PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 43
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 43
Karya Singgih Hadi Mintardja
PERTANYAAN yang mendesak itu telah menumbuhkan perasaan aneh pada orang tua yang berpenglihatan tajam itu. Ia melihat sesuatu yang tidak wajar pada diri anak muda yang bernama Ken Arok. Namun ia tidak tahu pasti, apakah yang sedang terjadi padanya. Maka dijawabnya sajalah pertanyaan itu,
“Terlampau cepat untuk berbicara tentang hal itu. Yang dihadapinya sekarang adalah seorang perempuan yang sudah bersuami. Maka itu adalah perbuatan yang salah. Memang agak berbeda soalnya apabila prajurit yang kau katakan itu berbicara tentang seseorang yang sudah tidak bersuami lagi."
Debar di dada Ken Arok serasa terhenti sejenak. Dipandanginya wajah orang tua yang duduk di hadapannya. Namun, ketika pandangan mata mereka bertemu, Ken Arok segera menundukkan kepalanya. Sorot mata orang tua itu terlampau damai, terlampau sejuk. Kedamaian dan kesejukannya itulah yang baginya merupakan pisau yang paling tajam yang membelah jantungnya. Bagi hati yang sedang menyala, dibakar oleh nafsu yang paling dalam, maka sikap Lohgawe itu merupakan hantu yang paling menakutkannya.
Tetapi, Ken Arok yang tertunduk itu ternyata berusaha untuk tidak terkalahkan. Ia ingin tetap memenangkan pendirian itu apapun alasannya. Ia tetap ingin pendeta tua itu berkata kepadanya, bahwa jalan satu-satunya, meskipun tidak terlalu bersih. Ia ingin mendengar pendeta tua Itu, setidak-tidaknya tidak menentang pendiriannya dan menganggapnya telah berbuat salah. Karena itu, ketika hatinya tidak tertahankan lagi ia berkata, “Kalau begitu tuan, aku akan menjawab kepada prajurit itu, bahwa sebaiknya ia mengambil perempuan itu setelah ia menjadi seorang janda. Bukankah tidak ada halangannya apabila demikian?"
Lohgawe mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata “Begitulah Tetapi kenapa ia harus menunggu seorang perempuan menjadi janda. Prajurit itu tidak tahu, apakah umurnya akan lebih panjang dari umur laki-laki suami perempuan itu."
“Prajurit itu dapat berusaha” tiba-tiba saja dengan serta merta Ken Arok menyahut, “laki-laki itu dibunuhnya. Dengan demikian, maka pintu sudah akan terbuka.”
Jawaban yang tidak tersangka-sangka itu ternyata telah membuat Lohgawe sangat terkejut sehingga darahnya serasa berhenti mengalir. Sejenak ia duduk membeku. Wajahnya yang tenang, tiba-tiba berubah seperti lautan yang dihantam badai. Bergejolak dahsyat sekali. Bergumpal-gumpal alun sebesar gunung anakan berturut-turut menepi, menghantam tebing, melepaskan suara yang gemuruh.
Perubahan sikap dan wajah Lohgawe itu telah mengejutkan Ken Arok pula. Tiba-tiba, ia tersadar, apa yaag telah dikatakannya. Tiba-tiba ia sadar, apa yang melonjak di dalam dadanya. Karena itu, tiba-tiba pula Ken Arok seakan-akan terlempar ke dalam dunia kesadarannya setelah ia melambung tinggi ke dalam dunia yang hitam pekat. Tanpa disengajanya, sorot mata pendeta tua itu membentur pandangan matanya. Terasa sorot mata itu langsung menghunjam ke dalam dadanya. Bukan sorot mata yang damai dan sejuk seperti semula, tetapi sorot mata itu kini memancarkan kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat.
Dengan serta merta Ken Arok memalingkan wajahnya. Terasa desir yang sangat tajam membelah jantungnya, sehingga sejenak ia terbungkam. Dadanya menjadi gemetar, dan tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat dingin yang mengalir seolah-olah terperas dari dalam kulitnya.
Sesaat ruangan itu menjadi sepi. Terlampau sepi, Yang terdengar hanyalah desah nafas mereka berdua. Namun bagi Ken Arok, sorot mata Lohgawe yang menyimpan kekhawatiran dan kecemasan itu, serasa selalu menusuk-nusuk jantungnya. Mata itu seakan-akan berbicara kepadanya, bahwa sebenarnya orang tua itu telah melihat apa yang tersembunyi di dalam dadanya. Seolah-olah orang tua itu mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah pusat jantungnya sambil berkata,
“Disinilah tersimpan sumber kejahatan yang paling pekat. Sejak kau masih berkeliaran di Padang Karautan jantung itu sudah hitam kelam. Kemudian aku mencobanya untuk memulasnya. Tetapi menyesal sekali, bahwa pada saatnya, warna yang sebenarnya akan tumbuh kembali, hitam pekat. Seperti hitamnya arang kayu keling.”
Tiba-tiba Ken Arok itu tidak dapat menahan diri lagi. Perasaan bersalah telah menghentak-hentak di dadanya. Dan tiba-tiba tanpa disangka-sangka ia bertiarap di muka pendeta tua yang bernama Lohgawe. Seperti anak-anak ia tidak dapat menahan titik air dari sepasang matanya yang hitam. “Ampun tuan. Ampunilah aku."
Lohgawe menjadi semakin heran. Namun sejenak kemudian ia tersenyum. Disentuhnya kepala anak muda itu sambil berkata lembut “Duduklah anakku.”
Kata-kata yang lembut itu semakin membuat hati Ken Arok menjadi pedih. Seperti anak-anak ia terisak. Terputus-putus ia berkata, “Tuan, kenapa aku tidak tuan bunuh saja pada saat tuan menemukan aku. Atau tuan berkata berterus terang kepada Akuwu Tunggul Ametung, bahwa akulah sebenarnya orang yang paling jahat di Tumapel, yang selama ini selalu diburu-buru sebagai hantu di Padang Karautan.
“Duduklah Ken Arok” berkata Lohgawe masih dalam nada yang terlampau lembut “apakah yang sebenarnya telah terjadi atasmu? Katakanlah.”
“Tuan, aku kira tuan telah tahu apakah yang sebenarnya terjadi atasku. Karena itu tuan, sebaiknya tuan berusaha untuk membunuh aku dari pada aku terjerumus ke dalam dosa yang paling besar. Dosa yang lebih besar dari pada dosa yang pernah aku lakukan di Padang Karautan."
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya sejak ia mendengar persoalan yang diajukan oleh Ken Arok ke padanya, ia telah merasakan, bahwa Ken Arok tidak berkata sewajarnya. Tidak berkata sejujurnya. Meskipun demikian, persoalan yang sebenarnya telah membuatnya berdebar-debar pula. Namun debar di dadanya yang tua itu sama sekali tidak berkesan di wajahnya lagi. “Duduklah Ken Arok?” katanya pula.
Perlahan-lahan Ken Arok bangkit dan duduk sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyembunyikan matanya yang basah. Sebagai seorang laki-laki, mata itu tidak pernah mengembun setitikpun. Apalagi mengalirkan beberapa butir air mata. Namun kini Ken Arok itu menangis.
“Aku ingin mendengar persoalanmu dari mulutmu Ngger. Aku tidak mau sekedar menduga-duga. Sebab, betapa jelasnya sesuatu persoalan, namun tangkapan seseorang mungkin tidak tepat seperti apa yang sebenarnya terjadi."
Ken Arok, seorang yang pernah menggemparkan Padang Karautan dengan sebutan Hantu Karautan, seorang yang pernah meloncati sebuah bengawan hanya dengan sehelai daun tal, seorang yang tidak mati oleh benturan kekuatan puncak dari seorang iblis Kemundungan yang bernama Kebo Sindet, seorang yang telah berhasil memimpin para prajurit Tumapel di Padang Karautan itu, kini sedang terisak seperti seorang gadis cengeng ditinggal kekasih.
“Tuan. Aku adalah orang yang paling jahat di dunia ini, yang tidak sepantasnya lagi untuk ikut serta menghirup segarnya udara” suara Ken Arok datar penuh penyesalan.
“Katakanlah Ken Arok” berkata Lohgawe.
Kata-katanya yang lembut, itu seakan-akan telah mencengkam Ken Arok dalam suatu pesona yang tidak mungkin dapat dihindarinya. Karena itu, maka setelah beberapa kali ia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik nafas panjang maka mulailah ia dengan kisahnya. Kisah tentang seorang prajurit seperti yang dikatakannya. Tetapi, ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa prajurit itu tidak lebih dan tidak kurang adalah dirinya sendiri.
Kepada Lohgawe yang tua itu, yang telah memungutnya dari Padang Karautan dan menyerahkannya kepada Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok tidak dapat ingkar sama sekali. Dan sebenarnyalah bahwa Ken Arok telah mengatakan sebenar-benarnya, apa yang terjadi atas dirinya.
Pendeta tua itu sama sekali sudah tidak terkejut lagi. Ia telah menduga, bahwa demikianlah yang sudah terjadi. Namun, di hatinya yang penuh kedamaian, melonjaklah keprihatinan yang pedih. Anak yang telah berhasil dipungut dari padang itu kini hampir terjerumus kembali ke dalam daerah yang hitam. Kepalanya yang telah ditumbuhi oleh rambut yang memutih itu terangguk-angguk. Kemudian perlahan-lahan ia berkata,
“Kau wajib bersyukur Ngger, bahwa semuanya itu belum terjadi. Semuanya itu baru terbayang di dalam angan-angan. Seandainya, ya seandainya kau telah melakukannya, maka aku akan bersedih karenanya. Bukan saja karena aku seorang pendeta yang tidak akan dapat membenarkan perbuatan serupa itu, tetapi terlebih-lebih dari pada itu, aku adalah orang yang membawa mu ke Istana Tumapel. Akulah yang menyerahkan kau kepada Akuwu Tunggul Ametung, sehingga, mau tidak mau aku akan ikut bartanggung jawab atas semua perbuatanmu. Bukan saja pertanggungan jawab lahiriah. Bukan karena aku takut, bahwa aku akan dihukum pula karenanya, tetapi lebih dari pada itu. Seolah-olah akulah yang telah menjerumuskan kau ke dalam suatu simpang jalan yang hanya baik di permukaannya saja. Tetapi, jalan itu menuju ke dalam lembah yang curam dan mengerikan. Juga dengan demikian aku telah memasukkan serigala yang buas ke dalam istananya yang kelak ternyata telah membunuhnya."
Denyut jantung Ken Arok serasa menjadi semakin cepat. Meskipun kemudian ia tidak terisak lagi, namun dadanya seakan-akan telah tersumbat, sehingga nafasnya pun menjadi terengah-engah.
“Sudahlah Ken Arok. Lupakan semuanya itu. Lupakan angan-angan tentang seorang perempuan yang tubuhnya bercahaya seperti matahari dan wajahnya cantik seperti bulan. Bukan hanya itu, tetapi lupakan pula, bahwa di dalam hati pernah tumbuh suatu maksud yang akan menyeretmu ke dalam malapetaka. Bertekadlah untuk tetap berbuat baik seperti yang telah kau lakukan sekarang. Sehingga kau akan dijauhkan dari kutuk dan laknat. Ken Arok, apabila kau tidak dapat melepaskan semuanya itu, maka akan berakhirlah hidup seorang pemimpin yang sampai saat ini dianggap cukup baik. Dan bersamaan dengan itu lahirlah seorang yang lebih liar dan buas dari binatang di hutan."
Ketika pendeta tua itu berhenti sejenak, dilihatnya di dalam mata Ken Arok penyesalan yang dalam, yang sudah masuk menghunjam terlampau dalam pada hitam matanya yang suram.
“Apakah kau menyesal Ken Arok?”, bertanya Lohgawe kemudian.
“Ya tuan. Aku sangat menyesal, bahwa suatu ketika, di dalam hatiku sempat tumbuh pikiran yang demikian jahatnya”
“Bagus. Panyesalan adalah permulaan dari perbaikan jalan pikiranmu yang sedang dihinggapi oleh iblis itu. Kau harus memenangkannya. Kau harus dapat mengendalikan dirimu sebagai seorang manusia yang beradab dan mempunyai rasa terima kasih.”
“Ya tuan. Aku akan berusaha. Aku akan mencari jalan terang, dan mendapatkan pikiran yang bening.”
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Bagus. Cobalah menemukan pikiran yang jernih itu. Kau akan berhasil apa bila kau berusaha.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tuan, aku akan mempergunakan waktu beristirahat ini untuk menertibkan angan-anganku. Aku akan manjelajahi beberapa tempat yang dapat memberi kesegaran bagiku."
“Kau akan pergi kemana anakku.”
Ken Arok menggeleng “Aku belum tahu tuan. Tetapi aku harus menjauhi istana untuk menenangkan hati. Aku harus terlepas seutuhnya dari segala macam sentuhan yang memungkinkan api berkobar di dalam dada yang pada dasarnya telah berwarna hitam ini."
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Mungkin kau berhasil Ngger. Mudah-mudahan di sepanjang perjalananmu, dapat kau temukan cara sebaik-baiknya untuk melupakan segala macam persoalan yang hampir saja menodai hatimu”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah Tuan. Aku akan berangkat, dari rumah ini malam nanti.”
“He, Lohgawe mengerutkan keningnya, “begitu tergesa-gesa?”
“Waktuku beristirahat terlampau singkat. Aku ingin tidak kehabisan waktu”
“Kau akan pergi kemana?”
“Mungkin aku akan kembali ke Padang Karautan. Aku akan tinggal bersama Mahisa Agni di dekat bendungan. Tetapi mungkin juga aku tidak pergi ke sana.”
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti, kenapa Ken Arok ingin pergi menjauhi istana. Yang penting baginya, bukan akan pergi kemana, tetapi yang penting adalah pergi dari Tumapel untuk sementara, untuk menemukan pepadang di hatinya. “Baiklah Ken Arok” berkata Lohgawe kemudian, “mungkin kau menemukan persoalan yang sangat menarik perhatianmu, sehingga kau dapat melupakan persoalan yang pelik ini.”
Maka benarlah, di malam harinya, Ken Arok berangkat meninggalkan Tumapel di masa istirahatnya beberapa hari. Ia berjalan saja menyusuri jalan-jalan kota, kemudian berbelok memilih sebujur jalan yang panjang, seakan-akan tidak berujung, meninggalkan kota Tumapel. Ken Arok sama sekali tidak tahu dan tidak merencanakan, kemana ia akan pergi. Dengan beberapa helai pakaian, sekedar bekal dan sebilah pedang di lambungnya, ia berjalan perlahan-lahan ke jurusan yang tidak direncanakannya lebih dahulu.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka kakinya telah berjejak di atas jalan berbatu-batu di antara tanah-tanah persawahan yang sedang menghijau. Angin yang silir menggerakkan daun-daun pagi yang gemerisik, seperti sedang bersenandungkan sebuah kidung selamat jalan. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara burung malam yang ngelangut di sela-sela suara cengkerik yang berderik-derik. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan di malam hari terasa sangat sejuknya. Di langit tidak ada matahari yang seakan-akan membakar tubuh. Tidak banyak ditemuinya orang-orang yang berjalan simpang siur dalam kesibukan masing-masing. Tidak terlampau banyak debu yang berserakan mengotori udara yang panas.
Kadang-kadang memang sering juga ditemuinya seorang dua orang yang sedang mengairi sawahnya. Mereka memandanginya dengan penuh pertanyaan. Ken Arok menyadari, bahwa bungkusan yang dijinjingnya dan senjata yang tergantung di lambungnya memang dapat menumbuhkan kecurigaan. Tetapi, mereka akan segera melupakannya apabila tidak terjadi sesuatu di daerah ini.
Terasa tubuh Ken Arok kian lama menjadi kian segar, sesegar pada saat-saat ia berada di Padang Karautan. Di Padang Karautan dalam keadaan yang berbeda. Sebagai Hantu Karautan yang menakutkan, dan sebagai seorang pemimpin prajurit Tumapel yang sedang mengemban tugas perikemanusiaan. Pada kedua kesempatan itu ia selalu menikmati segarnya udara di malam hari, di padang yang luas, di bawah lingkupan langit yang terbentang tidak terbatas.
Demikianlah, maka perjalanan Ken Arok itu semakin lama menjadi semakin jauh. Tetapi ternyata jalan yang ditempuhnya sama sekali bukan jalan yang menuju ke Padang Karautan. Jalan itu adalah jalan yang lain. Namun jalan ini pun telah dikenalnya pula dari ujung sampai ke ujung. Jalan ini adalah jalan yang menuju ke suatu tempat yang sama sekali tidak terangan-angankan olehnya untuk dikunjunginya. Ia berjalan saja seakan-akan kehilangan kesadarannya, bahwa ia akan sampai ke suatu tempat yang tidak di inginkannya.
Ternyata bahwa tubuh Ken Arok benar-benar memiliki kemampuan yang luar biasa. Semalam suntuk ia berjalan tanpa berhenti sama sekali, meskipun langkahnya terayun seenaknya. Ia menyadari dirinya ketika dilihatnya terontong- terontong merah di langit.
“Hampir fajar”, desisnya. Perlahan-lahan ia menarik nafas. Sekali, dua kali, seakan-akan ingin menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya. Udara yang segar dan sejuk.
“Aku harus beristirahat”, katanya kepada diri sendiri, “aku harus mendapat tempat untuk membersihkan diri, supaya kalau aku berjalan lagi dan bertemu dengan banyak orang, tidak segera menarik perhatian mereka.”
Ken Arok pun segera menuruni tebing sungai. Tetapi ia tidak segera membersihkan dirinya. Dicarinya sebuah batu yang besar yang terlindung oleh semak-semak yang rimbun. Perlahan-lahan diletakkannya tubuhnya berbaring di atas batu itu untuk beristirahat. Langit yang kemerah-merahan menjadi semakin lama semakin cerah. Bintang-bintang yang gemerlapan satu-satu hilang seperti ditelan oleh birunya langit yang terhampar terlampau luas. Ken Arok yang terbaring menatap warna-warna yang semakin cerah oleh sinar matahari yang mulai merayap ke atas punggung bukit.
“Aku dapat tidur di sini sejenak, gumam Ken Arok, “tempat ini baik sekali letaknya. Terlindung oleh rerungkutan yang liar. Tidak tampak dari jalan yang menyilang sungai ini, tetapi juga terlindung dari panas matahari pagi."
Dan Ken Arok yang kelelahan itu pun kemudian memejamkan matanya. Tempat itu cukup tenang. Sebuah hutan yang rindang yang terbentang di sisi yang lain, langsung berhubungan dengan pategalan yang membujur di pinggir jalan yang baru saja dilaluinya, membuat udara terlampau sejuk. Sedang suara air yang gemericik terdengar seperti senandung seorang ibu yang menidurkan anaknya. Angin pagi yang mengusap tubuh Ken Arok, membuainya semakin kantuk, sehingga sejenak kemudian ia pun lelap dalam tidur yang nyenyak.
Ken Arok tidak menyadari, berapa lama ia tertidur. Tetapi kemudian terasa sinar matahari yang semakin tinggi, telah merayapi kulitnya dari sela-sela pepohonan. Perlahan-lahan Ken Arok membuka matanya. Kemudian perlahan-lahan pula ia menggeliat dan bangkit duduk di atas batu pembaringannya. Terasa tubuhnya menjadi semakin segar dan perasaan lelahnya sama sekali sudah lenyap.
“Aku sudah siap untuk berjalan lagi” katanya di dalam hati perlahan-lahan ia turun dari atas batu untuk segera membersihkan dirinya.
Tetapi, tiba-tiba ia tertegun. Ia mendengar percikan air yang agak asing. Semakin lama semakin jelas. Karena itu, maka ia justru melangkah surut dan berlindung di balik rimbunnya dedaunan. Telinganya yang tajam segera dapat menangkap, bahwa suara itu adalah suara langkah orang berlari-lari di dalam air. Semakin lama suara semakin dekat. Namun dari kejauhan masih didengarnya suara yang lain. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang.
“Mereka saling berkejaran” desis Ken Arok. Dengan demikian maka terdorong oleh keinginannya untuk mengetahui apa yang telah terjadi, Ken Arok segera merayap maju di balik rumput alang-alang. Dari sela-sela daunnya yang rimbun, ia melihat seseorang berlari-lari menyusur sungai. Agak jauh di belakangnya, beberapa orang yang lain mengejarnya sambil mengacu-acukan senjata mereka.
“Jangan sampai ia lolos kali ini.” berkata salah se orang dari mereka yang mengejarnya.
“Tangkap, hidup atau mati” sahut yang lain.
Yang dikejar sama sekali tidak menyahut. Ia masih saja berlari kencang-kencang. Ternyata di tangannya juga tergenggam sepucuk senjata. Sebuah parang.
“Pengecut” teriak seseorang yang mengejar itu “kau mau lari kemana?”
Tiba-tiba orang yang dikejarnya itu meloncat ke tepian yang agak luas, di atas rerumputan dan di antara pohon perdu. Kini ia tidak lari lagi, tetapi ditunggunya orang-orang yang mengejarnya. Mereka telah menjadi terlampau dekat. Agaknya ia sadar bahwa tidak ada gunanya lagi untuk mencoba melarikan diri.
“Nah, apakah kau menyerah? Aku kalungkan batu di lehermu kemudian aku rendam kau di dalam air.
“Lakukanlah kalau kalian sudah berhasil membelah dadaku.” sahut orang yang dikejar, “aku tidak akan menyerahkan hakku itu kepada siapapun.”
“Omong kosong” sahut yang lain “itu sama sekali bukan hakmu, karena kau melakukan kecurangan.”
“Persetan.” Beberapa orang yang mengejarnya segera berloncatan pula dari tepian yang berlumpur. Ternyata ada empat orang. Mereka segera mengepung orang yang mereka kejar.
“Serahkan” geram salah seorang yang mengejarnya
“Kepada siapa aku harus menyerahkan?” sahut orang yang dikejarnya “Sebentar lagi kalian berempat akan mati. Mayat kalian akan mengotori sungai yang bening itu.”
“Jangan membual. Kau akan mencoba mencari kesempatan untuk melarikan diri.”
“Sekarang tidak. Ternyata kalian tinggal empat orang. Mana yang lain? Mungkin aku telah berhasil membunuh tiga atau empat di antara kalian. Nah, bukankah tiga atau empat orang yang lain menjadi ketakutan dan tidak melanjutkan pengejaran? Sekarang kalian tinggal berempat. Apakah daya kalian untuk melawan aku?”
Ke empat orang yang mengejarnya saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang berkata “Dengan empat orang kami akan lebih leluasa bergerak. Kami akan mendapat kesempatan lebih baik untuk membelah dadamu. Selagi kami masih terlampau banyak, kami tidak dapat berbuat dengan sepenuh kemampuan kami. Sekarang, jangan kau mengharap dapat lepas dari tangan kami.”
Tiba-tiba orang yang dikejar itu tertawa berkepanjangan. Suara tertawanya mengandung tenaga yang mampu mengecilkan hati lawan. Di antara derai tertawanya ia berkata, “Tikus-tikus yang malang. Kau sangka kalian cukup mampu untuk melawan aku?”
“Jangan mencoba menakut-nakuti. Serahkan saja hasil kecuranganmu itu.”
Suara tertawanya menjadi semakin keras. Namun tiba-tiba suara tertawa itu berhenti. Meledaklah kata-katanya yang kasar, “Setan alas. Pergi kalian berempat he? Jangan ikuti aku lagi. Aku sudah muak. Atau kalian akan mati bersama-sama di sini.”
Ke empat orang yang mengejarnya tidak menyahut. Tetapi mereka segera menyiapkan dirinya. Selangkah mereka maju, melingkari orang yang mereka kejar.
Ken Arok yang masih bersembunyi mencoba melihat orang-orang itu lebih seksama lagi. Orang yang berdiri di tengah-tengah kepungan itu adalah seorang yang bertubuh tinggi, kokoh dan berdada lebar. Di wajahnya tumbuh kumis, janggut dan jambang yang lebat. Sedang rambutnya yang panjang terurai kusut. Ikat kepalanya hanya begitu saja dilingkarkan di atas kepalanya dan diikat di ujung belakang.
Sejenak kemudian orang itu menggeram. Parangnya yang agak panjang telah bergetar. Ken Arok menjadi tegang. Ia melihat sikap orang itu dengan dada yang berdebar-debar. Sikap itu cukup meyakinkan bahwa orang yang bertubuh tinggi tegap itu memang memiliki kemampuan yang cukup untuk membanggakan diri. Sedang ke empat orang yang memutarinya pun agaknya memiliki bekal pula untuk bertempur.
“Menyerahlah”
Ken Arok masih mendengar seseorang berkata. Tetapi yang kemudian didengarnya sama sekali bukan jawaban atas bentakan itu. Yang terdengar orang yang berkumis dan berjambang lebat itu berteriak nyaring. Sehingga sejenak kemudian mereka telah terlibat di dalam perkelahian yang sengit. Ken Arok terpaku melihat perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru itu. Ke empat orang yang berkelahi bersama-sama di satu pihak, agaknya cukup kuat untuk melawan orang yang berkumis yang ternyata memang mempunyai beberapa kelebihan dari lawan-lawannya. Namun dengan menggabungkan ke empat kekuatan, maka perkelahian itu menjadi seolah-olah seimbang.
Ketika perkelahian itu menjadi semakin seru, maka perhatian Ken Arok pun menjadi semakin besar terhadap orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Perlahan-lahan ia merangkak semakin dekat, supaya ia dapat menyaksikan perkelahian itu semakin jelas. Dari tempatnya ia masih terhalang oleh dedaunan, sehingga kadang-kadang ia kehilangan kesempatan untuk menyaksikan ayunan senjata-senjata di antara perkelahian yang sedang berlangsung itu.
Semakin dekat, Ken Arok dapat melihat semakin jelas wajah-wajah yang tegang dan keras di dalam lingkaran perkelahian. Dilihatnya sorot mata yang menyala oleh kemarahan dan dendam. Tiba-tiba dada Ken Arok itu berdesir ketika ia dapat melihat semakin jelas lagi salah seorang dari mereka yang berkelahi itu. Sejenak Ken Arok terpaku di tempatnya. Tiba-tiba saja terasa nafasnya memburu. Setitik peluh dingin telah membasahi keningnya. Namun ia masih tetap tidak beranjak di tempatnya. Ia masih saja melihat orang-orang itu berkelahi. Seorang melawan empat orang.
“Hem, apa pula yang mereka persoalkan?" pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya. Kalau saja ia tidak ingin tahu, persoalan apa yang sedang terjadi di antara mereka, maka Ken Arok pasti akan segera mengambil keputusan. Baginya akan lebih baik menghindar, dari pada menemui orang yang sudah dikenalnya itu. Tetapi agaknya ia telah terikat oleh pertanyaan yang menyentuh hatinya itu. Apa yang mereka persoalkan?
Tanpa sesadarnya Ken Arok justru merangkak semakin dekat. Hatinya yang berdebar-debar menjadi semakin berdebar-debar. Sedang perkelahian itu pun kian lama kian bertambah seru. Agaknya mereka telah benar-benar tenggelam dalam nafsu yang menyala-nyala, sehingga mereka telah benar-benar bertempur dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Dalam beberapa saat Ken Arok masih melihat perkelahian itu seimbang. Yang seorang ternyata benar-benar memiliki ilmu yang cukup mantap untuk melawan ke empat lawannya, meskipun kelimanya mempunyai ciri yang serupa. Kasar dan keras.
“Mereka bukan orang baik-baik," desis Ken Arok di dalam hatinya. Dengan demikian, maka Ken Arok dapat mengambil kesimpulan meskipun belum pasti, bahwa persoalan yang di pertengkarkan itu pun pasti persoalan di antara orang yang berhati hitam.
Sesaat kemudian, Ken Arok merasa bahwa ia sama sekali tidak berkepentingan dengan mereka. Katanya di dalam hati “Apapun yang terjadi, aku tidak akan turut campur. Aku tidak mau terlibat ke dalamnya. Terlebih-lebih lagi aku tidak mau bertemu lagi dengan orang itu. Namun ketika Ken Arok hampir beringsut meninggalkan mereka ia mendengar suara tertawa membelah gemericiknya air, dibarengi oleh sebuah keluhan yang tertahan. Sejenak kemudian suara tertawa itu pun meninggi seperti membelah isi dada.
Ken Arok yang sudah bertekad untuk pergi itu pun tertegun. Ketika ia melihat salah seorang dari ke empat orang yang bertempur bersama-sama, terhuyung-huyung terdorong ke belakang. Dari dadanya memancar darah yang merah segar.
“Ha, kau lihat," berkata orang yang bertubuh tinggi berkumis yang harus bertempur melawan ke empat lawannya, “satu lagi di antara kalian terluka. Sebentar lagi ia akan mati. Disusul oleh seorang lagi, seorang lagi dan yang terakhir akan mengalami nasib yang paling pahit."
“Jangan sombong,” potong salah seorang lawannya, “adalah kebetulan sekali kau dapat melukainya. Tetapi sebentar lagi kaulah yang akan mampus di sini."
Suara tertawanya meledak lagi, sedang senjatanya masih saja berputar dengan dahsyatnya. “Lebih baik kalian pergi," terdengar suaranya mengguntur.
“Berikan dahulu barang itu.”
“Persetan” laki-laki yang berkelahi seorang diri itu menggeram. Suara tertawanya tiba-tiba terputus “sudah aku katakan. Kalian tidak dapat memilikinya. Itu adalah hakku.”
“Kau curang.”
“Siapakah yang tidak curang di antara kita.”
“Memang, kita adalah orang-orang yang curang. Tetapi tidak terhadap kawan sendiri.”
“Kalau bukan aku yang curang, maka kalianlah yang akan curang. Tetapi apa boleh buat. Kita memang hidup dalam lingkungan ini. Sekarang siapa yang kuat yang akan memilikinya."
“Itu adalah tata cara hidup di dalam hutan, di antara binatang-binatang buas yang tidak mengenal adat."
Sekali lagi suara tertawa orang itu meledak. Jawabnya, “Kau kira kita ini baik dari binatang hutan? Tidak. Itu hanya sebuah mimpi yang mengasikkan. Kita bersama-sama telah menyamun sekumpulan pedagang. Akulah yang bekerja paling berat. Kemudian kita sudah membagi semua hasilnya dengan baik. Kalau kemudian hasil itu kita perjudikan, dan memiliki hampir semua hasil rampasan itu, bukankah itu sudah sewajarnya."
“Tetapi ternyata kau curang. Kau memalsukan permainan itu.”
“Itupun memerlukan kecakapan tersendiri. Nah, sekarang kalian tinggal bertiga. Lihat kawanmu yang terluka itu sudah hampir mati. Sekarang baiklah bersetuju, siapa yang menang di dalam perkelahian ini, adalah mereka yang memiliki permata itu. Permata sekarang ada di dalam kantung ikat pinggangku. Ambillah siapa saja yang mampu.”
“Setan alas.”
“Kita tidak usah terlampau banyak bicara.”
Mareka pun kemudian terdiam. Tetapi perkelahian itu pun menjadi kian seru. Kini tinggal tiga orang sajalah yang berkelahi. Yang seorang agaknya menjadi parah dan terbaring sambil mengerang kesakitan.
Keringat dingin di dahi Ken Arok menjadi kian banyak mengembun. Sejenak ia teringat, saat ia berada di Padang Karautan. Pada saat ia mencegat orang-orang yang lewat. Kemudian melihat wajah-wajah yang pucat ketakutan sebelum pisaunya menghunjam ke dadanya.
“Huh” tiba-tiba Ken Arok memejamkan matanya. “Suatu kenangan yang paling pahit” keluhnya di dalam hati. “Memang lebih baik aku pergi.”
Namun ketika sekali lagi Ken Arok mundur setapak, sekali lagi ia mendengar jerit kesakitan. Satu lagi di antara ketiga orang yang berkelahi bersama-sama itu terlempar dan jatuh terguling di atas tanah berlumpur. Disusul oleh suara tertawa yang mengguruh berkepanjangan. Semakin lama semakin keras penuh kebanggaan atas kemenangan-kemenangan yang diperolehnya.
Kini yang berkelahi melawan orang yang bertubuh tinggi kekar, berkumis dan berjambang lebat itu tinggal dua orang lagi. Yang dua telah terkapar di atas tanah berlumuran darah dan lumpur. Keduanya sama sekali sudah tidak berdaya lagi untuk bangun apalagi berkelahi melawan orang yang cukup tangguh itu.
Sekali lagi Ken Arok dilanda oleh kebimbangan. Sebenarnya ia sama sekali tidak ingin mencampuri persoalan orang-orang yang berhati hitam itu. Ia tidak ingin terlibat dalam persoalan mereka. Menilik percakapan mereka, orang-orang itu adalah orang-orang jahat yang memperebutkan milik di lingkaran perjudian.
Tetapi, kini Ken Arok merasakan getar yang lain di dalam dadanya. Sekali lagi salah seorang dari mereka yang berkelahi melawan orang yang berkumis itu menyentuh perasaannya. Ia tidak sampai hati meninggalkannya dalam keadaan yang sulit itu. Kini Ken Arok yakin, bahwa kedua orang yang masih berkelahi itu pun pasti akan mengalami nasib seperti yang lain. Mereka pun pasti akan terluka dan bahkan mungkin akan terbunuh. Terasa dada Ken Arok bergejolak. Orang itu ternyata telah membuatnya bingung. Orang yang sama sekali tidak diharapkannya untuk sekali lagi bertemu.
“Persetan” desisnya kemudian “aku tidak peduli apa yang terjadi atasnya.”
Ken Arok mencoba menggeretakkan giginya. Ia mencoba untuk melepaskan diri dari ikatan yang paling halus, yang telah menahannya untuk tidak beranjak pergi. Sambil menggeretakkan giginya ia menggelengkan kepalanya. Ia mencoba mengusir segala macam perasaannya, segala macam kenangannya atas masa lampaunya. Tetapi ia tidak berhasil. Bagaimanapun juga hidupnya pernah tersangkut pada nama itu. Nama dari salah seorang yang sedang berkelahi berebut milik di lingkaran perjudian. Pada masa kecilnya ia pernah berada di rumahnya. Dipelihara dan dianggapnya sebagai anak sendiri. Karena itu, maka kebimbangan yang sangat telah mencengkam hati Ken Arok yang kini duduk kebingungan di balik daun alang-alang.
“Hem” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam “apakah aku sampai hati membiarkannya? Sebentar lagi ia akan menjadi korban pula. Ia akan mati di atas tanah berlumpur. Mungkin mayatnya akan dilemparkan ke kali itu, hanyut dan akan tersangkut di dekat jalan yang menyilang sungai ini agak ke bawah. Orang-orang yang lewat akan melihat mayat-mayat itu sambil mencibirkan bibirnya. Itulah mayat-mayat penjudi yang saling berebut kecurangan.
Tiba-tiba Ken Arok menggeleng lemah. Katanya “Aku tidak dapat membiarkannya mati, seperti pada saat ia memungut aku, meskipun tidak membuat aku menjadi orang yang baik. Biarlah aku mencoba melepaskannya dari lawannya, kalau mungkin aku dapat melawan kemampuannya. Kemudian aku tidak ingin bertemu dengannya. Kata-katanya masih saja seperti dahulu. Seorang penjudi yang dapat mempengaruhi kesadaranku.” Ken Arok ragu-ragu sejenak, lalu, “aku hanya akan menyelamatkannya. Kemudian aku harus lari menjauhinya.”
Dalam kebimbangan itu, Ken Arok ternyata menjadi agak lengah. Ia bersembunyi terlampau dekat dengan perkelahian itu. Dengan demikian maka gerak daun alang-alang, dan kemudian desah nafasnya, agaknya dapat dilihat dan didengar oleh orang yang bertubuh tinggi kekar dan berkumis lebat. Dengan penuh kecurigaan ia melihat gerak yang tidak wajar pada gerumbul dan daun ilalang. Maka tiba-tiba sebelum Ken Arok sempat mengambil keputusan, apa yang akan dilakukan, orang yang bertubuh tinggi itu berteriak nyaring.
“He, siapakah yang bersembunyi itu?”
Ken Arok terkejut mendengar suara itu. Namun segera ia mengatur perasaannya. Kini ia sudah tidak akan dapat menghindar lagi. Ia pasti akan terlibat. Meskipun demikian ia sekali lagi bertekad “Aku hanya akan berusaha membantunya terlepas dari tangan lawannya. Kemudian aku harus pergi sebelum ia menusukkan racun di dalam dadaku.”
“Siapa yang akan berbuat curang itu he? Ayo, jangan bersembunyi. Tidak akan ada gunanya. Sebentar lagi kedua kawanmu ini akan mati. Segera akan datang giliranmu untuk mati pula. Atau barangkali kau memang menunggu dan ingin melihat, cara yang paling mengasikkan untuk membunuh kedua kawan-kawanmu itu."
Ken Arok tidak menjawab. Ia masih tetap berada di tempatnya. Dan ia mendengar salah seorang dari kedua orang yang berkelahi bersama-sama itu berkata, “he, apakah kau sedang mengigau? Mungkin kau sudah mulai sekarat, sehingga kau sudah membayangkan sesuatu yang tidak ada.”
Orang yang tinggi itu menggeram. Matanya menjadi semakin liar. Dan ia berkata “Persetan. Kalian akhirnya akan mati juga di tanah berlumpur ini. Sekarang aku tidak akan memberi kesempatan lagi kepada kalian untuk lari. Kalian harus mati seperti kedua kawanmu itu dan kawan-kawanmu yang lain."
