Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 59
Senopati Tanca tergetar hatinya. Tergetar hebat karena menyalahkan dirinya yang mempunyai pandangan begitu sempit dan pendek, dan mengakui pandangan Senopati Yuyu yang luas dan menyeluruh. Tergetar hebat karena ternyata persaudaraan sesama Senopati Utama masih tetap erat dan lengket, menyatu. Lebih dari saudara sekandung, yang lahir dari perut yang sama dengan ayah yang sama. Itulah yang menggetarkan hatinya.
Bahwa sesungguhnya selama ini mereka merasa selalu satu hati, satu tekad, satu pengabdian yang tulus. Kalaupun ada perbedaan yang kadang menajam dan bertentangan dalam berbagai peristiwa, seperti ketika ditawan dilucuti, itu tak mengurangi sedikit pun jiwa persaudaraan yang sesungguhnya.
“Kalau begitu putusan kita, jangan sampai mentari esok mendahului kita.”
“Kisanak Kuti benar,” kata Senopati Yuyu. “Kita siapkan para prajurit pilihan, kita dekati Putri Tunggadewi, dan kita menuju kepatihan. Apa yang kita perlukan hanyalah prajurit pilihan, dan selama ini penerimaan prajurit baru yang tangguh berada di bawah Mahapatih.”
“Aku siap menghadapi.”
“Tak ada yang tak siap, Kisanak Semi,” tutur Senopati Pangsa. “Apa yang dikatakan Kisanak Yuyu ada benarnya. Kalau para prajurit utama berada di pihak Mahapatih, akan menyulitkan kita mencapai sasaran.”
“Kita tak bisa menunda lagi. Apa yang ada kita gerakkan.”
Senopati Yuyu mengangguk. Tangannya menggenggam tangan Senopati Tanca yang kini berada di lutut. “Kisanak, kita hanya melakukan tugas yang berbeda, dengan hati yang sama. Izinkanlah kami meninggalkan tempat ini lebih dulu. Izinkanlah sangat yang baik itu berada di pihak yang benar.”
Senopati Tanca merangkul kencang. Saat itu mendadak terdengar beberapa langkah kaki mengepung. Ketujuh senopati berpandangan. Benar, telinga mereka tak salah. Ada puluhan langkah kaki yang mendatangi dari pelbagai penjuru. Bahkan mulai terdengar suara dan aba-aba, serta gemerincing senjata.
Cegatan Pemberontakan
HANYA dalam sekejap seluruh ruangan sudah terkepung. Rapat. Prajurit kawal Keraton berjarak rapat, dengan senjata yang disiagakan. Bahwa gerakan para prajurit begitu cepat dan sigap serta mengambil tempat yang strategis, menunjukkan bahwa mereka yang datang sudah sangat terlatih kuat.
Senopati Yuyu membalik, menghadap ke arah yang datang. Sebagai tuan rumah, Senopati Yuyu merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi di rumahnya. “Kisanak Jabung Krewes, silakan duduk, berbagi rembug.”
Senopati Jabung Krewes tak bergerak. Kedua tangannya tidak menunjukkan sikap persahabatan. Siku tangan kanannya bersitelekan di gagang keris. Tangan kirinya memberi aba kepada yang berada selangkah di belakangnya. Yang berada tepat di belakangnya adalah Eyang Puspamurti. Yang tampak kurus kering dengan sanggul rambut sekenanya dan seluruhnya berwarna putih. Sedang di sebelah kanan dan kirinya, Prajurit Mada serta Kwowogen, yang tampak memberi kesan sangat subur tubuhnya, kekar, akan tetapi juga sigap.
“Para Senopati Utama, atas nama suara batin kita masing-masing, atas nama Keraton, silakan mengangsurkan tangan ke belakang. Kami telah membawa bandan…”
Ucapan Senopati Jabung Krewes terdengar menusuk perasaan dan menyakitkan telinga. Dengan mengatakan membawa tali banda, tali untuk mengikat tangan yang diangsurkan dan berada di punggung, bisa diartikan sebagai memberikan hukuman. Sebab hanya para durjana atau yang bersalah yang dibanda tangannya. Menusuk perasaan karena itu ditujukan kepada Tujuh Senopati Utama.
“Apa salah kami…?” Suara Senopati Banyak terdengar perlahan, seolah benar-benar tidak mengetahui sebab-musababnya. Meskipun sebenarnya adalah hal yang sangat biasa untuk mempertanyakan alasan jika seseorang akan dijadikan pesakitan.
“Karena tali yang saya bawa kemari adalah tali keprajuritan, berarti para Senopati Utama telah melakukan kejahatan dari segi keprajuritan. Hukuman akan ditentukan kemudian oleh Raja. Mada, Kwowogen, Puspamurti…”
Tangan kiri Jabung Krewes bergerak. Eyang Puspamurti bergerak memberi aba menirukan, bersamaan dengan tubuhnya yang seperti menggeliat maju. Karena Senopati Yuyu yang berada di depan, Senopati Yuyu-lah yang menjadi sasaran pertama. Tanpa disadari, Senopati Yuyu melangkah ke belakang. Satu tindak. Langkah kedua baru separuh, kaki kanan baru terangkat, ketika tubuh Eyang Puspamurti telah menyelinap di belakangnya dan menarik ke belakang tangan Senopati Yuyu. Dan melingkarkan tali dalam sekejap.
Serta menekan pundak Senopati Yuyu, hingga yang bersangkutan tanpa dikehendaki terduduk. Cara bergeraknya sangat cepat sekali. Apalagi saat Eyang Puspamurti melakukan gerakan tadi, Mada dan Kwowogen juga langsung bergerak. Tubuh yang tambun itu seperti tertiup angin, ringan, berloncatan dari samping kiri dan ke kanan dan sebaliknya, berputar arah bolak-balik. Semua senjata keris telah berhasil dirampas. Hanya Senopati Tanca yang sempat menarik kerisnya, meskipun hanya tinggal memegangi warangka atau sarungnya saja.
“Perhatikan baik-baik, Mada. Kalau kamu menyerang, jangan pedulikan tingkatan. Kamu prajurit dan harus menghadapi senopati, tak perlu menyembah lebih dulu. Itu membuang waktu. Jika semua sembahan kamu lakukan, para senopati itu bukan saja hanya sempat memegang sarung keris, tapi mungkin sudah bisa menusukkan keris itu ke perutmu. Perhatikan dan ingat baik-baik, Mada.”
Senopati Yuyu mengakui bahwa dirinya mungkin paling lemah di antara enam senopati yang lainnya. Dalam ilmu silat, dirinya memang tidak terlalu menonjol. Apalagi menghadapi Eyang Puspamurti yang telah kesohor kesaktiannya. Makanya bisa dibekuk dengan sekali gerak, bisa diikat kedua tangannya di punggung. Itu bukan sesuatu yang luar biasa.
Yang sedikit mengherankan adalah bahwa prajurit seperti Mada atau yang satunya, ternyata memiliki ilmu yang tidak sembarangan. Bahkan sangat hebat, apalagi jika dilihat pangkatnya hanya prajurit. Dalam gerakan cepat bisa mencabut keris yang lengket di punggung!
Kalau tadi Eyang Puspamurti mengatakan Mada menyembah lebih dulu, memang ada benarnya. Gerakan tangan Mada sebelumnya seperti menyembah. Meskipun itu dilakukan seketika, lalu tubuhnya bergerak dari arah kiri ke kanan dan prajurit satunya mengambil cara terbalik. Ini saja sudah menunjukkan keunggulan dan penguasaan akan gerak.
Bahwa gerakan mereka begitu cepat dan tepat, sedikit pun tak disangsikan Senopati Tanca. Dialah yang masih bisa bersikap tenang tak terguncang, sehingga bisa mengawasi sejak pertama.
Akan tetapi sebenarnya keunggulan ketiga prajurit itu, terutama karena lapisan prajurit yang siaga di belakang, yang akan bergerak maju untuk mati kalau terjadi sesuatu. Keraguan para Senopati Utama yang terutama ialah menghindari pertumpahan darah yang terjadi pada prajurit-prajurit Keraton, yang masih anak buah mereka juga.
“Puspamurti, Mada, Kwowogen, ikat mereka!”
Puspamurti bergerak. Diikuti Mada dan Kwowogen. Seperti sebelumnya Mada menyembah lebih dulu sebelum menunggu dengan sabar, sampai para senopati meletakkan tangan di belakang. Sehingga baru menyelesaikan satu ikatan ketika dua yang lainnya telah selesai. Mada tinggal berhadapan dengan Senopati Tanca yang masih memegang sarung keris. Mada mengangsurkan keris yang tadi diambil.
“Maaf, Senopati yang mpu sakti penuh wibawa. Mohon hamba diperkenankan menyarungkan keris yang terhunus.” Suaranya keras bagi telinga, akan tetapi nadanya ramah menghormat.
Senopati Jabung Krewes menahan napas. Tangan kanannya yang bersitelekan pada gagang keris tampak tegang. Jari-jarinya merenggang, seakan siap mengubah gerakannya menjadi cabutan keris dan mendahului Senopati Tanca. Napas yang tertahan, karena hati Senopati Jabung Krewes bercekat. Mada memperlihatkan sikap sangat menghormat, juga dalam mengangsurkan keris, dengan mempergunakan tangkainya untuk disodorkan.
Ini memang cara menghormat, akan tetapi berlebihan untuk keselamatan jiwanya. Karena dengan sekali sentak, dengan tenaga penuh, keris itu bisa melesat menusuk ke arah dada Mada yang telanjang. Dalam posisi jengkeng, setengah berdiri setengah jongkok, jelas tidak memungkinkan Mada berkelit. Kakinya membentuk kuda-kuda yang bertahan. Agak sulit digerakkan. Apalagi kalau terkena serangan mendadak. Apalagi sesudah itu Mada menyembah lagi.
Senopati Tanca menerima keris. Memegang dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya mendekatkan sarung keris. Kalau saja tangan kanan itu terulur lurus dan sempurna, Mada akan menjadi sasaran empuk. Betapapun kuat dan sigapnya, tak nanti tusukan Senopati Tanca bakal meleset atau bisa tertangkis sempurna. Bagian yang paling apes pun pasti sekitar dada. Dengan pengetahuan mengenai letak anggota di dalam tubuh, Senopati Tanca bisa mengincar sasaran yang mematikan.
Ini yang membuat Senopati Jabung Krewes bercekat. Karena dirinya yang langsung memilih ketiga calon prajurit itu untuk segera ditarik menjadi prajurit resmi. Bahkan dimasukkan sebagai prajurit kawal Keraton yang bertugas di dalam. Suatu loncatan yang cukup tinggi dalam keprajuritan.
