PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 23
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 23
Karya Singgih Hadi Mintardja
BEBERAPA anak-anak muda menjadi berdebar-debar di dalam hati. Ada pula yang menjadi malu kepada diri mereka sendiri. Tetapi ada yang bahkan menjadi semakin kecut. Wajah-wajah mereka menjadi seputih kapas, dan nafas mereka satu-satu tersangkut di kerongkongan. Tetapi, Jinan dan Sinung Sari tidak lagi dapat berdiam diri, sambil menggigil ketakutan Patalan telah lebih dahulu mengambil pedangnya. Karena itu maka Jinan berkata kepada seseorang yang berjongkok pula di sampingnya,
“Mari, usahakan Patalan menjadi sadar. Aku pun akan mengambil pedangku.”
Kini, seseorang yang sudah agak tua memangku kepala Patalan. Setetes-setetes dititikannya air ke mulut anak itu. Ketika kemudian Jinan dan Sinung Sari telah berdiri di sampingnya dengan pedang di lambung masing-masing, maka obor-obor itu menjadi sudah sangat dekat.
Tiba-tiba mereka melihat Patalan itu bergerak-gerak. Dengan serta-merta beberapa orang segera berjongkok di sampingnya. Dan mereka pun kemudian mendengar Patalan berdesis perlahan-lahan ketika dilihatnya Jinan dan Sinung Sari, “Hantu Karautan yang datang itu adalah Hantu Karautan.”
Suara itu menggelegar bagai guntur yang meledak disetiap telinga. Hantu Karautan. Segera, ketakutan mencengkam hati orang-orang Panawijen itu. Hantu adalah sebutan yang paling mengerikan bagi mereka. Kalau yang datang itu segerombolan perampok atau Kuda Sempana, maka mereka masih akan dapat menghindar. Melarikan diri atau menangis minta ampun. Tetapi yang disebut Patalan adalah Hantu Karautan. Hantu yang bengis dan mengerikan.
Tak seorang pun yang masih mampu mengucapkan pertanyaan-pertanyaan. Ki Buyut Panawijen terdiam membeku. Apakah ia akan dapat melawan hantu meskipun seandainya anak-anak Panawijen itu bersama-sama mengangkat senjata. Dalam pada itu kembali terdengar suara Patalan. Kali ini agak lebih keras, “Sinung Sari dan Jinan. Apakah kau masih ingat Hantu Karautan itu?”
Sinung Sari dan Jinan mengerutkan keningnya.
“Bukankah kita telah pernah bertemu dengan tiga orang hantu di padang ini?”
Tiba-tiba Sinung Sari dan Jinan menganggukkan kepalanya. “Aku akan bangun” desah Patalan. Perlahan-lahan, ditolong oleh Sinung Sari dan Jinan, Patalan itu bangkit dan duduk bertelekan tangannya, “Apakah aku pingsan?”
“Ya kau pingsan” sahut Sinung Sari.
“Lihat obor-obor itu sudah terlampau dekat.”
“Ya, siapakah mereka?” bertanya Jinan tidak sabar.
“Sudah aku katakan, Hantu Karautan.”
Tetapi orang-orang yang mendengar kata-kata Patalan dan melihat wajahnya menjadi bingung. Wajah itu meskipun pucat tetapi sama sekali tidak menunjukkan kesan-kesan yang mengerikan.
“Hantu yang mana? Katakan cepat” desak Sinung Sari.
“Hantu berkuda.”
Orang-orang yang mendengarkannya menjadi semakin bingung. “Hantu berkuda?” beberapa orang mengulangi di dalam hatinya yang kecut.
“Ada dua hantu berkuda” sahut Jinan.
“Yang datang adalah hantu yang sebenarnya. Hantu yang dikatakan oleh Mahisa Agni, hantu yang mengalahkan segala hantu di padang ini.”
Sinung Sari berpikir sejenak. Jinan pun. Tiba-tiba bangkit berdiri “Sinung Sari,” katanya,, “hantu berkuda yang tampan itu. Bukankah begitu maksudmu Patalan?”
“Ya.”
“Tetapi kenapa kau berlari terbirit-birit ketakutan?”
“Aku disuruh oleh Mahisa Agni untuk mengabarkan, bahwa hantu itulah yang datang. Bukan orang lain.”
“Gila” Tiba-tiba Sinung Sari pun tegak pula. Hampir bersamaan maka Sinung Sari dan Jinan berkata, “Aku akan pergi menyongsong hantu itu.”
“Sinung Sari, Jinan” panggil Ki Buyut.
Tetapi Sinung Sari dan Jinan telah berlari masuk ke dalam gelap malam menyongsong obor-obor yang kini sudah menjadi semakin dekat. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dada orang-orang Panawijen. Kenapa tiba-tiba Sinung Sari dan Jinan berlari menyongsong Hantu Karautan itu? Apakah tiba-tiba saja mereka sadar bahwa mereka harus membela Mahisa Agni dari bencana.
Tetapi tak seorang pun yang sempat menemukan jawabnya. Patalan yang lemah itu pun kini telah berdiri pula. Di pandanginya nyala obor-obor itu, dan remang-remang mereka telah melihat serombongan bayangan berjalan perlahan-lahan mendekati perkemahan itu.
“Patalan” desis Ki Buyut, “kau lihat bayangan-bayangan itu?”
“Ya Ki Buyut.”
“Aku menjadi ngeri. Bagaimanakah bentuk hantu-hantu itu?”
Patalan tiba-tiba tersenyum, dan Ki Buyut pun menjadi semakin tidak mengerti, apakah sebenarnya yang sedang dihadapi. Ketika sekali lagi ia mengamati bayangan-bayangan itu, dilihatnya bayangan-bayangan yang besar berjalan tersuruk-suruk diantara mereka. Tetapi tiba-tiba telinga Ki Buyut menangkap sesuatu. Bunyi yang selama ini seolah-olah bunyi gemerisik kaki-kaki hantu yang mengerikan. Tetapi ia kenal benar bunyi yang kini dapat didengarkannya dengan lebih seksama.
“Pedati” desisnya , “bukankah bunyi-bunyi itu berasal dari roda pedati?”
“Ya” sahut Patalan.
“Apakah hubungan antara hantu dan Pedati?”
Sekali lagi Patalan tersenyum, “Lihat Ki Buyut. Yang berkuda di depan itulah Hantu Karautan.”
Ki Buyut tidak dapat mengerti. Tetapi obor-obor itu kini sudah menjadi terlampau dekat. Dengan hati yang bimbang dan penuh kecemasan Ki Buyut Panawijen beserta orang-orang Panawijen yang gemetar melihat sebuah iring-iringan yang besar mendekati perkemahan mereka. Bukan saja beberapa orang berkuda tetapi pedati-pedati dan beberapa pasang lembu dan kuda.
Dalam kebimbangan dan kebingungan itu terdengar suara Mahisa Agni, “Ki Buyut. Ternyata semua dugaan kita keliru. Bukankah Patalan telah mengatakannya?”
“Patalan pingsan” terdengar suara Sinung Sari menyahut.
Mahisa Agni tertegun. Dipalingkannya wajahnya ke arah Sinung Sari dan Jinan yang menjemputnya , “Kenapa anak itu pingsan?”
Patalan mendengar pembicaraan itu. Sambil tertawa kecil ia menyahut , “Aku berlari terlalu cepat. Nafasku terputus, dan aku pingsan sabelum aku sempat mengatakannya.”
“Oh” Mahisa Agni pun tertawa pula.
Kini iring-iringan itu telah berhenti. Mahisa Agni dan pamannya bersama Sinung Sari dan Jinan berjalan mendahului menemui Ki Buyut Paaawijen yang berdiri seperti sebatang tonggak. Dengan wajah yang tidak menentu orang tua itu memandangi Mahisa Agni dan iring-iringan itu berganti-ganti.
Perkemahan itu kini ditelan oleh suasana yang aneh. Ki Buyut Panawijen, anak-anak muda dan orang-orang Panawijen yang melihat iring-iringan itu serasa berada di dalam mimpi. Pedati-pedati dan berpasang-pasang, lembu, kerbau dan kuda.
“Apakah artinya ini Agni?” bertanya Ki Buyut dengan nada yang datar.
“Ki Buyut” berkata Mahisa Agni, “bukankah aku pernah mengatakan bahwa Akuwu di Tumapel pernah menjanjikan bantuan kepada kita. Pedati dan alat-alat lain. Bahkan lembu, kerbau dan kuda?”
Ki Buyut Panawijen yang tua itu menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap dadanya. Seakan-akan baru saja ia terlempar ke dalam sebuah mimpi yang dahsyat. Sekali ia mengamati iring-iringan itu di bawah cahaya obor yang tidak begitu terang. Lamat-lamat dilihatnya pedati yang ditarik oleh kerbau dan lembu berberat-berat, dan beberapa puluh orang prajurit.
“Benar-benar seperti ceritera tentang barang-barang tiban dari langit.” gumamnya.
“Inilah orangnya yang mendapat tugas untuk membawa semuanya itu kemari Ki Buyut. Namanya Ken Arok. Seorang Pelayan Dalam Istana Tumapel. Ken Arok mengenal Padang Karautan ini seperti kita mengenal segenap sudut pedukuhan Panawijen. Itulah sebabnya ia tidak asing lagi berada di tengah-tengah padang ini kembali.”
Ki Buyut menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sedang K«n Arok tersenyum sambil berdesah, “Ah, ada-ada saja kau Agni.”
“Selamat datang Ngger.” Ki Bayut menyapanya.
“Selamat Ki Buyut. Kami barangkali telah mengejutkan Ki Buyut dan orang-orang Panawijen yang sedang beristirahat. Sebenarnya kami ingin berhenti dan meneruskan perjalanan besok siang supaya tidak menimbulkan kecemasan. Tetapi kami ingin segera sampai. Karena itu, kami telah menyalakan obor-obor supaya tidak mencurigakan. Tegapi agaknya obor-obor kamilah yang malahan menimbulkan kekhawatiran kalian.”
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya, “Banyak kejadian yang telah membuat kami terlampau berkecil hati.”
“Ya, kami telah mendengarnya sebagian. Mungkin Kuda Sempana dan gurunya. Mungkin pula Hantu Karautan.”
“Itulah. Dan Patalan yang disuruh Mahisa Agni memberitahukan bahwa yang datang adalah anak-mas, ternyata mengganggu kami pula, meskipun ia baru saja sadar dari pingsannya.”
“Apakah yang dikatakan?” bertanya Mahisa Agni.
“Katanya yang datang itu adalah Hantu Karautan.”
Mahisa Agni tersenyum. Ken Arok pun tersenyum pula, katanya, “Ternyata yang datang adalah aku sebagai utusan Akuwu Tumapel.”
“Itulah. Ingin aku mencabut beberapa helai rambut Patalan karena kenakalannya. Hampir-hampir kami semua di sini mati ketakutan.”
Kini Ken Arok tertawa. Dan yang menyahut adalah Mahisa Agni, “Patalan berkata sebenarnya Ki Buyut.”
Wajah Ki Buyut menjadi berkerut-kerut, sedang Ken Arok sekali lagi berdesah, “Ah, kau ini Agni.”
“Aku menjadi bingung” gumam Ki Buyut.
“Salah Mahisa Agni, Ki Buyut” sahut Ken Arok, “mungkin ia ingin orang lain menjadi ketakutan seperti dirinya sendiri.”
Mahisa Agni tertawa, dan Ki Buyut pun tertawa pula. Kepada Empu Gandring Ki Buyut kemudian bertanya, “Bagaimana Empu? Anak-anak muda sering mengganggu yang tua-tua.”
Empu Gandring pun tersenyum pula, katanya, “Kalau aku tahu, maka lebih baik aku tidur saja di dalam gubugku. Dinginnya bukan main di tengah padang.”
Yang mendengarnya tertawa bersahutan. Bahkan orang-orang Panawijen yang masih pucat dan belum lagi dapat menghilangkan getar di jantung mereka pun sempat tersenyum.
“Nah Agni” berkata Ki Buyut kemudian, “jelaskan apa yang terjadi kepada orang-orang Panawijen, supaya mereka tidak selalu bertanya-tanya di dalam hati.”
“Baiklah Ki Buyut” sahut Mahisa Agni yang kemudian melangkah maju mendekati orang-orang Panawijen yang berkumpul di sisi perkemahan itu.
Dengan singkat Mahisa Agni memberitahukan kepada mereka, bahwa yang datang itu adalah sumbangsih Akuwu Tunggul Ametung, berupa pedati, kerbau, lembu, kuda dan alat-alat yang lain yang akan memperingan pekerjaan mereka, membuat bendungan dan parit-parit.
“Ternyata Akuwu Tunggul Ametung dapat mengerti betapa pentingnya bendungan itu bagi kita di sini. Betapa bendungan itu tidak saja akan sangat berarti bagi kita, tetapi juga bagi anak cucu kita. Lebih dari pada itu bendungan yang kecil ini akan merupakan setitik air yang ikut serta membantu kesejahteraan Tumapel seluruhnya.”
Orang-orang yang mendengar keterangan Mahisa Agni itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Alangkah janggalnya” Mahisa Agni meneruskan, “apabila Akuwu Tunggul Ametung dapat mengerti betapa pentingnya bendungan ini, meskipun tanpa bendungan ini pun kebesarannya tidak akan terganggu. Sedang kita di sini, yang langsung berkepentingan, seakan-akan acuh tak acuh saja terhadapnya. Bahkan ada beberapa orang yang benar-benar telah menjadi jemu. Ternyata utusan Akuwu Tunggul Ametung datang tepat pada waktunya. Pada waktu orang-orang Panawijen hampir kehabisan gairah untuk melanjutkan kerja. Pada waktu orang-orang Panawijen telah mulai berputus-asa, bahkan ada yang sudah benar-benar kehilangan nafsu dan jemu berjemur di terik matahari di padang ini, sehingga telah membenahi pakaian dan alat-alatnya untuk besok pagi pulang kembali ke Panawijen yang sudah mulai dibakar oleh kekeringan.”
Kembali Mahisa Agni berhenti sejenak. Beberapa orang menundukkan kepalanya. Mereka benar-benar menyadari betapa lemah hati mereka. Betapa mereka sama sekali tidak betah menghadapi prihatin meskipun untuk suatu cita-cita yang tinggi. Apalagi bagi mereka yang benar-benar telah membenahi pakaian dan alat-alat mereka. Terasa, hati mereka bergejolak oleh perasan malu dan sesal.
Dalam pada itu Mahisa Agni kemudian berkata seterusnya , “Sekarang, marilah kita lihat, apakah yang dibawa oleh Ken Arok sebagai utusan Akuwu Tunggul Ametung” Kemudian Mahisa Agni, itu pun berpaling kepada Ken Arok sambil berkata, “Ken Arok, apakah kau tidak berkeberatan apabila orang-orang Panawijen saat ini juga melihat-lihat apa saja yang kau bawa supaya hati mereka menjadi pulih kembali seperti saat mereka berangkat memasuki padang ini, bahkan menjadi lebih besar lagi, sehingga gairah kerja mereka menjadi berlipat-lipat.”
“Silahkan” sahut Ken Arok, “barang-barang ini memang dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada kalian. Kepada orang-orang Panawijen.”
“Terima kasih” berkata Mahisa Agni pula. Kepada orang-orang Panawijen ia berkata, “Nah, sekarang kalian mendapat kesempatan melihat apa saja yang berada dalam iring-iringan itu, supaya kalian menjadi mantap. Menurut Ken Arok, utusan Akuwu Tunggul Ametung, semua itu akan dihadiahkan kepadamu sekalian. Bukankah begitu Ken Arok?”
“Ya” Ken Arok menganggukkan kepalanya.
“Termasuk para prajurit” menyela Empu Gandring sambil tersenyum.
Ken Arok pun tersenyum pula, jawabnya, “Termasuk para prajurit. Tetapi mereka hanya sekedar dipinjamkan.”
Ki Buyut Panawijen pun tersenyum pula. Ketika Mahisa Agni kemudian memberi kesempatan kepada orang-orang Panawijen untuk melihat-lihat pedati-pedati itu, maka Ki Buyutlah yang pertama-tama maju mendekat “Ah, apa sajakah kiranya isi iring-iringan itu?” gumamnya.
“Silahkan. Silahkanlah menyaksikan” jawab Arok.
Di belakang Ki Buyut, kemudian seakan-akan berebutan, orang Panawijen berjajar-jajar bahkan berdesak-desakan melihat-lihat isi pedati yang dibawa oleh Ken Arok. Beberapa orang prajurit yang berdiri disekeliling pedati-pedati itu pun terpaksa menyingkir memberi kesempatan kepada orang Panawijen untuk menyaksikan.
Dengan api-api obor mereka melihat-lihat pedati-pedati yang ditarik oleh pasangan-pasangan kerbau dan lembu yang besar-besar. Melihat lembu dan kerbau itu pun mereka telah menjadi kagum. Apalagi ketika mereka melihat itu pedati-pedati itu. Cangkul, kapak, waluku, garu dan sagala macam alat-alat diperlukan. Tetapi ternyata bukan itu saja, ketika mereka melihat pedati-pedati dibagian belakang, maka mereka melihat, pedati-pedati itu penuh bersisi bahan makan.
Mahisa Agni sendiri merasakan sesuatu yang berdesir di dalam dadanya, melihat betapa Akuwu Tunggul Ametung telah mengirimkan alat dan bahan makan itu untuk orang-orang Panawijen. Ken Arok yang berdiri di sampingnya agaknya melihat hati anak muda itu yang bergetar lewat perubahan wajahnya. Maka katanya,
“Kau tidak usah heran, mengapa Akuwu Tunggul Ametung menyertakan bahan-bahan makanan itu pula. Akuwu Tunggul Ametung memerintahkan agar para prajurit membantu menyelesaikan bendunganmu. Bukankah mereka itu memerlukan makan? Nah, Akuwu tidak ingin mengurangi persediaan makan orang-orang Panawijen yang sudah pasti terlampau tipis. Karena itu, maka kami harus membawa bahan makanan itu untuk para prajurit dan untuk orang-orang Panawijen pula. Apabila ternyata kelak masih kurang, kami akan mengambilnya ke Tumapel.”
“Terima kasih” suara Mahisa Agni menjadi datar dan bernada rendah.
Namun tiba-tiba merayaplah suatu perasaan yang asing di dalam dirinya. Ketika ia melihat pedati, alat-alat yang lengkap dan bahan-bahan makanan, maka seakan-akan ia merasa, bahwa semuanya itu merupakan sebuah tebusan dari luka dihatinya. Seakan-akan ia telah melepaskan sesuatu yang tertambat dihatinya untuk mendapatkan barang-barang itu. Untuk mendapat bantuan dari Akuwu Tunggul Ametung.
“Apakah aku telah menjual hatiku? Apakah aku telah menukarkan perasaan seorang laki-laki dengan semuanya ini?” desisnya di dalam hati.
Tiba-tiba Mahisa Agni mengatubkan mulutnya rapat-rapat. Di lawannya perasaannya itu sekuat-kuat tenaganya. “Tidak” ia menggeram di dalam hatinya, “Akuwu tidak tahu perasaanku itu. Akuwu tidak pernah merasa membeli Ken Dedes dari padaku, atau menukarnya setelah ia merenggut gadis itu dari tambatannya di hatiku. Tidak. Tak seorang pun tahu, Ken Dedes juga tidak tahu. Akuwu memberikan bantuannya karena ia menyadari betapa pentingnya bendungan ini bagi kami. Kalau ada dorongan yang lain, tidak akan melampaui dorongan yang diberikan oleh Ken Dedes untuk membantu orang-orang sepedukuhannya. Tidak lebih dari itu.”
Mahisa Agni itu terkejut ketika ia mendengar Ki Buyut Panawijen bergumam, “Bukan main. Apakah semuanya ini akan dihadiahkan kepada kami?”
Mahisa Agni menjadi tergagap. Tetapi Ken Arok telah menyahut, “Ya, Ki Buyut. Semuanya ini telah diserahkan kepada orang-orang Panawijen. Akuwu Tunggul Ametung akan bergembira apabila bendungan itu kelak akan terwujud. Padang Karautan yang kering ini akan menjadi hijau segar dialiri oleh air yang naik dari bendungan itu. Bahkan Akuwu telah memerintahkan kepada kami, apabila pekerjaan ini kelak selesai, maka kami masih mendapat tugas lain.”
“Apa?” bertanya Mahisa Agni dengan serta merta.
“Kami harus membangun taman yang seindah-indahnya di sekitar pedukuhan yang baru nanti. Taman yang akan dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada Permaisurinya yang cantik seperti Ratih, Ken Dedes.”
“Hem” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam “Sebuah taman” desisnya.
Sejenak Mahisa Agni terdiam. Betapa perasaan yang asing kembali merayapi dinding-dinding hatinya. Sukarlah bagi Mahisa Agni untuk menyebut, perasaan apa yang sebenarnya kini tersimpan di dadanya itu. Namun anak muda itu bergumam di dalam hatinya, “Mudah-mudahan Ken Dedes menemukan kebahagiaan. Agaknya Akuwu Tunggul Ametung benar-benar mencintainya. Gadis itu tak akan dapat menikmati kesegaran hidup seperti kini apabila ia tidak menjadi seorang permaisuri. Hanya seorang Akuwu dan seorang rajalah yang mampu menghadiahkan sebuah taman kepada isterinya. Taman yang dibangun oleh para prajurit.”
Dalam pada itu orang-orang Panawijen tak habis-habisnya mengagumi iring-iringan yang datang membawa perlengkapan, peralatan dan makan bagi mereka. Salah seorang bergumam, “Hem, alangkah murah hati Akuwu Tunggul Ametung.”
Seorang tua yang lain menyahut, “Hanya seorang yang berhati emaslah yang dapat berbuat seperti itu. Jarak Panawijen Tumapel adalah jarak yang cukup jauh. Jarang sekali Akuwu Tunggul Ametung atau Akuwu-Akuwu sebelumnya datang ke pedukuhan kami. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung dapat merasakan kesulitan kami, sehingga Akuwu itu pun telah mengirimkan berbagai macam barang dan makanan kepada kami.”
“Belum lama Akuwu datang ke Panawijen” sahut yang lain.
“Ya, belum lama” sela yang lain lagi.
“Ya, ketika Akuwu datang bersama Kuda Sempana.”
Orang-orang yang mendengar kata-kata itu sejenak saling berpandangan. Namun tak seorang pun yang berani menyahut dan meneruskannya. Tak seorang pun yang kemudian berkata bahwa Akuwu itu datang ke Panawijen bersama Kuda Sempana untuk mengambil Ken Dedes. Untuk merampas gadis itu dan melarikannya.
Tetapi bagaimana pun juga terselip pertanyaan di dalam hati orang-orang Panawijen itu, “alangkah jauh bedanya. Kedatangan Akuwu yang pertama ke Panawijen bersama para prajurit justru telah melukai hati orang-orang Panawijen. Tetapi kini Akuwu telah mengirimkan bantuan yang tiada taranya bagi orang-orang Panawijen.
Tak Seorang pun yang mengucapkan pertanyaan itu lewat bibirnya Bahkan hampir setiap orang telah berusaha menindas ingatannya tentang perbuatan Akuwu saat melindungi Kuda Sempana merampas Ken Dedes. Mereka tidak ingin memercikkan noda pada iring-iringan yang kini menggembirakan perasaan mereka itu. Mereka ingin tetap mengatakan, bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang berhati emas. Seorang yang luhur budi dan pengasih, tanpa setitik kesalahan pun pada dirinya. Mereka ingin mengucapkan terima kasih dengan seutuh-utuhnya. Mereka akan melupakan, bahwa mereka pernah mengumpat-umpati Akuwu Tunggul Ametung itu dengan mulutnya.
“Mahisa Agni sendiri pun menerimanya dengan senang hati. Mahisa Agni yang kehilangan adiknya itu pun telah melupakan segala-galanya. Apalagi kami” desis mereka di dalam hati.
Tetapi mereka tidak melihat hati Mahisa Agni. Hati yang bergejolak dengan dahsyatnya. Namun Mahisa Agni mampu mempergunakan akalnya untuk menindas perasaannya. “Aku tidak boleh melihat persoalan ini berdasarkan kepentingan diri sendiri” berkata Mahisa Agni itu di dalam hatinya, “aku harus melihat kepentingan yang jauh lebih besar. Bendungan, yang akan memberi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Panawijen. Bukan sekedar memuaskan hati dan perasaanku saja.”
Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun kemudian dapat menerima keadaan itu dengan hati yang lapang. Bahkan kemudian anak muda itu pun menjadi gembira. Kini harapannya yang hampir-hampir lenyap bersama kejemuan yang melanda perkemahannya, akan dapat disegarkannya kembali.
Ternyata, harapan Mahisa Agni itu pun terjadi. Ketika matahari dipagi yang cerah memancar di atas punggung bukit tampaklah betapa segarnya wajah perkemahan orang-orang Panawijen itu. Meskipun hari itu mereka tidak bekerja, karena mereka masih sibuk menyambut para prajurit Tumapel dan mengatur segala macam peralatan dan lainnya, namun telah terbayang di wajah Mahisa Agni, apa yang besok akan dapat mereka kerjakan.
Hari itu perkemahan orang-orang Panawijen itu disibukkan dengan mengatur tempat penyimpanan bahan-bahan makanan, alat-alat dan membagi gubug-gubug bagi mereka dan para prajurit dari Tumapel. Mereka mencoba saling mengenal dan bercakap-cakap tentang banyak hal. Tetapi pembicaraan mereka pada umumnya tidak berkisar dari bendungan, Padang Karautan yang keras, terik matahari disiang hari dan dingin malam yang menggigit tulang.
Tetapi para prajurit itu memiliki tubuh yang terlatih dan banyak mengalami persoalan-persoalan yang keras dan berat. Itulah sebabnya maka tanggapan mereka terhadap terik matahari, dan dingin malam agak berbeda dengan orang-orang Panawijen.
Hal itu ternyata pada hari-hari berikutnya. Ketika orang-orang Panawijen telah mulai kembali dengan kerja mereka, dengan gairah dan nafsu yang kembali menyala di dalam dada mereka, maka segera mereka melihat, bagaimana para prajurit Tumapel itu bekerja. Para prajurit itu seakan-akan tidak mengenal lelah dan tidak mengenal gangguan-gangguan pada tubuhnya. Meskipun matahari menyala di langit, meskipun keringat telah membasahi segenap wajah kulit mereka, tetapi mereka masih juga tidak susut tenaganya. Bahkan masih juga ada di antara mereka yang mengangkat batu dan brunjung bambu sambil berdendang. Di kelompok lain, mereka masih saja bergurau sesamanya.
“Mereka baru sehari bekerja” gumam salah seorang dari orang-orang Panawijen, “entahlah apabila mereka telah bekerja dua tiga hari di bawah panas terik ini.”
Tetapi di hari-hari berikutnya, kerja para prajurit itu lama sekali tidak berubah. Mereka bekerja dengan wajah yang cerah. Mereka mengangkat brunjung, memecah batu, mengemudikan cikar-cikar dan gerobag-gerobag dengan senyum dan tawa. Mereka mengayunkan cangkul sambil berdendang dan bergurau. Sehingga dengan demikian, kegembiraan kerja mereka itu telah memancari pula orang-orang Panawijen yang selama ini telah menjadi lesu.
Wajah-wajah orang-orang Panawijen yang bekerja membuat bendungan itu kini telah berubah sama sekali. Tidak ada kerut-merut, tidak ada kejemuan dan keragu-raguan. Semua bekerja dengan gairah dan gembira. Mahisa Agni pun menjadi gembira pula. Bahkan ia adalah orang yang paling gembira melihat kerja itu. Kadang-kadang anak muda itu bahkan berdiri saja di atas sebuah batu besar mengamati orang-orang yang sedang sibuk dan tekun bekerja itu. Dilihatnya brunjung-brunjung turun ke sungai satu demi satu dikedua sisinya.
Dilihatnya pedati hilir mudik mengangkut batu-batu dan tanah. Dilihatnya sebelah lain, orang yang sedang membajak melunakkan tanah untuk membuat susukan yang akan membelah Padang Karautan, dan parit-parit. Dilihatnya pula orang-orang Panawijen dan para prajurit sedang mengayunkan cangkul-cangkul mereka untuk menaikkan tanah dari susukan yang sedang mereka buat. Semua berlangsung dengan cepat dan menggembirakan.
Secengkang demi secengkang maka bendungan itu pun naik. Air di dalam sungai itu pun naik pula. Lebih cepat dari dugaan Mahisa Agni karena para prajurit yang ikut membantunya. Dengan bangga Mahisa Agni bergumam di dalam hatinya, “Alangkah menyenangkan. Harapan bagi masa datang kini menjadi semakin terang. Ternyata para prajurit itu tidak hanya pandai mengayunkan pedangnya, tetapi mereka pandai pula mengayunkan cangkul dan kapak. Bahkan mengemudikan gerobak dan cikar. Memegang tangkai waluku dan garu.”
Alangkah besar rasa terima kasihnya kepada Akuwu Tunggul Ametung kali ini tanpa mengingat kepedihan hatinya sendiri. Tetapi lebih dari itu, Mahisa Agni pun memanjatkan ucapan terima kasihnya kepada Yang Maha Agung. Hanya karena tuntunannya maka semua ini dapat terjadi.
“Lima kali lebih cepat dari perhitunganku” desis Mahisa Agni “Ternyata alat-alat itu sangat membantu dan mempercepat penyelesaian kerja ini. Tenaga berpasang-pasang lembu dan kerbau itu jauh lebih besar dari tenaga separo dari orang-orang Panawijen seluruhnya.”
Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi bangga dan gembira melibat kerja itu, tetapi Ki Buyut Panawijen pun tidak kalah pula menyimpan harapan yang melimpah-limpah di dalam dadanya. Sebagai seorang yang hampir selama hidupnya berada ditengah-tengah rakyat Panawijen, maka padukuhan yang baru itu nanti pasti akan tetap mengikat orang-orang Panawijen dalam satu lingkungan. Mereka tidak akan bercerai-berai dan berpisah-pisah. Sedang Empu Gandring menjadi gembira melihat kemanakannya berbesar hati. Orang tua itu melihat kebanggaan Mahisa Agni sebagai suatu kebanggaan dihatinya pula.
Dalam pada itu, bukan saja di Padang Karautan terjadi kesibukan yang luar biasa, tetapi di dalam istana pun terjadi kesibukan yang luar biasa pula. Para hamba istana sibuk membersihkan segala sudut halaman. Para juru sungging sibuk memperbaharui sungging pada setiap ukiran yang melekat pada tiang-tiang dan dinding-dinding istana. Orang-orang tua di dalam istana Tumapel telah menasehatkan kepada Akuwu Tunggul Ametung untuk segera meresmikan perkawinannya dengan gadis Panawijen apabila memang telah dikehendakinya. Karena itu, maka segala persiapan pun telah dilakukan.
Meskipun demikian Akuwu Tunggul Ametung tidak melupakan janjinya kepada Mahisa Agni. Karena itu, maka ia telah mengirim sepasukan prajurit dan pelayan dalam untuk membantu Mahisa Agni membuat bendungan.
“Bendungan itu harus selesai secepatnya. Secepat orang-orang di istana ini membersihkan dan memperbaharui segala bagian. Kemudian taman yang harus dibangun itu pun harus selesai pula. Taman yang akan aku hadiahkan kepada permaisuriku. Taman yang akan menjadi tempat beristirahat, apabila kami pergi berburu. Akan aku tinggalkan Ken Dedes di taman itu, di tempat yang pasti akan menyenangkan hatinya, sebab Ken Dedes akan dikelilingi oleh orang-orang yang telah dikenalnya dengan, baik sejak kanak-anaknya” pesan Tunggul Ametung kepada Ken Arok yang diserahi pimpinan ketika pasukannya itu berangkat.
Sementara itu, di Kemundungan terjadi pula kesibukan. Kuda Sempana telah bertekad untuk menempa dirinya. Perlahan-lahan ia tertarik pula akan ilmu yang kasar dan keras dari kedua orang liar kakak beradik. Wong Sarimpat dan Kebo Sindet. Meskipun kesempatan untuk berlatih itu tidak terlalu banyak, karena kedua orang itu hampir bergantian selalu pergi meninggalkan rumahnya, namun Kuda Sempana mendapatkan beberapa kemajuan pula.
Kuda Sempana kemudian tidak lagi mempertimbangkan apa saja yang akan dilakukan oleh Wong Sarimpat dan Kebo Sindet atasnya dan atas Mahisa Agni. Namun kini ia berpikir, selagi ia mendapat kesempatan, biarlah ia memanfaatkan kesempatan itu. Baginya kini tidak ada pilihan lain daripada meneguk setiap ilmu yang mungkin disadapnya.
Tetapi sejalan dengan usahanya untuk mempertinggi ilmunya tanpa mengingat sumber ilmu itu, Kuda Sempana sebenarnya perlahan-lahan telah kehilangan segala gairahnya menghadapi masa depannya. Kegagalan yang bertubi-tubi datang melandanya, telah membuat hatinya menjadi beku. Ia kini seakan-akan telah kehilangan segala macam cita-cita dan tujuan. Ia berlatih asal saja ia mampu menambah ilmunya. Ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan, kelak dengan ilmunya yang bercampur baur itu.
Namun dengan demikian, karena ia telah kehilangan segala macam cita-cita hari depannya, maka ia sama sekali tidak berusaha untuk mencari keserasian gerak dari macam-macam ilmu yang dimilikinya. Ia tidak berusaha mengendapkan ilmu-ilmu itu untuk menemukan sari-patinya. Ia menerima menelan dan kemudian memuntahkannya kembali seperti apa yang ditelannya. Kasar dan keras, namun kadang-kadang muncul juga unsure-unsur gerak yang dipelajarinya dari Empu Sada, justru yang lebih lama terendam di dalam dirinya.
Tetapi Kuda Sempana sendiri tidak menyadari, bahwa sebenarnya apa yang diterimanya dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, tidak banyak berpengaruh atas tingkat ilmunya. Yang didapatnya hanyalah sekedar macam-macam ilmu gerak yang tidak lebih baik dari yang pernah dimilikinya. Meskipun demikian, maka Kuda Sempana kini memiliki jenis-jenis unsur gerak yang lebih banyak dari yang dimilikinya semula.
Meskipun Kuda Sempana sudah beberapa waktu berada di Kemundungan, namun ia tidak tahu pasti, apakah yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Setiap kali salah seorang dari mereka pergi meninggalkan rumah mereka. Apabila orang yang pergi itu kembali, maka yang di dengarnya hanyalah Kebo Sindet atau Wong Sarimpat mengumpat-umpat.
Namun Kuda Sempana itu pun merasakan, bahwa sampai saat ini kedua orang itu masih belum mempercayainya. Betapa Kuda Sempana tidak mempedulikan keadaan, tetapi sikap dan perkataan kedua orang itu dapat dirasakannya. Keduanya tidak pernah pergi bersama-sama. Salah seorang dari mereka terasa selalu mengawasinya kemana ia pergi. Hanya kadang-kadang Kebo Sindet mengajaknya berbicara mengenai Mahisa Agni. Bahkan kini Kebo Sindet lah yang hampir tidak bersabar lagi untuk menangkap buruannya itu.
Kadang-kadang Kuda Sempana pun menjadi heran, apabila Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu hanya mengharap beberapa keping emas saja dari padanya, bahkan dengan segala miliknya, pendok emas, timang emas tretes berlian, maka apakah yang dilakukan oleh kedua orang itu cukup memadai.
Bahkan Kuda Sempana sendiri kini menjadi cemas, apakah barang-barang miliknya yang dititipkannya pada gurunya itu masih juga utuh dapat diambilnya kelak? Apabila terlalu lama ia tidak kembali sedang gurunya telah tidak ada lagi, maka barang-barang itu pun pasti akan jatuh ketangan orang-orang lain yang berada di padepokan gurunya. Tetapi Kuda Sempana kini telah menjadi malas untuk memikirkan semuanya itu dengan sungguh-sungguh. Ia jalani apa yang dilakukannya hari ini tanpa berpikir tentang besok.
“Mungkin besok aku sudah mati dipancung oleh kedua orang ini,” kadang-kadang pikiran itu membersit di kepalanya. Tetapi kadang-kadang ia merasa bahwa kedua orang itu sangat berbaik hati kepadanya, seperti kepada murid terkasih.
“Mungkin aku akan menjadi gila” desisnya di dalam hati, “Keadaan ini benar-benar telah mengguncang-guncang keseimbangan perasaan dan pikiranku.”
Tetapi kesadaran tentang goncangan perasaan dan pikirannya itulah sebenarnya yang telah menahannya untuk tidak menjadi gila sebenarnya gila. Dan kini hari-harinya diisinya dengan menirukan, mempelajari dan mencobakan unsur-unsur gerak yang kasar dan keras. Kadang-kadang kini telah terlontar pula dari mulutnya sebuah teriakan yang keras untuk memberikan tekanan pada unsur geraknya. Tidak hanya keras, namun kadang-kadang berisi umpatan yang kotor dan memuakkan.
