Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 94
Pangeran Hiang membuang tubuh sekuatnya, namun tak urung pinggang dan punggungnya mengucurkan darah. Gendhuk Tri yang berada di sebelahnya terguncang angin pukulan, sehingga sanggulnya terlepas, dan sebagian rambutnya terbabat putus.
Nyai Demang yang berlutut terkena sambaran angin yang membuat pundak hingga tangannya mengucurkan darah. Yang lebih parah lagi karena sabetan Halayudha menggunakan serangan lab laban atau banjir menghantam tanggul penghalang, sehingga gelombang serangan menyebar ke segala arah. Sisi kiri rambut Nyai Demang ikut terpapas.
Jurus yang sama juga menyambar Mada. Mada tak tahu serangan mana mengenai dirinya, akan tetapi hidungnya mengucurkan darah. Agak aneh karena seakan angin serangan bisa menerobos lubang hidungnya. Gempuran Halayudha menggunakan gelombang lab laban dipergunakan dengan perhitungan yang cerdik. Halayudha sudah berada pada tingkat yang menguasai ilmunya secara sempurna.
Menghadapi sekian banyak lawan, dengan menggunakan gelombang serangan banjir menghantam tanggul, seakan banjir mempunyai perhitungan bagaimana menjebol tanggul penahan. Tidak asal melabrak begitu saja. Inilah kelebihan Halayudha, sehingga tak perlu memaksakan diri dengan jurus seperti Banjir Bandang Segara Asat, yang terlalu memaksakan risiko bagi dirinya.
Mada tidak menghapus cucuran darah dari hidungnya. Sebaliknya dari mundur, Mada justru maju menghadang. “Paduka keliru. Paduka tak perlu merasa dibebani dosa tak berampun. Tenggala Seta sudah menerima. Sejak pertama telah mengenal Paduka sebagai ayahnya, sebagai orang yang dihormati. Tenggala Seta menerima kenyataan Paduka korbankan. Bahkan merasa bahagia. Paduka tak perlu merasa sangat berdosa dengan membunuh dan mengorbankan anak tunggal. Dewi Renuka ikut bersalah. Paman Sepuh Dodot Bintulu ikut bersalah. Bukan hanya Paduka.”
Halayudha terhenti. Mendongak ke langit. Tawanya menggelegar. “Mada! Kamu ingin memakai taktik menggoyahkan pikiranku? Kamu mau memakai cara yang sama untuk mengacaukan tekadku? Kamu keliru, Mada. Kamu tak mengenal aku. Tak mengenal siapa Halayudha yang sebenarnya. Aku adalah mahamanusia. Aku tak terpengaruh oleh dosa. Tak dibebani penyesalan. Tak memiliki rasa yang memberati seperti yang kalian rasakan. Tenggala Seta anakku atau bukan, tak ada bedanya. Klobot cucuku atau bukan, tak ada bedanya. Yang kubunuh sekarang kamu, atau Raja, atau bukan, tak ada bedanya. Yang ikut menanggung dosa Gajah Mahakrura, atau Renuka, atau setan belang, aku juga tak peduli. Aku mahamanusia, tanpa beban seperti Dewa atau manusia. Pedang inilah bahasa yang mengerti apa mauku. Sekarang, di sini, dengan Kangkam Galih, tak ada yang akan bisa membelokkan pikiran dan perasaanku. Kalau kamu bisa mengungguliku, aku menyerah. Kalau tidak, bersiaplah mengakui kekuasaan mahamanusia. Aku tak akan menyesal membunuh kalian semua. Tidak juga merasa berdosa. Walau kemenangan ini hanya bukti kecil dari keunggulan mahamanusia. Singkirkan pikiran itu, Mada. Upasara boleh menembangkan kidungan selangit tentang keluhuran tanah air. Tetapi bagiku, pedang lebih berbicara.”
Jurus Melempar Bintang
HALAYUDHA memutar tubuhnya. Kembali gelombang jurus lab laban menyapu keras. Nyai Demang terpental ke tengah udara sambil masih mendekap Klobot yang terkunci bibirnya sejak menyaksikan cipratan darah yang mengingatkannya akan malapetaka yang pernah dialami. Mada sendiri tersungkur, karena angin tebasan menghantam lutut dan persendiannya.
Hanya Gendhuk Tri yang terbebaskan, dengan memutar tubuhnya secara bulat dan penuh. Sementara Pangeran Hiang terdongak, kepalanya seperti disentak dari belakang. Arus pukulan itu juga menghantam Upasara. Saat itu Upasara membalik. Telapak tangan kanannya masih menempel di tubuh Cubluk, menahan agar nadi keteg tetap bergetar, sementara tangan kiri membuka. Dengan posisi setengah berlutut, Upasara mengirimkan tenaga pukulan ke depan. Menyongsong serangan Halayudha.
Dalam keadaan terdesak, Upasara memainkan jurus yang sangat biasa. Tangan kiri ke depan, mendepak dengan kekuatan penuh sebagaimana yang ada dalam ajaran Kitab Penolak Bumi. Sedangkan gerakan pukulan Upasara boleh dikatakan bagian dalam Kitab Bumi, yang terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Hanya bedanya, gebrakan itu tak sepenuhnya bersandar pada kekuatan bintang, sebagaimana yang diajarkan dengan memperhatikan keadaan sekitar. Karena kekuatan bumi sekitar tempat berada, keadaan dirinya jelas tidak mendukung ke arah pengerahan tenaga.
Pukulan Upasara Wulung lebih mirip dengan apa yang disebut sebagai "adoh lintang binalang kayu, cepak cupete tangeh kenane". Yaitu seperti orang yang melempar bintang di langit dengan kayu, panjang atau pendek lemparannya tetap tak akan mengenai sasaran. Akan tetapi perumpamaan itu tidak sepenuhnya tepat. Karena Halayudha bukanlah bintang di tengah langit. Sebaliknya dari bintang yang bisa cukup berdiam di tempat, Halayudha merangsek maju. Dengan ayunan pedang.
Akibatnya hebat. Dada Halayudha seperti disambar dengan tenaga gunung roboh. Sesak seketika. Semua pembuluh tubuhnya menjadi kacau tak beraturan. Rasa nek yang keras mengganjal ulu hatinya. Dengan mengeraskan hati, Halayudha tidak mundur atau berkelit, melainkan tetap melawan paksa dengan gelombang serangan. Yang berbenturan, bergejolakan, berhantaman.
Adu tenaga dalam yang tidak menguntungkan Halayudha. Karena pengerahan tenaga lab laban lebih bermakna sebagai serangan bergelombang, bukan pengerahan tenaga secara penuh. Kini justru Halayudha dipaksa begitu, karena tindihan tekanan tenaga dalam Upasara. Halayudha benar-benar kehilangan pegangan kekuatan. Akan tetapi kakinya dipaksa melangkah terus. Maju. Kalaupun tenaga dalamnya makin rusak, satu sabetan Kangkam Galih akan memisahkan kepala Upasara. Pemandangan yang menggetarkan.
