Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 24

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 24 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 24
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PRAJURIT-PRAJURIT yang berada di dalam gardu itu pun kini sama sekali sudah tidak menaruh perhatian lagi pada orang tua itu. Dibiarkannya Empu Sada duduk terkantuk-kantuk. Tapi mereka sama sekali tidak melihat bahwa di dalam dada orang tua itu sedang bergejolak berbagai perasaan yang bersimpang siur.

Tiba-tiba timbullah sesuatu yang aneh di dalam dada Empu Sada itu. Sekali disambarnya Prajurit-prajurit itu dengan sudut matanya. Sekilas menggelegak di dalam dadanya, “Hem. Kelinci-kelinci ini dapat aku bungkam dalam sekejap.”

Empu Sada terkejut sendiri menyadari angan-angannya itu. Namun angan-angannya itu masih juga menjalar terus. “Kalau prajurit ini sudah binasa, aku akan masuk ke halaman dalam. Aku kira tidak akan begitu sulit mencari tempat Ken Dedes tanpa diketahui oleh banyak orang.”

Orang tua itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya ke langit. Matahari telah rendah di ujung Barat. “Kalau malam segera tiba.” desisnya di dalam hati. “Apakah kepentinganku atas Mahisa Agni itu. Kalau aku dapat mengambil Ken Dedes, maka Kebo Sindet dan Wong Sarimpat pasti akan mengumpat setinggi langit. Mahisa Agni tidak akan bermanfaat baginya. Sedang kini tak seorang pun yang tahu, siapakah yang telah masuk ke dalam istana. Tak seorang pun tahu bahwa Empu Sada lah yang telah mengambil gadis itu. O, aku akan dapat menyebarkan desas-desus untuk melawan akal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Aku harus berusaha melemparkan kesalahan tentang hilangnya Ken Dedes kepada kedua setan itu sebagai pembalasan dendam.”

Kembali Empu Sada terhenyak oleh angan-angannya. Kembali ia menjadi sadar akan kehadirannya. Tetapi jalan hidup yang ditempuhnya selama ini tiba-tiba telah mengamuk kembali di dalam dadanya. Maka terjadilah kini benturan yang dahsyat di dalam dada orang tua itu. Baru sesaat ia menemukan jalan yang terang. Apa yang dialaminya pada saat-saat terakhir telah mendorongnya ke dalam suatu kesadaran. Namun ketika ia dihadapkan kembali pada kesempatan-kesempatan seperti ini, maka kembali kebimbangan menggelegak di dadanya.

Kebimbangan yang bersilang-melintang. Ia bimbang apakah nama yang dipergunakannya akan dapat membawanya kepada Ken Dedes? Tetapi ia pun dicengkam oleh sebuah kebimbangan yang lain. Apakah kesempatan ini akan dilewatkannya? Sudah berpuluh tahun ia menempuh cara hidup yang dipilihnya. Dengan cara apapun ia pernah berusaha untuk mengambil Ken Dedes dan mempergunakannya untuk mendapatkan sesuatu yang cukup bernilai. Meskipun kini Kuda Sempana tidak ada lagi padanya, namun Ken Dedes akan dapat dijadikannya barang tanggungan yang baik, jauh lebih baik dari Mahisa Agni.

Tetapi, tiba-tiba terbayang di dalam angan-angannya itu seorang anak muda yang bernama Sumekar. Anak muda yang memandanginya dengan sorot mata yang jujur dan jernih. Yang seolah-olah tidak tahu bahwa tangan gurunya telah dilumuri oleh noda-noda yang kotor, meskipun sebenarnya dimengertinya juga. Empu Sada itu menarik nafas dalam-dalam. Benturan-benturan yang semakin dahsyat kini terjadi di dalam dirinya.

Dalam pada itu, prajurit yang membawanya masuk ke dalam halaman dalam, telah mencoba menghubungi pelayan dalam untuk menyampaikan maksudnya. Lewat seorang emban maka permintaan prajurit itu pun telah disampaikannya kepada Ken Dedes.

“Seseorang ingin menemui aku?” bertanya Ken Dedes kepada emban itu.

“Ya Tuan Puteri, seseorang dari Panawijen.”

“Siapa dia?”

“Seorang prajurit yang telah menerimanya, Tuan Puteri.”

“Dimana prajurit itu sekarang?”

“Di serambi belakang.”

“Aku ingin mendengar langsung dari padanya.” berkata gadis itu.

“Baik Tuan Puteri.”

Emban itu pun meninggalkan Ken Dedes yang kemudian pergi keruang belakang untuk menemui prajurit itu. Ia ingin mendengar langsung, siapakah yang ingin menemuinya.

Dengan kepala tunduk prajurit itu berkata, “Tuan Puteri, seseorang ingin menghadap Tuan Puteri.”

“Dimana ia sekarang?”

“Hamba menjuruhnya menunggu di regol dalam.”

“Siapakah namanya?”

“Makerti, Tuanku.”

“He,” Ken Dedes mengerutkan keningnya. Nama Makerti belum pernah dikenalnya. Karena itu ia berkata. “Apakah kau tidak salah? Berapa kira-kira usia orang itu?”

“Orang itu sudah tua, Tuanku. Akan tetapi Kaki Makerti berpesan kepada hamba untuk mengatakan bahwa Kaki Makerti adalah paman Tuan Puteri. Orang tua itu datang dari Padukuhan Ngarang, dan ia adalah adik dari ibu Tuanku.”

“He,” Ken Dedes menjadi semakin bingung. Dicobanya untuk mengingat-ingat. Tetapi ia sama sekali tidak pernah mendengar padukuhan yang bernama Ngarang. Dan ia tidak pernah pula mendengar bahwa ia mempunyai seorang paman yang bernama Makerti. Karena itu sejenak Ken Dedes berdiam diri. Dalam kerut-kerut di keningnya tampak betapa ia sedang mencoba mengingat kembali masa kanak-kanaknya di Padukuhan Panawijen.

“Apakah aku sudah menjadi seorang pelupa.” pikirnya, “kalau aku menerimanya, maka aku meragukan maksud kedatangannya. Tetapi kalau aku menolaknya dan orang itu benar-benar pamanku, apakah aku tidak menyakiti hatinya? Orang itu akan menganggap, bahwa setelah aku berada di istana, maka aku tidak mau lagi mengenal keluargaku. Apalagi keluarga dari ibuku."

Dengan demikian, maka Ken Dedes itu menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu, sehingga tidaklah mudah baginya untuk menentukan keputusan. Maka sejenak mereka menjadi saling berdiam diri. Prajurit itu masih saja menundukkan wajahnya, sedang Ken Dedes masih juga ragu-ragu. Untuk mencoba menumbuhkan kembali ingatannya maka Ken Dedes itu pun bertanya, “Apakah orang itu mengatakan bahwa namanya Makerti?”

“Hamba tuan Puteri.”

“Apakah kau dapat menggambarkan bagaimana kira-kira bentuk orang itu?”

Prajurit itu menggeser dirinya secengkang. Sejenak ia mencoba membayangkan kembali orang yang sedang menunggunya. Namun kemudian ia menjawab, “Tak ada yang aneh pada orang tua itu Tuan Puteri. Tak ada tanda-tanda yang khusus. Seperti kebanyakan orang-orang tua maka ia menjadi agak bongkok. Kepalanya menunduk agak terlampau jauh. Dan ia berjalan tersuruk-suruk dengan sebuah tongkat kecil yang agaknya ditemukannya saja di jalan. Suaranya bernada rendah, namun kadang-kadang melengking tinggi.”

“Oh.” Ken Dedes justru menjadi bertambah bingung. Tetapi ia tidak mau mengambil sikap terlampau tergesa-gesa. Gadis itu selalu mengingat bahwa ia sendiri berasal dari sebuah padepokan jauh dari kota Tumapel. Bahwa ia sendiri hanyalah seorang gadis padesan. Adalah wajar kalau suatu ketika seseorang yang berasal dari padesan mencarinya dan memerlukan sebuah kesempatan untuk menemuinya.

Meskipun demikian, pengalamannya yang pahit selama ini telah memberinya beberapa petunjuk, bahwa dirinya selalu dibayangi oleh berbagai kemungkinan yang kadang-kadang tak menyenangkan baginya. Selalu dikenangnya bagaimana Kuda Sempana mengejarnya tanpa mengenal jemu. Bahkan ternyata guru Kuda Sempana yang bernama Empu Sada telah turut campur pula dengan mencegatnya di jalan pada saat ia akan mengunjungi Panawijen.

Semuanya itu telah membuat Ken Dedes menjadi semakin hati-hati. Sekilas terlintas pula di hatinya untuk memohon pertimbangan kepada Akuwu Tunggul Ametung. Mungkin akan lebih baik baginya. Apabila ternyata terjadi sesuatu, maka akan mudahlah baginya untuk segera mendapatkan perlindungan. Tetapi Ken Dedes mengurungkan niatnya. ia tidak ingin mengganggu Akuwu hanya dalam soal-soal yang kecil itu. Bahkan seandainya orang itu bermaksud kurang baik sekalipun, apakah yang akan dapat dilakukannya?

Di halaman berkeliaran beberapa orang prajurit dan Pelayan-dalam dalam sikap ke prajuritan pula. Ia akan dapat memerintahkan prajurit itu menunggunya selama ia menerima orang itu. Ken Dedes itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Pada dasarnya ia memang ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Makerti dan mengaku sebagai pamannya. Namun ketika ia melihat emban pemomongnya yang mengikutinya dari Panawijen lewat maka dipanggilnyalah orang tua itu.

Pemomongnya itu pun segera mendekatinya. Orang tua itu kini telah menyesuaikan dirinya dengan cara hidup di dalam istana. Sambil duduk bersimpuh ia berkata, “Hamba Tuan Puteri.”

“Bibi.” berkata Ken Dedes kemudian, “seseorang telah membingungkan aku. Karena bibi adalah pemomongku sejak kanak-kanak, maka aku kira bibi akan dapat memberi aku beberapa petunjuk.”

Pemomong Ken Dedes itu mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Seorang tua menyebut dirinya bernama Makerti dan mengaku pamanku ingin datang menghadap. Orang itu mengatakan bahwa dirinya adalah adik ibuku. Bibi, apakah selama ini bibi pernah mengenalnya?”

Perempuan tua itu mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya, maka dipandanginya wajah prajurit yang masih saja menunduk.

“Ya, prajurit itulah yang menyampaikan permintaannya.” berkata Ken Dedes.

Pemomong Ken Dedes itu pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun iapun menjadi ragu-ragu pula. Jawabnya, “Tuan Puteri. Seingat hamba, maka Tuan Puteri tidak pernah mempunyai seorang paman adik ibu Tuan Puteri. Hamba belum pernah mendengar nama Makerti dan selama hamba berada di dekat Tuan Puteri, maka tak seorang pun yang pernah datang ke Padepokan Panawijen dengan nama itu.”

Ken Dedes menjadi semakin bimbang mendengar keterangan itu. Ia percaya benar kepada pemomongnya, bahwa perempuan itu tahu jauh lebih banyak tentang dirinya daripada dirinya sendiri.

“Seandainya demikian.” berkata perempuan itu pula, “maka setidak-tidaknya Ayahanda Empu Purwa pasti pernah menyebut-nyebutnya atau suatu ketika hamba pernah melibat seorang tamu dari keluarga Ibu Tuan Puteri itu.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada prajurit yang duduk tepekur di hadapannya ia berkata, “Apakah keperluan orang itu menghadap aku?”

“Tuan Puteri.” sahut prajurit itu, “menurut keterangannya, ia mendapat pesan dari Kakanda Tuan Puteri Mahisa Agni. Pesan itu ingin disampaikannya sendiri kepada Tuan Puteri apabila Tuan Puteri berkenan menerimanya.”

“Dari kakang Mahisa Agni?” Ken Dedes mengulanginya. Tampaklah sesuatu kesan yang aneh tersirat di wajahnya.

“Apalagi Angger Mahisa Agni.” desis pemomong Ken Dedes itu.

“Orang tua yang bernama Makerti itu datang ke Panawijen untuk mencari kemanakannya yang ternyata adalah Tuan Puteri Ken Dedes. Tetapi yang ada hanyalah Kakanda Tuan Puteri. Dari Kakanda Tuan Puteri itulah Kaki Makerti mendapat petunjuk bahwa Tuan Puteri berada di istana. Bahkan orang itu, yang barangkali terlampau ingin bertemu dengan kemanakannya, membawa pesan dari Kakanda Tuan Puteri itu pula.”

Kembali perempuan tua itu termenung. Namun tiba-tiba ia berkata, “Tuan Puteri, baiklah hamba lihat dahulu, apakah hamba sudah pernah mengenalnya.”

Ken Dedes dengan serta merta menjetujuinya. Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baik, baik bibi. Pendapat bibi adalah pendapat yang baik sekali.”

“Hamba Tuan Puteri. Hamba kira bahwa hamba telah mengenal semua orang Panawijen atau orang-orang yang sering berhubungan dengan Ayahanda Tuan Puteri.”

Kepada prajurit itu Ken Dedes kemudian bertanya, “Menurut katamu orang itu datang dari suatu pedukuhan untuk mencariku ke Panawijen, dan bertemu dengan kakang Mahisa Agni. Apakah ia bertemu dengan kakang Mahisa Agni di Panawijen ataukah di tempat ia membuat bendungan?”

Prajurit itu termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Orang tua itu sama sekali tidak menyebutnya Tuan Puteri.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya Kecurigaannya tiba-tiba menjadi semakin tebal. Sepengetahuannya Mahisa Agni kini sedang berada di Padang Karautan. Bahkan Akuwu Tunggul Ametung baru saja mengirim sepasukan prajurit dengan berbagai macam perbekalan untuk membantu membuat bendungan itu. Maka kepada pemomongnya Ken Dedes berkata, “Nah, pergilah bibi. Lihatlah orang yang menyebut dirinya bernama Makerti dan datang dari Padukuhan Ngarang itu.”

Tiba-tiba saja wajah pemomongnya itu menjadi tegang. Kerut merut di dahinya menjadi semakin jelas. Tanpa sesadarnya ia mengulang kata-kata Ken Dedes, “Orang itu datang dari desa Ngarang?”

“Ya.” sahut Ken Dedes, “Kenapa?”

Dada emban tua itu terasa berdesir. Dengan ragu-ragu ia berpaling kepada prajurit yang masih saja duduk tepekur di sampingnya.

“Bertanyalah kepada prajurit itu.” berkata Ken Dedes.

“Benarkah laki-laki tua itu datang dari desa Ngarang?”

“Ya, bibi. Orang itu datang dari Ngarang menurut katanya sendiri.”

Emban tua itu mengangguk-angguk. Tetapi tampaklah sesuatu tersirat pada sorot matanya sehingga Ken Dedes bertanya, “Kenapa bibi? Apakah kau pernah mendengar nama padukuhan Ngarang?”

“Hamba Tuan Puteri. Hamba memang pernah mendengar nama itu.”

“Dan kau pernah mendengar pula bahwa pamanku tinggal di padukuban itu?”

Emban tua itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak tuanku.”

Ken Dedes menjadi ragu-ragu pula melihat wajah pemomongnya yang menjadi tegang itu. Namun lebih baik baginya apabila emban itu segera pergi keluar dan melihat siapakah laki-laki yang menyebut dirinya bernama Makerti.

Sejenak kemudian emban itu pun minta diri, diantar oleh prajurit yang membawa pesan dari Makerti itu. Namun di sepanjang langkahnya perempuan tua, pemomong Ken Dedes itu, kini dibebani oleh sebuah pertanyaan yang telah membuatnya menjadi berdebar-debar. Kenapa orang tua itu menyebut pedukuhan Ngarang? Kenapa tidak dari pedukuhan yang lain? Apakah benar orang itu paman gadis momongannya?

Dalam pada itu, di sisi regol dalam, di muka gardu penjaga, Empu Sada duduk dengan gelisah. Pergolakan yang terjadi di dalam dadanya terasa semakin lama menjadi semakin riuh. Sekali-sekali ditatapnya gardu peronda itu. Dilihatnya dua di antara ketiga prajurit itu duduk terkantuk-kantuk. Sedang yang seorang lagi berjalan hilir mudik sambil memanggul tombaknya. Setiap kali mereka bergantian, duduk dan berjalan hilir mudik.

Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak akan banyak berarti bagi Empu Sada. Dengan lemparan batu, ia mampu membunuhnya satu demi satu tanpa membuat suara apapun. Tiba-tiba dada orang tua itu berdesir ketika Dilihatnya prajurit yang membawanya, berjalan di antara tanaman-tanaman di halaman bersama seorang perempuan tua.

“Hem.” desis Empu Sada di hatinya, “apalagi kerja perempuan tua itu. Apakah perempuan tua itu emban terdekat dari Ken Dedes yang harus membawa aku menghadap. Dengan sentuhan jari saja, maka perempuan itu akan menjadi kejang. Kalau saja aku ingin melarikan Ken Dedes maka tiba-tiba aku mendapat kesempatan.”

Sekali Empu Sada menengadahkan wajahnya. Warna-warna merah telah membayang di langit sebelah Barat. Warna-warna yang telah mendorong hati Empu Sada mendekati kegelapan seperti senja yang menghadap malam.

“Dalam malam yang gelap, maka aku, pasti bahwa aku akan dapat melarikan gadis itu. Kalau terjadi demikian, kalau Ken Dedes hilang dari istana ini, apakah artinya Mahisa Agni bagi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat? Siapakah yang harus memenuhi pemerasan yang akan dilakukan?” Empu Sada itu tersenyum di dalam hati. Namun terasa kembali dadanya berguncang. Kembali terjadi berbagai benturan yang dahsyat di dalam dadanya.

“Tidak.” katanya di dalam hati, “aku sudah pasrah.”

Dan perempuan tua yang datang bersama prajurit itu pun sudah menjadi semakin dekat. Ketika mereka kemudian berhenti beberapa langkah dari Empu Sada maka prajurit itu pun berkata, “Inilah bibi. Inilah Kaki Makerti.”

Pemomong Ken Dedes itu pun mengerutkan keningnya. Dicoba untuk mengamat-amati laki-laki tua itu dengan seksama. Namun kemudian kepala perempuan tua itu pun menggeleng. Terdengar ia bergumam, “Aku belum pernah mengenalnya.”

Empu Sada yang masih duduk itu pun menengadahkan wajahnya. Seperti perempuan itu, maka Empu Sada pun tidak pula mengenalnya.

“Apakah Kaki yang bernama Makerti?” bertanya emban tua itu.

“Ya, akulah.” sahut Empu Sada.

“Apakah Kaki paman dari Tuan Puteri Ken Dedes?”

