PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 03
Karya Singgih Hadi Mintarjda
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 03
Karya Singgih Hadi Mintarjda
Agni merasa tangan-tangan yang berkeriput itu membelai rambutnya, kemudian menepuk pundaknya, “Bangkitlah Mahisa Agni. Duduklah supaya orang tidak melihat kejanggalan ini.”
Mahisa Agni pun kemudian bangkit dan duduk di samping emban tua itu. Tetapi wajahnya masih ditundukkannya, memandang dalam-dalam ke dalam gambaran-gambaran di benaknya. Wajah perempuan itu, matanya, hidungnya, dahinya. “Ah,” desah Agni di dalam hati kenapa aku tidak melihatnya sebelumnya. Hampir saya aku melukai hatinya.”
Yang terdengar kemudian ibunya berkata, “Agni. Sekarang kau melihat, apakah sebabnya aku menggantungkan harapan masa depanku sejalan dengan keadaanmu. Namun anakku, bahwa apa yang terjadi sebenarnya adalah satu peristiwa timbal balik, hutang piutang dan sebab akibat. Kau yang sama sekali tidak bersalah, kini harus menerima akibat dari kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan sebelumnya. Aku telah mengecewakan hati laki-laki, bahkan dua orang sekaligus. Dan kini kau, anakku, agaknya telah dikecewakan oleh seorang gadis pula.”
Agni masih menundukkan wajahnya. Ia tidak membantah lagi. Tidak seharusnya ia menyembunyikan perasaannya kepada ibunya. Ibu yang meskipun baru saja dikenalinya.
“Tetapi anakku,” berkata ibunya, “kau telah mendengar cerita tentang ibumu, ayahmu dan laki-laki yang merantau itu. Meskipun kau kini mengalami nasib yang mirip dengan laki-laki itu, tetapi kau jangan kehilangan masa depanmu. Kau dapat memilih satu di antara dua. Namun dengan ikhlas dan jujur. Merebut gadis itu atau melepaskan dengan ikhlas. Sudah temu kau tidak akan mengorbankan hubunganmu sebagai seorang murid terhadap gurunya yang telah bertahun-tahun memeliharamu. Tidak saja sebagai seorang murid, namun sebagai seorang anak yatim piatu. Nah Agni, aku ingin mendengar dari mulutmu, apakah yang akan kau lakukan?”
Agni masih diam menekurkan kepalanya. Ia tidak merasa tersinggung lagi kini. Bahkan serasa ia mendapat saluran yang wajar untuk meluapkan perasaannya. Karena itu maka ia pun menjawab, “Ibu. Aku sudah memutuskan untuk melepaskannya dengan ikhlas. Sebab aku merasa, bahwa aku tidak akan dapat memaksanya untuk mengalihkan perasaannya dengan paksa. Meskipun seandainya aku berhasil berbuat sesuatu yang dapat memaksa gadis itu mengubah pendiriannya, namun aku tidak yakin, apakah gadis itu tidak akan tersiksa sepanjang hidupnya. Dan apakah aku tidak tersiksa pula karena aku hanya dapat memiliki tubuhnya, namun bukan hatinya.”
Perempuan tua itu mengangguk-angguk. “Syukurlah,” katanya. Tetapi kau jangan mengorbankan masa depanmu yang panjang. Kalau kau sudah menerima keadaan itu, jangan kau bunuh hari depanmu dengan keputus-asaan.”
Agni menggeleng lemah. “Tidak ibu,” jawabnya.
“Demikianlah, Anakku,” sahut ibunya, “terimalah akibat ini. Akibat dari perbuatan ibumu.”
“Karma,” desah Agni di dalam hatinya.
Dan terdengar ibunya melanjutkan, “Dan akibat itu datang terlampau cepat.” Ibunya diam untuk sesaat. Tetapi kemudian ia berkata pula, “Sepeninggal ayahmu Agni, aku telah mencarimu. Akhirnya aku temukan kau dalam asuhan orang lain yang baik hati kepadamu. Tetapi aku tidak dapat mengambil kau sebagai seorang ibu mengambil anaknya. Karena itu, apabila selama masa pembuangan diri itu aku mengabdikan diriku di sini, di padepokan Empu Purwa maka aku minta dengan sangat, supaya Empu Purwa mengambil seorang anak laki-laki kecil sebagai muridnya. Tentu aku tidak mengatakan, bahwa laki-laki itu adalah anakku. Tetapi aku berhasil membujuknya dengan mengungkit rasa belas kasihannya.”
Kini Agni menjadi jelas. Dan terasa kemudian, betapa emban Ken Dedes itu sangat baik kepadanya. Mula-mula ia menyangka bahwa emban itu baik hati kepadanya, karena ia murid Empu Purwa, yang seakan-akan telah menjadi saudara kandung putrinya. Namun kalau demikian halnya maka sikap emban itu agak berlebih-lebihan. Dan kini perempuan itu meneruskan kata-katanya,
“Aku menjadi cemas dengan keadaanmu sejak semalam. Tetapi kini aku sudah mendengar dari mulutmu sendiri. Karena itu aku menjadi berlega hati. Nah, Agni, sebagai emban Ken Dedes, maka biarlah aku minta kepadamu. Sampaikan permintaan yang telah kau ketahui itu kepada Wiraprana. Demi kelangsungan masa depanmu dengan perguruanmu. Sudah tentu kau tak akan mengatakan kepada siapa pun juga, siapakah sebenarnya aku ini.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Dan terdengar ia berkata lirih, “Senja nanti Wiraprana akan datang kemari.”
Perempuan tua itu tersenyum. Sekali lagi ditepuknya bahu Mahisa Agni. Katanya, “Aku harap kau berjiwa besar.”
“Mudah-mudahan,” jawab Mahisa Agni.
Emban tua itu pun kemudian bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar. Namun di muka pintu ia berhenti sejenak, berpaling dan berkata, “Aku akan pergi kepada gadis putri Empu Purwa itu. Mengatakan kepadanya, bahwa Mahisa Agni telah menyanggupinya, menyampaikan pesannya kepada Wiraprana. Begitu?”
Mahisa Agni mengangguk lemah.
“Baiklah,” gumam ibunya. Dan sesaat kemudian perempuan tua itu telah hilang di balik pintu.
Kini kembali Mahisa Agni seorang diri di dalam biliknya. Bilik yang semula. Tetapi terasa betapa ada perbedaan di dalam dirinya. Kini ia tidak lagi merasa terlalu sepi. Tiang-tiang, dinding dan sudut-sudut biliknya tidak setegang tadi. Dan terasa oleh Mahisa Agni, bahwa padepokan itu masih mengikatnya kembali. Ibunya berada di padepokan itu pula. Dengan demikian, maka masih diharapkannya untuk tinggal di tempat ini.
Mudah-mudahan ia memberikan baktinya kepada ibunya itu. Meskipun ibunya seakan-akan tak pernah berbuat sesuatu untuknya, namun perempuan itu telah berjuang melawan maut pada saat melahirkannya, kemudian menyusuinya dengan penuh harapan, bahwa bayinya akan dapat hidup terus dan menjadi besar. Dan kini ia telah menjadi besar. Lalu apakah yang akan dilakukan untuk ibunya itu?
Beberapa saat berselang, ibunya memberinya beberapa petunjuk dan pesan-pesannya. Pesan seorang ibu. Dan tiba-tiba hati Mahisa Agni menjadi besar. Dengan dada tengadah ia menanti kedatangan Wiraprana, “Aku akan berkata kepadanya. Mudah-mudahan akan dapat memberinya kegembiraan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kembali ia meletakkan tubuhnya di pembaringannya. Betapa penat telah menjalari seluruh tubuhnya. Namun ia tidak dapat memejamkan matanya. Kini ia sedang mereka-reka, bagaimana ia harus mengatakan kepada Wiraprana.
Matahari di langit berjalan di dalam garis edarnya. Semakin lama semakin condong ke barat. Cahaya-cahaya merah telah bertebaran di atas pohon-pohon kelapa dan mewarnai lereng-lereng perbukitan. Burung-burung seriti beterbangan menangkapi belalang di padang-padang rumput. Dan hari yang cerah itu pun berangsur-angsur menjadi suram.
Menjelang senja Mahisa Agni telah membersihkan dirinya. Mandi di sumur belakang rumah gurunya. Kemudian duduk dengan gelisahnya di regol halaman menunggu Wiraprana. Ia harus segera menyampaikan pesan itu sebelum ia bertemu dengan gurunya. Mungkin gurunya pun akan bertanya kepadanya, apakah pesan putrinya telah sampai kepada anak buyut Panawijen itu. Meskipun ia sadar, bahwa gurunya pun akan memaksa dirinya sendiri untuk menuruti permintaan putri satu-satunya. Tetapi, ada juga kemungkinan lain. Ken Dedes sama sekali tidak mengatakan kepada ayahnya sampai pada suatu ketika ayahnya mengadakan permainan sayembara pilih kembali.
“Biarlah, apa yang akan dilakukan,” berkata Agni di dalam hati, “namun aku harus menyampaikannya kepada Wiraprana.
Hati Mahisa Agni menjadi berdebar-debar ketika dari kejauhan ia melihat anak muda yang ditunggunya itu datang. Karena itu segera ia pun berdiri. Sesaat ia tegak di tengah-tengah regol itu, namun kemudian ia melangkah menepi bersandar pada tiang pintu. Tetapi sesaat lagi ia telah berjalan hilir mudik melintasi jalan di muka regol halaman itu.
Wiraprana yang berjalan ke arahnya itu pun tidak kalah gelisahnya. Anak muda itu melihat Mahisa Agni berjalan hilir mudik, berdiri tegak, kemudian berjongkok kembali. Karena itu maka Wiraprana pun tak ada habis-habisnya berpikir, “Apakah aku telah berbuat suatu kesalahan kepadanya, atau kepada Ken Dedes?”
Tetapi ia berjalan terus. Apapun yang dihadapinya, akan diterimanya dengan baik. Seandainya ternyata ia bersalah, maka adalah menjadi kewajibannya untuk minta maaf. Baik kepada Mahisa Agni maupun kepada Ken Dedes. Akhirnya Wiraprana itu pun sampai di regol itu pula. Dilihatnya Mahisa Agni tersenyum dan kemudian berkata,
“Aku menunggumu sejak tadi Wiraprana.”
Wiraprana pun tersenyum pula. “Bukankah kau minta aku datang sesudah senja?”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Wiraprana, apakah sudah mengairi sawahmu?”
Wiraprana mengangguk. “Sudah,” jawabnya.
“Bagus,” jawab Agni, “kalau demikian kau tidak akan tergesa-gesa.”
Dada Wiraprana berdesir. Selama ini ia selalu datang ke rumah ini. Tidur di sini, makan di sini. Kenapa tiba-tiba kini Mahisa Agni bersikap demikian. Apalagi kemarin ia tampak terlalu tergesa-gesa. Namun ia menjawab juga, “Semua pekerjaanku sudah selesai Agni.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Marilah kita pergi ke bendungan.”
Wiraprana mengangguk. Meskipun terasa betapa canggungnya pertemuannya kali ini. Berpuluh kali ia telah pernah mendengar Mahisa Agni mengajaknya ke bendungan, namun kali ini hatinya berdebar-debar juga. Meskipun demikian Wiraprana mengangguk juga sambil menjawab, “Marilah.”
Agni tidak berkata apa-apa lagi. Keduanya kemudian berjalan bersama-sama ke bendungan. Kemarin, dua hari yang lampau, tiga hari yang lampau, lima, sepuluh dan beratus-ratus kali di saat-saat lampau, keduanya sering pula berjalan ke bendungan. Tetapi kali ini keduanya seperti asing. Mereka berjalan sambil berdiam diri. Cepat-cepat seperti takut terlambat. Ketika mereka telah tegak di bedungan, berkatalah Mahisa Agni,
“Duduklah Wiraprana.”
“Hem,” desah Wiraprana. “Agni memang aneh akhir-akhir ini,” katanya di dalam hati, “biasanya tak pernah ia mempersilahkan demikian. Apakah aku akan berjungkir balik, atau akan terjun sekalipun, tak pernah ia menegurku.”
Meskipun terasa betapa kaku pertemuan itu, namun Wiraprana kemudian duduk juga di samping Mahisa Agni. Untuk sejenak mereka masih berdiam diri. Wiraprana memandang jauh-jauh ke kelokan sungai, memandang air yang berputar-putar dan kemudian lenyap seperti ditelan hantu, hilang di balik kelokan.
Beberapa kali Mahisa Agni menarik nafas. Ketika melihat warna-warna yang semakin kelam di ujung pepohonan ia menjadi gelisah. Sebenarnya Mahisa Agni ingin langsung menyampaikan pesan Ken Dedes. Namun ia tidak segera menemukan cara untuk memulainya. Tetapi ia sadar, lambat atau cepat ia harus berkata. Karena itu akhirnya di cobanya juga berkata, “Wiraprana, kali ini aku ingin menyampaikan sebuah pesan untukmu.”
Wiraprana kemudian berpaling. Ditatapnya wajah Agni yang menunduk. Karena Mahisa Agni tidak segera meneruskan kata-katanya maka Wiraprana pun menyahut, “Agni. Sudah terasa betapa janggal sikapmu akhir-akhir ini. Supaya aku tidak selalu berteka teki, maka sudah sepantasnya kalau kau mengatakan sesuatu kepadaku. Apakah aku telah berbuat kesalahan, atau apapun yang mengecewakanmu atau mengecewakan Ken Dedes.”
“Tidak!” Mahisa Agni menggeleng, “Kau tidak mengecewakan siapa pun. Aku tidak, Ken Dedes apalagi.”
Mahisa Agni diam sesaat. Dicobanya mengatur perasaannya. Ia harus mengatakan sesuatu yang dirasakannya terlalu pahit. Namun ketika diingatnya pesan ibunya, maka ia pun menjadi agak tenang. Maka katanya, “Sudah lama aku mengenalmu, dan sebaliknya. Kau pun telah mengenal seluruh keluarga kami. Guruku, aku dan Ken Dedes. Wiraprana, hampir setiap hari kau berkunjung ke rumah guru. Apakah benar-benar hanya karena aku ada di sana?”
Wiraprana terkejut mendengar pertanyaan itu. Sahutnya, “Apakah maksudmu Agni?”
Agni menarik nafas. Dengan sangat berhati-hati ia mengulangi supaya tidak menimbulkan salah mengerti, “Wiraprana, maksudku, apakah kehadiranmu setiap hari di rumah Empu Purwa itu benar-benar karena kau ingin menemui aku?”
“Tentu!” jawab Wiraprana cepat-cepat. Wajah anak muda itu pun menjadi merah, dan hatinya semakin berdebar-debar, “Apakah kau menyangka lain, Agni?”
“Tidak,” sahut Agni, “mula-mula aku tidak menyangka lain, namun sekarang aku mengharap, semoga kau mempunyai maksud yang lain.”
“Ah,” desah Wiraprana, “aku tidak mengerti, jangan membuat aku bingung, Agni. Katakanlah.”
“Prana,” berkata Mahisa Agni, “betapa berat pesan yang dititipkan kepadaku untukmu. Sebagai seorang kakak, aku wajib memenuhinya. Namun aku mengharap kau tidak menjadi kecewa, justru karena pesan itu. Kau jangan salah menilai, bahwa seorang gadis sedemikian berani memberikan pesan yang tak ternilai harganya kepada seorang anak muda. Prana, besuk atau lusa kau akan tahu sebabnya. Kini, dengarlah pesan dari adikku itu. Ia mengharap kehadiranmu dalam perjalanan hidupnya.”
Kembali Wiraprana terperanjat. Dan kembali warna merah membersit di wajahnya. Karena itu ia menjadi seakan terbungkam. Mahisa Agni telah memberitahukan pesan itu terlalu langsung. Agni pun kemudian merasakan pula kekakuan kata-katanya. Namun untuk mengucapkannya ia sudah harus berjuang di dalam dirinya. Karena itu ia tidak dapat berbuat lebih baik daripada apa yang telah dilakukannya.
Sejenak kemudian keduanya dicengkam oleh debar yang cepat di dada masing-masing. Wiraprana bahkan menjadi bingung. Apakah yang dapat dikatakannya? Sedang Mahisa Agni sibuk menguasai perasaannya. Dengan sekuat tenaga ia berjuang untuk menenangkan diri. Baru kemudian ia dapat berkata pula,
“Wiraprana, jangan menyangka bahwa Ken Dedes dengan tiba-tiba saja merendahkan dirinya dengan pesannya itu. Ia tidak akan berbuat demikian seandainya, sikapmu, kata-katamu sebelumnya tidak meyakinkannya. Setidaknya menumbuhkan harapan di dalam hatinya. Sehingga pada saat gadis itu terdesak oleh keadaan, seperti yang terjadi dengan Kuda Sempana, ia harus menjatuhkan pilihan.”
Wiraprana mengangkat wajahnya. Kemudian dengan gemetar ia bertanya, “Kenapa pilihan itu jatuh atasku?”
Agni menarik nafas. Kemudian ia meneruskan, “Sudah aku katakan, sikapmu dan kata-katamu menumbuhkan harapan di hati adikku. Ketika Ken Dedes mengeluh atas keadaannya, atas sikap Kuda Sempana dan lamaran-lamaran lain yang datang kepada ayahnya, namun tak seorang pun sesuai dengan hatinya, maka aku nasihatkan kepadanya untuk segera menentukan pilihan. Wiraprana, adikku itu telah lama mengenalmu. Aku pun telah mengenalmu pula, hampir segenap watak dan tabiatmu. Karena itu, aku nasihatkan kepada Ken Dedes, supaya ia bersedia menerima kehadiranmu di dalam masa-masa hidupnya yang akan datang. Agaknya kami, aku dan Ken Dedes sependapat, bahwa tak ada orang lain yang lebih baik dari padamu. Karena itu, apakah Ken Dedes akan memberikan pesan untukmu atau tidak, suatu saat aku pasti akan mengatakannya kepadamu.”
Terasa sesuatu bergelora di dalam dada Wiraprana. Kini ia tidak dapat berbohong lagi. juga kepada dirinya sendiri. Sejak lama terasa sesuatu di dalam sudut hatinya. Tetapi ia tidak berani melihatnya. Ia merasa bahwa tak sepantasnya ia berangan-angan tentang seorang gadis putri pendeta yang menenggelamkan hidupnya dalam pengabdiannya terhadap sumber hidupnya. Ia merasa, bahwa dirinya akan terlalu kasar untuk itu. Wiraprana merasa, bahwa ia tidak lebih dari seorang petani yang lebih mengenal dirinya sendiri, alam dan semesta ini pada wadagnya. Karena itu ia telah bertekad untuk menekan segenap perasaan yang timbul di dalam dadanya. Namun demikian, setiap kali selalu timbul keinginannya untuk datang ke rumah guru sahabatnya itu. Karena itu, tiba-tiba timbul pula pertanyaan di hatinya, “Apakah aku datang setiap hari mengunjungi Mahisa Agni itu benar-benar karena aku ingin bertemu dengan anak itu?”
Wiraprana menjadi malu sendiri. Agni pun bertanya demikian kepadanya. Dan ia tidak dapat menjawabnya. Wiraprana kemudian menundukkan wajahnya. Di dalam dadanya bergolak berbagai perasaan. Terkejut, gelisah namun tebersit pula kegembiraan di dalam hatinya. Karena itu, selagi ia sibuk dengan persoalannya sendiri, maka ia tidak melihat betapa Mahisa Agni berjuang untuk menguasai perasaannya. Di dalam dadanya pun bergelora pula berbagai perasaan. Pedih, sakit dan kecewa. Namun ia sudah bertekad untuk menghayatinya.
Gemericik air di bendungan terdengar seperti sebuah lagu yang lincah. Nadanya meloncat-loncat dalam irama yang cepat. Ketika Wiraprana memandang ke dalamnya, tampaklah bayangan bintang-bintang di langit seakan-akan meloncat-loncat dipermainkan oleh getaran permukaan air yang riang.
“Agni,” tiba-tiba ia berkata. Agni mengangkat wajahnya, dan ditatapnya wajah Wiraprana yang cerah. “Adakah kau berkata sebenarnya?” bertanya anak muda itu.
“Tentu,” jawab Agni.
“Apakah Ken Dedes benar-benar bermaksud demikian? Agni, aku takut kalau Ken Dedes sekedar menuruti permintaanmu,” Wiraprana menegaskan.
Agni menarik nafas. Terasa dadanya menjadi sesak. Namun ia menjawab, “Tidak Ken Dedes benar-benar menyadari pesannya itu.”
“Ah,” desah Wiraprana.
Kembali mereka berdiam dari. Wiraprana kini melihat masa depan yang cerah terbentang di hadapannya. Nanti ia akan berkata kepada ayahnya apa yang didengarnya dari Mahisa Agni. Ayahnya segera pasti akan memenuhi adat itu. Datang kepada ayah Ken Dedes dengan sebuah upacara. “Hem,” katanya di dalam hati, “Bukankah ayahku Buyut Panawijen? Seharusnya aku tak perlu merasa terlalu kecil untuk melakukannya?"
Dan tiba-tiba Wiraprana itu tersenyum sendiri. Meskipun demikian, Wiraprana masih ingin meyakinkan. Karena itu ia bertanya, “Agni, bagaimanakah pendapatmu tentang pesan itu. Apakah sudah sepantasnya aku menerimanya?”
Sekali lagi sebuah goresan melukai hati Mahisa Agni. Tetapi ia menjawab, “Tentu Wiraprana. Seharusnya kau penuhi permintaan itu. Pandanglah dirimu dengan jujur, apakah tak ada perasaanmu untuk melakukannya. Jangan hiraukan tanggapan orang lain tentang dirimu, tentang gadis itu dan tentang masa depan kalian berdua. Kebahagiaan kalian di masa mendatang tergantung kepada kalian sendiri. Tidak kepada orang lain dan tidak pula tergantung kepadaku.”
Wiraprana mengangguk-angguk. Senyumnya kembali membayang di wajahnya. Katanya, “Terima kasih Agni. Aku tidak menyangka bahwa aku akan tertimpa ndaru. Aku sebenarnya gelisah melihat sikapmu yang aneh akhir-akhir ini. Tetapi kini aku menjadi sangat berterima kasih kepadamu.”
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi kemudian ia mengatupkan giginya. Desahnya di dalam hati, “Berbahagialah kau, anak muda.”
Tetapi Wiraprana tak melihat luka di dalam dada Agni. Yang dilihatnya adalah keriangannya sendiri. Dan tiba-tiba ia berkata, “Agni. Marilah kita pulang. Aku akan mengatakannya kepada Ayah. Supaya Ayah segera dapat melakukannya. Besok atau lusa.”
Mahisa Agni mengangguk. Tetapi ia masih belum ingin pulang. Maka jawabnya, “Pulanglah dahulu, Prana. Aku masih akan ke sawah.”
Wiraprana tidak dapat merasakan apapun selain keinginannya untuk segera menyampaikan kabar itu kepada ayahnya. Ayahnya pasti tidak akan menolaknya. Meskipun ia harus meyakinkan, bahwa keluarga Ken Dedes seluruhnya telah menerima kehadirannya apabila dikehendaki. Karena itu, maka katanya, “Baiklah, aku pulang dahulu.”
Mahisa Agni mengangguk, “Pulanglah. Aku segera menyusul.”
Wiraprana tidak berkata apa-apa lagi. Segera ia melangkah dari batu ke batu. Kemudian meloncat dan berjalan cepat-cepat pulang.
Mahisa Agni kemudian berdiri. Dipandangnya Wiraprana yang berjalan tergesa-gesa itu. Semakin lama semakin dalam membenam di hitamnya malam. Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas. Perlahan-lahan pandangan matanya berkisar di seputar bendungan. Air di grojoggan masih memercik beruntun. Di langit ujung timur, Mahisa Agni melihat semburat kuning membayang di atas ujung-ujung pepohonan. Bulan sesaat lagi akan melambung di langit yang biru. Selangkah demi selangkah Mahisa Agni berjalan menuruni bendungan. Dilangkahinya anak-anak tangga di tebing kali. Sehingga akhirnya sampailah ia di pinggir belumbang kecil.
“Di sinilah aku telah menyelamatkan kedua-duanya,” desisnya. Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika ia melihat wajahnya di air belumbang yang terang itu, seakan-akan dilihatnya masa-masa lampaunya yang penuh dengan keprihatinan. Tetapi justru karena itulah, maka Mahisa Agni mampu menahan arus perasaannya, betapapun sakitnya.
Ketika bulan telah tersembul di atas punggung bukit, Agni teringat bahwa gurunya memerlukannya. Karena itu dengan langkah yang berat, seberat beban di hatinya, ia melangkah pulang. Ketika dilewatinya sawah gurunya itu, diperlukannya membuka tutup pematang, untuk mengalirkan air ke dalamnya.
Ketika ia memasuki regol halaman rumahnya, dilihatnya halaman rumah itu sangat sepi. Lampu-lampu minyak telah menyala di setiap ruang di dalam rumah. Seseorang telah menyalakan lampu di biliknya pula. Di pendapa Agni melihat seorang cantrik melintas. Kepadanya Agni bertanya, “Di manakah Empu Purwa sekarang?”
“Di pringgitan,” jawabnya.
Mahisa Agni mengangguk. Ia ingin langsung menemui gurunya. Mungkin ada sesuatu yang penting Mungkin ada hubungannya dengan Ken Dedes mungkin pula tidak. Perlahan-lahan Mahisa Agni membuka pintu. Dilihatnya gurunya duduk bersila. Di hadapannya terhidang bintang, teko dan sebuah mangkuk kecil.
“Marilah, Agni,” berkata gurunya.
Dan Agni pun kemudian berjongkok dan duduk di muka Empu Purwa. Meskipun telah berbilang ribuan ia duduk menghadap gurunya namun kali ini hatinya berdebar-debar juga. Tetapi debar jantung Agni pun menjadi semakin kusut ketika ia melihat wajah gurunya yang bening tenang.
“Marilah, Agni. Mumpung masih hangat,” ajak gurunya sambil menyodorkan mangkuk kecil untuknya.
Mahisa Agni pun mengangguk, dan seperti biasanya segera ia meraih teko dan kemudian segumpal gula kelapa. Adalah menjadi kebiasaan gurunya, mengajaknya minum bersama. Menurut gurunya minum bersama terasa jauh lebih nikmat daripada sendiri. Ketika setengah mangkuk kecil telah terminum, Mahisa Agni meletakkannya kembali di dalam nampan kuningan.
Sejenak mereka berdua masih berdiam diri. yang terdengar kemudian hanyalah bunyi-bunyi jangkrik dan angkup-angkup nangka yang meringkik-ringkik di kejauhan. Kemudian Empu Purwa itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku mencarimu tadi pagi, Agni. Tetapi tak ada keperluan apa-apa. Aku hanya ingin minum bersama seseorang. tetapi ternyata kau tidak ada. Tak seorang pun yang melihat. Aku sangka kau sedang pergi sawah.”
Kembali Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Di tundukkannya kepalanya, dan dibiarkannya gurunya berkata meneruskan, “Apakah kau benar-benar pergi ke sawah?”
Mahisa Agni menjadi bingung. Meskipun demikian ia menjawab, “Baru saja aku pulang dari sawah guru.”
Empu Purwa tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Apakah padimu telah merunduk?”
“Hampir Empu, tidak sampai berbilang hari,” jawab Mahisa Agni.
“Ah, syukurlah,” sahut orang tua itu, “mudah-mudahan tanaman itu dijauhkan dari hama den kerusakan.”
“Mudah-mudahan,” gumam Mahisa Agni.
“Kalau demikian, Agni,” berkata Empu Purwa, “itu sudah hampir sampai masanya kau membuat gubuk untuk menjaga sawahmu dari gangguan burung.”
“Ya, Empu,” jawab Agni, “sebentar lagi akan aku buat.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Dipandangnya wajah Mahisa Agni dengan seksama, seakan-akan ada sesuatu yang aneh pada anak muda itu. Sehingga ketika Mahisa Agni menyadarinya, maka ia pun menjadi gelisah. Dan kembali wajahnya terpaku di dalam anyaman tikar yang didudukinya. Sesaat kemudian Empu Purwa itu berkata pula,
“Agni. Adalah menjadi hak kita untuk mengusir setiap burung yang akan mencuri padi kita di sawah, sebab kitalah yang menanamnya, memeliharanya dan dengan tertib berbuat untuk kepentingan tanaman itu.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Kata-kata gurunya itu agak mengherankannya. Bukankah hal itu sudah wajar. Tak ada sesuatu yang terasa baru pada kata-kata itu. Empu Purwa melihat pula wajah Agni yang memancarkan berbagai pertanyaan itu. Maka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Empu Purwa berkata,
“Kita akan merasa kehilangan Agni, apabila meskipun hanya sebutir padi kita yang dimakan oleh burung-burung pipit liar itu. Karena itu kita akan selalu mengusirnya apabila mereka datang.”
Mahisa Agni menjadi semakin heran. Namun ia tidak bertanya. Bahkan kembali ia menundukkan wajahnya.
“Tetapi Agni,,” sambung gurunya. Suaranya menjadi berat dan dalam, “Padi yang kita pertahankan dari serbuan burung-burung pipit, dan kadang-kadang kita harus bekerja siang dan malam, apabila hujan lebat dan parit-parit menjadi melimpah itu, ada kalanya tidak sampai ke lumbung-lumbung kita.”
Empu Purwa berhenti sejenak, lalu katanya seterusnya, “Meskipun kita tidak mengikhlaskan sebutir padi pun kepada burung-burung pipit Agni, namun kadang-kadang kita berikan tidak hanya sebutir, bahkan lebih dari itu, seikat, kepada orang lain, apabila kita yakin orang itu membutuhkannya. Dan kita yakin karena itu maka orang itu menjadi berbahagia karenanya.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata gurunya itu. Sekejap ia mengangkat wajahnya, namun sekejap kemudian wajah itu pun terkulai kembali dengan lemahnya. Kini ia tahu, apakah yang akan dikatakan gurunya itu.
“Agni,” berkata Empu Purwa, “aku tidak dapat menolak apabila seseorang yang kelaparan datang kepadaku, dan minta supaya aku memberinya padi. Sedang padi itu ada padaku.”
“Tentu saja Agni. Aku dapat memberikannya kepada siapa saja sesuka hatiku, tetapi bagaimanakah kalau yang dapat aku berikan itu sangat terbatas?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika teringat pesan ibunya, maka Mahisa Agni pun segera dapat menguasai perasaannya. Karena itu berangsur-angsur kegelisahannya pun menjadi lenyap. Bahkan kini ditengadahkannya wajahnya, dan didengarnya kata-kata gurunya itu dengan hati yang terang.
Maka gurunya itu pun berkata, “Ah, Anakku. Aku tidak dapat menyamakannya dengan butiran padi itu. Mungkin orang lain berbuat demikian. Tetapi aku tidak. Kadang-kadang aku mengingat juga lumbung-lumbung atau tempat penyimpanan orang yang datang itu. Bahkan lebih dari itu, Agni”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak gelisah. Karena itu ketika Empu Purwa bertanya kepadanya, maka dengan tatag ia menjawabnya.
Berkatalah empu tua itu, “Agni. Ternyata kau turut memelihara sawahku itu dengan tekun. Bahkan kaulah yang setiap saat melakukannya. Bagaimanakah pendapatmu, kalau suatu ketika hasil sawah itu aku serahkan kepada rakyat Panawijen, atau orang yang dapat mewakilinya?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kini ia tidak menundukkan wajahnya. Bahkan dengan tenang ia menyahut, “Guru, adalah menjadi kewajibanku untuk ikut memelihara setiap milik guru. Sawah, ladang, halaman ini bahkan dengan segala isinya. Dan apabila kemudian Empu mempunyai keputusan tentang itu semuanya, adalah sudah seharusnya aku pun menjadi bergembira karenanya.”
Empu Purwa itu pun tersenyum, katanya, “Tetapi, Agni. Bagaimanakah kalau lumbung kita sendiri menjadi kosong. Dan apakah kita tidak takut, suatu ketika kita sendiri akan menjadi lapar?”
Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata gurunya. Tetapi ia telah menjadi tenang benar. Karena itu sama sekali tak tampak kegelisahan dan perubahan di wajahnya. Selalu diingatnya pesan ibunya. Cerita ibunya tentang dirinya dan ayahnya. Maka jawabnya, “Guru, apabila kita masih mencemaskan keadaan diri sendiri, maka pemberian kita itu menjadi tidak dilambari dengan keikhlasan.”
“Hem,” Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan penuh haru. Maka terdengar ia berkata, “Kau telah menemukan nilai-nilai dirimu Mahisa Agni. Nilai-nilai yang hampir rontok dalam usia mudamu. Usia yang paling berbahaya dalam hidup ini.”
Kini Mahisa Agni benar-benar terkejut. Apakah gurunya tahu, betapa ia hampir menjadi gila mendengar pengakuan Ken Dedes di hadapan ibunya? Tetapi Mahisa Agni justru menjadi terbungkam karenanya. Kemudian ia mendengar gurunya itu berkata pula,
“Agni, pagi tadi aku ikuti kau bertamasya.”
“Oh,” Mahisa Agni mengeluh. Gurunya benar-benar mengetahui apa yang sudah terjadi. Dan gurunya itu masih berkata, “Aku melihat kau hampir-hampir kehilangan keseimbangan, Anakku.”
Ketika Agni akan menjawab, Empu Purwa mendahului, “Jangan kau sembunyikan perasaanmu. Orang setua aku, Agni, adalah orang-orang yang pernah mengalami masa-masa semuda kau. Dan apa yang kau lakukan adalah wajar. Sewajar orang mengusir burung pipit di sawahnya. Aku melihat sejak kau bermain-main dengan serulingmu. Aku melihat Ken Dedes datang kepadamu. Aku melihat, betapa kau menempelkan telingamu, untuk mendengar apa yang dikatakan Ken Dedes kepada pemomongnya. Dan aku ikut berlari-lari sepanjang tengah malam itu. Dan aku mendengarkan semua percakapanmu dengan hantu di padang rumput itu, Agni. Aku tidak akan berani mengatakan semua ini kepadamu, apabila kau masih belum menemukan nilai-nilai yang tersimpan di hatimu. Meskipun apa yang dikatakan oleh Ken Arok itu membantumu, namun keikhlasan yang terpancar di wajahmu, membayangkan betapa kau memiliki nilai-nilai di dalam hatimu melampaui dugaanku.”
Mahisa Agni mendengar kata-kata gurunya dengan hati yang berdebar-debar. Namun satu hal yang tak diketahui oleh gurunya, ibunya kini telah hadir pula di dalam hatinya. Namun Mahisa Agni tak berkata sepatah kata pun.
Sesaat kemudian terdengar gurunya berkata, “Agni. Seorang setia berkata bahwa wanita sana harganya dengan curiga. Dan sama pula harganya dengan nyawanya. Aku tidak keberatan Agni. Namun aku ingin memberinya arti yang agak berbeda dengan arti yang pernah diberikan oleh anak-anak muda. Wanita, curiga, pusaka dan sebagainya adalah lambang dari cita-cita. Setiap cita-cita memang mempunyai nilainya sendiri-sendiri. Kalau cita-cita itu dinilai sama dengan nyawa kita, maka adalah sudah seharusnya kita mengejar cita-cita itu sepanjang umur kita. Dan kau telah sampai pada nilai-nilai yang lebih tinggi dari nilai-nilai wadagnya Agni.”
“Bukan wanita dalam wadagnya, tetapi wanita sebagai lambang yang memancarkan kehalusan, yang memancarkan sifat-sifat pengabdian pada anak-anaknya, pada penerus hidup kita. Pengabdian bagi masa yang akan datang. Wanita tidak sekedar hidup untuk hidupnya, tetapi wanita hidup untuk hidup masa mendatang. Dan adakah kita telah melakukannya. Adakah kita telah menerapkan hidup kita tidak sekedar untuk hidup kita sendiri. Adakah kita sudah menempatkan diri kita dalam pengabdian bagi masa datang?”
“Agni, curiga dan pusaka yang harus kita udi pun, janganlah dinilai sebagai bentuk wadagnya. Keris, tombak, bahkan segala jenisnya. Namun setiap kita menempatkan pusaka apapun di hati kita, maka kita menilainya dari setiap unsur yang dapat kita lihat daripadanya. Unsur yang dipancarkan olehnya. Kejantanan, keperkasaan dan keluhuran budi. Atau apapun menurut penilaian kita atasnya.”
Empu Purwa itu pun berhenti sejenak. Dicobanya untuk mengetahui, apakah kata-katanya itu dapat dimengerti oleh muridnya yang masih muda itu. Agni kini menekurkan kepalanya. Didengarnya semua nasihat gurunya itu. Dan dicobanya untuk mencernakannya di dalam hatinya.
Seterusnya gurunya itu berkata perlahan-lahan, namun langsung menyusup ke jantung Mahisa Agni, “Agni. Betapapun juga, aku menyadari, bahwa ada sesuatu yang hilang dari hatimu. Hanya orang-orang yang tabah, dan telah menemukan nilai-nilai kemanusiaannyalah yang dapat menghadapi peristiwa semacam itu dengan tenang dan berhati terang. Dan kau telah melakukannya dalam umur mudamu. Karena itu mudah-mudahan kau selalu diselamatkan oleh Maha Pencipta. Namun, meskipun demikian Agni, aku akan mencoba mengurangi tekanan-tekanan yang berat itu. Meskipun kau pasti akan kuat memanggulnya, namun sebaiknya, aku, gurumu, ikut pula membantumu. Maksudku, aku tidak akan mengubah pendirian anakku, sebab dengan demikian aku akan merampas kebahagiaannya. Dan menurut penilaianku, kau telah memaafkannya.”
“Dan kini, aku akan memberimu imbangannya. Sebuah pusaka.”