Gendhuk Tri terpana. Tak bisa berbuat suatu apa, karena tak mungkin bisa "masuk". Pedang kemenangan sedang berada dalam gerakan terakhir untuk pembebasan dari kutetan tenaga tanah air. Telanjur menyatu dalam pertarungan. Keadaannya sangat kritis. Tak bisa ditolong. Baik Upasara maupun Halayudha. Upasara menahan dengan sebelah tangan, sementara tangan satunya masih menempel pada tubuh Cubluk. Dan Halayudha menyeret tubuhnya dengan paksa untuk maju.
Setindak, dua tindak. Kangkam Galih diangkat tinggi. Menusuk ke bawah. Hanya berjarak satu tangan. Dengan satu langkah saja, berarti tusukannya akan masuk ke tubuh Upasara! Atau kalau Halayudha masih kuat, sabetan tenaga yang tersalur dalam kibasan angin akan bisa menebas leher Upasara!
Sementara Upasara tak mungkin mengubah gelombang tenaga dalam yang menahan dan menekan Halayudha. Sedikit saja mengendur untuk dipusatkan kembali, sekejap sekalipun, membuat Halayudha terbebas dari tindihan tenaga. Keleluasaan yang bisa membuatnya merebut keunggulan. Karena sehebat apa pun, Upasara tak akan bisa kebal dari Kangkam Galih.
Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya. Semua urat tubuhnya menggembung. Kakinya dikuatkan, dadanya membusung maju. Satu geseran kaki saja. Satu geseran ke depan! Halayudha tidak ingin melakukan kesalahan pada saat pertarungan tenaga dalam yang sesungguhnya terjadi. Kalau ia mengambil tenaga dalam secara lain, akan menyebabkan Upasara mampu menjungkir-balikkan. Karena dirinya dalam keadaan kosong atau melemah. Yang juga dialami Upasara.
Maka keduanya menahan sekuatnya, mengerahkan tanpa menggeser pengerahan yang ada. Tangan kiri Upasara makin tegang. Getaran tangan menjalar ke seluruh tubuh, seakan impitan. Halayudha makin lama makin keras. Serambut demi serambut makin memepet, menindih. Kini seluruh tubuh Upasara telah tergetar. Bahkan Cubluk yang berbaring di rerumputan juga menggigil.
Gigi Gendhuk Tri berkelutukan mengeluarkan bunyi keras. Secara emosi, kini Gendhuk Tri sudah tidak bisa menahan lagi. Adegan yang terjadi berada di atas kemampuannya untuk menahan diri. Tubuhnya menjadi lemas, dan seakan mencair. Seperti seluruh tubuhnya berubah menjadi cairan yang membanjir.
Halayudha menggertak maju. Seluruh uratnya menggembung. Apakah lebih dulu pecah ataukah berhasil maju, itulah perbedaan kekalahan dengan kemenangan. Getaran tangan kiri Upasara makin naik-turun. Seakan muatan tenaga dalam yang berbenturan makin tak kuat ditanggung. Bahkan ujung jari tengahnya menekuk. Turun. Mendekat ke ibu jari. Halayudha meringis. Pundak kirinya lebih dulu bergeser maju. Satu gerakan kecil yang menandai keunggulannya. Jari tengah Upasara makin menurun, menyentuh ibu jari.
Mendadak jari itu menjentik ke depan. Halayudha menjerit keras. Tubuhnya terbanting. Tangannya memegangi dada, sementara Kangkam Galih tergeletak. Gendhuk Tri melayang bersamaan dengan Mada. Yang satu melayang ke arah Cubluk. Memeluk dengan kasih yang sepenuhnya tertumpah. Sementara Upasara terjatuh dan bertumpu pada lututnya. Yang kedua mendekat ke arah Halayudha. Melihat wajah Halayudha yang pias, yang tak bertenaga sedikit pun. Napasnya seperti terhenti, karena tak mengeluarkan getaran. Di bagian dada yang ditutupi Halayudha saat-saat terakhir, terlihat warna hitam legam bagai tembong.
Upasara Wulung mengubah gerakan jari tengah mendekat ke ibu jari sebagai kekuatan. Untuk melancarkan serangan terakhir, yang diambilkan tenaganya dari tubuh Cubluk. Tenaga dalam yang berada dalam diri Cubluk, yang terkena bercak hitam. Penyaluran tenaga, pemindahan tenaga yang tepat. Dengan mengalirkan, bukan memaksa, bukan mendesak. Tenaga dalam tanah air, mengalir. Sunyi. Kaku.
"Ada perang lagi, Ibu Jagattri?" Suara Cubluk bagai semilirnya angin kehidupan.
Gendhuk Tri mendekap Cubluk rapat-rapat ke dadanya. "Tidak. Tak ada lagi."
Gendhuk Tri melangkah perlahan. Menjauh dari medan pertarungan. Langkah lembut, bersamaan dengan berhentinya cairan yang keluar dari seluruh tubuhnya. Rambutnya yang terpotong separuh tak mengurangi rasa keibuannya yang memancar.
"Terima kasih atas budi, Nyai Demang..." Suara Pangeran Hiang terdengar bersahaja. "Saya tak akan pernah melupakan."
"Pangeran..."
"Nyai Demang, saya tak punya nyali untuk menemui Nyai. Tapi saya ingin mengatakan bahwa ada bagian yang tak bisa saya terangkan bagaimana ini semua terjadi. Semua tanggung jawab saya. Nyai Demang, satu-satunya nyali yang masih ada dalam diri saya hanyalah kembali dengan satu tangan ke Tartar. Apa pun yang akan terjadi di sana atau di perjalanan nanti, itu adalah kehendak Dewa yang saya maui."
Dengan satu tangan, Pangeran Hiang menyoja kepada Upasara. "Pangeran Upasara Wulung..."
"Kita masih bersaudara, Pangeran Hiang."
"Berat meninggalkan Pangeran Upasara Wulung yang budiman. Tetapi nilai persaudaraan tak akan pernah hilang. Saya tak bisa berjanji atau berharap apakah suatu ketika kita bisa bertemu lagi atau entah dalam turunan keberapa..." Suaranya tertelan keharuan. Pangeran Hiang seperti sadar bahwa dirinya tak mungkin mempunyai keturunan.
"Kita tak akan bertemu lagi, Pangeran Hiang. Karena kita tak pernah benar-benar berpisah."
Dimulai dengan Niat Baik
LENGAN tangan kanan Pangeran Hiang yang kosong bergerak, menghapus air mata. Lalu bersama-sama tangan kiri yang masih utuh Pangeran Hiang menyoja sekali lagi sambil berlutut. Baru kemudian bergerak cepat. Membuka pakaiannya, membungkus tubuh Ngwang yang terpotong-potong pada bagian yang masih bisa diangkat.
Suara Nyai Demang tertahan di tenggorokan ketika meneriakkan namanya. Pangeran Hiang memandang lekat. Mendekat.
