Senopati Pamungkas Kedua Jilid 63

Cerita silat Indonesia Serial Senopati Pamungkas Buku Kedua Jilid 63 karya Arswendo Atmowiloto
Sonny Ogawa
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 63

Inilah yang terjadi. Inilah yang bisa terjadi. Enam langkah tubuh Halayudha mendekat. Lima langkah. Empat, tiga, dua. Berlalu dalam waktu cepat sekali, seolah benar-benar terseret masuk ke dalam pelukan Kiai Sambartaka. Yang menyeringai buas mengerikan, matanya melotot, lehernya tegang kaku, kepalanya miring ke arah belakang. Satu langkah.

Hegk! Halayudha masuk ke dalam rangkulan Kiai Sambartaka. Keduanya ambruk. Bersamaan. Berangkulan. Mencium tanah. Hanya kemudian terlihat jelas bahwa di punggung Kiai Sambartaka menancap keris yang masuk amblas hingga ke gagangnya!

Kwowogen berdiri dengan gagah. Kedua tangannya masih terkepal, gerahamnya beradu, dan urat di pipi serta lehernya sangat kejang. Kwowogen melakukan tindakan pada saat yang tepat. Sewaktu Kiai Sambartaka dan Halayudha beradu gelombang tenaga dalam sepenuhnya dan tubuhnya terlempar ke luar pendapa yang sudah tak berbekas, ia berdiri di depan deretan prajurit. Kwowogen berada dekat dengan Kiai Sambartaka.

Dengan gerakan sangat cepat, Kwowogen meraup keris di pinggangnya dan dengan sepenuh tenaga diamblaskan ke punggung Kiai Sambartaka. Yang saat itu tengah meregang nyawa, mengerahkan sisa kekuatan terakhir! Kekuatannya habis untuk menahan tembusan keris Kwowogen. Yang kemudian dengan satu tendangan ringan, membuat tubuh Kiai Sambartaka terputar di tengah udara. Mencipratkan bau amis dan darah hitam membasahi prajurit-prajurit yang bersiaga.

Dengan menyembah cepat, Kwowogen menarik kembali tubuh Halayudha. Kwowogen bukan sekadar menarik, akan tetapi juga menyalurkan tenaga dalamnya, sebisanya untuk mengembalikan semangat batin Halayudha. Yang segera menyadari, dan mengerahkan tenaganya secara perlahan sambil memusatkan pikiran dan kata batinnya.

Pesta Belum Usai
Gemuka mengangkat tangannya. Terkepal. Seakan meninju langit. “Raja Tanah Jawa. Pesta belum usai. Masih ada Gemuka di sini. Saudara Muda, ini memang tugas kita, ksatria sejati dari Tartar.” Suaranya tetap gagah, berwibawa, menyimpan tenaga yang penuh.

Dilihat sekelebatan memang bisa dinilai pihak mana yang unggul. Memang Ratu Ayu Turkana kini merintih di lantai pendapa, sementara Kiai Sambartaka telah berubah menjadi berbau bacin, bau yang memuakkan. Sedangkan pihak Keraton, selain ketiga pangeran anom yang terluka, Mahapatih Halayudha yang tersisih, hanya Ki Dalang Memeling yang jatuh sebagai korban. Akan tetapi itu tidak berarti banyak. Karena pusat kekuatan justru berada pada Gemuka dan Pangeran Hiang. Pangeran Hiang mundur setindak.

“Adik Jagattri, benarkah penyakit Putri Koreyea tak tersembuhkan? Adakah kalimatnya yang terakhir?”

Tak ada jawaban seketika.

“Cundhuk itu diberikan kepada Adik Jagattri. Itu berarti kepercayaan yang tiada akhir. Apakah…”

Nyai Demang membasahi bibirnya sebelum mengucapkan kalimat yang hanya bisa dimengerti Pangeran Hiang serta Gemuka. Kalaupun Gendhuk Tri mengerti hanya beberapa patah kata. Nyai Demang berbuat nekat. Ia selama ini hanya mendengar kisah yang dituturkan Gendhuk Tri secara lamat-lamat, secara samar-samar.

Akan tetapi itu cukup bagi Nyai Demang untuk menyusunnya sebagai satu pengertian. Walau Gendhuk Tri tak pernah menceritakan sebab-musabab penyakit Putri Koreyea secara jelas, Nyai Demang sudah bisa menduga. Dan dugaan itu dibalikkan! Karena sekarang ini Nyai Demang mengatakan dengan suara yang tajam dan jelas.

“Pangeran Sang Hiang, untuk apa bertanya kepada Jagattri kalau Pangeran Sang Hiang bisa bertanya kepada Saudara Tua?”

“Maksud…”

“Apa yang menyebabkan Putri Koreyea menderita raga hancur, bisa ditanyakan kepada sumber penyebabnya.”

“Nyai Demang, apa maksudmu?” teriakan Gemuka terdengar gusar.

“Kalian bersaudara. Kalian bisa saling mengerti dan bisa menduga, meskipun pikiran tak sampai. Kalau bukan Pangeran Sang Hiang, pastilah kamu, Gemuka, yang menyebabkan. Karena selama ini Putri Koreyea tak berhubungan, tak bersentuhan dengan orang lain. Tidak juga dengan lalat atau nyamuk.”

“Gerrrrhghg!”

“Gemuka, kamu belum tentu bisa membungkam kami semua. Kalaupun bisa, kamu belum tentu bisa membungkam suara hatimu sendiri.”

Sengatan-sengatan kalimat Nyai Demang sangat tajam menikam dan meninggalkan bisa. Karena Pangeran Hiang seakan terguncang. Terguncang dalam tanda tanya, yang agaknya masuk akal. Bahwa tak ada penyebab lain selain mereka berdua. Karena selama ini istrinya tak berhubungan dengan manusia lain. Tidak juga dengan Barisan Api yang selalu bersama dalam satu perahu. Dugaan setengah pertanyaan dan sepertiga kecurigaan ini karena sesungguhnya Pangeran Hiang tidak mengetahui riyawat penyakit istrinya. Yang memang memilih membungkam.