Karena para prajurit, apalagi calon prajurit, biasanya cukup lama bertugas sebagai wadyabala, bagian dari barisan prajurit. Yang ditugaskan di luar Keraton, baik untuk bertempur maupun tugas-tugas lain. Hanya prajurit yang istimewa yang bisa ditarik ke dalam. Dan di antara mereka ini akan ada yang terpilih lagi untuk bisa masuk sebagai prajurit kawal Keraton atau prajurit kawal pribadi.
Berarti melewati satu jajaran yang penuh pemilihan dalam perhitungan. Karena jumlah prajurit kawal Keraton sangat sedikit, makanya benar-benar terpilih. Mada, Kwowogen, serta Eyang Puspamurti bisa meraih posisi itu dalam waktu yang sangat singkat. Terutama memang karena mereka bertiga kelihatan sangat menonjol ilmu silatnya. Akan tetapi sebenarnya juga mengandung penilaian lain. Yaitu diakui adanya pengabdian yang lurus, mulus, murni, dan tak diragukan lagi.
Yang terakhir ini agak susah penilaiannya untuk diterangkan. Akan tetapi para senopati yang terlatih bisa segera mengendus ketaatan itu. Senopati Jabung Krewes tidak ragu segera menarik ketiganya menjadi prajurit kawal Keraton. Biasanya prajurit kawal Keraton dengan sendirinya memiliki pangkat tertentu, yang setingkat atau dua tingkat di atas prajurit biasa. Akan tetapi ternyata Mada, Puspamurti, Kwowogen tidak mempersoalkan hal itu.
“Kami mencegat kraman yang mengalirkan darah lebih banyak. Dengan cara ini, rasanya ini pencegahan yang paling tidak membawa korban. Maaf atas kelancangan kami semua…”
Candaka Cumandaka
SENOPATI JABUNG KREWES seakan berusaha menengahi ketegangan. Sekaligus menunjukkan jalan terbaik agar Senopati Tanca menyerah. Menyerahkan kerisnya. Kegelisahannya sangat kentara. Senopati Tanca menyarungkan kerisnya, akan tetapi tidak menyerahkan kepada Mada, melainkan menyelipkan ke balik setagen di punggungnya.
“Paman Senopati Tanca, izinkanlah hamba menyimpan keris pusaka Paduka.”
“Aman di tempatku.”
“Kalau itu kehendak Paman Senopati, hamba menjadi saksi.” Kalimat Mada terdengar menggelegar di telinga. Berat dan menyiksa. Seperti menyisakan getaran.
Eyang Puspamurti sampai menengok ke arah Mada sambil mengernyitkan dahi. Sesuatu yang jarang dilakukan selama ini, karena Eyang Puspamurti kelihatannya tidak mau peduli pada orang lain. Akan tetapi saat itu ada sesuatu yang membuat sukma sejatinya bergetar. Seakan memberi ingatan bahwa bisa terjadi sesuatu antara Mada, Tanca, dan keris yang diselipkan. Sesuatu yang bisa mengerikan, sesuatu yang tak terduga. Hanya saja Eyang Puspamurti belum bisa menangkap jelas gambaran apa yang akan terjadi nantinya.
Senopati Jabung Krewes tetap berdiri. Memandang sekeliling. Kepalanya sedikit miring. Lalu mengangguk ke arah Eyang Puspamurti. Yang segera bergerak, menggotong para senopati ke ruangan dalam. Dibantu oleh Mada dan Kwowogen. Hanya Senopati Yuyu yang ditinggalkan. Bahkan kemudian ikatannya dilepas kembali. Bersamaan dengan itu, Senopati Jabung Krewes ikut masuk, sementara para prajurit kawal Keraton menghilang dalam kegelapan.
Senopati Yuyu duduk tepekur. Ketika Senopati Jabung Krewes tadi memiringkan kepalanya, Senopati Yuyu juga mendengar suara tapak kaki yang banyak dan datang mendekat. Disertai iringan bunyi kuda dan gemerincing senjata. Sedikit-banyak ini menimbulkan pertanyaan dalam hati. Memunculkan banyak tebakan dalam hati. Rombongan siapa lagi yang datang tengah malam seperti ini?
Tak terlalu lama menunggu. Karena kemudian muncul barisan prajurit Keraton yang membawa umbul-umbul, dan membentuk barisan mengepung. Bersamaan dengan munculnya Senopati Bango Tontong yang melangkah gagah. Menyembah umbul-umbul, kemudian berpaling ke arah Senopati Yuyu.
“Tak perlu kepura-puraan. Atas nama Raja, saya Senopati Bango Tontong, yang bertugas dan bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban seisinya, memerintahkan Tujuh Senopati Utama untuk menyerah.”
Senopati Yuyu masih tetap duduk. Tidak menggeser. Tidak bergerak. Tidak menyembah. Meskipun secara tata krama keprajuritan seharusnya melakukan sembahan sebagai penghormatan. Meskipun dirinya adalah dharmaputra, akan tetapi dalam jajaran kepangkatan Senopati Bango Tontong berada di atasnya. Karena dalam hal ini bertindak atas nama Raja, dengan menyertakan umbul-umbul resmi sebagai pengganti kehadiran Raja. Apalagi ketika Senopati Bango Tontong menunjukkan cincin yang menandakan bahwa ia utusan resmi Raja.
“Aku tahu kalian para Senopati Utama berkumpul di sini untuk kraman. Tak usah mungkir dan menyangkal. Saya selama ini telah memasang prajurit candaka yang mengamati kediaman para Senopati Utama. Semua tak ada di rumah. Dan tak meleset dugaanku, bahwa semua berkumpul di kediaman Senopati Yuyu. Tak ada gunanya bersembunyi. Prajurit Keraton Majapahit… Atas nama Raja, bersiaplah!”
Terdengar bunyi serempak. Puluhan prajurit menyiagakan diri. Barisan panah, tombak, pedang, dan keris mengambil ancang-ancang untuk menyerang. Tapi justru saat itu Senopati Yuyu menjadi tenang. Wajahnya tetap tak berubah. Suaranya lembut, tak berkurang tak bertambah.
“Kisanak Anom, apakah saat ini Kisanak sedang mengadakan geladi resik?”
Tangkisan jitu yang membuat Senopati Bango Tontong tersudut. Dengan mempertanyakan apakah sekarang ini sedang ada latihan secara bersungguh-sungguh seperti kalau benar-benar terjadi, Senopati Yuyu seakan-akan tak mengerti semua yang sekarang sedang terjadi. Menganggap tindakan Bango Tontong hanyalah latihan. Walau bersungguh-sungguh.
Tangkisan jitu yang hanya mungkin diperlihatkan seorang senopati yang ulung. Rasanya keenam senopati yang lain tidak akan bisa melakukan apa yang dikatakan Yuyu. Bukan karena apa. Melainkan karena ucapan yang sederhana, yang diucapkan dengan biasa-biasa ini sebenarnya telah menghancurkan semua keangkeran Bango Tontong. Semua ini bukan tanpa perhitungan.
Bagi Senopati Yuyu, menggauli strategi perang adalah kelebihannya dibandingkan yang lain. Begitu mendengar tuduhan Bango Tontong, terbersit pikiran bahwa Bango Tontong dan para prajuritnya belum yakin benar bahwa Senopati Utama yang lain berada di kediamannya. Jalan pikiran Senopati Yuyu adalah bahwa selama ini ada prajurit candaka, atau prajurit telik sandi, prajurit rahasia yang selalu mengamati kediaman Tujuh Senopati Utama. Sehingga bisa mengetahui bahwa keenam senopati berangkat dari kediamannya secara bersamaan.
Dugaan bahwa mereka menuju kediaman Senopati Yuyu sangat beralasan mengingat Senopati Yuyu selama ini selalu jadi panutan untuk mengambil tindakan. Keraguan Bango Tontong disambar begitu saja oleh Senopati Yuyu. Nyatanya berhasil! Padahal kalau Bango Tontong memerintahkan prajuritnya untuk memeriksa ke dalam, akan lain riyawat hidup para Senopati Utama.
Unggul dalam gebrakan pertama, Senopati Yuyu masih bertanya-tanya dalam hati. Itu sebabnya wajahnya belum sepenuhnya bisa wajar. Tapi juga rasa herannya mempunyai arti bahwa Senopati Yuyu masih belum mengerti maksud kedatangan rombongan yang mengatas namakan Raja. Hal ini ada benarnya, karena memang sebenarnya pertanyaan itu menyeruak dalam batin Senopati Yuyu.
Pertama kali muncul Senopati Jabung Krewes yang mengamankan mereka. Dengan alasan mencegat kraman. Beberapa saat kemudian muncul rombongan kedua, yang juga mengatas namakan Raja. Hanya sekali ini lebih bisa dipercaya karena memakai umbul-umbul dan memperlihatkan cincin resmi. Kalau benar begitu, apakah mungkin dua rombongan ini utusan Raja? Jelas tidak mungkin. Hanya selisih beberapa saat Raja memerintahkan dua rombongan perkasa, jelas menunjukkan adanya kekacauan dalam mempercayai senopati.
Kemungkinan yang lain, hanya salah satu dari rombongan ini yang benar-benar diutus Raja untuk mengamankan. Pasti bukan rombongan Senopati Jabung Krewes yang kemudian ternyata memilih bersembunyi. Berarti rombongan Senopati Bango Tontong yang resmi. Itu juga belum tentu. Karena bisa saja Bango Tontong mendapat perintah dari Mahapatih Halayudha untuk mengadakan gerakan sapu bersih.
“Kalau kalian tak mau keluar, jangan salahkan aku yang bertindak kurang ajar.” Bango Tontong menunggu sesaat. Sebelum akhirnya memerintahkan para prajurit untuk mendesak ke dalam.
Senopati Yuyu tetap duduk tepekur. Mendadak gerakan maju para prajurit Bango Tontong tertahan. Terdengar suara tiupan trompet dari tanduk kerbau jantan. Mendenging. Tak salah lagi. Yang kemudian muncul adalah Mahapatih Halayudha dengan sekitar sepuluh prajurit. Muncul dan langsung melangkah ke dalam. Memandang Bango Tontong dengan senyuman dingin.
“Berani benar kamu, kaki kurus busuk. Sejak kapan kamu menjadi gedibal orang asing? Sejak kapan kamu menginjakkan kakimu yang kotor ke wajahku? Dasar manusia busuk berhati buruk! Kamu tak akan menang melawan candaka cumandaka seperti aku. Para prajurit, tangkap Bango Tontong! Ikat tangannya!”
Tudingannya sangat perkasa. Prajurit yang mengawalnya, baik yang mengawal Senopati Bango Tontong maupun yang mengawal Mahapatih Halayudha, bergerak bersamaan. Mendekap Bango Tontong yang seperti tak bertenaga lagi. Mendekap, mengikat tangan Bango Tontong, serta menyeretnya.
