Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 78
Belum selesai kalimat Mada, Patih Wangkong menggerung keras. Kedua kakinya bergerak cepat. Mada hanya sempat mengangkat tangannya untuk melindungi wajah yang tersodok keras. Tubuhnya terguling. Tujuh tombak tertuju ke seluruh tubuhnya, termasuk leher, hanya dalam jarak satu jari dari kulit.
“Kamu benar-benar tak mengenalku. Katakan di mana Raja Jayanegara?!”
“Kalau hamba bisa menyertai Raja, apakah mungkin hamba sendirian bersama para prajurit di sini? Patih mengetahui sendiri, hamba masuk kemari tanpa Raja sesembahan. Kami berpisah, terpaksa dipisahkan, karena serbuan Senopati Jurang Grawah.”
“Kamu pantas dihukum mati karena melupakan tugas. Kenapa kamu malah menyembunyikan diri di sini?”
“Hamba ingin menyelamatkan nyawa yang hanya selembar ini, Patih yang perkasa. Karena semua prajurit yang meloloskan diri telah tertangkap, karena Keraton Tua atau Keraton Daha dan Keraton Petilasan Singasari telah mengakui takhta yang baru.”
Patih Wangkong menggerakkan kakinya dengan sebat. Cepat, keras, mengandung tenaga. Menginjak leher Mada. “Katakan di mana?”
Mada memejamkan mata. Betapapun hebat ilmunya, rasanya tak akan sanggup melawan. Tujuh tombak tak bakal bisa dielakkan, apalagi telapak kaki yang sudah menyentuh jakunnya. Patih Wangkong mendengus. Tubuhnya berbalik, menyeret salah satu prajurit kawal. Menarik paksa. “Kamu juga bungkam?”
Hanya sekejap sebagai batas waktu. Patih Wangkong menggerakkan telapak tangannya. Bunyi plak yang keras, dan prajurit itu terkulai. Begitu tangan Patih Wangkong melepaskan pegangan, tubuh itu ambruk di tanah. Patih Wangkong menyambar prajurit kedua dan ketiga sekaligus. Masing-masing dipegangi lehernya dengan keras. Ini berarti, satu sentakan kuat akan membuat dua kepala beradu keras. Dengan tangan yang kukuh seperti yang
dimiliki Patih Wangkong, batok kepala terasa lembek. “Masih tak mau bicara?”
“Lebih baik mengorbankan diri, daripada mengatakan kepada pengikut Senopati Kuti.”
“Bangsat!” Patih Wangkong membalik. Kini menarik Mada. “Aku bunuh kamu karena lalai dalam menjalankan tugas. Bukan karena Kuti atau segala luwak.”
Mada menahan getaran di dadanya. Dengan menyebut luwak, bisa diketahui perasaan Patih Wangkong yang sebenarnya. Terutama karena sikap Patih Keraton Singasari ini sedemikian terbukanya. Sebutan luwak, sebenarnya berarti musang. Akan tetapi dalam pembicaraan tertentu luwak dianggap binatang yang licik, yang culas, yang mencuri makanan di malam hari. Tidak gagah perkasa seperti singa, harimau, atau banteng. Mada bisa menangkap getaran kebencian Patih Wangkong.
“Menyembahlah. Kalau masih ingin diampuni segala dosa yang paling hina.” Suara Mada dibarengi dengan tubuhnya sendiri merunduk turun, sambil menyembah dan bersila.
Patih Wangkong dan pengikutnya baru sadar ketika Raja Jayanegara meloncat turun dari atas. Segera semuanya menunduk dan menyembah rata dengan tanah.
“Kalau kalian memang masih ingin ngabekti, jangan membuang waktu terlalu lama.”
“Sendika dawuh, Ingkang Sinuwun-”
Raja mengangguk. “Kita menuju Singasari.”
Mada mengertakkan giginya. “Maaf, maaf sekali, Raja sesembahan. Rasa-rasanya…”
Patih Wangkong menyembah. Adatnya yang keras membuatnya berani memotong ucapan Mada. “Kamu berani meragukan kesetiaan Pangeran Kertawardhana?”
Siasat Pengakuan
KERAS adatnya, lancang gerakannya, seketika tindakannya. Seakan tak ada pengendalian sama sekali atas apa yang diucapkan atau dilakukan. Begitulah Patih Wangkong. Begitu merasa Mada berbicara sembarangan dan merendahkan junjungannya, Patih Wangkong langsung menuding ke biji mata Mada. Yang dengan gagah menampik keras. Tenaga keras. Tangan Patih Wangkong terpuntir.
“Bangsat!”
“Jaga mulutmu di depan Raja.”
Baru kemudian Patih Wangkong sadar dan menahan diri. Meskipun wajahnya menjadi merah menahan geram.
“Raja Sesembahan tidak akan meninggalkan tempat ini. Apalagi mengungsi ke Keraton Petilasan Singasari. Patih Wangkong, saya menyampaikan hormat akan kesetiaan Patih serta Pangeran Anom Angon Kertawardhana yang mulia. Saya berbesar hati karena kesetiaan dan pengabdian kalian semua. Tapi Raja menghendaki kalian berangkat kembali ke Keraton Petilasan Singasari. Kumpulkan seluruh prajurit yang setia, pimpin menuju Keraton, bersama Pangeran Kertawardhana. Bersikaplah seolah akan mengakui takhta Senopati Kuti yang berhati luwak. Di sana saya akan menghubungi Patih.”
“Apakah itu berarti kamu tidak percaya kesetiaan dan pengabdian kami?”
“Itu akan terbukti semuanya di Keraton. Apakah Patih benar-benar mengakui takhta yang sekarang, atau menyiapkan diri untuk menyerbu.”
“Sejak kapan kamu begitu ketus, Mada?”
“Sejak saya mendapat tugas dari Raja. Sejak Patih melangkah kemari, sejak sebelum Patih bertanya, saya sudah merasakan kesetiaan Patih Wangkong yang teguh perkasa. Tapi semua itu hanya perasaan. Dalam tindakan yang gawat, kita tak bisa mengandalkan perasaan, tidak hanya mendengarkan suara hati, agar tidak makan hati di belakang hari. Saya harus meyakinkan diri, bahwa Patih Wangkong yang perkasa bukan sedang mencari Raja karena perintah Senopati Kuti. Saya bersedia membayar dengan nyawa untuk menguji itu. Saya percaya sepenuhnya kepada Patih Wangkong yang perkasa, yang gagah berani. Tapi andai ada prajurit yang bertindak sembrono, gagallah semua rencana kita. Andai ada prajurit yang ingin mendapat pangkat dan derajat tinggi dengan menjual kabar ini, gagallah menegakkan kebenaran dan kejayaan Keraton.”
Patih Wangkong mengangguk. “Baik. Siasat pengakuan ini akan saya lakukan. Hanya aku tak menyangka kamu bisa sekeji Raja Muda Gelang-Gelang.”
“Siasatnya bisa sama. Tujuannya berbeda.”
Raja menggerakkan tangannya. “Ingsun merestui apa yang dikatakan Mada.”
“Sendika dawuh, Sinuwun?" Patih Wangkong dan pengikutnya menyembah hormat, kemudian mundur dengan berjalan jongkok.
Mada mengawasi hingga bayangan mereka hilang, baru kemudian masuk kembali.
“Apa rencanamu selanjutnya, Mada?”
“Mohon ampun, seribu ampun. Hamba ingin kita berpindah ke selatan. Menunggu saat baik untuk kembali ke Keraton.”
“Saat baik yang bagaimana?”
“Ampun, Raja Sesembahan. Saat baik ialah kalau Pangeran Anom Wengker serta seluruh prajurit Daha juga melakukan hal yang sama. Dengan demikian tak ada lagi yang akan mendukung Senopati Kuti. Pengerahan prajurit Daha dan Singasari sangat besar artinya bagi dukungan pengabdian kepada Raja yang Besar. Seluruh penduduk akan mengetahui dan menjadi saksi bahwa nama harum dan besar dan berwibawa Raja yang Sejati tetap besar tiada tandingannya.”
“Bagaimana kamu bisa memastikan Daha juga akan datang ke Keraton?”
“Hamba sendiri yang akan berangkat ke sana.”
Raja mengangguk. “Lakukan apa yang kamu rasa benar.”
“Sembah bagi Raja.”
Mada kemudian memerintahkan kedua prajurit kawal yang tak diragukan pengabdiannya untuk segera berangkat. Ia meminta maaf kepada pemilik rumah, dan meminta mengubur prajurit yang gugur dengan baik-baik. Suatu hari kelak jika ada hari baik, Mada berjanji akan kembali untuk mengadakan penghormatan kepada prajurit yang gugur dalam menjalankan tugas. Semua dilakukan dengan cepat.