Tetapi, Kuda Sempana sendiri tidak tahu apa yang dikerjakan, ia sama sekali tidak berpikir tentang itu. Ia berbuat seperti yang harus diperbuatnya. Kosong. Kuda Sempana kini telah menjadi kosong. Ketika suatu ketika Kebo Sindet membawanya berbincang tentang Mahisa Agni, maka jawabnya sama sekali tidak lagi membayangkan segala macam dendam dan kebencian yang selama ini terpendam.
“Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet, “Meskipun aku banyak menemui kesulitan, tetapi aku yakin bahwa dalam saat yang pendek aku harus dapat membawa Mahisa Agni ke Kemundungan dan menyerahkannya kepadamu.”
Dengan kepala yang hampa Kuda Sempana mengangguk, “Ya paman.”
“Bukankah kau masih menghendaki?” bertanya Kebo Sindet.
“Ya paman.”
“Apakah kau sudah memaafkannya?”
Kuda Sempana terdiam. Ditatapnya wajah Kebo Sindet yang beku sebeku wajah mayat. Namun Tiba-tiba mulutnya berkata, “Tidak paman, aku sama sekali tidak memaafkannya.”
“Bagus,” berkata Kebo Sindet, “apakah kau sekarang sudah siap?”
Kuda Sempana menjadi heran, “Apakah yang barus aku lakukan paman?”
“Kita bersama-sama mengambil Mahisa Agni. Aku tidak bersabar lagi. Kita bertiga pasti akan mampu melawan Mahisa Agni, Empu Gandring dan orang-orang Panawijen yang pengecut itu. Aku akan mengikat Empu Gandring dalam suatu perkelahian, Wong Sarimpat akan melumpuhkan Mahisa Agni sementara kau menghalau orang-orang Panawijen. Setelah itu, maka semuanya akan segera dapat diselesaikan. Empu Gandring tidak akan mampu melawan aku dan Wong Sarimpat sekaligus apabila kita masing-masing sudah saling menyiapkan diri.”
Tetapi tanggapan Kuda Sempana kini sudah tidak segairah pada saat ia pertama-tama datang ke Kemundungan. Meskipun demikian ia menjawab, “Baik paman.”
“Kita menunggu Wong Sarimpat. Sementara itu kita akan menyiapkan diri kita masing-masing.”
Tetapi ketika pada sore harinya Wong Sarimpat datang, maka persoalannya kembali menjadi panjang. Kebo Sindet mengumpat tidak habis-habisnya. “Kau lihat sendiri, Wong Sarimpat?”
“Ya kakang.”
“Sepasukan prajurit dari Tumapel.”
“Gila. Benar-benar gila. Apakah kerja prajurit-prajurit itu?”
“Aku tidak tahu kakang. Tetapi mereka pasti akan lama tinggal di Padang Karautan menilik bekal yang mereka bawa. Lebih dari duapuluh pedati yang ditarik kerbau dan lembu mereka bawa serta.”
Tiba-tiba tampak sebuah kerut di dahi Kebo Sindet yang beku itu. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian kembali wajah itu tidak menunjukkan kesan apapun. Namun orang itu menjadi heran pula ketika dilihatnya wajah Kuda Sempana tidak menunjukkan kesan sama sekali. Anak muda yang selama ini menahan dendam di dalam dadanya, tiba-tiba dendam itu seakan-akan telah menguap seperti asap.
Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak bertanya apapun kepadanya, bahkan mereka seakan-akan tidak melihat, perubahan itu. Namun Wong Sarimpat yang hampir setiap hari melihat kebekuan wajah kakaknya berkata di dalam hatinya,
“Apakah Kuda Sempana itu kini telah kejangkitan sikap seperti kakang Kebo Sindet? Ataukah anak muda itu memang berusaha untuk berlaku demikian karena ia merasa menjadi murid kakang Kebo Sindet? Alangkah bodohnya. Umurnya tidak akan lagi lebih panjang dari umur jagung. Begitu Mahisa Agni tertangkap, maka ia pun akan menjadi orang tangkapan. Mungkin ia akan digantung di alun-alun Tumapel setinggi pohon beringin.”
Dalam pada itu terdengar Kebo Sindet bertanya, “Apakah kau sangka bahwa sepasukan prajurit itu hanya sekedar lewat di Padang Karautan atau mereka datang ke perkemahan orang-orang Panawijen itu?”
Wong Sarimpat mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Mereka datang ke perkemahan orang-orang Panawijen.”
“Tetapi ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Mereka datang untuk menyerahkan bantuan berupa bahan-bahan, tetapi sesudah itu mereka kembali ke Tumapel, atau mereka akan ikut serta dalam kerja membuat bendungan itu.”
“Mereka datang ke perkemahan itu.”
“Gila kau Wong Sarimpat. Kau tidak pernah menyelesaikan kerja dengan baik. Tinggallah kau di rumah bersama Kuda Sempana. Aku sendiri akan melihat dan membuat perhitungan-perhitungan baru” kemudian kepada KudaSempana, “Kau pernah berkata bahwa kau sendiri berasal dari Panawijen juga. Bukan begitu?”
Wajah Kuda Sempana yang beku seperti wajah Kebo Sindet itu mengangguk, “Ya.”
“Dimana orang tuamu tinggal?”
Kali ini Kuda Sempana menjadi ragu-ragu. Apakah kepentingan orang itu bertanya tentang orang tuanya?
“He, bagaimana?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab.
“Kau agaknya menjadi ragu-ragu. Aku berbuat semata-mata untuk kepentinganmu.”
Meskipun dada anak muda itu diamuk oleh kebimbangan, namun ia menjawab juga, “Ya. Orang tuaku tinggal di Panawijen. Tetapi mereka sudah tua.”
“Itu tidak penting. Mungkin mereka akan berguna bagimu dan dapat membantu anaknya melepaskan sakit hatinya.”
“Apa yang dapat mereka lakukan?”
“Serahkan kepadaku.”
“Paman” berkata Kuda Sempana dengan nada yang rendah, “jangan paman menyeretnya ke dalam kesulitan. Biarlah aku sendiri yang bertanggung jawab atas segala macam persoalan. Sebaiknya paman melepaskannya dan membiarkannya menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan tenteram.”
“Jangan bodoh dan jangan menjadi cengeng. Aku tidak akan berbuat segila yang kau sangka. Aku hanya akan berbuat untuk kepentinganmu.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Tetapi kini ia bukan saja menjadi ragu-ragu. Kecemasan yang dalam telah menggores dinding jantungnya. Namun ia tidak mengucapkannya.
Malam itu juga Kebo Sindet pergi meninggalkan Kemundungan. Dengan berbagai macam persoalan di dalam dadanya, ia ingin menyaksikan sendiri, apakah benar para prajurit Tumapel itu untuk sementara menetap di Padang Karautan?. Sementara itu Wong Sarimpat tinggal di rumah bersama Kuda Sempana yang diamuk oleh berbagai perasaan. Ia kini justru berpikir tentang orang tuanya. Apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet dengan kedua orang tuanya itu?
Tetapi, ketika hatinya menjadi semakin pepat, Kuda Sempana itu berdesah, “Persetan. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi dengan siapa pun juga. Bahkan apa yang akan terjadi dengan diriku sendiri.”
Dan kembali anak muda itu berusaha melupakan segala-galanya. Ia mencoba untuk tidak berpikir dan merasakan sesuatu. Ia tinggal menjalani apa yang terjadi hari ini. Besok biarlah dipikirkannya besok. Sedang apa yang pernah terjadi kemarin, diusahakannya untuk melupakan sama sekali. Hidupnya kemudian menjadi sepotong-sepotong. Seolah-olah tak ada hubungan lagi antara apa yang pernah terjadi, apa yang sedang berlaku dan apa yang akan datang kemudian.
Ketika malam menjadi gelap, maka Kebo Sindet berpacu dengan kudanya mendaki tebing bukit gundul. Suara berderak memecah sepi malam menyelusur dan memantul kembali meneriakkan gema yang melingkar-lingkar karena dinding-dinding batu pegunungan gundul itu. Dengan gigi yang terkatub rapat orang itu menggenggam kendali kudanya. Di kepalanya bergelut berbagai macam persoalan. Sehingga tanpa sesadarnya ia berdesis,
“Gila orang-orang Tumapel itu. Kalau benar mereka berada di perkemahan, maka aku pasti akan menemui kesulitan. Aku harus segera dapat mengambil Mahisa Agni sebelum adiknya tenggelam dalam kehidupan yang bahagia di dalam istana. Dengan demikian, maka adalah suatu kemungkinan bahwa Ken Dedes itu akan melupakan kakaknya dan tidak lagi mempedulikannya. Tetapi kini, hubungan mereka masih terlampau erat. Menurut ceritera Kuda Sempana, maka Ken Dedes sangat mencintai kakaknya sehingga apapun telah dilakukannya untuk menjemput Mahisa Agni menghadap Akuwu Tunggul Ametung.”
Kebo Sindet itu menggeretakkan giginya Kudanya segera dipacunya semakin cepat. Ia ingin segera melihat, apakah sebenarnya yang telah terjadi di Padang Karautan. Sementara itu otaknya masih juga berputar terus. Perlahan-lahan ia bergumam kepada diri sendiri, “Hem. Mungkin orang tua Kuda Sempana akan dapat membantuku apabila apa yang dikatakan oleh Wong Sarimpat itu benar telah terjadi, Orang yang sudah tua itu pasti tidak berada di Padang Karautan. Mereka pasti tinggal di rumah mereka.”
Dan suara derap kaki kuda itu pun semakin keras memecah sepi malam. Gemeretak beradu dengan batu-batu padas memencar di sekitar bukit gundul yang kini telah mulai dituruninya.
Jauh dari Padang Karautan, di luar kota Tumapel, seorang tua dengan tongkat yang panjang berjalan tersuruk-suruk. Selangkah demi selangkah ia maju. Namun begitu sering ia harus berhenti untuk mengatur pernafasannya. Berkali-kali ia bersandar pada pohon-pohon di pinggir jalan untuk menenangkan detak jantungnya yang seakan-akan tidak teratur lagi. Sekali ia menarik nafas dalam.
“Beberapa langkah lagi” desisnya, “mudah-mudahan aku dapat mencapai padepokan itu.”
Kembali orang tua itu berjalan tertatih-tatih. Tangan kanannya bertelekan pada tongkat pangjangnya, sedang tangan kirinya seakan-akan menahan punggungnya supaya tidak terlepas.
“Gila orang-orang liar itu” gumamnya, “benar juga kata Empu Gandring dan Panji kurus itu, bahwa sukarlah untuk mendekati Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi aku dahulu mampu memperalatnya. Namun kini agaknya kepala Kebo Sindet menjadi semakin tajam. Berbeda dengan adiknya yang dungu itu.”
Ketika angin malam berhembus mengusap tengkuknya, maka orang tua itu menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang berhamburan di dataran langit yang biru pekat. Melihat kebesaran alam yang terentang itu, orang tua itu menarik alisnya. Seakan-akan baru kali ini dilihatnya bintang gemintang yang berkeredipan di angkasa. Masing-masing dengan bentuk dan susunannya sendiri. Masing-masing beredar menurut irama yang berbeda. Tetapi penuh dengan keserasian.
Tiba-tiba orang tua itu seakan-akan melihat sebuah dunia yang asing. Dunia yang selama ini tdiak pernah dilihatnya. Benda-benda yang gemerlapan berpijar dalam warna yang cemerlang. Perlahan-lahan orang tua itu mengangguk-anggukan kepalanya. Punggungnya masih terasa sakit. Meskipun luka-lukanya telah hampir sembuh, namun tenaga masih belum pulih sama sekali. Ternyata luka-luka kulit dan luka-luka di bagian dalamnya cukup berat. Meikipun luka-luka pada kulitnya telah tidak lagi mengganggunya.
“Aku memerlukan waktu” desahnya, “mudah-mudahan aku segera sembuh. Kalau aku dapat mencapai pedepokanku itu masih seperti keadaannya semula, maka aku akan dapat mengobati luka-luka di bagian dalam tubuhku dengan baik. Tidak akan terhitung minggu, aku pasti akan mendapat kekuatanku kembali. Empu Sada tetap memiliki namanya yang lama”
Orang itu, Empu Sada, telah hampir sampai ke padepokannya kembali, setelah ia bersembunyi berjalan berhari-hari dengan susah payah. Setelah ia berhasil menyelamatkan dirinya dari tangan kakak beradik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat maka kini di dalam hatinya pun menyala dendam kepada kedua orang itu. Apalagi ketika ia telah kehilangan muridnya yang dibangga-banggakan. Keduanya hilang. Keduanyalah yang selama ini paling banyak memberinya berbagai rnacam barang dan perhiasan. Saudagar keliling yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo, dan seorang hamba istana yang dekat dengan Akuwu Tunggul Ametung, Kuda Sempana.
Ketika itu Empu Sada tidak memikirkan dari mana orang yang menyebut dirinya Bahu Rekso Kali Elo itu mendapat barang-barangnya. Tapi ternyata orang itu bisa memberinya kesenangan, sehingga kepada orang itu berdua dengan Kuda Sempana, maka ilmunya paling banyak diberikan. Tetapi kini Empu Sada menjadi kecewa. Kecewa akan cara yang ditempuhnya. Ternyata dengan demikian, ia tidak mendapatkan apapun juga. Barang-barang dan perhiasan-perhiasan yang bertumpuk-tumpuk itu sama sekali tidak dapat membantunya menghadapi orang-orang seliar Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
“Hanya kemampuan berkelahilah yang dapat membantu aku berurusan dengan kedua orang-orang liar itu” gumamnya, “tetapi aku kini telah terlambat. Aku tidak akan sempat membentuk beberapa orang yang cukup kuat untuk menghadapi mereka berdua, meskipun sepuluh atau dua puluh orang sekaligus.”
Empu Sada menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir kekecewaannya. Tetapi setiap kali kekecewaannya itu kembali merayapi hatinya. “Hem” gumamnya, “seandainya aku mempunyai seorang murid seperti Mahisa Agni, Witantra dan saudara-saudara seperguruan murid Panji yang kurus itu. Aku akan mampu menempa mereka berempat dan menyiapkan mereka untuk berhadapan dengan salah seorang dari orang-orang liar itu.”
Tetapi kemudian ia berdesah, “Terlambat. Terlambat.”
Empu Sada itu pun terdiam. Sunyi malam telah menyebabkan hatinya menjadi semakin pahit. Sekali lagi ia menatap bintang di langit. Dan Tiba-tiba ia tersadar, betapa besar alam yang terbentang dihadapannya. Betapa besarnya. Lebih dari pada itu, alangkah Maha Besar Pencipta Nya.
Sejalan dengan kesadarannya tentang kebesaran alam yang selama ini sama sekali tidak pernah dihiraukannya, maka terasa pula betapa kecil dirinya. Ya, betapa kecil dan lemahnya. Dikenangnya apa yang baru dialaminya. Bukit gundul, padang alang-alang, sebuah sendang yang luas. Alangkah sakitnya terbanting ke dalam jurang di tebing gunung gundul yang kecil dibandingkan dengan Gunung Kawi. Apalagi dibandingkan dengan Gunung Semeru. Dan alangkah sempitnya sendang itu dibandingkan dengan Samodra. Samodra Kidul yang luas. Lebih-lebih lagi betapa perbandingan itu diterapkannya dengan dirinya.
“Apakah arti nama Empu Sada berhadapan dengan alam ini?” Tiba-tiba terbersit pertanyaan di dalam batinya.
Perasaan orang itu menjadi semakin dalam terbenam dalam kekecewaan dan penyesalan. Ternyata hidupnya yang sudah sekian lama itu, sama sekali tidak berarti apapun bagi hari tuanya. Tak ada yang dapat ditinggalkannya apabila ia kelak meninggalkan dunia ini. Tak ada yang dapat dibanggakannya. Perguruannya, muridnya dan bahkan dirinya sendiri. Tak ada yang dapat dibanggakannya, yang jasmaniah, apa lagi yang rokhaniah. Tidak ada yang akan mengatakan bahwa perguruan Empu Sada telah melahirkan anak-anak muda yang perkasa, yang pilih tanding, mumpuni saliring ilmu Jaya kawijayan guna kasantikan.
Tidak. Tidak ada. Apalagi anak-anak muda yang berbudi, yang memancarkan cinta kasih sesama. Yang selalu siap mengulurkan tangan menolong setiap kelemahan di dalam kebenaran. Tidak ada. Yang ada adalah dendam dan permusuhan. Dendam Kuda Sempana yang meluap-luap yang selama ini dibenarkannya. Dendam yang kemudian tertanam di dalam hatinya sendiri kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Dendam yang akan menyala tanpa dapat dipadamkan.
Empu Sada menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ingin melupakan segala kepahitan itu. Ia ingin segera sampai di padepokannya. Kemudian beristirahat dan mengambil reramuan obat-obatnya untuk menyembuhkan luka-luka di bagian dalam tubuhnya. Tetapi setiap kali kekecewaan dan penyesalan itu muncul di permukaan wajah hatinya.
“Hem” orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dan ia semakin terdorong dalam perasaan yang pahit. Orang tua itu merasa bahwa hidup yang pernah dijalaninya sama sekali tidak berarti apa-apa bagi dunia ini. Adanya seperti tidak ada, bagi kebajikan, dan apabila ia kelak mati, maka tidak ada jejak yang pernah ditinggalkan di kulit bumi ini. Selain noda-noda yang hitam.
Perlahan-lahan namun akhirnya Empu Sada itu pun menjadi semakin dekat dengan pedukuhannya. Ia ingin sampai di padepokan itu sebelum fajar. Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, inaka orang tua itu telah melangkahkan kakinya masuk ke halaman padepokannya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Seakan-akan ia merupakan orang asing di halaman rumahnya sendiri. Telah sering benar ia melakukan perjalanan dan pengembaraan. Telah sering benar ia meninggalkan padepokan itu sampai berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Tetapi ia selalu pulang dengan dada tengadah. Dengan kebanggaan di dalam hatinya, bahwa isi rumah itu akan bertambah. Emas berkeping-keping di dalam gledegnya akan bertambah banyak. Simpanannya harta benda akan menjadi semakin penuh. Apabila ia membuka peti kayu cendana di sisi pembaringannya, maka gemerlap intan, berlian, mirah dan jamrut menjadi kian cemerlang.
Tetapi kali ini ia membawa kesuraman di hatinya. Bukan karena tubuhnya terluka. Adalah menjadi kebiasaan pula baginya, pulang dengan luka di luar dan dalam tubuhnya itu. Tetapi lukanya kali ini terlampau parah. Jauh lebih parah dari luka pada tubuh di bagian luar maupun di bagian dalam. Kali ini luka yang dibawanya adalah luka di hatinya. Setiap kali orang tua itu menarik nafas terlampau dalam Setiap kali terasa dadanya berdesir. Kadang-kadang ia merasa bahwa ada sesuatu yang belum dikerjakannya, tetapi ia tidak tahu, apakah yang sedang mengejarnya itu.
Akhirnya Empu Sada sampai pula di muka rumah yang berada di tengah-tengah halaman yang cukup luas. Rumah itu tidak terlampau besar. Tidak terlampau baik, dan bahkan rumah itu adalah rumah yang sederhana. Tak banyak orang yang tahu, siapakah yang tinggal di dalam rumah itu. Tetapi bagi mereka yang mengetahuinya, maka rumah itu merupakan rumah yang angker. Bahkan menyeramkan. Rumah yang halamannya terlampau rimbun. Rumah yang pintu-pintunya jarang-jarang terbuka. Hampir tak pernah tampak seorang dua orang berada di halamannya. Apalagi suara anak-anak yang tertawa dan berteriak-teriak dalam sebuah permainan yang gembira. Rumah itu seakan-akan diliputi oleh sebuah rahasia yang gelap.
Tetapi di dalam rumah itu tertimbun berkeping-keping emas. Bergumpal-gumpal intan dan berlian. Bahkan berbagai macam barang-barang berharga lainnya. Tetapi ketika tangan Empu Sada telah terayun untuk mengetuk pintunya, ia menjadi ragu-ragu. Apakah tidak ada bahaya yang sedang menunggunya di dalam rumah itu? Mungkin orang-orang Witantra bahkan mungkin Panji Bojong Santi sendiri, atau mungkin pula Wong Sarimpat, atau Kebo Sindet atau bahkan kedua-duanya, atau Empu Gandring atau Empu Purwa?
Sekali lagi Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Alangkah gelisah perjalanan hidupnya. Meskipun umurnya telah hampir sampai dua pertiga abad, tetapi ia masih belum juga menemukan sesuatu. Bahkan ia sama sekali terjauh dari ketenteraman dan kedamaian hati. Alangkah banyak lawan-lawannya. Orang yang paling jahat seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sampai orang yang cukup mengendap seperti Empu Purwa. Dan ini adalah buah yang harus dipetiknya dari benih yang pernah ditaburkannya.
Karena itu, maka Empu Sada mengurungkan niatnya. Perlahan ia berjalan bertelekan tongkatnya menyusur sisi rumahnya dengan hati-hati. Ia ingin melihat ke belakang dimana beberapa orang-orangnya berada. Ia harus bertemu dengan salah seorang dari mereka untuk mendapat keyakinan bahwa ia dapat memasuki rumahnya dengan aman. Di sebuah bilik yang sempit Empu Sada masih melihat sebuah pelita yang menyala.
Dengan hati-hati maka didekatinya bilik itu. Ketajaman telinganya mendengar bahwa di dalam bilik itu seseorang sedang tidur nyenyak. Empu Sada tahu benar, bahwa bilik itu adalah bilik salah seorang pelayannya. Dengan hati yang berdebar-debar perlahan-lahan diketuknya dinding bilik itu, tepat pada arah kepala pelayan itu tidur.
Dengan gugup pelayan itu bangun. Ia mendengar seseorang berada di luar biliknya. Karena itu maka perlahan-lahan ia bertanya, “Siapa?”
“Aku, Empu Sada.”
“Oh, apakah Empu yang berada di luar itu?” terdengar pelayan itu bertanya lebih keras.
Sesaat keadaan menjadi sunyi. Empu Sada yang sedang dibakar oleh keragu-raguan dan prasangka tidak segera menjawab. Tetapi ketika ia mendengar suara itu kembali bertanya Empu Sada “Empu, adakah Empu yang datang itu?” Maka ia menjadi yakin bahwa suara itu benar-benar suara pelayannya.
Perlahan-lahan Empu Sada pun kemudian menjawab, “Ya. Aku Empu Sada.”
Kini Empu Sada mendengar orang itu bangun dengan tergesa-gesa. Bahkan kemudian kakinya telah menendang sebuah mangkuk tanah, dan hampir-hampir pula tangannya menyentuh pelita di tiang.
Dengan tergopoh-gopoh pula orang itu membuka pintu sambil bertanya, “Empu, kenapa Empu datang lewat pintu belakang?”
Empu Sada tidak segera menjawab. Kembali ia menjadi curiga. “Siapakah yang berada di dalam?” bertanya Empu itu.
Pelayannya itu pun menggeleng, “Tidak ada Empu, kecuali seorang juru panebah yang menunggui ruang dalam, sambil mengharap-harap Empu segera datang kembali.”
“Hanya satu orang?”
Pelayan itu pun menjadi bingung. Tetapi kemudian ia menjawab, “Tidak Empu. Ada dua orang yang berada di ruang dalam.”
“Nah. Kenapa kau berkata hanya seorang?”
“Aku lupa Kiai.”
“Siapakah yang seorang itu? Bojong Santi, Empu Gandring atau siapa?”
Pelayannya semakin heran. Ia belum mengenal nama-nama itu sama sekali.
“Siapa? Siapakah yang kau sembunyikan di rumah itu untuk menanti aku? Kebo Sindet atau Wong Sarimpat?”
Pelayan itu menjadi semakin bingung. Nama-nama yang disebut oleh Empu Sada benar-benar membingungkan. Pelayan itu telah mengenal beberapa orang murid-murid Empu Sada yang terdekat. Tetapi nama-nama itu tidak pernah disebutnya.
“Siapa?” bentak Empu Sada.
“Sumekar. Murid Empu yang Empu tugaskan untuk menjaga rumah ini.”
“Oh” Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Terasa perasaan aneh berdesir di dadanya. Ternyata anak yang berada di dalam rumah itu adalah Sumekar.
“Kenapa tidak kau katakan sejak tadi?” bertanya Empu Sada.
“Aku terlupa Kyai” jawab pelayan itu.
Empu Sada menjadi malu sendiri. Seandainya pelayannya itu berani menatap wajah orang tua itu di dalam terang, maka akan tampaklah bahwa muka yang telah mulai berkerut-merut oleh garis-garis umur itu menjadi kemerah-merahan. “Alangkah cemasnya hati ini” desis Empu Sada itu di dalam hatinya “Betapa gelisah dan goyahnya hidupku. Sama sekali tidak ada ketenteraman dan kedamaian.”
Tiba-tiba Empu Sada tersentak ketika ia mendengar gerit perlahan-lahan di sampingnya. Dengan tanpa dikehendakinya sendiri, tiba-tiba orang tua itu telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi kembali dadanya berdesir ketika ia melihat se orang anak muda yang keluar dari pintu rumah itu. Sumekar.
“Oh” sekali lagi Empu Sada menarik nafas dalam-dalam, “Kau Sumekar.”
“Ya Empu. Aku mendengar suara Empu bercakap-cakap. Mula-mula aku sangka orang lain. Empu Sada biasanya tidak melalui pintu ini.”
“Ya, ya” sahut Empu Sada tergagap.
“Marilah Empu. Silahkanlah.”
“Kau sendiri?” bertanya Empu Sada.
“Ya” sahut Sumekar.
Empu Sada pun kemudian dengan hati-hati memasuki rumahnya, rumah yang telah berpuluh tahun ditempatinya. Tetapi kini rasa-rasanya ia sedang memasuki sebuah goa rahasia yang penuh dengan bahaya yang sedang menantinya. Tetapi akhirnya Empu Sada mengenali tempat itu kembali. Perlahan-lahan kekhawatirannya pun menjadi surut. Ia mengenal setiap pintu, tiang dan bahkan setiap jelujur kayu yang ada di dalam ruangan itu. Lampu minyak yang menggapai-ngapai di tlundak yang melekat pada saka guru. Sebuah amben yang besar di sebuah sisi, dan disekat oleh sebuah dinding, adalah bilik yang khusus dibuat untuknya, untuk menyimpan sebagian dari kekayaannya.
“Tak seorang pun masuk ke dalam bilik itu?”
“Tidak Empu” sahut Sumekar.
“Kau?”
“Ya. Kadang-kadang untuk membawa para pelayan membersihkannya.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya kembali, “Dimana orang-orang lain?”
“Di luar Empu, Dua orang selalu tidur di atas gedogan kuda.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejak ia belum berangkat bersama Kuda Sempana dua orang muridnya yang masih belum terlalu baik selalu tidur di atas kandang kuda. Belum lagi Empu Sada sempat beristirahat, terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Terontong-terontong terbayang pada lubang-lubang dinding cahaya fajar yang menjadi semakin terang. Empu Sada menggeliat sambil menyeringai. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit.
“Siapakah yang datang ke rumah ini sepeninggalku untuk mencari aku?”
Sumekar mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia menjawab, “Tidak ada Empu.”
“Tidak ada?” jawaban itu tidak meyakinkannya.
“Tidak Empu.”
“Prajurit-prajurit Tumapel?”
Sumekar menggeleng, “Tidak Empu.”
“Orang-orang yang liar seliar orang-orang hutan?”
Kembali Sumekar mengerutkan keningnya. Kemudian kembali ia menjawab, “Tidak Empu.”
Empu Sada terdiam sejenak. Tetapi ia tidak yakin akan kebenaran kata-kata Sumekar. Mungkin Sumekar tidak ada di rumah waktu itu atau mungkin anak itu sudah tidak ingat lagi. Tetapi apabila yang datang Witantra dengan pasukannya, maka mustahil bahwa Sumekar tidak tahu atau melupakannya. “Jadi tidak ada seorang pun yang datang?”
“Maksudku, tidak ada yang datang untuk suatu keperluan yang khusus Empu. Mungkin ada juga satu dua orang yang bertanya tentang Empu, tetapi mereka agaknya tidak mempunyai persoalan yang penting.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba alisnya berkerut, “Coba katakan, apakah kau masih ingat yang satu dua orang itu?”
“Aku tidak memperhatikannya Empu, sebab mereka agaknya juga tidak menganggap penting.”
“Ya, mungkin. Tetapi siapa saja seingatmu?”
Sumekar mengingat-ingat sejenak. Kemudian katanya, “Yang aku ingat Empu. Saduki pernah datang kemari.”
“Persetan dengan orang itu. Apa keperluannya?”
“Isterinya ngidam Empu. Isterinya itu ingin sekali makan jeruk yang sedang berbuah di halaman depan.”
“Cukup, cukup tentang orang gila itu” Sumekar terdiam. “Ya lain.”
Sumekar mencoba mengingat-ingat. Ada juga satu dua orang yang menanyakan gurunya saat itu. Tetapi mereka pada umumnya adalah orang-orang yang sering datang untuk mengadakan jual beli dan tukar menukar barang-barang. Tetapi Tiba-tiba Sumekar itu ingat, bahwa pernah datang seseorang yang belum pernah dilihatnya. Tetapi agaknya orang itu pun tidak mempunyai keperluan yang penting. Mungkin orang itu sahabat Empu Sada atau mungkin salah seorang keluarganya. Meskipun demikian Sumekar itu pun berkata,
“Empu, ada aku ingat seseorang yang belum pernah aku kenal. Kecuali para pedagang yang ingin berjual beli dan tukar menukar seperti yang sering terjadi, maka pernah datang seorang yang usianya sebaya dengan Empu.”
Empu Sada mengerutkan keningnya, “Siapa?”
“Tetapi orang itu tidak mempunyai apapun. Ia hanya sekedar ingin berkunjung kepada Empu Sada. Mungkin ia sahabat Empu yang sudah agak lama tidak bertemu.”
“Ya siapa?”
“Orang itu tidak menyebut namanya.”
“Kau katakanlah ciri-cirinya.”
“Orang itu agak tinggi. Kurus.”
“Ada berpuluh-puluh orang yang tinggi kurus di dunia ini.”
Sumekar mengerutkan keningnya. Tetapi Tiba-tiba ia berkata, “Orang itu membawa sebuah kasa yang dibuatnya dari kulit harimau. Kasa itu telah menarik perhatianku saat itu.”
“He” Empu Sada itu terkejut bukan buatan. Sehingga dengan serta-merta ia tegak berdiri seperti sebuah tonggak yang kokoh “Orang itu membawa kasa dari kulit harimau?”
Sumekar pun terkejut bukan main. Bukan karena kasa yang dibuat dari kulit harimau itu, tetapi justru karena sikap gurunya. “Ya” sahutnya terbata-bata.
“Alangkah bodohnya kau. Jauh lebih bodoh dari orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu. Orang yang membawa kasa dari kulit harimau itu bernama Panji Bojong Santi.”
“Oh” Sumekar mengangguk-angguk, “Aku belum tahu Empu. Empu belum pernah memberi tahukan kepadaku. Aku menyesal bahwa aku tidak mempersilahkannya untuk menunggu Empu atau menanyakan dimanakah rumahnya, sehingga aku akan dapat memberitahukan bahwa Empu telah kembali.”
“Gila, gila kau” Empu Sada itu hampir berteriak, “jangan kau suruh ia masuk rumah ini, apalagi menunggu aku pulang. Kini ia tidak boleh mendengar bahwa Empu Sada telah berada di padepokannya kembali. Kau dengar?”
Sumekar menjadi bertambah bingung. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi kata-kata gurunya. Bahkan sedemikian bingungnya sehingga tanpa disadari ia berkata, “Orang itu baik guru. Ramah dan menyenangkan.”
“Oh, Sumekar, Sumekar” Tiba-tiba Empu Sada menekan dadanya yang masih terasa sakit, “alangkah bodohnya kau Panji Bojong Santi bagiku jauh lebih berbahaya dari sepasukan prajurit Tumapel meskipun dari kesatuan pengawal Akuwu yang dipimpin oleh Witantra itu sekalipun. Ternyata orang itu benar licin seperti iblis. Yang mencari aku kemari bukan sepasukan prajurit, tetapi seorang Panji Bojong Santi.”
Kini Sumekar benar-benar terbungkam. Ia tahu kemungkinan-kemungkinan yang demikian, bahwa suatu ketika gurunya akan dicari oleh sepasukan prajurit karena berbagai macam persoalan. Mungkin soal barang-barang yang diambilnya dari orang lain, meskipun tidak dengan tangannya sendiri. Mungkin soal-soal lain yang serupa dengan kejahatan. Meskipun salah seorang murid Empu Sada itu adalah seorang Pelayan Dalam Akuwu Tunggul Ametung yang dekat, Kuda Sempana. Namun agaknya ada sesuatu yang tidak wajar pada muridnya yang seorang itu.
Empu Sada itu pun kemudian terduduk di amben bambu. Terasa dadanya menjadi bertambah pedih. “Oh” desahnya, “untunglah orang itu tidak kembali. Ingat, tak seorang pun boleh tahu bahwa Empu Sada telah berada di padepokannya. Aku harus menyembuhkan segenap luka-lukaku. Sesudah itu, ayo siapakah yang akan datang menemui aku. Panji Bojong Santi, Empu Gandring, Empu Purwa, Kebo Sindet atau Wong Sarimpat?”
Empu Sada terdiam. Tetapi kata-katanya itu telah mendebarkan jantungnya. Bahkan ia berdesah di dalam hati, “Alangkah banyak musuh yang harus aku hadapi.”
Sebenarnya Empu Sada tidak sedang dilanda oleh kecemasan dan ketakutan. Sebagai seorang yang telah memilih jalan hidupnya di dalam lingkungan para sakti, maka apa yang dihadapinya itu sama sekali tidak mengejutkannya, apalagi menakutkannya. Nama-nama yang pernah disebutnya tidak akan mampu membuatnya berkecil hati. Apabila ia harus menghadapi bahaya yang betapapun besarnya, maka yang dilakukannya adalah mencari jalan untuk melawan bahaya itu.
Tetapi kali ini ada perasaan yang asing di dalam dirinya. Perasaan yang selama ini belum pernah dikenalnya. Meskipun ia sama sekali tidak merasa takut, namun perasaan asing itulah yang kini mendorongnya pada suatu keadaan yang asing pula baginya. Tiba-tiba Empu Sada itu tanpa dikehendakinya mencoba menilai dirinya. Ia melihat orang lain seperti Bojong Santi, Empu Purwa, Empu Gandring dan beberapa orang lain. Kenapa mereka dapat hidup tenteram dan damai? Seakan-akan mereka tidak diamuk oleh kegelisahan dunia. Meskipun sekali-sekali mereka harus juga berkelahi, tetapi mereka merasa berdiri di atas landasan yang mantap. Mereka berkelahi dan menghadapi lawan-lawannya dengan terbuka untuk kepentingan yang terbuka pula.
Tanpa sesadarnya orang tua itu berdiri dan melangkah ke dalam biliknya. Dilihatnya sebuah peti terletak di sudut ruang itu diikat dengan kuatnya Tetapi sebenarnya tidak di dalam peti itulah kekayaan Empu Sada yang sebenarnya. Ia menyimpan peti-peti di tempat yang dirahasiakannya. Satu di antara peti-peti itu dibuatnya dari kayu cendana. Peti yang tidak pernah terpisah dari samping pembaringannya. Telapi peti itu berada di dalam dinding yang sebenarnya berlapis. Sedang di dalam peti yang terikat itu disimpannya beberapa macam benda yang kurang berharga dari benda-benda yang telah disembunyikannya.
Melihat benda itu terasa dada Empu Sada berdesir. Ia tahu benar bahwa di belakang peti yang terikat itu, di belakang dinding yang berlapis itu, ia mempunyai kekayaan yang luar biasa banyaknya. Tetapi apakah artinya kekayaan itu baginya? Empu Sada terhenyak dalam suatu keadaan yang membingungkannya. Ternyata kekayaan yang tidak terhitung itu tidak dapat memberinya kedamaian. Kekayaan yang diterimanya dengan menjual ilmunya dengan harga yang cukup mahal, tanpa menghiraukan akibat daripadanya. Tanpa mengingat, apakah yang akan dilakukan oleh murid-muridnya itu kelak.
Perlahan-lahan Empu Sada duduk di amben pembaringannya. Kini dadanya benar bergolak. Apakah sebenarnya arti kekayaan itu baginya? Kekayaan itu tidak memberinya kenikmatan jasmaniah. Rumahnya bukan rumah yang seindah istana. Ia tidak membiarkan dirinya makan dan minum sepuas-puas hatinya. Ia tidak berbuat sesuatu dengan kekayaannya itu. Belum pernah ia mempunyai seperti kini. Ia heran sendiri, buat apa sebenarnya ia menyimpan kekayaan itu? Buat apa? Dibiarkannya dirinya terlunta-lunta. Makan hanya sekedar untuk memelihara tubuhnya. Pakaian hanya sekedar selembar kain.