Senopati Yuyu menyembah ke arah Mahapatih. “Mahapatih yang mulia, terimalah sembah bekti saya….”
Siasat di Dalam Siasat
MAHAPATIH HALAYUDHA mengelap rambutnya, yang saat itu terlihat berkeringat. Pandangan menyapu ke arah seluruh ruangan. Para prajurit bersila secara bersamaan, meletakkan senjata di samping. Sementara mata Senopati Bango Tontong membelalak, dengan tubuh terbaring karena tangan dan kakinya terikat.
“Mahapatih yang mulia, hamba menghaturkan sembah bekti…”
Suara ulangan Senopati Yuyu seperti tenggelam dalam ruangan sunyi yang tak memantulkan gema. Karena semua isi pikiran sedang melayang dan menemukan sasaran seperti yang diperkirakan. Senopati Yuyu sendiri tengah menerima apa yang terjadi dan berusaha menangkap sebisanya. Babak pertama, bahwa keinginan kraman itu sudah meluas ke Keraton. Dalam situasi yang tak menentu, semua kelompok ingin merebut kekuasaan. Dan karena banyak kelompok, masing-masing menahan diri. Melihat siapa yang lebih dulu bergerak, kemudian akan disikat.
Babak kedua, keinginannya untuk mendahului mengamankan Raja hampir saja terlaksana walau ada keraguan dari Tanca mengenai sangat yang baik. Babak ketiga, munculnya Senopati Jabung Krewes. Yang berbuat hal yang sama. Sama? Bisa juga lain. Senopati Jabung Krewes kelihatannya justru ingin mengamankan agar Tujuh Senopati Utama tidak jadi memberontak saat itu. Dilihat dari caranya atau kata-katanya “ingin mencegat kraman’, menunjukkan bahwa sebenarnya Jabung Krewes ingin menyelamatkan Tujuh Senopati Utama untuk tidak melakukan gerakan apa-apa.
Babak keempat, munculnya Senopati Bango Tontong yang terlambat menangkap. Saat itulah, babak kelima muncul. Babak di mana Mahapatih Halayudha membuyarkan Bango Tontong yang mengaku utusan resmi Raja. Kalau bukan utusan Raja, utusan siapa? Kalau Mahapatih pun dikelabui Bango Tontong, siasat siapa yang sedang berjalan di atas siasat orang lain?
Halayudha sendiri menyebut dirinya candaka cumandaka, yang artinya seorang telik sandi yang bertingkah laku seperti telik sandi. Permainan di atas permainan. Seseorang yang berpura-pura menjadi prajurit rahasia, dan memperlihatkan diri sebagai prajurit sandi, dengan maksud mengecoh, akan tetapi sesungguhnya ia tetap prajurit sandi yang memainkan peranannya. Halayudha memang seakan memuji dirinya sendiri.
Dengan diam-diam ia mengawasi semua gerak-gerik yang terjadi. Ketika mengetahui Bango Tontong bergerak, Halayudha segera menunggu untuk bertindak. Nyatanya berhasil. Bango Tontong bisa diringkus. Dalam benak Senopati Yuyu, Bango Tontong menjadi gedibal, menjadi budak suruhan orang asing, atau kekuatan asing, seperti yang dikatakan Halayudha.
“Bango Tontong, betapa aku ingin menguliti kulitmu selembar demi selembar. Aku akan melakukan sekarang, disaksikan prajuritku. Agar kamu mati dengan puas dan bisa membela diri, katakan apa yang sebenarnya kamu inginkan?”
“Mahapatih, siksalah hamba… Sejak berkhianat kepada Mahapatih Nambi…”
“Jangan memperpanjang kata. Kenapa Gemuka menyuruhmu berbuat seperti ini?”
“Hamba hanya menjalankan perintah Mahapatih. Bilamana para Senopati Utama berbuat sesuatu yang mencurigakan, harus segera dibasmi.”
Halayudha tertawa dingin. “Kamu tak punya kesempatan untuk mengadu aku. Aku memerintahkan kamu mengawasi Tujuh Senopati Utama. Mengawasi. Dan semua tindakan atas namaku, atas perintahku. Akan tetapi kamu bahkan berani memakai nama Raja.”
“Mahapatih, Raja sesembahan yang memerintahkan hamba….”
Kaki Halayudha bergerak. Jempol kakinya tepat di jakun Bango Tontong. “Raja tidak memerintahkan siapa-siapa. Karena sedang bersamaku. Masih perlu pembelaan lagi? Bango Tontong, kamu julig, licik, dan membahayakan. Akan tetapi kamu tak bisa mengelabuiku. Tak akan bisa.” Jempol kaki Halayudha bergerak sedikit.
Mata Bango Tontong mendelik. Wajahnya menjadi merah seluruhnya seakan kepiting terebus air mendidih. Keringatnya bercucuran, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh saraf peka. Kekuatan Halayudha memang luar biasa. Ditambah kemampuannya mengetahui nadi kepekaan, siksaan yang diderita Bango Tontong benar-benar tak bisa dibayangkan. Di balik persembunyiannya, Mada menggigit tangannya hingga berdarah. Hatinya tersayat dan terluka, tidak tahan melihat penderitaan Bango Tontong.
Eyang Puspamurti meletakkan tangannya di pundak Mada. Senopati Yuyu sendiri menunduk, seperti para prajurit yang lain. Suara ganjil, memelas, sesambat, merintih, terdengar samar tapi mengerikan. Tubuh Bango Tontong makin berkelojotan. Baru terhenti ketika Halayudha sedikit merenggangkan.
“Kamu bahagia bisa mati dengan sengsara dan dengan cara yang menyakitkan. Tidak semua orang bisa mengalami sepertimu, Bango Tontong. Ada yang mau kamu katakan?”
“…Mahapatih… hamba… uuk…” Teriakan tertahan.
Senopati Yuyu mendongak. Wajah Bango Tontong telah berubah menjadi hitam. Seekor ular berkilat dan berkepala gede mendesis. Hanya dengan sekali menggerakkan kakinya, Halayudha berusaha menjapit kepala kobra. Gerakan yang ganas, cepat, dan beringas. Akan tetapi kobra itu seperti menyadari bahaya. Berkelit dan mendongak. Siap menyemburkan bisa. Sia-sia.
Gerakan pertama hanyalah pancingan. Sambaran yang sesungguhnya dengan tungkak, bagian belakang tapak kaki, yang keras membenamkan kepala ular kobra. Membenamkan ke wajah Bango Tontong. Hanya terdengar bunyi kemeretek panjang, tengkorak kepala ular kobra itu rata, remuk di wajah Bango Tontong.
Senopati Yuyu bisa melihat jelas semua yang terjadi di depan matanya. Kesadarannya bagai dicampakkan ke tanah kotor berlumpur. Bahwa Halayudha ganas serta telengas, semua hidung mengetahui. Akan tetapi baru sekarang ini mengetahui bagaimana bentuk perwujudannya. Kalaupun Bango Tontong melakukan kesalahan terbesar, tak seharusnya wajahnya dipakai untuk menginjak remuk kepala ular kobra.
“Kiai Sambartaka, keluarlah! Di tempat yang terang kita bisa berbincang. Bango Tontong tak akan menghilangkan jejak Kiai, karena ular kobra ini lebih merupakan tanda pengenalmu.”
“Begitukah?” Suara yang empuk, agak asing nadanya, tapi menyiratkan kelembutan.
Semua mata yang memandang seolah tak percaya. Karena yang muncul dari keremangan adalah Ratu Ayu Azeri Baijani. Bersama Putri Tunggadewi! Bahkan Halayudha sendiri tak pernah menduga sama sekali. Tak menduga bahwa Ratu Ayu muncul saat itu, sambil mempermainkan ular kobra sepasang yang melilit di lehernya.
“Begitukah yang jadi kesimpulanmu?”
“Putri Tunggadewi, sumangga minggir kemari….”
Cara Halayudha benar-benar membuat para prajurit seluruhnya menghormati dan kagum. Dalam situasi genting, Halayudha lebih memikirkan keselamatan Putri Tunggadewi! Kalau sebelumnya sempat terperangah dengan kebengisan Halayudha, perasaan itu terhapus utuh.
“Jangan mau, Putri. Ular ini bisa meloncat dan menahan.”
“Aha, baru sekarang aku tahu. Seorang Ratu Turkana yang katanya kesohor, bisanya hanya menakuti anak kecil dengan ular mainan. Mengherankan. Alangkah nistanya ksatria lelananging jagat yang memilih istri semacam ini.”
“Tutup mulutmu!”
Dua ekor ular kobra mendadak mendesis, terbang ke arah Halayudha. Yang tanpa menggeser kakinya, mengangkat kedua tangannya, menyaut dua kobra. Menjepit tepat di leher. Dan membanting ke tanah. Untuk kemudian, sekali lagi, digilas dengan tungkak-nya. Kembali terdengar kemeretek tanda remuknya dua tengkorak ular kobra yang lengket dengan lantai.
Langit Mengimpit Bumi
TEMPAT yang didiami Senopati Yuyu tak berbeda dengan tempat senopati yang lain. Sebuah bangunan perumahan di dalam wilayah benteng Keraton, dengan regol, pintu depan, yang kukuh dan halaman luas. Selebihnya bangunan yang sederhana dan tak begitu besar. Apalagi sekarang ini, di mana banyak sekali tamu yang berdatangan. Udara terasa panas. Baik di dalam maupun di luar.
Di dalam ada enam Senopati Utama bersama dengan Jabung Krewes dan tiga prajurit kawal pilihan, sementara yang berada di luar makin lama makin bertambah. Bisa dimengerti karena suara gemerincing senjata dan teriakan keras menyerap perhatian. Apalagi suasana tegang sudah terasakan sejak semula. Sehingga setitik gerakan yang aneh dalam Keraton bisa membangunkan siapa saja yang merasa berkepentingan mengetahui.
Tak terkecuali Nyai Demang yang segera mengambil selendang untuk menutupi bahunya yang terbuka. Di depan pintu, Gendhuk Tri ternyata sudah bersiap untuk pergi. Bersama dengan Ki Dalang Memeling yang agaknya sangat memprihatinkan keselamatan besan dan menantunya. Ketiganya berjalan cepat menuju tempat datangnya suara gaduh tanpa mengucapkan sepatah kata. Melewati regol yang tertutup namun tidak terkunci. Masuk ke halaman, dan di pendapa tampak beberapa prajurit bersiaga. Ketiganya mencari tempat yang nyaman untuk bisa melihat ke dalam.
