Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 72
Dengan menyebut-nyebut nama Senopati Tantra, Jabung Krewes mengisyaratkan dirinya memang bukan senopati yang dididik langsung oleh Tujuh Senopati Utama. Bukan kader yang mereka siapkan.
Dengan menyebut-nyebut Mahapatih Halayudha, Jabung Krewes memastikan posisinya sebagai orang luar dari kelompok Senopati Utama. Dengan mengatakan secara kebetulan, karena saat itu memang sengaja dipasang dan diberi kekuasaan untuk mengimbangi kekuasaan Senopati Bango Tontong, yang adalah pengikut setia Mahapatih Nambi.
“Apa yang Senopati harapkan dari kami?”
“Ajakan mengabdi kepada Keraton.”
“Saya telah melakukan sejak saya bisa berdiri.”
“Ajakan mengabdi kepada Raja.”
Senopati Tanca berdeham keras. “Marilah kita berhadapan telanjang, Senopati Jabung Krewes. Kita sama-sama lelaki, sama-sama prajurit. Sampeyan tahu sikap saya sejak dulu. Apakah selama ini saya kurang mengabdi? Jiwa-raga, batin-lahir, saya abdikan sepenuhnya. Tetapi apa yang kami terima?”
“Saya memahami hal itu.”
“Rasanya itu cukup.”
“Saya akan memintakan ampunan…”
“Tidak. Kami tidak akan pernah mengemis, menyembah hina. Tidak akan pernah. Kalau itu niatan Senopati, urungkan sebelum kita berbicara lebih jauh.”
Telinga Jabung Krewes terasa panas. “Saat ini Keraton sedang membutuhkan….”
“Keraton selalu membutuhkan. Apa saja selalu dibutuhkan. Dan kami selalu siap memberikan. Apa saja selalu kami berikan. Tapi kami akan melihat jelas kepada siapa kami menyerahkan seluruh pengabdian ini.”
Jabung Krewes mengangguk. “Saya kira yang Paman Tanca katakan sudah jelas.”
“Saya kira demikian.”
“Saya tak perlu mengulang bahwa Raja tetap Raja dan masih akan menjadi Raja. Sebab itulah ketenteraman, kebahagiaan, bagi seluruh Keraton.”
Senopati Tanca berdiri. “Saya melihat prajurit sejati di depan saya. Senopati Jabung Krewes, sampeyan senopati yang jantan.”
Pujian tulus, akan tetapi sekaligus juga mempertegas jarak. Senopati Jabung Krewes sadar sepenuhnya, bahwa Tujuh Senopati Utama masih akan tetap menjadi masalah di belakang hari.
Sirih Kalacakra
KETIKA Senopati Jabung Krewes kembali dengan tangan hampa, Halayudha sedang berada dalam puncak pertarungan tenaga dalam untuk menyeimbangkan antara pergolakan yang ada di dalam tubuh Gendhuk Tri dan tubuh Mada.
Ketika itu pula Jaghana mengulangi kembali pemeriksaan atas tubuh Nyai Demang. Kini Jaghana merasa lebih leluasa, karena Upasara maupun Pangeran Hiang mulai menyingkir, berada di tempat yang cukup jauh. Sehingga Jaghana merasa lebih leluasa menangani penderitaan Nyai Demang.
Bukan karena apa, melainkan karena cara pengobatan yang diajarkan di Perguruan Awan berbeda dari ajaran yang lain. Bagi Jaghana, apa yang dialami Nyai Demang menimbulkan tantangan penyembuhan. Karena Nyai Demang yang masih sehat, mendadak kehilangan suara, dan kemudian malahan pingsan.
Menjadi tantangan karena ajaran di Perguruan Awan boleh dikatakan tidak mengenal penyakit. Selama ini mereka yang mendiami Perguruan Awan tak pernah terkena penyakit. Selama bersatu dengan alam, tubuh bisa menjadi alam. Meskipun tidak ada perlindungan yang pokok, hujan atau panas tidak membuat tubuh menjadi sakit. Meskipun hanya memakan buah-buahan yang ada, mandi secukupnya, dan berpakaian sekenanya, selama ini tetap terjaga kesehatannya.
Jaghana tak bisa menerima kelainan tubuh Nyai Demang begitu saja. Walau di dalam hati bertanya-tanya, karena kalau ditilik dari denyut nadi maupun tarikan napas, rasanya tak ada yang salah dengan tubuh Nyai Demang. Kedua jempol Jaghana menekan kening, samping kiri dan kanan. Menekan pipi, menekan leher, menekan dada, menekan payudara tepat di bagian kedua puting Nyai Demang.
Dengan tetap bersila, dengan mata menatap wajah Nyai Demang, Jaghana melakukan berulang kali. Semuanya dikerjakan dengan tarikan napas yang sama. Tak ada pikiran kotor atau bayangan yang aneh-aneh. Bagi warga Perguruan Awan cara pengobatan Jaghana bukan sesuatu yang luar biasa. Upasara Wulung pun barangkali akan menempuh cara yang sama. Apa yang dilakukan Jaghana sebenarnya mencoba melakukan pengobatan dengan cara Suruh Kalacakra, atau Sirih Kalacakra, yaitu pengobatan daun sirih.
Perguruan Awan adalah wilayah di mana tetumbuhan maupun hewan mendapat tempat yang utama. Tak ada selembar daun yang dipotong percuma, tak ada rumput yang disiangi atau dicabuti. Semua tanaman dibiarkan tumbuh sebagaimana kodratnya. Demikian juga halnya dengan daun sirih. Daun yang satu ini dikenal sebagai daun untuk mengobati berbagai jenis penyakit, atau untuk mencari tahu adanya suatu jenis penyakit.
Daun sirih menjadi istimewa, karena beda rupane, pada rasane, atau berbeda bentuknya akan tetapi sama rasanya. Seperti diketahui permukaan daun sirih bagian atas dan bagian bawah berbeda, akan tetapi kalau digigit sama rasanya. Ungkapan ini mengandung makna yang dalam. Bisa berarti bahwa sesungguhnya perbedaan itu tidak ada artinya. Pembedaan itu hanya menyatakan sisi pandang, akan tetapi sebenarnya tetap sama.
Kehebatan daun sirih ini dikembangkan sebagai pendekatan untuk memahami segala jenis dedaunan, bunga-bunga, maupun tumbuhan yang ada. Pada tingkat yang tinggi, Jaghana pernah menerima ajaran mengenai Sirih Kalacakra. Yaitu pengobatan dengan cara Kalacakra mendapat ajaran dari Dewa Guru.
Menurut cerita yang ada, Dewa Guru yang menguasai dunia mempunyai seorang anak lelaki yang diberi nama Dewa Kala. Anak lelaki ini tumbuh sebagai lelaki yang ganas dan banyak merugikan manusia lain. Semua ajaran yang diberikan pada Dewa Kala tak bisa diterima. Masuk telinga kiri, keluar dari telinga kiri pula. Sehingga Dewa Guru menurunkan ajaran yang akan memudahkan Dewa Kala memahami. Inti ajaran itu diguratkan di dahi Dewa Kala, dan bunyinya memakai kata-kata yang terbalik.
Semua terdiri atas delapan kata. Salah satu kalimat itu berbunyi “ya midara radamiya’, yang artinya “yang menyebabkan kemiskinan harap mencukupi”. Kata ya midara, di bagian akhir dibalik menjadi radamiya. Demikian juga ungkapan “ya midosa, sadomiya”, “yang berbuat jahat jangan mencelakakan.”
Inti ajaran ini ialah membalik pemeriksaan biasa untuk menghasilkan kesempurnaan. Seperti yang dilakukan Jaghana. Dengan menekan pelipis, sebenarnya Jaghana mengetahui apa yang terjadi dengan ulu hati, hidung berarti pangkal paha, dan puting payudara berarti otak bagian dalam.
“Ya da-yuda, da-yuda-ya,” desis Jaghana. Mantra yang berarti, “Siapa yang berbuat jahat akan kehilangan daya serang.”
Dengan pemusatan kekuatan penuh, dengan pikiran yang bersih, usaha Jaghana menemukan hasilnya. Nyai Demang mulai terbatuk-batuk, mulai sadar kembali. Hanya wajahnya merah dan secara cepat tangannya menutupi wajah, ketika tangan Jaghana menekan bawah pusar.
“Bagaimana, Nyai?”
Nyai Demang menggeleng. “Uh, teri… terima… kasihhh…”
“Nyai, saya akan menjajal Sirih Kalacakra lagi. Harap Nyai bersihkan pikiran.” Kembali Jaghana menekan bagian-bagian tubuh Nyai Demang dengan jempol tangannya.
Nyai Demang memberontak dan menarik tubuhnya. “Maaf, Paman Jaghana….”
Jaghana menghela napas.
“Sudah, sudah cukup,” kata Nyai Demang cepat, sambil menggeser tubuhnya sedikit menjauh.
Agaknya, walaupun mengetahui Jaghana tidak bermaksud kurang ajar, namun tetap merasa rikuh. Rasa enggan yang muncul dengan sendirinya dari lubuk susila seorang wanita. Jaghana mengangguk membenarkan.
“Saya belum pulih seperti semula, akan tetapi rasanya cukup, Paman.”
“Ya, Nyai. Apakah Nyai sudah bisa menceritakan apa yang terjadi?”
Wajah Nyai Demang kembali pucat. Seakan dihadapkan kembali dengan apa yang ditakuti, dengan apa yang disembunyikan. Keringat dingin membanjir, dan lidahnya menjadi kelu.
Jaghana sigap menubruk, dan kembali memainkan kedua jempolnya. Napas Nyai Demang naik-turun. “Katakan, Nyai. Saya ada di samping Nyai.”
Nyai Demang membuka mulutnya, akan tetapi yang terdengar suara serak. Jaghana tidak kehabisan akal. Sekali lagi mengambil dahan kering, dan menggenggamkannya ke tangan Nyai Demang.
“Tuliskan kehendak Nyai.”
Jaghana bukan berkata, akan tetapi sekaligus bersiaga. Kalau-kalau ada angin berkesiuran yang menyebabkan Nyai Demang terkulai. Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk menangkap bisikan yang paling lemah sekalipun. Saat seperti itu, seekor cacing di dalam tanah, seakan bisa dirasakan geraknya.