Kedua lawannya tidak menjawab. Tetapi mereka kini semakin terdesak. Memang sudah tidak ada harapan lagi untuk dapat melepaskan diri. Sekali-sekali mereka mencoba mencari kemungkinan untuk lepas dari lawannya. Tetapi parang orang yang tinggi itu melihat mereka seperti angin pusaran, sehingga seakan-akan tidak ada lubang seujung lidi pun yang dapat diketemukan untuk melepaskan diri.
Namun teriakan orang yang tinggi itu, tentang seseorang yang sedang mengintai menumbuhkan harapan pula di dada mereka. Siapapun orang itu. Kenal atau tidak kenal. Mereka hanya mengharapkan perubahan dari keadaan itu. Apakah perubahan itu menguntungkannya, atau justru mempercepat kematian mereka, sama sekali belum mereka persoalkan.
“He” orang yang berkumis itu berteriak pula, “cepat keluar. Marilah, berkelahilah bersama-sama supaya pekerjaanku lekas selesai. Cepat. Ayo, cepat” orang itu semakin berteriak-teriak sambil terus mendesak kedua lawannya dengan serangan-serangan yang sangat berbahaya, sehingga keduanya sama sekali sudah tidak mempunyai kesempatan apapun lagi.
Dada Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar karenanya. Ketika dilihatnya kedua orang yang berkelahi bersama itu sudah semakin terdesak, maka ia tidak dapat membiarkannya lagi. Maka kemudian ia merangkak semakin dekat lagi sambil menjawab “Baiklah. Aku akan segera datang.”
“Bagus” teriak orang berkumis lebat itu “kemarilah.”
Ternyata jawaban Ken Arok itu telah mengejutkan lawan orang berkumis itu. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berpaling. Ujung parang lawannya menyambar-nyambar seperti lalat di sekitar tubuh mereka. Semakin dekat Ken Arok dengan arena itu hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Bukan karena lawannya yang memang memiliki kemampuan yang garang, tetapi justru karena orang yang akan dibelanya. Yang akan diusahakan untuk diselamatkan.
“Aku harus lari dari padanya” katanya di dalam hati.
“Cepat. Jangan menunggu kedua kawanmu ini menjadi bangkai di tanah berlumpur ini.” teriak orang berkumis itu.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. “Hem, akhirnya aku pasti terlibat. Kalau orang itu mempunyai lingkungan, maka peristiwa ini tidak akan terhenti sampai di sini. Mungkin aku dapat berlindung di dalam pasukanku di Tumapel, sehingga orang itu, atau lingkungannya, atau perguruannya, tidak berani mencari aku. Tetapi bagaimana dengan mereka yang berada di rumah masing-masing?” Namun kemudian dijawabnya sendiri, “Itu adalah persoalan kemudian bagi mereka. Sekarang yang penting, mereka diselamatkan dari maut kalau mungkin.”
Dan sekali lagi Ken Arok mendengar “He, kenapa kau masih bersembunyi?”
“Tidak” sahut Ken Arok, “aku sudah tidak bersembunyi lagi.
Maka perlahan-lahan Ken Arok pun berdiri, sehingga bagian atas badannya segera dapat dilihat oleh orang berkumis itu. Dan ternyata bahwa orang itu terkejut. Keningnya berkerut. Dengan nada berat ia menggeram, “He, orang mana lagi kau? Aku belum pernah melihat tampangmu?”
Ken Arok tidak menyahut. Tetapi ia melangkah maju. Beberapa langkah kemudian ia sudah berada di luar rerumputan, sehingga kini seluruh bagian tubuhny dapat dilihat jelas oleh orang berkumis lebat itu. Sikap Ken Arok ternyata membuat orang itu berdebar-debar. Sejenak orang berkumis itu meloncat mundur, melepaskan kedua lawannya, untuk dapat memandangi orang yang baru ini dengan seksama.
Pada saat itulah kedua lawannya mendapat kesempatan pula untuk berpaling. Mereka pun ingin melihat, siapakah yang telah datang di arena perkelahian itu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka terpekik “He, kau anakku. Oh, kau telah datang untuk menolong ayahmu he?”
Orang itu pun kemudian berlari tertatih-tatih. Dengan penuh gairah digenggamnya lengan Ken Arok dan diguncang-guncangnya, sambil berkata “Kau memang anak yang baik. Kau adalah orang yang paling baik di dunia. Ternyata bahwa aku pun telah kau jalari dengan keberuntungan yang melimpah. Pada saat yang genting ini kau telah datang. Ternyata kau mempunyai pandangan yang sangat tajam tentang keadaan di sekitarmu. Maksudku, di sekitar orang-orang yang penting bagimu. Kalau tidak, maka kau tidak akan sampai ke tempat ini."
Ken Arok tidak segera dapat menjawab Hatinya bergetar semakin cepat. Dilihatnya orang itu tertawa pendek dan berkata seterusnya “Nasib. Inilah nasib. Nasibku memang baik, seperti kau. Nasibmu memang terlampau baik. Terlampau baik. Kau tidak pernah gagal, apapun yang kau inginkan karena memang nasibmu teramat baik."
“Sudahlah” potong Ken Arok kemudian, “sekarang, kenapa kalian berkelahi?”
Orang yang berkumis itu masih berdiri dengan mulut ternganga. Ia sedang dicengkam oleh keheranan, bahwa orang itu, sesama penjudi, mempunyai seorang anak yang begitu tampan dan berwibawa.
“Ha” tiba-tiba orang yang mengguncang lengan Ken Arok itu berkata, “orang ini telah berbuat curang. Terlampau curang. Dan ia telah membunuh beberapa orang kawanku.”
“Juga penjudi?” sahut Ken Arok.
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab terdengar orang berkumis itu berkata, “Ayolah Samparan. Suruh anakmu itu berkelahi bersamamu. Kau akan mati bersamanya di sini.”
“Bagus, bagus" jawab orang itu, “ayolah Ken Arok. Kau dengar bahwa kau ditantangnya juga.”
Ken Arok mengangguk. Perlahan-lahan ia melangkah maju, dan Bango Samparan kini berdiri di sampingnya. Tetapi Ken Arok tidak segera bersikap. Ia masih mencoba berbicara, “Kenapa kalian berkelahi di antara kalian?”
“Itu bukan urusanmu”, jawab orang berkumis itu. Sedang kawan Bango Samparan masih saja berdiri keheran-heranan.
“Apakah persoalan kalian sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan baik sebagaimana penyelesaian yang layak di antara sesama kawan?”
“Orang itu curang”, teriak Bango Samparan, “bukankah ia telah mengakui sendiri? Lalu kepada kawannya, Samparan berkata, “Ia telah menipu kita, sehingga barang itu kini ada padanya. Barang yang seharusnya menjadi milik kita bersama. Bukankah begitu?”
“Barang itu sudah kita perjudikan. Bukankah semula sudah kita bagi sesuai dengan keinginan kita bersama? Kalau kemudian aku memenangkannya, itu adalah nasibku yang terlampau baik.”
“Tetapi ternyata kau curang. Kau curang.”
“Persetan”, orang berkumis itu menggeram, “penyelesaian yang terbaik ternyata berada di ujung senjata. Ayo, anakmu juga membawa pedang di lambung. Tetapi sebelumnya aku perlu memperingatkan, bahwa beberapa orang yang mencoba menghalangi aku telah menjadi mayat. Kalau kau anak muda, ingin juga mati dalam umurmu yang masih semuda itu, marilah ikutlah ayahmu berkelahi.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata orang berkumis itu. Agaknya memang tidak ada jalan lain kecuali bertempur. Karena itu maka segera ia pun bersiap. Sekali ia berpaling kepada Bango Samparan dan seorang kawannya yang masih terheran-heran.
“Ayo Ken Arok. Berkelahi sajalah. Bunuh saja orang itu. Kau tidak mempunyai jalan lain.” berkata Bango Samparan.
“Aku tidak mempunyai persoalan dengan orang ini” jawab Ken Arok, “sehingga aku hanya akan berkelahi sekedar menghindarkan pembunuhan yang akan menjadi berlarut-larut”
“Persetan” teriak orang berkumis itu, “apapun yang kau katakan, namun aku tidak akan terpengaruh. Siapa yang ikut di dalam perkelahian mempunyai dua kemungkinan. Membunuh atau dibunuh."
“Ya” sahut Ken Arok, “aku menyadari. Tetapi aku melihat kemungkinan lain.”
“Tidak ada kemungkinan lain.”
“Ada. Aku dapat lari sebelum membunuh atau dibunuh.”
“Anak setan. Apakah kau seorang pengecut?”
“Entahlah. Tetapi aku mengharap bahwa aku hanya akan sekedar menghindarkan pertumpahan darah.”
“Bunuh saja dia Ngger. Bunuh saja.”
Ken Arok tidak menjawab, tetapi ia maju selangkah.
“Bunuhlah Ken Arok, kau dengar? Bunuh saja orang itu. Kau tidak kehilangan apapun. Ia adalah orang yang paling kotor di dunia.”
Ken Arok masih berdiam diri. Setapak ia maju lagi. Dan Bango Samparan mengikutinya sambil berbicara terus
“Kau dengar Ken Arok, Bunuh dia. Bunuh dan cincang saja. Aku akan melemparkannya ke sungai itu.”
Ken Arok belum menjawab.
“Kau dengar bukan? Kau dengar?”
“Tidak” tiba-tiba Ken Arok membentak, “aku tidak akan membunuh. Kalau aku mulai berkelahi, kau berdua harus lari. Lari sejauh-jauhnya. Setelah kalian lari dan tidak mungkin terkejar lagi, maka akulah yang kemudian akan lari pula.”
“Oh” Bango Samparan terkejut. “Jangan. Jangan begitu. Kau harus membunuhnya. Kalau tidak ia akan tetap menghantui sepanjang hidupku.”
“Persetan” orang berkumis itu menggeram, “aku tetap dalam pendirianku. Kalau kau sudah mulai menarik pedangmu, maka yang ada tinggallah dua kemungkinan. Membunuh atau dibunuh.”
“Benar. Benar Ken Arok. Benar katanya. Dan kau harus memilih kemungkinan yang pertama. Membunuh.”
“Sudah aku katakan” sahut Ken Arok “kalau aku mulai bertempur kalian haus lari sejauh-jauhnya."
“Sekarang aku dapat lari. Tetapi bagaimana besok atau lusa atau hari berikutnya lagi?”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi pertanyaan masuk diakalnya. Namun sekali lagi ia berkata kepada dirinya sendiri di dalam hatinya, “Aku tidak mempunyai persoalan dengan orang ini.”
Tetapi tiba-tiba orang berkumis itu berteriak, “Benar kata ayahnya pengecut itu. Kalau kau tidak membunuhku, aku akan memberikan kesempatan itu. Kalian bertigalah yang akan mati di sini. Bukan suatu pekerjaan yang menyenangkan untuk berkelahi melawan aku.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia sudah besiap menghadapi setiap kemungkinan. Ia memang harus berkelahi. Tetapi tidak atas dasar dendam dan kebencian. Ia hanya akan mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi. Bango Samparan masih berdiri di sampingnya. Sekali-kali ia berpaling kepada kawannya yang berdiri tegak seperti patung batu.
“Bersiaplah” teriak Bango Samparan kemudian, “kita cincang bersama orang ini.”
Yang terdengar adalah suara tertawa orang berkumis itu. Katanya “Kalian berempat dan bahkan kalian segerombolan tidak mampu menangkap aku, apalagi kalian bertiga dengan bayi ini.”
“Huh” Bango Samparan menggeram, “tetapi baru kali ini anakku tampil. Kau pasti akan menyesal telah melawan kami dan terutama anakku.”
“Heh. anakmu bukan jin bukan setan. Aku tidak akan takut. Selagi ia masih belum mampu menangkap angin, maka ia akan mati di ujung pedangku.”
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Perdebatan yang tidak berujung pangkal itu telah memuakkannya. Sehingga kemudian dengan tangkasnya ia menarik pedangnya sambil berkata, “Ayo, kita mulai.”
Orang berkumis itu mundur setapak, lalu dimiringkannya tubuhnya sambil merendahkan lututnya. Dengan nada datar ia berkata, “Cobalah sekali lagi memandang cerahnya langit dan hijaunya dedaunan. Nyawamu tidak akan sampai seujung pagi ini.”
Ken Arok tidak manjawab. Tetapi ia pun segera bersikap. Didorongnya Bango Samparan perlahan-lahan ke samping sambil berkata “Menyingkirlah. Biarlah aku yang melayaninya sendiri. Aku hanya akan berkelahi sebentar sampai kau mencapai tempat persembunyian yang baik.”
Bango Samparan tergeser beberapa langkah. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi Ken Arok mendahului, “Jangan terlampau banyak berbicara. Aku akan segera mulai.”
Maka Bango Samparan pun terdiam. Dengan pandang mata penuh keheranan ia menatap wajah Ken Arok. Tetapi Ken Arok sudah tidak berpaling lagi kepadanya. Selangkah anak muda itu maju semakin dekat sambil menyilangkan pedang di dadanya.
“He, kau seorang prajurit? Atau setidak-tidaknya kau orang istana Tumapel he?” tiba-tiba orang berkumis itu berteriak.
Ken Arok tidak segera menjawab. Tetapi ia sadar setelah ia melihat tatapan mata orang berkumis itu. Agaknya ia dapat mengenal senjatanya. Pedang itu adalah pedang istana Tumapel. Tetapi itu bukan sesuatu yang aneh. Memang setiap orang, apalagi prajurit Tumapel, kadang-kadang memiliki kekhususannya. Juga Tumapel membuat bentuk pedang yang agak berbeda dengan bentuk-bentuk yang lain. Yang paling tajam menunjukkan ciri pedang Tumapel adalah ujungnya dan tangkainya yang agak panjang.
“Kau mengenal pedangku?” Ken Arok bergumam perlahan-lahan.
“Ya, aku mengenal pedang Tumapel. Mungkin kau orang dari istana Tumapel, tetapi mungkin juga karena kau pernah membunuh orang Tumapel, kemudian pedang itu kau rampas dari padanya.”
“Aku adalah seorang Pelayan Dalam istana Tumapel.”
“Oh, jadi kau bukan seorang prajurit?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya “Tidak banyak perbedaan antara keduanya.”
“Jangan kau kira aku tidak mengenal tata cara istana Tumapel. Pelayan Dalam adalah orang-orang yang sekedar melayani keperluan istana dan Akuwu. Itu pun berbeda dengan Pasukan Pengawal, meskipun Pelayan Dalam mempunyai kedudukan serupa dengan prajurit.”
“Tepat” jawab Ken Arok.
“Kalau begitu kau adalah orang yang malang” sekali lagi orang berkumis itu tertawa, “kau agaknya belum mengenal aku.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ditatapnya wajah orang itu tajam-tajam.
“Aku adalah bekas seorang prajurit” berkata orang itu pula, “bukan sekedar prajurit seorang Akuwu seperti Tunggul Ametung di Tumapel. Tetapi aku prajurit seorang Maha Raja di Kediri. Hah, kau dapat menilai sekarang. Dirimu dan diriku.”
Ken Arok masih berdiam diri. Ia sadar, bahwa orang itu ingin membuat hatinya menjadi kecil. Tetapi kata-kata itu sama sekali tidak berpengaruh bagi Ken Arok, kecuali merupakan peringatan baginya, agar ia menjadi lebih berhati-hati.
“Tetapi itu memang tidak terlampau penting” berkata orang itu pula, “yang penting kau ketahui adalah, bahwa aku telah pernah membunuh prajurit Tumapel rambah lima atau enam kali. Dan kau adalah prajurit berikutnya yang akan mati karena tajam parangku.”
Tetapi orang itu heran. Kata-katanya itu agaknya sama sekali tidak berkesan di wajah Ken Arok. Bahkan seperti acuh tak acuh anak muda itu bertanya, “Kenapa kau tidak lagi menjadi seorang prajurit? Mungkin karena kebiasaanmu merampok dan berjudi. Mungkin kebiasaan buruk yang lain.”
“Tepat” jawab orang itu “aku dipecat karena aku merampok dan berjudi. Karena aku sering mabuk tuak dan membunuh. Sekarang datang suatu kesempatan bagiku untuk sekali lagi membunuh orang Tumapel.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah Bango Samparan menjadi cemas. Juga wajah kawannya yang berdiri tidak begitu jauh dari padanya. Tetapi Ken Arok masih tetap acuh tak acuh saja. Sekali lagi ia berkata kepada Bango Samparan “Menyingkirlah. Jangan cemas bahwa orang ini akan sekali lagi berhasil membunuh prajurit Tumapel. Sebab aku pun akan lari seperti kalian. Aku adalah pelari yang terbaik di antara Pelayan Dalam istana Tumapel.”
“Persetan. Pengecut. Prajurit-prajurit Tumapel yang pernah aku bunuh tidak pengecut seperti kau, Mereka berkelahi sampai kemungkinan yang terakhir.”
“Itulah bedanya antara mereka dan aku, Dan itu adalah suatu kesalahan yang membuat mereka terbunuh.”
Jawaban itu benar-benar menyakitkan hati. Karena itu, maka terdengar orang itu menggeram, “Kau pun harus mati. Kau pun harus mati.” Perlahan-lahan orang itu maju mendekat.
Ken Arok yang sudah bersikap itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Namun ketika ia melihat Bango Samparan bersiap pula, maka diulangnya peringatanya, “Pergilah. Pergilah. Jangan ikut campur lagi dengan perkelahian ini.”
“Tetapi orang itu berbahaya bagi prajurit Tumapel.” jawab Bango Samparan.
“Mungkin bagi mereka yang keras kepala dan tidak dapat berlari cepat. Tetapi tidak sama sekali bagiku.”
Kejengkelan yang memuncak telah mendorong orang berkumis itu meloncat maju sambil berteriak nyaring, “Mampuslah kau pengecut. Kau tidak akan sempat lari.”
Serangan itu datang terlampau cepat. Ujung parangnya terayun deras sekali menyambar kening Ken Arok. Begitu cepatnya sehingga Bango Samparan dan kawannya hanya berdiri saja memandangi dengan penuh kecemasan di dalam hati.
Tetapi, yang diserang kali ini adalah Ken Arok. Seorang prajurit yang memiliki banyak kelebihan dari para prajurit yang lain. Seorang prajurit yang memiliki bekal yang aneh di dalam dirinya sejak ia masuk ke dalam lingkungan keprajuritan. Bagi Ken Arok serangan itu bukanlah serangan yang dapat membuatnya bingung. Meskipun demikian, kali ini ia menghindarinya dengan sebuah loncatan panjang.
“Kau sudah akan lari he?" teriak lawannya.
Ken Arok mengerutkan keningnya, jawabnya, “Nanti, sesudah kedua orang ini menjadi cukup jauh.” Lalu kepada Bango Samparan ia berkata, “cepat, lari.”
Tetapi Bango Samparan beranjak dari tempatnya. Ia masih berdiri tegak dengan senjatanya.
“Marilah” berkata orang berkumis itu, “ berkelahilah bersama-sama.”
Bango Samparan tidak menjawab. Tetapi sekali lagi dadanya berdesir melihat orang berkumis itu mulai menyerang. Serangannya bertambah cepat dan garang. Parangnya bergetar dan mematuk-matuk dengan garangnya, seperti burung elang menyambar-nyambar di udara. Tetapi bagi seekor harimau, elang tidak terlampau berbahaya. Itulah sebabnya, maka meskipun Ken Arok berloncatan menghindar, namun di wajahnya tidak terlukis seberkas kesan apapun dari perkelahian itu.
Sikap Ken Arok itu benar-benar telah mengherankan bagi lawannya. Anak muda itu sama sekali tidak terkejut, apa lagi bingung, melihat serangannya yang datang semakin lama semakin cepat. Dengan tenangnya anak muda itu berloncatan seperti seekor kijang. Semakin cepat lawannya menyerang, maka semakin cepat pula ia menghindarinya.
Bango Samparan dan kawannya masih berdiri termangu-mangu. Mereka melihat orang berkumis itu menyerang semakin lama semakin dahsyat, sedang Ken Arok selama itu hanya menghindar saja kian kemari. Karena itu, maka Bango Samparan pun tidak segera sampai hati meninggalkannya. Bahkan kemudian selangkah ia mendekat sambil manggeram “Marilah, kita bunuh saja ia bersama-sama.”
“Bagus, kemarilah” teriak orang berkumis dan berjambang lebat itu.
Namun Ken Arok segera memotong “Cepat, pergilah. Pergilah.”
Bango Samparan menjadi semakin ragu-ragu. Ditatapnya wajah kawannya yang masih juga berdiri di tempatnya. Namun sejenak kemudian kawannya itu berkata “Marilah kita pergi.”
“Apakah kita biarkan anakku itu bertempur sendiri?”
“Anakmu sendiri menghendaki demikian."
“Tetapi apakah kita yakin bahwa ia dapat memenangkan perkelahian itu?”
Kawan Bango Samparan itu terdiam sejenak. Dipandanginya perkelahian yang semakin lama menjadi semakin cepat, meskipun seolah-olah Ken Arok hanya dapat menghindari serangan-serangan lawannya saja. “Tetapi anakmu menyuruh kita berlari. Marilah kita berlari. Aku mengharap anakmu benar? seorang pelari yang baik, yang pada saatnya akan membebaskan dirinya dari tangan setan gila itu.”
Bango Samparan masih juga ragu, tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk menjawab, karena kawannya dengan tiba-tiba saja telah meloncat berlari kencang-kencang seperti dikejar hantu.
“Gila” Bango Samparan menggeram. Ia akan mengumpat tidak habis-habisnya apabila ia mendengar kawannya itu bergumam, “Persetan dengan anakmu Bango Samparan. Kalau anak yang sombong itu ingin mampus, biarlah ia mampus. Aku harus menyelamatkan diri selagi ada kesempatan. Salahnya sendiri kalau anak itu nanti mati dicincang oleh iblis laknat itu.”
Dan sekali kawan Bango Samparan itu berpaling Ia masih melihat Ken Arok berkelahi. Karena itu maka langkahnya dipercepatnya, semakin lama semakin cepat menerobos gerumbul-gerumbul yang semakin padat di hutan rindang yang tidak terlampau lebat. Tetapi Bango Samparan masih berdiri di tempatnya. Ia ingin melihat perkembangan dari perkelahian itu. Dan karena itu, maka sekali lagi ia mendengar Ken Arok berteriak, “Kawanmu sudah pergi. Kenapa kau masih saja berdiri di tempat itu?”
Bango Samparan tidak menjawab.
“He, aku sendiri sudah akan meninggalkan perkelahian ini. Kalau kau tidak juga berlari, maka akulah yang akan berlari lebih dahulu.” berteriak Ken Arok pula.
Bango Samparan menjadi berdebar-debar. Ia masih saja dicengkam oleh keragu-raguan.
Dalam pada itu ia mendengar orang berkumis tebal itu menjawab, “Persetan. Kalian tidak akan dapat lari lagi dari tanganku.”
“Kenapa tidak?” sahut Ken Arok, lalu kepada Bango Samparan ia menekankan, “Cepatlah. Jangan selalu ragu-ragu begitu. Sudah aku katakan, sebentar lagi aku akan lari dari arena ini.”
Bango Samparan tidak dapat berbuat lain. Dengan penuh kebimbangan ia melangkah surut. Kemudian memutar tubuhnya dan berlari meninggalkan arena perkelahian itu.
“Licik. Benar-benar licik. Kau mengajari ayahmu menjadi seorang pengecut besar. Sebelum kau datang, ia masih memiliki kejantanan.” orang berkumis itu pun berteriak. Sekali ia mencoba melepaskan Ken Arok untuk mengejar Bango Samparan, tetapi dalam keadaan demikian tiba-tiba serangan Ken Arok melibatnya tanpa dapat menghindar lagi. Ia harus melawan serangan itu dan mengurungkan niatnya untuk mengejar Bango Samparan.
“Jangan memaki-maki” berkata Ken Arok kemudian. “Sekarang kita sudah tidak terganggu lagi oleh siapapun. Kita dapat berbuat apa saja sesuai dengan kehendak kita bersama.”
“Aku akan membunuhmu. Mencincang dan menghanyutkan bangkaimu di sungai ini bersama-sama kedua bangkai yang lain itu.”
“Kau memang terlampau kejam. Tetapi bagaimana kalau aku mempunyai usul” berkata Ken Arok kemudian sambil berloncatan menghindar seperti seekor tupai yang meloncat dari ranting ke ranting
“Persetan.” orang berkumis lebat itu menggeram.
“Marilah kita membuat persetujuan. Perkelahian ini kita hentikan.”
“Setan alas” orang itu tiba-tiba berteriak keras sekali.
“Bukankah kau sudah tidak dikejar-kejar lagi oleh orang-orang yang merasa kau tipu dengan kecurangan itu? Nah, kau sudah terbebas dari mereka. Apa lagi yang kau kehendaki? Mereka pasti tidak akan mengusikmu lagi karena mereka melihat kemampuanmu. Tetapi kau pun jangan mengusik mereka, supaya mereka tidak berkeinginan untuk menagih kecuranganmu. Betapapun lemahnya, namun suatu ketika mereka dapat mengumpulkan kawan-kawannya dalam jumlah yang tidak terlawan olehmu.
“Omong kosong. Kau pengecut yang bermulut besar. Kau harus mati. Kau harus mati."
Serangan orang berkumis dan berjambang lebat itu menjadi semakin dahsyat. Parangnya berputaran seperti baling-baling yang mengitari tubuh Ken Arok. Tetapi Ken Arok sama sekali tidak mendapat kesulitan untuk menghindar. Bahkan semakin lama mereka bertempur, anak muda itu menjadi semakin mapan. Ia segera dapat mengetahui tingkat kemampuan lawannya. Meskipun demikian ia selalu harus berhati-hati, karena bekas prajurit itu memiliki juga beberapa kelebihan yang sebenarnya memang dapat dibanggakan.
Namun Ken Arok yang memiliki keanehan-keanehan sejak lahir, adalah seorang prajurit yang jauh lebih baik dari orang berkumis itu. Dengan demikian, maka parang orang berkumis itu tidak segera dapat berbuat banyak. Meskipun Ken Arok masih belum bertempur bersungguh-sungguh, tetapi keringat orang berkumis itu seakan-akan telah terperas habis. Bukan saja karena kegelisahan yang menyengat dadanya melihat sikap dan ketangkasan bergerak Ken Arok, tetapi setelah ia melawan orang-orang yang mengeroyoknya sambil berlari-larian, maka tenaganya pun telah jauh susut. Baru saja, ia harus berkelahi melawan lebih dari sepuluh orang. Untuk menyelamatkan dirinya ia harus berlari, berhenti, kemudian berlari lagi sambil mengurangi lawannya satu demi satu.
Kini tiba-tiba ia dihadapkan kepada seorang lawan yang jauh berbeda dari lawan-lawannya yang telah dibinasakan. Meskipun hanya seorang diri, tetapi ternyata kelincahan dan ketangkasannya telah membuat hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi ia sama sekali tidak ingin melepaskan anak muda yang bernama Ken Arok anak Bango Samparan ini. Menurut tanggapannya maka seorang prajurit Tumapel pasti tidak akan dapat melampaui kemampuan prajurit Kediri. Namun bekas prajurit Kediri itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia tidak segera dapat menguasai lawannya.
“Bagaimana” tiba-tiba terdengar Ken Arok bertanya, “apakah kita akhiri saja perkelahian ini?”
“Persetan” orang itu menggeram, “kau harus mati. Kau harus mati.”
“Bagaimana kalau aku lari?” gumam Ken Arok.
“Tidak mungkin. Kau tidak akan dapat terlepas dari tanganku lagi. Kau harus mati.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia ingin meyakinkan bekas prajurit itu, bahwa ia mempunyai kemampuan dan kesempatan yang cukup seandainya ia ingin melarikan diri. Karena itu, maka Ken Arok pun kemudian tidak hanya sekedar menghindari serangan-serangan lawannya yang menjadi semakin menggila. Karena betapapun juga akhirnya ia pasti akan terdorong pada keadaan yang berbahaya. Karena itu, maka ia pun harus segera berbuat sesuatu.
Namun Ken Arok tidak ingin membuat persoalan itu menjadi sumber persoalan berikutnya. Itulah sebabnya, maka ia tidak ingin sama sekali untuk membunuh lawannya. Ia hanya ingin membuktikan, bahwa orang berkumis itu tidak akan dapat berbuat terlampau banyak atasnya. Dengan demikian, maka Ken Arok pun segera merubah tata geraknya. Ia tidak lagi sekedar meloncat-loncat seperti tupai yang dikejar-kejar oleh seekor ular sawah. Tetapi tiba-tiba pedangnya mulai menggelepar di udara.
Perubahan sikap Ken Arok telah mengejutkan orang berkumis itu. Tiba-tiba saja, tanpa disangka-sangka ujung pedang Ken Arok telah menyentuh ujung kainnya. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat mundur. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar dan jantungnya semakin cepat berdetak. Dan orang berkumis itu tidak sempat untuk merenung berlama-lama. Ujung pedang Ken Arok segera mengejarnya, menyambar-nyambar dari segala penjuru. Sekali-kali menebas lambung, dan tiba-tiba saja ujungnya mematuk kening.
“Setan alas” orang itu mengumpat sambil berloncatan menghindar. Seolah-olah kini telah sampai pada gilirannya untuk menghentikan serangannya yang garang, dan berganti berloncatan menghindari serangan-serangan ujung pedang lawan.
Untuk yang terakhir kalinya, maka dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya. Sambil menggeretakkan giginya ia memutar parangnya. Orang berkumis itu tidak mau menjadi sasaran semata-mata. Ia harus memegang peranan terpenting dalam perkelahian itu. Dengan sekuat tenaga ia men coba menguasai lawannya. Namun yang terjadi sama sekali bukan yang dikehendakinya. Setiap kali terasa parangnya membentur pedang Ken Arok. Dan setiap kali tangannya menjadi nyeri, dan bahkan? seolah-olah kulitnya telah terkoyak.
“Apakah aku berhadapan dengan demit?” desahnya di dalam hati.
Tetapi bagaimanapun juga ia tidak mau menunjukkan kekalahannya. Dikurasnya segenap tenaga yang ada padanya untuk mengimbangi gerak Ken Arok yang semakin lama menjadi semakin cepat. Ujung pedangnya seperti berputaran saja di sekitar telinganya. Orang berkumis itu semakin lama menjadi semakin bingung. Tenaganya pun semakin lama menjadi semakin susut, sehingga kemudian dalam kecemasannya ia berkelahi membabi buta. Parangnya diayun-ayunkannya tanpa arah, sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata yang paling kotor.
Ken Arok membiarkannya berbuat demikian. Ia mengharap, bahwa akhirnya orang itu akan menjadi lelah. Apabila ia sudah sampai pada puncak kemampuan dan tenaganya, maka ia akan jatuh dengan sendirinya. Tetapi orang itulah yang kini agaknya mencoba untuk melarikan diri. Setiap kali ia melangkah surut. Kadang-kadang diedarkannya pandangan matanya untuk menemukan arah, ke mana ia harus lari.
Namun agaknya Ken Arok tidak segera mau melepaskannya sebelum ia telah benar-benar menjadi kelelahan. Dengan cepatnya Ken Arok memancing orang itu memeras tenaganya. Kadang-kadang disentuhnya kulitnya dengan ujung pedang. Meskipun sama sekali tidak berbahaya, tetapi sengatan-sengatan yang demikian membuat bekas prajurit Kediri itu seolah-olah menjadi gila. Sehingga tenaganya pun semakin diperasnya untuk mencoba mengatasi kesulitan-kesulitan itu.
Tetapi sengatan-sengatan itu justru semakin lama menjadi semakin sering. Bahkan kadang-kadang ujung pedang Ken Arok menyentuhnya terlampau keras, sehingga pada sentuhan itu menitikkan darahnya yang merah. Titik-ttik darah itu ternyata telah membuat orang berkumis lebat itu kehilangan akal. Ia tidak dapat lagi membuat pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan-perhitungan yang wajar lagi. Sedang kesempatan untuk lari sama sekali telah tertutup baginya, karena pedang Ken Arok seolah-olah telah mengitarinya. Seujung lidi pun tidak diketemukannya lubang untuk mencoba meninggalkan gelanggang.
Namun dengan demikian, tenaganya telah terperas habis. Semakin lama orang itu menjadi semakin lelah dan lenyap. Berkali-kali ia terdorong oleh ayunan parangnya sendiri, terhuyung-huyung dan bahkan sekali dua kali ia telah terjatuh di atas lututnya. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan mencoba melawan anak muda itu lagi
“Anak iblis” orang itu mengumpat di antara desah nafasnya yang tersengal-sengal.
Ken Arok tidak menyahut. Tetapi ia bergerak semakin cepat dan membingungkan. Akhirnya lawannya menjadi semakin lemah. Berkali-kali ia kehilangan keseimbangan. Dengan sengaja Ken Arok membiarkannya tertatih-tatih. Kadang-kadang disentuhnya lawannya yang telah hampir kehilangan segenap tenaganya itu sehingga terjatuh di tanah berlumpur. Tetapi Ken Arok memang tidak ingin membunuhnya. Ia tidak mempunyai persoalan dengan orang itu, dan ia tidak ingin membuat persoalan itu semakin berlarut-larut. Dendam di antara kelompok-kelompok penjudi dan penjahat dapat menumbuhkan korban yang tiada terkira.
Sejenak kemudian semakin ternyatalah bahwa orang berkumis lebat itu sama sekali sudah tidak bekerja. Dengan sisa tenaganya ia mencoba mengayunkan parangnya, untuk menyentuh lambung Ken Arok. Tetapi dengan gerak yang sederhana, Ken Arok menarik dirinya, dan membiarkan ujung parang itu lewat beberapa cengkang dari tubuhnya. Ayunan parang itu agaknya telah menyeret orang berkumis itu sendiri sehingga tubuhnya terhuyung-huyung hampir melanggar Ken Arok yang menggenggam pedangnya di tangan. Tetapi Ken Arok tidak menghunjamkan pedangnya itu di dada lawannya. Dengan tangan kirinya ia mendorong tubuh yang terhuyung-huyung itu. Akibatnya adalah, tubuh itu terbanting jatuh di atas tanah berlumpur. Berguling dan terdengar sebuah keluhan pendek meluncur dari mulut orang itu.
“Apakah kau masih akan mencoba berdiri?” bertanya Ken Arok.
Ternyata tenaga orang itu benar-benar telah terkuras habis. Meskipun demikian ia masih berusaha dengan sisa-sisa tenaganya. Namun yang dapat dilakukannya adalah sekedar duduk bersandar kedua tangannya.
Ken Arok berdiri dibadapannya sambil mengacukan ujung pedangnya. Katanya “Dimana sebaiknya aku menghunjamkan pedang ini?”
“Jangan. Jangan” minta orang itu “aku sudah jera.”
“Hem” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, “jadi kau setuju bahwa perkelahian ini dihentikan saja sampai disini?”
Orang itu bingung sejenak. Ditatapnya wajah Ken Arok yang sama sekali tidak menyimpan kesan yang menakutkan. Perlahan-lahan ia bertanya penuh kebimbangan, “Apa maksudmu?”
“Maksudku jelas”, jawab Ken Arok, “bukankah sejak semula sudah aku usulkan, bahwa sebaiknya kita hentikan saja perkelahian ini? Atau aku melarikan diri setelah kedua orang bakal korbanmu itu lari jauh-jauh.”
“Tidak. Tidak,” teriaknya, “aku tidak akan melepaskan mereka lari.”
Tetapi kata-katanya terpotong ketika ujung pedang Ken Arok hampir menyentuh mulutnya. “Jadi bagaimana?”, bertanya Ken Arok, “kau dapat memilih sekarang. Kita hentikan atau kita teruskan.”
“Oh,” wajah orang itu tampak menjadi semakin bingung Terbata-bata sekali lagi ia bertanya, “Maksudmu?”
“Sudah aku katakan.”
Namun orang itu masih saja kebingungan. Sekali-kali di pandanginya ujung pedang Ken Arok, dan sekali-sekali wajah anak muda itu. Ketika ujung pedang itu tiba-tiba menyentuh dadanya, maka dengan serta-merta ia berteriak “Jangan. Jangan.”
“Kau terima syaratku?” bertanya Ken Arok
“Apakah syarat itu?”
“Kau harus melepaskan segala macam permusuhan dengan orang-orang yang melawan tadi. Kau harus menghindar dan tidak mendendam.”
Sejenak orang itu tidak menjawab. Tetapi ketika sekali lagi ujung pedang Ken Arok menekan dadanya, dengan tergesa-gesa ia menyahut, “Ya, ya. Aku terima syarat itu.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Pedangnya semakin lama menjadi semakin menjauh. Namun tiba-tiba sekali lagi pedang itu menekan dada orang berkumis itu “Kau bersungguh-suagguh?”
“Ya, ya. Aku bersungguh-sungguh."
”Kalau kau mencoba menipuku, maka kau akan aku gantung di alun-alun Tumapel. Bahkan mungkin aku akan minta kepada Akuwu Tunggul Ametung untuk mengirimmu ke Kediri. Mungkin kau menjadi seorang buruan pula di Kediri."
“Tidak. Aku tidak akan menipumu. Aku berkata sebenarnya."
Sekali lagi Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika ia hampir melangkah surut, tiba-tiba didengarnya suara tertawa di balik gerumbul-gerumbul di pinggir sungai.