Kekayaan yang dikumpulkannya bahkan kadang-kadang dengan bertaruh nyawa itu sama sekali tidak berarti baginya, tidak memberinya kenikmatan jasmaniah. Apalagi nilai rokhaniah. Nilai-nilai pengabdian dan kebaktian. Pengabdian kepada sesama dan kepada kemanusiaan, serta kebaktian yang bulat kepada Maha Pencipta Nya. Tidak. Sama sekali tidak, bahkan nilai-nilai itu telah seringkali dikorbankannya untuk mendapatkan kekayaan duniawi yang tidak bermanfaat justru bagi keduniawiannya, apalagi kerokhaniaannya.
Empu Sada masih melihat lewat lubang pintunya yang masih terbuka. Sumekar duduk termenung di luar biliknya. Seorang pelayannya yang terbangun itu pun duduk pula sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak mengetahui sesuatu. Apalagi pelayan itu, Sumekar pun menjadi bingung melihat sikap gurunya. Namun Sumekar itu dapat merasakan bahwa terjadi segala macam luka yang pernah dialaminya. Dengan demikian pasti gurunya mendapat kesulitan yang lain. Kesulitan yang tidak dapat dimengertinya.
Sejenak kemudian mereka telah mendengar suara ayam yang turun dari kandang-kandang mereka. Mereka mendengar suara sapu di halaman. Lamat-lamat kicau burung telah menyegarkan pagi yang terang dan jernih. Tetapi tidak demikian dengan hati Empu Sada. Pelayannya yang berada di dalam rumah itu pun segera ke luar. Namun sekali lagi ia mendapat pesan bahwa orang lain tidak boleh mendengar bahwa Empu Sada telah kembali. Ketika pelayan itu telah pergi, maka dipanggilnya Sumekar masuk ke dalam biliknya.
Dengan cemas Sumekar melihat keadaan gurunya yang tampaknya terlampau lesu “Apakah luka dalam yang diderita oleh guru terlampau berat?” Tetapi Sumekar tidak berani bertanya.
“Kau simpan obat-obat itu?” bertanya gurunya.
“Ya guru.”
“Baik. Bawa obat-obat itu kemari.”
“Ya guru” sahut Sumekar sambil meninggalkan gurunya berbaring di amben bambu.
Sejenak kemudian Sumekar telah kembali sambil membawa semangkuk obat yang sudah dicairkannya dengan air dingin.
“Berikanlah” minta Empu Sada sambil bangkit duduk. Dengan sekali teguk maka obat itu pun telah dihabiskannya. “Mudah-mudahan aku akan segera sembuh.” gumamnya.
“Mudah-mudahan Empu” sahut muridnya itu.
Empu Sada itu pun kemudian ditinggalkannya sendiri. Orang tua itu kemudian kembali berbaring. Tanpa dikehendakinya, maka berdatanganlah semua kenangan masa lampaunya yang suram. Sekali-sekali terdengar Empu Sada itu berdesah. Kini bukan saja bagian dalam tubuhnya yang terasa sakit, tetapi lebih-lebih lagi adalah batinya. Masa lampaunya bukanlah masa yang menyenangkan untuk dikenang. Tiba-tiba terdengar orang tua itu memanggil muridnya perlahan-lahan, “Sumekar, Sumekar.”
Sumekar yang sedang membantu membersihkan ruangan dalam itu tergopoh-gopoh melangkah masuk ke dalam bilik gurunya. Dilihatnya gurunya menjadi semakin lesu, “Ya guru.” jawabnya dengan gelisah.
“Kemarilah. Mendekatlah” berkata orang tua itu.
Sumekar itu pun segera mendekatinya. Dan duduk bersimpuh di samping pembaringan gurunya.
“Sumekar” berkata Empu Sada, “obatmu benar-benar baik. Terasa sakitku menjadi jauh berkurang.”
“Ya Empu. Obat itu adalah obat yang guru buat sendiri beberapa bulan yang lalu.”
“Ya, ya. Tetapi kau telah membuat takaran yang tepat.”
“Ya guru.”
Empu Sada berhenti sejenak. Dipandanginya wajah muridnya yang satu ini. Murid ini baginya tidak begitu menarik hati disaat-saat yang lampau, ketika masih ada muridnya yang paling dimanjakannya. Bukan karena sifat dan kemampuannya, tetapi justru karena mereka itu mampu memberi banyak imbalan kepada Empu Sada. Anak ini tidak seperti mereka itu. Tidak seperti Kuda Sempana dan pedagang keliling yang bernama Cundaka. Bahkan masih ada beberapa orang muridnya yang lain yang lebih menarik dari anak ini. Tetapi murid-muridnya itu kini tidak ada di rumah ini. Mereka berada di tempat yang terpencar tanpa dapat diawasinya dengan baik, apakah yang telah mereka lakukan. Tetapi anak ini, anak yang bernama Sumekar ini selalu berada di padepokannya. Tak banyak yang dilakukan selain dengan tekun berlatih. Tetapi Sumekar tidak banyak dapat memberinya imbalan.
Meskipun ia anak seorang petani yang kaya, tetapi ternyata tidak dapat menyamai Kuda Sempana, seorang Pelayan dalam yang waktu itu dekat dengan Akuwu Tunggul Ametung dan pedagang keliling yang kaya raya yang seakan-akan barang-barangnya tidak pernah kering. Dan Empu Sada tidak pernah bertanya dari mana orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu mendapatkan barang-barang berharga.
Karena itu, maka Sumekar tidak banyak mendapat kesempatan dari gurunya. Bahkan setiap kali ia ditinggalkannya di padepokan untuk menunggui rumah dan halaman. Kalau ada sesuatu yang tidak berkenan di hati Empu Sada pada saat ia kembali, maka Sumekarlah tempat yang pertama-tama untuk menumpahkan segala kemarahannya. Tetapi kali ini Empu Sada berbuat lain. Meskipun terasa sesuatu yang kurang pada tempatnya, namun gurunya itu tidak memaki-makinya dan mengumpannya. Bahkan kini gurunya itu agaknya berkenan di hati oleh obatnya yang kebetulan dianggap tepat takarannya.
Tetapi Sumekar hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat bertanya, apakah sebabnya maka perubahan itu terjadi. Kini sejenak mereka saling berdiam diri. Nafas Empu Sada terdengar satu-satu meluncur dari lubang hidungnya. Terengah-engah seperti orang sedang kelelahan. Sumekar menjadi cemas mendengar tarikan nafas gurunya itu. Apalagi ketika kemudian ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya gurunya terlampau pucat. Tetapi Sumekar masih juga belum berani bertanya sesuatu. Ia menunggu sampai gurunya sendiri mengatakannya kepadanya.
Barulah sejenak kemudian Empu Sada itu berkata, “Sumekar. Apakah kau selalu tekun berlatih sepeninggalku?”
“Ya guru” sahut Sumekar, “aku telah mencobanya.”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia berkata, “Sayang, aku tidak terlalu banyak memberikan bahan-bahan kepadamu. Tetapi yang terloncat dari bibirnya adalah, “Sukurlah. Mudah-mudahan kau cepat dapat mengikuti kakak-kakak seperguruanmu.”
“Mudah-mudahan guru” sahut Sumekar. Namun dalam pada itu Sumekar melihat sesuatu di wajah gurunya. Kebimbangan atau kecemasan. Tetapi ia masih juga belum berani bertanya.
“Sumekar” berkata gurunya, “berlatihlah sebaik-baiknya. Aku sudah cukup tua.”
Sumekar terperanjat mendengar kata-kata gurunya itu.
“Orang setua aku ini” berkata gurunya seterusnya, “pasti hanya tinggal menunggu saat dipanggil kembali oleh pemilikNya. Aku telah mendapat kesempatan hidup di dunia ini untuk waktu yang cukup lama.”
“Guru” Tiba-tiba terloncat dari bibir Sumekar, namun kemudian ia pun terdiam.
Empu Sada tersenyum. Baru kali ini ia melihat, bahwa Sumekar memiliki kesetiaan yang terlalu baik bagi seorang murid. Murid menurut caranya “Mungkin ia cemas karena ia belum mendapat ilmu yang cukup” berkata Empu Sada di dalam hatinya, “bukan karena aku adalah gurunya. Kalau ia tidak memerlukan aku lagi, maka apapun yang akan terjadi atas diriku, ia tidak akan memperdulikannya.”
Tetapi mata anak muda itu bagi Empu Sada tampak terlampau jujur. Tiba-tiba Empu Sada itu tidak dapat menahan hatinya lagi untuk menceriterakan apa yang pernah dialaminya di perjalanan. Ia tidak mempunyai seorang sahabat yang dipercayanya. Karena itu, untuk mengurangi himpitan tekanan perasaan, maka diceriterakannya apa yang telah terjadi itu kepada muridnya. Muridnya yang selama ini tidak banyak mendapat perhatiannya.
“Anak ini adalah anak yang paling jujur yang pernah aku temui di dalam perguruanku” desisnya di dalam hati.
Namun justru karena itu ia menjadi terasing. Seorang yang jujur seakan merupakan duri bagi lingkungan yang sama sekali tidak menghargai lagi kejujuran. Sumekar mendengarkan kata demi kata yang meluncur dari raut gurunya. Berbagai perasaan bergolak di dalam dadanya. Kadang-kadang hatinya berdesir tajam, namun kadang-kadang menyala seperti bara.
“Akhirnya aku terluka” terdengar suara Empu Sada lemah, “beruntunglah bahwa aku sempat menyembunyikan diriku di dalam air. Kalau tidak maka hari ini aku tidak akan bertemu dengan kau lagi Sumekar.”
Terdergar gigi anak muda itu gemeretak. Ingin ia meloncat dan berlari menemui orang-orang yang telah melukai gurunya untuk membuat perhitungan. Tetapi Tiba-tiba ia hanya menghela nafasnya dalam-dalam, “Gurunya dan dua orang kakak seperguruannya tidak mampu melawan kedua orang yang diceriterakan oleh gurunya itu. Apalagi dirinya sendiri. Tetapi meskipun demikian terasa bahwa ia tidak mau menerima kekalahan itu tanpa pembalasan. Karena itu maka ia berkata di dalam hatinya, “Suatu ketika aku akan dapat menebus kekalahan ini.”
Tetapi Sumekar itu terperanjat ketika ia mendengar gurunya berkata, seolah-olah melihat perasaan yang bergolak di dalam dadanya, “Sumekar, jangan kau membayangkan, bahwa suatu ketika kau akan dapat menebus kekalahan ini. Kedua orang itu benar-benar orang yang luar biasa. Serahkanlah orang-orang itu kepada keadilan Yang Maha Agung.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ragu-ragu ia mencoba menjawab, “Tetapi apakah sifat-sifat yang bertentangan dengan adab dan kemanusiaan itu akan kita biarkan saja Empu?”
Empu Sada lah yang kini terperanjat. Jawaban Sumekar tanpa dikehendaki telah menusuk jantungnya pula. Bukan saja Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang telah berbuat bertentangan dengan adab dan kemanusiaan. Ia sendiri, Empu Sada pun pernah melakukannya. Sejenak Empu Sada itu pun terdiam. Terasa bagian dalam dadanya menjadi semakin sakit. Tetapi terlebih sakit lagi adalah hatinya. Kembali mereka terlempar dalam kediaman. Ruangan yang tidak terlampau besar itu menyadi sunyi. Di luar terdengar gerit timba seperti menggores jantung.
Matahari pun menjadi semakin tinggi pula. Dari celah-celah dinding meloncatlah bayangan-bayangan yang bulat seolah-olah berpijar pada sisi yang lain. Bergetar oleh bayangan dedaunan yang hitam, yang bergerak-gerak karena angin pagi yang silir, menumbuhkan suara gemerisik. Di dahan-dahan pepohonan, burung-burung liar berkicau saling sambut-menyahut dengan riangnya. Tetapi hati Empu Sada kian bertambah sakit.
“Sumekar” berkata orang tua itu kemudian, “setiap penyimpangan dari kehendak Yang Maha Agung, pada saatnya pasti akan mendapat hukuman sewajarnya.” Empu Sada berhenti sejenak. Kemudian diteruskannya, “tetapi pasti akan dipergunakan tangan yang sesuai untuk kepentingan itu. Tanganmu terlampau kecil untuk melakukannya, Sumekar.”
Sumekar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia merasa betapa kecil arti dirinya dibandingkan dengan kedua orang yang dikatakan oleh gurunya itu. Tetapi satu hal yang tidak dapat dimengertinya. Kenapa gurunya harus berhubungan dengan kedua orang itu?
Semula Empu Sada ingin merahasiakan persoalan yang sebenarnya dihadapi. Tetapi pandangan mata Sumekar yang terlampau jujur itu terasa menghunjam ke pusat jantungnya. Akhirnya Empu Sada tidak dapat bertahan lagi. Perlahan-lahan dipanggilnya Sumekar semakin dekat. Katanya,
“Sumekar. Mungkin kau dapat pula mengerti, bahwa sebenarnya aku pun bukanlah orang yang bersih. Aku pun termasuk orang yang sering memperkosa peradaban dan kemanusiaan. Tetapi aku belum terjerumus terlalu jauh seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mungkin kau selalu bertanya-tanya di dalam hatimu, kenapa aku pergi mencari kedua orang itu. Itu pun didorong pula oleh kekuasaan nafsu yang telah mencengkam dadaku. Aku terlampau menuruti kehendak Kuda Sempana, meskipun aku mempunyai pamrih juga dari padanya. Kini kau lihat, justru tangan kedua orang liar itulah yang dipergunakan untuk menghukumku. Hukuman badaniah yang aku alami sekarang tidakkah separah penyesalan dan kekecewaan hatiku. Cidera badaniah telah terlampau sering aku alami, tetapi luka yang separah ini pada hatiku, belum pernah aku rasakan.” Empu Sada itu terdiam sejenak. Kemudian diceriterakannya pula hubungan antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni. Hubungan antara Kuda Sempana dan Ken Dedes.
Sumekar menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak tahu, bagaimana ia harus menanggapi persoalan itu. Memang pernah didengarnya persoalan yang terjadi antara kakak seperguruannya yang menjadi Pelayan dalam itu. Memang ia pernah mendengar pertentangan-pertentangan yang timbul kemudian sehingga kakak seperguruannya itu harus menyingkir. Tetapi ia tidak tahu, bahwa persoalan itu telah terdorong semakin jauh. Kini kakak seperguruannya itu ternyata tertangkap oleh orang-orang yang dikatakan gurunya orang liar itu. Bahkan kakak seperguruannya yang seorang lagi terbunuh.
Pada satu segi Sumekar menjadi marah di dalam hati. Bahkan tumbuh pula dendam di dadanya. Namun peda segi yang lain ia merasa seakan apa yang terjadi itu adalah wajar. Bahkan seharusnya. Sekali lagi Sumekar itu terperanjat ketika ia mendengar gurunya Tiba-tiba bertanya,
“Sumekar, kenapa kau dahulu berguru kepadaku? Ternyata kau terperosok ke dalam lingkungan yang bertentangan dengan sifat-sifatmu sendiri. Dan kau selama ini mencoba menyesuaikan dirimu. Aku kini merasa, bahwa kau telah memilih jalan yang salah.”
Sumekar seakan-akan terbungkam karenanya. Pertanyaan itu menjadi semakin keras berdentang di dalam telinganya sendiri “Ya, mengapa aku dahulu berguru disini? Mengapa aku terlempar dalam lingkungan yang suram tanpa berusaha untuk menghindar meskipun sebagian telah aku ketahuinya.”
Tetapi semuanya telah terjadi. Dan Sumekar itu merasa bahwa ia telah pernah menerima berbagai ilmu dari gurunya itu. Karena itu, maka ia tidak akan dapat lagi meloncat surut, kemasa yang lampau.
Sedang gurunya itu berkata, “Tetapi Sumekar, ada baiknya kau melihat segenap persoalan dan akhir dari peristiwa ini. Kau akan mendapatkan sebuah cermin yang baik untuk melihat, betapa kekuasaan yang Maha Agung telah menggerakkan alat-alatNya untuk menyelesaikan rencananya. Kau lihat bagaimana aku sekarang terluka parah dan bahkan hampir mati terbunuh. Murid-muridku kini tidak lagi dapat berbuat sesuatu. Malahan Cundaka itu telah terbunuh pula sedang Kuda Sempana tidak sempat aku selamatkan.” Empu Sada berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya, “Karena itu Sumekar, sebelum kau terlanjur terperosok dalam dunia yang gelap, kau dapat mengungkat kembali sifat-sifatmu yang sebenarnya. Ilmuku sebenarnya bukan sejenis ilmu yang kasar seperti ilmu yang di miliki oleb Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi meskipun demikian, ilmu hanya sekedar kelengkapan hidup kita. Meskipun ilmu itu ilmu yang sekasar apapun, lebih kasar dari ilmu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, tetapi ilmu itu tidak dapat berbuat sendiri. Tergantung terlampau jauh kepada pemiliknya. Orang yang memiliki sifat ilmu itu. Seperti sebilah pisau di tangan anak-anak. Pisau itu akan dapat bermanfaat baginya dan orang lain, untuk mengupas makanan dan buah-buahan. Tetapi pisau itu juga akan dapat mendatangkan bencana bagi dirinya dan orang lain. Bagaimanapun bentuk daripada pisau itu.”
Kepala Sumekar menjadi semakin tunduk. Selama ini gurunya tidak pernah memberinya petunjuk tentang jalan hidup yang harus dipilihnya. Selama ini gurunya hanya memberinya petunjuk-petunjuk bagaimana ia harus melakukan berbagai macam unsur-unsur gerak. Dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit sekalipun. Gurunya selama ini hanya membentak-bentaknya apabila ia gagal melakukan sebuah latihan. Dan gurunya itu pula selalu membentak-bentaknya apabila ia terlambat sehari dua hari tidak menyerahkan imbalan setiap selapan kepadanya. Tetapi kini gurunya bersikap lain. Gurunya itu mengatakan persoalan yang lain dari memperbodohkannya. Gurunya berkata tentang hidup dan kehidupan.
Tiba-tiba gurunya itu berkata, “Aku sudah cukup tua Sumekar.”
Sumekar mengangkat wajahnya. Ditatapnya kedua mata gurunya yang suram. Tetapi gurunya tidak pernah berbuat demikian sebelumnya. Gurunya bukan hanya sekali ini terluka. Bahkan jauh lebih parah. Namun gurunya itu tidak pernah menjadi lesu dan kehilangan gairahnya seperti sekarang.
“Sumekar” berkata gurunya, “kau harus tekun berlatih.”
Sumekar tidak tahu apa yang bergolak di dalam dada gurunya, tetapi ia menjawab, “Ya guru.”
“Lupakanlah kakak seperguruanmu, Cundaka dan Kuda Sempana. Lupakanlah apa yang pernah mereka lakukan. Meskipun aku mengetahuinya, bagaimana Cundaka itu mendapatkan berbagai macam barang-barang berharga, tetapi aku selalu berpura-pura tidak tahu. Aku selalu mengatakan, bahwa ia adalah seorang pedagang keliling yang kaya raya. Bukan sekedar seorang penggalas. Tetapi orang itu kini telah mati.” Empu Sada berhenti sejenak. Yang terdengar adalah desah nafasnya yang semakin cepat, tetapi terpatah-patah.
“Guru” bertanya Sumekar kemudian, “apakah aku dapat meramu macam obat-obatan yang lain supaya guru tidak menjadi sesak nafas?”
“Tidak. Tidak perlu Sumekar. Aku sudah sehat.”
“Tetapi nafas Empu seolah-olah tidak berjalan dengan wajar.”
“Pendengaranmu cukup baik Sumekar. Tetapi tidak apa-apa. Tidak berbahaya bagiku.” Empu Sada berhenti sejenak, “tetapi aku memang sudah tua. Tak ada lagi yang dapat aku kerjakan. Hidupku yang tidak berarti apa-apa ini sudah tidak berguna lagi.”
Tetapi ia harus berusaha menyembuhkan luka-lukanya. Meskipun demikian keadaan gurunya itu cukup menggelisahkannya. Hari itu Sumekar bekerja dengan penuh kegelisahan dan kecemasan. Setiap kali ia menengok gurunya yang berbaring diam. Namun setiap kali ia masih melihat gurunya itu tidur. “Mudah-mudahan guru menjadi bertambah baik dengan istirahatnya.”
Di sore hari Sumekar melihat gurunya itu berjalan tertatih-tatih keluar biliknya. Dengan serta-merta Sumekar mendatanginya untuk menolongnya berjalan. Tetapi Empu Sada berkata, “Aku masih cukup kuat Sumekar.”
Sumekar tertegun di tempatnya, namun kemudian ia bertanya, “Apakah Empu akan berjalan-jalan kehalaman?”
Empu Sada menggeleng. Jawabnya, “Tidak Sumekar. Aku ingin pergi ke bilik belakang. Aku ingin melihat kau berlatih. Dimanakah kedua anak-anak adik seperguruanmu?”
“Di luar Empu. Mereka pun sedang berlatih bersama.”
“Mereka pun harus dipesan, bahwa tak seorang pun boleh tahu bahwa Empu Sada telah kembali.”
“Ya Empu. Seluruh isi padepokan ini telah mendapat pesan itu.”
Tetapi Empu Sada itu pun kemudian berkata, “Tetapi sebenarnya itu tidak perlu Sumekar.”
Sumekar menjadi heran dan gurunya berkata terus, “Biar sajalah orang-orang yang ingin datang untuk membalas dendam itu kemari. Aku telah pasrah diri sebagai tebusan atas segala kesalahanku.”
“Guru, apakah sebenarnya yang Empu kehendaki.”
Empu Sada menggeleng “Tidak apa-apa” katanya, “mari, aku ingin melihat kau berlatih. Ilmumu harus meningkat sebelum aku mati.”
“Jangan Empu” sahut Sumekar terbata-bata.
Empu Sada tersenyum “Apakah bukan sudah seharusnya bahwa suatu ketika seseorang akan mati? Ingat Sumekar. Betapa tinggi ilmu seseorang. Meskipun orang itu memiliki aji yang maha dahsyat. Dapat melebur gunung dan dapat mengeringkan lautan dengan puntiran tangannya, tetapi ia tidak akan dapat hidup sepanjang jaman. Suatu saat ia akan dihadapkan pada suatu keadaan dimana ilmunya tidak akan mampu melawan maut. Ada seribu jalan menuju ke kerajaan maut. Dan setiap orang pasti akan pergi ke sana.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kembali ia melihat sorot yang memancarkan keputusasaan dari sepasang mata gurunya. Tetapi ia tidak dapat berkata sesuatu.
“Ayolah. Berjalanlah dahulu.”
Keduanya pun kemudian pergi ke bilik belakang. Ke bilik tempat murid-murid Empu Sada berlatih. Dilihatnya kedua muridnya yang muda pun, sedang berlatih di bilik itu. Ketika mereka melihat gurunya datang, maka dengan serta-merta mereka menghentikan latihan mereka. Dengan hormatnya mereka membungkukkan kepala mereka.
“Bagus” desis Empu Sada sambil berjalan tertatih-tatih bersandarkan tongkat panjangnya “Berlatihlah dengan baik, selagi masih ada kesempatan, dan selagi aku masih dapat memberimu petunjuk.”
Kedua murid yang masih sangat muda itu pun saling berpandangan dan sekali-sekali mereka memandang wajah Sumekar. Tetapi mereka tidak berani bertanya.
“Sekarang beristiratlah. Tunggullah di luar. Aku ingin memberi latihan yang khusus kepada kakakmu.”
Sekali lagi mereka berdua menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka pun meninggalkan bilik itu. Yang kemudian melatih dirinya adalah Sumekar. Meskipun Empu Sada tidak mampu untuk memberinya petunjuk dengan gerak, tetapi dengan kata-kata dituntunnya muridnya yang seorang ini dengan baik. Diberinya berbagai macam unsur gerak yang belum pernah diterimanya. Bahkan kemudian gurunya itu berkata,
“Sumekar. Ternyata persiapanmu telah cukup untuk mulai dengan ilmu yang terakhir dari perguruan kita. Ilmu yang dapat aku berikan sebelum aku mati.”
Dada Sumekar menjadi berdebar-debar. Berbagai perasaan bercampur baur di dalam dadanya. Di satu pihak ia merasa bangga dan bergembira bahwa gurunya telah menganggap cukup baginya untuk menerima ilmu yang tertinggi dari perguruan Empu Sada. Tetapi dilain pihak ia merasa sangat cemas, bahwa gurunya seakan-akan telah kehilangan usaha untuk memperpanjang hidupnya. Sehari ini gurunya sama sekali tidak lagi mau berobat, selain pada saat ia datang.
“Sumekar” berkata Empu Sada, “besok kita sudah akan dapat mulai dengan dasar-dasar permulaan dari ilmu itu. Ilmu yang telah dimiliki oleh kedua muridku yang hilang. Cundaka dan Kuda Sempana. Karena itu, Sumekar, maka cobalah persiapkan dirimu. Aku mengharap bahwa aku masih akan dapat bertahan sampai kau mengenal dasar-dasar yang paling sedikit dapat memberimu jalan untuk menerima ilmu itu.”
Sumekar menganggukkan kepalanya sambil bergumam, “Terima kasih Empu. Tetapi bagaimana dengan keadaan Empu sendiri?”
“Jangan berpikir tentang aku. Aku sudah cukup mengerti bagaimana aku mengatur diriku sendiri.”
Sumekar terdiam. Bukan semestinya ia memberi gurunya petunjuk. Tetapi gurunya kali ini tidak berpikir sewajarnya. Agaknya gurunya sedang terganggu oleh sesuatu persoalan yang telah menggelapkan hatinya. Ketika kemudian malam yang gelap turun kembali menyelimuti padepokan yang sepi dan menyimpan berbagai macam rahasia itu, Empu Sada kembali masuk ke dalam biliknya. Kembali ia berbaring sambil menghitung dosa yang pernah dibuatnya. Nafasnya yang tersendat-sendat terdengar seperti saling memburu.
Sumekar tidak sampai hati meninggalkan gurunya seorang diri dalam keadaan itu. Meskipun tidak dikehendaki oleh gurunya, namun Sumekar itu pun duduk di atas sehelai tikar disamping pembaringan gurunya.
“Sumekar” berkata gurunya, “beristirahatlah.”
“Nanti Empu, aku belum merasa mengantuk.”
“Apakah kau sudah menyelesaikan semua pekerjaanmu, dan semuanya telah selesai pula dengan pekerjaan masing-masing.”
“Sudah Empu.”
“Bagaimana dengan burung perkututku?”
Sumekar menarik nafas. Empu Sada masih juga ingat kepada burung perkututnya. Burung yang sebenarnya tidak terlampau baik “Burung itu baik-baik saja Empu.”
Empu Sada terdiam sejenak. Tetapi nafasnya masih belum teratur.
“Empu” Sumekar masih mencoba memberanikan dirinya, “apakah Empu tidak ingin berobat lagi.”
“Tidak Sumekar” jawab gurunya, “sudah cukup. Aku sudah sehat kembali. Aku masih akan cukup kuat bertahan sampai kau menyelesaikan latihanmu dan menerima ilmu yang terakhir itu.”
Sumekar hanya dapat menundukkan kepalanya. Dan ia mendengar gurunya berkata lagi, “Kalau kau sudah menerima ilmu itu Sumekar, tugasku telah selesai. Dadaku akan menjadi lapang. Dan apapun yang terjadi atas diriku, sama sekali bukan soal lagi bagiku.”
Sumekar masih menundukkan kepalanya. Tetapi Tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi bagaimana dengan saudara seperguruanku Empu.”
“Aku belum tahu benar sifat-sifat mereka. Aku tidak berani memberikan ilmu yang aku anggap paling baik dari perguruan ini tanpa mempertimbangkan siapakah yang akan menerimanya. Aku sudah mengalami masa-masa dimana aku kehilangan pertimbangan itu.”
“Dan bagaimanakah dengan kakang Kuda Sempana?” Tiba-tiba pula pertanyaan itu meluncur dari mulut Sumekar, “apakah guru tidak akan berusaha melepaskannya kelak?”
Empu Sada tersenyum. Ia tahu, bahwa sadar atau tidak sadar muridnya ingin memberinya nafsu untuk hidup dan berbuat. Karena itu maka katanya, “Aku sudah memberinya bekal yang cukup Sumekar.”
“Tetapi ia berada di tangan orang yang jauh melampaui kemampuannya untuk mencoba melepaskan diri tanpa pertolongan.”
“Mudah-mudahan ia tidak mengalami bencana. Agaknya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat akan mempergunakannya untuk menangkap Mahisa Agni. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu atas Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana itu tidak akan dibunuhnya.”
“Bagaimana kalau kemudian kakang Kuda Sempana itu diperalat oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, dengan demikian maka mereka akan meninggalkan kesan bahwa Empu pasti turut serta dalam perbuatan itu, karena ada murid Empu bersama mereka. Apalagi Empu lah yang sejak pertama-tama mempunyai persoalan dengan Mahisa Agni?”
Empu Sada terdiam. Matanya masih menatap langit-langit rumahnya. Terdengar kemudian ia berdesah, “Aku justru tidak lagi berpikir tentang Kuda Sempana. Aku kini menyadari bahwa nafsunya terlampau dimanjakannya. Ia telah terseret oleh suatu keinginan yang tiada dapat dikendalikan lagi. Tetapi…“, Empu Sada itu terhenti sejenak. Terdengar ia menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian orang tua itu terbatuk-batuk kecil.
Sumekar memandangnya dengan cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Sejenak kemudian Empu Sada berkata kembali, “Tetapi aku justru merasa kasihan kepada Mahisa Agni. Anak itu adalah anak yang baik. Sampai sekarang ia masih selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Tetapi bagaimanakah kalau suatu ketika orang-orang liar itu berusaha untuk menangkapnya? Apakah ia akan berhasil melepaskan diri? Mahisa Agni akan dapat menjadi alat untuk memeras Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Hem” orang tua itu berdesah. Namun Tiba-tiba ia berkata, “Perbuatan itu harus dicegah. Ia akan dapat memperalat namaku dan menjerumuskan aku ke dalam keadaan yang lebih buruk lagi. Perbuatan itu memang harus dicegah.” Tiba-tiba Empu Sada itu berkata lantang, “Sumekar, beri aku obat itu. cepat.”
Sumekar terkejut mendengar perintah gurunya. Sejenak justru ia terpaku di tempatnya. Perintah yang tiba-tiba itu tidak segera dapat disadari artinya. Tetapi kembali Sumekar terkejut ketika gurunya membentaknya, “Sumekar, kenapa kau duduk saja seperti patung. Apakah kau tidak melihat bahwa aku sedang sakit karena terluka di bagian dalam tubuhku. Apakah kau tidak mendengar bahwa nafasku hampir patah di kerongkongan. Ayo, lekas, ambilkan obat itu. Bukankah aku sudah mengajarimu sedikit tentang obat-obatan.”
Sumekar itu pun kemudian terloncat dari duduknya. Ia menjadi gembira karena gurunya ingin berobat. Tetapi ia menjadi bingung, Tiba-tiba saja sifat Empu Sada kambuh kembali. Membentak-bentaknya. Sejenak kemudian Sumekar itu telah kembali membawa semangkuk obat yang telah dicairkannya dengan air. Dengan serta-merta maka obat itu pun diminum habis oleh Empu Sada.
“Hem” Empu Sada itu menarik nafas dalam-dalam, “sekarang tinggalkan aku sendiri Sumekar. Aku ingin beristirahat. Cobalah, persiapkan dirimu, supaya aku dapat dengan baik memberimu petunjuk kepadamu untuk memasuki masa terakhir dari perguruan ini.”
“Tetapi bukankah guru akan segera sembuh?” bertanya Sumekar dengan dada berdebar-debar.
Empu Sada tersenyum. Katanya, “Hidup dan mati sama sekali tidak terletak di tanganku sendiri Sumekar. Kalau aku dapat menentukan hidup matiku sendiri, maka alangkah kuasanya aku atas diriku. Tetapi tidaklah demikian halnya. Namun adalah kewajiban manusia untuk berusaha.”
Sumekar terdiam. Tetapi dadanya sesak oleh kebimbangan dan kebingungan. Gurunya yang tiba-tiba menjadi keras itu pun kini agaknya telah luluh pula kembali. Sifat yang berubah-ubah itu telah membuatnya canggung untuk berbuat sesuatu.
“Sumekar,” berkata Empu Sada, “tinggalkan aku sendiri. Aku ingin beristirahat. Mudahkan aku menjadi segera baik kembali.”
Sumekar membungkukkan badannya. Kemudian ditinggal kannya gurunya termenung seorang diri. Ternyata sejak itu Empu Sada benar-benar berusaha untuk menyembuhkan sakitnya. Ternyata ia menemukan kesadaran betapa pentingnya ia berusaha untuk tetap hidup, meskipun ia tahu benar, bahwa hasil usahanya itu sama sekali tidak tergantung kepadanya. Namun adalah menjadi kewajibannya untuk berusaha. Di tengah malam itu sekali lagi Empu Sada mengobati dirinya. Sehingga dengan demikian di pagi harinya, terasa tubuhnya menjadi kian segar. Ia tidak menolak lagi ketika Sumekar mempersilahkannya makan.
Seperti yang dikatakannya, maka sejak hari itu Empu Sada mulai dengan beberapa petunjuk-petunjuk dasar bagi Sumekar untuk mempersiapkan dirinya menerima ilmu tertinggi dari perguruan Empu Sada. Tetapi sejak itu pula Empu Sada tidak saja memberikan petunjuk-petunjuk mengenai ilmu itu, tetapi juga petunjuk-petunjuk apa yang seharusnya dilakukan oleh muridnya itu. Diberitahukannya kepada Sumekar segala macam pengalaman yang pernah terjadi atas dirinya. Pengalaman yang dipenuhi oleh noda-noda yang hitam.
“Sumekar,” berkata Empu Sada suatu ketika, “pelajarilah olehmu. Kau telah mendengar jalan hidupku, dan aku pun pernah memberitahukan kepadamu, apa yang aku lihat pada Panji Bojong Santi, pada Empu Gandring dan pada Empu Purwa. Aku pernah pula menceriterakan kehidupan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Jadilah pertimbangan untuk menentukan jalan hidupmu. Meskipun kau seorang murid dari seorang guru yang cacat namanya, namun apabila kau mampu membawa dirimu, maka namamu justru akan mengangkat dan memperbaiki nama perguruanmu.”
Sumekar hanya menundukkan kepalanya. Tetapi ia berjanji di dalam hati untuk berbuat seperti yang dinasehatkan oleh gurunya.
“Kini Sumekar,” berkata gurunya, “tekuni persiapan yang telah aku berikan. Aku ingin menyelesaikan kewajibanku yang terakhir. Aku harus mencoba melepaskan Mahisa Agni dari tangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mudah-mudahan aku belum terlambat. Tetapi sampai kini aku masih belum menemukan jalan yang sebaik-baiknya untuk melakukannya.”
Sumekar memandangi wajah gurunya. Tampaklah kerut-merut di dahinya. Kerut-merut ketuaan dan kerut-merut kegelisahan. Tetapi Sumekar tidak dapat mengerti kenapa gurunya masih belum dapat menemukan cara untuk mencoba menyelamatkan Mahisa Agni. “Guru,” Sumekar itu pun kemudian mencoba bertanya, “apakah sulitnya bagi guru untuk menyelamatkan Mahisa Agni. Apakah guru tidak tahu dimanakah Mahisa Agni sekarang berada?”
“Aku tahu tempat di mana ia sekarang berada Sumekar. Tetapi aku tidak dapat menemuinya dan memberitahukan kepadanya bahwa ia sedang diintai bahaya. Orang seperti aku ini Sumekar, terlampau sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari siapapun. Kalau aku mencoba menemui Mahisa Agni, maka aku pasti akan terlibat dalam perkelahian dengan pamannya yang selalu membayanginya. Apapun yang aku katakan, mereka pasti tidak akan dapat mempercayainya. Mereka pasti menyangka, bahwa aku akan menipu mereka.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Dan gurunya berkata, “Ini pun akan dapat menjadi cermin bagimu. Sekali seseorang kehilangan kepercayaan, maka akan sulitlah baginya untuk mendapatkannya kembali.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, ia dapat mengerti keterangan gurunya itu. Dan gurunya itu pun berkata seterusnya, “Betapa baiknya hasrat yang terkandung di dalam hati ini tetapi orang melihat Empu Sada dengan penuh kecurigaan.” Empu Sada itu pun terdiam sejenak. Sehingga mereka untuk sesaat saling berdiam diri.
Namun tiba-tiba Sumekar itu pun berkata, “Apakah Empu ingin aku pergi menemuinya dan memberitahukannya apa yang sebenarnya telah terjadi?”