Nyai Demang menggoreskan kalimat: Bawa saya. Jaghana bisa menangkap maksud Nyai Demang. Tanpa wigah-wigah, tanpa sungkan atau malu, Jaghana segera membopong Nyai Demang dan melangkah ke luar.
“Nyai, saya akan berjalan lurus terus. Jika Nyai menepuk dengan tangan kiri, saya akan membelok ke kiri. Jika Nyai menepuk dengan tangan kanan, saya akan berbelok ke kanan. Nyai cukup jelas mendengar?”
Nyai Demang mengangguk. Rasa ngerinya jauh berkurang sewaktu berada dalam dekapan Jaghana. Perlahan rasa aman itu menjalar dan membuat Nyai Demang tenang kembali. Jaghana menggendong Nyai Demang menelusuri jalan di mana tadi melihat tanda-tanda yang ditinggalkan Pangeran Hiang. Tempat di mana Nyai Demang mencari buah-buahan. Nyai Demang diturunkan dan memandang sekeliling.
“Aneh…”
“Nyai sudah bisa bicara lagi?”
“Aneh. Tanda itu tak ada lagi. Apakah saya melihat atau hanya mengira-ngira?”
Barulah kemudian Nyai Demang bisa menceritakan dengan urut apa yang dialami. Apa yang dilihatnya sebagai tanda-tanda Pangeran Hiang berusaha berhubungan dengan tokoh lain. Mereka berdua merunut lagi pada tempat yang lain. Pada permulaan pertemuan di mana Pangeran Hiang meninggalkan tulisan siung naga bermahkota. Nyatanya tidak ada bekasnya.
“Apakah Paman mengetahui ada goresan yang dihapus atau terhapus dengan sendirinya?”
Jaghana berjongkok, memeriksa dengan teliti. “Saya tidak pasti, Nyai. Tapi satu hal jelas. Apa yang Nyai alami sekarang ini bukan semata-mata beban pikiran. Kelunya lidah, ketidakmampuan berbicara yang muncul mendadak, yang bisa hilang lagi, karena perbuatan orang lain.”
“Apakah itu berarti Pangeran Hiang…”
Membalik Ama Jadi Asih
NYAI DEMANG tidak melanjutkan kalimatnya. Sejenak matanya menatap kosong. Jaghana hampir saja menduga Nyai Demang kehilangan suaranya lagi kalau saja tidak melanjutkan dengan,
“Apakah berarti Pangeran Hiang yang melakukan?”
“Atau Anakmas Upasara. Atau saya. Atau Nyai sendiri.”
Jawaban sederhana yang mau tak mau membuat Nyai Demang tersenyum. Dengan jawaban itu, Jaghana seolah mau mengangguk membenarkan. Karena, mana mungkin mencurigai hal itu? Atau dirinya sendiri yang bermain sandiwara?
“Paman, terus terang saya sangat kecewa sekali.” Nyai Demang menghapus matanya yang basah.
“Menangislah, Nyai, hambatan hati akan lega.”
Nyai Demang kemudian bisa menuturkan dari awal. Sejak perpisahan dengan Jaghana, penemuan Pangeran Hiang mengenai Enam atau Tujuh Langkah Karawitan, pendapatnya mengenai daya asmara, dan akhirnya kembali dari awal. Mengenai lamaran Pangeran Hiang. Berhadapan dengan Jaghana, kalimat-kalimat Nyai Demang meluncur begitu saja. Seolah air yang tadinya tertahan dan kemudian menemukan arus lain.
“Bagaimana mungkin saya bercerita hal ini? Apakah Paman memakai jampi ya si hama, maha siya?”
“Nyai yang merapalkan itu. Dan Pangeran Hiang akan mendengar.”
Singkat jawaban Jaghana, pendek caranya mengucapkan tanpa tekanan perasaan. Akan tetapi artinya luas dan dalam. Ya si hama, maha siya adalah lirik terakhir yang ada di dahi Dewa Kala. Yang artinya mengubah ama, atau hama, menjadi asih, segala dendam menjadi asih, menjadi kasih, menjadi maksud baik.
Kalimat ajaran Dewa Guru yang serba terbolak-balik itu mengundang makna yang bisa dijabarkan. Bukan sekadar agar mudah dihafal, melainkan juga menunjukkan penguasaan yang sempurna. Demikian juga halnya dengan jawaban Jaghana. Jawaban itu mengundang pengertian, bahwa Nyai Demang yang menghendaki maksud jahat Pangeran Hiang berubah menjadi baik. Dan diberi tekanan oleh Jaghana bahwa rapal semacam itu bisa terjadi.
“Tidak segampang itu, Paman. Pangeran Hiang pewaris takhta atas Tartar, keraton yang mampu menguasai jagat paling luas. Pangeran Hiang tidak datang untuk menerima kekalahan. Kalaupun Pangeran Hiang bisa menerima kekalahan, tidak demikian dengan pengikutnya. Yang pasti akan menyusul entah kapan. Rasanya tak mungkin putra mahkota dibiarkan pergi dan hilang begitu saja. Entah kalau Paman pernah mempunyai jalan pikiran lain.”
“Nyai, saya belum pernah mencurigai orang lain….”
“Saya tahu, Paman. Saya juga tidak ingin mencurigai. Akan tetapi seperti Paman katakan, ada yang menyebabkan saya mendadak tak bisa bicara untuk beberapa saat. Dan yang seperti ini tak bisa kita biarkan saja. Di mana Anakmas Upasara?”
“Berjalan bersama Pangeran Hiang.”
“Apakah tidak mungkin Anakmas bakal dibokong?”
Jaghana tersenyum tipis, lembut, samar.
“Paman Jaghana, biarlah saya yang menanggung dosa karena mempunyai pikiran jahat. Akan tetapi itu bukan tidak mungkin terjadi. Kalau Pangeran Hiang tega menyembunyikan sesuatu, ia bisa tega melakukan apa saja. Dan untuk Pangeran Hiang, kepala Anakmas Upasara sangat tinggi nilainya.”
Jaghana menggeleng dengan keras. Tangannya bergerak seirama dengan gelengan kepala.
“Sangat mungkin, Paman. Anakmas Upasara terlalu sulit dikalahkan dalam perang tanding. Paling tidak memerlukan waktu yang cukup panjang. Akan tetapi dengan cara-cara seperti melumpuhkan saya, hal itu bisa terjadi dengan cepat. Dan Paman Jaghana jangan lupa, Anakmas Upasara dalam hal-hal seperti ini tak lebih dari bocah ingusan. Anakmas bukan hanya tak memiliki kecurigaan, akan tetapi tak pernah mengenalnya.”
“Nyai, Nyaiii… Pikiran kotor akan memberati hati.”
“Ini sikap hati-hati. Saya tak akan membiarkan Pangeran Hiang mencurangi Anakmas….”
Sikap Nyai Demang menunjukkan kekesalan yang dalam. Sorot matanya memandang rendah Jaghana.
“Kita tak mempunyai waktu banyak, Paman. Barangkali saat ini Anakmas sudah kena pengaruh tanpa terasa. Barangkali Pangeran Hiang dan pengikutnya sudah meringkus Anakmas. Atau malah sudah menyeret ke Tartar. Paman Jaghana. Anakmas Upasara bukan hanya ksatria lelananging jagat, bukan hanya pewaris murni Perguruan Awan, melainkan juga lambang tanah Jawa. Pangeran Hiang atau siapa pun dari tanah seberang ingin menaklukkannya. Sekali lagi saya katakan, Anakmas Upasara sama kosongnya dengan Paman Jaghana dalam hal semacam ini. Kalau tidak begitu, mana mungkin Halayudha bisa menyudutkan dan hampir menghancurkan beberapa kali. Ketidakmatian Upasara karena ulah Halayudha, hanya karena kemurahan Dewa Yang Maha murah.”
Kalimat Nyai Demang bergegas dan beringas. Beberapa bagian terulang diucapkan karena desakan menumpahkan dorongan hati untuk meyakinkan Jaghana.
“Paman. Anakmas tak bisa dikalahkan dalam pertarungan. Tapi sangat gampang ditaklukkan tanpa sadar. Bahkan tetap tak mengetahui bahwa dirinya dicurangi.”
Jaghana merangkapkan kedua tangannya di depan dada. “Apakah saya harus mengotori jiwa dan pikiran saya?”
“Kenapa Paman masih lebih mementingkan kesucian hati pada saat seperti ini? Paman. Karena saya belum bisa bergerak leluasa, saya minta Paman menggendong saya. Menuju ke tempat Anakmas Upasara.”
“Saya akan membawa Nyai, tapi tidak dengan bekal kecurigaan, tidak diniati dengan pikiran kotor.”
“Saya tak peduli. Maaf. Maaf. Saya akan pergi sekarang.”
Nyai Demang bergerak perlahan. Tertatih-tatih. Jaghana terbatuk keras, merangkapkan tangan di dada, bibirnya berkomat-kamit sebelum akhirnya menyambar Nyai Demang, menggandeng dengan merangkul pinggangnya.
“Tangan Nyai yang menjadi petunjuk. Tepukan kiri, kanan, atau diam saja berarti lurus.”
Dalam hatinya Nyai Demang kesal. Sangat kesal. Sangat kesal sekali karena yang mengetahui tempat Upasara adalah Jaghana, akan tetapi meminta dirinya yang memberi petunjuk. Dan hal semacam ini tak bisa diutarakan kepada Jaghana. Rasa kesal ini bisa berlipat kalau Nyai Demang mencoba memahami bahwa hal ini menjadi sikap hidup, sikap batin sehari-hari Jaghana ataupun Upasara. Berusaha tidak mencurigai.
Bagaimana mungkin nilai seperti ini masih bisa dipertahankan di tengah kemelut, di tengah intrik-intrik, di tengah dunia di mana ada manusia seperti Halayudha? Kalau sudah begitu, apa artinya keunggulan ilmu silat yang tiada tara? Apa arti sakti mandraguna kalau kakinya tak menginjak bumi, dan tak tahu siasat yang sangat sederhana?
Perasaan Nyai Demang makin tak menentu ketika Jaghana menggandeng dari ujung ke ujung dan tak menemukan bayangan Upasara. Tubuh keduanya bergerak makin cepat menyusup, makin tinggi menerabas. Tetapi, tetap saja. Tak ada bayangan Upasara maupun Pangeran Hiang.
