PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Kaki Gunung Kawi
Karya Singgih Hadi Mintarjda
Seri 01: Bunga Kaki Gunung Kawi
Karya Singgih Hadi Mintarjda
JILID 01
HAMPIR BERSAMAAN KEDUANYA mengangkat wajahnya, memandang ke dataran langit yang biru bersih. Warna-warna semburat merah yang dilontarkan oleh matahari yang kelelahan di punggung-punggung bukit di sebelah barat masih tampak menyangkut di ujung pepohonan.
“Langit bersih,” desis salah seorang di antaranya. Seorang tua dengan rambut yang telah memutih.
“Ya,” sahut orang kedua. Seorang pemuda yang berwajah jantan, namun penuh kelembutan. Matanya yang bening memancarkan cahaya keteguhan hatinya, yang memandang hari depan dengan penuh pengharapan, namun penuh pergulatan dan perjuangan yang dilandasi dengan pasrah diri tulus ikhlas kepada takdir Yang Maha Agung.
Keduanya diam sejenak. Tetapi kaki mereka masih terayun dalam langkah yang berirama. Lambat-lambat mereka maju terus menyusur dataran sebelah timur Gunung Kawi, menuju ke rumah mereka di Desa Panawijen.
“Mahisa Agni,” kembali orang tua berambut putih itu berbicara.
“Ya, Bapa Pendeta,” sahut pemuda yang bernama Mahisa Agni itu.
“Kita akan kemalaman di perjalanan,” sambung pendeta tua itu.
“Tak apalah. Kalau kita berjalan terus, sebelum tengah malam kita akan sampai,” sahut Mahisa Agni.
“Kau tidak lelah?” bertanya pendeta itu kembali.
Mahisa Agni menarik nafas. Bertahun-tahun ia berguru kepada pendeta itu. Dan bertahun-tahun ia mendapat gemblengan lahir dan batin. Namun setelah bertahun-tahun itu, masih saja ia dianggapnya anak-anak yang selalu mendapat perhatian yang berlebih-lebihan. Meskipun demikian, Mahisa Agni dapat mengerti sepenuhnya.
Pendeta tua yang bernama Empu Purwa itu tak beranak laki-laki. Ia hanya beranak seorang perempuan. Dinamainya anak itu Ken Dedes yang didapatnya sebelum ia mengenakan pakaian pendeta. Bahkan, dirasanya bahwa sikap gurunya jauh melampaui sikap seorang guru biasa. Diperlakukannya Mahisa Agni seperti anak sendiri. Kadang-kadang, Mahisa Agni menangkap juga hasrat yang tersirat dari sikap gurunya.
Ken Dedes telah menjelang dewasa. Dan gadis itu cantiknya bukan main. Seolah-olah bunga melati yang putih berkembang di antara semak-semak yang lebat dan besar di lereng Gunung Kawi. Bahkan, diam-diam ia bersyukur pula atas kesempatan yang pernah ditemuinya itu. Berdiam dalam satu rumah dengan seorang gadis yang tiada taranya. Kecantikannya dan kejernihan hatinya. Tetapi angan-angannya segera terpecah ketika didengarnya Empu Purwa berkata mengulangi,
“Kau tidak lelah Agni?”
“Tidak, Bapa,” cepat-cepat Mahisa Agni menjawab.
“Bagus,” sahut Empu Purwa, “kakimu telah cukup terlatih. Bagaimana dengan pernafasanmu?”
“Baik, Bapa,” jawab Mahisa Agni.
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah senyumnya menghiasi bibirnya yang tebal. Tetapi senyum itu tiba-tiba lenyap seperti asap ditiup angin. Dengan penuh minat Mahisa Agni memandang wajah gurunya. Mula-mula ia menjadi ragu. Apakah sebabnya? Tetapi ketika ia memandang ke depan, dilihatnya padang rumput Karautan. Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Agaknya padang rumput yang di sana-sini diselingi oleh gerumbul-gerumbul itulah yang telah mempengaruhi pikiran gurunya.
Meskipun tak sepatah kata pun yang terlontar dari mulut anak muda itu, namun pandangan matanya memancarkan beberapa pertanyaan tentang padang rumput yang terkenal itu kepada gurunya. Agaknya gurunya pun tanggap pada pertanyaan muridnya, sehingga dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata,
“Itulah padang rumput Karautan. Padang rumput yang terkenal sepi. Dijauhi oleh setiap orang yang menempuh perjalanan. Mereka lebih suka melingkar agak jauh. Lewat Pedukuhan Talrampak atau Desa Kaligeneng.”
Mahisa Agni memandang tanah yang terbentang di hadapannya dengan tajam. Sebentar kemudian ia memandang matahari. Namun matahari yang dicarinya telah tenggelam di balik gunung. Dan malam yang hitam pun perlahan-lahan telah turun menyelimuti Gunung Kawi.
“Apakah hantu itu benar-benar ada?” bertanya Mahisa Agni. Namun sama sekali ketakutan tidak mempengaruhi hatinya. Ia hanya ingin meyakinkan pendengarannya atas hantu Padang Karautan.
“Kau percaya kepada hantu?” terdengar Empu Purwa bertanya pula.
“Entahlah,” Mahisa Agni tersenyum. Dan gurunya tersenyum pula. “Aku terlalu sering mendengar cerita tentang hantu di padang rumput Karautan,” berkata Mahisa Agni.
“Apakah kau bermaksud supaya kita mengambil jalan melingkar?” bertanya gurunya.
“Tidak Guru,” cepat-cepat Mahisa Agni menyahut menyambut. Ia memang tidak takut. Bahkan ia ingin melihat hantu itu. Karena itu ia meneruskan, “Aku ingin membuktikannya.”
“Apa yang pernah kau dengar tentang hantu itu?” bertanya gurunya pula.
“Hantu itu suka mengganggu. Bahkan memiliki sifat-sifat kejam dan bengis. Beberapa orang pernah menjadi korban,” jawab Mahisa Agni.
“Banyak orang yang mati oleh hantu itu. Begitu saja?” sela Empu Purwa.
“Tidak. Kadang-kadang orang yang berani lewat dalam rombongan-rombongan besar menemukan korban-korban itu dalam keadaan telanjang. Darahnya kering dihisap oleh hantu itu,” sahut Mahisa Agni.
“Cerita itu memang mengerikan. Dan apa yang sering terjadi di padang rumput itu pun memang benar-benar mengerikan. Namun tidak seperti yang kau dengar,” potong gurunya.
“Apakah yang pernah Bapa Guru ketahui tentang hantu itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Marilah kita lihat,” jawab Empu Purwa, “yang aku dengar pun terlalu mengerikan.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Meskipun ia tidak takut, namun perasaan yang aneh menjalari hatinya. Tetapi, ketika ia melihat gurunya berjalan dengan tetap dan tenang, langkahnya pun menjadi tenang pula. Ketika bintang gubuk penceng menjadi semakin jelas di ujung langit sebelah selatan, sampailah mereka di padang rumput yang mengerikan itu.
Ketika Mahisa Agni menginjakkan kakinya di atas batu-batu padas dan kemudian menjejakkannya pada rumput-rumput alang-alang, kembali hatinya berdebar-debar. Ditatapnya dalam kekelaman malam, gerumbul-gerumbul berserakan. Seonggok demi seonggok, seperti batu-batu besar yang berserak-serak di dalam telaga yang luas.
Tak sepatah kata pun yang meloncat dari mulut kedua orang itu. Dengan penuh kewaspadaan Mahisa Agni berjalan di samping gurunya, sedang gurunya tetap berjalan dengan tenang. Seakan-akan mereka sedang menikmati sinar bulan yang cemerlang. Ketika seekor kelinci meloncat dari semak-semak di depan mereka, Mahisa Agni terkejut. Kemudian ia tersenyum sendiri. Dirabanya dadanya yang berdebar-debar.
“Apakah aku sudah menjadi seorang penakut?” pikirnya.
Tanpa sengaja diingatnya cerita Ken Dedes yang didengarnya dari kawan-kawannya. Hantu itu mirip seperti manusia. Gagah tegap. Wajahnya sama sekali tak menakutkan. Bahkan seseorang pernah melihatnya di bawah sinar obor yang dibawanya. Wajah itu tampan meskipun kotor. Tetapi sifat-sifatnyalah yang mengerikan.
Hantu itu tidak biasa membiarkan korbannya hidup. Meskipun kadang-kadang ada juga yang tak dibunuhnya. Dan yang tinggal hidup itulah yang menyebarkan cerita tentang hantu di padang rumput Karautan. Tak seorang pun yang dapat mengalahkannya, apalagi menangkapnya. Jagabaya-jagabaya dari pedukuhan di sekitar padang rumput itu pun telah mencobanya. Bahkan bersama-sama dalam rombongan yang besar. Namun hantu itu pandai menghilang dengan meninggalkan lima atau enam orang korban.
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba gurunya berhenti. Ia pun segera berhenti pula. Diikutinya arah pandang mata pendeta tua itu. Dan kemudian perlahan-lahan terdengar Empu Purwa berkata dengan ramahnya,
“Nah Ki Sanak. Aku sudah mengira kalau kau menunggu kedatanganku.”
Mahisa Agni masih belum melihat seorang pun. Namun telinganya yang tajam kemudian mendengar pula gemerisik daun-daun di dalam semak-semak di samping mereka. Dan kemudian terdengarlah dengus kasar dan sebuah bayangan meloncat dengan cepatnya, seperti petir yang berlari di langit. Sesaat kemudian bayangan itu telah berdiri di hadapan mereka.
Dada Mahisa Agni bergetar cepat sekali. Hantu itu bukan sekedar cerita untuk menakut-nakuti gadis seperti Ken Dedes saja namun kini benar-benar telah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar kembali. Apalagi kemudian ketika didengarnya hantu itu tertawa. Nadanya tinggi seperti memanjat tebing Gunung Kawi menggapai langit. Karena itu maka terasa telinganya menjadi sakit. Ketika suara itu kemudian lenyap, terdengarlah hantu itu berkata,
“Kau sudah tahu kalau aku akan menghadangmu?”
“Hantu itu dapat berbicara seperti manusia,” pikir Mahisa Agni.
“Ya, Ki Sanak,” terdengar gurunya menjawab.
“Dan kau sengaja menemui aku?” bertanya hantu itu pula.
“Ya,” jawab gurunya pula.
“Kau terlalu sombong,” kembali hantu itu tertawa menyakitkan telinga. Kemudian katanya pula, “Apa keperluanmu menemui aku?”
“Bisa juga ia diajak berbicara,” pikir Mahisa Agni.
“Ada,” sahut Empu Purwa, “sekadar singgah di padang rumputmu ini. Aku sedang menempuh perjalanan pulang dari Tumapel.”
“Katakan keperluanmu!” potong hantu itu.
“Jangan tergesa-gesa,” berkata Empu Purwa dengan tenangnya. “Apakah waktumu terlalu sempit?”
“Aku tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” jawabnya.
Mahisa Agni berpikir pula, “Kalau begitu benar kata orang, hantu tidak mau mendengar suara ayam berkokok.” Tetapi gurunya menjawab dengan kata yang mengejutkan hatinya.
“Jangan menakut-nakuti aku Ki Sanak. Aku lebih takut kepada orang daripada kepada hantu.”
Hantu itu menggeram. Kemudian membentak, “Jawab! Apa keperluanmu!”
“Ada beberapa pertanyaan untukmu Ki Sanak,” sahut Empu Purwa. Suaranya tetap renyah dan ramah.
Dalam kesempatan itu Mahisa Agni dapat memandang wajah hantu itu dengan seksama. Benar mirip seperti manusia. Bahkan ia tidak melihat perbedaannya sama sekali selain rambutnya yang panjang terurai dengan liarnya berjuntai di atas pundaknya yang bidang. Dalam keremangan malam, tak dilihatnya apa-apa yang mengerikan pada tubuh hantu itu. Bahkan ia sependapat dengan kabar yang pernah didengarnya, hantu itu berwajah tampan.
“Tak ada waktu. Aku akan membunuh kalian dan minum darah kalian,” teriak hantu itu.
Bulu kuduk Mahisa Agni serentak berdiri. Ngeri juga ia mendengar kata-kata itu. Meskipun ia tidak takut mati namun mati dibunuh hantu sama sekali belum pernah terlintas di dalam benaknya. Apalagi kemudian darahnya akan diminumnya pula.
“Darahku tidak sesegar air degan Ki Sanak,” jawab Empu Agni dengan tenang. “Apakah kau selalu haus?”
“Jangan berbicara lagi! Berjongkok dan aku isap tengkukmu sampai kau mati,” hantu itu berteriak semakin keras.
Adalah di luar dugaan Mahisa Agni kalau tiba-tiba Empu Purwa menjawab, “Kalau demikian kehendakmu, apa boleh buat.”
Kemudian kepada Mahisa Agni gurunya itu berkata, “Agni, adalah sudah menjadi kebiasaan hantu-hantu pengisap darah, mengisap korbannya lewat luka di tengkuknya yang ditimbulkan oleh gigi-gigi hantu itu. Kalau hantu ini akan menggigit tengkukku dan kemudian mengisap darahku, aku tak akan melawannya. Karena itu lihatlah dengan seksama, bagaimana caranya melubangi tengkukku.”
Empu Purwa tidak menunggu jawaban. Segera ia berlutut di hadapan hantu itu sambil menundukkan kepalanya. Sesaat Mahisa Agni menjadi bingung. Apa yang dilakukan gurunya itu sama sekali tidak masuk di akalnya. Tetapi tidak saja Mahisa Agni yang menjadi bingung. Hantu itu pun tiba-tiba menjadi bingung pula. Ketika ia melihat orang tua itu berlutut di mukanya maka segera ia bergeser surut.
“Apa yang akan kau lakukan?” bentaknya.
“Memenuhi perintahmu. Berjongkok dan kau akan mengisap darahku,” jawab Empu Purwa.
Kembali hantu itu menjadi bingung. Matanya tiba-tiba bertambah liar. Kemudian katanya berteriak, “Bagus. Kau juga anak muda. Berjongkoklah dan tundukkan kepalamu.”
“Biarlah ia hidup,” potong Empu Purwa. “Biarlah ia menjadi saksi bahwa hantu di padang rumput Karautan telah melubangi tengkukku dengan giginya, kemudian minum darahku dari lubang itu pula.”
Terdengarlah gigi hantu itu gemeretak. Ia telah benar-benar menjadi marah. Kemudian katanya, “Tidak peduli apa yang kau ketahui tentang diriku. Sebab sesaat lagi kau berdua akan mati di padang rumput ini.”
Bersamaan dengan kata-katanya itu, tiba-tiba Mahisa Agni melihat benda yang berkilat-kilat di tangan hantu itu, yang ditariknya dari pinggangnya.
“Pisau?” desis hatinya, “Adakah hantu memerlukan sebuah pisau untuk membunuh seseorang? Bukankah guru berkata kalau hantu melubangi tengkuk korbannya dengan giginya?”
Otak Mahisa Agni adalah otak yang cerah. Karena itu segera ia tanggap atas sasmita gurunya. Demikian ia melihat hantu itu mengayunkan pisaunya, segera ia meloncat menyerang secepat tatit.
Hantu itu terkejut melihat serangan Mahisa Agni yang demikian cepat dan dahsyat. Karena itu ia tidak sempat menancapkan pisau itu di tengkuk orang tua yang berjongkok di hadapannya. Beberapa langkah ia meloncat mundur. Dengan merendahkan diri, hantu itu berhasil membebaskan diri dari serangan Mahisa Agni. Bahkan segera hantu itu pun telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.
Mahisa Agni tidak mau membuang waktu lagi. Demikian serangannya yang pertama gagal, segera ia mempersiapkan diri untuk mengulangi serangannya pula. Namun, sebelum ia meloncat maju, hantu itu telah menyerangnya pula. Serangannya cepat dan berbahaya. Bahkan terasa betapa kuat tenaganya. Satu kakinya terjulur ke depan sedangkan kedua tangannya seperti akan menerkamnya.
Untunglah bahwa Mahisa Agni itu murid Empu Purwa. Apa yang telah dipelajari dan didalaminya sampai kini, benar-benar merupakan bekal yang cukup baginya. Karena itu, ketika serangan hantu itu tiba, Mahisa Agni segera menghindar dengan cepatnya. Menarik satu kakinya ke belakang dan mencondongkan tubuhnya.
Hantu itu seperti terbang beberapa cengkang di hadapannya. Dengan cepatnya Mahisa Agni mempergunakan kesempatan itu. Tangan kirinya segera terayun deras sekali ke arah tengkuk lawannya. Terasa pukulannya mengena. Mahisa Agni mempergunakan sebagian besar tenaganya. Maka lawannya segera terdorong ke depan dan jatuh tersungkur di tanah.
Namun benar-benar mengherankan. Segera tubuh itu berguling-guling untuk kemudian melenting bangun. Sesaat kemudian hantu itu telah berdiri tegak di atas kedua kakinya. Bahkan segera pula ia melontar maju dengan tangan dan jari-jari yang mengembang, seperti hendak meremas muka Mahisa Agni.
Mahisa Agni adalah anak muda yang cukup terlatih. Pengetahuannya tentang tata beladiri cukup baik. Bahkan beberapa pengetahuan dari perguruan lain pun banyak diketahuinya pula. Tetapi ia belum pernah menyaksikan cara bertempur seperti yang dilakukan hantu ini. Cepat, kuat, namun kasarnya bukan main. Bahkan seakan-akan hantu itu bertempur tanpa aturan apa pun yang mengikatnya. Ia menyerang dan melawan dengan cara yang tak berketentuan.
Tetapi satu kenyataan, pukulannya yang tepat mengenai tengkuk hantu itu seakan-akan tak berbekas. Kulit hantu itu benar-benar seperti berlapis batu. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak segera menjadi cemas. Pikirnya, “Asal aku dapat merabanya seperti kulit daging manusia biasa.”
Memang Mahisa Agni pernah mendengar cerita bahwa tubuh hantu tak akan dapat disentuh tangan. Tetapi kali ini ia telah dapat menyentuh dan merasakan sentuhan itu. Bahkan hantu itu pun jatuh tersungkur terdorong oleh tenaganya. Karena itu hatinya menjadi semakin besar. Dan sejalan dengan itu, ia bertempur semakin sengit.
Hantu itu masih bertempur dengan kasarnya. Seperti angin pusaran ia membelit kemudian menghantam dari segala arah. Kadang-kadang pukulannya sama sekali tak terarah, demikian saja meluncur dengan derasnya seperti batu meluncur dari tangan. Mahisa Agni terpaksa harus menyesuaikan dirinya. Dengan tangkasnya ia meloncat, menghindar, dan menyerang. Dicarinya celah-celah dari gerakan-gerakan yang sama sekali tak teratur itu.
Sebenarnya Mahisa Agni banyak mempunyai kesempatan. Kalau saja ia tidak sedang bertempur dengan hantu dari padang rumput Karautan maka pukulannya yang pertama pasti telah meruntuhkan lawannya, yang sama sekali tidak memiliki ilmu tatabela diri itu. Namun sekali hantu itu jatuh tersungkur, sekali ia meloncat bangkit. Sepuluh kali ia terguling di tanah, sepuluh kali ia melenting berdiri.
Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin heran. Ia telah hampir mengerahkan segenap tenaganya. Namun hantu itu masih saja melayaninya dengan caranya yang khusus. Mula-mula anggapannya tentang hantu itu telah hampir larut, sejak ia melihat pisau di tangan lawannya itu. Tetapi kenyataan yang dihadapinya telah menimbulkan keraguan pula.
“Aneh,” pikirnya, “aku tidak mengharap bahwa pada suatu kali aku akan bertempur melawan hantu berpisau.”
Empu Purwa sudah tidak berjongkok lagi. Ia berdiri tegak mengawasi muridnya yang lagi bertempur. Ia melihat betapa Mahisa Agni dengan lancar mempergunakan ilmu yang telah diturunkannya kepada anak muda itu. Cepat, lincah, dan tangguh. Kadang-kadang muridnya itu seperti terbang melingkar-lingkar tetapi kadang-kadang seperti batu karang yang tegak tertanam di pasir pantai.
Sekali-kali orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya namun sekali-kali tampak ia mengerutkan keningnya. Lawan muridnya itu benar-benar aneh. Ia melihat dengan pasti, tangan muridnya telah menyentuh tubuh lawannya, namun lawannya itu benar-benar seperti kebal, kalis dari segala macam bahaya yang menimpanya.
Mahisa Agni masih bertempur dengan sengitnya. Kini ia telah mengerahkan segenap tenaganya. Bahkan segala macam ilmu yang dimilikinya telah ditumpahkannya untuk melawan hantu yang tidak pandai dalam ilmu tata bela diri namun tak dapat dijatuhkannya itu. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin kabur.
Hantu padang rumput itu menyerang membabi-buta. Semakin lama semakin kasar. Ia meloncat-loncat maju dan menerjang dengan kaki, tangan, dan pisaunya. Sekali-kali ia terpental surut oleh pukulan lawannya dan jatuh terjerembab namun sesaat kemudian ia telah maju pula. Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi bingung, bagaimana menyelesaikan pertempuran itu, bahkan Empu Purwa pun beberapa kali menarik nafas dalam-dalam. Muridnya memiliki tenaga yang kuat seperti seekor banteng. Namun tenaga muridnya itu seakan-akan tak berarti.
Tiba-tiba Empu Purwa mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Matanya yang lunak bening menjadi seakan-akan menyala. Dan dadanya bergetar seperti gempa. Empu Purwa yang tua itu melihat bayangan cahaya yang kemerah-merahan di atas kepala hantu padang Karautan itu. Samar-samar namun jelas baginya. Jelas bagi orang setua pendeta itu. Pendeta yang telah masak dalam berbagai ilmu lahir batin, yang kasatmata dan tidak kasatmata. Namun pendeta itu yakin bahwa muridnya pasti tak dapat melihatnya. Karena itu Empu Purwa menjadi gelisah. Sekali-sekali ia menarik nafas panjang.
Malam yang kelam, semakin lama menjadi semakin dalam. Angin yang dingin mengalir perlahan-lahan membelai batang-batang rumput di padang Karautan. Meskipun demikian betapa panas hati Mahisa Agni, dan betapa panas pula hati lawannya. Sebenarnyalah bahwa lawannya itu pun menjadi marah sekali. Tak pernah ia menemukan lawan setangguh Mahisa Agni. Karena itu segera dikerahkan segenap kekuatannya. Dengan menggeram ia menyerang sejadi-jadinya. Dan kemarahan itulah yang telah menyalakan warna semburat merah di ubun-ubunnya.
Dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin dahsyat. Gerak Mahisa Agni menjadi semakin cepat dan kuat sedangkan lawannya menjadi semakin keras dan kasar.nEmpu Purwa melihat bayangan warna merah itu dengan cemas. Ia masih memerlukan beberapa saat untuk meyakinkannya. Dan akhirnya, sekali lagi pendeta tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dari mulutnya terdengar ia berdesis,
“Brahma. Hem, aneh. Kenapa Dewa Brahma membiarkan anak itu menjadi hantu di padang rumput ini? Tidak adakah pekerjaan yang lebih baik daripada menyamun, membunuh, dan memerkosa?” Kembali ia memandangi warna merah di ubun-ubun lawan muridnya. Warna itu masih ada. Bahkan semakin jelas baginya. “Menurut pendengaranku, beberapa orang menyatakan bahwa warna itu adalah ciri keturunan Brahma,” sambungnya.
Tiba-tiba pendeta tua teringat pada pusakanya. Sebuah trisula. Amat kecil dan berwarna kuning. Didapatnya trisula itu dari almarhum gurunya. Turun-temurun dari guru ke murid. Dan trisula itu pun kelak akan diserahkannya kepada Mahisa Agni. Menurut cerita gurunya, trisula itu pertama-tama turun ke bumi sebagai sinar yang membelah langit, kemudian seperti guruh meledak di lereng Gunung Semeru. Yang pertama-tama menemukan trisula itu adalah Empu Wikan. Seorang Empu Sakti yang bertapa di kaki bukit Semeru.
Ketika Empu Wikan mendengar guruh meledak di malam hening maka timbullah kecurigaan di dalam hatinya. Maka dengan hati yang berdebar-debar dipanjatnya tebing Gunung Semeru. Dari kejauhan ia masih melihat sinar yang memancar tegak sebesar lidi jantan menusuk langit. Ketika ia mendekati sinar itu terasa betapa panasnya, Empu sakti itu pun harus bersemedi. Dalam semedinya terdengar suara gemuruh di atas kepalanya. Berkata suara itu,
“Empu Wikan yang bijaksana, yang dijauhi oleh segala bencana di sekitarnya. Apabila sinar itu nanti lenyap, datanglah ke titik tegaknya di bumi. Kau akan menemukan sebuah trisula sebagai tanda kebesaran Siwa. Aku hadiahkan trisula itu kepadamu sebagai tanda kebesaran namamu. Simpanlah pusaka itu dan serahkanlah turun-temurun kepada murid-murid terkasih. Tetapi ingat Empu Wikan, pusaka itu sama sekali bukan alat pembunuh. Tetapi ia akan dapat memengaruhi hati musuh yang bagaimana pun saktinya.”
Kenangan Empu Purwa pecah ketika lawan muridnya jatuh hampir menimpanya. Sekali terguling namun sesaat kemudian telah tegak kembali dan dengan garangnya menerkam muridnya seperti seekor serigala lapar menerkam kambing. Tetapi Mahisa Agni bukanlah seekor kambing. Dengan merendahkan diri, diangkatnya kaki kanannya langsung menghantam perut lawannya. Sekali lagi lawannya terpental dan terbanting.
Namun sekali lagi hantu padang rumput itu meloncat bangkit. Telah berpuluh kali ia terjatuh namun ia masih segar, sesegar mula-mula mereka bertemu. Akhirnya Empu Purwa kasihan juga melihat muridnya. Tandangnya sudah mulai susut. Peluh telah membalut seluruh tubuhnya dilekati debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki mereka yang bergulat antara hidup dan mati itu.
“Agni, kau tak akan mampu mengalahkannya,” pikir pendeta tua itu. Karena itu maka segera ia harus menolongnya. Membebaskan muridnya dari libatan lawannya yang keras dan kasar. Tetapi ia tidak dapat menghilangkan pengaruh warna merah di kepala lawan muridnya itu dari angan-angannya. Sekali lagi ia menimbang-nimbang. Hantu padang rumput itu adakah kekasih Brahma sedangkan pusaka di tangannya adalah hadiah Siwa. Karena itu maka perlahan-lahan ia maju mendekati titik pertempuran.
Lawan muridnya itu, ketika melihat Empu Purwa mendekati mereka, berkata dengan parau, “Ayo, kau yang tua sekali. Majulah bersama-sama. Selama kau masih belum mampu menangkap angin, selama itu kau jangan mengharap lepas dari padang rumput ini.”
“Agni,” berkata Empu Purwa tanpa menjawab kata-kata hantu itu, “Lepaskan lawanmu!”
Mahisa Agni heran mendengar tegur gurunya. Selama ini, apabila gurunya melepasnya bertempur, tak pernah ditariknya kembali sebelum tubuhnya menjadi lemas atau bahaya maut telah hampir menelannya. Meskipun ia merasa tenaganya telah surut namun hantu itu pun tak mampu menyentuhnya. Karena itu ia merasakan suatu keanehan pada gurunya kali ini. Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak berani menolak perintah itu. Dengan satu loncatan panjang ia melepaskan lawannya.
“Jangan lari!” terdengar kembali suara hantu itu. Suara parau dan kasar.
“Tak ada gunanya ia meneruskan.”
“Tidak!” jawab Agni, “Aku tak akan lari.”
“Ia tak akan lari,” sahut Empu Purwa, “tetapi ia tak akan melawanmu dengan cara demikian.”
“Cara apa pun yang akan dipergunakannya, mari maju bersama-sama,” potong hantu itu.
“Tidak,” jawab Empu Purwa, “Aku sudah terlalu tua. Tetapi aku ingin berlaku adil.”
“Kenapa?” sahut lawan Agni.
“Kau mempergunakan senjata,” jawab pendeta tua itu.
“Pakailah senjata!” teriak hantu padang Karautan itu.
“Aku akan memberinya senjata,” sahut Empu Purwa.
“Jangan banyak bicara. Berikan sekarang. Kemudian aku akan segera membunuhnya,” lagi-lagi hantu itu berteriak.
Perlahan-lahan Empu Purwa menarik trisula dari dalam sarung kecilnya, berwarna kuning berkilauan. “Agni,” katanya, “pergunakan trisula ini. Tetapi ingat, jangan kau tusukkan ke tubuhnya. Pengaruhi saja perasaannya dengan senjata itu.”
“Gila!” potong lawan Agni, “Kau berkata demikian sengaja supaya aku mendengarnya. Tusukkan ke tubuhku. Aku tak akan mati.”
Tetapi tiba-tiba suara terhenti. Trisula itu di mata hantu seakan-akan cahaya yang menyilaukan matanya. Karena itu ia berteriak, “Kalian curang. Sekarang kalian yang tidak berlaku adil. Kalian bertempur dengan alat untuk menyilaukan mataku.”
Empu Purwa menarik nafas. Ia sendiri tidak tahu, kenapa lawan muridnya itu menjadi silau sedangkan muridnya sendiri tidak. Demikianlah agaknya khasiat trisula itu meskipun kali ini harus berhadapan dengan kekasih Brahma. Maka terdengar jawaban pendeta tua itu,
“Senjata itu sama sekali tak menyilaukan mataku dan mata anakku. Kenapa kau menjadi silau?”
“Senjata itu agaknya kau peroleh dari setan-setan yang mempunyai daya seperti tenung,” bantah lawan Agni dengan kasarnya. “Sekarang kau akan menenungku.”
“Seandainya senjata itu aku terima dari setan-setan, bukankah hantu dapat melawan setan-setan. Sebab hantu dan setan mempunyai persamaan tabiat. Keduanya tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” sahut Empu Purwa.
Hantu padang rumput itu menggeram keras sekali. Ia tidak mau berbicara lagi. Dengan satu loncatan panjang ia menyerang Empu Purwa. Meskipun serangan itu datangnya tiba-tiba sekali namun Empu Purwa dengan cepat dapat menghindarkan diri. Ia adalah seorang pendeta yang mumpuni. Meskipun tak ada hasratnya untuk berkelahi namun adalah hak setiap hidup untuk mempertahankan hidupnya.
Mahisa Agni pun tidak tinggal diam. Segera ia meloncat menyerang hantu padang rumput. Dan kembali terjadi perkelahian yang sengit antara hantu berpisau dan Mahisa Agni dengan trisula di tangan. Meskipun demikian Mahisa Agni sama sekali tidak tahu apakah gunanya senjata itu apabila sama sekali tidak boleh ditusukkan ke tubuh lawannya. Namun ia tidak berani melanggar pantangan itu.
Karena itu dipegangnya trisula itu dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya dengan tangkas menangkis setiap serangan dan bahkan beberapa kali untuk menyerang lawannya. Dengan trisula di tangan kiri itu sebenarnya gerak Mahisa Agni justru terganggu. Tetapi terasa suatu keanehan terjadi atas lawannya itu. Tiba-tiba ia tidak segarang semula. Berkali-kali lawannya terpaksa meloncat menjauhi dan kadang-kadang tangannya terpaksa melindungi matanya. Mahisa Agni menjadi heran. Agaknya lawannya itu benar-benar menjadi silau.
“Inilah khasiat trisula ini,” pikir Mahisa Agni.
Dengan demikian ia dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Digerakkannya trisula itu melingkar-lingkar seperti kemamang yang menari-nari di udara. Dan lawannya menjadi semakin terdesak. Dengan demikian Mahisa Agni dapat mengenainya lebih banyak, dan betapapun keras kulit hantu itu namun lambat laun terasa juga nyeri-nyeri di kulit dagingnya. Tenaga Mahisa Agni benar-benar sekuat raksasa.
Pada umurnya menjelang seperempat abad itu, Mahisa Agni benar-benar merupakan seorang pemuda yang pilih tanding. Akhirnya terasa bahwa tandang lawannya menjadi semakin susut meskipun tenaga Agni sendiri seakan-akan telah terperas habis. Berkali-kali hantu itu meloncat surut dan mundur. Semakin lama semakin jauh. Hingga akhirnya hantu itu berteriak,
“Kalau kau jantan, lepaskan trisula itu. Aku juga akan melepaskan pisauku.”
“Pisaumu itu tak berarti apa-apa,” sahut Empu Purwa, “Tetapi kau memiliki tanda-tanda yang aneh di atas kepalamu.”
“Jangan mencari-cari. Pertimbangkan tantanganku,” jawabnya.
Sekali lagi Empu Purwa mendekati mereka. Katanya dengan nada penuh kedamaian, “Berhentilah berkelahi.”
“Kalian menyerah?” jawab lawan Agni.
Mahisa Agnilah yang menyahut, “Tidak!”
Kembali terdengar suara Empu Purwa, “Berhentilah berkelahi! Dengarkan kata-kataku!”
Suaranya seakan-akan mengandung suatu wibawa yang agung. Mahisa Agni adalah muridnya sehingga ia sama sekali tak dapat berbuat lain daripada menghentikan perkelahian. Tetapi tidak saja Mahisa Agni yang terpengaruh oleh kata-kata itu, bahkan lawannya pun tiba-tiba meloncat mundur. Sehingga dengan demikian, pertempuran pun menjadi terhenti karenanya.
Empu Purwa melangkah semakin dekat di antara kedua lawan itu. Katanya kemudian, “Ki Sanak, kau memiliki tanda-tanda yang khusus pada dirimu. Karena itu aku dapat mengenalmu.”
“Kau kenal aku?” sahut hantu itu.
“Ya,” jawab Empu Purwa.
“Aku adalah penjaga padang rumput ini. Sato mara satu mati, jalma mara jalma mati. Aku lubangi tengkuknya dan aku hisap darahnya.”
“Tetapi beberapa orang menemukan korbanmu tanpa mengenakan pakaiannya. Tanpa ikat pinggang, tanpa uang dan perhiasan,” potong Empu Purwa.
Hantu itu menggeram. Tetapi sebelum ia menjawab Empu Purwa telah meneruskan kata-katanya, “Jangan menyembunyikannya dirimu. Kau adalah kekasih dewa-dewa.”
Tampak lawan Mahisa Agni itu mengerutkan keningnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” desak Empu Purwa.
“Hantu tidak pernah punya nama,” jawabnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” ulang Empu Purwa.
“Aku tak punya nama!” teriaknya keras-keras sehingga suaranya menggema di seluruh padang rumput Karautan.
Tetapi kembali terdengar suara Empu Purwa tenang perlahan-lahan, namun pasti, “Siapakah namamu Ki Sanak?”
Hantu yang menakutkan setiap orang itu tiba-tiba menundukkan kepalanya. Rambutnya yang liar berjuntai di atas bahunya. Angin yang lembut mengalir perlahan-lahan menggerakkan ujung-ujung rambut yang terurai lepas sebebas rumput alang-alang di padang rumput itu. Tanpa diduga oleh Mahisa Agni tiba-tiba terdengar mulut hantu itu menjawab,
“Namaku Ken Arok.”
Mahisa Agni terkejut mendengar nama itu. Tidak saja Mahisa Agni, tetapi yang menyebutkan nama itu pun terkejut pula. Dengan lantangnya ia berteriak, “Jangan ulangi namaku! Dan untuk seterusnya kau tak akan sempat menyebut namaku. Sebab kalian berdua akan kubunuh malam ini agar Ken Arok tetap tak dikenal orang.”
Tiba-tiba Mahisa Agni bersiap kembali. Nama Ken Arok adalah nama yang menakutkan. Tak ada bedanya dengan hantu di padang rumput Karautan, yang ternyata adalah Ken Arok itu sendiri.
“Kau adalah orang buruan,” berkata Agni dengan lantang, “selagi kau bernama hantu pun aku tidak takut. Apalagi ternyata kau adalah manusia terkutuk. Bersiaplah, kita bertempur sampai hayat kita menentukan, siapakah di antara kita yang akan berhasil keluar dari padang rumput ini.”
“Bagus!” teriak hantu yang ternyata bernama Ken Arok itu. “Berpuluh, bahkan beratus orang, yang telah aku bunuh. Apa artinya kalian berdua?”
Sesaat kemudian Ken Arok dan Mahisa Agni telah siap untuk bertempur kembali namun segera Empu Purwa berkata, “Perkelahian di antara kalian tak ada gunanya. Sebab perkelahian itu tak akan sampai pada ujungnya. Ken Arok memiliki kelebihan dari manusia biasa sedangkan Agni membawa pusaka yang tak ada duanya di dunia ini.”
“Aku akan melayaninya, Bapa,” sahut Agni, “sehari, dua hari bahkan selapan pun aku tak akan meninggalkannya.”
“Sebelum ayam jantan berkokok kau sudah mati,” potong Ken Arok.
“Tak ada artinya, Agni,” berkata Empu Purwa.
Kemudian kepada Ken Arok, pendeta tua itu berkata, “Arok, apakah kau dapat berkelahi dengan mata yang silau? Bagaimanakah kalau trisula itu berada di tanganku, kemudian Agni memukulmu semalam suntuk? Kau tak akan dapat membalasnya sebab aku akan menggerakkan trisula itu di tentang matamu.”
“Curang!” teriak Ken Arok dengan marah.
“Kau juga curang,” bantah Empu Purwa.
“Kenapa? Hanya karena aku memegang pisau ini? Baiklah. Kalau demikian pisauku akan aku buang. Kita bertempur tanpa senjata.”
“Bukan,” sahut Empu Purwa, “Bukan karena senjatamu. Tetapi kenapa kau seolah-olah menjadi kebal?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu benar-benar aneh. Akhirnya ia menjawab, “Bukan kehendakku. Sejak aku sadar tentang diriku, aku telah menjadi kebal. Dewa-dewalah yang membuat aku demikian. Bertanyalah kepada Dewa-dewa. Kalau itu kau anggap kecurangan, Dewalah yang membekali aku dengan kecurangan itu.”
