PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 36
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 36
Karya Singgih Hadi Mintardja
KETIKA Jajar itu sudah semakin dekat dengan api, sedang para prajurit yang mengejarnya masih juga belum dapat menangkapnya, maka Akuwu sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Pada saat terlihat olehnya sebatang bambu yang tergolek di sampingnya, maka segera diambilnya. Dengan cepat bambu itu dilontarkan ke arah Jajar yang sedang berlari kencang menuju ke dalam api yang masih menyala-nyala.
Ternyata lemparan Akuwu Tunggul Ametung itu tepat mengenai sasarannya. Bambu itu meluncur tepat dimuka kaki Jajar yang gemuk, yang sudah dicengkam oleh kegilaannya. Bambu itu begitu cepat dan tiba-tiba sudah berada dimuka kakinya, sehingga Jajar itu tidak sempat untuk menghindar. Dengan demikian maka kakinya terantuk bambu itu dengan kerasnya.
Sejenak kemudian terdengar Jajar itu memekik tinggi, dan tubuhnya yang lemah terbanting di atas tanah, beberapa langkah saja dari lidah api yang memerah menari-nari dalam belaian angin yang lembut. Dengan tangkasnya para Prajurit Tumapel segera mengerumuninya dan mengangkatnya menjauhi api yang terasa sangat panas itu. Terdengar Akuwu Tunggul Ametung berdesis. Sebenarnya ia sudah tidak ingin mempedulikan apa yang terjadi atas Jajar itu. Namun perasaannya telah memaksanya untuk melangkahkan kakinya mendekatinya.
Perlahan-lahan Jajar yang gemuk itu dibaringkan di atas tanah. Sedang para prajurit itu pun segera berjongkok di sampingnya. Ketika Akuwu tiba pula di tempat itu, dan berdiri diarah kepalanya, maka tiba-tiba seorang prajurit berdesis, “Ia telah pergi Tuanku.”
“He” Akuwu itu terperanjat, “apa katamu?”
“Juru taman ini telah meninggal.”
“Mati?” hampir tidak percaya Akuwu atas telinganya.
“Hamba Tuanku. Suatu hentakan yang sangat mengejutkan telah menghentikan sama sekali detak jantungnya yang lemah.”
Wajah Akuwu tiba-tiba menegang. Sejenak kemudian terdengar ia berdesis, “Bukan maksudku membunuhnya. Aku hanya ingin mencegah supaya ia tidak meloncat ke dalam api, dan membakar dirinya sendiri hidup-hidup.”
“Hamba Tuanku.”
“Tetapi orang itu mati.”
“Bukan karena sebab terakhir itu Tuanku. Memang tubuhnya telah terlampau lemah.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bergumam, “Aku kehilangan kesempatan untuk menangkap Kebo Sindet. Kalau Kebo Sindet berusaha menghubungi aku atau Ken Dedes lagi, maka kesempatan itu betapapun kecilnya akan aku dapatkan. Tetapi bagaimana kalau Kebo Sindet menjadi mata gelap dan langsung berbuat sesuatu atas Mahisa Agni?”
Tidak seorang pun dari para prajurit yang dapat menjawabnya. Mereka seolah-olah terbungkam. Hanya mata mereka sajalah yang berkeredipan, memandangi mayat Jajar yang gemuk yang masih terbujur di hadapan mereka. Para prajurit itu terkejut ketika mereka mendengar tiba-tiba saja Akuwu itu berkata lantang, “Bodoh. Juru taman itu memang bodoh.” Lalu, “Kebo Sindet itu harus binasa supaya daerah Tumapel menjadi aman.”
Dan sebelum para prajurit itu menyadari keadaan mereka, Akuwu itu berkata, “Kita kembali ke istana. Kita siapkan sepasukan prajurit pilihan. Kita akan mencari Kebo Sindet di sarangnya.”
Beberapa orang prajurit saling berpandangan. Namun salah seorang dari mereka masih sempat bertanya, “Lalu bagaimana dengan mayat Jajar ini, Tuanku?”
Akuwu Tunggul Ametung tertegun sejenak. Lalu katanya, “Bawalah. Uruslah dan besok kuburkanlah.”
Prajurit itu tidak menyahut lagi. Mayat Jajar yang gemuk itu segera diangkatnya dan kemudian diletakkannya di atas punggung kudanya. Ketika para prajurit itu melihat Akuwu sudah meloncat ke atas punggung kudanya, maka mereka pun menjadi bergegas-gegas pula berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing.
Tetapi ketika kuda-kuda itu sudah mulai bergerak, seorang prajurit berkata, “He, aku tidak mempunyai tunggangan.” Prajurit itu adalah prajurit yang bertugas mengintai perkelahian antara Kebo Sindet dan anak-anak muda yang menjebaknya.
“Marilah, kita berdua” sahut salah seorang prajurit yang sudah berada di atas punggung kuda.
Prajurit itu pun segera meloncat pula. Tubuhnya yang tersentuh api masih terasa pedih. Namun ia sudah tidak sempat lagi mengeluh. Kuda yang dinaikinya itu pun segera berlari pula di belakang kuda-kuda yang telah mendahuluinya. Ternyata Akuwu yang sedang dibakar oleh kekecewaan itu telah jauh mendahului mereka. Kedua pengawal utamanya dengan susah payah mengejarnya dan berpacu dekat di belakangnya. Ketika prajurit yang membawa mayat Jajar yang gemuk itu berpaling, maka masih dilihatnya warna merah tersangkut di ujung pepohonan. Tetapi api sudah menjadi semakin surut.
Sementara itu, dua orang lain sedang berpacu pula keluar kota Tumapel. Setelah mereka mengambil kuda mereka dari tempat persembunyiannya, maka segera mereka melarikannya sekencang angin. Derap kakinya terdengar gemeretak memecah sepi malam. Semakin lama semakin jauh, langsung menyusup ke dalam gelapnya malam menyusur jalan persawahan.
Meskipun angin malam yang basah menyentuh tubuh mereka, tetapi keringat mereka seolah-olah terperas dari seluruh tubuh. Di lambung mereka tersangkut senjata-senjata mereka yang masih basah oleh darah yang berwarna merah segar. Bukan saja senjata mereka, tetapi juga pakaian mereka, dan bahkan tubuh mereka. Bukan darah yang mengalir dari luka mereka sendiri, tetapi darah yang terpercik dari lawan-lawan mereka yang sudah mereka binasakan.
Kedua orang itu adalah Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Hampir tanpa berpaling mereka berpacu meninggalkan kota Tumapel, kembali ke sarang mereka ditengah-tengah rawa-rawa Kemundungan. Wajah-wajah mereka masih membayangkan ketegangan hati dan kejemuan yang hampir meledak. Sekali-sekali masih terdengar Kebo Sindet menggeram. Namun Kuda Sempana mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
“Setan itu terlampau licik” terdengar kemudian suara Kebo Sindet memecah sepinya malam.
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Dengan sudut matanya ia memandangi wajah Kebo Sindet. Tetapi wajah itu hampir seperti yang setiap hari dilihatnya. Beku. Namun ketika kilat meloncat di langit, Kuda Sempana melihat di dahinya masih membayang beberapa goresan yang bagi Kebo Sindet telah cukup jelas membayangkan hatinya yang bergolak dalam ketegangan.
Ternyata loncatan kilat itu telah menyentuh hati Kebo Sindet yang keras, sekeras batu akik. Kilat itu telah mengingatkannya kepada bendungan yang tengah diselesaikan oleh Ken Arok, orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel. Kemudian ingatannya segera hinggap kepada orang yang selama ini disimpannya, Mahisa Agni.
“Nasibnya memang terlampau jelek” desis Kebo Sindet itu tiba-tiba.
Kini Kuda Sempana benar-benar berpaling memandanginya. Ia masih menganggap Kebo Sindet itu berkata tentang Jajar yang gemuk, yang telah diikatnya pada tiang rumahnya yang sedang terbakar, tetapi ternyata Kebo Sindet meneruskan, “Aku hampir kehilangan kesabaran. Aku kira aku sudah tidak perlu lagi memeliharanya terlampau lama seperti memelihara seekor kucing yang tidak berarti apa-apa bagiku.”
Baru Kuda Sempana tahu, bahwa yang dimaksud itu adalah Mahisa Agni. Tetapi Kuda Sempana masih tetap membisu. Sesaat kemudian ia mendengar Kebo Sindet itu berkata pula, “Apakah kau masih akan mencoba lagi Kuda Sempana, setelah kita dihinakan sedemikian menyakitkan hati oleh seorang Jajar yang paling sombong di seluruh dunia?” Kebo Sindet berhenti sejenak, “Seorang yang merasa mampu melawan Kebo Sindet hanya bersama dengan sembilan atau sepuluh orang saja. Sebenarnya hukuman Jajar itu masih terlampau ringan. Aku seharusnya membuatnya menjadi tepung. Mencincangnya dan membiarkan mayatnya di perapatan.”
Terasa bulu tengkuk Kuda Sempana meremang. Anak muda itu tidak dapat mengerti, perasaan apa yang telah tergores di dinding hatinya. Ia sama sekali bukan seorang yang cengeng. Tetapi mendengar kata-kata Kebo Sindet itu terasa kengerian menyentuh perasaannya.
“Bagaimana?” Kebu Sindet mendesak.
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya. Ia sudah tidak ingin lagi menyeret seseorang ke dalam bencana dengan kesempatan-kesempatan yang dapat diberikannya untuk memeras Ken Dedes. Jajar gemuk itu pun ternyata telah ditelan oleh pamrihnya yang berlebih-lebihan seperti orang-orang yang lain. Bahkan Jajar ini telah berbuat terlampau gila, melampaui semua orang yang telah pernah dihubunginya.
“Apakah kau sudah kehabisan akal?” bertanya Kebo Sindet pula.
Dengan suara parau akhirnya Kuda Sempana menjawab, “Ya. Aku sudah tidak tahu lagi jalan yang dapat kita tempuh.”