Kembali dada Empu Sada dilanda oleh kebimbangan. Namun ia menjawab, “Ya, ya, akulah.”

Pemomong Ken Dedes itu pun terdiam sejenak. Kembali ia mencoba mengamati wajah itu. Tetapi ia sama sekali belum mengenalnya. Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun di dalam dada masing-masing bergeletar berbagai macam persoalan. Apalagi di dalam dada Empu Sada. Tetapi orang tua itu mencoba dengan sekuat-kuat tenaganya untuk tetap tenang.

Sejenak kemudian terdengarlah emban tua, pemomong Ken Dedes itu berkata, “Kaki Makerti, apakah Kaki sering mengunjungi kemanakan Kaki yang bernama Ken Dedes itu dahulu?”

“O tentu, tentu.” jawab Empu Sada dengan serta merta, “Ken Dedes adalah seorang kemanakan yang manis. Ia tahu benar akan dirinya. Setiap kali aku datang, maka segera ia menyambutku dengan girang. Dengan suara tertawanya yang renyah. Tertawa kekanak-kanakan. Tetapi kini ia sudah berada di istana. Aku tidak tahu, apakah ia masih dapat mengenalku dan masih juga menyambut kedatanganku seperti dahulu di Panawijen, seperti masa kanak-kanaknya.”

Perempuan tua, pemomong Ken Dedes itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan iapun bertanya pula, “Apakah Kaki juga mengenal Mahisa Agni?”

“Oh tentu. Aku mengenal anak itu seperti aku mengenal Ken Dedes. Meskipun Mahisa Agni bukan kakak sendiri, tetapi keduanya hampir-hampir seperti saudara kandung yang sangat rukun.”

Kembali perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kecurigaan di dalam hatinya pun bertambah-tambah pula. Kalau laki-laki itu sering datang ke Panawijen, maka sudah pasti, sekali dua kali ia pernah melihatnya. “Kaki.” bertanya emban itu pula, “apakah kata Kakanda Tuan Puteri tentang adiknya ketika Kaki pergi ke Panawijen?”

Empu Sada menyambar wajah emban itu sesaat, tetapi segera ia menundukkan wajahnya, wajah yang telah dipulasnya menjadi bentuknya yang sekarang. Tetapi ia sadar bahwa ia sedang mendapat pertanyaan-pertanyaan untuk meyakinkan bahwa Makerti adalah benar-benar paman Ken Dedes.

“Orang tua ini pastilah emban yang dipercaya oleh Ken Dedes.” desis orang tua itu di dalam hatinya. Dalam pada itu ia menjawab dengan hati-hati, “Tidak banyak yang dikatakan oleh Mahisa Agni. Ia hanya mengatakan bahwa Ken Dedes kini berada di Istana Tumapel, bahkan menurut pendengarannya gadis itu akan menjadi seorang permaisuri. Namun Mahisa Agni itu pun mempunyai beberapa pesan yang harus aku sampaikan kepada adiknya, Tuan Puteri Ken Dedes.”

“Dimanakah Kaki bertemu dengan Mahisa Agni?”

Mendengar pertanyaan itu Empu Sada mengerutkan keningnya. “Dimana?” orang tua itu mengulanginya di dalam hati.

“Dimana?” emban tua itu mendesak.

“Di Panawijen.” sahut Empu Sada. Namun terasa bahwa kata-katanya itu diucapkannya dalam kebimbangan.

Empu Sada menjadi berdebar-debar ketika kembali ia melihat emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian Empu Sada pun menyadari, bahwa emban tua itu menjadi semakin curiga kepadanya. Dalam keadaan yang menegangkan itu, kembali dada Empu Sada diamuk oleh berbagai perasaan yang saling berbenturan. Ingin ia segera meloncat kemudian memberikan beberapa sentuhan kepada emban tua itu sehingga ia menjadi pingsan. Lalu dengan beberapa gerakan ia akan dapat melumpuhkan para prajurit yang menontonnya seperti sedang menonton pertunjukan yang mengasikkan. Apalagi ketika kemudian senja menjadi semakin lama semakin suram. Warna-warna merah di langit menjadi semakin pudar. Seleret warna senja masih tergantung di sisi-sisi mega putih yang mengalir dibawa angin.

“Kaki.” berkata emban itu kemudian, “apakah Kaki datang langsung dari Panawijen kemari?”

Empu Sada menjadi hampir kehilangan kesabarannya. Pertanyaan emban itu terlampau banyak baginya. Kalau pertanyaan-pertanyaan yang serupa itu tidak ada habis-habisnya, maka sudah pasti bahwa suatu ketika ia akan tidak lagi dapat menjawab. Namun kali ini Empu Sada masih juga menyabarkan hatinya, “Ya. Aku datang dari Panawijen. Aku harus segera menghadap Tuan Puteri untuk menyampaikan pesan itu langsung kepadanya.”

“Jangan tergesa-gesa Kaki.” berkata emban tua itu, “aku masih ingin bertanya, apakah angger Mahisa Agni berada di Panawijen.”

Kembali dada Empu Sada berdesir. Pertanyaan itu benar-benar mengejutkannya. Dan tiba-tiba pula ia sadar, bahwa Mahisa Agni kini sedang membuat bendungan di padang Karautan. Wajah Empu Sada itu pun tiba-tiba menjadi tegang. Tiba-tiba pula ia merasa, bahwa kecurigaan emban itu pasti akan menundukkannya ke dalam keadaan yang tidak menguntungkan.

Dalam kebimbangan itu, maka Empu Sada pun kemudian mengambil suatu sikap. Katanya di dalam hati. “Kalau aku gagal menghadap Ken Dedes dalam suatu keinginan yang baik, dan apabila kemudian keadaanku sendiri terancam karenanya, maka adalah lebih baik bagiku untuk pasrah diri. Aku sudah kehilangan segala macam keinginanku. Mungkin dosaku telah terlampau banyak, sehingga keinginanku yang terakhir, yang berkehendak baik pun sudah tidak dapat terjadi.”

“Bagaimana Kaki?” desak emban tua itu.

Tetapi, kini Empu Sada justru telah menjadi tegang. Ia tidak lagi memandangi sisa-sisa senja yang tersangkut di ujung pepohonan. Meskipun demikian ia masih mencoba menjawab, “Ya. Aku bertemu Mahisa Agni di Panawijen. Tetapi tidak lama, sebab anak muda itu harus segera kembali ke Padang Karautan. Menurut katanya, ia sedang membuat bendungan.”

Emban tua itu mengerutkan keningnya. Jawaban itu memang masuk diakalnya. Mungkin Mahisa Agni sedang pulang sejenak untuk sesuatu keperluan. Tetapi meskipun demikian, jawaban itu sama sekali belum meyakinkannya. Sehingga kembali ia bertanya, “Kaki. Aku dengar Kaki berasal dari padukuhan Ngarang. Apakah benar demikian?”

Empu Sada kini benar-benar menjadi jemu mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia harus menjawab satu demi satu. Namun apabila jawabnya kemudian tidak lagi dapat sesuai dengan keadaan yang sewajarnja, maka perempuan tua itu pasti akan mencurigainya. Mungkin ia akan berteriak kepada para prajurit untuk menangkapnya. Tetapi Empu Sada telah pasrah.

“Kaki.” desak perempuan tua itu, “benarkah Kaki berasal dari Ngarang?”

Empu Sada menganggukkan kepalanya, Jawabnya, “Ya, aku berasal dari Ngarang.”

“Apakah kau tahu benar tentang pedukuhan itu? Dan apakah kau memang berasal dari Ngarang sejak kecil?”

“Ya.” jawab Empu Sada. Tetapi kali ini ia tidak begitu cemas. Memang ia dahulu berasal dari Ngarang. Meskipun desa itu sudah lama sekali ditinggalkannya, tetapi ia pasti masih dapat menjawab satu dua pertanyaan tentang padesan itu meskipun ia sudah benar-benar menjadi jemu.

“Kaki Makerti.” berkata perempuan tua itu, “kalau Kaki benar berasal dari Ngarang, maka sudah tentu Kaki mengenal beberapa orang yang berasal dari desa itu pula.”

“Tentu.” sahut Empu Sada.

“Nah, aku ingin bertanya tentang keluargaku yang sudah lama sekali meninggalkan desa itu.”

“Siapakah orang itu?”

“Namanya Pramuntaka.”

Mendengar nama itu wajah Empu Sada tiba-tiba menjadi tegang. Terasa darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Sejenak ia terbungkam dengan dada bergelora. Ketika ia menengadahkan wajahnya ditatapnya wajah perempuan tua itu. Wajah yang tidak dikenalnya. Tetapi bibir perempuan tua itu telah menyebut nama yang seperti Gunung Kawi yang runtuh menimpa dadanya.

Perempuan tua dan para prajurit itu sama sekali tidak melihat warna merah yang menyala di wajah Empu Sada, karena senja sudah menjadi semakin suram. Namun perempuan tua itu melihat bahwa Empu Sada tiba-tiba menjadi gelisah dan tidak segera dapat menjawab pertanyaannya. Karena itu maka kecurigaannya pun menjadi semakin tebal, sehingga menurut pendapatnya, tak ada gunanya lagi ia menanyakan berbagai macam soal. Orang itu pasti bukan paman Ken Dedes, dan pasti bukan orang Ngarang.

Sejenak terlintas di hati pemomong Ken Dedes itu tentang berbagai macam bahaya yang pernah mengitari momongannya. Karena itu, maka kecurigaannya pun menjadi semakin kuat. Laki-laki tua itu mungkin salah seorang dari mereka yang ingin berbuat jahat kepada momongannya. Dengan demikian maka menjadi kewajibannya untuk, menolak maksud orang yang menyebut dirinya Makerti itu menghadap momongannya. Bahkan adalah menjadi kewajibannya pula untuk menyampaikannya kepada orang yang berkewajiban untuk menelitinya lebih jauh.

“Kaki Makerti,” berkata emban itu, “tunggulah disini. Semuanya akan aku sampaikan kepada Tuan Puteri. Aku tidak tahu apakah kau akan diijinkan menghadap atau tidak.”

Empu Sada tidak segera dapat menjawab. Ia masih dicengkam oleh gelora yang dahsyat di dadanya. Nama yang disebut oleh perempuan itu benar telah membuatnya menjadi sangat gelisah. Tetapi agaknya perempuan tua itu tidak lagi menunggu jawabannya. Agaknya emban itu ingin segera menyampaikan persoalan itu kepada momongannya dan kemudian kepada pemimpin Pelayan-dalam untuk berbuat sesuatu bersama para prajurit pengawal istana.

Tapi ketika emban itu melangkah pergi, dengan terbata-bata Empu Sada memanggilnya. “Tunggu. Tunggu.”

Emban tua itu berhenti. Sambil memutar dirinya ia bertanya, “Apalagi Kaki? Bukankah aku harus menyampaikan permohonanmu kepada Tuan Puteri.”

“Tunggu.” minta Empu Sada yang tiba-tiba berdiri perlahan-lahan.

Beberapa orang prajurit yang melihatnya berdiri menjadi semakin tertarik pada laki-laki tua itu. Dengan penuh perhatian mereka menyaksikan pembicaraan kedua orang-orang tua itu dengan saksama.

“Apalagi Kaki?” bertanya emban itu pula.

“Aku ingin tahu, kenapa kau bertanya tentang Pramuntaka.”

Emban tua itu mengerutkan keningnya. Terasa pertanyaan yang menyebut dirinya Makerti itu menarik hatinya. Maka Jawabnya, “Tidak apa-apa Kaki. Karena kau menyebut dirimu berasal dari padukuhan Ngarang, sedang aku mengenal seseorang dari padukuhan itu pula dan bernama Pramuntaka. Maka aku bertanya kepadamu, apakah kau sudah mengenal dia?”

“Tidak. Pasti bukan hanya sekedar ingin tahu, apakah aku pernah mengenal orang yang bernama Pramuntaka itu.”

Sekarang emban tua itulah yang terkejut. Kata-kata orang yang menyebut dirinya Makerti itu terdengar aneh ditelinganya. Karena itu ia berkata, “Kenapa kau Kaki? Kenapa kau heran atas pertanyaanku dan bahkan kau tidak percaya bahwa aku hanya sekedar bertanya tentang Pramuntaka itu. Aku pernah mengenalnya, dan aku ingin tahu, kalau kau benar-benar orang Ngarang sejak kecil, kau pasti mengenalnya pula.”

“Siapakah sebenarnya kau Nini?” tiba-tiba orang tua itu bertanya.

Pertanyaan itu semakin mengejutkan bagi emban tua itu. Namun ia menjawab, “Aku adalah emban kinasih, pemomong Ken Dedes sejak kanak-kanak. Itulah maka aku tahu, semua orang Panawijen dan semua orang yang pernah berhubungan dengan momonganku itu.”

Dada Empu Sada menjadi semakin berdebar-debar. Ketika ia berkisar setapak, ia melihat prajurit yang duduk di dalam gardu kini telah berdiri. Empu Sada sama sekali tidak menjadi kecut melihat prajurit-prajurit yang hanya berjumlah empat orang itu. Kalau ia mau, maka ia tidak memerlukan waktu banyak. Tetapi yang dicemaskan Empu Sada adalah dirinya sendiri. Dengan sepenuh kesadaran ia berusaha untuk dapat mengekang perasaannya supaya ia tidak meloncat dan menyentuh para prajurit di tempat-tempat yang berbahaya, sehingga keempat prajurit itu menjadi tidak berdaya.

“Aku sudah bertekad untuk pasrah diri.” katanya di dalam hati. Namun setiap kali kakinya menjadi gemetar, seolah-olah sepasang kakinya itu amat sulit dikendalikannya sendiri.

Kini ia mendengar bahwa perempuan tua itu adalah pemomong Ken Dedes sejak kecil. Ia mendengar bahwa emban tua itu bukanlah emban istana, tetapi adalah emban yang dibawa oleh Ken Dedes dari Panawijen. Dengan demikian maka Empu Sada sudah dapat membayangkan, bahwa emban itu tidak percaya sama sekali kepada semua ceriteranya. Emban itu pasti tahu, bahwa Ken Dedes tidak mempunyai seorang paman bernama Makerti dan datang dari padukuhan Ngarang. Tetapi yang lebih membingungkannya, bahkan menjadikannya sangat berdebar-debar adalah pertanyaan emban tua itu. Kenapa emban tua itu bertanya tentang Pramuntaka?

Dalam pada itu terdengar emban Ken Dedes berkata, “Kaki. tunggulah di sini. Tinggallah bersama para prajurit ini, Aku akan menghadap Tuan Puteri untuk menyampaikan pesanmu. Namun aku akan dapat memberitahukan kepada Tuan Puteri, bahwa aku belum pernah melihatmu.”

Para prajurit yang mendengar kata-kata emban tua itu tiba-tiba menyadari keadaan. Seolah-olah mereka mendapat perintah untuk menahan orang tua itu di dalam gardunya.

“Apakah maksud Nini sebenarnya?” bertanya Empu Sada dengan cemas. Sekali lagi ia tidak mencemaskan Prajurit-prajurit itu, tetapi ia cemas pada dirinya sendiri. Kalau ia menjadi kehilangan keseimbangan, maka ia pasti akan lari dan meninggalkan keempat prajurit itu dalam keadaan tidak sadarkan diri.

“Tidak apa-apa.” jawab emban tua pengasuh Ken Dedes, “mungkin Tuan Puteri mempunyai pertimbangan lain. Mungkin Tuan Puteri perlu minta pertimbangan dari pemimpin Pelayan-dalam yang sedang bertugas hari ini atau bahkan mohon pertimbangan kepada Akuwu Tunggul Ametung.”

Kaki Empu Sada menjadi semakin gemetar ketika ia melihat berapa prajurit itu mendekatinya. “Tunggu Nini.” minta Empu Sada, “ada suatu... ada sesuatu yang ingin aku jelaskan supaya Nini melihat persoalan yang sebenarnya.”

“Apakah masih ada yang belum jelas?”

“Masih Nini.”

“Apakah itu?”

“Pramuntaka. Nama itu.”

“Apakah kau kenal nama itu?”

“Ya Nini, aku mengenal nama itu dengan baik.”

Pemomong Ken Dedes itu tertegun sejenak. Diamatinya laki-laki tua itu dari ujung kaki ke ujung rambutnya. Namun malam menjadi semakin suram sehingga bayangan laki-laki tua itu pun menjadi semakin kabur.

“Sudahlah Kaki.” berkata salah seorang prajurit yang telah berdiri di sampingnya, “duduklah di gardu bersama kami. Kaki dapat beristirahat sesuka hati. Kaki dapat berbaring untuk melepaskan lelatu, sambil menunggu Tuan Puteri berkenan menerima Kaki.”

“Ya, ya tuan.” sahut Empu Sada, “tetapi aku ingin memberi penjelasan dahulu kepada Nini emban. Sebenarnyalah aku mengenal orang yang ditanyakannya.”

Kemudian kepada pemomong Ken Dedes ia berkata, “Nini, apakah benar Nini mengenal orang yang bernama Pramuntaka?”

“Tentu Kaki.” sahut emban itu, “aku bertanya kepadamu justru aku mengenalnya dengan baik.”

“Aku mengenal orang itu jauh lebih baik dari siapa pun juga.” sahut Empu Sada.

Jawaban itu ternyata sangat menarik perhatian pemomong Ken Dedes. Dengan nada yang tajam ia bertanya, “Tidak. Tak ada orang yang mengenal orang itu lebih baik dari aku. Aku mengenalnya sejak ia muda sampai akhirnya ia meninggal dalam keadaan yang kurang wajar.”

Emban itu terkejut ketika ia melibat Empu Sada menggeleng. “Tidak.” berkata laki-laki tua itu, namun tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi kenapa Nini merasa sebagai orang yang paling mengenalnya?”

“Kenapa kau tanyakan hal itu? Aku bertanya, sebutkan orang itu, ciri-cirinya dan apa pun yang kau ketahui. Kalau kau dapat mengatakannya, barulah aku percaya bahwa kau berasal dari Ngarang. Sehingga kau akan mendapat pelayanan yang lain di sini nanti.”

Keringat yang dingin mengalir hampir di seluruh tubuh Empu Seda. Perlahan-lahan ia berkata, “Pramuntaka bertubuh tinggi. Berambut panjang ikal. Mempunyai beberapa cacat senjata di tubuhnya. Bermata hitam tetapi pudar. Berwajah jelek dan dibayangi oleh warna yang pucat.”

“Sebagian benar.” sahut perempuan tua itu, “tetapi Pramuntaka tidak bermata pudar, wajahnya tidak dibayangi oleh warna yang pucat. Mata itu benar hitam mengkilat, ditandai oleh sorot kejantanan yang penuh cita-cita. Wajahnya keras namun tidak kasar.”

