PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 09
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 09
Karya Singgih Hadi Mintardja
Namun ketika ia mendengar jawaban Ki Buyut Panawijen itu, tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan serta-merta ia bangkit dan menggertakkan giginya, “Gila. Gila. Siapakah yang telah membunuhnya?”
“Kuda Sempana.”
“Kuda Sempana?” ulangnya. Namun tubuhnya kemudian menjadi lemah kembali. Hampir saja ia terjatuh, seandainya Ken Arok tidak segera menangkapnya, dan membaringkannya kembali perlahan-lahan. Bahkan darahnya yang telah mampat itu tiba-tiba mengalir kembali Meskipun tidak sedemikian derasnya.
Tetapi kembali mereka terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat wajah Witantra itu menjadi merah padam. Dengan geramnya ia berdesis, “Mahisa Agni. Jadi kau bernama Mahisa Agni?”
Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun segera memakluminya. Karena itu segera ia menjawab singkat, “Ya. Aku Mahisa Agni.”
“Aku mendengar orang menyebutmu Mahisa Agni. Namun aku sangka bahwa kau mempunyai beberapa nama dan sebutan. Namun kini ternyata bahwa kau sama sekali tidak bernama dan sebutan Wiraprana.”
“Ya. Aku bukan Wiraprana.”
“Hem,” Witantra itu menggeram, “aku pernah mendengar pula Kuda Sempana menyebut nama Wiraprana, namun baru sekarang aku tahu.”
“Ya. Sekarang kau tahu, bahwa aku bukan Wiraprana.”
Sekali lagi Witantra menggeram. Dan semua orang menjadi terkejut dan heran karenanya. Bahkan Ken Arok pun menjadi heran pula. “Agni,” desis Witantra, “aku telah mencegah adikku berbuat curang. Namun aku tidak menyangka bahwa kau bukan Wiraprana yang sebenarnya.”
Semua yang berada di sekitar Mahisa Agni terbaring itu menjadi bertambah tidak mengerti, apa yang sedang dibicarakan oleh Witantra dan Mahisa Agni itu. Apalagi ketika Witantra meneruskan, “Kalau kau tidak mengkhianati kejantanan Wiraprana pada waktu itu maka keadaan akan menjadi lain. Mungkin Kuda Sempana tidak akan berbuat seperti sekarang, dan mungkin Mahendra akan dapat mempertahankan dirinya daripadanya. Ketika Kebo Ijo memberikan keris kepada Mahendra, aku berkata, bahwa aku akan berada di pihakmu kalau mereka berdua bersama dengan Mahendra memaksakan perkelahian dua melawan dua, sebab aku tahu bahwa kawanmu waktu itu sama sekali tidak akan mampu untuk melawan Kebo Ijo. Ya, kawanmu waktu itu.”
Witantra berhenti sesaat, Kemudian ia meneruskan, “Aku ingat sekarang, ternyata kawanmu waktu itulah yang bernama Wiraprana, yang terbunuh oleh Kuda Sempana.”
Witantra terdiam. Namun wajahnya masih tampak menyala-nyala. Seakan-akan ia menuntut sesuatu yang telah pernah terjadi atas Mahisa Agni yang terbaring luka itu. Sehingga tiba-tiba Ken Arok menyela, “Kakang Witantra. Meskipun aku tidak mengetahui persoalan yang kau katakan, tetapi adalah tidak bijaksana kalau persoalan itu kau ungkapkan sekarang, selagi Mahisa Agni sedang terluka.”
“Tetapi kini ternyata, bahwa luka itu adalah akibat dari kecurangan yang pernah dilakukan masa lampaunya. Ia telah menipu aku, adik seperguruanku dan dirinya sendiri. Ketika persoalan timbul antara Wiraprana dan Mahendra, maka Mahisa Agnilah yang mencoba menyelesaikannya atas nama Wiraprana. Nah, sekarang akibatnya menjadi semakin panjang. Kuda Sempana ternyata turut pula terlibat dalam persoalan ini.”
“Apa pun yang terjadi, Kakang. Tunggulah sampai luka-lukanya sembuh.”
“Aku tidak peduli lagi atas luka-lukanya. Aku menuntut keadilan atas adik seperguruanku. Kalau ia telah berbuat atas nama Wiraprana, maka aku akan berbuat atas nama Mahendra.”
“Kau terlalu mementingkan persoalanmu sendiri Kakang,” sahut Ken Arok, “sekali lagi aku minta, biarlah ia beristirahat dan berusaha sembuh kembali.”
“Kau tidak tersangkut dalam persoalan ini Adi,” jawab Witantra, “persoalan ini adalah persoalanku dan Mahisa Agni.”
“Tetapi ia sedang terluka.”
“Luka akibat kesalahannya. Apakah yang perlu disesalkan?”
“Kakang, jangan berpikir tentang sebab-sebab yang sama sekali tidak langsung itu. Biarlah itu berlaku masa-masa lampau. Tetapi biarlah kita melihat masa ini, keadaannya kini.”
“Keadaan ini adalah kelanjutan dari masa lampau itu. Dari sebab yang dibuatnya sendiri.”
“Baik. Kalau kau masih berbicara tentang sebab, akulah yang menyebabkan luka itu. Sebab yang lebih langsung dari yang kau katakan itu. Dari sebab-sebab yang sama sekali tidak aku ketahui ujung dan pangkalnya. Namun kalau kau memaksakan persoalan sebab yang menimbulkan akibat ini, maka aku akan tidak sependapat. Seandainya luka itu adalah akibat dari perbuatannya, maka biarlah akibat itu ditanggungkannya dengan tenang.”
“Tetapi apa yang pernah dilakukan telah menutup kemungkinan bagi adik seperguruanku, yang waktu itu aku cegah untuk berbuat tidak jantan. Sekarang persoalan itu ternyata telah diambil alih oleh Kuda Sempana. Sedang Mahendra tinggal dapat merasakan kepahitan hidupnya. Kepahitan dari kegagalannya.”
“Lupakanlah itu, Kakang. Setidak-tidaknya untuk sementara.”
“Tidak. Tidak. Aku adalah seseorang yang akan tetap tegak kepada keadilan.”
“Lakukanlah, namun lurus dengan bijaksana. Buatlah perhitungan, tetapi apabila luka itu telah disembuhkan.”
“Jangan campuri urusanku Ken Arok!” bentak Witantra dengan marahnya.
Tetapi Ken Arok pun tiba-tiba menjadi gemetar. Untuk kedua kalinya ia dibentak oleh Witantra dalam persoalan yang sama sekali berlawanan. Ketika Witantra membentaknya dengan pandangan yang menyala dan disangkanya ia melukai Mahisa Agni, maka perasaannya telah tersinggung. Kini Witantra membentaknya lagi dalam persoalan yang bertolak belakang. Karena itu, maka Ken Arok itu pun menjawab dengan suara gemetar “Witantra. Aku sadari bahwa kau adalah seorang prajurit yang linuwih. Namun apabila kau kehilangan kebijaksanaan yang bening, maka kau akan sama artinya dengan Kuda Sempana dan Akuwu Tumapel. Kau dapat mempergunakan kekuasaanmu untuk kepentinganmu.”
“Aku bukan orang-orang yang licik dan pengecut. Aku akan menyelesaikan persoalanku pribadi dalam tindak pribadi. Aku akan membuat persoalan menjadi adil. Atas nama adikku Mahendra aku menuntut pengakuan Mahisa Agni yang mencoba dirinya menjelma menjadi Wiraprana.”
“Witantra!” sahut Ken Arok tiba-tiba suaranya menjadi parau. Suara yang pernah didengar oleh Mahisa Agni di padang rumput Karautan. Suara hantu padang yang menakutkan, “Kalau tetap pada pendirianmu, biarlah aku bertindak atas nama Mahisa Agni yang terluka. Ayo cara yang mana yang kau kehendaki.”
Witantra terkejut mendengar tantangan itu. Tiba-tiba dengan serta-merta ia meloncat berdiri. Dan hampir dalam saat yang bersamaan Ken Arok telah berdiri pula. Suaranya yang parau itu masih terdengar, “Akulah yang harus berbuat atas namanya.”
Keadaan segera menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba terdengar Mahisa Agni tertawa. Tertawa aneh. Sedemikian anehnya sehingga suara tertawa itu benar-benar mengejutkan. Lebih-lebih bagi Witantra dan Ken Arok. Suara tertawa itu lebih mengejutkan bagi mereka daripada gemuruhnya suara guruh yang meledak di telinganya.
“Kenapa kau tertawa Agni?” bertanya Ken Arok.
“Duduklah. Duduklah kalian,” berkata Mahisa Agni.
Witantra dan Ken Arok itu masih berdiri mematung. Beberapa orang yang duduk di sekitar mereka itu telah bergeser mundur dengan penuh keheranan tersimpan di dalam dadanya. Witantra dan Ken Arok masih belum bergerak dari tempatnya. Mereka masih mendengar Mahisa Agni tertawa. Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa suara tertawa yang aneh itu adalah suara tertawa yang melontarkan kepedihan yang menghunjam perasaannya. Suara tertawa yang memancarkan kepahitan hidup yang selama ini harus ditanggungkannya.
“Duduklah Ken Arok,” kembali terdengar suara Mahisa Agni di antara suara tertawanya yang menjadi semakin pahit. Kemudian katanya pula, “Jangan halangi Witantra berbuat menurut suara keadilannya. Aku membenarkan semua kata-katanya. Aku telah mengkhianati kejantanan Wiraprana menurut istilahnya. Kalau Witantra itu menuntut pengakuanku atas kecurangan itu, maka biarlah aku mengakuinya. Kalau itu merupakan kesalahan yang tak dapat dilupakan olehnya, biarlah ia berbuat menurut kehendaknya untuk menghukum kesalahan itu.”
“Mahisa Agni,” potong Ken Arok, “apakah sebetulnya yang pernah kau lakukan?”
“Jangan kau tanyakan sekarang,” sahut Mahisa Agni, “aku sedang tidak bernafsu untuk banyak berbicara. Aku lebih senang menikmati perasaan nyeri di punggungku. Namun dalam pada itu, aku akan mempersilakan Witantra berbuat sesuka hatinya.”
Ken Arok terdiam karenanya. Meskipun berbagai pertanyaan berputar-putar di dalam benaknya, namun ia tidak dapat berbuat sesuatu. Kini ia berdiri saja seperti tiang-tiang pendapa yang diam kaku. Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Mahisa Agni yang terbaring diam. Bahkan seakan-akan ia tidak memperhatikannya sama sekali.
“Mahisa Agni,” geram Witantra, “aku menjadi sangat kecewa atas perbuatanmu itu. Sekarang kau pergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan lukamu itu kau akan dapat menghindari setiap pertanggungan jawab yang harus kau berikan kepadaku, atas nama adikku Mahendra. Dengan lukamu itu kau akan dapat mengatakan, bahwa semua persoalan akan ditunda. Sebab kau mengharap bahwa aku tidak akan membuat perhitungan dengan seseorang yang sedang terluka."
Kembali Mahisa Agni tertawa. Alangkah pahitnya. Dipalingkannya wajahnya memandang kepada Witantra yang berdiri dengan garangnya. Kemudian katanya, “Lucu sekali.”
“Apa yang lucu!” bentak Witantra.
“Kau, Ken Arok, aku, Kuda Sempana, Akuwu Tumapel dan semua orang.”
Witantra memandang Mahisa Agni semakin tajam. Bahkan kemudian ia menggeram “Jangan mengigau Agni!”
“Tidak. Aku tidak mengigau. Aku berkata sebenarnya, bahwa orang-orang yang pernah aku kenal, ternyata tidak lebih daripada badut-badut yang menggelikan.”
“Jangan menghina!”
“Aku tidak menghina. Kalau aku mengatakan apa yang sebenarnya bukankah aku tidak menghina? Coba, Witantra, apakah yang kau lakukan itu wajar. Baru saja kau marah-marah kepada Ken Arok. Kau sangka anak muda itu melukai aku. Aku sangka kau benar-benar berbuat dengan jujur. Dengan sepenuh hati. Aku sangka kau benar-benar tidak ikut dalam perkosaan ini.”
“Aku tidak turut dalam perkosaan ini!” potong Witantra dengan lantangnya. Wajahnya menjadi semakin merah karena kemarahan yang melanda dadanya.
“Kenapa kau tidak turut?”
“Aku tidak mau melihat kesewenang-wenangan. Aku tidak mau melihat penindasan yang tidak semena-mena.”
“Oh,” desis Mahisa Agni. Meskipun anak muda itu tersenyum, namun matanya memancarkan kepedihan yang tiada taranya. Katanya kemudian “Itulah Witantra. Bukankah dunia ini hanya dipenuhi oleh badut-badut yang sama sekali tidak berarti. Kau tersentuh rasa keadilan mu karena aku menamakan diriku Wiraprana. Kau tidak mau ikut serta dalam tindakan yang sewenang-wenang. Namun apakah sebenarnya yang kau lakukan itu? Huh. Kau menentang perbuatan Akuwu Tunggul Ametung yang melindungi Kuda Sempana bukan karena kau tidak mau melibat kesewenang-wenangan. Namun kau menjadi iri hati karenanya. Kau iri, kenapa kesempatan itu diberikan oleh Akuwu kepada Kuda Sempana. Tidak kepada adikmu Mahendra?”
“Bohong!” teriak Witantra. Dengan jari-jari yang gemetar ia menunjuk kepada perempuan tua di samping Mahisa Agni, “perempuan itu melihat apa yang telah aku lakukan. Perempuan itu melihat, bahwa Akuwu telah mengeluarkan perintah untuk menangkap Witantra. Perempuan itu melihat bahwa Akuwu telah mengancam aku untuk menggantung aku besok. Nah, apalagi? Aku tidak mau ikut serta dalam perbuatan yang terkutuk itu. Perbuatan yang meninggalkan kebebasan perseorangan untuk berbuat menurut pilihan sendiri. Dan aku akan menanggung akibatnya. Aku sama sekali tidak berpikir tentang Mahendra. Aku sudah melupakannya seandainya aku tidak tahu, bahwa kau telah menipu aku, menipu Mahendra sehingga kesempatan Kuda Sempana menjadi lebih baik daripadanya."
“Nah. Jangan kau pungkiri kata-katamu sendiri. Kau tidak mau melihat kesewenang-wenangan. Kau tidak mau melihat perbuatan yang meninggalkan kebebasan perseorangan untuk berbuat menurut pilihan sendiri. Kau tidak mau melihat bahwa dengan kekuatan orang memaksakan kehendaknya? Benar? Nah katakan kepadaku Witantra, seorang prajurit yang jujur, yang mencoba berdiri tegak di atas keadilan. Kau menentang semuanya itu, karena semuanya itu akan menguntungkan orang lain. Menguntungkan Kuda Sempana. Bukan menguntungkan adikmu Mahendra. Tetapi Witantra yang bijaksana. Kau melihat sendiri, apa yang akan dilakukan oleh Mahendra. Keadilan yang kau katakan itu benar-benar timpang. Kalau Mahendra ingin memaksakan kehendaknya dengan kekuatan yang diagung-agungkan saat itu. Kalau Mahendra ingin mengadakan pertandingan untuk merebut Ken Dedes dengan kekuatan. ya, seandainya aku tidak menyebut diriku Wiraprana saat itu? Apakah yang terjadi Witantra? Apa? Mungkin Wiraprana telah mati saat itu. Apakah kau dapat menjamin bahwa perkelahian yang demikian tidak akan dapat berakibat maut? Sedang apakah kau menasihati adikmu itu untuk menanyakan saja kepada Ken Dedes, pilihannya menurut kebebasan yang dimilikinya? He?”
Witantra menjadi gemetar mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Wajahnya yang merah seakan-akan memancarkan nyala kemarahannya. Tetapi ketika ia bergeser setapak maju, maka Ken Arok pun bergerak pula setapak. Dengan suara yang bergetar karena menahan gejolak perasaannya Witantra berkata “Mahisa Agni. Kau mencoba mencari alasan untuk melindungi kesalahanmu. Kau mencoba mencari sebab, kenapa kau seakan-akan sudah seharusnya berbuat demikian.”
“Tidak!” potong Agni, “Aku tidak pernah mengingkari kesalahan itu. Aku sudah mengakuinya. Dan aku tidak akan mencari dalih apa pun yang dapat menutupi kesalahan itu. Tetapi sekarang marilah kita melihat diri kita masing-masing. Aku melihat diriku dan kau melihat ke dirimu.”
“Tetapi pada saat itu Mahendra berbuat dengan penuh tanggung jawab. Ia tidak memperalat kekuasaan atau orang lain. Ia berbuat sendiri. Ia memperjuangkan cita-citanya sendiri.”
“Jadi apakah dengan demikian perbuatannya itu dapat dibenarkan. Bukankah dengan demikian, maka kekuatan jasmaniahlah yang harus menentukan keputusan. Bukan kebenaran menurut penilaianmu. Kebebasan seseorang untuk menentukan pilihan. Bagaimanakah kalau kemudian Mahendra menang atas Wiraprana? Sedang Ken Dedes telah memilih Wiraprana sebagai calon suaminya? Bagaimana?”
Witantra terdiam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Mahisa Agni itu Bahkan lamat-lamat dapat dilihatnya pula bahwa sesungguhnya adik seperguruannya pada saat itu pun akan mempergunakan kekuatannya untuk memaksakan kehendaknya.
Dalam pada itu terdengar Mahisa Agni yang terluka itu berkata lantang “Nah, Witantra. Sekarang lihatlah. yang terbaring di halaman itu adalah Wiraprana. Ia mati karena orang lain ingin merampas haknya dengan kekuatan dan kekuasaan. Wiraprana ternyata telah menjadi korban dari sikap damainya. Sejak semula ia tidak pernah membayangkan bahwa pada suatu ketika ia harus menghadapi kekerasan. Karena itu, maka ia tidak pernah dengan sungguh-sungguh menekuni ilmu tata berkelahi dan tata bela diri. Ia percaya akan peradaban manusia yang semakin tinggi. Ia percaya akan kedamaian hati dan ia percaya bahwa manusia akan menentukan sikapnya dengan baik di antara sesama manusia, Namun ia menjadi korban. Ternyata bahwa Wiraprana tidak dapat hidup di antara manusia pada masa kini dengan sikapnya. Di mana manusia mengorbankan manusia yang lain untuk kepentingannya. Untuk memenuhi nafsunya. Termasuk Mahendra, Kuda Sempana dan mungkin aku pula, kau dan Ken Arok. Kita semua telah hanyut dalam arus kebiadaban di antara peradaban manusia.”
Mahisa Agni itu terdiam. tiba-tiba terasa sesuatu menyumbat lehernya. Terasa pedih masih menyengat-nyengat punggungnya. Namun ia sama sekali tidak memperhatikannya. Perlahan-lahan darahnya kembali meleleh membasahi tikar tempatnya berbaring. Meskipun luka itu telah dibalut dengan kain bersih beberapa lapis, namun darahnya yang merah masih juga menembusnya.
“Agni,” bisik perempuan tua yang berlutut di sampingnya, “beristirahatlah. Jangan pikirkan yang bukan-bukan. Kau sedang terluka.”
“Tidak. Tidak apa-apa Bibi. Luka tidak sakit,” jawab Agni. Dan sebenarnyalah bahwa pedih lukanya seakan-akan tidak terasa karena pedih hatinya yang menusuk-nusuk. Bahkan kemudian ia berkata perlahan-lahan, “Witantra. Kini Wiraprana telah mati. Aku tidak dapat lagi menamakan diriku Wiraprana. Tidak ada gunanya. Dan terserahlah kepadamu, penilaianmu atas diriku dan terserahlah kepadamu, apa yang akan kau lakukan. Kesalahan yang telah aku perbuat itu ternyata tidak ada gunanya. Aku hanya dapat menunda bencana yang menimpa Wiraprana. Tetapi sekarang, Wiraprana telah mati, dan Ken Dedes telah hilang dari rumah ini. Hilang dan aku tidak tahu, apakah masih ada kemungkinan untuk menyelamatkannya.”
Witantra itu menundukkan wajahnya. Tiba-tiba ia meletakkan tubuhnya duduk di samping Mahisa Agni. Namun sepatah kata pun tidak diucapkannya. Ken Arok kini sudah dapat membayangkan, Meskipun belum sedemikian jelas, apakah yang telah terjadi. Ia pun kemudian duduk pula di samping Witantra dan dengan sepenuh hati ia berkata, “Mahisa Agni. Aku akan mencoba melepaskan gadis itu dari Kuda Sempana.”
“Apa yang akan kau lakukan?” terdengar suara Mahisa Agni parau.
Ken Arok menggeleng lemah, “Aku belum tahu. Tetapi setidak-tidaknya Ken Dedes harus dibebaskan dari himpitan kedukaannya. Kalau ia menjadi istri Kuda Sempana maka setiap hari ia akan mengalami derita yang tak akan ada habisnya.”
“Mudah-mudahan kau berhasil. Tetapi arti daripada itu pun sangat jauh daripada yang diharapkannya. Wiraprana, laki-laki yang dicintainya telah mati.”
Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi hening. Ki Buyut Panawijen yang selama ini diam mematung tiba-tiba berkata, “Angger Mahisa Agni. Meskipun Wiraprana telah mati, tetapi aku masih akan mengucapkan terima kasih kepadamu. Sebab baru sekarang aku tahu bahwa anakku itu telah pernah mendapat banyak sekali pertolonganmu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Buyut Panawijen itu, maka dilihatnya betapa duka yang telah menggores di dinding hatinya. Wiraprana adalah anak satu-satunya. Dan kini anak itu mati. Mahisa Agni hampir tidak dapat menahan hatinya ketika Buyut tua itu berkata,
“Angger. Sepeninggal Wiraprana, maka perkenankanlah aku mengambil kau sebagai gantinya. Aku ingin menumpang kebanggaan Empu Purwa yang telah memiliki seorang anak laki-laki yang mengagumkan. Kalau kau sudi Ngger, jangan kau rubah kebiasaanmu berkunjung ke rumahku. Rumah itu kini menjadi rumahmu pula."
“Terima kasih,” desis Mahisa Agni. Tetapi ia tidak dapat meneruskan kata-katanya. Hatinya menjadi bertambah pedih, sakit dan pahit. Ia harus menghadapi persoalan-persoalan yang tak akan dapat dilupakannya sepanjang hidupnya.
Ki Buyut Panawijen itu pun menjadi semakin suram. Terasa betapa ia berusaha untuk menguasai perasaannya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar ia berkata, “Akhirnya hal ini terjadi. Wiraprana pernah berkata kepadaku, kalau Kuda Sempana mendapat kesempatan untuk yang ketiga kalinya, maka ia pasti akan dibunuhnya. Ternyata yang dikatakannya itu benar-benar telah terjadi.”
Kembali pendapa itu menjadi sepi. Isak perempuan tua yang duduk di samping Mahisa Agni menjadi semakin jelas. Dan Ki Buyut Panawijen pun kemudian menyeka matanya yang menjadi basah pula,
“Sebuah bencana telah menimpa padukuhan ini,” desah Ki Buyut Panawijen, “hanya karena di padukuhan ini dilahirkan seorang anak muda yang bernama Kuda Sempana.”
Tak seorang pun yang menyahut. Wajah Witantra kini tidak lagi tampak menyala-nyala. Bahkan kemudian matanya pun menjadi redup. Ken Arok duduk tepekur sambil menggores-gores lantai dengan kuku-kukunya. Sedang emban pemomong Ken Dedes yang tua itu, masih mencoba menguasai tangisnya. Sekali-sekali diusapnya dahi Mahisa Agni yang menjadi bertambah pucat.
“Angger,” kemudian Ki Buyut Panawijen-lah yang memecahkan kesepian itu, “biarlah aku pulang dahulu membawa Wiraprana. Mayat itu akan aku rawat dan akan merupakan peringatan bagi kita, bahwa seorang anak muda yang dilahirkan di tanah ini telah menyebabkan sebuah bencana bagi tanah kelahirannya.”
Mahisa Agni mencoba untuk bangkit, tetapi terasa punggungnya masih sakit, sehingga Ki Buyut Panawijen itu menahannya, “Jangan Ngger. Tidak usah Angger bangun. Beristirahatlah. Dan lekaslah menjadi sembuh.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Desahnya, “Sayang. Aku tidak dapat turut merawat jenazah itu.”
“Sudahlah Ngger,” sahut Ki Buyut, “kau sendiri terluka. Berbaringlah.”
Mahisa Agni menggeleng. Katanya perlahan-lahan, “Ken Arok. Tolonglah aku. Aku ingin melihat wajah Wiraprana untuk yang terakhir kalinya.”
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Katanya, “Apakah tidak lebih baik kau tetap berbaring di tempatmu?”
Sekali lagi Mahisa Agni menggeleng “Tidak, tolonglah aku turun ke halaman.”
Ken Arok tidak dapat mencegahnya lagi. Dengan hati-hati, dipapahnya Mahisa Agni turun ke halaman, untuk melihat wajah sahabatnya terakhir kalinya. Witantra dan emban tua itu pun tanpa sesadarnya ikut juga berdiri dan berjalan mengiringkannya turun ke halaman. Di samping tubuh Wiraprana yang terbaring diam, Mahisa Agni menekurkan kepalanya. Alangkah pedih hatinya. Sahabatnya itu telah pergi mendahuluinya.
Tiba-tiba dada Mahisa Agni itu tersentak. Ia melepaskan Ken Dedes, karena mencintai Wiraprana. Sekarang Wiraprana telah mati jadi bagaimanakah dengan gadis itu? Namun kembali wajahnya terkulai lemah. Ken Dedes telah pergi jauh. Jarak Panawijen sampai ke Tumapel adalah jarak yang sama sekali tidak berarti bagi Mahisa Agni. Tetapi ia rasa-rasanya, Ken Dedes yang telah berada di Tumapel itu tak akan dapat dicapainya.
Mahisa Agni itu pun kemudian menggigit bibirnya. Kini ia dapat merasakan pula, betapa Witantra menyesali kejadian itu seperti penyesalan yang lama-lama timbul di dalam hatinya. Seandainya, ya, seandainya Ken Dedes tidak pernah dilepaskannya kepada Wiraprana, apakah peristiwa seterusnya akan berbeda? Seperti pikiran Witantra itu pula, seandainya Mahendra tidak dihalanginya, maka Kuda Sempana tidak akan mendapat kesempatan untuk melakukan perbuatan yang terkutuk ini. Namun semuanya telah terjadi. Yang lewat biarlah lewat, tetapi bagaimana yang akan datang?
Mahisa Agni berpaling ketika ia mendengar Ki Buyut Panawijen berkata, “Angger, biarlah mayat ini aku bawa pulang.”
Mahisa Agni mengangguk lemah. Namun betapa pun juga, ia tidak dapat membendung gelora perasaannya. Terasa setetes air menitik dari matanya yang suram. “Silakan Ki Buyut,” desis Mahisa Agni perlahan sekali.
Ki Buyut itu pun kemudian mengangkat tubuh anaknya yang telah membeku. Beberapa orang cantrik segera membantunya memanggul jenazah itu kembali ke rumahnya.
“Mengerikan,” desis Mahisa Agni.
Witantra dan Ken Arok pun memandangi jenazah itu sampai hilang di balik regol halaman. Sesaat mereka masih terpaku di tempatnya, seperti membeku pula. Sekali Mahisa Agni menyeringai menahan pedih di punggungnya dan pedih di hatinya. Kemudian katanya, “Tolonglah aku ke dalam bilikku Ken Arok.”
Ken Arok dan Witantra tersadar dari angan-angannya. Dipapahnya Mahisa Agni masuk ke dalam biliknya. Witantra dan emban tua itu pun masih saja berjalan mengiringi mereka. Ketika Mahisa Agni itu berbaring diambennya, terasa perasaan yang asing menyentuh jantungnya. Bilik ini telah lama ditinggalkannya. Tetapi tak sehelai benang pun yang berubah sejak ia pergi. Bahkan tak sebutir debu pun yang mengotori setiap perabotnya. Ambennya, glodok tempat pakaiannya, sosok kendi di sudut dan tlundak lampu pada tiang di sisi bilik itu.
Tetapi bilik itu pun kemudian telah menyeretnya kembali ke masa-masa yang lewat itu. Ke masa-masa ia hidup bertahun-tahun bersama-sama dengan seorang gadis yang bernama Ken Dedes dan seorang sahabat yang hampir setiap hari datang berkunjung kepadanya, Wiraprana. Sekarang keduanya telah pergi. Hilang dan tak akan ditemuinya kembali. Sekali lagi Mahisa Agni berdesah. Dilihatnya Ken Arok, Witantra berdiri kaku di samping pembaringannya. Dan dilihatnya perempuan tua itu dengan penuh kecemasan memandanginya.
Wajah-wajah yang hadir di dalam biliknya itu adalah wajah-wajah baru bagi Mahisa Agni selain emban tua itu. Sepeninggal Wiraprana, maka hadirlah Ken Arok dan Witantra itu di dalam bilik ini. Tetapi bagaimanakah seterusnya dengan mereka itu. Bilik Mahisa Agni itu pun menjadi sunyi. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang terengah-engah Mahisa Agni yang terbaring itu pun kemudian mencoba untuk menenteramkan hatinya, supaya ia dapat beristirahat. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga perasaan serta angan-angannya.
Tetapi ternyata ia tidak segera dapat melakukannya. Sebab emban tua itu pun berkata, “Mahisa Agni. Bagaimana dengan Ken Dedes kemudian?”
Mahisa Agni menggeleng, “Aku tidak tahu. Aku sudah meminta kepada Ken Arok untuk mengamat-amatinya. Mudah-mudahan gadis itu tidak menderita.”
“Aku tidak dapat berpisah dengan gadis itu,” desah emban tua itu, “aku adalah pemomongnya sejak anak itu masih terlalu kecil.”
Mahisa Agni terdiam. Ia tidak tahu, bagaimana memenuhi permintaan itu. Namun tiba-tiba Witantra itu berkata, “Bibi, apakah kau pemomong Ken Dedes itu?”
“Ya Ngger,” sahut perempuan itu.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Ken Arok, “Adi, biarlah perempuan tua itu ikut ke Tumapel. Sebelum itu dapat menemui Ken Dedes di manapun, biarlah ia tinggal bersama keluargaku. Atau keluarga Mahendra.”
Ken Arok memandang Witantra dengan penuh keragu-raguan. Apakah orang itu berkata dengan jujur? Baru saja ia mengumpat-umpat Mahisa Agni. Tetapi wajah Witantra menunjukkan kesungguhan hatinya. Sehingga karena itu maka Ken Arok itu pun mempercayainya. Meskipun, demikian ia tidak menjawab. Ditatapnya wajah Agni yang pucat itu, berganti-ganti dengan wajah perempuan yang telah berkeriput penuh tekanan-tekanan di masa-masa lampau dan kesuraman di masa kini.
Mahisa Agni pun tidak dapat menentukan jawabnya. Karena itu maka ia bertanya kepada emban tua itu, “Bagaimanakah Bibi? Bibi untuk sementara tinggal bersama keluarga Witantra atau keluarga Mahendra di Tumapel. Setiap kesempatan akan segera dapat dipergunakan. Bibi dapat bertemu dan selalu melayani Ken Dedes. Mungkin ada hal-hal yang dapat bibi berikan kepada gadis itu.”
Perempuan tua itu tidak dapat melihat kemungkinan lain yang lebih baik daripada itu. Karena itu, maka jawabnya, “Aku sebenarnya tidak ingin menyibukkan keluarga Angger atau keluarga siapa pun.”
“Kami tidak akan berkeberatan Bibi.”
Akhirnya, maka emban itu pun dengan penuh rasa terima kasih menerima tawaran Witantra untuk pergi bersama ke Tumapel dan singgah sementara di dalam lingkungan keluarganya. Mungkin kesempatan itu akan datang, berada di dekat Ken Dedes kembali sebagai emban yang telah mengenalnya hampir setiap persoalan lahir dan batinnya.
Mahisa Agni pun kemudian tidak dapat berbuat lain daripada melepaskan perempuan tua itu pergi. Dengan penuh harapan Mahisa Agni berpesan kepada Ken Arok dan Witantra, menitipkan perempuan tua itu untuk mendapatkan perlindungan mereka.
“Kami akan mencoba,” sahut Ken Arok.
Perempuan tua itu pun kemudian dengan tergesa-gesa membenahi pakaiannya. Beberapa lembar kain lungset, kemben dan sepotong kain setagen. “Aku sudah siap,” katanya kemudian.
“Marilah kita berangkat,” berkata Ken Arok sambil berpaling kepada Witantra.
Witantra menganggukkan kepalanya. Namun ia melangkah mendekati Mahisa Agni. Bisiknya, “Agni lupakan kata-kataku. Aku minta maaf.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Dadanya terasa berdentingan oleh kata-kata Witantra itu. Karena itu maka ia pun menjawab, “Aku juga minta maaf kepadamu, kepada Mahendra dan kalau kau sempat bertemu, kepada Ken Dedes.”
“Marilah kita lupakan persoalan itu,” desis Witantra.
Mahisa Agni tidak menjawab, tetapi ia hanya mengangguk kecil.
“Marilah!” berkata Witantra kemudian kepada Ken Arok.
Mereka pun kemudian bermohon diri. Tetapi tiba-tiba perempuan itu kembali dan memeluk tubuh Mahisa Agni. Di dalam tangisnya perempuan itu berkata, “Agni. Lekaslah sembuh. Aku terpaksa pergi ke Tumapel. Mudah-mudahan aku dapat berbuat sesuatu untuk Ken Dedes. Beberapa orang cantrik akan merawatmu. Obat-obat yang ada padaku telah aku tinggalkan.”
Mahisa Agni itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Terasa sesuatu yang semakin menekan di dalam rongga dadanya. Perpisahan di antara orang-orang yang hampir setiap hari bertemu, bercakap dan bergurau. Tetapi perempuan ini bukan sekedar orang asing yang sudah menjadi kerabat dalam satu keluarga. Tetapi perempuan itu adalah ibunya. Karena terasa betapa sesak napasnya. Meskipun demikian dipaksanya juga mulutnya berkata, “Berangkatlah bibi. Marilah kita saling berdoa yang Maha Agung akan melindungi kita masing-masing.”
Akhirnya tubuh Mahisa Agni yang telah menjadi basah karena air mata itu dilepaskannya. Perlahan-lahan perempuan tua itu berjalan meninggalkan pembaringan Agni. Namun sampai di pintu sekali lagi ia berpaling. Ditatapnya wajah Agni yang pucat. Dan bibir perempuan itu bergetar-getar, namun tak sepatah kata pun yang terloncat keluar. Tetapi di dalam hatinya terdengarlah suara yang riuh, “Anakku. Aku tidak tahu apakah aku masih mempunyai kesempatan untuk mengambil gadis itu untukmu. Tetapi jalan telah terlalu jauh.”
Perempuan tua itu pun kemudian lenyap pula dari halaman rumah Empu Purwa. Meskipun semula ia menolak, namun akhirnya perempuan itu mau juga naik ke atas punggung kuda dengan dilayani oleh Ken Arok. Mereka berdua naik di atas satu punggung kuda. Sedang Witantra dan beberapa orang yang lain, prajurit yang berwajah kasar namun bermata basah dan beberapa kawannya, berkuda di belakangnya. Mereka pergi membelakangi padukuhan yang muram ke kota yang cerah. Namun di belakang kecerahan wajah kota itu tersembunyi berbagai noda-noda hitam mengerikan.
Bilik Mahisa Agni pun kemudian menjadi sepi, sesepi hatinya. Orang-orang yang pernah tersangkut di hatinya, satu-satu telah meninggalkannya. Wiraprana telah pergi untuk tidak akan kembali lagi. Ken Dedes telah pergi pula jauh sekali. “Gadis itu telah pergi sejak lama dariku,” gumamnya seorang diri. Tetapi ia tidak dapat menghibur dirinya sendiri dengan kata-kata itu. Kepergian Ken Dedes kali ini tidak diikhlaskannya seperti kepergiannya yang dahulu. Kepergiannya dari rongga hatinya.
