Senopati Pamungkas Kedua Jilid 91

Cerita silat jawa serial senopati pamungkas buku kedua jilid 91 karya Arswendo Atmowiloto
Sonny Ogawa
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 91

Gendhuk Tri ataupun Pangeran Hiang tak merasakan sesuatu yang baru dalam tikaman Halayudha. Bahwa Kangkam Galih memang istimewa itu sudah diketahui. Pedang sakti itu sedemikian tajamnya sehingga seolah bisa memutuskan kekuatannya sendiri. Tapi pengerahan tenaga yang bisa memotong dahan atau melukai kulit Nala, sebenarnya sama dengan pukulan jarak jauh yang digunakan Gendhuk Tri. Yang bisa terasakan ketika krenteg atau niatan memukul itu muncul.

Siasat lain yang tak terlihat segera adalah, dengan mengerahkan serangan pada Gendhuk Tri serta Nyai Demang, Ngwang mempunyai kesempatan menggebrak langsung. Nyatanya demikian. Mada mendengus bagai gajah disodok tolak-nya, langit-langit mulutnya. Karena yang digempur pertama adalah Nyai Demang. Yang tak cukup bersiaga.

Nyai Demang menjerit kaget. Tubuhnya menelungkup di atas tubuh Klobot dan segera bergulingan menyingkir jauh. Jeritan itu sebenarnya berasal dari rasa sakit yang ngilu di pinggang. Seketika bagian pinggang ke bawah menjadi mati untuk digerakkan dan menimbulkan ngilu. Satu-satunya yang terlintas adalah menyelamatkan Klobot. Itu sebabnya Nyai Demang memeluk Klobot dan bergulingan di tanah.

Untuk satu gebrakan ini Nyai Demang bisa menyelamatkan diri. Akan tetapi ini semua sepersekian dari tarikan napas saja. Karena kini justru lebih berada di ambang bahaya. Apa artinya jika bisa bergerak lagi? Apa artinya jika Klobot justru berada dalam dekapannya dan tak bisa lepas?

Satu sabetan pedang bisa menembus dua tubuh tanpa bisa dielakkan. Dalam melancarkan serangan, Ngwang memakai cara yang juga dipakai Halayudha. Serangannya tidak hanya satu arah. Bersamaan dengan menyambar pinggang Nyai Demang dengan tungkai, kedua tangannya terbuka lebar.

Tasbih di tangannya terayun di udara. Dengan gerakan menyendal, tali yang menyatukan biji tasbih lepas, menyambar ke berbagai penjuru. Termasuk ke Gendhuk Tri yang berusaha membebaskan diri dari tikaman pedang sakti. Termasuk Pangeran Hiang, yang berteriak nyaring.

“Awas!”

Lengan baju kutung Pangeran Hiang memapak maju sabetan, sedang lengan yang berisi tangan menjotos ke arah tebaran tasbih. Bahwa Pangeran Hiang memilih menghadapi sabetan dengan lengan kutung, menunjukkan bahwa baginya lebih utama menyelamatkan mereka yang digempur Ngwang, dibandingkan dengan mengamankan dirinya. Bisa dikatakan begitu. Walau sebenarnya bukan perhitungan asal-asalan. Pangeran Hiang tak nanti bisa ditaklukkan oleh Halayudha dengan satu-dua jurus saja. Meskipun hanya dengan satu tangan, meskipun Halayudha memiliki Kangkam Galih.

Halayudha sendiri tahu bahwa memaksakan kemenangan dengan sangat cepat atas diri Pangeran Hiang atau Gendhuk Tri boleh dikatakan mustahil. Tingkatan Gendhuk Tri atau Pangeran Hiang jauh di atas Nyai Demang yang bisa dilumpuhkan seketika. Halayudha memusatkan perhatiannya. Tak ingin terkecoh hal kecil. Walaupun Ngwang seolah berada di pihaknya dengan membungkam Nyai Demang, tidak berarti akan membantu menghadapi Gendhuk Tri serta Pangeran Hiang.

Jelas bahwa Ngwang pun akan menimba untuk kemenangannya sendiri. Semua terbaca jelas oleh Halayudha. Maka ketika Ngwang mengangkat tangannya, dan biji tasbih lepas dari ikatannya, Halayudha melepaskan Kangkam Galih ke atas. Kedua tangannya terbuka mengemposkan tenaga mendorong pecahan tasbih.

Langkah Merendah
BIJI TASBIH yang memencar pecah di tengah udara dan seketika mengeluarkan bau harum yang mulek, menusuk sekaligus memadat. Sangat berbahaya bagi yang mengisap secara telak. Sentakan tali oleh Ngwang memang dimaksudkan sebagai tenaga pendorong bagi biji tasbih yang bisa pecah, yang di dalamnya berisi bubuk wangi, bubuk sirep. Ditambah dengan tenaga dorongan, asap wangi itu bisa menyebar seketika.

Apalagi Halayudha juga menambahkan dengan tenaga dorongan ke arah yang sejajar dengan dorongan Ngwang. Yang tidak mengarah kepada dirinya. Halayudha bahkan merasa perlu melepaskan Kangkam Galih ke tengah udara, agar pengerahannya bisa sempurna. Karena Halayudha menyadari bahwa aji sirep Ngwang memang luar biasa beracun, dan belum ada yang bisa mengatasi. Satu-satunya jalan hanyalah memperkecil kemungkinan terkena.