"Nyai, begitu singkat pertemuan kita berdua, akan tetapi begitu berarti bagi saya. Pada akhirnya saya bisa memilih, mencintai seorang wanita, sebagaimana kodrat saya sebagai lelaki. Dan wanita itu adalah Nyai Demang."
"Pangeran, apakah Pangeran benar berniat ke Tartar?"
"Ya, Nyai, dan tak ada yang bisa menahan lagi."
"Tidak juga saya, Pangeran? Saya malu mengatakan hal ini, tetapi saya harus mengatakan agar di belakang hari saya tak menyesali."
"Jiwa besar Nyai sungguh mulia. Apakah saya masih mempunyai keberanian memboyong Nyai?"
Nyai Demang menunduk. "Semua mempunyai masa lalu yang tidak bagus untuk diingat. Semua mempunyai kesalahan. Biarkan itu menjadi sejarah."
"Saya juga tak mempunyai masa depan sebagai lelaki."
"Apakah semua hanya diperhitungkan dari sisi itu, Pangeran Hiang? Apakah daya asmara hanya..." Nyai Demang menunduk. Luka dan luka, di badan dan di batinnya, tetap menghalangi bibirnya untuk mengatakan yang sesungguhnya.
Lengan kutung yang kini tak terbungkus lengan baju bergerak. "Kalau Nyai tidak berkeberatan, marilah kita berangkat sekarang juga. Saya kuatir penundaan bisa berarti kekecewaan lain."
Nyai Demang terdiam. "Tartar negeri yang jauh, dan tak berubah lebih jauh kalau kita berangkat sekarang atau setelah matahari tenggelam. Pangeran Hiang..."
Kini tangan Pangeran Hiang merangkul perlahan. Lembut. Wajah Nyai Demang merah dadu.
"Eyang Putri Bibi Nyai, Rama Wulung menang?" Suara Klobot terdengar nyaring, tinggi.
Nyai Demang menghindar dari Pangeran Hiang, merangkul Klobot kencang.
"Kenapa Eyang Putri menangis?"
Tangan Upasara menggapai dari jauh. Dengan sedikit takut, Klobot mendekatinya. "Jangan ganggu Eyang Putri..."
"Ya, Rama."
Upasara menarik tangan Klobot, menjauh dari Pangeran Hiang dan Nyai Demang. Gendhuk Tri menggendong Cubluk dengan wajah berseri-seri.
"Klobot?"
"Ya, Rama..."
"Ada Rama lain, Rama ingkang Sinuwun yang masih mematung. Kalau kamu berbakti, kamu bisa menyembuhkannya kembali."
"Saya tak bisa, Rama."
"Tak bisa atau tak berani?" Suara dan nada Upasara perlahan, tidak mengesankan baru saja terjadi peristiwa yang begitu hebat.
"Tidak berani menyentuh, Rama..."
"Sekarang saatnya, Klobot. Kamu bisa menolong seseorang, benar-benar seorang manusia lain. Yang membutuhkan pertolongan, meskipun barangkali tidak mengatakannya."
"Rama Wulung..."
"Jangan menjadi sesuatu yang tak mengenakkanmu sebagai prasangka. Satu-satunya yang paling baik dilakukan adalah membuang prasangka. Klobot, Rama tahu kamu sudah bisa menilai, bisa merasa sakit hati, bisa terhina. Tapi lupakanlah semuanya. Rama tahu kamu masih ingin menunjukkan keunggulan. Salah satu sifatmu yang bisa berbahaya dengan Tembang Tanah air yang Rama ajarkan. Tetapi mulailah dengan niat baik." Upasara Wulung mengangguk sambil tersenyum.
Klobot mendekati Raja dari belakang. Menyembah hormat, dan tengadah kembali. Menghormat dalam gerakan sembah. Tujuh kali. Raja terhuyung-huyung. Pulih kembali. Bersamaan dengan Mahapatih Jabung Krewes.
"Mohon ampun, Ingkang Sinuwun. Hamba... Hamba..."
Raja terbatuk. Tanpa menoleh, tanpa menyapa, menuju ke joli. Masuk begitu saja. Mahapatih Jabung Krewes bergegas memerintahkan para prajurit untuk segera mengangkat joli. Dan rombongan berlalu. Tergesa.
Klobot masih menunduk, bersila. Sampai Upasara Wulung mengelus rambut Klobot yang menatap dengan sorot mata penuh kekaguman. Sorot mata memuja, dengan bibir setengah terbuka. Senyum Upasara masih terlalu samar.
"Ayolah, jangan kehilangan kesempatan bermain seperti biasanya."
"Rama..."
"Apa lagi?"
"Rama Wulung atau saya yang menyembuhkan Ingkang Sinuwun?"
"Bagi Rama, bagimu, seharusnya tak ada bedanya. Tujuan adalah harapan. Begitulah kebaikan diajarkan. Kebaikan adalah keinginan yang jernih. Semua atas kehendak Yang Mahadewa."
Kedua tangan Upasara mengusap wajahnya sendiri. Disertai tarikan napas yang dalam. Baru kemudian berjalan perlahan mendekati Gendhuk Tri. Di tengah langkahnya, Upasara memandang Mada yang kini bersimpuh di tanah bersama Nala. Yang masih saja terbengong, karena masih belum mengerti apa dan bagaimana kejadian di sekitarnya berlangsung.
"Mada, saya bisa memperkirakan kedatanganmu. Katakan kepada yang memerintahkanmu, siapa saja, bahwa saya akan menerimanya jika ia datang sendiri. Saya tak memerlukan perantara. Kecuali kalau kamu sendiri berniat menangkap. Saya tak akan menghindari siapa pun yang datang. Tetapi saya tidak menghendaki, sampai pertemuan yang sebenarnya, lima puluh tahun yang akan datang."
Mada mengangguk dalam. Nala menyembah. "Bolehkah saya berdiam di sini untuk beberapa saat, Paman Upasara Wulung?"
"Tempat ini selalu terbuka bagi siapa saja. Selamanya. Apa yang kamu cari di sini, Mada? Merawat Halayudha, mengantarkan kepergiannya?"
Mada berdiam sejenak. "Saya mengenal jagat ini karena dilahirkan kembali oleh Bapa Guru Truwilun. Saya tak bisa menyampaikan, bahkan rasa hormat dan ucapan terima kasih."
"Paman Jaghana kembali kepada alam. Bersama alam. Pujian, penghormatan, rasa syukur, terima kasih, bisa dikembalikan ke alam. Alam yang terbentang di bawah langit, di atas bumi, yang menjadi tanah air kita." Upasara Wulung menggandeng Klobot.
"Rama, apakah ini bukan pertarungan?"
"Lima puluh tahun lagi, baru dikatakan pertarungan sebenarnya. Ini pencarian."
Nala mengusap wajahnya. Seakan mendengar kata-kata bertuah yang belum pernah didengarnya. Mada masih termenung ketika mendengar rintihan. Bukan rintihan, melainkan gumam. Suara Halayudha yang masih terbaring, punggungnya rata dengan tanah.