Kebo Sindet menggeram, “Bagus. Kalau demikian maka hanya ada satu cara. Langsung menemui Permaisuri itu, atau membinasakan saja Mahisa Agni. Tidak ada gunanya lagi membiarkannya hidup. Tetapi Permaisuri yang terlampau kikir itu harus dapat mengetahui apa yang telah terjadi atas kakaknya. Biarlah ia tersiksa seperti Mahisa Agni pula meskipun bukan tubuhnya.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Terasa sebuah desir yang tajam di dalam dadanya. Semakin cepat Kebo Sindet menyelesaikan Mahisa Agni, maka ia pun akan semakin cepat tidak diperlukannya lagi. Kuda Sempana sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi atasnya apabila ia sudah tidak diperlukan lagi. Mungkin ia akan di bunuh bersama-sama Mahisa Agni, atau mungkin dengan cara lain.
“Tetapi” Kuda Sempana masih mendengar Kebo Sindet itu berkata, “hampir sudah tidak ada harapan lagi untuk dapat menghubungi Permaisuri. Aku tidak mau terjebak untuk yang ke sekian kalinya. Aku sudah terlampau bermurah hati untuk menunda kematian Mahisa Agni” Kebo Sindet berhenti sejenak, lalu, “He, Kuda Sempana. Bukankah kau telah banyak menyadap ilmu dari Kemundungan di samping ilmu gurumu sendiri. Kau seharusnya telah menjadi lebih perkasa. Aku mengharap kau akan mampu membunuh Mahisa Agni dalam suatu perkelahian yang menentukan. Apalagi Mahisa Agni kini sudah menjadi semakin lemah. Kau akan mendapat banyak kesempatan untuk membalas sakit hatimu. Apakah kau ingin berbuat demikian?”
Sekali lagi dada Kuda Sempana berdesir. Kali ini menjadi semakin tajam. Ia tahu benar maksud Kebo Sindet dengan kata-katanya itu. Ia akan menjadi tontonan yang sangat menarik bagi Kebo Sindet itu. Ia harus berkelahi melawan Mahisa Agni. Tetapi ia menyadari apakah yang akan terjadi pada akhir dari perkelahian itu. Siapa pun yang menang dan siapa pun yang kalah.
“Bagaimana?”
Kuda Sempana masih berdiam diri.
“Kau tidak perlu takut lagi kepada kelinci cengeng itu. Ia akan segera dapat kau jatuhkan. Kemudian kau dapat berbuat apa saja atasnya. Bukankah itu menyenangkan bagimu?”
Kuda Sempana masih belum menjawab. Namun tiba-tiba ia menjadi semakin muak kepada orang yang berwajah beku seperti mayat itu. Tetapi ia masih harus tetap menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apapun atas iblis yang mengerikan itu. Terbayang diruang matanya apa yang baru saja terjadi atas Jajar yang gemuk itu. Kuda Sempana rnenyangka bahwa Jajar itu kini telah menjadi abu, setelah ia memekik-mekik dan berteriak-teriak ketakutan dan kepanasan. Terasa bulu-bulu tengkuk Kuda Sempana meremang. Jajar yang gemuk itu benar-benar bernasib malang. Ia telah hancur karena pamrihnya yang berlebih-lebihan.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Kini langkah kuda-kuda mereka menjadi semakin surut. Mereka telah berada di luar kota Tumapel, di antara pategalan yang hijau kehitam-hitaman di malam hari. Ketika tanpa dikehendakinya sendiri Kuda Sempana mengangkat wajahnya menengadah ke langit, maka dilihatnya awan yang hitam melapisi cahaya bintang yang bergayutan di udara.
Kuda Sempana itu berpaling ketika ia mendengar Kebo Sindet berkata, “Kau harus melakukannya Kuda Sempana. Kau harus melepaskan dendammu supaya tidak membara di dada dan membakar jantungmu sendiri. Kau akan mendapatkan gairah hidupmu kembali apabila kau telah berhasil melepaskan sakit hatimu. Selama ini aku melarangmu untuk membunuhnya karena aku mengharap Mahisa Agni akan dapat mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit. Tetapi ternyata Permaisuri itu terlampau kikir, dan orang-orang yang telah menghubunginya adalah orang-orang yang terlampau tamak. Karena itu apabila aku tidak merubah pikiranku karena aku menemukan jalan yang baik dengan tiba-tiba, maka kau harus melakukannya. Kita bawa Mahisa Agni itu ke Tumapel. Dan kau dapat membunuhnya di tempat yang pasti akan diketemukan oleh prajurit-prajurit Tumapel, sehingga dengan demikian berita kematiannya akan menyiksa perasaan Permaisuri.”
Kuda Sempana masih membisu. Namun dadanya menjadi semakin berdentangan dilanda oleh kebencian yang tiba-tiba saja memuncak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
“Apakah kau sedang memikirkan cara yang sebaik-baiknya untuk membunuhnya?” bertanya Kebo Sindet karena Kuda Sempana masih saja berdiam diri, “pikirkanlah cara itu.”
Kuda Sempana tetap dalam kediamannya.
“Apakah kau takut?” bertanya Kebo Sindet kemudian, “Benar? Kau sedang ketakutan?”
Kuda Sempana tidak dapat terus menerus berdiam diri. Karena itu maka ia menjawab, “Tidak. Aku tidak pernah merasa takut kepada siapapun.”
Wajah Kebo Sindet yang beku masih tetap membeku. Tetapi jawaban Kuda Sempana itu tidak menyenangkannya. Meskipun demikian dibiarkannya saja Kuda Sempana melepaskan segala macam perasaannya seandainya diingininya. Di dalam hati Kebo Sindet berkata, “Kau memang sudah tidak berguna lagi bagiku. Memang sebaiknya kau sajalah yang membunuh Mahisa Agni. Kemudian kau pun akan mati pula seperti orang-orang lain yang sudah tidak dapat memberikan arti apa-apa lagi bagiku.”
Kini mereka sekali lagi terbenam ke dalam kediaman. Masing-masing sedang menjelajahi angan-angan sendiri. Kuda Sempana yang sedang diganggu oleh perasaan muak dan benci itu hampir tidak dapat berpikir lagi, apa yang sebaiknya dilakukan. Tetapi Kebo Sindet sedang memikirkan hal yang sangat baik baginya. Ia akan dapat mengadu kedua anak muda itu seperti menyabung ayam. Keduanya pasti menyimpan dendam yang membara di dalam dada masing-masing. Perkelahian di antara keduanya pasti akan merupakan perkelahian yang sangat menyenangkan.
“Sayang, Wong Sarimpat tidak dapat ikut melihat tontonan yang sangat menarik ini” katanya di dalam hatinya, “kalau ia masih sempat, maka ia akan menjadi sangat bersenang hati. Mungkin ia akan melihat perkelahian ini dengan cambuk di tangan.” Kebo Sindet berpaling ke arah Kuda Sempana. Dilihatnya wajah anak muda itu pun seakan-akan telah membeku pula.
“Ia harus diajar untuk menyadari dirinya” gumam Kebo Sindet di dalam hati pula lalu tiba-tiba, seolah-olah terlonjak di dalam dadanya. “Aku pun harus menggenggam cambuk. Aku harus melihat seolah-olah dua ekor cengkerik sedang beradu. Aku harus menjaga keseimbangan mereka, sehingga perkelahian itu akan menjadi sangat ramai.” Ia kini menemukan suatu permainan yang baginya akan sangat menjenangkan, “Mereka tidak perlu segera mati. Mereka harus tetap dipelihara. Mungkin aku dapat mempertontonkannya di rumah-rumah perjudian.”
Kebo Sindet itu tertawa di dalam hatinya, meskipun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun. Sekali-sekali ia masih berpaling memandangi wajah Kuda Sempana yang acuh tidak acuh. Namun Kebo Sindet itu sudah tidak terlampau sering berbicara lagi. Ia lebih senang berangan-angan tentang perkelahian antara kedua anak muda yang akan dipakainya sebagai ayam sabungan.
Sementara itu Akuwu Tunggul Ametung yang berada di istananya duduk tepekur dihadap oleh Permaisurinya. Ken Dedes yang telah mendengar tentang sikap Jajar yang licik itu menjadi kian cemas. Ia cemas akan nasib Mahisa Agni. Mungkin dalam kekesalan dan kemarahannya Kebo Sindet akan dapat berbuat apa saja untuk melepaskan perasaan yang menyesak dadanya.
“Aku sudah berusaha” berkata Akuwu Tunggul Ametung.
“Hamba Tuanku” sahut Ken Dedes perlahan sekali. Namun sekali dadanya dirayapi oleh kekecewaan yang mendalam. Ia menganggap bahwa Akuwu Tunggul Ametung terlambat berbuat sesuatu sehingga keadaan Mahisa Agni menjadi semakin sulit. Terbayang di dalam angan-angannya penderitaan yang terjadi atas kakaknya itu. Bahkan kini terbayang sesosok mayat yang terbujur di tengah-tengah hutan tanpa seorang pun yang mengurusnya. Mayat itu semakin lama menjadi semakin jelas. Mahisa Agni. Tiba-tiba Ken Dedes itu menjadi terisak-isak.
Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin pepat. Ia baru saja dibakar oleh kemarahan yang hampir menghanguskan jantungnya. Kini ia melihat Ken Dedes itu menangis penuh penyesalan, sehingga tanpa sesadarnya Akuwu Tunggul Ametung itu menggeram, “Bukan salahku Ken Dedes, Aku sudah berusaha dan aku sendiri telah melakukannya. Tetapi keadaan memang tidak dapat teratasi. Kau jangan menyalahkan aku atau menyesali kegagalan ini.”
Ken Dedes terkejut mendengar kata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu Sehingga justru tangisnya terputus. Dipandanginya wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tegang dan berkeringat. Akuwu itu masih dalam pakaian keprajuritan, dan bahkan senjata pusakanya yang ngedab-edabi masih tergantung di lambungnya.
Tetapi Akuwu yang hatinya sedang gelap itu berkata seterusnya, “Kalau Kebo Sindet kemudian berhasil melepaskan dirinya, kalau aku terlambat datang ke rumah Jajar yang gemuk itu, sama sekali bukan maksudku. Bahkan seandainya Kebo Sindet itu kemudian menjadi gila dan membunuh Mahisa Agni itu pun bukan salahku.”
“Hamba Tuanku” tiba-tiba tanpa dikehendakinya sendiri Ken Dedes memotong, “hamba tahu, bahwa Tuanku memang tidak bersalah. Hamba sama sekali tidak menyesali Tuanku. Hamba memang sedang menyesali keadaan yang pahit bagi hamba dan kakang Mahisa Agni.”