Dan yang terakhir ibunya pun telah pergi. Tetapi ia melepaskan ibunya dengan penuh harapan. Setidak-tidaknya ibunya akan dapat menghibur hati Ken Dedes. Tetapi tiba-tiba hatinya memercik seperti api yang tiba-tiba saja menyala. Gurunya. ya Empu Purwa sampai sekarang belum juga pulang. Bagaimanakah kalau gurunya itu kembali? Apakah orang tua itu akan menjadi marah, ataukah menjadi sedih dan berputus asa? Apakah Empu Purwa yang sakti itu tidak akan mampu mengambil putrinya kembali?
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tumapel adalah suatu negeri yang dikuasai oleh seorang Akuwu lengkap dengan tata pemerintahan dan alat-alat kekuasaannya. Tunggul Ametung memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan hanya melawan satu orang. Empu Purwa. Betapa saktinya gurunya dan dengan dirinya sendiri sekali pun, bahkan dengan seluruh penduduk Panawijen, apakah mereka akan dapat melawan Tumapel? Sedang Mahisa Agni pun tahu, setidak-tidaknya dapat menduga, bahwa di dalam istana itu pun pasti ada orang-orang sakti, guru-guru dari para prajurit dan akuwu sendiri.
Meskipun mereka orang seorang seandainya tidak ada yang menyamai kesaktian Empu Purwa, namun mereka akan dapat bersama-sama melawannya. Mahisa Agni pun menjadi bersedih karenanya. Usaha yang dapat dilakukan untuk membebaskan Ken Dedes menjadi semakin jauh dari otaknya. Tetapi, betapa pun juga ia masih mengharap, gurunya segera datang kembali.
“Kalau guru tidak segera kembali,” desisnya, “apabila lukaku telah menjadi agak baik, aku akan pergi mencarinya.”
Mahisa Agni itu terkejut ketika seorang cantrik menjenguknya di ambang pintu. Cantrik yang telah agak tua itu dengan iba memandangnya sambil berkata, “Adakah sesuatu yang perlu aku kerjakan Ngger?”
“Tidak Paman,” sahut Agni.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya masih dari luar pintu, “Emban tua, pemomong Ken Dedes minta aku merawatmu.”
“Terima kasih, Paman. Kalau perlu, aku akan memanggilmu.”
“Baik. Aku tidak akan berada terlalu jauh dari bilik ini.” Orang tua itu pun kemudian pergi meninggalkannya. Kembali bilik itu menjadi sepi, sesepi hatinya.
Dalam pada itu, di jalan yang menuju ke Tumapel, Tunggul Ametung dan Kuda Sempana memacu kudanya cepat sekali. Mereka sama sekali tidak menghiraukan, bahwa beberapa pasang mata penduduk Tumapel memandangi mereka itu dengan pertanyaan yang memukul-mukul dada.
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” desis salah seorang dari mereka.
Kawannya berbicara menggelengkan kepalanya. “Entah,” jawabnya. Namun mata mereka tetap memancarkan keheranan mereka.
Kuda Sempana masih berpacu di depan sambil menjagai Ken Dedes yang belum juga sadar. Hanya sekali ia menggeliat, namun kemudian ia menjadi pingsan kembali. Kuda Sempana itu pun menjadi cemas melihat keadaan Ken Dedes itu. Karena itu ia berpacu lebih cepat lagi. Ia ingin segera sampai ke Tumapel dan dengan demikian maka Ken Dedes itu segera dapat dirawatnya.
Akuwu dari Tumapel, Tunggul Ametung yang berkuda di belakang Kuda Sempana, memandang debu yang mengepul di bawah kaki kuda yang berpacu di hadapannya dengan pandang yang kosong. Tiba-tiba otaknya dirayapi oleh berbagai pertanyaan yang tumbuh di sepanjang jalan. Akuwu itu melihat apa yang telah terjadi di Panawijen. Dan ia melihat pula, apa yang telah dilakukan oleh Kuda Sempana. Dihubungkannya apa yang telah dikatakan oleh Kuda Sempana sebelum mereka berangkat berburu, dan apa yang telah dilakukannya di rumah gadis itu. Dirasakannya apa yang telah dilakukan oleh Witantra dan kemudian oleh Ken Arok.
Tunggul Ametung itu pun kemudian menggeram. Tiba-tiba ia melihat bahwa ia telah masuk ke dalam perangkap Kuda Sempana. Karena itu, maka timbullah niatnya untuk melihat keadaan sewajarnya. Kalau nanti ia sampai di Tumapel, akan dipanggilnya Witantra, Ken Arok, Kuda Sempana dan Ken Dedes itu. Bahkan kalau perlu akan dipanggilnya kakak Ken Dedes yang terluka karena anak panah prajuritnya yang kemudian telah dibunuh oleh Ken Arok hanya dengan sebuah pukulan di dadanya.
“Hem,” gumamnya, “anak yang diberikan oleh Lohgawe padaku itu benar-benar luar biasa. Namun ternyata kakak gadis yang dibawa oleh Kuda Sempana itu pun luar biasa pula.”
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Mulutnya kemudian berkomat-kamit, namun matanya tiba-tiba menjadi tajam. Dipandanginya punggung Kuda Sempana, dan dilihatnya gadis di tangan Kuda Sempana itu. Sekali lagi dada Tunggul Ametung berdesir. Gadis itu adalah gadis yang aneh di dalam pandangan matanya. Cantik bagai bidadari. Tidak. Meskipun Ken Dedes itu cantik, namun ia adalah seorang gadis biasa. Seperti gadis-gadis lain yang cantik pula. Namun kecantikan Ken Dedes itu bukannya menakjubkan. Tetapi ada yang lain menarik perhatiannya. Tunggul Ametung menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu,” gumamnya seorang diri, “Aku tidak tahu. Apakah yang aneh pada gadis itu?”
Hati Tunggul Ametung itu tiba-tiba terguncang ketika ia melihat Kuda Sempana membelok pada suatu tikungan. Dilihatnya gadis itu seperti sebuah golek yang indah. Namun dari tubuh gadis itu tiba-tiba dilihatnya seakan-akan nyala yang memancar daripadanya. Mata Tunggul Ametung pun terbelalak pula karenanya. Karena nyala yang dilihatnya itu. Karena itu maka segera ia berpacu lebih cepat. Tunggul Ametung itu kini ingin berkuda di samping Kuda Sempana. Tetapi ketika Tunggul Ametung itu telah berada di samping Kuda Sempana dan diamatinya tubuh Ken Dedes, maka akuwu itu menjadi heran. Tubuh itu benar-benar tubuh seorang gadis biasa. Bahkan terlalu pucat. Tunggul Ametung menggelengkan kepalannya.
“Apakah aku sudah menjadi gila?” desahnya di dalam hati “aku benar-benar melihat nyala pada tubuh itu. Bersinar seperti bara api baja. Tetapi sinar itu sekarang lenyap. Hem. Apakah yang aku lihat hanyalah pantulan sinar matahari?” Tetapi akuwu itu tidak menemukan jawabannya. Karena itu ia menjadi bingung dan berdebar-debar. Diketahuinya bahwa Ken Dedes itu adalah putri seorang pendeta. Dan tiba-tiba ia menjadi cemas.
Perjalanan itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan Istana Tunggul Ametung. Kuda Sempana yang masih belum berkeluarga itu pun tinggal pula di dalam barak di samping istana bersama beberapa orang kawannya. Karena itu, maka Kuda Sempana menjadi bimbang. Apakah Ken Dedes itu akan dibawa ke sana? Apakah dengan demikian tidak akan menimbulkan persoalan pula dengan beberapa orang kawannya mengenai gadis yang cantik itu? Karena itu, maka ia menjadi bimbang, sehingga lari kudanya pun menjadi semakin lambat.
“Kenapa?” bentak Tunggul Ametung tiba-tiba.
Kuda Sempana terkejut mendengar bentakan itu. Tetapi segera ia menjawab, “Apakah gadis ini hamba bawa ke barak hamba?”
“Bawa dia ke istana,” jawab Tunggul Ametung.
Kuda Sempana tersenyum. Akuwu Tumapel benar-benar berbaik hati kepadanya, sehingga ia mendapat kesempatan untuk menyingkirkan gadis itu dan menyembunyikannya dari ayahnya di istana. Ia yakin bahwa Empu Purwa dan Mahisa Agni tidak akan berani mengganggunya seandainya gadis itu berada di istana. Tetapi Kuda Sempana itu sama sekali tidak tahu apa yang tersimpan di dalam hati Akuwu Tunggul Ametung. Kebimbangan, kecemasan, ketakjuban dan perasaan-perasaan yang bercampur baur. Bahkan akuwu itu hampir-hampir merasa bahwa perasaannya telah tidak dapat dikendalikan lagi.
Kuda Sempana dan Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian langsung masuk ke halaman dalam Istana Tumapel. Beberapa orang pelayan, juru taman dan emban terkejut bukan kepalang. Kenapa tiba-tiba Akuwu telah kembali tanpa tengara apa pun. Baru pagi tadi mereka berangkat. Dan agaknya Akuwu tidak bermalam di perburuan. Biasanya apa bila akuwu itu kembali, beberapa orang telah mendahuluinya dan membunyikan tengara kentongan dan sangkakala. Tetapi tiba-tiba saja akuwu telah berada di halaman bersama dengan Kuda Sempana yang memapah seorang gadis yang pingsan.
“Bawa ia masuk!” perintah Akuwu itu kemudian.
Dengan hati-hati Kuda Sempana turun dari kudanya, dan membawa masuk ke istana dalam. Beberapa orang pelayan yang lain memandangi mereka itu dengan penuh pertanyaan di dalam dada mereka. Sehingga karena itu mereka bahkan berdiri saja dengan mulut ternganga. Mereka terkejut bukan buatan ketika mereka mendengar Akuwu Tumapel berteriak dengan lantangnya,
“He, kenapa kalian diam saja seperti patung? Cepat, bersihkan bilik untuk gadis itu. Cepat!”
Para emban menjadi bingung. Cepat mereka berlari berhamburan. Tetapi mereka belum tahu bilik mana yang harus dibersihkannya sehingga dengan demikian mereka hanya berlari-larian saja berputar-putar.
“He, kenapa kalian tiba-tiba saja menjadi gila?” teriak Akuwu Tumapel itu keras. “Bersihkan bilik untuk Ken Dedes!”
Para emban menjadi semakin takut. Namun mereka masih juga belum tahu, bilik manakah yang harus dibersihkannya. Seorang yang paling tenang di antara mereka itu mencoba memberanikan diri bertanya kepada Akuwu Tunggul Ametung, katanya gemetar, “Tuanku, bilik manakah yang harus hamba bersihkan?”
Akuwu itu pun tiba-tiba menyadari pula kebingungan para emban itu. Tetapi ia pun menjadi bingung pula sendiri. Bilik yang mana? Tiba-tiba akuwu itu menjawab, “Sentong tengen!”
Bukan main terkejutnya Kuda Sempana. Ken Dedes itu harus dibaringkan di dalam bilik kanan istana Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel. Bilik yang selama ini belum pernah terisi. Akuwu sendiri tidak pernah tidur di dalam bilik itu. Sebenarnyalah demikian kebiasaan yang harus dilakukan. Bilik itu akan selalu kosong sebelum Akuwu Tumapel mempunyai sisihan, seorang permaisuri yang akan mendampingi akuwu itu dalam memerintah negerinya. Karena itu maka Kuda Sempana itu pun menjadi gemetar dan bertanya-tanya di dalam hati, “Apakah artinya ini?”
Para emban pun terkejut pula mendengar perintah itu. Namun segera mereka menjadi gembira. Berlari-larian mereka pergi ke sentong tengen dan membersihkannya dengan penuh hormat. Ditaburnya pembaringan di sentong itu dengan bunga dan dialasinya dengan kain paling baik di dalam istana itu. Salah seorang dari mereka berbisik perlahan-lahan, “Kau mengenal gadis itu?”
Yang ditanya menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak gembira seperti kawan-kawannya. “Kenapa kau bersedih?” bertanya kawannya. Tetapi emban yang satu itu tetap berdiam diri.
“He,” goda yang lain, “apakah kau ingin dibaringkan di pembaringan ini?”
Emban yang diganggu itu menjawab serta-merta, “Aku tidak gila. Tetapi kalian sudah melihat gadis itu?”
“Kenapa?”
“Kalian melihat pakaian yang dipakainya? Kain lurik kasar dan bersanggul urai?”
“Oh,” tiba-tiba yang mendengar menjadi kecewa pula, sehingga mereka berdesis, “Seorang gadis dari pedesaan saja?”
Para emban itu pun kemudian saing berpandangan. Kalau gadis itu hanya gadis pedesaan, maka apakah sudah sepantasnya dibaringkan di sentong kanan ini? Tetapi mereka tidak berani menanyakan kepada Tunggul Ametung. Mereka tinggal menjalankan perintah itu. Mereka membersihkan bilik sebelah kanan.
Tetapi yang paling berdebar-debar di antara semua orang itu adalah Kuda Sempana. Ia sama sekali tidak tahu, apakah maksud sebenarnya dari Akuwu Tunggul Ametung dengan perintahnya itu. Meskipun demikian Kuda Sempana tidak berani bertanya pula kepada Akuwu Tumapel, seperti para emban itu juga. Karena itu, maka dengan hati yang penuh pertanyaan, Ken Dedes itu dibawanya ke bilik istana yang sebelah kanan.
Namun ternyata Akuwu Tumapel itu terkejut pula ketika ia sadar akan perintahnya sendiri. Perintah itu seakan-akan demikian saja meluncur dari mulutnya. Ketika mereka telah sampai di muka bilik itu, bahwa bilik yang sebelah kanan ini adalah bilik yang dikosongkannya. Bilik yang hanya akan dipakai kelak apabila Akuwu sudah berpermaisuri. Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia memerintahkan membawa Ken Dedes ini ke bilik itu. Akuwu itu pun menjadi berdebar-debar pula. Ia seperti Kuda Sempana. Sesaat ia termenung dan berdiri saja mematung. Dibiarkannya Kuda Sempana berdiri dengan penuh kebimbangan di muka bilik itu. Akuwu itu terkejut ketika seorang emban berkata kepadanya,
“Ampun Tuanku. Bilik kanan sudah hamba siapkan bersama-sama.”
“He,” sahut Akuwu itu, “kenapa bilik itu?”
Emban itu menjadi berheran-heran. Bukankah Akuwu memerintahkan membersihkan sentong tengen. Para emban itu pun kemudian saling berpandang-pandangan dengan penuh kecemasan. Mereka melihat wajah Tunggul Ametung menjadi tegang. Sekali ditatapnya wajah Ken Dedes yang pucat itu. Kini dilihatnya gadis itu bergerak-gerak. Karena itu maka Akuwu itu pun menjadi semakin bingung. Gadis itu harus segera dibaringkan untuk mendapat perawatan.
Kuda Sempana menjadi bingung pula. Terasa di tangannya Ken Dedes mulai menggeliat. Dan terdengar ia merintih perlahan-lahan. Sehingga tanpa sengaja ia bertanya, “Ampun Akuwu, di mana gadis ini harus aku letakkan?”
Akuwu Tumapel menjadi gelisah. Karena itu, maka sekali lagi tanpa dipikirkannya, ia berkata, “Baringkan di bilik itu!”
Kuda Sempana tidak sempat berpikir lagi. Ken Dedes luluh mulai bergerak-gerak semakin banyak. Karena itu maka segera ia masuk ke sentong tengen, dan dibaringkannya Ken Dedes di pembaringan yang telah menjadi bersih dan ditaburi oleh bunga-bunga yang baunya dapat memberikan ketenangan, sedap. Ken Dedes yang dengan perlahan-lahan diletakkan di pembaringan itu membuka matanya. Dicobanya untuk mengenal tempat itu. Tetapi ia menjadi bingung. Dan ketika tiba-tiba di lihatnya wajah Kuda Sempana yang berjongkok di samping, tiba-tiba Ken Dedes itu menjerit. Sekali lagi ia jatuh pingsan.
Kuda Sempana yang bingung menjadi semakin bingung. Dengan gelisahnya ia memandangi wajah Akuwu Tunggul Ametung yang berdiri bersilang tangan di dada. “Gadis ini pingsan lagi Tuanku,” desah Kuda Sempana.
Adalah di luar kehendak Akuwu Tunggul Ametung sendiri, bahwa seakan-akan menjadi kewajibannya untuk membantu Kuda Sempana menolong gadis itu. Tunggul Ametung adalah seorang akuwu yang berkuasa. Yang berbuat menurut apa saja yang dikehendakinya. Namun kini tiba-tiba ia menjadi gelisah pula. Dan dengan tergopoh-gopoh ia berjalan keluar sambil berteriak memanggil, “He emban, kemari!”
Emban yang duduk berjajar-jajar di ruangan itu terkejut mendengar teriakan akuwu itu. Seorang emban yang tertua datang menghadap sambil menyembah, “Hamba Tuanku.”
“cepat, panggil Bibi Puroni. Suruh ia merawat gadis yang pingsan itu!”
“Hamba Tuanku,” sembah emban itu sambil bergeser meninggalkan ruangan itu.
Sesaat kemudian datanglah seorang dukun tua. Seorang perempuan yang berwajah sayu namun penuh ketenangan seakan-akan di dalam wajah itu terpendam berbagai macam pengalaman hidup yang telah ditempuhnya hampir delapan puluh tahun.
“Bibi,” berkata Akuwu Tunggul Ametung ketika orang tua itu telah datang, “di dalam bilik itu ada seorang gadis yang pinggan. Bukan karena sakit dan bukan karena sebab-sebab lain. Tetapi ia pingsan karena ketakutan. Nah, rawatlah. Tenangkanlah dan terserah apa saja yang akan kau lakukan atasnya.”
Perempuan tua itu, yang bernama Puroni, menyembah sambil berkata, “Hamba Tuanku. Kalau berkenan di hati Tuanku, biarlah aku mencobanya. Di manakah gadis itu sekarang?”
“Di situ. Di dalam bilik itu,” jawab Akuwu Tumapel sambil menunjuk sentong kanan.
Perempuan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya pintu sentong tengen yang menganga itu. Namun yang dilihatnya hanya sebuah rana yang menakbiri pembaringan di dalam sentong itu.
“Masuklah! Jangan ditunggu anak itu mati!” teriak Akuwu Tunggul Ametung.
Perempuan tua itu sama sekali tidak terkejut. Telah berpuluh, bahkan beratus dan beribu kali ia mendengar Akuwu Tunggul Ametung membentak-bentak dan berteriak-teriak. Karena itu maka ia masih tetap tenang. Sambil menyembah ia menyahut, “Baiklah Tuanku. Biarlah aku mencobanya.”
Bibi Puroni itu pun kemudian pergi ke sentong tengen. Ia terkejut ketika dilihatnya Kuda Sempana ada di dalamnya. “Oh,” desahnya, “apakah Angger sedang menungguinya?”
“Ya,” sahut Kuda Sempana pendek.
Perempuan itu menjadi semakin heran. Apakah sebenarnya yang telah terjadi sehingga Akuwu Tumapel itu benar-benar seperti orang yang bingung sehingga dibiarkannya Kuda Sempana berada di dalam bilik itu? Dan dibiarkannya berlaku di luar kebiasaan? Sehari-hari di saat-saat yang lewat. Betapa ia menahan diri, namun ia tidak dapat menahan lagi keinginannya untuk mengetahui serba sedikit, apakah yang telah dilakukan oleh akuwu atau oleh Kuda Sempana terhadap gadis itu, atau siapakah sebenarnya gadis yang pingsan itu. Karena itu maka katanya bertanya, “Angger Kuda Sempana. Siapakah gadis yang pingsan itu, dan kenapakah mula-mula sebabnya, sehingga ia menjadi ketakutan?”
“Gadis itu bakal istriku Nyai Puroni,” jawab Kuda Sempana.
Sekali lagi Nyai Puroni itu terkejut. Kalau gadis itu benar-benar bakal istri Kuda Sempana, kenapa ia dibaringkan di sentong tengen istana Tumapel?”
Bibi Puroni itu menjadi semakin bingung. Sepengetahuannya Kuda Sempana tidak lebih dari seorang pelayan dalam. Meskipun pelayan dalam yang paling dekat dengan akuwu. Tetapi apakah demikian besar pengaruhnya, sehingga bakal istrinya diizinkan menempati sentong tengen itu. Tetapi Nyai Puroni tidak sempat untuk memikirkannya terlampau lama. Ia harus segera menolong gadis itu. Karena itu, maka ia tidak lagi menghiraukan Kuda Sempana. Apakah gadis itu calon istrinya, atau apapun, namun sudah menjadi kewajibannya untuk menolongnya.
Nyai Puroni itu pun kemudian berjongkok di samping pembaringan Ken Dedes. Perlahan-lahan dirabanya tangannya, dadanya dan kemudian keningnya. Telah berpuluh bahkan beratus kali ia menolong orang-orang yang pingsan seperti itu. Sehingga segera ia dapat menentukan, apakah yang harus dilakukan. Diambilnya beberapa macam ramuan obat-obatan dari sebuah bungkusan dan dengan ragu-ragu ia berkata kepada Kuda Sempana, “Angger, apakah ada seorang emban yang dapat membantu aku?”
“Ya. ya Nyai. Biarlah aku panggilkan emban itu,” sahut Kuda Sempana dengan gugup.
Ketika Kuda Sempana itu keluar dari ruangan, dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung sedang duduk merenung. Ditundukkannya kepalanya sedang kedua tangannya menyangga keningnya. “Tuanku,” berkata Kuda Sempana perlahan-lahan.
Akuwu Tumapel mengangkat wajahnya. Ditatapnya Kuda Sempana dengan pandangan yang aneh. “Apa,” bertanya akuwu itu lemah.
“Nyai Puroni memerlukan seorang emban untuk membantunya.”
“Oh,” Akuwu itu terkejut. Kemudian sambil menunjuk seorang emban ia berkata, “Masuklah!”
Dengan tergopoh-gopoh emban itu segera masuk ke dalam sentong kanan itu. Kuda Sempana pun segera mengikutinya pula. Namun demikian ia sampai di ambang pintu, maka segera Bibi Puroni berkata, “Tunggulah di luar Ngger.”
“Oh,” desah Kuda Sempana, “kenapa?”
“Aku sedang mengobatinya.”
“Ya. Aku tidak akan mengganggu. Aku hanya akan menungguinya.”
“Jangan, tidak baik. Gadis ini belum istrimu.”
“Kenapa tidak baik?”
Nyai Puroni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya berdesah “Aku sedang akan mengurut seluruh tubuhnya. Tunggulah di luar. Gadis ini tidak akan berkurang cantiknya.”
“Lakukanlah. Biarlah aku masuk.”
“Jangan,” sahut Bibi Puroni, “kalau Angger masuk, aku tidak akan mengobatinya.”
“Jangan mengada-ada, Nyai!” benak Kuda Sempana.
Tetapi Kuda Sempana tidak sampai meneruskan katanya. Tiba-tiba ia terkejut ketika didengarnya Akuwu Tumapel membentaknya lebih keras, “Kuda Sempana, apakah kau sudah gila? Jangan masuk!”
Kuda Sempana berpaling. Dipandanginya wajah Akuwu Tumapel, dan ia menjadi semakin terkejut karenanya. Wajah itu menjadi merah menyala, seakan-akan sedang memancarkan kemarahan yang meluap-luap. Kuda Sempana telah mendengar beribu kali Tunggul Ametung berteriak dan membentak. Namun kali ini Akuwu itu benar-benar sedang marah. Meskipun Kuda Sempana sama sekali tidak tahu, kenapa akuwu itu tiba-tiba menjadi marah. Dengan demikian, maka Kuda Sempana sama sekali tidak berani lagi membantahnya. Dengan kepala terkulai lemah, ia duduk dilamai di samping pintu bilik kanan itu.
Ia mengangkat wajahnya, ketika ia mendengar sebuah desah lirih. Desah Ken Dedes. Namun ia masih juga berdebar-debar ketika desah itu kembali diam. Kuda Sempana benar-benar seperti seorang ayah yang untuk pertama kali menunggu bayinya yang akan lahir. Wajahnya menjadi tegang dan pucat. Keringat dingin mengalir dengan derasnya di segenap tubuhnya. Akhirnya Kuda Sempana tidak sabar lagi. Segera ia beringsut untuk memasuki bilik itu. Namun kembali ia berhenti ketika didengarnya sekali lagi Akuwu Tunggul Ametung berteriak,
“Kuda Sempana, kalau kau memasuki ruangan itu, aku bunuh kau!”
Kuda Sempana benar-benar menjadi berdebar-debar mendengar ancaman itu. Bukan karena ia takut, namun ia merasakan sesuatu keanehan pada nada suara Akuwu Tunggul Ametung itu. Kuda Sempana sama sekali tidak dapat meraba, apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Tunggul Ametung. Apalagi ketika Tunggul Ametung itu kemudian berkata,
“Kuda Sempana, daripada kau menunggu dengan gelisah di muka bilik itu, tinggalkanlah ruangan ini. Kembalilah ke barakmu, dan tunggulah di sana sambil beristirahat.”
Kuda Sempana memandang wajah Akuwu Tumapel itu dengan hampir tak berkedip. Dicobanya untuk mengerti kata-kata itu, namun semakin direnungkannya, maka dadanya menjadi semakin ber-debar-debar.
Ketika Kuda Sempana belum beringsut dari tempatnya, maka sekali lagi Tunggul Ametung itu berkata, “Tinggalkan Kuda Sempana! Tinggalkan! Tinggalkan! Kau dengar?”
Wajah Kuda Sempana menjadi tegang. Dicobanya untuk menjawab kata-kata itu, katanya, “Akuwu. Kalau Akuwu tidak berkenan aku di sini, biarlah gadis aku bawa ke dalam barak hamba.”
Wajah Tunggul Ametung yang merah, menjadi semakin membara. Sekali ia meloncat berdiri dan sambil menunjuk pintu keluar ia berteriak, “Keluarlah lewat pintu ini, atau kau tidak akan dapat keluar sendiri untuk seterusnya!”
Terasa sesuatu bergelora dengan dahsyatnya di dalam dada Kuda Sempana. Ia sama sekali tidak dapat meraba, apakah yang tersimpan di dalam hati Akuwu Tunggul Ametung itu. Namun ia kini menyadari bahwa Akuwu Tunggul Ametung benar-benar sedang marah atau sedang menjadi bingung. Sehingga dengan demikian, maka tak ada lain yang dapat dilakukan kecuali menuruti perintah itu. Maka Kuda Sempana itu pun membungkukkan kepalanya sambil menyembah.
“Baik Tuanku,” katanya. Terdengar suaranya gemetar, “tetapi bagaimanakah dengan Ken Dedes?”
Kemarahan Tunggul Ametung itu pun menjadi semakin memuncak sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi bergetar. Dengan lantangnya ia berteriak, “Kuda Sempana. Kali ini kesempatan yang terakhir. Keluar dari pintu ini!”
Kini Kuda Sempana benar-benar tidak berani untuk bertanya lagi. Perlahan ia berjalan keluar dari ruangan itu dengan kepala tunduk. Di luar pintu ia masih berpaling. Tetapi ketika dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung memandangnya dengan wajah yang menyala, yang maka kembali ia menundukkan kepalanya dan berjalan meninggalkan ruangan itu. Betapa hati Kuda Sempana itu menjadi risau. Tiba-tiba ia menjadi sangat cemas. Ia cemas akan kehilangan Ken Dedes.
Sejak semula telah terkandung tekad di dalam batinya, bahwa ia harus mendapatkan gadis itu. Ketika gadis itu masih berada di Panawijen meskipun telah dipertunangkannya dengan Wiraprana, serta mendapat perlindungan dari Mahisa Agni yang tak dapat dikalahkannya, namun setiap kali masih juga tumbuh di dalam hatinya, harapan untuk dapat mengambil gadis itu. Tetapi kini, ketika Ken Dedes telah berada di Tumapel, maka ia menjadi sangat cemas, melampaui masa-masa yang lalu. Gigi Kuda Sempana itu gemeretak ketika ia sampai pada sebuah pikiran,
“Apakah Akuwu akan membatalkan niatku ini? Apakah Ken Dedes seterusnya akan tinggal di dalam istana? Tidak!” Kuda Sempana itu menggeram. Namun ia untuk seterusnya tidak berani lagi mencoba memikirkan apakah yang kira-kira akan terjadi.
Sepeninggal Kuda Sempana Tunggul Ametung menjadi seperti seorang yang kehilangan keseimbangan. Berbagai perasaan telah memburunya. Sekali-kali ia mendengar suara dari bilik kanan. Suara Nyai Puroni dan seorang emban yang membantunya. Sekali-kali ia melihat emban itu pergi keluar, mengambil air dan beberapa buah jeruk. Kemudian kembali mereka tenggelam di balik pintu bilik itu. Tunggul Ametung itu pun kemudian berjalan hilir mudik sedemikian gelisahnya di muka bilik itu.
Tetapi tiba-tiba ia menggeram, “He, apakah aku sudah gila? Apakah peduliku atas gadis itu. Biar saja dia mati atau tidak. Kenapa aku menjadi risau karenanya.”
Tunggul Ametung itu menghentakkan kakinya. Kemudian ia berjalan cepat-cepat meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam biliknya sendiri. Seorang juru panebah terkejut bukan kepalang, ketika tiba-tiba saja Akuwu Tunggul Ametung sudah meloncat masuk ke dalam bilik itu. Demikian terkejutnya sehingga ia terloncat berdiri. Tetapi Akuwu yang masuk ke dalam bilik itu pun terkejut pula.
“Gila!” teriak akuwu, “apa kerjamu di sini?”
“Ampun Tuanku. Hamba sedang membenihkan pembaringan Tuanku.”
“Kenapa baru sekarang?”
“Hamba sangka Tuanku tidak segera kembali berburu.”
“Apa? He!” akuwu tiba-tiba menangkap rambut juru panebah itu sambil membentak, “Jadi kalau aku tidak ada dibilik ini tidak pernah kau bersihkan?”
“Ampun Tuanku,” juru panebah itu tiba-tiba menangis, “ampun. Bukan maksud hamba berkata demikian. Maksud hamba, baru nanti senja akan hamba bersihkan, setelah sehari ini dua kali hamba bersihkan. Tadi pagi-pagi setelah Tuanku bangun dan siang tadi ketika hamba membersihkan segenap ruangan ini.”
“Pergi! Pergi!” bentak akuwu yang marah itu.
Demikian rambut juru panebah itu dilepaskan, maka segera ia terjatuh duduk di lantai sambil menyembah. Kemudian perlahan-lahan ia bergeser dan keluar dari ruangan itu. Tetapi begitu ia keluar dari pintu bilik, maka segera lenyaplah tangisnya. Bahkan dengan tersenyum-senyum ia mengumpat, “Bukan main. Baru saja aku menyisir rambutku.”
Tetapi juru panebah itu tidak berpaling. Ditinggalkannya ruang dalam kembali ke dalam biliknya jauh di belakang. Di sepanjang halaman itu ia masih bergumam, “Kalau marah kepadaku, maka alamat aku akan mendapat rezeki.”
Akuwu yang sedang kebingungan itu segera membaringkan dirinya di pembaringannya tanpa melepas pakaiannya. Ia menggeliat ketika terasa sesuatu mengganggu punggungnya. “Ah,” desahnya sambil bangkit kembali. Kerisnya pun ternyata masih terselip di antara ikat pinggangnya, sehingga sambil mengumpat-umpat maka terpaksa akuwu itu bangkit melepas kerisnya dan diletakkannya di samping bantalnya.
Sambil berbaring Tunggul Ametung mencoba menenangkan pikirannya. Ia adalah seorang akuwu yang keras hati. Namun kadang-kadang hatinya selunak malam. Sehingga demikian, maka akuwu itu seakan-akan tidak mempunyai suatu sikap yang tetap. Namun sebenarnya Akuwu adalah seorang yang sulit untuk dimengerti. Bahkan pelayan-pelayannya yang terdekat pun selama ini masih belum mampu untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang berkenan di hati akuwu itu. Bahkan suatu ketika Tunggul Ametung sendiri tidak dapat mengerti apa yang sedang dipikirkannya. Demikian gelapnya sehingga Akuwu itu menjadi sangat gelisah. Kehadiran gadis itu benar-benar telah merampas ketenangan hatinya.
“Apakah Kuda Sempana berkata sebenarnya?” desisnya, dan diteruskannya, “Melihat keadaan di rumah gadis itu, maka agaknya Kuda Sempana telah menipuku.”
Tunggul Ametung menggeram, “Aku harus mengetahui keadaan yang sebenarnya.”
Di bilik kanan Nyai Puroni berusaha sedapat-dapatnya untuk menolong Ken Dedes yang sedang pingsan. Kakinya yang dingin seolah-olah membeku telah digosok-gosoknya dengan reramuan penghangat. Jahe, minyak kelapa dan beberapa macam lagi. Dahinya, tengkuknya dan perutnya, menurut pengalaman yang sudah ber-tahun-tahun didapatnya. Lambat laun gadis itu pun menggeliat. Perlahan-lahan digerakkannya tangannya, kakinya dan akhirnya sekali lagi Ken Dedes membuka matanya.
“Eling, Angger,” bisik Nyai Puroni perlahan-lahan.
Ken Dedes terkejut mendengar suara itu. Cepat-cepat ia berpaling dan dipandangi orang tua yang bersimpuh di sampingnya itu dengan seksama. Namun alangkah kecewanya. Orang tua itu bukan embannya. Bukan pemomongnya yang seakan-akan sudah menjadi ibunya sendiri. Karena itu sekali lagi ia menjadi bingung. Diamat-amatinya ruangan itu. Ruangan yang belum, pernah, dilihatnya. Ruangan yang dihiasi dengan berbagai macam benda-benda yang berharga, dengan dinding papan yang berukir.
“Apakah aku sedang bermimpi?” desis Ken Dedes.
“Tidak Nini. Kau sama sekali tidak bermimpi,” sahut Nyai Puroni.
Sekali lagi Ken Dedes berpaling. Dipandanginya wajah dukun tua itu. Kemudian katanya, “Siapakah engkau Nyai?”
“Aku adalah seorang dukun, Nini. Dukun yang diminta oleh Akuwu mengobati Nini. yang sedang pingsan.”
“Akuwu?” ulang Ken Dedes.
“Ya. Nini datang bersama Akuwu dan Kuda Sempana bukankah demikian?”
“Oh,” Desah gadis itu. Dicobanya untuk mengingat-ingat apakah yang telah terjadi. Selapis demi selapis dikenangnya kembali apa yang sudah terjadi itu. Kuda Sempana, akuwu dan beberapa orang prajurit. Wiraprana dan para cantrik. Tiba-tiba Ken Dedes itu memekik kecil. Tangisnya meledak seperti bendungan pecah. Ditelungkupkannya tubuhnya sambil menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak tangannya.
Nyai Puroni tiba-tiba menjadi bingung. Kenapa gadis ini tiba-tiba menangis. Karena itu maka untuk sesaat Nyai Puroni itu terbungkam. Meskipun tangannya membelai rambut Ken Dedes dengan kasih seorang tua, tetapi ia tidak dapat menghiburnya dengan kata-kata. Ia tidak tahu persoalan apa yang telah terjadi.
Sesaat bilik itu menjadi sepi. Hanya isak Ken Dedes sajalah yang terdengar. Sekali-kali terdengar desah Ken Dedes menyebut nama ayahnya, Mahisa Agni dan Wiraprana. Namun tidak sedemikian jelas sehingga Nyai Puroni menjadi semakin bingung karenanya. Demikian bingungnya sehingga tiba saja ia bertanya, “Nini, kenapa kau menangis?”
Mendengar pertanyaan itu tangis Ken Dedes menjadi semakin keras dan bahkan hampir tak dapat ditahannya. Nyai Puroni yang meskipun tidak tahu sama sekali apa sebabnya gadis itu menangis, tiba-tiba air matanya telah meleleh pula tanpa setahunya.