"Alam... Tanah air... Upasara Wulung keliru, bahwa hanya aku yang menjadi mahamanusia. Aku... aku siapa? Aku yang terkena bercak hitam di dada. Yang sebenarnya berasal dari tenaga dalamku sendiri yang tidak benar. Alangkah mengagumkan bahwa akhirnya bisa mengenal diriku. Dan Upasara Wulung mengatakan itu alam, itulah tanah air. Apa betul begitu? Siapa yang menanam rumput tak akan menuai padi. Siapa yang menanam glugut tak akan menuai bambu. Itu alam. Kamu siapa?"
Mada menunduk mendekat. Wajah Halayudha tampak kosong. Sinar matanya tak menyatu pada satu
Kembali ke Awan
APA yang dikatakan Halayudha seperti tidak keluar dari bibir. Dengan mengatakan siapa menanam glugut, atau bulu bambu yang gatal, tak akan menuai bambu, atau juga siapa menanam rumput tak bakal menuai padi, bukan sesuatu yang baru. Semasa kecil Mada telah mendengarnya. Hanya sekarang terasakan maknanya ketika diucapkan Halayudha yang dadanya terkena bercak hitam. Halayudha yang terbaring rata.
"Aku sebenarnya paling tahu. Aku tahu Upasara Wulung menemukan kekuatan tanah air. Aku juga bisa menemukan. Atau juga... juga... apakah tak ada yang mempunyai nama selain Upasara Wulung? Aneh. Kenapa aku bertanya seperti ini? Apakah nama diperlukan, ataukah tak ada nama lain selain Upasara Wulung? Pedang itu mestinya punya nama. Aku pernah menyebutkan namanya. Tapi Upasara Wulung mengatakan bukan itu kekuatannya. Sebab kalau itu kekuatan sesungguhnya, apa artinya tanah air? Kenapa dia ucapkan itu? Aku yang tahu, aku yang bisa menerangkan. Tak ada yang lebih dari aku. Semua ilmu, semua ajaran, semua perbuatan, semua derajat dan pangkat, tak ada yang bisa menyamaiku. Sebab siapa saja tak akan mengungguliku. Aku bisa mengatasi kematian. Sebab dalam hidup aku bisa mati, dalam mati aku tetap hidup."
Mada menunduk. Dengan sangat hormat dan hati-hati, matanya menutup mata Halayudha yang nyalang. Menutupkan dengan perlahan, dengan usapan kasih. Bagaimanapun pandangan dan penilaiannya kepada Halayudha, bagi Mada tokoh yang satu ini sangat istimewa dan rapat hubungannya. Bahkan bisa menggetarkan karena iba. Nala memegang tangan, bahu, kaki. Ketika matahari makin terik, Mada menggotong Halayudha ke tempat yang lebih teduh. Mata Halayudha kembali nyalang terbuka.
"Paduka..."
Halayudha mengangguk. Lalu menghela napas. Berusaha duduk dengan susah. Nala menolong dengan dorongan perlahan.
"Aku tak akan kembali ke alam, seperti... siapa? Aku mengatasi alam. Karena aku lebih unggul."
Halayudha berusaha bangun. Nala menopang. Keduanya berjalan bersama. Mada mengiringkan.
"Ke mana...?"
"Mengikuti kedeping netra..."
Mengikuti ke mana mata berkedip, ke tujuan yang menggetarkan hidupnya. Mada mengikuti dan pada sekian ratus langkah ganti menopang. Secara bergantian mereka terus menopang, dan beberapa kali Halayudha berusaha berjalan sendiri, sambil mengatakan tentang alam, tentang perang dan pedang, tentang ajaran dan ilmu, tentang bambu dan padi, tentang rumput dan glugut, tentang Upasara Wulung, dan entah siapa lagi.
Mereka bertiga seperti melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata hanya melingkar. Kembali ke tempat semula. Dan mengulang kembali dari awal. Kadang kala Klobot tahu, dan melihat dari kejauhan. Kadang mengikuti langkah, kadang bermain dengan krendi, atau kembali bersama Nyai Demang.
"Siapa dia, Eyang Putri Bibi Nyai?"
"Kelak kamu akan tahu bahwa ia adalah seseorang yang tidak mau menerima alam."
"Kenapa dia menyebut nama Rama Wulung?"
"Hanya nama itu yang tersisa dalam ingatannya."
"Eyang Putri, Eyang menangis?"
"Tidak."
"Saya sering melihat Eyang Putri menangis. Ibu Jagattri mengatakan begitu. Cubluk juga mengatakan begitu."
"Saya tidak menangisi apa-apa, Klobot."
"Kata Ibu Jagattri, Eyang Putri menangisi Pangeran Hiang." Suara Klobot berganti nadanya, rendah dan memelas, menimbulkan iba.
"Apakah Eyang Putri Bibi Nyai mau pergi ke Tartar?"
"Saya menangisi saya sendiri."
"Jadi Eyang Putri akan pergi ke Tartar?"
"Siapa bilang begitu?"
"Pangeran Hiang."
"Apa yang dikatakan?"
"Eyang Putri Bibi Nyai akan pergi ke Tartar. Negeri yang banyak angin, banyak kuda, banyak keraton. Segera."
"Ayolah kita berlatih seperti dulu. Kamu tidak boleh bermanja dan tidak boleh nakal. Ajak Cubluk kemari. Akan saya ajari tembang yang paling bagus."
Klobot tampak cemberut.
"Ajak Cubluk."
"Cubluk selalu bersama Rama Wulung."
"Mulai sekarang sering-sering kamu ajak Cubluk. Bermain bersama kita. Sebentar lagi Rama Wulung dan Ibu Jagattri akan sangat sibuk mengurusi bayinya. Ayolah."
"Tidak mau. Cubluk juga tidak mau Rama Wulung punya bayi."
"Hush, siapa yang mengajarimu omong kasar begitu?"
"Karena kalau punya bayi, Eyang Putri pergi."
"Siapa yang bilang?"
"Pangeran Hiang."
"Tidak."
"Rama Wulung."
"Tidak."
"Ibu Jagattri."
"Tidak."
"Ya. Eyang Putri sendiri bilang begitu sama Pangeran Hiang. Cubluk juga mendengar. Kami pura-pura tidur kalau Eyang Putri berduaan."
"Sssttt, tak boleh. Tak boleh cerita sama siapa-siapa."
"Kenapa?"
"Itu Pangeran Sang Hiang. Kamu akan diajari bersoja dengan satu tangan..."
Suara Nyai Demang lembut, akan tetapi terdengar sampai ke telinga Upasara Wulung yang tengah bersama Gendhuk Tri, berada di dekat Cubluk yang tertidur lelap. Wajah Upasara sapandurat, sekilas berwarna merah. Sorot matanya lembut bertanya.
Gendhuk Tri mengangguk lembut. Tangan Upasara menggenggam tangan Gendhuk Tri. Lembut. Merambatkan daya asmara sejati. Mempertemukan daya asmara sejati. Sepotong angin menggerakkan rumput, bergoyang perlahan. Sepotong angin menyentuh awan, menggerakkan, menciptakan bayangan, keteduhan, penerimaan.