“Bagus. Dewa pulalah yang memberi aku trisula itu,” sahut Empu Purwa, “Adakah itu juga suatu kecurangan?”
Ken Arok menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Wajahnya menjadi tegang dan tangannya yang memegang pisau menjadi gemetar. Tetapi sesaat kemudian terdengar suara Empu Purwa lunak,
“Kemarilah. Duduklah.”
Ken Arok dan Mahisa Agni sama sekali tidak tahu maksud pendeta tua itu. Karena itu, untuk sesaat mereka berdiri mematung sehingga orang tua itu mengulangi kata-katanya,
“Mahisa Agni dan Ken Arok. Kemarilah! Duduklah!”
Meskipun masih diliputi oleh keragu-raguan namun Mahisa Agni kemudian duduk di samping gurunya. Ken Arok masih tegak seperti tonggak.
“Kemarilah Arok,” panggil Empu Purwa dengan ramahnya.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Ken Arok melangkah dua langkah maju. Kemudian menjatuhkan dirinya di samping pendeta tua itu.
“Arok,” kata pendeta tua itu, “seharusnya kau sadar dirimu. Siapakah engkau dan apakah yang akan terjadi atas dirimu. Kau memiliki beberapa kelebihan dari orang lain tetapi kelebihan itu telah kau salah gunakan.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata orang tua itu. Di dalam malam yang gelap, mata itu seakan-akan memancarkan cahaya yang putih bening.
“Ken Arok. Apabila kau sedang berbaring menjelang tidur, tidakkah kau pernah menghitung berapa orang yang telah menjadi korbanmu? Tidakkah kau pernah membayangkan, bahwa orang yang menggeletak mati di padang rumput Karautan ini, atau di tempat-tempat lain yang pernah kau diami, tidak saja menimbulkan kengerian pada saat-saat matinya, tetapi peristiwa itu juga akan meninggalkan goresan yang dalam bagi keluarganya? Bagi anak-anak dan istri mereka yang menunggunya di rumah? Tidakkah kau pernah membayangkan bahwa seorang laki-laki pergi merantau untuk mendapatkan sesuap nasi. Tetapi di jalan pulang laki-laki itu bertemu dengan seorang anak muda yang bernama Ken Arok. Di rumah anak-anaknya yang lapar menunggunya. Tetapi laki-laki itu tak akan pernah pulang.”
Ken Arok belum pernah mendengar seorang pun berkata demikian kepadanya. Kawan-kawannya pada masa kanak-kanaknya, ayah angkatnya yang bernama Lembong, Bango Samparan, dan orang-orang yang pernah datang pergi dalam perjalanan hidupnya. Yang dikenalnya hanyalah daerah-daerah yang gelap. Judi, tuak, perempuan, dan segala macam kejahatan. Sekali dua kali hidupnya terdampar juga ke rumah-rumah yang wajar.
Namun tak sempat didengarnya nasihat dan petuah-petuah. Karena itu, maka kata-kata Empu Purwa itu mula-mula asing baginya. Tetapi kalimat-kalimat itu seperti embun yang menetes dari langit. Perlahan-lahan daun-daun rumput yang kering menjadi basah pula. Demikianlah kata-kata asing itu di hati Ken Arok. Meskipun ia belum mengenal seluruhnya, namun terasa bahwa ada dunia lain dari dunianya yang gelap.
“Ken Arok,” kembali terdengar suara Empu Purwa, “Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang.”
Tiba-tiba Ken Arok menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan diamatinya tangannya. Tangan yang kotor karena darah dan air mata. Dan kini tangan itu menjadi gemetar. “Tak ada jalan lain yang dapat aku tempuh,” terdengar suaranya parau. Tetapi tidak sekeras semula.
“Banyak,” sahut Empu Purwa.
“Aku telah asing dari hidup manusia wajar. Semua orang menjauhi aku,” katanya.
“Mereka takut kepadamu. Kepada perbuatan-perbuatanmu,” jawab Empu Purwa.
Ken Arok menggeleng. Matanya menjadi sayu. Katanya, “Tidak. Sejak aku lahir di luar kehendakku. Aku adalah anak panas. Ayahku mati ketika ibuku diceraikannya. Dan orang menyalahkan aku. Kemudian menurut kata orang, pada masa aku masih bayi merah, aku dibuang di pekuburan. Aku dipelihara oleh Bapak Lembong. Seorang pencuri. Salahkah aku kalau aku kemudian mengikuti cara hidupnya?”
“Tidak,” sahut Empu Purwa, “Kau tidak bersalah. Tetapi kau akan lebih berbahagia kalau kau dapat menempuh cara hidup yang lain.”
Ken Arok memandang wajah pendeta tua itu dengan seksama. Kesan wajahnya telah berubah sama sekali dari semula. Matanya kini sudah tidak liar dan ganas. Bahkan kini menjadi suram. Sekali lagi ia menggeleng, “Aku tidak tahu apakah masih ada cara hidup yang lain yang dapat aku jalani. Aku telah dijauhi oleh sanak-kadang.”
“Jangan risau,” sahut Empu Purwa, “meskipun kau dijauhi oleh sanak-kadang dan handai-taulan, apabila kau tundukkan kepalamu dan bersujud kepadanya, maka adalah sahabat manusia yang jauh lebih berharga dari sanak-kadang, handai, dan taulan.”
“Siapakah dia?” bertanya Ken Arok.
“Yang Maha Agung,” jawab Empu Purwa. Perlahan-lahan namun langsung menusuk kalbu Ken Arok.
Mahisa Agni telah sering mendengar gurunya berkata demikian kepadanya. Berkata tentang Yang Maha Kuasa, yang menciptakan langit dan bumi, kemudian memeliharanya dan kelak akan datang masanya langit dan bumi akan dihancurkannya. Tetapi Ken Arok belum pernah mendengar sebutan itu. Karena itu ia masih berdiam diri menunggu penjelasan.
“Ken Arok,” Empu Purwa melanjutkan, “meskipun kau hidup sendiri di dunia ini, namun kau akan berbahagia kalau Yang Maha Agung itu tidak meninggalkanmu.”
Ken Arok masih berdiam diri. Kata-kata pendeta tua itu belum begitu jelas baginya. Ia sama sekali tidak kenal kepada Yang Maha Agung itu. Tetapi dalam kesibukan berpikir, tiba-tiba Ken Arok teringat pada pengalamannya. Ketika ia dikejar-kejar oleh orang Kemundungan. Ketika ia sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maka memanjatlah ia ke atas sebatang pohon tal. Tetapi orang-orang yang mengejarnya memotong batangnya. Pada saat itu, pada saat ia telah kehilangan akal, terdengarlah suara dari langit,
“Ken Arok, potonglah dua helai daun tal. Pakailah sebagai sayap. Dan kau akan dapat terbang melintasi sungai di bawah pohon tal itu.”
Kemudian, ketika dipotongnya dua pelepah daun tal serta dinaiknya, seakan-akan ia terbang melintasi sungai. Maka tiba-tiba melontarlah pertanyaan menusuk benaknya, “Suara apakah yang telah menyelamatkan aku itu?”
Suara itu telah lama dilupakannya. Bahkan dianggapnya tidak pernah ada. Tetapi suara itu kini terngiang kembali. Jelas, seperti baru saja diucapkan. Akhirnya sampailah ia pada kesimpulan. Itulah suara Yang Maha Agung. Ken Arok terkejut sendiri pada kesimpulan yang ditemukannya. Bersamaan dengan itu, terbayanglah di matanya peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Perampokan, pembunuhan, perkosaan, dan segala jenis kejahatan.
Tiba-tiba Ken Arok menjadi takut. Takut kepada penemuannya. Pada kesimpulan yang didapatnya. Kalau benar Yang Maha Agung itu ada maka akan diketahui semua perbuatannya. Ken Arok menjadi gemetar seperti orang kedinginan, wajahnya menjadi pucat. Dan dengan suara yang bergetar Ken Arok bertanya meyakinkan, “Adakah Yang Maha Agung itu kenal kepadaku?”
“Ya,” sahut Empu Purwa, “Yang Maha Agung itu kenal kepadamu, kepadaku, kepada Agni, dan kepada semua manusia di dunia ini seperti seorang bapa mengenal anak-anaknya.”
“Tahukah Yang Maha Agung itu atas apa yang pernah dan sedang aku lakukan?” bertanya Ken Arok pula.
“Pasti,” jawab Empu Purwa.
Mendengar jawaban itu Ken Arok menjadi menggigil karenanya. Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulitnya. Tiba-tiba Mahisa Agni menjadi terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok itu meloncat berdiri. Terdengarlah ia berteriak,
“Bohong! Bohong! Kau akan menakut-nakuti aku?”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni pun meloncat berdiri. Dengan kesiagaan penuh ia mengawasi Ken Arok yang berdiri tegang di muka gurunya. Matanya yang sayu suram kini menjadi liar kembali. Dengan ujung pisaunya ia menunjuk ke wajah Empu Purwa yang masih duduk dengan tenangnya. Katanya,
“Kau ingin melawan aku dengan cara pengecut itu? Berdirilah bersama-sama. Kita bertempur sampai binasa.”
Mahisa Agni telah bersiap. Ia akan dapat menyerang Ken Arok dengan satu loncatan. Tetapi ketika hampir saja ia meloncat menyerang, sekali lagi ia terkejut. Dilihatnya Ken Arok itu meloncat mundur dan tiba-tiba hantu padang rumput Karautan itu memutar tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya seperti kuda lepas dari ikatannya. Sesaat Agni diam mematung. Namun kemudian ia pun meloncat mengejar hantu yang mengerikan itu. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti karena suara gurunya,
“Agni! Biarkan ia lari. Kemarilah!”
Sekali lagi Agni tidak dapat memahami tindakan gurunya. Ken Arok adalah orang buruan yang berbahaya. Apakah orang itu akan dilepaskannya? Tetapi Mahisa Agni berhenti juga. Dengan wajah yang tegang karena pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dadanya, ia berjalan tergesa-gesa mendekati gurunya.
“Bapa,” katanya terbata-bata, “kenapa orang itu kita biarkan pergi?”
Empu Purwa menarik nafas. Perlahan-lahan orang tua itu berdiri. “Marilah kita lanjutkan perjalanan kita,” berkata orang tua itu. Seakan-akan ia tak mendengar pertanyaan muridnya, bahkan katanya kemudian, “Kita tidak akan sampai tengah malam nanti.”
Karena pertanyaannya tidak dijawab, Agni menjadi semakin tidak puas. Tetapi ia diam saja. Ia pun kemudian berjalan di samping gurunya. Sekali-kali matanya dilemparkannya jauh ke belakang tabir kelamnya malam. Hantu padang rumput Karautan telah hilang seakan-akan ditelan oleh raksasa hitam yang maha besar. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak bertanya-tanya lagi.
Bintang gemintang di langit masih bercahaya gemerlapan. Beberapa pasang telah semakin bergeser ke barat. Dan embun pun perlahan-lahan turun. Agni masih berjalan di samping gurunya. Dengan matanya yang tajam, ditatapnya padang rumput yang terbentang di hadapannya. Beberapa tonggak lagi ia masih harus berjalan. Dalam keheningan malam itu kemudian terdengar suara gurunya lirih,
“Agni, masihkah kau berpikir tentang hantu padang Karautan?”
Mahisa Agni menoleh. Kemudian ia mengangguk sambil menjawab, “Ya Bapa.”
“Apa yang kau lihat pada anak muda itu?” bertanya gurunya.
Mahisa Agni tidak tahu maksud gurunya. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab sehingga Empu Purwa mengulangi, “Adakah sesuatu yang aneh yang kau lihat pada Ken Arok?”
“Apakah yang aneh itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Itulah yang aku tanyakan kepadamu. Sesuatu yang tidak ada pada kebanyakan manusia,” sahut gurunya.
Mahisa Agni termenung sejenak. Dicobanya untuk membayangkan kembali tubuh lawannya. Dada yang bidang, sepasang tangan yang kokoh kuat, rambut yang liar berjuntai sampai ke pundaknya, dan wajahnya yang tampan namun penuh kekasaran dan kekerasan. Tiba-tiba Agni menggeleng, gumamnya seperti kepada diri sendiri, “Tak ada. Tak ada yang aneh padanya.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Pikirnya, “Aku sudah menduga bahwa Agni tak melihat cahaya di ubun-ubun Ken Arok.” Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah, “Memang tidak ada Agni, namun ada cerita yang aneh tentang anak muda yang menjadi buruan itu.”
Mahisa Agni mengawasi wajah gurunya dengan seksama. Tetapi tak dilihatnya kesan apa pun pada wajah yang tua itu. Mungkin karena gelapnya malam. Mungkin karena di wajah pendeta tua itu segala sesuatu menjadi tenang, setenang permukaan telaga yang terlindung dari sentuhan angin..Tetapi kemudian terdengar Empu Purwa berkata,
“Agni, tak banyak yang aku dengar tentang asal-usul Ken Arok. Tetapi aku pernah mendengarnya dari mulut beberapa orang pendeta. Di antaranya pendeta di Sagenggeng. Bahwa dari kepala Ken Arok itu memancar cahaya yang kemerah-merahan. Dan cahaya yang demikian adalah ciri dari mereka yang dikasihi oleh Brahma.”
“Kalau demikian…?” kata-kata Mahisa Agni terputus.
“Ya,” Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ken Arok adalah kekasih Brahma. Bahkan orang pernah menganggap bahwa Ken Arok adalah pecahan Dewa Brahma sendiri.”
Mahisa Agni menundukkan wajahnya, ditatapnya ujung kakinya berganti-ganti. Seakan-akan ia sedang menghitung setiap langkah yang dibuatnya. Kembali menjalar di benaknya beberapa macam pertanyaan yang kadang-kadang sangat aneh baginya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada trisula di tangannya. Ya, di tangan kirinya masih digenggamnya tangkai trisula yang terlalu kecil baginya. Tanpa sesadarnya, diamatinya trisula itu dengan seksama. Trisula itu benar-benar berkilauan namun tidak sampai menyilaukan baginya. Mahisa Agni terkejut ketika didengarnya gurunya berkata,
“Agni, cerita tentang trisula itu sama anehnya dengan cerita tentang orang buruan itu.”
Agni mengangkat wajahnya. Sekali lagi dipandangnya wajah gurunya. Wajah yang sepi hening.
“Trisula itu adalah hadiah dari Siwa,” Empu Purwa meneruskan.
Memang cerita itu aneh bagi Mahisa Agni. Karena itu ia menjadi heran. Kekasih Brahma yang hampir setiap saat menjalankan kejahatan, dan senjata hadiah Siwa di tangannya. Adakah dengan demikian berarti bahwa membenarkan segala macam kejahatan itu? Meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan namun Empu Purwa telah dapat menangkap dari wajah muridnya, maka katanya,
“Agni. Jangan kau risaukan apa yang sedang dilakukan oleh Brahma, Siwa, dan Wisnu sekali pun. Kalau pada suatu saat, orang-orang yang menurut cerita bersumber pada kekuatan Brahma harus berhadapan dengan orang-orang bersumber pada kekuatan Siwa atau Wisnu, itu bukanlah hal yang perlu kau herankan. Sebab, baik Siwa, Brahma, maupun Wisnu itu sendiri merupakan pancaran dari Maha Kekuasaan Yang Esa. Dan keesaan kekuasaan itulah yang mengatur mereka. Apa yang dilakukan Brahma, Wisnu, dan Siwa adalah satu rangkaian yang bersangkut-paut dengan tujuan tunggal. Apa yang diadakan oleh kekuasaan itu, kemudian dipeliharanya untuk kemudian, apabila sampai saatnya, dihancurkannya.”
Kini kembali Mahisa Agni menundukkan wajahnya. Ia dapat mengerti apa yang dikatakan oleh gurunya. Dan itulah sebabnya, maka gurunya tak mengizinkannya untuk mengejar Ken Arok, yang menurut kata orang adalah pecahan Dewa Brahma itu sendiri. Kemudian, gurunya itu tidak berkata-kata lagi. Mereka berjalan saja menembus malam yang gelap dingin. Dan setapak demi setapak mereka mendekati rumah mereka. Desa Panawijen.
Ketika mereka menjadi semakin dekat semakin dekat maka lupalah Mahisa Agni kepada Ken Arok, pada trisula di tangannya, pada cerita tentang Brahma dan Siwa, serta pada perkelahian yang baru saja dialami. Yang ada di dalam angan-angannya kemudian adalah kampung halamannya. Kampung halaman di mana ia meneguk ilmu dari gurunya, Empu Purwa.
Tetapi, kampung halaman itu tidak akan demikian memukaunya apabila di sana tidak ada orang-orang tersangkut di dalam hatinya, selain gurunya, pendeta tua yang sabar dan tawakal itu. Yang mula-mula hadir di dalam angan-angannya adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan seperti yang dirindukan oleh bidadari sekali pun. Kadang-kadang Mahisa Agni menjadi heran, apabila dibandingkannya wajah gadis itu dan wajah ayahnya.
Ayahnya bukanlah seorang yang berwajah tampan pada masa mudanya. Entahlah kalau ibunya seorang bidadari yang kamanungsan. Mahisa Agni belum pernah melihatnya. Bahkan anak gadis itu sendiri pun tak dapat mengingat wajah ibunya lagi. Dan gadis yang bernama Ken Dedes itu, di matanya tak ada yang memadainya. Sehingga tidaklah aneh bahwa setiap mulut yang tersebar dari lereng timur Gunung Kawi sampai ke Tumapel pernah menyebut namanya.
Tetapi gadis itu terlalu bersikap manja kepadanya, seperti seorang adik kepada seorang kakak yang sangat mengasihinya. Mahisa Agni tidak begitu senang pada sikap itu. Seharusnya Ken Dedes tidak menganggapnya sebagai seorang kakak. Tiba-tiba wajah Agni menjadi kemerah-merahan. Ia tidak berani meneruskan angan-angannya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Perlahan-lahan Mahisa Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terkejut ketika terdengar gurunya berkata,
“Agni, sebaiknya kau kembalikan trisula itu kepadaku. Aku mengharap bahwa kelak kau akan dapat memilikinya.”
“Oh,” terdengar sebuah desis perlahan dari mulut Agni. Cepat-cepat ia menyerahkan senjata aneh itu kepada gurunya tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kemudian mereka pun meneruskan perjalanan mereka. Sudah tidak seberapa jauh lagi. Dari desa di hadapan mereka, terdengarlah kokok ayam jantan bersahut-sahutan.
“Hari menjelang pagi,” desis Empu Purwa.
“Kita terhalang di padang Karautan,” sahut Mahisa Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Dan kembali Mahisa Agni berangan-angan. Kini yang hadir di dalam benaknya adalah sahabatnya. Seorang pemuda yang tampan, bertubuh tinggi tegap, bermata hitam mengkilat. Anak muda itu adalah putra Ki Buyut Panawijen. Hampir setiap hari Mahisa Agni bermain-main bersamanya. Menggembala kambing bersama. Bekerja di sawah bersama. Saling membantu seperti kakak-beradik yang rukun. Mereka berdua mempunyai banyak persamaan tabiat. Keduanya senang pada pekerjaan mereka sehari-hari.
Keduanya bekerja di antara penduduk Panawijen yang rajin. Menggali parit, membuat bendungan di sungai, dan membersihkan jalan-jalan desa, memelihara pura-pura, dan segala macam pekerjaan. Namun ada yang tak dapat dipersamakan di antara mereka. Mahisa Agni adalah seorang pemuda yang tangguh, yang hampir sempurna dalam ilmu tata beladiri dan tata bermain senjata. Berkelahi seorang diri dan bertempur dalam gelar-gelar perang.
Sedangkan Wiraprana, anak muda putra Ki Buyut Panawijen, adalah seorang anak muda yang tak banyak perhatiannya pada ilmu tata beladiri meskipun dipelajarinya serba sedikit dari ayahnya. Meskipun anak muda itu rajin bekerja namun ia tidak setekun Mahisa Agni dalam menempa diri. Meskipun demikian, karena Agni tidak biasa menunjukkan kelebihannya, keduanya dapat bergaul dengan rapatnya.
Mereka memasuki desa mereka pada saat cahaya merah membayang di timur. Di telinga mereka masih menghambur suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Sekali-kali telah terdengar pula gerit senggot orang menimba air dari perigi-perigi di belakang rumah mereka. Ketika mereka, Empu Purwa dan Mahisa Agni, memasuki halaman rumah mereka yang dikelilingi oleh pagar batu setinggi orang, mereka melihat api menyala di ujung dapur.
“Ken Dedes sudah bangun,” berkata Empu Purwa perlahan.
Mahisa Agni tidak menjawab. Sejak semula ia sudah menyangka bahwa Ken Dedes dan para endanglah yang sedang merebus air sambil menunggu kedatangan mereka.nSekali mereka berjalan melingkari pertamanan di tengah-tengah halaman yang luas itu. Kemudian mereka berjalan di tanggul kolam yang berair bening. Di siang hari, kolam itu dipenuhi oleh itik, angsa, dan berati, berenang dengan riangnya. Kedatangan mereka disambut oleh Ken Dedes dengan penuh kemanjaan. Dengan bersungut-sungut terdengar ia bergumam,
“Ayah terlalu lama pergi bersama Kakang Agni. Semalam aku tidak tidur. Ayah berkata bahwa selambat-lambatnya senja kemarin sampai di rumah. Tetapi baru pagi ini ayah sampai.”
“Agni kerasan di Tumapel,” jawab Empu Purwa.
“Ah,” desah Ken Dedes, “barangkali gadis-gadis Tumapel menahannya.”
Mahisa Agni tersenyum kemalu-maluan. Ia tidak mau disangka demikian, namun ia tidak dapat mengatakan keadaan yang sebenarnya di padang Karautan. Karena itu menyahut, “Aku berburu kelinci di Padang Karautan.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Katanya, “Ayah melewati padang rumput itu?”
Empu Purwa mengangguk.
“Tidaklah Ayah takut kepada hantu yang sering menghadang orang lalu di padang rumput itu?” desak Ken Dedes.
Sekali lagi Empu Purwa menggeleng. Katanya, “Tak ada hantu di sana. Yang ada adalah kelinci-kelinci dan anak-anak rusa.”
Ken Dedes tidak bertanya lagi tetapi wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Tiba-tiba Ken Dedes melangkah maju mendekati Mahisa Agni. Ditatapnya sesuatu pada wajah anak muda itu. “Kenapa wajahmu, Kakang?” bertanya Ken Dedes kemudian sambil meraba pipi Mahisa Agni.
Baru pada saat itu Mahisa Agni merasa wajahnya nyeri. Sebuah jalur kemerah-merahan membujur di wajahnya, di samping noda yang kebiru-biruan. Sekilas terasalah tangan hantu Karautan menghantam wajahnya itu pada saat ia berkelahi. “Pipiku tersangkut dahan pada saat aku merunduk menangkap kelinci,” jawab Agni.
Meskipun Ken Dedes tidak bertanya lagi namun tampaklah kerut-kerut di keningnya sebagai pertanyaan hatinya. Kemudian tanpa disengajanya Ken Dedes mencibirkan bibirnya. Sesaat kemudian mereka telah duduk menghadapi minuman hangat. Air daun sereh dengan gula aren telah menyegarkan tubuh mereka.
“Kau terlalu lelah Agni,” berkata Empu Purwa. “Beristirahatlah.”
Sebenarnyalah bahwa Agni terlalu lelah. Perkelahiannya dengan Ken Arok telah memeras hampir seluruh tenaganya. Karena itu ia pun segera beristirahat pula. Karena kelelahan itulah maka ia pun segera jatuh tertidur. Betapapun lelahnya namun Agni tidak dapat tidur terlalu lama. Sudah menjadi kebiasaan anak muda itu bangun pagi-pagi sebelum matahari melampaui punggung bukit-bukit di sebelah timur.
Tetapi kali ini Mahisa Agni terlambat juga. Ketika ia membuka mata, dilihatnya cahaya matahari telah memanasi dinding-dinding ruang tidurnya. Karena itu segera ia bangkit dan segera pula dengan tergesa-gesa pergi ke belakang membersihkan diri. Ketika ia melangkah kembali masuk ke ruang dalam, Mahisa Agni terkejut mendengar sapa perlahan-lahan,
“Kau kerinan, Agni.”
Agni menoleh. Dilihatnya di sudut bale-bale besar yang terbentang di ruangan itu, Wiraprana duduk bersila. Senyumnya yang segar membayang di antara kedua bibirnya. Agni pun tersenyum pula. Jawabnya, “Aku terlalu lelah.”
“Kau baru pulang semalam?” bertanya Prana.
“Bukan semalam,” jawab Agni, “pagi ini.”
“Lama benar kau pergi,” sahut Prana.
“Sepekan,” jawab Agni.
“Selesaikan dirimu. Kita pergi ke sawah kalau kau tidak terlalu lelah,” ajak Wiraprana.
Agni tidak menjawab. Segera ia membenahi diri. Sesaat kemudian mereka berdua telah turun ke halaman. Beberapa kali mata Agni mengitari seluruh ruangan dan halaman rumahnya untuk mencari Ken Dedes. Namun gadis itu tak ditemuinya. Ketika di halaman ia berpapasan dengan seorang cantrik, maka ia bertanya, “Ke mana Ken Dedes?”
“Ke sungai, Ngger,” jawab cantrik itu.
“Apa yang dilakukan?” desak Agni.
“Ken Dedes membawa kelenting dan dijinjingnya bakul cucian,” jawab cantrik itu pula.
“Bapa Pendeta?” bertanya Agni pula.
“Di sanggar, sejak beliau datang bersama Angger,” jawab cantriknya itu.
Agni tidak bertanya lagi. Dan keduanya berjalan pula keluar halaman. Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika mereka melihat debu yang berhamburan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berlari tidak terlalu kencang. Kuda itu berjalan searah dengan Agni dan Wiraprana.
Agni melihat kuda yang besar dan tegar itu dengan kagumnya. Di punggung kuda itu duduk seorang pemuda dengan pakaian yang rapi dan teratur. Kain lurik merah bergaris-garis cokelat, celana hitam mengkilat, dan timang bermata berlian. Di punggungnya terselip sebuah pusaka, keris berwrangka emas.
Melihat anak muda yang duduk di atas punggung kuda itu wajah Agni menjadi terang. Ia tertawa sambil melambaikan tangannya dan dari sela-sela tertawanya terdengar ia menyapa, “Kuda Sempana!”
Wiraprana berdiri saja di tempatnya. Ia melihat Agni dengan bibir yang ditarik ke sisi. Bisiknya, “Kau akan kecewa, Agni.”
Meskipun Agni mendengar bisik sahabatnya namun ia tidak segera menangkap maksudnya. Ia masih tegak di tepi jalan menanti anak muda yang berkuda dengan gagahnya itu. Mula-mula Mahisa menyangka bahwa Kuda Sempana tidak melihatnya. Karena itu sekali lagi menyapa, “He, Kuda Sempana!”
Anak muda yang bernama Kuda Sempana itu memperlambat kudanya. Dilemparkan pandangannya ke arah Mahisa Agni. Namun hanya sebentar. Ia mengangguk tanpa kesan. Kemudian ia melanjutkan perjalanan.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kuda Sempana baru beberapa tahun meninggalkan kampung halaman. Apakah anak itu telah melupakannya? Untuk meyakinkan dirinya, Mahisa Agni masih tetap berdiri menanti Kuda Sempana. Tetapi ia menjadi kecewa ketika tiba-tiba kuda yang dinaikinya membelok masuk ke halaman. Justru halaman rumah gurunya.
“Bukankah itu Kuda Sempana?” tanpa sesadarnya Agni bertanya.
“Ya,” jawab Wiraprana.
“Kawan kita bermain dahulu?” Agni menegaskan.
“Ya,” jawab Prana.
“Bukankah anak itu baru beberapa tahun meninggalkan kita,” Agni meneruskan.
“Ya,” sahut Prana pula.
“Aneh,” berkata Agni seperti orang yang menyesal.
“Sudah aku katakan,” jawab Prana, “kau akan kecewa. Dua hari yang lampau, aku menyesal pula seperti kau sekarang. Anak itu sekarang menjadi pelayan dalam dari Akuwu Tunggul Ametung. Ia menjadi kaya dan tak mengenal kita lagi.”
“Barangkali ia tergesa-gesa,” Agni mencoba untuk memuaskan hatinya sendiri.
“Aku telah mengalami dua hari yang lampau. Ia memandangku seperti orang asing,” sahut Prana.
Tetapi Mahisa Agni masih belum yakin. Tak masuk di akalnya bahwa hanya karena menjadi pelayan dalam Akuwu Tumapel, seseorang dapat melupakan kawan-kawan bermain sejak masa kanak-kanaknya.
Wiraprana melihat keragu-raguan itu. Maka katanya sambil tersenyum, “Agni, agaknya kau tidak yakin akan kata-kataku. Cobalah kau temui anak itu.”
“Marilah,” ajak Agni.
Wiraprana menggeleng. Jawabnya, “Aku segan. Tak ada gunanya. Aku akan mendahului. Aku tunggu kau di atas tanggul.”
Mahisa Agni sejenak menjadi ragu-ragu. Tetapi bagaimanapun juga ia melihat sikap yang aneh pada Kuda Sempana. Apalagi anak muda itu masuk ke halaman rumah gurunya. Karena itu akhirnya ia berkata, “Baiklah Prana, tunggulah aku di atas tanggul. Aku segera menyusul.”
Sekali lagi Wiraprana tersenyum. Kemudian ia memutar tubuhnya berjalan perlahan-lahan mendahului Agni, yang karena keinginannya untuk mengetahui keadaan Kuda Sempana, berjalan kembali ke halaman rumahnya. Ketika ia memasuki halaman, dilihatnya Kuda Sempana masih berada di atas punggung kudanya. Dengan sikap seorang bangsawan ia sedang bercakap-cakap dengan seorang cantrik.
“Sudah lama ia pergi?” terdengar Kuda Sempana itu bertanya.
“Sudah Angger,” jawab cantrik itu.
“Sendiri?” bertanya Kuda Sempana.
“Dengan beberapa endang, Angger,” jawab cantrik itu.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditebarkan pandangannya ke seluruh sudut halaman. Dan ketika dilihatnya Mahisa Agni, Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Mahisa Agni tersenyum dengan ramahnya. Dengan akrabnya ia berkata, “Sempana. Alangkah gagahnya kau sekarang.”
Anak muda itu memandang Mahisa Agni dengan tajam. Kemudian katanya, “Ya.”
Jawaban itu terlalu pendek bagi dua orang kawan yang telah lama tidak bertemu. Meskipun demikian Agni masih menyapanya lagi, “Apakah keperluanmu? Adakah aku dapat membantumu?”
Kuda Sempana menggeleng, “Aku tergesa-gesa.”
Perasaan kecewa mulai menjalari dada Mahisa Agni. Percayalah ia sekarang kepada Wiraprana bahwa hal yang diragukan itu benar-benar dapat terjadi. Namun sekali lagi Agni bertanya, “Adakah sesuatu pesan untuk Bapa Pendeta?”
Sempana menggeleng. “Tidak,” katanya, “Aku tidak mempunyai sesuatu keperluan dengan Empu Purwa. Aku datang untuk putrinya.”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Agni. Tetapi ia mencoba menguasai perasaannya. Dan tahulah ia sekarang, siapakah yang ditanyakan oleh Sempana kepada cantrik itu. Mahisa Agni terkejut ketika kemudian terdengar Kuda Sempana berkata,
“Aku tidak mempunyai banyak waktu.”
Anak muda yang gagah itu tidak menunggu jawaban siapa pun. Segera ia menarik kekang kudanya, dan kuda yang tegar itu pun berputar. Sesaat kemudian kuda itu telah menghambur meninggalkan halaman yang luas dan sejuk itu. Ketika Kuda Sempana telah hilang di balik pagar, bertanyalah cantrik itu kepada Mahisa Agni,
“Bukankah anak muda itu Angger Kuda Sempana?”
“Ya,” jawab Agni sambil mengangguk-angguk kepalanya.
“Tetapi,” cantrik itu meneruskan, “bukankah anak muda itu kawan Angger Agni bermain-main seperti Angger Wiraprana?”
Agni mengangguk. Ditatapnya sisa-sisa debu yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang mengagumkan itu. Jawabnya, “Begitulah.”
Cantrik itu tidak bertanya lagi ketika dilihatnya sorot mata Agni yang aneh. Karena itu, segera ia kembali pada pekerjaannya membersihkan halaman dan tanam-tanaman.
Mahesa Agni pun kemudian tidak berkata-kata pula. Diayunkan kakinya keluar halaman. Ia telah berjanji pergi ke tanggul. Di sana Wiraprana menunggunya. Ia masih melihat Kuda Sempana melarikan kudanya lewat jalan yang akan dilaluinya namun ia sama sekali sudah tidak menaruh perhatian kepada anak muda yang sombong itu. Karena itu segera angan-angannya kembali kepada sahabatnya, Wiraprana.
Tanggul yang dimaksud Wiraprana adalah tanggul sebuah bendungan dari sebuah sungai kecil yang membujur agak jauh dari desanya. Dari sungai itulah sawah-sawahnya mendapat aliran air. Karena itu, baik Agni maupun Wiraprana sering benar pergi ke tanggul itu. Bahkan bukan saja anak-anak muda namun gadis-gadis pun selalu pergi ke sungai itu untuk mencuci pakaian-pakaian mereka dan mandi di belumbang kecil di bawah bendungan.
Tetapi Agni tidak langsung pergi ke tanggul itu. Ketika ia lewat di samping sawah Empu Purwa yang menjadi garapannya, ia berhenti. Dilihatnya beberapa batang rumput liar tumbuh di antara tanaman-tanamannya meskipun masa matun baru saja lampau. Karena itu ia memerlukan waktu sejenak untuk menyiangi tanamannya itu.
Wiraprana yang sudah sampai di pinggir kali, duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas yang menjorok agak tinggi. Ketika ia melihat bahwa tanggul dan bendungan cukup baik, maka yang dikerjakannya adalah menunggu Mahisa Agni, yang akan diajaknya untuk melihat apakah rumpon yang mereka buat telah masak untuk dibuka.
Wiraprana meredupkan matanya ketika ia melihat seekor kuda berlari kencang ke arahnya. Segera ia mengenal bahwa di atas punggung kuda itu duduk Kuda Sempana. Meskipun ia tidak tahu maksud kedatangan anak muda itu namun perasaan tidak senang telah menjalari dirinya sehingga tanpa sesadarnya ia turun dan duduk di balik batu padas itu. Ia sama sekali tidak ingin untuk bertemu dengan anak yang sombong itu meskipun timbul juga keinginannya untuk mengetahui, apakah maksud kedatangan anak muda itu ke bendungan.
Ketika Wiraprana melayangkan pandangannya ke belumbang kecil di bawah bendungan itu, dilihatnya beberapa orang gadis sedang mencuci. Satu di antara mereka adalah gadis yang dikenalnya dengan baik, sebaik ia mengenal Mahisa Agni. Gadis yang namanya selalu disebut oleh hampir setiap pemuda di kaki Gunung Kawi itu. Gadis itu adalah Ken Dedes.
Wiraprana menarik nafas. Tetapi kemudian ia dikejutkan oleh derap kaki kuda di sampingnya. Sekali lagi ia berkisar ke balik batu itu. Ia benar-benar tidak mau bertemu lagi dengan Kuda Sempana setelah hatinya dikecewakan dua hari yang lampau.
Tetapi didesak oleh perasaannya maka dengan hati-hati ia mengintip apakah keperluan anak muda yang sombong itu. Ia menahan nafas ketika ia melihat Sempana berjalan hanya beberapa langkah di mukanya, kemudian membelok ke kanan, menuruni tebing sungai.
Beberapa orang gadis yang melihat kedatangan anak muda itu menjadi heran. Mereka telah biasa melihat Wiraprana, Mahisa Agni, dan anak-anak muda dari desa mereka berada di atas tanggul bendungan itu. Namun anak muda dengan pakaian yang sedemikian lengkapnya adalah jarang mereka lihat. Tetapi ketika anak muda itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba terdengarlah hampir bersamaan dari mulut gadis-gadis itu sebuah sapa yang riang,
“Kuda Sempana!”
Tetapi sapa itu sama sekali tak berbekas di wajah Kuda Sempana yang seakan-akan telah membeku. Meskipun kemudian gadis-gadis itu menjadi riuh, namun Sempana sama sekali tak terpengaruh olehnya, sehingga akhirnya gadis-gadis itu pun menjadi heran dan berhenti dengan sendirinya.
Tetapi di antara mereka, tampaklah Ken Dedes menjadi pucat. Tiba-tiba terasa tubuhnya gemetar seperti kedinginan. Ia melihat kedatangan Kuda Sempana seperti melihat hantu. Bagaimanapun ia mencoba menguasai dirinya namun tampak juga tubuhnya bergetar. Untunglah tak seorang pun dari kawan-kawannya memperhatikannya.
Kuda Sempana kemudian berdiri tegak di tepi belumbang kecil itu. Gadis-gadis yang berada di hadapannya itu seakan-akan tak dilihatnya selain seorang gadis yang dengan gemetar memperhatikan segala tingkah lakunya.
“Ken Dedes,” kemudian terdengar kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Meskipun ia berdiri dengan garangnya namun terdengar kata-katanya itu lunak dan lambat. Oleh kata-kata Sempana itu maka gadis-gadis itu pun seperti terpikat oleh sebuah pesona, bersama-sama menoleh ke arah Ken Dedes yang kemudian menundukkan wajahnya.
Ken Dedes sama sekali tidak menjawab sapa itu. Bahkan tubuhnya seraya menjadi lemas. Detak jantung di dadanya seakan-akan berdentang seperti guntur. Ketika sekali lagi ia mendengar anak muda itu memanggilnya maka ditundukkannya wajahnya semakin dalam.
“Ken Dedes,” berkata Sempana kemudian, “aku tidak banyak mempunyai waktu. Tinggalkan cucianmu sebentar. Ada sesuatu yang akan aku katakan kepadamu.”