“Diamlah Angger,” Nyai Puroni mencoba menghiburnya. “Damlah! Jangan menangis, Nini.”
Tetapi Ken Dedes menangis terus. Bahkan semakin lama semakin keras, sehingga Nyai Puroni menjadi semakin bingung ia tidak tahu apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia tidak dapat menghibur gadis itu tanpa mengetahui sebab-sebabnya ia menangis.
Akhirnya, dalam kebingungan Nyai Puroni itu berbisik kepada emban yang duduk di sampingnya, “Sampaikan kepada Akuwu apa yang kau lihat.”
Emban itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia pun bangkit dan berjalan keluar. Namun di ruang dalam itu tak dilihatnya Tunggul Ametung, sehingga sesaat ia tertegun. Namun kemudian dari seorang emban yang lain, diketahuinya bahwa Akuwu Tunggul Ametung berada di pembaringannya.
“Tolong. Sampaikan kepada Akuwu, bahwa gadis itu telah sadar. Tetapi ia menangis saja,” berkata emban itu.
Emban yang lain menggelengkan kepalanya, jawabnya. “Tidak. Aku tidak mau masuk ke dalam bilik selagi Akuwu ada di dalamnya.”
“Kenapa?”
Emban itu tidak menjawab.
“Cepat! Sampaikanlah kepada Akuwu!”
Emban itu tidak juga menjawab, tetapi ia menggeleng.
“Kenapa? Kenapa?”
Sekali lagi ia hanya menggeleng saja.
“Oh. Anak bengal,” gerutu emban itu. Dan dengan tergesa-gesa ia sendiri pergi ke bilik akuwu. Meskipun hatinya berdebar-debar. Apakah Akuwu tidak akan menjadi marah.
Emban yang lain, yang tidak mau menghadap akuwu di biliknya mencibirkan bibirnya. Sambil memandangi bayangan wajahnya yang buram pada permukaan air di jambangan bunga ia berkata, “Aku terlalu cantik. Aku tidak mau masuk ke dalam bilik Akuwu. Bukankah Akuwu belum beristri. Huh, Kalau Akuwu memintaku baik-baik kepada orang tuaku, entahlah. Mungkin aku akan memikirkannya.” Emban itu kemudian tersenyum-senyum sendiri.
Emban yang lain dengan gelisah mendekati pintu bilik akuwu. Meskipun pintu itu tidak tertutup, namun ia sama sekali tidak berani masuk ke dalamnya. Dengan demikian maka emban itu hanyalah mondar-mandir saja di depan pintu, kemudian dengan keringat yang membasahi tubuhnya, ia duduk bersimpuh di hadapan pintu bilik itu sambil menunggu, juru panebah lewat. Kepada juru panebah ia akan minta tolong untuk menyampaikannya kepada akuwu. Juru panebah sudah terlalu biasa masuk ke dalam bilik itu. Dipanggil atau tidak dipanggil oleh Tunggul Ametung.
Tetapi emban itu hampir tidak pernah masuk ke dalamnya apabila tidak ada sesuatu yang harus dilakukannya. Mengganti kain selintru atau alas pembaringan untuk dicuci. Pekerjaannya adalah membersihkan dan merawat sentong-sentong kiwa, tengen dan sentong tengah. Tetapi ternyata Akuwu mendengar langkah yang mondar-mandir itu, sehingga karena itu maka segera ia bangun dan berjalan.
Ketika Akuwu Tumapel itu melihat emban yang menunggui Ken Dedes, maka dengan tergesa-gesa Tunggul Ametung bertanya “Bagaimana? Bagaimana dengan gadis itu?”
Emban itu pun kemudian duduk bersimpuh sambil menyembah, katanya, “Ampun Tuanku. Gadis itu telah sadar. Tetapi sejak tadi selalu menangis saja. Nyai Puroni tidak berhasil menghiburnya.”
Wajah Akuwu itu pun tiba-tiba menjadi bertambah tegang. “Baiklah,” katanya, “baiklah, aku segera datang.”
Akuwu Tunggul Ametung segera masuk kembali ke dalam biliknya, membetulkan letak pakaiannya dan kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke bilik dalam sebelah kanan. Tetapi begitu ia sampai di pintu bilik, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah yang. dapat dilakukan terhadap gadis itu. Apakah dapat ia dapat menenteramkan hati Ken Dedes atau menghiburnya?
Akuwu itu pun terhenti. Direnunginya pintu bilik itu. Tetapi ia tidak jadi memasukinya. Diurungkannya niatnya untuk mencoba menemui Ken Dedes. Gadis itu pasti masih mendendamnya. Karena itu, maka akuwu itu dengan gelisahnya berjalan kembali ke dalam biliknya. Ketika ditemuinya emban yang memanggilnya tadi, maka katanya “Biarlah Bibi Puroni mencoba menenangkannya. Aku tidak perlu datang kepada gadis itu. Aku juga belum kenal dia, dan dia pun belum mengenal aku. Tidak ada gunanya.”
Emban itu memandangi Akuwu Tumapel dengan penuh keheranan. Bagaimana mungkin Akuwu Tunggul Ametung itu belum mengenal gadis itu. Kenapa dengan tiba-tiba gadis itu harus dibaringkannya di sentong tengen. Tunggul Ametung yang merasa emban itu memandanginya dengan tak berkedip, tiba-tiba membentak, “Kenapa kau memandangi aku sedemikian?”
“Oh. Ampun Tuanku,” emban itu menjadi gemetar. Cepat-cepat ia menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan terdengar desahnya, “Hamba tidak bermaksud apa-apa.”
“Tetapi kenapa kau pandangi saja wajahku? He? Apakah kau belum pernah melihat aku? Atau barangkali wajahku tiba-tiba saja menjadi bopeng?”
“Ampun. Ampun Tuanku.”
“Ayo, cepat pergi! Katakan kepada Bibi Puroni!”
“Hamba Tuanku.” Cepat-cepat emban itu pun pergi memasuki bilik sebelah kanan. Dijumpainya Ken Dedes masih menangis dan Nyai Puroni masih juga berusaha menghiburnya.
Ketika Nyai Puroni melihat emban itu datang, mala segera ia berbisik, “Bagaimana dengan Akuwu?”
“Akuwu tidak mau masuk ke dalam bilik ini. Ternyata Akuwu belum mengenal gadis ini.”
“Oh,” Nyai Puroni pun terkejut bukan main. Lalu bagaimana mungkin Ken Dedes dibaringkan di sentong tengen. Nyai Puroni itu pun menjadi semakin tidak mengerti apa yang terjadi. Kalau Akuwu belum mengenal gadis ini, dan gadis ini adalah benar-benar bakal istri Kuda Sempana, tidak lebih, maka apakah haknya maka ia dibaringkan di dalam bilik Ini?
Tetapi Nyai Puroni tidak mau mempersoalkannya lagi. Hatinya dicengkam oleh keibaannya atas gadis itu. Alangkah sedih tangisnya. Karena itu, maka dicobanya sejauh-jauhnya untuk menghiburnya. Namun Ken Dedes seakan-akan tidak juga mendengarnya. Ia masih saja menangis. Lewat air matanya dituangkannya kepedihan yang menghimpit hatinya. Pedih dan nyeri. Bahkan sekali-sekali terluncur disela-sela tangisnya, sah yang dalam.
Nyai Puroni adalah seorang tua yang sudah mengenyam pahit manis kehidupan. Pernah dijumpainya seribu macam peristiwa. Pernah dialaminya seribu macam kejadian. Pernah dihadapinya seribu macam persoalan. Karena itu, maka pengalaman yang tersimpan di dadanya, seakan-akan telah merupakan suatu kebulatan dari peristiwa-peristiwa di dunia ini. Peristiwa-peristiwa yang pernah dilihat, dialami dan dihadapinya. Karena itu, maka menghadapi Ken Dedes ini pun Nyai Puroni segera dapat meraba-raba, apakah agaknya yang telah mendorong gadis itu kemari dalam keadaan yang menyedihkan.
“Kuda Sempana,” desisnya di dalam hati, “pasti pokal Kuda Sempana.” Tetapi dukun tua itu sama sekali tidak mau mengatakan sesuatu. Ia masih saja menghibur sedapat-dapatnya. Dibelainya rambut Ken Dedes yang panjang terurai. Namun Ken Dedes masih saja menangis.
Akuwu yang kembali ke dalam biliknya pun menjadi semakin gelisah. Ketika dipandanginya udara di luar biliknya lewat daun pintu yang terbuka, maka ia terkejut. Di kejauhan dari balik tirai dilihatnya seseorang membawa pelita menyala di kedua tangannya. “He, apakah ini sudah malam?”
Barulah akuwu itu sadar, bahwa senja semakin kelam. Beberapa pelayan istana telah menyalakan lampu-lampu di segenap ruangan. Namun karena akuwu masih berada di dalam biliknya, maka para pelayan itu belum berani memasuki ruangan itu. Dinyalakannya saja lampu-lampu yang lain dan nanti apabila akuwu tidak juga keluar, barulah seseorang juru panebah harus menyalakan lampu di dalam bilik itu. Perlahan-lahan akuwu bangkit dari pembaringannya. Bilik pun telah mulai gelap pula. Agaknya karena kegelisahan yang mencengkeram kepalanya, sehingga tanpa disadarinya ia telah berbaring di keremangan senja. Karena itu cepat-cepat ia meninggalkan biliknya.
Ketika akuwu yang sedang kebingungan itu melihat seorang pelayan yang duduk menunggu perintahnya di tangga ruang dalam, maka segera ia berteriak, “He. Kau kemari!”
Pelayan itu pun mendekatinya sambil berjongkok. Kemudian duduk bersimpuh di hadapannya.
“Sediakan aku air panas!” perintah Tunggul Ametung, “Aku akan mandi. Sementara itu, perintahkan seorang pelayan dalam untuk memanggil Witantra dan Ken Arok. Sore ini.”
Pelayan itu menyembah, kemudian ia pun segera meninggalkan Akuwu yang gelisah itu. Kepada seorang emban, pelayan itu minta akuwu disediakan air hangat, sedang kepada pelayan yang lain dimintanya untuk menyampaikan perintah Akuwu Tunggul Ametung, memanggil Witantra dan Ken Arok. Ketika pelayan itu sampai di rumah Witantra, ternyata Witantra itu baru saja memasuki rumahnya bersama Ken Arok dan seorang perempuan tua, pemomong Ken Dedes. Dengan dada berdebar-debar Witantra bertanya kepada pelayan itu, “Apa perintah Akuwu?”
“Aku tidak tahu. Tetapi Kakang Witantra diperintah menghadap sore ini bersama-sama dengan Kakang Ken Arok. Kalau aku temui Kakang Ken Arok di sini, maka adalah kebetulan sekali.”
“Baru apa-kah Akuwu ketika kau berangkat?”
“Akuwu sedang duduk termenung, menunggu air hangat,”
“He?”
“Ya. Akuwu baru akan mandi.”
“Ah,” Witantra berdesah. Kemudian katanya, “Baik, Aku akan segera menghadap. Bersama Adi Ken Arok.”
Pelayan itu pun segera meninggalkan rumah Witantra. Sementara itu Witantra dan Ken Arok pun beristirahat untuk sesaat, duduk-duduk sambil minum air hangat.
“Mandilah di sini Adi,” minta Witantra, “kita harus segera menghadap. Pasti ada sesuatu yang penting.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Mungkin akuwu marah. Marah kepadanya dan marah kepada Witantra. Telah terucapkan, bahwa akuwu mengancam Witantra untuk menggantungnya besok di alun-alun. Ketika mereka berdua telah selesai berbenah, maka mereka pun segera minta diri kepada istri Witantra dan menyerahkan pemomong Ken Dedes itu.
“Biarlah Bibi tua ini untuk sementara tinggal bersama kita,” berkata Witantra.
Ternyata istrinya pun tidak berkeberatan.
“Jangan terlalu mengharap aku segera kembali,” desis Witantra.
Istrinya terkejut. Tampaklah keningnya berkerut. Katanya, “Apakah Kakang akan mendapat tugas baru?”
Witantra menggelengkan kepalanya lemah sekali. Ditatapnya wajah istrinya yang masih terlalu muda untuk ditinggalkan. Namun lebih baik kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang itu diberitahukannya sekarang. Ia tidak dapat menunda-nundanya sampai bencana itu datang, apabila akuwu benar-benar akan melakukan apa yang telah dikatakannya. Mungkin malam ini akuwu telah memerintahkan beberapa orang prajurit berjaga-jaga. Mungkin Kuda Sempana telah bersiap pula di sekitar istana.
“Nyai,” berkata Witantra kepada istrinya, “Akuwu sedang murka kepadaku. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan atasku dan Adi Ken Arek.”
“Murka?” tubuh istrinya tiba-tiba menjadi gemetar, “Kenapa?”
Witantra menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian gumamnya kepada diri sendiri, “Aku tidak dapat melakukan perintahnya.”
“Mengapa?”
“Aku tidak sampai hati, Nyai.”
“Apakah perintah yang harus kau lakukan?”
Witantra mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling, dan ditatapnya wajah perempuan tua yang duduk bersimpuh di sudut ruangan. “Bertanyalah kepada Bibi tua itu. Ia akan dapat mengatakan, apa yang sudah terjadi.”
Istrinya memandang perempuan tua, pemomong Ken Dedes itu dengan penuh pertanyaan yang memancar dari wajahnya. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, maka kembali Witantra berkata, “Sudahlah Nyai. Biarlah aku menghadap Akuwu. Hati-hatilah di rumah. Bukankah kau telah mempunyai banyak kawan di sini?”
“Kakang,” sahut istrinya, wajahnya menjadi gelisah dan tiba-tiba suaranya menjadi gemetar, “apakah kira-kira yang akan terjadi, Kakang?”
“Aku tidak tahu, Nyai.”
“Oh,” desahnya, “Apakah Kakang tidak segera akan kembali?”
Witantra menggeleng lemah, “Aku tidak tahu. Apakah aku akan kembali malam nanti, besok, lusa atau waktu-waktu yang tidak dapat aku katakan.”
“Lalu bagaimana dengan aku?”
Sekali lagi Witantra menarik nafas dalam-dalam. “Jangan risau Nyai. Mudah-mudahan aku segera kembali. Namun kemungkinan-kemungkinan yang lain harus kau ketahui pula, seperti aku sedang berangkat berperang. Istri seorang prajurit pasti tahu, apakah yang mungkin terjadi dengan suaminya. Karena itu jangan berduka.”
“Oh,” tiba-tiba istri Witantra itu menangis. Seorang perempuan tua, ibu Witantra segera datang menghiburnya, katanya, “Jangan menangis anakku. Aku dahulu juga menjadi istri seorang prajurit. Aku juga melihat setiap kemungkinan yang bakal terjadi dengan suamiku dahulu. Sekarang anakku pun seorang prajurit. Biarlah ia menyerahkan dirinya atas kekuasaan tangan Yang Maha Agung. Jangan kau tangisi, supaya perjalanannya tidak meragukannya.”
Istri Witantra itu menjadi agak tenang sedikit. Namun tiba-tiba muncullah seorang gadis dari ruang dalam. Gadis yang sedang menginjak masa remaja. Dengan wajah tengadah ia berkata, “Kakang Witantra, kenapa Kakang tidak dapat melakukan perintah Baginda?”
Witantra berpaling. Dilihatnya adik istrinya berada di rumahnya pula. Karena itu segera ia bertanya, “Kapan kau datang?”
“Siang ini.”
“Baik. Adalah kebetulan sekali kau datang. Kawanilah kakak perempuanmu di sini.”
“Ya Kakang. Tetapi aku ingin tahu, kenapa Kakang tidak dapat menuruti perintah Akuwu itu?”
“Tidak apa-apa. Jangan kau pikirkan itu lagi.”
“Tidak. Aku merasa aneh sekali. Bukankah Kakang seorang prajurit?”
“Benar. Benar Ken Umang. Aku adalah seorang prajurit.”
Ken Umang itu memandangi Witantra dengan tajamnya. Sambil mengangkat dagunya ia berkata, “Kenapa seorang prajurit terpaksa menghindari perintah, justru perintah Akuwu sendiri?”
“Jangan berpikir tentang hal itu Umang. Sudahlah, kawanilah kakakmu. Biarlah besok kau dibelikan selembar kain tenun yang berwarna merah jambu.”
“Aku tidak ingin selembar kain berwarna merah jambu."
“Nah, apalah yang kau ingini?” sahut Witantra.
“Tak ada. Aku hanya ingin tahu, kenapa Kakang menolak perintah Akuwu.”
“Jangan tanyakan itu lagi. Mintalah sebuah golek yang besar atau sehelai selendang sura yang berwarna hijau.”
“Kakang, aku sekarang bukan anak-anak lagi. Lihatlah, aku sudah dewasa.”
Witantra menggeleng. Kemudian jawabnya, “Belum Umang. Kesadaranmu, bahwa kau telah mulai dewasa menunjukkan bahwa kau belum dewasa. Kau masih pantas berkain sabukwala. Jangan risaukan aku.”
“Kakang,” tiba-tiba terdengar istri Witantra berkata, “pertanyaan Umang ada benarnya. Apakah sebabnya maka Kakang terpaksa menolak perintah Akuwu?”
“Bertanyalah kepada perempuan itu sepeninggalku,” sahut Witantra, “biarlah kini aku berjalan dengan tenang. Apapun yang akan aku hadapi.”
Nyai Witantra tidak bertanya lagi. Namun gadis yang menjelang dewasa itu tampak sama sekali tidak puas atas jawaban kakak iparnya. Tetapi ia pun sudah tidak bertanya lagi. Dipalingkannya wajahnya memandang perempuan tua yang duduk di sudut ruangan. Sekali lagi ia mengangkat dagunya, kemudian hilang masuk ke ruang dalam. Witantra berjalan meninggalkan halaman rumahnya. Seorang pelayannya telah membenahi dan menyediakan kuda-kuda mereka. Dan sesaat kemudian bunyi derap telapak kuda itu pun menghilang.
Nyai Witantra dan ibu mertuanya pun kemudian duduk bersama dengan pemomong Ken Dedes. Dengan tidak sabarnya segera mereka bertanya, “Bibi apakah yang telah dilakukan oleh Kakang Witantra sehingga ia terpaksa mendapat murka?”
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Angger Witantra berpijak pada rasa perikemanusiaan. Karena itulah maka ketika Angger Witantra menerima perintah, maka terpaksa Angger Witantra tidak dapat melakukannya.”
“Apakah perintah itu?”
Emban tua itu pun segera menceritakan apa yang telah dilihatnya di halaman rumah Empu Purwa. Bagaimana Akuwu Tumapel menjadi sangat marah kepada Witantra karena Witantra tidak mau ikut serta dalam perbuatan yang terkutuk itu.
“Jadi Akuwu telah menculik gadis itu?” terdengar ibu Witantra bertanya.
“Ya.”
“Oh, ampun,” desah ibu Witantra itu. Untunglah bahwa Witantra tidak mau ikut melakukannya.
Istri Witantra pun kemudian mengerutkan keningnya. Dipandanginya emban tua itu dengan seksama. Ketika ia mendengar cerita itu maka seluruh bulu-bulunya serasa telah tegak berdiri. “Ngeri,” desisnya
Tetapi kembali Ken Umang keluar dari ruang dalam. Ditatapnya ketiga perempuan yang duduk melingkar di sudut ruangan itu. Dengan menyesal ia berkata “Hah, ternyata Kakang Witantra terlalu perasa. Apakah salahnya kalau ia mematuhi perintah itu?”
Semuanya, ketiga perempuan itu terkejut. Serentak mereka berpaling, dan dilihatnya Ken Umang berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
“Umang,” berkata Nyai Witantra “Jangan berkata begitu!”
“Kenapa? Bukankah dengan demikian Kakang Witantra tidak akan mendapat kesulitan?”
“Tetapi itu melanggar perikemanusiaan, Umang.”
“Itu adalah tanggung jawab Akuwu. Bukankah Kakang Witantra hanya sekedar melakukan perintah?”
“Ia bahkan harus mencegahnya?” desah ibu Witantra.
“Jadi melawan Akuwu?” bertanya Ken Umang.
Ibu Witantra itu pun terdiam. Nyai Witantra dan pemomong Ken Dedes pun tidak berkata sesuatu. yang terdengar kembali adalah suara Ken Umang itu, “Sekarang Kakang berada dalam kesulitan-kesulitan. Apakah dengan demikian Akuwu menggagalkan niatnya? Bukankah gadis itu dibawa juga ke Tumapel? Nah, kalau Kakang Witantra ikut serta dan mematuhi perintah Akuwu, maka ia tidak akan bersalah. Sebab dengan atau tidak dengan Kakang Witantra, perbuatan itu telah terjadi.”
“Ken Umang,” jawab ibu Witantra “kau benar-benar kurang dapat memahami persoalan ini. Kau seorang gadis pula Umang, yang sebentar lagi, tidak sampai tiga tahun kau telah benar-benar menjadi dewasa. Apakah yang akan kau katakan, seandainya peristiwa itu menimpa dirimu?”
“Oh, aku akan berterima kasih. Kalau aku menjadi gadis desa itu, dan diambil oleh seorang pegawai istana, maka aku akan berterimakasih. Aku Akan bangga karenanya. Apa lagi kalau diambil langsung oleh Akuwu sendiri meskipun menjadi seorang selir. Alangkah senangnya. Dan aku menjadi iri hati karenanya.”
“Umang,” potong kakak perempuannya, “apakah kau sedang mengigau?”
“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Dan aku ingin menjadi istri Akuwu.”
“Juga kalau kau sudah memiliki pilihan hatimu sendiri.”
“Oh. Jadi gadis itu sudah mempunyai bakal suaminya? Seorang anak Buyut Panawijen, menurut cerita yang aku dengar tadi dari balik dinding. Buat apa harus memberatkan anak pedesaan itu? Bukankah lebih berbahagia hidup di kota setidak-tidaknya daripada menjadi seorang pedesaan yang harus turun ke sawah setiap hari?”
Ibu Witantra mengerutkan keningnya, sedang pemomong Ken Dedes menarik nafas panjang-panjang. Nyai Witantra sendiri menundukkah wajahnya. Kata-kata itu benar-benar merupakan sindiran yang tajam bagi dirinya. Pada masa gadisnya ia pun memiliki idaman seperti adiknya itu. Ia ingin menjadi seorang istri dari orang-orang yang memiliki kebanggaan di hari-hari depannya. Seorang perwira atau. seorang yang kaya raya atau seorang perwira yang kaya raya.
Namun ketika ia telah merasakan kemesraan rumah tangga, maka terasa beberapa perubahan di dalam jiwanya. Terasa betapa ia mencintai suaminya lebih dari segala-galanya. Meskipun seandainya Witantra itu kehilangan semua yang dahulu dikaguminya, dan bahkan yang mendorongnya untuk menerima lamaran Witantra, maka Witantra baginya adalah seorang suami yang baik. Seorang suami yang dicintai dengan sepenuh hati. Karena itu, maka kini ia pun ikut bersedih bersama suaminya. Namun ia tidak menyesal bahwa suaminya telah menolak perintah itu.
Bagaimanakah seandainya dirinya sendiri, tiba-tiba kini harus dipisahkan dengan paksa dari suaminya? Mungkin dahulu ia berpikir seperti adiknya itu, Ken Umang. Tetapi sekarang tidak. Mungkin Ken Dedes telah memiliki perasaan cintanya yang jernih sejak mereka belum berumah tangga seperti cintanya yang sekarang telah tumbuh di dalam dadanya kepada suaminya. Cintanya kepada laki-laki itu. Bukan karena Witantra seorang perwira. Namun keserasian, saling mengerti dan isi mengisi dalam hidup mereka sehari-hari telah mengikatnya dalam hidup mereka sehari-hari telah mengikatnya dalam suatu kesetiaan yang belum pernah dimilikinya di masa-masa gadisnya.
Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat suaminya itu berada di dalam kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan yang mungkin membahayakan ketenteraman rumah tangganya itu. Ia, Nyai Witantra itu kini sama sekali bukan seorang istri yang melihat bulan yang selalu bersinar terang. Ternyata ia sama sekali bukan seorang pengecut yang lari di kala kesulitan-kesulitan datang. Sifatnya yang berkembang itu bahkan telah mendorongnya untuk ikut serta menanggung apa saja yang akan terjadi atas suaminya.
Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Ibu, biarlah aku pergi juga ke istana.”
“He,” ibu Witantra terkejut, “apa yang akan kau lakukan?”
“Aku mempunyai kepentingan dengan Kakang Witantra. Aku ingin melihat apa yang terjadi.”
“Jangan. Kau tidak mendapat perintah untuk menghadap. Mungkin kedatanganmu akan menambah murka Akuwu.”
“Apapun yang akan terjadi. Aku ingin melihat penyelesaian atas Kakang Witantra.”
Ken Umang tiba-tiba memandang wajah kakak perempuannya dengan pandangan penuh penyesalan. Katanya, “Buat apa sebenarnya kau pergi ke sana?”
“Ken Umang. Aku sekarang berpendapat lain daripada masa-masa kanak-kanakku. Aku tidak dapat menerima pikiranmu. Mungkin kau akan mengatakan kepadaku, bahwa biar saja apa yang terjadi dengan Kakang Witantra. Mungkin kau akan mengatakan bahwa aku masih muda. Masih mungkin untuk mendapatkan suami yang lebih baik dari Kakang Witantra. Begitu? Sekarang biarlah Kakang Witantra menerima hukuman atas kesalahannya? Umang, mungkin aku dahulu akan berkata begitu. Tetapi sekarang tidak Umang. Karena itu aku akan pergi.”
“Jangan Nyai,” cegah ibu Witantra, “para penjaga tidak akan mengizinkan kau masuk ke regol dalam halaman istana.”
“Aku istri Kakang Witantra. Para penjaga mengenal siapa aku. Dan karenanya mereka akan mengizinkan aku masuk. Sudah beberapa kali aku masuk ke istana. Akuwu sering benar minta aku masak untuknya.”
“Ya. Tetapi sekarang suamimu sedang dalam persoalan.”
“Justru karena itu ibu. Biarlah aku pergi.”
Ken Umang menjadi semakin heran. Ia tidak dapat mengerti apa yang akan dilakukan oleh kakak perempuannya. Meskipun tuduhan kakaknya atas pikirannya itu terlampau jauh, namun ia tidak membantahnya, sebab sebagian adalah benar. Namun kemudian ia berkata, “Urusan itu sebenarnya bukan urusanmu. Tunggulah di rumah. Aku tidak menganjurkan kau berkhianat atas suamimu. Namun jangan mengorbankan dirimu tanpa arti.”
“Umang,” wajah Nyai Witantra menjadi merah. Ia menjadi sedemikian marahnya kepada adiknya itu. Tetapi ibu Witantra segera berkata tenang kepadanya, “Biarkan adikmu itu. Ia adalah seorang gadis yang sedang berkembang. Angan-angannya akan jauh terbang melampaui setiap kenyataan yang dihadapinya. Itulah sebabnya maka kadang gadis yang seumur itu kehilangan keseimbangan.”
“Ah,” desah Ken Umang. Namun ia tidak berani berbantah dengan ibu iparnya. Namun hatinya berteriak lantang, “Ah, orang tua-tua selalu menganggap anak-anak muda sebagai seorang yang sedang menempuh masa pancaroba. Mereka menganggap bahwa kami anak-anak muda selalu tidak waras. Tetapi mereka sendiri telah menenggelamkan dirinya dalam wawasan yang usang.”
Namun ternyata bahwa istri Witantra itu keras hati untuk pergi ke istana . Ia menjadi gelisah benar apabila dikenangnya kata-kata suaminya dan cerita perempuan tua yang dibawa suaminya dari Panawijen. Karena itu maka akhirnya ia tidak dapat ditahan-tahan lagi.
“Kalau kau bersikeras untuk pergi Ngger. Hati-hatilah.”
“Ya, Ibu. Aku akan berusaha untuk menjaga diriku dan mengetahui apa yang akan terjadi dengan Kakang Witantra.
“Nyai,” tiba-tiba perempuan tua yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan setiap pembicaraan itu berkata, “apakah aku diizinkan untuk turut serta masuk ke dalam istana?”
Nyai Witantra dan ibunya terkejut mendengar permintaan itu. Sehingga karena itu mereka bertanya, “Untuk apa Bibi ikut masuk ke dalam istana.”
“Ken Dedes adalah momonganku. Mudah-mudahan aku dapat bertemu dengan gadis itu.”
“Apakah gadis itu dibawa ke istana?”
Pemomong Ken Dedes menjadi bingung. Ia tidak tahu ke mana Ken Dedes dibawa. Tetapi Nyai Witantra itulah yang menjawab, “Ya. Mungkin di istana kau akan mendengar, ke mana gadis itu dibawa. Karena itu, marilah, biarlah Bibi ikut dengan aku.”
Kedua Perempuan itu pun kemudian turun ke halaman dan dalam keremangan ujung malam, mereka berjalan ke istana Akuwu Tumapel.
Dalam pada itu, maka Witantra dan Ken Arok pun telah sampai pula di istana. Di halaman luar mereka menambatkan kuda-kuda mereka. Dengan berjalan kaki memasuki halaman dalam istana Tunggul Ametung. Dada Witantra dan Ken Arok pun menjadi berdebar-debar. Di regol mereka melihat beberapa orang prajurit berjaga-jaga. Ketika mereka melihat Witantra lewat di hadapan mereka, segera mereka membungkukkan badan mereka memberikan hormat.
Dengan langkah yang ragu Witantra kemudian naik ke ruang belakang. Mereka menunggu sesaat sehingga dilihatnya seorang emban lewat di samping mereka. Perlahan-lahan dipanggilnya emban itu dan dengan perlahan-lahan pula Witantra bertanya, “Apakah Akuwu sudah siap menerima kedatanganku dan Adi Ken Arok.”
Emban itu memandangi Witantra dengan herannya. Kemudian katanya, “Apakah Akuwu akan mengadakan pertemuan malam ini?”
Witantra mengerutkan keningnya, katanya, “Di mana Akuwu sekarang?”
“Di dalam biliknya,” sahut emban itu.
“Jangan asal menjawab saja, Akuwu memanggil aku dan Adi Ken Arok.”
Emban itu menggeleng, “Aku tidak tahu.”
“Siapakah pelayan dalam yang sedang bertugas hari ini?” bertanya Ken Arok.
Emban itu menggeleng, “Aku belum tahu namanya.”
“Tolong. Panggilkan sebentar kemari.”
Emban itu memandang Witantra dengan penuh keheranan. Ia tidak mendapat perintah untuk membersihkan ruang pertemuan kecil di dalam istana di saat-saat khusus. Dan ternyata Akuwu pun tidak berada di ruang palenggahan. Tetapi sejak mandi, Akuwu langsung masuk kembali ke dalam biliknya. Sehingga para pelayan yang menunggu perintahnya menjadi bingung. Sebab bukanlah kebiasaan Akuwu berbuat demikian. Sesaat kemudian datanglah seorang pelayan dalam mendekati Witantra. Dengan hormatnya ia membungkukkan ke palanya sambil bertanya, “Adakah sesuatu yang dapat aku kerjakan, Kakang Witantra.”
“Kami berdua dipanggil Akuwu.”
“Oh,” sahut orang itu, “marilah silakan masuk. Tetapi Akuwu tampaknya tidak sedang menunggu seseorang. Bahkan Akuwu agaknya menjadi sangat lelah sehabis berburu sehari ini.”
“Terima kasih,” Witantra tidak menunggu lebih lama. Langsung ia masuk ke ruang dalam istana dan duduk di ruang dalam, yang biasa dipakai oleh Akuwu untuk mengadakan pertemuan-pertemuan khusus.
Tetapi Witantra benar-benar menjadi heran. Ruangan itu masih terlalu gelap dan tidak sehelai tikar pun yang telah terbentang. Bahkan batu hitam, yang biasa dipakai duduk Akuwu pun masih dikerukup dengan sebuah kain putih.
“Aku tidak tahu, apakah yang terjadi dengan Akuwu,” desis Witantra.
“Akuwu telah berbuat di luar sadarnya,” sahut Ken Arok, “hari ini Akuwu benar-benar seperti orang yang sedang kebingungan.”
Witantra mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ternyata bukan Akuwu saja. Kita semua telah menjadi bingung pula karenanya.”
“Itu adalah akibat perbuatan Akuwu Tunggul Ametung. Kalau kita bersama-sama ini merupakan tubuh dari seekor ular, maka Akuwu adalah kepala ular itu. Apabila kepalanya menjadi bingung, maka seluruh tubuhnya akan kebingungan pula."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” sahutnya pendek.
Mereka pun kemudian terdiam. Namun di dalam kepala mereka seakan-akan terdapat sebuah baling-baling yang berputar. Bingung. Mereka tidak tahu apakah yang sebenarnya terjadi dan akan terjadi. Mereka semula menyangka, bahwa mereka akan datang ke istana dan akan ditemuinya para prajurit telah bersiap di setiap sudut halaman dan ruangan. Mereka menyangka bahwa Akuwu telah siap pula menunggu mereka dengan murkanya dan langsung memerintahkan menangkap mereka. Tetapi yang mereka jumpai adalah ruangan yang kosong, gelap dan benar-benar membingungkannya. Para pengawal pun tidak lebih dari para pengawal yang biasa bertugas di tempat masing-masing.
Ketika mereka menunggu beberapa lama, Akuwu masih belum juga keluar ke ruangan itu, dan bahkan pelita yang menyala itu pun tidak ditambah, maka Witantra akhirnya tidak sabar lagi. Kemudian ia berdiri dan memanggil seorang juru panebah. Katanya, “Sampaikanlah kepada Akuwu, bahwa Witantra dan Ken Arok telah siap menghadap di balai dalam.”
Juru panebah itu menjadi bingung. Jawabnya, “Akuwu sedang tidur. Apakah tuan berdua tidak saja menghadap besok pagi?”
“Jangan ribut! Sampaikan kepada Akuwu. Akuwu memanggil kami berdua.”
Panebah itu mengangguk hormat, kemudian tanpa berkata sepatah kata pun ia berjalan ke bilik Akuwu. Tetapi sampai di muka pintu ia sama sekali tidak berani masuk ke dalamnya. Hilir mudik ia berjalan. Mudah-mudahan Akuwu mendengarnya dan memanggilnya. Dan ternyata harapannya itu benar-benar terjadi. Dengan suara serak terdengar Akuwu bertanya, “He, siapa itu?”
“Hamba Tuanku,” sahut juru panebah itu.
Perlahan-lahan ia menghampiri pintu dan kemudian duduk bersila di luar tirai. “Ada apa?” bertanya Tunggul Ametung.
“Ada yang ingin menghadap Tuanku.”
“He? Gila. Suruh dia pergi. Cepat! Aku tidak mau menerima seorang pun. Apa disangkanya besok sudah akan kiamat?” teriak Tunggul Ametung itu.
Juru panebah itu menjadi ragu-ragu. Namun dengan tergagap ia berkata, “Ampun Tuanku. Menurut mereka, ternyata mereka telah Tuanku panggil menghadap.”
“He?” suara Akuwu itu pun menjadi lunak, “Siapa mereka?”
“Tuan Witantra dan Ken Arok.”
“Oh. Ya. Ya. Hampir aku lupa. Aku memang telah memanggil mereka itu,” sahut Tunggul Ametung.
Juru panebah itu menarik nafas lega. Ia surut ke belakang ketika didengarnya Akuwu bangkit dari pembaringannya dan berjalan keluar.
“Di manakah mereka sekarang?” bertanya Akuwu itu.
Juru panebah itu menyembah. Jawabnya “Di balai paseban dalam, Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keningnya kemudian berkerut, “Apakah tempat itu sudah kau sediakan?”
“Belum Tuanku. Hamba belum menerima perintah Tuanku.”
Akuwu itu pun berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Panggil mereka kemari! Aku akan menerima mereka di ruang dalam.”
