Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 64
Gemuka terjebak berada di tengah, kedua tangannya bergulung, menahan serangan pukulan pertama Upasara sejak terjepit yaitu dengan menyerang bagian atas. Seakan ada pukulan yang masuk ke tubuhnya, sehingga tangannya terangkat ke atas. Tangan kiri berjaga, sementara kaki kanan melangkah setengah masuk.
Seakan Upasara telah menduga bahwa Gemuka akan menyerang ke arah bawah ketiaknya. Gemuka benar-benar terperangah. Adalah sedikit di luar perhitungannya bahwa posisi Upasara yang perlahan terdesak bisa berbalik. Bahkan kemudian mengetahui arah dan kemungkinan serangan darinya. Gemuka merapatkan tangannya sambil menarik posisi kakinya dua langkah menjauh. Posisi titik tengah yang direbut tak ada artinya lagi.
Gemuka menduga Upasara akan menyerang, sehingga ia berjaga-jaga sambil mundur. Uap putih yang tadinya memancar, kini seakan ditarik ke dalam tubuhnya. Surut masuk ke tubuh. Upasara menerjang maju dengan gerakan tangkapan. Dua tangannya bergerak searah, siap menerkam tangan Gemuka. Yang kemudian diubah dengan tangkapan berlawanan. Tangan kirinya bergerak dari atas ke bawah, tangan kanan bergerak dari bawah ke atas.
Begitu Gemuka membuang diri, Upasara merenggangkan tangan dengan gerakan searah maupun berlawanan. Dalam satu gerakan, pada jurus yang sama, Upasara melakukan empat jenis gebrakan sekaligus. Menangkap dengan berbagai kembangan, menarik serangan lawan, mengelak, dan mendorong!
Empat gerakan sekali gebrak. Gemuka melontar ke angkasa. Tenaga dalam Upasara seakan bisa mempermainkan tenaganya, sehingga bisa terkulai untuk ditarik, didorong, diputar, dan ditangkap. Berbagai kemungkinan yang bisa terjadi sekaligus. Kini sepenuhnya tak ada uap putih yang menandai serangan dan pengerahan tenaga keluar. Gemuka melayang ke atas, kembali membebaskan diri dari kekuatan bumi.
Pada kejapan yang sama, tubuh Upasara menggeliat berputar menyusul. Gagah sekali gerakannya, memancarkan wibawa yang perkasa, dan indah dipandang. Tubuh Upasara seakan mengikuti tarikan Gemuka, kemudian melilit dari bawah. Keleluasaan Gemuka dengan nglangi ing mega seakan pupus. Karena tubuh Upasara seakan melingkari dan menguasai. Mega atau awan yang menjadi kekuatan Gemuka, seakan sudah ditangkap Upasara. Persis seperti ketika Gemuka mampu menguasai pancer.
Hanya kalau tadi Upasara mampu membalikkan serangan, kini keadaannya berbeda. Gemuka seperti terjepit. Dengan menguasai mega, langkah berikutnya adalah memutar mendung. Mengalihkan awan hitam, untuk mengirimkan hujan ke arah yang dikehendaki. Gemuka berada dalam kesulitan. Terlibat dalam krisis untuk menemukan langkah yang tepat!
Bahkan Senopati Jabung Krewes bisa mengikuti dengan saksama. Apa yang diperlihatkan Upasara adalah gerakan-gerakan yang bisa dikenali. Juga dalam kehidupan sehari-hari. Agaknya justru inilah keunggulan Upasara. Mengembalikan gerakan-gerakan ilmu silat kepada sumbernya, pada gerakan-gerakan sehari-hari.
Gerakan menangkap mega dan memutar mendung adalah gerakan yang terjadi sehari-hari ketika kekuatan batin untuk menguasai mega, seseorang bisa mengumpulkan mendung untuk disisihkan, dan “dilepaskan” di tempat tertentu. Kalaupun Gemuka tidak mengerti lekuk liku dan latar belakangnya, ia menyadari bahwa dirinya dalam bahaya.
Apa yang dilakukan Gemuka benar-benar luar biasa. Tubuhnya mendadak memberat luar biasa, dan dengan sendirinya amblas kembali ke pendapa. Mencoba melepaskan belitan Upasara dengan melesak ke bawah. Dengan sepenuh tenaga. Sehingga Upasara seolah terkunci dan tangkapannya lolos. Akan tetapi kedua kakinya masih bebas mengait tubuh Gemuka. Dengan sekali sendal, tumitnya mengenai sasaran. Tubuh Gemuka makin menderas ke lantai dan bergulingan.
Nyai Demang hampir bersorak kegirangan. Yang disusul pekik kaget. Dan kecemasan. Gemuka benar-benar nekat luar biasa. Ketika tubuhnya amblas ke bawah ditambah dengan sentakan kaki Upasara, Gemuka langsung menggulung di lantai pendapa. Menggulung diri ke arah Kangkam Galih, dan dengan seketika meloncat kembali, membal balik. Menyabetkan Kangkam Galih ke arah tubuh Upasara. Mati-hidup!
Upasara sendiri sama sekali tak menduga bahwa Gemuka akan mengambil jalan pendek. Dalam benaknya masih berkelebat kemungkinan yang lain. Bahwa sesungguhnya keunggulannya belum berarti kemenangan mutlak. Tapi agaknya Gemuka tidak sabar. Dengan gerakan menggulung dan menggelundung serta membal balik sambil meraup Kangkam Galih, keadaannya menjadi berbahaya. Karena penguasaan yang bagaimanapun sempurnanya agak susah untuk merangkaikannya dalam satu gerakan, apalagi gerakan menjatuhkan diri secara sepenuhnya.
Tapi Gemuka memilih jalan itu. Dengan akibat bagian tubuhnya sendiri tersayat oleh Kangkam Galih. Darah segar mengucur dari punggungnya yang dirobek oleh guratan sangat panjang, menembus pakaian luar, kulit, daging, dan bukan tidak mungkin menggores tulang. Namun Kangkam Galih yang telah melukai dirinya oleh Gemuka diteruskan sabetannya ke arah Upasara.
Yang untuk pertama kalinya mengeluarkan jeritan keras. Tubuhnya berjumpalitan dan jatuh ke pendapa. Jatuh. Ambruk. Darah memancar dari paha kirinya. Membasah, menggenangi pendapa. Gemuka berdiri dengan pedang tipis kurus panjang berlumuran darah, yang menetes hingga genggamannya yang juga berwarna merah. Gemuka meloncat, menerkam!
Sambaran Rudrarosa
TERIAKAN was-was terdengar bersamaan. Gemuka, yang berubah seolah kuyup oleh darah segar yang masih menetes, dengan menggenggam Kangkam Galih terbang ke arah Upasara. Yang saat itu tengah terduduk, karena paha kirinya terluka, yang dengan mudah kelihatan karena bahkan kainnya terobek menyingkapkan luka.
Bahkan Kwowogen ikut mengeluarkan teriakan sangat keras. Karena menduga bahwa Gemuka sedang sekarat, sedang mengerahkan tenaga mautnya yang terakhir. Tak berbeda dari Kiai Sambartaka sebelumnya, yang disaksikan di depan matanya. Hanya kali ini Gemuka masih memakai perhitungan yang matang, dan pikirannya masih jernih.
Sabetan Kangkam Galih begitu tepat, mencungkil di antara tubuh Upasara dan sepenggal di atasnya. Artinya kalau Upasara berusaha menggulingkan tubuhnya akan terkena salah satu dari rangkaian tusukannya. Kalau meloncat tak akan terbebas dari tebasan, mengingat tenaga kaki kirinya tak bisa dipakai untuk memancal. Sungguh mengerikan.
Namun apa yang terjadi lebih dari yang dibayangkan siapa pun. Upasara mengerahkan tenaganya, dan dengan kecepatan kilat memancal bumi, melejit ke atas. Kaki kanannya justru tak dipergunakan sama sekali ketika mengerahkan tenaga. Hanya kemudian kaki kanan yang terbuka itu menginjak Kangkam Galih yang tipis melentur untuk melontarkan tubuhnya. Mengagumkan.
Perhitungan yang meleset seujung rambut saja akan menghabisi nyawanya. Tubuh Upasara membal di udara, berjumpalitan dengan kedua tangan bersiaga. Tapi yang tak diduga justru gebrakan Gemuka. Gagal menebas Upasara dan bahkan pedang di tangannya dipakai Upasara untuk meminjam tenaga, Gemuka tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya mengikuti gerakan sentakan, dan Kangkam Galihnya menebas sekenanya.
Empat prajurit yang kena sambarannya tewas seketika. Ayunan pedang berdarah tewas menerabas! Dalam entakan putaran yang sama. Kwowogen bereaksi cepat. Kakinya menendang tubuh Halayudha yang terjengkang, akan tetapi dengan demikian terbebas dari tebasan. Sementara Gemuka melayang ke bagian lain. Ke bagian Eyang Puspamurti. Yang mengegos perlahan.
Hanya saja, kali ini egosannya seperti tak bisa dikuasai dengan baik. Karena Ratu Ayu yang merintih terluka, yang berada antara sadar dan tidak, mendadak bangkit dan mendorong Eyang Puspamurti. Mendorong ke arah datangnya pedang! Mendorong ke datangnya sambaran! Sesuatu yang tak bisa dimengerti oleh siapa pun. Justru karena Eyang Puspamurti-lah yang membawa Ratu Ayu ke bagian tepi, yang tidak membiarkannya merintih di tengah pendapa, yang memberikan bantuan dengan tenaga dalam untuk menahan sakit.
Tapi ternyata itu yang dilakukan Ratu Ayu. Tanpa ampun lagi tubuh Eyang Puspamurti yang renta bergoyangan. Kedua tangannya membuat gerakan menyembah, ketika sambaran itu tepat mengenai lehernya. Mada dan Kwowogen berteriak secara bersamaan dan masuk ke gelanggang. Keduanya meraup senjata sekenanya dan maju menggebrak.
“Haha, hihi, mati lagi.”
Suara Ratu Ayu mengerikan. Dialah satu-satunya yang bisa menikmati kematian Eyang Puspamurti. Satu-satunya yang tertawa ketika kepala Eyang Puspamurti terlepas dari tubuhnya yang terbanting, akan tetapi masih bisa duduk bersila dan menyembah. Lantai pendapa makin amis oleh darah segar yang memancar. Tawa yang pendek.
