau semua yang tumbuh di bumi Jawa. Akan tetapi, kalau semua tak ada yang bisa melawan kami, apa yang kalian pilih? Mati dengan percuma pun tak mudah.”
“Kenapa kamu masih menguatirkan Upasara Wulung?”
“Dia dianggap ksatria lelananging jagat. Ia dinobatkan sebagai yang tak terkalahkan, dan mampu selamat dari perahu Siung Naga Bermahkota. Ilmunya dengan penguasaan Kitab Bumi yang luar biasa membuat saya gatal untuk mencoba. Apalagi saya mendengar ia menguasai ilmu Merogoh Sukma Sejati.”
“Kenapa kamu masih menguatirkan para senopati?”
“Perang di Lodaya, sejauh saya tahu, membuktikan bahwa para senopati mau mati bergiliran sampai habis untuk membela rajanya. Ini harus ditundukkan dari atasan. Mahapatih cukup digdaya. Akan tetapi komandonya bisa beralih ke tangan senopati yang lain.”
“Siapa yang kamu maksudkan para cerdik pandai yang culas?”
“Siapa saja. Para ksatria atau para senopati. Para pendeta atau para prajurit. Para istri atau para kuda. Semua bisa bergerak, berubah, dan harus diperhitungkan.”
“Kenapa kamu tidak jegal mereka satu demi satu?”
“Raja Tanah Jawa. Saya tak akan mengulangi kesalahan para pendahulu. Di tanah Jawa ini, ksatria bisa menjadi senopati, akan tetapi juga bisa menjadi prajurit biasa. Dan begitu pula sebaliknya. Semua bisa saling berkait. Satu-satunya jalan adalah menumpas habis.”
“Pada puncak pesta nanti?” Raja berdiri, menuju pintu. Tapi berhenti. “Ingsun tak pernah diperhitungkan. Itu kekeliruanmu, Gemuka. Ingsun masih tetap yang paling menentukan. Adalah keliru besar kalau kamu menganggap telah bisa menguasaiku dengan menakut-nakuti. Kalau kamu berharap pesta puncak nanti, sebelum pesta itu bisa terjadi sesuatu. Sebelum kamu bergerak, mereka akan bergerak lebih dulu. Ingsun bahkan bisa merasakan sekarang ini. Halayudha bisa menghimpun kekuatan besar. Mendahuluimu. Upasara bisa menghimpun kekuatan besar. Mendahuluimu. Dalam soal strategi kamu masih pupuk bawang, meskipun usiamu melebihiku.”
“Saya telah memperhitungkan itu. Raja Tanah Jawa bisa memilih kekuatan mana. Kekuatan Gemuka, dukungan para senopati, atau dari para ksatria. Yang pasti tidak dari ketiga-tiganya secara bersamaan. Apakah cukup jelas?”
“Kamu lupa, bahwa Ingsun inilah sesungguhnya Pendeta Empyak Jagat itu.”
Raja melangkah ke luar, dengan satu gerakan cepat sekali. Sekali tubuhnya bergerak, pintu terbuka dan tertutup kembali. Gemuka memuji kehebatan Raja. Bukan dari loncatannya, akan tetapi dari gagasan yang dimuntahkan ke wajahnya. Seolah kotoran yang menyapu kegagahan Gemuka yang hampir saja terpancing. Dari arah tumpukan senjata pusaka terdengar suara perlahan.
“Kenapa Gemuka menyebut-nyebut nama saya?”
“Kiai Sambartaka, tutup mulutmu rapat-rapat. Saya mengatakan apa adanya, karena Raja juga mengatakan apa adanya. Dan saya menjunjung tinggi sifat ksatria seorang raja. Beliau memang raja yang sesungguh-sungguhnya. Saya tahu kamu pun menyimpan dendam busuk dan rencanamu sendiri, akan tetapi sekarang kamu akan selalu tunduk pada saya. Bukankah ini juga terus terang?”