“Tetapi kau menyesal bahwa semuanya itu terjadi justru dihadapanku. Justru dengan sengaja kau tunjukkan kepadaku, seolah-olah kau sedang mengalami bencana karena kesalahanku. Mungkin kau menganggap bahwa aku tidak bersungguh-sungguh atau karena aku tidak segera berbuat sesuatu.”
“Tidak Tuanku. Sama sekali tidak. Hamba memang sedang menelan kepahitan yang tiada taranya, seperti apa yang selalu terjadi pada diri hamba.”
“Kau mengutuki nasibmu sendiri. Kau anggap bahwa aku seolah-olah tidak pernah berusaha membuatmu bahagia?”
“Bukan maksud hamba. Sudah hamba katakan bahwa tidak ada orang lain yang bersalah. Keadaan yang datang berurutan telah menjadikan apa yang telah terjadi tanpa kesengajaan seorang pun.”
“Kau hanya mengatakannya, tetapi hatimu tidak menerimanya sebagai suatu keadaan yang harus kita lampaui bersama.”
“Aku telah menyerahkan diriku kepada nasib Tuanku. Aku tahu bahwa tuanku telah berusaha sebagai seharusnya dilakukan oleh manusia. Tetapi kekuasaan Yang Maha Agung lah yang menentukan akhir dari setiap persoalan.”
“Bohong” bantah Akuwu Tunggul Ametung, kau tidak ikhlas menerima peritiwa itu suatu keharusan. Kau tidak ikhlas menerima putusan terakhir dari Yang Maha Agung. Ternyata kau menangis. Ternyata kau menyesali keadaanmu. Kalau kau menerima persoalan ini sebagai keharusan yang tidak dapat diingkari lagi, sebagaimana manusia tidak dapat mengingkari keharusan yang datang dari Yang Maha Agung, maka kau tidak akan menangis. Kau akan berkata dengan wajah tengadah, demikianlah kehendak Yang Maha Agung.”
Mata Ken Dedes masih berkaca-kaca. Tetapi ia sudah terisak lagi. Kini ia benar-benar menengadahkan wajahnya. Dan dengan lantang ia berkata, “Tuanku, kita adalah manusia yang lemah. Manusia yang jauh dari sifat-sifat sempurna. Hamba pun dapat mengatakan seperti yang Tuanku katakan. Hamba pun dapat menyebut apa yang sebaiknya hamba lakukan. Tetapi apakah hamba mampu? Apakah hamba sebagai manusia yang lemah memiliki kekuatan untuk melakukannya?”
Wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tegang menjadi semakin tegang. Bahkan dari sepasang matanya seolah-olah memancarkan pergolakan di dalam dadanya. Dan ia masih mendengar Ken Dedes berkata seterusnya, “Tuanku. Bukan saja hamba yang bodoh ini yang tidak mampu untuk melawan perasaan hamba sendiri dan menempatkannya ke dalam keikhlasan sepenuhnya. Bukankah Akuwu sendiri juga telah dibakar oleh kemarahan dan penyesalan, bahwa Tuanku tidak berhasil menangkap Kebo Sindet.”
“Tetapi aku berdiri dalam persoalan yang berbeda” nada suara Akuwu Tunggul Ametung meninggi, “aku sama sekali tidak menyesali orang lain, tidak menyesali apapun. Aku hanya menyesal. Hanya menyesal saja karena usahaku tidak berhasil. Usahaku sendiri, kekuatanku sendiri. Tetapi sesudah itu aku pun tidak menganggap orang lain bersalah.”
“Dan Tuanku dapat menumpahkan kepepatan hati kepada hamba?” dengan beraninya Ken Dedes memotong kata-kata Akuwu Tunggul Ametung, “Sebab Tuanku adalah seorang Akuwu. Seorang laki-laki yang mempunyai cara sendiri untuk melepaskan penyesalan hati. Tetapi hamba adalah seorang perempuan. Yang ada di dalam bilik ini selain hamba adalah Tuanku, Akuwu Tumapel yang memegang segenap kekuasaan di tangannya. Apakah hamba dapat melepaskan kekesalan dan penyesalan kepada Akuwu dan membentak-bentak sekehendak hamba? Tidak. Hamba hanya dapat menangis. Hamba hanya dapat melepaskan penyesalan itu dalam butiran-butiran air mata. Kalau itu tidak menyenangkan hati Akuwu Tunggul Ametung, sama sekali bukan maksud hamba minta maaf.” Ken Dedes berhenti sejenak, tetapi wajahnya masih tetap tangadah dan bibirnya menjadi gemetar. Dan kata-kata yang meluncur lewat bibirnya menjadi gemetar pula, “Hamba minta maaf Tuanku. Tetapi dengan demikian hamba tahu, bahwa Tuanku ternyata tidak menerima hamba seluruhnya dalam keadaan hamba. Tuanku hanya ingin melihat hamba tertawa dan bergembira. Tuanku hanya ingin melihat hamba dapat menyenangkan hati Akuwu. Tetapi Tuanku tidak ingin melihat apabila hamba sedang dalam keadaan seperti ini.” Ken Dedes berhenti sejenak. Dan kata-katanya menjadi semakin bergelar, “Tetapi Tuanku, seharusnya hamba tidak perlu mengatakannya atau lebih-lebih lagi mengajari Tuanku bahwa demikianlah hamba seutuhnya. Di dalam diri hamba tersimpan suka dan duka. Tawa dan air mata. Hamba tidak dapat menyembunyikannya sebelah dari padanya. Sekali-sekali hamba tertawa, dan sekali-sekali hamba menangis, di dalam pengaruh keadaan yang berbeda-beda.”
Ken Dedes tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba dadanya menjadi sesak dan napasnya seolah tersumbat dikerongkongan. Sejenak ia diam membeku. Namun kemudian, seperti sebuah bendungan yang pecah tertimpa banjir bandang, maka meledaklah tangis Permaisuri itu. Tangis yang masih belum tuntas, tetapi terpaksa ditahankannya. Yang kemudian tanpa dapat dikendalikan lagi membanjir dengan derasnya.
Akuwu Tunggul Ametung kini berdiri mematung. Terasa dadanya akan pecah oleh perasaannya yang bergolak dengan dahsyatnya. Tetapi ia sudah tidak kuasa lagi untuk berkata sepatah katapun. Ia tidak dapat mengucapkan perasaannya yang bergelora. Akuwu itu berdiri tegak seperti tiang-tiang yang mati.
Sejenak mereka terbenam dalam keadaan masing-masing. Ken Dedes menangis sepuas-puasnya, dan Akuwu Tunggul Ametung berdiri membeku. Hanya kadang-kadang saja Akuwu mencoba melepaskan ketegangan yang menyesak di dadanya dengan berjalan hilir mudik di dalam bilik itu. Namun sejenak kemudian ia telah berdiri lagi ditempatnya.
Tetapi Akuwu tidak dapat membiarkan dirinya ditelan oleh kegelisahan yang membuatnya pening. Ketika tangis Ken Dedes sudah mereda, maka Akuwu itu tiba-tiba berkata, “Baiklah Ken Dedes. Aku akan menyiapkan prajurit. Aku akan menangkap Kebo Sindet di sarangnya. Aku tidak dapat membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Aku tidak dapat melihat kau menangis setiap saat. Kepalaku akan menjadi pecah karenanya. Lebih baik aku turun ke medan perang dari pada aku berada terus-menerus dalam keadaan ini.”
Ken Dedes terkejut mendengar kata-kata itu. Ketika ia menengadahkan kepalanya ia melihat Akuwu itu melangkah pergi. Namun ia masih mendengar Akuwu itu berkata, “Besok aku akan membawa orang-orang terkuat. Tidak terlalu banyak, tidak lebih dari sepuluh orang. Termasuk Witantra dan mungkin aku akan mengambil Ken Arok dari Padang Karautan untuk pergi bersamaku ke Kemundungan.”
“Tuanku. Aku tidak bermaksud demikian.”
“Aku tidak tahu maksudmu sebenarnya. Kau tidak berkata apapun tentang sesuatu yang sebaiknya aku lakukan. Aku harus memilih cara sendiri. Mungkin cara itu tidak seperti yang kau ingini. Tetapi besok aku akan pergi. Cara ini adalah cara yang sebaik-baiknya bagiku. Apakah aku akan berhasil atau tidak, itu bukan soal lagi bagiku.”
“Tuanku” Tetapi Ken Dedes tidak sempat mencegahnya. Akuwu Tunggul Ametung telah hilang dibalik pintu. Dengan tergesa-gesa Akuwu itu memerintahkan seorang prajurit untuk memanggil orang-orang terpenting. Termasuk Senapati pengawal istana, Witantra.
“Sekarang semua harus menghadap” perintah Akuwu.
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Hari telah terlampau jauh malam. Namun prajurit itu terkejut ketika Akuwu membentaknya, “Pergi, pergi. Cepat. Apakah yang kau tunggu lagi? Apakah kau menunggu matahari terbit? Atau kau menunggu aku memenggal lehermu?”
“Ampun Tuanku“ sembah prajurit itu yang kemudian dengan tergesa-gesa pula pergi meninggalkan Tunggul Ametung seorang diri dalam kekesalan yang hampir-hampir memecahkan dadanya. Namun sebelum prajurit itu hilang, tiba-tiba Akuwu itu berteriak lagi, “He, kemari kau.”
Prajurit itu menjadi cemas. Apakah Akuwu sudah menjadi sedemikian marahnya, sehingga ia harus mengalami perlakuan yang tidak diingininya? Tetapi prajurit itu tertegun ketika ia mendengar Akuwu Tunggul Ametung berteriak, “Cepat, panggil dahulu Daksina. Ia harus datang kemari dengan Kakawin Bharatayuda.”
“Oh“ prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi justru ia tidak segera pergi. Namun alangkah terkejutnya prajurit itu ketika tiba-tiba saja sebuah mangkuk tanah telah menghantam lututnya. Sekejap kemudian mangkuk itu pun terjatuh di lantai, pecah berserakan. Prajurit itu hampir-hampir saja terjatuh. Betapa sakit lututnya yang terkena mangkuk yang dilemparkan oleh Akuwu Tunggul Ametung itu.