Kembali dahi orang tua itu pun berkerut-merut. Tampaklah ia berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Sumekar, aku ingin kau mewarisi ilmu perguruan ini. Kalau kau mengalami sesuatu di perjalanan, maka aku pasti akan menyesal. Karena itu kau harus tinggal di sini sampai kau memahami ilmu terakhir itu.”
Sumekar yang duduk tepekur itu menggigit bibirnya. Ia tenang mendengar gurunya menyayangkannya dan benar-benar ingin membentuknya menjadi seorang yang baik. Tetapi apabila mungkin ia ingin membantu gurunya mengatasi kesulitannya. Maka katanya kemudian, “Empu, apabila ada yang dapat aku kerjakan, maka inginlah aku berbuat sesuatu. Adapun mengenai ilmu itu, akan aku terima dengan segala kesenangan sesudah aku dapat melakukan sesuatu untuk memperingan beban Empu soal ini. Apabila terjadi sesuatu dalam kewajiban itu, aku tidak akan menyesal. Aku menggagapnya sebagai suatu akibat dari tugas yang harus aku lakukan.”
“Kau tidak akan menyesal, Sumekar,” jawab gurunya, “tetapi akulah yang menyesal. Karena itu, tinggallah di sini. Tekunilah dasar-dasar ilmu tertinggi itu dengan baik. Awasilah adik-adikmu, supaya mereka tidak terdorong dalam tabiat seperti kakak-kakakmu dahulu. Aku telah membuat kesalahan itu. Sekarang aku akan berusaha mengurangi kesalahan itu sebagai suatu pertanda, bahwa aku berusaha dengan sekuat-kuat tenagaku untuk menebusnya.”
“Apakah yang akan guru lakukan?”
Empu Sada termenung sejenak. Ia mencoba meyakinkan bahwa rencananya akan bermanfaat. Maka katanya kemudian, “Aku tidak berani menemui Mahisa Agni sekarang, Sumekar. Tetapi aku mempunyai jalan lain. Aku ingin menghadap Ken Dedes. Orang-orang di istana belum terlampau banyak mengenal Empu Sada. Aku akan merubah sedikit kebiasaanku berpakaian dan meninggalkan tongkat ini. Aku akan menyebut diriku sebagai orang Panawijen yang ingin menghadap Ken Dedes untuk memberitahukan sesuatu dari kakaknya Mahisa Agni.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya dengan cemas, “Bagaimanakah kalau Empu bertemu dengan pengawal istana, apalagi Witantra itu sendiri?”
Empu Sada menarik nafas. Katanya, “Aku hanya mengharap supaya mereka tidak segera mengenal aku. Aku akan memberikan kesan yang lain dari keadaanku semula. Aku dapat menjadi seorang yang timpang atau bongkok atau cacat-cacat yang lain. Aku dapat memakai pakaian sebagaimana orang-orang padesan memakainya. Sedikit menghitamkan alis dan rambut di pelipis.”
Sumekar masih mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia tidak yakin bahwa usaha gurunya itu akan berhasil. Tetapi ia tidak berani menyatakan keragu-raguannya itu. Seharusnya ia percaya kepada gurunya.
Ternyata Empu Sada benar-benar ingin melakukan rencananya. Ia ingin menghadap Ken Dedes, menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya apabila ia benar-benar dapat bertemu. Kemudian memberitahukan bahaya yang mengancam Mahisa Agni, supaya Ken Dedes mengirim utusan untuk memberitahukannya. Akan dikatakan pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, pemerasan dan sebagainya yang akan banyak merepotkan. Bahkan mungkin banyak diperlukan harta dan benda untuk menebus Mahisa Agni itu.
Sudah tentu apabila hilangnya Mahisa Agni itu menyangkut namanya, Ken Dedes sudah dapat mengetahuinya bahwa hal itu tidak benar. Semuanya itu pasti akan didengar pula oleh Akuwu Tunggul Ametung. Mudah-mudahan Ken Dedes dapat menjadi lantaran baginya untuk mohon ampun pula kepada Akuwu. Apalagi kalau Akuwu berkenan mengirimkan beberapa orang yang terpercaya untuk menangkap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Beberapa hari kemudian, setelah Empu Sada itu benar-benar sembuh, maka dilakukanlah rencana itu. Dicobanya untuk membuat perubahan sebaik-baiknya pada dirinya. Pada pakaiannya, pada solah tingkahnya dan menghitamkan alis, kumis dan janggutnya yang tidak terlampau lebat, yang selama ini tidak dapat dipeliharanya, serta rambut di pelipisnya.
“Sumekar,” berkata orang tua itu, “apakah kau melihat perbedaan padaku?”
Mau tidak mau Sumekar terpaksa tersenyum. Gurunya memang pandai merubah diri, menyamar sebagai seorang cantrik tua dari padepokan Panawijen. “Kalau aku tidak tahu bahwa yang berdiri di hadapanku ini adalah Empu, maka aku tidak akan dapat mengenal.”
Empu Sada pun tersenyum pula. Katanya, “Aku tak akan melakukannya hal serupa ini di saat-saat yang lampau. Tetapi aku telah melepaskan cara hidup yang lama itu. Aku ingin menempuh hidup yang lain. Ini adalah permulaan dari hidup yang baru itu. Kalau aku berhasil, maka Empu Sada seterusnya tidak harus selalu bersembunyi dan mengurung diri dalam kecemasan dan ketakutan.”
Demikianlah hari itu juga Empu Sada meninggalkan padepokannya di pagi-pagi buta supaya tidak seorang pun yang melihatnya. Tertatih-tatih ia berjalan menuju ke kota untuk mencoba menghadap Tuan Puteri Ken Dedes yang sebentar lagi akan diangkat menjadi permaisuri Tumapel. Ketika kemudian matahari terbit, timbullah kecemasan di hati orang tua itu. Apakah benar-benar orang-orang lain tidak dapat mengenalnya sebagai Empu Sada. Kalau ia sudah berhasil menghadap Ken Dedes apalagi Akuwu Tunggul Ametung, dan mendengar kata-kata pengampunannya, maka ia tidak akan cemas lagi. Ia akan dapat menengadahkan dadanya sambil berkata,
“Ini adalah Empu Sada. Tetapi bukan Empu Sada yang dahulu.” Tetapi apabila Akuwu Tunggul Ametung tetap menganggapnya bersalah, dan ingin juga menghukumnya, maka ia sudah akan pasrah diri, sebagai tebusan atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Namun dengan demikian maka Akuwu pasti akan dapat menilai, apa yang terjadi apabila Mahisa Agni benar-benar akan hilang dari Padang Karautan “Aku akan dapat berbuat sesuatu apabila suatu ketika Kebo Sindet atau Wong Sarimpat datang sambil berkata bahwa mereka pasti berhasil membebaskan Mahisa Agni dari tangan Empu Sada dengan imbalan yang cukup banyak. Bahwa mereka telah mengetahui di mana Empu Sada bersembunyi.”
Dengan hati yang berdebar-debar Empu Sada itu berjalan selangkah demi selangkah maju mendekati Istana Tumapel. Ia harus datang sebagai seorang cantrik yang tua untuk menemui Ken Dedes membawa pesan dari Mahisa Agni. Di sepanjang jalan Empu Sada selalu mencoba melihat perhatian orang lain kepadanya. Sekali-sekali disilangnya orang yang sebenarnya telah dikenalnya. Tetapi ternyata orang itu tidak menegurnya. Dengan demikian maka Empu Sada merasa, bahwa samarannya agaknya dapat berhasil.
Tetapi kesulitan yang lain, yang harus diatasinya nanti adalah pertanyaan-pertanyaan para penjaga. Mungkin ia harus menjawab beberapa pertanyaan yang menyangkut gadis bakal permaisuri itu. Empu Sada menarik nafas. Ia masih berjalan tersuruk-suruk di tepi jalan yang berpohon-pohon rindang.
“Kalau aku telah berhasil bertemu dengan Ken Dedes, maka aku tidak perlu lagi menyembunyikan diri. Aku harus segera mengatakan yang sebenarnya. Mengatakan bahwa aku pernah mencegatnya di hutan. Pernah berusaha untuk menangkap dan bahkan membunuh Mahisa Agni. Pernah berbuat hal-hal lain yang terkutuk. Kemudian aku akan mohon supaya puteri sudi menyampaikannya kepada Akuwu Tunggul Ametung permohonan maaf yang sejauh-jauhnya. Kalau Akuwu memaafkan, maka aku akan kembali ke padepokan dengan hati yang tenteram. Kalau tidak, maka aku pun akan melakukan semua hukuman dengan ikhlas. Adalah lebih baik mati di tiang gantungan dari pada mati di tangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”
Empu Sada itu bergumam di dalam hatinya. Tetapi ia heran sendiri, kenapa ia kini merasa bahwa mati di tiang gantungan itu memberinya ketenteraman. Kenapa ia tidak memilih mati dengan pedang di tangan. Mati tembus oleh ujung senjata dalam perkelahian. Empu Sada menggelengkan kepalanya. Ia sendiri menjadi bingung. Namun lamat-lamat terdengar suara dari sudut hatinya yang paling dalam,
“Harga diri dan kejantanan yang mapan, tidak pada tempatnya, sama sekali tidak berarti bagi hidupmu yang abadi. Keberanian dan ketabahan menghadapi maut di jalan yang salah, sama sekali tidak membuka jalan yang menuju ke sisi Yang Maha Agung. Karena itu, maka hidup yang abadi itu bernilai berlipat tanpa batas dibanding dengan hidupku kini. Dan kini aku tidak mau menambah noda bagi hidup yang abadi itu.”
Dengan demikian maka Empu Sada berjalan dengan langkah yang ringan meskipun disamarnya. Ternyata orang tua itu pandai membawa dirinya. Tak seorang pun yang berjumpa di jalan menyangka bahwa orang yang ditemuinya itu adalah seorang yang bernama Empu Sada.
Akhirnya Empu Sada itu pun sampai ke Alun-alun Tumapel. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Dilihatnya di regol istana beberapa orang prajurit sedang berjaga-jaga. Di sisi lain, di bagian dalam halaman tampaklah pelayan-dalam mondar-mandir dalam kewajibannya masing-masing. Namun pelayan dalam ini pun ternyata mempunyai kemampuan seperti para prajurit itu pula.
Tetapi, Empu Sada tidak akan memilih jalan depan. Ia harus masuk lewat regol belakang. Namun dalam pada itu ia selalu berharap agar wajahnya tidak dikenal sebelum ia bertemu dengan Ken Dedes. Adalah lebih baik baginya apabila ia dapat menghadap Akuwu Tunggul Ametung sama sekali.
Ketika Empu Sada sampai di muka regol belakang, kembali ia menjadi ragu-ragu. Tertegun-tegun ia berjalan, dan bahkan sesekali timbullah keinginannya untuk membatalkan niatnya. Kalau salah seorang prajurit yang sedang berjaga-jaga itu mengenalinya, maka ia pasti akan mendapat tuduhan yang sangat memberatkannya. Ia pasti akan dituduh menculik Ken Dedes dengan samarannya. Apakah ia akan dapat berdiam diri apabila para prajurit itu beramai-ramai mengeroyoknya? Bahkan kemudian akan hadir Witantra dan saudara-saudara seperguruannya?
Tetapi kadang-kadang niatnya menjadi bulat. Kalau aku harus ditangkap, biarlah aku ditangkap. Apapun yang akan dituduhkannya kepadaku, aku tidak akan berkepentingan lagi. Yang penting bagiku adalah menyampaikan pemberitahuan, bahwa rencana Kebo Sindet dan Wong Sarimpat terlampau berbahaya bagi Mahisa Agni. Serta kemungkinan-kemungkinan pemerasan dan hal-hal yang serupa itu. Dalam keragu-raguan itu Empu Sada terkejut, ketika ia mendengar salah seorang prajurit memangilnya. Ketika ia berpaling dilihatnya prajurit itu melambaikan tangannya kepadanya.
“He, apa kerjamu disitu?“ bertanya prajurit itu.
Empu Sada sadar, bahwa justru karena ia tertegun-tegun, maka kehadirannya telah menimbulkan kecurigaan pada prajurit-prajurit itu. Kini kembali ia diamuk oleh keragu-raguan. Sehingga untuk sejenak Empu Sada masih saja berdiri di tempatnya.
“Kemari,” panggil prajurit itu.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah tidak akan dapat menghindari lagi. Dengan demikian, maka kini kembali ia membulatkan hatinya, bahwa ia harus pasrah diri. Namun kadang-kadang terbersit pula di dalam batinnya penyesalan, bahwa ia tidak saja menyelesaikan sama sekali ajaran-ajaran yang dapat diberikannya kepada Sumekar.
“Kalau otak anak itu cukup baik,” katanya di dalam hati, “ia sudah cukup menguasai dasar-dasar unsur gerak dari ilmu yang terakhir itu. Dengan melihat dan merasakan ilmu itu serta menghubungkannya dengan apa yang pernah dilihat, maka dengan tekun ia pasti akan sampai dengan sendirinya, meskipun mungkin ia akan mengalami kejutan yang dahsyat, namun tidak akan berbahaya bagi jiwanya.”
“He, kemari kaki...“ terdengar kembali seorang prajurit memanggilnya.
Empu Sada itu pun kemudian melangkah maju. Tetapi ternyata kadang-kadang masih juga tumbuh desir di jantungnya apabila ia melihat ujung tombak. Ia tahu benar, bahwa ujung tombak di tangan para prajurit itu sama sekali tidak akan dapat menahannya apabila ia akan berbuat sesuatu. Tertatih-tatih Empu Sada itu mendekati para prajurit pengawal istana. Setiap langkah kakinya terasa seolah-olah sebuah dentangan di dalam dadanya.
Tetapi agaknya para prajurit itu menganggapnya sebagai seorang tua yang sedang kebingungan saja. Salah seorang prajurit itu bertanya acuh tak acuh, “He, Kaki, kenapa kau tertegun-tegun disini? Apakah ada yang kau cari?”
“Ya tuan,” sahut Empu Sada dengan suara bergetar dalam nada yang tinggi, “aku memang sedang mencari.”
“Apakah yang kau cari? Barangkali aku dapat menolongmu menunjukkannya?”
“Terima kasih tuan,“ Empu Sada itu membongkok sampai hampir menyentuh lututnya, “terima kasih.”
“Apakah yang kau cari?"
“Aku sedang mencari Istana Akuwu Tumapel tuan.”
“He,” prajurit itu terperanjat, “kau sedang mencari Istana Tumapel.”
“Ya tuan.”
Jawaban orang tua itu agaknya telah menarik perhatian para prajurit yang lain. Beberapa orang yang semula sama sekali tidak tertarik kepada orang itu pun kemudian datang mengerumuninya.
“Apakah yang akan kau cari di dalam Istana Tumapel?”
“Tetapi apakah tuan dapat menunjukkan Istana Tumapel itu?”
“Tentu, tentu, “ sahut seorang diantara para prajurit itu.
“Terima kasih tuan, terima kasih. Apakah aku sudah dekat dengan istana yang kucari.”
“Inilah istana itu” sahut yang lain sambil menunjuk ke arah Istana Tunggul Ametung.
“Aku sudah menduga,“ sahut Empu Sada, “rumah ini adalah rumah yang paling besar dan paling baik yang aku jumpai di kota ini. Menurut pesan yang aku terima, rumah itu mempunyai alun-alun, dan pasti dijaga oleh prajurit bersenjata di setiap regolnya. Dan ternyata dugaanku-dugaanku itu benar.”
“Ya,” sahut prajurit yang lain pula, “dugaanmu benar. Lalu apakah yang ingin kau cari di dalam istana ini.”
“Tuan, aku akan mencari Nini Ken Dedes.”
“He,” salah seorang prajurit menyahut, “kau mencari Tuan Puteri Ken Dedes?”
“Oh. Tuan Puteri? Ya maksudku Tuan Puteri Ken Dedes. Bukankah gadis itu datang dari Panawijen?”
“Ya. Kau benar Kaki. Tuan Puteri datang dari Panawijen. Tetapi apakah keperluanmu mencari Tuan Puteri Ken Dedes?”
“Aku datang dari Panawijen tuan. Aku mendapat pesan dari anak-mas Mahisa Agni untuk menemui Tuan Puteri Ken Dedes.”
“Oh, Mahisa Agni. Anak muda kakak Tuan Puteri itu?”
“Ya. Tuan benar.”
“Apakah pesannya?"
“Aku harus menyampaikannya sendiri tuan.”
Beberapa orang prajurit itu saling berpandangan. Kemudian seorang dari padanya, yang agaknya pemimpinnya bertanya, “Apakah pesan itu terlampau penting?”
Empu Sada harus memperhitungkan keadaan dengan baik. Pertanyaan itu harus dijawabnya dengan tepat. Ia tahu benar, bahwa para prajurit itu akan dapat menyuruhnya menunggu saja di luar, sedang pesan itu akan disampaikan oleh prajurit itu sendiri. Karena itu, maka Empu Sada itu pun kemudian berusaha untuk menghindarkan kemungkinan itu. Jawabnya, “Oh, tidak. Tidak tuan. Pesan itu sama sekali tidak penting.”
Para prajurit itu menarik nafas. Sejenak mereka saling berpandangan. Baru kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Kaki, jarak Panawijen Tumapel adalah jarak yang tidak terlampau dekat. Kalau pesan itu tidak terlampau penting kenapa kaki harus berjalan menempuh jarak itu? Dan kenapa orang setua Kaki ini yang harus datang kemari, bukan seorang anak muda yang gagah di atas punggung kuda?”
Orang, tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan hati-hati ia menjawab, “Tuan, setiap orang muda di Panawijen harus bekerja keras membuat bendungan. Itulah sebabnya maka tak ada seorang anak muda yang dapat datang kemari.”
“Ah,” sahut prajurit yang lain, “aneh Kaki. Ada berapa orang anak-anak muda di Panawijen? Bukankah dengan berkurang seorang dari mereka tidak akan mengganggu pekerjaan itu?”
“Tuan benar. Tetapi maaf tuan, aku berkata sebenarnya, tak ada seorang pun anak-anak muda yang berani seorang diri menempuh jarak Panawijen Tumapel. Apalagi sejak beberapa kali Mahisa Agni bertemu dengan bahaya diperjalanan, bahkan Ken Dedes yang dikawal kuat pun hampir-hampir mengalami bencana.”
Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “Tetapi kenapa justru kau berani melakukannya Kaki?”
“Ada beberapa macam pertimbangan tuan,” salut Empu Sada, “aku sudah tua. Aku rasa tak seorang pun yang memerlukan aku lagi. Jangankan orang-orang yang sakti, sedang oleh anak-anak pun aku dapat didorongnya jatuh. Itulah sebabnya maka perjalananku pun ternyata tak diganggu orang.”
“Tetapi kau tahan berjalan sejauh itu?”
“Aku menempuh perjalanan ini selama dua hari dua malam tuan.”
“He, dua hari dua malam? Apakah kau merangkak seperti siput?”
“Ya tuan. Aku tidak dapat berjalan lebih cepat.”
“Dan setelah kau berjalan dua hari dua malam, kau hanya sekedar membawa pesan yang tidak penting?”
“Ya tuan. Pesan itu tidak penting, tetapi aku ingin menyampaikannya sendiri.”
Tiba-tiba seorang prajurit mengerutkan keningnya. Selangkah ia maju dan berkata, “Apakah pesan itu?”
Empu Sada tertegun sejenak. Ia melihat sorot mata yang aneh pada prajurit itu. Tetapi tidak mencemaskannya Prajurit itu agaknya merasa heran bahwa pesan yang tidak penting itu harus dibawanya merangkak seperti siput selama dua hari dua malam. Meskipun demikian Empu Sada harus lebih berhati-hati. Setiap kecurigaan akan dapat menyulitkannya. Ketika prajurit itu melangkah selangkah maju lagi, maka Empu Sada pun segera mundur sambil membungkuk-bungkuk, “Tuan” katanya terbata-bata, pesan itu memang tidak penting tuan.”
Prajurit itu pun memandanginya semakin tajam, “Kalau tidak penting, kenapa kau harus berjalan sejauh itu. Coba katakan bagaimana bunyi pesan itu. Kami adalah para pengawal yang harus menjaga ketenteraman istana.”
“Tetapi, tetapi Mahisa Agni mengharap aku dapat menyampaikannya sendiri.”
“Tetapi kami harus tahu, apakah pesan itu.”
Empu Sada pun kemudian merunduk-runduk sambil berkata, “Baik, baik tuan.”
“Nah, katakanlah.”
“Baik, baik tuan.”
“Ya, katakanlah. Aku perlu mendengar pesan itu, bukan ingin mendengar kesediaanmu mengatakan. Tetapi katakanlah.”
“Tuan,” berkata Empu Sada, “Mahisa Agni pesan kepadaku supaya aku berkata kepadanya, kepada Tuan Puteri bahwa ia harus berusaha menyesuaikan dirinya di sini. Ia tidak dapat bermanja-manja seperti di padepokan dahulu.” Empu Sada berhenti sejenak. Diamatinya wajah prajurit itu untuk menangkap kesan yang tersirat daripadanya. Hati orang tua itu menjadi lapang ketika tiba-tiba ia melihat prajurit itu tertawa.
“Hem,” berkata prajurit itu sambil memilin kumisnya, “pesan itu sama sekali bukan sebuah rahasia. Kenapa kau agaknya mempersulit untuk mengatakannya.”
“Tidak tuan. Aku sama sekali tidak mempersulit. Tetapi aku ingin memenuhi permintaan Mahisa Agni, menyampaikan pesan itu langsung kepada Ken Dedes.”
“Tuan Puteri maksudmu?”
“Oh, ya, ya. Tuan Puteri Ken Dedes.”
“Pesan itu terlampau sederhana. Keperluanmu bertemu dengan Tuan Puteri sama sekali tidak seimbang dengan tata-cara yang harus dilakukan. Kaki, biarlah kami saja yang menyampaikan pesan itu.”
“Oh, jangan tuan. Jangan. Mahisa Agni pesan kepadaku supaya aku menyampaikannya langsung.”
“Tidak setiap orang dapat menghadap Tuan Puteri, dan tidak setiap keperluan harus dilayani.”
“Tetapi, tetapi bukankah pesan itu datang dari keluarganya yang harus didengarnya.”
“Itulah sebabnya, kami akan menyampaikan pesan itu tanpa ditambah dan dikurangi. Meskipun pesan itu datang dari keluarganya, namun tak setiap orang diperbolehkan masuk ke dalam istana seperti masuk ke dalam warung saja.”
“Oh,” Empu Sada itu pun kemudian merengek-rengek, “Tuan, kasihanilah aku orang tua ini tuan. Aku sudah berjalan sedemikian jauhnya untuk menghadap nini Ken Dedes, eh, Tuan Puteri Ken Dedes untuk menyampaikan pesan itu.”
“Pesan itu pasti akan sampai, Kaki,“ sahut prajurit yang lain.
“Tetapi, tetapi di samping itu masih ada pesan yang lain.”
“He,” prajurit itu terkejut, “jadi masih ada yang kau rahasiakan.”
“Ya tuan.”
“Oh,” prajurit itu menjadi heran, kenapa orang itu dengan mudahnya menjawab bahwa masih ada sesuatu yang dirahasiakan? Namun dengan demikian kesan yang didapat para prajurit itu adalah, “Orang tua ini adalah orang tua yang bodoh dan jujur.”
“Katakanlah rahasia itu.”
“Tetapi apakah dengan demikian aku akan dapat menghadap?”
“Tergantung kepada pertimbangan tentang rahasia itu.”
“Tetapi Mahisa Agni pesan tuan, supaya rahasia ini tidak dikatakan kepada siapapun.”
“Kalau begitu, kau tidak dapat masuk ke dalam istana.”
“Oh, jadi bagaimana?”
“Rahasia itu harus kau sebut, kaki.”
Para prajurit melihat orang tua yang berjalan tersuruk-suruk itu menjadi ragu-ragu. Justru karena itu para prajurit itu pun menjadi semakin ingin mengetahui, rahasia apakah yang telah dibawanya. “Kalau kau tidak mengatakannya, maka kau tidak akan dapat masuk.”
“Baik, baik tuan. Aku akan mengatakan rahasia itu tetapi dengan janji.”
“Janji apa Kaki?”
“Tuan tidak boleh mengatakannya kepada orang lain.”
Tiba-tiba beberapa di antara para prajurit itu tidak dapat menahan tertawanya. Meskipun demikian mereka berusaha untuk menyembunyikan wajah-wajah mereka di belakang punggung kawan-kawannya.
“Ayo katakan,” berkata salah seorang dari pada mereka.
“Tetapi rahasia ini sebenarnya sangat memalukan. Aku mendapat pesan dari Mahisa Agni supaya disampaikan kepada adiknya. Bahwa kini Mahisa Agni sudah tidak lagi mempunyai rangkapan kain panjang. Itulah tuan.”
Meledaklah suara tertawa di regol itu Para prajurit itu pun tidak lagi dapat menahan diri. Bagaimana pun juga mereka mencobanya, tetapi suara tertawa mereka telah menarik perhatian orang-orang yang kebetulan lewat dimuka regol “Alangkah bodohnya orang tua ini” pikir mereka, “ dan alangkah kasihannya Mahisa Agni.”
Tetapi mereka sama sekali tidak tahu, bahwa Empu Sada pun tertawa pula di dalam hati. Ia telah berhasil memainkan peranannya hampir sempurna. Meskipun demikian para prajurit itu masih belum menjawab dengan pasti permintaannya untuk menghadap Ken Dedes. Para prajurit itu masih saja tertawa, sedang Empu Sada masih juga berdiri termangu-mangu. Orang tua itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan perasaan sendiri. Betapa ia tertawa di dalam hati, melampaui gelak para prajurit itu, namun wajahnya masih juga tampak alangkah bodohnya.
“O Kaki, “ berkata salah seorang dari para prajurit itu, “apakah Mahisa Agni sangat memerlukan sepotong kain panjang?”
Empu Sada mengangguk, “Ya tuan. Selembar yang dipakainya kini telah nrantang.”
“Kalau kau katakan sejak tadi kaki, kau tidak perlu terlampau bernafsu untuk menghadap Tuan Puteri. Aku mempunyai kain panjang rangkap di rumah. Kau boleh membawanya selembar buat Mahisa Agni dan selembar buat kau sendiri.”
“Terima kasih tuan, terima kasih,“ sahut Empu Sada.
“Nah, kalau demikian tunggulah sampai waktuku berjaga di sini habis. Kau turut aku ke rumah, dan kau akan mendapatkannya.”
“Tetapi bagaimana dengan Tuan Puteri?”
“Pesanmu akan disampaikan. Dan kau akan mendapat kain panjang dariku. Bukankah keperluanmu sudah selesai?”
“Tetapi, tetapi aku harus menghadap tuan Tuan Puteri tidak hanya akan memberi selembar kain buat Agni dan selembar buat aku. Mungkin ada pesan pula dari Tuan Puteri yang harus aku sampaikan kepada kakaknya, atau barangkali selembar timang atau ikat kepala.”
Kembali para prajurit itu tertawa. Mereka melihat orang tua itu dengan sorot mata yang lucu. Tetapi mereka mendapat kesan yang hampir pasti, “Orang tua itu adalah orang tua yang bodoh tetapi jujur.”
Meskipun demikian, para prajurit itu tahu benar akan kewajibannya. Karena itu, maka mereka tidak akan dengan mudah membiarkan orang-orang di luar istana memasuki halaman. Juga orang tua ini. Meskipun mereka sebenarnya telah tidak mempunyai kecurigaan apapun lagi, namun mereka tidak segera dapat memberinya ijin untuk dengan demikian saja menghadap Tuan Puteri Ken Dedes.
“Bagaimana tuan?” desak orang tua itu, “Apakah aku diijinkan masuk?”
“Apakah kau mengenal jalan yang menuju ketempat Tuan Puteri itu.”
Empu Sada mengerutkan keningnya, jawabnya sambil menggeleng, “Tidak Tuan.”
“Nah, kau memang tidak akan dapat memasuki halaman ini seorang diri. Tak seorang pun diijinkan. Seorang prajurit akan mengantarmu sampai ke regol halaman dalam. Kau harus menunggu di sana. Prajurit itulah yang akan menyampaikannya kepada emban terdekat, bahwa seseorang ingin menghadap. Kalau Tuan Puteri ragu-ragu, maka Tuan Puteri pasti akan memintamu menunggu sampai seseorang sempat menyampaikannya kepada Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi untuk menyampaikan permintaan itu, kau masih harus menunggu. Mungkin sehari, mungkin besok kau baru mendapat jawaban.”
“O,” keluh Empu Sada, “dahulu aku tidak pernah mendapat kesukaran untuk bertemu dengan anak itu di Panawijen.”
“Hus” potong seorang prajurit. Tetapi mau tidak mau prajurit itu pun harus tertawa, “keadaannya dahulu dan keadaannya tentu jauh berbeda.”
“Jadi bagaimanakah tuan?”
“Masuklah bersama salah seorang dari kami. Tunggulah di luar regol dalam. Kalau Tuan Puteri mendengar bahwa seseorang dari Panawijen akan menemuinya, maka aku kira kau tidak akan menunggu sampai malam.”
“Terima kasih tuan. Terima kasih. Aku akan menunggu meskipun sehari penuh. Di dalam kasa ini aku masih menyimpan sisa bekal yang aku bawa dari rumah.”
“Sudah dua hari dua malam?”
“Nasi jagung tuan. Sepekan masih juga baik.”
“Nah, ikutilah kawanku ini,” berkata pemimpin penjaga itu sambil menunjuk salah seorang bawahannya.
Empu Sada menganggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkah mengikuti prajurit yang membawanya masuk Tetapi kemudian ia tertegun ketika pemimpin prajurit itu masih bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”
Empu Sada berpaling. Tetapi ia sama sekali tidak menjadi bingung menerima pertanyaan itu. Dari rumah ia telah bersedia, apabila seseorang menanyakan namanya, “Makerti,“ jawab Empu Sada, “namaku Makerti.”
Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi ragu-ragu. Ia dapat menipu para penjaga itu. Ia dapat menyebut nama apa saja, bahkan seribu nama sekalipun tidak akan mencurigakan. Namun ia menyangka bahwa dengan demikian, ia akan segera dihadapkan langsung kepada Tuan Puteri Ken Dedes. Ternyata yang terjadi tidak demikian. Seorang prajurit akan menghadap dan mengatakan keperluannya. Apabila prajurit itu menyebut namanya, dan Ken Dedes tidak pernah mengenal nama Makerti, maka apakah kira-kira yang akan terjadi?
Empu Sada menjadi bimbang. Tempi ia tidak sempat berpikir terlampau lama. Pemimpin prajurit itu telah berkata kepadanya, “Baiklah kaki Makerli. Pergilah mudah-mudahan kau tidak perlu terlampau lama menunggu.”
Empu Sada menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian kembali ia berjalan mengikuti prajurit yang membawanya ke regol dalam. Tetapi kembali ia dirisaukan oleh nama itu. Makerti. Nama itu memang telah disiapkannya. Ia menganggap bahwa nama tidak akan banyak berpengaruh atas rencana itu. Namun sekarang baru ia menyadari, bahwa justru karena namanya itu akan dapat timbul kecurigaan yang membahayakannya. Kenapa ia tidak berusaha untuk mencari sebuah nama yang memang pernah dimiliki oleh orang Panawijen?
Angan-angan Empu Sada itu patah ketika mereka segera sampai ke regol halaman dalam. Prajurit itu terhenti sejenak dan kemudian berkata, “He, kaki Makerti, tunggulah disini. Aku akan mencoba menghadap. Apabila maksudmu diterima, maka kau pun akan aku bawa menghadap pula.”
“Jadi bagaimana tuan. Apakah aku harus menunggu?”
“Ya. Kau memang harus menunggu di sini.”
“Bagaimana kalau aku masuk bersama tuan. Kalau aku tidak diijinkan menghadap, maka aku akan pergi bersama tuan pula.”
“Ah, jangan. Demikianlah seharusnya. Kau harus berada di sini.”
“Aku takut tuan. Aku takut di sini seorang diri.”
“Kau tidak seorang diri, “ sahut prajurit itu, “lihat, di sisi regol dalam itu adalah sebuah gardu. Apakah kau tidak melihat dua orang yang berada di dalamnya?”
“Oh,” Empu Sada menjengukkan kepalanya. Dilihatnya dua orang dukuk di dalam sebuah gardu pendek. Tetapi di sisi mereka itu tersandar dua batang tombak.
“Masih ada satu lagi. Lihat yang mondar-mandir itu.”
“Oh,” Empu Sada kini benar-benar menyadari bahwa penjagaan istana bukan sekedar sebuah upacara saja.
“Apakah bilik Tuan Puteri itu masih jauh?”
“Tidak. Itulah. Kau nanti akan naik tangga itu. Dan kau akan sampai ke serambi di belakang ruang dalam. Kalau Tuan Puteri dapat menerimamu, maka kau akan diterima di ruang itu. Sedang bilik Tuan Puteri adalah di dalam istana. Sentong Tengen.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling, maka yang dilihatnya adalah sebuah taman yang manis. Tetapi di sekitar tempat itu ia tidak lagi melihat gardu-gardu penjagaan yang lain.
“Nah, tinggalah di sini” berkata prajurit itu, “aku akan masuk. Aku akan menyampaikan permintaanmu lewat Pelayan Dalam yang bertugas di sana. Dan aku akan menyampaikan pesan itu nanti kepadamu, apakah Kaki akan diterima atau Kaki harus menunggu saat yang lain.”
“Oh,” Empu Sada mengeluh. Ternyata tidak semudah yang disangkanya.
“Kenapa kaki?” bertanya prajurit itu.
“Alangkah sulitnya. Tuan, tolong, katakanlah kepada gadis itu, bahwa yang ingin menghadap adalah pamannya. Makerti. Aku adalah adik ibunya yang sudah lama meninggal. Mungkin anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kalau tuan menyebutnya bahwa aku berasal dari Ngarang maka ia akan mengenal aku.”
“Jadi Kaki tidak berasal dari Panawijen?”
“Ya, ya. Aku datang dari Panawijen. Tetapi aku temui Panawijen sudah lain dari dahulu. Aku hanya bertemu dengan Mahisa Agni. Mudah-mudahan Nini, eh. Tuan Puteri menerima aku.”
Prajurit itu memandanginya dengan ragu. Tetapi kemudian ia tersenyum. Katanya, “Baiklah Kaki. Tunggulah di sini. Aku akan menyampaikannya lewat seorang Pelayan dalam atau seorang emban. Tunggulah, jangan takut, di gardu itu ada orang. Dan orang-orang itu tidak akan menakut-nakutimu.”
“Siapakah orang itu?” Tiba-tiba salah seorang prajurit di dalam gardu itu bertanya.
“Bertanyalah sendiri kepadanya” jawab prajurit itu, “nah mendekatlah. Mungkin kau dapat menunggu di sana pula.”
“Baik, baik tuan.”
Empu Sada itu pun kemudian melangkah tertatih-tatih mendekati gardu dan duduk di depannya. Sementara itu prajurit yang membawanya lelah berjalan meninggalkannya, untuk menyampaikan pesan dan permintaan orang tua itu. Sementara itu, Empu Sada masih saja diliputi oleh kecemasan. Disaat-saat terakhir ia mencoba membuat pesannya menjadi kabur dan membingungkan. Mudah-mudahan Ken Dedes tidak dapat lagi menelusurnya dan menjadi ingin tahu, siapakah yang datang kepadanya.
“Tetapi bagaimanakah kalau gadis itu dengan tenang dapat menilai keterangannya?”
Kembali Empu Sada menjadi ragu-ragu. Tetapi dalam pada itu tanpa disadarinya ditelusurinya halaman itu baik-baik. Dilihatnya beberapa orang hilir mudik. Ia tahu benar, bahwa di antara mereka adalah Pelayan dalam seperti Kuda Sempana dahulu. Tetapi sementara itu Empu Sada harus menjawab pertanyaan dari prajurit-prajurit yang berada di dalam gardu itu.
Akhirnya prajurit-prajurit itu pun berhenti bertanya dan berkata, “Nah, beristirahatlah kaki. Mungkin kau harus menunggu agak lama di situ.”
“Terima kasih tuan,” jawab Empu Sada.
Namun sementara itu kembali angan-angan Empu Sada beredar diseputar keadaannya. Kecemasannya semakin lama semakin mengganggunya, sehingga tiba-tiba tanpa dikehendakinya ia mulai menilai dirinya kembali. “Aku bermaksud baik,” katanya di dalam hati, “tetapi kalau aku dianggap ingin berbuat jahat, maka apakah aku harus berdiam diri?”
“Hem,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “biarlah. Kalau seharusnya aku ditangkap, biarlah aku ditangkap. Kalau seharusnya aku digantung di alun-alun, biarlah aku digantung.”
“Tetapi,” kembali terdengar sebuah pertanyaan, “dengan demikian, maka aku tidak akan sempat mengatakan keadaan yang sedang dihadapi oleh Mahisa Agni. Semua kata-kataku pasti tidak akan dipercaya.”