“O, ternyata kau tidak lebih dari seekor cucurut,” berkata suara dari balik gerumbul itu.
Ken Arok menjadi berdebar-debar. Suara di sela-sela gelak tertawa yang riuh itu tidak dapat segera dikenalnya. Tetapi orang yang bersuara itu masih belum menampakkan dirinya. “Siapa kau?”, bertanya Ken Arok.
Suara tertawa itu menjadi berkepanjangan dan berketentuan. Meninggi, kadang-kadang menurun.
“Siapa he?” Tetapi Ken Arok masih belum mendengar jawaban. Yang didengarnya adalah suara tertawa yang semakin lama semakin keras dalam nada yang berubah-ubah. Agaknya suaranya sengaja dikisruhkan untuk tidak segera dapat dikenal. Namun sejenak kemudian Ken Arok melihat sesuatu yang bergerak-gerak di balik dedaunan. Ketika dedaunan itu tersibak, dada Ken Arok berdesir karenanya.
“Apakah kau terkejut melihat kehadiranku yang tiba-tiba?”
“Jadi kau masih tetap berada di situ?” Ken Arok pun bertanya.
“Ya. Aku tidak sampai hati meninggalkan kau. Kalau kau perlukan, aku akan dapat membantumu. Tetapi ternyata lawanmu itu tidak lebih hanya seekor cucurut yang besar mulut.”
“Persetan” orang berkumis itu menyahut. Tiba-tiba saja ia telah berdiri sambil menggeram.
“Orang yang bersembunyi di balik dedaunan, yang tidak lain adalah Bango Samparan Itu terkejut. Dengan serta-merta ia pun segera meloncat ke belakang Ken Arok sambil mengguncang anak muda itu, “He, lihat. Ia masih mampu bangkit.”
Ken Arok tertawa di dalam hati melihat sikap Bango Samparan itu. Tetapi ditahannya untuk tidak berkesan di wajahnya. “Persoalan sudah selesai” berkata Ken Arok, “aku sudah memberi kesempatan kepadamu untuk meninggalkan tempat ini. Waktu yang aku berikan sudah cukup. Sekarang aku akan pergi."
“O” Bango Samparan menjadi pucat “lalu, kau akan pergi kemana?”
“Itu adalah urusanku.”
“Lalu bagaimana dengan orang ini.” bertanya Bango Samparan sambil menunjuk kepada orang berkumis itu.
“Ia sudah berjanji untuk tidak mengganggumu lagi.”
“Tetapi, lihat. Sorot matanya masih memancarkan dendam di dalam dirinya.”
Memang Ken Arok pun masih melihat sinar dendam itu. Karena itu ia menjadi kecewa. Namun ia ingin melihat, apakah sebenarnya yang tersimpan di dalam diri orang berkumis itu. Katanya kepada Bango Samparan, ”Campur tanganku hanya sampai sekian. Aku akan pergi. Aku sudah berusaha untukmu dan mencoba mengekang dendam bekas prajurit Kediri itu.”
“Ken Arok. Jangan, jangan pergi, atau aku ikut serta.”
“Jangan ikut aku.”
“Tetapi orang itu.”
“Sudah aku katakan, soalku sudah selesai.”
Bango Samparan menjadi pucat. Terbata-bata ia berkata, “Ken Arok. Aku tidak meninggalkan tempat ini karena aku tidak sampai hati melihat kau bertempur seorang diri. Seandainya kau memerlukan bantuan, maka aku akan membantumu. Tetapi kemudian kau akan melepaskan aku di mulut harimau gila itu.”
“Terserahlah”
“Jangan. Atau aku akan ikut bersamamu?"
“Aku ingin pergi sendiri. Tak seorang pun yang aku ijinkan mengikuti perjalanan rahasiaku kali ini.”
“Tetapi, tetapi…”
Suara Bango Samparan terputus oleh suara tertawa yang tiba-tiba meledak. Ternyata orang yang berkumis tebal itu kini telah berdiri tegak dengan dada tengadah. Pedangnya digenggamnya erat-erat sambil bertolak pinggang. Katanya, “Bango Samparan. Kenapa kau tidak mempergunakan kesempatan yang telah diberikan oleh Ken Arok? Kau agaknya terlampau sombong dan menganggapku sekedar seekor cucurut yang tidak berarti. Kini kau harus menyesali kesombonganmu itu. He, Bango Samparan, apakah benar Ken Arok itu anakmu he?”
Tubuh Bango Samparan menjadi gemetar. Dengan cemas ia bertanya Ken Arok. "Benarkah kau akan meninggalkan aku dan mengumpankannya kepada orang itu seperti mayat yang telah membeku itu?"
Ken Arok mengerutkan keningnya. Namun ia masih menjawab “Sudah aku katakan. Aku tidak mau terlibat terlampau jauh ke dalam persoalan ini.”
“Kau memang sangat bijaksana,” berkata orang berkumis itu, “sebaiknya biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sendiri. Kami bukan anak kecil lagi.”
Terasa sentuhan perasaan di dada Ken Arok menjadi semakin panas. Ternyata orang berkumis itu adalah seorang yang benar-benar tidak dapat mengendapkan dendam di dalam dirinya. Dendam itu memang akan melonjak setiap saat. Sedang Bango Samparan yang menjadi ketakutan bersembunyi di belakang Ken Arok sambil berpegangan ikat pinggangnya, ”Ken Arok. Benarkah kau akan melakukannya?”
Tiba-tiba saja Ken Arok menjawab “Sebenarnya aku akan melakukannya, karena aku menganggap bahwa sudah tidak ada persoalan lagi di antara kalian. Tetapi agaknya bekas prajurit gila itu masih saja tidak menyadari dirinya.”
Bango Samparan melonjak mendengar jawaban itu. Seperti kanak-kanak ia menarik pedangnya sambil menari dan berteriak “Mampus kau. Mampus kau. Ayo berlutut di bawah kakiku.”
Kini wajah orang berkumis itulah yang menjadi pucat. Tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar dan terbata-bata ia berkata, “Jadi, apakah maksudmu sebenarnya?”
“Kau terlampau tamak.” desis Ken Arok, lalu kepada Bango Samparan ia berkata, ”aku memberimu waktu sekali lagi. Pergilah kau. Biarlah aku menunggu di sini.”
Sepercik kekecewaan membayang di wajah Bango Samparan. Dengan nada datar ia bertanya, “Aku akan pergi bersamamu.”
“Tidak. Aku tidak mau membawa seorang pun dalam perjalananku sekarang. Karena itu pergilah.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Terjadilah suatu pergumulan di dalam dadanya. Dalam waktu yang singkat itu ia mencari kemungkinan yang paling baik buat dirinya. Tidak saja saat itu, tetapi untuk waktu-waktu seterusnya. Tiba-tiba ia berkata, “Baiklah Ken Arok. Tetapi, aku minta bukti perdamaian di antara aku dan bekas prajurit yang rakus itu. Aku ingin ia berlutut dan minta maaf di hadapanku supaya hatiku menjadi tenteram.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Permintaan itu terlampau kekanak-kanakan baginya. Meskipun demikian, supaya persoalannya lekas selesai, dan ia dapat lekas meninggalkan tempat itu, maka tanpa berpikir panjang Ken Arok menjawab, “Baiklah. Aku akan minta ia melakukannya.”
“Tidak mungkin” teriak orang berkumis itu, ”itu tidak mungkin. Aku mau berlutut di bawah kakimu Ken Arok, sebab kaulah yang telah mengalahkan aku. Tetapi tidak ke pada Bango Samparan.”
“Ah” desah Ken Arok. Kemudian, “Apakah keberatanmu? Semakin cepat, semakin baik. Semuanya segera selesai, dan kalian dapat pergi kemana yang kalian sukai masing-masing dengan janji perdamaian di dalam hati.”
“Tetapi itu suatu penghinaan bagiku. Aku tidak mau.”
Ken Arok berdiam sejenak. Permintaan Bango Samparan memang berlebih-lebihan. Tetapi, apabila dengan demikian persoalan mereka menjadi selesai, maka Ken Arok pun tidak akan berkeberatan untuk memaksanya. Karena itu, supaya tidak berlarut-larut ia berkata, “Cepatlah. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Aku harus segera pergi.”
Orang berkumis itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika tampak olehnya wajah Ken Arok yang tegang, maka terputus-putus ia menjawab, ”Baik, baiklah. Tetapi aku akan berlutut kepadamu.”
“Aku tidak mamerlukannya. Kau berlutut di bawah kakinya serta minta maaf atas semua kesalahanmu. Sesudah itu semua persoalan sudah dianggap selesai. Siapa yang memulainya kelak akan berhadapan dengan aku. Sebagai Ken Arok dan lebih-lebih lagi sebagai seorang prajurit yang harus memelihara ketenteraman.”
Agaknya bekas prajurit itu tidak dapat mengelak lagi. Dengan penuh keragu-raguan ia melangkah mendekati Bango Samparan yang berdiri sambil menengadahkan dadanya. Katanya, “Ayo cepat. Berlutut di sini. Mohon maaf kepadaku.”
Orang berkumis itu justru berhenti. Dipandanginya wajah Bango Samparan dengan pandangan yang penuh dendam dan kebencian. Ketika Bango Samparan melihat sorot mata itu, tiba-tiba bulu-bulu di tengkuknya berdiri. Tetapi dipaksanya untuk berdiri tegak sambil menengadahkan dadanya dan berkata “Ayo cepat.”
Tetapi orang berkumis itu masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga Ken Arok yang sudah jemu menunggui persoalan itu segera membentaknya “Cepat, Lakukanlah. Kemudian kau masih mempunyai tugas yang lain. Kau harus mengubur mayat-mayat dari mereka yang telah kau bunuh Kalau kau tidak segera melakukannya, maka kerjaanmu akan bertambah lagi.”
Wajah orang itu menegang. Tanpa disadarinya ia berpaling memandangi dua sosok mayat yang terbujur di tanah berlumpur itu. Ternyata karena luka-lukanya maka kedua orang itu pun telah tidak bernafas lagi. Kini orang itu sudah tidak akan dapat mengelak lagi. Perlahan-lahan ia melangkah maju.
“Letakkan parang itu” desis Bango Samparan, Orang itu tertegun. Tanpa disadarinya ia berpaling memandangi wajah Ken Arok. Ketika kemudian Ken Arok menganggukkan kepalanya, maka betapapun beratnya, maka diletakkannya parangnya di atas tanah.
Ken Arok memang sudah menduga, bahwa akhirnya orang itu pun akan bersedia melakukannya. Ia tidak bertahan di atas harga dirinya sampai kemungkinan yang penghabisan. Mati. Tetapi orang semacam itu pasti akan melakukan apa saja, asal ia mendapat kesempatan untuk tetap hidup. Namun yang masih meragukan Ken Arok adalah waktu-waktu yang akan datang. Apakah orang itu benar dapat melupakan dendamnya kepada Bango Samparan yang justru telah menambah luka di hati orang berkumis itu?
Setelah meletakkan parangnya, maka orang itu pun melangkah semakin dekat. Kemudian dengan ragu-ragu ia berlutut di muka Bango Samparan. Tetapi ia masih belum mengucapkan sepatah katapun.
“Ayo minta maaf kepadaku” berkata Bango Samparan. Tetapi orang itu masih tetap membungkam. “Cepat.”
Orang itu masih berdiam diri, sehingga akhirnya Ken Arok berkata “Lakukanlah. Pertunjukan gila-gilaan ini akan segera berakhir. Kalian akan segera pergi. Tetapi mayat-mayat itu harus dikuburkan lebih dahulu.”
Sekali lagi orang berkumis itu terdesak ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya lagi. Ia harus berlutut sambil minta maaf kepada Bango Samparan. Adalah terlampau sakit perasaannya, bahwa ia harus melakukan hal itu justru kepada Bango Samparan. Tetapi, baginya saat ini tidak mempunyai pilihan lain. Betapa ia dicengkam oleh keragu-raguan, kebencian, dendam dan muak, namun ia harus melakukannya.
“Cepat, kenapa kau masih berdiam diri?” berteriak Bango Samparan.
Tetapi, suara Bango Samparan itu sendiri sebenarnya telah memuakkan Ken Arok pula. Hampir saja ia membentak orang yang sedang gila kemenangan itu. Kemenangan yang didapatkannya bukan karena tangannya sendiri.
Bekas prajurit itu menjadi semakin berdebar-debar. Pedih-pedih di tubuhnya karena ujung senjata Ken Arok Sama sekali sudah tidak dirasakannya. Kini yang terasa olehnya adalah kepedihan hatinya. Sekali-sekali ia mencoba memandang Ken Arok dengan sudut matanya. Seolah-olah ia sedang menunggu anak muda itu lengah. Tetapi Ken Arok tidak pernah lengah. Ia berdiri dengan garangnya sambil menggenggam pedangnya yang telanjang.
Akhirnya tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukannya. Perlahan-lahan dengan suara parau ia berkata, “Baiklah Bango Samparan. Kalau itu yang kau kehendaki. Aku minta maaf atas segala kesalahanku.”
Bango Samparan tertawa. Suara tertawanya benar-benar mengerikan, seperti suara iblis dari lubang maut. Namun bersamaan dengan itu, tangannya yang menggenggam pedang menjadi gemetar pula. Maka sejenak kemudian terjadilah sesuatu yang sama sekali tidak tersangka-sangka. Ken Arok yang berdiri beberapa langkah dari Bango Samparan, sama sekali tidak mampu untuk mencegahnya. Apalagi sama sekali tidak terlintas di kepalanya, bahwa hal itu dapat terjadi.
Pada saat orang berkumis itu lagi berlutut di muka Bango Samparan, dan pada saat Bango Samparan lagi melepaskan suara tertawanya yang mengerikan itu, dengan tiba-tiba saja sambil tertawa tangan Bango Samparan bergerak terlampau cepat. Pedangnya terangkat tinggi-tinggi, kemudian dengan hentakan yang kuat pedang itu terhunjam di punggung bekas prajurit yang masih sedang berlutut itu.
Terdengar sebuah teriakan yang menggeletar. Kemudian tubuh itu terguling di atas tanah. Peristiwa itu benar-benar mengejutkan. Sejenak Ken Arok terpukau oleh peristiwa itu. Namun sejenak kemudian, secepat tatit di udara ia meloncat ke arah Bango Samparan. Tanpa sesadarnya tangan kirinya telah memukul wajah Bango Samparan, sehingga orang itu terbanting jatuh. Suara tertawa iblisnya terputus dan yang sekali lagi terdengar adalah sebuah teriakan yang nyaring. Tetapi Bango Samparan tidak terluka parah seperti orang berkumis itu, yang sama sekali tidak lagi dapat diharap untuk dapat bertahan dari renggutan maut.
“Kau gila.” teriak Ken Arok dengan wajah yang tegang, “kenapa kau bunuh dia? Aku sudah berusaha untuk menghindarkan semua akibat yang paling buruk. Orang itu pasti tidak hanya berdiri sendiri. Dan kau pasti akan diburu oleh kawan-kawannya untuk seterusnya."
Bango Samparan yang masih terbaring di atas tanah berlumpur itu mengusap pipinya yang membengkak. Terasa betapa nyerinya. Dari mulutnya menitik darah yang merah segar. Ternyata dua buah giginya telah patah dan tertelan sama sekali. “Aduh” ia mengeluh, “kau terlampau kejam Ken Arok. Kepalaku serasa akan terlepas dari leherku."
“Tetapi kau benar-benar tidak mempunyai perasaan” bentak Ken Arok. ”Kenapa kau bunuh orang yang sudah menyerah itu.”
Perlahan-lahan Bango Samparan berusaha untuk bangkit. Tangannya masih saja memegangi pipinya yang kemerah-merahan. Terdengar keluhan pendek-pendek meluncur dari mulutnya. “Aku tidak melihat keberatan apapun untuk membunuhnya. Ia telah membunuh beberapa orang kawanku. Apakah salahnya kalau aku membalasnya?”
“Kalau kau sendiri yang melakukannya, yang mengalahkannya, aku tidak peduli. Tetapi aku sudah menundukkannya tanpa maksud untuk membunuhnya.” sahut Ken Arok.
“Tetapi apakah bedanya?"
“Dengan demikian aku telah ikut serta dalam pembunuhan ini. Pembunuhan tanpa persoalan apapun yang menyangkut diriku. Apalagi orang itu sudah menyerah dan bahkan bersedia berlutut di bawah kakimu?"
Dengan terhuyung-huyung Bango Samparan berdiri di atas ke dua kakinya. Sekali-kali dipandanginya orang berkumis yang kini telah tertelungkup di atas tanah dengan sebilah pedang masih menghunjam di punggungnya. Tetapi orang itu sudah mati. “Ken Arok” berkata Bango Samparan terputus-putus, “kau belum tahu alasanku kenapa aku membunuhnya.”
“Tentu dendam, kebencian di antara para penjudi dan penjahat.”
“Jangan berkata begitu. Kau juga berasal dari dunia itu.”
Sebuah desir yang teramat tajam tergores di dinding hati Ken Arok. Kata-kata itu benar-benar telah mengungkit luka di hatinya itu, sehingga sejenak ia berdiri diam seperti patung.
“Dengarlah anakku” berkata Bango Samparan, “mungkin pergaulanmu yang baru telah merubah sifatmu. Tetapi juga merubah tanggapanmu atas manusia seperti bekas prajurit itu.” Bango Samparan berhenti sejenak, lalu, “Dunia kami agak berbeda dengan duniamu Ken Arok. Duniamu yang sekarang. Dalam dunia kami di sini, tidak ada seorang pun yang dapat melupakan dendam di dalam hati. Itulah sebabnya kalau kita berbuat sesuatu, maka kita harus menyelesaikannya sekaligus. Demikian tentang orang itu. Aku harus menyelesaikannya supaya aku tidak akan dikejar-kejarnya lagi. Ingat. Dalam dunia kami, semuanya harus selesai. Tuntas. Supaya tidak ada persoalan lagi untuk seterusnya. Kalau kau cemas, bahwa kawan-kawannya akan membelanya, itu sama sekali tidak perlu. Kawan di antara kami dapat berubah setiap saat. Demikian kawan-kawan orang yang mati itu. Selama orang, itu tidak dapat memberi keuntungan apapun lagi, maka tidak akan ada seorang pun yang membelanya.”
Ken Arok berdiri tegang dan hati yang tegang pula. Dan ia masih mendengar Bango Samparan berkata, “Anakku. Kalau kau seterusnya menghadapi persoalan semacam ini, di antara orang-orang seperti kami dan masalah-masalah lain yang serupa maka kau harus menyelesaikannya dengan baik, supaya persoalan itu tidak berkepanjangan. Seandainya kau ingin menjadi seorang Senapati misalnya, sedangkan kau melihat suatu kemungkinan apabila Senapatimu tidak ada, maka kau harus membunuhnya. Jangan memfitnah. Dengan membunuhnya maka semua persoalan sudah selesai. Tetapi dengan fitnah, maka persoalannya akan berkepanjangan."
“Cukup. Cukup” teriak Ken Arok, “duniaku sekarang adalah dunia yang beradab. Bukan seperti duniamu yang masih mirip seperti dunia binatang-binatang buas di hutan. Aku tidak dapat hidup dengan cara itu. Setiap kemajuan di dalam duniaku harus didapat dengan jujur. Tidak seorang pun yang akan melakukannya seperti kau melakukan saat ini."
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba saja ia tertawa. Sungguh menyakitkan hati. Di sela-sela suara tertawanya ia berkata, “Oh, jangan membual. Kau sangka duniamu sudah cukup beradab? Orang tertinggi di Tumapel telah mendapatkan isterinya dengan cara orang-orang liar di hutan-hutan. Kau ingat?”
Kata-kata itu telah melanda dinding jantung Ken Arok dengan dahsyatnya sehingga sejenak ia terbungkam. Tetapi wajahnya menjadi tegang dan bibirnya bergetar. Namun tidak sepatah katapun yang terucapkan.
Bango Samparan masih tertawa. Dipandanginya Ken Arok yang seolah-olah sedang membeku itu. Sejenak kemudian diteruskannya kata-katanya, “Bukankah Akuwu Tunggul Ametung mengambil anak Panawijen itu tanpa setahu ayahnya?”
“Tetapi itu bukan maksudnya, kata-kata Ken Arok itu seolah-olah meledak dari dadanya, “Bukan Akuwu Tunggul Ametung lah yang bermaksud mengambil Tuan Puteri dari padepokannya.”
Tiba-tiba suara tertawa Bango Samparan itu semakin mengeras sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Sambil memegangi perutnya ia terbungkuk-bungkuk menahan goncangan suara tertawanya. “Apakah kau percaya dengan cerita itu Ken Arok?”
“Tentu”, Ken Arok hampir berteriak.
Tetapi suara tertawa Bango Samparan tidak juga surut.
“Diam. Diam kau," Ken Arok tidak dapat menahan hatinya lagi. Ia menjadi muak melihat Bango Samparan yang tertawa berkepanjangan.
Oleh hentakan teriakan Ken Arok itu suara tertawa Bango Samparan terputus. Namun, di wajahnya masih terbayang perasaannya yang memuakkan itu. Bahkan kemudian ia berkata, “Ken Arok. Aku hampir gila mendengar kau menyebut anak Empu Purwa itu dengan Tuan Puteri. Tuan Puteri yang kini menjadi seorang permaisuri. Huh. Masa kecilnya anak itu tidak lebih dari seorang anak padesan yang setiap hari mencuci pakaiannya di pinggir kali dekat bendungan yang pecah itu.”
“Tidak seorang pun yang ingkar dalam hal itu. Tuan Puteri sendiri tidak pernah ingkar."
Wajah Bango Samparan menegang sejenak, namun kemudian ia tersenyum. Katanya, “Lalu suatu ketika Akuwu yang gila itu melihatnya ketika ia sedang berburu. Maka diambilnya gadis itu dengan kekerasan.”
“Bohong. Bohong”, teriak Ken Arok.
“Kenapa aku berbohong? Apa kepentinganku untuk berbohong? Aku hanya ingin mengatakan bahwa di tengah-tengah manusia yang merasa dirinya beradab, maka kebiadaban itu membakar mereka dengan sembunyi-sembunyi. Apa tidak begitu? Kau melihat aku seperti keadaanku sekarang. Tidak lebih dari binatang buas di hutan. Tetapi aku sudah sengaja menempatkan diriku dalam dunia itu. Perjudian, perkelahian, perampokan dan apa lagi. Tetapi aku memang penjudi, perampok, pembunuh, pembual dan segala macam kejahatan tertimbun di dalam diriku. Tetapi apakah kau sangka bahwa aku tidak melihat kehidupan yang serupa di dalam lingkunganmu? Lingkungan masyarakat yang merasa dirinya beradab. Dengar, baik di Tumapel maupun di Kediri. Dimana-mana telah terjadi pemerasan. Kecurangan. Pencurian dan perampokan yang berselubung kekuasaan. Kau dengar? Mereka mempergunakan kekuasaan yang ada di tangan mereka untuk melakukannya. Di sini, di dalam duniaku, kebiadaban itu berlangsung beradu dada. Siapa yang lemah ia akan binasa. Ia harus mencari akal supaya ia dapat bertahan, maka bergabunglah mereka yang merasa tidak mampu untuk berdiri sendiri. Tetapi apa yang terjadi di dalam masyarakatmu Ken Arok. Masyarakat yang kau anggap beradab itu. Justru kebiadaban di antara manusia-manusia yang beradab itu jauh lebih berbahaya dari duniaku disini. Orang-orang yang biadab dalam selubung peradaban, berperisai kekuasaan dan kedudukannya. He, apakah kau tidak melihat apa yang dilakukan oleh Tunggul Ametung? Apa kau kira Empu Purwa dalam beradu jantan kalah dari Tunggul Ametung? Salahlah dugaan orang, bahwa Empu Purwa hanya mampu untuk menyimpan dirinya di dalam sanggar. Tetapi kalau ia berkesempatan untuk berbuat sesuatu, gagallah maksud Akuwu itu. Tetapi Akuwu mempunyai kekuasaan. Ia dapat mengerahkan prajuritnya, kalau perlu menumpas seluruh penduduk Panawijen. Inilah yang dihindari oleh Empu Purwa sebagai manusia beradab. Tetapi ia ternyata telah berhadapan dengan kebiadaban meskipun orang tertinggi dalam masyarakat beradab di Tumapel.”
“Bohong. Bohong” suara Ken Arok semakin keras. Tetapi terasa getaran dadanya telah bergejolak tanpa dapat dikendalikannya lagi. Sejenak kemudian ia berteriak pula, “Kalau kau berkata sepatah kata lagi, aku remas mulutmu yang kotor itu.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih berkata, “Tunggu. Kalau kau mau meremas mulutku, lakukanlah. Tetapi biarlah aku berbicara sedikit lagi. Bahwa kemudian ternyata anak Empu Purwa itu telah diperisterikannya tanpa tentangan.”
“Itulah yang bohong” sahut Ken Arok “aku ikut bersama Akuwu pada waktu itu. Aku sendiri sama sekali tidak akan melakukannya. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung telah terjebak oleh Kuda Sempana.”
Bango Samparan tidak segera menyahut. Sejenak ia berpikir. Namun kemudian sambil tertawa pendek ia berkata, “Kalau benar katamu, maka persoalannya akan tidak terlampau banyak berbeda. Yang harus diganti adalah namanya. Kuda Sempana, bukan Tunggul Ametung. Tetapi bukankah mereka telah melakukannya dengan selubung kekuasaan yang ada padanya. Lalu, apakah Ken Dedes itu kemudian dikembalikan kepada ayahnya? Hak apakah yang telah membenarkan kemudian Akuwu mcngambilnya dari Kuda Sempana? Kekuasaan. Kekuasaan.”
Ken Arok terbungkam. Tidak ada jawaban yang segera dapat diucapkannya. Namun ia tidak mau menyerah begitu saja. Dicobanya untuk menemukan alasan, yang dapat membenarkan sikap Akuwu Tunggul Ametung. Tiba-tiba saja seakan-akan tanpa disengaja ia berkata, “Sudah sepantasnya Ken Dedes menjadi seorang Permaisuri. Tidak seorang pun di seluruh Tumapel yang memiliki kelebihan seperti puteri Empu Purwa itu.”
Bango Samparan tidak segera menjawab. Tetapi nada suara tertawanya semakin menyakitkan bati. Hampir saja Ken Arok tidak dapat menahan dirinya. Tetapi untunglah bahwa segera disadarinya, tidak selayaknya ia berbuat demikian. “Ken Arok” berkata Bango Samparan, “apakah yang kau maksud dengan kelebihan itu? Bahwa Ken Dedes adalah seorang gadis yang maha cantik? Atau karena ia seorang puteri yang lembah manah, sabar dan menerima nasibnya dengan kepala tunduk?”
“Tidak” sahut Ken Arok dengan serta merta, “aku melihat kelebihan yang lain. Kecantikan, kesabaran dan keluhuran hati adalah kelebihan yang wajar. Tetapi Ken Dedes mempunyai kelebihan yang ajaib.”
“Kau sudah mimpi di siang hari agaknya. Apakah kelebihan itu?”
“Aku melihat seolah-olah sesuatu menyala pada tubuhnya.”
“He” tiba-tiba mata Bango Samparan terbelalak, “kau melihat hal itu sebenarnya?”
Ken Arok justru terbungkam. Ditatapnya wajah Bango Samparan yang tiba-tiba menjadi tegang. Namun kemudian terdengar ia berdesah, “Mungkin. Memang mungkin ada tanda-tanda keajaiban pada seseorang. Mungkin memang kau pernah melihatnya, tetapi tidak terlihat oleh orang lain. Seperti keajaiban yang ada dalam dirimu.”
Sekarang Ken Arok lah yang terperanjat. Dengan serta merta ia bertanya, “Keajaiban apakah yang ada dalam diriku?”
“Kau adalah mahluk yang aneh. Kau adalah orang yang bernasib terlampau baik. Mungkin nasib adalah nasib yang paling baik bagi semua orang di Tumapel ini, seperti nasib Ken Dedes itu pula.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Terasa sesuatu bergetar di dalam dirinya Dan ia mendengar Bango Samparan berkata, “Banyak ceritera yang aneh-aneh tentang dirimu. Mungkin kau tidak menyadarinya. Tetapi bagiku, kau adalah manusia yang mempunyai keberuntungan yang tidak terhingga Beberapa kali kau hampir mati terbunuh dalam petualanganmu sebelum kau bertemu dengan orang yang kau sebut bersama Lohgawe dan membawamu masuk ke dalam istana. Tetapi sekian kali pula kau selamat.”
Ken Arok menarik rafas dalam-dalam. Tiba-tiba terbayang kembali di dalam angan-angannya apa yang pernah terjadi atas dirinya. Memang kadang-kadang ia tidak mengerti atas peristiwa-peristiwa yang terjadi atas dirinya sendiri itu. Kadang-kadang ia tidak mengerti, kenapa ia pada suatu saat berhasil melepaskan diri dari bahaya. Bahkan bahaya maut yang seakan-akan sudah menyentuh nyawanya.
Dalam pada itu ia mendengar Bango Samparan bertanya, “Tetapi, apakah kau benar-benar melihat bahwa perempuan Panawijen itu menyala dan bercahaya?”
Tanpa sadarnya Ken Arok menganggukkan kepalanya.
“O, ia adalah perempuan yang mendapatkan kurnia. Berbahagialah laki-laki yang dapat memperisterikannya. Itulah agaknya yang mendorong Akuwu Tunggul Ametung untuk menculiknya." Bango Samparan terkejut ketika tiba-tiba saja Ken Arok berteriak “Sudah aku katakan. Akuwu tidak sengaja melakukannya. Apalagi didorong oleh nafsunya setelah melihat cahaya dari tubuh Ken Dedes. Sudah aku katakan, bahwa Kuda Sempana lah yang mula-mula berhasrat untuk memperisterikannya."
“Tetapi akhirnya Ken Dedes menjadi isteri Tunggul Ametung” Bango Samparan memotongnya.
Ken Arok terdiam karenanya. Memang telah terjadi suatu kenyataan bahwa Ken Dedes adalah isteri Tunggul Ametung. “Hem” Bango Samparan tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Dalam nada yang datar ia berkata, “Kalau aku masih muda dan tampan, maka aku akan berusaha untuk mengambilnya dari Akuwu Tunggul Ametung sebagaimana ia telah mengambilnya dari Penawijen, eh, maksudku dari Kuda Sempana."
Kata-kata itu meledak seperti guntur yang menyambar jantung Ken Arok. Sejenak ia berdiri mematung, namun sejenak kemudian ia melotot menerkam Bango Samparan pada pundaknya. Dengan menggeretakkan giginya Ken Arok mengguncang tubuh Bango Samparan sambil menggeram “Setan. Kau benar-benar setan yang tidak beradat. Kalau kau tidak bersangkut-paut apapun dengan aku, maka lehermu pasti telah aku patahkan.”
Bango Samparan menyeringai menahan sakit. Tangan Ken Arok serasa memecahkan tulang-tulangnya. “Jangan, jangan” suaranya terputus-putus.
“Kau benar-benar iblis yang paling jahat.”
Bango Samparan memandangi wajah Ken Arok yang semakin tegang. Seperti seorang anak yang tidak menyadari dosanya ia bertanya “Kenapa kau marah Ken Arok. Aku hanya berkata, seandainya. Seandainya. Sudah tentu tidak bersungguh-sungguh. Betapapun jahatnya aku, dan betapapun kotornya hatiku, sekotor hati iblis, namun sudah pasti aku tidak akan bersungguh-sungguh melakukannya. Sebab tidak mungkin bagiku untuk menjadi muda kembali apalagi anak muda yang tampan, setampan kau misalnya. Tetapi aku sudah terlanjur setua ini. Bermuka buruk dan berhati busuk. Bagaimana mungkin aku melakukannya? Kalau aku semuda kau, setampan kau, sekuat kau, nah, barang kali kau dapat mencurigai aku.”
“Diam, diam” Ken Arok berteriak sekuat-kuatnya sehingga suaranya bergema dipantulkan oleh tebing sungai dan pepohonan di hutan yang rindang. “Aku tidak mau mendengarnya lagi. Tidak mau.”
Bango Samparan menjadi semakin bingung. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Wajah Ken Arok telah menjadi semakin merah, semerah warna darahnya. Karena itu, maka Bango Samparan pun lebih baik menjaga dirinya, supaya tulang-tulangnya tidak dipatahkannya.
Ken Arok yang tegang itu masih menggenggam pundak Bango Samparan. Ia ingin berteriak lebih keras lagi. Tetapi mulutnya serasa terbungkam. Ia tidak ingin mendengar kata-kata Bango Samparan itu lagi. Namun, dengan berteriak-teriak itu ia ingin menyumbat telinga hatinya yang seolah-olah mendengar suara berbisik perlahan-lahan dari ala dadanya, “Ya, seandainya. Seandainya.”
Untuk sejenak keduanya saling berdiam diri. Tetapi cengkaman tangan Ken Arok masih saja terasa sakit di pundak Bango Samparan. Karena itu maka sejenak kemudian ia berkata “Ken Arok, apakah kau ingin mematahkan pundakku.”
Ken Arok yang sedang kebingungan itu menjawab dengan serta-merta, “Ya. Kalau kau masih tetap berbicara tentang Akuwu Tunggul Ametung.”
“Baiklah. Baiklah aku berbicara tentang yang lain. Tetapi lepaskan dahulu tanganmu ini.”
Perlahan-lahan Ken Arok melepaskan pundak Bango Samparan yang sambil berdesis meraba-raba perutnya. Namun Bango Samparan itu tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar Ken Arok berkata, “Aku harus pergi dari sarang iblis ini sebelum hatiku dimakannya. Aku harus pergi segera.”
Sesaat Bango samparan berdiri ternganga-nganga. Tetapi, ketika ia melihat Ken Arok benar-benar akan melangkah pergi, maka segera ia mendekatinya sambil berkata, “Jangan pergi Keri Arok. Aku benar-benar tidak akan berbicara lagi tentang sesuatu yang dapat menyakitkan hatimu. Baiklah aku berterima kasih atas pertolonganmu.”
“Aku harus pergi. Harus.”
“Singgahlah sebentar di rumah. Biarlah seisi rumah menjadi kagum melihat kau sekarang. Sebentar saja.”
“Tidak. Aku tidak ada waktu.”
“Hem” Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam, “baiklah kalau demikian. Mungkin rumah itu sama sekali sudah tidak pantas lagi kau masuki setelah kau menjadi seorang hamba istana. Mungkin dinding-dindingnya akan mengotori pakaianmu dan sarang-sarang labah-labah akan memuakkan pandangan matamu. Memang rumah itu terlampau rendah dan jelek. Atap ilalang dan dinding bambu hijau. O, alangkah senangnya tinggal di istana, di seputar taman yang indah dan emban yang cantik.”
“Cukup, cukup” sekali lagi Ken Arok berteriak tanpa sesadarnya. Namun ternyata kata-kata Bango Samparan berhasil menyentuh hatinya. Ia sama sekali tidak menolak singgah di rumah itu karena ia sekarang sudah menjadi seorang pegawai istana. Bukan karena kedudukan yang semakin baik, dan bukan karena ia menganggap bahwa tidak sepantasnya lagi ia memasuki rumah yang jelek dan rendah beratap ilalang itu. Tidak.
Tetapi Bango Samparan melanjutkannya, “Tetapi bagaimanapun juga Ken Arok, kau tidak akan dapat ingkar, bahwa suatu ketika kau dalam keadaan yang parah, pernah tinggal di dalam rumah itu. Suatu saat kita bersama-sama mengalami duka ceritera yang hampir sampai ke puncak kemampuan kita untuk bertahan. Namun kehadiranmu itu ternyata lambat laun membawa keberuntungan kepadaku. Tetapi setelah kau pergi, aku kembali terdampar pada dunia yang kelam. Sedikit demi sedikit simpanan yang aku kumpulkan itu pun semakin habis. Aku tidak lagi raja dilingkaran judi. Dan bahkan aku akhirnya menjadi orang yang paling jelek di antara para penjudi seperti pada saat aku belum menemukan kau. Hutang di segala penjuru, sehingga seolah-olah duniaku telah menjadi semakin sempit. Nah, Ken Arok. Aku sebenarnya mengharap kau singgah meskipun hanya sesilir bawang. Nasibmu yang selalu baik itu mudahkan akan berpengaruh seperti kehadiranmu dahulu di rumahku.”
Suara Bango Samparan itu terdengar gemuruh di telinga Ken Arok. Namun ia masih saja ketakutan melihat kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya apabila ia singgah di rumah itu, dan berbicara terlampau banyak dengan Bango Samparan. Karena itu maka jawabnya, “Tidak. Aku tidak bisa singgah. Bukan karena aku tidak mau, tetapi benar-benar aku tidak punya waktu.”
“Hem, kembali Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam, “Aku tidak tahu apakah arti waktu bagimu. Tetapi aku heran, bahwa kau sama sekali tidak mempunyai waktu untuk singgah ke rumah. Biyungmu pasti akan sangat bersenang hati. Setiap hari ia selalu berada dalam kecemasan dan kegelisahan, Isteri mudaku agak terlampau keras terhadapnya. Apa lagi anak-anakku dari isteri muda itu. Bukankah kau kenal anak-anakku? O, kau dahulu pergi dari rumah karena kau tidak dapat bergaul dengan anak-anakku dari isteri muda itu. Baiklah sekarang kau datang. Kau tunjukkan bahwa kau mendapatkan hari yang lebih cerah dari mereka. Anak-anakku pun agaknya mulai senang dengan permainan judi."
