PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 06
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 06
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHESA AGNI pun kemudian membenahi diri. Mencuci muka di sumur di belakang rumah. Memperbaiki letak pakaiannya dan kemudian bersama-sama dengan orang tua yang ramah itu, duduk di atas tikar anyaman menghadapi air jahe hangat dan sebongkah gula kelapa.
“Minumlah Ngger,” orang tua itu mempersilakan, namun ia sendiri tidak mau minum. Lehernya yang telah berkeriput itu seakan-akan telah tersumbat. Meskipun demikian, Mahisa Agni minum juga beberapa teguk. Alangkah segarnya.
“Sebentar lagi kita harus pergi memenuhi permintaan anak setan itu. Istriku sedang menjemput gadisnya di rumah sebelah. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari malapetaka yang lebih besar. Biarlah aku serahkan timang itu, asal anakku itu tidak diganggunya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Alangkah sedihnya orang tua itu. Sesaat kemudian istrinya yang telah tua pula itu pun datang bersama anak perempuan beserta suaminya. Sekilas Agni segera dapat melihat air mata yang membasahi mata yang jernih bulat itu. Sedang suaminya, tidak lebih seorang petani biasa. Bertubuh kecil dan berhati kecil. Sehingga dengan gemetar ia bertanya,
“Apakah yang akan dilakukan oleh Pasik, Kiai.”
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Mudah-mudahan tak akan dilakukan sesuatu.”
“Aku telah membawa semua perhiasan dan kekayaan yang aku miliki. Mudah-mudahan istriku tidak diganggunya.”
Orang tua itu tidak menyahut. Namun istrinya menangis terisak-isak, sehingga anaknya menangis pula. Katanya, “Biarlah aku tinggal di rumah.“
Ayahnya menarik nafas. Tak sepatah kata pun dapat diucapkan, sehingga anaknya itu berkata pula, “Ayah, aku lebih baik mati daripada disentuhnya.
Ayahnya masih terbungkam. Dan bahkan matanya pun menjadi basah pula. Mahisa Agni benar-benar tak dapat menahan perasaan harunya. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Biarlah anak bapa tinggal di rumah bersama suaminya.”
Yang mendengar kata-kata Mahisa Agni itu terkejut. Orang tua itu berpaling kepadanya sambil berkata, “Aku tidak dapat membayangkan akibatnya.”
“Mudah-mudahan Pasik melupakannya setelah ia melihat timang bapa dan kerisku ini,” jawab Agni.
Orang tua itu berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Hampir tak ada gunanya, Ngger. Ia tidak dapat melihat keinginannya sepotong-sepotong terpenuhi. Ia ingin semuanya.”
“Tetapi apakah anak bapa itu juga terpaksa dikorbankan seandainya nanti dikehendaki oleh Pasik itu?”
Orang tua itu terdiam. Istrinya pun terdiam. Namun anak perempuannyalah yang menangis. Dan bahkan suaminya pun menangis.
“Jangan menangis,” minta Mahisa Agni kepada laki-laki itu, “seharusnya laki-laki tidak menangis.”
Tetapi laki-laki itu menangis terus. Katanya di sela-sela tangisnya, “Ki Sanak tidak merasakan apa yang aku rasakan. Itulah Ki Sanak dapat berkata demikian.”
Mahisa Agnilah kini yang terdiam. Ia tidak tahu bagaimana mencoba menghibur mereka. Namun ia menjadi semakin kasihan juga melihat keadaan keluarga yang sedang berduka itu.
Tiba-tiba perempuan tua itu berkata, “Kiai biarlah suaminya saja pergi bersama-sama Kiai. Biarlah anak ini tinggal bersama aku di rumah. Bawalah semua kekayaan yang ada sebagai tebusannya.”
Laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya ia pun berkata, “Biarlah ia tinggal di rumah. Marilah kita pergi apa pun yang terjadi.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Marilah. Kita tebus putri bapa itu dengan kekayaan. Mungkin Pasik akan bergembira karenanya.”
Orang tua itu tidak menjawab. Ditatapnya wajah anaknya dan istrinya berganti-ganti. Kemudian kepada menantunya ia berkata, “Marilah supaya Pasik tidak menjadi kesal menunggu kedatangan kita.”
Maka pergilah mereka bertiga ke rumah Pasik. Dengan wajah tunduk menantu orang tua itu berjalan di sampingnya, sedang Mahisa Agni berjalan di belakang mereka. Sekali orang tua itu berpaling sambil bertanya kepada Mahisa Agni, “Apakah Angger sudah ikhlas akan keris itu?”
Mahisa Agni menarik nafas. Jawabnya, “Keris ini keris peninggalan Bapa.”
“Jadi?”
“Entahlah,” sahut Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Mereka berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan yang sempit, menuju ke rumah Pasik. Akhirnya sampai jugalah mereka ke rumah itu. Rumah yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas. Di halaman itu Mahisa Agni melibat beberapa orang telah berkumpul dengan berbagai bungkusan di tangan mereka. Namun tampaklah wajah mereka yang suram dan bersedih. Mereka harus menyerahkan beberapa macam benda bagian dari kekayaan mereka.
Ketika orang tua itu sampai di halaman rumah Pasik, maka semua orang yang sudah berada ditempat itu, menjadi heran dan saling berpandangan. Sebagian dari mereka menjadi heran, kenapa orang tua itu pula telah dijadikan korban oleh Pasik ? Dan sebagian lagi heran melihat kehadiran orang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.
Seseorang yang telah setengah umur segera mendekati orang tua itu sambil berbisik, “Kenapa Kakang datang kemari?”
“Seperti juga kau datang kemari,” jawab orang tua itu.
“Oh, apakah Pasik itu sampai hati juga berbuat demikian kepada Kakang?”
“Ternyata demikianlah.”
Kemudian mereka itu terdiam ketika mereka melihat Pasik keluar dan rumahnya. Dengan wajah yang cerah anak muda itu tersenyum. Kemudian mengangguk kepada semua orang yang telah berada di halaman. Namun seleret ia, memandang ke seberang halamannya. Dan ternyata di kejauhan, beberapa orang dengan diam-diam ingin melihat apa yang terjadi di halaman rumah Pasik itu. Namun Pasik itu masih saja tersenyum. Kemudian dengan ramah ia berkata,
“Alangkah senangnya aku, bahwa kalian masih juga suka berkunjung ke rumah ini. Meskipun belum kalian nyatakan, tetapi aku sudah tahu bahwa kalian telah bersusah payah datang untuk memberikan bekal perjalananku lusa. Sebenarnyalah aku memang hendak bepergian. Jauh, ke Tumapel mengikuti guruku yang hari ini datang juga ke padukuhan ini.”
Pasik itu diam sesaat, namun orang yang datang di halamannya mengumpat di dalam hati mereka. Sesaat kemudian Pasik itu berkata, “Sayang, guruku pagi ini tidak dapat menerima kalian. Mungkin sebentar lagi setelah guru datang dari melihat-lihat daerah terpencil ini.”
Kembali Pasik itu berdiam diri. Ditebarkannya pandangan matanya sekali lagi. Ketika ia melihat Mahisa Agni, maka anak muda itu tersenyum, “Selamat datang Ki Sanak. Ternyata Ki Sanak sudi juga berkunjung ke rumah ini.”
Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tentu. Bukankah Ki Sanak yang minta kepadaku untuk datang pagi ini?”
Pasik mengerutkan keningnya, dan orang-orang yang mendengar jawaban itu pun menjadi terkejut. Alangkah beraninya orang itu menjawab pertanyaan Pasik. Namun kemudian mereka menyadari bahwa orang itu belum mengenal siapakah Pasik itu. Pasik pun kemudian tersenyum pula, “Memang, aku kemarin telah mempersilakan kau datang. Bukankah lebih baik apabila kita memperbanyak sahabat?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Dan dibiarkannya Pasik tersenyum puas. Ia ingin melihat apa saja yang akan terjadi seterusnya di halaman itu. Ternyata Pasik itu pun tidak memperpanjang perkataannya. Dengan singkat kemudian ia berkata, “Nah, aku akan sangat berterima kasih atas pemberian kalian. Karena itu, marilah berikanlah apa yang ingin saudara-saudara berikan itu.”
Suasana kemudian menjadi hening sepi. Tampaklah beberapa orang menjadi ragu-ragu. Sehingga Pasik itu pun berkata, “Marilah. Satu demi satu, supaya aku dapat melihat barang-barang yang kalian berikan itu. Marilah!”
Maka, sesaat kemudian mulailah orang yang pertama berdiri. Melangkah maju dan menyerahkan bungkusannya kepada Pasik. Dengan tersenyum puas, Pasik membuka bungkusan itu. Sepotong cula berukir berbentuk sebuah golek yang sangat manis. Namun wajah Pasik itu tiba-tiba menjadi gelap. Katanya, “Apakah benda ini sama sekali tidak bersalut emas?”
Orang yang membawa cula berukir itu terkejut. Dan dengan ketakutan ia menjawab, “Tidak, tidak Pasik.”
“He?” potong Pasik, “Sebutlah namaku!”
“Oh,” orang itu semakin ketakutan, “maksudku Angger Waraha.”
Pasik menarik napas. Tetapi tiba-tiba ia membentak “Bohong! Benda-benda serupa ini biasanya bersalut emas.”
“Tetapi yang ini tidak Ngger,” jawab orang itu, “ini adalah peninggalan Bapakku. Dibuatnya benda ini dengan tangannya sebagai kenang-kenangan pada masa mudanya, ketika Bapak itu berhasil menangkap seekor badak yang jarang terdapat di daerah ini dalam perburuannya. Sehingga sudah tentu kami tidak dapat memberinya emas. Sebab sebenarnya kami tidak pernah melihat, apalagi memiliki emas. Maka…”
“Cukup!” bentak Waraha, orang itu sedemikian terkejutnya sehingga tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar, “Aku tidak perlu sesorah itu.”
Orang itu ternyata masih ingin memberi beberapa penjelasan, namun mulutnya sajalah yang bergeletar, tetapi tak sepatah kata pun yang dapat lolos dari tenggorokannya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Waraha membentaknya sekali lagi, “Pulang! Jangan menghina aku! Ambil yang lain!”
“Itu, itu…,” sahut orang itu terbata-bata, “itu adalah milikku yang paling berharga Ngger.”
“Pulang, dan ambil yang lain! Dengar?”
“Aku, aku sudah tidak punya apa-apa lagi.”
Waraha itu kemudian menjadi marah. Dengan serta-merta golek cula yang amat manis itu dibantingnya pada sebuah batu.
“Pasik!” teriak orang itu. Tetapi ia hanya dapat melihat golek itu pecah berserakan. Bahkan Pasik itu masih bertambah marah lagi, karena orang itu menyebut nama aslinya. Karena itu, dengan kakinya yang kokoh kuat Pasik mendorong orang itu sehingga terpental beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah.
Halaman itu menjadi tegang dan sepi. Sesepi perkuburan. Tak seorang pun yang berani memandang wajah Pasik. Namun tiba-tiba mereka yang berada di halaman itu terkejut ketika mereka mendengar Pasik itu tertawa. Kemudian ia berkata lemah, “Ah. Maafkan aku. Aku tidak biasa berlaku kasar. Namun aku sebenarnya tidak mau dihina. Aku tidak mau dihina. Aku tidak akan sakit hati seandainya kalian tidak ingin memberi aku bekal apa pun. Namun aku tidak mau dihina dengan benda-benda serupa itu.”
“Hem,” orang tua di samping Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika Pasik itu tiba-tiba memandangnya sambil tersenyum. Kemudian dengan hormatnya ia berkata, “Ah, Kiai. Agaknya Kiai datang juga ke tempat yang kotor ini.”
Orang tua itu menjadi berdebar-debar. Apalagi kemudian Pasik itu berkata, “Sebenarnya aku akan sangat gembira apabila Kiai datang bersama gadis Kiai itu.”
Orang tua itu tidak menjawab. Namun debar di dadanya menjadi semakin cepat. Karena ia tidak menjawab,maka Pasik itu berkata pula, “Kiai, tidakkah Kiai datang dengan gadis Kiai itu?”
Orang tua itu menjadi bertambah gelisah. Keringat dinginnya telah mulai membasahi bajunya. Dengan tergagap ia menjawab, “Tidak Ngger. Aku datang bersama suaminya.”
“Suaminya?” tiba-tiba mata Pasik itu terbelalak. Apakah yang Kiai katakan?”
Orang tua itu telah benar-benar menjadi gemetar. Sehingga kembali mulutnya terbungkam. yang menjawab kemudian adalah Mahisa Agni. “Ya Ki Sanak. Kiai ini datang bersama menantunya.”
Mata Pasik itu kemudian menjadi merah. Dengan liar ia menatap Mahisa Agni dan laki-laki tua itu berganti-ganti. Kemudian katanya lantang “Kiai, buat apa menantumu itu bagiku?”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Karena itu ia pun kemudian berdiam diri. Dibiarkannya Pasik menggeram dan kemudian berkata, “Aku sudah mengatakan, seharusnya Kiai datang dengan anakmu, bukan menantumu. Buat apa aku minta menantumu datang?”
Pasik berhenti sejenak. Kemudian pandangan matanya jatuh kepada menantu orang tua itu. “Ha, kau agaknya menantunya bukan? Jangan ingkar! Gadis itu memang cantik. Bukankah gadis itu kawan kita bermain sejak anak-anak?”
Tiba-tiba Pasik itu tertawa. Suaranya menggelegar memenuhi halaman. Karena itu setiap orang yang mendengar menjadi ngeri karenanya. Kemudian katanya meneruskan, “Aku kenal kau sejak kecil dan kau kenal aku sejak kecil pula. Karena itu, marilah kita berbaik hati sesama kita. Tolonglah aku, panggillah istrimu itu!”
Kata-kata itu benar-benar tak dapat dimengerti oleh Mahisa Agni. Dan ia menjadi semakin tidak mengerti, ketika menantu orang tua itu menangis, “Bagaimana Kiai? Apakah aku harus memanggilnya?”
Orang tua itu pun terdiam. Dan suasana di halaman itu menjadi beku. yang terdengar kemudian adalah suara Pasik tertawa sambil berkata lembut. “Bukankah kita bersahabat?” katanya, “Nah, tolonglah aku.”
Tetapi tiba-tiba Pasik itu terkejut ketika seorang perempuan menggamitnya. Ketika ia menoleh, maka katanya “Oh, Ibu. Apakah ada sesuatu?”
“Pasik,” berkata ibunya.
Namun segera Pasik memutus, “Sebut namaku!”
“Oh,” desah ibunya “Waraha. Apa pun yang akan kaulakukan, namun jangan diganggu tetua padukuhan kami itu.”
Pasik mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berpaling kepada menantu orang tua yang disebut sebagai tetua padukuhan itu. Katanya “Lekas, tolonglah aku.”
“Waraha,” panggil ibunya.
Namun Pasik itu seakan-akan tidak mendengar, bahkan ia berteriak lebih keras “Cepat! Panggil istrimu itu sekarang!”
“Angger,” berkata orang tua itu dengan gemetar, “aku telah membawa timang yang Angger kehendaki, dan menantuku telah membawa perhiasan yang dimilikinya. Sedang tamuku pun telah merelakan kerisnya untuk Angger. Apakah Angger masih memerlukan anakku itu?”
Pasik sama sekali tidak mau mendengar kata-kata itu. Ia kemudian berteriak tinggi, “Lekas, panggil ia sekarang!”
Menantu tetua Padukuhan Kajar itu masih terpaku di tempatnya dengan tubuh gemetar. Sedang mata Pasik itu telah menjadi semakin merah. Namun ketika ia akan berteriak kembali, sekali lagi ibunya menggamitnya dan berkata, “Jangan Waraha, jangan ganggu anak itu.”
Tetapi Waraha itu masih saja tidak mau mendengar kata-kata ibunya itu, sehingga kemudian ibunya itu menarik tangannya, “Orang tua itu kami hormati seperti orang tua kami sendiri. Dan bukankah orang tua itu terlalu baik kepadamu pada masa kecilmu. Kini seharusnya…”
“Diam!” tiba-tiba Waraha itu membentak. Ibunya menjadi sangat terkejut dan bahkan semua orang menjadi terkejut pula. Meskipun demikian ibunya itu meneruskan, “Waraha, aku minta sekali lagi, jangan.”
Waraha menarik tangannya, dan bahkan tangan ibunya itu didorongnya. Kini ia menunjuk kepada orang tua beserta menantunya itu, “Cepat! Panggil perempuan itu! Aku menghendaki timang, keris, dan perempuan itu. Jangan dikurangi!”
Kini ibunya tidak lagi hanya menarik tangannya, tetapi anaknya itu dipeluknya sambil meminta, “Ingatlah, Waraha. Orang itu terlalu baik buat kita. Jangan nodai dengan kekasaran dan nafsu.”
Waraha itu kini menjadi benar-benar marah. Tiba-tiba digetarkannya tubuhnya keras-keras, dan perempuan yang memeluknya itu, ibunya, terpelanting beberapa langkah. Kemudian jatuh terbanting di tanah. Terdengar ia memekik kecil. Namun pekiknya sama sekali tidak mempengaruhi kekerasan hati anaknya. Waraha itu hanya berpaling sesaat, kemudian dengan tanpa memandang ibunya yang masih terbaring itu berkata,
“Aku tak mau dihalangi oleh siapa pun juga. Semua kehendakku harus terjadi!”
Kini kesan keramahan, kesopanan dan kelembutan benar-benar telah lenyap dari Pasik. Matanya semakin lama bahkan menjadi semakin liar. Sekali lagi ia berpaling ketika seorang laki-laki dengan gemetar menolong perempuan yang terbanting itu. Dengan lantang ia berkata,
“Ayah, bawalah perempuan celaka itu pergi. Kalau tidak maka tidak ada keberatan apa pun bagiku untuk memaksa kalian pergi. Jangan campuri urusanku. Uruslah sendiri kepentingan Ayah dan Ibu!”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Alangkah buasnya anak muda itu. Menilik wajahnya, keluarganya dan keadaan di sekitarnya maka mustahillah bahwa lingkungan itu dapat membentuk orang sekasar Waraha itu. Tetapi kemudian Mahisa Agni pun memperhitungkan pula kepergian Waraha itu beserta pamannya, kemudian berguru kepada gurunya itu selama ia di rantau. Dengan demikian, menurut kesimpulan Mahisa Agni, pasti lingkungan perguruannya yang telah merusak hidup anak muda itu.
Kini kembali Pasik itu memandangi orang tua beserta menantunya. Sekali lagi ia berteriak, “Aku ingin memberi kalian kesempatan sekali lagi. Panggil perempuan itu. Aku menghendaki semuanya. Tidak sebagian-sebagian dari permintaanku itu.”
Orang tua itu menjadi semakin gemetar, dan menantunya menangis lebih deras lagi sambil bertanya, “Kiai, bagaimana Kiai?”
“Jangan bertanya lagi! Berdiri dan pergi!” bentak Pasik.
Laki-laki itu menjadi seperti orang kehilangan kesadaran. Dengan demikian ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Diguncang-guncangnya tangan mertuanya. Namun mertuanya itu pun telah menjadi sangat bingung pula. Dalam keadaan yang demikian, maka halaman itu benar-benar dicengkam oleh suasana yang mengerikan. Semua dada seakan-akan berdentingan. Mereka yang melihat tetua mereka itu menjadi sangat kasihan. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Nasib mereka masing-masing pun masih belum mereka ketahui.
Dengan diam-diam mereka mencoba menilai apa-apa yang sudah dibawanya. Jangan-jangan benda-benda itu tidak menyenangkan hati Pasik, kecuali mereka yang sudah mendapat pesan untuk membawa benda-benda tertentu. Memang kali ini Pasik berbuat lebih jauh dari masa-masa yang lampau. Kali ini Pasik ingin memperlihatkan kepada gurunya, apa yang dapat dilakukannya di kampung halamannya. Karena itu, maka apa yang dilakukannya kali ini benar-benar mengejutkan dan sangat menakutkan bagi penduduk Kajar.
Pasik itu pernah datang bersama-sama beberapa orang saudara seperguruan. Pernah diambilnya seorang gadis untuk saudara seperguruan itu. Pernah dibunuhnya seorang anak muda kawannya bermain semasa kanak-kanak. Pernah juga dilakukan hal-hal yang mengerikan. Namun belum pernah Pasik mengundang orang sebanyak ini untuk datang di halaman rumahnya. Apabila termasuk tetua padukuhan mereka. Bahkan anak perempuannya pula dikehendakinya. Kali ini Pasik benar-benar ingin memperlihatkan kekuasaannya di antara penduduk tempat ia dilahirkan.
Ketika Pasik itu masih melihat menantu tetua padukuhan itu masih belum beranjak dari tempatnya, maka ia pun menjadi semakin marah. Dengan nada yang tinggi ia berteriak, “He, apakah yang kau tunggu? Apakah kau ingin kepalamu bengkak dahulu?”
Laki-laki itu benar-benar menjadi ketakutan. Karena itu dengan gemetar ia berdiri untuk pergi memanggil istrinya. Tetapi laki-laki itu terkejut, ketika Mahisa Agni menggamitnya. Dengan isyarat ia mencegah laki-laki itu. Namun laki-laki itu tidak segera dapat menangkap isyaratnya, sehingga perlahan-lahan Mahisa Agni berbisik, “Jangan pergi! Lindungilah istrimu itu.”
Laki-laki itu menjadi bertambah bingung. Ia sependapat dengan Mahisa Agni. Namun ia tidak berani menentang kehendak Waraha. Ketika Waraha melihat orang itu berhenti, maka sekali lagi ia berteriak, “Apakah kau benar-benar bosan hidup?”
Dengan gemetar orang itu melangkah kembali. Namun sekali lagi Mahisa Agni mencegahnya. Bahkan kali ini ia menahan tangannya. “Jangan!” katanya.
Kali ini Pasik melihat tangan Mahisa Agni menarik tangan laki-laki itu. Karena itu betapa ia menjadi sangat marah. Dengan serta-merta ia mengumpat sambil berkata, “Setan!Apakah yang kau lakukan itu?”
“Tidak apa-apa,” jawab Mahisa Agni, “aku hanya ingin memperingatkannya, biarlah istrinya berada di rumah.”
Wajah Pasik itu seakan-akan menjadi menyala mendengar jawaban Mahisa Agni, sehingga agaknya ia perlu meyakinkan pendengarannya. “He, apa katamu?” Ia bertanya.
Sekali lagi Mahisa Agni menjawab, “Aku hanya ingin memperingatkannya, sebaiknya istrinya tetap berada di rumah.”
Tubuh Pasik itu kemudian menjadi gemetar. Kini ia mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh orang yang baru saja dikenalnya itu. Katanya, “Ki Sanak, jangan membuat keributan di sini. Apakah kau belum pernah mendengar nama Waraha, setidak-tidaknya dari orang tua tempat kau menginap itu?”
“Sudah,” jawab Mahisa Agni singkat.
“Setan!” Waraha itu mengumpat, “sekarang berikan kerismu itu.”
Mahisa Agni masih tetap berada di tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak, apalagi memberikan kerisnya, sehingga sekali lagi Pasik berteriak, “Berikan kerismu perantau, atau kau akan berkubur di padukuhan yang asing bagimu ini?”
“Kedua-duanya tidak menyenangkan Pasik,” jawab Mahisa Agni.
“He?” teriak Pasik, “Sebut namaku!”
“Ya. Bukankah namamu Pasik?”
“Diam! Sebut namaku sepuluh kali!”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Pasik itu benar-benar telah memuakkan. Karena itu ia justru berdiam diri. Bahkan dengan acuh tak acuh ia menarik tangan menantu tetua Padukuhan Kajar sambil berkata, “Marilah! Duduklah di sini.”
Semua yang melihat, apa yang telah dilakukan Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tegang. Kini mereka melihat Waraha menggertakkan giginya. Seseorang yang duduk di samping Mahisa Agni itu menggamitnya sambil berbisik, “Angger. Jangan membuat Angger Waraha itu marah.”
Tetapi sebelum Mahisa Agni sempat menjawab, terdengar kata-kata Pasik, “He, perantau yang malang. Sebentar lagi guruku pasti datang. Karena itu cepat berikan keris itu, lalu kau boleh meninggalkan tempat ini. Tetapi kalau kau mengganggu pertemuan ini, maka terpaksa aku membunuhmu, meskipun Guru ada di sini. Sebenarnya bukanlah suatu suguhan yang baik. Mayat seorang perantau. Tetapi apa boleh buat.”
Mahisa Agni mengambil kerisnya yang terselip diikat pinggangnya. Kemudian dengan tenangnya keris itu diamat-amatinya. Dan dengan tenang pula ia berkata, “Ki Sanak. Kerisku adalah keris peninggalan ayahku. Karena itu, alangkah sayangnya kalau keris ini aku berikan kepada seseorang. Apalagi seseorang yang tak memerlukannya lagi seperti Ki Sanak. Tanpa senjata pun Ki Sanak adalah seorang yang sakti. Tetapi bagiku, keris ini akan sangat berguna. Sebab…”
“Cukup!” bentak Pasik, “Berikan sekarang. Dan biarlah laki-laki cengeng itu menjemput istrinya.”
“Jangan!” sahut Agni, “keris ini tak akan aku berikan kepada siapa pun, dan laki-laki ini tak akan menjemput istrinya.”
“Angger,” desis laki-laki tetua padukuhan itu. Tubuhnya yang kurus itu semakin berkerut, “jangan membuat Angger Waraha menjadi semakin marah. Maka akibatnya, seluruh penduduk Kajar akan mengalami bencana.”
Kini Mahisa Agni sudah tidak melihat kesempatan lain. Ia tidak dapat membiarkan kelaliman itu berjalan terus. Ia sudah cukup melihat kenyataan yang berlaku di hadapan hidungnya. Dan ini harus dihentikan. Apakah ia akan berhasil atau tidak, bukanlah menjadi soal. Tetapi ia mengharap,bahwa usahanya akan berhasil. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun kemudian berdiri. Ditariknya kerisnya dari wrangkanja. Kemudian diangkatnya di atas kepalanya. Katanya,
“Pasik. Bagi seorang laki-laki, keris atau curiga adalah lambang dari kelaki-lakiannya. Karena itu, betapa aku menilai kerisku ini seperti aku sendiri.”
Semua hati yang tersimpan di dalam dada setiap orang di halaman itu tergetar karenanya. Orang yang masih asing bagi mereka itu, agaknya benar-benar belum mengenal Waraha. Karena itu, mereka pun menjadi berdebar-debar. Apabila ada kesempatan bagi mereka, mereka pasti akan memperingatkannya. Tetapi kini hal itu telah terjadi. Dan wajah Waraha itu telah menjadi semerah darah.
“Hem,” Waraha menggeram. Tetapi tiba-tiba ia tertawa. Di antara suara tertawanya itu ia berkata “He, para tetangga yang baik. Sediakanlah sebuah lubang untuk mengubur orang gila ini. Aku ingin mematahkan tulang belakangnya. Kemudian sebelum ia mati, biarlah ia menikmati sejuknya tanah perkuburan.”
Mahisa Agni mendengar kata-kata itu dengan kerut-kerut di keningnya. Agaknya Pasik itu benar-benar dapat berbuat sebuas itu. Karena itu maka kemudian jawabnya “Jangan marah Pasik.”
Suara Mahisa Agni itu terputus karena Pasik berteriak, “Sebut namaku, orang gila!”
“Ya. Pasik. Pasik. Sebenarnyalah nama itu baik sekali. Tidak sebuas nama Waraha.”
Pasik itu kini benar-benar telah menjadi gemetar menahan kemarahannya. Matanya yang liar menjadi semakin liar. Dan tiba-tiba ia meloncat, melanggar satu dua orang sehingga jatuh berguling-guling, mendekati Mahisa Agni. Dengan gemetar pula ia menggeram, “Setan! Bersiaplah untuk mati!”
Mahisa Agni itu pun kemudian bergeser selangkah surut. Kerisnya itu pun kemudian disarungkannya. Dan dengan tenang ia berkata “Pasik. Aku tidak akan memberikan kerisku ini. Apakah kau akan memaksa?”
Pasik itu menggeram seperti seekor harimau. Orang-orang yang berada di halaman itu pun kemudian berloncatan menepi. Mereka kini melihat Pasik dan Mahisa Agni telah berdiri berhadap-hadapan. Pasik memandang mata Mahisa Agni dengan buasnya. Kini Pasik itu dapat melihat, bahwa sikap Mahisa Agni bukanlah sikap dari seorang yang ingin membunuh diri. Namun sikap Mahisa Agni adalah sikap seekor banteng yang siap melawan seekor harimau yang betapa pun garangnya dengan tanduk-tanduknya yang runcing tajam.
Kini Pasik tidak mau berbicara lagi. Dengan garangnya ia meloncat maju menerkam wajah Mahisa Agni yang masih saja tetap tenang dan teguh. Orang tua, tetua Padukuhan Kajar, ketika ia melihat Pasik meloncat menyerang Mahisa Agni, terdengar mengeluh pendek, sedang menantunya benar-benar telah menjadi seakan-akan membeku. Bukan saja mereka berdua, tetapi seluruh penduduk Kajar yang menyaksikan peristiwa itu menahan nafasnya.
Tetapi Mahisa Agni tidak membiarkan wajahnya disobek oleh Pasik. Selangkah ia mundur sambil berkata, “Pasik. Apakah kau benar-benar ingin memaksa aku untuk berkelahi?”
Gerak Pasik itu terhenti juga oleh kata-kata Mahisa Agni. Sekali lagi ia memandang wajah Mahisa Agni yang masih tetap tenang. Sehingga karena itu maka Pasik mulai menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Maka katanya kemudian, ”Sejak semula aku sudah menyangka, bahwa kau bukan sekedar seorang perantau dungu. Kerismu telah mengatakan kepadaku, bahwa kau sebenarnya seorang yang menyimpan ilmu di dalam dirimu. Tetapi meskipun demikian, kau sekarang berhadapan dengan Waraha, andel-andel Padukuhan Kajar. Karena itu jangan menyangka bahwa kau akan dapat meninggalkan padukuhan ini dengan selamat.”
Mahisa Agni seakan-akan tidak mendengar kata-kata Pasik itu. Bahkan ia berkata, “Pasik. Apakah kau tidak menyadari, bahwa perbuatanmu itu telah menimbulkan bencana, justru di tanah kelahiranmu sendiri?”
Pasik mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apa pedulimu?”
“Kalau kau seorang yang sakti, Pasik, maka sudah wajar bahwa kau akan menjadi andel-andel padukuhan tempat kelahiranmu. Tetapi apakah benar kau andel-andel Padukuhan Kajar?”
Tampak Pasik itu mengerutkan keningnya. Dan pertanyaan Agni itu sekali lagi terngiang di telinganya, “Apakah benar kau andel-andel Padukuhan Kajar?”
Pertanyaan itu benar-benar mengetuk hati Pasik. Namun tiba-tiba kembali nafsunya melonjak sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu ia berteriak, “Tutup mulutmu perantau yang malang. Ternyata umurmu akan segera berakhir di padukuhan ini.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Pasik, aku bukan seorang yang biasa mencari pertentangan. Tetapi kalau kau hendak memaksakan kehendakmu, maka aku terpaksa akan menghadapimu dengan berperisai dada.”
“Tataplah langit dan ciumlah bumi untuk kesempatan yang terakhir sebelum kau kehilangan setiap kesempatan untuk melakukannya.”
Mahisa Agni tidak mendapat kesempatan untuk menjawabnya. Sekali lagi Pasik meloncat dan menyerang segarang harimau lapar. Namun sekali lagi Mahisa Agni mundur selangkah untuk menghindarinya. Tetapi Pasik itu kini tidak membiarkan lawannya mempunyai kesempatan lebih banyak lagi. Dengan cepatnya ia meloncat maju untuk dengan berturut-turut melontarkan serangan berganda dengan kedua kakinya berganti-ganti.
Tetapi Mahisa Agni pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, serangan yang datang bertubi-tubi itu sama sekali tidak mengejutkan Mahisa Agni. Dengan tangkasnya pula ia menghindari setiap bahaya yang akan menyentuhnya. Untuk beberapa saat sengaja Mahisa Agni tidak segera membalas setiap serangan dengan setangan. Ia ingin meyakinkan dirinya dalam penilaiannya terhadap lawannya itu.
Orang-orang Kajar menyaksikan perkelahian itu dengan tubuh gemetar. Mereka belum pernah melihat seseorang berani melawan kehendak Pasik, sejak Caruk terbunuh. Kini datang orang yang belum mereka kenal dan melakukan perlawanan terhadap Pasik. Dahulu Pasik berhasil dengan sekali pukul melumpuhkan anak muda yang bernama Caruk, yang mencoba melawan kehendaknya. Apalagi pada waktu itu dua saudara seperguruan Pasik ikut campur, sehingga Caruk itu terbunuh.
Kini Pasik itu tidak datang bersama saudara-saudara seperguruannya. Tetapi ia dalang tersama gurunya. Karena itu, maka setiap dada orang-orang Kajar itu diliputi oleh kecemasan dan ketegangan. Mereka cemas akan nasib orang yang belum mereka kenal itu, dan mereka cemas juga akan nasib mereka sendiri. Kemarahan Pasik pasti akan menimpa mereka pula. Apalagi kemarahan gurunya.
Tetapi mereka tidak dapat terbuat apa pun juga. Perkelahian itu telah berlangsung. Kini mereka melihat Mahisa Agni itu beberapa kali melangkah mundur. Meskipun demikian, di sudut hati mereka sebenarnya tersiratlah keinginan mereka, bahwa sekali-sekali biarlah Pasik itu mendapat pelajaran tentang cara-cara yang baik bagi hidup berkeluarga dalam lingkungan yang kecil itu. Karena itu sebenarnya mereka pun berdoa, semoga orang yang belum mereka kenal itu dapat menolong mereka, membebaskan dari ketamakan Pasik. Tetapi yang mereka lihat sekarang, orang itu selalu terdesak surut.
Dalam pada itu, Mahisa Agni semakin lama semakin melihat nilai dari lawannya. Sebenarnya Pasik bukanlah seorang sakti yang perlu dicemaskan. Mahisa Agni meyakini dirinya, bahwa ia akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Namun, kalau Pasik telah mampu berbuat demikian,maka gurunyalah yang perlu mendapat perhatiannya. Tetapi sampai saat itu, ia belum melihat kehadiran guru Pasik. Karena itu, ia harus berhati-hati. Setiap tindakan perlu diperhatikannya dengan seksama.
Pasik itu masih menyerang terus-menerus dengan buasnya. Tangannya, kakinya dan bahkan seluruh tubuhnya bergerak-gerak dengan kasarnya, sehingga tampaklah betapa garangnya. Namun gerakan-gerakan itu adalah gerakan-gerakan yang masih mentah. gerakan-gerakan yang sebenarnya sangat sederhana. Meskipun demikian, Mahisa Agni melihat, bahwa nilai-nilai dari inti gerak itu adalah sangat berbahaya. Apabila guru Pasik yang melakukannya dengan unsur-unsur yang sama, maka akibatnya pasti akan sangat berlainan. Dan sebenarnyalah dalam penilaian Mahisa Agni, bukanlah Pasik itu yang perlu diperhitungkan, tetapi gurunya.
Karena itu, setelah Mahisa Agni menemukan nilai-nilai yang diperlukan, serta kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi atas guru Pasik itu, maka sampailah ia pada kesimpulan, bahwa ia harus menyelesaikan perkelahian yang pertama ini secepat-cepatnya. Apabila guru Pasik benar-benar belum ada di sekitar tempat itu, maka ia akan mempunyai waktu untuk mempersiapkan dirinya lebih dahulu.
Demikianlah maka Mahisa Agni kemudian tidak membiarkan Pasik itu menyerangnya terus menerus. Kini Mahisa Agni telah siap untuk segera menyelesaikan permainan Pasik yang kasar itu. Namun Pasik yang kurang menyadari keadaan lawannya itu, menyerangnya dengan garangnya. Bertubi-tubi, karena ia pun segera ingin menyelesaikan perkelahian itu secepatnya. Ia ingin segera mengambil barang-barang berharga dari orang-orang yang sudah berkumpul di halaman itu. Perlawanan seorang tolol ini akan dijadikannya contoh, bahwa tak seorang pun boleh melawan kehendaknya.
Tetapi Pasik itu menjadi semakin marah, ketika serangan-serangannya seolah-olah tak pernah menyentuh sasarannya. Meskipun lawannya itu selalu terdesak surut. Namun tiba-tiba pertempuran itu pun segera berubah. Mahisa Agni tiba-tiba tidak menghindari lagi serangan Pasik. Dengan hati-hati Mahisa Agni mencoba untuk menangkis serangan lawannya, sehingga terjadilah suatu benturan di antara mereka. Namun, alangkah terkejutnya Pasik itu. Serangannya kali ini serasa menghantam batu karang. Dan bahkan batu karang itu telah mendorongnya dengan satu kekuatan raksasa. Pasik yang kurang dapat menilai diri dan lawannya itu terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh terbanting di tanah.
Bukan saja Pasik, tetapi semua yang melihat peristiwa itu terkejut bukan buatan. Dan bahkan bukan saja mereka, tetapi Mahisa Agni itu pun terkejut sekali melihat akibat dari dorongan tenaganya. Sejak ia menekuni ilmunya di kaki Gunung Semeru, agaknya ia telah terlepas dari setiap kemungkinan yang tersimpan di dalam dirinya sendiri, sehingga karena itu,Mahisa Agni belum dapat mengukur kekuatan-kekuatan yang dilontarkannya dengan baik.