Sebaliknya, tubuh Gemuka seakan mendidih dibakar kemurkaan. Dia merasa dirinya paling sadar, paling memperhitungkan kekuatan ksatria tanah Jawa yang tak bisa diukur kekuatannya dari sekadar apa yang dilihat dan dijajal. Itu disadari sekali, karena panglima perang yang paling ternama, karena pendeta yang paling kesohor dari Tartar, selalu pulang dengan tangan hampa. Itu pula yang membuatnya berpisah dari rombongan Pangeran Hiang!

Gemuka memperhitungkan luar-dalam, lahir dan batin. Dan mengatasi sendiri, dengan menyusup ke dalam Keraton, menguasai Raja dan siap membumiratakan. Dan ia luar biasa geram, karena Nyai Demang yang dikenalnya masih bisa menyusupkan bibit permusuhan. Dengan kemampuannya berbahasa Tartar, dengan mengambil saat yang tepat. Gemuka makin gusar. Asap putih berkepul dari tubuhnya makin lama makin padat, makin keras.

“Nyai Demang… Ulang tuduhanmu. Aku yang menyebabkan Putri Koreyea sakit?”

“Saya tidak bilang begitu, Gemuka. Saya katakan, Pangeran Sang Hiang bisa menanyakan kepadamu. Karena selama ini kalian berdua yang mungkin menyebabkan Putri Koreyea remuk raganya. Kalau itu disebabkan oleh kutukan pada diri Pangeran Sang Hiang, rasanya ia tak perlu bertanya kepadamu.”

Satu lagi tikaman tajam berbisa. Tepat mengena. Karena asap tubuh Gemuka makin tebal. Kini warnanya setengah abu-abu. Dengan melontarkan pertanyaan seperti itu, seakan hanya ada dua kemungkinan yang menjadi penyebab penyakit Putri Koreyea. Kalau bukan Pangeran Sang Hiang, pasti Gemuka. Kalau Pangeran Sang Hiang tidak merasa melakukan, siapa lagi?

“Tanah Jawa, tanah sangat busuk, amis, dan mengerikan. Aku, Gemuka, kalau tak bisa meratakan dengan tanah, akan ikut rata dengan kalian.” Tinju terkepal Gemuka ditarik ke bawah.

“Mbakyu Demang, sudahlah. Biar saya yang menghadapi.” Suara Upasara Wulung terdengar tetap ulem, lembut dan enak didengar. Seolah Upasara tahu apa yang dibicarakan Nyai Demang. Sekalipun menunjukkan bahwa kini adalah tanggung jawabnya untuk menghadapi Gemuka maupun Pangeran Hiang.

Gemuka menatap ke arah Upasara Wulung. “Tanah Jawa busuk. Masih ada ksatria seperti kamu.”

Upasara menghela napas. Kakinya tetap tak bergerak. Tangan kanannya tetap memegang Kangkam Galih dalam posisi membuka. “Kita berdua ditakdirkan menjadi budak dari persilatan yang dungu, di mana kemenangan adalah kematian bagi lawan atau kawan. Aku, Upasara Wulung, di sini menunggu.”

Dalam satu tarikan napas, Upasara Wulung menoleh dan menyembah ke arah Pangeran Hiang. “Pangeran Hiang, saya tak akan pernah melupakan persaudaraan kita. Saya meminta maaf atas segala kelancangan dan kekisruhan yang terjadi, dalam segala hal. Saya tak ingin menghapus persaudaraan yang pernah menyatukan kita. Kecuali kalau Pangeran Hiang ingin memutuskan.”

“Pangeran Upasara. Persaudaraan kita tak akan dipisahkan, pun oleh kematian. Karena Pangeran Upasara dan Saudara Tua Gemuka sesama saudara, saya tak akan memihak kepada siapa pun. Banyak hal tak bisa dijelaskan sekarang, dan kapan pun. Saya siap menerima kenyataan yang terjadi.”

Pangeran Hiang menghormat dengan mengepalkan kedua tangannya dan mengangkat tinggi ke arah Upasara serta Gemuka, berulang kali, sebelum melangkah mundur. Tak ada beban yang lebih berat dari yang disandang Pangeran Hiang. Di satu pihak ia menganggap Upasara Wulung ksatria sejati dan saudaranya, pada pihak yang lain ia tak bisa menahan Gemuka. Jalan satu-satunya adalah menarik diri dari pertarungan.

Dengan mundurnya Pangeran Hiang, yang berada di tengah pendapa segera menyingkir. Nyai Demang lebih dulu mundur sambil memapah Ki Dalang Memeling yang kelihatannya sangat payah. Bantuan tenaga dalam yang dikerahkan oleh Gendhuk Tri ternyata tak banyak artinya. Eyang Puspamurti dengan mengangguk-angguk berjalan minggir. Diikuti para senopati, termasuk Senopati Jabung Krewes dan Senopati Yuyu. Mereka membentuk barisan bersama para senopati yang lain, berada di luar bekas pendapa.

Yang tertinggal hanya Gemuka dan Upasara Wulung. Berhadapan. Gemuka menghirup napas dalam-dalam. Dadanya mengembang besar, padat dan memperlihatkan kekuatan yang sesungguhnya ketika perlahan udara itu disemburkan. Uap putih mengalir perlahan dari bibirnya. Sementara Upasara masih menggenggam Kangkam Galih.

Perhatian Gendhuk Tri terpecah antara keinginan untuk menyaksikan pertarungan yang menentukan dan menemani Ki Dalang Memeling yang hanya tinggal menunggu sangat, saat yang baik. Akhirnya yang kedua yang dilakukan. Gendhuk Tri menolak keinginan para prajurit yang ingin membawa Ki Dalang Memeling. Gendhuk Tri bersila di dekat regol, memangku kepala Ki Dalang Memeling. Nyai Demang gemetar bersila di sebelahnya. Halayudha dalam keadaan terengah-engah mencoba memusatkan perhatiannya kepada Gemuka dan Upasara, silih berganti.

