Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 75
“Bagi Paman Upasara, pengabdian tetap pengabdian. Kalau ia menerobos masuk ke Keraton dan mengambil paksa Bibi Jagattri, itu tidak mengurangi rasa hormat, rasa pengabdian kepada Keraton. Ada dua hal yang bertentangan, seperti tanah dengan air. Tetapi satu bagi Paman Upasara. Yaitu tanah air. Ada dua tenaga kiri dan kanan yang memainkan tenaga bumi dan tenaga air, yang bisa dibolak-balik, bisa diatur. Tapi sebenarnya itu bukan dua tenaga yang berbeda. Bukan tangan kiri memainkan tenaga air dan tangan kanan memainkan tenaga bumi. Melainkan penguasaan tenaga tanah air. Paduka tak bisa, ketika mencoba dengan tenaga saya. Atau ketika mencoba mengobati Bibi Jagattri.”
“Kamu mau bilang aku kalah dari Upasara?”
“Paduka yang mengatakan. Bukan saya.”
“Menurut penilaian kamu yang bodoh?”
“Penilaian bodoh dan tidak, tergantung menjawab atau tidak.”
“Jangan ajak aku berbantah soal itu.”
“Paduka yang mengajak.”
“Baik, baik. Upasara lebih unggul?”
“Masih harus dibuktikan. Kalau Paduka bertanya tentang tenaga tanah air, itu jawabannya.”
“Kelihatannya aku yang bertanya, tetapi aku lebih tahu dari kamu. Dan celakanya, setiap kali pula kamu tambah pandai setingkat karena pembicaraan ini. Karena setiap kali aku menjajalnya, dan ilmu yang begini susah kuperoleh, kamu tinggal mengambilnya. Coba kita jajal lagi.”
Halayudha menarik paksa Mada. Keduanya memusatkan kekuatan pikir, batin, rasa, nalar, untuk disatukan. Itulah saat Halayudha melihat bayangan seorang senopati menyerbu masuk ke dalam Keraton, dan membuat Raja menggigil.
“Kamu lihat itu, Mada?”
“Ya, Paduka.”
“Kamu kenali siapa yang menyerbu masuk?”
“Tidak.”
“Aku juga tidak, tapi aku akan segera mengenali,” kata Halayudha sambil menghela napas berat, dan melepaskan pemusatan pikirannya. “Kita tinggal menunggu saja. Apakah yang tergambar dalam pengembaraan sukma sejati tadi akan terjadi atau hanya kesesatan pikiran kita. Kalau benar terjadi, kita bisa mencegat perjalanan ilmu Upasara.”
Yang tidak diperhitungkan sama sekali oleh Halayudha ialah bahwa Mada tidak menunggu. Sebaliknya dari itu, Mada mempersiapkan prajurit yang paling dipercaya. Tiga belas prajurit kawal raja yang dipilih disiagakan. Bahkan secara teliti diperhitungkan jalan untuk melintas jika Keraton diserang dari arah depan, ataupun dari kaputren.
Ketika Mahapatih Jabung Krewes mulai memerintahkan pengamanan Tujuh Senopati Utama, Mada memberanikan diri menghadap Raja. Menyembah telapak kaki Raja sambil mengutarakan bahwa kemungkinan terbaik bila terjadi sesuatu adalah bergeser dari Keraton.
“Sekecil itu pangkatmu, senekat itu usulanmu?”
"Duh, Raja sesembahan. Saat ini hamba tak bisa melihat bahwa Mahapatih akan bisa menyelesaikan penumpasan dengan baik. Sekali saja kedudukan berbalik, seluruh prajurit akan ikut berbalik. Atau paling tidak tak bisa digerakkan. Hanya satu perkecualian, kalau Raja berkenan turun tangan sendiri.”
“Apakah Halayudha tak bisa diandalkan? Dan kamu lebih sakti darinya?”
“Nalar Mahapatih Halayudha sudah keblinger, sudah terbalik tak menentu. Tak bisa dipastikan berpihak ke mana. Hamba jauh lebih bodoh, lebih tak bisa apa-apa, akan tetapi hamba bisa menyelamatkan diri.”
“Kamu terlalu bermimpi untuk bisa mengambil hatiku.”
Mada tak bisa berbuat lain. Selain berjaga dan mencoba menyerap apa yang terjadi. Maka begitu terjadi keributan di gerbang Keraton, dan kemudian merembet ke dalam, Mada meloncat masuk ke peristirahatan Raja. Yang ternyata sudah terjaga, dengan mata membelalak, geraham bergeretakan. Suara senjata, teriakan, langkah kaki yang demikian banyak yang mendadak, membuat Raja menyerahkan tindakan yang akan diambil sepenuhnya pada Mada.
Yang segera memerintahkan prajurit kepercayaannya berangkat bersama melalui jalan yang telah ditentukan. Mereka muncul di sebelah timur tanpa menimbulkan banyak kecurigaan. Apalagi di gerbang utama para prajurit masih serba siaga. Mada memerintahkan berjalan secepatnya. Di tengah perjalanan Mada memecah rombongan menjadi tiga bagian.
“Satu rombongan ke arah timur. Jangan menoleh, jangan berhenti satu langkah pun. Satu rombongan ke arah selatan. Jangan menoleh, jangan berhenti satu langkah pun. Ingat, kalian hanya boleh berbicara mengenai hal ini kepada aku seorang. Buktikan kalian prajurit sejati. Berangkatlah, aku akan segera menghubungi kalian. Jangan bertanya. Bergegaslah.”
Mada memerintahkan kedua rombongan berangkat. Dengan salah seorang prajurit yang tampak paling tampan berada di tengah. Seolah dialah yang paling dilindungi dalam setiap gerakan. Ia sendiri masih termenung beberapa saat.
“Mada?”
“Ya?” Suara Mada yang tinggi nadanya membuat Raja terbelalak.
“Tak ada yang kurang ajar di sini, sekarang ini. Mereka akan sampai ke Daha dan Singasari. Kalau Senopati Utama mengejar akan menemukan rombongan yang keliru. Kita menuju ke timur-selatan. Kita memakai siasat Mandragini, yang sudah berhasil.”
Mandragini adalah nama tempat peraduan Raja. Siasat ini sudah membuahkan hasil tanpa direncana. Kamar peraduan, yang selama ini dipakai seenaknya oleh Halayudha, nyatanya memancing barisan kraman. Kalau Raja benar berada di situ, sulit dibayangkan bisa menyelamatkan diri. Siasat itu kini digunakan lagi oleh Mada.
Dengan memecah menjadi tiga rombongan, dengan tujuan yang bisa diperhitungkan lawan, sekurangnya lawan akan terkecoh. Merasa menemukan yang dicari, padahal itu hanya umpan. Apa artinya menangkap lima prajurit? Apa artinya menangkap seorang yang dilindungi, yang bisa disangka Raja, tetapi sebenarnya prajurit biasa?
Mada menyiapkan diri untuk kemudian berangkat. Ia berada di tengah, bertindak seolah kurang terbiasa menempuh perjalanan, karena langkahnya susah seirama. Dengan perhitungan, kalaupun yang diserang yang di tengah, dirinya bisa menangkis dan melindungi Raja.
“Selama perjalanan tidak ada yang bergerak, menyapa, atau menjawab sapaan. Tak ada yang menoleh, mendongak, atau menggeleng. Keselamatan Raja di tangan kita semua.”
Rombongan Mada bergerak cepat. Sesampai di luar benteng Keraton, kelimanya bisa bergerak lebih cepat lagi. Adakalanya Mada meninggalkan barisan, bergerak lebih dulu ke depan. Seluruh kemampuannya dikerahkan, kalau-kalau menangkap sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi justru karena itulah bahaya yang sesungguhnya mengincar. Tanpa terasa Mada berada dalam jebakan yang bisa memusnahkan.
Cegatan Takhta
MADA, seperti yang diperhitungkan Halayudha, penuh dengan semangat sesaat. Apa yang dilakukan bisa diubah di tengah jalan jika kehendaknya demikian. Dorongan ini disadari, dan oleh Mada dipakai sebagai kekuatan. Seperti sekarang ini. Dalam menentukan perjalanan, Mada berusaha menyingkir jauh, akan tetapi kemudian juga mengubah kembali. Karena biar bagaimanapun, Raja tak boleh terlalu jauh dari takhta, dari Keraton. Kalau ada sesuatu yang menentukan, harus bisa segera kembali ke Keraton.
Demikianlah, perjalanan yang jauh menyusup, berganti lagi arahnya. Berputar kembali ke arah Keraton. Meskipun Raja sejak muda mempelajari ilmu silat dan mempunyai tenaga dalam yang kuat, tak urung mulai terkuras tenaganya. Apalagi Mada melarang berhenti, walau hanya untuk sekadar mengambil napas. Akan tetapi juga tak boleh terlihat basah oleh keringat.
“Apa maumu, Mada?”
“Kalau berhenti bisa mengundang kecurigaan. Di tengah malam, kenapa berhenti di tengah jalan. Kalau berkeringat, mengundang kecurigaan kita telah berjalan jauh. Malam ini juga, pasukan khusus sudah disebarkan ke segala penjuru. Semua semak dan batu dijungkirbalikkan. Pengalaman prajurit lama ketika mencari Baginda akan dilipat gandakan. Kesempatan kita semakin sempit. Padahal satu kali saja kita alpa, segala usaha kita sia-sia.”
Menjelang fajar, Raja tak bisa menahan diri lagi. Berhenti di bawah sebatang pohon, dan langsung berbaring. Dengus napasnya sangat teratur. Tiga prajurit yang lain memandang penuh iba dan sangat hormat.
“Apakah tidak lebih baik kita ke rumah penduduk, dan mencari tempat yang lebih enak?”