“Tidak. Itu terlalu berlebih-lebihan. Pramuntaka adalah seorang yang tidak berarti. Tidak berarti bagi dirinya sendiri dan tidak berarti bagi dunia. Matinya pun tidak menimbulkan sesal bagi siapa pun. Tak seorang pun mencari kuburnya untuk menaburkan bunga di atasnya. Tak seorang pun yang pernah menyebut namanya kemudian. Bagiku Pramuntaka adalah seorang yang tidak berarti apa-apa. Kematian adalah jalan yang sebaik-baiknya baginya.”

“Bohong.” tiba-tiba emban itu membantah lantang. Sikapnya pun tiba-tiba menjadi lain dari sikapnya semula.

Empu Sada terkejut melihat sikap emban tua itu. Bahkan kemudian ia terdiam sejenak. Dalam keremangan malam tampaklah wajah perempuan tua itu menjadi tegang. Di sana-sini beberapa orang juru petamanan telah memasang pelita-pelita minyak. Sinarnya manggapai-gapai disentuh angin yang lembut.

Para prajurit yang melihat pembicaraan kedua orang tua itu menjadi bingung. Mereka kini tidak sedang membicarakan kemungkinan untuk menghadap Ken Dedes, tetapi justru mereka berbicara tentang seseorang yang kali ini tidak ada hubungannya dengan permohonan orang, yang menyebut dirinya Makerti itu. Meskipun demikian para prajurit itu menjadi semakin curiga. Mereka melihat orang tua yang menamakan dirinya Makerti itu seperti seorang yang tiba-tiba diselubungi oleh sebuah kabut rahasia.

Dalam pada itu terdengar perempuan tua itu berkata, “Kalau begitu, kau tidak mengenal Pramuntaka dengan baik.”

“Nini.” sahut Empu Sada, “aku bahkan menjadi heran. Kenapa Nini menganggap Pramuntaka sebagai seorang yang baik, yang sorot matanya ditandai oleh kejantanan yang penuh dengan cita-cita, wajahnya keras namun tidak kasar. Semuanya itu tidak benar Nini. Mungkin Nini mengenal orang itu dengan baik, tetapi aku adalah orang yang tinggal sepedukuhan dengan orang yang menyebut dirinya Pramuntaka. Bukan hanya sepedukuhan, tetapi aku tinggal serumah dengan orang yang saat itu masih seorang anak muda yang cengeng.”

“Bohong, bohong” sahut emban tua itu, “mungkin kau waktu itu masih juga seorang anak muda. Dan kau tidak dapat berbuat seperti apa yang dilakukannya sehingga kau menjadi iri hati kepadanya.”

Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Betapa ia menjadi heran melihat sikap emban tua itu. Apakah hubungannya dengan orang yang disebutnya bernama Pramuntaka itu?

“Nah,” berkata emban tua itu, “kalau demikian, maka kau bukan seorang yang pantas untuk mendapat pelayanan yang baik. Sifat irimu sejak muda masih saja kau simpan sampai rambutmu hampir menjadi seputih kapas.”

“Nini,” potong Empu Sada, “tunggulah. Apakah kalau aku ikut juga memuji anak muda, pada saat itu, yang bernama Pramuntaka itu aku dapat menghadap Tuan Puteri Ken Dedes?”

Emban itu terkejut mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia terbungkam. Tetapi kemudian ia menyahut “Kaki, dengan menyebut namanya, Pramuntaka, aku hanya ingin membuktikan, apakah kau benar orang dari padukuhan Ngarang.”

“Aku sudah menjawab Nini.” jawab Empu Sada, “Aku mengenalnya dengan baik. Aku telah menyebut ciri-cirinya dan Nini pun sependapat. Yang kita tak sependapat adalah sifat-sifat orang itu. Itu adalah sangat bersifat pribadi. Tetapi bahwa Nini menganggap Pramuntaka seorang yang amat baik itu telah sangat menarik perhatianku.”

“Aku tahu benar sifat-sifatnya itu.”

“Nini, mungkin Nini tidak tahu, bagaimana ia mati. Dalam keputus-asaan ia telah membunuh dirinya. Ia lari dari padukuhannya karena ia kehilangan seorang gadis pada waktu itu. Ia tidak berani merebut gadis itu dengan tajam pedangnya. Tetapi ia lebih baik lari dan menghabiskan sisa hidupnya dalam dunia yang gelap. Akhirnya ia mati dalam keputus asaan.”

“Cukup.” emban itu tiba-tiba memotong. Tetapi kemudian ia terbungkam. Terasa sesuatu menyesakkan nafasnya.

Para prajurit yang melihat mereka berdua menjadi semakin heran. Mereka tidak tahu ujung dan pangkal pembicaraan itu. Yang mereka ketahui adalah bahwa emban tua itu tidak membenarkan orang yang menyebut dirinya Makerti itu menghadap langsung bersamanya. Karena itu maka seorang diantara mereka pun segera menghampiri Empu Sada sambil berkata,

“Sudahlah Kaki, duduklah di dalam gardu. Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Agaknya kau tidak dapat meyakinkan emban itu, bahwa kau benar-benar paman Tuan Puteri. Meskipun demikian tidak mustahil bahwa, baik Tuan Puteri maupun Tuanku Akuwu Tunggul Ametung ingin membuktikan melihat wajahmu yang berkerut-merut itu.”

Dada Empu Sada menjadi berdebar-debar karenanya. Kini ia menghadapi sebuah teka-teki yang tidak disangka-sangka. Pramuntaka adalah nama yang baginya telah mati. Dan kini perempuan tua itu tiba-tiba mengungkat-ungkatnya kembali. Namun tiba-tiba darahnya serasa berhenti mengalir ketika perempuan tua itu kemudian berkata Perlahan-lahan, “Kaki, ikutlah aku.”

Para prajurit yang mendengar kata-kata itu pun menjadi heran. Baru saja mereka melihat kedua orang tua itu berbantah. Tetapi tiba-tiba emban pemomong Ken Dedes itu ingin membawanya. Namun kemudian para prajurit itu mendengar emban tua itu berkata, “Aku ingin mendapat jawaban-jawaban yang lebih jelas. Aku tidak ingin persoalan ini membingungkan kalian para prajurit. Aku akan membawanya ke sudut bilik itu. Kalau aku tetap tidak yakin bahwa ia paman momonganku, maka aku akan memanggil salah seorang dari kalian, dan kalian pasti akan mendengarnya.”

Para prajurit itu tidak dapat berbuat lain daripada mengiyakannya. Namun di dalam dada mereka tersimpan berbagai pertanyaan yang bersimpang siur. Ketika emban tua itu kemudian melangkah pergi, maka orang tua itu mengikutinya di belakang. Mereka sejenak saling berdiam diri, namun di dalam hati mereka menggelora berbagai macam perasaan yang berbenturan. Mereka menjadi heran melihat sikap masing-masing. Mereka tidak dapat segera mengerti kenapa mereka masing-masing mempunyai anggapan yang harus mereka pertahankan tentang orang yang bernama Pramuntaka itu. Akhirnya mereka pun berhenti di sudut bilik ujung istana. Jarak itu memang tidak terlampau jauh dari para penjaga di sisi regol halaman dalam itu.

Para prajurit di sisi regol itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berpandangan. Salah seorang dari mereka itu pun berguman, “Aneh-aneh saja orang-orang tua itu. Apa saja yang mereka percakapan di ujung istana itu? Kalau saja mereka anak-anak remaja maka aku akan menjadi iri.”

Kawan-kawannya tertawa. Namun salah seorang lagi berkata, “Tetapi mungkin sebentar lagi kau harus mempergunakan tombakmu untuk menakut-nakuti laki-laki tua itu supaya tidak berlari. Agaknya mereka sedang berselisih pendapat tentang seseorang yang bernama Pramuntaka.”

“Itulah anehnya orang-orang yang sudah hampir pikun.” sahut yang lain. “Mula-mula emban tua itu hanya ingin tahu, apakah laki-laki itu benar-benar berasal dari tempat yang disebutkannya. Tetapi Akhirnya perdebatan itu bergeser kepada soal yang lain. Soal orang itu sendiri.”

Keempat prajurit itu tersenyum. Yang seorang, yang membawa Empu Sada masuk ke halaman dalam itu Akhirnya berkata, “Ah, aku terlampau lama berada disini. Sebenarnya aku ingin segera kembali ke tempatku.”

“Kembalilah, apa lagi yang akan kau tunggu disini,”

Orang itu menjadi ragu-ragu, tetapi kemudian ia menggeleng. “Tidak. Aku belum akan kembali sekarang. Aku ingin melihat akhir dari perdebatan orang tua itu.”

Ketiga kawannya tertawa kecil. Kemudian mereka bersama-sama duduk di depan gardu, kecuali yang seorang, dengan tombak di tangannya, berdiri saja di sisi regol halaman dalam itu.

Di sudut istana Empu Sada berdiri berhadapan dengan emban tua yang telah menumbuhkan teka-teki baginya, seperti juga dirinya ternyata telah membingungkan perempuan tua itu. Di antara desau angin yang bertiup semakin kencang terdengar emban tua itu berkata perlahan-lahan sambil mencoba menguasai perasaannya sejauh mungkin.

“Kaki” katanya, “sekarang, cobalah sebutkan hubunganmu dengan Pramuntaka? Kenapa kau dapat mengatakan bahwa Pramuntaka telah lari dan menghabiskan hidupnya dalam keputus-asaan sebelum ia meninggal? Kenapa kau katakan bahwa ia tidak berani merebut gadisnya dengan tajam pedangnya?”

“Demikianlah yang terjadi Nini. Bagaimana aku akan mengatakan kepadamu apabila aku melihat sendiri bahwa demikianlah yang telah terjadi.”

“Apakah kau tahu, siapakah gadis yang diperebutkan itu?”

“Aku tahu Nini. Tentu aku tahu.”

“Coba sebutkanlah.”

Empu Sada yang menyebut dirinya Makerti itu terdiam. Dipandanginya wajah perempuan tua itu dengan saksama. Teka-teki yang mencengkam hatinya menjadi semakin rumit. Apapula gunanya ia ingin mendengar nama gadis itu?

“Nah, Kaki Makerti cobalah, sebutkanlah nama gadis itu.”

“Nini. Kenapa kita terlampau dalam masuk ke dalam persoalan orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentinganku kini?”

“Tentu tidak Kaki. Aku ingin tahu benar, apakah kau berasal dari desa Ngarang.”

Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Orang itu pasti tidak hanya sekedar ingin tahu, apakah ia benar-benar berasal dari desa Ngarang.

“Bagaimana Kaki Makerti, apakah kau pernah mendengar namanya? Kalau kau benar-benar tahu tentang Pramuntaka, maka kau pasti akan dapat menyebutkan nama gadis itu.”

Akhirnya Empu Sada tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Iapun ingin segera tahu, apakah hubungan perempuan itu dengan Pramuntaka. Karena itu maka katanya, “Baiklah Nini, kalau kau berkeras ingin tahu siapakah aku dan hubungan apakah yang pernah ada antara aku dan Pramuntaka. Kalau ceriteraku ini akan memberimu kepuasan, maka aku hanya ingin kau membawa aku menghadap Tuan Puteri Ken Dedes. Aku membawa pesan yang teramat penting bagi Tuan Puteri dari kakaknya yang bernama Mahisa Agni yang kini telah kembali ke Padang Karautan itu.”

“Ya sebutkanlah. Kalau kau dapat meyakinkan aku, bahwa kau benar-benar berasal dari Pedukuhan Ngarang, maka akulah yang akan membawamu menghadap Tuan Puteri.”

“Nini emban.” berkata Empu Sada, “menurut pendapatku, Pramuntaka tetap seorang pengecut.”

“Jangan kau sebut lagi.” potong emban tua, “katakan saja apa yang kau ketahui tentang dirinya.”

“Maaf.” sahut Empu Sada, “menurut pengetahuanku, Pramuntaka telah melarikan dirinya dari seorang gadis yang dicintainya. Ketika ia ingin beristerikan gadis itu, maka ia telah pergi mengembara untuk mendapatkan bekal di hari-hari yang akan ditempuhnya bersama gadis yang dicintainya itu. Tetapi ternyata gadis itu tidak setia. Ketika Pramuntaka kembali, gadis itu telah kawin dan mempunyai seorang anak laki-laki. Semula, laki-laki yang bernama Pramuntaka itu telah menentukan sikapnya. Cintanya akan dibelanya dengan nyawanya. Tetapi ia ingat anak kecil di dalam dukungan perempuan yang dicintainya itu, yang sudah bukan lagi seorang gadis yang menunggunya. Karena itu, maka kecengengannya telah membawanya pergi meninggalkan semua harapan yang telah disusunnya sepanjang perantauannya.”

“Cukup,” potong emban tua itu. Namun kini suaranya terdengar bergetar. Terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya. Patah-patah ia bertanya, “Aku ingin mendengar, apakah kau tahu gadis itu?”

“Kenapa kau Nini?” bertanya Empu Sada.

“Sebutkanlah namanya.” sahut emban tua itu, “kalau kau benar-benar mengetahuinya. Kalau ceriteramu itu bukan sekedar ceritera yang kau dengar di sepanjang jalan atau ceritera lama yang berloncatan dari mulut ke mulut.”

Empu Sada tertegun sejenak. Ia melihat perubahan pada sikap dan kata-kata perempuan itu maka kini dadanya sendiri pun berguncang seperti ujung pepohonan yang ditiup angin malam yang menjadi semakin kencang. Justru mereka kini untuk sejenak saling berdiam diri. Empu Sada tidak segera menjawab pertanyaan emban tua itu. Perlahan-lahan ia berusaha menenangkan hatinya yang menjadi tegang.

“Aneh perempuan ini.” katanya di dalam hati, “pembicaraan ini telah terlampau jauh menyimpang dari maksud kedatanganku. Namun sikap perempuan yang aneh ini agaknya sangat menarik.”

“Bagaimana Kaki?” terdengar suara perempuan itu semakin serak, “Apakah kau juga dapat menyebut nama gadis yang kau katakan itu?”

“Sudahlah Nini.” sahut Empu Sada, “seandainya aku hanya mendengar dari ceritera yang berloncatan dari mulut ke mulut, seandainya ini aku dengar di sepanjang jalan, maka apakah Nini dapat membedakannya dengan apabila ceritera ini benar-benar aku lihat dengan mata kepala sendiri, hanya dengan sekedar menyebut nama gadis itu?”

“Tentu.” berkata perempuan tua itu, “kau mengatakan bahwa kau adalah orang yang paling tahu tentang dia. Tentang Pramuntaka.”

“Baiklah Nini,” Empu Sada benar-benar tidak mempunyai pilihan lain. “Sebenarnya aku tidak lagi ingin menyebut nama-nama mereka baik Pramuntaka maupun gadis itu. Mereka telah mati dan tidak lagi mempunyai sangkut paut apapun dengan aku dan kau.”

“Sebutkan, sebutkan kalau kau tahu,” potong perempuan itu.

Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan ia berkata, “Menurut pendengaranku Nini, gadis yang telah menghalau Pramuntaka dari dunia harapannya adalah seorang gadis yang bernama Jun Rumanti.”

“Cukup, cukup,” tiba-tiba perempuan tua itu memotong kata-kata orang yang menyebut dirinya Makerti, sehingga laki-laki tua itu terkejut karenanya.

Kini ia berdiri tegak seperti patung ketika ia melihat perempuan tua itu menundukkan kepalanya. Sekali-sekali diusapnya matanya dengan ujung kembennya. Tetapi perempuan tua itu tidak menangis. Ketika ia mengangkat wajahnya tampaklah wajah itu menjadi terlampau suram. Cahaya pelita yang kemerah-merahan di kejauhan tidak banyak menerangi wajah yang sudah berkerut-merut itu.

“Kau benar-benar mengetahuinya, bahwa Pramuntaka telah pernah mengenal seorang gadis yang bernama Jun Rumanti?”

Terasa sesuatu berdesakan di dalam dada Empu Sada. Meskipun perempuan tua itu tidak menangis, tetapi ia melihat sesuatu yang melengking dari dalam hatinya. Umur Empu Sada yang lanjut itu ternyata telah mempertajam perasaannya pula, sehingga tiba-tiba ia mempunyai suatu tanggapan yang lain atas emban tua itu.

“Ya Nini.” sahut Empu Sada dalam nada yang dalam, “agaknya nama itu lelah mengejutkanmu. Apakah kau mengenal nama itu pula, Jun Rumanti?”

Perempuan tua itu menggeleng, “Tidak Kaki. Aku tidak mengenal nama Rumanti.”

Empu Sada mengerutkan keningnya. Kini bukan saja ia merasakan jerit yang melonjak dari dalam hati perempuan tua itu, tetapi seakan-akan ia kini dapat mendengarnya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Kalau kau tidak mengenal nama Rumanti itu Nini, kenapa kau berkeras hati supaya aku menyebutkannya?”

Perempuan tua itu terdiam. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Sehingga dengan demikian, maka Empu Sada menjadi semakin merasakan hubungan yang lebih rapat antara perempuan tua itu dengan gadis yang dahulu bernama Jun Rumanti. Tanpa disengajanya maka tiba-tiba Empu Sada itu berkata, “Nini, kalau gadis itu masih ada, maka ia kini pasti sudah tua pula. Mungkin gadis itu sudah setua Nini.”

Perempuan tua itu terkejut bukan buatan, sehingga ia terhenyak dan bergeser setapak surut. Ditatapnya wajah orang yang menyebut dirinya Makerti itu sejenak, namun sejenak kemudian ia berkata, “Mungkin, mungkin Kaki.”

Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari mulutnya kembali terlontar kata-kata, “Tetapi nama itu telah lenyap sejak puluhan tahun yang lampau. Sesaat sejak Pramuntaka hilang dari Ngarang. maka Jun Rumanti itu pun hilang pula.”

Kembali perempuan tua itu menundukkan wajahnya. Terasa nafasnya menjadi sesak. Betapapun ia bertahan, namun Akhirnya setitik air meleleh di pipinya yang sudah menjadi berkerut-merut oleh garis-garis umurnya. Sejenak mereka saling membisu.

Namun di dalam dada Empu Sada terjadi suatu pergolakan yang gemuruh. Ia melihat perempuan tua itu menjadi semakin sedih. Dan tiba-tiba ia berkata, “Nini, apakah kau saudara perempuan Jun Rumanti?”

Perempuan itu menggeleng.

“Apakah kau sahabatnya?”

Perempuan itu menggeleng lagi.