Dengan demikian, maka dada Empu Sada itu pun segera. diamuk oleh kebimbangan, kebingungan dan kecemasan. Tetapi sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas di dalam dunianya yang penuh dengan pergulatan, maka tanpa dikehendakinya sendiri, Empu Sada mencoba menilai dirinya, apakah ia akan mampu meloncati dinding halaman yang tinggi itu...?
“Mari, usahakan Patalan menjadi sadar. Aku pun akan mengambil pedangku.”
Kini, seseorang yang sudah agak tua memangku kepala Patalan. Setetes-setetes dititikannya air ke mulut anak itu. Ketika kemudian Jinan dan Sinung Sari telah berdiri di sampingnya dengan pedang di lambung masing-masing, maka obor-obor itu menjadi sudah sangat dekat.
Tiba-tiba mereka melihat Patalan itu bergerak-gerak. Dengan serta-merta beberapa orang segera berjongkok di sampingnya. Dan mereka pun kemudian mendengar Patalan berdesis perlahan-lahan ketika dilihatnya Jinan dan Sinung Sari, “Hantu Karautan yang datang itu adalah Hantu Karautan.”
Suara itu menggelegar bagai guntur yang meledak disetiap telinga. Hantu Karautan. Segera, ketakutan mencengkam hati orang-orang Panawijen itu. Hantu adalah sebutan yang paling mengerikan bagi mereka. Kalau yang datang itu segerombolan perampok atau Kuda Sempana, maka mereka masih akan dapat menghindar. Melarikan diri atau menangis minta ampun. Tetapi yang disebut Patalan adalah Hantu Karautan. Hantu yang bengis dan mengerikan.
Tak seorang pun yang masih mampu mengucapkan pertanyaan-pertanyaan. Ki Buyut Panawijen terdiam membeku. Apakah ia akan dapat melawan hantu meskipun seandainya anak-anak Panawijen itu bersama-sama mengangkat senjata. Dalam pada itu kembali terdengar suara Patalan. Kali ini agak lebih keras, “Sinung Sari dan Jinan. Apakah kau masih ingat Hantu Karautan itu?”
Sinung Sari dan Jinan mengerutkan keningnya.
“Bukankah kita telah pernah bertemu dengan tiga orang hantu di padang ini?”
Tiba-tiba Sinung Sari dan Jinan menganggukkan kepalanya. “Aku akan bangun” desah Patalan. Perlahan-lahan, ditolong oleh Sinung Sari dan Jinan, Patalan itu bangkit dan duduk bertelekan tangannya, “Apakah aku pingsan?”
“Ya kau pingsan” sahut Sinung Sari.
“Lihat obor-obor itu sudah terlampau dekat.”
“Ya, siapakah mereka?” bertanya Jinan tidak sabar.
“Sudah aku katakan, Hantu Karautan.”
Tetapi orang-orang yang mendengar kata-kata Patalan dan melihat wajahnya menjadi bingung. Wajah itu meskipun pucat tetapi sama sekali tidak menunjukkan kesan-kesan yang mengerikan.
“Hantu yang mana? Katakan cepat” desak Sinung Sari.
“Hantu berkuda.”
Orang-orang yang mendengarkannya menjadi semakin bingung. “Hantu berkuda?” beberapa orang mengulangi di dalam hatinya yang kecut.
“Ada dua hantu berkuda” sahut Jinan.
“Yang datang adalah hantu yang sebenarnya. Hantu yang dikatakan oleh Mahisa Agni, hantu yang mengalahkan segala hantu di padang ini.”
Sinung Sari berpikir sejenak. Jinan pun. Tiba-tiba bangkit berdiri “Sinung Sari,” katanya,, “hantu berkuda yang tampan itu. Bukankah begitu maksudmu Patalan?”
“Ya.”
“Tetapi kenapa kau berlari terbirit-birit ketakutan?”
“Aku disuruh oleh Mahisa Agni untuk mengabarkan, bahwa hantu itulah yang datang. Bukan orang lain.”
“Gila” Tiba-tiba Sinung Sari pun tegak pula. Hampir bersamaan maka Sinung Sari dan Jinan berkata, “Aku akan pergi menyongsong hantu itu.”
“Sinung Sari, Jinan” panggil Ki Buyut.
Tetapi Sinung Sari dan Jinan telah berlari masuk ke dalam gelap malam menyongsong obor-obor yang kini sudah menjadi semakin dekat. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dada orang-orang Panawijen. Kenapa tiba-tiba Sinung Sari dan Jinan berlari menyongsong Hantu Karautan itu? Apakah tiba-tiba saja mereka sadar bahwa mereka harus membela Mahisa Agni dari bencana.
Tetapi tak seorang pun yang sempat menemukan jawabnya. Patalan yang lemah itu pun kini telah berdiri pula. Di pandanginya nyala obor-obor itu, dan remang-remang mereka telah melihat serombongan bayangan berjalan perlahan-lahan mendekati perkemahan itu.
“Patalan” desis Ki Buyut, “kau lihat bayangan-bayangan itu?”
“Ya Ki Buyut.”
“Aku menjadi ngeri. Bagaimanakah bentuk hantu-hantu itu?”
Patalan tiba-tiba tersenyum, dan Ki Buyut pun menjadi semakin tidak mengerti, apakah sebenarnya yang sedang dihadapi. Ketika sekali lagi ia mengamati bayangan-bayangan itu, dilihatnya bayangan-bayangan yang besar berjalan tersuruk-suruk diantara mereka. Tetapi tiba-tiba telinga Ki Buyut menangkap sesuatu. Bunyi yang selama ini seolah-olah bunyi gemerisik kaki-kaki hantu yang mengerikan. Tetapi ia kenal benar bunyi yang kini dapat didengarkannya dengan lebih seksama.
“Pedati” desisnya , “bukankah bunyi-bunyi itu berasal dari roda pedati?”
“Ya” sahut Patalan.
“Apakah hubungan antara hantu dan Pedati?”
Sekali lagi Patalan tersenyum, “Lihat Ki Buyut. Yang berkuda di depan itulah Hantu Karautan.”
Ki Buyut tidak dapat mengerti. Tetapi obor-obor itu kini sudah menjadi terlampau dekat. Dengan hati yang bimbang dan penuh kecemasan Ki Buyut Panawijen beserta orang-orang Panawijen yang gemetar melihat sebuah iring-iringan yang besar mendekati perkemahan mereka. Bukan saja beberapa orang berkuda tetapi pedati-pedati dan beberapa pasang lembu dan kuda.
Dalam kebimbangan dan kebingungan itu terdengar suara Mahisa Agni, “Ki Buyut. Ternyata semua dugaan kita keliru. Bukankah Patalan telah mengatakannya?”
“Patalan pingsan” terdengar suara Sinung Sari menyahut.
Mahisa Agni tertegun. Dipalingkannya wajahnya ke arah Sinung Sari dan Jinan yang menjemputnya , “Kenapa anak itu pingsan?”
Patalan mendengar pembicaraan itu. Sambil tertawa kecil ia menyahut , “Aku berlari terlalu cepat. Nafasku terputus, dan aku pingsan sabelum aku sempat mengatakannya.”
“Oh” Mahisa Agni pun tertawa pula.
Kini iring-iringan itu telah berhenti. Mahisa Agni dan pamannya bersama Sinung Sari dan Jinan berjalan mendahului menemui Ki Buyut Paaawijen yang berdiri seperti sebatang tonggak. Dengan wajah yang tidak menentu orang tua itu memandangi Mahisa Agni dan iring-iringan itu berganti-ganti.
Perkemahan itu kini ditelan oleh suasana yang aneh. Ki Buyut Panawijen, anak-anak muda dan orang-orang Panawijen yang melihat iring-iringan itu serasa berada di dalam mimpi. Pedati-pedati dan berpasang-pasang, lembu, kerbau dan kuda.
“Apakah artinya ini Agni?” bertanya Ki Buyut dengan nada yang datar.
“Ki Buyut” berkata Mahisa Agni, “bukankah aku pernah mengatakan bahwa Akuwu di Tumapel pernah menjanjikan bantuan kepada kita. Pedati dan alat-alat lain. Bahkan lembu, kerbau dan kuda?”
Ki Buyut Panawijen yang tua itu menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap dadanya. Seakan-akan baru saja ia terlempar ke dalam sebuah mimpi yang dahsyat. Sekali ia mengamati iring-iringan itu di bawah cahaya obor yang tidak begitu terang. Lamat-lamat dilihatnya pedati yang ditarik oleh kerbau dan lembu berberat-berat, dan beberapa puluh orang prajurit.
“Benar-benar seperti ceritera tentang barang-barang tiban dari langit.” gumamnya.
“Inilah orangnya yang mendapat tugas untuk membawa semuanya itu kemari Ki Buyut. Namanya Ken Arok. Seorang Pelayan Dalam Istana Tumapel. Ken Arok mengenal Padang Karautan ini seperti kita mengenal segenap sudut pedukuhan Panawijen. Itulah sebabnya ia tidak asing lagi berada di tengah-tengah padang ini kembali.”
Ki Buyut menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sedang K«n Arok tersenyum sambil berdesah, “Ah, ada-ada saja kau Agni.”
“Selamat datang Ngger.” Ki Bayut menyapanya.
“Selamat Ki Buyut. Kami barangkali telah mengejutkan Ki Buyut dan orang-orang Panawijen yang sedang beristirahat. Sebenarnya kami ingin berhenti dan meneruskan perjalanan besok siang supaya tidak menimbulkan kecemasan. Tetapi kami ingin segera sampai. Karena itu, kami telah menyalakan obor-obor supaya tidak mencurigakan. Tegapi agaknya obor-obor kamilah yang malahan menimbulkan kekhawatiran kalian.”
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya, “Banyak kejadian yang telah membuat kami terlampau berkecil hati.”
“Ya, kami telah mendengarnya sebagian. Mungkin Kuda Sempana dan gurunya. Mungkin pula Hantu Karautan.”
“Itulah. Dan Patalan yang disuruh Mahisa Agni memberitahukan bahwa yang datang adalah anak-mas, ternyata mengganggu kami pula, meskipun ia baru saja sadar dari pingsannya.”
“Apakah yang dikatakan?” bertanya Mahisa Agni.
“Katanya yang datang itu adalah Hantu Karautan.”
Mahisa Agni tersenyum. Ken Arok pun tersenyum pula, katanya, “Ternyata yang datang adalah aku sebagai utusan Akuwu Tumapel.”
“Itulah. Ingin aku mencabut beberapa helai rambut Patalan karena kenakalannya. Hampir-hampir kami semua di sini mati ketakutan.”
Kini Ken Arok tertawa. Dan yang menyahut adalah Mahisa Agni, “Patalan berkata sebenarnya Ki Buyut.”
Wajah Ki Buyut menjadi berkerut-kerut, sedang Ken Arok sekali lagi berdesah, “Ah, kau ini Agni.”
“Aku menjadi bingung” gumam Ki Buyut.
“Salah Mahisa Agni, Ki Buyut” sahut Ken Arok, “mungkin ia ingin orang lain menjadi ketakutan seperti dirinya sendiri.”
Mahisa Agni tertawa, dan Ki Buyut pun tertawa pula. Kepada Empu Gandring Ki Buyut kemudian bertanya, “Bagaimana Empu? Anak-anak muda sering mengganggu yang tua-tua.”
Empu Gandring pun tersenyum pula, katanya, “Kalau aku tahu, maka lebih baik aku tidur saja di dalam gubugku. Dinginnya bukan main di tengah padang.”
Yang mendengarnya tertawa bersahutan. Bahkan orang-orang Panawijen yang masih pucat dan belum lagi dapat menghilangkan getar di jantung mereka pun sempat tersenyum.
“Nah Agni” berkata Ki Buyut kemudian, “jelaskan apa yang terjadi kepada orang-orang Panawijen, supaya mereka tidak selalu bertanya-tanya di dalam hati.”
“Baiklah Ki Buyut” sahut Mahisa Agni yang kemudian melangkah maju mendekati orang-orang Panawijen yang berkumpul di sisi perkemahan itu.
Dengan singkat Mahisa Agni memberitahukan kepada mereka, bahwa yang datang itu adalah sumbangsih Akuwu Tunggul Ametung, berupa pedati, kerbau, lembu, kuda dan alat-alat yang lain yang akan memperingan pekerjaan mereka, membuat bendungan dan parit-parit.
“Ternyata Akuwu Tunggul Ametung dapat mengerti betapa pentingnya bendungan itu bagi kita di sini. Betapa bendungan itu tidak saja akan sangat berarti bagi kita, tetapi juga bagi anak cucu kita. Lebih dari pada itu bendungan yang kecil ini akan merupakan setitik air yang ikut serta membantu kesejahteraan Tumapel seluruhnya.”
Orang-orang yang mendengar keterangan Mahisa Agni itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Alangkah janggalnya” Mahisa Agni meneruskan, “apabila Akuwu Tunggul Ametung dapat mengerti betapa pentingnya bendungan ini, meskipun tanpa bendungan ini pun kebesarannya tidak akan terganggu. Sedang kita di sini, yang langsung berkepentingan, seakan-akan acuh tak acuh saja terhadapnya. Bahkan ada beberapa orang yang benar-benar telah menjadi jemu. Ternyata utusan Akuwu Tunggul Ametung datang tepat pada waktunya. Pada waktu orang-orang Panawijen hampir kehabisan gairah untuk melanjutkan kerja. Pada waktu orang-orang Panawijen telah mulai berputus-asa, bahkan ada yang sudah benar-benar kehilangan nafsu dan jemu berjemur di terik matahari di padang ini, sehingga telah membenahi pakaian dan alat-alatnya untuk besok pagi pulang kembali ke Panawijen yang sudah mulai dibakar oleh kekeringan.”
Kembali Mahisa Agni berhenti sejenak. Beberapa orang menundukkan kepalanya. Mereka benar-benar menyadari betapa lemah hati mereka. Betapa mereka sama sekali tidak betah menghadapi prihatin meskipun untuk suatu cita-cita yang tinggi. Apalagi bagi mereka yang benar-benar telah membenahi pakaian dan alat-alat mereka. Terasa, hati mereka bergejolak oleh perasan malu dan sesal.
Dalam pada itu Mahisa Agni kemudian berkata seterusnya , “Sekarang, marilah kita lihat, apakah yang dibawa oleh Ken Arok sebagai utusan Akuwu Tunggul Ametung” Kemudian Mahisa Agni, itu pun berpaling kepada Ken Arok sambil berkata, “Ken Arok, apakah kau tidak berkeberatan apabila orang-orang Panawijen saat ini juga melihat-lihat apa saja yang kau bawa supaya hati mereka menjadi pulih kembali seperti saat mereka berangkat memasuki padang ini, bahkan menjadi lebih besar lagi, sehingga gairah kerja mereka menjadi berlipat-lipat.”
“Silahkan” sahut Ken Arok, “barang-barang ini memang dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada kalian. Kepada orang-orang Panawijen.”
“Terima kasih” berkata Mahisa Agni pula. Kepada orang-orang Panawijen ia berkata, “Nah, sekarang kalian mendapat kesempatan melihat apa saja yang berada dalam iring-iringan itu, supaya kalian menjadi mantap. Menurut Ken Arok, utusan Akuwu Tunggul Ametung, semua itu akan dihadiahkan kepadamu sekalian. Bukankah begitu Ken Arok?”
“Ya” Ken Arok menganggukkan kepalanya.
“Termasuk para prajurit” menyela Empu Gandring sambil tersenyum.
Ken Arok pun tersenyum pula, jawabnya, “Termasuk para prajurit. Tetapi mereka hanya sekedar dipinjamkan.”
Ki Buyut Panawijen pun tersenyum pula. Ketika Mahisa Agni kemudian memberi kesempatan kepada orang-orang Panawijen untuk melihat-lihat pedati-pedati itu, maka Ki Buyutlah yang pertama-tama maju mendekat “Ah, apa sajakah kiranya isi iring-iringan itu?” gumamnya.
“Silahkan. Silahkanlah menyaksikan” jawab Arok.
Di belakang Ki Buyut, kemudian seakan-akan berebutan, orang Panawijen berjajar-jajar bahkan berdesak-desakan melihat-lihat isi pedati yang dibawa oleh Ken Arok. Beberapa orang prajurit yang berdiri disekeliling pedati-pedati itu pun terpaksa menyingkir memberi kesempatan kepada orang Panawijen untuk menyaksikan.
Dengan api-api obor mereka melihat-lihat pedati-pedati yang ditarik oleh pasangan-pasangan kerbau dan lembu yang besar-besar. Melihat lembu dan kerbau itu pun mereka telah menjadi kagum. Apalagi ketika mereka melihat itu pedati-pedati itu. Cangkul, kapak, waluku, garu dan sagala macam alat-alat diperlukan. Tetapi ternyata bukan itu saja, ketika mereka melihat pedati-pedati dibagian belakang, maka mereka melihat, pedati-pedati itu penuh bersisi bahan makan.
Mahisa Agni sendiri merasakan sesuatu yang berdesir di dalam dadanya, melihat betapa Akuwu Tunggul Ametung telah mengirimkan alat dan bahan makan itu untuk orang-orang Panawijen. Ken Arok yang berdiri di sampingnya agaknya melihat hati anak muda itu yang bergetar lewat perubahan wajahnya. Maka katanya,
“Kau tidak usah heran, mengapa Akuwu Tunggul Ametung menyertakan bahan-bahan makanan itu pula. Akuwu Tunggul Ametung memerintahkan agar para prajurit membantu menyelesaikan bendunganmu. Bukankah mereka itu memerlukan makan? Nah, Akuwu tidak ingin mengurangi persediaan makan orang-orang Panawijen yang sudah pasti terlampau tipis. Karena itu, maka kami harus membawa bahan makanan itu untuk para prajurit dan untuk orang-orang Panawijen pula. Apabila ternyata kelak masih kurang, kami akan mengambilnya ke Tumapel.”
“Terima kasih” suara Mahisa Agni menjadi datar dan bernada rendah.
Namun tiba-tiba merayaplah suatu perasaan yang asing di dalam dirinya. Ketika ia melihat pedati, alat-alat yang lengkap dan bahan-bahan makanan, maka seakan-akan ia merasa, bahwa semuanya itu merupakan sebuah tebusan dari luka dihatinya. Seakan-akan ia telah melepaskan sesuatu yang tertambat dihatinya untuk mendapatkan barang-barang itu. Untuk mendapat bantuan dari Akuwu Tunggul Ametung.
“Apakah aku telah menjual hatiku? Apakah aku telah menukarkan perasaan seorang laki-laki dengan semuanya ini?” desisnya di dalam hati.
Tiba-tiba Mahisa Agni mengatubkan mulutnya rapat-rapat. Di lawannya perasaannya itu sekuat-kuat tenaganya. “Tidak” ia menggeram di dalam hatinya, “Akuwu tidak tahu perasaanku itu. Akuwu tidak pernah merasa membeli Ken Dedes dari padaku, atau menukarnya setelah ia merenggut gadis itu dari tambatannya di hatiku. Tidak. Tak seorang pun tahu, Ken Dedes juga tidak tahu. Akuwu memberikan bantuannya karena ia menyadari betapa pentingnya bendungan ini bagi kami. Kalau ada dorongan yang lain, tidak akan melampaui dorongan yang diberikan oleh Ken Dedes untuk membantu orang-orang sepedukuhannya. Tidak lebih dari itu.”
Mahisa Agni itu terkejut ketika ia mendengar Ki Buyut Panawijen bergumam, “Bukan main. Apakah semuanya ini akan dihadiahkan kepada kami?”
Mahisa Agni menjadi tergagap. Tetapi Ken Arok telah menyahut, “Ya, Ki Buyut. Semuanya ini telah diserahkan kepada orang-orang Panawijen. Akuwu Tunggul Ametung akan bergembira apabila bendungan itu kelak akan terwujud. Padang Karautan yang kering ini akan menjadi hijau segar dialiri oleh air yang naik dari bendungan itu. Bahkan Akuwu telah memerintahkan kepada kami, apabila pekerjaan ini kelak selesai, maka kami masih mendapat tugas lain.”
“Apa?” bertanya Mahisa Agni dengan serta merta.
“Kami harus membangun taman yang seindah-indahnya di sekitar pedukuhan yang baru nanti. Taman yang akan dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada Permaisurinya yang cantik seperti Ratih, Ken Dedes.”
“Hem” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam “Sebuah taman” desisnya.
Sejenak Mahisa Agni terdiam. Betapa perasaan yang asing kembali merayapi dinding-dinding hatinya. Sukarlah bagi Mahisa Agni untuk menyebut, perasaan apa yang sebenarnya kini tersimpan di dadanya itu. Namun anak muda itu bergumam di dalam hatinya, “Mudah-mudahan Ken Dedes menemukan kebahagiaan. Agaknya Akuwu Tunggul Ametung benar-benar mencintainya. Gadis itu tak akan dapat menikmati kesegaran hidup seperti kini apabila ia tidak menjadi seorang permaisuri. Hanya seorang Akuwu dan seorang rajalah yang mampu menghadiahkan sebuah taman kepada isterinya. Taman yang dibangun oleh para prajurit.”
Dalam pada itu orang-orang Panawijen tak habis-habisnya mengagumi iring-iringan yang datang membawa perlengkapan, peralatan dan makan bagi mereka. Salah seorang bergumam, “Hem, alangkah murah hati Akuwu Tunggul Ametung.”
Seorang tua yang lain menyahut, “Hanya seorang yang berhati emaslah yang dapat berbuat seperti itu. Jarak Panawijen Tumapel adalah jarak yang cukup jauh. Jarang sekali Akuwu Tunggul Ametung atau Akuwu-Akuwu sebelumnya datang ke pedukuhan kami. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung dapat merasakan kesulitan kami, sehingga Akuwu itu pun telah mengirimkan berbagai macam barang dan makanan kepada kami.”
“Belum lama Akuwu datang ke Panawijen” sahut yang lain.
“Ya, belum lama” sela yang lain lagi.
“Ya, ketika Akuwu datang bersama Kuda Sempana.”
Orang-orang yang mendengar kata-kata itu sejenak saling berpandangan. Namun tak seorang pun yang berani menyahut dan meneruskannya. Tak seorang pun yang kemudian berkata bahwa Akuwu itu datang ke Panawijen bersama Kuda Sempana untuk mengambil Ken Dedes. Untuk merampas gadis itu dan melarikannya.
Tetapi bagaimana pun juga terselip pertanyaan di dalam hati orang-orang Panawijen itu, “alangkah jauh bedanya. Kedatangan Akuwu yang pertama ke Panawijen bersama para prajurit justru telah melukai hati orang-orang Panawijen. Tetapi kini Akuwu telah mengirimkan bantuan yang tiada taranya bagi orang-orang Panawijen.
Tak Seorang pun yang mengucapkan pertanyaan itu lewat bibirnya Bahkan hampir setiap orang telah berusaha menindas ingatannya tentang perbuatan Akuwu saat melindungi Kuda Sempana merampas Ken Dedes. Mereka tidak ingin memercikkan noda pada iring-iringan yang kini menggembirakan perasaan mereka itu. Mereka ingin tetap mengatakan, bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang berhati emas. Seorang yang luhur budi dan pengasih, tanpa setitik kesalahan pun pada dirinya. Mereka ingin mengucapkan terima kasih dengan seutuh-utuhnya. Mereka akan melupakan, bahwa mereka pernah mengumpat-umpati Akuwu Tunggul Ametung itu dengan mulutnya.
“Mahisa Agni sendiri pun menerimanya dengan senang hati. Mahisa Agni yang kehilangan adiknya itu pun telah melupakan segala-galanya. Apalagi kami” desis mereka di dalam hati.
Tetapi mereka tidak melihat hati Mahisa Agni. Hati yang bergejolak dengan dahsyatnya. Namun Mahisa Agni mampu mempergunakan akalnya untuk menindas perasaannya. “Aku tidak boleh melihat persoalan ini berdasarkan kepentingan diri sendiri” berkata Mahisa Agni itu di dalam hatinya, “aku harus melihat kepentingan yang jauh lebih besar. Bendungan, yang akan memberi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Panawijen. Bukan sekedar memuaskan hati dan perasaanku saja.”
Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun kemudian dapat menerima keadaan itu dengan hati yang lapang. Bahkan kemudian anak muda itu pun menjadi gembira. Kini harapannya yang hampir-hampir lenyap bersama kejemuan yang melanda perkemahannya, akan dapat disegarkannya kembali.
Ternyata, harapan Mahisa Agni itu pun terjadi. Ketika matahari dipagi yang cerah memancar di atas punggung bukit tampaklah betapa segarnya wajah perkemahan orang-orang Panawijen itu. Meskipun hari itu mereka tidak bekerja, karena mereka masih sibuk menyambut para prajurit Tumapel dan mengatur segala macam peralatan dan lainnya, namun telah terbayang di wajah Mahisa Agni, apa yang besok akan dapat mereka kerjakan.
Hari itu perkemahan orang-orang Panawijen itu disibukkan dengan mengatur tempat penyimpanan bahan-bahan makanan, alat-alat dan membagi gubug-gubug bagi mereka dan para prajurit dari Tumapel. Mereka mencoba saling mengenal dan bercakap-cakap tentang banyak hal. Tetapi pembicaraan mereka pada umumnya tidak berkisar dari bendungan, Padang Karautan yang keras, terik matahari disiang hari dan dingin malam yang menggigit tulang.
Tetapi para prajurit itu memiliki tubuh yang terlatih dan banyak mengalami persoalan-persoalan yang keras dan berat. Itulah sebabnya maka tanggapan mereka terhadap terik matahari, dan dingin malam agak berbeda dengan orang-orang Panawijen.
Hal itu ternyata pada hari-hari berikutnya. Ketika orang-orang Panawijen telah mulai kembali dengan kerja mereka, dengan gairah dan nafsu yang kembali menyala di dalam dada mereka, maka segera mereka melihat, bagaimana para prajurit Tumapel itu bekerja. Para prajurit itu seakan-akan tidak mengenal lelah dan tidak mengenal gangguan-gangguan pada tubuhnya. Meskipun matahari menyala di langit, meskipun keringat telah membasahi segenap wajah kulit mereka, tetapi mereka masih juga tidak susut tenaganya. Bahkan masih juga ada di antara mereka yang mengangkat batu dan brunjung bambu sambil berdendang. Di kelompok lain, mereka masih saja bergurau sesamanya.
“Mereka baru sehari bekerja” gumam salah seorang dari orang-orang Panawijen, “entahlah apabila mereka telah bekerja dua tiga hari di bawah panas terik ini.”
Tetapi di hari-hari berikutnya, kerja para prajurit itu lama sekali tidak berubah. Mereka bekerja dengan wajah yang cerah. Mereka mengangkat brunjung, memecah batu, mengemudikan cikar-cikar dan gerobag-gerobag dengan senyum dan tawa. Mereka mengayunkan cangkul sambil berdendang dan bergurau. Sehingga dengan demikian, kegembiraan kerja mereka itu telah memancari pula orang-orang Panawijen yang selama ini telah menjadi lesu.
Wajah-wajah orang-orang Panawijen yang bekerja membuat bendungan itu kini telah berubah sama sekali. Tidak ada kerut-merut, tidak ada kejemuan dan keragu-raguan. Semua bekerja dengan gairah dan gembira. Mahisa Agni pun menjadi gembira pula. Bahkan ia adalah orang yang paling gembira melihat kerja itu. Kadang-kadang anak muda itu bahkan berdiri saja di atas sebuah batu besar mengamati orang-orang yang sedang sibuk dan tekun bekerja itu. Dilihatnya brunjung-brunjung turun ke sungai satu demi satu dikedua sisinya.
Dilihatnya pedati hilir mudik mengangkut batu-batu dan tanah. Dilihatnya sebelah lain, orang yang sedang membajak melunakkan tanah untuk membuat susukan yang akan membelah Padang Karautan, dan parit-parit. Dilihatnya pula orang-orang Panawijen dan para prajurit sedang mengayunkan cangkul-cangkul mereka untuk menaikkan tanah dari susukan yang sedang mereka buat. Semua berlangsung dengan cepat dan menggembirakan.
Secengkang demi secengkang maka bendungan itu pun naik. Air di dalam sungai itu pun naik pula. Lebih cepat dari dugaan Mahisa Agni karena para prajurit yang ikut membantunya. Dengan bangga Mahisa Agni bergumam di dalam hatinya, “Alangkah menyenangkan. Harapan bagi masa datang kini menjadi semakin terang. Ternyata para prajurit itu tidak hanya pandai mengayunkan pedangnya, tetapi mereka pandai pula mengayunkan cangkul dan kapak. Bahkan mengemudikan gerobak dan cikar. Memegang tangkai waluku dan garu.”
Alangkah besar rasa terima kasihnya kepada Akuwu Tunggul Ametung kali ini tanpa mengingat kepedihan hatinya sendiri. Tetapi lebih dari itu, Mahisa Agni pun memanjatkan ucapan terima kasihnya kepada Yang Maha Agung. Hanya karena tuntunannya maka semua ini dapat terjadi.
“Lima kali lebih cepat dari perhitunganku” desis Mahisa Agni “Ternyata alat-alat itu sangat membantu dan mempercepat penyelesaian kerja ini. Tenaga berpasang-pasang lembu dan kerbau itu jauh lebih besar dari tenaga separo dari orang-orang Panawijen seluruhnya.”
Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi bangga dan gembira melibat kerja itu, tetapi Ki Buyut Panawijen pun tidak kalah pula menyimpan harapan yang melimpah-limpah di dalam dadanya. Sebagai seorang yang hampir selama hidupnya berada ditengah-tengah rakyat Panawijen, maka padukuhan yang baru itu nanti pasti akan tetap mengikat orang-orang Panawijen dalam satu lingkungan. Mereka tidak akan bercerai-berai dan berpisah-pisah. Sedang Empu Gandring menjadi gembira melihat kemanakannya berbesar hati. Orang tua itu melihat kebanggaan Mahisa Agni sebagai suatu kebanggaan dihatinya pula.
Dalam pada itu, bukan saja di Padang Karautan terjadi kesibukan yang luar biasa, tetapi di dalam istana pun terjadi kesibukan yang luar biasa pula. Para hamba istana sibuk membersihkan segala sudut halaman. Para juru sungging sibuk memperbaharui sungging pada setiap ukiran yang melekat pada tiang-tiang dan dinding-dinding istana. Orang-orang tua di dalam istana Tumapel telah menasehatkan kepada Akuwu Tunggul Ametung untuk segera meresmikan perkawinannya dengan gadis Panawijen apabila memang telah dikehendakinya. Karena itu, maka segala persiapan pun telah dilakukan.
Meskipun demikian Akuwu Tunggul Ametung tidak melupakan janjinya kepada Mahisa Agni. Karena itu, maka ia telah mengirim sepasukan prajurit dan pelayan dalam untuk membantu Mahisa Agni membuat bendungan.
“Bendungan itu harus selesai secepatnya. Secepat orang-orang di istana ini membersihkan dan memperbaharui segala bagian. Kemudian taman yang harus dibangun itu pun harus selesai pula. Taman yang akan aku hadiahkan kepada permaisuriku. Taman yang akan menjadi tempat beristirahat, apabila kami pergi berburu. Akan aku tinggalkan Ken Dedes di taman itu, di tempat yang pasti akan menyenangkan hatinya, sebab Ken Dedes akan dikelilingi oleh orang-orang yang telah dikenalnya dengan, baik sejak kanak-anaknya” pesan Tunggul Ametung kepada Ken Arok yang diserahi pimpinan ketika pasukannya itu berangkat.
Sementara itu, di Kemundungan terjadi pula kesibukan. Kuda Sempana telah bertekad untuk menempa dirinya. Perlahan-lahan ia tertarik pula akan ilmu yang kasar dan keras dari kedua orang liar kakak beradik. Wong Sarimpat dan Kebo Sindet. Meskipun kesempatan untuk berlatih itu tidak terlalu banyak, karena kedua orang itu hampir bergantian selalu pergi meninggalkan rumahnya, namun Kuda Sempana mendapatkan beberapa kemajuan pula.
Kuda Sempana kemudian tidak lagi mempertimbangkan apa saja yang akan dilakukan oleh Wong Sarimpat dan Kebo Sindet atasnya dan atas Mahisa Agni. Namun kini ia berpikir, selagi ia mendapat kesempatan, biarlah ia memanfaatkan kesempatan itu. Baginya kini tidak ada pilihan lain daripada meneguk setiap ilmu yang mungkin disadapnya.
Tetapi sejalan dengan usahanya untuk mempertinggi ilmunya tanpa mengingat sumber ilmu itu, Kuda Sempana sebenarnya perlahan-lahan telah kehilangan segala gairahnya menghadapi masa depannya. Kegagalan yang bertubi-tubi datang melandanya, telah membuat hatinya menjadi beku. Ia kini seakan-akan telah kehilangan segala macam cita-cita dan tujuan. Ia berlatih asal saja ia mampu menambah ilmunya. Ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan, kelak dengan ilmunya yang bercampur baur itu.
Namun dengan demikian, karena ia telah kehilangan segala macam cita-cita hari depannya, maka ia sama sekali tidak berusaha untuk mencari keserasian gerak dari macam-macam ilmu yang dimilikinya. Ia tidak berusaha mengendapkan ilmu-ilmu itu untuk menemukan sari-patinya. Ia menerima menelan dan kemudian memuntahkannya kembali seperti apa yang ditelannya. Kasar dan keras, namun kadang-kadang muncul juga unsure-unsur gerak yang dipelajarinya dari Empu Sada, justru yang lebih lama terendam di dalam dirinya.
Tetapi Kuda Sempana sendiri tidak menyadari, bahwa sebenarnya apa yang diterimanya dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, tidak banyak berpengaruh atas tingkat ilmunya. Yang didapatnya hanyalah sekedar macam-macam ilmu gerak yang tidak lebih baik dari yang pernah dimilikinya. Meskipun demikian, maka Kuda Sempana kini memiliki jenis-jenis unsur gerak yang lebih banyak dari yang dimilikinya semula.
Meskipun Kuda Sempana sudah beberapa waktu berada di Kemundungan, namun ia tidak tahu pasti, apakah yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Setiap kali salah seorang dari mereka pergi meninggalkan rumah mereka. Apabila orang yang pergi itu kembali, maka yang di dengarnya hanyalah Kebo Sindet atau Wong Sarimpat mengumpat-umpat.
Namun Kuda Sempana itu pun merasakan, bahwa sampai saat ini kedua orang itu masih belum mempercayainya. Betapa Kuda Sempana tidak mempedulikan keadaan, tetapi sikap dan perkataan kedua orang itu dapat dirasakannya. Keduanya tidak pernah pergi bersama-sama. Salah seorang dari mereka terasa selalu mengawasinya kemana ia pergi. Hanya kadang-kadang Kebo Sindet mengajaknya berbicara mengenai Mahisa Agni. Bahkan kini Kebo Sindet lah yang hampir tidak bersabar lagi untuk menangkap buruannya itu.
Kadang-kadang Kuda Sempana pun menjadi heran, apabila Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu hanya mengharap beberapa keping emas saja dari padanya, bahkan dengan segala miliknya, pendok emas, timang emas tretes berlian, maka apakah yang dilakukan oleh kedua orang itu cukup memadai.
Bahkan Kuda Sempana sendiri kini menjadi cemas, apakah barang-barang miliknya yang dititipkannya pada gurunya itu masih juga utuh dapat diambilnya kelak? Apabila terlalu lama ia tidak kembali sedang gurunya telah tidak ada lagi, maka barang-barang itu pun pasti akan jatuh ketangan orang-orang lain yang berada di padepokan gurunya. Tetapi Kuda Sempana kini telah menjadi malas untuk memikirkan semuanya itu dengan sungguh-sungguh. Ia jalani apa yang dilakukannya hari ini tanpa berpikir tentang besok.
“Mungkin besok aku sudah mati dipancung oleh kedua orang ini,” kadang-kadang pikiran itu membersit di kepalanya. Tetapi kadang-kadang ia merasa bahwa kedua orang itu sangat berbaik hati kepadanya, seperti kepada murid terkasih.
“Mungkin aku akan menjadi gila” desisnya di dalam hati, “Keadaan ini benar-benar telah mengguncang-guncang keseimbangan perasaan dan pikiranku.”
Tetapi kesadaran tentang goncangan perasaan dan pikirannya itulah sebenarnya yang telah menahannya untuk tidak menjadi gila sebenarnya gila. Dan kini hari-harinya diisinya dengan menirukan, mempelajari dan mencobakan unsur-unsur gerak yang kasar dan keras. Kadang-kadang kini telah terlontar pula dari mulutnya sebuah teriakan yang keras untuk memberikan tekanan pada unsur geraknya. Tidak hanya keras, namun kadang-kadang berisi umpatan yang kotor dan memuakkan.
Tetapi, Kuda Sempana sendiri tidak tahu apa yang dikerjakan, ia sama sekali tidak berpikir tentang itu. Ia berbuat seperti yang harus diperbuatnya. Kosong. Kuda Sempana kini telah menjadi kosong. Ketika suatu ketika Kebo Sindet membawanya berbincang tentang Mahisa Agni, maka jawabnya sama sekali tidak lagi membayangkan segala macam dendam dan kebencian yang selama ini terpendam.
“Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet, “Meskipun aku banyak menemui kesulitan, tetapi aku yakin bahwa dalam saat yang pendek aku harus dapat membawa Mahisa Agni ke Kemundungan dan menyerahkannya kepadamu.”
Dengan kepala yang hampa Kuda Sempana mengangguk, “Ya paman.”
“Bukankah kau masih menghendaki?” bertanya Kebo Sindet.
“Ya paman.”
“Apakah kau sudah memaafkannya?”
Kuda Sempana terdiam. Ditatapnya wajah Kebo Sindet yang beku sebeku wajah mayat. Namun Tiba-tiba mulutnya berkata, “Tidak paman, aku sama sekali tidak memaafkannya.”
“Bagus,” berkata Kebo Sindet, “apakah kau sekarang sudah siap?”
Kuda Sempana menjadi heran, “Apakah yang barus aku lakukan paman?”
“Kita bersama-sama mengambil Mahisa Agni. Aku tidak bersabar lagi. Kita bertiga pasti akan mampu melawan Mahisa Agni, Empu Gandring dan orang-orang Panawijen yang pengecut itu. Aku akan mengikat Empu Gandring dalam suatu perkelahian, Wong Sarimpat akan melumpuhkan Mahisa Agni sementara kau menghalau orang-orang Panawijen. Setelah itu, maka semuanya akan segera dapat diselesaikan. Empu Gandring tidak akan mampu melawan aku dan Wong Sarimpat sekaligus apabila kita masing-masing sudah saling menyiapkan diri.”
Tetapi tanggapan Kuda Sempana kini sudah tidak segairah pada saat ia pertama-tama datang ke Kemundungan. Meskipun demikian ia menjawab, “Baik paman.”
“Kita menunggu Wong Sarimpat. Sementara itu kita akan menyiapkan diri kita masing-masing.”
Tetapi ketika pada sore harinya Wong Sarimpat datang, maka persoalannya kembali menjadi panjang. Kebo Sindet mengumpat tidak habis-habisnya. “Kau lihat sendiri, Wong Sarimpat?”
“Ya kakang.”
“Sepasukan prajurit dari Tumapel.”
“Gila. Benar-benar gila. Apakah kerja prajurit-prajurit itu?”
“Aku tidak tahu kakang. Tetapi mereka pasti akan lama tinggal di Padang Karautan menilik bekal yang mereka bawa. Lebih dari duapuluh pedati yang ditarik kerbau dan lembu mereka bawa serta.”
Tiba-tiba tampak sebuah kerut di dahi Kebo Sindet yang beku itu. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian kembali wajah itu tidak menunjukkan kesan apapun. Namun orang itu menjadi heran pula ketika dilihatnya wajah Kuda Sempana tidak menunjukkan kesan sama sekali. Anak muda yang selama ini menahan dendam di dalam dadanya, tiba-tiba dendam itu seakan-akan telah menguap seperti asap.
Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak bertanya apapun kepadanya, bahkan mereka seakan-akan tidak melihat, perubahan itu. Namun Wong Sarimpat yang hampir setiap hari melihat kebekuan wajah kakaknya berkata di dalam hatinya,
“Apakah Kuda Sempana itu kini telah kejangkitan sikap seperti kakang Kebo Sindet? Ataukah anak muda itu memang berusaha untuk berlaku demikian karena ia merasa menjadi murid kakang Kebo Sindet? Alangkah bodohnya. Umurnya tidak akan lagi lebih panjang dari umur jagung. Begitu Mahisa Agni tertangkap, maka ia pun akan menjadi orang tangkapan. Mungkin ia akan digantung di alun-alun Tumapel setinggi pohon beringin.”
Dalam pada itu terdengar Kebo Sindet bertanya, “Apakah kau sangka bahwa sepasukan prajurit itu hanya sekedar lewat di Padang Karautan atau mereka datang ke perkemahan orang-orang Panawijen itu?”
Wong Sarimpat mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Mereka datang ke perkemahan orang-orang Panawijen.”
“Tetapi ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Mereka datang untuk menyerahkan bantuan berupa bahan-bahan, tetapi sesudah itu mereka kembali ke Tumapel, atau mereka akan ikut serta dalam kerja membuat bendungan itu.”
“Mereka datang ke perkemahan itu.”
“Gila kau Wong Sarimpat. Kau tidak pernah menyelesaikan kerja dengan baik. Tinggallah kau di rumah bersama Kuda Sempana. Aku sendiri akan melihat dan membuat perhitungan-perhitungan baru” kemudian kepada KudaSempana, “Kau pernah berkata bahwa kau sendiri berasal dari Panawijen juga. Bukan begitu?”
Wajah Kuda Sempana yang beku seperti wajah Kebo Sindet itu mengangguk, “Ya.”
“Dimana orang tuamu tinggal?”
Kali ini Kuda Sempana menjadi ragu-ragu. Apakah kepentingan orang itu bertanya tentang orang tuanya?
“He, bagaimana?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab.
“Kau agaknya menjadi ragu-ragu. Aku berbuat semata-mata untuk kepentinganmu.”
Meskipun dada anak muda itu diamuk oleh kebimbangan, namun ia menjawab juga, “Ya. Orang tuaku tinggal di Panawijen. Tetapi mereka sudah tua.”
“Itu tidak penting. Mungkin mereka akan berguna bagimu dan dapat membantu anaknya melepaskan sakit hatinya.”
“Apa yang dapat mereka lakukan?”
“Serahkan kepadaku.”
“Paman” berkata Kuda Sempana dengan nada yang rendah, “jangan paman menyeretnya ke dalam kesulitan. Biarlah aku sendiri yang bertanggung jawab atas segala macam persoalan. Sebaiknya paman melepaskannya dan membiarkannya menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan tenteram.”
“Jangan bodoh dan jangan menjadi cengeng. Aku tidak akan berbuat segila yang kau sangka. Aku hanya akan berbuat untuk kepentinganmu.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Tetapi kini ia bukan saja menjadi ragu-ragu. Kecemasan yang dalam telah menggores dinding jantungnya. Namun ia tidak mengucapkannya.
Malam itu juga Kebo Sindet pergi meninggalkan Kemundungan. Dengan berbagai macam persoalan di dalam dadanya, ia ingin menyaksikan sendiri, apakah benar para prajurit Tumapel itu untuk sementara menetap di Padang Karautan?. Sementara itu Wong Sarimpat tinggal di rumah bersama Kuda Sempana yang diamuk oleh berbagai perasaan. Ia kini justru berpikir tentang orang tuanya. Apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet dengan kedua orang tuanya itu?
Tetapi, ketika hatinya menjadi semakin pepat, Kuda Sempana itu berdesah, “Persetan. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi dengan siapa pun juga. Bahkan apa yang akan terjadi dengan diriku sendiri.”
Dan kembali anak muda itu berusaha melupakan segala-galanya. Ia mencoba untuk tidak berpikir dan merasakan sesuatu. Ia tinggal menjalani apa yang terjadi hari ini. Besok biarlah dipikirkannya besok. Sedang apa yang pernah terjadi kemarin, diusahakannya untuk melupakan sama sekali. Hidupnya kemudian menjadi sepotong-sepotong. Seolah-olah tak ada hubungan lagi antara apa yang pernah terjadi, apa yang sedang berlaku dan apa yang akan datang kemudian.
Ketika malam menjadi gelap, maka Kebo Sindet berpacu dengan kudanya mendaki tebing bukit gundul. Suara berderak memecah sepi malam menyelusur dan memantul kembali meneriakkan gema yang melingkar-lingkar karena dinding-dinding batu pegunungan gundul itu. Dengan gigi yang terkatub rapat orang itu menggenggam kendali kudanya. Di kepalanya bergelut berbagai macam persoalan. Sehingga tanpa sesadarnya ia berdesis,
“Gila orang-orang Tumapel itu. Kalau benar mereka berada di perkemahan, maka aku pasti akan menemui kesulitan. Aku harus segera dapat mengambil Mahisa Agni sebelum adiknya tenggelam dalam kehidupan yang bahagia di dalam istana. Dengan demikian, maka adalah suatu kemungkinan bahwa Ken Dedes itu akan melupakan kakaknya dan tidak lagi mempedulikannya. Tetapi kini, hubungan mereka masih terlampau erat. Menurut ceritera Kuda Sempana, maka Ken Dedes sangat mencintai kakaknya sehingga apapun telah dilakukannya untuk menjemput Mahisa Agni menghadap Akuwu Tunggul Ametung.”
Kebo Sindet itu menggeretakkan giginya Kudanya segera dipacunya semakin cepat. Ia ingin segera melihat, apakah sebenarnya yang telah terjadi di Padang Karautan. Sementara itu otaknya masih juga berputar terus. Perlahan-lahan ia bergumam kepada diri sendiri, “Hem. Mungkin orang tua Kuda Sempana akan dapat membantuku apabila apa yang dikatakan oleh Wong Sarimpat itu benar telah terjadi, Orang yang sudah tua itu pasti tidak berada di Padang Karautan. Mereka pasti tinggal di rumah mereka.”
Dan suara derap kaki kuda itu pun semakin keras memecah sepi malam. Gemeretak beradu dengan batu-batu padas memencar di sekitar bukit gundul yang kini telah mulai dituruninya.
Jauh dari Padang Karautan, di luar kota Tumapel, seorang tua dengan tongkat yang panjang berjalan tersuruk-suruk. Selangkah demi selangkah ia maju. Namun begitu sering ia harus berhenti untuk mengatur pernafasannya. Berkali-kali ia bersandar pada pohon-pohon di pinggir jalan untuk menenangkan detak jantungnya yang seakan-akan tidak teratur lagi. Sekali ia menarik nafas dalam.
“Beberapa langkah lagi” desisnya, “mudah-mudahan aku dapat mencapai padepokan itu.”
Kembali orang tua itu berjalan tertatih-tatih. Tangan kanannya bertelekan pada tongkat pangjangnya, sedang tangan kirinya seakan-akan menahan punggungnya supaya tidak terlepas.
“Gila orang-orang liar itu” gumamnya, “benar juga kata Empu Gandring dan Panji kurus itu, bahwa sukarlah untuk mendekati Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi aku dahulu mampu memperalatnya. Namun kini agaknya kepala Kebo Sindet menjadi semakin tajam. Berbeda dengan adiknya yang dungu itu.”
Ketika angin malam berhembus mengusap tengkuknya, maka orang tua itu menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang berhamburan di dataran langit yang biru pekat. Melihat kebesaran alam yang terentang itu, orang tua itu menarik alisnya. Seakan-akan baru kali ini dilihatnya bintang gemintang yang berkeredipan di angkasa. Masing-masing dengan bentuk dan susunannya sendiri. Masing-masing beredar menurut irama yang berbeda. Tetapi penuh dengan keserasian.
Tiba-tiba orang tua itu seakan-akan melihat sebuah dunia yang asing. Dunia yang selama ini tdiak pernah dilihatnya. Benda-benda yang gemerlapan berpijar dalam warna yang cemerlang. Perlahan-lahan orang tua itu mengangguk-anggukan kepalanya. Punggungnya masih terasa sakit. Meskipun luka-lukanya telah hampir sembuh, namun tenaga masih belum pulih sama sekali. Ternyata luka-luka kulit dan luka-luka di bagian dalamnya cukup berat. Meikipun luka-luka pada kulitnya telah tidak lagi mengganggunya.
“Aku memerlukan waktu” desahnya, “mudah-mudahan aku segera sembuh. Kalau aku dapat mencapai pedepokanku itu masih seperti keadaannya semula, maka aku akan dapat mengobati luka-luka di bagian dalam tubuhku dengan baik. Tidak akan terhitung minggu, aku pasti akan mendapat kekuatanku kembali. Empu Sada tetap memiliki namanya yang lama”
Orang itu, Empu Sada, telah hampir sampai ke padepokannya kembali, setelah ia bersembunyi berjalan berhari-hari dengan susah payah. Setelah ia berhasil menyelamatkan dirinya dari tangan kakak beradik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat maka kini di dalam hatinya pun menyala dendam kepada kedua orang itu. Apalagi ketika ia telah kehilangan muridnya yang dibangga-banggakan. Keduanya hilang. Keduanyalah yang selama ini paling banyak memberinya berbagai rnacam barang dan perhiasan. Saudagar keliling yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo, dan seorang hamba istana yang dekat dengan Akuwu Tunggul Ametung, Kuda Sempana.
Ketika itu Empu Sada tidak memikirkan dari mana orang yang menyebut dirinya Bahu Rekso Kali Elo itu mendapat barang-barangnya. Tapi ternyata orang itu bisa memberinya kesenangan, sehingga kepada orang itu berdua dengan Kuda Sempana, maka ilmunya paling banyak diberikan. Tetapi kini Empu Sada menjadi kecewa. Kecewa akan cara yang ditempuhnya. Ternyata dengan demikian, ia tidak mendapatkan apapun juga. Barang-barang dan perhiasan-perhiasan yang bertumpuk-tumpuk itu sama sekali tidak dapat membantunya menghadapi orang-orang seliar Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
“Hanya kemampuan berkelahilah yang dapat membantu aku berurusan dengan kedua orang-orang liar itu” gumamnya, “tetapi aku kini telah terlambat. Aku tidak akan sempat membentuk beberapa orang yang cukup kuat untuk menghadapi mereka berdua, meskipun sepuluh atau dua puluh orang sekaligus.”
Empu Sada menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir kekecewaannya. Tetapi setiap kali kekecewaannya itu kembali merayapi hatinya. “Hem” gumamnya, “seandainya aku mempunyai seorang murid seperti Mahisa Agni, Witantra dan saudara-saudara seperguruan murid Panji yang kurus itu. Aku akan mampu menempa mereka berempat dan menyiapkan mereka untuk berhadapan dengan salah seorang dari orang-orang liar itu.”
Tetapi kemudian ia berdesah, “Terlambat. Terlambat.”
Empu Sada itu pun terdiam. Sunyi malam telah menyebabkan hatinya menjadi semakin pahit. Sekali lagi ia menatap bintang di langit. Dan Tiba-tiba ia tersadar, betapa besar alam yang terbentang dihadapannya. Betapa besarnya. Lebih dari pada itu, alangkah Maha Besar Pencipta Nya.
Sejalan dengan kesadarannya tentang kebesaran alam yang selama ini sama sekali tidak pernah dihiraukannya, maka terasa pula betapa kecil dirinya. Ya, betapa kecil dan lemahnya. Dikenangnya apa yang baru dialaminya. Bukit gundul, padang alang-alang, sebuah sendang yang luas. Alangkah sakitnya terbanting ke dalam jurang di tebing gunung gundul yang kecil dibandingkan dengan Gunung Kawi. Apalagi dibandingkan dengan Gunung Semeru. Dan alangkah sempitnya sendang itu dibandingkan dengan Samodra. Samodra Kidul yang luas. Lebih-lebih lagi betapa perbandingan itu diterapkannya dengan dirinya.
“Apakah arti nama Empu Sada berhadapan dengan alam ini?” Tiba-tiba terbersit pertanyaan di dalam batinya.
Perasaan orang itu menjadi semakin dalam terbenam dalam kekecewaan dan penyesalan. Ternyata hidupnya yang sudah sekian lama itu, sama sekali tidak berarti apapun bagi hari tuanya. Tak ada yang dapat ditinggalkannya apabila ia kelak meninggalkan dunia ini. Tak ada yang dapat dibanggakannya. Perguruannya, muridnya dan bahkan dirinya sendiri. Tak ada yang dapat dibanggakannya, yang jasmaniah, apa lagi yang rokhaniah. Tidak ada yang akan mengatakan bahwa perguruan Empu Sada telah melahirkan anak-anak muda yang perkasa, yang pilih tanding, mumpuni saliring ilmu Jaya kawijayan guna kasantikan.
Tidak. Tidak ada. Apalagi anak-anak muda yang berbudi, yang memancarkan cinta kasih sesama. Yang selalu siap mengulurkan tangan menolong setiap kelemahan di dalam kebenaran. Tidak ada. Yang ada adalah dendam dan permusuhan. Dendam Kuda Sempana yang meluap-luap yang selama ini dibenarkannya. Dendam yang kemudian tertanam di dalam hatinya sendiri kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Dendam yang akan menyala tanpa dapat dipadamkan.
Empu Sada menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ingin melupakan segala kepahitan itu. Ia ingin segera sampai di padepokannya. Kemudian beristirahat dan mengambil reramuan obat-obatnya untuk menyembuhkan luka-luka di bagian dalam tubuhnya. Tetapi setiap kali kekecewaan dan penyesalan itu muncul di permukaan wajah hatinya.
“Hem” orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dan ia semakin terdorong dalam perasaan yang pahit. Orang tua itu merasa bahwa hidup yang pernah dijalaninya sama sekali tidak berarti apa-apa bagi dunia ini. Adanya seperti tidak ada, bagi kebajikan, dan apabila ia kelak mati, maka tidak ada jejak yang pernah ditinggalkan di kulit bumi ini. Selain noda-noda yang hitam.
Perlahan-lahan namun akhirnya Empu Sada itu pun menjadi semakin dekat dengan pedukuhannya. Ia ingin sampai di padepokan itu sebelum fajar. Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, inaka orang tua itu telah melangkahkan kakinya masuk ke halaman padepokannya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Seakan-akan ia merupakan orang asing di halaman rumahnya sendiri. Telah sering benar ia melakukan perjalanan dan pengembaraan. Telah sering benar ia meninggalkan padepokan itu sampai berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Tetapi ia selalu pulang dengan dada tengadah. Dengan kebanggaan di dalam hatinya, bahwa isi rumah itu akan bertambah. Emas berkeping-keping di dalam gledegnya akan bertambah banyak. Simpanannya harta benda akan menjadi semakin penuh. Apabila ia membuka peti kayu cendana di sisi pembaringannya, maka gemerlap intan, berlian, mirah dan jamrut menjadi kian cemerlang.
Tetapi kali ini ia membawa kesuraman di hatinya. Bukan karena tubuhnya terluka. Adalah menjadi kebiasaan pula baginya, pulang dengan luka di luar dan dalam tubuhnya itu. Tetapi lukanya kali ini terlampau parah. Jauh lebih parah dari luka pada tubuh di bagian luar maupun di bagian dalam. Kali ini luka yang dibawanya adalah luka di hatinya. Setiap kali orang tua itu menarik nafas terlampau dalam Setiap kali terasa dadanya berdesir. Kadang-kadang ia merasa bahwa ada sesuatu yang belum dikerjakannya, tetapi ia tidak tahu, apakah yang sedang mengejarnya itu.
Akhirnya Empu Sada sampai pula di muka rumah yang berada di tengah-tengah halaman yang cukup luas. Rumah itu tidak terlampau besar. Tidak terlampau baik, dan bahkan rumah itu adalah rumah yang sederhana. Tak banyak orang yang tahu, siapakah yang tinggal di dalam rumah itu. Tetapi bagi mereka yang mengetahuinya, maka rumah itu merupakan rumah yang angker. Bahkan menyeramkan. Rumah yang halamannya terlampau rimbun. Rumah yang pintu-pintunya jarang-jarang terbuka. Hampir tak pernah tampak seorang dua orang berada di halamannya. Apalagi suara anak-anak yang tertawa dan berteriak-teriak dalam sebuah permainan yang gembira. Rumah itu seakan-akan diliputi oleh sebuah rahasia yang gelap.
Tetapi di dalam rumah itu tertimbun berkeping-keping emas. Bergumpal-gumpal intan dan berlian. Bahkan berbagai macam barang-barang berharga lainnya. Tetapi ketika tangan Empu Sada telah terayun untuk mengetuk pintunya, ia menjadi ragu-ragu. Apakah tidak ada bahaya yang sedang menunggunya di dalam rumah itu? Mungkin orang-orang Witantra bahkan mungkin Panji Bojong Santi sendiri, atau mungkin pula Wong Sarimpat, atau Kebo Sindet atau bahkan kedua-duanya, atau Empu Gandring atau Empu Purwa?
Sekali lagi Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Alangkah gelisah perjalanan hidupnya. Meskipun umurnya telah hampir sampai dua pertiga abad, tetapi ia masih belum juga menemukan sesuatu. Bahkan ia sama sekali terjauh dari ketenteraman dan kedamaian hati. Alangkah banyak lawan-lawannya. Orang yang paling jahat seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sampai orang yang cukup mengendap seperti Empu Purwa. Dan ini adalah buah yang harus dipetiknya dari benih yang pernah ditaburkannya.
Karena itu, maka Empu Sada mengurungkan niatnya. Perlahan ia berjalan bertelekan tongkatnya menyusur sisi rumahnya dengan hati-hati. Ia ingin melihat ke belakang dimana beberapa orang-orangnya berada. Ia harus bertemu dengan salah seorang dari mereka untuk mendapat keyakinan bahwa ia dapat memasuki rumahnya dengan aman. Di sebuah bilik yang sempit Empu Sada masih melihat sebuah pelita yang menyala.
Dengan hati-hati maka didekatinya bilik itu. Ketajaman telinganya mendengar bahwa di dalam bilik itu seseorang sedang tidur nyenyak. Empu Sada tahu benar, bahwa bilik itu adalah bilik salah seorang pelayannya. Dengan hati yang berdebar-debar perlahan-lahan diketuknya dinding bilik itu, tepat pada arah kepala pelayan itu tidur.
Dengan gugup pelayan itu bangun. Ia mendengar seseorang berada di luar biliknya. Karena itu maka perlahan-lahan ia bertanya, “Siapa?”
“Aku, Empu Sada.”
“Oh, apakah Empu yang berada di luar itu?” terdengar pelayan itu bertanya lebih keras.
Sesaat keadaan menjadi sunyi. Empu Sada yang sedang dibakar oleh keragu-raguan dan prasangka tidak segera menjawab. Tetapi ketika ia mendengar suara itu kembali bertanya Empu Sada “Empu, adakah Empu yang datang itu?” Maka ia menjadi yakin bahwa suara itu benar-benar suara pelayannya.
Perlahan-lahan Empu Sada pun kemudian menjawab, “Ya. Aku Empu Sada.”
Kini Empu Sada mendengar orang itu bangun dengan tergesa-gesa. Bahkan kemudian kakinya telah menendang sebuah mangkuk tanah, dan hampir-hampir pula tangannya menyentuh pelita di tiang.
Dengan tergopoh-gopoh pula orang itu membuka pintu sambil bertanya, “Empu, kenapa Empu datang lewat pintu belakang?”
Empu Sada tidak segera menjawab. Kembali ia menjadi curiga. “Siapakah yang berada di dalam?” bertanya Empu itu.
Pelayannya itu pun menggeleng, “Tidak ada Empu, kecuali seorang juru panebah yang menunggui ruang dalam, sambil mengharap-harap Empu segera datang kembali.”
“Hanya satu orang?”
Pelayan itu pun menjadi bingung. Tetapi kemudian ia menjawab, “Tidak Empu. Ada dua orang yang berada di ruang dalam.”
“Nah. Kenapa kau berkata hanya seorang?”
“Aku lupa Kiai.”
“Siapakah yang seorang itu? Bojong Santi, Empu Gandring atau siapa?”
Pelayannya semakin heran. Ia belum mengenal nama-nama itu sama sekali.
“Siapa? Siapakah yang kau sembunyikan di rumah itu untuk menanti aku? Kebo Sindet atau Wong Sarimpat?”
Pelayan itu menjadi semakin bingung. Nama-nama yang disebut oleh Empu Sada benar-benar membingungkan. Pelayan itu telah mengenal beberapa orang murid-murid Empu Sada yang terdekat. Tetapi nama-nama itu tidak pernah disebutnya.
“Siapa?” bentak Empu Sada.
“Sumekar. Murid Empu yang Empu tugaskan untuk menjaga rumah ini.”
“Oh” Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Terasa perasaan aneh berdesir di dadanya. Ternyata anak yang berada di dalam rumah itu adalah Sumekar.
“Kenapa tidak kau katakan sejak tadi?” bertanya Empu Sada.
“Aku terlupa Kyai” jawab pelayan itu.
Empu Sada menjadi malu sendiri. Seandainya pelayannya itu berani menatap wajah orang tua itu di dalam terang, maka akan tampaklah bahwa muka yang telah mulai berkerut-merut oleh garis-garis umur itu menjadi kemerah-merahan. “Alangkah cemasnya hati ini” desis Empu Sada itu di dalam hatinya “Betapa gelisah dan goyahnya hidupku. Sama sekali tidak ada ketenteraman dan kedamaian.”
Tiba-tiba Empu Sada tersentak ketika ia mendengar gerit perlahan-lahan di sampingnya. Dengan tanpa dikehendakinya sendiri, tiba-tiba orang tua itu telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi kembali dadanya berdesir ketika ia melihat se orang anak muda yang keluar dari pintu rumah itu. Sumekar.
“Oh” sekali lagi Empu Sada menarik nafas dalam-dalam, “Kau Sumekar.”
“Ya Empu. Aku mendengar suara Empu bercakap-cakap. Mula-mula aku sangka orang lain. Empu Sada biasanya tidak melalui pintu ini.”
“Ya, ya” sahut Empu Sada tergagap.
“Marilah Empu. Silahkanlah.”
“Kau sendiri?” bertanya Empu Sada.
“Ya” sahut Sumekar.
Empu Sada pun kemudian dengan hati-hati memasuki rumahnya, rumah yang telah berpuluh tahun ditempatinya. Tetapi kini rasa-rasanya ia sedang memasuki sebuah goa rahasia yang penuh dengan bahaya yang sedang menantinya. Tetapi akhirnya Empu Sada mengenali tempat itu kembali. Perlahan-lahan kekhawatirannya pun menjadi surut. Ia mengenal setiap pintu, tiang dan bahkan setiap jelujur kayu yang ada di dalam ruangan itu. Lampu minyak yang menggapai-ngapai di tlundak yang melekat pada saka guru. Sebuah amben yang besar di sebuah sisi, dan disekat oleh sebuah dinding, adalah bilik yang khusus dibuat untuknya, untuk menyimpan sebagian dari kekayaannya.
“Tak seorang pun masuk ke dalam bilik itu?”
“Tidak Empu” sahut Sumekar.
“Kau?”
“Ya. Kadang-kadang untuk membawa para pelayan membersihkannya.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya kembali, “Dimana orang-orang lain?”
“Di luar Empu, Dua orang selalu tidur di atas gedogan kuda.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejak ia belum berangkat bersama Kuda Sempana dua orang muridnya yang masih belum terlalu baik selalu tidur di atas kandang kuda. Belum lagi Empu Sada sempat beristirahat, terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Terontong-terontong terbayang pada lubang-lubang dinding cahaya fajar yang menjadi semakin terang. Empu Sada menggeliat sambil menyeringai. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit.
“Siapakah yang datang ke rumah ini sepeninggalku untuk mencari aku?”
Sumekar mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia menjawab, “Tidak ada Empu.”
“Tidak ada?” jawaban itu tidak meyakinkannya.
“Tidak Empu.”
“Prajurit-prajurit Tumapel?”
Sumekar menggeleng, “Tidak Empu.”
“Orang-orang yang liar seliar orang-orang hutan?”
Kembali Sumekar mengerutkan keningnya. Kemudian kembali ia menjawab, “Tidak Empu.”
Empu Sada terdiam sejenak. Tetapi ia tidak yakin akan kebenaran kata-kata Sumekar. Mungkin Sumekar tidak ada di rumah waktu itu atau mungkin anak itu sudah tidak ingat lagi. Tetapi apabila yang datang Witantra dengan pasukannya, maka mustahil bahwa Sumekar tidak tahu atau melupakannya. “Jadi tidak ada seorang pun yang datang?”
“Maksudku, tidak ada yang datang untuk suatu keperluan yang khusus Empu. Mungkin ada juga satu dua orang yang bertanya tentang Empu, tetapi mereka agaknya tidak mempunyai persoalan yang penting.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba alisnya berkerut, “Coba katakan, apakah kau masih ingat yang satu dua orang itu?”
“Aku tidak memperhatikannya Empu, sebab mereka agaknya juga tidak menganggap penting.”
“Ya, mungkin. Tetapi siapa saja seingatmu?”
Sumekar mengingat-ingat sejenak. Kemudian katanya, “Yang aku ingat Empu. Saduki pernah datang kemari.”
“Persetan dengan orang itu. Apa keperluannya?”
“Isterinya ngidam Empu. Isterinya itu ingin sekali makan jeruk yang sedang berbuah di halaman depan.”
“Cukup, cukup tentang orang gila itu” Sumekar terdiam. “Ya lain.”
Sumekar mencoba mengingat-ingat. Ada juga satu dua orang yang menanyakan gurunya saat itu. Tetapi mereka pada umumnya adalah orang-orang yang sering datang untuk mengadakan jual beli dan tukar menukar barang-barang. Tetapi Tiba-tiba Sumekar itu ingat, bahwa pernah datang seseorang yang belum pernah dilihatnya. Tetapi agaknya orang itu pun tidak mempunyai keperluan yang penting. Mungkin orang itu sahabat Empu Sada atau mungkin salah seorang keluarganya. Meskipun demikian Sumekar itu pun berkata,
“Empu, ada aku ingat seseorang yang belum pernah aku kenal. Kecuali para pedagang yang ingin berjual beli dan tukar menukar seperti yang sering terjadi, maka pernah datang seorang yang usianya sebaya dengan Empu.”
Empu Sada mengerutkan keningnya, “Siapa?”
“Tetapi orang itu tidak mempunyai apapun. Ia hanya sekedar ingin berkunjung kepada Empu Sada. Mungkin ia sahabat Empu yang sudah agak lama tidak bertemu.”
“Ya siapa?”
“Orang itu tidak menyebut namanya.”
“Kau katakanlah ciri-cirinya.”
“Orang itu agak tinggi. Kurus.”
“Ada berpuluh-puluh orang yang tinggi kurus di dunia ini.”
Sumekar mengerutkan keningnya. Tetapi Tiba-tiba ia berkata, “Orang itu membawa sebuah kasa yang dibuatnya dari kulit harimau. Kasa itu telah menarik perhatianku saat itu.”
“He” Empu Sada itu terkejut bukan buatan. Sehingga dengan serta-merta ia tegak berdiri seperti sebuah tonggak yang kokoh “Orang itu membawa kasa dari kulit harimau?”
Sumekar pun terkejut bukan main. Bukan karena kasa yang dibuat dari kulit harimau itu, tetapi justru karena sikap gurunya. “Ya” sahutnya terbata-bata.
“Alangkah bodohnya kau. Jauh lebih bodoh dari orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu. Orang yang membawa kasa dari kulit harimau itu bernama Panji Bojong Santi.”
“Oh” Sumekar mengangguk-angguk, “Aku belum tahu Empu. Empu belum pernah memberi tahukan kepadaku. Aku menyesal bahwa aku tidak mempersilahkannya untuk menunggu Empu atau menanyakan dimanakah rumahnya, sehingga aku akan dapat memberitahukan bahwa Empu telah kembali.”
“Gila, gila kau” Empu Sada itu hampir berteriak, “jangan kau suruh ia masuk rumah ini, apalagi menunggu aku pulang. Kini ia tidak boleh mendengar bahwa Empu Sada telah berada di padepokannya kembali. Kau dengar?”
Sumekar menjadi bertambah bingung. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi kata-kata gurunya. Bahkan sedemikian bingungnya sehingga tanpa disadari ia berkata, “Orang itu baik guru. Ramah dan menyenangkan.”
“Oh, Sumekar, Sumekar” Tiba-tiba Empu Sada menekan dadanya yang masih terasa sakit, “alangkah bodohnya kau Panji Bojong Santi bagiku jauh lebih berbahaya dari sepasukan prajurit Tumapel meskipun dari kesatuan pengawal Akuwu yang dipimpin oleh Witantra itu sekalipun. Ternyata orang itu benar licin seperti iblis. Yang mencari aku kemari bukan sepasukan prajurit, tetapi seorang Panji Bojong Santi.”
Kini Sumekar benar-benar terbungkam. Ia tahu kemungkinan-kemungkinan yang demikian, bahwa suatu ketika gurunya akan dicari oleh sepasukan prajurit karena berbagai macam persoalan. Mungkin soal barang-barang yang diambilnya dari orang lain, meskipun tidak dengan tangannya sendiri. Mungkin soal-soal lain yang serupa dengan kejahatan. Meskipun salah seorang murid Empu Sada itu adalah seorang Pelayan Dalam Akuwu Tunggul Ametung yang dekat, Kuda Sempana. Namun agaknya ada sesuatu yang tidak wajar pada muridnya yang seorang itu.
Empu Sada itu pun kemudian terduduk di amben bambu. Terasa dadanya menjadi bertambah pedih. “Oh” desahnya, “untunglah orang itu tidak kembali. Ingat, tak seorang pun boleh tahu bahwa Empu Sada telah berada di padepokannya. Aku harus menyembuhkan segenap luka-lukaku. Sesudah itu, ayo siapakah yang akan datang menemui aku. Panji Bojong Santi, Empu Gandring, Empu Purwa, Kebo Sindet atau Wong Sarimpat?”
Empu Sada terdiam. Tetapi kata-katanya itu telah mendebarkan jantungnya. Bahkan ia berdesah di dalam hati, “Alangkah banyak musuh yang harus aku hadapi.”
Sebenarnya Empu Sada tidak sedang dilanda oleh kecemasan dan ketakutan. Sebagai seorang yang telah memilih jalan hidupnya di dalam lingkungan para sakti, maka apa yang dihadapinya itu sama sekali tidak mengejutkannya, apalagi menakutkannya. Nama-nama yang pernah disebutnya tidak akan mampu membuatnya berkecil hati. Apabila ia harus menghadapi bahaya yang betapapun besarnya, maka yang dilakukannya adalah mencari jalan untuk melawan bahaya itu.
Tetapi kali ini ada perasaan yang asing di dalam dirinya. Perasaan yang selama ini belum pernah dikenalnya. Meskipun ia sama sekali tidak merasa takut, namun perasaan asing itulah yang kini mendorongnya pada suatu keadaan yang asing pula baginya. Tiba-tiba Empu Sada itu tanpa dikehendakinya mencoba menilai dirinya. Ia melihat orang lain seperti Bojong Santi, Empu Purwa, Empu Gandring dan beberapa orang lain. Kenapa mereka dapat hidup tenteram dan damai? Seakan-akan mereka tidak diamuk oleh kegelisahan dunia. Meskipun sekali-sekali mereka harus juga berkelahi, tetapi mereka merasa berdiri di atas landasan yang mantap. Mereka berkelahi dan menghadapi lawan-lawannya dengan terbuka untuk kepentingan yang terbuka pula.
Tanpa sesadarnya orang tua itu berdiri dan melangkah ke dalam biliknya. Dilihatnya sebuah peti terletak di sudut ruang itu diikat dengan kuatnya Tetapi sebenarnya tidak di dalam peti itulah kekayaan Empu Sada yang sebenarnya. Ia menyimpan peti-peti di tempat yang dirahasiakannya. Satu di antara peti-peti itu dibuatnya dari kayu cendana. Peti yang tidak pernah terpisah dari samping pembaringannya. Telapi peti itu berada di dalam dinding yang sebenarnya berlapis. Sedang di dalam peti yang terikat itu disimpannya beberapa macam benda yang kurang berharga dari benda-benda yang telah disembunyikannya.
Melihat benda itu terasa dada Empu Sada berdesir. Ia tahu benar bahwa di belakang peti yang terikat itu, di belakang dinding yang berlapis itu, ia mempunyai kekayaan yang luar biasa banyaknya. Tetapi apakah artinya kekayaan itu baginya? Empu Sada terhenyak dalam suatu keadaan yang membingungkannya. Ternyata kekayaan yang tidak terhitung itu tidak dapat memberinya kedamaian. Kekayaan yang diterimanya dengan menjual ilmunya dengan harga yang cukup mahal, tanpa menghiraukan akibat daripadanya. Tanpa mengingat, apakah yang akan dilakukan oleh murid-muridnya itu kelak.
Perlahan-lahan Empu Sada duduk di amben pembaringannya. Kini dadanya benar bergolak. Apakah sebenarnya arti kekayaan itu baginya? Kekayaan itu tidak memberinya kenikmatan jasmaniah. Rumahnya bukan rumah yang seindah istana. Ia tidak membiarkan dirinya makan dan minum sepuas-puas hatinya. Ia tidak berbuat sesuatu dengan kekayaannya itu. Belum pernah ia mempunyai seperti kini. Ia heran sendiri, buat apa sebenarnya ia menyimpan kekayaan itu? Buat apa? Dibiarkannya dirinya terlunta-lunta. Makan hanya sekedar untuk memelihara tubuhnya. Pakaian hanya sekedar selembar kain.