Karena Gemuka lebih dari kesurupan. Kontrol kekuatannya yang menggelora, menyebabkan Kangkam Galih menyambar dari satu gerakan yang tak ada putusnya. Gerakan yang sama, ketika berhasil merobohkan seluruh tiang pendapa. Dengan kekuatan penuh. Bedanya kini dengan memakai pedang sakti. Badan Ratu Ayu terenyak ketika tusukan Kangkam Galih amblas menyobek perutnya. Dan dengan gerakan berkelanjutan, pedang itu menoreh, tercabut, dan mencari mangsa yang lain.
Barangkali hanya Nyai Demang satu-satunya yang menggetuni kematian Ratu Ayu! Bibirnya meneriakkan nama Ratu Ayu Azeri Baijani berkepanjangan, sebelum cepat melayang pergi. Apa yang menyebabkan Nyai Demang meneriakkan nama, mempunyai latar belakang yang panjang sebagai wanita. Hati kewanitaannya mengatakan bahwa sesungguhnya hubungannya sangat erat dan selama ini merasa sangat mengenai Ratu Ayu.
Sejak pemunculan pertama, sejak perjumpaan pertama. Sampai kemudian mengadakan perjalanan bersama, merukti, merawat tulang-belulang, yang disangka Upasara. Kalau ada yang berbeda adalah sikapnya yang terakhir. Yang tampak bengis dan lebih tua. Pada saat itu saja, Nyai Demang masih belum yakin bahwa itu adalah perubahan sikap batin yang tercermin secara sempurna. Perwatakan yang dipendam muncul dalam bentuk wadaknya.
Toh saat itu Nyai Demang masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin Upasara bisa menghadapi dengan sikap biasa, dengan sikap yang dingin tanpa beban. Dalam hati kecilnya, Nyai Demang masih mempertanyakan apakah bukan Upasara yang keliru, atau menganggap terlalu berlebihan. Nyatanya memang tidak. Dalam keadaan yang bisa menampilkan keadaan yang sebenarnya, Nyai Demang menyaksikan sendiri. Bagaimana Ratu Ayu mendorong Eyang Puspamurti.
Itu semua adalah jalan pikiran yang tetap tak bisa mengubah rasa harunya, suara hati kewanitaannya yang merasa eman, merasa sangat sayang. Kenapa Ratu Ayu harus berakhir hidupnya dengan cara seperti itu. Dengan cara yang mengenaskan. Lamunan Nyai Demang hanya sekejap, akan tetapi jalan lamunan memang serasa panjang. Hanya saja itu semua tidak menghentikan sambaran Gemuka yang tidak ada putusnya. Seakan tengah merampungkan satu jurus. Tujuh atau delapan prajurit lain menjadi mangsa Kangkam Galih.
Berarti dalam satu pertarungan saja pedang pusaka hitam tipis itu sudah menghantar banyak kematian. Termasuk Eyang Puspamurti, Ratu Ayu Azeri Baijani, dan membuyarkan semua barisan yang kini tak bisa tertata. Upasara sendiri hanya bisa berjaga, seperti halnya Pangeran Hiang yang mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Satu-satunya yang tak minggir lagi hanyalah Gendhuk Tri! Karena masih menjaga tubuh Ki Dalang Memeling yang telah dingin.
Sejak tadi Gendhuk Tri tak beranjak dari tempatnya, tak terlihat dalam pertarungan akhir. Siapa pun yang ingin menolongnya rasanya akan terlambat. Termasuk Kwowogen dan Mada yang meraung-raung sangat keras. Bayangan tubuh Gemuka melayang ke depan Gendhuk Tri. Yang balik tengadah menatap ke arah Gemuka. Kangkam Galih di tangannya terangkat. Gendhuk Tri tersenyum. Kilasan senyum yang pasrah, akrab, menerima. Sebagaimana ditunjukkan oleh Eyang Puspamurti ketika Kangkam Galih menebas ke arah lehernya.
“Adik Tri…” Suara Upasara sangat serak. Menyayat.
“Angkat selendangmu.” Suara Gemuka sama seraknya.
Gendhuk Tri tersenyum.
“Aku tak bisa membunuh orang yang tak melawan. Aku Gemuka, ksatria sejati.”
“Tak ada yang perlu dilawan. Tak ada yang perlu diperangi. Air tak pernah memerangi siapa-siapa. Juga tak dendam diperangi. Tak menyesali.”
“Angkat selendangmu.”
“Pedangmu bisa mengangkatnya, Rudrarosa….”
“Apa itu Rudrarosa?”
“Kamu akan mengerti, karena kamu yang merasakan. Kamu mungkin baru mendengar sekarang, tapi kamu sudah melakukan. Barangkali dengan nama dan petunjuk yang lain. Gemuka, kalau tadi aku mengatakan satu patah kata saja mengenai penyebab penderitaan Putri Koreyea, Dewa pun akan percaya. Kalau aku mengatakan kamu penyebabnya, Pangeran Sang Hiang akan percaya. Kamu masih ingat?”
“Masih.”
“Dan apa yang kukatakan?”
“Tak ada.”
“Apa yang kutuduhkan padamu?”
“Tak ada.”
“Kamu tahu sekarang, itulah sikap untuk menghadapi Rudrarosa, kekuatan yang bisa membadai, bisa berlipat ganda, bisa tak terkalahkan. Sikap tidak melawan. Sikap tidak mendendam. Sikap tidak menyesali. Gemuka, apakah kamu masih mempunyai waktu mendengarkan sebelum ajalmu datang? Duduklah di sini.”
Percakapan Kemurkaan
GEMUKA tampak bersungut. Ganjil. Tubuhnya yang besar, yang masih meneteskan darah dari punggung merembes ke kakinya, bergerak. Duduk dengan pantat yang basah. Kangkam Galih masih digenggam erat. Di sebelahnya, Gendhuk Tri bersimpuh di samping Ki Dalang Memeling.
“Jagattri, aku menunggu.”
“Ada cara mati yang menyenangkan, ada yang mengenaskan. Ada cara mati yang dianggap ksatria, ada yang dianggap nista. Ada yang menjadi lebih gagah setelah mati, ada yang…”
“Apa hubungannya dengan diriku?”
“Itu ada hubungannya dengan dirimu, Gemuka. Pada saat yang menentukan, aku bisa menyudutkanmu, membuat kamu kikuk. Tetapi aku tidak melakukan.”
“Jagattri, aku masih hidup dan pikiranku cerdas. Tidak perlu kamu ulang. Katakan apa yang kamu maksudkan dengan Rudrarosa?”
“Tak ada arti apa-apa. Kita bisa mencari-cari artinya dengan menggabungkan nama Rudra, yang bisa berarti ganas, buas, hebat kelewat-lewat, mengerikan. Itulah gelaran Dewa Angin Ribut, tetapi juga sekaligus Dewa Api. Gambaran dari kemurkaan yang sesungguhnya. Sedangkan rosa, bisa diartikan kemarahan. Tak ada arti apa-apa. Pada saat kemarahan memuncak bagai angin ribut, segala apa yang merintangi akan terbasmi. Tak ada yang mampu menahan, apalagi kalau kemurkaan itu mempunyai alasan. Pada titik itu tak ada yang bisa menghentikan. Kecuali dengan kekuatan tidak melawan. Itulah pengertian Rudrarosa. Dalam dunia pewayangan, senjata unggulan yang sama hanya bisa dilawan dengan meletakkan senjata. Sebab api kemurkaan tak bisa dilawan dengan api. Tak bisa dilawan dengan air. Hanya dihadapi dengan tidak melawan, meletakkan senjata.”
“Itukah yang disebut pasrah?”
“Tidak juga. Pasrah tidak bersikap. Tidak melawan adalah sikap.”
“Itukah. yang kamu sebut sebagai kemenangan?”
“Tidak juga. Tidak melawan adalah tidak melawan. Bukan mencari kemenangan atau menghindari kekalahan. Aku tahu kamu ksatria yang gagah perkasa, yang sakti mandraguna, yang cerdik tanpa tanding, tetapi kamu tak akan pernah bisa, untuk waktu yang singkat, memahami kami dari tanah Jawa ini. Bagimu hanya ada dua nilai satu arti. Kalah dan menang. Tak bisa disalahkan, karena kamu dibesarkan dalam tata nilai seperti itu. Aku pernah bertemu dan bergaul dengan salah satu Naga yang hebat, sehingga sedikit banyak bisa mengerti. Kami di tanah Jawa ini mengenal tata nilai yang tidak selalu berarti kalah dan menang. Yaitu tidak melawan. Gemuka, kamu bisa…”
“Aku bisa menebaskan pedang ini, dan selesailah semua ucapanmu.”
“Bisa.”
“Pun andai kamu tidak melawan.”
“Bisa. Tetapi tidak kamu lakukan. Mengapa kamu mau duduk di sisiku, di saat semua kobaran dendammu sudah membakar hangus rohmu? Kamu bisa terus bertanya hingga arwahmu penasaran, tetapi kamu tidak akan mendapat jawaban yang jelas. Memang bukan itu jawabannya.”
“Si tua…”
“Eyang Puspamurti lain. Ketika Eyang Puspamurti merangkapkan kedua tangannya menyembah, ia tidak melawan. Ia memasrahkan diri kepada Sang Mahadewa. Kamu tidak melakukan apa-apa. Akan tetapi saat Ratu Ayu mendorong tubuh Eyang Puspamurti, ketika itu ada tenaga dan pikiran atau sikap batin Eyang Puspamurti yang menolaknya. Tenaga penolakan ini bukan tenaga tidak melawan. Sehingga tenaga kemurkaanmu menyambarnya. Itulah yang dimaui Dewa.”
“Kamu kira aku sudah akan mati begitu saja? Kamu keliru, Jagattri. Darahku bisa habis, uratku bisa putus semua, akan tetapi aku tak akan mati. Aku masih bisa meratakan tanah Jawa seperti aku meratakan pendapa ini.”
Percakapan keduanya terdengar jelas di seluruh pendapa. Tapi tak ada yang bergerak atau mengurung. Semua berada di tempatnya. Kecuali Senopati Tanca yang menaburkan obat-obatan di paha Upasara sambil menggeleng dan mengurut di sekujur urat paha hingga kaki.