Tetapi dengan sigapnya prajurit itu meloncat turun ke halaman. Ia sadar, apabila ia terlambat lagi, mangkuk berikutnya akan menyambar kepalanya. Ketika ia telah turun ke halaman, baru terasa bahwa lutut itu tidak mampu dipergunakan dengan wajar. Karena itu, maka ia berlari-lari menyeret sebelah kakinya sambil mengumpat tidak habis-habisnya di dalam hati. Kejengkelan prajurit itu dibawanya sampai kemuka pintu bilik Daksina. Diketuknya pintu itu sekuat tenaga sehingga seisi bilik itu terkejut.
“Siapa?” terdengar suara Daksina.
“Cepat bangun pemalas. Akuwu memanggilmu. Bawalah Kakawin Baratayuda.”
“Hari sudah hampir pagi” jawab Daksina sambil menguap.
“Cepat. Aku lempar lututmu dengan mangkuk kala-kala kau tidak segera berangkat. Akuwu menunggumu. Atau kau ingin Akuwu datang kemari sambil membawa pedangnya untuk memenggal lebermu.”
“Apakah Akuwu sedang marah.”
“Mungkin. Tetapi cepat. Cepat” prajurit yang marah itu berteriak. Tetapi ia mendengar Daksina tertawa di dalam biliknya,
“Baik, baik, “ katanya.
“Kau mentertawakan aku?” geram prajurit itu, “awas, aku pukul kepalamu sampai retak.”
“Lakukanlah” jawab Daksina, “tetapi dengan demikian aku tidak dapat menghadap Akuwu malam ini. Dan kaulah yang menyebabkan.”
“Oh anak gila. Ayo cepat keluar.”
Sejenak kemudian Daksina membuka pintu biliknya sambil menjinjing sebuah kitab rontal yang tebal dilapisi dengan sehelai kulit. Sebelum prajurit itu berkata sepatah kata pun, Daksina sudah berlari melintasi halaman menuju ke bilik Akuwu Tunggul Ametung, “Untunglah kitab rontal ini aku simpan di rumahku” berkata anak itu di dalam hatinya, “sehingga aku tidak perlu mencari di bilik penyimpanan.”
Prajurit itu masih berdiri dengan mulut ternganga. Ia terkejut ketika ia mendengar derak pintu itu ditutup dari dalam. Namun segera ia meloncat dan menyeret sebelah kakinya ke gardunya, “Aku harus menghubungi beberapa orang Senapati terpenting malam ini juga.”
Beberapa orang perwira dan pemimpin prajurit pilihan menjadi terkejut ketika rumah-rumah mereka diketuk oleh beberapa orang prajurit. Sebagian dari mereka, masih belum tidur kembali setelah mereka terbangun karena beberapa orang menjadi ribut oleh api yang menyala dikejauhan, yang ternyata telah membakar rumah Jajar yang gemuk. Tetapi para perwira dan pemimpin prajurit pilihan itu menyangka, bahwa yang terjadi hanyalah sekedar kecelakaan. Mereka menyangka bahwa seseorang kurang berhati-hati atas api pelita yang mereka pasang, sehingga menyentuh dinding dan membakar rumah mereka. Namun naluri mereka sebagai seorang prajurit segera dapat menghubungkan kebakaran yang baru saja terjadi, dengan ketukan yang tergesa-gesa di pintu-pintu mereka.
“Siapa diluar?” bertanya seorang perwira yang pintu rumahnya diketuk oleh seorang prajurit.
“Aku, prajurit yang mengemban perintah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”
Dada perwira itu menjadi berdebar-debar. Yang pertama-tama dilakukan adalah menyisipkan kerisnya di lambung. Perlahan-lahan ia berjalan ke luar biliknya dan berkata kepada isterinya, “Tidak ada apa-apa tenanglah. Diluar ada dua orang peronda.”
Tetapi isteri perwira itu menjadi cemas, dan berbisik, “Hati-hatilah kakang.”
Perwira itu tersenyum. Namun tangannya telah mendorong hulu kerisnya ke dadanya. Ketika dengan hati-hati ia membuka pintu, maka ia melihat dua bayangan berdiri di pendapa rumahnya, dan dua orang lagi di halaman.
“Aku Ki Lurah” prajurit yang berdiri di pendapa berdesis.
“Oh” perwira itu menarik nafas, “ada apa?”
“Ki Lurah dipanggil oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Sekarang?”
Prajurit itu mengangguk, sambil menjawab, “Ya.”
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal betul tabiat Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu maka ia tidak membantah. Sambil mengerutkan dahinya ia menjawab, “Aku akan menghadap.”
“Baiklah. Aku mohon diri.”
Prajurit itu segera turun dari pendapa diikuti oleh seorang peronda di rumah perwira itu. Kemudian bersama seorang temannya yang berdiri di halaman segera minta diri kepada para peronda untuk meneruskan perjalanan mereka. Di regol mereka mengambil kuda-kuda mereka, dan sejenak kemudian terdengar gemeretak di sepanjang jalan berbatu.
“Kenapa kakang harus menghadap di malam begini?”
Perwira itu menggeleng. Namun ia menjawab, “Mungkin ada hubungannya dengan kebakaran itu. Tetapi entahlah, demikianlah kebiasaan Akuwu Tunggul Ametung. Ia berbuat apa saja yang diingini pada suatu saat tanpa mempertimbangkan masalah-masalah lain.”
Sebagai seorang isteri prajurit, maka isteri perwira itu pun melepaskan suaminya dengan hati yang berdebar-debar. Tetapi sedikit banyak ia pernah mendengar tabiat Akuwu Tunggul Ametung itu. Memang kadang-kadang suaminya harus mengharap pada saat-saat yang tidak wajar seperti saat ini. Tetapi pada saat fajar menjingsing, suaminya itu sudah pulang tanpa mendapat perintah apapun. Mungkin malam ini Akuwu tidak dapat tidur, sehingga ia memerlukan kawan untuk berbicara.
Di rumah yang lain, rumah Witantra, suasana yang demikian itu telah terjadi pula. Dengan hati yang bertanya-tanya isteri Witantra melepaskan suaminya sampai di tangga pendapa. Ia sadar, bahwa suaminya adalah Senapati pengawal yang paling dipercaya. Setiap saat suaminya diperlukan. Ketika Witantra telah hilang dibalik regol rumahnya, di atas punggung kuda yang berlari kencang, maka terdengar suara lembut di belakang isteri perwira itu, suara adik perempuannya,
“Sejak gadis padesan itu tinggal di istana, jarang-jarang hal serupa ini terjadi. Tetapi kini tiba-tiba hal ini terulang seperti pada saat-saat gadis desa yang cengeng itu belum tinggal di istana.”
“Ah” desah isteri Witantra, “kau terlampau lancang dengan kata-katamu Umang.”
Ken Umang tertawa. Tetapi ia tidak menyahut. Dengan langkahnya yang cekatan ia berjalan meninggalkan kakak perempuannya. Ketika ia hampir sampai di muka pintu, terdengar suara tertawanya berkepanjangan.
“He, Ken Umang. Apakah kau sudah kepanjingan setan? suara tertawamu terlampau menakutkan.”
Ken Umang berhenti. Ketika ia berpaling dilihatnya kakaknya berdiri membeku di tempatnya. “Apakah suaraku telah berobah?” bertanya Ken Umang itu masih diantara derai tertawanya.
Isteri Witantra tidak segera menjawab. Dalam remang-reman cahaya pelita yang redup dikegelapan malam ia hanya melihat sosok tubuh adiknya. Seorang gadis yang baru saja meningkat dewasa. Seorang gadis yang bertubuh ramping, lincah dan cantik. Tetapi dalam kegelapan malam yang tampak hanyalah sebuah bayangan hitam. Wajah gadis itu pun seolah-olah menjadi hitam pekat. Hitam. Terasa bulu-bulu tengkuk Nyai Witantra meremang. Tetapi dipaksanya perasaannya untuk tunduk kepada nalarnya. Gadis itu adalah adiknya.
Perlahan-lahan ia melangkah maju. Dipaksanya dirinya untuk mendekat. Tetapi sebelum Nyai Witantra itu dekat benar dengan adiknya, maka Ken Umang telah memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ketika sinar pelita yang cukup terang jatuh di wajah gadis itu, maka Nyai Witantra menarik nafas dalam-dalam. Wajah itu sama sekali tidak berubah.
Sementara itu di Istana Tumapel, Akuwu Tunggul Ametung dengan gelisahnya menunggu para Senapati yang dipanggilnya. Hampir-hampir ia tidak sabar menunggu mereka satu demi satu berdatangan. Sedang di sudut bilik Daksina yang terkantuk-kantuk sama sekali tidak diacuhkannya.
Ketika para perwira kemudian telah lengkap terkumpul, maka Akuwu sama sekali tidak membawa mereka untuk berbincang. Yang dilakukan hanyalah mengucapkan perintah, hanya beberapa kata, “Besok, pada saat matahari terbit, kalian harus sudah berada di halaman ini. Lengkap dalam kesiagaan tempur. Kita akan pergi ke Kemundungan untuk menangkap iblis yang bernama Kebo Sindet.”
Para perwira itu mengerutkan keningnya. Sebagian besar dari mereka memang pernah mendengar nama Kebo Sindet, bahkan sebagian lagi telah dapat mengetahui pula, sampai dimana kesaktian orang yang buas itu. Witantra yang duduk diantara para perwira itu mengerutkan keningnya. Ia menyadari benar-benar siapakah yang sedang mereka hadapi. Kebo Sindet adalah orang yang memiliki ilmu setingkat dengan gurunya. Tetapi Kebo Sindet mempunyai sifat-sifat iblis yang mengerikan.
Ketika para perwira tidak ada yang mengucapkan sepatah katapun, maka Akuwu Tunggul Ametung bertanya lantang, “Kenapa kalian diam saja dan menjadi pucat? Apakah kalian takut, he?”
Para perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu terasa menggelitik hati. Seandainya bukan Akuwu Tunggul Ametung yang rnengucapkannya, maka akan dapat menimbulkan salah paham di antara mereka. Tetapi mereka telah mengenal betul tabiat dan sifat-sifat dari Akuwu Tumapel, sehingga pertanyaan itu sama sekali tidak mereka telan bulat-bulat.
“Kita bersama-sama akan berangkat besok. Kita tidak perlu membawa prajurit-prajurit. Tidak ada gunanya.”