“Kalau aku tidak memerintahkan apa-apa, kalian bertiga lebih baik tutup mulut. Saat seperti sekarang ini tak perlu pertimbangan banyak kepala. Yang diperlukan satu kepala yang memikul tanggung jawab untuk digantung. Dan itu adalah aku seorang. Dengan menginap di rumah penduduk, lebih banyak lagi yang harus menjaga rahasia. Kemungkinan bocor lebih besar. Siapa yang tahan menutup mulut jika mengetahui rumahnya diinapi Raja? Kalian yang biasa sowan saja masih begitu kaku, kikuk, dan salah tindak.”
“Kalau memang itu kehendak Lurah…”
“Jangan menaikkan pangkat kalau tidak mempunyai hak. Sejak pertama aku masih bekel, dan barangkali tak akan pernah naik pangkat, karena tak mempunyai atasan. Segeralah bersiap. Begitu Raja menggeliat dan terbangun, kita segera berangkat.”
Mereka berempat menjaga dengan ragu. Tak bisa sangat dekat, untuk tidak menimbulkan kecurigaan bahwa yang dijaga adalah orang yang terhormat, dan tak bisa terlalu jauh, karena takut bahaya yang sewaktu-waktu bisa muncul.
Pada saat seperti itu, ketiga prajurit kawal Raja mengakui bahwa Mada memiliki keunggulan jiwa. Sikapnya kukuh, keras, tak mengenal pertimbangan lain, akan tetapi tetap tegar. Tak tampak sedikit pun kebimbangan atau kelelahan. Raut wajahnya sama tak berubah.
Juga ketika mencoba melanjutkan perjalanan, melintas barisan prajurit berkuda. Nyali ketiga prajurit yang lain seakan lenyap, ketika rombongan prajurit berkuda itu berpapasan dengan rombongan yang lain, dan mereka berhenti tepat di tengah jalan.
Mada masih berjalan dengan langkah biasa. Hanya sedikit menepi. Meskipun darahnya berdesir lebih cepat ketika mengenali bahwa pemimpin rombongan adalah Jurang Grawah. Yang kini mengenakan kain parang dengan sabuk besar, serta keris bertatahkan permata.
“Semua sudah terkuasai sepenuhnya. Dengan memakai umpan Putri Tunggadewi dan Putri Rajadewi, kedua pangeran anom menyatakan pengakuan akan takhta. Bahkan terkesan sekali kedua pangeran anom itu memperlihatkan rasa gembira. Karena keinginan mereka berdua mempersunting kedua putri tak menjadi halangan. Aku baru saja menerima laporan bahwa mereka berhasil menangkap prajurit bhayangkara, prajurit kawal raja.”
Sampai di sini Mada bersiaga. Kalaupun terjadi pertarungan, dirinya lebih dulu bersiap.
“Hanya belum jelas apakah mereka bersama Raja atau tidak. Menurut pengakuan sementara, mereka ditugaskan memata-matai Upasara Wulung dan Perguruan Awan yang kini menjadi buruan Keraton. Ah, kalau kita bisa menangkap Raja, rasanya dalem kepatihan tak terlalu besar untuk kita diami. Dan itu hanya soal waktu belaka.”
Mada berjalan di atas belukar. Bersama tiga prajurit yang menyamar. Raja berada di sebelah kirinya, dengan pandangan menunduk. Debur darah Mada makin mengeras. Ia tak yakin apakah telinganya mendengar desiran angin, ataukah ada orang yang melintas. Dengan sendirinya, tubuhnya jadi menutupi Raja.
Justru saat itu pundaknya merasa ditabrak sesuatu dengan keras. Disenggol dengan tenaga keras, sehingga tubuhnya terhuyung ke depan. Sadar akan kemungkinan yang tidak menguntungkan, Mada sengaja menjatuhkan diri. Tidak memberikan tenaga melawan sama sekali. Sehingga seperti tersandung akar.
Akan tetapi pada saat bergulingan, kedua tangan dan kaki serta pusat perhatiannya siap meloncat, melancarkan serangan maut. Pandangannya membelalak. Karena tenaga yang menyenggolnya itu menabrak deretan prajurit di depannya. Tiga ekor kuda meringkik, lepas kendali, dan ketiga penunggangnya jatuh tersungkur.
Jurang Grawah menghunus kerisnya. “Siaga satu!” Teriakan yang mengguntur, membuat prajurit yang lain berjajaran di belakang dan dalam keadaan siaga penuh. Tidak percuma selama ini Senopati Kuti melatih keras.
Mada merangkak ke arah yang lebih jauh, bersama Raja dan tiga prajurit yang lain. Pandangan Mada lebih membelalak. Karena mengenali jelas bayangan yang menabrak. Bukan tidak mungkin Jurang Grawah juga segera mengenali.
“Pangeran Hiang…”
Yang berdiri gagah memang Pangeran Hiang. Pakaian kebesaran yang dikenakan, sikapnya yang menguasai sekitar, sangat terasakan wibawanya. Bagi sebagian prajurit, Pangeran Hiang sangat dikenal. Terutama dalam pertarungan terakhir di mana Pangeran Hiang juga muncul di gelanggang. Meskipun saat itu Pangeran Hiang memilih tidak terjun langsung dalam pertarungan, tetapi semua mata bisa melihat sosoknya.
“Katakan di mana Raja Tanah Jawa!” Suaranya melengking, seperti diucapkan lidah yang kelewat tipis.
“Kalau Pangeran mendengarkan, kami sedang membicarakan.”
“Katakan di mana…”
Kedua tangan Pangeran Hiang terangkat. Jurang Grawah meloncat turun bersama para prajurit yang lain. Sebelum kaki-kaki menginjak tanah dengan baik, seakan kena sapu gelombang keras. Tubuh Jurang Grawah terjungkal.
Sambil menjatuhkan diri, Jurang Grawah menggenggam erat kerisnya. Begitu sampai satu setengah gelundungan, tubuhnya melesat ke atas. Bersama lima atau enam prajurit yang lain. Pangeran Hiang mengeluarkan suara perlahan, sambil menabrak maju.
Benar-benar menabrak maju begitu saja. Tanpa peduli tudingan senjata yang ditujukan ke arahnya. Dan bisa bergerak leluasa. Malah barisan prajurit yang berteriak-teriak kesakitan. Sebagian besar senjata terlepas dari tangan, sebagian memegangi tangan yang melepuh.
Seumur hidup Mada belum pernah menyaksikan ilmu yang begitu tinggi. Sungguh tak terbayangkan. Bahwa dengan melabrak begitu saja, barisan prajurit bersenjata yang diandalkan bisa tumbang berjatuhan. Tanpa ketahuan menggerakkan tangan atau tendangan.
Tidak hanya berhenti di situ saja. Pangeran Hiang membalik, melangkah ke arah Jurang Grawah. Tangannya memencet pundak para prajurit yang kemudian melolong kesakitan. Melepaskan satu per satu. Seakan memeriksa tulang pundak.
Kali ini Mada benar-benar terkesiap. Sukmanya seperti lepas dari tubuhnya yang menggigil. Meskipun hanya dugaan, Mada tak bisa menahan rasa kecut yang menyergap kuat sehingga tak mampu berbuat sesuatu. Dugaan Mada adalah Pangeran Hiang mencoba mencari Raja. Dengan jalan memencet tulang pundak. Barangkali dengan ilmu yang dimiliki, cara itu bisa untuk membedakan tulang pundak prajurit biasa dengan raja yang sedang menyamar.
Pencarian Raja ini dikaitkan dengan pertanyaan yang diucapkan sebelumnya. Ini berarti Pangeran Hiang benar-benar mencari Raja. Pangeran Hiang bergerak ke arah Jurang Grawah, yang mencoba menghindar sambil nekat menghunjamkan keris ke arah lambung.
Pangeran Hiang hanya mengegos pelan, dan tangannya sudah langsung memencet pundak Jurang Grawah. Yang berteriak mengaduh, bagai lolongan anjing terkena gebukan keras. Tapi agaknya Pangeran Hiang tidak berusaha menyiksa lebih jauh. Karena kini pandangannya tertuju ke arah Mada.
Ngwang
NAPAS Mada serasa putus.
“Rasanya di sini ada Raja Tanah Jawa.” Nada bicaranya melengking, seperti dipaksakan.
Berkelebat beberapa bayangan pemikiran dalam diri Mada. Entah dengan cara bagaimana Pangeran Hiang yang ini bisa mengenali bahwa Raja ada di sekitar tempat ini. Dan dugaan itu ditunjukkan dengan cara menabrak begitu saja barisan prajurit. Dugaan yang tepat karena kemungkinan terbesar Raja ada dalam barisan tersebut. Untuk meyakinkan diri, tulang pundak diperiksa. Barangkali ada ilmu tertentu yang dipergunakan sehingga bisa membedakan apakah pemilik tulang pundak rakyat biasa ataukah raja.
Ini berarti Pangeran Hiang yang dihadapi sekarang adalah Pangeran Hiang yang tetap putra mahkota Tartar. Yang berusaha mencegat Raja. Yang tak bergeser dari keinginan semula, membawa Raja ke negeri Tartar sebagai tanda menyerah. Dengan mencegat di tengah perjalanan, risiko untuk melawan keroyokan mati-matian bisa dihindari. Sesuatu yang pasti terjadi dengan kengerian apa pun.
Mada terlibat langsung ketika pertarungan habis-habisan di atas perahu Siung Naga Bermahkota. Ketika itu, seluruh ksatria, prajurit, tanpa memperhitungkan nyawa sendiri, tanpa memperhitungkan dendam kepada Keraton, siap membela kehormatan Keraton dengan rajanya. Hal yang akan selalu terjadi kapan pun. Kalau kejadiannya di tengah hutan di jalan setapak, tak akan banyak yang memedulikan.