Gendhuk Tri, dalam batas tertentu, merasa paling beruntung. Sabetan beruntun dari Halayudha tertunda, karena Kangkam Galih dilepas ke udara. Ada kesempatan bagi Gendhuk Tri untuk memukul arah pedang hitam, dan satu tangan lagi meraih punggung Nyai Demang, yang kaku menelungkup tanpa reaksi. Pada saat yang sama tadi, Pangeran Hiang juga melontarkan pukulan, dengan arah yang berbeda dari dorongan Ngwang, dan terutama Halayudha.

Kalau tokoh-tokoh lain menyadari kehebatan dan keganasan sirep wangi Ngwang, Pangeran Hiang boleh dikatakan lebih menyadari kemungkinan yang tak terpikirkan. Aji sirep wangi Ngwang mempunyai beberapa kekhususan penggunaan. Ada yang mempengaruhi dalam sekejap, ada yang bisa menghilangkan pikiran, ada yang menjadi gangguan sepanjang usianya jika diisap kuat, menerobos paru-paru dan terbawa darah. Dalam perang habis-habisan semacam ini, Ngwang pasti mengeluarkan simpanannya yang terakhir.

Dengan serangan ini, Ngwang memang ingin bergegas sepenuhnya dan bisa segera menguasai medan. Tidak dalam artian meraih kemenangan seketika, akan tetapi pijakannya lebih kokoh dibandingkan yang lain. Karena Ngwang sebenarnya sudah bisa memperhitungkan keunggulannya. Selama ini dirinya terus-menerus hanya memikirkan bagaimana memecahkan rangkaian ajaran dalam Kitab Bumi. Akan tetapi, ketika jurus-jurus yang diciptakan dijajal di Tanah Jawa, ternyata masih kagok. Kitab Bumi telah mengalami beberapa perkembangan.

Keunggulan mutlak Ngwang tak bisa diraih secara total. Keunggulan lain yang terasakan berdasarkan pengamatan, hanyalah caranya mengentengkan tubuh dengan ngleyang. Melayang dengan kecepatan sesuai kekuatan lawan. Ini membuatnya unggul, akan tetapi bukan cara untuk meraih kemenangan. Apalagi lawan yang dihadapi bisa dengan cepat membaca keunggulannya. Maka yang segera disebarkan adalah senjata andalannya. Menggunakan sirep wangi, dibarengi dengan pengucapan mantra.

Pengaruh bau wangi yang keras akan segera terasakan hasilnya. Lawan akan terjebak dan mudah diarahkan. Keinginan yang paling mungkin ini ternyata bisa dipatahkan. Untuk sementara. Kalau tenaga sendalan, ditambah dorongan, ditambah lagi gesekan dorongan tenaga dalam Halayudha, mampu menyebarkan asap wangi, kini seperti memadat kembali oleh tenaga dalam Pangeran Hiang.

Pipi Mada mengempot, menggelembung, dan melesak melihat gumpalan asap yang bergerak dan mendadak terhenti. Mada boleh dikatakan beruntung. Karena sering langsung terlibat dalam pertarungan-pertarungan kelas utama. Itu pula yang menyebabkan perkembangannya dalam ilmu silat maupun ilmu lain mengungguli ksatria satu angkatan. Kali ini pun Mada tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya.

Asap adalah benda yang sangat ringan, tipis, dan segera menyatu dengan angin. Apalagi kalau diembuskan. Akan tetapi ternyata bisa ditahan Pangeran Hiang. Pameran tenaga dalam yang sempurna. Mada menahan napasnya, memantapkan pengerahan tenaga dalam. Dalam hal ini, Mada belum bisa memberitahu Nala maupun Naka. Mereka bertiga berada dalam jarak yang cukup jauh dari ledakan tasbih, akan tetapi masih ada rembesan bau wangi.

Yang membuat Nala dan Naka seakan tak menginjak tanah. Seperti tersedot ke atas. Nala tampak tak bisa menguasai diri. Sabetan angin pedang yang menggores di kulitnya seperti melepuh, mengeluarkan darah. Tanpa iringan teriakan mengaduh, tubuh Nala terjatuh ke bawah. Dalam olengnya, Naka masih bisa mundur dengan terhuyung-huyung.

Mada mengerahkan tenaga dalam untuk melawan sekuatnya. Tangannya menggandeng Naka. Desakan agar Naka mengatur pernapasan tak bisa segera diutarakan, karena takut dirinya sendiri bocor dan mengisap sirep wangi. Luar biasa pengaruh sirep wangi. Nala seakan mandi darah. Luka yang ada melebar dan meroyak. Seakan asap ganas itu mempercepat proses kematian.

Lebih luar biasa apa yang dilakukan Pangeran Hiang. Ini dirasakan Gendhuk Tri maupun Halayudha serta Ngwang. Dengan pertimbangan yang berbeda. Dalam pandangan Halayudha, tenaga dalam Pangeran Hiang ternyata mampu dikendalikan menjadi tenaga keras, sekaligus juga lembut. Yang terakhir ini terbukti ketika melawan tenaga dorongan darinya ataupun dari Ngwang, tetapi tetap mampu menahan bergeraknya asap.