Nyai Demang yang berlutut terkena sambaran angin yang membuat pundak hingga tangannya mengucurkan darah. Yang lebih parah lagi karena sabetan Halayudha menggunakan serangan lab laban atau banjir menghantam tanggul penghalang, sehingga gelombang serangan menyebar ke segala arah. Sisi kiri rambut Nyai Demang ikut terpapas.
Jurus yang sama juga menyambar Mada. Mada tak tahu serangan mana mengenai dirinya, akan tetapi hidungnya mengucurkan darah. Agak aneh karena seakan angin serangan bisa menerobos lubang hidungnya. Gempuran Halayudha menggunakan gelombang lab laban dipergunakan dengan perhitungan yang cerdik. Halayudha sudah berada pada tingkat yang menguasai ilmunya secara sempurna.
Menghadapi sekian banyak lawan, dengan menggunakan gelombang serangan banjir menghantam tanggul, seakan banjir mempunyai perhitungan bagaimana menjebol tanggul penahan. Tidak asal melabrak begitu saja. Inilah kelebihan Halayudha, sehingga tak perlu memaksakan diri dengan jurus seperti Banjir Bandang Segara Asat, yang terlalu memaksakan risiko bagi dirinya.
Mada tidak menghapus cucuran darah dari hidungnya. Sebaliknya dari mundur, Mada justru maju menghadang. “Paduka keliru. Paduka tak perlu merasa dibebani dosa tak berampun. Tenggala Seta sudah menerima. Sejak pertama telah mengenal Paduka sebagai ayahnya, sebagai orang yang dihormati. Tenggala Seta menerima kenyataan Paduka korbankan. Bahkan merasa bahagia. Paduka tak perlu merasa sangat berdosa dengan membunuh dan mengorbankan anak tunggal. Dewi Renuka ikut bersalah. Paman Sepuh Dodot Bintulu ikut bersalah. Bukan hanya Paduka.”
Halayudha terhenti. Mendongak ke langit. Tawanya menggelegar. “Mada! Kamu ingin memakai taktik menggoyahkan pikiranku? Kamu mau memakai cara yang sama untuk mengacaukan tekadku? Kamu keliru, Mada. Kamu tak mengenal aku. Tak mengenal siapa Halayudha yang sebenarnya. Aku adalah mahamanusia. Aku tak terpengaruh oleh dosa. Tak dibebani penyesalan. Tak memiliki rasa yang memberati seperti yang kalian rasakan. Tenggala Seta anakku atau bukan, tak ada bedanya. Klobot cucuku atau bukan, tak ada bedanya. Yang kubunuh sekarang kamu, atau Raja, atau bukan, tak ada bedanya. Yang ikut menanggung dosa Gajah Mahakrura, atau Renuka, atau setan belang, aku juga tak peduli. Aku mahamanusia, tanpa beban seperti Dewa atau manusia. Pedang inilah bahasa yang mengerti apa mauku. Sekarang, di sini, dengan Kangkam Galih, tak ada yang akan bisa membelokkan pikiran dan perasaanku. Kalau kamu bisa mengungguliku, aku menyerah. Kalau tidak, bersiaplah mengakui kekuasaan mahamanusia. Aku tak akan menyesal membunuh kalian semua. Tidak juga merasa berdosa. Walau kemenangan ini hanya bukti kecil dari keunggulan mahamanusia. Singkirkan pikiran itu, Mada. Upasara boleh menembangkan kidungan selangit tentang keluhuran tanah air. Tetapi bagiku, pedang lebih berbicara.”
Jurus Melempar Bintang
HALAYUDHA memutar tubuhnya. Kembali gelombang jurus lab laban menyapu keras. Nyai Demang terpental ke tengah udara sambil masih mendekap Klobot yang terkunci bibirnya sejak menyaksikan cipratan darah yang mengingatkannya akan malapetaka yang pernah dialami. Mada sendiri tersungkur, karena angin tebasan menghantam lutut dan persendiannya.
Hanya Gendhuk Tri yang terbebaskan, dengan memutar tubuhnya secara bulat dan penuh. Sementara Pangeran Hiang terdongak, kepalanya seperti disentak dari belakang. Arus pukulan itu juga menghantam Upasara. Saat itu Upasara membalik. Telapak tangan kanannya masih menempel di tubuh Cubluk, menahan agar nadi keteg tetap bergetar, sementara tangan kiri membuka. Dengan posisi setengah berlutut, Upasara mengirimkan tenaga pukulan ke depan. Menyongsong serangan Halayudha.
Dalam keadaan terdesak, Upasara memainkan jurus yang sangat biasa. Tangan kiri ke depan, mendepak dengan kekuatan penuh sebagaimana yang ada dalam ajaran Kitab Penolak Bumi. Sedangkan gerakan pukulan Upasara boleh dikatakan bagian dalam Kitab Bumi, yang terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Hanya bedanya, gebrakan itu tak sepenuhnya bersandar pada kekuatan bintang, sebagaimana yang diajarkan dengan memperhatikan keadaan sekitar. Karena kekuatan bumi sekitar tempat berada, keadaan dirinya jelas tidak mendukung ke arah pengerahan tenaga.
Pukulan Upasara Wulung lebih mirip dengan apa yang disebut sebagai "adoh lintang binalang kayu, cepak cupete tangeh kenane". Yaitu seperti orang yang melempar bintang di langit dengan kayu, panjang atau pendek lemparannya tetap tak akan mengenai sasaran. Akan tetapi perumpamaan itu tidak sepenuhnya tepat. Karena Halayudha bukanlah bintang di tengah langit. Sebaliknya dari bintang yang bisa cukup berdiam di tempat, Halayudha merangsek maju. Dengan ayunan pedang.
Akibatnya hebat. Dada Halayudha seperti disambar dengan tenaga gunung roboh. Sesak seketika. Semua pembuluh tubuhnya menjadi kacau tak beraturan. Rasa nek yang keras mengganjal ulu hatinya. Dengan mengeraskan hati, Halayudha tidak mundur atau berkelit, melainkan tetap melawan paksa dengan gelombang serangan. Yang berbenturan, bergejolakan, berhantaman.
Adu tenaga dalam yang tidak menguntungkan Halayudha. Karena pengerahan tenaga lab laban lebih bermakna sebagai serangan bergelombang, bukan pengerahan tenaga secara penuh. Kini justru Halayudha dipaksa begitu, karena tindihan tekanan tenaga dalam Upasara. Halayudha benar-benar kehilangan pegangan kekuatan. Akan tetapi kakinya dipaksa melangkah terus. Maju. Kalaupun tenaga dalamnya makin rusak, satu sabetan Kangkam Galih akan memisahkan kepala Upasara. Pemandangan yang menggetarkan.
