PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 39
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 39
Karya Singgih Hadi Mintardja
DENGAN kaki gemetar Kuda Sempana maju satu langkah. Kemudian terdengar suaranya parau, “Hamba Tuanku, Hamba adalah Kuda Sempana.”
“O.” Akuwu menggeretakkan giginya, “kau telah ikut dalam pengkhianatan itu. Kau telah menjadikan semuanya rusak sama sekali. Dan sekarang kau masih berani menampakkan dirimu setelah kau lari dari istana tanpa menjalani hukuman yang aku jatuhkan kepadamu atas permintaan Permaisuriku.”
Kuda Sempana sama sekali tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun kemudian dentang jantungnya menjadi reda setelah ia menemukan ketenangan di dalam dirinya. Ia telah pasrah kepada nasib yang akan membawanya. Bagi Kuda Sempana hidup yang sesungguhnya telah terhenti sejak ia berada di dalam tangan Kebo Sindet. Karena itu, maka apapun yang akan terjadi atasnya kini sudah tidak lagi menggetarkan jantungnya. Apalagi ia tahu pasti, bahwa Akuwu Tunggul Ametung dihadapan prajurit-prajuritnya, sama sekali bukan Kebo Sindet.
Seandainya Akuwu Tunggul Ametung memutuskan untuk menghukumnya sampai mati, maka cara yang dipakainya pasti cara yang wajar, yang biasa dilakukan, apabila terpaksa seseorang dihukum mati karena kesalahan-kesalahannya yang tidak mungkin diampuni lagi. Seandainya ia termasuk orang-orang yang demikian, maka bagi Kuda Sempana sama sekali sudah tidak menggetarkan jantungnya.
Karena Kuda Sempana sama sekali tidak menyahut, dan bahkan hanya menundukkan kepalanya saja, maka Akuwu itu berkata pula, “He, Kuda Sempana. Apakah kau tidak punya otak yang dapat mencegahmu untuk datang menemuiku seperti ini, karena hal itu akan dapat membawamu ketiang gantungan?”
Kuda Sempana masih belum menjawab.
“Apakah kau sekarang menjadi bisu, he, setelah kau menjadi pengikut Kebo Sindet? Bukankah kau ikut serta mencoba memeras Ken Dedes dengan mempergunakan Jajar yang gemuk itu, dan bahkan kau ikut berkelahi dan membunuh beberapa orang yang dipergunakan oleh Jajar yang gemuk itu untuk menjebak Kebo Sindet?”
Kuda Sempana semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Akuwu ternyata tahu semua yang telah dilakukan.
“Dan kau ikut pula mengikat Jajar yang gemuk itu di rumahnya yang sedang terbakar?”
Kuda Sempana sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Ditatapnya rerumputan yang basah oleh sisa-sisa air hujan yang seperti dicurahkan dari langit.
“Sekarang kau datang menyerahkan dirimu. Hukuman lipat sepuluh dari yang seharusnya. Kau harus menanggung segala macam kesalahan yang dilakukan oleh Kebo Sindet pula.” Akuwu itu berhenti sejenak, “sayang bahwa hukuman gantung hanya dapat dilakukan satu kali atas seseorang. Aku sebenarnya ingin menggantungmu sepuluh kali di alun-alun, dan seandainya aku dapat menangkap Kebo Sindet maka ia harus digantung sepuluh tahun. Tetapi sayang sekali bahwa kau hanya dapat melakukan hukuman itu satu kali, lalu mati.”
Betapapun juga dada Kuda Sempana terasa tersentuh oleh kata-kata Akuwu. Meskipun kedengarannya aneh, namun ternyata Akuwu mencoba untuk mencurahkan segala macam perasaannya. Kemarahan, kejengkelan, kekecewaan dan segala macam perasaan.
“He, apa katamu Kuda Sempana?”
Kuda Sempana tidak menyahut. Mulutnya serasa terbungkam dan ia memang sama sekali kehilangan nafsu untuk menjawab, apalagi membela diri, untuk mendapat pengampunan. Terasa menyesak di dadanya, pengakuan atas segala macam kesalahan yang telah dilakukannya, sejak ia masih menjadi seorang Pelayan Dalam, sejak Ken Dedes masih seorang gadis desa. Sekilas terbayang kembali usahanya yang pertama kali untuk memaksa Ken Dedes mengikutinya ke Tumapel, melakukan cara yang memang dapat ditempuh. Kawin lari sampai mereka mempunyai anak, dan orang tua gadis itu terpaksa mengakuinya sebagai seorang menantu.
Tetapi ternyata Ken Dedes tidak mau dan bahkan Mahisa Agni berhasil pula menggagalkannya untuk melarikan saja gadis itu. Cara yang dapat ditempuhnya pula untuk mendapatkan Ken Dedes. Tetapi semuanya itu telah gagal. Sehingga ia terpaksa mengelabui Akuwu Tunggul Ametung dan rasanya ia telah berhasil mengambil Ken Dedes dari Panawijen. Tetapi sekali lagi ia gagal dan bahkan ia harus menjalani hukuman yang paling hina.
Akhirnya ia menjadi semakin jauh tersesat. Semakin jauh. Tanpa disadarinya ia telah terdampar di Kemundungan, di sarang iblis yang paling mengerikan. Kakak beradik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kuda Sempana menggigit bibirnya. Adalah wajar sekali bahwa sekarang Akuwu Tunggul Ametung menghadapkannya pada hukuman yang paling berat yang dapat diberikan kepadanya.
Dalam pada itu, dalam kediamannya, ia mendengar suara Mahisa Agni, “Ampun Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Hamba ingin memohon, agar Tuanku sudi mempertimbangkan. Kuda Sempana sudah melakukan banyak sekali kesalahan, bahkan sudah mendekati bentuk-bentuk kejahatan. Tetapi ia sudah menjalani hukumannya, jauh lebih berat dari hukuman yang dapat Tuanku berikan. Hukuman yang lebih berat dari hukuman mati.”
“He, kau sudah gila pula Mahisa Agni.” potong Akuwu Tunggul Ametung, “kaulah yang seharusnya minta kepadaku hukuman yang paling berat atasnya. Atas namamu sendiri dan atas nama adikmu, Ken Dedes. Sekarang, agaknya kau ingin minta kepadaku untuk memperingan hukuman atas Kuda Sempana. Benar begitu?”
“Hamba Tuanku. Sebenarnya hamba memang telah melihat, betapa ia menjalani hukumannya di Kemundungan.”
“Kau sudah benar-benar gila agaknya. Bukankah di Kemundungan Kuda Sempana telah menjadi salah seorang pengikut Kebo Sindet yang paling setia?”
“Ampun Tuanku, Itulah yang akan hamba katakan. Di Kemundungan Kuda Sempana telah menjalani hukuman mati meskipun ia masih hidup. Ia telah melepaskan diri dari kepentingan kemanusiaannya. Tidak atas kehendak sendiri, dengan ikhlas melepaskan kepentingan-kepentingan diri dan kehendak diri sendiri, tetapi ia telah dipaksa oleh keadaan di sekitarnya.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya Katanya, “Apakah kau sedang mengigau?”
“Ampun Tuanku. Sebenarnyalah demikian.”
“Coba katakan, apakah yang sudah terjadi atasnya di Kemundungan. Apakah Kuda Sempana tidak menjadi kepala dari pengikut-pengikut Kebo Sindet.”
“Kebo Sindet adalah seorang yang melakukan segala macam kejahatannya seorang diri sepeninggal adiknya Wong Sarimpat.”
“Kemudian kedudukan Wong Sarimpat telah diganti oleh Kuda Sempana.”
“Tidak Tuanku. Kuda Sempana tidak lebih baik kedudukannya dari kuda tunggangan Kebo Sindet yang sekarang hamba pakai. Ia sudah kehilangan segala-galanya. Hidupnya memang telah terhenti perlahan-lahan sehingga sampai suatu saat, ia menjadi beku seperti segumpal batu yang mati, yang dapat diperlakukan apa saja.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Tampaklah keragu-raguan memancar di wajahnya. Sekali dipandanginya wajah Kuda Sempana tajam-tajam, lalu pandangan matanya berpindah ke wajah Mahisa Agni. Bahkan kemudian dipalingkannya mukanya kepada Witantra dan Ken Arok seakan-akan minta pertimbangan dari padanya. Tetapi Witantra dan Ken Arok tidak menunjukkan kesan apapun di wajahnya, selain keragu-raguan pula. Tetapi yang berkata demikian adalah Mahisa Agni. Orang yang seharusnya paling mendendam kepada Kuda Sempana, sehingga mau tidak mau Akuwu harus mempertimbangkannya.
“Agni.” berkata Akuwu, “apakah sikapmu itu dipengaruhi oleh jasa yang telah diberikan kepadamu dari Empu Sada yang kebetulan adalah guru Kuda Sempana?”
Mahisa Agni mengerutkan dahinya. Kemudian jawabnya, “Sebagian memang benar Tuanku. Empu Sada telah menolong hamba melepaskan diri dari tangan iblis Kemundungan itu. Empu Sada pun minta pula kepada hamba, menyampaikan permohonan maafnya untuk muridnya yang sesat. Tetapi pengalaman Kuda Sempana telah mengajar kepadanya, bahwa apa yang telah dilakukannya itu ternyata suatu kesalahan yang sangat besar. Mudah-mudahan ia telah benar-benar menjadi seorang yang baik, yang menyesali semua perbuatannya lahir dan batin dan tidak akan mengulanginya lagi.”
Sorot mata Akuwu Tunggul Ametung tiba-tiba menyambar wajah Mahisa Agni dengan tajamnya. Selangkah ia maju sambil berkata keras-keras. “Kenapa bukan Empu Sada itu sendiri yang menghadap aku dan mohon maaf untuknya sendiri dan untuk muridnya he? Kenapa permohonan ampun atas kesalahan yang sedemikian besarnya, yang telah menggoncangkan Tumapel, yang telah menelan beberapa korban jiwa dan membuat Permaisuriku selalu dihantui oleh kecemasan, hanya dipesankan kepadamu?”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar pertanyaan itu. Sesaat ia tidak dapat menjawab. Ketika dipandanginya Kuda Sempana dengan sudut matanya, maka dilihatnya anak muda itu semakin menunduk.
“He, kenapa? Bukankah itu telah merendahkan Akuwu Tunggul Ametung dari Tumapel.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dicobanya untuk menjawab, “Ampun Tuanku. Empu Sada pun telah merasa bahwa seharusnya ia sendiri menghadap Tuanku untuk mohon ampun atas segala kesalahannya dan kesalahan muridnya. Tetapi Empu Sada merasa ketakutan untuk melakukannya. Ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk berani berhadapan dengan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung justru setelah ia berhasil menolong hamba dan melepaskan muridnya dari tangan Kebo Sindet. Bukan saja karena ia silau memandang kebesaran Akuwu Tunggul Ametung tetapi ia telah memutuskan untuk tidak lagi berada di lingkungan kehidupan yang wajar. Ia telah membuang dirinya, menyepi, menjauhkan diri dari segala masalah duniawi. Justru setelah ia merasa bahwa ia telah berbuat terlampau banyak kesalahan.”
Akuwu terdiam sejenak mendengar keterangan Mahisa Agni itu. Tetapi kemudian ia berkata, “Alasan itu baik juga dikemukakan. Mudah-mudahan aku dapat mempercayainya meskipun hampir tidak masuk akal. Kalau benar Empu Sada berbuat demikian, bukan sekedar ceritera yang dengan tergesa-gesa disusun oleh Mahisa Agni, maka Empu Sada adalah seorang yang terlampau bodoh.” Akuwu berhenti sejenak, lalu kepada Kuda Sempana ia bertanya, “He, Kuda Sempana, apakah keuntungan yang didapat oleh gurumu dengan menjauhi pergaulan hidup yang wajar? Kalau benar ia merasa telah terlalu banyak membuat kesalahan, kenapa ia kemudian menjauhkan dirinya? Apakah dengan demikian ia merasa, bahwa kesalahan-kesalahannya itu akan terhapus dengan sendirinya tanpa berbuat sesuatu bagi sesama yang telah dinodai oleh kesalahan-kesalahannya? He, Kuda Sempana. Seorang yang mengasingkan diri itu tidak lebih dari seorang yang hilang, lalu tanpa mempunyai arti lagi selain dikenang. Padahal kenangan yang ditinggalkannya adalah kenangan yang hitam, selain sepercik jasanya telah melepaskan Mahisa Agni.”
Sekali lagi Akuwu berhenti, lalu, “bagiku Kuda Sempana, Empu Sada adalah orang yang menyimpan ilmu di dalam dirinya. Ia dapat berbuat banyak dengan ilmunya untuk kepentingan kemanusiaan. Itu aku memberinya lebih banyak arti dari pada menyingkir. Coba apakah yang dapat diberikan sebagai penebus segala macam kesalahannya apabila ia terpisah dari pergaulan? Menyepi, bertapa dan kemudian duduk tepekur mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung? Tetapi bagiku, bakti kepada Yang Maha Agung dengan mewujudkannya dalam tingkah laku, perbuatan dan pikiran yang bermanfaat bagi pergaulan, adalah lebih tinggi nilainya dari pada yang dilakukannya sekarang. Baik bagi manusia dan sudah tentu bagi Yang Maha Agung. Apalagi kalau ia berhasil mendorong orang lain mendekatkan dirinya kepada Yang Maha Agung. Dan itu hanya dapat dilakukan apabila ia berada diantara orang-orang yang akan didorongnya itu. Barulah Empu Sada dapat dikatakan menyesali kesalahan-kesalahan yang pernah dibuatnya.”
Kuda Sempana sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Bahkan Mahisa Agni pun kemudian menunduk pula. Witantra dan Ken Arok tanpa disadarinya sendiri mengangguk-angguk kecil. Mereka tidak pernah mendengar Akuwu Tunggul Ametung berkata sedemikian bersungguh-sungguh seperti saat itu.
Sejenak Padang Karautan itu menjadi terlampau sepi. Yang masih terdengar adalah derik suara bilalang dan cengkerik. Namun tanpa mereka sadari, ternyata cahaya di Timur menjadi semakin terang. Orang-orang yang berdiri di padang itupun menjadi semakin jelas tampak garis-garis wajahnya.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Kini ia melihat betapa Kuda Sempana dan Mahisa Agni menjadi kurus dan cekung. Wajah-wajah mereka menunjukkan keprihatinan yang berat selama mereka berada di tangan iblis Kemundungan. Sama sekali tidak nampak kegarangan dan kebuasan di wajah Kuda Sempana. Bahkan wajah itu seolah-olah menjadi beku dan dingin. Tidak ada lagi pancaran yang menyorotkan gairah hidup dari dalam dirinya. Sepi dan beku. Melihat keaadaan itu, maka kemarahan Akuwu Tunggul Ametung menjadi mereda. Ia mempercayai keterangan Mahisa Agni tentang Kuda Sempana. Keadaannya di dalam sarang iblis Kemundungan itu tidak jauh berbeda, bahkan tidak lebih baik dari kuda tunggangan Kebo Sindet.
Dengan demikian, maka nafsunya untuk menjatuhkan hukuman kepada Kuda Sempana itupun lambat laun seakan-akan dihanyutkan oleh silirnya angin pagi. Semakin terang, maka semakin jelas nampak oleh kedua anak-anak muda itu telah mengalami suatu masa yang terlampau berat bagi mereka. Pakaiannya yang kusut kumal, basah oleh air hujan, dan wajah-wajah mereka yang suram. Akuwu Tunggul Ametung menarik napas. Kemudian ia berkata, “Aku akan mempertimbangkan serupa keterangan Mahisa Agni. Tetapi aku tidak akan melepaskan pengawasan atasmu Kuda Sempana.”
Terasa seolah-olah setetes embun menitik pada hati Kuda Sempana yang gersang. Perlahan-lahan ia membungkuk sambil berkata, “Hamba hanya dapat mcngucapkan beribu terima kasih Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Dipandanginya kemudian wajah Witantra dan Ken Arok berganti-ganti. Katanya, “Witantra, apakah kau sependapat, bahwa untuk sementara Kuda Sempana kita beri kesempatan untuk tetap hidup?”
Witantra mengangguk. Jawabnya, “Hamba Tuanku.”
Kemudian kepada Ken Arok ia bertanya, “Apa katamu Ken Arok?”
“Hambapun sependapat Tuanku.”
“Baik. Aku serahkan orang ini kepadamu, meskipun aku belum mengembalikan ia pada kedudukannya semula. Seandainya ia dapat diterima kembali untuk menjadi seorang Pelayan Dalam di istana, maka ia harus mulai lagi dari tingkat yang paling bawah. Orang ini akan berada di dalam lingkunganmu.”
Ken Arok mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab, “Hamba Tuanku. Hamba akan mencoba berbuat sebaik-baiknya.”
“Nah, terserahlah kepadamu. Bawalah orang ini. Aku tidak akan membawanya ke Tumapel.” Akuwu itu berhenti sejenak, lalu, “Hanya Mahisa Agni lah yang ikut aku ke istana.”
Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Diberanikannya dirinya berkata, “Ampun Tuanku. Hamba ingin melihat bendungan yang sudah lama sekali hamba tinggalkan. Hamba belum tahu apakah bendungan itu sudah jadi atau belum. Seandainya masih ada yang harus dikerjakan maka biarlah hamba tinggal di padang ini untuk ikut serta mengerjakannya.”
Akuwu tidak segera menjawab. Tetapi tampak wajahnya nenjadi tegang. Dipandanginya wajah Mahisa Agni tajam-tajam. Lalu sejenak kemudian ia berkata, “Kenapa kau tidak mau ikut? Adikmu hampir mati menunggu kau datang kepadanya. Sekarang kau menolak untuk ikut pergi ke Tumapel.”
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Ternyata Ken Dedes benar-benar menjadi prihatin karena kehilangan orang yang dianggapnya sebagai kakaknya. Perasaan prihatin seorang adik. Mahisa Agni menarik napas dalam-dalam. Namun kemudian dadanya telah digetarkan oleh ingatannya tentang bendungan Karautan. Ia menyangka bahwa bendungan itu masih belum selesai sama sekali. Ternyata Ken Arok sampai saat ini masih berada di padang itu.
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka terdengar suara Akuwu, “Bagaimana pertimbanganmu?”
Mahisa Agni masih belum dapat segera menjawab. Di pandanginya Witantra yang berdiri dekat di samping Akuwu Tunggul Ametung. Dan Witantra itu sendiri berkata di dalam hatinya, “Kenapa Akuwu tidak membawanya ke perkemahan lebih dahulu, kemudian berbicara dengan baik sambil duduk di antara orang-orang Panawijen yang pasti akan bergembira menerima kedatangannya?” Tetapi Witantra tidak mengucapkannya. Ia tidak mau menyinggung perasaan Akuwu yang sering meledak-ledak itu.
Tetapi ternyata Ken Arok lah yang mendapat jalan untuk mengatakan. Agaknya Ken Arok pun berpikir seperti itu pula. Maka katanya, “Ampun Tuanku. Sebentar lagi hamba harus sudah mulai dengan pekerjaan hamba bersama dengan orang-orang Panawijen dan para prajurit, karena matahari akan segera naik. Perkenankanlah hamba untuk kembali kepada kawan-kawan itu.” Ken Arok berhenti sejenak. Kemudian, “Dan apakah tidak sebaiknya Mahisa Agni Tuanku perkenankan hari ini melihat bendungannya yang sudah hampir siap, supaya ia dapat menikmatinya pula, untuk sekedar melupakan keprihatinan yang dialaminya? Apabila kemudian Mahisa Agni harus ikut ke Tumapel, terserahlah kepada Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung menengadahkan wajahnya. Langit sudah menjadi cerah oleh sinar pagi yang memancari wajah Padang Karautan yang seolah-olah luas tidak bertepi. Perlahan-lahan Akuwu itu mengangguk-anggukkan kepalanya Katanya, “Marilah kita kembali. Aku tidak dapat berbicara sambil berdiri saja di sini. Aku harus berbicara dengan Mahisa Agni dalam keadaan yang lebih baik, tidak di sini sambil mematung.”
Witantra menggigit bibirnya. Hampir saja ia tertawa. Bukankah Akuwu sendiri yang berbuat demikian sehingga ia harus berbicara sambil berdiri tegak seperti patung?
Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian berjalan kembali ke gubugnya, Terlampau tergesa-gesa seperti sedang ditunggu oleh suatu keadaan yang terlampau penting untuk segera ditanggapi.
Ternyata orang-orang Panawijen dan para prajurit di perkemahan mereka telah bangun dan telah mulai mempersiapkan diri. Mereka sama sekali tidak mengerti, bahwa Akuwu Tunggul Ametung, Witantra dan Ken Arok pergi menyongsong dua orang berkuda yang ternyata adalah Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Para pengawal Akuwu memang menjadi gelisah ketika dilihatnya, Akuwu tidak ada ditempatnya. Tetapi karena Witantra juga tidak ada, maka mereka menyangka, bahwa Akuwu sedang berjalan-jalan melihat-lihat diantar oleh Witantra. Tetapi bahwa mereka tidak melihat Akuwu pergi, telah membuat mereka menjadi berdebar-debar. Tetapi di sudut lain orang bertanya-tanya tentang Ken Arok. Kemanakah orang itu pergi?
Beberapa orang menaruh perhatian, tetapi yang lain seolah-olah acuh tidak acuh saja. Adalah kebiasaan Ken Arok untuk pergi kemana saja tanpa diketahui oleh orang lain, sehingga kadang-kadang memang dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Tetapi ia akan segera kembali dan melakukan pekerjaannya, memimpin pembuatan bendungan yang masih belum siap itu. Tetapi ternyata kali ini, bukan saja Ken Arok yang tidak ada di tempatnya, juga Akuwu Tunggul Ametung dan Witantra.
“Ah, mereka pergi berjalan-jalan. Mungkin mereka pergi ke taman yang sebagian telah dirusakkan oleh banjir itu.” berkata Kebo Ijo di dalam hatinya, kemudian, “persetan dengan ketiga orang itu. Seandainya mereka matipun aku tidak akan kehilangan apa-apa.”
Kebo Ijo seolah-olah sama sekali tidak berkepentingan sama sekali atas kepergian ketiga orang yang tanpa diketahui oleh seorang pun itu. Namun, kemudian ia datang kepada para prajurit pengawal dan bertanya, “Kemana Akuwu Tunggul Ametung?”
“Kami tidak tahu.” sahut salah seorang prajurit.
“Apakah tidak ada seorang pun yang bertugas berjaga-jaga di muka gubugnya?”
“Ada.”
“Tetapi kenapa tidak ada seorang pun yang tahu kemana ia pergi. Lalu apakah kerja para pengawal? Seandainya aku tidak bertugas di bendungan ini, dan seandainya aku mendapat tugas untuk mengawalnya, maka aku pasti tahu kemana ia pergi.”
Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi seorang perwira datang kepada Kebo Ijo dan berkata, “Aku sudah mengusutnya. Kenapa tidak seorang pun yang melihat Akuwu pergi.”
“Lalu?”
“Aku akan bertanggung jawab kepada Ki Witantra yang agaknya pergi bersama Akuwu Tunggul Ametung.”
“Tetapi kenapa para penjaga tidak melihat mereka keluar dari gubug masing-masing?”
“Para prajurit agaknya merasa terlampau letih. Mereka tidak tertahankan lagi dan jatuh tertidur di tempatnya, seperti seseorang yang kena sirep.”
“Dan kau juga tertidur?”
“Ya, aku juga tertidur. Dan kau pun tidur juga.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya meninggalkan gubug Akuwu yang kosong, namun yang kini justru ditunggui oleh dua orang penjaga. Ketika dilayangkannya pandangan matanya jauh ke Padang Karautan maka yang dilihatnya adalah gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan disana-sini. Gerumbul yang kadang-kadang rimbun meskipun daunnya masih belum terlampau segar, tetapi kadang-kadang ada yang kering kerontang, seperti baru saja habis terbakar. Tiba-tiba Kebo Ijo itu mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa orang berjalan kaki sambil menuntun kuda. Dua ekor kuda di antara lima orang yang berjalan kaki.
“Siapakah mereka itu?” desisnya di dalam hati.
Sejenak Kebo Ijo berdiri termangu-mangu. Kemudian dilambaikannya tangannya memanggil seseorang yang berdiri tidak jauh dari padanya. Katanya, “He, panggil Ki Buyut kemari.”
Orang itu segera menyampaikannya kepada Ki Buyut Panawijen yang kemudian dengan tergesa-gesa datang kepadanya.
“Siapakah mereka Ki Buyut?” bertanya Kebo Ijo.
“Ah, mataku sudah tidak cukup jelas untuk melihat sedemikian jauh. Barangkali angger segera dapat mengenal mereka.”
“Yang berjalan paling depan, pasti Akuwu Tunggul Ametung, yang lain meskipun tidak begitu jelas tetapi pasti Kakang Witantra dan Ken Arok. Lalu yang menjadi pertanyaan, siapakah kedua orang lain yang menuntun kuda itu?”
Ki Buyut yang tua itu mencoba mengerutkan keningnya dan mempertajam pandangan matanya. Tetapi meskipun hari telah menjadi terang, namun ia tidak segera dapat melihat orang-orang yang masih seperti bintik-bintik yang merayap semakin dekat di antara gerumbul-gerumbul yang tumbuh bertebaran di sana-sini.
Namun semakin lama bintik-bintik itu menjadi semakin besar. Semakin lama menjadi semakin jelas. Dan Kebo Ijo menjadi semakin yakin bahwa yang berdiri dipaling depan adalah Akuwu Tunggul Ametung. Ia tidak dapat dikelabui lagi oleh langkahnya yang seakan-akan selalu, gelisah. Yang lain benar-benar Witantra dan Ken Arok, yang dicari oleh sementara orang diperkemahan itu. Dan yang dua kemudian?
Dada Kebo Ijo menjadi berdebar-debar. Semakin lama wajah-wajah mereka pun menjadi semakin jelas Demikian pula kedua orang yang sedang menuntun kuda itu pun menjadi semakin jelas pula.
“Kuda Sempana.” desisnya.
“Siapa?” bertanya Ki Buyut dengan serta merta.
“Kuda Sempana.” jawab Kebo Ijo.
“Kuda Sempana?” Ki Buyut mengulangi, “apakah Akuwu Tunggul Ametung sudah berhasil menangkapnya?”
“Entahlah.” sahut Kebo Ijo.
“Lalu siapakah yang seorang lagi?”
Dada Kebo Ijo menjadi semakin berdebar-debar. Semakin jelas olehnya bahwa yang seorang itu adalah Mahisa Agni. Ya, Mahisa Agni. Begitu keras debar jantung di dalam dadanya, sehingga tangannya pun kemudian menjadi gemetar. Hampir tidak dapat dipercayainya, bahwa yang datang itu adalah Kuda Sempana dan Mahisa Agni.
“Siapakah yang seorang itu ngger?” bertanya Ki Buyut itu pula.
Perlahan-lahan, dalam dada yang berat Kebo Ijo menjawab, “Mahisa Agni, Ki Buyut.”
“He.” Ki Buyut Panawijen hampir terlonjak mendengar jawaban itu, sehingga sejenak ia diam dalam kebingungan dan kebimbangan. Namun semakin jelas pula baginya, bahwa orang-orang yang datang itu memang seperti orang-orang yang disebut-sebut oleh Kebo Ijo. “Jadi benar yang satu lagi itu Angger Mahisa Agni?” desis Ki Buyut Panawijen dengan suara yang gemetar pula.
Kebo Ijo tidak segera menyahut. Dipandanginya orang-orang yang sedang berjalan mendekat itu dengan saksama. Tidak salah lagi, mereka adalah Akuwu Tunggul Ametung, Witantra, Ken Arok, Kuda Sempana dan yang seorang itu adalah Mahisa Agni. Wajah Kebo Ijo tiba-tiba menjadi tegang. Dan terdengarlah orang itu bardesis, “Anak itu masih tetap hidup.”
Ki Buyat barpaling kepadanya. Wajahnya diwarnai oleh perasaan yang aneh. Kedatangan Mahisa Agni yang tidak disangka-sangkanya itu telah menggoncangkan dadanya. Tetapi ia tidak mengerti, kenapa wajah Kebo Ijo tiba-tiba menjadi tegang. Maka dengan serta merta Ki Buyut itu bertanya, “Aku tidak mengerti ngger, bukankah kita memang mengharap angger Mahisa Agni tetap hidup?”
“Oh.” Kebo Ijo tergagap, “Ya, ya. Kita memang mengharap ia tetap hidup tetap sehat dan tetap seorang yang sombong dan berkepala besar.”
“Aku tidak mengerti ngger.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Tatapan matanya masih melekat kepada orang-orang yang berjalan semakin dekat. Dan ia mendengar Ki Buyut berkata, “Aku mengharap sekali anak itu pulang. Aku takut kehilangan untuk kedua kalinya. Anakku telah mati terbunuh. Dibunuh oleh Kuda Sempana. Kemudian aku menganggap angger Mahisa Agni sebagai anakku sendiri. Kalau terjadi sesuatu, maka aku akan ke hilangan dia. Aku akan kehilangan untuk yang kedua kalinya.”
“Ya, ya. Ki Buyut ternyata tidak kehilangan dia. Bahkan anak itu datang sambil membawa Kuda Sempana. Mungkin ia berhasil melepaskan diri dari tangan Kebo sindet sambil menangkap Kuda Sempana sekaligus.”
Ki Buyut merasakan nada kata-kata Kebo Ijo bukan seperti yang diharapkannya Tetapi ia kemudian tidak menyahut lagi. Kini ia memandangi orang-orang yang datang yang semakin lama menjadi semakin dekat, semakin dekat. Ki Buyut ternyata tidak dapat menahan kegembiraan hatinya karena kehadiran Mahisa Agni. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi kehadiran Kuda Sempana, yang telah membunuh anaknya. Tetapi kegembiraan hatinya yang meluap itu telah merampas segenap perhatiannya, sehingga tiba-tiba ia meloncat berlari-larian menyongsong Mahisa Agni.
Kedatangan Mahisa Agni ternyata telah menggemparkan perkemahan itu. Sejenak kemudian setiap mulut telah menyebut namanya. Dengan serta merta orang-orang Panawijen segera berlari-larian menyongsongnya, menyusul Ki Buyut yarg sudah medahului mereka.
Akuwu Tunggul Ametung yang berjalan di depan sekali mengerutkan keningnya melihat orang berlari-lari menyongsongnya. Tetapi segera disadarinya, bahwa bukan dirinyalah yang telah menarik perhatian segenap perghuni perkemahan, terutama orang-orang Panawijen, tetapi Mahisa Agni. Karena itu maka Akuwu itu pun kemudian menjadi acuh tidak acuh. Bahkan perlahan-lahan ia bergumam, “Anak setan itu telah berhasil menolong dirinya sendiri tanpa pertolonganku. Persetan dengan orang-orang Panawijen yang menjadi gila karena kehadirannya. Aku tidak peduli lagi.”
Akuwu yang bersungut-sungut itu berjalan semakin cepat. Witantra dan Ken Arok terloncat-loncat di belakangnya. Sedang beberapa langkah lagi berjalan Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Tetapi langkah mereka segera terhenti karena Ki Buyut tiba-tiba saja telah mendekap Mahisa Agni yang menjadi sedemikian kurus di dalam pandangan mata orang tua itu.
“Ternyata kau selamat ngger.” berkata orang tua itu terputus-putus.
Terasa tenggorokan Mahisa Agni pun menjadi kering. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya Ki Buyut. Aku selamat atas perlindungan Yang Maha Agung.”
“Syukurlah. Aku selalu berdoa untukmu ngger. Orang-orang Panawijen pun berdoa pula untukmu.”
“Terima kasih Ki Buyut.” Tetapi Mahisa Agni tidak dapat berbicara lebih banyak. Kerongkongannya serasa tersumbat dan dadanya serasa menjadi sesak. Apalagi ketika sejenak kemudian ia sudah dikerumuni oleh orang-orang Panawijen yang memandanginya dengan sorot mata yang berapi-api.
Lamat-lamat Mahisa Agni mendengar suara bergeramang diantara mereka, “Mahisa Agni telah kembali, Mahisa Agni telah kembali.” lalu disusul oleh yang lain, “Ia berhasil lolos dari tangan Kebo Sindet.” tetapi yang lain berkata, “ia menjadi terlampau kurus dan hitam. Wajahnya kering dibakar oleh terik matahari dan punggungnya seolah-olah menjadi matang dipanggang api.”
“He.” yang lain hampir berteriak, “lihat, luka di tubuhnya. Jalur-jalur senjata telah merobek kulitnya. Belum terlampau kering. Darah masih tampak pada pakaiannya yang kotor dan kumal, meskipun sudah kering.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka melihat jalur luka di beberapa tempat pada tubuh Mahisa Agni. Luka yang masih baru meskipun sudah tidak mengalirkan darah lagi. Tetapi belum ada seorang pun yang bertanya tentang luka itu. Hampir setiap mulut mengucapkan selamat atas kedatangannya, dan beberapa orang lagi sudah mulai bertanya-tanya bagaimana ia dapat melepaskan diri dari tangan Kebo Sindet.
“Apakah semalam Akuwu Tunggul Ametung membebaskanmu, Agni?” bertanya salah seorang dari orang-orang Panawijen.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin jauh diikuti oleh Witantra. Tetapi ia melihat Ken Arok berdiri termangu-mangu agak jauh dari padanya. Dan sejenak kemudian setelah berpaling beberapa kali, Ken Arok itu melangkah kembali kepada Mahisa Agni. Beberapa orang menyibak ketika Ken Arok melangkah mendekati Mahisa Agni. Meskipun mereka telah berjumpa sebelumnya tetapi Ken Arok belum sempat mengucapkan selamat kepadanya.
Karena itu maka berkata Ken Arok setelah ia berdiri di muka Mahisa Agni, “Aku mengucapkan selamat Agni.”
Ditatapnya wajah Ken Arok tajam-tajam. Ia tahu benar bahwa Ken Arok telah mencoba berusaha untuk menyelamatkannya. Ken Arok telah mencegahnya, pada saat ia terpancing pergi ke Panawijen dan kemudian bersedia memberikan beberapa orang prajurit pilihan untuk mengawaninya. Tetapi ia menolak, dan dengan demikian Ken Arok sendirilah yang pergi menemaninya bersama Empu Gandring. Karena itu tanpa sesadarnya Mahisa Agni berdesis, “Terima kasih Ken Arok.”
Ken Arek mengerutkan keningnya. Katanya sambil tersenyum, “Kenapa kau berterima kasih kepadaku?”
Mahisa Agnipun tersenyum pula. “Kau telah berusaha sebaik-baiknya. Sebelum aku ditangkap oleh kakak beradik iblis Kemundungan itu kau sudah memperingatkan aku. Tetapi aku tidak mendengarkan nasehatmu. Agaknya masih lebih menyenangkan apabila aku ditangkap oleh hantu Padang Karautan ini dari pada iblis dari Kemundungan.”
Ken Arok tertawa pendek, sambil menyahut, “Hantu Karautan adalah hantu yang paling baik hati.”
Mahisa Agni pun tertawa pula. Sedang orang-orang yang mengerumuni mereka sama sekali tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka dahulu memang pernah mendengar nama Hantu Karautan, tetapi mereka belum pernah melihatnya. Bahkan akhir-akhir ini hantu itu sudah tidak pernah terdengar lagi. Hanya beberapa anak-anak muda pernah dibingungkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya hantu Karautan, tetapi ternyata mereka adalah orang-orang yang sudah mereka kenal, menyamar diri dan berbuat aneh-aneh.
Tetapi alis Ken Arok terangkat sedikit ketika tanpa disengaja ia memandangi wajah Kuda Sempana yang pucat. Bahkan kemudian ia berkata kepadanya, “Selamat datang Kuda Sempana.”
Kuda Sempana tergagap mendengar sapa yang tidak disangka-sangkanya itu. Justru dengan demikian ia terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Ken Arok yang seolah-olah memancarkan perasaan yang aneh terhadapnya. Apalagi ketika disadarinya bahwa semua mata kemudian berpindah kepadanya. Memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam setiap hati. Terasa keringat dingin mengalir di segenap tubuh Kuda Sempana itu. Ia melihat dendam yang menyala di dalam setiap dada, Orang-orang Panawijen itu seolah-olah telah berubah menjadi orang-orang yang liar dan siap untuk menerkamnya dan menyobek tubuhnya menjadi sewalang-walang.
Tubuh Kuda Sempana terasa menjadi gemetar. Ia lebih senang dihukum gantung sekalipun di alun-alun Tumapel dari pada jatuh ketangan orang-orang yang kehilangan akal ini. Tiba-tiba terdengar suaranya parau bergetar, “Jangan, jangan.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu. Ken Arok pun terkejut pula dan orang-orang Panawijen juga menjadi heran.
“Kenapa kau Kuda Sempana?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Tetapi di dalam kepalanya masih terbayang orang-orang Panawijen itu beramai-ramai mengerumuninya, masing-masing dengan senjata ditangan. Membelah dadanya dan kemudian mencincangnya. Ia berusaha lari dari Kebo Sindet untuk menghindarkan diri dari kekejamannya. Tetapi ternyata kini ia berada di antara serigala-srigala liar yang kelaparan. Ketika Kuda Sempana sekali lagi mencoba menandangi wajah-wajah orang Panawijen, tampak olehnya berpuluh-puluh pasang mata memancarkan dendam kepadanya. Berpuluh-puluh mata seolah-olah menyala dan akan membakarnya.
“Jangan, jangan.” sekali lagi ia berdesis.
“Kenapa kau Kuda Sempana?” sekali lagi Mahisa Agni bertanya. Dan orang-orang Panawijen yang mendengarnya menjadi saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, apa yang dikatakan oleh Kuda Sempana itu.
“Oh.” desis Kuda Sempana di dalam hatinya, “mereka sudah mulai. Mereka sudah saling mengangguk dan memberi tanda untuk mulai mencincangku.”
Kuda Sempana menjadi semakin ngeri. Kenapa ia tidak mati saja dibunuh Mahisa Agni, dan kenapa ia begitu bodoh untuk ikut serta dengan Mahisa Agni pergi ke sarang serigala yang sedang gila ini. Kuda Sempana menjadi semakin ketakutan. Dilihatnya mata yang terpaku kepadanya itu. Sepasang-pasang, seolah-olah sudah menyala. Tiba-tiba Kuda Sempana itu melangkah surut dengan tubuh gemetar. Dan tiba-tiba pula tanpa disangka-sangka ia meloncat ke atas punggung kudanya. Dengan penuh ketakutan, disentakkannya kendali kudanya sehingga kuda itu melonjak dan berlari kencang-kencang.