“Apa saya bilang!” Suara Nyai Demang sangat keras. “Apa saya bilang.”
“Kita putari sekali lagi.”
“Paman, Paman… Masih juga Paman belum sadar gawatnya situasi sekarang ini? Anakmas Upasara tak ketahuan rimbanya. Anakku Jagattri malah lebih dungu lagi masuk Keraton untuk menantang Halayudha. Benar-benar habis-habisan. Yang tersisa hanya kita berdua. Paman Jaghana yang lebih bahagia berada di tengah tumbuhan, bersama alam. Dan saya yang tak bisa apa-apa. Paman, apakah memang ini zaman pamungkas?”
Pertanyaan Nyai Demang lebih terasa sebagai pernyataan keprihatinan dan keputusasaan.
Pertemuan Langit dengan Bumi
JAGHANA mengusap wajahnya. Kedua tangannya mengelap tiga kali berturut-turut. Ucapan Nyai Demang mempengaruhi dirinya secara perlahan. Apa yang dikatakan Nyai Demang memang sulit dibantah.
“Paman, kita kitari sekali lagi. Kalau memang tak bertemu, kita harus melakukan sesuatu.”
Sebagai jawaban, tangan kiri Jaghana meraup pinggang Nyai Demang seraya mengentakkan kedua kakinya. Tubuhnya melayang ringan sekali. Dengan menggandeng Nyai Demang, tak sedikit pun gerakan Jaghana terganggu. Tetap bisa melayang dengan cepat, melejit ke depan. Kakinya bergerak sesekali menotol tanah, menginjak rumput seolah sangat hati-hati. Bahkan ujung kakinya seakan bisa memilih di antara sela-sela rumput atau semak.
Gerakan Jaghana tetap lembut, meskipun loncatan makin lama makin cepat. Tubuhnya menerobos maju, dan setiap kali melayang di angkasa bisa menghindar dari ranting-ranting di atasnya.
Dalam keadaan biasa, Nyai Demang bisa memuji dengan kata-kata. Tubuh gendut yang terkesan lambat bisa bergerak cepat, mengingatkan Nyai Demang pada Wilanda, bekas murid Perguruan Awan yang bergerak bagai capung. Tapi sekali ini Nyai Demang sendiri tidak sabar. Beberapa kali mengerahkan tenaganya.
Wilayah Perguruan Awan bisa dikatakan sangat luas, tetapi juga bisa dikatakan sangat terbatas. Karena tidak ada batas-batas resmi. Hanya ujung yang melingkari tetumbuhan lebat berupa tanah lapang, yang sering dipakai sebagai batas pemisah.
Dua kali Jaghana mengitari dan menempuh balik dengan menyilang, tetap tak menemukan bayangan Upasara maupun Pangeran Hiang. Terdorong rasa tak sabar, Nyai Demang memaksa diri. Akibatnya justru memakan tenaga dalamnya. Sehingga menjelang putaran ketiga, tubuh Nyai Demang ambruk. Untung Jaghana segera tanggap kondisi Nyai Demang. Sehingga tak perlu membiarkan Nyai Demang jatuh.
Dengan perlahan Jaghana menangkap tubuh Nyai Demang, menggendong, sebelum meletakkan di tanah, dan segera memeriksa nadi. Untuk kemudian memberikan pertolongan cepat dengan memainkan kedua jempolnya untuk pengobatan Sirih Kalacakra. Adegan inilah yang disaksikan Pangeran Hiang, yang berada di pepohonan yang paling rimbun. Kalau saja Jaghana mengetahui di mana Pangeran Hiang berada!
Tetapi tidak. Dalam suasana mencari-cari, dalam suasana mulai ditumbuhi rasa curiga, pikiran Jaghana tidak sepenuhnya bersih. Sehingga tak mampu menangkap goyangan dahan yang berbeda karena diberati tubuh Pangeran Hiang. Kalau saja Nyai Demang mengetahui di mana Pangeran Hiang berada!
Tetapi tidak. Dalam kemelut hati dan rasa penasaran, kalaupun Nyai Demang melihat Pangeran Hiang sendirian di pohon, bisa langsung menggertak dan menanyakan di mana Upasara.
Sementara Pangeran Hiang sendiri merasa terpukul melihat perlakuan Jaghana pada Nyai Demang. Berbagai pengobatan dengan tusuk jari, pijatan, Pangeran Hiang sangat mengetahui dengan baik. Segala jenis totokan dikuasai. Akan tetapi tak pernah mendengar adanya pengobatan Sirih Kalacakra. Hal yang bisa dimengerti, karena betapapun mendalamnya Pangeran Hiang mempelajari semua unsur persilatan dan budaya, tak mungkin bisa memahami seluruhnya.
Pangeran Hiang merasa terpukul dan terhina. Ia sudah mendengar mengenai Nyai Demang sebelumnya. Di saat kecurigaan meninggi, segala gerakan yang sedikit berbeda bisa ditafsirkan penyimpangan. Mana lagi, bagi Pangeran Hiang urusan asmara yang dialami tak begitu menyenangkan. Pertemuan dan ikatan asmara habis-habisan dengan Putri Koreyea berakhir, atau bahkan berawal dengan kengerian. Akibat perbuatan tidak senonoh yang dilakukan Putri Koreyea.
Kejadian ini saja membuat luka dalam yang tak akan pernah tersembuhkan. Dan sekarang ini, matanya melihat sendiri bagaimana kedua jempol Jaghana leluasa mengurut bagian tubuh Nyai Demang. Jaghana yang sedang memusatkan perhatian kepada tubuh Nyai Demang berhenti mendadak. Wajahnya mendongak ke atas, dibarengi dengan tubuhnya. Meloncat tinggi sekali.
Dari keadaan bersila bisa langsung mencelat ke atas, memperlihatkan bahwa Jaghana masih menguasai pengerahan tenaga dalam dengan baik. Akan tetapi Pangeran Hiang ternyata sudah pergi. Hanya bekasnya, goyangan dahan yang lebih keras dari biasanya. Ketika Jaghana hinggap di dahan yang sama, ia menyadari bahwa seseorang baru saja berada di tempat itu. Bau tubuh manusia masih tertempel di antara daun dan dahan yang memancarkan bau alami tetumbuhan. Jaghana melayang turun.
“Ada apa, Paman?”
Jaghana tak bisa menyembunyikan apa yang diketahui. Dengan caranya sendiri, Jaghana mengatakan bahwa memang ada orang lain yang berkeliaran leluasa di Perguruan Awan.
“Bagaimana dengan Anakmas?”
“Saya belum mengetahui, Nyai.”
“Aneh, Paman. Sungguh aneh sekali. Tubuh saya ini bisa mendadak lemas tak bertenaga, bisa segera pulih. Kemampuan untuk berbicara bisa hilang, bisa datang lagi. Entah totokan jalan darah macam apa yang dilakukan Pangeran Hiang. Atau jenis aji sirep macam apa. Paman, saya tak ingin menyalahkan siapa-siapa, sekarang makin jelas bahwa petunjuk-petunjuk yang saya curigai mempunyai alasan mendasar. Di jagat ini tinggal kita berdua. Saya tak tahu harus berbuat apa, tetapi apa yang baik menurut Paman Jaghana, akan segera saya lakukan.”
Jaghana memalingkan wajah. Nyai Demang menarik ke atas kainnya, membetulkan letak kain, mengikatkan setagen dengan baik, sebelum akhirnya duduk bersila mengumpulkan kekuatannya.
“Sangat mungkin sekali Pangeran Hiang bersembunyi di salah satu tempat yang rimbun. Sama mungkinnya orang yang selama ini berhubungan dengannya juga bersembunyi. Akan tetapi rasanya tidak mungkin jika Upasara juga bersembunyi.”
“Paman, apakah di Perguruan Awan ini tidak ada gua-gua yang tidak Paman ketahui?”
“Rasanya saya mengenalnya seperti saya mengenal jari-jari di tangan sendiri.”
“Dan kita telah memasuki semuanya?”
“Ya.”
“Apakah tidak mungkin ada gua yang… yang… saya mau mengatakan, apakah tidak mungkin Anakmas Upasara terjeblos ke dalam…”
“Tidak. Anakmas mengenal hutan ini dengan baik. Seperti saya, seperti juga Nyai Demang yang pernah berdiam di sini untuk beberapa saat. Rasanya tak mungkin.”
“Bagaimana dengan Gua Lawang Sewu?”
Jaghana menggeleng. Gua Lawang Sewu, atau Gua Pintu Seribu, berada di sebelah barat Perguruan Awan. Tempat itu merupakan peninggalan yang konon dibuat oleh Mpu Raganata. Sengaja dibuat gua dengan seribu pintu, untuk menenggelamkan musuh yang akan menyerbu Keraton, tetapi juga bisa menjadi tempat persembunyian yang paling aman. Akan tetapi gua itu sudah lama terkubur. Sejak peperangan besar, sewaktu prajurit dari Gelang-Gelang yang dipimpin Ugrawe menyapu habis semua ksatria.
Peristiwa yang mengerikan. Di mana seluruh ksatria yang terpancing datang untuk menemui Tamu dari Seberang disikat habis oleh Ugrawe tanpa belas kasihan. Gua Lawang Sewu masih ada, akan tetapi boleh dikatakan semua pintu gua sudah tertutup dengan tanah. Karena saat itu Ugrawe mengubur para ksatria yang berada di dalamnya.
“Jangan-jangan Anakmas Upasara terjebak di situ.”
“Nyai, marilah kita lepaskan kekuatiran kita pada Upasara. Biar bagaimanapun Anakmas Upasara tak akan seringkih yang Nyai bayangkan.”
“Paman, keadaan kita sendiri bisa berarti bisa tidak. Akan tetapi jika anakku Jagattri tak ketahuan nasibnya, sementara Anakmas Upasara juga hilang, apa lagi yang tersisa bagi kita? Saya tidak berusaha merendahkan Paman atau diri saya sendiri. Tapi Upasara dan Jagattri adalah langit dengan bumi, yang memayungi dan tempat berdiri yang diandalkan selama ini. Kalau kita hanya melihat pertemuan itu di suatu ujung yang tak ada, di cakrawala, apakah kita masih bisa merencanakan sesuatu?”
“Kalau demikian halnya, apa yang ingin Nyai lakukan?”