Gadis-gadis yang lain pun saling berpandangan. Mereka memuji ketampanan Kuda Sempana namun mereka berteka-teki pula, mengapa Kuda Sempana menemui seorang gadis di pemandian. Sudah tidak adakah waktu yang lain?
“Aku telah datang ke rumahmu, Ken Dedes,” Kuda Sempana meneruskan, “Tetapi kau tak ada. Karena itu aku terpaksa menyusulmu.”
“Kakang Sempana,” akhirnya Ken Dedes terpaksa menjawabnya, “Tunggulah aku di rumah. Aku akan dapat membicarakannya dengan ayah dan Kakang Agni.”
“Marilah kita pulang bersama-sama,” ajak Sempana.
“Aku belum mandi,” bantah Ken Dedes, “dan cucianku belum selesai. Bukankah hari masih terlampau pagi?”
“Besok aku harus kembali ke Tumapel,” sahut Kuda Sempana, “siang nanti aku akan berkemas. Seandainya kau bersedia…” Sempana tak meneruskan kata-katanya. Ketika ia mendengar beberapa orang gadis menahan senyumnya, ditatapnya wajah gadis-gadis itu dengan tajamnya sehingga gadis-gadis itu pun menjadi ketakutan dan menjatuhkan pandangan mereka ke atas pasir.
Ken Dedes menjadi semakin gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan. Tetapi pasti bahwa ia tak dapat memenuhi permintaan Kuda Sempana. Karena Ken Dedes tidak segera menjawab, Sempana mendesaknya, “Ken Dedes, berpakaianlah!”
Nafas Ken Dedes menjadi sesak. Apalagi ketika didengarnya Kuda Sempana meneruskan, “Bukankah tidak baik apabila aku menyatakan maksudku di sini?”
Sekali lagi terdengar suara-suara tertawa yang tertahan. Dan sekali lagi mata Sempana yang tajam beredar ke setiap wajah gadis-gadis di belumbang itu, dan sekali lagi gadis-gadis itu melemparkan pandangan jauh-jauh.
Mulut Ken Dedes telah benar-benar seperti membeku. Karena itu tak sepatah kata pun dapat diutarakan meskipun hatinya meronta-ronta. Adalah suatu aib yang mencoreng di wajahnya apabila kemudian Sempana tak dapat menahan hatinya dan melamarnya langsung tidak setahu ayahnya. Meskipun ia dapat menolak tetapi sikap yang demikian dari seorang pemuda adalah sikap yang tercela.
Hanya gadis-gadis yang tak berhargalah yang akan pernah mengalami perlakuan demikian. Maka merataplah Ken Dedes di dalam hatinya, “Apakah aku ini termasuk dalam lingkaran gadis-gadis yang demikian sehingga Sempana memperlakukan aku begini?” Hampir saja air mata Ken Dedes meledak seandainya ia tidak berusaha sekuat-kuatnya untuk menahannya.
Tetapi Sempana, pelayan dalam Akuwu Tumapel itu, benar-benar seperti orang mabuk. Katanya, “Ken Dedes, bukankah sejak aku pulang, aku telah berkata kepadamu bahwa suatu ketika aku akan datang ke rumahmu? Seharusnya kau tahu akan maksudku itu. Karena itu sekarang marilah kita pulang.”
Ken Dedes masih saja menundukkan wajahnya. Karena itu kemudian Kuda Sempana menjadi tidak sabar lagi. Sorot matanya menjadi semakin tajam. Beberapa orang gadis pergi menjauhinya. Mereka takut melihat sikap Sempana yang menjadi semakin garang. Dada Ken Dedes pun menjadi semakin sesak. Hatinya menjadi tegang. Tak ada yang dapat dilakukannya. Sekali ia mencoba menatap wajah Sempana tetapi wajah itu terlalu menakutkan baginya sehingga akhirnya kembali kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang lain dari suara Kuda Sempana. Tidak terlalu keras namun kata demi kata dapat didengarnya dengan baik. Katanya, “Kuda Sempana, adakah kau akan ikut serta mencuci pakaianmu di belumbang ini?”
Kuda Sempana terkejut. Ketika ia menoleh, dilihatnya Wiraprana berjalan perlahan-lahan ke arahnya. Karena itu wajah Sempana segera menjadi merah. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadap Wiraprana. Dan dengan suara lantang ia berkata, “Apa kerjamu di sini?”
“Menunggui tanggul,” jawab Wiraprana singkat.
Kuda Sempana menggeram. Ia benar-benar menjadi marah. Katanya, “Kau mencoba mencampuri urusanku?”
Wiraprana mengerutkan keningnya, “Apa yang aku campuri? Setiap hari aku berada di tempat ini. Mengail, membuka parit, mencuci pakaian, dan segala macam pekerjaan anak desa. Kaulah yang aneh. Seorang pelayan dalam Tumapel berada di bendungan.”
“Tutup mulutmu!” bentak Sempana.
Gadis-gadis yang melihat peristiwa itu menjadi ketakutan pula. Tubuh mereka bergetaran dan dada mereka menjadi sesak. Apalagi Ken Dedes sendiri. Di samping perasaan takut yang membelit hatinya maka ia pun merasa bahwa dirinyalah sebab dari pertengkaran itu. Karena itu maka ia menjadi semakin cemas. Meskipun ia merasa bersyukur pula atas kehadiran Wiraprana namun agaknya Kuda Sempana memandang kehadiran Wiraprana sebagai tantangan. Kuda Sempana tidak menjadi malu atau segan, bahkan ia bersikap sebagai lawan.
Pada saat Wiraprana berada di balik batu padas, dilihatnya sikap Kuda Sempana yang kurang wajar. Karena itu perlahan-lahan ia merunduk di balik-balik batu mendekatinya. Meskipun ia tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi namun adalah pasti baginya bahwa Ken Dedes berada dalam kesulitan. Maka sikap Sempana itu adalah merupakan penjelasan baginya. Anak muda yang sombong itu benar-benar telah berbuat suatu kesalahan.
Karena itu jawabnya tatag, “Kuda Sempana. Jangan terlalu kasar. Bukankah dahulu kau setiap hari juga berada di bendungan ini. Bahkan malam hari pun kau kadang-kadang tidur di atas pasir di tepian itu bersama-sama aku? Marilah kita bersikap wajar. Juga terhadap gadis-gadis, kau sebaiknya bersikap wajar.”
“Jangan gurui aku anak desa yang sombong. Selama hidupmu kau dikungkung oleh kepicikan akal dan kesempitan pengetahuan,” jawab Sempana, “Aku telah mencoba berlaku sopan kepada Ken Dedes. Aku hanya ingin persoalanku cepat selesai.”
“Soalmu dan Ken Dedes benar-benar bukan urusanku,” sahut Wiraprana, “Kalau kalian berdua telah bersepakat maka adalah suatu dosa bagiku apabila aku datang kepadamu sekarang. Tetapi aku melihat sikap Ken Dedes lain dari sikap yang kau harapkan. Dan kau terlalu bersikap garang kepadanya.”
“Wiraprana!” bentak Kuda Sempana, “sekali lagi aku peringatkan, tinggalkan tempat ini!”
“Jangan bersikap demikian, Sempana,” jawab Wiraprana, “Jangan bersikap seperti orang hendak berkelahi. Aku bukan orang yang biasa berbuat demikian. Namun aku hanya ingin memperingatkan kepadamu. Pulanglah. Pergilah kepada ayahnya dan biarlah ayahnya bertanya kepadanya, apakah ia bersedia menerima kehadiranmu di dalam perjalanan hidupnya.”
Kuda Sempana yang sombong itu tidak mau lagi mendengar kata-kata Wiraprana. Karena itu selangkah ia meloncat maju. Tangan kanannya terayun menampar mulut Wiraprana. Gerak Sempana cepat seperti kilat sehingga Wiraprana tak sempat mengelak. Terdengarlah seperti sebuah ledakan cambuk di pipi Wiraprana. Wiraprana terkejut. Ia terdorong beberapa langkah ke samping. Terasa betapa nyeri pukulan itu. Tetapi untunglah bahwa ia tidak terbanting ke air.
“Sempana,” katanya sambil berdesis menahan sakit, “jangan terlalu kasar.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana, “Tinggalkan tempat ini!”
“Kau telah melanggar kebiasaan kampung halaman kita, Sempana,” berkata Wiraprana lantang, “adat itu tetap kita hormati.”
Sekali lagi Kuda Sempana tidak dapat mengendalikan dirinya. Tangannya terayun kembali ke wajah Wiraprana. Namun, kali ini Wiraprana tidak mau dikenai untuk kedua kalinya. Karena itu cepat-cepat ia membungkukkan badannya. Tangan Kuda Sempana hanya sejari terbang di atas kepalanya. Tetapi Sempana adalah pelayan dalam istana sehingga dengan cepat ia dapat membetulkan kesalahannya.
Ketika dirasa tangannya tak menyentuh tubuh Wiraprana, segera ia mengulangi serangannya. Geraknya benar-benar tak diduga oleh Wiraprana. Karena itu, selagi ia masih membungkuk, terasa sebuah tamparan menyengat pipinya yang lain. Sekali lagi Wiraprana terdorong ke samping dan sekali lagi ia berdesis menahan sakit.
Ketika Wiraprana telah tegak kembali, terdengarlah giginya gemeretak dan matanya memancarkan sinar kemarahan. Telah dua kali pipinya di kedua sisi merasakan betapa berat tangan Kuda Sempana. Bagaimanapun juga Wiraprana adalah laki-laki juga seperti Kuda Sempana. Karena itu katanya lantang,
“Kuda Sempana. Jangan membusungkan dada hanya karena kau telah mendapat kedudukan baik di samping Akuwu Tunggul Ametung. Persoalanmu adalah persoalan adat kampung halaman.”
“Apa pedulimu!” bentak Kuda Sempana, “Kalau aku tidak dapat menemui ayah gadis yang aku senangi, aku masih mempunyai cara lain. Aku akan melarikannya. Kelak aku akan kembali dengan seorang cucu yang manis bagi Empu Purwa. Dan ia harus menerima kedatangan kami.”
Wajah Wiraprana menjadi merah padam. Katanya kepada Ken Dedes, “Adakah kau telah bersepakat untuk kawin lari?”
“Tidak! Tidak!” teriak Ken Dedes serta-merta.
“Hem,” geram Wiraprana kepada Kuda Sempana, “kalau kau telah bersepakat, aku tak dapat menghalangimu. Tetapi kalau tidak, dan kau akan memaksakan cara itu, aku akan mencegahmu.”
Kuda Sempana tertawa dengan sombongnya. Katanya, “Bagus. Seseorang dibenarkan untuk melakukan pencegahan. Tetapi tatacara itu pun menuntut pengorbanan bagi gadis yang diidamkan. Nyawaku menjadi taruhan.”
Wiraprana mengangkat alisnya. Ia ngeri mendengar kata-kata Kuda Sempana. Mengorbankan nyawa berarti kematian. Dan ia ngeri memikirkan kematian. Tetapi ia harus mencegahnya. Karena itu katanya, “Aku tidak menghendaki bencana apa pun. Baik bagimu maupun bagiku. Tetapi aku hanya akan mencegahmu.”
Kuda Sempana tidak sabar lagi. Dengan berteriak nyaring, ia meloncat menyerang Wiraprana. Tetapi kali ini Wiraprana telah bersiaga. Karena itu, ia pun berhasil mengelakkan serangan Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana tidak puas dengan serangannya yang gagal. Segera ia pun memperbaiki kedudukannya dan dengan garangnya ia mengulangi serangannya.
Segera terjadilah perkelahian antara keduanya. Wiraprana yang bertubuh tinggi tegap itu cukup mempunyai kekuatan namun Kuda Sempana, yang tidak sebesar Wiraprana, mempunyai kelincahan yang mengagumkan. Serangannya benar-benar datang seperti sikatan yang menari-nari di padang rumput yang hijau.
Gadis-gadis yang melihat perkelahian itu menjadi semakin ketakutan. Mereka berlari bercerai-berai sambil memekik-mekik. Namun ada di antara mereka yang sedemikian takutnya sehingga mereka terduduk lemas, seakan-akan tulang-belulangnya dicopoti.
Ken Dedes sendiri, seperti orang yang kehilangan kesadarannya, duduk di atas pasir di tepi belumbang. Beberapa kali ia mencoba menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Tetapi kadang-kadang ia terpaksa mengintip perkelahian itu dari celah-celah jarinya. Ia takut melihat perkelahian itu namun ia terpaksa untuk melihatnya. Perkelahian yang demikian benar-benar jarang terjadi di Panawijen yang tenteram. Hampir tak pernah terdengar perselisihan di antara anak-anak muda. Namun tiba-tiba mereka harus melihat sebuah perkelahian yang mengerikan.
Kuda Sempana benar-benar memiliki kelincahan dan ketangkasan. Sebagai seorang abdi yang dipercaya, Sempana mempunyai bekal yang cukup. Karena itu ia pun memiliki ilmu tata berkelahi yang baik. Sedangkan Wiraprana, meskipun dari ayahnya, Buyut Panawijen, telah pernah dipelajarinya ilmu itu namun anak muda itu sama sekali tidak menekuninya. Ketenteraman hidup dan kedamaian hati penduduk Panawijen tidak pernah menuntunnya ke dalam persoalan yang dapat memaksanya untuk menekuni ilmu semacam itu.
Karena itu, sesaat kemudian, terasa bahwa Wiraprana yang tinggi tegap itu tak akan dapat mengimbangi kelincahan dan ketangkasan lawannya. Berkali-kali ia terdorong surut dan berkali-kali ia terhuyung karena pukulan-pukulan lawannya. Untunglah bahwa pekerjaan-pekerjaan berat yang selalu dilakukan dapat menolongnya. Tubuhnya menjadi kuat dan untuk beberapa lama ia dapat menahan sakit yang menjalar hampir di setiap bagian tubuhnya. Pukulan yang bertubi-tubi telah mematangkan kulit wajahnya. Merah biru, dan dari bibirnya mengalir darah yang merah segar.
Tetapi betapa kuat tubuh Wiraprana, akhirnya terasa juga semakin lama semakin menjadi lemah. Nyeri dan pedih menyengat-nyengat tak henti-hentinya dan setiap kali pula tangan Kuda Sempana masih saja mengenainya. Namun Wiraprana tak mau melepaskan lawannya. Kalau ia melepaskan Sempana dan melarikan diri, Kuda Sempana pasti akan melaksanakan maksudnya. Telah terucapkan dari bibirnya bahwa ia akan dapat menempuh cara yang keji terhadap gadis idamannya. Karena itu, tidak mustahil bahwa ia pada saat itu pula akan memaksa Ken Dedes mengikutinya ke Tumapel.
Ia akan dapat bersembunyi di istana Tunggul Ametung sampai kelahiran anaknya. Dan sesudah itu, tak seorang pun dapat menuntutnya. Tetapi di samping itu, terasa pula oleh Wiraprana bahwa akhirnya ia tak akan mampu berbuat apa-apa. Sesaat kemudian ia akan jatuh terjerembab. Mungkin pingsan dan mungkin terjadi peristiwa yang mengerikan itu. Nyawanya harus dipertaruhkan.
Kuda Sempana masih berkelahi dengan penuh nafsu. Meskipun ia sadar bahwa Wiraprana tak akan mampu menandinginya namun ia tetap berlaku kasar. Tangannya menjambak bertubi-tubi, dan bahkan Kuda Sempana menjadi semakin marah karena Wiraprana tidak segera jatuh. Karena itu, akhirnya ia berketetapan hati untuk menyelesaikan perkelahian itu. Dengan garangnya ia menyerang lawannya dan dengan kedua tangannya ia menghantam wajah Wiraprana bertubi-tubi.
Sekali wajah Wiraprana terangkat karena pukulan Kuda Sempana yang tepat mengenai rahangnya namun sesaat kemudian kepalanya terkulai ke samping oleh tangan lawannya yang lain. Oleh keadaannya itu, hampir Wiraprana menjadi putus asa. Ia merasa bahwa ia tak akan dapat berbuat banyak. Terbayang di matanya kesudahan dari peristiwa itu. Panawijen akan berkabung. Anak Buyut Panawijen terbunuh dan putri Pendeta Panawijen dilarikan orang.
Ketika Wiraprana hampir menyerahkan dirinya kepada nasib, lamat-lamat didengarnya Ken Dedes memekik kecil. Gadis itu menjadi ngeri ketika dilihatnya darah mengalir dari bibir dan hidung Wiraprana. Namun bagi Wiraprana, pekik itu seakan-akan telah menggugah kembali semangatnya. Tiba-tiba terpikir olehnya, kenapa gadis itu tidak saja lari dan pulang ke rumah. Karena itu tiba-tiba, dengan tidak menghiraukan keadaan dirinya, Wiraprana mendekap tubuh Kuda Sempana erat-erat. Bersamaan dengan itu terdengar ia berkata parau,
“Ken Dedes, tinggalkan tempat ini. Cepat, sebelum aku kehabisan tenaga!”
Ken Dedes pun kemudian seperti orang bangkit dari mimpi. Segera ia meloncat berdiri dan berlari meninggalkan belumbang yang mengerikan itu. Tak diingatnya lagi barang-barang cuciannya serta pakaiannya yang basah kuyup..Sementara itu, Kuda Sempana menjadi marah bukan kepalang. Ketika Wiraprana mendekap tubuhnya, ia tidak sempat mengelak karena hal itu sama sekali tak diduganya. Tangan Wiraprana itu kemudian seakan-akan terkunci di pinggangnya. Meskipun dengan sekuat tenaga ia menghantam tengkuk, punggung, dan kepala Wiraprana namun tangan itu seperti tangan yang telah melekat dengan jaringan kulitnya sendiri. Sehingga, karena marah, jengkel bercampur baur, ia pun berteriak,
“Wiraprana, jangan gila. Kau tidak berkelahi seperti laki-laki. Lepaskan dan marilah kita berhadapan secara jantan.”
Tetapi Wiraprana tak mendengar kata-kata itu. Telinganya seolah-olah telah tuli dan mulutnya membisu. Tangannya yang melingkar itu menjadi kaku seperti tangan golek kayu. Kuda Sempana mengempas-empaskan tubuhnya, menendang, memukul, dan segala macam. Apalagi ketika dilihatnya Ken Dedes telah berlari memanjat tebing.
Tetapi tiba-tiba langkah Ken Dedes terhenti. Hampir saja ia melanggar sesosok tubuh yang tiba-tiba saja muncul dengan tergesa-gesa. Terdengarlah gadis itu memekik kecil tetapi kemudian terdengar ia berteriak nyaring, “Kakang Mahisa Agni!”
Mahisa Agni berdiri tegak seperti batu karang yang kokoh kuat di tepi lautan. Sesaat wajahnya menyapu berkeliling, kemudian terhenti pada tubuh-tubuh yang sedang bergulat di bawah bendungan. Dilihatnya Kuda Sempana dengan bengisnya menghujani tubuh Wiraprana yang menjadi semakin lemas. Dan bahkan akhirnya dilihatnya pelukan Wiraprana terlepas dan anak muda itu jatuh terkulai di atas pasir tepian.
Ketika tangan Wiraprana terlepas dari tubuhnya, segera Kuda Sempana meloncat berlari. Ia tidak mau melepaskan Ken Dedes lagi. Telah bulat hatinya untuk melarikan saja gadis itu. Kalau ia sempat menangkap dan membawanya ke atas kudanya. Ia tak perlu pulang. Berita tentang dirinya akan memberitahukan kepada keluarganya bahwa ia telah kembali ke Tumapel. Ia yakin pula bahwa tak seorang pun berani mengganggu keluarganya itu sebab ia akan dapat menakut-nakuti mereka dengan kedudukannya sekarang.
Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika dilihatnya Ken Dedes berdiri rapat di belakang seorang anak muda yang tegak seperti patung raksasa. Kakinya yang renggang seakan-akan berakar jauh terhujam ke dalam tanah. Serta wajahnya yang tengadah membayangkan betapa teguh hatinya. Sebelum ia sempat berkata sepatah kata pun, terdengar batu karang itu seperti menggeram,
“Kuda Sempana. Apakah yang telah kau lakukan?”
Mata Kuda Sempana seakan-akan menyala karena kemarahannya. Mahisa Agni itu pun akan mencoba menghalang-halanginya. Maka katanya, “Agni. Jangan bersikap seperti seorang perwira tamtama. Lihatlah Wiraprana. Ia telah mencoba melawan kehendakku.”
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kuda Sempana itu dahulu adalah kawannya bermain pula seperti Wiraprana. Tetapi tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajah yang sombong itu. Maka katanya, “Kuda Sempana. Jangan kau mencoba memperkecil arti kami, anak-anak Panawijen. Kau juga anak dari tanah ini. Kau mampu menjabat pekerjaanmu sekarang. Demikian juga anak-anak yang lain. Kau telah menghina kampung halamanmu sendiri.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana.“Kalau kau ingin mengalami nasib seperti Wiraprana, bilanglah.”
Selangkah demi selangkah Mahisa Agni berjalan maju, menuruni tebing. Wajahnya menjadi tegang dan matanya menjadi bercahaya. Kemarahan di dadanya telah menjalari kepalanya. Ditatapnya wajah Kuda Sempana seperti menatap wajah hantu. Ya, baru semalam Mahisa Agni berkelahi melawan hantu padang Karautan. Dan hantu itu tidak dapat mengalahkannya meskipun ia pun tak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Tetapi yang berdiri di hadapannya sekarang bukan hantu Karautan yang menakutkan setiap orang. Yang ada di hadapannya tidak lebih dari Kuda Sempana.
Tetapi Mahisa Agni tak pernah merendahkan orang lain. Karena itu tak pernah ia kehilangan kewaspadaan. Demikianlah pada saat ia berhadapan dengan Kuda Sempana. Diamatinya setiap lekuk kulit anak yang sombong itu. Pakaian yang mewah namun sudah kusut dan kotor karena perkelahiannya melawan Wiraprana.
Kuda Sempana, yang telah mendapat tempaan keprajuritan beberapa tahun di Istana Tumapel, itu pun tidak sabar lagi. Dengan garangnya ia berlari menyongsong Mahisa Agni. Tak ada sepatah kata pun lagi yang meluncur dari mulutnya. Yang dilakukannya adalah langsung menyerang lawannya.
Mahisa Agni telah bersiaga sepenuhnya. Karena itu, dengan cepat ia mengelakkan diri. Sekali ia melingkar dan dengan sapuan yang cepat, ia berhasil menyentuh lambung lawannya dengan tumitnya. Sentuhan itu tidak terlalu keras dan Kuda Sempana pun tidak merasakan sesuatu karena sentuhan itu. Namun sentuhan itu telah benar-benar mengejutkannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Mahisa Agni mampu bergerak sedemikian cepatnya. Karena itu, sentuhan itu telah memperingatkannya bahwa Mahisa Agni mampu mengelak dan sekaligus menyerang dengan cepatnya sehingga ia tidak seharusnya melayani Mahisa Agni seperti melayani Wiraprana yang tegap tinggi itu.
Tetapi Kuda Sempana terlalu percaya kepada dirinya. Dikenalnya seluruh anak-anak muda di Panawijen. Di antara mereka, tak seorang pun yang pernah menerima gemblengan seperti yang dialaminya di Istana Tunggul Ametung. Wiraprana tidak dan Mahisa Agni pun juga tidak. Karena itu, kembali ia membusungkan dadanya. Dengan penuh keyakinan kepada diri sendiri, Kuda Sempana meloncat dan menyerang kembali dengan garangnya.
Namun Mahisa Agni menyambut serangan itu dengan tangkas. Disadarinya bahwa lawannya kali ini telah memiliki bekal yang cukup bagi kesombongannya. Karena itu Mahisa Agni sadar bahwa ia harus berhati-hati. Kuda Sempana menyerang Agni seperti badai yang melanda-landa. Cepat, keras, dan kuat. Tangan dan kakinya bergerak terayun-ayun membingungkan. Berputar, melingkar tetapi kadang-kadang menempuh dadanya seperti angin ribut menghantam gunung.
Namun Mahisa Agni benar-benar seperti gunung yang tegak tak tergoyahkan. Angin ribut dan badai yang betapapun kuatnya, seakan-akan hanya sempat mengusap tubuhnya, seperti angin yang silir membelai kulitnya. Serangan-serangan Kuda Sempana, betapapun cepat dan kerasnya, tak banyak dapat menyentuh kulit Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian Kuda Sempana menjadi semakin marah. Sama sekali tak diduganya bahwa Mahisa Agni telah memiliki ilmu tata beladiri sedemikian baiknya.
Anak itu dikenalnya beberapa tahun yang lalu sebagai anak yang patuh kepada gurunya, patuh melakukan ibadah, dan rajin bekerja di sawah ladang dan di rumah gurunya. Tetapi sama sekali tak diketahuinya bahwa di balik dinding-dinding batu yang memagari rumah Empu Purwa, Agni mendapat tempaan lahir dan batin. Di setiap perjalanan yang mereka lakukan, di setiap kesempatan yang ada, bahkan hampir di setiap tarikan nafas, Agni selalu menekuni dan mendalami ilmu lahir dan batin dari gurunya. Ilmu yang akan dapat menjadi penguat tubuh dan nyawanya.
Tubuhnya yang harus melawan setiap tantangan lahiriah dan nyawanya yang harus dipersiapkan untuk menghadap Yang Maha Agung. Demikianlah maka perkelahian antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kuda Sempana telah kehilangan pengamatan diri. Anak itu telah lupa segala-galanya selain secepat-cepatnya mengalahkan lawannya.
Wiraprana, yang kemudian telah mendapat seluruh kesadarannya kembali, dengan susah-payah mencoba mengangkat wajahnya yang penuh lumuran darah. Dari sela-sela pelupuk matanya yang bengkak, ia melihat perkelahian yang sengit antara Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Sekali-kali tampak mulutnya menyeringai menahan sakit namun kemudian tampak ia tersenyum. Tetapi senyum itu pun segera lenyap dari bibirnya. Bahkan ia menjadi cemas apabila Mahisa Agni akan mengalami nasib seperti dirinya.
Wiraprana mencoba mengumpulkan segenap sisa-sisa kekuatannya. Perlahan-lahan ia mencoba mengangkat tubuhnya dan duduk di atas pasir. Kedua tangannya yang lemah dengan susah-payah berhasil menyangga tubuhnya. Pandangan matanya yang semula agak kabur, kini berangsur terang. Lambat laun ia dapat melihat perkelahian antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni dengan jelas. Desak-mendesak, hantam-menghantam singa lena.
Meskipun Wiraprana tidak memiliki ilmu sebaik Mahisa Agni maupun Kuda Sempana namun Wiraprana telah mampu menilai keduanya. Dengan bekal ilmunya yang sedikit, Wiraprana dapat mengetahui bahwa keadaan Mahisa Agni cukup baik. Diam-diam ia berbangga dan berharap di dalam hatinya. Ia mengharap Mahisa Agni dapat memenangkan perkelahian itu.
Kuda Sempana yang dibakar oleh kemarahan dan kesombongannya bertempur dengan seluruh tenaganya. Matanya yang menyala memancarkan dendam yang tersimpan di hatinya. Sekali-sekali ia melontarkan pandangannya kepada Ken Dedes. Ia masih melihat gadis itu berdiri kaku di tanggul bendungan. Kuda Sempana mengharap gadis itu untuk tetap tinggal di sana. Sehabis pekerjaannya ini, ia akan menangkap gadis itu dan membawanya lari.
Perkelahian yang terjadi di antara anak-anak muda itu akan menutup kemungkinan yang sebaik-baiknya baginya untuk menempuh cara yang wajar dan sopan. Ia takut kalau Empu Purwa akan keberatan. Tetapi Mahisa Agni tidak segera dapat dikalahkan. Bahkan anak itu semakin lama seakan-akan menjadi semakin kuat dan cekatan. Memang, ketika tubuh Agni telah dibasahi oleh peluhnya maka tenaganya menjadi seakan-akan bertambah.
Akhirnya Kuda Sempana benar-benar menjadi mata gelap. Ia sudah tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lagi dengan otaknya. Hanya ada satu pilihan yang ada padanya. Membawa Ken Dedes bersamanya ke Tumapel saat itu juga. Karena itu, siapa yang menghalang-halangi harus disingkirkan. Dengan cara kasar atau halus. Wiraprana telah dilumpuhkan dan kini Mahisa Agni melintang di hadapannya. Tiba-tiba terdengar Kuda Sempana berteriak nyaring,
“Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!”
Bersamaan dengan itu terdengar pula Ken Dedes berteriak nyaring dibarengi geram Wiraprana parau. Katanya, “Agni, hati-hatilah!”
Mahisa Agni meloncat surut. Ditatapnya Kuda Sempana dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia berdesis, “Adakah itu pilihanmu Kuda Sempana yang perkasa?”
“Wanita adalah sama berharganya dengan pusaka,” sahut Sempana, “taruhannya adalah nyawa. Kau atau aku yang binasa.”
Mahisa Agni menggeram. Terdengar gemeretak giginya oleh kemarahannya yang meluap-luap. Ternyata Kuda Sempana tega pada pati uripnya untuk mendapatkan gadis idamannya. Dilihatnya di tangan anak muda itu sebilah keris. Kini Mahisa Agni tak dapat berbuat lain kecuali berkelahi mati-matian. Ia sama sekali tak bersenjata. Namun ia pun tak dapat disilaukan hatinya oleh Kuda Sempana yang kini bersenjata.
Perlahan-lahan Mahisa Agni menggosokkan kedua telapak tangannya. Tetapi tiba-tiba ia menggeleng lemah. Diamatinya kedua telapak tangannya itu. Terdengar ia bergumam perlahan sekali sehingga hanya dapat didengarnya sendiri, “Tidak. Belum waktunya aku mempergunakan pusaka pula. Aku akan mencoba menyelesaikan perkelahian ini dengan wajar.”
Namun yang terdengar adalah suara Kuda Sempana, “Agni, aku masih memberimu sekedar waktu. Tinggalkan tempat ini!”
Mahisa Agni menggeleng lemah, jawabnya, “Harus ada seseorang yang mencegah perbuatan gilamu itu.”
Kuda Sempana tidak menunggu mulut Agni mengatub. Seperti tatit ia menyambar dada lawannya dengan ujung kerisnya. Untunglah bahwa Agni tetap bersiaga sehingga ia berhasil menyelamatkan dirinya. Dengan tangkas ia menghindari ujung maut yang menghampirinya. Berbareng dengan kemarahannya yang merayap ke ubun-ubunnya. Kuda Sempana telah benar-benar bertempur antara hidup dan mati.
Mahisa Agni pun kemudian tidak mau diombang-ambingkan oleh ketidaktentuan dari ujung dan pangkal perkelahian itu. Meskipun anak muda, murid Empu Purwa itu, belum mempergunakan senjata apa pun namun ia telah melepaskan segenap ilmu lahiriahnya. Telah diperasnya tenaga serta keprigelannya untuk melawan keris Kuda Sempana. Dan keris Kuda Sempana memang berbahaya. Ujungnya seperti seekor lalat yang mendesing-desing di sekeliling tubuhnya. Tetapi Agni cukup lincah sehingga lalat itu tidak sempat hinggap di kulitnya. Meskipun demikian, seluruh tubuh Agni telah basah-kuyup oleh keringatnya yang mengalir semakin lama semakin deras.
Namun Mahisa Agni adalah murid Empu Purwa yang tekun. Tak ada kesempatan yang dilepaskannya. Karena itu Agni memiliki beberapa kelebihan dari Kuda Sempana. Meskipun anak muda itu bersenjata namun akhirnya terasa bahwa ujung kerisnya sama sekali tak dapat mengimbangi ujung jari-jari Mahisa Agni. Ujung jari-jari Agni dengan lincahnya menyentuh-nyentuh Kuda Sempana hampir di setiap bagian tubuhnya yang dikehendaki. Dan jari-jari Mahisa Agni benar-benar seperti batang-batang besi.
Sehingga kedua tangan Agni itu mirip benar seperti dua batang tombak yang masing-masing bermata lima. Tetapi keris Kuda Sempana pun keris yang ampuh pula. Namun, meskipun keris itu berbisa setajam bisa ular bandotan, serta meskipun Mahisa Agni tak berani terkena akibat meskipun sentuhan seujung rambut sekali pun dengan keris itu, tetapi lambat-laun namun pasti Mahisa Agni tampak selalu menguasai lawannya.
Ken Dedes yang tidak dapat menilai perkelahian itu mengikutinya dengan gemetar. Perasaan takut dan ngeri menjalari dadanya. Tetapi setiap kali ia menutup matanya, setiap kali ia mengintipnya dari sela-sela jarinya, bahkan kemudian, seperti terpukau, ia memandang pergulatan itu dengan hati yang tegang dan kehilangan kesadaran. Dada Wiraprana pun tak kalah tegangnya. Masih terasa betapa berat tangan Kuda Sempana. Dan di tangan itu kini tergenggam keris. Namun ia percaya bahwa Mahisa Agni ternyata memiliki ketangkasan jauh melampaui ketangkasannya.
“Aku tidak mengira,” desisnya lemah, “Aku tidak pernah melihat anak itu membentuk dirinya menjadi seekor burung rajawali yang perkasa.”
Mahisa Agni kini benar-benar bertempur seperti seekor rajawali yang garang. Sekali-sekali ia menyambar dengan tangkasnya dan sekali-sekali ia mematuk dengan cepatnya. Jari-jari Mahisa Agni benar-benar tidak kalah berbahayanya dari keris Kuda Sempana. Mula-mula Kuda Sempana tidak mau melihat kenyataan itu. Matanya benar-benar dibutakan oleh kesombongannya.
Namun lambat-laun hatinya digetarkan oleh kenyataan. Mahisa Agni melawannya dengan gigih. Karena itu hatinya menjadi semakin gelap dan anak muda itu bertempur membabi-buta. Akhirnya Mahisa Agni menjadi tidak sabar lagi. Perkelahian itu sudah berlangsung terlalu lama. Matahari yang merambat dari kaki langit kini telah hampir mencapai puncak ketinggian.
Meskipun hampir segenap perhatian Mahisa Agni tertumpah pada perkelahian itu namun didengarnya pula suara riuh yang semakin lama semakin dekat. Terlintaslah di dalam benaknya bahwa suara riuh itu pasti suara orang-orang Panawijen yang telah mendengar berita perkelahian itu. Beberapa orang gadis yang lari ketakutan telah menceritakan tentang peristiwa itu kepada orang-orang tua mereka, kepada kawan-kawan mereka, dan kepada anak-anak muda seluruh desa. Karena itu maka beramai-ramailah mereka pergi ke sungai.
Agaknya Kuda Sempana pun mendengar suara riuh itu. Maka ia pun menjadi gelisah. Tetapi ia yakin, meskipun dikerahkan segenap tenaga dan kemampuannya namun Agni tak akan dapat dikalahkan. Bahkan tiba-tiba tanpa diduganya, Agni menyerangnya bertubi-tubi seperti prahara. Beberapa kali ia melangkah surut. Namun putaran angin prahara itu seakan-akan telah memeluknya.
Sebenarnya Agni telah berusaha sedapat ia lakukan untuk memperpendek perkelahian itu. Ia ingin menyelesaikannya sebelum orang-orang Panawijen datang. Agni tidak akan dapat mengira-ngira apakah yang akan mereka lakukan terhadap Kuda Sempana. Agaknya usaha Mahisa Agni itu berhasil. Dengan sebuah serangan lambung yang mendatar, Mahisa Agni berhasil memutar tubuh Kuda Sempana yang berusaha untuk menghindar. Namun tiba-tiba Mahisa Agni meloncat ke sisi. Dengan tangannya ia menghantam tengkuk lawannya.
Sekali lagi Kuda Sempana berusaha menghindari. Dengan merendahkan diri ia berputar menghadap lawannya. Tangan kanannya tiba-tiba terjulur lurus dan ujung kerisnya mengarah ke dada Agni. Namun Agni cukup tangkas. Setengah langkah ia miring. Ketika keris itu lewat secengkang di hadapan dadanya, cepat-cepat ia memukul pergelangan tangan Kuda Sempana. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga terdengarlah seakan-akan tulang pergelangan tangan itu retak.
Kuda Sempana terkejut bukan kepalang. Gerak yang sedemikian cepatnya itu sama sekali tak pernah diduganya. Apalagi dilakukan oleh Mahisa Agni, anak yang menghabiskan waktu remajanya di belakang dinding Desa Panawijen. Tetapi yang terjadi adalah, kerisnya terlepas dan terpelanting lebih dari tiga langkah daripadanya. Sedangkan perasaan sakit yang menyengat pergelangan tangannya, seakan-akan merambat sampai ke ubun-ubunnya.
Terdengar Kuda Sempana mengaduh tertahan. Kemudian wajahnya menjadi semakin membara. Ia hanya dapat menunggu apa yang akan dilakukan Mahisa Agni atasnya. Meremukkan tulang-tulang iganya atau merobek wajahnya. Kuda Sempana telah mengakui di dalam hatinya bahwa ia tak akan mampu membela diri seandainya Mahisa Agni akan membunuhnya.
Suara riuh di kejauhan semakin lama menjadi semakin dekat. Karena itu, Kuda Sempana menjadi semakin gelisah. Kalau penduduk Panawijen menganggap bahwa ia telah mencoba melarikan Ken Dedes serta penduduk itu berhasil menangkapnya, akibatnya dapat mengerikan sekali. Sekali-sekali terlintas di dalam otaknya bahwa lebih baik berkelahi mati-matian daripada menyerahkan diri. Kalau ia mati, dua-tiga orang pasti dapat dibunuhnya.
Kuda Sempana tahu benar bahwa penduduk Panawijen yang tenteram itu tidak terlalu berbahaya baginya. Bahkan mungkin tak seorang pun yang akan berani menangkapnya, apalagi anak Buyut Panawijen telah ditundukkannya. Tetapi tiba-tiba Kuda Sempana menyadari bahwa di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Karena itu maka terdengar giginya gemeretak menahan hati.