Sekejab Mahisa Agni terpaku. Tetapi kemudian melonjaklah di dalam hatinya pertanyaan, “Apakah ia menjadi terganggu otaknya melihat bayangan kesalahannya yang bertumpuk-tumpuk itu pada wajah orang-orang Panawijen?”
Namun Mahisa Agni sejenak kemudian menyadari keadaan itu. Iapun segera meloncat di atas punggung kuda yang diambilnya dari Kemundungan. Kuda Kebo Sindet. Dan di pacunya pula kuda itu menyusul Kuda Sempana. Ternyata bahwa kuda Kebo Sindet itu adalah kuda yang baik sekali, sehingga Mahisa Agni kemudian berharap, bahwa ia akan dapat segera menyusul Kuda Sempana yang berpacu seperti orang gila.
“Kuda Sempana, kenapa kau?” Mahisa Agni mencoba memanggilnya. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak berpaling. “Berhentilah.”
Kuda Sempana masih tetap berpacu terus.
“Kenapakah anak itu.” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, ia pasti telah dibayangi oleh dosa-dosa yang dibawanya. Mudah-mudahan ia tidak menjadi gila. Mahisa Agni pun kemudian mempercepat derap kaki kudanya. Ia harus segera dapat menyusulnya. Dalam keadaan yang demikian Kuda Sempana akan dapat menjadi orang yang sangat berbahaya.
Dikejauhan orang-orang Panawijen melihat dua ekor kuda itu berpacu semakin lama semakin jauh dan samar. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Agni berhasil mendekati Kuda Sempana dan berpacu di sampingnya. Namun Mabisa Agni itu terkejut bukan buatan ketika tiba-tiba Kuda Sempana menarik pedang yang tergantung di lambungnya.
Sejenak Mahisa Agni seolah-olah membeku di punggung kudanya yang masih berlari di samping kuda Kuda Sempana. Sorot matanya memancarkan keheranan dan keragu-raguan melihat sikap anak muda itu. Namun sejenak kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya dan berkata, “Kau kehilangan keseimbangan berpikir Kuda Sempana.”
“Persetan.” sahut Kuda Sempana sambil menggertakkan giginya, “Kau membawa ke tengah-tengah orang-orang gila itu untuk menjadikan aku pertunjukan yang menyenangkan sekali buat mereka. Kau bawa aku kepada mereka, supaya mereka mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam akan mencincang tubuhku sampai lumat.”
“Kau salah paham.”
“Omong kosong. Aku melihat wajah-wajah yang bengis memancarkan dendam sedalam lautan. Mereka beramai-ramai ingin merobek-robek tubuhku melampaui buaya-buaya kerdil di Kemundungan.”
“Mereka sama sekali bukan orang-orang yang sebuas itu.”
“Aku melihat sorot mata mereka. Aku mendengar mereka berbisik-bisik untuk mencincangku.”
“Bagaimana kau dapat mendengar? Kau berdiri agak jauh dari mereka.”
“Ya, tetapi aku mendengarnya. Mereka mengira aku tawananmu dan sengaja kau bawa dan kau serahkan kepada mereka.”
“Tidak. Seandainya demikian aku tidak akan memberi kesempatan kau membawa pedangmu.”
“Itu hanya sebuah pcrmainan yang licik. Kalau aku tahu demikian, maka aku biarkan kau mati dicincang oleh Kebo Sindet. Aku tidak akan memberikan pedangku kepadamu saat itu.”
“Kau salah mengerti Kuda Sempana. Aku akan menjadi jaminan bahwa kau tidak akan diperlakukan demikian.”
“Aku tidak mau. Kembalilah kepada mereka. Aku akan mencari jalanku sendiri. Aku akan menentukan nasibku sebagai seorang laki-laki. Aku tidak perlu perlindunganmu. Aku tidak perlu jaminan orang lain untuk keselamalan diriku. Aku sudah cukup kuat untuk membuat ceritera tentang hidupku sendiri.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling, maka orang-orang Panawijen sudah tidak tampak lagi. Seolah-olah telah bersembunyi dibalik garis batas antara langit dan bumi. Gerumbul-gerumbul liar telah menebari pandangannya pula.
“Hem.” Mahisa Agni berkata di dalam hati, “aku dapat berbuat sesuatu sekarang setelah orang-orang Panawijen itu tidak melihatnya, supaya tidak menumbuhkan kesan yang kurang baik kepada mereka.”
Kedua kuda itu masih saja berpacu, semakin lama semakin jauh. Di tangan kanan Kuda Sempana tergenggam pedangnya erat-erat, seolah-olah ia sedang menyongsong lawan yang datang dari arah yang berlawanan.
“Kuda Sempana.” terdengar suara Mahisa Agni, “cobalah kau berpikir agak tenang. Kau telah dihantui oleh kesalahan-kesalahanmu sendiri. Tetapi aku bukan orang yang tidak melihat kenyataan tentang dirimu. Pengalamanmu telah mengajarkan kepadamu, bahwa kau tidak boleh hanyut dalam arus perasaanmu. Kau harus mencoba berpikir. Keseimbangan antara nalar dan perasaan akan membuatmu menjadi tenang dan tidak terseret oleh arus yang membawamu ke sarang hantu semacam iblis Kemundungan itu.”
“Kau sendiri terperosok masuk ke dalamnya. Belajarlah pada pengalamanmu sendiri.”
“Ada perbedaan antara aku dan kau Kuda Sempana. Aku tidak ingin masuk ke dalamnya, karena aku mempunyai sikap yang berlawanan dengan mereka. Tetapi pada saat itu kau mempunyai beberapa persamaan kepentingan meskipun akhirnya kau hampir-hampir ditelannya. Bahkan gurumu pula.”
Kuda Sempana terdiam sejenak. Tetapi bayangan yang menghantuinya selalu mengikutinya kemana ia pergi. Wajah-wajah orang-orang Panawijen, sorot mata mereka, dan dosa yang tersimpan di dalam dirinya. Karena itu maka hatinya justru menjadi bertambah ngeri, sehingga dengan kasarnya ia berkata, “Sekarang apa maumu Agni. Aku tidak mau kembali kepada orang-orang Panawijen yang menjadi liar seliar serigala kelaparan.”
“Percayalah kepadaku, Kuda Sempana. Aku akan mencoba berbuat sebaik-baiknya. Aku bukan tidak mengenal terima kasih. Kepadamu dan kepada gurumu.”
“Bisa saja kau berkata Agni. Aku tidak dapat melihat hatimu.”
“Kau terlalu berprasangka karena wajah-wajah orang Panawijen itu kau anggap sebagai cermin yang dapat menunjukkan segala dosa-dosamu masa lalu. Tetapi mereka bukan pendendam. Mereka akan memaafkannya apabila kau telah benar-benar menyesalinya.”
“Omong kosong. Aku tidak akan datang kepada mereka. Aku akan menghadap Akuwu Tumapel, supaya aku digantung saja di alun-alun.”
“Akuwu Tumapel berada di perkemahan itu pula.”
Kuda Sempana terdiam pula sejenak. Kudanya masih berpacu semakin jauh, dan Mahisa Agni masih berada di sampingnya pula. Ia terkejut ketika Kuda Sempana kemudian membentaknya, “Pergi kau. Kembalilah kepada orang-orang Panawijen yang mengelu-elukan kau. Jangan ikuti aku.”
“Aku akan membawamu kembali kepada mereka, Kuda Sempana.”
“Tidak.”
“Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi atasmu apabila kau pergi sekarang. Mungkin kau dapat menjadi seorang pertapa yang mencoba membersihkan diri dari noda-noda yang melekat di tubuhmu. Tetapi kalau sesuatu sebab telah mendorongmu sekali lagi berbuat kesalahan, maka kau akan tersesat semakin jauh dan jauh. Kau tidak akan menemukan lagi jalan untuk kembali. Karena itu, dengarlah kata-kataku. Orang-orang Panawijen tidak akan berbuat apa-apa.”
“Tidak.”
“Jangan terlampau berkeras hati.”
“Cukup. Pergi kau. Jangan mencoba menghalangi aku. Aku akan mencari jalanku sendiri. Aku tidak mau dihinakan dan dibunuh seperti orang merampok macan.”
“Bukankah kau membawa pedang? Seandainya demikian, kau akan dapat melawan mereka. Tetapi percayalah bahwa hal itu tidak akan terjadi.”
“Tidak.”
Mahisa Agni mengerutkan dahinya. Ia menjadi bingung bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya untuk membawa Kuda Sempana itu kembali kepada orang-orang Panawijen atas kehendaknya pula, bukan karena dipaksa dengan kekerasan. Tetapi agaknya Kuda Sempana sudah tidak dapat berpikir lagi. Bayangan-bayangan yang mengerikan telah mengganggunya dan menakut-nakutinya.
Meskipun demikian Mahisa Agni tidak berputus asa. Sekali lagi masih mencoba, “Kuda Sempana. Jangan dipengaruhi oleh rasa bersalah terlampau dalam. Marilah, aku akan menjadi jaminan.”
“Tidak. Tidak, kau dengar.” tiba-tiba Kuda Sempana berteriak. Pandangan matanya menjadi terlampau tajam. Dengan suara parau ia berkata lantang, “Kembalilah kau Agni. Aku tidak memerlukanmu lagi. Aku tidak memerlukan orang-orang Panawijen itu pula. Aku tahu, kau memancing aku supaya aku berada di antara mereka. Kemudian aku akan menjadi tontonan yang paling mengerikan. Atau bahkan mungkin kau dan orang-orang Panawijen memerlukan tumbal untuk membuat bendungan itu dan menguburku hidup-hidup? Tidak. Aku tidak sebodoh itu.”
“Kau terlampau curiga.”
“Tidak. Pergi kau.”
“Aku tidak akan pergi Kuda Sempana. Aku akan mengikutimu seterusnya apabila kau tidak mau kembali kepada orang-orang Panawijen. Bukankah kau anak Panawijen, dilahirkan di Panawijen dan dibesarkan di Panawijen pula?”
“Persetan. Aku tidak peduli. Pergi kau. Kalau tidak, maka aku akan memaksamu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya Dengan sudut matanya ia mamandang ujung pedang Kuda Sempana yang sudah mulai bergetar.
“Pergi sebelum aku kehilangan kesabaran.” teriak Kuda Sempana semakin keras. Suaranya seolah-olah menggeletar memenuhi padang rumput Karautan yang luas itu.
“Tidak.” tiba-tiba suara Mahisa Agni pun meninggi.
“Setan kau Agni. Sejak semula aku memang ingin membunuhmu. Kalau kau tidak pergi juga maka kau akan terbunuh di sini. Mayatmu akan mengering dibakar oleh matahari, atau akan hancur dicincang oleh anjing-anjing liar yang berkeliaran di padang ini di malam hari.”
“Tidak. Aku tidak akan kembali tanpa membawamu.”
Terdengar Kuda Sempana menggeram. Tiba-tiba ditariknya kendali kudanya, sehingga kuda itu berhenti. “Kesempatan terakhir bagimu, Agni.” geram Kuda Sempana, “kalau tidak, aku penggal lehermu. Begitu tidak akan ada bedanya lagi. Aku hanya dapat dihukum mati satu kali meskipun aku membunuhmu pula di sini.”
Mahisa Agni pun kemudian berhenti pula. Dipandanginya mata Kuda Sempana yang menjadi liar, “Mudah-mudahan ia tidak berubah ingatan.” gumamnya di dalam hatinya Sementara itu ia masih mendengar Kuda Sempana berkata,
“Setiap orang agaknya menunggu kedatanganmu dengan penuh pengharapan. Akuwu sendiri sudah bersedia mencarimu dan mencoba membebaskanmu. Tetapi ternyata kau justru mati disini karena tanganku.”
Wajah Mahisa Agni pun menjadi semakin lama semakin tegang. Kecemasan yang sangat telah mendebarkan jantungnya. Agaknya Kuda Sempana benar-benar tidak dapat lagi berpikir dengan bening. “Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni, “apakah kau akan membunuh aku?”
“Ya.”
“Apakah kau sudah berpikir dengan baik, dan telah bulat di hatimu untuk melakukannya?”
“Ya. Kau terlalu memuakkan bagiku. Meskipun begitu kau masih mendapat kesempatan terakhir. Pergilah.”
Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih duduk diam di atas punggung kudanya yang diam pula.
“Pergi. Pergi, pergi sejauh-jauhnya dari padaku. Cepat.” Kuda Sempana berteriak-teriak sekeras-kerasnya. Suaranya bergetar kesegenap ujung padang. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak bergerak.
“Setan. Kau benar-benar mau mati.” Kuda Sempana menggeram. Matanya yang liar itu menjadi semakin liar.
“Jangan. Jangan Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni yang mencoba mencegahnya.
Tetapi Kuda Sempana sudah tidak mendengarnya. Tiba-tiba disentakkannya kudanya dan meloncat berlari. Sedang Kuda Sempana telah siap pula dengan pedangnya, menyerang Mahisa Agni yang masih duduk termangu-mangu.
Sementara itu diperkemahan orang-orang Panawijen menjadi bingung. Mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja Kuda Sempana melarikan dirinya dan kemudian dikejar oleh Mahisa Agni. Mereka melihat bahwa Mahisa Agni semakin lama berhasil mendekati Kuda Sempana. Tetapi kedua ekor kuda yang semakin lama semakin kecil itu kemudian hilang ditelan cakrawala dan gerumbul-gerumbul kecil yang bertebaran disana-sini. Dan ternyata hal itu telah menumbuhkan kegelisahan pula. Bukan saja di antara orang-orang Panawijen, tetapi juga para prajurit Tumapel. Ken Arok yang masih berdiri termangu-mangu di samping Ki Buyut Panawijen berpaling ketika terasa pundaknya disentuh orang.
“Bagaimana dengan kedua orang yang memamerkan kecakapannya naik kuda itu.” suara itu adalah suara Kebo Ijo.
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam.
“Aku tidak tahu, apakah yang terpancang di dalam otak mereka. Mereka datang bersama-sama. Memamerkan diri, dan kemudian berlari-larian pergi lagi.” berkata Kebo Ijo pula.
“Ah.” Ken Arok berdesah dan Ki Buyut Panawijen mengerutkan keningnya yang sudah dikerutkan oleh garis-garis ketuaannya.
“Apakah kau dapat mengerti maksud mereka itu datang?” bertanya Kebo Ijo pula.
“Ada yang tidak wajar telah terjadi Kebo Ijo.” jawab Ken Arok kemudian. “aku tidak tahu, kenapa hal itu terjadi. Tetapi tanggapanku agak lain. Mereka sama sekali tidak bermaksud demikian. Mereka sendiri sama sekali tidak pernah merencanakan apa yang telah terjadi itu.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum. Senyum yang penuh prasangka. Sejenak ia tidak berkata apapun selain mengangguk-angguk. Ditatapnya padang yang luas itu seakan-akan ingin menembus batas langit dan melihat apa yang dilakukan Mahisa Agni dan Kuda Sempana.
“Hem.” tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam, “permainan apakah yang sedang mereka perankan?”
Ken Arok tidak menyahut. Tetapi ia berkata, “Aku menjadi cemas. Mungkin aku dapat menyusulnya apabila perlu.”
“He,” Kebo Ijo terperanjat, “apakah kau benar-benar bermaksud demikian.”
“Apabila mereka tidak segera kembali.”
“Tidak ada gunanya. Kau tidak tahu kemana mereka pergi. Setelah mereka tidak tampak lagi, maka kita di sini mengerti, apakah mereka berbelok kekanan atau ke kiri atau terus ataupun lagi.”
“Aku mcngenal padang rumput Karautan seperti aku mengenal rumahku sendiri.” jawab Ken Arok, “aku mengenal setiap sudutnya. Dan aku tahu caranya bagaimana menyusul Mahisa Agni dan Kuda Sempana meskipun aku tidak melihat arah mereka. Bukankah kuda-kuda mereka meninggalkan jejak? Aku pernah menjadi seorang pencari jejak. Meskipun seandainya sekarang turun hujan, aku akan dapat mengikuti jejaknya sampai keujung langit sekalipun.”
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepala. “Ya, aku percaya. Aku percaya kalau kau bisa mengikuti jejaknya. Tetapi dibalik sebuah gerumbul yang lebat kau akan diterkamnya.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Siapa?”
“Menurut penilaianku.” berkata Kebo ijo kemudian, “ternyata Mahisa Agni dan Kuda Sempana sama sekali belum terlepas dari tangan Kebo Sindet. Mereka datang kemari justru membawa tugas untuk memancingmu. Kau atau Akuwu. Dengan permainannya itu, maka mereka akan disusul. Nah, pada saatnya Kebo Sindet menerkammu dari balik gerumbul-gerumbul liar dan menjadikan kau alat untuk memeras seperti Mahisa Agni.”
Ken Arok terdiam sejenak. Tetapi kemudian berkata, “Tidak masuk akal. Buat apa Kebo Sindet menangkap aku? Kau barangkali atau Ki Buyut Panawijen? Jalan pikiranmu dipengaruhi oleh sikapmu yang aneh. Kau memandang setiap orang, setiap kejadian dan setiap persoalan dari segi yang paling buruk.”
Kebo Ijo menegangkan wajahnya. Tetapi kemudian ia tersenyum pula, “Aku senang mendengar penilaianmu atasku.”
“Coba katakan, siapakah manusia yang baik didunia ini? Mahisa Agni, Akuwu Tunggul Ametung, kakak seperguruanmu sendiri Witantra dan barangkali juga Mahendra. Semua jelek di dalam pandanganmu.”
Kini Kebo Ijo itu justru tertawa. Katanya, “Aku hanya memperingatkan kau supaya kau berhati-hati. Kebo Sindet adalah orang yang paling berbahaya.”
“Seandainya benar dugaanmu, bahwa Mahisa Agni telah dijadikan alat oleh Kebo Sindet bersama-sama dengan Kuda Sempana untuk memancing aku sekalipun, aku bersedia menghadapinya. Aku sama sekali tidak gentar seandainya aku bertemu dengan Kebo Sindet dimanapun.”
Suara tertawa Kebo Ijo mengeras. “Kau jangan terlampau sombong. Kau harus mampu membuat perhitungan atas kekuatan seseorang.”
“Itu soal lain. Akan tetapi aku berani berhadapan. Aku sama sekali tidak peduli apakah kemudian aku akan mati dicincangnya.”
Suara tertawa Kebo ijo terhenti. Ia melihat wajah Ken Arok menjadi tegang. Agaknya orang itu berkata bersungguh-sungguh, sehingga Kebo Ijo pun tidak menyahut lagi.
“Meskipun demikian.” berkata Ken Arok kemudian, “aku tidak akan pergi menyusulnya sekarang. Aku akan menunggu. Apabila ia terlampau lama, barulah akan pergi. Sekarang kita akan melanjutkan kerja kita. Agaknya kita sudah sedikit terlambat.”
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut. Ia ikut saja diantara orang Panawijen dan para prajurit yang segera kembali ke perkemahan dan bersiap-siap untuk pergi ke bendungan melanjutkan kerja mereka.
Ki Buyut yang kecemasan pun pergi pula kebendungan meskipun setiap kali diangkatnya wajahnya, dilemparkannya ke tengah-tengah padang untuk mencoba melihat seandainya Mahisa Agni kembali ketengah-tengah mereka lagi. Tetapi sampai matahari merayap semakin tinggi, mereka masih belum melihatnya. Bahkan kehadiran Mahisa Agni itu pun agaknya seperti sebuah mimpi saja. Datang lalu lenyap, meskipun kesannya masih tinggal di dalam angan-angan.
Ken Arok pun ternyata tidak bekerja dengan tenang. Ia memang merasa sangat heran menanggapi peristivva itu. Mahisa Agni datang membawa Kuda Sempana. Lalu mereka berkejar-kejaran pergi. “Kuda Sempana juga membawa pedang.” desisnya di dalam hati, “aku sama sekali tidak mengerti.”
Sedang Akuwu yang telah mendapat laporan tentang hal itu tidak pula kalah herannya. Sambil berjalan mondar mandir di dalam gubugnya yang rendah ia bergumam, “Anak itu sudah menjadi gila. Keduanya. Kuda Sempana dan Mahisa Agni.” Namun sejenak kemudian Akuwu itu berkata hampir berteriak, “Apabila sebentar lagi mereka tidak datang, siapkan pasukanmu Witantra. Aku akan menyusulnya. Aku menjadi curiga dan tidak menemukan jawabnya. Aku harus mengejar mereka, mencari kemanapun mereka pergi.”
Sementara itu di Padang Karautan Kuda Sempana menyerang Mahisa Agni sejadi-jadinya, tanpa terkendali sama sekali. Pedangnya menyambar-nyambar seperti loncatan kilat di langit. Kudanya pun ternyata kuda yang baik. Seperti garuda di angkasa yang setiap kali menukik. menyambar dengan dahsyatnya. Berputar-putar kemudian kembali menyambar lagi tidak henti-hentinya. Mata Kuda Sempana yang kemerah-merahan menjadi kian liar, seperti mata hantu yang kehausan melihat darah yang merah dan segar memancar dari luka.
Mahisa Agni menjadi semakin cemas melihat Kuda Sempana yang kehilangan akal. Agaknya ia benar-benar terganggu karena cermin yang membayangkan betapa besar kesalahan yang pernah diperbuatnya atas tanah kelahirannya, Panawijen. Sehingga karena itu maka ia telah kehilangan kesempatan untuk berpikir. Wajah-wajah orang Panawijen yang memancarkan harapan dan kegembiraan karena kehadiran Mahisa Agni, dalam tangkapan mata Kuda Sempana, seolah wajah-wajah yang penuh membayangkan dendam dan kebencian kepadanya. Sehingga dengan demikian, Kuda Sempana telah memilih jalan untuk membunuh diri dari pada jatuh ketangan orang-orang Panawijen yang menurut anggapannya akan memperlakukannya dengan kejam.
Beberapa lama ia berada di tangan Kebo Sindet yang selalu memilih cara yang paling mengerikan untuk membunuh korbannya, sehingga hal itu berpengaruh terlampau dalam di dalam benaknya. Ketika ia berhadapan dengan orang-orang Panawijen, maka gambaran-gambaran itu muncul kembali, seolah-olah membayang disetiap wajah. Kebuasan dan kekejaman Kebo Sindet seakan-akan membayang satu-satu pada orang-orang Panawijen yang sedang menyambut kedatangan Mahisa Agni itu. Dan Kuda Sempana menjadi terlampau ngeri.
Kini ia bertempur mati-matian tanpa mengendalikan dirinya lagi. Ia memang ingin lepas dari tangan orang-orang Panawijen atau mati dengan menggenggam senjata di tangan. Karena itulah maka ia tidak mau surut. Dengan berteriak-teriak nyaring Kuda Sempana mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ilmu yang diterimanya gurunya, Empu Sada, dipengaruhi oleh kekasaran dan kebuasan Kebo Sindet, menjadi ilmu yang tampaknya mengerikan sekali. Sekali-sekali tampak kegarangan Empu Sada yang meskipun kadang-kadang licik, namun kemudian dicerminkannya keliaran Kebo Sindet yang sama sekali tidak memperhatikan kesopanan di dalam tata perkelahian.
Tetapi Mahisa Agni kini bukan Mahisa Agni yang dahulu pernah juga berkelahi melawan Kuda Sempana. Mahisa Agni kini telah menjadi jauh lebih masak lahir dan batin. Ilmunya telah benar-benar mengendap meskipun ia masih memerlukan banyak pengalaman. Tempaan batin selama ia berada di sarang Kebo Sindetpun telah membuatnya bertambah dewasa dalam menghadapi setiap persoalan. Ternyata Mahisa Agni tidak menjadi seorang anak muda yang kehilangan kediriannya seperti yang dikehendaki oleh Kebo Sindet, meskipun pada saat-saat itu Mahisa Agni menunjukkan tanda-tanda yang demikian. Tetapi ternyata Mahisa Agni bahkan menjadi seorang yang matang lahir dan batinnya.
Itulah sebabnya maka dalam menghadapi Kuda Sempana itu pun ia sama sekali tidak terlampau tergesa-gesa. Dengan penuh pertimbangan ia melayaninya. Kadang-kadang kudanya pun didorongnya untuk berlari surut, kemudian berputar mengimbangi putaran-putaran kuda Kuda Sempana. Apabila dengan garangnya Kuda Sempana menyerangnya, maka Mahisa Agni pun dengan sigapnya mengelak.
Tetapi sedemikian jauh, Mahisa Agni masih berbuat dalam landasan kesadarannya sepenuhnya. Ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang kehilangan akal dan bahkan sedang terganggu jiwanya. Karena itu, maka ia harus berbuat bijaksana. Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni sama sekali tidak melakukan perlawanan dengan bersungguh-sungguh.
Tetapi ternyata Kuda Sempana yang sedang berhati gelap itu merasa semakin lama semakin gelap. Sikap Mahisa Agni ditanggapinya dari sudut yang gelap pula. Sehingga ketika Mahisa Agni masih juga belum melawannya berkelahi ia berteriak, “Agni, apakah yang kau tunggu. Jangan terlampau menghina. Ayo, cabut pedangmu dan kita bertempur secara jantan. Aku atau kau yang akan mati terkapar di Padang Karautan ini.”
“Apakah itu perlu sekali kita lakukan Kuda Sempana.” bertanya Mahisa Agni.
“Kau jangan mencoba melemahkan tekadku. Aku benar-benar berusaha membunuhmu, atau kau yang membunuhku. Kita sudah mulai, dan hanya mautlah yang dapat menghentikannya.”
“Kau terlampau perasa. Sebaiknya kau mencoba berpikir.”
“Tidak ada kesempatan lagi. Sebelum aku menemukan keputusan aku sudah diikat di pinggir bendungan. Mungkin aku akan mengalami hukum picis. Dirobek-robek tubuhku perlahan-lahan.”
“Kau terlampau berprasangka.”
“Kau memancingku. Ayo, kita bertempur.”
Tandang Kuda Sempana ternyata semakin lama menjadi semakin liar. Ia sama sekali tidak mau mempergunakan otaknya. Bahkan didalam perkelahian itupun Kuda Sempana sama sekali sudah tidak mempertimbangkan lagi cara-cara yang dipergunakan. Unsur-unsur geraknya sama sekali tidak dipikirkannya. Sebenarnyalah bahwa ia telah berputus asa. Ia memang merasa bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Mahisa Agni. Tetapi ia tidak mau menyerah dan dibawa kembali kepada orang-orang Panawijen yang disangkanya akan melepaskan dendam dan kebencian mereka.
Mahisa Agni pun semakin cemas melihat sikap Kuda Sempana itu. Wajahnya menjadi semakin cemas melihat sikap Kuda Sempana itu. Wajahnya menjadi tegang, dan kadang-kadang terbersit didalam hatinya untuk membawa Kuda Sempana dengan kekerasan. Tetapi apabila demikian, maka Kuda Sempana akan merasa semakin ngeri. Dalam keadaan demikian, ia dapat berbuat di luar dugaan. Setiap kemungkinan akan dipergunakannya untuk mencoba membunuh diri, menghindarkan diri dari kemungkinan mati dengan mati dengan cara yang paling tidak disenanginya.
Sementara itu matahari sudah menjadi semakin tinggi. Sedang sama sekali belum ada tanda-tanda bahwa Kuda Sempana akan dapat mengerti. Semakin banyak keringat membasahi tubuhnya, maka agaknya ia pun menjadi semakin liar dan buas.
“Aku tidak akan dapat terus-menerus meladeni orang yang terganggu jiwanya ini.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “aku harus menemukan suatu cara untuk menjinakkannya. Tetapi apabila tidak mungkin, apa boleh buat. Kuda Sempana akan menjadi sangat berbahaya di dalam kegilaannya.”
Dengan demikian maka Mahisa Agni kemudian tidak saja hanya lelalu menghindari serangan Kuda Sempana, tetapi iapun kemudian mulai mengganggu lawannya pula. Sekali-sekali ia menangkis dan menyerangnya meskipun tidak menentukan akhir dari perkelahian itu. Mahisa Agni memang ingin membuat Kuda Sempana semakin bernafsu dan kemudian akan menjadi kelelahan.
“Mudah-mudahan ia kemudian dapat mempergunakan otaknya.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Demikianlah maka Kuda Sempana bertempur semakin sengit. Dikerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Keringatnya yang mengalir semakin deras, seakan-akan terperas dari tubuhnya. Tetapi senjatanya sama sekali tidak mampu menyentuh Mahisa Agni. Apa lagi melukainya. Karena itu maka hatinya menjadi semakin bingung dan pepat. Bayangan-bayangan yang mengerikan semakin lama semakin mencengkamnya dalam ketakutan.
“Ayo Agni. Kenapa kau ragu-ragu. Aku laki-laki juga seperti kau. Kalau aku tidak mampu membunuhmu, bunuhlah aku.”
Tetapi Mahisa Agni tidak menjawab. Sekali-sekali disentuhnya tubuh Kuda Sempana. Kadang-kadang agak keras sehingga Kuda Sempana merasakan akibat dari sentuhan-sentuhan itu. Sakit. Dan perasaan sakit itu semakin banyak menyengat tubuhnya. Hampir disegala tempat. Namun dengan demikian Kuda Sempana menjadi semakin bernafsu. Betapapun juga, ia tidak mau menyerah. Ia harus berkelahi sampai selesai. Dibunuh atau membunuh.
Karena itu, setelah ia tidak berhasil melawan Mahisa Agni dengan kewajaran ilmunya, maka dalam kegelapan hati, dikerahkannya segenap kemampuan lahir dan batinnya. Dibangunkannya ilmunya yang paling tinggi dalam tatarannya. Aji pamungkasnya. Disalurkannya segenap getaran di dalam dirinya, semua cadangan kekuatannya yang tersimpan di dalam tubuhnya ke dalam tangannya yang menggenggam pedang.
Dada Mahisa Agni berdesir melihat sikap itu. Ia kenal, bahwa dengan demikian Kuda Sempana sudah sampai kepada puncak ilmunya. Sehingga dengan serta merta Mahisa Agni berteriak, “Jangan Kuda Sempana, jangan.”
Tetapi hati yang gelap itu menjadi semakin gelap. Meskipun Kuda Sempana mendengarnya, tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya. Sehingga akhirnya ia telah sampai pada puncak kekuatannya.
Sejenak Mahisa Agni menjadi termangu-mangu. Bagaimana ia harus melawannya? la tahu, betapa kekuatan aji itu. Tetapi kesempurnaan di dalam pengucapannya, mereka berada dalam tingkatan yang jauh berbeda. Mahisa Agni telah mencapai tingkat sejajar dengan Empu Sada sendiri, meskipun masih diperlukan pengetrapan yang lebih mantap. Tetapi ia telah mampu melawan kekuatan aji yang dilepaskan oleh Kebo Sindet, meskipun senjatanyalah yang pada saat itu tidak berhasil bertahan karena benturan dua kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, meskipun pedangnya waktu itu tidak kalah kuatnya dengan pedang yang dipergunakan oleh Kuda Sempana kini, yang diambilnya dari kumpulan senjata yang berpuluh-puluh jumlahnya di dalam sarang Kebo Sindet.
“Kekuatan kami saat itu hampir berimbang.” desis nya, “sehingga aku dan Kebo Sindet masing-masing tidak mengalami bencana di dalam diri masing-masing yang dapat menentukan hidup mati kami. Tetapi sekarang apakah Kuda Sempana tidak akan terganggu oleh benturan itu?”
Dalam keragu-raguan Mahisa Agni melihat Kuda Sempana telah mempersiapkan dirinya. Kini ia telah mulai meluncur di atas punggung kudanya, menyerangnya berlambaran aji tertingginya. Dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar Tiba-tiba ditariknya kendali kudanya. Dilarikannya kudanya menghindari serangan Kuda Sempana.
“He, jangan lari pengecut.” tariak Kuda Sempana.
Tetapi Mahisa Agni tidak mempedulikannya. Dipacunya kudanya semikin cepat, sementara Kuda Sempana mengejarnya dengan penuh nafsu. Ternyata Mahisa Agni tidak berlari jauh. Ia hanya memutar kemudian melingkar-lingkar.
“Agni, marilah kita bertempur secara jantan. Tanggon sebagai laki-laki. Jangan berlari-larian.” teriak Kuda Sempana sambil mengacungkan pedangnya.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia masih terus melarikan kudanya berputar-putar.
“He, apakah kau sudah gila?” teriak Kuda Sempana pula.
Mahisa Agni tersenyum di dalam hati. Memang orang yang terganggu jiwanya dapat saja menyebut orang lain seolah-olah menjadi gila. Tetapi orang itu tidak sempat menilik ke dalam dirinya sendiri.
“Berhenti. Berhenti.”
Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Bahkan kadang-kadang diperlambatnya kudanya, namun kemudian dipercepatnya. Ia menyadari bahwa kuda yang dipergunakan agak lebih baik dari Kuda Sempana.
Sikap Mahisa Agni ternyata membuat Kuda Sempana menjadi semakin gila. Hatinya yang pepat menjadi semakin pepat. Ia benar-benar sudah tidak dapat membedakan mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak. Sedemikian hatinya disaput oleh kekelaman, sehingga tidak dilihatnya lagi cara yang dapat dipergunakan ya untuk menyerang Mahisa Agni, selain satu-satunya yang dapat dilakukannya. Melontarkan pedang kearahnya.
Dan ternyata Kuda Sempana yang sedang kegelapan itu mempergunakan cara itu. Dengan penuh kemarahan, dengan kekuatan aji pemungkasnya, maka dilontarkannya pedangnya kearah Mahisa Agni yang masih berputar-putar di sekitarnya. Ternyata lontaran pedang yang dilambari oleh kekuatan yang dahsyat itu, benar-benar mengagumkan. Seperti tatit yang meloncat di langit, pedangnya meluncur dengan kecepatan yang tidak terduga-duga, mengarah langsung ke leher Mahisa Agni.
Mahisa Agni terkejut melihat lontaran itu. Kekuatan aji Kuda Sempana didorong oleh kecepatan berlari kudanya, ternyata telah menimbulkan kekuatan yang luar biasa. Dan kekuatan yang luar biasa itu telah diungkapkan oleh lontaran pedangnya mengarah Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni kini telah memiliki ilmu yang cukup untuk menanggapi keadaan itu. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, Mahisa Agni membungkukkan badannya melekat pada punggung kudanya, sehingga tepat pada saatnya, pedang Kuda Sempana terbang di atasnya. Kalau ia terlambat sekejap saja, maka ujung pedang itu pasti sudah melobangi tubuhnya.
Kuda Sempana memandangi senjatanya yang berlari di atas tubuh Mahisa Agni itu dengan dada yang berdebar-debar. Apalagi ketika ia melihat bahwa ia sama sekali tidak berhasil melukai Mahisa Agni, apalagi menjatuhkannya, agaknya anak muda itu tidak selalu mengejarnya meskipun seandainya tidak mematikannya. Tetapi ternyata bahwa pedangnya sama sekali tidak menyentuh sasarannya.
Kuda Sempana menggeretakkan giginya ketika ia melihat Mahisa Agni kemudian tegak kembali di atas punggung kudanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian terdengar suara Mahisa Agni, “Kuda Sempana. Kau benar telah menjadi mata gelap. Apakah kau sadari apa yang telah kau lakukan?”
“Aku sadar sepenuhnya.” jawab Kuda Sempana.
“Bagaimana kalau pedang itu mengenai sasarannya dan aku jatuh terkapar, mati di Padang Karautan ini?”
“Sudah menjadi keputusanku. Kau atau aku.”
“Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni, “aku sudah bersusah payah berusaha membebaskan diri dari tangan Kebo Sindet karena aku masih ingin hidup. Aku masih ingin melihat bendungan di Padang Karautan itu dapat mengangkat air ke sawah-sawah. Aku masih ingin melihat hamparan tanah persawahan yang hijau di atas padang yang selama ini kering kerontang, untuk menggantikan padukuhan Panawijen yang menjadi kuning kemerah-merahan seperti habis terbakar.”
“Aku tidak peduli.”
“Mungkin kau tidak akan mempedulikan keinginan-inginanku itu. Tetapi kau sebagai anak Panawijen, yang dilahirkan dan dibesarkan di tanah itu, apakah kau tidak mempunyai keinginan serupa dengan aku.”
“Aku sudah terasing dari tanah ini. Aku sudah terasing dari orang-orang Panawijen. Wajah-wajah mereka menunjukkan kebencian dan kemarahan. Bahkan dendam. Buat apa aku kembali kepada mereka dengan keinginan-inginan yang cengeng seperti keinginanmu itu? Aku tidak mau. Aku bukan anak-anak lagi yang masih selalu merindukan perlindungan biyung.”
“Bukan itu soalnya Kuda Sempana. Soalnya karena kau sudah merasa berbuat salah. Jangan kau hantui hatimu sendiri dengan kesalahan-kesalahan itu. Kalau kau pada suatu saat tidak berani mengakhiri keadaan ini, maka kau akan terdorong semakin lama semakin jauh. Tetapi kalau kau berani memutuskan, bahwa sekarang adalah saatnya untuk kembali dan menyesali semua kesalahan itu, maka untuk seterusnya kau akan terlepas dari padanya.”
“Jangan membujuk aku.”
“Tidak. Aku tidak sedang membujukmu. Aku tahu, kaupun tidak sadang merajuk seperti anak-anak yang kecewa. Tetapi kau sedang ketakutan. Takut melihat bayanganmu sendiri. Bayangan yang penuh dengan noda.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kesalahanmu kini adalah, bahwa kau memandang setiap orang dengan sudut pandangan yang buram. Kau anggap bahwa setiap orang selalu menyimpan dendam di dalam hatinya.”
“Cukup. Kau jangan membual Agni. Aku bukan anak-anak yang dapat kau tipu dengan muslihat itu.”
“Terserahlah kepadamu. Tetapi dengar, Kuda Sempana. Seandainya orang-orang Panawijen itu menyimpan dendam di dalam hati, maka akulah yang paling mendendammu. Aku mengalami bencana yang jauh lebih dahsyat dari yang mereka alami. Aku menghayati betapa pahitnya hidup di tangan orang-orang gila seperti Kebo Sindet dengan segala macam rencananya.”