Sebelum seluruh kalimatnya bisa dimengerti oleh pendengarnya yang masih duduk keheranan dan ketakutan, Mada telah pergi meninggalkan. Bergabung dengan Raja dan menuju Desa Badander. Untuk sementara bisa mengistirahatkan Raja di tempat yang aman. Mada sendiri kemudian mengatur siasat. Dan melakukan sendiri.
Yang pertama disebarkan ialah berita bahwa Raja telah mangkat. Kabar ngayawara, tanpa sumber resmi, ini mudah sekali berkembang di masyarakat. Dengan demikian membuat mereka gelisah. Mada tinggal mengarahkan agar penduduk seluruhnya berduyun-duyun menuju alun-alun Keraton, sambil membuka pakaian bagian atas. Hanya selembar bagian bawah sebagai penutup. Kemudian berjemur di alun-alun.
Siasat dede atau menjemur diri ini sangat tepat dilakukan. Dengan menjemur diri akan menarik perhatian penduduk yang lain. Mereka yang ingin mengetahui apa yang terjadi akan ikut dede. Cara ini dilakukan penduduk jika ada peristiwa yang merisaukan, dan mereka ingin meminta penjelasan resmi dari Raja. Dalam hal ini, peristiwa yang merisaukan itu adalah berita mangkatnya Raja Jayanegara.
Dengan berada di alun-alun, kumpulan manusia itu tak bisa dibedakan, mana yang prajurit. Dengan bertelanjang dada, lebih sulit lagi dikenali. Dengan cara ini, Mada ingin melancarkan serangan mendadak. Untuk mengadakan pendekatan ke Daha, tak terlalu gampang. Sebab Patih Arya Tilam tampaknya serba curiga, penuh prasangka, dan jalan pikirannya tidak sesederhana jalan pikiran Patih Wangkong. Agak sulit bagi Mada membujuk dan mengatakan maksud yang sebenarnya.
Satu-satunya jalan adalah memakai nama Putri Tunggadewi serta Putri Raja Dewi yang meminta bantuan pembebasan. Mada memakai bukti cundhuk yang sebenarnya berasal dari tanduk biasa. Jalan pikirannya, ini satu-satunya benda yang mungkin tak bisa dibuktikan seketika benar dan tidaknya. Perhitungan Mada yang kemudian ialah, kalaupun Pangeran Muda Wengker tidak membantu sepenuhnya, ia tidak berada di pihak lawan.
Paling tidak, ragu atau menunggu. Dalam hal ini Mada sulit memastikan bagaimana sikap Pangeran Muda Wengker, karena yang terakhir ini tak memberikan jawaban yang jelas. Demikian pula jawaban yang diberikan Patih Tilam.
“Bagaimana saya bisa mempercayai kamu ini utusan putri Keraton, kalau selama ini kami tak pernah mendengar kabar dan tak pernah berhubungan?”
“Patih Tilam yang bijak. Dengan mengutus hamba, Putri memilih prajurit yang dekat dengan Raja.”
“Bagaimana saya bisa percaya kalau bayangan Raja tak terlihat?”
“Maaf, Patih Tilam. Kalau Raja sendiri yang berkenan meminta, apakah artinya pengabdian itu? Semua akan jelas dan terang benderang. Itu artinya bukan menunjukkan kesetiaan, akan tetapi menjalankan tugas. Justru pada situasi seperti inilah kesetiaan itu diperlihatkan.”
“Bagaimana saya bisa percaya kalau kamu bukan utusan Senopati Kuti yang berpura-pura menguji kami?”
“Kalau Senopati Kuti, hanya perlu mengirim utusan. Barang lima prajurit, dan Patih Tilam mengakui takhta yang baru.”
“Oh, itu caranya memojokkan kami? Dengan mengungkap bahwa pengakuan takhta adalah pengkhianatan? Iya? Begitu, prajurit kecil Mada?”
“Waktu saya tidak banyak, Patih yang arif. Hamba hanya melaporkan apa yang terjadi, sesuai dengan gambaran sebenarnya kepada Raja.”
Yang tidak diketahui Mada ialah bahwa Patih Tilam sangat berhati-hati dalam bertindak. Boleh dikatakan bertolak belakang dibandingkan Patih Wangkong. Patih Tilam selalu bisa membuat orang yang berhadapan dengannya menduga-duga apa yang sebenarnya dilakukan, dan apa yang sebenarnya disembunyikan.
Karena ketika utusan Senopati Kuti datang memeriksa, Patih Tilam menyerahkan lima prajurit sebagai pengganti prajurit bhayangkara. Patih Tilam kemudian mengirim utusan untuk mengakui Senopati Kuti sebagai penguasa Keraton. Tapi Patih Tilam pula yang berdiam-diam memerintahkan para prajuritnya berjaga di sekitar Keraton. Sebagai penasihat rohani Pangeran Muda Wengker, tindakan Patih Tilam sulit diduga. Meskipun kelihatan berbantah dengan Mada, Patih Tilam pula yang memohon Pangeran Muda Wengker segera berangkat ke Keraton.
“Saya sendiri akan membuktikan kesetiaan dengan mengalirkan darah saya di Keraton. Demi asma Pangeran Muda.”
Beda Buah dengan Bijinya
MADA mempersiapkan dengan sepenuh kemampuannya. Langkah terakhir yang akan ditempuh ialah menuju Perguruan Awan, untuk minta restu dan bantuan dari Jaghana. Dengan hadirnya Jaghana, Mada merasa aman luar-dalam untuk merebut Keraton dari tangan Senopati Kuti. Akan tetapi Perguruan Awan terlalu luas tanpa batas, dan tak bisa menemui penghuninya dengan gampang.
Apalagi saat itu telah terjadi perubahan. Ketika Halayudha menghardik Ngwang dengan menanyakan ilmu membal, dengan menuduh Ngwang mencuri ilmu, Upasara masih dalam keadaan terluka. Nyai Demang berdiri setengah melindungi, demikian juga Gendhuk Tri. Sementara Jaghana masih bersila di samping Upasara.
“Sudah jelas Ngwang mencuri dari Kitab Klungsu. Kenapa masih perlu ditanya segala?” Halayudha mengejapkan matanya. Suara Gendhuk Tri yang diucapkan dengan penuh kesungguhan, membuatnya terbengong-bengong. “Kitab Klungsu? Rasanya aku belum pernah mendengar.”
“Mana mungkin mendengar kalau selama ini kitab itu hanya boleh dikidungkan dalam hati?”
Nyai Demang menghela napas lega. Gendhuk Tri yang sekarang ini ternyata masih Gendhuk Tri yang dulu. Yang bicara seenaknya, yang menyerang sana, mengacau sini, yang membolak-balik dan membelokkan jalan pikiran orang. Gendhuk Tri yang dulu, yang nakal, yang menggoda, yang menikmati kebingungan orang lain.
Dengan mengatakan Kitab Klungsu, jelas Gendhuk Tri hanya main-main. Sebab Nyai Demang sendiri belum pernah mendengar adanya kitab klungsu, atau buku mengenai biji asam. Bahkan dari caranya menjawab pertanyaan Halayudha, sebenarnya Gendhuk Tri sangat keterlaluan mempermainkan.
Sewaktu Halayudha mengatakan belum pernah “mendengar”, oleh Gendhuk Tri diartikan mendengar dalam artian wadak. Sehingga dijawab tak mungkin mendengarkan karena cara membacanya di dalam hati. Akan tetapi justru jawaban yang tak masuk akal ini membuat Halayudha tertarik. Hingga kedua tangannya menggaruk-garuk kepalanya.
“Bagaimana mungkin? Maukah kamu mengidungkan bagiku?”
“Ilmu itu tidak untuk dikidungkan.”
“Celaka. Bagaimana kalau kamu tulis dan aku membaca dalam hati?”
“Baik, aku akan melakukan untukmu. Karena kamu pernah menolongku, meskipun nyatanya malah membuat aku menderita.”
Halayudha menyeringai. “Mana mungkin? Upasara tetap tak bisa menghalau bercak dalam tubuhmu. Aku bisa kalau kamu tidak membandel. Tenaga air dalam tubuhmu itu aneh. Adakalanya menolak tenaga bumi, adakalanya menerima. Ngwang saja terbengong-bengong. Ia bisa mengatakan adanya tenaga im dan tenaga yang. Tapi juga tetap tak mengerti kenapa bisa bertabrakan. Upasara sendiri keok. Katanya ia memadukan tenaga menjadi tenaga tanah air. Tapi sekarang malah merenung seperti anak kecil kehilangan mainan. Seperti anak muda kehilangan asmara. Betul tidak?”
“Betul.”
Mendadak Halayudha menjentikkan ibu jari dan jari telunjuk. Suaranya menggema, bergaung keras sekali. Bahkan pohon-pohon dalam jarak sepuluh tombak seperti terguncang.
“Rasanya aku mengerti pemecahannya. Tapi nanti saja. Setelah kamu memberitahu isi Kitab Klungsu.”