“Tetapi ceritera itu telah menggali kepedihan di hatimu. Sudah aku katakan, sebaiknya kita tidak usah membicarakan orang-orang lain di luar kepentingan kita sekarang. Namun kau selalu mendesaknya. Agaknya kau ingin mengenang sesuatu lewat ceritera itu. ceritera kanak-kanak yang telah terlampau lambat untuk kita dengarkan. Tetapi Nini, aku menjadi bercuriga melihat sikapmu. Nah, sebutkanlah, siapakah kau sebenarnya?”

Perempuan itu kembali terperanjat mendengar pertanyaan Empu Sada. Sejenak ia terbungkam. Namun kemudian ia menggeleng, “Aku adalah emban Tuan Puteri Ken Dedes.”

“Tetapi kenapa kau berkeras hati memaksaku berceritera tentang pengecut itu. Tentang Pramuntaka yang lari dalam keputus asaan dan tentang gadis yang telah menghianatinya.”

“Tidak. Gadis itu tidak menghianatinya. Ia terdorong oleh suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya lagi. Pramuntaka telah meninggalkannya tanpa kabar berita untuk waktu yang tidak menentu.”

Sekali lagi Empu Sada terkejut mendengar jawaban perempuan tua itu. Bahkan sejenak ia tidak mengucapkan kata-kata. Namun kini ia hampir-hampir dapat menebak siapakah perempuan itu. Justru dengan demikian maka hatinya sendiri menjadi bingung. Terasa darahnya seolah-olah hampir berhenti mengalir. Wajahnya terasa menjadi panas, namun keringat dinginnya seakan-akan diperas apuh dari dalam tubuhnya.

Dalam pada itu terdengar emban tua itu berkata, “Kaki Makerti. Kalau kau benar-benar orang yang paling dekat dengan Pramuntaka, maka kau seharusnya mengetahui, bahwa gadis itu sama sekali tidak ingin menghianatinya. Kau harus tahu, dan Pramuntaka pun harus tahu pula seandainya ia masih hidup. Bagi seorang laki-laki, maka waktu tidak begitu banyak berpengaruh pada dirinya. Tetapi bagi seorang gadis keadaannya jauh berbeda Kaki. Kaki Makerti, apakah Kaki mempunyai anak seorang gadis?”

Empu Sada yang menyebut dirinya Makerti itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Perlahan-lahan ia menggeleng lemah. “Tidak Nini.”

“Oh, kalau kau punyai gadis itu Kaki.” desak perempuan tua itu, “maka kau akan merasakan, betapa seorang gadis tidak dapat membiarkan waktu lewat tanpa menggoreskan luka di dadanya semakin banyak hari-hari yang dilewatinya untuk menunggu, maka kegelisahan di hatinya menjadi semakin menyala.”

“Ya, ya aku tahu Nini.” potong Empu Sada, “tetapi tidak demikian dengan gadis yang bernama Rumanti itu. Mereka sebelumnya telah berjanji, dan Rumanti tahu, bahwa Pramuntaka sedang pergi merantau untuk mempersiapkan hari-hari yang bakal mereka jelang. Tetapi ketika Pramuntaka kembali, maka gadis itu telah membawa seorang anak laki-laki di dalam dukungannya.”

“Cukup. Cukup.” tetapi suara perempuan itu seakan-akan tersumbat di kerongkongan.

“Kalau kau keluarga dari perempuan itu Nini, maka dengarlah keluhan hati Pramuntaka yang meratapi kegagalannya. Laki-laki cengeng itu menganggap bahwa hidupnya sudah tidak akan berarti lagi.”

“Tetapi perempuan itu pun telah menyiksa dirinya sendiri Kaki. Ia menyesal karena iapun akhirnya kehilangan segala-galanya.”

“Bohong.” sahut Empu Sada, “itu hanya sebuah dongeng ngayawara. Ternyata kaulah yang hanya mendengar dongeng di sepanjang jalan tentang Pramuntaka dan Jun Rumanti itu. Ternyata kaulah yang hanya mendengar ceritera itu berdesah dari mulut ke mulut. Kau tidak melihat dari dekat, dan kau tidak turut serta merasakan betapa kepahitan dari peristiwa itu membekas sampai akhir hayatnya.”

“Kau yang bohong.” bantah perempuan itu. Namun kini mulai terdengar isak tangisnya, “perempuan itu pun telah menerima hukumannya.”

“Kembali kau mengarang ceritera itu. Mungkin kau kenal keduanya, tetapi kau tidak mengenal perasaan mereka.”

“Tentu, tentu Kaki Makerti, aku tentu mengenal perasaan mereka seperti aku mengenal perasaan sendiri. Aku mengenal perasaan gadis itu melampaui setiap orang yang pernah mengenalnya.”

“Nini emban.” tiba-tiba suara Empu Sada menjadi datar dan berat. Serasa sesuatu menyumbat kerongkongannya. Namun laki-laki itu memaksa mengucapkan kata-kata, “Nini, kenapa kau mengenal perasaan gadis itu melampaui setiap orang? Nah, katakan kepadaku Nini, apakah kau yang bernama Jun Rumanti?”

Emban tua itu terkejut mendengar pertanyaan itu. Sekali lagi ia bergeser setapak menjauhi laki-laki yang berdiri di hadapannya. Dengan tajamnya ia memandangi wajah laki-laki tua itu, namun kemudian wajahnya tertunduk. Dengan ujung kembennya ia menyeka matanya. Dan tiba-tiba mata itu kini menjadi kering. Ketika perempuan itu mengangkat kepalanya, maka ia berkata, “Tak ada gunanya air mata buatku. Buat orang tua-tua.” kemudian dengan tegas ia berkata, “Ya, aku lah Jun Rumanti itu.”

Jawaban itu telah diduga oleh Empu Sada yang menyebut dirinya Makerti. Namun meskipun demikian terasa juga dadanya berdesir, dan karenanya maka sejenak ia pun terdiam.

“Kaki Makerti, kini kau telah berhadapan dengan perempuan itu. Jun Rumanti. Nah, bertanyalah kepadanya, kenapa ia tidak setia menunggu Pramuntaka yang pergi tanpa sebuah pertanggungan jawab pun menghadapi gadis dan waktu.”

Empu Sada tidak segera menjawab. Namun setelah ia mencoba menenangkan dirinya ia berkata, “Maafkan aku Nini.”

“Apa yang harus dimaafkan? Aku tidak menyesali kata-katamu. Mungkin kau hanya mendengarnya dari Pramuntaka. Itu adalah haknya untuk menyatakan perasaannya. Dan ketahuilah Kaki, bahwa anak Jun Rumanti itu kini telah menjadi seorang anak laki-laki yang cukup memberinya kebanggaan.”

“Dimana ayahnya sekarang?”

“Huh, apakah kau berpura-pura.”

“Aku belum mengenalnya.”

“Ayahnya telah mati seperti Pramuntaka pun telah mati. Laki-laki itu lari tanpa meninggalkan pesan apapun.”

“Pendengaranku tentang laki-laki suamimu itu ternyata benar.”

“He, kau telah mengetahuinya pula?” bertanya emban tua itu, yang ternyata bernama Jun Rumanti di masa gadisnya, “kenapa kau mempunyai perhatian yang sedemikian besar atas Jun Rumanti itu dan suaminya pula?”

“Tidak apa-apa. Aku mengetahuinya seperti aku mengetahui banyak tentang Pramuntaka.”

Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam.

“Dimana anakmu sekarang Nini?” bertanya Empu Sada.

“Anakku telah kau kenal. Kau telah mengakui menjadi paman Ken Dedes dan membawa pesan dari laki-laki itu.”

“He? Kau maksud bahwa anakmu bernama Mahisa Agni?” wajah Empu Sada tiba-tiba menjadi semakin tegang sehingga jalur-jalur nadinya seakan-akan ingin mencuat keluar dari wajah kulitnya yang berwarna tembaga.

Emban tua itu pun terkejut mendengar pertanyaan Empu Sada dalam nada yang tinggi. Kini emban itulah yang melihat Empu Sada tiba-tiba menjadi sangat gelisah. Sekali lagi ia menegaskan.

“Nini, apakah anak muda yang bernama Mahisa Agni itu anakmu?”

Emban tua yang bernama Jun Rumanti di masa gadisnya itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya, Kaki. Mahisa Agni itu adalah anakku.”

“Oh.” tiba-tiba Empu Sada itu menundukkan wajahnya. Terasa dadanya seakan-akan terhimpit batu yang terlontar dari lereng Gunung Kawi.

Dalam pada itu, emban tua itu pun tertegun. Ia belum pernah mengatakan kepada siapapun, bahwa Mahisa Agni itu adalah anaknya. Namun tiba-tiba, kepada orang yang baru saja dikenalnya itu ia berterus terang, bahwa Mahisa Agni adalah anaknya. Tetapi tanggapan laki-laki tua itu pun sangat menarik perhatiannya. Didengarnya orang yang menyebut dirinya Makerti itu berdesah beberapa kali.

“Kenapa Kaki.” bertanya emban tua itu, “kenapa kalau Mahisa Agni itu anakku?”

“Tidak apa-apa Rumanti.”

“Jangan panggil aku dengan nama itu. Panggil aku kini sebagai seorang emban Tuan Puteri Ken Dedes.”

“Ya Nini emban.”

“Tetapi kenapa dengan Mahisa Agni?”

“Aku tidak menyangka, bahwa Mahisa Agni itu adalah anakmu.”

“Tak seorang pun tahu, bahwa Mahisa Agni itu anakku. Mungkin pamannya, Empu Gandring telah mendengar dari Agni, bahwa aku disini. Tetapi orang lain tidak. Ken Dedes, momonganku itu pun tidak tahu, bahwa kakak angkatnya, Mahisa Agni adalah anakku, anak pemomongnya.”

“Itukah akibat dari penyesalanmu atas peristiwa yang pernah terjadi dalam hidupmu itu!”

“Ya, salah satu bentuk daripadanya.”

“Kau membuang dirimu?"

“Ya.”

“Tetapi apakah Mahisa Agni tahu bahwa kau adalah ibunya?”

“Ya.”

Sekali lagi terdengar Empu Sada berdesah. Bahkan beberapa kali tangannya mengusap peluhnya yang menitik dari dahinya. Dalam kesuraman cahaya pelita di kejauhan, maka wajah yang tegang itu tampaknya menjadi bertambah tegang. “Aku tidak menyangka.” desis Empu Sada.

“Sekarang kau tahu, dan apakah yang akan kau lakukan atas anak itu? Anak itu adalah anakku. Anak Jun Rumanti yang telah melukai, bahkan menurut katamu mengkhianati orang yang bernama Pramuntaka itu, yang mungkin adalah sahabatmu atau saudaramu atau apa saja. Ternyata kau benar-benar mengetahui keadaannya hampir sempurna.”

Ternyata Empu Sada menjadi semakin gelisah mendengar kata-kata Jun Rumanti, emban pemomong Ken Dedes itu, sehingga ia tidak lagi berhasil menyembunyikan perasaannya. Kata-kata emban tua yang tidak disadari oleh perempuan itu sendiri seakan-akan telah menunjuk wajahnya, bahwa ia pernah berbuat sesuatu atas Mahisa Agni, bahkan pernah berusaha untuk membunuhnya. Empu Sada itu memalingkan wajahnya ketika emban itu berkata,

“Bagaimana Kaki. Apakah sekarang yang akan kau katakan? Apakah kau benar-benar mendapat pesan dari Mahisa Agni untuk kemanakanmu Ken Dedes?”

“Maafkan Rumanti, aku tidak tahu bahwa Mahisa Agni adalah anakmu.”

“Jangan panggil aku dengan nama itu. Rumanti telah tidak ada lagi. Yang ada adalah emban tua pemomong Tuan Puteri Ken Dedes ini.” emban itu berhenti sejenak. Kemudian dilanjutkannya. “Tetapi kenapa dengan Mahisa Agni setelah kau tahu bahwa Mahisa Agni adalah anakku.”

Gelora di dalam dada Empu Sada menjadi semakin gemuruh. Terbayang di dalam angan-angannya, betapa ia mengejar-ngejar anak itu bersama muridnya Kuda Sempana. Namun tiba-tiba Empu Sada itu bergumam, “Tetapi Nini, kali ini maksud kedatanganku adalah baik. Aku justru ingin menyelamatkan anak muda itu.”

“Kaki Makerti.” potong emban tua itu, “kenapa kali ini? Apakah di kali lain kau mempunyai maksud yang lain pula?”

Empu tua yang menyebut dirinya Makerti itu kini benar-benar tidak lagi dapat menahan arus perasaannya yang seakan-akan ingin memecahkan dadanya. Tiba-tiba ia tertunduk lemah sambil berdesis, “Aku tidak tahu Nini. Aku tidak tahu kalau anak muda itu anakmu?”

“Kenapa kalau anakku? Kau tidak mempunyai sangkut paut dengan aku. Kau tidak mempunyai sangkut-paut dengan Mahisa Agni. Tetapi apakah yang pernah kau lakukan terhadap anak itu?”

Empu Sada terdiam sejenak. Sekali ia memandang halaman yang luas itu. Satu dua berkeredipan lampu-lampu minyak yang melemparkan sorotnya bertebaran. Tetapi sorot lampu itu tidak mampu menerangi wajah Empu tua yang sedang gelap. Ketika dikejauhan terdengar bunyi kentongan dara muluk, maka hati orang tua itu pun seakan-akan meledak karenanya. Perlahan-lahan ia berdesah seperti kepada diri sendiri.

“Anak itu anak baik. Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terjadi.” Empu Sada berhenti sejenak. Kini ia memandangi wajah emban tua itu dengan saksama. Tampaklah bibir laki-laki tua itu bergerak-gerak. Namun baru kemudian ia berhasil mengucapkan kata-kata, “Maafkan aku Rumanti. Bukan maksudku menyakiti hatimu. Aku tidak tahu apakah yang sedang aku hadapi dan aku tidak menyadari apa yang aku lakukan. Rumanti. Kalau kau masih juga dapat mempercayai kata-kataku, akulah laki-laki pengecut itu. Akulah orang yang bernama Pramuntaka dan aku adalah orang yang tidak tahu diri.”

Alangkah mengejutkan pengakuan itu, sehingga sejenak emban tua itu terpaku diam. Namun gemuruh di dalam dadanya bergelora melampaui gelora kawah gunung berapi. Sorot matanya menghunjam seolah-olah hendak menembus jantung orang yang menyebut dirinya Makerti. Tetapi sejenak mulutnya bagaikan terkunci.

Empu Sada kini menundukkan wajahnya. Pengakuan itu meluncur bagaikan lepasnya seekor burung yang selama ini disimpannya rapat-rapat di dalam sangkar. Tak seorang pun yang dapat mengetahuinya seperti tak seorang pun yang mengenal perempuan itu bernama Jun Rumanti.

“Tetapi.” terdengar kemudian suara perempuan tua itu tersendat-sendat, “tetapi bukankah Pramuntaka itu telah mati?”

“Ya. Kau benar. Pramuntaka memang telah mati, seperti Jun Rumanti yang demikian saja hilang dari lingkungannya. Pramuntaka telah mati. Yang ada kemudian adalah orang lain. Orang yang hidupnya tidak ada sangkut pautnya dengan orang yang bernama Pramuntaka itu. Hidup Pramuntaka telah diakhiri. Dan lahirlah orang baru, Empu Sada.”

“He?” emban tua itu hampir-hampir berteriak mendengar pengakuan laki-laki itu lebih lanjut. “Kaukah orang yang bernama Empu Sada itu pula?”

Kini Empu Sada sendiri terkejut bukan buatan. Pengakuan itu meluncur tanpa disadarinya. Ternyata ia telah terdorong menyebut dirinya Empu Sada. Karena itu maka jantung laki-laki itu berdegup semakin keras. Dengan nanar dipandanginya perempuan tua yang tiba-tiba menjadi sangat tegang. Tetapi ucapan itu sudah terlanjur meloncat dari bibirnya.

Perempuan tua, emban pemomong Ken Dedes itu berdiri seperti sebuah patung. Tetapi patung itu telah membuat Empu Sada gemetar. Lebih baik baginya berhadapan dengan seorang yang bernama Kebo Sindet atau Wong Sarimpat, atau Panji Bojong Santi bahkan Empu Purwa sekalipun, daripada perempuan tua itu. Perempuan yang pernah bernama Jun Rumanti.

Dada Empu Sada terasa menjadi retak ketika ia mendengar perempuan tua itu berdesis penuh tekanan “Jadi kaukah laki-laki itu. Kaukah laki-laki yang bernama Pramuntaka, yang pernah kehilangan perhitungan tentang gadis dalam hubungannya dengan waktu, dan kaukah pula yang kini bernama Empu Sada, yang pernah berusaha membinasakan anakku Mahisa Agni dan hampir-hampir pula mencelakakan momonganku, Ken Dedes.”

Tubuh Empu Sada menjadi semakin gemetar. Sejenak timbullah hasratnya untuk lari. Ia harus meninggalkan halaman itu sebelum para prajurit itu mengenalnya, bahwa ialah orang yang bernama Empu Sada. Ia harus meloncat pagar dan lenyap di balik dinding halaman. Tetapi tiba-tiba hatinya serasa lumpuh. Perempuan tua itu adalah Jun Rumanti. Dalam usianya yang telah lanjut itu, tanpa disadarinya telah terungkat kembali kenangan masa-masa lampaunya. Masa-masa puluhan tahun yang lampau.

Empu Sada, seorang laki-laki yang mampu menghadapi setiap bahaya yang mengancam dirinya, bahkan telah berhasil melepaskan diri dari tangan kakak beradik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu, kini berdiri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam dihadapan seorang emban tua. Betapa kekuatan tangannya serta aji yang tersimpan di dalam dirinya, namun Empu Sada tidak akan mampu melawan perasaannya. Terdengar di dalam dadanya suatu keluhan. “Kembali aku menjadi seorang laki-laki cengeng.”

Empu Sada itu menjadi semakin berdebar-debar ketika kemudian perempuan yang berdiri di depannya itu berkata seperti air yang membanjir. “O, jadi kaukah yang bernama Empu Sada itu. Kini aku tahu. Kau ingin melepaskan sakit hatimu atas anak dan momonganku. Oh... alangkah cupet budimu. Aku sangka kau dahulu dengan jujur berkata, 'Kembalilah kepada suamimu dan kepada anakmu. Mereka lebih memerlukan kau dari pada aku'. Tetapi ternyata kau menyimpan dendam di dalam hatimu. Apakah artinya kematian Pramuntaka dan lahirnya seorang yang bernama Empu Sada? Apakah arti kata-katamu bahwa tak ada hubungan antara orang yang bernama Pramuntaka dan Empu Sada itu? Ternyata kau adalah pembohong yang paling besar yang pernah aku temui. Empu Sada adalah nama yang kau pergunakan untuk menyembunyikan dirimu. Dengan demikian kau akan menjadi lebih mudah untuk berbuat sesuatu. Melepaskan dendammu yang puluhan tahun mengeram di dalam dadamu. Kini kau memakai nama lain pula. Makerti, supaya kau dapat melepaskan sebagian dari dendammu.”