Dalam pandangan Ngwang, pangeran yang dipuja ini telah menemukan kuncian yang luar biasa, sehingga penguasaannya sedemikian sempurna. Penguncian yang seakan khusus diciptakan Pangeran Hiang untuk membungkam ilmu Ngwang. Mirip dengan pandangan Ngwang maupun Halayudha, Gendhuk Tri bisa merunut lebih jauh sumbernya. Ketika Pangeran Hiang melontarkan pukulan tadi, kedua kakinya jinjit, terangkat tumitnya, sehingga tubuhnya lebih tinggi. Akan tetapi lututnya tertekuk, dengan dada menutup.

Itulah langkah merendah, sikap nggandul, sikap menggantung. Dengan cara menggantung inilah Pangeran Hiang mampu mementahkan berkembangnya asap. Kalau Ngwang menduga Pangeran Hiang menemukan kuncian, bagi Gendhuk Tri ini memang jawaban yang sempurna dari Langkah Karawitan yang dulu dipelajari bersama. Pangeran Hiang menemukan bahwa irama permainan dalam karawitan adalah irama yang nggandul, yang menggantung. Tidak selesai dengan habis. Demikian pula dengan langkah yang merendah.

Pada saat mengangkat tumit tinggi-tinggi, seolah tubuhnya memanjang. Akan tetapi tekukan lutut itulah yang lebih menurunkan ketinggiannya. Demikian pula halnya dalam pengerahan tenaga. Kalau pukulan kerasnya diadu lawan keras, asap sirep justru lebih menyebar ke segala arah. Lebih cepat dan lebih ganas. Tapi Pangeran Hiang menggunakan langkah merendah, dengan penguasaan irama pengerahan yang nggandul, keras tidak, lunak pun tidak. Berada setengah-setengah.

Tanpa disadari, Pangeran Hiang sebenarnya telah masuk dan inti kekuatan karawitan. Langkahnya yang kagok, hitungan irama yang berbeda, merupakan cerminan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Sesuatu yang tak mampu dipahami oleh Gemuka. Oleh utusan sebelumnya. Bahkan oleh Ngwang sekalipun. Yang menciptakan ilmu secara khusus untuk menghancurkan ajaran dari Kitab Bumi. Ini yang luar biasa!

Pencerahan Pangeran Hiang terjadi justru ketika ia rumangsuk tanpa batas, tanpa beban. Ketika menenggelamkan diri, dan merasakan ikatan tali persaudaraan dengan Upasara adalah bagian dari proses yang wajar. Yang dicarinya selama ini. Persaudaran. Bukan kemenangan.

Gendhuk Tri menggertak maju, mengambil posisi ke dekat Nyai Demang. Ketika satu tangan mengolengkan Kangkam Galih dan satu tangan menarik tubuh Nyai Demang, dan masih sempat menangkap kehebatan langkah merendah Pangeran Hiang, Gendhuk Tri tak mau terpaku. Karena menyadari bahwa bahaya berantai dengan bahaya lain masih akan susul-menyusul.

Asap wangi memang sangat berbahaya, akan tetapi serangan berikutnya bisa sama bahayanya. Karena bisa jadi tidak hanya ada satu atau dua rangkaian serangan biji tasbih. Bisa jadi ini sekadar untuk menyerap perhatian. Untuk disusul serangan yang lain. Baginya Kangkam Galih lebih menakutkan. Karena Halayudha bisa memainkan secara gila-gilaan.

Menyabet secara beringasan tanpa memedulikan keselamatannya, sudah cukup untuk membuyarkan. Karena selama ini belum ada yang bisa menindih ketajaman dan kesaktian Kangkam Galih. Dengan kemampuannya membaca jalannya pertarungan, Gendhuk Tri menggertak maju. Menyusup ke tengah pertarungan.

Satu tangan meraih pundak Nyai Demang dan menariknya, serta mendorong ke tempat yang lebih aman, dan tangan lain bersiaga. Ini berarti Gendhuk Tri mengibarkan bendera, menerjang arah badai. Dengan mendahului menggertak ke arah Halayudha, Gendhuk Tri terbuka dan bisa menjadi sasaran Halayudha maupun Ngwang. Atau juga Pangeran Hiang!

Mana Serangan, Mana Pancingan
HALAYUDHA terkeduk murkanya. Nekat atau sekadar cari mati, nyatanya Gendhuk Tri mampu membuat oleng jatuhnya Kangkam Galih sehingga Halayudha memerlukan jungkir-balik untuk bisa menggenggam kembali dengan sempurna. Pada saat yang sama, Gendhuk Tri malah merangsek maju. Masuk ke jangkauan sabetan pedang.

Sambil membalik tubuh, Halayudha melakukan tebasan memotong dengan kedua tangan mencekal gagang pedang. Kekuatannya berlipat. Gendhuk Tri seakan tidak merasakan datangnya tebasan yang sangat berbahaya. Kedua kakinya menendang maju. Beriringan. Di antara sabetan Kangkam Galih!