Biasanya Nyai Demang bisa berpikir cepat. Namun kali ini justru sebaliknya menjadi buntu. Tak segera mengambil kesimpulan apa yang harus dilakukan. Karena hilangnya Upasara secara mendadak membuat pikirannya kacau.
“Apakah tidak mungkin Anakmas Upasara masuk ke Gua Lawang Sewu?”
Langit Pun Merendah
MESKIPUN kedengarannya seperti angin-anginan, pendapat Nyai Demang belum tentu keliru. Ini menurut Jaghana, yang sekarang hanya bisa mengikuti pendapat Nyai Demang.
“Baik kalau Nyai mau mencoba ke sana.”
Jaghana membimbing Nyai Demang berdiri. Dengan semangat yang masih tersisa, Nyai Demang menempelkan tubuhnya kepada Jaghana, dan keduanya melayang ke arah Gua Lawang Sewu, atau Gua Pintu Seribu. Nyai Demang hampir bersorak ketika pandangannya menemukan bahwa di salah satu mulut gua ada bekas-bekas kaki. Disebutkan salah satu mulut gua, karena memang jumlahnya diperkirakan seribu. Jaghana mengikuti petunjuk yang ada.
“Paman…”
Jaghana menoleh ke arah tudingan Nyai Demang. Ke arah pohon yang batangnya seperti dicocoki dengan lidi atau benda runcing. Jaghana mendekat.
“Di sini juga ada, Paman.” Nyai Demang menunjuk ke bagian yang lain. “Ini juga ada.”
“Rasanya ini tulisan Anakmas Upasara.”
Jaghana mengangguk perlahan. “Saya belum pernah melihat Anakmas Upasara menggoreskan sesuatu, akan tetapi jika bukan Anakmas, siapa yang bisa menoreh begitu halus, begitu sempurna, berupa titik-titik tanpa melukai kulit pohon? Nyai…”
Nyai Demang terdiam. Kali ini otaknya bekerja keras. Perlahan bibirnya berkomat-kamit mengeja tulisan di kulit pohon, di dahan, di daun-daun, di tanah yang keras. Nyai Demang berusaha menyusun rangkaian tulisan itu, untuk menentukan harus memulai dari mana membacanya:
Daya asmara itu sebenarnya sukma apa
yang membuat langit pun rendah
yang membuat bumi meninggi
daya asmara bukan sukma sejati
sebab sukma sejati adalah sendiri
daya asmara itu sebenarnya sukma apa
yang membuat pohon tumbuh
matahari bersinar
air mengalir
bumi terpisah
air yang memisahkan bumi dari bumi
bumi yang menelan air
daya asmara itu tembang, kidungan
bukan kidung kemenangan
bukan kidung kekalahan
bukan kidung bukan tembang
sebab hanya satu
bumi dan air
itulah tanah air
tembang yang sesungguhnya ialah sukma
yang mengalir sukma itu tanah air
tak bisa dipisah tanah dan air
tak bisa diubah air dengan tanah
tanah air
itulah tembang
tembang tanah air
daya asmara yang sesungguhnya
tembang tanah air
asmara tanah air
adalah akhir
adalah lahir…
Jaghana mengikuti kalimat demi kalimat seperti juga Nyai Demang. Keduanya mengertakkan gigi ketika menemukan tulisan yang sebagian sudah terhapus di tanah.
Tinggal dan tanggalkan daya asmara
yang tak pernah ada
seperti langit
hanya ada satu tembang
tembang tanah air
…
…
…
“Nyai…” Kali ini Jaghana yang justru mulai berbicara. “Tak bisa diragukan lagi, ini goresan Anakmas Upasara Wulung.”
“Kalau benar begitu, Anakmas belum cukup lama berada di sini.”
“Kita masih ada waktu untuk membaca.”
Jaghana segera melesat. Mengitari wilayah yang disebut Lawang Sewu, dari bagian ujung ke ujungnya lagi. Melihat kemungkinan bekas-bekas yang ditinggalkan pada setiap kemungkinan lubang yang ada. Tidak mudah dan tak bisa dilakukan dengan cepat.
Karena yang disebut gua, bukan berupa gua dalam pengertian umum, melainkan kadang hanya berupa tanah menganga, seperti lubang sumur. Itu pun hampir seluruhnya sudah tertutup semak, pepohonan, atau sebagian sudah diuruk, ditimbun paksa oleh pasukan Ugrawe. Berputar sampai sepenanak nasi, Jaghana kembali ke tempat semula. Nyai Demang duduk bersandar pada sebatang pohon.
“Paman Jaghana. Saya kira keadaan ini benar-benar gawat. Lebih dari yang kita perkirakan. Lebih gawat dari pertarungan yang pernah kita alami berdua. Ini kalau jalan pikiran saya benar, atau sekurangnya separuh benar. Ada tiga hal yang tidak kita pahami, dan kita menjadi anak kecil yang tak punya bekal untuk menduga. Pertama, keadaan Anakmas Upasara. Dengan perkembangan kekuatan Ngrogoh Sukma Sejati, kita tak tahu di mana muara ajaran ganjil itu. Barangkali Anakmas menemukan inti ajaran penyatuan Kitab Bumi dengan Kitab Air, tetapi bagaimana kelanjutannya kita tak tahu. Anakmas Upasara sering menghilang dan muncul lagi saat diperlukan, akan tetapi sekali ini bisa lain. Kedua, keadaan Pangeran Hiang. Dengan sengaja menyembunyikan diri dan menghilang, tanda tanya kita makin besar. Taruh kata semua tadi hanya kecurigaan belaka atau salah paham, rasanya Pangeran Hiang tak perlu menghilang. Sikap yang tak akan dilakukannya. Berarti memang ada yang direncanakan. Dan kita tak tahu apakah orang yang dihubungi itu satu atau sepuluh atau seratus. Kita juga tak tahu apa yang akan dilakukan nanti. Apakah ini merupakan bagian dari balas dendam terakhir. Ketiga, keadaan anakku Jagattri. Dengan menemui Halayudha, Jagattri sekarang ini tidak ketahuan mati-hidupnya. Yang jelas pastilah bukan keadaan yang menggembirakan. Paman. Ketiga soal ini bisa berkaitan, bisa berdiri sendiri-sendiri. Menurut pendapat Paman, apa yang harus kita lakukan pertama?”
Tak ada jawaban. Mendadak Nyai Demang menjadi sangat cemas. Tidak. Jaghana masih berada di tempatnya. Hanya kini tampak berdiam diri, bersemadi dengan mata tertutup. Bedanya dengan bersemadi biasa, kedua tangan Jaghana terbuka, terentang, dan bergerak-gerak.
“Paman!” Nyai Demang berteriak keras.
Dan terkejut sendiri karena Jaghana juga berteriak keras. Yang disusul dengan tawa berkepanjangan. Tawa yang tidak wajar. Tawa yang mengisyaratkan keganjilan.
Karena selama ini Nyai Demang tak pernah mendengar, tak pernah melihat Jaghana bersikap terlalu. Tersenyum tipis. Apa yang tersimpan dalam hati dan perasaan Jaghana bisa terbungkus rapi. Ketenangan adalah segalanya. Tapi kali ini justru tertawa keras. Terbahak-bahak. Dengan mata tertutup, dengan kedua tangan terentang, dengan perut gendut bergerak-gerak naik-turun.
Mengulang Nasi Usang
NYAI DEMANG boleh berpikir panjang dan memperkirakan apa yang terjadi baik pada diri Upasara maupun Pangeran Hiang. Demikian juga Jaghana. Akan tetapi apa yang sesungguhnya terjadi masih merupakan tanda tanya. Bagi Jaghana, perkiraan Nyai Demang ada benarnya, ada tidaknya. Hanya saat itu, Jaghana tak mengatakan bagian mana perkiraan yang tepat dan bagian mana yang meleset.
Upasara sebenarnya tidak berniat meninggalkan kegelisahan. Ketika ia berjalan bersama Pangeran Hiang, keduanya berdiam agak lama. Hanya langkah kaki keduanya terasa dibebani perasaan yang membuat dada sesak.
“Pangeran Upasara, saya bisa menerka perasaan Pangeran.”
“Saya kira Pangeran Hiang mengetahui keingintahuan saya. Tetapi saya sadar Pangeran Hiang masih ingin menyimpan sendiri, dan belum mau mengatakan.”
“Benar, Pangeran Upasara. Tetapi kehormatan saya memberi jaminan penuh, bahwa saya tidak bermaksud jahat. Tidak juga menyimpan niatan buruk.”
Upasara mengangguk perlahan. “Tadinya saya mengira arwah Gemuka yang masih penasaran menggerayang sampai Perguruan Awan.”
Wajah Pangeran Hiang berubah. Sikapnya menjadi dingin. “Pangeran Upasara, jangan paksa saya sampai tak bisa mundur lagi.”
“Pangeran Hiang, kita berdua manusia biasa. Mempunyai keluhuran, mendasari dengan sikap ksatria. Kita sama-sama lelaki yang menjunjung tinggi kehormatan dan kegagahan. Akan tetapi kita ditakdirkan lahir dari tradisi yang berbeda. Dari beban yang berbeda. Dari tanah sawah yang tak sama. Saya mencoba mengatakan terus terang. Pangeran Hiang adalah putra mahkota Keraton Tartar yang tak terbayangkan betapa megah dan besarnya. Banyak kewajiban yang diwariskan dari leluhur. Begitu pula saya. Saya dilahirkan sebagai ksatria, dengan kewajiban dan kepatuhan pada nilai tradisi. Adakalanya nilai-nilai tadi bisa sama. Adakalanya tidak. Kita sama-sama menyadari itu, Pangeran.”
“Ya.”
“Pangeran Hiang tetap tidak mau mengatakan sekarang?”
“Tidak. Maaf, Pangeran.”
Upasara berhenti di depan Gua Lawang Sewu. “Pangeran Hiang, di depan itu ada gua yang dinamai Pintu Seribu. Pada saat saya pertama kali keluar dari Ksatrian Pingitan, saya berada di tempat ini. Bersama seluruh ksatria setanah Jawa, yang dibuai selentingan adanya Tamu dari Seberang. Ternyata itu tipu muslihat tokoh silat sakti yang bernama Ugrawe. Kami semua para ksatria tanpa kecuali disikat habis. Saya meloloskan diri lewat salah satu pintu gua yang ada, bersama Bibi Jagaddhita dan Adik Gendhuk Tri. Namun akhirnya Bibi wafat dan terkubur di dalamnya.”