“Kuda Sempana,” terkejut ketika terdengar Mahisa Agni berkata perlahan-lahan, “Kuda Sempana, ambil kerismu.”
Kuda Sempana memandang wajah Agni dengan mata yang memancarkan keragu-raguan hatinya. Benarkah Agni berkata demikian atau telinganya telah rusak karena pukulan-pukulan Agni yang keras. Tetapi sekali lagi ia mendengar Sempana berkata,
“Ambillah kerismu.”
Kuda Sempana masih ragu. Kakinya masih tetap tak beranjak dari tempatnya sehingga Mahisa Agni mengulangnya sekali lagi,
“Ambillah kerismu.”
Seperti mimpi, Kuda Sempana berjalan beberapa langkah, kemudian membungkuk memungut pusaka. Tetapi ia tidak tahu, apa yang harus dilakukan kemudian.
Mahisa Agni pun kemudian menjadi bingung, apa yang sebaiknya dilakukan. Kuda Sempana adalah pelayan dalam Akuwu Tumapel. Kalau terjadi sesuatu atasnya di desa kelahirannya, apakah Tunggul Ametung akan berdiam diri. Selagi Mahisa Agni menimbang-nimbang, suara riuh itu pun telah dekat benar di belakangnya. Ketika ia menoleh, di atas tanggul muncullah beberapa orang laki-laki, yang langsung berlari menghambur menuruni tebing sungai.
Kuda Sempana melihat mereka itu pula. Dengan gerak naluriah ia bersiap. Meskipun perasaan sakit pada tubuhnya semakin terasa seakan-akan menggigit tulang namun ia masih berdiri dengan kokohnya. Yang mula-mula mencapai tepian, tempat perkelahian antara anak-anak muda itu terjadi, adalah seorang yang bertubuh tinggi kekar, berdada bidang.
Ia adalah Buyut Panawijen. Rambutnya yang digelung tinggi di kepalanya tampak sudah mulai ditumbuhi uban di pelipisnya. Dengan penuh wibawa ia memandang berkeliling. Kepada Mahisa Agni yang masih tegak seperti tonggak, Kuda Sempana yang berdiri dengan kaki renggang dan berwajah tegang. Kemudian kepada anaknya Wiraprana.
Anak muda itu dengan susah payah mencoba berdiri. Ketika ditatapnya wajah ayahnya tiba-tiba ia tersenyum. “Latihan yang jelek, Ayah,” katanya.
Tetapi Buyut Panawijen itu sama sekali tidak tersenyum. Bahkan tampak ia menyesal. Desisnya, “Kalian telah menjadikan pedukuhan yang damai ini menjadi gempar.”
Wiraprana tidak tersenyum lagi. Tertatih-tatih ia berjalan mendekati ayahnya. Sementara itu, beberapa orang laki-laki tiba-tiba saja telah melingkari mereka bertiga. Seakan-akan sengaja mengepung rapat-rapat.
“Apakah yang telah terjadi?” geram Buyut Panawijen itu.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian. Wiraprana, Mahisa Agni, dan Kuda Sempana menundukkan wajah mereka. Apalagi ketika kemudian mereka mendengar suara nyaring dari tebing,
“Agni, apakah yang kau lakukan?”
Agni mengangkat wajahnya. Hatinya berdebar-debar ketika ia melihat gurunya yang tua itu berlari tersuruk-suruk. Sesaat kemudian semua mata memandang ke arahnya, Empu Purwa, ayah gadis yang menimbulkan perkelahian tanpa dikehendakinya itu.
Kuda Sempana pun melihat orang tua itu. Timbullah beribu-ribu pertanyaan di dalam dadanya. Orang tua itu sama sekali tidak tampak sebagai seorang sakti selain seorang yang tekun beribadah. Apakah Agni mempunyai guru yang lain dalam pengolahan badan wadagnya? Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa anak muda itu telah mengalahkannya.
“Agni,” berkata Empu Purwa terengah-engah setelah ia sampai ke tempat orang-orang Panawijen itu berkerumun, “Adakah kau telah membuat onar?”
Mahisa Agni tak berani memandang wajah gurunya. Ingin ia mengatakan apa yang sudah terjadi sebenarnya tetapi mulutnya seperti terkunci. Ia takut kalau dengan demikian ia akan menyinggung Ken Dedes dan menjadi semakin malu karenanya.
“Agni,” terdengar Empu Purwa berkata pula, “Apakah pula sebabnya engkau berkelahi? Apakah kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah laki-laki muda yang pandai bertengkar?”
Mahisa Agni menarik nafas. Namun mulutnya tetap membisu sehingga terdengar Wiraprana berkata, “Bukan salah Agni, Empu.”
Empu Purwa menoleh. Dilihatnya Wiraprana yang wajahnya menjadi merah biru. Katanya, “Adakah itu perbuatan Agni?”
“Bukan, Empu,” jawab Wiraprana cepat-cepat, “Agni tak akan berbuat demikian.”
Orang tua itu kemudian merenungi Mahisa Agni, seakan-akan anak itu belum pernah dilihatnya. Kemudian matanya beredar dan hinggap di wajah Kuda Sempana. Dengan terbata-bata Empu Purwa itu bertanya, “Angger Kuda Sempana, kenapa Angger nganggar keris. Apakah Agni mengganggumu?”
Kuda Sempana pun tak dapat menjawab pertanyaan itu sehingga tanpa disadarinya kembali pandangan matanya terkulai di atas pasir tepian.
“Empu,” terdengar kemudian Buyut Panawijen berkata, “aku pun sedang berusaha mengerti, apakah yang sedang terjadi di sini.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, ya Ki Buyut. Aku menjadi gemetar ketika aku mendengar anak-anak berteriak-teriak di jalan, katanya Angger Kuda Sempana, Angger Wiraprana, dan Mahisa Agni saling berkelahi. Aku jadi sedemikian bingung sehingga aku tidak sempat bertanya-tanya lagi.”
“Aku pun mendengar dari anak-anak itu,” sahut Ki Buyut Panawijen. Kemudian kepada Wiraprana ia bertanya, “Benarkah itu Prana?”
“Tidak seluruhnya,” jawab anak muda itu, “Yang mula-mula berkelahi adalah aku dan Kuda Sempana.”
“Kau?” ulang ayahnya.
“Ya,” jawab Wiraprana, “tidakkah anak-anak itu berkata demikian?”
“Aku tak sempat mendengarnya,” sahut ayahnya.
“Dan akhir dari perkelahian itu,” Wiraprana meneruskan, “Aku kalah. Tidakkah Ayah lihat mukaku yang bengap?”
“Aku tidak bertanya akhir dari perkelahian itu,” potong ayahnya, “tetapi kenapa perkelahian itu mulai?”
Wiraprana pun menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Kuda Sempana yang masih tunduk dalam-dalam. Kemudian ketika ia melayangkan pandangannya ke atas tanggul, dilihatnya beberapa kepala gadis-gadis tampak berderet-deret mengintip. Dan tiba-tiba dilihatnya Ken Dedes masih berdiri menggigil di tebing sungai.
Orang-orang yang berdiri memagari itu pun menjadi gelisah. Beberapa orang sebenarnya telah mendengar apa yang sebenarnya terjadi dari anak-anak mereka namun ketika di tempat itu hadir pula Empu Purwa maka mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk mengatakannya.
Tetapi sesaat kemudian Ki Buyut itu pun mendesak pula, “Wiraprana, tidakkah kau bisa berkata?”
Wiraprana menarik nafas dalam-dalam dan ketika ia sudah tidak dapat mengelak lagi, maka katanya, “Ayah, bertanyalah kepada mereka yang menceritakan perkelahian itu. Itulah mereka, anak-anak yang tadi sedang mencuci pakaian di belumbang ini. Mereka kini sedang mengintip apa pula yang akan terjadi di sini.”
Mendengar jawaban itu maka semua mata tiba-tiba bergerak ke atas tanggul. Sehingga tampak pulalah oleh mereka itu, kepala-kepala gadis yang sedang mengintip dengan keingintahuan, bagaimanakah akhir dari peristiwa itu.
Ken Dedes yang melihat semua mata memandang ke arah tanggul di atasnya, merasa seolah-olah mata itu memandangnya dengan penuh hinaan dan penyesalan. Ia merasa bahwa dirinya sebab dari keributan itu. Karena itu maka perasaan bersalah, malu, sesal, dan segala macam bercampur-baur di dalam dadanya. Alangkah rendah martabatnya sehingga beberapa orang laki-laki terpaksa berkelahi karenanya. Karena itu maka tiba-tiba perasaan yang bergolak di dadanya itu tak dapat dibendungnya lagi sehingga tiba-tiba gadis itu berlari menghambur sambil berteriak,
“Ayah, akulah yang bersalah.”
Empu Purwa terkejut mendengar teriakan itu. Ketika ia melihat anaknya berlari kepadanya, ia pun menyongsongnya. Demikian Ken Dedes sampai kepada ayahnya itu maka dengan serta-merta ia menjatuhkan dirinya sambil menangis sejadi-jadinya. Katanya di sela-sela tangis itu,
“Ayah. Akulah sumber dari malapetaka yang menimpa padukuhan kita yang damai. Karena itu Ayah, betapa hinanya aku maka adalah lebih baik bagiku kalau Ayah sudi membunuhku. Biarlah aku mati di hadapan penduduk Panawijen yang tenteram ini untuk menebus kesalahan dan arang yang mencoreng di wajah keluarga.”
“Ken Dedes,” sahut ayahnya, “kenapakah kau ini?”
“Bunuh saja aku, Ayah,” tangis gadis itu.
Empu Purwa kemudian tegak seperti patung. Ditatapnya rambut anaknya yang panjang berombak, terurai menutup punggungnya. “Bangunlah anakku,” bisiknya, “katakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku adalah ayahmu.”
“Tidak!” teriak Ken Dedes, “Bunuh aku, Ayah.”
Ki Buyut Panawijen pun kemudian mendekatinya pula. Dengan lembut ia berkata, “Ken Dedes, jangan menyalahkan diri sendiri. Berkatalah apa yang terjadi.”
Mula-mula gadis itu tidak juga mau berkata. Tetapi lambat laun, setelah beberapa orang membujuknya, Ken Dedes pun mengangkat wajahnya, memandang ayahnya dengan sayu. Katanya, “Apakah ada gunanya?”
“Berkatalah, supaya kami mendengar,” sahut Ki Buyut Panawijen. Sebenarnya Ki Buyut itu pun telah dapat menduga, apa sebabnya maka tiba-tiba saja pedukuhannya yang tenteram itu diributkan oleh sebuah perkelahian yang mengerikan. Dan tiba-tiba pula ia pun menjadi malu. Satu di antara mereka yang berkelahi adalah anaknya. “Hem,” pikirnya. “Adakah anakku berkelahi karena seorang gadis?”
Ken Dedes pun kemudian bercerita terbata-bata. Dikatakannya apa yang telah terjadi, sejak awal sampai orang-orang itu melihat apa yang terjadi di tepi sungai itu. Kuda Sempana pun mendengar kisah itu pula. Setiap kata yang diucapkan oleh gadis itu, serasa sebuah pukulan yang menampar dadanya. Diamat-amatnya setiap wajah dari orang-orang Panawijen. Terbayanglah pada wajah-wajah itu, perasaan sesal dan marah.
Kuda Sempana tahu pasti bahwa orang-orang itu pasti akan menyalahkannya. Lalu apakah yang akan mereka lakukan? Nafas anak muda itu pun menjadi semakin cepat mengalir, dan karena itu maka digenggamnya hulu kerisnya semakin erat. Tetapi kemudian Kuda Sempana itu pun sadar bahwa di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Ketika dipandangnya wajah anak muda itu, hati Kuda Sempana berdesir. Dilihatnya Mahisa Agni pun telah bersiap pula.
“Hem,” geram Ki Buyut Panawijen setelah Ken Dedes selesai berbicara. Dipandanginya wajah Kuda Sempana yang kaku tegang. Kemudian terdengar Buyut Panawijen itu berkata, “Angger Kuda Sempana. Benarkah cerita putri Empu Purwa itu?”
Kuda Sempana mengerling ke setiap wajah laki-laki Panawijen yang berdiri melingkar di sekitarnya. Kemudian disambarnya pula wajah Mahisa Agni dan Wiraprana dengan sudut pandangannya. Kuda Sempana tak dapat mengelak lagi. Di hadapannya berdiri beberapa orang saksi. Selain Wiraprana dan Mahisa Agni, dilihatnya pula beberapa orang gadis berderet-deret di atas tanggul. Sehingga karena itu terpaksa ia mengangguk sambil berkata,
“Ya, Ki Buyut. Tetapi aku terdesak oleh keadaan. Aku telah mencoba datang ke rumah Ken Dedes. Tetapi gadis itu tak ada di rumah,”
“Adakah demikian adat di pedukuhan kita?” desak Ki Buyut, “Kenapa Angger Kuda Sempana tidak mencari ayahnya. Bahkan seharusnya dengan sebuah upacara?”
“Aku ingin mendapat kepastian sedangkan waktuku terlalu pendek. Besok aku harus terus kembali ke Tumapel,” jawab anak muda itu.
“Di pinggir sungai?” bertanya Ki Buyut.
Kuda Sempana tak dapat menjawab. Tetapi hatinya mengumpat. Hampir saja ia menyebut ada yang akan ditempuhnya. Melarikan Ken Dedes dan menyembunyikannya sampai terdapat keturunan daripadanya. Tetapi niat itu urung. Akibat dari adat itu pun tak akan mau ditanggungkan. Sebab bila niat itu gagal dan keluarga gadis yang dilarikan itu menuntutnya, ia akan dapat perlakuan yang mengerikan. Mati dirampok orang seperti seekor harimau yang masuk ke dalam padukuhan.
Karena Kuda Sempana tidak menjawab maka sejenak suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah gemericik air yang mengalir dan jatuh berderai dari atas bendungan. Bulatan demi bulatan melingkar di wajah air yang jernih itu, semakin lama semakin besar. Dan kemudian pecah membentur tepian. Yang satu disusul dengan yang lain. Tak henti-hentinya sejak bendungan itu selesai dibuat beberapa tahun lampau.
Di dalam kepala Ki Buyut Panawijen itu pun melingkar-lingkar pula berbagai pertanyaan. Tanpa terucapkan namun ia tahu apa yang akan ditempuh oleh Kuda Sempana. Dikenalnya anak itu sebagai anak yang cenderung menuruti kemauan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia berdesis,
“Sayang. Sebenarnya kami, penduduk dari pedukuhan ini, merasa bangga bahwa seorang anaknya telah berhasil merebut hati sang Akuwu Tumapel sehingga mendapat tempat yang baik di sisinya. Kepercayaan itu sebenarnya kami rasakan sebagai suatu kepercayaan pula buat kami, penduduk Panawijen yang sepi. Angger Kuda Sempana akan dapat menjadi tempat kami untuk berteduh jika hujan turun dan bernaung jika terik matahari membakar tubuh. Tetapi sayang. Sayang….” Penyesalan yang dalam membayang di wajah Buyut Panawijen itu.
Tak seorang pun menyambung kata-kata itu. Mereka tinggal menunggu apa yang akan dilakukan oleh pimpinan pedukuhan itu. Namun timbullah di dalam setiap kepala, keragu-raguan untuk berbuat sesuatu. Pikiran itu bertolak dari pendapat yang sama pula. Kuda Sempana adalah pengawal dalam Akuwu Tumapel. Sedang setiap orang tahu sifat dan tabiat yang aneh dari Tunggul Ametung itu. Tunggul Ametung dapat berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Akuwu namun ia dapat pula berbuat sekejam-kejamnya. Akuwu itu benar-benar orang yang keras hati, sekeras batu akik namun pada suatu saat hati itu dapat selunak kapas.
Karena itu tak seorang pun dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Tunggul Ametung jika salah seorang pengawalnya mengalami perlakuan yang jelek di kampung halamannya. Meskipun demikian, adat harus ditegakkan. Meskipun Kuda Sempana itu senapati sekali pun, seharusnya ia mendapat perlakuan yang sama apabila telah dilakukan sesuatu kesalahan. Dan semuanya itu tergantung kepada Empu Purwa, ayah dari gadis yang akan dilarikan itu.
Maka akhirnya semua mata pun tertuju kepadanya. Apakah yang akan dikatakan oleh orang tua itu. Apabila orang tua itu menganggap bahwa Kuda Sempana telah melarikan anak gadisnya dan maksud itu dapat dicegah maka ia dapat menuntut hukuman atas anak muda itu.
Kuda Sempana pun sadar akan hal itu. Namun telah bulat tekad di dalam hatinya, bahwa wanita, pusaka, dan nyawanya tak berbeda nilainya. Karena itu maka ia pun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Menghadapi Mahisa Agni sekali pun meskipun akan berakibat maut baginya.
Empu Purwa menyadari keadaannya. Ditatapnya setiap wajah dari tetangga-tetangganya itu. Dilihatnya keragu-raguan dan kecemasan di wajah-wajah itu. Sekali dipandangnya wajah anaknya pula. Pucat dan gemetar. Hatinya masih saja dicengkam oleh perasaan malu dan hina. Ketika kemudian Empu Purwa memandang wajah Mahisa Agni, dilihatnya wajah itu merah membara. Dengan tajam anak muda itu tak melepaskan pandangannya atas Kuda Sempana.
“Angger Kuda Sempana,” kemudian terdengar orang tua itu berkata, “adakah angger tadi benar-benar bermaksud melarikan Ken Dedes?”
Kuda Sempana menggigit bibirnya. Ketika terpandang olehnya wajah Wiraprana yang bengap merah biru, dilihatnya anak muda yang tinggi besar itu tersenyum sambil mengangguk kecil.
“Persetan!” umpatnya di dalam hati namun mulutnya terpaksa menyahut, “Ya, Empu.”
Empu Purwa menarik nafas dan hampir setiap mulut kemudian mengucap berbagai kata-kata yang tidak jelas. Ketika untuk sesaat kemudian Empu Purwa terdiam maka keadaan menjadi tegang. Orang-orang Panawijen itu melihat wajah Empu Purwa seakan-akan tanggul yang sudah penuh dengan air. Apabila tanggul itu bobol maka akan datanglah banjir. Dan orang-orang yang berdiri tegak memagari itu pun harus ikut serta. Dan Kuda Sempana adalah biduk yang akan digulung oleh kedahsyatan banjir itu. Tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh pertanyaan Empu Purwa kepada Kuda Sempana,
“Angger, adakah Angger menyesal?”
Pertanyaan itu benar-benar tak terduga. Baik oleh Kuda Sempana sendiri maupun oleh orang-orang Panawijen. Karena itu Kuda Sempana tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Empu Purwa dengan ragu sSehingga Empu Purwa yang tua itu mengulangi pertanyaannya,
“Angger, adakah Angger menyesal atas perbuatan itu?”
Pertanyaan itu jelas. Kata demi kata. Setiap orang tahu maksud pertanyaan itu. Karena itu setiap orang menarik nafasnya. Seakan-akan mereka melihat air yang memenuhi tanggul itu menjadi surut. Namun Kuda Sempana masih belum menjawab. Di dalam dadanya timbullah suatu pergolakan yang riuh. Sudah pasti sama sekali tak dihendakinya apabila orang-orang sekampungnya akan beramai-ramai mengeroyoknya seperti seekor harimau yang tersesat masuk ke kampung.
Tetapi untuk menarik diri terasa bahwa harga dirinya tersentuh. Ketika dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti karang, sekali lagi ia mengumpat di dalam hatinya, kalau saja anak gila itu tidak ada di sini maka orang-orang Panawijen, laki-laki perempuan, tua muda, akan dihadapinya. Tetapi kini Agni yang garang itu masih berdiri tegak di hadapannya. Maka sesaat Kuda Sempana pun membuat perhitungan-perhitungan. Ia tidak takut mati. Namun ia masih ingin menunda kematian itu. Meskipun demikian anak muda yang gagah itu pun tidak segera menjawab sehingga kemudian kembali terdengar suara pendeta tua itu,
“Angger, aku tahu, betapa berat untuk mengucapkan kata-kata yang tak pernah terucapkan. Apalagi oleh seorang satria seperti Angger Kuda Sempana. Karena itu maka baiklah aku pakai cara seorang tua. Kalau Angger Kuda Sempana menyesal, sarungkanlah keris angger.”
Kembali keadaan menjadi tegang. Semua mata terpaku ke tangan Kuda Sempana yang menggenggam kerisnya erat-erat. Kuda Sempana sendiri pun memandang tangannya itu. Dan tangan itu menjadi gemetar. Setiap orang yang memandang tangan itu pun kemudian menjadi ngeri. Keris itu benar-benar pusaka yang menakjubkan. Kalau Kuda Sempana tak mau menyarangkan keris itu maka keris itu pun segera akan menari-nari.
Setiap orang akan dapat mengalami nasib yang jelek karenanya. Ketika tangan Kuda Sempana itu bergerak perlahan-lahan maka orang-orang yang terdekat pun bergeser. Namun semua orang menarik nafas lega ketika mereka melihat, ujung keris yang gemetar itu manjing ke dalam wrangkanya.
“Syukurlah berkata Empu Purwa kemudian sambil mengangguk-angguk kecil, “ternyata Angger berjiwa besar.”
Kemudian, pendeta tua itu pun berkata kepada Buyut Panawijen, “Ki Buyut, marilah persoalan ini kita hadapi dengan jiwa besar pula. Marilah semuanya ini kita lupakan.”
Ki Buyut Panawijen mengangguk-angguk pula. Di dalam hatinya pun tersimpan perasaan semacam itu. Meskipun di sudut hati itu yang paling dalam melengking pula pertanyaan, “Adakah Kuda Sempana itu akan dibiarkan membawa kesalahannya tanpa hukuman apapun?” Namun terdengar pula jawaban dari sudut yang lain, “Ayah gadis itu tak menuntutnya. Dan, bukankah anak muda itu pengawal dalam istana Tumapel.”
Ki Buyut Panawijen memandangi Kuda Sempana yang gagah itu. Pakaian kelengkapannya yang indah meskipun kotor dan kusut, sabuk bertimang emas dengan mata berlian. Akhirnya Buyut Panawijen itu pun berkata, “Angger Kuda Sempana. Angger telah berbuat kesalahan. Tetapi untunglah segala sesuatu masih belum terlanjur. Aku tak dapat menyalahkan Wiraprana dan Angger Mahisa Agni, bukan karena Wiraprana itu anakku. Berterima kasihlah Angger Sempana kepada anak-anak muda yang mencegah Angger, sebelum Angger sempat menyentuh gadis yang akan Angger larikan, sehingga kebebasan Angger dari setiap hukuman tidak terasa sebagai pelanggaran yang mutlak atas adat di kampung kita. Namun janganlah hal ini menjadi contoh. Kalau Empu Purwa menghendaki, hukuman itu mempunyai alasan yang cukup untuk dijatuhkan. Tetapi dengan demikian, peristiwa ini akan benar-benar mengganggu ketenteraman pedukuhan kita. Maka bijaksanalah Empu Purwa. Meskipun demikian, tak dapat angin lalu tanpa menggoyangkan daun-daun pepohonan. Karena itu, baiklah aku minta, sebagai orang yang diserahi tanggung jawab atas pedukuhan ini, agar Angger Kuda Sempana segera meninggalkan kampung kita. Jangan kembali sebelum sampai pada bilangan tahun.”
Kuda Sempana yang gagah itu mengerutkan keningnya. Ia memandang hampir semua orang yang berdiri di sekelilingnya. Hukuman yang jauh lebih ringan dari yang diduganya itu tidak juga menyenangkan hatinya. Terasa bahwa sejak saat itu, ia akan dipisahkan dari tanah kelahirannya, sedikitnya untuk setahun.
“Persetan tanah kelahiran yang beku ini!” pikirnya, “Di Tumapel aku mempunyai lingkungan yang jauh lebih baik dari orang-orang yang bodoh dan keras kepala ini. Apakah artinya bagiku, bendungan, belumbang, rumpon, sawah, parit, dan segala macam yang pasti akan menjemukan. Di Tumapel, aku dapat bermain-main dengan kuda, tombak, dan kemewahan.”
Tetapi Kuda Sempana memandang Ken Dedes yang masih duduk di pasir tepian. Terasa hatinya berdesir. Dan tiba-tiba menyalalah dendam yang membakar hatinya atas kampung halamannya, atas orang-orang yang melingkungi hidupnya semasa kanak-kanaknya. Dan dendam itu harus ditumpahkan. Kalau ia tak dapat memetik bunga dari lereng Gunung Kawi itu maka biarlah bunga itu akan digugurkan saja dari tangkainya. Sama sekali ia tidak rela melihat orang lain, apalagi pemuda-pemuda desa seperti Agni atau Wiraprana, kelak akan memetiknya. Sekali lagi Kuda Sempana memandangi setiap wajah itu dengan muaknya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia meloncat pergi meninggalkan mereka dengan dendam yang membara di dadanya.
Berpuluh-puluh pasang mata mengikuti langkah pemuda yang gagah itu. Sesaat kemudian Kuda Sempana telah meloncat ke atas punggung kudanya yang sedang asyik makan rerumputan segar. Namun ketika terasa sentuhan pada lambungnya, segera kuda yang tegar itu menengadah dan meloncatlah ia dengan lajunya meninggalkan tepian sungai itu. Beberapa orang menarik nafas lega. Mereka seakan merasa terlepas dari bencana. Ki Buyut Panawijen dan Empu Purwa pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Anak yang keras kepala,” desis Ki Buyut.
Tak seorang pun yang menyahut.
“Marilah kita tinggalkan tempat ini,” berkata Buyut Panawijen itu pula.
Beberapa orang yang lain pun segera bergerak mengikuti Buyut Panawijen itu. Tanpa berkata-kata sepatah pun, mereka mendaki tebing dan hilang di belakang tanggul. Yang tinggal kemudian adalah Empu Purwa, Ken Dedes, Mahisa Agni, dan Wiraprana. Sedangkan gadis-gadis yang mengintip dari atas tanggul, satu demi satu menuruni tebing untuk mengambil cucian-cucian mereka yang tinggal di belumbang.
Untuk beberapa saat Empu Purwa, Mahisa Agni, dan Wiraprana masih memandang ke arah Kuda Sempana menghilang. Empu yang tua dan bijaksana itu mengeluh di dalam hatinya. Sebenarnya Empu Purwa yang telah cukup banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan, segera dapat mengerti bahwa Kuda Sempana sama sekali tidak ikhlas atas keputusan yang diambilnya. Namun perasaan itu sama sekali tak diungkapnya. Tetapi betapa pendeta tua itu terkejut ketika terdengar suara Mahisa Agni lirih,
“Bapa, adakah Kuda Sempana menerima keputusan ini dengan jujur?”
Empu Purwa memandang Agni dengan seksama. Ia pun sadar bahwa tidak mustahil orang-orang lain pun menyimpan pertanyaan yang demikian di dalam hatinya. Meskipun demikian ia menjawab, “Angger Kuda Sempana adalah seorang satria yang berjiwa besar. Seorang yang demikian akan melihat kenyataan dengan jujur.”
Mahisa Agni kecewa mendengar jawaban itu. Tetapi ia sadar, bahwa di kampung halamannya, gurunya itu tidak lebih dari seorang pendeta yang meluluhkan diri dalam ketekunan beribadah. Di pedukuhan yang tenteram damai itu, tak seorang pun yang pernah melihat bahwa Empu Purwa yang tua dan alim itu mampu menggenggam segala macam senjata di kedua sisi tangannya. Mampu menghantam hancur lawan yang betapa pun tangguhnya hanya dengan tangannya. Tetapi masa-masa yang demikian telah lampau bagi pendeta tua itu.
Namun demikian, ia tidak menutup mata atas suatu kenyataan bahwa kadang-kadang kebenaran harus dibela dengan kemampuan yang demikian. Kadang-kadang diperlukan kekuatan jasmaniah untuk menegakkan keadilan dan terutama untuk melawan segala bentuk kejahatan dan pengingkaran atas kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya. Kebenaran dan keadilan yang dibenarkan oleh Yang Maha Agung. Karena itulah maka ia menempa anak muda yang bernama Agni itu. Semoga anak itu dapat mengamalkan ilmunya. Mengamalkan, dan bukan sebaliknya. Pendeta tua itu tersentak ketika kemudian Wiraprana berkata,
“Empu, aku melihat sesuatu membayang di wajah Kuda Sempana.”
“Apakah itu?” bertanya Empu Purwa.
“Dendam,” jawab Wiraprana.
“Oh,” sahut Empu Purwa, “Tidak. Jangan berprasangka, Ngger. Tak baik orang menyimpan dendam di dalam dirinya.”
“Yang menyimpan dendam itu bukan aku, Empu,” jawab Wiraprana sambil tersenyum, “tetapi Kuda Sempana.”
“Ya, ya,” potong pendeta itu cepat-cepat, “maksudku bukan Angger. Tetapi siapa saja,. semua orang.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun wajahnya masih merah biru namun anak muda itu selalu tersenyum saja. Hanya kadang-kadang tampak ia menyeringai, kalau nyeri-nyeri di punggungnya terasa seperti menyengat-nyengat sampai ke ubun-ubun.
Sesaat kemudian Empu Purwa itu teringat kepada anaknya yang masih duduk lesu di atas pasir. Dengan lembut orang tua itu berkata sambil menarik lengan putrinya, “Ken Dedes, marilah kita pun pulang. Ambillah cucianmu.”
Ken Dedes menatap wajah ayahnya. Wajah seorang yang paling dikasihi dari semua orang yang dikenalnya.
“Adakah kau sudah selesai dengan cucianmu?” bertanya ayahnya.
Ken Dedes menggeleng.
“Apakah kau ingin menyelesaikannya,” bertanya ayahnya pula.
Sekali lagi gadis itu menggeleng.
“Kalau demikian, marilah kita pulang. Biarlah kau selesaikan di rumah,” ajak Empu Purwa.
Perlahan-lahan Ken Dedes berdiri dan berjalan ke belumbang untuk mengambil cuciannya. Namun wajahnya yang pucat itu selalu ditundukkannya. Tak berani ia menatap wajah kawan-kawannya yang seakan-akan memandangnya dengan penuh persoalan.
Sesaat kemudian mereka itu pun pulang bersama-sama. Empu Purwa berjalan membimbing putrinya. Di belakang mereka berjalan Mahisa Agni dan Wiraprana, Namun kadang-kadang Wiraprana masih harus berpegangan pundak sahabatnya itu.
Di perjalanan itu pun mereka tak banyak bercakap-cakap. Mereka sedang asyik bermain-main dengan angan-angan. Di dalam kepala Mahisa Agni masih saja membayang wajah Kuda Sempana yang menyala-nyala liar. Karena itu, mau tidak mau Mahisa Agni harus berpikir, “Bagaimanakah kalau anak itu datang sebelum waktu yang ditentukan? Apalagi kalau anak itu datang tidak seorang diri, tetapi dengan beberapa kawannya dari Tumapel?”
Tetapi kemudian dihiburnya sendiri hatinya, “Empu Purwa pasti tidak akan membiarkan anaknya mengalami nasib sedemikian. Kalau perlu, perlu sekali, maka orang tua itu pasti akan membela anaknya. Kalau terpaksa, pasti ia akan mempertahankan dengan kekerasan pula.” Demikianlah batin Mahisa Agni menjadi agak tenteram karenanya.
Setelah mengantarkan Wiraprana, Agni pun segera pulang ke rumah gurunya. Dan sehari itu sama sekali tak dijumpainya Ken Dedes, yang kemudian merendam diri di dalam biliknya. Empu Purwa pun tidak dijumpainya di halaman atau di pendapa. Seorang cantrik berkata kepadanya bahwa Empu Purwa sedang berada di sanggarnya.
Terasa sehari-hari rumah itu menjadi sepi. Mahisa Agni berjalan hilir-mudik dengan gelisah. Sekali dipegangnya senggot timba untuk mengisi jambangan tetapi belum lagi pekerjaan itu selesai, Mahisa Agni telah berpindah pekerjaan. Diambilnya cangkul dan sabit. Dicobanya melupakan kegelisahan dengan menyiangi pertamanan di belakang. Namun pekerjaan ini pun tak menyenangkannya. Burung-burung peliharaannya yang bernyanyi riuh itu pun tak menarik perhatiannya.
Akhirnya Mahisa Agni pun menyekap diri di bilik belakang. Bilik yang dipergunakannya untuk mesu diri, melatih tubuh wadagnya sejak ia mulai berguru kepada Empu Purwa itu. Dengan serta-merta dilepasnya ikat pinggangnya, diikatkan di pinggangnya. Dengan sebuah loncatan tinggi Mahisa Agni mulai dengan latihannya. Latihan yang lain daripada saat-saat berlatih. Ia hanya ingin melepaskan kesepian dan kegelisahan yang mencengkamnya. Dilakukannya berbagai gerakan, dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit yang pernah dipelajarinya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat seperti kijang. Melingkar, berputar, dan melambung ke udara.
Ketika ia telah menjadi jemu dengan segala gerakan itu, tiba-tiba di tangannya telah tergenggam sebilah pedang yang diraihnya dari dinding biliknya. Dengan lincahnya Mahisa Agni mempermainkan pedangnya. Kadang-kadang ia mencoba membuat gerakan-gerakan yang indah namun tiba-tiba gerakannya menjadi cepat dan kaku. Demikianlah Mahisa Agni melepaskan kejemuan dengan berbagai-bagai senjata. Pedang, tombak, cemeti, dan jenis-jenis senjata lain. Sehingga akhirnya Mahisa Agni menjadi lelah.
Satu demi satu senjata-senjata itu dikembalikannya pada tempatnya, dan yang terakhir Mahisa Agni meletakkan tubuhnya di sudut bilik itu. Demikian lelahnya setelah semalam ia harus bertempur melawan hantu Karautan, pagi itu, dengan Kuda Sempana dan masa latihannya berlebih-lebihan, maka akhirnya Mahisa Agni pun tertidur dengan nyenyaknya.
Betapa mimpi yang aneh-aneh telah mengganggunya. Dilihatnya di dalam mimpi itu, Ken Dedes meloncat ke dalam perahu yang megah di sebuah danau yang tenang. Tetapi tiba-tiba air danau itu pun bergolaklah. Sebuah angin yang kencang telah mengguncang perahu yang megah itu sehingga perahu itu bergoyang dengan kerasnya. Ken Dedes yang berada di dalam perahu itu terlempar dan segera ditelan oleh gelombang yang ganas. Dan yang terakhir Mahisa Agni melihat perahu itu tenggelam.
Bagaimanapun ia mencoba untuk menolong Ken Dedes maupun perahunya namun sia-sia. Bahkan akhirnya dirinya pun terguncang keras-keras. Mahisa Agni terkejut. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Dilihatnya bilik itu menjadi gelap. Seorang tua dengan lampu di tangan berdiri di sampingnya.
“Agni,” berkata orang itu, “Apakah kau sedang bermimpi?”
Perlahan-lahan Mahisa Agni bangkit. Dilihatnya keadaan di sekelilingnya. Ternyata ia masih berada di dalam biliknya. Sekali ia menggeliat, kemudian jawabnya, “Ya Guru, sebuah mimpi yang jelek.”
“Aku sudah menduga. Di dalam tidur kau menggeram,” sahut gurunya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Syukurlah bahwa semuanya itu hanya terjadi di dalam mimpi. Namun meskipun demikian mimpi itu sangat mengganggunya. Sehingga kemudian terluncur juga dari mulutnya, “Guru, mimpiku menggelisahkan sekali. Adakah setiap mimpi itu mempunyai arti?”
“Apakah mimpimu itu?” bertanya gurunya.
Mahisa Agni mencoba untuk menceritakan mimpinya. Sejak awal sampai betapa ia meronta-ronta melawan ombak yang menghempas-hempaskannya.
Empu Purwa mengerutkan keningnya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Namun kemudian ia tersenyum, katanya, “Waktu mimpimu itu adalah waktu yang tak membawa arti. Mimpi yang mengandung makna adalah mimpi pada saat-saat antara ayam jantan berkokok untuk kedua dan ketiga kalinya. Mimpimu adalah mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur, Agni.”
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi senyumnya itu pun sama sekali tidak meyakinkan. Mahisa Agni telah mengenal gurunya baik-baik, sehingga ia tahu benar tabiat orang tua itu. Meskipun orang tua itu mencoba menghapuskan kesannya atas mimpi Mahisa Agni, namun tertangkap juga oleh Mahisa Agni, kegelisahan yang membayang di wajah itu, meskipun hanya sesaat. Tetapi ia tidak berani bertanya lebih lanjut.
“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian, “bersihkanlah dirimu. Kami sudah makan malam. Makanlah dahulu, kemudian datanglah kepadaku. Ada yang akan aku bicarakan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Gurunya memanggilnya. Pasti ada sesuatu yang penting. Mahisa Agni pun kemudian berdiri dan perlahan-lahan berjalan keluar. Panggilan gurunya itu agak mengganggunya, di samping mimpi yang menggelisahkan itu.
“Mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur,” gumamnya, “Mudah-mudahan.”
Namun meskipun demikian Mahisa Agni tak dapat melupakannya. Setelah membersihkan diri, Mahisa Agni segera pergi ke dapur. Dilihatnya Ken Dedes duduk di atas bale-bale bambu. Ketika dilihatnya ia datang, segera gadis itu menyapanya,
“Kau tertidur di bilik belakang Kakang?”
Mahisa Agni mengangguk. Ditatapnya wajah gadis itu. Pucat, dan tampak bendul di kedua pelupuk matanya. Agaknya gadis itu sehari-harian menangis di dalam biliknya.
Ken Dedes memalingkan wajahnya. Ia merasa Mahisa Agni memandang bendul di pelupuk matanya itu. “Apa yang kau tatap itu Kakang? Apakah kau belum pernah melihat mataku?” katanya sambil mencoba tersenyum.