Panebah itu menjadi heran. Adalah bukan kebiasaan akuwu menerima seseorang di ruang itu. Tetapi ia tidak berani bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berkisar, dan setelah menyembah, maka segera ia pergi ke balai dalam untuk memanggil Witantra dan Ken Arok ke ruangan di muka bilik Akuwu itu.
Witantra dan Ken Arok pun menjadi heran. Kembali mereka menjadi curiga. Apakah di ruangan itu telah bersedia beberapa orang prajurit yang akan menangkap mereka? Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain daripada datang menghadap Akuwu. Kembali mereka terkejut, ketika ruangan itu benar-benar kosong. Tak seorang pun yang dilihatnya berada di tempat itu. Karena itu maka segera mereka pun pergi ke sudut ruangan dan duduk di atas sehelai tikar yang telah direntangkan. Sesaat kemudian mereka mendengar suara akuwu terbatuk-batuk. Dan kemudian mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung keluar dari dalam biliknya. Witantra dan Ken Arok segera menundukkan wajah mereka dengan hormat menyembah akuwunya.
“Apakah kalian telah lama menunggu?” bertanya akuwu itu.
“Belum Tuanku,” sahut Witantra.
Akuwu Tunggul Ametung berjalan perlahan-lahan mendekati mereka, dan di luar dugaan Witantra dan Ken Arok, maka Akuwu itu duduk di tikar yang sehelai itu pula. Witantra dan Ken Arok menjadi bingung. Mereka segera beringsut ke belakang sehingga mereka tidak lagi duduk di atas tikar itu.
“Jangan menjadi segan. Duduklah sebaik-baiknya.”
“Tetapi…”
“Tidak apa-apa,” potong Tunggul Ametung.
Witantra dan Ken Arok benar-benar menjadi heran melihat sikap akuwu itu. Demikian juga juru penebah yang duduk di kejauhan, di tangga ruangan itu untuk menunggu perintah akuwu. Tetapi juru panebah itu tiba-tiba terkejut ketika akuwu itu berteriak “Pergi! Pergi! Kau mau apa duduk di situ?”
Juru panebah itu menjadi semakin heran. Meskipun demikian ia pergi juga. Ia tidak tahu, kenapa ia harus pergi, sebab setiap hari ia sendiri atau kawannya yang sedang bertugas, selalu duduk di tangga itu untuk menanti perintah akuwu setiap saat. Namun ia tidak mau memikirkan lagi. Dengan lesu ia melangkah ke sudut istana.
Dua orang pelayan dalam yang bertugas di tempat itu segera bertanya, “He, kenapa kau datang kemari?”
Juru panebah itu kemudian duduk pula di antara mereka sambil bersungut-sungut, “Akuwu sedang menjadi bingung Aku diusirnya dari tempat itu.”
“Dari mana?”
“Dari tangga ruang dalam.”
Kedua pelayan dalam itu tertawa, “Apakah kau tidak dapat mencari tangga yang lain, dan duduk di sana?”
Juru panebah itu memandang kedua pelayan dalam itu dengan wajah yang gelap. Jawabnya, “Kau sangka hidupku hanya berurusan dengan tangga-tangga saja?”
Kembali kedua pelayan dalam itu tertawa. Tetapi mereka tidak mau mengganggu juru panebah itu lagi.
Di ruangan dalam, di hadapan bilik Akuwu Tunggul Ametung, Witantra dan Ken Arok duduk bersila sambil menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Akuwu Tunggul Ametung sendiri duduk beberapa jengkal saja di hadapan mereka. “Witantra,” berkata Tunggul Ametung itu kemudian, “kenapa kau tadi siang tidak mau melakukan perintahku?”
Witantra menjadi berdebar-debar. Ia sudah menyangka bahwa ia akan menerima pertanyaan itu. Namun ia tidak menyangka bahwa nada pertanyaan itu sedemikian lunaknya. Disangkanya Akuwu Tunggul Ametung akan membentaknya dan menuding hidungnya sambil memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menangkapnya. Kini ia harus menjawab pertanyaan itu. Dan ia tidak dapat berkata melingkar-lingkar. Ia harus mengemukakan alasan sebenarnya. Kenapa ia tidak dapat turut saja melakukan penculikan itu. Maka katanya kemudian,
“Tuanku. Hamba tidak sampai hati untuk ikut serta berbuat sedemikian terhadap seorang gadis.”
“Kenapa?”
“Tuanku. Bukankah dengan demikian berarti bahwa kita sudah tidak lagi menghargai sesama? Dan bukankah dengan demikian kita sudah merusakkan kemanusiaan?”
“Tetapi, bukankah menjadi kewajibanmu untuk melakukan setiap perintahku?”
“Hamba Tuanku. Hamba dihadapkan pada kewajiban yang bertentangan dengan perasaan hamba. Dan bukankah hamba juga mempunyai kewajiban yang lain? Kewajiban untuk menegakkan kemanusiaan dan melindungi sesama? Tuanku. Hari ini hamba benar-benar merasa bahwa hidup hama benar-benar tak berarti.”
“Kenapa?”
“Hamba sama sekali tidak dapat melakukan kewajiban hamba keduanya. Tidak dapat melakukan kewajiban hamba sebagai seorang prajurit, karena hamba tidak melakukan perintah Akuwu, namun hamba juga tidak dapat melakukan kewajiban kemanusiaan itu.”
Akuwu tidak segera menyahut. Direnungkannya kata-kata Witantra itu dan dicernakannya di dalam hatinya. Ruangan itu sesaat menjadi sepi. Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalannya, sedang Witantra dan Ken Arok menundukkan wajahnya, menatap anyaman tikar pandan yang bersilang-silang. Tunggul Ametung mencoba sekali lagi membayangkan apa saja yang sudah terjadi hari itu atasnya. Pagi-pagi Kuda Sempana datang menghadap kepadanya. Memberitahukan bahwa ia tidak sependapat apabila mereka pergi berburu ke barat. Sebab ia tidak berani melewati padukuhan Panawijen setelah hatinya dilukai oleh Empu Purwa, ayah Ken Dedes. Kuda Sempana ditolak karena ia seorang pelayan dalam. Bukan karena ia seorang pelayan dalam, tetapi karena pelayan dalam seorang akuwu saja.
“Hem,” Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Ia telah dengan tergesa-gesa menelan saja kata-kata Kuda Sempana itu. Tetapi apakah yang dilihatnya di Panawijen sama sekali bukannya seperti yang dikatakan oleh Kuda Sempana. Bukan seperti yang dikatakan bahwa ia sama sekali tidak ingin lagi memiliki gadis itu. Bukankah Ken Dedes hanya seorang gadis desa saja? Tetapi yang dilihat oleh Akuwu adalah, gadis itu sama sekali tidak senang melihat kehadiran Kuda Sempana. Dan bahwa seorang anak muda telah mempertahankan dengan sekuat tenaganya meskipun di hadapannya berdiri beberapa orang prajurit yang melingkari mereka. Bukan itu saja. Di sepanjang jalan pulang pun mereka bertemu dengan seorang anak muda pula, yang menurut Kuda Sempana adalah kakak gadis itu.
Gambaran-gambaran itu hilir mudik kembali di dalam kepala. Dicobanya untuk mencari kesimpulan, apakah Kuda Sempana berkata sebenarnya, atau telah menjebaknya dalam tindak kekerasan yang memalukan. Akuwu itu pun kemudian menarik nafasnya dan berkata “Ken Arok, bagaimana pendapatmu tentang peristiwa yang terjadi itu?”
“Hamba menyesal Tuanku.”
“Apakah yang kau sesalkan?”
“Bahwa peristiwa itu telah terjadi.”
Akuwu mengernyitkan alisnya. Kemudian kepada Witantra dan Ken Arok itu diceritakan olehnya, apa yang didengarnya dari Kuda Sempana dan apa yang telah mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu. Witantra menggigit bibirnya untuk menahan gejolak hatinya sedang Ken Arok tergeser surut. Diangkatnya wajahnya dan ditatapnya wajah Akuwu sesaat. Namun kembali Ken Arok menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya dan dengan tiba-tiba saja ia merasa menjadi semakin kecewa terhadap Tunggul Ametung. Akuwu itu benar-benar seorang yang aneh. Sekarang semuanya telah terjadi. Setiap orang di Panawijen dan seterusnya setiap orang di Tumapel akan menyebut namanya sebagai seorang yang telah merusakkan hidup sepasang anak muda dan melukai hati segenap penduduk Panawijen.
Tetapi Tunggul Ametung itu pun ternyata menyesal pula di dalam hatinya. Disesalinya pula wataknya yang agak terlalu tergesa-gesa menentukan suatu sikap. Ia dapat berbuat demikian di dalam istananya tanpa akibat yang dapat mencelakakan orang lain. Ia dapat berbuat demikian untuk hal-hal yang kecil. Tetapi untuk hal yang penting seperti peristiwa ini adalah benar-benar menyesatkan. Dengan suara parau maka Akuwu itu berkata, “Witantra dan Ken Arok. Bagaimanakah pendapatmu tentang gadis itu?”
Mereka menggelengkan kepala mereka. Dan Witantra menjawab, “Apakah yang akan Tuanku perbuat?”
Akuwu memandang Witantra dengan tajamnya. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab. Sekali-kali dipandanginya tubuh Witantra yang tegap kuat. Seorang prajurit yang mengagumkan. Seorang prajurit yang baik, yang tidak pernah mengabaikan tugasnya. Namun ia terpaksa menolak perintahnya, karena ia tidak dapat dipaksa untuk mengkhianati kemanusiaan. Tetapi sebagaimana dikatakannya sendiri ia telah gagal melakukan kewajibannya. Kewajibannya sebagai seorang prajurit dan kewajiban kemanusiaan.
Sedang di sampingnya duduk seorang pelayan dalam yang belum lama berada di dalam istana. Namun orang itu benar telah mengejutkan akuwu. Ketika dilihatnya ia bertempur melawan Mahisa Agni, maka tampaklah betapa ia mampu berbuat sebagai seorang prajurit yang baik. Melampaui Kuda Sempana. Bahkan tangannya telah membunuh seorang prajurit dengan sebuah pukulan. Meskipun mula-mula Ken Arek tidak melawan perintahnya, bahkan mencoba melakukannya namun ternyata bahwa desakan hatinya telah membuatnya berbuat sebaliknya. Bahkan telah dibunuhnya seorang prajurit di hadapannya. Di hadapan seorang akuwu.
Tetapi Mahisa Agni itu pun telah menarik perhatiannya. Ia adalah seorang anak pedesaan. Namun memilik caranya berkelahi, maka ia bukanlah anak pedesaan kebanyakan. Dalam berbagai perasaan dan angan-angan itu, maka terluncurlah kata-kata Akuwu, “Witantra, apakah kau melihat seseorang yang telah dilukai Kuda Sempana?”
“Ya,” jawab Witantra pendek.
“Siapakah dia?”
“Anak muda itulah bakal suami Ken Dedes.”
Akuwu Tumapel menganggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Besok panggillah dia kemari!”
Witantra dan Ken Arok mengangkat wajahnya bersama-sama. Mereka saling berpandangan dan di dalam hati mereka terdengarlah sebuah pertanyaan, “Apakah Akuwu belum tahu bahwa anak muda itu telah mati?”
Akuwu memandang kedua orang itu dengan heran. Karena itu maka katanya, “Kenapa?”
“Tuanku,” jawab Witantra dengan nada yang rendah, “anak muda bakal suami Ken Dedes yang bernama Wiraprana, putra Buyut Panawijen itu telah meninggal dunia.”
“He?” akuwu ternyata terkejut mendengar berita itu, “Jadi anak itu mati?”
Witantra menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya, Tuanku. Anak itu mati.”
“Jadi Kuda Sempana telah membunuhnya?”
“Ya.”
“Setan Kuda Sempana itu!” desis Akuwu Tunggul Ametung.
“Tetapi ia sendiri pasti tidak akan berani berbuat begitu Tuanku.”
“Oh,” Tunggul Ametung menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Ya. Aku tahu maksudmu. Bukankah kau ingin mengatakan bahwa kesalahan itu terletak padaku. Bukankah aku telah melindunginya untuk melakukan kejahatan itu.”
Witantra dan Ken Arok tidak menyahut. Sesaat mereka berdiam diri, dan dibiarkan Akuwu Tunggul Ametung tenggelam dalam penyesalan. Kemudian terdengar Akuwu itu berkata, “Witantra dan Ken Arok. Aku maafkan segala kesalahanmu. Aku lupakan katakku dan ancamanku. Meskipun telah terucapkan oleh seorang akuwu untuk menghukum kau Witantra, namun ucapan itu meluncur dalam ketidakwajaran ingatanku.”
Witantra dan Ken Arok menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menjawab “Terima kasih Tuanku.”
Namun di dalam hati mereka tebersitlah suatu pertanyaan “Bagaimanakah kalau hukuman itu telah terlanjur jatuh atas Witantra?”
“Dan sekarang Witantra, apakah yang harus aku lakukan atas Kuda Sempana?”
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Tuanku, semua ini adalah akibat dari kelicikannya, sehingga Akuwu Tunggul Ametung terseret dalam perbuatan tercela. Karena itu, maka hukuman yang diberikan kepadanya adalah hukuman yang harus sesuai dengan perbuatannya. Karena perbuatannya pula maka sebuah jiwa yang melayang, dan sebuah hati telah pecah berkeping-keping. Apakah yang dapat ditemukan kembali dalam hidup seorang gadis seperti Ken Dedes itu?”
“Ya. ya,” jawab Tunggul Ametung terbata-bata, “Aku sependapat. Tetapi Witantra. Aku adalah seorang Akuwu. Sudah tentu aku tidak dapat menjilat ludah kembali tanpa alasan. Aku telah menyetujui, bahkan mengantar Kuda Sempana sendiri mengambil gadis itu ke Panawijen. Sekarang, apakah aku dapat menghukum Kuda Sempana karena perbuatannya itu. Bukankah dengan demikian hukuman itu pun pantas jatuh atasku pula?”
Witantra dan Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-kata akuwu itu dapat dimengertinya. Apakah dengan demikian, maka orang akan semakin menjadi kecewa atas perbuatan-perbuatan akuwu yang seakan-akan sama sekali tidak bertanggung jawab. Namun sudah tentu bahwa mereka tidak akan membiarkan Kuda Sempana mengambil Ken Dedes. Sebab dengan demikian mereka akan membiarkan sebuah kebiadaban berlangsung. Bukankah dengan demikian maka Ken Dedes akan menjadi bertambah parah. Dan bukankah Ken Dedes akan kehilangan segala-galanya. Bahkan tubuhnya sendiri seakan-akan tak dimilikinya, karena tubuhnya itu harus diserahkannya kepada Kuda Sempana tanpa kehendaknya.
Ruangan itu menjadi sepi sesaat. Masing-masing mencoba mencari kemungkinan yang sebaik-baiknya ditempuh. Angin malam di luar istana terdengar gemeresik mengusap dinding dan dedaunan. Di kejauhan terdengar jangkrik memekik-mekik seolah-olah memanggil-manggil. Sekali-kali angin yang kencang menolak daun-daun pintu yang sudah terkatup. Dalam keheningan itu kemudian terdengar suara Witantra,
“Tuanku. Hukuman yang pertama yang harus dijatuhkan kepada Kuda Sempana adalah melepaskan Ken Dedes dari tangannya.”
“Ya. ya,” sahut Akuwu Tumapel, “Aku sependapat. Tetapi kepada siapa gadis itu harus di serahkan. Ia telah kehilangan seseorang yang akan dapat dijadikannya pegangan buat masa-masa depannya. Bakal suaminya itu telah mati.”
“Bukankah ia masih mempunyai ayah dan ibu?” bertanya Ken Arok.
Witantra menggeleng. Katanya, “Dari Mahisa Agni aku pernah mendengar, bahwa gadis itu tidak beribu lagi.”
“Oh,” sahut Ken Arok, “kalau demikian kepada ayahnya.”
“Ayahnya adalah seorang pendeta,” berkata Witantra.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terbayanglah kembali wajah gadis itu. Putih pucat dan ketakutan, sehingga tiba-tiba ia menjadi pingsan. Terbayang kembali betapa lekuk-lekuk di wajahnya telah memahatkan sebuah bentuk yang seindah-indahnya yang pernah dilihatnya. Dan betapa ia terpesona oleh cahaya yang seakan-akan memancar dari tubuh gadis itu. Namun cahaya itu sama sekali tidak pernah dapat dipandangnya. Cahaya itu seakan-akan lenyap apabila ia berusaha melihatnya. Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Apakah yang dapat dilakukannya kemudian? Mengembalikan gadis itu? Atau apa?
Tunggul Ametung tiba-tiba menjadi pening. Dan karena itu ia berkata, “Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan. Tetapi gadis itu pasti tidak akan aku serahkan kepada Kuda Sempana.” Namun kemudian perlahan-lahan Akuwu Tumapel itu berkata, “Tetapi apakah alasanku?”
“Tuanku,” berbisik Witantra kemudian, “Kuda Sempana mengambil gadis itu dengan kekerasan. Sehingga menuntut penilaiannya, maka kekerasan akan menentukan segalanya atas gadis itu. Karena itu, maka harus terpancang pula di dalam dadanya, bahwa ia harus dapat mempertahankan gadis itu. Itu pula atas kekerasan.”
“Maksudmu?” bertanya Tunggul Ametung cepat-cepat.
“Ken Dedes akan aku ambil dengan kekerasan.”
“He?” Akuwu itu pun terbelalak, “bagaimana dengan istrimu?”
Witantra tersenyum, “Bukan untuk aku sendiri. Istriku tidak kalah cantiknya dari gadis itu. Tetapi barangkali aku akan dapat membuat alasan lain.”
Ken Arok menarik alisnya tinggi-tinggi. Ia belum melihat gadis itu dengan jelas. Ia baru melihat Ken Dedes sepintas, dalam kekisruhan yang tidak menentu. Karena itu ia belum dapat menilai kecantikannya. Namun tak diingkarinya bahwa gadis itu memang cantik sekali. Dalam pada itu Witantra berkata pula,
“Akuwu. Ternyata apa yang terjadi telah menghancurkan hari depan gadis itu. Karena itu maka sebaiknya Akuwu mempertimbangkan, apakah Akuwu dapat berbuat sesuatu yang dapat sedikit menghiburnya buat masa yang akan datang.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangkat wajahnya. Tiba-tiba nafasnya menjadi berangsur cepat dan keringatnya mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya. Dengan nada yang rendah dan ragu-ragu ia bertanya, “Bagaimana maksudmu Witantra?”
“Maksudku Akuwu, apabila mungkin maka Akuwu akan dapat memberi sedikit hiburan kepada gadis itu. Kalau dikehendaki oleh gadis itu, biarlah Akuwu mengambilnya menjadi menantu. Akuwu dapat memandang salah seorang hamba Akuwu yang dapat Akuwu timbang, sesuai dengan gadis itu. Sudah tentu atas kerelaan Ken Dedes sendiri. Dengan demikian maka apabila Akuwu berhasil, maka sedikit banyak Akuwu akan dapat meringankan penderitaannya meskipun tidak akan dapat ganti seperti yang hilang itu baginya. Dalam hal ini biarlah Ken Dedes memilih sendiri atas orang-orang yang Akuwu tunjukkan kepadanya. Mungkin dengan demikian maka penderitaan hatinya akan dapat diringankan, karena bakal suaminya terbunuh oleh Kuda Sempana itu.”
“Kalau demikian Witantra, dalam waktu yang pendek kau masih belum menemukan alasan untuk itu. Untuk mengambilnya dengan kekerasan. Sedang dalam waktu yang singkat Kuda Sempana pasti sudah akan datang mengambilnya. Mungkin besok, lusa atau bahkan nanti malam.”
“Bukan soal yang sulit bagi Akuwu. Biarlah Akuwu memerintahkan kepadanya, supaya gadis itu tetap di istana.”
Akuwu mengerutkan keningnya. Alasan itu akan dapat dikemukakan. Tetapi harus dicarinya seorang laki-laki yang berkenan d hati Ken Dedes. Baru Witantra akan merebut gadis itu atas namanya. Akuwu itu menggelengkan kepalanya, “Terlalu lama Witantra. Terlalu lama. Belum pasti nama itu akan disetujui oleh Ken Dedes. Baru setelah mendapat nama yang tepat dan disetujui oleh gadis itu kau berbuat untuknya.”
Witantra tidak menjawab. Tetapi ia memandang Ken Arok dengan sudut matanya. Kalau Ken Arok mau menyebut dirinya, bahkan mau berbuat untuk dirinya, maka dalam takaran Witantra maka Ken Arok pun memiliki kemampuan yang dahsyat. Sebab dengan tangannya ia mampu membunuh seorang prajuritnya dalam satu ayunan. Ken Arok masih saja menundukkan wajahnya. Ia tidak berani berkata apapun juga, sebab ia pun belum juga beristri. Kalau Akuwu nanti menunjuknya maka akan kisruhlah hatinya. Ia sama sekali belum ingin berumah tangga mengingat keadaan dirinya dan hidupnya yang baru saja dibinanya. Ketika terasa olehnya Witantra dan Akuwu Tunggul Ametung memandanginya, maka Ken Arok segera menunduk dalam-dalam.
Dalam pada itu tiba-tiba Witantra berkata “Akuwu sekarang biarlah aku berbuat untuk siapa saja. Apabila ternyata nanti Ken Dedes tidak bersedia maka biarlah Ken Dedes menentukan nasibnya sendiri, tetapi ia sudah bukan milik Kuda Sempana lagi.”
Akuwu Tunggul Ametung menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Sekehendakmulah Witantra. Asal gadis itu dapat kau bebaskan dari Kuda Sempana dengan alasan yang dapat dimengerti oleh beberapa orang yang mengetahui persoalannya, terutama para prajurit yang ikut serta ke Panawijen pada saat Kuda Sempana mengambilnya.”
“Baik Tuanku,” wajah Witantra itu menjadi merah karena perasaan yang aneh di dalam dadanya. Meskipun gadis itu bukan sanak bukan kadang, tetapi ia merasa bahagia apa bila ia akan dapat melepaskannya dari tangan Kuda Sempana. Ia sudah sedikit mendengar apa saja yang pernah dilakukan Kuda Sempana atas Ken Dedes dari Mahisa Agni, yang dahulu disangkanya Wiraprana. Dalam pada itu Witantra meneruskan, “Mungkin akan dapat meminjam nama Adi Ken Arok. Bukankah Adi masih belum berkeluarga pula?”
“Jangan. Jangan,” seperti disengat lebah Ken Arok menolak, “Jangan Kakang.”
“Tidak. Adi tidak harus bersungguh-sungguh.”
“Aku takut.”
Witantra memandang Ken Arok itu tajam-tajam. Kenapa ia takut? Tetapi Witantra kemudian tersenyum. Disangkanya Ken Arok takut apabila namanya dihubungkan dengan seorang gadis, dan apabila pada saat yang dekat ia benar-benar harus berumah tangga. Karena itu Witantra menjelaskan, “Adi tidak perlu takut untuk melaksanakannya. Aku hanya akan berkata kepada Kuda Sempana. Atas nama Adi Ken Arok yang juga menginginkan gadis itu, maka aku rebut Ken Dedes dengan kekerasan, seperti pada saat Kuda Sempana mengambilnya. Tetapi kemudian bukankah dapat diumumkan pula, misalnya, karena Ken Dedes tidak bersedia kawin dengan Ken Arok, maka gadis itu dikembalikan ke rumahnya kepada kakak dan ayahnya.”
“Jangan. Jangan hubungkan namaku dengan gadis itu.”
Sekali lagi Witantra tersenyum. Tetapi ia tidak melihat, apakah sebenarnya yang bergolak di hati Ken Arok. Setiap ia mendengar nama seorang gadis, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Ia merasa dikejar-kejar oleh kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Sebagai hantu di padang-padang rumput dan di hutan-hutan. Bahkan di mana saja daerah-daerah yang pernah dijelajahi, maka ia telah berbuat hal-hal yang mengerikan atas gadis-gadis yang ditemuinya.
Karena itulah, maka setiap kali ia mengingatnya, maka setiap kali ia menjadi ketakutan. Apalagi ketika ia melihat bagaimana Kuda Sempana melarikan gadis Panawijen itu. Maka hampir kepercayaannya kepada semua orang menjadi pudar. Apa yang dilakukan Kuda Sempana mirip dengan apa yang pernah dilakukan. Namun caranyalah yang berbeda. Cara yang ditempuh adalah cara hantu ladang dan padang.
Penolakan Ken Arok itu ternyata mendorong Akuwu untuk berbuat di luar dugaan. Di luar dugaan Witantra dan di luar dugaan Ken Arok, tiba-tiba saja dalam kegelapan nalar, Akuwu itu berkata, “Baiklah, kalau tak ada nama yang kau pergunakan, pergunakanlah namaku. Akuwu Tunggul Ametung.”
Kata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu benar-benar mengejutkan Witantra dan Ken Arok. Sehingga dengan serta-merta Witantra berkata, “Jangan Tuanku. Adalah kurang baik apa bila Akuwu sendiri yang akan mengambilnya. Meskipun hanya sekedar untuk menyingkirkan Kuda Sempana. Gadis itu adalah gadis pedesaan, dan kurang sepantasnyalah apabila nama Akuwu dihubungkan dengan namanya.”
“Biarlah. Biarlah kau pakai namaku. Aku telah merusakkan masa depan gadis itu. Seandainya dengan demikian namaku menjadi susut, bukankah itu hukuman yang harus aku alami karena perbuatan yang terkutuk itu. Biarlah orang menyangka bahwa Tunggul Ametung telah menculik gadis dari padukuhan Panawijen. Biarlah orang yang tidak melihat dan mengetahui apa yang terjadi menuduhku berbuat demikian. Adalah lebih baik bagiku daripada aku telah melindungi orang untuk menculik seorang tanpa pertimbangan. Kalau orang menyebutkan langsung menculik gadis itu, maka orang akan mengutukku sebagai seorang laki-laki yang tidak berperasaan dan sebagai seorang Akuwu yang sewenang-wenang. Namun adalah menjadi tanggung jawabku pula apabila seseorang berkata, Kuda Sempana telah menculik seorang gadis atas perlindungan Akuwu. Adalah lebih baik, apabila aku berbuat sewenang-wenang karena terdorong oleh kebutuhanku sendiri. Kebutuhan hidup seorang Akuwu, daripada aku berbuat hal yang sama, sewenang-wenang untuk melindungi orang-orangku. Dengan menyebut bahwa Ken Dedes telah aku perlukan sendiri, adalah memperkuat alasanku untuk berbuat sewenang-wenang. Adalah lebih mungkin aku lakukan daripada sekedar melindungi Kuda Sempana.”
Witantra menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah benar-benar kebingungan oleh kejaran penyesalannya. Sehingga karena itu maka Witantra berkata, “Tuanku, alasan itu hanya diberikan kepada Kuda Sempana. Tidak kepada siapa pun juga. Sehingga apa yang terjadi kemudian hanyalah Kuda Sempana yang akan tahu.”
“Tidak. Tidak,” berkata Akuwu itu lantang, “tidak hanya untuk Kuda Sempana. Besok semua orang Tumapel harus tahu, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah merampas seorang gadis putri seorang pendeta di Panawijen, karena Akuwu jatuh cinta kepada gadis itu. Biarlah semua orang mengutukku, dan biarlah semua orang membenci aku.”
“Akuwu,” potong Witantra.
“Perintah! Kau dengar?” teriak Akuwu Tunggul Ametung, “Ini perintahku. Apakah kau akan mengingkari perintahku lagi?”
Witantra dan Ken Arok mengusap dadanya. Apabila sudah demikian maka Akuwu telah kehilangan nalarnya yang bening. Sulitlah untuk mencoba memperbincangkan suatu keputusan. Karena itu, maka mereka hanya dapat berdiam diri. Persoalan itu telah bergeser dari maksud Witantra semula. Namun Witantra dapat juga mengerti jalan pikiran Akuwu Tunggul Ametung. Akuwu akan mengangkat persoalan itu dengan menengadahkan dadanya, meskipun dengan demikian telah dikorbankan namanya. Bukankah Akuwu dapat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa Kuda Sempana telah menipunya dan memberikan laporan palsu? Tetapi rupa-rupanya Akuwu benar-benar telah disiksa oleh penyesalan yang tak berhingga, sehingga dengan demikian ia bermaksud menghukum diri sendiri.
Dalam pada itu Akuwu itu berkata pula, kali ini perlahan-lahan, “Witantra, pergilah kepada Kuda Sempana. Katakan kepadanya, bahwa Ken Dedes dikehendaki sendiri oleh Akuwu Tunggul Ametung. Kalau ia tidak rela, berbuatlah atas namaku. Kali ini aku tidak akan mempergunakan kekuasaan. Tetapi aku minta kepadamu sebagai seorang sahabat untuk mewakili aku. Kalau Kuda Sempana menghendaki, biarlah kau mengadakan sayembara tanding dengannya. Kalau kau tidak bersedia, aku tidak memaksa. Ini bukan perintah seorang Akuwu. Sudah aku katakan, aku tidak akan mempergunakan kekuasaan. Kalau tak ada seorang pun yang akan mewakili Tunggul Ametung, biarlah Tunggul Ametung sendiri yang maju ke arena.”
“Jangan Tuanku. Jangan Tuanku sendiri. Biarlah hamba yang melakukannya. Tidak perlu di muka umum. Dapat hamba lakukan di tempat tertutup. Kecuali Kuda Sempana menghendaki.”
“Terima kasih. Nah, pergilah. Sampaikan maksud itu kepada Kuda Sempana.”
“Hamba Tuanku.”
Kemudian perintahnya kepada Ken Arok, “Arok, kau pergi bersama Witantra. Kau pun harus berusaha supaya semua orang Tumapel mendengar, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah menculik seorang gadis untuk permaisurinya.”
“Hamba Tuanku,” sahut Ken Arok.
“Nah sebelum pergi, panggilkan Daksina.”
Ken Arok keran mendengar perintah itu. Apakah hubungannya peristiwa ini dengan Daksina. Anak-anak yang belum genap berumur lima belas tahun itu. Ketika Ken Arok masih memandanginya saja dengan heran, maka Akuwu itu pun membentak, “Panggil Daksina! Kau dengar?”
“Ya, ya Tuanku,” sembah Ken Arok. Namun kepalanya menjadi pening memikirkan tingkah laku Akuwu itu. Setelah bergeser beberapa langkah, maka Ken Arok pun kemudian sambil berjongkok meninggalkan ruangan itu dan turun lewat tangga samping memanggil seorang anak muda yang bernama Daksina
Daksina, seorang anak dari seorang pelayan istana, seorang juru dang, terkejut mendengar panggilan Akuwu di malam hari itu. Karena itu ia menjadi pucat, dan dengan terbata-bata bertanya, “Apakah yang akan diperintahkan kepadaku, Paman?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Entahlah.”
Dengan tergesa-gesa Daksina pergi menghadap Tunggul Ametung. Matanya masih merah karena kantuknya. Sekali ia menguap, dan kemudian dengan wajah yang pucat ia merayapi tangga ruang dalam.
“Daksina,” panggil Tunggul Ametung, “ambil rontal Kakawin Arjuna Wiwaha. Bacakan rontal untukku malam ini. Aku jemu memikirkan semua persoalan yang memusingkan kepalaku.”
Anak itu menarik nafas panjang. “Oh,” katanya di dalam hatinya, “hampir aku pingsan dibuatnya.” Daksina itu pun segara mengundurkan dirinya dengan tergesa-gesa. Sekali-sekali ia masih menguap dan mengumpat di dalam hati. Malam-malam begini Akuwu ingin mendengarkan aku membaca rontal. Bukan main. Kenapa tidak sejak sore tadi atau besok malam. Tetapi anak itu tidak berani membantah. Langsung pergi ke ruang penyimpanan rontal. Dari berbagai-bagai rontal yang bersusun dalam sebuah rak-rakan, Daksina mencari rontal yang dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Ketika ia keluar dari ruang itu, pelayan dalam yang melihatnya menyapa, “He, Daksina, apa kerjamu malam-malam di sini?”
“Tuanku Akuwu Tunggul Ametung inginkan aku membaca untuknya malam ini.”
“Malam sudah terlampau jauh.”
“Ya.”
“Kenapa Akuwu minta kau membaca rontal itu?”
“Tidak tahu.”
“He? Jangan main-main. Kenapa?”
Daksina berhenti. Lalu memandangi wajah pelayan dalam itu dengan heran. Katanya, “Kenapa kau bertanya kepadaku? Bertanyalah kepada Akuwu, kenapa malam-malam begini Akuwu minta aku membaca rontal. Kalau Akuwu mengurungkan niatnya, aku akan berterima kasih kepadamu. Besok ransumku boleh kau ambil."
“Hus, jangan gila, anak mabuk. Kau kira kau dapat menipu aku? Ayo kembalikan rontal itu.”
“Baik,” sahut Daksina, lalu Daksina itu pun memutar tubuhnya dan melangkah kembali ke ruang penyimpanan rontal, sambil bergumam, “Rontal ini akan aku kembalikan. Besok ransumku boleh kau ambil, sebab aku besok sudah digantung di alun-alun karena aku tidak mematuhi perintah Akuwu malam ini.”
“Persetan! Jangan menggerutu!”
“Tidak. Besok aku sudah tidak dapat menggerutu lagi, dan kau tidak akan dapat membentak-bentak lagi. Sebab kau pun akan dipancung di tengah-tengah pasar.”
“Kenapa?”
“Karena kau menghalangi aku mematuhi perintah Akuwu.”
“He? Jadi benar, Akuwu memerintahkan kau mengambil rontal itu?”
“Kau sangka aku berbohong?”
“Jadi bukan karena kau sendiri yang ingin membaca?”
“Sudah aku katakan.”
“Oh, anak gila. Kenapa kau tidak membantah? Malahan kau akan mengembalikan rontal itu.”
“Aku atau kau yang gila. Kau tidak mau mendengar aku menjelaskan. Kau ingin aku mematuhi perintahmu.”
“Pergi! Pergi! Bawa rontal itu kepada Akuwu. cepat sebelum kau digantung.”
“Tidak mau!”
“Kenapa?”
“Aku takut kepadamu.”
“Gila!”
“Kau yang gila.”
“Ayo pergi! Cepat! Bawa rontal itu!” bentak pelayan dalam itu sambil mengacungkan tombaknya, “Atau aku lubangi perutmu?”
“Supaya ransumku dapat kau ambil besok?”
“Tutup mulutmu! Ayo pergi! Kenapa kau mengigau tentang ransum saja sejak tadi. Apakah kau sekarang sedang lapar?”
Tiba-tiba Daksina mengangguk. “Ya. Aku lapar.”
“Setan kecil! Pergi ke garduku. Aku mempunyai sepotong jenang alot.”
Daksina betul pergi ke gardu pelayan dalam itu, dan dimakannya sepotong jenang alot. Namun dengan demikian ia sudah tidak terkantuk-kantuk lagi. Kini matanya telah terbuka lebar-lebar setelah ia mengganggu pelayan dalam itu. Apalagi setelah mulutnya mengunyah sepotong jenang alot, maka Daksina benar-benar sudah tidak mengantuk lagi. Setelah minum semangkuk air jahe, maka segara ia berjalan cepat-cepat ke bilik Akuwu Tunggul Ametung.
Dalam pada itu Witantra dan Ken Arok pun segera minta diri. Witantra mengharap Akuwu Tunggul Ametung memberinya wewenang dan wewenang itu telah benar-benar diberikannya. Meskipun demikian maka Witantra berkata, “Akuwu. Hamba akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya. Namun Kuda Sempana bukanlah anak-anak lagi. Ia mampu membunuh Wiraprana dalam perkelahian itu di hadapan Akuwu, sehingga ia dapat membebaskan dirinya dari segenap tuntutan. Namun apabila aku tidak berhasil, aku minta maaf sebesar-besarnya.”
“Jangan cemas. Aku mengharap kau berhasil.”