Dengan menyebut-nyebut Mahapatih Halayudha, Jabung Krewes memastikan posisinya sebagai orang luar dari kelompok Senopati Utama. Dengan mengatakan secara kebetulan, karena saat itu memang sengaja dipasang dan diberi kekuasaan untuk mengimbangi kekuasaan Senopati Bango Tontong, yang adalah pengikut setia Mahapatih Nambi.
“Apa yang Senopati harapkan dari kami?”
“Ajakan mengabdi kepada Keraton.”
“Saya telah melakukan sejak saya bisa berdiri.”
“Ajakan mengabdi kepada Raja.”
Senopati Tanca berdeham keras. “Marilah kita berhadapan telanjang, Senopati Jabung Krewes. Kita sama-sama lelaki, sama-sama prajurit. Sampeyan tahu sikap saya sejak dulu. Apakah selama ini saya kurang mengabdi? Jiwa-raga, batin-lahir, saya abdikan sepenuhnya. Tetapi apa yang kami terima?”
“Saya memahami hal itu.”
“Rasanya itu cukup.”
“Saya akan memintakan ampunan…”
“Tidak. Kami tidak akan pernah mengemis, menyembah hina. Tidak akan pernah. Kalau itu niatan Senopati, urungkan sebelum kita berbicara lebih jauh.”
Telinga Jabung Krewes terasa panas. “Saat ini Keraton sedang membutuhkan….”
“Keraton selalu membutuhkan. Apa saja selalu dibutuhkan. Dan kami selalu siap memberikan. Apa saja selalu kami berikan. Tapi kami akan melihat jelas kepada siapa kami menyerahkan seluruh pengabdian ini.”
Jabung Krewes mengangguk. “Saya kira yang Paman Tanca katakan sudah jelas.”
“Saya kira demikian.”
“Saya tak perlu mengulang bahwa Raja tetap Raja dan masih akan menjadi Raja. Sebab itulah ketenteraman, kebahagiaan, bagi seluruh Keraton.”
Senopati Tanca berdiri. “Saya melihat prajurit sejati di depan saya. Senopati Jabung Krewes, sampeyan senopati yang jantan.”
Pujian tulus, akan tetapi sekaligus juga mempertegas jarak. Senopati Jabung Krewes sadar sepenuhnya, bahwa Tujuh Senopati Utama masih akan tetap menjadi masalah di belakang hari.
Sirih Kalacakra
KETIKA Senopati Jabung Krewes kembali dengan tangan hampa, Halayudha sedang berada dalam puncak pertarungan tenaga dalam untuk menyeimbangkan antara pergolakan yang ada di dalam tubuh Gendhuk Tri dan tubuh Mada.
Ketika itu pula Jaghana mengulangi kembali pemeriksaan atas tubuh Nyai Demang. Kini Jaghana merasa lebih leluasa, karena Upasara maupun Pangeran Hiang mulai menyingkir, berada di tempat yang cukup jauh. Sehingga Jaghana merasa lebih leluasa menangani penderitaan Nyai Demang.
Bukan karena apa, melainkan karena cara pengobatan yang diajarkan di Perguruan Awan berbeda dari ajaran yang lain. Bagi Jaghana, apa yang dialami Nyai Demang menimbulkan tantangan penyembuhan. Karena Nyai Demang yang masih sehat, mendadak kehilangan suara, dan kemudian malahan pingsan.
Menjadi tantangan karena ajaran di Perguruan Awan boleh dikatakan tidak mengenal penyakit. Selama ini mereka yang mendiami Perguruan Awan tak pernah terkena penyakit. Selama bersatu dengan alam, tubuh bisa menjadi alam. Meskipun tidak ada perlindungan yang pokok, hujan atau panas tidak membuat tubuh menjadi sakit. Meskipun hanya memakan buah-buahan yang ada, mandi secukupnya, dan berpakaian sekenanya, selama ini tetap terjaga kesehatannya.
Jaghana tak bisa menerima kelainan tubuh Nyai Demang begitu saja. Walau di dalam hati bertanya-tanya, karena kalau ditilik dari denyut nadi maupun tarikan napas, rasanya tak ada yang salah dengan tubuh Nyai Demang. Kedua jempol Jaghana menekan kening, samping kiri dan kanan. Menekan pipi, menekan leher, menekan dada, menekan payudara tepat di bagian kedua puting Nyai Demang.
Dengan tetap bersila, dengan mata menatap wajah Nyai Demang, Jaghana melakukan berulang kali. Semuanya dikerjakan dengan tarikan napas yang sama. Tak ada pikiran kotor atau bayangan yang aneh-aneh. Bagi warga Perguruan Awan cara pengobatan Jaghana bukan sesuatu yang luar biasa. Upasara Wulung pun barangkali akan menempuh cara yang sama. Apa yang dilakukan Jaghana sebenarnya mencoba melakukan pengobatan dengan cara Suruh Kalacakra, atau Sirih Kalacakra, yaitu pengobatan daun sirih.
Perguruan Awan adalah wilayah di mana tetumbuhan maupun hewan mendapat tempat yang utama. Tak ada selembar daun yang dipotong percuma, tak ada rumput yang disiangi atau dicabuti. Semua tanaman dibiarkan tumbuh sebagaimana kodratnya. Demikian juga halnya dengan daun sirih. Daun yang satu ini dikenal sebagai daun untuk mengobati berbagai jenis penyakit, atau untuk mencari tahu adanya suatu jenis penyakit.
Daun sirih menjadi istimewa, karena beda rupane, pada rasane, atau berbeda bentuknya akan tetapi sama rasanya. Seperti diketahui permukaan daun sirih bagian atas dan bagian bawah berbeda, akan tetapi kalau digigit sama rasanya. Ungkapan ini mengandung makna yang dalam. Bisa berarti bahwa sesungguhnya perbedaan itu tidak ada artinya. Pembedaan itu hanya menyatakan sisi pandang, akan tetapi sebenarnya tetap sama.
Kehebatan daun sirih ini dikembangkan sebagai pendekatan untuk memahami segala jenis dedaunan, bunga-bunga, maupun tumbuhan yang ada. Pada tingkat yang tinggi, Jaghana pernah menerima ajaran mengenai Sirih Kalacakra. Yaitu pengobatan dengan cara Kalacakra mendapat ajaran dari Dewa Guru.
Menurut cerita yang ada, Dewa Guru yang menguasai dunia mempunyai seorang anak lelaki yang diberi nama Dewa Kala. Anak lelaki ini tumbuh sebagai lelaki yang ganas dan banyak merugikan manusia lain. Semua ajaran yang diberikan pada Dewa Kala tak bisa diterima. Masuk telinga kiri, keluar dari telinga kiri pula. Sehingga Dewa Guru menurunkan ajaran yang akan memudahkan Dewa Kala memahami. Inti ajaran itu diguratkan di dahi Dewa Kala, dan bunyinya memakai kata-kata yang terbalik.
Semua terdiri atas delapan kata. Salah satu kalimat itu berbunyi “ya midara radamiya’, yang artinya “yang menyebabkan kemiskinan harap mencukupi”. Kata ya midara, di bagian akhir dibalik menjadi radamiya. Demikian juga ungkapan “ya midosa, sadomiya”, “yang berbuat jahat jangan mencelakakan.”
Inti ajaran ini ialah membalik pemeriksaan biasa untuk menghasilkan kesempurnaan. Seperti yang dilakukan Jaghana. Dengan menekan pelipis, sebenarnya Jaghana mengetahui apa yang terjadi dengan ulu hati, hidung berarti pangkal paha, dan puting payudara berarti otak bagian dalam.
“Ya da-yuda, da-yuda-ya,” desis Jaghana. Mantra yang berarti, “Siapa yang berbuat jahat akan kehilangan daya serang.”
Dengan pemusatan kekuatan penuh, dengan pikiran yang bersih, usaha Jaghana menemukan hasilnya. Nyai Demang mulai terbatuk-batuk, mulai sadar kembali. Hanya wajahnya merah dan secara cepat tangannya menutupi wajah, ketika tangan Jaghana menekan bawah pusar.
“Bagaimana, Nyai?”
Nyai Demang menggeleng. “Uh, teri… terima… kasihhh…”
“Nyai, saya akan menjajal Sirih Kalacakra lagi. Harap Nyai bersihkan pikiran.” Kembali Jaghana menekan bagian-bagian tubuh Nyai Demang dengan jempol tangannya.
Nyai Demang memberontak dan menarik tubuhnya. “Maaf, Paman Jaghana….”
Jaghana menghela napas.
“Sudah, sudah cukup,” kata Nyai Demang cepat, sambil menggeser tubuhnya sedikit menjauh.
Agaknya, walaupun mengetahui Jaghana tidak bermaksud kurang ajar, namun tetap merasa rikuh. Rasa enggan yang muncul dengan sendirinya dari lubuk susila seorang wanita. Jaghana mengangguk membenarkan.
“Saya belum pulih seperti semula, akan tetapi rasanya cukup, Paman.”
“Ya, Nyai. Apakah Nyai sudah bisa menceritakan apa yang terjadi?”
Wajah Nyai Demang kembali pucat. Seakan dihadapkan kembali dengan apa yang ditakuti, dengan apa yang disembunyikan. Keringat dingin membanjir, dan lidahnya menjadi kelu.
Jaghana sigap menubruk, dan kembali memainkan kedua jempolnya. Napas Nyai Demang naik-turun. “Katakan, Nyai. Saya ada di samping Nyai.”
Nyai Demang membuka mulutnya, akan tetapi yang terdengar suara serak. Jaghana tidak kehabisan akal. Sekali lagi mengambil dahan kering, dan menggenggamkannya ke tangan Nyai Demang.
“Tuliskan kehendak Nyai.”
Jaghana bukan berkata, akan tetapi sekaligus bersiaga. Kalau-kalau ada angin berkesiuran yang menyebabkan Nyai Demang terkulai. Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk menangkap bisikan yang paling lemah sekalipun. Saat seperti itu, seekor cacing di dalam tanah, seakan bisa dirasakan geraknya.
Nyai Demang menggoreskan kalimat: Bawa saya. Jaghana bisa menangkap maksud Nyai Demang. Tanpa wigah-wigah, tanpa sungkan atau malu, Jaghana segera membopong Nyai Demang dan melangkah ke luar.
