PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 45
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 45
Karya Singgih Hadi Mintardja
BERBAGAI macam pertanyaan dari Bango Sandaran dan kedua isterinya harus dijawab. Tentang keadaan dirinya, keadaan istana Tumapel dan bahkan tentang Akuwu Tunggul Ametung dan Perniaisurinya Ken Dedes.
“Apakah Permaisuri Akuwu Tumapel itu cantik sekali ibu?“ tiba-tiba Puranti bertanya kepada isteri tua Bango Samparan.
“Aku belum pernah melihatnya” jawab perempuan tua itu, “bertanyalah kepada kakakmu.”
Puranti ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah Permaisuri itu terlampau cantik kakang?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui bahwa dada anak muda itu bergeletar dahsyat sekali. Pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh jantungnya yang berdenyut semakin keras.
“Benarkah begitu kakang?”
Ken Arok mengangguk perlahan-laban. Jawabnya, “ya Puranti. Permaisuri itu cantik sekali.”
Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesuatu maksud ia berkata, “Kalau kakang kelak menjadi seorang Akuwu, maka sudah tentu isteri kakang pun akan cantik sekali seperti Ken Dedes.”
Ken Arok tahu benar, bahwa gadis kecil itu tidak menyadari apa yang diucapkannya. Karena itu, maka betapa hatinya bergetar karenanya, namun ia mencoba tersenyum dan menjawab, “Ah, bagaimana mungkin kakang menjadi seorang Akuwu. Akuwu adalah pangkat turun-temurun seperti seorang raja. Seperti juga Maharaja dari Kediri. Kalau lebih kecil dari padanya adalah seperti Ki Buyut di Karuman ini.”
Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan terdengar lagi pertanyaan kekanak-kanakannya, “Jadi kalau bukan anak Akuwu, tidak akan mungkin seseorang menjadi Akuwu, atau Maharaja atau bahkan Buyut sekalipun?”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, “Memang tidak mungkin.”
Puranti masih mengangguk-angguk. Namun terdengar suara Bango Samparan, “Tidak selalu Puranti. Meskipun ia bukan keturunan Akuwu, seseorang mungkin saja menjadi seorang Akuwu.”
“Ah” desah Ken Arok, “itu tidak mungkin.”
“Kau memperkecil peranan nasib, Ken Arok” sahut Bango Samparan, “seseorang yang bernasib baik, akan mungkin sekali meloncat pada suatu jabatan yang tidak terduga-duga. Seperti Ken Dedes misalnya. Seorang gadis padesan yang selama masa hidupnya ia tidak akan pernah bermimpi menjadi seorang Permaisuri kalau nasib tidak merenggutnya dari dunianya yang lama itu, melemparkannya ke singgasana seorang Permaisuri di Tumapel."
“Tetapi ia tidak menjadi seorang Akuwu. Adalah mungkin sekali ia menjadi seorang Permaisuri, karena jabatan seorang Permaisuri bukan jabatan turun-temurun.”
“O” seru Bango Samparan, “kau adalah seorang prajurit Tumapel. Kau pasti tahu, bahwa seandainya seorang Akuwu mempunyai anak perempuan dan tidak mempunyai anak laki-laki. Kemudian anak perempuannya kawin dengan seseorang yang bukan keturunan Akuwu, maka ia akan menjadi Akuwu.”
“Tidak ayah” jawab Ken Arok, “ia tidak akan menjadi seorang Akuwu selama tidak ada penyerahan secara resmi dari isterinya. Kalau suami itu meninggal, maka jabatan itu akan berpindah dengan sendirinya kepada suaminya yang baru apabila ia kawin lagi.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya, Lalu perlahan-lahan ia bergumam, “Kecuali dengan pemberontakan.”
“Itu, persoalan lain ayah. Pemberontakan mempunyai akibat yang lain. Memang mungkin seseorang akan dapat merebut kekuasaan. Tetapi ia harus berdiri di atas timbunan mayat-mayat korban pemberontakannya di kedua belah pihak.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata lirih, “Jadi, jalan menuju ke jabatan itu memang sudah buntu. Bagaimanapun juga.”
“Apakah kepentingan kita dengan jabatan-jabatan serupa itu” desis Ken Arok, “marilah kita berbicara tentang hal-hal yang lain, yang lebih menarik tentang diri kita sendiri”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia masih juga berkata, “Tidak selamanya pemberontakan itu salah.”
“Bagaimanapun juga jalan itu adalah jalan yang paling mengerikan, kebencian akan meledak bercampur baur dengan dendam dan pamrih pribadi.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya Namun tiba-tiba seperti orang terbangun dari tidurnya ia berkata lirih, “He, bukankah kekuasaan Tumapel kini ada di tangan Ken Dedes?”
Pertanyaan itu menyambar dada Ken Arok seperti hentakan guruh di dalam dadanya. Sejenak ia diam mematung namun terasa nafasnya menjadi tersengal-sengal.
“Mustahil kalau kau tidak mendengarnya. Akuwu Tunggul Ametung telah menyerahkan apa saja kepada Permaisurinya. Kekuasaan atas Tumapel termasuk di dalamnya. Bukankah begitu? Apakah pendengaranku ini salah?”
Kini, Darah Ken Arok serasa semakin cepat mengalir. Dadanya berdebaran dan kepalanya menjadi pening, Ia sendiri tidak tahu, kenapa kata-kata Bango Samparan itu membuatnya terlampau gelisah.
“Bukankah begitu Ken Arok?” bertanya Bango Samparan pula.
“Aku tidak tahu, aku tidak tahu” jawab Ken Arok sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tetapi Bango Samparan justru tertawa. Katanya, “Hal itu bukan merupakan rahasia lagi, Ken Arok.”
Ken Arok mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sejenak ia diam mematung memandangi lampu minyak yang bergetar oleh angin yang menyusup dari sela-sela dinding.
“Hampir setiap orang mempersoalkannya dahulu” Bango Samparan meneruskan, “tetapi sekarang orang telah melupakannya.”
“Apa saja yang akan dilakukan oleh Akuwu, bukanlah persoalan kita” sahut Ken Arok tiba-tiba.
Bango Samparan tertawa. Katanya, “Seandainya, ya, seandainya Akuwu Tunggul Ametung tidak ada lagi, dan Ken Dedes kemudian kawin lagi, apakah suaminya juga berhak menjadi Akuwu apabila Ken Dedes bersedia menyerahkan kekuasaan itu dengan resmi.”
“Aku tidak tahu” suara Ken Arok mengeras, “itu bukan urusanku.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih berkata, “Aku hanya ingin tahu, Ken Arok. Aku hanya ingin menjawab pertanyaan Puranti, apakah kalau seseorang bukan keturunan Akuwu untuk selamanya tidak akan dapat menjabat jabatan itu. Seandainya suami Ken Dedes kelak setelah Akuwu Tunggul Ametung meninggal dapat menggantikannya, maka ternyata bahwa seseorang dari lingkungan yang lain, mungkin seorang dari lingkungan pidak pedarakan akan mampu menjadi seorang Akuwu.”
“Tidak ada gunanya kita berbicara tentang hal itu. Tidak ada gunanya. Marilah kita berbicara tentang yang lain?”
“Ya, ya. Kita akan berbicara tentang yang lain. Namun aku hanya akan sekedar mengatakan, bahwa seseorang dapat saja dikendalikan oleh nasib menjadi seorang Akuwu. Nasib yang terlampau baik, seperti kau misalnya. Tidak mustahil bahwa suatu ketika kau menjadi seorang Akuwu karena sebab-sebab yang tidak langsung. Kau masih muda dan cukup tampan.”
“Cukup, cukup,” tiba-tiba Ken Arok itu berteriak sehingga Puranti menjadi terkejut dan meloncat memeluk ibu tirinya. Dengan dada yang gementar dipandanginya Ken Arok dengan wajah yang bertanya-tanya.
Ken Arok yang melihat wajah Puranti menjadi pucat, tiba-tiba menyadari keadaannya. Dengan kepala tunduk ia berkata perlahan-lahan, “Maafkan aku.”
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, ya. Aku maafkan kau. Eh, maksudku, aku juga minta maaf. Mungkin kata-kataku tidak menyenangkan hatimu, atau barangkali kau memang belum pernah mempertimbangkannya, sehingga kau masih saja menganggap hal yang demikian itu mustahil.”
Kalau Ken Arok tidak berusaha sekuat tenaganya, maka ia pasti akan berteriak lagi. Tetapi ditahankannya kejengkelannya di dalam dadanya, sehingga dada itu serasa menjadi sesak.
“Baiklah” berkata Bango Samparan kemudian, “kau benar-benar tidak ingin mengetahui tentang nasibmu yang teramat baik. Aku tidak akan membuatmu kecewa. Sebagai tuan rumah aku akan berusaha membuat tamuku menjadi senang. Nah, sekarang, apakah yang akan kita bicarakan.”
Pertanyaan itu justru membuat Ken Arok terdiam. Tiba-tiba saja ia menjadi kaku dan setiep kali dadanya menjadi berdebar-debar tanpa sebab. Karena Ken Arok tidak segera menyahut, maka Bango Samparan bertanya pula,
“Apakah kau mempunyai kesenangan berbicara tentang sesuatu hal? Tentang kuda misalnya, atau tentang pusaka atau tentang kukila? Heh, bukankah seorang laki-laki harus memiliki beberapa kelengkapan kejantanannya? Kuda, pusaka, kukila, dan diantaranya wanita. Mana yang paling kau sukai di antara sembilan unsur yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki jantan. Seorang satria?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak ada satu pun. Kejantanan seseorang tidak terletak pada kelengkapan kesembilan unsur-unsur itu. Tetapi di sini, di dalam dada ini.”
Bango Samparan tertawa terkekeh-kekeh, “O, kau memang masih terlampau hijau. Apakah kau kira bahwa kesembilan unsur itu berbentuk wadag seperti namanya. Kuda misalnya. Apakah kau kira unsur ini benar-benar seekor kuda yang betapa pun baiknya? Tidak Ken Arok. Unsur ini adalah unsur gerak, dari seorang laki-laki. Tangkas dan lincah dalam menanggapi segala persoalan. Demikian juga unsur-unsur yang lain. Wanita misalnya. Bukan berarti seorang perempuan yang cantik seperti Permaisuri itu. Tidak, meskipun hal itu juga penting bagi seseorang. Tetapi eh, barangkali, aku sendiri kurang mengerti, maksudnya adalah sifat melayani, memelihara dan menjaga. Bukankah begitu?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ternyata Bango Samparan mengerti juga serba sedikit tentang berbagai macam sifat, yang pernah juga didengarnya. Tetapi terlampau banyak untuk mengingat-ingat sembilan macam kelengkapan seorang ksatria. Sehingga Ken Arok itu pun menjawab, “Ayah, aku tidak ingat lagi, apa saja kesembilan sifat yang harus dimiliki oleh seorang ksatria dengan melambangkannya atas berbagai macam ujud itu. Aku memang pernah mendengarnya pula dengan berbagai macam uraiannya. Tetapi bagiku, yang terlebih penting, bukanlah sifat-sifat yang dapat dilambangkan dengan berbagai macam ujud itu. Yang terpenting menurut seseorang yang paling aku percaya yang selama ini telah mem bimbing aku, sifat seorang ksatria adalah sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Tidak ada bedanya. Yaitu kasih. Kasih setulus bati kepada Sumber Hidupnya dengan segala macam penyerahan yang murni, dan kasih kepada sesama hidupnya. Itu saja. Tetapi yang dua itu adalah keseluruhan dari hidup ini. Hidup kita, hidup semesta sebagaimana ia dilahirkan.”
Bango Samparan mendengarkan kata-kata Ken Arok itu dengan mata tanpa berkedip. Sekali-sekali ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan sekali dahinya berkerut-merut. Ketika ia berpaling kepada isteri mudanya dan kemudian istri tuanya, tampaklah kesan kesungguhan di wajah mereka. Sedangkan Puranti yang kecil itu pun agaknya telah mencoba untuk mengerti kata-kata Ken Arok. Tetapi justru karena hatinya yang bening, maka agaknya ia cepat menangkap maksudnya meskipun secara naluriah.
Perlahan-lahan ia bertanya dengan ragu-ragu, “Kalau begitu, bukankah kita tidak boleh saling membenci?”
“Tepat” sahut Ken Arok, “kita tidak boleh saling membenci.”
“Aku juga tidak membenci” anak itu seolah-olah bergumam untuk dirinya sendiri, “tetapi kawankulah yang membenci aku karena aku anak ayah Bango Samparan. Kalau begitu mereka kurang baik menurut penilaian kakang Ken Arok. Bukankah begitu?”
“Ya, ya” Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sulitlah baginya untuk berkata lebih panjang lagi dihadapan gadis kecil itu. Ken Arok tahu bahwa anak-anak kawan Puranti itu pasti mendapat pesan dari orang tua masing-masing, supaya anak-anaknya tidak bermain-main dengan anak Bango Samparan. Ken Arok dapat mengerti sikap dan pendirian itu. Tetapi, tidak seharusnya mereka membenci pula Puranti.
Namun kecemasan mereka adalah wajar sekali, meskipun bukan itulah yang paling benar. Sebab dengan demikian. Di dalam hati mereka telah tumbuh pula kebencian Kebencian terhadap sesamanya yang sedang tersesat. Tetapi, adalah terlampau sulit untuk dapat menempatkan diri pada landasan yang benar seluruhnya, benar mutlak. Sebagaimana seharusnya mereka sama sekali tidak boleh membenci orang semacam Bango Samparan seperti tidak boleh membenci sesamanya. Justru mereka harus berbelas kasihan kepada mereka yang telah menempuh jalan sesat.
Dengan demikian bukan berarti bahwa kebenaran itu harus dilepaskan. Bukan berarti bahwa ada pengecualian dalam mengetrapkan kasih antara sesama. Apakah sesama itu seorang yang mulus seputih kapas, ataukah sesama itu telah berlumuran noda yang seolah-olah tidak terhapuskan. Kepada mereka yang telah tersesat itulah kita justru harus menunjukkan rasa kasih kita. Kita harus menumpahkan belas kasihan dan berusaha membimbing mereka. Bukan justru kita asingkan. Namun disadari, itu adalah warna tertinggi dari hidup yang sulit ini.
Ken Arok tersadar ketika ia mendengar Puranti berkata, “Kalau begitu, aku harus memberitahukan kepada mereka, bahwa mereka tidak boleh membenci aku, sebab aku pun tidak boleh membenci mereka. Selebihnya kita tidak boleh saling membenci."
“Ah” tiba-tiba isteri tua Bango Samparan berdesah, “bukan kau yang wajib memberi tahukan kepada mereka, Puranti. Mereka pasti tidak akan mendengarkannya."
“Bukan salahku ibu. Kalau mereka tidak mau mendengarkan, itu adalah salah mereka sendiri. Mereka tidak mau menerima petunjuk arah dari jalan mereka yang salah. Tetapi aku sudah mencoba.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Pikiran itu adalah pikiran anak-anak yang menarik garis lurus langsung dari kata-katanya tanpa mempertimbangkan pengaruh dan keadaan. “Itu baik Puranti” berkata Ken Arok, “tetapi kau tidak boleh kecewa kalau kata-katamu itu tidak mereka dengar, dan bahkan mungkin akan mereka tertawakan.”
“Tentu tidak” sahut gadis kecil itu, “tetapi itu akan lebih baik dari pada aku tidak mengatakan apapun kepada mereka.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan seperti ditujukan kepada diri sendiri, “Tetapi ada jalan lain yang lebih baik dari itu, lebih bermanfaat dan akan lebih cepat berhasil.”
Puranti mengerutkan keningnya, “Apakah jalan itu? Aku akan melakukannya apabila aku dapat.”
Ken Arok menggeleng, jawabnya, “Bukan kau yang harus melakukannya Puranti, tetapi ayah dan ibu.”
Sepercik pertanyaan membayang di wajah anak itu. Tanpa ditadarinya ditatapnya wajah ayahnya, ibunya dan ibu tuanya, seolah-olah ia ingin mendapat penjelasan dari orang tuanya. Bango Samparan menundukkan kepalanya, terlebih-lebih lagi isteri mudanya, yang seolah-olah ingin menyembunyikan wajahnya dari sentuhan lampu minyak yang berkeredipan dibelai angin.
“Apa yang harus dilakukan oleh ayah dan ibu-ibuku?” bertanya gadis kecil itu.
“Ayah dan ibu-ibumu sudah tahu Puranti” jawab Ken Arok.
Puranti menjadi semakin tidak mengerti. Dengan jujur ia bertanya, “Apakah ayah dan ibu sudah tahu?”
Bango Samparan mengangguk lemah.
“Kalau demikian kenapa ayah dan ibu tidak melakukannya sejak dahulu? Jika demikian aku pasti sudah mempunyai kawan. Aku tidak akan selalu bermain-main sendiri atau dengan ibu tua saja.”
Dada Bango Samparan terasa berdentang keras sekali. Sejenak ia diam membisu. Namun ia berpaling ketika di dengarnya isteri mudanya terisak.
“Ibu menangis?” bertanya Puranti.
Ibunya menggeleng, “Tidak Puranti.”
Puranti mengerutkan keningnya. Gadis kecil itu melihat setitik air mata di pelupuk mata ibunya yang tunduk. Ia mendengar isak yang tertahan. Tetapi ibunya berkata bahwa ia tidak menangis. Memang Puranti belum pernah melihat ibunya itu menangis. Perempuan itu terlampau garang baginya. Yang sering dilihatnya menangis adalah ibu tuanya. Tetapi kali ini ibu tua itu malah tidak menangis. Yang menangis adalah ibu mudanya, ibunya sendiri.
Sejenak ruangan dalam rumah Bango Samparan yang kotor itu menjadi sepi. Yang terdengar adalah isak dan nafas isteri muda Bango Samparan yang serasa memburu di dadanya. Ken Arok sendiri duduk sambil menundukkan kepalanya. Tetapi ia merasakan pergolakan yang terjadi di setiap dada mereka yang berada di dalam ruangan itu. Diam-diam ia merasa syukur, bahwa kedatangannya dapat menumbuhkan suatu perkembangan yang baik di dalam rumah ini. Menilik sikap mereka saat ini, maka sepercik penyesalan telah melonjak di dalam setiap dada mereka yang merasa bersalah. Bahkan Ken Arok yakin, bahwa anak-anak Bango Samparan yang lain pun pasti akan mempertimbangkan peristiwa yang siang tadi telah terjadi.
Sementara itu, maka malam pun merambat semakin dalam. Di kejauhan terdengar suara burung hantu seolah-olah memekik-mekik disela-sela derik cengkerik yang berkepanjangan. Kediaman di dalam rumah Bango Samparan itu pun kemudian dipecahkan oleh Puranti yang menguap sambil berkata kepada isteri tua Bango Samparan, “Aku sudah mengantuk ibu.”
“O” sahut ibu tua, “baiklah kau tidur Puranti.”
“Apakah ibu akan berceritera seperti kemarin tentang seorang pangeran yang berpura-pura dungu?”
Isteri tua Bango Samparan tersenyum. Jawabnya, “Tidak Puranti. Hari telah larut malam. Sebaiknya kau segera tidur saja. Kalau aku berceritera, kau selalu bertanya-tanya, sehingga dengan demikian kau tidak tidur-tidur juga.”
“Tetapi aku senang mendengar ceritera itu ibu, atau barangkali ceritera yang lain? Seorang gembala yang kawin dengan puteri raja dan kemudian menjadi raja meskipun ia bukan keturunan raja?”
“Ah” sahut ibunya. Sedang Ken Arok pun menarik nafas dalam-dalam.
“Bukankah gembala itu membunuh seorang raja muda yang seharusnya menjadi suami puteri raja itu?”
“Tidurlah” potong ibu tua.
Puranti sejenak memandang berkeliling. Ketika dipandanginya ayahnya, maka Bango Samparan itu pun berkata, “Tidurlah.”
“Ya tidurlah” sambung ibu muda.
Puranti menguap sekali lagi, lalu katanya, “Aku akan tidur.”
Perlahan-lahan Puranti berdiri, kemudian melangkah ke dalam biliknya. Direbahkannya dirinya di atas pembaringannya, sebuah amben bambu yang dialasi dengan sebuah tikar yang telah lusuh dan sobek. Tetapi Puranti tidak memperhatikannya lagi. Setiap malam ia tidur di amben itu. Kadang-kadang bersama isteri tua Bango Samparan. Tetapi kadang-kadang ibu tuanya itu tidak berani masuk dan tidur di serambi belakang. Purantilah yang kadang-kadang mencari ibu tua itu dan tidur bersamanya di serambi belakang, apabila ibunya sendiri sedang marah-marah.
Sepeninggal Puranti, maka yang lain-lain pun telah mulai dirayapi kantuk pula! Ken Arok yang agak lelah telah tidak bernafsu lagi bercakap-cakap lebih lanjut. Karena itu, maka katanya, “Aku minta diri untuk beristirahat ayah. Aku sudah terlalu lelah.”
“O, baik, baiklah” tetapi kemudian Bango Sampar an itu mengerutkan keningnya, “dimana kau akan tidur?”
Sudah tentu Ken Arok tidak dapat menjawab pertanyaan itu sehingga untuk sejenak ia terdiam, bahkan menjadi agak bingung.
“O, seharusnya akulah yang menunjukkan tempat untukmu” dengan tergesa-gesa Bango Samparan menyambung, “tetapi aku juga tidak tahu, apakah ada tempat untukmu.”
“Ah” Ken Arok menyahut, “jangan ribut. Aku dapat tidur dimana saja.”
“Tetapi kau tamu disini.”
“Aku pernah menjadi penghuni rumah ini. Aku dapat tidur disini.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah” katanya, “tidurlah disini.”
Sesaat kemudian Ken Arok telah ditinggalkan sendiri di tempatnya. Bango Samparan sendiri pergi keluar rumah dan tidur di emper depan di atas jerami kering, setelah menyingkirkan lampu minyak dan meletakkannya pada ajuk-ajuk di sudut ruangan. Ken Arok membaringkan dirinya ketika ayam jantan terdengar berkokok untuk yang pertama kalinya.
“Tengah malam” desisnya. Namun justru setelah ia berbaring maka kantuknya seolah terusir dari dirinya. Tetapi, dalam pada itu, kenangan dan angan-angannyalah yang membubung tinggi menyelusuri bintang-bintang dilangit. Tiba-tiba ia menggeretakkan giginya ketika terbayang wajah Permaisuri Tumapel yang pernah dilihatnya memancarkan nyala dari tubuhnya.
“Hem” ia berdesah. Tetapi bayangan itu justru menjadi semakin nyata di pelupuk matanya. Bahkan seolah-olah mencengkamnya dalam satu pesona yang tidak mungkin dihindarinya lagi.
Ketika Ken Arok mencoba memejamkan matanya, maka bayangan itu menjadi semakin jelas. Wajahnya semakin nyata dalam warna yang cemerlang. Dan tiba-tiba seperti di dalam mimpi ia mendengar Permaisuri itu bertanya kepadanya, “Apakah kau akan berceritera tentang seorang pangeran yang berpura-pura dungu?”
Ken Arok menjadi bingung. Namun bayangan itu berkata pula sejelas ia mendengar suara kokok ayam di kejauhan, “Atau barangkali ceritera yang lain? Ceritera tentang seorang gembala yang kawin dengan puteri raja dan kemudian menjadi raja meskipun ia bukan keturunan raja.”
Ken Arok menggeram. Tiba-tiba ia berbalik menelungkupkan dirinya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tetapi bayangan itu masih jelas dilihatnya. Tetapi kini yang didengar adalah suara yang lain. Suara yang seolah-olah bergema di langit yang luas, “Nasibmu terlampau baik Ken Arok. Nasibmu memang terlampau baik.”
Kegelisahan dihati Ken Arok tiba-tiba mcmanjat sampai keubun-ubun. Dikatubkannya bibirnya rapat-rapat dan ditutupnya telinganya dengan kedua ujung jari telunjuknya. Namun suara itu kini serasa melingkar-lingkar di dalam dadanya, “Nasibmu memang terlampau baik. Nasibmu memang terlampau baik.”
Dan menggema pulalah suara kecil, “Apakah hanya keturunan raja saja yang dapat menjadi seorang raja?”
“Oh, gila, gila” Ken Arok menggeram. Tiba-tiba ia bangkit dan duduk sambil menggeretakkan giginya.
Ketika ia memutar pandangan matanya, maka ruangan itu seolah-olah ditabiri oleh warna hitam yang kelam. Dari dalam bilik di samping ruangan itu membayang warna lampu minyak yang kemerah-merahan. Agaknya lampu di dalam ruangan itu telah padam.
“Hem” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia telah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya. Ia tidak akan dapat ingkar lagi. Bahwa sebenarnyalah ia telah jatuh hati kepada Permaisuri Ken Dedes. Perasaan itu telah mencengkam perasaannya tanpa dapat dilawannya lagi. Kepergiannya dari Tumapel adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari perasaan yang akan berlarut-larut memukau hatinya. Tetapi agaknya ia tidak dapat lagi menghindar kemana saja ia pergi.
“O, kenapa ujung-ujung senjata Panji Bawuk tidak me robek dadaku saja, sehingga aku akan terlepas dari perasa an ini? Aku akan terlepas dari pengkhianatan meskipun baru di dalam angan-angan. Karena Ken Dedes adalah isteri Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, isteri junjunganku. Aku tidak akan dapat berbuat apapun seandainya Ken Dedes itu sekedar isteri seorang kawanku, bahkan isteri bawahanku sekalipun, karena perbuatan demikian adalah perbuatan yang terkutuk.
Apalagi ia adalah seorang Permaisuri tempat aku menghambakan diri. Lebih dari pada itu, Tunggul Ametung lah yang telah mengambil aku dari dalam lumpur kehinaan dan hitam pekat, yang seakan-akan telah memindah aku dari rumah semacam ini keistana Tumapel yang megah. Bahkan Tunggul Ametung telah pernah pula menyelamatkan nyawaku, ketika aku membuka susukan induk di Padang Karautan, ketika bendungannya sedang dihantam banjir.
Hampir-hampir Ken Arok tidak dapat menahan diri lagi untuk tetap berada di tempatnya. Seakan-akan sesuatu telah mendorongnya untuk pergi meninggalkan rumah itu, mengembara menyelusuri jalan-jalan padesan yang gelap. Mencari-cari persoalan untuk melupakan Ken Dedes dari angan-angannya. Ternyata pertanyaan Puranti yang kecil itu telah menuntunnya ke dalam angan-angan yang semakin menakutkan baginya, Meskipun Ken Arok sadar, bahwa gadis itu sama sekali tidak bersalah, karena tanpa kesengajaan ia mengucapkan pertanyaan yang tersimpan di dalam hatinya dengan kejujurannya yang bersih.
“Aku harus dapat melawan perasaan ini”, sekali lagi Ken Arok menggeram sambil membantingkan dirinya berbaring di lantai beralaskan sebuah tikar yang kumal.
Dengan sekuat tenaganya ia telah melawan perasaan yang tiba-tiba saja tumbuh. Tetapi betapa sulitnya. Bahkan tiba-tiba terngiang di kepalanya suara itu lagi, “Seandainya Tunggul Ametung sudah tidak ada.”
Ken Arok hampir saja berteriak. Untunglah tangannya secara naluriah telah membungkam mulutnya sendiri, sehingga ia tidak mengejutkan seisi rumah di malam yang larut itu. Tetapi tiba-tiba Ken Arok mendengar sesuatu berderik di pintu ruangan itu. Semakin lama semakin jelas. Dengan matanya yang tajam yang seakan-akan mampu menembus kegelapan ia melihat daun pintu lereg itu bergerak-gerak.
“Ada seseorang di pintu itu” desisnya.
Tetapi sejenak kemudian suara itu diam. Daun pintu itu pun diam pula. Sesaat Ken Arok dapat melupakan angan-angannya tentang Ken Dedes. Sepercik kecurigaan telah melonjak di dalam dadanya. Seolah-olah seseorang telah berusaha membuka pintu dan berusaha masuk dengan diam-diam. Dengan demikian mika Ken Arok pun justru berdiam diri pula. Ia sama sekali tidak bergerak. Hanya tangannya sajalah yang dituntun eleh naluri keprajuritannya, meraba hulu pedangnya yang terletak di sisinya.
Ketika sekali lagi pintu itu berderik-derik lambat, maka Ken Arok pun menjadi semakin diam. Diaturnya jalan nafas mya, sehingga seolah ia telah tidur nyenyak. Perlahan-lahan pintu itu bergerak-gerak. Semakin lama semakin nyata bahwa pintu itu sudah mulai terbuka.
“Pintu itu memang tidak diselarak, karena Bango Samparan tidur di luar.” desis Ken Arok di dalam hatinya, “tetapi siapakah yang akan masuk dengan diam-diam ini?”
Daun pintu itu semakin lama menjadi semakin terbuka lebar. Bayangan gelap malam yang hitam, telah memulas sesoyok tubuh yang berdiri di muka pintu yang kini telah terbuka itu. Hitam. Hitam seperti bayangan hantu yang perlahan-lahan hendak menerkamnya Tetapi ternyata mata Ken Arok benar-benar bermata yang tajam. Meskipun ia tidak membuka matanya sepenuhnya, tetapi segera ia mengenal orang yang kini telah melangkah masuk seperti seorang pencuri itu, Panji Bawuk.
Kecurigaan di dalam dada Ken Arok menjadi semakin melonjak. Hampir saja ia meloncat dan memilin leher Panji Bawuk. Namun tiba-tiba niat itu diurungkannya. Dibiarkannya Panji Bawuk melangkahi tlundak pintu. Suatu pergolakan yang dahsyat telah terjadi di dalam dada Ken Arok. Tiba-tiba ia terdorong kedalam suatu pikiran Sang aneh. Seandainya Panji Bawuk berniat buruk, maka tanggapan Ken Arok atas hal itu dipengaruhi oleh kegelapan pikirannya.
“Apakah Panji Bawuk akan menjadi lantaran, membebaskan aku dari pengkhianatan ini?”
Dengan demikian maka Ken Arok tidak segera dapat mengambil sikap. Meskipun tangan kanannya telah menggenggam hulu pedang di bawah kain panjangnya, namun ia tidak segera dapat bertindak. Keragu-raguan yang membayangi perasaannya telah membuatnya diam tanpa dapat berbuat sesuatu. Sementara Panji Bawuk melangkah semakin lama semakin dekat.
Tetapi nalar Ken Arok ternyata benar-benar telah dikaburkan oleh kebingungan yang mencekam dadanya. Di dalam hatinya ia berkata, “Agaknya akan lebih baik bagiku, apabila aku sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melakukan, bahkan berangan-angan tentang pengkhianatan itu.”, Namun tiba-tiba pertanyaan yang lain tumbuh di hatinya, “Tetapi apakah cara ini adalah cara yang sebaik-baiknya?”
Selagi Ken Arok dilanda oleh kebimbangan, sebelum ia menemukan keputusan terakhir, Panji Bawuk telah berdiri disisinya. Perlahan-lahan anak sulung Bango Samparan itu berjongkok di samping Ken Arok. Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Begitu dahsyat pergolakan terjadi di dalam hatinya, sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Tetapi betapapun juga, ternyata bahwa ia tidak akan dapat membiarkan sesuatu atas dirinya. Nalurinyalah yang memaksanya untuk bersiaga meskipun tampaknya ia masih saja berbaring diam. Tetapi apabila ia memerlukan untuk menyelamatkan dirinya, maka dengan melentingkan tubuhnya ia pasti akan terhindar dari bahaya.
Tetapi setelah sesaat Ken Arok menunggu, Panji Bawuk tidak melakukan sesuatu. Dilihatnya anak muda itu berjongkok di dalam kegelapan sambil menekurkan kepalanya. Dan tanpa diduga-duga oleh Ken Arok Panji Bawuk itu kemudian duduk di lantai di samping tempatnya berbaring. Keheranan yang tajam telah melanda dinding jantung Ken Arok. Ia masih berpura-pura memejamkan matanya, meskipun ia dapat melihat dari sela-sela pelupuk matanya, Panji Bawuk yang duduk tepekur di sampingnya.
Akhirnya Ken Arok lah yang tidak sabar menunggu. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya dalam nada yang dalam sambil berpura-pura menggeliat, “He, siapakah kau?”
Panji Bawuk terkejut sehingga ia bergeser surut. “Maafkan aku kakang, apakah aku mengejutkan kau?”
Perlahan-lahan Ken Arok bangkit. Namun ia cukup waspada untuk menghadapi setiap kemungkinan yang tiba-tiba sekalipun. “Kenapa kau berada disitu?”
“Ya, aku sudah lama duduk di sini” jawab Panji Bawuk.
Hampir saja Ken Arok membatahnya. Tetapi segera di urungkannya niatnya. Bahkan ia bertanya, “Apakah maksudmu menunggui aku tidur disini?”
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia ragu-ragu, namun kemudian ia berkata perlahan-lahan, “Kakang. Aku melihat betapa nyenyaknya kau tidur. Tetapi aku sama sekali tidak dapat memejamkan mata barang sekejappun.”
Ken Arok memandangi wajah Panji Bawuk dengan sorot mata keheranan. Ia tidak segera menangkap maksud anak Bingo Samparan itu. Tetapi ia melihat bahwa mata Panji Bawuk yang liar itu kini telah menjadi padam.
“Agaknya perasaan kakang telah semeleh, sehingga semuanya telah menjadi bersih seperti air yang memancar dari sumbernya.”
Ken Arok masih belum tahu benar maksud Panji Bawuk. Namun yang jelas baginya adalah, bahwa Panji Bawuk itu sama sekali tidak bermaksud jahat kepadanya. “Aku ternyata masih juga dikuasai oleh prasangka yang berlebih-lebihan” berkata Ken Arok di dalam hatinya, “tetapi terhadap anak sebuas Panji Bawuk, sudahlah sepantasnya aku selalu berhati-hati.”
Namun yang ditanyakannya adalah, “Apakah maksudmu Panji Bawuk?”
Panji Bawuk tidak segera menjawab. Namun tatapan matanya serasa menjadi semakin dalam.
“Apakah kau mendendam?” bertanya Ken Arok kemudian.
Panji Bawuk menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak. Tiba-tiba saja aku kehilangan segala macam nafsu dendamku. Aku berterima kasih kepadamu kakang.” Panji Bawuk berhenti sejenak, lalu, “Tetapi dengan demikian aku melihat betapa kotornya diriku. Apakah aku masih sempat untuk menikmati ketenteraman hati dan tidur nyenyak seperti kau? Aku tahu, bahwa kau pun pernah mengalami masa-masa penuh dengan noda-noda hitam. Tetapi kini kau menjadi seolah-olah tanpa cacad. Kau menjadi seputih warna kapas. Itulah sebabnya kau dapat tidur nyenyak. Tetapi aku tidak. Aku merasa diburu oleh semua kesalahan yang pernah aku lakukan. Serasa setiap wajah mereka yang pernah aku lukai apalagi yang terbunuh dalam pertengkaran-pertengkaran selalu membayangiku malam ini.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Panji Bawuk itu. Sehingga dengan serta-merta ia menyahut, “Itu pertanda baik buat hari depanmu Panji Bawuk. Penyesalan memang menumbuhkah persoalan di dalam dirimu. Kalau kau dapat menanggapi dengan baik, maka kau akan terdorong kembali ke jalan yang lurus.”
“Tetapi aku tidak dapat meletakkan diri seperti kau. Kau dapat tidur nyenyak dan menyingkirkan segala macam dendam dan nafsu. Kau dapat mengekang dirimu untuk tidak membunuh aku dan adik-adikku. Kau dapat mengekang segala macam nafsu lahiriahmu dan bahkan seolah-olah dari dalam dirimu memancar cahaya terang, yeng menerangi jalanku, adik-adikku dan mungkin juga ibu dan ayahku. Apakah aku juga dapat melakukannya?”
Terasa dada Ken Arok bergetar semakin dahsyat. Justru kini ia merasa, bahwa kebersihan hatinya selama ini telah berhasil dicapainya sedikit demi sedikit sedang teruji. Justru ketika ia berhasil mengangkat keluarga Bango Samparan ke tempat yang bersih, ia sendiri mulai terseret kedalam arus nafsu lahiriah akan dapat menodai hidupnya.
Dan seperti guruh di langit ia mendengar Panji Bawuk berkata, “Kesempatan untuk membersihkan dirimu itulah ciri dari nasibmu yang paling baik kakang.”
Ken Arok mengatupkan giginya rapat-rapat. Kali inipun ia sadar, bahwa tidak ada kesengajaan Panji Bawuk untuk mengorek perasaannya. Agaknya anak muda itu benar-benar melihatnya berhati bersih seperti yang baru saja dipertunjukkannya. Tetapi Panji Bawuk tidak melihat bahwa telah terjadi kemelut yang panas membakar rongga dadanya.
“Kakang” terdengar lagi suara Panji Bawuk, “apakah aku mempunyai kesempatan sebaik kakang pula.”
“Ya, ya” suara Ken Arok tergagap, “semua orang mempunyai kesempatan serupa. Kau pun mempunyai kesempatan seperti aku.”
“Mudah-mudahan” Panji Bawuk seakan-akan berbisik kepada diri sendiri, “mudah2an aku mendapat kesempatan itu, dan mudah-mudahan aku tidak dapat terseret lagi ke dalam nafsuku yang tidak terkendali/” Panji Bawuk berhenti sejenak, lalu tiba-tiba, “Kakang, kakang. Aku tidak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri. Apakah aku akan dapat memegang teguh kesadaran ini.”
Terasa dada Ken Arok menjadi semakin tegang.
“Aku akan selalu cemas, bahwa pada suatu saat ke sadaran yang telah tumbuh ini akan menjadi semakin pudar dan akhirnya padam sama sekali sehingga aku akan terseret lagi kelam duniaku yang hitam seperti ini.”
Jantung Ken Arok serasa berdentangan semakin keras. Tetapi ia masih menjawab, “Kau harus selalu berusaha menjadi dirimu Panji Bawuk. Kau harus selalu ingat, bahwa kau pernah bangkit dari dalam lumpur,” Ken Arok berhenti sesaat, kemudian, “sudahlah. Besok kita berbicara lagi. Sekarang aku ingin beristirahat.”
Panji Bawuk naengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, beristirahatlah. Kau akan tidur lagi dengan nyenyak dan aku akan tetap seperti keadaanku. Aku tidak tahu, apakah perasaanku akan gelisah seperti saat ini untuk waktu yang lama.”
“Kalau kau ikhlas, kau akan tidur dengan nyenyak.”
“Aku ikhlas. Ikhlas sekali Ken Arok. Tetapi aku adalah seorang yang berhati lemah, seperti yang telah aku katakan. Mungkin pada suatu ketika aku akan terseret dalam arus yang dahsyat, yang tidak dapat aku tahankan lagi sehingga hidupku seperti ini akan terulang, dan bahkan menjadi semakin parah.”
“Itu tergantung kepadamu sendiri” potong Ken Arok dengan nada semakin tinggi.
Panji Bawuk terkejut mendengar jawaban itu. Tetapi kemudian diendapkaanya hatinya. Mungkin perasaannya sajalah yang membuat telinganya menangkap suara Ken Arok itu terlampau keras. Sehingga kemudian sekali lagi ia berkata, “Hatiku terlampau lemah Ken Arok. Hatiku terlampau lemah.”