Sewaktu Halayudha menjentikkan jarinya, tangan Jaghana mendekap tangan Upasara. Mengeluarkan getaran hangat, yang disambut Upasara. Ngwang memperhatikan dengan saksama. Setiap gerakan yang paling kecil pun tak lolos dari pengamatannya. Gendhuk Tri menorehkan jarinya di tanah.
Klungsu itu biji asam
Klungsu itu bukan asam
Sebab klungsu itu berat
Tapi ringan
Kalau dibanting akan melenting
Buah asam rasanya asam
Kalau dibanting menjadi pecah
Itulah beda biji dengan buah…
Halayudha memegangi kepalanya. Rambutnya semakin awut-awutan. Kalimat yang dituliskan Gendhuk Tri dieja, dibaca berulang-ulang. Beberapa kali jidatnya ditepuk.
“Aku tak menangkap maknanya. Jangan-jangan kamu sudah gendheng.”
Halayudha menggebrak. Dengan menggerakkan kakinya, seluruh tulisan terhapus, sementara gerakan itu tak berhenti di situ. Kedua kakinya terjulur keras, menyambar Gendhuk Tri. Memotong habis. Gendhuk Tri mengangkat tubuhnya, menghindari sabetan kaki. Serta-merta Halayudha menarik kembali kakinya, Gendhuk Tri bersiaga.
“Nah, itu ajaran Kitab Air. Jelas sekali. Di mana ada tempat rendah, air mengalir. Begitu seranganku ditarik atau lewat, kamu berdiri di situ. Coba ulangi kalau tidak percaya.”
Halayudha kembali mengulang. Menebas kaki Gendhuk Tri. Dalam putaran yang menyeruak, menggulung jarak setombak tepat di kaki Gendhuk Tri. Yang mau tak mau terpaksa jungkir-balik ke atas.
Halayudha menggerakkan kedua tangannya ke arah kanan. Satu telunjuknya menuding. “Di sana.”
Gendhuk Tri berusaha menolak tarikan tubuh ke arah tempat yang dituding Halayudha. Namun tenaga Halayudha ternyata sangat kuat. Sehingga tubuhnya mendarat pada tempat yang telah disebutkan.
“Ya, kan? Air mengalir kalau ada tempat rendah. Kalau ada tempat yang lebih dingin. Tanah bisa lebih bertahan, walau di sebelahnya ada jurang. Itu bedanya. Itu yang mau disatukan Upasara. Sebetulnya bisa juga. Mada mestinya tahu. Ah, di mana dia sekarang? Tapi apa peduliku dengan anak kecil itu? Aneh, bayangannya selalu jelas. Aku tak mau terpengaruh. Aku ingin tahu tentang ilmu membal tadi.”
Kalimat yang tidak keruan ujung-pangkalnya itu dibarengi dengan gerakan mendadak. Tubuh Ngwang dirangkul kencang, dan berusaha dibanting keras. Kalau kena. Karena Ngwang tidak membiarkan begitu saja. Begitu ada angin menyambar, serta-merta tubuhnya terangkat dari tanah. Dalam gerakan yang ringan sekali. Melayang. Halayudha memakai kedua tangan sebagai tumpuan, dan tubuhnya melejit ke atas. Dibarengi dengan teriakan keras, kedua tangannya menyambar Ngwang.
“Tahan!” Teriakan Jaghana terlambat.
Pada saat itu Ngwang membuka lebar kedua kaki dan tangannya! Halayudha tak sempat menghindar. Dada dan perutnya terkena pukulan telak. Tubuhnya terbanting! Tendangan dan sekaligus pukulan yang masuk bersih. Tubuh Halayudha sampai ngejengklak, dengan kepala ke arah belakang seakan lehernya tak bisa menyangga lagi. Ngwang membalik. Kali ini jurus yang sama dimainkan untuk menerjang Gendhuk Tri!
Menyambar keras. Nyai Demang mengibarkan selendangnya. Berusaha menahan sekuatnya. Ternyata arah serangan Ngwang tidak ke arah Gendhuk Tri, karena mendadak membelok ke arah Upasara! Tubuh yang bisa meliuk bagai kapas tertiup angin, atau bahkan bagai angin itu sendiri, meruncing ke arah Upasara. Tidak langsung menyerang, melainkan berputar bagai gasing. Kencang.
Ngwang memang tidak langsung menyerang, melainkan membuat Upasara mengikuti gerakan yang ada. Memuntir sedemikian rupa, seolah memasukkan Upasara yang terluka ke dalam putaran beliung. Pusaran angin! Gendhuk Tri menyadari bahaya besar. Seperti juga Halayudha, Gendhuk Tri tidak menyangka sama sekali bahwa tenaga angin Ngwang masih lebih banyak yang tersimpan. Selama ini ia hanya memperlihatkan sebagian kecil saja. Baru bagian luarnya.
Pertarungan Angin-Air
PUTARAN tubuh Ngwang membelit, menelikung sempit. Hanya dalam lima putaran, tubuh Upasara seperti tak bisa dikendalikan. Ketika Ngwang meloncat tinggi, Upasara seakan terseret. Ikut terbawa. Bahkan sewaktu Ngwang sudah berdiri tegak, tubuh Upasara masih berputar bagai gasing.
Tanpa berpikir panjang, Gendhuk Tri mengentak keras. Ujung selendang dan kedua tangannya yang terbuka lebar, menyambar masuk. Dalam putaran yang kencang dan sempit, Gendhuk Tri tak bisa menemukan sela-sela yang pas. Akan tetapi ketajaman tenaganya yang diselusupkan mampu menyelinap.
Meskipun itu bisa diartikan bahaya yang lain. Sebab dengan demikian pukulan Gendhuk Tri bisa mengenai tubuh Upasara. Akan tetapi risiko apa pun akan ditanggung, daripada berdiri bengong.
Ngwang tetap memutar tubuh Upasara dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menampik pukulan Gendhuk Tri. Kesiuran angin lembut berubah bagai sentakan badai. Sekejap saja berubah tekanannya.
Namun bukan Gendhuk Tri kalau terjegal dengan serangan mendadak. Justru dengan itu Gendhuk Tri bangkit menerjang. Keras dihadapi dengan keras. Pukulan Ngwang disambut sama keras dengan meloncatkan tubuh ke atas, sementara kakinya menyaduk ulu hati Ngwang. Ngwang melihat peluang menang di atas. Satu tangan tertekuk, berubah bagai patuk burung elang yang menyambar ubun-ubun Gendhuk Tri.
“Cuma sebegini.”
Gendhuk Tri masih bisa mengeluarkan seruan ejekan, sebelum membuat berat tubuhnya melorot ke bawah. Tangan Ngwang menghantam angin, sementara dadanya termakan serbuan lawan yang mendadak bertambah sangat cepat. Tak banyak pilihan bagi Ngwang. Selain menurunkan tubuh Upasara, sebagai penangkis.
Kali ini Gendhuk Tri memperlihatkan keunggulannya. Menyerobot masuk, Gendhuk Tri bukannya meneruskan tendangan ke arah lawan, melainkan masuk melalui selangkangan Ngwang. Yang kalaupun tidak berdiri di atas tanah, tetap bisa dilewati. Baru kemudian muncul membalik di belakang Ngwang. Langsung menyambar daun telinga. Memuntir habis.
Bagi yang tidak biasa menghadapi, apa yang diperlihatkan Gendhuk Tri memang serba tidak biasa. Menerobos lewat selangkangan saja bukan ukuran permainan silat yang lazim. Apalagi kemudian memuntir daun telinga. Justru yang tak terduga itu merupakan keunggulan Gendhuk Tri. Perpaduan antara kenakalan dan permainan. Karena sebenarnya Gendhuk Tri bisa menyerang bagian kepala yang lebih menentukan meraih kemenangan.
Nyatanya justru dengan cara “main-main”, Gendhuk Tri dulu mampu mengecoh Ugrawe atau juga Halayudha. Sekarang justru yang sama berhasil untuk menjebak Ngwang. Yang merasa sangat kesakitan. Meringis sambil memutar tubuh. Tubuh Upasara dilepaskan, dan kini sepenuhnya siap bertarung menghadapi Gendhuk Tri.
Darah mengucur dari kedua telinga Ngwang yang seperti tinggal tertempeli daging tipis. Dalam keadaan yang murka, Ngwang mengeluarkan suara tak menentu. Bagai angin ribut, kaki dan tangannya meloncat dan terentang. Tendangan dan jotosan maut.
Gendhuk Tri menjejakkan tubuh. Gesit melejit. Melalui tubuh Ngwang yang menerjang lurus. Sedemikian cepatnya sehingga Ngwang seperti menangkap angin. Juga merasa dingin bagian ubun-ubunnya karena tersenggol ibu jari kaki Gendhuk Tri.
“Mulut kotor macam ini mau mengisap ibu jari kakiku?”