Gendhuk Tri terpana. Tak bisa berbuat suatu apa, karena tak mungkin bisa "masuk". Pedang kemenangan sedang berada dalam gerakan terakhir untuk pembebasan dari kutetan tenaga tanah air. Telanjur menyatu dalam pertarungan. Keadaannya sangat kritis. Tak bisa ditolong. Baik Upasara maupun Halayudha. Upasara menahan dengan sebelah tangan, sementara tangan satunya masih menempel pada tubuh Cubluk. Dan Halayudha menyeret tubuhnya dengan paksa untuk maju.
Setindak, dua tindak. Kangkam Galih diangkat tinggi. Menusuk ke bawah. Hanya berjarak satu tangan. Dengan satu langkah saja, berarti tusukannya akan masuk ke tubuh Upasara! Atau kalau Halayudha masih kuat, sabetan tenaga yang tersalur dalam kibasan angin akan bisa menebas leher Upasara!
Sementara Upasara tak mungkin mengubah gelombang tenaga dalam yang menahan dan menekan Halayudha. Sedikit saja mengendur untuk dipusatkan kembali, sekejap sekalipun, membuat Halayudha terbebas dari tindihan tenaga. Keleluasaan yang bisa membuatnya merebut keunggulan. Karena sehebat apa pun, Upasara tak akan bisa kebal dari Kangkam Galih.
Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya. Semua urat tubuhnya menggembung. Kakinya dikuatkan, dadanya membusung maju. Satu geseran kaki saja. Satu geseran ke depan! Halayudha tidak ingin melakukan kesalahan pada saat pertarungan tenaga dalam yang sesungguhnya terjadi. Kalau ia mengambil tenaga dalam secara lain, akan menyebabkan Upasara mampu menjungkir-balikkan. Karena dirinya dalam keadaan kosong atau melemah. Yang juga dialami Upasara.
Maka keduanya menahan sekuatnya, mengerahkan tanpa menggeser pengerahan yang ada. Tangan kiri Upasara makin tegang. Getaran tangan menjalar ke seluruh tubuh, seakan impitan. Halayudha makin lama makin keras. Serambut demi serambut makin memepet, menindih. Kini seluruh tubuh Upasara telah tergetar. Bahkan Cubluk yang berbaring di rerumputan juga menggigil.
Gigi Gendhuk Tri berkelutukan mengeluarkan bunyi keras. Secara emosi, kini Gendhuk Tri sudah tidak bisa menahan lagi. Adegan yang terjadi berada di atas kemampuannya untuk menahan diri. Tubuhnya menjadi lemas, dan seakan mencair. Seperti seluruh tubuhnya berubah menjadi cairan yang membanjir.
Halayudha menggertak maju. Seluruh uratnya menggembung. Apakah lebih dulu pecah ataukah berhasil maju, itulah perbedaan kekalahan dengan kemenangan. Getaran tangan kiri Upasara makin naik-turun. Seakan muatan tenaga dalam yang berbenturan makin tak kuat ditanggung. Bahkan ujung jari tengahnya menekuk. Turun. Mendekat ke ibu jari. Halayudha meringis. Pundak kirinya lebih dulu bergeser maju. Satu gerakan kecil yang menandai keunggulannya. Jari tengah Upasara makin menurun, menyentuh ibu jari.
Mendadak jari itu menjentik ke depan. Halayudha menjerit keras. Tubuhnya terbanting. Tangannya memegangi dada, sementara Kangkam Galih tergeletak. Gendhuk Tri melayang bersamaan dengan Mada. Yang satu melayang ke arah Cubluk. Memeluk dengan kasih yang sepenuhnya tertumpah. Sementara Upasara terjatuh dan bertumpu pada lututnya. Yang kedua mendekat ke arah Halayudha. Melihat wajah Halayudha yang pias, yang tak bertenaga sedikit pun. Napasnya seperti terhenti, karena tak mengeluarkan getaran. Di bagian dada yang ditutupi Halayudha saat-saat terakhir, terlihat warna hitam legam bagai tembong.
Upasara Wulung mengubah gerakan jari tengah mendekat ke ibu jari sebagai kekuatan. Untuk melancarkan serangan terakhir, yang diambilkan tenaganya dari tubuh Cubluk. Tenaga dalam yang berada dalam diri Cubluk, yang terkena bercak hitam. Penyaluran tenaga, pemindahan tenaga yang tepat. Dengan mengalirkan, bukan memaksa, bukan mendesak. Tenaga dalam tanah air, mengalir. Sunyi. Kaku.
"Ada perang lagi, Ibu Jagattri?" Suara Cubluk bagai semilirnya angin kehidupan.
Gendhuk Tri mendekap Cubluk rapat-rapat ke dadanya. "Tidak. Tak ada lagi."
Gendhuk Tri melangkah perlahan. Menjauh dari medan pertarungan. Langkah lembut, bersamaan dengan berhentinya cairan yang keluar dari seluruh tubuhnya. Rambutnya yang terpotong separuh tak mengurangi rasa keibuannya yang memancar.
"Terima kasih atas budi, Nyai Demang..." Suara Pangeran Hiang terdengar bersahaja. "Saya tak akan pernah melupakan."
"Pangeran..."
"Nyai Demang, saya tak punya nyali untuk menemui Nyai. Tapi saya ingin mengatakan bahwa ada bagian yang tak bisa saya terangkan bagaimana ini semua terjadi. Semua tanggung jawab saya. Nyai Demang, satu-satunya nyali yang masih ada dalam diri saya hanyalah kembali dengan satu tangan ke Tartar. Apa pun yang akan terjadi di sana atau di perjalanan nanti, itu adalah kehendak Dewa yang saya maui."
Dengan satu tangan, Pangeran Hiang menyoja kepada Upasara. "Pangeran Upasara Wulung..."
"Kita masih bersaudara, Pangeran Hiang."
"Berat meninggalkan Pangeran Upasara Wulung yang budiman. Tetapi nilai persaudaraan tak akan pernah hilang. Saya tak bisa berjanji atau berharap apakah suatu ketika kita bisa bertemu lagi atau entah dalam turunan keberapa..." Suaranya tertelan keharuan. Pangeran Hiang seperti sadar bahwa dirinya tak mungkin mempunyai keturunan.
"Kita tak akan bertemu lagi, Pangeran Hiang. Karena kita tak pernah benar-benar berpisah."
Dimulai dengan Niat Baik
LENGAN tangan kanan Pangeran Hiang yang kosong bergerak, menghapus air mata. Lalu bersama-sama tangan kiri yang masih utuh Pangeran Hiang menyoja sekali lagi sambil berlutut. Baru kemudian bergerak cepat. Membuka pakaiannya, membungkus tubuh Ngwang yang terpotong-potong pada bagian yang masih bisa diangkat.
Suara Nyai Demang tertahan di tenggorokan ketika meneriakkan namanya. Pangeran Hiang memandang lekat. Mendekat.
"Nyai, begitu singkat pertemuan kita berdua, akan tetapi begitu berarti bagi saya. Pada akhirnya saya bisa memilih, mencintai seorang wanita, sebagaimana kodrat saya sebagai lelaki. Dan wanita itu adalah Nyai Demang."