Suara itu terngiang di telinga Ken Arok seperti suara ribuan lebah yang berputar-putar di telinganya, sehingga hatinya pun menjadi semakin gelisah. Suara itu seolah-olah telah menyentuh dinding hatinya sehingga semakin lama semakin sering. Sehingga Ken Arok menjadi ketakutan, bahwa ribuan lebah.itu nanti akan menyengatnya bersama-sama.
Sehingga akhirnya Ken Arok itu berkata semakin keras, “Pergi, pergilah. Aku akan beristirahat.”
Debar jantung Panji Bawuk menjadi semakin keras. Setapak ia bergeser surut. Katanya, “maaf, aku telah mengganggumu Ken Arok. Bukan maksudku. Aku hanya ingin mencari ketenteraman didekatmu, karena seolah-olah kau memiliki suatu tenaga yang gaib, yang dapat mempengaruhi perasaanku. Di luar aku merasa dadaku terlampau panas. Tetapi di sini aku merasakan kesejukan yang memancar dari hatimu yang putih. Mudah-mudahan aku akan selalu ingat pesanmu, supaya aku tidak terperosok lagi ke dalam dunia yang penuh dengan kutukan ini. Semoga aku akan selalu ingat kepada seorang yang telah berhasil melepaskan dirinya dari dunia yang kelam, dan bahkan telah menemukan kebersihan hati yang tidak ternilai.” Panji Bawuk berhenti sejenak. Dadanya menjadi merasa semakin lapang setelah semakin bentak ia menyatakan isi hatinya, “Mudah-mudahan pula aku dapat menghindarkan diri dari ketakutan ini, bahwa suatu ketika aku akan kehilangan akal. Kalau aku melihat harta benda yang tertumpuk, melihat lingkaran perjudian, melihat apa saja yang dapat menggoncangkan ketabahan hatiku, aku akan selnlu ingat kepadamu. Juga apabila aku dijerat oleh kelemahan perasaanku yang paling parah, yaitu wanita cantik. Mudah-mudahan aku dapat menghindarkan diri dari perbuatan terkutuk itu.”
“Cukup, cukup.” tiba-tiba Ken Arok memotong keras-keras, sehingga Panji Bawuk terperanjat bukan buatan. Sejenak ia terdiam sambil memandangi Ken Arok dengan mulut ternganga.
Tetapi sejenak kemudian Panji Bawuk menjadi heran. Ia mendengar Ken Arok itu berkata terbata-bata, “Maafkan aku Panji Bawuk.”
Sementara itu seseorang meloncat masuk ke dalam ruangan itu dengan sigapnya. Dengan cemas orang itu yang tidak lain adalah Bango Samparan, bertanya, “apakah yang terjadi?” Kemudian, “He, apakah kau berbuat gila Panji Bawuk?
Panji Bawuk masih duduk ditempatnya. Ken Arok yang kemudian berdiri menjawab dengan serta-merta, “Tidak. Tidak ayah.”
Tetapi Bango Samparan masih tetap berdiri di tempatnya. Sebentar kemudian, dari ruangan dalam, isteri muda Bango Samparan datang dengan membawa lampu minyak.
“Kenapa dengan kalian?” bertanya isteri muda Bango Samparan yang terkejut pula mendengar suara Ken Arok. Bahkan bukan saja isteri mudanya, tetapi juga isteri tua Bango Samparan. Ketika adik Panji Bawuk pun ternyata terbangun juga dan melihat apa yang terjadi itu dari sela-sela pintu. Sedang Puranti masih juga tidur dengan nyenyaknya.
“Kau berbuat gila Panji Bawuk?” ulang Bango Samparan.
“Tidak ayah” sekali lagi Ken Arok lah yang menyahut.
“Biarlah anak setan itu menjawabnya” potong Bango Samparan, “apakah kau tidak menyadari keadaanmu? Untunglah bahwa Ken Arok tidak sebuas kau atau aku atau adik-adikmu.”
Panji Bawuk tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah ayahnya dengan pasrah. Seolah-olah ia sudah tidak berhasrat lagi untuk membela dirinya.
“Kenapa kau menjadi begitu gila?” ayahnya masih membentak.
“Anak itu tidak berbuat apa-apa, ayah” sekali lagi Ken Arok mencoba menjelaskan.
“Aku tidak bertanya kepadamu” potong Bango Samparan, “tetapi jangan dikira aku tuli. Aku terbangun karena suara ribut. Aku mendengar kau membentak. Pasti Panji Bawuk telah berbuat gila. Ia ingin melepaskan dendamnya selagi kau tidur.”
“Sama sekali tidak” Ken Arok membantah, “ayah salah tangkap.”
“Jangan kau lindungi anak yang gila itu.” Bango Samparan menjadi semakin marah, “kau cukup memaafkannya satu kali. Karena ia masih mencoba membunuhmu, maka tidak ada alasan lagi untuk memhebaskannya dari hukumannya yang kau kehendaki.”
“Apakah maksud ayah supaya aku melakukannya sehingga tuntas. Supaya tidak ada persoalan lain dikemudian hari?” bertanya Ken Arok.
Pertanyaan itu ternyata telah membuat Bango Samparan terdiam. Sejenak ia merenungi wajah Ken Arok, kemudian meloncat ke wajah anaknya, Panji Bawuk, yang muram, dan wajah isteri mudanya yang cemas. Karena Bango Samparan tidak segera menyahut, maka Ken Arok berkata kepada Panji Bawuk, “Berdirilah. Ber dirilah.”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berdiri perlahan-lahan. Hatinya merasa telah menjadi kosong. Tetapi sikap Panji Bawuk itu benar-benar telah membuat Ken Arok menjadi heran. Anak itu sama sekali tidak membantah. Tidak memhela dirinya dan tidak berteriak-teriak atau tertawa menyakitkan hati. Anak muda itu tiba-tiba menjadi pendiam, tetapi perlahan-lahan menemukan jalan lurus yang menuju ke dunia yang terang.
Ketika Panji Bawuk telah berdiri, maka berkatalah Ken Arok, “Lihat ayah. Anak itu sama sekali tidak membawa senjata. Kalau ia ingin membunuhku, maka pasti ia membawa alat itu. Ia sadar, bahwa aku mempunyai kelebihan dari padanya. Karena itu, maka ia tidak akan datang dengan tangan hampa, dan tidak dalam sikap seperti itu.”
Bango Samparan mengerutkan dahinya. Memang agaknya Panji Bawuk tidak membawa senjata apapun. Tempat di sekitar tikar yang masih terbentang itu pun sama sekali tidak menunjukkan hal-hal yang pantas dicurigainya. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Lalu apa maksudmu datang kemari Panji Bawuk?”
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ditatapnya. wajah Ken Arok Lalu lambat-lambat ia menjawab, “aku ingin minta maaf kepada kakang Ken Arok ayah.”
Jawaban itu pun terdengar aneh di telinga Bango Samparan. Panji Bawuk tidak pernah berkata sesareh dan sedalam itu. Meskipun demikian ia masih bertanya, “Tetapi kenapa kau telah membuat Ken Arok marah dan membentak-bentak sehingga aku terhangun karenanya?”
Panji Bawuk tidak segera menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Ken Arok, seolah-olah suatu permintaan kepadanya, supaya ia menjawab pertanyaan itu. Agaknya Ken Arok pun menanggapinya. Maka katanya, “Aku tidak marah. Memang bukan maksudku membentak-bentaknya. Tetapi aku hanya sekedar terkejut. Mungkin aku masih dibayangi oleh kecemasanku di siang tadi, sehingga tiba-tiba saja aku meloncat dan berteriak-teriak. Tetapi Panji Bawuk menang tidak berbuat sesuatu selain duduk di samping tikar tempat aku tidur.”
Keheranan masih saja membayang di wajah Bango Samparan. Tetapi ia mulai dapat mempercayainya. Ia memang melihat perubahan yang terjadi pada anak sulungnya. Bukan sekedar perubahan sikap lahiriah, tetapi perubahan itu agaknya memang terjadi di dalam dirinya. Di dalam hatinya. Karena itulah, maka ia kemudian percaya bahwa sebenarnya Panji Bawuk memang tidak berbuat sesuatu.
Karena itu maka katanya kepada anaknya, “Kalau memang begitu Panji Bawuk, sebaiknya kau tidak mengganggunya sekarang. Besok kau masih dapat bertemu dengan Ken Arok, sehingga kau tidak membuatnya terkejut.”
Panji Bawuk mengangguk lemah. Jawabnya benar-benar membuat Bango Samparan heran, “Ya ayah, aku menyesal bahwa aku telah mengganggu kakang Ken Arok.”
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Anak ini tiba-tiba saja menjadi seorang anak yang terlampau baik. Mudah-mudahan tidak hanya sekedar memulas diri.”
“Baiklah aku kembali ke tempatku” berkata Panji Bawuk kemudian, “malam masih cukup panjang.”
Bango Samparan mengangguk, “Ya, tidurlah. Aku pun akan tidur pula.”
Maka Panji Bawuk, Bango Samparan, isterinya dan anak-anaknya yang mengintip di luar pintu pun segera kembali ke pembaringannya masing-masing. Ken Arok pun merebahkan dirinya pula dan mencoba memejamkan matanya. Tetapi, ternyata bukan Panji Bawuk lah yang tidak dapat memejamkan matanya sama sekali, karena pada saat itu Panji Bawuk sambil menarik nafas panjang-panjang bergumam di dalam dirinya, “Aku harus ikhlas menghadadi semua persoalan. Aku harus merasakan hidupku seolah-olah baru mulai. Dan aku harus mencoba menemukan kepercayaan kepada diri sendiri, bahwa aku akan melawan segala godaan yang akan menyeret aku kembali ke jalan yang sesat.”
Panji Bawuk itu seolah-olah telah menumpahkan semua yang menyumbat dadanya, sehingga nafasnya serasa menjadi pepat. Tetapi kini dadanya serasa menjadi lapang, setelah semuanya ditumpahkannya kepada Ken Arok. Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, justru menjelang fajar, maka Panji Bawuk itu telah mendengkur di belakang kandang, di atas jerami kering.
Tetapi pada saat itu Ken Arok lah yang menggeretakkah, giginya. Justru ia kini menjadi terlampau gelisah, seakan-akan ia tidak mampu lagi bertahan untuk berbaring terus sampai pagi. Bahkan nafasnya pun kemudian terasa menjadi sesak. Kepalanya pening dan nalarnya menjadi seolah-olah tidak dapat bekerja dengan wajar.
“Apakah setan-setan Karuman telah meninggalkan hati setiap orang di rumah ini dan kini justru berramai-ramai masuk ke dalam hatiku.” Ken Arok menggeram di dalam hatinya.
Begitu tajam kegelisahan menghentak-hentak dadanya, sehingga tanpa sesadarnya Ken Arok telah menekan dadanya itu dengan kedua telapak tangannya, seolah-olah menahan agar dada itu tidak meledak. Tetapi ia benar-benar tidak dapat menghindar lagi. Bayangan Ken Dedes benar-benar membuatnya gila. Semakin lama justru menjadi semakin membayang. Bahkan serasa benar-benar kasat mata, cahaya yang memancar dari tubuh perempuan itu menerangi hatinya.
“O, gila, gila” Ken Arok mengeluh., “Aku harus melawan semua godaan iblis ini. Aku harus melawan.
Sehingga kemudian Ken Arok pun terpaksa bergulat melawan perasaannya sendiri, betapapun beratnya. Ia tidak dapat memaksa matahari segera terbit sehingga ia dapat berbuat sesuatu untuk melupakan perasaanya itu. Tetapi selagi ia masih harus berbaring diam, maka angan-angannya sama sekali tidak akan dapat dikendalikannya. Dan setiap kali terngiang di telinganya suara Bango Samparan, suara Panji Bawuk, suara ibu Panji Bawuk dan suara lain yang pernah didengarnya, “Nasibmu memang terlampau baik Ken Arok.”
“Apakah salahku kalau aku mempunyai nasib terlampau baik” tiba-tiba ia didorong oleh angan-angannya, “bahkan seandainya nasibku yang baik itu telah menyeretku menjadi seorang Senapati misalnya, atau bahkan menjadi seorang Akuwu atau Panglima perang Kerajaan Kediri, atau bahkan menjadi seorang Maharaja? Tidak, aku kira itu bukan salahku. Sudah sepantasnyalah seseorang mempunyai cita-cita. Aku pun seharusnya mempunyai cita-cita. Cita-cita yang harus aku perjuangkan. Aku masih cukup muda. Hari depanku masih panjang. Kalau aku terlampau puas dengan keadaanku sekarang, maka aku tidak akan mencapai sesuatu apapun.”
“Tetapi aku telah menjadi gila” Ken Arok berteriak di dalam hatinya, “aku boleh berangan-angan tentang cita-cita. Aku boleh mimpi menjadi seorang Akuwu bahkan seorang Maharaja, tetapi aku tidak boleh berangan-angan untuk melakukan pengkhianatan. Tidak. Perempuan cantik itupun tidak boleh aku khianati hanya karena tubuhnya menyala, pertanda bahwa ia akan mendatangkan derajat yang paling tinggi.”
Ketika pergolakan semakin dahsyat terjadi di dalam dada Ken Arok, maka ia tidak dapat lagi bertahan berbaring ditempatnya. Tiba-tiba saja ia bangkit sambil menarik nafas dalam-dalam. Sambil menyilangkan tangannya di muka dadanya ia duduk tepekur. Ia berusaha untuk membuat angan-angannya menjadi bening, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Seolah-olah kepalanya menjadi makin keruh oleh beribu macam persoalan yang akhirnya berpusar kepada seraut wajah yang cantik, Ken Dedes. Akhirnya Ken Arok tidak dapat bergulat lebih lama lagi. Ia tidak lagi mampu bertahan. Sehingga kemudian ia pun tenggelam dalam angan-angannya yang melambung, seorang perempuan yang serasa melekat di rongga matanya.
Perlahan-lahan Ken Arok berdiri. Masih juga didengarnya suara hatinya yang bening, “Persetan. Iblis Karuman benar-benar telah melepaskan Panji Bawuk dan keluarganya, dan kini menerkam aku tanpa memberi kesempatan untuk membela diri.”
Tetapi, suara itu terlampau lemah. Hanya kadang-kadang ia berhasil menghentakkan dirinya sesaat. Namun kemudian mimpi yang paling indah itu telah memeluknya meskipun ia tidak sedang tidur. Tanpa sesadarnya, kakinya telah menyeretnya ke pintu, perlahan-lahan ia membuka pintu itu dan melangkah tlundak, keluar ruangan ternyata halaman rumah Bango Samparan yang kotor masih disaput oleh kelamnya malam yang keputih-putihan karena kabut pagi. Namun, ketika Ken Arok menengadahkan wajahnya, ia melihat cahaya kemerah-merahan membayang di ufuk Timur.
Di kejauhan didengarnya suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan merambat dari satu kandang ke kandang yang lain. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, serasa seluruh udara Karuman akan dihisapnya. Ketika ia melepaskan nafasnya maka dadanya menjadi terlampau lapang. Di atas sebuah anyaman belarak, ia melibat Bango Samparan tidur dierami. Nyenyak sekali. Dengkurnya berbunyi teratur, seperti suara nafas anak-anak yang belum disentuh dosa. Tetapi tiba-tiba Ken Arok itu terkejut. Telinganya yang tajam telah menangkap suara yang aneh baginya. Suara hiruk pikuk di kejauhan.
“Masih terlampau pagi. Suara apakah itu?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Sejenak ia berdiri diam. Dadanya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia semakin yakin akan pendengarannya. Tanpa sesadarnya maka ia melangkah masuk ke dalam rumah Bango Samparan, membenahi pakaiannya dan mengenakan ikat pinggangnya dengan pedang yang kemudian tergantung di lambung. Dengan tergesa-gesa ia kembali keluar pintu. Suara itu kini menjadi semakin nyata dan semakin dekat di sela-sela suara kokok ayam jantan yang menjadi semakin jarang.
“Apakah terjadi keributan di desa ini?” katanya di dalam hati, “jika demikian, untunglah, bahwa ayah Bango Samparan ada di rumah bersama keempat anak-anaknya yang gila itu. Kalau tidak, maka ia pasti akan dicurigai.”
Namun hati Ken Arok semakin lama menjadi semakin tidak tenang. Maka perlahan-lahan ia melangkah mendekati Bango Samparan yang masih tidur mendekur. “Ayah” desis Ken Arok sambil meraba ujung ibu jari kakinya. Namun sentuhan itu telah dapat membuat Bango Simparan terkejut dan meloncat berdiri.
“Oh," desahnya ”kau mengejutkan aku."
Ken Arok masih sempat mengangguk-anggukkan kepalanya melihat sikap Bango Samparan. Ternyata orang tua itu masih juga mampu bergerak cepat.
“Kenapa kau bangunkan aku?” bertanya Bango Samparan kemudian.
“Apakah ayah tidak mendengar sesuatu?”
Bango Samparan memiringkan kepalanya, sambil memasang pendengarannya setajam-tajamnya. Setaat kemudian ia berdesis, “Ya, aku mendengar sesuatu. Aku mendengar suara ribut.”
“Benar” sahut Ken Arok, “dan suara itu semakin lama menjadi semakin dekat.”
Tiba-tiba wajah Bango Samparan menyadi tegang. Dengan suara yang patah ia berkata, “Apakah yang akan dilakukan oleh setan-setan itu?”
“Kenapa dengan mereka?” bertanya Ken Arok.
“Mungkin mereka tidak dapat menahan diri lagi. Mereka yang melihat kedatanganku telah menyampaikannya kepada Ki Buyut. Mungkin ada orang yang dengan sengaja memanaskan keadaan sehingga mereka akan mengambil suatu sikap kemari.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Suara itu memang semakin dekat, seperti suara anak-anak mengejar tupai.
“O” Bango Samparan tiba-tiba menjadi gugup, “anak-anak harus tahu.” Dan tiba-tiba sebelum Ken Arok menjawab, Bango Samparan telah meloncat berlari mencari anak-anaknya.
Sesaat kemudian seisi rumah telah terbangun, Puranti pun ikut dibangunkannya pula.
“Kenapa kita bangun terlampau pagi ayah” bertanya Puranti dengan nada dalam. Agaknya ia masih terlampau kantuk, karena semalam ia tidur agak terlambat.
Bango Samparan tidak menjawab. Ketika ia mengadahkan kepalanya di langit masih bergayutan bintang gemintang yang berkeredipan dari ujung sampai ke ujung. Namun di timur telah membayang warna semburat merah. Suara ribut itu semakin lama menjadi semakin dekat. Terlampau dekat. Kini mereka dapat melihat beberapa buah obor yang bergerak-gerak di sela-sela pepohonan.
“Mereka benar-benar datang kemari” suara Bango Samparan bergetar.
Puranti yang kecil itu tidak mengerti, apa yang bergolak di dalam dada ayahnya, sehingga tanpa prasangka apapun ia bertanya, “Kenapa mereka datang kemari sepagi ini ayah?”
Bango Samparan tidak menjawab. Tetapi kecemasan yang dahsyat telah mencengkam jantungnya. Panji Bawuk dan adik-adiknya pun menyadi berdebar-debar. Dengan suara datar Panji Bawuk bertanya, “Apakah mereka akan bertindak terhadap kita ayah?”
“Mungkin” sahut Bango Samparan pendek.
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Ia berpaling ketika Panji Kanengkung, adik laki-lakinya yang paling kecil meloncat maju dengan senjata di tangan, “Apa yang dapat mereka lakukan atas kita sekalian ini?”
“Kanengkung” suara Panji Bawuk berat, “singkirkan senjatamu itu.”
Kanengkung terkejut mendengar kata-kata kakaknya itu. Juga Panji Kumal terperanjat, sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Kenapa kakang? Apakah kita tidak boleh membela diri apabila mereka ingin membuat sesuatu atas kita? Di sini sekarang ada kakang Ken Arok, sehingga mereka akan menjadi semakin tidak berdaya. Ki Buyut yang mereka andalkan pun tidak akan sekuku ireng dibandingkan dengan kakang Ken Arok."
Panji Biwuk menggeram. Suaranya menjadi semakin berat, “Singkirkan senjata kalian.”
Sejenak Kanengkung dan Kunal saling berpandangan. Bahkan Kuncang pun sejenak dicengkam oleh kebimbangan. Meskipun ia belum menarik senjatanya, tetapi ia membawa senjata juga di lambungnya. Bahkan Bango Samparan pun menjadi heran dan bertanya, “Kenapa Panji Bawuk?”
“Senjata-senjata itulah yang akan menjebak kita ke dalam perbuatan terkutuk. Aku tidak akan mengulangi lagi. Dengan senjata di tangan, kita akan dapat membunuh masing-masing lebih dari sepuluh orang. Tetapi apakah gunanya? Sekarang aku tidak menganggap bahwa senjata adalah alat yang paling penting. Kalau benar mereka akan datang kemari, biarlah aku akan berbicara dengan mereka. Mereka adalah orang-orang yang baik, cukup sadar, sehingga mereka memberi kita cukup waktu untuk memperbaiki hidup kita. Kini kita telah menemukan jalan itu yang bukan karena sekedar terpaksa. Kita sudah menemukannya di dalam bati kita. Karena itu, biarlah aku mencoba menjelaskan persoalannya.”
Bango Samparan terdiam sejenak. Ia tidak menyangka, bahwa anaknya pada suatu saat akan sampai ke jalan yang kini diinjaknya. Tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, suara hiruk pikuk dan obor-obor di jalan padesan itu pun menjadi semakin lama semakin dekat. Beberapa diantara obor-obor itu meluncur cepat di paling depan.
Dugaan mereka ternyata tidak keliru. Orang-orang itu benar-benar mendatangi rumah Bango Samparan. Beberapa orang yang memegangi obor berhenti di muka regol halaman depan dengan senjata di tangan masing-masing. Tetapi tidak seorangpun dari mereka yang berusaha masuk paling depan.
Bango Samparan berdiri dengan wajah yang semakin lama semakin tegang memandangi orang-orang yang berdesak-desakan di luar regolnya yang sudah miring. Di sampingnya berdiri Ken Arok dan Panji Bawuk. Kemudian di belakang mereka, Isteri muda dan isteri tuanya membimbing tangan Puranti yang gemetar. Beberapa langkah dari mereka ketiga anak laki-laki Bango Samparan yang lain berdiri termangu-mangu.
Tetapi, orang-orang yang berlari-lari dengan tergesa-gesa itu, ketika mereka sudah berdiri di muka regol, justru berdiri saja tegak mematung. Sejenak mereka saling berpandangan dan sejenak kemudian mereka berbisik-bisik, “Dimaua Ki Buyut, dimana?”
Baru sejenak kemudian orang yang mereka tunggu itu pun datang. Seorang yang telah menginjak usia tuanya. Berambut putih, berkumis putih dan berjanggut putih. Namun meskipun wajahnya telah mulai dibayangi oleh garis-garis umur, tampaklah bahwa ia adalah orang yang memiliki kemampuan yaag dapat dibanggakan.
Ki Buyut Karuman itu pun sejenak berdiri tegak di muka regol. Dari pintu regol yang terbuka ia melihat Bango Samparan dan anak-anaknya telah siap menyongsong mereka, dan di antaranya adalah anak angkat Bango Samparan yang bernama Ken Arok. Orang tua yang berambut putih itu pun menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia ragu-ragu. Beberapa kali ia berpaling kepada orang-orangnya yang berdesakan di belakangnya dengan bermacam-macam senjata di tangan mereka.
“Tunggulah di sini” berkata Ki Buyut, “aku akan menemui mereka.”
“Kami ikut bersama Ki Buyut” desis seseorang, “kami akan menangkap mereka beramai-ramai.”
“Serahkan kepadaku” jawab Ki Buyut.
“Kami akan menghukumnya. Hukuman yang paling berat.”
Ki Buyut memandang orang itu dengan sorot mata yang seolah-olah menusuk langsung ke pusat dadanya, sehingga orang itu tertunduk. “Sudah aku katakan. Akulah yang akan menyelesaikan.”
“Tetapi kami akan membantu seandainya mereka melawan.” jawab salah seorang dari mereka.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Terlampau sulit untuk mengendalikan sekian banyak orang yang sedang marah.
“Kemarin mereka berkelahi lagi” berkata seseorang entah sudah berapa banyak mayat terkubur di halaman rumah hantu ini.”
“Angan-anganmulah yang menakut-nakutimu”, berkata Ki Buyut, “tidak ada apa-apa di rumah ini. Jangan mendendam berlebih–lebihan.”
“Cobalah Ki Buyut bertanya kepada mereka. Mereka akan mengatakannya dengan bangga, bahwa di bawah pohon kemiri, di bawah rumpun bambu, di bawah apa lagi, telah terkubur mayat-mayat mereka yang berani memasuki halaman rumah ini.”
Lalu, tiba-tiba yang lain memotong, “Tetapi pohon kemiri itu telah tumbang.”
Mereka terdiam sejenak. Ki Buyut yang ragu-ragu itu masih berdiri diam di tempatnya. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Kalian menunggu di luar. Kalau kalian tidak mau, maka aku tidak akan masuk.”
Orang-orang yang berdesak-desakan itu saling berpandangan sejenak. Karena kemudian Ki Buyut benar-benar tidak bergerak, maka salah seorang dari mereka berkata, “baiklah, sillahkan Ki Buyut masuk. Tetapi hati-hatilah, mereka adalah serigala yang paling liar.”
Ki Buyut tersenyum. “Aku akan berhati-hati.”
Sejenak kemudian maka Ki Buyut pun melangkah memasuki regol halaman rumah Bango Samparan. Langkahnya tetap dan betapa ringannya. “Selamat pagi Bango Samparan” sapa Ki Buyut dengan ramahnya.
“Selamat pagi” sabut Bango Samparan terbata-bata.
Dan Ki Buyut yang telah berada beberapa langkah di depan Bango Samparan itu pun berhenti. Dipandangiuya orang-orang yang berada di depan rumah itu satu demi satu. Ketika sorot matanya menyentuh wajah Panji Bawuk, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Ki Buyut. “Anak inilah yang paling berbahaya” katanya di dalam hati, “tetapi sorot matanya agak lain dari kebiasaannya. Entahlah, apabila aku sudah dapat melihatnya dengan terang.”
Panji Bawuk yang merasa menjadi pusat perhatian Ki Buyut itu pun segera menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata, “Kami mengucapkan selamat datang Ki Buyut.”
Kali ini Ki Buyut benar-benar terperanjat. Panji Bawuk tidak pernah berbuat demikian. Ia menyangka bahwa Panji Bawuk akan tertawa menyakitkan hati dan bertanya dengan penuh hinaan
“Ah, itu pun suatu bentuk penghinaan” tiba-tiba Ki Buyut mengambil kesimpulan atas sikap Panji Bawuk itu. Tetapi kesimpulan itu pun segera mengabur lagi ketika Panji Bawuk melangkah maju sambil berkata,
“Ki Buyut, kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat menyambut kedatangan Ki Buyut sebagaimana seharusnya karena rumah kami tidak pantas untuk menerima seorang tamu.”
“Ah, tidak apa Panji Bawuk” sahut Ki Buyut dengan penuh ragu, “kami memang tidak ingin bertamu”
“Oh” Panji Bawuk mengangguk-anggukkan kepalanya kami memang sudah menyangka, bahwa Ki Buyut dan saudara-saudara di luar regol itu tidak akan sudi bertamu. Dan kami pun seharusnya sudah tahu, kenapa Ki Buyut memerlukan datang kerumah ini sepagi ini.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, aku memang mengharap bahwa kalian yang ada dirumah ini dapat mengerti kenapa kami datang di pagi-pagi buta ini.”
Panji Bawuk mengangguk, “Demikianlah Ki Buyut. Namun kemudian kami masih juga ingin mendengar, apakah Yang akan Ki Buyut lakukan atas kami. Kami sudah siap untuk melakukan apa saja perintah Ki Buyut.”
Ki Buyut benar-benar tidak menyangka, bahwa sikap Panji Bawuk akan menjadi sedemikian lunak. Tetapi ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Apalagi ketika ia masih melihat beberapa pucuk senjata di tangan adik-adik Panji Bawuk.
“Apakah Ki Buyut mencurigai adik-adikku?” bertanya anak sulung Bango Samparan itu. Dan pertanyaan itu benar-benar membuat Ki Buyut menjadi tergagap. Sementara itu Panji Bawuk berkata, “Sudah aku katakan kepada mereka, bahwa mereka harus melepaskan senjata mereka.” Lalu kepada adik-adiknya ia berkata, “Sudah aku katakan, letakkan senjata-senjata itu. Di sini, dimuka Ki Buyut.”
Ketiga adiknya masih juga ragu-ragu, sehingga Panji Bawuk mengulanginya, “Letakkan disini.”
Ketiganya sudah tidak dapat membantah lagi. Perlahan-lahan mereka maju mendekati Ki Buyut sambil manjinjing senjata masing-masing. Namun dengan demikian kecurigaan Ki Buyut pun segera timbul. Apakah benar mereka akan meletakkan senjata-senjata mereka, atau sekedar untuk membuat Ki Buyut itu lengah.
Tanpa sesadarnya, Ki Buyut melangkah surut. Dengan penuh kesiagaan ia memandangi ketiga anak-anak Bango Samparan itu melangkah semakin dekat. Namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat kedua anak-anak muda yg paling kecil benar-benar telah melemparkan senjatanya di tanah, yang sejenak kemudian disusul oleh Panji Kuncang, betapa dadanya menjadi berdebar-debar.
“Kami berbuat dengan kesungguhan hati, Ki Buyut” berkata Panji Bawuk.
Ki Buyut tidak segera menjawab. Hatinya merasakan sesuatu yang tidak dapat dikatakannya. Anak-anak yang dianggapnya begitu liar dan buas itu, ternyata tidak seperti yang disangkanya.
“Aku pun telah melepaskan senjataku” berkata Panji Bawuk, “aku sudah merasa, bahwa senjata-senjata itulah yang membuat kami menjadi manusia-manusia sebuas serigala. Dan kini, kami adalah orang-orang biasa yang akan menjalani semua keharusan seperti orang-orang lain.
Perlahan-lahan Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah ia masih harus meyakinkan pendengaran dan penglihatannya. Sama sekali tidak masuk diakalnya bahwa tiba-tiba saja Panji Bawuk dan ketiga adik-adiknya telah meletakkan senjatanya tanpa perlawanan sama sekali. Sedang Bango Samparan sendiri hanya berdiri saja termangu-mangu.
Namun ternyata Ki Buyut masih melihat sehelai senjata yang masih tersangkut di lambung. Senjata Ken Arok. Karena itu, maka kini perhatiannya terpusat kepada senjata-itu. Ki Bayut terperanjat ketika in mendengar Panji Bawuk berkata,
“Apakah Ki Buyut tertarik kepada pedang di lambung kakang Ken Arok itu? Sayang Ki Buyut, aku tidak dapat memintanya untuk melepas pedangnya karena ia seorang jurit. Pedang adalah pakaian seorang prajurit, bahkan seperti anggauta badannya sendiri. Tetapi percayalah bahwa senjata di tangan kakang Ken Arok itu sama sekali tidak berbahaya, seperti gigi di mulutnya. Ia tidak pernah mempergunakannya tanpa arti, justru ia seorang prajurit.”
Ki Buyut masih juga berdiam diri. Tetapi orang tua itu pun segera dapat mengenal pula, bahwa pedang itu memang pedang Istana Tumapel. Tetapi pakaian Ken Arok sama sekali bukan pakaian seorang prajurit atau bentuk-bentuk pakaian hamba istana yang lain.
“Apakah Ki Buyut ragu-ragu bahwa ia adalah seorang dalam dari istana Tumapel?” bertanya Panji Bawuk, “memang ia tidak mengenakan pakaian itu, karena ia mendapat waktu untuk beristirahat setelah ia bekerja keras di padang Karautan. Apakah Ki Buyut belum pernah mendengar bahwa di padang Karautan kini telah dibangun sebuah bendungan dan sebuah pedukuhan?”
Orang tua itu mengangguk-angguk pula. Kemudian barulah ia berkata, “Aku percaya, Panji Bawuk. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa kalian akan bersikap begitu baik. Terima kasih. Aku minta maaf karena aku telah mengejutkan kalian.” Ki Buyut berhenti sejenak, lalu, “Memang aku sudah menyangka, bahwa kalian tidak sejahat seperti yang aku dengar. Tetapi kedatangan ayahmu kemarin telah menumbuhkan ketakutan pada penduduk, sehingga aku memerlukan datang kemari untuk mendapatkan penjelasan, apakah kalian masih belum, menyadari diri kalian. Tetapi ternyata apa yang kami harapkan telah terpenuhi, sehingga tidak ada persoalan lagi bagi kalian.” Sekali lagi Ki Buyut berhenti berbicara, dan setelah berpikir sejenak ia berkata, “Namun hari-hari mendatanglah yang akan menentukan penilaian kami atas kalian. Mudah-mudahan permulaan yang baik ini akan tetap kita pertahankan.”
“Ya Ki Buyut” jawab Panji Bawuk, “kedatangan ayah kemarin justru membawa pembaharuan di hati kami, karena bersama ayah datang pula kakang Ken Arok, yang kini bekerja di Istana Tumapel.”
“Syukurlah” sahut Ki Buyut, “apabila demikian, maka tidak ads yang akan aku lskukan atas kalian. Sambutlah hari yang datang hari ini dengan kecerahan di hati. Aku mengucapkan selamat.”
“Terima kasih Ki Buyut” sahut Panji Bawuk.
“Nah, sekarang aku akan kembali. Tetapi perkenankanlah aku membawa senjata-senjata kalian sebagai bukti bahwa kalian sudah tidak akan bermain-main dengan senjata lagi, meskipun seandainya tidak demikian kalian pasti akan dengan mudahnya mendapatkan senjata yang lain."
“Silahkan Ki Buyut” jawab Panji Bawuk.
Ki Buyut berpaling kepada orang-orangnya yang berada di luar regol. Kemudian ia memanggil seseorang dari antara mereka. “Kemarilah kau.”
Orang yang dipanggil oleh Ki Buyut itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia didorong oleh kawannya sambil berbisik, “Hati-hati, iblis itu terlampau licik. Agaknya Ki Buyut telah terjebak dalam akal iblis itu. Aku tidak sependapat. Mereka harus ditangkap dan mendapat hukuman selayaknya.”
“Bagus” sahut yang lain, “adalah terlalu menyenangkan buat mereka. Mereka memang terlampau licik. Ketika mereka melihat kita datang bersama Ki Buyut, mereka berpura-pura menyerah. Tetapi nanti mereka akan membantai kita seperti membantai ayam.”
“Mereka memang harus ditangkap dan dikerangkeng seperti seekor serigala yeng paling liar.”
“Ya, tangkap saja.”
“Tangkap.”
Ternyata suara itu sampai ketelinga Ki Buyut dan orang-orang yang berdiri di depan rumah Bango Samparan. Ki Buyut tiba-tiba menjadi tegang dan sekali lagi memanggil orangnya, “Kemarilah. Bawalah senjata-senjata ini.”
Orang yang dipanggilnya melangkah maju dengan kebimbangan yang membayang di langkahnya. Namun kawan-kawannya berkata di belakangnya, “Tangkap saja mereka.”
Bahkan tiba-tiba salah seorang dari orang-orang Karuman yang marah itu berteriak, “Tangkap saja mereka.” Dan di sambut oleh yang lain, “Tangkap saja. Tangkap saja."
Bango Sambaran mengerutkan keningnya. Ketika ia memandangi ketiga anak-anaknya yang muda, tampaklah mereka menjadi gelisah. Tetapi agaknya Panji Bawuk sendiri telah benar-benar menemukan ketenangan di dalam dirinya, sehingga suara itu seolah-olah tidak didengarnya.
Wajah Ki Buyut Karuman yang mendengar teriakan-teriakan itu pun menjadi tegang. Sejenak ia terdiam sambil memandangi orang-orangnya yang masih berada di luar regol. Satu dua diantara mereka masih juga memegangi obor meskipun pagi telah meajadi semakin terang.
Sementara itu suara teriakan di luar regol masih saja terdengar, “Tangkap saja, tangkap saja.”
Dan tiba-tiba saja Ki Buyut yang tua itu berteriak, “Diam, diam.”
Suara Ki Buyut ternyata asih cukup berpengaruh, meng atasi kegaduhan di luar regol halaman. Ternyata suara-suara itu pun menjadi terdiam karenanya. “Akulah yang mengambil keputusan di sini” berkata Ki Buyut.
Orang diluar regol itu masih diam.
“Aku sudah memutuskan, bahwa aku ingin memberi kesempatan sekali lagi kepada Bango Samparan dan anak-anaknya.” Ki Buyut itu terdiam sejenak sambil berpaling memandangi Ken Arok. Kemudian katanya, “Apalagi kedatangan anak angkat Bango Samparan agaknya benar-benar membawa udara baru. Ia adalah seorang hamba istana. Ia pasti dapat memberi petunjuk-petunuuk apakah yang sebaiknya dilakukan oleh bapak angkatnya dan saudara-saudaranya.”
Sejenak, orang-orang di luar regol itu masih berdiam diri. Namun tiba-tiba salah seorang berbisik, “Anak angkatnya itu pun dahulu seperti setan juga.”
“Ya” sahut lain, “justru anak angkatnya itu seorang yang paling jahat di antara mereka.”
“Ya, ya anak angkatnya itulah yang terlebih buas lagi.”
Suara itu semakin lama menjadi semakin keras, sehingga Ki Buyut dan orang-orang yang berdiri di sekitar Bango Samparan mendengarnya, Ken Arok pun mendengarnya pula.
“Bodoh, bodoh sekali” teriak Ki Buyat, “apakah kalian tidak pernah mendengar berita tentang Ken Arok ini? Semua yang telah lalu sama sekali bukan ukuran buat hari ini. Justru hari ini ia mendapat kepercayaan yang besar dari Akuwu Tunggul Ametung.”
Tanpa disangka-sangka seseorang telah berani membantah kata-kata Ki Buyut itu, “Tetapi Akuwu Tunggul Ametung tidak tahu, apakah yang pernah dilakukannya semasa kecilnya.”
“Apakah kesalahan seseorang akan selalu dibawanya sampai mati?” bertanya Ki Buyut, “itu adalah pikiran yang paling sesat. Pendapat itu sama kerdilnya dengan dendam yang tiada putus-putusnya. Ayo, siapakah diantara kalian yang tidak bercacad? Kita harus mengakui perkembangan pribadi dan watak. Seseorang dapat bertaubat sampai ke dasar hatinya. Seseorang dapat merubah tingkah lakunya yang mungkin selama itu tidak disadarinya. Seseorang akan mungkin dengan tiba-tiba melihat kesalahan diri sendiri dan seterusnya orang-orang yang demikian itu dapat saja merubah sifat-sifatnya.”
Orang-orang di luar regol itu sejenak terdiam pula. Namun salah seorang yang lain berbisik, “Tetapi bagaimana kita tahu perasaan dan pikiran orang lain? Bagaimana kita dapat membedakan antara penyesalan dan akal yang licik sekedar untuk menyelamatkan diri?”
“Ya, kita tidak tahu.” dan disahut oleh yang lain, “Kita memang tidak akan tahu.”