“Karena itulah maka kau mendendamku sampai ke ujung ubun-ubun. Karena itulah maka kau selalu mengejarku sampai saat ini untuk menjerumuskan aku ke dalam bencana yang paling dahsyat. Kau ingin melihat aku dicincang oleh orang-orang Panawijen atau dihukum picis diterik matahari padang yang kering, atau dikubur hidup-hidup untuk dijadikan tumbal bendungan yang masih belum siap itu.”
“Itulah yang aku maksud Kuda Sempana. Kau memandang semua orang dari segi itu. Dari segi yang gelap. Tetapi kau melupakan sifat-sifat orang-orang Panawijen. Kau memang terlalu lama terpisah daripada mereka. Tetapi percayalah, mereka bukan mendendam dan bukan orang-orang buas yang senang melihat darah. Apalagi melihat kekejaman yang melampaui batas. Bahkan seandainya hukum picis itu benar-benar ada, maka seandainya orang-orang Panawijen berkesempatan untuk menyaksikan, mereka pasti akan pingsan bersama-sama.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “Tetapi tidak demikian dengan prajurit-prajurit Tumapel. Sudah lama mereka bekerja di Padang Karautan. Sudah lama mereka tidak melihat darah. Dan mereka akan mendapat umpan, Aku.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Begitukah sifat prajurit-prajurit Tumapel menurut tangkapanmu?”
Kuda Sempana tidak segera menyahut. Tetapi ditatapnya mata Mahisa Agni dengan tajamnya. Sekilas merambat di hatinya, setitik air yang bening. Tetapi sejenak kemudian ia berteriak pula, “Omong kosong. Lihat, betapa dari sepasang matamu memancar dendam dan kebencian tiada taranya. Ayo, bersiaplah. Kita lanjutkan perkelahian ini sampai salah seorang dari kita mati. Kalau kau masih tetap memaksaku kembali kepada serigala-srigala kelaparan itu, maka ayolah. Kau atau aku.”
Dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Wajah Kuda Sempana menjadi semakin liar. Maskipun kini ia sudah tidak bersenjata, tetapi agaknya ia benar-benar ingin bertempur sampai mati. Sejenak Mahisa Agni duduk dalam kebimbangan. Ditatapnya saja mata Kuda Sempana yang liar itu. Namun ketika Kuda Sempana telah bersap untuk menyerangnya, maka Mahisa Agni itupun segera mempersiapkan dirinya pula. Tetapi tiba-tiba terbersit suatu pikiran yang dianggapnya baik untuk menundukkan Kuda Sempana.
Sementara itu Kuda Sempana telah mulai pula dengan serangannya. Meskipun tanpa senjata, tetapi Mahisa Agni terpaksa menghindarinya. Ia masih berusaha untuk tidak membuat benturan-benturan dengan Kuda Sempana supaya tidak terjadi sesuatu pada tubuhnya. Namun Kuda Sempana sama sekali sudah tidak dapat memperhitungkan lagi.
Mahisa Agni yang sedang memikirkan suatu cara untuk menguasai lawannya itu hanyalah selalu mencoba menghindar. Berputar-putar dan melingkar-lingkar saja. Didalam kepalanya bergolaklah suatu pikiran yang meskipun tidak dikehendaki tetapi agaknya dapat menolong keadaan. Kuda Sempana ternyata menjadi kehilangan pertimbangan karna didorong oleh rasa takut dan cemas akan nasibnya. Bukan karena ia takut mati, tetapi ia tidak mau diperlakukan dengan cara yang mengerikan. Sebab menurut gambaran-gambaran di dalam otaknya, orang-orang Panawijen akan melepaskan dendam yang tersimpan di dalam hati mereka dengan cara yang hampir setiap saat ditemuinya di dalam sarang Kebo Sindet.
“Aku harus membuat imbangan.” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “aku harus sedikit menyombongkan diri. Biarlah untuk saat-saat seperti ini.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Kuda Sempana membentak-bentak, “Ayo Mahisa Agni. Tunjukkanlah kejantananmu. Jangan hanya selalu menghindar saja. Dimanakah keberanianmu yang kau banggakan selama ini?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekali ia harus menghindar dan berputar, sementara Kuda Sempana sedang memperbaiki keadaannya, karena kudanya terdorong beberapa langkah. “Kuda Sempana.” berkata Mabisa Agni kemudian, “Apakah kau sudah benar-benar siap untuk bertempur melawan aku?”
Kuda Sempana terkejut mendengar pertanyaan itu, sehingga dengan serta merta ia menjawab, “Apakah kau sudah menjadi buta, atau kehilangan dasar pengamatan? Kau lihat, aku sudah siap untuk berbuat apapun.”
Tiba-tiba Mahisa Agni tertawa, Kuda Sempana sekali lagi terperanjat mendengar suara tertawa itu. Meskipun perlahan-lahan, tetapi sangat menyakitkan hati. Hampir sepanjang perkenalannya dengan Mahisa Agni, ia belum pernah mendengar dan melihat Mahisa Agni tertawa seperti itu.
“Jangan bergurau Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni kemudian, “bersiaplah. Aku akan segera mulai.”
Terdengar Kuda Sempana menggeram, “Aku sudah siap. Siap untuk membunuh atau dihunuh.”
“Apakah kau benar-benar ingin melawan aku?”
“Persetan. Cepat, mulailah.”
“Kuda Sempana. Aku benar-benar akan mulai apabila kau benar-benar telah siap pula. Beradalah dalam kemungkinan yang setinggi-tingginya. Kau segera akan melawan Mahisa Agni.”
Wajah Kuda Sempana menjadi semakin marah. “Kau terlalu sombong, pembual. Ayo berbuatlah sesuatu. Jangan hanya berbicara tanpa ujung dan pangkal. Kalau kau ingin mempergunakan pedangmu, pergunakanlah.”
Telinga Kuda Sempana menjadi semakin sakit ketika ia mendengar sekali lagi Mahisa Agni tertawa. Lebih menyakitkan hati, “Kuda Sempana. Jangan terlampau bernafsu. Sebaiknya kau melihat dirimu lebih dahulu. Siapkah yang kau hadapi sekarang.”
Terasa dada Kuda Sempana berdesir. Dan ia mendengar Mahisa Agni berkata, “Apabila kau menganggap bahwa orang-orang Panawijen ingin melepaskan dendamnya dengan perbuatan yang aneh-aneh, maka tanpa orang lain, tanpa bantuan orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel, aku pun dapat berbuat demikian atasmu. Ingat, aku telah berhasil membunuh Kebo Sindet meskipun tidak langsung. Aku telah dapat menempatkan diriku di tempat yang sejajar dengan Kebo Sindet. Aku berterima kasih bahwa kau telah memberikan pedang itu. Namun saat itu Kebo Sindet pun bersenjata pula. Nah, apa katamu tentang diriku. Apakah kau masih menantang Mahisa Agni untuk berkelahi?”
Terasa dada Kuda Sempana seolah-olah menjadi retak karenanya. Sebuah himpitan perasaan telah melanda jantungnya. Kata-kata itu benar-benar suatu penghinaan baginya. Sehingga dengan suara bergetar ia menjawab, “Aku tidak peduli, apakah kau telah dapat menempatkan dirimu sejajar dengan Kebo Sindet atau tidak, tetapi ternyata bahwa kau tidak berani bertempur melawan aku sekarang.”
Dan suara tertawa Mahisa Agni yang menyakitkan hati itu terdengar lagi, “Memang ada perasaan segan padaku untuk berkelahi melawan kau, Kuda Sempana. Aku pasti hanya akan merasa seperti anak-anak yang sedang sekedar bermain-main. Permainan yang menjemukan.”
“Cukup.” teriak Kuda Sempana, “kau sudah cukup banyak menghina aku Agni. Sekarang ayo kita mulai. Cepat. Kalau tidak, melawan atau tidak melawan, aku akan membunuhmu.”
“Tunggu.” berkata Mahisa Agni, “kalau kau mampu lakukanlah. Tetapi ingat, bahwa aku telah berhasil mengalahkan Kebo Sindet. Aku tidak akan berkeberatan kalau kau selalu mendesakku. Aku akan segera berbuat sesuatu. Tetapi kau pun harus ingat, bahwa aku bukan Kebo Sindet. Aku adalah seorang anak Panawijen.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Dan Mahisa Agni berkata seterusnya, “Aku adalah anak Panawijen yang paling dahsyat mengalami akibat dari perbuatanmu. Nah, kau akan dapat membayangkan, apakah yang kira-kira dapat aku lakukan atasmu. Aku pernah berada bersamamu di dalam sarang iblis itu, sehingga aku dapat mengerti berbagai macam cara yang dipergunakan oleh Kebo Sindet. Bukankah itu yang kau cemaskan, apabila kau berada di tengah-tengah orang-orang Panawijen?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Kepalanya menjadi semakin tegang, dan otot-otot di keningnya bermunculan seolah-olah akan meledak.
“Atau…” berkata Mahisa Agni, “aku dapat membuatmu tidak berdaya, tetapi tidak membunuhmu. Aku dapat membawamu kepada orang-orang Panawijen yang kau sangka akan membunuhmu dengan cara yang kau takuti itu.”
Dada Kuda Sempana berdentangan semakin keras mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Ketakutan, kecemasan dan kemarahan bercampur baur di dalam dirinya. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan yang diakuinya di dalam hatinya, bahwa sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni akan mampu berbuat demikian apabila dikehendaki. Karena itu maka perasaan ngeri yang sangat telah merambati jantungnya.
Namun Kuda Sempana ternyata menjadi semakin berputus asa. Ia tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Kini ia benar-benar ingin membunuh dirinya. Berkelahi dan mati. Tetapi kematian itu akan lebih baik daripada mati ditangan orang-orang Panawijen. Sebelum Mahisa Agni sempat berbicara lagi, maka Kuda Sempana sudah menyerangnya pula. Semakin lama semakin dahsyat. Dan sekali lagi Mahisa Agni harus melayaninya, seperti melayani adik tersayang yang sedang bermain kejar-kejaran.
“Apakah kau tidak mengerti maksudku Kuda Sempana?” bertanya Mahisa Agni.
Kuda Sempana tidak menjawab. Ia menyerang semakin garang, sehingga Mahisa Agnipun menjadi semakin sibuk menghindarinya. Tetapi akhirnya Mahisa Agni sampai pada puncak permainannya. Ia ingin segera menghentikan polah Kuda Sempana. Dengan demikian maka Mahisa Agni kemudian tidak membiarkan dirinya terus menerus menghindar dan menjauh. Pada saatnya, maka Mahisa Agnipun segera mengambil peranan.
Ketika Kuda Sempana dengan garangnya menyerang Mahisa Agni seperti seekor elang menyambar mangsanya, maka dengan gerak yang tidak kalah cepatnya Mahisa Agni menghindar. Tetapi yang sama sekali tidak terduga-duga oleh Kuda Sempana, tiba-tiba saja Mahisa Agni itu menyerangnya. Serangan itu dengan tiba-tiba dan terlampau cepat bagi Kuda Sempana, sehingga ia tidak mampu untuk menghindarkan diri. Bahkan ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menangkis. Yang terasa olehnya kemudian adalah sentuan ibu jari tangan Mahisa Agni dipunggungnya. Dua kali. Di sebelah menyebelah tulang punggungnya.
Meskipun sentuhan itu tidak terlampau keras, tetapi terasa sekujur tubuh Kuda Sempana menggigil. Sejenak disadarinya, bahwa sentuhan-sentuhan itu tepat mengenai bintik-bintik syarafnya. Dua dari padanya telah tersentuh oleh tangan Mahisa Agni sehingga tidak bekerja sewajarnya. Terasa kemudian kepala Kuda Sempana menjadi pening, dan seolah-olah ia kehilangan syaraf keseimbangannya. Terasa Padang Karautan itu berputar, semakin lama semakin cepat. Bahkan kemudian kudanya dan dirinya sendiri ikut pula berputar.
Dengan gerak naluriah, maka ia menarik kekang kudanya dengan sisa-sisa tenaganya yang masih ada sehingga kudanya berhenti. Tetapi putaran yang semakin cepat itu masih terasa membelit dirinya, sehingga Kuda Sempana harus memejamkan matanya. Meskipun demikian, ia masih merasakan seakan-akan tubuhnya telah hanyut dalam suatu arus pusaran dari air yarg terhisap ke dalam bumi dengan derasnya.
Sejenak Kuda Sempana masih dapat bertahan. Tetapi sejenak kemudian ia telah benar-benar kehilangan keseimbangan, sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi miring. Ia tidak dapat lagi tetap duduk di atas punggung kudanya, karena ia sudah tidak dapat menguasai keseimbangan dirinya lagi. Kuda Sempana masih tetap sadar ketika ia terdorong ke samping dan jatuh dari atas punggung kuda itu. Tetapi ia merasa pula bahwa seseorang telah menahannya dan kemudian menariknya. Sesaat Kuda Sempana membuka matanya. Dalam putaran yang semakin cepat ia melihat Mahisa Agni meletakkannya berbaring di atas rerumputan yang kekuning-kuningan meskipun tanah di bawahnya telah menjadi basah.
“Lepaskan, lepaskan.” ia berteriak. Dengan marahnya Kuda Sempana berusaha untuk bangkit. Tetapi sekali lagi ia terjatuh karena tanah tempatnya berpijak seolah-olah berputar semakin cepat.
“Jangan mencoba bangun Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni.
“Persetan. Ayo, bunuhlah aku.”
“Dengan pedang?”
“Terserah kepadamu.”
“Tidak. Aku tidak akan memembunuhmu. Akan aku biarkan saja kau di sini. Bila terik matahari membara di langit, kau akan kepanasan, tetapi bila hujan yang lebat turun, kau akan kedinginan. Itu akan terjadi terus-menerus sebelum anjing-anjing liar menemukanmu di sini. Aku tidak tahu, manakah yang lebih buas, anjing-anjing liar itu atau buaya-buaya kerdil di rawa-rawa Kemundungan.”
“Setan.” Kuda Sempana mengumpat, “ayo, bunuh aku.”
“Ya, aku memang sedang membunuhmu. Tetapi tidak dengan ujung pedang. Aku mempunyai caraku sendiri.”
“Pengecut, pengkhianat. Ternyata kau lebih jahat dari Kebo Sindet.”
“Mungkin. Mungkin aku lebih jahat dari Kebo Sindet. Tetapi aku kira orang-orang Panawijen itu tidak akan berbuat begitu atasmu.”
Terdengar Kuda Sempana menggeram. Tetapi ia tidak dapat membuka matanya. Ia masih merasa dirinya berputar. Sambil meng-umpat-umpat ia memegang kedua belah keningnya dengan telapak tangannya. Tetapi ia tidak dapat menolong dirinya. Syaraf keseimbangannya ternyata sedang terganggu. Tiba-tiba Kuda Sempana merasa sentuhan pada punggungnya. Ia merasakan urutan yang menyelusur sisi tulang belakangnya. Kemudian sebuah tekanan yang keras sehingga terasa punggungnya menjadi sakit sekali.
“Patahkan. Patahkan punggungku.” ia berteriak, “berbuatlah sekehendak hatimu. Tetapi bunuhlah aku secepatnya.”
Tidak terdengar jawaban. Tetapi terasa sesuatu merayapi kepalanya. Kemudian perlahan-lahan terasa kepalanya tidak berputar lagi, sehingga sedikit demi sedikit ia membuka matanya.
“Duduklah.” terdengar suara Mabisa Agni, “buka matamu. Kau sudah baik.”
Kuda Sempana membuka matanya perlahan-lahan. Dilihatnya Mahisa Agni berdiri di sampingnya. Meskipun kepalanya masih terlampau pening, tetapi Padang Karautan itu sudah tidak berputaran lagi. Sesaat Kuda Sempana membeku, duduk di atas rerumputan. Digelengkannya kepalanya dan dipijitnya keningnya. Perasaan pening itu masih mengganggu. Tetapi perlahan-lahan menjadi semakin berkurang. Ketika ia kemudian berpaling di lihatnya Mahisa Agni telah duduk di sampingnya.
Tiba-tiba isi dadanya meluap kembali. Dengan serta-merta ia meloncat berdiri. Meskipun kepalanya masih terasa pening namun ia berkata, “Kenapa tidak kau bunuh saja aku Agni, Sekarang aku sudah mampu lagi berkelahi melawanmu. Ayo, atau kau lah yang akan aku bunuh.”
Mahisa Agni masih tetap duduk di tempatnya. Dipandanginya Kuda Sempana dengan tenangnya. Kemudian terdengar ia berkata perlahan-lahan, “duduklah Kuda Sempana.”
“Tidak. Aku akan bertempur sampai mati.”
“Jangan terlampau keras kepala. Kau sebenarnya sudah menyadari keadaanmu. Tetapi kau mencoba untuk bertahan pada pendirianmu.”
Kuda Sempana tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Mahisa Agni tajam-tajam. Hatinya berdesir ketika ia mendengar Mahisa Agni berkata, “Lihat Kuda Sempana, itu pedangmu yang kau lemparkan kepadaku. Ambillah, mungkin kau masih memerlukannya.”
Kuda Sempana masih berdiri di tempatnya. Perasaan aneh telah menjalari dadanya, sehingga sejenak ia terpaku diam.
“Ambillah, dan duduklah. Aku ingin berbicara. Dengan mulut, tidak dengan pedang.”
Kuda Sempana sama sekali tidak bergerak. Tidak beranjak dan tidak menyahut.
“Kau masih belum mempercayainya. Jangan kau takut-takuti hatimu dengan soal-soal yang kau buat-buat di dalam kepalamu sendiri. Kau buat bayangan-bayangan yang menakutkan dan kemudian kau sendiri menjadi ketakutan karenanya. Kau reka-reka di dalam angan-anganmu sesuatu yang mengerikan. Tetapi kemudian kau percayai angan-angan itu seolah-olah benar-benar akan terjadi.”
Kuda Sempana masih mematung.
“Ambillah pedangmu. Cepat.” Kuda Sempana masih belum bergerak. “Kenapa kau masih diam? Apakah kepalamu masih pening atau bahkan seakan-akan masih berputaran.”
Tanpa sesadarnya Kuda Sempana menggeleng.
“Nah, kalau begitu, ambil pedangmu.” Kuda Sempana tidak menyadari, pengaruh apakah yang telah menggerakkannya melangkah ke arah pedangnya yang terletak di tanah. Ia berpaling dengan penuh keragu-raguan, kemudian membungkuk memungut pedangnya itu. Dengan ragu-ragu disarungkannya pedangnya pada wrangkanya.
Mahisa Agni yang masih duduk di tempatnya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata atas kehendaknya sendiri Kuda Sempana telah menyarungkan pedangnya. Dengan demikian ia berharap bahwa ia untuk selanjutnya akan dapat berbicara dengan baik-baik. Tetapi untuk sesaat Mahisa Agni masih berdiam diri ditempatnya. Dipandanginya saja Kuda Sempana yang kemudian melangkah perlahan-lahan ke arahnya. “Duduklah.” berkata Mabisa Agni kemudian.
“Tidak.” jawab Kuda Sempana. Tetapi suaranya telah menjadi lemah, “aku masih ingin bertempur.”
“Duduklah.” ulang Mahisa Agni. Ternyata kata-katanya itu mengandung perbawa yang kuat, yang tidak terlawan oleh Kuda Sempana dalam keadaannya itu. Karena itu, maka seolah-olah tanpa dikehendakinya sendiri, ia pun perlahan-lahan meletakkan dirinya, duduk beberapa langkah dari Mahisa Agni.
“Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni, “maaf, bahwa aku telah membuatmu kehilangan keseimbangan. Bukan maksudku untuk menyakitimu, tetapi aku hanya ingin berbuat demikian sebagai pengantar pembicaraan. Kau tidak dapat mendengarkan kata-kataku tanpa sedikit tekanan. Tetapi percayalah bahwa hal itu tidak akan mengganggumu untuk seterusnya.”
Kuda Sempana tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba kepalanya menunduk.
“Kau terlampau jauh berprasangka atas orang-orang Panawijen. Aku tahu, bahwa kau ternyata telah dikejar-kejar oleh perasaan bersalah. Tetapi dengarlah aku, bahwa orang-orang Panawijen tidak akan berbuat apa-apa atasmu. Aku akan menjelaskan kepada mereka, bahwa kau telah menyesali segala kesalahan itu. Bahwa keadaanmu telah membuat kau terbangun dari mimpi yang buruk itu.”
“Kau menjebakku.” sahut Kuda Sempana meskipun sudah tidak terlampau garang.
“Buat apa aku menjebakmu? Kalau aku mau, aku dapat berbuat apa saja atasmu. Karena itu aku terpaksa membuatmu kehilangan keseimbangan. Maksudku, supaya kau sadari, bahwa aku dapat berbuat seperti yang kau angan-angankan itu tanpa membujukmu, kemudian menangkapmu beramai-ramai. Aku sendiri mampu melakukannya. Melumpuhkan kau, mengikatmu dibelakang kudaku dan menyeretmu kepada orang-orang Panawijen itu untuk bersama-sama mencincang mu. Tetapi aku tidak melakukannya. Masihkah kau menganggap bahwa aku sedang membujukmu? Masihkah kau menganggap bahwa karena aku tidak mampu menangkapmu sendiri, lalu aku menjebakmu di antara orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Perlahan-lahan pikirannya mulai bekerja kembali, meskipun harus dituntun setapak demi setapak oleh Mahisa Agni. Tetapi sejenak kemudian tumbuhlah pengakuan di dalam diri Kuda Sempana bahwa Mahisa Agni itu berkata sebenarnya. Ia dapat berbuat seperti yang dikatakannya. Tetapi ia tidak berbuat demikian. Dalam kediamannya ia mendengar suara Mahisa Agni,
“Marilah. Berdirilah. Kita kembali kepada orang-orang Panawijen yang pasti sedang dihadapkan pada suatu teka-teki tentang diri kita.”
Sekali lagi Kuda Sempana didorong oleh suatu kekuatan yang tidak dimengertinya, membawanya berdiri dan melangkah kearah kudanya yang sedang asyik makan rumput. Dan sejenak kemudian keduanya telah berada di punggung kuda masing-masing, yang berlari kembali ke perkemahan orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel.
Betapa beratnya, namun Kuda Sempana akhirnya dapat diterima juga oleh orang-orang Panawijen dan Prajurit-prajurit Tumapel atas tanggung jawab Mahisa Agni. Meskipun dengan membentak-bentak dan berteriak namun Akuwu Tunggul Ametung pun memaafkannya pula. Tetapi untuk sementara Kuda Sempana diserahkan kepada Ken Arok dan Mahisa Agni, supaya diawasinya. Dan untuk sementara Kuda Sempana harus tetap berada di Padang Karautan bersama-sama dengan Ken Arok dan orang-orang Panawijen.
“Kau tidak dapat berada kembali dilingkungan istana.” berkata Akuwu Tunggul Ametung.
Kuda Sempana menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dalam sekali. Perlahan-lahan ia menyahut, “Hamba berterima kasih sekali bahwa Tuanku tidak menggantung hamba di alun-alun. Dimanapun hamba akan diletakkan hamba tidak akan berkeberatan.”
Kuda Sempana yang sudah agak lama tidak bergaul dengan Akuwu terkejut ketika tiba-tiba Akuwu berteriak, “Apa hakmu untuk berkeberatan, he?”
Kuda Sempana menjadi gelisah. Tetapi dicobanya untuk mengingat-ingat sifat-sifat Akuwu Tunggul Ametung, pada saat ia masih berada di istana.
“Kau tidak punya hak sama sekali untuk berkata begitu. Kau memang harus menjalani setiap perintahku.”
“Hamba Tuanku.” jawab Kuda Sempana.
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya sambil meraba-raba dagunya. Kemudian kepada Mahisa Agni ia berkata, “Bagaimana dengan kau?”
“Hamba tinggal di padang ini Tuanku.” jawab Mahisa Agni.
“Tetapi kau harus pergi ke istana. Terserah kepadamu. Sehari atau dua hari, supaya adikmu percaya, bahwa kau masih hidup. Supaya ia menjadi agak tenteram dan tidak selalu dicengkam oleh kegelisahan dan kebingungan. Kegelisahannya adalah kegelisahanku. Dan kegelisahanku adalah kegelisahan seluruh Tumapel.”
Mahisa Agni termenung sejenak. Ia dapat mengerti, betapa Ken Dedes selalu gelisah memikirkannya. Ia adalah satu-satunya orang yang masih dianggap keluarganya. Tetapi bagaimanakah dengan dirinya sendiri?
“Bagaimana?” desak Akuwu Tunggul Ametung, “aku memerlukanmu. Untuk kepentingan adikmu.”
Akhirnya Mahisa Agni tidak dapat menolak lagi. Sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam ia menjawab, “Hamba akan menurut segala perintah Tuanku. Hamba akan ikut serta ke istana untuk sehari atau dua hari. Selebihnya hamba akan tinggal di dekat bendungan ini, bendungan yang masih harus diselesaikan ini.”
“Untuk selanjutnya terserah kepadamu. Besok kita berangkat. Kembali ke Tumapel. Kuda Sempana tinggal di sini. Untuk sementara aku serahkan kepada Ken Arok selama Mahisa Agni berada di Tumapel. Untuk seterusnya orang itu menjadi tanggung jawab kalian berdua. Apakah kalian mengerti?”
Keduanya hampir bersamaan menjawab, “Hamba Tuanku.”
“Baik.” berkata Akuwu itu selanjutnya, “tetapi taman itu harus segera siap pula. Setelah Mahisa Agni berada kembali di sini, maka kau mendapat kesempatan lebih banyak Ken Arok. Kecuali perhitunganmu terhadap banjir yang setiap saat dapat melanda bendungan itu, maka taman itu pun harus mendapat perhatian pula Di sini sekarang ada Ken Arok, Mahisa Agni dan Kebo Ijo.”
Sekali lagi hampir bersamaan Ken Arok dan Mahisa Agni menjawab, “Hamba Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya Kebo Ijo duduk di sudut ruangan itu pula. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Karena itu Akuwu tidak melihat, bahwa anak bengal itu sedang menahan senyumnya kuat-kuat. Baginya semua itu terasa terlampau menggelikan. Sesaat kemudian kepada Witantra, Akuwu berkata, “Besok, pada pagi-pagi hari kita berangkat kembali ke Tumapel. Siapkan orang-orangmu.”
Kini Witantra lah yang menjawab sambil mengangguk, “Hamba Tuanku.”
Pembicaraan itu pun segera berakhir. Masing-masing pergi kepada kewajibannya. Tetapi ternyata matahari telah menjadi terlampau rendah dan sesaat kemudian hilang di balik garis batas di ujung Barat. Ketika Mahisa Agni mengangkat wajahnya, dilihatnya awan yang kelabu mengambang di langit perlahan-lahan hanyut oleh arus angin padang yang basah.
“Mudah-mudahan tidak turun hujan lebat.” desisnya.
Selangkah-selangkah ia berjalan menuju ke bendungan. Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah beristirahat. Untuk sementara mereka tidak lagi bekerja siang dan malam sejak bendungan itu dilanda banjir. Mereka seolah-olah memerlukan waktu beristirahat sehari dua hari setelah memeras seluruh tenaga dan ketegangan perasaan yang memuncak. Tetapi di siang hari, mereka bekerja dengan sepenuh tenaga pula, sehingga bendungan itu sudah memiliki alat pengaman yang lebih banyak, setelah banjir yang pertama memberi mereka petunjuk-petunjuk letak kelemahannya.
Ketika Mahisa Agni berada di ujung bendungan, terasa hatinya berdesir. Bendungan yang dahulu hanya ada di dalam angan-angannya, yang pada saat ia meninggalkan tempat itu masih belum berbentuk, kini benar-benar telah ada. Bendungan itu benar-benar telah berwujud. Bahkan bendungan itu telah lulus pada ujiannya yang pertama.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Meskipun senja menjadi semakin samar, namun ia masih dapat melihat jalur-jalur yang menggores Padang Karautan itu. Susukan induk yang menjelujur ketengah-tengah padang dan akan menumpahkan airnya di sendang buatan, di dalam taman yang dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian parit-parit yang menyelusur seperti akar pepohonan di dalam tanah. Kotak-kotak sawah dengan pematang-pematangnya.
Semuanya itu telah membuat dada Mahisa Agni seolah-olah mengembang. Karena itu maka sejenak ia berdiri mematung. Di pandanginya alam yang terbentang di hadapannya. Alam yang luas, yang baru mulai dijamah oleh tangan manusia.
“Mudah-mudahan kami berhasil.” desis Mahisa Agni, “mudah-mudahan apa yang kami lakukan ini dibenarkan oleh Yang Maha Agung.”
Ketika kemudian angin yang lembut mengusap keningnya, maka Mahisa Agni pun mengusap wajahnya. Terasa udara yang dingin menyusup sampai ke pembuluh darahnya. Di dalam dadanya berdesir suatu kebanggan dan harapan yang tidak terkira, karena bendungan yang kini tinggal mengetrapkan penyelesaian yang terakhir dan merampungkan jalur-jalur pengaman apabila banjir datang terlalu deras. Impian yang dahulu tersimpan di dalam hatinya itu kini telah hampir berwujud. Sekian lama ia berada di dalam kungkungan iblis Kemundungan, tetapi sekian lama pekerjaan ini berjalan terus.
Tepat pada saatnya ia berhasil melepaskan diri, bendungan ini telah sampai pada penyelesaian terakhir. Apalagi apabila di ujung susukan induk ini kelak akan dibangun sebuah taman. Maka daerah ini, yang dahulu merupakan jantung Padang Karautan yang jarang diambah oleh manusia, kelak pasti akan menjadi suatu padepokan yang subur dan semakin-lama akan menjadi semakin ramai.
Betapa angan-angan yang dipenuhi oleh harapan itu mencengkam dada Mahisa Agni, sehingga untuk sejenak ia merenung ditempatnya. Baru ketika terasa gerimis kecil menyentuh tubuhnya Mahisa Agni menyadari dirinya. Ditengadahkan wajahnya dan dilihatnya langit yang hitam.
“Hujan.” desisnya, “Mudah-mudahan banjir tidak datang terlampau keras.”
Mahisa Agni masih mendengar deru air yang masih agak deras mengalir di sungai yang telah dibatasi oleh bendungan itu. Tetapi dalam kegelapan malam Mahisa Agni tidak dapat melihat, betapa keruh dan betapa banyak sesungguhnya air yang tertahan di atas bendungan itu.
Karena gerimis menjadi semakin deras, maka Mahisa Agnipun segera meninggalkan bendungan itu kembali ke dalam gubugnya. Perlahan-lahan ia bergumam di dalam dirinya, “Besok aku harus ikut bersama Akuwu ke Tumapel. Mudah-mudahan tidak terlampau lama berada disana. Aku ingin menunggui bagaimana bendungan ini terselesaikan.”
Begitu asyik Mahisa Agni bergelut dengan angan-angannya, sehingga ia tidak melihat seseorang berdiri di ujung perkemahan. Mahisa Agni berjalan bebera langkah dimuka orang itu, tetapi Mahisa Agni yang berjalan sambil menunduk itu tidak melihatnya. Baru ketika orang itu terbatuk kecil, langkah Mahisa Agni tertegun. Dipalingkannya wajahnya, dan dilihatnya seseorang berdiri acuh tidak acuh.
“Kau Kebo Ijo.” sapa Mahisa Agni.
Kebo Ijo berpaling. Desisnya, “Darimana kau Mahisa Agni?”
“Aku melihat bendungan itu Kebo Ijo. Ternyata aku menjadi sangat berterima kasih, bahwa selama aku tidak ada di sini, orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel telah menyelesaikannya.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Dan sesaat kemudian Mahisa Agni menjadi terkejut karena Kebo Ijo tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Kenapa kau berterima kasih kepada kami semua yang selama ini bekerja tidak mengenal lelah, siang dan malam, apalagi ketika banjir yang pertama itu melanda bendungan yang belum siap benar itu. Akuwu sendiri telah banyak sekali berbuat untuk menyelamatkannya, bahkan menyelamatkan Ken Arok sendiri.”
“Justru karena itulah aku sangat berterima kasih.” jawab Mahisa Agni.
Suara tertawa Kebo Ijo mengeras. Katanya, “Aneh sekali. Apakah hakmu untuk menyatakan terima kasih kepada kami.”
Mahisa Agni terdiam. Sepasang matanya memancarkan berbagai pertanyaan yang bergolak di dalam dadanya. Ia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Kebo Ijo. Namun sejenak kemudian ia mendengar Kebo Ijo itu berkata lebih lanjut,
“Mahisa Agni, kau yang sama sekali tidak ikut berbuat apapun atas bendungan itu, jangan terlampau ikut berbangga karenanya. Apalagi kau merasa bahwa seakan-akan kaulah yang berhak untuk disebut sebagai pahlawan. Kau mungkin merasa bahwa bendungan itu bendunganmu, sehingga kau merasa wajib dan berhak berterima kasih kepada kami.” Kebo Ijo itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi ketahuilah, bahwa bendungan itu bukan bendunganmu. Bendungan itu adalah milik kami yang telah bekerja mati-matian. Sekarang kau datang ke dalam lingkungan kami. Akulah yang lebih berhak mengucapkan terima kasih kepadamu, seandainya kau mau membantu meskipun sekedar melemparkan sebongkah batu disaat terakhir. Itupun barangkali tidak dapat kau lakukan. Bukankah kau besok harus pergi ke Tumapel bersama Akuwu untuk menengok adikmu yang terlampau manja itu? Nah, tinggallah di Tumapel sepekan atau sebulan. Datanglah kemari apabila bendungan itu telah selesai. Tetapi ingat, jangan mengucapkan terima kasih kepadaku. Setelah kau tidak mempunyai sangkut paut dengan bendungan ini.”
Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Wajahnya sekilas dijalari oleh warna merah. Tanpa sesadarnya dilayangkannya pandangan matanya berkeliling. Sepi. Tak ada seorangpun yang tampak. Tetapi Mahisa Agni tidak tahu, apakah orang-orang yang berada di dalam gubug itu sudah tidur atau masih bangun dan mendengar percakapan itu.
“Nah.” berkata Kebo Ijo, “sekarang tidurlah. Jangan kau hiraukan lagi bendungan itu. Ia telah tumbuh tanpa kau. Dan ia akan siap pula tanpa bantuanmu.”
Terasa goresan di dada Mahisa Agni menjadi semakin dalam. Bahkan kemudian timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah demikian anggapan setiap orang yang berada di perkemahan ini? Apakah mereka menganggap bahwa aku sama sekali tidak berarti lagi bagi mereka, karena aku tidak ikut serta berbuat banyak? Apakah demikian pula anggapan orang-orang Panawijen?”
Setitik keringat dingin mengembun di kening Mahisa Agni. Namun ia masih saja berdiam diri dalam kenangan seribu macam pertanyaan. Kebo Ijo melihat kebimbangan di dalam sikap Mahisa Agni. Agaknya kata-katanya berhasil menusuk langsung kedalam hati anak muda itu. Maka timbullah kegembiraan di hati Kebo Ijo yang aneh itu. Ia memang bertabiat demikian. Dan tabiatnya itulah yang telah mendorongnya kedalam perbuatan-perbuatan yang berbahaya bagi dirinya.
Karena Mahisa Agni tidak menjawab, maka berkata Kebo Ijo itu, “Apa lagi yang kau tunggu Agni. Pergilah tidur. Kau dapat menganyam angan-angan, bahwa kau besok akan bertemu dengan adikmu yang kini telah menjadi seorang permaisuri. Kau akan ikut merasakan kamukten yang didapatkannya. Nah, nikmatilah. Tetapi jangan menyinggung tentang bendungan ini.”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Terasa pergolakan di dalam dadanya menjadi semakin keras. “Tetapi sambutan orang-orang Panawijen itu begitu baik kepadaku. Bahkan prajurit-prajurit Tumapel pun bersikap baik.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
“Jangan bersedih.” berkata Kebo Ijo seterusnya, “kau memang lebih baik berada di Tumapel. Nunut kamukten yang didapatkan oleh adikmu dengan modal parasnya yang cantik.”
“Cukup.” tiba-tiba Mahisa Agni memotong, “kau boleh menghina aku dengan cara apapun, tetapi jangan menghina orang lain yang kau sangkut pautkan dengan aku. Sikapmu itu sejak dahulu memuakkan sekali bagiku. Mungkin kau benar, bahwa aku memang tidak dapat ikut berbangga dengan bendungan itu. Tetapi seandainya aku berbangga di dalam hati, itu adalah hakku, karena aku ikut serta meletakkan dasar bagi terbangunnya bendungan ini. Akulah yang memilih tempat, membuat rencananya dan memulainya. Tetapi aku tidak akan memperhitungkannya seperti seseorang yang meminjamkan jasanya kepada orang lain. Dihargai atau tidak dihargai, diakui atau tidak diakui itu sama sekali bukan urusanku dan bukan tujuanku. Siapapun yang membangun bendungan ini, aku tidak peduli. Tetapi aku merasa bersenang hati bahwa orang-orang Panawijen akan mendapat tempat dan ruangan baru untuk hidup. Tetapi yang sangat memuakkan adalah caramu menghina aku dan keluargaku. Kau sebut-sebut nama Ken Dedes dengan cara yang sangat menyakitkan hati.”
Dada Mahisa Agni berguncang ketika justru ia mendengar Kebo Ijo tertawa, “Apakah kau menjadi sakit hati karenanya? Aku mengatakan yang sebenarnya. Sama sekali bukan ceritera yang aku hisap dari ujung ibu jari kakiku. Bukankah Akuwu mengambil Ken Dedes dari Kuda Sempana dan Sempana mengambilnya karena ia cantik?”
Terasa dada Mahisa Agni bergetar, Tetapi justru dengan demikian ia menyadari keadannya sepenuhnya. Karena itu maka iapun menarik nafas dalam-dalam seolah-olah hendak mengendapkan segala macam perasaan yang membakar dadanya. Kini ia sadar sesadar-sadarnya bahwa Kebo Ijo sengaja membuatnya marah. Ia tidak tahu, apakah maksud anak muda itu.