Sekali lagi para perwira saling berpandangan. Hampir tidak pernah terjadi, bahwa dalam suatu tindakan atas seseorang atau segerombolan Akuwu membawa begitu banyak perwira tanpa prajurit dari tingkat yang lebih rendah.
“Kita berangkat dua belas orang” berkata Akuwu itu kemudian.
Para perwira masih belum menjawab. Dan mereka mendengar Akuwu Tunggul Ametung meneruskan, “Hanya sebagian kecil saja yang akan tinggal di istana untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Sisa dari dua belas orang itu.”
Para perwira itu masih terdiam. Dan Akuwu berkata pula, “Nah, apakah kalian telah mendengar?”
Hampir bersamaan para perwira itu menyahut, “Hamba Tuanku.”
“Bagus. Kalian tidak perlu takut. Kita tidak berhadapan dengan sebuah gerombolan dengan ratusan anak buahnya. Menurut pendengaranku, Kebo Sindet adalah seorang penjahat yang berbuat seorang diri. Sebanyak-banyaknya dua atau tiga orang. Karena itu kita tidak perlu membawa pasukan.”
Sejenak para perwira saling berpandangan. Lalu salah seorang dari mereka, Witantra mencoba memberanikan diri berkata, “Ampun Tuanku. Kita tidak tahu pasti, siapakah yang berada disekeliling Kebo Sindet. Hamba pernah mengalami, dalam perjumpaan hamba diperjalanan ke Panawijen pada saat hamba mengantarkan Tuan Puteri Ken Dedes, dengan seorang yang bernama Empu Sada. Ternyata Empu Sada mempunyai pengikut dalam jumlah yang cukup banyak.
Para perwira itu terkejut ketika tiba-tiba saja Akuwu memotong kata-kata Witantra sambil berteriak, “He, aku tidak berbicara tentang Empu Sada. Aku berbicara tentang Kebo Sindet, kau dengar?”
Seandainya mereka belum tahu sifat dan tabiat Akuwu Tunggul Ametung, maka mereka pasti akan terbungkam. Tetapi Witantra yang sudah mengenal betul akan Akuwunya itu menjawab, “Ampun Tuanku. Hamba hanya ingin memberikan perbandingan. Mungkin Kebo Sindet juga mempunyai pengikut-pengikut yang tidak kita ketahui seperti Empu Sada pada waktu itu.”
“Jadi kau takut, he?”
“Ampun Akuwu. Hamba tidak pernah berpikir tentang hamba sendiri apabila hamba harus mengikuti Tuanku kemanapun. Tetapi hamba berpikir tentang Tuanku. Keselamatan Tuanku.”
“Aku bukan pengecut cengeng Witantra. Kalau kalian tidak berani, biar aku berangkat sendiri.”
“Tidak Tuanku. Bukan maksud hamba mengatakan bahwa Tuanku menjadi takut dan cemas. Tetapi justru Tuanku memiliki keberanian yang tidak kami mengerti. Dengan demikian menurut nalar kami, maka Tuanku agaknya terlampau berani. Kami hanya memikirkan bahaya yang dapat mengancam Tuanku, meskipun Tuanku sendiri sama sekali tidak takut menghadapi apapun.”
“Jadi menurut pertimbangan, aku harus mengerahkan seluruh pasukan Tumapel. Prajurit dari segala kesatuan.”
“Ampun Tuanku, bukan begitu. Tetapi hamba ingin keselamatan Tuanku benar-benar terjamin. Hamba berbicara sebagai Senapati pasukan pengawal Tuanku.”
“Setan kau Witantra. Kau memang seorang pengecut. Bawalah besok pasukan sesukamu menurut pertimbanganmu. Tetapi aku akan memilih duabelas orang diantara kalian. Yang lain harus tinggal di istana. Tanggung jawab ada pada kalian. Kalian akan menunggu perintah dari Permaisuriku. Mengerti?”
Hampir bersama para perwira itu mengangguk dan menjawab, “Hamba Tuanku.”
“Sekarang pergilah” berkata Akuwu Tunggul Ametung. Lalu disebutkan dua belas nama diantara para perwira yang akan dibawanya besok ke Kemundungan. Sedang yang lain harus tinggal di Tumapel untuk mengawasi keadaan pemerintahan sehari-hari disamping para pemimpin pemerintahan.
Tetapi sebelum para perwira itu beranjak dari tempatnya, Akuwu itu berkata, “Kita akan singgah di Padang Karautan. Ken Arok dan Kebo Ijo akan aku bawa pula.”
Para perwira itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menjawab. Yang kemudian mereka dengar adalah Akuwu itu berteriak, “Sekarang pergi. Pergi. Kalian boleh pergi.”
Dengan tergesa-gesa para perwira itu pulang ke rumahnya masing-masing. Apalagi mereka yang harus mengikuti perjalanan Akuwu Tunggul Ametung besok. Mereka harus segera berkemas dan menyiapkan perlengkapan perang mereka. Sisa malam itu sama sekali sudah tidak dapat mereka pergunakan lagi untuk melanjutkan mimpi mereka. Isteri-isteri mereka pun ikut pula menjadi sibuk. Mereka menyiapkan perlengkapan suaminya dan menyiapkan makan pagi, Sebagian dari mereka menjadi berdebar-debar, karena suami-suami mereka mengatakan, siapa yang akan dihadapinya sekarang.
Meskipun isteri-isteri prajurit itu telah terbiasa ditinggal oleh suaminya untuk melakukan tugas yang berbahaya, untuk pergi berperang, namun sebenarnya di hati mereka pun masih juga selalu diliputi oleh kecemasan. Setiap suaminya mempersiapkan diri mereka dengan alat-alat perangnya, pedang di lambung atau keris di punggung, maka jantung mereka pun menjadi semakin cepat berdetak.
Meskipun mereka sadar bahwa suami-suami mereka adalah seorang prajurit, tetapi sebenarnya mereka lebih senang apabila suami mereka tidak pergi berperang. Mereka lebih senang apabila suami-suami mereka ada di antara keluarganya. Menimang bayinya dan bermain-main dengan anak-anaknya yang lebih besar. Tetapi kali ini suami-suami mereka itu harus pergi meninggalkan keluarga masing-masing. Mereka kali ini akan menemui seorang yang namanya cukup mendebarkan jantung, Kebo Sindet.
Berbeda dengan para perwira itu, Witantra tidak hanya sekedar mengurusi dirinya sendiri. Ia masih harus menyiapkan sepasukan pengawal pilihan. Tidak terlampau banyak, hanya sepuluh orang. Tetapi yang sepuluh orang itu adalah pengawal-pengawal utama istana Tumapel. Pengawal-pengawal yang paling dipercaya oleh Witantra untuk menjaga keselamatan Akuwu Tunggul Ametung, meskipun yang sepuluh orang itu bagi Tunggul Ametung masih belum lebih berarti dari senjatanya yang dahsyat itu.
Tetapi Witantra telah berbuat sesuai dengan tugasnya. Ia tidak mau lengah karena dorongan perasaan. Ia tidak tahu benar, berapa jumlah orang-orang yang berada di bawah pengaruh Kebo Sindet, meskipun ia memang pernah mendengar bahwa semula Kebo Sindet hanya bergerak berdua saja dengan adiknya Wong Sarimpat. Tetapi berita terakhir yang sampai padanya adalah, Wong Sarimpat telah mati, dan kini Kebo Sindet berkawan dengan Kuda Sempana.
Pada saat yang dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung, maka para perwira sudah berkumpul di halaman istana. Mereka telah siap dalam kesiagaan tertinggi. Senjata-senjata mereka bergantungan di lambung, dan pusaka-pusaka sipat kandel mereka masing-masing tidak pula ketinggalan. Di sudut halaman itu telah bersiap pula sepuluh orang prajurit pilihan, pengawal istana. Mereka adalah orang-orang yang paling setia akan tugasnya, yang tidak pernah menilai hidup mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada tugasnya, sampai pengorbanan yang terakhir.
Di samping mereka, maka mereka akan mendapat tambahan kawan lagi di Padang Karautan. Ken Arok dan Kebo Ijo. Dengan demikian maka pasukan kecil itu merupakan sekelompok orang-orang yang pilih tanding, sehingga Akuwu Tunggul Ametung yang melihat kesiapan orang-orangnya berkata di dalam hati, “Jangankan seorang Kebo Sindet, sepuluh Kebo Sindet akan disapu oleh pasukan kecilku ini.”
Ketika pasukan itu kemudian berangkat, Permaisuri Tumapel berdiri di atas tangga paseban depan. Dipandanginya debu yang melontar dari belakang kaki-kaki kuda yang berlari kencang, menyusup keluar regol dan hilang dibalik dinding dalam istana.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia pun sebenarnya menjadi berdebar-debar seperti setiap isteri prajurit yang ikut di dalam rombongan kecil itu, Sebenarnya Ken Dades pun dirayapi oleh kecemasan tentang keselamatan suaminya. Meskipun setiap kali ia mencoba menghibur diri, bahwa kekuatan pasukan suaminya itu jauh berlipat ganda dari kekuatan lawannya, namun ia tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya.
Tetapi selain kegelisahan yang bergetar di dalam dadanya, Ken Dedes merasakan sesuatu yang aneh pula di dalam hatinya. Ia tidak merasakan kesungguhan pada sikap Akuwu Tunggul Ametung. Apa yang dilakukan ini adalah semata-mata didorong oleh kemarahannya. Bukan karena keinginannya yang tulus untuk melepaskan Mahisa Agni. Betapapun Ken Dedes mencoba menghilangkan perasaan itu, namun semakin lama justru semakin mencengkam hatinya.
Bahkan kekecewaannya terhadap Akuwu Tunggul Ametung, serasa semakin lama semakin tebal membalut jantungnya. Bagi ken Dedes, Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang meledak-ledak. Seorang yang memandang setiap persoalan dari seginya sendiri. Bahkan akhirnya Ken Dedes sampai pada kekecewaan dan keragu-raguan yang terbesar di dalam dunia perkawinannya. Sebuah pertanyaan tumbuh dihatinya,
“Apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung pada saat aku belum menjadi Permaisurinya? Apakah usahanya untuk membebaskan aku dari tangan Kuda Sempana itu benar tumbuh karena penyesalan, atau karena nafsu dan pamrih pribadinya, untuk merebut aku dari tangan Kuda Sempana itu?”