Kali ini Mahisa Agni hanya ingin sekedar memunahkan serangan Pasik yang melanda dirinya, namun akibatnya betapa dahsyatnya. Pasik itu terlempar surut dan terguling di tanah. Apalagi ketika Mahisa Agni itu melihat akibatnya kemudian. Dengan tertatih-tatih Pasik itu mencoba berdiri, namun sekali lagi ia terjerembab jatuh dan sesaat kemudian ia tidak sadarkan dirinya.
Halaman rumah Pasik itu kemudian seakan-akan diterkam oleh kesenyapan yang tegang. Mahisa Agni masih berdiri tegak di tempatnya. Sedang orang-orang Kajar melihat peristiwa itu seperti melihat kisaran kejadian di dalam mimpi. Mereka tidak akan menyangka bahwa Waraha yang ganas itu dapat dengan mudahnya dilumpuhkan oleh seorang yang sama sekali belum mereka kenal. Tetapi sesaat kemudian kesepian itu dipecahkan oleh jerit seorang perempuan. Dengan berlari-lari ia melintasi halaman untuk kemudian menjatuhkan dirinya memeluk tubuh Pasik yang masih terbaring diam di halaman itu.
“Pasik. Pasik,” panggil perempuan itu.
Sekali lagi semua orang di halaman itu terkejut. Juga Mahisa Agni terkejut. Perempuan itu adalah ibu Pasik. Seorang ibu yang menangis karena melihat anaknya cedera.
“Pasik. Pasik,” perempuan ini masih memanggil-manggil. Diguncang guncangnya tubuh anaknya yang masih pingsan itu dan disiram wajahnya dengan air mata. Namun Pasik itu masih berdiam diri. Seorang laki-laki, ayah Pasik itu pun kemudian berjalan mendekati istrinya dan berjongkok di sampingnya. Dengan wajah sedih ia memandangi wajah anaknya. Kemudian diangkatnya kepala anaknya itu sambil bergumam, “Pasik. Sadarlah Anakku.”
Orang-orang yang berada di halaman itu masih tetap tak beranjak dari tempat mereka. Hanya Mahisa Agnilah kemudian yang melangkah setapak maju. Betapa pun juga, ia terharu melihat seorang ibu yang sedang menangisi anaknya. Satu-satunya anaknya. Sesaat kemudian, Pasik itu pun membuka matanya. Perlahan-lahan ia mulai bergerak-gerak dan mencoba menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia membuka matanya, yang pertama-tama dilihatnya adalah wajah ayah dan ibunya. Pasik itu mengerutkan keningnya. Ia ingin melepaskan diri dari tangan ayahnya. Namun ketika ia mencoba bergerak,terdengar ia mengaduh perlahan.
“Jangan bergerak anakku,” desis ibunya.
Pasik mencoba mengangguk. Punggungnya, tangannya dan hampir segenap sendi-sendi tulangnya terasa sakit bukan buatan. Sehingga nafas Pasik itu pun menjadi terengah-engah. “Sakit,” desisnya.
“Jangan bergerak dahulu Pasik,” gumam ayahnya.
Terdengar Pasik itu mengerang. Dan kemudian dengan susah payah Pasik itu berkata, “Air, Air, aku haus sekali.”
“Air,” ayahnya mengulangi sambil memandang ke sekeliling, seakan-akan ia minta kepada seseorang untuk mengambil air. Tetapi orang-orang yang sedang terpukau oleh peristiwa yang tak mereka duga-duga sebelumnya itu sama sekali tak ada yang beranjak dari tempatnya, sehingga ayah Patik itu terpaksa mengulangi, “Air.”
Sementara belum seorang pun yang menyadari keadaannya, maka yang mula-mula bergerak adalah Mahisa Agni. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang rumah Pasik, dan setelah ia berputar-putar beberapa saat, ditemukannya sebuah kendi di atas grobogan. Ketika ia menyerahkan kendi itu kepada ibu Pasik,dilihatnya setetes darah mengalir dari mulut Pasik.
Sekali lagi ibu Pasik itu menjerit. “Darah!” katanya.
Tetapi ayah Pasik ternyata lebih tenang dari istrinya. Diilingnya air dari dalam kendi itu setetes demi setetes. Dan karena itulah maka nampaknya nafas Pasik menjadi lebih teratur.
“Sakit,” terdengar sekali lagi Pasik itu mengeluh.
“Jangan bergerak-gerak dahulu, Pasik,” minta ayahnya.
Perlahan-lahan Pasik mengangguk. Namun darah dari mulutnya masih mengalir terus. Betapa ibunya menjadi bertambah cemas melibat keadaan anaknya. Dan bahkan kemudian dengan nanar ditatapnya wajah Mahisa Agni. tiba-tiba dengan serta-merta, tanpa diduga-duga ibu Pasik itu berdiri sambil menunjuk wajah Mahisa Agni dengan jarinya. Katanya dengan suara gemetar, “Kau, Kau yang telah membunuh Anakku. Lihat, betapa aku melahirkan dan memeliharanya sejak kecil. Melahirkan dengan menahan sakit dan menantang maut. Membesarkannya. Kini kau datang membunuhnya.”
Mahisa Agni berdiri tegak seperti patung. Ditatapnya wajah perempuan itu dan wajah Pasik berganti-ganti. Dalam pada itu tampaklah Pasik bergerak-gerak. Tetapi ia masih sedemikian lemahnya.
“Kalau kau mau membunuh,” berkata ibu Pasik itu, “bunuhlah aku!”
“Aku sama sekali tidak ingin membunuhnya, Bibi,” jawab Mahisa Agni.
“Bohong!” teriak perempuan itu, “Kau lihat, akibat dari kejahatanmu itu?”
“Aku tidak sengaja,” sahut Agni, “bukankah Bibi melihat apa yang telah terjadi?”
“Ya. Aku lihat. Kau mencoba menghinanya. Dan karena itu aku pun merasa terhina pula.”
Mahisa Agni kini tidak menjawab lagi. Seharusnya ia berdiam diri menghadapi perempuan yang sedang marah. Dalam keadaan demikian maka perempuan itu tidak akan dapat mempergunakan pikirannya, namun perasaannya sajalah yang berbicara.
Tetapi perempuan itu berhenti berbicara ketika ia mendengar Pasik bergumam. cepat-cepat ia berjongkok dan bertanya “Apa Pasik? Apakah yang kau minta?”
Pasik itu memandang wajah ayah dan ibunya dengan pandangan mata yang aneh. Tiba-tiba ia berdesah “Bukankah ayah akan menyembelih tiga ekor kambing kalau aku mati?”
“Tidak. Tidak Pasik,” sahut ayahnya cepat-cepat, “aku akan menyembelih tiga ekor kambing kalau kau sembuh.”
Pasik itu menarik nafas. Baru saja ia mendorong ibunya sampai terbanting di tanah. Beberapa saat yang lampau ayahnya itu hampir dibunuhnya dan ibunya itu telah dicekiknya pula. Tetapi kini, ketika seseorang melukainya, maka ia mendengar ibunya itu berkata, Betapa aku melahirkan dan memeliharanya sejak kecil. Melahirkan dengan menahan sakit menentang maut. Memeliharanya dan membesarkannya. Kini kau datang membunuhnya. Kemudian ibunya itu berkata pula, ‘Kalau kau mau membunuh, bunuhlah aku’.
Dalam penderitaan karena luka-luka di dalam dadanya, karena pantulan tenaganya sendiri serta dorongan tenaga Agni itu, Pasik sempat memperbandingkan kasih ibu serta ayahnya kepadanya dengan apa yang pernah dilakukannya. Alangkah jauh perbedaannya. Seandainya, ya seandainya ayah atau ibunya yang mengalami bencana itu, maka Pasik itu tak akan bersedih. Tetapi kini ayah serta ibunya itu meratap untuknya.
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Sesuatu yang tumbuh karena keadaan yang sedang dialaminya. Dan tiba-tiba terasa bahwa kasih sayang ibu serta ayahnya telah memberinya ketenteraman. Ketika Pasik itu menggeser kepalanya, dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti batu karang. Tetapi orang itu tidak menyerangnya terus, dan benar-benar tidak berusaha membunuhnya. Dengan demikian, maka berbagai perasaan bergolak di dalam dadanya. Beberapa keanehan kini sedang bergolak di dalam dirinya. Ibunya, ayahnya yang telah pernah hampir dibunuhnya dan orang yang belum dikenalnya itu.
Beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu pun menjadi berdiam diri seperti patung. Mereka kini melihat orang yang mereka takuti terbaring dalam pelukan ayahnya. Betapa pun mereka membenci Pasik, namun Pasik adalah anak yang dilahirkan di padukuhan mereka, yang sejak kecilnya mereka lihat bermain-main di sepanjang jalan padukuhan, di sawah bersama anak-anak mereka.
“Mudah-mudahan anak itu menyadari keadaannya,” gumam tetua Padukuhan Kajar.
Namun tiba-tiba halaman itu dikejutkan oleh kehadiran seorang yang bertubuh pendek kekar dan hampir di seluruh kulit wajahnya dijalari oleh otot-ototnya yang kukuh kuat. Orang itu terkejut ketika ia melihat Pasik terbaring diam di tangan ayahnya. Cepat-cepat ia meloncat seperti seekor kijang, dan dengan tangkasnya ia segera berjongkok di samping Pasik.
“Apa yang terjadi Waraha?” suaranya kecil melengking-lengking.
Halaman itu menjadi tegang. Tiba-tiba pula seluruhnya yang berada di halaman itu menjadi cemas. Orang ini adalah guru Pasik. Apakah ia akan berdiam diri melihat muridnya terlukai?
Mahisa Agni pun melihat orang itu pula. Segera ia mengetahuinya bahwa pasti orang ini guru Pasik. Namun ia pun menjadi heran, guru Pasik itu masih sangat muda. Kalau demikian, pasti orang ini bukan yang dikatakan oleh gurunya. Menurut gurunya orang itu sudah agak lanjut umurnya,meskipun lebih tua dari Agni, namun tidak terpaut banyak.
Ketika Pasik melihat gurunya datang, sesaat wajahnya menjadi cerah, namun sesaat kemudian wajah itu menjadi suram kembali. Yang terdengar kemudian adalah suara guru Pasik, “Waraha, apakah yang terjadi atas dirimu?”
Kembali halaman itu menjadi sunyi. Orang-orang yang ada di halaman itu seakan-akan tinggal menunggu nasib mereka. Kalau Pasik itu mengatakan sebab-sebabnya, maka gurunya itu pasti akan marah. Dan kemarahannya pasti akan menimpa mereka.
Pasik menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba terdengarlah jawabnya yang sama sekali tak disangka-sangka, “Aku tidak apa-apa, Guru.”
Guru Pasik itu menjadi heran. Wajahnya yang keras itu terangkat. Kemudian diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Ketika ia memandang Mahisa Agni yang masih berdiri tegak, maka tampaklah keningnya berkerut. “Waraha,” katanya kemudian “katakan apa sebabnya kau terluka?”
Sekali lagi Waraha menggeleng. Kemudian katanya “Seseorang menyerangku guru. Tetapi itu bukan salahnya.”
“He?” guru Pasik itu terkejut, “kenapa bukan salahnya?”
“Aku menyerangnya lebih dahulu,” jawab Pasik.
Sekali lagi guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Betapa anehnya kelakuan muridnya ini. Selama ini belum pernah terjadi, salah seorang muridnya merasa bersalah dalam suatu perkelahian. Di samping itu, timbul juga herannya, bahwa di padukuhan kecil itu ada juga orang yang dapat mengalahkan muridnya. Karena itu tiba-tiba sekali lagi ia memandang Mahisa Agni. Dan dengan serta-merta ia berkata, “Kau, kaukah itu?”
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan Bahu Reksa Kali Elo itu. Ia sudah bersedia untuk menerima tuduhan itu. Sebab di antara sekian banyak orang-orang yang berada di halaman itu, maka sikap Mahisa Agni tampaknya agak berbeda dengan orang-orang yang lain.
Guru Pasik itu pun kemudian berdiri. Dengan wajah yang merah membara ia bertanya pula, “ He, anak muda. Apakah kau yang telah berani melukai muridku?”
Mahisa Agni masih belum menjawab. Namun terdengar Pasik itu berkata perlahan-lahan, “Biarkan anak itu, Guru.”
Tetapi guru Pasik itu sudah tidak mau mendengar kata-kata muridnya. Karena itu, tiba-tiba ia menyambar lengan salah seorang yang berjongkok paling dekat. Dengan satu tangannya orang itu ditariknya, sehingga kedua kakinya terangkat.
“Ampun,” teriak orang itu.
Guru Pasik itu memandangnya dengan bengis. Namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Jangan takut tikus kecil. Aku hanya ingin bertanya kepadamu. Siapakah yang telah melukai Waraha?”
Orang itu menjadi ragu-ragu, sesaat ia memandang wajah Mahisa Agni, dan sesaat pula ia memandang wajah guru Pasik. Tiba-tiba orang itu terkejut ketika guru Pasik itu membentak,” jawab!”
“Bukan aku. Bukan aku,” jawabnya tergagap,
Mata guru Pasik itu menjadi semakin menyala. Bentaknya, “Aku sudah tahu, pasti bukan kau tikus yang malang. Tetapi siapa? Kalau kau yang melakukan itu, maka aku akan menyembahmu sepuluh kali.”
Kembali orang itu terdiam. Tetapi kembali guru Pasik itu membentak-bentaknya. Bahkan kemudian dipegangnya leher orang itu sambil menggeram, “Katakan! Siapa yang melukai Waraha?”
Mahisa Agni akhirnya tidak sampai hati melihat orang itu hampir mati ketakutan. Karena itu, maka segera ia melangkah maju sambil berkata, “Lepaskan orang itu. Ia sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan luka Pasik.”
“Apa?” teriak guru Pasik, “Kau memerintah aku? Dan coba sekali lagi, sebutlah nama muridku itu!”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Agaknya ia benar-benar berhadapan dengan seorang yang keras kepala. Meskipun demikian Mahisa Agni menjawab, “Aku sama sekali tidak ingin memerintah seseorang. Tetapi aku ingin kau berlaku bijaksana. Orang itu sama sekali tidak tahu menahu tentang luka muridmu yang bernama Pasik itu.”
“Diam!” bentak Bahu Reksa Kali Elo.
“Kau bertanya, dan aku menjawab,” sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar ia tertawa parau. Katanya, “Hem, ternyata kau benar-benar menyadari apa yang kau lakukan. Agaknya kau menepuk dada setelah kau berhasil melukai muridku. Lihat, aku adalah gurunya. Aku tidak akan dapat membiarkan kau melukai muridku.”
Sebelum Mahisa Agni menjawab, terdengarlah lamat-lamat suara Pasik, “Guru, biarkan anak itu.”
“Hem,” guru Pasik itu menarik nafas, tetapi seakan-akan kata-kata itu tak didengarnya. Bahkan kini ia melangkah mendekati Mahisa Agni sambil menarik orang yang masih digenggam lengannya itu. Katanya, “He, anak muda. Siapa namamu?”
“Mahisa Agni,” jawab Mahisa Agni pendek.
Guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Nama yang bagus. Tetapi kenapa kau berlaku kasar?”
“Bertanyalah kepada muridmu,” sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu menggeram. Ditariknya orang yang masih dipegangnya itu dekat-dekat ke dadanya, “Ayo bilang. Siapa yang bersalah di antara mereka?”
Orang itu menjadi gemetar. Dengan tergagap ia menjawab, “Pasik. Pasik yang bersalah.”
“Apa? Apa?” guru Pasik itu membentak-bentak sambil mengguncang-guncang tubuh orang yang sama sekali tidak berdaya itu. Bahkan demikian takutnya, sehingga semua tulang-tulangnya seakan-akan telah terlepas dari segenap persendiannya. Apalagi ketika ia mendengar guru Pasik membentaknya kembali, “Ayo jawab, siapakah yang bersalah di antara mereka?”
Kembali orang itu tergagap. Dan seperti orang kehilangan akal ia menjawab, “Oh, anak itu. Anak itulah yang bersalah. Mahisa Agni.”
“Ha,” guru Pasik itu tiba-tiba tertawa. “Dengar,” katanya, “dengar. Kau dengar kesaksian orang ini. Orang-orang Kajar adalah orang yang jujur. Mereka tak pernah berbohong seperti kau. Bukankah kau bukan orang Kajar? Nah, apa katamu sekarang?”
Mahisa Agni menggeretakkan giginya. Ia melihat suatu permainan yang benar-benar memuakkan. Apalagi ketika guru Pasik itu berkata, “He, Mahisa Agni, Apakah kau perlu saksi yang lain?”
“Tidak!” jawab Mahisa Agni, “Apapun yang dikatakan tentang diriku, aku tidak peduli. Tetapi apakah maksudmu sebenarnya?”
Mata guru Pasik itu pun menjadi redup. Katanya, “Aku tidak biasa menghukum orang yang tak bersalah. Kini bukti-bukti akan mengatakan bahwa kau bersalah. Karena itu jangan menyangkal dan jangan mencoba membela diri. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman tanpa kecuali. Meskipun kau tamu di padukuhan ini, namun kau telah melakukan kesalahan.”
“Cukup!” potong Mahisa Agni. Ia telah benar-benar menjadi muak mendengar kata orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu.
Guru Pasik itu terkejut sehingga dengan demikian kata-katanya pun terhenti. Ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan tajamnya, kemudian katanya, “Kau berani membentak aku, he?”
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia berkata, “He, Ki Sanak. Jangan berbuat aneh-aneh di padukuhan ini .Pergilah dan biarlah Pasik menerima ketenteraman hidup di antara keluarga dan sanak kadangnya. Jangan meracuni hidupnya dengan perbuatan-perbuatan aneh seperti perbuatan-perbuatan orang-orang yang kehilangan akal budi.”
Guru Pasik itu terkejut mendengar kata-kata Mahisa Agni sehingga matanya terbelalak karenanya. Kemudian dengan geramnya ia berkata, “Sekarang aku yakin bahwa ternyata kau benar-benar anak yang sombong anak yang tak tahu diri. Maka bagiku tak ada pilihan lain daripada mengajarimu sedikit sopan santun supaya kau dapat sedikit menghargai orang lain.”
“Aku pun sedang berpikir demikian juga atasmu,” sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu menjadi semakin marah. Ia terasa terhina karenanya. Karena itu beberapa langkah ia maju. Diamatinya seluruh tubuh Mahisa Agni. Kemudian katanya “Hem, muridku telah berkata kepadaku semalam, bahwa seorang perantau telah membawa sebilah keris yang sangat bagus.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia melihat guru Pasik itu berkisar pada jari-jari kakinya. Karena itu cepat Mahisa Agni bersiaga.
“He, Agni,” berkata orang itu pula, “Kini kakinya yang sebelah telah beringsut ke belakang, manakah kerismu itu?”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri, tetapi ia melihat kaki itu bergerak Dan apa yang disangkanya benar-benar terjadi. Guru Pasik itu tiba-tiba saja meloncat dengan garangnya menyerang Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni telah bersiaga sepenuhnya, sehingga dengan tangkasnya ia meloncat menghindari.
“Setan!” guru Pasik itu mengumpat ketika ia melihat bahwa korbannya berhasil menghindar diri. Dan wajahnya pun menjadi seakan-akan menyala ketika Mahisa Agni berkata,
“Apakah kau ingin aku menjawab pertanyaanmu yang kau ajukan tetap pada saat kau bersiap untuk menyerang.”
Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu menggeram. Cepat ia memutar tubuhnya. Ia ingin menebus kegagalannya. Karena itu sekali lagi ia menyerangnya dengan kecepatan yang luar biasa. Orang-orang yang berada di halaman itu pun menjadi cemas hati. Mereka menyadari bahwa perkelahian itu tak akan dapat dihindarkan. Namun, apakah yang dapat dilakukan oleh perantau itu melawan guru Waraha? Mungkin ia masih dapat mengalahkan Pasik. Tetapi melawan gurunya?
Dan ternyata serangan guru Pasik itu pun datang seperti badai. Dengan penuh kemarahan yang meluap-luap ia ingin segera membinasakan perantau yang bodoh dan sombong itu. Ia ingin menebus kekalahan muridnya dengan satu pertunjukkan yang pasti akan menyenangkan dirinya. Ia ingin berkata kepada muridnya, bahwa ia harus tetap di tempatnya, dalam barisan yang berderap di jalan-jalan yang telah dipilihnya selama ini.
Kalau tiba-tiba muridnya bersikap aneh, itu karena kekecewaan yang dialaminya. Kekalahan yang tak disangka-sangka itu pasti telah melemahkan keteguhan hatinya. Dan kini kekalahan itu harus ditebusnya. Hati muridnya itu harus dibesarkannya dengan melumpuhkan Mahisa Agni secepat-cepatnya, mematahkan tangannya dan membiarkan Pasik untuk menyelesaikannya. Dengan demikian, maka keteguhan hatinya akan dapat dipulihkan kembali.
Tetapi guru Pasik itu benar-benar menjadi seolah-olah menyala karena panas hatinya. Serangannya yang kemudian itu pun ternyata tak dapat menyentuh lawannya. Tetapi meskipun demikian, serangannya itu benar-benar telah mengejutkan Mahisa Agni. Serangan guru Pasik itu datang seperti tatit. Untunglah bahwa ia masih mempunyai kesempatan untuk menghindar. Kalau tidak, maka dadanya pasti sudah akan pecah.
Dengan demikian, maka dugaannya atas guru Pasik itu ternyata benar. Dengan unsur-unsur gerak yang sama, guru Pasik itu melihat Mahisa Agni dalam perkelahian yang ribut. Namun unsur-unsur gerak itu kini dilepaskan oleh guru Pasik, bukan oleh Pasik yang mentah itu. Karena itu, terasa oleh Mahisa Agni, betapa berbahayanya. Dan karena itu pula, Mahisa Agni segera memusatkan segenap perhatiannya pada perkelahian itu. Dicobanya untuk melihat setiap gerak lawannya. setiap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan gerak-gerak itu. Namun guru Pasik itu pun segera menyadarinya pula, dengan siapa ia berhadapan.
“Pantaslah Waraha dijatuhnya dengan mudah,” katanya di dalam hati. Dan sejalan dengan itu, maka serangan-serangannya pun semakin membadai. Geraknya semakin lama menjadi semakin cepat dan keras. Tubuhnya yang kokoh kuat itu melontar-lontar dengan kecepatan yang mengagumkan, dan bahkan kadang-kadang orang itu berhasil membingungkan Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni yang baru saja menekuni inti dari ilmunya itu, segera dapat menyesuaikan diri. Bahkan kadang-kadang ia pun menjadi heran sendiri. Tidak saja kekuatannya yang bertambah, namun kecepatannya bergerak pun terasa menjadi bertambah pula. Bahkan kadang-kadang geraknya melampaui kecepatan perasaannya dalam suatu tujuan tertentu.
“Ah,” katanya di dalam hati, “kalau aku tidak segera menguasai diri, maka akan berbahaya bagiku sendiri.”
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu pun kemudian mencoba melakukan pengamatan atas dirinya lebih saksama. Perkelahiannya kali ini adalah penggunaan yang pertama segala macam kekuatan dan ilmu yang tersimpan di dalam dirinya setelah ia menempa diri.Karena itu, maka sekaligus Mahisa Agni dapat menilai apa pun yang pernah dicapainya selama ini. Dengan demikian, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Serang menyerang dan desak mendesak. Keduanya memiliki bekal yang cukup, serta keduanya berusaha untuk segera mengalahkan lawannya.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu, kemudian berlari berpencaran. Mahisa Agni dan guru Pasik itu kadang-kadang melontar jauh ke samping, kemudian melontar kembali dalam serangan-serangan yang berbahaya. Karena itu, maka mereka yang menyaksikannya menjadi gemetar dan ketakutan
Waraha yang masih dalam kesakitan itu, menyaksikan perkelahian antara gurunya dan perantau yang bernama Mahisa Agni itu dengan seksama. Ia mencoba menilai apa saja yang sudah terjadi. Namun kemudian kembali ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Seakan-akan terasa sesuatu yang selama ini tak pernah dirasakannya. Namun tiba-tiba dikenangnya, bapak ibunya yang mengasihinya, kampung halaman yang memberinya kenangan yang menyenangkan.
Mata Pasik itu melihat perkelahian yang terjadi antara gurunya dan Mahisa Agni, namun hatinya tiba-tiba saja terbang ke masa-masa lampaunya. Seakan-akan ia menatap wajah gurunya yang kasar bengis, dan kemudian ditatapnya wajah ibunya yang lembut, dan wajah bapanya yang sedang berduka. Sehingga tiba-tiba pula melontarlah suatu pertanyaan di dalam hatinya,
“Apakah yang telah terjadi dengan dirinya selama ini?” Kata-kata Mahisa Agni berkali-kali berputar di dalam dadanya. Kata-kata yang selalu terngiang di telinganya, Pergilah, dan biarlah Pasik menikmati ketenteraman hidup di antara keluarganya dan sanak kadangnya. Jangan ganggu dia lagi, dan jangan meracuni hidupnya dengan perbuatan-perbuatan aneh seperti perbuatan-perbuatan orang yang kehilangan akal budi.
Pasik itu kemudian memejamkan matanya. Seolah-olah telah ditemukannya apa yang hilang selama ini. Ketenteraman hidup di antara keluarga dan anak kadang. Ketika sekali lagi ia membuka matanya, dan ditatapnya wajah ibunya yang lembut, hatinya menjadi meronta-ronta. Disadarinya kini apa yang telah dilakukannya selama ini. Bahkan hampir saja ia membunuh ayah dan ibunya, namun ayah dan ibunya itu sama sekali tak mendendamnya. Cinta kasihnya tak runtuh seujung rambut pun.
Dalam pada itu, di halaman rumah Pasik itu masih berlangsung pertempuran yang semakin lama semakin dahsyat. Mereka masing-masing benar-benar telah berjuang mati-matian. Guru Pasik sekali-kali terdengar berteriak mengerikan sejalan dengan serangan-serangannya yang keras dan cepat. Seperti seekor serigala kelaparan, orang yang bertubuh kokoh kuat itu melonjak-lonjak menyergap dari segenap arah.
Namun Mahisa Agni benar-benar dapat menguasai dirinya dengan sebaik-baiknya. Betapa pun lawannya menjadi bertambah ganas, tetapi Mahisa Agni itu pun menjadi bertambah mapan juga. Setelah dikenalnya dengan baik setiap unsur gerak lawannya, serta setelah dikenalnya pula dengan baik segenap kemampuan yang dapat dipergunakannya yang tersimpan di dalam tubuhnya, maka perlawanannya pun menjadi semakin kuat dan tangguh.
Karena itu maka guru Pasik itu pun menjadi semakin heran. Ternyata ia berhadapan dengan seorang anak muda yang luar biasa. Bahkan kemudian ternyata bahwa Mahisa Agni itu akan benar-benar dapat menguasai keadaan. Orang yang menamakan Bahu Reksa Kali Elo itu pun kemudian menyadari sepenuhnya, siapakah yang sedang dihadapinya kini. Karena itu, maka sampailah ia kemudian pada tetapan hatinya, untuk membinasakan Mahisa Agni dalam puncak ilmunya.
Demikianlah maka guru Pasik itu pun kemudian meloncat beberapa langkah surut menjauhi Mahisa Agni. Dengan berteriak nyaring ia merentangkan kedua tangannya, kemudian dengan ganasnya sekali ia meloncat ke udara, dan dengan kedua kakinya yang kokoh itu ia tegak kembali di atas tanah dalam kesiagaan penuh untuk melontarkan ilmu tertinggi yang dimilikinya. Pasik yang melihat perkelahian itu tiba-tiba saja menjadi sangat terkejut. Ia melihat betapa gurunya merentangkan tangannya, kemudian seperti seekor singgat melenting ke udara untuk kemudian bersiap dalam sikap yang teguh kuat seperti gunung yang siap untuk meledak.
Dan tiba-tiba pula, tanpa sesadarnya Pasik itu merasa, bahwa Mahisa Agni berada dalam bahaya. Ia tidak tahu, kenapa ia merasa wajib untuk menyelamatkannya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak “Guru, jangan dengan ilmu itu!”
Tetapi gurunya sama sekali tidak mendengar. Bahkan terdengar ia tertawa nyaring. Kini ia sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia menunggu Mahisa Agni menyerangnya, untuk kemudian dengan satu pukulan, anak itu akan dibinasakannya.
Mahisa Agni melihat sikap itu. Ia melihat tubuh orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu bergetar. Sebagai seorang yang telah menekuni olah kanuragan, maka segera Mahisa Agni pun mengetahuinya, bahwa lawannya sedang mengerahkan setiap kekuatan lahir dan batinnya dalam puncak ilmu yang dimilikinya.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun tidak mau dirinya dibinasakan oleh Orang yang bengis itu. Ia menjadi heran ketika lamat-lamat ia mendengar Pasik itu mencoba mencegah gurunya dan bahkan kemudian Pasik itu berkata, “Mahisa Agni, jangan mendekat!”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Mahisa Agni. Dalam kesibukannya menghadapi lawannya, maka perasaannya dapat menangkap suatu ungkapan yang jujur yang dilontarkan oleh Pasik yang sedang terluka itu, tetapi ia tidak mempunyai waktu terlalu lama memperhatikan anak muda yang agaknya dalam perkembangan keadaan yang dialaminya di dalam jiwanya.
Yang segera harus dilakukan adalah menyelamatkan diri dari kemungkinan yang sangat mengerikan. Karena itu, maka dengan rasa syukur yang sedalam-dalamnya, maka Mahisa Agni kini sama sekali tidak menyerang lawannya. Bahwa ia pun meloncat atau langkah surat. Disilangkannya kedua tangannya di dadanya, dan dipanjatkannya hasrat di dalam hatinya, pemusatan kekuatan lahir dan batin.
Ketika Mahisa Agni melihat kaki lawannya bergeser, maka segera Mahisa Agni pun menarik kakinya kanannya setengah langkah ke belakang, sedang pada kedua lututnya kemudian Mahisa Agni merendahkan dirinya, siap dalam kekuatan aji yang baru saja ditekuninya, Gundala Sasra. Dalam waktu sekejap, Mahisa Agni sudah merasakan seolah-olah ada getaran-getaran yang mengalir di dalam dirinya. Getaran-getaran kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya. Yang karena ketekunannya, maka ia telah berhasil mengungkap segenap kekuatan-kekuatan yang tersimpan itu. Meskipun ilmu yang dimilikinya itu belum sempurna benar, namun aji Gundala Sasra adalah aji yang nggerisi.
Kini Mahisa Agni masih berdiri pada sikapnya. Meskipun sikap itu bukanlah sikap yang mutlak harus dilakukan, sebagaimana gurunya berkata, bahwa sikap itu adalah suatu cara untuk mengungkapkan ilmu itu, tetapi pengungkapan itu dapat dilakukannya dalam sikap yang paling tepat pada saat-saat tertentu dalam unsur-unsur gerak pokok yang tak dapat disingkirkan.
Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu pun ternyata seorang yang telah banyak berpengalaman. Itulah sebabnya, ketika ia melihat Mahisa Agni tidak menyerangnya, justru meloncat mundur sambil menyilangkan tangannya, serta ketegangan di wajah anak muda itu, maka guru Pasik itu pun segera menyadari, bahwa lawannya telah pula bersiap dalam puncak ilmunya.
Karena itu, maka terdengar orang itu menggeram, “Apa yang sedang kau lakukan itu?”
Mahisa Agni masih belum bergerak dari tempatnya. Ia pun menunggu sampai lawannya datang menyerangnya. Maka jawabnya, “Aku sedang berpikir, apakah kau sedang mengungkapkan kesaktianmu yang tertinggi?”
Guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Ternyata Mahisa Agni menyadari keadaannya. Katanya, “Kita telah sampai pada saat penentuan. Aku masih ingin mencoba memperingatkan kau sekali lagi anak yang malang. Berikan kerismu dan jangan melawan. Mungkin aku akan membunuhmu dengan keris itu, tidak dengan cara-cara yang lain yang akan dapat menyiksamu pada saat-saat terakhir.”
“Ki Sanak,” jawab Mahisa Agni, “kau masih saja hidup di dunia yang gelap ini. Sebaiknya kau bangun dan sadari keadaanmu kini. Kau berada di antara manusia dan hidup bersama-sama dengan mereka. Kenapa berlaku demikian? Seolah-olah kau hidup di tengah-tengah rimba dan memaksakan segala kehendakmu kepada pihak-pihak yang kau anggap lebih lemah.”
“Tutup mulutmu!” bentak Guru Pasik itu. Matanya yang merah menjadi semakin merah, “Jangan ribut. Berikan keris itu, dan tundukkan kepalamu. Aku ingin melibat darah memancar dari lehermu.”
“Ki Sanak...” jawab Mahisa Agni, “kalau aku harus mati, maka akan mati dengan wajah menengadah.”
Guru Pasik itu menggeram. Terdengar giginya gemeretak,dan tiba-tiba ia berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya ia menerkam Mahisa Agni tepat seperti serigala yang buas menerkam mangsanya. Tetapi Mahisa Agni telah sampai di puncak ilmunya. Karena itu betapa cepatnya ia menghindarkan diri dari terkaman itu, sehingga orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu terdorong oleh kekuatannya sendiri meluncur beberapa langkah. Namun orang itu agaknya telah benar-benar menguasai segenap gerak dan tubuhnya. Demikian ia menginjak tanah, demikian ia melenting dan memutar tubuhnya siap untuk melontarkan serangan kembali.
Mahisa Agni pun segera mempersiapkan dirinya pula kembali, dan bahkan kini ia tidak ingin perkelahian itu berlangsung berlarut-larut. Demikian ia melihat guru Pasik itu menyerangnya kembali dengan dahsyatnya, maka segera ia bergeser ke samping dan merendahkan dirinya. Kali ini Mahisa Agni tidak melepaskan kesempatan itu, dengan cepatnya ia meloncat menyerang lambung lawannya. Namun lawannya itu pun dengan sigapnya memperbaiki keadaannya, sehingga tepat pada saat serangan Mahisa Agni datang, Guru Pasik itu pun telah siap pula melawannya dengan garangnya. Demikianlah maka terjadilah benturan yang dahsyat dari dua macam ilmu yang berlawanan. Benturan itu seakan-akan meledaknya petir yang sedang bersabung.
Pasik yang melihat benturan itu, tiba-tiba memejamkan matanya. Terdengar ia berdesah. Ia tidak mau melihat peristiwa yang mengerikan itu berulang. Beberapa, saat yang lampau, ia pernah melihat gurunya mempergunakan ilmu itu pula, ketika mereka gagal memaksa seseorang untuk menyerahkan barang-barangnya di perjalanan. Ternyata orang itu pun mampu melawan gurunya dalam pertarungan jasmaniah. Namun kemudian gurunya itu mempergunakan ilmunya yang dahsyat itu. Benturan antara Bahu Reksa Kali Elo dengan Mahisa Agni itu seakan-akan meledaknya petir yang sedang bersabung.
Ilmu yang dinamai Kala Bama. Akibatnya sangat mengerikan. Dada itu pecah berserakan. Tulang-tulangnya patah dan isi adanya pecah berhamburan bercampur warna darah. Pada saat itu ia gembira menyaksikan pembunuhan yang dahsyat. Tetapi kini tiba-tiba ia merasa muak. Bukan seharusnya Mahisa Agni mendapat perlakuan yang demikian.
Tetapi sesaat kemudian Pasik itu menjadi heran. Ia mendengar tubuh-tubuh yang berjatuhan, namun ia tidak mendengar gurunya itu tertawa nyaring seperti pada saat ia membunuh orang di jalan itu. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk melihat apa yang terjadi. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Dan pertama-tama dilihatnya adalah Mahisa Agni yang sedang berusaha untuk berdiri di halaman itu. Namun tampak betapa ia menjadi sangat letih. Sekali-sekali ia masih terhuyung-huyung hampir jatuh. Namun kemudian ia menemukan keseimbangannya kembali.
Sebenarnyalah pada saat benturan itu terjadi, Mahisa Agni terdorong beberapa langkah surut, kemudian betapa dahsyatnya tenaga lawannya sehingga ia terguling beberapa kali. Baru kemudian dengan susah payah, ia berusaha berdiri. Tetapi lawannya pun tidak kurang pula parahnya. Seperti seonggok kayu ia terlempar, kemudian terbanting di tanah. Sesaat orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu seakan-akan tak dapat lagi bernafas. Dadanya serasa pecah dan matanya berkunang-kunang. Karena itu maka segera dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk segera menemukan kesadarannya kembali.
Dan akhirnya guru Pasik itu pun mampu pula mengangkat kepalanya. Perlahan-lahan ia bangkit betapa punggungnya terasa sakit. Ketika ia telah berhasil duduk dan bertelekan di atas kedua tangannya, dilihatnya Mahisa Agni telah berdiri di hadapannya. “Setan!” desisnya, “hantu mana yang telah menyelamatkanmu dari aji Kala Bama?”
Mahisa Agni menarik nafas. Kala Bama. Aji itu pun betapa dahsyatnya sehingga hampir saja dadanya dipecahkannya. Namun Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan itu. Ditatapnya wajah orang itu dengan tajamnya. Dan dibiarkannya ia berusaha untuk berdiri pula.
Dengan tertatih-tatih akhirnya orang itu pun tegak pula. Namun sesaat kemudian ia berdiam diri seperti sedang merenung. Dan tiba-tiba pula tanpa disangka-sangka orang itu memutar tubuhnya dan terhuyung-huyung meloncat berlari meninggalkan halaman yang celaka itu.
Sesaat Mahisa Agni terpaku di tempatnya, namun kemudian disadarinya bahwa orang itu akan tetap berbahaya baginya. Karena itu maka segera ia pun berusaha untuk mengejarnya. Tetapi keadaan tubuhnya sendiri betapa letihnya, sehingga tenaganya pun telah menjadi sangat jauh berkurang. Meskipun demikian, orang yang dikejarnya itu pun tidak dapat berlari terlalu cepat.