Empu Sada menekan dadanya dengan telapak tangannya. Ditahankannya perasaannya sekuat tenaganya. Dibiarkannya perempuan tua itu berkata sepuas-puasnya. Baru ketika emban itu berhenti Empu Sada berkata, “Rumanti, ternyata kau salah sangka.”

“Apa yang salah?” bantah emban tua itu, “bukankah yang terjadi memang demikian? Untunglah bahwa kau belum dibawa langsung menghadap Tuan Puteri. Apabila demikian, maka istana ini akan mendapat bencana. Memang adalah suatu kemungkinan bahwa seisi istana ini tidak akan mampu menangkapmu, apabila Tuanku Tunggul Ametung sendiri terlambat mendengar. Adalah tidak terlampau sukar bagimu untuk menembus penjagaan para prajurit yang terkantuk-kantuk itu.”

“Rumanti.” sahut Empu Sada dengan nada yang datar. Ditahankannya hatinya. Dengan sareh ia berkata, “Aku dapat mengerti perasaanmu itu. Tetapi ketahuilah bahwa sama sekali tidak tahu bahwa kau berada di sini. Bahwa Mahisa Agni adalah anakmu dan Tuan Puteri adalah momonganmu.”

“Apakah aku harus mempercayainya? Kau yang bernama Pramuntaka dan kemudian menyebut dirimu Empu Sada, apakah mungkin bahwa kau tidak mengerti bahwa akulah Jun Rumanti yang beranakkan Mahisa Agni? Pramuntaka, ternyata bencana yang mengancam anakku itu tidak sekedar datang dari Kuda Sempana yang aku dengar adalah murid Empu Sada, tetapi justru datang darimu sendiri.”

Empu Sada masih mencoba menahan diri sekuat-kuatnya. Dengan dada yang bergetar ia mencoba mendengarkan luapan perasaan perempuan tua itu. Ia sendiri berusaha untuk tidak terseret ke dalam arus perasaan seperti emban pemomong Ken Dedes itu. Ketika perempuan yang dahulu bernama Jun Rumanti itu berhenti sesaat, maka berkatalah Empu Sada. “Rumanti.”

“Jangan sebut nama itu.” potong perempuan tua itu.

“Baiklah.” Empu Sada mencoba memperbaiki kata-katanya, “Nini, betapa jahatnya Empu Sada, namun kali ini aku masih ingin mendapat kepercayaanmu. Mungkin kalau aku berusaha Nini, barangkali aku memang akan dapat menemukanmu dan mengetahui bahwa Mahisa Agni itu adalah anakmu.”

“Bohong. Aku adalah seorang perempuan yang tidak mempunyai kecakapan apapun. Aku bukan seorang yang sakti yang memiliki aji di dalam diriku. Aku bukan seorang perantau yang mengembara dari satu tempat ke lain tempat. Namun aku berhasil menemukan anakku sepeninggal suamiku.”

“Sebenarnyalah demikian Nini.” sahut Empu Sada, “sekali lagi aku katakan, bahwa aku memang tidak berusaha demikian. Aku tidak mencari seorang gadis yang bernama Jun Rumanti. Aku tidak mencari suaminya atau anaknya. Tidak. Justru aku selalu mencoba menjauhinya seperti aku mencoba menjauhi semua kenang-kenangan yang pernah terjadi. Itulah bedanya. Kau mencari dan aku justru menghindari.”

Emban itu terdiam sejenak. Kesabaran Empu Sada ternyata mempengaruhi tanggapannya atas peristiwa yang sedang dihadapnya, la kemudian dapat mengerti keterangan Empu Sada itu, bahwa Empu Sada yang dahulu bernama Pramuntaka, tidak mengetahui siapakah Mahisa Agni.

Keduanja sejenak terdiam. Masing-masing mencoba mencernakan, apakah yang sedang mereka hadapi. Sedang angin malam berdesau semakin kencang. Dan nyala-nyala pelita meronta-ronta karena sentuhan angin itu. Emban tua itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menangis. Sedang Empu Sada berdiri tegak seperti tonggak mati. Keduanya masih belum mengucapkan kata-kata. Tetapi dada mereka masih saja bergelora. Di kejauhan para prajurit sudah mulai dihinggapi oleh kecurigaan. Apakah laki-laki tua itu masih juga memaksakan keinginannya untuk menghadap Ken Dedes? Pembicaraan mereka telah berlangsung terlampau lama. Tetapi agaknya mereka masih belum menemukan kesepakatan.

“Apakah laki-laki tua itu gila?” tiba-tiba terdengar salah seorang dari mereka berdesis.

Kawannya yang lain menggeliat sambil menguap, “Persetan. Kalau perempuan tua itu memanggil, barulah aku akan datang. Huh. Masih berapa lama lagi kita mendapat ganti. Aku sudah mulai lapar.”

Prajurit yang telah membawa Empu Sada masuk menyahut. “Ternyata aku akhirnya tidak dapat menunggu lagi. Kalau mereka masih juga bertengkar terlampau lama, maka aku harus kembali ke tempatku.”

“Tunggulah sebentar. Kau yang membawanya kemari. Mungkin kau harus membawanya keluar pula sebentar lagi.”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah. Aku lebih senang duduk di sini daripada datang giliranku untuk berdiri hilir mudik di samping regol.”

Kawannya yang bertugas di regol mendengar pula percakapan mereka. Sekilas ia memandangi prajurit yang sebenarnya harus bertugas di regol luar. Tetapi kemudian ia tidak menghiraukannya lagi. Sementara itu, Empu Sada masih juga berdiam diri. Ditatapnya wajah perempuan tua yang berdiri dihadapan sambil menunduk.

“Nini.” berkata Empu Sada kemudian, “apakah kau telah benar-benar kehilangan segenap kepercayaanmu kepadaku.”

“Bagaimana mungkin aku dapat mempercayaimu Empu.”

Empu Sada menarik nafas dalam. Tetapi harapannya kini telah tumbuh kembali. Perempuan tua itu kini telah tidak terlampau keras lagi. “Nini.” berkata Empu Sada lebih lanjut, “aku ingin menghadap Tuan Puteri.”

Emban itu mengangkat wajahnya. Sambil mengerutkan keningnya ia berkata, “Kau hampir-hampir mencelakakannya. Kini apakah kau masih juga berhasrat untuk menculiknya?”

“Ada sebuah ceritera yang panjang Nini.” berkata Empu Sada, “tetapi akhir daripada ceritera itu telah menuntun aku kemari dengan maksud yang baik. Mungkin aku seorang yang sejahat-jahatnya, sehingga aku tidak akan mendapat jalan kembali tanpa menjadi putus asa lebih dahulu. Aku kini mengalami keputus asaan itu. Itulah sebabnya aku datang kemari. Aku ingin mematikan Empu Sada itu pula seperti aku ingin mematikan Pramuntaka dahulu. Aku ingin hidup dalam bentuk yang lain lagi. Keadaan telah membenturkan kesadaranku, bahwa jalan yang selama ini aku tempuh bukanlah jalan yang sebaik-baiknya.”

“Apa lagi yang telah terjadi pada dirimu. Ternyata hidupmu dipenuhi oleh keputus asaan. Seperti orang yang berjalan di dalam kegelapan, kau meraba-raba tanpa tujuan. Kalau ternyata jalan itu salah, dan kau telah terperosok dalam keputus-asaan, maka kau mencoba mencari jalan yang lain. Tetapi kau tidak mempunyai suatu garis lurus yang harus kau perjuangkan.”

“Kau benar Nini. Kau benar. Aku hidup seperti kapuk yang diterbangkan angin. Kemana angin bertiup, ke arah itulah aku terbang. Namun kini, meskipun mungkin aku akan hanyut lagi tanpa aku ketahui, tetapi aku ingin menyampaikan sesuatu kepada Tuan Puteri. Dan tentu saja kepadamu, setelah aku tahu bahwa Mahisa Agni adalah anakmu.”

Emban pemomong Ken Dedes itu kini mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah orang yang menyebut dirinya Makerti itu. Wajah itu sama sekali tidak dapat dikenalnya sebagai wajah seorang yang pernah bernama Pramuntaka. Puluhan tahun yang lampau. sejak Mahisa Agni masih di dalam dukungan ia bertemu untuk yang terakhir kalinya. Karena itu, maka wajah laki-laki tua itu telah berubah sama sekali. Pengalaman yang pahit, yang pedih dan segala macam pengalaman yang lain telah mencetak muka laki-laki itu menjadi wajah Empu Sada yang hidup di dalam dunia yang asing.

Tetapi wajah perempuan itu pun telah berubah pula. Tak ada lagi sisa-sisa kecantikan wajah seorang gadis yang bernama Jun Rumanti. Tak ada lagi senyum yang cerah dan suara tawa yang renyah. Namun sorot mata itu masih setajam sorot mata Jun Rumanti. “Kaki Makerti.” berkata emban itu, “apakah sebenarnya yang akan kau sampaikan kepada Tuan Puteri?.”

Empu Sada ragu-ragu sejenak. Tetapi ia harus mengatakan setidak-tidaknya sebagian dari seluruh keterangannya. Apabila tidak demikian, maka ia pasti tidak akan mendapat kepercayaan dari perempuan tua itu. Apalagi setelah diketahuinya bahwa Mahisa Agni adalah anaknya. “Rumanti.” desis Empu Sada.

“Sekali lagi, jangan sebut nama itu.” potong perempuan itu.

“O, maafkan aku Nini.” Empu Sada menelan ludahnya, lalu ia meneruskan, “ada yang akan aku sampaikan kepada Tuan Puteri justru dalam hubungannya dengan anakmu itu.”

“Ya katakanlah.”

“Anakmu kini berada dalam bahaya Nini.”

“Sudah lama ia berada dalam bahaya, sejak ia mengurungkan niat Kuda Sempana, muridmu, untuk mengambil Ken Dedes menjadi isteri dengan caranya yang kasar.”

“Ya, ya. Kau benar. Tetapi kini bahaya itu menjadi semakin besar.”

“Kaukah yang mengatakan itu? Kau salah seorang yang membahayakan baginya.”

“Sudah aku katakan. Aku kembali terbentur pada suatu keadaan yang memaksaku menjadi sekali lagi berputus-asa. Bukan karena sisa-sisa kebaikan hatiku sehingga aku menyadari kejahatan serta kekeliruanku di masa-masa yang lampau, tetapi aku kini sedang berputus asa. Empu Sada bukan seorang yang pantas mendapat tempat dimana pun. Ia adalah seorang yang tidak akan berguna bagi siapa pun, seperti Pramuntaka tidak akan berguna bagi siapa pun juga. Tetapi Nini, kali ini, aku mengharap kau mendengarkan kata-kataku, selagi aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku kerjakan. Aku sendiri tidak yakin, apakah sikap ini akan berlaku seterusnya. Aku ragu-ragu terhadap diriku sendiri. Dan orang seperti aku, yang sudah kehilangan kepercayaan kepada dirinya sendiri, adalah orang yang paling tidak berguna.”

Emban tua itu mengernyitkan alisnya. Terasa kejujuran memancar dari setiap kata Empu Sada. Apalagi ketika Empu Sada itu berkata, “Nini, berilah aku kesempatan. Selain tentang Mahisa Agni, aku ingin mohon maaf kepada Tuan Puteri atas segala kelakuanku di masa-masa yang lewat. Aku tidak tahu, apakah aku tidak akan kambuh kembali. Tetapi sekarang, percayalah, bahwa hatiku sedang gelap, sehingga tidak ada jalan lain daripada menyerahkan diri dalam keputus asaan. Nini jangan menunggu aku menjadi gila. Ketika aku masuk ke dalam halaman ini, memang terbersit kehendak yang gila itu. Kenapa tidak saja lebih baik bagiku mengambil Ken Dedes untuk kepentingan yang bermacam-macam. Untunglah, bahwa aku sedang berada dalam ketakutan. Aku tidak berani menghadapi lawan-lawanku yang kini mengelilingi aku. Empu Purwa, ayah gadis itu, Empu Gandring yang selalu berada di dekat Mahisa Agni, Panji Bojong Santi yang pernah mengurungkan niatku menculik Tuan Puteri di jalan ke Panawijen dan yang paling gila adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Keduanya itulah yang paling berbahaya bagiku dan bagi Mahisa Agni. Muridku, Kuda Sempana kini ada pada mereka. Adalah suatu bahaya yang tak terkirakan, bahwa kedua setan itu ingin menangkap Mahisa Agni tidak untuk Kuda Sempana, tetapi justru untuk memeras Tuan Puteri Ken Dedes dan Tuanku Tunggul Ametung.”

Dada perempuan tua itu berguncang mendengar kata-kata Empu Sada. Tiba-tiba tumbuhlah kepercayaan di dalam hatinya, bahwa Empu Sada benar-benar sedang dalam keputus asaan. Namun sejalan dengan itu, maka hatinya pun kini dicengkam oleh kecemasan tentang anaknya. Karena itu, maka emban itu pun menjadi gelisah. Sejenak ia berdiam diri dalam ke bimbangan. Tetapi perempuan tua itu terhenyak ketika ia mendengar seorang prajurit menegurnya, prajurit yang membawa Empu Sada masuk ke halaman dalam, “Kaki, bagaimana dengan Kau? Apakah kau masih juga betah berdiri di situ sampai pagi untuk memaksa menghadap Tuan Puteri Ken Dedes.”

Empu Sada tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah perempuan tua dihadapannya, seolah-olah minta kepadanya untuk menjawab pertanyaan prajurit itu.

“Aku harus kembali ke tempatku bertugas.” berkata prajurit itu lebih lanjut, “aku sudah mencoba menolongmu Kaki. Tetapi keputusan terakhir memang tidak terletak di tanganku.”

Empu Sada masih berdiam diri. Karena Empu Sada tidak segera menjawab, maka kembali prajurit itu berkata, “Bagaimana Kaki?”

Dalam kebimbangan kemudian Empu Sada menjawab, “Bukan aku yang menentukan tuan, tetapi emban pemomong Ken Dedes itu. Tergantung kepadanya, apakah aku diperbolehkan menghadap atau tidak.”

Prajurit itu berpaling, memandangi wajah emban tua yang kini menjadi tegang penuh kebimbangan. Sejenak mereka saling berdiam diri. Empu Sada menunggu dengan hati yang berdebar-debar, sedang prajurit itu menjadi heran. Ia melihat beberapa perubahan sikap pada laki-laki tua yang kini agaknya menjadi bertambah sigap. Di dalam pada itu emban tua itu masih juga dicengkam oleh kebimbangan. Tetapi ia dapat mengerti keterangan Empu Sada. Ia dapat mempercayainya, bahwa kali ini ia bermaksud baik.

Kalau ia bermaksud jahat, maka ia tidak perlu berbantah lagi. Mungkin dengan sebuah sentuhan ia sudah menjadi pingsan. Prajurit-prajurit yang berjumlah empat orang yang sama sekali tidak bersiaga itu akan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Dan adalah tidak mustahil, bahwa ia akan berhasil mengambil puteri itu tanpa dapat ditangkap oleh para penjaga. Hanya kalau Akuwu Tunggul Ametung mengetahuinya, maka pusakanya akan mungkin dapat melawan orang tua itu.

Dalam kebimbangan perempuan tua itu mendengar prajurit itu bertanya kembali, “Bagaimana Nyai. Apakah orang tua itu diperkenankan menghadap, ataukah ia harus keluar?”

Perempuan tua itu menggigit bibirnya. Tampaklah kerut merut di dahinya menjadi semakin dalam. Diawasinya Empu Sada dan prajurit itu berganti-ganti. Akhirnya terdengar ia bersuara lirih, “Biarlah ngger, laki-laki tua ini menghadap Tuan Puteri. Kalau nanti ternyata Tuan puteri tidak berkenan, maka biarlah ia keluar halaman.”

“Tetapi ia tidak boleh berkeliaran sendiri di halaman ini Nyai.” sahut prajurit itu, “kalau Tuan Puteri tidak berkenan maka aku harus mengantarkannya keluar.”

“Baiklah kalau demikian, marilah ikut aku. Kau dapat menunggu di luar sampai laki-laki ini meninggalkan istana.”

“Sampai kapan aku harus menunggunya?”

“Tidak akan sampai besok.”

“Ah.” prajurit itu mengeluh, tetapi kemudian ia berkata, “apakah aku akan dibiarkan lapar? Sore tadi aku belum makan Nyai. Seharusnya sebentar lagi aku akan diganti oleh prajurit yang bertugas semalam suntuk nanti. Aku akan segera kembali pulang dan makan.”

“Jangan takut.” sahut perempuan tua itu, “kau dapat pergi ke dapur. Kau akan dapat memecahkan perutmu nanti, Ngger.”

Prajurit itu tersenyum. “Baiklah kalau demikian.”

“Ikutlah kami.” kata perempuan itu, dan kepada Empu Sada ia berkata, “Marilah kita mencoba menghadap Tuan Puteri.”

“Aku percaya kepadamu Nini, untuk kepentingan anakmu pula.”

“Sst.”

“O.” laki-laki yang menyebut dirinya Makerti itu pun terdiam.

Mereka kini berjalan sepanjang dinding istana lewat halaman belakang. Dari tangga mereka memasuki serambi belakang untuk menghadap Tuan Puteri Ken Dedes yang hampir tidak sabar lagi menanti pemomongnya. Ketika didengarnya suara pemomongnya itu di luar pintu biliknya, maka dengan tergesa-gesa ia keluar. Ia ingin segera mendengar tentang laki-laki yang menyebut dirinya pamannya dan bernama Makerti.

“Tuan Puteri.” berkata pemomongnya ketika Ken Dedes sudah berada di luar pintu biliknya, “seorang laki-laki tua kini menunggu Tuan Puteri di ruang belakang.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah benar, bahwa ia adalah pamanku Bibi?”

“Silahkanlah puteri. Tuan Puteri akan dapat bertanya kepadanya sendiri.”

Tetapi Ken Dedes menangkap keragu-raguan di dalam kata-kata perempuan tua itu sehingga kemudian sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “Apakah kau sudah pernah mengenalnya?”

Emban pemomong Ken Dedes itu menjadi semakin bimbang. Ia tidak segera tahu, bagaimana ia harus menjawab. Karena itu maka sejenak emban tua itu berdiri saja mematung.

“Bagaimana bibi?” desak Ken Dedes.