Ken Dedes terkejut dan seolah-olah tersedar dari sebuah mimpi yang menggelisahkan ketika ia mendengar seorang perwira yang berdiri di halaman, di bawah tangga, berkata, “Ampun Tuan Puteri, apakah perintah Tuan Puteri atas kami yang mendapat tugas menjaga istana dan kota Tumapel ini.”
“Oh,“ Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya satu-satu perwira yang berdiri berjajar di halaman, di samping beberapa orang-orang tua yang menjadi pembantu-pembantu Akuwu di dalam pemerintahan. Sesaat kemudian Ken Dedes berkata, “Lakukanlah pekerjaanmu sehari-hari. Tidak ada perintah khusus dari padaku saat ini.”
“Hamba Tuan Puteri.”
Ken Dedes itu pun kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang dalam istana diiringi oleh para emban. Namun kemudian ia langsung masuk ke dalam biliknya. Ketika ia melihat emban pemomongnya ikut masuk pula ke dalam bilik itu, hampir-hampir ia tidak kuasa lagi menahan air matanya. Tetapi ditabahkannya hatinya, dan dibiarkannya emban pemomongnya itu melepas dan mengganti pakaiannya dengan pakaian sehari-hari.
Emban tua itu dengan sepenuh hati telah melayani Ken Dedes seperti ia melayaninya di masa kanak-kanaknya. Ditolongnya Permaisuri itu membenahi pakaiannya dan mengenakan pakaian sehari-harinya. Kemudian mengurai sanggulnya dan menyanggulnya kembali seperti kebiasaannya menyanggul rambutnya tinggi-tinggi karena udara yang sering terasa terlampau panas. Emban itu telah terlalu biasa melayani Ken Dedes, sebelum dan setelah menjadi seorang Permaisuri. Emban itu sudah mengerti betul, apakah yang disukai dan apakah yang tidak. Karena itu, maka hampir tidak pernah ia berbuat kesalahan.
Ken Dedes yang kali ini sedang mencoba bertahan untuk tidak menangis itu masih saja berdiam diri. Dan ia terkejut ketika emban tua itu bertanya dekat sekali di belakang telinganya sambil menyanggul rambutnya, “Tuan Puteri. Apakah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung pergi ke Kemundungan?”
Ken Dedes berpaling. Ditatapnya wajah pemomongnya. Wajah yang telah dipenuhi kerut-merut umurnya itu tampak terlampau suram. “Ya bibi” jawab Ken Dedes, “Tuanku Akuwu Tunggul Ametung pergi ke Kemundungan.”
“Apakah Tuanku Akuwu ingin merebut Mahisa Agni dengan kekerasan?”
Ken Dedes diam sejenak. Tenggorokannya terasa menjadi semakin sesak. Jawabnya, “Yang penting bagi Tuanku Akuwu adalah menyingkirkan Kebo Sindet, yang dianggapnya selalu membuat kisruh di Tumapel.”
“Tetapi bukankah Akuwu juga berusaha membebaskan angger Mahisa Agni?”
“Aku tidak yakin, bahwa itu adalah tujuannya bibi. Seandainya ia dapat membinasakan Kebo Sindet, meskipun kakang Mahisa Agni tidak dapat dibebaskannya, ia telah menjadi puas. Sebaliknya, seandainya ia mendapat kesempatan membebaskan kakang Mahisa Agni, tetapi tidak berhasil melenyapkan Kebo Sindet, maka ia pasti masih merasa gagal.”
Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Begitukah Tuan Puteri?”
“Ya”
“Tetapi tanpa disangka-sangka oleh Ken Dedes, emban itu berkata, “Tuan Puteri. Tuanku Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang Akuwu. Ia memandang semua persoalan pasti dalam sangkutannya dengan kedudukannya. Kali ini pun ia berusaha untuk melakukan tugasnya sebagai seorang Akuwu dan sebagai seorang suami. Tetapi ia adalah seorang Akuwu sebelum menjadi seorang suami. Tanggung jawabnya cukup besar dan berat. karena itu Tuanku, hamba mengharap Tuan Puteri dapat mengerti.”
Ken Dedes menatap mata emban tua itu sejenak. Ia melihat mata itu basah. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun lagi. Nalarnya dapat mengerti kata-kata emban tua itu, tetapi perasaannya masih dicengkam oleh kekecewaan dan kecemasan. Ketika Ken Dedes selesai berkemas, maka emban tua itu pun segera mohon diri untuk pergi kebelakang sebentar. Untuk melayani permaisuri apabila ia memerlukan sesuatu, beberapa orang emban masih saja duduk dimuka bilik.
Tetapi, kemudian tidak seorang pun yang megetahuinya, bahwa emban tua itu segera masuk ke dalam biliknya sendiri dibelakang istana itu. Hampir ia tidak dapat menahan dirinya lagi. Dijatuhkannya tubuhnya yang tua itu di atas amben pembaringannya. Dan tangisnya sudah tidak dapa ditahannya. Ia tidak pernah akan dapat ingkar dari perasaan sendiri, bahwa Mahisa Agni adalah satu-satu anak laki-laki. Bahkan satu-satunya anak yang akan dapat menyambung keturunannya. Apabila bencana menimpa anak itu, justru karena ia dianggap saudara oleh Ken Dedes yang kini menjadi Permaisuri, alangkah malang nasibnya.
Sementara itu, Akuwu Tunggul Ametung berpacu dengan kencangnya ke Padang Karautan. Ia akan singgah di sana, untuk membawa Ken Arok dan Kebo Ijo serta. Disana ia akan dapat melihat pula apakah yang sudah dikerjakan oleh Ken Arok. Apakah taman yang dipesankannya sudah dikerjakan dengan baik. Taman yang akan dihadiahkannya kepada permaisurinya.
Jauh dari Padang Karautan, Kebo Sindet dan Kuda Sempana telah sampai di pinggir rawa-rawa yang menyekat tempat yang dipergunakannya untuk menyembunyikan Mahisa Agni dan dunia di seputarnya. Sejenak mereka berhenti di tepi rawa-rawa itu. Kebo Sindet dengan matanya yang tajam memandangi daerah di sekelilingnya. Tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakannya. Ia sama sekali tidak melihat perubahan-perubahan apapun dan tanda-tanda yang lain yang dapat membahayakan dirinya. Karena itu, maka perlahan-lahan didorongnya kudanya untuk turun ke dalam rawa-rawa.
Kebo Sindet mengenal betul daerah yang dilewatinya itu. Kecuali jalan yang harus dilalui, ia mengenal pula watak dan sifat-sifat dari rawa-rawa itu. Ia mengenal waktu-waktu yang paling baik untuk menyeberang. Dan ia mengenal saat-saat dimana ia harus menunggu apabila bahaya berada di perjalanan. Binatang-binatang air yang berbisa adalah lawan-lawan yang paling sulit untuk dilayaninya. Tetapi pengenalannya atas daerah itu benar-benar hampir sempurna.
Perlahan-lahan kudanya melangkah maju diikuti oleh Kuda Sempana. Selangkah demi selangkah. Dan setiap langkah mereka maju, maka setiap kali dada Kuda Sempana jadi semakin berdebar-debar. Selama ini ia hampir acuh tak acuh saja atas semua peristiwa iang terjadi atas dirinya dan atas Kebo Sindet. Tetapi kali ini ia telah diganggu oleh kegelisahan yang semakin mencengkam. Ia tahu benar bahwa beberapa saat lagi, ia akan dijadikan ayam aduan.
Ia harus berkelahi melawan Mahisa Agni. Mungkin sekali, mungkin dua kali bahkan mungkin beberapa kali. Adalah lebih baik apabila ia harus berkelahi sampai mati. Atau keduanya mati sama sekali. Tetapi tangkapannya atas maksud Kebo Sindet cukup tajam. Ia akan sekedar dijadikan tontonan, sebelum orang itu menjadi jemu dan membunuhnya. Mungkin sebulan, dua bulan, bahkan mungkin tetaunan.
Berbagai perasaan telah bergelora di dalam dada Kuda Sempana. Kadang-kadang ia mencoba untuk acuh tidak acuh saja atas apa yang akan terjadi. Kadang-kadang ia menjadi muak dan gelisah. Tetapi kadang-kadang ia masih menyangka bahwa Kebo Sindet belum melepaskan keinginannya untuk mempergunakan Mahisa Agni memeras permaisuri Tunggul Ametung. Kalau sekali-sekali ia harus berkelahi, maka Kebo Sindet masih menginginkan Mahisa Agni itu hidup terus, betapapun keadaannya.
Tiba-tiba Kuda Sempana mengumpat di dalam hatinya, “Iblis ini benar-benar buas dan licik”
Ketika mereka telah sampai di tengah-tengah rawa-rawa itu, maka terdengar Kebo Sindet bergumam, “Kuda Sempana. Sebentar lagi kita akan sampai. Kau harus mempersiapkan dirimu. Aku Aku ingin memberi kau kesempatan sekali-sekali melepaskan sakit hatimu. Tetapi aku masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain dari Mahisa Agni itu. Apakah ia masih berguna bagiku atau tidak.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Dan Kebo Sindet berkata terus, “Aku mengharap kau mengerti maksudku.”
Kebo Sindet itu berpaling ketika ia mendengar Kuda Sempana berdesis, “Aku tidak mengerti.”
Wajah Kebo Sindet yang beku itu masih saja membeku. Namun ia berkata, “Aku kira masih ada sisa-sisa kekuatan di dalam diri Mahisa Agni. Kau akan dapat mempergunakannya untuk berlatih sambil melepaskan sakit hatimu. Tetapi kau harus tahu, bahwa sulit bagimu untuk mencari orang seperti anak itu. Karena itu, maka biarlah untuk sementara ia hidup.”
“Maksudmu, kami, aku dan Mahisa Agni akan kau pergunakan sebagai tontonan. Sebagai ayam sabungan” tiba-tiba saja kejemuan yang tersimpan di dalam dada Kuda Sempana tidak dapat ditahannya lagi. Ia sama sekali tidak dapat berpikir apa saja yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet atasnya.
Tetapi tanpa disangka-sangka, Kebo Sindet itu menjawab sareh, “Jangan berprasangka. Aku ingin menjadikan kau seperti Wong Sarimpat. Aku sudah tidak punya kawan lagi. Bukankah Mahisa Agni yang sekarat itu dapat kau pergunakan.”