Seperti juga langkah yang pernah dilakukan dulu. Yaitu menculik Baginda ketika bertapa di Simping! Masalahnya bukan soal licik atau culas, akan tetapi bagaimana mendapatkan hasil yang terbesar tanpa pertumpahan darah yang melelahkan. Di samping agaknya sejak pertama Pangeran Hiang sudah memperhitungkan bahwa dengan cara kekerasan tak akan bisa menang.
Pangeran Hiang menyapukan pandangan ke sekeliling. Sapuan mata yang tajam menguliti, yang bila disusul dengan satu gerakan ringan, akan membuka selubung penyamaran. Dan itu berarti Raja berada dalam bahaya. Berada dalam ambang kehinaan, karena tak akan tertahan lagi. Dengan menyerahkan seratus nyawa sekalipun, Mada tak akan bisa menarik kembali. Dalam keadaan yang kritis, Mada mengambil keputusan. Perlahan ia berdiri, dengan pandangan tegak, mata menatap lurus tak beralih, pundak rata memancarkan wibawa.
“Kalau benar kamu Pangeran Hiang, kamu akan mengenali siapa Ingsun. Tak perlu dengan menetak tulang pundak. Bau tubuh Ingsun bisa dibedakan dari yang lainnya.”
Suara Mada menggeletar, memancarkan pengaruh, seakan semua yang ada di hadapannya sangat kecil dibandingkan dengan dirinya. Kepura-puraan yang sempurna. Kalimatnya diucapkan dengan lancar, tak terpengaruh oleh apa yang terjadi. Sekaligus mengurai beberapa hal yang berusaha ditutupi. Dengan kalimat pembuka, Mada menelanjangi bahwa lawan yang dihadapi bukan Pangeran Hiang.
Kesimpulan ini diperoleh dari sikap yang sungguh jauh berbeda, dan terutama sekali logat bicara yang seakan memaksa diri. Biarpun kagok, penguasaan bahasa Pangeran Hiang sangat lancar. Dengan demikian, Mada bisa menebak pasti yang dihadapi bukan Pangeran Hiang yang selama ini dikenal.
Berpura-pura menjadi Raja, bukan sesuatu yang teramat sulit. Mada boleh dikatakan sangat dekat dengan Raja. Sebagai prajurit biasa, hal yang pertama dirasakan perbedaannya yang tajam dengan Raja ialah bau tubuh yang jauh lebih wangi. Karena sejak mandi, membasuh tangan atau kaki, membasahi rambut, atau suasana kamar dan pakaian penuh dengan wewangian. Ketenangannya yang menguasai situasi, yang mengatasi keadaan, menambah bobot penampilannya.
“Mari kita cari tempat yang leluasa untuk berbicara, Ngwang.”
“Raja Tanah Jawa mengenaliku?”
Mada melangkah menjauh. Dengan langkah lebar, dada membusung, dagu rata. Tidak berusaha menoleh, melirik, atau memberikan perhatian ketika Ngwang menunjukkan keheranan. Barangkali kebetulan, barangkali karena cara pengucapan Mada yang memang kurang sempurna di telinga lawan bicaranya. Ngwang, yang dipakai sebutan oleh Mada, sebenarnya menunjukkan orang yang belum dikenal. Yang barangkali saja menunjukkan kedekatan dengan nama Huang, atau Kuang, atau yang sesuara dengan itu.
Ngwang bergerak perlahan. Kakinya seakan tidak menyentuh tanah. Hanya bayangan tubuhnya tahu-tahu berada di depan Mada. Sedikit pun Mada tidak terpengaruh. Ayunan kakinya yang tinggi tak terganggu iramanya. Tetap tenang Mada menjauh ke depan. Dengan jalan demikian, Mada ingin menyeret Ngwang lebih jauh dari kerumunan. Dengan harapan pada saat itu, Raja dan prajuritnya mempergunakan kesempatan untuk meloloskan diri. Sampai di tempat yang agak lapang, Mada berbalik. Ngwang telah melayang di sebelahnya.
“Apa yang kamu harapkan dari Ingsun? Membawa ke negeri Tartar sebagai tanda kekalahan?”
“Raja Tanah Jawa telah mengetahui.”
“Ingsun tidak akan pernah menolak kata-kata yang telah Ingsun sabdakan. Dengan satu janji seorang ksatria, kalian tidak akan melakukan huru-hara di belakang hari. Kemenanganmu adalah kemenangan atas Raja, bukan atas Keraton atau penghuni tanah Jawa yang tak akan pernah bisa kamu kalahkan sepenuhnya.”
“Sikap Raja sangat mengagumkan.”
“Bisa sebaliknya. Kamu membawa Ingsun, akan tetapi takhta sekarang bukan milik pribadi Ingsun. Ada raja yang baru. Yang tak bisa kamu kalahkan. Akan tetapi kalau ini menghentikan pertumpahan darah yang melelahkan, siapa pun akan bersedia melakukan. Juga kaisar kamu.”
Ngwang mengangguk, memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan.
“Agar kamu puas, marilah kamu tunjukkan kemampuanmu.”
Ngwang merasa tertantang. Apa yang didengarnya, yang oleh Mada sengaja diucapkan perlahan, menandakan bahwa ia berhadapan dengan tokoh yang selama ini dicari. Semuanya berjalan nyaris sempurna, kalau Jurang Grawah dan para prajuritnya tidak segera mengerubut maju.
“Kalian semua, mundur!” Tangan Mada melambai.
Sejenak Jurang Grawah mengejapkan matanya. Berpandangan dengan para prajurit yang lain. Sewaktu ia mengedip dan memberi aba, para prajuritnya bergerak. Tapi kembali terjadi adegan yang aneh. Mereka bagai kena sambar angin puyuh, terpuntir tubuhnya, terbanting, dan menggelinjang. Bahwa Jurang Grawah bukan senopati unggulan, bisa dimaklumi. Bahwa kini tangannya terluka bisa dimengerti. Akan tetapi bahwa semua barisan bisa disapu dalam sekejap, membuat Mada terkesiap juga.
Dalam perkiraan sebelumnya, Mada masih berharap bisa mati bersama lawannya. Keunggulan lawan ia akui, akan tetapi untuk mati begitu saja, Mada tidak rela. Bahwa dirinya telah memilih jalan kematian dengan mengaku sebagai raja, adalah kesadaran pengorbanan. Tetapi masih akan meminta balasan yang ada bekasnya.
Ngwang berdiri tegak. Tangannya terangkat di depan dada. Mada memperlihatkan bahwa kaki Ngwang, keduanya, seperti tidak menginjak tanah. Memang tidak. Itu sebabnya bisa bergerak seakan tanpa suara, tetapi sangat cepat sekali melintas. Mada mengerahkan seluruh kekuatannya. Kalau ada yang menguntungkan dirinya saat itu hanyalah bahwa Ngwang tidak akan menewaskannya. Paling banter menawan tanpa melukai. Dan kesempatan kecil ini akan dipergunakan sepenuhnya.
Mendadak tubuh Ngwang turun. Kakinya menginjak tanah. Mada mendengar suara samar-samar. Baru beberapa saat kemudian menjadi jelas bahwa suara itu berasal dari bayangan tubuh Nyai Demang serta Jaghana.
“Kalian berdua datang lagi.”
Jaghana menunduk dengan anggukan kecil. Sebaliknya, Nyai Demang mengertakkan gigi. Mengucap dalam bahasa yang hanya dimengerti Ngwang.
“Ya, memang saya orangnya.”
“Untuk apa selama ini menyembunyikan diri? Ajaran busuk dari Tartar seperti tak ada habisnya. Selama ini kamu telah mempermainkan perasaanku. Paman Jaghana…”
Jaghana menggeser langkahnya.
“Di mana Pangeran Hiang? Kenapa tidak sekalian berada di sini?”
“Kamu wanita busuk. Meracuni Pangeran Putra Mahkota Sang Hiang Penguasa Tartar yang Tiada Tara…”
Tangan Ngwang seperti bergerak, bersamaan dengan tubuh yang terangkat dari tanah. Jaghana menggebrak maju. Pundak kirinya maju, tangan kanannya mengeluarkan kepalan yang keras. Tenaga keras, wungkul, padat membabat.
Ngleyang, Kabur Kanginan
PUKULAN Jaghana terasa padat bergulung. Tubuh Ngwang yang terangkat seperti dientakkan dengan dahsyat, melesat ke arah belakang. Keras. Menabrak pohon di belakangnya. Benar-benar seperti dibenturkan dengan paksa dan keras. Akan tetapi dengan sangat menakjubkan tubuh Ngwang tidak menimbulkan bunyi keras. Bahkan pohon pun hanya bergoyang.
Tubuh Ngwang terseret ke belakang pohon, menggeliat, dan sebelum goyangan pohon berhenti sudah melesat di depan Jaghana kembali. Yang membalikkan tubuhnya, dan melemparkan serangan lewat kaki. Kembali tenaga dalam mengentak dan menerjang tubuh Ngwang. Yang kembali melayang bagai kapas tertiup. Tak kuasa menahan. Namun seperti yang pertama, tubuh itu menggulung dan menyerang dari belakang Jaghana.
Mada ternganga. Belum pernah menyaksikan keunggulan tubuh yang selalu melayang-layang, seakan tanpa kekuatan, tapi bisa bergerak sangat cepat. Nyai Demang pun terkesima. Selama ini boleh dikatakan bahwa semua ajaran, semua ilmu, dari negeri Tartar dikenali. Akan tetapi yang sekarang dilihat, betul-betul luar biasa. Luwes, lemes, memes, tanpa beban. Sangat ringan.