“Sekarang ternyata Ki Buyut pun telah terjebak dalam akal licik itu.” desis yang lein lagi.
“Tetapi kita tidak. Kita tidak akan terjebak” berkata yang lain pula.
Ki Buyut yang tua itu menjadi berdebar-debar. Orang-orangnya memang sedang marah. Mereka telah dibakar oleh kecemasan, dendam, kebencian dan bahkan ketakutan, bahwa suatu ketika Banpo Samparan atau anak-anak mereka akan menciderainya apabila mereka masih diberi kesempatan. Ketakutan yang demikian itulah yang mendorong mereka untuk mengambil suatu sikap selagi mereka kini bersama-sama menghadapi iblis yang mengerikan itu.
Suara yang semakin lama semakin ribut itu terdiam sejenak, ketiaka terdengar suara Ki Buyut mengatasi suara mereka, “Diam. Diam kalian. Serahkan semuanya kepadaku.”
Orang-orang diluar regol itu saling berpandangan. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang sependapat dengan kata-kata Ki Buyut itu.
Apalagi ketika kemudian dalam kebimbangan Ki Buyut berkata, “Sebaiknya kalian tinggalkan rumah ini. Biarlah aku yang menyelesaikannya.”
Perasaan orang-orang yang sedang marah itu tiba-tiba justru melonjak. Setelah seorang dari mereka berteriak, “Kita selesaikan persoalan ini di sini.”
“Ya, kita selesaikan sama sekali.
“Sampai tuntas.” teriak yang lain lagi.
Ken Arok yang berdiri tegak seperti patung itu pun tergetar hatinya mendengar teriakan yang melonjak dan seolah-olah menyengat telinganya. Setiap kali ia mendengar suara itu, “Sampai tuntas.” Dan kali ini pun ia masih juga mendengar teriakan yang demikian.
“Jangan meninggalkan sisa persoalan buat hari esok. Kita rampungkan sama sekali pagi ini Ki Buyut. Dengan demikian kita akan hidup tenteram untuk seterusrya. Iblis-iblis itu tidak akan dipat mengganggu kita lagi. Mereka tidak akan mengotori nama Karuman dan seluruh penduduknya."
“Bodoh sekali. Bodoh sekali” Ki Buyut masih mencoba berteriak, tetapi suaranya kini sudah menjadi semakin rendah. Suara hiruk pikuk di luar regol menjadi semakin sulit untuk diatasinya.
Bango Samparan berdiri dengan dada berdebar-debar. Ia melihat ketiga anak-anaknya yang muda menjadi semakin gelisah. Sedang Puranti menjadi ketakutan. Gadis kecil itu menggigil di dalam pelukan ibu tuanya. Yang masih tetap tenang adalah Panji Bawuk dan Ken Arok. Namun sebenarnya, di dalam dada Ken Arok itu pun telah tumbuh berbagai macam persoalan, bahkan juga yang hampir tidak ada hubungannya dengan kehadiran orang-orang itu. Sikap orang-orang Karuman itulah yang telah tergores di dinding jantungnya. Sikap mereka untuk menyelesaikan setiap masalah sampai rampung, seperti Bango Samparan, seperti Panji Bawuk sebelum menemukan kesadaran diri.
Suasana semakin lama menjadi semakin tegang karena orang-orang di luar regol halaman rumah Bango Samparan itu semakin lama semakin keras berteriak-teriak. Semakin lama mereka menjadi semakin kehilangan pengamatan diri, sehingga mereka tidak lagi mau mendengar suara pemimpin mereka sendiri. Ki Buyut pun menjadi semakin bingung pula. Kini satu dua orang telah berdiri di regol sambil mengacung-acungkan tinju dan senjata-senjata mereka.
“Tangkap saja, tangkap saja dan kita bantai beramai-ramai. Semuanya, jangan ada yang lolos., “teriak salah seorang dari mereka yang kemudian disahut oleh yang lain, “Kalau tidak, maka kitalah yang besok akan dibantai.”
“Bagus, bagus” teriak yang lain sahut-menyahut.
Suasana di halaman itu benar-benar menjadi tegang. Panji Bawuk yang selama itu masih tenang-tenang saja, tampak mengerutkan keningnya ketika ia melihat orang-orang yang berdiri di luar regol itu kini berdesak-desakan mulai masuk. Tetapi mereka tidak segera maju. Mereka masih berdiri di dekat regol sambil berteriak-teriak. Ki Buyut yang tua itu pun menjadi semakin tegang kemudian menjadi pucat. Ia merasa bahwa kewibawaannya tidak lagi dapat menguasai orang-orangnya yang sedang marah tidak terkendali.
Ken Arok masih berdiri tegak seperti patung. Tetapi angan-angannya kini sudah tidak lagi terapung-apung di alam yang asing. Kini ia melihat orang-orang yang berteriak-teriak dengan marahnya menuding-nuding dengan berbagai macam senjata ke arah mereka yang berdiri di muka rumah itu. Panji Kuncang dan kedua adik-adiknyapun menjadi semakin gelisah. Ketika orang-orang yang berdiri di muka regol itu bergerak beberapa langkah maju, maka tanpa mereka sadari, ketiga anak-anak muda itu meloncat mendekati senjata-senjata mereka yang tergolek di tanah.
“Jangan” desis Panji Bawuk, “kita sudah bertekad untuk tidak mempergunakan senjata lagi.”
“Tetapi mereka menjadi gila dan akan membunuh kita.”
“Kalau kau sentuh senjata itu, mereka akan menjadi semakin buas. Karena itu, mundurlah.”
Ketiga anak laki-laki Bango Samparan yang muda-muda itu berdiri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun melangkah mundur.
Ki Buyut menjadi semakin bingung. Justru ia semakin yakin bahwa Panji Bawuk benar-benar telah menyesali semua kesalahan yang telah mereka lakukan bersama keluarga mereka. Tetapi pada saat yang demikian kemarahan orang-orang Karuman benar-benar telah memuncak.
“Apakah kita akan membiarkan diri kita benar-benar menjadi lembu bantaian kakang?” bertanya Panji Kenengkung.
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Kita serahkan nasib kita kepada Ki Buyut. Kita mempercayainya, dan kita menganggapnya sebagai, tetua pedukuhan ini.”
Namun tanpa disangka-sangka Ki Buyut yang kebingungan menyahut. “Ternyata aku tidak dapat menguasainya lagi.”
“Jadi apakah itu berarti kita harus menjaga keselamatan kita masing-masing” bertanya Kunal.
Ki Buyut menyadi semakin bingung. Tetapi, ia tidak dapat tinggal diam. Kalau anak-anak Bango Samparan itu kemudian kehilangan kesabaran dan melakukan perlawanan, maka ia harus berbuat sesuatu. Tetapi apakah yang sebaiknya? Apakah ia akan berpihak kepada keluarga Bango Samparan atau kepada orang-orang yang sedang marah itu? Atau apakah ia akan lari saja supaya tidak melihat apa yang tcrjadi.
“Orang-orang itu sudah menjadi gila” katanya di dalam hati, “seandainya Bango Samparan dan keluarganya memegang senjata-senjata mereka kembali, maka orang-orang yang kehilangan akal itu tidak akan lebih baik nasibnya dari padang ilalang. Bango Samparan akan dapat membabatnya tanpa kesulitan.”
Dalam kebingungan itu sekali lagi Ki Buyut mendengar suara Panji Bawuk, “Jangan kau sentuh lagi senyata-senjata itu.”
Tanpa disengaja Ki Buyut berpaling. Dilihatnya Panji Kenengkung dan Panji Kunal telah berjongkok untuk memungut senjata-senjata mereka.
“Lalu apakah yang harus kita kerjakan? Ki Buyut sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menghadapi orang-orang yang menjadi buas itu.”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Dipandanginya wajah Ki Buyut yang tegang. Tetapi di dalam wajah itu pun tidak ditemuinya jawaban. Sejenak kemudian orang-orang yang seolah-olah telah lupa diri itu mendesak beberapa lagi maju sambil berteriak-teriak. Meskipun matahari telah hampir melonjak keatas punggung pegunungan, namun di tangan beberapa orang itu masih tergenggam obor yang menyala.
Karena orang-orang itu semakin mendesak maju maka akhirnya Panji Bawuk pun menyadi cemas menghadapi keadaan. Ia sudah benar-benar tidaik ingin mempergunakan senjatanya lagi. Tetapi nalurinya pun tidak membenarkannya untuk menyerahkan diri untuk dibantai beramai-ramai. Karena itu, maka seolah-olah tanpa sesadarnya ia bertanya, “Apakah yang sebaiknya kami lakukan Ki Buyut?”
Ki Buyut masih saja kebingungan, ia terharu melihat kesungguhan hati keluarga Bango Samparan itu untuk tidak mempergunakan senjatanya lagi. Karena itu, maka sudah seharusnya ia melindungi mereka dan menghindarkan mereka dari bencana, justru pada saat mereka ingin mulai dengan kehidupan yang baru. Karena agaknya orang-orang Karuman itu sudah tidak dapat dikuasainya lagi. maka tiba-tiba Ki Buyut itu berdesis,
“Menyingkirlah. Menyingkirlah. Aku akan berusaha menahan mereka, supaya mereka tidak mengejar kalian. Bersembunyilah sampai aku berhasil menenangkan mereka. Apabila mereka sudah menjadi tenang, maka aku akan dapat berbicara dengan mereka. Aku sangat berterima kasih kepada kalian, karena kalian benar-benar sudah berhasrat untuk meletakkan senjata-senjata kalian. Mudah-mudahan kalian terhindar dari bencana.”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Sesaat harga dirinya tergores oleh petunjuk Ki Buyut itu. Kenapa mesti melarikan diri? Tetapi Panji Bawuk itu segera menyadari keadaannya dan tekadnya untuk tidak mempergunakan senjata lagi. Karena itu, maka tidak ada jalan yang lebih baik dari pada untuk sementara menghindar, apabila masih mung kin.
Orang-orang Karuman yang berdesakan semakin dekat itu seolah-olah telah kehilangan nalar mereka. Yang tampak di mata mereka adalah iblis dan hantu yang paling menakutkan, yang harus segera dibinasakan. Mereka merasakan kecemasan dan ketakutan mencengkam dada mereka, apabila mereka tidak segera membuat penyelesaian yang sempurna. Terbayang di dalam angan-angan mereka, bahwa iblis-iblis itu justru akan menjadi semakin mengganas. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa apabila mereka bertemu satu demi satu dengan iblis-iblis itu. Tetapi kini mereka datang bersama-sama, dan mereka akan menghadapi bersama-sama pula.
Ketika Panji Biwuk melihat adik-adiknya menjadi gemetar, bukan oleh ketakutan, tetapi oleh kemarahan yang mulai menjalar di dada, maka segera ia berkata, “Jangan kau biarkan di dadaamu di ledakan oleh kebodohanmu itu. Kita memang harus segera menyingkir. Kalau kita akan melawan mereka, maka kita akan membuat diri kita sendiri terkutuk sepanjang umur kita. Bahkan kita akan menjadi semakin jauh dari ketenteraman abadi, yang baru saja dapat kita bayangkan di dalam hati kita. Sebab, apabila kita sudah terlanjur mengangkat senjata, maka puluhan orang akan menjadi mayat dihalaman ini. Kita tidak akan terlampau sulit untuk membunuh sebagian besar dari mereka, seperti kita merambaas alang-alang. Tetapi kita tidak akan melakukannya. Kita akan menyingkir.”
“Kakang” potong Panji Kenengkung, tetapi suara itu terputus, “Bersiaplah. Cepat. Bawalah ibu masuk ke dalam rumah dan kemudian kalian harus lari lewat pintu belakang, menembus pintu butulan di halaman belakang. Aku dan kakang Ken Arok akan segera menyusul.“ berkata Panji Bawuk perlahan-lahan.
Kenengkung menjadi ragu-ragu sejenak. Demikian juga kakak-kakaknya. Bahkan Bango Samparan pun menjadi termangu-mangu, seolah-olah ia kehilangan seluruh kesempatan untuk mempergunakan akalnya.
“Cepat” bisik Panji Bawuk, “pergilah seperti apa yang dikatakan oleh Ki Buyut.”
Karena adik-adiknya masih berdiri mematung, Maka Panji Bawuk pun mendesak ayahnya, “Pergilah ayah. Bawalah, ibu keduanya bersama Puranti dan anak-anak bengal ini.”
Hati Bango Samparan seolah-olah telah benar-benar kosong. Karena itulah, maka ketika tangan isteri mudanya menariknya ia sama sekali tidak bersikap apapun. Dengan tergesa-gesa maka Bango Samparan membawa kedua isterinya dan gadis kecilnya menyusup masuk ke dalam rumah untuk mencoba melarikan diri mereka dari tangan orang-orang yang telah kehilangan pengamatan diri itu.
“Kalian juga” desik Panji Bawuk kepada ketiga adiknya laki-laki, “Pergilah, jangan keras kepala. Tinggalkan senjata kalian disitu.”
Betapapun beratnya, namun ketiga adik laki-laki Panji Bawuk itupun, kemudian melangkah pula meninggalkan halaman masuk ke dalam rumahnya. Betapa terasa dadanya serasa akan pecah. Namun mereka sama sekali tidak berani membantah perintah kakaknya. Justru karena mereka mengenal betul sifat kakaknya itu. Tetapi bahwa mereka harus melarikan diri dan tidak melawan, adalah perintah yang sama sekali kurang dapat mereka mengerti. Meskipun mereka tahu pula, bahwa keluarganya kini sedang berusaha untuk mencegah segala kesalahan bahkan yang mereka lakukan, namun betapa kini mereka harus mengorbankan harga diri mereka, itulah yang kurang mereka mengerti.
Belum lagi orang yang terakhir hilang dibalik pintu, terdengar suara orang-orang yang berdesakan maju, “Jangan biarkan mereka lari.” Lalu yang lain berteriak, “Ki Buyut kenapa mereka diberi kesempatan untuk lari?”
“Aku akan berbicara dengan kalian, Ki Buyut pun mencoba berteriak. Tetapi suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk yeng kisruh.
Orang-orang itu masih berteriak keras-keras, “Tangkap mereka semua. Semua.”
Ken Arok berdiri tegak seperti patung. Ia tidak beranjak dari tempatnya ketika orang-orang itu mendesak semakin maju. Ki Buyut yang kini berdiri semakin dekat dengan Ken Arok dan Panji Bawuk itu berdesis pula, “Kalian berdua se baiknya juga menyingkir untuk sementara.”
Ken Arok menarik nafas. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya, tetapi biarlah kami berdua memperlambat persoalan, sehingga mereka yang telah lari lebih dahulu, mendapat waktu.”
Ki Buyut tidak menjawab. Tetapi kegelisahan telah memuncak sampai keubun-ubunnya. Ia merasa bahwa tidak mungkin lagi mengendalikan orang-orang gila yang sudah tidak dapat mempergunakan nalar lagi.
“Kenapa Ki Buyut diam saja? Kenapa? Mereka akan segera lari. Mereka akan hilang dan lepas dari tangan kita.”
Ki Buyut tidak menjawab. Kini tugasnya adalah memperpanjang persoalan seperti yang dikatakan oleh Ken Arok untuk memberi waktu kepada mereka yang melarikan dirinya. Tetapi betapapun juga tubuhnya telah basah kuyup oleh keringat dingin yang seakan-akan terperas dari tubuhnya.
Ken Arok dan Panji Bawuk berdiri tegak dengan tegangnya. Tetapi mereka masih juga mendengar suara ribut di dalam rumah. Agaknya ayah-ibunya masih mencoba mengemasi barang-barang yang dapat mereka kumpulkan untuk bekal mereka memerlukan waktu yang lama untuk dapat kembali ke rumah ini.
Namun akibat dari kelambatan itu sama sekali tidak terduga-duga. Orang-orang yang marah itu mendesak semakin dekat dan berteriak-teriak terus. Sikap Panji Bawuk itu mereka tanggapi dengan sudut pandangan mereka yang telah mempengaruhi mereka sebelumnya, seolah-olah Panji Bawuk itu telah siap untuk melawan mereka bersama-sama dengan Ken Arok.
Mereka tertegun sejenak ketika mereka melihat Panji Bawuk itu maju selangkah sambil berteriak, “Dengarlah. Dengarlah saudara-saudaraku. Aku telah menyatakan diri untuk tunduk kepada semua keputusan Ki Buyut Karuman. Aku tidak akan melawan dan aku tidak akan melanggar janjiku kali ini.”
Sejenak orang-orang Karuman itu terdiam. Mereka saling berpandangan sesaat. Namun tib-tiba salah seorang dari mereka berteriak, “Kalau begitu menyerahlah.”
Ternyata teriakan itu seolah-olah menjalar dari mulut ke mulut, sehingga kemudian setiap mulut telah meneriakkannya. Sambil mengacu-acukan senjata-senjata mereka, dengan penuh kebencian orang-orang Karuman itu seperti orang-orang yang kesurupan mendesak semakin maju.
“Menyerahlah, menyerahlah” teriak mereka, “kami akan menghukummu sesuai dengan kesalahanmu.” Disahut oleh yang lain, “Kau harus mendapat hukum picis atau hukum gantung.”
Setitik keringat mengembun di kening Ken Arok. Ketika dipandanginya wajah Panji Bawuk dan Ki Buyut, maka wajah-wajah itu menjadi semakin tegang.
“Kami memang akan menyerah” terdengar jawaban Panji Bawuk, “bukankah hal itu sudah aku katakan? Aku akan tunduk kepada semua keputusan Ki Buyut.”
“Serahkan kepada kami” teriak orang-orang Karuman itu, “serahkan kepada kami.”
Ki Buyut hampir menjadi putus asa. Namun ia masih mencoba berteriak, “Jangan menjadi liar. Bukankah kalian masih mempunyai harga diri dan sedikit kebijaksanaan.”
Tetapi suara yang menyahut adalah, “Ya, serahkan kepada kami. Serahkan kepada kami.”
Ki Buyut yang tua itu menggeram. Tidak ada harapan lagi untuk mencegah mereka itu. Sehingga sekali lagi ia berdesis kepada Panji Bawuk dan Ken Arok, “Cepat menyingkirlah.”
Panji Bawuk pun tidak melihat lagi manfaat dari pembicaraan selanjutnya. Karena itu, maka ia berpaling kepada Ken Arok sambil mengangguk kecil. Agaknya orang-orang Karuman dapat menangkap isyarat itu. Dengan penuh kemarahan mereka berteriak, “Jangan lari. Jangan lari.”
Panji Bawuk melangkah surut untuk mendekati lubang pintu. Ken Arok pun telah beringsut pula. Mereka harus cepat-cepat menyusup di bawah pintu dan meninggalkan halaman itu dari pintu rumah dan regol butulan dihalaman belakang. Tetapi tanpa disangka-sangka, orang-orang Karuman segera mendesak maju sambil berteriak penuh kemarahan, “Jangan lepaskan, jangan lepaskan.”
Tiba-tiba salah seorang dari mereka melemparkan obor yang masih berada di tangannya. Didorong oleh kemarahan yang memuncak maka obor itu telah melontar sampai ke atas atap rumah Bango Samparan.
“He, kalian telah benar-benar menjadi gila, kalian telah menjadi gila” Ki Buyut berteriak-teriak tidak terkendali. Sambil mengacu-acukan tangannya ia melangkah maju mendekati orang-orang yang menjadi kalap. Tetapi tanpa diduga-duga, setiap orang yang memegang obor ditangannya kemudian melemparkannya pula ke atas atap rumah Bango Samparan.
Api obor itu pun segera menjilat atap rumah yang kering itu. Dengan cepatnya api pun berkobar melonjak-lonjak di atas atap. Cahayanya segera memerah, mewarnai langit yang menjadi semakin cerah karena matahari telah mulai melonjak ke atas punggung bukit.
Panji Bawuk dan Ken Arok sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menahan kegilaan itu. Yang dapat mereka lakukan kemudian adalah dengan tergesa-gesa menyusup pintu rumahnya dan berlari ke belakang. Tetapi betapa mereka menyadi terperanjat ketika mereka masih melihat Bango Samparan dan istiri mudanya sibuk membungkus barang-barang mereka. Agaknya mereka telah menyimpan beberapa macam barang di bawah pembaringan.
“Cepat” teriak Panji Bawuk, “tinggalkan semua itu”
Bango Samparan yang gelisah menyadi semakin gelisah.
“Tinggalkan itu semua, tinggalkan. Kalian masih belum ikhlas dengan semua barang-barang yang berlumuran dengan nodaku. Tinggalkan dan cepat pergi.”
Sementara itu api telah semakin berkobar. Isteri tua Bango Samparan yang tidak tahu menahu tentang barang-barang itu pun masih berdiri termangu-mangu menunggu suami dan adik-adiknya selesai. Puranti yang kecil memeluknya dengan tubuh gemetar.
“Marilah ibu” tangis gadis kecil itu, “aku takut.”
“Sebentar ngger, tunggu ayah dan ibumu."
“Marilah ayah, marilah ibu” tangis Puranti.
Sementara itu Panji Bawuk dan Ken Arok hampir bersama-sama berteriak, “Cepat, tinggalkan semua itu.”
Panji Bawuk sudah tidak sabar lagi menungguinya. Tangan ibunya segera diraihnya dan ditariknya cepat-cepat keluar
“Tunggu” teriaknya. Meskipun Panji Bawuk tidak menghiraukannya lagi, namun tangan ibunya masih juga sempat menjinjing sebungkus barang-barang yang disembunyikannya di bawah pembaringan. Sementara itu Bango Samparan dengan eratnya menggenggam perhiasan dan permatanya yang baru saja didapatkannya kemarin.
“Marilah, cepatlah sedikit ibu” desis Ken Arok yang dengan cekatan mendukung Puranti dan membimbing isteri tua Bango Samparan.
Tetapi nasib yang malang agaknya telah menimpa mereka. Tiba-tiba atap rumah yang terbakar itu pun runtuhlah. Ken Arok dengan tangkasnya meloncat sambil berusaha menarik ibu angkatnya. Tetapi api telah menyentuh pakaian perempuan itu, sehingga tiba-tiba pakaian itu pun terbakar pula.
“Kuncang, Kuncang” teriak Ken Arok memanggil anak muda yang sudah berada di luar.
Kuncang terkejut mendengar panggilan itu. Cepat ia meloncat masuk kembali meskipun api telah semakin menyala
“Dukung adikmu, cepat, tinggalkan rumah ini."
Panji Kuncang segera menerima adiknya dan dengan tidak menghiraukan apapun lagi, segera ia meloncat berlarian menggalkan rumah yang kini menjadi seonggok api yang borkobar-kobar dengan buasnya, sementara Panji Bawuk berusahan menarik ibunya yang masih saja mengenangkan semua barang-barangnya yang disembunyikannya di dalam rumah yang terbakar itu.
“Ikhlaskanlah semua itu, seperti aku mengikhlaskannya senjataku.” desis Panji Buwuk.
Di dalam hiruk pikuk itu, isteri tua Bango Samparan menggeliat di tangan Ken Arok. Terasa tubuhnya menjadi terlampau panas. Dengan susah payah Ken Arok berusaha memadamkan api yang menjilat pakaian ibu angkatnya, kemudian mendukungnya seperti mendukung anak-anak. Tetapi api sudah menjadi semakin besar. Hampir tidak ada jalan yang dapat dilalui Ken Arok bersama ibu angkatnya itu.
Ken Arok menggeram. Tubuhnya sendiri merasa betapa panasnya api yang berkobar-kobar di sekitarnya. Sementara itu, ia masih mendengar suara hiruk pikuk diluar. Bahkan di luar dugaannya, orang-orang yang kesurupan di luar itu masih juga belum puas melihat api yang telah menelan rumah Bango Samparan. Kebencian mereka dibumbui oleh ketakutan dan kecemasaa akan dendam keluarga itu, telah mendorong mereka untuk kian bernafsu menghancurkan semuanya. Membinasakan seluruh isi rumah itu dengan sempurna.
Dalam kebingungan itu, Ken Arok telah dikejutkan oleh beberapa pucuk senjata yang meluncur di sekitarnya, Ternyata orang-orang Karuman itu telah melontarkan berbagai macam jenis senjata ke arah rumah Bango Samparan yang lelah terbakar itu.
“Binasakan saja semuanya,” terdengar mereka berteriak.
Sekali lagi Ken Arok menggeram. Dengan nanar ia mencari kesempatan untuk dapat melepaskan diri dari dalam api. Namun agaknya ia benar-benar telah terkepung. Rumah itu telah menjadi perapian raksasa. Sisa-sia atappun telah mulai berjatuhan di sekitarnya. Sedang perempuan tua ditangannya itu pun menjadi semakin payah, karena tubuhnya telah ikut menjadi hangus pula.
Namun ternyata Ken Arok telah membuat suatu kesalahan. Ia agak terlambat. Ia tidak mengingat perbedaan daya tahan antara dirinya sendiri dengan perempuan tua di tangannya. Ternyata tubuh Ken Arok benar-benar tubuh yang luar biasa, Bahkan api pun seolah-olah tidak dapat melukainya. Dalam keadaan yang demikian itu, Ken Arok telah memusatkan segala kemampuan yang ada padanya. Ia ingin menembus dinding api yang berkobar di sekitarnya.
Karena itulah, maka Ken Arok itu tanpa sesadarnya telah menyalurkan kekuatannya pada anggauta badannya. Sama sekali tidak dapat dimengerti, bahwa seseorang dapat melakukannya. Sama sekali tidak masuk akal bahwa seseorang masih mampu keluar dari onggokan api yang menjilat-jilat ke langit.
Bango Samparan dan keluarganya pun menyangka demikian juga. Panji Bawuk berteriak-teriak seperti orang gila memanggil nama Ken Arok. Kemudian Bango Samparan dan Puranti yang kecil. Tetapi yang mereka lihat hanyalah api dan api. Sementara orang-orang Karuman menjadi semakin buas.
Panji Bawuk dan Bango Samparan menjadi putus asa. Karena itu, maka segera mereka beerkata hampir bersamaan, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Sayang, kakang Ken Arok menjadi korban. Kalau kalian sudah aman, aku akan kembali lagi Mungkin aku akan berbuat sesuatu, setidak-tidaknya mengambil sisa-sisa tubuhnya dan ibu tua.”
Bango Samparan masih melihat sisa atap yang terakhir runtuh sama sekali. Benar-benar tidak ada harapan lagi baginya untuk menunggu Ken Arok dan istri tusnya. Karena itu, maka sambil menggenggam barang-barang berharga yang dapat dibawanya, terutama perhiasan-perhiasan yang diperolehnya setelah ia membunuh bekas prajurit Kediri, ia pun berlari bersama keluarganya menyingkir lewat butulan halaman belakang.
Namun sementara itu, orang-orang Karuman dikejutkan oleh seleret sinar yang melampui cerahnya api, meluncur dari dalam rumah Bango Samparan yang terbakar itu. Kemudian berloncatan dan seolah-olah hinggap di atas pagar batu yang memutari halaman Bango Samparan di bagian belakang. Tetapi yang mereka lihat kemudian adalah sesosok tubuh yang mendukung seorang perempuan tua yang sebagian pakaiannya masih menyala, Ken Arok dengan istri tua Bango Samparan di tangannya.
“Itulah mereka” teriak orang-orang karuman itu, “itulah mereka.”
“Tangkap” teriak yang lain, “tangkap, jangan biarkan mereka lolos.”
Ken Arok menggeram sambil menggeretakkan giginya. Tapi ia tidak ingin melayani orang-orang Karuman itu. Ia harus segera mendapatkan Bango Samparan dan keluarganya. “Mereka telah pergi lebih dahulu," desisnya.
Ken Arok pun kemudian meloncat keluar halaman dan berlari menyusul orang-orang lain yang telah mendahuluinya. Ternyata ia tidak memerlukan waktu yang lama. Segera ia melihat Bango Samparan dan keluarganya berlari-lari menjauhi rumahnya yang telah menjadi bara. Satu-satu asap yang hitam melonjak di antara warna api, melontarkan abu yang hitam.
Langkah-langkah Ken Arok ternyata telah mengejutkan Bango Samparan dan keluarganya Ketika mereka berpaling, Ken Arok telah ada di belakang mereka. Tubuhnya kehitam-hitaman oleh abu dan arang, sedang tubuh isteri tua Bango Samparan menjadi seakan-akan hangus disentuh api.
“Ibu” teriak Puranti yang kecil yang meronta-ronta di tangan Kuncang.
“Jangan menggeliat” minta kakaknya, “kau pun terluka.”
“He” Ken Arok membelalakkan matanya, “apakah Puranti juga terluka?”
“Ya, api telah menjilatnya pula.” jawab Kuncang.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak boleh tenggelam dalam kebingungan. Perempuan tua itu harus segera mendapat obatnya. “Apakah ada sesuatu pada kalian untuk mengurangi derita ibu?” bertanya Ken Arok, “tubuhnya hampir terbakar seluruhnya. Aku terlambat meloncat keluar dari dalam api.”
Bango Samparan menjadi bingung. Sebelum ia berbuat sesuatu, Panji Bawuk tiba-tiba meloncat memanjat sebatang pohon kelapa di halaman rumah sebelah, “Aku terpaksa mencuri sekali lagi” gumamnya, “legen kelapa akan mengurangi rasa sakit itu.”
Dengan tangkasnya Panji Bawuk mengambil sebumbung legen yang memang belum diturunkan karena hari masih terlampau pagi, ketika setiap laki-laki meninggalkan rumahnya. Laki-laki yang memiliki halaman yang ditumbuhi pohon kelapa itu pun meninggalkan rumahnya terlampau pagi. Bersama-sama dengan hampir setiap laki-laki di Karuman, pergi ke rumah Bango Samparan dengan marahnya.
Dengan legen itulah kemudian tubuh isteri tua Bango Samparan yang hangus itu dibasahi. Dengan demikian perasaan nyerinya menjadi agak berkurang. Tetapi agaknya luka perempuan tua itu terlampau parah sehingga keadaannya menjadi terlampau berbahaya. Nafasnya menjadi semakin lemah, dan tenaganya seolah-olah telah menjadi lenyap.
“Ibu” desis Ken Arok yang menjadi semakin cemas.
Perempuan itu membuka matanya yang sayu. Suaranya seakan-akan sudah tidak lagi dapat menembus kerongkongannya. Terlampau lambat, “Aku terlampau parah Ken Arok. Pergilah kalian menyingkir. Tinggalkan saja aku disini, supaya aku tidak menjadi beban kalian.”
“Tidak” jawab Ken Arok, “ibu akan sembuh.”
Perempuan tua itu menggeleng. Suaranya menjadi semakin serak, “Dimana Puranti?”
“Kuncang” panggil Ken Arok, “ibu menanyakan Puranti.
Kuncang segera mendekat sambil mendukung adiknya, “Inilah Puranti ibu,” desis Kuncang.
Ketika melihat keadaan perempuan tua itu tiba-tiba Puranti meronta-ronta sambil berteriak, “ibu, ibu.”
Jangan meronta-ronta Puranti. Kau sendiri terluka” cegah kakaknya.
Perempuan tua yang terluka itu berdesah menahan sakit Namun terdengar ia bertanya, “Apakah Puranti juga terluka.”
“Tidak ibu” cepat-cepat Ken Arok menyahut, “luka sedikit pada ujung jarinya.”
Kuncang memandangi wajah Ken Arok sejenak. Tetapi ia tahu benar maksudnya, supaya perempuan tua itu tidak menjadi semakin gelisah.
“Syukurlah” suara semakin lambat, “kemarilah Puranti."
Puranti yang berada di dalam dukungan Kuncang telah menjadi semakin dekat. Anak itu menangis sambil memanggil-manggil, “ibu, ibu.”
“Jangan menangis ngger” bisik isteri tua Bungo Samparan yang terluka, “baik-baiklah menjaga dirimu. Jangan nakal anak manis. Kau adalah lembaran yang masih bersih meskipun kau berada di dalam setumpuk sampah yang kotor. Kau tahu maksudku? Kelak kau akan mengerti” perempuan itu berhenti sebentar, lalu, “kemarilah anak-anak dan kau Tirtaja.”
Adik perempuan tua itu, isteri muda Bango Samparan yang bernama Tirtaja itu pun mendekat bersama anak-anaknya Bango Samparan dan Panji Bawuk.
“Aku gembira melihat keadaan kalian pada saat terakhir. Aku melihat perubahan telah terjadi di dalam diri kalian masing-masing. Selama ini aku hanya dapat berdoa, namun, kehadiran Ken Arok telah benar-benar menjadi lantaran, terkabulnya doaku itu. Baik-baiklah kalian bersama anak-anak kalian. Mumpung kalian kini menyadari keadaan dan diri kalian masing-masing Berbuatlah baik untuk seterusnya.” Nafas perempuan itu semakin lama menjadi lambat.
“Ibu” panggil Ken Arok.
Perempuan tua itu tersenyum. Senyumnya begitu jernih sehingga sama sekali tidak membayangkan derita yang sedang dialami. Pada wajah itu sama sekali tidak berkesan kepahitan hidupnya lahir dan batin yang ditanggungkannya selama ini.
“Aku akan mendahului kalian” suaranya terputus-putus.
“Ibu, ibu” desis Ken Arok.
Perempuan itu mencoba menggerakkan tangannya, tetapi kekuatannya sama sekali telah lenyap. Namun senyumnya masih saja membayang dibibirnya.
“Maafkan aku kak” bisik isteri muda Bango Samparan.
Perempuan tua itu mengangguk lemah. Senyumnya masih tampak sekilas. Namun kemudian nafasnya berangsur sendat. Dan sesaat kemudian, maka perempuan tua itu menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
“Ibu, ibu” Ken Arok mencoba mengguncang-guncang tubuh di dalam dukungannya itu. Tetapi tubuh itu telah terdiam untuk selama-lamanya.
“Kenapa ibu tua itu?” bertanya Puranti dengan cemasnya, “kenapa?” dan ketika dilihatnya ibunya sendiri menangis, maka gadis kecil itu mendesak, “kenapa?
“Ibu telah meninggal” bisik Kuncang.
“O” tiba” gadis kecil itu meloncat dari dukungan Kuncang dan berlari memeluk perempuan tua yang telah meninggal di dalam dukungan anak angkatnya.
“Ibu?, ibu” Puranti menangis melolong-lolong, “ibu, kenapa ibu meninggal? Kenapa?,” Lalu digoncang-goncangnya tubuh Ken Arok sambil berteriak, “Kenapa kakang membiarkan ibu meninggal? Kenapa kau diam saja seperti patung? Kakang, berbuatlah sesuatu. Berbuatlah sesuatu.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Namun tangis Puranti itu serasa telah menyobek dadanya. Kematian isteri tua Bango Samparan itu telah mengguncangkan perasaannya. Ditambah dengan derita yang dialami lahir dan batin oleh gadis kecil yang tidak tahu kesalahan apakah yeng telah dilakukan oleh keluarganya. Mereka yang mengurumuni Ken Arok yang mendukung ibu angkatnya itu merundukkan kepala merela dalam-dalam. Yang terdengar adalah isak tangis adik perempuan yang meninggal itu, madunya sendiri, dan anaknya perempuan, Puranti.
“Kenapa ibu tua mati?” suara Puranti tiba-tiba menurun, namun dalam sekali, seolah-olah bergema di dalam relung hatinya.
“Kita telah berusaha Puranti” jawab Ken Arok berat. “tetapi demikianlah nasib yang harus kita tanggungkan.”
Puranti masih menangis. Luka ditubuhnya sama sekali tidak lagi terasa olehnya. Namun, suasana itu tiba-tiba pecah, ketika mereka mendengar suara ribut di kejauhan. Tetapi suara itu semakin lama menjadi semakin dekat.
“Tangkap, tangkap.”
Bango Samparan dan anak-anaknya mengangkat wajahnya. Selintas terbayang kebingungan di wajah mereka. Namun sesaat kemudian terdengar suara Panji Bawuk, “Kita harus menyingkir lebih jauh lagi sebelum mereka melihat.”
Dan Ken Arok pun menyahut, “Korban telah jatuh. Menyingkirlah.”
Bango Sambaran menjadi ragu-ragu sejenak, namun Ken Arok mendesaknya, “Cepat, menyingkirlah.” Lalu kepada Panji Bawuk ia berkata, “Bawalah semuanya menyingkir sampai memungkinkan kalian kembali setelah Ki Buyut memberi kalian petunjuk.”
“Kau?”
Ken Arok tidak menjawab. Sekilas dipandanginya tubuh yang masih berada di dalam dukungannya. Tubuh yang telah tidak bernafas lagi. Justru orang tua yang baik itulah yang harus menjadi korban. Ken Arok merasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Peristiwa itu ternyata telah menyentuh rasa keadilannya. Hubungan batin antara Bango Samparan dan keluarganya dengan perempuan tua itu memang tidak begitu erat sebelumnya, sehingga kematiannya tidak terlampau dalam melukai hati mereka, meskipun disaat-saat terakhir mereka merasa telah banyak membuat kesalahan terhadap perempuan tua itu. Tetapi yang paling parah di antara mereka justru adalah Ken Arok sendiri, dan gadis kecil yang bernama Puranti.
Sementara itu suara di kejauhan manjadi semakin dekat, “Jangan sampai lolos.”
“Cepat” desak Ken Arok, “cepat, bawa mereka pergi.”
Panji Bawuk tidak menjawab. Segera digiringnya keluarganya untuk dengan cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi ketika Panji Kuncang akan mendukung Puranti gadis itu meronta sambil berkata, “Tidak. Aku disini. Aku bersama ibu tua.”
“Pergilah Puranti” berkata Ken Arok, “ibu tua telah meninggal. Aku pun akan segera menyusul.”
“Aku pergi bersama kakang dan ibu tua.”
“Aku akan menahan orang-orang gila itu Puranti. Pergilah bersama kakang Kuncang, ayah dan ibu.”
“Tidak, tidak.” Puranti justru memeluk kaki Ken Arok erat.
Ken Arok menarik, nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi semakin pedih. Namun orang-orang Karuman itu menjadi kian dekat. Sehingga karena itu maka ia berkata, “Tinggalkan Puranti bersamaku Kuncang. Cepat menyingkirlah. Kalau orang-orang itu datang, aku akan mencoba menahan mereka, sampai kalian mendapat kesempatan untuk melepaskan diri. Kuncang ragu-ragu sejenak Ia masih mencoba menarik Puranti. Tetapi Puranti berpegangan dengan eratnya.
“Tinggalkan anak itu padaku” desis Ken Arok.
Dengan ragu-ragu Kuncang pun segera melepaskan Puranti dan kemudian lari secepat-cepatnya menyusul keluarganya yang telah hilang dibalik tikungan. Kini Ken Arok berdiri tegak sambil mendukung perempuan tua dikedua tangannya. Sedangkan Puranti masih berpegangan erat-erat pada sebelah kakinya.
“Puranti” berkata Ken Arok, “jangan berpegangan kaki. Berpeganglah ikat pinggangku.”
Puranti segera melepaskan kaki Ken Arok dan menggenggam ikat pinggang yang sebagian telah terbakar. Sejenak kemudian Ken Arok melihat orang-orang Karuman muncul dari balik dedaunan. Berlari-lari sambil mengacu-acukan senjata mereka. Masih terdengar pula mereka berteriak-teriak dangan penuh kemarahan dan dendam, sehingga mereka benar-benar telah menjadi kalap dan tidak dapat dikendalikan lagi.