Mahisa Agni dan guru Pasik itu pun kemudian dengan terhuyung-huyung berlari berkejaran. Tetapi tiba-tiba ketika Mahisa Agni hampir meloncati dinding halaman yang rendah, guru Pasik itu pun berhenti. Secepat kilat ia memutar tubuhnya dengan sisa-sisa ketangkasannya yang terakhir, kemudian dengan tiba-tiba pula, Mahisa Agni melihat sebilah pisau yang meluncur terbang ke arahnya.
Mahisa Agni terkejut melihat pisau itu. Cepat ia mengendapkan diri dan pisau itu terbang beberapa jengkal di atasnya. Namun karena ia tergesa-gesa dan kekuatannya pun telah hampir habis, maka dengan tak disangka-sangka Mahisa Agni itu pun tergelincir jatuh di tanah. Mahisa Agni mengumpat di dalam hatinya.
Pada saat ia bangun ia mendengar orang itu tertawa tinggi sambil berkata hampir berteriak, “Mahisa Agni. Kau menang kali ini. Tunggulah beberapa lama, apabila guruku telah selesai dengan pekerjaannya menempa Kuda Sempana, maka akan datang giliranmu untuk aku penggal lehermu..."
Mahisa Agni itu pun berusaha bangun secepat-cepatnya. Namun karena tenaganya yang lemah itu, maka ketika ia berhasil berdiri masih di dalam pagar, maka guru Pasik itu telah tidak dilihatnya lagi.
“Alangkah liat kulitnya,” gumam Mahisa Agni. Bagaimanapun juga ia terpaksa mengagumi orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu, sebagaimana orang itu mengaguminya. Mereka masing-masing telah mempergunakan ilmu tertinggi yang mereka miliki. Namun mereka mampu untuk bertahan, meskipun dada mereka seakan-akan menjadi rontok karenanya.
Tetapi yang mengejutkan Mahisa Agni, orang itu telah menyebut nama Kuda Sempana. Karena itu maka ia menjadi gelisah. Apakah hubungannya dengan Kuda Sempana. Tiba-tiba Mahisa Agni itu ingat kepada Pasik. Anak itu masih berbaring di tangan ayahnya. Mungkin ia bisa bertanya kepadanya apakah hubungan antara orang ini dan Kuda Sempana.
Karena itu, maka kemudian dilepaskannya maksudnya untuk mencari guru Pasik itu sebelum keadaan tubuhnya memungkinkan. Bahkan segera ia berjalan kembali ke halaman untuk menemui Pasik yang masih dengan lemahnya berbaring. Tetapi ketika ia melihat Mahisa Agni datang kepadanya tiba-tiba ia tersenyum. Kemudian dengan lemahnya ia berusaha untuk duduk.
“Tuan ternyata luar biasa,” desisnya.
Mahisa Agni tidak menjawab. Ditatapnya wajah ibu Pasik yang agaknya masih marah kepadanya. Tetapi ketika perempuan itu mendengar kata-kata Pasik itu, dan dilihatnya anaknya tersenyum, ia menjadi heran. Dan tiba-tiba perempuan itu bertanya kepada anaknya, “Apakah kau sudah berangsur baik?”
Pasik berpaling. Dipandangnya wajah ibunya yang penuh kecemasan. Kemudian ditatapnya pula wajah ayahnya yang sayu. Tiba-tiba terasa sesuatu berdesir di dadanya. Dan tanpa sesadarnya ia berkata, “Maafkan aku Ibu, maafkan aku Ayah.”
Ibunya terkejut ketika dengan tiba-tiba ia mendengar kata-kata anaknya itu. Beberapa saat ia terdiam seperti patung. Namun tiba-tiba pula diraihnya kepala anaknya, dan dipeluknya anaknya itu seperti ketika masih kanak-kanak. Ibu Pasik itu pun menangis sejadi-jadinya. Beberapa orang masih tampak di halaman itu. Selangkah demi selangkah mendekat. Mereka merasakan sesuatu yang berbeda dengan saat-saat sebelumnya. Dan mereka melihat Mahisa Agni masih di halaman itu. Dengan demikian maka mereka menjadi tenang. Ayah Pasik itu pun menggosok-gosok matanya yang menjadi nyeri. Satu-satunya anaknya kini telah kembali kepadanya, kepada ayah dan ibunya. seakan-akan anak yang telah hilang itu datang kembali pulang.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Betapa ia ikut serta mengalami keharuan melihat peristiwa itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia mengucap syukur di dalam hatinya. Mudah-mudahan untuk seterusnya Pasik menyadari keadaannya. Ia adalah anak Kajar, dilahirkan di Kajar dan dibesarkan di Kajar pula. Baru sesaat kemudian, kepala Pasik itu pun dilepaskan. Namun air mata masih saja mengalir meleleh di pipi perempuan yang telah dipenuhi oleh garis-garis umur dan duka.
Pasik itu kemudian menatap Mahisa Agni dengan mata yang buram. Katanya, “Tuan telah membuka hatiku. Dan tuan telah mengampuni aku. Sebab kalau tuan mau membunuh aku, maka aku pun pasti sudah mati. Ternyata tuan benar-benar menyelamatkan diri dari aji Kala Bama, dan bahkan tuan berhasil mengusir Bahu Reksa Kali Elo dari halaman ini.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Katanya, “Jangan pikirkan itu. Sekarang sembuhkan luka-lukamu. Luka badan dan luka jiwamu. Mudah-mudahan kedua-duanya akan lekas menjadi sembuh.”
Pasik menganggukkan kepalanya. Katanya lirih kepada ayahnya, “Ayah. Mintakan aku maaf kepada penduduk Kajar. Kepada tetua padukuhan ini, dan kepada siapa saja.”
“Mereka akan memaafkan kau, Pasik,” terdengar suara di belakang mereka. Suara tetua padukuhan itu.
“Terima kasih Kiai,” sahut Pasik.
Halaman itu kemudian hening untuk sesaat. Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angannya. Mereka sedang menilai peristiwa yang haru saja mereka saksikan. Peristiwa yang telah menolong seorang anak padukuhan mereka yang selama ini tenggelam dalam arus yang hitam.
Tetapi kegelisahan di dada Mahisa Agni masih saja mengguncangnya. Ia ingin segera tahu hubungan guru Pasik itu dengan Kuda Sempana. Dalam tangkapannya, maka Kuda Sempana yang digarap pula oleh guru Pasik itu, adalah saudara seperguruan dengan orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo.
Karena itu, ketika halaman itu telah menjadi tenang, maka Mahisa Agni itu pun segera melangkah mendekati Pasik yang sudah dapat duduk bersandar kedua tangannya. Dengan ragu-ragu Mahisa Agni itu pun berkata kepada ayah Pasik. Katanya, “Paman, apakah tidak sebaiknya Pasik dibawa masuk untuk mendapatkan perawatan yang baik?”
“Ya, ya,” jawab ayah Pasik itu tergagap. Dan kemudian dibantu oleh Mahisa Agni, maka Pasik itu pun dipapah masuk ke rumahnya. Dengan perlahan-lahan anak muda itu dibaringkannya di atas pembaringan.
“Terima kasih,” desis Pasik, “aku sudah mendingan.”
“Jangan banyak bergerak, Pasik,” Mahisa Agni berpesan.
Dan Pasik itu pun mengangguk. Setelah Pasik itu minum kembali beberapa teguk, maka keadaannya menjadi semakin baik. Dan kata-katanya yang ke luar dari mulutnya pun menjadi semakin lancar. Beberapa orang yang berdiri di halaman satu-satu menengok juga dari lubang ke dalam rumah, namun mereka tidak berkehendak masuk. Bahkan kemudian satu-satu mereka meninggalkan halaman itu pulang ke rumah masing-masing. Namun di dalam dada mereka tersimpan suatu perasaan yang lain daripada saat mereka datang dengan tergesa-gesa ke halaman itu. Rumah Pasik itu pun kemudian menjadi sepi yang berdiri di pintu adalah tetua padukuhan Kajar, dan menantunya berdiri di belakangnya. Walaupun ia melihat bahwa Pasik itu terluka, namun ketakutannya masih juga belum mereda.
“Angger Mahisa Agni,” berkata orang tua itu, “aku akan pulang dahulu. Apakah Angger pergi bersama-sama aku ke rumahku?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku akan menyusul, Bapa.”
Orang itu pun kemudian minta diri pulang bersama menantunya yang masih berdebar-debar. Ketika halaman itu telah benar-benar sepi, maka barulah Mahisa Agni bertanya kepada Pasik. Katanya, “Pasik, apakah kau pernah mendengar nama Kuda Sempana?”
Pasik itu mengerutkan keningnya. Sesaat ia ragu-ragu, namun kemudian jawabnya, “Ya, Tuan. Aku pernah mendengar.”
“Panggillah aku dengan namaku,” sahut Mahisa Agni.
“Ya, ya Mahisa Agni,” berkata Pasik dengan kaku.
“Nah. Demikianlah,” sambut Mahisa Agni, kemudian katanya melanjutkan pertanyaannya, “siapakah Kuda Sempana itu?”
“Dari mana tuan, eh, kau tahu nama itu?" bertanya Pasik.
“Aku mendengar dari gurumu. Ia akan datang mencari aku setelah gurunya selesai dengan pekerjaannya, menempa orang yang bernama Kuda Sempana.”
Pasik menganggukkan kepalanya. Kembali ia beragu. Tetapi ketika ditatapnya wajah Mahisa Agni yang bening ia berkata, “Kuda Sempana adalah adik seperguruan guruku.”
“Hem,” Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Siapakah dia?”
“Kuda Sempana adalah seorang prajurit pelayan dalam Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel.”
“Hem,” kembali Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi Kuda Sempana itu benar-benar Kuda Sempana yang pernah dikenalnya. Bukan orang lain yang hanya kebetulan bernama sama. “Siapakah guru dari gurumu itu?” bertanya Mahisa Agni.
Pasik menggeleng. “Aku tak tahu. Guruku mempunyai saudara seperguruan yang cukup banyak. Ada di antaranya prajurit, ada pula pejabat, namun ada pula penjudi dan penjahat. Mereka akan diterima menjadi murid asal mereka dapat menyerahkan berbagai macam imbalan. Namun jumlah murid itu tidak lebih dari sepuluh orang. Di antaranya adalah guruku. Karena itulah maka guruku harus memeras orang-orang di sekitarnya untuk dapat memberikan imbalan kepada gurunya.”
“Dan agaknya gurumu berbuat serupa.”
“Ya. Ia pun menerima beberapa orang murid dengan cara yang sama untuk menutup kebutuhannya.”
“Hem,” kembali Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Guru orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu pasti seorang yang sakti pula. Ternyata bahwa muridnya memiliki kesaktian yang mengagumkan. Namun agaknya orang itu telah memilih jalan yang sesat, yang menjual kesaktiannya untuk kepentingan-kepentingan lahirlah. Itulah sebabnya maka muridnya tersebar dari segala penjuru. Ternyata siapa pun yang mampu memberinya imbalan sesuai dengan permintaannya, maka mereka akan dapat menghisap ilmu daripadanya tanpa dihiraukannya akibat. Dan akibatnya, itu pada umumnya adalah sangat tidak baik.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Agni pun segera menghubungkan penempaan diri Kuda Sempana dengan kekalahan yang pernah dialaminya di padukuhannya. Karena itu, maka ia bertanya pula, “Apakah kau kenal dengan Kuda Sempana secara pribadi, Pasik?”
Pasik menggeleng. “Tidak,” jawabnya, “namun aku pernah melihat orangnya Aku pernah mendengar ia bercakap-cakap dengan guruku.”
“Kenapa Kuda Sempana itu berguru pula pada guru Bahu Reksa Kali Elo itu?”
“Aku tidak tahu,” kembali Pasik menggeleng.
“Apakah kau tahu, apa yang mendorongnya sehingga ia dengan tergesa-gesa menempa diri? Apakah memang sudah saatnya ia menerima ilmu itu, ataukah hanya karena Kuda Sempana sudah mempunyai cukup uang untuk berbuat demikian?”
“Mungkin,” sahut Pasik, “namun Kuda Sempana itu juga menyimpan dendam di dalam hatinya..."
Terasa sesuatu berdesir di dada Mahisa Agni. Dan ia pun kemudian mendengar Pasik itu meneruskan, “Kuda Sempana telah mengalami kekecewaan terhadap seorang gadis. Karena itu, ia telah bersiap untuk menebus kekecewaannya.”
“He,” Mahisa Agni terkejut, “dari mana kau tahu?”
Pasik menjadi heran atas tanggapan Mahisa Agni itu. Kemudian katanya, “Apakah tuan, eh, kau kenal Kuda Sempana.”
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan Pasik, tetapi ia berkata, “Dari mana kau tahu?”
“Aku pernah melihat Kuda Sempana mengatakan itu kepada saudara-saudara seperguruannya, termasuk guruku. Meskipun aku tidak sengaja mendengarkannya.”
Denyut jantung Mahisa Agni pun terasa menjadi semakin cepat mengalir. Nafasnya pun kemudian seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir berebut dahulu lewat lubang hidungnya. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Apa katanya?”
Pasik menjadi semakin heran. Karena itu ia bertanya, “Kenapa tuan menaruh perhatian yang sangsi besar atas orang itu?”
Sekali lagi Mahisa Agni tidak mendengarkan pertanyaan Pasik. Bahkan ia mendesaknya, “Apa yang dikatakan Kuda Sempana itu?”
Pasik tidak segera menjawab. Namun Mahisa Agni itu pun mendesaknya sekali lagi, “Apa?”
Pasik tidak dapat berbuat lain daripada menjawab pertanyaan itu, katanya, “Kuda Sempana perah dikecewakan oleh seorang gadis. Katanya, "Apabila aku tak dapat memetik bunga itu, maka lebih baik akan aku gugurkan saja daun-daun mahkotanya."
Darah di dalam tubuh Mahisa Agni serasa mengalir lebih cepat. Kata-kata semacam itu pun pernah didengarnya dahulu dari mulut Kuda Sempana sendiri, meskipun tidak sejelas itu. Tetapi apa yang dikatakan itu adalah benar-benar mencemaskan hatinya.
Pasik yang melihat perubahan wajah Mahisa Agni menjadi semakin heran. Sekali lagi ia mencoba bertanya, “Mahisa Agni, apakah kau mengenal Kuda Sempana?”
“Aku pernah mendengar namanya,” jawab Mahisa Agni.
“Tetapi kau terpengaruh oleh berita yang kau dengar.”
“Setiap orang akan terpengaruh mendengar cerita itu. Bukankah itu akan merupakan pelanggaran atar sendi-sendi pergaulan. Ia akan memaksakan kehendaknya atas seorang gadis, sedang gadis itu tidak menerimanya. Apakah haknya untuk memaksa gadis itu? Apalagi orang tua gadis itu pun sama sekali tak menyetujuinya. Bahkan gadis itu dengan resmi telah dipertunangkan. Bukankah itu suatu perkosaan atas nilai-nilai kemanusiaan?”
Pasik mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berkata, “Mahisa Agni kau pasti mempunyai hubungan dengan Kuda Sempana. Dari mana kau tahu bahwa gadis itu tak menerimanya?”
“Dari mana kau tahu bahwa ayah gadis itu tak menyetujuinya? Dan dari mana kau tahu bahwa gadis itu telah dipertunangkannya?”
“Oh,” Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia sudah terlanjur mengatakannya. Karena itu maka ia harus menjawabnya. Namun sesaat ia menjadi ragu-ragu. Pasik adalah orang yang jauh dari lingkungan pergaulan mereka, sehingga tak ada perlunya untuk memberitahukannya. Namun mulutnya sudah terlanjur mengucapkannya.
“Mahisa Agni,” bertanya Pasik Tiba-tiba, “apakah kau anak muda yang dipertunangkan dengan gadis itu?”
“Tidak, tidak,” cepat Mahisa Agni menjawab hampir berteriak sehingga Pasik itu pun terkejut. Ibunya yang sedang berada di dapur pun berdiri sesaat menengok ke ruang depan. Tetapi ketika dilihatnya Pasik masih berbaring, dan di sampingnya duduk Mahisa Agni dan ayahnya, maka perempuan itu pun kembali merebus air. Sedang ayahnya yang duduk di samping Pasik itu sama sekali tidak tahu, apakah yang sebenarnya mereka percakapkan.
Bahkan Mahisa Agni sendiri pun terkejut mendengar suaranya sendiri. Namun yang lebih berpengaruh di hatinya adalah pertanyaan Pasik itu. Bukankah ia sendiri bukan laki-laki yang dipertunangkan dengan gadis itu. Bukankah gadis itu telah mempunyai seorang calon suami yang akan dapat melindunginya?
“Persetan dengan gadis itu!” katanya di dalam hati, “Bukankah Ken Dedes menjadi kewajiban Wiraprana.”
Tetapi getar di dalam dada Mahisa Agni pun menjadi semakin cepat. Betapa ia berusaha menekan perasaannya, namun kegelisahannya bahkan menjadi semakin mengganggunya. Meskipun Ken Dedes, gadis yang dikatakan oleh Kuda Sempana itu merupakan duri di dalam hatinya, namun duri itu merupakan sebagian dari seluruh keindahan dari Bunga kaki Gunung Kawi itu. Karena itu, maka jantungnya semakin lama menjadi semakin keras berdentang. Meskipun betapa pedihnya luka-luka yang tergores di hatinya karena tajamnya duri itu, namun ia tidak rela melihat seluruh keindahan Bunga kaki Gunung Kawi itu akan digugurkan.
“Pasik,” tiba-tiba Mahisa Agni itu berkata, “aku akan mohon diri.”
Pasik terkejut. Terkejut sekali sehingga tiba-tiba ia bangkit. Namun kembali terasa dadanya akan pecah, dan dengan lemahnya ia terkulai kembali.
“Jangan bergerak dahulu,” minta Mahisa Agni ketika ia melihat mulut Pasik menyeringai.
“Kenapa kau menjadi sedemikian tergesa-gesa. Apakah kau akan pergi ke tempat Kuda Sempana karena kau mendengar ceritaku?”
Mahisa Agni menggeleng. “Tidak,” jawabnya, “aku akan pergi ke rumah tetua Padukuhan Kajar.
“Oh,” Pasik menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun bergumam, “Aku menjadi sangat terkejut. Aku sangka kau akan pergi ke rumah Kuda Sempana. Bukankah dengan demikian kau akan membunuh diri?”
Sekali lagi Mahisa Agni menggeleng. Namun terdengar ia bertanya, “Kenapa membunuh diri? Bukankah Kuda Sempana itu adik seperguruan gurumu?”
“Ya,” jawab Pasik, “tetapi penempaan yang dilakukan oleh gurunya ini merupakan penempaan yang tertinggi. Apakah dengan demikian Kuda Sempana itu tidak akan menjadi lebih dahsyat dari guruku?”
Mahisa Agni itu pun merenung. Namun akhirnya ia mengambil kesimpulan, bahwa guru Kuda Sempana itu pasti tak akan ikut terjun dalam setiap bahaya yang mengancam dirinya. Ia hanya memberikan ilmu untuk sekedar mendapat upah. Kalau upah itu telah diterimanya serta ilmu yang dibeli itu telah diberikannya, maka apapun yang akan dialami oleh muridnya adalah tanggung jawab murid-murid itu sendiri. Guru yang demikian, pasti tidak mau ikut serta melibatkan diri apabila persoalannya akan dapat membahayakan dirinya pula. Karena itu, maka ilmu diberikannya pasti ilmu yang hanya terbatas dalam tataran yang tertentu.
Karena itu, maka menurut perhitungan Mahisa Agni, murid-murid guru Bahu Reksa Kali Elo itu pasti hanya akan mendapat bagian yang sama dari ilmu gurunya itu. Kalau ada perbedaan sedikit-sedikit, maka itu pasti hanya karena kemampuan murid-murid itu sendiri. Dengan demikian, maka Mahisa Agni itu pun dapat memperhitungkan kemungkinan yang dimiliki oleh Kuda Sempana. Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak boleh merendahkan siapa pun. Satu-satunya jalan yang terbaik, ialah mematangkan ilmunya sendiri.
Tetapi Mahisa Agni tidak boleh menunda-nunda waktu lagi. Kuda Sempana setiap saat dapat datang ke Panawijen. Adalah berbahaya sekali apabila gurunya, Empu Purwa masih juga belum pulang, sehingga dengan demikian Kuda Sempana akan dapat berbuat sesuatu yang sama sekali tak disangka-sangkanya. Meskipun demikian, betapapun saktinya Kuda Sempana, namun apakah Kuda Sempana mampu melawan kekuatan seluruh penduduk Panawijen. Sebab apabila terjadi sesuatu dengan Ken Dedes, maka seluruh penduduk Panawijen pasti akan membelanya. Tetapi kalau Kuda Sempana datang berdua atau bertiga saja, apalagi lebih, maka keadaannya pasti akan menyulitkan, sekali. Maka yang segera harus dilakukan adalah pulang kembali ke Panawijen.
Mahisa Agni itu pun kemudian sekali lagi minta diri ke pada Pasik. Betapa Pasik mencoba mencegahnya, juga ayah ibunya, namun Mahisa Agni yang mencemaskan nasib padukuhannya, ternyata sudah tidak dapat menunda rencananya. Meskipun yang dikatakannya kepada Pasik, Mahisa Agni hanya akan kembali ke rumah tetua padukuhan Kajar, karena ia sudah berjanji untuk segera menyusulnya.
“Ah,” berkata Pasik, “nanti malam pun tak, mengapa. Bukankah kau tidak takut kepada apapun?”
“Terima kasih Pasik. Tetapi orang tua itu nanti terlalu lama menunggu,” sahut Mahisa Agni, “nanti, besok, atau kapan lagi aku akan dapat menengokmu kembali.”
Dan keluarga Pasik itu benar-benar sudah tidak dapat mencegahnya. Dengan ucapan terima kasih yang tak berhingga, maka Mahisa Agni itu pun kemudian dilepas pergi. Mahisa Agni itu pun kemudian benar-benar singgah di rumah tetua padukuhan Kajar, tetapi hanya untuk minta diri. Kegelisahan yang menghentak-hentak dadanya tak dapat ditunda-tundanya lagi. Seolah-olah selalu didengarnya, kampung halaman di mana ia mendapatkan pendidikan dan keteguhan tabir batin, memanggilnya untuk segera pulang kembali.
Orang tua, tetua padukuhan Kajar itu pun mencoba mencegahnya. Mereka mempersilakan Mahisa Agni untuk berada di lingkungan keluarga mereka sehari atau dua hari. Apalagi anak serta menantunya, merasa bahwa Mahisa Ainlah yang telah mengurungkan bencana yang akan menimpa mereka. Bencana yang akan memisahkan mereka suami istri. Namun Mahisa Agni dengan menyesal sekali menolak permintaan itu. Meskipun demikian, supaya orang tua itu tidak terlalu kecewa, maka Mahisa Agni pun menunggu sesaat, sampai nasi jagung yang mereka masak menjadi masak.
“Bawalah Ngger,” berkata orang tua itu, “Angger memerlukan bekal di perjalanan Angger yang tak tentu kapan akan berakhir.”
“Terima kasih Bapa,” jawab Mahisa Agni, “demikianlah pekerjaan seorang perantau. Dan aku senang akan pekerjaan itu.”
Mahisa Agni pun kemudian menerima bekal itu dengan senang hati. Dimasukkannya bekal itu ke dalam bungkusannya yang ditinggalkannya di rumah tetua padukuhan Kajar itu. Kemudian disangkutkannya bungkusan itu di ujung tongkat kayunya. Kembali kini Mahisa Agni berjalan dengan memanggul bungkusan kecilnya sebagai seorang perantau. Selangkah demi selangkah ia meninggalkan halaman rumah orang tua. Suami istri beserta anak menantunya mengantarkan Mahisa Agni sampai ke regol halaman rumah mereka. Dan kemudian mereka mengawasi langkah perantau yang baik hati itu sampai hilang di tikungan jalan.
Ketika Mahisa Agni sampai di mulut lorong padukuhan Kajar, sekali lagi ia berpaling. Tetapi ia tidak melihat seseorang di belakangnya. Jalan itu sepi. Di sebelah tikungan di belakangnya didapatinya rumah tetua padukuhan Kajar. Dan di ujung yang lain didapatinya rumah Pasik. Dua buah rumah yang meninggalkan kenangan di hati Mahisa Agni.
Demikianlah Mahisa Agni menempuh jalan kembali ke Panawijen. jalan yang pernah dilaluinya beberapa waktu yang lampau. Namun kini perjalanan Mahisa Agni seolah-olah jauh lebih cepat daripada saat ia berangkat, ia tidak perlu mencari-cari kemungkinan untuk tidak tersesat. Dengan bekal ingatan serta pengenalannya yang baik, ia segera dapat menemukan kembali jalan yang dahulu dilewatinya. Sehingga perjalanannya kali ini hanya memerlukan waktu separuh dari waktu yang diperlukannya pada saat ia berangkat.
Hutan dan ngarai yang panjang, serta padang rumput yang luas dilewatinya dengan tergesa-gesa. Tenaga Mahisa Agni seakan-akan menjadi jauh lebih besar dari tenaganya semula. Ketangkasannya bergerak serta pernafasannya yang semakin teratur, telah menambah kecepatan perjalanannya. Meskipun demikian, apabila ia bangun di pagi-pagi hari setelah ia bermalam di cabang-cabang pepohonan, sekali-sekali diperlukannya juga memperlancar getaran-getarannya bergerak-gerak di dalam tubuhnya dalam ilmunya Gundala Sasra.
Semakin sering ia menerapkan ilmunya, maka getaran-getaran itu semakin cepat mencapai tempat-tempat yang dikehendakinya. Bahkan kemudian seakan-akan Mahisa Agni sudah tidak memerlukan lagi waktu, sejak saat ia menerapkan ilmunya itu, sampai pada penggunaannya. Apabila ia telah menyilangkan tangannya di muka dadanya, sambil memusatkan pikiran serta segenap kekuatan lahir dan batinnya, maka sesaat itu pula, ilmunya telah mapan untuk dilontarkannya lewat, bidang-bidang permukaan tubuhnya yang dikehendakinya.
Berkali-kali ia telah mencoba di sepanjang perjalanan itu. Batu-batu padas, batu-batu hitam dan bahkan pepohonan dan binatang-binatang buas yang menyerangnya. Sesuai tuntunan-tuntunan yang diberikan oleh gurunya, Mahisa Agni selalu dengan tekun mencoba meningkatkan setiap kemampuan dari ilmu Gundala Sasra itu. Di sepanjang jalan dan di setiap kesempatan.
Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah, Mahisa Agni telah meninggalkan daerah-daerah hutan yang lebat, dan di mukanya membentang daerah yang subur dan ramai. Mahisa Agni telah menginjak batas jantung pemerintahan Tumapel. Tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin berjalan melewati kota. Sudah beberapa lama ia berada di tengah-tengah hutan yang sepi. Karena itu ia kini ingin melihat tempat-tempat yang agak ramai, meskipun tanpa sesuatu maksud tertentu.
Maka Mahisa Agni itu pun segera membersihkan dirinya di sebuah kali. Ia tidak ingin masuk kota sebagai seorang yang tampaknya terlalu kotor. Dipakainya pakaiannya yang masih terlipat di dalam bungkusannya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Agni menjadi agak bersih karenanya, setelah ia tinggal di antara rimbunnya dedaunan di hutan yang lebat, serta bekas-bekas param yang diberikan oleh gurunya untuk mencegah keracunan karena gigitan binatang-binatang serangga beracun. Ketika matahari kemudian menjadi semakin tinggi, setinggi ujung rumah-rumah joglo, maka Mahisa Agni telah masuk ke keramaian kota Tumapel.
Tetapi Tiba-tiba Mahisa Agni terkejut. Dari kejauhan ia melihat seorang anak muda yang gagah dia tas punggung kuda. Semakin lama semakin dekat. Dan hati Mahisa Agni itu pun menjadi ber-debar-debar. Anak muda itu adalah Kuda Sempana. Ketika kuda itu lewat di sampingnya, Mahisa Agni mencoba melambaikan tangannya sambil tertawa. “Kuda Sempana,” sapanya.
Kuda Sempana menarik kekang kudanya. Dipandangnya wajah Mahisa Agni dengan tajamnya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Namun dari matanya itu memancar sinar dendam yang menyala-nyala meskipun demikian, Mahisa Agni masih mencoba untuk tersenyum. Bahkan kemudian sekali lagi ia menyapa,
“Kuda Sempana, akan ke manakah kau sepagi ini?”
“Hem,” Kuda Sempana menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan tiba-tiba Kuda Sempana itu menggerakkan kendali kudanya, dan sesaat kemudian kuda itu telah berlari kembali di jalan-jalan kota.
Beberapa orang mengawasi Mahisa Agni. Mereka menjadi heran, apakah anak yang berkuda itu bendaranya yang sedang marah kepada budaknya. Sekali-sekali Mahisa Agni berpaling juga, dan dilibatnya wajah-wajah yang memandangnya dengan aneh. Bahkan ada di antaranya yang tersenyum-senyum dan ada pula yang menjadi iba. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kembali dikenangnya pergaulan di padukuhannya. Pergaulan yang rapat dan jujur di antara sesama. Ia menjadi sangat kecewa terhadap Kuda Sempana. Namun Mahisa Agni ini kemudian menyadarinya, bahwa Kuda Sempana masih sangat marah kepadanya, Ia tidak ingin berprasangka terhadap anak-anak muda dari kota.
Tetapi ketika Mahisa Agni melangkahkan kakinya, untuk meninggalkan tempat itu, Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa berderai tidak jauh di belakangnya, kemudian terdengar suara, “Anak yang malang. Agaknya ia bersahabat karib dengan Kuda Sempana, pelayan dalam Akuwu Tumapel itu.”
Mula-mula Mahisa Agni tidak menghiraukan ejekan itu. Sebagai orang yang asing di kota itu, maka Mahisa Agni tak ingin mengalami perselisihan. Karena itu, kembali ia melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat yang tak menyenangkannya itu. Tetapi ketika ia baru satu langkah maju, kembali suara tertawa itu terdengar. Bahkan kemudian disusul oleh suara yang lain.
“Kenapa Kuda Sempana itu tak menjawab,” sapanya.
Berkata yang lain, “Bukankah Kuda Sempana juga anak Panawijen seperti anak itu.”
Keduanya tertawa-tawa. Dan terdengar salah seorang berkata pula. “Kuda Sempana takut kepada anak Buyut padukuhannya yang garang itu. Takut kalau anak muda yang gagah itu minta uang kepadanya.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata mereka. Cepat ia dapat menebak siapakah yang telah sengaja membangkitkan kemarahannya itu. Yang menyangka bahwa dirinya adalah anak Buyut Panawijen yang bernama Wiraprana adalah Mahendra. Dan sebenarnyalah. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahendra berdiri di tepi jalan di samping saudara seperguruannya. Kebo Ijo. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak itu masih tertawa berkepanjangan. Bahkan kemudian Mahendra itu melangkah maju sambil berkata,
“Selamat pagi Wiraprana yang perkasa.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Namun ia mengangguk pula sambil menjawab, “Selamat pagi Mahendra.”
“Apa kerjamu sepagi ini di sini, Wiraprana?” bertanya Mahendra.
“Aku baru datang dari suatu perjalanan Mahendra,” jawab Mahisa Agni, “aku hanya singgah sebentar.”
Mahendra tertawa. Kemudian sambil menunjuk arah Kuda Sempana pergi, anak muda itu berkata, “Kau kenalan anak muda berkuda itu?”
Mahisa Agni mengangguk. “Ya,” jawabnya.
Mahendra masih tertawa, “Tetapi ia tidak kenal kepada mu. Sayang kalau ia segera pergi, aku ingin memperkenalkannya kepada anak Buyut Panawijen. Aku kenal baik kepadanya.”
“Terima kasih,” sahut Agni pendek.
“Barangkali kau memerlukan pekerjaan daripadanya di istana?” ejek Mahendra.
Sekali lagi Mahisa Agni menggigit bibirnya ia menyadari bahwa Mahendra sedang mencoba membangkitkan kemarahannya. Anak itu sedang mencari sebab yang memungkinkan timbulnya pertengkaran. Seperti Kuda Sempana, maka Mahendra pun agaknya mendendamnya. “Hem,” Mahisa Agni menarik nafas.
Tidak disangkanya, bahwa ia akan mempunyai banyak lawan yang tak diharapkannya. Alangkah senangnya apabila hidupnya dipenuhi oleh rasa persahabatan dengan siapa pun juga. Namun ia dihadapkan pada suatu keadaan yang tak dapat disingkirkannya. Baik Kuda Sempana, maupun Mahendra seolah-olah memang dilahirkannya sebagai lawan-lawannya. Meskipun demikian, Mahisa Agni benar-benar tidak ingin berselisih di tengah-tengah kota yang ramai dan asing baginya. Maka katanya, “Sudahlah Mahendra, aku akan meneruskan perjalananku.”
“Ke mana?” bertanya Mahendra dengan nada tinggi.
“Pulang ke Panawijen.”
“Apakah kau sudah mendapat pekerjaan di kota? Menjadi juru pekatik atau apapun? Kalau belum kau dapat ikut aku. Kudaku memerlukan seorang perawat yang baik.”
Terasa dada Mahisa Agni terguncang mendengar ejekan itu. Apalagi kemudian terdengar Kebo Ijo tertawa berkepanjangan. Bahkan tidak saja Kebo Ijo, tetapi juga beberapa pemuda yang lain. Agaknya Mahendra dan Kebo Ijo berada di tempat itu bersama-sama dengan beberapa orang kawan-kawannya. Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas untuk meredakan gelora di dadanya. Ia mencoba untuk tidak menampakkan perubahan di wajahnya. Bahkan kemudian ia berkata, “Mahendra, sebaiknya kita tidak usah bertemu di tempat ini.”
Mahendra tertawa, katanya, “Kita tidak ketemu di sini Ki Sanak. Aku tadi melihatmu di seberang jembatan. Aku sengaja mengikutimu. Ternyata kau berjumpa dengan Kuda Sempana. Aku kira kau akan minta pekerjaan kepadanya.”
“Tidak Mahendra,” jawab Mahisa Agni, “aku tidak memerlukan pekerjaan.”
Mahendra tertawa semakin keras. Kebo Ijo dan kawan-kawannya pun tertawa pula. Salah seorang dari mereka bertanya, “Siapakah anak itu sebenarnya?”
“Putra Buyut Panawijen. Wiraprana,” jawab Mahendra dengan menekankan setiap suku kata.
Kini Mahisa Agni tidak berkata-kata lagi. Dengan sudut matanya ia melihat beberapa orang muda yang berdiri di belakang Kebo Ijo. “Tujuh orang,” desisnya di dalam hati, “sembilan dengan Mahendra dan Kebo Ijo.”
Dan anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. “Kasihan,” berkata salah seorang daripadanya.
Mahendra yang berdiri paling dekat dengan Mahisa Agni berkata, “Wiraprana, apakah tawaranku kau terima?”
Mahisa Agni menggeram. Jawabnya, “Mahendra, apakah maksudmu sebenarnya? Kau sebenarnya tahu benar, bahwa aku sama sekali tidak sedang mencari Kuda Sempana. Kau tahu betul bahwa sikapmu itu tidak pada tempatnya. Mahendra, apakah kau sengaja memancing persoalan supaya kau mendapat alasan untuk berkelahi?”
Mahendra terdiam. Tampaklah kerut-kerut di wajahnya. Ia tidak menyangka bahwa Mahisa Agni akan berkata langsung menebak maksudnya. Tetapi sesaat kemudian Mahendra itu sudah tertawa lagi. Memang sudah disengaja olehnya, Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu, akan dibuatnya marah. Ia ingin sekali lagi mengadu tenaga. Sekarang kawan-kawannya akan menjadi saksi. Setelah beberapa bulan ia mencoba mengembangkan ilmunya, maka apabila ada kesempatan bertemu dengan Mahisa Agni, ia akan menebus kekalahannya.
Karena itu Mahendra menjawab, “Apakah kau marah Wiraprana? Jangan lekas marah. Di Tumapel, jangan kau samakan dengan padukuhan yang sepi Panawijen, meskipun kau di Panawijen menjadi putra tetua padukuhanmu, tetapi kau tidak dapat mengangkat wajahmu di Tumapel. Seorang Buyut pun apabila masuk ke kota ini harus menundukkan wajahnya. Apalagi kau, hanya anak seorang buyut. Kau tidak dapat memperlakukan anak-anak muda di sini seperti anak-anak muda di desamu. Kau, bagi kami di sini sama sekali tidak berarti.”
Mahisa Agni kini sudah pasti, bahwa sebenarnyalah Mahendra sedang memancingnya ke dalam suatu bentrokan. Karena itu, maka untuk yang terakhir kalinya ia mencoba menghindari bentrokan itu apabila mungkin. Jawabnya, “Baik Mahendra. Baik. Aku adalah anak Panawijen. Anak dari pedesaan. Dan aku memang tidak ingin berbuat apapun di sini. Aku hanya akan lewat, seperti anak-anak desa yang lain yang tak pernah mendapat gangguan dari siapa pun apabila ia lewat di jalan kota. Sekarang biarlah aku berlalu.”
Mahendra terkejut mendengar jawaban itu. Sama sekali tak disangkanya bahwa Mahisa Agni itu tidak segera marah mendengar ejekan-ejekan yang telah dilontarkannya. Karena itu sesaat ia menjadi bingung untuk membangkitkan kemarahan anak muda itu. Ketika Mahendra melihat Mahisa Agni itu memutar tubuhnya dan melangkah pergi, maka dengan tergesa-gesa ia memanggilnya,
“Wiraprana. Jangan pergi!”