Sebenarnya bisa dilihat dari sisi mana pun. Karena pintu penghubung antara pendapa dan dalem, bagian dalam, terbuka lebar. Di dalam Halayudha tengah berdiri gagah, sementara mayat Bango Tontong masih tergeletak. Di depannya ada dua bayangan wanita. Gendhuk Tri segera mengenali Tunggadewi dan, rasanya hampir tak percaya, melihat Ratu Ayu! Kalau saja Halayudha tidak mengatakan Ratu Turkana, Gendhuk Tri masih ragu. Karena sosok di depannya jauh berbeda dari Ratu Ayu yang pernah bersamanya untuk jangka waktu lama.
Bisa dimengerti cetusan kalimat Halayudha yang mengatakan “Alangkah nistanya ksatria lelananging jagat yang memilih istri semacam ini.” Dalam pandangan Gendhuk Tri, Ratu Ayu yang kesohor, yang dijuluki Ratu Ayu Bawah Langit, tak lebih dari seorang wanita yang tinggi, lelah wajahnya, dan pipinya tampak kosong menggantung. Lebih mengerikan lagi tindakannya yang telengas. Gendhuk Tri tak mau membiarkan jalan pikirannya meluncur terlalu jauh. Hati kecilnya merasa bahwa rasa kurang enak di ulu hatinya bisa jadi terbangun karena iri dan cemburu. Padahal sesungguhnya tidak.
Nyai Demang bahkan perlu mengejapkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan bahwa yang dilihatnya benar-benar Ratu Ayu Azeri Baijani! Bagi sesama wanita, tak bisa dibedakan apakah ia ratu atau tokoh silat atau orang biasa, keinginan untuk memperhatikan sesamanya sangat besar. Demikian juga halnya dengan Nyai Demang. Apalagi ini menyangkut wanita yang memang mempunyai gelaran paling ayu di seluruh kolong langit!
Kalau dulu Gendhuk Tri menganggap biasa-biasa, itu karena kurang rela mengakui. Akan tetapi sekarang ini, pendapat itu tak berlebihan. Ini yang sedikit-banyak mengherankan. Perubahan yang terjadi sangat banyak dalam waktu yang tidak terlalu lama. Baik Nyai Demang maupun Gendhuk Tri mengetahui bahwa ada perubahan yang terjadi dalam diri Ratu Ayu. Perubahan yang bukan sekadar bertambah usia atau selalu tertekan pikiran berat, melainkan yang lebih mendasar.
Itu berarti tak bisa tidak adalah perubahan dalam mendalami ilmu silat, melatih tenaga dalam. Kalau sudah begini, artinya hanya satu. Harus lebih hati-hati menghadapi. Gerak-gerik dan cara bersilat Ratu Ayu memang berbeda dari yang lain. Gerakannya serba kaku, terpatah-patah. Akan tetapi itu tidak menutupi kelembutannya, kodratnya sebagai wanita. Yang sekarang justru tampak sangat berbeda. Langkahnya lebar, pandangannya mendongak. Bahkan kalau didekati bau harum tubuhnya yang selama ini memancing rasa ingin tahu wanita mengenai ramuan yang digunakan, kini tak ada lagi. Bahkan bau ular yang ada.
Ini saja sudah luar biasa. Dari seorang yang bersikap seolah ratu, yang membatasi gerak-geriknya, menjadi seorang yang bergerak serampangan dan bermain dengan ular berbisa. Sangat bisa dimaklumi jika Ratu Ayu menjadi murka besar ketika secara tidak langsung Halayudha menyinggung masalah yang peka bagi wanita. Terutama karena Ratu Ayu sendiri mestinya menyadari keayuannya yang pudar. Walau sebenarnya Halayudha tak bermaksud menyinggung ke arah yang menyakiti hati Ratu Ayu. Titik berat sindiran Halayudha lebih ke arah sikap Ratu Ayu yang menguasai Putri Tunggadewi!
Dalam pandangan Nyai Demang, sekarang menjadi lebih jelas bahwa Putri Tunggadewi dikuasai suatu tenaga tertentu. Sehingga mau melakukan sesuatu di luar batas kesadarannya. Seperti penampilannya sekarang ini. Ki Dalang Memeling menurunkan ikat kepalanya ke bawah, lebih banyak menutupi wajahnya. Gerakan yang hanya sekilas itu bagi Gendhuk Tri telah berbicara banyak. Untuk seorang seperti Ki Dalang Memeling yang selalu menjauhi Keraton karena masa lampaunya, menginjak kembali bumi Keraton memerlukan perjuangan dan perpanjangan kegelisahan.
Akan tetapi toh perasaan itu semua ditekan ke bawah, karena suatu maksud. Namun bukannya tanpa mengganggu perasaannya, sehingga merasa perlu sedikit-banyak menyembunyikan wajahnya. Sementara itu, melihat dua ular kobra sekali lagi bisa digilas dengan tungkak oleh Halayudha, Ratu Ayu mencabut pedang hitam tipis panjang dari pinggangnya. Galih Kangkam. Pedang yang mengeluarkan udara dingin.
“Kalau tak bisa menutup mulut, aku akan membuka lebih lebar.”
Sebaliknya dari menerima tantangan, Halayudha mengeluarkan suara dingin. “Kalau ada langit mengimpit bumi, kenapa harus mengurusi dupa yang tak wangi lagi? Kenapa jauh-jauh datang dari tanah Hindia, dengan menyandang gelar begitu gagah, selalu bersembunyi? Apa kata Sungai Gangga kalau pendetanya bersembunyi di balik kain?”
Halayudha dengan sadar memancing Kiai Sambartaka. Dengan mengatakan saat langit mengimpit bumi, bisa diartikan sebagai kiamat. Yang menjadi gelaran Kiai Sambartaka. Sedangkan Ratu Ayu diumpamakan sebagai dupa yang tak wangi. Dengan menyertakan kata-kata Sungai Gangga, maksud Halayudha memang menuding Kiai Sambartaka yang selama ini selalu menyembunyikan diri. Bahkan kali ini menyembunyikan diri di belakang wanita.
Hati dan perasaan yang terdiri atas embun paling dingin bisa panas seketika. Apalagi terdiri atas darah dan daging. Kiai Sambartaka melangkah masuk, menunduk dengan cara membungkukkan badan.
“Entah apa sebabnya malam ini Mahapatih bernafsu menghabiskan waktu dengan memanggil saya. Tak baik bagi saya jika harus menolak permintaan terakhir orang yang sedang sekarat.”
“Kini lengkaplah sudah. Apalagi jika Gemuka berani menampakkan diri. Tak perlu menunggu puncak pesta.”
Gendhuk Tri melirik Nyai Demang. Yang merasa tidak enak dalam hati. Ki Dalang Memeling memegang tangan Gendhuk Tri dan Nyai Demang berbarengan. Kiai Sambartaka menepukkan tangannya.
“Biarlah saya yang mewakili, Mahapatih.”
“Apakah masih ada yang ditunggu Gemuka selain Pangeran Hiang, sehingga merasa belum pantas memunculkan diri?”
Terjangan kalimat Halayudha memang menusuk langsung dan masuk ke dalam persoalan. Seakan dengan enteng bisa menebak bahwa masih ada Pangeran Hiang, di samping menunjukkan pengetahuan yang luas, bahwa Gemuka hanya akan muncul kalau ada lawan yang setanding. Yaitu Upasara Wulung.
Di kerumunan pendapa, Nyai Demang bisa mendengar jelas. Dan juga mengakui, bahwa Halayudha masih tetap Halayudha yang dikenal selama ini, tanpa menghitung pertemuan terakhir. Dengan menyinggung nama Upasara Wulung secara tidak langsung, Halayudha menempatkan Gemuka pada tingkat paling atas. Sekaligus menghindarkan diri. Bahwa lawan yang pantas bagi Gemuka adalah Upasara Wulung. Bukan Halayudha atau yang lainnya. Di pihak lain, Halayudha bisa menganggap dirinya menaikkan pamor, berani menghadapi Gemuka. Bahkan menantang secara terbuka.
“Senopati Yuyu, tempatmu akan ramai. Meskipun tidak seperti dalam Keraton yang lebih aman.”
Terdengar kesiuran angin tajam. Ratu Ayu yang lebih dulu bereaksi. Galih Kangkam di tangannya bergerak dalam satu putaran penuh. Ini berarti Putri Tunggadewi berada dalam bahaya!
Pancingan Perangkap
TERUTAMA karena jarak Ratu Ayu dengan Putri Tunggadewi tak begitu jauh, dan gerakannya serampangan. Nyai Demang hampir menerjang, namun cekalan tangan Ki Dalang Memeling sangat kuat. Demikian juga Gendhuk Tri yang kini dicekal kencang. Ki Dalang Memeling menahan napas.
“Mereka memancing kita keluar.”
Bisa jadi ini merupakan umpan yang dikeluarkan Ratu Ayu untuk menarik keluar mereka yang berada di pihak Halayudha. Nyatanya pancingan itu mengena. Satu bayangan masuk ke tengah pendapa. Pangeran Anom, seru Gendhuk Tri dalam hati. Memang yang meloncat ke tengah arena adalah Pangeran Anom, Bagus Janaka Marmadewa. Yang tampak sangat tampan dalam cahaya yang tidak sepenuhnya terang.
“Kanjeng Ratu Ayu, biarlah Adik Ayu Tunggadewi tak berada di sini. Mari, Adik Ayu, Kakang mengantarmu kembali ke kaputren.” Suara yang bening, mengalunkan keberanian yang utuh. Bukan suara Pangeran Anom!
Karena ternyata yang berada di pendapa kini bertambah tiga lelaki muda yang sama-sama tampan, sama-sama gagah, dan menunjukkan sikap ksatria sejati. Ketiganya saling menghormat sekilas, lalu siap menghadapi Ratu Ayu yang seakan mempermainkan Galih Kangkam di sekitar leher Tunggadewi.
“Siapa kalian yang begitu tampan memesona?”
“Saya yang rendah biasa dipanggil Angon Kertawardhana, dari Cakradaran. Saudara saya yang di sebelah kanan adalah Pangeran Muda Wengker dari Keraton Tua. Sedangkan yang berada di tengah, Ratu Ayu pasti mengetahui karena namanya yang kondang kasusra ing jagat rat, Pangeran Anom Bagus Janaka Marmadewa…”
Kebeningan suaranya merendam ketenangan dan ke-wasis-an, kemampuan dalam berbicara. Ringkas dan mendalam.
“Jadi kalian bertiga ini para pangeran yang bermimpi ingin mempersunting Tunggadewi?”
“Jauhkan pedang lebih dulu, kalau memang ingin berbicara. Ketahuilah, Ratu Ayu, kami dibesarkan dengan tali persaudaraan Keraton Singasari yang luhur, warisan darah yang adiluhung. Lebih bermakna dari sekadar persuntingan atau soal impian.”