Witantra dan Ken Arok pun segera mohon diri meninggalkan ruangan itu, dan Akuwu Tunggul Ametung pun segera masuk kembali ke dalam biliknya. Setelah sesaat ia terbaring, maka ia mendengar langkah di muka biliknya...
“Kuda Sempana.”
“Kuda Sempana?” ulangnya. Namun tubuhnya kemudian menjadi lemah kembali. Hampir saja ia terjatuh, seandainya Ken Arok tidak segera menangkapnya, dan membaringkannya kembali perlahan-lahan. Bahkan darahnya yang telah mampat itu tiba-tiba mengalir kembali Meskipun tidak sedemikian derasnya.
Tetapi kembali mereka terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat wajah Witantra itu menjadi merah padam. Dengan geramnya ia berdesis, “Mahisa Agni. Jadi kau bernama Mahisa Agni?”
Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun segera memakluminya. Karena itu segera ia menjawab singkat, “Ya. Aku Mahisa Agni.”
“Aku mendengar orang menyebutmu Mahisa Agni. Namun aku sangka bahwa kau mempunyai beberapa nama dan sebutan. Namun kini ternyata bahwa kau sama sekali tidak bernama dan sebutan Wiraprana.”
“Ya. Aku bukan Wiraprana.”
“Hem,” Witantra itu menggeram, “aku pernah mendengar pula Kuda Sempana menyebut nama Wiraprana, namun baru sekarang aku tahu.”
“Ya. Sekarang kau tahu, bahwa aku bukan Wiraprana.”
Sekali lagi Witantra menggeram. Dan semua orang menjadi terkejut dan heran karenanya. Bahkan Ken Arok pun menjadi heran pula. “Agni,” desis Witantra, “aku telah mencegah adikku berbuat curang. Namun aku tidak menyangka bahwa kau bukan Wiraprana yang sebenarnya.”
Semua yang berada di sekitar Mahisa Agni terbaring itu menjadi bertambah tidak mengerti, apa yang sedang dibicarakan oleh Witantra dan Mahisa Agni itu. Apalagi ketika Witantra meneruskan, “Kalau kau tidak mengkhianati kejantanan Wiraprana pada waktu itu maka keadaan akan menjadi lain. Mungkin Kuda Sempana tidak akan berbuat seperti sekarang, dan mungkin Mahendra akan dapat mempertahankan dirinya daripadanya. Ketika Kebo Ijo memberikan keris kepada Mahendra, aku berkata, bahwa aku akan berada di pihakmu kalau mereka berdua bersama dengan Mahendra memaksakan perkelahian dua melawan dua, sebab aku tahu bahwa kawanmu waktu itu sama sekali tidak akan mampu untuk melawan Kebo Ijo. Ya, kawanmu waktu itu.”
Witantra berhenti sesaat, Kemudian ia meneruskan, “Aku ingat sekarang, ternyata kawanmu waktu itulah yang bernama Wiraprana, yang terbunuh oleh Kuda Sempana.”
Witantra terdiam. Namun wajahnya masih tampak menyala-nyala. Seakan-akan ia menuntut sesuatu yang telah pernah terjadi atas Mahisa Agni yang terbaring luka itu. Sehingga tiba-tiba Ken Arok menyela, “Kakang Witantra. Meskipun aku tidak mengetahui persoalan yang kau katakan, tetapi adalah tidak bijaksana kalau persoalan itu kau ungkapkan sekarang, selagi Mahisa Agni sedang terluka.”
“Tetapi kini ternyata, bahwa luka itu adalah akibat dari kecurangan yang pernah dilakukan masa lampaunya. Ia telah menipu aku, adik seperguruanku dan dirinya sendiri. Ketika persoalan timbul antara Wiraprana dan Mahendra, maka Mahisa Agnilah yang mencoba menyelesaikannya atas nama Wiraprana. Nah, sekarang akibatnya menjadi semakin panjang. Kuda Sempana ternyata turut pula terlibat dalam persoalan ini.”
“Apa pun yang terjadi, Kakang. Tunggulah sampai luka-lukanya sembuh.”
“Aku tidak peduli lagi atas luka-lukanya. Aku menuntut keadilan atas adik seperguruanku. Kalau ia telah berbuat atas nama Wiraprana, maka aku akan berbuat atas nama Mahendra.”
“Kau terlalu mementingkan persoalanmu sendiri Kakang,” sahut Ken Arok, “sekali lagi aku minta, biarlah ia beristirahat dan berusaha sembuh kembali.”
“Kau tidak tersangkut dalam persoalan ini Adi,” jawab Witantra, “persoalan ini adalah persoalanku dan Mahisa Agni.”
“Tetapi ia sedang terluka.”
“Luka akibat kesalahannya. Apakah yang perlu disesalkan?”
“Kakang, jangan berpikir tentang sebab-sebab yang sama sekali tidak langsung itu. Biarlah itu berlaku masa-masa lampau. Tetapi biarlah kita melihat masa ini, keadaannya kini.”
“Keadaan ini adalah kelanjutan dari masa lampau itu. Dari sebab yang dibuatnya sendiri.”
“Baik. Kalau kau masih berbicara tentang sebab, akulah yang menyebabkan luka itu. Sebab yang lebih langsung dari yang kau katakan itu. Dari sebab-sebab yang sama sekali tidak aku ketahui ujung dan pangkalnya. Namun kalau kau memaksakan persoalan sebab yang menimbulkan akibat ini, maka aku akan tidak sependapat. Seandainya luka itu adalah akibat dari perbuatannya, maka biarlah akibat itu ditanggungkannya dengan tenang.”
“Tetapi apa yang pernah dilakukan telah menutup kemungkinan bagi adik seperguruanku, yang waktu itu aku cegah untuk berbuat tidak jantan. Sekarang persoalan itu ternyata telah diambil alih oleh Kuda Sempana. Sedang Mahendra tinggal dapat merasakan kepahitan hidupnya. Kepahitan dari kegagalannya.”
“Lupakanlah itu, Kakang. Setidak-tidaknya untuk sementara.”
“Tidak. Tidak. Aku adalah seseorang yang akan tetap tegak kepada keadilan.”
“Lakukanlah, namun lurus dengan bijaksana. Buatlah perhitungan, tetapi apabila luka itu telah disembuhkan.”
“Jangan campuri urusanku Ken Arok!” bentak Witantra dengan marahnya.
Tetapi Ken Arok pun tiba-tiba menjadi gemetar. Untuk kedua kalinya ia dibentak oleh Witantra dalam persoalan yang sama sekali berlawanan. Ketika Witantra membentaknya dengan pandangan yang menyala dan disangkanya ia melukai Mahisa Agni, maka perasaannya telah tersinggung. Kini Witantra membentaknya lagi dalam persoalan yang bertolak belakang. Karena itu, maka Ken Arok itu pun menjawab dengan suara gemetar “Witantra. Aku sadari bahwa kau adalah seorang prajurit yang linuwih. Namun apabila kau kehilangan kebijaksanaan yang bening, maka kau akan sama artinya dengan Kuda Sempana dan Akuwu Tumapel. Kau dapat mempergunakan kekuasaanmu untuk kepentinganmu.”
“Aku bukan orang-orang yang licik dan pengecut. Aku akan menyelesaikan persoalanku pribadi dalam tindak pribadi. Aku akan membuat persoalan menjadi adil. Atas nama adikku Mahendra aku menuntut pengakuan Mahisa Agni yang mencoba dirinya menjelma menjadi Wiraprana.”
“Witantra!” sahut Ken Arok tiba-tiba suaranya menjadi parau. Suara yang pernah didengar oleh Mahisa Agni di padang rumput Karautan. Suara hantu padang yang menakutkan, “Kalau tetap pada pendirianmu, biarlah aku bertindak atas nama Mahisa Agni yang terluka. Ayo cara yang mana yang kau kehendaki.”
Witantra terkejut mendengar tantangan itu. Tiba-tiba dengan serta-merta ia meloncat berdiri. Dan hampir dalam saat yang bersamaan Ken Arok telah berdiri pula. Suaranya yang parau itu masih terdengar, “Akulah yang harus berbuat atas namanya.”
Keadaan segera menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba terdengar Mahisa Agni tertawa. Tertawa aneh. Sedemikian anehnya sehingga suara tertawa itu benar-benar mengejutkan. Lebih-lebih bagi Witantra dan Ken Arok. Suara tertawa itu lebih mengejutkan bagi mereka daripada gemuruhnya suara guruh yang meledak di telinganya.
“Kenapa kau tertawa Agni?” bertanya Ken Arok.
“Duduklah. Duduklah kalian,” berkata Mahisa Agni.
Witantra dan Ken Arok itu masih berdiri mematung. Beberapa orang yang duduk di sekitar mereka itu telah bergeser mundur dengan penuh keheranan tersimpan di dalam dadanya. Witantra dan Ken Arok masih belum bergerak dari tempatnya. Mereka masih mendengar Mahisa Agni tertawa. Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa suara tertawa yang aneh itu adalah suara tertawa yang melontarkan kepedihan yang menghunjam perasaannya. Suara tertawa yang memancarkan kepahitan hidup yang selama ini harus ditanggungkannya.
“Duduklah Ken Arok,” kembali terdengar suara Mahisa Agni di antara suara tertawanya yang menjadi semakin pahit. Kemudian katanya pula, “Jangan halangi Witantra berbuat menurut suara keadilannya. Aku membenarkan semua kata-katanya. Aku telah mengkhianati kejantanan Wiraprana menurut istilahnya. Kalau Witantra itu menuntut pengakuanku atas kecurangan itu, maka biarlah aku mengakuinya. Kalau itu merupakan kesalahan yang tak dapat dilupakan olehnya, biarlah ia berbuat menurut kehendaknya untuk menghukum kesalahan itu.”
“Mahisa Agni,” potong Ken Arok, “apakah sebetulnya yang pernah kau lakukan?”
“Jangan kau tanyakan sekarang,” sahut Mahisa Agni, “aku sedang tidak bernafsu untuk banyak berbicara. Aku lebih senang menikmati perasaan nyeri di punggungku. Namun dalam pada itu, aku akan mempersilakan Witantra berbuat sesuka hatinya.”
Ken Arok terdiam karenanya. Meskipun berbagai pertanyaan berputar-putar di dalam benaknya, namun ia tidak dapat berbuat sesuatu. Kini ia berdiri saja seperti tiang-tiang pendapa yang diam kaku. Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Mahisa Agni yang terbaring diam. Bahkan seakan-akan ia tidak memperhatikannya sama sekali.
“Mahisa Agni,” geram Witantra, “aku menjadi sangat kecewa atas perbuatanmu itu. Sekarang kau pergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan lukamu itu kau akan dapat menghindari setiap pertanggungan jawab yang harus kau berikan kepadaku, atas nama adikku Mahendra. Dengan lukamu itu kau akan dapat mengatakan, bahwa semua persoalan akan ditunda. Sebab kau mengharap bahwa aku tidak akan membuat perhitungan dengan seseorang yang sedang terluka."
Kembali Mahisa Agni tertawa. Alangkah pahitnya. Dipalingkannya wajahnya memandang kepada Witantra yang berdiri dengan garangnya. Kemudian katanya, “Lucu sekali.”
“Apa yang lucu!” bentak Witantra.
“Kau, Ken Arok, aku, Kuda Sempana, Akuwu Tumapel dan semua orang.”
Witantra memandang Mahisa Agni semakin tajam. Bahkan kemudian ia menggeram “Jangan mengigau Agni!”
“Tidak. Aku tidak mengigau. Aku berkata sebenarnya, bahwa orang-orang yang pernah aku kenal, ternyata tidak lebih daripada badut-badut yang menggelikan.”
“Jangan menghina!”
“Aku tidak menghina. Kalau aku mengatakan apa yang sebenarnya bukankah aku tidak menghina? Coba, Witantra, apakah yang kau lakukan itu wajar. Baru saja kau marah-marah kepada Ken Arok. Kau sangka anak muda itu melukai aku. Aku sangka kau benar-benar berbuat dengan jujur. Dengan sepenuh hati. Aku sangka kau benar-benar tidak ikut dalam perkosaan ini.”
“Aku tidak turut dalam perkosaan ini!” potong Witantra dengan lantangnya. Wajahnya menjadi semakin merah karena kemarahan yang melanda dadanya.
“Kenapa kau tidak turut?”
“Aku tidak mau melihat kesewenang-wenangan. Aku tidak mau melihat penindasan yang tidak semena-mena.”
“Oh,” desis Mahisa Agni. Meskipun anak muda itu tersenyum, namun matanya memancarkan kepedihan yang tiada taranya. Katanya kemudian “Itulah Witantra. Bukankah dunia ini hanya dipenuhi oleh badut-badut yang sama sekali tidak berarti. Kau tersentuh rasa keadilan mu karena aku menamakan diriku Wiraprana. Kau tidak mau ikut serta dalam tindakan yang sewenang-wenang. Namun apakah sebenarnya yang kau lakukan itu? Huh. Kau menentang perbuatan Akuwu Tunggul Ametung yang melindungi Kuda Sempana bukan karena kau tidak mau melibat kesewenang-wenangan. Namun kau menjadi iri hati karenanya. Kau iri, kenapa kesempatan itu diberikan oleh Akuwu kepada Kuda Sempana. Tidak kepada adikmu Mahendra?”
“Bohong!” teriak Witantra. Dengan jari-jari yang gemetar ia menunjuk kepada perempuan tua di samping Mahisa Agni, “perempuan itu melihat apa yang telah aku lakukan. Perempuan itu melihat, bahwa Akuwu telah mengeluarkan perintah untuk menangkap Witantra. Perempuan itu melihat bahwa Akuwu telah mengancam aku untuk menggantung aku besok. Nah, apalagi? Aku tidak mau ikut serta dalam perbuatan yang terkutuk itu. Perbuatan yang meninggalkan kebebasan perseorangan untuk berbuat menurut pilihan sendiri. Dan aku akan menanggung akibatnya. Aku sama sekali tidak berpikir tentang Mahendra. Aku sudah melupakannya seandainya aku tidak tahu, bahwa kau telah menipu aku, menipu Mahendra sehingga kesempatan Kuda Sempana menjadi lebih baik daripadanya."
“Nah. Jangan kau pungkiri kata-katamu sendiri. Kau tidak mau melihat kesewenang-wenangan. Kau tidak mau melihat perbuatan yang meninggalkan kebebasan perseorangan untuk berbuat menurut pilihan sendiri. Kau tidak mau melihat bahwa dengan kekuatan orang memaksakan kehendaknya? Benar? Nah katakan kepadaku Witantra, seorang prajurit yang jujur, yang mencoba berdiri tegak di atas keadilan. Kau menentang semuanya itu, karena semuanya itu akan menguntungkan orang lain. Menguntungkan Kuda Sempana. Bukan menguntungkan adikmu Mahendra. Tetapi Witantra yang bijaksana. Kau melihat sendiri, apa yang akan dilakukan oleh Mahendra. Keadilan yang kau katakan itu benar-benar timpang. Kalau Mahendra ingin memaksakan kehendaknya dengan kekuatan yang diagung-agungkan saat itu. Kalau Mahendra ingin mengadakan pertandingan untuk merebut Ken Dedes dengan kekuatan. ya, seandainya aku tidak menyebut diriku Wiraprana saat itu? Apakah yang terjadi Witantra? Apa? Mungkin Wiraprana telah mati saat itu. Apakah kau dapat menjamin bahwa perkelahian yang demikian tidak akan dapat berakibat maut? Sedang apakah kau menasihati adikmu itu untuk menanyakan saja kepada Ken Dedes, pilihannya menurut kebebasan yang dimilikinya? He?”
Witantra menjadi gemetar mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Wajahnya yang merah seakan-akan memancarkan nyala kemarahannya. Tetapi ketika ia bergeser setapak maju, maka Ken Arok pun bergerak pula setapak. Dengan suara yang bergetar karena menahan gejolak perasaannya Witantra berkata “Mahisa Agni. Kau mencoba mencari alasan untuk melindungi kesalahanmu. Kau mencoba mencari sebab, kenapa kau seakan-akan sudah seharusnya berbuat demikian.”
“Tidak!” potong Agni, “Aku tidak pernah mengingkari kesalahan itu. Aku sudah mengakuinya. Dan aku tidak akan mencari dalih apa pun yang dapat menutupi kesalahan itu. Tetapi sekarang marilah kita melihat diri kita masing-masing. Aku melihat diriku dan kau melihat ke dirimu.”
“Tetapi pada saat itu Mahendra berbuat dengan penuh tanggung jawab. Ia tidak memperalat kekuasaan atau orang lain. Ia berbuat sendiri. Ia memperjuangkan cita-citanya sendiri.”
“Jadi apakah dengan demikian perbuatannya itu dapat dibenarkan. Bukankah dengan demikian, maka kekuatan jasmaniahlah yang harus menentukan keputusan. Bukan kebenaran menurut penilaianmu. Kebebasan seseorang untuk menentukan pilihan. Bagaimanakah kalau kemudian Mahendra menang atas Wiraprana? Sedang Ken Dedes telah memilih Wiraprana sebagai calon suaminya? Bagaimana?”
Witantra terdiam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Mahisa Agni itu Bahkan lamat-lamat dapat dilihatnya pula bahwa sesungguhnya adik seperguruannya pada saat itu pun akan mempergunakan kekuatannya untuk memaksakan kehendaknya.
Dalam pada itu terdengar Mahisa Agni yang terluka itu berkata lantang “Nah, Witantra. Sekarang lihatlah. yang terbaring di halaman itu adalah Wiraprana. Ia mati karena orang lain ingin merampas haknya dengan kekuatan dan kekuasaan. Wiraprana ternyata telah menjadi korban dari sikap damainya. Sejak semula ia tidak pernah membayangkan bahwa pada suatu ketika ia harus menghadapi kekerasan. Karena itu, maka ia tidak pernah dengan sungguh-sungguh menekuni ilmu tata berkelahi dan tata bela diri. Ia percaya akan peradaban manusia yang semakin tinggi. Ia percaya akan kedamaian hati dan ia percaya bahwa manusia akan menentukan sikapnya dengan baik di antara sesama manusia, Namun ia menjadi korban. Ternyata bahwa Wiraprana tidak dapat hidup di antara manusia pada masa kini dengan sikapnya. Di mana manusia mengorbankan manusia yang lain untuk kepentingannya. Untuk memenuhi nafsunya. Termasuk Mahendra, Kuda Sempana dan mungkin aku pula, kau dan Ken Arok. Kita semua telah hanyut dalam arus kebiadaban di antara peradaban manusia.”
Mahisa Agni itu terdiam. tiba-tiba terasa sesuatu menyumbat lehernya. Terasa pedih masih menyengat-nyengat punggungnya. Namun ia sama sekali tidak memperhatikannya. Perlahan-lahan darahnya kembali meleleh membasahi tikar tempatnya berbaring. Meskipun luka itu telah dibalut dengan kain bersih beberapa lapis, namun darahnya yang merah masih juga menembusnya.
“Agni,” bisik perempuan tua yang berlutut di sampingnya, “beristirahatlah. Jangan pikirkan yang bukan-bukan. Kau sedang terluka.”
“Tidak. Tidak apa-apa Bibi. Luka tidak sakit,” jawab Agni. Dan sebenarnyalah bahwa pedih lukanya seakan-akan tidak terasa karena pedih hatinya yang menusuk-nusuk. Bahkan kemudian ia berkata perlahan-lahan, “Witantra. Kini Wiraprana telah mati. Aku tidak dapat lagi menamakan diriku Wiraprana. Tidak ada gunanya. Dan terserahlah kepadamu, penilaianmu atas diriku dan terserahlah kepadamu, apa yang akan kau lakukan. Kesalahan yang telah aku perbuat itu ternyata tidak ada gunanya. Aku hanya dapat menunda bencana yang menimpa Wiraprana. Tetapi sekarang, Wiraprana telah mati, dan Ken Dedes telah hilang dari rumah ini. Hilang dan aku tidak tahu, apakah masih ada kemungkinan untuk menyelamatkannya.”
Witantra itu menundukkan wajahnya. Tiba-tiba ia meletakkan tubuhnya duduk di samping Mahisa Agni. Namun sepatah kata pun tidak diucapkannya. Ken Arok kini sudah dapat membayangkan, Meskipun belum sedemikian jelas, apakah yang telah terjadi. Ia pun kemudian duduk pula di samping Witantra dan dengan sepenuh hati ia berkata, “Mahisa Agni. Aku akan mencoba melepaskan gadis itu dari Kuda Sempana.”
“Apa yang akan kau lakukan?” terdengar suara Mahisa Agni parau.
Ken Arok menggeleng lemah, “Aku belum tahu. Tetapi setidak-tidaknya Ken Dedes harus dibebaskan dari himpitan kedukaannya. Kalau ia menjadi istri Kuda Sempana maka setiap hari ia akan mengalami derita yang tak akan ada habisnya.”
“Mudah-mudahan kau berhasil. Tetapi arti daripada itu pun sangat jauh daripada yang diharapkannya. Wiraprana, laki-laki yang dicintainya telah mati.”
Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi hening. Ki Buyut Panawijen yang selama ini diam mematung tiba-tiba berkata, “Angger Mahisa Agni. Meskipun Wiraprana telah mati, tetapi aku masih akan mengucapkan terima kasih kepadamu. Sebab baru sekarang aku tahu bahwa anakku itu telah pernah mendapat banyak sekali pertolonganmu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Buyut Panawijen itu, maka dilihatnya betapa duka yang telah menggores di dinding hatinya. Wiraprana adalah anak satu-satunya. Dan kini anak itu mati. Mahisa Agni hampir tidak dapat menahan hatinya ketika Buyut tua itu berkata,
“Angger. Sepeninggal Wiraprana, maka perkenankanlah aku mengambil kau sebagai gantinya. Aku ingin menumpang kebanggaan Empu Purwa yang telah memiliki seorang anak laki-laki yang mengagumkan. Kalau kau sudi Ngger, jangan kau rubah kebiasaanmu berkunjung ke rumahku. Rumah itu kini menjadi rumahmu pula."
“Terima kasih,” desis Mahisa Agni. Tetapi ia tidak dapat meneruskan kata-katanya. Hatinya menjadi bertambah pedih, sakit dan pahit. Ia harus menghadapi persoalan-persoalan yang tak akan dapat dilupakannya sepanjang hidupnya.
Ki Buyut Panawijen itu pun menjadi semakin suram. Terasa betapa ia berusaha untuk menguasai perasaannya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar ia berkata, “Akhirnya hal ini terjadi. Wiraprana pernah berkata kepadaku, kalau Kuda Sempana mendapat kesempatan untuk yang ketiga kalinya, maka ia pasti akan dibunuhnya. Ternyata yang dikatakannya itu benar-benar telah terjadi.”
Kembali pendapa itu menjadi sepi. Isak perempuan tua yang duduk di samping Mahisa Agni menjadi semakin jelas. Dan Ki Buyut Panawijen pun kemudian menyeka matanya yang menjadi basah pula,
“Sebuah bencana telah menimpa padukuhan ini,” desah Ki Buyut Panawijen, “hanya karena di padukuhan ini dilahirkan seorang anak muda yang bernama Kuda Sempana.”
Tak seorang pun yang menyahut. Wajah Witantra kini tidak lagi tampak menyala-nyala. Bahkan kemudian matanya pun menjadi redup. Ken Arok duduk tepekur sambil menggores-gores lantai dengan kuku-kukunya. Sedang emban pemomong Ken Dedes yang tua itu, masih mencoba menguasai tangisnya. Sekali-sekali diusapnya dahi Mahisa Agni yang menjadi bertambah pucat.
“Angger,” kemudian Ki Buyut Panawijen-lah yang memecahkan kesepian itu, “biarlah aku pulang dahulu membawa Wiraprana. Mayat itu akan aku rawat dan akan merupakan peringatan bagi kita, bahwa seorang anak muda yang dilahirkan di tanah ini telah menyebabkan sebuah bencana bagi tanah kelahirannya.”
Mahisa Agni mencoba untuk bangkit, tetapi terasa punggungnya masih sakit, sehingga Ki Buyut Panawijen itu menahannya, “Jangan Ngger. Tidak usah Angger bangun. Beristirahatlah. Dan lekaslah menjadi sembuh.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Desahnya, “Sayang. Aku tidak dapat turut merawat jenazah itu.”
“Sudahlah Ngger,” sahut Ki Buyut, “kau sendiri terluka. Berbaringlah.”
Mahisa Agni menggeleng. Katanya perlahan-lahan, “Ken Arok. Tolonglah aku. Aku ingin melihat wajah Wiraprana untuk yang terakhir kalinya.”
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Katanya, “Apakah tidak lebih baik kau tetap berbaring di tempatmu?”
Sekali lagi Mahisa Agni menggeleng “Tidak, tolonglah aku turun ke halaman.”
Ken Arok tidak dapat mencegahnya lagi. Dengan hati-hati, dipapahnya Mahisa Agni turun ke halaman, untuk melihat wajah sahabatnya terakhir kalinya. Witantra dan emban tua itu pun tanpa sesadarnya ikut juga berdiri dan berjalan mengiringkannya turun ke halaman. Di samping tubuh Wiraprana yang terbaring diam, Mahisa Agni menekurkan kepalanya. Alangkah pedih hatinya. Sahabatnya itu telah pergi mendahuluinya.
Tiba-tiba dada Mahisa Agni itu tersentak. Ia melepaskan Ken Dedes, karena mencintai Wiraprana. Sekarang Wiraprana telah mati jadi bagaimanakah dengan gadis itu? Namun kembali wajahnya terkulai lemah. Ken Dedes telah pergi jauh. Jarak Panawijen sampai ke Tumapel adalah jarak yang sama sekali tidak berarti bagi Mahisa Agni. Tetapi ia rasa-rasanya, Ken Dedes yang telah berada di Tumapel itu tak akan dapat dicapainya.
Mahisa Agni itu pun kemudian menggigit bibirnya. Kini ia dapat merasakan pula, betapa Witantra menyesali kejadian itu seperti penyesalan yang lama-lama timbul di dalam hatinya. Seandainya, ya, seandainya Ken Dedes tidak pernah dilepaskannya kepada Wiraprana, apakah peristiwa seterusnya akan berbeda? Seperti pikiran Witantra itu pula, seandainya Mahendra tidak dihalanginya, maka Kuda Sempana tidak akan mendapat kesempatan untuk melakukan perbuatan yang terkutuk ini. Namun semuanya telah terjadi. Yang lewat biarlah lewat, tetapi bagaimana yang akan datang?
Mahisa Agni berpaling ketika ia mendengar Ki Buyut Panawijen berkata, “Angger, biarlah mayat ini aku bawa pulang.”
Mahisa Agni mengangguk lemah. Namun betapa pun juga, ia tidak dapat membendung gelora perasaannya. Terasa setetes air menitik dari matanya yang suram. “Silakan Ki Buyut,” desis Mahisa Agni perlahan sekali.
Ki Buyut itu pun kemudian mengangkat tubuh anaknya yang telah membeku. Beberapa orang cantrik segera membantunya memanggul jenazah itu kembali ke rumahnya.
“Mengerikan,” desis Mahisa Agni.
Witantra dan Ken Arok pun memandangi jenazah itu sampai hilang di balik regol halaman. Sesaat mereka masih terpaku di tempatnya, seperti membeku pula. Sekali Mahisa Agni menyeringai menahan pedih di punggungnya dan pedih di hatinya. Kemudian katanya, “Tolonglah aku ke dalam bilikku Ken Arok.”
Ken Arok dan Witantra tersadar dari angan-angannya. Dipapahnya Mahisa Agni masuk ke dalam biliknya. Witantra dan emban tua itu pun masih saja berjalan mengiringi mereka. Ketika Mahisa Agni itu berbaring diambennya, terasa perasaan yang asing menyentuh jantungnya. Bilik ini telah lama ditinggalkannya. Tetapi tak sehelai benang pun yang berubah sejak ia pergi. Bahkan tak sebutir debu pun yang mengotori setiap perabotnya. Ambennya, glodok tempat pakaiannya, sosok kendi di sudut dan tlundak lampu pada tiang di sisi bilik itu.
Tetapi bilik itu pun kemudian telah menyeretnya kembali ke masa-masa yang lewat itu. Ke masa-masa ia hidup bertahun-tahun bersama-sama dengan seorang gadis yang bernama Ken Dedes dan seorang sahabat yang hampir setiap hari datang berkunjung kepadanya, Wiraprana. Sekarang keduanya telah pergi. Hilang dan tak akan ditemuinya kembali. Sekali lagi Mahisa Agni berdesah. Dilihatnya Ken Arok, Witantra berdiri kaku di samping pembaringannya. Dan dilihatnya perempuan tua itu dengan penuh kecemasan memandanginya.
Wajah-wajah yang hadir di dalam biliknya itu adalah wajah-wajah baru bagi Mahisa Agni selain emban tua itu. Sepeninggal Wiraprana, maka hadirlah Ken Arok dan Witantra itu di dalam bilik ini. Tetapi bagaimanakah seterusnya dengan mereka itu. Bilik Mahisa Agni itu pun menjadi sunyi. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang terengah-engah Mahisa Agni yang terbaring itu pun kemudian mencoba untuk menenteramkan hatinya, supaya ia dapat beristirahat. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga perasaan serta angan-angannya.
Tetapi ternyata ia tidak segera dapat melakukannya. Sebab emban tua itu pun berkata, “Mahisa Agni. Bagaimana dengan Ken Dedes kemudian?”
Mahisa Agni menggeleng, “Aku tidak tahu. Aku sudah meminta kepada Ken Arok untuk mengamat-amatinya. Mudah-mudahan gadis itu tidak menderita.”
“Aku tidak dapat berpisah dengan gadis itu,” desah emban tua itu, “aku adalah pemomongnya sejak anak itu masih terlalu kecil.”
Mahisa Agni terdiam. Ia tidak tahu, bagaimana memenuhi permintaan itu. Namun tiba-tiba Witantra itu berkata, “Bibi, apakah kau pemomong Ken Dedes itu?”
“Ya Ngger,” sahut perempuan itu.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Ken Arok, “Adi, biarlah perempuan tua itu ikut ke Tumapel. Sebelum itu dapat menemui Ken Dedes di manapun, biarlah ia tinggal bersama keluargaku. Atau keluarga Mahendra.”
Ken Arok memandang Witantra dengan penuh keragu-raguan. Apakah orang itu berkata dengan jujur? Baru saja ia mengumpat-umpat Mahisa Agni. Tetapi wajah Witantra menunjukkan kesungguhan hatinya. Sehingga karena itu maka Ken Arok itu pun mempercayainya. Meskipun, demikian ia tidak menjawab. Ditatapnya wajah Agni yang pucat itu, berganti-ganti dengan wajah perempuan yang telah berkeriput penuh tekanan-tekanan di masa-masa lampau dan kesuraman di masa kini.
Mahisa Agni pun tidak dapat menentukan jawabnya. Karena itu maka ia bertanya kepada emban tua itu, “Bagaimanakah Bibi? Bibi untuk sementara tinggal bersama keluarga Witantra atau keluarga Mahendra di Tumapel. Setiap kesempatan akan segera dapat dipergunakan. Bibi dapat bertemu dan selalu melayani Ken Dedes. Mungkin ada hal-hal yang dapat bibi berikan kepada gadis itu.”
Perempuan tua itu tidak dapat melihat kemungkinan lain yang lebih baik daripada itu. Karena itu, maka jawabnya, “Aku sebenarnya tidak ingin menyibukkan keluarga Angger atau keluarga siapa pun.”
“Kami tidak akan berkeberatan Bibi.”
Akhirnya, maka emban itu pun dengan penuh rasa terima kasih menerima tawaran Witantra untuk pergi bersama ke Tumapel dan singgah sementara di dalam lingkungan keluarganya. Mungkin kesempatan itu akan datang, berada di dekat Ken Dedes kembali sebagai emban yang telah mengenalnya hampir setiap persoalan lahir dan batinnya.
Mahisa Agni pun kemudian tidak dapat berbuat lain daripada melepaskan perempuan tua itu pergi. Dengan penuh harapan Mahisa Agni berpesan kepada Ken Arok dan Witantra, menitipkan perempuan tua itu untuk mendapatkan perlindungan mereka.
“Kami akan mencoba,” sahut Ken Arok.
Perempuan tua itu pun kemudian dengan tergesa-gesa membenahi pakaiannya. Beberapa lembar kain lungset, kemben dan sepotong kain setagen. “Aku sudah siap,” katanya kemudian.
“Marilah kita berangkat,” berkata Ken Arok sambil berpaling kepada Witantra.
Witantra menganggukkan kepalanya. Namun ia melangkah mendekati Mahisa Agni. Bisiknya, “Agni lupakan kata-kataku. Aku minta maaf.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Dadanya terasa berdentingan oleh kata-kata Witantra itu. Karena itu maka ia pun menjawab, “Aku juga minta maaf kepadamu, kepada Mahendra dan kalau kau sempat bertemu, kepada Ken Dedes.”
“Marilah kita lupakan persoalan itu,” desis Witantra.
Mahisa Agni tidak menjawab, tetapi ia hanya mengangguk kecil.
“Marilah!” berkata Witantra kemudian kepada Ken Arok.
Mereka pun kemudian bermohon diri. Tetapi tiba-tiba perempuan itu kembali dan memeluk tubuh Mahisa Agni. Di dalam tangisnya perempuan itu berkata, “Agni. Lekaslah sembuh. Aku terpaksa pergi ke Tumapel. Mudah-mudahan aku dapat berbuat sesuatu untuk Ken Dedes. Beberapa orang cantrik akan merawatmu. Obat-obat yang ada padaku telah aku tinggalkan.”
Mahisa Agni itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Terasa sesuatu yang semakin menekan di dalam rongga dadanya. Perpisahan di antara orang-orang yang hampir setiap hari bertemu, bercakap dan bergurau. Tetapi perempuan ini bukan sekedar orang asing yang sudah menjadi kerabat dalam satu keluarga. Tetapi perempuan itu adalah ibunya. Karena terasa betapa sesak napasnya. Meskipun demikian dipaksanya juga mulutnya berkata, “Berangkatlah bibi. Marilah kita saling berdoa yang Maha Agung akan melindungi kita masing-masing.”
Akhirnya tubuh Mahisa Agni yang telah menjadi basah karena air mata itu dilepaskannya. Perlahan-lahan perempuan tua itu berjalan meninggalkan pembaringan Agni. Namun sampai di pintu sekali lagi ia berpaling. Ditatapnya wajah Agni yang pucat. Dan bibir perempuan itu bergetar-getar, namun tak sepatah kata pun yang terloncat keluar. Tetapi di dalam hatinya terdengarlah suara yang riuh, “Anakku. Aku tidak tahu apakah aku masih mempunyai kesempatan untuk mengambil gadis itu untukmu. Tetapi jalan telah terlalu jauh.”
Perempuan tua itu pun kemudian lenyap pula dari halaman rumah Empu Purwa. Meskipun semula ia menolak, namun akhirnya perempuan itu mau juga naik ke atas punggung kuda dengan dilayani oleh Ken Arok. Mereka berdua naik di atas satu punggung kuda. Sedang Witantra dan beberapa orang yang lain, prajurit yang berwajah kasar namun bermata basah dan beberapa kawannya, berkuda di belakangnya. Mereka pergi membelakangi padukuhan yang muram ke kota yang cerah. Namun di belakang kecerahan wajah kota itu tersembunyi berbagai noda-noda hitam mengerikan.
Bilik Mahisa Agni pun kemudian menjadi sepi, sesepi hatinya. Orang-orang yang pernah tersangkut di hatinya, satu-satu telah meninggalkannya. Wiraprana telah pergi untuk tidak akan kembali lagi. Ken Dedes telah pergi pula jauh sekali. “Gadis itu telah pergi sejak lama dariku,” gumamnya seorang diri. Tetapi ia tidak dapat menghibur dirinya sendiri dengan kata-kata itu. Kepergian Ken Dedes kali ini tidak diikhlaskannya seperti kepergiannya yang dahulu. Kepergiannya dari rongga hatinya.