Nyai Demang makin yakin bahwa yang dipanggil Ngwang memang luar biasa. Dalam soal meringankan tubuh, rasanya kapas yang melayang pun masih lebih berat. Bisa dimengerti kalau selama ini Ngwang bisa bersembunyi. Bisa tak diketahui kehadirannya.
“Ngleyang, kabur kanginan….” Suara Mada seperti merintih.
Selama ini Mada terbiasa menyaksikan sesuatu yang luar biasa, yang tak dikenali, dan saat itu Eyang Puspamurti memberitahukan. Hal yang sama terjadi ketika berlatih bersama Halayudha. Selalu ada penjelasan yang membuatnya bisa mengikuti. Kali ini Mada sendiri yang mengucapkan tanpa sadar.
Tanpa sadar karena sesungguhnya kleyang, kabur kanginan adalah sebutan untuk sesuatu yang tak jelas, sesuatu yang melayang, tertiup angin. Ke mana arah angin, ke tempat itulah terbawa. Tanpa beban, tanpa penahan.
Ini terlihat jelas, karena pukulan Jaghana membuat Ngwang benar-benar terdesak. Semakin keras pukulan Jaghana, semakin terseret tubuh Ngwang. Semakin lemah, semakin pendek juga jarak tubuhnya terpental. Akan tetapi pada kejapan berikutnya, tubuh itu sudah mendekat kembali.
Sampai beberapa jurus, masih belum terlihat Ngwang melakukan serangan balasan. Meskipun demikian situasi terasa mencekam. Terkaman ancaman mulai dirasakan. Karena Jaghana seperti diperas tenaganya jungkir-balik, sementara Ngwang hanya mengikuti belaka. Dengan gerakan yang sangat enteng. Sangat ringan, seperti tak mengeluarkan tenaga sedikit pun.
Nyai Demang yang ingin turut mengepung jadi urung. Dadanya naik-turun menahan kegusaran yang menggelegak. Makin terbayang dendamnya kepada Pangeran Hiang yang ternyata mengkhianati! Makin terasa sesak karena sama sekali tak memahami gerakan Ngwang. Jaghana bukan sembarang jago silat. Pada tingkat sekarang ini, kemungkinan hanya Upasara, Pangeran Hiang, ataupun Halayudha yang sedikit mengungguli. Tak ada alasan untuk kalah dalam waktu pendek.
Menyadari pola permainan lawan yang tak dikenali, Jaghana mengubah arus pukulannya. Dengan cepat tenaga dorongnya dibalik menjadi mendorong dan menarik. Tangan kanan memukul, tangan kiri menarik. Seolah memainkan jurus-jurus Banjir Bandang Segara Asat. Hasilnya di luar dugaan.
“Guru…!” Teriakan Mada melengking tinggi.
Dalam keadaan jiwa terimpit, yang melejit adalah ungkapan yang paling pribadi. Dan ungkapan itu adalah sebutan guru. Karena sesungguhnyalah Jaghana yang ketika itu menjadi Truwilun yang pertama kali mengajari Mada. Kecemasan Mada dirasakan sepenuhnya oleh Nyai Demang. Justru ketika Jaghana mengubah serangannya menjadi serangan ke depan dan tarikan, tubuh Ngwang berlipat ganda cepatnya.
Wret, wret. Wret.
Jubahnya seakan mengiris telinga Jaghana. Tubuhnya menebas Jaghana dengan memotong dari berbagai sisi, dari berbagai penjuru. Jaghana menggulung diri, memutar tubuhnya. Ngwang ikut berputar. Pertarungan maut! Sebentar lagi akan segera ketahuan siapa yang menjadi korban. Itu perhitungan Nyai Demang. Karena pertarungan dengan menggulung diri adalah pengerahan tenaga penghabisan.
Tapi bukan itu yang dimainkan Jaghana. Dengan menggulung diri, memutar tubuh cepat sekali, Jaghana menarik Ngwang ke arahnya. Meskipun berbahaya, dengan demikian ia yakin bahwa gerakan tubuh Ngwang seirama dengan gerakannya. Tak akan lain. Nyatanya begitu. Sehingga Jaghana mampu mematahkan di tengah putaran, dan tubuhnya mumbul ke atas, bagai kapas. Melayang indah. Berdiri tegak. Ngwang juga melayang. Dan berdiri tegak. Keduanya berhadapan. Untuk pertama kalinya terlihat bibir Ngwang menyunggingkan senyuman.
“Indah. Hebat.”
Keduanya berdiri. Tetap berdiri. Saling menanti.
“Jangan serang lebih dulu, Guru…” Suara Mada seperti didorong oleh kemauan yang meninggalkan tata krama. Tak layak seorang murid memberitahu gurunya dalam suatu pertarungan. Akan tetapi Mada memang berbeda dari murid yang lain, dalam hubungan antara guru dan murid. Pun bila dibandingkan dengan cara pengajaran di Perguruan Awan.
Di tempat ini segalanya bebas, terbuka, tak ada tata krama sebagaimana lazimnya. Meskipun demikian kalimat Mada tetap dianggap kurang ajar. Mada tidak menyadari hal itu. Karena memang cara yang dipakai sebagai pendekatan selama ini, seperti saling mengajari. Dalam pertarungan yang tengah terjadi, dalam latihan, atau dalam pembicaraan. Tapi kalaupun menyadari, Mada tak akan menahan diri. Apa yang terjadi di depannya yang diikuti dengan sepenuh hati, seperti membuka simpul-simpul kemampuannya.
Kekuatan batin, tenaga dalam, yang bersarang dalam tubuhnya seakan terpanggil untuk ikut bertarung. Inilah salah satu kehebatan ajaran mahamanusia. Dengan membiarkan diri terbuka, bisa menyerap ilmu yang. ada. Ini pula yang menyebabkan kenapa Mada yang belum cukup lama berlatih, berada dalam tingkatan yang unggul. Apa yang diserukan barusan, adalah apa yang terlintas di sukmanya. Bahwa dengan tidak bergerak, lawan pun terdiam.
Jaghana sebenarnya tidak mendengar apa yang diserukan Mada. Pemusatan pikiran sepenuhnya, membuatnya buta-tuli terhadap keadaan sekeliling. Yang memenuhi angannya sekarang ini hanyalah bayangan tubuh Ngwang. Yang terseret kekuatan, yang berarti juga tak bergerak kalau tak ada yang menggerakkan. Kapas pun tak bergerak bila tak ada angin. Pemecahan yang sederhana.
Tapi ilmu silat Ngwang bukan ilmu silat kapas. Dalam beberapa kejap seperti tak ada yang mulai bergerak, perlahan tubuh Ngwang terangkat ke atas. Tidak menyentuh tanah. Bergoyang seperti mau jatuh. Lalu, blap, melabrak Jaghana. Dengan dua tangan terentang luas. Dengan pakaian longgar yang menutup ruang gerak Jaghana.
Blap.
Suara gesekan angin, pakaian, atau tubuh yang bertabrakan susah dipisahkan.
Keselamatan Takhta
NYAI DEMANG masih sepenuhnya tenggelam dalam apa yang tengah berlangsung, ketika Mada membungkukkan diri. Bersila dengan hormat, menyembah, dan bersuara lirih.
“Guru, semua dosa saya tanggung sendiri. Saya yang melibatkan Guru dalam pertarungan. Saya yang meninggalkan. Maaf, Guru…”
Mada menyembah sekali lagi. Mengelap wajahnya dengan kedua belah telapak tangan. Baru kemudian berdiri, memberi aba kepada ketiga prajurit, dan menghormat ke arah Raja. “Secepatnya kita menyingkir.”
Perlahan kelimanya bergerak mundur, tanpa menimbulkan suara, tanpa bernapas untuk beberapa langkah. Bagi Mada perbuatan ini merupakan perbuatan yang paling berat dilakukan. Sebagai murid, Mada justru meninggalkan gurunya yang tengah bertarung. Perhitungan Mada sebenarnya hanya berdasarkan keselamatan takhta, kerahayuan Raja yang sekarang menjadi tanggung jawabnya. Saat yang terbaik untuk mengundurkan diri adalah saat pertarungan menjadi gawat.
Berat karena Mada tak bisa hanya memerintahkan para prajurit mengawal Raja. Biar bagaimanapun, dirinya merasa wajib sepenuhnya mengabdi kepada keselamatan Raja. Barangkali kalau saja Mada tertahan agak lama, kerisauan itu tidak terlalu memberati. Karena meskipun Ngwang kelihatan unggul dan menguasai sepenuhnya, ternyata tak begitu gampang meraih kemenangan.
Sewaktu tubuhnya menabrak Jaghana, terjadi tukar-menukar pukulan yang sama kerasnya. Jotosan beradu, siku beradu, satu menjotos satu menangkis, satu terkena yang lainnya membalas. Semuanya terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Tubuh Ngwang masih berada di atas tanah, kedua tangannya bergerak, sementara Jaghana meladeni dengan mantap. Kalau tadi Ngwang mengesankan keunggulan, dalam bertukar pukulan Jaghana merasa pasti bahwa lawannya tak seperti yang diduga.
Justru beberapa pukulan Ngwang sangat lemah. Baik sasaran yang diincar maupun pengerahan tenaga dalamnya. Merasa menemukan peluang untuk menggertak, Jaghana merangsek. Tubuhnya yang gempal pendek, kepalanya yang gundul pelontos, justru ditarik ke bawah. Ngwang yang jangkung dan berada di atas tanah seperti menyambar angin. Dua pukulan Jaghana menyusup pertahanan perut Ngwang. Menyusul pukulan ketiga, Jaghana mengerahkan tenaganya. Dan terjebak. Karena ketika terdesak pukulan, tubuh Ngwang ngleyang, bagai tersapu, untuk kemudian membelut masuk kembali.