Tetapi bukanlah sebaiknya untuk melayaninya. Seandainya demikian, maka pasti akan timbul keributan, justru pada saat Akuwu Tunggul Ametung ada diperkemahan itu, dan justru setelah ia datang, sehingga kesan tentang dirinya pasti akan menjadi kurang baik. Pasti ada orang yang menganggap bahwa setelah diperkemahan itu ada Mahisa Agni, maka timbullah suatu bentrokan diantara mereka. Karena itu, maka Mahisa Agni itupun berusaha untuk menahan hatinya kuat-kuat. Dianggapnya ia tidak mendengar apapun. Dianggapnya suara Kebo Ijo itu seperti bunyi desir angin di dedaunan.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni tidak mau mendengarkannya lagi. Ia ingin meninggalkannya dan pergi ke gubug yang disediakan untuknya bersama beberapa orang lain. Tetapi ketika baru saja kakinya melangkah ia mendengar Kebo Ijo itu tertawa lagi,
“He, kemana? Tidur? Baiklah. Tetapi sekali lagi, jangan mimpi tentang gelar pahlawan karena kau berhasil membuat bendungan. Lebih baik kau bermimpi tentang adikmu yang berhasil menjerat hati Akuwu karena kecantikannya.” Kebo Ijo berhenti sejenak, “He, adikmu memang cantik. Itulah sebabnya kakang Mahendra pernah menjadi gila dan berkelahi dengan kau di luar padukuhanmu karena kau mengaku bakal suami gadis itu.”
Kata-kata itu benar-benar menyakitkan hati. Seandainya Mahisa Agni masih belum mendapatkan kemantapan tentang dirinya dan berhasil mengalahkan Kebo Sindet, maka Kebo Ijo pasti sudah diterkamnya. Tetapi kini sikapnya menjadi lain. Ia tidak menyerangnya. Ditahankannya kemarahan di dalam hatinya. Namun terdengar giginya bergemeretak.
Tetapi tiba-tiba mereka berdua, Mahisa Agni dan Kebo Ijo terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar dari balik perkemahan seseorang berkata, “Kau sudah menjadi gila Kebo Ijo.”
Ketika mereka berpaling, mereka melihat Witantra berdiri di sudut sebuah gubug yang pendek, “Apakah kau sadari apa yang kau katakan. Aku mendengar sebagian besar dari kata-katamu. Aku sengaja membiarkannya karena aku ingin tahu, bagaimanakah sikapmu sebenarnya. Dan kini aku melihatnya.” Witantra berhenti sejenak, lalu, “sebagai seorang pengawal bahkan yang diserahi tanggung jawab atas keselamatan, tubuh dan namanya, aku menganggap bahwa kau sudah sepantasnya mendapat hukuman. Kau telah menghina Tuan Putri Ken Dedes.”
Kebo Ijo sejenak menjadi pucat. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum, “Aku hanya bergurau kakang.”
“Tidak, kau tidak sedang bergurau. Aku dapat membedakan nada yang sama sekali bukan bergurau.” Witantra memotong, “tetapi sebagai seorang tua aku akan berbuat lain. Aku masih melihat kemungkinan yang baik dihari depanmu yang panjang. Karena itu, aku minta, supaya kau cabut kata-katamu supaya kesalahanmu dimaafkan. Dan kau harus minta maaf pula kepada Mahisa Agni. Lakukanlah.”
Sepercik warna merah membayang di wajah Kebo Ijo. Ia tidak menyangka bahwa ada orang lain yang mendengar kata-katanya, apalagi kakak seperguruannya yang gubugnya jauh berada di ujung lain. Karena itu untuk sejenak ia berdiri saja mematung. Agaknya kakaknya itu mendengar seluruh pembicaraannya. Dan kakaknya tidak percaya bahwa ia hanya sekedar bergurau saja. Namun yang tidak disangka-sangka oleh Kebo Ijo, adalah bahwa kakaknya itu menyuruhnya untuk mencabut kata-katanya dan minta kepada Mahisa Agni.
Karena Kebo Ijo masih berdiam diri, maka Witantra itu berkata pula, “Lakukanlah Kebo Ijo, Hukuman itu terlampau ringan buatmu.”
Tetapi Kebo Ijo tidak segera berbuat sesuatu. Wajahnya yang pucat, kemudian kemerah-merahan, kini menjadi tegang.
“Apakah kau tidak bersedia?” Tidak ada jawaban.
Namun sekali lagi mereka terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata, “Kebo Ijo, sebaiknya kau tinggalkan kebiasaanmu yang buruk itu.”
Serentak mereka berpaling, dan segera mereka melihat siapakah yang berbicara itu. Ken Arok.
“Sudah beberapa kali aku nasehatkan, jangan membuat soal-soal yang tidak perlu.”
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin tegang. Dan ia mendengar Witantra berkata semakin keras pula, “Lakukanlah. Kau harus mencabut kata-katamu dihadapanku, pimpinan pengawal Akuwu Tunggul Ametung dan kini ada dua saksi. Kemudian kau harus minta maaf kepada Mahisa Agni.”
Kebo Ijo kini berdiri gemetar. Ia tidak membayangkan bahwa hal serupa itu akan mungkin dilakukannya. Sejenak ia dicengkam oleh kebimbangan. Tetapi menilik sorot mata kakak seperguruannya, ia tidak dapat bermain-main lagi. Kakaknya itu agaknya benar-benar marah kepadanya. Apalagi kini telah hadir pula Ken Arok, yang ternyata mendengar pula pembicaraannya.
“Lakukanlah Kebo Ijo.” terdengar suara Ken Arok, “bukan suatu penghinaan bagimu. Tetapi dengan demikian kau akan selalu teringat, bahwa sikapmu yang demikian itu sama sekali tidak menguntungkan bagimu dan bagi siapapun juga. Kaupun harus ingat, bagaimana kau untuk pertama kali berada ditempat ini. Belum sehari kau sudah menumbuhkan persoalan. Sekarang, kedatangan Mahisa Agni kau songsong dengan sikapmu yang aneh itu.”
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin tegang. Setitik keringat dingin merentul di dahinya.
“Lakukanlah.” berkata Witantra. Ia nampak bersungguh-sungguh.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara Mahisa Agni, “Kebo Ijo. Kalau kakakmu menghendaki kata-katamu itu dicabut, cabutlah. Tetapi bahwa kau harus minta maaf kepadaku hal itu tidak perlu kau ucapkan dengan kata-kata, tetapi asal pengakuan bersalah itu telah tumbuh di dalam hatimu, sebenarnya telah cukup bagiku.”
Kebo Ijo berpaling sejenak. Dipandanginya wajah Mahisa Agni. Sekilas tampak perubahan pada wajah itu, tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak tahu, apakah yang bergolak di dalam dada Kebo Ijo, sehingga terungkap pada perubahan wajah itu. Namun sejenak kemudian Kebo Ijo itu menundukkan wajahnya.
Witantra dan Ken Arok merasakan sentuhan yang lembut di dalam hati mereka. Pernyataan Mahisa Agni itu benar-benar telah menumbuhkan perasaan hormat di dalam diri mereka. Sehingga dengan demikian, maka sejenak mereka terdiam. Padang Karautan itu pun kemudian menjadi sunyi. Suara bilalang terdengar bersahut-sahutan dikejauhan. Sekali-sekali terasa angin yang lembut mengusap wajah-wajah mereka yang tegang.
Sejenak kemudian terdengar suara Witantra, “Kebo Ijo, kau benar-benar harus menyadari keadaan dirimu. Memang sulit untuk mencari kesempatan seperti yang diberikan oleh Mahisa Agni kepadamu. Tetapi kau harus benar-benar mengakui di dalam hatimu, bahwa kau telah berbuat salah. Sekarang katakanlah, bahwa kau telah mencabut ucapanmu tentang Tuan Puteri. Dan katakanlah di dalam hatimu seperti yang dimaksudkan oleh Mahisa Agni, bahwa kau menyesali perbuatanmu.”
Kebo Ijo mengangkat wajahnya. Dipandanginya kakak seperguruannya, Ken Arok dan Mahisa Agni berganti-ganti. Tetapi ia sadar, bahwa kakaknya memang sedang bersungguh-sungguh Karena itu, maka tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan, kecuali memenuhi perintah kakaknya itu.
“Katakanlah Kebo Ijo.” teriak Witantra.
Kebo Ijo menelan ludahnya, lalu katanya, “Aku cabut kata-kataku tentang Tuanku Permaisuri itu kakang. Aku memang tidak bersungguh-sungguh bermaksud demikian.”
“Bersungguh-sungguh atau tidak, tetapi sudah berapa puluh kali aku memperingatkan, jagalah mulutmu. Mulutmu akan dapat menjerumuskan kau ke dalam suatu keadaan yang paling parah. Mulutmu dan sikapmu. Aku menyayangkannya, bukan saja karena kau adik seperguruanku, tetapi lebih dari pada itu adalah hari depanmu sendiri.”
Kebo Ijo mengangguk, “Ya kakang.”
“Untunglah Mahisa Agni bersikap terlampau baik-baik. Kalau tidak, maka kau harus berlutut dihadapannya dan minta maaf kepadanya. Karena sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni berhak untuk merasa ikut serta membangun bendungan itu, meskipun selama ini ia tidak dapat ikut melakukannya.”
“Bukan sekedar ikut serta membangun.” potong Ken Arok, “tetapi sebenarnya bahwa Mahisa Agni lah yang membuat bendungan itu. Tanpa Mahisa Agni, tidak ada seorang pun yang mengangan-angankan bahwa di tengah-tengah Padang Karautan dapat dibangun sabuah bendungan yang akan merubah sekaligus wajah dari padang ini. Kini sudah terbayang sebuah pedukuhan, meskipun masih samar-samar karena pepohonan yang ditanam masih terlampau muda. Tetapi pedukuhan itu sudah dapat kita gambarkan. Pedukuhan yang dikelilingi oleh sawah dan ladang. Pategalan dan kebun-kebun yang subur. Kemudian sebuah petamanan yang terbesar di Tumapel. Semua itu adalah karena Mahisa Agni bertekad untuk menemukan ruang hidup yang baru bagi orang-orang Panawijen.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat sepenuhnya dengan kata-kata Ken Arok itu. Sedang Kebo Ijo sama sekali tidak menyahut. la masih menundukkan kepalanya. Hanya kadang-kadang ia mencoba memandang Mahisa Agni dengan sudut matanya. Tetapi sesaat kemudian matanya telah hinggap kembali pada rerumputan yang basah di bawah kakinya.
Kebo Ijo itu berpaling kearah kakaknya ketika ia mendengar kakaknya berkata, “Pergilah ke tempatmu. Tidurlah. Untuk seterusnya kau harus berhati-hati. Besok aku dan Mahisa Agni harus mengikuti Akuwu kembali keistana. Sepeninggalku kau jangan membuat persoatan yang dapat mempersulit kedudukanmu sendiri.”
Kebo Ijo tidak menyahut, Tetapi iapun tidak segera beranjak dari tempatnya. Tetapi Witantra tidak mempedulikannya lagi. Bahkan ia sendirilah yang kemudian melangkah pergi sambil berkata, “Akupun akan tidur, supaya besok aku tidak terlambat bangun.”
Witantra dan Ken Arok pun segera pergi pula meninggalkan Kebo Ijo yang masih berdiri tegak di tempatnya. Mahisa Agni yang ingin beristirahat itu pun segera melangkahkan kakinya pula. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat Kebo Ijo berjalan kearahnya. Tetapi agaknya Kebo Ijo itu tidak ingin berjalan bersamanya. Ketika melampauinya, maka terdengar ia berdesis,
“Kau menjadi besar kepala mendengar pujian-pujian itu bukan, Agni. Dan kau merasa dirimu pahlawan dari keluhuran budi dengan sikapmu yang berpura-pura, agar aku tidak usah minta maaf kepadamu. Suatu ketika kau pasti akan menyesal karenanya.”
Tetapi Mahisa Agni tidak sempat untuk menjawab. Kebo Ijo ternyata melangkah terus dengan tergesa-gesa dan hilang di balik dinding-dinding gubug yang bertebaran. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa dugaannya tentang anak itu keliru. Ketika Witantra menasehatinya, dilihatnya anak muda itu menundukkan kepalanya. Tetapi ternyata bukan karena pengertiannya atau penyesalannya atas kesalahannya, Ia berbuat demikian semata-mata sekedar menyenangkan hati kakak seperguruanya itu. Namun agaknya justru tumbuh dendam di dalam dadanya.
“Hem.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian hal itu tidak dihiraukannya lagi tentang dirinya sendiri. Tetapi ia justru mencemaskan hubungan Kebo Ijo dengan Kuda Sempana, Kuda Sempana yang baru melangkah setapak demi setapak meninggalkan dunianya yang kelam, apabila ia terbentur kepada sikap Kebo Ijo yang gila-gilaan itu, maka kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan dapat terjadi. Kuda Sempana akan menjadi liar lagi dan terjerumus semakin dalam kedunia yang gelap pekat.
“Aku harus memberitahukannya kepada Ken Arok besok sebelum aku pergi, supaya persoalan ini mendapat perhatiannya.” gumam Mahisa Agni itu kepada diri sendiri.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Agni pun telah berbaring di dalam gubugnya. Beberapa orang yang telah berada di dalamnya, telah tidur dengan nyenyaknya. Mereka ternyata masih merasa terlampau lelah sejak mereka berkelahi dengan banjir yang melanda bendungan mereka. Sedang bahaya serupa masih akan datang setiap saat apabila hujan turun di ujung sungai.
Di hari berikutnya, Akuwu Tunggul Ametung benar-benar meninggalkan Padang Karautan bersama pengawal-pengawalnya dan Mahisa Agni. Sebelum mereka berangkat, Mahisa Agni memerlukan menyampaikan pesannya tentang Kuda Sempana dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi karena sikap Kebo Ijo.
Ketika serombongan kuda yang membawa Akuwu Tunggul Ametung dan pengiringnya sudah berderap menjauh, maka Kebo Ijo yang berdiri disamping Ken Arok pada saat mereka melepas rombongan itu pergi, segera saja berbisik, “Hem, aku berbangga melihat rombongan itu.”
Ken Arok berpaling. Sambil mengerutkan dahinya ia bertanya, “Kenapa?”
“Bukankah mereka bermaksud menangkap Kebo Sindet?” desis Kebo Ijo. “Kebo Sindet seorang diri telah berhasil menggegerkan seluruh Tumapel. Bahkan Akuwu Tunggul Ametung memerlukan pergi sendiri untuk menangkapnya.”
Ken Arok tidak menyahut. Ketika ia melayangkan pandangan matanya ia masih melihat kuda-kuda itu yang semakin jauh. Seperti noda-noda yang kehitam-hitaman bergerak-gerak di bawah langit yang biru, di atas hamparan padang rumput yang luas. Tetapi Ken Arok itu berpaling ketika mendengar Kebo Ijo tertawa pendek,
“Akuwu adalah seorang yang luar biasa. Tetapi untuk menangkap seorang Kebo Sindet, ia terpaksa membawa sepasukan kecil prajurit-prajurit pilihan. Bahkan kau pun akan dibawanya pula.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Akuwu masih belum yakin bahwa Kebo Sindet hanya seorang diri saja. Mungkin ia mempunyai beberapa orang kawan di dalam sarangnya. Itulah sebabnya Akuwu membawa beberapa orang prajurit bersamanya.”
Kebo Ijo tertawa pula. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Mungkin. Mungkin pula demikian. Tetapi itu pun menggelikan. Apakah yang dapat dilakukan oleh prajurit-prajurit sandinya? Apakah mereka tidak menyelidiki lebih dahulu, apakah dan siapakah yang akan mereka hadapi?”
“Tentu sudah dilakukan.” jawab Ken Arok, “tetapi agaknya Akuwu kali ini tergesa-gesa.”
“Karena desakan isterinya yang cantik itu.” gumam Kebo Ijo, “Ternyata gadis Panawijen itu benar-benar membahayakan Akuwu sendiri. Ia tidak tahu bahaya yang dapat mengancam Akuwu. Ia hanya menuruti suara perasaannya saja, agar Mahisa Agni segera dilepaskan. Tetapi ia tidak mempertimbangkan segi-segi yang lain. Sedang Akuwu pun telah benar-benar jatuh di bawah telapak kaki perempuan itu. He, apakah kau pernah mendengar dongeng bahwa Akuwu telah memasrahkan seluruh Tumapel kepada Ken Dedes sesaat sebelum mereka kawin. Maksudku, pada saat Akuwu membujuk perempuan itu untuk menjadi permaisurinya.”
“Ah, ceritera itu tidak penting bagiku. Keduanya sama saja. Warisannya akan jatuh ketangan putera atau puteri mereka bersama-sama. Bukankah sama saja? Apakah keturunannya itu akan menerima dari ayah atau ibunya?”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa. Dipandanginya bintik-bintik yang semakin lama menjadi semakin kecil ditengah-tengah padang yang luas Itu. Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berdesis diantara suara tertawanya, “He, apakah yang sedang kau renungkan?”
Ken Arok berpaling. Jawabnya, “Tidak ada. Aku tidak sedang merenungkan apa-apa.”
“Bohong.” Pandangan matanya tampak mengambang terlampau jauh. “Apakah kau sedang berpikir tentang hak atas Tumapel yang kini telah berada ditangan Ken Dedes dengan suka rela atas kehendak Akuwu Tunggul Ametung?”
“Buat apa aku memikirkannya? Sudah aku katakan bahwa hal itu tidak berpengaruh apapun.”
Kebo Ijo tertawa semakin keras. Katanya, “Apakah kau sudah pernah melihat Ken Dedes?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Apakah kau sedang mengigau?”
“Tidak. Aku bertanya kepadamu, apakah kau sudah pernah melihat Ken Dedes.”
“Tentu sudah.”
“Dari dekat dan untuk waktu yang lama? Bukankah kau berada dalam kesatuan yang lain dari Pengawal Istana? Hem, aku agaknya mendapat kesempatan menyaksikannya lebih dekat, Gadis itu memang cantik. Sayang, aku sudah beristeri. Kalau belum…“ Kebo Ijo berhenti sejenak. Dipalingkannya wajahnya. Ketika tidak ada orang yang berdiri terlampau dekat dibelakangnya ia berbisik, “Kalau belum, aku akan membunuh Tunggul Ametung. Aku kawini Permaisuri itu. Aku akan mendapat seorang isteri yang sangat cantik dan sekaligus akan mendapat keturunan yang akan memiliki Tumapel.”
“Tutup mulutmu.” tiba-tiba Ken Arok membentak. Wajahnya menjadi semburat merah. Katanya kemudian, “Mulutmu memang terlampau jelek Kebo Ijo. Ingat, bahwa aku dapat berbuat banyak karena aku mendengar kata-katamu itu. Aku dapat melaporkannya kepada Witantra pimpinan pengawal. Apabila perlu, maka persoalan ini dapat sampai kepada Akuwu sendiri, dan kau tahu apakah hukumannya? Kau dapat dihukum mati karenanya.”
Kebo Ijo tiba-tiba tersentak. Dahinya menjadi berkerut-merut. Lalu katanya, “Ah. Jangan begitu. Kau sangka aku berkata bersungguh-sungguh.”
“Aku tahu bahwa kau sekedar bergurau. Tetapi kau harus selalu ingat pesan kakak seperguruanmu. Jagalah mulutmu, supaya kau tidak digantung tanpa sebab.”
“Dan bukankah hal itu sama sekali tidak terjadi? Akuwu Tunggul Ametung tidak mati terbunuh dan aku tidak mengawini isterinya?”
“Tetapi bagaimana kalau orang menuduhmu, bahwa kau sedang merencanakannya. Dan kau dihukum karena merencanakan pembunuhan atas Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, dengan tujuan merebut kekuasaan yang ada ditangannya dengan kekerasan.”
“Omong kosong. Hanya orang gila yang akan menuduh aku berbuat demikian.”
“Bukan orang gila. Kaulah yang gila. Untunglah bahwa hanya aku yang mendengar sendau guraumu yang gila ini. Kalau ada orang lain maka kemungkinannya akan dapat berbeda. Untuk seterusnya kau harus selalu ingat kepada pesan-pesan Witantra. Mulutmu akan dapat menyeretmu dalam kesulitan.”
Kebo Ijo tidak segera menjawab. Matanya kini menatap bintik-bintik yang telah mulai hilang dikejauhan, dibayangi oleh gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh bertebaran di Padang Karautan itu.
“Ingat Kebo Ijo.” desis Ken Arok, “bukan orang gila yang menuduhmu, bahwa suatu ketika kau akan melakukannya. Tetapi orang-orang yang justru mempunyai otak yang baik, yang mencari kesempatan dan ingin menjerumuskan kau ke dalam kesulitan. Tidak semua orang baik kepadamu atau kepadaku atau kepada siapapun. Di Padang Karautan ini hampir setiap orang mengenal tabiatmu. Mulutmu terlampau besar dan kau mempunyai sifat yang meledak-ledak, bahkan kadang-kadang tidak terkendali. Kau ingat apa yang kau katakan kepada Mahisa Agni semalam. Mahisa Agni, betapapun juga adalah ipar tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Ingat hal itu.”
Kebo Ijo masih terbungkam. Namun wajahnya kini menjadi tegang. Beberapa orang yang berdiri agak jauh dari mereka, melihat wajah-wajah yang tegang itu. Tetapi mereka tidak mendengar apa yang sedang mereka percakapkan.
Sejenak Ken Arok pun berdiam diri pula. la benar-benar menyesali sikap Kebo Ijo itu, meskipun Ken Arok sendiri meragukan penyesalan di dalam hati Kebo Ijo. Mungkin Kebo Ijo kini sedang mengumpatinya di dalam hatinya. Tetapi adalah kewajibannya untuk memberikan peringatan-peringatan kepadanya. Bahkan Ken Arok itu berkata di dalam hatinya, “Kalau perlu aku dapat berbuat lebih keras, justru untuk kebaikan Kebo Ijo sendiri.”
Ken Arok pun kini dapat menyadari, mengapa Mahisa Agni memerlukan berpesan kepadanya, supaya ia mengawasi lebih banyak hubungan antara Kebo Ijo dan Kuda Sempana. Mereka bersama-sama berada di Padang Karautan dalam satu perkemahan. Mereka pasti akan sering bertemu dan bahkan berbicara. Hal-hal yang tidak dikehendaki akan dapat timbul. Sifat Kebo Ijo yang meledak-ledak dan Kuda Sempana yang sedang diguncang oleh keadaan, akan mudah sekali berbenturan. Sesaat kemudian tiba-tiba Ken Arok itu berkata, “Marilah. Kita masih mempunyai banyak pekerjaan. Bendungan itu belum selesai benar. Kita masih harus mengerjakan penyelesaiannya.”
“Kenapa bukan Mahisa Agni yang menyelesaikan?” sahut Kebo Ijo acuh tidak acuh.
“Kau sudah mulai lagi?” desis Ken Arok.
“Oh.” tiba-tiba sja Kebo Ijo itu tertawa. “Baiklah, marilah kita bekerja.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Terlampau sulit untuk menguasai sifat Kebo Ijo. Tetapi ia bertekad untuk sedikit demi sedikit merubah sifat itu. Ken Arok merasa sayang, bahwa hari depan Kebo Ijo akan terganggu oleh sifatnya sendiri yang kurang terkendali. Ken Arok dan Kebo Ijo itu pun segera pergi kepekerjaan mereka, setelah mereka tidak dapat lagi melihat rombongan Akuwu Tunggul Ametung. Bersama-sama dengan orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel, mereka pergi ke tempat pekerjaan masing-masing. Ada yang pergi ke bendungan, kesusukan induk, parit-parit dan taman serta sendang buatan. Beberapa orang yang lain menggali parit-parit pengaman di sekitar bendungan, untuk mengurangi tekanan air apabila diperlukan.
Ken Arok sendiri selalu mondar-mandir dari satu tempat ketempat yang lain. Ia berusaha untuk melihat semua segi yang sedang dikerjakan supaya tidak terjadi kesalahan, sehingga pekerjaan itu akan terpaksa diulangi. Dengan demikian mereka akan kehilangan waktu dan tenaga. Sedang Kebo Ijo pun selalu berbuat serupa. Seperti Ken Arok ia berpindah dari satu sudut kesudut yang lain. Sebenarnya ia cukup cakap melakukan pekerjaannya. Ia mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Tetapi yang sulit baginya, adalah mengendalikan diri, menahan mulutnya dan sifat-sifatnya yang sombong. Sehingga tanggapan orang-orang Panawijen dan para prajurit kepadanya jauh berbeda dengan tanggapan mereka terhadap Ken Arok.
Ki Buyut Panawijen kadang-kadang bertanya-tanya pula di dalam hatinya, apakah yang dikehendaki oleh Kebo Ijo itu sebenarnya? Tetapi orang tua itu mencoba untuk mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnya Kebo Ijo hanya didorong oleh sifat-sifatnya yang kurang menyenangkan.
Kuda Sempana yang ditinggalkan di Padang Karautan itu, masih belum dapat segera menyesuaikan dirinya. Setiap ia melihat dua tiga orang berkumpul dan bercakap-cakap, ia selalu merasa bahwa orang itu sedang mempercakapkannya. Karena itu, maka setiap kali ia merasa cemas dan kadang-kadang menjadi bingung, meskipun setiap kali Ken Arok mencoba meletakkannya kedalam keadaan yang sewajarnya.
Setiap kali Ken Arok melihat Kuda Sempana duduk menyendiri. Bahkan kadang-kadang ia membenamkan diri di dalam gubugnya. Sekali-sekali ia mencoba juga bcrkumpul dengan orang-orang Panawijen atau dengan prajurit-prajurit Tumapel atas anjuran Ken Arok, tetapi setiap kali ia merasa terasing. Oleh Ken Arok Kuda Sempana dibawa pula kebendungan untuk ikut serta bekcrja bersama-sama. Tetapi ia selalu diam dan seolah-olah merasa kesepian di dalam hiruk-pikuk yang ribut itu. Semakin riuh orang-orang bekerja di sekitarnya, maka ia pun merasa semakin sepi dan sendiri.
“Saharusnya kau mencoba menyesuaikan dirimu.” berkata Ken Arok, “kau tidak perlu menyimpan prasangka apapun. Aku dan Ki Buyut sudah memberi penjelasan tentang dirimu, dan agaknya orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel dapat menerima kau kembali di antara mereka.”
Kuda Sempana selalu tidak menjawab. Tetapi wajahnya yang ngelangut, seakan-akan masih memancarkan keputus-asaannya menghadapi hari depan yang baik.
“Lambat laun.” berkata Ken Arok didalam hatinya. “Mudah-mudahan ia tidak terbentur sikap Kebo Ijo.”
Dan ternyata sampai dihari-hari berikutnya, Kebo Ijo masih bersikap acuh tak acuh saja terhadap Kuda Sempana. Sikap itu adalah sikap yang sebaik-baiknya dilakukan. Sebab setiap perhatian yang diberikan oleh Kebo Ijo terhadap sesuatu, sudah pasti anak muda itu akan melihat pertama-tama dari segi yang kurang baik. Setelah ia terbentur pada beberapa kenyataan, barulah ia dapat berpikir.
Di hari-hari berikutnya orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah tenggelam kembali kedalam kerja yang sibuk. Mereka telah cukup beristirahat dan mereka telah mulai lagi dengan kerja mereka siang dan malam, meskipun tidak semalam penuh. Sebab pekerjaan merekapun kini berangsur berkurang. Bendungan mereka telah mendekati penyelesaian terakhir, sehingga para prajurit sebagian terbesar telah ditarik untuk dipekerjakan disendang buatan dan susukan induk. Beruntunglah mereka, bahwa hujan yang terlampau lebat tidak datang lagi dengan membawa banjir. Kadang-kadang air memang naik, tetapi tidak memhahayakan.
Beberapa hari telah lampau. Tetapi Mahisa Agni masih belum kembali ke Padang Karautan. Namun Ken Arok sama sekali tidak terlampau mengharapkannya. Ia dapat mengerti, betapa kerinduan mencengkam hati Ken Dedes atasnya. Satu-satunya keluarga yang masih dapat diharapkannya. Yang selama ini telah disangkanya hilang, ternyata datang kembali.
Namun, meskipun Ken Dedes menyambut kehadiran Mahisa Agni dengan tetesan air mata, tetapi tanpa diketahuinya, seorang emban tua menangis hampir pingsan di dalam biliknya karena kegembiraan yang tidak tertahankan. Emban tua yang hampir dicekik oleh keputus-asaan itu, telah menemukan satu-satunya anaknya kembali. Mahisa Agni ternyata masih hidup, dan kini dapat ditemuinya, meskipun ia harus menyembunyikan scmua persoalan. Tetapi itu tidak penting baginya. Yang diharapkannya siang dan malam, yang selalu diucapkannya di dalam doanya kepada Yang Maha Agung, kini telah mengembalikan Mahisa Agni itu kembali dengan selamat.
Kegembiraan yang meluap itulah yang telah menahan Mahisa Agni untuk beberapa hari. Kegembiraan Permaisuri ternyata melimpah kepada Akuwu Tunggul Ametung pula. Ia telah melupakan kejengkelan hatinya, bahwa bukan dirinyalah yang berhasil menolong Mahisa Agni. Tetapi ia bergembira ketika dilihatnya wajah Permasurinya telah menjadi cerah. Secerah matahari di langit. Dengan demikian, terasalah kini, betapa ia dapat hidup dengan senang, dan merasa dirinya dalam hubungan yang wajar dengan Permaisurinya.
Tetapi Mahisa Agni pada saatnya harus minta diri kepada Ken Dedes, kepada emban tua pemomong Ken Dedes dan kepada Akuwu Tunggul Ametung. Ia ingin segera kembali ke Padang Karautan, setelah beberapa hari menikmati tata kehidupan yang belum pernah dialami. Hidup di dalam istana dalam limpahan kesenangan yang belum pernah diimpikan. Tetapi bendungan di Padang Karautan ternyata memberinya kebahagiaan tersendiri.
Bahkan Mahisa Agni merasa lebih terikat kepada bendungan itu dari pada istana Tumapel yang ditaburi oleh berbagai macam kemewahan. Meskipun di Padang Karautan ia tidur di dalam gubug yang sempit, di atas setumpuk rumput-rumput kering dan beralaskan tikar yang kasar, serta dikerumuni oleh semut dan nyamuk, namun Padang Karautan adalah dunia yang paling menyenangkan baginya, diantara kesibukan kerja dan menghijaunya tanaman yang sedang bersemi.
Meskipun Ken Dedes, emban tua pemomong Ken Dedes dan Akuwu Tunggul Ametung mencoba menahannya, namun Mahisa Agni harus segera kembali. Ia tidak betah tinggal di dalam kemewahan selagi orang-orang Panwijen dan prajurit-prajurit Tumapel bekerja keras memeras keringat mereka.
Demikianlah, Mahisa Agni itu pun akhirnya meninggalkan istana Tumapel. Tetapi kepergiannya kali ini tidak terlampau banyak menumbuhkan kecemasan dan kebingungan. Mahisa Agni pergi dengan tujuan tertentu dan untuk suatu tugas tertentu pula. Tetapi Mahisa Agni ternyata tidak langsung pergi ke Padang Karautan. Mumpung ia berada dalam perjalanan. Diperlukannya singgah kerumah pamannya Empu Gandring.
Mahisa Agni mencoba untuk mengejutkan pamannya. Ia tidak masuk lewat pintu depan, tetapi ia menyusup ke regol belakang, sehingga beberapa orang cantrik yang melihatnya menjadi terheran-heran.
“Siapakah kau?” bertanya seorang cantrik.
“Aku ingin menghadap Empu Gandring.” jawab Mahisa Agni.
“Apa keperluanmu?”
“Aku ingin memesan sebilah keris yang paling berharga dan paling bertuah dari antara segala macam keris.”
“Ah.” cantrik itu mengerutkan keningnya, “apakah kau berkata bersungguh-sungguh?”
“Tentu. Katakanlah kepada Empu Gandring, bahwa aku tamu dari Kemundungan.”
Cantrik itu masih saja ragu-ragu.
“Cepatlah. Aku segera ingin bertemu dengan Empu Gandring.”
“Tetapi kenapa kau masuk lewat jalan yang tidak seharusnya kau lalui? Seharusnya kau masuk lewat pintu depan.”
“Oh.” Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “aku tidak mengerti. Tetapi itu tidak penting. Yang tenting bagiku adalah, segera bertemu dengan Empu Gandring. Aku segera ingin memesannya.”
Cantrik itu masih ragu-ragu. Dan Mahisa Agnipun menjadi semakin mendesaknya, “Cepat. Sampaikanlah kepada Empu Gandring. Empu sudah mengerti siapakah tamunya yang datang dari Kemundungan.”
Cantrik itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dalam kebimbangan ia melangkah menuju keserambi belakang untuk mencari Empu Gandring. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar suara dari balik regol halaman, justru diluar,
“Aku memang sudah tahu benar, siapakah tamuku dari Kemundungan.”
Ternyata bukan Mahisa Agni lah yang mengejutkan pamannya, tetapi justru ia sendirilah yang terkejut Ketika ia berpaling ternyata dilihatnya pamannya berdiri diregol halaman memandanginya dengan tajamnya. “Paman.” desis Mahisa Agni.
Pamannya tersenyum, katanya, “Aku berbangga bahwa aku mendapat tamu dari Kemundungan.”
Sejenak Mahisa Agni tertegun ditempatnya. Namun sejenak kemudian segera ia melangkah dan berlutut di depan pamannya. Tetapi Empu Gandring segera memegang lengannya dan menariknya berdiri. Katanya, “Marilah kita masuk Agni.”
Dibimbingnya Mahisa Agni masuk keruang dalam. Kemudian mereka duduk diatas tikar pandan yang putih.
“Aku tidak terkejut melihat kedatanganmu Agni. Agaknya kau terlampau berangan-angan akan mengejutkan aku, sehingga kau tidak melihat aku berdiri di ujung halaman. Aku melihat kau menyusup jalan sempit ini dan menuju ke regol belakang. Aku tahu, bahwa kau ingin mengejutkan aku.”
“Ya paman.” sahut Mahisa Agni sambil tersenyum.
“Aku memang sudah pasti bahwa kau akan terlepas dari tangan Kebo Sindet, Agni.”
“Dari siapakah paman tahu?”
“Apakah gurumu tidak pernah berkata bahwa aku menyusulmu ke Kemundungan dan bertemu dengan gurumu yang menunggui rawa-rawa yang berisi segala macam binatang air itu?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Gurunya memang pernah menyinggung-nyinggungnya.
“Apakah gurumu sendiri yang menangani Kebo Sindet itu?” bertanya Empu Gandring.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi bukankah Empu Gandring itu adalah pamannya? Maka akhirnya diceriterakannya apa saja yang pernah terjadi atasnya dan apa saja yang pernah dilakukannya. Gurunya dan Empu Sada bersama-sama telah mempergunakan dirinya untuk melawan Kebo Sindet dan mengalahkannya. Sehingga Kebo Sindet itu pun akhirnya terbunuh.
“Hem.” Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian menarik nafas dalam-dalam, “ternyata kau memiliki kemampuan yang luar biasa Agni. Aku menjadi iri hati terhadap kedua orang itu. Kenapa aku tidak menitipkan beberapa macam ilmu yang tidak berarti kepadamu juga?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi dengan demikian hatinya menjadi berdebar-debar.
“Apakah kau tergesa-gesa melakukan perjalanan pula Agni, atau kau mempunyai kesempatan untuk tinggal disini beberapa hari?”
“Aku harus segera sampai ke Padang Karautan, paman. Aku telah merindukan kerja itu.”
“Aku mengharap kau tinggal disini sepekan saja. Mungkin aku masih belum dapat melepaskan rinduku. Begitu?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi keningnya menjadi berkerut-merut. Ia ingin memenuhi permintaan pamannya yang pada saat-saat ia berada dalam keadaan yang sulit, telah berusaha pula untuk melindunginya, meskipun ternyata betapa tinggi ilmunya, namun ilmu itupun terbatas pula, Kemampuan manusia tidak akan dapat mencapai suatu tingkatan dimana ia tidak dapat dibatasi lagi, sehingga pamannya itupun ternyata tidak berhasil menyelamatkannya. Seperti Kebo Sindetpun akhirnya terkalahkan oleh orang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Tetapi iapun ingin segera berada di Padang Karautan pula. Diantara orang-orang Panawijen yang bekerja keras bersama-sama prajurit-prajurit Tumapel. Namun disamping itu, ia masih mempunyai tanggungan Kuda Sempana. Mudah-mudahan Kuda Sempana tidak menjadi liar dan pergi meninggalkan Padang Karautan itu. Yang dicemaskannya pula adalah Kebo Ijo. Apalagi hubungan yang mungkin sangat buruk antara Kebo Ijo dan Kuda Sempana.
Dalam keragu-raguan itu terdengar suara pamannya, “Apa kah kau masih ingin menunggui bendunganmu?”
Perlahan-lahan Mahisa Agni mengangguk. Katanya, “Ya paman. Aku ingin melihat bendungan itu diselesaikan.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu betapa keinginan itu pasti memenuhi dada Mahisa Agni. Sekian lama ia terpisah dari pekerjaan itu. Dan kini ia tinggal melihat pekerjaan itu yang sudah hampir selesai.
“Ya, aku mengerti Agni.” desis pamannya, “kau pasti ingin berada di sana. Baiklah. Aku tidak akan menahanmu. Tetapi tersimpan di dalam diriku, keinginan untuk menyerahkan beberapa segi dari ilmuku kepadamu. Namun aku tidak tahu, apakah hal ini mungkin aku lakukan.”
“Kenapa paman?” bertanya Mahisa Agni, “aku akan sangat berterima kasih. Dengan demikian aku akan dapat melengkapi ilmu yang ada padaku.”
Tiba-tiba mata Empu Gandring menjadi suram. Katanya, “Ah, ilmumu sudah cukup baik Agni.”
“Tetapi aku akan dapat mengambil manfaat dari ilmu yang akan paman berikan.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, apabila aku masih dapat melihat kau datang kemari Agni. Apabila kau kelak berkesampatan, aku akan memberikan itu kepadamu.”
“Tentu paman. Aku akan memerlukan datang kemari.”
Tiba-tiba Empu Gandring menggeleng. “Mungkin kau akan datang lagi kemari, tetapi getaran di dalam dadaku, seakan-akan menolak kemungkinan, bahwa kau akan dapat menerima ilmuku.”