“Itu, itu dia, anak angkat Bango Samparan” teriak beberapa orang yang telah melihat Ken Arok.
Tetapi Ken Arok masih berdiri tegak seperti batu karang di atas kakinya yang renggang. Di tangannya terbujur isteri tua Bango Samparan yang hangus, dan di belakangnya seorang gadis kecil berpegangan ikat pinggangnya dengan eratnya, dan bahkan ditarik-tariknya sambil merengek, “Mari kita pergi kakang. Aku takut.”
“Jangan takut Puranti” desis Ken Arok.
Tetapi dada Puranti bergetar terlampau keras. Apalagi setelah ia melihat ujung-ujung senjata yang teracung-acung kepada Ken Arok. Namun ternyata beberapa langkah di hadapan Ken Arok, orang yang berlari-lari di paling depan menghentikan langkahnya, sehingga orang-orang yang di belakangnya pun berhenti pula. Kini mereka berdiri berdesak-desakan sambil menggenggam senjata di tangan masing-masing.
“Bunuh, bunuh” teriak beberapa di antara mereka, yang disahut oleh yang lain, “Ya, tangkap, jangan dilepaskan lagi.”
Tetapi orang yang berdiri di paling depan tidak juga melangkah maju. Sorot mata Ken Arok yang tajam menyambar mereka yang berdiri di bagian terdepan satu demi satu. Semakin banyak ia menangkap wajah-wajah yang semakin buas itu, maka hatinya pun serasa menjadi semakin panas. Ketika wajahnya tertunduk, maka pandangan matanya jatuh pada perempuan tua di dalam dukungannya. Dada Ken Arok bergolak dahsyat sekali. Tiba-tiba maka kakinya seolah-olah tergerak tanpa disadarinya. Ken Arok justru melangkah maju.
“Kakang, kakang” Puranti menarik-narik dari belakang. Tetapi Ken Arok tidak menghiraukannya. Ia melanglah maju pula mendekati orang-orang Karuman yang berhenti termangu-mangu.
“Lihat” suara Ken Arok menggelegar, “lihat, perempuan ini telah menjadi korban kebuasan kalian.”
Sejenak orang-orang Karuman terdiam. Namun di bagian belakang dari kelompok orang-orang yang marah itu terdengar jawaban., “Seharuinya kalian semua menjadi mayat.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk mencari, siapakah yang telah berteriak itu. Tetapi ia tidak dapat menemukannya. Karena itu, maka ia berkata dalam nada yang berat, “Dimana Ki Buyut Karuman?”
Ken Arok tidak segera mendengar jawaban. Sehirgga diulanginya pertanyaannya, “Dimana Ki Buyut Karuman?”
Orang-orang Karunan itu kini berdiri berdesak-desakan. Pertanyaan Ken Arok telah mencengkam dada mereka. Tanpa sadar, mereka pun berpaling dan mencari-cari. Memang Ki Buyut Karuman tidak ada di antara mereka. Sejenak, hati mereka disentuh oleh kecemasan. Namun karena mereka bersama-sama dalam jumlah yang besar, maka segera mereka melupakan Ki Buyut. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berteriak, “Jangan mencari perlindungan kepadanya. Kau harus jatuh ketangan kami.”
“Ya, kau dan seluruh keluarga Bango Samparan harus jatuh ke tangan kami” teriak yang lain.
Namun teriakan mereka itu berhenti ketika mereka melihat Ken Arok justru melangkah semakin dekat. Matanya seolah-olah memancarkan api yang menyala di dadanya. “Apakah kalian masih belum puas?” berkata Ken Arok dengan lantangnya, “Lihat. Perempuan ini adalah justru perempuan yang paling baik dari keluarga Bango Samparan. Gadis kecil ini pun adalah gadis yang sangat baik. Tetapi kedua-duanya telah kalian lukai, dan bahkan perempuan tua ini telah meninggal karena luka-luka bakarnya. Apakah kalian masih belum puas?”
Sejenak orang-orang Karuman itu terdiam. Mata-mata mereka dengan nanar memandang tubuh yang hangus di tangan Ken Arok itu. Namun diantara mereka terdengar, “Kesalahan kalian masih belum lunas. Bukan hanya perempuan itu, tetapi seluruh keluarga harus musnah supaya kalian tidak dapat melimpahkan dendam di kemudian hari.”
“Ya, kalian harus binasa dengan sempurna sampai cindil abang.”
Wajah Ken Arok menjadi semakin menegang. Tetapi justru ia melangkah maju pula. Kemudian dengan lantang ia berkata, “Ternyata kalian adalah orang-orang yang tidak ada bedanya dengan Bango Samparan. Kalian membencinya karena perbuatannya. Tetapi kalian kini akan melakukannya sendiri. Kalian tidak bedanya seperti hantu yang haus darah.”
Sekali lagi orang-orang Karuman itu terdiam. Namun sekali lagi salah seorang dari mereka berteriak, “Jangan dengarkan, jangan dengarkan.” Disahut oleh yang lain, “Binasakan, binasakan.”
Berdesakan, tetapi lambat sekali orang-orang Karuman itu maju Sambil mengacu-acukan senjata mereka, mereka berteriak-teriak. Seolah-olah tidak ada satu kekuatan pun yang dapat membendung mereka. Melihat sikap orang-orang Karuman itu Ken Arok menjadi semakin tegang. Sejenak ia mencoba memperhitungkan, sampai dimana kira-kira Bango Samparan beserta keluarganya. Namun sejenak kemudian, ia merasa mempunyai kepentingan yang lain, tidak hanya sekedar memperpanjang waktu saja.
Karena itu, ketika orang-orang Karuman itu melangkah semakin maju, Ken Arok pun menyongsong mereka pula. Ia melangkah satu-satu dengan wajah tengadah mendukung isteri tua Bango Samparan yang sudah menjadi mayat. Ketika jarak di antara mereka sudah semakin dekat, maka Ken Arok pun berhenti. Wajahnya seolah-olah membara, sedang giginya bergemeretak. Di belakangnya Puranti yang gemetar berpegangan ikat pinggangnya semakin erat.
“Tangkap, tangkap,” terdengar orang-orang Karuman itu masih saja berteriak-teriak, lalu disahut oleh yang lain, “menyerahlah. Jangan banyak tingkah supaya kami tidak menjadi semakin marah.”
Ken Arok tidak menyahut. Ketika ia melihat orang-orang itu mendesak lebih dekat, maka tiba-tiba ia membungkuk perlahan-lahan. Diletakkannya mayat perempuan tua itu ditengah-tengah jalan, dimuka orang-orang Karuman yang menjadi semakin gila. Kemudian setapak ia melangkah surut. Wajahnya yang membara itu pun kemudian diangkatnya. Dipandanginya wajah-wajah orang Karuman satu demi satu. Tiba-tiba terdengar suaranya menggelegar,
“Ayo siapa yang akan menangkap Ken Arok.” Ken Arok berhenti sejenak. Ketika tidak ada suara apa pun maka dilanjutkannya, “Siapa yang melangkahi mayat ibu angkatku, akan menjadi mayat pula. Aku sudah muak melihat tingkah laku kalian yang gila dan kekanak-anakan. Apakah kalian menyangka bahwa kalian dapat menangkap Ken Arok dan apalagi bersama-sama dengan keluarga Bango Samparan? Ternyata kalian telah menjadi gila. Kalian tidak lagi dapat mempergunakan otak kalian. Seharusnya kalian mengerti, kenapa Panji Bawuk tidak lagi mau mengangkat senjatanya. Kenapa adik-adiknya harus membuang senjata-senjata mereka pula? Kalau mereka masih juga menggengam senjata di tangan mereka, maka kalian akan menjadi mayat seperti perempuan tua itu. Bahkan akan jauh lebih mengerikan. Dada kalian atau punggung kalian atau lambung, bahkan mungkin kepala kalian akan terbelah. Apakah kalian tidak percaya? Nah, sekarang tanpa Panji Bawuk, Kuncang dan adik-adiknya serta ayah Bango Samparan, aku sendiri dapat membuktikan. Ayo, siapa yang akan mati lebih dahulu, langkahilah mayat ibu."
Suara Ken Arok itu menggeletar seperti suara guruh di udara. Serasa mengguncang setiap dada dan seakan-akan merontokkan jantung mereka. Sehingga karena itu, maka setiap mulut seakan-akan terbungkam karenanya.
“Ayo” kini Ken Aroklah yang berteriak, “siapa yang akan mencoba menangkap Ken Arok.”
Kini tidak seorang pun yang bergerak.
“Kalian telah berhasil dengan baik, dan kalian dapat berbangga bahwa kalian telah dapat membunuh perempuan tua yang baik itu. Lihat, lihatlah mayatnya yang hangus. Bertanyalah kepada dirimu sendiri, kesalahan apakah yang pernah dilakukan oleh perempuan tua itu kepada kalian masing-masing. Dan bertanyalah kepada diri kalian sendiri kesalahan apakah yang pernah dilakukan oleh gadis kecil ini atas kalian. Kalau kalian dapat menjawab. dan jawaban kalian dapat menyakinkan aku, maka akulah yang akan menangkap Bango Samparan sekeluarga. Tetapi kalau kalian tidak dapat menjawabnya, maka segala macam dosa dan noda yang pernah dilakukan oleh keluarga Bango Samparan akan terpercik kepada kalian. Nah, renungkanlah. Aku tidak berkeberatan apapun keputusan kalian. Apakah aku harus menarik pedangku atau tidak.”
Kata-kata Ken Arok itu ternyata telah memukau jantung orang-orang Karuman itu. Betapapun hati mereka disaput oleh kegelapan, oleh dendam dan kebencian mereka terhadap keluarga Bango Samparan, namun tantangan Ken Arok itu telah membuat mereka menjadi berdebar-debar. Orang yang berdiri di paling depan, kini sudah tidak melangkah maju lagi meskipun beberapa orang yang berdiri di belakangnya mendesaknya. Mereka membeku beberapa langkah saja dari mayat isteri tua Bango Samparan yang terbujur di tanah.
“Siapa? Ayo, siapa” suara Ken Arok masih menggelepar di udara. Namun tidak seorang pun yang bergerak. “Bukankah kalian ingin menangkap aku dan seluruh keluarga Bango Samparan?" Masih belum ada jawaban. “Kenapa kalian membisu saja di situ he?”
Orang-orang Karuman itu benar-benar telah membeku. Hati mereka tiba-tiba berkerut. Sikap Ken Arok telah menumbuhkan persoalan di dalam hati mereka, sehingga mereka pun telah dipaksa untuk berfikir sekali lagi. Namun tiba-tiba dari belakang terdengar suara lantang,
“Jangan takut. Jangan takut. Orang itu hanya pandai berteriak-teriak saja, tetapi ia adalah seorang pengecut. Kami laki-laki juga seperti anak angkat Bango Samparan itu. Anak itulah yang paling banyak menyimpan noda dalam dirinya. Sejak masih terlampau muda ia telah pandai mencuri kelapa. Apalagi kini.”
Tanpa disangka-sangka beberapa orang menyahut, “Ya, jangan takut. Ia hanya menggertak saja. Hanya setan yang dapat menyelamatkan dirinya dari tangan kami.”
Teriakan-teriakan itu telak membuat darah Ken Arok menjadi semakin mendidih. Hampir saja ia kehilangan akal. Namun bagaimanapun juga, ia masih mencari jalan untuk menghindari benturan yang dapat membuatnya sama sekali kehilangan pengekangan diri. Sesaat kemudian ia melihat orang-orang Karuman itu mulai bergerak-gerak lagi. Berdesak-desakan. Yang berdiri di belakanglah yang lelah mendesak maju, sehingga mereka yang berdiri di paling depan pun terpaksa melangkah setapak maju, betapapun di jantungnya dicengkam oleh ke-ragu-raguan.
“Agaknya mereka telah benar-benar gila” geram Ken Arok di dalam hatinya, “Aku harus berbuat sesuatu.”
Ketika orang-orang itu mendesak maju lagi, sehingga mereka benar-benar hampir melangkahi mayat isteri tua Bango Samparan. maka Ken Arok tidak dapat menunda-nunda lagi. Sambil menggeletakkan giginya ia memusatkan segenap kekuatannya pada telapak tangannya.
“Bunuh orang itu, bunuh” orang-orang Karuman itu berteriak.
“Langkahi, langkahi saja mayat itu.” Bahkan yang lain berteriak, “injak saja, injak saja.”
Darah Ken Arok serasa telah mendidih sampai di kepalanya. Hanya kesadaran diri yang terlampau tinggilah, yang dapat mengekangnya, untuk tidak berbuat gila pula seperti orang-orang Karuman. Namun ketika orang-orang Karuman itu maju satapak lagi, dan hampir benar-benar melangkahi mayat ibu angkatnya, Ken Arok itu pun menggeram. Dikibaskannya tangan kecil Yang memegangi ikat pinggangnya. Dan sebelum Puranti menyadari keadaannya, Ken Arok telah meloncat tinggi ke udara. Sepasang tangannya yang kuat, yang telah disaluri kekuatan aneh di dalam dirinya itu pun segera menangkap sebuah cabang pohon sebesar pahanya.
Dengan hentakan yang luar biasa, maka cabang pohon itu pun patah bersama dengan seluruh rantingnya dan segumpal daunnya yang rimbun. Suara gemeretak patahnya cabang itu seolah-olah telah membangunkan orang-orang Karuman yang sedang mabuk. Sejenak mereka terpaku oleh kemampuan yang tidak disangka-sangka itu. Bahkan mereka hampir tidak dapat mempercayainya bahwa hal serupa itu dapat terjadi. Namun kini mereka benar-benar menyaksikan Ken Arok itu telah berdiri di atas tanah dengan kakinya yang renggang. Kedua tangannya terangkat keatas menahan cabang pohon lengkap dengan ranting dan daunnya.
“Awas” teriak Ken Arok, “aku ingin melihat, siapakah yang jantan di antara kalian. Sebelum kalian berusaha menangkap Ken Arok, cobalah tangkap dahulu kayu ini."
Orang-orang Karuman menjadi gemetar setelah mereka menyadari bahwa mereka bukan sekedar sedang bermimpi. Yang dilihatnya adalah benar telah terjadi. Ken Arok dengan kekuatan yang tidak dimengertinya telah mematahkan sebatang cabang bersama ranting-ranting dan segumpal daun-daunnya yg rimbun. Sebelum orang-orang Karuman itu sempat berbuat sesuatu, maka sekali lagi mereka melihat keajaiban dihadapan matanya. Mereka melihat cabang itu seakan-akan meluncur tinggi, kemudian terbang mengarah kepada mereka.
Maka hilanglah segala macam keberanian, kemarahan dan kebencian mereka. Mereka telah diterkam oleh ketakut an yang luar biasa. Karena itu, maka tanpa mengucapkan sepatah katapun, orang-orang Karuman itu bagaikan burung pipit yang dihalau dari tengah-tengah sawah. Mereka berlari-larian salang-tunjang.
Sejenak kemudian terdengar gemerasak cabang pohon yang dilontarkan oleh Ken Arok itu jatuh di tanah, beberapa langkah melampaui mayat ibunya. Tetapi orang-orang Karuman seolah-olah telah tersapu bersih, sehingga tidak seorang pun yang masih tinggal. Mereka berlari tanpa arah, kemana saja asal mereka dapat menjauhi Ken Arok yang mereka anggap mempunyai kekuatan di luar kekuatan manusia wajar.
Namun tiba-tiba dada Ken Arok itu berdesir. Belum lagi hiruk pikuk orang-orang Karuman yang berlari itu hilang, belum lagi getar daun-daun dan ranting-ranting yang dilemparkan itu berhenti, dilihatnya sesosok tubuh dengan ringannya meloncat dan hinggap di atas cabang yang dilontarkannya ke tengah jalan itu. Sejenak Ken Arok terpesona melihat kelincahan orang itu, namun kemudian ia berhasil menguasai perasannya. Ditatapnya orang yang berdiri di dalam rimbunnya dedaunan di tengah jalan itu.
Orang yang berdiri di atas cabang yang melintang ditengah jalan itu adalah Ki Buyut dari Karuman. Orang tua itu membungkukkan kepalanya sambil berkata, “Kau benar-benar luar biasa Ken Arok. Kau mempunyai kekuatan lebih dari sepuluh kali lipat kekuatan orang biasa.”
Ken Arok yang sedang memusatkan segenap kekuatannya itu, perlahan-lahan menurunkan gelora jantungnya. Apalagi ketika ia melihat Ki Buyut Karuman itu tersenyum.
“Belum pernah aku melihat seseorang seperti kau” berkata Ki Buyut itu seterusnya, “Kau bukan saja mengagumkan karena kekuatan dan kecepatanmu bergerak dan berpikir, tetapi hatimu ternyata selapang lautan.” Orang tua itu berhenti sejenak. Setelah menarik nafas delam-dalam ia melanjutkan, “Seandainya bukan kau Ken Arok, maka orang-orang Karuman pasti akan menjadi timbunan mayat ditengah-tengah jalan, di samping mayat ibu angkatmu. Tetapi kau tidak berbuat demikian. Kau hanya menghalau mereka seperti kau menghalau kumpulan kelinc–kelinci liar yang paling bodoh. Sedang aku, orang yang paling mereka kagumi, tetua padukuhan Karuman, ternyata tidak ada sekuku irengmu.”
Ken Arok tidak sebera menjawab. Tetapi getar kekuatannya perlahan-lahan telah mengendap. Meskipun demikian ia masih tetap bersiaga. Ia masih belum tahu benar, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Buyut itu. Tetapi ternyata bahwa Ki Buyut tidak akan berbuat sesuatu.
Orang tua itu berkata, “Ken Arok. Dengan demikian, maka orang-orang Karuman sudah menjadi jera. Kau menundukkan mereka tanpa pepati, bahkan tanpa setitik darah pun yeng menetes dari luka yang paling ringan."
“Ki Buyut” tiba-tiba Ken Arok memotong, “lihatlah siapa yang terbujur ditengah-tengah jalan itu. Apakah itu bukan korban? Bukan sekedar darah yang menitik dari luka, tetapi ibu angkatku telah benar-benar mati, dan gadis kecil yang tidak tahu menahu tentang segala macam persoalan inipun telah terluka.”
Ki Buyut mengangguk-aggukkan kepalanya. Dipandanginya gadis kecil yang berdiri gemetar bersandar dinding batu di pinggir jalan.
“Kemarilah Puranti” panggil Ken Arok yang menjadi semakin kasihan melihat gadis yang menggigil itu.
Perlahan-lahan Puranti melangkah maju. Kemudian meloncat memeluk kaki Ken Arok sambil terisak-isak, “Aku takut kakang.”
“Jangan takut Puranti. Sudah tidak ada bahaya apapun lagi yang mengancammu” jawab Ken Arok. Tetapi tatapan mata gadis kecil yang hinggap pada Ki Buyut Karuman, masih membayangkan kecemasan dan ketakutan.
“Aku tidak apa-apa ngger” berkata Ki Buyut, “aku tidak apa-apa. Aku akan minta maaf kepada kakangmu Ken Arok dan kepada ayahmu Banggo Samparan atas segala peristiwa ini. Atas korban yang ternyata telah jatuh.
“Ki Buyut ternyata memandang persoalan ini dari sebelah sisi,” berkata Ken Arok kemudian, “Ki Buyut sama sekali tidak melibat korban yang terbujur itu. Ki Buyut merasa puas bahwa tidak ada orang Karuman yang menjadi korban, yang luka-luka apalagi terbunuh. Tetapi Ki Buyut tidak berkata apapun dari pihak kami. Apalagi perempuan tua yang baik itu. Coba apakah Ki Buyut dapat menjawab pertanyaanku, seperti yang aku berikan kepada orang-orang Karuman? Apakah perempuan tua ini juga bertalak, dan apakah gadis kecil ini juga bersalah?”
“Ya, ya Ken Arok. Aku mengakui. Bukankah aku telah berkata bahwa korban memang telah jatuh, dan aku minta maaf karenanya?”
“Hanya sekedar minta maaf?”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu la bertanya, “Lalu apakah yang harus aku lakukan?”
Pertanyaan itu pun ternyata telah membingungkan Ken Arok. Sejenak ia berdiam diri, namun tatapan matanya serasa telah mengetuk langsung dinding jantung Ki Buyut.
“Ken Arok” berkata Ki Buyut, “ibu angkatmu memang telah menjadi korban. Sekali lagi aku minta maaf dan menyesal sekali bahwa hal itu telah terjadi. Tetapi kita harus dapat mengendapkan hati kita yang kecewa. Marilah kita melihat segi yang baik dari peristiwa ini. Ibumu telah menjadi tumbal dari suatu peristiwa yang akan merubah hubungan antara keluarga Bango Samparan dengan orang-orang Karuman. Memang untuk meningkatkan suatu keadaan menjadi semakin baik kadang-kadang diperlukan tumbal. Tumbal itu sendiri kadang-kadang tidak tersangkut di dalam persoalan yang sebenarnya. Itu merupakan korban yang tidak ternilai harganya. Ibu angkatmu adalah orang yang paling baik dari seluruh keluarga Bango Samparan, demikian juga adikmu yang terkecil itu. Tetapi justru merekalah yang harus menjadi korban dari persoalan ini. Maka dengan demikian sempurnalah kebaikan mereka. Tebusan yang sempurna demikianlah yang sungguh-sungguh bernilai."
Getar di dada Ken Arok serasa menjadi semakin cepat. Terbata-bata ia berkata, “Apakah itu adil Ki Buyut? Apapun anggapan kita, tetapi yang sudah mati itu tidak akan dapat hidup kembali. Apakah kita akan saling memaafkan, dan apakah orang-orang Karuman dan keluarga Bango Samparan akan dapat mulai dengan hubungan yang baru, namun yang mati itu akan tetap mati.”
“Memang kau benar ngger. Itulah yang aku sebut tumbal. Tumbal yang tidak sia-sia. Bukankah kau rasakan manfaatnya yang tidak ternilai itu? Tentu saja unsur yang lain ikut pula menentukan. Seandainya yang berdiri dihadapanku ini bukan kau, mungkin mayat telah berserakan disini. Tetapi tumbal yang demikian tidak akan berarti apa-apa, karena yang ada justru dendam dan kebencian. Kau dapat menundukkan orang-orang Karuman yang tersisa. Tetapi sekedar lahir, bukan dari dasar hatinya seperti sekarang. Sekarang orang-orang Karuman akan tunduk kepadamu. Lahir dan batin. Ia akan menerima apapun yang kau kehendaki. Aku pun demikian juga sebagai pernyataan terima kasihku. Nah, katakanlah, apakah yang kau kehendaki sekarang.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Dipandanginya saja wajah Buyut tua itu dengan dada yang bergejolak. Namun Ken Arok tahu benar bahwa Ki Buyut itu dapat mengerti apa yang sudah terjadi didalam lingkungan keluarga bango Samparan, sehingga ia pun sudah berusaha untuk mencegah kegilaan orang-orang Karuman. Tetapi ternyata ia tidak berhasil. Karena itu, maka Ken Arok tidak akan dapat menyalahkan orang tua itu. Meskipun demikian terasa sesuatu tersangkut di dalam dadanya. Kematian isteri tua Bango Samparan yang tidak bersalah dan Puranti yang terluka bakar pada tubuhnya. Yang dapat dilakukan Ki Buyut itu hanyalah sekedar minta maaf, sedang yang mati itu akan tetap mati.
“Tumbal” desisnya. Dan terngiang suara Ki Buyut untuk meningkatkan suatu keadaan memang diperlukan tumbal. Ken Arok tiba-tiba menggeram. Tetapi ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya.
“Silahkan ngger” berkata Ki Buyut, “katakanlah. Apakah yang kau kehendaki?”
Tiba-tiba Ken Arok menghentakkan perasaannya yang seakan-akan sedang terkungkung didalam lingkaran yang gelap. Dengan sepenuh tenaga didorongnya kata-kata dari dalam mulutnya, “Aku tidak menghendaki sesuatu Ki Buyut. Aku hanya menghendaki, ayah Bango Samparan dapat tinggal di Karuman dengan baik. Aku mengharap bahwa keluarga itu telah berubah. Apalagi Panji Bawuk. Kalau terjadi sesuatu yg kurang menyenangkan, Ki Buyut dapat berhubungan dengan Panji Bawuk. Aku sendiri akan segera meninggalkan padukuhan ini, kembali ke Tumapel."
“Aku akan menjadi jaminan Ken Arok” jawab Ki Buyut.
Ken Arok mengangguk perlahan-lahan. Ketika terpandang olehnya mayat ibu angkatnya hatinya berdesir. Perlahan-lahan ia melangkah maju, berjongkok disamping mayat ibunya sambil berdesis, “Korban yang paling berharga. Mudah-mudahan korban ini tidak sia-sia.”
Puranti yang kecil pun berjongkok pula. Setetes-setetes air matanya jatuh di pangkuannya. Tetapi, gadis kecil itu mencoba untuk menahan tangisnya. Namun justru dengan demikian dadanya menjadi sesak oleh isaknya.
“Sudahlah Puranti” Ken Arok mencoba menenangkan hati gadis kecil itu walaupun hatinya sendiri terasa sakit. “Marilah kita mencari ayah dan ibu muda. Kalian akan kembali ke padukuhan ini dengan tenang. Ki Buyut akan selalu melindungi kalian. Tetapi kalian harus berbuat baik”
Puranti menengadahkan kepalanya. Sorot matanya menunjukkan kegelisahan yang melonjak-lonjak. Dan tiba-tiba saja Ken Arok menyadari kekeliruannya. Seharusnya nasehat itu tidak diberikannya kepada Puranti, tetapi kepada keluarga Bango Samparan yang lain, sehingga dengan serta-merta ia menyambung, “Tetapi kau sudah baik Puranti. Ayah, ibu dan kaka-kakakmu pun sudah baik.”
Puranti tidak menyahut. Tetapi keragu-raguan masih saja membayang di wajahnya.
“Marilah” berkata Ken Arok kemudian, “kita akan mencari ayahmu.”
Puranti mengangguk kecil. Perlahan-lahan ia berdiri sambil memandangi Ki Buyut yg kini telah berdiri di samping mereka.
“Aku minta diri Ki Buyut” berkata Ken Arok kemudian setelah ia mengangkat mayat ibu angkatnya.
“Baiklah Ken Arok” jawab Ki Buyut, “katakan kepada keluarga Bango Samparan, bahwa aku akan menerima mereka dengan baik. Dan aku akan menjamin, bahwa tidak akan terjadi sesuatu selama mereka tidak kambuh lagi."
"Terima kasih” sahut Ken Arok.
Maka Ken Arok pun kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Puranti berjalan di sampingnya sambil berpegangan ujung kain panjang kakak angkatnya. Peristiwa yang baru saja terjadi telah mengguncang dadanya, sehingga tiba-tiba saja gadis kecil itu menjadi pendiam. Berbagai masalah berputaran dikepalanya. Namun ia masih belum mampu menemukan persoalan yang sebenarnya telah terjadi. Sebab dan akibatnya.
Langkah Ken Arok semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan Puranti pun kemudian terpaksa berlari-lari kecil di sampingnya Ken Arok ingin segera bertemu dengan Bango Samparan, kemudian menyelesaikan mayat isterinya itu. Mereka terpaksa berjalan beberapa lama. Ken Arok tahu, bahwa Bango Samparan dan keluarganya pasti sedang bersembunyi, sehingga tidaklah mudah untuk menemukannya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia mendengar desir di sebelah gerumbul-gerumbul liar di pinggir jalan. Perlahan-lahan ia berputar mengarah ke suara itu, sedang Puranti sekali lagi menjadi ketakutan.
“Ada apa kakang?”
Ken Arok tidak segera menjawab. Telinganya yang tajam mendengar desir yang semakin dekat.
Ken Arok tidak segera menjawab. Telinganya yang tajam mendengar desir yang semakin dekat.
“Kakang” tiba-tiba ia mendengar suara Panji Bawuk, sehingga tanpa sesadarnya ia menarik nafas lega.
“Kau, Panji Bawuk?”
Sejenak kemudian sesosok tubuh muncul dari sela-sela dedaunan di balik rerumputan liar. “Bagaimana dengan orang-orang Karuman itu kakang?” bertanya Panji Bawuk.
“Semuanya sudah selesai.”
Panji Bawuk menjadi ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ken Arok dengan penuh kebimbangan. Ken Arok merasakan tusukan tatapan mata anak sulung Bango Samparan itu, maka katanya, “Aku tidak membunuh seorang pun dari mereka. Ki Buyut menjadi saksi. Semuanya dapat diselesaikan tanpa menumpahkan darah orang Karuman, meskipun ibu harus menjadi tumbal.”
Panji Bawuk tidak segera menyahut. Sekilas ditatapnya perempuan tua yang telah meninggal ditangan Ken Arok itu. Sejenak kemudian anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ditatapnya wajah adiknya yang pucat, dan luka-lukanya yang membakar beberapa bagian dari tubuh dan pakaiannya.
“Marilah” desisnya kemudian, “kita pergi ketempat ayah dan ibu bersembunyi.”
Ken Arok mengangguk, “Marilah”
Ketika Ken Arok melangkah, maka Panji Bawuk pun segera mendekati adiknya dan berbisik, “Marilah, aku dukung kau."
Kata-kata itu terasa aneh di telinga Puranti. Kakaknya yang sulung itu tidak pernah tampak begitu sedih dan begitu baik kepadanya. Namun Puranti telah dapat merasakan, perubahan memang telah terjadi dalam keluarganya.
Panji Bawuk pun kemudian berjalan mendahului Ken Arok sambil mendukung Puranti. Mereka menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar dan batang-batang ilalang setinggi dada. Kemudian mereka sampai pada sebuah sungai yang curam. Di tebing sungai itulah Bango Samparan dan keluarganya tersembunyi.
Kedatangan Ken Arok sambil membawa mayat isteri tua Bango Samparan dan Puranti, telah menumbuhkan berbagai pertanyaan pada keluarga itu. Berganti-ganti mereka mengucapkan pertanyaan yang berturutan, sehingga Ken Arok tidak dapat menjawabnya satu demi satu.
“Aku akan berceritera saja” berkata Ken Arok, “pertanyaan kalian akan terjawab.”
Maka setelah meletakkan mayat ibu angkatnya, Ken Arok segera menceriterakan semua peristiwa yang dialaminya, sehingga akhirnya ia berkata, “Ki Buyut telah menjamin, bahwa ayah sekeluarga akan dapat tinggal dengan tenteram di Karuman, asal ayah dan seluruh keluarga tidak kambuh lagi.”
Bango Samparan menundukkan kepalanya. Keputusan Ki Buyut itu telah mengungkat keharuan di dalam dadanya. Meskipun demikian ia masih dicemaskan oleh keragu-raguannya tentang diri sendiri. Apakah ia akan dapat menahan hati untuk tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan keinginan Ki Buyut dan orang-orang di sekitarnya.
Namun sebelum Bango Samparan menjawab, terdengar suara Panji Bawuk parau, “Kami akan berusaha kakang. Kalau kami suatu ketika terperosok kembali kedalam dunia yang hitam, kami mengharap kakang akan dapat memperingatkan.”
“Kalau aku sempat melihat kalian” jawab Ken Arok
“Kenapa? Jarak antara Tumapel dan Karuman tidak terlampau jauh. Sebulan sekali kakang dapat datang ke Karuman, atau salah seorang dari kami pergi ke Tumapel.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku akan berusaha. Mudah-mudahan kalian terhindar dari kebiasaan yang memang seharusnya dikubur bersama korban yang telah jatuh ini.”
Panji Bawuk meng-angguk-anggukkan kepalanya, sedang Bango Samparan, isteri mudanya dan anak-anaknya yang lain menunduk kan kepala mereka dalam-dalam. Sejanak mereka seolah-olah membeku dan mengembara di dalam angan-angan masing-masing. Mereka telah tenggelam dalam kenangan masa silam dan bayangan masa mendatang. Berbagai perasaan bergelut di dalam dada mereka. Penyeaalan, kecewa dan harapan.
Ken Arok sendiri duduk tepekur di sisi mayat ibu angkatnya. Ia pun sedang hanyut oleh berbagai macam perasaan. Matanya yang tajam menatap mayat ibu angkatnya tanpa berkedip. Didalam dadanya melonjaklah kekecewaan yang dalam. Kenapa justru ibu angkatnya yang harus menjadi korban. Justru orang yang paling baik di antara keluarga Bango Samparan.
“Kenapa orang-orang Karuman itu berbuat sekehendak hati mereka sendiri?” desis Ken Arok di dalam hatinya. Namun kemudian terbayang Ki Buyut yang telah berusaha mencegah orang-orangnya, tetapi ia gagal.
“Penyesalan itu tidak akan dapat membangunkan ibu angkatku” berkata Ken Arok itu di dalam hatinya pula.
Ternyata kematian telah berkesan demikian dalam di dalam hati Ken Arok. Tanpa sesadarnya jantungnya telah diracuni oleh perasaan dendam. Tetapi ia tidak tahu, kepada siapa ia harus melepaskan dendamnya. Ia tahu bahwa ia tidak boleh berbuat menurut perasaannya saja atas orang-orang Karuman, meskipun ia dapat membunuh siapa saja yang disukainya, bahkan Ki Buyut sekalipun. Nalarnya agaknya masih berhasil menguasai perasaannya. Namun ia tidak berhasil melenyapkan perasan kecewa itu. Meskipun pada suatu saat ia berhasil mengendapkannya, namun apakah pada suatu ketika perasaan itu tidak akan muncul lagi menggenangi hatinya justru dalam campur baur dengan endapan perasaannya yang lain yang ditekannya dengan nalar?
Tiba-tiba Ken Arok itu berkata dengan nada datar, “Marilah kita selesaikan mayat ibu tua ini.”
Bango Samparan dan anak-anaknya serasa tersadar dari tidurnya yang dibayangi oleh mimpi buruk. Terbata-bata Bango Samparan menyahut, “Marilah. Marilah.”
Maka mereka pun segera mencari tempat yang mereka anggap baik untuk menguburkan isteri tua Bango Samparan itu, ditandai oleh beberapa buah batu, supaya mereka tidak kehilangan. Apabila mereka pada saatnya dapat hidup dengan tenang kembali di Karuman, maka tempat itu seharusnya dirawat dengan baik, sebagai kenangan bahwa seseorang telah menjadi korban cara hidup mereka yang buram.
Agaknya Ken Arok tidak dapat berbuat setengah jalan. Sesudah mayat isteri tua Bango Samparan itu selesai dirukti, maka Bango Samparan dan keluarganya masih juga minta tolong kapadanya, untuk mempersiapkan jalan kembali ke Karuman.
“Baik” jawab Ken Arok “aku akan berusaha. Tetapi setelah itu aku tidak akan dapat menunggui kalian lebih lama lagi. Waktuku beristirahat telah menjadi semakin pendek. Aku masih ingin pergi ke beberapa daerah mengunjungi orang-orang yang terlampau baik kepadaku."
“Aku tidak akan menahanmu lagi Ken Arok, tetapi aku minta kau menyelesaikan masalahku ini sama sekali.” minta Bango Samparan.
Ken Arok tidak dapat menghindarkan diri dari pekerjaan itu. Ia harus menyelesaikan masalah Bango Samparan itu sama sekali. Karena itu, maka setelah hatinya menjadi agak tenteram, dan setelah mereka bermalam satu malam di pereng tebing sungai, maka Ken Arok segera pergi untuk menemui Ki Buyut. Ia tidak sampai hati melihat Puranti tidur kedinginan di atas pasir yang hanya dialasi dengan sehelai kain panjang, di samping perapian untuk mengusir dingin dan nyamuk.
Ternyata Ken Arok tidak banyak menemui kesulitan. Baik Ki Buyut maupun orang-orang Karuman yang lain tidak menaruh keberatan lagi, dengan syarat, bahwa Ken Arok akan bertanggung jawab apabila Bango Samparan dan keluarganya terjerumus lagi kedalam dunianya yang buram.
“Aku akan mengawasinya” berkata Ken Arok kepada Ki Buyut, “aku berada di Tumapel, tidak terlampau jauh dari Karuman. Seandainya keadaan memaksa, satu dua orang dapat menyampaikannya kepadaku.”
“Baiklah Ken Arok” berkata Ki Buyut, “sementara Bango Samparan belum sempat mendapat rumah baru, biarlah ia berada di rumahku.”
“Terima kasih Ki Buyut. Tetapi sayang bahwa aku tidak dapat menemaninya. Aku harus segera kembali ke Tumapel.”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Apabila aku memerlukanmu, aku akan memanggilmu.”
“Aku akan datang setiap saat Ki Buyut.”
Persoalan seterusnya tidak ada kesulitan apapun. Bahkan Ki Buyut menyanggupi, untuk mengajak orang-orang Karuman membuat rumah baru bagi Bango Samparan di atas bekas rumahnya yang telah menjadi abu. Tetapi Ken Arok benar-benar tidak dapat ditahan lagi. Sebelum orang-orang Karuman mulai membuat rumah buat Bango Samparan, Ken Arok telah minta diri kepada Bango Samparan sekeluarga, kepada Ki Buyut dan kepada orang-orang Karuman. Ia harus meninggalkan Karuman, melanjutkan perjalnanannya sebelum ia kembali ke Tumapel.
“Aku ikut bersamamu kakang” Puranti merengek.
“Jangan Puranti. Aku masih akan berjalan jauh sekali sebelum aku kembali ke Tumapel.”
“Tetapi disini sudah tidak ada ibu tua lagi, tidak ada yang mengawani aku bermain-main."
“Tidak Puranti. Sekarang ibu muda akan menemani kau bermain-main.” sahut ibunya.
“Kau tidak akan sendiri lagi Puranti” sambung Panji Bawuk, “kakak-kakakmu akan selalu tinggal di rumah. Kami sudah tidak ada pekerjaan lagi di luar Karuman. Kami akan membuka dan memperluas sawah kami yang telah ada.”
Puranti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah ayah dan kakak-kakak akan bekerja di sawah seperti kebanyakan orang Karuman?”
“Ya Puranti, kami semua akan bekerja di sawah seperti kebanyakan orang Karuman.” jawab Panji Bawuk.
“Dan ibu muda akan memasak di rumah dan mengantar makanan ke sawah menjelang tengah hari?”
“Ya Puranti.”
“O” tiba-tiba wajah gadis kecil itu menjadi cerah, “aku akan ikut dengan ibu muda mengantar makanan ke sawah. Bukankah begitu?”
“Ya Puranti” terdengar suara ibunya parau.
Puranti menjadi heran ketika ia berpaling memandangi wajah ibunya. Dilihatnya matanya menyadi basah. Tetapi gadis kecil itu tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah Ken Arok menyerahkan keluarga Bango Samparan sekeluarga, maka Ken Arok itu pun mengayunkan kakinya, meninggalkan halaman rumah Ki Buyut Karuman diiringi oleh berpuluh-puluh tatapan mata. Terasa perpisahan itu sangat berkesan di hati orang-orang Karuman yang mengaguminya. Terutama keluarga Bango Samparan. Orang-orang Karuman kagum melihat kelapangan hati anak muda itu meskipun ibu angkanya sudah menjadi korban.
“Seandainya bukan Ken Arok” mereka berdesis di dalam hatinya.