Ngwang mengeluarkan suitan keras. Jelas bisa ditandai bahwa kini sepenuhnya murka. Tenaga dalam yang tersimpan selama ini meluncur keras. Setiap kali bersuit suaranya sangat nyaring, dan udara yang keluar dari bibirnya membentuk garis. Yang anehnya, Gendhuk Tri tak bisa menembus. Atau berusaha menghindari.
Hal yang terpaksa dilakukan Gendhuk Tri mengingat tercium bau amis keras yang membuat kulitnya terasa gatal-gatal panas menyengat. Sesuatu yang mengingatkan akan adanya racun keras. Dengan posisi seperti ini, dengan makin banyak suitan, yang berarti lingkaran atau juga garis putih, Gendhuk Tri terdesak.
Kini mulai repot dan terdesak. Sabetan selendangnya juga kandas, tak mampu membuyarkan asap tipis yang membeku. Bahkan kemudian asap tipis lurus itu meruncing. Dengan satu kedutan keras, asap tipis lurus itu berubah bagai panah pendek. Menusuk dari berbagai arah. Ngwang menjeritkan pekik kemenangan.
Gendhuk Tri berdiri. Tak meloncat, tak menghindar. Kedua tangannya mengembang. Kakinya setengah mengangkang. Kepalanya mengibas keras, sehingga rambutnya terurai, dan menyampok asap tipis yang menusuk. Sedangkan yang meruncing ke arah tubuh yang lain dibiarkan saja. Pameran tenaga dalam yang luar biasa. Dengan kemampuan mengerahkan tenaga dalam berdasarkan kekuatan air, Gendhuk Tri berusaha meredam serangan lawan.
Pekik kemenangan Ngwang berubah menjadi pekik yang berbeda nadanya. Sama sekali tak menduga bahwa Gendhuk Tri mampu menenggelamkan serangannya. Tiupan beliung yang mampu memutar tubuh Upasara, ternyata bisa dimentahkan Gendhuk Tri. Yang tetap berdiri tegak.
Nyai Demang bersorak girang dalam hati. Adalah di luar dugaannya bahwa Gendhuk Tri bukan hanya mampu bertahan, akan tetapi mampu memperlihatkan keunggulan. Bisa menandingi, dan sewaktu tangan Gendhuk Tri membekuk, Ngwang yang meloncat mundur.
Meskipun tidak paham sepenuhnya pertarungan kekuatan air dengan kekuatan angin, Nyai Demang bisa mengikuti, bahwa setelah badai yang ditiupkan Ngwang tak mempan, posisinya jadi berbalik. Angin badai hanya menggerakkan air di permukaan.
Pujian Nyai Demang makin meninggi. Sehingga merasa bahwa sesungguhnya ilmu Gendhuk Tri telah melesat sangat jauh. Bahkan mengungguli Halayudha. Ada benarnya, ada tidak benarnya. Ada benarnya bahwa ilmu Gendhuk Tri telah berkembang sangat pesat. Akan tetapi kalau diukur lebih tinggi dari Halayudha masih perlu dibuktikan. Karena kekalahan Halayudha terutama sekali karena tak menyangka adanya serangan tak terduga.
Demikian pula halnya dengan Ngwang. Cara Gendhuk Tri mengatasi tiupan angin tajam, membuyarkan pemusatan pikiran, justru karena mengira lawan bisa diatasi seketika. Pada titik peluang yang kritis itulah Gendhuk Tri balik menghantam.
Jago dari mana pun, dalam tingkat apa pun, dalam keadaan tertindih seperti itu, akan sulit bangkit seketika. Dan lawan yang mengetahui akan mempergunakan sekuat tenaga. Sebelum Ngwang bisa memperbaiki kuda-kudanya, sebelum bisa kembali ke semangatnya.
Tekukan tangan Gendhuk Tri mengeluarkan bunyi keras. Ketika tangan itu terangkat ke atas, menebarkan suara keras. Bagai kena tebas, Ngwang terjungkal. Gendhuk Tri meloncat dan menerkam dari atas. Ngwang berusaha menggelindingkan tubuhnya. Bergulingan sekenanya. Benar-benar terbalik.
Ngwang yang unggul pada permainan atas dengan ilmu meringankan tubuh yang tiada tara, kini dipaksa bergulingan. Sementara Gendhuk Tri justru menyambar dari atas. Bagai burung elang mempermainkan anak ayam. Ngwang benar-benar terdesak. Dengan paksa Ngwang melepaskan pakaiannya, dan melemparkan ke arah lain, untuk memancing perpindahan tenaga Gendhuk Tri.
Yang hanya dengan sekali sampok, membuat pakaian itu terbang bagai buntalan pakaian basah. Ngwang membungkus dirinya. Kepalanya dimasukkan ke dalam tekukan antara kaki. Tubuhnya benar-benar tertutup, ketika menggelinding. Gendhuk Tri berusaha meloncat. Untuk menerkam! Atau menendang. Atau apa saja. Hanya saja, mendadak tenaganya menjadi macet. Ada ganjalan berat, terutama di bawah pusarnya.
Sedemikian ngilunya sehingga tak mampu berdiri. Ingatannya masih bisa jalan, bahwa bercak-bercak hitam yang terlihat di kulit itulah yang mengganjal lancarnya pengerahan tenaga dalam. Bahwa pemaksaan tenaga yang berlebih menyebabkan bercak hitam menyebar kembali. Ketika berada di tempat di mana pusat kekuatan akan tersalur, membuntu. Benturan itulah yang mendadak menghentikan gerak Gendhuk Tri.
Nyai Demang benar-benar melongo. Mulutnya terbuka tapi tak mengeluarkan suara. Ngwang melihat kesempatan untuk menggulung tubuh sambil berdiri. Telanjang dada, mengawasi sekitarnya dengan senyum kemenangan. Nyai Demang tak bisa bernapas dengan baik. Halayudha masih terbaring. Upasara demikian juga. Kini Gendhuk Tri. Jaghana malah tenggelam dalam semadinya. Tinggal dirinya yang seperti diimpit mimpi buruk.
Matanya bercahaya ketika melihat sosok bayangan masuk ke dalam arena. Tapi hatinya kemudian jadi lebih dingin dan membeku, manakala sadar bahwa yang muncul adalah Pangeran Hiang. Yang memegang Kangkam Galih. Pedang tipis hitam dicekal erat. Yang membuat Nyai Demang beku adalah sorot mata Pangeran Hiang yang dingin, ganjil, seolah tak mengenali Nyai Demang!
Asmara Tanah air
YANG lebih mengerikan lagi, ada bau tubuh yang menusuk hidung, tercium dari jarak jauh. Bau tubuh yang membuat Nyai Demang merasa terganggu pernapasannya. Ngwang membungkuk, rata dengan tanah. Nyai Demang masih menangkap perkataannya. Ngwang seolah mengatakan bahwa selangkah lagi takhta Tartar akan menjulang sampai langit tingkat tujuh. Hanya dengan satu tebasan pedang atau tiupan beliung darinya. Pangeran Hiang memandang dingin.
“Pangeran…” Nyai Demang berusaha meneriakkan nama yang menyekat erat di tenggorokannya. Semakin kuat memaksa diri, yang terjadi seperti kejadian yang pernah dialami. Kesadarannya berangsur tenggelam. Makin dalam.
Sehingga tidak mengetahui bahwa tubuh Halayudha sudah menggeliat. Bisa duduk dan terlongong-longong memandangi sekitarnya. Jaghana masih bersila. Upasara merangkak bangkit. Mendekati tubuh Gendhuk Tri.
“Adik Tri…”
“Kakang…”
Jari tangan Upasara yang gemetar memegang tangan Gendhuk Tri. Gendhuk Tri balas meremas. “Kita telah menghancurkan diri kita sendiri. Telah menyia-nyiakan….”
Upasara menggeleng. “Kakang tidak apa-apa. Kakang menemukan kemungkinan penyembuhan bercak hitam Adik Tri.”
Gendhuk Tri tersenyum. Tubuhnya sedikit bergoyang. “Kita terlambat, Kakang.”
“Kita tidak terlambat, Adik Tri….”
Ngwang melangkah maju setindak. Matanya melirik tajam ke arah Jaghana yang masih bersemadi. Telinganya mendengar suara lirih, semacam kidungan, semacam bisikan, semacam senandung, semacam angin, semacam getar.
Tanah air menyatu
bagai daya asmara
tanah air meluas
tanpa batas
hanya daya asmara yang kekal abadi
seperti tanah air yang menyamai
yang menandingi
bukan takhta, bukan Keraton
tanah air adalah pembarep dan pamungkas
tanah air awal sekaligus akhir
tanah air tanah sekaligus air
yang mengatasi mati
bukan candi
yang mengatasi hidup
bukan mati yang mengatasi segalanya
bukan dewa tetapi daya asmara
asmara tanah air, asmara paminggir, asmara pamungkas asmara para raja
Ngwang menduga Jaghana yang menembangkan kidung. Tapi suara lirih itu juga terdengar dari arah Upasara Wulung. Atau juga getaran bibir Gendhuk Tri.