Blap!
Pandangan Jaghana tertutup pakaian yang dikenakan Ngwang. Sebuah pukulan kecil mengenai pundaknya. Membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Tidak telak dan tidak mematikan, akan tetapi Jaghana merasa kuda-kudanya menjadi tidak kuat. Kakinya seperti kebal, kulitnya serasa mati seketika.
“Kamu mau bilang aku kalah dari Upasara?”
“Paduka yang mengatakan. Bukan saya.”
“Menurut penilaian kamu yang bodoh?”
“Penilaian bodoh dan tidak, tergantung menjawab atau tidak.”
“Jangan ajak aku berbantah soal itu.”
“Paduka yang mengajak.”
“Baik, baik. Upasara lebih unggul?”
“Masih harus dibuktikan. Kalau Paduka bertanya tentang tenaga tanah air, itu jawabannya.”
“Kelihatannya aku yang bertanya, tetapi aku lebih tahu dari kamu. Dan celakanya, setiap kali pula kamu tambah pandai setingkat karena pembicaraan ini. Karena setiap kali aku menjajalnya, dan ilmu yang begini susah kuperoleh, kamu tinggal mengambilnya. Coba kita jajal lagi.”
Halayudha menarik paksa Mada. Keduanya memusatkan kekuatan pikir, batin, rasa, nalar, untuk disatukan. Itulah saat Halayudha melihat bayangan seorang senopati menyerbu masuk ke dalam Keraton, dan membuat Raja menggigil.
“Kamu lihat itu, Mada?”
“Ya, Paduka.”
“Kamu kenali siapa yang menyerbu masuk?”
“Tidak.”
“Aku juga tidak, tapi aku akan segera mengenali,” kata Halayudha sambil menghela napas berat, dan melepaskan pemusatan pikirannya. “Kita tinggal menunggu saja. Apakah yang tergambar dalam pengembaraan sukma sejati tadi akan terjadi atau hanya kesesatan pikiran kita. Kalau benar terjadi, kita bisa mencegat perjalanan ilmu Upasara.”
Yang tidak diperhitungkan sama sekali oleh Halayudha ialah bahwa Mada tidak menunggu. Sebaliknya dari itu, Mada mempersiapkan prajurit yang paling dipercaya. Tiga belas prajurit kawal raja yang dipilih disiagakan. Bahkan secara teliti diperhitungkan jalan untuk melintas jika Keraton diserang dari arah depan, ataupun dari kaputren.
Ketika Mahapatih Jabung Krewes mulai memerintahkan pengamanan Tujuh Senopati Utama, Mada memberanikan diri menghadap Raja. Menyembah telapak kaki Raja sambil mengutarakan bahwa kemungkinan terbaik bila terjadi sesuatu adalah bergeser dari Keraton.
“Sekecil itu pangkatmu, senekat itu usulanmu?”
"Duh, Raja sesembahan. Saat ini hamba tak bisa melihat bahwa Mahapatih akan bisa menyelesaikan penumpasan dengan baik. Sekali saja kedudukan berbalik, seluruh prajurit akan ikut berbalik. Atau paling tidak tak bisa digerakkan. Hanya satu perkecualian, kalau Raja berkenan turun tangan sendiri.”
“Apakah Halayudha tak bisa diandalkan? Dan kamu lebih sakti darinya?”
“Nalar Mahapatih Halayudha sudah keblinger, sudah terbalik tak menentu. Tak bisa dipastikan berpihak ke mana. Hamba jauh lebih bodoh, lebih tak bisa apa-apa, akan tetapi hamba bisa menyelamatkan diri.”
“Kamu terlalu bermimpi untuk bisa mengambil hatiku.”
Mada tak bisa berbuat lain. Selain berjaga dan mencoba menyerap apa yang terjadi. Maka begitu terjadi keributan di gerbang Keraton, dan kemudian merembet ke dalam, Mada meloncat masuk ke peristirahatan Raja. Yang ternyata sudah terjaga, dengan mata membelalak, geraham bergeretakan. Suara senjata, teriakan, langkah kaki yang demikian banyak yang mendadak, membuat Raja menyerahkan tindakan yang akan diambil sepenuhnya pada Mada.
Yang segera memerintahkan prajurit kepercayaannya berangkat bersama melalui jalan yang telah ditentukan. Mereka muncul di sebelah timur tanpa menimbulkan banyak kecurigaan. Apalagi di gerbang utama para prajurit masih serba siaga. Mada memerintahkan berjalan secepatnya. Di tengah perjalanan Mada memecah rombongan menjadi tiga bagian.
“Satu rombongan ke arah timur. Jangan menoleh, jangan berhenti satu langkah pun. Satu rombongan ke arah selatan. Jangan menoleh, jangan berhenti satu langkah pun. Ingat, kalian hanya boleh berbicara mengenai hal ini kepada aku seorang. Buktikan kalian prajurit sejati. Berangkatlah, aku akan segera menghubungi kalian. Jangan bertanya. Bergegaslah.”
Mada memerintahkan kedua rombongan berangkat. Dengan salah seorang prajurit yang tampak paling tampan berada di tengah. Seolah dialah yang paling dilindungi dalam setiap gerakan. Ia sendiri masih termenung beberapa saat.
“Mada?”
“Ya?” Suara Mada yang tinggi nadanya membuat Raja terbelalak.
“Tak ada yang kurang ajar di sini, sekarang ini. Mereka akan sampai ke Daha dan Singasari. Kalau Senopati Utama mengejar akan menemukan rombongan yang keliru. Kita menuju ke timur-selatan. Kita memakai siasat Mandragini, yang sudah berhasil.”
Mandragini adalah nama tempat peraduan Raja. Siasat ini sudah membuahkan hasil tanpa direncana. Kamar peraduan, yang selama ini dipakai seenaknya oleh Halayudha, nyatanya memancing barisan kraman. Kalau Raja benar berada di situ, sulit dibayangkan bisa menyelamatkan diri. Siasat itu kini digunakan lagi oleh Mada.
Dengan memecah menjadi tiga rombongan, dengan tujuan yang bisa diperhitungkan lawan, sekurangnya lawan akan terkecoh. Merasa menemukan yang dicari, padahal itu hanya umpan. Apa artinya menangkap lima prajurit? Apa artinya menangkap seorang yang dilindungi, yang bisa disangka Raja, tetapi sebenarnya prajurit biasa?
Mada menyiapkan diri untuk kemudian berangkat. Ia berada di tengah, bertindak seolah kurang terbiasa menempuh perjalanan, karena langkahnya susah seirama. Dengan perhitungan, kalaupun yang diserang yang di tengah, dirinya bisa menangkis dan melindungi Raja.
“Selama perjalanan tidak ada yang bergerak, menyapa, atau menjawab sapaan. Tak ada yang menoleh, mendongak, atau menggeleng. Keselamatan Raja di tangan kita semua.”
Rombongan Mada bergerak cepat. Sesampai di luar benteng Keraton, kelimanya bisa bergerak lebih cepat lagi. Adakalanya Mada meninggalkan barisan, bergerak lebih dulu ke depan. Seluruh kemampuannya dikerahkan, kalau-kalau menangkap sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi justru karena itulah bahaya yang sesungguhnya mengincar. Tanpa terasa Mada berada dalam jebakan yang bisa memusnahkan.
Cegatan Takhta
MADA, seperti yang diperhitungkan Halayudha, penuh dengan semangat sesaat. Apa yang dilakukan bisa diubah di tengah jalan jika kehendaknya demikian. Dorongan ini disadari, dan oleh Mada dipakai sebagai kekuatan. Seperti sekarang ini. Dalam menentukan perjalanan, Mada berusaha menyingkir jauh, akan tetapi kemudian juga mengubah kembali. Karena biar bagaimanapun, Raja tak boleh terlalu jauh dari takhta, dari Keraton. Kalau ada sesuatu yang menentukan, harus bisa segera kembali ke Keraton.
Demikianlah, perjalanan yang jauh menyusup, berganti lagi arahnya. Berputar kembali ke arah Keraton. Meskipun Raja sejak muda mempelajari ilmu silat dan mempunyai tenaga dalam yang kuat, tak urung mulai terkuras tenaganya. Apalagi Mada melarang berhenti, walau hanya untuk sekadar mengambil napas. Akan tetapi juga tak boleh terlihat basah oleh keringat.
“Apa maumu, Mada?”
“Kalau berhenti bisa mengundang kecurigaan. Di tengah malam, kenapa berhenti di tengah jalan. Kalau berkeringat, mengundang kecurigaan kita telah berjalan jauh. Malam ini juga, pasukan khusus sudah disebarkan ke segala penjuru. Semua semak dan batu dijungkirbalikkan. Pengalaman prajurit lama ketika mencari Baginda akan dilipat gandakan. Kesempatan kita semakin sempit. Padahal satu kali saja kita alpa, segala usaha kita sia-sia.”
Menjelang fajar, Raja tak bisa menahan diri lagi. Berhenti di bawah sebatang pohon, dan langsung berbaring. Dengus napasnya sangat teratur. Tiga prajurit yang lain memandang penuh iba dan sangat hormat.
“Apakah tidak lebih baik kita ke rumah penduduk, dan mencari tempat yang lebih enak?”
“Kalau aku tidak memerintahkan apa-apa, kalian bertiga lebih baik tutup mulut. Saat seperti sekarang ini tak perlu pertimbangan banyak kepala. Yang diperlukan satu kepala yang memikul tanggung jawab untuk digantung. Dan itu adalah aku seorang. Dengan menginap di rumah penduduk, lebih banyak lagi yang harus menjaga rahasia. Kemungkinan bocor lebih besar. Siapa yang tahan menutup mulut jika mengetahui rumahnya diinapi Raja? Kalian yang biasa sowan saja masih begitu kaku, kikuk, dan salah tindak.”