Perjalanan Hamba Sahaya
KIAI SAMBARTAKA seperti menemukan dirinya telanjang bugil. Tak ada yang bisa disembunyikan dari sorot mata Gemuka. Sejak pertama kali bertemu. Itu terjadi ketika Kiai Sambartaka menyembunyikan diri untuk menyempurnakan ilmunya. Merasa aman berada dalam suatu tempat yang selama ini tak diendus siapa pun. Tekadnya hanya satu: memperdalam ilmunya untuk membalas dendam, atau kalau tidak berhasil lebih baik terkubur hidup-hidup tanpa diketahui siapa pun.
Sejak melarikan diri dengan menenggelamkan diri di Kali Brantas, Kiai Sambartaka merasa tak bisa dengan tegak memandang langit. Bagaimana mungkin dirinya yang dijuluki Kiai Kiamat yang menghancurkan seluruh jagat dan isinya bisa dipecundangi dan dikalahkan beberapa kali. Bahkan usahanya untuk bersatu dengan para pendeta Syangka juga kandas. Padahal dengan melakukan hal itu, para tetua di tlatah Hindia tak akan pernah memaafkannya.
Makanya kalau Kiai Sambartaka memilih untuk melatih ilmunya atau binasa, bukan pilihan yang mengada-ada. Yang membuatnya terusik hanyalah ketika menemukan tujuh ular kobra yang menjadi senjata andalannya mati dengan saling gigit. Ini tak pernah terjadi.
Ular kobra adalah jenis ular paling berbisa yang langka, yang menjadi simbol kesuburan, simbol bencana, simbol kebesaran dan keganasan. Selama hidupnya, Kiai Sambartaka sangat yakin bisa menguasai ular kobra lebih dari siapa pun di jagat ini. Sehingga tak ragu lagi menyembunyikan pasangan kobra di balik jubahnya, atau bahkan dalam mulutnya. Tak mungkin mereka saling menyerang sendiri.
“Bagaimana mungkin kamu melatih ular kecil, kalau kamu tak bisa menghidupkan?” Sesosok tubuh yang tinggi, tegap, terselimuti jubah kedodoran berdiri kukuh di depannya. “Kalau ksatria dari mana asalmu, kalau pendeta dari mana perguruanmu.”
“Menggelikan. Bagaimana orang setua kamu, dari ilmu silat Hindia, tak bisa mengenaliku? Akulah sumber ilmu silat yang kamu pelajari. Pembagian empat tenaga berlipat tak mempunyai makna kalau kamu padukan dengan Jalan Buddha. Karena Jalan Buddha justru menghapus perbedaan pembagian pengerahan tenaga.”
“Apakah engkau datang dari negeri Empyak Jagat?”
“Pandanganmu tajam. Tapi keliru. Aku pangeran dari Tartar, yang pernah melewati Empyak Jagat. Namaku Gemuka. Aku membutuhkanmu, seperti sang Ksatria Utama membutuhkan hamba sahaya. Kamu salah satunya.”
“Aku tak pernah mendengar nama Gemuka. Tapi aku mengenal kiasanmu mengenai sang Ksatria Utama yang menaklukkan Empyak Jagat, diiringi hamba sahayanya yang berwujud kera, babi, kuda…”
“Kamulah babi. Akulah kera. Mulai sekarang, kita menuju ke Keraton.”
Kiai Sambartaka mengernyitkan jidatnya. Ia merasa asing dan tak begitu saja menyerah, meskipun mengetahui bahwa Gemuka mempunyai ilmu yang cukup tinggi. Karena bisa membuat ular kobranya saling menggigit. Gemuka menebak jalan pikiran Kiai Sambartaka. Dengan bersuit keras, ia mendengingkan suara, dan mendadak saja puluhan ular muncul bersama, menggeliat-geliat dan garang.
Kiai Sambartaka tak sedikit pun gentar dengan ular walau jumlahnya banyak sekali. Akan tetapi bahwa Gemuka bisa memanggil dalam sekejap, itu sungguh luar biasa. Apalagi ketika dengingannya berubah, ratusan kumbang mendesing di atas kepalanya.