Mahisa Agni tersentak sehingga ia bergeser madu. Diangkatnya wajahnya, dan dipandangnya wajah gurunya yang sejuk bening. Dan didengarnya gurunya itu meneruskan kata-katanya, “Agni, kau pernah melihat sebuah trisula yang kecil itu? Sudah pernah aku katakan kepadamu, pusaka itu diberikan turun temurun dari guru kepada muridnya yang tepercaya. Dan kini, aku telah mengambil keputusan untuk memberikannya kepadamu. Namun, ingatlah Agni. Pusaka yang berbentuk senjata itu bukan alat pembunuh. Pusaka itu adalah alat untuk menegakkan sendi-sendi kebenaran dan kemanusiaan menurut Sumbernya. Jadi menurut sumbernya, Agni. Bukan menurut kehendakmu dan kepentinganmu. Meskipun kau tak akan mengerti seluruhnya, kebenaran menurut Sumbernya itu, namun kau harus berusaha mendekatkan diri pada-Nya. Kalau kau menemui keingkaran pada kebenaran itu Agni, yang pertama-tama kau lakukan adalah melenyapkan keingkaran itu. Bukan melenyapkan seseorang. Jangan kau lenyapkan seseorang yang mengingkari kebenaran, selagi kau melihat kemungkinan untuk melenyapkan keingkarannya tanpa mengorbankan orangnya.”
Kini Mahisa Agni menundukkan wajahnya dalam-dalam. Meskipun gurunya pernah berkata kepadanya di padang rumput Karautan, bahwa pusaka berbentuk trisula itu adalah pusaka turun temurun, dan bahkan gurunya pernah berkata pula, bahwa suatu ketika pusaka itu akan diberikan kepadanya, namun pada sangkanya, tidak secepat yang terjadi. Justru karena itu, maka dada Mahisa Agni terasa menjadi sesak oleh berbagai perasaan yang bergulat di dalamnya. Bahkan kemudian terasa matanya menjadi panas, dan terasa sesuatu menyumbat mulutnya.
Demikianlah, malam itu, dengan penuh keharuan dan terima kasih, Mahisa Agni menerima sebuah pusaka dari gurunya. Apapun bentuknya, namun itu adalah suatu pertanda bahwa gurunya telah menumpahkan kepercayaan kepadanya. Kepercayaan pada ilmu yang telah dimilikinya, dan kepercayaan pada pengalaman yang akan dilakukannya.
Dalam keharuannya, sekilas Mahisa Agni teringat kepada gadis putri gurunya itu. Karena itu hatinya berdesir. Tetapi kemudian perasa hatinya menjadi tenang kembali setelah disadarinya, bahwa sebagai gantinya, telah didapatnya dua penemuan yang sangat berarti dalam hidupnya. Ibunya dan sebuah pusaka. Maka, meskipun tak terucapkan, namun betapa Mahisa Agni mengucapkan syukur di dalam hatinya kepada Maha Pengasih atas karunianya yang tak ternilai.
Ketika malam telah menjadi semakin malam, dan bulan di langit telah membuat garis-garis tegak di atas padepokan, maka Empu Purwa melepaskan Mahisa Agni kembali ke biliknya. Di samping pendapa Mahisa Agni melihat sebuah bayangan di bawah rimbun daun kemuning, Pandangan matanya yang tajam segera mengenalinya. Orang itu adalah ibunya.
“Apa yang terjadi?” bisik ibunya, ketika Mahisa Agni telah dekat di sampingnya.
Dengan bangga Mahisa Agni menceritakan kepercayaan gurunya kepadanya. Dan dengan bangga pula ditunjukkannya pusakanya kepada ibunya. Namun ibunyalah yang lebih berbangga dari Mahisa Agni sendiri. Sedemikian bangganya sehingga perempuan itu tak dapat menguasai perasaannya. Setetes demi setetes, air matanya menitik. Tetapi ia tidak bersedih. Bahkan dengan sebuah senyum ia berkata, “Berbahagialah kau Agni, dan aku pun berbahagia pula. Pandanglah hari depanmu dengan penuh gairah di dalam dadamu.”
Malam itu adalah malam yang tak akan dilupakan oleh Mahisa Agni. Namun demikian, anak muda itu tidak menjadi takabur. Dengan tekun ia justru menempa dirinya. Setiap saat ada kesempatan, dengan tekad, bahwa nama perguruannya, nama gurunya dan kepercayaan yang telah dilimpahkan kepadanya, harus dijunjungnya tinggi-tinggi.
Dan karena itu pulalah maka Empu Purwa pun berbangga pula karenanya. Ternyata muridnya benar-benar seorang anak muda yang baik. Karena itu, maka Empu Purwa pun untuk selanjutnya telah menempa Mahisa Agni dalam tataran ilmunya yang tertinggi.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Agni tenggelam dalami penekunan tanpa henti atas ilmunya, maka Wiraprana telah pula berhasil meyakinkan ayahnya. Sehingga akhirnya Buyut Panawijen itu pun tak dapat berbuat lain daripada memenuhi permintaan anaknya.
Ternyata semuanya berlangsung seperti yang diharapkan, Empu Purwa tidak mau menunda persoalan itu berlarut-larut. Ketika ia menerima sebuah utusan dari Buyut Panawijen, maka dilambari dengan penuh pengertian atas hasrat yang tersimpan di dalam dada anaknya, maka dipanggillah Ken Dedes menghadapnya.
“Ken Dedes,” berkata Empu Purwa kemudian, “pengikut sayembara kali ini hanya seorang, Wiraprana, putra Buyut Panawijen. Bagaimanakah pendapatmu?”
Ken Dedes menundukkan wajahnya dalam-dalam. Berbagai perasaan bergolak di dadanya. Ia gembira, menerima pertanyaan itu, tetapi ia tidak kuasa untuk menganggukkan kepalanya. Karena itu ia menjawab lirih, “Ayah. Terserahlah kepada Ayah.”
Empu Purwa tersenyum. Seorang yang telah berumur lanjut, segera mengetahui isi hati seorang gadis yang telah ditunggunya setiap saat. Ken Dedes tidak menolak.
“Nah, Anakku,” kata ayahnya, “aku harap kau tidak menemui persoalan-persoalan yang sulit di kemudian hari, seperti apa yang telah terjadi. Sebab segera semua orang di Panawijen akan mendengar kabar, bahwa lamaran Buyut Panawijen telah diterima. Kita tinggal memperhitungkan hari yang sebaik-baiknya untuk keperluanmu itu.”
Ken Dedes tidak menjawab. Kepalanya masih ditundukkannya dalam-dalam. Namun ia berdoa, mudah-mudahan semuanya segera selesai. Ketika ayahnya mengizinkannya pergi, Ken Dedes langsung berlari-lari ke bilik Mahisa Agni. Dengan serta-merta ia mengguncang-guncang tubuh Agni yang sedang berbaring, setelah dengan sekuat tenaga memeras diri dalam latihannya.
Betapa terkejutnya anak muda itu. Segera ia bangkit bertanya, “Ada apa Ken Dedes?”
“Kakang,” berkata gadis itu terbata-bata, namun wajahnya tampak betapa cerahnya, secerah bintang pagi, “Ayah telah menerima lamaran dari Buyut Panawijen.”
“He?” Agni tersentak. Dan warna merah tiba-tiba tebersit di wajah Ken Dedes. Ia menjadi malu kepada kakaknya, dan malu kepada diri sendiri. Karena itu, kemudian ia terduduk di samping Agni sambil menundukkan wajahnya.
Sesaat darah Agni bergolak. Namun hanya sesaat. Kemudian terasa darahnya mendingin kembali. Dengan tenang ia berkata, kata-kata yang sudah sewajarnya diucapkan oleh seorang kakak kepada adiknya yang berbahagia, “Syukurlah, Ken Dedes. Wiraprana tidak mengecewakan kita.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya perlahan-lahan, “Aku berterima kasih kepadamu, Kakang.”
“Bukankah sudah menjadi kewajibanku Ken Dedes? Kau adalah adikku. Adalah menjadi kewajiban saudara tua untuk mendengarkan tangis adiknya,” jawab Mahisa Agni, kemudian ia meneruskan, “Kalau kau berbahagia adikku, aku pun berbahagia pula karenanya. Mudah-mudahan Wiraprana dapat menempatkan diri, dan mudah-mudahan kau pun dapat menyesuaikan dirimu pula.”
Di hari-hari berikutnya, tampaklah betapa cerah wajah Ken Dedes. Ia kini tidak mengurung diri lagi di dalam biliknya. Dengan rajin ia bekerja seperti dahulu, sebelum hatinya menjadi murung. Mencuci pakaian, membersihkan halaman dan bekerja di dapur bersama-sama gadis-gadis pembantunya. Kini Ken Dedes tidak pernah membuang waktunya dengan berbagai pekerjaan tak berarti. Setiap kali ia sibuk membersihkan rumah dan biliknya. Seakan-akan besok pagilah perhelatan perkawinannya akan diselenggarakan.
Mahisa Agni pun telah berusaha sekuat-kuatnya untuk melupakan luka-luka yang pernah ada di hatinya. Diusahakannya untuk berbuat seperti apa yang selalu dilakukan. Ke sawah, mencangkul halaman, belumbang, tanaman-tanaman dan petak-petak di belakang rumahnya.
Namun, sama sekali tak pernah diketahuinya, bahwa setiap kali gurunya, mengawasinya diri sudut sanggarnya sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Dengan pandangannya yang penuh iba, kadang-kadang orang tua itu bergumam, “Kasihan kau, Anakku. Mudah-mudahan kau mendapat karunia, kesabaran.”
Kabar tentang hubungan yang telah diikat antara Wiraprana dan Ken Dedes itu pun segera tersebar di segala sudut-sudut padukuhan Panawijen. Ramailah anak-anak muda membicarakannya. Bunga di kaki Gunung Kawi itu kini akan dipetik orang. Sambil tertawa-tawa, kawan-kawan Wiraprana selalu mengganggunya. Di rumah, di sawah di bendungan bahkan di mana saja mereka bertemu.
“Mahisa Agni,” berkata salah seorang dari mereka, “kenapa bukan aku yang kau ambil menjadi adikmu?”
Mahisa Agni tersenyum. Betapa pedih luka di hatinya. Namun dijawabnya sambil tertawa, “Kau bukan Wiraprana. Namun kau belum pernah berkelahi dengan Kuda Sempana.”
Yang mendengar jawaban itu pun tertawa riuh. Sambil menunjuk wajah kawannya itu mereka bersorak, “Kalau menjadi adik Mahisa Agni, dan Kuda Sempana itu datang kembali, apa katamu?”
“Lari,” jawabnya sambil tertawa pula.
Wiraprana sendiri tak pernah menyahut. Ia hanya tersenyum-senyum saja. Meskipun kadang-kadang ia mengeluh atas gangguan kawan-kawannya, namun sebenarnya ia berbangga juga. Tetapi sejak saat itu Wiraprana tidak pernah lagi mengunjungi Mahisa Agni di rumah Empu Purwa. Ia menjadi segan, dan adalah kurang baik apabila ia datang ke rumah itu, sebab Ken Dedes berada di rumah itu pula.
Bahkan Mahisa Agni-lah yang selalu datang kepadanya. Mahisa Agni sama sekali tidak mau mengubah hubungan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Mereka masih saja bergaul seperti biasa, ke sawah, ke bendungan dan membersihkan parit bersama kawan mereka. Tak ada kesan apapun dalam tingkah laku Mahisa Agni. Dan karena itu Wiraprana tidak pernah mengetahuinya, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan sahabatnya itu.
Berita tentang hubungan yang telah disetujui bersama antara Wiraprana dan Ken Dedes itu ternyata tidak saja menggemparkan desanya sendiri, namun berita itu kemudian tersebar sampai jauh di luar daerah pergaulan mereka. Lebih-lebih bagi mereka yang pernah mengirimkan utusan untuk melamar gadis itu. Berbagai tanggapan telah tumbuh di dada anak-anak muda itu. Ada di antara mereka yang acuh tak acuh.
“Biarlah,” katanya di dalam hati, “gadis di dunia ini tidak hanya seorang Ken Dedes saja.”
Namun ada juga yang kemudian dengan sedihnya meratapi nasibnya. Mengurung diri di dalam biliknya. Kerjanya siang dan malam menggurat-gurat rontal untuk menumpahkan kepedihan hatinya. Berhelai-helai. Dan disimpannya rontal itu di bawah bantalnya. Tetapi di antara mereka ada juga yang mempunyai tanggapan lain pula. Ketika kabar itu sampai di telinganya, maka seakan-akan telinganya itu terjilat api.
“Benarkah?” geramnya.
Tetapi kabar itu benar-benar meyakinkannya, bahwa Ken Dedes telah menerima lamaran dari seorang anak muda. Bukan dirinya. Sehingga akhirnya datanglah kepadanya, utusan Empu Purwa, yang mengabarkan, bahwa dengan rendah hati dan permintaan maaf yang sebesar-besarnya lamarannya tak dapat diterima.
Anak muda itu adalah Mahendra. Putra sahabat Empu Purwa di Tumapel. Seorang anak muda yang tangkas dan tanggon. Dengan wajah yang merah membara ia datang kepada ayahnya. Katanya, “Ayah, Bukankah penolakan itu berarti penghinaan bagi keluarga kita?”
Ayahnya menggeleng lemah, jawabnya, “Tidak, Anakku. Seharusnya kau sadari, seandainya datang dua tiga lamaran. Apakah yang harus dilakukan oleh Empu Purwa itu, Tentu ada di antaranya yang harus ditolak. Dan itu sama sekali bukan suatu penghinaan.”
“Ayah,” sahut Mahendra, “kalau Ken Dedes itu menolak kami, tetapi ia kemudian menerima orang lain yang lebih tinggi tingkat dan derajatnya, maka aku tak akan tersinggung karenanya. Tetapi Ken Dedes itu telah menerima lamaran seorang anak muda yang bernama Wiraprana yang menurut pendengaranku tidak lebih dari anak Buyut Panawijen. Tidakkah itu suatu Penghinaan?”
Kembali ayahnya menggeleng. Katanya, “Ken Dedes adalah gadis Panawijen. Anak itu adalah anak muda Panawijen.”
Mahendra terdiam. Namun hatinya masih berbicara terus. “Siapakah gerangan anak muda yang bernama Wiraprana itu? Apakah ia seorang maha sakti tak ada bandingnya di seluruh daerah Tumapel?”
Ayahnya melihat betapa dendam menjalar di dada enaknya. Tetapi ia tidak berkata-kata lagi. Anaknya adalah anak yang sukar dikendalikan. Tetapi ia tidak menyangka bahwa anak itu tidak saja merasa terhina, dan mengumpatnya habis-habisan, namun anak itu benar-benar berhasrat untuk menilai anak muda yang bernama Wiraprana. Karena itu, maka pada suatu malam, tanpa setahu ayahnya, Mahendra pergi meninggalkan rumahnya. Dengan dikawani oleh dua orang saudara seperguruannya ia pergi ke Panawijen.
“Dengan tekad yang teguh. Kita bertukar darah, Wiraprana!” gumamnya.
Mereka sampai ke Panawijen menjelang senja berikutnya. Tetapi mereka tidak segera menciri rumah Buyut Panawijen. Mereka menunggu sampai malam tiba. Di malam yang kelam, tak ada orang yang akan mengganggu pertemuan itu. Awan yang kelabu, mengalir seperti lembaran-lembaran kapuk yang diterbangkan angin. Bintang satu demi satu mulai menyala di langit yang biru. Ketika seorang petani tua berjalan pulang dari sawahnya, Mahendra menghentikannya dan berkata, “Kaki, apakah Kaki kenal dengan Wiraprana?”
Petani tua itu mengamat-amati ketiga anak muda itu dengan seksama, kemudian ia pun bertanya, “Siapakah Angger bertiga?”
“Kami datang dari jauh, Kami adalah sahabat-sahabat Wiraprana,” jawab Mahendra.
Orang tua itu mengangguk-angguk, katanya, “Adakah yang Anakmas maksud itu putra Buyut Panawijen?”
“Ya,” jawab Mahendra pendek.
“Apakah Angger akan menemuinya?”
“Ya.”
“Marilah, biarlah Anakmas bertiga saya antarkan ke rumahnya.”
Mahendra menggeleng. Jawabnya, “Tidak Kaki. Aku tidak akan datang ke rumahnya. Tolonglah sampaikan kepadanya sahabatnya dari Tumapel menunggunya. Namanya Mahendra.”
Orang tua itu memandangnya dengan heran. Maka bertanyalah orang tua itu, “Kenapa Anakmas tidak mau datang ke rumahnya?”
“Tidak apa-apa,” jawab Mahendra singkat, “kami menunggu di sini.”
Orang tua itu tidak bertanya lagi. Diangguk-anggukkannya kepalanya sambil berkata, “Baiklah, nanti aku sampaikan kepadanya.”
Meskipun demikian, petani tua itu pun tak habisnya berpikir, “Aneh, tamu yang datang sedemikian jauhnya, tetapi tidak mau diantarkannya ke rumahnya.”
Namun petani tua itu memenuhi pula permintaan ketiga anak-anak muda dari Tumapel itu. Ia tidak langsung pulang ke rumahnya, tetapi diperlukannya singgah ke rumah Buyut Panawijen. Di muka regol halaman dilihatnya Mahisa Agni. Karena itu orang tua itu pun berkata, “Mahisa Agni, apakah Wiraprana ada di rumahnya?”
“Ada Kaki,” jawab Mahisa Agni, “kita berjanji akan pergi ke sawah bersama. Dan aku sedang menunggunya. Apakah Kaki akan menemuinya?”
“Oh. Tidak,” berkata orang itu pula, “aku hanya ingin menyampaikan pesan untuknya. Nah, Katakanlah kepadanya Agni. Tiga orang anak-anak muda dari Tumapel menunggunya di ujung desa.”
“Tumapel?” bertanya Mahisa Agni dengan herannya.
Orang tua itu mengangguk. “Ya,” jawabnya, “namanya Mahendra.”
“Mahendra?” ulang Agni. Dan dada Mahisa Agni ini menjadi berdebar-debar. Ia pernah mendengar nama itu. Mahendra, adalah salah sebuah nama yang pernah disebut-sebut oleh gurunya. Karena itu segera ia menghubungkannya dengan Ken Dedes.
“Nah Agni,” berkata petani tua itu, “bukankah kau sedang menunggu Wiraprana? Sampaikanlah pesan itu kepadanya.”
“Baik. Baik Kaki,” sahut Agni terbata-bata. Sedang angan-angannya masih sibuk dengan anak muda yang bernama Mahendra itu.
Sepeninggal petani tua itu. Mahisa Agni sibuk berpikir, “Apakah keperluan Mahendra dengan Wiraprana?” bertanya Mahisa Agni di dalam hatinya, “Ada dua kemungkinan.”
Pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Mungkin Mahendra akan memberikan ucapan selamat kepada Wiraprana. Tetapi ada kemungkinan lain. Anak muda itu membawa dendam yang membara di hatinya.”
Namun anak muda yang telah banyak mengenyam berbagai pengalaman itu, mempunyai firasat, bahwa kemungkinan yang terakhirlah yang akan terjadi. Kalau anak-anak muda dari Tumapel itu, bermaksud baik, maka mereka pasti akan datang ke rumah ini. “Bagaimanapun juga, Wiraprana harus berhati-hati,” desisnya.
Dalam pada itu Wiraprana pun telah turun dari pendapa rumahnya. Dengan senyumnya yang selalu memancar di wajahnya, ia berjalan seenaknya melintasi halaman rumahnya. “Apakah kau tidak singgah dahulu,” bertanya Wiraprana.
Agni menggeleng. Jawabnya, “Nanti, apabila pekerjaan kita sudah selesai.”
“Baiklah,” jawab Wiraprana, “marilah kita pergi.”
“Tetapi Wiraprana,” berkata Agni kemudian, “seseorang memberikan pesan untukmu. Tiga anak-anak muda dari Tumapel.”
“Dari Tumapel?” bertanya Wiraprana sambil mengangkat alisnya, “Apakah keperluannya?”
“Tak disebutkan,” jawab Mahisa Agni, “mereka menunggu di ujung desa.”
Wiraprana berpikir sejenak. “Aneh,” gumamnya.
“Kenalkah kau dengan anak muda yang bernama Mahendra?” bertanya Agni.
Wiraprana menggeleng.
“Mahendra adalah salah seorang yang pernah melamar Ken Dedes pula,” berkata Agni seterusnya.
“Oh,” desis Wiraprana, “lalu apakah keperluannya dengan aku? Bukankah aku tidak mempunyai persoalan dengan anak itu?”
“Demikianlah Wiraprana,” sahut Mahisa Agni, “tetapi tidak semua orang berpikir seperti itu. Mungkin ia mempunyai tanggapan tersendiri. Karena itu, berhati-hatilah.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Direnunginya malam yang gelap seakan-akan ada yang sedang dicarinya. Kemudian terdengar ia berkata,” Baiklah aku menemuinya Agni. Aku tak pernah merasa membuat persoalan dengan siapa pun. Karena itu, di antara aku dan anak muda itu pun tak pernah terdapat persoalan apa-apa.”
Tiba-tiba Mahisa Agni pun teringat, apa yang pernah dilakukan pada malam ia mendengar pengakuan Ken Dedes terhadap emban tua yang ternyata adalah ibunya. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tidak mustahil bahwa orang lain pun akan berbuat serupa itu. Bahkan diingatnya pula anak muda yang bernama Kuda Sempana. Apakah salah seorang dari ketiga anak muda itu Kuda Sempana?
“Ah,” bantahnya sendiri, “pasti bukan. Kalau demikian anak itu pasti sudah dikenal.”
Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata, “Wiraprana, aku akan ikut dengan kau.”
Wiraprana mengangkat alisnya. Katanya, “Apakah kehadiranmu tidak akan mengganggu pertemuan itu?”
“Mungkin Wiraprana, namun mungkin pula tidak. Bukankah mereka datang bertiga?” jawab Agni.
Wiraprana berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Baiklah. Kita pergi bersama-sama.”
Maka pergilah mereka berdua ke ujung desa. Dengan hati yang dirisaukan oleh berbagai pertanyaan Mahisa Agni berjalan di samping Wiraprana. Namun ia hampir pasti, bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan yang menyenangkan.
“Apakah sangkamu maksud kedatangan anak-anak muda itu Agni,” bertanya Wiraprana.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Jauh di relung hatinya terdengar sebuah suara yang sumbang, “Biarkanlah Agni. Biarlah Wiraprana menyelesaikan masalahnya sendiri. Biarlah ia mengetahui, bahwa seorang istri itu memerlukan perlindungannya. Apakah ia akan mampu melakukan? Apalagi seorang istri seperti Ken Dedes yang telah menggerakkan hampir setiap hati anak-anak muda di lereng Gunung Kawi ini. Biarlah ia belajar untuk tidak mengenyam nangkanya saja, tetapi juga berlumur getahnya. Kalau karena pertemuan ini Wiraprana ditelan oleh bencana, syukurlah. Pintu untukmu terbuka kembali.”
Suara itu terdengar melengking berulang-ulang, meskipun perlahan-lahan. Karena itulah maka wajah Mahisa Agni menjadi tegang. Dan tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya keras-keras sambil bergumam, “Tidak, Tidak.”
“Apa yang tidak?” bertanya Wiraprana.
“Oh?” Mahisa Agni tersadar. Jawabnya, “Aku sedang berpikir tentang mereka bertiga.”
“Ya. Lalu apakah yang akan mereka lakukan?”
“Aku tak dapat menebaknya dengan pasti Prana. Tetapi firasatku mengatakan, bahwa kau harus berhati-hati.”
Wiraprana tersenyum, “Kita adalah manusia-manusia yang beradab. Yang memiliki tata pergaulan dalam hubungan kita antara manusia. Karena itu seandainya ada persoalan antara aku dan Mahendra itu, maka tidak perlu kita risaukan. Kita akan dapat menyelesaikannya dengan baik.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Apabila setiap orang berpikir seperti kau Prana, aku sangka dunia ini akan lekas mengenyam perdamaian yang dirindukan oleh hampir setiap manusia. Tetapi orang lain ternyata berpendapat lain. Kadang-kadang orang ingin menyelesaikan persoalan tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Seseorang mengulurkan tangan kanannya untuk bersahabat, namun di tangan kirinya digenggamnya senjata sambil berkata, “Marilah kita selesaikan persoalan kita dengan baik. Dan marilah kau turuti saja sekehendakku. Dengan demikian tak ada masalah lagi di antara kita’.”
Wiraprana menundukkan wajahnya. Seakan-akan ia sedang menghitung jumlah batu-batu yang dilampaui kakinya. Sedang terdengar Mahisa Agni berkata terus, “Ternyata Wiraprana, kau pernah bertemu dengan anak muda yang bernama Kuda Sempana.”
Wiraprana menganggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia masih bergumam di dalam hatinya, “Ah. Apapun yang akan dilakukan, apabila aku tak melayaninya, aku sangka tak akan timbul peristiwa yang tak diinginkan.”
Kemudian mereka berdua itu pun saling berdiam diri. Mereka berjalan sambil berangan-angan. Masing-masing diliputi oleh berbagai pertanyaan yang melingkar-lingkar di dadanya. Ketika mereka sampai di ujung desa, hati Mahisa Agni pun menjadi berdebar-debar. Ditatapnya jalan yang menjelujur di hadapannya. Dan hatinya kemudian berdesir ketika dilihatnya tiga anak muda sedang duduk dengan tenangnya di tanggul parit di tepi jalan. Di samping mereka, kuda-kuda mereka terikat pada batang-batang perdu liar yang tumbuh di atas tanggul. Tiba-tiba saja Mahisa Agni menggamit, Wiraprana, sehingga mereka berdua itu pun berhenti.
“Mengapa,” bertanya Wiraprana.
“Jangan terlampau tergesa-gesa. Tak ada gunanya. Waktumu masih panjang,” jawab Agni.
Sementara itu, Mahendra pun telah melihat kehadiran mereka. Karena itu, maka serentak mereka bertiga berdiri, berjajar tegak dengan kaki renggang. Mahisa Agni menarik nafas. Sikap itu tidak menyenangkannya. Kenapa mereka bertiga segera bersikap demikian, seakan-akan mereka sedang menanti lawan-lawan mereka yang sudah bertahun-tahun dilumuri dendam. Karena itu Mahisa Agni berbisik, “Wiraprana, sambutan mereka benar-benar tidak menyenangkan. Karena itu sekali lagi, hati-hatilah.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun hatinya berkata, “Apa saja yang akan mereka lakukan. Aku harus bersikap baik.”
Selangkah demi selangkah Wiraprana dan Mahisa Agni pun berjalan maju. Dan ketiga anak muda itu kini telah berdiri benar-benar di tengah jalan, seakan-akan mereka ingin menutup jalan itu, supaya Wiraprana tidak lewat melampauinya.
Tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari anak muda itu bertanya, “Adakah di antara kalian bernama Wiraprana.”
“Hem,” Agni menarik nafas, “jarak mereka masih cukup jauh. Kenapa anak muda itu berteriak-teriak?”
Tetapi Wiraprana itu pun menjawab juga, “Ya, akulah Wiraprana.”
“Bagus,” sahut suara itu, “aku adalah Mahendra. Ternyata kau jantan juga.”
“Oh,” desah Mahisa Agni. Kemudian ia berbisik, “Sambutan yang benar-benar menyenangkan.”
Wiraprana menggigit bibirnya. Kemudian gumamnya, “Aku tidak peduli, apa yang akan dilakukan . Aku harus menemuinya.”
Namun Mahisa Agni pun sekali lagi menggamitnya. Dan ketika mereka berhenti, mereka tiba-tiba terkejut. Mahendra telah mulai menggertak dengan gerakan yang mengagumkan. Sekali ia meloncat, dan diraihnya sebuah cabang pohon cangkring yang tegak di tepi jalan. Dengan satu renggutan, cabang itu patah berderak-derak. Kemudian dengan lantangnya ia berkata, “Aku telah mendapat senjata, apa senjatamu?”
Mahisa Agni dan Wiraprana masih tegak di tempatnya. Dada mereka pun menjadi berdebar-debar karenanya. Maka bisik Mahisa Agni, “Apakah mereka dapat diajak berbicara?”
“Apakah sebenarnya yang mereka kehendaki,” gumam Wiraprana.
“Perkelahian,” sahut Mahisa Agni.
“Hem,” Wiraprana menarik nafas, “Akan aku coba untuk menghindarkannya.”
“Tak mungkin,” jawab Agni, “kau lihat sendiri, apa yang telah dilakukannya.”
“Mengagumkan,” desahnya, “setan manakah yang telah memberinya kekuatan.”
Sejenak mereka berdiam diri. Wiraprana pun menjadi bimbang. Kekuatan yang ditunjukkan Mahendra benar-benar mengejutkan. Anak muda itu tidak kalah berbahayanya dari Kuda Sempana. Tetapi kini ia tidak dapat menggantungkan diri kepada orang lain. Ken Dedes adalah tanggung jawabnya. Apapun yang terjadi, namun tidak sepantasnya ia bergantung kepada Mahisa Agni seperti pada saat ia di lumpuhkan oleh Kuda Sempana. Namun meskipun demikian Wiraprana masih berpikir, “Tidakkah aku dapat menemuinya dan berbicara dengan baik?”
Wiraprana terkejut ketika dengan lantang Mahendra itu berkata, “Siapakah di antara kalian yang bernama Wiraprana. Marilah kita berkenalan. Inilah Mahendra yang sudah kau hinakan. Apakah benar-benar kau berhak berbuat demikian.”
Sekali lagi dada Wiraprana berguncang. Namun ia tidak dapat berbuat lain daripada menyambutnya. Sedang Mahisa Agni masih berdiri seperti patung. Dengan melihat kekuatan Mahendra, maka Mahisa Agni segera dapat mengetahuinya, bahwa Mahendra adalah seorang yang luar biasa. Bahkan mungkin melampaui Kuda Sempana. Namun dalam pada itu, suara di relung hatinya yang jauh, kembali terdengar mengganggunya, “Biarkan saja Agni, biarlah.”
Di depan mereka kembali terdengar Mahendra bertanya, “Ayo, yang manakah yang bernama Wiraprana?”
Hampir saja Wiraprana melangkah maju dan menjawab pertanyaan itu. Tetapi ia terkejut bukan kepalang. Bahkan ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Yang dirasakannya, adalah tangan Mahisa Agni menahannya, kemudian mendorongnya ke samping. Kemudian sahabatnya inilah yang melangkah maju sambil menjawab lantang, “Inilah Wiraprana.”
“Ha,” sahut Mahendra, “ternyata kau benar-benar jantan. Majulah. Kita melihat, apakah benar-benar kau berhak menghinakan Mahendra. Kalau kau berhasrat meniadakan hadirnya Mahendra dalam kehidupan Ken Dedes, maka seharusnya kau berkenalan dengan orang itu. Nah. jangan buang-buang waktu. Apakah senjatamu?”
“Oh. Apakah aku harus bersenjata? Aku tak tahu, apakah gunanya senjata. Bukankah kita tidak memerlukannya. Mahendra, aku ingin mempersilakan kau datang ke rumahku. Bukankah perkenalan itu menjadi lebih akrab.”
Meskipun Mahisa Agni hampir yakin, bahwa Mahendra tidak dapat diajaknya berbicara, namun ia mencobanya juga, seperti apa yang akan dilakukan oleh Wiraprana, supaya anak itu menyalahkannya kelak.
Tetapi ternyata, Mahendra yang sejak dari rumahnya sudah dibekali oleh hasrat untuk berkelahi dan memamerkan kelebihannya dari anak-anak muda sebayanya, tak mau mendengarkannya. Yang ada di dalam dadanya adalah, memaksa Wiraprana untuk membatalkan niatnya, memetik bunga di kaki Gunung Kawi itu.
Karena itu, ketika ia mendengar jawaban Mahisa Agni, ia menyahut, “Inilah Wiraprana, aku datang dari Tumapel untuk melihat, betapa anak Panawijen mampu menjaga kembang di halamannya. Ayo, jangan merengek seperti anak-anak. Aku sudah siap dengan dahan ini.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling kepada Wiraprana, seakan-akan berkata, “Nah, kau lihat? Orang itu benar-benar tidak dapat diajak berbicara.”
Wiraprana masih tegak mematung. Berbagai perasaan bergolak di dalam dadanya. Tetapi ia tidak dapat melangkah surut. Namun Agni itu pun telah melangkah pula beberapa langkah maju. Katanya untuk meyakinkan dirinya sendiri dan Wiraprana,
“ Mahendra, aku hormati kedatanganmu. Seorang yang berhati jantan dan penuh dengan rasa harga diri. Namun perkelahian tak akan dapat mengubah hati seseorang. Apakah kalau kau memenangkan perkelahian ini dengan tiba-tiba saja hati gadis itu tertarik kepadamu?”
“Ha,” sahut Mahendra, “ternyata aku salah sangka. Aku kira kau adalah seorang laki-laki jantan. Ternyata kau seorang banci yang tak tahu diri. Wiraprana, seorang gadis pun pasti akan dapat menghargai kejantanan. Nilai seseorang juga dapat ditentukan dengan nilai-nilainya sebagai seorang laki-laki.”
“Mahendra,” jawab Agni, “nilai-nilai kemanusiaan pasti akan lebih tinggi dari setiap bentuk perbuatan kita. Ingatlah, gadis itu adalah putri seorang pendeta? Apakah ia akan dapat menghargai kekasaran dan kekerasan jiwa, betapa pun dapat dikatakan sebagai sikap kejantanan?”
“Omong kosong!” bantah Mahendra, “kau jangan menggurui aku. Jangan kita bicarakan lagi perasaan orang lain. Marilah kita bicarakan nilai-nilai kita sendiri. Ayo, Wiraprana, katakanlah bahwa kita akan bertaruh. Siapa yang kalah, harus melepaskan niatnya untuk mendapatkan gadis itu.”
Tiba-tiba dada Agni itu seperti terbakar mendengar kata-kata Mahendra, Ken Dedes seakan-akan dianggapnya sebagai benda yang mati, yang hanya dapat dijadikan barang taruhan. Dan tiba-tiba pula, Mahisa Agni lupa pada keadaannya. Seakan-akan dirinya sendirilah yang kini sedang mempertahankan gadis yang dicintainya itu dari kerakusan hati seorang laki-laki. Karena itu, maka gigi Mahisa Agni terkatup rapat, dan matanya memancarkan sinar kemarahan yang membakar jantung. Ketika ia melihat Mahendra itu melangkah maju. Agni pun maju pula beberapa langkah sambil menggeram, “Mahendra. Jangan kau hinakan gadis itu. Ken Dedes bukan sekedar barang taruhan. Nilainya sama dengan nilai nyawaku sendiri.”
Dada Mahendra berdesir mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Ternyata laki-laki yang disangkanya Wiraprana itu benar-benar jantan. Dilihatnya Mahisa Agni telah benar-benar bersiap untuk bertempur. “Pasti ia akan bertempur mati-matian,” berkata Mahendra di dalam hatinya. Tetapi ia sendiri sudah lama bersiap. Sejak ia berangkat dari Tumapel, telah bulat tekad di dalam dadanya. Bertempur.
“Apakah yang dapat dilakukan oleh anak-anak desa seperti Wiraprana itu,” pikirnya, “Ia hanya memiliki keberanian, tetapi ia tidak akan mampu melihat, bahwa Mahendra adalah seorang anak muda yang tidak saja memiliki kekuatan tubuh, namun memiliki pula pengetahuan yang luas dalam tata perkelahian.”
Maka terdengar sekali lagi Mahendra berkata, “Ayo, Wiraprana, mana senjatamu?”
Agni menggeleng. Sahutnya, “Tak ada gunanya senjata bagiku.”
Dada Mahendra menggelegar mendengar jawaban itu. Benar-benar suatu penghinaan. Anak desa Panawijen itu begitu sombongnya sehingga dengan beraninya ia melawannya tanpa senjata. Karena itu Mahendra pun berteriak pula, “Baik. Kau takut melihat senjata.”
Dan terkejutlah mereka yang menyaksikan. Dahan kayu cangkring itu dengan serta-merta ditekankannya pada lututnya dan patah berderak-derak. Kemudian kedua potongan itu pun dilemparkannya jauh-jauh. Demikian jauhnya sehingga mereka tidak dapat melihat lagi, di mana kedua potongan kayu itu terjatuh. Benda-benda itu seakan-akan terbang dan lenyap ditelan awan yang kelam.
Wiraprana melihat semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Sebuah pameran kekuatan yang mengerikan. Dan kini ia merasakan kebenaran kata-kata Mahisa Agni. Laki-laki yang sedang dibakar oleh kekecewaan yang berlebih-lebihan itu tak dapat diajaknya berbicara.
Mahendra dan Mahisa Agni itu pun kini telah maju pula beberapa langkah. Dengan dada yang bergelora oleh kemarahan yang membakar dada masing-masing, mereka mempersiapkan diri.
Kedua orang saudara seperguruan Mahendra pun kini telah berdiri berseberangan. Mereka memperhatikan keadaan dengan seksama. Sedang Wiraprana pun telah berdiri mendekat. Seperti tonggak ia tegak di tengah-tengah jalan.
“Nah,” berkata Mahendra, “berjanjilah. Siapakah yang kalah di antara kita, akan membatalkan niatnya.”
“Persetan dengan igauan itu!” sahut Agni dengan marah.
“Kau menolak perjanjian itu?”
“Sudah aku katakan, Ken Dedes bukan barang taruhan.”
“Bagus, kalau demikian nyawa kita yang kita pertaruhkan.”
“Mahendra!” tiba-tiba terdengar salah seorang saudara seperguruan itu mencegahnya, “Jangan!”