“Kenapa paman...?”
“O.” Akuwu menggeretakkan giginya, “kau telah ikut dalam pengkhianatan itu. Kau telah menjadikan semuanya rusak sama sekali. Dan sekarang kau masih berani menampakkan dirimu setelah kau lari dari istana tanpa menjalani hukuman yang aku jatuhkan kepadamu atas permintaan Permaisuriku.”
Kuda Sempana sama sekali tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun kemudian dentang jantungnya menjadi reda setelah ia menemukan ketenangan di dalam dirinya. Ia telah pasrah kepada nasib yang akan membawanya. Bagi Kuda Sempana hidup yang sesungguhnya telah terhenti sejak ia berada di dalam tangan Kebo Sindet. Karena itu, maka apapun yang akan terjadi atasnya kini sudah tidak lagi menggetarkan jantungnya. Apalagi ia tahu pasti, bahwa Akuwu Tunggul Ametung dihadapan prajurit-prajuritnya, sama sekali bukan Kebo Sindet.
Seandainya Akuwu Tunggul Ametung memutuskan untuk menghukumnya sampai mati, maka cara yang dipakainya pasti cara yang wajar, yang biasa dilakukan, apabila terpaksa seseorang dihukum mati karena kesalahan-kesalahannya yang tidak mungkin diampuni lagi. Seandainya ia termasuk orang-orang yang demikian, maka bagi Kuda Sempana sama sekali sudah tidak menggetarkan jantungnya.
Karena Kuda Sempana sama sekali tidak menyahut, dan bahkan hanya menundukkan kepalanya saja, maka Akuwu itu berkata pula, “He, Kuda Sempana. Apakah kau tidak punya otak yang dapat mencegahmu untuk datang menemuiku seperti ini, karena hal itu akan dapat membawamu ketiang gantungan?”
Kuda Sempana masih belum menjawab.
“Apakah kau sekarang menjadi bisu, he, setelah kau menjadi pengikut Kebo Sindet? Bukankah kau ikut serta mencoba memeras Ken Dedes dengan mempergunakan Jajar yang gemuk itu, dan bahkan kau ikut berkelahi dan membunuh beberapa orang yang dipergunakan oleh Jajar yang gemuk itu untuk menjebak Kebo Sindet?”
Kuda Sempana semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Akuwu ternyata tahu semua yang telah dilakukan.
“Dan kau ikut pula mengikat Jajar yang gemuk itu di rumahnya yang sedang terbakar?”
Kuda Sempana sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Ditatapnya rerumputan yang basah oleh sisa-sisa air hujan yang seperti dicurahkan dari langit.
“Sekarang kau datang menyerahkan dirimu. Hukuman lipat sepuluh dari yang seharusnya. Kau harus menanggung segala macam kesalahan yang dilakukan oleh Kebo Sindet pula.” Akuwu itu berhenti sejenak, “sayang bahwa hukuman gantung hanya dapat dilakukan satu kali atas seseorang. Aku sebenarnya ingin menggantungmu sepuluh kali di alun-alun, dan seandainya aku dapat menangkap Kebo Sindet maka ia harus digantung sepuluh tahun. Tetapi sayang sekali bahwa kau hanya dapat melakukan hukuman itu satu kali, lalu mati.”
Betapapun juga dada Kuda Sempana terasa tersentuh oleh kata-kata Akuwu. Meskipun kedengarannya aneh, namun ternyata Akuwu mencoba untuk mencurahkan segala macam perasaannya. Kemarahan, kejengkelan, kekecewaan dan segala macam perasaan.
“He, apa katamu Kuda Sempana?”
Kuda Sempana tidak menyahut. Mulutnya serasa terbungkam dan ia memang sama sekali kehilangan nafsu untuk menjawab, apalagi membela diri, untuk mendapat pengampunan. Terasa menyesak di dadanya, pengakuan atas segala macam kesalahan yang telah dilakukannya, sejak ia masih menjadi seorang Pelayan Dalam, sejak Ken Dedes masih seorang gadis desa. Sekilas terbayang kembali usahanya yang pertama kali untuk memaksa Ken Dedes mengikutinya ke Tumapel, melakukan cara yang memang dapat ditempuh. Kawin lari sampai mereka mempunyai anak, dan orang tua gadis itu terpaksa mengakuinya sebagai seorang menantu.
Tetapi ternyata Ken Dedes tidak mau dan bahkan Mahisa Agni berhasil pula menggagalkannya untuk melarikan saja gadis itu. Cara yang dapat ditempuhnya pula untuk mendapatkan Ken Dedes. Tetapi semuanya itu telah gagal. Sehingga ia terpaksa mengelabui Akuwu Tunggul Ametung dan rasanya ia telah berhasil mengambil Ken Dedes dari Panawijen. Tetapi sekali lagi ia gagal dan bahkan ia harus menjalani hukuman yang paling hina.
Akhirnya ia menjadi semakin jauh tersesat. Semakin jauh. Tanpa disadarinya ia telah terdampar di Kemundungan, di sarang iblis yang paling mengerikan. Kakak beradik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kuda Sempana menggigit bibirnya. Adalah wajar sekali bahwa sekarang Akuwu Tunggul Ametung menghadapkannya pada hukuman yang paling berat yang dapat diberikan kepadanya.
Dalam pada itu, dalam kediamannya, ia mendengar suara Mahisa Agni, “Ampun Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Hamba ingin memohon, agar Tuanku sudi mempertimbangkan. Kuda Sempana sudah melakukan banyak sekali kesalahan, bahkan sudah mendekati bentuk-bentuk kejahatan. Tetapi ia sudah menjalani hukumannya, jauh lebih berat dari hukuman yang dapat Tuanku berikan. Hukuman yang lebih berat dari hukuman mati.”
“He, kau sudah gila pula Mahisa Agni.” potong Akuwu Tunggul Ametung, “kaulah yang seharusnya minta kepadaku hukuman yang paling berat atasnya. Atas namamu sendiri dan atas nama adikmu, Ken Dedes. Sekarang, agaknya kau ingin minta kepadaku untuk memperingan hukuman atas Kuda Sempana. Benar begitu?”
“Hamba Tuanku. Sebenarnya hamba memang telah melihat, betapa ia menjalani hukumannya di Kemundungan.”
“Kau sudah benar-benar gila agaknya. Bukankah di Kemundungan Kuda Sempana telah menjadi salah seorang pengikut Kebo Sindet yang paling setia?”
“Ampun Tuanku, Itulah yang akan hamba katakan. Di Kemundungan Kuda Sempana telah menjalani hukuman mati meskipun ia masih hidup. Ia telah melepaskan diri dari kepentingan kemanusiaannya. Tidak atas kehendak sendiri, dengan ikhlas melepaskan kepentingan-kepentingan diri dan kehendak diri sendiri, tetapi ia telah dipaksa oleh keadaan di sekitarnya.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya Katanya, “Apakah kau sedang mengigau?”
“Ampun Tuanku. Sebenarnyalah demikian.”
“Coba katakan, apakah yang sudah terjadi atasnya di Kemundungan. Apakah Kuda Sempana tidak menjadi kepala dari pengikut-pengikut Kebo Sindet.”
“Kebo Sindet adalah seorang yang melakukan segala macam kejahatannya seorang diri sepeninggal adiknya Wong Sarimpat.”
“Kemudian kedudukan Wong Sarimpat telah diganti oleh Kuda Sempana.”
“Tidak Tuanku. Kuda Sempana tidak lebih baik kedudukannya dari kuda tunggangan Kebo Sindet yang sekarang hamba pakai. Ia sudah kehilangan segala-galanya. Hidupnya memang telah terhenti perlahan-lahan sehingga sampai suatu saat, ia menjadi beku seperti segumpal batu yang mati, yang dapat diperlakukan apa saja.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Tampaklah keragu-raguan memancar di wajahnya. Sekali dipandanginya wajah Kuda Sempana tajam-tajam, lalu pandangan matanya berpindah ke wajah Mahisa Agni. Bahkan kemudian dipalingkannya mukanya kepada Witantra dan Ken Arok seakan-akan minta pertimbangan dari padanya. Tetapi Witantra dan Ken Arok tidak menunjukkan kesan apapun di wajahnya, selain keragu-raguan pula. Tetapi yang berkata demikian adalah Mahisa Agni. Orang yang seharusnya paling mendendam kepada Kuda Sempana, sehingga mau tidak mau Akuwu harus mempertimbangkannya.
“Agni.” berkata Akuwu, “apakah sikapmu itu dipengaruhi oleh jasa yang telah diberikan kepadamu dari Empu Sada yang kebetulan adalah guru Kuda Sempana?”
Mahisa Agni mengerutkan dahinya. Kemudian jawabnya, “Sebagian memang benar Tuanku. Empu Sada telah menolong hamba melepaskan diri dari tangan iblis Kemundungan itu. Empu Sada pun minta pula kepada hamba, menyampaikan permohonan maafnya untuk muridnya yang sesat. Tetapi pengalaman Kuda Sempana telah mengajar kepadanya, bahwa apa yang telah dilakukannya itu ternyata suatu kesalahan yang sangat besar. Mudah-mudahan ia telah benar-benar menjadi seorang yang baik, yang menyesali semua perbuatannya lahir dan batin dan tidak akan mengulanginya lagi.”
Sorot mata Akuwu Tunggul Ametung tiba-tiba menyambar wajah Mahisa Agni dengan tajamnya. Selangkah ia maju sambil berkata keras-keras. “Kenapa bukan Empu Sada itu sendiri yang menghadap aku dan mohon maaf untuknya sendiri dan untuk muridnya he? Kenapa permohonan ampun atas kesalahan yang sedemikian besarnya, yang telah menggoncangkan Tumapel, yang telah menelan beberapa korban jiwa dan membuat Permaisuriku selalu dihantui oleh kecemasan, hanya dipesankan kepadamu?”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar pertanyaan itu. Sesaat ia tidak dapat menjawab. Ketika dipandanginya Kuda Sempana dengan sudut matanya, maka dilihatnya anak muda itu semakin menunduk.
“He, kenapa? Bukankah itu telah merendahkan Akuwu Tunggul Ametung dari Tumapel.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dicobanya untuk menjawab, “Ampun Tuanku. Empu Sada pun telah merasa bahwa seharusnya ia sendiri menghadap Tuanku untuk mohon ampun atas segala kesalahannya dan kesalahan muridnya. Tetapi Empu Sada merasa ketakutan untuk melakukannya. Ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk berani berhadapan dengan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung justru setelah ia berhasil menolong hamba dan melepaskan muridnya dari tangan Kebo Sindet. Bukan saja karena ia silau memandang kebesaran Akuwu Tunggul Ametung tetapi ia telah memutuskan untuk tidak lagi berada di lingkungan kehidupan yang wajar. Ia telah membuang dirinya, menyepi, menjauhkan diri dari segala masalah duniawi. Justru setelah ia merasa bahwa ia telah berbuat terlampau banyak kesalahan.”
Akuwu terdiam sejenak mendengar keterangan Mahisa Agni itu. Tetapi kemudian ia berkata, “Alasan itu baik juga dikemukakan. Mudah-mudahan aku dapat mempercayainya meskipun hampir tidak masuk akal. Kalau benar Empu Sada berbuat demikian, bukan sekedar ceritera yang dengan tergesa-gesa disusun oleh Mahisa Agni, maka Empu Sada adalah seorang yang terlampau bodoh.” Akuwu berhenti sejenak, lalu kepada Kuda Sempana ia bertanya, “He, Kuda Sempana, apakah keuntungan yang didapat oleh gurumu dengan menjauhi pergaulan hidup yang wajar? Kalau benar ia merasa telah terlalu banyak membuat kesalahan, kenapa ia kemudian menjauhkan dirinya? Apakah dengan demikian ia merasa, bahwa kesalahan-kesalahannya itu akan terhapus dengan sendirinya tanpa berbuat sesuatu bagi sesama yang telah dinodai oleh kesalahan-kesalahannya? He, Kuda Sempana. Seorang yang mengasingkan diri itu tidak lebih dari seorang yang hilang, lalu tanpa mempunyai arti lagi selain dikenang. Padahal kenangan yang ditinggalkannya adalah kenangan yang hitam, selain sepercik jasanya telah melepaskan Mahisa Agni.”
Sekali lagi Akuwu berhenti, lalu, “bagiku Kuda Sempana, Empu Sada adalah orang yang menyimpan ilmu di dalam dirinya. Ia dapat berbuat banyak dengan ilmunya untuk kepentingan kemanusiaan. Itu aku memberinya lebih banyak arti dari pada menyingkir. Coba apakah yang dapat diberikan sebagai penebus segala macam kesalahannya apabila ia terpisah dari pergaulan? Menyepi, bertapa dan kemudian duduk tepekur mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung? Tetapi bagiku, bakti kepada Yang Maha Agung dengan mewujudkannya dalam tingkah laku, perbuatan dan pikiran yang bermanfaat bagi pergaulan, adalah lebih tinggi nilainya dari pada yang dilakukannya sekarang. Baik bagi manusia dan sudah tentu bagi Yang Maha Agung. Apalagi kalau ia berhasil mendorong orang lain mendekatkan dirinya kepada Yang Maha Agung. Dan itu hanya dapat dilakukan apabila ia berada diantara orang-orang yang akan didorongnya itu. Barulah Empu Sada dapat dikatakan menyesali kesalahan-kesalahan yang pernah dibuatnya.”
Kuda Sempana sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Bahkan Mahisa Agni pun kemudian menunduk pula. Witantra dan Ken Arok tanpa disadarinya sendiri mengangguk-angguk kecil. Mereka tidak pernah mendengar Akuwu Tunggul Ametung berkata sedemikian bersungguh-sungguh seperti saat itu.
Sejenak Padang Karautan itu menjadi terlampau sepi. Yang masih terdengar adalah derik suara bilalang dan cengkerik. Namun tanpa mereka sadari, ternyata cahaya di Timur menjadi semakin terang. Orang-orang yang berdiri di padang itupun menjadi semakin jelas tampak garis-garis wajahnya.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Kini ia melihat betapa Kuda Sempana dan Mahisa Agni menjadi kurus dan cekung. Wajah-wajah mereka menunjukkan keprihatinan yang berat selama mereka berada di tangan iblis Kemundungan. Sama sekali tidak nampak kegarangan dan kebuasan di wajah Kuda Sempana. Bahkan wajah itu seolah-olah menjadi beku dan dingin. Tidak ada lagi pancaran yang menyorotkan gairah hidup dari dalam dirinya. Sepi dan beku. Melihat keaadaan itu, maka kemarahan Akuwu Tunggul Ametung menjadi mereda. Ia mempercayai keterangan Mahisa Agni tentang Kuda Sempana. Keadaannya di dalam sarang iblis Kemundungan itu tidak jauh berbeda, bahkan tidak lebih baik dari kuda tunggangan Kebo Sindet.
Dengan demikian, maka nafsunya untuk menjatuhkan hukuman kepada Kuda Sempana itupun lambat laun seakan-akan dihanyutkan oleh silirnya angin pagi. Semakin terang, maka semakin jelas nampak oleh kedua anak-anak muda itu telah mengalami suatu masa yang terlampau berat bagi mereka. Pakaiannya yang kusut kumal, basah oleh air hujan, dan wajah-wajah mereka yang suram. Akuwu Tunggul Ametung menarik napas. Kemudian ia berkata, “Aku akan mempertimbangkan serupa keterangan Mahisa Agni. Tetapi aku tidak akan melepaskan pengawasan atasmu Kuda Sempana.”
Terasa seolah-olah setetes embun menitik pada hati Kuda Sempana yang gersang. Perlahan-lahan ia membungkuk sambil berkata, “Hamba hanya dapat mcngucapkan beribu terima kasih Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Dipandanginya kemudian wajah Witantra dan Ken Arok berganti-ganti. Katanya, “Witantra, apakah kau sependapat, bahwa untuk sementara Kuda Sempana kita beri kesempatan untuk tetap hidup?”
Witantra mengangguk. Jawabnya, “Hamba Tuanku.”
Kemudian kepada Ken Arok ia bertanya, “Apa katamu Ken Arok?”
“Hambapun sependapat Tuanku.”
“Baik. Aku serahkan orang ini kepadamu, meskipun aku belum mengembalikan ia pada kedudukannya semula. Seandainya ia dapat diterima kembali untuk menjadi seorang Pelayan Dalam di istana, maka ia harus mulai lagi dari tingkat yang paling bawah. Orang ini akan berada di dalam lingkunganmu.”
Ken Arok mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab, “Hamba Tuanku. Hamba akan mencoba berbuat sebaik-baiknya.”
“Nah, terserahlah kepadamu. Bawalah orang ini. Aku tidak akan membawanya ke Tumapel.” Akuwu itu berhenti sejenak, lalu, “Hanya Mahisa Agni lah yang ikut aku ke istana.”
Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Diberanikannya dirinya berkata, “Ampun Tuanku. Hamba ingin melihat bendungan yang sudah lama sekali hamba tinggalkan. Hamba belum tahu apakah bendungan itu sudah jadi atau belum. Seandainya masih ada yang harus dikerjakan maka biarlah hamba tinggal di padang ini untuk ikut serta mengerjakannya.”
Akuwu tidak segera menjawab. Tetapi tampak wajahnya nenjadi tegang. Dipandanginya wajah Mahisa Agni tajam-tajam. Lalu sejenak kemudian ia berkata, “Kenapa kau tidak mau ikut? Adikmu hampir mati menunggu kau datang kepadanya. Sekarang kau menolak untuk ikut pergi ke Tumapel.”
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Ternyata Ken Dedes benar-benar menjadi prihatin karena kehilangan orang yang dianggapnya sebagai kakaknya. Perasaan prihatin seorang adik. Mahisa Agni menarik napas dalam-dalam. Namun kemudian dadanya telah digetarkan oleh ingatannya tentang bendungan Karautan. Ia menyangka bahwa bendungan itu masih belum selesai sama sekali. Ternyata Ken Arok sampai saat ini masih berada di padang itu.
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka terdengar suara Akuwu, “Bagaimana pertimbanganmu?”
Mahisa Agni masih belum dapat segera menjawab. Di pandanginya Witantra yang berdiri dekat di samping Akuwu Tunggul Ametung. Dan Witantra itu sendiri berkata di dalam hatinya, “Kenapa Akuwu tidak membawanya ke perkemahan lebih dahulu, kemudian berbicara dengan baik sambil duduk di antara orang-orang Panawijen yang pasti akan bergembira menerima kedatangannya?” Tetapi Witantra tidak mengucapkannya. Ia tidak mau menyinggung perasaan Akuwu yang sering meledak-ledak itu.
Tetapi ternyata Ken Arok lah yang mendapat jalan untuk mengatakan. Agaknya Ken Arok pun berpikir seperti itu pula. Maka katanya, “Ampun Tuanku. Sebentar lagi hamba harus sudah mulai dengan pekerjaan hamba bersama dengan orang-orang Panawijen dan para prajurit, karena matahari akan segera naik. Perkenankanlah hamba untuk kembali kepada kawan-kawan itu.” Ken Arok berhenti sejenak. Kemudian, “Dan apakah tidak sebaiknya Mahisa Agni Tuanku perkenankan hari ini melihat bendungannya yang sudah hampir siap, supaya ia dapat menikmatinya pula, untuk sekedar melupakan keprihatinan yang dialaminya? Apabila kemudian Mahisa Agni harus ikut ke Tumapel, terserahlah kepada Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung menengadahkan wajahnya. Langit sudah menjadi cerah oleh sinar pagi yang memancari wajah Padang Karautan yang seolah-olah luas tidak bertepi. Perlahan-lahan Akuwu itu mengangguk-anggukkan kepalanya Katanya, “Marilah kita kembali. Aku tidak dapat berbicara sambil berdiri saja di sini. Aku harus berbicara dengan Mahisa Agni dalam keadaan yang lebih baik, tidak di sini sambil mematung.”
Witantra menggigit bibirnya. Hampir saja ia tertawa. Bukankah Akuwu sendiri yang berbuat demikian sehingga ia harus berbicara sambil berdiri tegak seperti patung?
Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian berjalan kembali ke gubugnya, Terlampau tergesa-gesa seperti sedang ditunggu oleh suatu keadaan yang terlampau penting untuk segera ditanggapi.
Ternyata orang-orang Panawijen dan para prajurit di perkemahan mereka telah bangun dan telah mulai mempersiapkan diri. Mereka sama sekali tidak mengerti, bahwa Akuwu Tunggul Ametung, Witantra dan Ken Arok pergi menyongsong dua orang berkuda yang ternyata adalah Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Para pengawal Akuwu memang menjadi gelisah ketika dilihatnya, Akuwu tidak ada ditempatnya. Tetapi karena Witantra juga tidak ada, maka mereka menyangka, bahwa Akuwu sedang berjalan-jalan melihat-lihat diantar oleh Witantra. Tetapi bahwa mereka tidak melihat Akuwu pergi, telah membuat mereka menjadi berdebar-debar. Tetapi di sudut lain orang bertanya-tanya tentang Ken Arok. Kemanakah orang itu pergi?
Beberapa orang menaruh perhatian, tetapi yang lain seolah-olah acuh tidak acuh saja. Adalah kebiasaan Ken Arok untuk pergi kemana saja tanpa diketahui oleh orang lain, sehingga kadang-kadang memang dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Tetapi ia akan segera kembali dan melakukan pekerjaannya, memimpin pembuatan bendungan yang masih belum siap itu. Tetapi ternyata kali ini, bukan saja Ken Arok yang tidak ada di tempatnya, juga Akuwu Tunggul Ametung dan Witantra.
“Ah, mereka pergi berjalan-jalan. Mungkin mereka pergi ke taman yang sebagian telah dirusakkan oleh banjir itu.” berkata Kebo Ijo di dalam hatinya, kemudian, “persetan dengan ketiga orang itu. Seandainya mereka matipun aku tidak akan kehilangan apa-apa.”
Kebo Ijo seolah-olah sama sekali tidak berkepentingan sama sekali atas kepergian ketiga orang yang tanpa diketahui oleh seorang pun itu. Namun, kemudian ia datang kepada para prajurit pengawal dan bertanya, “Kemana Akuwu Tunggul Ametung?”
“Kami tidak tahu.” sahut salah seorang prajurit.
“Apakah tidak ada seorang pun yang bertugas berjaga-jaga di muka gubugnya?”
“Ada.”
“Tetapi kenapa tidak ada seorang pun yang tahu kemana ia pergi. Lalu apakah kerja para pengawal? Seandainya aku tidak bertugas di bendungan ini, dan seandainya aku mendapat tugas untuk mengawalnya, maka aku pasti tahu kemana ia pergi.”
Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi seorang perwira datang kepada Kebo Ijo dan berkata, “Aku sudah mengusutnya. Kenapa tidak seorang pun yang melihat Akuwu pergi.”
“Lalu?”
“Aku akan bertanggung jawab kepada Ki Witantra yang agaknya pergi bersama Akuwu Tunggul Ametung.”
“Tetapi kenapa para penjaga tidak melihat mereka keluar dari gubug masing-masing?”
“Para prajurit agaknya merasa terlampau letih. Mereka tidak tertahankan lagi dan jatuh tertidur di tempatnya, seperti seseorang yang kena sirep.”
“Dan kau juga tertidur?”
“Ya, aku juga tertidur. Dan kau pun tidur juga.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya meninggalkan gubug Akuwu yang kosong, namun yang kini justru ditunggui oleh dua orang penjaga. Ketika dilayangkannya pandangan matanya jauh ke Padang Karautan maka yang dilihatnya adalah gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan disana-sini. Gerumbul yang kadang-kadang rimbun meskipun daunnya masih belum terlampau segar, tetapi kadang-kadang ada yang kering kerontang, seperti baru saja habis terbakar. Tiba-tiba Kebo Ijo itu mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa orang berjalan kaki sambil menuntun kuda. Dua ekor kuda di antara lima orang yang berjalan kaki.
“Siapakah mereka itu?” desisnya di dalam hati.
Sejenak Kebo Ijo berdiri termangu-mangu. Kemudian dilambaikannya tangannya memanggil seseorang yang berdiri tidak jauh dari padanya. Katanya, “He, panggil Ki Buyut kemari.”
Orang itu segera menyampaikannya kepada Ki Buyut Panawijen yang kemudian dengan tergesa-gesa datang kepadanya.
“Siapakah mereka Ki Buyut?” bertanya Kebo Ijo.
“Ah, mataku sudah tidak cukup jelas untuk melihat sedemikian jauh. Barangkali angger segera dapat mengenal mereka.”
“Yang berjalan paling depan, pasti Akuwu Tunggul Ametung, yang lain meskipun tidak begitu jelas tetapi pasti Kakang Witantra dan Ken Arok. Lalu yang menjadi pertanyaan, siapakah kedua orang lain yang menuntun kuda itu?”
Ki Buyut yang tua itu mencoba mengerutkan keningnya dan mempertajam pandangan matanya. Tetapi meskipun hari telah menjadi terang, namun ia tidak segera dapat melihat orang-orang yang masih seperti bintik-bintik yang merayap semakin dekat di antara gerumbul-gerumbul yang tumbuh bertebaran di sana-sini.
Namun semakin lama bintik-bintik itu menjadi semakin besar. Semakin lama menjadi semakin jelas. Dan Kebo Ijo menjadi semakin yakin bahwa yang berdiri dipaling depan adalah Akuwu Tunggul Ametung. Ia tidak dapat dikelabui lagi oleh langkahnya yang seakan-akan selalu, gelisah. Yang lain benar-benar Witantra dan Ken Arok, yang dicari oleh sementara orang diperkemahan itu. Dan yang dua kemudian?
Dada Kebo Ijo menjadi berdebar-debar. Semakin lama wajah-wajah mereka pun menjadi semakin jelas Demikian pula kedua orang yang sedang menuntun kuda itu pun menjadi semakin jelas pula.
“Kuda Sempana.” desisnya.
“Siapa?” bertanya Ki Buyut dengan serta merta.
“Kuda Sempana.” jawab Kebo Ijo.
“Kuda Sempana?” Ki Buyut mengulangi, “apakah Akuwu Tunggul Ametung sudah berhasil menangkapnya?”
“Entahlah.” sahut Kebo Ijo.
“Lalu siapakah yang seorang lagi?”
Dada Kebo Ijo menjadi semakin berdebar-debar. Semakin jelas olehnya bahwa yang seorang itu adalah Mahisa Agni. Ya, Mahisa Agni. Begitu keras debar jantung di dalam dadanya, sehingga tangannya pun kemudian menjadi gemetar. Hampir tidak dapat dipercayainya, bahwa yang datang itu adalah Kuda Sempana dan Mahisa Agni.
“Siapakah yang seorang itu ngger?” bertanya Ki Buyut itu pula.
Perlahan-lahan, dalam dada yang berat Kebo Ijo menjawab, “Mahisa Agni, Ki Buyut.”
“He.” Ki Buyut Panawijen hampir terlonjak mendengar jawaban itu, sehingga sejenak ia diam dalam kebingungan dan kebimbangan. Namun semakin jelas pula baginya, bahwa orang-orang yang datang itu memang seperti orang-orang yang disebut-sebut oleh Kebo Ijo. “Jadi benar yang satu lagi itu Angger Mahisa Agni?” desis Ki Buyut Panawijen dengan suara yang gemetar pula.
Kebo Ijo tidak segera menyahut. Dipandanginya orang-orang yang sedang berjalan mendekat itu dengan saksama. Tidak salah lagi, mereka adalah Akuwu Tunggul Ametung, Witantra, Ken Arok, Kuda Sempana dan yang seorang itu adalah Mahisa Agni. Wajah Kebo Ijo tiba-tiba menjadi tegang. Dan terdengarlah orang itu bardesis, “Anak itu masih tetap hidup.”
Ki Buyat barpaling kepadanya. Wajahnya diwarnai oleh perasaan yang aneh. Kedatangan Mahisa Agni yang tidak disangka-sangkanya itu telah menggoncangkan dadanya. Tetapi ia tidak mengerti, kenapa wajah Kebo Ijo tiba-tiba menjadi tegang. Maka dengan serta merta Ki Buyut itu bertanya, “Aku tidak mengerti ngger, bukankah kita memang mengharap angger Mahisa Agni tetap hidup?”
“Oh.” Kebo Ijo tergagap, “Ya, ya. Kita memang mengharap ia tetap hidup tetap sehat dan tetap seorang yang sombong dan berkepala besar.”
“Aku tidak mengerti ngger.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Tatapan matanya masih melekat kepada orang-orang yang berjalan semakin dekat. Dan ia mendengar Ki Buyut berkata, “Aku mengharap sekali anak itu pulang. Aku takut kehilangan untuk kedua kalinya. Anakku telah mati terbunuh. Dibunuh oleh Kuda Sempana. Kemudian aku menganggap angger Mahisa Agni sebagai anakku sendiri. Kalau terjadi sesuatu, maka aku akan ke hilangan dia. Aku akan kehilangan untuk yang kedua kalinya.”
“Ya, ya. Ki Buyut ternyata tidak kehilangan dia. Bahkan anak itu datang sambil membawa Kuda Sempana. Mungkin ia berhasil melepaskan diri dari tangan Kebo sindet sambil menangkap Kuda Sempana sekaligus.”
Ki Buyut merasakan nada kata-kata Kebo Ijo bukan seperti yang diharapkannya Tetapi ia kemudian tidak menyahut lagi. Kini ia memandangi orang-orang yang datang yang semakin lama menjadi semakin dekat, semakin dekat. Ki Buyut ternyata tidak dapat menahan kegembiraan hatinya karena kehadiran Mahisa Agni. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi kehadiran Kuda Sempana, yang telah membunuh anaknya. Tetapi kegembiraan hatinya yang meluap itu telah merampas segenap perhatiannya, sehingga tiba-tiba ia meloncat berlari-larian menyongsong Mahisa Agni.
Kedatangan Mahisa Agni ternyata telah menggemparkan perkemahan itu. Sejenak kemudian setiap mulut telah menyebut namanya. Dengan serta merta orang-orang Panawijen segera berlari-larian menyongsongnya, menyusul Ki Buyut yarg sudah medahului mereka.
Akuwu Tunggul Ametung yang berjalan di depan sekali mengerutkan keningnya melihat orang berlari-lari menyongsongnya. Tetapi segera disadarinya, bahwa bukan dirinyalah yang telah menarik perhatian segenap perghuni perkemahan, terutama orang-orang Panawijen, tetapi Mahisa Agni. Karena itu maka Akuwu itu pun kemudian menjadi acuh tidak acuh. Bahkan perlahan-lahan ia bergumam, “Anak setan itu telah berhasil menolong dirinya sendiri tanpa pertolonganku. Persetan dengan orang-orang Panawijen yang menjadi gila karena kehadirannya. Aku tidak peduli lagi.”
Akuwu yang bersungut-sungut itu berjalan semakin cepat. Witantra dan Ken Arok terloncat-loncat di belakangnya. Sedang beberapa langkah lagi berjalan Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Tetapi langkah mereka segera terhenti karena Ki Buyut tiba-tiba saja telah mendekap Mahisa Agni yang menjadi sedemikian kurus di dalam pandangan mata orang tua itu.
“Ternyata kau selamat ngger.” berkata orang tua itu terputus-putus.
Terasa tenggorokan Mahisa Agni pun menjadi kering. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya Ki Buyut. Aku selamat atas perlindungan Yang Maha Agung.”
“Syukurlah. Aku selalu berdoa untukmu ngger. Orang-orang Panawijen pun berdoa pula untukmu.”
“Terima kasih Ki Buyut.” Tetapi Mahisa Agni tidak dapat berbicara lebih banyak. Kerongkongannya serasa tersumbat dan dadanya serasa menjadi sesak. Apalagi ketika sejenak kemudian ia sudah dikerumuni oleh orang-orang Panawijen yang memandanginya dengan sorot mata yang berapi-api.
Lamat-lamat Mahisa Agni mendengar suara bergeramang diantara mereka, “Mahisa Agni telah kembali, Mahisa Agni telah kembali.” lalu disusul oleh yang lain, “Ia berhasil lolos dari tangan Kebo Sindet.” tetapi yang lain berkata, “ia menjadi terlampau kurus dan hitam. Wajahnya kering dibakar oleh terik matahari dan punggungnya seolah-olah menjadi matang dipanggang api.”
“He.” yang lain hampir berteriak, “lihat, luka di tubuhnya. Jalur-jalur senjata telah merobek kulitnya. Belum terlampau kering. Darah masih tampak pada pakaiannya yang kotor dan kumal, meskipun sudah kering.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka melihat jalur luka di beberapa tempat pada tubuh Mahisa Agni. Luka yang masih baru meskipun sudah tidak mengalirkan darah lagi. Tetapi belum ada seorang pun yang bertanya tentang luka itu. Hampir setiap mulut mengucapkan selamat atas kedatangannya, dan beberapa orang lagi sudah mulai bertanya-tanya bagaimana ia dapat melepaskan diri dari tangan Kebo Sindet.
“Apakah semalam Akuwu Tunggul Ametung membebaskanmu, Agni?” bertanya salah seorang dari orang-orang Panawijen.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin jauh diikuti oleh Witantra. Tetapi ia melihat Ken Arok berdiri termangu-mangu agak jauh dari padanya. Dan sejenak kemudian setelah berpaling beberapa kali, Ken Arok itu melangkah kembali kepada Mahisa Agni. Beberapa orang menyibak ketika Ken Arok melangkah mendekati Mahisa Agni. Meskipun mereka telah berjumpa sebelumnya tetapi Ken Arok belum sempat mengucapkan selamat kepadanya.
Karena itu maka berkata Ken Arok setelah ia berdiri di muka Mahisa Agni, “Aku mengucapkan selamat Agni.”
Ditatapnya wajah Ken Arok tajam-tajam. Ia tahu benar bahwa Ken Arok telah mencoba berusaha untuk menyelamatkannya. Ken Arok telah mencegahnya, pada saat ia terpancing pergi ke Panawijen dan kemudian bersedia memberikan beberapa orang prajurit pilihan untuk mengawaninya. Tetapi ia menolak, dan dengan demikian Ken Arok sendirilah yang pergi menemaninya bersama Empu Gandring. Karena itu tanpa sesadarnya Mahisa Agni berdesis, “Terima kasih Ken Arok.”
Ken Arek mengerutkan keningnya. Katanya sambil tersenyum, “Kenapa kau berterima kasih kepadaku?”
Mahisa Agnipun tersenyum pula. “Kau telah berusaha sebaik-baiknya. Sebelum aku ditangkap oleh kakak beradik iblis Kemundungan itu kau sudah memperingatkan aku. Tetapi aku tidak mendengarkan nasehatmu. Agaknya masih lebih menyenangkan apabila aku ditangkap oleh hantu Padang Karautan ini dari pada iblis dari Kemundungan.”
Ken Arok tertawa pendek, sambil menyahut, “Hantu Karautan adalah hantu yang paling baik hati.”
Mahisa Agni pun tertawa pula. Sedang orang-orang yang mengerumuni mereka sama sekali tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka dahulu memang pernah mendengar nama Hantu Karautan, tetapi mereka belum pernah melihatnya. Bahkan akhir-akhir ini hantu itu sudah tidak pernah terdengar lagi. Hanya beberapa anak-anak muda pernah dibingungkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya hantu Karautan, tetapi ternyata mereka adalah orang-orang yang sudah mereka kenal, menyamar diri dan berbuat aneh-aneh.
Tetapi alis Ken Arok terangkat sedikit ketika tanpa disengaja ia memandangi wajah Kuda Sempana yang pucat. Bahkan kemudian ia berkata kepadanya, “Selamat datang Kuda Sempana.”
Kuda Sempana tergagap mendengar sapa yang tidak disangka-sangkanya itu. Justru dengan demikian ia terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Ken Arok yang seolah-olah memancarkan perasaan yang aneh terhadapnya. Apalagi ketika disadarinya bahwa semua mata kemudian berpindah kepadanya. Memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam setiap hati. Terasa keringat dingin mengalir di segenap tubuh Kuda Sempana itu. Ia melihat dendam yang menyala di dalam setiap dada, Orang-orang Panawijen itu seolah-olah telah berubah menjadi orang-orang yang liar dan siap untuk menerkamnya dan menyobek tubuhnya menjadi sewalang-walang.
Tubuh Kuda Sempana terasa menjadi gemetar. Ia lebih senang dihukum gantung sekalipun di alun-alun Tumapel dari pada jatuh ketangan orang-orang yang kehilangan akal ini. Tiba-tiba terdengar suaranya parau bergetar, “Jangan, jangan.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu. Ken Arok pun terkejut pula dan orang-orang Panawijen juga menjadi heran.
“Kenapa kau Kuda Sempana?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Tetapi di dalam kepalanya masih terbayang orang-orang Panawijen itu beramai-ramai mengerumuninya, masing-masing dengan senjata ditangan. Membelah dadanya dan kemudian mencincangnya. Ia berusaha lari dari Kebo Sindet untuk menghindarkan diri dari kekejamannya. Tetapi ternyata kini ia berada di antara serigala-srigala liar yang kelaparan. Ketika Kuda Sempana sekali lagi mencoba menandangi wajah-wajah orang Panawijen, tampak olehnya berpuluh-puluh pasang mata memancarkan dendam kepadanya. Berpuluh-puluh mata seolah-olah menyala dan akan membakarnya.
“Jangan, jangan.” sekali lagi ia berdesis.
“Kenapa kau Kuda Sempana?” sekali lagi Mahisa Agni bertanya. Dan orang-orang Panawijen yang mendengarnya menjadi saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, apa yang dikatakan oleh Kuda Sempana itu.
“Oh.” desis Kuda Sempana di dalam hatinya, “mereka sudah mulai. Mereka sudah saling mengangguk dan memberi tanda untuk mulai mencincangku.”
Kuda Sempana menjadi semakin ngeri. Kenapa ia tidak mati saja dibunuh Mahisa Agni, dan kenapa ia begitu bodoh untuk ikut serta dengan Mahisa Agni pergi ke sarang serigala yang sedang gila ini. Kuda Sempana menjadi semakin ketakutan. Dilihatnya mata yang terpaku kepadanya itu. Sepasang-pasang, seolah-olah sudah menyala. Tiba-tiba Kuda Sempana itu melangkah surut dengan tubuh gemetar. Dan tiba-tiba pula tanpa disangka-sangka ia meloncat ke atas punggung kudanya. Dengan penuh ketakutan, disentakkannya kendali kudanya sehingga kuda itu melonjak dan berlari kencang-kencang.