“Dalam penguasaan kemauan binatang, kamu tak akan menang. Tenagamu tak akan mampu menandingi. Geseran dua kaki ke arah yang bertentangan untuk mengacaukan suara juga akan percuma. Karena titik pusarmu terbuka. Adalah sangat mudah mematahkan seranganmu, dengan mendesiskan ular di balik jubahmu.”
Kiai Sambartaka benar-benar tak habis pikir. Semua yang akan dilakukan bisa ditebak.
“Seperti kera menaklukkan babi, itulah yang kulakukan kini. Semua ilmumu ada dalam genggaman tanganku.”
“Apa maumu, Gemuka?”
“Seperti kamu. Menaklukkan tanah Jawa. Kita bisa bekerja sama untuk sementara. Setelah itu, kita boleh beradu kemenangan.”
“Bagaimana kamu mengetahui diriku?”
“Dari gerakanmu bisa terbaca jelas. Dari undangan pertemuan setiap lima puluh tahun bisa terbaca jelas. Namamu saja menunjukkan kekalahanmu pada tanah Jawa.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Keterangan sebanyak mungkin mengenai tanah Jawa. Kamu pasti mengetahui karena kamu lebih lama di sini. Kita bersama melakukan pembalasan dan meratakan tanah Jawa.”
Dua tangan Gemuka bergerak. Kumbang menyerbu ke arah barisan ular, yang balas menyerang. Dalam sekejap terjadi pertarungan yang aneh. Yang mengerikan, karena ular dan kumbang kemudian saling bunuh sendiri.
“Itulah yang dinamakan tenaga Mo yang sebenarnya. Tenaga Tao yang sesungguhnya. Memindahkan tanpa menggerakkan. Aku tahu kamu bisa melakukan, akan tetapi hanya terhenti pada kekuatan untuk mengeluarkan suara tanpa menggerakkan bibir. Ilmu yang sebenarnya baru tahap awal. Lima puluh tahun lagi, kamu tak akan pernah bisa maju, dan usiamu sudah membunuhmu.”
Kiai Sambartaka menggeram dalam hati. Namun akhirnya mengikuti jejak Gemuka. Yang selama perjalanan bertanya terus-menerus, mencoba menggali keterangan selengkap mungkin, dan hanya beberapa kali saja memberi petunjuk di mana kemungkinan terbesar Kiai Sambartaka bisa dikalahkan.
“Cara berpikirmu yang salah. Selama kamu menganggap ilmu silat di tanah Jawa berasal dari tanah Hindia, itu betul. Akan tetapi kalau kamu menganggap sama, kamu keliru. Pengerahan tenaga dalam yang kamu paksakan akan lumer menghadapi tenaga dalam yang berkembang di tanah Jawa ini. Itulah sebabnya kamu bisa dengan mudah dikalahkan.”
“Kalimatmu serba jemawa. Tapi aku melihat adanya kebenaran yang kamu katakan.”
“Tak ada ilmu silat yang bisa membungkam ilmu silat tanah Jawa, selama ia tidak mengikuti cara-cara yang dipakai di sini. Tapi begitu kamu mengikuti cara pernapasan di sini, kamu bisa terseret oleh cara mereka. Dua-duanya berarti kalah.”
“Tak mudah menaklukkan tanah Jawa.”
“Tidak akan pernah, dengan kekerasan yang kita miliki. Semakin keras kita mengimpit, semakin lenyet mereka, akan tetapi justru semakin liat. Sebagai sesama hamba sahaya, kita bisa berbagi pengalaman.”
Itulah sebabnya kemudian Kiai Sambartaka bersedia mengikuti Gemuka. Kembali menyusup ke dalam Keraton. Pada permulaannya mereka berpisah, akan tetapi kemudian selalu berada di tempat penyimpanan senjata. Dan setiap kali Gemuka memberondong dengan berbagai pertanyaan tanpa henti. Yang membuat Kiai Sambartaka bertanya-tanya dalam hati ialah karena ternyata Gemuka menyimpan beberapa hal yang sudah diketahui. Hanya ingin dicocokkan saja.