Ken Arok kini mulai dijalari oleh kebimbangan. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa pada suatu saat ia memang tidak dapat ingkar, bahwa pada suatu saat ia memang pernah tinggal di rumah Bango Samparan. Diaku menjadi anaknya oleh isterinya yang pertama. Ketidak serasian hubungan antara dirinya dan anak-anak isteri muda Bango Samparan lah yang telah mengusirnya dari Karuman, padukuhan Bango Samparan itu, sehingga ia menjadi penghuni hutan dan padang yang selalu dikejar-kejar orang. Akhirnya, setelah melalui berbagai macam peristiwa, dari rumah ke rumah, dari ayah angkat yang satu ke yang lain, maka terlemparlah ia ke Padang Karautan, sebagai hantu yang menakutkan.
Karena Ken Arok tidak menjawab, maka Bango Samparan mendesaknya, “Kalau kau tidak ingin singgah Ken Arok, marilah berjalanlah lewat rumahku biar biyungmu dapat melihat kau sekarang yang telah menjadi gagah dan tampan, lebih gagah dari... eh, maksudku lebih tampan dari aku.”
Dada Ken Arok tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Berbagai pertimbangan menyesak di dadanya. Namun akhirnya ia tidak mampu lagi untuk menolak ajakan Bango Samparan. Sekali-sekali memang terbayang di dalam angan-angannya wajah isteri tua Bango Samparan yang baik, yang saat itu benar-benar menganggapnya sebagai anak sendiri.
“Tetapi, iblis ini selalu mendorongku untuk masuk ke dalam dunia yang paling gila” berkata Ken Arok di dalam hatinya. tetapi lalu dibantahnya sendiri, “tergantung kepada aku sendiri Kepada ketahanan hatiku.”
“Bagaimana Ken Arok? apakah kau bersedia?”
Ken Arok masih tetap ragu-ragu sehingga untuk sejenak ia masih tetap berdiam diri. Namun keragu-raguan itu telah menumbuhkan harapan di hati Bango Samparan. Keduanya saling berdiam diri untuk sesaat. Dengan bimbang Ken Arok memandangi wajah Bango Samparan. Wajah itu sama sekali tidak menarik. Bahkan menimbulkan perasaan yang aneh di dalam dirinya. Tetapi untuk ingkar dari kenyataan bahwa orang itu pernah memeliharanya, Ken Arok pun tidak pula mampu.
“Bagaimana Ken Arok?” sekali lagi Bango Samparan mendesak.
Dengan penuh kebimbangan Ken Arok menganggukan kepalanya. Jawabnya, “Aku hanya mempunyai waktu sedikit.”
“O, yang sedikit itu sudah cukup. Biyungmu akan senang sekali melihat kau segagah ini.”
Ken Arok tidak menyahut lagi. Ia masih harus mengambil sebungkus kecil bekal pakaiannya. Karena itu, maka ia pun segera melangkah masuk ke dalam semak-semak. Tetapi ia tertegun ketika ia mendengar Bango Samparan memanggilnya, “Tunggu. Kita tidak lewat hutan rindang itu. Kita dapat menempuh jalan lain yang lebih baik. Bersama kau aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi. Marilah kita melalui jalan itu, langsung menuju ke Karuman.”
“Aku akan mengambil bekal pakaianku dulu.”
“O,” Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. “pergilah.”
Ketika kemudian Ken Arok hilang ditelan, oleh rerungkudan, maka Bango Samparan pun berdiri dengan termangu-mangu. Sejenak dipandanginya lawannya, orang berkumis yang kini terbaring diam di atas tanah berlumpur. Tiba-tiba ia melangkah maju. Ditariknya pedangnya dan kemudian disarungkannya. Dengan kakinya ia mendorong mayat yang telah membeku itu sehingga tubuh itu kini menelentang.
Bango Samparan menjadi ragu-ragu sejenak. Sekali-kali ia berpaling memandang ke arah Ken Arok menghilang di dalam gerumbul-gerumbul liar. Sesaat ia diam membeku. Namun tiba-tiba tangannya segera meraih ikat pingang orang berkumis yang telah mati itu, melepasnya dan dengan tangan gemetar membuka setiap kantong pada ikat pinggang yang besar itu. Bango Samparan terperanjat bukan kepalang, bahkan tanpa sesadarnya ia terloncat berdiri, ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara di belakangnya
“Apa yang kau lakukan itu?”
Ketika Bango Samparan berpaling, dilihatnya Ken Arok berdiri sambil memandanginya dengan tajamnya.
“Kau sedang mencari apa pada ikat pinggang itu?” bertanya Ken Arok pula.
Bango Samparan menjadi kebingungan sejenak. Namun otaknya yang licin segera menemukan jalan. Sejenak kemudian ia tersenyum sambil menjawab “Ken Arok. Kehadiranmu benar-benar membawa keberuntungan yang tiada taranya. Bukankah sudah aku katakan? Lihat, apakah yang ada di dalam kantong ikat pinggang ini?"
Mata Ken Arok terbelalak ketika dilihatnya seuntai binggel tretes berlian dan perhiasan-perhiasan yang lain, “Darimana barang-barang itu didapatkannya?” dengan serta-merta Ken Arok bertanya.
“Inilah yang kami persengketakan” jawab Bango Samparan.
“Menyamun?”
Bango Samparan tidak segera menjawab. Namun sejenak kemudian ia melangkah mendekati Ken Arok. Sambil menepuk pundaknya ia berkata, “Marilah kita pergi. Jangan kau hiraukan lagi barang-barang ini. Aku akan menyimpannya dan menjadikannya jaminan di hari-hari tua ini.”
“Tetapi barang-barang itu adalah hasil dari kejahatan."
“Ah” desah Bango Samparan “semuanya sudah terlanjur.”
“Sebaiknya barang-barang itu dikembalikan.”
“Sekaligus menyerahkan leher ini” Bango Samparan berhenti sejenak, “sudahlah jangan hiraukan lagi. Aku akan menyimpannya. Kalau barang-barang ini terlepas dari tanganku, aku harus melakukan perbuatan jahat lagi supaya aku dan keluargaku tidak mati kelaparan. Tetapi, dengan barang-barang yang sudah terlanjur berada di tanganku ini, aku akan berhenti. Aku tidak akan merampok, menyamun, dan membunuh.”
“Tetapi kalau kau masih saja berjudi, maka segala kemungkinan akan dapat terjadi lagi atasmu.”
“Aku akan berhenti berjudi.”
“Umurmu kau habiskan di dalam lingkaran perjudian. Hanya karena kurnia Yang Maha Agung sajalah kau akan berhenti berjudi.”
“He” Bango Samparan mengerutkan keningnya, “kurnia?”
Bango Samparan menggeleng-gelengkan kepalanya Ia tidak mengerti kata-kata Ken Arok. Tetapi ia memang tidak ingin mempersoalkannya. Kini didorongnya Ken Arok sambil berkata, “Marilah. Sebaiknya kita segera pergi.”
Ken Arok pun kemudian melangkahkan kakinya. Rambutnya masih kusut dan pakaiannya hanya dibenahinya sekedarnya. Dijinjingnya seberkas pakaiannya di dalam sebuah bungkusan kecil.
“Mari, aku bawakan pakaianmu itu.
Tetapi, Ken Arok tidak memberikannya. Diingatnya saat-saat kunjungan Bango Samparan di Padang Karautan. Pakaiannya habis dibawanya. Tetapi saat itu ia dapat meminjam kawan-kawannya sebelum ia mendapatkan yang baru. Sedangkan kali ini ia berada di perjalanan. Kalau pakaian itu lepas dari padanya dengan cara apapun, maka ia tidak akan dapat memintanya lagi, sedang ia sendiri tidak akan dapat segera mendapatkan gantinya. Karena itu maka jawabnya, “Terima kasih. Aku masih cukup kuat untuk membawanya sendiri."
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, “Kau takut pakaianmu itu aku jual seperti beberapa waktu yang lalu? O, aku lupa mengatakannya kepadamu, bahwa aku memang pernah meminjam pakaianmu. Tetapi pakaian-pakaian itu sudah terjual habis. Tetapi kini aku tidak akan melakukannya karena aku mempunyai seuntai perhiasan di dalam ikat pinggang ini.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Bango Samparan, seolah-olah Bango Samparan itu dapat menebak isi hatinya. Tetapi meskipun demikian bungkusan pakaian itu masih tetap dipegangnya sendiri. Sejenak kemudian mereka telah menyusur jalan sempit di tengah-tengah pategalan. Bango Samparan berjalan di samping Ken Arok dengan dada tengadah, seolah-olah ia ingin membanggakan dirinya, bahwa yang berjalan di sampingnya itu adalah anak angkatnya, seorang hamba di istana Tumapel yang telah berhasil mengalahkan lawannya yang tangguh. Bekas seorang prajurit Kediri.
Tetapi perjalanan mereka hampir tidak pernah menjumpai seseorang. Satu dua di kejauhan mereka melihat orang yang lewat menyilang di perapatan atau lorong-lorong pategalan. Tetapi kemudian sepi kembali. Sementara itu matahari beredar semakin jauh ke Barat. Puncak langit telah dilampauinya, dan bayang-bayang mereka kini berada di bawah kaki mereka yang kotor karena debu.
“Kita memilih jalan melintas” berkata Bango Samparan.
Ken Arok menganggukkan kepalanya.
“Kita lewat hutan rindang di sebelah. Hutan itu tidak dihuni oleh binatang-binatang buas. Mungkin ada macan kumbang satu dua yang berkeliaran. Tetapi tidak terlampau berbahaya. Kita masing-masing membawa pedang di lambung, sehingga kita tidak perlu takut bertemu dengan harimau kecil itu."
Ken Arok menganggukkan kepalanya pula, tetapi ia tidak menjawab.
“Mungkin kau belum pernah melewati jalan ini?”
Ken Arok masih tetap terbungkam. Tetapi jalan ini sama sekali tidak asing lagi baginya. Pada masa-masa itu, pada masa-masa ia hidup berkeliaran, hampir setiap jalan, lorong dan sidatan-sidatan yang paling kecil sekalipun telah dikenalnya dengan baik. Sedang daerah ini sama sekali masih belum berubah seperti beberapa tahun yang lampau.
“Kadang-kadang di jalan-jalan ini ada juga satu dua penyamun kecil” berkata Bango Samparan pula, “tetapi, jarang sekali, karena lorong ini hampir tidak pernah dilalui orang. Hanya penyamun-penyamun yang malaslah yang menunggui mangsanya terkantuk-kantuk di tepi jalan ini. Dan kau tidak perlu takut bertemu dengan mereka itu. Tidak seorang pun penyamun-penyamun di sini yang tidak aku kenal. Mereka adalah penjudi-penjudi yang baik."
Ken Arok mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia tidak menyahut. Ketika Bango Samparan kemudian terdiam, maka perjalanan itu pun menjadi diam pula. Sekali-sekali Bango Samparan mencoba memandang wajah Ken Arok dengan sudut matanya. Tetapi ia tidak melihat kesan apapun di wajah itu. Seolah-olah wajah itu wajah yang kosong. Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Eh, Ken Arok. Bukankah aku dahulu, selagi kau berada di Padang Karautan pernah datang kepadamu? Bahkan kemudian mencuri pakaianmu?”
Dada Ken Arok berdebar-debar mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia menganggukkan kepalanya.
“Kau ingat apa yang aku katakan kepadamu waktu itu?”
Dada Ken Arok kini tidak saja berdebar-debar, tetapi sebuah desir yang tajam telah tergores di dinding jantungnya.
“Aku waktu itu mimpi, kau menjadi seorang Maharaja. Eh, begitu barangkali?”
“Cukup” potong Ken Arok, “aku tidak mau mendengarnya lagi.”
“Oh, maaf. Hanya tiba-tiba aku teringat pada mimpi itu justru ketika aku mendengar bahwa Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu memiliki kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain.”
“Cukup. Cukup. Aku tidak akan singgah ke rumahmu kalau kau masih menyebut-nyebut lagi.”
“Tidak. Tidak” dengan serta-merta Bango Samparan menyahut, “aku tidak akan menyebutnya lagi tentang mimpi itu, meskipun sudah lebih dari tiga empat kali aku mimpi serupa itu. Bahkan seperti aku tidak sedang tidur. He, bukankah aku pernah mendengar seolah-olah suara dari langit ketika aku berada di Rabut Jalu? Suara itu mengatakan bahwa aku akan bertemu dengan seorang anak yang hampir kelaparan bernama Ken Arok. Dan sekarang suara itu aku dengar lagi, bahwa Ken Arok itu akan menjadi seorang Maharaja.”
“Bohong. Bohong” Ken Arok hampir berteriak. Sementara itu langkahnya tertegun.
“Kenapa kau berhenti?” bertanya Bango Samparan.
“Kalau ayah masih menyebut-nyebutnya satu kali lagi, aku akan kembali.”
“Eh, maaf. Maaf. Aku tidak bermaksud demikian. Baiklah. Aku memang berbohong.” “Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi yang penting, kau harus menemui biyungmu. Ia akan senang sekali. Ia akan menganggap bahwa kau tidak melupakannya. Meskipun ia bukan ibumu sendiri.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya kakinya terayun satu-satu. Perjalanan mereka itu pun segera mereka lanjutkan.
“Ken Arok” tiba-tiba Bango Samparan berkata, “aku sekarang sudah belajar mengerjakan sawah. Oh, ternyata pekerjaan seorang petani itu menarik sekali. Kau nanti akan melihat sawah yang baru aku buka di pinggir hutan ini di ujung yang lain. Aku tertarik sekali melihat kau membuka Padang Karautan. Sampai di rumah aku ajak adik-adikmu untuk membuka hutan."
Ken Arok mengerutkan alisnya. Katanya, “Ah, bagus sekali. Berapa banyak ayah membuka hutan itu.”
“Sekotak.”
Tiba-tiba wajah Ken Arok menjadi buram, “Sekotak?”
“Ya, aku baru mencoba. Nanti pasti akan aku tambah lagi. Sekotak lagi. Sekotak lagi.
“Oh” Ken Arok menjadi kecewa. Tetapi meskipun demikian itu adalah permulaan yang baik bagi Bango Samparan. Seharusnya ia terbangun dari dunia mimpinya. Beranjak di atas bumi kenyataan. Bekerja dengan wajar untuk mendapatkan makan bagi keluarganya.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Ken Arok berjalan sambil menundukkan kepalanya, sedang Bango Samparan masih saja berjalan sambil menengadah. Tetapi mereka tidak berjumpa lagi dengan seorang pun, sehingga mereka merasakan betapa sunyi hutan rindang ini. Yang mereka dengar hanya kicau burung-burung liar dan sekali gemerisik daun tersentuh kaki binatang-binatang kecil yang berlari-larian.
“Sebentar lagi kita akan keluar dari hutan ini” berkata Bango Samparan tiba-tiba.
Ken Arok tetap dalam kediamannya. Ia sudah tahu benar, bahwa sebentar lagi mereka akan sampai di mulut lorong sempit, keluar dari hutan rindang ini. Dan ternyata sejenak kemudian ketika matahari telah merendah di ujung Barat mereka sudah terlepas dari hutan itu, sampai ke daerah rerumputan yang sempit. Di hadapan mereka terbentang tanah pesawahan dari pedukuhan Karuman.
“Inilah sawahku” berkata Bango Samparan dengan bangganya, “lihat, tanamannya sudah mulai menghijau.”
Ken Arok berpaling sejenak, kemudian dipandanginya sawah di ujung daerah rerumputan. Membujur, memanjang menyusur parit.
“Pandai juga kau memilih tempat” berkata Ken Arok.
"Aku dan adik-adikmulah yang membuatnya menjadi tanah yang dapat ditanami."
“Tidak terlampau sulit” sahut Ken Arok, “di daerah ini kau dapat mengambil tanah berapa kau kehendaki. Yang diperlukan kemudian adalah kesediaan dan ketekunan untuk menggarapnya.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ternyata tanah ini kurang pemeliharaan. Setiap hari ayah berada di lingkaran judi. Kapan ayah sempat menyiangi rumput-rumputan yang semakin lebat itu?"
Bango Samparan masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Itulah yang aku tidak sempat.”
“Bagaimana mungkin sawah ayah akan menjadi baik?”
“Adik-adikmulah yang aku serahi untuk menggarapnya.”
“Dan apakah mereka mengerjakannya?”
“Kadang-kadang.”
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Desisnya, “Sawah tidak untuk digarap hanya kadang-kadang. Ia memerlukan ketekunan dan kerajinan. Kemampuan dan hasrat yang terus menerus untuk memeliharanya.”
Bango Samparan tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi berkerut-merut. Sejenak kemudian kaki-kaki mereka telah berada di atas pematang yang membujur membelah hijaunya tanaman yang mulai tumbuh. Silir angin yang berhembus dari bulak yang luas, mengusap tubuh-tubuh mereka yang berkeringat. Perlahan-lahan dedaunan yang tersentuh angin bergoyang-goang, menggelombang seperti air di wajah lautan.
Langkah Ken Arok dan Bango Samparan pun menjadi semakin dekat dengan padukuhan Karuman. Dari kejauhan mereka melihat pohon-pohon nyiur yang menggapai-gapai, seakan-akan ingin menangkap awan putih yang terbang rendah di atasnya. Tetapi, ketika kemudian mereka memasuki pedukuban itu, hati Ken Arok menjadi berdebar-debar. Terasa olehnya, seakan-akan ia mulai mengikatkan dirinya kepada tambatannya yang lama. Yang selama ini telah diusahakannya untuk menyingkir jauh-jauh.
“Tergantung kepada ketahanan hatiku” ia masih mencoba bertahan meskipun hatinya semakin berdebar-debar.
Ken Arok berpaling ketika ia mendengar Bango Samparan berkata, “Mudah-mudahan ibumu ada di rumah.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Apakah biyung sering pergi?”
Bango Samparan menggelengkan kepalanya, “Entahlah. Mungkin ia terpaksa pergi untuk mencari makan.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya, “Kapan ayah meninggalkan rumah?”
Bango Samparan menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia menjawab, “Sudah hampir sebulan aku tidak pulang.”
“He” Ken Arok terperanjat, “jadi sudah hampir sebulan kau tidak pulang?”
“Ya. Tetapi aku sekarang pulang. Bukankah aku pulang dengan hasil yang baik. Perhiasan dan kau.”
“Persetan” Ken Arok menggeram. Tetapi suara terputus, ketika mereka bertemu dengan seseorang di tikungan jalan padesan. Orang itu agak terkejut, namun kemudian membuang mukanya, seolah-olah ia merasa segan bertemu pandang dengan Bango Samparan.
“He, kakang” Bango Samparan menyapanya. Orang itu berpaling namun kemudian sekali lagi ia membuang muka dan berjalan menjauh.
“Tunggu sebentar” panggil Bango Samparan sambil menyusulnya, “tunggu. Bukankah kau ingat bahwa aku pernah mengambil seorang anak angkat dahulu?”
Mau tidak mau orang itu terpaksa berhenti. Dengan segannya ia memutar tubuhnya. Sambil mengangguk malas ia menjawab, “Ya. Mungkin aku masih ingat.”
“Inilah anak itu. Sekarang ia sudah cukup dewasa.”
Tiba-tiba wajah orang itu menjadi tegang. Dengan kasar nya ia bertanya, “Apakah anak itu sekarang sudah secakap kau bermain judi. Huh, aku masih ingat, anak itulah yang dahulu kau suruh mengambili manggis di halaman rumahku. Anak itu pula yang dahulu sering menangkap ayam di sudut desa ini.”
Terasa dada Ken Arok berdesir tajam, setajam ujung pedang menembus jantungnya. Sejenak ia berdiri mematung. Ditatapnya wajah orang itu dan wajah Bango Samparan berganti-ganti. Namun karena itu, maka mulutnya seolah-olah terbungkam.
Yang terdengar kemudian adalah jawaban Bango Samparan, “He, apakah kau sudah gila. Aku bermaksud baik. Manyapamu dan memperkenalkan anak angkatku.”
“Kau orang asing di sini Bango Samparan. Sudah lama kau tidak ada di rumah, dan desa ini rasanya menjadi tenteram. Sekarang tiba-tiba kau muncul dengan membawa anak angkatmu. Anak-anakmu sendiri sudah cukup membuat kami pening, meskipun tidak segila kau sendiri. Agaknya kau memerlukan kawan yang baik, sehingga kau ambil anak itu.”
Kata-kata orang itu serasa guntur yang meledak di dalam dada Ken Arok. Jantungnya seolah-olah akan retak dan darahnya terhenti mengalir. Hampir saja ia kehilangan akal, dan bertindak di luar sadarnya. Untunglah, bahwa ia masih sempat melihat kepada dirinya sendiri, sehingga sambil memejamkan mata ia menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengendapkan kembali isi dadanya yang serasa sudah bergolak.
Yang terdengar adalah jawaban Bango Samparan tidak kalah kasarnya, “Kau setan alasan. Apakah maksudmu dengan kata-kata itu semua? Apakah kau tidak menyadari bahwa aku dapat mencekikmu sampai mati? Ayo, katakan, apakah kau dapat melawan aku?"
Orang itu mencibirkan bibirnya, jawabnya, “Memang kau dapat berbuat demikian. Tetapi anak putumu akan tumpas di desa ini. Seluruh penduduk akan mengutukmu dan membunuh keluargamu berramai-ramai."
“O, itu pun tidak mungkin mereka lakukan. Panggillah orang seisi desa ini. Aku dan anak-anakku mampu membunuh mereka semua. Apalagi dengan anak angkatku ini.”
“Huh, jangan menakut-nakuti kami” jawab orang itu, “betapapun saktinya kau dan anak-anakmu ditambah dengan anak angkatmu, kau tidak akan dapat melawan seisi desa ini Seharusnya sampai saat ini kau harus mengucap terima kasih, bahwa kau dan keluargamu masih dibiarkan tinggal di rumah di dalam daerah ini. Tetapi kalau kau dan anak-anakmu menjadi semakin gila juga, maka kalian akan segera diusir.”
Bango Samparan menggeretakkan giginya. Memang ia dan anak-anaknya tidak akan mampu melawan orang seisi desa. Buyut Karuman bukan anak kemarin siang yang baru dapat meloncat-loncat.
“Apakah kau tidak menyadarinya?” bertanya orang itu kepada Bango Samparan, “Apakah aku harus mengatakannya kepada Ki Buyut supaya kau digantung di ujung desa ini.”
Bango Samparan menggeleng, “Jangan. Jangan begitu. Tetapi bukankah aku tidak pernah berbuat onar di dalam desaku sendiri?”
“Tetapi nama desa ini sudah terlampau banyak kau cemarkan. Kau ingat, bahwa Ki Buyut memberikan kesempatan untuk memperbaiki solah tingkahmu? Kita sudah terlampau muak dengan segala macam kegilaan itu.”
“Bukankah aku sudah mencoba, membuka sawah di ujung hutan?”
“Tetapi kau masih mengancam akan membunuh aku.”
“Maaf” suara Bango Samparan merendah, “tetapi jangan menghina. Aku sudah bersedia memperbaiki kelakuanku. Seharusnya kau pun tidak menghina kami sekeluarga lagi.”
“Kami ingin melihat buktinya, apa yang telah kau lakukan.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia menjawab apapun orang itu sudah melangkah pergi. Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia maju mendekati Ken Arok sambil berkata, “Maafkan orang itu Ken Arok, Ia memang agak gila.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Namun, ia menjawab, “Sama sekali tidak. Kata-katanya sama sekali tidak mencerminkan kegilaannya. Ia berkata dengan sepenuh kesadaran dan sepenuh kebenciannya.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil berkata, “Kau benar anakku. Demikianlah gambaran sikap orang-orang Karuman terhadapku."
"Tergantung kepada ayah sendiri. Apakah kau mampu memperbaiki sikapmu.”
“Aku sudah mencoba.”
“Tetapi baru saja kau melakukan perbuatan yang terkutuk itu.”
“Apa yang aku lakukan?”
“Kau baru saja membunuh dan merampas barang itu.”
Bango Samparan menjadi tegang. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya, “Itu karena aku terpaksa melakukannya.”
“Desa ini seperti sebuah perapian bagiku. Dan kau telah menyeret aku masuk kedalamnya. Hampir saja aku kehilangan akal dan berbuat sesuatu yang akan semakin merusak namamu.” Ken Arok berhenti sejenak, “Ayah, sebaiknya aku pergi saja. Kalau aku singgah juga di rumah nanti akan banyak timbul persoalan-persoalan yang tidak aku inginkan. Mungkin aku akan tersudut ke dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak aku inginkan”
“Tidak. Itu tidak akan terjadi.” potong Bango Samparan dengan serta-merta, “kau harus singgah meskipun hanya sebentar. Kau sudah sampai di sini. Beberapa langkah lagi kita akan sampai.”
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia tidak dapat menghindar lagi ketika Bango Samparan berkata, “Marilah. Marilah. Jangan membuat aku kecewa.”
Merekapun kemudian meneruskan perjalanan mereka menyusur jalan pedesan. Ketika mereka bertemu seorang yang lain, maka dengan hormatnya Bango Samparan menyapanya, “Selamatlah kau hendaknya selama ini.”
Orang itu memandang Bango Samparan dengan tajamnya, kemudian kepada Ken Arok. Dianggukkannya kepalanya sedikit sambil menjawab segan, “Ya, aku baik saja.”
Tetapi orang itu berjalan terus. Dan Bango Samparan memandanginya dengan sorot mata yang aneh. “Mudah-mudahan pandangan mereka berubah apabila aku sudah tidak berbuat kesalahan-kesalahan lagi atas mereka. Dan kini aku sudah tidak akan berjudi, mengambil buah-buahan di kebun orang dan berbuat apa-apa yang tidak menyenangkan bagi mereka.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Sejenak kemudian mereka telah sampai ke sebuah halaman yang luas, tetapi kotor dan liar, dikelilingi oleh dinding batu yang kasar dan sebuah regol yang miring. Itulah rumah Bango Samparan beserta keluarganya. Kedua isterinya dan anak-anaknya yang hampir seliar Bango Samparan sendiri.
Ketika Ken Arok sampai ke depan regol yang miring itu hatinya menjadi berdebar-debar. Bango samparan mempunyai empat anak laki-laki dan seorang anak perempuan dari isteri mudanya. Tetapi rumah ini kesannya seperti rumah hantu yang sudah berabad-abad tidak disentuh tangan manusia.
“Apakah kau tidak ingat lagi bahwa rumah ini rumah kita Ken Arok?” bertanya Bango Samparan.
“Oh” Ken Arok mengangguk, “tentu, tentu aku ingat.”
“Kenapa kau tampaknya menjadi ragu-ragu untuk melangkah masuk?”
Ken Arok menarik nafas. Tetapi ia tidak menyahut
“Masuklah.”
Ken Arok melangkah ke samping untuk memberi kesempatan Bango Samparan masuk lebih dahulu, baru kemudian Ken Arok berjalan di belakangnya. Demikian mereka menyusup regol dan berdiri di halaman, dada Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar. Ia memang pernah tinggal di rumah ini. Tetapi rumah dan halamannya semakin lama tidak menjadi semakin bersih, namun sebaliknya. Rumahnya menjadi semakin rusak, dan halamannya menjadi liar. Tidak ubahnya dengan halaman-halaman kosong di sekitar rumah itu yang ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang lebat.
“Nah, kau lihat pintu rumah itu terbuka?“ bertanya Bango Samparan, “rumah itu pasti ada orangnya. Apakah ia ibumu, bibimu atau adik-adikmu."
Ken Arok mengangguk. Satu-satu ia melangkah maju mengikuti Bango Samparan. Semakin lama semakin dekat dengan pintu lereg yang sedang menganga seperti mulut raksasa yang tak bergigi siap untuk menghisap menelan mereka berdua.
Tetapi tiba-tiba langkah mereka berhenti. Dari balik sebatang pohon yang besar terdengar seseorang bertanya, “Siapakah orang itu ayah?”
Mereka berdua segera berpaling. Dilihatnya Panji Kuncang, anak Bango Samparan yang kedua berdiri dengan pandangan penuh kecurigaan kepada Ken Arok.
“He kau Kuncang. Di mana saudara-saudaramu, ibumu dan bibimu?”
“Aku bertanya kepadamu”, potong Panji Kuncang, “siapa orang itu?”
“Begitukah kau bersikap kepada ayahmu?”
Kini Panji Kuncang berdiri tegak di sisi batang pohon besar itu. Tetapi matanya menyorotkan kecurigaan dan pertanyaan yang aneh. Kenapa tiba-tiba ayahnya bertanya tentang sikapnya? Sehingga dengan nada yang tinggi ia bertanya, “Kenapa dengan sikapku? Bukankah aku adalah Kuncang yang kau kenal dengan cara dan sikap ini? Kenapa?”
“Oh, kau harus sedikit sopan. Lihat, aku tidak datang seorang diri.”
Tiba-tiba Kuncang tertawa. Suara tertawanya meledak-ledak tidak terkendalikan. Diantara derai tertawanya ia berkata, “Ayah ingin menunjukkan kepada tamu ayah, bahwa kami adalah keluarga yang baik, sopan dan beradab.?”
“Oh” Bango Samparan mengeluh. Dengan wajah yang merah ia berpaling kepada Ken Arok, “maafkan anak itu. Jangan hiraukan dia.”
Tetapi suara tertawa Kuncang tidak juga mereda. Sekali lagi ia bertanya, “Siapakah orang itu ayah? Penjudi? Perampok? Pembunuh? Mungkin ayah mendapat kawan baru yang dapat mengajari kita untuk bermain curang di lingkaran perjudian sehingga kita tidak akan pernah terkalahkan.”
“Tutup mulutmu” bentak Bango Samparan “jangan membuat aku marah.”
Tetapi Kuncang sama sekali tidak mundur. Bahkan ia berkata sangat menyakitkan hati “Atau mungkin anak yang kau bawa itu akan minta kepada kita untuk menolongnya mencuri seorang gadis, atau bahkan janda atau isteri orang?”
Dada Ken Arok serasa akan meledak mendengarnya. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk menahan dirinya. Namun dengan demikian tubuhnya serasa menjadi gemetar.
“Kuncang” bentak Bango Samparan, “jangan asal bicara. Kau lihatlah dengan baik siapa orang ini. Kau pasti masih belum melupakannya. Bukankah anak ini kakakmu Ken Arok?”
Suara tertawa Kuncang menjadi semakin meninggi. Jawabnya, “Aku sudah tahu. Aku sudah tahu sejak ia memasuki regol rumah kita.”
“Kenapa kau bertanya juga?”
Kuncang tidak segera menjawab. Beberapa langkah ia maju mendekat dan berkata, “Eh, sekarang kau membawa pedang di lambungmu. Mungkin kau sekarang sudah meningkat. Dari penyamun jalan-jalan sempit yang menghadang penjual ubi ke pasar, menjadi seorang perampok di jalan-jalan yang agak ramai, atau kau sudah berani memasuki rumah Orang dengan pedang terhunus?”
“Tutup mulutmu” bentak Bango Samparan semakin keras, “apakah kau tuli? Ia adalah seorang prajurit. Bukankah ayah pernah mengatakan kepadamu, bahwa Ken Arok justru memimpin sepasukan prajurit Tumapel di Padang Karautan?”
Ken Arok menjadi heran melihat Kuncang menjadi semakin keras tertawa sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Hampir tidak terdengar karena tenggelam dalam derai tertawanya ia berkata, “Aku sudah tahu. Aku sudah tahu bahwa ia seorang hamba istana Tumapel.”
Namun Ken Arok terperajat ketika tiba-tiba saja suara tertawa Kuncang berhenti. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang dan suaranya bergetar “Kenapa ayah bawa anak ini kemari? Ayah, aku tidak senang melihat tampangnya. Semasa kita berkumpul di rumah ini. Ken Arok sama sekali tidak dapat bergaul dan bermain dengan kita, justru saat itu ia seorang panjahat muda yang paling licik. Sekarang kita semua menjadi penjudi dan mungkin penjahat, tetapi anak ini sudah menjadi seorang hamba istana. Terus-terang aku tidak mempercayainya lagi.”
Sepercik warna merah menjalar di wajah Bango Samparan. Kemarahannya telah melonjak naik kekepala. Namun dengan demikian mulutnya seakan-akan telah terkunci, sehingga meskipun mulutnya bergerak-gerak namun tidak sepatah kata pun yang meloncat dari bibirnya. Sementara itu Ken Arok pun se-olah-olah membeku di tempatnya. Ia lebih banyak berjuang untuk menahan dirinya sendiri dari pada memperhatikan sikap Bango Samparan itu.
Karena Keduanya tidak menjawab, maka Kuncang pun berkata pula, “Nah, karena itu, maka sebaiknya anak ini tidak ayah bawa ke rumah kami. Aku ingin mempersilahkannya dengan rendah hati untuk meninggalkan halaman ini."
Bango Samparan sudah tidak dapat menahan dirinya lagi Kemarahannya sudah memuncak sehingga tanpa disadarinya ia meloncat maju dengan cepatnya sambil mengayunkan tangannya ke wajah anak keduanya itu. Tetapi ternyata Kuncang bukan sepotong tonggak yang mati, dengan sederhana sekali ia melangkah mundur sambil menarik wajahnya, sehingga tangan Bango Samparan lalu hanya senyari di hadapan hidungnya.
“Ah,” desah Kuncang, “ayah terlampau lekas marah. Kenapa ayah membela anak angkat ayah yang kini sudah menjadi hamba istana itu dengan mati-matian? Jangan membuat aku marah kepadanya ayah. Mungkin aku tidak akan melawan ayah bagaimanapun gilanya aku, justru karena aku seorang anak. Tetapi Ken Arok itu bukan sanak bukan kadang. Kalau aku kehilangan pikiran, aku akan mencincangnya di sini.”
“Tutup mulutmu, tutup mulutmu”, teriak Bango Samparan, “akulah yang mengajaknya kemari. Aku telah memaksanya meskipun ia keberatan. Sekarang kau bersikap seperti setan.”
“Aku memang tidak ingin melihatnya datang ke rumah ini. Sejak kami masih amat muda, kami sudah tidak pernah sepaham. Apalagi sekarang.”
“Kau belum tahu apa yang sudah dikerjakannya untukku. Kau belum melihat, bahwa ia tidak berubah seperti dahulu. Kau belum mengerti bahwa ia akan bersikap lain terhadapmu dan saudara-saudaramu.”
Kuncang tidak segera menjawab. Tetapi yang terdengar adalah suara tertawanya. Ketika ia melontarkan pandangan matanya ke sisi rumahnya, suara tertawa itu justru meninggi. Ken Arok den Bango Samparan pun segera berpaling ketika mereka mendengar suara tertawa pula. Tetapi nadanya jauh berbeda dari suara Kuncang. Suara itu terlampau rendah pendek.
“Hem”, desah Ken Arok di dalam hatinya, “aku benar-benar masuk daerah hantu.”
“Selamat datang kakang”, suara itu tetap bernada rendah.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sebelum ia menjawab terdengar Bango Samparan berkata, “Engkau ada pula, di rumah. Kau tentu tidak akan berkeberatan seperti adikmu yang gila itu. Kau pasti akan menyambutnya dengan baik. Bukan begitu?”
Orang yang berdiri di samping rumah yang kotor itu adalah anak Bango Samparan yang tertua, Panji Bawuk. Wajahnya yang kehitam-hitaman dibakar oleh sinar matahari, keningnya yang menjorok dan matanya yang cekung, membuatnya seolah-olah dilapisi oleh suatu rahasia yang tidak terpecahkan. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Suara tertawanya yang datar dan bernada rendah terdengar lagi. Agak lebih panjang. “Ayah telah membawa mainan yang baik sekali buat kami” desis Panji Bawuk.
Meskipun kata-kata itu diucapkan seolah-olah dengan acuh tak acuh saja, namun serasa meledak di dalam dada Ken Arok, Segera ia dapat menangkap maksudnya. Panji yang sulung ini sejak mereka masih terlampau muda, adalah seorang anak yang bengis dan keras. Setiap kali mereka bertengkar, dan bahkan berkelahi.
Bango Samparan pun terperanjat mendengar jawaban itu. Dengan wajah yang tegang ia berkata. “He, apakah kau juga sudah gila seperti adikmu?”
“Kami memang sama-sama gila ayah.” sahut Panji Bawuk, “tetapi biarlah aku berterima kasih, bahwa ayah telah membawanya kemari."
“Persetan, persetan” Bango Samparan berteriak, kemudian berpaling kepada Ken Arok, “jangan hiraukan mereka. Mari kita masuk ke rumah. Rumah ini rumahku. Aku berhak menerima siapa saja di dalam rumahku sendiri.”
Bango Samparan tidak mempedulikan lagi kedua anaknya. Segera ia melangkah. Tetapi sekali lagi ia tertegun ketika ia melihat seorang anak muda yang lain berdiri di tengah-tengah pintu, sambil berpegangan kedua sisinya dengan kedua tangannya yang mengembang.
“Apa gunanya kau datang juga ke rumah ini kakang” berkata orang itu dengan nada yang meninggi, “sekarang kau menjadi semakin tampan. Wajahmu mirip benar dengan Akuwu di Tumapel, meskipun aku belum pernah melihatnya. Pakaianmu bagus dan pedang itu sangat menarik hati.”