“Kalau memang itu kehendak Lurah…”
“Jangan menaikkan pangkat kalau tidak mempunyai hak. Sejak pertama aku masih bekel, dan barangkali tak akan pernah naik pangkat, karena tak mempunyai atasan. Segeralah bersiap. Begitu Raja menggeliat dan terbangun, kita segera berangkat.”
Mereka berempat menjaga dengan ragu. Tak bisa sangat dekat, untuk tidak menimbulkan kecurigaan bahwa yang dijaga adalah orang yang terhormat, dan tak bisa terlalu jauh, karena takut bahaya yang sewaktu-waktu bisa muncul.
Pada saat seperti itu, ketiga prajurit kawal Raja mengakui bahwa Mada memiliki keunggulan jiwa. Sikapnya kukuh, keras, tak mengenal pertimbangan lain, akan tetapi tetap tegar. Tak tampak sedikit pun kebimbangan atau kelelahan. Raut wajahnya sama tak berubah.
Juga ketika mencoba melanjutkan perjalanan, melintas barisan prajurit berkuda. Nyali ketiga prajurit yang lain seakan lenyap, ketika rombongan prajurit berkuda itu berpapasan dengan rombongan yang lain, dan mereka berhenti tepat di tengah jalan.
Mada masih berjalan dengan langkah biasa. Hanya sedikit menepi. Meskipun darahnya berdesir lebih cepat ketika mengenali bahwa pemimpin rombongan adalah Jurang Grawah. Yang kini mengenakan kain parang dengan sabuk besar, serta keris bertatahkan permata.
“Semua sudah terkuasai sepenuhnya. Dengan memakai umpan Putri Tunggadewi dan Putri Rajadewi, kedua pangeran anom menyatakan pengakuan akan takhta. Bahkan terkesan sekali kedua pangeran anom itu memperlihatkan rasa gembira. Karena keinginan mereka berdua mempersunting kedua putri tak menjadi halangan. Aku baru saja menerima laporan bahwa mereka berhasil menangkap prajurit bhayangkara, prajurit kawal raja.”
Sampai di sini Mada bersiaga. Kalaupun terjadi pertarungan, dirinya lebih dulu bersiap.
“Hanya belum jelas apakah mereka bersama Raja atau tidak. Menurut pengakuan sementara, mereka ditugaskan memata-matai Upasara Wulung dan Perguruan Awan yang kini menjadi buruan Keraton. Ah, kalau kita bisa menangkap Raja, rasanya dalem kepatihan tak terlalu besar untuk kita diami. Dan itu hanya soal waktu belaka.”
Mada berjalan di atas belukar. Bersama tiga prajurit yang menyamar. Raja berada di sebelah kirinya, dengan pandangan menunduk. Debur darah Mada makin mengeras. Ia tak yakin apakah telinganya mendengar desiran angin, ataukah ada orang yang melintas. Dengan sendirinya, tubuhnya jadi menutupi Raja.
Justru saat itu pundaknya merasa ditabrak sesuatu dengan keras. Disenggol dengan tenaga keras, sehingga tubuhnya terhuyung ke depan. Sadar akan kemungkinan yang tidak menguntungkan, Mada sengaja menjatuhkan diri. Tidak memberikan tenaga melawan sama sekali. Sehingga seperti tersandung akar.
Akan tetapi pada saat bergulingan, kedua tangan dan kaki serta pusat perhatiannya siap meloncat, melancarkan serangan maut. Pandangannya membelalak. Karena tenaga yang menyenggolnya itu menabrak deretan prajurit di depannya. Tiga ekor kuda meringkik, lepas kendali, dan ketiga penunggangnya jatuh tersungkur.
Jurang Grawah menghunus kerisnya. “Siaga satu!” Teriakan yang mengguntur, membuat prajurit yang lain berjajaran di belakang dan dalam keadaan siaga penuh. Tidak percuma selama ini Senopati Kuti melatih keras.
Mada merangkak ke arah yang lebih jauh, bersama Raja dan tiga prajurit yang lain. Pandangan Mada lebih membelalak. Karena mengenali jelas bayangan yang menabrak. Bukan tidak mungkin Jurang Grawah juga segera mengenali.
“Pangeran Hiang…”
Yang berdiri gagah memang Pangeran Hiang. Pakaian kebesaran yang dikenakan, sikapnya yang menguasai sekitar, sangat terasakan wibawanya. Bagi sebagian prajurit, Pangeran Hiang sangat dikenal. Terutama dalam pertarungan terakhir di mana Pangeran Hiang juga muncul di gelanggang. Meskipun saat itu Pangeran Hiang memilih tidak terjun langsung dalam pertarungan, tetapi semua mata bisa melihat sosoknya.
“Katakan di mana Raja Tanah Jawa!” Suaranya melengking, seperti diucapkan lidah yang kelewat tipis.
“Kalau Pangeran mendengarkan, kami sedang membicarakan.”
“Katakan di mana…”
Kedua tangan Pangeran Hiang terangkat. Jurang Grawah meloncat turun bersama para prajurit yang lain. Sebelum kaki-kaki menginjak tanah dengan baik, seakan kena sapu gelombang keras. Tubuh Jurang Grawah terjungkal.
Sambil menjatuhkan diri, Jurang Grawah menggenggam erat kerisnya. Begitu sampai satu setengah gelundungan, tubuhnya melesat ke atas. Bersama lima atau enam prajurit yang lain. Pangeran Hiang mengeluarkan suara perlahan, sambil menabrak maju.
Benar-benar menabrak maju begitu saja. Tanpa peduli tudingan senjata yang ditujukan ke arahnya. Dan bisa bergerak leluasa. Malah barisan prajurit yang berteriak-teriak kesakitan. Sebagian besar senjata terlepas dari tangan, sebagian memegangi tangan yang melepuh.
Seumur hidup Mada belum pernah menyaksikan ilmu yang begitu tinggi. Sungguh tak terbayangkan. Bahwa dengan melabrak begitu saja, barisan prajurit bersenjata yang diandalkan bisa tumbang berjatuhan. Tanpa ketahuan menggerakkan tangan atau tendangan.
Tidak hanya berhenti di situ saja. Pangeran Hiang membalik, melangkah ke arah Jurang Grawah. Tangannya memencet pundak para prajurit yang kemudian melolong kesakitan. Melepaskan satu per satu. Seakan memeriksa tulang pundak.
Kali ini Mada benar-benar terkesiap. Sukmanya seperti lepas dari tubuhnya yang menggigil. Meskipun hanya dugaan, Mada tak bisa menahan rasa kecut yang menyergap kuat sehingga tak mampu berbuat sesuatu. Dugaan Mada adalah Pangeran Hiang mencoba mencari Raja. Dengan jalan memencet tulang pundak. Barangkali dengan ilmu yang dimiliki, cara itu bisa untuk membedakan tulang pundak prajurit biasa dengan raja yang sedang menyamar.
Pencarian Raja ini dikaitkan dengan pertanyaan yang diucapkan sebelumnya. Ini berarti Pangeran Hiang benar-benar mencari Raja. Pangeran Hiang bergerak ke arah Jurang Grawah, yang mencoba menghindar sambil nekat menghunjamkan keris ke arah lambung.
Pangeran Hiang hanya mengegos pelan, dan tangannya sudah langsung memencet pundak Jurang Grawah. Yang berteriak mengaduh, bagai lolongan anjing terkena gebukan keras. Tapi agaknya Pangeran Hiang tidak berusaha menyiksa lebih jauh. Karena kini pandangannya tertuju ke arah Mada.
Ngwang
NAPAS Mada serasa putus.
“Rasanya di sini ada Raja Tanah Jawa.” Nada bicaranya melengking, seperti dipaksakan.
Berkelebat beberapa bayangan pemikiran dalam diri Mada. Entah dengan cara bagaimana Pangeran Hiang yang ini bisa mengenali bahwa Raja ada di sekitar tempat ini. Dan dugaan itu ditunjukkan dengan cara menabrak begitu saja barisan prajurit. Dugaan yang tepat karena kemungkinan terbesar Raja ada dalam barisan tersebut. Untuk meyakinkan diri, tulang pundak diperiksa. Barangkali ada ilmu tertentu yang dipergunakan sehingga bisa membedakan apakah pemilik tulang pundak rakyat biasa ataukah raja.
Ini berarti Pangeran Hiang yang dihadapi sekarang adalah Pangeran Hiang yang tetap putra mahkota Tartar. Yang berusaha mencegat Raja. Yang tak bergeser dari keinginan semula, membawa Raja ke negeri Tartar sebagai tanda menyerah. Dengan mencegat di tengah perjalanan, risiko untuk melawan keroyokan mati-matian bisa dihindari. Sesuatu yang pasti terjadi dengan kengerian apa pun.
Mada terlibat langsung ketika pertarungan habis-habisan di atas perahu Siung Naga Bermahkota. Ketika itu, seluruh ksatria, prajurit, tanpa memperhitungkan nyawa sendiri, tanpa memperhitungkan dendam kepada Keraton, siap membela kehormatan Keraton dengan rajanya. Hal yang akan selalu terjadi kapan pun. Kalau kejadiannya di tengah hutan di jalan setapak, tak akan banyak yang memedulikan.
Seperti juga langkah yang pernah dilakukan dulu. Yaitu menculik Baginda ketika bertapa di Simping! Masalahnya bukan soal licik atau culas, akan tetapi bagaimana mendapatkan hasil yang terbesar tanpa pertumpahan darah yang melelahkan. Di samping agaknya sejak pertama Pangeran Hiang sudah memperhitungkan bahwa dengan cara kekerasan tak akan bisa menang.