“Kamu benar-benar tak mengenalku. Katakan di mana Raja Jayanegara?!”
“Kalau hamba bisa menyertai Raja, apakah mungkin hamba sendirian bersama para prajurit di sini? Patih mengetahui sendiri, hamba masuk kemari tanpa Raja sesembahan. Kami berpisah, terpaksa dipisahkan, karena serbuan Senopati Jurang Grawah.”
“Kamu pantas dihukum mati karena melupakan tugas. Kenapa kamu malah menyembunyikan diri di sini?”
“Hamba ingin menyelamatkan nyawa yang hanya selembar ini, Patih yang perkasa. Karena semua prajurit yang meloloskan diri telah tertangkap, karena Keraton Tua atau Keraton Daha dan Keraton Petilasan Singasari telah mengakui takhta yang baru.”
Patih Wangkong menggerakkan kakinya dengan sebat. Cepat, keras, mengandung tenaga. Menginjak leher Mada. “Katakan di mana?”
Mada memejamkan mata. Betapapun hebat ilmunya, rasanya tak akan sanggup melawan. Tujuh tombak tak bakal bisa dielakkan, apalagi telapak kaki yang sudah menyentuh jakunnya. Patih Wangkong mendengus. Tubuhnya berbalik, menyeret salah satu prajurit kawal. Menarik paksa. “Kamu juga bungkam?”
Hanya sekejap sebagai batas waktu. Patih Wangkong menggerakkan telapak tangannya. Bunyi plak yang keras, dan prajurit itu terkulai. Begitu tangan Patih Wangkong melepaskan pegangan, tubuh itu ambruk di tanah. Patih Wangkong menyambar prajurit kedua dan ketiga sekaligus. Masing-masing dipegangi lehernya dengan keras. Ini berarti, satu sentakan kuat akan membuat dua kepala beradu keras. Dengan tangan yang kukuh seperti yang
dimiliki Patih Wangkong, batok kepala terasa lembek. “Masih tak mau bicara?”
“Lebih baik mengorbankan diri, daripada mengatakan kepada pengikut Senopati Kuti.”
“Bangsat!” Patih Wangkong membalik. Kini menarik Mada. “Aku bunuh kamu karena lalai dalam menjalankan tugas. Bukan karena Kuti atau segala luwak.”
Mada menahan getaran di dadanya. Dengan menyebut luwak, bisa diketahui perasaan Patih Wangkong yang sebenarnya. Terutama karena sikap Patih Keraton Singasari ini sedemikian terbukanya. Sebutan luwak, sebenarnya berarti musang. Akan tetapi dalam pembicaraan tertentu luwak dianggap binatang yang licik, yang culas, yang mencuri makanan di malam hari. Tidak gagah perkasa seperti singa, harimau, atau banteng. Mada bisa menangkap getaran kebencian Patih Wangkong.
“Menyembahlah. Kalau masih ingin diampuni segala dosa yang paling hina.” Suara Mada dibarengi dengan tubuhnya sendiri merunduk turun, sambil menyembah dan bersila.
Patih Wangkong dan pengikutnya baru sadar ketika Raja Jayanegara meloncat turun dari atas. Segera semuanya menunduk dan menyembah rata dengan tanah.
“Kalau kalian memang masih ingin ngabekti, jangan membuang waktu terlalu lama.”
“Sendika dawuh, Ingkang Sinuwun-”
Raja mengangguk. “Kita menuju Singasari.”
Mada mengertakkan giginya. “Maaf, maaf sekali, Raja sesembahan. Rasa-rasanya…”
Patih Wangkong menyembah. Adatnya yang keras membuatnya berani memotong ucapan Mada. “Kamu berani meragukan kesetiaan Pangeran Kertawardhana?”
Siasat Pengakuan
KERAS adatnya, lancang gerakannya, seketika tindakannya. Seakan tak ada pengendalian sama sekali atas apa yang diucapkan atau dilakukan. Begitulah Patih Wangkong. Begitu merasa Mada berbicara sembarangan dan merendahkan junjungannya, Patih Wangkong langsung menuding ke biji mata Mada. Yang dengan gagah menampik keras. Tenaga keras. Tangan Patih Wangkong terpuntir.
“Bangsat!”
“Jaga mulutmu di depan Raja.”
Baru kemudian Patih Wangkong sadar dan menahan diri. Meskipun wajahnya menjadi merah menahan geram.
“Raja Sesembahan tidak akan meninggalkan tempat ini. Apalagi mengungsi ke Keraton Petilasan Singasari. Patih Wangkong, saya menyampaikan hormat akan kesetiaan Patih serta Pangeran Anom Angon Kertawardhana yang mulia. Saya berbesar hati karena kesetiaan dan pengabdian kalian semua. Tapi Raja menghendaki kalian berangkat kembali ke Keraton Petilasan Singasari. Kumpulkan seluruh prajurit yang setia, pimpin menuju Keraton, bersama Pangeran Kertawardhana. Bersikaplah seolah akan mengakui takhta Senopati Kuti yang berhati luwak. Di sana saya akan menghubungi Patih.”
“Apakah itu berarti kamu tidak percaya kesetiaan dan pengabdian kami?”
“Itu akan terbukti semuanya di Keraton. Apakah Patih benar-benar mengakui takhta yang sekarang, atau menyiapkan diri untuk menyerbu.”
“Sejak kapan kamu begitu ketus, Mada?”
“Sejak saya mendapat tugas dari Raja. Sejak Patih melangkah kemari, sejak sebelum Patih bertanya, saya sudah merasakan kesetiaan Patih Wangkong yang teguh perkasa. Tapi semua itu hanya perasaan. Dalam tindakan yang gawat, kita tak bisa mengandalkan perasaan, tidak hanya mendengarkan suara hati, agar tidak makan hati di belakang hari. Saya harus meyakinkan diri, bahwa Patih Wangkong yang perkasa bukan sedang mencari Raja karena perintah Senopati Kuti. Saya bersedia membayar dengan nyawa untuk menguji itu. Saya percaya sepenuhnya kepada Patih Wangkong yang perkasa, yang gagah berani. Tapi andai ada prajurit yang bertindak sembrono, gagallah semua rencana kita. Andai ada prajurit yang ingin mendapat pangkat dan derajat tinggi dengan menjual kabar ini, gagallah menegakkan kebenaran dan kejayaan Keraton.”
Patih Wangkong mengangguk. “Baik. Siasat pengakuan ini akan saya lakukan. Hanya aku tak menyangka kamu bisa sekeji Raja Muda Gelang-Gelang.”
“Siasatnya bisa sama. Tujuannya berbeda.”
Raja menggerakkan tangannya. “Ingsun merestui apa yang dikatakan Mada.”
“Sendika dawuh, Sinuwun?" Patih Wangkong dan pengikutnya menyembah hormat, kemudian mundur dengan berjalan jongkok.
Mada mengawasi hingga bayangan mereka hilang, baru kemudian masuk kembali.
“Apa rencanamu selanjutnya, Mada?”
“Mohon ampun, seribu ampun. Hamba ingin kita berpindah ke selatan. Menunggu saat baik untuk kembali ke Keraton.”
“Saat baik yang bagaimana?”
“Ampun, Raja Sesembahan. Saat baik ialah kalau Pangeran Anom Wengker serta seluruh prajurit Daha juga melakukan hal yang sama. Dengan demikian tak ada lagi yang akan mendukung Senopati Kuti. Pengerahan prajurit Daha dan Singasari sangat besar artinya bagi dukungan pengabdian kepada Raja yang Besar. Seluruh penduduk akan mengetahui dan menjadi saksi bahwa nama harum dan besar dan berwibawa Raja yang Sejati tetap besar tiada tandingannya.”
“Bagaimana kamu bisa memastikan Daha juga akan datang ke Keraton?”
“Hamba sendiri yang akan berangkat ke sana.”
Raja mengangguk. “Lakukan apa yang kamu rasa benar.”
“Sembah bagi Raja.”
Mada kemudian memerintahkan kedua prajurit kawal yang tak diragukan pengabdiannya untuk segera berangkat. Ia meminta maaf kepada pemilik rumah, dan meminta mengubur prajurit yang gugur dengan baik-baik. Suatu hari kelak jika ada hari baik, Mada berjanji akan kembali untuk mengadakan penghormatan kepada prajurit yang gugur dalam menjalankan tugas. Semua dilakukan dengan cepat.
Sebelum seluruh kalimatnya bisa dimengerti oleh pendengarnya yang masih duduk keheranan dan ketakutan, Mada telah pergi meninggalkan. Bergabung dengan Raja dan menuju Desa Badander. Untuk sementara bisa mengistirahatkan Raja di tempat yang aman. Mada sendiri kemudian mengatur siasat. Dan melakukan sendiri.