“Tuan Puteri.” jawab emban itu kemudian, “hamba tidak dapat mengatakannya apakah hamba pernah mengenalnya atau belum dalam hubungannya dengan pengakuan laki-laki tua itu. Tetapi dalam persoalan yang lain, hamba memang pernah mengenalnya sebagai orang dari padukuhan Ngarang.”

“Dalam hubungannya dengan aku?”

“Hamba tidak tahu Tuan Puteri, tetapi sebaiknya Tuan Puteri menemuinya dan bertanya langsung kepadanya.”

“Apakah orang itu tidak berbahaya?”

“Di tangga belakang ada seorang prajurit yang menunggunya Tuan Puteri, di samping Pelayan Dalam yang sedang bertugas.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih saja ragu-ragu untuk berbuat. “Bagaimana nasehatmu bibi?”

“Menurut pendapat hamba Tuan Puteri, Tuan Puteri dapat menemuinya dan bertanya langsung kepadanya.”

“Baiklah. Aku percaya kepadamu.”

Ken Dedes itu pun segera melangkah ke ruang belakang diiringi oleh pemomongnya. Meskipun demikian sebenarnya di dalam dada keduanya, masih menyala keragu-raguan. Tetapi emban tua itu bergumam di dalam hatinya. “Aku mengharap bahwa laki-laki itu masih mempunyai sisa-sisa harga diri dan perasaan.”

Ketika Ken Dedes memasuki ruangan belakang, dilihatnya seorang laki-laki duduk bersila sambil tumungkul. Kekhidmatannya ternyata telah mengurangi perasaan bimbang di hati Ken Dedes. Ken Dedes itu pun kemudian duduk di atas sebuah batu hitam yang dialasi oleh selapis kulit kayu yang dihias dengan ukir-ukiran benang berwarna emas. Ditatapnya laki-laki tua yang masih saja duduk tepekur seakan-akan tidak berani bergerak meskipun hanya ujung jari kakinya.

Ken Dedes itu pun tidak segera bertanya sesuatu kepada laki-laki yang duduk sambil menundukkan kepalanya itu. Dicoba untuk mengingat-ingat apakah ia pernah mengenal seorang laki-laki seperti yang kini duduk di hadapannya. Tetapi betapa gadis itu berusaha, namun ia tidak berhasil menemukan ingatan tentang seorang laki-laki tua yang bernama Makerti.

Sekilas Ken Dedes memandangi pemomongnya yang duduk dekat di sampingnya. Bagaimanapun juga, ternyata perempuan itu masih juga menyimpan keragu-raguan di dalam hatinya, apalagi setelah diketahuinya, bahwa sebenarnya laki-laki tua itulah yang bernama Empu Sada. Karena itu, maka pemomong Ken Dedes itu duduk dekat di sisi kaki Ken Dedes, bahkan seolah-olah bersandar kepada gadis itu.

“Kiai.” sapa Ken Dedes kemudian Perlahan-lahan, “maafkan aku Kiai, bahwa aku merasa belum mengenalmu. Baik namamu dan bahkan wajahmu. Adalah suatu kemungkinan bahwa aku telah lupa kepada seseorang yang pernah aku kenal sebelumnya. Tetapi cobalah kau menjelaskan, bagaimanakah hubunganmu dahulu, aku pasti akan menjadi ingat kembali kepadamu.”

Tetapi Empu Sada tidak segera dapat menjawab. Bahkan kepalanya yang tunduk itu seakan-akan menjadi semakin tunduk.

“Kiai.” berkata Ken Dedes pula, “mungkin Kiai dapat berceritera tentang keluargaku, tentang ibuku semasa hidupnya dan tentang ayahku. Mungkin Kiai dapat berceritera tentang diriku di masa kanak-kanakku. Dengan demikian aku akan dapat mengingatnya kembali atau setidak-tidaknya dapat meyakinkan diriku bahwa kau adalah pamanku.”

Empu Sada masih belum menjawab. Kepalanya masih menunduk dalam-dalam. Namun laki-laki tua itu menggigit bibirnya sendiri kuat-kuat. Ketika ia telah berhadapan dengan gadis itu, tiba-tiba terkenanglah kembali apa yang pernah dilakukannya. Ia pernah berusaha merebut gadis itu untuk muridnya Kuda Sempana. Apakah dengan demikian tidak akan berarti merenggut gadis itu dari dunianya yang sekarang dan melemparkannya ke dalam satu dunia yang gelap?

Memang ia tidak mempunyai anak seorang gadis. Ia tidak dapat membayangkan betapa perasaan seorang gadis tentang dirinya, tentang dunia di sekitarnya dan tentang masa depannya. Tetapi ketika ia berhadapan dengan Ken Dedes, alangkah pedih hatinya. Seandainya, Ya, seandainya saat itu Panji Bojong Santi tidak menghalanginya, maka apakah jadinya gadis yang kini duduk dihadapannya itu? wajah yang cerah sumringah itu pasti akan menjadi suram dan muram. Kuda Sempana pasti akan membawanya hidup dalam suatu dunia yang gelap yang tersembunyi.

“O.” laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia bergumam, “Ternyata Yang Maha Agung masih melindunginya.”

Ken Dedes yang masih saja melihat orang tua itu terdiam, hatinya menjadi berdebar-debar. Kenapa ia tidak menjawab sepatah katapun? Kembali Ken Dedes berpaling kepada emban pemomong. Tetapi emban itu pun menundukkan kepalanya pula. Ken Dedes itu kemudian justru menjadi gelisah. Sekali lagi ia mencoba bertanya, “Kiai, bukankah Kiai telah datang untuk bertemu dengan aku? Bukankah Kiai yang bernama Makerti dan mengaku sebagai pamanku?”

Ken Dedes itu pun kemudian melihat laki-laki tua itu bergerak. Setapak ia bergeser, namun justru ia bergeser mundur. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. “Ampun Tuan Puteri.” desisnya perlahan. Tetapi kembali ia terdiam. Kembali kepalanya menunduk.

Tetapi dalam sekejap itu, Ken Dedes telah melihat wajahnya. Wajah itu benar-benar telah mengejutkannya. Ken Dedes melihat mata orang tua itu menjadi terlampau suram dan bahkan menjadi basah. “Katakanlah Kiai.” minta Ken Dedes, seperti seorang gadis kepada kakeknya yang tua.

“Ampun Tuan Puteri.” berkata orang tua itu tersendat-sendat, seakan-akan lehernja tersumbat oleh kata-katanya.

“Ya katakanlah.”

Ketika orang tua itu kembali mengangkat wajahnya, kini Ken Dedes benar-benar melihat setitik air menetes dari matanya. “Kenapa kau Kiai?” bertanya Ken Dedes.

Emban tua yang mendengar pertanyaan itu pun mengangkat wajahnya pula, dan dilihatnya pula titik air di mata laki-laki itu.

“Ampun Tuanku.” berkata Empu Sada patah-patah, “hamba telah berani membohongi Tuan Puteri. Tetapi percayalah Tuan Puteri, bahwa maksud hamba adalah baik.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat menangkap maksud orang tua itu.

“Hamba belum pernah melihat tuanku sejelas saat ini. Hamba belum pernah melihat betapa cerah wajah Tuan Puteri. Hamba belum pernah mengetahui betapa bersih hati Tuan Puteri. Selama ini mata hambalah yang telah dibutakan oleh kegelapan hati.”

“Kiai.” potong Ken Dedes dengan heran, “aku tidak mengerti apakah sebenarnya yang kau maksudkan.”

“O.” Empu Sada menelan ludahnya, “Tuan Puteri adalah sesoca Tumapel yang tidak ada duanya. Alangkah bahagianya Empu Purwa mempunyai seorang Puteri seperti tuanku. O, sungguh gila Kuda Sempana yang berkeinginan memperisteri Tuan Puteri. Sepantasnya kalau Kuda Sempana menjadi alas kaki tuanku.”

Ken Dedes menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu ujung pangkal kata-kata laki-laki tua yang mengaku pamannya dan bernama Makerti itu. Apalagi ketika laki-laki itu berkata seterusnya dengan nafas yang terengah-engah, “Tetapi Tuanku, adalah hamba yang paling bersalah, sehingga Kuda Sempana itu menjadi semakin gila. Namun syukurlah bahwa Tuan Puteri masih selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.”

Sejenak Ken Dedes terpukau oleh keadaan yang tidak dimengertinya. Dipandanginya laki-laki tua itu dengan penuh pertanyaan pada sinar matanya yang bening. Dalam pada itu Empu Sada masih berkata terus, “Seandainya hamba tidak terseret dalam kegilaan yang serupa, maka Kuda Sempana pasti dapat hamba kendalikan. Sekarang semuanya telah hancur. Hidupku dan masa depan Kuda Sempana itu sendiri. Tetapi adalah wajar dan setimpal dengan kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan.”

Ken Dedes masih diam mematung. Sedang emban pemomongnya pun seakan-akan terbungkam pula. Tetapi emban tua itu dapat merasakan betapa hati orang yang mengaku bernama Makerti itu terpecah belah. Empu Sada adalah seorang yang hidup dalam arusnya angin ribut, sehingga karena itu, maka hatinya seakan-akan telah menjadi sekeras baja dan perasaannya pun telah menjadi tumpul. Namun tiba-tiba seperti cahaya matahari di pagi hari, wajah Ken Dedes yang cerah telah menerangi segenap relung hati orang tua itu. Relung hati yang karena keadaan telah sedikit terbuka, dan kini cerahnya sinar matahari itu langsung mencairkan kepekatan yang kelam yang selama ini mewarnainya.

Sesaat Ken Dedes masih diam termangu-mangu. Namun ketika kembali ia melihat laki-laki tua itu menundukkan kepalanya, maka berkatalah gadis itu, “Kiai, aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Aku tidak mengerti apa yang ingin kau nyatakan kepadaku. Tetapi bahwa kau telah menyebut nama Kuda Sempana benar-benar telah mengejutkan hatiku. Nama itu bagiku adalah nama yang dapat mendirikan segenap bulu romaku. Karena itu, katakanlah maksud kedatanganmu sendiri.”

Empu Sada masih menundukkan kepalanya. Ia menjadi ragu-ragu untuk mengucapkan kata-kata. Tetapi kembali Ken Dedes mendesaknya, “Katakanlah keperluanmu Kiai. Atau cobalah meyakinkan aku, bahwa kau adalah pamanku.”

“Ampun Tuan Puteri.” desis Empu Sada kemudian. Tetapi kini kepalanya menjadi semakin menunduk, “ampunkanlah hamba. Bahwa sebenarnya hamba memang bukan paman Tuan Puteri.”

Dada Ken Dedes berdesir mendengar pengakuan itu. Sejenak ia berpaling kepada pemomongnya. Tetapi pemomongnya itu tidak sedang memandanginya. Bahkan pemomongnya itu dengan tajamnya sedang memandang kepada laki-laki tua yang masih saja menundukkan kepalanya. “Jadi, siapakah kau sebenarnya?” bertanya Ken Dedes, “dan apakah hubunganmu dengan Kuda Sempana? Kau telah menyebut namanya, bahkan menghubung-hubungkannya dengan dirimu sendiri.”

Empu Sada itu memperbaiki letak duduknya. Dengan susah payah ia kini berhasil mengatur perasaannya yang tiba-tiba saja telah menjadi cair setelah bertahun-tahun membeku. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Perlahan-lahan ia berkata,

“Tuan Puteri yang baik. Mungkin pengakuan hamba akan mengejutkan Tuan Puteri. Tetapi perkenankanlah hamba lebih dahulu berjanji, bahwa sebenarnyalah maksud kedatangan hamba kali ini adalah terdorong oleh penyesalan dan ketakutan yang selama ini telah mengejar-ngejar hamba. Hamba tidak dapat ingkar lagi. Hamba tidak dapat melarikan diri, karena ketakutan itu tumbuh di dalam hati hamba. Hamba tidak dapat bersembunyi kemanapun, selain pasrah diri dihadapan Tuan Puteri. Hamba akan bersedia menerima apa saja hukuman yang akan Tuanku jatuhkan. Tetapi sebelumnya hamba ingin menyampaikan sesuatu yang mungkin berguna bagi Tuan Puteri dan Kakanda Tuan Puteri Mahisa Agni.”

Wajah Ken Dedes tampak berkerut. Diawasinya laki-laki tua itu dengan sorot mata yang menjadi tegang. Dengan ragu-ragu Ken Dedes itu bertanya, “Jadi, apabila kau sebenarnya bukan pamanku apakah kau juga tidak bernama Makerti dan tidak datang dari pedukuhan yang kau sebut Ngarang? Apabila demikian, siapakah kau sebenarnya, dan apakah yang kau ceriterakan semuanya itu akan berarti bagiku?”

“Tuan Puteri. Demikianlah hamba. Hamba memang tidak bernama Makerti. Tetapi hamba benar-benar berasal dari Pedukuhan Ngarang. Namun beberapa puluh tahun yang lampau hamba telah meninggalkan pedukuhan itu, merantau dari satu tempat ke lain tempat, sehingga akhirnya hamba menetap tidak terlampau jauh diluar kota Tumapel.”

Wajah Ken Dedes menjadi semakin tegang. Kini ia segera ingin tahu, siapakah sebenarnya laki-laki tua itu. Maka katanya, “Kiai, aku tidak mengerti apakah gunanya kau berbohong. Aku tidak mengerti maksud kedatanganmu yang sebenarnya. Tetapi sebutkan dahulu, siapakah kau.”

“Percayalah Tuan Puteri, bahwa hamba tidak akan membuat bencana lagi. Hamba telah menyesali perbuatan hamba.”

“Ya siapakah kau dan apa hubunganmu dengan Kuda Sempana?”

Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dibulatkannya tekadnya. Apa saja yang akan terjadi tidak akan diingkarinya. Maka katanya sambil menahan nafas. “Tuanku, janganlah tuanku terkejut. Hamba akan berkata dengan jujur, siapakah hamba ini sebenarnya. Tuanku. Hamba bersedia seandainya Tuan Puteri ingin membelah dadaku.”

“Ya, Ya, tetapi siapa kau Kiai?”

“Tuan Puteri, yang sudi menyebut nama hamba, hamba inilah yang dikenal bernama Empu Sada.”

Seperti tersengat seribu lebah, Ken Dedes terkejut bukan buatan. Wajahnya yang cerah tiba-tiba menjadi seputih kapas. Darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Sesaat ia terpaku di tempatnya namun tiba-tiba ia terloncat berdiri. Hampir saja ia berteriak memanggil prajurit atau Pelayan dalam atau si apapun untuk mengurangi ketakutannya. Tetapi emban pemomongnya tiba-tiba memeluk kakinya sambil berkata lirih.

“Tenanglah Tuan Puteri, tenanglah. Laki-laki yang bernama Empu Sada itu kini bukan lagi seperti seekor serigala yang lapar. Tetapi ia tidak lebih dari seekor kucing yang telah dijinakkan.”

Meskipun Ken Dedes tidak berteriak karena emban pemomongnya itu, namun debar di jantungnya masih belum berkurang. Wajahnya masih putih dan tegang, sedang nafasnya menjadi terengah-engah. Dipandanginya Empu Sada dengan sorot mata ketakutan dan kecemasan. Ken Dedes itu pernah mendengar, bahwa orang yang mencegatnya di hutan dalam perjalanannya ke Panawijen adalah Kuda Sempana bersama gurunya yang bernama Empu Sada. Dan orang yang selama ini menghantuinya itu tiba-tiba duduk dihadapannya.

Tetapi Empu Sada tidak bergerak. Kepalanya masih tumungkul hampir menyentuh lantai. Kedua tangannya rapat berpegangan satu dengan yang lain. Namun meskipun demikian, debar di dadanya pun menjadi kian cepat. Iapun menjadi cemas apabila gadis itu tidak segera dapat menguasai dirinya, maka akibatnya akan menjadi sangat sulit baginya. Namun ia sudah pasrah diri. Dan akibat yang bagaimanapun juga telah bulat untuk diterimanya.

Ken Dedes yang melihat laki-laki tua itu masih juga tepekur, serta kata-kata pemomongnya yang lembut dan sareh, telah membuatnya menjadi agak tenang. Meskipun demikian ia masih dicengkam oleh kecemasan dan keragu-raguan tentang laki-laki tua yang duduk dihadapannya itu.

Empu Sada kemudian dapat merasakan, bahwa hati Ken Dedes menjadi bertambah tenang. Agaknya kata-kata pemomongnya telah dapat meredakan luapan ketakutan yang menerkam dirinya. Karena itu untuk meyakinkan maka orang tua itu berkata sareh,

“Tuan Puteri. Benarlah kata emban pemomong tuanku. Hamba kini bukan lagi serigala kelaparan di hutan-hutan rimba, tetapi hamba kini tidak lebih dari seekor kucing yang telah dijinakkan. Hamba tinggal menerima apa saja yang sepantasnya dipikulkan atas pundak hamba, sebab hamba telah banyak sekali berbuat kesalahan di hadapan Tuan Puteri dan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan menurut penilaian hamba kini, hamba telah banyak sekali berbuat dosa dihadapan Yang Maha Agung. Itulah sebabnya hamba kini menghadap Tuan Puteri.”

“Tetapi.” sahut Ken Dedes terbata-bata, “kalau kau bermaksud baik, kenapa kau menipu aku, emban pemomongku dan para prajurit penjaga dengan memakai nama lain dan mengaku pamanku?”

“Itupun salah satu bentuk pengakuan atas segala kesalahan hamba Tuan Puteri. Hamba menjadi ketakutan menyebut nama hamba sendiri. Bayangan dosa dan noda itu selalu melekat pada nama Empu Sada, sehingga hamba merasa bahwa Empu Sada tidak sepantasnya diperkenankan menghadap Tuan Puteri. Karena itulah maka hamba mencari akal, bagaimana hamba dapat berhadapan dengan Tuan Puteri untuk menyampaikan sebuah ceritera yang menarik bagi Tuan Puteri, demi keselamatan Kakanda Tuan Puteri sendiri, Mahisa Agni.”

Wajah Ken Dedes yang seputih kapas itu kini telah menjadi agak kemerah-merahan. Meskipun demikian tubuhnya masih terasa gemetar.

“Duduklah Tuan Puteri.” pemomongnya mempersilahkan.

Perlahan-lahan Ken Dedes kembali meletakkan tubuhnya di atas batu hitam yang beralaskan klikaning kayu yang dihiasi dengan benang-benang yang berwarna keemasan. Namun untuk sesaat gadis itu masih saja berdiam diri. Debar jantungnya masih terasa terlampau cepat, sedang kedua belah tangan dan kakinya masih saja gemetar. Tetapi perasaannya kini telah mulai dapat dikuasainya. Apalagi ketika ia masih melihat Empu Sada itu duduk tepekur diam hampir tidak bergerak sama sekali.