Angon Kertawardhana maju setindak. Kewibawaan yang terlihat sangat menonjol.
Bahwa sesungguhnya selama ini mereka merasa selalu satu hati, satu tekad, satu pengabdian yang tulus. Kalaupun ada perbedaan yang kadang menajam dan bertentangan dalam berbagai peristiwa, seperti ketika ditawan dilucuti, itu tak mengurangi sedikit pun jiwa persaudaraan yang sesungguhnya.
“Kalau begitu putusan kita, jangan sampai mentari esok mendahului kita.”
“Kisanak Kuti benar,” kata Senopati Yuyu. “Kita siapkan para prajurit pilihan, kita dekati Putri Tunggadewi, dan kita menuju kepatihan. Apa yang kita perlukan hanyalah prajurit pilihan, dan selama ini penerimaan prajurit baru yang tangguh berada di bawah Mahapatih.”
“Aku siap menghadapi.”
“Tak ada yang tak siap, Kisanak Semi,” tutur Senopati Pangsa. “Apa yang dikatakan Kisanak Yuyu ada benarnya. Kalau para prajurit utama berada di pihak Mahapatih, akan menyulitkan kita mencapai sasaran.”
“Kita tak bisa menunda lagi. Apa yang ada kita gerakkan.”
Senopati Yuyu mengangguk. Tangannya menggenggam tangan Senopati Tanca yang kini berada di lutut. “Kisanak, kita hanya melakukan tugas yang berbeda, dengan hati yang sama. Izinkanlah kami meninggalkan tempat ini lebih dulu. Izinkanlah sangat yang baik itu berada di pihak yang benar.”
Senopati Tanca merangkul kencang. Saat itu mendadak terdengar beberapa langkah kaki mengepung. Ketujuh senopati berpandangan. Benar, telinga mereka tak salah. Ada puluhan langkah kaki yang mendatangi dari pelbagai penjuru. Bahkan mulai terdengar suara dan aba-aba, serta gemerincing senjata.
Cegatan Pemberontakan
HANYA dalam sekejap seluruh ruangan sudah terkepung. Rapat. Prajurit kawal Keraton berjarak rapat, dengan senjata yang disiagakan. Bahwa gerakan para prajurit begitu cepat dan sigap serta mengambil tempat yang strategis, menunjukkan bahwa mereka yang datang sudah sangat terlatih kuat.
Senopati Yuyu membalik, menghadap ke arah yang datang. Sebagai tuan rumah, Senopati Yuyu merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi di rumahnya. “Kisanak Jabung Krewes, silakan duduk, berbagi rembug.”
Senopati Jabung Krewes tak bergerak. Kedua tangannya tidak menunjukkan sikap persahabatan. Siku tangan kanannya bersitelekan di gagang keris. Tangan kirinya memberi aba kepada yang berada selangkah di belakangnya. Yang berada tepat di belakangnya adalah Eyang Puspamurti. Yang tampak kurus kering dengan sanggul rambut sekenanya dan seluruhnya berwarna putih. Sedang di sebelah kanan dan kirinya, Prajurit Mada serta Kwowogen, yang tampak memberi kesan sangat subur tubuhnya, kekar, akan tetapi juga sigap.
“Para Senopati Utama, atas nama suara batin kita masing-masing, atas nama Keraton, silakan mengangsurkan tangan ke belakang. Kami telah membawa bandan…”
Ucapan Senopati Jabung Krewes terdengar menusuk perasaan dan menyakitkan telinga. Dengan mengatakan membawa tali banda, tali untuk mengikat tangan yang diangsurkan dan berada di punggung, bisa diartikan sebagai memberikan hukuman. Sebab hanya para durjana atau yang bersalah yang dibanda tangannya. Menusuk perasaan karena itu ditujukan kepada Tujuh Senopati Utama.
“Apa salah kami…?” Suara Senopati Banyak terdengar perlahan, seolah benar-benar tidak mengetahui sebab-musababnya. Meskipun sebenarnya adalah hal yang sangat biasa untuk mempertanyakan alasan jika seseorang akan dijadikan pesakitan.
“Karena tali yang saya bawa kemari adalah tali keprajuritan, berarti para Senopati Utama telah melakukan kejahatan dari segi keprajuritan. Hukuman akan ditentukan kemudian oleh Raja. Mada, Kwowogen, Puspamurti…”
Tangan kiri Jabung Krewes bergerak. Eyang Puspamurti bergerak memberi aba menirukan, bersamaan dengan tubuhnya yang seperti menggeliat maju. Karena Senopati Yuyu yang berada di depan, Senopati Yuyu-lah yang menjadi sasaran pertama. Tanpa disadari, Senopati Yuyu melangkah ke belakang. Satu tindak. Langkah kedua baru separuh, kaki kanan baru terangkat, ketika tubuh Eyang Puspamurti telah menyelinap di belakangnya dan menarik ke belakang tangan Senopati Yuyu. Dan melingkarkan tali dalam sekejap.
Serta menekan pundak Senopati Yuyu, hingga yang bersangkutan tanpa dikehendaki terduduk. Cara bergeraknya sangat cepat sekali. Apalagi saat Eyang Puspamurti melakukan gerakan tadi, Mada dan Kwowogen juga langsung bergerak. Tubuh yang tambun itu seperti tertiup angin, ringan, berloncatan dari samping kiri dan ke kanan dan sebaliknya, berputar arah bolak-balik. Semua senjata keris telah berhasil dirampas. Hanya Senopati Tanca yang sempat menarik kerisnya, meskipun hanya tinggal memegangi warangka atau sarungnya saja.
“Perhatikan baik-baik, Mada. Kalau kamu menyerang, jangan pedulikan tingkatan. Kamu prajurit dan harus menghadapi senopati, tak perlu menyembah lebih dulu. Itu membuang waktu. Jika semua sembahan kamu lakukan, para senopati itu bukan saja hanya sempat memegang sarung keris, tapi mungkin sudah bisa menusukkan keris itu ke perutmu. Perhatikan dan ingat baik-baik, Mada.”
Senopati Yuyu mengakui bahwa dirinya mungkin paling lemah di antara enam senopati yang lainnya. Dalam ilmu silat, dirinya memang tidak terlalu menonjol. Apalagi menghadapi Eyang Puspamurti yang telah kesohor kesaktiannya. Makanya bisa dibekuk dengan sekali gerak, bisa diikat kedua tangannya di punggung. Itu bukan sesuatu yang luar biasa.
Yang sedikit mengherankan adalah bahwa prajurit seperti Mada atau yang satunya, ternyata memiliki ilmu yang tidak sembarangan. Bahkan sangat hebat, apalagi jika dilihat pangkatnya hanya prajurit. Dalam gerakan cepat bisa mencabut keris yang lengket di punggung!
Kalau tadi Eyang Puspamurti mengatakan Mada menyembah lebih dulu, memang ada benarnya. Gerakan tangan Mada sebelumnya seperti menyembah. Meskipun itu dilakukan seketika, lalu tubuhnya bergerak dari arah kiri ke kanan dan prajurit satunya mengambil cara terbalik. Ini saja sudah menunjukkan keunggulan dan penguasaan akan gerak.
Bahwa gerakan mereka begitu cepat dan tepat, sedikit pun tak disangsikan Senopati Tanca. Dialah yang masih bisa bersikap tenang tak terguncang, sehingga bisa mengawasi sejak pertama.
Akan tetapi sebenarnya keunggulan ketiga prajurit itu, terutama karena lapisan prajurit yang siaga di belakang, yang akan bergerak maju untuk mati kalau terjadi sesuatu. Keraguan para Senopati Utama yang terutama ialah menghindari pertumpahan darah yang terjadi pada prajurit-prajurit Keraton, yang masih anak buah mereka juga.
“Puspamurti, Mada, Kwowogen, ikat mereka!”
Puspamurti bergerak. Diikuti Mada dan Kwowogen. Seperti sebelumnya Mada menyembah lebih dulu sebelum menunggu dengan sabar, sampai para senopati meletakkan tangan di belakang. Sehingga baru menyelesaikan satu ikatan ketika dua yang lainnya telah selesai. Mada tinggal berhadapan dengan Senopati Tanca yang masih memegang sarung keris. Mada mengangsurkan keris yang tadi diambil.
“Maaf, Senopati yang mpu sakti penuh wibawa. Mohon hamba diperkenankan menyarungkan keris yang terhunus.” Suaranya keras bagi telinga, akan tetapi nadanya ramah menghormat.
Senopati Jabung Krewes menahan napas. Tangan kanannya yang bersitelekan pada gagang keris tampak tegang. Jari-jarinya merenggang, seakan siap mengubah gerakannya menjadi cabutan keris dan mendahului Senopati Tanca. Napas yang tertahan, karena hati Senopati Jabung Krewes bercekat. Mada memperlihatkan sikap sangat menghormat, juga dalam mengangsurkan keris, dengan mempergunakan tangkainya untuk disodorkan.
Ini memang cara menghormat, akan tetapi berlebihan untuk keselamatan jiwanya. Karena dengan sekali sentak, dengan tenaga penuh, keris itu bisa melesat menusuk ke arah dada Mada yang telanjang. Dalam posisi jengkeng, setengah berdiri setengah jongkok, jelas tidak memungkinkan Mada berkelit. Kakinya membentuk kuda-kuda yang bertahan. Agak sulit digerakkan. Apalagi kalau terkena serangan mendadak. Apalagi sesudah itu Mada menyembah lagi.
Senopati Tanca menerima keris. Memegang dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya mendekatkan sarung keris. Kalau saja tangan kanan itu terulur lurus dan sempurna, Mada akan menjadi sasaran empuk. Betapapun kuat dan sigapnya, tak nanti tusukan Senopati Tanca bakal meleset atau bisa tertangkis sempurna. Bagian yang paling apes pun pasti sekitar dada. Dengan pengetahuan mengenai letak anggota di dalam tubuh, Senopati Tanca bisa mengincar sasaran yang mematikan.
Ini yang membuat Senopati Jabung Krewes bercekat. Karena dirinya yang langsung memilih ketiga calon prajurit itu untuk segera ditarik menjadi prajurit resmi. Bahkan dimasukkan sebagai prajurit kawal Keraton yang bertugas di dalam. Suatu loncatan yang cukup tinggi dalam keprajuritan.
Karena para prajurit, apalagi calon prajurit, biasanya cukup lama bertugas sebagai wadyabala, bagian dari barisan prajurit. Yang ditugaskan di luar Keraton, baik untuk bertempur maupun tugas-tugas lain. Hanya prajurit yang istimewa yang bisa ditarik ke dalam. Dan di antara mereka ini akan ada yang terpilih lagi untuk bisa masuk sebagai prajurit kawal Keraton atau prajurit kawal pribadi.