Yang pertama disebarkan ialah berita bahwa Raja telah mangkat. Kabar ngayawara, tanpa sumber resmi, ini mudah sekali berkembang di masyarakat. Dengan demikian membuat mereka gelisah. Mada tinggal mengarahkan agar penduduk seluruhnya berduyun-duyun menuju alun-alun Keraton, sambil membuka pakaian bagian atas. Hanya selembar bagian bawah sebagai penutup. Kemudian berjemur di alun-alun.
Siasat dede atau menjemur diri ini sangat tepat dilakukan. Dengan menjemur diri akan menarik perhatian penduduk yang lain. Mereka yang ingin mengetahui apa yang terjadi akan ikut dede. Cara ini dilakukan penduduk jika ada peristiwa yang merisaukan, dan mereka ingin meminta penjelasan resmi dari Raja. Dalam hal ini, peristiwa yang merisaukan itu adalah berita mangkatnya Raja Jayanegara.
Dengan berada di alun-alun, kumpulan manusia itu tak bisa dibedakan, mana yang prajurit. Dengan bertelanjang dada, lebih sulit lagi dikenali. Dengan cara ini, Mada ingin melancarkan serangan mendadak. Untuk mengadakan pendekatan ke Daha, tak terlalu gampang. Sebab Patih Arya Tilam tampaknya serba curiga, penuh prasangka, dan jalan pikirannya tidak sesederhana jalan pikiran Patih Wangkong. Agak sulit bagi Mada membujuk dan mengatakan maksud yang sebenarnya.
Satu-satunya jalan adalah memakai nama Putri Tunggadewi serta Putri Raja Dewi yang meminta bantuan pembebasan. Mada memakai bukti cundhuk yang sebenarnya berasal dari tanduk biasa. Jalan pikirannya, ini satu-satunya benda yang mungkin tak bisa dibuktikan seketika benar dan tidaknya. Perhitungan Mada yang kemudian ialah, kalaupun Pangeran Muda Wengker tidak membantu sepenuhnya, ia tidak berada di pihak lawan.
Paling tidak, ragu atau menunggu. Dalam hal ini Mada sulit memastikan bagaimana sikap Pangeran Muda Wengker, karena yang terakhir ini tak memberikan jawaban yang jelas. Demikian pula jawaban yang diberikan Patih Tilam.
“Bagaimana saya bisa mempercayai kamu ini utusan putri Keraton, kalau selama ini kami tak pernah mendengar kabar dan tak pernah berhubungan?”
“Patih Tilam yang bijak. Dengan mengutus hamba, Putri memilih prajurit yang dekat dengan Raja.”
“Bagaimana saya bisa percaya kalau bayangan Raja tak terlihat?”
“Maaf, Patih Tilam. Kalau Raja sendiri yang berkenan meminta, apakah artinya pengabdian itu? Semua akan jelas dan terang benderang. Itu artinya bukan menunjukkan kesetiaan, akan tetapi menjalankan tugas. Justru pada situasi seperti inilah kesetiaan itu diperlihatkan.”
“Bagaimana saya bisa percaya kalau kamu bukan utusan Senopati Kuti yang berpura-pura menguji kami?”
“Kalau Senopati Kuti, hanya perlu mengirim utusan. Barang lima prajurit, dan Patih Tilam mengakui takhta yang baru.”
“Oh, itu caranya memojokkan kami? Dengan mengungkap bahwa pengakuan takhta adalah pengkhianatan? Iya? Begitu, prajurit kecil Mada?”
“Waktu saya tidak banyak, Patih yang arif. Hamba hanya melaporkan apa yang terjadi, sesuai dengan gambaran sebenarnya kepada Raja.”
Yang tidak diketahui Mada ialah bahwa Patih Tilam sangat berhati-hati dalam bertindak. Boleh dikatakan bertolak belakang dibandingkan Patih Wangkong. Patih Tilam selalu bisa membuat orang yang berhadapan dengannya menduga-duga apa yang sebenarnya dilakukan, dan apa yang sebenarnya disembunyikan.
Karena ketika utusan Senopati Kuti datang memeriksa, Patih Tilam menyerahkan lima prajurit sebagai pengganti prajurit bhayangkara. Patih Tilam kemudian mengirim utusan untuk mengakui Senopati Kuti sebagai penguasa Keraton. Tapi Patih Tilam pula yang berdiam-diam memerintahkan para prajuritnya berjaga di sekitar Keraton. Sebagai penasihat rohani Pangeran Muda Wengker, tindakan Patih Tilam sulit diduga. Meskipun kelihatan berbantah dengan Mada, Patih Tilam pula yang memohon Pangeran Muda Wengker segera berangkat ke Keraton.
“Saya sendiri akan membuktikan kesetiaan dengan mengalirkan darah saya di Keraton. Demi asma Pangeran Muda.”
Beda Buah dengan Bijinya
MADA mempersiapkan dengan sepenuh kemampuannya. Langkah terakhir yang akan ditempuh ialah menuju Perguruan Awan, untuk minta restu dan bantuan dari Jaghana. Dengan hadirnya Jaghana, Mada merasa aman luar-dalam untuk merebut Keraton dari tangan Senopati Kuti. Akan tetapi Perguruan Awan terlalu luas tanpa batas, dan tak bisa menemui penghuninya dengan gampang.
Apalagi saat itu telah terjadi perubahan. Ketika Halayudha menghardik Ngwang dengan menanyakan ilmu membal, dengan menuduh Ngwang mencuri ilmu, Upasara masih dalam keadaan terluka. Nyai Demang berdiri setengah melindungi, demikian juga Gendhuk Tri. Sementara Jaghana masih bersila di samping Upasara.
“Sudah jelas Ngwang mencuri dari Kitab Klungsu. Kenapa masih perlu ditanya segala?” Halayudha mengejapkan matanya. Suara Gendhuk Tri yang diucapkan dengan penuh kesungguhan, membuatnya terbengong-bengong. “Kitab Klungsu? Rasanya aku belum pernah mendengar.”
“Mana mungkin mendengar kalau selama ini kitab itu hanya boleh dikidungkan dalam hati?”
Nyai Demang menghela napas lega. Gendhuk Tri yang sekarang ini ternyata masih Gendhuk Tri yang dulu. Yang bicara seenaknya, yang menyerang sana, mengacau sini, yang membolak-balik dan membelokkan jalan pikiran orang. Gendhuk Tri yang dulu, yang nakal, yang menggoda, yang menikmati kebingungan orang lain.
Dengan mengatakan Kitab Klungsu, jelas Gendhuk Tri hanya main-main. Sebab Nyai Demang sendiri belum pernah mendengar adanya kitab klungsu, atau buku mengenai biji asam. Bahkan dari caranya menjawab pertanyaan Halayudha, sebenarnya Gendhuk Tri sangat keterlaluan mempermainkan.
Sewaktu Halayudha mengatakan belum pernah “mendengar”, oleh Gendhuk Tri diartikan mendengar dalam artian wadak. Sehingga dijawab tak mungkin mendengarkan karena cara membacanya di dalam hati. Akan tetapi justru jawaban yang tak masuk akal ini membuat Halayudha tertarik. Hingga kedua tangannya menggaruk-garuk kepalanya.
“Bagaimana mungkin? Maukah kamu mengidungkan bagiku?”
“Ilmu itu tidak untuk dikidungkan.”
“Celaka. Bagaimana kalau kamu tulis dan aku membaca dalam hati?”
“Baik, aku akan melakukan untukmu. Karena kamu pernah menolongku, meskipun nyatanya malah membuat aku menderita.”
Halayudha menyeringai. “Mana mungkin? Upasara tetap tak bisa menghalau bercak dalam tubuhmu. Aku bisa kalau kamu tidak membandel. Tenaga air dalam tubuhmu itu aneh. Adakalanya menolak tenaga bumi, adakalanya menerima. Ngwang saja terbengong-bengong. Ia bisa mengatakan adanya tenaga im dan tenaga yang. Tapi juga tetap tak mengerti kenapa bisa bertabrakan. Upasara sendiri keok. Katanya ia memadukan tenaga menjadi tenaga tanah air. Tapi sekarang malah merenung seperti anak kecil kehilangan mainan. Seperti anak muda kehilangan asmara. Betul tidak?”
“Betul.”
Mendadak Halayudha menjentikkan ibu jari dan jari telunjuk. Suaranya menggema, bergaung keras sekali. Bahkan pohon-pohon dalam jarak sepuluh tombak seperti terguncang.
“Rasanya aku mengerti pemecahannya. Tapi nanti saja. Setelah kamu memberitahu isi Kitab Klungsu.”
Sewaktu Halayudha menjentikkan jarinya, tangan Jaghana mendekap tangan Upasara. Mengeluarkan getaran hangat, yang disambut Upasara. Ngwang memperhatikan dengan saksama. Setiap gerakan yang paling kecil pun tak lolos dari pengamatannya. Gendhuk Tri menorehkan jarinya di tanah.