“Minggir, minggir kau” teriak Bango Samparan, “minggir. Jangan ikut campur seperti kakakmu yang gila itu.”
Anak muda yang berdiri di tengah-tengah pintu itu adalah anak Bango Samparan yang ketiga. Panji Kunal...
“Terlampau cepat untuk berbicara tentang hal itu. Yang dihadapinya sekarang adalah seorang perempuan yang sudah bersuami. Maka itu adalah perbuatan yang salah. Memang agak berbeda soalnya apabila prajurit yang kau katakan itu berbicara tentang seseorang yang sudah tidak bersuami lagi."
Debar di dada Ken Arok serasa terhenti sejenak. Dipandanginya wajah orang tua yang duduk di hadapannya. Namun, ketika pandangan mata mereka bertemu, Ken Arok segera menundukkan kepalanya. Sorot mata orang tua itu terlampau damai, terlampau sejuk. Kedamaian dan kesejukannya itulah yang baginya merupakan pisau yang paling tajam yang membelah jantungnya. Bagi hati yang sedang menyala, dibakar oleh nafsu yang paling dalam, maka sikap Lohgawe itu merupakan hantu yang paling menakutkannya.
Tetapi, Ken Arok yang tertunduk itu ternyata berusaha untuk tidak terkalahkan. Ia ingin tetap memenangkan pendirian itu apapun alasannya. Ia tetap ingin pendeta tua itu berkata kepadanya, bahwa jalan satu-satunya, meskipun tidak terlalu bersih. Ia ingin mendengar pendeta tua Itu, setidak-tidaknya tidak menentang pendiriannya dan menganggapnya telah berbuat salah. Karena itu, ketika hatinya tidak tertahankan lagi ia berkata, “Kalau begitu tuan, aku akan menjawab kepada prajurit itu, bahwa sebaiknya ia mengambil perempuan itu setelah ia menjadi seorang janda. Bukankah tidak ada halangannya apabila demikian?"
Lohgawe mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata “Begitulah Tetapi kenapa ia harus menunggu seorang perempuan menjadi janda. Prajurit itu tidak tahu, apakah umurnya akan lebih panjang dari umur laki-laki suami perempuan itu."
“Prajurit itu dapat berusaha” tiba-tiba saja dengan serta merta Ken Arok menyahut, “laki-laki itu dibunuhnya. Dengan demikian, maka pintu sudah akan terbuka.”
Jawaban yang tidak tersangka-sangka itu ternyata telah membuat Lohgawe sangat terkejut sehingga darahnya serasa berhenti mengalir. Sejenak ia duduk membeku. Wajahnya yang tenang, tiba-tiba berubah seperti lautan yang dihantam badai. Bergejolak dahsyat sekali. Bergumpal-gumpal alun sebesar gunung anakan berturut-turut menepi, menghantam tebing, melepaskan suara yang gemuruh.
Perubahan sikap dan wajah Lohgawe itu telah mengejutkan Ken Arok pula. Tiba-tiba, ia tersadar, apa yaag telah dikatakannya. Tiba-tiba ia sadar, apa yang melonjak di dalam dadanya. Karena itu, tiba-tiba pula Ken Arok seakan-akan terlempar ke dalam dunia kesadarannya setelah ia melambung tinggi ke dalam dunia yang hitam pekat. Tanpa disengajanya, sorot mata pendeta tua itu membentur pandangan matanya. Terasa sorot mata itu langsung menghunjam ke dalam dadanya. Bukan sorot mata yang damai dan sejuk seperti semula, tetapi sorot mata itu kini memancarkan kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat.
Dengan serta merta Ken Arok memalingkan wajahnya. Terasa desir yang sangat tajam membelah jantungnya, sehingga sejenak ia terbungkam. Dadanya menjadi gemetar, dan tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat dingin yang mengalir seolah-olah terperas dari dalam kulitnya.
Sesaat ruangan itu menjadi sepi. Terlampau sepi, Yang terdengar hanyalah desah nafas mereka berdua. Namun bagi Ken Arok, sorot mata Lohgawe yang menyimpan kekhawatiran dan kecemasan itu, serasa selalu menusuk-nusuk jantungnya. Mata itu seakan-akan berbicara kepadanya, bahwa sebenarnya orang tua itu telah melihat apa yang tersembunyi di dalam dadanya. Seolah-olah orang tua itu mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah pusat jantungnya sambil berkata,
“Disinilah tersimpan sumber kejahatan yang paling pekat. Sejak kau masih berkeliaran di Padang Karautan jantung itu sudah hitam kelam. Kemudian aku mencobanya untuk memulasnya. Tetapi menyesal sekali, bahwa pada saatnya, warna yang sebenarnya akan tumbuh kembali, hitam pekat. Seperti hitamnya arang kayu keling.”
Tiba-tiba Ken Arok itu tidak dapat menahan diri lagi. Perasaan bersalah telah menghentak-hentak di dadanya. Dan tiba-tiba tanpa disangka-sangka ia bertiarap di muka pendeta tua yang bernama Lohgawe. Seperti anak-anak ia tidak dapat menahan titik air dari sepasang matanya yang hitam. “Ampun tuan. Ampunilah aku."
Lohgawe menjadi semakin heran. Namun sejenak kemudian ia tersenyum. Disentuhnya kepala anak muda itu sambil berkata lembut “Duduklah anakku.”
Kata-kata yang lembut itu semakin membuat hati Ken Arok menjadi pedih. Seperti anak-anak ia terisak. Terputus-putus ia berkata, “Tuan, kenapa aku tidak tuan bunuh saja pada saat tuan menemukan aku. Atau tuan berkata berterus terang kepada Akuwu Tunggul Ametung, bahwa akulah sebenarnya orang yang paling jahat di Tumapel, yang selama ini selalu diburu-buru sebagai hantu di Padang Karautan.
“Duduklah Ken Arok” berkata Lohgawe masih dalam nada yang terlampau lembut “apakah yang sebenarnya telah terjadi atasmu? Katakanlah.”
“Tuan, aku kira tuan telah tahu apakah yang sebenarnya terjadi atasku. Karena itu tuan, sebaiknya tuan berusaha untuk membunuh aku dari pada aku terjerumus ke dalam dosa yang paling besar. Dosa yang lebih besar dari pada dosa yang pernah aku lakukan di Padang Karautan."
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya sejak ia mendengar persoalan yang diajukan oleh Ken Arok ke padanya, ia telah merasakan, bahwa Ken Arok tidak berkata sewajarnya. Tidak berkata sejujurnya. Meskipun demikian, persoalan yang sebenarnya telah membuatnya berdebar-debar pula. Namun debar di dadanya yang tua itu sama sekali tidak berkesan di wajahnya lagi. “Duduklah Ken Arok?” katanya pula.
Perlahan-lahan Ken Arok bangkit dan duduk sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyembunyikan matanya yang basah. Sebagai seorang laki-laki, mata itu tidak pernah mengembun setitikpun. Apalagi mengalirkan beberapa butir air mata. Namun kini Ken Arok itu menangis.
“Aku ingin mendengar persoalanmu dari mulutmu Ngger. Aku tidak mau sekedar menduga-duga. Sebab, betapa jelasnya sesuatu persoalan, namun tangkapan seseorang mungkin tidak tepat seperti apa yang sebenarnya terjadi."
Ken Arok, seorang yang pernah menggemparkan Padang Karautan dengan sebutan Hantu Karautan, seorang yang pernah meloncati sebuah bengawan hanya dengan sehelai daun tal, seorang yang tidak mati oleh benturan kekuatan puncak dari seorang iblis Kemundungan yang bernama Kebo Sindet, seorang yang telah berhasil memimpin para prajurit Tumapel di Padang Karautan itu, kini sedang terisak seperti seorang gadis cengeng ditinggal kekasih.
“Tuan. Aku adalah orang yang paling jahat di dunia ini, yang tidak sepantasnya lagi untuk ikut serta menghirup segarnya udara” suara Ken Arok datar penuh penyesalan.
“Katakanlah Ken Arok” berkata Lohgawe.
Kata-katanya yang lembut, itu seakan-akan telah mencengkam Ken Arok dalam suatu pesona yang tidak mungkin dapat dihindarinya. Karena itu, maka setelah beberapa kali ia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik nafas panjang maka mulailah ia dengan kisahnya. Kisah tentang seorang prajurit seperti yang dikatakannya. Tetapi, ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa prajurit itu tidak lebih dan tidak kurang adalah dirinya sendiri.
Kepada Lohgawe yang tua itu, yang telah memungutnya dari Padang Karautan dan menyerahkannya kepada Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok tidak dapat ingkar sama sekali. Dan sebenarnyalah bahwa Ken Arok telah mengatakan sebenar-benarnya, apa yang terjadi atas dirinya.
Pendeta tua itu sama sekali sudah tidak terkejut lagi. Ia telah menduga, bahwa demikianlah yang sudah terjadi. Namun, di hatinya yang penuh kedamaian, melonjaklah keprihatinan yang pedih. Anak yang telah berhasil dipungut dari padang itu kini hampir terjerumus kembali ke dalam daerah yang hitam. Kepalanya yang telah ditumbuhi oleh rambut yang memutih itu terangguk-angguk. Kemudian perlahan-lahan ia berkata,
“Kau wajib bersyukur Ngger, bahwa semuanya itu belum terjadi. Semuanya itu baru terbayang di dalam angan-angan. Seandainya, ya seandainya kau telah melakukannya, maka aku akan bersedih karenanya. Bukan saja karena aku seorang pendeta yang tidak akan dapat membenarkan perbuatan serupa itu, tetapi terlebih-lebih dari pada itu, aku adalah orang yang membawa mu ke Istana Tumapel. Akulah yang menyerahkan kau kepada Akuwu Tunggul Ametung, sehingga, mau tidak mau aku akan ikut bartanggung jawab atas semua perbuatanmu. Bukan saja pertanggungan jawab lahiriah. Bukan karena aku takut, bahwa aku akan dihukum pula karenanya, tetapi lebih dari pada itu. Seolah-olah akulah yang telah menjerumuskan kau ke dalam suatu simpang jalan yang hanya baik di permukaannya saja. Tetapi, jalan itu menuju ke dalam lembah yang curam dan mengerikan. Juga dengan demikian aku telah memasukkan serigala yang buas ke dalam istananya yang kelak ternyata telah membunuhnya."
Denyut jantung Ken Arok serasa menjadi semakin cepat. Meskipun kemudian ia tidak terisak lagi, namun dadanya seakan-akan telah tersumbat, sehingga nafasnya pun menjadi terengah-engah.
“Sudahlah Ken Arok. Lupakan semuanya itu. Lupakan angan-angan tentang seorang perempuan yang tubuhnya bercahaya seperti matahari dan wajahnya cantik seperti bulan. Bukan hanya itu, tetapi lupakan pula, bahwa di dalam hati pernah tumbuh suatu maksud yang akan menyeretmu ke dalam malapetaka. Bertekadlah untuk tetap berbuat baik seperti yang telah kau lakukan sekarang. Sehingga kau akan dijauhkan dari kutuk dan laknat. Ken Arok, apabila kau tidak dapat melepaskan semuanya itu, maka akan berakhirlah hidup seorang pemimpin yang sampai saat ini dianggap cukup baik. Dan bersamaan dengan itu lahirlah seorang yang lebih liar dan buas dari binatang di hutan."
Ketika pendeta tua itu berhenti sejenak, dilihatnya di dalam mata Ken Arok penyesalan yang dalam, yang sudah masuk menghunjam terlampau dalam pada hitam matanya yang suram.
“Apakah kau menyesal Ken Arok?”, bertanya Lohgawe kemudian.
“Ya tuan. Aku sangat menyesal, bahwa suatu ketika, di dalam hatiku sempat tumbuh pikiran yang demikian jahatnya”
“Bagus. Panyesalan adalah permulaan dari perbaikan jalan pikiranmu yang sedang dihinggapi oleh iblis itu. Kau harus memenangkannya. Kau harus dapat mengendalikan dirimu sebagai seorang manusia yang beradab dan mempunyai rasa terima kasih.”
“Ya tuan. Aku akan berusaha. Aku akan mencari jalan terang, dan mendapatkan pikiran yang bening.”
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Bagus. Cobalah menemukan pikiran yang jernih itu. Kau akan berhasil apa bila kau berusaha.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tuan, aku akan mempergunakan waktu beristirahat ini untuk menertibkan angan-anganku. Aku akan manjelajahi beberapa tempat yang dapat memberi kesegaran bagiku."
“Kau akan pergi kemana anakku.”
Ken Arok menggeleng “Aku belum tahu tuan. Tetapi aku harus menjauhi istana untuk menenangkan hati. Aku harus terlepas seutuhnya dari segala macam sentuhan yang memungkinkan api berkobar di dalam dada yang pada dasarnya telah berwarna hitam ini."
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Mungkin kau berhasil Ngger. Mudah-mudahan di sepanjang perjalananmu, dapat kau temukan cara sebaik-baiknya untuk melupakan segala macam persoalan yang hampir saja menodai hatimu”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah Tuan. Aku akan berangkat, dari rumah ini malam nanti.”
“He, Lohgawe mengerutkan keningnya, “begitu tergesa-gesa?”
“Waktuku beristirahat terlampau singkat. Aku ingin tidak kehabisan waktu”
“Kau akan pergi kemana?”
“Mungkin aku akan kembali ke Padang Karautan. Aku akan tinggal bersama Mahisa Agni di dekat bendungan. Tetapi mungkin juga aku tidak pergi ke sana.”
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti, kenapa Ken Arok ingin pergi menjauhi istana. Yang penting baginya, bukan akan pergi kemana, tetapi yang penting adalah pergi dari Tumapel untuk sementara, untuk menemukan pepadang di hatinya. “Baiklah Ken Arok” berkata Lohgawe kemudian, “mungkin kau menemukan persoalan yang sangat menarik perhatianmu, sehingga kau dapat melupakan persoalan yang pelik ini.”
Maka benarlah, di malam harinya, Ken Arok berangkat meninggalkan Tumapel di masa istirahatnya beberapa hari. Ia berjalan saja menyusuri jalan-jalan kota, kemudian berbelok memilih sebujur jalan yang panjang, seakan-akan tidak berujung, meninggalkan kota Tumapel. Ken Arok sama sekali tidak tahu dan tidak merencanakan, kemana ia akan pergi. Dengan beberapa helai pakaian, sekedar bekal dan sebilah pedang di lambungnya, ia berjalan perlahan-lahan ke jurusan yang tidak direncanakannya lebih dahulu.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka kakinya telah berjejak di atas jalan berbatu-batu di antara tanah-tanah persawahan yang sedang menghijau. Angin yang silir menggerakkan daun-daun pagi yang gemerisik, seperti sedang bersenandungkan sebuah kidung selamat jalan. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara burung malam yang ngelangut di sela-sela suara cengkerik yang berderik-derik. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan di malam hari terasa sangat sejuknya. Di langit tidak ada matahari yang seakan-akan membakar tubuh. Tidak banyak ditemuinya orang-orang yang berjalan simpang siur dalam kesibukan masing-masing. Tidak terlampau banyak debu yang berserakan mengotori udara yang panas.
Kadang-kadang memang sering juga ditemuinya seorang dua orang yang sedang mengairi sawahnya. Mereka memandanginya dengan penuh pertanyaan. Ken Arok menyadari, bahwa bungkusan yang dijinjingnya dan senjata yang tergantung di lambungnya memang dapat menumbuhkan kecurigaan. Tetapi, mereka akan segera melupakannya apabila tidak terjadi sesuatu di daerah ini.
Terasa tubuh Ken Arok kian lama menjadi kian segar, sesegar pada saat-saat ia berada di Padang Karautan. Di Padang Karautan dalam keadaan yang berbeda. Sebagai Hantu Karautan yang menakutkan, dan sebagai seorang pemimpin prajurit Tumapel yang sedang mengemban tugas perikemanusiaan. Pada kedua kesempatan itu ia selalu menikmati segarnya udara di malam hari, di padang yang luas, di bawah lingkupan langit yang terbentang tidak terbatas.
Demikianlah, maka perjalanan Ken Arok itu semakin lama menjadi semakin jauh. Tetapi ternyata jalan yang ditempuhnya sama sekali bukan jalan yang menuju ke Padang Karautan. Jalan itu adalah jalan yang lain. Namun jalan ini pun telah dikenalnya pula dari ujung sampai ke ujung. Jalan ini adalah jalan yang menuju ke suatu tempat yang sama sekali tidak terangan-angankan olehnya untuk dikunjunginya. Ia berjalan saja seakan-akan kehilangan kesadarannya, bahwa ia akan sampai ke suatu tempat yang tidak di inginkannya.
Ternyata bahwa tubuh Ken Arok benar-benar memiliki kemampuan yang luar biasa. Semalam suntuk ia berjalan tanpa berhenti sama sekali, meskipun langkahnya terayun seenaknya. Ia menyadari dirinya ketika dilihatnya terontong- terontong merah di langit.
“Hampir fajar”, desisnya. Perlahan-lahan ia menarik nafas. Sekali, dua kali, seakan-akan ingin menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya. Udara yang segar dan sejuk.
“Aku harus beristirahat”, katanya kepada diri sendiri, “aku harus mendapat tempat untuk membersihkan diri, supaya kalau aku berjalan lagi dan bertemu dengan banyak orang, tidak segera menarik perhatian mereka.”
Ken Arok pun segera menuruni tebing sungai. Tetapi ia tidak segera membersihkan dirinya. Dicarinya sebuah batu yang besar yang terlindung oleh semak-semak yang rimbun. Perlahan-lahan diletakkannya tubuhnya berbaring di atas batu itu untuk beristirahat. Langit yang kemerah-merahan menjadi semakin lama semakin cerah. Bintang-bintang yang gemerlapan satu-satu hilang seperti ditelan oleh birunya langit yang terhampar terlampau luas. Ken Arok yang terbaring menatap warna-warna yang semakin cerah oleh sinar matahari yang mulai merayap ke atas punggung bukit.
“Aku dapat tidur di sini sejenak, gumam Ken Arok, “tempat ini baik sekali letaknya. Terlindung oleh rerungkutan yang liar. Tidak tampak dari jalan yang menyilang sungai ini, tetapi juga terlindung dari panas matahari pagi."
Dan Ken Arok yang kelelahan itu pun kemudian memejamkan matanya. Tempat itu cukup tenang. Sebuah hutan yang rindang yang terbentang di sisi yang lain, langsung berhubungan dengan pategalan yang membujur di pinggir jalan yang baru saja dilaluinya, membuat udara terlampau sejuk. Sedang suara air yang gemericik terdengar seperti senandung seorang ibu yang menidurkan anaknya. Angin pagi yang mengusap tubuh Ken Arok, membuainya semakin kantuk, sehingga sejenak kemudian ia pun lelap dalam tidur yang nyenyak.
Ken Arok tidak menyadari, berapa lama ia tertidur. Tetapi kemudian terasa sinar matahari yang semakin tinggi, telah merayapi kulitnya dari sela-sela pepohonan. Perlahan-lahan Ken Arok membuka matanya. Kemudian perlahan-lahan pula ia menggeliat dan bangkit duduk di atas batu pembaringannya. Terasa tubuhnya menjadi semakin segar dan perasaan lelahnya sama sekali sudah lenyap.
“Aku sudah siap untuk berjalan lagi” katanya di dalam hati perlahan-lahan ia turun dari atas batu untuk segera membersihkan dirinya.
Tetapi, tiba-tiba ia tertegun. Ia mendengar percikan air yang agak asing. Semakin lama semakin jelas. Karena itu, maka ia justru melangkah surut dan berlindung di balik rimbunnya dedaunan. Telinganya yang tajam segera dapat menangkap, bahwa suara itu adalah suara langkah orang berlari-lari di dalam air. Semakin lama suara semakin dekat. Namun dari kejauhan masih didengarnya suara yang lain. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang.
“Mereka saling berkejaran” desis Ken Arok. Dengan demikian maka terdorong oleh keinginannya untuk mengetahui apa yang telah terjadi, Ken Arok segera merayap maju di balik rumput alang-alang. Dari sela-sela daunnya yang rimbun, ia melihat seseorang berlari-lari menyusur sungai. Agak jauh di belakangnya, beberapa orang yang lain mengejarnya sambil mengacu-acukan senjata mereka.
“Jangan sampai ia lolos kali ini.” berkata salah se orang dari mereka yang mengejarnya.
“Tangkap, hidup atau mati” sahut yang lain.
Yang dikejar sama sekali tidak menyahut. Ia masih saja berlari kencang-kencang. Ternyata di tangannya juga tergenggam sepucuk senjata. Sebuah parang.
“Pengecut” teriak seseorang yang mengejar itu “kau mau lari kemana?”
Tiba-tiba orang yang dikejarnya itu meloncat ke tepian yang agak luas, di atas rerumputan dan di antara pohon perdu. Kini ia tidak lari lagi, tetapi ditunggunya orang-orang yang mengejarnya. Mereka telah menjadi terlampau dekat. Agaknya ia sadar bahwa tidak ada gunanya lagi untuk mencoba melarikan diri.
“Nah, apakah kau menyerah? Aku kalungkan batu di lehermu kemudian aku rendam kau di dalam air.
“Lakukanlah kalau kalian sudah berhasil membelah dadaku.” sahut orang yang dikejar, “aku tidak akan menyerahkan hakku itu kepada siapapun.”
“Omong kosong” sahut yang lain “itu sama sekali bukan hakmu, karena kau melakukan kecurangan.”
“Persetan.” Beberapa orang yang mengejarnya segera berloncatan pula dari tepian yang berlumpur. Ternyata ada empat orang. Mereka segera mengepung orang yang mereka kejar.
“Serahkan” geram salah seorang yang mengejarnya
“Kepada siapa aku harus menyerahkan?” sahut orang yang dikejarnya “Sebentar lagi kalian berempat akan mati. Mayat kalian akan mengotori sungai yang bening itu.”
“Jangan membual. Kau akan mencoba mencari kesempatan untuk melarikan diri.”
“Sekarang tidak. Ternyata kalian tinggal empat orang. Mana yang lain? Mungkin aku telah berhasil membunuh tiga atau empat di antara kalian. Nah, bukankah tiga atau empat orang yang lain menjadi ketakutan dan tidak melanjutkan pengejaran? Sekarang kalian tinggal berempat. Apakah daya kalian untuk melawan aku?”
Ke empat orang yang mengejarnya saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang berkata “Dengan empat orang kami akan lebih leluasa bergerak. Kami akan mendapat kesempatan lebih baik untuk membelah dadamu. Selagi kami masih terlampau banyak, kami tidak dapat berbuat dengan sepenuh kemampuan kami. Sekarang, jangan kau mengharap dapat lepas dari tangan kami.”
Tiba-tiba orang yang dikejar itu tertawa berkepanjangan. Suara tertawanya mengandung tenaga yang mampu mengecilkan hati lawan. Di antara derai tertawanya ia berkata, “Tikus-tikus yang malang. Kau sangka kalian cukup mampu untuk melawan aku?”
“Jangan mencoba menakut-nakuti. Serahkan saja hasil kecuranganmu itu.”
Suara tertawanya menjadi semakin keras. Namun tiba-tiba suara tertawa itu berhenti. Meledaklah kata-katanya yang kasar, “Setan alas. Pergi kalian berempat he? Jangan ikuti aku lagi. Aku sudah muak. Atau kalian akan mati bersama-sama di sini.”
Ke empat orang yang mengejarnya tidak menyahut. Tetapi mereka segera menyiapkan dirinya. Selangkah mereka maju, melingkari orang yang mereka kejar.
Ken Arok yang masih bersembunyi mencoba melihat orang-orang itu lebih seksama lagi. Orang yang berdiri di tengah-tengah kepungan itu adalah seorang yang bertubuh tinggi, kokoh dan berdada lebar. Di wajahnya tumbuh kumis, janggut dan jambang yang lebat. Sedang rambutnya yang panjang terurai kusut. Ikat kepalanya hanya begitu saja dilingkarkan di atas kepalanya dan diikat di ujung belakang.
Sejenak kemudian orang itu menggeram. Parangnya yang agak panjang telah bergetar. Ken Arok menjadi tegang. Ia melihat sikap orang itu dengan dada yang berdebar-debar. Sikap itu cukup meyakinkan bahwa orang yang bertubuh tinggi tegap itu memang memiliki kemampuan yang cukup untuk membanggakan diri. Sedang ke empat orang yang memutarinya pun agaknya memiliki bekal pula untuk bertempur.
“Menyerahlah”
Ken Arok masih mendengar seseorang berkata. Tetapi yang kemudian didengarnya sama sekali bukan jawaban atas bentakan itu. Yang terdengar orang yang berkumis dan berjambang lebat itu berteriak nyaring. Sehingga sejenak kemudian mereka telah terlibat di dalam perkelahian yang sengit. Ken Arok terpaku melihat perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru itu. Ke empat orang yang berkelahi bersama-sama di satu pihak, agaknya cukup kuat untuk melawan orang yang berkumis yang ternyata memang mempunyai beberapa kelebihan dari lawan-lawannya. Namun dengan menggabungkan ke empat kekuatan, maka perkelahian itu menjadi seolah-olah seimbang.
Ketika perkelahian itu menjadi semakin seru, maka perhatian Ken Arok pun menjadi semakin besar terhadap orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Perlahan-lahan ia merangkak semakin dekat, supaya ia dapat menyaksikan perkelahian itu semakin jelas. Dari tempatnya ia masih terhalang oleh dedaunan, sehingga kadang-kadang ia kehilangan kesempatan untuk menyaksikan ayunan senjata-senjata di antara perkelahian yang sedang berlangsung itu.
Semakin dekat, Ken Arok dapat melihat semakin jelas wajah-wajah yang tegang dan keras di dalam lingkaran perkelahian. Dilihatnya sorot mata yang menyala oleh kemarahan dan dendam. Tiba-tiba dada Ken Arok itu berdesir ketika ia dapat melihat semakin jelas lagi salah seorang dari mereka yang berkelahi itu. Sejenak Ken Arok terpaku di tempatnya. Tiba-tiba saja terasa nafasnya memburu. Setitik peluh dingin telah membasahi keningnya. Namun ia masih tetap tidak beranjak di tempatnya. Ia masih saja melihat orang-orang itu berkelahi. Seorang melawan empat orang.
“Hem, apa pula yang mereka persoalkan?" pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya. Kalau saja ia tidak ingin tahu, persoalan apa yang sedang terjadi di antara mereka, maka Ken Arok pasti akan segera mengambil keputusan. Baginya akan lebih baik menghindar, dari pada menemui orang yang sudah dikenalnya itu. Tetapi agaknya ia telah terikat oleh pertanyaan yang menyentuh hatinya itu. Apa yang mereka persoalkan?
Tanpa sesadarnya Ken Arok justru merangkak semakin dekat. Hatinya yang berdebar-debar menjadi semakin berdebar-debar. Sedang perkelahian itu pun kian lama kian bertambah seru. Agaknya mereka telah benar-benar tenggelam dalam nafsu yang menyala-nyala, sehingga mereka telah benar-benar bertempur dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Dalam beberapa saat Ken Arok masih melihat perkelahian itu seimbang. Yang seorang ternyata benar-benar memiliki ilmu yang cukup mantap untuk melawan ke empat lawannya, meskipun kelimanya mempunyai ciri yang serupa. Kasar dan keras.
“Mereka bukan orang baik-baik," desis Ken Arok di dalam hatinya. Dengan demikian, maka Ken Arok dapat mengambil kesimpulan meskipun belum pasti, bahwa persoalan yang di pertengkarkan itu pun pasti persoalan di antara orang yang berhati hitam.
Sesaat kemudian, Ken Arok merasa bahwa ia sama sekali tidak berkepentingan dengan mereka. Katanya di dalam hati “Apapun yang terjadi, aku tidak akan turut campur. Aku tidak mau terlibat ke dalamnya. Terlebih-lebih lagi aku tidak mau bertemu lagi dengan orang itu. Namun ketika Ken Arok hampir beringsut meninggalkan mereka ia mendengar suara tertawa membelah gemericiknya air, dibarengi oleh sebuah keluhan yang tertahan. Sejenak kemudian suara tertawa itu pun meninggi seperti membelah isi dada.
Ken Arok yang sudah bertekad untuk pergi itu pun tertegun. Ketika ia melihat salah seorang dari ke empat orang yang bertempur bersama-sama, terhuyung-huyung terdorong ke belakang. Dari dadanya memancar darah yang merah segar.
“Ha, kau lihat," berkata orang yang bertubuh tinggi berkumis yang harus bertempur melawan ke empat lawannya, “satu lagi di antara kalian terluka. Sebentar lagi ia akan mati. Disusul oleh seorang lagi, seorang lagi dan yang terakhir akan mengalami nasib yang paling pahit."
“Jangan sombong,” potong salah seorang lawannya, “adalah kebetulan sekali kau dapat melukainya. Tetapi sebentar lagi kaulah yang akan mampus di sini."
Suara tertawanya meledak lagi, sedang senjatanya masih saja berputar dengan dahsyatnya. “Lebih baik kalian pergi," terdengar suaranya mengguntur.
“Berikan dahulu barang itu.”
“Persetan” laki-laki yang berkelahi seorang diri itu menggeram. Suara tertawanya tiba-tiba terputus “sudah aku katakan. Kalian tidak dapat memilikinya. Itu adalah hakku.”
“Kau curang.”
“Siapakah yang tidak curang di antara kita.”
“Memang, kita adalah orang-orang yang curang. Tetapi tidak terhadap kawan sendiri.”
“Kalau bukan aku yang curang, maka kalianlah yang akan curang. Tetapi apa boleh buat. Kita memang hidup dalam lingkungan ini. Sekarang siapa yang kuat yang akan memilikinya."
“Itu adalah tata cara hidup di dalam hutan, di antara binatang-binatang buas yang tidak mengenal adat."
Sekali lagi suara tertawa orang itu meledak. Jawabnya, “Kau kira kita ini baik dari binatang hutan? Tidak. Itu hanya sebuah mimpi yang mengasikkan. Kita bersama-sama telah menyamun sekumpulan pedagang. Akulah yang bekerja paling berat. Kemudian kita sudah membagi semua hasilnya dengan baik. Kalau kemudian hasil itu kita perjudikan, dan memiliki hampir semua hasil rampasan itu, bukankah itu sudah sewajarnya."
“Tetapi ternyata kau curang. Kau memalsukan permainan itu.”
“Itupun memerlukan kecakapan tersendiri. Nah, sekarang kalian tinggal bertiga. Lihat kawanmu yang terluka itu sudah hampir mati. Sekarang baiklah bersetuju, siapa yang menang di dalam perkelahian ini, adalah mereka yang memiliki permata itu. Permata sekarang ada di dalam kantung ikat pinggangku. Ambillah siapa saja yang mampu.”
“Setan alas.”
“Kita tidak usah terlampau banyak bicara.”
Mareka pun kemudian terdiam. Tetapi perkelahian itu pun menjadi kian seru. Kini tinggal tiga orang sajalah yang berkelahi. Yang seorang agaknya menjadi parah dan terbaring sambil mengerang kesakitan.
Keringat dingin di dahi Ken Arok menjadi kian banyak mengembun. Sejenak ia teringat, saat ia berada di Padang Karautan. Pada saat ia mencegat orang-orang yang lewat. Kemudian melihat wajah-wajah yang pucat ketakutan sebelum pisaunya menghunjam ke dadanya.
“Huh” tiba-tiba Ken Arok memejamkan matanya. “Suatu kenangan yang paling pahit” keluhnya di dalam hati. “Memang lebih baik aku pergi.”
Namun ketika sekali lagi Ken Arok mundur setapak, sekali lagi ia mendengar jerit kesakitan. Satu lagi di antara ketiga orang yang berkelahi bersama-sama itu terlempar dan jatuh terguling di atas tanah berlumpur. Disusul oleh suara tertawa yang mengguruh berkepanjangan. Semakin lama semakin keras penuh kebanggaan atas kemenangan-kemenangan yang diperolehnya.
Kini yang berkelahi melawan orang yang bertubuh tinggi kekar, berkumis dan berjambang lebat itu tinggal dua orang lagi. Yang dua telah terkapar di atas tanah berlumuran darah dan lumpur. Keduanya sama sekali sudah tidak berdaya lagi untuk bangun apalagi berkelahi melawan orang yang cukup tangguh itu.
Sekali lagi Ken Arok dilanda oleh kebimbangan. Sebenarnya ia sama sekali tidak ingin mencampuri persoalan orang-orang yang berhati hitam itu. Ia tidak ingin terlibat dalam persoalan mereka. Menilik percakapan mereka, orang-orang itu adalah orang-orang jahat yang memperebutkan milik di lingkaran perjudian.
Tetapi, kini Ken Arok merasakan getar yang lain di dalam dadanya. Sekali lagi salah seorang dari mereka yang berkelahi melawan orang yang berkumis itu menyentuh perasaannya. Ia tidak sampai hati meninggalkannya dalam keadaan yang sulit itu. Kini Ken Arok yakin, bahwa kedua orang yang masih berkelahi itu pun pasti akan mengalami nasib seperti yang lain. Mereka pun pasti akan terluka dan bahkan mungkin akan terbunuh. Terasa dada Ken Arok bergejolak. Orang itu ternyata telah membuatnya bingung. Orang yang sama sekali tidak diharapkannya untuk sekali lagi bertemu.
“Persetan” desisnya kemudian “aku tidak peduli apa yang terjadi atasnya.”
Ken Arok mencoba menggeretakkan giginya. Ia mencoba untuk melepaskan diri dari ikatan yang paling halus, yang telah menahannya untuk tidak beranjak pergi. Sambil menggeretakkan giginya ia menggelengkan kepalanya. Ia mencoba mengusir segala macam perasaannya, segala macam kenangannya atas masa lampaunya. Tetapi ia tidak berhasil. Bagaimanapun juga hidupnya pernah tersangkut pada nama itu. Nama dari salah seorang yang sedang berkelahi berebut milik di lingkaran perjudian. Pada masa kecilnya ia pernah berada di rumahnya. Dipelihara dan dianggapnya sebagai anak sendiri. Karena itu, maka kebimbangan yang sangat telah mencengkam hati Ken Arok yang kini duduk kebingungan di balik daun alang-alang.
“Hem” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam “apakah aku sampai hati membiarkannya? Sebentar lagi ia akan menjadi korban pula. Ia akan mati di atas tanah berlumpur. Mungkin mayatnya akan dilemparkan ke kali itu, hanyut dan akan tersangkut di dekat jalan yang menyilang sungai ini agak ke bawah. Orang-orang yang lewat akan melihat mayat-mayat itu sambil mencibirkan bibirnya. Itulah mayat-mayat penjudi yang saling berebut kecurangan.
Tiba-tiba Ken Arok menggeleng lemah. Katanya “Aku tidak dapat membiarkannya mati, seperti pada saat ia memungut aku, meskipun tidak membuat aku menjadi orang yang baik. Biarlah aku mencoba melepaskannya dari lawannya, kalau mungkin aku dapat melawan kemampuannya. Kemudian aku tidak ingin bertemu dengannya. Kata-katanya masih saja seperti dahulu. Seorang penjudi yang dapat mempengaruhi kesadaranku.” Ken Arok ragu-ragu sejenak, lalu, “aku hanya akan menyelamatkannya. Kemudian aku harus lari menjauhinya.”
Dalam kebimbangan itu, Ken Arok ternyata menjadi agak lengah. Ia bersembunyi terlampau dekat dengan perkelahian itu. Dengan demikian maka gerak daun alang-alang, dan kemudian desah nafasnya, agaknya dapat dilihat dan didengar oleh orang yang bertubuh tinggi kekar dan berkumis lebat. Dengan penuh kecurigaan ia melihat gerak yang tidak wajar pada gerumbul dan daun ilalang. Maka tiba-tiba sebelum Ken Arok sempat mengambil keputusan, apa yang akan dilakukan, orang yang bertubuh tinggi itu berteriak nyaring.
“He, siapakah yang bersembunyi itu?”
Ken Arok terkejut mendengar suara itu. Namun segera ia mengatur perasaannya. Kini ia sudah tidak akan dapat menghindar lagi. Ia pasti akan terlibat. Meskipun demikian ia sekali lagi bertekad “Aku hanya akan berusaha membantunya terlepas dari tangan lawannya. Kemudian aku harus pergi sebelum ia menusukkan racun di dalam dadaku.”
“Siapa yang akan berbuat curang itu he? Ayo, jangan bersembunyi. Tidak akan ada gunanya. Sebentar lagi kedua kawanmu ini akan mati. Segera akan datang giliranmu untuk mati pula. Atau barangkali kau memang menunggu dan ingin melihat, cara yang paling mengasikkan untuk membunuh kedua kawan-kawanmu itu."
Ken Arok tidak menjawab. Ia masih tetap berada di tempatnya. Dan ia mendengar salah seorang dari kedua orang yang berkelahi bersama-sama itu berkata, “he, apakah kau sedang mengigau? Mungkin kau sudah mulai sekarat, sehingga kau sudah membayangkan sesuatu yang tidak ada.”
Orang yang tinggi itu menggeram. Matanya menjadi semakin liar. Dan ia berkata “Persetan. Kalian akhirnya akan mati juga di tanah berlumpur ini. Sekarang aku tidak akan memberi kesempatan lagi kepada kalian untuk lari. Kalian harus mati seperti kedua kawanmu itu dan kawan-kawanmu yang lain."