Sementara itu langkah Ken Arok pun terasa dibebani oleh berbagai macam perasaan. Kadang-kadang ia pun masih diliputi keragu-raguan, apakah keluarga Bango Samparan sudah melepaskan cara hidupnya yang sesat...
“Apakah Permaisuri Akuwu Tumapel itu cantik sekali ibu?“ tiba-tiba Puranti bertanya kepada isteri tua Bango Samparan.
“Aku belum pernah melihatnya” jawab perempuan tua itu, “bertanyalah kepada kakakmu.”
Puranti ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah Permaisuri itu terlampau cantik kakang?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui bahwa dada anak muda itu bergeletar dahsyat sekali. Pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh jantungnya yang berdenyut semakin keras.
“Benarkah begitu kakang?”
Ken Arok mengangguk perlahan-laban. Jawabnya, “ya Puranti. Permaisuri itu cantik sekali.”
Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesuatu maksud ia berkata, “Kalau kakang kelak menjadi seorang Akuwu, maka sudah tentu isteri kakang pun akan cantik sekali seperti Ken Dedes.”
Ken Arok tahu benar, bahwa gadis kecil itu tidak menyadari apa yang diucapkannya. Karena itu, maka betapa hatinya bergetar karenanya, namun ia mencoba tersenyum dan menjawab, “Ah, bagaimana mungkin kakang menjadi seorang Akuwu. Akuwu adalah pangkat turun-temurun seperti seorang raja. Seperti juga Maharaja dari Kediri. Kalau lebih kecil dari padanya adalah seperti Ki Buyut di Karuman ini.”
Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan terdengar lagi pertanyaan kekanak-kanakannya, “Jadi kalau bukan anak Akuwu, tidak akan mungkin seseorang menjadi Akuwu, atau Maharaja atau bahkan Buyut sekalipun?”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, “Memang tidak mungkin.”
Puranti masih mengangguk-angguk. Namun terdengar suara Bango Samparan, “Tidak selalu Puranti. Meskipun ia bukan keturunan Akuwu, seseorang mungkin saja menjadi seorang Akuwu.”
“Ah” desah Ken Arok, “itu tidak mungkin.”
“Kau memperkecil peranan nasib, Ken Arok” sahut Bango Samparan, “seseorang yang bernasib baik, akan mungkin sekali meloncat pada suatu jabatan yang tidak terduga-duga. Seperti Ken Dedes misalnya. Seorang gadis padesan yang selama masa hidupnya ia tidak akan pernah bermimpi menjadi seorang Permaisuri kalau nasib tidak merenggutnya dari dunianya yang lama itu, melemparkannya ke singgasana seorang Permaisuri di Tumapel."
“Tetapi ia tidak menjadi seorang Akuwu. Adalah mungkin sekali ia menjadi seorang Permaisuri, karena jabatan seorang Permaisuri bukan jabatan turun-temurun.”
“O” seru Bango Samparan, “kau adalah seorang prajurit Tumapel. Kau pasti tahu, bahwa seandainya seorang Akuwu mempunyai anak perempuan dan tidak mempunyai anak laki-laki. Kemudian anak perempuannya kawin dengan seseorang yang bukan keturunan Akuwu, maka ia akan menjadi Akuwu.”
“Tidak ayah” jawab Ken Arok, “ia tidak akan menjadi seorang Akuwu selama tidak ada penyerahan secara resmi dari isterinya. Kalau suami itu meninggal, maka jabatan itu akan berpindah dengan sendirinya kepada suaminya yang baru apabila ia kawin lagi.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya, Lalu perlahan-lahan ia bergumam, “Kecuali dengan pemberontakan.”
“Itu, persoalan lain ayah. Pemberontakan mempunyai akibat yang lain. Memang mungkin seseorang akan dapat merebut kekuasaan. Tetapi ia harus berdiri di atas timbunan mayat-mayat korban pemberontakannya di kedua belah pihak.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata lirih, “Jadi, jalan menuju ke jabatan itu memang sudah buntu. Bagaimanapun juga.”
“Apakah kepentingan kita dengan jabatan-jabatan serupa itu” desis Ken Arok, “marilah kita berbicara tentang hal-hal yang lain, yang lebih menarik tentang diri kita sendiri”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia masih juga berkata, “Tidak selamanya pemberontakan itu salah.”
“Bagaimanapun juga jalan itu adalah jalan yang paling mengerikan, kebencian akan meledak bercampur baur dengan dendam dan pamrih pribadi.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya Namun tiba-tiba seperti orang terbangun dari tidurnya ia berkata lirih, “He, bukankah kekuasaan Tumapel kini ada di tangan Ken Dedes?”
Pertanyaan itu menyambar dada Ken Arok seperti hentakan guruh di dalam dadanya. Sejenak ia diam mematung namun terasa nafasnya menjadi tersengal-sengal.
“Mustahil kalau kau tidak mendengarnya. Akuwu Tunggul Ametung telah menyerahkan apa saja kepada Permaisurinya. Kekuasaan atas Tumapel termasuk di dalamnya. Bukankah begitu? Apakah pendengaranku ini salah?”
Kini, Darah Ken Arok serasa semakin cepat mengalir. Dadanya berdebaran dan kepalanya menjadi pening, Ia sendiri tidak tahu, kenapa kata-kata Bango Samparan itu membuatnya terlampau gelisah.
“Bukankah begitu Ken Arok?” bertanya Bango Samparan pula.
“Aku tidak tahu, aku tidak tahu” jawab Ken Arok sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tetapi Bango Samparan justru tertawa. Katanya, “Hal itu bukan merupakan rahasia lagi, Ken Arok.”
Ken Arok mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sejenak ia diam mematung memandangi lampu minyak yang bergetar oleh angin yang menyusup dari sela-sela dinding.
“Hampir setiap orang mempersoalkannya dahulu” Bango Samparan meneruskan, “tetapi sekarang orang telah melupakannya.”
“Apa saja yang akan dilakukan oleh Akuwu, bukanlah persoalan kita” sahut Ken Arok tiba-tiba.
Bango Samparan tertawa. Katanya, “Seandainya, ya, seandainya Akuwu Tunggul Ametung tidak ada lagi, dan Ken Dedes kemudian kawin lagi, apakah suaminya juga berhak menjadi Akuwu apabila Ken Dedes bersedia menyerahkan kekuasaan itu dengan resmi.”
“Aku tidak tahu” suara Ken Arok mengeras, “itu bukan urusanku.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih berkata, “Aku hanya ingin tahu, Ken Arok. Aku hanya ingin menjawab pertanyaan Puranti, apakah kalau seseorang bukan keturunan Akuwu untuk selamanya tidak akan dapat menjabat jabatan itu. Seandainya suami Ken Dedes kelak setelah Akuwu Tunggul Ametung meninggal dapat menggantikannya, maka ternyata bahwa seseorang dari lingkungan yang lain, mungkin seorang dari lingkungan pidak pedarakan akan mampu menjadi seorang Akuwu.”
“Tidak ada gunanya kita berbicara tentang hal itu. Tidak ada gunanya. Marilah kita berbicara tentang yang lain?”
“Ya, ya. Kita akan berbicara tentang yang lain. Namun aku hanya akan sekedar mengatakan, bahwa seseorang dapat saja dikendalikan oleh nasib menjadi seorang Akuwu. Nasib yang terlampau baik, seperti kau misalnya. Tidak mustahil bahwa suatu ketika kau menjadi seorang Akuwu karena sebab-sebab yang tidak langsung. Kau masih muda dan cukup tampan.”
“Cukup, cukup,” tiba-tiba Ken Arok itu berteriak sehingga Puranti menjadi terkejut dan meloncat memeluk ibu tirinya. Dengan dada yang gementar dipandanginya Ken Arok dengan wajah yang bertanya-tanya.
Ken Arok yang melihat wajah Puranti menjadi pucat, tiba-tiba menyadari keadaannya. Dengan kepala tunduk ia berkata perlahan-lahan, “Maafkan aku.”
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, ya. Aku maafkan kau. Eh, maksudku, aku juga minta maaf. Mungkin kata-kataku tidak menyenangkan hatimu, atau barangkali kau memang belum pernah mempertimbangkannya, sehingga kau masih saja menganggap hal yang demikian itu mustahil.”
Kalau Ken Arok tidak berusaha sekuat tenaganya, maka ia pasti akan berteriak lagi. Tetapi ditahankannya kejengkelannya di dalam dadanya, sehingga dada itu serasa menjadi sesak.
“Baiklah” berkata Bango Samparan kemudian, “kau benar-benar tidak ingin mengetahui tentang nasibmu yang teramat baik. Aku tidak akan membuatmu kecewa. Sebagai tuan rumah aku akan berusaha membuat tamuku menjadi senang. Nah, sekarang, apakah yang akan kita bicarakan.”
Pertanyaan itu justru membuat Ken Arok terdiam. Tiba-tiba saja ia menjadi kaku dan setiep kali dadanya menjadi berdebar-debar tanpa sebab. Karena Ken Arok tidak segera menyahut, maka Bango Samparan bertanya pula,
“Apakah kau mempunyai kesenangan berbicara tentang sesuatu hal? Tentang kuda misalnya, atau tentang pusaka atau tentang kukila? Heh, bukankah seorang laki-laki harus memiliki beberapa kelengkapan kejantanannya? Kuda, pusaka, kukila, dan diantaranya wanita. Mana yang paling kau sukai di antara sembilan unsur yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki jantan. Seorang satria?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak ada satu pun. Kejantanan seseorang tidak terletak pada kelengkapan kesembilan unsur-unsur itu. Tetapi di sini, di dalam dada ini.”
Bango Samparan tertawa terkekeh-kekeh, “O, kau memang masih terlampau hijau. Apakah kau kira bahwa kesembilan unsur itu berbentuk wadag seperti namanya. Kuda misalnya. Apakah kau kira unsur ini benar-benar seekor kuda yang betapa pun baiknya? Tidak Ken Arok. Unsur ini adalah unsur gerak, dari seorang laki-laki. Tangkas dan lincah dalam menanggapi segala persoalan. Demikian juga unsur-unsur yang lain. Wanita misalnya. Bukan berarti seorang perempuan yang cantik seperti Permaisuri itu. Tidak, meskipun hal itu juga penting bagi seseorang. Tetapi eh, barangkali, aku sendiri kurang mengerti, maksudnya adalah sifat melayani, memelihara dan menjaga. Bukankah begitu?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ternyata Bango Samparan mengerti juga serba sedikit tentang berbagai macam sifat, yang pernah juga didengarnya. Tetapi terlampau banyak untuk mengingat-ingat sembilan macam kelengkapan seorang ksatria. Sehingga Ken Arok itu pun menjawab, “Ayah, aku tidak ingat lagi, apa saja kesembilan sifat yang harus dimiliki oleh seorang ksatria dengan melambangkannya atas berbagai macam ujud itu. Aku memang pernah mendengarnya pula dengan berbagai macam uraiannya. Tetapi bagiku, yang terlebih penting, bukanlah sifat-sifat yang dapat dilambangkan dengan berbagai macam ujud itu. Yang terpenting menurut seseorang yang paling aku percaya yang selama ini telah mem bimbing aku, sifat seorang ksatria adalah sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Tidak ada bedanya. Yaitu kasih. Kasih setulus bati kepada Sumber Hidupnya dengan segala macam penyerahan yang murni, dan kasih kepada sesama hidupnya. Itu saja. Tetapi yang dua itu adalah keseluruhan dari hidup ini. Hidup kita, hidup semesta sebagaimana ia dilahirkan.”
Bango Samparan mendengarkan kata-kata Ken Arok itu dengan mata tanpa berkedip. Sekali-sekali ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan sekali dahinya berkerut-merut. Ketika ia berpaling kepada isteri mudanya dan kemudian istri tuanya, tampaklah kesan kesungguhan di wajah mereka. Sedangkan Puranti yang kecil itu pun agaknya telah mencoba untuk mengerti kata-kata Ken Arok. Tetapi justru karena hatinya yang bening, maka agaknya ia cepat menangkap maksudnya meskipun secara naluriah.
Perlahan-lahan ia bertanya dengan ragu-ragu, “Kalau begitu, bukankah kita tidak boleh saling membenci?”
“Tepat” sahut Ken Arok, “kita tidak boleh saling membenci.”
“Aku juga tidak membenci” anak itu seolah-olah bergumam untuk dirinya sendiri, “tetapi kawankulah yang membenci aku karena aku anak ayah Bango Samparan. Kalau begitu mereka kurang baik menurut penilaian kakang Ken Arok. Bukankah begitu?”
“Ya, ya” Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sulitlah baginya untuk berkata lebih panjang lagi dihadapan gadis kecil itu. Ken Arok tahu bahwa anak-anak kawan Puranti itu pasti mendapat pesan dari orang tua masing-masing, supaya anak-anaknya tidak bermain-main dengan anak Bango Samparan. Ken Arok dapat mengerti sikap dan pendirian itu. Tetapi, tidak seharusnya mereka membenci pula Puranti.
Namun kecemasan mereka adalah wajar sekali, meskipun bukan itulah yang paling benar. Sebab dengan demikian. Di dalam hati mereka telah tumbuh pula kebencian Kebencian terhadap sesamanya yang sedang tersesat. Tetapi, adalah terlampau sulit untuk dapat menempatkan diri pada landasan yang benar seluruhnya, benar mutlak. Sebagaimana seharusnya mereka sama sekali tidak boleh membenci orang semacam Bango Samparan seperti tidak boleh membenci sesamanya. Justru mereka harus berbelas kasihan kepada mereka yang telah menempuh jalan sesat.
Dengan demikian bukan berarti bahwa kebenaran itu harus dilepaskan. Bukan berarti bahwa ada pengecualian dalam mengetrapkan kasih antara sesama. Apakah sesama itu seorang yang mulus seputih kapas, ataukah sesama itu telah berlumuran noda yang seolah-olah tidak terhapuskan. Kepada mereka yang telah tersesat itulah kita justru harus menunjukkan rasa kasih kita. Kita harus menumpahkan belas kasihan dan berusaha membimbing mereka. Bukan justru kita asingkan. Namun disadari, itu adalah warna tertinggi dari hidup yang sulit ini.
Ken Arok tersadar ketika ia mendengar Puranti berkata, “Kalau begitu, aku harus memberitahukan kepada mereka, bahwa mereka tidak boleh membenci aku, sebab aku pun tidak boleh membenci mereka. Selebihnya kita tidak boleh saling membenci."
“Ah” tiba-tiba isteri tua Bango Samparan berdesah, “bukan kau yang wajib memberi tahukan kepada mereka, Puranti. Mereka pasti tidak akan mendengarkannya."
“Bukan salahku ibu. Kalau mereka tidak mau mendengarkan, itu adalah salah mereka sendiri. Mereka tidak mau menerima petunjuk arah dari jalan mereka yang salah. Tetapi aku sudah mencoba.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Pikiran itu adalah pikiran anak-anak yang menarik garis lurus langsung dari kata-katanya tanpa mempertimbangkan pengaruh dan keadaan. “Itu baik Puranti” berkata Ken Arok, “tetapi kau tidak boleh kecewa kalau kata-katamu itu tidak mereka dengar, dan bahkan mungkin akan mereka tertawakan.”
“Tentu tidak” sahut gadis kecil itu, “tetapi itu akan lebih baik dari pada aku tidak mengatakan apapun kepada mereka.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan seperti ditujukan kepada diri sendiri, “Tetapi ada jalan lain yang lebih baik dari itu, lebih bermanfaat dan akan lebih cepat berhasil.”
Puranti mengerutkan keningnya, “Apakah jalan itu? Aku akan melakukannya apabila aku dapat.”
Ken Arok menggeleng, jawabnya, “Bukan kau yang harus melakukannya Puranti, tetapi ayah dan ibu.”
Sepercik pertanyaan membayang di wajah anak itu. Tanpa ditadarinya ditatapnya wajah ayahnya, ibunya dan ibu tuanya, seolah-olah ia ingin mendapat penjelasan dari orang tuanya. Bango Samparan menundukkan kepalanya, terlebih-lebih lagi isteri mudanya, yang seolah-olah ingin menyembunyikan wajahnya dari sentuhan lampu minyak yang berkeredipan dibelai angin.
“Apa yang harus dilakukan oleh ayah dan ibu-ibuku?” bertanya gadis kecil itu.
“Ayah dan ibu-ibumu sudah tahu Puranti” jawab Ken Arok.
Puranti menjadi semakin tidak mengerti. Dengan jujur ia bertanya, “Apakah ayah dan ibu sudah tahu?”
Bango Samparan mengangguk lemah.
“Kalau demikian kenapa ayah dan ibu tidak melakukannya sejak dahulu? Jika demikian aku pasti sudah mempunyai kawan. Aku tidak akan selalu bermain-main sendiri atau dengan ibu tua saja.”
Dada Bango Samparan terasa berdentang keras sekali. Sejenak ia diam membisu. Namun ia berpaling ketika di dengarnya isteri mudanya terisak.
“Ibu menangis?” bertanya Puranti.
Ibunya menggeleng, “Tidak Puranti.”
Puranti mengerutkan keningnya. Gadis kecil itu melihat setitik air mata di pelupuk mata ibunya yang tunduk. Ia mendengar isak yang tertahan. Tetapi ibunya berkata bahwa ia tidak menangis. Memang Puranti belum pernah melihat ibunya itu menangis. Perempuan itu terlampau garang baginya. Yang sering dilihatnya menangis adalah ibu tuanya. Tetapi kali ini ibu tua itu malah tidak menangis. Yang menangis adalah ibu mudanya, ibunya sendiri.
Sejenak ruangan dalam rumah Bango Samparan yang kotor itu menjadi sepi. Yang terdengar adalah isak dan nafas isteri muda Bango Samparan yang serasa memburu di dadanya. Ken Arok sendiri duduk sambil menundukkan kepalanya. Tetapi ia merasakan pergolakan yang terjadi di setiap dada mereka yang berada di dalam ruangan itu. Diam-diam ia merasa syukur, bahwa kedatangannya dapat menumbuhkan suatu perkembangan yang baik di dalam rumah ini. Menilik sikap mereka saat ini, maka sepercik penyesalan telah melonjak di dalam setiap dada mereka yang merasa bersalah. Bahkan Ken Arok yakin, bahwa anak-anak Bango Samparan yang lain pun pasti akan mempertimbangkan peristiwa yang siang tadi telah terjadi.
Sementara itu, maka malam pun merambat semakin dalam. Di kejauhan terdengar suara burung hantu seolah-olah memekik-mekik disela-sela derik cengkerik yang berkepanjangan. Kediaman di dalam rumah Bango Samparan itu pun kemudian dipecahkan oleh Puranti yang menguap sambil berkata kepada isteri tua Bango Samparan, “Aku sudah mengantuk ibu.”
“O” sahut ibu tua, “baiklah kau tidur Puranti.”
“Apakah ibu akan berceritera seperti kemarin tentang seorang pangeran yang berpura-pura dungu?”
Isteri tua Bango Samparan tersenyum. Jawabnya, “Tidak Puranti. Hari telah larut malam. Sebaiknya kau segera tidur saja. Kalau aku berceritera, kau selalu bertanya-tanya, sehingga dengan demikian kau tidak tidur-tidur juga.”
“Tetapi aku senang mendengar ceritera itu ibu, atau barangkali ceritera yang lain? Seorang gembala yang kawin dengan puteri raja dan kemudian menjadi raja meskipun ia bukan keturunan raja?”
“Ah” sahut ibunya. Sedang Ken Arok pun menarik nafas dalam-dalam.
“Bukankah gembala itu membunuh seorang raja muda yang seharusnya menjadi suami puteri raja itu?”
“Tidurlah” potong ibu tua.
Puranti sejenak memandang berkeliling. Ketika dipandanginya ayahnya, maka Bango Samparan itu pun berkata, “Tidurlah.”
“Ya tidurlah” sambung ibu muda.
Puranti menguap sekali lagi, lalu katanya, “Aku akan tidur.”
Perlahan-lahan Puranti berdiri, kemudian melangkah ke dalam biliknya. Direbahkannya dirinya di atas pembaringannya, sebuah amben bambu yang dialasi dengan sebuah tikar yang telah lusuh dan sobek. Tetapi Puranti tidak memperhatikannya lagi. Setiap malam ia tidur di amben itu. Kadang-kadang bersama isteri tua Bango Samparan. Tetapi kadang-kadang ibu tuanya itu tidak berani masuk dan tidur di serambi belakang. Purantilah yang kadang-kadang mencari ibu tua itu dan tidur bersamanya di serambi belakang, apabila ibunya sendiri sedang marah-marah.
Sepeninggal Puranti, maka yang lain-lain pun telah mulai dirayapi kantuk pula! Ken Arok yang agak lelah telah tidak bernafsu lagi bercakap-cakap lebih lanjut. Karena itu, maka katanya, “Aku minta diri untuk beristirahat ayah. Aku sudah terlalu lelah.”
“O, baik, baiklah” tetapi kemudian Bango Sampar an itu mengerutkan keningnya, “dimana kau akan tidur?”
Sudah tentu Ken Arok tidak dapat menjawab pertanyaan itu sehingga untuk sejenak ia terdiam, bahkan menjadi agak bingung.
“O, seharusnya akulah yang menunjukkan tempat untukmu” dengan tergesa-gesa Bango Samparan menyambung, “tetapi aku juga tidak tahu, apakah ada tempat untukmu.”
“Ah” Ken Arok menyahut, “jangan ribut. Aku dapat tidur dimana saja.”
“Tetapi kau tamu disini.”
“Aku pernah menjadi penghuni rumah ini. Aku dapat tidur disini.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah” katanya, “tidurlah disini.”
Sesaat kemudian Ken Arok telah ditinggalkan sendiri di tempatnya. Bango Samparan sendiri pergi keluar rumah dan tidur di emper depan di atas jerami kering, setelah menyingkirkan lampu minyak dan meletakkannya pada ajuk-ajuk di sudut ruangan. Ken Arok membaringkan dirinya ketika ayam jantan terdengar berkokok untuk yang pertama kalinya.
“Tengah malam” desisnya. Namun justru setelah ia berbaring maka kantuknya seolah terusir dari dirinya. Tetapi, dalam pada itu, kenangan dan angan-angannyalah yang membubung tinggi menyelusuri bintang-bintang dilangit. Tiba-tiba ia menggeretakkan giginya ketika terbayang wajah Permaisuri Tumapel yang pernah dilihatnya memancarkan nyala dari tubuhnya.
“Hem” ia berdesah. Tetapi bayangan itu justru menjadi semakin nyata di pelupuk matanya. Bahkan seolah-olah mencengkamnya dalam satu pesona yang tidak mungkin dihindarinya lagi.
Ketika Ken Arok mencoba memejamkan matanya, maka bayangan itu menjadi semakin jelas. Wajahnya semakin nyata dalam warna yang cemerlang. Dan tiba-tiba seperti di dalam mimpi ia mendengar Permaisuri itu bertanya kepadanya, “Apakah kau akan berceritera tentang seorang pangeran yang berpura-pura dungu?”
Ken Arok menjadi bingung. Namun bayangan itu berkata pula sejelas ia mendengar suara kokok ayam di kejauhan, “Atau barangkali ceritera yang lain? Ceritera tentang seorang gembala yang kawin dengan puteri raja dan kemudian menjadi raja meskipun ia bukan keturunan raja.”
Ken Arok menggeram. Tiba-tiba ia berbalik menelungkupkan dirinya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tetapi bayangan itu masih jelas dilihatnya. Tetapi kini yang didengar adalah suara yang lain. Suara yang seolah-olah bergema di langit yang luas, “Nasibmu terlampau baik Ken Arok. Nasibmu memang terlampau baik.”
Kegelisahan dihati Ken Arok tiba-tiba mcmanjat sampai keubun-ubun. Dikatubkannya bibirnya rapat-rapat dan ditutupnya telinganya dengan kedua ujung jari telunjuknya. Namun suara itu kini serasa melingkar-lingkar di dalam dadanya, “Nasibmu memang terlampau baik. Nasibmu memang terlampau baik.”
Dan menggema pulalah suara kecil, “Apakah hanya keturunan raja saja yang dapat menjadi seorang raja?”
“Oh, gila, gila” Ken Arok menggeram. Tiba-tiba ia bangkit dan duduk sambil menggeretakkan giginya.
Ketika ia memutar pandangan matanya, maka ruangan itu seolah-olah ditabiri oleh warna hitam yang kelam. Dari dalam bilik di samping ruangan itu membayang warna lampu minyak yang kemerah-merahan. Agaknya lampu di dalam ruangan itu telah padam.
“Hem” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia telah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya. Ia tidak akan dapat ingkar lagi. Bahwa sebenarnyalah ia telah jatuh hati kepada Permaisuri Ken Dedes. Perasaan itu telah mencengkam perasaannya tanpa dapat dilawannya lagi. Kepergiannya dari Tumapel adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari perasaan yang akan berlarut-larut memukau hatinya. Tetapi agaknya ia tidak dapat lagi menghindar kemana saja ia pergi.
“O, kenapa ujung-ujung senjata Panji Bawuk tidak me robek dadaku saja, sehingga aku akan terlepas dari perasa an ini? Aku akan terlepas dari pengkhianatan meskipun baru di dalam angan-angan. Karena Ken Dedes adalah isteri Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, isteri junjunganku. Aku tidak akan dapat berbuat apapun seandainya Ken Dedes itu sekedar isteri seorang kawanku, bahkan isteri bawahanku sekalipun, karena perbuatan demikian adalah perbuatan yang terkutuk.
Apalagi ia adalah seorang Permaisuri tempat aku menghambakan diri. Lebih dari pada itu, Tunggul Ametung lah yang telah mengambil aku dari dalam lumpur kehinaan dan hitam pekat, yang seakan-akan telah memindah aku dari rumah semacam ini keistana Tumapel yang megah. Bahkan Tunggul Ametung telah pernah pula menyelamatkan nyawaku, ketika aku membuka susukan induk di Padang Karautan, ketika bendungannya sedang dihantam banjir.
Hampir-hampir Ken Arok tidak dapat menahan diri lagi untuk tetap berada di tempatnya. Seakan-akan sesuatu telah mendorongnya untuk pergi meninggalkan rumah itu, mengembara menyelusuri jalan-jalan padesan yang gelap. Mencari-cari persoalan untuk melupakan Ken Dedes dari angan-angannya. Ternyata pertanyaan Puranti yang kecil itu telah menuntunnya ke dalam angan-angan yang semakin menakutkan baginya, Meskipun Ken Arok sadar, bahwa gadis itu sama sekali tidak bersalah, karena tanpa kesengajaan ia mengucapkan pertanyaan yang tersimpan di dalam hatinya dengan kejujurannya yang bersih.
“Aku harus dapat melawan perasaan ini”, sekali lagi Ken Arok menggeram sambil membantingkan dirinya berbaring di lantai beralaskan sebuah tikar yang kumal.
Dengan sekuat tenaganya ia telah melawan perasaan yang tiba-tiba saja tumbuh. Tetapi betapa sulitnya. Bahkan tiba-tiba terngiang di kepalanya suara itu lagi, “Seandainya Tunggul Ametung sudah tidak ada.”
Ken Arok hampir saja berteriak. Untunglah tangannya secara naluriah telah membungkam mulutnya sendiri, sehingga ia tidak mengejutkan seisi rumah di malam yang larut itu. Tetapi tiba-tiba Ken Arok mendengar sesuatu berderik di pintu ruangan itu. Semakin lama semakin jelas. Dengan matanya yang tajam yang seakan-akan mampu menembus kegelapan ia melihat daun pintu lereg itu bergerak-gerak.
“Ada seseorang di pintu itu” desisnya.
Tetapi sejenak kemudian suara itu diam. Daun pintu itu pun diam pula. Sesaat Ken Arok dapat melupakan angan-angannya tentang Ken Dedes. Sepercik kecurigaan telah melonjak di dalam dadanya. Seolah-olah seseorang telah berusaha membuka pintu dan berusaha masuk dengan diam-diam. Dengan demikian mika Ken Arok pun justru berdiam diri pula. Ia sama sekali tidak bergerak. Hanya tangannya sajalah yang dituntun eleh naluri keprajuritannya, meraba hulu pedangnya yang terletak di sisinya.
Ketika sekali lagi pintu itu berderik-derik lambat, maka Ken Arok pun menjadi semakin diam. Diaturnya jalan nafas mya, sehingga seolah ia telah tidur nyenyak. Perlahan-lahan pintu itu bergerak-gerak. Semakin lama semakin nyata bahwa pintu itu sudah mulai terbuka.
“Pintu itu memang tidak diselarak, karena Bango Samparan tidur di luar.” desis Ken Arok di dalam hatinya, “tetapi siapakah yang akan masuk dengan diam-diam ini?”
Daun pintu itu semakin lama menjadi semakin terbuka lebar. Bayangan gelap malam yang hitam, telah memulas sesoyok tubuh yang berdiri di muka pintu yang kini telah terbuka itu. Hitam. Hitam seperti bayangan hantu yang perlahan-lahan hendak menerkamnya Tetapi ternyata mata Ken Arok benar-benar bermata yang tajam. Meskipun ia tidak membuka matanya sepenuhnya, tetapi segera ia mengenal orang yang kini telah melangkah masuk seperti seorang pencuri itu, Panji Bawuk.
Kecurigaan di dalam dada Ken Arok menjadi semakin melonjak. Hampir saja ia meloncat dan memilin leher Panji Bawuk. Namun tiba-tiba niat itu diurungkannya. Dibiarkannya Panji Bawuk melangkahi tlundak pintu. Suatu pergolakan yang dahsyat telah terjadi di dalam dada Ken Arok. Tiba-tiba ia terdorong kedalam suatu pikiran Sang aneh. Seandainya Panji Bawuk berniat buruk, maka tanggapan Ken Arok atas hal itu dipengaruhi oleh kegelapan pikirannya.
“Apakah Panji Bawuk akan menjadi lantaran, membebaskan aku dari pengkhianatan ini?”
Dengan demikian maka Ken Arok tidak segera dapat mengambil sikap. Meskipun tangan kanannya telah menggenggam hulu pedang di bawah kain panjangnya, namun ia tidak segera dapat bertindak. Keragu-raguan yang membayangi perasaannya telah membuatnya diam tanpa dapat berbuat sesuatu. Sementara Panji Bawuk melangkah semakin lama semakin dekat.
Tetapi nalar Ken Arok ternyata benar-benar telah dikaburkan oleh kebingungan yang mencekam dadanya. Di dalam hatinya ia berkata, “Agaknya akan lebih baik bagiku, apabila aku sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melakukan, bahkan berangan-angan tentang pengkhianatan itu.”, Namun tiba-tiba pertanyaan yang lain tumbuh di hatinya, “Tetapi apakah cara ini adalah cara yang sebaik-baiknya?”
Selagi Ken Arok dilanda oleh kebimbangan, sebelum ia menemukan keputusan terakhir, Panji Bawuk telah berdiri disisinya. Perlahan-lahan anak sulung Bango Samparan itu berjongkok di samping Ken Arok. Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Begitu dahsyat pergolakan terjadi di dalam hatinya, sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Tetapi betapapun juga, ternyata bahwa ia tidak akan dapat membiarkan sesuatu atas dirinya. Nalurinyalah yang memaksanya untuk bersiaga meskipun tampaknya ia masih saja berbaring diam. Tetapi apabila ia memerlukan untuk menyelamatkan dirinya, maka dengan melentingkan tubuhnya ia pasti akan terhindar dari bahaya.
Tetapi setelah sesaat Ken Arok menunggu, Panji Bawuk tidak melakukan sesuatu. Dilihatnya anak muda itu berjongkok di dalam kegelapan sambil menekurkan kepalanya. Dan tanpa diduga-duga oleh Ken Arok Panji Bawuk itu kemudian duduk di lantai di samping tempatnya berbaring. Keheranan yang tajam telah melanda dinding jantung Ken Arok. Ia masih berpura-pura memejamkan matanya, meskipun ia dapat melihat dari sela-sela pelupuk matanya, Panji Bawuk yang duduk tepekur di sampingnya.
Akhirnya Ken Arok lah yang tidak sabar menunggu. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya dalam nada yang dalam sambil berpura-pura menggeliat, “He, siapakah kau?”
Panji Bawuk terkejut sehingga ia bergeser surut. “Maafkan aku kakang, apakah aku mengejutkan kau?”
Perlahan-lahan Ken Arok bangkit. Namun ia cukup waspada untuk menghadapi setiap kemungkinan yang tiba-tiba sekalipun. “Kenapa kau berada disitu?”
“Ya, aku sudah lama duduk di sini” jawab Panji Bawuk.
Hampir saja Ken Arok membatahnya. Tetapi segera di urungkannya niatnya. Bahkan ia bertanya, “Apakah maksudmu menunggui aku tidur disini?”
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia ragu-ragu, namun kemudian ia berkata perlahan-lahan, “Kakang. Aku melihat betapa nyenyaknya kau tidur. Tetapi aku sama sekali tidak dapat memejamkan mata barang sekejappun.”
Ken Arok memandangi wajah Panji Bawuk dengan sorot mata keheranan. Ia tidak segera menangkap maksud anak Bingo Samparan itu. Tetapi ia melihat bahwa mata Panji Bawuk yang liar itu kini telah menjadi padam.
“Agaknya perasaan kakang telah semeleh, sehingga semuanya telah menjadi bersih seperti air yang memancar dari sumbernya.”
Ken Arok masih belum tahu benar maksud Panji Bawuk. Namun yang jelas baginya adalah, bahwa Panji Bawuk itu sama sekali tidak bermaksud jahat kepadanya. “Aku ternyata masih juga dikuasai oleh prasangka yang berlebih-lebihan” berkata Ken Arok di dalam hatinya, “tetapi terhadap anak sebuas Panji Bawuk, sudahlah sepantasnya aku selalu berhati-hati.”
Namun yang ditanyakannya adalah, “Apakah maksudmu Panji Bawuk?”
Panji Bawuk tidak segera menjawab. Namun tatapan matanya serasa menjadi semakin dalam.
“Apakah kau mendendam?” bertanya Ken Arok kemudian.
Panji Bawuk menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak. Tiba-tiba saja aku kehilangan segala macam nafsu dendamku. Aku berterima kasih kepadamu kakang.” Panji Bawuk berhenti sejenak, lalu, “Tetapi dengan demikian aku melihat betapa kotornya diriku. Apakah aku masih sempat untuk menikmati ketenteraman hati dan tidur nyenyak seperti kau? Aku tahu, bahwa kau pun pernah mengalami masa-masa penuh dengan noda-noda hitam. Tetapi kini kau menjadi seolah-olah tanpa cacad. Kau menjadi seputih warna kapas. Itulah sebabnya kau dapat tidur nyenyak. Tetapi aku tidak. Aku merasa diburu oleh semua kesalahan yang pernah aku lakukan. Serasa setiap wajah mereka yang pernah aku lukai apalagi yang terbunuh dalam pertengkaran-pertengkaran selalu membayangiku malam ini.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Panji Bawuk itu. Sehingga dengan serta-merta ia menyahut, “Itu pertanda baik buat hari depanmu Panji Bawuk. Penyesalan memang menumbuhkah persoalan di dalam dirimu. Kalau kau dapat menanggapi dengan baik, maka kau akan terdorong kembali ke jalan yang lurus.”
“Tetapi aku tidak dapat meletakkan diri seperti kau. Kau dapat tidur nyenyak dan menyingkirkan segala macam dendam dan nafsu. Kau dapat mengekang dirimu untuk tidak membunuh aku dan adik-adikku. Kau dapat mengekang segala macam nafsu lahiriahmu dan bahkan seolah-olah dari dalam dirimu memancar cahaya terang, yeng menerangi jalanku, adik-adikku dan mungkin juga ibu dan ayahku. Apakah aku juga dapat melakukannya?”
Terasa dada Ken Arok bergetar semakin dahsyat. Justru kini ia merasa, bahwa kebersihan hatinya selama ini telah berhasil dicapainya sedikit demi sedikit sedang teruji. Justru ketika ia berhasil mengangkat keluarga Bango Samparan ke tempat yang bersih, ia sendiri mulai terseret kedalam arus nafsu lahiriah akan dapat menodai hidupnya.
Dan seperti guruh di langit ia mendengar Panji Bawuk berkata, “Kesempatan untuk membersihkan dirimu itulah ciri dari nasibmu yang paling baik kakang.”
Ken Arok mengatupkan giginya rapat-rapat. Kali inipun ia sadar, bahwa tidak ada kesengajaan Panji Bawuk untuk mengorek perasaannya. Agaknya anak muda itu benar-benar melihatnya berhati bersih seperti yang baru saja dipertunjukkannya. Tetapi Panji Bawuk tidak melihat bahwa telah terjadi kemelut yang panas membakar rongga dadanya.
“Kakang” terdengar lagi suara Panji Bawuk, “apakah aku mempunyai kesempatan sebaik kakang pula.”
“Ya, ya” suara Ken Arok tergagap, “semua orang mempunyai kesempatan serupa. Kau pun mempunyai kesempatan seperti aku.”
“Mudah-mudahan” Panji Bawuk seakan-akan berbisik kepada diri sendiri, “mudah2an aku mendapat kesempatan itu, dan mudah-mudahan aku tidak dapat terseret lagi ke dalam nafsuku yang tidak terkendali/” Panji Bawuk berhenti sejenak, lalu tiba-tiba, “Kakang, kakang. Aku tidak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri. Apakah aku akan dapat memegang teguh kesadaran ini.”
Terasa dada Ken Arok menjadi semakin tegang.
“Aku akan selalu cemas, bahwa pada suatu saat ke sadaran yang telah tumbuh ini akan menjadi semakin pudar dan akhirnya padam sama sekali sehingga aku akan terseret lagi kelam duniaku yang hitam seperti ini.”
Jantung Ken Arok serasa berdentangan semakin keras. Tetapi ia masih menjawab, “Kau harus selalu berusaha menjadi dirimu Panji Bawuk. Kau harus selalu ingat, bahwa kau pernah bangkit dari dalam lumpur,” Ken Arok berhenti sesaat, kemudian, “sudahlah. Besok kita berbicara lagi. Sekarang aku ingin beristirahat.”
Panji Bawuk naengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, beristirahatlah. Kau akan tidur lagi dengan nyenyak dan aku akan tetap seperti keadaanku. Aku tidak tahu, apakah perasaanku akan gelisah seperti saat ini untuk waktu yang lama.”
“Kalau kau ikhlas, kau akan tidur dengan nyenyak.”
“Aku ikhlas. Ikhlas sekali Ken Arok. Tetapi aku adalah seorang yang berhati lemah, seperti yang telah aku katakan. Mungkin pada suatu ketika aku akan terseret dalam arus yang dahsyat, yang tidak dapat aku tahankan lagi sehingga hidupku seperti ini akan terulang, dan bahkan menjadi semakin parah.”
“Itu tergantung kepadamu sendiri” potong Ken Arok dengan nada semakin tinggi.
Panji Bawuk terkejut mendengar jawaban itu. Tetapi kemudian diendapkaanya hatinya. Mungkin perasaannya sajalah yang membuat telinganya menangkap suara Ken Arok itu terlampau keras. Sehingga kemudian sekali lagi ia berkata, “Hatiku terlampau lemah Ken Arok. Hatiku terlampau lemah.”