Klungsu itu biji asam
Klungsu itu bukan asam
Sebab klungsu itu berat
Tapi ringan
Kalau dibanting akan melenting
Buah asam rasanya asam
Kalau dibanting menjadi pecah
Itulah beda biji dengan buah…
Halayudha memegangi kepalanya. Rambutnya semakin awut-awutan. Kalimat yang dituliskan Gendhuk Tri dieja, dibaca berulang-ulang. Beberapa kali jidatnya ditepuk.
“Aku tak menangkap maknanya. Jangan-jangan kamu sudah gendheng.”
Halayudha menggebrak. Dengan menggerakkan kakinya, seluruh tulisan terhapus, sementara gerakan itu tak berhenti di situ. Kedua kakinya terjulur keras, menyambar Gendhuk Tri. Memotong habis. Gendhuk Tri mengangkat tubuhnya, menghindari sabetan kaki. Serta-merta Halayudha menarik kembali kakinya, Gendhuk Tri bersiaga.
“Nah, itu ajaran Kitab Air. Jelas sekali. Di mana ada tempat rendah, air mengalir. Begitu seranganku ditarik atau lewat, kamu berdiri di situ. Coba ulangi kalau tidak percaya.”
Halayudha kembali mengulang. Menebas kaki Gendhuk Tri. Dalam putaran yang menyeruak, menggulung jarak setombak tepat di kaki Gendhuk Tri. Yang mau tak mau terpaksa jungkir-balik ke atas.
Halayudha menggerakkan kedua tangannya ke arah kanan. Satu telunjuknya menuding. “Di sana.”
Gendhuk Tri berusaha menolak tarikan tubuh ke arah tempat yang dituding Halayudha. Namun tenaga Halayudha ternyata sangat kuat. Sehingga tubuhnya mendarat pada tempat yang telah disebutkan.
“Ya, kan? Air mengalir kalau ada tempat rendah. Kalau ada tempat yang lebih dingin. Tanah bisa lebih bertahan, walau di sebelahnya ada jurang. Itu bedanya. Itu yang mau disatukan Upasara. Sebetulnya bisa juga. Mada mestinya tahu. Ah, di mana dia sekarang? Tapi apa peduliku dengan anak kecil itu? Aneh, bayangannya selalu jelas. Aku tak mau terpengaruh. Aku ingin tahu tentang ilmu membal tadi.”
Kalimat yang tidak keruan ujung-pangkalnya itu dibarengi dengan gerakan mendadak. Tubuh Ngwang dirangkul kencang, dan berusaha dibanting keras. Kalau kena. Karena Ngwang tidak membiarkan begitu saja. Begitu ada angin menyambar, serta-merta tubuhnya terangkat dari tanah. Dalam gerakan yang ringan sekali. Melayang. Halayudha memakai kedua tangan sebagai tumpuan, dan tubuhnya melejit ke atas. Dibarengi dengan teriakan keras, kedua tangannya menyambar Ngwang.
“Tahan!” Teriakan Jaghana terlambat.
Pada saat itu Ngwang membuka lebar kedua kaki dan tangannya! Halayudha tak sempat menghindar. Dada dan perutnya terkena pukulan telak. Tubuhnya terbanting! Tendangan dan sekaligus pukulan yang masuk bersih. Tubuh Halayudha sampai ngejengklak, dengan kepala ke arah belakang seakan lehernya tak bisa menyangga lagi. Ngwang membalik. Kali ini jurus yang sama dimainkan untuk menerjang Gendhuk Tri!
Menyambar keras. Nyai Demang mengibarkan selendangnya. Berusaha menahan sekuatnya. Ternyata arah serangan Ngwang tidak ke arah Gendhuk Tri, karena mendadak membelok ke arah Upasara! Tubuh yang bisa meliuk bagai kapas tertiup angin, atau bahkan bagai angin itu sendiri, meruncing ke arah Upasara. Tidak langsung menyerang, melainkan berputar bagai gasing. Kencang.
Ngwang memang tidak langsung menyerang, melainkan membuat Upasara mengikuti gerakan yang ada. Memuntir sedemikian rupa, seolah memasukkan Upasara yang terluka ke dalam putaran beliung. Pusaran angin! Gendhuk Tri menyadari bahaya besar. Seperti juga Halayudha, Gendhuk Tri tidak menyangka sama sekali bahwa tenaga angin Ngwang masih lebih banyak yang tersimpan. Selama ini ia hanya memperlihatkan sebagian kecil saja. Baru bagian luarnya.
Pertarungan Angin-Air
PUTARAN tubuh Ngwang membelit, menelikung sempit. Hanya dalam lima putaran, tubuh Upasara seperti tak bisa dikendalikan. Ketika Ngwang meloncat tinggi, Upasara seakan terseret. Ikut terbawa. Bahkan sewaktu Ngwang sudah berdiri tegak, tubuh Upasara masih berputar bagai gasing.
Tanpa berpikir panjang, Gendhuk Tri mengentak keras. Ujung selendang dan kedua tangannya yang terbuka lebar, menyambar masuk. Dalam putaran yang kencang dan sempit, Gendhuk Tri tak bisa menemukan sela-sela yang pas. Akan tetapi ketajaman tenaganya yang diselusupkan mampu menyelinap.
Meskipun itu bisa diartikan bahaya yang lain. Sebab dengan demikian pukulan Gendhuk Tri bisa mengenai tubuh Upasara. Akan tetapi risiko apa pun akan ditanggung, daripada berdiri bengong.
Ngwang tetap memutar tubuh Upasara dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menampik pukulan Gendhuk Tri. Kesiuran angin lembut berubah bagai sentakan badai. Sekejap saja berubah tekanannya.
Namun bukan Gendhuk Tri kalau terjegal dengan serangan mendadak. Justru dengan itu Gendhuk Tri bangkit menerjang. Keras dihadapi dengan keras. Pukulan Ngwang disambut sama keras dengan meloncatkan tubuh ke atas, sementara kakinya menyaduk ulu hati Ngwang. Ngwang melihat peluang menang di atas. Satu tangan tertekuk, berubah bagai patuk burung elang yang menyambar ubun-ubun Gendhuk Tri.
“Cuma sebegini.”
Gendhuk Tri masih bisa mengeluarkan seruan ejekan, sebelum membuat berat tubuhnya melorot ke bawah. Tangan Ngwang menghantam angin, sementara dadanya termakan serbuan lawan yang mendadak bertambah sangat cepat. Tak banyak pilihan bagi Ngwang. Selain menurunkan tubuh Upasara, sebagai penangkis.
Kali ini Gendhuk Tri memperlihatkan keunggulannya. Menyerobot masuk, Gendhuk Tri bukannya meneruskan tendangan ke arah lawan, melainkan masuk melalui selangkangan Ngwang. Yang kalaupun tidak berdiri di atas tanah, tetap bisa dilewati. Baru kemudian muncul membalik di belakang Ngwang. Langsung menyambar daun telinga. Memuntir habis.
Bagi yang tidak biasa menghadapi, apa yang diperlihatkan Gendhuk Tri memang serba tidak biasa. Menerobos lewat selangkangan saja bukan ukuran permainan silat yang lazim. Apalagi kemudian memuntir daun telinga. Justru yang tak terduga itu merupakan keunggulan Gendhuk Tri. Perpaduan antara kenakalan dan permainan. Karena sebenarnya Gendhuk Tri bisa menyerang bagian kepala yang lebih menentukan meraih kemenangan.
Nyatanya justru dengan cara “main-main”, Gendhuk Tri dulu mampu mengecoh Ugrawe atau juga Halayudha. Sekarang justru yang sama berhasil untuk menjebak Ngwang. Yang merasa sangat kesakitan. Meringis sambil memutar tubuh. Tubuh Upasara dilepaskan, dan kini sepenuhnya siap bertarung menghadapi Gendhuk Tri.
Darah mengucur dari kedua telinga Ngwang yang seperti tinggal tertempeli daging tipis. Dalam keadaan yang murka, Ngwang mengeluarkan suara tak menentu. Bagai angin ribut, kaki dan tangannya meloncat dan terentang. Tendangan dan jotosan maut.
Gendhuk Tri menjejakkan tubuh. Gesit melejit. Melalui tubuh Ngwang yang menerjang lurus. Sedemikian cepatnya sehingga Ngwang seperti menangkap angin. Juga merasa dingin bagian ubun-ubunnya karena tersenggol ibu jari kaki Gendhuk Tri.
“Mulut kotor macam ini mau mengisap ibu jari kakiku?”
Ngwang mengeluarkan suitan keras. Jelas bisa ditandai bahwa kini sepenuhnya murka. Tenaga dalam yang tersimpan selama ini meluncur keras. Setiap kali bersuit suaranya sangat nyaring, dan udara yang keluar dari bibirnya membentuk garis. Yang anehnya, Gendhuk Tri tak bisa menembus. Atau berusaha menghindari.