“Gemuka, sekarang ada hubungannya dengan yang kukatakan barusan. Yaitu mengenai cara mati. Aku mengenal dan mengetahui seorang tokoh yang hebat, yang bernama Eyang Kebo Berune, yang mampu menahan kematiannya untuk jangka waktu cukup lama dengan meminjam tenaga dan tubuh manusia lain. Aku pernah mengenal seorang tokoh yang hebat, Ratu Ayu Bawah Langit, yang mampu menahan ketuaan, seperti juga Eyang Puspamurti untuk beberapa saat. Aku mengenal Eyang Sepuh yang bisa moksa sejak menciptakan ilmu-ilmunya. Aku mengenalmu sekarang ini. Aku percaya bahwa darahmu yang habis tak akan membuatmu mati. Penggalan di lehermu yang memisahkan kepalamu tak akan membuatmu mati. Itu hanyalah cara memilih kematian.”
“Itu bukan kematian.”
“Itu cara memilih kematian. Artinya mati juga. Hilang. Atau kembali. Pergi. Atau mewujud kembali. Musnah. Atau tumimbal lahir. Gemuka, aku mengalami sendiri ketika para pu’un menitipkan racunnya dalam tubuhku. Aku mengalami sendiri. Aku mengalami mendengar nama besar Sri Baginda Raja Kertanegara yang membuat Kaisar Tartar tergetar dan terguncang. Sri Baginda Raja telah lama tiada, bersanding dengan para Dewa. Tetapi juga masih berada di sini, karena kamu tak bisa mengalahkan. Khan Segala Khan yang menurunkan kamu, masih akan ada bila kamu masih menangkap roh kematiannya.”
Gemuka berdiri. Mengagumkan. Masih gagah. Masih melangkah dua tindak. “Jagattri, kamu kira kamu sendiri yang bisa memilih cara untuk mati? Aku bisa menentukan caramu mati. Dengan menebas leher, dada, atau menyobek kewanitaanmu.”
Gendhuk Tri tersenyum samar. “Gemuka, aku sudah lama mati. Aku sudah mati sebelum dilahirkan. Aku tidak mempunyai asal-usul darah Khan sepertimu. Aku tak mengenal siapa-siapa, tak memiliki apa-apa. Akan tetapi aku bisa merasakan kehilangan orang-orang yang kurasa pernah kumiliki dalam hatiku. Seorang lelaki yang gagah, seorang ksatria yang sesungguhnya. Kamu tak akan pernah mengenal nama besar Maha Singanada. Aku merasa kehilangan seorang lelaki yang menjadi bapak, yang tak mengenal lagi anaknya sendiri, Ki Dalang Memeling. Aku telah memilih caraku sendiri. Kamu bisa menebasku, kamu bisa melawan kemauanmu sendiri untuk tidak membunuhku, tetapi hanya raga yang kamu lihat. Sifat yang wadak. Putri Koreyea telah mati ketika dibawa Pangeran Hiang. Sehingga sesungguhnya tak ada yang perlu disesali.”
Gemuka terhuyung. Matanya meredup. “Apa benar yang kamu katakan? Ataukah itu bagian dari tipu muslihat tanah Jawa?”
“Kalau kamu masih ragu, itulah namanya kebenaran.”
Gemuka berbalik ke arah Pangeran Hiang. “Saudara Muda, kamu mendengar sendiri? Tak ada yang perlu disesali mengenai Putri Koreyea.”
Pangeran Hiang mengangguk, menyoja, dan mengatakan dalam bahasa yang cepat sekali.
“Aku bahagia jika aku bisa berbuat sesuatu untukmu, junjunganku seumur hidup, Saudara Muda.”
Gemuka berbalik. “Jagattri, apakah itu yang disebut-sebut ajaran mahamanusia?”
Gendhuk Tri memandang ragu. “Aku tak tahu. Rasanya iya. Akan tetapi siapa yang merasa dirinya mahamanusia, ia berarti masih manusia juga. Ia yang tak merasa mahamanusia, berarti tak mengerti apa-apa. Ia yang meragukan mahamanusia, masih jauh dari sebutan itu.”
Gemuka mengangsurkan Kangkam Galih. “Jagattri, ayo sekarang kamu bunuh aku. Itulah cara kematian yang kupilih.”
Kematian yang Sempurna
UPASARA menyaksikan semuanya. Akan tetapi saat itu tak tahu apa yang harus dilakukan. Gemuka benar-benar mengangsurkan Kangkam Galih kepada Gendhuk Tri.
“Tidak melawan adalah ilmumu yang dahsyat, Jagattri. Aku, Gemuka, keturunan Khan yang paling perkasa, tidak malu mengakui kamu yang telah mengalahkanku. Dan aku meminta kamu untuk menyempurnakan cara kematianku. Lakukan, Jagattri!”
Gendhuk Tri menahan gelora di dadanya. “…tak bisa.”
“Kamu telah memberiku wejangan, dan aku, Gemuka, menerima. Kenapa kamu jadi ragu-ragu? Apakah kamu bahagia melihat kemenanganmu dengan tubuhku yang seperti ini?”
Gendhuk Tri masih ragu. Gemuka menggenggamkan Kangkam Galih ke tangan Gendhuk Tri. “Ayo lakukan!”
“…tidak….”
“Apakah aku harus menyerangmu dan kamu baru mau melawan?”
Gendhuk Tri menggeleng.
“Baik, pegang pedang itu baik-baik. Akan kutubrukkan tubuhku.”
Gendhuk Tri berusaha memegang, mengangkat, akan tetapi tangannya terkulai. Gemuka memandang langit.
“Saudara Muda. Jagattri ini benar-benar mempunyai keunggulan tak melawan. Lahir-batin, roh dan jiwanya berbuat seperti itu. Kalau ia bisa mengangkat, berarti ia mencari kemenangan. Dan saat itu aku bisa mematikannya. Tetapi ia benar-benar tak melawan. Jagattri pantas dipuji segala Dewa. Tapi aku jadi susah. Siapa yang mau mematikanku? Aku rela mati di tangan siapa pun yang tak semulus itu hatinya.”
Ketenangan suasana, kata-kata yang seakan tak keruan arahnya, sengatan sinar matahari yang makin panas, semua menyatu pada kebuntuan. Kecuali Halayudha! Dengan berangsur tenaganya pulih kembali. Kini adalah kesempatan yang terbaik yang bisa dilakukan. Diam-diam Halayudha mengerahkan tenaga dalamnya. Matanya melirik Kwowogen yang berada di sebelahnya. Mendadak Halayudha menerkam sambil meneriakkan,
“Jangan lakukan!”
Tangan Halayudha menyalurkan tenaga penuh ke arah Kwowogen yang meronta. Akan tetapi dengan kemampuan yang luar biasa tinggi, arah tenaga itu mengenai gagang Kangkam Galih yang dipegang Gendhuk Tri. Hingga terangkat. Dan Gemuka seketika membalik, menerkam ke arah ujung Kangkam Galih. Amblas hingga ke dadanya! Dan terjengkang.
Pangeran Hiang melayang. Tangannya lebih dulu mengatupkan mata Gemuka, ketika tubuhnya masih di angkasa. Mulutnya membacakan doa panjang dan pendek dengan suara tertahan. Gendhuk Tri masih berdiri kebingungan. Sama sekali tak menyangka bahwa ada tenaga yang menyentil gagang Kangkam Galih hingga terangkat.
“Kenapa kamu lakukan itu?” Halayudha yang berteriak keras, sambil menotok urat nadi Kwowogen. Yang hanya bisa berdiri melotot. “Kamu prajurit yang baik, akan tetapi tak seharusnya kamu lakukan itu, Kwowogen. Sebagai pemimpin aku malu karena perbuatanmu.”
“Tunggu.” Senopati Jabung Krewes meloncat. “Tunggu, Mahapatih.”
“Kamu mau melindunginya?”
“Hamba rasa…”
Halayudha meraup keris di pinggang Jabung Krewes. Menghunus. “Aku yang tahu, aku yang bertanggung jawab sepenuhnya. “Mundur…”
Tangan Halayudha menolak tubuh Jabung Krewes, dan kerisnya meluncur disertai tubuhnya. Sasarannya ternyata Pangeran Hiang! Yang sama sekali tidak berjaga-jaga. Karena sedang mengantarkan kematian Gemuka! Benar-benar cara berpikir yang susah dimengerti. Jabung Krewes seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Bahwa Halayudha meminjam tangan Kwowogen untuk mengangkat pedang di tangan Gendhuk Tri, para senopati bisa mengetahui.
Dalam hal ini mungkin hati mereka bercabang dua. Antara membenarkan atau menyalahkan. Membenarkan karena Gemuka dalam hal ini adalah lawan utama yang sakti mandraguna dan kini sebenarnya merasa telah dikalahkan dan memilih mati di tangan Gendhuk Tri. Menyalahkan karena sikap yang dilakukan Halayudha bukan sikap ksatria. Meskipun ia berteriak itu sepenuhnya tanggung jawabnya. Akan tetapi ketika membokong, dalam arti sebenarnya karena menyerang dari arah bokong, semua senopati seakan disadarkan kembali bahwa Halayudha masih tetap Halayudha!
Selama ini tak ada perubahan dan tetap tak akan berubah. Menggunakan kelicikan untuk menyikat siapa yang dianggap lawan. Sudah jelas bahwa sejak pertama Pangeran Hiang tidak terjun ke dalam peperangan. Bahkan kini dalam keadaan yang paling berduka. Baik karena mendengar kematian Putri Koreyea maupun menghadapi kematian Gemuka. Bagaimana mungkin Halayudha memakai kesempatan itu untuk bermain culas.
Akan tetapi sesungguhnya, bagi Halayudha sendiri tak ada perbedaan apa-apa. Pada suasana yang memungkinkan ia muncul, ia akan mendongakkan diri. Dengan cara apa saja. Menginjak atau berdiri di atas mayat orang lain, misalnya, akan tetapi dilakukan. Itu yang telah terbukti selama ini. Dan sekarang ini. Arah hunjaman keris sekarang ini tak jauh berbeda dengan ketika melepaskan keris ke pundak Upasara Wulung!