Tetapi Mahendra tidak mendengarnya. Apalagi ketika kemudian Agni pun menjawab, “Bagus. Lebih baik nyawa kita, kita pertaruhkan.”
Mahendra telah benar-benar kehilangan pengamatan diri. Demikian ia mendengar jawaban Mahisa Agni, segera ia melontarkan diri dengan cepatnya menyerang lawannya. Namun Mahisa Agni pun telah bersiap pula. Karena itu, dengan tangkasnya pula ia berhasil membebaskan dirinya dari serangan itu. Namun Mahendra yang sedang dibakar oleh kemarahannya, segera melepaskan serangan beruntun. Geraknya sedemikian cepat dan lincah, dilambari oleh suatu keyakinan, bahwa tulang-tulang lawarnya, anak desa Panawijen yang disangkanya hanya mengenal cangkul dan bajak itu, akan segera dipatahkannya.
Tetapi Mahendra terkejut. Betapa anak desa itu dengan kecepatan yang mengagumkan, selalu berhasil mengelakkan serangan-serangannya. Karena itu, Mahendra menjadi semakin marah. Dilepaskannya serangan-serangan yang semakin berbahaya, menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh Mahisa Agni. Sehingga sesaat kemudian Mahendra itu pun seakan-akan tinggal sebuah bayang-bayang yang melontar melingkar-lingkar dengan cepatnya.
Tetapi lawannya adalah Mahisa Agni, Seorang anak muda yang hampir sempurna dalam menekuni ilmu yang mengalir dari gurunya, Empu Purwa. Karena itu, betapapun juga, Mahisa Agni menghadapinya dengan ketabahan dan ketenangan. Lawannya yang melandanya seperti angin pusaran itu tidak berhasil membingungkannya. Bahkan, Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin tangguh. Setangguh seekor banteng muda yang perkasa.
Demikianlah kedua anak muda itu bertempur semakin lama semakin sengit. Mahendra adalah seorang anak muda yang berhati keras dan memiliki harga diri yang berlebih-lebihan. Namun setelah ia bertempur beberapa saat, terasa bahwa lawannya, anak desa Panawijen itu bukan sekadar anak-anak yang hanya mampu menggerakkan cangkul saja, tetapi anak itu ternyata memiliki bekal yang cukup untuk melawannya. Karena itu, kemarahan Mahendra menjadi semakin menyala.
“Gila!” umpatnya di dalam hati, “anak ini benar-benar melawan dengan kemampuan yang baik.”
Tetapi Mahendra telah bertekad untuk bertempur mati-matian. Telah dibulatkannya tekad di dalam hatinya. Anak Panawijen itu harus dilumpuhkannya, Apabila terpaksa anak itu terbunuh karenanya, maka beberapa saksi telah mendengar, adalah menjadi persetujuan mereka berdua, bertempur sampai mati. Itulah sebabnya Mahendra kemudian mengerahkan segala kemampuan yang ada padanya, apapun yang akan terjadi dengan lawannya. Apakah lawannya itu akan hancur lumat, atau akan luluh sekali pun.
Tetapi kedua saudara seperguruan Mahendra itu melihat suatu keanehan pada lawan Mahendra itu. Betapapun Mahendra menyerangnya, namun lawannya itu selalu dapat menghindarkan dirinya, dan bahkan semakin lama tampaklah betapa anak Panawijen itu dapat bergerak semakin cepat. Mahisa Agni ternyata kemudian tidak membiarkan dirinya dihujani oleh serangan-serangan beruntun. Ketika ia telah berhasil melihat, titik-titik kekuatan dan titik-titik kelemahan lawannya, segera ia mulai dengan serangan-serangannya yang membadai.
Kini keduanya bertempur dengan riuhnya. Semakin lama semakin seru. Mahendra akhirnya merasa perlu untuk menunjukkan kekuatan-kekuatan tubuhnya, sehingga dengan sengaja ia membenturkan kekuatannya dengan serangan Mahisa Agni yang datang seperti tatit menyambarnya.
Mahisa Agni, yang sedang menyerang lawannya itu melihat, bahwa Mahendra sama sekali tak berusaha menghindari serangannya. Karena itu, segera Mahisa Agni tahu, bahwa anak muda dari Tumapel itu siap melawan serangannya dengan kekuatannya yang penuh. Maka Mahisa Agni pun segera memusatkan tenaganya untuk menggempur lawannya.
Terjadilah kemudian suatu benturan kekuatan yang dahsyat. Sedang akibatnya pun mengejutkan pula. Mahisa Agni terdorong beberapa langkah surut. Dengan susah payah ia mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia tidak terpelanting jatuh. Sedang akibat yang dialami oleh Mahendra ternyata lebih berat daripadanya. Anak muda itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian terbanting di tanggul parit di tepi jalan. Ketika Mahendra mencoba untuk melenting berdiri, kaki kirinya terperosok dan tergelincir masuk ke dalam air.
Sesaat kemudian Mahendra telah tegak berdiri di dalam parit dengan pakaian yang basah kuyup. Tubuhnya yang kokoh itu menggigil. Bukan karena kedinginan, tetapi karena kemarahan yang meluap di dalam dadanya. Maka terdengarlah anak muda itu menggeram, “Dahsyat kau Wiraprana. Namun aku telah berjanji, nyawa kita menjadi taruhan. Nah, marilah kita mengadu keprigelan olah senjata.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia maju selangkah ketika dilihatnya Mahendra dengan lincahnya meloncat ke atas tanggul di tepi jalan. Tetapi Mahisa Agni terkejut ketika dilihatnya Mahendra menggenggam senjata di tangannya. Sebilah keris yang seakan-akan dapat menyala di malam hari.
Ketika Agni masih berdiam diri, terdengar sekali lagi Mahendra menggeram, “Carilah senjata!”
Mahisa Agni tidak membawa senjata. Tetapi menilik nafsu lawannya yang meluap-luap agaknya ia benar-benar harus bertempur mati-matian. Belum lagi Mahisa Agni tahu, apa yang dilakukan, tiba-tiba Mahendra meloncat dengan tangkasnya ke arah salah seorang temannya, dan terdengarlah ia berkata lantang, “Berikan kerismu!”
Kawannya terkejut. Sama sekali tak diduganya, Mahendra akan menarik kerisnya dengan serta-merta. Karena itu ia tidak dapat mencegahnya, sehingga dengan demikian di kedua sisi tangan Mahendra tergenggam dua bilah keris.
“Wiraprana,” berkata Mahendra, “pilihlah, manakah yang kau sukai?”
Mahisa Agni menggeleng. Katanya, “Aku tidak pandai memilih.”
“Jangan merajuk,” sahut Mahendra, “sebelum kau terbunuh, aku beri kesempatan kau berbuat yang sama. Supaya perkelahian ini adil dan jujur.”
Mahisa Agni memandang kedua senjata itu dengan seksama. Keduanya adalah senjata-senjata yang baik. Karena itu maka dijawabnya, “Kalau kau ingin bertempur dengan senjata, Mahendra. Berikan kepadaku, mana yang tidak kau sukai.”
Kemarahan Mahendra menjadi semakin memuncak. Dengan wajah yang menyala ia berkata, “Bagus. Inilah!”
Dengan baiknya Mahendra melemparkan keris di tangan kirinya kepada Mahisa Agni. Senjata itu meluncur cepat, dan dengan baiknya pula Mahisa Agni berhasil menangkapnya. Demikian tangan Agni menggenggam keris itu, demikian ia mendengar Mahendra berkata lantang, “Kita tentukan nasib kita sebelum fajar.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Dipandangnya lawannya dengan tajamnya. Dilihatnya setiap geraknya dan didengarnya setiap kata-katanya. Anak itu benar-benar anak yang memiliki keteguhan hati, namun sayang, agaknya ia masih terlalu muda. Terlalu muda dalam menanggapi setiap persoalan meskipun umurnya sebaya dengan umurnya sendiri.
Mahisa Agni melihat Mahendra telah siap untuk menyerangnya. Karena itu ia pun segera bersiap pula. Sesaat kemudian dilihatnya anak muda dari Tumapel itu meluncur menyerangnya, langsung mengarah ke dadanya. Dengan tangkasnya Mahisa Agni mengelakkan serangan itu. Tangannya sendiri pun mampu mempermainkan segala jenis senjata. Maka keris di tangannya itu pun menjadi sangat berbahaya karenanya.
Kembali perkelahian itu menjadi sengit. Kira mereka sudah sampai ke puncak ilmu masing-masing. Mereka menyerang dalam setiap kesempatan. Setiap gerak masing-masing benar-benar diperhitungkan, sehingga setiap gerak tangan mereka seakan-akan mereka menaburkan biji kematian.
Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam membenam dalam tambah banyak. Namun mereka berdua yang sedang bertempur itu masih saja bertempur dengan sepenuh tenaga. Tetapi semakin lama, betapapun Mahendra memiliki kekuatan melampaui kekuatan tangan sesamanya serta ketangkasannya olah senjata, namun kini ia bertemu dengan anak muda yang sama sekali tak diduganya. Anak muda yang disangkanya hanya mampu mengayunkan cangkul itu ternyata memiliki ketangguhan dan kelincahan yang luar biasa.
Demikianlah Mahendra harus melihat kenyataan. Keris di tangan Mahisa Agni itu seakan-akan mematuknya dari segenap penjuru. Bahkan seakan-akan menjadi bersayap dan menyambar-nyambarnya dengan dahsyatnya. Mahisa Agni tidak saja menyerang dengan tangan kanannya, namun keris itu seperti meloncat-loncat dari satu tangan ke tangan lainnya dan dengan cepatnya pula meluncur ke perut lawannya.
Dengan demikian maka mau tidak mau Mahendra lebih banyak bertahan daripada menyerang. Setiap kali ia terpaksa melangkah surut, menghindari sentuhan keris kawannya di tangan Mahisa Agni. Karena ia pun menyadarinya, sentuhan keris itu pasti akan berakibat maut, seperti seandainya ia berhasil menyentuh tubuh lawannya. Namun karena keduanya harus berhati-hati dan menghindari setiap sentuhan, maka perkelahian itu seakan-akan tidak akan berakhir. Seperti anak-anak yang asyik dengan permainan yang menyenangkan sehingga mereka lupa segala-galanya.
Tetapi semakin lama, menjadi semakin jelas, bahwa perkelahian itu akan menuju ke akhirnya. Ternyata semakin lama Mahendra semakin terdesak. Mahisa Agni seolah-olah menyimpan nafas rangkap di dadanya, sehingga ketika lawannya telah mulai diganggu oleh pernafasannya, maka Agni pun masih tetap segar sesegar ketika mereka baru mulai.
Mahendra yang mencoba untuk bertahan mati-matian itu, benar-benar telah memeras tenaganya, sehingga segenap kekuatannya telah dicurahkannya. Dengan demikian, maka tenaganya itu pun lebih dahulu surut daripada Mahisa Agni. Meskipun demikian, Mahendra yang keras hati itu masih saja bertempur mati-matian. Ia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya. Dan akan diakhirinya perkelahian ini dengan jantan.
Tetapi Mahisa Agni pun bertempur dengan seluruh kemampuannya. Sehingga anak muda itu benar-benar dapat bergerak secepat sikatan menyambar belalang namun mampu pula bertahan setangguh batu karang. Maka akhirnya ternyatalah bahwa Mahisa Agni mampu menguasai lawannya. Dengan suatu tusukan rendah, Agni memaksa lawannya untuk menghindar ke samping, namun Agni kemudian memutar kerisnya dan menyambar lambung.
Mahendra melihat sambaran yang cepat itu. Dihindarinya keris itu dengan memutar tubuhnya, dan ketika Agni belum sempat menarik tangannya, Mahendra berusaha menggurat pergelangan tangan Agni dengan ujung kerisnya. Tetapi Agni dapat bergerak melampaui lawannya, sehingga tangannya dapat dibebaskannya, bahwa dengan tak terduga-duga, tangan kiri Agni dengan cepatnya menyambar pergelangan tangan Mahendra.
Sambaran tangan itu demikian cepat dan kerasnya, sehingga Mahendra tidak sempat mengelakkannya. Terdengarlah sebuah seruan tertahan dan dalam pada itu semua mata yang mengikuti perkelahian itu melihat dengan dada yang gemuruh. Keris Mahendra terlepas dari tangannya. Mahendra sendiri terkejut bukan buatan, sehingga ia melangkah surut. Namun Agni segera meloncat dan ujung kerisnya telah melekat di dada lawannya.
Kini keduanya tegak dengan tegangnya. Mahendra menunggu apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Agni. Sedang saudara-saudara seperguruannya pun tegak seperti patung. Demikian pula Wiraprana. Perasaannya telah bergelora dan seakan-akan menjadi sedemikian kacaunya, sehingga ia tidak mampu untuk melakukan sesuatu apapun. Mahisa Agni berdiri tegak dengan keris di dalam genggamannya. Ujungnya masih mengarah ke dada lawannya.
“Apa yang kau tunggu,” geram Mahendra. Meskipun ia tidak bergerak, namun matanya menyalakan kemarahan yang membakar dadanya.
Tetapi Mahisa Agni tetap tidak bergerak. Ketika ia memandang wajah Mahendra yang membara itu, seakan-akan dilihatnyalah wajahnya sendiri pada saat ia mendengar pengakuan Ken Dedes kepada ibunya.
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Perasaan itu sangat mengganggunya. Karena itu maka kemarahannya pun menjadi semakin susut. Ia akan dapat melakukan apa saja yang dikehendaki atas anak muda yang bernama Mahendra itu. Tetapi apakah akan dilakukannya?
Sesaat Mahisa Agni terbenam dalam kebimbangan. Dan sesaat itu dilihat oleh Mahendra. Mahendra adalah seorang anak muda yang keras hati. Karena itu, ketika dilihatnya wajah Agni yang ragu, Mahendra dapat mempergunakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan tidak disangka-sangka oleh Mahisa Agni. Mahendra dengan cepatnya merendahkan dirinya, dan dengan satu tendangan yang keras pada pergelangan tangan Agni, maka Mahendra telah berhasil melemparkan keris di tangan lawannya.
Mahisa Agni terkejut bukan main. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan dilakukan oleh Mahendra. Karena itu maka ia tidak kuasa untuk mempertahankan kerisnya. Dilihatnya keris itu melambung tinggi dan kemudian jatuh beberapa langkah daripadanya. Tetapi Agni tidak sempat berbuat lain, karena Mahendra telah mulai menyerangnya beruntun dengan kakinya. Untunglah bahwa Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang terlatih matang. Dengan demikian, meskipun dengan lontaran yang panjang ia berhasil membebaskan dirinya dari serangan Mahendra yang mengalir seperti banjir bandang.
Mahisa Agni menjadi semakin terkejut pada saat ia mendengar salah seorang kawan Mahendra itu berkata nyaring, “Mahendra, inilah senjatamu!”
Mahisa Agni masih sempat melihat anak muda itu meloncat dengan tangkasnya memungut keris Mahendra yang terlepas, kemudian dilontarkannya kepada Mahendra. Dada Mahisa Agni berdesir melihat kecurangan itu. Tetapi ia dikejutkan pula oleh kawan Mahendra yang seorang lagi. Anak muda itu pun meloncat dengan lincahnya, lebih lincah dari yang lain. Tangannya dengan cepatnya menyambar keris yang sedang meluncur ke arah Mahendra itu.
Ketika keris itu sudah ditangkapnya, terdengar ia berkata, “Jangan Kebo Ijo!”
Semuanya terkejut melihat peristiwa-peristiwa yang berturut-turut itu. Mahisa Agni, Mahendra dan anak muda yang disebutnya Kebo Ijo dan Wiraprana. Anak muda yang menyambar keris itu berdiri tegak di antara mereka sambil memandang berkeliling. Katanya, “Jangan menodai nama perguruan kami.”
“Bukankah itu keris Mahendra sendiri,” bantah Kebo Ijo.
“Keris itu sudah terlepas dari tangannya. Biarlah ia memungut kerisnya sendiri apabila mampu.”
Mahendra memandang saudara seperguruannya itu dengan penuh pertanyaan. Apakah sudah tidak ada rasa kesetiakawanan lagi di antara mereka. Maka katanya, “Apakah salahnya ia menolong aku?”
“Tidak adil,” sahut anak muda itu, “akulah yang tertua di antara kalian. Aku tidak rela melihat kecurangan itu. Meskipun aku bersedih karena Mahendra tidak dapat memenangkan perkelahian ini, namun aku akan lebih bersedih lagi, apabila kalian berbuat curang.”
Mahendra tidak menjawab dan Kebo Ijo itu pun menundukkan wajahnya. Kemudian terdengar anak muda itu berkata kembali, “Mahendra kau kalah.”
Mendengar kata-kata kakak seperguruannya, yang seakan-akan merupakan keputusan tentang kekalahannya itu, wajah Mahendra menjadi merah membara. Terdengar giginya gemeretak dan matanya seakan-akan memancarkan api. Maka jawabnya, “Kakang, aku masih hidup. Kekalahan bagiku hanya ditandai dengan kematian.”
Kakak seperguruannya itu menarik alisnya, katanya, “Kau benar-benar seorang anak muda yang berani Mahendra, yang tak mengenal takut meskipun menghadapi kematian sekali pun. Namun keberanianmu itu belum sempurna. Kau masih memiliki ketakutan.”
“Tidak!” sahut Mahendra, “Aku tidak takut apapun yang terjadi. Sudah aku katakan, mati pun aku tidak takut. Apalagi? Apakah yang lebih jauh dari mati itu?”
Kakak seperguruannya menarik nafas. Katanya, “Mahendra, kau masih takut melihat kenyataan.”
Mahendra tersentak mendengar jawaban itu. Dipandanginya wajah kakak seperguruannya dengan tajamnya, namun ketika kakak seperguruannya itu memandang langsung ke biji matanya, maka Mahendra pun menundukkan wajahnya.
“Mahendra,” berkata kakaknya itu pula, “seorang yang jantan tidak perlu membunuh dirinya dalam perkelahian. Seorang yang berjiwa besar harus dapat melihat kenyataan. Dan kenyataan yang terjadi sekarang, kau kalah. Apakah yang lebih jantan dari melihat kenyataan itu? Adakah yang lebih besar dari mengakui kekalahan? Mahendra, kau dapat bertempur mati-matian, bahkan sampai tetes darahmu yang terakhir. Namun dalam persoalan yang berbeda. Persoalan di mana hakmu dilanggar oleh sesama. Tetapi sekarang kau menghadapi persoalan yang lain. Hakmu dan hak Wiraprana itu sama jauhnya. Bahkan secara jujur harus kau akui, bahwa hak Wiraprana untuk berkelahi lebih besar dari padamu.”
Mahendra tidak menjawab. Wajahnya yang membara itu pun menjadi semakin tunduk. Namun hatinya masih juga bergelora. Sedang Kebo Ijo tidak begitu senang mendengar kata-kata kakak tertuanya itu. Katanya, “Kakang, Mahendra datang lebih dahulu kepada gadis itu. Apakah bukan haknya untuk mempertahankannya. Bukankah dengan demikian Wiraprana telah merampas masa depannya?”
“Bukan salah Wiraprana,” sahut kakak seperguruannya itu, “apakah Mahendra datang yang pertama kepada gadis itu. Kalau ada orang lain yang lebih dahulu, apakah Mahendra tidak melanggar haknya pula?”
Kebo Ijo terdiam. Namun usianya yang muda itu masih belum dapat mengerti kata-kata kakak seperguruannya. Bahkan dengan agak memaksa ia kemudian berkata, “Perkelahian ini belum selesai. Wiraprana datang berdua. Biarlah kami berdua melawannya.”
“Bagus,” sambut Mahendra.
Kakak seperguruannya ternyata seorang yang berpandangan tajam. Segera ia mengetahui, bahwa kawan anak muda yang disangkanya bernama Wiraprana itu tidak memiliki kemampuan berkelahi seperti Kebo Ijo dan Mahendra. Karena itu maka sekali lagi ia menyesal atas sikap adik-adik seperguruannya itu. Maka katanya, “Tidak ada gunanya. Kawan Wiraprana itu tak mempunyai sangkut paut dengan perkelahian ini.”
“Ada,” sahut Kebo Ijo, “ia datang bersama Wiraprana, seperti aku datang bersama Mahendra. Meskipun tak ada persoalan apapun dengan gadis itu, biarlah kita melihat, apakah perguruan kami tidak mampu melawan anak-anak Panawijen yang sombong itu.”
Dada Wiraprana pun berdebar-debar pula. Telah dilihatnya, betapa Mahendra mampu bertempur seperti seekor harimau lapar. Maka saudara seperguruannya itu pun pasti tidak terpaut jauh. Apabila ia harus melawannya, maka apakah yang dapat dilakukan? Namun Wiraprana tidak takut menghadapi apapun, meskipun ia sadar, bahwa pada serangan yang pertama, pasti ia sudah tidak akan dapat bangkit kembali.
Tetapi Wiraprana itu terkejut mendengar jawaban saudara seperguruan Mahendra. Bukan saja Wiraprana, tetapi Mahisa Agni, dan bahkan Mahendra dan Kebo Ijo sendiri. Katanya, “Kebo Ijo, kalau kau akan memaksakan perkelahian, karena hanya kau ingin berkelahi, maka baiklah kita hadapkan kalian berdua dengan Wiraprana berdua. Tetapi Wiraprana berdua dengan aku sendiri.”
“Kakang?” potong Kebo Ijo, “Apakah katamu itu?”
“Aku di pihak Wiraprana,” sahut arak muda itu, “biarkan kawan Wiraprana menjadi saksi.”
Kebo Ijo dan Mahendra terdiam. Betapa ia melihat kakak seperguruannya itu benar-benar marah kepada mereka. Karena itu maka mereka pun menundukkan wajah-wajah mereka.
Dalam pada itu dada Mahisa Agni pun bergelora melihat sikap yang mengagumkan itu. Sikap yang benar-benar jantan. Tidak saja jantan dalam menghadapi bahaya apapun namun kejantanan dalam menghadapi kebenaran. Diam-diam Mahisa Agni bergumam di dalam hatinya, “Sebenarnyalah lebih mudah menghadapi kematian daripada menghadapi kebenaran.”
Sesaat mereka dicengkam kesepian. Kesepian yang tegang. Namun tiba-tiba terdengar kakak seperguruan Mahendra itu berkata, “Marilah kita pulang! Persoalanmu sudah selesai Mahendra.”
Mahendra dan Kebo Ijo saling berpandangan. Namun mereka tidak berkata apapun. Perlahan-lahan mereka memungut keris yang masih tergeletak di tanah, dan kemudian berjalan ke kuda-kuda mereka, dan kakak seperguruan Mahendra itu pun berkata kepada Mahisa Agni, “Selamat tinggal. Mudah-mudahan kau berbahagia. Kembang di kaki gunung Kawi itu telah mendapatkan juru taman yang tangguh dan berhati jantan. Selamat.”
Mahisa Agni melihat anak muda itu pun kemudian berjalan meninggalkannya. Ketika mereka bertiga meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan lenyap ditelan gelap malam, maka gemuruhlah dada Mahisa Agni. Pesan kakak seperguruan Mahendra itu menghantam dadanya melampaui tangan Mahendra. Kini ia sadar, bahwa apa yang dilakukan itu, bukanlah untuk dirinya sendiri. Ia telah mempertahankan Ken Dedes dengan bertaruh nyawa. Tetapi nama yang dipergunakannya adalah Wiraprana. Ya, Wiraprana.
Tiba-tiba wajah Mahisa Agni pun terkulai dengan lemahnya. Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni terkejut mendengar tegur Wiraprana, “Agni, sungguh mengagumkan.”
Perlahan-lahan Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya wajah Wiraprana yang tegang memandang jauh ke dalam gelap, ke arah anak-anak muda dari Tumapel itu lenyap. Sesaat kemudian Wiraprana itu menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Bukan main. Aku menjadi bertanya-tanya di dalam hati, betapa kecilnya Wiraprana berada di antara kau dan anak-anak itu.”
“Semuanya sudah lampau. jangan kau pikirkan lagi, Prana,” jawab Agni, “Masa-masa berbahaya telah lewat. Apakah masih ada di antara mereka yang akan datang pula seperti Mahendra? Aku sangka tidak. Dan mudah-mudahan sebenarnya tidak.”
“Agni,” perlahan-lahan terdengar Wiraprana berkata, namun terasa memancar dari sudut hatinya yang paling dalam, “telah dua kali kau menyelamatkan nyawaku.”
“Jangan kau sebut-sebut itu Prana. Adalah menjadi kewajibanku untuk menyelamatkan hubunganmu dengan adikku itu,” jawab Agni.
Wiraprana tidak menjawab. Matanya yang selalu riang, kini tampak sayu.
“Marilah kita pulang, Prana. Lupakan semuanya,” ajak Agni.
Wiraprana tidak menjawab. Tetapi ia melangkah perlahan-lahan di samping Agni. Mereka berjalan pulang ke rumah Ki Buyut Panawijen.
Malam yang sudah semakin malam itu ditandai oleh kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Angin yang dingin mengalir perlahan menggerakkan daun-daun padi yang basah oleh embun. Di kejauhan terdengar lamat-lamat bunyi kentongan beruntun.
“Tengah malam,” gumam Mahisa Agni.
Wiraprana mengangkat wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang di langit berhamburan seakan-akan biji-biji mutiara yang ditaburkan di atas permadani yang biru gelap. Bulan tua masih tampak bertengger di ujung gunung. Cahayanya yang suram memancar kekuning-kuningan mewarnai dedaunan yang hijau. Ketika mereka hampir memasuki desa Panawijen, tiba-tiba Wiraprana berhenti. Dengan pandangan yang suram ditatapnya wajah Mahisa Agni. Kemudian terdengar ia berkata lirih,
“Agni. Adakah aku berhak atas gadis itu?”
Mahisa Agni terkejut. Katanya, “Apa yang sedang kau pikirkan Wiraprana? Persoalanmu sudah selesai. Jangan membuat persoalan-persoalan baru.”
Wiraprana menundukkan wajahnya. Dan tiba-tiba ia berkata, “Agni, bukankah gadis itu bukan adikmu.”
Dada Agni pun menjadi berdebar-debar karenanya. Dan didengarnya Wiraprana meneruskan, “Agni. Tidakkah pernah timbul di dalam hatimu untuk mengubah hubunganmu dengan gadis itu? Tidak sebagai kakak beradik seperti sekarang ini?”
“Prana!” potong Agni. Namun terasa betapa nafasnya menekan jantungnya. Katanya kemudian, “Jangan mempersulit keadaanmu. Jangan berpikir tentang sesuatu yang tak pernah ada. Prana, aku adalah kakaknya. Meskipun aku bukan kakak yang dilahirkan dari kandungan seorang ibu yang sama, namun demikianlah keadaan kami sekarang. Berapa tahun aku tinggal di rumah itu sebagai seorang anak yatim piatu, di bawah asuhan Empu Purwa yang baik hati. Dijadikannya aku anak laki-lakinya yang tunggal dan dipersaudarakannya aku dengan Ken Dedes. Nah, Wiraprana. Apakah dengan demikian Ken Dedes itu bukan adikku? Adakah dengan demikian akan dapat timbul di dalam hatiku untuk memutuskan ikatan persaudaraan itu menjadi ikatan yang lain?”
Agni menekankan kata demi kata untuk meyakinkan kebenaran pendapatnya itu. Namun sebenarnya, kata-kata itu lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri. Dicobanya untuk menekan hatinya yang bergolak dengan kata-katanya itu.
Wiraprana menundukkan wajahnya dalam-dalam. Namun ia tidak bertanya-tanya lagi. Hanya nafas mereka berdualah yang terdengar di antara gemeresik daun-daun ditiup angin,
“Marilah kita pulang, Prana,” ajak Agni.
Wiraprana mengangguk, dan kembali mereka berjalan memasuki jalan yang gelap oleh rimbunnya daun-daun di atas mereka. Hanya kadang-kadang saja mereka masih melihat bulan dan bintang-bintang di antara sela-sela dedaunan.
Tak seorang pun penduduk Panawijen yang tahu, apakah yang pernah terjadi dengan Wiraprana dan Mahisa Agni. Adalah kebetulan bahwa pada malam itu tak seorang pun yang pergi ke sawahnya. Karena itu, maka Wiraprana pun lambat laun berhasil menghilangkan kenangan pahit itu. Meskipun Wiraprana sama sekali bukan seorang pengecut namun, apakah yang dapat dilakukan di antara orang-orang berilmu seperti Mahisa Agni dan Mahendra. Karena itu, maka timbullah keinginannya untuk setidak-tidaknya dapat menambah ilmunya. Mungkin pada suatu saat akan berguna.
Tetapi dalam pada itu selalu diingatnya pula kata-kata kakak seperguruan Mahendra, bahwa seseorang akan dapat berjuang sampai tetes darah yang penghabisan, namun untuk mempertahankan haknya yang dilanggar oleh sesama. Dan berjanjilah ia di dalam dirinya, bahwa ilmu yang kelak akan dimilikinya, bukanlah alat untuk melanggar hak orang lain. Ketika maksudnya itu disampaikannya kepada Mahisa Agni, Mahisa Agni pun menjadi gembira.
“Bagus,” katanya, “kita akan berlatih setiap malam di bendungan.”
“Kau menjadi guruku,” berkata Wiraprana.
Agni menggeleng, “Tidak. Aku tidak berhak menjadi guru sebelum guruku mengizinkannya. Kita hanya dapat berlatih bersama. Itu pun kalau guru memperkenankan.”
Demikianlah mereka berjanji untuk melakukan latihan-latihan itu, namun Mahisa Agni telah memesan kepada sahabatnya, bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu yang tidak perlu diberitahukannya kepada siapa pun juga. Ketika Mahisa. Agni berhasrat untuk menghadap gurunya, untuk menyampaikan maksud Wiraprana, itu tiba-tiba ditemuinya Ken Dedes datang kepadanya.
“Kakang,” berkata gadis itu, “Ayah memanggilmu. Sekarang!”
“Oh. Apakah ada sesuatu yang perlu?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku tidak tahu. Baru saja seorang tamu meninggalkan sanggar. Sahabat ayah. Lalu Ayah memanggilmu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Siapakah tamu itu?”
Ken Dedes menggeleng, “Entahlah. Sahabat ayah.”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Siapakah sahabat gurunya itu? Ia menjadi cemas, apakah seseorang telah datang dan menuntut atas kekalahan Mahendra oleh seorang yang disangkanya bernama Wiraprana, namun yang sebenarnya adalah Mahisa Agni. Mau tidak mau Agni pun melihat kesalahan di dalam dirinya. Kakak seperguruan Mahendra tidak mau melihat seseorang membantu adik seperguruannya itu, bahkan saudara mereka pula. Namun apakah yang dilakukannya?
Jauh lebih banyak dari membantu. Bahkan ialah yang bertempur melawan Mahendra. Apakah sikap itu dapat disebut sikap yang jantan. Namun Mahisa Agni mempunyai pertimbangan lain. Ia telah bersedia jawaban yang akan diberikannya kepada gurunya yang penting baginya bukan siapakah yang harus bertempur, namun bagaimana ia mempertahankan hak Ken Dedes dalam menentukan pilihannya sendiri. Jangankan Mahendra, bahkan suara hatinya sendiri pun telah ditindasnya.
Mahisa Agni sadar ketika ia mendengar suara Ken Dedes, “Kakang, Ayah menunggumu!”
“Oh, baiklah,” sahut Mahisa Agni cepat-cepat.
Ketika Ken Dedes telah meninggalkannya, kembali Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Selangkah demi selangkah ia pergi kepada gurunya yang masih berada di bagian depan dari sanggarnya. Detak jantungnya serasa semakin cepat mengalir ketika ia melihat gurunya duduk menantinya. Wajahnya yang bening tampaknya seakan-akan sedang disaput oleh mendung yang tebal. Suram. Ketika ia melihat Mahisa Agni, Empu Purwa itu pun tersenyum. Namun terasa oleh Agni, senyum yang lain dari senyumnya sehari-hari.
“Duduklah Agni,” gurunya itu mempersilakan.
Agni pun kemudian duduk bersila di hadapannya. Wajahnya yang tegang ditundukkannya dalam-dalam.
“Udara terlalu panas,” gumam gurunya.
“Ya, Empu,” sahut Agni.
“Agaknya mendung di langit akan menjadi semakin tebal.”
“Mungkin Empu. Awan mengalir dari selatan.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia memandang ke halaman. Bayangan mendung di langit tampak mengalir dihanyutkan angin. Sesaat sinar matahari menjadi buram karena awan yang kelam membayangi wajahnya. Dan tiba-tiba Empu Purwa itu berkata, “Aku baru saja menerima seorang tamu Agni. Sahabatku dari Tumapel.”
Mahisa Agni tersentak. Apakah dugaannya tenang peristiwa beberapa hari yang lalu itu benar? Dan didengarnya gurunya itu berkata pula, “Sahabat yang baik. Ia tahu apa yang benar dan apa yang salah.”
Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi hatinya masih tegang. Apalagi ketika Empu Purwa itu meneruskan, “Tamuku adalah ayah Mahendra, Agni.”
Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir. Apakah yang telah dikatakan oleh tamu itu tentang dirinya. Dicobanya mencuri pandang atas wajah gurunya. Ia mencoba untuk mendapat kesan daripadanya. Apakah gurunya sedang marah, kecewa atau sedih. Tetapi ia tidak dapat menemukan kesan apapun dari wajah itu. Yang dilihatnya bahwa wajah itu suram, sesuram langit yang sedang dilapisi awan itu. Ketika gurunya itu berkata pula, Mahisa Agni kembali menundukkan wajahnya.
“Agni,” berkata Empu Purwa pula. Nadanya rendah, namun jelas kata demi kata, “tamuku itu bercerita tentang peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu di ujung desa kita ini.”
Wajah Mahisa Agni pun menjadi semakin tunduk. Dan didengarnya gurunya meneruskan, “Agni, apakah Wiraprana bertengkar dengan Mahendra?”
Mulut Mahisa Agni serasa terkunci. Karena itu untuk beberapa lama ia tidak menjawab, sehingga gurunya berkata pula, “Aku sangka kau tahu atau setidak-tidaknya pernah mendengar peristiwa itu karena hubunganmu yang erat dengan Wiraprana.”
Mahisa Agni masih tenggelam dalam kebingungan dan kebimbangan. Hanya tiba-tiba saja mulutnya berkata, “Aku mendengar guru.”
“Nah, kalau demikian peristiwa itu benar-benar pernah terjadi. Menurut ayahnya, Mahendra menjadi sakit hati, karena lamarannya ditolak. Bahkan kemudian ia berhasrat untuk mengadakan semacam sayembara tanding. Begitu?”
“Ya guru,” jawab Mahisa Agni tergagap. Namun ia berusaha untuk menutupi kesalahan yang mungkin akan dilimpahkan kepadanya. Katanya, “Namun apakah Mahendra berhak mengadakan sayembara semacam itu?”
“Tentu tidak, Agni,” jawab gurunya, “Tetapi tantangan itu diterima oleh Wiraprana.”
“Ya,” jawab Agni.
“Dan mereka pun berkelahi.”
“Ya.”
“Menurut ayah Mahendra, Mahendra dapat dikalahkan.”
“Ya.”
“Oleh Wiraprana?”
Mahisa Agni terdiam. Gejolak di dalam dadanya serasa melanda jantungnya, sehingga akan meledak. Ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun sehingga gurunya berkata, “Agni, Mahendra adalah seorang anak yang tanggon. Aku telah mengenal anak itu, sebab ayahnya adalah sahabatku. Aku tidak menyangka bahwa Wiraprana dapat mengalahkannya.” Empu Purwa berhenti sejenak. Kemudian orang tua itu berkata pula, “Menurut ayah Mahendra,
Wiraprana itu datang berdua. Apakah kau ikut serta?” Kini Agni tidak dapat menyimpan sesuatu lagi di dalam dadanya yang hampir pecah itu. Karena itu maka seperti bendungan yang pecah meledaklah jawabnya, “Ampun guru. Wiraprana sama sekali tak berkelahi melawan Mahendra. Tetapi aku terpaksa melawannya, meskipun aku memakai nama Wiraprana.”
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ditatapnya muridnya itu dengan mata yang sayu. Sebenarnya ia telah menduga bahwa demikianlah yang terjadi. Namun ketika ia mendengar pengakuan itu, hatinya masih juga terharu. Terharu karena ia tahu, apa sebenarnya yang bergolak di dalam dada muridnya. Perasaan apakah yang telah melandanya terhadap anak gadisnya.
Mahisa Agni sama sekali tak berani mengangkat wajahnya. Ia duduk tumungkul memandang ibu jari kakinya.
“Kenapa kau Agni?” tiba-tiba terdengar gurunya bertanya.
Mahisa Agni tidak dapat menjawab pertanyaan itu. jawaban yang telah disusunnya tiba-tiba seperti hilang dari ingatannya. Sehingga yang terdengar adalah kata-kata gurunya pula, “Mahendra adalah anak yang tangkas. Menurut ayahnya, ia agak keras kepala. Apakah dengan demikian kau tidak mempertaruhkan nyawamu untuk itu?”
Mahisa Agni tidak tahu apa yang tersimpan di hati gurunya. Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawabnya. Maka setelah sesaat ia berjuang, maka jawabnya, “Ya guru. Terpaksa aku harus menghadapinya.”
“Ya, kenapa? Kenapa kau mempertaruhkan nyawamu untuk itu?”
Mahisa Agni mencoba menenangkan hatinya. Kemudian jawabnya, “Aku tidak dapat melihat kemungkinan lain guru. Sebab mereka mempertaruhkan Ken Dedes dalam perkelahian itu. Kalau Wiraprana kalah, akibatnya akan tidak baik bagi Ken Dedes.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya muridnya itu dengan penuh kekaguman di dalam hatinya. Ia sama sekali tidak membiarkan Wiraprana dilumpuhkan untuk mendapat kesempatan menjadi pahlawan. Dengan demikian maka kemungkinan bagi dirinya sendiri akan menjadi lebih baik. Sejenak kemudian Empu Purwa itu pun berkata kepada Mahisa Agni, “Mahisa Agni, jangan cemas. Ayah Mahendra yang baik itu datang untuk minta maaf kepadaku atas kelakuan anaknya.”