“Bukan apa-apa,” jawab Agni. Dan tiba-tiba saja sikapnya menjadi canggung. Ia telah berkumpul dengan Ken Dedes dalam satu rumah bertahun-tahun lamanya. Namun kini terasa gadis itu menjadi asing baginya...
“Langit bersih,” desis salah seorang di antaranya. Seorang tua dengan rambut yang telah memutih.
“Ya,” sahut orang kedua. Seorang pemuda yang berwajah jantan, namun penuh kelembutan. Matanya yang bening memancarkan cahaya keteguhan hatinya, yang memandang hari depan dengan penuh pengharapan, namun penuh pergulatan dan perjuangan yang dilandasi dengan pasrah diri tulus ikhlas kepada takdir Yang Maha Agung.
Keduanya diam sejenak. Tetapi kaki mereka masih terayun dalam langkah yang berirama. Lambat-lambat mereka maju terus menyusur dataran sebelah timur Gunung Kawi, menuju ke rumah mereka di Desa Panawijen.
“Mahisa Agni,” kembali orang tua berambut putih itu berbicara.
“Ya, Bapa Pendeta,” sahut pemuda yang bernama Mahisa Agni itu.
“Kita akan kemalaman di perjalanan,” sambung pendeta tua itu.
“Tak apalah. Kalau kita berjalan terus, sebelum tengah malam kita akan sampai,” sahut Mahisa Agni.
“Kau tidak lelah?” bertanya pendeta itu kembali.
Mahisa Agni menarik nafas. Bertahun-tahun ia berguru kepada pendeta itu. Dan bertahun-tahun ia mendapat gemblengan lahir dan batin. Namun setelah bertahun-tahun itu, masih saja ia dianggapnya anak-anak yang selalu mendapat perhatian yang berlebih-lebihan. Meskipun demikian, Mahisa Agni dapat mengerti sepenuhnya.
Pendeta tua yang bernama Empu Purwa itu tak beranak laki-laki. Ia hanya beranak seorang perempuan. Dinamainya anak itu Ken Dedes yang didapatnya sebelum ia mengenakan pakaian pendeta. Bahkan, dirasanya bahwa sikap gurunya jauh melampaui sikap seorang guru biasa. Diperlakukannya Mahisa Agni seperti anak sendiri. Kadang-kadang, Mahisa Agni menangkap juga hasrat yang tersirat dari sikap gurunya.
Ken Dedes telah menjelang dewasa. Dan gadis itu cantiknya bukan main. Seolah-olah bunga melati yang putih berkembang di antara semak-semak yang lebat dan besar di lereng Gunung Kawi. Bahkan, diam-diam ia bersyukur pula atas kesempatan yang pernah ditemuinya itu. Berdiam dalam satu rumah dengan seorang gadis yang tiada taranya. Kecantikannya dan kejernihan hatinya. Tetapi angan-angannya segera terpecah ketika didengarnya Empu Purwa berkata mengulangi,
“Kau tidak lelah Agni?”
“Tidak, Bapa,” cepat-cepat Mahisa Agni menjawab.
“Bagus,” sahut Empu Purwa, “kakimu telah cukup terlatih. Bagaimana dengan pernafasanmu?”
“Baik, Bapa,” jawab Mahisa Agni.
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah senyumnya menghiasi bibirnya yang tebal. Tetapi senyum itu tiba-tiba lenyap seperti asap ditiup angin. Dengan penuh minat Mahisa Agni memandang wajah gurunya. Mula-mula ia menjadi ragu. Apakah sebabnya? Tetapi ketika ia memandang ke depan, dilihatnya padang rumput Karautan. Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Agaknya padang rumput yang di sana-sini diselingi oleh gerumbul-gerumbul itulah yang telah mempengaruhi pikiran gurunya.
Meskipun tak sepatah kata pun yang terlontar dari mulut anak muda itu, namun pandangan matanya memancarkan beberapa pertanyaan tentang padang rumput yang terkenal itu kepada gurunya. Agaknya gurunya pun tanggap pada pertanyaan muridnya, sehingga dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata,
“Itulah padang rumput Karautan. Padang rumput yang terkenal sepi. Dijauhi oleh setiap orang yang menempuh perjalanan. Mereka lebih suka melingkar agak jauh. Lewat Pedukuhan Talrampak atau Desa Kaligeneng.”
Mahisa Agni memandang tanah yang terbentang di hadapannya dengan tajam. Sebentar kemudian ia memandang matahari. Namun matahari yang dicarinya telah tenggelam di balik gunung. Dan malam yang hitam pun perlahan-lahan telah turun menyelimuti Gunung Kawi.
“Apakah hantu itu benar-benar ada?” bertanya Mahisa Agni. Namun sama sekali ketakutan tidak mempengaruhi hatinya. Ia hanya ingin meyakinkan pendengarannya atas hantu Padang Karautan.
“Kau percaya kepada hantu?” terdengar Empu Purwa bertanya pula.
“Entahlah,” Mahisa Agni tersenyum. Dan gurunya tersenyum pula. “Aku terlalu sering mendengar cerita tentang hantu di padang rumput Karautan,” berkata Mahisa Agni.
“Apakah kau bermaksud supaya kita mengambil jalan melingkar?” bertanya gurunya.
“Tidak Guru,” cepat-cepat Mahisa Agni menyahut menyambut. Ia memang tidak takut. Bahkan ia ingin melihat hantu itu. Karena itu ia meneruskan, “Aku ingin membuktikannya.”
“Apa yang pernah kau dengar tentang hantu itu?” bertanya gurunya pula.
“Hantu itu suka mengganggu. Bahkan memiliki sifat-sifat kejam dan bengis. Beberapa orang pernah menjadi korban,” jawab Mahisa Agni.
“Banyak orang yang mati oleh hantu itu. Begitu saja?” sela Empu Purwa.
“Tidak. Kadang-kadang orang yang berani lewat dalam rombongan-rombongan besar menemukan korban-korban itu dalam keadaan telanjang. Darahnya kering dihisap oleh hantu itu,” sahut Mahisa Agni.
“Cerita itu memang mengerikan. Dan apa yang sering terjadi di padang rumput itu pun memang benar-benar mengerikan. Namun tidak seperti yang kau dengar,” potong gurunya.
“Apakah yang pernah Bapa Guru ketahui tentang hantu itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Marilah kita lihat,” jawab Empu Purwa, “yang aku dengar pun terlalu mengerikan.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Meskipun ia tidak takut, namun perasaan yang aneh menjalari hatinya. Tetapi, ketika ia melihat gurunya berjalan dengan tetap dan tenang, langkahnya pun menjadi tenang pula. Ketika bintang gubuk penceng menjadi semakin jelas di ujung langit sebelah selatan, sampailah mereka di padang rumput yang mengerikan itu.
Ketika Mahisa Agni menginjakkan kakinya di atas batu-batu padas dan kemudian menjejakkannya pada rumput-rumput alang-alang, kembali hatinya berdebar-debar. Ditatapnya dalam kekelaman malam, gerumbul-gerumbul berserakan. Seonggok demi seonggok, seperti batu-batu besar yang berserak-serak di dalam telaga yang luas.
Tak sepatah kata pun yang meloncat dari mulut kedua orang itu. Dengan penuh kewaspadaan Mahisa Agni berjalan di samping gurunya, sedang gurunya tetap berjalan dengan tenang. Seakan-akan mereka sedang menikmati sinar bulan yang cemerlang. Ketika seekor kelinci meloncat dari semak-semak di depan mereka, Mahisa Agni terkejut. Kemudian ia tersenyum sendiri. Dirabanya dadanya yang berdebar-debar.
“Apakah aku sudah menjadi seorang penakut?” pikirnya.
Tanpa sengaja diingatnya cerita Ken Dedes yang didengarnya dari kawan-kawannya. Hantu itu mirip seperti manusia. Gagah tegap. Wajahnya sama sekali tak menakutkan. Bahkan seseorang pernah melihatnya di bawah sinar obor yang dibawanya. Wajah itu tampan meskipun kotor. Tetapi sifat-sifatnyalah yang mengerikan.
Hantu itu tidak biasa membiarkan korbannya hidup. Meskipun kadang-kadang ada juga yang tak dibunuhnya. Dan yang tinggal hidup itulah yang menyebarkan cerita tentang hantu di padang rumput Karautan. Tak seorang pun yang dapat mengalahkannya, apalagi menangkapnya. Jagabaya-jagabaya dari pedukuhan di sekitar padang rumput itu pun telah mencobanya. Bahkan bersama-sama dalam rombongan yang besar. Namun hantu itu pandai menghilang dengan meninggalkan lima atau enam orang korban.
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba gurunya berhenti. Ia pun segera berhenti pula. Diikutinya arah pandang mata pendeta tua itu. Dan kemudian perlahan-lahan terdengar Empu Purwa berkata dengan ramahnya,
“Nah Ki Sanak. Aku sudah mengira kalau kau menunggu kedatanganku.”
Mahisa Agni masih belum melihat seorang pun. Namun telinganya yang tajam kemudian mendengar pula gemerisik daun-daun di dalam semak-semak di samping mereka. Dan kemudian terdengarlah dengus kasar dan sebuah bayangan meloncat dengan cepatnya, seperti petir yang berlari di langit. Sesaat kemudian bayangan itu telah berdiri di hadapan mereka.
Dada Mahisa Agni bergetar cepat sekali. Hantu itu bukan sekedar cerita untuk menakut-nakuti gadis seperti Ken Dedes saja namun kini benar-benar telah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar kembali. Apalagi kemudian ketika didengarnya hantu itu tertawa. Nadanya tinggi seperti memanjat tebing Gunung Kawi menggapai langit. Karena itu maka terasa telinganya menjadi sakit. Ketika suara itu kemudian lenyap, terdengarlah hantu itu berkata,
“Kau sudah tahu kalau aku akan menghadangmu?”
“Hantu itu dapat berbicara seperti manusia,” pikir Mahisa Agni.
“Ya, Ki Sanak,” terdengar gurunya menjawab.
“Dan kau sengaja menemui aku?” bertanya hantu itu pula.
“Ya,” jawab gurunya pula.
“Kau terlalu sombong,” kembali hantu itu tertawa menyakitkan telinga. Kemudian katanya pula, “Apa keperluanmu menemui aku?”
“Bisa juga ia diajak berbicara,” pikir Mahisa Agni.
“Ada,” sahut Empu Purwa, “sekadar singgah di padang rumputmu ini. Aku sedang menempuh perjalanan pulang dari Tumapel.”
“Katakan keperluanmu!” potong hantu itu.
“Jangan tergesa-gesa,” berkata Empu Purwa dengan tenangnya. “Apakah waktumu terlalu sempit?”
“Aku tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” jawabnya.
Mahisa Agni berpikir pula, “Kalau begitu benar kata orang, hantu tidak mau mendengar suara ayam berkokok.” Tetapi gurunya menjawab dengan kata yang mengejutkan hatinya.
“Jangan menakut-nakuti aku Ki Sanak. Aku lebih takut kepada orang daripada kepada hantu.”
Hantu itu menggeram. Kemudian membentak, “Jawab! Apa keperluanmu!”
“Ada beberapa pertanyaan untukmu Ki Sanak,” sahut Empu Purwa. Suaranya tetap renyah dan ramah.
Dalam kesempatan itu Mahisa Agni dapat memandang wajah hantu itu dengan seksama. Benar mirip seperti manusia. Bahkan ia tidak melihat perbedaannya sama sekali selain rambutnya yang panjang terurai dengan liarnya berjuntai di atas pundaknya yang bidang. Dalam keremangan malam, tak dilihatnya apa-apa yang mengerikan pada tubuh hantu itu. Bahkan ia sependapat dengan kabar yang pernah didengarnya, hantu itu berwajah tampan.
“Tak ada waktu. Aku akan membunuh kalian dan minum darah kalian,” teriak hantu itu.
Bulu kuduk Mahisa Agni serentak berdiri. Ngeri juga ia mendengar kata-kata itu. Meskipun ia tidak takut mati namun mati dibunuh hantu sama sekali belum pernah terlintas di dalam benaknya. Apalagi kemudian darahnya akan diminumnya pula.
“Darahku tidak sesegar air degan Ki Sanak,” jawab Empu Agni dengan tenang. “Apakah kau selalu haus?”
“Jangan berbicara lagi! Berjongkok dan aku isap tengkukmu sampai kau mati,” hantu itu berteriak semakin keras.
Adalah di luar dugaan Mahisa Agni kalau tiba-tiba Empu Purwa menjawab, “Kalau demikian kehendakmu, apa boleh buat.”
Kemudian kepada Mahisa Agni gurunya itu berkata, “Agni, adalah sudah menjadi kebiasaan hantu-hantu pengisap darah, mengisap korbannya lewat luka di tengkuknya yang ditimbulkan oleh gigi-gigi hantu itu. Kalau hantu ini akan menggigit tengkukku dan kemudian mengisap darahku, aku tak akan melawannya. Karena itu lihatlah dengan seksama, bagaimana caranya melubangi tengkukku.”
Empu Purwa tidak menunggu jawaban. Segera ia berlutut di hadapan hantu itu sambil menundukkan kepalanya. Sesaat Mahisa Agni menjadi bingung. Apa yang dilakukan gurunya itu sama sekali tidak masuk di akalnya. Tetapi tidak saja Mahisa Agni yang menjadi bingung. Hantu itu pun tiba-tiba menjadi bingung pula. Ketika ia melihat orang tua itu berlutut di mukanya maka segera ia bergeser surut.
“Apa yang akan kau lakukan?” bentaknya.
“Memenuhi perintahmu. Berjongkok dan kau akan mengisap darahku,” jawab Empu Purwa.
Kembali hantu itu menjadi bingung. Matanya tiba-tiba bertambah liar. Kemudian katanya berteriak, “Bagus. Kau juga anak muda. Berjongkoklah dan tundukkan kepalamu.”
“Biarlah ia hidup,” potong Empu Purwa. “Biarlah ia menjadi saksi bahwa hantu di padang rumput Karautan telah melubangi tengkukku dengan giginya, kemudian minum darahku dari lubang itu pula.”
Terdengarlah gigi hantu itu gemeretak. Ia telah benar-benar menjadi marah. Kemudian katanya, “Tidak peduli apa yang kau ketahui tentang diriku. Sebab sesaat lagi kau berdua akan mati di padang rumput ini.”
Bersamaan dengan kata-katanya itu, tiba-tiba Mahisa Agni melihat benda yang berkilat-kilat di tangan hantu itu, yang ditariknya dari pinggangnya.
“Pisau?” desis hatinya, “Adakah hantu memerlukan sebuah pisau untuk membunuh seseorang? Bukankah guru berkata kalau hantu melubangi tengkuk korbannya dengan giginya?”
Otak Mahisa Agni adalah otak yang cerah. Karena itu segera ia tanggap atas sasmita gurunya. Demikian ia melihat hantu itu mengayunkan pisaunya, segera ia meloncat menyerang secepat tatit.
Hantu itu terkejut melihat serangan Mahisa Agni yang demikian cepat dan dahsyat. Karena itu ia tidak sempat menancapkan pisau itu di tengkuk orang tua yang berjongkok di hadapannya. Beberapa langkah ia meloncat mundur. Dengan merendahkan diri, hantu itu berhasil membebaskan diri dari serangan Mahisa Agni. Bahkan segera hantu itu pun telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.
Mahisa Agni tidak mau membuang waktu lagi. Demikian serangannya yang pertama gagal, segera ia mempersiapkan diri untuk mengulangi serangannya pula. Namun, sebelum ia meloncat maju, hantu itu telah menyerangnya pula. Serangannya cepat dan berbahaya. Bahkan terasa betapa kuat tenaganya. Satu kakinya terjulur ke depan sedangkan kedua tangannya seperti akan menerkamnya.
Untunglah bahwa Mahisa Agni itu murid Empu Purwa. Apa yang telah dipelajari dan didalaminya sampai kini, benar-benar merupakan bekal yang cukup baginya. Karena itu, ketika serangan hantu itu tiba, Mahisa Agni segera menghindar dengan cepatnya. Menarik satu kakinya ke belakang dan mencondongkan tubuhnya.
Hantu itu seperti terbang beberapa cengkang di hadapannya. Dengan cepatnya Mahisa Agni mempergunakan kesempatan itu. Tangan kirinya segera terayun deras sekali ke arah tengkuk lawannya. Terasa pukulannya mengena. Mahisa Agni mempergunakan sebagian besar tenaganya. Maka lawannya segera terdorong ke depan dan jatuh tersungkur di tanah.
Namun benar-benar mengherankan. Segera tubuh itu berguling-guling untuk kemudian melenting bangun. Sesaat kemudian hantu itu telah berdiri tegak di atas kedua kakinya. Bahkan segera pula ia melontar maju dengan tangan dan jari-jari yang mengembang, seperti hendak meremas muka Mahisa Agni.
Mahisa Agni adalah anak muda yang cukup terlatih. Pengetahuannya tentang tata beladiri cukup baik. Bahkan beberapa pengetahuan dari perguruan lain pun banyak diketahuinya pula. Tetapi ia belum pernah menyaksikan cara bertempur seperti yang dilakukan hantu ini. Cepat, kuat, namun kasarnya bukan main. Bahkan seakan-akan hantu itu bertempur tanpa aturan apa pun yang mengikatnya. Ia menyerang dan melawan dengan cara yang tak berketentuan.
Tetapi satu kenyataan, pukulannya yang tepat mengenai tengkuk hantu itu seakan-akan tak berbekas. Kulit hantu itu benar-benar seperti berlapis batu. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak segera menjadi cemas. Pikirnya, “Asal aku dapat merabanya seperti kulit daging manusia biasa.”
Memang Mahisa Agni pernah mendengar cerita bahwa tubuh hantu tak akan dapat disentuh tangan. Tetapi kali ini ia telah dapat menyentuh dan merasakan sentuhan itu. Bahkan hantu itu pun jatuh tersungkur terdorong oleh tenaganya. Karena itu hatinya menjadi semakin besar. Dan sejalan dengan itu, ia bertempur semakin sengit.
Hantu itu masih bertempur dengan kasarnya. Seperti angin pusaran ia membelit kemudian menghantam dari segala arah. Kadang-kadang pukulannya sama sekali tak terarah, demikian saja meluncur dengan derasnya seperti batu meluncur dari tangan. Mahisa Agni terpaksa harus menyesuaikan dirinya. Dengan tangkasnya ia meloncat, menghindar, dan menyerang. Dicarinya celah-celah dari gerakan-gerakan yang sama sekali tak teratur itu.
Sebenarnya Mahisa Agni banyak mempunyai kesempatan. Kalau saja ia tidak sedang bertempur dengan hantu dari padang rumput Karautan maka pukulannya yang pertama pasti telah meruntuhkan lawannya, yang sama sekali tidak memiliki ilmu tatabela diri itu. Namun sekali hantu itu jatuh tersungkur, sekali ia meloncat bangkit. Sepuluh kali ia terguling di tanah, sepuluh kali ia melenting berdiri.
Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin heran. Ia telah hampir mengerahkan segenap tenaganya. Namun hantu itu masih saja melayaninya dengan caranya yang khusus. Mula-mula anggapannya tentang hantu itu telah hampir larut, sejak ia melihat pisau di tangan lawannya itu. Tetapi kenyataan yang dihadapinya telah menimbulkan keraguan pula.
“Aneh,” pikirnya, “aku tidak mengharap bahwa pada suatu kali aku akan bertempur melawan hantu berpisau.”
Empu Purwa sudah tidak berjongkok lagi. Ia berdiri tegak mengawasi muridnya yang lagi bertempur. Ia melihat betapa Mahisa Agni dengan lancar mempergunakan ilmu yang telah diturunkannya kepada anak muda itu. Cepat, lincah, dan tangguh. Kadang-kadang muridnya itu seperti terbang melingkar-lingkar tetapi kadang-kadang seperti batu karang yang tegak tertanam di pasir pantai.
Sekali-kali orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya namun sekali-kali tampak ia mengerutkan keningnya. Lawan muridnya itu benar-benar aneh. Ia melihat dengan pasti, tangan muridnya telah menyentuh tubuh lawannya, namun lawannya itu benar-benar seperti kebal, kalis dari segala macam bahaya yang menimpanya.
Mahisa Agni masih bertempur dengan sengitnya. Kini ia telah mengerahkan segenap tenaganya. Bahkan segala macam ilmu yang dimilikinya telah ditumpahkannya untuk melawan hantu yang tidak pandai dalam ilmu tata bela diri namun tak dapat dijatuhkannya itu. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin kabur.
Hantu padang rumput itu menyerang membabi-buta. Semakin lama semakin kasar. Ia meloncat-loncat maju dan menerjang dengan kaki, tangan, dan pisaunya. Sekali-kali ia terpental surut oleh pukulan lawannya dan jatuh terjerembab namun sesaat kemudian ia telah maju pula. Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi bingung, bagaimana menyelesaikan pertempuran itu, bahkan Empu Purwa pun beberapa kali menarik nafas dalam-dalam. Muridnya memiliki tenaga yang kuat seperti seekor banteng. Namun tenaga muridnya itu seakan-akan tak berarti.
Tiba-tiba Empu Purwa mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Matanya yang lunak bening menjadi seakan-akan menyala. Dan dadanya bergetar seperti gempa. Empu Purwa yang tua itu melihat bayangan cahaya yang kemerah-merahan di atas kepala hantu padang Karautan itu. Samar-samar namun jelas baginya. Jelas bagi orang setua pendeta itu. Pendeta yang telah masak dalam berbagai ilmu lahir batin, yang kasatmata dan tidak kasatmata. Namun pendeta itu yakin bahwa muridnya pasti tak dapat melihatnya. Karena itu Empu Purwa menjadi gelisah. Sekali-sekali ia menarik nafas panjang.
Malam yang kelam, semakin lama menjadi semakin dalam. Angin yang dingin mengalir perlahan-lahan membelai batang-batang rumput di padang Karautan. Meskipun demikian betapa panas hati Mahisa Agni, dan betapa panas pula hati lawannya. Sebenarnyalah bahwa lawannya itu pun menjadi marah sekali. Tak pernah ia menemukan lawan setangguh Mahisa Agni. Karena itu segera dikerahkan segenap kekuatannya. Dengan menggeram ia menyerang sejadi-jadinya. Dan kemarahan itulah yang telah menyalakan warna semburat merah di ubun-ubunnya.
Dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin dahsyat. Gerak Mahisa Agni menjadi semakin cepat dan kuat sedangkan lawannya menjadi semakin keras dan kasar.nEmpu Purwa melihat bayangan warna merah itu dengan cemas. Ia masih memerlukan beberapa saat untuk meyakinkannya. Dan akhirnya, sekali lagi pendeta tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dari mulutnya terdengar ia berdesis,
“Brahma. Hem, aneh. Kenapa Dewa Brahma membiarkan anak itu menjadi hantu di padang rumput ini? Tidak adakah pekerjaan yang lebih baik daripada menyamun, membunuh, dan memerkosa?” Kembali ia memandangi warna merah di ubun-ubun lawan muridnya. Warna itu masih ada. Bahkan semakin jelas baginya. “Menurut pendengaranku, beberapa orang menyatakan bahwa warna itu adalah ciri keturunan Brahma,” sambungnya.
Tiba-tiba pendeta tua teringat pada pusakanya. Sebuah trisula. Amat kecil dan berwarna kuning. Didapatnya trisula itu dari almarhum gurunya. Turun-temurun dari guru ke murid. Dan trisula itu pun kelak akan diserahkannya kepada Mahisa Agni. Menurut cerita gurunya, trisula itu pertama-tama turun ke bumi sebagai sinar yang membelah langit, kemudian seperti guruh meledak di lereng Gunung Semeru. Yang pertama-tama menemukan trisula itu adalah Empu Wikan. Seorang Empu Sakti yang bertapa di kaki bukit Semeru.
Ketika Empu Wikan mendengar guruh meledak di malam hening maka timbullah kecurigaan di dalam hatinya. Maka dengan hati yang berdebar-debar dipanjatnya tebing Gunung Semeru. Dari kejauhan ia masih melihat sinar yang memancar tegak sebesar lidi jantan menusuk langit. Ketika ia mendekati sinar itu terasa betapa panasnya, Empu sakti itu pun harus bersemedi. Dalam semedinya terdengar suara gemuruh di atas kepalanya. Berkata suara itu,
“Empu Wikan yang bijaksana, yang dijauhi oleh segala bencana di sekitarnya. Apabila sinar itu nanti lenyap, datanglah ke titik tegaknya di bumi. Kau akan menemukan sebuah trisula sebagai tanda kebesaran Siwa. Aku hadiahkan trisula itu kepadamu sebagai tanda kebesaran namamu. Simpanlah pusaka itu dan serahkanlah turun-temurun kepada murid-murid terkasih. Tetapi ingat Empu Wikan, pusaka itu sama sekali bukan alat pembunuh. Tetapi ia akan dapat memengaruhi hati musuh yang bagaimana pun saktinya.”
Kenangan Empu Purwa pecah ketika lawan muridnya jatuh hampir menimpanya. Sekali terguling namun sesaat kemudian telah tegak kembali dan dengan garangnya menerkam muridnya seperti seekor serigala lapar menerkam kambing. Tetapi Mahisa Agni bukanlah seekor kambing. Dengan merendahkan diri, diangkatnya kaki kanannya langsung menghantam perut lawannya. Sekali lagi lawannya terpental dan terbanting.
Namun sekali lagi hantu padang rumput itu meloncat bangkit. Telah berpuluh kali ia terjatuh namun ia masih segar, sesegar mula-mula mereka bertemu. Akhirnya Empu Purwa kasihan juga melihat muridnya. Tandangnya sudah mulai susut. Peluh telah membalut seluruh tubuhnya dilekati debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki mereka yang bergulat antara hidup dan mati itu.
“Agni, kau tak akan mampu mengalahkannya,” pikir pendeta tua itu. Karena itu maka segera ia harus menolongnya. Membebaskan muridnya dari libatan lawannya yang keras dan kasar. Tetapi ia tidak dapat menghilangkan pengaruh warna merah di kepala lawan muridnya itu dari angan-angannya. Sekali lagi ia menimbang-nimbang. Hantu padang rumput itu adakah kekasih Brahma sedangkan pusaka di tangannya adalah hadiah Siwa. Karena itu maka perlahan-lahan ia maju mendekati titik pertempuran.
Lawan muridnya itu, ketika melihat Empu Purwa mendekati mereka, berkata dengan parau, “Ayo, kau yang tua sekali. Majulah bersama-sama. Selama kau masih belum mampu menangkap angin, selama itu kau jangan mengharap lepas dari padang rumput ini.”
“Agni,” berkata Empu Purwa tanpa menjawab kata-kata hantu itu, “Lepaskan lawanmu!”
Mahisa Agni heran mendengar tegur gurunya. Selama ini, apabila gurunya melepasnya bertempur, tak pernah ditariknya kembali sebelum tubuhnya menjadi lemas atau bahaya maut telah hampir menelannya. Meskipun ia merasa tenaganya telah surut namun hantu itu pun tak mampu menyentuhnya. Karena itu ia merasakan suatu keanehan pada gurunya kali ini. Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak berani menolak perintah itu. Dengan satu loncatan panjang ia melepaskan lawannya.
“Jangan lari!” terdengar kembali suara hantu itu. Suara parau dan kasar.
“Tak ada gunanya ia meneruskan.”
“Tidak!” jawab Agni, “Aku tak akan lari.”
“Ia tak akan lari,” sahut Empu Purwa, “tetapi ia tak akan melawanmu dengan cara demikian.”
“Cara apa pun yang akan dipergunakannya, mari maju bersama-sama,” potong hantu itu.
“Tidak,” jawab Empu Purwa, “Aku sudah terlalu tua. Tetapi aku ingin berlaku adil.”
“Kenapa?” sahut lawan Agni.
“Kau mempergunakan senjata,” jawab pendeta tua itu.
“Pakailah senjata!” teriak hantu padang Karautan itu.
“Aku akan memberinya senjata,” sahut Empu Purwa.
“Jangan banyak bicara. Berikan sekarang. Kemudian aku akan segera membunuhnya,” lagi-lagi hantu itu berteriak.
Perlahan-lahan Empu Purwa menarik trisula dari dalam sarung kecilnya, berwarna kuning berkilauan. “Agni,” katanya, “pergunakan trisula ini. Tetapi ingat, jangan kau tusukkan ke tubuhnya. Pengaruhi saja perasaannya dengan senjata itu.”
“Gila!” potong lawan Agni, “Kau berkata demikian sengaja supaya aku mendengarnya. Tusukkan ke tubuhku. Aku tak akan mati.”
Tetapi tiba-tiba suara terhenti. Trisula itu di mata hantu seakan-akan cahaya yang menyilaukan matanya. Karena itu ia berteriak, “Kalian curang. Sekarang kalian yang tidak berlaku adil. Kalian bertempur dengan alat untuk menyilaukan mataku.”
Empu Purwa menarik nafas. Ia sendiri tidak tahu, kenapa lawan muridnya itu menjadi silau sedangkan muridnya sendiri tidak. Demikianlah agaknya khasiat trisula itu meskipun kali ini harus berhadapan dengan kekasih Brahma. Maka terdengar jawaban pendeta tua itu,
“Senjata itu sama sekali tak menyilaukan mataku dan mata anakku. Kenapa kau menjadi silau?”
“Senjata itu agaknya kau peroleh dari setan-setan yang mempunyai daya seperti tenung,” bantah lawan Agni dengan kasarnya. “Sekarang kau akan menenungku.”
“Seandainya senjata itu aku terima dari setan-setan, bukankah hantu dapat melawan setan-setan. Sebab hantu dan setan mempunyai persamaan tabiat. Keduanya tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” sahut Empu Purwa.
Hantu padang rumput itu menggeram keras sekali. Ia tidak mau berbicara lagi. Dengan satu loncatan panjang ia menyerang Empu Purwa. Meskipun serangan itu datangnya tiba-tiba sekali namun Empu Purwa dengan cepat dapat menghindarkan diri. Ia adalah seorang pendeta yang mumpuni. Meskipun tak ada hasratnya untuk berkelahi namun adalah hak setiap hidup untuk mempertahankan hidupnya.
Mahisa Agni pun tidak tinggal diam. Segera ia meloncat menyerang hantu padang rumput. Dan kembali terjadi perkelahian yang sengit antara hantu berpisau dan Mahisa Agni dengan trisula di tangan. Meskipun demikian Mahisa Agni sama sekali tidak tahu apakah gunanya senjata itu apabila sama sekali tidak boleh ditusukkan ke tubuh lawannya. Namun ia tidak berani melanggar pantangan itu.
Karena itu dipegangnya trisula itu dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya dengan tangkas menangkis setiap serangan dan bahkan beberapa kali untuk menyerang lawannya. Dengan trisula di tangan kiri itu sebenarnya gerak Mahisa Agni justru terganggu. Tetapi terasa suatu keanehan terjadi atas lawannya itu. Tiba-tiba ia tidak segarang semula. Berkali-kali lawannya terpaksa meloncat menjauhi dan kadang-kadang tangannya terpaksa melindungi matanya. Mahisa Agni menjadi heran. Agaknya lawannya itu benar-benar menjadi silau.
“Inilah khasiat trisula ini,” pikir Mahisa Agni.
Dengan demikian ia dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Digerakkannya trisula itu melingkar-lingkar seperti kemamang yang menari-nari di udara. Dan lawannya menjadi semakin terdesak. Dengan demikian Mahisa Agni dapat mengenainya lebih banyak, dan betapapun keras kulit hantu itu namun lambat laun terasa juga nyeri-nyeri di kulit dagingnya. Tenaga Mahisa Agni benar-benar sekuat raksasa.
Pada umurnya menjelang seperempat abad itu, Mahisa Agni benar-benar merupakan seorang pemuda yang pilih tanding. Akhirnya terasa bahwa tandang lawannya menjadi semakin susut meskipun tenaga Agni sendiri seakan-akan telah terperas habis. Berkali-kali hantu itu meloncat surut dan mundur. Semakin lama semakin jauh. Hingga akhirnya hantu itu berteriak,
“Kalau kau jantan, lepaskan trisula itu. Aku juga akan melepaskan pisauku.”
“Pisaumu itu tak berarti apa-apa,” sahut Empu Purwa, “Tetapi kau memiliki tanda-tanda yang aneh di atas kepalamu.”
“Jangan mencari-cari. Pertimbangkan tantanganku,” jawabnya.
Sekali lagi Empu Purwa mendekati mereka. Katanya dengan nada penuh kedamaian, “Berhentilah berkelahi.”
“Kalian menyerah?” jawab lawan Agni.
Mahisa Agnilah yang menyahut, “Tidak!”
Kembali terdengar suara Empu Purwa, “Berhentilah berkelahi! Dengarkan kata-kataku!”
Suaranya seakan-akan mengandung suatu wibawa yang agung. Mahisa Agni adalah muridnya sehingga ia sama sekali tak dapat berbuat lain daripada menghentikan perkelahian. Tetapi tidak saja Mahisa Agni yang terpengaruh oleh kata-kata itu, bahkan lawannya pun tiba-tiba meloncat mundur. Sehingga dengan demikian, pertempuran pun menjadi terhenti karenanya.
Empu Purwa melangkah semakin dekat di antara kedua lawan itu. Katanya kemudian, “Ki Sanak, kau memiliki tanda-tanda yang khusus pada dirimu. Karena itu aku dapat mengenalmu.”
“Kau kenal aku?” sahut hantu itu.
“Ya,” jawab Empu Purwa.
“Aku adalah penjaga padang rumput ini. Sato mara satu mati, jalma mara jalma mati. Aku lubangi tengkuknya dan aku hisap darahnya.”
“Tetapi beberapa orang menemukan korbanmu tanpa mengenakan pakaiannya. Tanpa ikat pinggang, tanpa uang dan perhiasan,” potong Empu Purwa.
Hantu itu menggeram. Tetapi sebelum ia menjawab Empu Purwa telah meneruskan kata-katanya, “Jangan menyembunyikannya dirimu. Kau adalah kekasih dewa-dewa.”
Tampak lawan Mahisa Agni itu mengerutkan keningnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” desak Empu Purwa.
“Hantu tidak pernah punya nama,” jawabnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” ulang Empu Purwa.
“Aku tak punya nama!” teriaknya keras-keras sehingga suaranya menggema di seluruh padang rumput Karautan.
Tetapi kembali terdengar suara Empu Purwa tenang perlahan-lahan, namun pasti, “Siapakah namamu Ki Sanak?”
Hantu yang menakutkan setiap orang itu tiba-tiba menundukkan kepalanya. Rambutnya yang liar berjuntai di atas bahunya. Angin yang lembut mengalir perlahan-lahan menggerakkan ujung-ujung rambut yang terurai lepas sebebas rumput alang-alang di padang rumput itu. Tanpa diduga oleh Mahisa Agni tiba-tiba terdengar mulut hantu itu menjawab,
“Namaku Ken Arok.”
Mahisa Agni terkejut mendengar nama itu. Tidak saja Mahisa Agni, tetapi yang menyebutkan nama itu pun terkejut pula. Dengan lantangnya ia berteriak, “Jangan ulangi namaku! Dan untuk seterusnya kau tak akan sempat menyebut namaku. Sebab kalian berdua akan kubunuh malam ini agar Ken Arok tetap tak dikenal orang.”
Tiba-tiba Mahisa Agni bersiap kembali. Nama Ken Arok adalah nama yang menakutkan. Tak ada bedanya dengan hantu di padang rumput Karautan, yang ternyata adalah Ken Arok itu sendiri.
“Kau adalah orang buruan,” berkata Agni dengan lantang, “selagi kau bernama hantu pun aku tidak takut. Apalagi ternyata kau adalah manusia terkutuk. Bersiaplah, kita bertempur sampai hayat kita menentukan, siapakah di antara kita yang akan berhasil keluar dari padang rumput ini.”
“Bagus!” teriak hantu yang ternyata bernama Ken Arok itu. “Berpuluh, bahkan beratus orang, yang telah aku bunuh. Apa artinya kalian berdua?”
Sesaat kemudian Ken Arok dan Mahisa Agni telah siap untuk bertempur kembali namun segera Empu Purwa berkata, “Perkelahian di antara kalian tak ada gunanya. Sebab perkelahian itu tak akan sampai pada ujungnya. Ken Arok memiliki kelebihan dari manusia biasa sedangkan Agni membawa pusaka yang tak ada duanya di dunia ini.”
“Aku akan melayaninya, Bapa,” sahut Agni, “sehari, dua hari bahkan selapan pun aku tak akan meninggalkannya.”
“Sebelum ayam jantan berkokok kau sudah mati,” potong Ken Arok.
“Tak ada artinya, Agni,” berkata Empu Purwa.
Kemudian kepada Ken Arok, pendeta tua itu berkata, “Arok, apakah kau dapat berkelahi dengan mata yang silau? Bagaimanakah kalau trisula itu berada di tanganku, kemudian Agni memukulmu semalam suntuk? Kau tak akan dapat membalasnya sebab aku akan menggerakkan trisula itu di tentang matamu.”
“Curang!” teriak Ken Arok dengan marah.
“Kau juga curang,” bantah Empu Purwa.
“Kenapa? Hanya karena aku memegang pisau ini? Baiklah. Kalau demikian pisauku akan aku buang. Kita bertempur tanpa senjata.”
“Bukan,” sahut Empu Purwa, “Bukan karena senjatamu. Tetapi kenapa kau seolah-olah menjadi kebal?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu benar-benar aneh. Akhirnya ia menjawab, “Bukan kehendakku. Sejak aku sadar tentang diriku, aku telah menjadi kebal. Dewa-dewalah yang membuat aku demikian. Bertanyalah kepada Dewa-dewa. Kalau itu kau anggap kecurangan, Dewalah yang membekali aku dengan kecurangan itu.”
“Bagus. Dewa pulalah yang memberi aku trisula itu,” sahut Empu Purwa, “Adakah itu juga suatu kecurangan?”