Kekayaan yang dikumpulkannya bahkan kadang-kadang dengan bertaruh nyawa itu sama sekali tidak berarti baginya, tidak memberinya kenikmatan jasmaniah. Apalagi nilai rokhaniah. Nilai-nilai pengabdian dan kebaktian. Pengabdian kepada sesama dan kepada kemanusiaan, serta kebaktian yang bulat kepada Maha Pencipta Nya. Tidak. Sama sekali tidak, bahkan nilai-nilai itu telah seringkali dikorbankannya untuk mendapatkan kekayaan duniawi yang tidak bermanfaat justru bagi keduniawiannya, apalagi kerokhaniaannya.
Empu Sada masih melihat lewat lubang pintunya yang masih terbuka. Sumekar duduk termenung di luar biliknya. Seorang pelayannya yang terbangun itu pun duduk pula sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak mengetahui sesuatu. Apalagi pelayan itu, Sumekar pun menjadi bingung melihat sikap gurunya. Namun Sumekar itu dapat merasakan bahwa terjadi segala macam luka yang pernah dialaminya. Dengan demikian pasti gurunya mendapat kesulitan yang lain. Kesulitan yang tidak dapat dimengertinya.
Sejenak kemudian mereka telah mendengar suara ayam yang turun dari kandang-kandang mereka. Mereka mendengar suara sapu di halaman. Lamat-lamat kicau burung telah menyegarkan pagi yang terang dan jernih. Tetapi tidak demikian dengan hati Empu Sada. Pelayannya yang berada di dalam rumah itu pun segera ke luar. Namun sekali lagi ia mendapat pesan bahwa orang lain tidak boleh mendengar bahwa Empu Sada telah kembali. Ketika pelayan itu telah pergi, maka dipanggilnya Sumekar masuk ke dalam biliknya.
Dengan cemas Sumekar melihat keadaan gurunya yang tampaknya terlampau lesu “Apakah luka dalam yang diderita oleh guru terlampau berat?” Tetapi Sumekar tidak berani bertanya.
“Kau simpan obat-obat itu?” bertanya gurunya.
“Ya guru.”
“Baik. Bawa obat-obat itu kemari.”
“Ya guru” sahut Sumekar sambil meninggalkan gurunya berbaring di amben bambu.
Sejenak kemudian Sumekar telah kembali sambil membawa semangkuk obat yang sudah dicairkannya dengan air dingin.
“Berikanlah” minta Empu Sada sambil bangkit duduk. Dengan sekali teguk maka obat itu pun telah dihabiskannya. “Mudah-mudahan aku akan segera sembuh.” gumamnya.
“Mudah-mudahan Empu” sahut muridnya itu.
Empu Sada itu pun kemudian ditinggalkannya sendiri. Orang tua itu kemudian kembali berbaring. Tanpa dikehendakinya, maka berdatanganlah semua kenangan masa lampaunya yang suram. Sekali-sekali terdengar Empu Sada itu berdesah. Kini bukan saja bagian dalam tubuhnya yang terasa sakit, tetapi lebih-lebih lagi adalah batinya. Masa lampaunya bukanlah masa yang menyenangkan untuk dikenang. Tiba-tiba terdengar orang tua itu memanggil muridnya perlahan-lahan, “Sumekar, Sumekar.”
Sumekar yang sedang membantu membersihkan ruangan dalam itu tergopoh-gopoh melangkah masuk ke dalam bilik gurunya. Dilihatnya gurunya menjadi semakin lesu, “Ya guru.” jawabnya dengan gelisah.
“Kemarilah. Mendekatlah” berkata orang tua itu.
Sumekar itu pun segera mendekatinya. Dan duduk bersimpuh di samping pembaringan gurunya.
“Sumekar” berkata Empu Sada, “obatmu benar-benar baik. Terasa sakitku menjadi jauh berkurang.”
“Ya Empu. Obat itu adalah obat yang guru buat sendiri beberapa bulan yang lalu.”
“Ya, ya. Tetapi kau telah membuat takaran yang tepat.”
“Ya guru.”
Empu Sada berhenti sejenak. Dipandanginya wajah muridnya yang satu ini. Murid ini baginya tidak begitu menarik hati disaat-saat yang lampau, ketika masih ada muridnya yang paling dimanjakannya. Bukan karena sifat dan kemampuannya, tetapi justru karena mereka itu mampu memberi banyak imbalan kepada Empu Sada. Anak ini tidak seperti mereka itu. Tidak seperti Kuda Sempana dan pedagang keliling yang bernama Cundaka. Bahkan masih ada beberapa orang muridnya yang lain yang lebih menarik dari anak ini. Tetapi murid-muridnya itu kini tidak ada di rumah ini. Mereka berada di tempat yang terpencar tanpa dapat diawasinya dengan baik, apakah yang telah mereka lakukan. Tetapi anak ini, anak yang bernama Sumekar ini selalu berada di padepokannya. Tak banyak yang dilakukan selain dengan tekun berlatih. Tetapi Sumekar tidak banyak dapat memberinya imbalan.
Meskipun ia anak seorang petani yang kaya, tetapi ternyata tidak dapat menyamai Kuda Sempana, seorang Pelayan dalam yang waktu itu dekat dengan Akuwu Tunggul Ametung dan pedagang keliling yang kaya raya yang seakan-akan barang-barangnya tidak pernah kering. Dan Empu Sada tidak pernah bertanya dari mana orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu mendapatkan barang-barang berharga.
Karena itu, maka Sumekar tidak banyak mendapat kesempatan dari gurunya. Bahkan setiap kali ia ditinggalkannya di padepokan untuk menunggui rumah dan halaman. Kalau ada sesuatu yang tidak berkenan di hati Empu Sada pada saat ia kembali, maka Sumekarlah tempat yang pertama-tama untuk menumpahkan segala kemarahannya. Tetapi kali ini Empu Sada berbuat lain. Meskipun terasa sesuatu yang kurang pada tempatnya, namun gurunya itu tidak memaki-makinya dan mengumpannya. Bahkan kini gurunya itu agaknya berkenan di hati oleh obatnya yang kebetulan dianggap tepat takarannya.
Tetapi Sumekar hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat bertanya, apakah sebabnya maka perubahan itu terjadi. Kini sejenak mereka saling berdiam diri. Nafas Empu Sada terdengar satu-satu meluncur dari lubang hidungnya. Terengah-engah seperti orang sedang kelelahan. Sumekar menjadi cemas mendengar tarikan nafas gurunya itu. Apalagi ketika kemudian ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya gurunya terlampau pucat. Tetapi Sumekar masih juga belum berani bertanya sesuatu. Ia menunggu sampai gurunya sendiri mengatakannya kepadanya.
Barulah sejenak kemudian Empu Sada itu berkata, “Sumekar. Apakah kau selalu tekun berlatih sepeninggalku?”
“Ya guru” sahut Sumekar, “aku telah mencobanya.”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia berkata, “Sayang, aku tidak terlalu banyak memberikan bahan-bahan kepadamu. Tetapi yang terloncat dari bibirnya adalah, “Sukurlah. Mudah-mudahan kau cepat dapat mengikuti kakak-kakak seperguruanmu.”
“Mudah-mudahan guru” sahut Sumekar. Namun dalam pada itu Sumekar melihat sesuatu di wajah gurunya. Kebimbangan atau kecemasan. Tetapi ia masih juga belum berani bertanya.
“Sumekar” berkata gurunya, “berlatihlah sebaik-baiknya. Aku sudah cukup tua.”
Sumekar terperanjat mendengar kata-kata gurunya itu.
“Orang setua aku ini” berkata gurunya seterusnya, “pasti hanya tinggal menunggu saat dipanggil kembali oleh pemilikNya. Aku telah mendapat kesempatan hidup di dunia ini untuk waktu yang cukup lama.”
“Guru” Tiba-tiba terloncat dari bibir Sumekar, namun kemudian ia pun terdiam.
Empu Sada tersenyum. Baru kali ini ia melihat, bahwa Sumekar memiliki kesetiaan yang terlalu baik bagi seorang murid. Murid menurut caranya “Mungkin ia cemas karena ia belum mendapat ilmu yang cukup” berkata Empu Sada di dalam hatinya, “bukan karena aku adalah gurunya. Kalau ia tidak memerlukan aku lagi, maka apapun yang akan terjadi atas diriku, ia tidak akan memperdulikannya.”
Tetapi mata anak muda itu bagi Empu Sada tampak terlampau jujur. Tiba-tiba Empu Sada itu tidak dapat menahan hatinya lagi untuk menceriterakan apa yang pernah dialaminya di perjalanan. Ia tidak mempunyai seorang sahabat yang dipercayanya. Karena itu, untuk mengurangi himpitan tekanan perasaan, maka diceriterakannya apa yang telah terjadi itu kepada muridnya. Muridnya yang selama ini tidak banyak mendapat perhatiannya.
“Anak ini adalah anak yang paling jujur yang pernah aku temui di dalam perguruanku” desisnya di dalam hati.
Namun justru karena itu ia menjadi terasing. Seorang yang jujur seakan merupakan duri bagi lingkungan yang sama sekali tidak menghargai lagi kejujuran. Sumekar mendengarkan kata demi kata yang meluncur dari raut gurunya. Berbagai perasaan bergolak di dalam dadanya. Kadang-kadang hatinya berdesir tajam, namun kadang-kadang menyala seperti bara.
“Akhirnya aku terluka” terdengar suara Empu Sada lemah, “beruntunglah bahwa aku sempat menyembunyikan diriku di dalam air. Kalau tidak maka hari ini aku tidak akan bertemu dengan kau lagi Sumekar.”
Terdergar gigi anak muda itu gemeretak. Ingin ia meloncat dan berlari menemui orang-orang yang telah melukai gurunya untuk membuat perhitungan. Tetapi Tiba-tiba ia hanya menghela nafasnya dalam-dalam, “Gurunya dan dua orang kakak seperguruannya tidak mampu melawan kedua orang yang diceriterakan oleh gurunya itu. Apalagi dirinya sendiri. Tetapi meskipun demikian terasa bahwa ia tidak mau menerima kekalahan itu tanpa pembalasan. Karena itu maka ia berkata di dalam hatinya, “Suatu ketika aku akan dapat menebus kekalahan ini.”
Tetapi Sumekar itu terperanjat ketika ia mendengar gurunya berkata, seolah-olah melihat perasaan yang bergolak di dalam dadanya, “Sumekar, jangan kau membayangkan, bahwa suatu ketika kau akan dapat menebus kekalahan ini. Kedua orang itu benar-benar orang yang luar biasa. Serahkanlah orang-orang itu kepada keadilan Yang Maha Agung.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ragu-ragu ia mencoba menjawab, “Tetapi apakah sifat-sifat yang bertentangan dengan adab dan kemanusiaan itu akan kita biarkan saja Empu?”
Empu Sada lah yang kini terperanjat. Jawaban Sumekar tanpa dikehendaki telah menusuk jantungnya pula. Bukan saja Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang telah berbuat bertentangan dengan adab dan kemanusiaan. Ia sendiri, Empu Sada pun pernah melakukannya. Sejenak Empu Sada itu pun terdiam. Terasa bagian dalam dadanya menjadi semakin sakit. Tetapi terlebih sakit lagi adalah hatinya. Kembali mereka terlempar dalam kediaman. Ruangan yang tidak terlampau besar itu menyadi sunyi. Di luar terdengar gerit timba seperti menggores jantung.
Matahari pun menjadi semakin tinggi pula. Dari celah-celah dinding meloncatlah bayangan-bayangan yang bulat seolah-olah berpijar pada sisi yang lain. Bergetar oleh bayangan dedaunan yang hitam, yang bergerak-gerak karena angin pagi yang silir, menumbuhkan suara gemerisik. Di dahan-dahan pepohonan, burung-burung liar berkicau saling sambut-menyahut dengan riangnya. Tetapi hati Empu Sada kian bertambah sakit.
“Sumekar” berkata orang tua itu kemudian, “setiap penyimpangan dari kehendak Yang Maha Agung, pada saatnya pasti akan mendapat hukuman sewajarnya.” Empu Sada berhenti sejenak. Kemudian diteruskannya, “tetapi pasti akan dipergunakan tangan yang sesuai untuk kepentingan itu. Tanganmu terlampau kecil untuk melakukannya, Sumekar.”
Sumekar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia merasa betapa kecil arti dirinya dibandingkan dengan kedua orang yang dikatakan oleh gurunya itu. Tetapi satu hal yang tidak dapat dimengertinya. Kenapa gurunya harus berhubungan dengan kedua orang itu?
Semula Empu Sada ingin merahasiakan persoalan yang sebenarnya dihadapi. Tetapi pandangan mata Sumekar yang terlampau jujur itu terasa menghunjam ke pusat jantungnya. Akhirnya Empu Sada tidak dapat bertahan lagi. Perlahan-lahan dipanggilnya Sumekar semakin dekat. Katanya,
“Sumekar. Mungkin kau dapat pula mengerti, bahwa sebenarnya aku pun bukanlah orang yang bersih. Aku pun termasuk orang yang sering memperkosa peradaban dan kemanusiaan. Tetapi aku belum terjerumus terlalu jauh seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mungkin kau selalu bertanya-tanya di dalam hatimu, kenapa aku pergi mencari kedua orang itu. Itu pun didorong pula oleh kekuasaan nafsu yang telah mencengkam dadaku. Aku terlampau menuruti kehendak Kuda Sempana, meskipun aku mempunyai pamrih juga dari padanya. Kini kau lihat, justru tangan kedua orang liar itulah yang dipergunakan untuk menghukumku. Hukuman badaniah yang aku alami sekarang tidakkah separah penyesalan dan kekecewaan hatiku. Cidera badaniah telah terlampau sering aku alami, tetapi luka yang separah ini pada hatiku, belum pernah aku rasakan.” Empu Sada itu terdiam sejenak. Kemudian diceriterakannya pula hubungan antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni. Hubungan antara Kuda Sempana dan Ken Dedes.
Sumekar menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak tahu, bagaimana ia harus menanggapi persoalan itu. Memang pernah didengarnya persoalan yang terjadi antara kakak seperguruannya yang menjadi Pelayan dalam itu. Memang ia pernah mendengar pertentangan-pertentangan yang timbul kemudian sehingga kakak seperguruannya itu harus menyingkir. Tetapi ia tidak tahu, bahwa persoalan itu telah terdorong semakin jauh. Kini kakak seperguruannya itu ternyata tertangkap oleh orang-orang yang dikatakan gurunya orang liar itu. Bahkan kakak seperguruannya yang seorang lagi terbunuh.
Pada satu segi Sumekar menjadi marah di dalam hati. Bahkan tumbuh pula dendam di dadanya. Namun peda segi yang lain ia merasa seakan apa yang terjadi itu adalah wajar. Bahkan seharusnya. Sekali lagi Sumekar itu terperanjat ketika ia mendengar gurunya Tiba-tiba bertanya,
“Sumekar, kenapa kau dahulu berguru kepadaku? Ternyata kau terperosok ke dalam lingkungan yang bertentangan dengan sifat-sifatmu sendiri. Dan kau selama ini mencoba menyesuaikan dirimu. Aku kini merasa, bahwa kau telah memilih jalan yang salah.”
Sumekar seakan-akan terbungkam karenanya. Pertanyaan itu menjadi semakin keras berdentang di dalam telinganya sendiri “Ya, mengapa aku dahulu berguru disini? Mengapa aku terlempar dalam lingkungan yang suram tanpa berusaha untuk menghindar meskipun sebagian telah aku ketahuinya.”
Tetapi semuanya telah terjadi. Dan Sumekar itu merasa bahwa ia telah pernah menerima berbagai ilmu dari gurunya itu. Karena itu, maka ia tidak akan dapat lagi meloncat surut, kemasa yang lampau.
Sedang gurunya itu berkata, “Tetapi Sumekar, ada baiknya kau melihat segenap persoalan dan akhir dari peristiwa ini. Kau akan mendapatkan sebuah cermin yang baik untuk melihat, betapa kekuasaan yang Maha Agung telah menggerakkan alat-alatNya untuk menyelesaikan rencananya. Kau lihat bagaimana aku sekarang terluka parah dan bahkan hampir mati terbunuh. Murid-muridku kini tidak lagi dapat berbuat sesuatu. Malahan Cundaka itu telah terbunuh pula sedang Kuda Sempana tidak sempat aku selamatkan.” Empu Sada berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya, “Karena itu Sumekar, sebelum kau terlanjur terperosok dalam dunia yang gelap, kau dapat mengungkat kembali sifat-sifatmu yang sebenarnya. Ilmuku sebenarnya bukan sejenis ilmu yang kasar seperti ilmu yang di miliki oleb Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi meskipun demikian, ilmu hanya sekedar kelengkapan hidup kita. Meskipun ilmu itu ilmu yang sekasar apapun, lebih kasar dari ilmu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, tetapi ilmu itu tidak dapat berbuat sendiri. Tergantung terlampau jauh kepada pemiliknya. Orang yang memiliki sifat ilmu itu. Seperti sebilah pisau di tangan anak-anak. Pisau itu akan dapat bermanfaat baginya dan orang lain, untuk mengupas makanan dan buah-buahan. Tetapi pisau itu juga akan dapat mendatangkan bencana bagi dirinya dan orang lain. Bagaimanapun bentuk daripada pisau itu.”
Kepala Sumekar menjadi semakin tunduk. Selama ini gurunya tidak pernah memberinya petunjuk tentang jalan hidup yang harus dipilihnya. Selama ini gurunya hanya memberinya petunjuk-petunjuk bagaimana ia harus melakukan berbagai macam unsur-unsur gerak. Dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit sekalipun. Gurunya selama ini hanya membentak-bentaknya apabila ia gagal melakukan sebuah latihan. Dan gurunya itu pula selalu membentak-bentaknya apabila ia terlambat sehari dua hari tidak menyerahkan imbalan setiap selapan kepadanya. Tetapi kini gurunya bersikap lain. Gurunya itu mengatakan persoalan yang lain dari memperbodohkannya. Gurunya berkata tentang hidup dan kehidupan.
Tiba-tiba gurunya itu berkata, “Aku sudah cukup tua Sumekar.”
Sumekar mengangkat wajahnya. Ditatapnya kedua mata gurunya yang suram. Tetapi gurunya tidak pernah berbuat demikian sebelumnya. Gurunya bukan hanya sekali ini terluka. Bahkan jauh lebih parah. Namun gurunya itu tidak pernah menjadi lesu dan kehilangan gairahnya seperti sekarang.
“Sumekar” berkata gurunya, “kau harus tekun berlatih.”
Sumekar tidak tahu apa yang bergolak di dalam dada gurunya, tetapi ia menjawab, “Ya guru.”
“Lupakanlah kakak seperguruanmu, Cundaka dan Kuda Sempana. Lupakanlah apa yang pernah mereka lakukan. Meskipun aku mengetahuinya, bagaimana Cundaka itu mendapatkan berbagai macam barang-barang berharga, tetapi aku selalu berpura-pura tidak tahu. Aku selalu mengatakan, bahwa ia adalah seorang pedagang keliling yang kaya raya. Bukan sekedar seorang penggalas. Tetapi orang itu kini telah mati.” Empu Sada berhenti sejenak. Yang terdengar adalah desah nafasnya yang semakin cepat, tetapi terpatah-patah.
“Guru” bertanya Sumekar kemudian, “apakah aku dapat meramu macam obat-obatan yang lain supaya guru tidak menjadi sesak nafas?”
“Tidak. Tidak perlu Sumekar. Aku sudah sehat.”
“Tetapi nafas Empu seolah-olah tidak berjalan dengan wajar.”
“Pendengaranmu cukup baik Sumekar. Tetapi tidak apa-apa. Tidak berbahaya bagiku.” Empu Sada berhenti sejenak, “tetapi aku memang sudah tua. Tak ada lagi yang dapat aku kerjakan. Hidupku yang tidak berarti apa-apa ini sudah tidak berguna lagi.”
Tetapi ia harus berusaha menyembuhkan luka-lukanya. Meskipun demikian keadaan gurunya itu cukup menggelisahkannya. Hari itu Sumekar bekerja dengan penuh kegelisahan dan kecemasan. Setiap kali ia menengok gurunya yang berbaring diam. Namun setiap kali ia masih melihat gurunya itu tidur. “Mudah-mudahan guru menjadi bertambah baik dengan istirahatnya.”
Di sore hari Sumekar melihat gurunya itu berjalan tertatih-tatih keluar biliknya. Dengan serta-merta Sumekar mendatanginya untuk menolongnya berjalan. Tetapi Empu Sada berkata, “Aku masih cukup kuat Sumekar.”
Sumekar tertegun di tempatnya, namun kemudian ia bertanya, “Apakah Empu akan berjalan-jalan kehalaman?”
Empu Sada menggeleng. Jawabnya, “Tidak Sumekar. Aku ingin pergi ke bilik belakang. Aku ingin melihat kau berlatih. Dimanakah kedua anak-anak adik seperguruanmu?”
“Di luar Empu. Mereka pun sedang berlatih bersama.”
“Mereka pun harus dipesan, bahwa tak seorang pun boleh tahu bahwa Empu Sada telah kembali.”
“Ya Empu. Seluruh isi padepokan ini telah mendapat pesan itu.”
Tetapi Empu Sada itu pun kemudian berkata, “Tetapi sebenarnya itu tidak perlu Sumekar.”
Sumekar menjadi heran dan gurunya berkata terus, “Biar sajalah orang-orang yang ingin datang untuk membalas dendam itu kemari. Aku telah pasrah diri sebagai tebusan atas segala kesalahanku.”
“Guru, apakah sebenarnya yang Empu kehendaki.”
Empu Sada menggeleng “Tidak apa-apa” katanya, “mari, aku ingin melihat kau berlatih. Ilmumu harus meningkat sebelum aku mati.”
“Jangan Empu” sahut Sumekar terbata-bata.
Empu Sada tersenyum “Apakah bukan sudah seharusnya bahwa suatu ketika seseorang akan mati? Ingat Sumekar. Betapa tinggi ilmu seseorang. Meskipun orang itu memiliki aji yang maha dahsyat. Dapat melebur gunung dan dapat mengeringkan lautan dengan puntiran tangannya, tetapi ia tidak akan dapat hidup sepanjang jaman. Suatu saat ia akan dihadapkan pada suatu keadaan dimana ilmunya tidak akan mampu melawan maut. Ada seribu jalan menuju ke kerajaan maut. Dan setiap orang pasti akan pergi ke sana.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kembali ia melihat sorot yang memancarkan keputusasaan dari sepasang mata gurunya. Tetapi ia tidak dapat berkata sesuatu.
“Ayolah. Berjalanlah dahulu.”
Keduanya pun kemudian pergi ke bilik belakang. Ke bilik tempat murid-murid Empu Sada berlatih. Dilihatnya kedua muridnya yang muda pun, sedang berlatih di bilik itu. Ketika mereka melihat gurunya datang, maka dengan serta-merta mereka menghentikan latihan mereka. Dengan hormatnya mereka membungkukkan kepala mereka.
“Bagus” desis Empu Sada sambil berjalan tertatih-tatih bersandarkan tongkat panjangnya “Berlatihlah dengan baik, selagi masih ada kesempatan, dan selagi aku masih dapat memberimu petunjuk.”
Kedua murid yang masih sangat muda itu pun saling berpandangan dan sekali-sekali mereka memandang wajah Sumekar. Tetapi mereka tidak berani bertanya.
“Sekarang beristiratlah. Tunggullah di luar. Aku ingin memberi latihan yang khusus kepada kakakmu.”
Sekali lagi mereka berdua menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka pun meninggalkan bilik itu. Yang kemudian melatih dirinya adalah Sumekar. Meskipun Empu Sada tidak mampu untuk memberinya petunjuk dengan gerak, tetapi dengan kata-kata dituntunnya muridnya yang seorang ini dengan baik. Diberinya berbagai macam unsur gerak yang belum pernah diterimanya. Bahkan kemudian gurunya itu berkata,
“Sumekar. Ternyata persiapanmu telah cukup untuk mulai dengan ilmu yang terakhir dari perguruan kita. Ilmu yang dapat aku berikan sebelum aku mati.”
Dada Sumekar menjadi berdebar-debar. Berbagai perasaan bercampur baur di dalam dadanya. Di satu pihak ia merasa bangga dan bergembira bahwa gurunya telah menganggap cukup baginya untuk menerima ilmu yang tertinggi dari perguruan Empu Sada. Tetapi dilain pihak ia merasa sangat cemas, bahwa gurunya seakan-akan telah kehilangan usaha untuk memperpanjang hidupnya. Sehari ini gurunya sama sekali tidak lagi mau berobat, selain pada saat ia datang.
“Sumekar” berkata Empu Sada, “besok kita sudah akan dapat mulai dengan dasar-dasar permulaan dari ilmu itu. Ilmu yang telah dimiliki oleh kedua muridku yang hilang. Cundaka dan Kuda Sempana. Karena itu, Sumekar, maka cobalah persiapkan dirimu. Aku mengharap bahwa aku masih akan dapat bertahan sampai kau mengenal dasar-dasar yang paling sedikit dapat memberimu jalan untuk menerima ilmu itu.”
Sumekar menganggukkan kepalanya sambil bergumam, “Terima kasih Empu. Tetapi bagaimana dengan keadaan Empu sendiri?”
“Jangan berpikir tentang aku. Aku sudah cukup mengerti bagaimana aku mengatur diriku sendiri.”
Sumekar terdiam. Bukan semestinya ia memberi gurunya petunjuk. Tetapi gurunya kali ini tidak berpikir sewajarnya. Agaknya gurunya sedang terganggu oleh sesuatu persoalan yang telah menggelapkan hatinya. Ketika kemudian malam yang gelap turun kembali menyelimuti padepokan yang sepi dan menyimpan berbagai macam rahasia itu, Empu Sada kembali masuk ke dalam biliknya. Kembali ia berbaring sambil menghitung dosa yang pernah dibuatnya. Nafasnya yang tersendat-sendat terdengar seperti saling memburu.
Sumekar tidak sampai hati meninggalkan gurunya seorang diri dalam keadaan itu. Meskipun tidak dikehendaki oleh gurunya, namun Sumekar itu pun duduk di atas sehelai tikar disamping pembaringan gurunya.
“Sumekar” berkata gurunya, “beristirahatlah.”
“Nanti Empu, aku belum merasa mengantuk.”
“Apakah kau sudah menyelesaikan semua pekerjaanmu, dan semuanya telah selesai pula dengan pekerjaan masing-masing.”
“Sudah Empu.”
“Bagaimana dengan burung perkututku?”
Sumekar menarik nafas. Empu Sada masih juga ingat kepada burung perkututnya. Burung yang sebenarnya tidak terlampau baik “Burung itu baik-baik saja Empu.”
Empu Sada terdiam sejenak. Tetapi nafasnya masih belum teratur.
“Empu” Sumekar masih mencoba memberanikan dirinya, “apakah Empu tidak ingin berobat lagi.”
“Tidak Sumekar” jawab gurunya, “sudah cukup. Aku sudah sehat kembali. Aku masih akan cukup kuat bertahan sampai kau menyelesaikan latihanmu dan menerima ilmu yang terakhir itu.”
Sumekar hanya dapat menundukkan kepalanya. Dan ia mendengar gurunya berkata lagi, “Kalau kau sudah menerima ilmu itu Sumekar, tugasku telah selesai. Dadaku akan menjadi lapang. Dan apapun yang terjadi atas diriku, sama sekali bukan soal lagi bagiku.”
Sumekar masih menundukkan kepalanya. Tetapi Tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi bagaimana dengan saudara seperguruanku Empu.”
“Aku belum tahu benar sifat-sifat mereka. Aku tidak berani memberikan ilmu yang aku anggap paling baik dari perguruan ini tanpa mempertimbangkan siapakah yang akan menerimanya. Aku sudah mengalami masa-masa dimana aku kehilangan pertimbangan itu.”
“Dan bagaimanakah dengan kakang Kuda Sempana?” Tiba-tiba pula pertanyaan itu meluncur dari mulut Sumekar, “apakah guru tidak akan berusaha melepaskannya kelak?”
Empu Sada tersenyum. Ia tahu, bahwa sadar atau tidak sadar muridnya ingin memberinya nafsu untuk hidup dan berbuat. Karena itu maka katanya, “Aku sudah memberinya bekal yang cukup Sumekar.”
“Tetapi ia berada di tangan orang yang jauh melampaui kemampuannya untuk mencoba melepaskan diri tanpa pertolongan.”
“Mudah-mudahan ia tidak mengalami bencana. Agaknya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat akan mempergunakannya untuk menangkap Mahisa Agni. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu atas Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana itu tidak akan dibunuhnya.”
“Bagaimana kalau kemudian kakang Kuda Sempana itu diperalat oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, dengan demikian maka mereka akan meninggalkan kesan bahwa Empu pasti turut serta dalam perbuatan itu, karena ada murid Empu bersama mereka. Apalagi Empu lah yang sejak pertama-tama mempunyai persoalan dengan Mahisa Agni?”
Empu Sada terdiam. Matanya masih menatap langit-langit rumahnya. Terdengar kemudian ia berdesah, “Aku justru tidak lagi berpikir tentang Kuda Sempana. Aku kini menyadari bahwa nafsunya terlampau dimanjakannya. Ia telah terseret oleh suatu keinginan yang tiada dapat dikendalikan lagi. Tetapi…“, Empu Sada itu terhenti sejenak. Terdengar ia menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian orang tua itu terbatuk-batuk kecil.
Sumekar memandangnya dengan cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Sejenak kemudian Empu Sada berkata kembali, “Tetapi aku justru merasa kasihan kepada Mahisa Agni. Anak itu adalah anak yang baik. Sampai sekarang ia masih selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Tetapi bagaimanakah kalau suatu ketika orang-orang liar itu berusaha untuk menangkapnya? Apakah ia akan berhasil melepaskan diri? Mahisa Agni akan dapat menjadi alat untuk memeras Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Hem” orang tua itu berdesah. Namun Tiba-tiba ia berkata, “Perbuatan itu harus dicegah. Ia akan dapat memperalat namaku dan menjerumuskan aku ke dalam keadaan yang lebih buruk lagi. Perbuatan itu memang harus dicegah.” Tiba-tiba Empu Sada itu berkata lantang, “Sumekar, beri aku obat itu. cepat.”
Sumekar terkejut mendengar perintah gurunya. Sejenak justru ia terpaku di tempatnya. Perintah yang tiba-tiba itu tidak segera dapat disadari artinya. Tetapi kembali Sumekar terkejut ketika gurunya membentaknya, “Sumekar, kenapa kau duduk saja seperti patung. Apakah kau tidak melihat bahwa aku sedang sakit karena terluka di bagian dalam tubuhku. Apakah kau tidak mendengar bahwa nafasku hampir patah di kerongkongan. Ayo, lekas, ambilkan obat itu. Bukankah aku sudah mengajarimu sedikit tentang obat-obatan.”
Sumekar itu pun kemudian terloncat dari duduknya. Ia menjadi gembira karena gurunya ingin berobat. Tetapi ia menjadi bingung, Tiba-tiba saja sifat Empu Sada kambuh kembali. Membentak-bentaknya. Sejenak kemudian Sumekar itu telah kembali membawa semangkuk obat yang telah dicairkannya dengan air. Dengan serta-merta maka obat itu pun diminum habis oleh Empu Sada.
“Hem” Empu Sada itu menarik nafas dalam-dalam, “sekarang tinggalkan aku sendiri Sumekar. Aku ingin beristirahat. Cobalah, persiapkan dirimu, supaya aku dapat dengan baik memberimu petunjuk kepadamu untuk memasuki masa terakhir dari perguruan ini.”
“Tetapi bukankah guru akan segera sembuh?” bertanya Sumekar dengan dada berdebar-debar.
Empu Sada tersenyum. Katanya, “Hidup dan mati sama sekali tidak terletak di tanganku sendiri Sumekar. Kalau aku dapat menentukan hidup matiku sendiri, maka alangkah kuasanya aku atas diriku. Tetapi tidaklah demikian halnya. Namun adalah kewajiban manusia untuk berusaha.”
Sumekar terdiam. Tetapi dadanya sesak oleh kebimbangan dan kebingungan. Gurunya yang tiba-tiba menjadi keras itu pun kini agaknya telah luluh pula kembali. Sifat yang berubah-ubah itu telah membuatnya canggung untuk berbuat sesuatu.
“Sumekar,” berkata Empu Sada, “tinggalkan aku sendiri. Aku ingin beristirahat. Mudahkan aku menjadi segera baik kembali.”
Sumekar membungkukkan badannya. Kemudian ditinggal kannya gurunya termenung seorang diri. Ternyata sejak itu Empu Sada benar-benar berusaha untuk menyembuhkan sakitnya. Ternyata ia menemukan kesadaran betapa pentingnya ia berusaha untuk tetap hidup, meskipun ia tahu benar, bahwa hasil usahanya itu sama sekali tidak tergantung kepadanya. Namun adalah menjadi kewajibannya untuk berusaha. Di tengah malam itu sekali lagi Empu Sada mengobati dirinya. Sehingga dengan demikian di pagi harinya, terasa tubuhnya menjadi kian segar. Ia tidak menolak lagi ketika Sumekar mempersilahkannya makan.
Seperti yang dikatakannya, maka sejak hari itu Empu Sada mulai dengan beberapa petunjuk-petunjuk dasar bagi Sumekar untuk mempersiapkan dirinya menerima ilmu tertinggi dari perguruan Empu Sada. Tetapi sejak itu pula Empu Sada tidak saja memberikan petunjuk-petunjuk mengenai ilmu itu, tetapi juga petunjuk-petunjuk apa yang seharusnya dilakukan oleh muridnya itu. Diberitahukannya kepada Sumekar segala macam pengalaman yang pernah terjadi atas dirinya. Pengalaman yang dipenuhi oleh noda-noda yang hitam.
“Sumekar,” berkata Empu Sada suatu ketika, “pelajarilah olehmu. Kau telah mendengar jalan hidupku, dan aku pun pernah memberitahukan kepadamu, apa yang aku lihat pada Panji Bojong Santi, pada Empu Gandring dan pada Empu Purwa. Aku pernah pula menceriterakan kehidupan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Jadilah pertimbangan untuk menentukan jalan hidupmu. Meskipun kau seorang murid dari seorang guru yang cacat namanya, namun apabila kau mampu membawa dirimu, maka namamu justru akan mengangkat dan memperbaiki nama perguruanmu.”
Sumekar hanya menundukkan kepalanya. Tetapi ia berjanji di dalam hati untuk berbuat seperti yang dinasehatkan oleh gurunya.
“Kini Sumekar,” berkata gurunya, “tekuni persiapan yang telah aku berikan. Aku ingin menyelesaikan kewajibanku yang terakhir. Aku harus mencoba melepaskan Mahisa Agni dari tangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mudah-mudahan aku belum terlambat. Tetapi sampai kini aku masih belum menemukan jalan yang sebaik-baiknya untuk melakukannya.”
Sumekar memandangi wajah gurunya. Tampaklah kerut-merut di dahinya. Kerut-merut ketuaan dan kerut-merut kegelisahan. Tetapi Sumekar tidak dapat mengerti kenapa gurunya masih belum dapat menemukan cara untuk mencoba menyelamatkan Mahisa Agni. “Guru,” Sumekar itu pun kemudian mencoba bertanya, “apakah sulitnya bagi guru untuk menyelamatkan Mahisa Agni. Apakah guru tidak tahu dimanakah Mahisa Agni sekarang berada?”
“Aku tahu tempat di mana ia sekarang berada Sumekar. Tetapi aku tidak dapat menemuinya dan memberitahukan kepadanya bahwa ia sedang diintai bahaya. Orang seperti aku ini Sumekar, terlampau sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari siapapun. Kalau aku mencoba menemui Mahisa Agni, maka aku pasti akan terlibat dalam perkelahian dengan pamannya yang selalu membayanginya. Apapun yang aku katakan, mereka pasti tidak akan dapat mempercayainya. Mereka pasti menyangka, bahwa aku akan menipu mereka.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Dan gurunya berkata, “Ini pun akan dapat menjadi cermin bagimu. Sekali seseorang kehilangan kepercayaan, maka akan sulitlah baginya untuk mendapatkannya kembali.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, ia dapat mengerti keterangan gurunya itu. Dan gurunya itu pun berkata seterusnya, “Betapa baiknya hasrat yang terkandung di dalam hati ini tetapi orang melihat Empu Sada dengan penuh kecurigaan.” Empu Sada itu pun terdiam sejenak. Sehingga mereka untuk sesaat saling berdiam diri.
Namun tiba-tiba Sumekar itu pun berkata, “Apakah Empu ingin aku pergi menemuinya dan memberitahukannya apa yang sebenarnya telah terjadi?”
Kembali dahi orang tua itu pun berkerut-merut. Tampaklah ia berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Sumekar, aku ingin kau mewarisi ilmu perguruan ini. Kalau kau mengalami sesuatu di perjalanan, maka aku pasti akan menyesal. Karena itu kau harus tinggal di sini sampai kau memahami ilmu terakhir itu.”