Halayudha selalu dua kali siaga jika menghadapi Gendhuk Tri. Pertarungan demi pertarungan selama ini menyadarkan bahwa di balik ilmunya yang makin tinggi, kegesitan Gendhuk Tri makin berlipat, sementara jurus-jurus yang dimainkan juga makin ganjil. Kalau tidak melorot ke bawah kaki lawan, menyusup menginjak pundak atau kepala, juga serba tak terduga. Seperti yang dilakukan sekarang ini.

Akal yang paling miring pun susah menerima kenyataan, justru Gendhuk Tri yang menyongsong datangnya Kangkam Galih, dengan kaki. Dengan balutan kain. Sementara satu tangan kosong bersiaga, dan satu tangan mengamankan Nyai Demang.

Tak kurang dari Ngwang yang mengeluarkan desisan. Untuk sepersekian kejap Ngwang merasa bahwa sirep wanginya telah mengubah keberanian Gendhuk Tri menjadi sepuluh kali lipat. Sehingga tidak melihat adanya bahaya selain maju menerjang. Rasanya mustahil tanpa dorongan pengaruh aji sirep, kalau sampai Gendhuk Tri berani mengentak dengan tendangan. Di antara sabetan pedang.

Mada tak bisa menahan diri. Sejak pertama tadi darahnya sudah terlibat dalam pertarungan. Ada getaran yang sama yang rumangsuk dalam dirinya, yang membuatnya tak sabar diri. Kalau selama ini masih bisa menahan diri dan berada di kejauhan, kini merangseknya Gendhuk Tri membuatnya tak mampu menahan diri untuk maju menerjang.

Dengan mengepalkan kedua tinjunya, tubuhnya berguling ke tengah. Menjotos Halayudha di bagian lambung. Dengan menggelundung, Mada memakai cara tercepat untuk sampai ke tengah pertarungan. Loncatan yang bagaimanapun cepatnya, akan mudah dikenali Halayudha. Dengan menjotos ke arah lambung, Mada melihat itulah satu-satunya peluang ketika dua tangan Halayudha mencekal pedang.

Agak sulit bagi Mada untuk menyelamatkan Gendhuk Tri. Dan Mada sadar tidak berpikir sejauh itu. Apa yang ada dalam batinnya hanyalah melakukan sesuatu untuk mencegah sesuatu yang mengerikan. Dorongan yang ada padanya adalah dorongan yang murni, tanpa berniat menyejajarkan dirinya dengan yang tengah berlaga.

Perasaannya akan mengutuk dirinya sepanjang sisa hidupnya kalau sampai Kangkam Galih membelah tubuh Bibi Tri, tanpa dirinya berbuat sesuatu. Dengan menggelundungkan diri, Mada terjun ke lautan pertarungan. Sementara itu Pangeran Hiang yang sudah merasakan keganasan Kangkam Galih dengan korban sebelah tangannya menahan napas.

Kalau tulang tangan bisa putus tandas, apa artinya kain yang hanya selembar? Apa artinya kaki Gendhuk Tri, atau bagian tubuhnya? Berbeda dari Mada, Pangeran Hiang memusatkan diri sepenuhnya pada kemungkinan yang bisa terjadi mendadak, dengan harapan masih bisa turut campur. Tanpa terasa lengan bajunya yang buntung, yang tadi melambai-lambai, menjadi kaku tegang dan terangkat.

Di bagian lain, Nyai Demang tidak mengetahui apa yang tengah terjadi. Sejak menarik Klobot dan melindungi, Nyai Demang hanya merasakan ngilu dan mati rasa bagian pinggang ke bawah. Kalau kemudian merasakan sesuatu, hanyalah tubuhnya yang tertarik ke atas, terdorong ke arah samping dengan masih memeluk Klobot. Nyai Demang tidak mengetahui bahwa nyawa Gendhuk Tri bagai seutas rambut. Juga setelah berada di tempat yang tak terjangkau serangan dan sabetan, Nyai Demang masih belum sadar benar. Sorot matanya masih mencari-cari.

Halayudha mencelos. Bukan tidak menyangka Gendhuk Tri akan senekat ini, akan tetapi rasa hatinya mengatakan bahwa di balik serangan ini tersembunyi jebakan yang tak diduganya. Permainan macam apa lagi? Kalah atau menang masih panjang memang. Tapi pikiran harus gesit, cepat, lebih dari sambaran pedang yang berkelebat. Perhitungan inilah yang mengacak dalam benak Halayudha.

Serangan mendadak dan berani dari Gendhuk Tri, memang memancing Mada. Tapi, kalau benar Gendhuk Tri berada dalam bahaya, kenapa Pangeran Hiang bersikap menunggu? Ataukah Pangeran Hiang yakin bahwa Gendhuk Tri sebenarnya memiliki andalan tertentu yang bisa membebaskan tebasan pedang? Atau bahkan lebih jauh dari itu, Pangeran Hiang menunggu reaksi dirinya, dan kalau sesuai dengan perhitungan, dirinya masuk dalam jebakan yang sudah diperhitungkan.