Berarti melewati satu jajaran yang penuh pemilihan dalam perhitungan. Karena jumlah prajurit kawal Keraton sangat sedikit, makanya benar-benar terpilih. Mada, Kwowogen, serta Eyang Puspamurti bisa meraih posisi itu dalam waktu yang sangat singkat. Terutama memang karena mereka bertiga kelihatan sangat menonjol ilmu silatnya. Akan tetapi sebenarnya juga mengandung penilaian lain. Yaitu diakui adanya pengabdian yang lurus, mulus, murni, dan tak diragukan lagi.
Yang terakhir ini agak susah penilaiannya untuk diterangkan. Akan tetapi para senopati yang terlatih bisa segera mengendus ketaatan itu. Senopati Jabung Krewes tidak ragu segera menarik ketiganya menjadi prajurit kawal Keraton. Biasanya prajurit kawal Keraton dengan sendirinya memiliki pangkat tertentu, yang setingkat atau dua tingkat di atas prajurit biasa. Akan tetapi ternyata Mada, Puspamurti, Kwowogen tidak mempersoalkan hal itu.
“Kami mencegat kraman yang mengalirkan darah lebih banyak. Dengan cara ini, rasanya ini pencegahan yang paling tidak membawa korban. Maaf atas kelancangan kami semua…”
Candaka Cumandaka
SENOPATI JABUNG KREWES seakan berusaha menengahi ketegangan. Sekaligus menunjukkan jalan terbaik agar Senopati Tanca menyerah. Menyerahkan kerisnya. Kegelisahannya sangat kentara. Senopati Tanca menyarungkan kerisnya, akan tetapi tidak menyerahkan kepada Mada, melainkan menyelipkan ke balik setagen di punggungnya.
“Paman Senopati Tanca, izinkanlah hamba menyimpan keris pusaka Paduka.”
“Aman di tempatku.”
“Kalau itu kehendak Paman Senopati, hamba menjadi saksi.” Kalimat Mada terdengar menggelegar di telinga. Berat dan menyiksa. Seperti menyisakan getaran.
Eyang Puspamurti sampai menengok ke arah Mada sambil mengernyitkan dahi. Sesuatu yang jarang dilakukan selama ini, karena Eyang Puspamurti kelihatannya tidak mau peduli pada orang lain. Akan tetapi saat itu ada sesuatu yang membuat sukma sejatinya bergetar. Seakan memberi ingatan bahwa bisa terjadi sesuatu antara Mada, Tanca, dan keris yang diselipkan. Sesuatu yang bisa mengerikan, sesuatu yang tak terduga. Hanya saja Eyang Puspamurti belum bisa menangkap jelas gambaran apa yang akan terjadi nantinya.
Senopati Jabung Krewes tetap berdiri. Memandang sekeliling. Kepalanya sedikit miring. Lalu mengangguk ke arah Eyang Puspamurti. Yang segera bergerak, menggotong para senopati ke ruangan dalam. Dibantu oleh Mada dan Kwowogen. Hanya Senopati Yuyu yang ditinggalkan. Bahkan kemudian ikatannya dilepas kembali. Bersamaan dengan itu, Senopati Jabung Krewes ikut masuk, sementara para prajurit kawal Keraton menghilang dalam kegelapan.
Senopati Yuyu duduk tepekur. Ketika Senopati Jabung Krewes tadi memiringkan kepalanya, Senopati Yuyu juga mendengar suara tapak kaki yang banyak dan datang mendekat. Disertai iringan bunyi kuda dan gemerincing senjata. Sedikit-banyak ini menimbulkan pertanyaan dalam hati. Memunculkan banyak tebakan dalam hati. Rombongan siapa lagi yang datang tengah malam seperti ini?
Tak terlalu lama menunggu. Karena kemudian muncul barisan prajurit Keraton yang membawa umbul-umbul, dan membentuk barisan mengepung. Bersamaan dengan munculnya Senopati Bango Tontong yang melangkah gagah. Menyembah umbul-umbul, kemudian berpaling ke arah Senopati Yuyu.
“Tak perlu kepura-puraan. Atas nama Raja, saya Senopati Bango Tontong, yang bertugas dan bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban seisinya, memerintahkan Tujuh Senopati Utama untuk menyerah.”
Senopati Yuyu masih tetap duduk. Tidak menggeser. Tidak bergerak. Tidak menyembah. Meskipun secara tata krama keprajuritan seharusnya melakukan sembahan sebagai penghormatan. Meskipun dirinya adalah dharmaputra, akan tetapi dalam jajaran kepangkatan Senopati Bango Tontong berada di atasnya. Karena dalam hal ini bertindak atas nama Raja, dengan menyertakan umbul-umbul resmi sebagai pengganti kehadiran Raja. Apalagi ketika Senopati Bango Tontong menunjukkan cincin yang menandakan bahwa ia utusan resmi Raja.
“Aku tahu kalian para Senopati Utama berkumpul di sini untuk kraman. Tak usah mungkir dan menyangkal. Saya selama ini telah memasang prajurit candaka yang mengamati kediaman para Senopati Utama. Semua tak ada di rumah. Dan tak meleset dugaanku, bahwa semua berkumpul di kediaman Senopati Yuyu. Tak ada gunanya bersembunyi. Prajurit Keraton Majapahit… Atas nama Raja, bersiaplah!”
Terdengar bunyi serempak. Puluhan prajurit menyiagakan diri. Barisan panah, tombak, pedang, dan keris mengambil ancang-ancang untuk menyerang. Tapi justru saat itu Senopati Yuyu menjadi tenang. Wajahnya tetap tak berubah. Suaranya lembut, tak berkurang tak bertambah.
“Kisanak Anom, apakah saat ini Kisanak sedang mengadakan geladi resik?”
Tangkisan jitu yang membuat Senopati Bango Tontong tersudut. Dengan mempertanyakan apakah sekarang ini sedang ada latihan secara bersungguh-sungguh seperti kalau benar-benar terjadi, Senopati Yuyu seakan-akan tak mengerti semua yang sekarang sedang terjadi. Menganggap tindakan Bango Tontong hanyalah latihan. Walau bersungguh-sungguh.
Tangkisan jitu yang hanya mungkin diperlihatkan seorang senopati yang ulung. Rasanya keenam senopati yang lain tidak akan bisa melakukan apa yang dikatakan Yuyu. Bukan karena apa. Melainkan karena ucapan yang sederhana, yang diucapkan dengan biasa-biasa ini sebenarnya telah menghancurkan semua keangkeran Bango Tontong. Semua ini bukan tanpa perhitungan.
Bagi Senopati Yuyu, menggauli strategi perang adalah kelebihannya dibandingkan yang lain. Begitu mendengar tuduhan Bango Tontong, terbersit pikiran bahwa Bango Tontong dan para prajuritnya belum yakin benar bahwa Senopati Utama yang lain berada di kediamannya. Jalan pikiran Senopati Yuyu adalah bahwa selama ini ada prajurit candaka, atau prajurit telik sandi, prajurit rahasia yang selalu mengamati kediaman Tujuh Senopati Utama. Sehingga bisa mengetahui bahwa keenam senopati berangkat dari kediamannya secara bersamaan.
Dugaan bahwa mereka menuju kediaman Senopati Yuyu sangat beralasan mengingat Senopati Yuyu selama ini selalu jadi panutan untuk mengambil tindakan. Keraguan Bango Tontong disambar begitu saja oleh Senopati Yuyu. Nyatanya berhasil! Padahal kalau Bango Tontong memerintahkan prajuritnya untuk memeriksa ke dalam, akan lain riyawat hidup para Senopati Utama.
Unggul dalam gebrakan pertama, Senopati Yuyu masih bertanya-tanya dalam hati. Itu sebabnya wajahnya belum sepenuhnya bisa wajar. Tapi juga rasa herannya mempunyai arti bahwa Senopati Yuyu masih belum mengerti maksud kedatangan rombongan yang mengatas namakan Raja. Hal ini ada benarnya, karena memang sebenarnya pertanyaan itu menyeruak dalam batin Senopati Yuyu.
Pertama kali muncul Senopati Jabung Krewes yang mengamankan mereka. Dengan alasan mencegat kraman. Beberapa saat kemudian muncul rombongan kedua, yang juga mengatas namakan Raja. Hanya sekali ini lebih bisa dipercaya karena memakai umbul-umbul dan memperlihatkan cincin resmi. Kalau benar begitu, apakah mungkin dua rombongan ini utusan Raja? Jelas tidak mungkin. Hanya selisih beberapa saat Raja memerintahkan dua rombongan perkasa, jelas menunjukkan adanya kekacauan dalam mempercayai senopati.
Kemungkinan yang lain, hanya salah satu dari rombongan ini yang benar-benar diutus Raja untuk mengamankan. Pasti bukan rombongan Senopati Jabung Krewes yang kemudian ternyata memilih bersembunyi. Berarti rombongan Senopati Bango Tontong yang resmi. Itu juga belum tentu. Karena bisa saja Bango Tontong mendapat perintah dari Mahapatih Halayudha untuk mengadakan gerakan sapu bersih.
“Kalau kalian tak mau keluar, jangan salahkan aku yang bertindak kurang ajar.” Bango Tontong menunggu sesaat. Sebelum akhirnya memerintahkan para prajurit untuk mendesak ke dalam.
Senopati Yuyu tetap duduk tepekur. Mendadak gerakan maju para prajurit Bango Tontong tertahan. Terdengar suara tiupan trompet dari tanduk kerbau jantan. Mendenging. Tak salah lagi. Yang kemudian muncul adalah Mahapatih Halayudha dengan sekitar sepuluh prajurit. Muncul dan langsung melangkah ke dalam. Memandang Bango Tontong dengan senyuman dingin.
“Berani benar kamu, kaki kurus busuk. Sejak kapan kamu menjadi gedibal orang asing? Sejak kapan kamu menginjakkan kakimu yang kotor ke wajahku? Dasar manusia busuk berhati buruk! Kamu tak akan menang melawan candaka cumandaka seperti aku. Para prajurit, tangkap Bango Tontong! Ikat tangannya!”
Tudingannya sangat perkasa. Prajurit yang mengawalnya, baik yang mengawal Senopati Bango Tontong maupun yang mengawal Mahapatih Halayudha, bergerak bersamaan. Mendekap Bango Tontong yang seperti tak bertenaga lagi. Mendekap, mengikat tangan Bango Tontong, serta menyeretnya.
Senopati Yuyu menyembah ke arah Mahapatih. “Mahapatih yang mulia, terimalah sembah bekti saya….”