Mahisa Agni terkejut, sehingga tak disengajanya ia mengangkat wajahnya. Dilihatnya Empu Purwa itu tersenyum. Meskipun senyum yang hambar. Dan orang tua itu meneruskannya, “Ia sama sekali tidak marah atas kekalahan anaknya. Malahan ia mengharap, bahwa dengan demikian anaknya akan melihat, bahwa di dunia ini ada orang-orang lain yang tak dapat dikalahkannya. Mudah-mudahan ia menyadari keadaannya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dugaannya keliru. Ayah Mahendra sama sekali tidak menuntut atas kekalahan anaknya, bahkan ia telah minta maaf atas perbuatan Mahendra. Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Seandainya, dirinya sendiri yang telah melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Mahendra itu, siapakah yang akan minta maaf untuknya? Tiba-tiba diingatnya ibunya yang tua. Yang selama ini seakan-akan telah hilang dari hidupnya. Maka bersyukurlah Mahisa Agni di dalam hatinya, bahwa yang Maha Agung telah mempertemukannya dengan ibunya, dan membekalinya dengan ketabahan dan kesabaran menghadapi cobaan dalam usianya yang masih muda itu.
Dengan demikian maka telah pula ditemuinya suatu pelajaran yang bermanfaat bagi hidupnya kelak. Ternyata Mahendra itu telah mengagumkan baginya. Ternyata kekaguman seorang laki-laki tidak saja ditujukan kepada mereka yang dengan berani memainkan pedangnya dan bahkan yang telah berhasil membunuh lawan-lawannya dengan sikap-sikap yang disangkanya jantan. Namun sikap ayah Mahendra itu pun tak kalah jantannya. Memang kejantanan seseorang tidak dapat diukur dengan senjata, tetapi diukur dengan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.
Ruangan itu sejenak menjadi sepi. Di langit awan masih mengalir lambat. Dan mendung pun menjadi semakin tebal di langit.
“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian, “ternyata kau sekali lagi telah menyelamatkan anakku dari kehancuran. Kau telah berjuang dan meskipun tidak secara langsung, ikut serta membina masa depannya. Mahisa Agni, masa depan gadisku satu-satunya itu adalah masa depanku sebagai seorang ayah. Karena itu, betapa aku berbesar hati atas sikapmu itu. Aku tidak menilai, apakah dengan demikian perkelahian itu wajar, namun aku menilai dari segi lain. Aku melihat pengorbananmu yang tanpa pamrih.”
Mahisa Agni mendengar pujian itu dengan hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba terasa betapa dadanya menjadi sesak. Ia pun terharu karenanya. Ternyata gurunya tidak memarahinya, bahkan dengan tulus telah menyatakan kebesaran hatinya atas sikapnya.
“Karena itu Agni,” berkata gurunya pula, “aku harus memberimu pertanda dari terima kasihku. Sebagai seorang ayah, aku menggantungkan masa depanku kepada Ken Dedes, namun sebagai seorang guru dalam olah kanuragan jaya kesantikan, aku menggantungkan harapanku kepadamu. Dengan demikian Agni, maka sudah sampai saatnya kini aku memberikan kesempurnaan ilmu kepadamu. Kesempurnaan yang aku miliki. Kesempurnaan manusia yang selalu tidak sempurna. Kau mengerti maksudku itu?”
Mahisa Agni masih menundukkan wajahnya. Betapa hatinya menjadi bergejolak mendengar kata-kata gurunya. Sebagai seorang murid, maka kesempurnaan ilmu gurunya itu selalu didambanya. Kini, setelah dengan tekun ia mesu diri dalam pengabdian kepada gurunya itu, gurunya berkata bahwa kesempurnaan ilmunya itu akan diberikannya kepadanya. Meskipun kesempurnaan seorang manusia yang selalu tidak sempurna, yang selalu masih jauh daripada kesempurnaan yang sejati. Namun apa yang akan diterimanya itu akan dapat menjadi bekal yang tak ternilai bagi hidupnya.
Namun tiba-tiba Agni menjadi bimbang. Kalau kesempurnaan ilmu gurunya itu telah diterimanya, apakah yang akan dilakukannya. Apakah ia akan pergi ke segenap penjuru negeri. Berkelahi dengan orang-orang sakti untuk menunjukkan kemampuannya? Apakah ia akan menjadi seorang prajurit yang akan selalu memenangkan setiap pertempuran? Dan apakah kesaktian itu kelak tidak akan membawanya ke dalam lembah ketakaburan. Ia bersyukur bahwa ia menyadarinya. Ia bersyukur bahwa pertanyaan-pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Sebab dengan demikian, ia akan selalu ingat pula kepada jawabnya.
Kemudian didengarnya gurunya itu berkata pula kepadanya, “Agni. Aku pernah memberimu sebuah pusaka. Namun pusaka itu sama sekali bukan alat pembunuh. Pusaka itu tak akan dapat kau pergunakan untuk menyobek jantung lawan. Dan kini aku akan memberimu sebuah senjata yang lain. Kelengkapan dari pusaka yang aneh itu. Namun pusaka itu tidak akan dapat berdiri sendiri. Trisula itu bermanfaat bagimu, meskipun tak ada rangkapannya. Namun rangkapannya itu sama sekali tak berarti tanpa trisula yang kecil itu.”
Mahisa Agni mendengarkan kata-kata gurunya itu dengan seksama. Disadarinya kemudian, bahwa pusaka yang diberikan kepadanya itu belum sempurna. Kemudian gurunya melanjutkan, “Tetapi Agni. Ketahuilah, bahwa pusaka yang aku janjikan itu kini belum berada di padepokan Panawijen.”
Mahisa Agni menengadahkan wajahnya. Terbayanglah suatu pertanyaan pada cahaya matanya. Karena itu Empu Purwa menjelaskannya, “Agni. Pusaka yang aku katakan itu, masih harus dicari. Aku hanya dapat menunjukkan kepadamu, tempat dan bentuknya. Semoga kau akan dapat menemukannya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sadarlah ia kini, bahwa gurunya memberinya kepercayaan untuk mencari sebuah pusaka yang tak ternilai harganya. Lebih-lebih lagi, apabila ia dapat menemukan, maka pusaka itu akan dimilikinya. Tetapi Mahisa Agni masih berdiam diri.
Maka gurunya itu meneruskan, “Apabila kau berhasil Agni, maka kedua pusaka itu akan menjadi pasangan pusaka yang tak ternilai. Pusaka itu akan menjadi sedemikian saktinya, sehingga orang yang mempergunakannya akan kalis dari kekalahan. Siapa pun lawannya. Kau mengerti?”
Mahisa Agni mengangguk dalam-dalam. Hatinya tergetar mendengar keterangan gurunya itu. Apabila ia memiliki kedua pusaka itu bersama-sama, maka ia akan menjadi manusia yang pilih tanding.
“Hem,” Mahisa Agni bergumam. Kemudian katanya di dalam hatinya, “Suatu anugerah yang tak terduga. Dengan pusaka-pusaka itu, maka banyak persoalan yang dapat aku atasi. Tetapi persoalan-persoalan apa? Pusaka-pusaka itu adalah alat untuk bertempur dan berkelahi. Haruskah aku mengatasi semuanya dengan perkelahian dan pertempuran?” Namun kemudian ditemukannya jawabnya, “Suatu ketika aku harus mempergunakan pusaka-pusaka itu. Tetapi untuk persoalan-persoalan yang imbang. Memang kadang-kadang ada hal-hal yang tak dapat diatasi dengan cara lain. Mudah-mudahan aku dapat membedakannya.”
Kemudian Mahisa Agni mendengar gurunya berkata pula, “Agni. Aku ingin mendengar jawabanmu. Adakah kau bersedia mencari pusaka-pusaka itu?”
Mahisa Agni mengangguk kembali, jawabnya dengan penuh kesungguhan hati, “Tentu guru. Aku bersedia apapun yang Empu perintahkan. Jangankan sebuah pusaka untukku sendiri. Apapun akan aku lakukan dengan keikhlasan.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya muridnya dengan tajam. Kemudian katanya, “Mahisa Agni. Kau harus menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Perjalanan yang mungkin sama sekali tidak menyenangkan bagimu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dengan demikian berarti bahwa ia harus meninggalkan Panawijen. Meninggalkan kampung halaman untuk waktu yang lama. Meninggalkan rumah gurunya dan ibunya. Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya. Namun adalah menjadi kewajibannya untuk melakukan perintah-perintah gurunya. Apalagi perintah untuk kepentingannya sendiri. Karena itu, maka jawabnya, “Apapun yang harus aku lakukan guru, bagiku tak ada yang lebih menggairahkan daripada menjalankannya dengan senang hati.”
“Bagus,” sahut gurunya, “kalau kau temukan rangkapan pusakamu itu, kau akan menjadi seorang laki-laki yang sakti. Sukar untuk mencari tanding. Kau akan dapat melakukan semua kehendakmu. Siapa pun yang menghalangimu, maka itu tak akan banyak berarti. Karena itu, pusaka itu harus kau temukan. Apapun rintangan yang akan kau temui.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Akan aku coba untuk melakukannya.”
“Nah Agni,” berkata gurunya, “dengarlah. Perjalanan yang harus kau tempuh adalah cukup jauh. Kau harus melingkari Gunung Semeru. Bukankah kau pernah pergi ke kaki gunung itu dari arah timur bersama aku?”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya. Perjalanan itu pernah ditempuhnya tiga tahun yang lalu. Perjalanan yang berat di antara belukar dan lereng-lereng gunung. Hanya kadang-kadang saja ditemuinya padukuhan-padukuhan kecil atau kelompok-kelompok penduduk yang tidak menetap, yang berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari tanah yang mungkin diusahakan oleh mereka. Kini ia harus menempuh perjalanan itu kembali.
Mahisa Agni kemudian menekurkan kepalanya. Dicobanya untuk mengingat kembali jalan-jalan yang pernah dilaluinya. Hutan-hutan dan lereng-lereng terjal. Kemudian diingatnya pula, apa yang pernah dilihatnya pada kaki Gunung Semeru itu, sebagai pertanda yang akan dapat dipergunakannya untuk menemukan jalan kembali.
“Agni,” terdengar gurunya itu menyambung kata-katanya, “mungkin kau akan dapat mengingatnya kembali jalan-jalan yang pernah kau tempuh. Kalau tidak Agni, maka kau dapat mencari jalan lain. Namun kau dapat menandai daerah yang pernah kita kunjungi di kaki Gunung Semeru itu. Kau pernah melihat sebuah rawa yang luas bukan?”
Mahisa Agni mengangguk. “Kau melihat batu karang di tengah rawa-rawa itu?”
“Ya, Guru,” jawab Agni.
“Agni,” berkata gurunya, “aku harap rawa-rawa itu masih ada sekarang. Aku mengharap bahwa batu karang itu pun masih dapat kau temukan. Nah. Apabila batu karang itu kau temukan, maka kau akan menempuh jalan yang pendek. Kau dapat menyusurinya ke barat dan kau akan sampai pada sebuah dinding yang terjal, dinding yang gundul. Kau ingat?”
“Ya, Guru,” jawab Agni.
“Agni,” nada suara gurunya menjadi semakin rendah, “Ketahuilah bahwa di dalam gua, yang pernah kita kunjungi itu, yang terdapat di tengah-tengah dinding yang gundul, terdapat benda yang sangat berharga itu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam sekali. Pada saat itu ia hanya dapat melihat gua itu. Tetapi ia tidak dapat mencapainya. Ia pada waktu itu tidak sanggup untuk mendaki tebing yang gundul dan curam. Dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Pada tiga tahun yang lampau, ia hanya dapat melihat gurunya itu mendaki tebing yang sengat curam dan berbahaya. Dan ditinggalkannya ia sendiri menanti di bawahnya. Dan sekarang ia sendiri harus mendaki tebing itu, untuk mencapai gua di tengah lereng gundul di kaki Gunung Semeru.
“Suatu perjalanan yang berat,” desisnya di dalam hati.
Gurunya yang melihat wajah Mahisa Agni itu menjadi suram segera berkata pula, “Agni, kesempatan ini akan menjadi satu ujian bagimu. Ketika kau berhasil Agni, maka hidupmu di kemudian hari akan penuh ditandai dengan kemenangan-kemenangan dalam setiap persoalan. Kau akan menjadi seorang jantan yang namamu akan ditakuti oleh setiap orang yang mendengarnya. Sedang apa yang akan kau lakukan kemudian tergantung kepada keadaanmu dan tujuan hidupmu. Sebab sesudah taraf yang terakhir ini, maka aku tidak akan dapat ikut serta menarik garis yang melingkari hidupmu. Kau adalah seorang murid yang sudah dewasa, yang seharusnya sudah lepas dari induknya. Hitam putih namamu tergantung padamu sendiri.”
Mahisa Agni masih menekurkan kepalanya. Dengan penuh kecermatan ia mengamati persoalannya. Namun tak ada yang dapat dilakukan selain melakukan tugas itu. Meskipun demikian, sempat juga ia merenungkan kata-kata gurunya itu, dan yang terakhir, ‘Hitam putih namamu tergantung padamu sendiri’.
Tetapi terasa pula di dada Mahisa Agni sesuatu yang agak lain dari kebiasaan gurunya. Gurunya yang penuh dengan pengabdian dan kebaktian diri kepada sumber hidupnya itu tiba-tiba memberinya beberapa petunjuk yang seakan-akan hanya diwarnai oleh tata lahiriahnya saja. Ia akan menjadi seorang yang sakti. Seorang yang hampir tak akan dapat dikalahkan. Seorang yang hidupnya akan ditandai oleh kemenangan-kemenangan dalam setiap persoalan. Mahisa Agni tidak mengerti seluruhnya apa yang dimaksudkan oleh gurunya. Apakah hanya itu? Namun ia tidak berani bertanya. Mungkin ada sesuatu yang perlu direnungkannya.
“Pada suatu ketika aku akan menemukan jawabnya,” pikirnya.
Yang kemudian dikatakan oleh gurunya adalah, “Mahisa Agni. Sejak hari ini kau harus mempersiapkan dirimu. Lahir batin untuk menempuh perjalanan itu. Kamu harus menguasai setiap persoalan yang akan kau temui di sepanjang perjalananmu. Amati persoalan itu dengan seksama. Baru kemudian kau cari pemecahannya.”
Mahisa Agni mengangguk dengan khidmatnya. Jawabnya, “Ya, Guru.”
“Mungkin kau harus mengalami gangguan lahir batin. Nah. kemudian tergantung kepadamu, karena kau akan pergi seorang diri. Ingatlah, perjalanan itu akan merupakan ujian bagimu. Kalau kau berhasil memecahkan persoalan-persoalan yang diberikan oleh pengujimu sesuai dengan maksudnya, maka pasti kau akan lulus dalam ujian itu. Namun kalau tidak, maka kesempatan itu tidak akan terulang kembali.”
“Aku akan melakukan dengan kesungguhan hatiku,” jawab Agni, “Mudah-mudahan yang Maha Agung memberikan tuntunan kepadaku.”
“Mudah-mudahan,” sahut gurunya. Terdengar suara menjadi serak. Dan ketika Agni mencoba melihat wajah gurunya, ia terkejut. Wajah itu sedemikian sayunya, dan bahkan ketika terpandang olehnya mata gurunya itu, bergolaklah perasaan Mahisa Agni. Dilihatnya meskipun hanya sekejap, bahwa sepasang mata gurunya itu menjadi basah.
“Apakah yang sebenarnya terjadi?” pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Bahkan timbul pula prasangka di dalam dadanya, “Apakah sebenarnya Guru marah kepadaku? Apakah sebenarnya yang diminta oleh ayah Mahendra?”
Dan tiba-tiba saja mengianglah di sudut hatinya, “Apakah aku sedang dibuang oleh guruku?”
Tidak, dicobanya untuk mengatasi perasaannya yang sedang bergelora dengan riuhnya di dalam dirinya. Timbullah bermacam-macam prasangka. Namun akhirnya ia mendapatkan suatu kesimpulan. “Guru akan memberikan hadiah itu kepadaku. Adalah wajar kalau aku harus mengambilnya sendiri. Kalau guru akan menghukumku atas permintaan ayah Mahendra, maka guru pasti akan berterus terang kepadaku. Sebab aku adalah muridnya sejak kecilku.”
Mahisa Agni tersadar dari renungannya ketika gurunya berkata dengan nada yang dalam, “Agni. Masih ada beberapa pesanku untukmu. Apabila sudah kau temukan rawa-rawa itu dan kau temukan batu karang di dalamnya, maka untuk seterusnya kau harus menempuh jalan di malam hari sampai kau capai dinding yang gundul itu. Kemudian baru kau akan mendakinya di siang hari.”
Syarat itu bertambah memberatinya. Karena itu maka debar jantung Agni pun bertambah-tambah pula. Meskipun demikian jawabnya, “Ya. Guru, akan aku lakukan semuanya.”
“Bagus Agni. Sekarang beristirahatlah. Kau tentukan sendiri kapan kau akan berangkat,” kata gurunya pula.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. kemudian ia mohon diri untuk beristirahat. Ia sudah tidak ingat lagi akan permintaan Wiraprana untuk memberinya beberapa petunjuk tata bela diri. Mahisa Agni langsung pergi ke biliknya. Perlahan-lahan ia berbaring di pembaringannya. Ditatapnya kayu-kayu yang malang melintang di atap rumahnya. Dan akhirnya ia menarik nafas panjang-panjang. “Ujian,” desisnya. Dan diulanginya, “ujian yang berat.”
Dicobanya untuk membayangkan apa yang kira-kira akan dialaminya dalam perjalanan itu. Binatang buas. Kelompok-kelompok orang jahat yang akan dapat ditemuinya di perjalanannya. Berjuang melawan alam yang garang. Kalau itu semua dapat diatasinya, maka akan didapatnya kesaktian.
“Aku berguru dalam olah kanuragan untuk mendapatkan kesaktian,” gumamnya, “dengan kesaktian banyak yang dapat aku lakukan. Aku akan dapat mencapai dan menegakkan nilai-nilai kebenaran, melawan kesaktian-kesaktian yang akan memaksakan kemungkaran dan kejahatan.”
“Hem,” Agni menarik nafas. Katanya kepada dirinya sendiri, “Tetapi kau harus ingat, hitam putih namamu ditentukan oleh perbuatanmu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, namun terdengar kata-kata di dalam dirinya, “Apapun yang akan aku lakukan, kalau aku orang yang maha sakti, adakah yang akan merintanginya?”
Wajah Mahisa Agni pun kemudian menjadi tegang. Kata-kata itu kembali terngiang di hatinya, “Aku akan menjadi seorang yang maha sakti. Betapapun hitam namaku kelak, namun apa peduliku. Tak seorang akan berani menghalangi aku. Seandainya aku ingin membunuh Wiraprana, Mahendra, bahkan siapa saja, siapakah yang dapat menuntut aku? Kekuasaan Tumapel tak akan berarti bagiku, juga kekuasaan Kediri. Semua akan hancur oleh kesaktianku.”
Dada Mahisa Agni menjadi bergemuruh karenanya. Kesaktian, kekuatan berarti kekuasaan. Kalau kesaktian dan kekuatan ini tak terkalahkan, maka kekuasaannya pun tak akan tergoyahkan. Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang masuk ke dalam biliknya. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya ibunya. Seorang emban yang sudah tua. Agni pun kemudian bangkit dan duduk di tepi pembaringannya.
“Adakah kau menghadap gurumu Agni?” bertanya ibunya sambil duduk di sisinya.
“Ya, Ibu,” jawab Agni.
“Kau menghadap seperti biasa, ataukah ada sesuatu yang penting?”
“Ada sesuatu yang penting. Bahkan penting sekali bagi masa depanku.”
“Apakah itu?”
“Sekali lagi guru memberi aku hadiah.”
“Hadiah?” ibunya mengerutkan keningnya.
Mahisa Agni mengangguk. Lalu diceritakannya apa yang baru saja didengarnya untuk mengambil rangkapan pusaka di kaki Gunung Semeru.
“Oh,” ibunya menarik nafas panjang, “Apakah gunanya pusaka itu?”
Agni-lah yang kemudian menjadi terkejut. Ditatapnya wajah ibunya yang telah mulai berkeriput oleh garis-garis umur. Maka katanya, “Bukankah pusaka itu idaman setiap lelaki? Aku berguru pada Empu Purwa karena aku ingin mendapatkan kesaktian sebagai bekal hidupku kelak. Kini aku akan mendapat pusaka rangkapan trisula itu, dan aku akan menjadi seseorang laki-laki yang pilih tanding. Bukankah itu satu kebahagiaan bagiku. Apa yang aku kehendaki akan berlaku.”
“Itu saja?” bertanya ibunya pendek.
Kembali Agni terkejut. Ia tidak tahu maksud ibunya. Sehingga terdengar pertanyaannya, “Apakah yang ibu maksudkan?”
“Kau berguru kepada Empu Purwa hanya untuk mendapat kesaktian, sehingga semua kehendakmu akan berlaku?”
“Apa lagi?”
“Oh,” ibunya mengeluh. Dan Mahisa Agni menjadi bingung. “Agni,” berkata ibunya, “adakah Empu Purwa tidak memberimu pesan, apa yang harus kau lakukan setelah kau mendapat pusaka-pusaka itu?”
Mahisa Agni menggeleng. Tetapi kemudian ia berkata, “Empu Purwa hanya sekedar memberi aku peringatan, ‘Hitam putih namaku tergantung atas perbuatanku’”
Ibunya mengangguk-angguk. Namun ia bergumam, “Nah, kata-kata itu pendek saja. Cobalah mengerti artinya.”
Mahisa Agni mengangkat keningnya. Katanya, “Tetapi kalau aku seorang yang tak ada bandingnya, apakah artinya pesan itu? Apapun kata orang tentang diriku, tentang namaku, namun mereka tak akan dapat berbuat apapun atasku. Sebab aku tak akan terkalahkan.”
Sekali lagi ibunya terkejut. Dengan wajah yang tegang perempuan tua itu bertanya, “Agni. Apakah sebenarnya yang dikatakan oleh gurumu? Hanya itu saja? Mengambil pusaka supaya kau menjadi sakti tanpa tanding? Kemudian membiarkan kau menentukan namamu sendiri?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Aneh?” gumam ibunya.
“Kenapa aneh?” bertanya Mahisa Agni. Namun pertanyaan itu memang sudah tersimpan di dalam dirinya, sejak ia mendengar gurunya memberinya beberapa petunjuk mengenai letak tempat-tempat yang harus ditujunya.
Perempuan tua itu pun merasakan sesuatu yang agak berbeda dari kebiasaan Empu Purwa. Kali ini Empu itu hanya memandang persoalannya dari sudut lahiriah. Pusaka dan kesaktian. Apakah itu sudah cukup? “Mahisa Agni,” berkata ibunya kemudian, Perlahan-lahan, namun penuh dengan tekanan sebagai seorang ibu, “aku senang mendengar kau akan menerima pusaka rangkapan dan kau akan menjadi seorang yang sakti. Namun sebagai seorang ibu, aku pun mencemaskan nasibmu. Perjalanan itu bukan perjalanan yang menyenangkan. Namun yang lebih mencemaskan aku adalah, bagaimanakah kau sesudah memiliki pusaka-pusaka itu, Agni.”
“Kenapa?”
“Kalau kau salah langkah, maka kau akan terjerumus ke dalam satu dunia yang penuh dengan pertentangan dan permusuhan”
“Bukankah kalau aku menjadi seorang yang tak terkalahkan, aku tak usah cemas, meskipun seandainya orang di seluruh dunia ini memusuhi aku?”
“Benar Agni. Tetapi apakah kau sangka bahwa kau tak perlu mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatanmu itu?”
“Bertanggung jawab kepada siapa? Akuwu Tumapel? Maharaja Kediri atau siapa? Mereka tak akan mampu mengalahkan aku meskipun semua laskarnya dikerahkan.”
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya keragu-raguan memancar di mata anaknya. Karena itu ia menjadi gembira. Katanya, “Kau tidak yakin akan kata-katamu Agni. Aku menjadi berbahagia karenanya. Karena masih ada suara lain di dalam hatimu Nah, Agni. Aku ingin mempertegas suara hatimu yang lain itu. Kau tidak akan bertanggung jawab kepada Akuwu Tumapel atau kepada Maharaja Kertajaya. Mereka adalah manusia-manusia biasa. Kalau kau menjadi sakti tanpa tanding dan melampaui kesaktian-kesaktian mereka, malahan, kau akan dapat mengusir mereka dari kedudukannya, dan kesaktianmu benar-benar dapat membentuk kekuasaan melampaui kekuasaan mereka itu.”
“Lalu kepada siapa?”
“Kekuasaan yang tak dapat dilampaui oleh kekuasaan apapun, Yang Maha Agung.”
“Oh,” Mahisa Agni mengeluh. Dan wajahnya pun kemudian ditundukkannya dalam-dalam. Ia tidak pernah melupakan Yang Maha Agung, yang telah menjadikannya, bahkan seluruh alam dan isinya. Namun kadang-kadang gelora jiwa jantannya sering mengganggunya. Kerinduannya pada kesempurnaan ilmu kanuragan kadang-kadang telah membawanya ke alam yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan. Kadang-kadang direka-rekanya juga permusuhan-permusuhan yang akan terjadi.
“Kalau tidak ada permusuhan-permusuhan, kapankah aku dapat menunjukkan kesaktianku dan kapankah orang lain akan mengagumi aku?” Namun setiap kali ia berhasil menyadari kesalahannya, meskipun baru di dalam angan-angan.
Maka kemudian didengarnya ibunya berkata pula, “Agni, sebenarnyalah bahwa kesaktian dan kekuatan yang dipancarkannya, kemenangan dalam setiap pertentangan dan permusuhan, bukanlah kekuasaan. Apabila demikian, maka hidup manusia ini tidak akan lebih baik dari kehidupan binatang-binatang di dalam rimba. Harimau yang kuat, dan memiliki senjata yang kuat, pula pada tubuhnya, kuku, gigi dan taring-taringnya akan dapat memaksakan kehendaknya kepada binatang-binatang yang lemah. Kijang, rusa dan sebagainya, yang hanya memiliki kesempatan untuk melarikan diri apabila mampu. Bahkan sampai merampas nyawanya sekali pun. Namun binatang tidak memiliki kesadaran akan ‘adanya dan diadakannya’. Karena itulah maka binatang tidak memiliki sifat-sifatnya yang langgeng. Hidup sesudah hidup ini. Di mana akan diperhitungkan semua perbuatan dan tingkah laku manusia. Itulah sebabnya manusia mengenal nilai-nilai hidupnya. Nilai-nilai hidup kemanusiaan. Nah, Agni. Apakah sekarang artinya kesaktian dan kekuasaan duniawi ini?”
Wajah Agni menjadi semakin tunduk. Kata-kata ibunya itu mengetuk-ngetuk dadanya. Sudah sering kali ia mendengar nasihat-nasihat gurunya tentang hidupnya dan hidup di masa-masa langgeng. Namun ketika ibunya sendiri yang mengucapkannya berasa seakan-akan meresap sampai ke tulang sumsumnya.
“Agni,” berkata ibunya, “aku hidup di padepokan ini telah bertahun-tahun. Karena itu aku telah sering kali mendengar Empu Purwa mengatakannya itu semua, meskipun tidak kepadaku. Mungkin kepada anaknya, atau kepada muridnya, kau. Atau kadang-kadang aku mendengarnya dari balik dinding apabila ada beberapa orang tamu, sahabat-sahabat Empu Purwa yang kadang-kadang mengadakan sarasehan. Karena itu apa yang aku katakan, mungkin telah kaudengar langsung dari gurumu. Namun aku adalah ibumu. Umurku telah berlipat dari umurmu. Karena itu aku ingin mengatakannya kembali kepadamu. Aku sangka umur mudamu kadang-kadang masih mengganggumu.”
Agni tidak menjawab. Namun kepalanya masih tunduk. Diangguk-anggukkannya kepalanya perlahan-lahan dan dengan penuh minat ibunya berkata pula,
“Karena itu Anakku. Kesaktian baru bermanfaat apabila ia dipergunakan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Kalau ada kekuasaan di muka bumi ini, kekuasaan manusia, maka ia harus dilambari atas nilai-nilai itu pula, nilai-nilai hidup bersama yang ditentukan bersama pula dalam pergaulan hidup yang memberikan kebahagiaan bersama. Nah, terhadap kekuasaan yang demikian itulah kesaktian wajib diamalkan untuk menegakkannya. Bukan untuk merampasnya.”
Ibunya berhenti sejenak. Ditatapnya anak laki-lakinya yang bertubuh kokoh kuat dengan jalur-jalur ototnya menjalar di seluruh permukaan kulitnya. Kemudian terdengar kembali perempuan itu berkata, “Nah, Agni. Pergilah ke kaki Gunung Semeru. Usahakan supaya perintah gurumu dapat kau penuhi. Dan sadarilah apa yang akan kau perbuat kelak sesudah pusaka-pusaka itu berada di tanganmu.”
“Baik, Ibu,” jawab Mahisa Agni lirih, namun sampai ke dasar hatinya.
Ibunya menganggukkan kepalanya. Kemudian sambil berdiri ia berkata, “Kalau sampai saatnya kau pergi anakku, pergilah dengan tekad yang bulat. Dengan janji di dalam hati, bahwa apa yang kau capai semata-mata untuk tujuan yang baik, maka Yang Maha Agung akan selalu memberkahi.”
“Baik, Ibu,” sahut Mahisa Agni sambil mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berdiri pula dan melepaskan ibunya pergi dari mulut pintu biliknya.
Kata-kata ibunya itu merupakan penegasan dari segenap perasaan-perasaan yang bergolak di dalam dadanya. Dan ia bersyukur karenanya. Maka kemudian dibulatkannya tekad di dalam dadanya, “Aku akan pergi ke Gunung Semeru.”
Kepada Wiraprana, Mahisa Agni terpaksa membatalkan janjinya untuk sementara, katanya, “Prana, besok kalau aku kembali dari perantauan ini, aku berjanji akan memenuhi permintaan itu. Bukankah aku menjadi bergembira pula dengan hasratmu itu. Tetapi sayang aku terpaksa menundanya.”
Wiraprana pun menjadi kecewa karenanya. Tetapi ia menyadari bahwa pasti ada sesuatu yang penting dalam perjalanan yang akan ditempuh oleh sahabatnya itu. “Mudah-mudahan kau lekas kembali Agni. Apakah perjalanan itu jauh?”
Agni menggeleng. “Tidak. Tidak begitu jauh.”
Wiraprana memandang wajah Agni dengan penuh pertanyaan. Tetapi pertanyaan itu tak diucapkannya. Ia sadar, bahwa bukan menjadi haknya untuk mengetahui segala persoalan sahabatnya itu. Namun kepergian itu pasti akan memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga dengan demikian, Panawijen akan terasa sepi baginya. Meskipun banyak anak-anak muda yang lain, tetapi di samping Mahisa Agni,Wiraprana merasa tenang dan sejuk.
“Ah,” katanya di dalam hati, “aku harus dapat menyejukkan hatiku sendiri. Kelak kalau aku sudah meyakini diriku sendiri sesudah Mahisa Agni kembali, maka aku akan tegak di atas kemampuan sendiri.”
Setelah sampai saatnya Mahisa Agni merasa dirinya siap untuk berangkat menempuh perjalanan itu, maka sekali lagi ia menghadap gurunya. Diharapkannya gurunya akan memberinya pesan-pesan terakhir yang bermanfaat bagi perjalanannya lahir dan batin. Namun Mahisa Agni menjadi kecewa. Gurunya tidak memberinya pesan-pesan baru kepadanya, selain bentuk dari benda yang dicarinya. Mahisa Agni mendengarkan setiap kata-kata gurunya dengan tekun, supaya ia kelak tidak keliru. Setelah ia menempuh perjalanan yang sulit itu ia tidak ingin menemukan benda yang sama sekali bukan benda yang dikehendakinya.
“Agni,” berkata gurunya, “benda itu tampaknya memang tidak berharga sama sekali. Bentuknya tidak lebih dari sebatang akar wregu. Namun akar itu berwarna putih. Panjangnya kurang lebih hanya dua cengkang. Benda itu terbalut kain berwarna merah muda bertepi putih.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa ia menjadi heran. Sebatang akar wregu berwarna putih dan sudah dibalut dengan kain. Siapakah yang meletakkannya di sana?
Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, tetapi Empu Purwa dapat merasakan perasaan itu. Maka katanya, “Tak seorang pun yang tahu, siapakah yang meletakkan benda itu di sana. Dan mungkin pula tak seorang pun yang tahu, bahwa ada benda itu di sana. Aku mengetahuinya dari sebuah mimpi. Dan aku pernah membuktikannya melihat sendiri benda itu beberapa tahun yang lampau. Namun pada saat itu aku belum dapat mengambilnya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ingin ia bertanya kenapa pada saat itu gurunya belum dapat mengambilnya. Tetapi ia tidak berani. “Ah. Pasti ada sebab-sebab yang penting,” katanya di dalam hati.
“Agni,” berkata gurunya pula. Nadanya menjadi semakin dalam, “Ingat! Apabila kau telah menemukan batu karang itu, kau harus menempuh perjalananmu di malam hari. Ada banyak sebabnya. Yang terpenting, perjalananmu tidak boleh dilihat oleh seorang pun. Meskipun hanya oleh seorang pencari kayu sekali pun. Namun aku sangka daerah itu tak pernah dikunjungi orang.”
“Ya, Guru,” jawab Agni, “akan aku penuhi semua perintah.”
“Bagus,” sahut Empu Purwa sambil mengangguk-anggukkan kepala, “mudah-mudahan kau berhasil.”
“Pangestu Guru untukku,” pinta Mahisa Agni.
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah pada wajahnya yang suram, sepasang matanya yang sayu. Setelah ia berdiam diri sejenak, maka katanya, “Agni, bawalah obat penawar racun ini. Mungkin kau aku bertemu dengan ular-ular berbisa, atau serangga yang tak kalah tajam bisanya. Sebuah sengatan sudah cukup untuk membunuhmu dalam waktu sekejap.” Diberikannya oleh Empu Purwa sebuah tabung kecil. Ketika tabung itu dibuka dilihatnya di dalamnya beberapa gelintir ramuan obat.
“Agni,” berkata gurunya, “aku membuat param itu dari akar-akar dan beberapa jenis racun. Kalau kau akan mempergunakannya, cairkanlah param itu dengan air. Kemudian gosokkanlah pada seluruh tubuhmu. Atau apabila kau telah terlanjur tergigit ular atau terkena racun apapun, gosokkanlah obat itu di lukamu. Tetapi kalau racun itu masuk ke dalam tubuhmu melalui mulutmu Agni, maka pakailah ramuan yang lain.”
Empu Purwa itu berhenti sejenak. Sebuah tabung yang lain diberikannya pula kepada Mahisa Agni. Di dalam tabung itu pun terdapat beberapa butiran ramuan obat-obatan. Namun jauh lebih kecil dari butiran-butiran obat yang pertama.
“Ingat Agni,” berkata gurunya, “Jangan sampai keliru! Kalau kau keliru mempergunakan, maka akibatnya akan sebaliknya. Obat yang pertama hanya boleh kau gosokkan di tubuhmu, sedang obat yang kecil itu, harus kau telan.”
“Ya, Guru,” sahut Mahisa Agni.
Empu Purwa memandang muridnya dengan pandangan yang aneh. Sedang Mahisa Agni masih saja menundukkan wajahnya. Tetapi tiba-tiba wajahnya itu pun menjadi tegang ketika gurunya berkata pula, “Mahisa Agni. Tinggallah kini pesan terakhir bagimu. Dalam perjalanan yang berbahaya itu Agni, sebaiknya trisulamu kau tinggalkan saja di padepokan ini.”
Mahisa Agni terkejut mendengarnya justru dalam perjalanan yang berbahaya itu diperlukannya kawan dalam perjalanannya. Bukankah pusaka itu dapat dijadikannya kawan yang baik apabila ia berhadapan dengan bahaya. Tetapi sebelum ia berkata apapun didengarnya gurunya meneruskan,
“Agni. Trisula itu adalah benda yang sangat berharga. Karena itu apabila pusaka itu hilang, maka hilanglah semuanya bagi padepokan kita. Semua perjuangan masa lampau akan lenyap bersamanya apalagi harapan bagi masa mendatang. Karena itu janganlah hal itu terjadi. Kau ingin menemukan rangkapannya, namun pusaka itu sendiri jangan sampai lepas dari tangan kita.”
Mahisa meng-angguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak tahu seluruh persoalannya. Namun ia tidak berani membantahnya. Ia percaya saja kepada gurunya yang tentu jauh lebih bijaksana daripadanya. Meskipun kadang-kadang juga timbul prasangkanya, namun segera perabaan itu dihimpitnya ke dasar hatinya. Ayah Mahendra, sahabat guru sama sekali tidak marah atas kekalahan anaknya. Berkali-kali ia menegaskan kepada dirinya sendiri karena itu guru pun sama sekali tidak marah kepadaku.
Demikianlah maka sampailah pada saatnya Mahisa Agni meninggalkan padepokan itu. Di pagi yang cerah, ketika matahari membangunkan wajah bumi yang tetap, Mahisa Agni mohon diri kepada ibunya. Perempuan itu memandang wajah anaknya yang teguh sambil tersenyum, namun di matanya menitik beberapa butir air mata. Diciumnya kening anak itu sambil berbisik,
“Pergilah, Anakku. Mudah-mudahan kau capai cita-citamu. Harapan masa depanmu masih panjang...”