“Nyai, saya akan berjalan lurus terus. Jika Nyai menepuk dengan tangan kiri, saya akan membelok ke kiri. Jika Nyai menepuk dengan tangan kanan, saya akan berbelok ke kanan. Nyai cukup jelas mendengar?”
Nyai Demang mengangguk. Rasa ngerinya jauh berkurang sewaktu berada dalam dekapan Jaghana. Perlahan rasa aman itu menjalar dan membuat Nyai Demang tenang kembali. Jaghana menggendong Nyai Demang menelusuri jalan di mana tadi melihat tanda-tanda yang ditinggalkan Pangeran Hiang. Tempat di mana Nyai Demang mencari buah-buahan. Nyai Demang diturunkan dan memandang sekeliling.
“Aneh…”
“Nyai sudah bisa bicara lagi?”
“Aneh. Tanda itu tak ada lagi. Apakah saya melihat atau hanya mengira-ngira?”
Barulah kemudian Nyai Demang bisa menceritakan dengan urut apa yang dialami. Apa yang dilihatnya sebagai tanda-tanda Pangeran Hiang berusaha berhubungan dengan tokoh lain. Mereka berdua merunut lagi pada tempat yang lain. Pada permulaan pertemuan di mana Pangeran Hiang meninggalkan tulisan siung naga bermahkota. Nyatanya tidak ada bekasnya.
“Apakah Paman mengetahui ada goresan yang dihapus atau terhapus dengan sendirinya?”
Jaghana berjongkok, memeriksa dengan teliti. “Saya tidak pasti, Nyai. Tapi satu hal jelas. Apa yang Nyai alami sekarang ini bukan semata-mata beban pikiran. Kelunya lidah, ketidakmampuan berbicara yang muncul mendadak, yang bisa hilang lagi, karena perbuatan orang lain.”
“Apakah itu berarti Pangeran Hiang…”
Membalik Ama Jadi Asih
NYAI DEMANG tidak melanjutkan kalimatnya. Sejenak matanya menatap kosong. Jaghana hampir saja menduga Nyai Demang kehilangan suaranya lagi kalau saja tidak melanjutkan dengan,
“Apakah berarti Pangeran Hiang yang melakukan?”
“Atau Anakmas Upasara. Atau saya. Atau Nyai sendiri.”
Jawaban sederhana yang mau tak mau membuat Nyai Demang tersenyum. Dengan jawaban itu, Jaghana seolah mau mengangguk membenarkan. Karena, mana mungkin mencurigai hal itu? Atau dirinya sendiri yang bermain sandiwara?
“Paman, terus terang saya sangat kecewa sekali.” Nyai Demang menghapus matanya yang basah.
“Menangislah, Nyai, hambatan hati akan lega.”
Nyai Demang kemudian bisa menuturkan dari awal. Sejak perpisahan dengan Jaghana, penemuan Pangeran Hiang mengenai Enam atau Tujuh Langkah Karawitan, pendapatnya mengenai daya asmara, dan akhirnya kembali dari awal. Mengenai lamaran Pangeran Hiang. Berhadapan dengan Jaghana, kalimat-kalimat Nyai Demang meluncur begitu saja. Seolah air yang tadinya tertahan dan kemudian menemukan arus lain.
“Bagaimana mungkin saya bercerita hal ini? Apakah Paman memakai jampi ya si hama, maha siya?”
“Nyai yang merapalkan itu. Dan Pangeran Hiang akan mendengar.”
Singkat jawaban Jaghana, pendek caranya mengucapkan tanpa tekanan perasaan. Akan tetapi artinya luas dan dalam. Ya si hama, maha siya adalah lirik terakhir yang ada di dahi Dewa Kala. Yang artinya mengubah ama, atau hama, menjadi asih, segala dendam menjadi asih, menjadi kasih, menjadi maksud baik.
Kalimat ajaran Dewa Guru yang serba terbolak-balik itu mengundang makna yang bisa dijabarkan. Bukan sekadar agar mudah dihafal, melainkan juga menunjukkan penguasaan yang sempurna. Demikian juga halnya dengan jawaban Jaghana. Jawaban itu mengundang pengertian, bahwa Nyai Demang yang menghendaki maksud jahat Pangeran Hiang berubah menjadi baik. Dan diberi tekanan oleh Jaghana bahwa rapal semacam itu bisa terjadi.
“Tidak segampang itu, Paman. Pangeran Hiang pewaris takhta atas Tartar, keraton yang mampu menguasai jagat paling luas. Pangeran Hiang tidak datang untuk menerima kekalahan. Kalaupun Pangeran Hiang bisa menerima kekalahan, tidak demikian dengan pengikutnya. Yang pasti akan menyusul entah kapan. Rasanya tak mungkin putra mahkota dibiarkan pergi dan hilang begitu saja. Entah kalau Paman pernah mempunyai jalan pikiran lain.”
“Nyai, saya belum pernah mencurigai orang lain….”
“Saya tahu, Paman. Saya juga tidak ingin mencurigai. Akan tetapi seperti Paman katakan, ada yang menyebabkan saya mendadak tak bisa bicara untuk beberapa saat. Dan yang seperti ini tak bisa kita biarkan saja. Di mana Anakmas Upasara?”
“Berjalan bersama Pangeran Hiang.”
“Apakah tidak mungkin Anakmas bakal dibokong?”
Jaghana tersenyum tipis, lembut, samar.
“Paman Jaghana, biarlah saya yang menanggung dosa karena mempunyai pikiran jahat. Akan tetapi itu bukan tidak mungkin terjadi. Kalau Pangeran Hiang tega menyembunyikan sesuatu, ia bisa tega melakukan apa saja. Dan untuk Pangeran Hiang, kepala Anakmas Upasara sangat tinggi nilainya.”
Jaghana menggeleng dengan keras. Tangannya bergerak seirama dengan gelengan kepala.
“Sangat mungkin, Paman. Anakmas Upasara terlalu sulit dikalahkan dalam perang tanding. Paling tidak memerlukan waktu yang cukup panjang. Akan tetapi dengan cara-cara seperti melumpuhkan saya, hal itu bisa terjadi dengan cepat. Dan Paman Jaghana jangan lupa, Anakmas Upasara dalam hal-hal seperti ini tak lebih dari bocah ingusan. Anakmas bukan hanya tak memiliki kecurigaan, akan tetapi tak pernah mengenalnya.”
“Nyai, Nyaiii… Pikiran kotor akan memberati hati.”
“Ini sikap hati-hati. Saya tak akan membiarkan Pangeran Hiang mencurangi Anakmas….”
Sikap Nyai Demang menunjukkan kekesalan yang dalam. Sorot matanya memandang rendah Jaghana.
“Kita tak mempunyai waktu banyak, Paman. Barangkali saat ini Anakmas sudah kena pengaruh tanpa terasa. Barangkali Pangeran Hiang dan pengikutnya sudah meringkus Anakmas. Atau malah sudah menyeret ke Tartar. Paman Jaghana. Anakmas Upasara bukan hanya ksatria lelananging jagat, bukan hanya pewaris murni Perguruan Awan, melainkan juga lambang tanah Jawa. Pangeran Hiang atau siapa pun dari tanah seberang ingin menaklukkannya. Sekali lagi saya katakan, Anakmas Upasara sama kosongnya dengan Paman Jaghana dalam hal semacam ini. Kalau tidak begitu, mana mungkin Halayudha bisa menyudutkan dan hampir menghancurkan beberapa kali. Ketidakmatian Upasara karena ulah Halayudha, hanya karena kemurahan Dewa Yang Maha murah.”
Kalimat Nyai Demang bergegas dan beringas. Beberapa bagian terulang diucapkan karena desakan menumpahkan dorongan hati untuk meyakinkan Jaghana.
“Paman. Anakmas tak bisa dikalahkan dalam pertarungan. Tapi sangat gampang ditaklukkan tanpa sadar. Bahkan tetap tak mengetahui bahwa dirinya dicurangi.”
Jaghana merangkapkan kedua tangannya di depan dada. “Apakah saya harus mengotori jiwa dan pikiran saya?”
“Kenapa Paman masih lebih mementingkan kesucian hati pada saat seperti ini? Paman. Karena saya belum bisa bergerak leluasa, saya minta Paman menggendong saya. Menuju ke tempat Anakmas Upasara.”
“Saya akan membawa Nyai, tapi tidak dengan bekal kecurigaan, tidak diniati dengan pikiran kotor.”
“Saya tak peduli. Maaf. Maaf. Saya akan pergi sekarang.”
Nyai Demang bergerak perlahan. Tertatih-tatih. Jaghana terbatuk keras, merangkapkan tangan di dada, bibirnya berkomat-kamit sebelum akhirnya menyambar Nyai Demang, menggandeng dengan merangkul pinggangnya.
“Tangan Nyai yang menjadi petunjuk. Tepukan kiri, kanan, atau diam saja berarti lurus.”
Dalam hatinya Nyai Demang kesal. Sangat kesal. Sangat kesal sekali karena yang mengetahui tempat Upasara adalah Jaghana, akan tetapi meminta dirinya yang memberi petunjuk. Dan hal semacam ini tak bisa diutarakan kepada Jaghana. Rasa kesal ini bisa berlipat kalau Nyai Demang mencoba memahami bahwa hal ini menjadi sikap hidup, sikap batin sehari-hari Jaghana ataupun Upasara. Berusaha tidak mencurigai.
Bagaimana mungkin nilai seperti ini masih bisa dipertahankan di tengah kemelut, di tengah intrik-intrik, di tengah dunia di mana ada manusia seperti Halayudha? Kalau sudah begitu, apa artinya keunggulan ilmu silat yang tiada tara? Apa arti sakti mandraguna kalau kakinya tak menginjak bumi, dan tak tahu siasat yang sangat sederhana?
Perasaan Nyai Demang makin tak menentu ketika Jaghana menggandeng dari ujung ke ujung dan tak menemukan bayangan Upasara. Tubuh keduanya bergerak makin cepat menyusup, makin tinggi menerabas. Tetapi, tetap saja. Tak ada bayangan Upasara maupun Pangeran Hiang.
“Apa saya bilang!” Suara Nyai Demang sangat keras. “Apa saya bilang.”
“Kita putari sekali lagi.”