Senopati Jabung Krewes bertindak cepat. Mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk mendorong dan sekaligus memukul tangan Halayudha. Akan tetapi sia-sia. Tak berpengaruh banyak karena hanya membuat arah sedikit melenceng. Gendhuk Tri yang memegang Kangkam Galih juga tak sempat menyampok karena masih tertegun. Tak ada yang menolong. Keris itu mengenai punggung Pangeran Hiang. Yang membuat Pangeran Hiang tersentak, tubuhnya jadi seolah berdiri, dan membalik dengan mata merah. Keris yang mengenai punggungnya tidak menimbulkan luka sedikit pun. Hanya menancap di kulit, karena Pangeran Hiang mengenakan pakaian pelindung.
Dengan keris ditangannya, Pangeran Hiang dengan kecepatan yang tinggi membidik balik. Keris bagai busur anak panah yang disentakkan kuat. Menyambar balik. Tak ada kesempatan bagi Halayudha untuk menghindar. Karena tak menduga bahwa Pangeran Hiang bisa kebal, tak menyangka secepat itu sambaran kerisnya. Satu-satunya jalan adalah menarik tubuh Kwowogen untuk melindunginya. Tanpa sempat menjerit, Kwowogen tertancap keris Senopati Jabung Krewes, tepat di jakunnya.
“Ba…” Hanya seruan tertahan yang mengiringi tubuhnya yang terbanting di tanah.
Suasana yang menerkam perhatian masih ditambah lagi dengan suara gedubrakan di pintu. Raja kembali dengan menunggangi kuda hitam.
“Demi Raja, bunuh semua pemberontak.” Teriakan Halayudha terdengar menggeledek. “Mereka telah membunuh Permaisuri Praba, telah menghina Raja. Kalaupun kalian para prajurit tidak memenuhi perintahku, ini adalah sabda Raja.”
Raja Jayanegara mengangkat tangannya. “Atas nama Ingsun. Tangkap mati atau hidup semua perusuh!”
Untuk sejenak tak ada yang bergerak.
“Barang siapa melindungi perusuh akan ditumpas habis dan dianggap perusuh juga. Ini perintah Ingsun. Mulai!”
Hebat pengaruh perintah Raja. Kalau para senopati masih sedikit ayal, tidak demikian halnya dengan seluruh prajurit. Yang segera bersiaga dan maju merangsek. Ke arah Pangeran Hiang. Gendhuk Tri dan Nyai Demang tersentak. Tanpa terasa keduanya maju untuk setengah melindungi. Demikian juga Upasara Wulung. Hanya saja ketika berusaha melangkah kakinya seperti mati. Tak bisa digerakkan.
Perintah Tanpa Sangsi
UPASARA meringis. Rasa kakinya bukan hanya tak mengikuti kemauannya, melainkan sangat perih. Seluruh kepekaan dan rasa yang dimiliki seakan tercabut ke arah kaki. Hingga ujung rambutnya terasa berdenyut. Ini termasuk membuatnya kecut. Dalam banyak hal, bukan hanya sekali-dua Upasara menderita luka. Beberapa di antaranya malah lebih parah. Akan tetapi rasa sakit yang ditinggalkan belum pernah seperti sekarang ini. Benar-benar menyita seluruh kemampuannya.
Yang membuat kecut bukan rasa sakit itu sendiri. Melainkan pemahaman bahwa Kangkam Galih merupakan pedang sakti yang tak terkirakan selama ini. Bahkan Upasara yang pernah menggunakan selama beberapa waktu tak pernah menyangka. Apalagi Galih Kaliki, yang dulunya bahkan mengira sebatang tongkat, ketika pedang tipis itu masih terbungkus sarungnya.
Kalau dirinya yang hanya tergores saja merasakan pedihnya, Upasara bisa membayangkan apa yang diderita Gemuka. Kangkam Galih telah menyobek dan mengiris sepanjang punggungnya. Akan tetapi, toh Gemuka masih bisa menahan diri. Bahkan bisa berbicara dengan jernih. Upasara mengakui bahwa kalau saja pertarungan berlanjut terus, belum tentu dirinya bisa mengungguli. Mengingat kekuatan Gemuka yang luar biasa.
Tapi kini keadaannya berbeda. Juga lebih sulit untuk menetapkan langkah. Dalam arti yang sebenarnya, karena Upasara terpincang-pincang dan merasakan kengiluan yang menusuk setiap kali kakinya menyentuh lantai pendapa. Dalam arti kiasan, karena Upasara kini menghadapi prajurit dan senopati, bahkan Raja yang dikenal dan dihormati.
Menghadapi Gemuka, Kiai Sambartaka, atau bahkan Ratu Ayu, Upasara bisa mempertaruhkan jiwanya secara total. Akan tetapi sekarang ini rasanya tak mungkin kalau dirinya harus perang tanding antara mati dan hidup, melawan Raja atau para senopati. Meskipun agaknya tak ada jalan lain. Sebab dengan terpincang-pincang, Upasara telah menempatkan diri dalam deretan bersama Gendhuk Tri, Nyai Demang, serta Pangeran Hiang. Telah berada dalam barisan yang menentang Raja.
Nyai Demang menggosok-gosok daun telinganya karena merasa sangat kesal dan tak mampu mengartikan kejadian yang tengah berlangsung sekarang ini. Sejak awal jelas bahwa Gemuka membawa Ratu Ayu, Kiai Sambartaka, dan melibatkan Pangeran Hiang mengadakan pertarungan besar-besaran. Siap meratakan tanah Jawa. Pada situasi segawat itu, Raja seolah menikmati apa yang terjadi. Tidak segera mengeluarkan perintah yang bisa dipakai sebagai pedoman, bisa menjadi dawuh, atau perintah. Bahkan sesaat setelah Permaisuri Praba Raga Karana terbunuh, Raja tidak mengeluarkan perintah satu kalimat pun.
Kini, di saat pertarungan yang menentukan boleh dikatakan telah usai, Raja mendadak saja muncul. Dan menyabdakan untuk memerangi para perusuh. Tidak jelas mana perusuh yang dimaksud, kalau saja Halayudha tidak membuat ulah. Nyatanya Halayudha membuat kesembronoan yang berakibat berat. Bukan hanya membuat Kwowogen tertembus keris, akan tetapi melibatkan seluruh Keraton ke dalam perang saudara. Yang sesungguhnya sangat tidak perlu.
Nyai Demang bisa mengerti kalau para senopati sedikit ragu-ragu. Bagaimanapun sejak awal mereka menyaksikan sendiri, bagaimana Pangeran Hiang mencoba tak memihak. Lebih dari itu, mengalami sendiri dan bersama Upasara menghadapi Gemuka. Upasara bahkan telah mempertaruhkan segalanya. Dan kini harus memerangi. Itu semua tak mengurangi bahwa perintah Raja adalah dawuh yang tak boleh disangsikan. Perintah yang bukan hanya tak bisa dibantah, akan tetapi lebih dari itu, tak mungkin bisa ditarik kembali. Sabda Raja lebih sakti dari semua suratan kitab.
“Tujuh Senopati Utama, apa keraguanmu?”
Ketujuh dharmaputra yang berada di barisan depan segera berjongkok dan menyembah.
“Selama ini Ingsun menyangsikan pengabdian kalian. Dan kini terbukti jelas bahwa kalian semua ragu. Ingsun perintahkan, kalian bertujuh semuanya mundur. Ingsun tidak membutuhkan senopati macam kalian. Ini perintahku.”
Nyai Demang sampai memegangi dahinya. Segala yang diucapkan Raja seolah meletup begitu saja. Begitu aba penangkapan disabdakan, kemudian disusul dengan penyingkiran Tujuh Senopati Utama. Walau secara tidak resmi terdengar bisik-bisik Raja kurang berkenan dengan pengabdian Tujuh Senopati Utama, akan tetapi perintah yang diberikan secara terbuka dalam situasi seperti sekarang ini tetap membuat Nyai Demang bertanya-tanya. Apa yang sesungguhnya terjadi di balik semua keruwetan ini?
Tujuh Senopati Utama menghaturkan sembah, kemudian berjongkok mundur dari barisan.
“Mahapatih!”
“Sendika dawuh dalem…”
“Laksanakan dawuh Ingsun…”
Halayudha menyembah sekali lagi. Lalu berbalik. “Upasara, Gendhuk Tri, Nyai Demang, Pangeran Hiang, marilah kita bersama mengurangi kemungkinan banjir darah. Jangan mengajak korban yang tak perlu. Menyerahlah dengan baik-baik. Raja junjungan penuh welas asih untuk mempertimbangkan pengampunan.” Suara Halayudha keras menunjukkan keunggulannya.
Meskipun Nyai Demang menduga bahwa tawaran yang diajukan Halayudha belum tentu murni dari lubuk hatinya. Adalah benar sekali bahwa dengan menyerahkan diri pertumpahan darah bisa dicegah. Akan tetapi bukan tidak mungkin Halayudha sedikit-banyak merasa jeri. Sekarang ini kondisinya belum pulih sempurna. Sehingga hanya sepertiga kemampuannya yang bisa dikerahkan. Pastilah Halayudha memperhitungkan bahwa Pangeran Hiang bisa lebih menerkam dan mematahkannya. Demikian juga Upasara, yang meskipun terpincang-pincang, tetap diperhitungkan Halayudha.
Hal yang sama pada diri Gendhuk Tri. Yang sekarang telah tumbuh menjadi kekuatan tersendiri. Kemampuan dan ketenangan dalam menaklukkan Gemuka telah membuka semua mata, bahwa Gendhuk Tri bukan lagi tokoh sembarangan. Keunggulan yang diperlihatkan menyejajarkan dirinya dengan Upasara maupun Pangeran Hiang. Memang bukan dalam memamerkan ilmu silat, akan tetapi kemampuannya menguasai permasalahan ternyata berhasil menyelesaikan perlawanan Gemuka.
Seorang seperti Halayudha akan memperhitungkan dengan sangat hati-hati. Nyai Demang sendiri mengakui, bahwa dalam waktu yang sangat singkat Gendhuk Tri telah menunjukkan kemajuan yang sangat luar biasa. Sewaktu Pangeran Hiang mengeluarkan roda bergerigi, dirinyalah yang pertama menyebut dengan Kalarupa Kalawasa. Ajian yang sebenarnya sama dengan Rudrarosa!