Mahesa Agni terhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahendra melangkah maju mendekatinya. “Jangan pergi!” bentak Mahendra.
“Apakah hakmu melarang aku pergi,” sahut Agni.
Mahendra menjadi bingung. Ketika ia terpaling ke arah kawan-kawannya melihat Kebo Ijo menjadi tegang. beberapa orang kawan-kawannya itu pun sudah tidak tertawa lagi. Bahkan kemudian Kebo Ijo itu berkata, “Jangan biarkan anak itu pergi. Ia telah menghina kita.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata Kebo Ijo. Tetapi sekali lagi ia merasa, bahwa apapun yang dikatakan oleh anak-anak muda itu adalah suatu kesengajaan untuk memancing persoalan. Karena itu Mahisa Agni kemudian tidak melihat lagi kemungkinan untuk meninggalkan daerah itu tanpa timbulnya suatu perselisihan. Maka kini Mahisa Agni sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Ia berdiri saja menunggu apapun yang akan terjadi.
Mahendra yang melihat sikap Mahisa Agni itu pun menjadi marah. Karena itu, maka ia pun tidak ingin melingkar-lingkar lagi. Ternyata Mahisa Agni tidak dapat dipancingnya untuk marah dan mendahuluinya menyerang. Dengan demikian, maka Mahendra tidak dapat menghindari tuduhan, ialah yang mulai apabila timbul perkelahian. Tetapi kini mau tidak mau ia harus mendahuluinya, sebab Mahisa Agni benar-benar dapat menguasai dirinya.
Ketika Mahendra ini sekali lagi berpaling, maka dilihatnya beberapa orang yang lewat, tertarik juga melihat ketegangan yang terjadi. Apabila semula mereka hanya melihat anak-anak muda itu tertawa-tawa, kini mereka melihat sikap-sikap yang keras dan tegang. Karena itu beberapa orang yang melihat mereka itu pun berhenti. Beberapa di antaranya saling mendekat dan berdiri di sekitar anak-anak muda itu. Beberapa orang saling berpandangan dan bertanya sesamanya,
“Apakah yang terjadi?”
Mahendra kini melangkah beberapa langkah maju. Dengan wajah yang menyala ia berdiri tegak seperti tonggak di hadapan Mahisa Agni. Seorang yang telah menjelang setengah abad, menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam, “Anak-anak muda. Kerjanya tak ada lain membuat ribut saja.”
Seorang kawan Kebo Ijo yang mendengar gumam orang tua itu memandang dengan tajamnya. Dan orang tua itu menjadi ketakutan. Sambil merunduk-runduk ia berjalan pergi menjauhi pertengkaran itu. Anak-anak muda kawan Mahendra itu pun kemudian berdesakan maju di antara beberapa orang yang lain. Seorang yang berkumis tebal mencoba melerai mereka. Katanya, “Apakah yang kalian perselisihkan?”
Kebo Ijo sama sekali tidak senang melihat kehadiran orang itu. Meskipun ia berkumis tebal dan bertubuh tegap, namun dengan sekali dorong orang itu terpental beberapa langkah. Dan seterusnya ia tidak berani mendekat lagi. Hanya perlahan-lahan ia berkata, “Anak-anak muda tak ubahnya seperti kuda-kuda liar yang lepas kendali.”
Mahisa Agni- mendengar beberapa orang yang menyesal atas peristiwa itu. Dan ia pun sebenarnya lebih menyesal dari mereka itu. Tetapi ia dihadapkan pada dua pilihan. Dihinakan atau mempertahankan harga diri. Dan Mahisa Agni pun ternyata bukan anak dewa-dewa yang lepas dari segala macam kesalahan, kekhilafan dan kebanggaan lahiriah. Sehingga dengan demikian, betapapun yang terjadi, Mahisa Agni tidak mau menjadi permainan anak-anak muda dari kota yang kehilangan pengekangan diri.
Mahendra kini benar-benar sudah sampai ke puncak rencananya. Sekali lagi bertempur dengan anak Panawijen itu. Meskipun ia sudah tidak akan dapat mengharapkan Ken Dedes lagi, namun setidak-tidaknya ia dapat melepaskan sakit hatinya dengan melumpuhkan Mahisa Agni Bahkan menjadikan anak itu cacat atau apapun yang akan membuat anak Panawijen itu menyesal sepanjang hidupnya atas keberaniannya mendesak Mahendra dari arena sayembara pilih.
Dengan senyum yang menyakitkan hati Mahendra itu maju setapak sambil berkata, “Nah, Wiraprana. Apakah kata mu sekarang? Apakah kau masih akan menengadahkan wajahmu? Aku sama sekali sudah melupakan gadis kaki Gunung Kawi itu. Namun aku sama sekali tak dapat melupakan kekalahan yang pernah aku alami. Kekalahan yang tidak adil, hanya karena kakak seperguruanku menganggap aku kalah. Kini kita dihadapkan kepada saksi yang lebih banyak lagi. Apakah kau masih berkata bahwa Mahendra dapat dikalahkan oleh anak pedesaan?”
“Aku sama sekali tidak pernah mempersoalkan tentang kalah dan menang,” jawab Mahisa Agni yang telah mulai kehilangan kesabarannya, “Katakan saja, apakah maksudmu sebenarnya? Menantang aku berkelahi atau apa?”
Dada Mahendra berdesir mendengar ketegasan sikap Mahisa Agni. Namun ia pun harus bersikap setegas itu pula. Maka jawabnya, “Ya. Marilah kini buktikan kebenaran dari keseimbangan di antara kita. Kita akan yakin, sebab kita dihadapkan kepada saksi-saksi.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia meletakkan bungkusannya serta tongkat kayunya. Kemudian ia bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Sekali lagi dada Mahendra berdesir. Sikap Mahisa Agni benar-benar meyakinkan, seolah-olah tak ada suatu apapun yang ditakutinya. Sehingga meskipun ia dihadapkan pada suatu keadaan yang pasti tidak disangka-sangkanya, namun ia tidak kehilangan ketenangannya.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara Kebo Ijo, “He, Wiraprana. Apakah yang ada di dalam bungkusan mu itu? Ular atau jampi-jampi?”
Kata-kata ini disusul oleh derai suara tertawa dari beberapa orang kawannya. Alangkah sakit hati Mahisa Agni. Ketika ia melihat Mahendra tertawa pula, maka berkatalah Agni dengan lantangnya, “Ayo Mahendra, apakah yang sebenarnya kau kehendaki?”
Mahendra berhenti tertawa. Dengan tajam ia memandang wajah Mahisa Agni yang telah mulai menjadi kemerah-merahan. Bahkan Mahisa Agni itu kemudian berkata, “Mumpung hari masih pagi. Aku akan segera meneruskan perjalanan.”
“Jangan mengigau!” bentak Mahendra, “Kau sangka kau berhadapan dengan seekor tikus?”
“Aku berhadapan dengan seorang manusia. Karena itu, maka ia pun akan berlaku sopan dan menghargai orang lain.”
Bukan main marahnya Mahendra mendengar sindiran itu. Kini ia sudah siap dengan setiap kemungkinan. Ketika Mahendra itu bergeser setapak ke samping, maka kaki Mahisa Agni pun segera merenggang. “Hem,” geram Mahendra, “kau yakin akan dirimu Wiraprana. Tetapi sebentar lagi kau akan menyesal.”
“Aku menyesal sejak semula ketika aku sadari, bahwa pertemuan ini tidak bermanfaat sama sekali,” sahut Agni.
“Diam!” bentak Mahendra. Kemudian katanya, “mulutmu setajam bisa ular. Ayo, minta maaf kepadaku.”
Mahisa Agni pun anak muda semuda Mahendra. Karena itu darahnya pun masih hangat-hangat panas. Ketika ia sudah tidak berhasil menahan diri lagi, maka ia pun menjawab, “Aku sudah bersiap untuk mempertahankan harga diriku, bukan untuk menyembahmu.”
Jawaban itu seakan-akan membakar telinga Mahendra. Karena itu tiba-tiba ia berteriak nyaring. Dengan satu loncatan, maka Mahendra menyerang Mahisa Agni dengan dahsyatnya. Tangannya terjulur lurus mengarah dada lawannya. Kecepatan gerak Mahendra benar-benar mengagumkan. Namun Mahisa Agni benar-benar telah bersiap. Karena itu dengan kecepatan yang sama, ia segera mencondongkan tubuhnya sehingga seakan-akan tangan Mahendra yang terjulur itu terhenti beberapa cengkang saja di muka dadanya.
Tetapi Mahendra tidak membiarkan kegagalan itu. cepat ia meloncat sekali lagi. Kali ini kakinya berputar setengah lingkaran pada tumitnya, dan kakinya yang lain menyambar lambung Mahisa Agni. Namun sekali lagi Mahisa Agni dengan lincahnya, meloncat ke samping menghindari kaki lawannya. Bahkan dengan cepat, Mahisa Agni berhasil menyentuh kaki itu dengan telapak tangannya, sehingga Mahendra terdorong selangkah ke samping.
Mahendra terkejut mengalami kegagalan yang berulang itu. Ia merasa seakan-akan ilmunya sudah jauh meningkat sejak beberapa bulan yang lampau. Tetapi ia masih gagal dalam serangannya berganda atas lawannya. Karena itu, maka kemarahannya menjadi semakin menyala. Apalagi kini beberapa orang kawannya menyaksikan perkelahian itu. Sehingga setiap kegagalan yang dialaminya, pasti akan menyebabkan kawan-kawannya itu menjadi kecewa. Mereka menganggap bahwa di antara mereka Mahendra adalah seorang anak muda yang pilih ta ding. Sehingga tidak ada di antara mereka yang berani melawannya.
Mahendra kali ini ingin memamerkan kepada kawan-kawannya. bahwa sebenarnya ia memiliki ilmu yang tak dapat diabaikan. Karena itu, maka sengaja dipancingnya persoalan atas Mahisa Agni itu. Dengan demikian, maka Mahendra itu pun kemudian menyerang lawannya kembali. Bertubi-tubi seperti angin ribut melanda ujung-ujung pepohonan. Tetapi ternyata lawannya kali ini sangat mengejutkannya. Mahisa Agni mampu bertahan sekokoh batu karang. Betapa angin melandanya, namun ia tetap tegak di tempatnya tanpa tergeser seujung rambut pun.
Namun Mahendra pun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya. Tangannya bergerak-gerak dengan tangkasnya, menyambar-nyambar seperti ujung cambuk yang mematuk-matuk. Sepasang tangan itu seakan-akan berubah menjadi sepuluh, bahkan ratusan pasang tangan yang menyambar dari segala arah. Namun Mahisa Agni dapat pula bergerak selincah burung sikatan. Tubuhnya melontar seperti bayangan melingkar, kemudian menyambar seperti burung rajawali. Namun kemudian menyerbu dengan dahsyat, sedahsyat banteng jantan.
Maka perkelahian itu pun semakin lama semakin menjadi sengit. Dan orang-orang pun semakin lama semakin banyak berkerumun di sekitar perkelahian itu. Beberapa orang perempuan berteriak-teriak, dan beberapa orang laki-laki mencoba bertanya-tanya, apakah sebab dari perkelahian itu. Tetapi tak seorang pun yang mendapat jawabnya. Kawan-kawan Mahendra melihat pertempuran itu dengan tegangnya. Kebo Ijo bahkan ikut meloncat ke sana kemari, seakan-akan ikut terputar bersama gerakan-gerakan mereka yang berkelahi itu.
Di panas yang semakin lama semakin terik, di tepi jalan kota jantung pemerintahan Tumapel itu, terjadi pergulatan yang semakin lama menjadi semakin seru. Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu mengenal, bahwa salah seorang dari mereka adalah Mahendra, tetapi siapa yang seorang.
Seorang anak muda yang bertubuh tinggi kekar mendesak maju mendekati Kebo Ijo. Digamitnya Kebo Ijo sambil bertanya, “Dengan siapakah Mahendra itu berkelahi?”
Kebo Ijo berpaling. Ketika dilihatnya orang bertubuh tinggi itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia menjawab, “Dengan anak Panawijen. Wiraprana.”
“Apakah sebabnya?”
“Anak itu menghina kami. Anak-anak muda Tumapel.”
“He?” bertanya orang bertubuh kekar itu, “ia menghina kita?”
“Ya.”
“Apa katanya?”
Kebo Ijo tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Karena ia katanya, “Aku tidak jelas. Mahendra yang mendengarnya, dan karena itu ia marah kepada anak Panawijen itu.”
“Hem,” geram orang yang bertubuh kekar itu, “kenapa lehernya tidak dipatahkannya saja.”
Kebo Ijo sekali lagi berpaling. Ia tersenyum di dalam hati. Orang yang tinggi besar itu adalah seorang prajurit pengawal Akuwu Tumapel. Maka katanya untuk membakar hati prajurit itu, “Kaulah yang berhak memutar lehernya.”
Tetapi prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian sekali lagi ia menggeram, “Aku tidak bersangkut paut dengannya.”
“Kenapa? Apakah kau tidak terhina pula?”
“Anak itu anak Panawijen seperti Kuda Sempana, pelayan dalam Akuwu. Aku tidak mau berselisih dengan anak muda itu.”
Kebo Ijo tertawa pendek. Katanya, “Kuda Sempana tidak mengenalnya.”
Prajurit pengawal Akuwu Tumapel itu mengerutkan keningnya. ”Aneh,” pikirnya. Tetapi ia tidak bertanya. Kini ia memperhatikan perkelahian itu. Mahendra agaknya telah mengerahkan segenap tenaganya, namun ia nama sekali tidak dapat menguasai keadaan. Bahkan kemudian tampaklah kelebihan-kelebihan yang mengagumkan dari lawannya itu. Kelincahan dan ketangguhannya. Bahkan kekuatannya pun melampaui kekuatan Mahendra.
Dan sebenarnyalah Mahisa Agni telah meloncat lebih jauh dari lawannya itu. Meskipun selama ini Mahendra telah berhasil meningkatkan ilmunya, namun kecepatan Mahisa Agni dalam olah kanuragan jauh lebih pesat daripadanya. Sehingga dengan demikian jarak dari keduanya menjadi semakin jauh. Orang yang tinggi besar itu menjadi heran. Mahendra adalah anak muda yang pilih tanding. Tetapi kini, berhadapan dengan anak yang datang dari pedesaan, agaknya ia mengalami kesulitan-kesulitan.
Prajurit itu menarik nafas. Seorang-seorang ia tidak lebih dan Mahendra. Tetapi bukankah ia prajurit pengawal Akuwu yang mempunyai lingkungan yang cukup banyak. Bahkan di antara mereka, pemimpinnya adalah seorang yang pasti melampaui keunggulan Mahendra, yaitu kakak seperguruannya. Witantra. Maka prajurit itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat bahwa Mahendra tidak segera dapat mengatasi keadaan, bahkan semakin lama tampaknya semakin terdesak, maka prajurit itu pun segera melangkah pergi, menerobos di antara para penonton yang semakin lama semakin berjejal-jejal.
“Anak itu harus mendapat sedikit pelajaran,” gumamnya sepanjang jalan.
Dengan tergesa-gesa ia pergi ke rumah Witantra. Ia ingin mendapatkan pujian darinya. Namun dengan menyesal ia tidak menemuinya di rumah. Maka, karena itu segera ia pergi ke barak penjagaan prajurit pengawal Akuwu Tumapel. Namun di sana Witantra itu pun tak ditemuinya. Ia takut terlambat karenanya. Sehingga akhirnya ia ingin bertindak sendiri. Dengan beberapa orang kawannya, prajurit yang bertubuh tinggi tegap itu pergi ke tempat Mahendra berkelahi melawan Mahisa Agni.
Sementara itu, pertempuran antara Mahendra dan Mahisa Agni masih berlangsung terus. Mahendra benar-benar telah kehilangan pengamatan diri. Kalau mula-mula ia hanya ingin menunjukkan kemampuannya yang telah bertambah-tambah, serta membuat Mahisa Agni menyesali diri atas keberaniannya bersaing dengan Mahendra, maka kemudian Mahendra telah melupakan segala-galanya. Ia telah sampai pada puncak kemarahannya. Bertempur antara hidup dan mati.
Sedang Mahisa Agni justru bersikap lain. Ketika ia telah dapat menjajaki kekuatan lawannya, maka ia menjadi bertambah tenang. Ternyata ilmunya telah meloncat sedemikian jauhnya, sehingga Mahendra sebenarnya bukanlah lawan yang dapat memancarkan keringat. Kalau kemudian ia bertempur, maka sebenarnya ia tidak lebih daripada melayani lawannya. Hanya sekali-sekali ia memberi tekanan-tekanan yang berat, supaya Mahendra cepat menjadi lelah dan berhenti dengan sendirinya. Tetapi ternyata Mahendra pun mempunyai tenaga yang kuat. Betapa ia terdesak, namun ia masih juga berjuang sekuat tenaganya. Bahkan geraknya masih nampak garang, dan serangan-serangannya tetap berbahaya.
Namun demikian, betapa kecemasan merayapi dadanya. Anak muda itu benar-benar menjadi heran. Apakah Mahisa Agni itu anak gendruwo.? Mahendra yang merasa bahwa ilmunya telah meningkat, namun Mahisa Agni itu masih belum dapat dikalahkan. Bahkan semakin lama tandangnya menjadi semakin mantap dan serangan-serangannya menjadi semakin dahsyat.
Tetapi Mahendra tidak mau menunjukkan kekurangannya di hadapan kawan-kawannya. Ia harus dapat mengalahkan lawannya supaya namanya tetap dikagumi oleh kawan-kawannya itu. Karena itu maka diperasnya tenaganya habis-habisan. Geraknya menjadi semakin cepat, secepat burung seriti menari-nari di udara, selincah anak kijang berkejar-kejaran di padang rumput. Tubuhnya melontar-lontar dengan cepatnya, berputar dan melibat lawannya seperti angin pusaran.
Namun Mahisa Agni sama sekali tidak menjadi bingung karenanya. Dengan tenangnya ia melawan serangan angin pusaran yang melibat dirinya dari segala arah itu. Seperti gunung anakan, ia tegak menghadapi badai yang betapapun kencangnya. Mahendra semakin lama menjadi semakin cemas. Mahisa Agni benar-benar sekukuh batu karang. Sekali-kali terasa bahwa tenaganya menjadi semakin susut, sedang lawannya masih belum juga mampu dikuasainya. Malahan Mahisa Agni itu sekali-sekali menekannya dan memaksanya untuk meloncat mundur dan mundur.
Kebo Ijo yang mengikuti perkelahian itu dengan seksama menjadi heran. Kakak seperguruannya ternyata telah benar-benar mengerahkan ilmunya. Namun agaknya lawannya itu benar-benar seperti asap yang tak dapat disentuh tangan. Dari perkelahian itu Kebo Ijo pun dapat menilai, bahwa sebenarnya ilmu Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu benar-benar melampaui ilmu kakaknya. Karena itu, maka. Kebo Ijo pun menjadi bingung. Ia tidak mau melihat seandainya kakak seperguruannya itu dikalahkan. Tetapi ia tidak dapat terjun membantunya.
Apabila demikian, dan kakak seperguruan mereka yang lebih tua, Witantra, mendengarnya, maka akibatnya akan tidak menyenangkan sekali. Namun demikian ia mempunyai satu harapan lagi. Kawannya, prajurit yang bertubuh tinggi kekar, datang kembali bersama kakak seperguruannya itu. Mahendra, dirinya dan beberapa kawannya akan dapat dijadikan saksi, bahwa Mahisa Agni telah menghina mereka. Mudah-mudahan kakaknya mempercayainya dan merasa terhina pula.
Demikianlah perkelahian itu semakin lama semakin nampak, bahwa kekuatan Mahendra menjadi semakin berkurang. Sehingga akhirnya Mahendra menjadi hampir berputus asa, dan bertempur tanpa kendali. Ia menyerang dengan garangnya dan dengan penuh kegelisahan Namun serangan-serangan itu seperti angin yang lewat di antara batu-batu karang yang kokoh kuat. Lewat, tanpa kesan dan tanpa meninggalkan bekas.
Tiba-tiba, beberapa orang yang menonton perkelahian itu terkejut ketika mereka mendengar beberapa bunyi cambuk berledakan di belakang mereka. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang prajurit pengawal Akuwu berada di sekitar mereka. Karena itu dengan gugupnya mereka berpencaran dan berlarian menjauh.
Seorang yang berperawakan tinggi tegap berdada bidang setegap kawan Kebo Ijo, namun tidak berkumis, segera tampil ke depan. Dengan cambuk di tangan ia berteriak lantang, “Berhenti!”
Mahendra segera meloncat mundur. Dan Mahisa Agni pun tidak mengejarnya, sehingga perkelahian itu pun berhenti.
“Kenapa kalian berkelahi?” bertanya orang yang tinggi besar itu.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Persoalan ini akan menjadi semakin berlarut-larut. Ia tergesa-gesa pulang ke Panawijen karena kegelisahannya atas nasib padukuhannya dan nasib Ken Dedes, tetapi tiba-tiba ia akan terpaksa berhenti beberapa lama di Tumapel.
Yang mula-mula menjawab adalah Mahendra. “Bertanyalah kepada mereka yang melihat persoalan ini dari permulaan,” katanya sambil menunjuk Kebo Ijo dan beberapa anak muda yang lain.
Kebo Ijo kemudian melangkah selangkah maju. Meski pun ia belum begitu mengenal prajurit itu, namun ia pernah melihatnya sekali dua kali. Kemudian katanya, “Anak itu menghina kami, Kakang.”
Orang itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia bertanya pula, “Apakah yang sudah dilakukan?”
Kebo Ijo berpaling kepada Mahendra. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Mahendra pun kemudian mengerutkan keningnya. Setelah berpikir sejenak ia berkata, “Anak Panawijen ini menganggap kami, anak-anak muda Tumapel sebagai anak-anak liar. Apakah demikian keadaan kami?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Mahendra akan sampai hati berkata demikian atas dirinya. Ia tidak menyangka bahwa Mahendra dapat melakukan fitnah. Alangkah mengherankan. Dan bahkan hampir tak masuk di akalnya. Sebenarnya Mahendra sendiri terkejut mendengar kata-katanya itu. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Semula sesekali memang tidak terkandung maksud untuk melakukan perbuatan itu, tetapi ia dihadapkan pada peristiwa yang sama sekali tak diperhitungkannya.
Maksudnya mula-mula hanyalah untuk menghinakan Mahisa Agni. Menebus sakit hatinya atas kekalahan yang pernah dialaminya. Namun tanpa diduganya, ternyata ia sama sekali tidak mampu untuk melakukan pembalasan dendam itu. Bahkan sekali lagi ia dikalahkan. Karena itu, ketika ia dihadapkan pada pertanyaan yang tiba-tiba itu, maka dijawabnya tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya.
Prajurit itu, yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang, dengan cemeti di tangannya, mengerutkan keningnya. Dipandangnya Mahisa Agni dari ujung rambut sampai ke ujung hatinya. Kemudian dipandanginya Mahendra dengan tajamnya. Kepada Mahendra prajurit itu pernah melihatnya sekali dua kali. Dan pernah dikenalnya pula namanya.
Suasana di sekitar tempat itu menjadi sepi tegang. Semua mata tertancap kepada prajurit yang memegang cambuk itu. Ketika kakinya bergeser setapak, tiba-tiba saja Mahisa Agni pun menggeser kakinya. Namun Prajurit itu tidak berbuat apa-apa. Ia menjadi bimbang. Pernah didengarnya nama Mahendra sebagai seorang arak muda yang perkasa. Dikenalnya nama itu sebagai adik seperguruan pemimpinnya. Tiba-tiba terdengarlah suara prajurit itu parau,” He, anak muda, siapakah namamu?”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Mahendra, Kebo Ijo mengenalnya sebagai Wiraprana, putra Buyut Panawijen. Karena Mahisa Agni masih belum menjawab, maka prajurit itu membentaknya, “He siapakah namamu?”
“Wiraprana,” jawab Agni gemetar.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia berpaling kepada Mahendra, dan sekali lagi ia bertanya, “Apa yang dikatakan tentang kalian?”
Kini Mahendra menjadi ragu-ragu. Ia malu untuk mengurungkan tuduhannya. Namun yang menyahut Kebo Ijo, “Ia menganggap kami, anak-anak muda Tumapel sebagai anak yang liar. Bukankah itu suatu penghinaan?”
Prajurit itu mengangkat alisnya. Dalam waktu y mg singkat ia mampu membuat perhitungan. Mahendra adalah anak yang memiliki ilmu tata bela diri tinggi. Namun sudah lama anak muda dari Panawijen itu tak dapat dikalahkan. Dengan demikian, maka anak mula itu setidak-tidaknya memiliki ilmu setingkat dengan Mahendra.
Jawaban prajurit itu kemudian benar-benar mengejutkan Kebo Ijo dan kawan-kawannya, katanya, “Hem. Aku sangka kata-kata anak muda itu tidak terlalu salah.”
“Apa?” teriak Kebo Ijo, “Kau berkata sebenarnya?”
Prajurit itu mengangguk. Sahutnya, “Aku menganggap bahwa kata-katanya tidak terlalu salah. Anak ini datang dari pedesaan. Apakah kau sangka bahwa ia berani berbuat sesuatu kalau kalian tidak memulainya?”
Wajah Kebo Ijo, Mahendra dan anak-anak muda yang lain menjadi merah padam Sehingga Kebo Ijo kemudian berteriak lantang, “Jadi kau membenarkan hinaan itu?”
Prajurit itu menggeleng, katanya, “Aku tidak membenarkan suatu penghinaan dari siapa pun untuk siapa pun. Namun aku ragu-ragu akan kebenaran kata-katamu.”
“Kami menjadi saksi,” sahut salah seorang anak muda kawan Kebo Ijo, “dan kalian dapat bertindak atasnya.”
“Anak ini anak Panawijen,” berkata Prajurit itu, “aku tidak mau berselisih dengan anak-anak Panawijen yang tinggal juga di dalam istana.”
“Kuda Sempana?” sahut Mahendra.
Prajurit itu mengangguk. “Kuda Sempana tak mengenal anak ini. Baru saja Kuda Sempana lewat berkuda di jalan ini, dan ia memandang anak ini seperti memandang hantu.”
Prajurit itu kini benar-benar mengerutkan dahinya. Sejenak ia berpikir. Dan sekali lagi kata-katanya mengejutkan, “Aku sangka anak-anak pedesaan lebih bersikap jujur dari kalian. Biarlah aku bertanya kepadanya.”
“Bohong!” sahut Kebo Ijo sambil melangkah maju. Wajahnya yang merah menyala menunjukkan kemarahannya. Sebenarnya Kebo Ijo adalah anak yang berani. Seandainya Mahendra tidak menggamitnya maka prajurit itu pasti sudah ditantangnya berkelahi. Namun meskipun demikian ia masih berkata, “Anak-anak pedesaan adalah anak-anak muda yang licik.”
Tetapi jawab prajurit itu tegas, “Aku adalah anak pedesaan.”
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin merah karenanya. Dan karena itu maka justru ia terdiam. Namun terdengar giginya gemeretak menahan kemarahannya yang telah memuncak. Sedang Mahendra pun menjadi marah pula. Diamat-amatinya prajurit itu dengan seksama. Katanya di dalam hati, “Suatu ketika kita akan membuat perhitungan.”
Tetapi Prajurit itu bukan seorang penakut. Karena itu dengan lantang ia bertanya kepada Mahisa Agni, “Wiraprana, apakah kata-kata mereka itu benar?”
Mahisa Agni menggeleng. “Tidak!” sahutnya.
Prajurit itu menarik nafas. Kemudian kepada Mahendra ia berkata, “Kau dengar?”
Dari mata Mahendra telah menyala kemarahan yang tiada taranya. Namun sebelum ia menjawab, maka prajurit kawan Kebo Ijo maju selangkah. Tubuhnya tidak kalah garangnya dengan prajurit yang bercemeti itu. Dengan wajah yang tegang ia berkata lantang, “Aku anak muda Tumapel. Anak-anak muda Tumapel bukan anak-anak muda yang liar.
Prajurit yang bercemeti itu terkejut. Tak disangkanya sama sekali kalau seorang kawannya tiba-tiba telah berbuat demikian. Karena itu ia mencoba membetulkan kata-katanya, “Tidak semua anak-anak muda dari kota Tumapel berbuat demikian. Tetapi apakah kau tidak kenal sebagian dari anak-anak muda ini?”
Prajurit kawan Kebo Ijo itu menjawab, “Aku kenal mereka. Mereka adalah kawan-kawan ku.”
“Nah,” sahut prajurit itu, “kalau demikian kau pasti sudah tahu, apa saja yang sudah mereka lakukan.”
“Mungkin mereka sering melakukan kenakalan-kenakalan anak-anak. Tetapi kami, anak-anak muda dan Tumapel tidak mau dihinakan.”
Prajurit bercemeti itu menggigit bibirnya. Namun kemudian katanya, “Marilah kita lihat, siapakah yang sebenarnya bersalah. Jangan bertanya kepada mereka, dan jangan bertanya kepada anak Panawijen itu.”
“Hanya akan membuang-buang waktu,” sahut prajurit kawan Kebo Ijo, “anak itu harus ditangkap. Biarlah ia tahu, bahwa seseorang tidak boleh melakukan penghinaan.”
Prajurit bercemeti itu menjadi bingung. Ditatapnya beberapa wajah yang ada di sekitarnya. Kemudian katanya berbisik, “Terserahlah kepadamu. Semuanya ini bukan tanggung jawabku. Aku tidak mau ikut serta. Sebab kau sudah berpihak. Kalau aku kemudian berpihak pula, maka kita tidak akan dapat menegakkan peraturan-peraturan yang berlaku. Kita akan ditelan oleh perasaan kita sendiri-sendiri. Dan kita akan melihat kebenaran dari pihak kita masing-masing. Karena itu, aku lebih baik tidak berbuat sesuatu. Supaya kita tidak saling bertengkar sesama kita di hadapan orang banyak.”
Kawannya itu tidak menjawab. Tetapi ia merasa bahwa kawannya yang bercemeti itu segan kepadanya. Karena itu, maka ia pun melangkah maju sambil berkata lantang, “Wiraprana, kau aku tangkap!”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dilihatnya beberapa orang prajurit yang lain maju pula. Mereka adalah kawan-kawan prajurit yang akan menangkap Agni itu. Sedang prajurit yang bercemeti itu masih berdiri di tempatnya. Tetapi ia kini berdam diri. Dengan penuh kesadaran ia lebih baik tidak ikut campur dalam persoalan ini supaya tidak menimbulkan kesan yang jelek bagi orang-orang yang melihat, bahwa di antara para prajurit itu timbul pendapat yang berbeda-beda tentang masalah yang sama.
Sedang kawan Kebo Ijo itu melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat menyenangkannya. Orang itu akan diserahkannya kepada Witantra, kakak seperguruan Mahendra. Pasti orang itu akan memujinya dan seterusnya biarlah Mahendra yang mengatakan, apa yang sudah dilakukan oleh anak Panawijen itu.
Tetapi Mahisa Agni sudah mendapat ketetapan hati. Ketika ia melihat bahwa tidak semua prajurit dengan membabi buta menelan saja pengaduan yang sama sekali tidak benar itu, ia menjadi tenang. Karena itu, maka ia bertekad untuk menurut saja, apa yang akan dilakukan oleh prajurit-prajurit itu. Ketika sekali lagi ia mendengar prajurit itu berkata kepadanya, maka jawab Mahisa Agni, “Baiklah. Aku tidak akan melawan kalian, sebab kalian adalah prajurit-prajurit Tumapel.”
“Jangan banyak mulut,” bentak prajurit kawan Kebo Ijo itu sambil menarik lengan Mahisa Agni. Tetapi prajurit itu terkejut Mahisa Agni itu sama sekali tak dapat digesernya walaupun setapak.
Karena itu maka wajahnya tiba-tiba menjadi merah. “Jangan melawan!” bentaknya.
“Tidak,” sahut Mahisa Agni, “aku tidak akan melawan. Tetapi aku sudah dapat berjalan sendiri.”
“Setan!” desis prajurit itu.
Mahisa Agni itu pun kemudian sama sekali tidak melawan ketika ia dibawa oleh para prajurit itu ke barak mereka Mahendra, Kebo Ijo dan beberapa orang yang lain ikut pula beramai-ramai di belakang para prajurit itu. Sekali-kali terdengar mereka berteriak-teriak. Kebo Ijo benar-benar tak dapat menguasai luapan perasaannya sehingga kata-katanya semakin lama menjadi semakin kotor. Tetapi sekali-kali Mahendra membentaknya pula, “Kebo Ijo, jangan berteriak-teriak!”
“Biarlah ia jera. Untuk lain kali ia tidak berani menghina kita lagi, Kakang.”
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun terasa sesuatu berdesir di dadanya. Dengan tanpa disengaja Kebo Ijo telah memperingatkan akan kesalahannya, sehingga perlahan-lahan ia berdesis, “Apakah benar Wiraprana menghina kita Kebo Ijo?”
Kebo Ijo itu terdiam. Tetapi kebenciannya kepada Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu melampaui Mahendra. Sedang Mahendra sendiri tiba-tiba menjadi malu atas perbuatannya. Namun semuanya telah terlanjur. Dan ia kini tinggal mempertahankan ketelanjurannya itu. Sekali ia berdusta, maka ia akan berbuat serupa terus menerus untuk mempertahankan kedustaannya itu.
Iring-iringan itu berjalan semakin lama semakin panjang. Beberapa orang yang melihat mereka bertanya di antara sesama. Anak-anak muda yang lain pun ikut serta di antara kawan-kawannya, sedang mereka yang sebenarnya anak-anak nakal, seakan-akan mendapat suatu permainan. Tetapi sekali-kali prajurit yang bercemeti, yang berjalan di paling belakang, membentak mereka, dan mengusir mereka itu pergi.
Mahendra yang berjalan di belakang prajurit bercemeti itu menundukkan wajahnya. Ia menyesal akan sikapnya. Lebih baik ia menerima kekalahan yang dialaminya daripada menjerumuskan dirinya dalam suatu sikap yang memalukan itu. “Hem,” Mahendra menarik nafas dalam-dalam. “Sudah terlanjur,” gumamnya berkali-kali.
Tetapi berbeda sekali dengan sikap Kebo Ijo. Bahkan anak itu meloncat ke sana kemari, membisiki kawan-kawannya yang baru saja mereka temui di perjalanan itu. Mereka yang mendengar ceritanya dengan serta-merta tertawa tergelak-gelak. Ada juga di antara mereka yang dengan sengaja bertanya dengan suara keras-keras, supaya Mahisa Agni mendengarnya. Namun mereka itu terdiam apabila mereka mendengar meledaknya cambuk dari prajurit yang bertubuh kekar itu. Bahkan sekali-sekali didorongnya beberapa anak muda sampai jatuh berguling. Namun setiap kali ia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba iring-iringan itu terkejut, ketika mendengar derap kuda berlari. Kemudian muncullah dari tikungan jalan di depan mereka, dua orang berkuda kencang-kencang ke arah iring-iringan itu. Ketika prajurit kawan Kebo Ijo melihat orang berkuda itu, maka ia pun tersenyum. Kepada Mahisa Agni ia berkata, “Itulah pemimpin kami. Kau akan dihadapkan kepadanya.”
Mahisa Agni pun terkejut melihat orang itu. Ia pernah melihatnya. Meskipun pada waktu itu di dalam gelapnya malam, namun ia masih cukup dapat mengenalnya. Orang itu adalah kakak seperguruan Mahendra. Demikian kuda itu sampai di hadapan mereka, maka Witantra, penunggang kuda itu, segera menarik kekang kudanya sambil berkata lantang, “Aku dengar, kau bertengkar Mahendra?”
Mahendra mengangguk. Tetapi sebelum ia menyahut, terdengar Kebo Ijo berkata, “Itulah Kakang. Anak Panawijen yang barangkali telah Kakang kenal. Ternyata ia masih merindukan kemenangan yang pernah dilakukan. Ketika ia bertemu dengan Kakang Mahendra, maka dengan serta-merta ia menghinanya. Tetapi ternyata bahwa Kakang Mahendra bukanlah Kakang Mahendra beberapa bulan yang lalu. Untunglah bahwa beberapa orang prajurit sempat melerainya, dan membawa anak itu kepada Kakang. Kalau tidak entahlah, apa yang akan dilakukan oleh Kakang Mahendra atasnya.”
Sekali lagi Mahisa Agni heran mendengar pengaduan itu. Apakah sebabnya maka Kebo Ijo itu sedemikian mendendamnya? Witantra pun ternyata terkejut sekali melihat Mahisa Agni, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Apakah kau Wiraprana?”
Mahisa Agni mengangguk. “Ya,” jawabnya.
Witantra memandangnya dengan kecewa. Sama sekali tak disangkanya bahwa anak Panawijen itu dapat berlaku sombong. Karena itu ia bertanya kepada Mahendra, “Apakah kata-kata adikmu Kebo Ijo itu benar?”
Mahendra ragu-ragu sejenak. Tetapi ia harus menjawab. Karena itu ia tidak dapat berbuat lain, selain menganggukkan kepalanya. Witantra itu menarik nafas panjang. Mula-mula ia mengagumi Mahisa Agni itu, ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya. Namun kini ia menjadi kecewa, kenapa anak itu dapat menyombongkan dirinya. Bahkan kemudian didengarnya seorang anak muda berkata,
“Ia tidak saja menghina Kakang Mahendra, tetapi ia menghina kami. Disebutnya anak-anak muda Tumapel sebagai anak-anak yang liar. Karena itu kami marah pula karenanya.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia pun berkata lantang, “Bawa ia ke rumahku.”