Berenang di Awan
PERHATIAN yang terpusat di tengah pendapa tak terganggu sedikit pun ketika Eyang Puspamurti dengan perlahan membopong tubuh Ratu Ayu, memondong ke tepi. Gemuka membuat gerakan pembuka. Kedua tangannya bergerak serentak ke arah kiri dan kanan, jubah gedombrongannya bergerak-gerak, dan sekali entak, tubuhnya melayang. Benar-benar melayang di tengah udara. Bagai burung tanpa mengepakkan sayap.

Pemandangan yang mencengangkan sekaligus mengerikan. Mencengangkan karena tubuh yang gemuk, gede, seolah bagai kapas yang bisa bermain sesukanya di tengah udara. Mengerikan karena terbayangkan setiap saat siap menyambar dan meremukkan apa yang tersenggol.

Upasara Wulung yang sejak tadi berdiam diri mulai bergerak. Pedang Galih ditancapkan ke pendapa, ketika kedua kakinya memasang kuda-kuda, dengan menarik kaki kiri ke belakang setengah tertekuk. Kedua tangannya bergerak bersamaan dari bawah, dengan siku menghadap ke belakang. Tangannya meninggi sebatas dada dan mengentak ke arah angin.

Apa yang dilakukan Upasara bisa diperhatikan dengan jelas karena gerak pembuka yang dilakukan adalah gerak pembuka semua gerak silat yang berdasarkan ajaran Kitab Bumi. Semua jago silat sejak belajar pertama memulai dengan gerak itu. Hanya bedanya Upasara tidak menghadap langsung seperti gerakan seolah menunggang kuda, melainkan dalam siaga kuda-kuda.

Ini sedikit-banyak menunjukkan bahwa Upasara sangat memperhitungkan serangan lawan. Sehingga tidak langsung menyerang ataupun menguatkan tenaga dalamnya, melainkan langsung menjaga diri. Bisa dimengerti mengingat sejak pertama muncul Gemuka telah memperlihatkan keunggulan yang luar biasa. Dengan senjata yang aneh, ataupun gedubrakannya yang mampu meratakan pendapa. Kali ini pun tak jauh berbeda. Malah bisa dikatakan lebih berbahaya.

Karena tubuhnya bisa mengambang di udara, seolah berenang di awan, nglangi ing mega. Gerakan ini hanya mungkin dilakukan oleh tokoh yang menguasai tenaga dalam secara sempurna. Sebab dengan kemampuan berenang di awan, kemampuannya mengatur tenaga dalam tak terikat dengan kekuatan bumi. Pada saat melayang dan membebaskan diri dari getaran bumi, segala serangan bisa terjadi secara tak terduga. Inilah gerakan yang langsung memotong apa yang dilakukan Upasara. Karena Upasara justru memamerkan gerakan yang intinya mengambil kekuatan bumi!

Gemuka memang mengetahui sumber kekuatan dan inti ajaran yang dikembangkan di tanah Jawa. Bahkan mempelajari dengan cepat, sehingga mampu menangkap sari patinya. Itu sebabnya pada gebrakan pertama langsung memakai tenaga dalam yang tak tergantung pada kekuatan bumi. Sedangkan Upasara tetap memakai kekuatan bumi, justru pada situasi di mana ia mengetahui lawan yang bergerak lebih dulu memakai serangan yang mematahkan kekuatannya.

Agaknya ini tak bisa dipisahkan dari rasa percaya diri yang hebat, di samping mengadu senggara macan. Atau mengadu kerasnya auman di antara singa. Saling menunjukkan bahwa Gemuka atau Upasara sama-sama mengetahui jurus-jurus yang dimainkan lawannya. Terlihat jelas dari gerakan Gemuka, yang menjadi sangat hati-hati.

Ketika tubuhnya menyambar turun, tangan kanannya melontarkan serangan. Yang diarah adalah pundak kiri Upasara dengan pukulan jarak jauh dan dengan tangan terkepal. Dentuman angin panas yang ditimbulkan beriringan dengan uap putih yang kini bisa berubah menjadi lurus bagai sorot matahari di sela-sela daun. Lurus, memancar, dan mengarah.

Upasara mengangkat tangan kiri dengan telapak tangan membuka. Cahaya putih yang menggempur ditangkis dengan telapak terbuka, dan bersamaan dengan itu tubuhnya bergeser ke kanan, membawa berkas cahaya putih itu yang kemudian dipotong dengan tangan kanannya. Keduanya bergerak dengan lambat, penuh perhitungan dan sedikit pun tidak ingin berbuat kesalahan.

Bagi para senopati yang melihat, bisa mempelajari setiap gerakan yang sekilas sangat sederhana. Namun semua juga mengerti bahwa dalam gerakan yang sederhana itu tersimpan kekuatan yang besar. Yang akan menentukan kemenangan pada langkah-langkah dan jurus-jurus berikutnya.

Eyang Puspamurti menggigit bibirnya. Komentar yang biasanya mengiringi setiap gerakan atau jurus menarik untuk diterangkan kini hanya menggantung di bibir. Rasanya terlalu sayang membagi perhatiannya dengan apa yang disaksikan dan dirasakan sekarang ini. Meskipun Eyang Puspamurti mengetahui bahwa pertarungan akan berjalan cukup lama.

Gemuka memulai dengan pukulan jarak jauh berupa tonjokan atau jotosan, yang berarti masih ingin menjaga jarak pertarungan. Dengan lontaran pukulan jarak jauh, lebih berarti menjajal dan mencari tahu kekuatan lawan daripada sebagai serangan yang mematikan. Apalagi dalam hal ini Gemuka tidak segera menyusul dengan merangsek masuk, atau membiarkan Upasara mengambil posisi menyerang. Dan kemudian baru melontarkan pukulan pendek dengan kembangan dari gerakan siku, atau sepanjang tangan.