Siasat di Dalam Siasat
MAHAPATIH HALAYUDHA mengelap rambutnya, yang saat itu terlihat berkeringat. Pandangan menyapu ke arah seluruh ruangan. Para prajurit bersila secara bersamaan, meletakkan senjata di samping. Sementara mata Senopati Bango Tontong membelalak, dengan tubuh terbaring karena tangan dan kakinya terikat.
“Mahapatih yang mulia, hamba menghaturkan sembah bekti…”
Suara ulangan Senopati Yuyu seperti tenggelam dalam ruangan sunyi yang tak memantulkan gema. Karena semua isi pikiran sedang melayang dan menemukan sasaran seperti yang diperkirakan. Senopati Yuyu sendiri tengah menerima apa yang terjadi dan berusaha menangkap sebisanya. Babak pertama, bahwa keinginan kraman itu sudah meluas ke Keraton. Dalam situasi yang tak menentu, semua kelompok ingin merebut kekuasaan. Dan karena banyak kelompok, masing-masing menahan diri. Melihat siapa yang lebih dulu bergerak, kemudian akan disikat.
Babak kedua, keinginannya untuk mendahului mengamankan Raja hampir saja terlaksana walau ada keraguan dari Tanca mengenai sangat yang baik. Babak ketiga, munculnya Senopati Jabung Krewes. Yang berbuat hal yang sama. Sama? Bisa juga lain. Senopati Jabung Krewes kelihatannya justru ingin mengamankan agar Tujuh Senopati Utama tidak jadi memberontak saat itu. Dilihat dari caranya atau kata-katanya “ingin mencegat kraman’, menunjukkan bahwa sebenarnya Jabung Krewes ingin menyelamatkan Tujuh Senopati Utama untuk tidak melakukan gerakan apa-apa.
Babak keempat, munculnya Senopati Bango Tontong yang terlambat menangkap. Saat itulah, babak kelima muncul. Babak di mana Mahapatih Halayudha membuyarkan Bango Tontong yang mengaku utusan resmi Raja. Kalau bukan utusan Raja, utusan siapa? Kalau Mahapatih pun dikelabui Bango Tontong, siasat siapa yang sedang berjalan di atas siasat orang lain?
Halayudha sendiri menyebut dirinya candaka cumandaka, yang artinya seorang telik sandi yang bertingkah laku seperti telik sandi. Permainan di atas permainan. Seseorang yang berpura-pura menjadi prajurit rahasia, dan memperlihatkan diri sebagai prajurit sandi, dengan maksud mengecoh, akan tetapi sesungguhnya ia tetap prajurit sandi yang memainkan peranannya. Halayudha memang seakan memuji dirinya sendiri.
Dengan diam-diam ia mengawasi semua gerak-gerik yang terjadi. Ketika mengetahui Bango Tontong bergerak, Halayudha segera menunggu untuk bertindak. Nyatanya berhasil. Bango Tontong bisa diringkus. Dalam benak Senopati Yuyu, Bango Tontong menjadi gedibal, menjadi budak suruhan orang asing, atau kekuatan asing, seperti yang dikatakan Halayudha.
“Bango Tontong, betapa aku ingin menguliti kulitmu selembar demi selembar. Aku akan melakukan sekarang, disaksikan prajuritku. Agar kamu mati dengan puas dan bisa membela diri, katakan apa yang sebenarnya kamu inginkan?”
“Mahapatih, siksalah hamba… Sejak berkhianat kepada Mahapatih Nambi…”
“Jangan memperpanjang kata. Kenapa Gemuka menyuruhmu berbuat seperti ini?”
“Hamba hanya menjalankan perintah Mahapatih. Bilamana para Senopati Utama berbuat sesuatu yang mencurigakan, harus segera dibasmi.”
Halayudha tertawa dingin. “Kamu tak punya kesempatan untuk mengadu aku. Aku memerintahkan kamu mengawasi Tujuh Senopati Utama. Mengawasi. Dan semua tindakan atas namaku, atas perintahku. Akan tetapi kamu bahkan berani memakai nama Raja.”
“Mahapatih, Raja sesembahan yang memerintahkan hamba….”
Kaki Halayudha bergerak. Jempol kakinya tepat di jakun Bango Tontong. “Raja tidak memerintahkan siapa-siapa. Karena sedang bersamaku. Masih perlu pembelaan lagi? Bango Tontong, kamu julig, licik, dan membahayakan. Akan tetapi kamu tak bisa mengelabuiku. Tak akan bisa.” Jempol kaki Halayudha bergerak sedikit.
Mata Bango Tontong mendelik. Wajahnya menjadi merah seluruhnya seakan kepiting terebus air mendidih. Keringatnya bercucuran, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh saraf peka. Kekuatan Halayudha memang luar biasa. Ditambah kemampuannya mengetahui nadi kepekaan, siksaan yang diderita Bango Tontong benar-benar tak bisa dibayangkan. Di balik persembunyiannya, Mada menggigit tangannya hingga berdarah. Hatinya tersayat dan terluka, tidak tahan melihat penderitaan Bango Tontong.
Eyang Puspamurti meletakkan tangannya di pundak Mada. Senopati Yuyu sendiri menunduk, seperti para prajurit yang lain. Suara ganjil, memelas, sesambat, merintih, terdengar samar tapi mengerikan. Tubuh Bango Tontong makin berkelojotan. Baru terhenti ketika Halayudha sedikit merenggangkan.
“Kamu bahagia bisa mati dengan sengsara dan dengan cara yang menyakitkan. Tidak semua orang bisa mengalami sepertimu, Bango Tontong. Ada yang mau kamu katakan?”
“…Mahapatih… hamba… uuk…” Teriakan tertahan.
Senopati Yuyu mendongak. Wajah Bango Tontong telah berubah menjadi hitam. Seekor ular berkilat dan berkepala gede mendesis. Hanya dengan sekali menggerakkan kakinya, Halayudha berusaha menjapit kepala kobra. Gerakan yang ganas, cepat, dan beringas. Akan tetapi kobra itu seperti menyadari bahaya. Berkelit dan mendongak. Siap menyemburkan bisa. Sia-sia.
Gerakan pertama hanyalah pancingan. Sambaran yang sesungguhnya dengan tungkak, bagian belakang tapak kaki, yang keras membenamkan kepala ular kobra. Membenamkan ke wajah Bango Tontong. Hanya terdengar bunyi kemeretek panjang, tengkorak kepala ular kobra itu rata, remuk di wajah Bango Tontong.
Senopati Yuyu bisa melihat jelas semua yang terjadi di depan matanya. Kesadarannya bagai dicampakkan ke tanah kotor berlumpur. Bahwa Halayudha ganas serta telengas, semua hidung mengetahui. Akan tetapi baru sekarang ini mengetahui bagaimana bentuk perwujudannya. Kalaupun Bango Tontong melakukan kesalahan terbesar, tak seharusnya wajahnya dipakai untuk menginjak remuk kepala ular kobra.
“Kiai Sambartaka, keluarlah! Di tempat yang terang kita bisa berbincang. Bango Tontong tak akan menghilangkan jejak Kiai, karena ular kobra ini lebih merupakan tanda pengenalmu.”
“Begitukah?” Suara yang empuk, agak asing nadanya, tapi menyiratkan kelembutan.
Semua mata yang memandang seolah tak percaya. Karena yang muncul dari keremangan adalah Ratu Ayu Azeri Baijani. Bersama Putri Tunggadewi! Bahkan Halayudha sendiri tak pernah menduga sama sekali. Tak menduga bahwa Ratu Ayu muncul saat itu, sambil mempermainkan ular kobra sepasang yang melilit di lehernya.
“Begitukah yang jadi kesimpulanmu?”
“Putri Tunggadewi, sumangga minggir kemari….”
Cara Halayudha benar-benar membuat para prajurit seluruhnya menghormati dan kagum. Dalam situasi genting, Halayudha lebih memikirkan keselamatan Putri Tunggadewi! Kalau sebelumnya sempat terperangah dengan kebengisan Halayudha, perasaan itu terhapus utuh.
“Jangan mau, Putri. Ular ini bisa meloncat dan menahan.”
“Aha, baru sekarang aku tahu. Seorang Ratu Turkana yang katanya kesohor, bisanya hanya menakuti anak kecil dengan ular mainan. Mengherankan. Alangkah nistanya ksatria lelananging jagat yang memilih istri semacam ini.”
“Tutup mulutmu!”
Dua ekor ular kobra mendadak mendesis, terbang ke arah Halayudha. Yang tanpa menggeser kakinya, mengangkat kedua tangannya, menyaut dua kobra. Menjepit tepat di leher. Dan membanting ke tanah. Untuk kemudian, sekali lagi, digilas dengan tungkak-nya. Kembali terdengar kemeretek tanda remuknya dua tengkorak ular kobra yang lengket dengan lantai.
Langit Mengimpit Bumi
TEMPAT yang didiami Senopati Yuyu tak berbeda dengan tempat senopati yang lain. Sebuah bangunan perumahan di dalam wilayah benteng Keraton, dengan regol, pintu depan, yang kukuh dan halaman luas. Selebihnya bangunan yang sederhana dan tak begitu besar. Apalagi sekarang ini, di mana banyak sekali tamu yang berdatangan. Udara terasa panas. Baik di dalam maupun di luar.
Di dalam ada enam Senopati Utama bersama dengan Jabung Krewes dan tiga prajurit kawal pilihan, sementara yang berada di luar makin lama makin bertambah. Bisa dimengerti karena suara gemerincing senjata dan teriakan keras menyerap perhatian. Apalagi suasana tegang sudah terasakan sejak semula. Sehingga setitik gerakan yang aneh dalam Keraton bisa membangunkan siapa saja yang merasa berkepentingan mengetahui.
Tak terkecuali Nyai Demang yang segera mengambil selendang untuk menutupi bahunya yang terbuka. Di depan pintu, Gendhuk Tri ternyata sudah bersiap untuk pergi. Bersama dengan Ki Dalang Memeling yang agaknya sangat memprihatinkan keselamatan besan dan menantunya. Ketiganya berjalan cepat menuju tempat datangnya suara gaduh tanpa mengucapkan sepatah kata. Melewati regol yang tertutup namun tidak terkunci. Masuk ke halaman, dan di pendapa tampak beberapa prajurit bersiaga. Ketiganya mencari tempat yang nyaman untuk bisa melihat ke dalam.
Sebenarnya bisa dilihat dari sisi mana pun. Karena pintu penghubung antara pendapa dan dalem, bagian dalam, terbuka lebar. Di dalam Halayudha tengah berdiri gagah, sementara mayat Bango Tontong masih tergeletak. Di depannya ada dua bayangan wanita. Gendhuk Tri segera mengenali Tunggadewi dan, rasanya hampir tak percaya, melihat Ratu Ayu! Kalau saja Halayudha tidak mengatakan Ratu Turkana, Gendhuk Tri masih ragu. Karena sosok di depannya jauh berbeda dari Ratu Ayu yang pernah bersamanya untuk jangka waktu lama.