Terutama mengenai kekuatan-kekuatan yang ada. Terutama mengenai jurus-jurus ilmu silat, terutama mengenai tata krama dalam Keraton. Yang tetap mengherankan ialah bahwa Gemuka seperti tidak menutupi perasaannya. Apa yang dipikirkan, apa yang direncanakan, bisa dikatakan secara terbuka. Seperti juga mengenai persahabatan sebagai sesama hamba sahaya, akan tetapi juga kemungkinan mereka berdua akan saling memperebutkan kemenangan. Sungguh rasa percaya diri yang berlebihan.
“Kiai Sambartaka, aku minta kamu sebarkan tanda siung naga di berbagai tempat. Aku masih berharap saudaraku, Pangeran Sang Hiang, mengetahui keberadaanku.”
“Kenapa tidak kamu lakukan sendiri, Gemuka?”
“Aku perlu menghimpun seluruh kemampuanku. Dengan berdiam diri di sini, aku mengumpulkan tenaga dalam yang bisa disimpan, dan bisa dikerahkan sewaktu-waktu. Aku adalah kera sakti, yang bisa menyimpan makanan dalam mulut. Kamu belum bisa melakukan itu.”
Meskipun tersinggung, Kiai Sambartaka melakukan juga. Karena pada pikirnya, saudara Gemuka yang disebut Pangeran Sang Hiang pastilah tokoh yang sakti. Atau bahkan mungkin yang dimaksudkan sebagai Ksatria Utama. Itu berarti kekuatan mereka lebih sempurna. Benar-benar merupakan rencana penaklukan yang sempurna. Itu sebabnya Kiai Sambartaka mengusulkan untuk menghimpun lebih banyak lagi. Terutama raja-raja atau utusan yang berasal dari seberang. Termasuk dari negeri Turkana.
“Aku mendengar ilmu Jalan Buddha Wanita adalah ilmu yang sesat. Dan aku tidak melihat keuntungannya ia berpihak pada kita.”
“Ratu Ayu adalah istri Upasara Wulung.”
Wajah Gemuka berubah keras.
Pribadi Ambalung Usus
TINJUNYA terkepal. Bukan hanya itu saja. Tubuhnya bergerak, melayang turun, sementara dua tombak yang dijadikan tempat berbaring lepas jatuh ke lantai. “Aku dengar nama besar thay hiap yang bergelar lelananging jagat. Aku sudah gatal tangan untuk menjajal Upasara Wulung. Yang pastilah sedemikian saktinya sehingga selama ini tak ada yang bisa mengalahkan. Ada yang bisa membunuhnya, akan tetapi ternyata bukan mengalahkannya. Itulah kekeliruanmu, Kiai. Apakah kamu kira jika Ratu Ayu berpihak ke kita, Upasara Wulung akan mengikuti? Kamu tidak mengenal manusia tanah Jawa. Manusia di belahan bumi ini adalah manusia yang ambalung usus, satu-satunya pengertian yang bisa menerangkan siapa mereka.”
Kiai Sambartaka bukannya tak mengerti apa maksud kata-kata Gemuka. Ambalung berarti menjadi tulang, seperti tulang, karena balung berarti tulang. Sedangkan ambalung usus, mengandung dua pengertian yang sangat berbeda. Antara pengertian keras, seperti tulang, dan pengertian lembut, seperti usus. Ini berarti usus pun bisa menjadi keras seperti tulang. Sebaliknya juga mungkin, yaitu tulang yang keras berubah menjadi lembut dan bisa ditekuk seperti usus.
Tak terlalu sulit mengetahui hal itu. Akan tetapi masuk ke pengertian untuk memahami wong Jawa, benar-benar menunjukkan ketajaman pandangan Gemuka. Dengan kata lain, satu istilah dari Gemuka sudah bisa mematahkan usulan Kiai Sambartaka. Bahwa ditariknya Ratu Ayu belum tentu berarti tertariknya Upasara. Bahkan bisa berarti lain sama sekali. Yaitu terbalik. Ratu Ayu yang mengikuti jalan yang ditempuh Upasara. Meskipun dalam penampilan bisa saja sama: Ratu Ayu berada di pihak mereka!