“Tuan Puteri.” berkata Empu Sada kemudian, “kedatangan hamba menghadap tuanku dengan segala macam akal, adalah karena hamba ingin dapat langsung menyampaikan permohonan maaf ke hadapan tuanku serta ingin menyampaikan sebuah kisah yang barangkali tidak menarik, tetapi barangkali akan dapat memberikan jalan bagi Mahisa Agni melawan keadaan yang kurang menguntungkannya.”

Empu Sada berhenti sejenak. Dicobanya untuk merasakan tanggapan Ken Dedes akan kata-katanya itu. Dan didengarnya Ken Dedes bertanya, “Apakah yang terjadi dengan kakang Mahisa Agni? Bukankah ia selama ini berada di Padang Karautan untuk menyelesaikan bendungannya?”

“Hamba Tuan Puteri.” sahut Empu Sada, “justru Mahisa Agni berada di Padang itulah maka bahaya selalu mengitarinya”

“Empu Sada,” berkata Ken Dedes yang sudah menjadi semakin tenang, “sepengetahuanku, bahaya yang paling dahsyat yang selama ini mengejarnya adalah bahaya yang ditimbulkan oleh ketamakan Kuda Sempana dan gurunya yang bernama Empu Sada. Apabila kau sekarang benar-benar sudah menghentikan usahamu untuk mencelakakannya, maka aku sangka Kakang Mahisa Agni akan dapat menjaga dirinya sendiri terhadap Kuda Sempana meskipun seandainya Kuda Sempana berbuat curang.”

“Tidak Tuan Puteri.” jawab Empu Sada, “karena itulah maka hamba dengan segala akal yang licik berusaha menemui Tuan Puteri. Bahaya yang sekarang mengancam Mahisa Agni bukan saja datang dari Kuda Sempana. Bahkan Kuda Sempana pun pada saatnya pasti akan mengalami bencana yang tidak kalah dahsyatnya dari Mahisa Agni sendiri.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya, katanya, “Aku tidak mengerti Empu Sada.”

“Tuan Puteri,” berkata Empu Sada, “perkenankanlah hamba berceritera tentang diri hamba dan tentang diri Kakanda tuanku Mahisa Agni.”

“Katakanlah Empu.” sahut Ken Dedes.

Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ditengadahkannya wajahnya, namun kembali wajah itu menunduk. Digesernya dirinya senyari maju, dan sejenak kemudian mulailah ia berceritera tentang dirinya. Empu Sada yang telah benar-benar merasa bersalah itu berceritera dengan sejujur-jujurnya, apa yang pernah dilakukan atas Mahisa Agni. Usahanya menemui Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, dan diceriterakannya pula saat ia hampir mati terbunuh oleh kedua iblis yang mengerikan itu.

Ken Dedes mendengarkan ceritera Empu Sada itu dengan dada yang berdebar-debar. Hatinya semakin lama menjadi semakin cemas, sedang wajahnya menjadi semakin tegang. Perlahan-lahan ia dapat merasakan bahaya yang sedang mengancam Mahisa Agni. Bahaya yang justru ditimbulkan oleh orang yang kini dengan menyesal menceriterakannya kepadanya.

Akhirnya Empu Sada itu berkata, “Tuan Puteri, hamba dapat membayangkan, bahwa di Padang Karautan kini merayap-rayap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, mengintai Kakanda Tuan Puteri, Angger Mahisa Agni yang setiap saat siap untuk meloncat dan menerkamnya.”

Wajah Ken Dedes yang sudah mulai memerah itu kini lelah menjadi pucat kembali. Terasa debar dadanya menjadi semakin deras, dan kecemasan yang sangat telah menghinggapinya. Bahkan bukan saja Ken Dedes. Emban pemomongnya yang semasa mudanya bernama Jun Rumanti itu pun menjadi cemas. Terlalu cemas. Mahisa Agni adalah satu-satunya anaknya.

“Kenapa semuanya itu kau lakukan Empu?” bertanya Ken Dedes tanpa sesadarnya.

“Hamba sedang dilibat oleh kekelaman hati Tuan Puteri.”

“Kalau kau tidak mengalami kegagalan dan bahkan hampir mati pula karenanya, maka aku kira kau tidak akan berbuat seperti sekarang.” berkata Ken Dedes dengan penuh penyesalan.

“Hamba Tuan Puteri. Sebenarnyalah demikian. Karena itu, maka kedatangan hamba kemari bukan karena sisa-sisa kebersihan hati hamba yang mekar di dalam dada hamba, tetapi hamba datang kemari karena hamba telah ditelan oleh ketakutan dan keputus-asaan. Hamba tidak tahu lagi apa yang akan hamba lakukan, sedang hamba tidak dapat menyembunyikan diri kemana pun. Ketakutan, kecemasan dan keputus asaan itu selalu memeluk hati hamba. Maka dalam keadaan yang demikian itulah hamba datang menghadap.”

Ketegangan hati Ken Dedes pun menjadi semakin meningkat. Ia tidak segera tahu, apa yang harus dilakukannya. Namun tiba-tiba ia mengangkat dagunya. Sejenak ia merenung, namun tiba-tiba Wajahnya menjadi agak cerah. Perlahan-lahan ia berkata tidak kepada Empu Sada tetapi kepada pemomongnya, “Bibi, bukankah beberapa hari yang lalu Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah mengirim sepasukan prajurit ke Padang Karautan untuk membantu Kakang Mahisa Agni?”

Emban itu pun menengadahkan wajahnya yang mulai dijalari oleh aliran darahnya kembali. Dengan serta-merta ia menjawab, “Ya, Ya Tuan Puteri. Pasukan itu telah berangkat minggu yang lalu. Pasukan itu kini pasti sudah berada di Padang Karautan dan telah sempat membantu pekerjaan Angger Mahisa Agni.”

Empu Sada yang mendengar pembicaraan itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera berani memotong untuk bertanya. Yang berbicara kemudian adalah Ken Dedes, “Bukankah dengan demikian, maka bahaya yang mengancam kakang Mahisa Agni dapat dikurangi?”

“Hamba Tuan Puteri, mudah-mudahan demikianlah hendaknya. Namun bagaimanapun juga, adanya Prajurit-prajurit itu di sekitar angger Mahisa Agni, pasti berpengaruh juga pada dirinya.

Empu Sada tidak segera mengerti pembicaraan itu. Karena itu ketika keduanya berhenti sejenak, maka diberanikannya dirinya bertanya, “Jadi, apakah maksud Tuan Puteri mengatakan bahwa Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah mengetahui bahaya yang mengancam kakanda Tuan Putri itu.”

“Bahaya itu sudah diketahuinya sejak lama.” sahut Ken Dedes, “sejak Kakanda Mahisa Agni bertemu dengan Akuwu Tunggul Ametung yang saat itu berada di Panawijen.” Ken Dedes berhenti sejenak. Tanpa disengaja ia telah mengungkat kembali peristiwa pahit yang pernah dialaminya. Sejenak ia terdiam, namun kemudian ia berhasil menguasai dirinya kembali dan berkata, “Bahwa bahaya itu menjadi semakin besar, ternyata pula setelah kau mencegatku di hutan pada saat aku pergi ke Panawijen bersama kakang Witantra. Tetapi, bahwa kemudian bahaya itu menjadi semakin besar dan besar. Tuanku Akuwu Tunggul Ametung masih belum mengetahuinya. Terlibatnya dua orang kakak beradik yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atas permintaanmu itu pun masih belum diketahui pula. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa dari Tumapel telah dikirim sepasukan prajurit di bawah pimpinan seorang Pelayan Dalam yang masih muda, bernama Ken Arok. Seorang Pelayan Dalam yang meskipun masa jabatan belum terlalu lama, tetapi ia adalah seorang anak muda yang menurut pendengaranku, mumpuni dalam olah krida.”

Empu Sada itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya mulutnya berdesir, “Syukurlah kalau demikian. Mudah-mudahan segalanya menjadi baik. Semoga Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Tetapi, kedua setan itu terlampau licik. Ia akan dapat menemukan akal untuk memisahkan Angger Mahisa Agni dari lingkungannya. Tetapi mudah-mudahan kali ini tidak. Karena itu adalah sebaiknya bahwa Angger Mahisa Agni segera diberi tahu akan bahaya yang mengancamnya.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Empu Sada, bahwa Mahisa Agni harus segera mengetahui bahaya yang mengintainya itu.

“Tetapi aku harus menyampaikannya kepada Akuwu Empu. Akuwu akan mengutus seseorang untuk menyampaikannya kepada Kakang Mahisa Agni.”

“Semakin cepat semakin baik Tuanku.”

“Tuan Puteri.” tiba-tiba emban pemomongnya itu memotong, “hamba dengar bahwa hari ini ada seseorang yang datang dari padang Karautan. Mungkin orang itu membawa laporan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung tentang keadaan prajurit Tumapel yang berada di sana. Mungkin orang itu dapat mengatakan apa yang telah terjadi di padang itu, dan orang itu pun akan dapat menerima pesan apabila ia segera akan kembali.”

“Seseorang datang dari Padang Karautan?” bertanya Ken Dedes dengan bati yang berdebar-debar karena berbagai macam tanggapan akan kedatangan orang itu.

Ternyata bukan saja Ken Dedes yang menjadi berdebar-debar mendengar berita tentang kedatangan seseorang dari padang Karautan, namun Empu Sada pun menjadi cemas pula. “Apakah yang dikatakan oleh prajurit itu.” bertanya Ken Dedes kepada pemomongnya.

“Belum aku ketahui Tuan Puteri.” sahut pemomongnya “prajurit itu sedang berusaha untuk menghadap Akuwu sore ini. Mungkin prajurit itu sudah menyampaikan laporannya kepada Tuanku Tunggul Ametung.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dadanya masih saja berdebar-debar. Meskipun demikian ia mencoba untuk menghibur dirinya sendiri. Katanya di dalam hati, “Kalau terjadi sesuatu Akuwu pasti sudah memberitahuku.”

Namun agaknya Empu Sada masih ingin bertanya, katanya, “Apakah prajurit itu dapat ditemui dan bertanya kepadanya tentang Padang Karautan setelah ia menghadap Akuwu dan menyampaikan laporannya.”

Emban itu berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Mungkin juga dapat bertanya kepadanya setelah ia menghadap Akuwu.”

“Apakah mungkin kau dapat memanggilnya Nini?”

“Aku tidak tahu siapakah yang datang.”

“Para prajurit yang bertugas barangkali dapat mengatakan, siapakah yang baru saja menghadap Akuwu.”

Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin juga aku dapat mencobanya.”

Tetapi tiba-tiba dipandanginya Empu Sada itu dengan hati yang ragu. Apakah ia akan meninggalkan momongannya berdua dengan Empu Sada yang selama ini telah menghantui gadis itu? Apakah ia dapat mempercayai orang tua itu sepenuhnya? Emban itu menjadi bimbang. Karena itu ia tidak segera bangkit dari tempatnya. Emban tua itu masih juga termanggu-mangu ketika Empu Sada memandanginya dengan gelisah dan cemas. Bayangannya tentang Padang Karautan terlampau suram bagi Mahisa Agni. Apakah seseorang yang datang dari Padang Karautan itu tidak menyampaikan laporan tentang sesuatu bahaya yang telah menimpa anak muda itu? Apakah seseorang itu tidak melaporkan bahwa Mahisa Agni telah hilang dari lingkungan mereka?

Tetapi Empu Sada tidak mengucapkannya. Ia takut kalau Ken Dedes menjadi semakin cemas pula. Karena itu, maka Empu Sada itu pun bahkan terdiam sambil menundukkan kepalanya. Sejenak ketiga orang itu saling berdiam diri. Ken Dedes pun masih juga dibayangi oleh kecemasan tentang kakaknya, Mahisa Agni. Sedang emban pemomong Ken Dedes itu, yang sebenarnya adalah ibu Mahisa Agni kemudian tidak pula kalah cemasnya. Di dalam hatinya pun merayap pula gambaran-gambaran yang mengerikan yang dapat menimpa anaknya. Karena itu, maka ia pun sebenarnya ingin segera mendengar, ceritera apakah yang telah dibawa oleh seseorang itu dari padang rumput Karautan yang garang.

Tetapi emban tua itu tidak dapat meninggalkan Ken Dedes seorang diri. Empu Sada telah meninggalkan bekas yang hitam di sepanjang langkahnya. Karena itu, maka apa yang dilakukannya masih juga menimbulkan keragu-raguan di dalam hati. Karena emban tua itu tidak segera beranjak dari tempatnya, maka Empu Sada pun kemudian mengangkat wajahnya. Ia ingin bertanya, kenapa emban itu tidak segera mencari prajurit yang datang dari Padang Karautan untuk segera mendapat jawaban atas teka-teki yang berkecamuk di dalam hati mereka. Tetapi ketika Empu Sada melihat sorot mata emban itu, kembali ia menundukkan kepalanya sambil berdesah di dalam hati,

“Hem, agaknya Rumanti belum dapat melepaskan momongannya sendiri bersama aku. Tetapi itu bukan salahnya. Itu adalah salahku.”

Kesepian itu akhirnya telah menyesakkan dada Empu Sada yang gelisah, sehingga duduknya pun menjadi gelisah pula. Tetapi ia tidak berani berkata sepatah kata pun, apalagi mendesak supaya emban itu segera memanggil prajurit yang datang dari Karautan. Dengan demikian kecurigaannya dapat menjadi semakin bertambah, seakan-akan ia memaksanya untuk meninggalkan Ken Dedes seorang diri. Tetapi agaknya yang bertanya kemudian adalah Ken Dedes, katanya, “Bagaimana bibi?”

Emban itu menjadi agak kebingungan. Ia tidak dapat pergi, tetapi bagaimana ia akan mengatakannya? Namun tiba-tiba ia mendapat akal. Mungkin ia tidak perlu pergi mencarinya sendiri atau bertanya-tanya ke halaman. Bukankah di belakang, di tangga serambi ada seorang prajurit dan para Pelayan dalam yang bertugas? Karena itu, maka katanya, “Tuan Puteri. Biarlah hamba memanggil seorang prajurit di serambi belakang. Ia akan dapat lebih cepat menemukan kawannya yang datang dari padang Karautan.”

“Panggillah,” sahut Ken Dedes tanpa mengerti maksud embannya.

Namun ketika emban itu sempat memandang wajah Empu Sada, maka dilihatnya orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya seakan-akan ia memuji ketrampilan emban pemomong Ken Dedes itu. Sejenak kemudian emban itu berdiri dan melangkah ke pintu, tetapi tidak sampai di luar pintu. Dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit terdengar suaranya memanggil seorang prajurit yang sedang bertugas.

Akhirnya ketika prajurit itu telah menghadap, maka berkatalah emban itu, “Silahkanlah Tuan Puteri, mungkin prajurit ini dapat menemukannya lebih cepat.”

Prajurit itu menjadi berdebar-debar. Apakah yang harus dicarinya? Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar Ken Dedes kemudian menjelaskan maksudnya. “Hamba Tuan Puteri.” sahut prajurit itu kemudian, “memang siang tadi hamba melihat tidak hanya seorang, tetapi dua orang yang datang dari Padang Karautan. Mungkin mereka telah menghadap Akuwu Tunggul Ametung.”

“Kalau mereka telah menyampaikan laporannya, panggillah mereka kemari.” perintah Ken Dedes kepadanya.

Prajurit itu terdiam sejenak. Ia tidak mengerti, kenapa Ken Dedes ingin segera mendengar secara langsung laporan Prajurit-prajurit yang baru saja datang dari padang Karautan siang tadi. Adalah tidak lajim bahwa seseorang selain Akuwu Tunggul Ametung memanggil seorang prajurit untuk mendengarkan laporannya secara langsung. Apabila seseorang tersangkut dalam satu persoalan, maka biasanya Akuwu Tunggul Ametung sendirilah yang akan memanggilnya dan mempersoalkan dengan orang yang berkepentingan itu. Tetapi kali ini yang memberinya perintah adalah bakal Permaisuri Tunggul Ametung itu sendiri, yang selama ini belum pernah ada. Karena itu maka prajurit itu sejenak menjadi ragu-ragu.

Ken Dedes melihat keragu-raguan prajurit itu. Maka katanya kemudian, “Sudah tentu apabila laporan itu bukan laporan rahasia yang hanya boleh didengar oleh Akuwu. Meskipun demikian, aku akan dapat bertanya kepadanya tentang keadaan padang itu, tentang Kakakku Mahisa Agni dan tentang bendungan yang baru dibuatnya.”

Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian kepala itu membungkuk dalam-dalam. Terdengar ia berkata, “Hamba Tuan Puteri. Biarlah hamba cari prajurit yang baru saja datang dari padang Karautan itu.”

“Carilah. Hal-hal yang penting. Akuwu sendiri pasti akan memberitahukan kepadaku. Aku tidak memerlukan hal-hal yang penting itu. Aku hanya ingin mendengar kabar tentang bendungan dan Kakakku Mahisa Agni.”

Prajurit itu pun segera mohon diri, beringsut mundur, dan kemudian meninggalkan ruangan itu untuk mencari ke dua kawannya yang siang tadi baru saja datang dari padang Karautan.

“Orang-orang itu pasti pulang ke rumah masing-masing.” katanya di dalam hati, “kesempatan untuk menengok keluarga.”

Tetapi, prajurit itu tidak segera keluar halaman. Ditanyakannya kepada Pelayan Dalam di tangga halaman depan, apakah ada prajurit dari padang Karautan yang sedang menghadap langsung Akuwu Tunggul Ametung.

“Siang tadi.” sahut Pelayan Dalam itu, “menghadap bersama pemimpin Pengawal Istana kakang Witantra.”

“O,” prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “mereka pasti sudah pulang. Mungkin sudah tidur mendengkur di sisi anak-anaknya.”

Pelayan dalam itu tidak menjawab, tetapi ia tersenyum. Prajurit itu pun kemudian pergi ke regol tempat ia bertugas. Kepada kawan-kawannya dijelaskannya apa yang harus di lakukan. Sejenak kemudian maka berderaplah kaki-kaki kudanya menyusur jalan kota. Akhirnya kedua prajurit itu benar-benar diketemukannya di rumah masing-masing. Alangkah terkejutnya kedua prajurit itu ketika datang seorang kawannya ke rumah. Mereka menyangka bahwa ada sesuatu yang penting. Tetapi, mereka memberengut ketika mereka mendengar keperluan prajurit itu.

“Apakah Tuan Puteri belum mendengar laporanku lewat Tuanku Akuwu?”

“Belum,” sahut kawannya itu.