Mahisa Agni pun kemudian bangkit dan duduk di samping emban tua itu. Tetapi wajahnya masih ditundukkannya, memandang dalam-dalam ke dalam gambaran-gambaran di benaknya. Wajah perempuan itu, matanya, hidungnya, dahinya. “Ah,” desah Agni di dalam hati kenapa aku tidak melihatnya sebelumnya. Hampir saya aku melukai hatinya.”
Yang terdengar kemudian ibunya berkata, “Agni. Sekarang kau melihat, apakah sebabnya aku menggantungkan harapan masa depanku sejalan dengan keadaanmu. Namun anakku, bahwa apa yang terjadi sebenarnya adalah satu peristiwa timbal balik, hutang piutang dan sebab akibat. Kau yang sama sekali tidak bersalah, kini harus menerima akibat dari kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan sebelumnya. Aku telah mengecewakan hati laki-laki, bahkan dua orang sekaligus. Dan kini kau, anakku, agaknya telah dikecewakan oleh seorang gadis pula.”
Agni masih menundukkan wajahnya. Ia tidak membantah lagi. Tidak seharusnya ia menyembunyikan perasaannya kepada ibunya. Ibu yang meskipun baru saja dikenalinya.
“Tetapi anakku,” berkata ibunya, “kau telah mendengar cerita tentang ibumu, ayahmu dan laki-laki yang merantau itu. Meskipun kau kini mengalami nasib yang mirip dengan laki-laki itu, tetapi kau jangan kehilangan masa depanmu. Kau dapat memilih satu di antara dua. Namun dengan ikhlas dan jujur. Merebut gadis itu atau melepaskan dengan ikhlas. Sudah temu kau tidak akan mengorbankan hubunganmu sebagai seorang murid terhadap gurunya yang telah bertahun-tahun memeliharamu. Tidak saja sebagai seorang murid, namun sebagai seorang anak yatim piatu. Nah Agni, aku ingin mendengar dari mulutmu, apakah yang akan kau lakukan?”
Agni masih diam menekurkan kepalanya. Ia tidak merasa tersinggung lagi kini. Bahkan serasa ia mendapat saluran yang wajar untuk meluapkan perasaannya. Karena itu maka ia pun menjawab, “Ibu. Aku sudah memutuskan untuk melepaskannya dengan ikhlas. Sebab aku merasa, bahwa aku tidak akan dapat memaksanya untuk mengalihkan perasaannya dengan paksa. Meskipun seandainya aku berhasil berbuat sesuatu yang dapat memaksa gadis itu mengubah pendiriannya, namun aku tidak yakin, apakah gadis itu tidak akan tersiksa sepanjang hidupnya. Dan apakah aku tidak tersiksa pula karena aku hanya dapat memiliki tubuhnya, namun bukan hatinya.”
Perempuan tua itu mengangguk-angguk. “Syukurlah,” katanya. Tetapi kau jangan mengorbankan masa depanmu yang panjang. Kalau kau sudah menerima keadaan itu, jangan kau bunuh hari depanmu dengan keputus-asaan.”
Agni menggeleng lemah. “Tidak ibu,” jawabnya.
“Demikianlah, Anakku,” sahut ibunya, “terimalah akibat ini. Akibat dari perbuatan ibumu.”
“Karma,” desah Agni di dalam hatinya.
Dan terdengar ibunya melanjutkan, “Dan akibat itu datang terlampau cepat.” Ibunya diam untuk sesaat. Tetapi kemudian ia berkata pula, “Sepeninggal ayahmu Agni, aku telah mencarimu. Akhirnya aku temukan kau dalam asuhan orang lain yang baik hati kepadamu. Tetapi aku tidak dapat mengambil kau sebagai seorang ibu mengambil anaknya. Karena itu, apabila selama masa pembuangan diri itu aku mengabdikan diriku di sini, di padepokan Empu Purwa maka aku minta dengan sangat, supaya Empu Purwa mengambil seorang anak laki-laki kecil sebagai muridnya. Tentu aku tidak mengatakan, bahwa laki-laki itu adalah anakku. Tetapi aku berhasil membujuknya dengan mengungkit rasa belas kasihannya.”
Kini Agni menjadi jelas. Dan terasa kemudian, betapa emban Ken Dedes itu sangat baik kepadanya. Mula-mula ia menyangka bahwa emban itu baik hati kepadanya, karena ia murid Empu Purwa, yang seakan-akan telah menjadi saudara kandung putrinya. Namun kalau demikian halnya maka sikap emban itu agak berlebih-lebihan. Dan kini perempuan itu meneruskan kata-katanya,
“Aku menjadi cemas dengan keadaanmu sejak semalam. Tetapi kini aku sudah mendengar dari mulutmu sendiri. Karena itu aku menjadi berlega hati. Nah, Agni, sebagai emban Ken Dedes, maka biarlah aku minta kepadamu. Sampaikan permintaan yang telah kau ketahui itu kepada Wiraprana. Demi kelangsungan masa depanmu dengan perguruanmu. Sudah tentu kau tak akan mengatakan kepada siapa pun juga, siapakah sebenarnya aku ini.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Dan terdengar ia berkata lirih, “Senja nanti Wiraprana akan datang kemari.”
Perempuan tua itu tersenyum. Sekali lagi ditepuknya bahu Mahisa Agni. Katanya, “Aku harap kau berjiwa besar.”
“Mudah-mudahan,” jawab Mahisa Agni.
Emban tua itu pun kemudian bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar. Namun di muka pintu ia berhenti sejenak, berpaling dan berkata, “Aku akan pergi kepada gadis putri Empu Purwa itu. Mengatakan kepadanya, bahwa Mahisa Agni telah menyanggupinya, menyampaikan pesannya kepada Wiraprana. Begitu?”
Mahisa Agni mengangguk lemah.
“Baiklah,” gumam ibunya. Dan sesaat kemudian perempuan tua itu telah hilang di balik pintu.
Kini kembali Mahisa Agni seorang diri di dalam biliknya. Bilik yang semula. Tetapi terasa betapa ada perbedaan di dalam dirinya. Kini ia tidak lagi merasa terlalu sepi. Tiang-tiang, dinding dan sudut-sudut biliknya tidak setegang tadi. Dan terasa oleh Mahisa Agni, bahwa padepokan itu masih mengikatnya kembali. Ibunya berada di padepokan itu pula. Dengan demikian, maka masih diharapkannya untuk tinggal di tempat ini.
Mudah-mudahan ia memberikan baktinya kepada ibunya itu. Meskipun ibunya seakan-akan tak pernah berbuat sesuatu untuknya, namun perempuan itu telah berjuang melawan maut pada saat melahirkannya, kemudian menyusuinya dengan penuh harapan, bahwa bayinya akan dapat hidup terus dan menjadi besar. Dan kini ia telah menjadi besar. Lalu apakah yang akan dilakukan untuk ibunya itu?
Beberapa saat berselang, ibunya memberinya beberapa petunjuk dan pesan-pesannya. Pesan seorang ibu. Dan tiba-tiba hati Mahisa Agni menjadi besar. Dengan dada tengadah ia menanti kedatangan Wiraprana, “Aku akan berkata kepadanya. Mudah-mudahan akan dapat memberinya kegembiraan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kembali ia meletakkan tubuhnya di pembaringannya. Betapa penat telah menjalari seluruh tubuhnya. Namun ia tidak dapat memejamkan matanya. Kini ia sedang mereka-reka, bagaimana ia harus mengatakan kepada Wiraprana.
Matahari di langit berjalan di dalam garis edarnya. Semakin lama semakin condong ke barat. Cahaya-cahaya merah telah bertebaran di atas pohon-pohon kelapa dan mewarnai lereng-lereng perbukitan. Burung-burung seriti beterbangan menangkapi belalang di padang-padang rumput. Dan hari yang cerah itu pun berangsur-angsur menjadi suram.
Menjelang senja Mahisa Agni telah membersihkan dirinya. Mandi di sumur belakang rumah gurunya. Kemudian duduk dengan gelisahnya di regol halaman menunggu Wiraprana. Ia harus segera menyampaikan pesan itu sebelum ia bertemu dengan gurunya. Mungkin gurunya pun akan bertanya kepadanya, apakah pesan putrinya telah sampai kepada anak buyut Panawijen itu. Meskipun ia sadar, bahwa gurunya pun akan memaksa dirinya sendiri untuk menuruti permintaan putri satu-satunya. Tetapi, ada juga kemungkinan lain. Ken Dedes sama sekali tidak mengatakan kepada ayahnya sampai pada suatu ketika ayahnya mengadakan permainan sayembara pilih kembali.
“Biarlah, apa yang akan dilakukan,” berkata Agni di dalam hati, “namun aku harus menyampaikannya kepada Wiraprana.
Hati Mahisa Agni menjadi berdebar-debar ketika dari kejauhan ia melihat anak muda yang ditunggunya itu datang. Karena itu segera ia pun berdiri. Sesaat ia tegak di tengah-tengah regol itu, namun kemudian ia melangkah menepi bersandar pada tiang pintu. Tetapi sesaat lagi ia telah berjalan hilir mudik melintasi jalan di muka regol halaman itu.
Wiraprana yang berjalan ke arahnya itu pun tidak kalah gelisahnya. Anak muda itu melihat Mahisa Agni berjalan hilir mudik, berdiri tegak, kemudian berjongkok kembali. Karena itu maka Wiraprana pun tak ada habis-habisnya berpikir, “Apakah aku telah berbuat suatu kesalahan kepadanya, atau kepada Ken Dedes?”
Tetapi ia berjalan terus. Apapun yang dihadapinya, akan diterimanya dengan baik. Seandainya ternyata ia bersalah, maka adalah menjadi kewajibannya untuk minta maaf. Baik kepada Mahisa Agni maupun kepada Ken Dedes. Akhirnya Wiraprana itu pun sampai di regol itu pula. Dilihatnya Mahisa Agni tersenyum dan kemudian berkata,
“Aku menunggumu sejak tadi Wiraprana.”
Wiraprana pun tersenyum pula. “Bukankah kau minta aku datang sesudah senja?”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Wiraprana, apakah sudah mengairi sawahmu?”
Wiraprana mengangguk. “Sudah,” jawabnya.
“Bagus,” jawab Agni, “kalau demikian kau tidak akan tergesa-gesa.”
Dada Wiraprana berdesir. Selama ini ia selalu datang ke rumah ini. Tidur di sini, makan di sini. Kenapa tiba-tiba kini Mahisa Agni bersikap demikian. Apalagi kemarin ia tampak terlalu tergesa-gesa. Namun ia menjawab juga, “Semua pekerjaanku sudah selesai Agni.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Marilah kita pergi ke bendungan.”
Wiraprana mengangguk. Meskipun terasa betapa canggungnya pertemuannya kali ini. Berpuluh kali ia telah pernah mendengar Mahisa Agni mengajaknya ke bendungan, namun kali ini hatinya berdebar-debar juga. Meskipun demikian Wiraprana mengangguk juga sambil menjawab, “Marilah.”
Agni tidak berkata apa-apa lagi. Keduanya kemudian berjalan bersama-sama ke bendungan. Kemarin, dua hari yang lampau, tiga hari yang lampau, lima, sepuluh dan beratus-ratus kali di saat-saat lampau, keduanya sering pula berjalan ke bendungan. Tetapi kali ini keduanya seperti asing. Mereka berjalan sambil berdiam diri. Cepat-cepat seperti takut terlambat. Ketika mereka telah tegak di bedungan, berkatalah Mahisa Agni,
“Duduklah Wiraprana.”
“Hem,” desah Wiraprana. “Agni memang aneh akhir-akhir ini,” katanya di dalam hati, “biasanya tak pernah ia mempersilahkan demikian. Apakah aku akan berjungkir balik, atau akan terjun sekalipun, tak pernah ia menegurku.”
Meskipun terasa betapa kaku pertemuan itu, namun Wiraprana kemudian duduk juga di samping Mahisa Agni. Untuk sejenak mereka masih berdiam diri. Wiraprana memandang jauh-jauh ke kelokan sungai, memandang air yang berputar-putar dan kemudian lenyap seperti ditelan hantu, hilang di balik kelokan.
Beberapa kali Mahisa Agni menarik nafas. Ketika melihat warna-warna yang semakin kelam di ujung pepohonan ia menjadi gelisah. Sebenarnya Mahisa Agni ingin langsung menyampaikan pesan Ken Dedes. Namun ia tidak segera menemukan cara untuk memulainya. Tetapi ia sadar, lambat atau cepat ia harus berkata. Karena itu akhirnya di cobanya juga berkata, “Wiraprana, kali ini aku ingin menyampaikan sebuah pesan untukmu.”
Wiraprana kemudian berpaling. Ditatapnya wajah Agni yang menunduk. Karena Mahisa Agni tidak segera meneruskan kata-katanya maka Wiraprana pun menyahut, “Agni. Sudah terasa betapa janggal sikapmu akhir-akhir ini. Supaya aku tidak selalu berteka teki, maka sudah sepantasnya kalau kau mengatakan sesuatu kepadaku. Apakah aku telah berbuat kesalahan, atau apapun yang mengecewakanmu atau mengecewakan Ken Dedes.”
“Tidak!” Mahisa Agni menggeleng, “Kau tidak mengecewakan siapa pun. Aku tidak, Ken Dedes apalagi.”
Mahisa Agni diam sesaat. Dicobanya mengatur perasaannya. Ia harus mengatakan sesuatu yang dirasakannya terlalu pahit. Namun ketika diingatnya pesan ibunya, maka ia pun menjadi agak tenang. Maka katanya, “Sudah lama aku mengenalmu, dan sebaliknya. Kau pun telah mengenal seluruh keluarga kami. Guruku, aku dan Ken Dedes. Wiraprana, hampir setiap hari kau berkunjung ke rumah guru. Apakah benar-benar hanya karena aku ada di sana?”
Wiraprana terkejut mendengar pertanyaan itu. Sahutnya, “Apakah maksudmu Agni?”
Agni menarik nafas. Dengan sangat berhati-hati ia mengulangi supaya tidak menimbulkan salah mengerti, “Wiraprana, maksudku, apakah kehadiranmu setiap hari di rumah Empu Purwa itu benar-benar karena kau ingin menemui aku?”
“Tentu!” jawab Wiraprana cepat-cepat. Wajah anak muda itu pun menjadi merah, dan hatinya semakin berdebar-debar, “Apakah kau menyangka lain, Agni?”
“Tidak,” sahut Agni, “mula-mula aku tidak menyangka lain, namun sekarang aku mengharap, semoga kau mempunyai maksud yang lain.”
“Ah,” desah Wiraprana, “aku tidak mengerti, jangan membuat aku bingung, Agni. Katakanlah.”
“Prana,” berkata Mahisa Agni, “betapa berat pesan yang dititipkan kepadaku untukmu. Sebagai seorang kakak, aku wajib memenuhinya. Namun aku mengharap kau tidak menjadi kecewa, justru karena pesan itu. Kau jangan salah menilai, bahwa seorang gadis sedemikian berani memberikan pesan yang tak ternilai harganya kepada seorang anak muda. Prana, besuk atau lusa kau akan tahu sebabnya. Kini, dengarlah pesan dari adikku itu. Ia mengharap kehadiranmu dalam perjalanan hidupnya.”
Kembali Wiraprana terperanjat. Dan kembali warna merah membersit di wajahnya. Karena itu ia menjadi seakan terbungkam. Mahisa Agni telah memberitahukan pesan itu terlalu langsung. Agni pun kemudian merasakan pula kekakuan kata-katanya. Namun untuk mengucapkannya ia sudah harus berjuang di dalam dirinya. Karena itu ia tidak dapat berbuat lebih baik daripada apa yang telah dilakukannya.
Sejenak kemudian keduanya dicengkam oleh debar yang cepat di dada masing-masing. Wiraprana bahkan menjadi bingung. Apakah yang dapat dikatakannya? Sedang Mahisa Agni sibuk menguasai perasaannya. Dengan sekuat tenaga ia berjuang untuk menenangkan diri. Baru kemudian ia dapat berkata pula,
“Wiraprana, jangan menyangka bahwa Ken Dedes dengan tiba-tiba saja merendahkan dirinya dengan pesannya itu. Ia tidak akan berbuat demikian seandainya, sikapmu, kata-katamu sebelumnya tidak meyakinkannya. Setidaknya menumbuhkan harapan di dalam hatinya. Sehingga pada saat gadis itu terdesak oleh keadaan, seperti yang terjadi dengan Kuda Sempana, ia harus menjatuhkan pilihan.”
Wiraprana mengangkat wajahnya. Kemudian dengan gemetar ia bertanya, “Kenapa pilihan itu jatuh atasku?”
Agni menarik nafas. Kemudian ia meneruskan, “Sudah aku katakan, sikapmu dan kata-katamu menumbuhkan harapan di hati adikku. Ketika Ken Dedes mengeluh atas keadaannya, atas sikap Kuda Sempana dan lamaran-lamaran lain yang datang kepada ayahnya, namun tak seorang pun sesuai dengan hatinya, maka aku nasihatkan kepadanya untuk segera menentukan pilihan. Wiraprana, adikku itu telah lama mengenalmu. Aku pun telah mengenalmu pula, hampir segenap watak dan tabiatmu. Karena itu, aku nasihatkan kepada Ken Dedes, supaya ia bersedia menerima kehadiranmu di dalam masa-masa hidupnya yang akan datang. Agaknya kami, aku dan Ken Dedes sependapat, bahwa tak ada orang lain yang lebih baik dari padamu. Karena itu, apakah Ken Dedes akan memberikan pesan untukmu atau tidak, suatu saat aku pasti akan mengatakannya kepadamu.”
Terasa sesuatu bergelora di dalam dada Wiraprana. Kini ia tidak dapat berbohong lagi. juga kepada dirinya sendiri. Sejak lama terasa sesuatu di dalam sudut hatinya. Tetapi ia tidak berani melihatnya. Ia merasa bahwa tak sepantasnya ia berangan-angan tentang seorang gadis putri pendeta yang menenggelamkan hidupnya dalam pengabdiannya terhadap sumber hidupnya. Ia merasa, bahwa dirinya akan terlalu kasar untuk itu. Wiraprana merasa, bahwa ia tidak lebih dari seorang petani yang lebih mengenal dirinya sendiri, alam dan semesta ini pada wadagnya. Karena itu ia telah bertekad untuk menekan segenap perasaan yang timbul di dalam dadanya. Namun demikian, setiap kali selalu timbul keinginannya untuk datang ke rumah guru sahabatnya itu. Karena itu, tiba-tiba timbul pula pertanyaan di hatinya, “Apakah aku datang setiap hari mengunjungi Mahisa Agni itu benar-benar karena aku ingin bertemu dengan anak itu?”
Wiraprana menjadi malu sendiri. Agni pun bertanya demikian kepadanya. Dan ia tidak dapat menjawabnya. Wiraprana kemudian menundukkan wajahnya. Di dalam dadanya bergolak berbagai perasaan. Terkejut, gelisah namun tebersit pula kegembiraan di dalam hatinya. Karena itu, selagi ia sibuk dengan persoalannya sendiri, maka ia tidak melihat betapa Mahisa Agni berjuang untuk menguasai perasaannya. Di dalam dadanya pun bergelora pula berbagai perasaan. Pedih, sakit dan kecewa. Namun ia sudah bertekad untuk menghayatinya.
Gemericik air di bendungan terdengar seperti sebuah lagu yang lincah. Nadanya meloncat-loncat dalam irama yang cepat. Ketika Wiraprana memandang ke dalamnya, tampaklah bayangan bintang-bintang di langit seakan-akan meloncat-loncat dipermainkan oleh getaran permukaan air yang riang.
“Agni,” tiba-tiba ia berkata. Agni mengangkat wajahnya, dan ditatapnya wajah Wiraprana yang cerah. “Adakah kau berkata sebenarnya?” bertanya anak muda itu.
“Tentu,” jawab Agni.
“Apakah Ken Dedes benar-benar bermaksud demikian? Agni, aku takut kalau Ken Dedes sekedar menuruti permintaanmu,” Wiraprana menegaskan.
Agni menarik nafas. Terasa dadanya menjadi sesak. Namun ia menjawab, “Tidak Ken Dedes benar-benar menyadari pesannya itu.”
“Ah,” desah Wiraprana.
Kembali mereka berdiam dari. Wiraprana kini melihat masa depan yang cerah terbentang di hadapannya. Nanti ia akan berkata kepada ayahnya apa yang didengarnya dari Mahisa Agni. Ayahnya segera pasti akan memenuhi adat itu. Datang kepada ayah Ken Dedes dengan sebuah upacara. “Hem,” katanya di dalam hati, “Bukankah ayahku Buyut Panawijen? Seharusnya aku tak perlu merasa terlalu kecil untuk melakukannya?"
Dan tiba-tiba Wiraprana itu tersenyum sendiri. Meskipun demikian, Wiraprana masih ingin meyakinkan. Karena itu ia bertanya, “Agni, bagaimanakah pendapatmu tentang pesan itu. Apakah sudah sepantasnya aku menerimanya?”
Sekali lagi sebuah goresan melukai hati Mahisa Agni. Tetapi ia menjawab, “Tentu Wiraprana. Seharusnya kau penuhi permintaan itu. Pandanglah dirimu dengan jujur, apakah tak ada perasaanmu untuk melakukannya. Jangan hiraukan tanggapan orang lain tentang dirimu, tentang gadis itu dan tentang masa depan kalian berdua. Kebahagiaan kalian di masa mendatang tergantung kepada kalian sendiri. Tidak kepada orang lain dan tidak pula tergantung kepadaku.”
Wiraprana mengangguk-angguk. Senyumnya kembali membayang di wajahnya. Katanya, “Terima kasih Agni. Aku tidak menyangka bahwa aku akan tertimpa ndaru. Aku sebenarnya gelisah melihat sikapmu yang aneh akhir-akhir ini. Tetapi kini aku menjadi sangat berterima kasih kepadamu.”
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi kemudian ia mengatupkan giginya. Desahnya di dalam hati, “Berbahagialah kau, anak muda.”
Tetapi Wiraprana tak melihat luka di dalam dada Agni. Yang dilihatnya adalah keriangannya sendiri. Dan tiba-tiba ia berkata, “Agni. Marilah kita pulang. Aku akan mengatakannya kepada Ayah. Supaya Ayah segera dapat melakukannya. Besok atau lusa.”
Mahisa Agni mengangguk. Tetapi ia masih belum ingin pulang. Maka jawabnya, “Pulanglah dahulu, Prana. Aku masih akan ke sawah.”
Wiraprana tidak dapat merasakan apapun selain keinginannya untuk segera menyampaikan kabar itu kepada ayahnya. Ayahnya pasti tidak akan menolaknya. Meskipun ia harus meyakinkan, bahwa keluarga Ken Dedes seluruhnya telah menerima kehadirannya apabila dikehendaki. Karena itu, maka katanya, “Baiklah, aku pulang dahulu.”
Mahisa Agni mengangguk, “Pulanglah. Aku segera menyusul.”
Wiraprana tidak berkata apa-apa lagi. Segera ia melangkah dari batu ke batu. Kemudian meloncat dan berjalan cepat-cepat pulang.
Mahisa Agni kemudian berdiri. Dipandangnya Wiraprana yang berjalan tergesa-gesa itu. Semakin lama semakin dalam membenam di hitamnya malam. Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas. Perlahan-lahan pandangan matanya berkisar di seputar bendungan. Air di grojoggan masih memercik beruntun. Di langit ujung timur, Mahisa Agni melihat semburat kuning membayang di atas ujung-ujung pepohonan. Bulan sesaat lagi akan melambung di langit yang biru. Selangkah demi selangkah Mahisa Agni berjalan menuruni bendungan. Dilangkahinya anak-anak tangga di tebing kali. Sehingga akhirnya sampailah ia di pinggir belumbang kecil.
“Di sinilah aku telah menyelamatkan kedua-duanya,” desisnya. Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika ia melihat wajahnya di air belumbang yang terang itu, seakan-akan dilihatnya masa-masa lampaunya yang penuh dengan keprihatinan. Tetapi justru karena itulah, maka Mahisa Agni mampu menahan arus perasaannya, betapapun sakitnya.
Ketika bulan telah tersembul di atas punggung bukit, Agni teringat bahwa gurunya memerlukannya. Karena itu dengan langkah yang berat, seberat beban di hatinya, ia melangkah pulang. Ketika dilewatinya sawah gurunya itu, diperlukannya membuka tutup pematang, untuk mengalirkan air ke dalamnya.
Ketika ia memasuki regol halaman rumahnya, dilihatnya halaman rumah itu sangat sepi. Lampu-lampu minyak telah menyala di setiap ruang di dalam rumah. Seseorang telah menyalakan lampu di biliknya pula. Di pendapa Agni melihat seorang cantrik melintas. Kepadanya Agni bertanya, “Di manakah Empu Purwa sekarang?”
“Di pringgitan,” jawabnya.
Mahisa Agni mengangguk. Ia ingin langsung menemui gurunya. Mungkin ada sesuatu yang penting Mungkin ada hubungannya dengan Ken Dedes mungkin pula tidak. Perlahan-lahan Mahisa Agni membuka pintu. Dilihatnya gurunya duduk bersila. Di hadapannya terhidang bintang, teko dan sebuah mangkuk kecil.
“Marilah, Agni,” berkata gurunya.
Dan Agni pun kemudian berjongkok dan duduk di muka Empu Purwa. Meskipun telah berbilang ribuan ia duduk menghadap gurunya namun kali ini hatinya berdebar-debar juga. Tetapi debar jantung Agni pun menjadi semakin kusut ketika ia melihat wajah gurunya yang bening tenang.
“Marilah, Agni. Mumpung masih hangat,” ajak gurunya sambil menyodorkan mangkuk kecil untuknya.
Mahisa Agni pun mengangguk, dan seperti biasanya segera ia meraih teko dan kemudian segumpal gula kelapa. Adalah menjadi kebiasaan gurunya, mengajaknya minum bersama. Menurut gurunya minum bersama terasa jauh lebih nikmat daripada sendiri. Ketika setengah mangkuk kecil telah terminum, Mahisa Agni meletakkannya kembali di dalam nampan kuningan.
Sejenak mereka berdua masih berdiam diri. yang terdengar kemudian hanyalah bunyi-bunyi jangkrik dan angkup-angkup nangka yang meringkik-ringkik di kejauhan. Kemudian Empu Purwa itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku mencarimu tadi pagi, Agni. Tetapi tak ada keperluan apa-apa. Aku hanya ingin minum bersama seseorang. tetapi ternyata kau tidak ada. Tak seorang pun yang melihat. Aku sangka kau sedang pergi sawah.”
Kembali Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Di tundukkannya kepalanya, dan dibiarkannya gurunya berkata meneruskan, “Apakah kau benar-benar pergi ke sawah?”
Mahisa Agni menjadi bingung. Meskipun demikian ia menjawab, “Baru saja aku pulang dari sawah guru.”
Empu Purwa tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Apakah padimu telah merunduk?”
“Hampir Empu, tidak sampai berbilang hari,” jawab Mahisa Agni.
“Ah, syukurlah,” sahut orang tua itu, “mudah-mudahan tanaman itu dijauhkan dari hama den kerusakan.”
“Mudah-mudahan,” gumam Mahisa Agni.
“Kalau demikian, Agni,” berkata Empu Purwa, “itu sudah hampir sampai masanya kau membuat gubuk untuk menjaga sawahmu dari gangguan burung.”
“Ya, Empu,” jawab Agni, “sebentar lagi akan aku buat.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Dipandangnya wajah Mahisa Agni dengan seksama, seakan-akan ada sesuatu yang aneh pada anak muda itu. Sehingga ketika Mahisa Agni menyadarinya, maka ia pun menjadi gelisah. Dan kembali wajahnya terpaku di dalam anyaman tikar yang didudukinya. Sesaat kemudian Empu Purwa itu berkata pula,
“Agni. Adalah menjadi hak kita untuk mengusir setiap burung yang akan mencuri padi kita di sawah, sebab kitalah yang menanamnya, memeliharanya dan dengan tertib berbuat untuk kepentingan tanaman itu.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Kata-kata gurunya itu agak mengherankannya. Bukankah hal itu sudah wajar. Tak ada sesuatu yang terasa baru pada kata-kata itu. Empu Purwa melihat pula wajah Agni yang memancarkan berbagai pertanyaan itu. Maka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Empu Purwa berkata,
“Kita akan merasa kehilangan Agni, apabila meskipun hanya sebutir padi kita yang dimakan oleh burung-burung pipit liar itu. Karena itu kita akan selalu mengusirnya apabila mereka datang.”
Mahisa Agni menjadi semakin heran. Namun ia tidak bertanya. Bahkan kembali ia menundukkan wajahnya.
“Tetapi Agni,,” sambung gurunya. Suaranya menjadi berat dan dalam, “Padi yang kita pertahankan dari serbuan burung-burung pipit, dan kadang-kadang kita harus bekerja siang dan malam, apabila hujan lebat dan parit-parit menjadi melimpah itu, ada kalanya tidak sampai ke lumbung-lumbung kita.”
Empu Purwa berhenti sejenak, lalu katanya seterusnya, “Meskipun kita tidak mengikhlaskan sebutir padi pun kepada burung-burung pipit Agni, namun kadang-kadang kita berikan tidak hanya sebutir, bahkan lebih dari itu, seikat, kepada orang lain, apabila kita yakin orang itu membutuhkannya. Dan kita yakin karena itu maka orang itu menjadi berbahagia karenanya.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata gurunya itu. Sekejap ia mengangkat wajahnya, namun sekejap kemudian wajah itu pun terkulai kembali dengan lemahnya. Kini ia tahu, apakah yang akan dikatakan gurunya itu.
“Agni,” berkata Empu Purwa, “aku tidak dapat menolak apabila seseorang yang kelaparan datang kepadaku, dan minta supaya aku memberinya padi. Sedang padi itu ada padaku.”
“Tentu saja Agni. Aku dapat memberikannya kepada siapa saja sesuka hatiku, tetapi bagaimanakah kalau yang dapat aku berikan itu sangat terbatas?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika teringat pesan ibunya, maka Mahisa Agni pun segera dapat menguasai perasaannya. Karena itu berangsur-angsur kegelisahannya pun menjadi lenyap. Bahkan kini ditengadahkannya wajahnya, dan didengarnya kata-kata gurunya itu dengan hati yang terang.
Maka gurunya itu pun berkata, “Ah, Anakku. Aku tidak dapat menyamakannya dengan butiran padi itu. Mungkin orang lain berbuat demikian. Tetapi aku tidak. Kadang-kadang aku mengingat juga lumbung-lumbung atau tempat penyimpanan orang yang datang itu. Bahkan lebih dari itu, Agni”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak gelisah. Karena itu ketika Empu Purwa bertanya kepadanya, maka dengan tatag ia menjawabnya.
Berkatalah empu tua itu, “Agni. Ternyata kau turut memelihara sawahku itu dengan tekun. Bahkan kaulah yang setiap saat melakukannya. Bagaimanakah pendapatmu, kalau suatu ketika hasil sawah itu aku serahkan kepada rakyat Panawijen, atau orang yang dapat mewakilinya?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kini ia tidak menundukkan wajahnya. Bahkan dengan tenang ia menyahut, “Guru, adalah menjadi kewajibanku untuk ikut memelihara setiap milik guru. Sawah, ladang, halaman ini bahkan dengan segala isinya. Dan apabila kemudian Empu mempunyai keputusan tentang itu semuanya, adalah sudah seharusnya aku pun menjadi bergembira karenanya.”
Empu Purwa itu pun tersenyum, katanya, “Tetapi, Agni. Bagaimanakah kalau lumbung kita sendiri menjadi kosong. Dan apakah kita tidak takut, suatu ketika kita sendiri akan menjadi lapar?”
Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata gurunya. Tetapi ia telah menjadi tenang benar. Karena itu sama sekali tak tampak kegelisahan dan perubahan di wajahnya. Selalu diingatnya pesan ibunya. Cerita ibunya tentang dirinya dan ayahnya. Maka jawabnya, “Guru, apabila kita masih mencemaskan keadaan diri sendiri, maka pemberian kita itu menjadi tidak dilambari dengan keikhlasan.”
“Hem,” Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan penuh haru. Maka terdengar ia berkata, “Kau telah menemukan nilai-nilai dirimu Mahisa Agni. Nilai-nilai yang hampir rontok dalam usia mudamu. Usia yang paling berbahaya dalam hidup ini.”
Kini Mahisa Agni benar-benar terkejut. Apakah gurunya tahu, betapa ia hampir menjadi gila mendengar pengakuan Ken Dedes di hadapan ibunya? Tetapi Mahisa Agni justru menjadi terbungkam karenanya. Kemudian ia mendengar gurunya itu berkata pula,
“Agni, pagi tadi aku ikuti kau bertamasya.”
“Oh,” Mahisa Agni mengeluh. Gurunya benar-benar mengetahui apa yang sudah terjadi. Dan gurunya itu masih berkata, “Aku melihat kau hampir-hampir kehilangan keseimbangan, Anakku.”
Ketika Agni akan menjawab, Empu Purwa mendahului, “Jangan kau sembunyikan perasaanmu. Orang setua aku, Agni, adalah orang-orang yang pernah mengalami masa-masa semuda kau. Dan apa yang kau lakukan adalah wajar. Sewajar orang mengusir burung pipit di sawahnya. Aku melihat sejak kau bermain-main dengan serulingmu. Aku melihat Ken Dedes datang kepadamu. Aku melihat, betapa kau menempelkan telingamu, untuk mendengar apa yang dikatakan Ken Dedes kepada pemomongnya. Dan aku ikut berlari-lari sepanjang tengah malam itu. Dan aku mendengarkan semua percakapanmu dengan hantu di padang rumput itu, Agni. Aku tidak akan berani mengatakan semua ini kepadamu, apabila kau masih belum menemukan nilai-nilai yang tersimpan di hatimu. Meskipun apa yang dikatakan oleh Ken Arok itu membantumu, namun keikhlasan yang terpancar di wajahmu, membayangkan betapa kau memiliki nilai-nilai di dalam hatimu melampaui dugaanku.”
Mahisa Agni mendengar kata-kata gurunya dengan hati yang berdebar-debar. Namun satu hal yang tak diketahui oleh gurunya, ibunya kini telah hadir pula di dalam hatinya. Namun Mahisa Agni tak berkata sepatah kata pun.
Sesaat kemudian terdengar gurunya berkata, “Agni. Seorang setia berkata bahwa wanita sana harganya dengan curiga. Dan sama pula harganya dengan nyawanya. Aku tidak keberatan Agni. Namun aku ingin memberinya arti yang agak berbeda dengan arti yang pernah diberikan oleh anak-anak muda. Wanita, curiga, pusaka dan sebagainya adalah lambang dari cita-cita. Setiap cita-cita memang mempunyai nilainya sendiri-sendiri. Kalau cita-cita itu dinilai sama dengan nyawa kita, maka adalah sudah seharusnya kita mengejar cita-cita itu sepanjang umur kita. Dan kau telah sampai pada nilai-nilai yang lebih tinggi dari nilai-nilai wadagnya Agni.”
“Bukan wanita dalam wadagnya, tetapi wanita sebagai lambang yang memancarkan kehalusan, yang memancarkan sifat-sifat pengabdian pada anak-anaknya, pada penerus hidup kita. Pengabdian bagi masa yang akan datang. Wanita tidak sekedar hidup untuk hidupnya, tetapi wanita hidup untuk hidup masa mendatang. Dan adakah kita telah melakukannya. Adakah kita telah menerapkan hidup kita tidak sekedar untuk hidup kita sendiri. Adakah kita sudah menempatkan diri kita dalam pengabdian bagi masa datang?”
“Agni, curiga dan pusaka yang harus kita udi pun, janganlah dinilai sebagai bentuk wadagnya. Keris, tombak, bahkan segala jenisnya. Namun setiap kita menempatkan pusaka apapun di hati kita, maka kita menilainya dari setiap unsur yang dapat kita lihat daripadanya. Unsur yang dipancarkan olehnya. Kejantanan, keperkasaan dan keluhuran budi. Atau apapun menurut penilaian kita atasnya.”
Empu Purwa itu pun berhenti sejenak. Dicobanya untuk mengetahui, apakah kata-katanya itu dapat dimengerti oleh muridnya yang masih muda itu. Agni kini menekurkan kepalanya. Didengarnya semua nasihat gurunya itu. Dan dicobanya untuk mencernakannya di dalam hatinya.
Seterusnya gurunya itu berkata perlahan-lahan, namun langsung menyusup ke jantung Mahisa Agni, “Agni. Betapapun juga, aku menyadari, bahwa ada sesuatu yang hilang dari hatimu. Hanya orang-orang yang tabah, dan telah menemukan nilai-nilai kemanusiaannyalah yang dapat menghadapi peristiwa semacam itu dengan tenang dan berhati terang. Dan kau telah melakukannya dalam umur mudamu. Karena itu mudah-mudahan kau selalu diselamatkan oleh Maha Pencipta. Namun, meskipun demikian Agni, aku akan mencoba mengurangi tekanan-tekanan yang berat itu. Meskipun kau pasti akan kuat memanggulnya, namun sebaiknya, aku, gurumu, ikut pula membantumu. Maksudku, aku tidak akan mengubah pendirian anakku, sebab dengan demikian aku akan merampas kebahagiaannya. Dan menurut penilaianku, kau telah memaafkannya.”
“Dan kini, aku akan memberimu imbangannya. Sebuah pusaka.”