Sebaliknya, Upasara tidak memandang remeh lawan. Serangan yang terarah ke pundaknya ditahan dan dikesampingkan, tanpa kemudian langsung balik menyerang. Dalam pertarungan sesama jago silat, jurus-jurus untuk menghindar atau menangkis bisa dibedakan dari berbagai susunan atau rangkaian gerak yang ada. Baik dengan mengelak, menangkis, menangkap, atau membungkam pukulan.

Dalam mengelak bisa dengan mengegos diri sampai dengan menjatuhkan tubuh untuk menghindari serangan. Dengan menangkis berarti mencoba adu tenaga keras lawan keras. Dengan menangkap berarti berusaha menguasai gerakan lawan sepenuhnya, karena apa yang dilakukan lawan ditangkap, diterima, dan seketika itu juga dibalas. Gerakan menghindar juga bisa berarti sama-sama melepaskan pukulan. Lawan memukul dan dibalas dengan pukulan.

Dalam hal ini adu kecepatan memukul lebih dulu, dan kecepatan menghindar yang kemudian. Bisa juga membuat gerakan mengunci, di mana pukulan lawan yang terlontar tak bisa ditarik kembali dan atau dikembangkan. Sedangkan membungkam pukulan lawan, menjadikan serangan lawan tak ada artinya sama sekali. Membiarkan lawan memukul dan seolah mengena, tapi sesungguhnya tak membekaskan akibat apa-apa.

Gemuka menarik kembali pukulannya, dan satu langkah ke samping sambil membalikkan tubuh, kakinya meluncur ke depan. Kini asap putih yang makin padat, meskipun mulai samar oleh sinar matahari, terlihat jelas memancar dari arah kaki. Dalam gebrakan kedua ini makin jelas bahwa Gemuka memamerkan kemampuannya. Kalau dalam serangan pertama, arah pukulannya hanya satu gerakan tendangan ini memperlihatkan lima berkas uap yang berganti-ganti dalam sekejap.

Uap putih yang memancar dari tumit, sisi kaki, ujung telapak kaki, seluruh telapak kaki, dan punggung kaki. Lima serangan yang bergantian. Pancaran uap yang terlihat sama kuatnya. Seakan berkas matahari yang sebagian tertutup daun sebagian terbuka karena daunnya bergerak tertiup angin. Masing-masing serangan mengarah ke bagian bawah tubuh Upasara. Ke arah paha, pangkal paha, selangkangan, silih berganti.

Upasara menarik sedikit kakinya, sehingga posisi tubuhnya kini sedikit miring, dan posisi kakinya condong untuk bertahan, karena berat tubuhnya berada di belakang. Akan tetapi posisi tangannya membuka, tidak menutupi bidang sasaran lawan, sehingga bisa diartikan sebagai siap menerima serangan berikutnya, atau dengan kata lain memancing lawan bergerak maju. Memancing dalam artian bukan sengaja membuka diri untuk diserang, melainkan memancing dalam pengertian bisa diartikan secara begitu, atau menganggap serangan lawan sangat encer. Sehingga tidak perlu membuat pertahanan secara khusus.

Gemuka bukan tidak mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tetapi tetap saja menggertak maju, tanpa suara, dan kedua kakinya menyerang secara bersamaan ke arah kedua kaki Upasara. Dalam satu gerakan, kedua kaki Gemuka bisa sekaligus menendang, menyapu, mengait, mengungkit, mengangkat, dan menebas. Kembangan tendangan yang nyaris sempurna. Penuh dengan liku-liku gerakan yang seakan mustahil bisa dilakukan dalam sekejap.

Sementara Upasara melangkah ke samping kiri, kanan, maju setindak. Kakinya mengisi sela-sela gerakan Gemuka. Setiap kali Gemuka membuka serangan, Upasara membarengi; dan ketika Gemuka menarik atau mengubah serangan, kecepatan dan ketepatan yang sama dilakukan Upasara.

Pertarungan bawah yang mengagumkan, bisik hati Senopati Jabung Krewes. Ia bisa melihat dengan jelas, bahwa dalam gerakan-gerakan serangan kaki untuk saling menjajal keras dan membongkar pertahanan lawan, Upasara sedikit lebih kuat. Ini terlihat dari kakinya yang bergerak lebih mantap, dan posisinya setengah telapak kaki lebih dulu, sebelum serangan datang.

Jabung Krewes bisa mengerti. Dalam soal permainan kaki, Upasara mempunyai dasar yang kuat. Bahkan ilmu sandarannya adalah Kitab Bumi yang oleh Ngabehi Pandu dulu diterjemahkan sebagai kekuatan kaki banteng hitam. Yang walaupun menitikberatkan pada serangan ganas, diimbangi dengan pertahanannya yang kokoh.

Delapan Menutup Empat
INI sangat berbeda dengan Gemuka. Sekurangnya menurut nalar Jabung Krewes. Pada Gemuka, sedikit atau banyak, dasar-dasarnya justru tidak terlalu mengakar. Karena seperti setiap kemungkinan alam yang wajar, mereka yang dibesarkan di daerah pegunungan gerakan kakinya lebih lincah menyerang, akan tetapi kurang kuat pertahanannya. Lebih mudah menghindari serangan dengan loncatan dibandingkan dengan menahan tubuh.

Bagi Jabung Krewes ini sementara membingungkan. Atau lebih tepatnya membuat sorot matanya menyipit dan sepenuh kemampuannya mengarah untuk mengartikan rangkaian serangan demi serangan, hindaran demi hindaran. Satu hal bagi Jabung Krewes tak perlu diragukan lagi. Bahwa apa yang dipikirkan, apa yang diperhitungkan selama mengikuti pertarungan ini, pastilah sudah terpikirkan oleh Gemuka maupun Upasara. Bahkan sejak pertama kali, Gemuka sudah mengetahui kemungkinan Upasara lebih unggul di bagian kaki untuk bertahan.