Kedua lawannya tidak menjawab. Tetapi mereka kini semakin terdesak. Memang sudah tidak ada harapan lagi untuk dapat melepaskan diri. Sekali-sekali mereka mencoba mencari kemungkinan untuk lepas dari lawannya. Tetapi parang orang yang tinggi itu melihat mereka seperti angin pusaran, sehingga seakan-akan tidak ada lubang seujung lidi pun yang dapat diketemukan untuk melepaskan diri.
Namun teriakan orang yang tinggi itu, tentang seseorang yang sedang mengintai menumbuhkan harapan pula di dada mereka. Siapapun orang itu. Kenal atau tidak kenal. Mereka hanya mengharapkan perubahan dari keadaan itu. Apakah perubahan itu menguntungkannya, atau justru mempercepat kematian mereka, sama sekali belum mereka persoalkan.
“He” orang yang berkumis itu berteriak pula, “cepat keluar. Marilah, berkelahilah bersama-sama supaya pekerjaanku lekas selesai. Cepat. Ayo, cepat” orang itu semakin berteriak-teriak sambil terus mendesak kedua lawannya dengan serangan-serangan yang sangat berbahaya, sehingga keduanya sama sekali sudah tidak mempunyai kesempatan apapun lagi.
Dada Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar karenanya. Ketika dilihatnya kedua orang yang berkelahi bersama itu sudah semakin terdesak, maka ia tidak dapat membiarkannya lagi. Maka kemudian ia merangkak semakin dekat lagi sambil menjawab “Baiklah. Aku akan segera datang.”
“Bagus” teriak orang berkumis lebat itu “kemarilah.”
Ternyata jawaban Ken Arok itu telah mengejutkan lawan orang berkumis itu. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berpaling. Ujung parang lawannya menyambar-nyambar seperti lalat di sekitar tubuh mereka. Semakin dekat Ken Arok dengan arena itu hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Bukan karena lawannya yang memang memiliki kemampuan yang garang, tetapi justru karena orang yang akan dibelanya. Yang akan diusahakan untuk diselamatkan.
“Aku harus lari dari padanya” katanya di dalam hati.
“Cepat. Jangan menunggu kedua kawanmu ini menjadi bangkai di tanah berlumpur ini.” teriak orang berkumis itu.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. “Hem, akhirnya aku pasti terlibat. Kalau orang itu mempunyai lingkungan, maka peristiwa ini tidak akan terhenti sampai di sini. Mungkin aku dapat berlindung di dalam pasukanku di Tumapel, sehingga orang itu, atau lingkungannya, atau perguruannya, tidak berani mencari aku. Tetapi bagaimana dengan mereka yang berada di rumah masing-masing?” Namun kemudian dijawabnya sendiri, “Itu adalah persoalan kemudian bagi mereka. Sekarang yang penting, mereka diselamatkan dari maut kalau mungkin.”
Dan sekali lagi Ken Arok mendengar “He, kenapa kau masih bersembunyi?”
“Tidak” sahut Ken Arok, “aku sudah tidak bersembunyi lagi.
Maka perlahan-lahan Ken Arok pun berdiri, sehingga bagian atas badannya segera dapat dilihat oleh orang berkumis itu. Dan ternyata bahwa orang itu terkejut. Keningnya berkerut. Dengan nada berat ia menggeram, “He, orang mana lagi kau? Aku belum pernah melihat tampangmu?”
Ken Arok tidak menyahut. Tetapi ia melangkah maju. Beberapa langkah kemudian ia sudah berada di luar rerumputan, sehingga kini seluruh bagian tubuhny dapat dilihat jelas oleh orang berkumis lebat itu. Sikap Ken Arok ternyata membuat orang itu berdebar-debar. Sejenak orang berkumis itu meloncat mundur, melepaskan kedua lawannya, untuk dapat memandangi orang yang baru ini dengan seksama.
Pada saat itulah kedua lawannya mendapat kesempatan pula untuk berpaling. Mereka pun ingin melihat, siapakah yang telah datang di arena perkelahian itu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka terpekik “He, kau anakku. Oh, kau telah datang untuk menolong ayahmu he?”
Orang itu pun kemudian berlari tertatih-tatih. Dengan penuh gairah digenggamnya lengan Ken Arok dan diguncang-guncangnya, sambil berkata “Kau memang anak yang baik. Kau adalah orang yang paling baik di dunia. Ternyata bahwa aku pun telah kau jalari dengan keberuntungan yang melimpah. Pada saat yang genting ini kau telah datang. Ternyata kau mempunyai pandangan yang sangat tajam tentang keadaan di sekitarmu. Maksudku, di sekitar orang-orang yang penting bagimu. Kalau tidak, maka kau tidak akan sampai ke tempat ini."
Ken Arok tidak segera dapat menjawab Hatinya bergetar semakin cepat. Dilihatnya orang itu tertawa pendek dan berkata seterusnya “Nasib. Inilah nasib. Nasibku memang baik, seperti kau. Nasibmu memang terlampau baik. Terlampau baik. Kau tidak pernah gagal, apapun yang kau inginkan karena memang nasibmu teramat baik."
“Sudahlah” potong Ken Arok kemudian, “sekarang, kenapa kalian berkelahi?”
Orang yang berkumis itu masih berdiri dengan mulut ternganga. Ia sedang dicengkam oleh keheranan, bahwa orang itu, sesama penjudi, mempunyai seorang anak yang begitu tampan dan berwibawa.
“Ha” tiba-tiba orang yang mengguncang lengan Ken Arok itu berkata, “orang ini telah berbuat curang. Terlampau curang. Dan ia telah membunuh beberapa orang kawanku.”
“Juga penjudi?” sahut Ken Arok.
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab terdengar orang berkumis itu berkata, “Ayolah Samparan. Suruh anakmu itu berkelahi bersamamu. Kau akan mati bersamanya di sini.”
“Bagus, bagus" jawab orang itu, “ayolah Ken Arok. Kau dengar bahwa kau ditantangnya juga.”
Ken Arok mengangguk. Perlahan-lahan ia melangkah maju, dan Bango Samparan kini berdiri di sampingnya. Tetapi Ken Arok tidak segera bersikap. Ia masih mencoba berbicara, “Kenapa kalian berkelahi di antara kalian?”
“Itu bukan urusanmu”, jawab orang berkumis itu. Sedang kawan Bango Samparan masih saja berdiri keheran-heranan.
“Apakah persoalan kalian sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan baik sebagaimana penyelesaian yang layak di antara sesama kawan?”
“Orang itu curang”, teriak Bango Samparan, “bukankah ia telah mengakui sendiri? Lalu kepada kawannya, Samparan berkata, “Ia telah menipu kita, sehingga barang itu kini ada padanya. Barang yang seharusnya menjadi milik kita bersama. Bukankah begitu?”
“Barang itu sudah kita perjudikan. Bukankah semula sudah kita bagi sesuai dengan keinginan kita bersama? Kalau kemudian aku memenangkannya, itu adalah nasibku yang terlampau baik.”
“Tetapi ternyata kau curang. Kau curang.”
“Persetan”, orang berkumis itu menggeram, “penyelesaian yang terbaik ternyata berada di ujung senjata. Ayo, anakmu juga membawa pedang di lambung. Tetapi sebelumnya aku perlu memperingatkan, bahwa beberapa orang yang mencoba menghalangi aku telah menjadi mayat. Kalau kau anak muda, ingin juga mati dalam umurmu yang masih semuda itu, marilah ikutlah ayahmu berkelahi.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata orang berkumis itu. Agaknya memang tidak ada jalan lain kecuali bertempur. Karena itu maka segera ia pun bersiap. Sekali ia berpaling kepada Bango Samparan dan seorang kawannya yang masih terheran-heran.
“Ayo Ken Arok. Berkelahi sajalah. Bunuh saja orang itu. Kau tidak mempunyai jalan lain.” berkata Bango Samparan.
“Aku tidak mempunyai persoalan dengan orang ini” jawab Ken Arok, “sehingga aku hanya akan berkelahi sekedar menghindarkan pembunuhan yang akan menjadi berlarut-larut”
“Persetan” teriak orang berkumis itu, “apapun yang kau katakan, namun aku tidak akan terpengaruh. Siapa yang ikut di dalam perkelahian mempunyai dua kemungkinan. Membunuh atau dibunuh."
“Ya” sahut Ken Arok, “aku menyadari. Tetapi aku melihat kemungkinan lain.”
“Tidak ada kemungkinan lain.”
“Ada. Aku dapat lari sebelum membunuh atau dibunuh.”
“Anak setan. Apakah kau seorang pengecut?”
“Entahlah. Tetapi aku mengharap bahwa aku hanya akan sekedar menghindarkan pertumpahan darah.”
“Bunuh saja dia Ngger. Bunuh saja.”
Ken Arok tidak menjawab, tetapi ia maju selangkah.
“Bunuhlah Ken Arok, kau dengar? Bunuh saja orang itu. Kau tidak kehilangan apapun. Ia adalah orang yang paling kotor di dunia.”
Ken Arok masih berdiam diri. Setapak ia maju lagi. Dan Bango Samparan mengikutinya sambil berbicara terus
“Kau dengar Ken Arok, Bunuh dia. Bunuh dan cincang saja. Aku akan melemparkannya ke sungai itu.”
Ken Arok belum menjawab.
“Kau dengar bukan? Kau dengar?”
“Tidak” tiba-tiba Ken Arok membentak, “aku tidak akan membunuh. Kalau aku mulai berkelahi, kau berdua harus lari. Lari sejauh-jauhnya. Setelah kalian lari dan tidak mungkin terkejar lagi, maka akulah yang kemudian akan lari pula.”
“Oh” Bango Samparan terkejut. “Jangan. Jangan begitu. Kau harus membunuhnya. Kalau tidak ia akan tetap menghantui sepanjang hidupku.”
“Persetan” orang berkumis itu menggeram, “aku tetap dalam pendirianku. Kalau kau sudah mulai menarik pedangmu, maka yang ada tinggallah dua kemungkinan. Membunuh atau dibunuh.”
“Benar. Benar Ken Arok. Benar katanya. Dan kau harus memilih kemungkinan yang pertama. Membunuh.”
“Sudah aku katakan” sahut Ken Arok “kalau aku mulai bertempur kalian haus lari sejauh-jauhnya."
“Sekarang aku dapat lari. Tetapi bagaimana besok atau lusa atau hari berikutnya lagi?”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi pertanyaan masuk diakalnya. Namun sekali lagi ia berkata kepada dirinya sendiri di dalam hatinya, “Aku tidak mempunyai persoalan dengan orang ini.”
Tetapi tiba-tiba orang berkumis itu berteriak, “Benar kata ayahnya pengecut itu. Kalau kau tidak membunuhku, aku akan memberikan kesempatan itu. Kalian bertigalah yang akan mati di sini. Bukan suatu pekerjaan yang menyenangkan untuk berkelahi melawan aku.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia sudah besiap menghadapi setiap kemungkinan. Ia memang harus berkelahi. Tetapi tidak atas dasar dendam dan kebencian. Ia hanya akan mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi. Bango Samparan masih berdiri di sampingnya. Sekali-kali ia berpaling kepada kawannya yang berdiri tegak seperti patung batu.
“Bersiaplah” teriak Bango Samparan kemudian, “kita cincang bersama orang ini.”
Yang terdengar adalah suara tertawa orang berkumis itu. Katanya “Kalian berempat dan bahkan kalian segerombolan tidak mampu menangkap aku, apalagi kalian bertiga dengan bayi ini.”
“Huh” Bango Samparan menggeram, “tetapi baru kali ini anakku tampil. Kau pasti akan menyesal telah melawan kami dan terutama anakku.”
“Heh. anakmu bukan jin bukan setan. Aku tidak akan takut. Selagi ia masih belum mampu menangkap angin, maka ia akan mati di ujung pedangku.”
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Perdebatan yang tidak berujung pangkal itu telah memuakkannya. Sehingga kemudian dengan tangkasnya ia menarik pedangnya sambil berkata, “Ayo, kita mulai.”
Orang berkumis itu mundur setapak, lalu dimiringkannya tubuhnya sambil merendahkan lututnya. Dengan nada datar ia berkata, “Cobalah sekali lagi memandang cerahnya langit dan hijaunya dedaunan. Nyawamu tidak akan sampai seujung pagi ini.”
Ken Arok tidak manjawab. Tetapi ia pun segera bersikap. Didorongnya Bango Samparan perlahan-lahan ke samping sambil berkata “Menyingkirlah. Biarlah aku yang melayaninya sendiri. Aku hanya akan berkelahi sebentar sampai kau mencapai tempat persembunyian yang baik.”
Bango Samparan tergeser beberapa langkah. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi Ken Arok mendahului, “Jangan terlampau banyak berbicara. Aku akan segera mulai.”
Maka Bango Samparan pun terdiam. Dengan pandang mata penuh keheranan ia menatap wajah Ken Arok. Tetapi Ken Arok sudah tidak berpaling lagi kepadanya. Selangkah anak muda itu maju semakin dekat sambil menyilangkan pedang di dadanya.
“He, kau seorang prajurit? Atau setidak-tidaknya kau orang istana Tumapel he?” tiba-tiba orang berkumis itu berteriak.
Ken Arok tidak segera menjawab. Tetapi ia sadar setelah ia melihat tatapan mata orang berkumis itu. Agaknya ia dapat mengenal senjatanya. Pedang itu adalah pedang istana Tumapel. Tetapi itu bukan sesuatu yang aneh. Memang setiap orang, apalagi prajurit Tumapel, kadang-kadang memiliki kekhususannya. Juga Tumapel membuat bentuk pedang yang agak berbeda dengan bentuk-bentuk yang lain. Yang paling tajam menunjukkan ciri pedang Tumapel adalah ujungnya dan tangkainya yang agak panjang.
“Kau mengenal pedangku?” Ken Arok bergumam perlahan-lahan.
“Ya, aku mengenal pedang Tumapel. Mungkin kau orang dari istana Tumapel, tetapi mungkin juga karena kau pernah membunuh orang Tumapel, kemudian pedang itu kau rampas dari padanya.”
“Aku adalah seorang Pelayan Dalam istana Tumapel.”
“Oh, jadi kau bukan seorang prajurit?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya “Tidak banyak perbedaan antara keduanya.”
“Jangan kau kira aku tidak mengenal tata cara istana Tumapel. Pelayan Dalam adalah orang-orang yang sekedar melayani keperluan istana dan Akuwu. Itu pun berbeda dengan Pasukan Pengawal, meskipun Pelayan Dalam mempunyai kedudukan serupa dengan prajurit.”
“Tepat” jawab Ken Arok.
“Kalau begitu kau adalah orang yang malang” sekali lagi orang berkumis itu tertawa, “kau agaknya belum mengenal aku.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ditatapnya wajah orang itu tajam-tajam.
“Aku adalah bekas seorang prajurit” berkata orang itu pula, “bukan sekedar prajurit seorang Akuwu seperti Tunggul Ametung di Tumapel. Tetapi aku prajurit seorang Maha Raja di Kediri. Hah, kau dapat menilai sekarang. Dirimu dan diriku.”
Ken Arok masih berdiam diri. Ia sadar, bahwa orang itu ingin membuat hatinya menjadi kecil. Tetapi kata-kata itu sama sekali tidak berpengaruh bagi Ken Arok, kecuali merupakan peringatan baginya, agar ia menjadi lebih berhati-hati.
“Tetapi itu memang tidak terlampau penting” berkata orang itu pula, “yang penting kau ketahui adalah, bahwa aku telah pernah membunuh prajurit Tumapel rambah lima atau enam kali. Dan kau adalah prajurit berikutnya yang akan mati karena tajam parangku.”
Tetapi orang itu heran. Kata-katanya itu agaknya sama sekali tidak berkesan di wajah Ken Arok. Bahkan seperti acuh tak acuh anak muda itu bertanya, “Kenapa kau tidak lagi menjadi seorang prajurit? Mungkin karena kebiasaanmu merampok dan berjudi. Mungkin kebiasaan buruk yang lain.”
“Tepat” jawab orang itu “aku dipecat karena aku merampok dan berjudi. Karena aku sering mabuk tuak dan membunuh. Sekarang datang suatu kesempatan bagiku untuk sekali lagi membunuh orang Tumapel.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah Bango Samparan menjadi cemas. Juga wajah kawannya yang berdiri tidak begitu jauh dari padanya. Tetapi Ken Arok masih tetap acuh tak acuh saja. Sekali lagi ia berkata kepada Bango Samparan “Menyingkirlah. Jangan cemas bahwa orang ini akan sekali lagi berhasil membunuh prajurit Tumapel. Sebab aku pun akan lari seperti kalian. Aku adalah pelari yang terbaik di antara Pelayan Dalam istana Tumapel.”
“Persetan. Pengecut. Prajurit-prajurit Tumapel yang pernah aku bunuh tidak pengecut seperti kau, Mereka berkelahi sampai kemungkinan yang terakhir.”
“Itulah bedanya antara mereka dan aku, Dan itu adalah suatu kesalahan yang membuat mereka terbunuh.”
Jawaban itu benar-benar menyakitkan hati. Karena itu, maka terdengar orang itu menggeram, “Kau pun harus mati. Kau pun harus mati.” Perlahan-lahan orang itu maju mendekat.
Ken Arok yang sudah bersikap itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Namun ketika ia melihat Bango Samparan bersiap pula, maka diulangnya peringatanya, “Pergilah. Pergilah. Jangan ikut campur lagi dengan perkelahian ini.”
“Tetapi orang itu berbahaya bagi prajurit Tumapel.” jawab Bango Samparan.
“Mungkin bagi mereka yang keras kepala dan tidak dapat berlari cepat. Tetapi tidak sama sekali bagiku.”
Kejengkelan yang memuncak telah mendorong orang berkumis itu meloncat maju sambil berteriak nyaring, “Mampuslah kau pengecut. Kau tidak akan sempat lari.”
Serangan itu datang terlampau cepat. Ujung parangnya terayun deras sekali menyambar kening Ken Arok. Begitu cepatnya sehingga Bango Samparan dan kawannya hanya berdiri saja memandangi dengan penuh kecemasan di dalam hati.
Tetapi, yang diserang kali ini adalah Ken Arok. Seorang prajurit yang memiliki banyak kelebihan dari para prajurit yang lain. Seorang prajurit yang memiliki bekal yang aneh di dalam dirinya sejak ia masuk ke dalam lingkungan keprajuritan. Bagi Ken Arok serangan itu bukanlah serangan yang dapat membuatnya bingung. Meskipun demikian, kali ini ia menghindarinya dengan sebuah loncatan panjang.
“Kau sudah akan lari he?" teriak lawannya.
Ken Arok mengerutkan keningnya, jawabnya, “Nanti, sesudah kedua orang ini menjadi cukup jauh.” Lalu kepada Bango Samparan ia berkata, “cepat, lari.”
Tetapi Bango Samparan beranjak dari tempatnya. Ia masih berdiri tegak dengan senjatanya.
“Marilah” berkata orang berkumis itu, “ berkelahilah bersama-sama.”
Bango Samparan tidak menjawab. Tetapi sekali lagi dadanya berdesir melihat orang berkumis itu mulai menyerang. Serangannya bertambah cepat dan garang. Parangnya bergetar dan mematuk-matuk dengan garangnya, seperti burung elang menyambar-nyambar di udara. Tetapi bagi seekor harimau, elang tidak terlampau berbahaya. Itulah sebabnya, maka meskipun Ken Arok berloncatan menghindar, namun di wajahnya tidak terlukis seberkas kesan apapun dari perkelahian itu.
Sikap Ken Arok itu benar-benar telah mengherankan bagi lawannya. Anak muda itu sama sekali tidak terkejut, apa lagi bingung, melihat serangannya yang datang semakin lama semakin cepat. Dengan tenangnya anak muda itu berloncatan seperti seekor kijang. Semakin cepat lawannya menyerang, maka semakin cepat pula ia menghindarinya.
Bango Samparan dan kawannya masih berdiri termangu-mangu. Mereka melihat orang berkumis itu menyerang semakin lama semakin dahsyat, sedang Ken Arok selama itu hanya menghindar saja kian kemari. Karena itu, maka Bango Samparan pun tidak segera sampai hati meninggalkannya. Bahkan kemudian selangkah ia mendekat sambil manggeram “Marilah, kita bunuh saja ia bersama-sama.”
“Bagus, kemarilah” teriak orang berkumis dan berjambang lebat itu.
Namun Ken Arok segera memotong “Cepat, pergilah. Pergilah.”
Bango Samparan menjadi semakin ragu-ragu. Ditatapnya wajah kawannya yang masih juga berdiri di tempatnya. Namun sejenak kemudian kawannya itu berkata “Marilah kita pergi.”
“Apakah kita biarkan anakku itu bertempur sendiri?”
“Anakmu sendiri menghendaki demikian."
“Tetapi apakah kita yakin bahwa ia dapat memenangkan perkelahian itu?”
Kawan Bango Samparan itu terdiam sejenak. Dipandanginya perkelahian yang semakin lama menjadi semakin cepat, meskipun seolah-olah Ken Arok hanya dapat menghindari serangan-serangan lawannya saja. “Tetapi anakmu menyuruh kita berlari. Marilah kita berlari. Aku mengharap anakmu benar? seorang pelari yang baik, yang pada saatnya akan membebaskan dirinya dari tangan setan gila itu.”
Bango Samparan masih juga ragu, tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk menjawab, karena kawannya dengan tiba-tiba saja telah meloncat berlari kencang-kencang seperti dikejar hantu.
“Gila” Bango Samparan menggeram. Ia akan mengumpat tidak habis-habisnya apabila ia mendengar kawannya itu bergumam, “Persetan dengan anakmu Bango Samparan. Kalau anak yang sombong itu ingin mampus, biarlah ia mampus. Aku harus menyelamatkan diri selagi ada kesempatan. Salahnya sendiri kalau anak itu nanti mati dicincang oleh iblis laknat itu.”
Dan sekali kawan Bango Samparan itu berpaling Ia masih melihat Ken Arok berkelahi. Karena itu maka langkahnya dipercepatnya, semakin lama semakin cepat menerobos gerumbul-gerumbul yang semakin padat di hutan rindang yang tidak terlampau lebat. Tetapi Bango Samparan masih berdiri di tempatnya. Ia ingin melihat perkembangan dari perkelahian itu. Dan karena itu, maka sekali lagi ia mendengar Ken Arok berteriak, “Kawanmu sudah pergi. Kenapa kau masih saja berdiri di tempat itu?”
Bango Samparan tidak menjawab.
“He, aku sendiri sudah akan meninggalkan perkelahian ini. Kalau kau tidak juga berlari, maka akulah yang akan berlari lebih dahulu.” berteriak Ken Arok pula.
Bango Samparan menjadi berdebar-debar. Ia masih saja dicengkam oleh keragu-raguan.
Dalam pada itu ia mendengar orang berkumis tebal itu menjawab, “Persetan. Kalian tidak akan dapat lari lagi dari tanganku.”
“Kenapa tidak?” sahut Ken Arok, lalu kepada Bango Samparan ia menekankan, “Cepatlah. Jangan selalu ragu-ragu begitu. Sudah aku katakan, sebentar lagi aku akan lari dari arena ini.”
Bango Samparan tidak dapat berbuat lain. Dengan penuh kebimbangan ia melangkah surut. Kemudian memutar tubuhnya dan berlari meninggalkan arena perkelahian itu.
“Licik. Benar-benar licik. Kau mengajari ayahmu menjadi seorang pengecut besar. Sebelum kau datang, ia masih memiliki kejantanan.” orang berkumis itu pun berteriak. Sekali ia mencoba melepaskan Ken Arok untuk mengejar Bango Samparan, tetapi dalam keadaan demikian tiba-tiba serangan Ken Arok melibatnya tanpa dapat menghindar lagi. Ia harus melawan serangan itu dan mengurungkan niatnya untuk mengejar Bango Samparan.
“Jangan memaki-maki” berkata Ken Arok kemudian. “Sekarang kita sudah tidak terganggu lagi oleh siapapun. Kita dapat berbuat apa saja sesuai dengan kehendak kita bersama.”
“Aku akan membunuhmu. Mencincang dan menghanyutkan bangkaimu di sungai ini bersama-sama kedua bangkai yang lain itu.”
“Kau memang terlampau kejam. Tetapi bagaimana kalau aku mempunyai usul” berkata Ken Arok kemudian sambil berloncatan menghindar seperti seekor tupai yang meloncat dari ranting ke ranting
“Persetan.” orang berkumis lebat itu menggeram.
“Marilah kita membuat persetujuan. Perkelahian ini kita hentikan.”
“Setan alas” orang itu tiba-tiba berteriak keras sekali.
“Bukankah kau sudah tidak dikejar-kejar lagi oleh orang-orang yang merasa kau tipu dengan kecurangan itu? Nah, kau sudah terbebas dari mereka. Apa lagi yang kau kehendaki? Mereka pasti tidak akan mengusikmu lagi karena mereka melihat kemampuanmu. Tetapi kau pun jangan mengusik mereka, supaya mereka tidak berkeinginan untuk menagih kecuranganmu. Betapapun lemahnya, namun suatu ketika mereka dapat mengumpulkan kawan-kawannya dalam jumlah yang tidak terlawan olehmu.
“Omong kosong. Kau pengecut yang bermulut besar. Kau harus mati. Kau harus mati."
Serangan orang berkumis dan berjambang lebat itu menjadi semakin dahsyat. Parangnya berputaran seperti baling-baling yang mengitari tubuh Ken Arok. Tetapi Ken Arok sama sekali tidak mendapat kesulitan untuk menghindar. Bahkan semakin lama mereka bertempur, anak muda itu menjadi semakin mapan. Ia segera dapat mengetahui tingkat kemampuan lawannya. Meskipun demikian ia selalu harus berhati-hati, karena bekas prajurit itu memiliki juga beberapa kelebihan yang sebenarnya memang dapat dibanggakan.
Namun Ken Arok yang memiliki keanehan-keanehan sejak lahir, adalah seorang prajurit yang jauh lebih baik dari orang berkumis itu. Dengan demikian, maka parang orang berkumis itu tidak segera dapat berbuat banyak. Meskipun Ken Arok masih belum bertempur bersungguh-sungguh, tetapi keringat orang berkumis itu seakan-akan telah terperas habis. Bukan saja karena kegelisahan yang menyengat dadanya melihat sikap dan ketangkasan bergerak Ken Arok, tetapi setelah ia melawan orang-orang yang mengeroyoknya sambil berlari-larian, maka tenaganya pun telah jauh susut. Baru saja, ia harus berkelahi melawan lebih dari sepuluh orang. Untuk menyelamatkan dirinya ia harus berlari, berhenti, kemudian berlari lagi sambil mengurangi lawannya satu demi satu.
Kini tiba-tiba ia dihadapkan kepada seorang lawan yang jauh berbeda dari lawan-lawannya yang telah dibinasakan. Meskipun hanya seorang diri, tetapi ternyata kelincahan dan ketangkasannya telah membuat hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi ia sama sekali tidak ingin melepaskan anak muda yang bernama Ken Arok anak Bango Samparan ini. Menurut tanggapannya maka seorang prajurit Tumapel pasti tidak akan dapat melampaui kemampuan prajurit Kediri. Namun bekas prajurit Kediri itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia tidak segera dapat menguasai lawannya.
“Bagaimana” tiba-tiba terdengar Ken Arok bertanya, “apakah kita akhiri saja perkelahian ini?”
“Persetan” orang itu menggeram, “kau harus mati. Kau harus mati.”
“Bagaimana kalau aku lari?” gumam Ken Arok.
“Tidak mungkin. Kau tidak akan dapat terlepas dari tanganku lagi. Kau harus mati.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia ingin meyakinkan bekas prajurit itu, bahwa ia mempunyai kemampuan dan kesempatan yang cukup seandainya ia ingin melarikan diri. Karena itu, maka Ken Arok pun kemudian tidak hanya sekedar menghindari serangan-serangan lawannya yang menjadi semakin menggila. Karena betapapun juga akhirnya ia pasti akan terdorong pada keadaan yang berbahaya. Karena itu, maka ia pun harus segera berbuat sesuatu.
Namun Ken Arok tidak ingin membuat persoalan itu menjadi sumber persoalan berikutnya. Itulah sebabnya, maka ia tidak ingin sama sekali untuk membunuh lawannya. Ia hanya ingin membuktikan, bahwa orang berkumis itu tidak akan dapat berbuat terlampau banyak atasnya. Dengan demikian, maka Ken Arok pun segera merubah tata geraknya. Ia tidak lagi sekedar meloncat-loncat seperti tupai yang dikejar-kejar oleh seekor ular sawah. Tetapi tiba-tiba pedangnya mulai menggelepar di udara.
Perubahan sikap Ken Arok telah mengejutkan orang berkumis itu. Tiba-tiba saja, tanpa disangka-sangka ujung pedang Ken Arok telah menyentuh ujung kainnya. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat mundur. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar dan jantungnya semakin cepat berdetak. Dan orang berkumis itu tidak sempat untuk merenung berlama-lama. Ujung pedang Ken Arok segera mengejarnya, menyambar-nyambar dari segala penjuru. Sekali-kali menebas lambung, dan tiba-tiba saja ujungnya mematuk kening.
“Setan alas” orang itu mengumpat sambil berloncatan menghindar. Seolah-olah kini telah sampai pada gilirannya untuk menghentikan serangannya yang garang, dan berganti berloncatan menghindari serangan-serangan ujung pedang lawan.
Untuk yang terakhir kalinya, maka dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya. Sambil menggeretakkan giginya ia memutar parangnya. Orang berkumis itu tidak mau menjadi sasaran semata-mata. Ia harus memegang peranan terpenting dalam perkelahian itu. Dengan sekuat tenaga ia men coba menguasai lawannya. Namun yang terjadi sama sekali bukan yang dikehendakinya. Setiap kali terasa parangnya membentur pedang Ken Arok. Dan setiap kali tangannya menjadi nyeri, dan bahkan? seolah-olah kulitnya telah terkoyak.
“Apakah aku berhadapan dengan demit?” desahnya di dalam hati.
Tetapi bagaimanapun juga ia tidak mau menunjukkan kekalahannya. Dikurasnya segenap tenaga yang ada padanya untuk mengimbangi gerak Ken Arok yang semakin lama menjadi semakin cepat. Ujung pedangnya seperti berputaran saja di sekitar telinganya. Orang berkumis itu semakin lama menjadi semakin bingung. Tenaganya pun semakin lama menjadi semakin susut, sehingga kemudian dalam kecemasannya ia berkelahi membabi buta. Parangnya diayun-ayunkannya tanpa arah, sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata yang paling kotor.
Ken Arok membiarkannya berbuat demikian. Ia mengharap, bahwa akhirnya orang itu akan menjadi lelah. Apabila ia sudah sampai pada puncak kemampuan dan tenaganya, maka ia akan jatuh dengan sendirinya. Tetapi orang itulah yang kini agaknya mencoba untuk melarikan diri. Setiap kali ia melangkah surut. Kadang-kadang diedarkannya pandangan matanya untuk menemukan arah, ke mana ia harus lari.
Namun agaknya Ken Arok tidak segera mau melepaskannya sebelum ia telah benar-benar menjadi kelelahan. Dengan cepatnya Ken Arok memancing orang itu memeras tenaganya. Kadang-kadang disentuhnya kulitnya dengan ujung pedang. Meskipun sama sekali tidak berbahaya, tetapi sengatan-sengatan yang demikian membuat bekas prajurit Kediri itu seolah-olah menjadi gila. Sehingga tenaganya pun semakin diperasnya untuk mencoba mengatasi kesulitan-kesulitan itu.
Tetapi sengatan-sengatan itu justru semakin lama menjadi semakin sering. Bahkan kadang-kadang ujung pedang Ken Arok menyentuhnya terlampau keras, sehingga pada sentuhan itu menitikkan darahnya yang merah. Titik-ttik darah itu ternyata telah membuat orang berkumis lebat itu kehilangan akal. Ia tidak dapat lagi membuat pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan-perhitungan yang wajar lagi. Sedang kesempatan untuk lari sama sekali telah tertutup baginya, karena pedang Ken Arok seolah-olah telah mengitarinya. Seujung lidi pun tidak diketemukannya lubang untuk mencoba meninggalkan gelanggang.
Namun dengan demikian, tenaganya telah terperas habis. Semakin lama orang itu menjadi semakin lelah dan lenyap. Berkali-kali ia terdorong oleh ayunan parangnya sendiri, terhuyung-huyung dan bahkan sekali dua kali ia telah terjatuh di atas lututnya. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan mencoba melawan anak muda itu lagi
“Anak iblis” orang itu mengumpat di antara desah nafasnya yang tersengal-sengal.
Ken Arok tidak menyahut. Tetapi ia bergerak semakin cepat dan membingungkan. Akhirnya lawannya menjadi semakin lemah. Berkali-kali ia kehilangan keseimbangan. Dengan sengaja Ken Arok membiarkannya tertatih-tatih. Kadang-kadang disentuhnya lawannya yang telah hampir kehilangan segenap tenaganya itu sehingga terjatuh di tanah berlumpur. Tetapi Ken Arok memang tidak ingin membunuhnya. Ia tidak mempunyai persoalan dengan orang itu, dan ia tidak ingin membuat persoalan itu semakin berlarut-larut. Dendam di antara kelompok-kelompok penjudi dan penjahat dapat menumbuhkan korban yang tiada terkira.
Sejenak kemudian semakin ternyatalah bahwa orang berkumis lebat itu sama sekali sudah tidak bekerja. Dengan sisa tenaganya ia mencoba mengayunkan parangnya, untuk menyentuh lambung Ken Arok. Tetapi dengan gerak yang sederhana, Ken Arok menarik dirinya, dan membiarkan ujung parang itu lewat beberapa cengkang dari tubuhnya. Ayunan parang itu agaknya telah menyeret orang berkumis itu sendiri sehingga tubuhnya terhuyung-huyung hampir melanggar Ken Arok yang menggenggam pedangnya di tangan. Tetapi Ken Arok tidak menghunjamkan pedangnya itu di dada lawannya. Dengan tangan kirinya ia mendorong tubuh yang terhuyung-huyung itu. Akibatnya adalah, tubuh itu terbanting jatuh di atas tanah berlumpur. Berguling dan terdengar sebuah keluhan pendek meluncur dari mulut orang itu.
“Apakah kau masih akan mencoba berdiri?” bertanya Ken Arok.
Ternyata tenaga orang itu benar-benar telah terkuras habis. Meskipun demikian ia masih berusaha dengan sisa-sisa tenaganya. Namun yang dapat dilakukannya adalah sekedar duduk bersandar kedua tangannya.
Ken Arok berdiri dibadapannya sambil mengacukan ujung pedangnya. Katanya “Dimana sebaiknya aku menghunjamkan pedang ini?”
“Jangan. Jangan” minta orang itu “aku sudah jera.”
“Hem” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, “jadi kau setuju bahwa perkelahian ini dihentikan saja sampai disini?”
Orang itu bingung sejenak. Ditatapnya wajah Ken Arok yang sama sekali tidak menyimpan kesan yang menakutkan. Perlahan-lahan ia bertanya penuh kebimbangan, “Apa maksudmu?”
“Maksudku jelas”, jawab Ken Arok, “bukankah sejak semula sudah aku usulkan, bahwa sebaiknya kita hentikan saja perkelahian ini? Atau aku melarikan diri setelah kedua orang bakal korbanmu itu lari jauh-jauh.”
“Tidak. Tidak,” teriaknya, “aku tidak akan melepaskan mereka lari.”
Tetapi kata-katanya terpotong ketika ujung pedang Ken Arok hampir menyentuh mulutnya. “Jadi bagaimana?”, bertanya Ken Arok, “kau dapat memilih sekarang. Kita hentikan atau kita teruskan.”
“Oh,” wajah orang itu tampak menjadi semakin bingung Terbata-bata sekali lagi ia bertanya, “Maksudmu?”
“Sudah aku katakan.”
Namun orang itu masih saja kebingungan. Sekali-kali di pandanginya ujung pedang Ken Arok, dan sekali-sekali wajah anak muda itu. Ketika ujung pedang itu tiba-tiba menyentuh dadanya, maka dengan serta-merta ia berteriak “Jangan. Jangan.”
“Kau terima syaratku?” bertanya Ken Arok
“Apakah syarat itu?”
“Kau harus melepaskan segala macam permusuhan dengan orang-orang yang melawan tadi. Kau harus menghindar dan tidak mendendam.”
Sejenak orang itu tidak menjawab. Tetapi ketika sekali lagi ujung pedang Ken Arok menekan dadanya, dengan tergesa-gesa ia menyahut, “Ya, ya. Aku terima syarat itu.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Pedangnya semakin lama menjadi semakin menjauh. Namun tiba-tiba sekali lagi pedang itu menekan dada orang berkumis itu “Kau bersungguh-suagguh?”
“Ya, ya. Aku bersungguh-sungguh."
”Kalau kau mencoba menipuku, maka kau akan aku gantung di alun-alun Tumapel. Bahkan mungkin aku akan minta kepada Akuwu Tunggul Ametung untuk mengirimmu ke Kediri. Mungkin kau menjadi seorang buruan pula di Kediri."
“Tidak. Aku tidak akan menipumu. Aku berkata sebenarnya."
Sekali lagi Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika ia hampir melangkah surut, tiba-tiba didengarnya suara tertawa di balik gerumbul-gerumbul di pinggir sungai.
“O, ternyata kau tidak lebih dari seekor cucurut,” berkata suara dari balik gerumbul itu.