Seakan Upasara telah menduga bahwa Gemuka akan menyerang ke arah bawah ketiaknya. Gemuka benar-benar terperangah. Adalah sedikit di luar perhitungannya bahwa posisi Upasara yang perlahan terdesak bisa berbalik. Bahkan kemudian mengetahui arah dan kemungkinan serangan darinya. Gemuka merapatkan tangannya sambil menarik posisi kakinya dua langkah menjauh. Posisi titik tengah yang direbut tak ada artinya lagi.
Gemuka menduga Upasara akan menyerang, sehingga ia berjaga-jaga sambil mundur. Uap putih yang tadinya memancar, kini seakan ditarik ke dalam tubuhnya. Surut masuk ke tubuh. Upasara menerjang maju dengan gerakan tangkapan. Dua tangannya bergerak searah, siap menerkam tangan Gemuka. Yang kemudian diubah dengan tangkapan berlawanan. Tangan kirinya bergerak dari atas ke bawah, tangan kanan bergerak dari bawah ke atas.
Begitu Gemuka membuang diri, Upasara merenggangkan tangan dengan gerakan searah maupun berlawanan. Dalam satu gerakan, pada jurus yang sama, Upasara melakukan empat jenis gebrakan sekaligus. Menangkap dengan berbagai kembangan, menarik serangan lawan, mengelak, dan mendorong!
Empat gerakan sekali gebrak. Gemuka melontar ke angkasa. Tenaga dalam Upasara seakan bisa mempermainkan tenaganya, sehingga bisa terkulai untuk ditarik, didorong, diputar, dan ditangkap. Berbagai kemungkinan yang bisa terjadi sekaligus. Kini sepenuhnya tak ada uap putih yang menandai serangan dan pengerahan tenaga keluar. Gemuka melayang ke atas, kembali membebaskan diri dari kekuatan bumi.
Pada kejapan yang sama, tubuh Upasara menggeliat berputar menyusul. Gagah sekali gerakannya, memancarkan wibawa yang perkasa, dan indah dipandang. Tubuh Upasara seakan mengikuti tarikan Gemuka, kemudian melilit dari bawah. Keleluasaan Gemuka dengan nglangi ing mega seakan pupus. Karena tubuh Upasara seakan melingkari dan menguasai. Mega atau awan yang menjadi kekuatan Gemuka, seakan sudah ditangkap Upasara. Persis seperti ketika Gemuka mampu menguasai pancer.
Hanya kalau tadi Upasara mampu membalikkan serangan, kini keadaannya berbeda. Gemuka seperti terjepit. Dengan menguasai mega, langkah berikutnya adalah memutar mendung. Mengalihkan awan hitam, untuk mengirimkan hujan ke arah yang dikehendaki. Gemuka berada dalam kesulitan. Terlibat dalam krisis untuk menemukan langkah yang tepat!
Bahkan Senopati Jabung Krewes bisa mengikuti dengan saksama. Apa yang diperlihatkan Upasara adalah gerakan-gerakan yang bisa dikenali. Juga dalam kehidupan sehari-hari. Agaknya justru inilah keunggulan Upasara. Mengembalikan gerakan-gerakan ilmu silat kepada sumbernya, pada gerakan-gerakan sehari-hari.
Gerakan menangkap mega dan memutar mendung adalah gerakan yang terjadi sehari-hari ketika kekuatan batin untuk menguasai mega, seseorang bisa mengumpulkan mendung untuk disisihkan, dan “dilepaskan” di tempat tertentu. Kalaupun Gemuka tidak mengerti lekuk liku dan latar belakangnya, ia menyadari bahwa dirinya dalam bahaya.
Apa yang dilakukan Gemuka benar-benar luar biasa. Tubuhnya mendadak memberat luar biasa, dan dengan sendirinya amblas kembali ke pendapa. Mencoba melepaskan belitan Upasara dengan melesak ke bawah. Dengan sepenuh tenaga. Sehingga Upasara seolah terkunci dan tangkapannya lolos. Akan tetapi kedua kakinya masih bebas mengait tubuh Gemuka. Dengan sekali sendal, tumitnya mengenai sasaran. Tubuh Gemuka makin menderas ke lantai dan bergulingan.
Nyai Demang hampir bersorak kegirangan. Yang disusul pekik kaget. Dan kecemasan. Gemuka benar-benar nekat luar biasa. Ketika tubuhnya amblas ke bawah ditambah dengan sentakan kaki Upasara, Gemuka langsung menggulung di lantai pendapa. Menggulung diri ke arah Kangkam Galih, dan dengan seketika meloncat kembali, membal balik. Menyabetkan Kangkam Galih ke arah tubuh Upasara. Mati-hidup!
Upasara sendiri sama sekali tak menduga bahwa Gemuka akan mengambil jalan pendek. Dalam benaknya masih berkelebat kemungkinan yang lain. Bahwa sesungguhnya keunggulannya belum berarti kemenangan mutlak. Tapi agaknya Gemuka tidak sabar. Dengan gerakan menggulung dan menggelundung serta membal balik sambil meraup Kangkam Galih, keadaannya menjadi berbahaya. Karena penguasaan yang bagaimanapun sempurnanya agak susah untuk merangkaikannya dalam satu gerakan, apalagi gerakan menjatuhkan diri secara sepenuhnya.
Tapi Gemuka memilih jalan itu. Dengan akibat bagian tubuhnya sendiri tersayat oleh Kangkam Galih. Darah segar mengucur dari punggungnya yang dirobek oleh guratan sangat panjang, menembus pakaian luar, kulit, daging, dan bukan tidak mungkin menggores tulang. Namun Kangkam Galih yang telah melukai dirinya oleh Gemuka diteruskan sabetannya ke arah Upasara.
Yang untuk pertama kalinya mengeluarkan jeritan keras. Tubuhnya berjumpalitan dan jatuh ke pendapa. Jatuh. Ambruk. Darah memancar dari paha kirinya. Membasah, menggenangi pendapa. Gemuka berdiri dengan pedang tipis kurus panjang berlumuran darah, yang menetes hingga genggamannya yang juga berwarna merah. Gemuka meloncat, menerkam!
Sambaran Rudrarosa
TERIAKAN was-was terdengar bersamaan. Gemuka, yang berubah seolah kuyup oleh darah segar yang masih menetes, dengan menggenggam Kangkam Galih terbang ke arah Upasara. Yang saat itu tengah terduduk, karena paha kirinya terluka, yang dengan mudah kelihatan karena bahkan kainnya terobek menyingkapkan luka.
Bahkan Kwowogen ikut mengeluarkan teriakan sangat keras. Karena menduga bahwa Gemuka sedang sekarat, sedang mengerahkan tenaga mautnya yang terakhir. Tak berbeda dari Kiai Sambartaka sebelumnya, yang disaksikan di depan matanya. Hanya kali ini Gemuka masih memakai perhitungan yang matang, dan pikirannya masih jernih.
Sabetan Kangkam Galih begitu tepat, mencungkil di antara tubuh Upasara dan sepenggal di atasnya. Artinya kalau Upasara berusaha menggulingkan tubuhnya akan terkena salah satu dari rangkaian tusukannya. Kalau meloncat tak akan terbebas dari tebasan, mengingat tenaga kaki kirinya tak bisa dipakai untuk memancal. Sungguh mengerikan.
Namun apa yang terjadi lebih dari yang dibayangkan siapa pun. Upasara mengerahkan tenaganya, dan dengan kecepatan kilat memancal bumi, melejit ke atas. Kaki kanannya justru tak dipergunakan sama sekali ketika mengerahkan tenaga. Hanya kemudian kaki kanan yang terbuka itu menginjak Kangkam Galih yang tipis melentur untuk melontarkan tubuhnya. Mengagumkan.
Perhitungan yang meleset seujung rambut saja akan menghabisi nyawanya. Tubuh Upasara membal di udara, berjumpalitan dengan kedua tangan bersiaga. Tapi yang tak diduga justru gebrakan Gemuka. Gagal menebas Upasara dan bahkan pedang di tangannya dipakai Upasara untuk meminjam tenaga, Gemuka tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya mengikuti gerakan sentakan, dan Kangkam Galihnya menebas sekenanya.
Empat prajurit yang kena sambarannya tewas seketika. Ayunan pedang berdarah tewas menerabas! Dalam entakan putaran yang sama. Kwowogen bereaksi cepat. Kakinya menendang tubuh Halayudha yang terjengkang, akan tetapi dengan demikian terbebas dari tebasan. Sementara Gemuka melayang ke bagian lain. Ke bagian Eyang Puspamurti. Yang mengegos perlahan.
Hanya saja, kali ini egosannya seperti tak bisa dikuasai dengan baik. Karena Ratu Ayu yang merintih terluka, yang berada antara sadar dan tidak, mendadak bangkit dan mendorong Eyang Puspamurti. Mendorong ke arah datangnya pedang! Mendorong ke datangnya sambaran! Sesuatu yang tak bisa dimengerti oleh siapa pun. Justru karena Eyang Puspamurti-lah yang membawa Ratu Ayu ke bagian tepi, yang tidak membiarkannya merintih di tengah pendapa, yang memberikan bantuan dengan tenaga dalam untuk menahan sakit.
Tapi ternyata itu yang dilakukan Ratu Ayu. Tanpa ampun lagi tubuh Eyang Puspamurti yang renta bergoyangan. Kedua tangannya membuat gerakan menyembah, ketika sambaran itu tepat mengenai lehernya. Mada dan Kwowogen berteriak secara bersamaan dan masuk ke gelanggang. Keduanya meraup senjata sekenanya dan maju menggebrak.
“Haha, hihi, mati lagi.”
Suara Ratu Ayu mengerikan. Dialah satu-satunya yang bisa menikmati kematian Eyang Puspamurti. Satu-satunya yang tertawa ketika kepala Eyang Puspamurti terlepas dari tubuhnya yang terbanting, akan tetapi masih bisa duduk bersila dan menyembah. Lantai pendapa makin amis oleh darah segar yang memancar. Tawa yang pendek.