Akan tetapi nyatanya, justru serangan yang memperlihatkan kekuatan utama Upasara yang dilawan. Apakah ini bukan tidak mungkin merupakan bagian dari keingintahuan sampai seberapa jauh keunggulan lawan? Sehingga kemudian bisa memperhitungkan bagaimana menghadapinya? Jadi semuanya menjadi sangat tepat kalau mulai bergerak dengan lambat, saling menjajal dan mengetahui kekuatan lawan yang sesungguhnya.

Kalau benar begitu, apakah itu berarti Upasara akan lebih dulu diketahui kekuatannya? Perhitungan Jabung Krewes yang pertama meleset. Kalau tadinya menyangka Gemuka masih akan memainkan gerakan yang lambat, ternyata sebelum matanya berkedip sudah berubah. Berubah menjadi sangat cepat sekali. Kaki kanannya tertarik ke belakang, dan mendadak kaki kirinya meluncurkan tendangan serong kanan depan, yang setelah melontarkan pukulan, kaki yang sama justru tertarik ke belakang serong kiri. Sementara kaki kanannya menggantikan ke arah depan. Sedemikian cepat dan berurutan, sehingga tubuh Gemuka seperti berputar terbalik.

Hebat, getar bibir Halayudha dalam hati. Gemuka kini benar-benar memperlihatkan serangan yang ganas. Delapan penjuru ditutup dengan tendangan, baik arah belakang, serong kiri belakang, samping kiri, serong kiri depan, depan lurus, serong kanan depan, samping kanan, maupun serong kanan belakang. Berarti delapan penjuru angin dikuasai oleh tendangan.

Yang membuat Halayudha memuji hebat adalah bahwa Gemuka menguasai delapan penjuru angin dengan dua kakinya. Secara bergantian dan tidak beraturan atau tidak berurutan dari serong kanan depan ke samping kanan misalnya. Melainkan saling mengisi di tempat lowong, di mana Upasara ingin memantapkan pertahanan atau berusaha memulai serangan..Dengan dua kaki yang sama hidupnya. Bergantian.

Pujian Halayudha menggambarkan betapa segala perhitungan sebelumnya yang masih berupa perkiraan, kini menemukan buktinya yang jelas. Gemuka yang baru saja memainkan kekuatan nglangi ing mega dengan tidak memedulikan kekuatan bumi, pada jurus berikutnya sudah sepenuhnya menginjak bumi!

Yang dipamerkan kini adalah serangan dengan kekuatan bumi. Sepenuhnya. Dengan indah, sebat, keras, dan terarah serta membingungkan. Karena dengan berhasil menguasai delapan penjuru angin, Gemuka bisa memaksa Upasara berada dalam kekuasaan kekuatannya serta bisa memaksakan kemauannya. Kalau ini terjadi, jurus-jurus berikutnya akan berbahaya bagi Upasara. Meskipun Halayudha sadar sepenuhnya bahwa Upasara tak akan dikalahkan dalam waktu begitu cepat.

Justru di sini daya tariknya. Apalagi jika dibandingkan dengan pertarungan sebelumnya. Dalam pertempuran total yang melibatkan hampir semua senopati dan ksatria serta para prajurit, puncak-puncak keindahan dan kekuatan tak bisa diikuti. Apalagi kemudian berakhir dengan cepat, setelah Ratu Ayu terkena Kangkam Galih, dan Kiai Sambartaka adu tenaga dalam dengan dirinya. Boleh dikatakan tidak seimbang dengan persiapan yang begitu mencengkam sebelumnya.

Yang membuat Halayudha lebih tajam mengikuti adalah bahwa untuk sementara matanya tak bisa membedakan jelas bagian mana yang kaki kiri, dan bagian mana yang kaki kanan. Bagian mana yang dipakai untuk menyerang, dan bagian mana yang dipakai untuk bertahan. Gerakan sepasang kaki Gemuka demikian cepat berubah posisi, dengan demikian Upasara bisa terseret untuk menangkap serangan yang sama berbahayanya. Jika ini yang terjadi, maka ini akan merupakan satu babakan di mana Upasara dipaksa berjuang lebih keras.

Sama dengan jalan pikiran Halayudha, Senopati Jabung Krewes melihat hasil yang sebaliknya. Upasara tidak banyak bergerak untuk menghindar, kecuali berusaha menguasai empat penjuru, dan terutama sekali bagian pusat, titik tengah. Ini berarti delapan penjuru angin yang dikuasai Gemuka bisa dilawan dengan empat penjuru dan satu pusat. Dengan rangkaian gerakan kiblat papat, lima pancer, atau empat arah angin dan satu pusat.

Benar-benar pertarungan yang memperlihatkan akar. Karena sesungguhnya ini menggambarkan sikap dasar yang menyertai lahirnya paham atau pengertian mengenai alam dan kehidupan. Ini pula yang menyebabkan Eyang Sepuh dulu mengajak para ksatria seluruh jagat untuk bertemu dan menguji ilmu siapa yang sesungguhnya menempuh jalan suci, jalan yang sebenarnya.

Delapan penjuru arah, delapan mata angin, atau bisa disebut Delapan Langkah Naga, merupakan inti utama pemahaman gerakan ilmu dari Tartar, yang juga dari tlatah Hindia. Atau bahkan menyebar sampai ke Turkana seperti yang diperhatikan dengan Langkah Jong oleh Ratu Ayu Azeri Baijani.