Ketika mereka menemui prajurit yang seorang lagi yang baru saja datang dari Padang Karautan, maka katanya “bukankah ini telah malam. Apakah tidak dapat ditunda sampai besok?”

“Tuan Puteri ingin segera mendengar laporanmu.”

“Kami sudah melaporkannya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”

“Tetapi belum kepada Tuan Puteri.”

“Ah,” prajurit itu berdesah. Tetapi iapun membenahi pakaiannya. Kemudian mereka pun dengan tergesa-gesa pergi ke Istana untuk menghadap Ken Dedes. “Kenapa tidak siang tadi?” prajurit yang seorang masih saja menggerutu.

“Aku melihat kalian datang, tetapi aku tidak melihat kalian pergi bersama Ki Witantra. Apakah kalian lewat regol yang lain?”

“Ketika aku datang Ki Witantra ternyata sudah berada di Istana. Aku keluar lewat regol yang itu-itu juga, tetapi agaknya kau baru mengambil rangsum, atau baru memakannya di belakang gardu.”

Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun kemudian terdiam. Hanya derap kuda mereka sajalah yang terdengar memecah sepi malam, menghantam dinding-dinding halaman di sisi-sisi jalan. Angin malam yang dingin mengalir mengusap tubuh-tubuh mereka yang lembab oleh keringat dan embun. Kedua prajurit itu pun kemudian dihadapkan kepada Ken Dedes yang hampir tidak sabar menunggunya. Empu Sada yang sudah mulai terkantuk-kantuk pun menjadi terbangun kembali.

“Kemarilah,” berkata Ken Dedes mempersilahkan kedua prajurit itu.

Kedua prajurit itu pun beringsut maju. Mereka menjadi agak canggung. Mereka belum pernah menghadap gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.

“Apakah kalian baru datang dari padang Karautan?” bertanya Ken Dedes.

“Hamba Tuan Puteri,” jawab salah seorang dari mereka dengan suara parau, karena mereka masih juga dihinggapi oleh rasa kantuk.

“Apakah ada sesuatu yang penting terjadi di Padang Karautan sehingga kau berdua harus melaporkannya kepada Akuwu?”

“O, tidak Tuan Puteri.” sahut salah seorang prajurit itu, “tidak ada yang penting. Hamba hanya menyampaikan laporan bahwa prajurit-prajurit Tumapel telah sampai dengan selamat dan telah mulai bekerja dengan baik membantu orang-orang Panawijen membuat bendungan.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Bersyukurlah ia di dalam hati bahwa tidak ada sesuatu yang penting terjadi. “Bagaimana dengan bendungan itu dan kakang Mahisa Agni?”

“Kakanda Tuan Puteri, Mahisa Agni kini baru pergi ke Panawijen tuanku. Ada sedikit bencana yang menimpa padukuhan itu. Tetapi sama sekali tidak berarti dan tidak mengganggu pekerjaan yang besar itu.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya mendengar berita tentang Panawijen. Karena itu maka dengan serta merta ia bertanya, “Bencana apa lagi yang telah menimpa pedukuhan itu? Pedukuhan itu telah menjadi kering, dan sekarang apa yang telah terjadi?”

“Tetapi bencana itu tidak mencemaskan Tuan Puteri. Bahkan bencana yang kecil itu dapat saja dilupakan.”

“Ya, tetapi apa yang terjadi.”

“Justru karena Panawijen telah menjadi kering, maka udara di padukuhan itu pun menjadi sangat panasnya, sehingga karena itu maka di padukuhan itu telah terjadi kebakaran kecil. Beberapa buah lumbung dan rumah terbakar habis. Tetapi karena beberapa orang tua masih tinggal di pedukuhan itu, dan perempuan, maka dengan pasir dan sisa-sisa pohon pisang yang masih ada maka api dapat dibatasi. Ternyata mereka berhasil memisahkan api yang berkobar itu dengan daerah di sekitarnya, sehingga api tidak menjalar lebih besar lagi.”

“O, kasihan Panawijen.”

“Tetapi Tuan Puteri tidak usah cemas. Hamba telah menyampaikan semuanya itu kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung atas perintah pimpinan yang ditugaskan di padang Karautan, Ken Arok.”

“Bagaimanakah tanggapan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung?”

“Tuanku Akuwu hanya tertawa saja mendengar laporan hamba. Tetapi akhirnya Tuanku Akuwu memerintahkan kepada kakang Witantra untuk menyampaikan perintah kepada yang berkepentingan, menyediakan padi dan jagung untuk membantu orang-orang Panawijen yang telah kehilangan sebagian dari bahan makanan mereka. Sedang sawah-sawah mereka sendiri dalam keadaan kering dan tidak mungkin menghasilkan di musim kering seperti ini.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah. “Beruntunglah Panawijen mempunyai seorang Akuwu yang baik.”

Sejenak ruangan itu menjadi sunyi. Tetapi Ken Dedes sudah tidak lagi dicengkam oleh kecemasan dan kegelisahan. Bencana itu memang bukan bencana yang besar yang dapat menggelisahkannya. Mungkin karena persoalan yang kecil itulah maka Akuwu tidak segera memanggilnya dan memberitahukan kepadanya tentang apa yang telah terjadi di Panawijen, bahkan mungkin lusa Akuwu Tunggul Ametung baru akan memberitahukannya.

Tetapi tanggapan Empu Sada agak berbeda dengan tanggapan Ken Dedes. Sesaat dipandangnya wajah emban tua yang duduk di sisi Ken Dedes itu. Tetapi agaknya emban tua itu pun merasa bahwa tidak terjadi sesuatu di padang Karautan. Emban tua itu beberapa kali mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa suatu kesan yang mendebarkan hatinya. Namun Empu Sada masih menahan diri untuk tidak berkata sesuatu. Ia masih menunggu, barangkali prajurit itu masih ingin menyampaikan beberapa persoalan kepada Ken Dedes. Tetapi prajurit itu masih juga terdiam. Ken Dedes dan pemomongnya pun masih juga belum berkata sesuatu.

Ruangan itu masih juga diliputi oleh kesenyapan. Yang terdengar hanyalah desah angin yang menyentuh dedaunan di petamanan di luar ruangan itu. Para prajurit yang sedang bertugas duduk terkantuk-kantuk sambil memeluk senjata mereka. Prajurit yang duduk di tangga di belakang ruangan belakang itu pun sudah mengantuk pula. Seharusnya ia sudah selesai dengan tugasnya dan pulang ke rumah, minum air hangat dan makan sekenyang-kenyangnya. Tetapi ia masih saja duduk di tangga istana bersama beberapa Pelayan Dalam di ujung tangga yang lain.

“Perutku lapar.” gumamnya seorang diri. Tiba-tiba di kejauhan dilihatnya cahaya yang melontar dari celah-celah pintu.

“Di sana itu masih ada orang. Mungkin seorang Pelayan yang dapat pergi ke dapur sejenak mengambil rangsum tambahan buatku.” Tetapi prajurit itu tidak berani meninggalkan tempatnya, “Emban tadi mengatakan, bahwa aku akan dapat pergi ke dapur. Tetapi bagaimana dengan laki-laki tua itu?” Akhirnya kembali prajurit itu duduk mengantuk sambil menahan lapar yang mengganggu perutnya.

Di dalam ruangan yang sepi itu Empu Sada menjadi gelisah. Keterangan prajurit yang baru saja datang dari padang Karautan itu baginya membawa kesan yang lain. Bukan sekedar beberapa buah lumbung yang terbakar. Bukan sekedar beberapa orang Panawijen telah kehilangan tempat tinggalnya. Tetapi jauh lebih mendebarkan dari pada itu.

Isi lumbung yang terbakar, rumah-rumah yang hangus menjadi abu, akan segera dapat diganti. Lumbung-lumbung akan segera dapat dibangun kembali, bahkan Akuwu Tunggul Ametung telah memerintahkan untuk mengirimkan jagung dan padi ke Panawijen. Tetapi yang mencemaskannya adalah, kenapa hal itu terjadi? Apakah benar, hanya sekedar karena udara yang panas maka lumbung-lumbung itu terbakar? Tetapi seandainya seseorang telah membakarnya, apakah mereka hanya sekedar ingin melihat orang-orang Panawijen kelaparan, ataukah ada tujuan lain?

Akhirnya Empu Sada tidak dapat menahan pertanyaannya lagi. Dengan hati-hati ia berkata, “Angger, Prajurit-prajurit yang baru datang dari Padang Karautan, apakah kebakaran yang timbul di Panawijen itu disebabkan oleh udara yang panas, atau karena seseorang kurang berhati-hati sehingga menimbulkan bencana itu, atau oleh sebab yang lain lagi?”

Kedua prajurit itu mengangkat wajahnya, kemudian mereka berpaling kepada laki-laki tua itu. Sejenak mereka menjadi ragu-ragu. Namun kemudian terdengar Ken Dedes berkata, “Jawablah pertanyaan itu.”

“Hamba Tuanku.” sahut salah seorang dari mereka, “tetapi hamba tidak tahu pasti apa yang telah menyebabkannya. Dua orang tua yang tinggal di Padukuhan Panawijen telah datang ke Padang Karautan dan memberitahukannya kepada Kakanda Tuan Puteri, yang segera ingin melihatnya sendiri ke Panawijen.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah menyangka bahwa Mahisa Agni pasti akan datang sendiri ke Panawijen untuk menyaksikan bencana itu betapa kecilnya. Karena itu ia sama sekali tidak terkejut mendengar keterangan prajurit itu. Berbeda dengan Ken Dedes, Empu Sada merasa sesuatu berdesir di dadanya meskipun tidak segera tampak pada wajahnya. Tetapi laki-laki tua itu kemudian bertanya pula, “Dengan siapakah Angger Mahisa Agni pergi ke Panawijen?”

“Dengan pamannya” sahut prajurit itu.

Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Yang dimaksud pamannya pastilah Empu Gandring. “Hanya berdua?”

“Tidak.” sahut prajurit itu, “meskipun Adi Mahisa Agni ingin pergi seorang diri, tetapi pamannya menasehatkannya untuk membawa beberapa orang kawan.”

“Ya, siapakah Kawan-kawannya itu?”

“Ken Arok sendiri.”

Empu Sada mengerutkan keningnya. Meskipun tidak segera terucapkan, tetapi di dalam kepalanya berkecamuk berbagai macam persoalan. Ia menjadi curiga, bahwa di padukuhan Panawijen telah timbul kebakaran betapapun kecilnya. Kemudian dua orang laki-laki tua yang tinggal di Panawijen datang ke Padang Karautan untuk memberitahukan kebakaran itu kepada Mahisa Agni. Bahwa ada dua orang laki-laki tua berani melintasi padang Karautan itu telah menarik perhatiannya pula.

Tiba-tiba Empu Sada itu mengerutkan keningnya. Debar di dalam dadanya menjadi semakin cepat. Ia sampai pada suatu kesimpulan yang sangat menggelisahkan. Katanya di dalam hati, “Ini pasti pokal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk memikat Mahisa Agni datang ke Panawijen. Mudah-mudahan Empu Gandring cukup waspada. Tetapi agaknya Empu Gandring belum mengenalnya. Kelicikan dan kecurangan bukan soal bagi mereka berdua.”

Empu Sada itu pun menjadi gelisah. Tetapi kegelisahannya itu masih saja dicoba untuk disembunyikan. “Angger,” berkata Empu Sada kemudian kepada kedua prajurit itu, “kapankah Angger ke Padang Karautan.”

“Lusa aku akan kembali. Aku masih semalam lagi berada di Tumapel.”

Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata, “Tuan Puteri, apakah masih ada yang ingin tuanku ketahui?”

“Aku kira untuk sementara tidak Kiai.”

“Apakah tuanku ingin berpesan kepada mereka.”

Ken Dedes terdiam sejenak. Kepada emban pemomongnya ia bertanya, “Apakah yang penting aku pesankan kepada mereka bibi?”

Emban tua itu mengangkat kepalanya. Ditatapnya kedua prajurit itu sejenak. Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata, “Tuanku, tak ada yang lebih penting tuanku pesankan, daripada mengharap agar Angger Mahisa Agni menjadi lebih berhati-hati. Bahaya akan dapat selalu menerkamnya setiap saat. Beritahukan kepada kedua prajurit itu, bahwa mereka harus berhati-hati pula.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kau dengar kata-kata bibi emban itu? Mungkin dapat kau beritahukan kepada Kakang Mahisa Agni bahwa ia harus berhati-hati terhadap dua orang yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Bukankah begitu Kiai?”

“Ya, ya tuanku.” sahut Empu Sada.

Tiba-tiba Prajurit-prajurit itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka berkata, “Ya, aku pernah mendengar nama itu. Menurut ceritera yang pernah aku dengar, di Padang Karautan sekarang berkeliaran kedua orang bersaudara itu. Yang pernah bertemu dengan Adi Mahisa Agni dan pamannya adalah salah seorang dari mereka yang bernama Wong Sarimpat.”

“He,” Empu Sada terkejut mendengar keterangan itu, “jadi Wong Sarimpat lelah mencoba menjumpai Angger Mahisa Agni.”

Kedua prajurit itu terkejut mendengar pertanyaan Empu Sada. Tetapi sejenak kemudian mereka menjawab, “Ya. Aku tidak tahu kebenaran dari ceritera itu. Mahisa Agni sendiri tidak pernah mengatakannya.”

“Kalau demikian, dari siapa mereka mendengar ceritera itu?”

“Ki Buyut Panawijen.”

Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian maka hanya Ki Buyut lah yang diberi tahu bahwa bahaya itu pernah ditemui oleh Mahisa Agni. Untunglah bahwa pamannya Empu Gandring ada bersamanya. Tetapi agaknya Ki Buyut telah mengatakannya pula kepada orang lain, sehingga akhirnya ceritera itu pun tersebar diantara orang-orang Panawijen dan para prajurit dari Tumapel.

Dada Empu Sada berguncang ketika prajurit itu berkata seterusnya, “Tetapi Wong Sarimpat bukanlah bahaya yang sebenarnya bagi adi Mahisa Agni. Sumber dari bahaya yang selalu membayangi anak muda itu adalah Kuda Sempana dan gurunya.”

Perlahan-lahan Empu Sada melepaskan tarikan nafas yang tiba-tiba terasa seolah-olah berhenti. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Kesunyian sekali lagi menghinggapi ruangan itu. Malam yang bertambah malam pun terasa semakin sepi Dikejauhan terdengar bunyi kentongan dalam nada dara muluk. Hampir tengah malam.

Sejenak kemudian terdengar Ken Dedes berkata, “Aku kira keperluanku dengan kalian telah selesai. Kalian dapat kembali ke rumah kalian. Besok kalau kalian akan kembali ke Padang Karautan aku ingin bertemu dengan kalian sekali lagi.”

“Hamba tuan puteri.” sahut kedua prajurit itu hampir bersamaan.

Sesaat kemudian maka keduanya telah mohon diri dan meninggalkan ruangan itu. Prajurit yang menjemputnya masih saja duduk mengantuk di tangga belakang. Ketika ia melihat kedua prajurit itu pergi, maka ia pun mengumpat di dalam hatinya. Empu Sada yang masih duduk di dalam ruangan belakang bersama dengan Ken Dedes dan emban tua itu pun menjadi semakin tidak tenteram. Setiap orang menganggap bahwa Kuda Sempana dan dirinya adalah sumber bencana bagi Mahisa Agni. Dan ia pun tidak akan dapat mengingkari.

Dengan demikian, apabila Mahisa Agni kali ini benar-benar masuk ke dalam jebakan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, maka dirinyalah yang harus bertanggung jawab. Karena itu, karena ketegangan yang mencengkam jantungnya Empu Sada tidak lagi dapat duduk lebih lama. Sejenak kemudian maka ia pun mohon diri pula untuk meninggalkan ruangan itu.

“Tuanku.” berkata Empu Sada, “sebenarnya hamba ingin menyampaikan pesan ini juga kepada Tuanku Tunggul Ametung. Tetapi hamba tidak berani. Hamba merasa diri hamba yang kotor. Karena itu tuanku, hamba mengharap bahwa Tuanku Akuwu Tunggul Ametung akan dapat mendengarnya dari Tuan Puteri. Mungkin Tuanku Tunggul Ametung akan mempunyai suatu sikap yang dapat menyelamatkan Angger Mahisa Agni, atau bahkan menangkap kedua setan dari Kemundungan itu. Kalau ada orang lain yang mau mencoba menangkapnya, maka hamba menyediakan diri hamba untuk ikut serta. Mungkin Panji Bojong Santi dengan sepasukan prajurit, atau mungkin orang lain menurut pertimbangan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya, Jawabnya, “Baik Empu, aku akan menyampaikannya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Apabila kedua orang itu telah tertangkap, maka akan tenteramlah hatiku.”

“Demikianlah Tuanku. Dan kini perkenankanlah hamba mohon diri. Setiap kali hamba bersedia untuk memenuhi panggilan Tuanku. Bukan saja untuk suatu pekerjaan yang berat, bahkan untuk digantung pun hamba akan datang.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata. “Baiklah Empu. Aku akan memberitahukan kepadamu apabila ada sesuatu yang penting untuk kau ketahui.”

Empu Sada itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula diantar oleh emban pemomong Ken Dedes. Di luar pintu bilik emban itu terkejut melihat seorang prajurit hampir tertidur pada kedua tangannya yang memeluk lututnya.

Ketika prajurit itu mendengar langkah keluar, ia pun terkejut pula dan segera memperbaiki letak duduknya. Tetapi segera ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya emban tua itu bersama laki-laki yang telah dibawanya masuk. “Hem.” desis prajurit itu, “kapan aku harus pergi ke dapur.”

“O.” emban tua itu tersenyum, “aku lupa membawamu ke dapur. Pembicaraan kami terlampau asyik, sehingga aku tidak ingat lagi bahwa kau ada disini.”

“Terlalu.”

“Apakah sekarang kau masih lapar?”

“Tidak, aku sudah tidak lapar lagi. Aku telah makan kenyang-kenyang di sini.”

“Makan apa?”

“Angin.” sahut prajurit itu sambil bersungut.

“O.” emban itu tertawa, “marilah, aku ambilkan rangsum tambahan buatmu.”

“Tidak, aku sudah tidak lapar.”

“Jangan mutung.”

“Tidak.” kemudian katanya kepada laki-laki tua yang menyebut dirinya Makerti, “marilah Kaki, apakah kau sudah cukup?”

“Sudah ngger.”

“Marilah aku antar kau keluar halaman istana ini.”

“Tetapi apakah angger tidak makan dahulu?”

“Tidak.”

“Aku juga tidak dijamu makan meskipun aku bertamu hampir separuh malam.”

“Separuh malam lebih.” prajurit itu membetulkan.

“O, ya, separuh malam lebih...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.