Dan yang terakhir ibunya pun telah pergi. Tetapi ia melepaskan ibunya dengan penuh harapan. Setidak-tidaknya ibunya akan dapat menghibur hati Ken Dedes. Tetapi tiba-tiba hatinya memercik seperti api yang tiba-tiba saja menyala. Gurunya. ya Empu Purwa sampai sekarang belum juga pulang. Bagaimanakah kalau gurunya itu kembali? Apakah orang tua itu akan menjadi marah, ataukah menjadi sedih dan berputus asa? Apakah Empu Purwa yang sakti itu tidak akan mampu mengambil putrinya kembali?
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tumapel adalah suatu negeri yang dikuasai oleh seorang Akuwu lengkap dengan tata pemerintahan dan alat-alat kekuasaannya. Tunggul Ametung memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan hanya melawan satu orang. Empu Purwa. Betapa saktinya gurunya dan dengan dirinya sendiri sekali pun, bahkan dengan seluruh penduduk Panawijen, apakah mereka akan dapat melawan Tumapel? Sedang Mahisa Agni pun tahu, setidak-tidaknya dapat menduga, bahwa di dalam istana itu pun pasti ada orang-orang sakti, guru-guru dari para prajurit dan akuwu sendiri.
Meskipun mereka orang seorang seandainya tidak ada yang menyamai kesaktian Empu Purwa, namun mereka akan dapat bersama-sama melawannya. Mahisa Agni pun menjadi bersedih karenanya. Usaha yang dapat dilakukan untuk membebaskan Ken Dedes menjadi semakin jauh dari otaknya. Tetapi, betapa pun juga ia masih mengharap, gurunya segera datang kembali.
“Kalau guru tidak segera kembali,” desisnya, “apabila lukaku telah menjadi agak baik, aku akan pergi mencarinya.”
Mahisa Agni itu terkejut ketika seorang cantrik menjenguknya di ambang pintu. Cantrik yang telah agak tua itu dengan iba memandangnya sambil berkata, “Adakah sesuatu yang perlu aku kerjakan Ngger?”
“Tidak Paman,” sahut Agni.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya masih dari luar pintu, “Emban tua, pemomong Ken Dedes minta aku merawatmu.”
“Terima kasih, Paman. Kalau perlu, aku akan memanggilmu.”
“Baik. Aku tidak akan berada terlalu jauh dari bilik ini.” Orang tua itu pun kemudian pergi meninggalkannya. Kembali bilik itu menjadi sepi, sesepi hatinya.
Dalam pada itu, di jalan yang menuju ke Tumapel, Tunggul Ametung dan Kuda Sempana memacu kudanya cepat sekali. Mereka sama sekali tidak menghiraukan, bahwa beberapa pasang mata penduduk Tumapel memandangi mereka itu dengan pertanyaan yang memukul-mukul dada.
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” desis salah seorang dari mereka.
Kawannya berbicara menggelengkan kepalanya. “Entah,” jawabnya. Namun mata mereka tetap memancarkan keheranan mereka.
Kuda Sempana masih berpacu di depan sambil menjagai Ken Dedes yang belum juga sadar. Hanya sekali ia menggeliat, namun kemudian ia menjadi pingsan kembali. Kuda Sempana itu pun menjadi cemas melihat keadaan Ken Dedes itu. Karena itu ia berpacu lebih cepat lagi. Ia ingin segera sampai ke Tumapel dan dengan demikian maka Ken Dedes itu segera dapat dirawatnya.
Akuwu dari Tumapel, Tunggul Ametung yang berkuda di belakang Kuda Sempana, memandang debu yang mengepul di bawah kaki kuda yang berpacu di hadapannya dengan pandang yang kosong. Tiba-tiba otaknya dirayapi oleh berbagai pertanyaan yang tumbuh di sepanjang jalan. Akuwu itu melihat apa yang telah terjadi di Panawijen. Dan ia melihat pula, apa yang telah dilakukan oleh Kuda Sempana. Dihubungkannya apa yang telah dikatakan oleh Kuda Sempana sebelum mereka berangkat berburu, dan apa yang telah dilakukannya di rumah gadis itu. Dirasakannya apa yang telah dilakukan oleh Witantra dan kemudian oleh Ken Arok.
Tunggul Ametung itu pun kemudian menggeram. Tiba-tiba ia melihat bahwa ia telah masuk ke dalam perangkap Kuda Sempana. Karena itu, maka timbullah niatnya untuk melihat keadaan sewajarnya. Kalau nanti ia sampai di Tumapel, akan dipanggilnya Witantra, Ken Arok, Kuda Sempana dan Ken Dedes itu. Bahkan kalau perlu akan dipanggilnya kakak Ken Dedes yang terluka karena anak panah prajuritnya yang kemudian telah dibunuh oleh Ken Arok hanya dengan sebuah pukulan di dadanya.
“Hem,” gumamnya, “anak yang diberikan oleh Lohgawe padaku itu benar-benar luar biasa. Namun ternyata kakak gadis yang dibawa oleh Kuda Sempana itu pun luar biasa pula.”
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Mulutnya kemudian berkomat-kamit, namun matanya tiba-tiba menjadi tajam. Dipandanginya punggung Kuda Sempana, dan dilihatnya gadis di tangan Kuda Sempana itu. Sekali lagi dada Tunggul Ametung berdesir. Gadis itu adalah gadis yang aneh di dalam pandangan matanya. Cantik bagai bidadari. Tidak. Meskipun Ken Dedes itu cantik, namun ia adalah seorang gadis biasa. Seperti gadis-gadis lain yang cantik pula. Namun kecantikan Ken Dedes itu bukannya menakjubkan. Tetapi ada yang lain menarik perhatiannya. Tunggul Ametung menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu,” gumamnya seorang diri, “Aku tidak tahu. Apakah yang aneh pada gadis itu?”
Hati Tunggul Ametung itu tiba-tiba terguncang ketika ia melihat Kuda Sempana membelok pada suatu tikungan. Dilihatnya gadis itu seperti sebuah golek yang indah. Namun dari tubuh gadis itu tiba-tiba dilihatnya seakan-akan nyala yang memancar daripadanya. Mata Tunggul Ametung pun terbelalak pula karenanya. Karena nyala yang dilihatnya itu. Karena itu maka segera ia berpacu lebih cepat. Tunggul Ametung itu kini ingin berkuda di samping Kuda Sempana. Tetapi ketika Tunggul Ametung itu telah berada di samping Kuda Sempana dan diamatinya tubuh Ken Dedes, maka akuwu itu menjadi heran. Tubuh itu benar-benar tubuh seorang gadis biasa. Bahkan terlalu pucat. Tunggul Ametung menggelengkan kepalannya.
“Apakah aku sudah menjadi gila?” desahnya di dalam hati “aku benar-benar melihat nyala pada tubuh itu. Bersinar seperti bara api baja. Tetapi sinar itu sekarang lenyap. Hem. Apakah yang aku lihat hanyalah pantulan sinar matahari?” Tetapi akuwu itu tidak menemukan jawabannya. Karena itu ia menjadi bingung dan berdebar-debar. Diketahuinya bahwa Ken Dedes itu adalah putri seorang pendeta. Dan tiba-tiba ia menjadi cemas.
Perjalanan itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan Istana Tunggul Ametung. Kuda Sempana yang masih belum berkeluarga itu pun tinggal pula di dalam barak di samping istana bersama beberapa orang kawannya. Karena itu, maka Kuda Sempana menjadi bimbang. Apakah Ken Dedes itu akan dibawa ke sana? Apakah dengan demikian tidak akan menimbulkan persoalan pula dengan beberapa orang kawannya mengenai gadis yang cantik itu? Karena itu, maka ia menjadi bimbang, sehingga lari kudanya pun menjadi semakin lambat.
“Kenapa?” bentak Tunggul Ametung tiba-tiba.
Kuda Sempana terkejut mendengar bentakan itu. Tetapi segera ia menjawab, “Apakah gadis ini hamba bawa ke barak hamba?”
“Bawa dia ke istana,” jawab Tunggul Ametung.
Kuda Sempana tersenyum. Akuwu Tumapel benar-benar berbaik hati kepadanya, sehingga ia mendapat kesempatan untuk menyingkirkan gadis itu dan menyembunyikannya dari ayahnya di istana. Ia yakin bahwa Empu Purwa dan Mahisa Agni tidak akan berani mengganggunya seandainya gadis itu berada di istana. Tetapi Kuda Sempana itu sama sekali tidak tahu apa yang tersimpan di dalam hati Akuwu Tunggul Ametung. Kebimbangan, kecemasan, ketakjuban dan perasaan-perasaan yang bercampur baur. Bahkan akuwu itu hampir-hampir merasa bahwa perasaannya telah tidak dapat dikendalikan lagi.
Kuda Sempana dan Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian langsung masuk ke halaman dalam Istana Tumapel. Beberapa orang pelayan, juru taman dan emban terkejut bukan kepalang. Kenapa tiba-tiba Akuwu telah kembali tanpa tengara apa pun. Baru pagi tadi mereka berangkat. Dan agaknya Akuwu tidak bermalam di perburuan. Biasanya apa bila akuwu itu kembali, beberapa orang telah mendahuluinya dan membunyikan tengara kentongan dan sangkakala. Tetapi tiba-tiba saja akuwu telah berada di halaman bersama dengan Kuda Sempana yang memapah seorang gadis yang pingsan.
“Bawa ia masuk!” perintah Akuwu itu kemudian.
Dengan hati-hati Kuda Sempana turun dari kudanya, dan membawa masuk ke istana dalam. Beberapa orang pelayan yang lain memandangi mereka itu dengan penuh pertanyaan di dalam dada mereka. Sehingga karena itu mereka bahkan berdiri saja dengan mulut ternganga. Mereka terkejut bukan buatan ketika mereka mendengar Akuwu Tumapel berteriak dengan lantangnya,
“He, kenapa kalian diam saja seperti patung? Cepat, bersihkan bilik untuk gadis itu. Cepat!”
Para emban menjadi bingung. Cepat mereka berlari berhamburan. Tetapi mereka belum tahu bilik mana yang harus dibersihkannya sehingga dengan demikian mereka hanya berlari-larian saja berputar-putar.
“He, kenapa kalian tiba-tiba saja menjadi gila?” teriak Akuwu Tumapel itu keras. “Bersihkan bilik untuk Ken Dedes!”
Para emban menjadi semakin takut. Namun mereka masih juga belum tahu, bilik manakah yang harus dibersihkannya. Seorang yang paling tenang di antara mereka itu mencoba memberanikan diri bertanya kepada Akuwu Tunggul Ametung, katanya gemetar, “Tuanku, bilik manakah yang harus hamba bersihkan?”
Akuwu itu pun tiba-tiba menyadari pula kebingungan para emban itu. Tetapi ia pun menjadi bingung pula sendiri. Bilik yang mana? Tiba-tiba akuwu itu menjawab, “Sentong tengen!”
Bukan main terkejutnya Kuda Sempana. Ken Dedes itu harus dibaringkan di dalam bilik kanan istana Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel. Bilik yang selama ini belum pernah terisi. Akuwu sendiri tidak pernah tidur di dalam bilik itu. Sebenarnyalah demikian kebiasaan yang harus dilakukan. Bilik itu akan selalu kosong sebelum Akuwu Tumapel mempunyai sisihan, seorang permaisuri yang akan mendampingi akuwu itu dalam memerintah negerinya. Karena itu maka Kuda Sempana itu pun menjadi gemetar dan bertanya-tanya di dalam hati, “Apakah artinya ini?”
Para emban pun terkejut pula mendengar perintah itu. Namun segera mereka menjadi gembira. Berlari-larian mereka pergi ke sentong tengen dan membersihkannya dengan penuh hormat. Ditaburnya pembaringan di sentong itu dengan bunga dan dialasinya dengan kain paling baik di dalam istana itu. Salah seorang dari mereka berbisik perlahan-lahan, “Kau mengenal gadis itu?”
Yang ditanya menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak gembira seperti kawan-kawannya. “Kenapa kau bersedih?” bertanya kawannya. Tetapi emban yang satu itu tetap berdiam diri.
“He,” goda yang lain, “apakah kau ingin dibaringkan di pembaringan ini?”
Emban yang diganggu itu menjawab serta-merta, “Aku tidak gila. Tetapi kalian sudah melihat gadis itu?”
“Kenapa?”
“Kalian melihat pakaian yang dipakainya? Kain lurik kasar dan bersanggul urai?”
“Oh,” tiba-tiba yang mendengar menjadi kecewa pula, sehingga mereka berdesis, “Seorang gadis dari pedesaan saja?”
Para emban itu pun kemudian saing berpandangan. Kalau gadis itu hanya gadis pedesaan, maka apakah sudah sepantasnya dibaringkan di sentong kanan ini? Tetapi mereka tidak berani menanyakan kepada Tunggul Ametung. Mereka tinggal menjalankan perintah itu. Mereka membersihkan bilik sebelah kanan.
Tetapi yang paling berdebar-debar di antara semua orang itu adalah Kuda Sempana. Ia sama sekali tidak tahu, apakah maksud sebenarnya dari Akuwu Tunggul Ametung dengan perintahnya itu. Meskipun demikian Kuda Sempana tidak berani bertanya pula kepada Akuwu Tumapel, seperti para emban itu juga. Karena itu, maka dengan hati yang penuh pertanyaan, Ken Dedes itu dibawanya ke bilik istana yang sebelah kanan.
Namun ternyata Akuwu Tumapel itu terkejut pula ketika ia sadar akan perintahnya sendiri. Perintah itu seakan-akan demikian saja meluncur dari mulutnya. Ketika mereka telah sampai di muka bilik itu, bahwa bilik yang sebelah kanan ini adalah bilik yang dikosongkannya. Bilik yang hanya akan dipakai kelak apabila Akuwu sudah berpermaisuri. Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia memerintahkan membawa Ken Dedes ini ke bilik itu. Akuwu itu pun menjadi berdebar-debar pula. Ia seperti Kuda Sempana. Sesaat ia termenung dan berdiri saja mematung. Dibiarkannya Kuda Sempana berdiri dengan penuh kebimbangan di muka bilik itu. Akuwu itu terkejut ketika seorang emban berkata kepadanya,
“Ampun Tuanku. Bilik kanan sudah hamba siapkan bersama-sama.”
“He,” sahut Akuwu itu, “kenapa bilik itu?”
Emban itu menjadi berheran-heran. Bukankah Akuwu memerintahkan membersihkan sentong tengen. Para emban itu pun kemudian saling berpandang-pandangan dengan penuh kecemasan. Mereka melihat wajah Tunggul Ametung menjadi tegang. Sekali ditatapnya wajah Ken Dedes yang pucat itu. Kini dilihatnya gadis itu bergerak-gerak. Karena itu maka Akuwu itu pun menjadi semakin bingung. Gadis itu harus segera dibaringkan untuk mendapat perawatan.
Kuda Sempana menjadi bingung pula. Terasa di tangannya Ken Dedes mulai menggeliat. Dan terdengar ia merintih perlahan-lahan. Sehingga tanpa sengaja ia bertanya, “Ampun Akuwu, di mana gadis ini harus aku letakkan?”
Akuwu Tumapel menjadi gelisah. Karena itu, maka sekali lagi tanpa dipikirkannya, ia berkata, “Baringkan di bilik itu!”
Kuda Sempana tidak sempat berpikir lagi. Ken Dedes luluh mulai bergerak-gerak semakin banyak. Karena itu maka segera ia masuk ke sentong tengen, dan dibaringkannya Ken Dedes di pembaringan yang telah menjadi bersih dan ditaburi oleh bunga-bunga yang baunya dapat memberikan ketenangan, sedap. Ken Dedes yang dengan perlahan-lahan diletakkan di pembaringan itu membuka matanya. Dicobanya untuk mengenal tempat itu. Tetapi ia menjadi bingung. Dan ketika tiba-tiba di lihatnya wajah Kuda Sempana yang berjongkok di samping, tiba-tiba Ken Dedes itu menjerit. Sekali lagi ia jatuh pingsan.
Kuda Sempana yang bingung menjadi semakin bingung. Dengan gelisahnya ia memandangi wajah Akuwu Tunggul Ametung yang berdiri bersilang tangan di dada. “Gadis ini pingsan lagi Tuanku,” desah Kuda Sempana.
Adalah di luar kehendak Akuwu Tunggul Ametung sendiri, bahwa seakan-akan menjadi kewajibannya untuk membantu Kuda Sempana menolong gadis itu. Tunggul Ametung adalah seorang akuwu yang berkuasa. Yang berbuat menurut apa saja yang dikehendakinya. Namun kini tiba-tiba ia menjadi gelisah pula. Dan dengan tergopoh-gopoh ia berjalan keluar sambil berteriak memanggil, “He emban, kemari!”
Emban yang duduk berjajar-jajar di ruangan itu terkejut mendengar teriakan akuwu itu. Seorang emban yang tertua datang menghadap sambil menyembah, “Hamba Tuanku.”
“cepat, panggil Bibi Puroni. Suruh ia merawat gadis yang pingsan itu!”
“Hamba Tuanku,” sembah emban itu sambil bergeser meninggalkan ruangan itu.
Sesaat kemudian datanglah seorang dukun tua. Seorang perempuan yang berwajah sayu namun penuh ketenangan seakan-akan di dalam wajah itu terpendam berbagai macam pengalaman hidup yang telah ditempuhnya hampir delapan puluh tahun.
“Bibi,” berkata Akuwu Tunggul Ametung ketika orang tua itu telah datang, “di dalam bilik itu ada seorang gadis yang pinggan. Bukan karena sakit dan bukan karena sebab-sebab lain. Tetapi ia pingsan karena ketakutan. Nah, rawatlah. Tenangkanlah dan terserah apa saja yang akan kau lakukan atasnya.”
Perempuan tua itu, yang bernama Puroni, menyembah sambil berkata, “Hamba Tuanku. Kalau berkenan di hati Tuanku, biarlah aku mencobanya. Di manakah gadis itu sekarang?”
“Di situ. Di dalam bilik itu,” jawab Akuwu Tumapel sambil menunjuk sentong kanan.
Perempuan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya pintu sentong tengen yang menganga itu. Namun yang dilihatnya hanya sebuah rana yang menakbiri pembaringan di dalam sentong itu.
“Masuklah! Jangan ditunggu anak itu mati!” teriak Akuwu Tunggul Ametung.
Perempuan tua itu sama sekali tidak terkejut. Telah berpuluh, bahkan beratus dan beribu kali ia mendengar Akuwu Tunggul Ametung membentak-bentak dan berteriak-teriak. Karena itu maka ia masih tetap tenang. Sambil menyembah ia menyahut, “Baiklah Tuanku. Biarlah aku mencobanya.”
Bibi Puroni itu pun kemudian pergi ke sentong tengen. Ia terkejut ketika dilihatnya Kuda Sempana ada di dalamnya. “Oh,” desahnya, “apakah Angger sedang menungguinya?”
“Ya,” sahut Kuda Sempana pendek.
Perempuan itu menjadi semakin heran. Apakah sebenarnya yang telah terjadi sehingga Akuwu Tumapel itu benar-benar seperti orang yang bingung sehingga dibiarkannya Kuda Sempana berada di dalam bilik itu? Dan dibiarkannya berlaku di luar kebiasaan? Sehari-hari di saat-saat yang lewat. Betapa ia menahan diri, namun ia tidak dapat menahan lagi keinginannya untuk mengetahui serba sedikit, apakah yang telah dilakukan oleh akuwu atau oleh Kuda Sempana terhadap gadis itu, atau siapakah sebenarnya gadis yang pingsan itu. Karena itu maka katanya bertanya, “Angger Kuda Sempana. Siapakah gadis yang pingsan itu, dan kenapakah mula-mula sebabnya, sehingga ia menjadi ketakutan?”
“Gadis itu bakal istriku Nyai Puroni,” jawab Kuda Sempana.
Sekali lagi Nyai Puroni itu terkejut. Kalau gadis itu benar-benar bakal istri Kuda Sempana, kenapa ia dibaringkan di sentong tengen istana Tumapel?”
Bibi Puroni itu menjadi semakin bingung. Sepengetahuannya Kuda Sempana tidak lebih dari seorang pelayan dalam. Meskipun pelayan dalam yang paling dekat dengan akuwu. Tetapi apakah demikian besar pengaruhnya, sehingga bakal istrinya diizinkan menempati sentong tengen itu. Tetapi Nyai Puroni tidak sempat untuk memikirkannya terlampau lama. Ia harus segera menolong gadis itu. Karena itu, maka ia tidak lagi menghiraukan Kuda Sempana. Apakah gadis itu calon istrinya, atau apapun, namun sudah menjadi kewajibannya untuk menolongnya.
Nyai Puroni itu pun kemudian berjongkok di samping pembaringan Ken Dedes. Perlahan-lahan dirabanya tangannya, dadanya dan kemudian keningnya. Telah berpuluh bahkan beratus kali ia menolong orang-orang yang pingsan seperti itu. Sehingga segera ia dapat menentukan, apakah yang harus dilakukan. Diambilnya beberapa macam ramuan obat-obatan dari sebuah bungkusan dan dengan ragu-ragu ia berkata kepada Kuda Sempana, “Angger, apakah ada seorang emban yang dapat membantu aku?”
“Ya. ya Nyai. Biarlah aku panggilkan emban itu,” sahut Kuda Sempana dengan gugup.
Ketika Kuda Sempana itu keluar dari ruangan, dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung sedang duduk merenung. Ditundukkannya kepalanya sedang kedua tangannya menyangga keningnya. “Tuanku,” berkata Kuda Sempana perlahan-lahan.
Akuwu Tumapel mengangkat wajahnya. Ditatapnya Kuda Sempana dengan pandangan yang aneh. “Apa,” bertanya akuwu itu lemah.
“Nyai Puroni memerlukan seorang emban untuk membantunya.”
“Oh,” Akuwu itu terkejut. Kemudian sambil menunjuk seorang emban ia berkata, “Masuklah!”
Dengan tergopoh-gopoh emban itu segera masuk ke dalam sentong kanan itu. Kuda Sempana pun segera mengikutinya pula. Namun demikian ia sampai di ambang pintu, maka segera Bibi Puroni berkata, “Tunggulah di luar Ngger.”
“Oh,” desah Kuda Sempana, “kenapa?”
“Aku sedang mengobatinya.”
“Ya. Aku tidak akan mengganggu. Aku hanya akan menungguinya.”
“Jangan, tidak baik. Gadis ini belum istrimu.”
“Kenapa tidak baik?”
Nyai Puroni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya berdesah “Aku sedang akan mengurut seluruh tubuhnya. Tunggulah di luar. Gadis ini tidak akan berkurang cantiknya.”
“Lakukanlah. Biarlah aku masuk.”
“Jangan,” sahut Bibi Puroni, “kalau Angger masuk, aku tidak akan mengobatinya.”
“Jangan mengada-ada, Nyai!” benak Kuda Sempana.
Tetapi Kuda Sempana tidak sampai meneruskan katanya. Tiba-tiba ia terkejut ketika didengarnya Akuwu Tumapel membentaknya lebih keras, “Kuda Sempana, apakah kau sudah gila? Jangan masuk!”
Kuda Sempana berpaling. Dipandanginya wajah Akuwu Tumapel, dan ia menjadi semakin terkejut karenanya. Wajah itu menjadi merah menyala, seakan-akan sedang memancarkan kemarahan yang meluap-luap. Kuda Sempana telah mendengar beribu kali Tunggul Ametung berteriak dan membentak. Namun kali ini Akuwu itu benar-benar sedang marah. Meskipun Kuda Sempana sama sekali tidak tahu, kenapa akuwu itu tiba-tiba menjadi marah. Dengan demikian, maka Kuda Sempana sama sekali tidak berani lagi membantahnya. Dengan kepala terkulai lemah, ia duduk dilamai di samping pintu bilik kanan itu.
Ia mengangkat wajahnya, ketika ia mendengar sebuah desah lirih. Desah Ken Dedes. Namun ia masih juga berdebar-debar ketika desah itu kembali diam. Kuda Sempana benar-benar seperti seorang ayah yang untuk pertama kali menunggu bayinya yang akan lahir. Wajahnya menjadi tegang dan pucat. Keringat dingin mengalir dengan derasnya di segenap tubuhnya. Akhirnya Kuda Sempana tidak sabar lagi. Segera ia beringsut untuk memasuki bilik itu. Namun kembali ia berhenti ketika didengarnya sekali lagi Akuwu Tunggul Ametung berteriak,
“Kuda Sempana, kalau kau memasuki ruangan itu, aku bunuh kau!”
Kuda Sempana benar-benar menjadi berdebar-debar mendengar ancaman itu. Bukan karena ia takut, namun ia merasakan sesuatu keanehan pada nada suara Akuwu Tunggul Ametung itu. Kuda Sempana sama sekali tidak dapat meraba, apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Tunggul Ametung. Apalagi ketika Tunggul Ametung itu kemudian berkata,
“Kuda Sempana, daripada kau menunggu dengan gelisah di muka bilik itu, tinggalkanlah ruangan ini. Kembalilah ke barakmu, dan tunggulah di sana sambil beristirahat.”
Kuda Sempana memandang wajah Akuwu Tumapel itu dengan hampir tak berkedip. Dicobanya untuk mengerti kata-kata itu, namun semakin direnungkannya, maka dadanya menjadi semakin ber-debar-debar.
Ketika Kuda Sempana belum beringsut dari tempatnya, maka sekali lagi Tunggul Ametung itu berkata, “Tinggalkan Kuda Sempana! Tinggalkan! Tinggalkan! Kau dengar?”
Wajah Kuda Sempana menjadi tegang. Dicobanya untuk menjawab kata-kata itu, katanya, “Akuwu. Kalau Akuwu tidak berkenan aku di sini, biarlah gadis aku bawa ke dalam barak hamba.”
Wajah Tunggul Ametung yang merah, menjadi semakin membara. Sekali ia meloncat berdiri dan sambil menunjuk pintu keluar ia berteriak, “Keluarlah lewat pintu ini, atau kau tidak akan dapat keluar sendiri untuk seterusnya!”
Terasa sesuatu bergelora dengan dahsyatnya di dalam dada Kuda Sempana. Ia sama sekali tidak dapat meraba, apakah yang tersimpan di dalam hati Akuwu Tunggul Ametung itu. Namun ia kini menyadari bahwa Akuwu Tunggul Ametung benar-benar sedang marah atau sedang menjadi bingung. Sehingga dengan demikian, maka tak ada lain yang dapat dilakukan kecuali menuruti perintah itu. Maka Kuda Sempana itu pun membungkukkan kepalanya sambil menyembah.
“Baik Tuanku,” katanya. Terdengar suaranya gemetar, “tetapi bagaimanakah dengan Ken Dedes?”
Kemarahan Tunggul Ametung itu pun menjadi semakin memuncak sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi bergetar. Dengan lantangnya ia berteriak, “Kuda Sempana. Kali ini kesempatan yang terakhir. Keluar dari pintu ini!”
Kini Kuda Sempana benar-benar tidak berani untuk bertanya lagi. Perlahan ia berjalan keluar dari ruangan itu dengan kepala tunduk. Di luar pintu ia masih berpaling. Tetapi ketika dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung memandangnya dengan wajah yang menyala, yang maka kembali ia menundukkan kepalanya dan berjalan meninggalkan ruangan itu. Betapa hati Kuda Sempana itu menjadi risau. Tiba-tiba ia menjadi sangat cemas. Ia cemas akan kehilangan Ken Dedes.
Sejak semula telah terkandung tekad di dalam batinya, bahwa ia harus mendapatkan gadis itu. Ketika gadis itu masih berada di Panawijen meskipun telah dipertunangkannya dengan Wiraprana, serta mendapat perlindungan dari Mahisa Agni yang tak dapat dikalahkannya, namun setiap kali masih juga tumbuh di dalam hatinya, harapan untuk dapat mengambil gadis itu. Tetapi kini, ketika Ken Dedes telah berada di Tumapel, maka ia menjadi sangat cemas, melampaui masa-masa yang lalu. Gigi Kuda Sempana itu gemeretak ketika ia sampai pada sebuah pikiran,
“Apakah Akuwu akan membatalkan niatku ini? Apakah Ken Dedes seterusnya akan tinggal di dalam istana? Tidak!” Kuda Sempana itu menggeram. Namun ia untuk seterusnya tidak berani lagi mencoba memikirkan apakah yang kira-kira akan terjadi.
Sepeninggal Kuda Sempana Tunggul Ametung menjadi seperti seorang yang kehilangan keseimbangan. Berbagai perasaan telah memburunya. Sekali-kali ia mendengar suara dari bilik kanan. Suara Nyai Puroni dan seorang emban yang membantunya. Sekali-kali ia melihat emban itu pergi keluar, mengambil air dan beberapa buah jeruk. Kemudian kembali mereka tenggelam di balik pintu bilik itu. Tunggul Ametung itu pun kemudian berjalan hilir mudik sedemikian gelisahnya di muka bilik itu.
Tetapi tiba-tiba ia menggeram, “He, apakah aku sudah gila? Apakah peduliku atas gadis itu. Biar saja dia mati atau tidak. Kenapa aku menjadi risau karenanya.”
Tunggul Ametung itu menghentakkan kakinya. Kemudian ia berjalan cepat-cepat meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam biliknya sendiri. Seorang juru panebah terkejut bukan kepalang, ketika tiba-tiba saja Akuwu Tunggul Ametung sudah meloncat masuk ke dalam bilik itu. Demikian terkejutnya sehingga ia terloncat berdiri. Tetapi Akuwu yang masuk ke dalam bilik itu pun terkejut pula.
“Gila!” teriak akuwu, “apa kerjamu di sini?”
“Ampun Tuanku. Hamba sedang membenihkan pembaringan Tuanku.”
“Kenapa baru sekarang?”
“Hamba sangka Tuanku tidak segera kembali berburu.”
“Apa? He!” akuwu tiba-tiba menangkap rambut juru panebah itu sambil membentak, “Jadi kalau aku tidak ada dibilik ini tidak pernah kau bersihkan?”
“Ampun Tuanku,” juru panebah itu tiba-tiba menangis, “ampun. Bukan maksud hamba berkata demikian. Maksud hamba, baru nanti senja akan hamba bersihkan, setelah sehari ini dua kali hamba bersihkan. Tadi pagi-pagi setelah Tuanku bangun dan siang tadi ketika hamba membersihkan segenap ruangan ini.”
“Pergi! Pergi!” bentak akuwu yang marah itu.
Demikian rambut juru panebah itu dilepaskan, maka segera ia terjatuh duduk di lantai sambil menyembah. Kemudian perlahan-lahan ia bergeser dan keluar dari ruangan itu. Tetapi begitu ia keluar dari pintu bilik, maka segera lenyaplah tangisnya. Bahkan dengan tersenyum-senyum ia mengumpat, “Bukan main. Baru saja aku menyisir rambutku.”
Tetapi juru panebah itu tidak berpaling. Ditinggalkannya ruang dalam kembali ke dalam biliknya jauh di belakang. Di sepanjang halaman itu ia masih bergumam, “Kalau marah kepadaku, maka alamat aku akan mendapat rezeki.”
Akuwu yang sedang kebingungan itu segera membaringkan dirinya di pembaringannya tanpa melepas pakaiannya. Ia menggeliat ketika terasa sesuatu mengganggu punggungnya. “Ah,” desahnya sambil bangkit kembali. Kerisnya pun ternyata masih terselip di antara ikat pinggangnya, sehingga sambil mengumpat-umpat maka terpaksa akuwu itu bangkit melepas kerisnya dan diletakkannya di samping bantalnya.
Sambil berbaring Tunggul Ametung mencoba menenangkan pikirannya. Ia adalah seorang akuwu yang keras hati. Namun kadang-kadang hatinya selunak malam. Sehingga demikian, maka akuwu itu seakan-akan tidak mempunyai suatu sikap yang tetap. Namun sebenarnya Akuwu adalah seorang yang sulit untuk dimengerti. Bahkan pelayan-pelayannya yang terdekat pun selama ini masih belum mampu untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang berkenan di hati akuwu itu. Bahkan suatu ketika Tunggul Ametung sendiri tidak dapat mengerti apa yang sedang dipikirkannya. Demikian gelapnya sehingga Akuwu itu menjadi sangat gelisah. Kehadiran gadis itu benar-benar telah merampas ketenangan hatinya.
“Apakah Kuda Sempana berkata sebenarnya?” desisnya, dan diteruskannya, “Melihat keadaan di rumah gadis itu, maka agaknya Kuda Sempana telah menipuku.”
Tunggul Ametung menggeram, “Aku harus mengetahui keadaan yang sebenarnya.”
Di bilik kanan Nyai Puroni berusaha sedapat-dapatnya untuk menolong Ken Dedes yang sedang pingsan. Kakinya yang dingin seolah-olah membeku telah digosok-gosoknya dengan reramuan penghangat. Jahe, minyak kelapa dan beberapa macam lagi. Dahinya, tengkuknya dan perutnya, menurut pengalaman yang sudah ber-tahun-tahun didapatnya. Lambat laun gadis itu pun menggeliat. Perlahan-lahan digerakkannya tangannya, kakinya dan akhirnya sekali lagi Ken Dedes membuka matanya.
“Eling, Angger,” bisik Nyai Puroni perlahan-lahan.
Ken Dedes terkejut mendengar suara itu. Cepat-cepat ia berpaling dan dipandangi orang tua yang bersimpuh di sampingnya itu dengan seksama. Namun alangkah kecewanya. Orang tua itu bukan embannya. Bukan pemomongnya yang seakan-akan sudah menjadi ibunya sendiri. Karena itu sekali lagi ia menjadi bingung. Diamat-amatinya ruangan itu. Ruangan yang belum, pernah, dilihatnya. Ruangan yang dihiasi dengan berbagai macam benda-benda yang berharga, dengan dinding papan yang berukir.
“Apakah aku sedang bermimpi?” desis Ken Dedes.
“Tidak Nini. Kau sama sekali tidak bermimpi,” sahut Nyai Puroni.
Sekali lagi Ken Dedes berpaling. Dipandanginya wajah dukun tua itu. Kemudian katanya, “Siapakah engkau Nyai?”
“Aku adalah seorang dukun, Nini. Dukun yang diminta oleh Akuwu mengobati Nini. yang sedang pingsan.”
“Akuwu?” ulang Ken Dedes.
“Ya. Nini datang bersama Akuwu dan Kuda Sempana bukankah demikian?”
“Oh,” Desah gadis itu. Dicobanya untuk mengingat-ingat apakah yang telah terjadi. Selapis demi selapis dikenangnya kembali apa yang sudah terjadi itu. Kuda Sempana, akuwu dan beberapa orang prajurit. Wiraprana dan para cantrik. Tiba-tiba Ken Dedes itu memekik kecil. Tangisnya meledak seperti bendungan pecah. Ditelungkupkannya tubuhnya sambil menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak tangannya.
Nyai Puroni tiba-tiba menjadi bingung. Kenapa gadis ini tiba-tiba menangis. Karena itu maka untuk sesaat Nyai Puroni itu terbungkam. Meskipun tangannya membelai rambut Ken Dedes dengan kasih seorang tua, tetapi ia tidak dapat menghiburnya dengan kata-kata. Ia tidak tahu persoalan apa yang telah terjadi.
Sesaat bilik itu menjadi sepi. Hanya isak Ken Dedes sajalah yang terdengar. Sekali-kali terdengar desah Ken Dedes menyebut nama ayahnya, Mahisa Agni dan Wiraprana. Namun tidak sedemikian jelas sehingga Nyai Puroni menjadi semakin bingung karenanya. Demikian bingungnya sehingga tiba saja ia bertanya, “Nini, kenapa kau menangis?”
Mendengar pertanyaan itu tangis Ken Dedes menjadi semakin keras dan bahkan hampir tak dapat ditahannya. Nyai Puroni yang meskipun tidak tahu sama sekali apa sebabnya gadis itu menangis, tiba-tiba air matanya telah meleleh pula tanpa setahunya.
“Diamlah Angger,” Nyai Puroni mencoba menghiburnya. “Damlah! Jangan menangis, Nini.”