Sumekar yang duduk tepekur itu menggigit bibirnya. Ia tenang mendengar gurunya menyayangkannya dan benar-benar ingin membentuknya menjadi seorang yang baik. Tetapi apabila mungkin ia ingin membantu gurunya mengatasi kesulitannya. Maka katanya kemudian, “Empu, apabila ada yang dapat aku kerjakan, maka inginlah aku berbuat sesuatu. Adapun mengenai ilmu itu, akan aku terima dengan segala kesenangan sesudah aku dapat melakukan sesuatu untuk memperingan beban Empu soal ini. Apabila terjadi sesuatu dalam kewajiban itu, aku tidak akan menyesal. Aku menggagapnya sebagai suatu akibat dari tugas yang harus aku lakukan.”
“Kau tidak akan menyesal, Sumekar,” jawab gurunya, “tetapi akulah yang menyesal. Karena itu, tinggallah di sini. Tekunilah dasar-dasar ilmu tertinggi itu dengan baik. Awasilah adik-adikmu, supaya mereka tidak terdorong dalam tabiat seperti kakak-kakakmu dahulu. Aku telah membuat kesalahan itu. Sekarang aku akan berusaha mengurangi kesalahan itu sebagai suatu pertanda, bahwa aku berusaha dengan sekuat-kuat tenagaku untuk menebusnya.”
“Apakah yang akan guru lakukan?”
Empu Sada termenung sejenak. Ia mencoba meyakinkan bahwa rencananya akan bermanfaat. Maka katanya kemudian, “Aku tidak berani menemui Mahisa Agni sekarang, Sumekar. Tetapi aku mempunyai jalan lain. Aku ingin menghadap Ken Dedes. Orang-orang di istana belum terlampau banyak mengenal Empu Sada. Aku akan merubah sedikit kebiasaanku berpakaian dan meninggalkan tongkat ini. Aku akan menyebut diriku sebagai orang Panawijen yang ingin menghadap Ken Dedes untuk memberitahukan sesuatu dari kakaknya Mahisa Agni.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya dengan cemas, “Bagaimanakah kalau Empu bertemu dengan pengawal istana, apalagi Witantra itu sendiri?”
Empu Sada menarik nafas. Katanya, “Aku hanya mengharap supaya mereka tidak segera mengenal aku. Aku akan memberikan kesan yang lain dari keadaanku semula. Aku dapat menjadi seorang yang timpang atau bongkok atau cacat-cacat yang lain. Aku dapat memakai pakaian sebagaimana orang-orang padesan memakainya. Sedikit menghitamkan alis dan rambut di pelipis.”
Sumekar masih mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia tidak yakin bahwa usaha gurunya itu akan berhasil. Tetapi ia tidak berani menyatakan keragu-raguannya itu. Seharusnya ia percaya kepada gurunya.
Ternyata Empu Sada benar-benar ingin melakukan rencananya. Ia ingin menghadap Ken Dedes, menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya apabila ia benar-benar dapat bertemu. Kemudian memberitahukan bahaya yang mengancam Mahisa Agni, supaya Ken Dedes mengirim utusan untuk memberitahukannya. Akan dikatakan pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, pemerasan dan sebagainya yang akan banyak merepotkan. Bahkan mungkin banyak diperlukan harta dan benda untuk menebus Mahisa Agni itu.
Sudah tentu apabila hilangnya Mahisa Agni itu menyangkut namanya, Ken Dedes sudah dapat mengetahuinya bahwa hal itu tidak benar. Semuanya itu pasti akan didengar pula oleh Akuwu Tunggul Ametung. Mudah-mudahan Ken Dedes dapat menjadi lantaran baginya untuk mohon ampun pula kepada Akuwu. Apalagi kalau Akuwu berkenan mengirimkan beberapa orang yang terpercaya untuk menangkap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Beberapa hari kemudian, setelah Empu Sada itu benar-benar sembuh, maka dilakukanlah rencana itu. Dicobanya untuk membuat perubahan sebaik-baiknya pada dirinya. Pada pakaiannya, pada solah tingkahnya dan menghitamkan alis, kumis dan janggutnya yang tidak terlampau lebat, yang selama ini tidak dapat dipeliharanya, serta rambut di pelipisnya.
“Sumekar,” berkata orang tua itu, “apakah kau melihat perbedaan padaku?”
Mau tidak mau Sumekar terpaksa tersenyum. Gurunya memang pandai merubah diri, menyamar sebagai seorang cantrik tua dari padepokan Panawijen. “Kalau aku tidak tahu bahwa yang berdiri di hadapanku ini adalah Empu, maka aku tidak akan dapat mengenal.”
Empu Sada pun tersenyum pula. Katanya, “Aku tak akan melakukannya hal serupa ini di saat-saat yang lampau. Tetapi aku telah melepaskan cara hidup yang lama itu. Aku ingin menempuh hidup yang lain. Ini adalah permulaan dari hidup yang baru itu. Kalau aku berhasil, maka Empu Sada seterusnya tidak harus selalu bersembunyi dan mengurung diri dalam kecemasan dan ketakutan.”
Demikianlah hari itu juga Empu Sada meninggalkan padepokannya di pagi-pagi buta supaya tidak seorang pun yang melihatnya. Tertatih-tatih ia berjalan menuju ke kota untuk mencoba menghadap Tuan Puteri Ken Dedes yang sebentar lagi akan diangkat menjadi permaisuri Tumapel. Ketika kemudian matahari terbit, timbullah kecemasan di hati orang tua itu. Apakah benar-benar orang-orang lain tidak dapat mengenalnya sebagai Empu Sada. Kalau ia sudah berhasil menghadap Ken Dedes apalagi Akuwu Tunggul Ametung, dan mendengar kata-kata pengampunannya, maka ia tidak akan cemas lagi. Ia akan dapat menengadahkan dadanya sambil berkata,
“Ini adalah Empu Sada. Tetapi bukan Empu Sada yang dahulu.” Tetapi apabila Akuwu Tunggul Ametung tetap menganggapnya bersalah, dan ingin juga menghukumnya, maka ia sudah akan pasrah diri, sebagai tebusan atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Namun dengan demikian maka Akuwu pasti akan dapat menilai, apa yang terjadi apabila Mahisa Agni benar-benar akan hilang dari Padang Karautan “Aku akan dapat berbuat sesuatu apabila suatu ketika Kebo Sindet atau Wong Sarimpat datang sambil berkata bahwa mereka pasti berhasil membebaskan Mahisa Agni dari tangan Empu Sada dengan imbalan yang cukup banyak. Bahwa mereka telah mengetahui di mana Empu Sada bersembunyi.”
Dengan hati yang berdebar-debar Empu Sada itu berjalan selangkah demi selangkah maju mendekati Istana Tumapel. Ia harus datang sebagai seorang cantrik yang tua untuk menemui Ken Dedes membawa pesan dari Mahisa Agni. Di sepanjang jalan Empu Sada selalu mencoba melihat perhatian orang lain kepadanya. Sekali-sekali disilangnya orang yang sebenarnya telah dikenalnya. Tetapi ternyata orang itu tidak menegurnya. Dengan demikian maka Empu Sada merasa, bahwa samarannya agaknya dapat berhasil.
Tetapi kesulitan yang lain, yang harus diatasinya nanti adalah pertanyaan-pertanyaan para penjaga. Mungkin ia harus menjawab beberapa pertanyaan yang menyangkut gadis bakal permaisuri itu. Empu Sada menarik nafas. Ia masih berjalan tersuruk-suruk di tepi jalan yang berpohon-pohon rindang.
“Kalau aku telah berhasil bertemu dengan Ken Dedes, maka aku tidak perlu lagi menyembunyikan diri. Aku harus segera mengatakan yang sebenarnya. Mengatakan bahwa aku pernah mencegatnya di hutan. Pernah berusaha untuk menangkap dan bahkan membunuh Mahisa Agni. Pernah berbuat hal-hal lain yang terkutuk. Kemudian aku akan mohon supaya puteri sudi menyampaikannya kepada Akuwu Tunggul Ametung permohonan maaf yang sejauh-jauhnya. Kalau Akuwu memaafkan, maka aku akan kembali ke padepokan dengan hati yang tenteram. Kalau tidak, maka aku pun akan melakukan semua hukuman dengan ikhlas. Adalah lebih baik mati di tiang gantungan dari pada mati di tangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”
Empu Sada itu bergumam di dalam hatinya. Tetapi ia heran sendiri, kenapa ia kini merasa bahwa mati di tiang gantungan itu memberinya ketenteraman. Kenapa ia tidak memilih mati dengan pedang di tangan. Mati tembus oleh ujung senjata dalam perkelahian. Empu Sada menggelengkan kepalanya. Ia sendiri menjadi bingung. Namun lamat-lamat terdengar suara dari sudut hatinya yang paling dalam,
“Harga diri dan kejantanan yang mapan, tidak pada tempatnya, sama sekali tidak berarti bagi hidupmu yang abadi. Keberanian dan ketabahan menghadapi maut di jalan yang salah, sama sekali tidak membuka jalan yang menuju ke sisi Yang Maha Agung. Karena itu, maka hidup yang abadi itu bernilai berlipat tanpa batas dibanding dengan hidupku kini. Dan kini aku tidak mau menambah noda bagi hidup yang abadi itu.”
Dengan demikian maka Empu Sada berjalan dengan langkah yang ringan meskipun disamarnya. Ternyata orang tua itu pandai membawa dirinya. Tak seorang pun yang berjumpa di jalan menyangka bahwa orang yang ditemuinya itu adalah seorang yang bernama Empu Sada.
Akhirnya Empu Sada itu pun sampai ke Alun-alun Tumapel. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Dilihatnya di regol istana beberapa orang prajurit sedang berjaga-jaga. Di sisi lain, di bagian dalam halaman tampaklah pelayan-dalam mondar-mandir dalam kewajibannya masing-masing. Namun pelayan dalam ini pun ternyata mempunyai kemampuan seperti para prajurit itu pula.
Tetapi, Empu Sada tidak akan memilih jalan depan. Ia harus masuk lewat regol belakang. Namun dalam pada itu ia selalu berharap agar wajahnya tidak dikenal sebelum ia bertemu dengan Ken Dedes. Adalah lebih baik baginya apabila ia dapat menghadap Akuwu Tunggul Ametung sama sekali.
Ketika Empu Sada sampai di muka regol belakang, kembali ia menjadi ragu-ragu. Tertegun-tegun ia berjalan, dan bahkan sesekali timbullah keinginannya untuk membatalkan niatnya. Kalau salah seorang prajurit yang sedang berjaga-jaga itu mengenalinya, maka ia pasti akan mendapat tuduhan yang sangat memberatkannya. Ia pasti akan dituduh menculik Ken Dedes dengan samarannya. Apakah ia akan dapat berdiam diri apabila para prajurit itu beramai-ramai mengeroyoknya? Bahkan kemudian akan hadir Witantra dan saudara-saudara seperguruannya?
Tetapi kadang-kadang niatnya menjadi bulat. Kalau aku harus ditangkap, biarlah aku ditangkap. Apapun yang akan dituduhkannya kepadaku, aku tidak akan berkepentingan lagi. Yang penting bagiku adalah menyampaikan pemberitahuan, bahwa rencana Kebo Sindet dan Wong Sarimpat terlampau berbahaya bagi Mahisa Agni. Serta kemungkinan-kemungkinan pemerasan dan hal-hal yang serupa itu. Dalam keragu-raguan itu Empu Sada terkejut, ketika ia mendengar salah seorang prajurit memangilnya. Ketika ia berpaling dilihatnya prajurit itu melambaikan tangannya kepadanya.
“He, apa kerjamu disitu?“ bertanya prajurit itu.
Empu Sada sadar, bahwa justru karena ia tertegun-tegun, maka kehadirannya telah menimbulkan kecurigaan pada prajurit-prajurit itu. Kini kembali ia diamuk oleh keragu-raguan. Sehingga untuk sejenak Empu Sada masih saja berdiri di tempatnya.
“Kemari,” panggil prajurit itu.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah tidak akan dapat menghindari lagi. Dengan demikian, maka kini kembali ia membulatkan hatinya, bahwa ia harus pasrah diri. Namun kadang-kadang terbersit pula di dalam batinnya penyesalan, bahwa ia tidak saja menyelesaikan sama sekali ajaran-ajaran yang dapat diberikannya kepada Sumekar.
“Kalau otak anak itu cukup baik,” katanya di dalam hati, “ia sudah cukup menguasai dasar-dasar unsur gerak dari ilmu yang terakhir itu. Dengan melihat dan merasakan ilmu itu serta menghubungkannya dengan apa yang pernah dilihat, maka dengan tekun ia pasti akan sampai dengan sendirinya, meskipun mungkin ia akan mengalami kejutan yang dahsyat, namun tidak akan berbahaya bagi jiwanya.”
“He, kemari kaki...“ terdengar kembali seorang prajurit memanggilnya.
Empu Sada itu pun kemudian melangkah maju. Tetapi ternyata kadang-kadang masih juga tumbuh desir di jantungnya apabila ia melihat ujung tombak. Ia tahu benar, bahwa ujung tombak di tangan para prajurit itu sama sekali tidak akan dapat menahannya apabila ia akan berbuat sesuatu. Tertatih-tatih Empu Sada itu mendekati para prajurit pengawal istana. Setiap langkah kakinya terasa seolah-olah sebuah dentangan di dalam dadanya.
Tetapi agaknya para prajurit itu menganggapnya sebagai seorang tua yang sedang kebingungan saja. Salah seorang prajurit itu bertanya acuh tak acuh, “He, Kaki, kenapa kau tertegun-tegun disini? Apakah ada yang kau cari?”
“Ya tuan,” sahut Empu Sada dengan suara bergetar dalam nada yang tinggi, “aku memang sedang mencari.”
“Apakah yang kau cari? Barangkali aku dapat menolongmu menunjukkannya?”
“Terima kasih tuan,“ Empu Sada itu membongkok sampai hampir menyentuh lututnya, “terima kasih.”
“Apakah yang kau cari?"
“Aku sedang mencari Istana Akuwu Tumapel tuan.”
“He,” prajurit itu terperanjat, “kau sedang mencari Istana Tumapel.”
“Ya tuan.”
Jawaban orang tua itu agaknya telah menarik perhatian para prajurit yang lain. Beberapa orang yang semula sama sekali tidak tertarik kepada orang itu pun kemudian datang mengerumuninya.
“Apakah yang akan kau cari di dalam Istana Tumapel?”
“Tetapi apakah tuan dapat menunjukkan Istana Tumapel itu?”
“Tentu, tentu, “ sahut seorang diantara para prajurit itu.
“Terima kasih tuan, terima kasih. Apakah aku sudah dekat dengan istana yang kucari.”
“Inilah istana itu” sahut yang lain sambil menunjuk ke arah Istana Tunggul Ametung.
“Aku sudah menduga,“ sahut Empu Sada, “rumah ini adalah rumah yang paling besar dan paling baik yang aku jumpai di kota ini. Menurut pesan yang aku terima, rumah itu mempunyai alun-alun, dan pasti dijaga oleh prajurit bersenjata di setiap regolnya. Dan ternyata dugaanku-dugaanku itu benar.”
“Ya,” sahut prajurit yang lain pula, “dugaanmu benar. Lalu apakah yang ingin kau cari di dalam istana ini.”
“Tuan, aku akan mencari Nini Ken Dedes.”
“He,” salah seorang prajurit menyahut, “kau mencari Tuan Puteri Ken Dedes?”
“Oh. Tuan Puteri? Ya maksudku Tuan Puteri Ken Dedes. Bukankah gadis itu datang dari Panawijen?”
“Ya. Kau benar Kaki. Tuan Puteri datang dari Panawijen. Tetapi apakah keperluanmu mencari Tuan Puteri Ken Dedes?”
“Aku datang dari Panawijen tuan. Aku mendapat pesan dari anak-mas Mahisa Agni untuk menemui Tuan Puteri Ken Dedes.”
“Oh, Mahisa Agni. Anak muda kakak Tuan Puteri itu?”
“Ya. Tuan benar.”
“Apakah pesannya?"
“Aku harus menyampaikannya sendiri tuan.”
Beberapa orang prajurit itu saling berpandangan. Kemudian seorang dari padanya, yang agaknya pemimpinnya bertanya, “Apakah pesan itu terlampau penting?”
Empu Sada harus memperhitungkan keadaan dengan baik. Pertanyaan itu harus dijawabnya dengan tepat. Ia tahu benar, bahwa para prajurit itu akan dapat menyuruhnya menunggu saja di luar, sedang pesan itu akan disampaikan oleh prajurit itu sendiri. Karena itu, maka Empu Sada itu pun kemudian berusaha untuk menghindarkan kemungkinan itu. Jawabnya, “Oh, tidak. Tidak tuan. Pesan itu sama sekali tidak penting.”
Para prajurit itu menarik nafas. Sejenak mereka saling berpandangan. Baru kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Kaki, jarak Panawijen Tumapel adalah jarak yang tidak terlampau dekat. Kalau pesan itu tidak terlampau penting kenapa kaki harus berjalan menempuh jarak itu? Dan kenapa orang setua Kaki ini yang harus datang kemari, bukan seorang anak muda yang gagah di atas punggung kuda?”
Orang, tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan hati-hati ia menjawab, “Tuan, setiap orang muda di Panawijen harus bekerja keras membuat bendungan. Itulah sebabnya maka tak ada seorang anak muda yang dapat datang kemari.”
“Ah,” sahut prajurit yang lain, “aneh Kaki. Ada berapa orang anak-anak muda di Panawijen? Bukankah dengan berkurang seorang dari mereka tidak akan mengganggu pekerjaan itu?”
“Tuan benar. Tetapi maaf tuan, aku berkata sebenarnya, tak ada seorang pun anak-anak muda yang berani seorang diri menempuh jarak Panawijen Tumapel. Apalagi sejak beberapa kali Mahisa Agni bertemu dengan bahaya diperjalanan, bahkan Ken Dedes yang dikawal kuat pun hampir-hampir mengalami bencana.”
Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “Tetapi kenapa justru kau berani melakukannya Kaki?”
“Ada beberapa macam pertimbangan tuan,” salut Empu Sada, “aku sudah tua. Aku rasa tak seorang pun yang memerlukan aku lagi. Jangankan orang-orang yang sakti, sedang oleh anak-anak pun aku dapat didorongnya jatuh. Itulah sebabnya maka perjalananku pun ternyata tak diganggu orang.”
“Tetapi kau tahan berjalan sejauh itu?”
“Aku menempuh perjalanan ini selama dua hari dua malam tuan.”
“He, dua hari dua malam? Apakah kau merangkak seperti siput?”
“Ya tuan. Aku tidak dapat berjalan lebih cepat.”
“Dan setelah kau berjalan dua hari dua malam, kau hanya sekedar membawa pesan yang tidak penting?”
“Ya tuan. Pesan itu tidak penting, tetapi aku ingin menyampaikannya sendiri.”
Tiba-tiba seorang prajurit mengerutkan keningnya. Selangkah ia maju dan berkata, “Apakah pesan itu?”
Empu Sada tertegun sejenak. Ia melihat sorot mata yang aneh pada prajurit itu. Tetapi tidak mencemaskannya Prajurit itu agaknya merasa heran bahwa pesan yang tidak penting itu harus dibawanya merangkak seperti siput selama dua hari dua malam. Meskipun demikian Empu Sada harus lebih berhati-hati. Setiap kecurigaan akan dapat menyulitkannya. Ketika prajurit itu melangkah selangkah maju lagi, maka Empu Sada pun segera mundur sambil membungkuk-bungkuk, “Tuan” katanya terbata-bata, pesan itu memang tidak penting tuan.”
Prajurit itu pun memandanginya semakin tajam, “Kalau tidak penting, kenapa kau harus berjalan sejauh itu. Coba katakan bagaimana bunyi pesan itu. Kami adalah para pengawal yang harus menjaga ketenteraman istana.”
“Tetapi, tetapi Mahisa Agni mengharap aku dapat menyampaikannya sendiri.”
“Tetapi kami harus tahu, apakah pesan itu.”
Empu Sada pun kemudian merunduk-runduk sambil berkata, “Baik, baik tuan.”
“Nah, katakanlah.”
“Baik, baik tuan.”
“Ya, katakanlah. Aku perlu mendengar pesan itu, bukan ingin mendengar kesediaanmu mengatakan. Tetapi katakanlah.”
“Tuan,” berkata Empu Sada, “Mahisa Agni pesan kepadaku supaya aku berkata kepadanya, kepada Tuan Puteri bahwa ia harus berusaha menyesuaikan dirinya di sini. Ia tidak dapat bermanja-manja seperti di padepokan dahulu.” Empu Sada berhenti sejenak. Diamatinya wajah prajurit itu untuk menangkap kesan yang tersirat daripadanya. Hati orang tua itu menjadi lapang ketika tiba-tiba ia melihat prajurit itu tertawa.
“Hem,” berkata prajurit itu sambil memilin kumisnya, “pesan itu sama sekali bukan sebuah rahasia. Kenapa kau agaknya mempersulit untuk mengatakannya.”
“Tidak tuan. Aku sama sekali tidak mempersulit. Tetapi aku ingin memenuhi permintaan Mahisa Agni, menyampaikan pesan itu langsung kepada Ken Dedes.”
“Tuan Puteri maksudmu?”
“Oh, ya, ya. Tuan Puteri Ken Dedes.”
“Pesan itu terlampau sederhana. Keperluanmu bertemu dengan Tuan Puteri sama sekali tidak seimbang dengan tata-cara yang harus dilakukan. Kaki, biarlah kami saja yang menyampaikan pesan itu.”
“Oh, jangan tuan. Jangan. Mahisa Agni pesan kepadaku supaya aku menyampaikannya langsung.”
“Tidak setiap orang dapat menghadap Tuan Puteri, dan tidak setiap keperluan harus dilayani.”
“Tetapi, tetapi bukankah pesan itu datang dari keluarganya yang harus didengarnya.”
“Itulah sebabnya, kami akan menyampaikan pesan itu tanpa ditambah dan dikurangi. Meskipun pesan itu datang dari keluarganya, namun tak setiap orang diperbolehkan masuk ke dalam istana seperti masuk ke dalam warung saja.”
“Oh,” Empu Sada itu pun kemudian merengek-rengek, “Tuan, kasihanilah aku orang tua ini tuan. Aku sudah berjalan sedemikian jauhnya untuk menghadap nini Ken Dedes, eh, Tuan Puteri Ken Dedes untuk menyampaikan pesan itu.”
“Pesan itu pasti akan sampai, Kaki,“ sahut prajurit yang lain.
“Tetapi, tetapi di samping itu masih ada pesan yang lain.”
“He,” prajurit itu terkejut, “jadi masih ada yang kau rahasiakan.”
“Ya tuan.”
“Oh,” prajurit itu menjadi heran, kenapa orang itu dengan mudahnya menjawab bahwa masih ada sesuatu yang dirahasiakan? Namun dengan demikian kesan yang didapat para prajurit itu adalah, “Orang tua ini adalah orang tua yang bodoh dan jujur.”
“Katakanlah rahasia itu.”
“Tetapi apakah dengan demikian aku akan dapat menghadap?”
“Tergantung kepada pertimbangan tentang rahasia itu.”
“Tetapi Mahisa Agni pesan tuan, supaya rahasia ini tidak dikatakan kepada siapapun.”
“Kalau begitu, kau tidak dapat masuk ke dalam istana.”
“Oh, jadi bagaimana?”
“Rahasia itu harus kau sebut, kaki.”
Para prajurit melihat orang tua yang berjalan tersuruk-suruk itu menjadi ragu-ragu. Justru karena itu para prajurit itu pun menjadi semakin ingin mengetahui, rahasia apakah yang telah dibawanya. “Kalau kau tidak mengatakannya, maka kau tidak akan dapat masuk.”
“Baik, baik tuan. Aku akan mengatakan rahasia itu tetapi dengan janji.”
“Janji apa Kaki?”
“Tuan tidak boleh mengatakannya kepada orang lain.”
Tiba-tiba beberapa di antara para prajurit itu tidak dapat menahan tertawanya. Meskipun demikian mereka berusaha untuk menyembunyikan wajah-wajah mereka di belakang punggung kawan-kawannya.
“Ayo katakan,” berkata salah seorang dari pada mereka.
“Tetapi rahasia ini sebenarnya sangat memalukan. Aku mendapat pesan dari Mahisa Agni supaya disampaikan kepada adiknya. Bahwa kini Mahisa Agni sudah tidak lagi mempunyai rangkapan kain panjang. Itulah tuan.”
Meledaklah suara tertawa di regol itu Para prajurit itu pun tidak lagi dapat menahan diri. Bagaimana pun juga mereka mencobanya, tetapi suara tertawa mereka telah menarik perhatian orang-orang yang kebetulan lewat dimuka regol “Alangkah bodohnya orang tua ini” pikir mereka, “ dan alangkah kasihannya Mahisa Agni.”
Tetapi mereka sama sekali tidak tahu, bahwa Empu Sada pun tertawa pula di dalam hati. Ia telah berhasil memainkan peranannya hampir sempurna. Meskipun demikian para prajurit itu masih belum menjawab dengan pasti permintaannya untuk menghadap Ken Dedes. Para prajurit itu masih saja tertawa, sedang Empu Sada masih juga berdiri termangu-mangu. Orang tua itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan perasaan sendiri. Betapa ia tertawa di dalam hati, melampaui gelak para prajurit itu, namun wajahnya masih juga tampak alangkah bodohnya.
“O Kaki, “ berkata salah seorang dari para prajurit itu, “apakah Mahisa Agni sangat memerlukan sepotong kain panjang?”
Empu Sada mengangguk, “Ya tuan. Selembar yang dipakainya kini telah nrantang.”
“Kalau kau katakan sejak tadi kaki, kau tidak perlu terlampau bernafsu untuk menghadap Tuan Puteri. Aku mempunyai kain panjang rangkap di rumah. Kau boleh membawanya selembar buat Mahisa Agni dan selembar buat kau sendiri.”
“Terima kasih tuan, terima kasih,“ sahut Empu Sada.
“Nah, kalau demikian tunggulah sampai waktuku berjaga di sini habis. Kau turut aku ke rumah, dan kau akan mendapatkannya.”
“Tetapi bagaimana dengan Tuan Puteri?”
“Pesanmu akan disampaikan. Dan kau akan mendapat kain panjang dariku. Bukankah keperluanmu sudah selesai?”
“Tetapi, tetapi aku harus menghadap tuan Tuan Puteri tidak hanya akan memberi selembar kain buat Agni dan selembar buat aku. Mungkin ada pesan pula dari Tuan Puteri yang harus aku sampaikan kepada kakaknya, atau barangkali selembar timang atau ikat kepala.”
Kembali para prajurit itu tertawa. Mereka melihat orang tua itu dengan sorot mata yang lucu. Tetapi mereka mendapat kesan yang hampir pasti, “Orang tua itu adalah orang tua yang bodoh tetapi jujur.”
Meskipun demikian, para prajurit itu tahu benar akan kewajibannya. Karena itu, maka mereka tidak akan dengan mudah membiarkan orang-orang di luar istana memasuki halaman. Juga orang tua ini. Meskipun mereka sebenarnya telah tidak mempunyai kecurigaan apapun lagi, namun mereka tidak segera dapat memberinya ijin untuk dengan demikian saja menghadap Tuan Puteri Ken Dedes.
“Bagaimana tuan?” desak orang tua itu, “Apakah aku diijinkan masuk?”
“Apakah kau mengenal jalan yang menuju ketempat Tuan Puteri itu.”
Empu Sada mengerutkan keningnya, jawabnya sambil menggeleng, “Tidak Tuan.”
“Nah, kau memang tidak akan dapat memasuki halaman ini seorang diri. Tak seorang pun diijinkan. Seorang prajurit akan mengantarmu sampai ke regol halaman dalam. Kau harus menunggu di sana. Prajurit itulah yang akan menyampaikannya kepada emban terdekat, bahwa seseorang ingin menghadap. Kalau Tuan Puteri ragu-ragu, maka Tuan Puteri pasti akan memintamu menunggu sampai seseorang sempat menyampaikannya kepada Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi untuk menyampaikan permintaan itu, kau masih harus menunggu. Mungkin sehari, mungkin besok kau baru mendapat jawaban.”
“O,” keluh Empu Sada, “dahulu aku tidak pernah mendapat kesukaran untuk bertemu dengan anak itu di Panawijen.”
“Hus” potong seorang prajurit. Tetapi mau tidak mau prajurit itu pun harus tertawa, “keadaannya dahulu dan keadaannya tentu jauh berbeda.”
“Jadi bagaimanakah tuan?”
“Masuklah bersama salah seorang dari kami. Tunggulah di luar regol dalam. Kalau Tuan Puteri mendengar bahwa seseorang dari Panawijen akan menemuinya, maka aku kira kau tidak akan menunggu sampai malam.”
“Terima kasih tuan. Terima kasih. Aku akan menunggu meskipun sehari penuh. Di dalam kasa ini aku masih menyimpan sisa bekal yang aku bawa dari rumah.”
“Sudah dua hari dua malam?”
“Nasi jagung tuan. Sepekan masih juga baik.”
“Nah, ikutilah kawanku ini,” berkata pemimpin penjaga itu sambil menunjuk salah seorang bawahannya.
Empu Sada menganggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkah mengikuti prajurit yang membawanya masuk Tetapi kemudian ia tertegun ketika pemimpin prajurit itu masih bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”
Empu Sada berpaling. Tetapi ia sama sekali tidak menjadi bingung menerima pertanyaan itu. Dari rumah ia telah bersedia, apabila seseorang menanyakan namanya, “Makerti,“ jawab Empu Sada, “namaku Makerti.”
Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi ragu-ragu. Ia dapat menipu para penjaga itu. Ia dapat menyebut nama apa saja, bahkan seribu nama sekalipun tidak akan mencurigakan. Namun ia menyangka bahwa dengan demikian, ia akan segera dihadapkan langsung kepada Tuan Puteri Ken Dedes. Ternyata yang terjadi tidak demikian. Seorang prajurit akan menghadap dan mengatakan keperluannya. Apabila prajurit itu menyebut namanya, dan Ken Dedes tidak pernah mengenal nama Makerti, maka apakah kira-kira yang akan terjadi?
Empu Sada menjadi bimbang. Tempi ia tidak sempat berpikir terlampau lama. Pemimpin prajurit itu telah berkata kepadanya, “Baiklah kaki Makerli. Pergilah mudah-mudahan kau tidak perlu terlampau lama menunggu.”
Empu Sada menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian kembali ia berjalan mengikuti prajurit yang membawanya ke regol dalam. Tetapi kembali ia dirisaukan oleh nama itu. Makerti. Nama itu memang telah disiapkannya. Ia menganggap bahwa nama tidak akan banyak berpengaruh atas rencana itu. Namun sekarang baru ia menyadari, bahwa justru karena namanya itu akan dapat timbul kecurigaan yang membahayakannya. Kenapa ia tidak berusaha untuk mencari sebuah nama yang memang pernah dimiliki oleh orang Panawijen?
Angan-angan Empu Sada itu patah ketika mereka segera sampai ke regol halaman dalam. Prajurit itu terhenti sejenak dan kemudian berkata, “He, kaki Makerti, tunggulah disini. Aku akan mencoba menghadap. Apabila maksudmu diterima, maka kau pun akan aku bawa menghadap pula.”
“Jadi bagaimana tuan. Apakah aku harus menunggu?”
“Ya. Kau memang harus menunggu di sini.”
“Bagaimana kalau aku masuk bersama tuan. Kalau aku tidak diijinkan menghadap, maka aku akan pergi bersama tuan pula.”
“Ah, jangan. Demikianlah seharusnya. Kau harus berada di sini.”
“Aku takut tuan. Aku takut di sini seorang diri.”
“Kau tidak seorang diri, “ sahut prajurit itu, “lihat, di sisi regol dalam itu adalah sebuah gardu. Apakah kau tidak melihat dua orang yang berada di dalamnya?”
“Oh,” Empu Sada menjengukkan kepalanya. Dilihatnya dua orang dukuk di dalam sebuah gardu pendek. Tetapi di sisi mereka itu tersandar dua batang tombak.
“Masih ada satu lagi. Lihat yang mondar-mandir itu.”
“Oh,” Empu Sada kini benar-benar menyadari bahwa penjagaan istana bukan sekedar sebuah upacara saja.
“Apakah bilik Tuan Puteri itu masih jauh?”
“Tidak. Itulah. Kau nanti akan naik tangga itu. Dan kau akan sampai ke serambi di belakang ruang dalam. Kalau Tuan Puteri dapat menerimamu, maka kau akan diterima di ruang itu. Sedang bilik Tuan Puteri adalah di dalam istana. Sentong Tengen.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling, maka yang dilihatnya adalah sebuah taman yang manis. Tetapi di sekitar tempat itu ia tidak lagi melihat gardu-gardu penjagaan yang lain.
“Nah, tinggalah di sini” berkata prajurit itu, “aku akan masuk. Aku akan menyampaikan permintaanmu lewat Pelayan Dalam yang bertugas di sana. Dan aku akan menyampaikan pesan itu nanti kepadamu, apakah Kaki akan diterima atau Kaki harus menunggu saat yang lain.”
“Oh,” Empu Sada mengeluh. Ternyata tidak semudah yang disangkanya.
“Kenapa kaki?” bertanya prajurit itu.
“Alangkah sulitnya. Tuan, tolong, katakanlah kepada gadis itu, bahwa yang ingin menghadap adalah pamannya. Makerti. Aku adalah adik ibunya yang sudah lama meninggal. Mungkin anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kalau tuan menyebutnya bahwa aku berasal dari Ngarang maka ia akan mengenal aku.”
“Jadi Kaki tidak berasal dari Panawijen?”
“Ya, ya. Aku datang dari Panawijen. Tetapi aku temui Panawijen sudah lain dari dahulu. Aku hanya bertemu dengan Mahisa Agni. Mudah-mudahan Nini, eh. Tuan Puteri menerima aku.”
Prajurit itu memandanginya dengan ragu. Tetapi kemudian ia tersenyum. Katanya, “Baiklah Kaki. Tunggulah di sini. Aku akan menyampaikannya lewat seorang Pelayan dalam atau seorang emban. Tunggulah, jangan takut, di gardu itu ada orang. Dan orang-orang itu tidak akan menakut-nakutimu.”
“Siapakah orang itu?” Tiba-tiba salah seorang prajurit di dalam gardu itu bertanya.
“Bertanyalah sendiri kepadanya” jawab prajurit itu, “nah mendekatlah. Mungkin kau dapat menunggu di sana pula.”
“Baik, baik tuan.”
Empu Sada itu pun kemudian melangkah tertatih-tatih mendekati gardu dan duduk di depannya. Sementara itu prajurit yang membawanya lelah berjalan meninggalkannya, untuk menyampaikan pesan dan permintaan orang tua itu. Sementara itu, Empu Sada masih saja diliputi oleh kecemasan. Disaat-saat terakhir ia mencoba membuat pesannya menjadi kabur dan membingungkan. Mudah-mudahan Ken Dedes tidak dapat lagi menelusurnya dan menjadi ingin tahu, siapakah yang datang kepadanya.
“Tetapi bagaimanakah kalau gadis itu dengan tenang dapat menilai keterangannya?”
Kembali Empu Sada menjadi ragu-ragu. Tetapi dalam pada itu tanpa disadarinya ditelusurinya halaman itu baik-baik. Dilihatnya beberapa orang hilir mudik. Ia tahu benar, bahwa di antara mereka adalah Pelayan dalam seperti Kuda Sempana dahulu. Tetapi sementara itu Empu Sada harus menjawab pertanyaan dari prajurit-prajurit yang berada di dalam gardu itu.
Akhirnya prajurit-prajurit itu pun berhenti bertanya dan berkata, “Nah, beristirahatlah kaki. Mungkin kau harus menunggu agak lama di situ.”
“Terima kasih tuan,” jawab Empu Sada.
Namun sementara itu kembali angan-angan Empu Sada beredar diseputar keadaannya. Kecemasannya semakin lama semakin mengganggunya, sehingga tiba-tiba tanpa dikehendakinya ia mulai menilai dirinya kembali. “Aku bermaksud baik,” katanya di dalam hati, “tetapi kalau aku dianggap ingin berbuat jahat, maka apakah aku harus berdiam diri?”
“Hem,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “biarlah. Kalau seharusnya aku ditangkap, biarlah aku ditangkap. Kalau seharusnya aku digantung di alun-alun, biarlah aku digantung.”
“Tetapi,” kembali terdengar sebuah pertanyaan, “dengan demikian, maka aku tidak akan sempat mengatakan keadaan yang sedang dihadapi oleh Mahisa Agni. Semua kata-kataku pasti tidak akan dipercaya.”
Dengan demikian, maka dada Empu Sada itu pun segera. diamuk oleh kebimbangan, kebingungan dan kecemasan. Tetapi sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas di dalam dunianya yang penuh dengan pergulatan, maka tanpa dikehendakinya sendiri, Empu Sada mencoba menilai dirinya, apakah ia akan mampu meloncati dinding halaman yang tinggi itu...?