Karena Gemuka lebih dari kesurupan. Kontrol kekuatannya yang menggelora, menyebabkan Kangkam Galih menyambar dari satu gerakan yang tak ada putusnya. Gerakan yang sama, ketika berhasil merobohkan seluruh tiang pendapa. Dengan kekuatan penuh. Bedanya kini dengan memakai pedang sakti. Badan Ratu Ayu terenyak ketika tusukan Kangkam Galih amblas menyobek perutnya. Dan dengan gerakan berkelanjutan, pedang itu menoreh, tercabut, dan mencari mangsa yang lain.
Barangkali hanya Nyai Demang satu-satunya yang menggetuni kematian Ratu Ayu! Bibirnya meneriakkan nama Ratu Ayu Azeri Baijani berkepanjangan, sebelum cepat melayang pergi. Apa yang menyebabkan Nyai Demang meneriakkan nama, mempunyai latar belakang yang panjang sebagai wanita. Hati kewanitaannya mengatakan bahwa sesungguhnya hubungannya sangat erat dan selama ini merasa sangat mengenai Ratu Ayu.
Sejak pemunculan pertama, sejak perjumpaan pertama. Sampai kemudian mengadakan perjalanan bersama, merukti, merawat tulang-belulang, yang disangka Upasara. Kalau ada yang berbeda adalah sikapnya yang terakhir. Yang tampak bengis dan lebih tua. Pada saat itu saja, Nyai Demang masih belum yakin bahwa itu adalah perubahan sikap batin yang tercermin secara sempurna. Perwatakan yang dipendam muncul dalam bentuk wadaknya.
Toh saat itu Nyai Demang masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin Upasara bisa menghadapi dengan sikap biasa, dengan sikap yang dingin tanpa beban. Dalam hati kecilnya, Nyai Demang masih mempertanyakan apakah bukan Upasara yang keliru, atau menganggap terlalu berlebihan. Nyatanya memang tidak. Dalam keadaan yang bisa menampilkan keadaan yang sebenarnya, Nyai Demang menyaksikan sendiri. Bagaimana Ratu Ayu mendorong Eyang Puspamurti.
Itu semua adalah jalan pikiran yang tetap tak bisa mengubah rasa harunya, suara hati kewanitaannya yang merasa eman, merasa sangat sayang. Kenapa Ratu Ayu harus berakhir hidupnya dengan cara seperti itu. Dengan cara yang mengenaskan. Lamunan Nyai Demang hanya sekejap, akan tetapi jalan lamunan memang serasa panjang. Hanya saja itu semua tidak menghentikan sambaran Gemuka yang tidak ada putusnya. Seakan tengah merampungkan satu jurus. Tujuh atau delapan prajurit lain menjadi mangsa Kangkam Galih.
Berarti dalam satu pertarungan saja pedang pusaka hitam tipis itu sudah menghantar banyak kematian. Termasuk Eyang Puspamurti, Ratu Ayu Azeri Baijani, dan membuyarkan semua barisan yang kini tak bisa tertata. Upasara sendiri hanya bisa berjaga, seperti halnya Pangeran Hiang yang mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Satu-satunya yang tak minggir lagi hanyalah Gendhuk Tri! Karena masih menjaga tubuh Ki Dalang Memeling yang telah dingin.
Sejak tadi Gendhuk Tri tak beranjak dari tempatnya, tak terlihat dalam pertarungan akhir. Siapa pun yang ingin menolongnya rasanya akan terlambat. Termasuk Kwowogen dan Mada yang meraung-raung sangat keras. Bayangan tubuh Gemuka melayang ke depan Gendhuk Tri. Yang balik tengadah menatap ke arah Gemuka. Kangkam Galih di tangannya terangkat. Gendhuk Tri tersenyum. Kilasan senyum yang pasrah, akrab, menerima. Sebagaimana ditunjukkan oleh Eyang Puspamurti ketika Kangkam Galih menebas ke arah lehernya.
“Adik Tri…” Suara Upasara sangat serak. Menyayat.
“Angkat selendangmu.” Suara Gemuka sama seraknya.
Gendhuk Tri tersenyum.
“Aku tak bisa membunuh orang yang tak melawan. Aku Gemuka, ksatria sejati.”
“Tak ada yang perlu dilawan. Tak ada yang perlu diperangi. Air tak pernah memerangi siapa-siapa. Juga tak dendam diperangi. Tak menyesali.”
“Angkat selendangmu.”
“Pedangmu bisa mengangkatnya, Rudrarosa….”
“Apa itu Rudrarosa?”
“Kamu akan mengerti, karena kamu yang merasakan. Kamu mungkin baru mendengar sekarang, tapi kamu sudah melakukan. Barangkali dengan nama dan petunjuk yang lain. Gemuka, kalau tadi aku mengatakan satu patah kata saja mengenai penyebab penderitaan Putri Koreyea, Dewa pun akan percaya. Kalau aku mengatakan kamu penyebabnya, Pangeran Sang Hiang akan percaya. Kamu masih ingat?”
“Masih.”
“Dan apa yang kukatakan?”
“Tak ada.”
“Apa yang kutuduhkan padamu?”
“Tak ada.”
“Kamu tahu sekarang, itulah sikap untuk menghadapi Rudrarosa, kekuatan yang bisa membadai, bisa berlipat ganda, bisa tak terkalahkan. Sikap tidak melawan. Sikap tidak mendendam. Sikap tidak menyesali. Gemuka, apakah kamu masih mempunyai waktu mendengarkan sebelum ajalmu datang? Duduklah di sini.”
Percakapan Kemurkaan
GEMUKA tampak bersungut. Ganjil. Tubuhnya yang besar, yang masih meneteskan darah dari punggung merembes ke kakinya, bergerak. Duduk dengan pantat yang basah. Kangkam Galih masih digenggam erat. Di sebelahnya, Gendhuk Tri bersimpuh di samping Ki Dalang Memeling.
“Jagattri, aku menunggu.”
“Ada cara mati yang menyenangkan, ada yang mengenaskan. Ada cara mati yang dianggap ksatria, ada yang dianggap nista. Ada yang menjadi lebih gagah setelah mati, ada yang…”
“Apa hubungannya dengan diriku?”
“Itu ada hubungannya dengan dirimu, Gemuka. Pada saat yang menentukan, aku bisa menyudutkanmu, membuat kamu kikuk. Tetapi aku tidak melakukan.”
“Jagattri, aku masih hidup dan pikiranku cerdas. Tidak perlu kamu ulang. Katakan apa yang kamu maksudkan dengan Rudrarosa?”
“Tak ada arti apa-apa. Kita bisa mencari-cari artinya dengan menggabungkan nama Rudra, yang bisa berarti ganas, buas, hebat kelewat-lewat, mengerikan. Itulah gelaran Dewa Angin Ribut, tetapi juga sekaligus Dewa Api. Gambaran dari kemurkaan yang sesungguhnya. Sedangkan rosa, bisa diartikan kemarahan. Tak ada arti apa-apa. Pada saat kemarahan memuncak bagai angin ribut, segala apa yang merintangi akan terbasmi. Tak ada yang mampu menahan, apalagi kalau kemurkaan itu mempunyai alasan. Pada titik itu tak ada yang bisa menghentikan. Kecuali dengan kekuatan tidak melawan. Itulah pengertian Rudrarosa. Dalam dunia pewayangan, senjata unggulan yang sama hanya bisa dilawan dengan meletakkan senjata. Sebab api kemurkaan tak bisa dilawan dengan api. Tak bisa dilawan dengan air. Hanya dihadapi dengan tidak melawan, meletakkan senjata.”
“Itukah yang disebut pasrah?”
“Tidak juga. Pasrah tidak bersikap. Tidak melawan adalah sikap.”
“Itukah. yang kamu sebut sebagai kemenangan?”
“Tidak juga. Tidak melawan adalah tidak melawan. Bukan mencari kemenangan atau menghindari kekalahan. Aku tahu kamu ksatria yang gagah perkasa, yang sakti mandraguna, yang cerdik tanpa tanding, tetapi kamu tak akan pernah bisa, untuk waktu yang singkat, memahami kami dari tanah Jawa ini. Bagimu hanya ada dua nilai satu arti. Kalah dan menang. Tak bisa disalahkan, karena kamu dibesarkan dalam tata nilai seperti itu. Aku pernah bertemu dan bergaul dengan salah satu Naga yang hebat, sehingga sedikit banyak bisa mengerti. Kami di tanah Jawa ini mengenal tata nilai yang tidak selalu berarti kalah dan menang. Yaitu tidak melawan. Gemuka, kamu bisa…”
“Aku bisa menebaskan pedang ini, dan selesailah semua ucapanmu.”
“Bisa.”
“Pun andai kamu tidak melawan.”
“Bisa. Tetapi tidak kamu lakukan. Mengapa kamu mau duduk di sisiku, di saat semua kobaran dendammu sudah membakar hangus rohmu? Kamu bisa terus bertanya hingga arwahmu penasaran, tetapi kamu tidak akan mendapat jawaban yang jelas. Memang bukan itu jawabannya.”
“Si tua…”
“Eyang Puspamurti lain. Ketika Eyang Puspamurti merangkapkan kedua tangannya menyembah, ia tidak melawan. Ia memasrahkan diri kepada Sang Mahadewa. Kamu tidak melakukan apa-apa. Akan tetapi saat Ratu Ayu mendorong tubuh Eyang Puspamurti, ketika itu ada tenaga dan pikiran atau sikap batin Eyang Puspamurti yang menolaknya. Tenaga penolakan ini bukan tenaga tidak melawan. Sehingga tenaga kemurkaanmu menyambarnya. Itulah yang dimaui Dewa.”
“Kamu kira aku sudah akan mati begitu saja? Kamu keliru, Jagattri. Darahku bisa habis, uratku bisa putus semua, akan tetapi aku tak akan mati. Aku masih bisa meratakan tanah Jawa seperti aku meratakan pendapa ini.”
Percakapan keduanya terdengar jelas di seluruh pendapa. Tapi tak ada yang bergerak atau mengurung. Semua berada di tempatnya. Kecuali Senopati Tanca yang menaburkan obat-obatan di paha Upasara sambil menggeleng dan mengurut di sekujur urat paha hingga kaki.