Ken Arok menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Wajahnya menjadi tegang dan tangannya yang memegang pisau menjadi gemetar. Tetapi sesaat kemudian terdengar suara Empu Purwa lunak,
“Kemarilah. Duduklah.”
Ken Arok dan Mahisa Agni sama sekali tidak tahu maksud pendeta tua itu. Karena itu, untuk sesaat mereka berdiri mematung sehingga orang tua itu mengulangi kata-katanya,
“Mahisa Agni dan Ken Arok. Kemarilah! Duduklah!”
Meskipun masih diliputi oleh keragu-raguan namun Mahisa Agni kemudian duduk di samping gurunya. Ken Arok masih tegak seperti tonggak.
“Kemarilah Arok,” panggil Empu Purwa dengan ramahnya.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Ken Arok melangkah dua langkah maju. Kemudian menjatuhkan dirinya di samping pendeta tua itu.
“Arok,” kata pendeta tua itu, “seharusnya kau sadar dirimu. Siapakah engkau dan apakah yang akan terjadi atas dirimu. Kau memiliki beberapa kelebihan dari orang lain tetapi kelebihan itu telah kau salah gunakan.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata orang tua itu. Di dalam malam yang gelap, mata itu seakan-akan memancarkan cahaya yang putih bening.
“Ken Arok. Apabila kau sedang berbaring menjelang tidur, tidakkah kau pernah menghitung berapa orang yang telah menjadi korbanmu? Tidakkah kau pernah membayangkan, bahwa orang yang menggeletak mati di padang rumput Karautan ini, atau di tempat-tempat lain yang pernah kau diami, tidak saja menimbulkan kengerian pada saat-saat matinya, tetapi peristiwa itu juga akan meninggalkan goresan yang dalam bagi keluarganya? Bagi anak-anak dan istri mereka yang menunggunya di rumah? Tidakkah kau pernah membayangkan bahwa seorang laki-laki pergi merantau untuk mendapatkan sesuap nasi. Tetapi di jalan pulang laki-laki itu bertemu dengan seorang anak muda yang bernama Ken Arok. Di rumah anak-anaknya yang lapar menunggunya. Tetapi laki-laki itu tak akan pernah pulang.”
Ken Arok belum pernah mendengar seorang pun berkata demikian kepadanya. Kawan-kawannya pada masa kanak-kanaknya, ayah angkatnya yang bernama Lembong, Bango Samparan, dan orang-orang yang pernah datang pergi dalam perjalanan hidupnya. Yang dikenalnya hanyalah daerah-daerah yang gelap. Judi, tuak, perempuan, dan segala macam kejahatan. Sekali dua kali hidupnya terdampar juga ke rumah-rumah yang wajar.
Namun tak sempat didengarnya nasihat dan petuah-petuah. Karena itu, maka kata-kata Empu Purwa itu mula-mula asing baginya. Tetapi kalimat-kalimat itu seperti embun yang menetes dari langit. Perlahan-lahan daun-daun rumput yang kering menjadi basah pula. Demikianlah kata-kata asing itu di hati Ken Arok. Meskipun ia belum mengenal seluruhnya, namun terasa bahwa ada dunia lain dari dunianya yang gelap.
“Ken Arok,” kembali terdengar suara Empu Purwa, “Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang.”
Tiba-tiba Ken Arok menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan diamatinya tangannya. Tangan yang kotor karena darah dan air mata. Dan kini tangan itu menjadi gemetar. “Tak ada jalan lain yang dapat aku tempuh,” terdengar suaranya parau. Tetapi tidak sekeras semula.
“Banyak,” sahut Empu Purwa.
“Aku telah asing dari hidup manusia wajar. Semua orang menjauhi aku,” katanya.
“Mereka takut kepadamu. Kepada perbuatan-perbuatanmu,” jawab Empu Purwa.
Ken Arok menggeleng. Matanya menjadi sayu. Katanya, “Tidak. Sejak aku lahir di luar kehendakku. Aku adalah anak panas. Ayahku mati ketika ibuku diceraikannya. Dan orang menyalahkan aku. Kemudian menurut kata orang, pada masa aku masih bayi merah, aku dibuang di pekuburan. Aku dipelihara oleh Bapak Lembong. Seorang pencuri. Salahkah aku kalau aku kemudian mengikuti cara hidupnya?”
“Tidak,” sahut Empu Purwa, “Kau tidak bersalah. Tetapi kau akan lebih berbahagia kalau kau dapat menempuh cara hidup yang lain.”
Ken Arok memandang wajah pendeta tua itu dengan seksama. Kesan wajahnya telah berubah sama sekali dari semula. Matanya kini sudah tidak liar dan ganas. Bahkan kini menjadi suram. Sekali lagi ia menggeleng, “Aku tidak tahu apakah masih ada cara hidup yang lain yang dapat aku jalani. Aku telah dijauhi oleh sanak-kadang.”
“Jangan risau,” sahut Empu Purwa, “meskipun kau dijauhi oleh sanak-kadang dan handai-taulan, apabila kau tundukkan kepalamu dan bersujud kepadanya, maka adalah sahabat manusia yang jauh lebih berharga dari sanak-kadang, handai, dan taulan.”
“Siapakah dia?” bertanya Ken Arok.
“Yang Maha Agung,” jawab Empu Purwa. Perlahan-lahan namun langsung menusuk kalbu Ken Arok.
Mahisa Agni telah sering mendengar gurunya berkata demikian kepadanya. Berkata tentang Yang Maha Kuasa, yang menciptakan langit dan bumi, kemudian memeliharanya dan kelak akan datang masanya langit dan bumi akan dihancurkannya. Tetapi Ken Arok belum pernah mendengar sebutan itu. Karena itu ia masih berdiam diri menunggu penjelasan.
“Ken Arok,” Empu Purwa melanjutkan, “meskipun kau hidup sendiri di dunia ini, namun kau akan berbahagia kalau Yang Maha Agung itu tidak meninggalkanmu.”
Ken Arok masih berdiam diri. Kata-kata pendeta tua itu belum begitu jelas baginya. Ia sama sekali tidak kenal kepada Yang Maha Agung itu. Tetapi dalam kesibukan berpikir, tiba-tiba Ken Arok teringat pada pengalamannya. Ketika ia dikejar-kejar oleh orang Kemundungan. Ketika ia sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maka memanjatlah ia ke atas sebatang pohon tal. Tetapi orang-orang yang mengejarnya memotong batangnya. Pada saat itu, pada saat ia telah kehilangan akal, terdengarlah suara dari langit,
“Ken Arok, potonglah dua helai daun tal. Pakailah sebagai sayap. Dan kau akan dapat terbang melintasi sungai di bawah pohon tal itu.”
Kemudian, ketika dipotongnya dua pelepah daun tal serta dinaiknya, seakan-akan ia terbang melintasi sungai. Maka tiba-tiba melontarlah pertanyaan menusuk benaknya, “Suara apakah yang telah menyelamatkan aku itu?”
Suara itu telah lama dilupakannya. Bahkan dianggapnya tidak pernah ada. Tetapi suara itu kini terngiang kembali. Jelas, seperti baru saja diucapkan. Akhirnya sampailah ia pada kesimpulan. Itulah suara Yang Maha Agung. Ken Arok terkejut sendiri pada kesimpulan yang ditemukannya. Bersamaan dengan itu, terbayanglah di matanya peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Perampokan, pembunuhan, perkosaan, dan segala jenis kejahatan.
Tiba-tiba Ken Arok menjadi takut. Takut kepada penemuannya. Pada kesimpulan yang didapatnya. Kalau benar Yang Maha Agung itu ada maka akan diketahui semua perbuatannya. Ken Arok menjadi gemetar seperti orang kedinginan, wajahnya menjadi pucat. Dan dengan suara yang bergetar Ken Arok bertanya meyakinkan, “Adakah Yang Maha Agung itu kenal kepadaku?”
“Ya,” sahut Empu Purwa, “Yang Maha Agung itu kenal kepadamu, kepadaku, kepada Agni, dan kepada semua manusia di dunia ini seperti seorang bapa mengenal anak-anaknya.”
“Tahukah Yang Maha Agung itu atas apa yang pernah dan sedang aku lakukan?” bertanya Ken Arok pula.
“Pasti,” jawab Empu Purwa.
Mendengar jawaban itu Ken Arok menjadi menggigil karenanya. Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulitnya. Tiba-tiba Mahisa Agni menjadi terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok itu meloncat berdiri. Terdengarlah ia berteriak,
“Bohong! Bohong! Kau akan menakut-nakuti aku?”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni pun meloncat berdiri. Dengan kesiagaan penuh ia mengawasi Ken Arok yang berdiri tegang di muka gurunya. Matanya yang sayu suram kini menjadi liar kembali. Dengan ujung pisaunya ia menunjuk ke wajah Empu Purwa yang masih duduk dengan tenangnya. Katanya,
“Kau ingin melawan aku dengan cara pengecut itu? Berdirilah bersama-sama. Kita bertempur sampai binasa.”
Mahisa Agni telah bersiap. Ia akan dapat menyerang Ken Arok dengan satu loncatan. Tetapi ketika hampir saja ia meloncat menyerang, sekali lagi ia terkejut. Dilihatnya Ken Arok itu meloncat mundur dan tiba-tiba hantu padang rumput Karautan itu memutar tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya seperti kuda lepas dari ikatannya. Sesaat Agni diam mematung. Namun kemudian ia pun meloncat mengejar hantu yang mengerikan itu. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti karena suara gurunya,
“Agni! Biarkan ia lari. Kemarilah!”
Sekali lagi Agni tidak dapat memahami tindakan gurunya. Ken Arok adalah orang buruan yang berbahaya. Apakah orang itu akan dilepaskannya? Tetapi Mahisa Agni berhenti juga. Dengan wajah yang tegang karena pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dadanya, ia berjalan tergesa-gesa mendekati gurunya.
“Bapa,” katanya terbata-bata, “kenapa orang itu kita biarkan pergi?”
Empu Purwa menarik nafas. Perlahan-lahan orang tua itu berdiri. “Marilah kita lanjutkan perjalanan kita,” berkata orang tua itu. Seakan-akan ia tak mendengar pertanyaan muridnya, bahkan katanya kemudian, “Kita tidak akan sampai tengah malam nanti.”
Karena pertanyaannya tidak dijawab, Agni menjadi semakin tidak puas. Tetapi ia diam saja. Ia pun kemudian berjalan di samping gurunya. Sekali-kali matanya dilemparkannya jauh ke belakang tabir kelamnya malam. Hantu padang rumput Karautan telah hilang seakan-akan ditelan oleh raksasa hitam yang maha besar. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak bertanya-tanya lagi.
Bintang gemintang di langit masih bercahaya gemerlapan. Beberapa pasang telah semakin bergeser ke barat. Dan embun pun perlahan-lahan turun. Agni masih berjalan di samping gurunya. Dengan matanya yang tajam, ditatapnya padang rumput yang terbentang di hadapannya. Beberapa tonggak lagi ia masih harus berjalan. Dalam keheningan malam itu kemudian terdengar suara gurunya lirih,
“Agni, masihkah kau berpikir tentang hantu padang Karautan?”
Mahisa Agni menoleh. Kemudian ia mengangguk sambil menjawab, “Ya Bapa.”
“Apa yang kau lihat pada anak muda itu?” bertanya gurunya.
Mahisa Agni tidak tahu maksud gurunya. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab sehingga Empu Purwa mengulangi, “Adakah sesuatu yang aneh yang kau lihat pada Ken Arok?”
“Apakah yang aneh itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Itulah yang aku tanyakan kepadamu. Sesuatu yang tidak ada pada kebanyakan manusia,” sahut gurunya.
Mahisa Agni termenung sejenak. Dicobanya untuk membayangkan kembali tubuh lawannya. Dada yang bidang, sepasang tangan yang kokoh kuat, rambut yang liar berjuntai sampai ke pundaknya, dan wajahnya yang tampan namun penuh kekasaran dan kekerasan. Tiba-tiba Agni menggeleng, gumamnya seperti kepada diri sendiri, “Tak ada. Tak ada yang aneh padanya.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Pikirnya, “Aku sudah menduga bahwa Agni tak melihat cahaya di ubun-ubun Ken Arok.” Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah, “Memang tidak ada Agni, namun ada cerita yang aneh tentang anak muda yang menjadi buruan itu.”
Mahisa Agni mengawasi wajah gurunya dengan seksama. Tetapi tak dilihatnya kesan apa pun pada wajah yang tua itu. Mungkin karena gelapnya malam. Mungkin karena di wajah pendeta tua itu segala sesuatu menjadi tenang, setenang permukaan telaga yang terlindung dari sentuhan angin..Tetapi kemudian terdengar Empu Purwa berkata,
“Agni, tak banyak yang aku dengar tentang asal-usul Ken Arok. Tetapi aku pernah mendengarnya dari mulut beberapa orang pendeta. Di antaranya pendeta di Sagenggeng. Bahwa dari kepala Ken Arok itu memancar cahaya yang kemerah-merahan. Dan cahaya yang demikian adalah ciri dari mereka yang dikasihi oleh Brahma.”
“Kalau demikian…?” kata-kata Mahisa Agni terputus.
“Ya,” Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ken Arok adalah kekasih Brahma. Bahkan orang pernah menganggap bahwa Ken Arok adalah pecahan Dewa Brahma sendiri.”
Mahisa Agni menundukkan wajahnya, ditatapnya ujung kakinya berganti-ganti. Seakan-akan ia sedang menghitung setiap langkah yang dibuatnya. Kembali menjalar di benaknya beberapa macam pertanyaan yang kadang-kadang sangat aneh baginya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada trisula di tangannya. Ya, di tangan kirinya masih digenggamnya tangkai trisula yang terlalu kecil baginya. Tanpa sesadarnya, diamatinya trisula itu dengan seksama. Trisula itu benar-benar berkilauan namun tidak sampai menyilaukan baginya. Mahisa Agni terkejut ketika didengarnya gurunya berkata,
“Agni, cerita tentang trisula itu sama anehnya dengan cerita tentang orang buruan itu.”
Agni mengangkat wajahnya. Sekali lagi dipandangnya wajah gurunya. Wajah yang sepi hening.
“Trisula itu adalah hadiah dari Siwa,” Empu Purwa meneruskan.
Memang cerita itu aneh bagi Mahisa Agni. Karena itu ia menjadi heran. Kekasih Brahma yang hampir setiap saat menjalankan kejahatan, dan senjata hadiah Siwa di tangannya. Adakah dengan demikian berarti bahwa membenarkan segala macam kejahatan itu? Meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan namun Empu Purwa telah dapat menangkap dari wajah muridnya, maka katanya,
“Agni. Jangan kau risaukan apa yang sedang dilakukan oleh Brahma, Siwa, dan Wisnu sekali pun. Kalau pada suatu saat, orang-orang yang menurut cerita bersumber pada kekuatan Brahma harus berhadapan dengan orang-orang bersumber pada kekuatan Siwa atau Wisnu, itu bukanlah hal yang perlu kau herankan. Sebab, baik Siwa, Brahma, maupun Wisnu itu sendiri merupakan pancaran dari Maha Kekuasaan Yang Esa. Dan keesaan kekuasaan itulah yang mengatur mereka. Apa yang dilakukan Brahma, Wisnu, dan Siwa adalah satu rangkaian yang bersangkut-paut dengan tujuan tunggal. Apa yang diadakan oleh kekuasaan itu, kemudian dipeliharanya untuk kemudian, apabila sampai saatnya, dihancurkannya.”
Kini kembali Mahisa Agni menundukkan wajahnya. Ia dapat mengerti apa yang dikatakan oleh gurunya. Dan itulah sebabnya, maka gurunya tak mengizinkannya untuk mengejar Ken Arok, yang menurut kata orang adalah pecahan Dewa Brahma itu sendiri. Kemudian, gurunya itu tidak berkata-kata lagi. Mereka berjalan saja menembus malam yang gelap dingin. Dan setapak demi setapak mereka mendekati rumah mereka. Desa Panawijen.
Ketika mereka menjadi semakin dekat semakin dekat maka lupalah Mahisa Agni kepada Ken Arok, pada trisula di tangannya, pada cerita tentang Brahma dan Siwa, serta pada perkelahian yang baru saja dialami. Yang ada di dalam angan-angannya kemudian adalah kampung halamannya. Kampung halaman di mana ia meneguk ilmu dari gurunya, Empu Purwa.
Tetapi, kampung halaman itu tidak akan demikian memukaunya apabila di sana tidak ada orang-orang tersangkut di dalam hatinya, selain gurunya, pendeta tua yang sabar dan tawakal itu. Yang mula-mula hadir di dalam angan-angannya adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan seperti yang dirindukan oleh bidadari sekali pun. Kadang-kadang Mahisa Agni menjadi heran, apabila dibandingkannya wajah gadis itu dan wajah ayahnya.
Ayahnya bukanlah seorang yang berwajah tampan pada masa mudanya. Entahlah kalau ibunya seorang bidadari yang kamanungsan. Mahisa Agni belum pernah melihatnya. Bahkan anak gadis itu sendiri pun tak dapat mengingat wajah ibunya lagi. Dan gadis yang bernama Ken Dedes itu, di matanya tak ada yang memadainya. Sehingga tidaklah aneh bahwa setiap mulut yang tersebar dari lereng timur Gunung Kawi sampai ke Tumapel pernah menyebut namanya.
Tetapi gadis itu terlalu bersikap manja kepadanya, seperti seorang adik kepada seorang kakak yang sangat mengasihinya. Mahisa Agni tidak begitu senang pada sikap itu. Seharusnya Ken Dedes tidak menganggapnya sebagai seorang kakak. Tiba-tiba wajah Agni menjadi kemerah-merahan. Ia tidak berani meneruskan angan-angannya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Perlahan-lahan Mahisa Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terkejut ketika terdengar gurunya berkata,
“Agni, sebaiknya kau kembalikan trisula itu kepadaku. Aku mengharap bahwa kelak kau akan dapat memilikinya.”
“Oh,” terdengar sebuah desis perlahan dari mulut Agni. Cepat-cepat ia menyerahkan senjata aneh itu kepada gurunya tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kemudian mereka pun meneruskan perjalanan mereka. Sudah tidak seberapa jauh lagi. Dari desa di hadapan mereka, terdengarlah kokok ayam jantan bersahut-sahutan.
“Hari menjelang pagi,” desis Empu Purwa.
“Kita terhalang di padang Karautan,” sahut Mahisa Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Dan kembali Mahisa Agni berangan-angan. Kini yang hadir di dalam benaknya adalah sahabatnya. Seorang pemuda yang tampan, bertubuh tinggi tegap, bermata hitam mengkilat. Anak muda itu adalah putra Ki Buyut Panawijen. Hampir setiap hari Mahisa Agni bermain-main bersamanya. Menggembala kambing bersama. Bekerja di sawah bersama. Saling membantu seperti kakak-beradik yang rukun. Mereka berdua mempunyai banyak persamaan tabiat. Keduanya senang pada pekerjaan mereka sehari-hari.
Keduanya bekerja di antara penduduk Panawijen yang rajin. Menggali parit, membuat bendungan di sungai, dan membersihkan jalan-jalan desa, memelihara pura-pura, dan segala macam pekerjaan. Namun ada yang tak dapat dipersamakan di antara mereka. Mahisa Agni adalah seorang pemuda yang tangguh, yang hampir sempurna dalam ilmu tata beladiri dan tata bermain senjata. Berkelahi seorang diri dan bertempur dalam gelar-gelar perang.
Sedangkan Wiraprana, anak muda putra Ki Buyut Panawijen, adalah seorang anak muda yang tak banyak perhatiannya pada ilmu tata beladiri meskipun dipelajarinya serba sedikit dari ayahnya. Meskipun anak muda itu rajin bekerja namun ia tidak setekun Mahisa Agni dalam menempa diri. Meskipun demikian, karena Agni tidak biasa menunjukkan kelebihannya, keduanya dapat bergaul dengan rapatnya.
Mereka memasuki desa mereka pada saat cahaya merah membayang di timur. Di telinga mereka masih menghambur suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Sekali-kali telah terdengar pula gerit senggot orang menimba air dari perigi-perigi di belakang rumah mereka. Ketika mereka, Empu Purwa dan Mahisa Agni, memasuki halaman rumah mereka yang dikelilingi oleh pagar batu setinggi orang, mereka melihat api menyala di ujung dapur.
“Ken Dedes sudah bangun,” berkata Empu Purwa perlahan.
Mahisa Agni tidak menjawab. Sejak semula ia sudah menyangka bahwa Ken Dedes dan para endanglah yang sedang merebus air sambil menunggu kedatangan mereka.nSekali mereka berjalan melingkari pertamanan di tengah-tengah halaman yang luas itu. Kemudian mereka berjalan di tanggul kolam yang berair bening. Di siang hari, kolam itu dipenuhi oleh itik, angsa, dan berati, berenang dengan riangnya. Kedatangan mereka disambut oleh Ken Dedes dengan penuh kemanjaan. Dengan bersungut-sungut terdengar ia bergumam,
“Ayah terlalu lama pergi bersama Kakang Agni. Semalam aku tidak tidur. Ayah berkata bahwa selambat-lambatnya senja kemarin sampai di rumah. Tetapi baru pagi ini ayah sampai.”
“Agni kerasan di Tumapel,” jawab Empu Purwa.
“Ah,” desah Ken Dedes, “barangkali gadis-gadis Tumapel menahannya.”
Mahisa Agni tersenyum kemalu-maluan. Ia tidak mau disangka demikian, namun ia tidak dapat mengatakan keadaan yang sebenarnya di padang Karautan. Karena itu menyahut, “Aku berburu kelinci di Padang Karautan.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Katanya, “Ayah melewati padang rumput itu?”
Empu Purwa mengangguk.
“Tidaklah Ayah takut kepada hantu yang sering menghadang orang lalu di padang rumput itu?” desak Ken Dedes.
Sekali lagi Empu Purwa menggeleng. Katanya, “Tak ada hantu di sana. Yang ada adalah kelinci-kelinci dan anak-anak rusa.”
Ken Dedes tidak bertanya lagi tetapi wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Tiba-tiba Ken Dedes melangkah maju mendekati Mahisa Agni. Ditatapnya sesuatu pada wajah anak muda itu. “Kenapa wajahmu, Kakang?” bertanya Ken Dedes kemudian sambil meraba pipi Mahisa Agni.
Baru pada saat itu Mahisa Agni merasa wajahnya nyeri. Sebuah jalur kemerah-merahan membujur di wajahnya, di samping noda yang kebiru-biruan. Sekilas terasalah tangan hantu Karautan menghantam wajahnya itu pada saat ia berkelahi. “Pipiku tersangkut dahan pada saat aku merunduk menangkap kelinci,” jawab Agni.
Meskipun Ken Dedes tidak bertanya lagi namun tampaklah kerut-kerut di keningnya sebagai pertanyaan hatinya. Kemudian tanpa disengajanya Ken Dedes mencibirkan bibirnya. Sesaat kemudian mereka telah duduk menghadapi minuman hangat. Air daun sereh dengan gula aren telah menyegarkan tubuh mereka.
“Kau terlalu lelah Agni,” berkata Empu Purwa. “Beristirahatlah.”
Sebenarnyalah bahwa Agni terlalu lelah. Perkelahiannya dengan Ken Arok telah memeras hampir seluruh tenaganya. Karena itu ia pun segera beristirahat pula. Karena kelelahan itulah maka ia pun segera jatuh tertidur. Betapapun lelahnya namun Agni tidak dapat tidur terlalu lama. Sudah menjadi kebiasaan anak muda itu bangun pagi-pagi sebelum matahari melampaui punggung bukit-bukit di sebelah timur.
Tetapi kali ini Mahisa Agni terlambat juga. Ketika ia membuka mata, dilihatnya cahaya matahari telah memanasi dinding-dinding ruang tidurnya. Karena itu segera ia bangkit dan segera pula dengan tergesa-gesa pergi ke belakang membersihkan diri. Ketika ia melangkah kembali masuk ke ruang dalam, Mahisa Agni terkejut mendengar sapa perlahan-lahan,
“Kau kerinan, Agni.”
Agni menoleh. Dilihatnya di sudut bale-bale besar yang terbentang di ruangan itu, Wiraprana duduk bersila. Senyumnya yang segar membayang di antara kedua bibirnya. Agni pun tersenyum pula. Jawabnya, “Aku terlalu lelah.”
“Kau baru pulang semalam?” bertanya Prana.
“Bukan semalam,” jawab Agni, “pagi ini.”
“Lama benar kau pergi,” sahut Prana.
“Sepekan,” jawab Agni.
“Selesaikan dirimu. Kita pergi ke sawah kalau kau tidak terlalu lelah,” ajak Wiraprana.
Agni tidak menjawab. Segera ia membenahi diri. Sesaat kemudian mereka berdua telah turun ke halaman. Beberapa kali mata Agni mengitari seluruh ruangan dan halaman rumahnya untuk mencari Ken Dedes. Namun gadis itu tak ditemuinya. Ketika di halaman ia berpapasan dengan seorang cantrik, maka ia bertanya, “Ke mana Ken Dedes?”
“Ke sungai, Ngger,” jawab cantrik itu.
“Apa yang dilakukan?” desak Agni.
“Ken Dedes membawa kelenting dan dijinjingnya bakul cucian,” jawab cantrik itu pula.
“Bapa Pendeta?” bertanya Agni pula.
“Di sanggar, sejak beliau datang bersama Angger,” jawab cantriknya itu.
Agni tidak bertanya lagi. Dan keduanya berjalan pula keluar halaman. Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika mereka melihat debu yang berhamburan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berlari tidak terlalu kencang. Kuda itu berjalan searah dengan Agni dan Wiraprana.
Agni melihat kuda yang besar dan tegar itu dengan kagumnya. Di punggung kuda itu duduk seorang pemuda dengan pakaian yang rapi dan teratur. Kain lurik merah bergaris-garis cokelat, celana hitam mengkilat, dan timang bermata berlian. Di punggungnya terselip sebuah pusaka, keris berwrangka emas.
Melihat anak muda yang duduk di atas punggung kuda itu wajah Agni menjadi terang. Ia tertawa sambil melambaikan tangannya dan dari sela-sela tertawanya terdengar ia menyapa, “Kuda Sempana!”
Wiraprana berdiri saja di tempatnya. Ia melihat Agni dengan bibir yang ditarik ke sisi. Bisiknya, “Kau akan kecewa, Agni.”
Meskipun Agni mendengar bisik sahabatnya namun ia tidak segera menangkap maksudnya. Ia masih tegak di tepi jalan menanti anak muda yang berkuda dengan gagahnya itu. Mula-mula Mahisa menyangka bahwa Kuda Sempana tidak melihatnya. Karena itu sekali lagi menyapa, “He, Kuda Sempana!”
Anak muda yang bernama Kuda Sempana itu memperlambat kudanya. Dilemparkan pandangannya ke arah Mahisa Agni. Namun hanya sebentar. Ia mengangguk tanpa kesan. Kemudian ia melanjutkan perjalanan.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kuda Sempana baru beberapa tahun meninggalkan kampung halaman. Apakah anak itu telah melupakannya? Untuk meyakinkan dirinya, Mahisa Agni masih tetap berdiri menanti Kuda Sempana. Tetapi ia menjadi kecewa ketika tiba-tiba kuda yang dinaikinya membelok masuk ke halaman. Justru halaman rumah gurunya.
“Bukankah itu Kuda Sempana?” tanpa sesadarnya Agni bertanya.
“Ya,” jawab Wiraprana.
“Kawan kita bermain dahulu?” Agni menegaskan.
“Ya,” jawab Prana.
“Bukankah anak itu baru beberapa tahun meninggalkan kita,” Agni meneruskan.
“Ya,” sahut Prana pula.
“Aneh,” berkata Agni seperti orang yang menyesal.
“Sudah aku katakan,” jawab Prana, “kau akan kecewa. Dua hari yang lampau, aku menyesal pula seperti kau sekarang. Anak itu sekarang menjadi pelayan dalam dari Akuwu Tunggul Ametung. Ia menjadi kaya dan tak mengenal kita lagi.”
“Barangkali ia tergesa-gesa,” Agni mencoba untuk memuaskan hatinya sendiri.
“Aku telah mengalami dua hari yang lampau. Ia memandangku seperti orang asing,” sahut Prana.
Tetapi Mahisa Agni masih belum yakin. Tak masuk di akalnya bahwa hanya karena menjadi pelayan dalam Akuwu Tumapel, seseorang dapat melupakan kawan-kawan bermain sejak masa kanak-kanaknya.
Wiraprana melihat keragu-raguan itu. Maka katanya sambil tersenyum, “Agni, agaknya kau tidak yakin akan kata-kataku. Cobalah kau temui anak itu.”
“Marilah,” ajak Agni.
Wiraprana menggeleng. Jawabnya, “Aku segan. Tak ada gunanya. Aku akan mendahului. Aku tunggu kau di atas tanggul.”
Mahisa Agni sejenak menjadi ragu-ragu. Tetapi bagaimanapun juga ia melihat sikap yang aneh pada Kuda Sempana. Apalagi anak muda itu masuk ke halaman rumah gurunya. Karena itu akhirnya ia berkata, “Baiklah Prana, tunggulah aku di atas tanggul. Aku segera menyusul.”
Sekali lagi Wiraprana tersenyum. Kemudian ia memutar tubuhnya berjalan perlahan-lahan mendahului Agni, yang karena keinginannya untuk mengetahui keadaan Kuda Sempana, berjalan kembali ke halaman rumahnya. Ketika ia memasuki halaman, dilihatnya Kuda Sempana masih berada di atas punggung kudanya. Dengan sikap seorang bangsawan ia sedang bercakap-cakap dengan seorang cantrik.
“Sudah lama ia pergi?” terdengar Kuda Sempana itu bertanya.
“Sudah Angger,” jawab cantrik itu.
“Sendiri?” bertanya Kuda Sempana.
“Dengan beberapa endang, Angger,” jawab cantrik itu.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditebarkan pandangannya ke seluruh sudut halaman. Dan ketika dilihatnya Mahisa Agni, Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Mahisa Agni tersenyum dengan ramahnya. Dengan akrabnya ia berkata, “Sempana. Alangkah gagahnya kau sekarang.”
Anak muda itu memandang Mahisa Agni dengan tajam. Kemudian katanya, “Ya.”
Jawaban itu terlalu pendek bagi dua orang kawan yang telah lama tidak bertemu. Meskipun demikian Agni masih menyapanya lagi, “Apakah keperluanmu? Adakah aku dapat membantumu?”
Kuda Sempana menggeleng, “Aku tergesa-gesa.”
Perasaan kecewa mulai menjalari dada Mahisa Agni. Percayalah ia sekarang kepada Wiraprana bahwa hal yang diragukan itu benar-benar dapat terjadi. Namun sekali lagi Agni bertanya, “Adakah sesuatu pesan untuk Bapa Pendeta?”
Sempana menggeleng. “Tidak,” katanya, “Aku tidak mempunyai sesuatu keperluan dengan Empu Purwa. Aku datang untuk putrinya.”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Agni. Tetapi ia mencoba menguasai perasaannya. Dan tahulah ia sekarang, siapakah yang ditanyakan oleh Sempana kepada cantrik itu. Mahisa Agni terkejut ketika kemudian terdengar Kuda Sempana berkata,
“Aku tidak mempunyai banyak waktu.”
Anak muda yang gagah itu tidak menunggu jawaban siapa pun. Segera ia menarik kekang kudanya, dan kuda yang tegar itu pun berputar. Sesaat kemudian kuda itu telah menghambur meninggalkan halaman yang luas dan sejuk itu. Ketika Kuda Sempana telah hilang di balik pagar, bertanyalah cantrik itu kepada Mahisa Agni,
“Bukankah anak muda itu Angger Kuda Sempana?”
“Ya,” jawab Agni sambil mengangguk-angguk kepalanya.
“Tetapi,” cantrik itu meneruskan, “bukankah anak muda itu kawan Angger Agni bermain-main seperti Angger Wiraprana?”
Agni mengangguk. Ditatapnya sisa-sisa debu yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang mengagumkan itu. Jawabnya, “Begitulah.”
Cantrik itu tidak bertanya lagi ketika dilihatnya sorot mata Agni yang aneh. Karena itu, segera ia kembali pada pekerjaannya membersihkan halaman dan tanam-tanaman.
Mahesa Agni pun kemudian tidak berkata-kata pula. Diayunkan kakinya keluar halaman. Ia telah berjanji pergi ke tanggul. Di sana Wiraprana menunggunya. Ia masih melihat Kuda Sempana melarikan kudanya lewat jalan yang akan dilaluinya namun ia sama sekali sudah tidak menaruh perhatian kepada anak muda yang sombong itu. Karena itu segera angan-angannya kembali kepada sahabatnya, Wiraprana.
Tanggul yang dimaksud Wiraprana adalah tanggul sebuah bendungan dari sebuah sungai kecil yang membujur agak jauh dari desanya. Dari sungai itulah sawah-sawahnya mendapat aliran air. Karena itu, baik Agni maupun Wiraprana sering benar pergi ke tanggul itu. Bahkan bukan saja anak-anak muda namun gadis-gadis pun selalu pergi ke sungai itu untuk mencuci pakaian-pakaian mereka dan mandi di belumbang kecil di bawah bendungan.
Tetapi Agni tidak langsung pergi ke tanggul itu. Ketika ia lewat di samping sawah Empu Purwa yang menjadi garapannya, ia berhenti. Dilihatnya beberapa batang rumput liar tumbuh di antara tanaman-tanamannya meskipun masa matun baru saja lampau. Karena itu ia memerlukan waktu sejenak untuk menyiangi tanamannya itu.
Wiraprana yang sudah sampai di pinggir kali, duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas yang menjorok agak tinggi. Ketika ia melihat bahwa tanggul dan bendungan cukup baik, maka yang dikerjakannya adalah menunggu Mahisa Agni, yang akan diajaknya untuk melihat apakah rumpon yang mereka buat telah masak untuk dibuka.
Wiraprana meredupkan matanya ketika ia melihat seekor kuda berlari kencang ke arahnya. Segera ia mengenal bahwa di atas punggung kuda itu duduk Kuda Sempana. Meskipun ia tidak tahu maksud kedatangan anak muda itu namun perasaan tidak senang telah menjalari dirinya sehingga tanpa sesadarnya ia turun dan duduk di balik batu padas itu. Ia sama sekali tidak ingin untuk bertemu dengan anak yang sombong itu meskipun timbul juga keinginannya untuk mengetahui, apakah maksud kedatangan anak muda itu ke bendungan.
Ketika Wiraprana melayangkan pandangannya ke belumbang kecil di bawah bendungan itu, dilihatnya beberapa orang gadis sedang mencuci. Satu di antara mereka adalah gadis yang dikenalnya dengan baik, sebaik ia mengenal Mahisa Agni. Gadis yang namanya selalu disebut oleh hampir setiap pemuda di kaki Gunung Kawi itu. Gadis itu adalah Ken Dedes.
Wiraprana menarik nafas. Tetapi kemudian ia dikejutkan oleh derap kaki kuda di sampingnya. Sekali lagi ia berkisar ke balik batu itu. Ia benar-benar tidak mau bertemu lagi dengan Kuda Sempana setelah hatinya dikecewakan dua hari yang lampau.
Tetapi didesak oleh perasaannya maka dengan hati-hati ia mengintip apakah keperluan anak muda yang sombong itu. Ia menahan nafas ketika ia melihat Sempana berjalan hanya beberapa langkah di mukanya, kemudian membelok ke kanan, menuruni tebing sungai.
Beberapa orang gadis yang melihat kedatangan anak muda itu menjadi heran. Mereka telah biasa melihat Wiraprana, Mahisa Agni, dan anak-anak muda dari desa mereka berada di atas tanggul bendungan itu. Namun anak muda dengan pakaian yang sedemikian lengkapnya adalah jarang mereka lihat. Tetapi ketika anak muda itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba terdengarlah hampir bersamaan dari mulut gadis-gadis itu sebuah sapa yang riang,
“Kuda Sempana!”
Tetapi sapa itu sama sekali tak berbekas di wajah Kuda Sempana yang seakan-akan telah membeku. Meskipun kemudian gadis-gadis itu menjadi riuh, namun Sempana sama sekali tak terpengaruh olehnya, sehingga akhirnya gadis-gadis itu pun menjadi heran dan berhenti dengan sendirinya.
Tetapi di antara mereka, tampaklah Ken Dedes menjadi pucat. Tiba-tiba terasa tubuhnya gemetar seperti kedinginan. Ia melihat kedatangan Kuda Sempana seperti melihat hantu. Bagaimanapun ia mencoba menguasai dirinya namun tampak juga tubuhnya bergetar. Untunglah tak seorang pun dari kawan-kawannya memperhatikannya.
Kuda Sempana kemudian berdiri tegak di tepi belumbang kecil itu. Gadis-gadis yang berada di hadapannya itu seakan-akan tak dilihatnya selain seorang gadis yang dengan gemetar memperhatikan segala tingkah lakunya.
“Ken Dedes,” kemudian terdengar kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Meskipun ia berdiri dengan garangnya namun terdengar kata-katanya itu lunak dan lambat. Oleh kata-kata Sempana itu maka gadis-gadis itu pun seperti terpikat oleh sebuah pesona, bersama-sama menoleh ke arah Ken Dedes yang kemudian menundukkan wajahnya.
Ken Dedes sama sekali tidak menjawab sapa itu. Bahkan tubuhnya seraya menjadi lemas. Detak jantung di dadanya seakan-akan berdentang seperti guntur. Ketika sekali lagi ia mendengar anak muda itu memanggilnya maka ditundukkannya wajahnya semakin dalam.
“Ken Dedes,” berkata Sempana kemudian, “aku tidak banyak mempunyai waktu. Tinggalkan cucianmu sebentar. Ada sesuatu yang akan aku katakan kepadamu.”
Gadis-gadis yang lain pun saling berpandangan. Mereka memuji ketampanan Kuda Sempana namun mereka berteka-teki pula, mengapa Kuda Sempana menemui seorang gadis di pemandian. Sudah tidak adakah waktu yang lain?