Sekejab Mahisa Agni terpaku. Tetapi kemudian melonjaklah di dalam hatinya pertanyaan, “Apakah ia menjadi terganggu otaknya melihat bayangan kesalahannya yang bertumpuk-tumpuk itu pada wajah orang-orang Panawijen?”
Namun Mahisa Agni sejenak kemudian menyadari keadaan itu. Iapun segera meloncat di atas punggung kuda yang diambilnya dari Kemundungan. Kuda Kebo Sindet. Dan di pacunya pula kuda itu menyusul Kuda Sempana. Ternyata bahwa kuda Kebo Sindet itu adalah kuda yang baik sekali, sehingga Mahisa Agni kemudian berharap, bahwa ia akan dapat segera menyusul Kuda Sempana yang berpacu seperti orang gila.
“Kuda Sempana, kenapa kau?” Mahisa Agni mencoba memanggilnya. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak berpaling. “Berhentilah.”
Kuda Sempana masih tetap berpacu terus.
“Kenapakah anak itu.” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, ia pasti telah dibayangi oleh dosa-dosa yang dibawanya. Mudah-mudahan ia tidak menjadi gila. Mahisa Agni pun kemudian mempercepat derap kaki kudanya. Ia harus segera dapat menyusulnya. Dalam keadaan yang demikian Kuda Sempana akan dapat menjadi orang yang sangat berbahaya.
Dikejauhan orang-orang Panawijen melihat dua ekor kuda itu berpacu semakin lama semakin jauh dan samar. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Agni berhasil mendekati Kuda Sempana dan berpacu di sampingnya. Namun Mabisa Agni itu terkejut bukan buatan ketika tiba-tiba Kuda Sempana menarik pedang yang tergantung di lambungnya.
Sejenak Mahisa Agni seolah-olah membeku di punggung kudanya yang masih berlari di samping kuda Kuda Sempana. Sorot matanya memancarkan keheranan dan keragu-raguan melihat sikap anak muda itu. Namun sejenak kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya dan berkata, “Kau kehilangan keseimbangan berpikir Kuda Sempana.”
“Persetan.” sahut Kuda Sempana sambil menggertakkan giginya, “Kau membawa ke tengah-tengah orang-orang gila itu untuk menjadikan aku pertunjukan yang menyenangkan sekali buat mereka. Kau bawa aku kepada mereka, supaya mereka mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam akan mencincang tubuhku sampai lumat.”
“Kau salah paham.”
“Omong kosong. Aku melihat wajah-wajah yang bengis memancarkan dendam sedalam lautan. Mereka beramai-ramai ingin merobek-robek tubuhku melampaui buaya-buaya kerdil di Kemundungan.”
“Mereka sama sekali bukan orang-orang yang sebuas itu.”
“Aku melihat sorot mata mereka. Aku mendengar mereka berbisik-bisik untuk mencincangku.”
“Bagaimana kau dapat mendengar? Kau berdiri agak jauh dari mereka.”
“Ya, tetapi aku mendengarnya. Mereka mengira aku tawananmu dan sengaja kau bawa dan kau serahkan kepada mereka.”
“Tidak. Seandainya demikian aku tidak akan memberi kesempatan kau membawa pedangmu.”
“Itu hanya sebuah pcrmainan yang licik. Kalau aku tahu demikian, maka aku biarkan kau mati dicincang oleh Kebo Sindet. Aku tidak akan memberikan pedangku kepadamu saat itu.”
“Kau salah mengerti Kuda Sempana. Aku akan menjadi jaminan bahwa kau tidak akan diperlakukan demikian.”
“Aku tidak mau. Kembalilah kepada mereka. Aku akan mencari jalanku sendiri. Aku akan menentukan nasibku sebagai seorang laki-laki. Aku tidak perlu perlindunganmu. Aku tidak perlu jaminan orang lain untuk keselamalan diriku. Aku sudah cukup kuat untuk membuat ceritera tentang hidupku sendiri.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling, maka orang-orang Panawijen sudah tidak tampak lagi. Seolah-olah telah bersembunyi dibalik garis batas antara langit dan bumi. Gerumbul-gerumbul liar telah menebari pandangannya pula.
“Hem.” Mahisa Agni berkata di dalam hati, “aku dapat berbuat sesuatu sekarang setelah orang-orang Panawijen itu tidak melihatnya, supaya tidak menumbuhkan kesan yang kurang baik kepada mereka.”
Kedua kuda itu masih saja berpacu, semakin lama semakin jauh. Di tangan kanan Kuda Sempana tergenggam pedangnya erat-erat, seolah-olah ia sedang menyongsong lawan yang datang dari arah yang berlawanan.
“Kuda Sempana.” terdengar suara Mahisa Agni, “cobalah kau berpikir agak tenang. Kau telah dihantui oleh kesalahan-kesalahanmu sendiri. Tetapi aku bukan orang yang tidak melihat kenyataan tentang dirimu. Pengalamanmu telah mengajarkan kepadamu, bahwa kau tidak boleh hanyut dalam arus perasaanmu. Kau harus mencoba berpikir. Keseimbangan antara nalar dan perasaan akan membuatmu menjadi tenang dan tidak terseret oleh arus yang membawamu ke sarang hantu semacam iblis Kemundungan itu.”
“Kau sendiri terperosok masuk ke dalamnya. Belajarlah pada pengalamanmu sendiri.”
“Ada perbedaan antara aku dan kau Kuda Sempana. Aku tidak ingin masuk ke dalamnya, karena aku mempunyai sikap yang berlawanan dengan mereka. Tetapi pada saat itu kau mempunyai beberapa persamaan kepentingan meskipun akhirnya kau hampir-hampir ditelannya. Bahkan gurumu pula.”
Kuda Sempana terdiam sejenak. Tetapi bayangan yang menghantuinya selalu mengikutinya kemana ia pergi. Wajah-wajah orang-orang Panawijen, sorot mata mereka, dan dosa yang tersimpan di dalam dirinya. Karena itu maka hatinya justru menjadi bertambah ngeri, sehingga dengan kasarnya ia berkata, “Sekarang apa maumu Agni. Aku tidak mau kembali kepada orang-orang Panawijen yang menjadi liar seliar serigala kelaparan.”
“Percayalah kepadaku, Kuda Sempana. Aku akan mencoba berbuat sebaik-baiknya. Aku bukan tidak mengenal terima kasih. Kepadamu dan kepada gurumu.”
“Bisa saja kau berkata Agni. Aku tidak dapat melihat hatimu.”
“Kau terlalu berprasangka karena wajah-wajah orang Panawijen itu kau anggap sebagai cermin yang dapat menunjukkan segala dosa-dosamu masa lalu. Tetapi mereka bukan pendendam. Mereka akan memaafkannya apabila kau telah benar-benar menyesalinya.”
“Omong kosong. Aku tidak akan datang kepada mereka. Aku akan menghadap Akuwu Tumapel, supaya aku digantung saja di alun-alun.”
“Akuwu Tumapel berada di perkemahan itu pula.”
Kuda Sempana terdiam pula sejenak. Kudanya masih berpacu semakin jauh, dan Mahisa Agni masih berada di sampingnya pula. Ia terkejut ketika Kuda Sempana kemudian membentaknya, “Pergi kau. Kembalilah kepada orang-orang Panawijen yang mengelu-elukan kau. Jangan ikuti aku.”
“Aku akan membawamu kembali kepada mereka, Kuda Sempana.”
“Tidak.”
“Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi atasmu apabila kau pergi sekarang. Mungkin kau dapat menjadi seorang pertapa yang mencoba membersihkan diri dari noda-noda yang melekat di tubuhmu. Tetapi kalau sesuatu sebab telah mendorongmu sekali lagi berbuat kesalahan, maka kau akan tersesat semakin jauh dan jauh. Kau tidak akan menemukan lagi jalan untuk kembali. Karena itu, dengarlah kata-kataku. Orang-orang Panawijen tidak akan berbuat apa-apa.”
“Tidak.”
“Jangan terlampau berkeras hati.”
“Cukup. Pergi kau. Jangan mencoba menghalangi aku. Aku akan mencari jalanku sendiri. Aku tidak mau dihinakan dan dibunuh seperti orang merampok macan.”
“Bukankah kau membawa pedang? Seandainya demikian, kau akan dapat melawan mereka. Tetapi percayalah bahwa hal itu tidak akan terjadi.”
“Tidak.”
Mahisa Agni mengerutkan dahinya. Ia menjadi bingung bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya untuk membawa Kuda Sempana itu kembali kepada orang-orang Panawijen atas kehendaknya pula, bukan karena dipaksa dengan kekerasan. Tetapi agaknya Kuda Sempana sudah tidak dapat berpikir lagi. Bayangan-bayangan yang mengerikan telah mengganggunya dan menakut-nakutinya.
Meskipun demikian Mahisa Agni tidak berputus asa. Sekali lagi masih mencoba, “Kuda Sempana. Jangan dipengaruhi oleh rasa bersalah terlampau dalam. Marilah, aku akan menjadi jaminan.”
“Tidak. Tidak, kau dengar.” tiba-tiba Kuda Sempana berteriak. Pandangan matanya menjadi terlampau tajam. Dengan suara parau ia berkata lantang, “Kembalilah kau Agni. Aku tidak memerlukanmu lagi. Aku tidak memerlukan orang-orang Panawijen itu pula. Aku tahu, kau memancing aku supaya aku berada di antara mereka. Kemudian aku akan menjadi tontonan yang paling mengerikan. Atau bahkan mungkin kau dan orang-orang Panawijen memerlukan tumbal untuk membuat bendungan itu dan menguburku hidup-hidup? Tidak. Aku tidak sebodoh itu.”
“Kau terlampau curiga.”
“Tidak. Pergi kau.”
“Aku tidak akan pergi Kuda Sempana. Aku akan mengikutimu seterusnya apabila kau tidak mau kembali kepada orang-orang Panawijen. Bukankah kau anak Panawijen, dilahirkan di Panawijen dan dibesarkan di Panawijen pula?”
“Persetan. Aku tidak peduli. Pergi kau. Kalau tidak, maka aku akan memaksamu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya Dengan sudut matanya ia mamandang ujung pedang Kuda Sempana yang sudah mulai bergetar.
“Pergi sebelum aku kehilangan kesabaran.” teriak Kuda Sempana semakin keras. Suaranya seolah-olah menggeletar memenuhi padang rumput Karautan yang luas itu.
“Tidak.” tiba-tiba suara Mahisa Agni pun meninggi.
“Setan kau Agni. Sejak semula aku memang ingin membunuhmu. Kalau kau tidak pergi juga maka kau akan terbunuh di sini. Mayatmu akan mengering dibakar oleh matahari, atau akan hancur dicincang oleh anjing-anjing liar yang berkeliaran di padang ini di malam hari.”
“Tidak. Aku tidak akan kembali tanpa membawamu.”
Terdengar Kuda Sempana menggeram. Tiba-tiba ditariknya kendali kudanya, sehingga kuda itu berhenti. “Kesempatan terakhir bagimu, Agni.” geram Kuda Sempana, “kalau tidak, aku penggal lehermu. Begitu tidak akan ada bedanya lagi. Aku hanya dapat dihukum mati satu kali meskipun aku membunuhmu pula di sini.”
Mahisa Agni pun kemudian berhenti pula. Dipandanginya mata Kuda Sempana yang menjadi liar, “Mudah-mudahan ia tidak berubah ingatan.” gumamnya di dalam hatinya Sementara itu ia masih mendengar Kuda Sempana berkata,
“Setiap orang agaknya menunggu kedatanganmu dengan penuh pengharapan. Akuwu sendiri sudah bersedia mencarimu dan mencoba membebaskanmu. Tetapi ternyata kau justru mati disini karena tanganku.”
Wajah Mahisa Agni pun menjadi semakin lama semakin tegang. Kecemasan yang sangat telah mendebarkan jantungnya. Agaknya Kuda Sempana benar-benar tidak dapat lagi berpikir dengan bening. “Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni, “apakah kau akan membunuh aku?”
“Ya.”
“Apakah kau sudah berpikir dengan baik, dan telah bulat di hatimu untuk melakukannya?”
“Ya. Kau terlalu memuakkan bagiku. Meskipun begitu kau masih mendapat kesempatan terakhir. Pergilah.”
Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih duduk diam di atas punggung kudanya yang diam pula.
“Pergi. Pergi, pergi sejauh-jauhnya dari padaku. Cepat.” Kuda Sempana berteriak-teriak sekeras-kerasnya. Suaranya bergetar kesegenap ujung padang. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak bergerak.
“Setan. Kau benar-benar mau mati.” Kuda Sempana menggeram. Matanya yang liar itu menjadi semakin liar.
“Jangan. Jangan Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni yang mencoba mencegahnya.
Tetapi Kuda Sempana sudah tidak mendengarnya. Tiba-tiba disentakkannya kudanya dan meloncat berlari. Sedang Kuda Sempana telah siap pula dengan pedangnya, menyerang Mahisa Agni yang masih duduk termangu-mangu.
Sementara itu diperkemahan orang-orang Panawijen menjadi bingung. Mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja Kuda Sempana melarikan dirinya dan kemudian dikejar oleh Mahisa Agni. Mereka melihat bahwa Mahisa Agni semakin lama berhasil mendekati Kuda Sempana. Tetapi kedua ekor kuda yang semakin lama semakin kecil itu kemudian hilang ditelan cakrawala dan gerumbul-gerumbul kecil yang bertebaran disana-sini. Dan ternyata hal itu telah menumbuhkan kegelisahan pula. Bukan saja di antara orang-orang Panawijen, tetapi juga para prajurit Tumapel. Ken Arok yang masih berdiri termangu-mangu di samping Ki Buyut Panawijen berpaling ketika terasa pundaknya disentuh orang.
“Bagaimana dengan kedua orang yang memamerkan kecakapannya naik kuda itu.” suara itu adalah suara Kebo Ijo.
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam.
“Aku tidak tahu, apakah yang terpancang di dalam otak mereka. Mereka datang bersama-sama. Memamerkan diri, dan kemudian berlari-larian pergi lagi.” berkata Kebo Ijo pula.
“Ah.” Ken Arok berdesah dan Ki Buyut Panawijen mengerutkan keningnya yang sudah dikerutkan oleh garis-garis ketuaannya.
“Apakah kau dapat mengerti maksud mereka itu datang?” bertanya Kebo Ijo pula.
“Ada yang tidak wajar telah terjadi Kebo Ijo.” jawab Ken Arok kemudian. “aku tidak tahu, kenapa hal itu terjadi. Tetapi tanggapanku agak lain. Mereka sama sekali tidak bermaksud demikian. Mereka sendiri sama sekali tidak pernah merencanakan apa yang telah terjadi itu.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum. Senyum yang penuh prasangka. Sejenak ia tidak berkata apapun selain mengangguk-angguk. Ditatapnya padang yang luas itu seakan-akan ingin menembus batas langit dan melihat apa yang dilakukan Mahisa Agni dan Kuda Sempana.
“Hem.” tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam, “permainan apakah yang sedang mereka perankan?”
Ken Arok tidak menyahut. Tetapi ia berkata, “Aku menjadi cemas. Mungkin aku dapat menyusulnya apabila perlu.”
“He,” Kebo Ijo terperanjat, “apakah kau benar-benar bermaksud demikian.”
“Apabila mereka tidak segera kembali.”
“Tidak ada gunanya. Kau tidak tahu kemana mereka pergi. Setelah mereka tidak tampak lagi, maka kita di sini mengerti, apakah mereka berbelok kekanan atau ke kiri atau terus ataupun lagi.”
“Aku mcngenal padang rumput Karautan seperti aku mengenal rumahku sendiri.” jawab Ken Arok, “aku mengenal setiap sudutnya. Dan aku tahu caranya bagaimana menyusul Mahisa Agni dan Kuda Sempana meskipun aku tidak melihat arah mereka. Bukankah kuda-kuda mereka meninggalkan jejak? Aku pernah menjadi seorang pencari jejak. Meskipun seandainya sekarang turun hujan, aku akan dapat mengikuti jejaknya sampai keujung langit sekalipun.”
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepala. “Ya, aku percaya. Aku percaya kalau kau bisa mengikuti jejaknya. Tetapi dibalik sebuah gerumbul yang lebat kau akan diterkamnya.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Siapa?”
“Menurut penilaianku.” berkata Kebo ijo kemudian, “ternyata Mahisa Agni dan Kuda Sempana sama sekali belum terlepas dari tangan Kebo Sindet. Mereka datang kemari justru membawa tugas untuk memancingmu. Kau atau Akuwu. Dengan permainannya itu, maka mereka akan disusul. Nah, pada saatnya Kebo Sindet menerkammu dari balik gerumbul-gerumbul liar dan menjadikan kau alat untuk memeras seperti Mahisa Agni.”
Ken Arok terdiam sejenak. Tetapi kemudian berkata, “Tidak masuk akal. Buat apa Kebo Sindet menangkap aku? Kau barangkali atau Ki Buyut Panawijen? Jalan pikiranmu dipengaruhi oleh sikapmu yang aneh. Kau memandang setiap orang, setiap kejadian dan setiap persoalan dari segi yang paling buruk.”
Kebo Ijo menegangkan wajahnya. Tetapi kemudian ia tersenyum pula, “Aku senang mendengar penilaianmu atasku.”
“Coba katakan, siapakah manusia yang baik didunia ini? Mahisa Agni, Akuwu Tunggul Ametung, kakak seperguruanmu sendiri Witantra dan barangkali juga Mahendra. Semua jelek di dalam pandanganmu.”
Kini Kebo Ijo itu justru tertawa. Katanya, “Aku hanya memperingatkan kau supaya kau berhati-hati. Kebo Sindet adalah orang yang paling berbahaya.”
“Seandainya benar dugaanmu, bahwa Mahisa Agni telah dijadikan alat oleh Kebo Sindet bersama-sama dengan Kuda Sempana untuk memancing aku sekalipun, aku bersedia menghadapinya. Aku sama sekali tidak gentar seandainya aku bertemu dengan Kebo Sindet dimanapun.”
Suara tertawa Kebo Ijo mengeras. “Kau jangan terlampau sombong. Kau harus mampu membuat perhitungan atas kekuatan seseorang.”
“Itu soal lain. Akan tetapi aku berani berhadapan. Aku sama sekali tidak peduli apakah kemudian aku akan mati dicincangnya.”
Suara tertawa Kebo ijo terhenti. Ia melihat wajah Ken Arok menjadi tegang. Agaknya orang itu berkata bersungguh-sungguh, sehingga Kebo Ijo pun tidak menyahut lagi.
“Meskipun demikian.” berkata Ken Arok kemudian, “aku tidak akan pergi menyusulnya sekarang. Aku akan menunggu. Apabila ia terlampau lama, barulah akan pergi. Sekarang kita akan melanjutkan kerja kita. Agaknya kita sudah sedikit terlambat.”
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut. Ia ikut saja diantara orang Panawijen dan para prajurit yang segera kembali ke perkemahan dan bersiap-siap untuk pergi ke bendungan melanjutkan kerja mereka.
Ki Buyut yang kecemasan pun pergi pula kebendungan meskipun setiap kali diangkatnya wajahnya, dilemparkannya ke tengah-tengah padang untuk mencoba melihat seandainya Mahisa Agni kembali ketengah-tengah mereka lagi. Tetapi sampai matahari merayap semakin tinggi, mereka masih belum melihatnya. Bahkan kehadiran Mahisa Agni itu pun agaknya seperti sebuah mimpi saja. Datang lalu lenyap, meskipun kesannya masih tinggal di dalam angan-angan.
Ken Arok pun ternyata tidak bekerja dengan tenang. Ia memang merasa sangat heran menanggapi peristivva itu. Mahisa Agni datang membawa Kuda Sempana. Lalu mereka berkejar-kejaran pergi. “Kuda Sempana juga membawa pedang.” desisnya di dalam hati, “aku sama sekali tidak mengerti.”
Sedang Akuwu yang telah mendapat laporan tentang hal itu tidak pula kalah herannya. Sambil berjalan mondar mandir di dalam gubugnya yang rendah ia bergumam, “Anak itu sudah menjadi gila. Keduanya. Kuda Sempana dan Mahisa Agni.” Namun sejenak kemudian Akuwu itu berkata hampir berteriak, “Apabila sebentar lagi mereka tidak datang, siapkan pasukanmu Witantra. Aku akan menyusulnya. Aku menjadi curiga dan tidak menemukan jawabnya. Aku harus mengejar mereka, mencari kemanapun mereka pergi.”
Sementara itu di Padang Karautan Kuda Sempana menyerang Mahisa Agni sejadi-jadinya, tanpa terkendali sama sekali. Pedangnya menyambar-nyambar seperti loncatan kilat di langit. Kudanya pun ternyata kuda yang baik. Seperti garuda di angkasa yang setiap kali menukik. menyambar dengan dahsyatnya. Berputar-putar kemudian kembali menyambar lagi tidak henti-hentinya. Mata Kuda Sempana yang kemerah-merahan menjadi kian liar, seperti mata hantu yang kehausan melihat darah yang merah dan segar memancar dari luka.
Mahisa Agni menjadi semakin cemas melihat Kuda Sempana yang kehilangan akal. Agaknya ia benar-benar terganggu karena cermin yang membayangkan betapa besar kesalahan yang pernah diperbuatnya atas tanah kelahirannya, Panawijen. Sehingga karena itu maka ia telah kehilangan kesempatan untuk berpikir. Wajah-wajah orang Panawijen yang memancarkan harapan dan kegembiraan karena kehadiran Mahisa Agni, dalam tangkapan mata Kuda Sempana, seolah wajah-wajah yang penuh membayangkan dendam dan kebencian kepadanya. Sehingga dengan demikian, Kuda Sempana telah memilih jalan untuk membunuh diri dari pada jatuh ketangan orang-orang Panawijen yang menurut anggapannya akan memperlakukannya dengan kejam.
Beberapa lama ia berada di tangan Kebo Sindet yang selalu memilih cara yang paling mengerikan untuk membunuh korbannya, sehingga hal itu berpengaruh terlampau dalam di dalam benaknya. Ketika ia berhadapan dengan orang-orang Panawijen, maka gambaran-gambaran itu muncul kembali, seolah-olah membayang disetiap wajah. Kebuasan dan kekejaman Kebo Sindet seakan-akan membayang satu-satu pada orang-orang Panawijen yang sedang menyambut kedatangan Mahisa Agni itu. Dan Kuda Sempana menjadi terlampau ngeri.
Kini ia bertempur mati-matian tanpa mengendalikan dirinya lagi. Ia memang ingin lepas dari tangan orang-orang Panawijen atau mati dengan menggenggam senjata di tangan. Karena itulah maka ia tidak mau surut. Dengan berteriak-teriak nyaring Kuda Sempana mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ilmu yang diterimanya gurunya, Empu Sada, dipengaruhi oleh kekasaran dan kebuasan Kebo Sindet, menjadi ilmu yang tampaknya mengerikan sekali. Sekali-sekali tampak kegarangan Empu Sada yang meskipun kadang-kadang licik, namun kemudian dicerminkannya keliaran Kebo Sindet yang sama sekali tidak memperhatikan kesopanan di dalam tata perkelahian.
Tetapi Mahisa Agni kini bukan Mahisa Agni yang dahulu pernah juga berkelahi melawan Kuda Sempana. Mahisa Agni kini telah menjadi jauh lebih masak lahir dan batin. Ilmunya telah benar-benar mengendap meskipun ia masih memerlukan banyak pengalaman. Tempaan batin selama ia berada di sarang Kebo Sindetpun telah membuatnya bertambah dewasa dalam menghadapi setiap persoalan. Ternyata Mahisa Agni tidak menjadi seorang anak muda yang kehilangan kediriannya seperti yang dikehendaki oleh Kebo Sindet, meskipun pada saat-saat itu Mahisa Agni menunjukkan tanda-tanda yang demikian. Tetapi ternyata Mahisa Agni bahkan menjadi seorang yang matang lahir dan batinnya.
Itulah sebabnya maka dalam menghadapi Kuda Sempana itu pun ia sama sekali tidak terlampau tergesa-gesa. Dengan penuh pertimbangan ia melayaninya. Kadang-kadang kudanya pun didorongnya untuk berlari surut, kemudian berputar mengimbangi putaran-putaran kuda Kuda Sempana. Apabila dengan garangnya Kuda Sempana menyerangnya, maka Mahisa Agni pun dengan sigapnya mengelak.
Tetapi sedemikian jauh, Mahisa Agni masih berbuat dalam landasan kesadarannya sepenuhnya. Ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang kehilangan akal dan bahkan sedang terganggu jiwanya. Karena itu, maka ia harus berbuat bijaksana. Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni sama sekali tidak melakukan perlawanan dengan bersungguh-sungguh.
Tetapi ternyata Kuda Sempana yang sedang berhati gelap itu merasa semakin lama semakin gelap. Sikap Mahisa Agni ditanggapinya dari sudut yang gelap pula. Sehingga ketika Mahisa Agni masih juga belum melawannya berkelahi ia berteriak, “Agni, apakah yang kau tunggu. Jangan terlampau menghina. Ayo, cabut pedangmu dan kita bertempur secara jantan. Aku atau kau yang akan mati terkapar di Padang Karautan ini.”
“Apakah itu perlu sekali kita lakukan Kuda Sempana.” bertanya Mahisa Agni.
“Kau jangan mencoba melemahkan tekadku. Aku benar-benar berusaha membunuhmu, atau kau yang membunuhku. Kita sudah mulai, dan hanya mautlah yang dapat menghentikannya.”
“Kau terlampau perasa. Sebaiknya kau mencoba berpikir.”
“Tidak ada kesempatan lagi. Sebelum aku menemukan keputusan aku sudah diikat di pinggir bendungan. Mungkin aku akan mengalami hukum picis. Dirobek-robek tubuhku perlahan-lahan.”
“Kau terlampau berprasangka.”
“Kau memancingku. Ayo, kita bertempur.”
Tandang Kuda Sempana ternyata semakin lama menjadi semakin liar. Ia sama sekali tidak mau mempergunakan otaknya. Bahkan didalam perkelahian itupun Kuda Sempana sama sekali sudah tidak mempertimbangkan lagi cara-cara yang dipergunakan. Unsur-unsur geraknya sama sekali tidak dipikirkannya. Sebenarnyalah bahwa ia telah berputus asa. Ia memang merasa bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Mahisa Agni. Tetapi ia tidak mau menyerah dan dibawa kembali kepada orang-orang Panawijen yang disangkanya akan melepaskan dendam dan kebencian mereka.
Mahisa Agni pun semakin cemas melihat sikap Kuda Sempana itu. Wajahnya menjadi semakin cemas melihat sikap Kuda Sempana itu. Wajahnya menjadi tegang, dan kadang-kadang terbersit didalam hatinya untuk membawa Kuda Sempana dengan kekerasan. Tetapi apabila demikian, maka Kuda Sempana akan merasa semakin ngeri. Dalam keadaan demikian, ia dapat berbuat di luar dugaan. Setiap kemungkinan akan dipergunakannya untuk mencoba membunuh diri, menghindarkan diri dari kemungkinan mati dengan mati dengan cara yang paling tidak disenanginya.
Sementara itu matahari sudah menjadi semakin tinggi. Sedang sama sekali belum ada tanda-tanda bahwa Kuda Sempana akan dapat mengerti. Semakin banyak keringat membasahi tubuhnya, maka agaknya ia pun menjadi semakin liar dan buas.
“Aku tidak akan dapat terus-menerus meladeni orang yang terganggu jiwanya ini.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “aku harus menemukan suatu cara untuk menjinakkannya. Tetapi apabila tidak mungkin, apa boleh buat. Kuda Sempana akan menjadi sangat berbahaya di dalam kegilaannya.”
Dengan demikian maka Mahisa Agni kemudian tidak saja hanya lelalu menghindari serangan Kuda Sempana, tetapi iapun kemudian mulai mengganggu lawannya pula. Sekali-sekali ia menangkis dan menyerangnya meskipun tidak menentukan akhir dari perkelahian itu. Mahisa Agni memang ingin membuat Kuda Sempana semakin bernafsu dan kemudian akan menjadi kelelahan.
“Mudah-mudahan ia kemudian dapat mempergunakan otaknya.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Demikianlah maka Kuda Sempana bertempur semakin sengit. Dikerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Keringatnya yang mengalir semakin deras, seakan-akan terperas dari tubuhnya. Tetapi senjatanya sama sekali tidak mampu menyentuh Mahisa Agni. Apa lagi melukainya. Karena itu maka hatinya menjadi semakin bingung dan pepat. Bayangan-bayangan yang mengerikan semakin lama semakin mencengkamnya dalam ketakutan.
“Ayo Agni. Kenapa kau ragu-ragu. Aku laki-laki juga seperti kau. Kalau aku tidak mampu membunuhmu, bunuhlah aku.”
Tetapi Mahisa Agni tidak menjawab. Sekali-sekali disentuhnya tubuh Kuda Sempana. Kadang-kadang agak keras sehingga Kuda Sempana merasakan akibat dari sentuhan-sentuhan itu. Sakit. Dan perasaan sakit itu semakin banyak menyengat tubuhnya. Hampir disegala tempat. Namun dengan demikian Kuda Sempana menjadi semakin bernafsu. Betapapun juga, ia tidak mau menyerah. Ia harus berkelahi sampai selesai. Dibunuh atau membunuh.
Karena itu, setelah ia tidak berhasil melawan Mahisa Agni dengan kewajaran ilmunya, maka dalam kegelapan hati, dikerahkannya segenap kemampuan lahir dan batinnya. Dibangunkannya ilmunya yang paling tinggi dalam tatarannya. Aji pamungkasnya. Disalurkannya segenap getaran di dalam dirinya, semua cadangan kekuatannya yang tersimpan di dalam tubuhnya ke dalam tangannya yang menggenggam pedang.
Dada Mahisa Agni berdesir melihat sikap itu. Ia kenal, bahwa dengan demikian Kuda Sempana sudah sampai kepada puncak ilmunya. Sehingga dengan serta merta Mahisa Agni berteriak, “Jangan Kuda Sempana, jangan.”
Tetapi hati yang gelap itu menjadi semakin gelap. Meskipun Kuda Sempana mendengarnya, tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya. Sehingga akhirnya ia telah sampai pada puncak kekuatannya.
Sejenak Mahisa Agni menjadi termangu-mangu. Bagaimana ia harus melawannya? la tahu, betapa kekuatan aji itu. Tetapi kesempurnaan di dalam pengucapannya, mereka berada dalam tingkatan yang jauh berbeda. Mahisa Agni telah mencapai tingkat sejajar dengan Empu Sada sendiri, meskipun masih diperlukan pengetrapan yang lebih mantap. Tetapi ia telah mampu melawan kekuatan aji yang dilepaskan oleh Kebo Sindet, meskipun senjatanyalah yang pada saat itu tidak berhasil bertahan karena benturan dua kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, meskipun pedangnya waktu itu tidak kalah kuatnya dengan pedang yang dipergunakan oleh Kuda Sempana kini, yang diambilnya dari kumpulan senjata yang berpuluh-puluh jumlahnya di dalam sarang Kebo Sindet.
“Kekuatan kami saat itu hampir berimbang.” desis nya, “sehingga aku dan Kebo Sindet masing-masing tidak mengalami bencana di dalam diri masing-masing yang dapat menentukan hidup mati kami. Tetapi sekarang apakah Kuda Sempana tidak akan terganggu oleh benturan itu?”
Dalam keragu-raguan Mahisa Agni melihat Kuda Sempana telah mempersiapkan dirinya. Kini ia telah mulai meluncur di atas punggung kudanya, menyerangnya berlambaran aji tertingginya. Dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar Tiba-tiba ditariknya kendali kudanya. Dilarikannya kudanya menghindari serangan Kuda Sempana.
“He, jangan lari pengecut.” tariak Kuda Sempana.
Tetapi Mahisa Agni tidak mempedulikannya. Dipacunya kudanya semikin cepat, sementara Kuda Sempana mengejarnya dengan penuh nafsu. Ternyata Mahisa Agni tidak berlari jauh. Ia hanya memutar kemudian melingkar-lingkar.
“Agni, marilah kita bertempur secara jantan. Tanggon sebagai laki-laki. Jangan berlari-larian.” teriak Kuda Sempana sambil mengacungkan pedangnya.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia masih terus melarikan kudanya berputar-putar.
“He, apakah kau sudah gila?” teriak Kuda Sempana pula.
Mahisa Agni tersenyum di dalam hati. Memang orang yang terganggu jiwanya dapat saja menyebut orang lain seolah-olah menjadi gila. Tetapi orang itu tidak sempat menilik ke dalam dirinya sendiri.
“Berhenti. Berhenti.”
Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Bahkan kadang-kadang diperlambatnya kudanya, namun kemudian dipercepatnya. Ia menyadari bahwa kuda yang dipergunakan agak lebih baik dari Kuda Sempana.
Sikap Mahisa Agni ternyata membuat Kuda Sempana menjadi semakin gila. Hatinya yang pepat menjadi semakin pepat. Ia benar-benar sudah tidak dapat membedakan mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak. Sedemikian hatinya disaput oleh kekelaman, sehingga tidak dilihatnya lagi cara yang dapat dipergunakan ya untuk menyerang Mahisa Agni, selain satu-satunya yang dapat dilakukannya. Melontarkan pedang kearahnya.
Dan ternyata Kuda Sempana yang sedang kegelapan itu mempergunakan cara itu. Dengan penuh kemarahan, dengan kekuatan aji pemungkasnya, maka dilontarkannya pedangnya kearah Mahisa Agni yang masih berputar-putar di sekitarnya. Ternyata lontaran pedang yang dilambari oleh kekuatan yang dahsyat itu, benar-benar mengagumkan. Seperti tatit yang meloncat di langit, pedangnya meluncur dengan kecepatan yang tidak terduga-duga, mengarah langsung ke leher Mahisa Agni.
Mahisa Agni terkejut melihat lontaran itu. Kekuatan aji Kuda Sempana didorong oleh kecepatan berlari kudanya, ternyata telah menimbulkan kekuatan yang luar biasa. Dan kekuatan yang luar biasa itu telah diungkapkan oleh lontaran pedangnya mengarah Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni kini telah memiliki ilmu yang cukup untuk menanggapi keadaan itu. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, Mahisa Agni membungkukkan badannya melekat pada punggung kudanya, sehingga tepat pada saatnya, pedang Kuda Sempana terbang di atasnya. Kalau ia terlambat sekejap saja, maka ujung pedang itu pasti sudah melobangi tubuhnya.
Kuda Sempana memandangi senjatanya yang berlari di atas tubuh Mahisa Agni itu dengan dada yang berdebar-debar. Apalagi ketika ia melihat bahwa ia sama sekali tidak berhasil melukai Mahisa Agni, apalagi menjatuhkannya, agaknya anak muda itu tidak selalu mengejarnya meskipun seandainya tidak mematikannya. Tetapi ternyata bahwa pedangnya sama sekali tidak menyentuh sasarannya.
Kuda Sempana menggeretakkan giginya ketika ia melihat Mahisa Agni kemudian tegak kembali di atas punggung kudanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian terdengar suara Mahisa Agni, “Kuda Sempana. Kau benar telah menjadi mata gelap. Apakah kau sadari apa yang telah kau lakukan?”
“Aku sadar sepenuhnya.” jawab Kuda Sempana.
“Bagaimana kalau pedang itu mengenai sasarannya dan aku jatuh terkapar, mati di Padang Karautan ini?”
“Sudah menjadi keputusanku. Kau atau aku.”
“Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni, “aku sudah bersusah payah berusaha membebaskan diri dari tangan Kebo Sindet karena aku masih ingin hidup. Aku masih ingin melihat bendungan di Padang Karautan itu dapat mengangkat air ke sawah-sawah. Aku masih ingin melihat hamparan tanah persawahan yang hijau di atas padang yang selama ini kering kerontang, untuk menggantikan padukuhan Panawijen yang menjadi kuning kemerah-merahan seperti habis terbakar.”
“Aku tidak peduli.”
“Mungkin kau tidak akan mempedulikan keinginan-inginanku itu. Tetapi kau sebagai anak Panawijen, yang dilahirkan dan dibesarkan di tanah itu, apakah kau tidak mempunyai keinginan serupa dengan aku.”
“Aku sudah terasing dari tanah ini. Aku sudah terasing dari orang-orang Panawijen. Wajah-wajah mereka menunjukkan kebencian dan kemarahan. Bahkan dendam. Buat apa aku kembali kepada mereka dengan keinginan-inginan yang cengeng seperti keinginanmu itu? Aku tidak mau. Aku bukan anak-anak lagi yang masih selalu merindukan perlindungan biyung.”
“Bukan itu soalnya Kuda Sempana. Soalnya karena kau sudah merasa berbuat salah. Jangan kau hantui hatimu sendiri dengan kesalahan-kesalahan itu. Kalau kau pada suatu saat tidak berani mengakhiri keadaan ini, maka kau akan terdorong semakin lama semakin jauh. Tetapi kalau kau berani memutuskan, bahwa sekarang adalah saatnya untuk kembali dan menyesali semua kesalahan itu, maka untuk seterusnya kau akan terlepas dari padanya.”
“Jangan membujuk aku.”
“Tidak. Aku tidak sedang membujukmu. Aku tahu, kaupun tidak sadang merajuk seperti anak-anak yang kecewa. Tetapi kau sedang ketakutan. Takut melihat bayanganmu sendiri. Bayangan yang penuh dengan noda.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kesalahanmu kini adalah, bahwa kau memandang setiap orang dengan sudut pandangan yang buram. Kau anggap bahwa setiap orang selalu menyimpan dendam di dalam hatinya.”
“Cukup. Kau jangan membual Agni. Aku bukan anak-anak yang dapat kau tipu dengan muslihat itu.”
“Terserahlah kepadamu. Tetapi dengar, Kuda Sempana. Seandainya orang-orang Panawijen itu menyimpan dendam di dalam hati, maka akulah yang paling mendendammu. Aku mengalami bencana yang jauh lebih dahsyat dari yang mereka alami. Aku menghayati betapa pahitnya hidup di tangan orang-orang gila seperti Kebo Sindet dengan segala macam rencananya.”