"Pangeran, apakah Pangeran benar berniat ke Tartar?"
"Ya, Nyai, dan tak ada yang bisa menahan lagi."
"Tidak juga saya, Pangeran? Saya malu mengatakan hal ini, tetapi saya harus mengatakan agar di belakang hari saya tak menyesali."
"Jiwa besar Nyai sungguh mulia. Apakah saya masih mempunyai keberanian memboyong Nyai?"
Nyai Demang menunduk. "Semua mempunyai masa lalu yang tidak bagus untuk diingat. Semua mempunyai kesalahan. Biarkan itu menjadi sejarah."
"Saya juga tak mempunyai masa depan sebagai lelaki."
"Apakah semua hanya diperhitungkan dari sisi itu, Pangeran Hiang? Apakah daya asmara hanya..." Nyai Demang menunduk. Luka dan luka, di badan dan di batinnya, tetap menghalangi bibirnya untuk mengatakan yang sesungguhnya.
Lengan kutung yang kini tak terbungkus lengan baju bergerak. "Kalau Nyai tidak berkeberatan, marilah kita berangkat sekarang juga. Saya kuatir penundaan bisa berarti kekecewaan lain."
Nyai Demang terdiam. "Tartar negeri yang jauh, dan tak berubah lebih jauh kalau kita berangkat sekarang atau setelah matahari tenggelam. Pangeran Hiang..."
Kini tangan Pangeran Hiang merangkul perlahan. Lembut. Wajah Nyai Demang merah dadu.
"Eyang Putri Bibi Nyai, Rama Wulung menang?" Suara Klobot terdengar nyaring, tinggi.
Nyai Demang menghindar dari Pangeran Hiang, merangkul Klobot kencang.
"Kenapa Eyang Putri menangis?"
Tangan Upasara menggapai dari jauh. Dengan sedikit takut, Klobot mendekatinya. "Jangan ganggu Eyang Putri..."
"Ya, Rama."
Upasara menarik tangan Klobot, menjauh dari Pangeran Hiang dan Nyai Demang. Gendhuk Tri menggendong Cubluk dengan wajah berseri-seri.
"Klobot?"
"Ya, Rama..."
"Ada Rama lain, Rama ingkang Sinuwun yang masih mematung. Kalau kamu berbakti, kamu bisa menyembuhkannya kembali."
"Saya tak bisa, Rama."
"Tak bisa atau tak berani?" Suara dan nada Upasara perlahan, tidak mengesankan baru saja terjadi peristiwa yang begitu hebat.
"Tidak berani menyentuh, Rama..."
"Sekarang saatnya, Klobot. Kamu bisa menolong seseorang, benar-benar seorang manusia lain. Yang membutuhkan pertolongan, meskipun barangkali tidak mengatakannya."
"Rama Wulung..."
"Jangan menjadi sesuatu yang tak mengenakkanmu sebagai prasangka. Satu-satunya yang paling baik dilakukan adalah membuang prasangka. Klobot, Rama tahu kamu sudah bisa menilai, bisa merasa sakit hati, bisa terhina. Tapi lupakanlah semuanya. Rama tahu kamu masih ingin menunjukkan keunggulan. Salah satu sifatmu yang bisa berbahaya dengan Tembang Tanah air yang Rama ajarkan. Tetapi mulailah dengan niat baik." Upasara Wulung mengangguk sambil tersenyum.
Klobot mendekati Raja dari belakang. Menyembah hormat, dan tengadah kembali. Menghormat dalam gerakan sembah. Tujuh kali. Raja terhuyung-huyung. Pulih kembali. Bersamaan dengan Mahapatih Jabung Krewes.
"Mohon ampun, Ingkang Sinuwun. Hamba... Hamba..."
Raja terbatuk. Tanpa menoleh, tanpa menyapa, menuju ke joli. Masuk begitu saja. Mahapatih Jabung Krewes bergegas memerintahkan para prajurit untuk segera mengangkat joli. Dan rombongan berlalu. Tergesa.
Klobot masih menunduk, bersila. Sampai Upasara Wulung mengelus rambut Klobot yang menatap dengan sorot mata penuh kekaguman. Sorot mata memuja, dengan bibir setengah terbuka. Senyum Upasara masih terlalu samar.
"Ayolah, jangan kehilangan kesempatan bermain seperti biasanya."
"Rama..."
"Apa lagi?"
"Rama Wulung atau saya yang menyembuhkan Ingkang Sinuwun?"
"Bagi Rama, bagimu, seharusnya tak ada bedanya. Tujuan adalah harapan. Begitulah kebaikan diajarkan. Kebaikan adalah keinginan yang jernih. Semua atas kehendak Yang Mahadewa."
Kedua tangan Upasara mengusap wajahnya sendiri. Disertai tarikan napas yang dalam. Baru kemudian berjalan perlahan mendekati Gendhuk Tri. Di tengah langkahnya, Upasara memandang Mada yang kini bersimpuh di tanah bersama Nala. Yang masih saja terbengong, karena masih belum mengerti apa dan bagaimana kejadian di sekitarnya berlangsung.
"Mada, saya bisa memperkirakan kedatanganmu. Katakan kepada yang memerintahkanmu, siapa saja, bahwa saya akan menerimanya jika ia datang sendiri. Saya tak memerlukan perantara. Kecuali kalau kamu sendiri berniat menangkap. Saya tak akan menghindari siapa pun yang datang. Tetapi saya tidak menghendaki, sampai pertemuan yang sebenarnya, lima puluh tahun yang akan datang."
Mada mengangguk dalam. Nala menyembah. "Bolehkah saya berdiam di sini untuk beberapa saat, Paman Upasara Wulung?"
"Tempat ini selalu terbuka bagi siapa saja. Selamanya. Apa yang kamu cari di sini, Mada? Merawat Halayudha, mengantarkan kepergiannya?"
Mada berdiam sejenak. "Saya mengenal jagat ini karena dilahirkan kembali oleh Bapa Guru Truwilun. Saya tak bisa menyampaikan, bahkan rasa hormat dan ucapan terima kasih."
"Paman Jaghana kembali kepada alam. Bersama alam. Pujian, penghormatan, rasa syukur, terima kasih, bisa dikembalikan ke alam. Alam yang terbentang di bawah langit, di atas bumi, yang menjadi tanah air kita." Upasara Wulung menggandeng Klobot.
"Rama, apakah ini bukan pertarungan?"
"Lima puluh tahun lagi, baru dikatakan pertarungan sebenarnya. Ini pencarian."
Nala mengusap wajahnya. Seakan mendengar kata-kata bertuah yang belum pernah didengarnya. Mada masih termenung ketika mendengar rintihan. Bukan rintihan, melainkan gumam. Suara Halayudha yang masih terbaring, punggungnya rata dengan tanah.