“Aku telah datang ke rumahmu, Ken Dedes,” Kuda Sempana meneruskan, “Tetapi kau tak ada. Karena itu aku terpaksa menyusulmu.”
“Kakang Sempana,” akhirnya Ken Dedes terpaksa menjawabnya, “Tunggulah aku di rumah. Aku akan dapat membicarakannya dengan ayah dan Kakang Agni.”
“Marilah kita pulang bersama-sama,” ajak Sempana.
“Aku belum mandi,” bantah Ken Dedes, “dan cucianku belum selesai. Bukankah hari masih terlampau pagi?”
“Besok aku harus kembali ke Tumapel,” sahut Kuda Sempana, “siang nanti aku akan berkemas. Seandainya kau bersedia…” Sempana tak meneruskan kata-katanya. Ketika ia mendengar beberapa orang gadis menahan senyumnya, ditatapnya wajah gadis-gadis itu dengan tajamnya sehingga gadis-gadis itu pun menjadi ketakutan dan menjatuhkan pandangan mereka ke atas pasir.
Ken Dedes menjadi semakin gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan. Tetapi pasti bahwa ia tak dapat memenuhi permintaan Kuda Sempana. Karena Ken Dedes tidak segera menjawab, Sempana mendesaknya, “Ken Dedes, berpakaianlah!”
Nafas Ken Dedes menjadi sesak. Apalagi ketika didengarnya Kuda Sempana meneruskan, “Bukankah tidak baik apabila aku menyatakan maksudku di sini?”
Sekali lagi terdengar suara-suara tertawa yang tertahan. Dan sekali lagi mata Sempana yang tajam beredar ke setiap wajah gadis-gadis di belumbang itu, dan sekali lagi gadis-gadis itu melemparkan pandangan jauh-jauh.
Mulut Ken Dedes telah benar-benar seperti membeku. Karena itu tak sepatah kata pun dapat diutarakan meskipun hatinya meronta-ronta. Adalah suatu aib yang mencoreng di wajahnya apabila kemudian Sempana tak dapat menahan hatinya dan melamarnya langsung tidak setahu ayahnya. Meskipun ia dapat menolak tetapi sikap yang demikian dari seorang pemuda adalah sikap yang tercela.
Hanya gadis-gadis yang tak berhargalah yang akan pernah mengalami perlakuan demikian. Maka merataplah Ken Dedes di dalam hatinya, “Apakah aku ini termasuk dalam lingkaran gadis-gadis yang demikian sehingga Sempana memperlakukan aku begini?” Hampir saja air mata Ken Dedes meledak seandainya ia tidak berusaha sekuat-kuatnya untuk menahannya.
Tetapi Sempana, pelayan dalam Akuwu Tumapel itu, benar-benar seperti orang mabuk. Katanya, “Ken Dedes, bukankah sejak aku pulang, aku telah berkata kepadamu bahwa suatu ketika aku akan datang ke rumahmu? Seharusnya kau tahu akan maksudku itu. Karena itu sekarang marilah kita pulang.”
Ken Dedes masih saja menundukkan wajahnya. Karena itu kemudian Kuda Sempana menjadi tidak sabar lagi. Sorot matanya menjadi semakin tajam. Beberapa orang gadis pergi menjauhinya. Mereka takut melihat sikap Sempana yang menjadi semakin garang. Dada Ken Dedes pun menjadi semakin sesak. Hatinya menjadi tegang. Tak ada yang dapat dilakukannya. Sekali ia mencoba menatap wajah Sempana tetapi wajah itu terlalu menakutkan baginya sehingga akhirnya kembali kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang lain dari suara Kuda Sempana. Tidak terlalu keras namun kata demi kata dapat didengarnya dengan baik. Katanya, “Kuda Sempana, adakah kau akan ikut serta mencuci pakaianmu di belumbang ini?”
Kuda Sempana terkejut. Ketika ia menoleh, dilihatnya Wiraprana berjalan perlahan-lahan ke arahnya. Karena itu wajah Sempana segera menjadi merah. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadap Wiraprana. Dan dengan suara lantang ia berkata, “Apa kerjamu di sini?”
“Menunggui tanggul,” jawab Wiraprana singkat.
Kuda Sempana menggeram. Ia benar-benar menjadi marah. Katanya, “Kau mencoba mencampuri urusanku?”
Wiraprana mengerutkan keningnya, “Apa yang aku campuri? Setiap hari aku berada di tempat ini. Mengail, membuka parit, mencuci pakaian, dan segala macam pekerjaan anak desa. Kaulah yang aneh. Seorang pelayan dalam Tumapel berada di bendungan.”
“Tutup mulutmu!” bentak Sempana.
Gadis-gadis yang melihat peristiwa itu menjadi ketakutan pula. Tubuh mereka bergetaran dan dada mereka menjadi sesak. Apalagi Ken Dedes sendiri. Di samping perasaan takut yang membelit hatinya maka ia pun merasa bahwa dirinyalah sebab dari pertengkaran itu. Karena itu maka ia menjadi semakin cemas. Meskipun ia merasa bersyukur pula atas kehadiran Wiraprana namun agaknya Kuda Sempana memandang kehadiran Wiraprana sebagai tantangan. Kuda Sempana tidak menjadi malu atau segan, bahkan ia bersikap sebagai lawan.
Pada saat Wiraprana berada di balik batu padas, dilihatnya sikap Kuda Sempana yang kurang wajar. Karena itu perlahan-lahan ia merunduk di balik-balik batu mendekatinya. Meskipun ia tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi namun adalah pasti baginya bahwa Ken Dedes berada dalam kesulitan. Maka sikap Sempana itu adalah merupakan penjelasan baginya. Anak muda yang sombong itu benar-benar telah berbuat suatu kesalahan.
Karena itu jawabnya tatag, “Kuda Sempana. Jangan terlalu kasar. Bukankah dahulu kau setiap hari juga berada di bendungan ini. Bahkan malam hari pun kau kadang-kadang tidur di atas pasir di tepian itu bersama-sama aku? Marilah kita bersikap wajar. Juga terhadap gadis-gadis, kau sebaiknya bersikap wajar.”
“Jangan gurui aku anak desa yang sombong. Selama hidupmu kau dikungkung oleh kepicikan akal dan kesempitan pengetahuan,” jawab Sempana, “Aku telah mencoba berlaku sopan kepada Ken Dedes. Aku hanya ingin persoalanku cepat selesai.”
“Soalmu dan Ken Dedes benar-benar bukan urusanku,” sahut Wiraprana, “Kalau kalian berdua telah bersepakat maka adalah suatu dosa bagiku apabila aku datang kepadamu sekarang. Tetapi aku melihat sikap Ken Dedes lain dari sikap yang kau harapkan. Dan kau terlalu bersikap garang kepadanya.”
“Wiraprana!” bentak Kuda Sempana, “sekali lagi aku peringatkan, tinggalkan tempat ini!”
“Jangan bersikap demikian, Sempana,” jawab Wiraprana, “Jangan bersikap seperti orang hendak berkelahi. Aku bukan orang yang biasa berbuat demikian. Namun aku hanya ingin memperingatkan kepadamu. Pulanglah. Pergilah kepada ayahnya dan biarlah ayahnya bertanya kepadanya, apakah ia bersedia menerima kehadiranmu di dalam perjalanan hidupnya.”
Kuda Sempana yang sombong itu tidak mau lagi mendengar kata-kata Wiraprana. Karena itu selangkah ia meloncat maju. Tangan kanannya terayun menampar mulut Wiraprana. Gerak Sempana cepat seperti kilat sehingga Wiraprana tak sempat mengelak. Terdengarlah seperti sebuah ledakan cambuk di pipi Wiraprana. Wiraprana terkejut. Ia terdorong beberapa langkah ke samping. Terasa betapa nyeri pukulan itu. Tetapi untunglah bahwa ia tidak terbanting ke air.
“Sempana,” katanya sambil berdesis menahan sakit, “jangan terlalu kasar.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana, “Tinggalkan tempat ini!”
“Kau telah melanggar kebiasaan kampung halaman kita, Sempana,” berkata Wiraprana lantang, “adat itu tetap kita hormati.”
Sekali lagi Kuda Sempana tidak dapat mengendalikan dirinya. Tangannya terayun kembali ke wajah Wiraprana. Namun, kali ini Wiraprana tidak mau dikenai untuk kedua kalinya. Karena itu cepat-cepat ia membungkukkan badannya. Tangan Kuda Sempana hanya sejari terbang di atas kepalanya. Tetapi Sempana adalah pelayan dalam istana sehingga dengan cepat ia dapat membetulkan kesalahannya.
Ketika dirasa tangannya tak menyentuh tubuh Wiraprana, segera ia mengulangi serangannya. Geraknya benar-benar tak diduga oleh Wiraprana. Karena itu, selagi ia masih membungkuk, terasa sebuah tamparan menyengat pipinya yang lain. Sekali lagi Wiraprana terdorong ke samping dan sekali lagi ia berdesis menahan sakit.
Ketika Wiraprana telah tegak kembali, terdengarlah giginya gemeretak dan matanya memancarkan sinar kemarahan. Telah dua kali pipinya di kedua sisi merasakan betapa berat tangan Kuda Sempana. Bagaimanapun juga Wiraprana adalah laki-laki juga seperti Kuda Sempana. Karena itu katanya lantang,
“Kuda Sempana. Jangan membusungkan dada hanya karena kau telah mendapat kedudukan baik di samping Akuwu Tunggul Ametung. Persoalanmu adalah persoalan adat kampung halaman.”
“Apa pedulimu!” bentak Kuda Sempana, “Kalau aku tidak dapat menemui ayah gadis yang aku senangi, aku masih mempunyai cara lain. Aku akan melarikannya. Kelak aku akan kembali dengan seorang cucu yang manis bagi Empu Purwa. Dan ia harus menerima kedatangan kami.”
Wajah Wiraprana menjadi merah padam. Katanya kepada Ken Dedes, “Adakah kau telah bersepakat untuk kawin lari?”
“Tidak! Tidak!” teriak Ken Dedes serta-merta.
“Hem,” geram Wiraprana kepada Kuda Sempana, “kalau kau telah bersepakat, aku tak dapat menghalangimu. Tetapi kalau tidak, dan kau akan memaksakan cara itu, aku akan mencegahmu.”
Kuda Sempana tertawa dengan sombongnya. Katanya, “Bagus. Seseorang dibenarkan untuk melakukan pencegahan. Tetapi tatacara itu pun menuntut pengorbanan bagi gadis yang diidamkan. Nyawaku menjadi taruhan.”
Wiraprana mengangkat alisnya. Ia ngeri mendengar kata-kata Kuda Sempana. Mengorbankan nyawa berarti kematian. Dan ia ngeri memikirkan kematian. Tetapi ia harus mencegahnya. Karena itu katanya, “Aku tidak menghendaki bencana apa pun. Baik bagimu maupun bagiku. Tetapi aku hanya akan mencegahmu.”
Kuda Sempana tidak sabar lagi. Dengan berteriak nyaring, ia meloncat menyerang Wiraprana. Tetapi kali ini Wiraprana telah bersiaga. Karena itu, ia pun berhasil mengelakkan serangan Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana tidak puas dengan serangannya yang gagal. Segera ia pun memperbaiki kedudukannya dan dengan garangnya ia mengulangi serangannya.
Segera terjadilah perkelahian antara keduanya. Wiraprana yang bertubuh tinggi tegap itu cukup mempunyai kekuatan namun Kuda Sempana, yang tidak sebesar Wiraprana, mempunyai kelincahan yang mengagumkan. Serangannya benar-benar datang seperti sikatan yang menari-nari di padang rumput yang hijau.
Gadis-gadis yang melihat perkelahian itu menjadi semakin ketakutan. Mereka berlari bercerai-berai sambil memekik-mekik. Namun ada di antara mereka yang sedemikian takutnya sehingga mereka terduduk lemas, seakan-akan tulang-belulangnya dicopoti.
Ken Dedes sendiri, seperti orang yang kehilangan kesadarannya, duduk di atas pasir di tepi belumbang. Beberapa kali ia mencoba menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Tetapi kadang-kadang ia terpaksa mengintip perkelahian itu dari celah-celah jarinya. Ia takut melihat perkelahian itu namun ia terpaksa untuk melihatnya. Perkelahian yang demikian benar-benar jarang terjadi di Panawijen yang tenteram. Hampir tak pernah terdengar perselisihan di antara anak-anak muda. Namun tiba-tiba mereka harus melihat sebuah perkelahian yang mengerikan.
Kuda Sempana benar-benar memiliki kelincahan dan ketangkasan. Sebagai seorang abdi yang dipercaya, Sempana mempunyai bekal yang cukup. Karena itu ia pun memiliki ilmu tata berkelahi yang baik. Sedangkan Wiraprana, meskipun dari ayahnya, Buyut Panawijen, telah pernah dipelajarinya ilmu itu namun anak muda itu sama sekali tidak menekuninya. Ketenteraman hidup dan kedamaian hati penduduk Panawijen tidak pernah menuntunnya ke dalam persoalan yang dapat memaksanya untuk menekuni ilmu semacam itu.
Karena itu, sesaat kemudian, terasa bahwa Wiraprana yang tinggi tegap itu tak akan dapat mengimbangi kelincahan dan ketangkasan lawannya. Berkali-kali ia terdorong surut dan berkali-kali ia terhuyung karena pukulan-pukulan lawannya. Untunglah bahwa pekerjaan-pekerjaan berat yang selalu dilakukan dapat menolongnya. Tubuhnya menjadi kuat dan untuk beberapa lama ia dapat menahan sakit yang menjalar hampir di setiap bagian tubuhnya. Pukulan yang bertubi-tubi telah mematangkan kulit wajahnya. Merah biru, dan dari bibirnya mengalir darah yang merah segar.
Tetapi betapa kuat tubuh Wiraprana, akhirnya terasa juga semakin lama semakin menjadi lemah. Nyeri dan pedih menyengat-nyengat tak henti-hentinya dan setiap kali pula tangan Kuda Sempana masih saja mengenainya. Namun Wiraprana tak mau melepaskan lawannya. Kalau ia melepaskan Sempana dan melarikan diri, Kuda Sempana pasti akan melaksanakan maksudnya. Telah terucapkan dari bibirnya bahwa ia akan dapat menempuh cara yang keji terhadap gadis idamannya. Karena itu, tidak mustahil bahwa ia pada saat itu pula akan memaksa Ken Dedes mengikutinya ke Tumapel.
Ia akan dapat bersembunyi di istana Tunggul Ametung sampai kelahiran anaknya. Dan sesudah itu, tak seorang pun dapat menuntutnya. Tetapi di samping itu, terasa pula oleh Wiraprana bahwa akhirnya ia tak akan mampu berbuat apa-apa. Sesaat kemudian ia akan jatuh terjerembab. Mungkin pingsan dan mungkin terjadi peristiwa yang mengerikan itu. Nyawanya harus dipertaruhkan.
Kuda Sempana masih berkelahi dengan penuh nafsu. Meskipun ia sadar bahwa Wiraprana tak akan mampu menandinginya namun ia tetap berlaku kasar. Tangannya menjambak bertubi-tubi, dan bahkan Kuda Sempana menjadi semakin marah karena Wiraprana tidak segera jatuh. Karena itu, akhirnya ia berketetapan hati untuk menyelesaikan perkelahian itu. Dengan garangnya ia menyerang lawannya dan dengan kedua tangannya ia menghantam wajah Wiraprana bertubi-tubi.
Sekali wajah Wiraprana terangkat karena pukulan Kuda Sempana yang tepat mengenai rahangnya namun sesaat kemudian kepalanya terkulai ke samping oleh tangan lawannya yang lain. Oleh keadaannya itu, hampir Wiraprana menjadi putus asa. Ia merasa bahwa ia tak akan dapat berbuat banyak. Terbayang di matanya kesudahan dari peristiwa itu. Panawijen akan berkabung. Anak Buyut Panawijen terbunuh dan putri Pendeta Panawijen dilarikan orang.
Ketika Wiraprana hampir menyerahkan dirinya kepada nasib, lamat-lamat didengarnya Ken Dedes memekik kecil. Gadis itu menjadi ngeri ketika dilihatnya darah mengalir dari bibir dan hidung Wiraprana. Namun bagi Wiraprana, pekik itu seakan-akan telah menggugah kembali semangatnya. Tiba-tiba terpikir olehnya, kenapa gadis itu tidak saja lari dan pulang ke rumah. Karena itu tiba-tiba, dengan tidak menghiraukan keadaan dirinya, Wiraprana mendekap tubuh Kuda Sempana erat-erat. Bersamaan dengan itu terdengar ia berkata parau,
“Ken Dedes, tinggalkan tempat ini. Cepat, sebelum aku kehabisan tenaga!”
Ken Dedes pun kemudian seperti orang bangkit dari mimpi. Segera ia meloncat berdiri dan berlari meninggalkan belumbang yang mengerikan itu. Tak diingatnya lagi barang-barang cuciannya serta pakaiannya yang basah kuyup..Sementara itu, Kuda Sempana menjadi marah bukan kepalang. Ketika Wiraprana mendekap tubuhnya, ia tidak sempat mengelak karena hal itu sama sekali tak diduganya. Tangan Wiraprana itu kemudian seakan-akan terkunci di pinggangnya. Meskipun dengan sekuat tenaga ia menghantam tengkuk, punggung, dan kepala Wiraprana namun tangan itu seperti tangan yang telah melekat dengan jaringan kulitnya sendiri. Sehingga, karena marah, jengkel bercampur baur, ia pun berteriak,
“Wiraprana, jangan gila. Kau tidak berkelahi seperti laki-laki. Lepaskan dan marilah kita berhadapan secara jantan.”
Tetapi Wiraprana tak mendengar kata-kata itu. Telinganya seolah-olah telah tuli dan mulutnya membisu. Tangannya yang melingkar itu menjadi kaku seperti tangan golek kayu. Kuda Sempana mengempas-empaskan tubuhnya, menendang, memukul, dan segala macam. Apalagi ketika dilihatnya Ken Dedes telah berlari memanjat tebing.
Tetapi tiba-tiba langkah Ken Dedes terhenti. Hampir saja ia melanggar sesosok tubuh yang tiba-tiba saja muncul dengan tergesa-gesa. Terdengarlah gadis itu memekik kecil tetapi kemudian terdengar ia berteriak nyaring, “Kakang Mahisa Agni!”
Mahisa Agni berdiri tegak seperti batu karang yang kokoh kuat di tepi lautan. Sesaat wajahnya menyapu berkeliling, kemudian terhenti pada tubuh-tubuh yang sedang bergulat di bawah bendungan. Dilihatnya Kuda Sempana dengan bengisnya menghujani tubuh Wiraprana yang menjadi semakin lemas. Dan bahkan akhirnya dilihatnya pelukan Wiraprana terlepas dan anak muda itu jatuh terkulai di atas pasir tepian.
Ketika tangan Wiraprana terlepas dari tubuhnya, segera Kuda Sempana meloncat berlari. Ia tidak mau melepaskan Ken Dedes lagi. Telah bulat hatinya untuk melarikan saja gadis itu. Kalau ia sempat menangkap dan membawanya ke atas kudanya. Ia tak perlu pulang. Berita tentang dirinya akan memberitahukan kepada keluarganya bahwa ia telah kembali ke Tumapel. Ia yakin pula bahwa tak seorang pun berani mengganggu keluarganya itu sebab ia akan dapat menakut-nakuti mereka dengan kedudukannya sekarang.
Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika dilihatnya Ken Dedes berdiri rapat di belakang seorang anak muda yang tegak seperti patung raksasa. Kakinya yang renggang seakan-akan berakar jauh terhujam ke dalam tanah. Serta wajahnya yang tengadah membayangkan betapa teguh hatinya. Sebelum ia sempat berkata sepatah kata pun, terdengar batu karang itu seperti menggeram,
“Kuda Sempana. Apakah yang telah kau lakukan?”
Mata Kuda Sempana seakan-akan menyala karena kemarahannya. Mahisa Agni itu pun akan mencoba menghalang-halanginya. Maka katanya, “Agni. Jangan bersikap seperti seorang perwira tamtama. Lihatlah Wiraprana. Ia telah mencoba melawan kehendakku.”
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kuda Sempana itu dahulu adalah kawannya bermain pula seperti Wiraprana. Tetapi tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajah yang sombong itu. Maka katanya, “Kuda Sempana. Jangan kau mencoba memperkecil arti kami, anak-anak Panawijen. Kau juga anak dari tanah ini. Kau mampu menjabat pekerjaanmu sekarang. Demikian juga anak-anak yang lain. Kau telah menghina kampung halamanmu sendiri.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana.“Kalau kau ingin mengalami nasib seperti Wiraprana, bilanglah.”
Selangkah demi selangkah Mahisa Agni berjalan maju, menuruni tebing. Wajahnya menjadi tegang dan matanya menjadi bercahaya. Kemarahan di dadanya telah menjalari kepalanya. Ditatapnya wajah Kuda Sempana seperti menatap wajah hantu. Ya, baru semalam Mahisa Agni berkelahi melawan hantu padang Karautan. Dan hantu itu tidak dapat mengalahkannya meskipun ia pun tak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Tetapi yang berdiri di hadapannya sekarang bukan hantu Karautan yang menakutkan setiap orang. Yang ada di hadapannya tidak lebih dari Kuda Sempana.
Tetapi Mahisa Agni tak pernah merendahkan orang lain. Karena itu tak pernah ia kehilangan kewaspadaan. Demikianlah pada saat ia berhadapan dengan Kuda Sempana. Diamatinya setiap lekuk kulit anak yang sombong itu. Pakaian yang mewah namun sudah kusut dan kotor karena perkelahiannya melawan Wiraprana.
Kuda Sempana, yang telah mendapat tempaan keprajuritan beberapa tahun di Istana Tumapel, itu pun tidak sabar lagi. Dengan garangnya ia berlari menyongsong Mahisa Agni. Tak ada sepatah kata pun lagi yang meluncur dari mulutnya. Yang dilakukannya adalah langsung menyerang lawannya.
Mahisa Agni telah bersiaga sepenuhnya. Karena itu, dengan cepat ia mengelakkan diri. Sekali ia melingkar dan dengan sapuan yang cepat, ia berhasil menyentuh lambung lawannya dengan tumitnya. Sentuhan itu tidak terlalu keras dan Kuda Sempana pun tidak merasakan sesuatu karena sentuhan itu. Namun sentuhan itu telah benar-benar mengejutkannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Mahisa Agni mampu bergerak sedemikian cepatnya. Karena itu, sentuhan itu telah memperingatkannya bahwa Mahisa Agni mampu mengelak dan sekaligus menyerang dengan cepatnya sehingga ia tidak seharusnya melayani Mahisa Agni seperti melayani Wiraprana yang tegap tinggi itu.
Tetapi Kuda Sempana terlalu percaya kepada dirinya. Dikenalnya seluruh anak-anak muda di Panawijen. Di antara mereka, tak seorang pun yang pernah menerima gemblengan seperti yang dialaminya di Istana Tunggul Ametung. Wiraprana tidak dan Mahisa Agni pun juga tidak. Karena itu, kembali ia membusungkan dadanya. Dengan penuh keyakinan kepada diri sendiri, Kuda Sempana meloncat dan menyerang kembali dengan garangnya.
Namun Mahisa Agni menyambut serangan itu dengan tangkas. Disadarinya bahwa lawannya kali ini telah memiliki bekal yang cukup bagi kesombongannya. Karena itu Mahisa Agni sadar bahwa ia harus berhati-hati. Kuda Sempana menyerang Agni seperti badai yang melanda-landa. Cepat, keras, dan kuat. Tangan dan kakinya bergerak terayun-ayun membingungkan. Berputar, melingkar tetapi kadang-kadang menempuh dadanya seperti angin ribut menghantam gunung.
Namun Mahisa Agni benar-benar seperti gunung yang tegak tak tergoyahkan. Angin ribut dan badai yang betapapun kuatnya, seakan-akan hanya sempat mengusap tubuhnya, seperti angin yang silir membelai kulitnya. Serangan-serangan Kuda Sempana, betapapun cepat dan kerasnya, tak banyak dapat menyentuh kulit Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian Kuda Sempana menjadi semakin marah. Sama sekali tak diduganya bahwa Mahisa Agni telah memiliki ilmu tata beladiri sedemikian baiknya.
Anak itu dikenalnya beberapa tahun yang lalu sebagai anak yang patuh kepada gurunya, patuh melakukan ibadah, dan rajin bekerja di sawah ladang dan di rumah gurunya. Tetapi sama sekali tak diketahuinya bahwa di balik dinding-dinding batu yang memagari rumah Empu Purwa, Agni mendapat tempaan lahir dan batin. Di setiap perjalanan yang mereka lakukan, di setiap kesempatan yang ada, bahkan hampir di setiap tarikan nafas, Agni selalu menekuni dan mendalami ilmu lahir dan batin dari gurunya. Ilmu yang akan dapat menjadi penguat tubuh dan nyawanya.
Tubuhnya yang harus melawan setiap tantangan lahiriah dan nyawanya yang harus dipersiapkan untuk menghadap Yang Maha Agung. Demikianlah maka perkelahian antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kuda Sempana telah kehilangan pengamatan diri. Anak itu telah lupa segala-galanya selain secepat-cepatnya mengalahkan lawannya.
Wiraprana, yang kemudian telah mendapat seluruh kesadarannya kembali, dengan susah-payah mencoba mengangkat wajahnya yang penuh lumuran darah. Dari sela-sela pelupuk matanya yang bengkak, ia melihat perkelahian yang sengit antara Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Sekali-kali tampak mulutnya menyeringai menahan sakit namun kemudian tampak ia tersenyum. Tetapi senyum itu pun segera lenyap dari bibirnya. Bahkan ia menjadi cemas apabila Mahisa Agni akan mengalami nasib seperti dirinya.
Wiraprana mencoba mengumpulkan segenap sisa-sisa kekuatannya. Perlahan-lahan ia mencoba mengangkat tubuhnya dan duduk di atas pasir. Kedua tangannya yang lemah dengan susah-payah berhasil menyangga tubuhnya. Pandangan matanya yang semula agak kabur, kini berangsur terang. Lambat laun ia dapat melihat perkelahian antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni dengan jelas. Desak-mendesak, hantam-menghantam singa lena.
Meskipun Wiraprana tidak memiliki ilmu sebaik Mahisa Agni maupun Kuda Sempana namun Wiraprana telah mampu menilai keduanya. Dengan bekal ilmunya yang sedikit, Wiraprana dapat mengetahui bahwa keadaan Mahisa Agni cukup baik. Diam-diam ia berbangga dan berharap di dalam hatinya. Ia mengharap Mahisa Agni dapat memenangkan perkelahian itu.
Kuda Sempana yang dibakar oleh kemarahan dan kesombongannya bertempur dengan seluruh tenaganya. Matanya yang menyala memancarkan dendam yang tersimpan di hatinya. Sekali-sekali ia melontarkan pandangannya kepada Ken Dedes. Ia masih melihat gadis itu berdiri kaku di tanggul bendungan. Kuda Sempana mengharap gadis itu untuk tetap tinggal di sana. Sehabis pekerjaannya ini, ia akan menangkap gadis itu dan membawanya lari.
Perkelahian yang terjadi di antara anak-anak muda itu akan menutup kemungkinan yang sebaik-baiknya baginya untuk menempuh cara yang wajar dan sopan. Ia takut kalau Empu Purwa akan keberatan. Tetapi Mahisa Agni tidak segera dapat dikalahkan. Bahkan anak itu semakin lama seakan-akan menjadi semakin kuat dan cekatan. Memang, ketika tubuh Agni telah dibasahi oleh peluhnya maka tenaganya menjadi seakan-akan bertambah.
Akhirnya Kuda Sempana benar-benar menjadi mata gelap. Ia sudah tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lagi dengan otaknya. Hanya ada satu pilihan yang ada padanya. Membawa Ken Dedes bersamanya ke Tumapel saat itu juga. Karena itu, siapa yang menghalang-halangi harus disingkirkan. Dengan cara kasar atau halus. Wiraprana telah dilumpuhkan dan kini Mahisa Agni melintang di hadapannya. Tiba-tiba terdengar Kuda Sempana berteriak nyaring,
“Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!”
Bersamaan dengan itu terdengar pula Ken Dedes berteriak nyaring dibarengi geram Wiraprana parau. Katanya, “Agni, hati-hatilah!”
Mahisa Agni meloncat surut. Ditatapnya Kuda Sempana dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia berdesis, “Adakah itu pilihanmu Kuda Sempana yang perkasa?”
“Wanita adalah sama berharganya dengan pusaka,” sahut Sempana, “taruhannya adalah nyawa. Kau atau aku yang binasa.”
Mahisa Agni menggeram. Terdengar gemeretak giginya oleh kemarahannya yang meluap-luap. Ternyata Kuda Sempana tega pada pati uripnya untuk mendapatkan gadis idamannya. Dilihatnya di tangan anak muda itu sebilah keris. Kini Mahisa Agni tak dapat berbuat lain kecuali berkelahi mati-matian. Ia sama sekali tak bersenjata. Namun ia pun tak dapat disilaukan hatinya oleh Kuda Sempana yang kini bersenjata.
Perlahan-lahan Mahisa Agni menggosokkan kedua telapak tangannya. Tetapi tiba-tiba ia menggeleng lemah. Diamatinya kedua telapak tangannya itu. Terdengar ia bergumam perlahan sekali sehingga hanya dapat didengarnya sendiri, “Tidak. Belum waktunya aku mempergunakan pusaka pula. Aku akan mencoba menyelesaikan perkelahian ini dengan wajar.”
Namun yang terdengar adalah suara Kuda Sempana, “Agni, aku masih memberimu sekedar waktu. Tinggalkan tempat ini!”
Mahisa Agni menggeleng lemah, jawabnya, “Harus ada seseorang yang mencegah perbuatan gilamu itu.”
Kuda Sempana tidak menunggu mulut Agni mengatub. Seperti tatit ia menyambar dada lawannya dengan ujung kerisnya. Untunglah bahwa Agni tetap bersiaga sehingga ia berhasil menyelamatkan dirinya. Dengan tangkas ia menghindari ujung maut yang menghampirinya. Berbareng dengan kemarahannya yang merayap ke ubun-ubunnya. Kuda Sempana telah benar-benar bertempur antara hidup dan mati.
Mahisa Agni pun kemudian tidak mau diombang-ambingkan oleh ketidaktentuan dari ujung dan pangkal perkelahian itu. Meskipun anak muda, murid Empu Purwa itu, belum mempergunakan senjata apa pun namun ia telah melepaskan segenap ilmu lahiriahnya. Telah diperasnya tenaga serta keprigelannya untuk melawan keris Kuda Sempana. Dan keris Kuda Sempana memang berbahaya. Ujungnya seperti seekor lalat yang mendesing-desing di sekeliling tubuhnya. Tetapi Agni cukup lincah sehingga lalat itu tidak sempat hinggap di kulitnya. Meskipun demikian, seluruh tubuh Agni telah basah-kuyup oleh keringatnya yang mengalir semakin lama semakin deras.
Namun Mahisa Agni adalah murid Empu Purwa yang tekun. Tak ada kesempatan yang dilepaskannya. Karena itu Agni memiliki beberapa kelebihan dari Kuda Sempana. Meskipun anak muda itu bersenjata namun akhirnya terasa bahwa ujung kerisnya sama sekali tak dapat mengimbangi ujung jari-jari Mahisa Agni. Ujung jari-jari Agni dengan lincahnya menyentuh-nyentuh Kuda Sempana hampir di setiap bagian tubuhnya yang dikehendaki. Dan jari-jari Mahisa Agni benar-benar seperti batang-batang besi.
Sehingga kedua tangan Agni itu mirip benar seperti dua batang tombak yang masing-masing bermata lima. Tetapi keris Kuda Sempana pun keris yang ampuh pula. Namun, meskipun keris itu berbisa setajam bisa ular bandotan, serta meskipun Mahisa Agni tak berani terkena akibat meskipun sentuhan seujung rambut sekali pun dengan keris itu, tetapi lambat-laun namun pasti Mahisa Agni tampak selalu menguasai lawannya.
Ken Dedes yang tidak dapat menilai perkelahian itu mengikutinya dengan gemetar. Perasaan takut dan ngeri menjalari dadanya. Tetapi setiap kali ia menutup matanya, setiap kali ia mengintipnya dari sela-sela jarinya, bahkan kemudian, seperti terpukau, ia memandang pergulatan itu dengan hati yang tegang dan kehilangan kesadaran. Dada Wiraprana pun tak kalah tegangnya. Masih terasa betapa berat tangan Kuda Sempana. Dan di tangan itu kini tergenggam keris. Namun ia percaya bahwa Mahisa Agni ternyata memiliki ketangkasan jauh melampaui ketangkasannya.
“Aku tidak mengira,” desisnya lemah, “Aku tidak pernah melihat anak itu membentuk dirinya menjadi seekor burung rajawali yang perkasa.”
Mahisa Agni kini benar-benar bertempur seperti seekor rajawali yang garang. Sekali-sekali ia menyambar dengan tangkasnya dan sekali-sekali ia mematuk dengan cepatnya. Jari-jari Mahisa Agni benar-benar tidak kalah berbahayanya dari keris Kuda Sempana. Mula-mula Kuda Sempana tidak mau melihat kenyataan itu. Matanya benar-benar dibutakan oleh kesombongannya.
Namun lambat-laun hatinya digetarkan oleh kenyataan. Mahisa Agni melawannya dengan gigih. Karena itu hatinya menjadi semakin gelap dan anak muda itu bertempur membabi-buta. Akhirnya Mahisa Agni menjadi tidak sabar lagi. Perkelahian itu sudah berlangsung terlalu lama. Matahari yang merambat dari kaki langit kini telah hampir mencapai puncak ketinggian.
Meskipun hampir segenap perhatian Mahisa Agni tertumpah pada perkelahian itu namun didengarnya pula suara riuh yang semakin lama semakin dekat. Terlintaslah di dalam benaknya bahwa suara riuh itu pasti suara orang-orang Panawijen yang telah mendengar berita perkelahian itu. Beberapa orang gadis yang lari ketakutan telah menceritakan tentang peristiwa itu kepada orang-orang tua mereka, kepada kawan-kawan mereka, dan kepada anak-anak muda seluruh desa. Karena itu maka beramai-ramailah mereka pergi ke sungai.
Agaknya Kuda Sempana pun mendengar suara riuh itu. Maka ia pun menjadi gelisah. Tetapi ia yakin, meskipun dikerahkan segenap tenaga dan kemampuannya namun Agni tak akan dapat dikalahkan. Bahkan tiba-tiba tanpa diduganya, Agni menyerangnya bertubi-tubi seperti prahara. Beberapa kali ia melangkah surut. Namun putaran angin prahara itu seakan-akan telah memeluknya.
Sebenarnya Agni telah berusaha sedapat ia lakukan untuk memperpendek perkelahian itu. Ia ingin menyelesaikannya sebelum orang-orang Panawijen datang. Agni tidak akan dapat mengira-ngira apakah yang akan mereka lakukan terhadap Kuda Sempana. Agaknya usaha Mahisa Agni itu berhasil. Dengan sebuah serangan lambung yang mendatar, Mahisa Agni berhasil memutar tubuh Kuda Sempana yang berusaha untuk menghindar. Namun tiba-tiba Mahisa Agni meloncat ke sisi. Dengan tangannya ia menghantam tengkuk lawannya.
Sekali lagi Kuda Sempana berusaha menghindari. Dengan merendahkan diri ia berputar menghadap lawannya. Tangan kanannya tiba-tiba terjulur lurus dan ujung kerisnya mengarah ke dada Agni. Namun Agni cukup tangkas. Setengah langkah ia miring. Ketika keris itu lewat secengkang di hadapan dadanya, cepat-cepat ia memukul pergelangan tangan Kuda Sempana. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga terdengarlah seakan-akan tulang pergelangan tangan itu retak.
Kuda Sempana terkejut bukan kepalang. Gerak yang sedemikian cepatnya itu sama sekali tak pernah diduganya. Apalagi dilakukan oleh Mahisa Agni, anak yang menghabiskan waktu remajanya di belakang dinding Desa Panawijen. Tetapi yang terjadi adalah, kerisnya terlepas dan terpelanting lebih dari tiga langkah daripadanya. Sedangkan perasaan sakit yang menyengat pergelangan tangannya, seakan-akan merambat sampai ke ubun-ubunnya.
Terdengar Kuda Sempana mengaduh tertahan. Kemudian wajahnya menjadi semakin membara. Ia hanya dapat menunggu apa yang akan dilakukan Mahisa Agni atasnya. Meremukkan tulang-tulang iganya atau merobek wajahnya. Kuda Sempana telah mengakui di dalam hatinya bahwa ia tak akan mampu membela diri seandainya Mahisa Agni akan membunuhnya.
Suara riuh di kejauhan semakin lama menjadi semakin dekat. Karena itu, Kuda Sempana menjadi semakin gelisah. Kalau penduduk Panawijen menganggap bahwa ia telah mencoba melarikan Ken Dedes serta penduduk itu berhasil menangkapnya, akibatnya dapat mengerikan sekali. Sekali-sekali terlintas di dalam otaknya bahwa lebih baik berkelahi mati-matian daripada menyerahkan diri. Kalau ia mati, dua-tiga orang pasti dapat dibunuhnya.
Kuda Sempana tahu benar bahwa penduduk Panawijen yang tenteram itu tidak terlalu berbahaya baginya. Bahkan mungkin tak seorang pun yang akan berani menangkapnya, apalagi anak Buyut Panawijen telah ditundukkannya. Tetapi tiba-tiba Kuda Sempana menyadari bahwa di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Karena itu maka terdengar giginya gemeretak menahan hati.
“Kuda Sempana,” terkejut ketika terdengar Mahisa Agni berkata perlahan-lahan, “Kuda Sempana, ambil kerismu.”