Halayudha tak mau mengambil risiko yang konyol. Apalagi dirinya belum bisa mengawasi apa yang akan dilakukan Ngwang. Makanya Halayudha menarik kembali pedangnya, dengan gerakan sedikit memiringkan arah pedang. Ketika itulah pukulan Mada menyentuh lambung dan membuatnya sedikit miring.

Kain Gendhuk Tri robek karena sambaran angin. Namun dengan kain selendang yang berkibaran, seperti tetap bisa menutup tubuh. Hebat Gendhuk Tri. Dengan sekali gertak maju, mampu menggagalkan serangan Halayudha, bisa membebaskan Nyai Demang dan Klobot. Dua tujuan utama. Gendhuk Tri menggerakkan seluruh tubuhnya. Tenaganya menggelegak. Bagai gumpalan air bendungan yang menyentak bersamaan.

Langkah ragu dan gerak mundur Halayudha merupakan peluang besar untuk menyudutkan. Sebab setiap langkah menjadi berarti untuk susunan dan bangunan serangan yang berikutnya. Dua ujung selendangnya mematuk paksa ke arah Halayudha yang sudah telanjur terdesak satu tindak. Salah satu ujung selendang menggulung Kangkam Galih dan berusaha membetot. Lagi-lagi pameran keberanian yang gila. Kalau tadi merangsek dengan kain dan kaki, kini melibat dan membetot dengan selendang.

Sementara Mada menemukan ruangan kosong, tubuhnya terus menggelundung, terus berputar dengan kedua jotosan yang menghantam sekenanya. Bisa dimengerti kalau Mada sampai bergulingan di bawah. Dorongan tenaga dalam serta nafsunya yang demikian besar, belum sepenuhnya bisa dikuasai. Sehingga dirinya masih hanyut dalam gelombang tenaganya sendiri.

Apalagi sekarang ini, untuk pertama kali gelombang tenaganya yang melabrak tidak menemukan sasaran. Karena Halayudha juga tidak meladeni. Bukan karena menganggap sepi. Melainkan karena melihat bahwa serangan mendadak, keras, dan nekat yang dilontarkan Gendhuk Tri menjadi lebih berbahaya dengan satu gerakan ringan yang tiba-tiba dan mengejutkan.

Nyai Demang yang kini bisa menyaksikan dengan saksama, bibirnya membuka. Kalau tadi karena belum memahami apa yang terjadi, kini karena mengakui dan memuji keberanian serta kehebatan Gendhuk Tri. Serangannya mencerminkan ajaran Kitab Air, yaitu serangan terangkai, mbanyu mili, atau seperti air mengalir. Satu serangan berakhir disusul serangan berikutnya. Dengan tenaga yang terpadu antara serangan pertama dan kedua, dan seterusnya.

Kalau dalam tendangan tengah yang nekat Gendhuk Tri berhasil menggoyahkan Halayudha, serangan kedua dilancarkan dengan tenaga lembut. Hebat dan tajam Kangkam Galih, akan tetapi kalau dilibat selendang dengan tenaga lembut, keampuhannya bisa teredam. Ketajamannya menjadi berkurang karenanya. Ini sangat dimungkinkan karena serangan Gendhuk Tri sekarang ini mengandung tenaga dalam yang tergabung, yaitu tenaga dalam tanah air. Bisa keras menggumpal, tapi juga terus mengalir.

Halayudha tak akan bisa dikalahkan di bawah sepuluh jurus, akan tetapi sekarang menjadi sangat geter, berdebar juga. Makin disadari keampuhan Gendhuk Tri, makin tersisa pertanyaan bagaimana mungkin Gendhuk Tri mampu menyatukan serangan yang bersungguh-sungguh dengan serangan yang sebenarnya lebih bersifat menggertak. Sedikit-banyak ini ada kaitannya dengan apa yang diperlihatkan Klobot ketika menyerang dirinya.

Klobot. Klobot merupakan kunci untuk memahami. Baru sekarang disadari bahwa kenekatan Gendhuk Tri menyerang dengan tendangan sebenarnya pancingan pembuka. Serangan yang sebenarnya ialah libatan selendang. Cara mengerahkan tenaga seperti yang diperlihatkan Klobot dengan jurus Kakang Kawah. Hanya karena dimainkan Gendhuk Tri, pengerahan itu mendekati tingkat sempurna. Ditambah sodokan pukulan Mada, Halayudha menjadi repot. Menjadi lebih mendebarkan lagi ketika tubuh Pangeran Hiang menggeliat dan menyampok. Halayudha benar-benar bercekat.

Kepet Banaspati
ALIH-ALIH dari melanjutkan menggempur, Halayudha malah menarik diri Mengurung dalam pertahanan. Karena Pangeran Hiang sudah melayang masuk ke pertarungan. Berarti juga Ngwang. Nalurinya mengatakan begitu. Sebagian benar, sebagian lebih benar. Pangeran Hiang menggebrak maju, karena melihat bahaya yang tak disadari siapa pun yang ada dalam pertarungan, kecuali Ngwang.

Asap sirep wangi yang memadat, yang tak bisa buyar oleh tepisan angin, untuk sementara tak berbahaya. Akan tetapi begitu menggumpal bagai pasir, Ngwang menyentak. Seluruh kekuatannya tertumpah penuh. Menebarkan kembali. Pasir-pasir sirep menyambar. Lembut mematikan. Satu titik saja masuk ke mata, akibatnya bisa kehilangan penglihatan dengan cara yang sangat menyakitkan. Apalagi kalau menerobos kulit.