Pangeran Hiang menyapukan pandangan ke sekeliling. Sapuan mata yang tajam menguliti, yang bila disusul dengan satu gerakan ringan, akan membuka selubung penyamaran. Dan itu berarti Raja berada dalam bahaya. Berada dalam ambang kehinaan, karena tak akan tertahan lagi. Dengan menyerahkan seratus nyawa sekalipun, Mada tak akan bisa menarik kembali. Dalam keadaan yang kritis, Mada mengambil keputusan. Perlahan ia berdiri, dengan pandangan tegak, mata menatap lurus tak beralih, pundak rata memancarkan wibawa.
“Kalau benar kamu Pangeran Hiang, kamu akan mengenali siapa Ingsun. Tak perlu dengan menetak tulang pundak. Bau tubuh Ingsun bisa dibedakan dari yang lainnya.”
Suara Mada menggeletar, memancarkan pengaruh, seakan semua yang ada di hadapannya sangat kecil dibandingkan dengan dirinya. Kepura-puraan yang sempurna. Kalimatnya diucapkan dengan lancar, tak terpengaruh oleh apa yang terjadi. Sekaligus mengurai beberapa hal yang berusaha ditutupi. Dengan kalimat pembuka, Mada menelanjangi bahwa lawan yang dihadapi bukan Pangeran Hiang.
Kesimpulan ini diperoleh dari sikap yang sungguh jauh berbeda, dan terutama sekali logat bicara yang seakan memaksa diri. Biarpun kagok, penguasaan bahasa Pangeran Hiang sangat lancar. Dengan demikian, Mada bisa menebak pasti yang dihadapi bukan Pangeran Hiang yang selama ini dikenal.
Berpura-pura menjadi Raja, bukan sesuatu yang teramat sulit. Mada boleh dikatakan sangat dekat dengan Raja. Sebagai prajurit biasa, hal yang pertama dirasakan perbedaannya yang tajam dengan Raja ialah bau tubuh yang jauh lebih wangi. Karena sejak mandi, membasuh tangan atau kaki, membasahi rambut, atau suasana kamar dan pakaian penuh dengan wewangian. Ketenangannya yang menguasai situasi, yang mengatasi keadaan, menambah bobot penampilannya.
“Mari kita cari tempat yang leluasa untuk berbicara, Ngwang.”
“Raja Tanah Jawa mengenaliku?”
Mada melangkah menjauh. Dengan langkah lebar, dada membusung, dagu rata. Tidak berusaha menoleh, melirik, atau memberikan perhatian ketika Ngwang menunjukkan keheranan. Barangkali kebetulan, barangkali karena cara pengucapan Mada yang memang kurang sempurna di telinga lawan bicaranya. Ngwang, yang dipakai sebutan oleh Mada, sebenarnya menunjukkan orang yang belum dikenal. Yang barangkali saja menunjukkan kedekatan dengan nama Huang, atau Kuang, atau yang sesuara dengan itu.
Ngwang bergerak perlahan. Kakinya seakan tidak menyentuh tanah. Hanya bayangan tubuhnya tahu-tahu berada di depan Mada. Sedikit pun Mada tidak terpengaruh. Ayunan kakinya yang tinggi tak terganggu iramanya. Tetap tenang Mada menjauh ke depan. Dengan jalan demikian, Mada ingin menyeret Ngwang lebih jauh dari kerumunan. Dengan harapan pada saat itu, Raja dan prajuritnya mempergunakan kesempatan untuk meloloskan diri. Sampai di tempat yang agak lapang, Mada berbalik. Ngwang telah melayang di sebelahnya.
“Apa yang kamu harapkan dari Ingsun? Membawa ke negeri Tartar sebagai tanda kekalahan?”
“Raja Tanah Jawa telah mengetahui.”
“Ingsun tidak akan pernah menolak kata-kata yang telah Ingsun sabdakan. Dengan satu janji seorang ksatria, kalian tidak akan melakukan huru-hara di belakang hari. Kemenanganmu adalah kemenangan atas Raja, bukan atas Keraton atau penghuni tanah Jawa yang tak akan pernah bisa kamu kalahkan sepenuhnya.”
“Sikap Raja sangat mengagumkan.”
“Bisa sebaliknya. Kamu membawa Ingsun, akan tetapi takhta sekarang bukan milik pribadi Ingsun. Ada raja yang baru. Yang tak bisa kamu kalahkan. Akan tetapi kalau ini menghentikan pertumpahan darah yang melelahkan, siapa pun akan bersedia melakukan. Juga kaisar kamu.”
Ngwang mengangguk, memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan.
“Agar kamu puas, marilah kamu tunjukkan kemampuanmu.”
Ngwang merasa tertantang. Apa yang didengarnya, yang oleh Mada sengaja diucapkan perlahan, menandakan bahwa ia berhadapan dengan tokoh yang selama ini dicari. Semuanya berjalan nyaris sempurna, kalau Jurang Grawah dan para prajuritnya tidak segera mengerubut maju.
“Kalian semua, mundur!” Tangan Mada melambai.
Sejenak Jurang Grawah mengejapkan matanya. Berpandangan dengan para prajurit yang lain. Sewaktu ia mengedip dan memberi aba, para prajuritnya bergerak. Tapi kembali terjadi adegan yang aneh. Mereka bagai kena sambar angin puyuh, terpuntir tubuhnya, terbanting, dan menggelinjang. Bahwa Jurang Grawah bukan senopati unggulan, bisa dimaklumi. Bahwa kini tangannya terluka bisa dimengerti. Akan tetapi bahwa semua barisan bisa disapu dalam sekejap, membuat Mada terkesiap juga.
Dalam perkiraan sebelumnya, Mada masih berharap bisa mati bersama lawannya. Keunggulan lawan ia akui, akan tetapi untuk mati begitu saja, Mada tidak rela. Bahwa dirinya telah memilih jalan kematian dengan mengaku sebagai raja, adalah kesadaran pengorbanan. Tetapi masih akan meminta balasan yang ada bekasnya.
Ngwang berdiri tegak. Tangannya terangkat di depan dada. Mada memperlihatkan bahwa kaki Ngwang, keduanya, seperti tidak menginjak tanah. Memang tidak. Itu sebabnya bisa bergerak seakan tanpa suara, tetapi sangat cepat sekali melintas. Mada mengerahkan seluruh kekuatannya. Kalau ada yang menguntungkan dirinya saat itu hanyalah bahwa Ngwang tidak akan menewaskannya. Paling banter menawan tanpa melukai. Dan kesempatan kecil ini akan dipergunakan sepenuhnya.
Mendadak tubuh Ngwang turun. Kakinya menginjak tanah. Mada mendengar suara samar-samar. Baru beberapa saat kemudian menjadi jelas bahwa suara itu berasal dari bayangan tubuh Nyai Demang serta Jaghana.
“Kalian berdua datang lagi.”
Jaghana menunduk dengan anggukan kecil. Sebaliknya, Nyai Demang mengertakkan gigi. Mengucap dalam bahasa yang hanya dimengerti Ngwang.
“Ya, memang saya orangnya.”
“Untuk apa selama ini menyembunyikan diri? Ajaran busuk dari Tartar seperti tak ada habisnya. Selama ini kamu telah mempermainkan perasaanku. Paman Jaghana…”
Jaghana menggeser langkahnya.
“Di mana Pangeran Hiang? Kenapa tidak sekalian berada di sini?”
“Kamu wanita busuk. Meracuni Pangeran Putra Mahkota Sang Hiang Penguasa Tartar yang Tiada Tara…”
Tangan Ngwang seperti bergerak, bersamaan dengan tubuh yang terangkat dari tanah. Jaghana menggebrak maju. Pundak kirinya maju, tangan kanannya mengeluarkan kepalan yang keras. Tenaga keras, wungkul, padat membabat.
Ngleyang, Kabur Kanginan
PUKULAN Jaghana terasa padat bergulung. Tubuh Ngwang yang terangkat seperti dientakkan dengan dahsyat, melesat ke arah belakang. Keras. Menabrak pohon di belakangnya. Benar-benar seperti dibenturkan dengan paksa dan keras. Akan tetapi dengan sangat menakjubkan tubuh Ngwang tidak menimbulkan bunyi keras. Bahkan pohon pun hanya bergoyang.
Tubuh Ngwang terseret ke belakang pohon, menggeliat, dan sebelum goyangan pohon berhenti sudah melesat di depan Jaghana kembali. Yang membalikkan tubuhnya, dan melemparkan serangan lewat kaki. Kembali tenaga dalam mengentak dan menerjang tubuh Ngwang. Yang kembali melayang bagai kapas tertiup. Tak kuasa menahan. Namun seperti yang pertama, tubuh itu menggulung dan menyerang dari belakang Jaghana.
Mada ternganga. Belum pernah menyaksikan keunggulan tubuh yang selalu melayang-layang, seakan tanpa kekuatan, tapi bisa bergerak sangat cepat. Nyai Demang pun terkesima. Selama ini boleh dikatakan bahwa semua ajaran, semua ilmu, dari negeri Tartar dikenali. Akan tetapi yang sekarang dilihat, betul-betul luar biasa. Luwes, lemes, memes, tanpa beban. Sangat ringan.
Nyai Demang makin yakin bahwa yang dipanggil Ngwang memang luar biasa. Dalam soal meringankan tubuh, rasanya kapas yang melayang pun masih lebih berat. Bisa dimengerti kalau selama ini Ngwang bisa bersembunyi. Bisa tak diketahui kehadirannya.
“Ngleyang, kabur kanginan….” Suara Mada seperti merintih.