Sementara di tanah Jawa, Halayudha melihat bahwa gurunya, Paman Sepuh Dodot Bintulu, memakai perhitungan yang berbeda. Bukan delapan penjuru angin, melainkan empat kiblat. Yaitu arah timur, barat, selatan, dan utara. Dengan perbedaan pokok adalah titik tengah, yang disebut sebagai unsur kelima, pancer atau pusat.

Pengertian ini mengandung penjabaran yang sangat berbeda bentuk dan artinya. Bahwa kemudian Eyang Sepuh mampu merumuskan dan menjadikan sebagai ajaran dalam Kitab Bumi, itu tetap tak mengubah empat kiblat yang ada. Bahwa kemudian dalam Bantala Parwa juga muncul penekanan yang berbeda, tak mengubah dasar yang ada. Hanya penajaman di sana-sini yang berubah peranannya.

Yang mungkin bisa dikatakan sangat berbeda dari sebelumnya adalah apa yang dituliskan dalam Kidung Pamungkas, di mana unsur pancer benar-benar menjadi inti kekuatan utama dan satu-satunya. Di mana empat kiblat bisa diganti dengan unsur kakang kawah, adi ari-ari, dalam menerangkan kekuatan lahirnya manusia. Yang diawali dengan kawah atau keluarnya air sebagai saudara tertua, dan ari-ari sebagai adiknya. Dari empat menjadi dua. Tetapi unsur titik tengah sebagai pusat masih sama. Dan sesungguhnya, sejauh Halayudha bisa mengetahui, inti ini yang membedakan ajaran yang berkembang di tanah Jawa dengan yang masih dekat dengan intinya.

Bagi Halayudha, pertarungan Gemuka melawan Upasara sekarang ini jauh lebih mengungkapkan kenyataan sebenarnya dibandingkan dengan pertarungan habis-habisan di Trowulan. Karena apa yang terjadi di Trowulan lebih menunjukkan para tokoh jagat bertemu dan bertarung mati-hidup. Bukan mempersoalkan “jalan mana yang paling lurus dan bersih”, ilmu siapa yang paling mendekati kebenaran.

Sekarang ini, Gemuka dan Upasara memakai dasar jurus yang sama, dalam pengertian yang sama, dengan penekanan yang berbeda. Boleh dikatakan mereka berdua memainkan jurus yang sama! Di sini akan teruji ajaran mana yang lebih unggul. Bisa dibandingkan langsung karena menggunakan jurus yang sama. Seolah dua saudara seperguruan tengah berlatih. Menggembirakan dan mencemaskan.

Menggembirakan karena kini bisa disaksikan secara jelas dan bersih pertarungan yang terjadi. Mencemaskan karena Halayudha merasa kurang tenang dengan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam negerinya. Sebagai pesilat yang banyak menggauli dan terjun berlatih sebagai aliran kelas dunia, Halayudha menyadari bahwa beberapa pergeseran dasar ke arah penyempurnaan terus terjadi. Dalam hal ini, pengertian empat kiblat terasakan sebagai sudah ketinggalan dibandingkan dengan delapan penjuru yang lebih rinci.

Mencemaskan kalau akhirnya harus menerima kekalahan dan mengakui bahwa Gemuka lebih unggul, dalam artian ilmunya lebih mendekati kebenaran, ilmu yang sejati. Apalagi sekarang ini Upasara Wulung menyandang beban gelaran sebagai lelananging jagat. Sehingga kekalahannya merupakan kekalahan seluruh Jawa. Kalau ini terjadi, entah sampai kapan sebutan itu bisa disandang kembali, mengingat munculnya tokoh-tokoh sakti mandraguna. Perasaan itu menyelinap dalam pikiran Halayudha yang tak sempat merenungkan apa artinya, kenapa hatinya merasakan.

Gerak Tipak Kuda
KALAU Halayudha tak sempat merenungkan, terutama bukan karena perhatiannya terbetot ke arah pertarungan. Akan tetapi memang tak merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dari mempertimbangkan keunggulan pribadi, menjadi mempertimbangkan keunggulan tanah kelahirannya. Kekalahan Upasara akan dirasakan sebagai kekalahan Keraton. Suatu jalan pikiran yang sebelumnya tak sempat terdengar dalam hati nurani Halayudha.

Di tengah pendapa, pertarungan masih terus berlangsung ketat. Sampai jurus kesepuluh, gempuran kuda-kuda terus berlanjut dan makin mengimpit. Gemuka kelihatan sangat digdaya dengan menguasai delapan penjuru angin, akan tetapi tetap saja tak mampu mendesakkan kelebihannya. Upasara dengan tenang menggeser kakinya ke empat penjuru, dan sesekali saja bertahan di tengah.

Memasuki jurus kedua belas, Gemuka mengubah gerakannya. Kaki kanan terangkat sejajar dengan pangkal paha, kaki kiri sedikit menekuk. Tangan kanannya tertarik ke bawah dengan genggaman kencang sementara tangan kiri membuka di depan dada. Arus gelombang tenaga langsung terasakan panas dan meringis. Upasara menarik kedua kakinya ke kedudukan pusat. Ketika kaki kanan Gemuka meng-gedruk lantai, gerakannya benar-benar berubah. Kali ini tidak menjelajah ke arah delapan penjuru angin, akan tetapi ke empat penjuru. Mengikuti gerakan Upasara.

Yang berarti dari segi kembangan lebih sederhana. Meskipun kecepatan geraknya sama. Dengan demikian, Gemuka selangkah lebih unggul. Karena empat penjuru yang dikuasai merupakan gerakan rangkap. Segi empat yang dikuasai adalah segi empat rangkap. Segera terlihat tubuh Gemuka menyempitkan ruangan, dan seakan mengurung Upasara sepenuhnya. Gerakan ini tak urung membuat Upasara terperangah. Karena irama permainan Gemuka menjadi susah diduga. Ini baru permulaan.