“Paman, Paman… Masih juga Paman belum sadar gawatnya situasi sekarang ini? Anakmas Upasara tak ketahuan rimbanya. Anakku Jagattri malah lebih dungu lagi masuk Keraton untuk menantang Halayudha. Benar-benar habis-habisan. Yang tersisa hanya kita berdua. Paman Jaghana yang lebih bahagia berada di tengah tumbuhan, bersama alam. Dan saya yang tak bisa apa-apa. Paman, apakah memang ini zaman pamungkas?”
Pertanyaan Nyai Demang lebih terasa sebagai pernyataan keprihatinan dan keputusasaan.
Pertemuan Langit dengan Bumi
JAGHANA mengusap wajahnya. Kedua tangannya mengelap tiga kali berturut-turut. Ucapan Nyai Demang mempengaruhi dirinya secara perlahan. Apa yang dikatakan Nyai Demang memang sulit dibantah.
“Paman, kita kitari sekali lagi. Kalau memang tak bertemu, kita harus melakukan sesuatu.”
Sebagai jawaban, tangan kiri Jaghana meraup pinggang Nyai Demang seraya mengentakkan kedua kakinya. Tubuhnya melayang ringan sekali. Dengan menggandeng Nyai Demang, tak sedikit pun gerakan Jaghana terganggu. Tetap bisa melayang dengan cepat, melejit ke depan. Kakinya bergerak sesekali menotol tanah, menginjak rumput seolah sangat hati-hati. Bahkan ujung kakinya seakan bisa memilih di antara sela-sela rumput atau semak.
Gerakan Jaghana tetap lembut, meskipun loncatan makin lama makin cepat. Tubuhnya menerobos maju, dan setiap kali melayang di angkasa bisa menghindar dari ranting-ranting di atasnya.
Dalam keadaan biasa, Nyai Demang bisa memuji dengan kata-kata. Tubuh gendut yang terkesan lambat bisa bergerak cepat, mengingatkan Nyai Demang pada Wilanda, bekas murid Perguruan Awan yang bergerak bagai capung. Tapi sekali ini Nyai Demang sendiri tidak sabar. Beberapa kali mengerahkan tenaganya.
Wilayah Perguruan Awan bisa dikatakan sangat luas, tetapi juga bisa dikatakan sangat terbatas. Karena tidak ada batas-batas resmi. Hanya ujung yang melingkari tetumbuhan lebat berupa tanah lapang, yang sering dipakai sebagai batas pemisah.
Dua kali Jaghana mengitari dan menempuh balik dengan menyilang, tetap tak menemukan bayangan Upasara maupun Pangeran Hiang. Terdorong rasa tak sabar, Nyai Demang memaksa diri. Akibatnya justru memakan tenaga dalamnya. Sehingga menjelang putaran ketiga, tubuh Nyai Demang ambruk. Untung Jaghana segera tanggap kondisi Nyai Demang. Sehingga tak perlu membiarkan Nyai Demang jatuh.
Dengan perlahan Jaghana menangkap tubuh Nyai Demang, menggendong, sebelum meletakkan di tanah, dan segera memeriksa nadi. Untuk kemudian memberikan pertolongan cepat dengan memainkan kedua jempolnya untuk pengobatan Sirih Kalacakra. Adegan inilah yang disaksikan Pangeran Hiang, yang berada di pepohonan yang paling rimbun. Kalau saja Jaghana mengetahui di mana Pangeran Hiang berada!
Tetapi tidak. Dalam suasana mencari-cari, dalam suasana mulai ditumbuhi rasa curiga, pikiran Jaghana tidak sepenuhnya bersih. Sehingga tak mampu menangkap goyangan dahan yang berbeda karena diberati tubuh Pangeran Hiang. Kalau saja Nyai Demang mengetahui di mana Pangeran Hiang berada!
Tetapi tidak. Dalam kemelut hati dan rasa penasaran, kalaupun Nyai Demang melihat Pangeran Hiang sendirian di pohon, bisa langsung menggertak dan menanyakan di mana Upasara.
Sementara Pangeran Hiang sendiri merasa terpukul melihat perlakuan Jaghana pada Nyai Demang. Berbagai pengobatan dengan tusuk jari, pijatan, Pangeran Hiang sangat mengetahui dengan baik. Segala jenis totokan dikuasai. Akan tetapi tak pernah mendengar adanya pengobatan Sirih Kalacakra. Hal yang bisa dimengerti, karena betapapun mendalamnya Pangeran Hiang mempelajari semua unsur persilatan dan budaya, tak mungkin bisa memahami seluruhnya.
Pangeran Hiang merasa terpukul dan terhina. Ia sudah mendengar mengenai Nyai Demang sebelumnya. Di saat kecurigaan meninggi, segala gerakan yang sedikit berbeda bisa ditafsirkan penyimpangan. Mana lagi, bagi Pangeran Hiang urusan asmara yang dialami tak begitu menyenangkan. Pertemuan dan ikatan asmara habis-habisan dengan Putri Koreyea berakhir, atau bahkan berawal dengan kengerian. Akibat perbuatan tidak senonoh yang dilakukan Putri Koreyea.
Kejadian ini saja membuat luka dalam yang tak akan pernah tersembuhkan. Dan sekarang ini, matanya melihat sendiri bagaimana kedua jempol Jaghana leluasa mengurut bagian tubuh Nyai Demang. Jaghana yang sedang memusatkan perhatian kepada tubuh Nyai Demang berhenti mendadak. Wajahnya mendongak ke atas, dibarengi dengan tubuhnya. Meloncat tinggi sekali.
Dari keadaan bersila bisa langsung mencelat ke atas, memperlihatkan bahwa Jaghana masih menguasai pengerahan tenaga dalam dengan baik. Akan tetapi Pangeran Hiang ternyata sudah pergi. Hanya bekasnya, goyangan dahan yang lebih keras dari biasanya. Ketika Jaghana hinggap di dahan yang sama, ia menyadari bahwa seseorang baru saja berada di tempat itu. Bau tubuh manusia masih tertempel di antara daun dan dahan yang memancarkan bau alami tetumbuhan. Jaghana melayang turun.
“Ada apa, Paman?”
Jaghana tak bisa menyembunyikan apa yang diketahui. Dengan caranya sendiri, Jaghana mengatakan bahwa memang ada orang lain yang berkeliaran leluasa di Perguruan Awan.
“Bagaimana dengan Anakmas?”
“Saya belum mengetahui, Nyai.”
“Aneh, Paman. Sungguh aneh sekali. Tubuh saya ini bisa mendadak lemas tak bertenaga, bisa segera pulih. Kemampuan untuk berbicara bisa hilang, bisa datang lagi. Entah totokan jalan darah macam apa yang dilakukan Pangeran Hiang. Atau jenis aji sirep macam apa. Paman, saya tak ingin menyalahkan siapa-siapa, sekarang makin jelas bahwa petunjuk-petunjuk yang saya curigai mempunyai alasan mendasar. Di jagat ini tinggal kita berdua. Saya tak tahu harus berbuat apa, tetapi apa yang baik menurut Paman Jaghana, akan segera saya lakukan.”
Jaghana memalingkan wajah. Nyai Demang menarik ke atas kainnya, membetulkan letak kain, mengikatkan setagen dengan baik, sebelum akhirnya duduk bersila mengumpulkan kekuatannya.
“Sangat mungkin sekali Pangeran Hiang bersembunyi di salah satu tempat yang rimbun. Sama mungkinnya orang yang selama ini berhubungan dengannya juga bersembunyi. Akan tetapi rasanya tidak mungkin jika Upasara juga bersembunyi.”
“Paman, apakah di Perguruan Awan ini tidak ada gua-gua yang tidak Paman ketahui?”
“Rasanya saya mengenalnya seperti saya mengenal jari-jari di tangan sendiri.”
“Dan kita telah memasuki semuanya?”
“Ya.”
“Apakah tidak mungkin ada gua yang… yang… saya mau mengatakan, apakah tidak mungkin Anakmas Upasara terjeblos ke dalam…”
“Tidak. Anakmas mengenal hutan ini dengan baik. Seperti saya, seperti juga Nyai Demang yang pernah berdiam di sini untuk beberapa saat. Rasanya tak mungkin.”
“Bagaimana dengan Gua Lawang Sewu?”
Jaghana menggeleng. Gua Lawang Sewu, atau Gua Pintu Seribu, berada di sebelah barat Perguruan Awan. Tempat itu merupakan peninggalan yang konon dibuat oleh Mpu Raganata. Sengaja dibuat gua dengan seribu pintu, untuk menenggelamkan musuh yang akan menyerbu Keraton, tetapi juga bisa menjadi tempat persembunyian yang paling aman. Akan tetapi gua itu sudah lama terkubur. Sejak peperangan besar, sewaktu prajurit dari Gelang-Gelang yang dipimpin Ugrawe menyapu habis semua ksatria.
Peristiwa yang mengerikan. Di mana seluruh ksatria yang terpancing datang untuk menemui Tamu dari Seberang disikat habis oleh Ugrawe tanpa belas kasihan. Gua Lawang Sewu masih ada, akan tetapi boleh dikatakan semua pintu gua sudah tertutup dengan tanah. Karena saat itu Ugrawe mengubur para ksatria yang berada di dalamnya.
“Jangan-jangan Anakmas Upasara terjebak di situ.”
“Nyai, marilah kita lepaskan kekuatiran kita pada Upasara. Biar bagaimanapun Anakmas Upasara tak akan seringkih yang Nyai bayangkan.”
“Paman, keadaan kita sendiri bisa berarti bisa tidak. Akan tetapi jika anakku Jagattri tak ketahuan nasibnya, sementara Anakmas Upasara juga hilang, apa lagi yang tersisa bagi kita? Saya tidak berusaha merendahkan Paman atau diri saya sendiri. Tapi Upasara dan Jagattri adalah langit dengan bumi, yang memayungi dan tempat berdiri yang diandalkan selama ini. Kalau kita hanya melihat pertemuan itu di suatu ujung yang tak ada, di cakrawala, apakah kita masih bisa merencanakan sesuatu?”
“Kalau demikian halnya, apa yang ingin Nyai lakukan?”
Biasanya Nyai Demang bisa berpikir cepat. Namun kali ini justru sebaliknya menjadi buntu. Tak segera mengambil kesimpulan apa yang harus dilakukan. Karena hilangnya Upasara secara mendadak membuat pikirannya kacau.