Meskipun dalam penampilan bisa saja sama, seperti tak bisa dibedakan di mana sebenarnya Ratu Ayu berpihak. Wajah yang serba bertentangan, yang tak bisa diduga arti anggukan dan gelengan, arti menyerang dan bertahan, arti gusar dan bangga, menurut Kiai Sambartaka telah menyesatkan pandangannya.
Yang dialami secara langsung ketika terlibat dalam pertarungan mati hidup habis-habisan di Trowulan. Saat itu ada bayangan Eyang Sepuh, ada Paman Sepuh, serta ada Upasara Wulung sebagai wakil ksatria Jawa. Yang bertarung habis-habisan melawan tokoh-tokoh kelas puncak, yang berarti saling melawan antar mereka sendiri. Di sinilah kehebatan itu terlihat jelas!
Naga Nareswara, Kama Kangkam, dan Paman Sepuh tewas seketika. Kiai Sambartaka hanya bisa menyelamatkan diri dengan cara yang tidak terpuji. Sementara Upasara Wulung dan Eyang Sepuh bisa muncul sebagai pemenang. Dua pemenang. Yang sebenarnya tidak mungkin, karena dalam perebutan gelar ksatria lelananging jagat, hanya ada satu pemenang. Akan tetapi nyatanya bisa.
Karena sejak semula Eyang Sepuh antara ada dan tiada. Antara muncul dan lenyap. Moksa. Tidak turun ke gelanggang, akan tetapi ikut bertarung. Sifat yang serba bertentangan, antara yang dan im, yang sejak awal disadari secara penuh oleh Gemuka. Yang justru menyatu dalam satu pribadi. Yang ambalung usus.
“Paling tidak, mereka berdua tidak secara terang-terangan berada di pihak lawan dan mengibarkan bendera atau umbul-umbul sendiri.”
“Kiai, aku hargai daya pikirmu. Tapi Upasara adalah ksatria yang telah membuktikan diri tak terkalahkan selama ini. Satu-satunya cara yang tepat adalah melindasnya. Menindak habis.”
“Saat yang terbaik sekarang ini. Musim kawin ular berbisa, segala binatang berbisa, sehingga akan bisa kita kerahkan seluruhnya.”
“Cara yang tidak gagah. Tapi aku akan melakukannya.”
Kiai Sambartaka mengangguk berat. “Kalau Pangeran Hiang mengenali tanda Gemuka, ia akan bergabung dengan kita. Dengan begitu, sampailah kita kepada kehendak yang sesungguhnya.”
“Keliru. Sampailah kita kepada puncak pesta yang sesungguhnya. Soal kemenangan, itu soal lain. Akan tetapi aku tak percaya Dewa akan melindungi mereka dan kemenangan yang mereka raih dengan kebetulan itu bisa terulang.”
“Apakah keberadaan kita selama ini belum diketahui?”
“Mereka akan mengetahui sebagai penyesalan karena terlambat.”
Apa yang diperkirakan Gemuka yang begitu cepat dan mendalam mencoba memahami budaya tanah Jawa memang tak teraba oleh yang lain. Bahkan Raja Jayanegara baru kemudian mengetahui adanya Kiai Sambartaka. Halayudha yang terkenal cerdik serta pandai membaca situasi dan mencari jalan untuk mengatasi situasi dan mencari jalan untuk mengatasi, sama sekali tak memperhitungkan kehadiran Kiai Sambartaka yang diam-diam mengalami kemajuan dalam melatih ilmunya di bawah petunjuk Gemuka.