Tetapi Ken Dedes menangis terus. Bahkan semakin lama semakin keras, sehingga Nyai Puroni menjadi semakin bingung ia tidak tahu apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia tidak dapat menghibur gadis itu tanpa mengetahui sebab-sebabnya ia menangis.
Akhirnya, dalam kebingungan Nyai Puroni itu berbisik kepada emban yang duduk di sampingnya, “Sampaikan kepada Akuwu apa yang kau lihat.”
Emban itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia pun bangkit dan berjalan keluar. Namun di ruang dalam itu tak dilihatnya Tunggul Ametung, sehingga sesaat ia tertegun. Namun kemudian dari seorang emban yang lain, diketahuinya bahwa Akuwu Tunggul Ametung berada di pembaringannya.
“Tolong. Sampaikan kepada Akuwu, bahwa gadis itu telah sadar. Tetapi ia menangis saja,” berkata emban itu.
Emban yang lain menggelengkan kepalanya, jawabnya. “Tidak. Aku tidak mau masuk ke dalam bilik selagi Akuwu ada di dalamnya.”
“Kenapa?”
Emban itu tidak menjawab.
“Cepat! Sampaikanlah kepada Akuwu!”
Emban itu tidak juga menjawab, tetapi ia menggeleng.
“Kenapa? Kenapa?”
Sekali lagi ia hanya menggeleng saja.
“Oh. Anak bengal,” gerutu emban itu. Dan dengan tergesa-gesa ia sendiri pergi ke bilik akuwu. Meskipun hatinya berdebar-debar. Apakah Akuwu tidak akan menjadi marah.
Emban yang lain, yang tidak mau menghadap akuwu di biliknya mencibirkan bibirnya. Sambil memandangi bayangan wajahnya yang buram pada permukaan air di jambangan bunga ia berkata, “Aku terlalu cantik. Aku tidak mau masuk ke dalam bilik Akuwu. Bukankah Akuwu belum beristri. Huh, Kalau Akuwu memintaku baik-baik kepada orang tuaku, entahlah. Mungkin aku akan memikirkannya.” Emban itu kemudian tersenyum-senyum sendiri.
Emban yang lain dengan gelisah mendekati pintu bilik akuwu. Meskipun pintu itu tidak tertutup, namun ia sama sekali tidak berani masuk ke dalamnya. Dengan demikian maka emban itu hanyalah mondar-mandir saja di depan pintu, kemudian dengan keringat yang membasahi tubuhnya, ia duduk bersimpuh di hadapan pintu bilik itu sambil menunggu, juru panebah lewat. Kepada juru panebah ia akan minta tolong untuk menyampaikannya kepada akuwu. Juru panebah sudah terlalu biasa masuk ke dalam bilik itu. Dipanggil atau tidak dipanggil oleh Tunggul Ametung.
Tetapi emban itu hampir tidak pernah masuk ke dalamnya apabila tidak ada sesuatu yang harus dilakukannya. Mengganti kain selintru atau alas pembaringan untuk dicuci. Pekerjaannya adalah membersihkan dan merawat sentong-sentong kiwa, tengen dan sentong tengah. Tetapi ternyata Akuwu mendengar langkah yang mondar-mandir itu, sehingga karena itu maka segera ia bangun dan berjalan.
Ketika Akuwu Tumapel itu melihat emban yang menunggui Ken Dedes, maka dengan tergesa-gesa Tunggul Ametung bertanya “Bagaimana? Bagaimana dengan gadis itu?”
Emban itu pun kemudian duduk bersimpuh sambil menyembah, katanya, “Ampun Tuanku. Gadis itu telah sadar. Tetapi sejak tadi selalu menangis saja. Nyai Puroni tidak berhasil menghiburnya.”
Wajah Akuwu itu pun tiba-tiba menjadi bertambah tegang. “Baiklah,” katanya, “baiklah, aku segera datang.”
Akuwu Tunggul Ametung segera masuk kembali ke dalam biliknya, membetulkan letak pakaiannya dan kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke bilik dalam sebelah kanan. Tetapi begitu ia sampai di pintu bilik, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah yang. dapat dilakukan terhadap gadis itu. Apakah dapat ia dapat menenteramkan hati Ken Dedes atau menghiburnya?
Akuwu itu pun terhenti. Direnunginya pintu bilik itu. Tetapi ia tidak jadi memasukinya. Diurungkannya niatnya untuk mencoba menemui Ken Dedes. Gadis itu pasti masih mendendamnya. Karena itu, maka akuwu itu dengan gelisahnya berjalan kembali ke dalam biliknya. Ketika ditemuinya emban yang memanggilnya tadi, maka katanya “Biarlah Bibi Puroni mencoba menenangkannya. Aku tidak perlu datang kepada gadis itu. Aku juga belum kenal dia, dan dia pun belum mengenal aku. Tidak ada gunanya.”
Emban itu memandangi Akuwu Tumapel dengan penuh keheranan. Bagaimana mungkin Akuwu Tunggul Ametung itu belum mengenal gadis itu. Kenapa dengan tiba-tiba gadis itu harus dibaringkannya di sentong tengen. Tunggul Ametung yang merasa emban itu memandanginya dengan tak berkedip, tiba-tiba membentak, “Kenapa kau memandangi aku sedemikian?”
“Oh. Ampun Tuanku,” emban itu menjadi gemetar. Cepat-cepat ia menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan terdengar desahnya, “Hamba tidak bermaksud apa-apa.”
“Tetapi kenapa kau pandangi saja wajahku? He? Apakah kau belum pernah melihat aku? Atau barangkali wajahku tiba-tiba saja menjadi bopeng?”
“Ampun. Ampun Tuanku.”
“Ayo, cepat pergi! Katakan kepada Bibi Puroni!”
“Hamba Tuanku.” Cepat-cepat emban itu pun pergi memasuki bilik sebelah kanan. Dijumpainya Ken Dedes masih menangis dan Nyai Puroni masih juga berusaha menghiburnya.
Ketika Nyai Puroni melihat emban itu datang, mala segera ia berbisik, “Bagaimana dengan Akuwu?”
“Akuwu tidak mau masuk ke dalam bilik ini. Ternyata Akuwu belum mengenal gadis ini.”
“Oh,” Nyai Puroni pun terkejut bukan main. Lalu bagaimana mungkin Ken Dedes dibaringkan di sentong tengen. Nyai Puroni itu pun menjadi semakin tidak mengerti apa yang terjadi. Kalau Akuwu belum mengenal gadis ini, dan gadis ini adalah benar-benar bakal istri Kuda Sempana, tidak lebih, maka apakah haknya maka ia dibaringkan di dalam bilik Ini?
Tetapi Nyai Puroni tidak mau mempersoalkannya lagi. Hatinya dicengkam oleh keibaannya atas gadis itu. Alangkah sedih tangisnya. Karena itu, maka dicobanya sejauh-jauhnya untuk menghiburnya. Namun Ken Dedes seakan-akan tidak juga mendengarnya. Ia masih saja menangis. Lewat air matanya dituangkannya kepedihan yang menghimpit hatinya. Pedih dan nyeri. Bahkan sekali-sekali terluncur disela-sela tangisnya, sah yang dalam.
Nyai Puroni adalah seorang tua yang sudah mengenyam pahit manis kehidupan. Pernah dijumpainya seribu macam peristiwa. Pernah dialaminya seribu macam kejadian. Pernah dihadapinya seribu macam persoalan. Karena itu, maka pengalaman yang tersimpan di dadanya, seakan-akan telah merupakan suatu kebulatan dari peristiwa-peristiwa di dunia ini. Peristiwa-peristiwa yang pernah dilihat, dialami dan dihadapinya. Karena itu, maka menghadapi Ken Dedes ini pun Nyai Puroni segera dapat meraba-raba, apakah agaknya yang telah mendorong gadis itu kemari dalam keadaan yang menyedihkan.
“Kuda Sempana,” desisnya di dalam hati, “pasti pokal Kuda Sempana.” Tetapi dukun tua itu sama sekali tidak mau mengatakan sesuatu. Ia masih saja menghibur sedapat-dapatnya. Dibelainya rambut Ken Dedes yang panjang terurai. Namun Ken Dedes masih saja menangis.
Akuwu yang kembali ke dalam biliknya pun menjadi semakin gelisah. Ketika dipandanginya udara di luar biliknya lewat daun pintu yang terbuka, maka ia terkejut. Di kejauhan dari balik tirai dilihatnya seseorang membawa pelita menyala di kedua tangannya. “He, apakah ini sudah malam?”
Barulah akuwu itu sadar, bahwa senja semakin kelam. Beberapa pelayan istana telah menyalakan lampu-lampu di segenap ruangan. Namun karena akuwu masih berada di dalam biliknya, maka para pelayan itu belum berani memasuki ruangan itu. Dinyalakannya saja lampu-lampu yang lain dan nanti apabila akuwu tidak juga keluar, barulah seseorang juru panebah harus menyalakan lampu di dalam bilik itu. Perlahan-lahan akuwu bangkit dari pembaringannya. Bilik pun telah mulai gelap pula. Agaknya karena kegelisahan yang mencengkeram kepalanya, sehingga tanpa disadarinya ia telah berbaring di keremangan senja. Karena itu cepat-cepat ia meninggalkan biliknya.
Ketika akuwu yang sedang kebingungan itu melihat seorang pelayan yang duduk menunggu perintahnya di tangga ruang dalam, maka segera ia berteriak, “He. Kau kemari!”
Pelayan itu pun mendekatinya sambil berjongkok. Kemudian duduk bersimpuh di hadapannya.
“Sediakan aku air panas!” perintah Tunggul Ametung, “Aku akan mandi. Sementara itu, perintahkan seorang pelayan dalam untuk memanggil Witantra dan Ken Arok. Sore ini.”
Pelayan itu menyembah, kemudian ia pun segera meninggalkan Akuwu yang gelisah itu. Kepada seorang emban, pelayan itu minta akuwu disediakan air hangat, sedang kepada pelayan yang lain dimintanya untuk menyampaikan perintah Akuwu Tunggul Ametung, memanggil Witantra dan Ken Arok. Ketika pelayan itu sampai di rumah Witantra, ternyata Witantra itu baru saja memasuki rumahnya bersama Ken Arok dan seorang perempuan tua, pemomong Ken Dedes. Dengan dada berdebar-debar Witantra bertanya kepada pelayan itu, “Apa perintah Akuwu?”
“Aku tidak tahu. Tetapi Kakang Witantra diperintah menghadap sore ini bersama-sama dengan Kakang Ken Arok. Kalau aku temui Kakang Ken Arok di sini, maka adalah kebetulan sekali.”
“Baru apa-kah Akuwu ketika kau berangkat?”
“Akuwu sedang duduk termenung, menunggu air hangat,”
“He?”
“Ya. Akuwu baru akan mandi.”
“Ah,” Witantra berdesah. Kemudian katanya, “Baik, Aku akan segera menghadap. Bersama Adi Ken Arok.”
Pelayan itu pun segera meninggalkan rumah Witantra. Sementara itu Witantra dan Ken Arok pun beristirahat untuk sesaat, duduk-duduk sambil minum air hangat.
“Mandilah di sini Adi,” minta Witantra, “kita harus segera menghadap. Pasti ada sesuatu yang penting.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Mungkin akuwu marah. Marah kepadanya dan marah kepada Witantra. Telah terucapkan, bahwa akuwu mengancam Witantra untuk menggantungnya besok di alun-alun. Ketika mereka berdua telah selesai berbenah, maka mereka pun segera minta diri kepada istri Witantra dan menyerahkan pemomong Ken Dedes itu.
“Biarlah Bibi tua ini untuk sementara tinggal bersama kita,” berkata Witantra.
Ternyata istrinya pun tidak berkeberatan.
“Jangan terlalu mengharap aku segera kembali,” desis Witantra.
Istrinya terkejut. Tampaklah keningnya berkerut. Katanya, “Apakah Kakang akan mendapat tugas baru?”
Witantra menggelengkan kepalanya lemah sekali. Ditatapnya wajah istrinya yang masih terlalu muda untuk ditinggalkan. Namun lebih baik kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang itu diberitahukannya sekarang. Ia tidak dapat menunda-nundanya sampai bencana itu datang, apabila akuwu benar-benar akan melakukan apa yang telah dikatakannya. Mungkin malam ini akuwu telah memerintahkan beberapa orang prajurit berjaga-jaga. Mungkin Kuda Sempana telah bersiap pula di sekitar istana.
“Nyai,” berkata Witantra kepada istrinya, “Akuwu sedang murka kepadaku. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan atasku dan Adi Ken Arek.”
“Murka?” tubuh istrinya tiba-tiba menjadi gemetar, “Kenapa?”
Witantra menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian gumamnya kepada diri sendiri, “Aku tidak dapat melakukan perintahnya.”
“Mengapa?”
“Aku tidak sampai hati, Nyai.”
“Apakah perintah yang harus kau lakukan?”
Witantra mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling, dan ditatapnya wajah perempuan tua yang duduk bersimpuh di sudut ruangan. “Bertanyalah kepada Bibi tua itu. Ia akan dapat mengatakan, apa yang sudah terjadi.”
Istrinya memandang perempuan tua, pemomong Ken Dedes itu dengan penuh pertanyaan yang memancar dari wajahnya. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, maka kembali Witantra berkata, “Sudahlah Nyai. Biarlah aku menghadap Akuwu. Hati-hatilah di rumah. Bukankah kau telah mempunyai banyak kawan di sini?”
“Kakang,” sahut istrinya, wajahnya menjadi gelisah dan tiba-tiba suaranya menjadi gemetar, “apakah kira-kira yang akan terjadi, Kakang?”
“Aku tidak tahu, Nyai.”
“Oh,” desahnya, “Apakah Kakang tidak segera akan kembali?”
Witantra menggeleng lemah, “Aku tidak tahu. Apakah aku akan kembali malam nanti, besok, lusa atau waktu-waktu yang tidak dapat aku katakan.”
“Lalu bagaimana dengan aku?”
Sekali lagi Witantra menarik nafas dalam-dalam. “Jangan risau Nyai. Mudah-mudahan aku segera kembali. Namun kemungkinan-kemungkinan yang lain harus kau ketahui pula, seperti aku sedang berangkat berperang. Istri seorang prajurit pasti tahu, apakah yang mungkin terjadi dengan suaminya. Karena itu jangan berduka.”
“Oh,” tiba-tiba istri Witantra itu menangis. Seorang perempuan tua, ibu Witantra segera datang menghiburnya, katanya, “Jangan menangis anakku. Aku dahulu juga menjadi istri seorang prajurit. Aku juga melihat setiap kemungkinan yang bakal terjadi dengan suamiku dahulu. Sekarang anakku pun seorang prajurit. Biarlah ia menyerahkan dirinya atas kekuasaan tangan Yang Maha Agung. Jangan kau tangisi, supaya perjalanannya tidak meragukannya.”
Istri Witantra itu menjadi agak tenang sedikit. Namun tiba-tiba muncullah seorang gadis dari ruang dalam. Gadis yang sedang menginjak masa remaja. Dengan wajah tengadah ia berkata, “Kakang Witantra, kenapa Kakang tidak dapat melakukan perintah Baginda?”
Witantra berpaling. Dilihatnya adik istrinya berada di rumahnya pula. Karena itu segera ia bertanya, “Kapan kau datang?”
“Siang ini.”
“Baik. Adalah kebetulan sekali kau datang. Kawanilah kakak perempuanmu di sini.”
“Ya Kakang. Tetapi aku ingin tahu, kenapa Kakang tidak dapat menuruti perintah Akuwu itu?”
“Tidak apa-apa. Jangan kau pikirkan itu lagi.”
“Tidak. Aku merasa aneh sekali. Bukankah Kakang seorang prajurit?”
“Benar. Benar Ken Umang. Aku adalah seorang prajurit.”
Ken Umang itu memandangi Witantra dengan tajamnya. Sambil mengangkat dagunya ia berkata, “Kenapa seorang prajurit terpaksa menghindari perintah, justru perintah Akuwu sendiri?”
“Jangan berpikir tentang hal itu Umang. Sudahlah, kawanilah kakakmu. Biarlah besok kau dibelikan selembar kain tenun yang berwarna merah jambu.”
“Aku tidak ingin selembar kain berwarna merah jambu."
“Nah, apalah yang kau ingini?” sahut Witantra.
“Tak ada. Aku hanya ingin tahu, kenapa Kakang menolak perintah Akuwu.”
“Jangan tanyakan itu lagi. Mintalah sebuah golek yang besar atau sehelai selendang sura yang berwarna hijau.”
“Kakang, aku sekarang bukan anak-anak lagi. Lihatlah, aku sudah dewasa.”
Witantra menggeleng. Kemudian jawabnya, “Belum Umang. Kesadaranmu, bahwa kau telah mulai dewasa menunjukkan bahwa kau belum dewasa. Kau masih pantas berkain sabukwala. Jangan risaukan aku.”
“Kakang,” tiba-tiba terdengar istri Witantra berkata, “pertanyaan Umang ada benarnya. Apakah sebabnya maka Kakang terpaksa menolak perintah Akuwu?”
“Bertanyalah kepada perempuan itu sepeninggalku,” sahut Witantra, “biarlah kini aku berjalan dengan tenang. Apapun yang akan aku hadapi.”
Nyai Witantra tidak bertanya lagi. Namun gadis yang menjelang dewasa itu tampak sama sekali tidak puas atas jawaban kakak iparnya. Tetapi ia pun sudah tidak bertanya lagi. Dipalingkannya wajahnya memandang perempuan tua yang duduk di sudut ruangan. Sekali lagi ia mengangkat dagunya, kemudian hilang masuk ke ruang dalam. Witantra berjalan meninggalkan halaman rumahnya. Seorang pelayannya telah membenahi dan menyediakan kuda-kuda mereka. Dan sesaat kemudian bunyi derap telapak kuda itu pun menghilang.
Nyai Witantra dan ibu mertuanya pun kemudian duduk bersama dengan pemomong Ken Dedes. Dengan tidak sabarnya segera mereka bertanya, “Bibi apakah yang telah dilakukan oleh Kakang Witantra sehingga ia terpaksa mendapat murka?”
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Angger Witantra berpijak pada rasa perikemanusiaan. Karena itulah maka ketika Angger Witantra menerima perintah, maka terpaksa Angger Witantra tidak dapat melakukannya.”
“Apakah perintah itu?”
Emban tua itu pun segera menceritakan apa yang telah dilihatnya di halaman rumah Empu Purwa. Bagaimana Akuwu Tumapel menjadi sangat marah kepada Witantra karena Witantra tidak mau ikut serta dalam perbuatan yang terkutuk itu.
“Jadi Akuwu telah menculik gadis itu?” terdengar ibu Witantra bertanya.
“Ya.”
“Oh, ampun,” desah ibu Witantra itu. Untunglah bahwa Witantra tidak mau ikut melakukannya.
Istri Witantra pun kemudian mengerutkan keningnya. Dipandanginya emban tua itu dengan seksama. Ketika ia mendengar cerita itu maka seluruh bulu-bulunya serasa telah tegak berdiri. “Ngeri,” desisnya
Tetapi kembali Ken Umang keluar dari ruang dalam. Ditatapnya ketiga perempuan yang duduk melingkar di sudut ruangan itu. Dengan menyesal ia berkata “Hah, ternyata Kakang Witantra terlalu perasa. Apakah salahnya kalau ia mematuhi perintah itu?”
Semuanya, ketiga perempuan itu terkejut. Serentak mereka berpaling, dan dilihatnya Ken Umang berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
“Umang,” berkata Nyai Witantra “Jangan berkata begitu!”
“Kenapa? Bukankah dengan demikian Kakang Witantra tidak akan mendapat kesulitan?”
“Tetapi itu melanggar perikemanusiaan, Umang.”
“Itu adalah tanggung jawab Akuwu. Bukankah Kakang Witantra hanya sekedar melakukan perintah?”
“Ia bahkan harus mencegahnya?” desah ibu Witantra.
“Jadi melawan Akuwu?” bertanya Ken Umang.
Ibu Witantra itu pun terdiam. Nyai Witantra dan pemomong Ken Dedes pun tidak berkata sesuatu. yang terdengar kembali adalah suara Ken Umang itu, “Sekarang Kakang berada dalam kesulitan-kesulitan. Apakah dengan demikian Akuwu menggagalkan niatnya? Bukankah gadis itu dibawa juga ke Tumapel? Nah, kalau Kakang Witantra ikut serta dan mematuhi perintah Akuwu, maka ia tidak akan bersalah. Sebab dengan atau tidak dengan Kakang Witantra, perbuatan itu telah terjadi.”
“Ken Umang,” jawab ibu Witantra “kau benar-benar kurang dapat memahami persoalan ini. Kau seorang gadis pula Umang, yang sebentar lagi, tidak sampai tiga tahun kau telah benar-benar menjadi dewasa. Apakah yang akan kau katakan, seandainya peristiwa itu menimpa dirimu?”
“Oh, aku akan berterima kasih. Kalau aku menjadi gadis desa itu, dan diambil oleh seorang pegawai istana, maka aku akan berterimakasih. Aku Akan bangga karenanya. Apa lagi kalau diambil langsung oleh Akuwu sendiri meskipun menjadi seorang selir. Alangkah senangnya. Dan aku menjadi iri hati karenanya.”
“Umang,” potong kakak perempuannya, “apakah kau sedang mengigau?”
“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Dan aku ingin menjadi istri Akuwu.”
“Juga kalau kau sudah memiliki pilihan hatimu sendiri.”
“Oh. Jadi gadis itu sudah mempunyai bakal suaminya? Seorang anak Buyut Panawijen, menurut cerita yang aku dengar tadi dari balik dinding. Buat apa harus memberatkan anak pedesaan itu? Bukankah lebih berbahagia hidup di kota setidak-tidaknya daripada menjadi seorang pedesaan yang harus turun ke sawah setiap hari?”
Ibu Witantra mengerutkan keningnya, sedang pemomong Ken Dedes menarik nafas panjang-panjang. Nyai Witantra sendiri menundukkah wajahnya. Kata-kata itu benar-benar merupakan sindiran yang tajam bagi dirinya. Pada masa gadisnya ia pun memiliki idaman seperti adiknya itu. Ia ingin menjadi seorang istri dari orang-orang yang memiliki kebanggaan di hari-hari depannya. Seorang perwira atau. seorang yang kaya raya atau seorang perwira yang kaya raya.
Namun ketika ia telah merasakan kemesraan rumah tangga, maka terasa beberapa perubahan di dalam jiwanya. Terasa betapa ia mencintai suaminya lebih dari segala-galanya. Meskipun seandainya Witantra itu kehilangan semua yang dahulu dikaguminya, dan bahkan yang mendorongnya untuk menerima lamaran Witantra, maka Witantra baginya adalah seorang suami yang baik. Seorang suami yang dicintai dengan sepenuh hati. Karena itu, maka kini ia pun ikut bersedih bersama suaminya. Namun ia tidak menyesal bahwa suaminya telah menolak perintah itu.
Bagaimanakah seandainya dirinya sendiri, tiba-tiba kini harus dipisahkan dengan paksa dari suaminya? Mungkin dahulu ia berpikir seperti adiknya itu, Ken Umang. Tetapi sekarang tidak. Mungkin Ken Dedes telah memiliki perasaan cintanya yang jernih sejak mereka belum berumah tangga seperti cintanya yang sekarang telah tumbuh di dalam dadanya kepada suaminya. Cintanya kepada laki-laki itu. Bukan karena Witantra seorang perwira. Namun keserasian, saling mengerti dan isi mengisi dalam hidup mereka sehari-hari telah mengikatnya dalam hidup mereka sehari-hari telah mengikatnya dalam suatu kesetiaan yang belum pernah dimilikinya di masa-masa gadisnya.
Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat suaminya itu berada di dalam kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan yang mungkin membahayakan ketenteraman rumah tangganya itu. Ia, Nyai Witantra itu kini sama sekali bukan seorang istri yang melihat bulan yang selalu bersinar terang. Ternyata ia sama sekali bukan seorang pengecut yang lari di kala kesulitan-kesulitan datang. Sifatnya yang berkembang itu bahkan telah mendorongnya untuk ikut serta menanggung apa saja yang akan terjadi atas suaminya.
Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Ibu, biarlah aku pergi juga ke istana.”
“He,” ibu Witantra terkejut, “apa yang akan kau lakukan?”
“Aku mempunyai kepentingan dengan Kakang Witantra. Aku ingin melihat apa yang terjadi.”
“Jangan. Kau tidak mendapat perintah untuk menghadap. Mungkin kedatanganmu akan menambah murka Akuwu.”
“Apapun yang akan terjadi. Aku ingin melihat penyelesaian atas Kakang Witantra.”
Ken Umang tiba-tiba memandang wajah kakak perempuannya dengan pandangan penuh penyesalan. Katanya, “Buat apa sebenarnya kau pergi ke sana?”
“Ken Umang. Aku sekarang berpendapat lain daripada masa-masa kanak-kanakku. Aku tidak dapat menerima pikiranmu. Mungkin kau akan mengatakan kepadaku, bahwa biar saja apa yang terjadi dengan Kakang Witantra. Mungkin kau akan mengatakan bahwa aku masih muda. Masih mungkin untuk mendapatkan suami yang lebih baik dari Kakang Witantra. Begitu? Sekarang biarlah Kakang Witantra menerima hukuman atas kesalahannya? Umang, mungkin aku dahulu akan berkata begitu. Tetapi sekarang tidak Umang. Karena itu aku akan pergi.”
“Jangan Nyai,” cegah ibu Witantra, “para penjaga tidak akan mengizinkan kau masuk ke regol dalam halaman istana.”
“Aku istri Kakang Witantra. Para penjaga mengenal siapa aku. Dan karenanya mereka akan mengizinkan aku masuk. Sudah beberapa kali aku masuk ke istana. Akuwu sering benar minta aku masak untuknya.”
“Ya. Tetapi sekarang suamimu sedang dalam persoalan.”
“Justru karena itu ibu. Biarlah aku pergi.”
Ken Umang menjadi semakin heran. Ia tidak dapat mengerti apa yang akan dilakukan oleh kakak perempuannya. Meskipun tuduhan kakaknya atas pikirannya itu terlampau jauh, namun ia tidak membantahnya, sebab sebagian adalah benar. Namun kemudian ia berkata, “Urusan itu sebenarnya bukan urusanmu. Tunggulah di rumah. Aku tidak menganjurkan kau berkhianat atas suamimu. Namun jangan mengorbankan dirimu tanpa arti.”
“Umang,” wajah Nyai Witantra menjadi merah. Ia menjadi sedemikian marahnya kepada adiknya itu. Tetapi ibu Witantra segera berkata tenang kepadanya, “Biarkan adikmu itu. Ia adalah seorang gadis yang sedang berkembang. Angan-angannya akan jauh terbang melampaui setiap kenyataan yang dihadapinya. Itulah sebabnya maka kadang gadis yang seumur itu kehilangan keseimbangan.”
“Ah,” desah Ken Umang. Namun ia tidak berani berbantah dengan ibu iparnya. Namun hatinya berteriak lantang, “Ah, orang tua-tua selalu menganggap anak-anak muda sebagai seorang yang sedang menempuh masa pancaroba. Mereka menganggap bahwa kami anak-anak muda selalu tidak waras. Tetapi mereka sendiri telah menenggelamkan dirinya dalam wawasan yang usang.”
Namun ternyata bahwa istri Witantra itu keras hati untuk pergi ke istana . Ia menjadi gelisah benar apabila dikenangnya kata-kata suaminya dan cerita perempuan tua yang dibawa suaminya dari Panawijen. Karena itu maka akhirnya ia tidak dapat ditahan-tahan lagi.
“Kalau kau bersikeras untuk pergi Ngger. Hati-hatilah.”
“Ya, Ibu. Aku akan berusaha untuk menjaga diriku dan mengetahui apa yang akan terjadi dengan Kakang Witantra.
“Nyai,” tiba-tiba perempuan tua yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan setiap pembicaraan itu berkata, “apakah aku diizinkan untuk turut serta masuk ke dalam istana?”
Nyai Witantra dan ibunya terkejut mendengar permintaan itu. Sehingga karena itu mereka bertanya, “Untuk apa Bibi ikut masuk ke dalam istana.”
“Ken Dedes adalah momonganku. Mudah-mudahan aku dapat bertemu dengan gadis itu.”
“Apakah gadis itu dibawa ke istana?”
Pemomong Ken Dedes menjadi bingung. Ia tidak tahu ke mana Ken Dedes dibawa. Tetapi Nyai Witantra itulah yang menjawab, “Ya. Mungkin di istana kau akan mendengar, ke mana gadis itu dibawa. Karena itu, marilah, biarlah Bibi ikut dengan aku.”
Kedua Perempuan itu pun kemudian turun ke halaman dan dalam keremangan ujung malam, mereka berjalan ke istana Akuwu Tumapel.
Dalam pada itu, maka Witantra dan Ken Arok pun telah sampai pula di istana. Di halaman luar mereka menambatkan kuda-kuda mereka. Dengan berjalan kaki memasuki halaman dalam istana Tunggul Ametung. Dada Witantra dan Ken Arok pun menjadi berdebar-debar. Di regol mereka melihat beberapa orang prajurit berjaga-jaga. Ketika mereka melihat Witantra lewat di hadapan mereka, segera mereka membungkukkan badan mereka memberikan hormat.
Dengan langkah yang ragu Witantra kemudian naik ke ruang belakang. Mereka menunggu sesaat sehingga dilihatnya seorang emban lewat di samping mereka. Perlahan-lahan dipanggilnya emban itu dan dengan perlahan-lahan pula Witantra bertanya, “Apakah Akuwu sudah siap menerima kedatanganku dan Adi Ken Arok.”
Emban itu memandangi Witantra dengan herannya. Kemudian katanya, “Apakah Akuwu akan mengadakan pertemuan malam ini?”
Witantra mengerutkan keningnya, katanya, “Di mana Akuwu sekarang?”
“Di dalam biliknya,” sahut emban itu.
“Jangan asal menjawab saja, Akuwu memanggil aku dan Adi Ken Arok.”
Emban itu menggeleng, “Aku tidak tahu.”
“Siapakah pelayan dalam yang sedang bertugas hari ini?” bertanya Ken Arok.
Emban itu menggeleng, “Aku belum tahu namanya.”
“Tolong. Panggilkan sebentar kemari.”
Emban itu memandang Witantra dengan penuh keheranan. Ia tidak mendapat perintah untuk membersihkan ruang pertemuan kecil di dalam istana di saat-saat khusus. Dan ternyata Akuwu pun tidak berada di ruang palenggahan. Tetapi sejak mandi, Akuwu langsung masuk kembali ke dalam biliknya. Sehingga para pelayan yang menunggu perintahnya menjadi bingung. Sebab bukanlah kebiasaan Akuwu berbuat demikian. Sesaat kemudian datanglah seorang pelayan dalam mendekati Witantra. Dengan hormatnya ia membungkukkan ke palanya sambil bertanya, “Adakah sesuatu yang dapat aku kerjakan, Kakang Witantra.”
“Kami berdua dipanggil Akuwu.”
“Oh,” sahut orang itu, “marilah silakan masuk. Tetapi Akuwu tampaknya tidak sedang menunggu seseorang. Bahkan Akuwu agaknya menjadi sangat lelah sehabis berburu sehari ini.”
“Terima kasih,” Witantra tidak menunggu lebih lama. Langsung ia masuk ke ruang dalam istana dan duduk di ruang dalam, yang biasa dipakai oleh Akuwu untuk mengadakan pertemuan-pertemuan khusus.
Tetapi Witantra benar-benar menjadi heran. Ruangan itu masih terlalu gelap dan tidak sehelai tikar pun yang telah terbentang. Bahkan batu hitam, yang biasa dipakai duduk Akuwu pun masih dikerukup dengan sebuah kain putih.
“Aku tidak tahu, apakah yang terjadi dengan Akuwu,” desis Witantra.
“Akuwu telah berbuat di luar sadarnya,” sahut Ken Arok, “hari ini Akuwu benar-benar seperti orang yang sedang kebingungan.”
Witantra mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ternyata bukan Akuwu saja. Kita semua telah menjadi bingung pula karenanya.”
“Itu adalah akibat perbuatan Akuwu Tunggul Ametung. Kalau kita bersama-sama ini merupakan tubuh dari seekor ular, maka Akuwu adalah kepala ular itu. Apabila kepalanya menjadi bingung, maka seluruh tubuhnya akan kebingungan pula."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” sahutnya pendek.
Mereka pun kemudian terdiam. Namun di dalam kepala mereka seakan-akan terdapat sebuah baling-baling yang berputar. Bingung. Mereka tidak tahu apakah yang sebenarnya terjadi dan akan terjadi. Mereka semula menyangka, bahwa mereka akan datang ke istana dan akan ditemuinya para prajurit telah bersiap di setiap sudut halaman dan ruangan. Mereka menyangka bahwa Akuwu telah siap pula menunggu mereka dengan murkanya dan langsung memerintahkan menangkap mereka. Tetapi yang mereka jumpai adalah ruangan yang kosong, gelap dan benar-benar membingungkannya. Para pengawal pun tidak lebih dari para pengawal yang biasa bertugas di tempat masing-masing.
Ketika mereka menunggu beberapa lama, Akuwu masih belum juga keluar ke ruangan itu, dan bahkan pelita yang menyala itu pun tidak ditambah, maka Witantra akhirnya tidak sabar lagi. Kemudian ia berdiri dan memanggil seorang juru panebah. Katanya, “Sampaikanlah kepada Akuwu, bahwa Witantra dan Ken Arok telah siap menghadap di balai dalam.”
Juru panebah itu menjadi bingung. Jawabnya, “Akuwu sedang tidur. Apakah tuan berdua tidak saja menghadap besok pagi?”
“Jangan ribut! Sampaikan kepada Akuwu. Akuwu memanggil kami berdua.”
Panebah itu mengangguk hormat, kemudian tanpa berkata sepatah kata pun ia berjalan ke bilik Akuwu. Tetapi sampai di muka pintu ia sama sekali tidak berani masuk ke dalamnya. Hilir mudik ia berjalan. Mudah-mudahan Akuwu mendengarnya dan memanggilnya. Dan ternyata harapannya itu benar-benar terjadi. Dengan suara serak terdengar Akuwu bertanya, “He, siapa itu?”
“Hamba Tuanku,” sahut juru panebah itu.
Perlahan-lahan ia menghampiri pintu dan kemudian duduk bersila di luar tirai. “Ada apa?” bertanya Tunggul Ametung.
“Ada yang ingin menghadap Tuanku.”
“He? Gila. Suruh dia pergi. Cepat! Aku tidak mau menerima seorang pun. Apa disangkanya besok sudah akan kiamat?” teriak Tunggul Ametung itu.
Juru panebah itu menjadi ragu-ragu. Namun dengan tergagap ia berkata, “Ampun Tuanku. Menurut mereka, ternyata mereka telah Tuanku panggil menghadap.”
“He?” suara Akuwu itu pun menjadi lunak, “Siapa mereka?”
“Tuan Witantra dan Ken Arok.”
“Oh. Ya. Ya. Hampir aku lupa. Aku memang telah memanggil mereka itu,” sahut Tunggul Ametung.
Juru panebah itu menarik nafas lega. Ia surut ke belakang ketika didengarnya Akuwu bangkit dari pembaringannya dan berjalan keluar.
“Di manakah mereka sekarang?” bertanya Akuwu itu.
Juru panebah itu menyembah. Jawabnya “Di balai paseban dalam, Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keningnya kemudian berkerut, “Apakah tempat itu sudah kau sediakan?”
“Belum Tuanku. Hamba belum menerima perintah Tuanku.”
Akuwu itu pun berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Panggil mereka kemari! Aku akan menerima mereka di ruang dalam.”
Panebah itu menjadi heran. Adalah bukan kebiasaan akuwu menerima seseorang di ruang itu. Tetapi ia tidak berani bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berkisar, dan setelah menyembah, maka segera ia pergi ke balai dalam untuk memanggil Witantra dan Ken Arok ke ruangan di muka bilik Akuwu itu.