Mahisa Agni tersentak sehingga ia bergeser madu. Diangkatnya wajahnya, dan dipandangnya wajah gurunya yang sejuk bening. Dan didengarnya gurunya itu meneruskan kata-katanya, “Agni, kau pernah melihat sebuah trisula yang kecil itu? Sudah pernah aku katakan kepadamu, pusaka itu diberikan turun temurun dari guru kepada muridnya yang tepercaya. Dan kini, aku telah mengambil keputusan untuk memberikannya kepadamu. Namun, ingatlah Agni. Pusaka yang berbentuk senjata itu bukan alat pembunuh. Pusaka itu adalah alat untuk menegakkan sendi-sendi kebenaran dan kemanusiaan menurut Sumbernya. Jadi menurut sumbernya, Agni. Bukan menurut kehendakmu dan kepentinganmu. Meskipun kau tak akan mengerti seluruhnya, kebenaran menurut Sumbernya itu, namun kau harus berusaha mendekatkan diri pada-Nya. Kalau kau menemui keingkaran pada kebenaran itu Agni, yang pertama-tama kau lakukan adalah melenyapkan keingkaran itu. Bukan melenyapkan seseorang. Jangan kau lenyapkan seseorang yang mengingkari kebenaran, selagi kau melihat kemungkinan untuk melenyapkan keingkarannya tanpa mengorbankan orangnya.”
Kini Mahisa Agni menundukkan wajahnya dalam-dalam. Meskipun gurunya pernah berkata kepadanya di padang rumput Karautan, bahwa pusaka berbentuk trisula itu adalah pusaka turun temurun, dan bahkan gurunya pernah berkata pula, bahwa suatu ketika pusaka itu akan diberikan kepadanya, namun pada sangkanya, tidak secepat yang terjadi. Justru karena itu, maka dada Mahisa Agni terasa menjadi sesak oleh berbagai perasaan yang bergulat di dalamnya. Bahkan kemudian terasa matanya menjadi panas, dan terasa sesuatu menyumbat mulutnya.
Demikianlah, malam itu, dengan penuh keharuan dan terima kasih, Mahisa Agni menerima sebuah pusaka dari gurunya. Apapun bentuknya, namun itu adalah suatu pertanda bahwa gurunya telah menumpahkan kepercayaan kepadanya. Kepercayaan pada ilmu yang telah dimilikinya, dan kepercayaan pada pengalaman yang akan dilakukannya.
Dalam keharuannya, sekilas Mahisa Agni teringat kepada gadis putri gurunya itu. Karena itu hatinya berdesir. Tetapi kemudian perasa hatinya menjadi tenang kembali setelah disadarinya, bahwa sebagai gantinya, telah didapatnya dua penemuan yang sangat berarti dalam hidupnya. Ibunya dan sebuah pusaka. Maka, meskipun tak terucapkan, namun betapa Mahisa Agni mengucapkan syukur di dalam hatinya kepada Maha Pengasih atas karunianya yang tak ternilai.
Ketika malam telah menjadi semakin malam, dan bulan di langit telah membuat garis-garis tegak di atas padepokan, maka Empu Purwa melepaskan Mahisa Agni kembali ke biliknya. Di samping pendapa Mahisa Agni melihat sebuah bayangan di bawah rimbun daun kemuning, Pandangan matanya yang tajam segera mengenalinya. Orang itu adalah ibunya.
“Apa yang terjadi?” bisik ibunya, ketika Mahisa Agni telah dekat di sampingnya.
Dengan bangga Mahisa Agni menceritakan kepercayaan gurunya kepadanya. Dan dengan bangga pula ditunjukkannya pusakanya kepada ibunya. Namun ibunyalah yang lebih berbangga dari Mahisa Agni sendiri. Sedemikian bangganya sehingga perempuan itu tak dapat menguasai perasaannya. Setetes demi setetes, air matanya menitik. Tetapi ia tidak bersedih. Bahkan dengan sebuah senyum ia berkata, “Berbahagialah kau Agni, dan aku pun berbahagia pula. Pandanglah hari depanmu dengan penuh gairah di dalam dadamu.”
Malam itu adalah malam yang tak akan dilupakan oleh Mahisa Agni. Namun demikian, anak muda itu tidak menjadi takabur. Dengan tekun ia justru menempa dirinya. Setiap saat ada kesempatan, dengan tekad, bahwa nama perguruannya, nama gurunya dan kepercayaan yang telah dilimpahkan kepadanya, harus dijunjungnya tinggi-tinggi.
Dan karena itu pulalah maka Empu Purwa pun berbangga pula karenanya. Ternyata muridnya benar-benar seorang anak muda yang baik. Karena itu, maka Empu Purwa pun untuk selanjutnya telah menempa Mahisa Agni dalam tataran ilmunya yang tertinggi.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Agni tenggelam dalami penekunan tanpa henti atas ilmunya, maka Wiraprana telah pula berhasil meyakinkan ayahnya. Sehingga akhirnya Buyut Panawijen itu pun tak dapat berbuat lain daripada memenuhi permintaan anaknya.
Ternyata semuanya berlangsung seperti yang diharapkan, Empu Purwa tidak mau menunda persoalan itu berlarut-larut. Ketika ia menerima sebuah utusan dari Buyut Panawijen, maka dilambari dengan penuh pengertian atas hasrat yang tersimpan di dalam dada anaknya, maka dipanggillah Ken Dedes menghadapnya.
“Ken Dedes,” berkata Empu Purwa kemudian, “pengikut sayembara kali ini hanya seorang, Wiraprana, putra Buyut Panawijen. Bagaimanakah pendapatmu?”
Ken Dedes menundukkan wajahnya dalam-dalam. Berbagai perasaan bergolak di dadanya. Ia gembira, menerima pertanyaan itu, tetapi ia tidak kuasa untuk menganggukkan kepalanya. Karena itu ia menjawab lirih, “Ayah. Terserahlah kepada Ayah.”
Empu Purwa tersenyum. Seorang yang telah berumur lanjut, segera mengetahui isi hati seorang gadis yang telah ditunggunya setiap saat. Ken Dedes tidak menolak.
“Nah, Anakku,” kata ayahnya, “aku harap kau tidak menemui persoalan-persoalan yang sulit di kemudian hari, seperti apa yang telah terjadi. Sebab segera semua orang di Panawijen akan mendengar kabar, bahwa lamaran Buyut Panawijen telah diterima. Kita tinggal memperhitungkan hari yang sebaik-baiknya untuk keperluanmu itu.”
Ken Dedes tidak menjawab. Kepalanya masih ditundukkannya dalam-dalam. Namun ia berdoa, mudah-mudahan semuanya segera selesai. Ketika ayahnya mengizinkannya pergi, Ken Dedes langsung berlari-lari ke bilik Mahisa Agni. Dengan serta-merta ia mengguncang-guncang tubuh Agni yang sedang berbaring, setelah dengan sekuat tenaga memeras diri dalam latihannya.
Betapa terkejutnya anak muda itu. Segera ia bangkit bertanya, “Ada apa Ken Dedes?”
“Kakang,” berkata gadis itu terbata-bata, namun wajahnya tampak betapa cerahnya, secerah bintang pagi, “Ayah telah menerima lamaran dari Buyut Panawijen.”
“He?” Agni tersentak. Dan warna merah tiba-tiba tebersit di wajah Ken Dedes. Ia menjadi malu kepada kakaknya, dan malu kepada diri sendiri. Karena itu, kemudian ia terduduk di samping Agni sambil menundukkan wajahnya.
Sesaat darah Agni bergolak. Namun hanya sesaat. Kemudian terasa darahnya mendingin kembali. Dengan tenang ia berkata, kata-kata yang sudah sewajarnya diucapkan oleh seorang kakak kepada adiknya yang berbahagia, “Syukurlah, Ken Dedes. Wiraprana tidak mengecewakan kita.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya perlahan-lahan, “Aku berterima kasih kepadamu, Kakang.”
“Bukankah sudah menjadi kewajibanku Ken Dedes? Kau adalah adikku. Adalah menjadi kewajiban saudara tua untuk mendengarkan tangis adiknya,” jawab Mahisa Agni, kemudian ia meneruskan, “Kalau kau berbahagia adikku, aku pun berbahagia pula karenanya. Mudah-mudahan Wiraprana dapat menempatkan diri, dan mudah-mudahan kau pun dapat menyesuaikan dirimu pula.”
Di hari-hari berikutnya, tampaklah betapa cerah wajah Ken Dedes. Ia kini tidak mengurung diri lagi di dalam biliknya. Dengan rajin ia bekerja seperti dahulu, sebelum hatinya menjadi murung. Mencuci pakaian, membersihkan halaman dan bekerja di dapur bersama-sama gadis-gadis pembantunya. Kini Ken Dedes tidak pernah membuang waktunya dengan berbagai pekerjaan tak berarti. Setiap kali ia sibuk membersihkan rumah dan biliknya. Seakan-akan besok pagilah perhelatan perkawinannya akan diselenggarakan.
Mahisa Agni pun telah berusaha sekuat-kuatnya untuk melupakan luka-luka yang pernah ada di hatinya. Diusahakannya untuk berbuat seperti apa yang selalu dilakukan. Ke sawah, mencangkul halaman, belumbang, tanaman-tanaman dan petak-petak di belakang rumahnya.
Namun, sama sekali tak pernah diketahuinya, bahwa setiap kali gurunya, mengawasinya diri sudut sanggarnya sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Dengan pandangannya yang penuh iba, kadang-kadang orang tua itu bergumam, “Kasihan kau, Anakku. Mudah-mudahan kau mendapat karunia, kesabaran.”
Kabar tentang hubungan yang telah diikat antara Wiraprana dan Ken Dedes itu pun segera tersebar di segala sudut-sudut padukuhan Panawijen. Ramailah anak-anak muda membicarakannya. Bunga di kaki Gunung Kawi itu kini akan dipetik orang. Sambil tertawa-tawa, kawan-kawan Wiraprana selalu mengganggunya. Di rumah, di sawah di bendungan bahkan di mana saja mereka bertemu.
“Mahisa Agni,” berkata salah seorang dari mereka, “kenapa bukan aku yang kau ambil menjadi adikmu?”
Mahisa Agni tersenyum. Betapa pedih luka di hatinya. Namun dijawabnya sambil tertawa, “Kau bukan Wiraprana. Namun kau belum pernah berkelahi dengan Kuda Sempana.”
Yang mendengar jawaban itu pun tertawa riuh. Sambil menunjuk wajah kawannya itu mereka bersorak, “Kalau menjadi adik Mahisa Agni, dan Kuda Sempana itu datang kembali, apa katamu?”
“Lari,” jawabnya sambil tertawa pula.
Wiraprana sendiri tak pernah menyahut. Ia hanya tersenyum-senyum saja. Meskipun kadang-kadang ia mengeluh atas gangguan kawan-kawannya, namun sebenarnya ia berbangga juga. Tetapi sejak saat itu Wiraprana tidak pernah lagi mengunjungi Mahisa Agni di rumah Empu Purwa. Ia menjadi segan, dan adalah kurang baik apabila ia datang ke rumah itu, sebab Ken Dedes berada di rumah itu pula.
Bahkan Mahisa Agni-lah yang selalu datang kepadanya. Mahisa Agni sama sekali tidak mau mengubah hubungan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Mereka masih saja bergaul seperti biasa, ke sawah, ke bendungan dan membersihkan parit bersama kawan mereka. Tak ada kesan apapun dalam tingkah laku Mahisa Agni. Dan karena itu Wiraprana tidak pernah mengetahuinya, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan sahabatnya itu.
Berita tentang hubungan yang telah disetujui bersama antara Wiraprana dan Ken Dedes itu ternyata tidak saja menggemparkan desanya sendiri, namun berita itu kemudian tersebar sampai jauh di luar daerah pergaulan mereka. Lebih-lebih bagi mereka yang pernah mengirimkan utusan untuk melamar gadis itu. Berbagai tanggapan telah tumbuh di dada anak-anak muda itu. Ada di antara mereka yang acuh tak acuh.
“Biarlah,” katanya di dalam hati, “gadis di dunia ini tidak hanya seorang Ken Dedes saja.”
Namun ada juga yang kemudian dengan sedihnya meratapi nasibnya. Mengurung diri di dalam biliknya. Kerjanya siang dan malam menggurat-gurat rontal untuk menumpahkan kepedihan hatinya. Berhelai-helai. Dan disimpannya rontal itu di bawah bantalnya. Tetapi di antara mereka ada juga yang mempunyai tanggapan lain pula. Ketika kabar itu sampai di telinganya, maka seakan-akan telinganya itu terjilat api.
“Benarkah?” geramnya.
Tetapi kabar itu benar-benar meyakinkannya, bahwa Ken Dedes telah menerima lamaran dari seorang anak muda. Bukan dirinya. Sehingga akhirnya datanglah kepadanya, utusan Empu Purwa, yang mengabarkan, bahwa dengan rendah hati dan permintaan maaf yang sebesar-besarnya lamarannya tak dapat diterima.
Anak muda itu adalah Mahendra. Putra sahabat Empu Purwa di Tumapel. Seorang anak muda yang tangkas dan tanggon. Dengan wajah yang merah membara ia datang kepada ayahnya. Katanya, “Ayah, Bukankah penolakan itu berarti penghinaan bagi keluarga kita?”
Ayahnya menggeleng lemah, jawabnya, “Tidak, Anakku. Seharusnya kau sadari, seandainya datang dua tiga lamaran. Apakah yang harus dilakukan oleh Empu Purwa itu, Tentu ada di antaranya yang harus ditolak. Dan itu sama sekali bukan suatu penghinaan.”
“Ayah,” sahut Mahendra, “kalau Ken Dedes itu menolak kami, tetapi ia kemudian menerima orang lain yang lebih tinggi tingkat dan derajatnya, maka aku tak akan tersinggung karenanya. Tetapi Ken Dedes itu telah menerima lamaran seorang anak muda yang bernama Wiraprana yang menurut pendengaranku tidak lebih dari anak Buyut Panawijen. Tidakkah itu suatu Penghinaan?”
Kembali ayahnya menggeleng. Katanya, “Ken Dedes adalah gadis Panawijen. Anak itu adalah anak muda Panawijen.”
Mahendra terdiam. Namun hatinya masih berbicara terus. “Siapakah gerangan anak muda yang bernama Wiraprana itu? Apakah ia seorang maha sakti tak ada bandingnya di seluruh daerah Tumapel?”
Ayahnya melihat betapa dendam menjalar di dada enaknya. Tetapi ia tidak berkata-kata lagi. Anaknya adalah anak yang sukar dikendalikan. Tetapi ia tidak menyangka bahwa anak itu tidak saja merasa terhina, dan mengumpatnya habis-habisan, namun anak itu benar-benar berhasrat untuk menilai anak muda yang bernama Wiraprana. Karena itu, maka pada suatu malam, tanpa setahu ayahnya, Mahendra pergi meninggalkan rumahnya. Dengan dikawani oleh dua orang saudara seperguruannya ia pergi ke Panawijen.
“Dengan tekad yang teguh. Kita bertukar darah, Wiraprana!” gumamnya.
Mereka sampai ke Panawijen menjelang senja berikutnya. Tetapi mereka tidak segera menciri rumah Buyut Panawijen. Mereka menunggu sampai malam tiba. Di malam yang kelam, tak ada orang yang akan mengganggu pertemuan itu. Awan yang kelabu, mengalir seperti lembaran-lembaran kapuk yang diterbangkan angin. Bintang satu demi satu mulai menyala di langit yang biru. Ketika seorang petani tua berjalan pulang dari sawahnya, Mahendra menghentikannya dan berkata, “Kaki, apakah Kaki kenal dengan Wiraprana?”
Petani tua itu mengamat-amati ketiga anak muda itu dengan seksama, kemudian ia pun bertanya, “Siapakah Angger bertiga?”
“Kami datang dari jauh, Kami adalah sahabat-sahabat Wiraprana,” jawab Mahendra.
Orang tua itu mengangguk-angguk, katanya, “Adakah yang Anakmas maksud itu putra Buyut Panawijen?”
“Ya,” jawab Mahendra pendek.
“Apakah Angger akan menemuinya?”
“Ya.”
“Marilah, biarlah Anakmas bertiga saya antarkan ke rumahnya.”
Mahendra menggeleng. Jawabnya, “Tidak Kaki. Aku tidak akan datang ke rumahnya. Tolonglah sampaikan kepadanya sahabatnya dari Tumapel menunggunya. Namanya Mahendra.”
Orang tua itu memandangnya dengan heran. Maka bertanyalah orang tua itu, “Kenapa Anakmas tidak mau datang ke rumahnya?”
“Tidak apa-apa,” jawab Mahendra singkat, “kami menunggu di sini.”
Orang tua itu tidak bertanya lagi. Diangguk-anggukkannya kepalanya sambil berkata, “Baiklah, nanti aku sampaikan kepadanya.”
Meskipun demikian, petani tua itu pun tak habisnya berpikir, “Aneh, tamu yang datang sedemikian jauhnya, tetapi tidak mau diantarkannya ke rumahnya.”
Namun petani tua itu memenuhi pula permintaan ketiga anak-anak muda dari Tumapel itu. Ia tidak langsung pulang ke rumahnya, tetapi diperlukannya singgah ke rumah Buyut Panawijen. Di muka regol halaman dilihatnya Mahisa Agni. Karena itu orang tua itu pun berkata, “Mahisa Agni, apakah Wiraprana ada di rumahnya?”
“Ada Kaki,” jawab Mahisa Agni, “kita berjanji akan pergi ke sawah bersama. Dan aku sedang menunggunya. Apakah Kaki akan menemuinya?”
“Oh. Tidak,” berkata orang itu pula, “aku hanya ingin menyampaikan pesan untuknya. Nah, Katakanlah kepadanya Agni. Tiga orang anak-anak muda dari Tumapel menunggunya di ujung desa.”
“Tumapel?” bertanya Mahisa Agni dengan herannya.
Orang tua itu mengangguk. “Ya,” jawabnya, “namanya Mahendra.”
“Mahendra?” ulang Agni. Dan dada Mahisa Agni ini menjadi berdebar-debar. Ia pernah mendengar nama itu. Mahendra, adalah salah sebuah nama yang pernah disebut-sebut oleh gurunya. Karena itu segera ia menghubungkannya dengan Ken Dedes.
“Nah Agni,” berkata petani tua itu, “bukankah kau sedang menunggu Wiraprana? Sampaikanlah pesan itu kepadanya.”
“Baik. Baik Kaki,” sahut Agni terbata-bata. Sedang angan-angannya masih sibuk dengan anak muda yang bernama Mahendra itu.
Sepeninggal petani tua itu. Mahisa Agni sibuk berpikir, “Apakah keperluan Mahendra dengan Wiraprana?” bertanya Mahisa Agni di dalam hatinya, “Ada dua kemungkinan.”
Pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Mungkin Mahendra akan memberikan ucapan selamat kepada Wiraprana. Tetapi ada kemungkinan lain. Anak muda itu membawa dendam yang membara di hatinya.”
Namun anak muda yang telah banyak mengenyam berbagai pengalaman itu, mempunyai firasat, bahwa kemungkinan yang terakhirlah yang akan terjadi. Kalau anak-anak muda dari Tumapel itu, bermaksud baik, maka mereka pasti akan datang ke rumah ini. “Bagaimanapun juga, Wiraprana harus berhati-hati,” desisnya.
Dalam pada itu Wiraprana pun telah turun dari pendapa rumahnya. Dengan senyumnya yang selalu memancar di wajahnya, ia berjalan seenaknya melintasi halaman rumahnya. “Apakah kau tidak singgah dahulu,” bertanya Wiraprana.
Agni menggeleng. Jawabnya, “Nanti, apabila pekerjaan kita sudah selesai.”
“Baiklah,” jawab Wiraprana, “marilah kita pergi.”
“Tetapi Wiraprana,” berkata Agni kemudian, “seseorang memberikan pesan untukmu. Tiga anak-anak muda dari Tumapel.”
“Dari Tumapel?” bertanya Wiraprana sambil mengangkat alisnya, “Apakah keperluannya?”
“Tak disebutkan,” jawab Mahisa Agni, “mereka menunggu di ujung desa.”
Wiraprana berpikir sejenak. “Aneh,” gumamnya.
“Kenalkah kau dengan anak muda yang bernama Mahendra?” bertanya Agni.
Wiraprana menggeleng.
“Mahendra adalah salah seorang yang pernah melamar Ken Dedes pula,” berkata Agni seterusnya.
“Oh,” desis Wiraprana, “lalu apakah keperluannya dengan aku? Bukankah aku tidak mempunyai persoalan dengan anak itu?”
“Demikianlah Wiraprana,” sahut Mahisa Agni, “tetapi tidak semua orang berpikir seperti itu. Mungkin ia mempunyai tanggapan tersendiri. Karena itu, berhati-hatilah.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Direnunginya malam yang gelap seakan-akan ada yang sedang dicarinya. Kemudian terdengar ia berkata,” Baiklah aku menemuinya Agni. Aku tak pernah merasa membuat persoalan dengan siapa pun. Karena itu, di antara aku dan anak muda itu pun tak pernah terdapat persoalan apa-apa.”
Tiba-tiba Mahisa Agni pun teringat, apa yang pernah dilakukan pada malam ia mendengar pengakuan Ken Dedes terhadap emban tua yang ternyata adalah ibunya. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tidak mustahil bahwa orang lain pun akan berbuat serupa itu. Bahkan diingatnya pula anak muda yang bernama Kuda Sempana. Apakah salah seorang dari ketiga anak muda itu Kuda Sempana?
“Ah,” bantahnya sendiri, “pasti bukan. Kalau demikian anak itu pasti sudah dikenal.”
Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata, “Wiraprana, aku akan ikut dengan kau.”
Wiraprana mengangkat alisnya. Katanya, “Apakah kehadiranmu tidak akan mengganggu pertemuan itu?”
“Mungkin Wiraprana, namun mungkin pula tidak. Bukankah mereka datang bertiga?” jawab Agni.
Wiraprana berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Baiklah. Kita pergi bersama-sama.”
Maka pergilah mereka berdua ke ujung desa. Dengan hati yang dirisaukan oleh berbagai pertanyaan Mahisa Agni berjalan di samping Wiraprana. Namun ia hampir pasti, bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan yang menyenangkan.
“Apakah sangkamu maksud kedatangan anak-anak muda itu Agni,” bertanya Wiraprana.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Jauh di relung hatinya terdengar sebuah suara yang sumbang, “Biarkanlah Agni. Biarlah Wiraprana menyelesaikan masalahnya sendiri. Biarlah ia mengetahui, bahwa seorang istri itu memerlukan perlindungannya. Apakah ia akan mampu melakukan? Apalagi seorang istri seperti Ken Dedes yang telah menggerakkan hampir setiap hati anak-anak muda di lereng Gunung Kawi ini. Biarlah ia belajar untuk tidak mengenyam nangkanya saja, tetapi juga berlumur getahnya. Kalau karena pertemuan ini Wiraprana ditelan oleh bencana, syukurlah. Pintu untukmu terbuka kembali.”
Suara itu terdengar melengking berulang-ulang, meskipun perlahan-lahan. Karena itulah maka wajah Mahisa Agni menjadi tegang. Dan tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya keras-keras sambil bergumam, “Tidak, Tidak.”
“Apa yang tidak?” bertanya Wiraprana.
“Oh?” Mahisa Agni tersadar. Jawabnya, “Aku sedang berpikir tentang mereka bertiga.”
“Ya. Lalu apakah yang akan mereka lakukan?”
“Aku tak dapat menebaknya dengan pasti Prana. Tetapi firasatku mengatakan, bahwa kau harus berhati-hati.”
Wiraprana tersenyum, “Kita adalah manusia-manusia yang beradab. Yang memiliki tata pergaulan dalam hubungan kita antara manusia. Karena itu seandainya ada persoalan antara aku dan Mahendra itu, maka tidak perlu kita risaukan. Kita akan dapat menyelesaikannya dengan baik.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Apabila setiap orang berpikir seperti kau Prana, aku sangka dunia ini akan lekas mengenyam perdamaian yang dirindukan oleh hampir setiap manusia. Tetapi orang lain ternyata berpendapat lain. Kadang-kadang orang ingin menyelesaikan persoalan tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Seseorang mengulurkan tangan kanannya untuk bersahabat, namun di tangan kirinya digenggamnya senjata sambil berkata, “Marilah kita selesaikan persoalan kita dengan baik. Dan marilah kau turuti saja sekehendakku. Dengan demikian tak ada masalah lagi di antara kita’.”
Wiraprana menundukkan wajahnya. Seakan-akan ia sedang menghitung jumlah batu-batu yang dilampaui kakinya. Sedang terdengar Mahisa Agni berkata terus, “Ternyata Wiraprana, kau pernah bertemu dengan anak muda yang bernama Kuda Sempana.”
Wiraprana menganggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia masih bergumam di dalam hatinya, “Ah. Apapun yang akan dilakukan, apabila aku tak melayaninya, aku sangka tak akan timbul peristiwa yang tak diinginkan.”
Kemudian mereka berdua itu pun saling berdiam diri. Mereka berjalan sambil berangan-angan. Masing-masing diliputi oleh berbagai pertanyaan yang melingkar-lingkar di dadanya. Ketika mereka sampai di ujung desa, hati Mahisa Agni pun menjadi berdebar-debar. Ditatapnya jalan yang menjelujur di hadapannya. Dan hatinya kemudian berdesir ketika dilihatnya tiga anak muda sedang duduk dengan tenangnya di tanggul parit di tepi jalan. Di samping mereka, kuda-kuda mereka terikat pada batang-batang perdu liar yang tumbuh di atas tanggul. Tiba-tiba saja Mahisa Agni menggamit, Wiraprana, sehingga mereka berdua itu pun berhenti.
“Mengapa,” bertanya Wiraprana.
“Jangan terlampau tergesa-gesa. Tak ada gunanya. Waktumu masih panjang,” jawab Agni.
Sementara itu, Mahendra pun telah melihat kehadiran mereka. Karena itu, maka serentak mereka bertiga berdiri, berjajar tegak dengan kaki renggang. Mahisa Agni menarik nafas. Sikap itu tidak menyenangkannya. Kenapa mereka bertiga segera bersikap demikian, seakan-akan mereka sedang menanti lawan-lawan mereka yang sudah bertahun-tahun dilumuri dendam. Karena itu Mahisa Agni berbisik, “Wiraprana, sambutan mereka benar-benar tidak menyenangkan. Karena itu sekali lagi, hati-hatilah.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun hatinya berkata, “Apa saja yang akan mereka lakukan. Aku harus bersikap baik.”
Selangkah demi selangkah Wiraprana dan Mahisa Agni pun berjalan maju. Dan ketiga anak muda itu kini telah berdiri benar-benar di tengah jalan, seakan-akan mereka ingin menutup jalan itu, supaya Wiraprana tidak lewat melampauinya.
Tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari anak muda itu bertanya, “Adakah di antara kalian bernama Wiraprana.”
“Hem,” Agni menarik nafas, “jarak mereka masih cukup jauh. Kenapa anak muda itu berteriak-teriak?”
Tetapi Wiraprana itu pun menjawab juga, “Ya, akulah Wiraprana.”
“Bagus,” sahut suara itu, “aku adalah Mahendra. Ternyata kau jantan juga.”
“Oh,” desah Mahisa Agni. Kemudian ia berbisik, “Sambutan yang benar-benar menyenangkan.”
Wiraprana menggigit bibirnya. Kemudian gumamnya, “Aku tidak peduli, apa yang akan dilakukan . Aku harus menemuinya.”
Namun Mahisa Agni pun sekali lagi menggamitnya. Dan ketika mereka berhenti, mereka tiba-tiba terkejut. Mahendra telah mulai menggertak dengan gerakan yang mengagumkan. Sekali ia meloncat, dan diraihnya sebuah cabang pohon cangkring yang tegak di tepi jalan. Dengan satu renggutan, cabang itu patah berderak-derak. Kemudian dengan lantangnya ia berkata, “Aku telah mendapat senjata, apa senjatamu?”
Mahisa Agni dan Wiraprana masih tegak di tempatnya. Dada mereka pun menjadi berdebar-debar karenanya. Maka bisik Mahisa Agni, “Apakah mereka dapat diajak berbicara?”
“Apakah sebenarnya yang mereka kehendaki,” gumam Wiraprana.
“Perkelahian,” sahut Mahisa Agni.
“Hem,” Wiraprana menarik nafas, “Akan aku coba untuk menghindarkannya.”
“Tak mungkin,” jawab Agni, “kau lihat sendiri, apa yang telah dilakukannya.”
“Mengagumkan,” desahnya, “setan manakah yang telah memberinya kekuatan.”
Sejenak mereka berdiam diri. Wiraprana pun menjadi bimbang. Kekuatan yang ditunjukkan Mahendra benar-benar mengejutkan. Anak muda itu tidak kalah berbahayanya dari Kuda Sempana. Tetapi kini ia tidak dapat menggantungkan diri kepada orang lain. Ken Dedes adalah tanggung jawabnya. Apapun yang terjadi, namun tidak sepantasnya ia bergantung kepada Mahisa Agni seperti pada saat ia di lumpuhkan oleh Kuda Sempana. Namun meskipun demikian Wiraprana masih berpikir, “Tidakkah aku dapat menemuinya dan berbicara dengan baik?”
Wiraprana terkejut ketika dengan lantang Mahendra itu berkata, “Siapakah di antara kalian yang bernama Wiraprana. Marilah kita berkenalan. Inilah Mahendra yang sudah kau hinakan. Apakah benar-benar kau berhak berbuat demikian.”
Sekali lagi dada Wiraprana berguncang. Namun ia tidak dapat berbuat lain daripada menyambutnya. Sedang Mahisa Agni masih berdiri seperti patung. Dengan melihat kekuatan Mahendra, maka Mahisa Agni segera dapat mengetahuinya, bahwa Mahendra adalah seorang yang luar biasa. Bahkan mungkin melampaui Kuda Sempana. Namun dalam pada itu, suara di relung hatinya yang jauh, kembali terdengar mengganggunya, “Biarkan saja Agni, biarlah.”
Di depan mereka kembali terdengar Mahendra bertanya, “Ayo, yang manakah yang bernama Wiraprana?”
Hampir saja Wiraprana melangkah maju dan menjawab pertanyaan itu. Tetapi ia terkejut bukan kepalang. Bahkan ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Yang dirasakannya, adalah tangan Mahisa Agni menahannya, kemudian mendorongnya ke samping. Kemudian sahabatnya inilah yang melangkah maju sambil menjawab lantang, “Inilah Wiraprana.”
“Ha,” sahut Mahendra, “ternyata kau benar-benar jantan. Majulah. Kita melihat, apakah benar-benar kau berhak menghinakan Mahendra. Kalau kau berhasrat meniadakan hadirnya Mahendra dalam kehidupan Ken Dedes, maka seharusnya kau berkenalan dengan orang itu. Nah. jangan buang-buang waktu. Apakah senjatamu?”
“Oh. Apakah aku harus bersenjata? Aku tak tahu, apakah gunanya senjata. Bukankah kita tidak memerlukannya. Mahendra, aku ingin mempersilakan kau datang ke rumahku. Bukankah perkenalan itu menjadi lebih akrab.”
Meskipun Mahisa Agni hampir yakin, bahwa Mahendra tidak dapat diajaknya berbicara, namun ia mencobanya juga, seperti apa yang akan dilakukan oleh Wiraprana, supaya anak itu menyalahkannya kelak.
Tetapi ternyata, Mahendra yang sejak dari rumahnya sudah dibekali oleh hasrat untuk berkelahi dan memamerkan kelebihannya dari anak-anak muda sebayanya, tak mau mendengarkannya. Yang ada di dalam dadanya adalah, memaksa Wiraprana untuk membatalkan niatnya, memetik bunga di kaki Gunung Kawi itu.
Karena itu, ketika ia mendengar jawaban Mahisa Agni, ia menyahut, “Inilah Wiraprana, aku datang dari Tumapel untuk melihat, betapa anak Panawijen mampu menjaga kembang di halamannya. Ayo, jangan merengek seperti anak-anak. Aku sudah siap dengan dahan ini.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling kepada Wiraprana, seakan-akan berkata, “Nah, kau lihat? Orang itu benar-benar tidak dapat diajak berbicara.”
Wiraprana masih tegak mematung. Berbagai perasaan bergolak di dalam dadanya. Tetapi ia tidak dapat melangkah surut. Namun Agni itu pun telah melangkah pula beberapa langkah maju. Katanya untuk meyakinkan dirinya sendiri dan Wiraprana,
“ Mahendra, aku hormati kedatanganmu. Seorang yang berhati jantan dan penuh dengan rasa harga diri. Namun perkelahian tak akan dapat mengubah hati seseorang. Apakah kalau kau memenangkan perkelahian ini dengan tiba-tiba saja hati gadis itu tertarik kepadamu?”
“Ha,” sahut Mahendra, “ternyata aku salah sangka. Aku kira kau adalah seorang laki-laki jantan. Ternyata kau seorang banci yang tak tahu diri. Wiraprana, seorang gadis pun pasti akan dapat menghargai kejantanan. Nilai seseorang juga dapat ditentukan dengan nilai-nilainya sebagai seorang laki-laki.”
“Mahendra,” jawab Agni, “nilai-nilai kemanusiaan pasti akan lebih tinggi dari setiap bentuk perbuatan kita. Ingatlah, gadis itu adalah putri seorang pendeta? Apakah ia akan dapat menghargai kekasaran dan kekerasan jiwa, betapa pun dapat dikatakan sebagai sikap kejantanan?”
“Omong kosong!” bantah Mahendra, “kau jangan menggurui aku. Jangan kita bicarakan lagi perasaan orang lain. Marilah kita bicarakan nilai-nilai kita sendiri. Ayo, Wiraprana, katakanlah bahwa kita akan bertaruh. Siapa yang kalah, harus melepaskan niatnya untuk mendapatkan gadis itu.”
Tiba-tiba dada Agni itu seperti terbakar mendengar kata-kata Mahendra, Ken Dedes seakan-akan dianggapnya sebagai benda yang mati, yang hanya dapat dijadikan barang taruhan. Dan tiba-tiba pula, Mahisa Agni lupa pada keadaannya. Seakan-akan dirinya sendirilah yang kini sedang mempertahankan gadis yang dicintainya itu dari kerakusan hati seorang laki-laki. Karena itu, maka gigi Mahisa Agni terkatup rapat, dan matanya memancarkan sinar kemarahan yang membakar jantung. Ketika ia melihat Mahendra itu melangkah maju. Agni pun maju pula beberapa langkah sambil menggeram, “Mahendra. Jangan kau hinakan gadis itu. Ken Dedes bukan sekedar barang taruhan. Nilainya sama dengan nilai nyawaku sendiri.”
Dada Mahendra berdesir mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Ternyata laki-laki yang disangkanya Wiraprana itu benar-benar jantan. Dilihatnya Mahisa Agni telah benar-benar bersiap untuk bertempur. “Pasti ia akan bertempur mati-matian,” berkata Mahendra di dalam hatinya. Tetapi ia sendiri sudah lama bersiap. Sejak ia berangkat dari Tumapel, telah bulat tekad di dalam dadanya. Bertempur.
“Apakah yang dapat dilakukan oleh anak-anak desa seperti Wiraprana itu,” pikirnya, “Ia hanya memiliki keberanian, tetapi ia tidak akan mampu melihat, bahwa Mahendra adalah seorang anak muda yang tidak saja memiliki kekuatan tubuh, namun memiliki pula pengetahuan yang luas dalam tata perkelahian.”
Maka terdengar sekali lagi Mahendra berkata, “Ayo, Wiraprana, mana senjatamu?”
Agni menggeleng. Sahutnya, “Tak ada gunanya senjata bagiku.”
Dada Mahendra menggelegar mendengar jawaban itu. Benar-benar suatu penghinaan. Anak desa Panawijen itu begitu sombongnya sehingga dengan beraninya ia melawannya tanpa senjata. Karena itu Mahendra pun berteriak pula, “Baik. Kau takut melihat senjata.”
Dan terkejutlah mereka yang menyaksikan. Dahan kayu cangkring itu dengan serta-merta ditekankannya pada lututnya dan patah berderak-derak. Kemudian kedua potongan itu pun dilemparkannya jauh-jauh. Demikian jauhnya sehingga mereka tidak dapat melihat lagi, di mana kedua potongan kayu itu terjatuh. Benda-benda itu seakan-akan terbang dan lenyap ditelan awan yang kelam.
Wiraprana melihat semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Sebuah pameran kekuatan yang mengerikan. Dan kini ia merasakan kebenaran kata-kata Mahisa Agni. Laki-laki yang sedang dibakar oleh kekecewaan yang berlebih-lebihan itu tak dapat diajaknya berbicara.
Mahendra dan Mahisa Agni itu pun kini telah maju pula beberapa langkah. Dengan dada yang bergelora oleh kemarahan yang membakar dada masing-masing, mereka mempersiapkan diri.
Kedua orang saudara seperguruan Mahendra pun kini telah berdiri berseberangan. Mereka memperhatikan keadaan dengan seksama. Sedang Wiraprana pun telah berdiri mendekat. Seperti tonggak ia tegak di tengah-tengah jalan.
“Nah,” berkata Mahendra, “berjanjilah. Siapakah yang kalah di antara kita, akan membatalkan niatnya.”
“Persetan dengan igauan itu!” sahut Agni dengan marah.
“Kau menolak perjanjian itu?”
“Sudah aku katakan, Ken Dedes bukan barang taruhan.”
“Bagus, kalau demikian nyawa kita yang kita pertaruhkan.”
“Mahendra!” tiba-tiba terdengar salah seorang saudara seperguruan itu mencegahnya, “Jangan!”
Tetapi Mahendra tidak mendengarnya. Apalagi ketika kemudian Agni pun menjawab, “Bagus. Lebih baik nyawa kita, kita pertaruhkan.”