Apa yang sangat berarti bagi Kiai Sambartaka, bukan saja hanya karena dirinya bisa lebih memahami ilmu yang selama ini dipelajari, melainkan juga bagaimana menggunakan ilmu serta jurus-jurus dahsyatnya untuk menghadapi Upasara Wulung, atau para ksatria yang akan menjadi lawannya. Keunggulan ilmunya tak akan ada artinya jika ketika menghadapi lawan jadi teperdaya. Seperti yang selama ini terjadi. Seolah ilmu dari tanah Hindia menjadi mandul dan menemui tembok buntu. Ketidaktahuan Halayudha bisa berakibat berat di belakang hari!
Akan tetapi saat itu Halayudha memang sedang memusatkan seluruh kemampuannya untuk menebak dan mencegat seorang tokoh yang menurut perhitungan Nyai Demang adalah Gemuka. Sedemikian terpusatnya perhatian Halayudha pada Gemuka, sehingga yang lainnya termasuk terlupakan. Terutama kehadiran Tujuh Senopati Utama, yang selama ini tak pernah berdiam diri.
Apalagi pada dasarnya mereka mengabdi sepenuhnya kepada Baginda. Dan jauh di dalam hati kurang utuh pengabdiannya kepada Raja, yang mencapai puncaknya saat pengusiran Baginda-atau menyebabkan Baginda mengungsi-ke Simping. Ditambah lagi dengan perbuatan Raja yang melabrak tata krama susila dengan menguasai Tunggadewi serta Rajadewi.
Alasan yang kuat mendesak yang membuat mereka siap mengorbankan apa saja. Kalau sampai saat itu mereka belum bergerak, terutama karena Senopati Tanca masih berusaha menahan. Namun suatu ketika saat mereka berkumpul di kediaman Senopati Yuyu, Senopati Tanca tak bisa menahan lagi gejolak yang ada.
“Para Kisanak, para Senopati Utama, saya tahu bagaimana Kisanak melihat dan memperhitungkan saya. Karena kelihatannya mengabdi setia kepada Raja. Sesungguhnyalah begitu. Saya tak ragu se-glugut pinara sasra, saya mengabdikan seluruh jiwa-raga saya kepada Yang Mulia Baginda…”
Suaranya lembut tak terpengaruh oleh gelora nafsu emosi. Pengakuan Senopati Tanca bahwa dirinya tak ragu “serambut bambu dibagi seribu”, atau tak ragu sedikit pun dalam mengabdi Raja, ternyata berlanjut dengan kata yang diucapkan sama tenangnya.
“…Kisanak Senopati Utama akan mengetahui, bahwa sayalah yang tetap akan melaksanakan hukuman pembalasan. Itu sumpah saya.”
“Kenapa hanya diomongkan saja?” suara Senopati Kuti yang terbiasa lugas terdengar keras.
“Semua itu ada sangatnya. Ada waktu yang tepat. Dalam sehari ada lima sangat, lima waktu yang baik dan juga tidak baik. Alam yang mengatur. Mengatur kapan nangka berbunga, berbuah, dan masak. Kita tak bisa nggege mangsa, mempercepat waktu. Saya dalam mengobati, menyusun jamu, merawat tanaman, sangat yakin adanya sangat, kapan memberi minum, kapan bisa sembuh.”
“Maaf, saya tak mengenal kata-kata pujangga yang ahli pujasastra. Bagi saya setiap waktu adalah baik. Juga sekarang ini.”
“Terserah Kisanak.”
Senopati Wedeng berdeham kecil, mencoba melunakkan suasana yang panas menjarak. “Semua baik dan benar. Kita bertujuh berkumpul di sini bukan karena kita dharmaputra, senopati pilihan. Akan tetapi terutama karena kita digerakkan niatan yang sama, untuk meluhurkan asma Keraton. Maaf, kalau saya salah bicara. Beberapa kali usaha kita gagal. Bahkan Permaisuri Indreswari bisa melucuti kita sebelum bergerak…”
“Jangan diungkit soal itu.”
“Maaf, Kisanak Semi yang gagah berani. Saya hanya memperkirakan bahwa Raja sengaja mengadakan pahargyan, penghormatan besar-besaran kepada Permaisuri Praba Raga Karana sebagai siasat Mahapatih Halayudha untuk menarik keluar kita. Sehingga ketidaksukaan kita, ketidakpatuhan kita sebagai prajurit terbaca jelas, dan saat itu kita akan ditumpas.”