Mahisa Agni masih mencoba untuk menjelaskan persoalannya. Namun ia tidak mendapat kesempatan lagi. Witantra segera menarik kekang kudanya dan berlari meninggalkan mereka bersama seorang kawannya...
“Minumlah Ngger,” orang tua itu mempersilakan, namun ia sendiri tidak mau minum. Lehernya yang telah berkeriput itu seakan-akan telah tersumbat. Meskipun demikian, Mahisa Agni minum juga beberapa teguk. Alangkah segarnya.
“Sebentar lagi kita harus pergi memenuhi permintaan anak setan itu. Istriku sedang menjemput gadisnya di rumah sebelah. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari malapetaka yang lebih besar. Biarlah aku serahkan timang itu, asal anakku itu tidak diganggunya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Alangkah sedihnya orang tua itu. Sesaat kemudian istrinya yang telah tua pula itu pun datang bersama anak perempuan beserta suaminya. Sekilas Agni segera dapat melihat air mata yang membasahi mata yang jernih bulat itu. Sedang suaminya, tidak lebih seorang petani biasa. Bertubuh kecil dan berhati kecil. Sehingga dengan gemetar ia bertanya,
“Apakah yang akan dilakukan oleh Pasik, Kiai.”
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Mudah-mudahan tak akan dilakukan sesuatu.”
“Aku telah membawa semua perhiasan dan kekayaan yang aku miliki. Mudah-mudahan istriku tidak diganggunya.”
Orang tua itu tidak menyahut. Namun istrinya menangis terisak-isak, sehingga anaknya menangis pula. Katanya, “Biarlah aku tinggal di rumah.“
Ayahnya menarik nafas. Tak sepatah kata pun dapat diucapkan, sehingga anaknya itu berkata pula, “Ayah, aku lebih baik mati daripada disentuhnya.
Ayahnya masih terbungkam. Dan bahkan matanya pun menjadi basah pula. Mahisa Agni benar-benar tak dapat menahan perasaan harunya. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Biarlah anak bapa tinggal di rumah bersama suaminya.”
Yang mendengar kata-kata Mahisa Agni itu terkejut. Orang tua itu berpaling kepadanya sambil berkata, “Aku tidak dapat membayangkan akibatnya.”
“Mudah-mudahan Pasik melupakannya setelah ia melihat timang bapa dan kerisku ini,” jawab Agni.
Orang tua itu berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Hampir tak ada gunanya, Ngger. Ia tidak dapat melihat keinginannya sepotong-sepotong terpenuhi. Ia ingin semuanya.”
“Tetapi apakah anak bapa itu juga terpaksa dikorbankan seandainya nanti dikehendaki oleh Pasik itu?”
Orang tua itu terdiam. Istrinya pun terdiam. Namun anak perempuannyalah yang menangis. Dan bahkan suaminya pun menangis.
“Jangan menangis,” minta Mahisa Agni kepada laki-laki itu, “seharusnya laki-laki tidak menangis.”
Tetapi laki-laki itu menangis terus. Katanya di sela-sela tangisnya, “Ki Sanak tidak merasakan apa yang aku rasakan. Itulah Ki Sanak dapat berkata demikian.”
Mahisa Agnilah kini yang terdiam. Ia tidak tahu bagaimana mencoba menghibur mereka. Namun ia menjadi semakin kasihan juga melihat keadaan keluarga yang sedang berduka itu.
Tiba-tiba perempuan tua itu berkata, “Kiai biarlah suaminya saja pergi bersama-sama Kiai. Biarlah anak ini tinggal bersama aku di rumah. Bawalah semua kekayaan yang ada sebagai tebusannya.”
Laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya ia pun berkata, “Biarlah ia tinggal di rumah. Marilah kita pergi apa pun yang terjadi.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Marilah. Kita tebus putri bapa itu dengan kekayaan. Mungkin Pasik akan bergembira karenanya.”
Orang tua itu tidak menjawab. Ditatapnya wajah anaknya dan istrinya berganti-ganti. Kemudian kepada menantunya ia berkata, “Marilah supaya Pasik tidak menjadi kesal menunggu kedatangan kita.”
Maka pergilah mereka bertiga ke rumah Pasik. Dengan wajah tunduk menantu orang tua itu berjalan di sampingnya, sedang Mahisa Agni berjalan di belakang mereka. Sekali orang tua itu berpaling sambil bertanya kepada Mahisa Agni, “Apakah Angger sudah ikhlas akan keris itu?”
Mahisa Agni menarik nafas. Jawabnya, “Keris ini keris peninggalan Bapa.”
“Jadi?”
“Entahlah,” sahut Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Mereka berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan yang sempit, menuju ke rumah Pasik. Akhirnya sampai jugalah mereka ke rumah itu. Rumah yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas. Di halaman itu Mahisa Agni melibat beberapa orang telah berkumpul dengan berbagai bungkusan di tangan mereka. Namun tampaklah wajah mereka yang suram dan bersedih. Mereka harus menyerahkan beberapa macam benda bagian dari kekayaan mereka.
Ketika orang tua itu sampai di halaman rumah Pasik, maka semua orang yang sudah berada ditempat itu, menjadi heran dan saling berpandangan. Sebagian dari mereka menjadi heran, kenapa orang tua itu pula telah dijadikan korban oleh Pasik ? Dan sebagian lagi heran melihat kehadiran orang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.
Seseorang yang telah setengah umur segera mendekati orang tua itu sambil berbisik, “Kenapa Kakang datang kemari?”
“Seperti juga kau datang kemari,” jawab orang tua itu.
“Oh, apakah Pasik itu sampai hati juga berbuat demikian kepada Kakang?”
“Ternyata demikianlah.”
Kemudian mereka itu terdiam ketika mereka melihat Pasik keluar dan rumahnya. Dengan wajah yang cerah anak muda itu tersenyum. Kemudian mengangguk kepada semua orang yang telah berada di halaman. Namun seleret ia, memandang ke seberang halamannya. Dan ternyata di kejauhan, beberapa orang dengan diam-diam ingin melihat apa yang terjadi di halaman rumah Pasik itu. Namun Pasik itu masih saja tersenyum. Kemudian dengan ramah ia berkata,
“Alangkah senangnya aku, bahwa kalian masih juga suka berkunjung ke rumah ini. Meskipun belum kalian nyatakan, tetapi aku sudah tahu bahwa kalian telah bersusah payah datang untuk memberikan bekal perjalananku lusa. Sebenarnyalah aku memang hendak bepergian. Jauh, ke Tumapel mengikuti guruku yang hari ini datang juga ke padukuhan ini.”
Pasik itu diam sesaat, namun orang yang datang di halamannya mengumpat di dalam hati mereka. Sesaat kemudian Pasik itu berkata, “Sayang, guruku pagi ini tidak dapat menerima kalian. Mungkin sebentar lagi setelah guru datang dari melihat-lihat daerah terpencil ini.”
Kembali Pasik itu berdiam diri. Ditebarkannya pandangan matanya sekali lagi. Ketika ia melihat Mahisa Agni, maka anak muda itu tersenyum, “Selamat datang Ki Sanak. Ternyata Ki Sanak sudi juga berkunjung ke rumah ini.”
Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tentu. Bukankah Ki Sanak yang minta kepadaku untuk datang pagi ini?”
Pasik mengerutkan keningnya, dan orang-orang yang mendengar jawaban itu pun menjadi terkejut. Alangkah beraninya orang itu menjawab pertanyaan Pasik. Namun kemudian mereka menyadari bahwa orang itu belum mengenal siapakah Pasik itu. Pasik pun kemudian tersenyum pula, “Memang, aku kemarin telah mempersilakan kau datang. Bukankah lebih baik apabila kita memperbanyak sahabat?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Dan dibiarkannya Pasik tersenyum puas. Ia ingin melihat apa saja yang akan terjadi seterusnya di halaman itu. Ternyata Pasik itu pun tidak memperpanjang perkataannya. Dengan singkat kemudian ia berkata, “Nah, aku akan sangat berterima kasih atas pemberian kalian. Karena itu, marilah berikanlah apa yang ingin saudara-saudara berikan itu.”
Suasana kemudian menjadi hening sepi. Tampaklah beberapa orang menjadi ragu-ragu. Sehingga Pasik itu pun berkata, “Marilah. Satu demi satu, supaya aku dapat melihat barang-barang yang kalian berikan itu. Marilah!”
Maka, sesaat kemudian mulailah orang yang pertama berdiri. Melangkah maju dan menyerahkan bungkusannya kepada Pasik. Dengan tersenyum puas, Pasik membuka bungkusan itu. Sepotong cula berukir berbentuk sebuah golek yang sangat manis. Namun wajah Pasik itu tiba-tiba menjadi gelap. Katanya, “Apakah benda ini sama sekali tidak bersalut emas?”
Orang yang membawa cula berukir itu terkejut. Dan dengan ketakutan ia menjawab, “Tidak, tidak Pasik.”
“He?” potong Pasik, “Sebutlah namaku!”
“Oh,” orang itu semakin ketakutan, “maksudku Angger Waraha.”
Pasik menarik napas. Tetapi tiba-tiba ia membentak “Bohong! Benda-benda serupa ini biasanya bersalut emas.”
“Tetapi yang ini tidak Ngger,” jawab orang itu, “ini adalah peninggalan Bapakku. Dibuatnya benda ini dengan tangannya sebagai kenang-kenangan pada masa mudanya, ketika Bapak itu berhasil menangkap seekor badak yang jarang terdapat di daerah ini dalam perburuannya. Sehingga sudah tentu kami tidak dapat memberinya emas. Sebab sebenarnya kami tidak pernah melihat, apalagi memiliki emas. Maka…”
“Cukup!” bentak Waraha, orang itu sedemikian terkejutnya sehingga tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar, “Aku tidak perlu sesorah itu.”
Orang itu ternyata masih ingin memberi beberapa penjelasan, namun mulutnya sajalah yang bergeletar, tetapi tak sepatah kata pun yang dapat lolos dari tenggorokannya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Waraha membentaknya sekali lagi, “Pulang! Jangan menghina aku! Ambil yang lain!”
“Itu, itu…,” sahut orang itu terbata-bata, “itu adalah milikku yang paling berharga Ngger.”
“Pulang, dan ambil yang lain! Dengar?”
“Aku, aku sudah tidak punya apa-apa lagi.”
Waraha itu kemudian menjadi marah. Dengan serta-merta golek cula yang amat manis itu dibantingnya pada sebuah batu.
“Pasik!” teriak orang itu. Tetapi ia hanya dapat melihat golek itu pecah berserakan. Bahkan Pasik itu masih bertambah marah lagi, karena orang itu menyebut nama aslinya. Karena itu, dengan kakinya yang kokoh kuat Pasik mendorong orang itu sehingga terpental beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah.
Halaman itu menjadi tegang dan sepi. Sesepi perkuburan. Tak seorang pun yang berani memandang wajah Pasik. Namun tiba-tiba mereka yang berada di halaman itu terkejut ketika mereka mendengar Pasik itu tertawa. Kemudian ia berkata lemah, “Ah. Maafkan aku. Aku tidak biasa berlaku kasar. Namun aku sebenarnya tidak mau dihina. Aku tidak mau dihina. Aku tidak akan sakit hati seandainya kalian tidak ingin memberi aku bekal apa pun. Namun aku tidak mau dihina dengan benda-benda serupa itu.”
“Hem,” orang tua di samping Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika Pasik itu tiba-tiba memandangnya sambil tersenyum. Kemudian dengan hormatnya ia berkata, “Ah, Kiai. Agaknya Kiai datang juga ke tempat yang kotor ini.”
Orang tua itu menjadi berdebar-debar. Apalagi kemudian Pasik itu berkata, “Sebenarnya aku akan sangat gembira apabila Kiai datang bersama gadis Kiai itu.”
Orang tua itu tidak menjawab. Namun debar di dadanya menjadi semakin cepat. Karena ia tidak menjawab,maka Pasik itu berkata pula, “Kiai, tidakkah Kiai datang dengan gadis Kiai itu?”
Orang tua itu menjadi bertambah gelisah. Keringat dinginnya telah mulai membasahi bajunya. Dengan tergagap ia menjawab, “Tidak Ngger. Aku datang bersama suaminya.”
“Suaminya?” tiba-tiba mata Pasik itu terbelalak. Apakah yang Kiai katakan?”
Orang tua itu telah benar-benar menjadi gemetar. Sehingga kembali mulutnya terbungkam. yang menjawab kemudian adalah Mahisa Agni. “Ya Ki Sanak. Kiai ini datang bersama menantunya.”
Mata Pasik itu kemudian menjadi merah. Dengan liar ia menatap Mahisa Agni dan laki-laki tua itu berganti-ganti. Kemudian katanya lantang “Kiai, buat apa menantumu itu bagiku?”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Karena itu ia pun kemudian berdiam diri. Dibiarkannya Pasik menggeram dan kemudian berkata, “Aku sudah mengatakan, seharusnya Kiai datang dengan anakmu, bukan menantumu. Buat apa aku minta menantumu datang?”
Pasik berhenti sejenak. Kemudian pandangan matanya jatuh kepada menantu orang tua itu. “Ha, kau agaknya menantunya bukan? Jangan ingkar! Gadis itu memang cantik. Bukankah gadis itu kawan kita bermain sejak anak-anak?”
Tiba-tiba Pasik itu tertawa. Suaranya menggelegar memenuhi halaman. Karena itu setiap orang yang mendengar menjadi ngeri karenanya. Kemudian katanya meneruskan, “Aku kenal kau sejak kecil dan kau kenal aku sejak kecil pula. Karena itu, marilah kita berbaik hati sesama kita. Tolonglah aku, panggillah istrimu itu!”
Kata-kata itu benar-benar tak dapat dimengerti oleh Mahisa Agni. Dan ia menjadi semakin tidak mengerti, ketika menantu orang tua itu menangis, “Bagaimana Kiai? Apakah aku harus memanggilnya?”
Orang tua itu pun terdiam. Dan suasana di halaman itu menjadi beku. yang terdengar kemudian adalah suara Pasik tertawa sambil berkata lembut. “Bukankah kita bersahabat?” katanya, “Nah, tolonglah aku.”
Tetapi tiba-tiba Pasik itu terkejut ketika seorang perempuan menggamitnya. Ketika ia menoleh, maka katanya “Oh, Ibu. Apakah ada sesuatu?”
“Pasik,” berkata ibunya.
Namun segera Pasik memutus, “Sebut namaku!”
“Oh,” desah ibunya “Waraha. Apa pun yang akan kaulakukan, namun jangan diganggu tetua padukuhan kami itu.”
Pasik mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berpaling kepada menantu orang tua yang disebut sebagai tetua padukuhan itu. Katanya “Lekas, tolonglah aku.”
“Waraha,” panggil ibunya.
Namun Pasik itu seakan-akan tidak mendengar, bahkan ia berteriak lebih keras “Cepat! Panggil istrimu itu sekarang!”
“Angger,” berkata orang tua itu dengan gemetar, “aku telah membawa timang yang Angger kehendaki, dan menantuku telah membawa perhiasan yang dimilikinya. Sedang tamuku pun telah merelakan kerisnya untuk Angger. Apakah Angger masih memerlukan anakku itu?”
Pasik sama sekali tidak mau mendengar kata-kata itu. Ia kemudian berteriak tinggi, “Lekas, panggil ia sekarang!”
Menantu tetua Padukuhan Kajar itu masih terpaku di tempatnya dengan tubuh gemetar. Sedang mata Pasik itu telah menjadi semakin merah. Namun ketika ia akan berteriak kembali, sekali lagi ibunya menggamitnya dan berkata, “Jangan Waraha, jangan ganggu anak itu.”
Tetapi Waraha itu masih saja tidak mau mendengar kata-kata ibunya itu, sehingga kemudian ibunya itu menarik tangannya, “Orang tua itu kami hormati seperti orang tua kami sendiri. Dan bukankah orang tua itu terlalu baik kepadamu pada masa kecilmu. Kini seharusnya…”
“Diam!” tiba-tiba Waraha itu membentak. Ibunya menjadi sangat terkejut dan bahkan semua orang menjadi terkejut pula. Meskipun demikian ibunya itu meneruskan, “Waraha, aku minta sekali lagi, jangan.”
Waraha menarik tangannya, dan bahkan tangan ibunya itu didorongnya. Kini ia menunjuk kepada orang tua beserta menantunya itu, “Cepat! Panggil perempuan itu! Aku menghendaki timang, keris, dan perempuan itu. Jangan dikurangi!”
Kini ibunya tidak lagi hanya menarik tangannya, tetapi anaknya itu dipeluknya sambil meminta, “Ingatlah, Waraha. Orang itu terlalu baik buat kita. Jangan nodai dengan kekasaran dan nafsu.”
Waraha itu kini menjadi benar-benar marah. Tiba-tiba digetarkannya tubuhnya keras-keras, dan perempuan yang memeluknya itu, ibunya, terpelanting beberapa langkah. Kemudian jatuh terbanting di tanah. Terdengar ia memekik kecil. Namun pekiknya sama sekali tidak mempengaruhi kekerasan hati anaknya. Waraha itu hanya berpaling sesaat, kemudian dengan tanpa memandang ibunya yang masih terbaring itu berkata,
“Aku tak mau dihalangi oleh siapa pun juga. Semua kehendakku harus terjadi!”
Kini kesan keramahan, kesopanan dan kelembutan benar-benar telah lenyap dari Pasik. Matanya semakin lama bahkan menjadi semakin liar. Sekali lagi ia berpaling ketika seorang laki-laki dengan gemetar menolong perempuan yang terbanting itu. Dengan lantang ia berkata,
“Ayah, bawalah perempuan celaka itu pergi. Kalau tidak maka tidak ada keberatan apa pun bagiku untuk memaksa kalian pergi. Jangan campuri urusanku. Uruslah sendiri kepentingan Ayah dan Ibu!”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Alangkah buasnya anak muda itu. Menilik wajahnya, keluarganya dan keadaan di sekitarnya maka mustahillah bahwa lingkungan itu dapat membentuk orang sekasar Waraha itu. Tetapi kemudian Mahisa Agni pun memperhitungkan pula kepergian Waraha itu beserta pamannya, kemudian berguru kepada gurunya itu selama ia di rantau. Dengan demikian, menurut kesimpulan Mahisa Agni, pasti lingkungan perguruannya yang telah merusak hidup anak muda itu.
Kini kembali Pasik itu memandangi orang tua beserta menantunya. Sekali lagi ia berteriak, “Aku ingin memberi kalian kesempatan sekali lagi. Panggil perempuan itu. Aku menghendaki semuanya. Tidak sebagian-sebagian dari permintaanku itu.”
Orang tua itu menjadi semakin gemetar, dan menantunya menangis lebih deras lagi sambil bertanya, “Kiai, bagaimana Kiai?”
“Jangan bertanya lagi! Berdiri dan pergi!” bentak Pasik.
Laki-laki itu menjadi seperti orang kehilangan kesadaran. Dengan demikian ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Diguncang-guncangnya tangan mertuanya. Namun mertuanya itu pun telah menjadi sangat bingung pula. Dalam keadaan yang demikian, maka halaman itu benar-benar dicengkam oleh suasana yang mengerikan. Semua dada seakan-akan berdentingan. Mereka yang melihat tetua mereka itu menjadi sangat kasihan. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Nasib mereka masing-masing pun masih belum mereka ketahui.
Dengan diam-diam mereka mencoba menilai apa-apa yang sudah dibawanya. Jangan-jangan benda-benda itu tidak menyenangkan hati Pasik, kecuali mereka yang sudah mendapat pesan untuk membawa benda-benda tertentu. Memang kali ini Pasik berbuat lebih jauh dari masa-masa yang lampau. Kali ini Pasik ingin memperlihatkan kepada gurunya, apa yang dapat dilakukannya di kampung halamannya. Karena itu, maka apa yang dilakukannya kali ini benar-benar mengejutkan dan sangat menakutkan bagi penduduk Kajar.
Pasik itu pernah datang bersama-sama beberapa orang saudara seperguruan. Pernah diambilnya seorang gadis untuk saudara seperguruan itu. Pernah dibunuhnya seorang anak muda kawannya bermain semasa kanak-kanak. Pernah juga dilakukan hal-hal yang mengerikan. Namun belum pernah Pasik mengundang orang sebanyak ini untuk datang di halaman rumahnya. Apabila termasuk tetua padukuhan mereka. Bahkan anak perempuannya pula dikehendakinya. Kali ini Pasik benar-benar ingin memperlihatkan kekuasaannya di antara penduduk tempat ia dilahirkan.
Ketika Pasik itu masih melihat menantu tetua padukuhan itu masih belum beranjak dari tempatnya, maka ia pun menjadi semakin marah. Dengan nada yang tinggi ia berteriak, “He, apakah yang kau tunggu? Apakah kau ingin kepalamu bengkak dahulu?”
Laki-laki itu benar-benar menjadi ketakutan. Karena itu dengan gemetar ia berdiri untuk pergi memanggil istrinya. Tetapi laki-laki itu terkejut, ketika Mahisa Agni menggamitnya. Dengan isyarat ia mencegah laki-laki itu. Namun laki-laki itu tidak segera dapat menangkap isyaratnya, sehingga perlahan-lahan Mahisa Agni berbisik, “Jangan pergi! Lindungilah istrimu itu.”
Laki-laki itu menjadi bertambah bingung. Ia sependapat dengan Mahisa Agni. Namun ia tidak berani menentang kehendak Waraha. Ketika Waraha melihat orang itu berhenti, maka sekali lagi ia berteriak, “Apakah kau benar-benar bosan hidup?”
Dengan gemetar orang itu melangkah kembali. Namun sekali lagi Mahisa Agni mencegahnya. Bahkan kali ini ia menahan tangannya. “Jangan!” katanya.
Kali ini Pasik melihat tangan Mahisa Agni menarik tangan laki-laki itu. Karena itu betapa ia menjadi sangat marah. Dengan serta-merta ia mengumpat sambil berkata, “Setan!Apakah yang kau lakukan itu?”
“Tidak apa-apa,” jawab Mahisa Agni, “aku hanya ingin memperingatkannya, biarlah istrinya berada di rumah.”
Wajah Pasik itu seakan-akan menjadi menyala mendengar jawaban Mahisa Agni, sehingga agaknya ia perlu meyakinkan pendengarannya. “He, apa katamu?” Ia bertanya.
Sekali lagi Mahisa Agni menjawab, “Aku hanya ingin memperingatkannya, sebaiknya istrinya tetap berada di rumah.”
Tubuh Pasik itu kemudian menjadi gemetar. Kini ia mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh orang yang baru saja dikenalnya itu. Katanya, “Ki Sanak, jangan membuat keributan di sini. Apakah kau belum pernah mendengar nama Waraha, setidak-tidaknya dari orang tua tempat kau menginap itu?”
“Sudah,” jawab Mahisa Agni singkat.
“Setan!” Waraha itu mengumpat, “sekarang berikan kerismu itu.”
Mahisa Agni masih tetap berada di tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak, apalagi memberikan kerisnya, sehingga sekali lagi Pasik berteriak, “Berikan kerismu perantau, atau kau akan berkubur di padukuhan yang asing bagimu ini?”
“Kedua-duanya tidak menyenangkan Pasik,” jawab Mahisa Agni.
“He?” teriak Pasik, “Sebut namaku!”
“Ya. Bukankah namamu Pasik?”
“Diam! Sebut namaku sepuluh kali!”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Pasik itu benar-benar telah memuakkan. Karena itu ia justru berdiam diri. Bahkan dengan acuh tak acuh ia menarik tangan menantu tetua Padukuhan Kajar sambil berkata, “Marilah! Duduklah di sini.”
Semua yang melihat, apa yang telah dilakukan Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tegang. Kini mereka melihat Waraha menggertakkan giginya. Seseorang yang duduk di samping Mahisa Agni itu menggamitnya sambil berbisik, “Angger. Jangan membuat Angger Waraha itu marah.”
Tetapi sebelum Mahisa Agni sempat menjawab, terdengar kata-kata Pasik, “He, perantau yang malang. Sebentar lagi guruku pasti datang. Karena itu cepat berikan keris itu, lalu kau boleh meninggalkan tempat ini. Tetapi kalau kau mengganggu pertemuan ini, maka terpaksa aku membunuhmu, meskipun Guru ada di sini. Sebenarnya bukanlah suatu suguhan yang baik. Mayat seorang perantau. Tetapi apa boleh buat.”
Mahisa Agni mengambil kerisnya yang terselip diikat pinggangnya. Kemudian dengan tenangnya keris itu diamat-amatinya. Dan dengan tenang pula ia berkata, “Ki Sanak. Kerisku adalah keris peninggalan ayahku. Karena itu, alangkah sayangnya kalau keris ini aku berikan kepada seseorang. Apalagi seseorang yang tak memerlukannya lagi seperti Ki Sanak. Tanpa senjata pun Ki Sanak adalah seorang yang sakti. Tetapi bagiku, keris ini akan sangat berguna. Sebab…”
“Cukup!” bentak Pasik, “Berikan sekarang. Dan biarlah laki-laki cengeng itu menjemput istrinya.”
“Jangan!” sahut Agni, “keris ini tak akan aku berikan kepada siapa pun, dan laki-laki ini tak akan menjemput istrinya.”
“Angger,” desis laki-laki tetua padukuhan itu. Tubuhnya yang kurus itu semakin berkerut, “jangan membuat Angger Waraha menjadi semakin marah. Maka akibatnya, seluruh penduduk Kajar akan mengalami bencana.”
Kini Mahisa Agni sudah tidak melihat kesempatan lain. Ia tidak dapat membiarkan kelaliman itu berjalan terus. Ia sudah cukup melihat kenyataan yang berlaku di hadapan hidungnya. Dan ini harus dihentikan. Apakah ia akan berhasil atau tidak, bukanlah menjadi soal. Tetapi ia mengharap,bahwa usahanya akan berhasil. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun kemudian berdiri. Ditariknya kerisnya dari wrangkanja. Kemudian diangkatnya di atas kepalanya. Katanya,
“Pasik. Bagi seorang laki-laki, keris atau curiga adalah lambang dari kelaki-lakiannya. Karena itu, betapa aku menilai kerisku ini seperti aku sendiri.”
Semua hati yang tersimpan di dalam dada setiap orang di halaman itu tergetar karenanya. Orang yang masih asing bagi mereka itu, agaknya benar-benar belum mengenal Waraha. Karena itu, mereka pun menjadi berdebar-debar. Apabila ada kesempatan bagi mereka, mereka pasti akan memperingatkannya. Tetapi kini hal itu telah terjadi. Dan wajah Waraha itu telah menjadi semerah darah.
“Hem,” Waraha menggeram. Tetapi tiba-tiba ia tertawa. Di antara suara tertawanya itu ia berkata “He, para tetangga yang baik. Sediakanlah sebuah lubang untuk mengubur orang gila ini. Aku ingin mematahkan tulang belakangnya. Kemudian sebelum ia mati, biarlah ia menikmati sejuknya tanah perkuburan.”
Mahisa Agni mendengar kata-kata itu dengan kerut-kerut di keningnya. Agaknya Pasik itu benar-benar dapat berbuat sebuas itu. Karena itu maka kemudian jawabnya “Jangan marah Pasik.”
Suara Mahisa Agni itu terputus karena Pasik berteriak, “Sebut namaku, orang gila!”
“Ya. Pasik. Pasik. Sebenarnyalah nama itu baik sekali. Tidak sebuas nama Waraha.”
Pasik itu kini benar-benar telah menjadi gemetar menahan kemarahannya. Matanya yang liar menjadi semakin liar. Dan tiba-tiba ia meloncat, melanggar satu dua orang sehingga jatuh berguling-guling, mendekati Mahisa Agni. Dengan gemetar pula ia menggeram, “Setan! Bersiaplah untuk mati!”
Mahisa Agni itu pun kemudian bergeser selangkah surut. Kerisnya itu pun kemudian disarungkannya. Dan dengan tenang ia berkata “Pasik. Aku tidak akan memberikan kerisku ini. Apakah kau akan memaksa?”
Pasik itu menggeram seperti seekor harimau. Orang-orang yang berada di halaman itu pun kemudian berloncatan menepi. Mereka kini melihat Pasik dan Mahisa Agni telah berdiri berhadap-hadapan. Pasik memandang mata Mahisa Agni dengan buasnya. Kini Pasik itu dapat melihat, bahwa sikap Mahisa Agni bukanlah sikap dari seorang yang ingin membunuh diri. Namun sikap Mahisa Agni adalah sikap seekor banteng yang siap melawan seekor harimau yang betapa pun garangnya dengan tanduk-tanduknya yang runcing tajam.
Kini Pasik tidak mau berbicara lagi. Dengan garangnya ia meloncat maju menerkam wajah Mahisa Agni yang masih saja tetap tenang dan teguh. Orang tua, tetua Padukuhan Kajar, ketika ia melihat Pasik meloncat menyerang Mahisa Agni, terdengar mengeluh pendek, sedang menantunya benar-benar telah menjadi seakan-akan membeku. Bukan saja mereka berdua, tetapi seluruh penduduk Kajar yang menyaksikan peristiwa itu menahan nafasnya.
Tetapi Mahisa Agni tidak membiarkan wajahnya disobek oleh Pasik. Selangkah ia mundur sambil berkata, “Pasik. Apakah kau benar-benar ingin memaksa aku untuk berkelahi?”
Gerak Pasik itu terhenti juga oleh kata-kata Mahisa Agni. Sekali lagi ia memandang wajah Mahisa Agni yang masih tetap tenang. Sehingga karena itu maka Pasik mulai menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Maka katanya kemudian, ”Sejak semula aku sudah menyangka, bahwa kau bukan sekedar seorang perantau dungu. Kerismu telah mengatakan kepadaku, bahwa kau sebenarnya seorang yang menyimpan ilmu di dalam dirimu. Tetapi meskipun demikian, kau sekarang berhadapan dengan Waraha, andel-andel Padukuhan Kajar. Karena itu jangan menyangka bahwa kau akan dapat meninggalkan padukuhan ini dengan selamat.”
Mahisa Agni seakan-akan tidak mendengar kata-kata Pasik itu. Bahkan ia berkata, “Pasik. Apakah kau tidak menyadari, bahwa perbuatanmu itu telah menimbulkan bencana, justru di tanah kelahiranmu sendiri?”
Pasik mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apa pedulimu?”
“Kalau kau seorang yang sakti, Pasik, maka sudah wajar bahwa kau akan menjadi andel-andel padukuhan tempat kelahiranmu. Tetapi apakah benar kau andel-andel Padukuhan Kajar?”
Tampak Pasik itu mengerutkan keningnya. Dan pertanyaan Agni itu sekali lagi terngiang di telinganya, “Apakah benar kau andel-andel Padukuhan Kajar?”
Pertanyaan itu benar-benar mengetuk hati Pasik. Namun tiba-tiba kembali nafsunya melonjak sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu ia berteriak, “Tutup mulutmu perantau yang malang. Ternyata umurmu akan segera berakhir di padukuhan ini.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Pasik, aku bukan seorang yang biasa mencari pertentangan. Tetapi kalau kau hendak memaksakan kehendakmu, maka aku terpaksa akan menghadapimu dengan berperisai dada.”
“Tataplah langit dan ciumlah bumi untuk kesempatan yang terakhir sebelum kau kehilangan setiap kesempatan untuk melakukannya.”
Mahisa Agni tidak mendapat kesempatan untuk menjawabnya. Sekali lagi Pasik meloncat dan menyerang segarang harimau lapar. Namun sekali lagi Mahisa Agni mundur selangkah untuk menghindarinya. Tetapi Pasik itu kini tidak membiarkan lawannya mempunyai kesempatan lebih banyak lagi. Dengan cepatnya ia meloncat maju untuk dengan berturut-turut melontarkan serangan berganda dengan kedua kakinya berganti-ganti.
Tetapi Mahisa Agni pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, serangan yang datang bertubi-tubi itu sama sekali tidak mengejutkan Mahisa Agni. Dengan tangkasnya pula ia menghindari setiap bahaya yang akan menyentuhnya. Untuk beberapa saat sengaja Mahisa Agni tidak segera membalas setiap serangan dengan setangan. Ia ingin meyakinkan dirinya dalam penilaiannya terhadap lawannya itu.
Orang-orang Kajar menyaksikan perkelahian itu dengan tubuh gemetar. Mereka belum pernah melihat seseorang berani melawan kehendak Pasik, sejak Caruk terbunuh. Kini datang orang yang belum mereka kenal dan melakukan perlawanan terhadap Pasik. Dahulu Pasik berhasil dengan sekali pukul melumpuhkan anak muda yang bernama Caruk, yang mencoba melawan kehendaknya. Apalagi pada waktu itu dua saudara seperguruan Pasik ikut campur, sehingga Caruk itu terbunuh.
Kini Pasik itu tidak datang bersama saudara-saudara seperguruannya. Tetapi ia dalang tersama gurunya. Karena itu, maka setiap dada orang-orang Kajar itu diliputi oleh kecemasan dan ketegangan. Mereka cemas akan nasib orang yang belum mereka kenal itu, dan mereka cemas juga akan nasib mereka sendiri. Kemarahan Pasik pasti akan menimpa mereka pula. Apalagi kemarahan gurunya.
Tetapi mereka tidak dapat terbuat apa pun juga. Perkelahian itu telah berlangsung. Kini mereka melihat Mahisa Agni itu beberapa kali melangkah mundur. Meskipun demikian, di sudut hati mereka sebenarnya tersiratlah keinginan mereka, bahwa sekali-sekali biarlah Pasik itu mendapat pelajaran tentang cara-cara yang baik bagi hidup berkeluarga dalam lingkungan yang kecil itu. Karena itu sebenarnya mereka pun berdoa, semoga orang yang belum mereka kenal itu dapat menolong mereka, membebaskan dari ketamakan Pasik. Tetapi yang mereka lihat sekarang, orang itu selalu terdesak surut.
Dalam pada itu, Mahisa Agni semakin lama semakin melihat nilai dari lawannya. Sebenarnya Pasik bukanlah seorang sakti yang perlu dicemaskan. Mahisa Agni meyakini dirinya, bahwa ia akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Namun, kalau Pasik telah mampu berbuat demikian,maka gurunyalah yang perlu mendapat perhatiannya. Tetapi sampai saat itu, ia belum melihat kehadiran guru Pasik. Karena itu, ia harus berhati-hati. Setiap tindakan perlu diperhatikannya dengan seksama.
Pasik itu masih menyerang terus-menerus dengan buasnya. Tangannya, kakinya dan bahkan seluruh tubuhnya bergerak-gerak dengan kasarnya, sehingga tampaklah betapa garangnya. Namun gerakan-gerakan itu adalah gerakan-gerakan yang masih mentah. gerakan-gerakan yang sebenarnya sangat sederhana. Meskipun demikian, Mahisa Agni melihat, bahwa nilai-nilai dari inti gerak itu adalah sangat berbahaya. Apabila guru Pasik yang melakukannya dengan unsur-unsur yang sama, maka akibatnya pasti akan sangat berlainan. Dan sebenarnyalah dalam penilaian Mahisa Agni, bukanlah Pasik itu yang perlu diperhitungkan, tetapi gurunya.
Karena itu, setelah Mahisa Agni menemukan nilai-nilai yang diperlukan, serta kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi atas guru Pasik itu, maka sampailah ia pada kesimpulan, bahwa ia harus menyelesaikan perkelahian yang pertama ini secepat-cepatnya. Apabila guru Pasik benar-benar belum ada di sekitar tempat itu, maka ia akan mempunyai waktu untuk mempersiapkan dirinya lebih dahulu.
Demikianlah maka Mahisa Agni kemudian tidak membiarkan Pasik itu menyerangnya terus menerus. Kini Mahisa Agni telah siap untuk segera menyelesaikan permainan Pasik yang kasar itu. Namun Pasik yang kurang menyadari keadaan lawannya itu, menyerangnya dengan garangnya. Bertubi-tubi, karena ia pun segera ingin menyelesaikan perkelahian itu secepatnya. Ia ingin segera mengambil barang-barang berharga dari orang-orang yang sudah berkumpul di halaman itu. Perlawanan seorang tolol ini akan dijadikannya contoh, bahwa tak seorang pun boleh melawan kehendaknya.
Tetapi Pasik itu menjadi semakin marah, ketika serangan-serangannya seolah-olah tak pernah menyentuh sasarannya. Meskipun lawannya itu selalu terdesak surut. Namun tiba-tiba pertempuran itu pun segera berubah. Mahisa Agni tiba-tiba tidak menghindari lagi serangan Pasik. Dengan hati-hati Mahisa Agni mencoba untuk menangkis serangan lawannya, sehingga terjadilah suatu benturan di antara mereka. Namun, alangkah terkejutnya Pasik itu. Serangannya kali ini serasa menghantam batu karang. Dan bahkan batu karang itu telah mendorongnya dengan satu kekuatan raksasa. Pasik yang kurang dapat menilai diri dan lawannya itu terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh terbanting di tanah.
Bukan saja Pasik, tetapi semua yang melihat peristiwa itu terkejut bukan buatan. Dan bahkan bukan saja mereka, tetapi Mahisa Agni itu pun terkejut sekali melihat akibat dari dorongan tenaganya. Sejak ia menekuni ilmunya di kaki Gunung Semeru, agaknya ia telah terlepas dari setiap kemungkinan yang tersimpan di dalam dirinya sendiri, sehingga karena itu,Mahisa Agni belum dapat mengukur kekuatan-kekuatan yang dilontarkannya dengan baik.
Kali ini Mahisa Agni hanya ingin sekedar memunahkan serangan Pasik yang melanda dirinya, namun akibatnya betapa dahsyatnya. Pasik itu terlempar surut dan terguling di tanah. Apalagi ketika Mahisa Agni itu melihat akibatnya kemudian. Dengan tertatih-tatih Pasik itu mencoba berdiri, namun sekali lagi ia terjerembab jatuh dan sesaat kemudian ia tidak sadarkan dirinya.