“Gemuka, sekarang ada hubungannya dengan yang kukatakan barusan. Yaitu mengenai cara mati. Aku mengenal dan mengetahui seorang tokoh yang hebat, yang bernama Eyang Kebo Berune, yang mampu menahan kematiannya untuk jangka waktu cukup lama dengan meminjam tenaga dan tubuh manusia lain. Aku pernah mengenal seorang tokoh yang hebat, Ratu Ayu Bawah Langit, yang mampu menahan ketuaan, seperti juga Eyang Puspamurti untuk beberapa saat. Aku mengenal Eyang Sepuh yang bisa moksa sejak menciptakan ilmu-ilmunya. Aku mengenalmu sekarang ini. Aku percaya bahwa darahmu yang habis tak akan membuatmu mati. Penggalan di lehermu yang memisahkan kepalamu tak akan membuatmu mati. Itu hanyalah cara memilih kematian.”
“Itu bukan kematian.”
“Itu cara memilih kematian. Artinya mati juga. Hilang. Atau kembali. Pergi. Atau mewujud kembali. Musnah. Atau tumimbal lahir. Gemuka, aku mengalami sendiri ketika para pu’un menitipkan racunnya dalam tubuhku. Aku mengalami sendiri. Aku mengalami mendengar nama besar Sri Baginda Raja Kertanegara yang membuat Kaisar Tartar tergetar dan terguncang. Sri Baginda Raja telah lama tiada, bersanding dengan para Dewa. Tetapi juga masih berada di sini, karena kamu tak bisa mengalahkan. Khan Segala Khan yang menurunkan kamu, masih akan ada bila kamu masih menangkap roh kematiannya.”
Gemuka berdiri. Mengagumkan. Masih gagah. Masih melangkah dua tindak. “Jagattri, kamu kira kamu sendiri yang bisa memilih cara untuk mati? Aku bisa menentukan caramu mati. Dengan menebas leher, dada, atau menyobek kewanitaanmu.”
Gendhuk Tri tersenyum samar. “Gemuka, aku sudah lama mati. Aku sudah mati sebelum dilahirkan. Aku tidak mempunyai asal-usul darah Khan sepertimu. Aku tak mengenal siapa-siapa, tak memiliki apa-apa. Akan tetapi aku bisa merasakan kehilangan orang-orang yang kurasa pernah kumiliki dalam hatiku. Seorang lelaki yang gagah, seorang ksatria yang sesungguhnya. Kamu tak akan pernah mengenal nama besar Maha Singanada. Aku merasa kehilangan seorang lelaki yang menjadi bapak, yang tak mengenal lagi anaknya sendiri, Ki Dalang Memeling. Aku telah memilih caraku sendiri. Kamu bisa menebasku, kamu bisa melawan kemauanmu sendiri untuk tidak membunuhku, tetapi hanya raga yang kamu lihat. Sifat yang wadak. Putri Koreyea telah mati ketika dibawa Pangeran Hiang. Sehingga sesungguhnya tak ada yang perlu disesali.”
Gemuka terhuyung. Matanya meredup. “Apa benar yang kamu katakan? Ataukah itu bagian dari tipu muslihat tanah Jawa?”
“Kalau kamu masih ragu, itulah namanya kebenaran.”
Gemuka berbalik ke arah Pangeran Hiang. “Saudara Muda, kamu mendengar sendiri? Tak ada yang perlu disesali mengenai Putri Koreyea.”
Pangeran Hiang mengangguk, menyoja, dan mengatakan dalam bahasa yang cepat sekali.
“Aku bahagia jika aku bisa berbuat sesuatu untukmu, junjunganku seumur hidup, Saudara Muda.”
Gemuka berbalik. “Jagattri, apakah itu yang disebut-sebut ajaran mahamanusia?”
Gendhuk Tri memandang ragu. “Aku tak tahu. Rasanya iya. Akan tetapi siapa yang merasa dirinya mahamanusia, ia berarti masih manusia juga. Ia yang tak merasa mahamanusia, berarti tak mengerti apa-apa. Ia yang meragukan mahamanusia, masih jauh dari sebutan itu.”
Gemuka mengangsurkan Kangkam Galih. “Jagattri, ayo sekarang kamu bunuh aku. Itulah cara kematian yang kupilih.”
Kematian yang Sempurna
UPASARA menyaksikan semuanya. Akan tetapi saat itu tak tahu apa yang harus dilakukan. Gemuka benar-benar mengangsurkan Kangkam Galih kepada Gendhuk Tri.
“Tidak melawan adalah ilmumu yang dahsyat, Jagattri. Aku, Gemuka, keturunan Khan yang paling perkasa, tidak malu mengakui kamu yang telah mengalahkanku. Dan aku meminta kamu untuk menyempurnakan cara kematianku. Lakukan, Jagattri!”
Gendhuk Tri menahan gelora di dadanya. “…tak bisa.”
“Kamu telah memberiku wejangan, dan aku, Gemuka, menerima. Kenapa kamu jadi ragu-ragu? Apakah kamu bahagia melihat kemenanganmu dengan tubuhku yang seperti ini?”
Gendhuk Tri masih ragu. Gemuka menggenggamkan Kangkam Galih ke tangan Gendhuk Tri. “Ayo lakukan!”
“…tidak….”
“Apakah aku harus menyerangmu dan kamu baru mau melawan?”
Gendhuk Tri menggeleng.
“Baik, pegang pedang itu baik-baik. Akan kutubrukkan tubuhku.”
Gendhuk Tri berusaha memegang, mengangkat, akan tetapi tangannya terkulai. Gemuka memandang langit.
“Saudara Muda. Jagattri ini benar-benar mempunyai keunggulan tak melawan. Lahir-batin, roh dan jiwanya berbuat seperti itu. Kalau ia bisa mengangkat, berarti ia mencari kemenangan. Dan saat itu aku bisa mematikannya. Tetapi ia benar-benar tak melawan. Jagattri pantas dipuji segala Dewa. Tapi aku jadi susah. Siapa yang mau mematikanku? Aku rela mati di tangan siapa pun yang tak semulus itu hatinya.”
Ketenangan suasana, kata-kata yang seakan tak keruan arahnya, sengatan sinar matahari yang makin panas, semua menyatu pada kebuntuan. Kecuali Halayudha! Dengan berangsur tenaganya pulih kembali. Kini adalah kesempatan yang terbaik yang bisa dilakukan. Diam-diam Halayudha mengerahkan tenaga dalamnya. Matanya melirik Kwowogen yang berada di sebelahnya. Mendadak Halayudha menerkam sambil meneriakkan,
“Jangan lakukan!”
Tangan Halayudha menyalurkan tenaga penuh ke arah Kwowogen yang meronta. Akan tetapi dengan kemampuan yang luar biasa tinggi, arah tenaga itu mengenai gagang Kangkam Galih yang dipegang Gendhuk Tri. Hingga terangkat. Dan Gemuka seketika membalik, menerkam ke arah ujung Kangkam Galih. Amblas hingga ke dadanya! Dan terjengkang.
Pangeran Hiang melayang. Tangannya lebih dulu mengatupkan mata Gemuka, ketika tubuhnya masih di angkasa. Mulutnya membacakan doa panjang dan pendek dengan suara tertahan. Gendhuk Tri masih berdiri kebingungan. Sama sekali tak menyangka bahwa ada tenaga yang menyentil gagang Kangkam Galih hingga terangkat.
“Kenapa kamu lakukan itu?” Halayudha yang berteriak keras, sambil menotok urat nadi Kwowogen. Yang hanya bisa berdiri melotot. “Kamu prajurit yang baik, akan tetapi tak seharusnya kamu lakukan itu, Kwowogen. Sebagai pemimpin aku malu karena perbuatanmu.”
“Tunggu.” Senopati Jabung Krewes meloncat. “Tunggu, Mahapatih.”
“Kamu mau melindunginya?”
“Hamba rasa…”
Halayudha meraup keris di pinggang Jabung Krewes. Menghunus. “Aku yang tahu, aku yang bertanggung jawab sepenuhnya. “Mundur…”
Tangan Halayudha menolak tubuh Jabung Krewes, dan kerisnya meluncur disertai tubuhnya. Sasarannya ternyata Pangeran Hiang! Yang sama sekali tidak berjaga-jaga. Karena sedang mengantarkan kematian Gemuka! Benar-benar cara berpikir yang susah dimengerti. Jabung Krewes seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Bahwa Halayudha meminjam tangan Kwowogen untuk mengangkat pedang di tangan Gendhuk Tri, para senopati bisa mengetahui.
Dalam hal ini mungkin hati mereka bercabang dua. Antara membenarkan atau menyalahkan. Membenarkan karena Gemuka dalam hal ini adalah lawan utama yang sakti mandraguna dan kini sebenarnya merasa telah dikalahkan dan memilih mati di tangan Gendhuk Tri. Menyalahkan karena sikap yang dilakukan Halayudha bukan sikap ksatria. Meskipun ia berteriak itu sepenuhnya tanggung jawabnya. Akan tetapi ketika membokong, dalam arti sebenarnya karena menyerang dari arah bokong, semua senopati seakan disadarkan kembali bahwa Halayudha masih tetap Halayudha!
Selama ini tak ada perubahan dan tetap tak akan berubah. Menggunakan kelicikan untuk menyikat siapa yang dianggap lawan. Sudah jelas bahwa sejak pertama Pangeran Hiang tidak terjun ke dalam peperangan. Bahkan kini dalam keadaan yang paling berduka. Baik karena mendengar kematian Putri Koreyea maupun menghadapi kematian Gemuka. Bagaimana mungkin Halayudha memakai kesempatan itu untuk bermain culas.
Akan tetapi sesungguhnya, bagi Halayudha sendiri tak ada perbedaan apa-apa. Pada suasana yang memungkinkan ia muncul, ia akan mendongakkan diri. Dengan cara apa saja. Menginjak atau berdiri di atas mayat orang lain, misalnya, akan tetapi dilakukan. Itu yang telah terbukti selama ini. Dan sekarang ini. Arah hunjaman keris sekarang ini tak jauh berbeda dengan ketika melepaskan keris ke pundak Upasara Wulung!