“Oleh sebab itu, kita akan mendahului,” kata Senopati Yuyu mantap. “Malam ini kita dahului.”
Pengabdian Tanpa Alis
APA yang dikatakan Senopati Yuyu tak perlu dipertanyakan lagi, karena sudah menjadi persetujuan bersama. Kecuali Senopati Tanca yang tidak segera mengangguk. Malah menghela napas, dan kedua tangannya bersidekap, menutup di depan dada. Di antara Tujuh Senopati Utama, Senopati Yuyu boleh dikatakan paling tidak mau menonjolkan diri. Selama ini selalu diam, dan tidak banyak menarik perhatian. Apalagi jika dibandingkan Senopati Semi maupun Kuti yang gagah dan bicara lantang.
Akan tetapi keberadaan Senopati Yuyu di antara ketujuh dharmaputra diakui sebagai penentu. Karena jika Senopati Yuyu telah memutuskan sesuatu, yang lainnya akan mengikuti. Tak ada keraguan untuk mempertanyakan kembali. Justru kalau merasa tidak perlu berpendapat, Senopati Yuyu tidak membuka mulut. Lebih suka menarik diri, seperti yuyu atau ketam. Yang tahan berada dalam tempat persembunyiannya untuk waktu yang lama, dan keluar pada saat yang tepat. Untuk menjapit mangsanya.
Dalam pertarungan dengan pasukan Tartar, Senopati Yuyu tidak muncul sebagaimana Senopati Kuti dan Semi yang langsung terjun ke gelanggang. Akan tetapi senopati inilah yang menyusun rencana penyerangan balik kepada pasukan Tartar. Yang berbisik di telinga Raden Sanggrama Wijaya ketika itu, bahwa ketiga Naga tak mengetahui kepada siapa harus membalaskan dendam.
Senopati Yuyu-lah yang dengan cepat dan tepat menjapit gagasan untuk membelokkan arah serangan pasukan Tartar ke Singasari, dan kemudian menyiapkan satu pukulan jitu di saat pasukan Tartar merayakan kemenangan. Semua dilakukan dalam diam. Dengan mulut tertutup.
Pertama kali terbuka di depan para senopati yang lain ialah ketika Baginda mengangkatnya sebagai dharmaputra. Senopati Yuyu satu-satunya yang mengatakan bahwa Baginda memberikan beban yang kelewat berat untuk pundak yang hina dan ringkih.
“Tanpa gelar resmi, tanpa sebutan yang dibuatkan prasasti, hamba adalah abdi yang sama. Dengan pemberian gelar kelewat terhormat ini hamba merasa tak mampu berbuat apa-apa, karena takut mengotori kehormatan anugerah, kebesaran yang Baginda limpahkan.”
Ketika Baginda tetap melaksanakan, Senopati Yuyu seperti ketam yang kembali ke sangkarnya. Mendapat sebutan sebagai yuyu rumpung ambarong rongge. Sebutan yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Yuyu rumpung adalah ketam yang buntung, yang kehilangan kakinya. Ambarong berarti menutup diri dengan dedaunan. Sedangkan rongge berarti rongga atau sarangnya.
Sikap yang ditunjukkan Senopati Yuyu adalah sikap bijak abdi dalem, pengabdi Baginda. Karena penolakannya berarti hanya untuk dirinya sendiri, dan itu dilakukan dengan memperkuat dirinya. Membuat benteng pertahanan, dalam hal ini tidak membuat huru-hara atau keonaran atas putusan Baginda. Sekarang ini, setelah sekian lama berdiam diri, Senopati Yuyu mengemukakan pendapatnya. Mendahului menyerang!