Halaman rumah Pasik itu kemudian seakan-akan diterkam oleh kesenyapan yang tegang. Mahisa Agni masih berdiri tegak di tempatnya. Sedang orang-orang Kajar melihat peristiwa itu seperti melihat kisaran kejadian di dalam mimpi. Mereka tidak akan menyangka bahwa Waraha yang ganas itu dapat dengan mudahnya dilumpuhkan oleh seorang yang sama sekali belum mereka kenal. Tetapi sesaat kemudian kesepian itu dipecahkan oleh jerit seorang perempuan. Dengan berlari-lari ia melintasi halaman untuk kemudian menjatuhkan dirinya memeluk tubuh Pasik yang masih terbaring diam di halaman itu.
“Pasik. Pasik,” panggil perempuan itu.
Sekali lagi semua orang di halaman itu terkejut. Juga Mahisa Agni terkejut. Perempuan itu adalah ibu Pasik. Seorang ibu yang menangis karena melihat anaknya cedera.
“Pasik. Pasik,” perempuan ini masih memanggil-manggil. Diguncang guncangnya tubuh anaknya yang masih pingsan itu dan disiram wajahnya dengan air mata. Namun Pasik itu masih berdiam diri. Seorang laki-laki, ayah Pasik itu pun kemudian berjalan mendekati istrinya dan berjongkok di sampingnya. Dengan wajah sedih ia memandangi wajah anaknya. Kemudian diangkatnya kepala anaknya itu sambil bergumam, “Pasik. Sadarlah Anakku.”
Orang-orang yang berada di halaman itu masih tetap tak beranjak dari tempat mereka. Hanya Mahisa Agnilah kemudian yang melangkah setapak maju. Betapa pun juga, ia terharu melihat seorang ibu yang sedang menangisi anaknya. Satu-satunya anaknya. Sesaat kemudian, Pasik itu pun membuka matanya. Perlahan-lahan ia mulai bergerak-gerak dan mencoba menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia membuka matanya, yang pertama-tama dilihatnya adalah wajah ayah dan ibunya. Pasik itu mengerutkan keningnya. Ia ingin melepaskan diri dari tangan ayahnya. Namun ketika ia mencoba bergerak,terdengar ia mengaduh perlahan.
“Jangan bergerak anakku,” desis ibunya.
Pasik mencoba mengangguk. Punggungnya, tangannya dan hampir segenap sendi-sendi tulangnya terasa sakit bukan buatan. Sehingga nafas Pasik itu pun menjadi terengah-engah. “Sakit,” desisnya.
“Jangan bergerak dahulu Pasik,” gumam ayahnya.
Terdengar Pasik itu mengerang. Dan kemudian dengan susah payah Pasik itu berkata, “Air, Air, aku haus sekali.”
“Air,” ayahnya mengulangi sambil memandang ke sekeliling, seakan-akan ia minta kepada seseorang untuk mengambil air. Tetapi orang-orang yang sedang terpukau oleh peristiwa yang tak mereka duga-duga sebelumnya itu sama sekali tak ada yang beranjak dari tempatnya, sehingga ayah Patik itu terpaksa mengulangi, “Air.”
Sementara belum seorang pun yang menyadari keadaannya, maka yang mula-mula bergerak adalah Mahisa Agni. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang rumah Pasik, dan setelah ia berputar-putar beberapa saat, ditemukannya sebuah kendi di atas grobogan. Ketika ia menyerahkan kendi itu kepada ibu Pasik,dilihatnya setetes darah mengalir dari mulut Pasik.
Sekali lagi ibu Pasik itu menjerit. “Darah!” katanya.
Tetapi ayah Pasik ternyata lebih tenang dari istrinya. Diilingnya air dari dalam kendi itu setetes demi setetes. Dan karena itulah maka nampaknya nafas Pasik menjadi lebih teratur.
“Sakit,” terdengar sekali lagi Pasik itu mengeluh.
“Jangan bergerak-gerak dahulu, Pasik,” minta ayahnya.
Perlahan-lahan Pasik mengangguk. Namun darah dari mulutnya masih mengalir terus. Betapa ibunya menjadi bertambah cemas melibat keadaan anaknya. Dan bahkan kemudian dengan nanar ditatapnya wajah Mahisa Agni. tiba-tiba dengan serta-merta, tanpa diduga-duga ibu Pasik itu berdiri sambil menunjuk wajah Mahisa Agni dengan jarinya. Katanya dengan suara gemetar, “Kau, Kau yang telah membunuh Anakku. Lihat, betapa aku melahirkan dan memeliharanya sejak kecil. Melahirkan dengan menahan sakit dan menantang maut. Membesarkannya. Kini kau datang membunuhnya.”
Mahisa Agni berdiri tegak seperti patung. Ditatapnya wajah perempuan itu dan wajah Pasik berganti-ganti. Dalam pada itu tampaklah Pasik bergerak-gerak. Tetapi ia masih sedemikian lemahnya.
“Kalau kau mau membunuh,” berkata ibu Pasik itu, “bunuhlah aku!”
“Aku sama sekali tidak ingin membunuhnya, Bibi,” jawab Mahisa Agni.
“Bohong!” teriak perempuan itu, “Kau lihat, akibat dari kejahatanmu itu?”
“Aku tidak sengaja,” sahut Agni, “bukankah Bibi melihat apa yang telah terjadi?”
“Ya. Aku lihat. Kau mencoba menghinanya. Dan karena itu aku pun merasa terhina pula.”
Mahisa Agni kini tidak menjawab lagi. Seharusnya ia berdiam diri menghadapi perempuan yang sedang marah. Dalam keadaan demikian maka perempuan itu tidak akan dapat mempergunakan pikirannya, namun perasaannya sajalah yang berbicara.
Tetapi perempuan itu berhenti berbicara ketika ia mendengar Pasik bergumam. cepat-cepat ia berjongkok dan bertanya “Apa Pasik? Apakah yang kau minta?”
Pasik itu memandang wajah ayah dan ibunya dengan pandangan mata yang aneh. Tiba-tiba ia berdesah “Bukankah ayah akan menyembelih tiga ekor kambing kalau aku mati?”
“Tidak. Tidak Pasik,” sahut ayahnya cepat-cepat, “aku akan menyembelih tiga ekor kambing kalau kau sembuh.”
Pasik itu menarik nafas. Baru saja ia mendorong ibunya sampai terbanting di tanah. Beberapa saat yang lampau ayahnya itu hampir dibunuhnya dan ibunya itu telah dicekiknya pula. Tetapi kini, ketika seseorang melukainya, maka ia mendengar ibunya itu berkata, Betapa aku melahirkan dan memeliharanya sejak kecil. Melahirkan dengan menahan sakit menentang maut. Memeliharanya dan membesarkannya. Kini kau datang membunuhnya. Kemudian ibunya itu berkata pula, ‘Kalau kau mau membunuh, bunuhlah aku’.
Dalam penderitaan karena luka-luka di dalam dadanya, karena pantulan tenaganya sendiri serta dorongan tenaga Agni itu, Pasik sempat memperbandingkan kasih ibu serta ayahnya kepadanya dengan apa yang pernah dilakukannya. Alangkah jauh perbedaannya. Seandainya, ya seandainya ayah atau ibunya yang mengalami bencana itu, maka Pasik itu tak akan bersedih. Tetapi kini ayah serta ibunya itu meratap untuknya.
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Sesuatu yang tumbuh karena keadaan yang sedang dialaminya. Dan tiba-tiba terasa bahwa kasih sayang ibu serta ayahnya telah memberinya ketenteraman. Ketika Pasik itu menggeser kepalanya, dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti batu karang. Tetapi orang itu tidak menyerangnya terus, dan benar-benar tidak berusaha membunuhnya. Dengan demikian, maka berbagai perasaan bergolak di dalam dadanya. Beberapa keanehan kini sedang bergolak di dalam dirinya. Ibunya, ayahnya yang telah pernah hampir dibunuhnya dan orang yang belum dikenalnya itu.
Beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu pun menjadi berdiam diri seperti patung. Mereka kini melihat orang yang mereka takuti terbaring dalam pelukan ayahnya. Betapa pun mereka membenci Pasik, namun Pasik adalah anak yang dilahirkan di padukuhan mereka, yang sejak kecilnya mereka lihat bermain-main di sepanjang jalan padukuhan, di sawah bersama anak-anak mereka.
“Mudah-mudahan anak itu menyadari keadaannya,” gumam tetua Padukuhan Kajar.
Namun tiba-tiba halaman itu dikejutkan oleh kehadiran seorang yang bertubuh pendek kekar dan hampir di seluruh kulit wajahnya dijalari oleh otot-ototnya yang kukuh kuat. Orang itu terkejut ketika ia melihat Pasik terbaring diam di tangan ayahnya. Cepat-cepat ia meloncat seperti seekor kijang, dan dengan tangkasnya ia segera berjongkok di samping Pasik.
“Apa yang terjadi Waraha?” suaranya kecil melengking-lengking.
Halaman itu menjadi tegang. Tiba-tiba pula seluruhnya yang berada di halaman itu menjadi cemas. Orang ini adalah guru Pasik. Apakah ia akan berdiam diri melihat muridnya terlukai?
Mahisa Agni pun melihat orang itu pula. Segera ia mengetahuinya bahwa pasti orang ini guru Pasik. Namun ia pun menjadi heran, guru Pasik itu masih sangat muda. Kalau demikian, pasti orang ini bukan yang dikatakan oleh gurunya. Menurut gurunya orang itu sudah agak lanjut umurnya,meskipun lebih tua dari Agni, namun tidak terpaut banyak.
Ketika Pasik melihat gurunya datang, sesaat wajahnya menjadi cerah, namun sesaat kemudian wajah itu menjadi suram kembali. Yang terdengar kemudian adalah suara guru Pasik, “Waraha, apakah yang terjadi atas dirimu?”
Kembali halaman itu menjadi sunyi. Orang-orang yang ada di halaman itu seakan-akan tinggal menunggu nasib mereka. Kalau Pasik itu mengatakan sebab-sebabnya, maka gurunya itu pasti akan marah. Dan kemarahannya pasti akan menimpa mereka.
Pasik menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba terdengarlah jawabnya yang sama sekali tak disangka-sangka, “Aku tidak apa-apa, Guru.”
Guru Pasik itu menjadi heran. Wajahnya yang keras itu terangkat. Kemudian diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Ketika ia memandang Mahisa Agni yang masih berdiri tegak, maka tampaklah keningnya berkerut. “Waraha,” katanya kemudian “katakan apa sebabnya kau terluka?”
Sekali lagi Waraha menggeleng. Kemudian katanya “Seseorang menyerangku guru. Tetapi itu bukan salahnya.”
“He?” guru Pasik itu terkejut, “kenapa bukan salahnya?”
“Aku menyerangnya lebih dahulu,” jawab Pasik.
Sekali lagi guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Betapa anehnya kelakuan muridnya ini. Selama ini belum pernah terjadi, salah seorang muridnya merasa bersalah dalam suatu perkelahian. Di samping itu, timbul juga herannya, bahwa di padukuhan kecil itu ada juga orang yang dapat mengalahkan muridnya. Karena itu tiba-tiba sekali lagi ia memandang Mahisa Agni. Dan dengan serta-merta ia berkata, “Kau, kaukah itu?”
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan Bahu Reksa Kali Elo itu. Ia sudah bersedia untuk menerima tuduhan itu. Sebab di antara sekian banyak orang-orang yang berada di halaman itu, maka sikap Mahisa Agni tampaknya agak berbeda dengan orang-orang yang lain.
Guru Pasik itu pun kemudian berdiri. Dengan wajah yang merah membara ia bertanya pula, “ He, anak muda. Apakah kau yang telah berani melukai muridku?”
Mahisa Agni masih belum menjawab. Namun terdengar Pasik itu berkata perlahan-lahan, “Biarkan anak itu, Guru.”
Tetapi guru Pasik itu sudah tidak mau mendengar kata-kata muridnya. Karena itu, tiba-tiba ia menyambar lengan salah seorang yang berjongkok paling dekat. Dengan satu tangannya orang itu ditariknya, sehingga kedua kakinya terangkat.
“Ampun,” teriak orang itu.
Guru Pasik itu memandangnya dengan bengis. Namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Jangan takut tikus kecil. Aku hanya ingin bertanya kepadamu. Siapakah yang telah melukai Waraha?”
Orang itu menjadi ragu-ragu, sesaat ia memandang wajah Mahisa Agni, dan sesaat pula ia memandang wajah guru Pasik. Tiba-tiba orang itu terkejut ketika guru Pasik itu membentak,” jawab!”
“Bukan aku. Bukan aku,” jawabnya tergagap,
Mata guru Pasik itu menjadi semakin menyala. Bentaknya, “Aku sudah tahu, pasti bukan kau tikus yang malang. Tetapi siapa? Kalau kau yang melakukan itu, maka aku akan menyembahmu sepuluh kali.”
Kembali orang itu terdiam. Tetapi kembali guru Pasik itu membentak-bentaknya. Bahkan kemudian dipegangnya leher orang itu sambil menggeram, “Katakan! Siapa yang melukai Waraha?”
Mahisa Agni akhirnya tidak sampai hati melihat orang itu hampir mati ketakutan. Karena itu, maka segera ia melangkah maju sambil berkata, “Lepaskan orang itu. Ia sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan luka Pasik.”
“Apa?” teriak guru Pasik, “Kau memerintah aku? Dan coba sekali lagi, sebutlah nama muridku itu!”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Agaknya ia benar-benar berhadapan dengan seorang yang keras kepala. Meskipun demikian Mahisa Agni menjawab, “Aku sama sekali tidak ingin memerintah seseorang. Tetapi aku ingin kau berlaku bijaksana. Orang itu sama sekali tidak tahu menahu tentang luka muridmu yang bernama Pasik itu.”
“Diam!” bentak Bahu Reksa Kali Elo.
“Kau bertanya, dan aku menjawab,” sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar ia tertawa parau. Katanya, “Hem, ternyata kau benar-benar menyadari apa yang kau lakukan. Agaknya kau menepuk dada setelah kau berhasil melukai muridku. Lihat, aku adalah gurunya. Aku tidak akan dapat membiarkan kau melukai muridku.”
Sebelum Mahisa Agni menjawab, terdengarlah lamat-lamat suara Pasik, “Guru, biarkan anak itu.”
“Hem,” guru Pasik itu menarik nafas, tetapi seakan-akan kata-kata itu tak didengarnya. Bahkan kini ia melangkah mendekati Mahisa Agni sambil menarik orang yang masih digenggam lengannya itu. Katanya, “He, anak muda. Siapa namamu?”
“Mahisa Agni,” jawab Mahisa Agni pendek.
Guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Nama yang bagus. Tetapi kenapa kau berlaku kasar?”
“Bertanyalah kepada muridmu,” sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu menggeram. Ditariknya orang yang masih dipegangnya itu dekat-dekat ke dadanya, “Ayo bilang. Siapa yang bersalah di antara mereka?”
Orang itu menjadi gemetar. Dengan tergagap ia menjawab, “Pasik. Pasik yang bersalah.”
“Apa? Apa?” guru Pasik itu membentak-bentak sambil mengguncang-guncang tubuh orang yang sama sekali tidak berdaya itu. Bahkan demikian takutnya, sehingga semua tulang-tulangnya seakan-akan telah terlepas dari segenap persendiannya. Apalagi ketika ia mendengar guru Pasik membentaknya kembali, “Ayo jawab, siapakah yang bersalah di antara mereka?”
Kembali orang itu tergagap. Dan seperti orang kehilangan akal ia menjawab, “Oh, anak itu. Anak itulah yang bersalah. Mahisa Agni.”
“Ha,” guru Pasik itu tiba-tiba tertawa. “Dengar,” katanya, “dengar. Kau dengar kesaksian orang ini. Orang-orang Kajar adalah orang yang jujur. Mereka tak pernah berbohong seperti kau. Bukankah kau bukan orang Kajar? Nah, apa katamu sekarang?”
Mahisa Agni menggeretakkan giginya. Ia melihat suatu permainan yang benar-benar memuakkan. Apalagi ketika guru Pasik itu berkata, “He, Mahisa Agni, Apakah kau perlu saksi yang lain?”
“Tidak!” jawab Mahisa Agni, “Apapun yang dikatakan tentang diriku, aku tidak peduli. Tetapi apakah maksudmu sebenarnya?”
Mata guru Pasik itu pun menjadi redup. Katanya, “Aku tidak biasa menghukum orang yang tak bersalah. Kini bukti-bukti akan mengatakan bahwa kau bersalah. Karena itu jangan menyangkal dan jangan mencoba membela diri. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman tanpa kecuali. Meskipun kau tamu di padukuhan ini, namun kau telah melakukan kesalahan.”
“Cukup!” potong Mahisa Agni. Ia telah benar-benar menjadi muak mendengar kata orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu.
Guru Pasik itu terkejut sehingga dengan demikian kata-katanya pun terhenti. Ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan tajamnya, kemudian katanya, “Kau berani membentak aku, he?”
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia berkata, “He, Ki Sanak. Jangan berbuat aneh-aneh di padukuhan ini .Pergilah dan biarlah Pasik menerima ketenteraman hidup di antara keluarga dan sanak kadangnya. Jangan meracuni hidupnya dengan perbuatan-perbuatan aneh seperti perbuatan-perbuatan orang-orang yang kehilangan akal budi.”
Guru Pasik itu terkejut mendengar kata-kata Mahisa Agni sehingga matanya terbelalak karenanya. Kemudian dengan geramnya ia berkata, “Sekarang aku yakin bahwa ternyata kau benar-benar anak yang sombong anak yang tak tahu diri. Maka bagiku tak ada pilihan lain daripada mengajarimu sedikit sopan santun supaya kau dapat sedikit menghargai orang lain.”
“Aku pun sedang berpikir demikian juga atasmu,” sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu menjadi semakin marah. Ia terasa terhina karenanya. Karena itu beberapa langkah ia maju. Diamatinya seluruh tubuh Mahisa Agni. Kemudian katanya “Hem, muridku telah berkata kepadaku semalam, bahwa seorang perantau telah membawa sebilah keris yang sangat bagus.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia melihat guru Pasik itu berkisar pada jari-jari kakinya. Karena itu cepat Mahisa Agni bersiaga.
“He, Agni,” berkata orang itu pula, “Kini kakinya yang sebelah telah beringsut ke belakang, manakah kerismu itu?”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri, tetapi ia melihat kaki itu bergerak Dan apa yang disangkanya benar-benar terjadi. Guru Pasik itu tiba-tiba saja meloncat dengan garangnya menyerang Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni telah bersiaga sepenuhnya, sehingga dengan tangkasnya ia meloncat menghindari.
“Setan!” guru Pasik itu mengumpat ketika ia melihat bahwa korbannya berhasil menghindar diri. Dan wajahnya pun menjadi seakan-akan menyala ketika Mahisa Agni berkata,
“Apakah kau ingin aku menjawab pertanyaanmu yang kau ajukan tetap pada saat kau bersiap untuk menyerang.”
Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu menggeram. Cepat ia memutar tubuhnya. Ia ingin menebus kegagalannya. Karena itu sekali lagi ia menyerangnya dengan kecepatan yang luar biasa. Orang-orang yang berada di halaman itu pun menjadi cemas hati. Mereka menyadari bahwa perkelahian itu tak akan dapat dihindarkan. Namun, apakah yang dapat dilakukan oleh perantau itu melawan guru Waraha? Mungkin ia masih dapat mengalahkan Pasik. Tetapi melawan gurunya?
Dan ternyata serangan guru Pasik itu pun datang seperti badai. Dengan penuh kemarahan yang meluap-luap ia ingin segera membinasakan perantau yang bodoh dan sombong itu. Ia ingin menebus kekalahan muridnya dengan satu pertunjukkan yang pasti akan menyenangkan dirinya. Ia ingin berkata kepada muridnya, bahwa ia harus tetap di tempatnya, dalam barisan yang berderap di jalan-jalan yang telah dipilihnya selama ini.
Kalau tiba-tiba muridnya bersikap aneh, itu karena kekecewaan yang dialaminya. Kekalahan yang tak disangka-sangka itu pasti telah melemahkan keteguhan hatinya. Dan kini kekalahan itu harus ditebusnya. Hati muridnya itu harus dibesarkannya dengan melumpuhkan Mahisa Agni secepat-cepatnya, mematahkan tangannya dan membiarkan Pasik untuk menyelesaikannya. Dengan demikian, maka keteguhan hatinya akan dapat dipulihkan kembali.
Tetapi guru Pasik itu benar-benar menjadi seolah-olah menyala karena panas hatinya. Serangannya yang kemudian itu pun ternyata tak dapat menyentuh lawannya. Tetapi meskipun demikian, serangannya itu benar-benar telah mengejutkan Mahisa Agni. Serangan guru Pasik itu datang seperti tatit. Untunglah bahwa ia masih mempunyai kesempatan untuk menghindar. Kalau tidak, maka dadanya pasti sudah akan pecah.
Dengan demikian, maka dugaannya atas guru Pasik itu ternyata benar. Dengan unsur-unsur gerak yang sama, guru Pasik itu melihat Mahisa Agni dalam perkelahian yang ribut. Namun unsur-unsur gerak itu kini dilepaskan oleh guru Pasik, bukan oleh Pasik yang mentah itu. Karena itu, terasa oleh Mahisa Agni, betapa berbahayanya. Dan karena itu pula, Mahisa Agni segera memusatkan segenap perhatiannya pada perkelahian itu. Dicobanya untuk melihat setiap gerak lawannya. setiap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan gerak-gerak itu. Namun guru Pasik itu pun segera menyadarinya pula, dengan siapa ia berhadapan.
“Pantaslah Waraha dijatuhnya dengan mudah,” katanya di dalam hati. Dan sejalan dengan itu, maka serangan-serangannya pun semakin membadai. Geraknya semakin lama menjadi semakin cepat dan keras. Tubuhnya yang kokoh kuat itu melontar-lontar dengan kecepatan yang mengagumkan, dan bahkan kadang-kadang orang itu berhasil membingungkan Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni yang baru saja menekuni inti dari ilmunya itu, segera dapat menyesuaikan diri. Bahkan kadang-kadang ia pun menjadi heran sendiri. Tidak saja kekuatannya yang bertambah, namun kecepatannya bergerak pun terasa menjadi bertambah pula. Bahkan kadang-kadang geraknya melampaui kecepatan perasaannya dalam suatu tujuan tertentu.
“Ah,” katanya di dalam hati, “kalau aku tidak segera menguasai diri, maka akan berbahaya bagiku sendiri.”
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu pun kemudian mencoba melakukan pengamatan atas dirinya lebih saksama. Perkelahiannya kali ini adalah penggunaan yang pertama segala macam kekuatan dan ilmu yang tersimpan di dalam dirinya setelah ia menempa diri.Karena itu, maka sekaligus Mahisa Agni dapat menilai apa pun yang pernah dicapainya selama ini. Dengan demikian, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Serang menyerang dan desak mendesak. Keduanya memiliki bekal yang cukup, serta keduanya berusaha untuk segera mengalahkan lawannya.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu, kemudian berlari berpencaran. Mahisa Agni dan guru Pasik itu kadang-kadang melontar jauh ke samping, kemudian melontar kembali dalam serangan-serangan yang berbahaya. Karena itu, maka mereka yang menyaksikannya menjadi gemetar dan ketakutan
Waraha yang masih dalam kesakitan itu, menyaksikan perkelahian antara gurunya dan perantau yang bernama Mahisa Agni itu dengan seksama. Ia mencoba menilai apa saja yang sudah terjadi. Namun kemudian kembali ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Seakan-akan terasa sesuatu yang selama ini tak pernah dirasakannya. Namun tiba-tiba dikenangnya, bapak ibunya yang mengasihinya, kampung halaman yang memberinya kenangan yang menyenangkan.
Mata Pasik itu melihat perkelahian yang terjadi antara gurunya dan Mahisa Agni, namun hatinya tiba-tiba saja terbang ke masa-masa lampaunya. Seakan-akan ia menatap wajah gurunya yang kasar bengis, dan kemudian ditatapnya wajah ibunya yang lembut, dan wajah bapanya yang sedang berduka. Sehingga tiba-tiba pula melontarlah suatu pertanyaan di dalam hatinya,
“Apakah yang telah terjadi dengan dirinya selama ini?” Kata-kata Mahisa Agni berkali-kali berputar di dalam dadanya. Kata-kata yang selalu terngiang di telinganya, Pergilah, dan biarlah Pasik menikmati ketenteraman hidup di antara keluarganya dan sanak kadangnya. Jangan ganggu dia lagi, dan jangan meracuni hidupnya dengan perbuatan-perbuatan aneh seperti perbuatan-perbuatan orang yang kehilangan akal budi.
Pasik itu kemudian memejamkan matanya. Seolah-olah telah ditemukannya apa yang hilang selama ini. Ketenteraman hidup di antara keluarga dan anak kadang. Ketika sekali lagi ia membuka matanya, dan ditatapnya wajah ibunya yang lembut, hatinya menjadi meronta-ronta. Disadarinya kini apa yang telah dilakukannya selama ini. Bahkan hampir saja ia membunuh ayah dan ibunya, namun ayah dan ibunya itu sama sekali tak mendendamnya. Cinta kasihnya tak runtuh seujung rambut pun.
Dalam pada itu, di halaman rumah Pasik itu masih berlangsung pertempuran yang semakin lama semakin dahsyat. Mereka masing-masing benar-benar telah berjuang mati-matian. Guru Pasik sekali-kali terdengar berteriak mengerikan sejalan dengan serangan-serangannya yang keras dan cepat. Seperti seekor serigala kelaparan, orang yang bertubuh kokoh kuat itu melonjak-lonjak menyergap dari segenap arah.
Namun Mahisa Agni benar-benar dapat menguasai dirinya dengan sebaik-baiknya. Betapa pun lawannya menjadi bertambah ganas, tetapi Mahisa Agni itu pun menjadi bertambah mapan juga. Setelah dikenalnya dengan baik setiap unsur gerak lawannya, serta setelah dikenalnya pula dengan baik segenap kemampuan yang dapat dipergunakannya yang tersimpan di dalam tubuhnya, maka perlawanannya pun menjadi semakin kuat dan tangguh.
Karena itu maka guru Pasik itu pun menjadi semakin heran. Ternyata ia berhadapan dengan seorang anak muda yang luar biasa. Bahkan kemudian ternyata bahwa Mahisa Agni itu akan benar-benar dapat menguasai keadaan. Orang yang menamakan Bahu Reksa Kali Elo itu pun kemudian menyadari sepenuhnya, siapakah yang sedang dihadapinya kini. Karena itu, maka sampailah ia kemudian pada tetapan hatinya, untuk membinasakan Mahisa Agni dalam puncak ilmunya.
Demikianlah maka guru Pasik itu pun kemudian meloncat beberapa langkah surut menjauhi Mahisa Agni. Dengan berteriak nyaring ia merentangkan kedua tangannya, kemudian dengan ganasnya sekali ia meloncat ke udara, dan dengan kedua kakinya yang kokoh itu ia tegak kembali di atas tanah dalam kesiagaan penuh untuk melontarkan ilmu tertinggi yang dimilikinya. Pasik yang melihat perkelahian itu tiba-tiba saja menjadi sangat terkejut. Ia melihat betapa gurunya merentangkan tangannya, kemudian seperti seekor singgat melenting ke udara untuk kemudian bersiap dalam sikap yang teguh kuat seperti gunung yang siap untuk meledak.
Dan tiba-tiba pula, tanpa sesadarnya Pasik itu merasa, bahwa Mahisa Agni berada dalam bahaya. Ia tidak tahu, kenapa ia merasa wajib untuk menyelamatkannya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak “Guru, jangan dengan ilmu itu!”
Tetapi gurunya sama sekali tidak mendengar. Bahkan terdengar ia tertawa nyaring. Kini ia sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia menunggu Mahisa Agni menyerangnya, untuk kemudian dengan satu pukulan, anak itu akan dibinasakannya.
Mahisa Agni melihat sikap itu. Ia melihat tubuh orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu bergetar. Sebagai seorang yang telah menekuni olah kanuragan, maka segera Mahisa Agni pun mengetahuinya, bahwa lawannya sedang mengerahkan setiap kekuatan lahir dan batinnya dalam puncak ilmu yang dimilikinya.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun tidak mau dirinya dibinasakan oleh Orang yang bengis itu. Ia menjadi heran ketika lamat-lamat ia mendengar Pasik itu mencoba mencegah gurunya dan bahkan kemudian Pasik itu berkata, “Mahisa Agni, jangan mendekat!”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Mahisa Agni. Dalam kesibukannya menghadapi lawannya, maka perasaannya dapat menangkap suatu ungkapan yang jujur yang dilontarkan oleh Pasik yang sedang terluka itu, tetapi ia tidak mempunyai waktu terlalu lama memperhatikan anak muda yang agaknya dalam perkembangan keadaan yang dialaminya di dalam jiwanya.
Yang segera harus dilakukan adalah menyelamatkan diri dari kemungkinan yang sangat mengerikan. Karena itu, maka dengan rasa syukur yang sedalam-dalamnya, maka Mahisa Agni kini sama sekali tidak menyerang lawannya. Bahwa ia pun meloncat atau langkah surat. Disilangkannya kedua tangannya di dadanya, dan dipanjatkannya hasrat di dalam hatinya, pemusatan kekuatan lahir dan batin.
Ketika Mahisa Agni melihat kaki lawannya bergeser, maka segera Mahisa Agni pun menarik kakinya kanannya setengah langkah ke belakang, sedang pada kedua lututnya kemudian Mahisa Agni merendahkan dirinya, siap dalam kekuatan aji yang baru saja ditekuninya, Gundala Sasra. Dalam waktu sekejap, Mahisa Agni sudah merasakan seolah-olah ada getaran-getaran yang mengalir di dalam dirinya. Getaran-getaran kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya. Yang karena ketekunannya, maka ia telah berhasil mengungkap segenap kekuatan-kekuatan yang tersimpan itu. Meskipun ilmu yang dimilikinya itu belum sempurna benar, namun aji Gundala Sasra adalah aji yang nggerisi.
Kini Mahisa Agni masih berdiri pada sikapnya. Meskipun sikap itu bukanlah sikap yang mutlak harus dilakukan, sebagaimana gurunya berkata, bahwa sikap itu adalah suatu cara untuk mengungkapkan ilmu itu, tetapi pengungkapan itu dapat dilakukannya dalam sikap yang paling tepat pada saat-saat tertentu dalam unsur-unsur gerak pokok yang tak dapat disingkirkan.
Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu pun ternyata seorang yang telah banyak berpengalaman. Itulah sebabnya, ketika ia melihat Mahisa Agni tidak menyerangnya, justru meloncat mundur sambil menyilangkan tangannya, serta ketegangan di wajah anak muda itu, maka guru Pasik itu pun segera menyadari, bahwa lawannya telah pula bersiap dalam puncak ilmunya.
Karena itu, maka terdengar orang itu menggeram, “Apa yang sedang kau lakukan itu?”
Mahisa Agni masih belum bergerak dari tempatnya. Ia pun menunggu sampai lawannya datang menyerangnya. Maka jawabnya, “Aku sedang berpikir, apakah kau sedang mengungkapkan kesaktianmu yang tertinggi?”
Guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Ternyata Mahisa Agni menyadari keadaannya. Katanya, “Kita telah sampai pada saat penentuan. Aku masih ingin mencoba memperingatkan kau sekali lagi anak yang malang. Berikan kerismu dan jangan melawan. Mungkin aku akan membunuhmu dengan keris itu, tidak dengan cara-cara yang lain yang akan dapat menyiksamu pada saat-saat terakhir.”
“Ki Sanak,” jawab Mahisa Agni, “kau masih saja hidup di dunia yang gelap ini. Sebaiknya kau bangun dan sadari keadaanmu kini. Kau berada di antara manusia dan hidup bersama-sama dengan mereka. Kenapa berlaku demikian? Seolah-olah kau hidup di tengah-tengah rimba dan memaksakan segala kehendakmu kepada pihak-pihak yang kau anggap lebih lemah.”
“Tutup mulutmu!” bentak Guru Pasik itu. Matanya yang merah menjadi semakin merah, “Jangan ribut. Berikan keris itu, dan tundukkan kepalamu. Aku ingin melibat darah memancar dari lehermu.”
“Ki Sanak...” jawab Mahisa Agni, “kalau aku harus mati, maka akan mati dengan wajah menengadah.”
Guru Pasik itu menggeram. Terdengar giginya gemeretak,dan tiba-tiba ia berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya ia menerkam Mahisa Agni tepat seperti serigala yang buas menerkam mangsanya. Tetapi Mahisa Agni telah sampai di puncak ilmunya. Karena itu betapa cepatnya ia menghindarkan diri dari terkaman itu, sehingga orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu terdorong oleh kekuatannya sendiri meluncur beberapa langkah. Namun orang itu agaknya telah benar-benar menguasai segenap gerak dan tubuhnya. Demikian ia menginjak tanah, demikian ia melenting dan memutar tubuhnya siap untuk melontarkan serangan kembali.
Mahisa Agni pun segera mempersiapkan dirinya pula kembali, dan bahkan kini ia tidak ingin perkelahian itu berlangsung berlarut-larut. Demikian ia melihat guru Pasik itu menyerangnya kembali dengan dahsyatnya, maka segera ia bergeser ke samping dan merendahkan dirinya. Kali ini Mahisa Agni tidak melepaskan kesempatan itu, dengan cepatnya ia meloncat menyerang lambung lawannya. Namun lawannya itu pun dengan sigapnya memperbaiki keadaannya, sehingga tepat pada saat serangan Mahisa Agni datang, Guru Pasik itu pun telah siap pula melawannya dengan garangnya. Demikianlah maka terjadilah benturan yang dahsyat dari dua macam ilmu yang berlawanan. Benturan itu seakan-akan meledaknya petir yang sedang bersabung.
Pasik yang melihat benturan itu, tiba-tiba memejamkan matanya. Terdengar ia berdesah. Ia tidak mau melihat peristiwa yang mengerikan itu berulang. Beberapa, saat yang lampau, ia pernah melihat gurunya mempergunakan ilmu itu pula, ketika mereka gagal memaksa seseorang untuk menyerahkan barang-barangnya di perjalanan. Ternyata orang itu pun mampu melawan gurunya dalam pertarungan jasmaniah. Namun kemudian gurunya itu mempergunakan ilmunya yang dahsyat itu. Benturan antara Bahu Reksa Kali Elo dengan Mahisa Agni itu seakan-akan meledaknya petir yang sedang bersabung.
Ilmu yang dinamai Kala Bama. Akibatnya sangat mengerikan. Dada itu pecah berserakan. Tulang-tulangnya patah dan isi adanya pecah berhamburan bercampur warna darah. Pada saat itu ia gembira menyaksikan pembunuhan yang dahsyat. Tetapi kini tiba-tiba ia merasa muak. Bukan seharusnya Mahisa Agni mendapat perlakuan yang demikian.
Tetapi sesaat kemudian Pasik itu menjadi heran. Ia mendengar tubuh-tubuh yang berjatuhan, namun ia tidak mendengar gurunya itu tertawa nyaring seperti pada saat ia membunuh orang di jalan itu. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk melihat apa yang terjadi. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Dan pertama-tama dilihatnya adalah Mahisa Agni yang sedang berusaha untuk berdiri di halaman itu. Namun tampak betapa ia menjadi sangat letih. Sekali-sekali ia masih terhuyung-huyung hampir jatuh. Namun kemudian ia menemukan keseimbangannya kembali.
Sebenarnyalah pada saat benturan itu terjadi, Mahisa Agni terdorong beberapa langkah surut, kemudian betapa dahsyatnya tenaga lawannya sehingga ia terguling beberapa kali. Baru kemudian dengan susah payah, ia berusaha berdiri. Tetapi lawannya pun tidak kurang pula parahnya. Seperti seonggok kayu ia terlempar, kemudian terbanting di tanah. Sesaat orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu seakan-akan tak dapat lagi bernafas. Dadanya serasa pecah dan matanya berkunang-kunang. Karena itu maka segera dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk segera menemukan kesadarannya kembali.
Dan akhirnya guru Pasik itu pun mampu pula mengangkat kepalanya. Perlahan-lahan ia bangkit betapa punggungnya terasa sakit. Ketika ia telah berhasil duduk dan bertelekan di atas kedua tangannya, dilihatnya Mahisa Agni telah berdiri di hadapannya. “Setan!” desisnya, “hantu mana yang telah menyelamatkanmu dari aji Kala Bama?”
Mahisa Agni menarik nafas. Kala Bama. Aji itu pun betapa dahsyatnya sehingga hampir saja dadanya dipecahkannya. Namun Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan itu. Ditatapnya wajah orang itu dengan tajamnya. Dan dibiarkannya ia berusaha untuk berdiri pula.
Dengan tertatih-tatih akhirnya orang itu pun tegak pula. Namun sesaat kemudian ia berdiam diri seperti sedang merenung. Dan tiba-tiba pula tanpa disangka-sangka orang itu memutar tubuhnya dan terhuyung-huyung meloncat berlari meninggalkan halaman yang celaka itu.
Sesaat Mahisa Agni terpaku di tempatnya, namun kemudian disadarinya bahwa orang itu akan tetap berbahaya baginya. Karena itu maka segera ia pun berusaha untuk mengejarnya. Tetapi keadaan tubuhnya sendiri betapa letihnya, sehingga tenaganya pun telah menjadi sangat jauh berkurang. Meskipun demikian, orang yang dikejarnya itu pun tidak dapat berlari terlalu cepat.