Witantra dan Ken Arok pun menjadi heran. Kembali mereka menjadi curiga. Apakah di ruangan itu telah bersedia beberapa orang prajurit yang akan menangkap mereka? Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain daripada datang menghadap Akuwu. Kembali mereka terkejut, ketika ruangan itu benar-benar kosong. Tak seorang pun yang dilihatnya berada di tempat itu. Karena itu maka segera mereka pun pergi ke sudut ruangan dan duduk di atas sehelai tikar yang telah direntangkan. Sesaat kemudian mereka mendengar suara akuwu terbatuk-batuk. Dan kemudian mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung keluar dari dalam biliknya. Witantra dan Ken Arok segera menundukkan wajah mereka dengan hormat menyembah akuwunya.
“Apakah kalian telah lama menunggu?” bertanya akuwu itu.
“Belum Tuanku,” sahut Witantra.
Akuwu Tunggul Ametung berjalan perlahan-lahan mendekati mereka, dan di luar dugaan Witantra dan Ken Arok, maka Akuwu itu duduk di tikar yang sehelai itu pula. Witantra dan Ken Arok menjadi bingung. Mereka segera beringsut ke belakang sehingga mereka tidak lagi duduk di atas tikar itu.
“Jangan menjadi segan. Duduklah sebaik-baiknya.”
“Tetapi…”
“Tidak apa-apa,” potong Tunggul Ametung.
Witantra dan Ken Arok benar-benar menjadi heran melihat sikap akuwu itu. Demikian juga juru penebah yang duduk di kejauhan, di tangga ruangan itu untuk menunggu perintah akuwu. Tetapi juru panebah itu tiba-tiba terkejut ketika akuwu itu berteriak “Pergi! Pergi! Kau mau apa duduk di situ?”
Juru panebah itu menjadi semakin heran. Meskipun demikian ia pergi juga. Ia tidak tahu, kenapa ia harus pergi, sebab setiap hari ia sendiri atau kawannya yang sedang bertugas, selalu duduk di tangga itu untuk menanti perintah akuwu setiap saat. Namun ia tidak mau memikirkan lagi. Dengan lesu ia melangkah ke sudut istana.
Dua orang pelayan dalam yang bertugas di tempat itu segera bertanya, “He, kenapa kau datang kemari?”
Juru panebah itu kemudian duduk pula di antara mereka sambil bersungut-sungut, “Akuwu sedang menjadi bingung Aku diusirnya dari tempat itu.”
“Dari mana?”
“Dari tangga ruang dalam.”
Kedua pelayan dalam itu tertawa, “Apakah kau tidak dapat mencari tangga yang lain, dan duduk di sana?”
Juru panebah itu memandang kedua pelayan dalam itu dengan wajah yang gelap. Jawabnya, “Kau sangka hidupku hanya berurusan dengan tangga-tangga saja?”
Kembali kedua pelayan dalam itu tertawa. Tetapi mereka tidak mau mengganggu juru panebah itu lagi.
Di ruangan dalam, di hadapan bilik Akuwu Tunggul Ametung, Witantra dan Ken Arok duduk bersila sambil menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Akuwu Tunggul Ametung sendiri duduk beberapa jengkal saja di hadapan mereka. “Witantra,” berkata Tunggul Ametung itu kemudian, “kenapa kau tadi siang tidak mau melakukan perintahku?”
Witantra menjadi berdebar-debar. Ia sudah menyangka bahwa ia akan menerima pertanyaan itu. Namun ia tidak menyangka bahwa nada pertanyaan itu sedemikian lunaknya. Disangkanya Akuwu Tunggul Ametung akan membentaknya dan menuding hidungnya sambil memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menangkapnya. Kini ia harus menjawab pertanyaan itu. Dan ia tidak dapat berkata melingkar-lingkar. Ia harus mengemukakan alasan sebenarnya. Kenapa ia tidak dapat turut saja melakukan penculikan itu. Maka katanya kemudian,
“Tuanku. Hamba tidak sampai hati untuk ikut serta berbuat sedemikian terhadap seorang gadis.”
“Kenapa?”
“Tuanku. Bukankah dengan demikian berarti bahwa kita sudah tidak lagi menghargai sesama? Dan bukankah dengan demikian kita sudah merusakkan kemanusiaan?”
“Tetapi, bukankah menjadi kewajibanmu untuk melakukan setiap perintahku?”
“Hamba Tuanku. Hamba dihadapkan pada kewajiban yang bertentangan dengan perasaan hamba. Dan bukankah hamba juga mempunyai kewajiban yang lain? Kewajiban untuk menegakkan kemanusiaan dan melindungi sesama? Tuanku. Hari ini hamba benar-benar merasa bahwa hidup hama benar-benar tak berarti.”
“Kenapa?”
“Hamba sama sekali tidak dapat melakukan kewajiban hamba keduanya. Tidak dapat melakukan kewajiban hamba sebagai seorang prajurit, karena hamba tidak melakukan perintah Akuwu, namun hamba juga tidak dapat melakukan kewajiban kemanusiaan itu.”
Akuwu tidak segera menyahut. Direnungkannya kata-kata Witantra itu dan dicernakannya di dalam hatinya. Ruangan itu sesaat menjadi sepi. Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalannya, sedang Witantra dan Ken Arok menundukkan wajahnya, menatap anyaman tikar pandan yang bersilang-silang. Tunggul Ametung mencoba sekali lagi membayangkan apa saja yang sudah terjadi hari itu atasnya. Pagi-pagi Kuda Sempana datang menghadap kepadanya. Memberitahukan bahwa ia tidak sependapat apabila mereka pergi berburu ke barat. Sebab ia tidak berani melewati padukuhan Panawijen setelah hatinya dilukai oleh Empu Purwa, ayah Ken Dedes. Kuda Sempana ditolak karena ia seorang pelayan dalam. Bukan karena ia seorang pelayan dalam, tetapi karena pelayan dalam seorang akuwu saja.
“Hem,” Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Ia telah dengan tergesa-gesa menelan saja kata-kata Kuda Sempana itu. Tetapi apakah yang dilihatnya di Panawijen sama sekali bukannya seperti yang dikatakan oleh Kuda Sempana. Bukan seperti yang dikatakan bahwa ia sama sekali tidak ingin lagi memiliki gadis itu. Bukankah Ken Dedes hanya seorang gadis desa saja? Tetapi yang dilihat oleh Akuwu adalah, gadis itu sama sekali tidak senang melihat kehadiran Kuda Sempana. Dan bahwa seorang anak muda telah mempertahankan dengan sekuat tenaganya meskipun di hadapannya berdiri beberapa orang prajurit yang melingkari mereka. Bukan itu saja. Di sepanjang jalan pulang pun mereka bertemu dengan seorang anak muda pula, yang menurut Kuda Sempana adalah kakak gadis itu.
Gambaran-gambaran itu hilir mudik kembali di dalam kepala. Dicobanya untuk mencari kesimpulan, apakah Kuda Sempana berkata sebenarnya, atau telah menjebaknya dalam tindak kekerasan yang memalukan. Akuwu itu pun kemudian menarik nafasnya dan berkata “Ken Arok, bagaimana pendapatmu tentang peristiwa yang terjadi itu?”
“Hamba menyesal Tuanku.”
“Apakah yang kau sesalkan?”
“Bahwa peristiwa itu telah terjadi.”
Akuwu mengernyitkan alisnya. Kemudian kepada Witantra dan Ken Arok itu diceritakan olehnya, apa yang didengarnya dari Kuda Sempana dan apa yang telah mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu. Witantra menggigit bibirnya untuk menahan gejolak hatinya sedang Ken Arok tergeser surut. Diangkatnya wajahnya dan ditatapnya wajah Akuwu sesaat. Namun kembali Ken Arok menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya dan dengan tiba-tiba saja ia merasa menjadi semakin kecewa terhadap Tunggul Ametung. Akuwu itu benar-benar seorang yang aneh. Sekarang semuanya telah terjadi. Setiap orang di Panawijen dan seterusnya setiap orang di Tumapel akan menyebut namanya sebagai seorang yang telah merusakkan hidup sepasang anak muda dan melukai hati segenap penduduk Panawijen.
Tetapi Tunggul Ametung itu pun ternyata menyesal pula di dalam hatinya. Disesalinya pula wataknya yang agak terlalu tergesa-gesa menentukan suatu sikap. Ia dapat berbuat demikian di dalam istananya tanpa akibat yang dapat mencelakakan orang lain. Ia dapat berbuat demikian untuk hal-hal yang kecil. Tetapi untuk hal yang penting seperti peristiwa ini adalah benar-benar menyesatkan. Dengan suara parau maka Akuwu itu berkata, “Witantra dan Ken Arok. Bagaimanakah pendapatmu tentang gadis itu?”
Mereka menggelengkan kepala mereka. Dan Witantra menjawab, “Apakah yang akan Tuanku perbuat?”
Akuwu memandang Witantra dengan tajamnya. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab. Sekali-kali dipandanginya tubuh Witantra yang tegap kuat. Seorang prajurit yang mengagumkan. Seorang prajurit yang baik, yang tidak pernah mengabaikan tugasnya. Namun ia terpaksa menolak perintahnya, karena ia tidak dapat dipaksa untuk mengkhianati kemanusiaan. Tetapi sebagaimana dikatakannya sendiri ia telah gagal melakukan kewajibannya. Kewajibannya sebagai seorang prajurit dan kewajiban kemanusiaan.
Sedang di sampingnya duduk seorang pelayan dalam yang belum lama berada di dalam istana. Namun orang itu benar telah mengejutkan akuwu. Ketika dilihatnya ia bertempur melawan Mahisa Agni, maka tampaklah betapa ia mampu berbuat sebagai seorang prajurit yang baik. Melampaui Kuda Sempana. Bahkan tangannya telah membunuh seorang prajurit dengan sebuah pukulan. Meskipun mula-mula Ken Arek tidak melawan perintahnya, bahkan mencoba melakukannya namun ternyata bahwa desakan hatinya telah membuatnya berbuat sebaliknya. Bahkan telah dibunuhnya seorang prajurit di hadapannya. Di hadapan seorang akuwu.
Tetapi Mahisa Agni itu pun telah menarik perhatiannya. Ia adalah seorang anak pedesaan. Namun memilik caranya berkelahi, maka ia bukanlah anak pedesaan kebanyakan. Dalam berbagai perasaan dan angan-angan itu, maka terluncurlah kata-kata Akuwu, “Witantra, apakah kau melihat seseorang yang telah dilukai Kuda Sempana?”
“Ya,” jawab Witantra pendek.
“Siapakah dia?”
“Anak muda itulah bakal suami Ken Dedes.”
Akuwu Tumapel menganggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Besok panggillah dia kemari!”
Witantra dan Ken Arok mengangkat wajahnya bersama-sama. Mereka saling berpandangan dan di dalam hati mereka terdengarlah sebuah pertanyaan, “Apakah Akuwu belum tahu bahwa anak muda itu telah mati?”
Akuwu memandang kedua orang itu dengan heran. Karena itu maka katanya, “Kenapa?”
“Tuanku,” jawab Witantra dengan nada yang rendah, “anak muda bakal suami Ken Dedes yang bernama Wiraprana, putra Buyut Panawijen itu telah meninggal dunia.”
“He?” akuwu ternyata terkejut mendengar berita itu, “Jadi anak itu mati?”
Witantra menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya, Tuanku. Anak itu mati.”
“Jadi Kuda Sempana telah membunuhnya?”
“Ya.”
“Setan Kuda Sempana itu!” desis Akuwu Tunggul Ametung.
“Tetapi ia sendiri pasti tidak akan berani berbuat begitu Tuanku.”
“Oh,” Tunggul Ametung menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Ya. Aku tahu maksudmu. Bukankah kau ingin mengatakan bahwa kesalahan itu terletak padaku. Bukankah aku telah melindunginya untuk melakukan kejahatan itu.”
Witantra dan Ken Arok tidak menyahut. Sesaat mereka berdiam diri, dan dibiarkan Akuwu Tunggul Ametung tenggelam dalam penyesalan. Kemudian terdengar Akuwu itu berkata, “Witantra dan Ken Arok. Aku maafkan segala kesalahanmu. Aku lupakan katakku dan ancamanku. Meskipun telah terucapkan oleh seorang akuwu untuk menghukum kau Witantra, namun ucapan itu meluncur dalam ketidakwajaran ingatanku.”
Witantra dan Ken Arok menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menjawab “Terima kasih Tuanku.”
Namun di dalam hati mereka tebersitlah suatu pertanyaan “Bagaimanakah kalau hukuman itu telah terlanjur jatuh atas Witantra?”
“Dan sekarang Witantra, apakah yang harus aku lakukan atas Kuda Sempana?”
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Tuanku, semua ini adalah akibat dari kelicikannya, sehingga Akuwu Tunggul Ametung terseret dalam perbuatan tercela. Karena itu, maka hukuman yang diberikan kepadanya adalah hukuman yang harus sesuai dengan perbuatannya. Karena perbuatannya pula maka sebuah jiwa yang melayang, dan sebuah hati telah pecah berkeping-keping. Apakah yang dapat ditemukan kembali dalam hidup seorang gadis seperti Ken Dedes itu?”
“Ya. ya,” jawab Tunggul Ametung terbata-bata, “Aku sependapat. Tetapi Witantra. Aku adalah seorang Akuwu. Sudah tentu aku tidak dapat menjilat ludah kembali tanpa alasan. Aku telah menyetujui, bahkan mengantar Kuda Sempana sendiri mengambil gadis itu ke Panawijen. Sekarang, apakah aku dapat menghukum Kuda Sempana karena perbuatannya itu. Bukankah dengan demikian hukuman itu pun pantas jatuh atasku pula?”
Witantra dan Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-kata akuwu itu dapat dimengertinya. Apakah dengan demikian, maka orang akan semakin menjadi kecewa atas perbuatan-perbuatan akuwu yang seakan-akan sama sekali tidak bertanggung jawab. Namun sudah tentu bahwa mereka tidak akan membiarkan Kuda Sempana mengambil Ken Dedes. Sebab dengan demikian mereka akan membiarkan sebuah kebiadaban berlangsung. Bukankah dengan demikian maka Ken Dedes akan menjadi bertambah parah. Dan bukankah Ken Dedes akan kehilangan segala-galanya. Bahkan tubuhnya sendiri seakan-akan tak dimilikinya, karena tubuhnya itu harus diserahkannya kepada Kuda Sempana tanpa kehendaknya.
Ruangan itu menjadi sepi sesaat. Masing-masing mencoba mencari kemungkinan yang sebaik-baiknya ditempuh. Angin malam di luar istana terdengar gemeresik mengusap dinding dan dedaunan. Di kejauhan terdengar jangkrik memekik-mekik seolah-olah memanggil-manggil. Sekali-kali angin yang kencang menolak daun-daun pintu yang sudah terkatup. Dalam keheningan itu kemudian terdengar suara Witantra,
“Tuanku. Hukuman yang pertama yang harus dijatuhkan kepada Kuda Sempana adalah melepaskan Ken Dedes dari tangannya.”
“Ya. ya,” sahut Akuwu Tumapel, “Aku sependapat. Tetapi kepada siapa gadis itu harus di serahkan. Ia telah kehilangan seseorang yang akan dapat dijadikannya pegangan buat masa-masa depannya. Bakal suaminya itu telah mati.”
“Bukankah ia masih mempunyai ayah dan ibu?” bertanya Ken Arok.
Witantra menggeleng. Katanya, “Dari Mahisa Agni aku pernah mendengar, bahwa gadis itu tidak beribu lagi.”
“Oh,” sahut Ken Arok, “kalau demikian kepada ayahnya.”
“Ayahnya adalah seorang pendeta,” berkata Witantra.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terbayanglah kembali wajah gadis itu. Putih pucat dan ketakutan, sehingga tiba-tiba ia menjadi pingsan. Terbayang kembali betapa lekuk-lekuk di wajahnya telah memahatkan sebuah bentuk yang seindah-indahnya yang pernah dilihatnya. Dan betapa ia terpesona oleh cahaya yang seakan-akan memancar dari tubuh gadis itu. Namun cahaya itu sama sekali tidak pernah dapat dipandangnya. Cahaya itu seakan-akan lenyap apabila ia berusaha melihatnya. Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Apakah yang dapat dilakukannya kemudian? Mengembalikan gadis itu? Atau apa?
Tunggul Ametung tiba-tiba menjadi pening. Dan karena itu ia berkata, “Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan. Tetapi gadis itu pasti tidak akan aku serahkan kepada Kuda Sempana.” Namun kemudian perlahan-lahan Akuwu Tumapel itu berkata, “Tetapi apakah alasanku?”
“Tuanku,” berbisik Witantra kemudian, “Kuda Sempana mengambil gadis itu dengan kekerasan. Sehingga menuntut penilaiannya, maka kekerasan akan menentukan segalanya atas gadis itu. Karena itu, maka harus terpancang pula di dalam dadanya, bahwa ia harus dapat mempertahankan gadis itu. Itu pula atas kekerasan.”
“Maksudmu?” bertanya Tunggul Ametung cepat-cepat.
“Ken Dedes akan aku ambil dengan kekerasan.”
“He?” Akuwu itu pun terbelalak, “bagaimana dengan istrimu?”
Witantra tersenyum, “Bukan untuk aku sendiri. Istriku tidak kalah cantiknya dari gadis itu. Tetapi barangkali aku akan dapat membuat alasan lain.”
Ken Arok menarik alisnya tinggi-tinggi. Ia belum melihat gadis itu dengan jelas. Ia baru melihat Ken Dedes sepintas, dalam kekisruhan yang tidak menentu. Karena itu ia belum dapat menilai kecantikannya. Namun tak diingkarinya bahwa gadis itu memang cantik sekali. Dalam pada itu Witantra berkata pula,
“Akuwu. Ternyata apa yang terjadi telah menghancurkan hari depan gadis itu. Karena itu maka sebaiknya Akuwu mempertimbangkan, apakah Akuwu dapat berbuat sesuatu yang dapat sedikit menghiburnya buat masa yang akan datang.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangkat wajahnya. Tiba-tiba nafasnya menjadi berangsur cepat dan keringatnya mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya. Dengan nada yang rendah dan ragu-ragu ia bertanya, “Bagaimana maksudmu Witantra?”
“Maksudku Akuwu, apabila mungkin maka Akuwu akan dapat memberi sedikit hiburan kepada gadis itu. Kalau dikehendaki oleh gadis itu, biarlah Akuwu mengambilnya menjadi menantu. Akuwu dapat memandang salah seorang hamba Akuwu yang dapat Akuwu timbang, sesuai dengan gadis itu. Sudah tentu atas kerelaan Ken Dedes sendiri. Dengan demikian maka apabila Akuwu berhasil, maka sedikit banyak Akuwu akan dapat meringankan penderitaannya meskipun tidak akan dapat ganti seperti yang hilang itu baginya. Dalam hal ini biarlah Ken Dedes memilih sendiri atas orang-orang yang Akuwu tunjukkan kepadanya. Mungkin dengan demikian maka penderitaan hatinya akan dapat diringankan, karena bakal suaminya terbunuh oleh Kuda Sempana itu.”
“Kalau demikian Witantra, dalam waktu yang pendek kau masih belum menemukan alasan untuk itu. Untuk mengambilnya dengan kekerasan. Sedang dalam waktu yang singkat Kuda Sempana pasti sudah akan datang mengambilnya. Mungkin besok, lusa atau bahkan nanti malam.”
“Bukan soal yang sulit bagi Akuwu. Biarlah Akuwu memerintahkan kepadanya, supaya gadis itu tetap di istana.”
Akuwu mengerutkan keningnya. Alasan itu akan dapat dikemukakan. Tetapi harus dicarinya seorang laki-laki yang berkenan d hati Ken Dedes. Baru Witantra akan merebut gadis itu atas namanya. Akuwu itu menggelengkan kepalanya, “Terlalu lama Witantra. Terlalu lama. Belum pasti nama itu akan disetujui oleh Ken Dedes. Baru setelah mendapat nama yang tepat dan disetujui oleh gadis itu kau berbuat untuknya.”
Witantra tidak menjawab. Tetapi ia memandang Ken Arok dengan sudut matanya. Kalau Ken Arok mau menyebut dirinya, bahkan mau berbuat untuk dirinya, maka dalam takaran Witantra maka Ken Arok pun memiliki kemampuan yang dahsyat. Sebab dengan tangannya ia mampu membunuh seorang prajuritnya dalam satu ayunan. Ken Arok masih saja menundukkan wajahnya. Ia tidak berani berkata apapun juga, sebab ia pun belum juga beristri. Kalau Akuwu nanti menunjuknya maka akan kisruhlah hatinya. Ia sama sekali belum ingin berumah tangga mengingat keadaan dirinya dan hidupnya yang baru saja dibinanya. Ketika terasa olehnya Witantra dan Akuwu Tunggul Ametung memandanginya, maka Ken Arok segera menunduk dalam-dalam.
Dalam pada itu tiba-tiba Witantra berkata “Akuwu sekarang biarlah aku berbuat untuk siapa saja. Apabila ternyata nanti Ken Dedes tidak bersedia maka biarlah Ken Dedes menentukan nasibnya sendiri, tetapi ia sudah bukan milik Kuda Sempana lagi.”
Akuwu Tunggul Ametung menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Sekehendakmulah Witantra. Asal gadis itu dapat kau bebaskan dari Kuda Sempana dengan alasan yang dapat dimengerti oleh beberapa orang yang mengetahui persoalannya, terutama para prajurit yang ikut serta ke Panawijen pada saat Kuda Sempana mengambilnya.”
“Baik Tuanku,” wajah Witantra itu menjadi merah karena perasaan yang aneh di dalam dadanya. Meskipun gadis itu bukan sanak bukan kadang, tetapi ia merasa bahagia apa bila ia akan dapat melepaskannya dari tangan Kuda Sempana. Ia sudah sedikit mendengar apa saja yang pernah dilakukan Kuda Sempana atas Ken Dedes dari Mahisa Agni, yang dahulu disangkanya Wiraprana. Dalam pada itu Witantra meneruskan, “Mungkin akan dapat meminjam nama Adi Ken Arok. Bukankah Adi masih belum berkeluarga pula?”
“Jangan. Jangan,” seperti disengat lebah Ken Arok menolak, “Jangan Kakang.”
“Tidak. Adi tidak harus bersungguh-sungguh.”
“Aku takut.”
Witantra memandang Ken Arok itu tajam-tajam. Kenapa ia takut? Tetapi Witantra kemudian tersenyum. Disangkanya Ken Arok takut apabila namanya dihubungkan dengan seorang gadis, dan apabila pada saat yang dekat ia benar-benar harus berumah tangga. Karena itu Witantra menjelaskan, “Adi tidak perlu takut untuk melaksanakannya. Aku hanya akan berkata kepada Kuda Sempana. Atas nama Adi Ken Arok yang juga menginginkan gadis itu, maka aku rebut Ken Dedes dengan kekerasan, seperti pada saat Kuda Sempana mengambilnya. Tetapi kemudian bukankah dapat diumumkan pula, misalnya, karena Ken Dedes tidak bersedia kawin dengan Ken Arok, maka gadis itu dikembalikan ke rumahnya kepada kakak dan ayahnya.”
“Jangan. Jangan hubungkan namaku dengan gadis itu.”
Sekali lagi Witantra tersenyum. Tetapi ia tidak melihat, apakah sebenarnya yang bergolak di hati Ken Arok. Setiap ia mendengar nama seorang gadis, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Ia merasa dikejar-kejar oleh kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Sebagai hantu di padang-padang rumput dan di hutan-hutan. Bahkan di mana saja daerah-daerah yang pernah dijelajahi, maka ia telah berbuat hal-hal yang mengerikan atas gadis-gadis yang ditemuinya.
Karena itulah, maka setiap kali ia mengingatnya, maka setiap kali ia menjadi ketakutan. Apalagi ketika ia melihat bagaimana Kuda Sempana melarikan gadis Panawijen itu. Maka hampir kepercayaannya kepada semua orang menjadi pudar. Apa yang dilakukan Kuda Sempana mirip dengan apa yang pernah dilakukan. Namun caranyalah yang berbeda. Cara yang ditempuh adalah cara hantu ladang dan padang.
Penolakan Ken Arok itu ternyata mendorong Akuwu untuk berbuat di luar dugaan. Di luar dugaan Witantra dan di luar dugaan Ken Arok, tiba-tiba saja dalam kegelapan nalar, Akuwu itu berkata, “Baiklah, kalau tak ada nama yang kau pergunakan, pergunakanlah namaku. Akuwu Tunggul Ametung.”
Kata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu benar-benar mengejutkan Witantra dan Ken Arok. Sehingga dengan serta-merta Witantra berkata, “Jangan Tuanku. Adalah kurang baik apa bila Akuwu sendiri yang akan mengambilnya. Meskipun hanya sekedar untuk menyingkirkan Kuda Sempana. Gadis itu adalah gadis pedesaan, dan kurang sepantasnyalah apabila nama Akuwu dihubungkan dengan namanya.”
“Biarlah. Biarlah kau pakai namaku. Aku telah merusakkan masa depan gadis itu. Seandainya dengan demikian namaku menjadi susut, bukankah itu hukuman yang harus aku alami karena perbuatan yang terkutuk itu. Biarlah orang menyangka bahwa Tunggul Ametung telah menculik gadis dari padukuhan Panawijen. Biarlah orang yang tidak melihat dan mengetahui apa yang terjadi menuduhku berbuat demikian. Adalah lebih baik bagiku daripada aku telah melindungi orang untuk menculik seorang tanpa pertimbangan. Kalau orang menyebutkan langsung menculik gadis itu, maka orang akan mengutukku sebagai seorang laki-laki yang tidak berperasaan dan sebagai seorang Akuwu yang sewenang-wenang. Namun adalah menjadi tanggung jawabku pula apabila seseorang berkata, Kuda Sempana telah menculik seorang gadis atas perlindungan Akuwu. Adalah lebih baik, apabila aku berbuat sewenang-wenang karena terdorong oleh kebutuhanku sendiri. Kebutuhan hidup seorang Akuwu, daripada aku berbuat hal yang sama, sewenang-wenang untuk melindungi orang-orangku. Dengan menyebut bahwa Ken Dedes telah aku perlukan sendiri, adalah memperkuat alasanku untuk berbuat sewenang-wenang. Adalah lebih mungkin aku lakukan daripada sekedar melindungi Kuda Sempana.”
Witantra menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah benar-benar kebingungan oleh kejaran penyesalannya. Sehingga karena itu maka Witantra berkata, “Tuanku, alasan itu hanya diberikan kepada Kuda Sempana. Tidak kepada siapa pun juga. Sehingga apa yang terjadi kemudian hanyalah Kuda Sempana yang akan tahu.”
“Tidak. Tidak,” berkata Akuwu itu lantang, “tidak hanya untuk Kuda Sempana. Besok semua orang Tumapel harus tahu, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah merampas seorang gadis putri seorang pendeta di Panawijen, karena Akuwu jatuh cinta kepada gadis itu. Biarlah semua orang mengutukku, dan biarlah semua orang membenci aku.”
“Akuwu,” potong Witantra.
“Perintah! Kau dengar?” teriak Akuwu Tunggul Ametung, “Ini perintahku. Apakah kau akan mengingkari perintahku lagi?”
Witantra dan Ken Arok mengusap dadanya. Apabila sudah demikian maka Akuwu telah kehilangan nalarnya yang bening. Sulitlah untuk mencoba memperbincangkan suatu keputusan. Karena itu, maka mereka hanya dapat berdiam diri. Persoalan itu telah bergeser dari maksud Witantra semula. Namun Witantra dapat juga mengerti jalan pikiran Akuwu Tunggul Ametung. Akuwu akan mengangkat persoalan itu dengan menengadahkan dadanya, meskipun dengan demikian telah dikorbankan namanya. Bukankah Akuwu dapat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa Kuda Sempana telah menipunya dan memberikan laporan palsu? Tetapi rupa-rupanya Akuwu benar-benar telah disiksa oleh penyesalan yang tak berhingga, sehingga dengan demikian ia bermaksud menghukum diri sendiri.
Dalam pada itu Akuwu itu berkata pula, kali ini perlahan-lahan, “Witantra, pergilah kepada Kuda Sempana. Katakan kepadanya, bahwa Ken Dedes dikehendaki sendiri oleh Akuwu Tunggul Ametung. Kalau ia tidak rela, berbuatlah atas namaku. Kali ini aku tidak akan mempergunakan kekuasaan. Tetapi aku minta kepadamu sebagai seorang sahabat untuk mewakili aku. Kalau Kuda Sempana menghendaki, biarlah kau mengadakan sayembara tanding dengannya. Kalau kau tidak bersedia, aku tidak memaksa. Ini bukan perintah seorang Akuwu. Sudah aku katakan, aku tidak akan mempergunakan kekuasaan. Kalau tak ada seorang pun yang akan mewakili Tunggul Ametung, biarlah Tunggul Ametung sendiri yang maju ke arena.”
“Jangan Tuanku. Jangan Tuanku sendiri. Biarlah hamba yang melakukannya. Tidak perlu di muka umum. Dapat hamba lakukan di tempat tertutup. Kecuali Kuda Sempana menghendaki.”
“Terima kasih. Nah, pergilah. Sampaikan maksud itu kepada Kuda Sempana.”
“Hamba Tuanku.”
Kemudian perintahnya kepada Ken Arok, “Arok, kau pergi bersama Witantra. Kau pun harus berusaha supaya semua orang Tumapel mendengar, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah menculik seorang gadis untuk permaisurinya.”
“Hamba Tuanku,” sahut Ken Arok.
“Nah sebelum pergi, panggilkan Daksina.”
Ken Arok keran mendengar perintah itu. Apakah hubungannya peristiwa ini dengan Daksina. Anak-anak yang belum genap berumur lima belas tahun itu. Ketika Ken Arok masih memandanginya saja dengan heran, maka Akuwu itu pun membentak, “Panggil Daksina! Kau dengar?”
“Ya, ya Tuanku,” sembah Ken Arok. Namun kepalanya menjadi pening memikirkan tingkah laku Akuwu itu. Setelah bergeser beberapa langkah, maka Ken Arok pun kemudian sambil berjongkok meninggalkan ruangan itu dan turun lewat tangga samping memanggil seorang anak muda yang bernama Daksina
Daksina, seorang anak dari seorang pelayan istana, seorang juru dang, terkejut mendengar panggilan Akuwu di malam hari itu. Karena itu ia menjadi pucat, dan dengan terbata-bata bertanya, “Apakah yang akan diperintahkan kepadaku, Paman?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Entahlah.”
Dengan tergesa-gesa Daksina pergi menghadap Tunggul Ametung. Matanya masih merah karena kantuknya. Sekali ia menguap, dan kemudian dengan wajah yang pucat ia merayapi tangga ruang dalam.
“Daksina,” panggil Tunggul Ametung, “ambil rontal Kakawin Arjuna Wiwaha. Bacakan rontal untukku malam ini. Aku jemu memikirkan semua persoalan yang memusingkan kepalaku.”
Anak itu menarik nafas panjang. “Oh,” katanya di dalam hatinya, “hampir aku pingsan dibuatnya.” Daksina itu pun segara mengundurkan dirinya dengan tergesa-gesa. Sekali-sekali ia masih menguap dan mengumpat di dalam hati. Malam-malam begini Akuwu ingin mendengarkan aku membaca rontal. Bukan main. Kenapa tidak sejak sore tadi atau besok malam. Tetapi anak itu tidak berani membantah. Langsung pergi ke ruang penyimpanan rontal. Dari berbagai-bagai rontal yang bersusun dalam sebuah rak-rakan, Daksina mencari rontal yang dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Ketika ia keluar dari ruang itu, pelayan dalam yang melihatnya menyapa, “He, Daksina, apa kerjamu malam-malam di sini?”
“Tuanku Akuwu Tunggul Ametung inginkan aku membaca untuknya malam ini.”
“Malam sudah terlampau jauh.”
“Ya.”
“Kenapa Akuwu minta kau membaca rontal itu?”
“Tidak tahu.”
“He? Jangan main-main. Kenapa?”
Daksina berhenti. Lalu memandangi wajah pelayan dalam itu dengan heran. Katanya, “Kenapa kau bertanya kepadaku? Bertanyalah kepada Akuwu, kenapa malam-malam begini Akuwu minta aku membaca rontal. Kalau Akuwu mengurungkan niatnya, aku akan berterima kasih kepadamu. Besok ransumku boleh kau ambil."
“Hus, jangan gila, anak mabuk. Kau kira kau dapat menipu aku? Ayo kembalikan rontal itu.”
“Baik,” sahut Daksina, lalu Daksina itu pun memutar tubuhnya dan melangkah kembali ke ruang penyimpanan rontal, sambil bergumam, “Rontal ini akan aku kembalikan. Besok ransumku boleh kau ambil, sebab aku besok sudah digantung di alun-alun karena aku tidak mematuhi perintah Akuwu malam ini.”
“Persetan! Jangan menggerutu!”
“Tidak. Besok aku sudah tidak dapat menggerutu lagi, dan kau tidak akan dapat membentak-bentak lagi. Sebab kau pun akan dipancung di tengah-tengah pasar.”
“Kenapa?”
“Karena kau menghalangi aku mematuhi perintah Akuwu.”
“He? Jadi benar, Akuwu memerintahkan kau mengambil rontal itu?”
“Kau sangka aku berbohong?”
“Jadi bukan karena kau sendiri yang ingin membaca?”
“Sudah aku katakan.”
“Oh, anak gila. Kenapa kau tidak membantah? Malahan kau akan mengembalikan rontal itu.”
“Aku atau kau yang gila. Kau tidak mau mendengar aku menjelaskan. Kau ingin aku mematuhi perintahmu.”
“Pergi! Pergi! Bawa rontal itu kepada Akuwu. cepat sebelum kau digantung.”
“Tidak mau!”
“Kenapa?”
“Aku takut kepadamu.”
“Gila!”
“Kau yang gila.”
“Ayo pergi! Cepat! Bawa rontal itu!” bentak pelayan dalam itu sambil mengacungkan tombaknya, “Atau aku lubangi perutmu?”
“Supaya ransumku dapat kau ambil besok?”
“Tutup mulutmu! Ayo pergi! Kenapa kau mengigau tentang ransum saja sejak tadi. Apakah kau sekarang sedang lapar?”
Tiba-tiba Daksina mengangguk. “Ya. Aku lapar.”
“Setan kecil! Pergi ke garduku. Aku mempunyai sepotong jenang alot.”
Daksina betul pergi ke gardu pelayan dalam itu, dan dimakannya sepotong jenang alot. Namun dengan demikian ia sudah tidak terkantuk-kantuk lagi. Kini matanya telah terbuka lebar-lebar setelah ia mengganggu pelayan dalam itu. Apalagi setelah mulutnya mengunyah sepotong jenang alot, maka Daksina benar-benar sudah tidak mengantuk lagi. Setelah minum semangkuk air jahe, maka segara ia berjalan cepat-cepat ke bilik Akuwu Tunggul Ametung.
Dalam pada itu Witantra dan Ken Arok pun segera minta diri. Witantra mengharap Akuwu Tunggul Ametung memberinya wewenang dan wewenang itu telah benar-benar diberikannya. Meskipun demikian maka Witantra berkata, “Akuwu. Hamba akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya. Namun Kuda Sempana bukanlah anak-anak lagi. Ia mampu membunuh Wiraprana dalam perkelahian itu di hadapan Akuwu, sehingga ia dapat membebaskan dirinya dari segenap tuntutan. Namun apabila aku tidak berhasil, aku minta maaf sebesar-besarnya.”
“Jangan cemas. Aku mengharap kau berhasil.”
Witantra dan Ken Arok pun segera mohon diri meninggalkan ruangan itu, dan Akuwu Tunggul Ametung pun segera masuk kembali ke dalam biliknya. Setelah sesaat ia terbaring, maka ia mendengar langkah di muka biliknya...