Ken Arok menjadi berdebar-debar. Suara di sela-sela gelak tertawa yang riuh itu tidak dapat segera dikenalnya. Tetapi orang yang bersuara itu masih belum menampakkan dirinya. “Siapa kau?”, bertanya Ken Arok.
Suara tertawa itu menjadi berkepanjangan dan berketentuan. Meninggi, kadang-kadang menurun.
“Siapa he?” Tetapi Ken Arok masih belum mendengar jawaban. Yang didengarnya adalah suara tertawa yang semakin lama semakin keras dalam nada yang berubah-ubah. Agaknya suaranya sengaja dikisruhkan untuk tidak segera dapat dikenal. Namun sejenak kemudian Ken Arok melihat sesuatu yang bergerak-gerak di balik dedaunan. Ketika dedaunan itu tersibak, dada Ken Arok berdesir karenanya.
“Apakah kau terkejut melihat kehadiranku yang tiba-tiba?”
“Jadi kau masih tetap berada di situ?” Ken Arok pun bertanya.
“Ya. Aku tidak sampai hati meninggalkan kau. Kalau kau perlukan, aku akan dapat membantumu. Tetapi ternyata lawanmu itu tidak lebih hanya seekor cucurut yang besar mulut.”
“Persetan” orang berkumis itu menyahut. Tiba-tiba saja ia telah berdiri sambil menggeram.
“Orang yang bersembunyi di balik dedaunan, yang tidak lain adalah Bango Samparan Itu terkejut. Dengan serta-merta ia pun segera meloncat ke belakang Ken Arok sambil mengguncang anak muda itu, “He, lihat. Ia masih mampu bangkit.”
Ken Arok tertawa di dalam hati melihat sikap Bango Samparan itu. Tetapi ditahannya untuk tidak berkesan di wajahnya. “Persoalan sudah selesai” berkata Ken Arok, “aku sudah memberi kesempatan kepadamu untuk meninggalkan tempat ini. Waktu yang aku berikan sudah cukup. Sekarang aku akan pergi."
“O” Bango Samparan menjadi pucat “lalu, kau akan pergi kemana?”
“Itu adalah urusanku.”
“Lalu bagaimana dengan orang ini.” bertanya Bango Samparan sambil menunjuk kepada orang berkumis itu.
“Ia sudah berjanji untuk tidak mengganggumu lagi.”
“Tetapi, lihat. Sorot matanya masih memancarkan dendam di dalam dirinya.”
Memang Ken Arok pun masih melihat sinar dendam itu. Karena itu ia menjadi kecewa. Namun ia ingin melihat, apakah sebenarnya yang tersimpan di dalam diri orang berkumis itu. Katanya kepada Bango Samparan, ”Campur tanganku hanya sampai sekian. Aku akan pergi. Aku sudah berusaha untukmu dan mencoba mengekang dendam bekas prajurit Kediri itu.”
“Ken Arok. Jangan, jangan pergi, atau aku ikut serta.”
“Jangan ikut aku.”
“Tetapi orang itu.”
“Sudah aku katakan, soalku sudah selesai.”
Bango Samparan menjadi pucat. Terbata-bata ia berkata, “Ken Arok. Aku tidak meninggalkan tempat ini karena aku tidak sampai hati melihat kau bertempur seorang diri. Seandainya kau memerlukan bantuan, maka aku akan membantumu. Tetapi kemudian kau akan melepaskan aku di mulut harimau gila itu.”
“Terserahlah”
“Jangan. Atau aku akan ikut bersamamu?"
“Aku ingin pergi sendiri. Tak seorang pun yang aku ijinkan mengikuti perjalanan rahasiaku kali ini.”
“Tetapi, tetapi…”
Suara Bango Samparan terputus oleh suara tertawa yang tiba-tiba meledak. Ternyata orang yang berkumis tebal itu kini telah berdiri tegak dengan dada tengadah. Pedangnya digenggamnya erat-erat sambil bertolak pinggang. Katanya, “Bango Samparan. Kenapa kau tidak mempergunakan kesempatan yang telah diberikan oleh Ken Arok? Kau agaknya terlampau sombong dan menganggapku sekedar seekor cucurut yang tidak berarti. Kini kau harus menyesali kesombonganmu itu. He, Bango Samparan, apakah benar Ken Arok itu anakmu he?”
Tubuh Bango Samparan menjadi gemetar. Dengan cemas ia bertanya Ken Arok. "Benarkah kau akan meninggalkan aku dan mengumpankannya kepada orang itu seperti mayat yang telah membeku itu?"
Ken Arok mengerutkan keningnya. Namun ia masih menjawab “Sudah aku katakan. Aku tidak mau terlibat terlampau jauh ke dalam persoalan ini.”
“Kau memang sangat bijaksana,” berkata orang berkumis itu, “sebaiknya biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sendiri. Kami bukan anak kecil lagi.”
Terasa sentuhan perasaan di dada Ken Arok menjadi semakin panas. Ternyata orang berkumis itu adalah seorang yang benar-benar tidak dapat mengendapkan dendam di dalam dirinya. Dendam itu memang akan melonjak setiap saat. Sedang Bango Samparan yang menjadi ketakutan bersembunyi di belakang Ken Arok sambil berpegangan ikat pinggangnya, ”Ken Arok. Benarkah kau akan melakukannya?”
Tiba-tiba saja Ken Arok menjawab “Sebenarnya aku akan melakukannya, karena aku menganggap bahwa sudah tidak ada persoalan lagi di antara kalian. Tetapi agaknya bekas prajurit gila itu masih saja tidak menyadari dirinya.”
Bango Samparan melonjak mendengar jawaban itu. Seperti kanak-kanak ia menarik pedangnya sambil menari dan berteriak “Mampus kau. Mampus kau. Ayo berlutut di bawah kakiku.”
Kini wajah orang berkumis itulah yang menjadi pucat. Tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar dan terbata-bata ia berkata, “Jadi, apakah maksudmu sebenarnya?”
“Kau terlampau tamak.” desis Ken Arok, lalu kepada Bango Samparan ia berkata, ”aku memberimu waktu sekali lagi. Pergilah kau. Biarlah aku menunggu di sini.”
Sepercik kekecewaan membayang di wajah Bango Samparan. Dengan nada datar ia bertanya, “Aku akan pergi bersamamu.”
“Tidak. Aku tidak mau membawa seorang pun dalam perjalananku sekarang. Karena itu pergilah.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Terjadilah suatu pergumulan di dalam dadanya. Dalam waktu yang singkat itu ia mencari kemungkinan yang paling baik buat dirinya. Tidak saja saat itu, tetapi untuk waktu-waktu seterusnya. Tiba-tiba ia berkata, “Baiklah Ken Arok. Tetapi, aku minta bukti perdamaian di antara aku dan bekas prajurit yang rakus itu. Aku ingin ia berlutut dan minta maaf di hadapanku supaya hatiku menjadi tenteram.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Permintaan itu terlampau kekanak-kanakan baginya. Meskipun demikian, supaya persoalannya lekas selesai, dan ia dapat lekas meninggalkan tempat itu, maka tanpa berpikir panjang Ken Arok menjawab, “Baiklah. Aku akan minta ia melakukannya.”
“Tidak mungkin” teriak orang berkumis itu, ”itu tidak mungkin. Aku mau berlutut di bawah kakimu Ken Arok, sebab kaulah yang telah mengalahkan aku. Tetapi tidak ke pada Bango Samparan.”
“Ah” desah Ken Arok. Kemudian, “Apakah keberatanmu? Semakin cepat, semakin baik. Semuanya segera selesai, dan kalian dapat pergi kemana yang kalian sukai masing-masing dengan janji perdamaian di dalam hati.”
“Tetapi itu suatu penghinaan bagiku. Aku tidak mau.”
Ken Arok berdiam sejenak. Permintaan Bango Samparan memang berlebih-lebihan. Tetapi, apabila dengan demikian persoalan mereka menjadi selesai, maka Ken Arok pun tidak akan berkeberatan untuk memaksanya. Karena itu, supaya tidak berlarut-larut ia berkata, “Cepatlah. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Aku harus segera pergi.”
Orang berkumis itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika tampak olehnya wajah Ken Arok yang tegang, maka terputus-putus ia menjawab, ”Baik, baiklah. Tetapi aku akan berlutut kepadamu.”
“Aku tidak mamerlukannya. Kau berlutut di bawah kakinya serta minta maaf atas semua kesalahanmu. Sesudah itu semua persoalan sudah dianggap selesai. Siapa yang memulainya kelak akan berhadapan dengan aku. Sebagai Ken Arok dan lebih-lebih lagi sebagai seorang prajurit yang harus memelihara ketenteraman.”
Agaknya bekas prajurit itu tidak dapat mengelak lagi. Dengan penuh keragu-raguan ia melangkah mendekati Bango Samparan yang berdiri sambil menengadahkan dadanya. Katanya, “Ayo cepat. Berlutut di sini. Mohon maaf kepadaku.”
Orang berkumis itu justru berhenti. Dipandanginya wajah Bango Samparan dengan pandangan yang penuh dendam dan kebencian. Ketika Bango Samparan melihat sorot mata itu, tiba-tiba bulu-bulu di tengkuknya berdiri. Tetapi dipaksanya untuk berdiri tegak sambil menengadahkan dadanya dan berkata “Ayo cepat.”
Tetapi orang berkumis itu masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga Ken Arok yang sudah jemu menunggui persoalan itu segera membentaknya “Cepat, Lakukanlah. Kemudian kau masih mempunyai tugas yang lain. Kau harus mengubur mayat-mayat dari mereka yang telah kau bunuh Kalau kau tidak segera melakukannya, maka kerjaanmu akan bertambah lagi.”
Wajah orang itu menegang. Tanpa disadarinya ia berpaling memandangi dua sosok mayat yang terbujur di tanah berlumpur itu. Ternyata karena luka-lukanya maka kedua orang itu pun telah tidak bernafas lagi. Kini orang itu sudah tidak akan dapat mengelak lagi. Perlahan-lahan ia melangkah maju.
“Letakkan parang itu” desis Bango Samparan, Orang itu tertegun. Tanpa disadarinya ia berpaling memandangi wajah Ken Arok. Ketika kemudian Ken Arok menganggukkan kepalanya, maka betapapun beratnya, maka diletakkannya parangnya di atas tanah.
Ken Arok memang sudah menduga, bahwa akhirnya orang itu pun akan bersedia melakukannya. Ia tidak bertahan di atas harga dirinya sampai kemungkinan yang penghabisan. Mati. Tetapi orang semacam itu pasti akan melakukan apa saja, asal ia mendapat kesempatan untuk tetap hidup. Namun yang masih meragukan Ken Arok adalah waktu-waktu yang akan datang. Apakah orang itu benar dapat melupakan dendamnya kepada Bango Samparan yang justru telah menambah luka di hati orang berkumis itu?
Setelah meletakkan parangnya, maka orang itu pun melangkah semakin dekat. Kemudian dengan ragu-ragu ia berlutut di muka Bango Samparan. Tetapi ia masih belum mengucapkan sepatah katapun.
“Ayo minta maaf kepadaku” berkata Bango Samparan. Tetapi orang itu masih tetap membungkam. “Cepat.”
Orang itu masih berdiam diri, sehingga akhirnya Ken Arok berkata “Lakukanlah. Pertunjukan gila-gilaan ini akan segera berakhir. Kalian akan segera pergi. Tetapi mayat-mayat itu harus dikuburkan lebih dahulu.”
Sekali lagi orang berkumis itu terdesak ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya lagi. Ia harus berlutut sambil minta maaf kepada Bango Samparan. Adalah terlampau sakit perasaannya, bahwa ia harus melakukan hal itu justru kepada Bango Samparan. Tetapi, baginya saat ini tidak mempunyai pilihan lain. Betapa ia dicengkam oleh keragu-raguan, kebencian, dendam dan muak, namun ia harus melakukannya.
“Cepat, kenapa kau masih berdiam diri?” berteriak Bango Samparan.
Tetapi, suara Bango Samparan itu sendiri sebenarnya telah memuakkan Ken Arok pula. Hampir saja ia membentak orang yang sedang gila kemenangan itu. Kemenangan yang didapatkannya bukan karena tangannya sendiri.
Bekas prajurit itu menjadi semakin berdebar-debar. Pedih-pedih di tubuhnya karena ujung senjata Ken Arok Sama sekali sudah tidak dirasakannya. Kini yang terasa olehnya adalah kepedihan hatinya. Sekali-sekali ia mencoba memandang Ken Arok dengan sudut matanya. Seolah-olah ia sedang menunggu anak muda itu lengah. Tetapi Ken Arok tidak pernah lengah. Ia berdiri dengan garangnya sambil menggenggam pedangnya yang telanjang.
Akhirnya tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukannya. Perlahan-lahan dengan suara parau ia berkata, “Baiklah Bango Samparan. Kalau itu yang kau kehendaki. Aku minta maaf atas segala kesalahanku.”
Bango Samparan tertawa. Suara tertawanya benar-benar mengerikan, seperti suara iblis dari lubang maut. Namun bersamaan dengan itu, tangannya yang menggenggam pedang menjadi gemetar pula. Maka sejenak kemudian terjadilah sesuatu yang sama sekali tidak tersangka-sangka. Ken Arok yang berdiri beberapa langkah dari Bango Samparan, sama sekali tidak mampu untuk mencegahnya. Apalagi sama sekali tidak terlintas di kepalanya, bahwa hal itu dapat terjadi.
Pada saat orang berkumis itu lagi berlutut di muka Bango Samparan, dan pada saat Bango Samparan lagi melepaskan suara tertawanya yang mengerikan itu, dengan tiba-tiba saja sambil tertawa tangan Bango Samparan bergerak terlampau cepat. Pedangnya terangkat tinggi-tinggi, kemudian dengan hentakan yang kuat pedang itu terhunjam di punggung bekas prajurit yang masih sedang berlutut itu.
Terdengar sebuah teriakan yang menggeletar. Kemudian tubuh itu terguling di atas tanah. Peristiwa itu benar-benar mengejutkan. Sejenak Ken Arok terpukau oleh peristiwa itu. Namun sejenak kemudian, secepat tatit di udara ia meloncat ke arah Bango Samparan. Tanpa sesadarnya tangan kirinya telah memukul wajah Bango Samparan, sehingga orang itu terbanting jatuh. Suara tertawa iblisnya terputus dan yang sekali lagi terdengar adalah sebuah teriakan yang nyaring. Tetapi Bango Samparan tidak terluka parah seperti orang berkumis itu, yang sama sekali tidak lagi dapat diharap untuk dapat bertahan dari renggutan maut.
“Kau gila.” teriak Ken Arok dengan wajah yang tegang, “kenapa kau bunuh dia? Aku sudah berusaha untuk menghindarkan semua akibat yang paling buruk. Orang itu pasti tidak hanya berdiri sendiri. Dan kau pasti akan diburu oleh kawan-kawannya untuk seterusnya."
Bango Samparan yang masih terbaring di atas tanah berlumpur itu mengusap pipinya yang membengkak. Terasa betapa nyerinya. Dari mulutnya menitik darah yang merah segar. Ternyata dua buah giginya telah patah dan tertelan sama sekali. “Aduh” ia mengeluh, “kau terlampau kejam Ken Arok. Kepalaku serasa akan terlepas dari leherku."
“Tetapi kau benar-benar tidak mempunyai perasaan” bentak Ken Arok. ”Kenapa kau bunuh orang yang sudah menyerah itu.”
Perlahan-lahan Bango Samparan berusaha untuk bangkit. Tangannya masih saja memegangi pipinya yang kemerah-merahan. Terdengar keluhan pendek-pendek meluncur dari mulutnya. “Aku tidak melihat keberatan apapun untuk membunuhnya. Ia telah membunuh beberapa orang kawanku. Apakah salahnya kalau aku membalasnya?”
“Kalau kau sendiri yang melakukannya, yang mengalahkannya, aku tidak peduli. Tetapi aku sudah menundukkannya tanpa maksud untuk membunuhnya.” sahut Ken Arok.
“Tetapi apakah bedanya?"
“Dengan demikian aku telah ikut serta dalam pembunuhan ini. Pembunuhan tanpa persoalan apapun yang menyangkut diriku. Apalagi orang itu sudah menyerah dan bahkan bersedia berlutut di bawah kakimu?"
Dengan terhuyung-huyung Bango Samparan berdiri di atas ke dua kakinya. Sekali-kali dipandanginya orang berkumis yang kini telah tertelungkup di atas tanah dengan sebilah pedang masih menghunjam di punggungnya. Tetapi orang itu sudah mati. “Ken Arok” berkata Bango Samparan terputus-putus, “kau belum tahu alasanku kenapa aku membunuhnya.”
“Tentu dendam, kebencian di antara para penjudi dan penjahat.”
“Jangan berkata begitu. Kau juga berasal dari dunia itu.”
Sebuah desir yang teramat tajam tergores di dinding hati Ken Arok. Kata-kata itu benar-benar telah mengungkit luka di hatinya itu, sehingga sejenak ia berdiri diam seperti patung.
“Dengarlah anakku” berkata Bango Samparan, “mungkin pergaulanmu yang baru telah merubah sifatmu. Tetapi juga merubah tanggapanmu atas manusia seperti bekas prajurit itu.” Bango Samparan berhenti sejenak, lalu, “Dunia kami agak berbeda dengan duniamu Ken Arok. Duniamu yang sekarang. Dalam dunia kami di sini, tidak ada seorang pun yang dapat melupakan dendam di dalam hati. Itulah sebabnya kalau kita berbuat sesuatu, maka kita harus menyelesaikannya sekaligus. Demikian tentang orang itu. Aku harus menyelesaikannya supaya aku tidak akan dikejar-kejarnya lagi. Ingat. Dalam dunia kami, semuanya harus selesai. Tuntas. Supaya tidak ada persoalan lagi untuk seterusnya. Kalau kau cemas, bahwa kawan-kawannya akan membelanya, itu sama sekali tidak perlu. Kawan di antara kami dapat berubah setiap saat. Demikian kawan-kawan orang yang mati itu. Selama orang, itu tidak dapat memberi keuntungan apapun lagi, maka tidak akan ada seorang pun yang membelanya.”
Ken Arok berdiri tegang dan hati yang tegang pula. Dan ia masih mendengar Bango Samparan berkata, “Anakku. Kalau kau seterusnya menghadapi persoalan semacam ini, di antara orang-orang seperti kami dan masalah-masalah lain yang serupa maka kau harus menyelesaikannya dengan baik, supaya persoalan itu tidak berkepanjangan. Seandainya kau ingin menjadi seorang Senapati misalnya, sedangkan kau melihat suatu kemungkinan apabila Senapatimu tidak ada, maka kau harus membunuhnya. Jangan memfitnah. Dengan membunuhnya maka semua persoalan sudah selesai. Tetapi dengan fitnah, maka persoalannya akan berkepanjangan."
“Cukup. Cukup” teriak Ken Arok, “duniaku sekarang adalah dunia yang beradab. Bukan seperti duniamu yang masih mirip seperti dunia binatang-binatang buas di hutan. Aku tidak dapat hidup dengan cara itu. Setiap kemajuan di dalam duniaku harus didapat dengan jujur. Tidak seorang pun yang akan melakukannya seperti kau melakukan saat ini."
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba saja ia tertawa. Sungguh menyakitkan hati. Di sela-sela suara tertawanya ia berkata, “Oh, jangan membual. Kau sangka duniamu sudah cukup beradab? Orang tertinggi di Tumapel telah mendapatkan isterinya dengan cara orang-orang liar di hutan-hutan. Kau ingat?”
Kata-kata itu telah melanda dinding jantung Ken Arok dengan dahsyatnya sehingga sejenak ia terbungkam. Tetapi wajahnya menjadi tegang dan bibirnya bergetar. Namun tidak sepatah katapun yang terucapkan.
Bango Samparan masih tertawa. Dipandanginya Ken Arok yang seolah-olah sedang membeku itu. Sejenak kemudian diteruskannya kata-katanya, “Bukankah Akuwu Tunggul Ametung mengambil anak Panawijen itu tanpa setahu ayahnya?”
“Tetapi itu bukan maksudnya, kata-kata Ken Arok itu seolah-olah meledak dari dadanya, “Bukan Akuwu Tunggul Ametung lah yang bermaksud mengambil Tuan Puteri dari padepokannya.”
Tiba-tiba suara tertawa Bango Samparan itu semakin mengeras sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Sambil memegangi perutnya ia terbungkuk-bungkuk menahan goncangan suara tertawanya. “Apakah kau percaya dengan cerita itu Ken Arok?”
“Tentu”, Ken Arok hampir berteriak.
Tetapi suara tertawa Bango Samparan tidak juga surut.
“Diam. Diam kau," Ken Arok tidak dapat menahan hatinya lagi. Ia menjadi muak melihat Bango Samparan yang tertawa berkepanjangan.
Oleh hentakan teriakan Ken Arok itu suara tertawa Bango Samparan terputus. Namun, di wajahnya masih terbayang perasaannya yang memuakkan itu. Bahkan kemudian ia berkata, “Ken Arok. Aku hampir gila mendengar kau menyebut anak Empu Purwa itu dengan Tuan Puteri. Tuan Puteri yang kini menjadi seorang permaisuri. Huh. Masa kecilnya anak itu tidak lebih dari seorang anak padesan yang setiap hari mencuci pakaiannya di pinggir kali dekat bendungan yang pecah itu.”
“Tidak seorang pun yang ingkar dalam hal itu. Tuan Puteri sendiri tidak pernah ingkar."
Wajah Bango Samparan menegang sejenak, namun kemudian ia tersenyum. Katanya, “Lalu suatu ketika Akuwu yang gila itu melihatnya ketika ia sedang berburu. Maka diambilnya gadis itu dengan kekerasan.”
“Bohong. Bohong”, teriak Ken Arok.
“Kenapa aku berbohong? Apa kepentinganku untuk berbohong? Aku hanya ingin mengatakan bahwa di tengah-tengah manusia yang merasa dirinya beradab, maka kebiadaban itu membakar mereka dengan sembunyi-sembunyi. Apa tidak begitu? Kau melihat aku seperti keadaanku sekarang. Tidak lebih dari binatang buas di hutan. Tetapi aku sudah sengaja menempatkan diriku dalam dunia itu. Perjudian, perkelahian, perampokan dan apa lagi. Tetapi aku memang penjudi, perampok, pembunuh, pembual dan segala macam kejahatan tertimbun di dalam diriku. Tetapi apakah kau sangka bahwa aku tidak melihat kehidupan yang serupa di dalam lingkunganmu? Lingkungan masyarakat yang merasa dirinya beradab. Dengar, baik di Tumapel maupun di Kediri. Dimana-mana telah terjadi pemerasan. Kecurangan. Pencurian dan perampokan yang berselubung kekuasaan. Kau dengar? Mereka mempergunakan kekuasaan yang ada di tangan mereka untuk melakukannya. Di sini, di dalam duniaku, kebiadaban itu berlangsung beradu dada. Siapa yang lemah ia akan binasa. Ia harus mencari akal supaya ia dapat bertahan, maka bergabunglah mereka yang merasa tidak mampu untuk berdiri sendiri. Tetapi apa yang terjadi di dalam masyarakatmu Ken Arok. Masyarakat yang kau anggap beradab itu. Justru kebiadaban di antara manusia-manusia yang beradab itu jauh lebih berbahaya dari duniaku disini. Orang-orang yang biadab dalam selubung peradaban, berperisai kekuasaan dan kedudukannya. He, apakah kau tidak melihat apa yang dilakukan oleh Tunggul Ametung? Apa kau kira Empu Purwa dalam beradu jantan kalah dari Tunggul Ametung? Salahlah dugaan orang, bahwa Empu Purwa hanya mampu untuk menyimpan dirinya di dalam sanggar. Tetapi kalau ia berkesempatan untuk berbuat sesuatu, gagallah maksud Akuwu itu. Tetapi Akuwu mempunyai kekuasaan. Ia dapat mengerahkan prajuritnya, kalau perlu menumpas seluruh penduduk Panawijen. Inilah yang dihindari oleh Empu Purwa sebagai manusia beradab. Tetapi ia ternyata telah berhadapan dengan kebiadaban meskipun orang tertinggi dalam masyarakat beradab di Tumapel.”
“Bohong. Bohong” suara Ken Arok semakin keras. Tetapi terasa getaran dadanya telah bergejolak tanpa dapat dikendalikannya lagi. Sejenak kemudian ia berteriak pula, “Kalau kau berkata sepatah kata lagi, aku remas mulutmu yang kotor itu.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih berkata, “Tunggu. Kalau kau mau meremas mulutku, lakukanlah. Tetapi biarlah aku berbicara sedikit lagi. Bahwa kemudian ternyata anak Empu Purwa itu telah diperisterikannya tanpa tentangan.”
“Itulah yang bohong” sahut Ken Arok “aku ikut bersama Akuwu pada waktu itu. Aku sendiri sama sekali tidak akan melakukannya. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung telah terjebak oleh Kuda Sempana.”
Bango Samparan tidak segera menyahut. Sejenak ia berpikir. Namun kemudian sambil tertawa pendek ia berkata, “Kalau benar katamu, maka persoalannya akan tidak terlampau banyak berbeda. Yang harus diganti adalah namanya. Kuda Sempana, bukan Tunggul Ametung. Tetapi bukankah mereka telah melakukannya dengan selubung kekuasaan yang ada padanya. Lalu, apakah Ken Dedes itu kemudian dikembalikan kepada ayahnya? Hak apakah yang telah membenarkan kemudian Akuwu mcngambilnya dari Kuda Sempana? Kekuasaan. Kekuasaan.”
Ken Arok terbungkam. Tidak ada jawaban yang segera dapat diucapkannya. Namun ia tidak mau menyerah begitu saja. Dicobanya untuk menemukan alasan, yang dapat membenarkan sikap Akuwu Tunggul Ametung. Tiba-tiba saja seakan-akan tanpa disengaja ia berkata, “Sudah sepantasnya Ken Dedes menjadi seorang Permaisuri. Tidak seorang pun di seluruh Tumapel yang memiliki kelebihan seperti puteri Empu Purwa itu.”
Bango Samparan tidak segera menjawab. Tetapi nada suara tertawanya semakin menyakitkan bati. Hampir saja Ken Arok tidak dapat menahan dirinya. Tetapi untunglah bahwa segera disadarinya, tidak selayaknya ia berbuat demikian. “Ken Arok” berkata Bango Samparan, “apakah yang kau maksud dengan kelebihan itu? Bahwa Ken Dedes adalah seorang gadis yang maha cantik? Atau karena ia seorang puteri yang lembah manah, sabar dan menerima nasibnya dengan kepala tunduk?”
“Tidak” sahut Ken Arok dengan serta merta, “aku melihat kelebihan yang lain. Kecantikan, kesabaran dan keluhuran hati adalah kelebihan yang wajar. Tetapi Ken Dedes mempunyai kelebihan yang ajaib.”
“Kau sudah mimpi di siang hari agaknya. Apakah kelebihan itu?”
“Aku melihat seolah-olah sesuatu menyala pada tubuhnya.”
“He” tiba-tiba mata Bango Samparan terbelalak, “kau melihat hal itu sebenarnya?”
Ken Arok justru terbungkam. Ditatapnya wajah Bango Samparan yang tiba-tiba menjadi tegang. Namun kemudian terdengar ia berdesah, “Mungkin. Memang mungkin ada tanda-tanda keajaiban pada seseorang. Mungkin memang kau pernah melihatnya, tetapi tidak terlihat oleh orang lain. Seperti keajaiban yang ada dalam dirimu.”
Sekarang Ken Arok lah yang terperanjat. Dengan serta merta ia bertanya, “Keajaiban apakah yang ada dalam diriku?”
“Kau adalah mahluk yang aneh. Kau adalah orang yang bernasib terlampau baik. Mungkin nasib adalah nasib yang paling baik bagi semua orang di Tumapel ini, seperti nasib Ken Dedes itu pula.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Terasa sesuatu bergetar di dalam dirinya Dan ia mendengar Bango Samparan berkata, “Banyak ceritera yang aneh-aneh tentang dirimu. Mungkin kau tidak menyadarinya. Tetapi bagiku, kau adalah manusia yang mempunyai keberuntungan yang tidak terhingga Beberapa kali kau hampir mati terbunuh dalam petualanganmu sebelum kau bertemu dengan orang yang kau sebut bersama Lohgawe dan membawamu masuk ke dalam istana. Tetapi sekian kali pula kau selamat.”
Ken Arok menarik rafas dalam-dalam. Tiba-tiba terbayang kembali di dalam angan-angannya apa yang pernah terjadi atas dirinya. Memang kadang-kadang ia tidak mengerti atas peristiwa-peristiwa yang terjadi atas dirinya sendiri itu. Kadang-kadang ia tidak mengerti, kenapa ia pada suatu saat berhasil melepaskan diri dari bahaya. Bahkan bahaya maut yang seakan-akan sudah menyentuh nyawanya.
Dalam pada itu ia mendengar Bango Samparan bertanya, “Tetapi, apakah kau benar-benar melihat bahwa perempuan Panawijen itu menyala dan bercahaya?”
Tanpa sadarnya Ken Arok menganggukkan kepalanya.
“O, ia adalah perempuan yang mendapatkan kurnia. Berbahagialah laki-laki yang dapat memperisterikannya. Itulah agaknya yang mendorong Akuwu Tunggul Ametung untuk menculiknya." Bango Samparan terkejut ketika tiba-tiba saja Ken Arok berteriak “Sudah aku katakan. Akuwu tidak sengaja melakukannya. Apalagi didorong oleh nafsunya setelah melihat cahaya dari tubuh Ken Dedes. Sudah aku katakan, bahwa Kuda Sempana lah yang mula-mula berhasrat untuk memperisterikannya."
“Tetapi akhirnya Ken Dedes menjadi isteri Tunggul Ametung” Bango Samparan memotongnya.
Ken Arok terdiam karenanya. Memang telah terjadi suatu kenyataan bahwa Ken Dedes adalah isteri Tunggul Ametung. “Hem” Bango Samparan tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Dalam nada yang datar ia berkata, “Kalau aku masih muda dan tampan, maka aku akan berusaha untuk mengambilnya dari Akuwu Tunggul Ametung sebagaimana ia telah mengambilnya dari Penawijen, eh, maksudku dari Kuda Sempana."
Kata-kata itu meledak seperti guntur yang menyambar jantung Ken Arok. Sejenak ia berdiri mematung, namun sejenak kemudian ia melotot menerkam Bango Samparan pada pundaknya. Dengan menggeretakkan giginya Ken Arok mengguncang tubuh Bango Samparan sambil menggeram “Setan. Kau benar-benar setan yang tidak beradat. Kalau kau tidak bersangkut-paut apapun dengan aku, maka lehermu pasti telah aku patahkan.”
Bango Samparan menyeringai menahan sakit. Tangan Ken Arok serasa memecahkan tulang-tulangnya. “Jangan, jangan” suaranya terputus-putus.
“Kau benar-benar iblis yang paling jahat.”
Bango Samparan memandangi wajah Ken Arok yang semakin tegang. Seperti seorang anak yang tidak menyadari dosanya ia bertanya “Kenapa kau marah Ken Arok. Aku hanya berkata, seandainya. Seandainya. Sudah tentu tidak bersungguh-sungguh. Betapapun jahatnya aku, dan betapapun kotornya hatiku, sekotor hati iblis, namun sudah pasti aku tidak akan bersungguh-sungguh melakukannya. Sebab tidak mungkin bagiku untuk menjadi muda kembali apalagi anak muda yang tampan, setampan kau misalnya. Tetapi aku sudah terlanjur setua ini. Bermuka buruk dan berhati busuk. Bagaimana mungkin aku melakukannya? Kalau aku semuda kau, setampan kau, sekuat kau, nah, barang kali kau dapat mencurigai aku.”
“Diam, diam” Ken Arok berteriak sekuat-kuatnya sehingga suaranya bergema dipantulkan oleh tebing sungai dan pepohonan di hutan yang rindang. “Aku tidak mau mendengarnya lagi. Tidak mau.”
Bango Samparan menjadi semakin bingung. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Wajah Ken Arok telah menjadi semakin merah, semerah warna darahnya. Karena itu, maka Bango Samparan pun lebih baik menjaga dirinya, supaya tulang-tulangnya tidak dipatahkannya.
Ken Arok yang tegang itu masih menggenggam pundak Bango Samparan. Ia ingin berteriak lebih keras lagi. Tetapi mulutnya serasa terbungkam. Ia tidak ingin mendengar kata-kata Bango Samparan itu lagi. Namun, dengan berteriak-teriak itu ia ingin menyumbat telinga hatinya yang seolah-olah mendengar suara berbisik perlahan-lahan dari ala dadanya, “Ya, seandainya. Seandainya.”
Untuk sejenak keduanya saling berdiam diri. Tetapi cengkaman tangan Ken Arok masih saja terasa sakit di pundak Bango Samparan. Karena itu maka sejenak kemudian ia berkata “Ken Arok, apakah kau ingin mematahkan pundakku.”
Ken Arok yang sedang kebingungan itu menjawab dengan serta-merta, “Ya. Kalau kau masih tetap berbicara tentang Akuwu Tunggul Ametung.”
“Baiklah. Baiklah aku berbicara tentang yang lain. Tetapi lepaskan dahulu tanganmu ini.”
Perlahan-lahan Ken Arok melepaskan pundak Bango Samparan yang sambil berdesis meraba-raba perutnya. Namun Bango Samparan itu tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar Ken Arok berkata, “Aku harus pergi dari sarang iblis ini sebelum hatiku dimakannya. Aku harus pergi segera.”
Sesaat Bango samparan berdiri ternganga-nganga. Tetapi, ketika ia melihat Ken Arok benar-benar akan melangkah pergi, maka segera ia mendekatinya sambil berkata, “Jangan pergi Keri Arok. Aku benar-benar tidak akan berbicara lagi tentang sesuatu yang dapat menyakitkan hatimu. Baiklah aku berterima kasih atas pertolonganmu.”
“Aku harus pergi. Harus.”
“Singgahlah sebentar di rumah. Biarlah seisi rumah menjadi kagum melihat kau sekarang. Sebentar saja.”
“Tidak. Aku tidak ada waktu.”
“Hem” Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam, “baiklah kalau demikian. Mungkin rumah itu sama sekali sudah tidak pantas lagi kau masuki setelah kau menjadi seorang hamba istana. Mungkin dinding-dindingnya akan mengotori pakaianmu dan sarang-sarang labah-labah akan memuakkan pandangan matamu. Memang rumah itu terlampau rendah dan jelek. Atap ilalang dan dinding bambu hijau. O, alangkah senangnya tinggal di istana, di seputar taman yang indah dan emban yang cantik.”
“Cukup, cukup” sekali lagi Ken Arok berteriak tanpa sesadarnya. Namun ternyata kata-kata Bango Samparan berhasil menyentuh hatinya. Ia sama sekali tidak menolak singgah di rumah itu karena ia sekarang sudah menjadi seorang pegawai istana. Bukan karena kedudukan yang semakin baik, dan bukan karena ia menganggap bahwa tidak sepantasnya lagi ia memasuki rumah yang jelek dan rendah beratap ilalang itu. Tidak.
Tetapi Bango Samparan melanjutkannya, “Tetapi bagaimanapun juga Ken Arok, kau tidak akan dapat ingkar, bahwa suatu ketika kau dalam keadaan yang parah, pernah tinggal di dalam rumah itu. Suatu saat kita bersama-sama mengalami duka ceritera yang hampir sampai ke puncak kemampuan kita untuk bertahan. Namun kehadiranmu itu ternyata lambat laun membawa keberuntungan kepadaku. Tetapi setelah kau pergi, aku kembali terdampar pada dunia yang kelam. Sedikit demi sedikit simpanan yang aku kumpulkan itu pun semakin habis. Aku tidak lagi raja dilingkaran judi. Dan bahkan aku akhirnya menjadi orang yang paling jelek di antara para penjudi seperti pada saat aku belum menemukan kau. Hutang di segala penjuru, sehingga seolah-olah duniaku telah menjadi semakin sempit. Nah, Ken Arok. Aku sebenarnya mengharap kau singgah meskipun hanya sesilir bawang. Nasibmu yang selalu baik itu mudahkan akan berpengaruh seperti kehadiranmu dahulu di rumahku.”
Suara Bango Samparan itu terdengar gemuruh di telinga Ken Arok. Namun ia masih saja ketakutan melihat kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya apabila ia singgah di rumah itu, dan berbicara terlampau banyak dengan Bango Samparan. Karena itu maka jawabnya, “Tidak. Aku tidak bisa singgah. Bukan karena aku tidak mau, tetapi benar-benar aku tidak punya waktu.”
“Hem, kembali Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam, “Aku tidak tahu apakah arti waktu bagimu. Tetapi aku heran, bahwa kau sama sekali tidak mempunyai waktu untuk singgah ke rumah. Biyungmu pasti akan sangat bersenang hati. Setiap hari ia selalu berada dalam kecemasan dan kegelisahan, Isteri mudaku agak terlampau keras terhadapnya. Apa lagi anak-anakku dari isteri muda itu. Bukankah kau kenal anak-anakku? O, kau dahulu pergi dari rumah karena kau tidak dapat bergaul dengan anak-anakku dari isteri muda itu. Baiklah sekarang kau datang. Kau tunjukkan bahwa kau mendapatkan hari yang lebih cerah dari mereka. Anak-anakku pun agaknya mulai senang dengan permainan judi."