Senopati Jabung Krewes bertindak cepat. Mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk mendorong dan sekaligus memukul tangan Halayudha. Akan tetapi sia-sia. Tak berpengaruh banyak karena hanya membuat arah sedikit melenceng. Gendhuk Tri yang memegang Kangkam Galih juga tak sempat menyampok karena masih tertegun. Tak ada yang menolong. Keris itu mengenai punggung Pangeran Hiang. Yang membuat Pangeran Hiang tersentak, tubuhnya jadi seolah berdiri, dan membalik dengan mata merah. Keris yang mengenai punggungnya tidak menimbulkan luka sedikit pun. Hanya menancap di kulit, karena Pangeran Hiang mengenakan pakaian pelindung.
Dengan keris ditangannya, Pangeran Hiang dengan kecepatan yang tinggi membidik balik. Keris bagai busur anak panah yang disentakkan kuat. Menyambar balik. Tak ada kesempatan bagi Halayudha untuk menghindar. Karena tak menduga bahwa Pangeran Hiang bisa kebal, tak menyangka secepat itu sambaran kerisnya. Satu-satunya jalan adalah menarik tubuh Kwowogen untuk melindunginya. Tanpa sempat menjerit, Kwowogen tertancap keris Senopati Jabung Krewes, tepat di jakunnya.
“Ba…” Hanya seruan tertahan yang mengiringi tubuhnya yang terbanting di tanah.
Suasana yang menerkam perhatian masih ditambah lagi dengan suara gedubrakan di pintu. Raja kembali dengan menunggangi kuda hitam.
“Demi Raja, bunuh semua pemberontak.” Teriakan Halayudha terdengar menggeledek. “Mereka telah membunuh Permaisuri Praba, telah menghina Raja. Kalaupun kalian para prajurit tidak memenuhi perintahku, ini adalah sabda Raja.”
Raja Jayanegara mengangkat tangannya. “Atas nama Ingsun. Tangkap mati atau hidup semua perusuh!”
Untuk sejenak tak ada yang bergerak.
“Barang siapa melindungi perusuh akan ditumpas habis dan dianggap perusuh juga. Ini perintah Ingsun. Mulai!”
Hebat pengaruh perintah Raja. Kalau para senopati masih sedikit ayal, tidak demikian halnya dengan seluruh prajurit. Yang segera bersiaga dan maju merangsek. Ke arah Pangeran Hiang. Gendhuk Tri dan Nyai Demang tersentak. Tanpa terasa keduanya maju untuk setengah melindungi. Demikian juga Upasara Wulung. Hanya saja ketika berusaha melangkah kakinya seperti mati. Tak bisa digerakkan.
Perintah Tanpa Sangsi
UPASARA meringis. Rasa kakinya bukan hanya tak mengikuti kemauannya, melainkan sangat perih. Seluruh kepekaan dan rasa yang dimiliki seakan tercabut ke arah kaki. Hingga ujung rambutnya terasa berdenyut. Ini termasuk membuatnya kecut. Dalam banyak hal, bukan hanya sekali-dua Upasara menderita luka. Beberapa di antaranya malah lebih parah. Akan tetapi rasa sakit yang ditinggalkan belum pernah seperti sekarang ini. Benar-benar menyita seluruh kemampuannya.
Yang membuat kecut bukan rasa sakit itu sendiri. Melainkan pemahaman bahwa Kangkam Galih merupakan pedang sakti yang tak terkirakan selama ini. Bahkan Upasara yang pernah menggunakan selama beberapa waktu tak pernah menyangka. Apalagi Galih Kaliki, yang dulunya bahkan mengira sebatang tongkat, ketika pedang tipis itu masih terbungkus sarungnya.
Kalau dirinya yang hanya tergores saja merasakan pedihnya, Upasara bisa membayangkan apa yang diderita Gemuka. Kangkam Galih telah menyobek dan mengiris sepanjang punggungnya. Akan tetapi, toh Gemuka masih bisa menahan diri. Bahkan bisa berbicara dengan jernih. Upasara mengakui bahwa kalau saja pertarungan berlanjut terus, belum tentu dirinya bisa mengungguli. Mengingat kekuatan Gemuka yang luar biasa.
Tapi kini keadaannya berbeda. Juga lebih sulit untuk menetapkan langkah. Dalam arti yang sebenarnya, karena Upasara terpincang-pincang dan merasakan kengiluan yang menusuk setiap kali kakinya menyentuh lantai pendapa. Dalam arti kiasan, karena Upasara kini menghadapi prajurit dan senopati, bahkan Raja yang dikenal dan dihormati.
Menghadapi Gemuka, Kiai Sambartaka, atau bahkan Ratu Ayu, Upasara bisa mempertaruhkan jiwanya secara total. Akan tetapi sekarang ini rasanya tak mungkin kalau dirinya harus perang tanding antara mati dan hidup, melawan Raja atau para senopati. Meskipun agaknya tak ada jalan lain. Sebab dengan terpincang-pincang, Upasara telah menempatkan diri dalam deretan bersama Gendhuk Tri, Nyai Demang, serta Pangeran Hiang. Telah berada dalam barisan yang menentang Raja.
Nyai Demang menggosok-gosok daun telinganya karena merasa sangat kesal dan tak mampu mengartikan kejadian yang tengah berlangsung sekarang ini. Sejak awal jelas bahwa Gemuka membawa Ratu Ayu, Kiai Sambartaka, dan melibatkan Pangeran Hiang mengadakan pertarungan besar-besaran. Siap meratakan tanah Jawa. Pada situasi segawat itu, Raja seolah menikmati apa yang terjadi. Tidak segera mengeluarkan perintah yang bisa dipakai sebagai pedoman, bisa menjadi dawuh, atau perintah. Bahkan sesaat setelah Permaisuri Praba Raga Karana terbunuh, Raja tidak mengeluarkan perintah satu kalimat pun.
Kini, di saat pertarungan yang menentukan boleh dikatakan telah usai, Raja mendadak saja muncul. Dan menyabdakan untuk memerangi para perusuh. Tidak jelas mana perusuh yang dimaksud, kalau saja Halayudha tidak membuat ulah. Nyatanya Halayudha membuat kesembronoan yang berakibat berat. Bukan hanya membuat Kwowogen tertembus keris, akan tetapi melibatkan seluruh Keraton ke dalam perang saudara. Yang sesungguhnya sangat tidak perlu.
Nyai Demang bisa mengerti kalau para senopati sedikit ragu-ragu. Bagaimanapun sejak awal mereka menyaksikan sendiri, bagaimana Pangeran Hiang mencoba tak memihak. Lebih dari itu, mengalami sendiri dan bersama Upasara menghadapi Gemuka. Upasara bahkan telah mempertaruhkan segalanya. Dan kini harus memerangi. Itu semua tak mengurangi bahwa perintah Raja adalah dawuh yang tak boleh disangsikan. Perintah yang bukan hanya tak bisa dibantah, akan tetapi lebih dari itu, tak mungkin bisa ditarik kembali. Sabda Raja lebih sakti dari semua suratan kitab.
“Tujuh Senopati Utama, apa keraguanmu?”
Ketujuh dharmaputra yang berada di barisan depan segera berjongkok dan menyembah.
“Selama ini Ingsun menyangsikan pengabdian kalian. Dan kini terbukti jelas bahwa kalian semua ragu. Ingsun perintahkan, kalian bertujuh semuanya mundur. Ingsun tidak membutuhkan senopati macam kalian. Ini perintahku.”
Nyai Demang sampai memegangi dahinya. Segala yang diucapkan Raja seolah meletup begitu saja. Begitu aba penangkapan disabdakan, kemudian disusul dengan penyingkiran Tujuh Senopati Utama. Walau secara tidak resmi terdengar bisik-bisik Raja kurang berkenan dengan pengabdian Tujuh Senopati Utama, akan tetapi perintah yang diberikan secara terbuka dalam situasi seperti sekarang ini tetap membuat Nyai Demang bertanya-tanya. Apa yang sesungguhnya terjadi di balik semua keruwetan ini?
Tujuh Senopati Utama menghaturkan sembah, kemudian berjongkok mundur dari barisan.
“Mahapatih!”
“Sendika dawuh dalem…”
“Laksanakan dawuh Ingsun…”
Halayudha menyembah sekali lagi. Lalu berbalik. “Upasara, Gendhuk Tri, Nyai Demang, Pangeran Hiang, marilah kita bersama mengurangi kemungkinan banjir darah. Jangan mengajak korban yang tak perlu. Menyerahlah dengan baik-baik. Raja junjungan penuh welas asih untuk mempertimbangkan pengampunan.” Suara Halayudha keras menunjukkan keunggulannya.
Meskipun Nyai Demang menduga bahwa tawaran yang diajukan Halayudha belum tentu murni dari lubuk hatinya. Adalah benar sekali bahwa dengan menyerahkan diri pertumpahan darah bisa dicegah. Akan tetapi bukan tidak mungkin Halayudha sedikit-banyak merasa jeri. Sekarang ini kondisinya belum pulih sempurna. Sehingga hanya sepertiga kemampuannya yang bisa dikerahkan. Pastilah Halayudha memperhitungkan bahwa Pangeran Hiang bisa lebih menerkam dan mematahkannya. Demikian juga Upasara, yang meskipun terpincang-pincang, tetap diperhitungkan Halayudha.
Hal yang sama pada diri Gendhuk Tri. Yang sekarang telah tumbuh menjadi kekuatan tersendiri. Kemampuan dan ketenangan dalam menaklukkan Gemuka telah membuka semua mata, bahwa Gendhuk Tri bukan lagi tokoh sembarangan. Keunggulan yang diperlihatkan menyejajarkan dirinya dengan Upasara maupun Pangeran Hiang. Memang bukan dalam memamerkan ilmu silat, akan tetapi kemampuannya menguasai permasalahan ternyata berhasil menyelesaikan perlawanan Gemuka.
Seorang seperti Halayudha akan memperhitungkan dengan sangat hati-hati. Nyai Demang sendiri mengakui, bahwa dalam waktu yang sangat singkat Gendhuk Tri telah menunjukkan kemajuan yang sangat luar biasa. Sewaktu Pangeran Hiang mengeluarkan roda bergerigi, dirinyalah yang pertama menyebut dengan Kalarupa Kalawasa. Ajian yang sebenarnya sama dengan Rudrarosa!
JILID 63 | BUKU PERTAMA | JILID 65 |
---|