Selama ini Mada terbiasa menyaksikan sesuatu yang luar biasa, yang tak dikenali, dan saat itu Eyang Puspamurti memberitahukan. Hal yang sama terjadi ketika berlatih bersama Halayudha. Selalu ada penjelasan yang membuatnya bisa mengikuti. Kali ini Mada sendiri yang mengucapkan tanpa sadar.
Tanpa sadar karena sesungguhnya kleyang, kabur kanginan adalah sebutan untuk sesuatu yang tak jelas, sesuatu yang melayang, tertiup angin. Ke mana arah angin, ke tempat itulah terbawa. Tanpa beban, tanpa penahan.
Ini terlihat jelas, karena pukulan Jaghana membuat Ngwang benar-benar terdesak. Semakin keras pukulan Jaghana, semakin terseret tubuh Ngwang. Semakin lemah, semakin pendek juga jarak tubuhnya terpental. Akan tetapi pada kejapan berikutnya, tubuh itu sudah mendekat kembali.
Sampai beberapa jurus, masih belum terlihat Ngwang melakukan serangan balasan. Meskipun demikian situasi terasa mencekam. Terkaman ancaman mulai dirasakan. Karena Jaghana seperti diperas tenaganya jungkir-balik, sementara Ngwang hanya mengikuti belaka. Dengan gerakan yang sangat enteng. Sangat ringan, seperti tak mengeluarkan tenaga sedikit pun.
Nyai Demang yang ingin turut mengepung jadi urung. Dadanya naik-turun menahan kegusaran yang menggelegak. Makin terbayang dendamnya kepada Pangeran Hiang yang ternyata mengkhianati! Makin terasa sesak karena sama sekali tak memahami gerakan Ngwang. Jaghana bukan sembarang jago silat. Pada tingkat sekarang ini, kemungkinan hanya Upasara, Pangeran Hiang, ataupun Halayudha yang sedikit mengungguli. Tak ada alasan untuk kalah dalam waktu pendek.
Menyadari pola permainan lawan yang tak dikenali, Jaghana mengubah arus pukulannya. Dengan cepat tenaga dorongnya dibalik menjadi mendorong dan menarik. Tangan kanan memukul, tangan kiri menarik. Seolah memainkan jurus-jurus Banjir Bandang Segara Asat. Hasilnya di luar dugaan.
“Guru…!” Teriakan Mada melengking tinggi.
Dalam keadaan jiwa terimpit, yang melejit adalah ungkapan yang paling pribadi. Dan ungkapan itu adalah sebutan guru. Karena sesungguhnyalah Jaghana yang ketika itu menjadi Truwilun yang pertama kali mengajari Mada. Kecemasan Mada dirasakan sepenuhnya oleh Nyai Demang. Justru ketika Jaghana mengubah serangannya menjadi serangan ke depan dan tarikan, tubuh Ngwang berlipat ganda cepatnya.
Wret, wret. Wret.
Jubahnya seakan mengiris telinga Jaghana. Tubuhnya menebas Jaghana dengan memotong dari berbagai sisi, dari berbagai penjuru. Jaghana menggulung diri, memutar tubuhnya. Ngwang ikut berputar. Pertarungan maut! Sebentar lagi akan segera ketahuan siapa yang menjadi korban. Itu perhitungan Nyai Demang. Karena pertarungan dengan menggulung diri adalah pengerahan tenaga penghabisan.
Tapi bukan itu yang dimainkan Jaghana. Dengan menggulung diri, memutar tubuh cepat sekali, Jaghana menarik Ngwang ke arahnya. Meskipun berbahaya, dengan demikian ia yakin bahwa gerakan tubuh Ngwang seirama dengan gerakannya. Tak akan lain. Nyatanya begitu. Sehingga Jaghana mampu mematahkan di tengah putaran, dan tubuhnya mumbul ke atas, bagai kapas. Melayang indah. Berdiri tegak. Ngwang juga melayang. Dan berdiri tegak. Keduanya berhadapan. Untuk pertama kalinya terlihat bibir Ngwang menyunggingkan senyuman.
“Indah. Hebat.”
Keduanya berdiri. Tetap berdiri. Saling menanti.
“Jangan serang lebih dulu, Guru…” Suara Mada seperti didorong oleh kemauan yang meninggalkan tata krama. Tak layak seorang murid memberitahu gurunya dalam suatu pertarungan. Akan tetapi Mada memang berbeda dari murid yang lain, dalam hubungan antara guru dan murid. Pun bila dibandingkan dengan cara pengajaran di Perguruan Awan.
Di tempat ini segalanya bebas, terbuka, tak ada tata krama sebagaimana lazimnya. Meskipun demikian kalimat Mada tetap dianggap kurang ajar. Mada tidak menyadari hal itu. Karena memang cara yang dipakai sebagai pendekatan selama ini, seperti saling mengajari. Dalam pertarungan yang tengah terjadi, dalam latihan, atau dalam pembicaraan. Tapi kalaupun menyadari, Mada tak akan menahan diri. Apa yang terjadi di depannya yang diikuti dengan sepenuh hati, seperti membuka simpul-simpul kemampuannya.
Kekuatan batin, tenaga dalam, yang bersarang dalam tubuhnya seakan terpanggil untuk ikut bertarung. Inilah salah satu kehebatan ajaran mahamanusia. Dengan membiarkan diri terbuka, bisa menyerap ilmu yang. ada. Ini pula yang menyebabkan kenapa Mada yang belum cukup lama berlatih, berada dalam tingkatan yang unggul. Apa yang diserukan barusan, adalah apa yang terlintas di sukmanya. Bahwa dengan tidak bergerak, lawan pun terdiam.
Jaghana sebenarnya tidak mendengar apa yang diserukan Mada. Pemusatan pikiran sepenuhnya, membuatnya buta-tuli terhadap keadaan sekeliling. Yang memenuhi angannya sekarang ini hanyalah bayangan tubuh Ngwang. Yang terseret kekuatan, yang berarti juga tak bergerak kalau tak ada yang menggerakkan. Kapas pun tak bergerak bila tak ada angin. Pemecahan yang sederhana.
Tapi ilmu silat Ngwang bukan ilmu silat kapas. Dalam beberapa kejap seperti tak ada yang mulai bergerak, perlahan tubuh Ngwang terangkat ke atas. Tidak menyentuh tanah. Bergoyang seperti mau jatuh. Lalu, blap, melabrak Jaghana. Dengan dua tangan terentang luas. Dengan pakaian longgar yang menutup ruang gerak Jaghana.
Blap.
Suara gesekan angin, pakaian, atau tubuh yang bertabrakan susah dipisahkan.
Keselamatan Takhta
NYAI DEMANG masih sepenuhnya tenggelam dalam apa yang tengah berlangsung, ketika Mada membungkukkan diri. Bersila dengan hormat, menyembah, dan bersuara lirih.
“Guru, semua dosa saya tanggung sendiri. Saya yang melibatkan Guru dalam pertarungan. Saya yang meninggalkan. Maaf, Guru…”
Mada menyembah sekali lagi. Mengelap wajahnya dengan kedua belah telapak tangan. Baru kemudian berdiri, memberi aba kepada ketiga prajurit, dan menghormat ke arah Raja. “Secepatnya kita menyingkir.”
Perlahan kelimanya bergerak mundur, tanpa menimbulkan suara, tanpa bernapas untuk beberapa langkah. Bagi Mada perbuatan ini merupakan perbuatan yang paling berat dilakukan. Sebagai murid, Mada justru meninggalkan gurunya yang tengah bertarung. Perhitungan Mada sebenarnya hanya berdasarkan keselamatan takhta, kerahayuan Raja yang sekarang menjadi tanggung jawabnya. Saat yang terbaik untuk mengundurkan diri adalah saat pertarungan menjadi gawat.
Berat karena Mada tak bisa hanya memerintahkan para prajurit mengawal Raja. Biar bagaimanapun, dirinya merasa wajib sepenuhnya mengabdi kepada keselamatan Raja. Barangkali kalau saja Mada tertahan agak lama, kerisauan itu tidak terlalu memberati. Karena meskipun Ngwang kelihatan unggul dan menguasai sepenuhnya, ternyata tak begitu gampang meraih kemenangan.
Sewaktu tubuhnya menabrak Jaghana, terjadi tukar-menukar pukulan yang sama kerasnya. Jotosan beradu, siku beradu, satu menjotos satu menangkis, satu terkena yang lainnya membalas. Semuanya terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Tubuh Ngwang masih berada di atas tanah, kedua tangannya bergerak, sementara Jaghana meladeni dengan mantap. Kalau tadi Ngwang mengesankan keunggulan, dalam bertukar pukulan Jaghana merasa pasti bahwa lawannya tak seperti yang diduga.
Justru beberapa pukulan Ngwang sangat lemah. Baik sasaran yang diincar maupun pengerahan tenaga dalamnya. Merasa menemukan peluang untuk menggertak, Jaghana merangsek. Tubuhnya yang gempal pendek, kepalanya yang gundul pelontos, justru ditarik ke bawah. Ngwang yang jangkung dan berada di atas tanah seperti menyambar angin. Dua pukulan Jaghana menyusup pertahanan perut Ngwang. Menyusul pukulan ketiga, Jaghana mengerahkan tenaganya. Dan terjebak. Karena ketika terdesak pukulan, tubuh Ngwang ngleyang, bagai tersapu, untuk kemudian membelut masuk kembali.
Blap!
Pandangan Jaghana tertutup pakaian yang dikenakan Ngwang. Sebuah pukulan kecil mengenai pundaknya. Membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Tidak telak dan tidak mematikan, akan tetapi Jaghana merasa kuda-kudanya menjadi tidak kuat. Kakinya seperti kebal, kulitnya serasa mati seketika.
JILID 74 | BUKU PERTAMA | JILID 76 |
---|