“Ia sudah tidak akan bermanfaat lagi bagiku. Aku akan membunuhnya. Lalu kau akan membunuhku juga karena aku pun sudah tidak bermanfaat lagi bagimu.”
“Kau salah” sahut Kebo Sindet. Selama itu kuda-kuda mereka masih saja berjalan di dalam rawa-rawa itu., “Aku tidak akan berbuat demikian. Kalau kau sekali-sekali berlatih dengan Mahisa Agni, maka kau akan menjadi semakin maju. Mungkin aku terpaksa menunggui latihan itu dengan cambuk di tangan, supaya salah seorang dari kalian tidak terdorong untuk membunuh lawan. Mungkin beberapa kawan-kawanku berjudi ingin melihat latihan itu. Atau mungkin beberapa orang prajurit Tumapel yang harus aku tangkap supaya mereka melihat apa yang terjadi atas Mahisa Agni, kemudian aku lepaskan lagi supaya ia dapat melaporkannya kepada Akuwu Tunggul Ametung, atau seribu macam rencana yang menyenangkan lainnya. Itu tergantung sama sekali kepadaku. Tidak kepadamu atau Mahisa Agni. Apakah kelak aku akan membunuhmu atau memeliharamu seperti memelihara kudaku ini, itu pun tergantung sekali kepadaku. Apakah kelak aku menjadi demikian percaya kepadamu dan memberikan seluruh ilmuku itu pun tergantung kepadaku juga. Tetapi mungkin juga justru Mahisa Agnilah yang akan menerima ilmuku dan kau akan mengalami nasib yang paling jelek.”
“Aku sudah siap untuk melakukan apa saja” geram Kuda Sempana. Dadanya sudah terlampau pepat. Dan lebih dari pada itu sebenarnya ia telah terlempar ke dalam keputus-asaan yang parah. Ia sudah tidak mempunyai harapan untuk lepas dari tangan Kebo Sindet dan menghindari cara-cara yang akan dilakukan atasnya dan atas Mahisa Agni. Dalam keputus-asaan itulah maka ia kehilangan segala nalarnya.
Tetapi Kebo Sindet masih tetap dalam sikapnya. Ia duduk tenang di atas kudanya yang berjalan selangkah demi selangkah maju. Di depan mereka seonggok tanah menjorok dari permukaan rawa-rawa yang masih berkabut. Remang-remang diantara sulur-sulur yang berjuntai dari pepohonan yang tumbuh di atas tanah berlumpur.
“Mungkin Mahisa Agni masih tidur” gumam Kebo Sindet. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak menyahut.
Sejenak kemudian, mereka telah memanjat pinggir rawa-rawa itu dan sesaat kemudian mereka telah berdiri di atas tanah yang lembab basah, tetapi sudah tidak digenangi oleh air yang keruh.
“Ayo, suruh Mahisa Agni menyediakan makan dan minum kita” berkata Kebo Sindet.
Kuda sempana tidak menjawab. Hal itu telah menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan itu pun kali ini dilakukannya dengan hati yang kosong. Kebo Sindet menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Kuda Sempana mendahuluinya. Tetapi ia pun kemudian mengikuti di belakangnya. Tiba-tiba ia menjadi cemas, apabila Kuda Sempana tanpa setahunya telah membunuh Mahisa Agni, supaya mereka tidak dapat diadu seperti ayam jantan atau seperti cengkerik yang ganas.
Tetapi Kuda Sempana tidak menjumpai Mahisa Agni di dalam sarang mereka. Itu pun tidak mengherankannya, karena mahisa Agni sedang berkeliaran di sektiar pulau di tengah-tengah rawa-rawa itu. Mungkin untuk mencari kayu, mungkin untuk mengail. Untuk memanggilnya, Kuda Sempana dapat membunyikan tanda yang tergantung di mulut sarang mereka. Tetapi, kali ini Kuda Sempana tidak berminat untuk memanggilnya. Tanpa diketahui sebab-sebabnya, ia ingin mencari saja Mahisa Agni di sekitar sarang mereka, namun langkahnya tertegun ketika ia mendengar Kebo Sindet bertanya,
“Kenapa tidak kau panggil saja anak setan itu dengan tanda.”
Kuda Sempana tidak segera dapat menjawab.
“Apakah kau akan mencarinya dan membunuhnya?”
“Tidak” jawab Kuda Sempana, “aku sama sekali tidak bernafsu untuk melakukannya.”
Kebo Sindet tidak menyahut, tetapi ia melangkah perlahan-lahan ke muka sarangnya. Ia akan membunyikan tengara sendiri untuk memanggil Mahisa Agni. Kuda Sempana berdiri saja mengawasinya. Tampaklah dahinya berkerut-merut, hal yang demikian itu hampir tidak pernah dilakukannya. Biasanya ia berteriak saja menyuruhnya membunyikan tanda itu. Tetapi kali ini, ia melakukannya sendiri. Tetapi sebelum tengara itu berbunyi, mereka berpaling bersama-sama. Mereka mendengar langkah berlari-lari dari balik dedaunan perdu. Dan sejenak kemudian mereka melihat Mahisa Agni muncul dengan nafas terengah-engah. Kebo Sindet berdiri tegak sambil memandangnya dengan tajam, perlahan-lahan Mahisa Agni kemudian berjalan mendekatinya. Sekali-sekali ia berpaling kearah Kuda Sempana dengan penuh kebimbangan.
Tetapi tiba-tiba tubuh anak muda itu terlempar ketika kaki Kebo Sindet menyentuh pahanya. Mahisa Agni jatuh berguling beberapa kali sambil menyeringai ia berkata, “Ampun tuan.”
“Setan” geram Kebo Sindet, “dari mana kau sepagi ini?”
“Aku sedang bersiap untuk mengail tuan.”
“Bohong, kau pasti masih tidur pemalas.”
“Tidak tuan. Aku sudah bangun sebelum fajar, aku sedang mengail.”
“Cepat, sediakan minum dan makan kami, jangan menunggu aku marah.”
“Ya tuan.” Mahisa Agni segera berlari-lari meninggalkan Kebo Sindet untuk menyiapkan makan dan minum mereka. Dengan tergesa-gesa dipungutnya seonggok kayu dan dimasukkannya ke dalam mulut perapian.
Sementara itu, Kebo Sindet masih berdiri tegak ditempatnya. Ketika ia melihat Mahisa Agni, maka bergeloralah isi dadanya. Ia menyadi sangat muak dan jemu. Hampir-hampir ia kehilangan pertimbangan dan memukulnya sampai pingsan. Tetapi ketika dilihatnya Kuda Sempana, maka teringatlah ia akan permainan yang dapat diselenggarakannya,
“Mudah-mudahan menyenangkan. Menilik keadaan Mahisa Agni sekarang, maka ia tidak akan dapat mengalahkan Kuda Sempana dengan segera dan sebaliknya, mereka akan dapat menjadi cengkerik aduan yang baik. Alangkah senangnya bila Permaisuri mengetahuinya, bahwa kakaknya di sini tidak lebih dari pada seekor cengkerik yang tidak dapat menghindarkan diri dari gelanggang pertarungan.”
Meskipun wajahnya sama sekali tidak berkesan apapun, tetapi Kebo Sindet itu tertawa di dalam hatinya. Tanpa dikehendakinya sendiri, dipandanginya Kuda Sempana dari ujung kaki sampai keujung kepalanya, Seolah-olah ia sedang menilai, apakah keduanya cukup seimbang. Namun dengan liciknya ia berkata,
“Kuda Sempana. Jangan mencari kesempatan untuk membunuh Mahisa Agni. Dengan demikian maka kita tidak dapat membalas sakit hati kita kepada Permaisuri itu sebaik-baiknya. Kita harus menemukan cara untuk membuat Permaisuri itu menyesal karena sikapnya dan kekikirannya. Ia harus disiksa oleh penyesalan sepanjang umurnya.”
Kuda Sempana tidak menyahut. Bahkan dilontarkan pandangan matanya jauh ke dalam semak-semak di pinggir rawa-rawa. sorot matanya benar-benar telah mencerminkan keputusasaan dan kegelapan hati. Hidup bagi Kuda Sempana kini telah tidak mempunyai arti apapun lagi.
“Ingat-ingatlah Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet yang tidak mempedulikan sama sekali perasaan anak muda itu, “jangan kau bunuh, bahkan jangan kau sakiti anak itu.”
Kuda Sempana masih saja berdiam diri, ia masih belum beranjak dari tempatnya ketika Kebo Sindet kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam sarangnya yang lembab dan gelap. Sesaat Kuda Sempana masih berdiri mematung. Sekilas tersirat di kepalanya peristiwa-peristiwa yang telah mendorongnya sampai ke tempat ini. Sepercik penyesalan menyentuh hatinya, tetapi yang ada kemudian adalah kegelapan.
Seperti kehilangan kesadarannya Kuda Sempana mengayunkan kakinya. Selangkah demi selangkah. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. ketika seberkas sorot matahari menyentuh wajahnya, maka ditengadahkannya kepalanya. Tetapi matahari itu seolah-olah sudah tidak lagi berarti lagi baginya sama sekali, tidak terasa gairah kehidupan yang terpancar lewat sinarnya yang putih.
Semuanya sudah tidak berarti lagi baginya. Kenangan masa lampaunya, hidup kini, dan mungkin umurnya yang masih akan dijalaninya, semuanya sudah tidak berarti. Bahkan penyesalan pun sama sekali sudah tidak berarti lagi baginya. Semuanya sudah terlambat. Ia sudah berada dalam dunia yang asing. Tiba-tiba, langkah Kuda Sempana itu terhenti. Ia melihat Mahisa Agni duduk di muka perapian. Di atas perapian itu terjerang sebuah belanga yang berisi air, dan sebuah lagi untuk menanak nasi.
Kuda Sempana sendiri tidak tahu, kenapa ia mendekatinya. Diperhatikannya Mahisa Agni itu dengan saksama. Dipandanginya api yang seolah-olah sedang meronta-ronta menjilat belanga-belanga yang terletak di atasnya. Perlahan-lahan Mahisa Agni berpaling. Tetapi ia masih saja duduk di muka perapian. Bahkan kemudian ditundukkannya kepalanya. Dipandanginya mulut perapiannya seperti baru sekali ini dilihatnya.
“Mahisa Agni” tiba-tiba ia mendengar Kuda Sempana berdesis perlahan sekali.