Ngwang tidak berhenti dengan satu gerakan. Rangkaian serangannya yang lain muncul tanpa sungkan-sungkan, apalagi sudah jelas bahwa Pangeran Hiang membuyarkan rangkaian serangan sirep wangi. Yang tak diduga oleh Halayudha ialah jatuhnya sambaran keras yang mengeluarkan bunyi gemeretak. Menyambar tepat di antara lehernya.

“Kepet banaspati…” Seruan Nyai Demang tidak berarti banyak untuk menyelamatkan posisi Halayudha.

Yang segera tahu bahwa sabetan ke arah lehernya berasal dari kepet atau kipas. Yang bahannya terbuat dari logam tipis tajam, sehingga menimbulkan bunyi kemeretek. Sambaran yang mengincar ke arah batas leher ini yang menyebabkan Nyai Demang meneriakkan “kepet banaspati”. Sebab banaspati adalah sejenis hantu yang berbentuk kepala, tanpa anggota tubuh yang lain. Dengan sebutan itu Nyai Demang ingin menggaris bawahi bahwa kepala Halayudha yang menjadi sasaran.

Tidak banyak artinya karena Halayudha sudah mengalami langsung apa yang diteriakkan. Justru ketika posisinya tersudut, dan Kangkam Galih terlilit selendang Gendhuk Tri. Tajam dan culas seperti apa pun, Halayudha tak bisa memahami kenapa Ngwang justru menyerang ke arahnya sebagai sasaran yang pertama. Halayudha memang memperhitungkan bahwa Ngwang juga lawan yang bakal dihadapi secara mati-hidup. Tetapi bukan pada serangan pertama seperti ini.

Ngwang memang tidak mengikuti jalan pikiran Halayudha. Atau yang lainnya. Dengan cabar, atau gagalnya serangan asap wangi, juga setelah diubah menjadi gumpalan pasir, Ngwang memutuskan segera mengakhiri pertarungan untuk memperoleh kemenangan mutlak. Lawan pertama yang tak dipilih adalah Pangeran Hiang. Bukan karena segan, akan tetapi sejak Pangeran Hiang menunjukkan pukulan membekukan asap sirep, Ngwang menjadi jeri.

Yang bisa dipilih Gendhuk Tri atau Halayudha. Gendhuk Tri saat ini justru sedang kuat pemusatan pikiran dan kekuatan batinnya. Libatan selendangnya menunjukkan hal itu. Jadi wajar jika yang dipilih Halayudha yang sedang terdesak. Dengan mencelakai Halayudha, berarti tinggal satu langkah ke arah Gendhuk Tri, yang sebenarnya dengan libatan selendang, tenaga dalamnya sudah menyatu dengan Halayudha.

Apa yang terjadi pada Halayudha, mempunyai getar yang sama pada Gendhuk Tri. Bahwa Nyai Demang bisa menangkap cepat apa yang dilakukan Ngwang, sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa. Nyai Demang boleh dikatakan sangat menguasai ilmu dari negeri Tartar. Bahkan sejak pertama kali, kitab-kitab pusaka yang dibawa Kiai Sangga Langit telah dipelajari, sebelum sebagian disalin.

Apalagi kini yang memainkan adalah Ngwang, yang justru memakai pengertian-pengertian yang ada di Tanah Jawa. Karena ilmunya memang khusus diciptakan untuk mematahkan ilmu dan ajaran Kitab Bumi. Ada dua pilihan bagi Halayudha. Menjatuhkan diri menghindari sambaran kipas dalam serangan banaspati, yang berarti melepaskan Kangkam Galih. Atau menyelamatkan diri dengan cara lain, tetap dengan melepaskan Kangkam Galih yang membuatnya tertahan. Halayudha tidak melakukan dua-duanya. Justru sebaliknya.

Tangan kirinya mencakar ulu hati Ngwang, dan pedangnya menebas ke arah pinggang. Sementara selendang Gendhuk Tri menyambar, menggulung dengan pelintiran ke arah leher. Ngwang meleletkan lidahnya. Tubuhnya terjungkal-balik, berkelojotan, dan kipas banaspati balik menyambar ke arah lehernya.

Mada yang masih bergulingan, membebaskan diri dengan melompat ke udara. Tubuhnya gemetar, giginya berkelutukan. Pandangannya tak bisa menerjemahkan apa yang sesungguhnya terjadi dalam waktu yang singkat. Ada bahaya yang mengancam bagi Ngwang, sekaligus Halayudha. Tapi juga bisa berarti Gendhuk Tri. Bagi Ngwang, karena jelas sambaran Kangkam Galih sepenuhnya tertuju ke arahnya.

Bagi Halayudha, karena sambaran selendang yang membersit dari pedang membelit ke arah leher. Bagi Gendhuk Tri, Mada tidak yakin benar yang mana, hanya saja terasakan bahwa seluruh pertahanan Gendhuk Tri ternganga. Hanya Pangeran Hiang yang menyadari bahaya maut bagi Ngwang lebih besar dan mengancam daripada bagi kedua yang lain. Kalau tadi tubuhnya melayang untuk menepis pasir beracun, kini dilanjutkan dengan gerakan yang lain. Lengan kosongnya mendesak Ngwang untuk menyingkir.