Hal yang terpaksa dilakukan Gendhuk Tri mengingat tercium bau amis keras yang membuat kulitnya terasa gatal-gatal panas menyengat. Sesuatu yang mengingatkan akan adanya racun keras. Dengan posisi seperti ini, dengan makin banyak suitan, yang berarti lingkaran atau juga garis putih, Gendhuk Tri terdesak.
Kini mulai repot dan terdesak. Sabetan selendangnya juga kandas, tak mampu membuyarkan asap tipis yang membeku. Bahkan kemudian asap tipis lurus itu meruncing. Dengan satu kedutan keras, asap tipis lurus itu berubah bagai panah pendek. Menusuk dari berbagai arah. Ngwang menjeritkan pekik kemenangan.
Gendhuk Tri berdiri. Tak meloncat, tak menghindar. Kedua tangannya mengembang. Kakinya setengah mengangkang. Kepalanya mengibas keras, sehingga rambutnya terurai, dan menyampok asap tipis yang menusuk. Sedangkan yang meruncing ke arah tubuh yang lain dibiarkan saja. Pameran tenaga dalam yang luar biasa. Dengan kemampuan mengerahkan tenaga dalam berdasarkan kekuatan air, Gendhuk Tri berusaha meredam serangan lawan.
Pekik kemenangan Ngwang berubah menjadi pekik yang berbeda nadanya. Sama sekali tak menduga bahwa Gendhuk Tri mampu menenggelamkan serangannya. Tiupan beliung yang mampu memutar tubuh Upasara, ternyata bisa dimentahkan Gendhuk Tri. Yang tetap berdiri tegak.
Nyai Demang bersorak girang dalam hati. Adalah di luar dugaannya bahwa Gendhuk Tri bukan hanya mampu bertahan, akan tetapi mampu memperlihatkan keunggulan. Bisa menandingi, dan sewaktu tangan Gendhuk Tri membekuk, Ngwang yang meloncat mundur.
Meskipun tidak paham sepenuhnya pertarungan kekuatan air dengan kekuatan angin, Nyai Demang bisa mengikuti, bahwa setelah badai yang ditiupkan Ngwang tak mempan, posisinya jadi berbalik. Angin badai hanya menggerakkan air di permukaan.
Pujian Nyai Demang makin meninggi. Sehingga merasa bahwa sesungguhnya ilmu Gendhuk Tri telah melesat sangat jauh. Bahkan mengungguli Halayudha. Ada benarnya, ada tidak benarnya. Ada benarnya bahwa ilmu Gendhuk Tri telah berkembang sangat pesat. Akan tetapi kalau diukur lebih tinggi dari Halayudha masih perlu dibuktikan. Karena kekalahan Halayudha terutama sekali karena tak menyangka adanya serangan tak terduga.
Demikian pula halnya dengan Ngwang. Cara Gendhuk Tri mengatasi tiupan angin tajam, membuyarkan pemusatan pikiran, justru karena mengira lawan bisa diatasi seketika. Pada titik peluang yang kritis itulah Gendhuk Tri balik menghantam.
Jago dari mana pun, dalam tingkat apa pun, dalam keadaan tertindih seperti itu, akan sulit bangkit seketika. Dan lawan yang mengetahui akan mempergunakan sekuat tenaga. Sebelum Ngwang bisa memperbaiki kuda-kudanya, sebelum bisa kembali ke semangatnya.
Tekukan tangan Gendhuk Tri mengeluarkan bunyi keras. Ketika tangan itu terangkat ke atas, menebarkan suara keras. Bagai kena tebas, Ngwang terjungkal. Gendhuk Tri meloncat dan menerkam dari atas. Ngwang berusaha menggelindingkan tubuhnya. Bergulingan sekenanya. Benar-benar terbalik.
Ngwang yang unggul pada permainan atas dengan ilmu meringankan tubuh yang tiada tara, kini dipaksa bergulingan. Sementara Gendhuk Tri justru menyambar dari atas. Bagai burung elang mempermainkan anak ayam. Ngwang benar-benar terdesak. Dengan paksa Ngwang melepaskan pakaiannya, dan melemparkan ke arah lain, untuk memancing perpindahan tenaga Gendhuk Tri.
Yang hanya dengan sekali sampok, membuat pakaian itu terbang bagai buntalan pakaian basah. Ngwang membungkus dirinya. Kepalanya dimasukkan ke dalam tekukan antara kaki. Tubuhnya benar-benar tertutup, ketika menggelinding. Gendhuk Tri berusaha meloncat. Untuk menerkam! Atau menendang. Atau apa saja. Hanya saja, mendadak tenaganya menjadi macet. Ada ganjalan berat, terutama di bawah pusarnya.
Sedemikian ngilunya sehingga tak mampu berdiri. Ingatannya masih bisa jalan, bahwa bercak-bercak hitam yang terlihat di kulit itulah yang mengganjal lancarnya pengerahan tenaga dalam. Bahwa pemaksaan tenaga yang berlebih menyebabkan bercak hitam menyebar kembali. Ketika berada di tempat di mana pusat kekuatan akan tersalur, membuntu. Benturan itulah yang mendadak menghentikan gerak Gendhuk Tri.
Nyai Demang benar-benar melongo. Mulutnya terbuka tapi tak mengeluarkan suara. Ngwang melihat kesempatan untuk menggulung tubuh sambil berdiri. Telanjang dada, mengawasi sekitarnya dengan senyum kemenangan. Nyai Demang tak bisa bernapas dengan baik. Halayudha masih terbaring. Upasara demikian juga. Kini Gendhuk Tri. Jaghana malah tenggelam dalam semadinya. Tinggal dirinya yang seperti diimpit mimpi buruk.
Matanya bercahaya ketika melihat sosok bayangan masuk ke dalam arena. Tapi hatinya kemudian jadi lebih dingin dan membeku, manakala sadar bahwa yang muncul adalah Pangeran Hiang. Yang memegang Kangkam Galih. Pedang tipis hitam dicekal erat. Yang membuat Nyai Demang beku adalah sorot mata Pangeran Hiang yang dingin, ganjil, seolah tak mengenali Nyai Demang!
Asmara Tanah air
YANG lebih mengerikan lagi, ada bau tubuh yang menusuk hidung, tercium dari jarak jauh. Bau tubuh yang membuat Nyai Demang merasa terganggu pernapasannya. Ngwang membungkuk, rata dengan tanah. Nyai Demang masih menangkap perkataannya. Ngwang seolah mengatakan bahwa selangkah lagi takhta Tartar akan menjulang sampai langit tingkat tujuh. Hanya dengan satu tebasan pedang atau tiupan beliung darinya. Pangeran Hiang memandang dingin.
“Pangeran…” Nyai Demang berusaha meneriakkan nama yang menyekat erat di tenggorokannya. Semakin kuat memaksa diri, yang terjadi seperti kejadian yang pernah dialami. Kesadarannya berangsur tenggelam. Makin dalam.
Sehingga tidak mengetahui bahwa tubuh Halayudha sudah menggeliat. Bisa duduk dan terlongong-longong memandangi sekitarnya. Jaghana masih bersila. Upasara merangkak bangkit. Mendekati tubuh Gendhuk Tri.
“Adik Tri…”
“Kakang…”
Jari tangan Upasara yang gemetar memegang tangan Gendhuk Tri. Gendhuk Tri balas meremas. “Kita telah menghancurkan diri kita sendiri. Telah menyia-nyiakan….”
Upasara menggeleng. “Kakang tidak apa-apa. Kakang menemukan kemungkinan penyembuhan bercak hitam Adik Tri.”
Gendhuk Tri tersenyum. Tubuhnya sedikit bergoyang. “Kita terlambat, Kakang.”
“Kita tidak terlambat, Adik Tri….”
Ngwang melangkah maju setindak. Matanya melirik tajam ke arah Jaghana yang masih bersemadi. Telinganya mendengar suara lirih, semacam kidungan, semacam bisikan, semacam senandung, semacam angin, semacam getar.
Tanah air menyatu
bagai daya asmara
tanah air meluas
tanpa batas
hanya daya asmara yang kekal abadi
seperti tanah air yang menyamai
yang menandingi
bukan takhta, bukan Keraton
tanah air adalah pembarep dan pamungkas
tanah air awal sekaligus akhir
tanah air tanah sekaligus air
yang mengatasi mati
bukan candi
yang mengatasi hidup
bukan mati yang mengatasi segalanya
bukan dewa tetapi daya asmara
asmara tanah air, asmara paminggir, asmara pamungkas asmara para raja
Ngwang menduga Jaghana yang menembangkan kidung. Tapi suara lirih itu juga terdengar dari arah Upasara Wulung. Atau juga getaran bibir Gendhuk Tri.
JILID 77 | BUKU PERTAMA | JILID 79 |
---|