"Alam... Tanah air... Upasara Wulung keliru, bahwa hanya aku yang menjadi mahamanusia. Aku... aku siapa? Aku yang terkena bercak hitam di dada. Yang sebenarnya berasal dari tenaga dalamku sendiri yang tidak benar. Alangkah mengagumkan bahwa akhirnya bisa mengenal diriku. Dan Upasara Wulung mengatakan itu alam, itulah tanah air. Apa betul begitu? Siapa yang menanam rumput tak akan menuai padi. Siapa yang menanam glugut tak akan menuai bambu. Itu alam. Kamu siapa?"
Mada menunduk mendekat. Wajah Halayudha tampak kosong. Sinar matanya tak menyatu pada satu
Kembali ke Awan
APA yang dikatakan Halayudha seperti tidak keluar dari bibir. Dengan mengatakan siapa menanam glugut, atau bulu bambu yang gatal, tak akan menuai bambu, atau juga siapa menanam rumput tak bakal menuai padi, bukan sesuatu yang baru. Semasa kecil Mada telah mendengarnya. Hanya sekarang terasakan maknanya ketika diucapkan Halayudha yang dadanya terkena bercak hitam. Halayudha yang terbaring rata.
"Aku sebenarnya paling tahu. Aku tahu Upasara Wulung menemukan kekuatan tanah air. Aku juga bisa menemukan. Atau juga... juga... apakah tak ada yang mempunyai nama selain Upasara Wulung? Aneh. Kenapa aku bertanya seperti ini? Apakah nama diperlukan, ataukah tak ada nama lain selain Upasara Wulung? Pedang itu mestinya punya nama. Aku pernah menyebutkan namanya. Tapi Upasara Wulung mengatakan bukan itu kekuatannya. Sebab kalau itu kekuatan sesungguhnya, apa artinya tanah air? Kenapa dia ucapkan itu? Aku yang tahu, aku yang bisa menerangkan. Tak ada yang lebih dari aku. Semua ilmu, semua ajaran, semua perbuatan, semua derajat dan pangkat, tak ada yang bisa menyamaiku. Sebab siapa saja tak akan mengungguliku. Aku bisa mengatasi kematian. Sebab dalam hidup aku bisa mati, dalam mati aku tetap hidup."
Mada menunduk. Dengan sangat hormat dan hati-hati, matanya menutup mata Halayudha yang nyalang. Menutupkan dengan perlahan, dengan usapan kasih. Bagaimanapun pandangan dan penilaiannya kepada Halayudha, bagi Mada tokoh yang satu ini sangat istimewa dan rapat hubungannya. Bahkan bisa menggetarkan karena iba. Nala memegang tangan, bahu, kaki. Ketika matahari makin terik, Mada menggotong Halayudha ke tempat yang lebih teduh. Mata Halayudha kembali nyalang terbuka.
"Paduka..."
Halayudha mengangguk. Lalu menghela napas. Berusaha duduk dengan susah. Nala menolong dengan dorongan perlahan.
"Aku tak akan kembali ke alam, seperti... siapa? Aku mengatasi alam. Karena aku lebih unggul."
Halayudha berusaha bangun. Nala menopang. Keduanya berjalan bersama. Mada mengiringkan.
"Ke mana...?"
"Mengikuti kedeping netra..."
Mengikuti ke mana mata berkedip, ke tujuan yang menggetarkan hidupnya. Mada mengikuti dan pada sekian ratus langkah ganti menopang. Secara bergantian mereka terus menopang, dan beberapa kali Halayudha berusaha berjalan sendiri, sambil mengatakan tentang alam, tentang perang dan pedang, tentang ajaran dan ilmu, tentang bambu dan padi, tentang rumput dan glugut, tentang Upasara Wulung, dan entah siapa lagi.
Mereka bertiga seperti melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata hanya melingkar. Kembali ke tempat semula. Dan mengulang kembali dari awal. Kadang kala Klobot tahu, dan melihat dari kejauhan. Kadang mengikuti langkah, kadang bermain dengan krendi, atau kembali bersama Nyai Demang.
"Siapa dia, Eyang Putri Bibi Nyai?"
"Kelak kamu akan tahu bahwa ia adalah seseorang yang tidak mau menerima alam."
"Kenapa dia menyebut nama Rama Wulung?"
"Hanya nama itu yang tersisa dalam ingatannya."
"Eyang Putri, Eyang menangis?"
"Tidak."
"Saya sering melihat Eyang Putri menangis. Ibu Jagattri mengatakan begitu. Cubluk juga mengatakan begitu."
"Saya tidak menangisi apa-apa, Klobot."
"Kata Ibu Jagattri, Eyang Putri menangisi Pangeran Hiang." Suara Klobot berganti nadanya, rendah dan memelas, menimbulkan iba.
"Apakah Eyang Putri Bibi Nyai mau pergi ke Tartar?"
"Saya menangisi saya sendiri."
"Jadi Eyang Putri akan pergi ke Tartar?"
"Siapa bilang begitu?"
"Pangeran Hiang."
"Apa yang dikatakan?"
"Eyang Putri Bibi Nyai akan pergi ke Tartar. Negeri yang banyak angin, banyak kuda, banyak keraton. Segera."
"Ayolah kita berlatih seperti dulu. Kamu tidak boleh bermanja dan tidak boleh nakal. Ajak Cubluk kemari. Akan saya ajari tembang yang paling bagus."
Klobot tampak cemberut.
"Ajak Cubluk."
"Cubluk selalu bersama Rama Wulung."
"Mulai sekarang sering-sering kamu ajak Cubluk. Bermain bersama kita. Sebentar lagi Rama Wulung dan Ibu Jagattri akan sangat sibuk mengurusi bayinya. Ayolah."
"Tidak mau. Cubluk juga tidak mau Rama Wulung punya bayi."
"Hush, siapa yang mengajarimu omong kasar begitu?"
"Karena kalau punya bayi, Eyang Putri pergi."
"Siapa yang bilang?"
"Pangeran Hiang."
"Tidak."
"Rama Wulung."
"Tidak."
"Ibu Jagattri."
"Tidak."
"Ya. Eyang Putri sendiri bilang begitu sama Pangeran Hiang. Cubluk juga mendengar. Kami pura-pura tidur kalau Eyang Putri berduaan."
"Sssttt, tak boleh. Tak boleh cerita sama siapa-siapa."
"Kenapa?"
"Itu Pangeran Sang Hiang. Kamu akan diajari bersoja dengan satu tangan..."
Suara Nyai Demang lembut, akan tetapi terdengar sampai ke telinga Upasara Wulung yang tengah bersama Gendhuk Tri, berada di dekat Cubluk yang tertidur lelap. Wajah Upasara sapandurat, sekilas berwarna merah. Sorot matanya lembut bertanya.
Gendhuk Tri mengangguk lembut. Tangan Upasara menggenggam tangan Gendhuk Tri. Lembut. Merambatkan daya asmara sejati. Mempertemukan daya asmara sejati. Sepotong angin menggerakkan rumput, bergoyang perlahan. Sepotong angin menyentuh awan, menggerakkan, menciptakan bayangan, keteduhan, penerimaan.
T A M A T