Apa yang baru saja terjadi dalam kejapan terakhir memang sulit diduga. Halayudha sendiri baru merasakan betapa ganasnya irisan kepet yang memotong ke arah lehernya. Tepat di bagian pangkal. Kesempatan untuk membuang diri dilakukan harus benar-benar bisa merata. Sebab kalaupun kepalanya terbebas dari tebasan, arah kipas bisa berubah. Ini sama buruknya.

Akan tetapi pada saat itu, Halayudha merasa bahwa libatan selendang Gendhuk Tri melonggar. Mencair. Sehingga dengan cepat Halayudha menarik, sementara tangan kiri mendahului dengan serangan. Saat itu kalau Gendhuk Tri mengedut dengan selendang, bagian tubuh Halayudha yang mana pun akan dengan mudah terkena serangan. Namun Gendhuk Tri tidak menyerang Halayudha. Tidak melanjutkan serangan. Melainkan mengubah menyerang ke arah Ngwang. Inilah yang dilihat Pangeran Hiang!

Ngwang lebih berada dalam bahaya besar. Karena gempuran dua arah. Kalau Mada tidak sepenuhnya bisa memahami perubahan itu, bukan salah atau kekurangannya. Gendhuk Tri sendiri merasa ada tenaga lain yang menggerakkan arah serangan. Tenaga yang berasal dari dalam tubuhnya. Sewaktu selendangnya bisa melihat Kangkam Galih yang hampir menewaskan dirinya, Gendhuk Tri mengerahkan tenaga lembut. Ketika membarengi dengan tenaga bumi, dorongan itu tertarik ke arah tenaga panas yang dikerahkan Ngwang.

Masih belum jelas sepenuhnya bagi Gendhuk Tri. Apakah tarikan tenaga itu berawal dari tenaga panas yang lebih kuat dari Ngwang, ataukah nuraninya yang mengatakan lebih baik menggempur Ngwang. Pertimbangan itu bukannya tidak ada. Akan tetapi kalau dinalar, terlalu besar risikonya melepaskan Halayudha begitu saja. Bisa-bisa Halayudha malah balik menyerang secara licik. Kelebatan jalan pikiran Gendhuk Tri terpupus.

Suara kemeretek kepet Ngwang menyambar ke segala penjuru. Yang paling repot adalah Pangeran Hiang. Paling repot dan paling celaka. Karena tubuh Pangeran Hiang melayang dengan kekuatan penuh untuk menolong Ngwang. Padahal serangan itu datang dari Ngwang. Pendita sakti yang banyak akal serta tipu muslihatnya ini tak mempunyai jalan lain untuk menyelamatkan diri, selain menyabetkan kipas secara sama rata.

Dan Ngwang bukannya tidak menyadari bahwa pada saat-saat terakhir ternyata Pangeran Hiang berusaha menolongnya. Dorongan ujung lengan kutung, dibalas dengan sabetan kipas logam tipis yang tajam. Hanya dengan cara itu ia bisa meloloskan diri. Serangan kemenangan darinya yang mendadak berubah terbalik, sungguh tak pernah diperkirakan. Bagaimana mungkin Gendhuk Tri dan Halayudha bisa menyatu pikirannya untuk balik menggempurnya?

Kalau ini permainan sebelumnya, alangkah sempurnanya manusia Tanah Jawa ini. Tak ada manusia lain yang mampu memahami. Sebenarnya tak bisa dikatakan bahwa Gendhuk Tri bersekutu dengan Halayudha. Semuanya bisa terjadi, karena kekuatan tenaga dalam Gendhuk Tri yang kini berbeda dari sebelumnya. Inti tenaga dalam Gendhuk Tri merupakan perpaduan tenaga tanah atau tenaga bumi dengan tenaga air. Sementara Halayudha memakai tenaga bumi. Unsur yang sama, tenaga bumi dalam tubuh Gendhuk Tri dan Halayudha bisa menyatu.

Kepet Kemamang
KARENA memancarkan getar yang sama, tenaga yang mempunyai sifat dan sumber sama lebih mungkin menyatu daripada bertentangan. Ini tidak dipahami Ngwang. Yang tidak mengetahui asal-usul Kitab Bumi, dan bagaimana hubungannya dengan Kitab Air. Yang bahkan pada tingkat awal dulu, Gendhuk Tri pernah memainkan bersama Maha Singanada. Atau bahkan berlatih bersama Halayudha!

Hal yang bisa dengan cepat disadari Pangeran Hiang. Yang menemukan inti ajaran dengan menciptakan Enam atau Tujuh Langkah Karawitan. Di mana iramanya memang berbeda dan terasa ganjil bagi yang tidak masuk ke dalam jiwa karawitan. Pangeran Hiang mampu menyelami. Makanya bisa memahami kemungkinan serangan Halayudha dan Gendhuk Tri menyatu. Itu yang menyebabkannya bergerak cepat.