“Apakah tidak mungkin Anakmas Upasara masuk ke Gua Lawang Sewu?”
Langit Pun Merendah
MESKIPUN kedengarannya seperti angin-anginan, pendapat Nyai Demang belum tentu keliru. Ini menurut Jaghana, yang sekarang hanya bisa mengikuti pendapat Nyai Demang.
“Baik kalau Nyai mau mencoba ke sana.”
Jaghana membimbing Nyai Demang berdiri. Dengan semangat yang masih tersisa, Nyai Demang menempelkan tubuhnya kepada Jaghana, dan keduanya melayang ke arah Gua Lawang Sewu, atau Gua Pintu Seribu. Nyai Demang hampir bersorak ketika pandangannya menemukan bahwa di salah satu mulut gua ada bekas-bekas kaki. Disebutkan salah satu mulut gua, karena memang jumlahnya diperkirakan seribu. Jaghana mengikuti petunjuk yang ada.
“Paman…”
Jaghana menoleh ke arah tudingan Nyai Demang. Ke arah pohon yang batangnya seperti dicocoki dengan lidi atau benda runcing. Jaghana mendekat.
“Di sini juga ada, Paman.” Nyai Demang menunjuk ke bagian yang lain. “Ini juga ada.”
“Rasanya ini tulisan Anakmas Upasara.”
Jaghana mengangguk perlahan. “Saya belum pernah melihat Anakmas Upasara menggoreskan sesuatu, akan tetapi jika bukan Anakmas, siapa yang bisa menoreh begitu halus, begitu sempurna, berupa titik-titik tanpa melukai kulit pohon? Nyai…”
Nyai Demang terdiam. Kali ini otaknya bekerja keras. Perlahan bibirnya berkomat-kamit mengeja tulisan di kulit pohon, di dahan, di daun-daun, di tanah yang keras. Nyai Demang berusaha menyusun rangkaian tulisan itu, untuk menentukan harus memulai dari mana membacanya:
Daya asmara itu sebenarnya sukma apa
yang membuat langit pun rendah
yang membuat bumi meninggi
daya asmara bukan sukma sejati
sebab sukma sejati adalah sendiri
daya asmara itu sebenarnya sukma apa
yang membuat pohon tumbuh
matahari bersinar
air mengalir
bumi terpisah
air yang memisahkan bumi dari bumi
bumi yang menelan air
daya asmara itu tembang, kidungan
bukan kidung kemenangan
bukan kidung kekalahan
bukan kidung bukan tembang
sebab hanya satu
bumi dan air
itulah tanah air
tembang yang sesungguhnya ialah sukma
yang mengalir sukma itu tanah air
tak bisa dipisah tanah dan air
tak bisa diubah air dengan tanah
tanah air
itulah tembang
tembang tanah air
daya asmara yang sesungguhnya
tembang tanah air
asmara tanah air
adalah akhir
adalah lahir…
Jaghana mengikuti kalimat demi kalimat seperti juga Nyai Demang. Keduanya mengertakkan gigi ketika menemukan tulisan yang sebagian sudah terhapus di tanah.
Tinggal dan tanggalkan daya asmara
yang tak pernah ada
seperti langit
hanya ada satu tembang
tembang tanah air
…
…
…
“Nyai…” Kali ini Jaghana yang justru mulai berbicara. “Tak bisa diragukan lagi, ini goresan Anakmas Upasara Wulung.”
“Kalau benar begitu, Anakmas belum cukup lama berada di sini.”
“Kita masih ada waktu untuk membaca.”
Jaghana segera melesat. Mengitari wilayah yang disebut Lawang Sewu, dari bagian ujung ke ujungnya lagi. Melihat kemungkinan bekas-bekas yang ditinggalkan pada setiap kemungkinan lubang yang ada. Tidak mudah dan tak bisa dilakukan dengan cepat.
Karena yang disebut gua, bukan berupa gua dalam pengertian umum, melainkan kadang hanya berupa tanah menganga, seperti lubang sumur. Itu pun hampir seluruhnya sudah tertutup semak, pepohonan, atau sebagian sudah diuruk, ditimbun paksa oleh pasukan Ugrawe. Berputar sampai sepenanak nasi, Jaghana kembali ke tempat semula. Nyai Demang duduk bersandar pada sebatang pohon.
“Paman Jaghana. Saya kira keadaan ini benar-benar gawat. Lebih dari yang kita perkirakan. Lebih gawat dari pertarungan yang pernah kita alami berdua. Ini kalau jalan pikiran saya benar, atau sekurangnya separuh benar. Ada tiga hal yang tidak kita pahami, dan kita menjadi anak kecil yang tak punya bekal untuk menduga. Pertama, keadaan Anakmas Upasara. Dengan perkembangan kekuatan Ngrogoh Sukma Sejati, kita tak tahu di mana muara ajaran ganjil itu. Barangkali Anakmas menemukan inti ajaran penyatuan Kitab Bumi dengan Kitab Air, tetapi bagaimana kelanjutannya kita tak tahu. Anakmas Upasara sering menghilang dan muncul lagi saat diperlukan, akan tetapi sekali ini bisa lain. Kedua, keadaan Pangeran Hiang. Dengan sengaja menyembunyikan diri dan menghilang, tanda tanya kita makin besar. Taruh kata semua tadi hanya kecurigaan belaka atau salah paham, rasanya Pangeran Hiang tak perlu menghilang. Sikap yang tak akan dilakukannya. Berarti memang ada yang direncanakan. Dan kita tak tahu apakah orang yang dihubungi itu satu atau sepuluh atau seratus. Kita juga tak tahu apa yang akan dilakukan nanti. Apakah ini merupakan bagian dari balas dendam terakhir. Ketiga, keadaan anakku Jagattri. Dengan menemui Halayudha, Jagattri sekarang ini tidak ketahuan mati-hidupnya. Yang jelas pastilah bukan keadaan yang menggembirakan. Paman. Ketiga soal ini bisa berkaitan, bisa berdiri sendiri-sendiri. Menurut pendapat Paman, apa yang harus kita lakukan pertama?”
Tak ada jawaban. Mendadak Nyai Demang menjadi sangat cemas. Tidak. Jaghana masih berada di tempatnya. Hanya kini tampak berdiam diri, bersemadi dengan mata tertutup. Bedanya dengan bersemadi biasa, kedua tangan Jaghana terbuka, terentang, dan bergerak-gerak.
“Paman!” Nyai Demang berteriak keras.
Dan terkejut sendiri karena Jaghana juga berteriak keras. Yang disusul dengan tawa berkepanjangan. Tawa yang tidak wajar. Tawa yang mengisyaratkan keganjilan.
Karena selama ini Nyai Demang tak pernah mendengar, tak pernah melihat Jaghana bersikap terlalu. Tersenyum tipis. Apa yang tersimpan dalam hati dan perasaan Jaghana bisa terbungkus rapi. Ketenangan adalah segalanya. Tapi kali ini justru tertawa keras. Terbahak-bahak. Dengan mata tertutup, dengan kedua tangan terentang, dengan perut gendut bergerak-gerak naik-turun.
Mengulang Nasi Usang
NYAI DEMANG boleh berpikir panjang dan memperkirakan apa yang terjadi baik pada diri Upasara maupun Pangeran Hiang. Demikian juga Jaghana. Akan tetapi apa yang sesungguhnya terjadi masih merupakan tanda tanya. Bagi Jaghana, perkiraan Nyai Demang ada benarnya, ada tidaknya. Hanya saat itu, Jaghana tak mengatakan bagian mana perkiraan yang tepat dan bagian mana yang meleset.
Upasara sebenarnya tidak berniat meninggalkan kegelisahan. Ketika ia berjalan bersama Pangeran Hiang, keduanya berdiam agak lama. Hanya langkah kaki keduanya terasa dibebani perasaan yang membuat dada sesak.
“Pangeran Upasara, saya bisa menerka perasaan Pangeran.”
“Saya kira Pangeran Hiang mengetahui keingintahuan saya. Tetapi saya sadar Pangeran Hiang masih ingin menyimpan sendiri, dan belum mau mengatakan.”
“Benar, Pangeran Upasara. Tetapi kehormatan saya memberi jaminan penuh, bahwa saya tidak bermaksud jahat. Tidak juga menyimpan niatan buruk.”
Upasara mengangguk perlahan. “Tadinya saya mengira arwah Gemuka yang masih penasaran menggerayang sampai Perguruan Awan.”
Wajah Pangeran Hiang berubah. Sikapnya menjadi dingin. “Pangeran Upasara, jangan paksa saya sampai tak bisa mundur lagi.”
“Pangeran Hiang, kita berdua manusia biasa. Mempunyai keluhuran, mendasari dengan sikap ksatria. Kita sama-sama lelaki yang menjunjung tinggi kehormatan dan kegagahan. Akan tetapi kita ditakdirkan lahir dari tradisi yang berbeda. Dari beban yang berbeda. Dari tanah sawah yang tak sama. Saya mencoba mengatakan terus terang. Pangeran Hiang adalah putra mahkota Keraton Tartar yang tak terbayangkan betapa megah dan besarnya. Banyak kewajiban yang diwariskan dari leluhur. Begitu pula saya. Saya dilahirkan sebagai ksatria, dengan kewajiban dan kepatuhan pada nilai tradisi. Adakalanya nilai-nilai tadi bisa sama. Adakalanya tidak. Kita sama-sama menyadari itu, Pangeran.”
“Ya.”
“Pangeran Hiang tetap tidak mau mengatakan sekarang?”
“Tidak. Maaf, Pangeran.”
Upasara berhenti di depan Gua Lawang Sewu. “Pangeran Hiang, di depan itu ada gua yang dinamai Pintu Seribu. Pada saat saya pertama kali keluar dari Ksatrian Pingitan, saya berada di tempat ini. Bersama seluruh ksatria setanah Jawa, yang dibuai selentingan adanya Tamu dari Seberang. Ternyata itu tipu muslihat tokoh silat sakti yang bernama Ugrawe. Kami semua para ksatria tanpa kecuali disikat habis. Saya meloloskan diri lewat salah satu pintu gua yang ada, bersama Bibi Jagaddhita dan Adik Gendhuk Tri. Namun akhirnya Bibi wafat dan terkubur di dalamnya.”
JILID 71 | BUKU PERTAMA | JILID 73 |
---|