Suara itu terngiang di telinga Ken Arok seperti suara ribuan lebah yang berputar-putar di telinganya, sehingga hatinya pun menjadi semakin gelisah. Suara itu seolah-olah telah menyentuh dinding hatinya sehingga semakin lama semakin sering. Sehingga Ken Arok menjadi ketakutan, bahwa ribuan lebah.itu nanti akan menyengatnya bersama-sama.
Sehingga akhirnya Ken Arok itu berkata semakin keras, “Pergi, pergilah. Aku akan beristirahat.”
Debar jantung Panji Bawuk menjadi semakin keras. Setapak ia bergeser surut. Katanya, “maaf, aku telah mengganggumu Ken Arok. Bukan maksudku. Aku hanya ingin mencari ketenteraman didekatmu, karena seolah-olah kau memiliki suatu tenaga yang gaib, yang dapat mempengaruhi perasaanku. Di luar aku merasa dadaku terlampau panas. Tetapi di sini aku merasakan kesejukan yang memancar dari hatimu yang putih. Mudah-mudahan aku akan selalu ingat pesanmu, supaya aku tidak terperosok lagi ke dalam dunia yang penuh dengan kutukan ini. Semoga aku akan selalu ingat kepada seorang yang telah berhasil melepaskan dirinya dari dunia yang kelam, dan bahkan telah menemukan kebersihan hati yang tidak ternilai.” Panji Bawuk berhenti sejenak. Dadanya menjadi merasa semakin lapang setelah semakin bentak ia menyatakan isi hatinya, “Mudah-mudahan pula aku dapat menghindarkan diri dari ketakutan ini, bahwa suatu ketika aku akan kehilangan akal. Kalau aku melihat harta benda yang tertumpuk, melihat lingkaran perjudian, melihat apa saja yang dapat menggoncangkan ketabahan hatiku, aku akan selnlu ingat kepadamu. Juga apabila aku dijerat oleh kelemahan perasaanku yang paling parah, yaitu wanita cantik. Mudah-mudahan aku dapat menghindarkan diri dari perbuatan terkutuk itu.”
“Cukup, cukup.” tiba-tiba Ken Arok memotong keras-keras, sehingga Panji Bawuk terperanjat bukan buatan. Sejenak ia terdiam sambil memandangi Ken Arok dengan mulut ternganga.
Tetapi sejenak kemudian Panji Bawuk menjadi heran. Ia mendengar Ken Arok itu berkata terbata-bata, “Maafkan aku Panji Bawuk.”
Sementara itu seseorang meloncat masuk ke dalam ruangan itu dengan sigapnya. Dengan cemas orang itu yang tidak lain adalah Bango Samparan, bertanya, “apakah yang terjadi?” Kemudian, “He, apakah kau berbuat gila Panji Bawuk?
Panji Bawuk masih duduk ditempatnya. Ken Arok yang kemudian berdiri menjawab dengan serta-merta, “Tidak. Tidak ayah.”
Tetapi Bango Samparan masih tetap berdiri di tempatnya. Sebentar kemudian, dari ruangan dalam, isteri muda Bango Samparan datang dengan membawa lampu minyak.
“Kenapa dengan kalian?” bertanya isteri muda Bango Samparan yang terkejut pula mendengar suara Ken Arok. Bahkan bukan saja isteri mudanya, tetapi juga isteri tua Bango Samparan. Ketika adik Panji Bawuk pun ternyata terbangun juga dan melihat apa yang terjadi itu dari sela-sela pintu. Sedang Puranti masih juga tidur dengan nyenyaknya.
“Kau berbuat gila Panji Bawuk?” ulang Bango Samparan.
“Tidak ayah” sekali lagi Ken Arok lah yang menyahut.
“Biarlah anak setan itu menjawabnya” potong Bango Samparan, “apakah kau tidak menyadari keadaanmu? Untunglah bahwa Ken Arok tidak sebuas kau atau aku atau adik-adikmu.”
Panji Bawuk tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah ayahnya dengan pasrah. Seolah-olah ia sudah tidak berhasrat lagi untuk membela dirinya.
“Kenapa kau menjadi begitu gila?” ayahnya masih membentak.
“Anak itu tidak berbuat apa-apa, ayah” sekali lagi Ken Arok mencoba menjelaskan.
“Aku tidak bertanya kepadamu” potong Bango Samparan, “tetapi jangan dikira aku tuli. Aku terbangun karena suara ribut. Aku mendengar kau membentak. Pasti Panji Bawuk telah berbuat gila. Ia ingin melepaskan dendamnya selagi kau tidur.”
“Sama sekali tidak” Ken Arok membantah, “ayah salah tangkap.”
“Jangan kau lindungi anak yang gila itu.” Bango Samparan menjadi semakin marah, “kau cukup memaafkannya satu kali. Karena ia masih mencoba membunuhmu, maka tidak ada alasan lagi untuk memhebaskannya dari hukumannya yang kau kehendaki.”
“Apakah maksud ayah supaya aku melakukannya sehingga tuntas. Supaya tidak ada persoalan lain dikemudian hari?” bertanya Ken Arok.
Pertanyaan itu ternyata telah membuat Bango Samparan terdiam. Sejenak ia merenungi wajah Ken Arok, kemudian meloncat ke wajah anaknya, Panji Bawuk, yang muram, dan wajah isteri mudanya yang cemas. Karena Bango Samparan tidak segera menyahut, maka Ken Arok berkata kepada Panji Bawuk, “Berdirilah. Ber dirilah.”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berdiri perlahan-lahan. Hatinya merasa telah menjadi kosong. Tetapi sikap Panji Bawuk itu benar-benar telah membuat Ken Arok menjadi heran. Anak itu sama sekali tidak membantah. Tidak memhela dirinya dan tidak berteriak-teriak atau tertawa menyakitkan hati. Anak muda itu tiba-tiba menjadi pendiam, tetapi perlahan-lahan menemukan jalan lurus yang menuju ke dunia yang terang.
Ketika Panji Bawuk telah berdiri, maka berkatalah Ken Arok, “Lihat ayah. Anak itu sama sekali tidak membawa senjata. Kalau ia ingin membunuhku, maka pasti ia membawa alat itu. Ia sadar, bahwa aku mempunyai kelebihan dari padanya. Karena itu, maka ia tidak akan datang dengan tangan hampa, dan tidak dalam sikap seperti itu.”
Bango Samparan mengerutkan dahinya. Memang agaknya Panji Bawuk tidak membawa senjata apapun. Tempat di sekitar tikar yang masih terbentang itu pun sama sekali tidak menunjukkan hal-hal yang pantas dicurigainya. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Lalu apa maksudmu datang kemari Panji Bawuk?”
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ditatapnya. wajah Ken Arok Lalu lambat-lambat ia menjawab, “aku ingin minta maaf kepada kakang Ken Arok ayah.”
Jawaban itu pun terdengar aneh di telinga Bango Samparan. Panji Bawuk tidak pernah berkata sesareh dan sedalam itu. Meskipun demikian ia masih bertanya, “Tetapi kenapa kau telah membuat Ken Arok marah dan membentak-bentak sehingga aku terhangun karenanya?”
Panji Bawuk tidak segera menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Ken Arok, seolah-olah suatu permintaan kepadanya, supaya ia menjawab pertanyaan itu. Agaknya Ken Arok pun menanggapinya. Maka katanya, “Aku tidak marah. Memang bukan maksudku membentak-bentaknya. Tetapi aku hanya sekedar terkejut. Mungkin aku masih dibayangi oleh kecemasanku di siang tadi, sehingga tiba-tiba saja aku meloncat dan berteriak-teriak. Tetapi Panji Bawuk menang tidak berbuat sesuatu selain duduk di samping tikar tempat aku tidur.”
Keheranan masih saja membayang di wajah Bango Samparan. Tetapi ia mulai dapat mempercayainya. Ia memang melihat perubahan yang terjadi pada anak sulungnya. Bukan sekedar perubahan sikap lahiriah, tetapi perubahan itu agaknya memang terjadi di dalam dirinya. Di dalam hatinya. Karena itulah, maka ia kemudian percaya bahwa sebenarnya Panji Bawuk memang tidak berbuat sesuatu.
Karena itu maka katanya kepada anaknya, “Kalau memang begitu Panji Bawuk, sebaiknya kau tidak mengganggunya sekarang. Besok kau masih dapat bertemu dengan Ken Arok, sehingga kau tidak membuatnya terkejut.”
Panji Bawuk mengangguk lemah. Jawabnya benar-benar membuat Bango Samparan heran, “Ya ayah, aku menyesal bahwa aku telah mengganggu kakang Ken Arok.”
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Anak ini tiba-tiba saja menjadi seorang anak yang terlampau baik. Mudah-mudahan tidak hanya sekedar memulas diri.”
“Baiklah aku kembali ke tempatku” berkata Panji Bawuk kemudian, “malam masih cukup panjang.”
Bango Samparan mengangguk, “Ya, tidurlah. Aku pun akan tidur pula.”
Maka Panji Bawuk, Bango Samparan, isterinya dan anak-anaknya yang mengintip di luar pintu pun segera kembali ke pembaringannya masing-masing. Ken Arok pun merebahkan dirinya pula dan mencoba memejamkan matanya. Tetapi, ternyata bukan Panji Bawuk lah yang tidak dapat memejamkan matanya sama sekali, karena pada saat itu Panji Bawuk sambil menarik nafas panjang-panjang bergumam di dalam dirinya, “Aku harus ikhlas menghadadi semua persoalan. Aku harus merasakan hidupku seolah-olah baru mulai. Dan aku harus mencoba menemukan kepercayaan kepada diri sendiri, bahwa aku akan melawan segala godaan yang akan menyeret aku kembali ke jalan yang sesat.”
Panji Bawuk itu seolah-olah telah menumpahkan semua yang menyumbat dadanya, sehingga nafasnya serasa menjadi pepat. Tetapi kini dadanya serasa menjadi lapang, setelah semuanya ditumpahkannya kepada Ken Arok. Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, justru menjelang fajar, maka Panji Bawuk itu telah mendengkur di belakang kandang, di atas jerami kering.
Tetapi pada saat itu Ken Arok lah yang menggeretakkah, giginya. Justru ia kini menjadi terlampau gelisah, seakan-akan ia tidak mampu lagi bertahan untuk berbaring terus sampai pagi. Bahkan nafasnya pun kemudian terasa menjadi sesak. Kepalanya pening dan nalarnya menjadi seolah-olah tidak dapat bekerja dengan wajar.
“Apakah setan-setan Karuman telah meninggalkan hati setiap orang di rumah ini dan kini justru berramai-ramai masuk ke dalam hatiku.” Ken Arok menggeram di dalam hatinya.
Begitu tajam kegelisahan menghentak-hentak dadanya, sehingga tanpa sesadarnya Ken Arok telah menekan dadanya itu dengan kedua telapak tangannya, seolah-olah menahan agar dada itu tidak meledak. Tetapi ia benar-benar tidak dapat menghindar lagi. Bayangan Ken Dedes benar-benar membuatnya gila. Semakin lama justru menjadi semakin membayang. Bahkan serasa benar-benar kasat mata, cahaya yang memancar dari tubuh perempuan itu menerangi hatinya.
“O, gila, gila” Ken Arok mengeluh., “Aku harus melawan semua godaan iblis ini. Aku harus melawan.
Sehingga kemudian Ken Arok pun terpaksa bergulat melawan perasaannya sendiri, betapapun beratnya. Ia tidak dapat memaksa matahari segera terbit sehingga ia dapat berbuat sesuatu untuk melupakan perasaanya itu. Tetapi selagi ia masih harus berbaring diam, maka angan-angannya sama sekali tidak akan dapat dikendalikannya. Dan setiap kali terngiang di telinganya suara Bango Samparan, suara Panji Bawuk, suara ibu Panji Bawuk dan suara lain yang pernah didengarnya, “Nasibmu memang terlampau baik Ken Arok.”
“Apakah salahku kalau aku mempunyai nasib terlampau baik” tiba-tiba ia didorong oleh angan-angannya, “bahkan seandainya nasibku yang baik itu telah menyeretku menjadi seorang Senapati misalnya, atau bahkan menjadi seorang Akuwu atau Panglima perang Kerajaan Kediri, atau bahkan menjadi seorang Maharaja? Tidak, aku kira itu bukan salahku. Sudah sepantasnyalah seseorang mempunyai cita-cita. Aku pun seharusnya mempunyai cita-cita. Cita-cita yang harus aku perjuangkan. Aku masih cukup muda. Hari depanku masih panjang. Kalau aku terlampau puas dengan keadaanku sekarang, maka aku tidak akan mencapai sesuatu apapun.”
“Tetapi aku telah menjadi gila” Ken Arok berteriak di dalam hatinya, “aku boleh berangan-angan tentang cita-cita. Aku boleh mimpi menjadi seorang Akuwu bahkan seorang Maharaja, tetapi aku tidak boleh berangan-angan untuk melakukan pengkhianatan. Tidak. Perempuan cantik itupun tidak boleh aku khianati hanya karena tubuhnya menyala, pertanda bahwa ia akan mendatangkan derajat yang paling tinggi.”
Ketika pergolakan semakin dahsyat terjadi di dalam dada Ken Arok, maka ia tidak dapat lagi bertahan berbaring ditempatnya. Tiba-tiba saja ia bangkit sambil menarik nafas dalam-dalam. Sambil menyilangkan tangannya di muka dadanya ia duduk tepekur. Ia berusaha untuk membuat angan-angannya menjadi bening, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Seolah-olah kepalanya menjadi makin keruh oleh beribu macam persoalan yang akhirnya berpusar kepada seraut wajah yang cantik, Ken Dedes. Akhirnya Ken Arok tidak dapat bergulat lebih lama lagi. Ia tidak lagi mampu bertahan. Sehingga kemudian ia pun tenggelam dalam angan-angannya yang melambung, seorang perempuan yang serasa melekat di rongga matanya.
Perlahan-lahan Ken Arok berdiri. Masih juga didengarnya suara hatinya yang bening, “Persetan. Iblis Karuman benar-benar telah melepaskan Panji Bawuk dan keluarganya, dan kini menerkam aku tanpa memberi kesempatan untuk membela diri.”
Tetapi, suara itu terlampau lemah. Hanya kadang-kadang ia berhasil menghentakkan dirinya sesaat. Namun kemudian mimpi yang paling indah itu telah memeluknya meskipun ia tidak sedang tidur. Tanpa sesadarnya, kakinya telah menyeretnya ke pintu, perlahan-lahan ia membuka pintu itu dan melangkah tlundak, keluar ruangan ternyata halaman rumah Bango Samparan yang kotor masih disaput oleh kelamnya malam yang keputih-putihan karena kabut pagi. Namun, ketika Ken Arok menengadahkan wajahnya, ia melihat cahaya kemerah-merahan membayang di ufuk Timur.
Di kejauhan didengarnya suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan merambat dari satu kandang ke kandang yang lain. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, serasa seluruh udara Karuman akan dihisapnya. Ketika ia melepaskan nafasnya maka dadanya menjadi terlampau lapang. Di atas sebuah anyaman belarak, ia melibat Bango Samparan tidur dierami. Nyenyak sekali. Dengkurnya berbunyi teratur, seperti suara nafas anak-anak yang belum disentuh dosa. Tetapi tiba-tiba Ken Arok itu terkejut. Telinganya yang tajam telah menangkap suara yang aneh baginya. Suara hiruk pikuk di kejauhan.
“Masih terlampau pagi. Suara apakah itu?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Sejenak ia berdiri diam. Dadanya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia semakin yakin akan pendengarannya. Tanpa sesadarnya maka ia melangkah masuk ke dalam rumah Bango Samparan, membenahi pakaiannya dan mengenakan ikat pinggangnya dengan pedang yang kemudian tergantung di lambung. Dengan tergesa-gesa ia kembali keluar pintu. Suara itu kini menjadi semakin nyata dan semakin dekat di sela-sela suara kokok ayam jantan yang menjadi semakin jarang.
“Apakah terjadi keributan di desa ini?” katanya di dalam hati, “jika demikian, untunglah, bahwa ayah Bango Samparan ada di rumah bersama keempat anak-anaknya yang gila itu. Kalau tidak, maka ia pasti akan dicurigai.”
Namun hati Ken Arok semakin lama menjadi semakin tidak tenang. Maka perlahan-lahan ia melangkah mendekati Bango Samparan yang masih tidur mendekur. “Ayah” desis Ken Arok sambil meraba ujung ibu jari kakinya. Namun sentuhan itu telah dapat membuat Bango Simparan terkejut dan meloncat berdiri.
“Oh," desahnya ”kau mengejutkan aku."
Ken Arok masih sempat mengangguk-anggukkan kepalanya melihat sikap Bango Samparan. Ternyata orang tua itu masih juga mampu bergerak cepat.
“Kenapa kau bangunkan aku?” bertanya Bango Samparan kemudian.
“Apakah ayah tidak mendengar sesuatu?”
Bango Samparan memiringkan kepalanya, sambil memasang pendengarannya setajam-tajamnya. Setaat kemudian ia berdesis, “Ya, aku mendengar sesuatu. Aku mendengar suara ribut.”
“Benar” sahut Ken Arok, “dan suara itu semakin lama menjadi semakin dekat.”
Tiba-tiba wajah Bango Samparan menyadi tegang. Dengan suara yang patah ia berkata, “Apakah yang akan dilakukan oleh setan-setan itu?”
“Kenapa dengan mereka?” bertanya Ken Arok.
“Mungkin mereka tidak dapat menahan diri lagi. Mereka yang melihat kedatanganku telah menyampaikannya kepada Ki Buyut. Mungkin ada orang yang dengan sengaja memanaskan keadaan sehingga mereka akan mengambil suatu sikap kemari.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Suara itu memang semakin dekat, seperti suara anak-anak mengejar tupai.
“O” Bango Samparan tiba-tiba menjadi gugup, “anak-anak harus tahu.” Dan tiba-tiba sebelum Ken Arok menjawab, Bango Samparan telah meloncat berlari mencari anak-anaknya.
Sesaat kemudian seisi rumah telah terbangun, Puranti pun ikut dibangunkannya pula.
“Kenapa kita bangun terlampau pagi ayah” bertanya Puranti dengan nada dalam. Agaknya ia masih terlampau kantuk, karena semalam ia tidur agak terlambat.
Bango Samparan tidak menjawab. Ketika ia mengadahkan kepalanya di langit masih bergayutan bintang gemintang yang berkeredipan dari ujung sampai ke ujung. Namun di timur telah membayang warna semburat merah. Suara ribut itu semakin lama menjadi semakin dekat. Terlampau dekat. Kini mereka dapat melihat beberapa buah obor yang bergerak-gerak di sela-sela pepohonan.
“Mereka benar-benar datang kemari” suara Bango Samparan bergetar.
Puranti yang kecil itu tidak mengerti, apa yang bergolak di dalam dada ayahnya, sehingga tanpa prasangka apapun ia bertanya, “Kenapa mereka datang kemari sepagi ini ayah?”
Bango Samparan tidak menjawab. Tetapi kecemasan yang dahsyat telah mencengkam jantungnya. Panji Bawuk dan adik-adiknya pun menyadi berdebar-debar. Dengan suara datar Panji Bawuk bertanya, “Apakah mereka akan bertindak terhadap kita ayah?”
“Mungkin” sahut Bango Samparan pendek.
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Ia berpaling ketika Panji Kanengkung, adik laki-lakinya yang paling kecil meloncat maju dengan senjata di tangan, “Apa yang dapat mereka lakukan atas kita sekalian ini?”
“Kanengkung” suara Panji Bawuk berat, “singkirkan senjatamu itu.”
Kanengkung terkejut mendengar kata-kata kakaknya itu. Juga Panji Kumal terperanjat, sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Kenapa kakang? Apakah kita tidak boleh membela diri apabila mereka ingin membuat sesuatu atas kita? Di sini sekarang ada kakang Ken Arok, sehingga mereka akan menjadi semakin tidak berdaya. Ki Buyut yang mereka andalkan pun tidak akan sekuku ireng dibandingkan dengan kakang Ken Arok."
Panji Biwuk menggeram. Suaranya menjadi semakin berat, “Singkirkan senjata kalian.”
Sejenak Kanengkung dan Kunal saling berpandangan. Bahkan Kuncang pun sejenak dicengkam oleh kebimbangan. Meskipun ia belum menarik senjatanya, tetapi ia membawa senjata juga di lambungnya. Bahkan Bango Samparan pun menjadi heran dan bertanya, “Kenapa Panji Bawuk?”
“Senjata-senjata itulah yang akan menjebak kita ke dalam perbuatan terkutuk. Aku tidak akan mengulangi lagi. Dengan senjata di tangan, kita akan dapat membunuh masing-masing lebih dari sepuluh orang. Tetapi apakah gunanya? Sekarang aku tidak menganggap bahwa senjata adalah alat yang paling penting. Kalau benar mereka akan datang kemari, biarlah aku akan berbicara dengan mereka. Mereka adalah orang-orang yang baik, cukup sadar, sehingga mereka memberi kita cukup waktu untuk memperbaiki hidup kita. Kini kita telah menemukan jalan itu yang bukan karena sekedar terpaksa. Kita sudah menemukannya di dalam bati kita. Karena itu, biarlah aku mencoba menjelaskan persoalannya.”
Bango Samparan terdiam sejenak. Ia tidak menyangka, bahwa anaknya pada suatu saat akan sampai ke jalan yang kini diinjaknya. Tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, suara hiruk pikuk dan obor-obor di jalan padesan itu pun menjadi semakin lama semakin dekat. Beberapa diantara obor-obor itu meluncur cepat di paling depan.
Dugaan mereka ternyata tidak keliru. Orang-orang itu benar-benar mendatangi rumah Bango Samparan. Beberapa orang yang memegangi obor berhenti di muka regol halaman depan dengan senjata di tangan masing-masing. Tetapi tidak seorangpun dari mereka yang berusaha masuk paling depan.
Bango Samparan berdiri dengan wajah yang semakin lama semakin tegang memandangi orang-orang yang berdesak-desakan di luar regolnya yang sudah miring. Di sampingnya berdiri Ken Arok dan Panji Bawuk. Kemudian di belakang mereka, Isteri muda dan isteri tuanya membimbing tangan Puranti yang gemetar. Beberapa langkah dari mereka ketiga anak laki-laki Bango Samparan yang lain berdiri termangu-mangu.
Tetapi, orang-orang yang berlari-lari dengan tergesa-gesa itu, ketika mereka sudah berdiri di muka regol, justru berdiri saja tegak mematung. Sejenak mereka saling berpandangan dan sejenak kemudian mereka berbisik-bisik, “Dimaua Ki Buyut, dimana?”
Baru sejenak kemudian orang yang mereka tunggu itu pun datang. Seorang yang telah menginjak usia tuanya. Berambut putih, berkumis putih dan berjanggut putih. Namun meskipun wajahnya telah mulai dibayangi oleh garis-garis umur, tampaklah bahwa ia adalah orang yang memiliki kemampuan yaag dapat dibanggakan.
Ki Buyut Karuman itu pun sejenak berdiri tegak di muka regol. Dari pintu regol yang terbuka ia melihat Bango Samparan dan anak-anaknya telah siap menyongsong mereka, dan di antaranya adalah anak angkat Bango Samparan yang bernama Ken Arok. Orang tua yang berambut putih itu pun menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia ragu-ragu. Beberapa kali ia berpaling kepada orang-orangnya yang berdesakan di belakangnya dengan bermacam-macam senjata di tangan mereka.
“Tunggulah di sini” berkata Ki Buyut, “aku akan menemui mereka.”
“Kami ikut bersama Ki Buyut” desis seseorang, “kami akan menangkap mereka beramai-ramai.”
“Serahkan kepadaku” jawab Ki Buyut.
“Kami akan menghukumnya. Hukuman yang paling berat.”
Ki Buyut memandang orang itu dengan sorot mata yang seolah-olah menusuk langsung ke pusat dadanya, sehingga orang itu tertunduk. “Sudah aku katakan. Akulah yang akan menyelesaikan.”
“Tetapi kami akan membantu seandainya mereka melawan.” jawab salah seorang dari mereka.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Terlampau sulit untuk mengendalikan sekian banyak orang yang sedang marah.
“Kemarin mereka berkelahi lagi” berkata seseorang entah sudah berapa banyak mayat terkubur di halaman rumah hantu ini.”
“Angan-anganmulah yang menakut-nakutimu”, berkata Ki Buyut, “tidak ada apa-apa di rumah ini. Jangan mendendam berlebih–lebihan.”
“Cobalah Ki Buyut bertanya kepada mereka. Mereka akan mengatakannya dengan bangga, bahwa di bawah pohon kemiri, di bawah rumpun bambu, di bawah apa lagi, telah terkubur mayat-mayat mereka yang berani memasuki halaman rumah ini.”
Lalu, tiba-tiba yang lain memotong, “Tetapi pohon kemiri itu telah tumbang.”
Mereka terdiam sejenak. Ki Buyut yang ragu-ragu itu masih berdiri diam di tempatnya. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Kalian menunggu di luar. Kalau kalian tidak mau, maka aku tidak akan masuk.”
Orang-orang yang berdesak-desakan itu saling berpandangan sejenak. Karena kemudian Ki Buyut benar-benar tidak bergerak, maka salah seorang dari mereka berkata, “baiklah, sillahkan Ki Buyut masuk. Tetapi hati-hatilah, mereka adalah serigala yang paling liar.”
Ki Buyut tersenyum. “Aku akan berhati-hati.”
Sejenak kemudian maka Ki Buyut pun melangkah memasuki regol halaman rumah Bango Samparan. Langkahnya tetap dan betapa ringannya. “Selamat pagi Bango Samparan” sapa Ki Buyut dengan ramahnya.
“Selamat pagi” sabut Bango Samparan terbata-bata.
Dan Ki Buyut yang telah berada beberapa langkah di depan Bango Samparan itu pun berhenti. Dipandangiuya orang-orang yang berada di depan rumah itu satu demi satu. Ketika sorot matanya menyentuh wajah Panji Bawuk, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Ki Buyut. “Anak inilah yang paling berbahaya” katanya di dalam hati, “tetapi sorot matanya agak lain dari kebiasaannya. Entahlah, apabila aku sudah dapat melihatnya dengan terang.”
Panji Bawuk yang merasa menjadi pusat perhatian Ki Buyut itu pun segera menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata, “Kami mengucapkan selamat datang Ki Buyut.”
Kali ini Ki Buyut benar-benar terperanjat. Panji Bawuk tidak pernah berbuat demikian. Ia menyangka bahwa Panji Bawuk akan tertawa menyakitkan hati dan bertanya dengan penuh hinaan
“Ah, itu pun suatu bentuk penghinaan” tiba-tiba Ki Buyut mengambil kesimpulan atas sikap Panji Bawuk itu. Tetapi kesimpulan itu pun segera mengabur lagi ketika Panji Bawuk melangkah maju sambil berkata,
“Ki Buyut, kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat menyambut kedatangan Ki Buyut sebagaimana seharusnya karena rumah kami tidak pantas untuk menerima seorang tamu.”
“Ah, tidak apa Panji Bawuk” sahut Ki Buyut dengan penuh ragu, “kami memang tidak ingin bertamu”
“Oh” Panji Bawuk mengangguk-anggukkan kepalanya kami memang sudah menyangka, bahwa Ki Buyut dan saudara-saudara di luar regol itu tidak akan sudi bertamu. Dan kami pun seharusnya sudah tahu, kenapa Ki Buyut memerlukan datang kerumah ini sepagi ini.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, aku memang mengharap bahwa kalian yang ada dirumah ini dapat mengerti kenapa kami datang di pagi-pagi buta ini.”
Panji Bawuk mengangguk, “Demikianlah Ki Buyut. Namun kemudian kami masih juga ingin mendengar, apakah Yang akan Ki Buyut lakukan atas kami. Kami sudah siap untuk melakukan apa saja perintah Ki Buyut.”
Ki Buyut benar-benar tidak menyangka, bahwa sikap Panji Bawuk akan menjadi sedemikian lunak. Tetapi ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Apalagi ketika ia masih melihat beberapa pucuk senjata di tangan adik-adik Panji Bawuk.
“Apakah Ki Buyut mencurigai adik-adikku?” bertanya anak sulung Bango Samparan itu. Dan pertanyaan itu benar-benar membuat Ki Buyut menjadi tergagap. Sementara itu Panji Bawuk berkata, “Sudah aku katakan kepada mereka, bahwa mereka harus melepaskan senjata mereka.” Lalu kepada adik-adiknya ia berkata, “Sudah aku katakan, letakkan senjata-senjata itu. Di sini, dimuka Ki Buyut.”
Ketiga adiknya masih juga ragu-ragu, sehingga Panji Bawuk mengulanginya, “Letakkan disini.”
Ketiganya sudah tidak dapat membantah lagi. Perlahan-lahan mereka maju mendekati Ki Buyut sambil manjinjing senjata masing-masing. Namun dengan demikian kecurigaan Ki Buyut pun segera timbul. Apakah benar mereka akan meletakkan senjata-senjata mereka, atau sekedar untuk membuat Ki Buyut itu lengah.
Tanpa sesadarnya, Ki Buyut melangkah surut. Dengan penuh kesiagaan ia memandangi ketiga anak-anak Bango Samparan itu melangkah semakin dekat. Namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat kedua anak-anak muda yg paling kecil benar-benar telah melemparkan senjatanya di tanah, yang sejenak kemudian disusul oleh Panji Kuncang, betapa dadanya menjadi berdebar-debar.
“Kami berbuat dengan kesungguhan hati, Ki Buyut” berkata Panji Bawuk.
Ki Buyut tidak segera menjawab. Hatinya merasakan sesuatu yang tidak dapat dikatakannya. Anak-anak yang dianggapnya begitu liar dan buas itu, ternyata tidak seperti yang disangkanya.
“Aku pun telah melepaskan senjataku” berkata Panji Bawuk, “aku sudah merasa, bahwa senjata-senjata itulah yang membuat kami menjadi manusia-manusia sebuas serigala. Dan kini, kami adalah orang-orang biasa yang akan menjalani semua keharusan seperti orang-orang lain.
Perlahan-lahan Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah ia masih harus meyakinkan pendengaran dan penglihatannya. Sama sekali tidak masuk diakalnya bahwa tiba-tiba saja Panji Bawuk dan ketiga adik-adiknya telah meletakkan senjatanya tanpa perlawanan sama sekali. Sedang Bango Samparan sendiri hanya berdiri saja termangu-mangu.
Namun ternyata Ki Buyut masih melihat sehelai senjata yang masih tersangkut di lambung. Senjata Ken Arok. Karena itu, maka kini perhatiannya terpusat kepada senjata-itu. Ki Bayut terperanjat ketika in mendengar Panji Bawuk berkata,
“Apakah Ki Buyut tertarik kepada pedang di lambung kakang Ken Arok itu? Sayang Ki Buyut, aku tidak dapat memintanya untuk melepas pedangnya karena ia seorang jurit. Pedang adalah pakaian seorang prajurit, bahkan seperti anggauta badannya sendiri. Tetapi percayalah bahwa senjata di tangan kakang Ken Arok itu sama sekali tidak berbahaya, seperti gigi di mulutnya. Ia tidak pernah mempergunakannya tanpa arti, justru ia seorang prajurit.”
Ki Buyut masih juga berdiam diri. Tetapi orang tua itu pun segera dapat mengenal pula, bahwa pedang itu memang pedang Istana Tumapel. Tetapi pakaian Ken Arok sama sekali bukan pakaian seorang prajurit atau bentuk-bentuk pakaian hamba istana yang lain.
“Apakah Ki Buyut ragu-ragu bahwa ia adalah seorang dalam dari istana Tumapel?” bertanya Panji Bawuk, “memang ia tidak mengenakan pakaian itu, karena ia mendapat waktu untuk beristirahat setelah ia bekerja keras di padang Karautan. Apakah Ki Buyut belum pernah mendengar bahwa di padang Karautan kini telah dibangun sebuah bendungan dan sebuah pedukuhan?”
Orang tua itu mengangguk-angguk pula. Kemudian barulah ia berkata, “Aku percaya, Panji Bawuk. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa kalian akan bersikap begitu baik. Terima kasih. Aku minta maaf karena aku telah mengejutkan kalian.” Ki Buyut berhenti sejenak, lalu, “Memang aku sudah menyangka, bahwa kalian tidak sejahat seperti yang aku dengar. Tetapi kedatangan ayahmu kemarin telah menumbuhkan ketakutan pada penduduk, sehingga aku memerlukan datang kemari untuk mendapatkan penjelasan, apakah kalian masih belum, menyadari diri kalian. Tetapi ternyata apa yang kami harapkan telah terpenuhi, sehingga tidak ada persoalan lagi bagi kalian.” Sekali lagi Ki Buyut berhenti berbicara, dan setelah berpikir sejenak ia berkata, “Namun hari-hari mendatanglah yang akan menentukan penilaian kami atas kalian. Mudah-mudahan permulaan yang baik ini akan tetap kita pertahankan.”
“Ya Ki Buyut” jawab Panji Bawuk, “kedatangan ayah kemarin justru membawa pembaharuan di hati kami, karena bersama ayah datang pula kakang Ken Arok, yang kini bekerja di Istana Tumapel.”
“Syukurlah” sahut Ki Buyut, “apabila demikian, maka tidak ads yang akan aku lskukan atas kalian. Sambutlah hari yang datang hari ini dengan kecerahan di hati. Aku mengucapkan selamat.”
“Terima kasih Ki Buyut” sahut Panji Bawuk.
“Nah, sekarang aku akan kembali. Tetapi perkenankanlah aku membawa senjata-senjata kalian sebagai bukti bahwa kalian sudah tidak akan bermain-main dengan senjata lagi, meskipun seandainya tidak demikian kalian pasti akan dengan mudahnya mendapatkan senjata yang lain."
“Silahkan Ki Buyut” jawab Panji Bawuk.
Ki Buyut berpaling kepada orang-orangnya yang berada di luar regol. Kemudian ia memanggil seseorang dari antara mereka. “Kemarilah kau.”
Orang yang dipanggil oleh Ki Buyut itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia didorong oleh kawannya sambil berbisik, “Hati-hati, iblis itu terlampau licik. Agaknya Ki Buyut telah terjebak dalam akal iblis itu. Aku tidak sependapat. Mereka harus ditangkap dan mendapat hukuman selayaknya.”
“Bagus” sahut yang lain, “adalah terlalu menyenangkan buat mereka. Mereka memang terlampau licik. Ketika mereka melihat kita datang bersama Ki Buyut, mereka berpura-pura menyerah. Tetapi nanti mereka akan membantai kita seperti membantai ayam.”
“Mereka memang harus ditangkap dan dikerangkeng seperti seekor serigala yeng paling liar.”
“Ya, tangkap saja.”
“Tangkap.”
Ternyata suara itu sampai ketelinga Ki Buyut dan orang-orang yang berdiri di depan rumah Bango Samparan. Ki Buyut tiba-tiba menjadi tegang dan sekali lagi memanggil orangnya, “Kemarilah. Bawalah senjata-senjata ini.”
Orang yang dipanggilnya melangkah maju dengan kebimbangan yang membayang di langkahnya. Namun kawan-kawannya berkata di belakangnya, “Tangkap saja mereka.”
Bahkan tiba-tiba salah seorang dari orang-orang Karuman yang marah itu berteriak, “Tangkap saja mereka.” Dan di sambut oleh yang lain, “Tangkap saja. Tangkap saja."
Bango Sambaran mengerutkan keningnya. Ketika ia memandangi ketiga anak-anaknya yang muda, tampaklah mereka menjadi gelisah. Tetapi agaknya Panji Bawuk sendiri telah benar-benar menemukan ketenangan di dalam dirinya, sehingga suara itu seolah-olah tidak didengarnya.
Wajah Ki Buyut Karuman yang mendengar teriakan-teriakan itu pun menjadi tegang. Sejenak ia terdiam sambil memandangi orang-orangnya yang masih berada di luar regol. Satu dua diantara mereka masih juga memegangi obor meskipun pagi telah meajadi semakin terang.
Sementara itu suara teriakan di luar regol masih saja terdengar, “Tangkap saja, tangkap saja.”
Dan tiba-tiba saja Ki Buyut yang tua itu berteriak, “Diam, diam.”
Suara Ki Buyut ternyata asih cukup berpengaruh, meng atasi kegaduhan di luar regol halaman. Ternyata suara-suara itu pun menjadi terdiam karenanya. “Akulah yang mengambil keputusan di sini” berkata Ki Buyut.
Orang diluar regol itu masih diam.
“Aku sudah memutuskan, bahwa aku ingin memberi kesempatan sekali lagi kepada Bango Samparan dan anak-anaknya.” Ki Buyut itu terdiam sejenak sambil berpaling memandangi Ken Arok. Kemudian katanya, “Apalagi kedatangan anak angkat Bango Samparan agaknya benar-benar membawa udara baru. Ia adalah seorang hamba istana. Ia pasti dapat memberi petunjuk-petunuuk apakah yang sebaiknya dilakukan oleh bapak angkatnya dan saudara-saudaranya.”
Sejenak, orang-orang di luar regol itu masih berdiam diri. Namun tiba-tiba salah seorang berbisik, “Anak angkatnya itu pun dahulu seperti setan juga.”
“Ya” sahut lain, “justru anak angkatnya itu seorang yang paling jahat di antara mereka.”
“Ya, ya anak angkatnya itulah yang terlebih buas lagi.”
Suara itu semakin lama menjadi semakin keras, sehingga Ki Buyut dan orang-orang yang berdiri di sekitar Bango Samparan mendengarnya, Ken Arok pun mendengarnya pula.
“Bodoh, bodoh sekali” teriak Ki Buyat, “apakah kalian tidak pernah mendengar berita tentang Ken Arok ini? Semua yang telah lalu sama sekali bukan ukuran buat hari ini. Justru hari ini ia mendapat kepercayaan yang besar dari Akuwu Tunggul Ametung.”
Tanpa disangka-sangka seseorang telah berani membantah kata-kata Ki Buyut itu, “Tetapi Akuwu Tunggul Ametung tidak tahu, apakah yang pernah dilakukannya semasa kecilnya.”
“Apakah kesalahan seseorang akan selalu dibawanya sampai mati?” bertanya Ki Buyut, “itu adalah pikiran yang paling sesat. Pendapat itu sama kerdilnya dengan dendam yang tiada putus-putusnya. Ayo, siapakah diantara kalian yang tidak bercacad? Kita harus mengakui perkembangan pribadi dan watak. Seseorang dapat bertaubat sampai ke dasar hatinya. Seseorang dapat merubah tingkah lakunya yang mungkin selama itu tidak disadarinya. Seseorang akan mungkin dengan tiba-tiba melihat kesalahan diri sendiri dan seterusnya orang-orang yang demikian itu dapat saja merubah sifat-sifatnya.”
Orang-orang di luar regol itu sejenak terdiam pula. Namun salah seorang yang lain berbisik, “Tetapi bagaimana kita tahu perasaan dan pikiran orang lain? Bagaimana kita dapat membedakan antara penyesalan dan akal yang licik sekedar untuk menyelamatkan diri?”
“Ya, kita tidak tahu.” dan disahut oleh yang lain, “Kita memang tidak akan tahu.”
“Sekarang ternyata Ki Buyut pun telah terjebak dalam akal licik itu.” desis yang lein lagi.
“Tetapi kita tidak. Kita tidak akan terjebak” berkata yang lain pula.