Tapi itu juga yang menyebabkannya masuk ke dalam tusukan maut. Karena Ngwang melepaskan kepet banaspati, dan lempengan-lempengan kipas terlepas. Lempengan besi tipis yang mengeluarkan bunyi kemeretek itu lepas, dan menyebar dengan tenaga penuh ke segala penjuru. Termasuk ke arah Pangeran Hiang.

Yang sebenarnya cukup memaklumi kemungkinan itu. Sangat memaklumi, justru karena Pangeran Hiang datang ke Tanah Jawa dengan perahu Siung Naga Bermahkota yang dilengkapi senjata rahasia beraneka ragam. Hanya saja Pangeran Hiang tidak menduga sama sekali bahwa Ngwang akan mempergunakan itu untuk membela diri setelah mengetahui dirinya melayang untuk menolong. Dan sesungguhnya tidak perlu melakukan itu. Belum perlu.

Ngwang masih bisa meloloskan diri dengan merendahkan tubuhnya yang selalu berjarak dengan cara menggulung tubuhnya secara bulat. Atau sebaliknya, memancal bumi dan melayang dengan tenaga ngleyang kabur kanginan, mengikuti getaran angin. Dengan cara seperti ini Ngwang bukan hanya berhasil meloloskan diri, tetapi juga bisa memancing lawan mengejar, dan pada saat itu ikatan kipasnya dibuka.

Selain jauh lebih bertenaga dan lebih terarah sasarannya, juga lebih tak terduga. Karena Halayudha dan Gendhuk Tri merasa sedikit di atas angin. Dan yang lebih penting lagi bagi Pangeran Hiang, dirinya tidak masuk perangkap! Ataukah justru ini yang dikehendaki Ngwang? Karena merasa Pangeran Hiang sudah memusuhi, atau tak bisa diajak bersama-sama menaklukkan Tanah Jawa seisinya? Apa pun alasannya, bagian kipas itu menghunjam ke arahnya. Mada mendengar pekik kematian.

Ada darah muncrat. Membasahi tubuhnya juga. Seseorang telah terkena lempengan kipas dari logam tipis itu. Mengena tepat. Pandangannya belum bisa menangkap secara utuh. Karena perhatiannya masih tertuju ke arah jalannya pertarungan ketimbang bersikap menjaga diri. Makanya tidak bisa mengikuti secara cermat apa yang tengah berlangsung.

Tidak berarti Mada tidak bisa menangkap bayangan yang melabrak masuk. Hanya saja tidak bisa segera mengenali, karena bayangan itu seperti sangat aneh. Seperti Upasara Wulung, tokoh yang diam-diam sangat dihormati, yang seolah memiliki sayap.

Nyai Demang memeluk Klobot erat-erat, dan bibirnya menjadi kering. Yang masuk ke medan pertarungan memang Upasara Wulung. Tampak aneh di mata Mada, tetapi tidak di mata Nyai Demang. Karena Upasara menggendong Cubluk, yang disampirkan di pundaknya. Upasara muncul dalam keadaan terdesak. Itu yang membuat Nyai Demang kering bibirnya. Bukan karena ucapan bahwa Upasara selama ini tak akan melibatkan diri dalam pertarungan, sesuatu yang agak tidak masuk akal kalau dipertahankan sekarang ini.

Melainkan karena saat ini Upasara Wulung masih bergulat dengan maut. Kondisi Cubluk yang tersampir di pundaknya tak jauh berbeda dari ketika berangkat ingin menemui Mpu Tanca. Bahkan boleh dikatakan lebih menguatirkan lagi. Cubluk dalam keadaan kelewat gawat. Satu-satunya dewa penolong yang bisa menahan merambatnya bercak hitam hanyalah tenaga dalam Upasara. Perawatan yang membutuhkan pemusatan pikiran sepenuhnya. Sedikit saja alpa saat bercak menyerang, habislah nyawa Cubluk. Barangkali perjalanan yang panjang dan penuh kehati-hatian menyebabkan kondisi Cubluk makin merosot.

Sementara Upasara sendiri, begitu kembali ke Perguruan Awan disambut dalam pelukan pertarungan mati-hidup. Dengan memanggul Cubluk yang tak bisa dilepaskan begitu saja. Kalau tidak, pastilah tidak dipanggul seperti sekarang ini, menyeruak ke dalam pertarungan ganas yang setiap gerakan menggariskan kematian. Adalah bahaya yang tak terperikan membawa Cubluk ke medan yang mempercepat kematian bagi siapa saja. Apalagi kemunculannya justru saat Ngwang melepaskan kipas besinya.

Hanya Gendhuk Tri yang mengetahui bahwa Upasara mau tak mau akan muncul pada saatnya. Nalurinya sebagai ksatria sejati, dorongannya sebagai manusia yang tak bisa dipisahkan dari keadaan sekelilingnya, akan memaksanya keluar. Meskipun tengah bergulat dengan kematian, dengan nyawa Cubluk sekalipun, Upasara tetap Upasara yang tak pernah bisa memikirkan hanya dirinya sendiri. Gendhuk Tri makin sadar siapa lelaki yang didampinginya selama ini.

JILID 90BUKU PERTAMAJILID 92
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.