Kuda Sempana memandang wajah Agni dengan mata yang memancarkan keragu-raguan hatinya. Benarkah Agni berkata demikian atau telinganya telah rusak karena pukulan-pukulan Agni yang keras. Tetapi sekali lagi ia mendengar Sempana berkata,
“Ambillah kerismu.”
Kuda Sempana masih ragu. Kakinya masih tetap tak beranjak dari tempatnya sehingga Mahisa Agni mengulangnya sekali lagi,
“Ambillah kerismu.”
Seperti mimpi, Kuda Sempana berjalan beberapa langkah, kemudian membungkuk memungut pusaka. Tetapi ia tidak tahu, apa yang harus dilakukan kemudian.
Mahisa Agni pun kemudian menjadi bingung, apa yang sebaiknya dilakukan. Kuda Sempana adalah pelayan dalam Akuwu Tumapel. Kalau terjadi sesuatu atasnya di desa kelahirannya, apakah Tunggul Ametung akan berdiam diri. Selagi Mahisa Agni menimbang-nimbang, suara riuh itu pun telah dekat benar di belakangnya. Ketika ia menoleh, di atas tanggul muncullah beberapa orang laki-laki, yang langsung berlari menghambur menuruni tebing sungai.
Kuda Sempana melihat mereka itu pula. Dengan gerak naluriah ia bersiap. Meskipun perasaan sakit pada tubuhnya semakin terasa seakan-akan menggigit tulang namun ia masih berdiri dengan kokohnya. Yang mula-mula mencapai tepian, tempat perkelahian antara anak-anak muda itu terjadi, adalah seorang yang bertubuh tinggi kekar, berdada bidang.
Ia adalah Buyut Panawijen. Rambutnya yang digelung tinggi di kepalanya tampak sudah mulai ditumbuhi uban di pelipisnya. Dengan penuh wibawa ia memandang berkeliling. Kepada Mahisa Agni yang masih tegak seperti tonggak, Kuda Sempana yang berdiri dengan kaki renggang dan berwajah tegang. Kemudian kepada anaknya Wiraprana.
Anak muda itu dengan susah payah mencoba berdiri. Ketika ditatapnya wajah ayahnya tiba-tiba ia tersenyum. “Latihan yang jelek, Ayah,” katanya.
Tetapi Buyut Panawijen itu sama sekali tidak tersenyum. Bahkan tampak ia menyesal. Desisnya, “Kalian telah menjadikan pedukuhan yang damai ini menjadi gempar.”
Wiraprana tidak tersenyum lagi. Tertatih-tatih ia berjalan mendekati ayahnya. Sementara itu, beberapa orang laki-laki tiba-tiba saja telah melingkari mereka bertiga. Seakan-akan sengaja mengepung rapat-rapat.
“Apakah yang telah terjadi?” geram Buyut Panawijen itu.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian. Wiraprana, Mahisa Agni, dan Kuda Sempana menundukkan wajah mereka. Apalagi ketika kemudian mereka mendengar suara nyaring dari tebing,
“Agni, apakah yang kau lakukan?”
Agni mengangkat wajahnya. Hatinya berdebar-debar ketika ia melihat gurunya yang tua itu berlari tersuruk-suruk. Sesaat kemudian semua mata memandang ke arahnya, Empu Purwa, ayah gadis yang menimbulkan perkelahian tanpa dikehendakinya itu.
Kuda Sempana pun melihat orang tua itu. Timbullah beribu-ribu pertanyaan di dalam dadanya. Orang tua itu sama sekali tidak tampak sebagai seorang sakti selain seorang yang tekun beribadah. Apakah Agni mempunyai guru yang lain dalam pengolahan badan wadagnya? Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa anak muda itu telah mengalahkannya.
“Agni,” berkata Empu Purwa terengah-engah setelah ia sampai ke tempat orang-orang Panawijen itu berkerumun, “Adakah kau telah membuat onar?”
Mahisa Agni tak berani memandang wajah gurunya. Ingin ia mengatakan apa yang sudah terjadi sebenarnya tetapi mulutnya seperti terkunci. Ia takut kalau dengan demikian ia akan menyinggung Ken Dedes dan menjadi semakin malu karenanya.
“Agni,” terdengar Empu Purwa berkata pula, “Apakah pula sebabnya engkau berkelahi? Apakah kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah laki-laki muda yang pandai bertengkar?”
Mahisa Agni menarik nafas. Namun mulutnya tetap membisu sehingga terdengar Wiraprana berkata, “Bukan salah Agni, Empu.”
Empu Purwa menoleh. Dilihatnya Wiraprana yang wajahnya menjadi merah biru. Katanya, “Adakah itu perbuatan Agni?”
“Bukan, Empu,” jawab Wiraprana cepat-cepat, “Agni tak akan berbuat demikian.”
Orang tua itu kemudian merenungi Mahisa Agni, seakan-akan anak itu belum pernah dilihatnya. Kemudian matanya beredar dan hinggap di wajah Kuda Sempana. Dengan terbata-bata Empu Purwa itu bertanya, “Angger Kuda Sempana, kenapa Angger nganggar keris. Apakah Agni mengganggumu?”
Kuda Sempana pun tak dapat menjawab pertanyaan itu sehingga tanpa disadarinya kembali pandangan matanya terkulai di atas pasir tepian.
“Empu,” terdengar kemudian Buyut Panawijen berkata, “aku pun sedang berusaha mengerti, apakah yang sedang terjadi di sini.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, ya Ki Buyut. Aku menjadi gemetar ketika aku mendengar anak-anak berteriak-teriak di jalan, katanya Angger Kuda Sempana, Angger Wiraprana, dan Mahisa Agni saling berkelahi. Aku jadi sedemikian bingung sehingga aku tidak sempat bertanya-tanya lagi.”
“Aku pun mendengar dari anak-anak itu,” sahut Ki Buyut Panawijen. Kemudian kepada Wiraprana ia bertanya, “Benarkah itu Prana?”
“Tidak seluruhnya,” jawab anak muda itu, “Yang mula-mula berkelahi adalah aku dan Kuda Sempana.”
“Kau?” ulang ayahnya.
“Ya,” jawab Wiraprana, “tidakkah anak-anak itu berkata demikian?”
“Aku tak sempat mendengarnya,” sahut ayahnya.
“Dan akhir dari perkelahian itu,” Wiraprana meneruskan, “Aku kalah. Tidakkah Ayah lihat mukaku yang bengap?”
“Aku tidak bertanya akhir dari perkelahian itu,” potong ayahnya, “tetapi kenapa perkelahian itu mulai?”
Wiraprana pun menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Kuda Sempana yang masih tunduk dalam-dalam. Kemudian ketika ia melayangkan pandangannya ke atas tanggul, dilihatnya beberapa kepala gadis-gadis tampak berderet-deret mengintip. Dan tiba-tiba dilihatnya Ken Dedes masih berdiri menggigil di tebing sungai.
Orang-orang yang berdiri memagari itu pun menjadi gelisah. Beberapa orang sebenarnya telah mendengar apa yang sebenarnya terjadi dari anak-anak mereka namun ketika di tempat itu hadir pula Empu Purwa maka mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk mengatakannya.
Tetapi sesaat kemudian Ki Buyut itu pun mendesak pula, “Wiraprana, tidakkah kau bisa berkata?”
Wiraprana menarik nafas dalam-dalam dan ketika ia sudah tidak dapat mengelak lagi, maka katanya, “Ayah, bertanyalah kepada mereka yang menceritakan perkelahian itu. Itulah mereka, anak-anak yang tadi sedang mencuci pakaian di belumbang ini. Mereka kini sedang mengintip apa pula yang akan terjadi di sini.”
Mendengar jawaban itu maka semua mata tiba-tiba bergerak ke atas tanggul. Sehingga tampak pulalah oleh mereka itu, kepala-kepala gadis yang sedang mengintip dengan keingintahuan, bagaimanakah akhir dari peristiwa itu.
Ken Dedes yang melihat semua mata memandang ke arah tanggul di atasnya, merasa seolah-olah mata itu memandangnya dengan penuh hinaan dan penyesalan. Ia merasa bahwa dirinya sebab dari keributan itu. Karena itu maka perasaan bersalah, malu, sesal, dan segala macam bercampur-baur di dalam dadanya. Alangkah rendah martabatnya sehingga beberapa orang laki-laki terpaksa berkelahi karenanya. Karena itu maka tiba-tiba perasaan yang bergolak di dadanya itu tak dapat dibendungnya lagi sehingga tiba-tiba gadis itu berlari menghambur sambil berteriak,
“Ayah, akulah yang bersalah.”
Empu Purwa terkejut mendengar teriakan itu. Ketika ia melihat anaknya berlari kepadanya, ia pun menyongsongnya. Demikian Ken Dedes sampai kepada ayahnya itu maka dengan serta-merta ia menjatuhkan dirinya sambil menangis sejadi-jadinya. Katanya di sela-sela tangis itu,
“Ayah. Akulah sumber dari malapetaka yang menimpa padukuhan kita yang damai. Karena itu Ayah, betapa hinanya aku maka adalah lebih baik bagiku kalau Ayah sudi membunuhku. Biarlah aku mati di hadapan penduduk Panawijen yang tenteram ini untuk menebus kesalahan dan arang yang mencoreng di wajah keluarga.”
“Ken Dedes,” sahut ayahnya, “kenapakah kau ini?”
“Bunuh saja aku, Ayah,” tangis gadis itu.
Empu Purwa kemudian tegak seperti patung. Ditatapnya rambut anaknya yang panjang berombak, terurai menutup punggungnya. “Bangunlah anakku,” bisiknya, “katakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku adalah ayahmu.”
“Tidak!” teriak Ken Dedes, “Bunuh aku, Ayah.”
Ki Buyut Panawijen pun kemudian mendekatinya pula. Dengan lembut ia berkata, “Ken Dedes, jangan menyalahkan diri sendiri. Berkatalah apa yang terjadi.”
Mula-mula gadis itu tidak juga mau berkata. Tetapi lambat laun, setelah beberapa orang membujuknya, Ken Dedes pun mengangkat wajahnya, memandang ayahnya dengan sayu. Katanya, “Apakah ada gunanya?”
“Berkatalah, supaya kami mendengar,” sahut Ki Buyut Panawijen. Sebenarnya Ki Buyut itu pun telah dapat menduga, apa sebabnya maka tiba-tiba saja pedukuhannya yang tenteram itu diributkan oleh sebuah perkelahian yang mengerikan. Dan tiba-tiba pula ia pun menjadi malu. Satu di antara mereka yang berkelahi adalah anaknya. “Hem,” pikirnya. “Adakah anakku berkelahi karena seorang gadis?”
Ken Dedes pun kemudian bercerita terbata-bata. Dikatakannya apa yang telah terjadi, sejak awal sampai orang-orang itu melihat apa yang terjadi di tepi sungai itu. Kuda Sempana pun mendengar kisah itu pula. Setiap kata yang diucapkan oleh gadis itu, serasa sebuah pukulan yang menampar dadanya. Diamat-amatnya setiap wajah dari orang-orang Panawijen. Terbayanglah pada wajah-wajah itu, perasaan sesal dan marah.
Kuda Sempana tahu pasti bahwa orang-orang itu pasti akan menyalahkannya. Lalu apakah yang akan mereka lakukan? Nafas anak muda itu pun menjadi semakin cepat mengalir, dan karena itu maka digenggamnya hulu kerisnya semakin erat. Tetapi kemudian Kuda Sempana itu pun sadar bahwa di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Ketika dipandangnya wajah anak muda itu, hati Kuda Sempana berdesir. Dilihatnya Mahisa Agni pun telah bersiap pula.
“Hem,” geram Ki Buyut Panawijen setelah Ken Dedes selesai berbicara. Dipandanginya wajah Kuda Sempana yang kaku tegang. Kemudian terdengar Buyut Panawijen itu berkata, “Angger Kuda Sempana. Benarkah cerita putri Empu Purwa itu?”
Kuda Sempana mengerling ke setiap wajah laki-laki Panawijen yang berdiri melingkar di sekitarnya. Kemudian disambarnya pula wajah Mahisa Agni dan Wiraprana dengan sudut pandangannya. Kuda Sempana tak dapat mengelak lagi. Di hadapannya berdiri beberapa orang saksi. Selain Wiraprana dan Mahisa Agni, dilihatnya pula beberapa orang gadis berderet-deret di atas tanggul. Sehingga karena itu terpaksa ia mengangguk sambil berkata,
“Ya, Ki Buyut. Tetapi aku terdesak oleh keadaan. Aku telah mencoba datang ke rumah Ken Dedes. Tetapi gadis itu tak ada di rumah,”
“Adakah demikian adat di pedukuhan kita?” desak Ki Buyut, “Kenapa Angger Kuda Sempana tidak mencari ayahnya. Bahkan seharusnya dengan sebuah upacara?”
“Aku ingin mendapat kepastian sedangkan waktuku terlalu pendek. Besok aku harus terus kembali ke Tumapel,” jawab anak muda itu.
“Di pinggir sungai?” bertanya Ki Buyut.
Kuda Sempana tak dapat menjawab. Tetapi hatinya mengumpat. Hampir saja ia menyebut ada yang akan ditempuhnya. Melarikan Ken Dedes dan menyembunyikannya sampai terdapat keturunan daripadanya. Tetapi niat itu urung. Akibat dari adat itu pun tak akan mau ditanggungkan. Sebab bila niat itu gagal dan keluarga gadis yang dilarikan itu menuntutnya, ia akan dapat perlakuan yang mengerikan. Mati dirampok orang seperti seekor harimau yang masuk ke dalam padukuhan.
Karena Kuda Sempana tidak menjawab maka sejenak suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah gemericik air yang mengalir dan jatuh berderai dari atas bendungan. Bulatan demi bulatan melingkar di wajah air yang jernih itu, semakin lama semakin besar. Dan kemudian pecah membentur tepian. Yang satu disusul dengan yang lain. Tak henti-hentinya sejak bendungan itu selesai dibuat beberapa tahun lampau.
Di dalam kepala Ki Buyut Panawijen itu pun melingkar-lingkar pula berbagai pertanyaan. Tanpa terucapkan namun ia tahu apa yang akan ditempuh oleh Kuda Sempana. Dikenalnya anak itu sebagai anak yang cenderung menuruti kemauan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia berdesis,
“Sayang. Sebenarnya kami, penduduk dari pedukuhan ini, merasa bangga bahwa seorang anaknya telah berhasil merebut hati sang Akuwu Tumapel sehingga mendapat tempat yang baik di sisinya. Kepercayaan itu sebenarnya kami rasakan sebagai suatu kepercayaan pula buat kami, penduduk Panawijen yang sepi. Angger Kuda Sempana akan dapat menjadi tempat kami untuk berteduh jika hujan turun dan bernaung jika terik matahari membakar tubuh. Tetapi sayang. Sayang….” Penyesalan yang dalam membayang di wajah Buyut Panawijen itu.
Tak seorang pun menyambung kata-kata itu. Mereka tinggal menunggu apa yang akan dilakukan oleh pimpinan pedukuhan itu. Namun timbullah di dalam setiap kepala, keragu-raguan untuk berbuat sesuatu. Pikiran itu bertolak dari pendapat yang sama pula. Kuda Sempana adalah pengawal dalam Akuwu Tumapel. Sedang setiap orang tahu sifat dan tabiat yang aneh dari Tunggul Ametung itu. Tunggul Ametung dapat berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Akuwu namun ia dapat pula berbuat sekejam-kejamnya. Akuwu itu benar-benar orang yang keras hati, sekeras batu akik namun pada suatu saat hati itu dapat selunak kapas.
Karena itu tak seorang pun dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Tunggul Ametung jika salah seorang pengawalnya mengalami perlakuan yang jelek di kampung halamannya. Meskipun demikian, adat harus ditegakkan. Meskipun Kuda Sempana itu senapati sekali pun, seharusnya ia mendapat perlakuan yang sama apabila telah dilakukan sesuatu kesalahan. Dan semuanya itu tergantung kepada Empu Purwa, ayah dari gadis yang akan dilarikan itu.
Maka akhirnya semua mata pun tertuju kepadanya. Apakah yang akan dikatakan oleh orang tua itu. Apabila orang tua itu menganggap bahwa Kuda Sempana telah melarikan anak gadisnya dan maksud itu dapat dicegah maka ia dapat menuntut hukuman atas anak muda itu.
Kuda Sempana pun sadar akan hal itu. Namun telah bulat tekad di dalam hatinya, bahwa wanita, pusaka, dan nyawanya tak berbeda nilainya. Karena itu maka ia pun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Menghadapi Mahisa Agni sekali pun meskipun akan berakibat maut baginya.
Empu Purwa menyadari keadaannya. Ditatapnya setiap wajah dari tetangga-tetangganya itu. Dilihatnya keragu-raguan dan kecemasan di wajah-wajah itu. Sekali dipandangnya wajah anaknya pula. Pucat dan gemetar. Hatinya masih saja dicengkam oleh perasaan malu dan hina. Ketika kemudian Empu Purwa memandang wajah Mahisa Agni, dilihatnya wajah itu merah membara. Dengan tajam anak muda itu tak melepaskan pandangannya atas Kuda Sempana.
“Angger Kuda Sempana,” kemudian terdengar orang tua itu berkata, “adakah angger tadi benar-benar bermaksud melarikan Ken Dedes?”
Kuda Sempana menggigit bibirnya. Ketika terpandang olehnya wajah Wiraprana yang bengap merah biru, dilihatnya anak muda yang tinggi besar itu tersenyum sambil mengangguk kecil.
“Persetan!” umpatnya di dalam hati namun mulutnya terpaksa menyahut, “Ya, Empu.”
Empu Purwa menarik nafas dan hampir setiap mulut kemudian mengucap berbagai kata-kata yang tidak jelas. Ketika untuk sesaat kemudian Empu Purwa terdiam maka keadaan menjadi tegang. Orang-orang Panawijen itu melihat wajah Empu Purwa seakan-akan tanggul yang sudah penuh dengan air. Apabila tanggul itu bobol maka akan datanglah banjir. Dan orang-orang yang berdiri tegak memagari itu pun harus ikut serta. Dan Kuda Sempana adalah biduk yang akan digulung oleh kedahsyatan banjir itu. Tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh pertanyaan Empu Purwa kepada Kuda Sempana,
“Angger, adakah Angger menyesal?”
Pertanyaan itu benar-benar tak terduga. Baik oleh Kuda Sempana sendiri maupun oleh orang-orang Panawijen. Karena itu Kuda Sempana tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Empu Purwa dengan ragu sSehingga Empu Purwa yang tua itu mengulangi pertanyaannya,
“Angger, adakah Angger menyesal atas perbuatan itu?”
Pertanyaan itu jelas. Kata demi kata. Setiap orang tahu maksud pertanyaan itu. Karena itu setiap orang menarik nafasnya. Seakan-akan mereka melihat air yang memenuhi tanggul itu menjadi surut. Namun Kuda Sempana masih belum menjawab. Di dalam dadanya timbullah suatu pergolakan yang riuh. Sudah pasti sama sekali tak dihendakinya apabila orang-orang sekampungnya akan beramai-ramai mengeroyoknya seperti seekor harimau yang tersesat masuk ke kampung.
Tetapi untuk menarik diri terasa bahwa harga dirinya tersentuh. Ketika dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti karang, sekali lagi ia mengumpat di dalam hatinya, kalau saja anak gila itu tidak ada di sini maka orang-orang Panawijen, laki-laki perempuan, tua muda, akan dihadapinya. Tetapi kini Agni yang garang itu masih berdiri tegak di hadapannya. Maka sesaat Kuda Sempana pun membuat perhitungan-perhitungan. Ia tidak takut mati. Namun ia masih ingin menunda kematian itu. Meskipun demikian anak muda yang gagah itu pun tidak segera menjawab sehingga kemudian kembali terdengar suara pendeta tua itu,
“Angger, aku tahu, betapa berat untuk mengucapkan kata-kata yang tak pernah terucapkan. Apalagi oleh seorang satria seperti Angger Kuda Sempana. Karena itu maka baiklah aku pakai cara seorang tua. Kalau Angger Kuda Sempana menyesal, sarungkanlah keris angger.”
Kembali keadaan menjadi tegang. Semua mata terpaku ke tangan Kuda Sempana yang menggenggam kerisnya erat-erat. Kuda Sempana sendiri pun memandang tangannya itu. Dan tangan itu menjadi gemetar. Setiap orang yang memandang tangan itu pun kemudian menjadi ngeri. Keris itu benar-benar pusaka yang menakjubkan. Kalau Kuda Sempana tak mau menyarangkan keris itu maka keris itu pun segera akan menari-nari.
Setiap orang akan dapat mengalami nasib yang jelek karenanya. Ketika tangan Kuda Sempana itu bergerak perlahan-lahan maka orang-orang yang terdekat pun bergeser. Namun semua orang menarik nafas lega ketika mereka melihat, ujung keris yang gemetar itu manjing ke dalam wrangkanya.
“Syukurlah berkata Empu Purwa kemudian sambil mengangguk-angguk kecil, “ternyata Angger berjiwa besar.”
Kemudian, pendeta tua itu pun berkata kepada Buyut Panawijen, “Ki Buyut, marilah persoalan ini kita hadapi dengan jiwa besar pula. Marilah semuanya ini kita lupakan.”
Ki Buyut Panawijen mengangguk-angguk pula. Di dalam hatinya pun tersimpan perasaan semacam itu. Meskipun di sudut hati itu yang paling dalam melengking pula pertanyaan, “Adakah Kuda Sempana itu akan dibiarkan membawa kesalahannya tanpa hukuman apapun?” Namun terdengar pula jawaban dari sudut yang lain, “Ayah gadis itu tak menuntutnya. Dan, bukankah anak muda itu pengawal dalam istana Tumapel.”
Ki Buyut Panawijen memandangi Kuda Sempana yang gagah itu. Pakaian kelengkapannya yang indah meskipun kotor dan kusut, sabuk bertimang emas dengan mata berlian. Akhirnya Buyut Panawijen itu pun berkata, “Angger Kuda Sempana. Angger telah berbuat kesalahan. Tetapi untunglah segala sesuatu masih belum terlanjur. Aku tak dapat menyalahkan Wiraprana dan Angger Mahisa Agni, bukan karena Wiraprana itu anakku. Berterima kasihlah Angger Sempana kepada anak-anak muda yang mencegah Angger, sebelum Angger sempat menyentuh gadis yang akan Angger larikan, sehingga kebebasan Angger dari setiap hukuman tidak terasa sebagai pelanggaran yang mutlak atas adat di kampung kita. Namun janganlah hal ini menjadi contoh. Kalau Empu Purwa menghendaki, hukuman itu mempunyai alasan yang cukup untuk dijatuhkan. Tetapi dengan demikian, peristiwa ini akan benar-benar mengganggu ketenteraman pedukuhan kita. Maka bijaksanalah Empu Purwa. Meskipun demikian, tak dapat angin lalu tanpa menggoyangkan daun-daun pepohonan. Karena itu, baiklah aku minta, sebagai orang yang diserahi tanggung jawab atas pedukuhan ini, agar Angger Kuda Sempana segera meninggalkan kampung kita. Jangan kembali sebelum sampai pada bilangan tahun.”
Kuda Sempana yang gagah itu mengerutkan keningnya. Ia memandang hampir semua orang yang berdiri di sekelilingnya. Hukuman yang jauh lebih ringan dari yang diduganya itu tidak juga menyenangkan hatinya. Terasa bahwa sejak saat itu, ia akan dipisahkan dari tanah kelahirannya, sedikitnya untuk setahun.
“Persetan tanah kelahiran yang beku ini!” pikirnya, “Di Tumapel aku mempunyai lingkungan yang jauh lebih baik dari orang-orang yang bodoh dan keras kepala ini. Apakah artinya bagiku, bendungan, belumbang, rumpon, sawah, parit, dan segala macam yang pasti akan menjemukan. Di Tumapel, aku dapat bermain-main dengan kuda, tombak, dan kemewahan.”
Tetapi Kuda Sempana memandang Ken Dedes yang masih duduk di pasir tepian. Terasa hatinya berdesir. Dan tiba-tiba menyalalah dendam yang membakar hatinya atas kampung halamannya, atas orang-orang yang melingkungi hidupnya semasa kanak-kanaknya. Dan dendam itu harus ditumpahkan. Kalau ia tak dapat memetik bunga dari lereng Gunung Kawi itu maka biarlah bunga itu akan digugurkan saja dari tangkainya. Sama sekali ia tidak rela melihat orang lain, apalagi pemuda-pemuda desa seperti Agni atau Wiraprana, kelak akan memetiknya. Sekali lagi Kuda Sempana memandangi setiap wajah itu dengan muaknya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia meloncat pergi meninggalkan mereka dengan dendam yang membara di dadanya.
Berpuluh-puluh pasang mata mengikuti langkah pemuda yang gagah itu. Sesaat kemudian Kuda Sempana telah meloncat ke atas punggung kudanya yang sedang asyik makan rerumputan segar. Namun ketika terasa sentuhan pada lambungnya, segera kuda yang tegar itu menengadah dan meloncatlah ia dengan lajunya meninggalkan tepian sungai itu. Beberapa orang menarik nafas lega. Mereka seakan merasa terlepas dari bencana. Ki Buyut Panawijen dan Empu Purwa pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Anak yang keras kepala,” desis Ki Buyut.
Tak seorang pun yang menyahut.
“Marilah kita tinggalkan tempat ini,” berkata Buyut Panawijen itu pula.
Beberapa orang yang lain pun segera bergerak mengikuti Buyut Panawijen itu. Tanpa berkata-kata sepatah pun, mereka mendaki tebing dan hilang di belakang tanggul. Yang tinggal kemudian adalah Empu Purwa, Ken Dedes, Mahisa Agni, dan Wiraprana. Sedangkan gadis-gadis yang mengintip dari atas tanggul, satu demi satu menuruni tebing untuk mengambil cucian-cucian mereka yang tinggal di belumbang.
Untuk beberapa saat Empu Purwa, Mahisa Agni, dan Wiraprana masih memandang ke arah Kuda Sempana menghilang. Empu yang tua dan bijaksana itu mengeluh di dalam hatinya. Sebenarnya Empu Purwa yang telah cukup banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan, segera dapat mengerti bahwa Kuda Sempana sama sekali tidak ikhlas atas keputusan yang diambilnya. Namun perasaan itu sama sekali tak diungkapnya. Tetapi betapa pendeta tua itu terkejut ketika terdengar suara Mahisa Agni lirih,
“Bapa, adakah Kuda Sempana menerima keputusan ini dengan jujur?”
Empu Purwa memandang Agni dengan seksama. Ia pun sadar bahwa tidak mustahil orang-orang lain pun menyimpan pertanyaan yang demikian di dalam hatinya. Meskipun demikian ia menjawab, “Angger Kuda Sempana adalah seorang satria yang berjiwa besar. Seorang yang demikian akan melihat kenyataan dengan jujur.”
Mahisa Agni kecewa mendengar jawaban itu. Tetapi ia sadar, bahwa di kampung halamannya, gurunya itu tidak lebih dari seorang pendeta yang meluluhkan diri dalam ketekunan beribadah. Di pedukuhan yang tenteram damai itu, tak seorang pun yang pernah melihat bahwa Empu Purwa yang tua dan alim itu mampu menggenggam segala macam senjata di kedua sisi tangannya. Mampu menghantam hancur lawan yang betapa pun tangguhnya hanya dengan tangannya. Tetapi masa-masa yang demikian telah lampau bagi pendeta tua itu.
Namun demikian, ia tidak menutup mata atas suatu kenyataan bahwa kadang-kadang kebenaran harus dibela dengan kemampuan yang demikian. Kadang-kadang diperlukan kekuatan jasmaniah untuk menegakkan keadilan dan terutama untuk melawan segala bentuk kejahatan dan pengingkaran atas kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya. Kebenaran dan keadilan yang dibenarkan oleh Yang Maha Agung. Karena itulah maka ia menempa anak muda yang bernama Agni itu. Semoga anak itu dapat mengamalkan ilmunya. Mengamalkan, dan bukan sebaliknya. Pendeta tua itu tersentak ketika kemudian Wiraprana berkata,
“Empu, aku melihat sesuatu membayang di wajah Kuda Sempana.”
“Apakah itu?” bertanya Empu Purwa.
“Dendam,” jawab Wiraprana.
“Oh,” sahut Empu Purwa, “Tidak. Jangan berprasangka, Ngger. Tak baik orang menyimpan dendam di dalam dirinya.”
“Yang menyimpan dendam itu bukan aku, Empu,” jawab Wiraprana sambil tersenyum, “tetapi Kuda Sempana.”
“Ya, ya,” potong pendeta itu cepat-cepat, “maksudku bukan Angger. Tetapi siapa saja,. semua orang.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun wajahnya masih merah biru namun anak muda itu selalu tersenyum saja. Hanya kadang-kadang tampak ia menyeringai, kalau nyeri-nyeri di punggungnya terasa seperti menyengat-nyengat sampai ke ubun-ubun.
Sesaat kemudian Empu Purwa itu teringat kepada anaknya yang masih duduk lesu di atas pasir. Dengan lembut orang tua itu berkata sambil menarik lengan putrinya, “Ken Dedes, marilah kita pun pulang. Ambillah cucianmu.”
Ken Dedes menatap wajah ayahnya. Wajah seorang yang paling dikasihi dari semua orang yang dikenalnya.
“Adakah kau sudah selesai dengan cucianmu?” bertanya ayahnya.
Ken Dedes menggeleng.
“Apakah kau ingin menyelesaikannya,” bertanya ayahnya pula.
Sekali lagi gadis itu menggeleng.
“Kalau demikian, marilah kita pulang. Biarlah kau selesaikan di rumah,” ajak Empu Purwa.
Perlahan-lahan Ken Dedes berdiri dan berjalan ke belumbang untuk mengambil cuciannya. Namun wajahnya yang pucat itu selalu ditundukkannya. Tak berani ia menatap wajah kawan-kawannya yang seakan-akan memandangnya dengan penuh persoalan.
Sesaat kemudian mereka itu pun pulang bersama-sama. Empu Purwa berjalan membimbing putrinya. Di belakang mereka berjalan Mahisa Agni dan Wiraprana, Namun kadang-kadang Wiraprana masih harus berpegangan pundak sahabatnya itu.
Di perjalanan itu pun mereka tak banyak bercakap-cakap. Mereka sedang asyik bermain-main dengan angan-angan. Di dalam kepala Mahisa Agni masih saja membayang wajah Kuda Sempana yang menyala-nyala liar. Karena itu, mau tidak mau Mahisa Agni harus berpikir, “Bagaimanakah kalau anak itu datang sebelum waktu yang ditentukan? Apalagi kalau anak itu datang tidak seorang diri, tetapi dengan beberapa kawannya dari Tumapel?”
Tetapi kemudian dihiburnya sendiri hatinya, “Empu Purwa pasti tidak akan membiarkan anaknya mengalami nasib sedemikian. Kalau perlu, perlu sekali, maka orang tua itu pasti akan membela anaknya. Kalau terpaksa, pasti ia akan mempertahankan dengan kekerasan pula.” Demikianlah batin Mahisa Agni menjadi agak tenteram karenanya.
Setelah mengantarkan Wiraprana, Agni pun segera pulang ke rumah gurunya. Dan sehari itu sama sekali tak dijumpainya Ken Dedes, yang kemudian merendam diri di dalam biliknya. Empu Purwa pun tidak dijumpainya di halaman atau di pendapa. Seorang cantrik berkata kepadanya bahwa Empu Purwa sedang berada di sanggarnya.
Terasa sehari-hari rumah itu menjadi sepi. Mahisa Agni berjalan hilir-mudik dengan gelisah. Sekali dipegangnya senggot timba untuk mengisi jambangan tetapi belum lagi pekerjaan itu selesai, Mahisa Agni telah berpindah pekerjaan. Diambilnya cangkul dan sabit. Dicobanya melupakan kegelisahan dengan menyiangi pertamanan di belakang. Namun pekerjaan ini pun tak menyenangkannya. Burung-burung peliharaannya yang bernyanyi riuh itu pun tak menarik perhatiannya.
Akhirnya Mahisa Agni pun menyekap diri di bilik belakang. Bilik yang dipergunakannya untuk mesu diri, melatih tubuh wadagnya sejak ia mulai berguru kepada Empu Purwa itu. Dengan serta-merta dilepasnya ikat pinggangnya, diikatkan di pinggangnya. Dengan sebuah loncatan tinggi Mahisa Agni mulai dengan latihannya. Latihan yang lain daripada saat-saat berlatih. Ia hanya ingin melepaskan kesepian dan kegelisahan yang mencengkamnya. Dilakukannya berbagai gerakan, dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit yang pernah dipelajarinya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat seperti kijang. Melingkar, berputar, dan melambung ke udara.
Ketika ia telah menjadi jemu dengan segala gerakan itu, tiba-tiba di tangannya telah tergenggam sebilah pedang yang diraihnya dari dinding biliknya. Dengan lincahnya Mahisa Agni mempermainkan pedangnya. Kadang-kadang ia mencoba membuat gerakan-gerakan yang indah namun tiba-tiba gerakannya menjadi cepat dan kaku. Demikianlah Mahisa Agni melepaskan kejemuan dengan berbagai-bagai senjata. Pedang, tombak, cemeti, dan jenis-jenis senjata lain. Sehingga akhirnya Mahisa Agni menjadi lelah.
Satu demi satu senjata-senjata itu dikembalikannya pada tempatnya, dan yang terakhir Mahisa Agni meletakkan tubuhnya di sudut bilik itu. Demikian lelahnya setelah semalam ia harus bertempur melawan hantu Karautan, pagi itu, dengan Kuda Sempana dan masa latihannya berlebih-lebihan, maka akhirnya Mahisa Agni pun tertidur dengan nyenyaknya.
Betapa mimpi yang aneh-aneh telah mengganggunya. Dilihatnya di dalam mimpi itu, Ken Dedes meloncat ke dalam perahu yang megah di sebuah danau yang tenang. Tetapi tiba-tiba air danau itu pun bergolaklah. Sebuah angin yang kencang telah mengguncang perahu yang megah itu sehingga perahu itu bergoyang dengan kerasnya. Ken Dedes yang berada di dalam perahu itu terlempar dan segera ditelan oleh gelombang yang ganas. Dan yang terakhir Mahisa Agni melihat perahu itu tenggelam.
Bagaimanapun ia mencoba untuk menolong Ken Dedes maupun perahunya namun sia-sia. Bahkan akhirnya dirinya pun terguncang keras-keras. Mahisa Agni terkejut. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Dilihatnya bilik itu menjadi gelap. Seorang tua dengan lampu di tangan berdiri di sampingnya.
“Agni,” berkata orang itu, “Apakah kau sedang bermimpi?”
Perlahan-lahan Mahisa Agni bangkit. Dilihatnya keadaan di sekelilingnya. Ternyata ia masih berada di dalam biliknya. Sekali ia menggeliat, kemudian jawabnya, “Ya Guru, sebuah mimpi yang jelek.”
“Aku sudah menduga. Di dalam tidur kau menggeram,” sahut gurunya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Syukurlah bahwa semuanya itu hanya terjadi di dalam mimpi. Namun meskipun demikian mimpi itu sangat mengganggunya. Sehingga kemudian terluncur juga dari mulutnya, “Guru, mimpiku menggelisahkan sekali. Adakah setiap mimpi itu mempunyai arti?”
“Apakah mimpimu itu?” bertanya gurunya.
Mahisa Agni mencoba untuk menceritakan mimpinya. Sejak awal sampai betapa ia meronta-ronta melawan ombak yang menghempas-hempaskannya.
Empu Purwa mengerutkan keningnya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Namun kemudian ia tersenyum, katanya, “Waktu mimpimu itu adalah waktu yang tak membawa arti. Mimpi yang mengandung makna adalah mimpi pada saat-saat antara ayam jantan berkokok untuk kedua dan ketiga kalinya. Mimpimu adalah mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur, Agni.”
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi senyumnya itu pun sama sekali tidak meyakinkan. Mahisa Agni telah mengenal gurunya baik-baik, sehingga ia tahu benar tabiat orang tua itu. Meskipun orang tua itu mencoba menghapuskan kesannya atas mimpi Mahisa Agni, namun tertangkap juga oleh Mahisa Agni, kegelisahan yang membayang di wajah itu, meskipun hanya sesaat. Tetapi ia tidak berani bertanya lebih lanjut.
“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian, “bersihkanlah dirimu. Kami sudah makan malam. Makanlah dahulu, kemudian datanglah kepadaku. Ada yang akan aku bicarakan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Gurunya memanggilnya. Pasti ada sesuatu yang penting. Mahisa Agni pun kemudian berdiri dan perlahan-lahan berjalan keluar. Panggilan gurunya itu agak mengganggunya, di samping mimpi yang menggelisahkan itu.
“Mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur,” gumamnya, “Mudah-mudahan.”
Namun meskipun demikian Mahisa Agni tak dapat melupakannya. Setelah membersihkan diri, Mahisa Agni segera pergi ke dapur. Dilihatnya Ken Dedes duduk di atas bale-bale bambu. Ketika dilihatnya ia datang, segera gadis itu menyapanya,
“Kau tertidur di bilik belakang Kakang?”
Mahisa Agni mengangguk. Ditatapnya wajah gadis itu. Pucat, dan tampak bendul di kedua pelupuk matanya. Agaknya gadis itu sehari-harian menangis di dalam biliknya.
Ken Dedes memalingkan wajahnya. Ia merasa Mahisa Agni memandang bendul di pelupuk matanya itu. “Apa yang kau tatap itu Kakang? Apakah kau belum pernah melihat mataku?” katanya sambil mencoba tersenyum.
“Bukan apa-apa,” jawab Agni. Dan tiba-tiba saja sikapnya menjadi canggung. Ia telah berkumpul dengan Ken Dedes dalam satu rumah bertahun-tahun lamanya. Namun kini terasa gadis itu menjadi asing baginya...