“Kisanak semua, para Senopati Utama yang diistimewakan Baginda. Mahapatih, atas restu Raja, berusaha memancing kita muncul ke permukaan, dan akan melibas habis. Tanpa sisa, tanpa bekas. Apa yang kita lakukan malam ini adalah menangkap dan mengamankan Mahapatih lebih dulu, dengan alasan bahwa Mahapatih ingin kraman, ingin memberontak, ingin menyusun kekuatan sendiri. Itu langkah pertama. Langkah kedua, menghaturkan peristiwa ini secepatnya kepada Raja. Jika Raja merestui, kita berhenti di sini. Jika Raja tidak merestui, kita tak bisa mundur lagi. Kita akan menyembah kepada Putri Tunggadewi, sebab beliaulah putri turunan Baginda, yang menurut Kitab dibenarkan menduduki takhta.”
Keenam Senopati Utama menunduk. Mendengarkan. Membenarkan.
“Selama ini Raja sesembahan telah berlaku welas tanpa alis, dan kita menerima dengan pengabdian yang bisa kita sungkemkan. Kalaupun nantinya harus berakhir dengan welas temahan lalis, itu suratan nasib yang terbawa sejak lahir. Hanya kalau boleh saya meminta dengan sangat dan hormat, demi persaudaraan dan pengabdian kita bersama, sebagai sesama prajurit, Kisanak Tanca tidak perlu turun tangan.”
Selaksa badai menyambar bersama ke balik benak Senopati Tanca. Untuk beberapa saat bibir bawahnya seperti memberat. Helaan napasnya masih tertahan di dada. Dengan mengatakan welas tanpa alis, Senopati Yuyu ingin mengatakan bahwa selama ini pengabdian mereka tidak diterima dengan baik. Welas adalah belas kasihan, kasih atau dalam hal ini berarti pengabdian. Tanpa berarti tidak dengan. Sedangkan alis, sebenarnya berasal dari kata lalis, yang berarti sengsara.
Sedangkan welas temahan lalis, menggambarkan pengabdian yang mereka lakukan selama ini berakhir, temahan, dengan kesengsaraan. Yang juga bisa berarti kematian dengan cara hina. Itu dua kemungkinan yang digambarkan oleh Senopati Yuyu. Yang pertama, menilai keadaan pada masa lalu pengabdian mereka, yang kedua mengenai apa yang bisa terjadi.
Bagi Senopati Tanca, kemungkinan itu bukannya tak diketahui. Seperti senopati yang lain, kemungkinan terburuk sudah diketahui. Dan tidak membuat mereka gentar atau mundur. Justru karena ini merupakan panggilan jiwa prajurit pengabdi yang sejati. Akan tetapi perasaan disambar badai yang dirasakan Senopati Tanca terutama sekali karena dalam urusan ini dirinya tidak diikut sertakan!
Kalimat yang sangat keras. Dan tajam menusuk karena diucapkan Senopati Yuyu. Sehingga membuat Senopati Tanca terenyak. Selama ini Senopati Tanca mengakui di antara para senopati utama yang lain, dirinyalah yang paling sering tinimbalan, dipanggil, atau paling berkenan di hati Raja. Bahkan dalam pengasingan ke Simping pun, Senopati Tanca masih ditahan di Keraton. Karena jamu dan jampinya diperlukan Raja. Termasuk ketika mengobati dan menyiapkan pernikahan dengan Permaisuri Praba!
Seperti yang diakui sendiri, Senopati Tanca sama sekali tak membantah hal itu. Mengakui bahwa pengabdiannya selama ini tak terhenti. Namun kalau bahkan di antara sesama prajurit yang selalu galang-gulung bersama sejak semula, sikapnya tak bisa dimengerti, Senopati Tanca sangat berduka.
“Maaf, Kisanak Tanca. Saya memutuskan cara ini, karena kalau kami semua temahan lalis, akhirnya mati dan kalah, Kisanak masih bisa melakukan seorang diri. Hanya Kisanak Tanca yang mungkin melakukan sendiri.”
Terdengar helaan napas lega dari keenam Senopati Utama secara bersamaan. Dan juga desisan puji syukur.
JILID 57 | BUKU PERTAMA | JILID 59 |
---|