“Karena itulah maka kau mendendamku sampai ke ujung ubun-ubun. Karena itulah maka kau selalu mengejarku sampai saat ini untuk menjerumuskan aku ke dalam bencana yang paling dahsyat. Kau ingin melihat aku dicincang oleh orang-orang Panawijen atau dihukum picis diterik matahari padang yang kering, atau dikubur hidup-hidup untuk dijadikan tumbal bendungan yang masih belum siap itu.”
“Itulah yang aku maksud Kuda Sempana. Kau memandang semua orang dari segi itu. Dari segi yang gelap. Tetapi kau melupakan sifat-sifat orang-orang Panawijen. Kau memang terlalu lama terpisah daripada mereka. Tetapi percayalah, mereka bukan mendendam dan bukan orang-orang buas yang senang melihat darah. Apalagi melihat kekejaman yang melampaui batas. Bahkan seandainya hukum picis itu benar-benar ada, maka seandainya orang-orang Panawijen berkesempatan untuk menyaksikan, mereka pasti akan pingsan bersama-sama.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “Tetapi tidak demikian dengan prajurit-prajurit Tumapel. Sudah lama mereka bekerja di Padang Karautan. Sudah lama mereka tidak melihat darah. Dan mereka akan mendapat umpan, Aku.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Begitukah sifat prajurit-prajurit Tumapel menurut tangkapanmu?”
Kuda Sempana tidak segera menyahut. Tetapi ditatapnya mata Mahisa Agni dengan tajamnya. Sekilas merambat di hatinya, setitik air yang bening. Tetapi sejenak kemudian ia berteriak pula, “Omong kosong. Lihat, betapa dari sepasang matamu memancar dendam dan kebencian tiada taranya. Ayo, bersiaplah. Kita lanjutkan perkelahian ini sampai salah seorang dari kita mati. Kalau kau masih tetap memaksaku kembali kepada serigala-srigala kelaparan itu, maka ayolah. Kau atau aku.”
Dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Wajah Kuda Sempana menjadi semakin liar. Maskipun kini ia sudah tidak bersenjata, tetapi agaknya ia benar-benar ingin bertempur sampai mati. Sejenak Mahisa Agni duduk dalam kebimbangan. Ditatapnya saja mata Kuda Sempana yang liar itu. Namun ketika Kuda Sempana telah bersap untuk menyerangnya, maka Mahisa Agni itupun segera mempersiapkan dirinya pula. Tetapi tiba-tiba terbersit suatu pikiran yang dianggapnya baik untuk menundukkan Kuda Sempana.
Sementara itu Kuda Sempana telah mulai pula dengan serangannya. Meskipun tanpa senjata, tetapi Mahisa Agni terpaksa menghindarinya. Ia masih berusaha untuk tidak membuat benturan-benturan dengan Kuda Sempana supaya tidak terjadi sesuatu pada tubuhnya. Namun Kuda Sempana sama sekali sudah tidak dapat memperhitungkan lagi.
Mahisa Agni yang sedang memikirkan suatu cara untuk menguasai lawannya itu hanyalah selalu mencoba menghindar. Berputar-putar dan melingkar-lingkar saja. Didalam kepalanya bergolaklah suatu pikiran yang meskipun tidak dikehendaki tetapi agaknya dapat menolong keadaan. Kuda Sempana ternyata menjadi kehilangan pertimbangan karna didorong oleh rasa takut dan cemas akan nasibnya. Bukan karena ia takut mati, tetapi ia tidak mau diperlakukan dengan cara yang mengerikan. Sebab menurut gambaran-gambaran di dalam otaknya, orang-orang Panawijen akan melepaskan dendam yang tersimpan di dalam hati mereka dengan cara yang hampir setiap saat ditemuinya di dalam sarang Kebo Sindet.
“Aku harus membuat imbangan.” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “aku harus sedikit menyombongkan diri. Biarlah untuk saat-saat seperti ini.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Kuda Sempana membentak-bentak, “Ayo Mahisa Agni. Tunjukkanlah kejantananmu. Jangan hanya selalu menghindar saja. Dimanakah keberanianmu yang kau banggakan selama ini?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekali ia harus menghindar dan berputar, sementara Kuda Sempana sedang memperbaiki keadaannya, karena kudanya terdorong beberapa langkah. “Kuda Sempana.” berkata Mabisa Agni kemudian, “Apakah kau sudah benar-benar siap untuk bertempur melawan aku?”
Kuda Sempana terkejut mendengar pertanyaan itu, sehingga dengan serta merta ia menjawab, “Apakah kau sudah menjadi buta, atau kehilangan dasar pengamatan? Kau lihat, aku sudah siap untuk berbuat apapun.”
Tiba-tiba Mahisa Agni tertawa, Kuda Sempana sekali lagi terperanjat mendengar suara tertawa itu. Meskipun perlahan-lahan, tetapi sangat menyakitkan hati. Hampir sepanjang perkenalannya dengan Mahisa Agni, ia belum pernah mendengar dan melihat Mahisa Agni tertawa seperti itu.
“Jangan bergurau Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni kemudian, “bersiaplah. Aku akan segera mulai.”
Terdengar Kuda Sempana menggeram, “Aku sudah siap. Siap untuk membunuh atau dihunuh.”
“Apakah kau benar-benar ingin melawan aku?”
“Persetan. Cepat, mulailah.”
“Kuda Sempana. Aku benar-benar akan mulai apabila kau benar-benar telah siap pula. Beradalah dalam kemungkinan yang setinggi-tingginya. Kau segera akan melawan Mahisa Agni.”
Wajah Kuda Sempana menjadi semakin marah. “Kau terlalu sombong, pembual. Ayo berbuatlah sesuatu. Jangan hanya berbicara tanpa ujung dan pangkal. Kalau kau ingin mempergunakan pedangmu, pergunakanlah.”
Telinga Kuda Sempana menjadi semakin sakit ketika ia mendengar sekali lagi Mahisa Agni tertawa. Lebih menyakitkan hati, “Kuda Sempana. Jangan terlampau bernafsu. Sebaiknya kau melihat dirimu lebih dahulu. Siapkah yang kau hadapi sekarang.”
Terasa dada Kuda Sempana berdesir. Dan ia mendengar Mahisa Agni berkata, “Apabila kau menganggap bahwa orang-orang Panawijen ingin melepaskan dendamnya dengan perbuatan yang aneh-aneh, maka tanpa orang lain, tanpa bantuan orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel, aku pun dapat berbuat demikian atasmu. Ingat, aku telah berhasil membunuh Kebo Sindet meskipun tidak langsung. Aku telah dapat menempatkan diriku di tempat yang sejajar dengan Kebo Sindet. Aku berterima kasih bahwa kau telah memberikan pedang itu. Namun saat itu Kebo Sindet pun bersenjata pula. Nah, apa katamu tentang diriku. Apakah kau masih menantang Mahisa Agni untuk berkelahi?”
Terasa dada Kuda Sempana seolah-olah menjadi retak karenanya. Sebuah himpitan perasaan telah melanda jantungnya. Kata-kata itu benar-benar suatu penghinaan baginya. Sehingga dengan suara bergetar ia menjawab, “Aku tidak peduli, apakah kau telah dapat menempatkan dirimu sejajar dengan Kebo Sindet atau tidak, tetapi ternyata bahwa kau tidak berani bertempur melawan aku sekarang.”
Dan suara tertawa Mahisa Agni yang menyakitkan hati itu terdengar lagi, “Memang ada perasaan segan padaku untuk berkelahi melawan kau, Kuda Sempana. Aku pasti hanya akan merasa seperti anak-anak yang sedang sekedar bermain-main. Permainan yang menjemukan.”
“Cukup.” teriak Kuda Sempana, “kau sudah cukup banyak menghina aku Agni. Sekarang ayo kita mulai. Cepat. Kalau tidak, melawan atau tidak melawan, aku akan membunuhmu.”
“Tunggu.” berkata Mahisa Agni, “kalau kau mampu lakukanlah. Tetapi ingat, bahwa aku telah berhasil mengalahkan Kebo Sindet. Aku tidak akan berkeberatan kalau kau selalu mendesakku. Aku akan segera berbuat sesuatu. Tetapi kau pun harus ingat, bahwa aku bukan Kebo Sindet. Aku adalah seorang anak Panawijen.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Dan Mahisa Agni berkata seterusnya, “Aku adalah anak Panawijen yang paling dahsyat mengalami akibat dari perbuatanmu. Nah, kau akan dapat membayangkan, apakah yang kira-kira dapat aku lakukan atasmu. Aku pernah berada bersamamu di dalam sarang iblis itu, sehingga aku dapat mengerti berbagai macam cara yang dipergunakan oleh Kebo Sindet. Bukankah itu yang kau cemaskan, apabila kau berada di tengah-tengah orang-orang Panawijen?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Kepalanya menjadi semakin tegang, dan otot-otot di keningnya bermunculan seolah-olah akan meledak.
“Atau…” berkata Mahisa Agni, “aku dapat membuatmu tidak berdaya, tetapi tidak membunuhmu. Aku dapat membawamu kepada orang-orang Panawijen yang kau sangka akan membunuhmu dengan cara yang kau takuti itu.”
Dada Kuda Sempana berdentangan semakin keras mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Ketakutan, kecemasan dan kemarahan bercampur baur di dalam dirinya. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan yang diakuinya di dalam hatinya, bahwa sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni akan mampu berbuat demikian apabila dikehendaki. Karena itu maka perasaan ngeri yang sangat telah merambati jantungnya.
Namun Kuda Sempana ternyata menjadi semakin berputus asa. Ia tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Kini ia benar-benar ingin membunuh dirinya. Berkelahi dan mati. Tetapi kematian itu akan lebih baik daripada mati ditangan orang-orang Panawijen. Sebelum Mahisa Agni sempat berbicara lagi, maka Kuda Sempana sudah menyerangnya pula. Semakin lama semakin dahsyat. Dan sekali lagi Mahisa Agni harus melayaninya, seperti melayani adik tersayang yang sedang bermain kejar-kejaran.
“Apakah kau tidak mengerti maksudku Kuda Sempana?” bertanya Mahisa Agni.
Kuda Sempana tidak menjawab. Ia menyerang semakin garang, sehingga Mahisa Agnipun menjadi semakin sibuk menghindarinya. Tetapi akhirnya Mahisa Agni sampai pada puncak permainannya. Ia ingin segera menghentikan polah Kuda Sempana. Dengan demikian maka Mahisa Agni kemudian tidak membiarkan dirinya terus menerus menghindar dan menjauh. Pada saatnya, maka Mahisa Agnipun segera mengambil peranan.
Ketika Kuda Sempana dengan garangnya menyerang Mahisa Agni seperti seekor elang menyambar mangsanya, maka dengan gerak yang tidak kalah cepatnya Mahisa Agni menghindar. Tetapi yang sama sekali tidak terduga-duga oleh Kuda Sempana, tiba-tiba saja Mahisa Agni itu menyerangnya. Serangan itu dengan tiba-tiba dan terlampau cepat bagi Kuda Sempana, sehingga ia tidak mampu untuk menghindarkan diri. Bahkan ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menangkis. Yang terasa olehnya kemudian adalah sentuan ibu jari tangan Mahisa Agni dipunggungnya. Dua kali. Di sebelah menyebelah tulang punggungnya.
Meskipun sentuhan itu tidak terlampau keras, tetapi terasa sekujur tubuh Kuda Sempana menggigil. Sejenak disadarinya, bahwa sentuhan-sentuhan itu tepat mengenai bintik-bintik syarafnya. Dua dari padanya telah tersentuh oleh tangan Mahisa Agni sehingga tidak bekerja sewajarnya. Terasa kemudian kepala Kuda Sempana menjadi pening, dan seolah-olah ia kehilangan syaraf keseimbangannya. Terasa Padang Karautan itu berputar, semakin lama semakin cepat. Bahkan kemudian kudanya dan dirinya sendiri ikut pula berputar.
Dengan gerak naluriah, maka ia menarik kekang kudanya dengan sisa-sisa tenaganya yang masih ada sehingga kudanya berhenti. Tetapi putaran yang semakin cepat itu masih terasa membelit dirinya, sehingga Kuda Sempana harus memejamkan matanya. Meskipun demikian, ia masih merasakan seakan-akan tubuhnya telah hanyut dalam suatu arus pusaran dari air yarg terhisap ke dalam bumi dengan derasnya.
Sejenak Kuda Sempana masih dapat bertahan. Tetapi sejenak kemudian ia telah benar-benar kehilangan keseimbangan, sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi miring. Ia tidak dapat lagi tetap duduk di atas punggung kudanya, karena ia sudah tidak dapat menguasai keseimbangan dirinya lagi. Kuda Sempana masih tetap sadar ketika ia terdorong ke samping dan jatuh dari atas punggung kuda itu. Tetapi ia merasa pula bahwa seseorang telah menahannya dan kemudian menariknya. Sesaat Kuda Sempana membuka matanya. Dalam putaran yang semakin cepat ia melihat Mahisa Agni meletakkannya berbaring di atas rerumputan yang kekuning-kuningan meskipun tanah di bawahnya telah menjadi basah.
“Lepaskan, lepaskan.” ia berteriak. Dengan marahnya Kuda Sempana berusaha untuk bangkit. Tetapi sekali lagi ia terjatuh karena tanah tempatnya berpijak seolah-olah berputar semakin cepat.
“Jangan mencoba bangun Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni.
“Persetan. Ayo, bunuhlah aku.”
“Dengan pedang?”
“Terserah kepadamu.”
“Tidak. Aku tidak akan memembunuhmu. Akan aku biarkan saja kau di sini. Bila terik matahari membara di langit, kau akan kepanasan, tetapi bila hujan yang lebat turun, kau akan kedinginan. Itu akan terjadi terus-menerus sebelum anjing-anjing liar menemukanmu di sini. Aku tidak tahu, manakah yang lebih buas, anjing-anjing liar itu atau buaya-buaya kerdil di rawa-rawa Kemundungan.”
“Setan.” Kuda Sempana mengumpat, “ayo, bunuh aku.”
“Ya, aku memang sedang membunuhmu. Tetapi tidak dengan ujung pedang. Aku mempunyai caraku sendiri.”
“Pengecut, pengkhianat. Ternyata kau lebih jahat dari Kebo Sindet.”
“Mungkin. Mungkin aku lebih jahat dari Kebo Sindet. Tetapi aku kira orang-orang Panawijen itu tidak akan berbuat begitu atasmu.”
Terdengar Kuda Sempana menggeram. Tetapi ia tidak dapat membuka matanya. Ia masih merasa dirinya berputar. Sambil meng-umpat-umpat ia memegang kedua belah keningnya dengan telapak tangannya. Tetapi ia tidak dapat menolong dirinya. Syaraf keseimbangannya ternyata sedang terganggu. Tiba-tiba Kuda Sempana merasa sentuhan pada punggungnya. Ia merasakan urutan yang menyelusur sisi tulang belakangnya. Kemudian sebuah tekanan yang keras sehingga terasa punggungnya menjadi sakit sekali.
“Patahkan. Patahkan punggungku.” ia berteriak, “berbuatlah sekehendak hatimu. Tetapi bunuhlah aku secepatnya.”
Tidak terdengar jawaban. Tetapi terasa sesuatu merayapi kepalanya. Kemudian perlahan-lahan terasa kepalanya tidak berputar lagi, sehingga sedikit demi sedikit ia membuka matanya.
“Duduklah.” terdengar suara Mabisa Agni, “buka matamu. Kau sudah baik.”
Kuda Sempana membuka matanya perlahan-lahan. Dilihatnya Mahisa Agni berdiri di sampingnya. Meskipun kepalanya masih terlampau pening, tetapi Padang Karautan itu sudah tidak berputaran lagi. Sesaat Kuda Sempana membeku, duduk di atas rerumputan. Digelengkannya kepalanya dan dipijitnya keningnya. Perasaan pening itu masih mengganggu. Tetapi perlahan-lahan menjadi semakin berkurang. Ketika ia kemudian berpaling di lihatnya Mahisa Agni telah duduk di sampingnya.
Tiba-tiba isi dadanya meluap kembali. Dengan serta-merta ia meloncat berdiri. Meskipun kepalanya masih terasa pening namun ia berkata, “Kenapa tidak kau bunuh saja aku Agni, Sekarang aku sudah mampu lagi berkelahi melawanmu. Ayo, atau kau lah yang akan aku bunuh.”
Mahisa Agni masih tetap duduk di tempatnya. Dipandanginya Kuda Sempana dengan tenangnya. Kemudian terdengar ia berkata perlahan-lahan, “duduklah Kuda Sempana.”
“Tidak. Aku akan bertempur sampai mati.”
“Jangan terlampau keras kepala. Kau sebenarnya sudah menyadari keadaanmu. Tetapi kau mencoba untuk bertahan pada pendirianmu.”
Kuda Sempana tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Mahisa Agni tajam-tajam. Hatinya berdesir ketika ia mendengar Mahisa Agni berkata, “Lihat Kuda Sempana, itu pedangmu yang kau lemparkan kepadaku. Ambillah, mungkin kau masih memerlukannya.”
Kuda Sempana masih berdiri di tempatnya. Perasaan aneh telah menjalari dadanya, sehingga sejenak ia terpaku diam.
“Ambillah, dan duduklah. Aku ingin berbicara. Dengan mulut, tidak dengan pedang.”
Kuda Sempana sama sekali tidak bergerak. Tidak beranjak dan tidak menyahut.
“Kau masih belum mempercayainya. Jangan kau takut-takuti hatimu dengan soal-soal yang kau buat-buat di dalam kepalamu sendiri. Kau buat bayangan-bayangan yang menakutkan dan kemudian kau sendiri menjadi ketakutan karenanya. Kau reka-reka di dalam angan-anganmu sesuatu yang mengerikan. Tetapi kemudian kau percayai angan-angan itu seolah-olah benar-benar akan terjadi.”
Kuda Sempana masih mematung.
“Ambillah pedangmu. Cepat.” Kuda Sempana masih belum bergerak. “Kenapa kau masih diam? Apakah kepalamu masih pening atau bahkan seakan-akan masih berputaran.”
Tanpa sesadarnya Kuda Sempana menggeleng.
“Nah, kalau begitu, ambil pedangmu.” Kuda Sempana tidak menyadari, pengaruh apakah yang telah menggerakkannya melangkah ke arah pedangnya yang terletak di tanah. Ia berpaling dengan penuh keragu-raguan, kemudian membungkuk memungut pedangnya itu. Dengan ragu-ragu disarungkannya pedangnya pada wrangkanya.
Mahisa Agni yang masih duduk di tempatnya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata atas kehendaknya sendiri Kuda Sempana telah menyarungkan pedangnya. Dengan demikian ia berharap bahwa ia untuk selanjutnya akan dapat berbicara dengan baik-baik. Tetapi untuk sesaat Mahisa Agni masih berdiam diri ditempatnya. Dipandanginya saja Kuda Sempana yang kemudian melangkah perlahan-lahan ke arahnya. “Duduklah.” berkata Mabisa Agni kemudian.
“Tidak.” jawab Kuda Sempana. Tetapi suaranya telah menjadi lemah, “aku masih ingin bertempur.”
“Duduklah.” ulang Mahisa Agni. Ternyata kata-katanya itu mengandung perbawa yang kuat, yang tidak terlawan oleh Kuda Sempana dalam keadaannya itu. Karena itu, maka seolah-olah tanpa dikehendakinya sendiri, ia pun perlahan-lahan meletakkan dirinya, duduk beberapa langkah dari Mahisa Agni.
“Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni, “maaf, bahwa aku telah membuatmu kehilangan keseimbangan. Bukan maksudku untuk menyakitimu, tetapi aku hanya ingin berbuat demikian sebagai pengantar pembicaraan. Kau tidak dapat mendengarkan kata-kataku tanpa sedikit tekanan. Tetapi percayalah bahwa hal itu tidak akan mengganggumu untuk seterusnya.”
Kuda Sempana tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba kepalanya menunduk.
“Kau terlampau jauh berprasangka atas orang-orang Panawijen. Aku tahu, bahwa kau ternyata telah dikejar-kejar oleh perasaan bersalah. Tetapi dengarlah aku, bahwa orang-orang Panawijen tidak akan berbuat apa-apa atasmu. Aku akan menjelaskan kepada mereka, bahwa kau telah menyesali segala kesalahan itu. Bahwa keadaanmu telah membuat kau terbangun dari mimpi yang buruk itu.”
“Kau menjebakku.” sahut Kuda Sempana meskipun sudah tidak terlampau garang.
“Buat apa aku menjebakmu? Kalau aku mau, aku dapat berbuat apa saja atasmu. Karena itu aku terpaksa membuatmu kehilangan keseimbangan. Maksudku, supaya kau sadari, bahwa aku dapat berbuat seperti yang kau angan-angankan itu tanpa membujukmu, kemudian menangkapmu beramai-ramai. Aku sendiri mampu melakukannya. Melumpuhkan kau, mengikatmu dibelakang kudaku dan menyeretmu kepada orang-orang Panawijen itu untuk bersama-sama mencincang mu. Tetapi aku tidak melakukannya. Masihkah kau menganggap bahwa aku sedang membujukmu? Masihkah kau menganggap bahwa karena aku tidak mampu menangkapmu sendiri, lalu aku menjebakmu di antara orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Perlahan-lahan pikirannya mulai bekerja kembali, meskipun harus dituntun setapak demi setapak oleh Mahisa Agni. Tetapi sejenak kemudian tumbuhlah pengakuan di dalam diri Kuda Sempana bahwa Mahisa Agni itu berkata sebenarnya. Ia dapat berbuat seperti yang dikatakannya. Tetapi ia tidak berbuat demikian. Dalam kediamannya ia mendengar suara Mahisa Agni,
“Marilah. Berdirilah. Kita kembali kepada orang-orang Panawijen yang pasti sedang dihadapkan pada suatu teka-teki tentang diri kita.”
Sekali lagi Kuda Sempana didorong oleh suatu kekuatan yang tidak dimengertinya, membawanya berdiri dan melangkah kearah kudanya yang sedang asyik makan rumput. Dan sejenak kemudian keduanya telah berada di punggung kuda masing-masing, yang berlari kembali ke perkemahan orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel.
YANG BERGUGURAN.
Betapa beratnya, namun Kuda Sempana akhirnya dapat diterima juga oleh orang-orang Panawijen dan Prajurit-prajurit Tumapel atas tanggung jawab Mahisa Agni. Meskipun dengan membentak-bentak dan berteriak namun Akuwu Tunggul Ametung pun memaafkannya pula. Tetapi untuk sementara Kuda Sempana diserahkan kepada Ken Arok dan Mahisa Agni, supaya diawasinya. Dan untuk sementara Kuda Sempana harus tetap berada di Padang Karautan bersama-sama dengan Ken Arok dan orang-orang Panawijen.
“Kau tidak dapat berada kembali dilingkungan istana.” berkata Akuwu Tunggul Ametung.
Kuda Sempana menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dalam sekali. Perlahan-lahan ia menyahut, “Hamba berterima kasih sekali bahwa Tuanku tidak menggantung hamba di alun-alun. Dimanapun hamba akan diletakkan hamba tidak akan berkeberatan.”
Kuda Sempana yang sudah agak lama tidak bergaul dengan Akuwu terkejut ketika tiba-tiba Akuwu berteriak, “Apa hakmu untuk berkeberatan, he?”
Kuda Sempana menjadi gelisah. Tetapi dicobanya untuk mengingat-ingat sifat-sifat Akuwu Tunggul Ametung, pada saat ia masih berada di istana.
“Kau tidak punya hak sama sekali untuk berkata begitu. Kau memang harus menjalani setiap perintahku.”
“Hamba Tuanku.” jawab Kuda Sempana.
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya sambil meraba-raba dagunya. Kemudian kepada Mahisa Agni ia berkata, “Bagaimana dengan kau?”
“Hamba tinggal di padang ini Tuanku.” jawab Mahisa Agni.
“Tetapi kau harus pergi ke istana. Terserah kepadamu. Sehari atau dua hari, supaya adikmu percaya, bahwa kau masih hidup. Supaya ia menjadi agak tenteram dan tidak selalu dicengkam oleh kegelisahan dan kebingungan. Kegelisahannya adalah kegelisahanku. Dan kegelisahanku adalah kegelisahan seluruh Tumapel.”
Mahisa Agni termenung sejenak. Ia dapat mengerti, betapa Ken Dedes selalu gelisah memikirkannya. Ia adalah satu-satunya orang yang masih dianggap keluarganya. Tetapi bagaimanakah dengan dirinya sendiri?
“Bagaimana?” desak Akuwu Tunggul Ametung, “aku memerlukanmu. Untuk kepentingan adikmu.”
Akhirnya Mahisa Agni tidak dapat menolak lagi. Sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam ia menjawab, “Hamba akan menurut segala perintah Tuanku. Hamba akan ikut serta ke istana untuk sehari atau dua hari. Selebihnya hamba akan tinggal di dekat bendungan ini, bendungan yang masih harus diselesaikan ini.”
“Untuk selanjutnya terserah kepadamu. Besok kita berangkat. Kembali ke Tumapel. Kuda Sempana tinggal di sini. Untuk sementara aku serahkan kepada Ken Arok selama Mahisa Agni berada di Tumapel. Untuk seterusnya orang itu menjadi tanggung jawab kalian berdua. Apakah kalian mengerti?”
Keduanya hampir bersamaan menjawab, “Hamba Tuanku.”
“Baik.” berkata Akuwu itu selanjutnya, “tetapi taman itu harus segera siap pula. Setelah Mahisa Agni berada kembali di sini, maka kau mendapat kesempatan lebih banyak Ken Arok. Kecuali perhitunganmu terhadap banjir yang setiap saat dapat melanda bendungan itu, maka taman itu pun harus mendapat perhatian pula Di sini sekarang ada Ken Arok, Mahisa Agni dan Kebo Ijo.”
Sekali lagi hampir bersamaan Ken Arok dan Mahisa Agni menjawab, “Hamba Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya Kebo Ijo duduk di sudut ruangan itu pula. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Karena itu Akuwu tidak melihat, bahwa anak bengal itu sedang menahan senyumnya kuat-kuat. Baginya semua itu terasa terlampau menggelikan. Sesaat kemudian kepada Witantra, Akuwu berkata, “Besok, pada pagi-pagi hari kita berangkat kembali ke Tumapel. Siapkan orang-orangmu.”
Kini Witantra lah yang menjawab sambil mengangguk, “Hamba Tuanku.”
Pembicaraan itu pun segera berakhir. Masing-masing pergi kepada kewajibannya. Tetapi ternyata matahari telah menjadi terlampau rendah dan sesaat kemudian hilang di balik garis batas di ujung Barat. Ketika Mahisa Agni mengangkat wajahnya, dilihatnya awan yang kelabu mengambang di langit perlahan-lahan hanyut oleh arus angin padang yang basah.
“Mudah-mudahan tidak turun hujan lebat.” desisnya.
Selangkah-selangkah ia berjalan menuju ke bendungan. Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah beristirahat. Untuk sementara mereka tidak lagi bekerja siang dan malam sejak bendungan itu dilanda banjir. Mereka seolah-olah memerlukan waktu beristirahat sehari dua hari setelah memeras seluruh tenaga dan ketegangan perasaan yang memuncak. Tetapi di siang hari, mereka bekerja dengan sepenuh tenaga pula, sehingga bendungan itu sudah memiliki alat pengaman yang lebih banyak, setelah banjir yang pertama memberi mereka petunjuk-petunjuk letak kelemahannya.
Ketika Mahisa Agni berada di ujung bendungan, terasa hatinya berdesir. Bendungan yang dahulu hanya ada di dalam angan-angannya, yang pada saat ia meninggalkan tempat itu masih belum berbentuk, kini benar-benar telah ada. Bendungan itu benar-benar telah berwujud. Bahkan bendungan itu telah lulus pada ujiannya yang pertama.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Meskipun senja menjadi semakin samar, namun ia masih dapat melihat jalur-jalur yang menggores Padang Karautan itu. Susukan induk yang menjelujur ketengah-tengah padang dan akan menumpahkan airnya di sendang buatan, di dalam taman yang dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian parit-parit yang menyelusur seperti akar pepohonan di dalam tanah. Kotak-kotak sawah dengan pematang-pematangnya.
Semuanya itu telah membuat dada Mahisa Agni seolah-olah mengembang. Karena itu maka sejenak ia berdiri mematung. Di pandanginya alam yang terbentang di hadapannya. Alam yang luas, yang baru mulai dijamah oleh tangan manusia.
“Mudah-mudahan kami berhasil.” desis Mahisa Agni, “mudah-mudahan apa yang kami lakukan ini dibenarkan oleh Yang Maha Agung.”
Ketika kemudian angin yang lembut mengusap keningnya, maka Mahisa Agni pun mengusap wajahnya. Terasa udara yang dingin menyusup sampai ke pembuluh darahnya. Di dalam dadanya berdesir suatu kebanggan dan harapan yang tidak terkira, karena bendungan yang kini tinggal mengetrapkan penyelesaian yang terakhir dan merampungkan jalur-jalur pengaman apabila banjir datang terlalu deras. Impian yang dahulu tersimpan di dalam hatinya itu kini telah hampir berwujud. Sekian lama ia berada di dalam kungkungan iblis Kemundungan, tetapi sekian lama pekerjaan ini berjalan terus.
Tepat pada saatnya ia berhasil melepaskan diri, bendungan ini telah sampai pada penyelesaian terakhir. Apalagi apabila di ujung susukan induk ini kelak akan dibangun sebuah taman. Maka daerah ini, yang dahulu merupakan jantung Padang Karautan yang jarang diambah oleh manusia, kelak pasti akan menjadi suatu padepokan yang subur dan semakin-lama akan menjadi semakin ramai.
Betapa angan-angan yang dipenuhi oleh harapan itu mencengkam dada Mahisa Agni, sehingga untuk sejenak ia merenung ditempatnya. Baru ketika terasa gerimis kecil menyentuh tubuhnya Mahisa Agni menyadari dirinya. Ditengadahkan wajahnya dan dilihatnya langit yang hitam.
“Hujan.” desisnya, “Mudah-mudahan banjir tidak datang terlampau keras.”
Mahisa Agni masih mendengar deru air yang masih agak deras mengalir di sungai yang telah dibatasi oleh bendungan itu. Tetapi dalam kegelapan malam Mahisa Agni tidak dapat melihat, betapa keruh dan betapa banyak sesungguhnya air yang tertahan di atas bendungan itu.
Karena gerimis menjadi semakin deras, maka Mahisa Agnipun segera meninggalkan bendungan itu kembali ke dalam gubugnya. Perlahan-lahan ia bergumam di dalam dirinya, “Besok aku harus ikut bersama Akuwu ke Tumapel. Mudah-mudahan tidak terlampau lama berada disana. Aku ingin menunggui bagaimana bendungan ini terselesaikan.”
Begitu asyik Mahisa Agni bergelut dengan angan-angannya, sehingga ia tidak melihat seseorang berdiri di ujung perkemahan. Mahisa Agni berjalan bebera langkah dimuka orang itu, tetapi Mahisa Agni yang berjalan sambil menunduk itu tidak melihatnya. Baru ketika orang itu terbatuk kecil, langkah Mahisa Agni tertegun. Dipalingkannya wajahnya, dan dilihatnya seseorang berdiri acuh tidak acuh.
“Kau Kebo Ijo.” sapa Mahisa Agni.
Kebo Ijo berpaling. Desisnya, “Darimana kau Mahisa Agni?”
“Aku melihat bendungan itu Kebo Ijo. Ternyata aku menjadi sangat berterima kasih, bahwa selama aku tidak ada di sini, orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel telah menyelesaikannya.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Dan sesaat kemudian Mahisa Agni menjadi terkejut karena Kebo Ijo tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Kenapa kau berterima kasih kepada kami semua yang selama ini bekerja tidak mengenal lelah, siang dan malam, apalagi ketika banjir yang pertama itu melanda bendungan yang belum siap benar itu. Akuwu sendiri telah banyak sekali berbuat untuk menyelamatkannya, bahkan menyelamatkan Ken Arok sendiri.”
“Justru karena itulah aku sangat berterima kasih.” jawab Mahisa Agni.
Suara tertawa Kebo Ijo mengeras. Katanya, “Aneh sekali. Apakah hakmu untuk menyatakan terima kasih kepada kami.”
Mahisa Agni terdiam. Sepasang matanya memancarkan berbagai pertanyaan yang bergolak di dalam dadanya. Ia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Kebo Ijo. Namun sejenak kemudian ia mendengar Kebo Ijo itu berkata lebih lanjut,
“Mahisa Agni, kau yang sama sekali tidak ikut berbuat apapun atas bendungan itu, jangan terlampau ikut berbangga karenanya. Apalagi kau merasa bahwa seakan-akan kaulah yang berhak untuk disebut sebagai pahlawan. Kau mungkin merasa bahwa bendungan itu bendunganmu, sehingga kau merasa wajib dan berhak berterima kasih kepada kami.” Kebo Ijo itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi ketahuilah, bahwa bendungan itu bukan bendunganmu. Bendungan itu adalah milik kami yang telah bekerja mati-matian. Sekarang kau datang ke dalam lingkungan kami. Akulah yang lebih berhak mengucapkan terima kasih kepadamu, seandainya kau mau membantu meskipun sekedar melemparkan sebongkah batu disaat terakhir. Itupun barangkali tidak dapat kau lakukan. Bukankah kau besok harus pergi ke Tumapel bersama Akuwu untuk menengok adikmu yang terlampau manja itu? Nah, tinggallah di Tumapel sepekan atau sebulan. Datanglah kemari apabila bendungan itu telah selesai. Tetapi ingat, jangan mengucapkan terima kasih kepadaku. Setelah kau tidak mempunyai sangkut paut dengan bendungan ini.”
Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Wajahnya sekilas dijalari oleh warna merah. Tanpa sesadarnya dilayangkannya pandangan matanya berkeliling. Sepi. Tak ada seorangpun yang tampak. Tetapi Mahisa Agni tidak tahu, apakah orang-orang yang berada di dalam gubug itu sudah tidur atau masih bangun dan mendengar percakapan itu.
“Nah.” berkata Kebo Ijo, “sekarang tidurlah. Jangan kau hiraukan lagi bendungan itu. Ia telah tumbuh tanpa kau. Dan ia akan siap pula tanpa bantuanmu.”
Terasa goresan di dada Mahisa Agni menjadi semakin dalam. Bahkan kemudian timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah demikian anggapan setiap orang yang berada di perkemahan ini? Apakah mereka menganggap bahwa aku sama sekali tidak berarti lagi bagi mereka, karena aku tidak ikut serta berbuat banyak? Apakah demikian pula anggapan orang-orang Panawijen?”
Setitik keringat dingin mengembun di kening Mahisa Agni. Namun ia masih saja berdiam diri dalam kenangan seribu macam pertanyaan. Kebo Ijo melihat kebimbangan di dalam sikap Mahisa Agni. Agaknya kata-katanya berhasil menusuk langsung kedalam hati anak muda itu. Maka timbullah kegembiraan di hati Kebo Ijo yang aneh itu. Ia memang bertabiat demikian. Dan tabiatnya itulah yang telah mendorongnya kedalam perbuatan-perbuatan yang berbahaya bagi dirinya.
Karena Mahisa Agni tidak menjawab, maka berkata Kebo Ijo itu, “Apa lagi yang kau tunggu Agni. Pergilah tidur. Kau dapat menganyam angan-angan, bahwa kau besok akan bertemu dengan adikmu yang kini telah menjadi seorang permaisuri. Kau akan ikut merasakan kamukten yang didapatkannya. Nah, nikmatilah. Tetapi jangan menyinggung tentang bendungan ini.”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Terasa pergolakan di dalam dadanya menjadi semakin keras. “Tetapi sambutan orang-orang Panawijen itu begitu baik kepadaku. Bahkan prajurit-prajurit Tumapel pun bersikap baik.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
“Jangan bersedih.” berkata Kebo Ijo seterusnya, “kau memang lebih baik berada di Tumapel. Nunut kamukten yang didapatkan oleh adikmu dengan modal parasnya yang cantik.”
“Cukup.” tiba-tiba Mahisa Agni memotong, “kau boleh menghina aku dengan cara apapun, tetapi jangan menghina orang lain yang kau sangkut pautkan dengan aku. Sikapmu itu sejak dahulu memuakkan sekali bagiku. Mungkin kau benar, bahwa aku memang tidak dapat ikut berbangga dengan bendungan itu. Tetapi seandainya aku berbangga di dalam hati, itu adalah hakku, karena aku ikut serta meletakkan dasar bagi terbangunnya bendungan ini. Akulah yang memilih tempat, membuat rencananya dan memulainya. Tetapi aku tidak akan memperhitungkannya seperti seseorang yang meminjamkan jasanya kepada orang lain. Dihargai atau tidak dihargai, diakui atau tidak diakui itu sama sekali bukan urusanku dan bukan tujuanku. Siapapun yang membangun bendungan ini, aku tidak peduli. Tetapi aku merasa bersenang hati bahwa orang-orang Panawijen akan mendapat tempat dan ruangan baru untuk hidup. Tetapi yang sangat memuakkan adalah caramu menghina aku dan keluargaku. Kau sebut-sebut nama Ken Dedes dengan cara yang sangat menyakitkan hati.”
Dada Mahisa Agni berguncang ketika justru ia mendengar Kebo Ijo tertawa, “Apakah kau menjadi sakit hati karenanya? Aku mengatakan yang sebenarnya. Sama sekali bukan ceritera yang aku hisap dari ujung ibu jari kakiku. Bukankah Akuwu mengambil Ken Dedes dari Kuda Sempana dan Sempana mengambilnya karena ia cantik?”
Terasa dada Mahisa Agni bergetar, Tetapi justru dengan demikian ia menyadari keadannya sepenuhnya. Karena itu maka iapun menarik nafas dalam-dalam seolah-olah hendak mengendapkan segala macam perasaan yang membakar dadanya. Kini ia sadar sesadar-sadarnya bahwa Kebo Ijo sengaja membuatnya marah. Ia tidak tahu, apakah maksud anak muda itu.