Ki Buyut yang tua itu menjadi berdebar-debar. Orang-orangnya memang sedang marah. Mereka telah dibakar oleh kecemasan, dendam, kebencian dan bahkan ketakutan, bahwa suatu ketika Banpo Samparan atau anak-anak mereka akan menciderainya apabila mereka masih diberi kesempatan. Ketakutan yang demikian itulah yang mendorong mereka untuk mengambil suatu sikap selagi mereka kini bersama-sama menghadapi iblis yang mengerikan itu.
Suara yang semakin lama semakin ribut itu terdiam sejenak, ketiaka terdengar suara Ki Buyut mengatasi suara mereka, “Diam. Diam kalian. Serahkan semuanya kepadaku.”
Orang-orang diluar regol itu saling berpandangan. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang sependapat dengan kata-kata Ki Buyut itu.
Apalagi ketika kemudian dalam kebimbangan Ki Buyut berkata, “Sebaiknya kalian tinggalkan rumah ini. Biarlah aku yang menyelesaikannya.”
Perasaan orang-orang yang sedang marah itu tiba-tiba justru melonjak. Setelah seorang dari mereka berteriak, “Kita selesaikan persoalan ini di sini.”
“Ya, kita selesaikan sama sekali.
“Sampai tuntas.” teriak yang lain lagi.
Ken Arok yang berdiri tegak seperti patung itu pun tergetar hatinya mendengar teriakan yang melonjak dan seolah-olah menyengat telinganya. Setiap kali ia mendengar suara itu, “Sampai tuntas.” Dan kali ini pun ia masih juga mendengar teriakan yang demikian.
“Jangan meninggalkan sisa persoalan buat hari esok. Kita rampungkan sama sekali pagi ini Ki Buyut. Dengan demikian kita akan hidup tenteram untuk seterusrya. Iblis-iblis itu tidak akan dipat mengganggu kita lagi. Mereka tidak akan mengotori nama Karuman dan seluruh penduduknya."
“Bodoh sekali. Bodoh sekali” Ki Buyut masih mencoba berteriak, tetapi suaranya kini sudah menjadi semakin rendah. Suara hiruk pikuk di luar regol menjadi semakin sulit untuk diatasinya.
Bango Samparan berdiri dengan dada berdebar-debar. Ia melihat ketiga anak-anaknya yang muda menjadi semakin gelisah. Sedang Puranti menjadi ketakutan. Gadis kecil itu menggigil di dalam pelukan ibu tuanya. Yang masih tetap tenang adalah Panji Bawuk dan Ken Arok. Namun sebenarnya, di dalam dada Ken Arok itu pun telah tumbuh berbagai macam persoalan, bahkan juga yang hampir tidak ada hubungannya dengan kehadiran orang-orang itu. Sikap orang-orang Karuman itulah yang telah tergores di dinding jantungnya. Sikap mereka untuk menyelesaikan setiap masalah sampai rampung, seperti Bango Samparan, seperti Panji Bawuk sebelum menemukan kesadaran diri.
Suasana semakin lama menjadi semakin tegang karena orang-orang di luar regol halaman rumah Bango Samparan itu semakin lama semakin keras berteriak-teriak. Semakin lama mereka menjadi semakin kehilangan pengamatan diri, sehingga mereka tidak lagi mau mendengar suara pemimpin mereka sendiri. Ki Buyut pun menjadi semakin bingung pula. Kini satu dua orang telah berdiri di regol sambil mengacung-acungkan tinju dan senjata-senjata mereka.
“Tangkap saja, tangkap saja dan kita bantai beramai-ramai. Semuanya, jangan ada yang lolos., “teriak salah seorang dari mereka yang kemudian disahut oleh yang lain, “Kalau tidak, maka kitalah yang besok akan dibantai.”
“Bagus, bagus” teriak yang lain sahut-menyahut.
Suasana di halaman itu benar-benar menjadi tegang. Panji Bawuk yang selama itu masih tenang-tenang saja, tampak mengerutkan keningnya ketika ia melihat orang-orang yang berdiri di luar regol itu kini berdesak-desakan mulai masuk. Tetapi mereka tidak segera maju. Mereka masih berdiri di dekat regol sambil berteriak-teriak. Ki Buyut yang tua itu pun menjadi semakin tegang kemudian menjadi pucat. Ia merasa bahwa kewibawaannya tidak lagi dapat menguasai orang-orangnya yang sedang marah tidak terkendali.
Ken Arok masih berdiri tegak seperti patung. Tetapi angan-angannya kini sudah tidak lagi terapung-apung di alam yang asing. Kini ia melihat orang-orang yang berteriak-teriak dengan marahnya menuding-nuding dengan berbagai macam senjata ke arah mereka yang berdiri di muka rumah itu. Panji Kuncang dan kedua adik-adiknyapun menjadi semakin gelisah. Ketika orang-orang yang berdiri di muka regol itu bergerak beberapa langkah maju, maka tanpa mereka sadari, ketiga anak-anak muda itu meloncat mendekati senjata-senjata mereka yang tergolek di tanah.
“Jangan” desis Panji Bawuk, “kita sudah bertekad untuk tidak mempergunakan senjata lagi.”
“Tetapi mereka menjadi gila dan akan membunuh kita.”
“Kalau kau sentuh senjata itu, mereka akan menjadi semakin buas. Karena itu, mundurlah.”
Ketiga anak laki-laki Bango Samparan yang muda-muda itu berdiri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun melangkah mundur.
Ki Buyut menjadi semakin bingung. Justru ia semakin yakin bahwa Panji Bawuk benar-benar telah menyesali semua kesalahan yang telah mereka lakukan bersama keluarga mereka. Tetapi pada saat yang demikian kemarahan orang-orang Karuman benar-benar telah memuncak.
“Apakah kita akan membiarkan diri kita benar-benar menjadi lembu bantaian kakang?” bertanya Panji Kenengkung.
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Kita serahkan nasib kita kepada Ki Buyut. Kita mempercayainya, dan kita menganggapnya sebagai, tetua pedukuhan ini.”
Namun tanpa disangka-sangka Ki Buyut yang kebingungan menyahut. “Ternyata aku tidak dapat menguasainya lagi.”
“Jadi apakah itu berarti kita harus menjaga keselamatan kita masing-masing” bertanya Kunal.
Ki Buyut menyadi semakin bingung. Tetapi, ia tidak dapat tinggal diam. Kalau anak-anak Bango Samparan itu kemudian kehilangan kesabaran dan melakukan perlawanan, maka ia harus berbuat sesuatu. Tetapi apakah yang sebaiknya? Apakah ia akan berpihak kepada keluarga Bango Samparan atau kepada orang-orang yang sedang marah itu? Atau apakah ia akan lari saja supaya tidak melihat apa yang tcrjadi.
“Orang-orang itu sudah menjadi gila” katanya di dalam hati, “seandainya Bango Samparan dan keluarganya memegang senjata-senjata mereka kembali, maka orang-orang yang kehilangan akal itu tidak akan lebih baik nasibnya dari padang ilalang. Bango Samparan akan dapat membabatnya tanpa kesulitan.”
Dalam kebingungan itu sekali lagi Ki Buyut mendengar suara Panji Bawuk, “Jangan kau sentuh lagi senyata-senjata itu.”
Tanpa disengaja Ki Buyut berpaling. Dilihatnya Panji Kenengkung dan Panji Kunal telah berjongkok untuk memungut senjata-senjata mereka.
“Lalu apakah yang harus kita kerjakan? Ki Buyut sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menghadapi orang-orang yang menjadi buas itu.”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Dipandanginya wajah Ki Buyut yang tegang. Tetapi di dalam wajah itu pun tidak ditemuinya jawaban. Sejenak kemudian orang-orang yang seolah-olah telah lupa diri itu mendesak beberapa lagi maju sambil berteriak-teriak. Meskipun matahari telah hampir melonjak keatas punggung pegunungan, namun di tangan beberapa orang itu masih tergenggam obor yang menyala.
Karena orang-orang itu semakin mendesak maju maka akhirnya Panji Bawuk pun menyadi cemas menghadapi keadaan. Ia sudah benar-benar tidaik ingin mempergunakan senjatanya lagi. Tetapi nalurinya pun tidak membenarkannya untuk menyerahkan diri untuk dibantai beramai-ramai. Karena itu, maka seolah-olah tanpa sesadarnya ia bertanya, “Apakah yang sebaiknya kami lakukan Ki Buyut?”
Ki Buyut masih saja kebingungan, ia terharu melihat kesungguhan hati keluarga Bango Samparan itu untuk tidak mempergunakan senjatanya lagi. Karena itu, maka sudah seharusnya ia melindungi mereka dan menghindarkan mereka dari bencana, justru pada saat mereka ingin mulai dengan kehidupan yang baru. Karena agaknya orang-orang Karuman itu sudah tidak dapat dikuasainya lagi. maka tiba-tiba Ki Buyut itu berdesis,
“Menyingkirlah. Menyingkirlah. Aku akan berusaha menahan mereka, supaya mereka tidak mengejar kalian. Bersembunyilah sampai aku berhasil menenangkan mereka. Apabila mereka sudah menjadi tenang, maka aku akan dapat berbicara dengan mereka. Aku sangat berterima kasih kepada kalian, karena kalian benar-benar sudah berhasrat untuk meletakkan senjata-senjata kalian. Mudah-mudahan kalian terhindar dari bencana.”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Sesaat harga dirinya tergores oleh petunjuk Ki Buyut itu. Kenapa mesti melarikan diri? Tetapi Panji Bawuk itu segera menyadari keadaannya dan tekadnya untuk tidak mempergunakan senjata lagi. Karena itu, maka tidak ada jalan yang lebih baik dari pada untuk sementara menghindar, apabila masih mung kin.
Orang-orang Karuman yang berdesakan semakin dekat itu seolah-olah telah kehilangan nalar mereka. Yang tampak di mata mereka adalah iblis dan hantu yang paling menakutkan, yang harus segera dibinasakan. Mereka merasakan kecemasan dan ketakutan mencengkam dada mereka, apabila mereka tidak segera membuat penyelesaian yang sempurna. Terbayang di dalam angan-angan mereka, bahwa iblis-iblis itu justru akan menjadi semakin mengganas. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa apabila mereka bertemu satu demi satu dengan iblis-iblis itu. Tetapi kini mereka datang bersama-sama, dan mereka akan menghadapi bersama-sama pula.
Ketika Panji Biwuk melihat adik-adiknya menjadi gemetar, bukan oleh ketakutan, tetapi oleh kemarahan yang mulai menjalar di dada, maka segera ia berkata, “Jangan kau biarkan di dadaamu di ledakan oleh kebodohanmu itu. Kita memang harus segera menyingkir. Kalau kita akan melawan mereka, maka kita akan membuat diri kita sendiri terkutuk sepanjang umur kita. Bahkan kita akan menjadi semakin jauh dari ketenteraman abadi, yang baru saja dapat kita bayangkan di dalam hati kita. Sebab, apabila kita sudah terlanjur mengangkat senjata, maka puluhan orang akan menjadi mayat dihalaman ini. Kita tidak akan terlampau sulit untuk membunuh sebagian besar dari mereka, seperti kita merambaas alang-alang. Tetapi kita tidak akan melakukannya. Kita akan menyingkir.”
“Kakang” potong Panji Kenengkung, tetapi suara itu terputus, “Bersiaplah. Cepat. Bawalah ibu masuk ke dalam rumah dan kemudian kalian harus lari lewat pintu belakang, menembus pintu butulan di halaman belakang. Aku dan kakang Ken Arok akan segera menyusul.“ berkata Panji Bawuk perlahan-lahan.
Kenengkung menjadi ragu-ragu sejenak. Demikian juga kakak-kakaknya. Bahkan Bango Samparan pun menjadi termangu-mangu, seolah-olah ia kehilangan seluruh kesempatan untuk mempergunakan akalnya.
“Cepat” bisik Panji Bawuk, “pergilah seperti apa yang dikatakan oleh Ki Buyut.”
Karena adik-adiknya masih berdiri mematung, Maka Panji Bawuk pun mendesak ayahnya, “Pergilah ayah. Bawalah, ibu keduanya bersama Puranti dan anak-anak bengal ini.”
Hati Bango Samparan seolah-olah telah benar-benar kosong. Karena itulah, maka ketika tangan isteri mudanya menariknya ia sama sekali tidak bersikap apapun. Dengan tergesa-gesa maka Bango Samparan membawa kedua isterinya dan gadis kecilnya menyusup masuk ke dalam rumah untuk mencoba melarikan diri mereka dari tangan orang-orang yang telah kehilangan pengamatan diri itu.
“Kalian juga” desik Panji Bawuk kepada ketiga adiknya laki-laki, “Pergilah, jangan keras kepala. Tinggalkan senjata kalian disitu.”
Betapapun beratnya, namun ketiga adik laki-laki Panji Bawuk itupun, kemudian melangkah pula meninggalkan halaman masuk ke dalam rumahnya. Betapa terasa dadanya serasa akan pecah. Namun mereka sama sekali tidak berani membantah perintah kakaknya. Justru karena mereka mengenal betul sifat kakaknya itu. Tetapi bahwa mereka harus melarikan diri dan tidak melawan, adalah perintah yang sama sekali kurang dapat mereka mengerti. Meskipun mereka tahu pula, bahwa keluarganya kini sedang berusaha untuk mencegah segala kesalahan bahkan yang mereka lakukan, namun betapa kini mereka harus mengorbankan harga diri mereka, itulah yang kurang mereka mengerti.
Belum lagi orang yang terakhir hilang dibalik pintu, terdengar suara orang-orang yang berdesakan maju, “Jangan biarkan mereka lari.” Lalu yang lain berteriak, “Ki Buyut kenapa mereka diberi kesempatan untuk lari?”
“Aku akan berbicara dengan kalian, Ki Buyut pun mencoba berteriak. Tetapi suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk yeng kisruh.
Orang-orang itu masih berteriak keras-keras, “Tangkap mereka semua. Semua.”
Ken Arok berdiri tegak seperti patung. Ia tidak beranjak dari tempatnya ketika orang-orang itu mendesak semakin maju. Ki Buyut yang kini berdiri semakin dekat dengan Ken Arok dan Panji Bawuk itu berdesis pula, “Kalian berdua se baiknya juga menyingkir untuk sementara.”
Ken Arok menarik nafas. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya, tetapi biarlah kami berdua memperlambat persoalan, sehingga mereka yang telah lari lebih dahulu, mendapat waktu.”
Ki Buyut tidak menjawab. Tetapi kegelisahan telah memuncak sampai keubun-ubunnya. Ia merasa bahwa tidak mungkin lagi mengendalikan orang-orang gila yang sudah tidak dapat mempergunakan nalar lagi.
“Kenapa Ki Buyut diam saja? Kenapa? Mereka akan segera lari. Mereka akan hilang dan lepas dari tangan kita.”
Ki Buyut tidak menjawab. Kini tugasnya adalah memperpanjang persoalan seperti yang dikatakan oleh Ken Arok untuk memberi waktu kepada mereka yang melarikan dirinya. Tetapi betapapun juga tubuhnya telah basah kuyup oleh keringat dingin yang seakan-akan terperas dari tubuhnya.
Ken Arok dan Panji Bawuk berdiri tegak dengan tegangnya. Tetapi mereka masih juga mendengar suara ribut di dalam rumah. Agaknya ayah-ibunya masih mencoba mengemasi barang-barang yang dapat mereka kumpulkan untuk bekal mereka memerlukan waktu yang lama untuk dapat kembali ke rumah ini.
Namun akibat dari kelambatan itu sama sekali tidak terduga-duga. Orang-orang yang marah itu mendesak semakin dekat dan berteriak-teriak terus. Sikap Panji Bawuk itu mereka tanggapi dengan sudut pandangan mereka yang telah mempengaruhi mereka sebelumnya, seolah-olah Panji Bawuk itu telah siap untuk melawan mereka bersama-sama dengan Ken Arok.
Mereka tertegun sejenak ketika mereka melihat Panji Bawuk itu maju selangkah sambil berteriak, “Dengarlah. Dengarlah saudara-saudaraku. Aku telah menyatakan diri untuk tunduk kepada semua keputusan Ki Buyut Karuman. Aku tidak akan melawan dan aku tidak akan melanggar janjiku kali ini.”
Sejenak orang-orang Karuman itu terdiam. Mereka saling berpandangan sesaat. Namun tib-tiba salah seorang dari mereka berteriak, “Kalau begitu menyerahlah.”
Ternyata teriakan itu seolah-olah menjalar dari mulut ke mulut, sehingga kemudian setiap mulut telah meneriakkannya. Sambil mengacu-acukan senjata-senjata mereka, dengan penuh kebencian orang-orang Karuman itu seperti orang-orang yang kesurupan mendesak semakin maju.
“Menyerahlah, menyerahlah” teriak mereka, “kami akan menghukummu sesuai dengan kesalahanmu.” Disahut oleh yang lain, “Kau harus mendapat hukum picis atau hukum gantung.”
Setitik keringat mengembun di kening Ken Arok. Ketika dipandanginya wajah Panji Bawuk dan Ki Buyut, maka wajah-wajah itu menjadi semakin tegang.
“Kami memang akan menyerah” terdengar jawaban Panji Bawuk, “bukankah hal itu sudah aku katakan? Aku akan tunduk kepada semua keputusan Ki Buyut.”
“Serahkan kepada kami” teriak orang-orang Karuman itu, “serahkan kepada kami.”
Ki Buyut hampir menjadi putus asa. Namun ia masih mencoba berteriak, “Jangan menjadi liar. Bukankah kalian masih mempunyai harga diri dan sedikit kebijaksanaan.”
Tetapi suara yang menyahut adalah, “Ya, serahkan kepada kami. Serahkan kepada kami.”
Ki Buyut yang tua itu menggeram. Tidak ada harapan lagi untuk mencegah mereka itu. Sehingga sekali lagi ia berdesis kepada Panji Bawuk dan Ken Arok, “Cepat menyingkirlah.”
Panji Bawuk pun tidak melihat lagi manfaat dari pembicaraan selanjutnya. Karena itu, maka ia berpaling kepada Ken Arok sambil mengangguk kecil. Agaknya orang-orang Karuman dapat menangkap isyarat itu. Dengan penuh kemarahan mereka berteriak, “Jangan lari. Jangan lari.”
Panji Bawuk melangkah surut untuk mendekati lubang pintu. Ken Arok pun telah beringsut pula. Mereka harus cepat-cepat menyusup di bawah pintu dan meninggalkan halaman itu dari pintu rumah dan regol butulan dihalaman belakang. Tetapi tanpa disangka-sangka, orang-orang Karuman segera mendesak maju sambil berteriak penuh kemarahan, “Jangan lepaskan, jangan lepaskan.”
Tiba-tiba salah seorang dari mereka melemparkan obor yang masih berada di tangannya. Didorong oleh kemarahan yang memuncak maka obor itu telah melontar sampai ke atas atap rumah Bango Samparan.
“He, kalian telah benar-benar menjadi gila, kalian telah menjadi gila” Ki Buyut berteriak-teriak tidak terkendali. Sambil mengacu-acukan tangannya ia melangkah maju mendekati orang-orang yang menjadi kalap. Tetapi tanpa diduga-duga, setiap orang yang memegang obor ditangannya kemudian melemparkannya pula ke atas atap rumah Bango Samparan.
Api obor itu pun segera menjilat atap rumah yang kering itu. Dengan cepatnya api pun berkobar melonjak-lonjak di atas atap. Cahayanya segera memerah, mewarnai langit yang menjadi semakin cerah karena matahari telah mulai melonjak ke atas punggung bukit.
Panji Bawuk dan Ken Arok sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menahan kegilaan itu. Yang dapat mereka lakukan kemudian adalah dengan tergesa-gesa menyusup pintu rumahnya dan berlari ke belakang. Tetapi betapa mereka menyadi terperanjat ketika mereka masih melihat Bango Samparan dan istiri mudanya sibuk membungkus barang-barang mereka. Agaknya mereka telah menyimpan beberapa macam barang di bawah pembaringan.
“Cepat” teriak Panji Bawuk, “tinggalkan semua itu”
Bango Samparan yang gelisah menyadi semakin gelisah.
“Tinggalkan itu semua, tinggalkan. Kalian masih belum ikhlas dengan semua barang-barang yang berlumuran dengan nodaku. Tinggalkan dan cepat pergi.”
Sementara itu api telah semakin berkobar. Isteri tua Bango Samparan yang tidak tahu menahu tentang barang-barang itu pun masih berdiri termangu-mangu menunggu suami dan adik-adiknya selesai. Puranti yang kecil memeluknya dengan tubuh gemetar.
“Marilah ibu” tangis gadis kecil itu, “aku takut.”
“Sebentar ngger, tunggu ayah dan ibumu."
“Marilah ayah, marilah ibu” tangis Puranti.
Sementara itu Panji Bawuk dan Ken Arok hampir bersama-sama berteriak, “Cepat, tinggalkan semua itu.”
Panji Bawuk sudah tidak sabar lagi menungguinya. Tangan ibunya segera diraihnya dan ditariknya cepat-cepat keluar
“Tunggu” teriaknya. Meskipun Panji Bawuk tidak menghiraukannya lagi, namun tangan ibunya masih juga sempat menjinjing sebungkus barang-barang yang disembunyikannya di bawah pembaringan. Sementara itu Bango Samparan dengan eratnya menggenggam perhiasan dan permatanya yang baru saja didapatkannya kemarin.
“Marilah, cepatlah sedikit ibu” desis Ken Arok yang dengan cekatan mendukung Puranti dan membimbing isteri tua Bango Samparan.
Tetapi nasib yang malang agaknya telah menimpa mereka. Tiba-tiba atap rumah yang terbakar itu pun runtuhlah. Ken Arok dengan tangkasnya meloncat sambil berusaha menarik ibu angkatnya. Tetapi api telah menyentuh pakaian perempuan itu, sehingga tiba-tiba pakaian itu pun terbakar pula.
“Kuncang, Kuncang” teriak Ken Arok memanggil anak muda yang sudah berada di luar.
Kuncang terkejut mendengar panggilan itu. Cepat ia meloncat masuk kembali meskipun api telah semakin menyala
“Dukung adikmu, cepat, tinggalkan rumah ini."
Panji Kuncang segera menerima adiknya dan dengan tidak menghiraukan apapun lagi, segera ia meloncat berlarian menggalkan rumah yang kini menjadi seonggok api yang borkobar-kobar dengan buasnya, sementara Panji Bawuk berusahan menarik ibunya yang masih saja mengenangkan semua barang-barangnya yang disembunyikannya di dalam rumah yang terbakar itu.
“Ikhlaskanlah semua itu, seperti aku mengikhlaskannya senjataku.” desis Panji Buwuk.
Di dalam hiruk pikuk itu, isteri tua Bango Samparan menggeliat di tangan Ken Arok. Terasa tubuhnya menjadi terlampau panas. Dengan susah payah Ken Arok berusaha memadamkan api yang menjilat pakaian ibu angkatnya, kemudian mendukungnya seperti mendukung anak-anak. Tetapi api sudah menjadi semakin besar. Hampir tidak ada jalan yang dapat dilalui Ken Arok bersama ibu angkatnya itu.
Ken Arok menggeram. Tubuhnya sendiri merasa betapa panasnya api yang berkobar-kobar di sekitarnya. Sementara itu, ia masih mendengar suara hiruk pikuk diluar. Bahkan di luar dugaannya, orang-orang yang kesurupan di luar itu masih juga belum puas melihat api yang telah menelan rumah Bango Samparan. Kebencian mereka dibumbui oleh ketakutan dan kecemasaa akan dendam keluarga itu, telah mendorong mereka untuk kian bernafsu menghancurkan semuanya. Membinasakan seluruh isi rumah itu dengan sempurna.
Dalam kebingungan itu, Ken Arok telah dikejutkan oleh beberapa pucuk senjata yang meluncur di sekitarnya, Ternyata orang-orang Karuman itu telah melontarkan berbagai macam jenis senjata ke arah rumah Bango Samparan yang lelah terbakar itu.
“Binasakan saja semuanya,” terdengar mereka berteriak.
Sekali lagi Ken Arok menggeram. Dengan nanar ia mencari kesempatan untuk dapat melepaskan diri dari dalam api. Namun agaknya ia benar-benar telah terkepung. Rumah itu telah menjadi perapian raksasa. Sisa-sia atappun telah mulai berjatuhan di sekitarnya. Sedang perempuan tua ditangannya itu pun menjadi semakin payah, karena tubuhnya telah ikut menjadi hangus pula.
Namun ternyata Ken Arok telah membuat suatu kesalahan. Ia agak terlambat. Ia tidak mengingat perbedaan daya tahan antara dirinya sendiri dengan perempuan tua di tangannya. Ternyata tubuh Ken Arok benar-benar tubuh yang luar biasa, Bahkan api pun seolah-olah tidak dapat melukainya. Dalam keadaan yang demikian itu, Ken Arok telah memusatkan segala kemampuan yang ada padanya. Ia ingin menembus dinding api yang berkobar di sekitarnya.
Karena itulah, maka Ken Arok itu tanpa sesadarnya telah menyalurkan kekuatannya pada anggauta badannya. Sama sekali tidak dapat dimengerti, bahwa seseorang dapat melakukannya. Sama sekali tidak masuk akal bahwa seseorang masih mampu keluar dari onggokan api yang menjilat-jilat ke langit.
Bango Samparan dan keluarganya pun menyangka demikian juga. Panji Bawuk berteriak-teriak seperti orang gila memanggil nama Ken Arok. Kemudian Bango Samparan dan Puranti yang kecil. Tetapi yang mereka lihat hanyalah api dan api. Sementara orang-orang Karuman menjadi semakin buas.
Panji Bawuk dan Bango Samparan menjadi putus asa. Karena itu, maka segera mereka beerkata hampir bersamaan, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Sayang, kakang Ken Arok menjadi korban. Kalau kalian sudah aman, aku akan kembali lagi Mungkin aku akan berbuat sesuatu, setidak-tidaknya mengambil sisa-sisa tubuhnya dan ibu tua.”
Bango Samparan masih melihat sisa atap yang terakhir runtuh sama sekali. Benar-benar tidak ada harapan lagi baginya untuk menunggu Ken Arok dan istri tusnya. Karena itu, maka sambil menggenggam barang-barang berharga yang dapat dibawanya, terutama perhiasan-perhiasan yang diperolehnya setelah ia membunuh bekas prajurit Kediri, ia pun berlari bersama keluarganya menyingkir lewat butulan halaman belakang.
Namun sementara itu, orang-orang Karuman dikejutkan oleh seleret sinar yang melampui cerahnya api, meluncur dari dalam rumah Bango Samparan yang terbakar itu. Kemudian berloncatan dan seolah-olah hinggap di atas pagar batu yang memutari halaman Bango Samparan di bagian belakang. Tetapi yang mereka lihat kemudian adalah sesosok tubuh yang mendukung seorang perempuan tua yang sebagian pakaiannya masih menyala, Ken Arok dengan istri tua Bango Samparan di tangannya.
“Itulah mereka” teriak orang-orang karuman itu, “itulah mereka.”
“Tangkap” teriak yang lain, “tangkap, jangan biarkan mereka lolos.”
Ken Arok menggeram sambil menggeretakkan giginya. Tapi ia tidak ingin melayani orang-orang Karuman itu. Ia harus segera mendapatkan Bango Samparan dan keluarganya. “Mereka telah pergi lebih dahulu," desisnya.
Ken Arok pun kemudian meloncat keluar halaman dan berlari menyusul orang-orang lain yang telah mendahuluinya. Ternyata ia tidak memerlukan waktu yang lama. Segera ia melihat Bango Samparan dan keluarganya berlari-lari menjauhi rumahnya yang telah menjadi bara. Satu-satu asap yang hitam melonjak di antara warna api, melontarkan abu yang hitam.
Langkah-langkah Ken Arok ternyata telah mengejutkan Bango Samparan dan keluarganya Ketika mereka berpaling, Ken Arok telah ada di belakang mereka. Tubuhnya kehitam-hitaman oleh abu dan arang, sedang tubuh isteri tua Bango Samparan menjadi seakan-akan hangus disentuh api.
“Ibu” teriak Puranti yang kecil yang meronta-ronta di tangan Kuncang.
“Jangan menggeliat” minta kakaknya, “kau pun terluka.”
“He” Ken Arok membelalakkan matanya, “apakah Puranti juga terluka?”
“Ya, api telah menjilatnya pula.” jawab Kuncang.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak boleh tenggelam dalam kebingungan. Perempuan tua itu harus segera mendapat obatnya. “Apakah ada sesuatu pada kalian untuk mengurangi derita ibu?” bertanya Ken Arok, “tubuhnya hampir terbakar seluruhnya. Aku terlambat meloncat keluar dari dalam api.”
Bango Samparan menjadi bingung. Sebelum ia berbuat sesuatu, Panji Bawuk tiba-tiba meloncat memanjat sebatang pohon kelapa di halaman rumah sebelah, “Aku terpaksa mencuri sekali lagi” gumamnya, “legen kelapa akan mengurangi rasa sakit itu.”
Dengan tangkasnya Panji Bawuk mengambil sebumbung legen yang memang belum diturunkan karena hari masih terlampau pagi, ketika setiap laki-laki meninggalkan rumahnya. Laki-laki yang memiliki halaman yang ditumbuhi pohon kelapa itu pun meninggalkan rumahnya terlampau pagi. Bersama-sama dengan hampir setiap laki-laki di Karuman, pergi ke rumah Bango Samparan dengan marahnya.
Dengan legen itulah kemudian tubuh isteri tua Bango Samparan yang hangus itu dibasahi. Dengan demikian perasaan nyerinya menjadi agak berkurang. Tetapi agaknya luka perempuan tua itu terlampau parah sehingga keadaannya menjadi terlampau berbahaya. Nafasnya menjadi semakin lemah, dan tenaganya seolah-olah telah menjadi lenyap.
“Ibu” desis Ken Arok yang menjadi semakin cemas.
Perempuan itu membuka matanya yang sayu. Suaranya seakan-akan sudah tidak lagi dapat menembus kerongkongannya. Terlampau lambat, “Aku terlampau parah Ken Arok. Pergilah kalian menyingkir. Tinggalkan saja aku disini, supaya aku tidak menjadi beban kalian.”
“Tidak” jawab Ken Arok, “ibu akan sembuh.”
Perempuan tua itu menggeleng. Suaranya menjadi semakin serak, “Dimana Puranti?”
“Kuncang” panggil Ken Arok, “ibu menanyakan Puranti.
Kuncang segera mendekat sambil mendukung adiknya, “Inilah Puranti ibu,” desis Kuncang.
Ketika melihat keadaan perempuan tua itu tiba-tiba Puranti meronta-ronta sambil berteriak, “ibu, ibu.”
Jangan meronta-ronta Puranti. Kau sendiri terluka” cegah kakaknya.
Perempuan tua yang terluka itu berdesah menahan sakit Namun terdengar ia bertanya, “Apakah Puranti juga terluka.”
“Tidak ibu” cepat-cepat Ken Arok menyahut, “luka sedikit pada ujung jarinya.”
Kuncang memandangi wajah Ken Arok sejenak. Tetapi ia tahu benar maksudnya, supaya perempuan tua itu tidak menjadi semakin gelisah.
“Syukurlah” suara semakin lambat, “kemarilah Puranti."
Puranti yang berada di dalam dukungan Kuncang telah menjadi semakin dekat. Anak itu menangis sambil memanggil-manggil, “ibu, ibu.”
“Jangan menangis ngger” bisik isteri tua Bungo Samparan yang terluka, “baik-baiklah menjaga dirimu. Jangan nakal anak manis. Kau adalah lembaran yang masih bersih meskipun kau berada di dalam setumpuk sampah yang kotor. Kau tahu maksudku? Kelak kau akan mengerti” perempuan itu berhenti sebentar, lalu, “kemarilah anak-anak dan kau Tirtaja.”
Adik perempuan tua itu, isteri muda Bango Samparan yang bernama Tirtaja itu pun mendekat bersama anak-anaknya Bango Samparan dan Panji Bawuk.
“Aku gembira melihat keadaan kalian pada saat terakhir. Aku melihat perubahan telah terjadi di dalam diri kalian masing-masing. Selama ini aku hanya dapat berdoa, namun, kehadiran Ken Arok telah benar-benar menjadi lantaran, terkabulnya doaku itu. Baik-baiklah kalian bersama anak-anak kalian. Mumpung kalian kini menyadari keadaan dan diri kalian masing-masing Berbuatlah baik untuk seterusnya.” Nafas perempuan itu semakin lama menjadi lambat.
“Ibu” panggil Ken Arok.
Perempuan tua itu tersenyum. Senyumnya begitu jernih sehingga sama sekali tidak membayangkan derita yang sedang dialami. Pada wajah itu sama sekali tidak berkesan kepahitan hidupnya lahir dan batin yang ditanggungkannya selama ini.
“Aku akan mendahului kalian” suaranya terputus-putus.
“Ibu, ibu” desis Ken Arok.
Perempuan itu mencoba menggerakkan tangannya, tetapi kekuatannya sama sekali telah lenyap. Namun senyumnya masih saja membayang dibibirnya.
“Maafkan aku kak” bisik isteri muda Bango Samparan.
Perempuan tua itu mengangguk lemah. Senyumnya masih tampak sekilas. Namun kemudian nafasnya berangsur sendat. Dan sesaat kemudian, maka perempuan tua itu menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
“Ibu, ibu” Ken Arok mencoba mengguncang-guncang tubuh di dalam dukungannya itu. Tetapi tubuh itu telah terdiam untuk selama-lamanya.
“Kenapa ibu tua itu?” bertanya Puranti dengan cemasnya, “kenapa?” dan ketika dilihatnya ibunya sendiri menangis, maka gadis kecil itu mendesak, “kenapa?
“Ibu telah meninggal” bisik Kuncang.
“O” tiba” gadis kecil itu meloncat dari dukungan Kuncang dan berlari memeluk perempuan tua yang telah meninggal di dalam dukungan anak angkatnya.
“Ibu?, ibu” Puranti menangis melolong-lolong, “ibu, kenapa ibu meninggal? Kenapa?,” Lalu digoncang-goncangnya tubuh Ken Arok sambil berteriak, “Kenapa kakang membiarkan ibu meninggal? Kenapa kau diam saja seperti patung? Kakang, berbuatlah sesuatu. Berbuatlah sesuatu.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Namun tangis Puranti itu serasa telah menyobek dadanya. Kematian isteri tua Bango Samparan itu telah mengguncangkan perasaannya. Ditambah dengan derita yang dialami lahir dan batin oleh gadis kecil yang tidak tahu kesalahan apakah yeng telah dilakukan oleh keluarganya. Mereka yang mengurumuni Ken Arok yang mendukung ibu angkatnya itu merundukkan kepala merela dalam-dalam. Yang terdengar adalah isak tangis adik perempuan yang meninggal itu, madunya sendiri, dan anaknya perempuan, Puranti.
“Kenapa ibu tua mati?” suara Puranti tiba-tiba menurun, namun dalam sekali, seolah-olah bergema di dalam relung hatinya.
“Kita telah berusaha Puranti” jawab Ken Arok berat. “tetapi demikianlah nasib yang harus kita tanggungkan.”
Puranti masih menangis. Luka ditubuhnya sama sekali tidak lagi terasa olehnya. Namun, suasana itu tiba-tiba pecah, ketika mereka mendengar suara ribut di kejauhan. Tetapi suara itu semakin lama menjadi semakin dekat.
“Tangkap, tangkap.”
Bango Samparan dan anak-anaknya mengangkat wajahnya. Selintas terbayang kebingungan di wajah mereka. Namun sesaat kemudian terdengar suara Panji Bawuk, “Kita harus menyingkir lebih jauh lagi sebelum mereka melihat.”
Dan Ken Arok pun menyahut, “Korban telah jatuh. Menyingkirlah.”
Bango Sambaran menjadi ragu-ragu sejenak, namun Ken Arok mendesaknya, “Cepat, menyingkirlah.” Lalu kepada Panji Bawuk ia berkata, “Bawalah semuanya menyingkir sampai memungkinkan kalian kembali setelah Ki Buyut memberi kalian petunjuk.”
“Kau?”
Ken Arok tidak menjawab. Sekilas dipandanginya tubuh yang masih berada di dalam dukungannya. Tubuh yang telah tidak bernafas lagi. Justru orang tua yang baik itulah yang harus menjadi korban. Ken Arok merasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Peristiwa itu ternyata telah menyentuh rasa keadilannya. Hubungan batin antara Bango Samparan dan keluarganya dengan perempuan tua itu memang tidak begitu erat sebelumnya, sehingga kematiannya tidak terlampau dalam melukai hati mereka, meskipun disaat-saat terakhir mereka merasa telah banyak membuat kesalahan terhadap perempuan tua itu. Tetapi yang paling parah di antara mereka justru adalah Ken Arok sendiri, dan gadis kecil yang bernama Puranti.
Sementara itu suara di kejauhan manjadi semakin dekat, “Jangan sampai lolos.”
“Cepat” desak Ken Arok, “cepat, bawa mereka pergi.”
Panji Bawuk tidak menjawab. Segera digiringnya keluarganya untuk dengan cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi ketika Panji Kuncang akan mendukung Puranti gadis itu meronta sambil berkata, “Tidak. Aku disini. Aku bersama ibu tua.”
“Pergilah Puranti” berkata Ken Arok, “ibu tua telah meninggal. Aku pun akan segera menyusul.”
“Aku pergi bersama kakang dan ibu tua.”
“Aku akan menahan orang-orang gila itu Puranti. Pergilah bersama kakang Kuncang, ayah dan ibu.”
“Tidak, tidak.” Puranti justru memeluk kaki Ken Arok erat.
Ken Arok menarik, nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi semakin pedih. Namun orang-orang Karuman itu menjadi kian dekat. Sehingga karena itu maka ia berkata, “Tinggalkan Puranti bersamaku Kuncang. Cepat menyingkirlah. Kalau orang-orang itu datang, aku akan mencoba menahan mereka, sampai kalian mendapat kesempatan untuk melepaskan diri. Kuncang ragu-ragu sejenak Ia masih mencoba menarik Puranti. Tetapi Puranti berpegangan dengan eratnya.
“Tinggalkan anak itu padaku” desis Ken Arok.
Dengan ragu-ragu Kuncang pun segera melepaskan Puranti dan kemudian lari secepat-cepatnya menyusul keluarganya yang telah hilang dibalik tikungan. Kini Ken Arok berdiri tegak sambil mendukung perempuan tua dikedua tangannya. Sedangkan Puranti masih berpegangan erat-erat pada sebelah kakinya.
“Puranti” berkata Ken Arok, “jangan berpegangan kaki. Berpeganglah ikat pinggangku.”
Puranti segera melepaskan kaki Ken Arok dan menggenggam ikat pinggang yang sebagian telah terbakar. Sejenak kemudian Ken Arok melihat orang-orang Karuman muncul dari balik dedaunan. Berlari-lari sambil mengacu-acukan senjata mereka. Masih terdengar pula mereka berteriak-teriak dangan penuh kemarahan dan dendam, sehingga mereka benar-benar telah menjadi kalap dan tidak dapat dikendalikan lagi.
“Itu, itu dia, anak angkat Bango Samparan” teriak beberapa orang yang telah melihat Ken Arok.