Mahendra telah benar-benar kehilangan pengamatan diri. Demikian ia mendengar jawaban Mahisa Agni, segera ia melontarkan diri dengan cepatnya menyerang lawannya. Namun Mahisa Agni pun telah bersiap pula. Karena itu, dengan tangkasnya pula ia berhasil membebaskan dirinya dari serangan itu. Namun Mahendra yang sedang dibakar oleh kemarahannya, segera melepaskan serangan beruntun. Geraknya sedemikian cepat dan lincah, dilambari oleh suatu keyakinan, bahwa tulang-tulang lawarnya, anak desa Panawijen yang disangkanya hanya mengenal cangkul dan bajak itu, akan segera dipatahkannya.
Tetapi Mahendra terkejut. Betapa anak desa itu dengan kecepatan yang mengagumkan, selalu berhasil mengelakkan serangan-serangannya. Karena itu, Mahendra menjadi semakin marah. Dilepaskannya serangan-serangan yang semakin berbahaya, menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh Mahisa Agni. Sehingga sesaat kemudian Mahendra itu pun seakan-akan tinggal sebuah bayang-bayang yang melontar melingkar-lingkar dengan cepatnya.
Tetapi lawannya adalah Mahisa Agni, Seorang anak muda yang hampir sempurna dalam menekuni ilmu yang mengalir dari gurunya, Empu Purwa. Karena itu, betapapun juga, Mahisa Agni menghadapinya dengan ketabahan dan ketenangan. Lawannya yang melandanya seperti angin pusaran itu tidak berhasil membingungkannya. Bahkan, Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin tangguh. Setangguh seekor banteng muda yang perkasa.
Demikianlah kedua anak muda itu bertempur semakin lama semakin sengit. Mahendra adalah seorang anak muda yang berhati keras dan memiliki harga diri yang berlebih-lebihan. Namun setelah ia bertempur beberapa saat, terasa bahwa lawannya, anak desa Panawijen itu bukan sekadar anak-anak yang hanya mampu menggerakkan cangkul saja, tetapi anak itu ternyata memiliki bekal yang cukup untuk melawannya. Karena itu, kemarahan Mahendra menjadi semakin menyala.
“Gila!” umpatnya di dalam hati, “anak ini benar-benar melawan dengan kemampuan yang baik.”
Tetapi Mahendra telah bertekad untuk bertempur mati-matian. Telah dibulatkannya tekad di dalam hatinya. Anak Panawijen itu harus dilumpuhkannya, Apabila terpaksa anak itu terbunuh karenanya, maka beberapa saksi telah mendengar, adalah menjadi persetujuan mereka berdua, bertempur sampai mati. Itulah sebabnya Mahendra kemudian mengerahkan segala kemampuan yang ada padanya, apapun yang akan terjadi dengan lawannya. Apakah lawannya itu akan hancur lumat, atau akan luluh sekali pun.
Tetapi kedua saudara seperguruan Mahendra itu melihat suatu keanehan pada lawan Mahendra itu. Betapapun Mahendra menyerangnya, namun lawannya itu selalu dapat menghindarkan dirinya, dan bahkan semakin lama tampaklah betapa anak Panawijen itu dapat bergerak semakin cepat. Mahisa Agni ternyata kemudian tidak membiarkan dirinya dihujani oleh serangan-serangan beruntun. Ketika ia telah berhasil melihat, titik-titik kekuatan dan titik-titik kelemahan lawannya, segera ia mulai dengan serangan-serangannya yang membadai.
Kini keduanya bertempur dengan riuhnya. Semakin lama semakin seru. Mahendra akhirnya merasa perlu untuk menunjukkan kekuatan-kekuatan tubuhnya, sehingga dengan sengaja ia membenturkan kekuatannya dengan serangan Mahisa Agni yang datang seperti tatit menyambarnya.
Mahisa Agni, yang sedang menyerang lawannya itu melihat, bahwa Mahendra sama sekali tak berusaha menghindari serangannya. Karena itu, segera Mahisa Agni tahu, bahwa anak muda dari Tumapel itu siap melawan serangannya dengan kekuatannya yang penuh. Maka Mahisa Agni pun segera memusatkan tenaganya untuk menggempur lawannya.
Terjadilah kemudian suatu benturan kekuatan yang dahsyat. Sedang akibatnya pun mengejutkan pula. Mahisa Agni terdorong beberapa langkah surut. Dengan susah payah ia mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia tidak terpelanting jatuh. Sedang akibat yang dialami oleh Mahendra ternyata lebih berat daripadanya. Anak muda itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian terbanting di tanggul parit di tepi jalan. Ketika Mahendra mencoba untuk melenting berdiri, kaki kirinya terperosok dan tergelincir masuk ke dalam air.
Sesaat kemudian Mahendra telah tegak berdiri di dalam parit dengan pakaian yang basah kuyup. Tubuhnya yang kokoh itu menggigil. Bukan karena kedinginan, tetapi karena kemarahan yang meluap di dalam dadanya. Maka terdengarlah anak muda itu menggeram, “Dahsyat kau Wiraprana. Namun aku telah berjanji, nyawa kita menjadi taruhan. Nah, marilah kita mengadu keprigelan olah senjata.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia maju selangkah ketika dilihatnya Mahendra dengan lincahnya meloncat ke atas tanggul di tepi jalan. Tetapi Mahisa Agni terkejut ketika dilihatnya Mahendra menggenggam senjata di tangannya. Sebilah keris yang seakan-akan dapat menyala di malam hari.
Ketika Agni masih berdiam diri, terdengar sekali lagi Mahendra menggeram, “Carilah senjata!”
Mahisa Agni tidak membawa senjata. Tetapi menilik nafsu lawannya yang meluap-luap agaknya ia benar-benar harus bertempur mati-matian. Belum lagi Mahisa Agni tahu, apa yang dilakukan, tiba-tiba Mahendra meloncat dengan tangkasnya ke arah salah seorang temannya, dan terdengarlah ia berkata lantang, “Berikan kerismu!”
Kawannya terkejut. Sama sekali tak diduganya, Mahendra akan menarik kerisnya dengan serta-merta. Karena itu ia tidak dapat mencegahnya, sehingga dengan demikian di kedua sisi tangan Mahendra tergenggam dua bilah keris.
“Wiraprana,” berkata Mahendra, “pilihlah, manakah yang kau sukai?”
Mahisa Agni menggeleng. Katanya, “Aku tidak pandai memilih.”
“Jangan merajuk,” sahut Mahendra, “sebelum kau terbunuh, aku beri kesempatan kau berbuat yang sama. Supaya perkelahian ini adil dan jujur.”
Mahisa Agni memandang kedua senjata itu dengan seksama. Keduanya adalah senjata-senjata yang baik. Karena itu maka dijawabnya, “Kalau kau ingin bertempur dengan senjata, Mahendra. Berikan kepadaku, mana yang tidak kau sukai.”
Kemarahan Mahendra menjadi semakin memuncak. Dengan wajah yang menyala ia berkata, “Bagus. Inilah!”
Dengan baiknya Mahendra melemparkan keris di tangan kirinya kepada Mahisa Agni. Senjata itu meluncur cepat, dan dengan baiknya pula Mahisa Agni berhasil menangkapnya. Demikian tangan Agni menggenggam keris itu, demikian ia mendengar Mahendra berkata lantang, “Kita tentukan nasib kita sebelum fajar.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Dipandangnya lawannya dengan tajamnya. Dilihatnya setiap geraknya dan didengarnya setiap kata-katanya. Anak itu benar-benar anak yang memiliki keteguhan hati, namun sayang, agaknya ia masih terlalu muda. Terlalu muda dalam menanggapi setiap persoalan meskipun umurnya sebaya dengan umurnya sendiri.
Mahisa Agni melihat Mahendra telah siap untuk menyerangnya. Karena itu ia pun segera bersiap pula. Sesaat kemudian dilihatnya anak muda dari Tumapel itu meluncur menyerangnya, langsung mengarah ke dadanya. Dengan tangkasnya Mahisa Agni mengelakkan serangan itu. Tangannya sendiri pun mampu mempermainkan segala jenis senjata. Maka keris di tangannya itu pun menjadi sangat berbahaya karenanya.
Kembali perkelahian itu menjadi sengit. Kira mereka sudah sampai ke puncak ilmu masing-masing. Mereka menyerang dalam setiap kesempatan. Setiap gerak masing-masing benar-benar diperhitungkan, sehingga setiap gerak tangan mereka seakan-akan mereka menaburkan biji kematian.
Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam membenam dalam tambah banyak. Namun mereka berdua yang sedang bertempur itu masih saja bertempur dengan sepenuh tenaga. Tetapi semakin lama, betapapun Mahendra memiliki kekuatan melampaui kekuatan tangan sesamanya serta ketangkasannya olah senjata, namun kini ia bertemu dengan anak muda yang sama sekali tak diduganya. Anak muda yang disangkanya hanya mampu mengayunkan cangkul itu ternyata memiliki ketangguhan dan kelincahan yang luar biasa.
Demikianlah Mahendra harus melihat kenyataan. Keris di tangan Mahisa Agni itu seakan-akan mematuknya dari segenap penjuru. Bahkan seakan-akan menjadi bersayap dan menyambar-nyambarnya dengan dahsyatnya. Mahisa Agni tidak saja menyerang dengan tangan kanannya, namun keris itu seperti meloncat-loncat dari satu tangan ke tangan lainnya dan dengan cepatnya pula meluncur ke perut lawannya.
Dengan demikian maka mau tidak mau Mahendra lebih banyak bertahan daripada menyerang. Setiap kali ia terpaksa melangkah surut, menghindari sentuhan keris kawannya di tangan Mahisa Agni. Karena ia pun menyadarinya, sentuhan keris itu pasti akan berakibat maut, seperti seandainya ia berhasil menyentuh tubuh lawannya. Namun karena keduanya harus berhati-hati dan menghindari setiap sentuhan, maka perkelahian itu seakan-akan tidak akan berakhir. Seperti anak-anak yang asyik dengan permainan yang menyenangkan sehingga mereka lupa segala-galanya.
Tetapi semakin lama, menjadi semakin jelas, bahwa perkelahian itu akan menuju ke akhirnya. Ternyata semakin lama Mahendra semakin terdesak. Mahisa Agni seolah-olah menyimpan nafas rangkap di dadanya, sehingga ketika lawannya telah mulai diganggu oleh pernafasannya, maka Agni pun masih tetap segar sesegar ketika mereka baru mulai.
Mahendra yang mencoba untuk bertahan mati-matian itu, benar-benar telah memeras tenaganya, sehingga segenap kekuatannya telah dicurahkannya. Dengan demikian, maka tenaganya itu pun lebih dahulu surut daripada Mahisa Agni. Meskipun demikian, Mahendra yang keras hati itu masih saja bertempur mati-matian. Ia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya. Dan akan diakhirinya perkelahian ini dengan jantan.
Tetapi Mahisa Agni pun bertempur dengan seluruh kemampuannya. Sehingga anak muda itu benar-benar dapat bergerak secepat sikatan menyambar belalang namun mampu pula bertahan setangguh batu karang. Maka akhirnya ternyatalah bahwa Mahisa Agni mampu menguasai lawannya. Dengan suatu tusukan rendah, Agni memaksa lawannya untuk menghindar ke samping, namun Agni kemudian memutar kerisnya dan menyambar lambung.
Mahendra melihat sambaran yang cepat itu. Dihindarinya keris itu dengan memutar tubuhnya, dan ketika Agni belum sempat menarik tangannya, Mahendra berusaha menggurat pergelangan tangan Agni dengan ujung kerisnya. Tetapi Agni dapat bergerak melampaui lawannya, sehingga tangannya dapat dibebaskannya, bahwa dengan tak terduga-duga, tangan kiri Agni dengan cepatnya menyambar pergelangan tangan Mahendra.
Sambaran tangan itu demikian cepat dan kerasnya, sehingga Mahendra tidak sempat mengelakkannya. Terdengarlah sebuah seruan tertahan dan dalam pada itu semua mata yang mengikuti perkelahian itu melihat dengan dada yang gemuruh. Keris Mahendra terlepas dari tangannya. Mahendra sendiri terkejut bukan buatan, sehingga ia melangkah surut. Namun Agni segera meloncat dan ujung kerisnya telah melekat di dada lawannya.
Kini keduanya tegak dengan tegangnya. Mahendra menunggu apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Agni. Sedang saudara-saudara seperguruannya pun tegak seperti patung. Demikian pula Wiraprana. Perasaannya telah bergelora dan seakan-akan menjadi sedemikian kacaunya, sehingga ia tidak mampu untuk melakukan sesuatu apapun. Mahisa Agni berdiri tegak dengan keris di dalam genggamannya. Ujungnya masih mengarah ke dada lawannya.
“Apa yang kau tunggu,” geram Mahendra. Meskipun ia tidak bergerak, namun matanya menyalakan kemarahan yang membakar dadanya.
Tetapi Mahisa Agni tetap tidak bergerak. Ketika ia memandang wajah Mahendra yang membara itu, seakan-akan dilihatnyalah wajahnya sendiri pada saat ia mendengar pengakuan Ken Dedes kepada ibunya.
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Perasaan itu sangat mengganggunya. Karena itu maka kemarahannya pun menjadi semakin susut. Ia akan dapat melakukan apa saja yang dikehendaki atas anak muda yang bernama Mahendra itu. Tetapi apakah akan dilakukannya?
Sesaat Mahisa Agni terbenam dalam kebimbangan. Dan sesaat itu dilihat oleh Mahendra. Mahendra adalah seorang anak muda yang keras hati. Karena itu, ketika dilihatnya wajah Agni yang ragu, Mahendra dapat mempergunakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan tidak disangka-sangka oleh Mahisa Agni. Mahendra dengan cepatnya merendahkan dirinya, dan dengan satu tendangan yang keras pada pergelangan tangan Agni, maka Mahendra telah berhasil melemparkan keris di tangan lawannya.
Mahisa Agni terkejut bukan main. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan dilakukan oleh Mahendra. Karena itu maka ia tidak kuasa untuk mempertahankan kerisnya. Dilihatnya keris itu melambung tinggi dan kemudian jatuh beberapa langkah daripadanya. Tetapi Agni tidak sempat berbuat lain, karena Mahendra telah mulai menyerangnya beruntun dengan kakinya. Untunglah bahwa Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang terlatih matang. Dengan demikian, meskipun dengan lontaran yang panjang ia berhasil membebaskan dirinya dari serangan Mahendra yang mengalir seperti banjir bandang.
Mahisa Agni menjadi semakin terkejut pada saat ia mendengar salah seorang kawan Mahendra itu berkata nyaring, “Mahendra, inilah senjatamu!”
Mahisa Agni masih sempat melihat anak muda itu meloncat dengan tangkasnya memungut keris Mahendra yang terlepas, kemudian dilontarkannya kepada Mahendra. Dada Mahisa Agni berdesir melihat kecurangan itu. Tetapi ia dikejutkan pula oleh kawan Mahendra yang seorang lagi. Anak muda itu pun meloncat dengan lincahnya, lebih lincah dari yang lain. Tangannya dengan cepatnya menyambar keris yang sedang meluncur ke arah Mahendra itu.
Ketika keris itu sudah ditangkapnya, terdengar ia berkata, “Jangan Kebo Ijo!”
Semuanya terkejut melihat peristiwa-peristiwa yang berturut-turut itu. Mahisa Agni, Mahendra dan anak muda yang disebutnya Kebo Ijo dan Wiraprana. Anak muda yang menyambar keris itu berdiri tegak di antara mereka sambil memandang berkeliling. Katanya, “Jangan menodai nama perguruan kami.”
“Bukankah itu keris Mahendra sendiri,” bantah Kebo Ijo.
“Keris itu sudah terlepas dari tangannya. Biarlah ia memungut kerisnya sendiri apabila mampu.”
Mahendra memandang saudara seperguruannya itu dengan penuh pertanyaan. Apakah sudah tidak ada rasa kesetiakawanan lagi di antara mereka. Maka katanya, “Apakah salahnya ia menolong aku?”
“Tidak adil,” sahut anak muda itu, “akulah yang tertua di antara kalian. Aku tidak rela melihat kecurangan itu. Meskipun aku bersedih karena Mahendra tidak dapat memenangkan perkelahian ini, namun aku akan lebih bersedih lagi, apabila kalian berbuat curang.”
Mahendra tidak menjawab dan Kebo Ijo itu pun menundukkan wajahnya. Kemudian terdengar anak muda itu berkata kembali, “Mahendra kau kalah.”
Mendengar kata-kata kakak seperguruannya, yang seakan-akan merupakan keputusan tentang kekalahannya itu, wajah Mahendra menjadi merah membara. Terdengar giginya gemeretak dan matanya seakan-akan memancarkan api. Maka jawabnya, “Kakang, aku masih hidup. Kekalahan bagiku hanya ditandai dengan kematian.”
Kakak seperguruannya itu menarik alisnya, katanya, “Kau benar-benar seorang anak muda yang berani Mahendra, yang tak mengenal takut meskipun menghadapi kematian sekali pun. Namun keberanianmu itu belum sempurna. Kau masih memiliki ketakutan.”
“Tidak!” sahut Mahendra, “Aku tidak takut apapun yang terjadi. Sudah aku katakan, mati pun aku tidak takut. Apalagi? Apakah yang lebih jauh dari mati itu?”
Kakak seperguruannya menarik nafas. Katanya, “Mahendra, kau masih takut melihat kenyataan.”
Mahendra tersentak mendengar jawaban itu. Dipandanginya wajah kakak seperguruannya dengan tajamnya, namun ketika kakak seperguruannya itu memandang langsung ke biji matanya, maka Mahendra pun menundukkan wajahnya.
“Mahendra,” berkata kakaknya itu pula, “seorang yang jantan tidak perlu membunuh dirinya dalam perkelahian. Seorang yang berjiwa besar harus dapat melihat kenyataan. Dan kenyataan yang terjadi sekarang, kau kalah. Apakah yang lebih jantan dari melihat kenyataan itu? Adakah yang lebih besar dari mengakui kekalahan? Mahendra, kau dapat bertempur mati-matian, bahkan sampai tetes darahmu yang terakhir. Namun dalam persoalan yang berbeda. Persoalan di mana hakmu dilanggar oleh sesama. Tetapi sekarang kau menghadapi persoalan yang lain. Hakmu dan hak Wiraprana itu sama jauhnya. Bahkan secara jujur harus kau akui, bahwa hak Wiraprana untuk berkelahi lebih besar dari padamu.”
Mahendra tidak menjawab. Wajahnya yang membara itu pun menjadi semakin tunduk. Namun hatinya masih juga bergelora. Sedang Kebo Ijo tidak begitu senang mendengar kata-kata kakak tertuanya itu. Katanya, “Kakang, Mahendra datang lebih dahulu kepada gadis itu. Apakah bukan haknya untuk mempertahankannya. Bukankah dengan demikian Wiraprana telah merampas masa depannya?”
“Bukan salah Wiraprana,” sahut kakak seperguruannya itu, “apakah Mahendra datang yang pertama kepada gadis itu. Kalau ada orang lain yang lebih dahulu, apakah Mahendra tidak melanggar haknya pula?”
Kebo Ijo terdiam. Namun usianya yang muda itu masih belum dapat mengerti kata-kata kakak seperguruannya. Bahkan dengan agak memaksa ia kemudian berkata, “Perkelahian ini belum selesai. Wiraprana datang berdua. Biarlah kami berdua melawannya.”
“Bagus,” sambut Mahendra.
Kakak seperguruannya ternyata seorang yang berpandangan tajam. Segera ia mengetahui, bahwa kawan anak muda yang disangkanya bernama Wiraprana itu tidak memiliki kemampuan berkelahi seperti Kebo Ijo dan Mahendra. Karena itu maka sekali lagi ia menyesal atas sikap adik-adik seperguruannya itu. Maka katanya, “Tidak ada gunanya. Kawan Wiraprana itu tak mempunyai sangkut paut dengan perkelahian ini.”
“Ada,” sahut Kebo Ijo, “ia datang bersama Wiraprana, seperti aku datang bersama Mahendra. Meskipun tak ada persoalan apapun dengan gadis itu, biarlah kita melihat, apakah perguruan kami tidak mampu melawan anak-anak Panawijen yang sombong itu.”
Dada Wiraprana pun berdebar-debar pula. Telah dilihatnya, betapa Mahendra mampu bertempur seperti seekor harimau lapar. Maka saudara seperguruannya itu pun pasti tidak terpaut jauh. Apabila ia harus melawannya, maka apakah yang dapat dilakukan? Namun Wiraprana tidak takut menghadapi apapun, meskipun ia sadar, bahwa pada serangan yang pertama, pasti ia sudah tidak akan dapat bangkit kembali.
Tetapi Wiraprana itu terkejut mendengar jawaban saudara seperguruan Mahendra. Bukan saja Wiraprana, tetapi Mahisa Agni, dan bahkan Mahendra dan Kebo Ijo sendiri. Katanya, “Kebo Ijo, kalau kau akan memaksakan perkelahian, karena hanya kau ingin berkelahi, maka baiklah kita hadapkan kalian berdua dengan Wiraprana berdua. Tetapi Wiraprana berdua dengan aku sendiri.”
“Kakang?” potong Kebo Ijo, “Apakah katamu itu?”
“Aku di pihak Wiraprana,” sahut arak muda itu, “biarkan kawan Wiraprana menjadi saksi.”
Kebo Ijo dan Mahendra terdiam. Betapa ia melihat kakak seperguruannya itu benar-benar marah kepada mereka. Karena itu maka mereka pun menundukkan wajah-wajah mereka.
Dalam pada itu dada Mahisa Agni pun bergelora melihat sikap yang mengagumkan itu. Sikap yang benar-benar jantan. Tidak saja jantan dalam menghadapi bahaya apapun namun kejantanan dalam menghadapi kebenaran. Diam-diam Mahisa Agni bergumam di dalam hatinya, “Sebenarnyalah lebih mudah menghadapi kematian daripada menghadapi kebenaran.”
Sesaat mereka dicengkam kesepian. Kesepian yang tegang. Namun tiba-tiba terdengar kakak seperguruan Mahendra itu berkata, “Marilah kita pulang! Persoalanmu sudah selesai Mahendra.”
Mahendra dan Kebo Ijo saling berpandangan. Namun mereka tidak berkata apapun. Perlahan-lahan mereka memungut keris yang masih tergeletak di tanah, dan kemudian berjalan ke kuda-kuda mereka, dan kakak seperguruan Mahendra itu pun berkata kepada Mahisa Agni, “Selamat tinggal. Mudah-mudahan kau berbahagia. Kembang di kaki gunung Kawi itu telah mendapatkan juru taman yang tangguh dan berhati jantan. Selamat.”
Mahisa Agni melihat anak muda itu pun kemudian berjalan meninggalkannya. Ketika mereka bertiga meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan lenyap ditelan gelap malam, maka gemuruhlah dada Mahisa Agni. Pesan kakak seperguruan Mahendra itu menghantam dadanya melampaui tangan Mahendra. Kini ia sadar, bahwa apa yang dilakukan itu, bukanlah untuk dirinya sendiri. Ia telah mempertahankan Ken Dedes dengan bertaruh nyawa. Tetapi nama yang dipergunakannya adalah Wiraprana. Ya, Wiraprana.
Tiba-tiba wajah Mahisa Agni pun terkulai dengan lemahnya. Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni terkejut mendengar tegur Wiraprana, “Agni, sungguh mengagumkan.”
Perlahan-lahan Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya wajah Wiraprana yang tegang memandang jauh ke dalam gelap, ke arah anak-anak muda dari Tumapel itu lenyap. Sesaat kemudian Wiraprana itu menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Bukan main. Aku menjadi bertanya-tanya di dalam hati, betapa kecilnya Wiraprana berada di antara kau dan anak-anak itu.”
“Semuanya sudah lampau. jangan kau pikirkan lagi, Prana,” jawab Agni, “Masa-masa berbahaya telah lewat. Apakah masih ada di antara mereka yang akan datang pula seperti Mahendra? Aku sangka tidak. Dan mudah-mudahan sebenarnya tidak.”
“Agni,” perlahan-lahan terdengar Wiraprana berkata, namun terasa memancar dari sudut hatinya yang paling dalam, “telah dua kali kau menyelamatkan nyawaku.”
“Jangan kau sebut-sebut itu Prana. Adalah menjadi kewajibanku untuk menyelamatkan hubunganmu dengan adikku itu,” jawab Agni.
Wiraprana tidak menjawab. Matanya yang selalu riang, kini tampak sayu.
“Marilah kita pulang, Prana. Lupakan semuanya,” ajak Agni.
Wiraprana tidak menjawab. Tetapi ia melangkah perlahan-lahan di samping Agni. Mereka berjalan pulang ke rumah Ki Buyut Panawijen.
Malam yang sudah semakin malam itu ditandai oleh kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Angin yang dingin mengalir perlahan menggerakkan daun-daun padi yang basah oleh embun. Di kejauhan terdengar lamat-lamat bunyi kentongan beruntun.
“Tengah malam,” gumam Mahisa Agni.
Wiraprana mengangkat wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang di langit berhamburan seakan-akan biji-biji mutiara yang ditaburkan di atas permadani yang biru gelap. Bulan tua masih tampak bertengger di ujung gunung. Cahayanya yang suram memancar kekuning-kuningan mewarnai dedaunan yang hijau. Ketika mereka hampir memasuki desa Panawijen, tiba-tiba Wiraprana berhenti. Dengan pandangan yang suram ditatapnya wajah Mahisa Agni. Kemudian terdengar ia berkata lirih,
“Agni. Adakah aku berhak atas gadis itu?”
Mahisa Agni terkejut. Katanya, “Apa yang sedang kau pikirkan Wiraprana? Persoalanmu sudah selesai. Jangan membuat persoalan-persoalan baru.”
Wiraprana menundukkan wajahnya. Dan tiba-tiba ia berkata, “Agni, bukankah gadis itu bukan adikmu.”
Dada Agni pun menjadi berdebar-debar karenanya. Dan didengarnya Wiraprana meneruskan, “Agni. Tidakkah pernah timbul di dalam hatimu untuk mengubah hubunganmu dengan gadis itu? Tidak sebagai kakak beradik seperti sekarang ini?”
“Prana!” potong Agni. Namun terasa betapa nafasnya menekan jantungnya. Katanya kemudian, “Jangan mempersulit keadaanmu. Jangan berpikir tentang sesuatu yang tak pernah ada. Prana, aku adalah kakaknya. Meskipun aku bukan kakak yang dilahirkan dari kandungan seorang ibu yang sama, namun demikianlah keadaan kami sekarang. Berapa tahun aku tinggal di rumah itu sebagai seorang anak yatim piatu, di bawah asuhan Empu Purwa yang baik hati. Dijadikannya aku anak laki-lakinya yang tunggal dan dipersaudarakannya aku dengan Ken Dedes. Nah, Wiraprana. Apakah dengan demikian Ken Dedes itu bukan adikku? Adakah dengan demikian akan dapat timbul di dalam hatiku untuk memutuskan ikatan persaudaraan itu menjadi ikatan yang lain?”
Agni menekankan kata demi kata untuk meyakinkan kebenaran pendapatnya itu. Namun sebenarnya, kata-kata itu lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri. Dicobanya untuk menekan hatinya yang bergolak dengan kata-katanya itu.
Wiraprana menundukkan wajahnya dalam-dalam. Namun ia tidak bertanya-tanya lagi. Hanya nafas mereka berdualah yang terdengar di antara gemeresik daun-daun ditiup angin,
“Marilah kita pulang, Prana,” ajak Agni.
Wiraprana mengangguk, dan kembali mereka berjalan memasuki jalan yang gelap oleh rimbunnya daun-daun di atas mereka. Hanya kadang-kadang saja mereka masih melihat bulan dan bintang-bintang di antara sela-sela dedaunan.
Tak seorang pun penduduk Panawijen yang tahu, apakah yang pernah terjadi dengan Wiraprana dan Mahisa Agni. Adalah kebetulan bahwa pada malam itu tak seorang pun yang pergi ke sawahnya. Karena itu, maka Wiraprana pun lambat laun berhasil menghilangkan kenangan pahit itu. Meskipun Wiraprana sama sekali bukan seorang pengecut namun, apakah yang dapat dilakukan di antara orang-orang berilmu seperti Mahisa Agni dan Mahendra. Karena itu, maka timbullah keinginannya untuk setidak-tidaknya dapat menambah ilmunya. Mungkin pada suatu saat akan berguna.
Tetapi dalam pada itu selalu diingatnya pula kata-kata kakak seperguruan Mahendra, bahwa seseorang akan dapat berjuang sampai tetes darah yang penghabisan, namun untuk mempertahankan haknya yang dilanggar oleh sesama. Dan berjanjilah ia di dalam dirinya, bahwa ilmu yang kelak akan dimilikinya, bukanlah alat untuk melanggar hak orang lain. Ketika maksudnya itu disampaikannya kepada Mahisa Agni, Mahisa Agni pun menjadi gembira.
“Bagus,” katanya, “kita akan berlatih setiap malam di bendungan.”
“Kau menjadi guruku,” berkata Wiraprana.
Agni menggeleng, “Tidak. Aku tidak berhak menjadi guru sebelum guruku mengizinkannya. Kita hanya dapat berlatih bersama. Itu pun kalau guru memperkenankan.”
Demikianlah mereka berjanji untuk melakukan latihan-latihan itu, namun Mahisa Agni telah memesan kepada sahabatnya, bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu yang tidak perlu diberitahukannya kepada siapa pun juga. Ketika Mahisa. Agni berhasrat untuk menghadap gurunya, untuk menyampaikan maksud Wiraprana, itu tiba-tiba ditemuinya Ken Dedes datang kepadanya.
“Kakang,” berkata gadis itu, “Ayah memanggilmu. Sekarang!”
“Oh. Apakah ada sesuatu yang perlu?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku tidak tahu. Baru saja seorang tamu meninggalkan sanggar. Sahabat ayah. Lalu Ayah memanggilmu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Siapakah tamu itu?”
Ken Dedes menggeleng, “Entahlah. Sahabat ayah.”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Siapakah sahabat gurunya itu? Ia menjadi cemas, apakah seseorang telah datang dan menuntut atas kekalahan Mahendra oleh seorang yang disangkanya bernama Wiraprana, namun yang sebenarnya adalah Mahisa Agni. Mau tidak mau Agni pun melihat kesalahan di dalam dirinya. Kakak seperguruan Mahendra tidak mau melihat seseorang membantu adik seperguruannya itu, bahkan saudara mereka pula. Namun apakah yang dilakukannya?
Jauh lebih banyak dari membantu. Bahkan ialah yang bertempur melawan Mahendra. Apakah sikap itu dapat disebut sikap yang jantan. Namun Mahisa Agni mempunyai pertimbangan lain. Ia telah bersedia jawaban yang akan diberikannya kepada gurunya yang penting baginya bukan siapakah yang harus bertempur, namun bagaimana ia mempertahankan hak Ken Dedes dalam menentukan pilihannya sendiri. Jangankan Mahendra, bahkan suara hatinya sendiri pun telah ditindasnya.
Mahisa Agni sadar ketika ia mendengar suara Ken Dedes, “Kakang, Ayah menunggumu!”
“Oh, baiklah,” sahut Mahisa Agni cepat-cepat.
Ketika Ken Dedes telah meninggalkannya, kembali Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Selangkah demi selangkah ia pergi kepada gurunya yang masih berada di bagian depan dari sanggarnya. Detak jantungnya serasa semakin cepat mengalir ketika ia melihat gurunya duduk menantinya. Wajahnya yang bening tampaknya seakan-akan sedang disaput oleh mendung yang tebal. Suram. Ketika ia melihat Mahisa Agni, Empu Purwa itu pun tersenyum. Namun terasa oleh Agni, senyum yang lain dari senyumnya sehari-hari.
“Duduklah Agni,” gurunya itu mempersilakan.
Agni pun kemudian duduk bersila di hadapannya. Wajahnya yang tegang ditundukkannya dalam-dalam.
“Udara terlalu panas,” gumam gurunya.
“Ya, Empu,” sahut Agni.
“Agaknya mendung di langit akan menjadi semakin tebal.”
“Mungkin Empu. Awan mengalir dari selatan.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia memandang ke halaman. Bayangan mendung di langit tampak mengalir dihanyutkan angin. Sesaat sinar matahari menjadi buram karena awan yang kelam membayangi wajahnya. Dan tiba-tiba Empu Purwa itu berkata, “Aku baru saja menerima seorang tamu Agni. Sahabatku dari Tumapel.”
Mahisa Agni tersentak. Apakah dugaannya tenang peristiwa beberapa hari yang lalu itu benar? Dan didengarnya gurunya itu berkata pula, “Sahabat yang baik. Ia tahu apa yang benar dan apa yang salah.”
Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi hatinya masih tegang. Apalagi ketika Empu Purwa itu meneruskan, “Tamuku adalah ayah Mahendra, Agni.”
Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir. Apakah yang telah dikatakan oleh tamu itu tentang dirinya. Dicobanya mencuri pandang atas wajah gurunya. Ia mencoba untuk mendapat kesan daripadanya. Apakah gurunya sedang marah, kecewa atau sedih. Tetapi ia tidak dapat menemukan kesan apapun dari wajah itu. Yang dilihatnya bahwa wajah itu suram, sesuram langit yang sedang dilapisi awan itu. Ketika gurunya itu berkata pula, Mahisa Agni kembali menundukkan wajahnya.
“Agni,” berkata Empu Purwa pula. Nadanya rendah, namun jelas kata demi kata, “tamuku itu bercerita tentang peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu di ujung desa kita ini.”
Wajah Mahisa Agni pun menjadi semakin tunduk. Dan didengarnya gurunya meneruskan, “Agni, apakah Wiraprana bertengkar dengan Mahendra?”
Mulut Mahisa Agni serasa terkunci. Karena itu untuk beberapa lama ia tidak menjawab, sehingga gurunya berkata pula, “Aku sangka kau tahu atau setidak-tidaknya pernah mendengar peristiwa itu karena hubunganmu yang erat dengan Wiraprana.”
Mahisa Agni masih tenggelam dalam kebingungan dan kebimbangan. Hanya tiba-tiba saja mulutnya berkata, “Aku mendengar guru.”
“Nah, kalau demikian peristiwa itu benar-benar pernah terjadi. Menurut ayahnya, Mahendra menjadi sakit hati, karena lamarannya ditolak. Bahkan kemudian ia berhasrat untuk mengadakan semacam sayembara tanding. Begitu?”
“Ya guru,” jawab Mahisa Agni tergagap. Namun ia berusaha untuk menutupi kesalahan yang mungkin akan dilimpahkan kepadanya. Katanya, “Namun apakah Mahendra berhak mengadakan sayembara semacam itu?”
“Tentu tidak, Agni,” jawab gurunya, “Tetapi tantangan itu diterima oleh Wiraprana.”
“Ya,” jawab Agni.
“Dan mereka pun berkelahi.”
“Ya.”
“Menurut ayah Mahendra, Mahendra dapat dikalahkan.”
“Ya.”
“Oleh Wiraprana?”
Mahisa Agni terdiam. Gejolak di dalam dadanya serasa melanda jantungnya, sehingga akan meledak. Ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun sehingga gurunya berkata, “Agni, Mahendra adalah seorang anak yang tanggon. Aku telah mengenal anak itu, sebab ayahnya adalah sahabatku. Aku tidak menyangka bahwa Wiraprana dapat mengalahkannya.” Empu Purwa berhenti sejenak. Kemudian orang tua itu berkata pula, “Menurut ayah Mahendra,
Wiraprana itu datang berdua. Apakah kau ikut serta?” Kini Agni tidak dapat menyimpan sesuatu lagi di dalam dadanya yang hampir pecah itu. Karena itu maka seperti bendungan yang pecah meledaklah jawabnya, “Ampun guru. Wiraprana sama sekali tak berkelahi melawan Mahendra. Tetapi aku terpaksa melawannya, meskipun aku memakai nama Wiraprana.”
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ditatapnya muridnya itu dengan mata yang sayu. Sebenarnya ia telah menduga bahwa demikianlah yang terjadi. Namun ketika ia mendengar pengakuan itu, hatinya masih juga terharu. Terharu karena ia tahu, apa sebenarnya yang bergolak di dalam dada muridnya. Perasaan apakah yang telah melandanya terhadap anak gadisnya.
Mahisa Agni sama sekali tak berani mengangkat wajahnya. Ia duduk tumungkul memandang ibu jari kakinya.
“Kenapa kau Agni?” tiba-tiba terdengar gurunya bertanya.
Mahisa Agni tidak dapat menjawab pertanyaan itu. jawaban yang telah disusunnya tiba-tiba seperti hilang dari ingatannya. Sehingga yang terdengar adalah kata-kata gurunya pula, “Mahendra adalah anak yang tangkas. Menurut ayahnya, ia agak keras kepala. Apakah dengan demikian kau tidak mempertaruhkan nyawamu untuk itu?”
Mahisa Agni tidak tahu apa yang tersimpan di hati gurunya. Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawabnya. Maka setelah sesaat ia berjuang, maka jawabnya, “Ya guru. Terpaksa aku harus menghadapinya.”
“Ya, kenapa? Kenapa kau mempertaruhkan nyawamu untuk itu?”
Mahisa Agni mencoba menenangkan hatinya. Kemudian jawabnya, “Aku tidak dapat melihat kemungkinan lain guru. Sebab mereka mempertaruhkan Ken Dedes dalam perkelahian itu. Kalau Wiraprana kalah, akibatnya akan tidak baik bagi Ken Dedes.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya muridnya itu dengan penuh kekaguman di dalam hatinya. Ia sama sekali tidak membiarkan Wiraprana dilumpuhkan untuk mendapat kesempatan menjadi pahlawan. Dengan demikian maka kemungkinan bagi dirinya sendiri akan menjadi lebih baik. Sejenak kemudian Empu Purwa itu pun berkata kepada Mahisa Agni, “Mahisa Agni, jangan cemas. Ayah Mahendra yang baik itu datang untuk minta maaf kepadaku atas kelakuan anaknya.”