Mahisa Agni dan guru Pasik itu pun kemudian dengan terhuyung-huyung berlari berkejaran. Tetapi tiba-tiba ketika Mahisa Agni hampir meloncati dinding halaman yang rendah, guru Pasik itu pun berhenti. Secepat kilat ia memutar tubuhnya dengan sisa-sisa ketangkasannya yang terakhir, kemudian dengan tiba-tiba pula, Mahisa Agni melihat sebilah pisau yang meluncur terbang ke arahnya.
Mahisa Agni terkejut melihat pisau itu. Cepat ia mengendapkan diri dan pisau itu terbang beberapa jengkal di atasnya. Namun karena ia tergesa-gesa dan kekuatannya pun telah hampir habis, maka dengan tak disangka-sangka Mahisa Agni itu pun tergelincir jatuh di tanah. Mahisa Agni mengumpat di dalam hatinya.
Pada saat ia bangun ia mendengar orang itu tertawa tinggi sambil berkata hampir berteriak, “Mahisa Agni. Kau menang kali ini. Tunggulah beberapa lama, apabila guruku telah selesai dengan pekerjaannya menempa Kuda Sempana, maka akan datang giliranmu untuk aku penggal lehermu..."
Mahisa Agni itu pun berusaha bangun secepat-cepatnya. Namun karena tenaganya yang lemah itu, maka ketika ia berhasil berdiri masih di dalam pagar, maka guru Pasik itu telah tidak dilihatnya lagi.
“Alangkah liat kulitnya,” gumam Mahisa Agni. Bagaimanapun juga ia terpaksa mengagumi orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu, sebagaimana orang itu mengaguminya. Mereka masing-masing telah mempergunakan ilmu tertinggi yang mereka miliki. Namun mereka mampu untuk bertahan, meskipun dada mereka seakan-akan menjadi rontok karenanya.
Tetapi yang mengejutkan Mahisa Agni, orang itu telah menyebut nama Kuda Sempana. Karena itu maka ia menjadi gelisah. Apakah hubungannya dengan Kuda Sempana. Tiba-tiba Mahisa Agni itu ingat kepada Pasik. Anak itu masih berbaring di tangan ayahnya. Mungkin ia bisa bertanya kepadanya apakah hubungan antara orang ini dan Kuda Sempana.
Karena itu, maka kemudian dilepaskannya maksudnya untuk mencari guru Pasik itu sebelum keadaan tubuhnya memungkinkan. Bahkan segera ia berjalan kembali ke halaman untuk menemui Pasik yang masih dengan lemahnya berbaring. Tetapi ketika ia melihat Mahisa Agni datang kepadanya tiba-tiba ia tersenyum. Kemudian dengan lemahnya ia berusaha untuk duduk.
“Tuan ternyata luar biasa,” desisnya.
Mahisa Agni tidak menjawab. Ditatapnya wajah ibu Pasik yang agaknya masih marah kepadanya. Tetapi ketika perempuan itu mendengar kata-kata Pasik itu, dan dilihatnya anaknya tersenyum, ia menjadi heran. Dan tiba-tiba perempuan itu bertanya kepada anaknya, “Apakah kau sudah berangsur baik?”
Pasik berpaling. Dipandangnya wajah ibunya yang penuh kecemasan. Kemudian ditatapnya pula wajah ayahnya yang sayu. Tiba-tiba terasa sesuatu berdesir di dadanya. Dan tanpa sesadarnya ia berkata, “Maafkan aku Ibu, maafkan aku Ayah.”
Ibunya terkejut ketika dengan tiba-tiba ia mendengar kata-kata anaknya itu. Beberapa saat ia terdiam seperti patung. Namun tiba-tiba pula diraihnya kepala anaknya, dan dipeluknya anaknya itu seperti ketika masih kanak-kanak. Ibu Pasik itu pun menangis sejadi-jadinya. Beberapa orang masih tampak di halaman itu. Selangkah demi selangkah mendekat. Mereka merasakan sesuatu yang berbeda dengan saat-saat sebelumnya. Dan mereka melihat Mahisa Agni masih di halaman itu. Dengan demikian maka mereka menjadi tenang. Ayah Pasik itu pun menggosok-gosok matanya yang menjadi nyeri. Satu-satunya anaknya kini telah kembali kepadanya, kepada ayah dan ibunya. seakan-akan anak yang telah hilang itu datang kembali pulang.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Betapa ia ikut serta mengalami keharuan melihat peristiwa itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia mengucap syukur di dalam hatinya. Mudah-mudahan untuk seterusnya Pasik menyadari keadaannya. Ia adalah anak Kajar, dilahirkan di Kajar dan dibesarkan di Kajar pula. Baru sesaat kemudian, kepala Pasik itu pun dilepaskan. Namun air mata masih saja mengalir meleleh di pipi perempuan yang telah dipenuhi oleh garis-garis umur dan duka.
Pasik itu kemudian menatap Mahisa Agni dengan mata yang buram. Katanya, “Tuan telah membuka hatiku. Dan tuan telah mengampuni aku. Sebab kalau tuan mau membunuh aku, maka aku pun pasti sudah mati. Ternyata tuan benar-benar menyelamatkan diri dari aji Kala Bama, dan bahkan tuan berhasil mengusir Bahu Reksa Kali Elo dari halaman ini.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Katanya, “Jangan pikirkan itu. Sekarang sembuhkan luka-lukamu. Luka badan dan luka jiwamu. Mudah-mudahan kedua-duanya akan lekas menjadi sembuh.”
Pasik menganggukkan kepalanya. Katanya lirih kepada ayahnya, “Ayah. Mintakan aku maaf kepada penduduk Kajar. Kepada tetua padukuhan ini, dan kepada siapa saja.”
“Mereka akan memaafkan kau, Pasik,” terdengar suara di belakang mereka. Suara tetua padukuhan itu.
“Terima kasih Kiai,” sahut Pasik.
Halaman itu kemudian hening untuk sesaat. Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angannya. Mereka sedang menilai peristiwa yang haru saja mereka saksikan. Peristiwa yang telah menolong seorang anak padukuhan mereka yang selama ini tenggelam dalam arus yang hitam.
Tetapi kegelisahan di dada Mahisa Agni masih saja mengguncangnya. Ia ingin segera tahu hubungan guru Pasik itu dengan Kuda Sempana. Dalam tangkapannya, maka Kuda Sempana yang digarap pula oleh guru Pasik itu, adalah saudara seperguruan dengan orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo.
Karena itu, ketika halaman itu telah menjadi tenang, maka Mahisa Agni itu pun segera melangkah mendekati Pasik yang sudah dapat duduk bersandar kedua tangannya. Dengan ragu-ragu Mahisa Agni itu pun berkata kepada ayah Pasik. Katanya, “Paman, apakah tidak sebaiknya Pasik dibawa masuk untuk mendapatkan perawatan yang baik?”
“Ya, ya,” jawab ayah Pasik itu tergagap. Dan kemudian dibantu oleh Mahisa Agni, maka Pasik itu pun dipapah masuk ke rumahnya. Dengan perlahan-lahan anak muda itu dibaringkannya di atas pembaringan.
“Terima kasih,” desis Pasik, “aku sudah mendingan.”
“Jangan banyak bergerak, Pasik,” Mahisa Agni berpesan.
Dan Pasik itu pun mengangguk. Setelah Pasik itu minum kembali beberapa teguk, maka keadaannya menjadi semakin baik. Dan kata-katanya yang ke luar dari mulutnya pun menjadi semakin lancar. Beberapa orang yang berdiri di halaman satu-satu menengok juga dari lubang ke dalam rumah, namun mereka tidak berkehendak masuk. Bahkan kemudian satu-satu mereka meninggalkan halaman itu pulang ke rumah masing-masing. Namun di dalam dada mereka tersimpan suatu perasaan yang lain daripada saat mereka datang dengan tergesa-gesa ke halaman itu. Rumah Pasik itu pun kemudian menjadi sepi yang berdiri di pintu adalah tetua padukuhan Kajar, dan menantunya berdiri di belakangnya. Walaupun ia melihat bahwa Pasik itu terluka, namun ketakutannya masih juga belum mereda.
“Angger Mahisa Agni,” berkata orang tua itu, “aku akan pulang dahulu. Apakah Angger pergi bersama-sama aku ke rumahku?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku akan menyusul, Bapa.”
Orang itu pun kemudian minta diri pulang bersama menantunya yang masih berdebar-debar. Ketika halaman itu telah benar-benar sepi, maka barulah Mahisa Agni bertanya kepada Pasik. Katanya, “Pasik, apakah kau pernah mendengar nama Kuda Sempana?”
Pasik itu mengerutkan keningnya. Sesaat ia ragu-ragu, namun kemudian jawabnya, “Ya, Tuan. Aku pernah mendengar.”
“Panggillah aku dengan namaku,” sahut Mahisa Agni.
“Ya, ya Mahisa Agni,” berkata Pasik dengan kaku.
“Nah. Demikianlah,” sambut Mahisa Agni, kemudian katanya melanjutkan pertanyaannya, “siapakah Kuda Sempana itu?”
“Dari mana tuan, eh, kau tahu nama itu?" bertanya Pasik.
“Aku mendengar dari gurumu. Ia akan datang mencari aku setelah gurunya selesai dengan pekerjaannya, menempa orang yang bernama Kuda Sempana.”
Pasik menganggukkan kepalanya. Kembali ia beragu. Tetapi ketika ditatapnya wajah Mahisa Agni yang bening ia berkata, “Kuda Sempana adalah adik seperguruan guruku.”
“Hem,” Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Siapakah dia?”
“Kuda Sempana adalah seorang prajurit pelayan dalam Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel.”
“Hem,” kembali Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi Kuda Sempana itu benar-benar Kuda Sempana yang pernah dikenalnya. Bukan orang lain yang hanya kebetulan bernama sama. “Siapakah guru dari gurumu itu?” bertanya Mahisa Agni.
Pasik menggeleng. “Aku tak tahu. Guruku mempunyai saudara seperguruan yang cukup banyak. Ada di antaranya prajurit, ada pula pejabat, namun ada pula penjudi dan penjahat. Mereka akan diterima menjadi murid asal mereka dapat menyerahkan berbagai macam imbalan. Namun jumlah murid itu tidak lebih dari sepuluh orang. Di antaranya adalah guruku. Karena itulah maka guruku harus memeras orang-orang di sekitarnya untuk dapat memberikan imbalan kepada gurunya.”
“Dan agaknya gurumu berbuat serupa.”
“Ya. Ia pun menerima beberapa orang murid dengan cara yang sama untuk menutup kebutuhannya.”
“Hem,” kembali Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Guru orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu pasti seorang yang sakti pula. Ternyata bahwa muridnya memiliki kesaktian yang mengagumkan. Namun agaknya orang itu telah memilih jalan yang sesat, yang menjual kesaktiannya untuk kepentingan-kepentingan lahirlah. Itulah sebabnya maka muridnya tersebar dari segala penjuru. Ternyata siapa pun yang mampu memberinya imbalan sesuai dengan permintaannya, maka mereka akan dapat menghisap ilmu daripadanya tanpa dihiraukannya akibat. Dan akibatnya, itu pada umumnya adalah sangat tidak baik.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Agni pun segera menghubungkan penempaan diri Kuda Sempana dengan kekalahan yang pernah dialaminya di padukuhannya. Karena itu, maka ia bertanya pula, “Apakah kau kenal dengan Kuda Sempana secara pribadi, Pasik?”
Pasik menggeleng. “Tidak,” jawabnya, “namun aku pernah melihat orangnya Aku pernah mendengar ia bercakap-cakap dengan guruku.”
“Kenapa Kuda Sempana itu berguru pula pada guru Bahu Reksa Kali Elo itu?”
“Aku tidak tahu,” kembali Pasik menggeleng.
“Apakah kau tahu, apa yang mendorongnya sehingga ia dengan tergesa-gesa menempa diri? Apakah memang sudah saatnya ia menerima ilmu itu, ataukah hanya karena Kuda Sempana sudah mempunyai cukup uang untuk berbuat demikian?”
“Mungkin,” sahut Pasik, “namun Kuda Sempana itu juga menyimpan dendam di dalam hatinya..."
Terasa sesuatu berdesir di dada Mahisa Agni. Dan ia pun kemudian mendengar Pasik itu meneruskan, “Kuda Sempana telah mengalami kekecewaan terhadap seorang gadis. Karena itu, ia telah bersiap untuk menebus kekecewaannya.”
“He,” Mahisa Agni terkejut, “dari mana kau tahu?”
Pasik menjadi heran atas tanggapan Mahisa Agni itu. Kemudian katanya, “Apakah tuan, eh, kau kenal Kuda Sempana.”
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan Pasik, tetapi ia berkata, “Dari mana kau tahu?”
“Aku pernah melihat Kuda Sempana mengatakan itu kepada saudara-saudara seperguruannya, termasuk guruku. Meskipun aku tidak sengaja mendengarkannya.”
Denyut jantung Mahisa Agni pun terasa menjadi semakin cepat mengalir. Nafasnya pun kemudian seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir berebut dahulu lewat lubang hidungnya. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Apa katanya?”
Pasik menjadi semakin heran. Karena itu ia bertanya, “Kenapa tuan menaruh perhatian yang sangsi besar atas orang itu?”
Sekali lagi Mahisa Agni tidak mendengarkan pertanyaan Pasik. Bahkan ia mendesaknya, “Apa yang dikatakan Kuda Sempana itu?”
Pasik tidak segera menjawab. Namun Mahisa Agni itu pun mendesaknya sekali lagi, “Apa?”
Pasik tidak dapat berbuat lain daripada menjawab pertanyaan itu, katanya, “Kuda Sempana perah dikecewakan oleh seorang gadis. Katanya, "Apabila aku tak dapat memetik bunga itu, maka lebih baik akan aku gugurkan saja daun-daun mahkotanya."
Darah di dalam tubuh Mahisa Agni serasa mengalir lebih cepat. Kata-kata semacam itu pun pernah didengarnya dahulu dari mulut Kuda Sempana sendiri, meskipun tidak sejelas itu. Tetapi apa yang dikatakan itu adalah benar-benar mencemaskan hatinya.
Pasik yang melihat perubahan wajah Mahisa Agni menjadi semakin heran. Sekali lagi ia mencoba bertanya, “Mahisa Agni, apakah kau mengenal Kuda Sempana?”
“Aku pernah mendengar namanya,” jawab Mahisa Agni.
“Tetapi kau terpengaruh oleh berita yang kau dengar.”
“Setiap orang akan terpengaruh mendengar cerita itu. Bukankah itu akan merupakan pelanggaran atar sendi-sendi pergaulan. Ia akan memaksakan kehendaknya atas seorang gadis, sedang gadis itu tidak menerimanya. Apakah haknya untuk memaksa gadis itu? Apalagi orang tua gadis itu pun sama sekali tak menyetujuinya. Bahkan gadis itu dengan resmi telah dipertunangkan. Bukankah itu suatu perkosaan atas nilai-nilai kemanusiaan?”
Pasik mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berkata, “Mahisa Agni kau pasti mempunyai hubungan dengan Kuda Sempana. Dari mana kau tahu bahwa gadis itu tak menerimanya?”
“Dari mana kau tahu bahwa ayah gadis itu tak menyetujuinya? Dan dari mana kau tahu bahwa gadis itu telah dipertunangkannya?”
“Oh,” Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia sudah terlanjur mengatakannya. Karena itu maka ia harus menjawabnya. Namun sesaat ia menjadi ragu-ragu. Pasik adalah orang yang jauh dari lingkungan pergaulan mereka, sehingga tak ada perlunya untuk memberitahukannya. Namun mulutnya sudah terlanjur mengucapkannya.
“Mahisa Agni,” bertanya Pasik Tiba-tiba, “apakah kau anak muda yang dipertunangkan dengan gadis itu?”
“Tidak, tidak,” cepat Mahisa Agni menjawab hampir berteriak sehingga Pasik itu pun terkejut. Ibunya yang sedang berada di dapur pun berdiri sesaat menengok ke ruang depan. Tetapi ketika dilihatnya Pasik masih berbaring, dan di sampingnya duduk Mahisa Agni dan ayahnya, maka perempuan itu pun kembali merebus air. Sedang ayahnya yang duduk di samping Pasik itu sama sekali tidak tahu, apakah yang sebenarnya mereka percakapkan.
Bahkan Mahisa Agni sendiri pun terkejut mendengar suaranya sendiri. Namun yang lebih berpengaruh di hatinya adalah pertanyaan Pasik itu. Bukankah ia sendiri bukan laki-laki yang dipertunangkan dengan gadis itu. Bukankah gadis itu telah mempunyai seorang calon suami yang akan dapat melindunginya?
“Persetan dengan gadis itu!” katanya di dalam hati, “Bukankah Ken Dedes menjadi kewajiban Wiraprana.”
Tetapi getar di dalam dada Mahisa Agni pun menjadi semakin cepat. Betapa ia berusaha menekan perasaannya, namun kegelisahannya bahkan menjadi semakin mengganggunya. Meskipun Ken Dedes, gadis yang dikatakan oleh Kuda Sempana itu merupakan duri di dalam hatinya, namun duri itu merupakan sebagian dari seluruh keindahan dari Bunga kaki Gunung Kawi itu. Karena itu, maka jantungnya semakin lama menjadi semakin keras berdentang. Meskipun betapa pedihnya luka-luka yang tergores di hatinya karena tajamnya duri itu, namun ia tidak rela melihat seluruh keindahan Bunga kaki Gunung Kawi itu akan digugurkan.
“Pasik,” tiba-tiba Mahisa Agni itu berkata, “aku akan mohon diri.”
Pasik terkejut. Terkejut sekali sehingga tiba-tiba ia bangkit. Namun kembali terasa dadanya akan pecah, dan dengan lemahnya ia terkulai kembali.
“Jangan bergerak dahulu,” minta Mahisa Agni ketika ia melihat mulut Pasik menyeringai.
“Kenapa kau menjadi sedemikian tergesa-gesa. Apakah kau akan pergi ke tempat Kuda Sempana karena kau mendengar ceritaku?”
Mahisa Agni menggeleng. “Tidak,” jawabnya, “aku akan pergi ke rumah tetua Padukuhan Kajar.
“Oh,” Pasik menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun bergumam, “Aku menjadi sangat terkejut. Aku sangka kau akan pergi ke rumah Kuda Sempana. Bukankah dengan demikian kau akan membunuh diri?”
Sekali lagi Mahisa Agni menggeleng. Namun terdengar ia bertanya, “Kenapa membunuh diri? Bukankah Kuda Sempana itu adik seperguruan gurumu?”
“Ya,” jawab Pasik, “tetapi penempaan yang dilakukan oleh gurunya ini merupakan penempaan yang tertinggi. Apakah dengan demikian Kuda Sempana itu tidak akan menjadi lebih dahsyat dari guruku?”
Mahisa Agni itu pun merenung. Namun akhirnya ia mengambil kesimpulan, bahwa guru Kuda Sempana itu pasti tak akan ikut terjun dalam setiap bahaya yang mengancam dirinya. Ia hanya memberikan ilmu untuk sekedar mendapat upah. Kalau upah itu telah diterimanya serta ilmu yang dibeli itu telah diberikannya, maka apapun yang akan dialami oleh muridnya adalah tanggung jawab murid-murid itu sendiri. Guru yang demikian, pasti tidak mau ikut serta melibatkan diri apabila persoalannya akan dapat membahayakan dirinya pula. Karena itu, maka ilmu diberikannya pasti ilmu yang hanya terbatas dalam tataran yang tertentu.
Karena itu, maka menurut perhitungan Mahisa Agni, murid-murid guru Bahu Reksa Kali Elo itu pasti hanya akan mendapat bagian yang sama dari ilmu gurunya itu. Kalau ada perbedaan sedikit-sedikit, maka itu pasti hanya karena kemampuan murid-murid itu sendiri. Dengan demikian, maka Mahisa Agni itu pun dapat memperhitungkan kemungkinan yang dimiliki oleh Kuda Sempana. Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak boleh merendahkan siapa pun. Satu-satunya jalan yang terbaik, ialah mematangkan ilmunya sendiri.
Tetapi Mahisa Agni tidak boleh menunda-nunda waktu lagi. Kuda Sempana setiap saat dapat datang ke Panawijen. Adalah berbahaya sekali apabila gurunya, Empu Purwa masih juga belum pulang, sehingga dengan demikian Kuda Sempana akan dapat berbuat sesuatu yang sama sekali tak disangka-sangkanya. Meskipun demikian, betapapun saktinya Kuda Sempana, namun apakah Kuda Sempana mampu melawan kekuatan seluruh penduduk Panawijen. Sebab apabila terjadi sesuatu dengan Ken Dedes, maka seluruh penduduk Panawijen pasti akan membelanya. Tetapi kalau Kuda Sempana datang berdua atau bertiga saja, apalagi lebih, maka keadaannya pasti akan menyulitkan, sekali. Maka yang segera harus dilakukan adalah pulang kembali ke Panawijen.
Mahisa Agni itu pun kemudian sekali lagi minta diri ke pada Pasik. Betapa Pasik mencoba mencegahnya, juga ayah ibunya, namun Mahisa Agni yang mencemaskan nasib padukuhannya, ternyata sudah tidak dapat menunda rencananya. Meskipun yang dikatakannya kepada Pasik, Mahisa Agni hanya akan kembali ke rumah tetua padukuhan Kajar, karena ia sudah berjanji untuk segera menyusulnya.
“Ah,” berkata Pasik, “nanti malam pun tak, mengapa. Bukankah kau tidak takut kepada apapun?”
“Terima kasih Pasik. Tetapi orang tua itu nanti terlalu lama menunggu,” sahut Mahisa Agni, “nanti, besok, atau kapan lagi aku akan dapat menengokmu kembali.”
Dan keluarga Pasik itu benar-benar sudah tidak dapat mencegahnya. Dengan ucapan terima kasih yang tak berhingga, maka Mahisa Agni itu pun kemudian dilepas pergi. Mahisa Agni itu pun kemudian benar-benar singgah di rumah tetua padukuhan Kajar, tetapi hanya untuk minta diri. Kegelisahan yang menghentak-hentak dadanya tak dapat ditunda-tundanya lagi. Seolah-olah selalu didengarnya, kampung halaman di mana ia mendapatkan pendidikan dan keteguhan tabir batin, memanggilnya untuk segera pulang kembali.
Orang tua, tetua padukuhan Kajar itu pun mencoba mencegahnya. Mereka mempersilakan Mahisa Agni untuk berada di lingkungan keluarga mereka sehari atau dua hari. Apalagi anak serta menantunya, merasa bahwa Mahisa Ainlah yang telah mengurungkan bencana yang akan menimpa mereka. Bencana yang akan memisahkan mereka suami istri. Namun Mahisa Agni dengan menyesal sekali menolak permintaan itu. Meskipun demikian, supaya orang tua itu tidak terlalu kecewa, maka Mahisa Agni pun menunggu sesaat, sampai nasi jagung yang mereka masak menjadi masak.
“Bawalah Ngger,” berkata orang tua itu, “Angger memerlukan bekal di perjalanan Angger yang tak tentu kapan akan berakhir.”
“Terima kasih Bapa,” jawab Mahisa Agni, “demikianlah pekerjaan seorang perantau. Dan aku senang akan pekerjaan itu.”
Mahisa Agni pun kemudian menerima bekal itu dengan senang hati. Dimasukkannya bekal itu ke dalam bungkusannya yang ditinggalkannya di rumah tetua padukuhan Kajar itu. Kemudian disangkutkannya bungkusan itu di ujung tongkat kayunya. Kembali kini Mahisa Agni berjalan dengan memanggul bungkusan kecilnya sebagai seorang perantau. Selangkah demi selangkah ia meninggalkan halaman rumah orang tua. Suami istri beserta anak menantunya mengantarkan Mahisa Agni sampai ke regol halaman rumah mereka. Dan kemudian mereka mengawasi langkah perantau yang baik hati itu sampai hilang di tikungan jalan.
Ketika Mahisa Agni sampai di mulut lorong padukuhan Kajar, sekali lagi ia berpaling. Tetapi ia tidak melihat seseorang di belakangnya. Jalan itu sepi. Di sebelah tikungan di belakangnya didapatinya rumah tetua padukuhan Kajar. Dan di ujung yang lain didapatinya rumah Pasik. Dua buah rumah yang meninggalkan kenangan di hati Mahisa Agni.
Demikianlah Mahisa Agni menempuh jalan kembali ke Panawijen. jalan yang pernah dilaluinya beberapa waktu yang lampau. Namun kini perjalanan Mahisa Agni seolah-olah jauh lebih cepat daripada saat ia berangkat, ia tidak perlu mencari-cari kemungkinan untuk tidak tersesat. Dengan bekal ingatan serta pengenalannya yang baik, ia segera dapat menemukan kembali jalan yang dahulu dilewatinya. Sehingga perjalanannya kali ini hanya memerlukan waktu separuh dari waktu yang diperlukannya pada saat ia berangkat.
Hutan dan ngarai yang panjang, serta padang rumput yang luas dilewatinya dengan tergesa-gesa. Tenaga Mahisa Agni seakan-akan menjadi jauh lebih besar dari tenaganya semula. Ketangkasannya bergerak serta pernafasannya yang semakin teratur, telah menambah kecepatan perjalanannya. Meskipun demikian, apabila ia bangun di pagi-pagi hari setelah ia bermalam di cabang-cabang pepohonan, sekali-sekali diperlukannya juga memperlancar getaran-getarannya bergerak-gerak di dalam tubuhnya dalam ilmunya Gundala Sasra.
Semakin sering ia menerapkan ilmunya, maka getaran-getaran itu semakin cepat mencapai tempat-tempat yang dikehendakinya. Bahkan kemudian seakan-akan Mahisa Agni sudah tidak memerlukan lagi waktu, sejak saat ia menerapkan ilmunya itu, sampai pada penggunaannya. Apabila ia telah menyilangkan tangannya di muka dadanya, sambil memusatkan pikiran serta segenap kekuatan lahir dan batinnya, maka sesaat itu pula, ilmunya telah mapan untuk dilontarkannya lewat, bidang-bidang permukaan tubuhnya yang dikehendakinya.
Berkali-kali ia telah mencoba di sepanjang perjalanan itu. Batu-batu padas, batu-batu hitam dan bahkan pepohonan dan binatang-binatang buas yang menyerangnya. Sesuai tuntunan-tuntunan yang diberikan oleh gurunya, Mahisa Agni selalu dengan tekun mencoba meningkatkan setiap kemampuan dari ilmu Gundala Sasra itu. Di sepanjang jalan dan di setiap kesempatan.
Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah, Mahisa Agni telah meninggalkan daerah-daerah hutan yang lebat, dan di mukanya membentang daerah yang subur dan ramai. Mahisa Agni telah menginjak batas jantung pemerintahan Tumapel. Tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin berjalan melewati kota. Sudah beberapa lama ia berada di tengah-tengah hutan yang sepi. Karena itu ia kini ingin melihat tempat-tempat yang agak ramai, meskipun tanpa sesuatu maksud tertentu.
Maka Mahisa Agni itu pun segera membersihkan dirinya di sebuah kali. Ia tidak ingin masuk kota sebagai seorang yang tampaknya terlalu kotor. Dipakainya pakaiannya yang masih terlipat di dalam bungkusannya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Agni menjadi agak bersih karenanya, setelah ia tinggal di antara rimbunnya dedaunan di hutan yang lebat, serta bekas-bekas param yang diberikan oleh gurunya untuk mencegah keracunan karena gigitan binatang-binatang serangga beracun. Ketika matahari kemudian menjadi semakin tinggi, setinggi ujung rumah-rumah joglo, maka Mahisa Agni telah masuk ke keramaian kota Tumapel.
Tetapi Tiba-tiba Mahisa Agni terkejut. Dari kejauhan ia melihat seorang anak muda yang gagah dia tas punggung kuda. Semakin lama semakin dekat. Dan hati Mahisa Agni itu pun menjadi ber-debar-debar. Anak muda itu adalah Kuda Sempana. Ketika kuda itu lewat di sampingnya, Mahisa Agni mencoba melambaikan tangannya sambil tertawa. “Kuda Sempana,” sapanya.
Kuda Sempana menarik kekang kudanya. Dipandangnya wajah Mahisa Agni dengan tajamnya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Namun dari matanya itu memancar sinar dendam yang menyala-nyala meskipun demikian, Mahisa Agni masih mencoba untuk tersenyum. Bahkan kemudian sekali lagi ia menyapa,
“Kuda Sempana, akan ke manakah kau sepagi ini?”
“Hem,” Kuda Sempana menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan tiba-tiba Kuda Sempana itu menggerakkan kendali kudanya, dan sesaat kemudian kuda itu telah berlari kembali di jalan-jalan kota.
Beberapa orang mengawasi Mahisa Agni. Mereka menjadi heran, apakah anak yang berkuda itu bendaranya yang sedang marah kepada budaknya. Sekali-sekali Mahisa Agni berpaling juga, dan dilibatnya wajah-wajah yang memandangnya dengan aneh. Bahkan ada di antaranya yang tersenyum-senyum dan ada pula yang menjadi iba. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kembali dikenangnya pergaulan di padukuhannya. Pergaulan yang rapat dan jujur di antara sesama. Ia menjadi sangat kecewa terhadap Kuda Sempana. Namun Mahisa Agni ini kemudian menyadarinya, bahwa Kuda Sempana masih sangat marah kepadanya, Ia tidak ingin berprasangka terhadap anak-anak muda dari kota.
Tetapi ketika Mahisa Agni melangkahkan kakinya, untuk meninggalkan tempat itu, Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa berderai tidak jauh di belakangnya, kemudian terdengar suara, “Anak yang malang. Agaknya ia bersahabat karib dengan Kuda Sempana, pelayan dalam Akuwu Tumapel itu.”
Mula-mula Mahisa Agni tidak menghiraukan ejekan itu. Sebagai orang yang asing di kota itu, maka Mahisa Agni tak ingin mengalami perselisihan. Karena itu, kembali ia melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat yang tak menyenangkannya itu. Tetapi ketika ia baru satu langkah maju, kembali suara tertawa itu terdengar. Bahkan kemudian disusul oleh suara yang lain.
“Kenapa Kuda Sempana itu tak menjawab,” sapanya.
Berkata yang lain, “Bukankah Kuda Sempana juga anak Panawijen seperti anak itu.”
Keduanya tertawa-tawa. Dan terdengar salah seorang berkata pula. “Kuda Sempana takut kepada anak Buyut padukuhannya yang garang itu. Takut kalau anak muda yang gagah itu minta uang kepadanya.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata mereka. Cepat ia dapat menebak siapakah yang telah sengaja membangkitkan kemarahannya itu. Yang menyangka bahwa dirinya adalah anak Buyut Panawijen yang bernama Wiraprana adalah Mahendra. Dan sebenarnyalah. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahendra berdiri di tepi jalan di samping saudara seperguruannya. Kebo Ijo. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak itu masih tertawa berkepanjangan. Bahkan kemudian Mahendra itu melangkah maju sambil berkata,
“Selamat pagi Wiraprana yang perkasa.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Namun ia mengangguk pula sambil menjawab, “Selamat pagi Mahendra.”
“Apa kerjamu sepagi ini di sini, Wiraprana?” bertanya Mahendra.
“Aku baru datang dari suatu perjalanan Mahendra,” jawab Mahisa Agni, “aku hanya singgah sebentar.”
Mahendra tertawa. Kemudian sambil menunjuk arah Kuda Sempana pergi, anak muda itu berkata, “Kau kenalan anak muda berkuda itu?”
Mahisa Agni mengangguk. “Ya,” jawabnya.
Mahendra masih tertawa, “Tetapi ia tidak kenal kepada mu. Sayang kalau ia segera pergi, aku ingin memperkenalkannya kepada anak Buyut Panawijen. Aku kenal baik kepadanya.”
“Terima kasih,” sahut Agni pendek.
“Barangkali kau memerlukan pekerjaan daripadanya di istana?” ejek Mahendra.
Sekali lagi Mahisa Agni menggigit bibirnya ia menyadari bahwa Mahendra sedang mencoba membangkitkan kemarahannya. Anak itu sedang mencari sebab yang memungkinkan timbulnya pertengkaran. Seperti Kuda Sempana, maka Mahendra pun agaknya mendendamnya. “Hem,” Mahisa Agni menarik nafas.
Tidak disangkanya, bahwa ia akan mempunyai banyak lawan yang tak diharapkannya. Alangkah senangnya apabila hidupnya dipenuhi oleh rasa persahabatan dengan siapa pun juga. Namun ia dihadapkan pada suatu keadaan yang tak dapat disingkirkannya. Baik Kuda Sempana, maupun Mahendra seolah-olah memang dilahirkannya sebagai lawan-lawannya. Meskipun demikian, Mahisa Agni benar-benar tidak ingin berselisih di tengah-tengah kota yang ramai dan asing baginya. Maka katanya, “Sudahlah Mahendra, aku akan meneruskan perjalananku.”
“Ke mana?” bertanya Mahendra dengan nada tinggi.
“Pulang ke Panawijen.”
“Apakah kau sudah mendapat pekerjaan di kota? Menjadi juru pekatik atau apapun? Kalau belum kau dapat ikut aku. Kudaku memerlukan seorang perawat yang baik.”
Terasa dada Mahisa Agni terguncang mendengar ejekan itu. Apalagi kemudian terdengar Kebo Ijo tertawa berkepanjangan. Bahkan tidak saja Kebo Ijo, tetapi juga beberapa pemuda yang lain. Agaknya Mahendra dan Kebo Ijo berada di tempat itu bersama-sama dengan beberapa orang kawan-kawannya. Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas untuk meredakan gelora di dadanya. Ia mencoba untuk tidak menampakkan perubahan di wajahnya. Bahkan kemudian ia berkata, “Mahendra, sebaiknya kita tidak usah bertemu di tempat ini.”
Mahendra tertawa, katanya, “Kita tidak ketemu di sini Ki Sanak. Aku tadi melihatmu di seberang jembatan. Aku sengaja mengikutimu. Ternyata kau berjumpa dengan Kuda Sempana. Aku kira kau akan minta pekerjaan kepadanya.”
“Tidak Mahendra,” jawab Mahisa Agni, “aku tidak memerlukan pekerjaan.”
Mahendra tertawa semakin keras. Kebo Ijo dan kawan-kawannya pun tertawa pula. Salah seorang dari mereka bertanya, “Siapakah anak itu sebenarnya?”
“Putra Buyut Panawijen. Wiraprana,” jawab Mahendra dengan menekankan setiap suku kata.
Kini Mahisa Agni tidak berkata-kata lagi. Dengan sudut matanya ia melihat beberapa orang muda yang berdiri di belakang Kebo Ijo. “Tujuh orang,” desisnya di dalam hati, “sembilan dengan Mahendra dan Kebo Ijo.”
Dan anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. “Kasihan,” berkata salah seorang daripadanya.
Mahendra yang berdiri paling dekat dengan Mahisa Agni berkata, “Wiraprana, apakah tawaranku kau terima?”
Mahisa Agni menggeram. Jawabnya, “Mahendra, apakah maksudmu sebenarnya? Kau sebenarnya tahu benar, bahwa aku sama sekali tidak sedang mencari Kuda Sempana. Kau tahu betul bahwa sikapmu itu tidak pada tempatnya. Mahendra, apakah kau sengaja memancing persoalan supaya kau mendapat alasan untuk berkelahi?”
Mahendra terdiam. Tampaklah kerut-kerut di wajahnya. Ia tidak menyangka bahwa Mahisa Agni akan berkata langsung menebak maksudnya. Tetapi sesaat kemudian Mahendra itu sudah tertawa lagi. Memang sudah disengaja olehnya, Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu, akan dibuatnya marah. Ia ingin sekali lagi mengadu tenaga. Sekarang kawan-kawannya akan menjadi saksi. Setelah beberapa bulan ia mencoba mengembangkan ilmunya, maka apabila ada kesempatan bertemu dengan Mahisa Agni, ia akan menebus kekalahannya.
Karena itu Mahendra menjawab, “Apakah kau marah Wiraprana? Jangan lekas marah. Di Tumapel, jangan kau samakan dengan padukuhan yang sepi Panawijen, meskipun kau di Panawijen menjadi putra tetua padukuhanmu, tetapi kau tidak dapat mengangkat wajahmu di Tumapel. Seorang Buyut pun apabila masuk ke kota ini harus menundukkan wajahnya. Apalagi kau, hanya anak seorang buyut. Kau tidak dapat memperlakukan anak-anak muda di sini seperti anak-anak muda di desamu. Kau, bagi kami di sini sama sekali tidak berarti.”
Mahisa Agni kini sudah pasti, bahwa sebenarnyalah Mahendra sedang memancingnya ke dalam suatu bentrokan. Karena itu, maka untuk yang terakhir kalinya ia mencoba menghindari bentrokan itu apabila mungkin. Jawabnya, “Baik Mahendra. Baik. Aku adalah anak Panawijen. Anak dari pedesaan. Dan aku memang tidak ingin berbuat apapun di sini. Aku hanya akan lewat, seperti anak-anak desa yang lain yang tak pernah mendapat gangguan dari siapa pun apabila ia lewat di jalan kota. Sekarang biarlah aku berlalu.”
Mahendra terkejut mendengar jawaban itu. Sama sekali tak disangkanya bahwa Mahisa Agni itu tidak segera marah mendengar ejekan-ejekan yang telah dilontarkannya. Karena itu sesaat ia menjadi bingung untuk membangkitkan kemarahan anak muda itu. Ketika Mahendra melihat Mahisa Agni itu memutar tubuhnya dan melangkah pergi, maka dengan tergesa-gesa ia memanggilnya,
“Wiraprana. Jangan pergi!”
Mahesa Agni terhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahendra melangkah maju mendekatinya. “Jangan pergi!” bentak Mahendra.