Bisa dimengerti cetusan kalimat Halayudha yang mengatakan “Alangkah nistanya ksatria lelananging jagat yang memilih istri semacam ini.” Dalam pandangan Gendhuk Tri, Ratu Ayu yang kesohor, yang dijuluki Ratu Ayu Bawah Langit, tak lebih dari seorang wanita yang tinggi, lelah wajahnya, dan pipinya tampak kosong menggantung. Lebih mengerikan lagi tindakannya yang telengas. Gendhuk Tri tak mau membiarkan jalan pikirannya meluncur terlalu jauh. Hati kecilnya merasa bahwa rasa kurang enak di ulu hatinya bisa jadi terbangun karena iri dan cemburu. Padahal sesungguhnya tidak.
Nyai Demang bahkan perlu mengejapkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan bahwa yang dilihatnya benar-benar Ratu Ayu Azeri Baijani! Bagi sesama wanita, tak bisa dibedakan apakah ia ratu atau tokoh silat atau orang biasa, keinginan untuk memperhatikan sesamanya sangat besar. Demikian juga halnya dengan Nyai Demang. Apalagi ini menyangkut wanita yang memang mempunyai gelaran paling ayu di seluruh kolong langit!
Kalau dulu Gendhuk Tri menganggap biasa-biasa, itu karena kurang rela mengakui. Akan tetapi sekarang ini, pendapat itu tak berlebihan. Ini yang sedikit-banyak mengherankan. Perubahan yang terjadi sangat banyak dalam waktu yang tidak terlalu lama. Baik Nyai Demang maupun Gendhuk Tri mengetahui bahwa ada perubahan yang terjadi dalam diri Ratu Ayu. Perubahan yang bukan sekadar bertambah usia atau selalu tertekan pikiran berat, melainkan yang lebih mendasar.
Itu berarti tak bisa tidak adalah perubahan dalam mendalami ilmu silat, melatih tenaga dalam. Kalau sudah begini, artinya hanya satu. Harus lebih hati-hati menghadapi. Gerak-gerik dan cara bersilat Ratu Ayu memang berbeda dari yang lain. Gerakannya serba kaku, terpatah-patah. Akan tetapi itu tidak menutupi kelembutannya, kodratnya sebagai wanita. Yang sekarang justru tampak sangat berbeda. Langkahnya lebar, pandangannya mendongak. Bahkan kalau didekati bau harum tubuhnya yang selama ini memancing rasa ingin tahu wanita mengenai ramuan yang digunakan, kini tak ada lagi. Bahkan bau ular yang ada.
Ini saja sudah luar biasa. Dari seorang yang bersikap seolah ratu, yang membatasi gerak-geriknya, menjadi seorang yang bergerak serampangan dan bermain dengan ular berbisa. Sangat bisa dimaklumi jika Ratu Ayu menjadi murka besar ketika secara tidak langsung Halayudha menyinggung masalah yang peka bagi wanita. Terutama karena Ratu Ayu sendiri mestinya menyadari keayuannya yang pudar. Walau sebenarnya Halayudha tak bermaksud menyinggung ke arah yang menyakiti hati Ratu Ayu. Titik berat sindiran Halayudha lebih ke arah sikap Ratu Ayu yang menguasai Putri Tunggadewi!
Dalam pandangan Nyai Demang, sekarang menjadi lebih jelas bahwa Putri Tunggadewi dikuasai suatu tenaga tertentu. Sehingga mau melakukan sesuatu di luar batas kesadarannya. Seperti penampilannya sekarang ini. Ki Dalang Memeling menurunkan ikat kepalanya ke bawah, lebih banyak menutupi wajahnya. Gerakan yang hanya sekilas itu bagi Gendhuk Tri telah berbicara banyak. Untuk seorang seperti Ki Dalang Memeling yang selalu menjauhi Keraton karena masa lampaunya, menginjak kembali bumi Keraton memerlukan perjuangan dan perpanjangan kegelisahan.
Akan tetapi toh perasaan itu semua ditekan ke bawah, karena suatu maksud. Namun bukannya tanpa mengganggu perasaannya, sehingga merasa perlu sedikit-banyak menyembunyikan wajahnya. Sementara itu, melihat dua ular kobra sekali lagi bisa digilas dengan tungkak oleh Halayudha, Ratu Ayu mencabut pedang hitam tipis panjang dari pinggangnya. Galih Kangkam. Pedang yang mengeluarkan udara dingin.
“Kalau tak bisa menutup mulut, aku akan membuka lebih lebar.”
Sebaliknya dari menerima tantangan, Halayudha mengeluarkan suara dingin. “Kalau ada langit mengimpit bumi, kenapa harus mengurusi dupa yang tak wangi lagi? Kenapa jauh-jauh datang dari tanah Hindia, dengan menyandang gelar begitu gagah, selalu bersembunyi? Apa kata Sungai Gangga kalau pendetanya bersembunyi di balik kain?”
Halayudha dengan sadar memancing Kiai Sambartaka. Dengan mengatakan saat langit mengimpit bumi, bisa diartikan sebagai kiamat. Yang menjadi gelaran Kiai Sambartaka. Sedangkan Ratu Ayu diumpamakan sebagai dupa yang tak wangi. Dengan menyertakan kata-kata Sungai Gangga, maksud Halayudha memang menuding Kiai Sambartaka yang selama ini selalu menyembunyikan diri. Bahkan kali ini menyembunyikan diri di belakang wanita.
Hati dan perasaan yang terdiri atas embun paling dingin bisa panas seketika. Apalagi terdiri atas darah dan daging. Kiai Sambartaka melangkah masuk, menunduk dengan cara membungkukkan badan.
“Entah apa sebabnya malam ini Mahapatih bernafsu menghabiskan waktu dengan memanggil saya. Tak baik bagi saya jika harus menolak permintaan terakhir orang yang sedang sekarat.”
“Kini lengkaplah sudah. Apalagi jika Gemuka berani menampakkan diri. Tak perlu menunggu puncak pesta.”
Gendhuk Tri melirik Nyai Demang. Yang merasa tidak enak dalam hati. Ki Dalang Memeling memegang tangan Gendhuk Tri dan Nyai Demang berbarengan. Kiai Sambartaka menepukkan tangannya.
“Biarlah saya yang mewakili, Mahapatih.”
“Apakah masih ada yang ditunggu Gemuka selain Pangeran Hiang, sehingga merasa belum pantas memunculkan diri?”
Terjangan kalimat Halayudha memang menusuk langsung dan masuk ke dalam persoalan. Seakan dengan enteng bisa menebak bahwa masih ada Pangeran Hiang, di samping menunjukkan pengetahuan yang luas, bahwa Gemuka hanya akan muncul kalau ada lawan yang setanding. Yaitu Upasara Wulung.
Di kerumunan pendapa, Nyai Demang bisa mendengar jelas. Dan juga mengakui, bahwa Halayudha masih tetap Halayudha yang dikenal selama ini, tanpa menghitung pertemuan terakhir. Dengan menyinggung nama Upasara Wulung secara tidak langsung, Halayudha menempatkan Gemuka pada tingkat paling atas. Sekaligus menghindarkan diri. Bahwa lawan yang pantas bagi Gemuka adalah Upasara Wulung. Bukan Halayudha atau yang lainnya. Di pihak lain, Halayudha bisa menganggap dirinya menaikkan pamor, berani menghadapi Gemuka. Bahkan menantang secara terbuka.
“Senopati Yuyu, tempatmu akan ramai. Meskipun tidak seperti dalam Keraton yang lebih aman.”
Terdengar kesiuran angin tajam. Ratu Ayu yang lebih dulu bereaksi. Galih Kangkam di tangannya bergerak dalam satu putaran penuh. Ini berarti Putri Tunggadewi berada dalam bahaya!
Pancingan Perangkap
TERUTAMA karena jarak Ratu Ayu dengan Putri Tunggadewi tak begitu jauh, dan gerakannya serampangan. Nyai Demang hampir menerjang, namun cekalan tangan Ki Dalang Memeling sangat kuat. Demikian juga Gendhuk Tri yang kini dicekal kencang. Ki Dalang Memeling menahan napas.
“Mereka memancing kita keluar.”
Bisa jadi ini merupakan umpan yang dikeluarkan Ratu Ayu untuk menarik keluar mereka yang berada di pihak Halayudha. Nyatanya pancingan itu mengena. Satu bayangan masuk ke tengah pendapa. Pangeran Anom, seru Gendhuk Tri dalam hati. Memang yang meloncat ke tengah arena adalah Pangeran Anom, Bagus Janaka Marmadewa. Yang tampak sangat tampan dalam cahaya yang tidak sepenuhnya terang.
“Kanjeng Ratu Ayu, biarlah Adik Ayu Tunggadewi tak berada di sini. Mari, Adik Ayu, Kakang mengantarmu kembali ke kaputren.” Suara yang bening, mengalunkan keberanian yang utuh. Bukan suara Pangeran Anom!
Karena ternyata yang berada di pendapa kini bertambah tiga lelaki muda yang sama-sama tampan, sama-sama gagah, dan menunjukkan sikap ksatria sejati. Ketiganya saling menghormat sekilas, lalu siap menghadapi Ratu Ayu yang seakan mempermainkan Galih Kangkam di sekitar leher Tunggadewi.
“Siapa kalian yang begitu tampan memesona?”
“Saya yang rendah biasa dipanggil Angon Kertawardhana, dari Cakradaran. Saudara saya yang di sebelah kanan adalah Pangeran Muda Wengker dari Keraton Tua. Sedangkan yang berada di tengah, Ratu Ayu pasti mengetahui karena namanya yang kondang kasusra ing jagat rat, Pangeran Anom Bagus Janaka Marmadewa…”
Kebeningan suaranya merendam ketenangan dan ke-wasis-an, kemampuan dalam berbicara. Ringkas dan mendalam.
“Jadi kalian bertiga ini para pangeran yang bermimpi ingin mempersunting Tunggadewi?”
“Jauhkan pedang lebih dulu, kalau memang ingin berbicara. Ketahuilah, Ratu Ayu, kami dibesarkan dengan tali persaudaraan Keraton Singasari yang luhur, warisan darah yang adiluhung. Lebih bermakna dari sekadar persuntingan atau soal impian.”
Angon Kertawardhana maju setindak. Kewibawaan yang terlihat sangat menonjol.
JILID 58 | BUKU PERTAMA | JILID 60 |
---|