Sangat cepat Gemuka mengubah lagi pola serangan kaki. Dari segi empat rangkap, berubah menjadi segi empat potong. Kalau sebelumnya langkahnya seakan berurutan menutup empat penjuru, kini bagian akhir diubah menjadi gerakan putaran. Pada hitungan keempat, tubuh Gemuka berputar mengiris dari sisi tengah. Untuk menembus benteng pertahanan Upasara di bagian pusat! Kaki kanan dan kaki kiri menopang satu sama lain. Putaran tubuh Gemuka berhasil membongkar pertahanan Upasara.

Gemuka mulai dengan ke depan, dan menukar dari gerakan ke samping kanan, mundur, dan kembali ke tempat semula. Mengubah menjadi berputar di langkah keempat. Begitu seterusnya. Sehingga langkah yang menguasai delapan penjuru menjadi berlipat, dan dalam satu serangan sekurangnya dua kali tubuh Gemuka melesak ke tengah.

Memasuki jurus kelima belas, Upasara terdesak. Kekukuhan kakinya mulai tergoyahkan. Beberapa kali kakinya beradu, dan Gemuka mampu mendesak. Sehingga uap putih yang tersalur seakan bisa memotong arah kaki Upasara. Pada jurus kedua puluh, Gemuka mengembangkan gebrakan yang lain lagi. Kali ini memakai gerakan segi tiga berbalik. Seakan dalam empat penjuru ada dua segi tiga yang dikuasai sepenuhnya oleh Gemuka. Itulah keunggulan.

Nyai Demang pun mengakui. Meskipun sebagian perhatiannya ke arah Ki Dalang Memeling yang tak lagi memperlihatkan keteg, denyut kehidupan, akan tetapi tak urung tersedot ke arah pertarungan. Karena Nyai Demang bisa memahami bahwa guntingan kaki Gemuka makin ketat menempel. Dengan gerakan segi tiga rangkap dalam empat penjuru, Gemuka sepenuhnya menguasai.

Secara perhitungan biasa, dalam segi empat, dalam empat penjuru angin dikuasai, bisa dibagi menjadi empat gerakan segi tiga. Akan tetapi bagi Gemuka cukup menguasai dua segi tiga saja. Yang lainnya bisa diabaikan karena bisa dilakukan gerakan rangkap. Pada langkah ketujuh dengan langkah kedua. Keunggulan yang nyata.

Sejak langkah gempuran mengubah delapan penjuru menjadi empat kiblat yang dimainkan secara rangkap, Gemuka menemukan kunci pemecahan. Dengan kemampuannya sebagai jawara sejati, perubahan gerakan menjadi segi tiga rangkap merupakan langkah berikutnya untuk mengunci dan mempersempit ruang Upasara.

Dua kali Upasara terpaksa menjatuhkan diri, baik dalam keadaan berbaring untuk menangkap kaki Gemuka, ataupun dengan jongkok untuk menahan, atau juga sikap duduk untuk persiapan melancarkan serangan balasan. Miring tubuhnya, tengadah, menyapu kaki, atau mencoba mendongkrak ke atas, seperti tak bisa menembus ketatnya kepungan Gemuka. Yang lagi-lagi menambah dan mengubah serangannya.

Kali ini Nyai Demang tak bisa menahan rasa kuatirnya. Tubuhnya berdiri untuk menyaksikan jalannya pertarungan. Darahnya menderas, dan tanpa terasa tangannya mulai dingin. Gerakan Gemuka bukan lagi segi tiga terbalik, akan tetapi kini mengiris. Keluar-masuk, menyerang, bertahan, akan tetapi tetap dalam irama menembus pertahanan Upasara yang mulai berloncatan. Gawat.

Dalam benak Nyai Demang terbayangkan mata gerigi yang dipergunakan Pangeran Hiang! Roda bergerigi yang bila digerakkan akan bisa mengiris, menembus lebih pasti dan teratur. Gerakan gergaji! Gerakan yang meringkas jalannya pertarungan. Meskipun lebih lambat, lajunya lebih pasti. Dan Gemuka membuktikan dengan gemilang. Untuk memotong sebatang kayu, bisa dilakukan dengan parang atau pedang dengan sekali tebas.

Akan tetapi jika batang pohonnya terlalu besar dan kuat, tebasan yang bagaimanapun akan sulit memotong. Beberapa kali menebas, bisa-bisa arah sasarannya berbeda, sehingga batang pohon bisa rusak akan tetapi belum tentu roboh. Ini berbeda misalnya dengan gerakan gergaji. Yang maju perlahan, akan tetapi pasti. Mengiris langsung. Dan kini merupakan sumber utama gebrakan Gemuka.

Siapa pun mengetahui bahwa Gemuka dan Pangeran Hiang serta rombongannya datang dengan Perahu Siung Naga Bermahkota. Yang kemudian juga tercermin dalam serangan-serangannya. Seperti roda bergerigi Pangeran Hiang, seperti senjata andalan Paser Bumi. Seperti dilambangkan dengan siung naga. Upasara dipaksa bertahan sepenuhnya.

Kalau dalam berbaring terpaksa miring, telungkup, dan telentang, kini dalam posisi jongkok pun keluar semua gerakan yang dimiliki. Bahkan untuk posisi jongkok, Upasara terpaksa berjongkok, dengan dua kaki sejajar, ataupun terpaksa jengkeng, dengan satu kaki sedikit di belakang. Sehingga tubuh Upasara seakan bergulingan, dan dengan demikian posisinya untuk menguasai titik tengah menjadi terlepas. Terlepas.

Hanya sesekali bisa kembali ke kedudukan semula, dengan sikap dan posisi duduk. Dengan sempok, satu kaki bersilang di atas kaki lain, dengan simpuh, kedua kaki ditekuk ke belakang sebatas lutut, ataupun sila, kedua kaki bersilangan. Akan tetapi jelas bahwa dalam posisi seperti itu, daya tahannya menjadi lemah. Betapapun kuatnya, posisi duduknya tak akan mengungguli posisi berdiri, apalagi karena posisi duduk dilakukan dalam keadaan yang terdesak.