Ken Arok kini mulai dijalari oleh kebimbangan. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa pada suatu saat ia memang tidak dapat ingkar, bahwa pada suatu saat ia memang pernah tinggal di rumah Bango Samparan. Diaku menjadi anaknya oleh isterinya yang pertama. Ketidak serasian hubungan antara dirinya dan anak-anak isteri muda Bango Samparan lah yang telah mengusirnya dari Karuman, padukuhan Bango Samparan itu, sehingga ia menjadi penghuni hutan dan padang yang selalu dikejar-kejar orang. Akhirnya, setelah melalui berbagai macam peristiwa, dari rumah ke rumah, dari ayah angkat yang satu ke yang lain, maka terlemparlah ia ke Padang Karautan, sebagai hantu yang menakutkan.
Karena Ken Arok tidak menjawab, maka Bango Samparan mendesaknya, “Kalau kau tidak ingin singgah Ken Arok, marilah berjalanlah lewat rumahku biar biyungmu dapat melihat kau sekarang yang telah menjadi gagah dan tampan, lebih gagah dari... eh, maksudku lebih tampan dari aku.”
Dada Ken Arok tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Berbagai pertimbangan menyesak di dadanya. Namun akhirnya ia tidak mampu lagi untuk menolak ajakan Bango Samparan. Sekali-sekali memang terbayang di dalam angan-angannya wajah isteri tua Bango Samparan yang baik, yang saat itu benar-benar menganggapnya sebagai anak sendiri.
“Tetapi, iblis ini selalu mendorongku untuk masuk ke dalam dunia yang paling gila” berkata Ken Arok di dalam hatinya. tetapi lalu dibantahnya sendiri, “tergantung kepada aku sendiri Kepada ketahanan hatiku.”
“Bagaimana Ken Arok? apakah kau bersedia?”
Ken Arok masih tetap ragu-ragu sehingga untuk sejenak ia masih tetap berdiam diri. Namun keragu-raguan itu telah menumbuhkan harapan di hati Bango Samparan. Keduanya saling berdiam diri untuk sesaat. Dengan bimbang Ken Arok memandangi wajah Bango Samparan. Wajah itu sama sekali tidak menarik. Bahkan menimbulkan perasaan yang aneh di dalam dirinya. Tetapi untuk ingkar dari kenyataan bahwa orang itu pernah memeliharanya, Ken Arok pun tidak pula mampu.
“Bagaimana Ken Arok?” sekali lagi Bango Samparan mendesak.
Dengan penuh kebimbangan Ken Arok menganggukan kepalanya. Jawabnya, “Aku hanya mempunyai waktu sedikit.”
“O, yang sedikit itu sudah cukup. Biyungmu akan senang sekali melihat kau segagah ini.”
Ken Arok tidak menyahut lagi. Ia masih harus mengambil sebungkus kecil bekal pakaiannya. Karena itu, maka ia pun segera melangkah masuk ke dalam semak-semak. Tetapi ia tertegun ketika ia mendengar Bango Samparan memanggilnya, “Tunggu. Kita tidak lewat hutan rindang itu. Kita dapat menempuh jalan lain yang lebih baik. Bersama kau aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi. Marilah kita melalui jalan itu, langsung menuju ke Karuman.”
“Aku akan mengambil bekal pakaianku dulu.”
“O,” Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. “pergilah.”
Ketika kemudian Ken Arok hilang ditelan, oleh rerungkudan, maka Bango Samparan pun berdiri dengan termangu-mangu. Sejenak dipandanginya lawannya, orang berkumis yang kini terbaring diam di atas tanah berlumpur. Tiba-tiba ia melangkah maju. Ditariknya pedangnya dan kemudian disarungkannya. Dengan kakinya ia mendorong mayat yang telah membeku itu sehingga tubuh itu kini menelentang.
Bango Samparan menjadi ragu-ragu sejenak. Sekali-kali ia berpaling memandang ke arah Ken Arok menghilang di dalam gerumbul-gerumbul liar. Sesaat ia diam membeku. Namun tiba-tiba tangannya segera meraih ikat pingang orang berkumis yang telah mati itu, melepasnya dan dengan tangan gemetar membuka setiap kantong pada ikat pinggang yang besar itu. Bango Samparan terperanjat bukan kepalang, bahkan tanpa sesadarnya ia terloncat berdiri, ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara di belakangnya
“Apa yang kau lakukan itu?”
Ketika Bango Samparan berpaling, dilihatnya Ken Arok berdiri sambil memandanginya dengan tajamnya.
“Kau sedang mencari apa pada ikat pinggang itu?” bertanya Ken Arok pula.
Bango Samparan menjadi kebingungan sejenak. Namun otaknya yang licin segera menemukan jalan. Sejenak kemudian ia tersenyum sambil menjawab “Ken Arok. Kehadiranmu benar-benar membawa keberuntungan yang tiada taranya. Bukankah sudah aku katakan? Lihat, apakah yang ada di dalam kantong ikat pinggang ini?"
Mata Ken Arok terbelalak ketika dilihatnya seuntai binggel tretes berlian dan perhiasan-perhiasan yang lain, “Darimana barang-barang itu didapatkannya?” dengan serta-merta Ken Arok bertanya.
“Inilah yang kami persengketakan” jawab Bango Samparan.
“Menyamun?”
Bango Samparan tidak segera menjawab. Namun sejenak kemudian ia melangkah mendekati Ken Arok. Sambil menepuk pundaknya ia berkata, “Marilah kita pergi. Jangan kau hiraukan lagi barang-barang ini. Aku akan menyimpannya dan menjadikannya jaminan di hari-hari tua ini.”
“Tetapi barang-barang itu adalah hasil dari kejahatan."
“Ah” desah Bango Samparan “semuanya sudah terlanjur.”
“Sebaiknya barang-barang itu dikembalikan.”
“Sekaligus menyerahkan leher ini” Bango Samparan berhenti sejenak, “sudahlah jangan hiraukan lagi. Aku akan menyimpannya. Kalau barang-barang ini terlepas dari tanganku, aku harus melakukan perbuatan jahat lagi supaya aku dan keluargaku tidak mati kelaparan. Tetapi, dengan barang-barang yang sudah terlanjur berada di tanganku ini, aku akan berhenti. Aku tidak akan merampok, menyamun, dan membunuh.”
“Tetapi kalau kau masih saja berjudi, maka segala kemungkinan akan dapat terjadi lagi atasmu.”
“Aku akan berhenti berjudi.”
“Umurmu kau habiskan di dalam lingkaran perjudian. Hanya karena kurnia Yang Maha Agung sajalah kau akan berhenti berjudi.”
“He” Bango Samparan mengerutkan keningnya, “kurnia?”
Bango Samparan menggeleng-gelengkan kepalanya Ia tidak mengerti kata-kata Ken Arok. Tetapi ia memang tidak ingin mempersoalkannya. Kini didorongnya Ken Arok sambil berkata, “Marilah. Sebaiknya kita segera pergi.”
Ken Arok pun kemudian melangkahkan kakinya. Rambutnya masih kusut dan pakaiannya hanya dibenahinya sekedarnya. Dijinjingnya seberkas pakaiannya di dalam sebuah bungkusan kecil.
“Mari, aku bawakan pakaianmu itu.
Tetapi, Ken Arok tidak memberikannya. Diingatnya saat-saat kunjungan Bango Samparan di Padang Karautan. Pakaiannya habis dibawanya. Tetapi saat itu ia dapat meminjam kawan-kawannya sebelum ia mendapatkan yang baru. Sedangkan kali ini ia berada di perjalanan. Kalau pakaian itu lepas dari padanya dengan cara apapun, maka ia tidak akan dapat memintanya lagi, sedang ia sendiri tidak akan dapat segera mendapatkan gantinya. Karena itu maka jawabnya, “Terima kasih. Aku masih cukup kuat untuk membawanya sendiri."
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, “Kau takut pakaianmu itu aku jual seperti beberapa waktu yang lalu? O, aku lupa mengatakannya kepadamu, bahwa aku memang pernah meminjam pakaianmu. Tetapi pakaian-pakaian itu sudah terjual habis. Tetapi kini aku tidak akan melakukannya karena aku mempunyai seuntai perhiasan di dalam ikat pinggang ini.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Bango Samparan, seolah-olah Bango Samparan itu dapat menebak isi hatinya. Tetapi meskipun demikian bungkusan pakaian itu masih tetap dipegangnya sendiri. Sejenak kemudian mereka telah menyusur jalan sempit di tengah-tengah pategalan. Bango Samparan berjalan di samping Ken Arok dengan dada tengadah, seolah-olah ia ingin membanggakan dirinya, bahwa yang berjalan di sampingnya itu adalah anak angkatnya, seorang hamba di istana Tumapel yang telah berhasil mengalahkan lawannya yang tangguh. Bekas seorang prajurit Kediri.
Tetapi perjalanan mereka hampir tidak pernah menjumpai seseorang. Satu dua di kejauhan mereka melihat orang yang lewat menyilang di perapatan atau lorong-lorong pategalan. Tetapi kemudian sepi kembali. Sementara itu matahari beredar semakin jauh ke Barat. Puncak langit telah dilampauinya, dan bayang-bayang mereka kini berada di bawah kaki mereka yang kotor karena debu.
“Kita memilih jalan melintas” berkata Bango Samparan.
Ken Arok menganggukkan kepalanya.
“Kita lewat hutan rindang di sebelah. Hutan itu tidak dihuni oleh binatang-binatang buas. Mungkin ada macan kumbang satu dua yang berkeliaran. Tetapi tidak terlampau berbahaya. Kita masing-masing membawa pedang di lambung, sehingga kita tidak perlu takut bertemu dengan harimau kecil itu."
Ken Arok menganggukkan kepalanya pula, tetapi ia tidak menjawab.
“Mungkin kau belum pernah melewati jalan ini?”
Ken Arok masih tetap terbungkam. Tetapi jalan ini sama sekali tidak asing lagi baginya. Pada masa-masa itu, pada masa-masa ia hidup berkeliaran, hampir setiap jalan, lorong dan sidatan-sidatan yang paling kecil sekalipun telah dikenalnya dengan baik. Sedang daerah ini sama sekali masih belum berubah seperti beberapa tahun yang lampau.
“Kadang-kadang di jalan-jalan ini ada juga satu dua penyamun kecil” berkata Bango Samparan pula, “tetapi, jarang sekali, karena lorong ini hampir tidak pernah dilalui orang. Hanya penyamun-penyamun yang malaslah yang menunggui mangsanya terkantuk-kantuk di tepi jalan ini. Dan kau tidak perlu takut bertemu dengan mereka itu. Tidak seorang pun penyamun-penyamun di sini yang tidak aku kenal. Mereka adalah penjudi-penjudi yang baik."
Ken Arok mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia tidak menyahut. Ketika Bango Samparan kemudian terdiam, maka perjalanan itu pun menjadi diam pula. Sekali-sekali Bango Samparan mencoba memandang wajah Ken Arok dengan sudut matanya. Tetapi ia tidak melihat kesan apapun di wajah itu. Seolah-olah wajah itu wajah yang kosong. Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Eh, Ken Arok. Bukankah aku dahulu, selagi kau berada di Padang Karautan pernah datang kepadamu? Bahkan kemudian mencuri pakaianmu?”
Dada Ken Arok berdebar-debar mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia menganggukkan kepalanya.
“Kau ingat apa yang aku katakan kepadamu waktu itu?”
Dada Ken Arok kini tidak saja berdebar-debar, tetapi sebuah desir yang tajam telah tergores di dinding jantungnya.
“Aku waktu itu mimpi, kau menjadi seorang Maharaja. Eh, begitu barangkali?”
“Cukup” potong Ken Arok, “aku tidak mau mendengarnya lagi.”
“Oh, maaf. Hanya tiba-tiba aku teringat pada mimpi itu justru ketika aku mendengar bahwa Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu memiliki kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain.”
“Cukup. Cukup. Aku tidak akan singgah ke rumahmu kalau kau masih menyebut-nyebut lagi.”
“Tidak. Tidak” dengan serta-merta Bango Samparan menyahut, “aku tidak akan menyebutnya lagi tentang mimpi itu, meskipun sudah lebih dari tiga empat kali aku mimpi serupa itu. Bahkan seperti aku tidak sedang tidur. He, bukankah aku pernah mendengar seolah-olah suara dari langit ketika aku berada di Rabut Jalu? Suara itu mengatakan bahwa aku akan bertemu dengan seorang anak yang hampir kelaparan bernama Ken Arok. Dan sekarang suara itu aku dengar lagi, bahwa Ken Arok itu akan menjadi seorang Maharaja.”
“Bohong. Bohong” Ken Arok hampir berteriak. Sementara itu langkahnya tertegun.
“Kenapa kau berhenti?” bertanya Bango Samparan.
“Kalau ayah masih menyebut-nyebutnya satu kali lagi, aku akan kembali.”
“Eh, maaf. Maaf. Aku tidak bermaksud demikian. Baiklah. Aku memang berbohong.” “Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi yang penting, kau harus menemui biyungmu. Ia akan senang sekali. Ia akan menganggap bahwa kau tidak melupakannya. Meskipun ia bukan ibumu sendiri.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya kakinya terayun satu-satu. Perjalanan mereka itu pun segera mereka lanjutkan.
“Ken Arok” tiba-tiba Bango Samparan berkata, “aku sekarang sudah belajar mengerjakan sawah. Oh, ternyata pekerjaan seorang petani itu menarik sekali. Kau nanti akan melihat sawah yang baru aku buka di pinggir hutan ini di ujung yang lain. Aku tertarik sekali melihat kau membuka Padang Karautan. Sampai di rumah aku ajak adik-adikmu untuk membuka hutan."
Ken Arok mengerutkan alisnya. Katanya, “Ah, bagus sekali. Berapa banyak ayah membuka hutan itu.”
“Sekotak.”
Tiba-tiba wajah Ken Arok menjadi buram, “Sekotak?”
“Ya, aku baru mencoba. Nanti pasti akan aku tambah lagi. Sekotak lagi. Sekotak lagi.
“Oh” Ken Arok menjadi kecewa. Tetapi meskipun demikian itu adalah permulaan yang baik bagi Bango Samparan. Seharusnya ia terbangun dari dunia mimpinya. Beranjak di atas bumi kenyataan. Bekerja dengan wajar untuk mendapatkan makan bagi keluarganya.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Ken Arok berjalan sambil menundukkan kepalanya, sedang Bango Samparan masih saja berjalan sambil menengadah. Tetapi mereka tidak berjumpa lagi dengan seorang pun, sehingga mereka merasakan betapa sunyi hutan rindang ini. Yang mereka dengar hanya kicau burung-burung liar dan sekali gemerisik daun tersentuh kaki binatang-binatang kecil yang berlari-larian.
“Sebentar lagi kita akan keluar dari hutan ini” berkata Bango Samparan tiba-tiba.
Ken Arok tetap dalam kediamannya. Ia sudah tahu benar, bahwa sebentar lagi mereka akan sampai di mulut lorong sempit, keluar dari hutan rindang ini. Dan ternyata sejenak kemudian ketika matahari telah merendah di ujung Barat mereka sudah terlepas dari hutan itu, sampai ke daerah rerumputan yang sempit. Di hadapan mereka terbentang tanah pesawahan dari pedukuhan Karuman.
“Inilah sawahku” berkata Bango Samparan dengan bangganya, “lihat, tanamannya sudah mulai menghijau.”
Ken Arok berpaling sejenak, kemudian dipandanginya sawah di ujung daerah rerumputan. Membujur, memanjang menyusur parit.
“Pandai juga kau memilih tempat” berkata Ken Arok.
"Aku dan adik-adikmulah yang membuatnya menjadi tanah yang dapat ditanami."
“Tidak terlampau sulit” sahut Ken Arok, “di daerah ini kau dapat mengambil tanah berapa kau kehendaki. Yang diperlukan kemudian adalah kesediaan dan ketekunan untuk menggarapnya.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ternyata tanah ini kurang pemeliharaan. Setiap hari ayah berada di lingkaran judi. Kapan ayah sempat menyiangi rumput-rumputan yang semakin lebat itu?"
Bango Samparan masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Itulah yang aku tidak sempat.”
“Bagaimana mungkin sawah ayah akan menjadi baik?”
“Adik-adikmulah yang aku serahi untuk menggarapnya.”
“Dan apakah mereka mengerjakannya?”
“Kadang-kadang.”
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Desisnya, “Sawah tidak untuk digarap hanya kadang-kadang. Ia memerlukan ketekunan dan kerajinan. Kemampuan dan hasrat yang terus menerus untuk memeliharanya.”
Bango Samparan tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi berkerut-merut. Sejenak kemudian kaki-kaki mereka telah berada di atas pematang yang membujur membelah hijaunya tanaman yang mulai tumbuh. Silir angin yang berhembus dari bulak yang luas, mengusap tubuh-tubuh mereka yang berkeringat. Perlahan-lahan dedaunan yang tersentuh angin bergoyang-goang, menggelombang seperti air di wajah lautan.
Langkah Ken Arok dan Bango Samparan pun menjadi semakin dekat dengan padukuhan Karuman. Dari kejauhan mereka melihat pohon-pohon nyiur yang menggapai-gapai, seakan-akan ingin menangkap awan putih yang terbang rendah di atasnya. Tetapi, ketika kemudian mereka memasuki pedukuban itu, hati Ken Arok menjadi berdebar-debar. Terasa olehnya, seakan-akan ia mulai mengikatkan dirinya kepada tambatannya yang lama. Yang selama ini telah diusahakannya untuk menyingkir jauh-jauh.
“Tergantung kepada ketahanan hatiku” ia masih mencoba bertahan meskipun hatinya semakin berdebar-debar.
Ken Arok berpaling ketika ia mendengar Bango Samparan berkata, “Mudah-mudahan ibumu ada di rumah.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Apakah biyung sering pergi?”
Bango Samparan menggelengkan kepalanya, “Entahlah. Mungkin ia terpaksa pergi untuk mencari makan.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya, “Kapan ayah meninggalkan rumah?”
Bango Samparan menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia menjawab, “Sudah hampir sebulan aku tidak pulang.”
“He” Ken Arok terperanjat, “jadi sudah hampir sebulan kau tidak pulang?”
“Ya. Tetapi aku sekarang pulang. Bukankah aku pulang dengan hasil yang baik. Perhiasan dan kau.”
“Persetan” Ken Arok menggeram. Tetapi suara terputus, ketika mereka bertemu dengan seseorang di tikungan jalan padesan. Orang itu agak terkejut, namun kemudian membuang mukanya, seolah-olah ia merasa segan bertemu pandang dengan Bango Samparan.
“He, kakang” Bango Samparan menyapanya. Orang itu berpaling namun kemudian sekali lagi ia membuang muka dan berjalan menjauh.
“Tunggu sebentar” panggil Bango Samparan sambil menyusulnya, “tunggu. Bukankah kau ingat bahwa aku pernah mengambil seorang anak angkat dahulu?”
Mau tidak mau orang itu terpaksa berhenti. Dengan segannya ia memutar tubuhnya. Sambil mengangguk malas ia menjawab, “Ya. Mungkin aku masih ingat.”
“Inilah anak itu. Sekarang ia sudah cukup dewasa.”
Tiba-tiba wajah orang itu menjadi tegang. Dengan kasar nya ia bertanya, “Apakah anak itu sekarang sudah secakap kau bermain judi. Huh, aku masih ingat, anak itulah yang dahulu kau suruh mengambili manggis di halaman rumahku. Anak itu pula yang dahulu sering menangkap ayam di sudut desa ini.”
Terasa dada Ken Arok berdesir tajam, setajam ujung pedang menembus jantungnya. Sejenak ia berdiri mematung. Ditatapnya wajah orang itu dan wajah Bango Samparan berganti-ganti. Namun karena itu, maka mulutnya seolah-olah terbungkam.
Yang terdengar kemudian adalah jawaban Bango Samparan, “He, apakah kau sudah gila. Aku bermaksud baik. Manyapamu dan memperkenalkan anak angkatku.”
“Kau orang asing di sini Bango Samparan. Sudah lama kau tidak ada di rumah, dan desa ini rasanya menjadi tenteram. Sekarang tiba-tiba kau muncul dengan membawa anak angkatmu. Anak-anakmu sendiri sudah cukup membuat kami pening, meskipun tidak segila kau sendiri. Agaknya kau memerlukan kawan yang baik, sehingga kau ambil anak itu.”
Kata-kata orang itu serasa guntur yang meledak di dalam dada Ken Arok. Jantungnya seolah-olah akan retak dan darahnya terhenti mengalir. Hampir saja ia kehilangan akal, dan bertindak di luar sadarnya. Untunglah, bahwa ia masih sempat melihat kepada dirinya sendiri, sehingga sambil memejamkan mata ia menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengendapkan kembali isi dadanya yang serasa sudah bergolak.
Yang terdengar adalah jawaban Bango Samparan tidak kalah kasarnya, “Kau setan alasan. Apakah maksudmu dengan kata-kata itu semua? Apakah kau tidak menyadari bahwa aku dapat mencekikmu sampai mati? Ayo, katakan, apakah kau dapat melawan aku?"
Orang itu mencibirkan bibirnya, jawabnya, “Memang kau dapat berbuat demikian. Tetapi anak putumu akan tumpas di desa ini. Seluruh penduduk akan mengutukmu dan membunuh keluargamu berramai-ramai."
“O, itu pun tidak mungkin mereka lakukan. Panggillah orang seisi desa ini. Aku dan anak-anakku mampu membunuh mereka semua. Apalagi dengan anak angkatku ini.”
“Huh, jangan menakut-nakuti kami” jawab orang itu, “betapapun saktinya kau dan anak-anakmu ditambah dengan anak angkatmu, kau tidak akan dapat melawan seisi desa ini Seharusnya sampai saat ini kau harus mengucap terima kasih, bahwa kau dan keluargamu masih dibiarkan tinggal di rumah di dalam daerah ini. Tetapi kalau kau dan anak-anakmu menjadi semakin gila juga, maka kalian akan segera diusir.”
Bango Samparan menggeretakkan giginya. Memang ia dan anak-anaknya tidak akan mampu melawan orang seisi desa. Buyut Karuman bukan anak kemarin siang yang baru dapat meloncat-loncat.
“Apakah kau tidak menyadarinya?” bertanya orang itu kepada Bango Samparan, “Apakah aku harus mengatakannya kepada Ki Buyut supaya kau digantung di ujung desa ini.”
Bango Samparan menggeleng, “Jangan. Jangan begitu. Tetapi bukankah aku tidak pernah berbuat onar di dalam desaku sendiri?”
“Tetapi nama desa ini sudah terlampau banyak kau cemarkan. Kau ingat, bahwa Ki Buyut memberikan kesempatan untuk memperbaiki solah tingkahmu? Kita sudah terlampau muak dengan segala macam kegilaan itu.”
“Bukankah aku sudah mencoba, membuka sawah di ujung hutan?”
“Tetapi kau masih mengancam akan membunuh aku.”
“Maaf” suara Bango Samparan merendah, “tetapi jangan menghina. Aku sudah bersedia memperbaiki kelakuanku. Seharusnya kau pun tidak menghina kami sekeluarga lagi.”
“Kami ingin melihat buktinya, apa yang telah kau lakukan.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia menjawab apapun orang itu sudah melangkah pergi. Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia maju mendekati Ken Arok sambil berkata, “Maafkan orang itu Ken Arok, Ia memang agak gila.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Namun, ia menjawab, “Sama sekali tidak. Kata-katanya sama sekali tidak mencerminkan kegilaannya. Ia berkata dengan sepenuh kesadaran dan sepenuh kebenciannya.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil berkata, “Kau benar anakku. Demikianlah gambaran sikap orang-orang Karuman terhadapku."
"Tergantung kepada ayah sendiri. Apakah kau mampu memperbaiki sikapmu.”
“Aku sudah mencoba.”
“Tetapi baru saja kau melakukan perbuatan yang terkutuk itu.”
“Apa yang aku lakukan?”
“Kau baru saja membunuh dan merampas barang itu.”
Bango Samparan menjadi tegang. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya, “Itu karena aku terpaksa melakukannya.”
“Desa ini seperti sebuah perapian bagiku. Dan kau telah menyeret aku masuk kedalamnya. Hampir saja aku kehilangan akal dan berbuat sesuatu yang akan semakin merusak namamu.” Ken Arok berhenti sejenak, “Ayah, sebaiknya aku pergi saja. Kalau aku singgah juga di rumah nanti akan banyak timbul persoalan-persoalan yang tidak aku inginkan. Mungkin aku akan tersudut ke dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak aku inginkan”
“Tidak. Itu tidak akan terjadi.” potong Bango Samparan dengan serta-merta, “kau harus singgah meskipun hanya sebentar. Kau sudah sampai di sini. Beberapa langkah lagi kita akan sampai.”
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia tidak dapat menghindar lagi ketika Bango Samparan berkata, “Marilah. Marilah. Jangan membuat aku kecewa.”
Merekapun kemudian meneruskan perjalanan mereka menyusur jalan pedesan. Ketika mereka bertemu seorang yang lain, maka dengan hormatnya Bango Samparan menyapanya, “Selamatlah kau hendaknya selama ini.”
Orang itu memandang Bango Samparan dengan tajamnya, kemudian kepada Ken Arok. Dianggukkannya kepalanya sedikit sambil menjawab segan, “Ya, aku baik saja.”
Tetapi orang itu berjalan terus. Dan Bango Samparan memandanginya dengan sorot mata yang aneh. “Mudah-mudahan pandangan mereka berubah apabila aku sudah tidak berbuat kesalahan-kesalahan lagi atas mereka. Dan kini aku sudah tidak akan berjudi, mengambil buah-buahan di kebun orang dan berbuat apa-apa yang tidak menyenangkan bagi mereka.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Sejenak kemudian mereka telah sampai ke sebuah halaman yang luas, tetapi kotor dan liar, dikelilingi oleh dinding batu yang kasar dan sebuah regol yang miring. Itulah rumah Bango Samparan beserta keluarganya. Kedua isterinya dan anak-anaknya yang hampir seliar Bango Samparan sendiri.
Ketika Ken Arok sampai ke depan regol yang miring itu hatinya menjadi berdebar-debar. Bango samparan mempunyai empat anak laki-laki dan seorang anak perempuan dari isteri mudanya. Tetapi rumah ini kesannya seperti rumah hantu yang sudah berabad-abad tidak disentuh tangan manusia.
“Apakah kau tidak ingat lagi bahwa rumah ini rumah kita Ken Arok?” bertanya Bango Samparan.
“Oh” Ken Arok mengangguk, “tentu, tentu aku ingat.”
“Kenapa kau tampaknya menjadi ragu-ragu untuk melangkah masuk?”
Ken Arok menarik nafas. Tetapi ia tidak menyahut
“Masuklah.”
Ken Arok melangkah ke samping untuk memberi kesempatan Bango Samparan masuk lebih dahulu, baru kemudian Ken Arok berjalan di belakangnya. Demikian mereka menyusup regol dan berdiri di halaman, dada Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar. Ia memang pernah tinggal di rumah ini. Tetapi rumah dan halamannya semakin lama tidak menjadi semakin bersih, namun sebaliknya. Rumahnya menjadi semakin rusak, dan halamannya menjadi liar. Tidak ubahnya dengan halaman-halaman kosong di sekitar rumah itu yang ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang lebat.
“Nah, kau lihat pintu rumah itu terbuka?“ bertanya Bango Samparan, “rumah itu pasti ada orangnya. Apakah ia ibumu, bibimu atau adik-adikmu."
Ken Arok mengangguk. Satu-satu ia melangkah maju mengikuti Bango Samparan. Semakin lama semakin dekat dengan pintu lereg yang sedang menganga seperti mulut raksasa yang tak bergigi siap untuk menghisap menelan mereka berdua.
Tetapi tiba-tiba langkah mereka berhenti. Dari balik sebatang pohon yang besar terdengar seseorang bertanya, “Siapakah orang itu ayah?”
Mereka berdua segera berpaling. Dilihatnya Panji Kuncang, anak Bango Samparan yang kedua berdiri dengan pandangan penuh kecurigaan kepada Ken Arok.
“He kau Kuncang. Di mana saudara-saudaramu, ibumu dan bibimu?”
“Aku bertanya kepadamu”, potong Panji Kuncang, “siapa orang itu?”
“Begitukah kau bersikap kepada ayahmu?”
Kini Panji Kuncang berdiri tegak di sisi batang pohon besar itu. Tetapi matanya menyorotkan kecurigaan dan pertanyaan yang aneh. Kenapa tiba-tiba ayahnya bertanya tentang sikapnya? Sehingga dengan nada yang tinggi ia bertanya, “Kenapa dengan sikapku? Bukankah aku adalah Kuncang yang kau kenal dengan cara dan sikap ini? Kenapa?”
“Oh, kau harus sedikit sopan. Lihat, aku tidak datang seorang diri.”
Tiba-tiba Kuncang tertawa. Suara tertawanya meledak-ledak tidak terkendalikan. Diantara derai tertawanya ia berkata, “Ayah ingin menunjukkan kepada tamu ayah, bahwa kami adalah keluarga yang baik, sopan dan beradab.?”
“Oh” Bango Samparan mengeluh. Dengan wajah yang merah ia berpaling kepada Ken Arok, “maafkan anak itu. Jangan hiraukan dia.”
Tetapi suara tertawa Kuncang tidak juga mereda. Sekali lagi ia bertanya, “Siapakah orang itu ayah? Penjudi? Perampok? Pembunuh? Mungkin ayah mendapat kawan baru yang dapat mengajari kita untuk bermain curang di lingkaran perjudian sehingga kita tidak akan pernah terkalahkan.”
“Tutup mulutmu” bentak Bango Samparan “jangan membuat aku marah.”
Tetapi Kuncang sama sekali tidak mundur. Bahkan ia berkata sangat menyakitkan hati “Atau mungkin anak yang kau bawa itu akan minta kepada kita untuk menolongnya mencuri seorang gadis, atau bahkan janda atau isteri orang?”
Dada Ken Arok serasa akan meledak mendengarnya. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk menahan dirinya. Namun dengan demikian tubuhnya serasa menjadi gemetar.
“Kuncang” bentak Bango Samparan, “jangan asal bicara. Kau lihatlah dengan baik siapa orang ini. Kau pasti masih belum melupakannya. Bukankah anak ini kakakmu Ken Arok?”
Suara tertawa Kuncang menjadi semakin meninggi. Jawabnya, “Aku sudah tahu. Aku sudah tahu sejak ia memasuki regol rumah kita.”
“Kenapa kau bertanya juga?”
Kuncang tidak segera menjawab. Beberapa langkah ia maju mendekat dan berkata, “Eh, sekarang kau membawa pedang di lambungmu. Mungkin kau sekarang sudah meningkat. Dari penyamun jalan-jalan sempit yang menghadang penjual ubi ke pasar, menjadi seorang perampok di jalan-jalan yang agak ramai, atau kau sudah berani memasuki rumah Orang dengan pedang terhunus?”
“Tutup mulutmu” bentak Bango Samparan semakin keras, “apakah kau tuli? Ia adalah seorang prajurit. Bukankah ayah pernah mengatakan kepadamu, bahwa Ken Arok justru memimpin sepasukan prajurit Tumapel di Padang Karautan?”
Ken Arok menjadi heran melihat Kuncang menjadi semakin keras tertawa sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Hampir tidak terdengar karena tenggelam dalam derai tertawanya ia berkata, “Aku sudah tahu. Aku sudah tahu bahwa ia seorang hamba istana Tumapel.”
Namun Ken Arok terperajat ketika tiba-tiba saja suara tertawa Kuncang berhenti. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang dan suaranya bergetar “Kenapa ayah bawa anak ini kemari? Ayah, aku tidak senang melihat tampangnya. Semasa kita berkumpul di rumah ini. Ken Arok sama sekali tidak dapat bergaul dan bermain dengan kita, justru saat itu ia seorang panjahat muda yang paling licik. Sekarang kita semua menjadi penjudi dan mungkin penjahat, tetapi anak ini sudah menjadi seorang hamba istana. Terus-terang aku tidak mempercayainya lagi.”
Sepercik warna merah menjalar di wajah Bango Samparan. Kemarahannya telah melonjak naik kekepala. Namun dengan demikian mulutnya seakan-akan telah terkunci, sehingga meskipun mulutnya bergerak-gerak namun tidak sepatah kata pun yang meloncat dari bibirnya. Sementara itu Ken Arok pun se-olah-olah membeku di tempatnya. Ia lebih banyak berjuang untuk menahan dirinya sendiri dari pada memperhatikan sikap Bango Samparan itu.
Karena Keduanya tidak menjawab, maka Kuncang pun berkata pula, “Nah, karena itu, maka sebaiknya anak ini tidak ayah bawa ke rumah kami. Aku ingin mempersilahkannya dengan rendah hati untuk meninggalkan halaman ini."
Bango Samparan sudah tidak dapat menahan dirinya lagi Kemarahannya sudah memuncak sehingga tanpa disadarinya ia meloncat maju dengan cepatnya sambil mengayunkan tangannya ke wajah anak keduanya itu. Tetapi ternyata Kuncang bukan sepotong tonggak yang mati, dengan sederhana sekali ia melangkah mundur sambil menarik wajahnya, sehingga tangan Bango Samparan lalu hanya senyari di hadapan hidungnya.
“Ah,” desah Kuncang, “ayah terlampau lekas marah. Kenapa ayah membela anak angkat ayah yang kini sudah menjadi hamba istana itu dengan mati-matian? Jangan membuat aku marah kepadanya ayah. Mungkin aku tidak akan melawan ayah bagaimanapun gilanya aku, justru karena aku seorang anak. Tetapi Ken Arok itu bukan sanak bukan kadang. Kalau aku kehilangan pikiran, aku akan mencincangnya di sini.”
“Tutup mulutmu, tutup mulutmu”, teriak Bango Samparan, “akulah yang mengajaknya kemari. Aku telah memaksanya meskipun ia keberatan. Sekarang kau bersikap seperti setan.”
“Aku memang tidak ingin melihatnya datang ke rumah ini. Sejak kami masih amat muda, kami sudah tidak pernah sepaham. Apalagi sekarang.”
“Kau belum tahu apa yang sudah dikerjakannya untukku. Kau belum melihat, bahwa ia tidak berubah seperti dahulu. Kau belum mengerti bahwa ia akan bersikap lain terhadapmu dan saudara-saudaramu.”
Kuncang tidak segera menjawab. Tetapi yang terdengar adalah suara tertawanya. Ketika ia melontarkan pandangan matanya ke sisi rumahnya, suara tertawa itu justru meninggi. Ken Arok den Bango Samparan pun segera berpaling ketika mereka mendengar suara tertawa pula. Tetapi nadanya jauh berbeda dari suara Kuncang. Suara itu terlampau rendah pendek.
“Hem”, desah Ken Arok di dalam hatinya, “aku benar-benar masuk daerah hantu.”
“Selamat datang kakang”, suara itu tetap bernada rendah.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sebelum ia menjawab terdengar Bango Samparan berkata, “Engkau ada pula, di rumah. Kau tentu tidak akan berkeberatan seperti adikmu yang gila itu. Kau pasti akan menyambutnya dengan baik. Bukan begitu?”
Orang yang berdiri di samping rumah yang kotor itu adalah anak Bango Samparan yang tertua, Panji Bawuk. Wajahnya yang kehitam-hitaman dibakar oleh sinar matahari, keningnya yang menjorok dan matanya yang cekung, membuatnya seolah-olah dilapisi oleh suatu rahasia yang tidak terpecahkan. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Suara tertawanya yang datar dan bernada rendah terdengar lagi. Agak lebih panjang. “Ayah telah membawa mainan yang baik sekali buat kami” desis Panji Bawuk.
Meskipun kata-kata itu diucapkan seolah-olah dengan acuh tak acuh saja, namun serasa meledak di dalam dada Ken Arok, Segera ia dapat menangkap maksudnya. Panji yang sulung ini sejak mereka masih terlampau muda, adalah seorang anak yang bengis dan keras. Setiap kali mereka bertengkar, dan bahkan berkelahi.
Bango Samparan pun terperanjat mendengar jawaban itu. Dengan wajah yang tegang ia berkata. “He, apakah kau juga sudah gila seperti adikmu?”
“Kami memang sama-sama gila ayah.” sahut Panji Bawuk, “tetapi biarlah aku berterima kasih, bahwa ayah telah membawanya kemari."
“Persetan, persetan” Bango Samparan berteriak, kemudian berpaling kepada Ken Arok, “jangan hiraukan mereka. Mari kita masuk ke rumah. Rumah ini rumahku. Aku berhak menerima siapa saja di dalam rumahku sendiri.”
Bango Samparan tidak mempedulikan lagi kedua anaknya. Segera ia melangkah. Tetapi sekali lagi ia tertegun ketika ia melihat seorang anak muda yang lain berdiri di tengah-tengah pintu, sambil berpegangan kedua sisinya dengan kedua tangannya yang mengembang.
“Apa gunanya kau datang juga ke rumah ini kakang” berkata orang itu dengan nada yang meninggi, “sekarang kau menjadi semakin tampan. Wajahmu mirip benar dengan Akuwu di Tumapel, meskipun aku belum pernah melihatnya. Pakaianmu bagus dan pedang itu sangat menarik hati.”
“Minggir, minggir kau” teriak Bango Samparan, “minggir. Jangan ikut campur seperti kakakmu yang gila itu.”
Anak muda yang berdiri di tengah-tengah pintu itu adalah anak Bango Samparan yang ketiga. Panji Kunal...