Mahisa Agni terkejut, sehingga tak disengajanya ia mengangkat wajahnya. Dilihatnya Empu Purwa itu tersenyum. Meskipun senyum yang hambar. Dan orang tua itu meneruskannya, “Ia sama sekali tidak marah atas kekalahan anaknya. Malahan ia mengharap, bahwa dengan demikian anaknya akan melihat, bahwa di dunia ini ada orang-orang lain yang tak dapat dikalahkannya. Mudah-mudahan ia menyadari keadaannya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dugaannya keliru. Ayah Mahendra sama sekali tidak menuntut atas kekalahan anaknya, bahkan ia telah minta maaf atas perbuatan Mahendra. Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Seandainya, dirinya sendiri yang telah melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Mahendra itu, siapakah yang akan minta maaf untuknya? Tiba-tiba diingatnya ibunya yang tua. Yang selama ini seakan-akan telah hilang dari hidupnya. Maka bersyukurlah Mahisa Agni di dalam hatinya, bahwa yang Maha Agung telah mempertemukannya dengan ibunya, dan membekalinya dengan ketabahan dan kesabaran menghadapi cobaan dalam usianya yang masih muda itu.
Dengan demikian maka telah pula ditemuinya suatu pelajaran yang bermanfaat bagi hidupnya kelak. Ternyata Mahendra itu telah mengagumkan baginya. Ternyata kekaguman seorang laki-laki tidak saja ditujukan kepada mereka yang dengan berani memainkan pedangnya dan bahkan yang telah berhasil membunuh lawan-lawannya dengan sikap-sikap yang disangkanya jantan. Namun sikap ayah Mahendra itu pun tak kalah jantannya. Memang kejantanan seseorang tidak dapat diukur dengan senjata, tetapi diukur dengan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.
Ruangan itu sejenak menjadi sepi. Di langit awan masih mengalir lambat. Dan mendung pun menjadi semakin tebal di langit.
“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian, “ternyata kau sekali lagi telah menyelamatkan anakku dari kehancuran. Kau telah berjuang dan meskipun tidak secara langsung, ikut serta membina masa depannya. Mahisa Agni, masa depan gadisku satu-satunya itu adalah masa depanku sebagai seorang ayah. Karena itu, betapa aku berbesar hati atas sikapmu itu. Aku tidak menilai, apakah dengan demikian perkelahian itu wajar, namun aku menilai dari segi lain. Aku melihat pengorbananmu yang tanpa pamrih.”
Mahisa Agni mendengar pujian itu dengan hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba terasa betapa dadanya menjadi sesak. Ia pun terharu karenanya. Ternyata gurunya tidak memarahinya, bahkan dengan tulus telah menyatakan kebesaran hatinya atas sikapnya.
“Karena itu Agni,” berkata gurunya pula, “aku harus memberimu pertanda dari terima kasihku. Sebagai seorang ayah, aku menggantungkan masa depanku kepada Ken Dedes, namun sebagai seorang guru dalam olah kanuragan jaya kesantikan, aku menggantungkan harapanku kepadamu. Dengan demikian Agni, maka sudah sampai saatnya kini aku memberikan kesempurnaan ilmu kepadamu. Kesempurnaan yang aku miliki. Kesempurnaan manusia yang selalu tidak sempurna. Kau mengerti maksudku itu?”
Mahisa Agni masih menundukkan wajahnya. Betapa hatinya menjadi bergejolak mendengar kata-kata gurunya. Sebagai seorang murid, maka kesempurnaan ilmu gurunya itu selalu didambanya. Kini, setelah dengan tekun ia mesu diri dalam pengabdian kepada gurunya itu, gurunya berkata bahwa kesempurnaan ilmunya itu akan diberikannya kepadanya. Meskipun kesempurnaan seorang manusia yang selalu tidak sempurna, yang selalu masih jauh daripada kesempurnaan yang sejati. Namun apa yang akan diterimanya itu akan dapat menjadi bekal yang tak ternilai bagi hidupnya.
Namun tiba-tiba Agni menjadi bimbang. Kalau kesempurnaan ilmu gurunya itu telah diterimanya, apakah yang akan dilakukannya. Apakah ia akan pergi ke segenap penjuru negeri. Berkelahi dengan orang-orang sakti untuk menunjukkan kemampuannya? Apakah ia akan menjadi seorang prajurit yang akan selalu memenangkan setiap pertempuran? Dan apakah kesaktian itu kelak tidak akan membawanya ke dalam lembah ketakaburan. Ia bersyukur bahwa ia menyadarinya. Ia bersyukur bahwa pertanyaan-pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Sebab dengan demikian, ia akan selalu ingat pula kepada jawabnya.
Kemudian didengarnya gurunya itu berkata pula kepadanya, “Agni. Aku pernah memberimu sebuah pusaka. Namun pusaka itu sama sekali bukan alat pembunuh. Pusaka itu tak akan dapat kau pergunakan untuk menyobek jantung lawan. Dan kini aku akan memberimu sebuah senjata yang lain. Kelengkapan dari pusaka yang aneh itu. Namun pusaka itu tidak akan dapat berdiri sendiri. Trisula itu bermanfaat bagimu, meskipun tak ada rangkapannya. Namun rangkapannya itu sama sekali tak berarti tanpa trisula yang kecil itu.”
Mahisa Agni mendengarkan kata-kata gurunya itu dengan seksama. Disadarinya kemudian, bahwa pusaka yang diberikan kepadanya itu belum sempurna. Kemudian gurunya melanjutkan, “Tetapi Agni. Ketahuilah, bahwa pusaka yang aku janjikan itu kini belum berada di padepokan Panawijen.”
Mahisa Agni menengadahkan wajahnya. Terbayanglah suatu pertanyaan pada cahaya matanya. Karena itu Empu Purwa menjelaskannya, “Agni. Pusaka yang aku katakan itu, masih harus dicari. Aku hanya dapat menunjukkan kepadamu, tempat dan bentuknya. Semoga kau akan dapat menemukannya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sadarlah ia kini, bahwa gurunya memberinya kepercayaan untuk mencari sebuah pusaka yang tak ternilai harganya. Lebih-lebih lagi, apabila ia dapat menemukan, maka pusaka itu akan dimilikinya. Tetapi Mahisa Agni masih berdiam diri.
Maka gurunya itu meneruskan, “Apabila kau berhasil Agni, maka kedua pusaka itu akan menjadi pasangan pusaka yang tak ternilai. Pusaka itu akan menjadi sedemikian saktinya, sehingga orang yang mempergunakannya akan kalis dari kekalahan. Siapa pun lawannya. Kau mengerti?”
Mahisa Agni mengangguk dalam-dalam. Hatinya tergetar mendengar keterangan gurunya itu. Apabila ia memiliki kedua pusaka itu bersama-sama, maka ia akan menjadi manusia yang pilih tanding.
“Hem,” Mahisa Agni bergumam. Kemudian katanya di dalam hatinya, “Suatu anugerah yang tak terduga. Dengan pusaka-pusaka itu, maka banyak persoalan yang dapat aku atasi. Tetapi persoalan-persoalan apa? Pusaka-pusaka itu adalah alat untuk bertempur dan berkelahi. Haruskah aku mengatasi semuanya dengan perkelahian dan pertempuran?” Namun kemudian ditemukannya jawabnya, “Suatu ketika aku harus mempergunakan pusaka-pusaka itu. Tetapi untuk persoalan-persoalan yang imbang. Memang kadang-kadang ada hal-hal yang tak dapat diatasi dengan cara lain. Mudah-mudahan aku dapat membedakannya.”
Kemudian Mahisa Agni mendengar gurunya berkata pula, “Agni. Aku ingin mendengar jawabanmu. Adakah kau bersedia mencari pusaka-pusaka itu?”
Mahisa Agni mengangguk kembali, jawabnya dengan penuh kesungguhan hati, “Tentu guru. Aku bersedia apapun yang Empu perintahkan. Jangankan sebuah pusaka untukku sendiri. Apapun akan aku lakukan dengan keikhlasan.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya muridnya dengan tajam. Kemudian katanya, “Mahisa Agni. Kau harus menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Perjalanan yang mungkin sama sekali tidak menyenangkan bagimu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dengan demikian berarti bahwa ia harus meninggalkan Panawijen. Meninggalkan kampung halaman untuk waktu yang lama. Meninggalkan rumah gurunya dan ibunya. Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya. Namun adalah menjadi kewajibannya untuk melakukan perintah-perintah gurunya. Apalagi perintah untuk kepentingannya sendiri. Karena itu, maka jawabnya, “Apapun yang harus aku lakukan guru, bagiku tak ada yang lebih menggairahkan daripada menjalankannya dengan senang hati.”
“Bagus,” sahut gurunya, “kalau kau temukan rangkapan pusakamu itu, kau akan menjadi seorang laki-laki yang sakti. Sukar untuk mencari tanding. Kau akan dapat melakukan semua kehendakmu. Siapa pun yang menghalangimu, maka itu tak akan banyak berarti. Karena itu, pusaka itu harus kau temukan. Apapun rintangan yang akan kau temui.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Akan aku coba untuk melakukannya.”
“Nah Agni,” berkata gurunya, “dengarlah. Perjalanan yang harus kau tempuh adalah cukup jauh. Kau harus melingkari Gunung Semeru. Bukankah kau pernah pergi ke kaki gunung itu dari arah timur bersama aku?”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya. Perjalanan itu pernah ditempuhnya tiga tahun yang lalu. Perjalanan yang berat di antara belukar dan lereng-lereng gunung. Hanya kadang-kadang saja ditemuinya padukuhan-padukuhan kecil atau kelompok-kelompok penduduk yang tidak menetap, yang berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari tanah yang mungkin diusahakan oleh mereka. Kini ia harus menempuh perjalanan itu kembali.
Mahisa Agni kemudian menekurkan kepalanya. Dicobanya untuk mengingat kembali jalan-jalan yang pernah dilaluinya. Hutan-hutan dan lereng-lereng terjal. Kemudian diingatnya pula, apa yang pernah dilihatnya pada kaki Gunung Semeru itu, sebagai pertanda yang akan dapat dipergunakannya untuk menemukan jalan kembali.
“Agni,” terdengar gurunya itu menyambung kata-katanya, “mungkin kau akan dapat mengingatnya kembali jalan-jalan yang pernah kau tempuh. Kalau tidak Agni, maka kau dapat mencari jalan lain. Namun kau dapat menandai daerah yang pernah kita kunjungi di kaki Gunung Semeru itu. Kau pernah melihat sebuah rawa yang luas bukan?”
Mahisa Agni mengangguk. “Kau melihat batu karang di tengah rawa-rawa itu?”
“Ya, Guru,” jawab Agni.
“Agni,” berkata gurunya, “aku harap rawa-rawa itu masih ada sekarang. Aku mengharap bahwa batu karang itu pun masih dapat kau temukan. Nah. Apabila batu karang itu kau temukan, maka kau akan menempuh jalan yang pendek. Kau dapat menyusurinya ke barat dan kau akan sampai pada sebuah dinding yang terjal, dinding yang gundul. Kau ingat?”
“Ya, Guru,” jawab Agni.
“Agni,” nada suara gurunya menjadi semakin rendah, “Ketahuilah bahwa di dalam gua, yang pernah kita kunjungi itu, yang terdapat di tengah-tengah dinding yang gundul, terdapat benda yang sangat berharga itu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam sekali. Pada saat itu ia hanya dapat melihat gua itu. Tetapi ia tidak dapat mencapainya. Ia pada waktu itu tidak sanggup untuk mendaki tebing yang gundul dan curam. Dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Pada tiga tahun yang lampau, ia hanya dapat melihat gurunya itu mendaki tebing yang sengat curam dan berbahaya. Dan ditinggalkannya ia sendiri menanti di bawahnya. Dan sekarang ia sendiri harus mendaki tebing itu, untuk mencapai gua di tengah lereng gundul di kaki Gunung Semeru.
“Suatu perjalanan yang berat,” desisnya di dalam hati.
Gurunya yang melihat wajah Mahisa Agni itu menjadi suram segera berkata pula, “Agni, kesempatan ini akan menjadi satu ujian bagimu. Ketika kau berhasil Agni, maka hidupmu di kemudian hari akan penuh ditandai dengan kemenangan-kemenangan dalam setiap persoalan. Kau akan menjadi seorang jantan yang namamu akan ditakuti oleh setiap orang yang mendengarnya. Sedang apa yang akan kau lakukan kemudian tergantung kepada keadaanmu dan tujuan hidupmu. Sebab sesudah taraf yang terakhir ini, maka aku tidak akan dapat ikut serta menarik garis yang melingkari hidupmu. Kau adalah seorang murid yang sudah dewasa, yang seharusnya sudah lepas dari induknya. Hitam putih namamu tergantung padamu sendiri.”
Mahisa Agni masih menekurkan kepalanya. Dengan penuh kecermatan ia mengamati persoalannya. Namun tak ada yang dapat dilakukan selain melakukan tugas itu. Meskipun demikian, sempat juga ia merenungkan kata-kata gurunya itu, dan yang terakhir, ‘Hitam putih namamu tergantung padamu sendiri’.
Tetapi terasa pula di dada Mahisa Agni sesuatu yang agak lain dari kebiasaan gurunya. Gurunya yang penuh dengan pengabdian dan kebaktian diri kepada sumber hidupnya itu tiba-tiba memberinya beberapa petunjuk yang seakan-akan hanya diwarnai oleh tata lahiriahnya saja. Ia akan menjadi seorang yang sakti. Seorang yang hampir tak akan dapat dikalahkan. Seorang yang hidupnya akan ditandai oleh kemenangan-kemenangan dalam setiap persoalan. Mahisa Agni tidak mengerti seluruhnya apa yang dimaksudkan oleh gurunya. Apakah hanya itu? Namun ia tidak berani bertanya. Mungkin ada sesuatu yang perlu direnungkannya.
“Pada suatu ketika aku akan menemukan jawabnya,” pikirnya.
Yang kemudian dikatakan oleh gurunya adalah, “Mahisa Agni. Sejak hari ini kau harus mempersiapkan dirimu. Lahir batin untuk menempuh perjalanan itu. Kamu harus menguasai setiap persoalan yang akan kau temui di sepanjang perjalananmu. Amati persoalan itu dengan seksama. Baru kemudian kau cari pemecahannya.”
Mahisa Agni mengangguk dengan khidmatnya. Jawabnya, “Ya, Guru.”
“Mungkin kau harus mengalami gangguan lahir batin. Nah. kemudian tergantung kepadamu, karena kau akan pergi seorang diri. Ingatlah, perjalanan itu akan merupakan ujian bagimu. Kalau kau berhasil memecahkan persoalan-persoalan yang diberikan oleh pengujimu sesuai dengan maksudnya, maka pasti kau akan lulus dalam ujian itu. Namun kalau tidak, maka kesempatan itu tidak akan terulang kembali.”
“Aku akan melakukan dengan kesungguhan hatiku,” jawab Agni, “Mudah-mudahan yang Maha Agung memberikan tuntunan kepadaku.”
“Mudah-mudahan,” sahut gurunya. Terdengar suara menjadi serak. Dan ketika Agni mencoba melihat wajah gurunya, ia terkejut. Wajah itu sedemikian sayunya, dan bahkan ketika terpandang olehnya mata gurunya itu, bergolaklah perasaan Mahisa Agni. Dilihatnya meskipun hanya sekejap, bahwa sepasang mata gurunya itu menjadi basah.
“Apakah yang sebenarnya terjadi?” pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Bahkan timbul pula prasangka di dalam dadanya, “Apakah sebenarnya Guru marah kepadaku? Apakah sebenarnya yang diminta oleh ayah Mahendra?”
Dan tiba-tiba saja mengianglah di sudut hatinya, “Apakah aku sedang dibuang oleh guruku?”
Tidak, dicobanya untuk mengatasi perasaannya yang sedang bergelora dengan riuhnya di dalam dirinya. Timbullah bermacam-macam prasangka. Namun akhirnya ia mendapatkan suatu kesimpulan. “Guru akan memberikan hadiah itu kepadaku. Adalah wajar kalau aku harus mengambilnya sendiri. Kalau guru akan menghukumku atas permintaan ayah Mahendra, maka guru pasti akan berterus terang kepadaku. Sebab aku adalah muridnya sejak kecilku.”
Mahisa Agni tersadar dari renungannya ketika gurunya berkata dengan nada yang dalam, “Agni. Masih ada beberapa pesanku untukmu. Apabila sudah kau temukan rawa-rawa itu dan kau temukan batu karang di dalamnya, maka untuk seterusnya kau harus menempuh jalan di malam hari sampai kau capai dinding yang gundul itu. Kemudian baru kau akan mendakinya di siang hari.”
Syarat itu bertambah memberatinya. Karena itu maka debar jantung Agni pun bertambah-tambah pula. Meskipun demikian jawabnya, “Ya. Guru, akan aku lakukan semuanya.”
“Bagus Agni. Sekarang beristirahatlah. Kau tentukan sendiri kapan kau akan berangkat,” kata gurunya pula.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. kemudian ia mohon diri untuk beristirahat. Ia sudah tidak ingat lagi akan permintaan Wiraprana untuk memberinya beberapa petunjuk tata bela diri. Mahisa Agni langsung pergi ke biliknya. Perlahan-lahan ia berbaring di pembaringannya. Ditatapnya kayu-kayu yang malang melintang di atap rumahnya. Dan akhirnya ia menarik nafas panjang-panjang. “Ujian,” desisnya. Dan diulanginya, “ujian yang berat.”
Dicobanya untuk membayangkan apa yang kira-kira akan dialaminya dalam perjalanan itu. Binatang buas. Kelompok-kelompok orang jahat yang akan dapat ditemuinya di perjalanannya. Berjuang melawan alam yang garang. Kalau itu semua dapat diatasinya, maka akan didapatnya kesaktian.
“Aku berguru dalam olah kanuragan untuk mendapatkan kesaktian,” gumamnya, “dengan kesaktian banyak yang dapat aku lakukan. Aku akan dapat mencapai dan menegakkan nilai-nilai kebenaran, melawan kesaktian-kesaktian yang akan memaksakan kemungkaran dan kejahatan.”
“Hem,” Agni menarik nafas. Katanya kepada dirinya sendiri, “Tetapi kau harus ingat, hitam putih namamu ditentukan oleh perbuatanmu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, namun terdengar kata-kata di dalam dirinya, “Apapun yang akan aku lakukan, kalau aku orang yang maha sakti, adakah yang akan merintanginya?”
Wajah Mahisa Agni pun kemudian menjadi tegang. Kata-kata itu kembali terngiang di hatinya, “Aku akan menjadi seorang yang maha sakti. Betapapun hitam namaku kelak, namun apa peduliku. Tak seorang akan berani menghalangi aku. Seandainya aku ingin membunuh Wiraprana, Mahendra, bahkan siapa saja, siapakah yang dapat menuntut aku? Kekuasaan Tumapel tak akan berarti bagiku, juga kekuasaan Kediri. Semua akan hancur oleh kesaktianku.”
Dada Mahisa Agni menjadi bergemuruh karenanya. Kesaktian, kekuatan berarti kekuasaan. Kalau kesaktian dan kekuatan ini tak terkalahkan, maka kekuasaannya pun tak akan tergoyahkan. Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang masuk ke dalam biliknya. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya ibunya. Seorang emban yang sudah tua. Agni pun kemudian bangkit dan duduk di tepi pembaringannya.
“Adakah kau menghadap gurumu Agni?” bertanya ibunya sambil duduk di sisinya.
“Ya, Ibu,” jawab Agni.
“Kau menghadap seperti biasa, ataukah ada sesuatu yang penting?”
“Ada sesuatu yang penting. Bahkan penting sekali bagi masa depanku.”
“Apakah itu?”
“Sekali lagi guru memberi aku hadiah.”
“Hadiah?” ibunya mengerutkan keningnya.
Mahisa Agni mengangguk. Lalu diceritakannya apa yang baru saja didengarnya untuk mengambil rangkapan pusaka di kaki Gunung Semeru.
“Oh,” ibunya menarik nafas panjang, “Apakah gunanya pusaka itu?”
Agni-lah yang kemudian menjadi terkejut. Ditatapnya wajah ibunya yang telah mulai berkeriput oleh garis-garis umur. Maka katanya, “Bukankah pusaka itu idaman setiap lelaki? Aku berguru pada Empu Purwa karena aku ingin mendapatkan kesaktian sebagai bekal hidupku kelak. Kini aku akan mendapat pusaka rangkapan trisula itu, dan aku akan menjadi seseorang laki-laki yang pilih tanding. Bukankah itu satu kebahagiaan bagiku. Apa yang aku kehendaki akan berlaku.”
“Itu saja?” bertanya ibunya pendek.
Kembali Agni terkejut. Ia tidak tahu maksud ibunya. Sehingga terdengar pertanyaannya, “Apakah yang ibu maksudkan?”
“Kau berguru kepada Empu Purwa hanya untuk mendapat kesaktian, sehingga semua kehendakmu akan berlaku?”
“Apa lagi?”
“Oh,” ibunya mengeluh. Dan Mahisa Agni menjadi bingung. “Agni,” berkata ibunya, “adakah Empu Purwa tidak memberimu pesan, apa yang harus kau lakukan setelah kau mendapat pusaka-pusaka itu?”
Mahisa Agni menggeleng. Tetapi kemudian ia berkata, “Empu Purwa hanya sekedar memberi aku peringatan, ‘Hitam putih namaku tergantung atas perbuatanku’”
Ibunya mengangguk-angguk. Namun ia bergumam, “Nah, kata-kata itu pendek saja. Cobalah mengerti artinya.”
Mahisa Agni mengangkat keningnya. Katanya, “Tetapi kalau aku seorang yang tak ada bandingnya, apakah artinya pesan itu? Apapun kata orang tentang diriku, tentang namaku, namun mereka tak akan dapat berbuat apapun atasku. Sebab aku tak akan terkalahkan.”
Sekali lagi ibunya terkejut. Dengan wajah yang tegang perempuan tua itu bertanya, “Agni. Apakah sebenarnya yang dikatakan oleh gurumu? Hanya itu saja? Mengambil pusaka supaya kau menjadi sakti tanpa tanding? Kemudian membiarkan kau menentukan namamu sendiri?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Aneh?” gumam ibunya.
“Kenapa aneh?” bertanya Mahisa Agni. Namun pertanyaan itu memang sudah tersimpan di dalam dirinya, sejak ia mendengar gurunya memberinya beberapa petunjuk mengenai letak tempat-tempat yang harus ditujunya.
Perempuan tua itu pun merasakan sesuatu yang agak berbeda dari kebiasaan Empu Purwa. Kali ini Empu itu hanya memandang persoalannya dari sudut lahiriah. Pusaka dan kesaktian. Apakah itu sudah cukup? “Mahisa Agni,” berkata ibunya kemudian, Perlahan-lahan, namun penuh dengan tekanan sebagai seorang ibu, “aku senang mendengar kau akan menerima pusaka rangkapan dan kau akan menjadi seorang yang sakti. Namun sebagai seorang ibu, aku pun mencemaskan nasibmu. Perjalanan itu bukan perjalanan yang menyenangkan. Namun yang lebih mencemaskan aku adalah, bagaimanakah kau sesudah memiliki pusaka-pusaka itu, Agni.”
“Kenapa?”
“Kalau kau salah langkah, maka kau akan terjerumus ke dalam satu dunia yang penuh dengan pertentangan dan permusuhan”
“Bukankah kalau aku menjadi seorang yang tak terkalahkan, aku tak usah cemas, meskipun seandainya orang di seluruh dunia ini memusuhi aku?”
“Benar Agni. Tetapi apakah kau sangka bahwa kau tak perlu mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatanmu itu?”
“Bertanggung jawab kepada siapa? Akuwu Tumapel? Maharaja Kediri atau siapa? Mereka tak akan mampu mengalahkan aku meskipun semua laskarnya dikerahkan.”
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya keragu-raguan memancar di mata anaknya. Karena itu ia menjadi gembira. Katanya, “Kau tidak yakin akan kata-katamu Agni. Aku menjadi berbahagia karenanya. Karena masih ada suara lain di dalam hatimu Nah, Agni. Aku ingin mempertegas suara hatimu yang lain itu. Kau tidak akan bertanggung jawab kepada Akuwu Tumapel atau kepada Maharaja Kertajaya. Mereka adalah manusia-manusia biasa. Kalau kau menjadi sakti tanpa tanding dan melampaui kesaktian-kesaktian mereka, malahan, kau akan dapat mengusir mereka dari kedudukannya, dan kesaktianmu benar-benar dapat membentuk kekuasaan melampaui kekuasaan mereka itu.”
“Lalu kepada siapa?”
“Kekuasaan yang tak dapat dilampaui oleh kekuasaan apapun, Yang Maha Agung.”
“Oh,” Mahisa Agni mengeluh. Dan wajahnya pun kemudian ditundukkannya dalam-dalam. Ia tidak pernah melupakan Yang Maha Agung, yang telah menjadikannya, bahkan seluruh alam dan isinya. Namun kadang-kadang gelora jiwa jantannya sering mengganggunya. Kerinduannya pada kesempurnaan ilmu kanuragan kadang-kadang telah membawanya ke alam yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan. Kadang-kadang direka-rekanya juga permusuhan-permusuhan yang akan terjadi.
“Kalau tidak ada permusuhan-permusuhan, kapankah aku dapat menunjukkan kesaktianku dan kapankah orang lain akan mengagumi aku?” Namun setiap kali ia berhasil menyadari kesalahannya, meskipun baru di dalam angan-angan.
Maka kemudian didengarnya ibunya berkata pula, “Agni, sebenarnyalah bahwa kesaktian dan kekuatan yang dipancarkannya, kemenangan dalam setiap pertentangan dan permusuhan, bukanlah kekuasaan. Apabila demikian, maka hidup manusia ini tidak akan lebih baik dari kehidupan binatang-binatang di dalam rimba. Harimau yang kuat, dan memiliki senjata yang kuat, pula pada tubuhnya, kuku, gigi dan taring-taringnya akan dapat memaksakan kehendaknya kepada binatang-binatang yang lemah. Kijang, rusa dan sebagainya, yang hanya memiliki kesempatan untuk melarikan diri apabila mampu. Bahkan sampai merampas nyawanya sekali pun. Namun binatang tidak memiliki kesadaran akan ‘adanya dan diadakannya’. Karena itulah maka binatang tidak memiliki sifat-sifatnya yang langgeng. Hidup sesudah hidup ini. Di mana akan diperhitungkan semua perbuatan dan tingkah laku manusia. Itulah sebabnya manusia mengenal nilai-nilai hidupnya. Nilai-nilai hidup kemanusiaan. Nah, Agni. Apakah sekarang artinya kesaktian dan kekuasaan duniawi ini?”
Wajah Agni menjadi semakin tunduk. Kata-kata ibunya itu mengetuk-ngetuk dadanya. Sudah sering kali ia mendengar nasihat-nasihat gurunya tentang hidupnya dan hidup di masa-masa langgeng. Namun ketika ibunya sendiri yang mengucapkannya berasa seakan-akan meresap sampai ke tulang sumsumnya.
“Agni,” berkata ibunya, “aku hidup di padepokan ini telah bertahun-tahun. Karena itu aku telah sering kali mendengar Empu Purwa mengatakannya itu semua, meskipun tidak kepadaku. Mungkin kepada anaknya, atau kepada muridnya, kau. Atau kadang-kadang aku mendengarnya dari balik dinding apabila ada beberapa orang tamu, sahabat-sahabat Empu Purwa yang kadang-kadang mengadakan sarasehan. Karena itu apa yang aku katakan, mungkin telah kaudengar langsung dari gurumu. Namun aku adalah ibumu. Umurku telah berlipat dari umurmu. Karena itu aku ingin mengatakannya kembali kepadamu. Aku sangka umur mudamu kadang-kadang masih mengganggumu.”
Agni tidak menjawab. Namun kepalanya masih tunduk. Diangguk-anggukkannya kepalanya perlahan-lahan dan dengan penuh minat ibunya berkata pula,
“Karena itu Anakku. Kesaktian baru bermanfaat apabila ia dipergunakan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Kalau ada kekuasaan di muka bumi ini, kekuasaan manusia, maka ia harus dilambari atas nilai-nilai itu pula, nilai-nilai hidup bersama yang ditentukan bersama pula dalam pergaulan hidup yang memberikan kebahagiaan bersama. Nah, terhadap kekuasaan yang demikian itulah kesaktian wajib diamalkan untuk menegakkannya. Bukan untuk merampasnya.”
Ibunya berhenti sejenak. Ditatapnya anak laki-lakinya yang bertubuh kokoh kuat dengan jalur-jalur ototnya menjalar di seluruh permukaan kulitnya. Kemudian terdengar kembali perempuan itu berkata, “Nah, Agni. Pergilah ke kaki Gunung Semeru. Usahakan supaya perintah gurumu dapat kau penuhi. Dan sadarilah apa yang akan kau perbuat kelak sesudah pusaka-pusaka itu berada di tanganmu.”
“Baik, Ibu,” jawab Mahisa Agni lirih, namun sampai ke dasar hatinya.
Ibunya menganggukkan kepalanya. Kemudian sambil berdiri ia berkata, “Kalau sampai saatnya kau pergi anakku, pergilah dengan tekad yang bulat. Dengan janji di dalam hati, bahwa apa yang kau capai semata-mata untuk tujuan yang baik, maka Yang Maha Agung akan selalu memberkahi.”
“Baik, Ibu,” sahut Mahisa Agni sambil mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berdiri pula dan melepaskan ibunya pergi dari mulut pintu biliknya.
Kata-kata ibunya itu merupakan penegasan dari segenap perasaan-perasaan yang bergolak di dalam dadanya. Dan ia bersyukur karenanya. Maka kemudian dibulatkannya tekad di dalam dadanya, “Aku akan pergi ke Gunung Semeru.”
Kepada Wiraprana, Mahisa Agni terpaksa membatalkan janjinya untuk sementara, katanya, “Prana, besok kalau aku kembali dari perantauan ini, aku berjanji akan memenuhi permintaan itu. Bukankah aku menjadi bergembira pula dengan hasratmu itu. Tetapi sayang aku terpaksa menundanya.”
Wiraprana pun menjadi kecewa karenanya. Tetapi ia menyadari bahwa pasti ada sesuatu yang penting dalam perjalanan yang akan ditempuh oleh sahabatnya itu. “Mudah-mudahan kau lekas kembali Agni. Apakah perjalanan itu jauh?”
Agni menggeleng. “Tidak. Tidak begitu jauh.”
Wiraprana memandang wajah Agni dengan penuh pertanyaan. Tetapi pertanyaan itu tak diucapkannya. Ia sadar, bahwa bukan menjadi haknya untuk mengetahui segala persoalan sahabatnya itu. Namun kepergian itu pasti akan memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga dengan demikian, Panawijen akan terasa sepi baginya. Meskipun banyak anak-anak muda yang lain, tetapi di samping Mahisa Agni,Wiraprana merasa tenang dan sejuk.
“Ah,” katanya di dalam hati, “aku harus dapat menyejukkan hatiku sendiri. Kelak kalau aku sudah meyakini diriku sendiri sesudah Mahisa Agni kembali, maka aku akan tegak di atas kemampuan sendiri.”
Setelah sampai saatnya Mahisa Agni merasa dirinya siap untuk berangkat menempuh perjalanan itu, maka sekali lagi ia menghadap gurunya. Diharapkannya gurunya akan memberinya pesan-pesan terakhir yang bermanfaat bagi perjalanannya lahir dan batin. Namun Mahisa Agni menjadi kecewa. Gurunya tidak memberinya pesan-pesan baru kepadanya, selain bentuk dari benda yang dicarinya. Mahisa Agni mendengarkan setiap kata-kata gurunya dengan tekun, supaya ia kelak tidak keliru. Setelah ia menempuh perjalanan yang sulit itu ia tidak ingin menemukan benda yang sama sekali bukan benda yang dikehendakinya.
“Agni,” berkata gurunya, “benda itu tampaknya memang tidak berharga sama sekali. Bentuknya tidak lebih dari sebatang akar wregu. Namun akar itu berwarna putih. Panjangnya kurang lebih hanya dua cengkang. Benda itu terbalut kain berwarna merah muda bertepi putih.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa ia menjadi heran. Sebatang akar wregu berwarna putih dan sudah dibalut dengan kain. Siapakah yang meletakkannya di sana?
Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, tetapi Empu Purwa dapat merasakan perasaan itu. Maka katanya, “Tak seorang pun yang tahu, siapakah yang meletakkan benda itu di sana. Dan mungkin pula tak seorang pun yang tahu, bahwa ada benda itu di sana. Aku mengetahuinya dari sebuah mimpi. Dan aku pernah membuktikannya melihat sendiri benda itu beberapa tahun yang lampau. Namun pada saat itu aku belum dapat mengambilnya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ingin ia bertanya kenapa pada saat itu gurunya belum dapat mengambilnya. Tetapi ia tidak berani. “Ah. Pasti ada sebab-sebab yang penting,” katanya di dalam hati.
“Agni,” berkata gurunya pula. Nadanya menjadi semakin dalam, “Ingat! Apabila kau telah menemukan batu karang itu, kau harus menempuh perjalananmu di malam hari. Ada banyak sebabnya. Yang terpenting, perjalananmu tidak boleh dilihat oleh seorang pun. Meskipun hanya oleh seorang pencari kayu sekali pun. Namun aku sangka daerah itu tak pernah dikunjungi orang.”
“Ya, Guru,” jawab Agni, “akan aku penuhi semua perintah.”
“Bagus,” sahut Empu Purwa sambil mengangguk-anggukkan kepala, “mudah-mudahan kau berhasil.”
“Pangestu Guru untukku,” pinta Mahisa Agni.
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah pada wajahnya yang suram, sepasang matanya yang sayu. Setelah ia berdiam diri sejenak, maka katanya, “Agni, bawalah obat penawar racun ini. Mungkin kau aku bertemu dengan ular-ular berbisa, atau serangga yang tak kalah tajam bisanya. Sebuah sengatan sudah cukup untuk membunuhmu dalam waktu sekejap.” Diberikannya oleh Empu Purwa sebuah tabung kecil. Ketika tabung itu dibuka dilihatnya di dalamnya beberapa gelintir ramuan obat.
“Agni,” berkata gurunya, “aku membuat param itu dari akar-akar dan beberapa jenis racun. Kalau kau akan mempergunakannya, cairkanlah param itu dengan air. Kemudian gosokkanlah pada seluruh tubuhmu. Atau apabila kau telah terlanjur tergigit ular atau terkena racun apapun, gosokkanlah obat itu di lukamu. Tetapi kalau racun itu masuk ke dalam tubuhmu melalui mulutmu Agni, maka pakailah ramuan yang lain.”
Empu Purwa itu berhenti sejenak. Sebuah tabung yang lain diberikannya pula kepada Mahisa Agni. Di dalam tabung itu pun terdapat beberapa butiran ramuan obat-obatan. Namun jauh lebih kecil dari butiran-butiran obat yang pertama.
“Ingat Agni,” berkata gurunya, “Jangan sampai keliru! Kalau kau keliru mempergunakan, maka akibatnya akan sebaliknya. Obat yang pertama hanya boleh kau gosokkan di tubuhmu, sedang obat yang kecil itu, harus kau telan.”
“Ya, Guru,” sahut Mahisa Agni.
Empu Purwa memandang muridnya dengan pandangan yang aneh. Sedang Mahisa Agni masih saja menundukkan wajahnya. Tetapi tiba-tiba wajahnya itu pun menjadi tegang ketika gurunya berkata pula, “Mahisa Agni. Tinggallah kini pesan terakhir bagimu. Dalam perjalanan yang berbahaya itu Agni, sebaiknya trisulamu kau tinggalkan saja di padepokan ini.”
Mahisa Agni terkejut mendengarnya justru dalam perjalanan yang berbahaya itu diperlukannya kawan dalam perjalanannya. Bukankah pusaka itu dapat dijadikannya kawan yang baik apabila ia berhadapan dengan bahaya. Tetapi sebelum ia berkata apapun didengarnya gurunya meneruskan,
“Agni. Trisula itu adalah benda yang sangat berharga. Karena itu apabila pusaka itu hilang, maka hilanglah semuanya bagi padepokan kita. Semua perjuangan masa lampau akan lenyap bersamanya apalagi harapan bagi masa mendatang. Karena itu janganlah hal itu terjadi. Kau ingin menemukan rangkapannya, namun pusaka itu sendiri jangan sampai lepas dari tangan kita.”
Mahisa meng-angguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak tahu seluruh persoalannya. Namun ia tidak berani membantahnya. Ia percaya saja kepada gurunya yang tentu jauh lebih bijaksana daripadanya. Meskipun kadang-kadang juga timbul prasangkanya, namun segera perabaan itu dihimpitnya ke dasar hatinya. Ayah Mahendra, sahabat guru sama sekali tidak marah atas kekalahan anaknya. Berkali-kali ia menegaskan kepada dirinya sendiri karena itu guru pun sama sekali tidak marah kepadaku.
Demikianlah maka sampailah pada saatnya Mahisa Agni meninggalkan padepokan itu. Di pagi yang cerah, ketika matahari membangunkan wajah bumi yang tetap, Mahisa Agni mohon diri kepada ibunya. Perempuan itu memandang wajah anaknya yang teguh sambil tersenyum, namun di matanya menitik beberapa butir air mata. Diciumnya kening anak itu sambil berbisik,
“Pergilah, Anakku. Mudah-mudahan kau capai cita-citamu. Harapan masa depanmu masih panjang...”