Hanya elak bawah yang sempurna terjadi, sementara elak atas hanya dimungkinkan dengan mengubah posisi, demikian juga jika melakukan elak tengah. Tidak sampai jurus ke-25, keadaan Upasara benar-benar terpotong, terdesak dan tak bisa mempertahankan dengan mengelak. Cepat atau bahkan sangat cepat Upasara dipaksa menangkis. Dengan kekuatan kaki yang tertekuk, Upasara tak mungkin bisa leluasa melayani gebrakan Gemuka yang menyerang dengan seluruh anggota badannya. Kedua tangan dan kakinya demikian kuat melingkung dan mengurung.

Tak ada yang bisa membaca jalan pikiran Pangeran Hiang. Akan tetapi melihat yang bersangkutan mulai menengadah ke langit, bisa diduga bahwa memasuki jurus ketiga puluh, Upasara benar-benar dibuat tak berkutik dan hanya bisa berkutetan di tempat. Nyai Demang melirik Eyang Puspamurti. Mencoba menangkap apa yang dipikirkan Eyang Puspamurti, yang lebih bisa memperkirakan jalannya pertarungan. Akan tetapi itu hanya menambah kecemasannya. Karena Eyang Puspamurti beberapa kali menggeleng.

Gemuka kelihatan makin bernafsu, meskipun perhitungan tetap berjalan. Kini Upasara hanya bisa menangkis dengan gerakan tangan. Baik gerakan kedua tangan sejajar, kedua tangan membelah, kedua tangan menyilang, maupun gerakan tangan yang membuang. Berusaha menangkap serangan yang datang dan mengalihkan.

Gemuka memantapkan gerakannya, dan kakinya menginjak titik tengah, sementara kedua tangannya bergerak cepat membuat gerakan penutup. Baik dengan menyilangkan kedua tangan di dada dengan mengangkat satu kaki, maupun gerakan penutup samping dengan satu tangan kanan mengepal turun ke bawah. Upasara terkunci. Terkuasai titik tengah dan tertutup kemungkinan untuk menjebol kembali.

“Ya, itu Tapak Kaki Kuda… Saya tak berpikir begitu,” suara Eyang Puspamurti seperti bergumam. Mendesah. Antara bersyukur dan menyerah. Tak bisa dibedakan oleh Nyai Demang.

Menangkap Mega, Memutar Mendung
NYAI DEMANG tak bisa membedakan, apakah ini berarti baik atau buruk bagi Upasara. Sejak tadi, meskipun tidak sepenuhnya, Nyai Demang mengikuti jalan pembukaan yang ditempuh Upasara. Tetap menghadapi dengan jurus-jurus yang berdasarkan kekuatan bumi. Yang untuk sementara bertahan dan berjaya, akan tetapi dengan direbutnya wilayah pancer, berarti sumber kekuatan Upasara habis. Gemuka yang menguasai sepenuhnya. Kenyataannya begitu.

Akan tetap begitu, kalau Upasara terus-menerus memainkan jurus-jurus yang sama. Justru pada saat yang menentukan, ketika pancer dikuasai Gemuka yang disusul gerakan menutup, Upasara mendadak berubah. Meloncat berdiri, dan bergerak. Tangan kanannya memukul Gemuka dari arah samping, sambil terus bergerak. Setengah lingkaran. Bukan. Bukan setengah lingkaran, kata hati Nyai Demang. Melainkan, melainkan… seperti yang dikatakan Eyang Puspamurti. Mengambil gerakan tipak kuda, tapak kaki kuda!

Baru sekarang Nyai Demang bernapas lega. Walaupun tidak bisa memainkan sendiri, dan belum tentu juga tokoh lain bisa menemukan gerakan yang dilakukan Upasara, akan tetapi Nyai Demang bisa mengikuti jalannya pertarungan. Dengan memakai gerakan tipak kuda, gerakan itu tidak setengah lingkaran, melainkan setengah lonjong, yang ujungnya membuka. Persis seperti tipak kaki kuda. Dengan memakai gerakan dasar seperti itu, penguasaan pancer tidak ada artinya lagi. Bahkan sebaliknya. Gemuka seperti terkurung di tengah.

Yang sebenarnya juga bukan wilayah tengah yang menentukan. Karena dalam bentuk tipak kuda, susah ditentukan mana bagian tengahnya. Ini berbeda dari gerakan lingkaran, di mana bagian tengah mempunyai jarak pukulan yang sama ke segenap jurusan. Luar biasa. Upasara Wulung, Adimas Upasara Wulung, mampu mengubah, mampu menemukan jawaban yang jitu, tepat, dan mengena. Justru ketika berada dalam keadaan sangat terdesak. Helaan napas Nyai Demang terdengar lebih keras dari yang lainnya.

Juga dari Halayudha yang setiap kali masih merasa bisa menemukan hal yang mengagumkan dalam diri Upasara Wulung. Gerakan tipak kuda bukan sesuatu yang istimewa, akan tetapi bahwa itu dipakai sesaat setelah Gemuka menguasai titik tengah, merupakan pencerahan yang menggetarkan. Sebagai jago silat, Halayudha sadar sekali bahwa dalam pertarungan seseorang akan berloncatan kekuatan batinnya. Untuk menemukan dan merangkaikan kilatan-kilatan yang membersit.

Hasil latihan dan pengalaman puluhan tahun akan memungkinkan keluarnya ilmu-ilmu itu tanpa disadari sekalipun. Akan tetapi itu masih tetap pertanyaan besar yang tak bisa diterangkan. Kenapa jurus atau gerakan itu yang masuk ke alam batin, dan kenapa gerakan itu yang dipilih. Perbedaan tipis yang bisa memilah siapa yang unggul dan siapa yang kalah. Kini Upasara berada di atas angin.
JILID 62BUKU PERTAMAJILID 64
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.