Tetapi Ken Arok masih berdiri tegak seperti batu karang di atas kakinya yang renggang. Di tangannya terbujur isteri tua Bango Samparan yang hangus, dan di belakangnya seorang gadis kecil berpegangan ikat pinggangnya dengan eratnya, dan bahkan ditarik-tariknya sambil merengek, “Mari kita pergi kakang. Aku takut.”
“Jangan takut Puranti” desis Ken Arok.
Tetapi dada Puranti bergetar terlampau keras. Apalagi setelah ia melihat ujung-ujung senjata yang teracung-acung kepada Ken Arok. Namun ternyata beberapa langkah di hadapan Ken Arok, orang yang berlari-lari di paling depan menghentikan langkahnya, sehingga orang-orang yang di belakangnya pun berhenti pula. Kini mereka berdiri berdesak-desakan sambil menggenggam senjata di tangan masing-masing.
“Bunuh, bunuh” teriak beberapa di antara mereka, yang disahut oleh yang lain, “Ya, tangkap, jangan dilepaskan lagi.”
Tetapi orang yang berdiri di paling depan tidak juga melangkah maju. Sorot mata Ken Arok yang tajam menyambar mereka yang berdiri di bagian terdepan satu demi satu. Semakin banyak ia menangkap wajah-wajah yang semakin buas itu, maka hatinya pun serasa menjadi semakin panas. Ketika wajahnya tertunduk, maka pandangan matanya jatuh pada perempuan tua di dalam dukungannya. Dada Ken Arok bergolak dahsyat sekali. Tiba-tiba maka kakinya seolah-olah tergerak tanpa disadarinya. Ken Arok justru melangkah maju.
“Kakang, kakang” Puranti menarik-narik dari belakang. Tetapi Ken Arok tidak menghiraukannya. Ia melanglah maju pula mendekati orang-orang Karuman yang berhenti termangu-mangu.
“Lihat” suara Ken Arok menggelegar, “lihat, perempuan ini telah menjadi korban kebuasan kalian.”
Sejenak orang-orang Karuman terdiam. Namun di bagian belakang dari kelompok orang-orang yang marah itu terdengar jawaban., “Seharuinya kalian semua menjadi mayat.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk mencari, siapakah yang telah berteriak itu. Tetapi ia tidak dapat menemukannya. Karena itu, maka ia berkata dalam nada yang berat, “Dimana Ki Buyut Karuman?”
Ken Arok tidak segera mendengar jawaban. Sehirgga diulanginya pertanyaannya, “Dimana Ki Buyut Karuman?”
Orang-orang Karunan itu kini berdiri berdesak-desakan. Pertanyaan Ken Arok telah mencengkam dada mereka. Tanpa sadar, mereka pun berpaling dan mencari-cari. Memang Ki Buyut Karuman tidak ada di antara mereka. Sejenak, hati mereka disentuh oleh kecemasan. Namun karena mereka bersama-sama dalam jumlah yang besar, maka segera mereka melupakan Ki Buyut. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berteriak, “Jangan mencari perlindungan kepadanya. Kau harus jatuh ketangan kami.”
“Ya, kau dan seluruh keluarga Bango Samparan harus jatuh ke tangan kami” teriak yang lain.
Namun teriakan mereka itu berhenti ketika mereka melihat Ken Arok justru melangkah semakin dekat. Matanya seolah-olah memancarkan api yang menyala di dadanya. “Apakah kalian masih belum puas?” berkata Ken Arok dengan lantangnya, “Lihat. Perempuan ini adalah justru perempuan yang paling baik dari keluarga Bango Samparan. Gadis kecil ini pun adalah gadis yang sangat baik. Tetapi kedua-duanya telah kalian lukai, dan bahkan perempuan tua ini telah meninggal karena luka-luka bakarnya. Apakah kalian masih belum puas?”
Sejenak orang-orang Karuman itu terdiam. Mata-mata mereka dengan nanar memandang tubuh yang hangus di tangan Ken Arok itu. Namun diantara mereka terdengar, “Kesalahan kalian masih belum lunas. Bukan hanya perempuan itu, tetapi seluruh keluarga harus musnah supaya kalian tidak dapat melimpahkan dendam di kemudian hari.”
“Ya, kalian harus binasa dengan sempurna sampai cindil abang.”
Wajah Ken Arok menjadi semakin menegang. Tetapi justru ia melangkah maju pula. Kemudian dengan lantang ia berkata, “Ternyata kalian adalah orang-orang yang tidak ada bedanya dengan Bango Samparan. Kalian membencinya karena perbuatannya. Tetapi kalian kini akan melakukannya sendiri. Kalian tidak bedanya seperti hantu yang haus darah.”
Sekali lagi orang-orang Karuman itu terdiam. Namun sekali lagi salah seorang dari mereka berteriak, “Jangan dengarkan, jangan dengarkan.” Disahut oleh yang lain, “Binasakan, binasakan.”
Berdesakan, tetapi lambat sekali orang-orang Karuman itu maju Sambil mengacu-acukan senjata mereka, mereka berteriak-teriak. Seolah-olah tidak ada satu kekuatan pun yang dapat membendung mereka. Melihat sikap orang-orang Karuman itu Ken Arok menjadi semakin tegang. Sejenak ia mencoba memperhitungkan, sampai dimana kira-kira Bango Samparan beserta keluarganya. Namun sejenak kemudian, ia merasa mempunyai kepentingan yang lain, tidak hanya sekedar memperpanjang waktu saja.
Karena itu, ketika orang-orang Karuman itu melangkah semakin maju, Ken Arok pun menyongsong mereka pula. Ia melangkah satu-satu dengan wajah tengadah mendukung isteri tua Bango Samparan yang sudah menjadi mayat. Ketika jarak di antara mereka sudah semakin dekat, maka Ken Arok pun berhenti. Wajahnya seolah-olah membara, sedang giginya bergemeretak. Di belakangnya Puranti yang gemetar berpegangan ikat pinggangnya semakin erat.
“Tangkap, tangkap,” terdengar orang-orang Karuman itu masih saja berteriak-teriak, lalu disahut oleh yang lain, “menyerahlah. Jangan banyak tingkah supaya kami tidak menjadi semakin marah.”
Ken Arok tidak menyahut. Ketika ia melihat orang-orang itu mendesak lebih dekat, maka tiba-tiba ia membungkuk perlahan-lahan. Diletakkannya mayat perempuan tua itu ditengah-tengah jalan, dimuka orang-orang Karuman yang menjadi semakin gila. Kemudian setapak ia melangkah surut. Wajahnya yang membara itu pun kemudian diangkatnya. Dipandanginya wajah-wajah orang Karuman satu demi satu. Tiba-tiba terdengar suaranya menggelegar,
“Ayo siapa yang akan menangkap Ken Arok.” Ken Arok berhenti sejenak. Ketika tidak ada suara apa pun maka dilanjutkannya, “Siapa yang melangkahi mayat ibu angkatku, akan menjadi mayat pula. Aku sudah muak melihat tingkah laku kalian yang gila dan kekanak-anakan. Apakah kalian menyangka bahwa kalian dapat menangkap Ken Arok dan apalagi bersama-sama dengan keluarga Bango Samparan? Ternyata kalian telah menjadi gila. Kalian tidak lagi dapat mempergunakan otak kalian. Seharusnya kalian mengerti, kenapa Panji Bawuk tidak lagi mau mengangkat senjatanya. Kenapa adik-adiknya harus membuang senjata-senjata mereka pula? Kalau mereka masih juga menggengam senjata di tangan mereka, maka kalian akan menjadi mayat seperti perempuan tua itu. Bahkan akan jauh lebih mengerikan. Dada kalian atau punggung kalian atau lambung, bahkan mungkin kepala kalian akan terbelah. Apakah kalian tidak percaya? Nah, sekarang tanpa Panji Bawuk, Kuncang dan adik-adiknya serta ayah Bango Samparan, aku sendiri dapat membuktikan. Ayo, siapa yang akan mati lebih dahulu, langkahilah mayat ibu."
Suara Ken Arok itu menggeletar seperti suara guruh di udara. Serasa mengguncang setiap dada dan seakan-akan merontokkan jantung mereka. Sehingga karena itu, maka setiap mulut seakan-akan terbungkam karenanya.
“Ayo” kini Ken Aroklah yang berteriak, “siapa yang akan mencoba menangkap Ken Arok.”
Kini tidak seorang pun yang bergerak.
“Kalian telah berhasil dengan baik, dan kalian dapat berbangga bahwa kalian telah dapat membunuh perempuan tua yang baik itu. Lihat, lihatlah mayatnya yang hangus. Bertanyalah kepada dirimu sendiri, kesalahan apakah yang pernah dilakukan oleh perempuan tua itu kepada kalian masing-masing. Dan bertanyalah kepada diri kalian sendiri kesalahan apakah yang pernah dilakukan oleh gadis kecil ini atas kalian. Kalau kalian dapat menjawab. dan jawaban kalian dapat menyakinkan aku, maka akulah yang akan menangkap Bango Samparan sekeluarga. Tetapi kalau kalian tidak dapat menjawabnya, maka segala macam dosa dan noda yang pernah dilakukan oleh keluarga Bango Samparan akan terpercik kepada kalian. Nah, renungkanlah. Aku tidak berkeberatan apapun keputusan kalian. Apakah aku harus menarik pedangku atau tidak.”
Kata-kata Ken Arok itu ternyata telah memukau jantung orang-orang Karuman itu. Betapapun hati mereka disaput oleh kegelapan, oleh dendam dan kebencian mereka terhadap keluarga Bango Samparan, namun tantangan Ken Arok itu telah membuat mereka menjadi berdebar-debar. Orang yang berdiri di paling depan, kini sudah tidak melangkah maju lagi meskipun beberapa orang yang berdiri di belakangnya mendesaknya. Mereka membeku beberapa langkah saja dari mayat isteri tua Bango Samparan yang terbujur di tanah.
“Siapa? Ayo, siapa” suara Ken Arok masih menggelepar di udara. Namun tidak seorang pun yang bergerak. “Bukankah kalian ingin menangkap aku dan seluruh keluarga Bango Samparan?" Masih belum ada jawaban. “Kenapa kalian membisu saja di situ he?”
Orang-orang Karuman itu benar-benar telah membeku. Hati mereka tiba-tiba berkerut. Sikap Ken Arok telah menumbuhkan persoalan di dalam hati mereka, sehingga mereka pun telah dipaksa untuk berfikir sekali lagi. Namun tiba-tiba dari belakang terdengar suara lantang,
“Jangan takut. Jangan takut. Orang itu hanya pandai berteriak-teriak saja, tetapi ia adalah seorang pengecut. Kami laki-laki juga seperti anak angkat Bango Samparan itu. Anak itulah yang paling banyak menyimpan noda dalam dirinya. Sejak masih terlampau muda ia telah pandai mencuri kelapa. Apalagi kini.”
Tanpa disangka-sangka beberapa orang menyahut, “Ya, jangan takut. Ia hanya menggertak saja. Hanya setan yang dapat menyelamatkan dirinya dari tangan kami.”
Teriakan-teriakan itu telak membuat darah Ken Arok menjadi semakin mendidih. Hampir saja ia kehilangan akal. Namun bagaimanapun juga, ia masih mencari jalan untuk menghindari benturan yang dapat membuatnya sama sekali kehilangan pengekangan diri. Sesaat kemudian ia melihat orang-orang Karuman itu mulai bergerak-gerak lagi. Berdesak-desakan. Yang berdiri di belakanglah yang lelah mendesak maju, sehingga mereka yang berdiri di paling depan pun terpaksa melangkah setapak maju, betapapun di jantungnya dicengkam oleh ke-ragu-raguan.
“Agaknya mereka telah benar-benar gila” geram Ken Arok di dalam hatinya, “Aku harus berbuat sesuatu.”
Ketika orang-orang itu mendesak maju lagi, sehingga mereka benar-benar hampir melangkahi mayat isteri tua Bango Samparan. maka Ken Arok tidak dapat menunda-nunda lagi. Sambil menggeletakkan giginya ia memusatkan segenap kekuatannya pada telapak tangannya.
“Bunuh orang itu, bunuh” orang-orang Karuman itu berteriak.
“Langkahi, langkahi saja mayat itu.” Bahkan yang lain berteriak, “injak saja, injak saja.”
Darah Ken Arok serasa telah mendidih sampai di kepalanya. Hanya kesadaran diri yang terlampau tinggilah, yang dapat mengekangnya, untuk tidak berbuat gila pula seperti orang-orang Karuman. Namun ketika orang-orang Karuman itu maju satapak lagi, dan hampir benar-benar melangkahi mayat ibu angkatnya, Ken Arok itu pun menggeram. Dikibaskannya tangan kecil Yang memegangi ikat pinggangnya. Dan sebelum Puranti menyadari keadaannya, Ken Arok telah meloncat tinggi ke udara. Sepasang tangannya yang kuat, yang telah disaluri kekuatan aneh di dalam dirinya itu pun segera menangkap sebuah cabang pohon sebesar pahanya.
Dengan hentakan yang luar biasa, maka cabang pohon itu pun patah bersama dengan seluruh rantingnya dan segumpal daunnya yang rimbun. Suara gemeretak patahnya cabang itu seolah-olah telah membangunkan orang-orang Karuman yang sedang mabuk. Sejenak mereka terpaku oleh kemampuan yang tidak disangka-sangka itu. Bahkan mereka hampir tidak dapat mempercayainya bahwa hal serupa itu dapat terjadi. Namun kini mereka benar-benar menyaksikan Ken Arok itu telah berdiri di atas tanah dengan kakinya yang renggang. Kedua tangannya terangkat keatas menahan cabang pohon lengkap dengan ranting dan daunnya.
“Awas” teriak Ken Arok, “aku ingin melihat, siapakah yang jantan di antara kalian. Sebelum kalian berusaha menangkap Ken Arok, cobalah tangkap dahulu kayu ini."
Orang-orang Karuman menjadi gemetar setelah mereka menyadari bahwa mereka bukan sekedar sedang bermimpi. Yang dilihatnya adalah benar telah terjadi. Ken Arok dengan kekuatan yang tidak dimengertinya telah mematahkan sebatang cabang bersama ranting-ranting dan segumpal daun-daunnya yg rimbun. Sebelum orang-orang Karuman itu sempat berbuat sesuatu, maka sekali lagi mereka melihat keajaiban dihadapan matanya. Mereka melihat cabang itu seakan-akan meluncur tinggi, kemudian terbang mengarah kepada mereka.
Maka hilanglah segala macam keberanian, kemarahan dan kebencian mereka. Mereka telah diterkam oleh ketakut an yang luar biasa. Karena itu, maka tanpa mengucapkan sepatah katapun, orang-orang Karuman itu bagaikan burung pipit yang dihalau dari tengah-tengah sawah. Mereka berlari-larian salang-tunjang.
Sejenak kemudian terdengar gemerasak cabang pohon yang dilontarkan oleh Ken Arok itu jatuh di tanah, beberapa langkah melampaui mayat ibunya. Tetapi orang-orang Karuman seolah-olah telah tersapu bersih, sehingga tidak seorang pun yang masih tinggal. Mereka berlari tanpa arah, kemana saja asal mereka dapat menjauhi Ken Arok yang mereka anggap mempunyai kekuatan di luar kekuatan manusia wajar.
Namun tiba-tiba dada Ken Arok itu berdesir. Belum lagi hiruk pikuk orang-orang Karuman yang berlari itu hilang, belum lagi getar daun-daun dan ranting-ranting yang dilemparkan itu berhenti, dilihatnya sesosok tubuh dengan ringannya meloncat dan hinggap di atas cabang yang dilontarkannya ke tengah jalan itu. Sejenak Ken Arok terpesona melihat kelincahan orang itu, namun kemudian ia berhasil menguasai perasannya. Ditatapnya orang yang berdiri di dalam rimbunnya dedaunan di tengah jalan itu.
Orang yang berdiri di atas cabang yang melintang ditengah jalan itu adalah Ki Buyut dari Karuman. Orang tua itu membungkukkan kepalanya sambil berkata, “Kau benar-benar luar biasa Ken Arok. Kau mempunyai kekuatan lebih dari sepuluh kali lipat kekuatan orang biasa.”
Ken Arok yang sedang memusatkan segenap kekuatannya itu, perlahan-lahan menurunkan gelora jantungnya. Apalagi ketika ia melihat Ki Buyut Karuman itu tersenyum.
“Belum pernah aku melihat seseorang seperti kau” berkata Ki Buyut itu seterusnya, “Kau bukan saja mengagumkan karena kekuatan dan kecepatanmu bergerak dan berpikir, tetapi hatimu ternyata selapang lautan.” Orang tua itu berhenti sejenak. Setelah menarik nafas delam-dalam ia melanjutkan, “Seandainya bukan kau Ken Arok, maka orang-orang Karuman pasti akan menjadi timbunan mayat ditengah-tengah jalan, di samping mayat ibu angkatmu. Tetapi kau tidak berbuat demikian. Kau hanya menghalau mereka seperti kau menghalau kumpulan kelinc–kelinci liar yang paling bodoh. Sedang aku, orang yang paling mereka kagumi, tetua padukuhan Karuman, ternyata tidak ada sekuku irengmu.”
Ken Arok tidak sebera menjawab. Tetapi getar kekuatannya perlahan-lahan telah mengendap. Meskipun demikian ia masih tetap bersiaga. Ia masih belum tahu benar, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Buyut itu. Tetapi ternyata bahwa Ki Buyut tidak akan berbuat sesuatu.
Orang tua itu berkata, “Ken Arok. Dengan demikian, maka orang-orang Karuman sudah menjadi jera. Kau menundukkan mereka tanpa pepati, bahkan tanpa setitik darah pun yeng menetes dari luka yang paling ringan."
“Ki Buyut” tiba-tiba Ken Arok memotong, “lihatlah siapa yang terbujur ditengah-tengah jalan itu. Apakah itu bukan korban? Bukan sekedar darah yang menitik dari luka, tetapi ibu angkatku telah benar-benar mati, dan gadis kecil yang tidak tahu menahu tentang segala macam persoalan inipun telah terluka.”
Ki Buyut mengangguk-aggukkan kepalanya. Dipandanginya gadis kecil yang berdiri gemetar bersandar dinding batu di pinggir jalan.
“Kemarilah Puranti” panggil Ken Arok yang menjadi semakin kasihan melihat gadis yang menggigil itu.
Perlahan-lahan Puranti melangkah maju. Kemudian meloncat memeluk kaki Ken Arok sambil terisak-isak, “Aku takut kakang.”
“Jangan takut Puranti. Sudah tidak ada bahaya apapun lagi yang mengancammu” jawab Ken Arok. Tetapi tatapan mata gadis kecil yang hinggap pada Ki Buyut Karuman, masih membayangkan kecemasan dan ketakutan.
“Aku tidak apa-apa ngger” berkata Ki Buyut, “aku tidak apa-apa. Aku akan minta maaf kepada kakangmu Ken Arok dan kepada ayahmu Banggo Samparan atas segala peristiwa ini. Atas korban yang ternyata telah jatuh.
“Ki Buyut ternyata memandang persoalan ini dari sebelah sisi,” berkata Ken Arok kemudian, “Ki Buyut sama sekali tidak melibat korban yang terbujur itu. Ki Buyut merasa puas bahwa tidak ada orang Karuman yang menjadi korban, yang luka-luka apalagi terbunuh. Tetapi Ki Buyut tidak berkata apapun dari pihak kami. Apalagi perempuan tua yang baik itu. Coba apakah Ki Buyut dapat menjawab pertanyaanku, seperti yang aku berikan kepada orang-orang Karuman? Apakah perempuan tua ini juga bertalak, dan apakah gadis kecil ini juga bersalah?”
“Ya, ya Ken Arok. Aku mengakui. Bukankah aku telah berkata bahwa korban memang telah jatuh, dan aku minta maaf karenanya?”
“Hanya sekedar minta maaf?”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu la bertanya, “Lalu apakah yang harus aku lakukan?”
Pertanyaan itu pun ternyata telah membingungkan Ken Arok. Sejenak ia berdiam diri, namun tatapan matanya serasa telah mengetuk langsung dinding jantung Ki Buyut.
“Ken Arok” berkata Ki Buyut, “ibu angkatmu memang telah menjadi korban. Sekali lagi aku minta maaf dan menyesal sekali bahwa hal itu telah terjadi. Tetapi kita harus dapat mengendapkan hati kita yang kecewa. Marilah kita melihat segi yang baik dari peristiwa ini. Ibumu telah menjadi tumbal dari suatu peristiwa yang akan merubah hubungan antara keluarga Bango Samparan dengan orang-orang Karuman. Memang untuk meningkatkan suatu keadaan menjadi semakin baik kadang-kadang diperlukan tumbal. Tumbal itu sendiri kadang-kadang tidak tersangkut di dalam persoalan yang sebenarnya. Itu merupakan korban yang tidak ternilai harganya. Ibu angkatmu adalah orang yang paling baik dari seluruh keluarga Bango Samparan, demikian juga adikmu yang terkecil itu. Tetapi justru merekalah yang harus menjadi korban dari persoalan ini. Maka dengan demikian sempurnalah kebaikan mereka. Tebusan yang sempurna demikianlah yang sungguh-sungguh bernilai."
Getar di dada Ken Arok serasa menjadi semakin cepat. Terbata-bata ia berkata, “Apakah itu adil Ki Buyut? Apapun anggapan kita, tetapi yang sudah mati itu tidak akan dapat hidup kembali. Apakah kita akan saling memaafkan, dan apakah orang-orang Karuman dan keluarga Bango Samparan akan dapat mulai dengan hubungan yang baru, namun yang mati itu akan tetap mati.”
“Memang kau benar ngger. Itulah yang aku sebut tumbal. Tumbal yang tidak sia-sia. Bukankah kau rasakan manfaatnya yang tidak ternilai itu? Tentu saja unsur yang lain ikut pula menentukan. Seandainya yang berdiri dihadapanku ini bukan kau, mungkin mayat telah berserakan disini. Tetapi tumbal yang demikian tidak akan berarti apa-apa, karena yang ada justru dendam dan kebencian. Kau dapat menundukkan orang-orang Karuman yang tersisa. Tetapi sekedar lahir, bukan dari dasar hatinya seperti sekarang. Sekarang orang-orang Karuman akan tunduk kepadamu. Lahir dan batin. Ia akan menerima apapun yang kau kehendaki. Aku pun demikian juga sebagai pernyataan terima kasihku. Nah, katakanlah, apakah yang kau kehendaki sekarang.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Dipandanginya saja wajah Buyut tua itu dengan dada yang bergejolak. Namun Ken Arok tahu benar bahwa Ki Buyut itu dapat mengerti apa yang sudah terjadi didalam lingkungan keluarga bango Samparan, sehingga ia pun sudah berusaha untuk mencegah kegilaan orang-orang Karuman. Tetapi ternyata ia tidak berhasil. Karena itu, maka Ken Arok tidak akan dapat menyalahkan orang tua itu. Meskipun demikian terasa sesuatu tersangkut di dalam dadanya. Kematian isteri tua Bango Samparan yang tidak bersalah dan Puranti yang terluka bakar pada tubuhnya. Yang dapat dilakukan Ki Buyut itu hanyalah sekedar minta maaf, sedang yang mati itu akan tetap mati.
“Tumbal” desisnya. Dan terngiang suara Ki Buyut untuk meningkatkan suatu keadaan memang diperlukan tumbal. Ken Arok tiba-tiba menggeram. Tetapi ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya.
“Silahkan ngger” berkata Ki Buyut, “katakanlah. Apakah yang kau kehendaki?”
Tiba-tiba Ken Arok menghentakkan perasaannya yang seakan-akan sedang terkungkung didalam lingkaran yang gelap. Dengan sepenuh tenaga didorongnya kata-kata dari dalam mulutnya, “Aku tidak menghendaki sesuatu Ki Buyut. Aku hanya menghendaki, ayah Bango Samparan dapat tinggal di Karuman dengan baik. Aku mengharap bahwa keluarga itu telah berubah. Apalagi Panji Bawuk. Kalau terjadi sesuatu yg kurang menyenangkan, Ki Buyut dapat berhubungan dengan Panji Bawuk. Aku sendiri akan segera meninggalkan padukuhan ini, kembali ke Tumapel."
“Aku akan menjadi jaminan Ken Arok” jawab Ki Buyut.
Ken Arok mengangguk perlahan-lahan. Ketika terpandang olehnya mayat ibu angkatnya hatinya berdesir. Perlahan-lahan ia melangkah maju, berjongkok disamping mayat ibunya sambil berdesis, “Korban yang paling berharga. Mudah-mudahan korban ini tidak sia-sia.”
Puranti yang kecil pun berjongkok pula. Setetes-setetes air matanya jatuh di pangkuannya. Tetapi, gadis kecil itu mencoba untuk menahan tangisnya. Namun justru dengan demikian dadanya menjadi sesak oleh isaknya.
“Sudahlah Puranti” Ken Arok mencoba menenangkan hati gadis kecil itu walaupun hatinya sendiri terasa sakit. “Marilah kita mencari ayah dan ibu muda. Kalian akan kembali ke padukuhan ini dengan tenang. Ki Buyut akan selalu melindungi kalian. Tetapi kalian harus berbuat baik”
Puranti menengadahkan kepalanya. Sorot matanya menunjukkan kegelisahan yang melonjak-lonjak. Dan tiba-tiba saja Ken Arok menyadari kekeliruannya. Seharusnya nasehat itu tidak diberikannya kepada Puranti, tetapi kepada keluarga Bango Samparan yang lain, sehingga dengan serta-merta ia menyambung, “Tetapi kau sudah baik Puranti. Ayah, ibu dan kaka-kakakmu pun sudah baik.”
Puranti tidak menyahut. Tetapi keragu-raguan masih saja membayang di wajahnya.
“Marilah” berkata Ken Arok kemudian, “kita akan mencari ayahmu.”
Puranti mengangguk kecil. Perlahan-lahan ia berdiri sambil memandangi Ki Buyut yg kini telah berdiri di samping mereka.
“Aku minta diri Ki Buyut” berkata Ken Arok kemudian setelah ia mengangkat mayat ibu angkatnya.
“Baiklah Ken Arok” jawab Ki Buyut, “katakan kepada keluarga Bango Samparan, bahwa aku akan menerima mereka dengan baik. Dan aku akan menjamin, bahwa tidak akan terjadi sesuatu selama mereka tidak kambuh lagi."
"Terima kasih” sahut Ken Arok.
Maka Ken Arok pun kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Puranti berjalan di sampingnya sambil berpegangan ujung kain panjang kakak angkatnya. Peristiwa yang baru saja terjadi telah mengguncang dadanya, sehingga tiba-tiba saja gadis kecil itu menjadi pendiam. Berbagai masalah berputaran dikepalanya. Namun ia masih belum mampu menemukan persoalan yang sebenarnya telah terjadi. Sebab dan akibatnya.
Langkah Ken Arok semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan Puranti pun kemudian terpaksa berlari-lari kecil di sampingnya Ken Arok ingin segera bertemu dengan Bango Samparan, kemudian menyelesaikan mayat isterinya itu. Mereka terpaksa berjalan beberapa lama. Ken Arok tahu, bahwa Bango Samparan dan keluarganya pasti sedang bersembunyi, sehingga tidaklah mudah untuk menemukannya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia mendengar desir di sebelah gerumbul-gerumbul liar di pinggir jalan. Perlahan-lahan ia berputar mengarah ke suara itu, sedang Puranti sekali lagi menjadi ketakutan.
“Ada apa kakang?”
Ken Arok tidak segera menjawab. Telinganya yang tajam mendengar desir yang semakin dekat.
Ken Arok tidak segera menjawab. Telinganya yang tajam mendengar desir yang semakin dekat.
“Kakang” tiba-tiba ia mendengar suara Panji Bawuk, sehingga tanpa sesadarnya ia menarik nafas lega.
“Kau, Panji Bawuk?”
Sejenak kemudian sesosok tubuh muncul dari sela-sela dedaunan di balik rerumputan liar. “Bagaimana dengan orang-orang Karuman itu kakang?” bertanya Panji Bawuk.
“Semuanya sudah selesai.”
Panji Bawuk menjadi ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ken Arok dengan penuh kebimbangan. Ken Arok merasakan tusukan tatapan mata anak sulung Bango Samparan itu, maka katanya, “Aku tidak membunuh seorang pun dari mereka. Ki Buyut menjadi saksi. Semuanya dapat diselesaikan tanpa menumpahkan darah orang Karuman, meskipun ibu harus menjadi tumbal.”
Panji Bawuk tidak segera menyahut. Sekilas ditatapnya perempuan tua yang telah meninggal ditangan Ken Arok itu. Sejenak kemudian anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ditatapnya wajah adiknya yang pucat, dan luka-lukanya yang membakar beberapa bagian dari tubuh dan pakaiannya.
“Marilah” desisnya kemudian, “kita pergi ketempat ayah dan ibu bersembunyi.”
Ken Arok mengangguk, “Marilah”
Ketika Ken Arok melangkah, maka Panji Bawuk pun segera mendekati adiknya dan berbisik, “Marilah, aku dukung kau."
Kata-kata itu terasa aneh di telinga Puranti. Kakaknya yang sulung itu tidak pernah tampak begitu sedih dan begitu baik kepadanya. Namun Puranti telah dapat merasakan, perubahan memang telah terjadi dalam keluarganya.
Panji Bawuk pun kemudian berjalan mendahului Ken Arok sambil mendukung Puranti. Mereka menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar dan batang-batang ilalang setinggi dada. Kemudian mereka sampai pada sebuah sungai yang curam. Di tebing sungai itulah Bango Samparan dan keluarganya tersembunyi.
Kedatangan Ken Arok sambil membawa mayat isteri tua Bango Samparan dan Puranti, telah menumbuhkan berbagai pertanyaan pada keluarga itu. Berganti-ganti mereka mengucapkan pertanyaan yang berturutan, sehingga Ken Arok tidak dapat menjawabnya satu demi satu.
“Aku akan berceritera saja” berkata Ken Arok, “pertanyaan kalian akan terjawab.”
Maka setelah meletakkan mayat ibu angkatnya, Ken Arok segera menceriterakan semua peristiwa yang dialaminya, sehingga akhirnya ia berkata, “Ki Buyut telah menjamin, bahwa ayah sekeluarga akan dapat tinggal dengan tenteram di Karuman, asal ayah dan seluruh keluarga tidak kambuh lagi.”
Bango Samparan menundukkan kepalanya. Keputusan Ki Buyut itu telah mengungkat keharuan di dalam dadanya. Meskipun demikian ia masih dicemaskan oleh keragu-raguannya tentang diri sendiri. Apakah ia akan dapat menahan hati untuk tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan keinginan Ki Buyut dan orang-orang di sekitarnya.
Namun sebelum Bango Samparan menjawab, terdengar suara Panji Bawuk parau, “Kami akan berusaha kakang. Kalau kami suatu ketika terperosok kembali kedalam dunia yang hitam, kami mengharap kakang akan dapat memperingatkan.”
“Kalau aku sempat melihat kalian” jawab Ken Arok
“Kenapa? Jarak antara Tumapel dan Karuman tidak terlampau jauh. Sebulan sekali kakang dapat datang ke Karuman, atau salah seorang dari kami pergi ke Tumapel.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku akan berusaha. Mudah-mudahan kalian terhindar dari kebiasaan yang memang seharusnya dikubur bersama korban yang telah jatuh ini.”
Panji Bawuk meng-angguk-anggukkan kepalanya, sedang Bango Samparan, isteri mudanya dan anak-anaknya yang lain menunduk kan kepala mereka dalam-dalam. Sejanak mereka seolah-olah membeku dan mengembara di dalam angan-angan masing-masing. Mereka telah tenggelam dalam kenangan masa silam dan bayangan masa mendatang. Berbagai perasaan bergelut di dalam dada mereka. Penyeaalan, kecewa dan harapan.
Ken Arok sendiri duduk tepekur di sisi mayat ibu angkatnya. Ia pun sedang hanyut oleh berbagai macam perasaan. Matanya yang tajam menatap mayat ibu angkatnya tanpa berkedip. Didalam dadanya melonjaklah kekecewaan yang dalam. Kenapa justru ibu angkatnya yang harus menjadi korban. Justru orang yang paling baik di antara keluarga Bango Samparan.
“Kenapa orang-orang Karuman itu berbuat sekehendak hati mereka sendiri?” desis Ken Arok di dalam hatinya. Namun kemudian terbayang Ki Buyut yang telah berusaha mencegah orang-orangnya, tetapi ia gagal.
“Penyesalan itu tidak akan dapat membangunkan ibu angkatku” berkata Ken Arok itu di dalam hatinya pula.
Ternyata kematian telah berkesan demikian dalam di dalam hati Ken Arok. Tanpa sesadarnya jantungnya telah diracuni oleh perasaan dendam. Tetapi ia tidak tahu, kepada siapa ia harus melepaskan dendamnya. Ia tahu bahwa ia tidak boleh berbuat menurut perasaannya saja atas orang-orang Karuman, meskipun ia dapat membunuh siapa saja yang disukainya, bahkan Ki Buyut sekalipun. Nalarnya agaknya masih berhasil menguasai perasaannya. Namun ia tidak berhasil melenyapkan perasan kecewa itu. Meskipun pada suatu saat ia berhasil mengendapkannya, namun apakah pada suatu ketika perasaan itu tidak akan muncul lagi menggenangi hatinya justru dalam campur baur dengan endapan perasaannya yang lain yang ditekannya dengan nalar?
Tiba-tiba Ken Arok itu berkata dengan nada datar, “Marilah kita selesaikan mayat ibu tua ini.”
Bango Samparan dan anak-anaknya serasa tersadar dari tidurnya yang dibayangi oleh mimpi buruk. Terbata-bata Bango Samparan menyahut, “Marilah. Marilah.”
Maka mereka pun segera mencari tempat yang mereka anggap baik untuk menguburkan isteri tua Bango Samparan itu, ditandai oleh beberapa buah batu, supaya mereka tidak kehilangan. Apabila mereka pada saatnya dapat hidup dengan tenang kembali di Karuman, maka tempat itu seharusnya dirawat dengan baik, sebagai kenangan bahwa seseorang telah menjadi korban cara hidup mereka yang buram.
Agaknya Ken Arok tidak dapat berbuat setengah jalan. Sesudah mayat isteri tua Bango Samparan itu selesai dirukti, maka Bango Samparan dan keluarganya masih juga minta tolong kapadanya, untuk mempersiapkan jalan kembali ke Karuman.
“Baik” jawab Ken Arok “aku akan berusaha. Tetapi setelah itu aku tidak akan dapat menunggui kalian lebih lama lagi. Waktuku beristirahat telah menjadi semakin pendek. Aku masih ingin pergi ke beberapa daerah mengunjungi orang-orang yang terlampau baik kepadaku."
“Aku tidak akan menahanmu lagi Ken Arok, tetapi aku minta kau menyelesaikan masalahku ini sama sekali.” minta Bango Samparan.
Ken Arok tidak dapat menghindarkan diri dari pekerjaan itu. Ia harus menyelesaikan masalah Bango Samparan itu sama sekali. Karena itu, maka setelah hatinya menjadi agak tenteram, dan setelah mereka bermalam satu malam di pereng tebing sungai, maka Ken Arok segera pergi untuk menemui Ki Buyut. Ia tidak sampai hati melihat Puranti tidur kedinginan di atas pasir yang hanya dialasi dengan sehelai kain panjang, di samping perapian untuk mengusir dingin dan nyamuk.
Ternyata Ken Arok tidak banyak menemui kesulitan. Baik Ki Buyut maupun orang-orang Karuman yang lain tidak menaruh keberatan lagi, dengan syarat, bahwa Ken Arok akan bertanggung jawab apabila Bango Samparan dan keluarganya terjerumus lagi kedalam dunianya yang buram.
“Aku akan mengawasinya” berkata Ken Arok kepada Ki Buyut, “aku berada di Tumapel, tidak terlampau jauh dari Karuman. Seandainya keadaan memaksa, satu dua orang dapat menyampaikannya kepadaku.”
“Baiklah Ken Arok” berkata Ki Buyut, “sementara Bango Samparan belum sempat mendapat rumah baru, biarlah ia berada di rumahku.”
“Terima kasih Ki Buyut. Tetapi sayang bahwa aku tidak dapat menemaninya. Aku harus segera kembali ke Tumapel.”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Apabila aku memerlukanmu, aku akan memanggilmu.”
“Aku akan datang setiap saat Ki Buyut.”
Persoalan seterusnya tidak ada kesulitan apapun. Bahkan Ki Buyut menyanggupi, untuk mengajak orang-orang Karuman membuat rumah baru bagi Bango Samparan di atas bekas rumahnya yang telah menjadi abu. Tetapi Ken Arok benar-benar tidak dapat ditahan lagi. Sebelum orang-orang Karuman mulai membuat rumah buat Bango Samparan, Ken Arok telah minta diri kepada Bango Samparan sekeluarga, kepada Ki Buyut dan kepada orang-orang Karuman. Ia harus meninggalkan Karuman, melanjutkan perjalnanannya sebelum ia kembali ke Tumapel.
“Aku ikut bersamamu kakang” Puranti merengek.
“Jangan Puranti. Aku masih akan berjalan jauh sekali sebelum aku kembali ke Tumapel.”
“Tetapi disini sudah tidak ada ibu tua lagi, tidak ada yang mengawani aku bermain-main."
“Tidak Puranti. Sekarang ibu muda akan menemani kau bermain-main.” sahut ibunya.
“Kau tidak akan sendiri lagi Puranti” sambung Panji Bawuk, “kakak-kakakmu akan selalu tinggal di rumah. Kami sudah tidak ada pekerjaan lagi di luar Karuman. Kami akan membuka dan memperluas sawah kami yang telah ada.”
Puranti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah ayah dan kakak-kakak akan bekerja di sawah seperti kebanyakan orang Karuman?”
“Ya Puranti, kami semua akan bekerja di sawah seperti kebanyakan orang Karuman.” jawab Panji Bawuk.
“Dan ibu muda akan memasak di rumah dan mengantar makanan ke sawah menjelang tengah hari?”
“Ya Puranti.”
“O” tiba-tiba wajah gadis kecil itu menjadi cerah, “aku akan ikut dengan ibu muda mengantar makanan ke sawah. Bukankah begitu?”
“Ya Puranti” terdengar suara ibunya parau.
Puranti menjadi heran ketika ia berpaling memandangi wajah ibunya. Dilihatnya matanya menyadi basah. Tetapi gadis kecil itu tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah Ken Arok menyerahkan keluarga Bango Samparan sekeluarga, maka Ken Arok itu pun mengayunkan kakinya, meninggalkan halaman rumah Ki Buyut Karuman diiringi oleh berpuluh-puluh tatapan mata. Terasa perpisahan itu sangat berkesan di hati orang-orang Karuman yang mengaguminya. Terutama keluarga Bango Samparan. Orang-orang Karuman kagum melihat kelapangan hati anak muda itu meskipun ibu angkanya sudah menjadi korban.
“Seandainya bukan Ken Arok” mereka berdesis di dalam hatinya.
Sementara itu langkah Ken Arok pun terasa dibebani oleh berbagai macam perasaan. Kadang-kadang ia pun masih diliputi keragu-raguan, apakah keluarga Bango Samparan sudah melepaskan cara hidupnya yang sesat...