“Apakah hakmu melarang aku pergi,” sahut Agni.
Mahendra menjadi bingung. Ketika ia terpaling ke arah kawan-kawannya melihat Kebo Ijo menjadi tegang. beberapa orang kawan-kawannya itu pun sudah tidak tertawa lagi. Bahkan kemudian Kebo Ijo itu berkata, “Jangan biarkan anak itu pergi. Ia telah menghina kita.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata Kebo Ijo. Tetapi sekali lagi ia merasa, bahwa apapun yang dikatakan oleh anak-anak muda itu adalah suatu kesengajaan untuk memancing persoalan. Karena itu Mahisa Agni kemudian tidak melihat lagi kemungkinan untuk meninggalkan daerah itu tanpa timbulnya suatu perselisihan. Maka kini Mahisa Agni sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Ia berdiri saja menunggu apapun yang akan terjadi.
Mahendra yang melihat sikap Mahisa Agni itu pun menjadi marah. Karena itu, maka ia pun tidak ingin melingkar-lingkar lagi. Ternyata Mahisa Agni tidak dapat dipancingnya untuk marah dan mendahuluinya menyerang. Dengan demikian, maka Mahendra tidak dapat menghindari tuduhan, ialah yang mulai apabila timbul perkelahian. Tetapi kini mau tidak mau ia harus mendahuluinya, sebab Mahisa Agni benar-benar dapat menguasai dirinya.
Ketika Mahendra ini sekali lagi berpaling, maka dilihatnya beberapa orang yang lewat, tertarik juga melihat ketegangan yang terjadi. Apabila semula mereka hanya melihat anak-anak muda itu tertawa-tawa, kini mereka melihat sikap-sikap yang keras dan tegang. Karena itu beberapa orang yang melihat mereka itu pun berhenti. Beberapa di antaranya saling mendekat dan berdiri di sekitar anak-anak muda itu. Beberapa orang saling berpandangan dan bertanya sesamanya,
“Apakah yang terjadi?”
Mahendra kini melangkah beberapa langkah maju. Dengan wajah yang menyala ia berdiri tegak seperti tonggak di hadapan Mahisa Agni. Seorang yang telah menjelang setengah abad, menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam, “Anak-anak muda. Kerjanya tak ada lain membuat ribut saja.”
Seorang kawan Kebo Ijo yang mendengar gumam orang tua itu memandang dengan tajamnya. Dan orang tua itu menjadi ketakutan. Sambil merunduk-runduk ia berjalan pergi menjauhi pertengkaran itu. Anak-anak muda kawan Mahendra itu pun kemudian berdesakan maju di antara beberapa orang yang lain. Seorang yang berkumis tebal mencoba melerai mereka. Katanya, “Apakah yang kalian perselisihkan?”
Kebo Ijo sama sekali tidak senang melihat kehadiran orang itu. Meskipun ia berkumis tebal dan bertubuh tegap, namun dengan sekali dorong orang itu terpental beberapa langkah. Dan seterusnya ia tidak berani mendekat lagi. Hanya perlahan-lahan ia berkata, “Anak-anak muda tak ubahnya seperti kuda-kuda liar yang lepas kendali.”
Mahisa Agni- mendengar beberapa orang yang menyesal atas peristiwa itu. Dan ia pun sebenarnya lebih menyesal dari mereka itu. Tetapi ia dihadapkan pada dua pilihan. Dihinakan atau mempertahankan harga diri. Dan Mahisa Agni pun ternyata bukan anak dewa-dewa yang lepas dari segala macam kesalahan, kekhilafan dan kebanggaan lahiriah. Sehingga dengan demikian, betapapun yang terjadi, Mahisa Agni tidak mau menjadi permainan anak-anak muda dari kota yang kehilangan pengekangan diri.
Mahendra kini benar-benar sudah sampai ke puncak rencananya. Sekali lagi bertempur dengan anak Panawijen itu. Meskipun ia sudah tidak akan dapat mengharapkan Ken Dedes lagi, namun setidak-tidaknya ia dapat melepaskan sakit hatinya dengan melumpuhkan Mahisa Agni Bahkan menjadikan anak itu cacat atau apapun yang akan membuat anak Panawijen itu menyesal sepanjang hidupnya atas keberaniannya mendesak Mahendra dari arena sayembara pilih.
Dengan senyum yang menyakitkan hati Mahendra itu maju setapak sambil berkata, “Nah, Wiraprana. Apakah kata mu sekarang? Apakah kau masih akan menengadahkan wajahmu? Aku sama sekali sudah melupakan gadis kaki Gunung Kawi itu. Namun aku sama sekali tak dapat melupakan kekalahan yang pernah aku alami. Kekalahan yang tidak adil, hanya karena kakak seperguruanku menganggap aku kalah. Kini kita dihadapkan kepada saksi yang lebih banyak lagi. Apakah kau masih berkata bahwa Mahendra dapat dikalahkan oleh anak pedesaan?”
“Aku sama sekali tidak pernah mempersoalkan tentang kalah dan menang,” jawab Mahisa Agni yang telah mulai kehilangan kesabarannya, “Katakan saja, apakah maksudmu sebenarnya? Menantang aku berkelahi atau apa?”
Dada Mahendra berdesir mendengar ketegasan sikap Mahisa Agni. Namun ia pun harus bersikap setegas itu pula. Maka jawabnya, “Ya. Marilah kini buktikan kebenaran dari keseimbangan di antara kita. Kita akan yakin, sebab kita dihadapkan kepada saksi-saksi.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia meletakkan bungkusannya serta tongkat kayunya. Kemudian ia bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Sekali lagi dada Mahendra berdesir. Sikap Mahisa Agni benar-benar meyakinkan, seolah-olah tak ada suatu apapun yang ditakutinya. Sehingga meskipun ia dihadapkan pada suatu keadaan yang pasti tidak disangka-sangkanya, namun ia tidak kehilangan ketenangannya.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara Kebo Ijo, “He, Wiraprana. Apakah yang ada di dalam bungkusan mu itu? Ular atau jampi-jampi?”
Kata-kata ini disusul oleh derai suara tertawa dari beberapa orang kawannya. Alangkah sakit hati Mahisa Agni. Ketika ia melihat Mahendra tertawa pula, maka berkatalah Agni dengan lantangnya, “Ayo Mahendra, apakah yang sebenarnya kau kehendaki?”
Mahendra berhenti tertawa. Dengan tajam ia memandang wajah Mahisa Agni yang telah mulai menjadi kemerah-merahan. Bahkan Mahisa Agni itu kemudian berkata, “Mumpung hari masih pagi. Aku akan segera meneruskan perjalanan.”
“Jangan mengigau!” bentak Mahendra, “Kau sangka kau berhadapan dengan seekor tikus?”
“Aku berhadapan dengan seorang manusia. Karena itu, maka ia pun akan berlaku sopan dan menghargai orang lain.”
Bukan main marahnya Mahendra mendengar sindiran itu. Kini ia sudah siap dengan setiap kemungkinan. Ketika Mahendra itu bergeser setapak ke samping, maka kaki Mahisa Agni pun segera merenggang. “Hem,” geram Mahendra, “kau yakin akan dirimu Wiraprana. Tetapi sebentar lagi kau akan menyesal.”
“Aku menyesal sejak semula ketika aku sadari, bahwa pertemuan ini tidak bermanfaat sama sekali,” sahut Agni.
“Diam!” bentak Mahendra. Kemudian katanya, “mulutmu setajam bisa ular. Ayo, minta maaf kepadaku.”
Mahisa Agni pun anak muda semuda Mahendra. Karena itu darahnya pun masih hangat-hangat panas. Ketika ia sudah tidak berhasil menahan diri lagi, maka ia pun menjawab, “Aku sudah bersiap untuk mempertahankan harga diriku, bukan untuk menyembahmu.”
Jawaban itu seakan-akan membakar telinga Mahendra. Karena itu tiba-tiba ia berteriak nyaring. Dengan satu loncatan, maka Mahendra menyerang Mahisa Agni dengan dahsyatnya. Tangannya terjulur lurus mengarah dada lawannya. Kecepatan gerak Mahendra benar-benar mengagumkan. Namun Mahisa Agni benar-benar telah bersiap. Karena itu dengan kecepatan yang sama, ia segera mencondongkan tubuhnya sehingga seakan-akan tangan Mahendra yang terjulur itu terhenti beberapa cengkang saja di muka dadanya.
Tetapi Mahendra tidak membiarkan kegagalan itu. cepat ia meloncat sekali lagi. Kali ini kakinya berputar setengah lingkaran pada tumitnya, dan kakinya yang lain menyambar lambung Mahisa Agni. Namun sekali lagi Mahisa Agni dengan lincahnya, meloncat ke samping menghindari kaki lawannya. Bahkan dengan cepat, Mahisa Agni berhasil menyentuh kaki itu dengan telapak tangannya, sehingga Mahendra terdorong selangkah ke samping.
Mahendra terkejut mengalami kegagalan yang berulang itu. Ia merasa seakan-akan ilmunya sudah jauh meningkat sejak beberapa bulan yang lampau. Tetapi ia masih gagal dalam serangannya berganda atas lawannya. Karena itu, maka kemarahannya menjadi semakin menyala. Apalagi kini beberapa orang kawannya menyaksikan perkelahian itu. Sehingga setiap kegagalan yang dialaminya, pasti akan menyebabkan kawan-kawannya itu menjadi kecewa. Mereka menganggap bahwa di antara mereka Mahendra adalah seorang anak muda yang pilih ta ding. Sehingga tidak ada di antara mereka yang berani melawannya.
Mahendra kali ini ingin memamerkan kepada kawan-kawannya. bahwa sebenarnya ia memiliki ilmu yang tak dapat diabaikan. Karena itu, maka sengaja dipancingnya persoalan atas Mahisa Agni itu. Dengan demikian, maka Mahendra itu pun kemudian menyerang lawannya kembali. Bertubi-tubi seperti angin ribut melanda ujung-ujung pepohonan. Tetapi ternyata lawannya kali ini sangat mengejutkannya. Mahisa Agni mampu bertahan sekokoh batu karang. Betapa angin melandanya, namun ia tetap tegak di tempatnya tanpa tergeser seujung rambut pun.
Namun Mahendra pun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya. Tangannya bergerak-gerak dengan tangkasnya, menyambar-nyambar seperti ujung cambuk yang mematuk-matuk. Sepasang tangan itu seakan-akan berubah menjadi sepuluh, bahkan ratusan pasang tangan yang menyambar dari segala arah. Namun Mahisa Agni dapat pula bergerak selincah burung sikatan. Tubuhnya melontar seperti bayangan melingkar, kemudian menyambar seperti burung rajawali. Namun kemudian menyerbu dengan dahsyat, sedahsyat banteng jantan.
Maka perkelahian itu pun semakin lama semakin menjadi sengit. Dan orang-orang pun semakin lama semakin banyak berkerumun di sekitar perkelahian itu. Beberapa orang perempuan berteriak-teriak, dan beberapa orang laki-laki mencoba bertanya-tanya, apakah sebab dari perkelahian itu. Tetapi tak seorang pun yang mendapat jawabnya. Kawan-kawan Mahendra melihat pertempuran itu dengan tegangnya. Kebo Ijo bahkan ikut meloncat ke sana kemari, seakan-akan ikut terputar bersama gerakan-gerakan mereka yang berkelahi itu.
Di panas yang semakin lama semakin terik, di tepi jalan kota jantung pemerintahan Tumapel itu, terjadi pergulatan yang semakin lama menjadi semakin seru. Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu mengenal, bahwa salah seorang dari mereka adalah Mahendra, tetapi siapa yang seorang.
Seorang anak muda yang bertubuh tinggi kekar mendesak maju mendekati Kebo Ijo. Digamitnya Kebo Ijo sambil bertanya, “Dengan siapakah Mahendra itu berkelahi?”
Kebo Ijo berpaling. Ketika dilihatnya orang bertubuh tinggi itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia menjawab, “Dengan anak Panawijen. Wiraprana.”
“Apakah sebabnya?”
“Anak itu menghina kami. Anak-anak muda Tumapel.”
“He?” bertanya orang bertubuh kekar itu, “ia menghina kita?”
“Ya.”
“Apa katanya?”
Kebo Ijo tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Karena ia katanya, “Aku tidak jelas. Mahendra yang mendengarnya, dan karena itu ia marah kepada anak Panawijen itu.”
“Hem,” geram orang yang bertubuh kekar itu, “kenapa lehernya tidak dipatahkannya saja.”
Kebo Ijo sekali lagi berpaling. Ia tersenyum di dalam hati. Orang yang tinggi besar itu adalah seorang prajurit pengawal Akuwu Tumapel. Maka katanya untuk membakar hati prajurit itu, “Kaulah yang berhak memutar lehernya.”
Tetapi prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian sekali lagi ia menggeram, “Aku tidak bersangkut paut dengannya.”
“Kenapa? Apakah kau tidak terhina pula?”
“Anak itu anak Panawijen seperti Kuda Sempana, pelayan dalam Akuwu. Aku tidak mau berselisih dengan anak muda itu.”
Kebo Ijo tertawa pendek. Katanya, “Kuda Sempana tidak mengenalnya.”
Prajurit pengawal Akuwu Tumapel itu mengerutkan keningnya. ”Aneh,” pikirnya. Tetapi ia tidak bertanya. Kini ia memperhatikan perkelahian itu. Mahendra agaknya telah mengerahkan segenap tenaganya, namun ia nama sekali tidak dapat menguasai keadaan. Bahkan kemudian tampaklah kelebihan-kelebihan yang mengagumkan dari lawannya itu. Kelincahan dan ketangguhannya. Bahkan kekuatannya pun melampaui kekuatan Mahendra.
Dan sebenarnyalah Mahisa Agni telah meloncat lebih jauh dari lawannya itu. Meskipun selama ini Mahendra telah berhasil meningkatkan ilmunya, namun kecepatan Mahisa Agni dalam olah kanuragan jauh lebih pesat daripadanya. Sehingga dengan demikian jarak dari keduanya menjadi semakin jauh. Orang yang tinggi besar itu menjadi heran. Mahendra adalah anak muda yang pilih tanding. Tetapi kini, berhadapan dengan anak yang datang dari pedesaan, agaknya ia mengalami kesulitan-kesulitan.
Prajurit itu menarik nafas. Seorang-seorang ia tidak lebih dan Mahendra. Tetapi bukankah ia prajurit pengawal Akuwu yang mempunyai lingkungan yang cukup banyak. Bahkan di antara mereka, pemimpinnya adalah seorang yang pasti melampaui keunggulan Mahendra, yaitu kakak seperguruannya. Witantra. Maka prajurit itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat bahwa Mahendra tidak segera dapat mengatasi keadaan, bahkan semakin lama tampaknya semakin terdesak, maka prajurit itu pun segera melangkah pergi, menerobos di antara para penonton yang semakin lama semakin berjejal-jejal.
“Anak itu harus mendapat sedikit pelajaran,” gumamnya sepanjang jalan.
Dengan tergesa-gesa ia pergi ke rumah Witantra. Ia ingin mendapatkan pujian darinya. Namun dengan menyesal ia tidak menemuinya di rumah. Maka, karena itu segera ia pergi ke barak penjagaan prajurit pengawal Akuwu Tumapel. Namun di sana Witantra itu pun tak ditemuinya. Ia takut terlambat karenanya. Sehingga akhirnya ia ingin bertindak sendiri. Dengan beberapa orang kawannya, prajurit yang bertubuh tinggi tegap itu pergi ke tempat Mahendra berkelahi melawan Mahisa Agni.
Sementara itu, pertempuran antara Mahendra dan Mahisa Agni masih berlangsung terus. Mahendra benar-benar telah kehilangan pengamatan diri. Kalau mula-mula ia hanya ingin menunjukkan kemampuannya yang telah bertambah-tambah, serta membuat Mahisa Agni menyesali diri atas keberaniannya bersaing dengan Mahendra, maka kemudian Mahendra telah melupakan segala-galanya. Ia telah sampai pada puncak kemarahannya. Bertempur antara hidup dan mati.
Sedang Mahisa Agni justru bersikap lain. Ketika ia telah dapat menjajaki kekuatan lawannya, maka ia menjadi bertambah tenang. Ternyata ilmunya telah meloncat sedemikian jauhnya, sehingga Mahendra sebenarnya bukanlah lawan yang dapat memancarkan keringat. Kalau kemudian ia bertempur, maka sebenarnya ia tidak lebih daripada melayani lawannya. Hanya sekali-sekali ia memberi tekanan-tekanan yang berat, supaya Mahendra cepat menjadi lelah dan berhenti dengan sendirinya. Tetapi ternyata Mahendra pun mempunyai tenaga yang kuat. Betapa ia terdesak, namun ia masih juga berjuang sekuat tenaganya. Bahkan geraknya masih nampak garang, dan serangan-serangannya tetap berbahaya.
Namun demikian, betapa kecemasan merayapi dadanya. Anak muda itu benar-benar menjadi heran. Apakah Mahisa Agni itu anak gendruwo.? Mahendra yang merasa bahwa ilmunya telah meningkat, namun Mahisa Agni itu masih belum dapat dikalahkan. Bahkan semakin lama tandangnya menjadi semakin mantap dan serangan-serangannya menjadi semakin dahsyat.
Tetapi Mahendra tidak mau menunjukkan kekurangannya di hadapan kawan-kawannya. Ia harus dapat mengalahkan lawannya supaya namanya tetap dikagumi oleh kawan-kawannya itu. Karena itu maka diperasnya tenaganya habis-habisan. Geraknya menjadi semakin cepat, secepat burung seriti menari-nari di udara, selincah anak kijang berkejar-kejaran di padang rumput. Tubuhnya melontar-lontar dengan cepatnya, berputar dan melibat lawannya seperti angin pusaran.
Namun Mahisa Agni sama sekali tidak menjadi bingung karenanya. Dengan tenangnya ia melawan serangan angin pusaran yang melibat dirinya dari segala arah itu. Seperti gunung anakan, ia tegak menghadapi badai yang betapapun kencangnya. Mahendra semakin lama menjadi semakin cemas. Mahisa Agni benar-benar sekukuh batu karang. Sekali-kali terasa bahwa tenaganya menjadi semakin susut, sedang lawannya masih belum juga mampu dikuasainya. Malahan Mahisa Agni itu sekali-sekali menekannya dan memaksanya untuk meloncat mundur dan mundur.
Kebo Ijo yang mengikuti perkelahian itu dengan seksama menjadi heran. Kakak seperguruannya ternyata telah benar-benar mengerahkan ilmunya. Namun agaknya lawannya itu benar-benar seperti asap yang tak dapat disentuh tangan. Dari perkelahian itu Kebo Ijo pun dapat menilai, bahwa sebenarnya ilmu Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu benar-benar melampaui ilmu kakaknya. Karena itu, maka. Kebo Ijo pun menjadi bingung. Ia tidak mau melihat seandainya kakak seperguruannya itu dikalahkan. Tetapi ia tidak dapat terjun membantunya.
Apabila demikian, dan kakak seperguruan mereka yang lebih tua, Witantra, mendengarnya, maka akibatnya akan tidak menyenangkan sekali. Namun demikian ia mempunyai satu harapan lagi. Kawannya, prajurit yang bertubuh tinggi kekar, datang kembali bersama kakak seperguruannya itu. Mahendra, dirinya dan beberapa kawannya akan dapat dijadikan saksi, bahwa Mahisa Agni telah menghina mereka. Mudah-mudahan kakaknya mempercayainya dan merasa terhina pula.
Demikianlah perkelahian itu semakin lama semakin nampak, bahwa kekuatan Mahendra menjadi semakin berkurang. Sehingga akhirnya Mahendra menjadi hampir berputus asa, dan bertempur tanpa kendali. Ia menyerang dengan garangnya dan dengan penuh kegelisahan Namun serangan-serangan itu seperti angin yang lewat di antara batu-batu karang yang kokoh kuat. Lewat, tanpa kesan dan tanpa meninggalkan bekas.
Tiba-tiba, beberapa orang yang menonton perkelahian itu terkejut ketika mereka mendengar beberapa bunyi cambuk berledakan di belakang mereka. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang prajurit pengawal Akuwu berada di sekitar mereka. Karena itu dengan gugupnya mereka berpencaran dan berlarian menjauh.
Seorang yang berperawakan tinggi tegap berdada bidang setegap kawan Kebo Ijo, namun tidak berkumis, segera tampil ke depan. Dengan cambuk di tangan ia berteriak lantang, “Berhenti!”
Mahendra segera meloncat mundur. Dan Mahisa Agni pun tidak mengejarnya, sehingga perkelahian itu pun berhenti.
“Kenapa kalian berkelahi?” bertanya orang yang tinggi besar itu.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Persoalan ini akan menjadi semakin berlarut-larut. Ia tergesa-gesa pulang ke Panawijen karena kegelisahannya atas nasib padukuhannya dan nasib Ken Dedes, tetapi tiba-tiba ia akan terpaksa berhenti beberapa lama di Tumapel.
Yang mula-mula menjawab adalah Mahendra. “Bertanyalah kepada mereka yang melihat persoalan ini dari permulaan,” katanya sambil menunjuk Kebo Ijo dan beberapa anak muda yang lain.
Kebo Ijo kemudian melangkah selangkah maju. Meski pun ia belum begitu mengenal prajurit itu, namun ia pernah melihatnya sekali dua kali. Kemudian katanya, “Anak itu menghina kami, Kakang.”
Orang itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia bertanya pula, “Apakah yang sudah dilakukan?”
Kebo Ijo berpaling kepada Mahendra. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Mahendra pun kemudian mengerutkan keningnya. Setelah berpikir sejenak ia berkata, “Anak Panawijen ini menganggap kami, anak-anak muda Tumapel sebagai anak-anak liar. Apakah demikian keadaan kami?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Mahendra akan sampai hati berkata demikian atas dirinya. Ia tidak menyangka bahwa Mahendra dapat melakukan fitnah. Alangkah mengherankan. Dan bahkan hampir tak masuk di akalnya. Sebenarnya Mahendra sendiri terkejut mendengar kata-katanya itu. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Semula sesekali memang tidak terkandung maksud untuk melakukan perbuatan itu, tetapi ia dihadapkan pada peristiwa yang sama sekali tak diperhitungkannya.
Maksudnya mula-mula hanyalah untuk menghinakan Mahisa Agni. Menebus sakit hatinya atas kekalahan yang pernah dialaminya. Namun tanpa diduganya, ternyata ia sama sekali tidak mampu untuk melakukan pembalasan dendam itu. Bahkan sekali lagi ia dikalahkan. Karena itu, ketika ia dihadapkan pada pertanyaan yang tiba-tiba itu, maka dijawabnya tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya.
Prajurit itu, yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang, dengan cemeti di tangannya, mengerutkan keningnya. Dipandangnya Mahisa Agni dari ujung rambut sampai ke ujung hatinya. Kemudian dipandanginya Mahendra dengan tajamnya. Kepada Mahendra prajurit itu pernah melihatnya sekali dua kali. Dan pernah dikenalnya pula namanya.
Suasana di sekitar tempat itu menjadi sepi tegang. Semua mata tertancap kepada prajurit yang memegang cambuk itu. Ketika kakinya bergeser setapak, tiba-tiba saja Mahisa Agni pun menggeser kakinya. Namun Prajurit itu tidak berbuat apa-apa. Ia menjadi bimbang. Pernah didengarnya nama Mahendra sebagai seorang arak muda yang perkasa. Dikenalnya nama itu sebagai adik seperguruan pemimpinnya. Tiba-tiba terdengarlah suara prajurit itu parau,” He, anak muda, siapakah namamu?”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Mahendra, Kebo Ijo mengenalnya sebagai Wiraprana, putra Buyut Panawijen. Karena Mahisa Agni masih belum menjawab, maka prajurit itu membentaknya, “He siapakah namamu?”
“Wiraprana,” jawab Agni gemetar.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia berpaling kepada Mahendra, dan sekali lagi ia bertanya, “Apa yang dikatakan tentang kalian?”
Kini Mahendra menjadi ragu-ragu. Ia malu untuk mengurungkan tuduhannya. Namun yang menyahut Kebo Ijo, “Ia menganggap kami, anak-anak muda Tumapel sebagai anak yang liar. Bukankah itu suatu penghinaan?”
Prajurit itu mengangkat alisnya. Dalam waktu y mg singkat ia mampu membuat perhitungan. Mahendra adalah anak yang memiliki ilmu tata bela diri tinggi. Namun sudah lama anak muda dari Panawijen itu tak dapat dikalahkan. Dengan demikian, maka anak mula itu setidak-tidaknya memiliki ilmu setingkat dengan Mahendra.
Jawaban prajurit itu kemudian benar-benar mengejutkan Kebo Ijo dan kawan-kawannya, katanya, “Hem. Aku sangka kata-kata anak muda itu tidak terlalu salah.”
“Apa?” teriak Kebo Ijo, “Kau berkata sebenarnya?”
Prajurit itu mengangguk. Sahutnya, “Aku menganggap bahwa kata-katanya tidak terlalu salah. Anak ini datang dari pedesaan. Apakah kau sangka bahwa ia berani berbuat sesuatu kalau kalian tidak memulainya?”
Wajah Kebo Ijo, Mahendra dan anak-anak muda yang lain menjadi merah padam Sehingga Kebo Ijo kemudian berteriak lantang, “Jadi kau membenarkan hinaan itu?”
Prajurit itu menggeleng, katanya, “Aku tidak membenarkan suatu penghinaan dari siapa pun untuk siapa pun. Namun aku ragu-ragu akan kebenaran kata-katamu.”
“Kami menjadi saksi,” sahut salah seorang anak muda kawan Kebo Ijo, “dan kalian dapat bertindak atasnya.”
“Anak ini anak Panawijen,” berkata Prajurit itu, “aku tidak mau berselisih dengan anak-anak Panawijen yang tinggal juga di dalam istana.”
“Kuda Sempana?” sahut Mahendra.
Prajurit itu mengangguk. “Kuda Sempana tak mengenal anak ini. Baru saja Kuda Sempana lewat berkuda di jalan ini, dan ia memandang anak ini seperti memandang hantu.”
Prajurit itu kini benar-benar mengerutkan dahinya. Sejenak ia berpikir. Dan sekali lagi kata-katanya mengejutkan, “Aku sangka anak-anak pedesaan lebih bersikap jujur dari kalian. Biarlah aku bertanya kepadanya.”
“Bohong!” sahut Kebo Ijo sambil melangkah maju. Wajahnya yang merah menyala menunjukkan kemarahannya. Sebenarnya Kebo Ijo adalah anak yang berani. Seandainya Mahendra tidak menggamitnya maka prajurit itu pasti sudah ditantangnya berkelahi. Namun meskipun demikian ia masih berkata, “Anak-anak pedesaan adalah anak-anak muda yang licik.”
Tetapi jawab prajurit itu tegas, “Aku adalah anak pedesaan.”
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin merah karenanya. Dan karena itu maka justru ia terdiam. Namun terdengar giginya gemeretak menahan kemarahannya yang telah memuncak. Sedang Mahendra pun menjadi marah pula. Diamat-amatinya prajurit itu dengan seksama. Katanya di dalam hati, “Suatu ketika kita akan membuat perhitungan.”
Tetapi Prajurit itu bukan seorang penakut. Karena itu dengan lantang ia bertanya kepada Mahisa Agni, “Wiraprana, apakah kata-kata mereka itu benar?”
Mahisa Agni menggeleng. “Tidak!” sahutnya.
Prajurit itu menarik nafas. Kemudian kepada Mahendra ia berkata, “Kau dengar?”
Dari mata Mahendra telah menyala kemarahan yang tiada taranya. Namun sebelum ia menjawab, maka prajurit kawan Kebo Ijo maju selangkah. Tubuhnya tidak kalah garangnya dengan prajurit yang bercemeti itu. Dengan wajah yang tegang ia berkata lantang, “Aku anak muda Tumapel. Anak-anak muda Tumapel bukan anak-anak muda yang liar.
Prajurit yang bercemeti itu terkejut. Tak disangkanya sama sekali kalau seorang kawannya tiba-tiba telah berbuat demikian. Karena itu ia mencoba membetulkan kata-katanya, “Tidak semua anak-anak muda dari kota Tumapel berbuat demikian. Tetapi apakah kau tidak kenal sebagian dari anak-anak muda ini?”
Prajurit kawan Kebo Ijo itu menjawab, “Aku kenal mereka. Mereka adalah kawan-kawan ku.”
“Nah,” sahut prajurit itu, “kalau demikian kau pasti sudah tahu, apa saja yang sudah mereka lakukan.”
“Mungkin mereka sering melakukan kenakalan-kenakalan anak-anak. Tetapi kami, anak-anak muda dan Tumapel tidak mau dihinakan.”
Prajurit bercemeti itu menggigit bibirnya. Namun kemudian katanya, “Marilah kita lihat, siapakah yang sebenarnya bersalah. Jangan bertanya kepada mereka, dan jangan bertanya kepada anak Panawijen itu.”
“Hanya akan membuang-buang waktu,” sahut prajurit kawan Kebo Ijo, “anak itu harus ditangkap. Biarlah ia tahu, bahwa seseorang tidak boleh melakukan penghinaan.”
Prajurit bercemeti itu menjadi bingung. Ditatapnya beberapa wajah yang ada di sekitarnya. Kemudian katanya berbisik, “Terserahlah kepadamu. Semuanya ini bukan tanggung jawabku. Aku tidak mau ikut serta. Sebab kau sudah berpihak. Kalau aku kemudian berpihak pula, maka kita tidak akan dapat menegakkan peraturan-peraturan yang berlaku. Kita akan ditelan oleh perasaan kita sendiri-sendiri. Dan kita akan melihat kebenaran dari pihak kita masing-masing. Karena itu, aku lebih baik tidak berbuat sesuatu. Supaya kita tidak saling bertengkar sesama kita di hadapan orang banyak.”
Kawannya itu tidak menjawab. Tetapi ia merasa bahwa kawannya yang bercemeti itu segan kepadanya. Karena itu, maka ia pun melangkah maju sambil berkata lantang, “Wiraprana, kau aku tangkap!”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dilihatnya beberapa orang prajurit yang lain maju pula. Mereka adalah kawan-kawan prajurit yang akan menangkap Agni itu. Sedang prajurit yang bercemeti itu masih berdiri di tempatnya. Tetapi ia kini berdam diri. Dengan penuh kesadaran ia lebih baik tidak ikut campur dalam persoalan ini supaya tidak menimbulkan kesan yang jelek bagi orang-orang yang melihat, bahwa di antara para prajurit itu timbul pendapat yang berbeda-beda tentang masalah yang sama.
Sedang kawan Kebo Ijo itu melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat menyenangkannya. Orang itu akan diserahkannya kepada Witantra, kakak seperguruan Mahendra. Pasti orang itu akan memujinya dan seterusnya biarlah Mahendra yang mengatakan, apa yang sudah dilakukan oleh anak Panawijen itu.
Tetapi Mahisa Agni sudah mendapat ketetapan hati. Ketika ia melihat bahwa tidak semua prajurit dengan membabi buta menelan saja pengaduan yang sama sekali tidak benar itu, ia menjadi tenang. Karena itu, maka ia bertekad untuk menurut saja, apa yang akan dilakukan oleh prajurit-prajurit itu. Ketika sekali lagi ia mendengar prajurit itu berkata kepadanya, maka jawab Mahisa Agni, “Baiklah. Aku tidak akan melawan kalian, sebab kalian adalah prajurit-prajurit Tumapel.”
“Jangan banyak mulut,” bentak prajurit kawan Kebo Ijo itu sambil menarik lengan Mahisa Agni. Tetapi prajurit itu terkejut Mahisa Agni itu sama sekali tak dapat digesernya walaupun setapak.
Karena itu maka wajahnya tiba-tiba menjadi merah. “Jangan melawan!” bentaknya.
“Tidak,” sahut Mahisa Agni, “aku tidak akan melawan. Tetapi aku sudah dapat berjalan sendiri.”
“Setan!” desis prajurit itu.
Mahisa Agni itu pun kemudian sama sekali tidak melawan ketika ia dibawa oleh para prajurit itu ke barak mereka Mahendra, Kebo Ijo dan beberapa orang yang lain ikut pula beramai-ramai di belakang para prajurit itu. Sekali-kali terdengar mereka berteriak-teriak. Kebo Ijo benar-benar tak dapat menguasai luapan perasaannya sehingga kata-katanya semakin lama menjadi semakin kotor. Tetapi sekali-kali Mahendra membentaknya pula, “Kebo Ijo, jangan berteriak-teriak!”
“Biarlah ia jera. Untuk lain kali ia tidak berani menghina kita lagi, Kakang.”
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun terasa sesuatu berdesir di dadanya. Dengan tanpa disengaja Kebo Ijo telah memperingatkan akan kesalahannya, sehingga perlahan-lahan ia berdesis, “Apakah benar Wiraprana menghina kita Kebo Ijo?”
Kebo Ijo itu terdiam. Tetapi kebenciannya kepada Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu melampaui Mahendra. Sedang Mahendra sendiri tiba-tiba menjadi malu atas perbuatannya. Namun semuanya telah terlanjur. Dan ia kini tinggal mempertahankan ketelanjurannya itu. Sekali ia berdusta, maka ia akan berbuat serupa terus menerus untuk mempertahankan kedustaannya itu.
Iring-iringan itu berjalan semakin lama semakin panjang. Beberapa orang yang melihat mereka bertanya di antara sesama. Anak-anak muda yang lain pun ikut serta di antara kawan-kawannya, sedang mereka yang sebenarnya anak-anak nakal, seakan-akan mendapat suatu permainan. Tetapi sekali-kali prajurit yang bercemeti, yang berjalan di paling belakang, membentak mereka, dan mengusir mereka itu pergi.
Mahendra yang berjalan di belakang prajurit bercemeti itu menundukkan wajahnya. Ia menyesal akan sikapnya. Lebih baik ia menerima kekalahan yang dialaminya daripada menjerumuskan dirinya dalam suatu sikap yang memalukan itu. “Hem,” Mahendra menarik nafas dalam-dalam. “Sudah terlanjur,” gumamnya berkali-kali.
Tetapi berbeda sekali dengan sikap Kebo Ijo. Bahkan anak itu meloncat ke sana kemari, membisiki kawan-kawannya yang baru saja mereka temui di perjalanan itu. Mereka yang mendengar ceritanya dengan serta-merta tertawa tergelak-gelak. Ada juga di antara mereka yang dengan sengaja bertanya dengan suara keras-keras, supaya Mahisa Agni mendengarnya. Namun mereka itu terdiam apabila mereka mendengar meledaknya cambuk dari prajurit yang bertubuh kekar itu. Bahkan sekali-sekali didorongnya beberapa anak muda sampai jatuh berguling. Namun setiap kali ia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba iring-iringan itu terkejut, ketika mendengar derap kuda berlari. Kemudian muncullah dari tikungan jalan di depan mereka, dua orang berkuda kencang-kencang ke arah iring-iringan itu. Ketika prajurit kawan Kebo Ijo melihat orang berkuda itu, maka ia pun tersenyum. Kepada Mahisa Agni ia berkata, “Itulah pemimpin kami. Kau akan dihadapkan kepadanya.”
Mahisa Agni pun terkejut melihat orang itu. Ia pernah melihatnya. Meskipun pada waktu itu di dalam gelapnya malam, namun ia masih cukup dapat mengenalnya. Orang itu adalah kakak seperguruan Mahendra. Demikian kuda itu sampai di hadapan mereka, maka Witantra, penunggang kuda itu, segera menarik kekang kudanya sambil berkata lantang, “Aku dengar, kau bertengkar Mahendra?”
Mahendra mengangguk. Tetapi sebelum ia menyahut, terdengar Kebo Ijo berkata, “Itulah Kakang. Anak Panawijen yang barangkali telah Kakang kenal. Ternyata ia masih merindukan kemenangan yang pernah dilakukan. Ketika ia bertemu dengan Kakang Mahendra, maka dengan serta-merta ia menghinanya. Tetapi ternyata bahwa Kakang Mahendra bukanlah Kakang Mahendra beberapa bulan yang lalu. Untunglah bahwa beberapa orang prajurit sempat melerainya, dan membawa anak itu kepada Kakang. Kalau tidak entahlah, apa yang akan dilakukan oleh Kakang Mahendra atasnya.”
Sekali lagi Mahisa Agni heran mendengar pengaduan itu. Apakah sebabnya maka Kebo Ijo itu sedemikian mendendamnya? Witantra pun ternyata terkejut sekali melihat Mahisa Agni, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Apakah kau Wiraprana?”
Mahisa Agni mengangguk. “Ya,” jawabnya.
Witantra memandangnya dengan kecewa. Sama sekali tak disangkanya bahwa anak Panawijen itu dapat berlaku sombong. Karena itu ia bertanya kepada Mahendra, “Apakah kata-kata adikmu Kebo Ijo itu benar?”
Mahendra ragu-ragu sejenak. Tetapi ia harus menjawab. Karena itu ia tidak dapat berbuat lain, selain menganggukkan kepalanya. Witantra itu menarik nafas panjang. Mula-mula ia mengagumi Mahisa Agni itu, ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya. Namun kini ia menjadi kecewa, kenapa anak itu dapat menyombongkan dirinya. Bahkan kemudian didengarnya seorang anak muda berkata,
“Ia tidak saja menghina Kakang Mahendra, tetapi ia menghina kami. Disebutnya anak-anak muda Tumapel sebagai anak-anak yang liar. Karena itu kami marah pula karenanya.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia pun berkata lantang, “Bawa ia ke rumahku.”
Mahisa Agni masih mencoba untuk menjelaskan persoalannya. Namun ia tidak mendapat kesempatan lagi. Witantra segera menarik kekang kudanya dan berlari meninggalkan mereka bersama seorang kawannya...