Tetapi bukanlah sebaiknya untuk melayaninya. Seandainya demikian, maka pasti akan timbul keributan, justru pada saat Akuwu Tunggul Ametung ada diperkemahan itu, dan justru setelah ia datang, sehingga kesan tentang dirinya pasti akan menjadi kurang baik. Pasti ada orang yang menganggap bahwa setelah diperkemahan itu ada Mahisa Agni, maka timbullah suatu bentrokan diantara mereka. Karena itu, maka Mahisa Agni itupun berusaha untuk menahan hatinya kuat-kuat. Dianggapnya ia tidak mendengar apapun. Dianggapnya suara Kebo Ijo itu seperti bunyi desir angin di dedaunan.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni tidak mau mendengarkannya lagi. Ia ingin meninggalkannya dan pergi ke gubug yang disediakan untuknya bersama beberapa orang lain. Tetapi ketika baru saja kakinya melangkah ia mendengar Kebo Ijo itu tertawa lagi,
“He, kemana? Tidur? Baiklah. Tetapi sekali lagi, jangan mimpi tentang gelar pahlawan karena kau berhasil membuat bendungan. Lebih baik kau bermimpi tentang adikmu yang berhasil menjerat hati Akuwu karena kecantikannya.” Kebo Ijo berhenti sejenak, “He, adikmu memang cantik. Itulah sebabnya kakang Mahendra pernah menjadi gila dan berkelahi dengan kau di luar padukuhanmu karena kau mengaku bakal suami gadis itu.”
Kata-kata itu benar-benar menyakitkan hati. Seandainya Mahisa Agni masih belum mendapatkan kemantapan tentang dirinya dan berhasil mengalahkan Kebo Sindet, maka Kebo Ijo pasti sudah diterkamnya. Tetapi kini sikapnya menjadi lain. Ia tidak menyerangnya. Ditahankannya kemarahan di dalam hatinya. Namun terdengar giginya bergemeretak.
Tetapi tiba-tiba mereka berdua, Mahisa Agni dan Kebo Ijo terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar dari balik perkemahan seseorang berkata, “Kau sudah menjadi gila Kebo Ijo.”
Ketika mereka berpaling, mereka melihat Witantra berdiri di sudut sebuah gubug yang pendek, “Apakah kau sadari apa yang kau katakan. Aku mendengar sebagian besar dari kata-katamu. Aku sengaja membiarkannya karena aku ingin tahu, bagaimanakah sikapmu sebenarnya. Dan kini aku melihatnya.” Witantra berhenti sejenak, lalu, “sebagai seorang pengawal bahkan yang diserahi tanggung jawab atas keselamatan, tubuh dan namanya, aku menganggap bahwa kau sudah sepantasnya mendapat hukuman. Kau telah menghina Tuan Putri Ken Dedes.”
Kebo Ijo sejenak menjadi pucat. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum, “Aku hanya bergurau kakang.”
“Tidak, kau tidak sedang bergurau. Aku dapat membedakan nada yang sama sekali bukan bergurau.” Witantra memotong, “tetapi sebagai seorang tua aku akan berbuat lain. Aku masih melihat kemungkinan yang baik dihari depanmu yang panjang. Karena itu, aku minta, supaya kau cabut kata-katamu supaya kesalahanmu dimaafkan. Dan kau harus minta maaf pula kepada Mahisa Agni. Lakukanlah.”
Sepercik warna merah membayang di wajah Kebo Ijo. Ia tidak menyangka bahwa ada orang lain yang mendengar kata-katanya, apalagi kakak seperguruannya yang gubugnya jauh berada di ujung lain. Karena itu untuk sejenak ia berdiri saja mematung. Agaknya kakaknya itu mendengar seluruh pembicaraannya. Dan kakaknya tidak percaya bahwa ia hanya sekedar bergurau saja. Namun yang tidak disangka-sangka oleh Kebo Ijo, adalah bahwa kakaknya itu menyuruhnya untuk mencabut kata-katanya dan minta kepada Mahisa Agni.
Karena Kebo Ijo masih berdiam diri, maka Witantra itu berkata pula, “Lakukanlah Kebo Ijo, Hukuman itu terlampau ringan buatmu.”
Tetapi Kebo Ijo tidak segera berbuat sesuatu. Wajahnya yang pucat, kemudian kemerah-merahan, kini menjadi tegang.
“Apakah kau tidak bersedia?” Tidak ada jawaban.
Namun sekali lagi mereka terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata, “Kebo Ijo, sebaiknya kau tinggalkan kebiasaanmu yang buruk itu.”
Serentak mereka berpaling, dan segera mereka melihat siapakah yang berbicara itu. Ken Arok.
“Sudah beberapa kali aku nasehatkan, jangan membuat soal-soal yang tidak perlu.”
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin tegang. Dan ia mendengar Witantra berkata semakin keras pula, “Lakukanlah. Kau harus mencabut kata-katamu dihadapanku, pimpinan pengawal Akuwu Tunggul Ametung dan kini ada dua saksi. Kemudian kau harus minta maaf kepada Mahisa Agni.”
Kebo Ijo kini berdiri gemetar. Ia tidak membayangkan bahwa hal serupa itu akan mungkin dilakukannya. Sejenak ia dicengkam oleh kebimbangan. Tetapi menilik sorot mata kakak seperguruannya, ia tidak dapat bermain-main lagi. Kakaknya itu agaknya benar-benar marah kepadanya. Apalagi kini telah hadir pula Ken Arok, yang ternyata mendengar pula pembicaraannya.
“Lakukanlah Kebo Ijo.” terdengar suara Ken Arok, “bukan suatu penghinaan bagimu. Tetapi dengan demikian kau akan selalu teringat, bahwa sikapmu yang demikian itu sama sekali tidak menguntungkan bagimu dan bagi siapapun juga. Kaupun harus ingat, bagaimana kau untuk pertama kali berada ditempat ini. Belum sehari kau sudah menumbuhkan persoalan. Sekarang, kedatangan Mahisa Agni kau songsong dengan sikapmu yang aneh itu.”
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin tegang. Setitik keringat dingin merentul di dahinya.
“Lakukanlah.” berkata Witantra. Ia nampak bersungguh-sungguh.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara Mahisa Agni, “Kebo Ijo. Kalau kakakmu menghendaki kata-katamu itu dicabut, cabutlah. Tetapi bahwa kau harus minta maaf kepadaku hal itu tidak perlu kau ucapkan dengan kata-kata, tetapi asal pengakuan bersalah itu telah tumbuh di dalam hatimu, sebenarnya telah cukup bagiku.”
Kebo Ijo berpaling sejenak. Dipandanginya wajah Mahisa Agni. Sekilas tampak perubahan pada wajah itu, tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak tahu, apakah yang bergolak di dalam dada Kebo Ijo, sehingga terungkap pada perubahan wajah itu. Namun sejenak kemudian Kebo Ijo itu menundukkan wajahnya.
Witantra dan Ken Arok merasakan sentuhan yang lembut di dalam hati mereka. Pernyataan Mahisa Agni itu benar-benar telah menumbuhkan perasaan hormat di dalam diri mereka. Sehingga dengan demikian, maka sejenak mereka terdiam. Padang Karautan itu pun kemudian menjadi sunyi. Suara bilalang terdengar bersahut-sahutan dikejauhan. Sekali-sekali terasa angin yang lembut mengusap wajah-wajah mereka yang tegang.
Sejenak kemudian terdengar suara Witantra, “Kebo Ijo, kau benar-benar harus menyadari keadaan dirimu. Memang sulit untuk mencari kesempatan seperti yang diberikan oleh Mahisa Agni kepadamu. Tetapi kau harus benar-benar mengakui di dalam hatimu, bahwa kau telah berbuat salah. Sekarang katakanlah, bahwa kau telah mencabut ucapanmu tentang Tuan Puteri. Dan katakanlah di dalam hatimu seperti yang dimaksudkan oleh Mahisa Agni, bahwa kau menyesali perbuatanmu.”
Kebo Ijo mengangkat wajahnya. Dipandanginya kakak seperguruannya, Ken Arok dan Mahisa Agni berganti-ganti. Tetapi ia sadar, bahwa kakaknya memang sedang bersungguh-sungguh Karena itu, maka tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan, kecuali memenuhi perintah kakaknya itu.
“Katakanlah Kebo Ijo.” teriak Witantra.
Kebo Ijo menelan ludahnya, lalu katanya, “Aku cabut kata-kataku tentang Tuanku Permaisuri itu kakang. Aku memang tidak bersungguh-sungguh bermaksud demikian.”
“Bersungguh-sungguh atau tidak, tetapi sudah berapa puluh kali aku memperingatkan, jagalah mulutmu. Mulutmu akan dapat menjerumuskan kau ke dalam suatu keadaan yang paling parah. Mulutmu dan sikapmu. Aku menyayangkannya, bukan saja karena kau adik seperguruanku, tetapi lebih dari pada itu adalah hari depanmu sendiri.”
Kebo Ijo mengangguk, “Ya kakang.”
“Untunglah Mahisa Agni bersikap terlampau baik-baik. Kalau tidak, maka kau harus berlutut dihadapannya dan minta maaf kepadanya. Karena sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni berhak untuk merasa ikut serta membangun bendungan itu, meskipun selama ini ia tidak dapat ikut melakukannya.”
“Bukan sekedar ikut serta membangun.” potong Ken Arok, “tetapi sebenarnya bahwa Mahisa Agni lah yang membuat bendungan itu. Tanpa Mahisa Agni, tidak ada seorang pun yang mengangan-angankan bahwa di tengah-tengah Padang Karautan dapat dibangun sabuah bendungan yang akan merubah sekaligus wajah dari padang ini. Kini sudah terbayang sebuah pedukuhan, meskipun masih samar-samar karena pepohonan yang ditanam masih terlampau muda. Tetapi pedukuhan itu sudah dapat kita gambarkan. Pedukuhan yang dikelilingi oleh sawah dan ladang. Pategalan dan kebun-kebun yang subur. Kemudian sebuah petamanan yang terbesar di Tumapel. Semua itu adalah karena Mahisa Agni bertekad untuk menemukan ruang hidup yang baru bagi orang-orang Panawijen.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat sepenuhnya dengan kata-kata Ken Arok itu. Sedang Kebo Ijo sama sekali tidak menyahut. la masih menundukkan kepalanya. Hanya kadang-kadang ia mencoba memandang Mahisa Agni dengan sudut matanya. Tetapi sesaat kemudian matanya telah hinggap kembali pada rerumputan yang basah di bawah kakinya.
Kebo Ijo itu berpaling kearah kakaknya ketika ia mendengar kakaknya berkata, “Pergilah ke tempatmu. Tidurlah. Untuk seterusnya kau harus berhati-hati. Besok aku dan Mahisa Agni harus mengikuti Akuwu kembali keistana. Sepeninggalku kau jangan membuat persoatan yang dapat mempersulit kedudukanmu sendiri.”
Kebo Ijo tidak menyahut, Tetapi iapun tidak segera beranjak dari tempatnya. Tetapi Witantra tidak mempedulikannya lagi. Bahkan ia sendirilah yang kemudian melangkah pergi sambil berkata, “Akupun akan tidur, supaya besok aku tidak terlambat bangun.”
Witantra dan Ken Arok pun segera pergi pula meninggalkan Kebo Ijo yang masih berdiri tegak di tempatnya. Mahisa Agni yang ingin beristirahat itu pun segera melangkahkan kakinya pula. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat Kebo Ijo berjalan kearahnya. Tetapi agaknya Kebo Ijo itu tidak ingin berjalan bersamanya. Ketika melampauinya, maka terdengar ia berdesis,
“Kau menjadi besar kepala mendengar pujian-pujian itu bukan, Agni. Dan kau merasa dirimu pahlawan dari keluhuran budi dengan sikapmu yang berpura-pura, agar aku tidak usah minta maaf kepadamu. Suatu ketika kau pasti akan menyesal karenanya.”
Tetapi Mahisa Agni tidak sempat untuk menjawab. Kebo Ijo ternyata melangkah terus dengan tergesa-gesa dan hilang di balik dinding-dinding gubug yang bertebaran. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa dugaannya tentang anak itu keliru. Ketika Witantra menasehatinya, dilihatnya anak muda itu menundukkan kepalanya. Tetapi ternyata bukan karena pengertiannya atau penyesalannya atas kesalahannya, Ia berbuat demikian semata-mata sekedar menyenangkan hati kakak seperguruanya itu. Namun agaknya justru tumbuh dendam di dalam dadanya.
“Hem.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian hal itu tidak dihiraukannya lagi tentang dirinya sendiri. Tetapi ia justru mencemaskan hubungan Kebo Ijo dengan Kuda Sempana, Kuda Sempana yang baru melangkah setapak demi setapak meninggalkan dunianya yang kelam, apabila ia terbentur kepada sikap Kebo Ijo yang gila-gilaan itu, maka kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan dapat terjadi. Kuda Sempana akan menjadi liar lagi dan terjerumus semakin dalam kedunia yang gelap pekat.
“Aku harus memberitahukannya kepada Ken Arok besok sebelum aku pergi, supaya persoalan ini mendapat perhatiannya.” gumam Mahisa Agni itu kepada diri sendiri.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Agni pun telah berbaring di dalam gubugnya. Beberapa orang yang telah berada di dalamnya, telah tidur dengan nyenyaknya. Mereka ternyata masih merasa terlampau lelah sejak mereka berkelahi dengan banjir yang melanda bendungan mereka. Sedang bahaya serupa masih akan datang setiap saat apabila hujan turun di ujung sungai.
Di hari berikutnya, Akuwu Tunggul Ametung benar-benar meninggalkan Padang Karautan bersama pengawal-pengawalnya dan Mahisa Agni. Sebelum mereka berangkat, Mahisa Agni memerlukan menyampaikan pesannya tentang Kuda Sempana dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi karena sikap Kebo Ijo.
Ketika serombongan kuda yang membawa Akuwu Tunggul Ametung dan pengiringnya sudah berderap menjauh, maka Kebo Ijo yang berdiri disamping Ken Arok pada saat mereka melepas rombongan itu pergi, segera saja berbisik, “Hem, aku berbangga melihat rombongan itu.”
Ken Arok berpaling. Sambil mengerutkan dahinya ia bertanya, “Kenapa?”
“Bukankah mereka bermaksud menangkap Kebo Sindet?” desis Kebo Ijo. “Kebo Sindet seorang diri telah berhasil menggegerkan seluruh Tumapel. Bahkan Akuwu Tunggul Ametung memerlukan pergi sendiri untuk menangkapnya.”
Ken Arok tidak menyahut. Ketika ia melayangkan pandangan matanya ia masih melihat kuda-kuda itu yang semakin jauh. Seperti noda-noda yang kehitam-hitaman bergerak-gerak di bawah langit yang biru, di atas hamparan padang rumput yang luas. Tetapi Ken Arok itu berpaling ketika mendengar Kebo Ijo tertawa pendek,
“Akuwu adalah seorang yang luar biasa. Tetapi untuk menangkap seorang Kebo Sindet, ia terpaksa membawa sepasukan kecil prajurit-prajurit pilihan. Bahkan kau pun akan dibawanya pula.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Akuwu masih belum yakin bahwa Kebo Sindet hanya seorang diri saja. Mungkin ia mempunyai beberapa orang kawan di dalam sarangnya. Itulah sebabnya Akuwu membawa beberapa orang prajurit bersamanya.”
Kebo Ijo tertawa pula. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Mungkin. Mungkin pula demikian. Tetapi itu pun menggelikan. Apakah yang dapat dilakukan oleh prajurit-prajurit sandinya? Apakah mereka tidak menyelidiki lebih dahulu, apakah dan siapakah yang akan mereka hadapi?”
“Tentu sudah dilakukan.” jawab Ken Arok, “tetapi agaknya Akuwu kali ini tergesa-gesa.”
“Karena desakan isterinya yang cantik itu.” gumam Kebo Ijo, “Ternyata gadis Panawijen itu benar-benar membahayakan Akuwu sendiri. Ia tidak tahu bahaya yang dapat mengancam Akuwu. Ia hanya menuruti suara perasaannya saja, agar Mahisa Agni segera dilepaskan. Tetapi ia tidak mempertimbangkan segi-segi yang lain. Sedang Akuwu pun telah benar-benar jatuh di bawah telapak kaki perempuan itu. He, apakah kau pernah mendengar dongeng bahwa Akuwu telah memasrahkan seluruh Tumapel kepada Ken Dedes sesaat sebelum mereka kawin. Maksudku, pada saat Akuwu membujuk perempuan itu untuk menjadi permaisurinya.”
“Ah, ceritera itu tidak penting bagiku. Keduanya sama saja. Warisannya akan jatuh ketangan putera atau puteri mereka bersama-sama. Bukankah sama saja? Apakah keturunannya itu akan menerima dari ayah atau ibunya?”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa. Dipandanginya bintik-bintik yang semakin lama menjadi semakin kecil ditengah-tengah padang yang luas Itu. Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berdesis diantara suara tertawanya, “He, apakah yang sedang kau renungkan?”
Ken Arok berpaling. Jawabnya, “Tidak ada. Aku tidak sedang merenungkan apa-apa.”
“Bohong.” Pandangan matanya tampak mengambang terlampau jauh. “Apakah kau sedang berpikir tentang hak atas Tumapel yang kini telah berada ditangan Ken Dedes dengan suka rela atas kehendak Akuwu Tunggul Ametung?”
“Buat apa aku memikirkannya? Sudah aku katakan bahwa hal itu tidak berpengaruh apapun.”
Kebo Ijo tertawa semakin keras. Katanya, “Apakah kau sudah pernah melihat Ken Dedes?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Apakah kau sedang mengigau?”
“Tidak. Aku bertanya kepadamu, apakah kau sudah pernah melihat Ken Dedes.”
“Tentu sudah.”
“Dari dekat dan untuk waktu yang lama? Bukankah kau berada dalam kesatuan yang lain dari Pengawal Istana? Hem, aku agaknya mendapat kesempatan menyaksikannya lebih dekat, Gadis itu memang cantik. Sayang, aku sudah beristeri. Kalau belum…“ Kebo Ijo berhenti sejenak. Dipalingkannya wajahnya. Ketika tidak ada orang yang berdiri terlampau dekat dibelakangnya ia berbisik, “Kalau belum, aku akan membunuh Tunggul Ametung. Aku kawini Permaisuri itu. Aku akan mendapat seorang isteri yang sangat cantik dan sekaligus akan mendapat keturunan yang akan memiliki Tumapel.”
“Tutup mulutmu.” tiba-tiba Ken Arok membentak. Wajahnya menjadi semburat merah. Katanya kemudian, “Mulutmu memang terlampau jelek Kebo Ijo. Ingat, bahwa aku dapat berbuat banyak karena aku mendengar kata-katamu itu. Aku dapat melaporkannya kepada Witantra pimpinan pengawal. Apabila perlu, maka persoalan ini dapat sampai kepada Akuwu sendiri, dan kau tahu apakah hukumannya? Kau dapat dihukum mati karenanya.”
Kebo Ijo tiba-tiba tersentak. Dahinya menjadi berkerut-merut. Lalu katanya, “Ah. Jangan begitu. Kau sangka aku berkata bersungguh-sungguh.”
“Aku tahu bahwa kau sekedar bergurau. Tetapi kau harus selalu ingat pesan kakak seperguruanmu. Jagalah mulutmu, supaya kau tidak digantung tanpa sebab.”
“Dan bukankah hal itu sama sekali tidak terjadi? Akuwu Tunggul Ametung tidak mati terbunuh dan aku tidak mengawini isterinya?”
“Tetapi bagaimana kalau orang menuduhmu, bahwa kau sedang merencanakannya. Dan kau dihukum karena merencanakan pembunuhan atas Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, dengan tujuan merebut kekuasaan yang ada ditangannya dengan kekerasan.”
“Omong kosong. Hanya orang gila yang akan menuduh aku berbuat demikian.”
“Bukan orang gila. Kaulah yang gila. Untunglah bahwa hanya aku yang mendengar sendau guraumu yang gila ini. Kalau ada orang lain maka kemungkinannya akan dapat berbeda. Untuk seterusnya kau harus selalu ingat kepada pesan-pesan Witantra. Mulutmu akan dapat menyeretmu dalam kesulitan.”
Kebo Ijo tidak segera menjawab. Matanya kini menatap bintik-bintik yang telah mulai hilang dikejauhan, dibayangi oleh gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh bertebaran di Padang Karautan itu.
“Ingat Kebo Ijo.” desis Ken Arok, “bukan orang gila yang menuduhmu, bahwa suatu ketika kau akan melakukannya. Tetapi orang-orang yang justru mempunyai otak yang baik, yang mencari kesempatan dan ingin menjerumuskan kau ke dalam kesulitan. Tidak semua orang baik kepadamu atau kepadaku atau kepada siapapun. Di Padang Karautan ini hampir setiap orang mengenal tabiatmu. Mulutmu terlampau besar dan kau mempunyai sifat yang meledak-ledak, bahkan kadang-kadang tidak terkendali. Kau ingat apa yang kau katakan kepada Mahisa Agni semalam. Mahisa Agni, betapapun juga adalah ipar tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Ingat hal itu.”
Kebo Ijo masih terbungkam. Namun wajahnya kini menjadi tegang. Beberapa orang yang berdiri agak jauh dari mereka, melihat wajah-wajah yang tegang itu. Tetapi mereka tidak mendengar apa yang sedang mereka percakapkan.
Sejenak Ken Arok pun berdiam diri pula. la benar-benar menyesali sikap Kebo Ijo itu, meskipun Ken Arok sendiri meragukan penyesalan di dalam hati Kebo Ijo. Mungkin Kebo Ijo kini sedang mengumpatinya di dalam hatinya. Tetapi adalah kewajibannya untuk memberikan peringatan-peringatan kepadanya. Bahkan Ken Arok itu berkata di dalam hatinya, “Kalau perlu aku dapat berbuat lebih keras, justru untuk kebaikan Kebo Ijo sendiri.”
Ken Arok pun kini dapat menyadari, mengapa Mahisa Agni memerlukan berpesan kepadanya, supaya ia mengawasi lebih banyak hubungan antara Kebo Ijo dan Kuda Sempana. Mereka bersama-sama berada di Padang Karautan dalam satu perkemahan. Mereka pasti akan sering bertemu dan bahkan berbicara. Hal-hal yang tidak dikehendaki akan dapat timbul. Sifat Kebo Ijo yang meledak-ledak dan Kuda Sempana yang sedang diguncang oleh keadaan, akan mudah sekali berbenturan. Sesaat kemudian tiba-tiba Ken Arok itu berkata, “Marilah. Kita masih mempunyai banyak pekerjaan. Bendungan itu belum selesai benar. Kita masih harus mengerjakan penyelesaiannya.”
“Kenapa bukan Mahisa Agni yang menyelesaikan?” sahut Kebo Ijo acuh tidak acuh.
“Kau sudah mulai lagi?” desis Ken Arok.
“Oh.” tiba-tiba sja Kebo Ijo itu tertawa. “Baiklah, marilah kita bekerja.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Terlampau sulit untuk menguasai sifat Kebo Ijo. Tetapi ia bertekad untuk sedikit demi sedikit merubah sifat itu. Ken Arok merasa sayang, bahwa hari depan Kebo Ijo akan terganggu oleh sifatnya sendiri yang kurang terkendali. Ken Arok dan Kebo Ijo itu pun segera pergi kepekerjaan mereka, setelah mereka tidak dapat lagi melihat rombongan Akuwu Tunggul Ametung. Bersama-sama dengan orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel, mereka pergi ke tempat pekerjaan masing-masing. Ada yang pergi ke bendungan, kesusukan induk, parit-parit dan taman serta sendang buatan. Beberapa orang yang lain menggali parit-parit pengaman di sekitar bendungan, untuk mengurangi tekanan air apabila diperlukan.
Ken Arok sendiri selalu mondar-mandir dari satu tempat ketempat yang lain. Ia berusaha untuk melihat semua segi yang sedang dikerjakan supaya tidak terjadi kesalahan, sehingga pekerjaan itu akan terpaksa diulangi. Dengan demikian mereka akan kehilangan waktu dan tenaga. Sedang Kebo Ijo pun selalu berbuat serupa. Seperti Ken Arok ia berpindah dari satu sudut kesudut yang lain. Sebenarnya ia cukup cakap melakukan pekerjaannya. Ia mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Tetapi yang sulit baginya, adalah mengendalikan diri, menahan mulutnya dan sifat-sifatnya yang sombong. Sehingga tanggapan orang-orang Panawijen dan para prajurit kepadanya jauh berbeda dengan tanggapan mereka terhadap Ken Arok.
Ki Buyut Panawijen kadang-kadang bertanya-tanya pula di dalam hatinya, apakah yang dikehendaki oleh Kebo Ijo itu sebenarnya? Tetapi orang tua itu mencoba untuk mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnya Kebo Ijo hanya didorong oleh sifat-sifatnya yang kurang menyenangkan.
Kuda Sempana yang ditinggalkan di Padang Karautan itu, masih belum dapat segera menyesuaikan dirinya. Setiap ia melihat dua tiga orang berkumpul dan bercakap-cakap, ia selalu merasa bahwa orang itu sedang mempercakapkannya. Karena itu, maka setiap kali ia merasa cemas dan kadang-kadang menjadi bingung, meskipun setiap kali Ken Arok mencoba meletakkannya kedalam keadaan yang sewajarnya.
Setiap kali Ken Arok melihat Kuda Sempana duduk menyendiri. Bahkan kadang-kadang ia membenamkan diri di dalam gubugnya. Sekali-sekali ia mencoba juga bcrkumpul dengan orang-orang Panawijen atau dengan prajurit-prajurit Tumapel atas anjuran Ken Arok, tetapi setiap kali ia merasa terasing. Oleh Ken Arok Kuda Sempana dibawa pula kebendungan untuk ikut serta bekcrja bersama-sama. Tetapi ia selalu diam dan seolah-olah merasa kesepian di dalam hiruk-pikuk yang ribut itu. Semakin riuh orang-orang bekerja di sekitarnya, maka ia pun merasa semakin sepi dan sendiri.
“Saharusnya kau mencoba menyesuaikan dirimu.” berkata Ken Arok, “kau tidak perlu menyimpan prasangka apapun. Aku dan Ki Buyut sudah memberi penjelasan tentang dirimu, dan agaknya orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel dapat menerima kau kembali di antara mereka.”
Kuda Sempana selalu tidak menjawab. Tetapi wajahnya yang ngelangut, seakan-akan masih memancarkan keputus-asaannya menghadapi hari depan yang baik.
“Lambat laun.” berkata Ken Arok didalam hatinya. “Mudah-mudahan ia tidak terbentur sikap Kebo Ijo.”
Dan ternyata sampai dihari-hari berikutnya, Kebo Ijo masih bersikap acuh tak acuh saja terhadap Kuda Sempana. Sikap itu adalah sikap yang sebaik-baiknya dilakukan. Sebab setiap perhatian yang diberikan oleh Kebo Ijo terhadap sesuatu, sudah pasti anak muda itu akan melihat pertama-tama dari segi yang kurang baik. Setelah ia terbentur pada beberapa kenyataan, barulah ia dapat berpikir.
Di hari-hari berikutnya orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah tenggelam kembali kedalam kerja yang sibuk. Mereka telah cukup beristirahat dan mereka telah mulai lagi dengan kerja mereka siang dan malam, meskipun tidak semalam penuh. Sebab pekerjaan merekapun kini berangsur berkurang. Bendungan mereka telah mendekati penyelesaian terakhir, sehingga para prajurit sebagian terbesar telah ditarik untuk dipekerjakan disendang buatan dan susukan induk. Beruntunglah mereka, bahwa hujan yang terlampau lebat tidak datang lagi dengan membawa banjir. Kadang-kadang air memang naik, tetapi tidak memhahayakan.
Beberapa hari telah lampau. Tetapi Mahisa Agni masih belum kembali ke Padang Karautan. Namun Ken Arok sama sekali tidak terlampau mengharapkannya. Ia dapat mengerti, betapa kerinduan mencengkam hati Ken Dedes atasnya. Satu-satunya keluarga yang masih dapat diharapkannya. Yang selama ini telah disangkanya hilang, ternyata datang kembali.
Namun, meskipun Ken Dedes menyambut kehadiran Mahisa Agni dengan tetesan air mata, tetapi tanpa diketahuinya, seorang emban tua menangis hampir pingsan di dalam biliknya karena kegembiraan yang tidak tertahankan. Emban tua yang hampir dicekik oleh keputus-asaan itu, telah menemukan satu-satunya anaknya kembali. Mahisa Agni ternyata masih hidup, dan kini dapat ditemuinya, meskipun ia harus menyembunyikan scmua persoalan. Tetapi itu tidak penting baginya. Yang diharapkannya siang dan malam, yang selalu diucapkannya di dalam doanya kepada Yang Maha Agung, kini telah mengembalikan Mahisa Agni itu kembali dengan selamat.
Kegembiraan yang meluap itulah yang telah menahan Mahisa Agni untuk beberapa hari. Kegembiraan Permaisuri ternyata melimpah kepada Akuwu Tunggul Ametung pula. Ia telah melupakan kejengkelan hatinya, bahwa bukan dirinyalah yang berhasil menolong Mahisa Agni. Tetapi ia bergembira ketika dilihatnya wajah Permasurinya telah menjadi cerah. Secerah matahari di langit. Dengan demikian, terasalah kini, betapa ia dapat hidup dengan senang, dan merasa dirinya dalam hubungan yang wajar dengan Permaisurinya.
Tetapi Mahisa Agni pada saatnya harus minta diri kepada Ken Dedes, kepada emban tua pemomong Ken Dedes dan kepada Akuwu Tunggul Ametung. Ia ingin segera kembali ke Padang Karautan, setelah beberapa hari menikmati tata kehidupan yang belum pernah dialami. Hidup di dalam istana dalam limpahan kesenangan yang belum pernah diimpikan. Tetapi bendungan di Padang Karautan ternyata memberinya kebahagiaan tersendiri.
Bahkan Mahisa Agni merasa lebih terikat kepada bendungan itu dari pada istana Tumapel yang ditaburi oleh berbagai macam kemewahan. Meskipun di Padang Karautan ia tidur di dalam gubug yang sempit, di atas setumpuk rumput-rumput kering dan beralaskan tikar yang kasar, serta dikerumuni oleh semut dan nyamuk, namun Padang Karautan adalah dunia yang paling menyenangkan baginya, diantara kesibukan kerja dan menghijaunya tanaman yang sedang bersemi.
Meskipun Ken Dedes, emban tua pemomong Ken Dedes dan Akuwu Tunggul Ametung mencoba menahannya, namun Mahisa Agni harus segera kembali. Ia tidak betah tinggal di dalam kemewahan selagi orang-orang Panwijen dan prajurit-prajurit Tumapel bekerja keras memeras keringat mereka.
Demikianlah, Mahisa Agni itu pun akhirnya meninggalkan istana Tumapel. Tetapi kepergiannya kali ini tidak terlampau banyak menumbuhkan kecemasan dan kebingungan. Mahisa Agni pergi dengan tujuan tertentu dan untuk suatu tugas tertentu pula. Tetapi Mahisa Agni ternyata tidak langsung pergi ke Padang Karautan. Mumpung ia berada dalam perjalanan. Diperlukannya singgah kerumah pamannya Empu Gandring.
Mahisa Agni mencoba untuk mengejutkan pamannya. Ia tidak masuk lewat pintu depan, tetapi ia menyusup ke regol belakang, sehingga beberapa orang cantrik yang melihatnya menjadi terheran-heran.
“Siapakah kau?” bertanya seorang cantrik.
“Aku ingin menghadap Empu Gandring.” jawab Mahisa Agni.
“Apa keperluanmu?”
“Aku ingin memesan sebilah keris yang paling berharga dan paling bertuah dari antara segala macam keris.”
“Ah.” cantrik itu mengerutkan keningnya, “apakah kau berkata bersungguh-sungguh?”
“Tentu. Katakanlah kepada Empu Gandring, bahwa aku tamu dari Kemundungan.”
Cantrik itu masih saja ragu-ragu.
“Cepatlah. Aku segera ingin bertemu dengan Empu Gandring.”
“Tetapi kenapa kau masuk lewat jalan yang tidak seharusnya kau lalui? Seharusnya kau masuk lewat pintu depan.”
“Oh.” Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “aku tidak mengerti. Tetapi itu tidak penting. Yang tenting bagiku adalah, segera bertemu dengan Empu Gandring. Aku segera ingin memesannya.”
Cantrik itu masih ragu-ragu. Dan Mahisa Agnipun menjadi semakin mendesaknya, “Cepat. Sampaikanlah kepada Empu Gandring. Empu sudah mengerti siapakah tamunya yang datang dari Kemundungan.”
Cantrik itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dalam kebimbangan ia melangkah menuju keserambi belakang untuk mencari Empu Gandring. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar suara dari balik regol halaman, justru diluar,
“Aku memang sudah tahu benar, siapakah tamuku dari Kemundungan.”
Ternyata bukan Mahisa Agni lah yang mengejutkan pamannya, tetapi justru ia sendirilah yang terkejut Ketika ia berpaling ternyata dilihatnya pamannya berdiri diregol halaman memandanginya dengan tajamnya. “Paman.” desis Mahisa Agni.
Pamannya tersenyum, katanya, “Aku berbangga bahwa aku mendapat tamu dari Kemundungan.”
Sejenak Mahisa Agni tertegun ditempatnya. Namun sejenak kemudian segera ia melangkah dan berlutut di depan pamannya. Tetapi Empu Gandring segera memegang lengannya dan menariknya berdiri. Katanya, “Marilah kita masuk Agni.”
Dibimbingnya Mahisa Agni masuk keruang dalam. Kemudian mereka duduk diatas tikar pandan yang putih.
“Aku tidak terkejut melihat kedatanganmu Agni. Agaknya kau terlampau berangan-angan akan mengejutkan aku, sehingga kau tidak melihat aku berdiri di ujung halaman. Aku melihat kau menyusup jalan sempit ini dan menuju ke regol belakang. Aku tahu, bahwa kau ingin mengejutkan aku.”
“Ya paman.” sahut Mahisa Agni sambil tersenyum.
“Aku memang sudah pasti bahwa kau akan terlepas dari tangan Kebo Sindet, Agni.”
“Dari siapakah paman tahu?”
“Apakah gurumu tidak pernah berkata bahwa aku menyusulmu ke Kemundungan dan bertemu dengan gurumu yang menunggui rawa-rawa yang berisi segala macam binatang air itu?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Gurunya memang pernah menyinggung-nyinggungnya.
“Apakah gurumu sendiri yang menangani Kebo Sindet itu?” bertanya Empu Gandring.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi bukankah Empu Gandring itu adalah pamannya? Maka akhirnya diceriterakannya apa saja yang pernah terjadi atasnya dan apa saja yang pernah dilakukannya. Gurunya dan Empu Sada bersama-sama telah mempergunakan dirinya untuk melawan Kebo Sindet dan mengalahkannya. Sehingga Kebo Sindet itu pun akhirnya terbunuh.
“Hem.” Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian menarik nafas dalam-dalam, “ternyata kau memiliki kemampuan yang luar biasa Agni. Aku menjadi iri hati terhadap kedua orang itu. Kenapa aku tidak menitipkan beberapa macam ilmu yang tidak berarti kepadamu juga?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi dengan demikian hatinya menjadi berdebar-debar.
“Apakah kau tergesa-gesa melakukan perjalanan pula Agni, atau kau mempunyai kesempatan untuk tinggal disini beberapa hari?”
“Aku harus segera sampai ke Padang Karautan, paman. Aku telah merindukan kerja itu.”
“Aku mengharap kau tinggal disini sepekan saja. Mungkin aku masih belum dapat melepaskan rinduku. Begitu?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi keningnya menjadi berkerut-merut. Ia ingin memenuhi permintaan pamannya yang pada saat-saat ia berada dalam keadaan yang sulit, telah berusaha pula untuk melindunginya, meskipun ternyata betapa tinggi ilmunya, namun ilmu itupun terbatas pula, Kemampuan manusia tidak akan dapat mencapai suatu tingkatan dimana ia tidak dapat dibatasi lagi, sehingga pamannya itupun ternyata tidak berhasil menyelamatkannya. Seperti Kebo Sindetpun akhirnya terkalahkan oleh orang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Tetapi iapun ingin segera berada di Padang Karautan pula. Diantara orang-orang Panawijen yang bekerja keras bersama-sama prajurit-prajurit Tumapel. Namun disamping itu, ia masih mempunyai tanggungan Kuda Sempana. Mudah-mudahan Kuda Sempana tidak menjadi liar dan pergi meninggalkan Padang Karautan itu. Yang dicemaskannya pula adalah Kebo Ijo. Apalagi hubungan yang mungkin sangat buruk antara Kebo Ijo dan Kuda Sempana.
Dalam keragu-raguan itu terdengar suara pamannya, “Apa kah kau masih ingin menunggui bendunganmu?”
Perlahan-lahan Mahisa Agni mengangguk. Katanya, “Ya paman. Aku ingin melihat bendungan itu diselesaikan.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu betapa keinginan itu pasti memenuhi dada Mahisa Agni. Sekian lama ia terpisah dari pekerjaan itu. Dan kini ia tinggal melihat pekerjaan itu yang sudah hampir selesai.
“Ya, aku mengerti Agni.” desis pamannya, “kau pasti ingin berada di sana. Baiklah. Aku tidak akan menahanmu. Tetapi tersimpan di dalam diriku, keinginan untuk menyerahkan beberapa segi dari ilmuku kepadamu. Namun aku tidak tahu, apakah hal ini mungkin aku lakukan.”
“Kenapa paman?” bertanya Mahisa Agni, “aku akan sangat berterima kasih. Dengan demikian aku akan dapat melengkapi ilmu yang ada padaku.”
Tiba-tiba mata Empu Gandring menjadi suram. Katanya, “Ah, ilmumu sudah cukup baik Agni.”
“Tetapi aku akan dapat mengambil manfaat dari ilmu yang akan paman berikan.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, apabila aku masih dapat melihat kau datang kemari Agni. Apabila kau kelak berkesampatan, aku akan memberikan itu kepadamu.”
“Tentu paman. Aku akan memerlukan datang kemari.”
Tiba-tiba Empu Gandring menggeleng. “Mungkin kau akan datang lagi kemari, tetapi getaran di dalam dadaku, seakan-akan menolak kemungkinan, bahwa kau akan dapat menerima ilmuku.”
“Kenapa paman...?”