Mahisa Agni sekali lagi berpaling. Tetapi ia tidak juga beranjak dari tempatnya. Namun ia merasakan suatu keanehan pada nada suara Kuda Sempana. Suara itu sama sekali bukan pancaran dari perasaan dendam dan kebencian. Bahkan pada sikapnya pun Mahisa Agni tidak melihat lagi dendam yang membara di dalam dada Kuda Sempana.
Tetapi Kuda Sempana tidak meneruskan kata-katanya. Wajahnya tampak menjadi muram, namun sekali lagi Mahisa Agni menjadi heran. Kuda Sempana itu pergi meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Tetapi belum lagi Kuda Sempana itu beranyak lima langkah dari tempatnya, ia pun tertegun. Ketika ia berpaling, oleh suara gemersik disampingnya, ia melihat Kebo Sindet telah berdiri tidak jauh dari padanya. Kuda Sempana kemudian menjadi acuh tidak acuh saja. Ia melangkah terus meninggalkan tempat itu.
“Hem” terdengar suara Kebo Sindet, “aku sangka kau akan membunuhnya.”
“Sudah aku katakan, aku tidak bernafsu lagi” sahut Kuda Sempana.
“Bagaimana kalau aku tidak datang kemari?”
“Aku tidak tahu kalau paman ada di sini.”
Kebo Sindet tidak menjawab. Dibiarkannya Kuda Sempana pergi menjauh. Baru ketika Kuda Sempana telah hilang dibalik gerumbul Kebo Sindet itu berpaling kepada Mahisa Agni sambil menggeram, “Mahisa Agni. Nasibmu adalah nasib yang paling jelek dari setiap orang yang pernah aku temui. Adikmu ternyata terlampau kikir dan Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang paling gila di Tumapel. Sebenarnya aku tidak memerlukan kau lagi. Dan kau dapat menduga, apakah yang akan aku lakukan atasmu. Tatapi sebelum kau aku cincang-cincang di alun-alun Tumapel, maka kau akan menjadi permainan yang menyenangkan. Bukankah kau masih berani berkelahi melawan Kuda Sempana? He?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.
“Setiap kali kau harus berkelahi. Aku di sini tidak akan menjadi kesepian lagi. Mungkin kalian berdua akan aku bawa ke tempat-tempat perjudian. Kalian harus berkelahi. Bersungguh-sungguh. aku tahu apakah kalian bersungguh-sungguh atau tidak. Perkelahian yang demikian pasti akan menyenangkan orang-orang yang melihatnya.”
Mahisa Agni masih menundukkan kepalanya. Tetapi mengumpat di dalam hatinya. Kebenciannya kepada Kebo Sindet menjadi semakin meluap sampai diujung rambutnya. Tetapi ia masih belum berbuat sesuatu. Ia ingin tahu lebih banyak apa yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet. Namun sekali-sekali terpercik pula pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah aku sekarang telah mampu mengalahkannya, setidak-tidaknya mengimbanginya?”
Tetapi Mahisa Agni masih menahan diri. Kedua orang yang memberinya bekal olah kanuragan masih berpesan kepadanya, “Agni, kalau kau mempunyai waktu, jangan tergesa-gesa. Kau harus meyakinkan dirimu sendiri. Kecuali apabila kau telah disudutkan ke dalam suatu keadaan, bahwa kau harus melakukan perlawanan untuk keselamatanmu. Dan kadang-kadang Mahisa Agni hampir tidak bersabar lagi menunggu Kebo Sindet memaksanya untuk membela dirinya. Apalagi kini ia mendengar bahwa ia akan dijadikan semacam binatang aduan. Maka kesempatan yang ditunggunya itu pasti akan menjadi lebih lama lagi.
“Tetapi aku dapat mempercepat” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “Kalau aku tidak mau berkelahi melawan Kuda Sempana, maka aku akan mendapatkan kesempatan itu. Melawan Kebo Sindet sendiri.”
Tetapi Mahisa Agni masih juga menundukkan kepalanya. Ia mendengar Kebo Sindet mendekatinya dan berdiri dekat dibelakangnya. Di dalam hatinya ia berkata, “Kalau kau mulai lagi Kebo Sindet, mungkin aku akan kehilangan kesabaran untuk menunggu lebih lama lagi. Langit menjadi semakin suram, dan mendung menjadi semakin tebal. Aku harus segera berada di Padang Karautan.” Namun kemudian ia menggeram di dalam hatinya pula, “Ayolah Kebo Sindet. Aku sudah jemu menunggu di neraka ini.”
Tetapi Kebo Sindet tidak berbuat apa-apa. Ia masih berdiri saja dibelakang Mahisa Agni. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Kau harus berusaha memperpanjang hidupmu. Kau harus bersedia berkelahi. Kalau tidak, nasibmu benar-benar terlampau jelek. Tetapi kalau kau berhasil menyenangkan aku dan orang-orang lain yang melihat perkelahian itu, maka umurmu akan bertambah panjang.”
Mahisa Agni sama sekali tidak menjawab. Tetapi kemuakan dan kemarahan semakin membara didadanya.
“Nah, bekerjalah baik-baik. Kau akan mendapat kesempatan untuk melatih diri. Mengulang dan mempelajari unsur-unsur gerak yang telah kau lupakan. Kau akan langsung berada di bawah pengawasanku. Mungkin hari ini, atau besok atau kapan saja, aku ingin melihat kau berkelahi sebelum aku dapat menentukan keseimbangan diantara kalian.”
Hampir-hampir Mahisa Agni tidak dapat mengendalikan diri. Tetapi dengan sekuat-kuat tenaganya ia memaksa dirinya untuk duduk tepekur di muka perapian. Hanya kadang-kadang tangannya saja yang bergerak mendorong kayu bakarnya lebih dalam diperapian.
“Nah, bekerjalah” desis Kebo Sindet kemudian, “tetapi jangan mencoba untuk membunuh diri. Sama sekali tidak menyenangkan. Dalam waktu sehari rakyat Tumapel akan mendengar berita itu dan pasti akan selalu memperkatakan kau. Seorang yang dahulu disegani, kakak Permaisuri Ken Dedes, ternyata mati membunuh dirinya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan kemarahan di dalam dadanya. Tetapi ia belum berbuat apa-apa.
“Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Aku akan beristirahat. Ingat, kau pada saatnya akan mendapat kesempatan dan kedudukan yang sama dengan Kuda Sempana.”
Kebo Sindet itu pun kemudian melangkah pergi meninggalkan Mahisa Agni yang masih duduk di muka perapiannya. Ketika Mahisa Agni itu mengangkat wajahnya maka Kebo Sindet telah hilang dibalik pepohonan.
“Waktu itu tidak akan lama lagi”, desis Mahisa Agni perlahan-lahan. Ia masih berhasil menahan darahnya yang hampir mendidih.
Ketika air dan nasi yang dijerangnya telah masak, maka Mahisa Agnip un segera menghidangkannya seperti biasa. Ditaruhnya air panas itu ke dalam mangkuk dan nasinya pun telah disediakannya di dalam ceting bambu. Ia mengharap, bahwa pada saat Kebo Sindet makan ia mendapat kesempatan untuk menemui gurunya dan Empu Sada yang saat itu berada tidak jauh dari tempat itu pula.
Seperti biasanya, Kebo Sindet dan Kuda Sempana pun segera duduk di atas sebuah amben kayu yang kasar, menikmati hidangan yang telah disediakan oleh Mahisa Agni. Nasi yang hangat dengan ikan air yang telah dikeringkan dengan dibubuhi garam. Ketika Kebo Sindet dan Kuda Sempana sedang sibuk memilih dan menyisihkan duri ikan kering yang dimakannya, maka dengan tergesa-gesa Mahisa Agni menyelinap ke dalam gerumbul di belakang sarang iblis itu. Di tempat yang rimbun, ditemuinya gurunya dan Empu Sada memang sedang menunggunya.
“Agaknya Kebo Sindet kali ini gagal lagi guru” berkata Mahisa, “tetapi ia mempunyai suatu cara yang sangat licik. Ia ingin menjadikan aku dan Kuda Sempana ayam sabungan.”
Kedua orang tua-tua itu mengerutkan keningnya. Apalagi ketika Mahisa Agni menjelaskan apa yang telah didengarnya dari Kebo Sindet.
“Iblis itu benar-benar tidak berperasaan” desis Empu Purwa, “ia dapat berbuat apa saja di luar dugaan kita. Karena itu Agni, kau harus mempersiapkan dirimu sebaik-baiknya. Kau akan berhadapan dengan iblis itu. Meskipun, mungkin ilmumu sudah tidak kalah lagi dari ilmu Kebo Sindet menurut aliran masing-masing, tetapi dalam keadaan yang gawat maka Kebo Sindet dapat berbuat apa saja. Ia dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Mungkin kau akan terkejut dan kau akan kehilangan waktu sekejap. Yang sekejap itu mungkin akan dapat dipergunakan oleh iblis itu dengan buasnya. Apakah kau mengerti maksudku?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepala, “Ya, aku tahu guru.”
“Nalar dan perasaanmu harus kau kuasai sebaik-baiknya Agni” berkata Empu Sada, “kalau kau gagal hanya karena kekasaran dan kebuasan lawanmu, maka kau akan mengecewakan kami. Karena itu persiapkan dirimu. Bukan hanya kemampuan lahir, tetapi juga batinmu. Kau harus berdiri di atas landasan yang sudah kau letakkan. Iblis itu memang harus dilenyapkan karena pokalnya yang membahayakan sendi-sendi peradaban. Sehingga apa pun yang akan dilakukan, yang barangkali sama sekali tidak kau sangka-sangka sekalipun, jangan menggoyahkan nalar dan perasaanmu. Kau tidak boleh kehilangan akal.”
“Ya Empu” sahut Mahisa Agni sambil menundukkan kepalanya.
“Tetapi, bagaimana dengan Kuda Sempana?” bertanya Empu Sada tiba-tiba.
“Aku melihat beberapa keanehan padanya” jawab Mahisa Agni, yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya atas anak muda itu.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar Empu Sada berdesis, “Kasihan anak itu. Tidak semua kesalahan dapat dibebankan kepadanya. Sebenarnya ia bukan seorang yang terlampau jahat. Tetapi aku telah ikut mendorongnya ketempatnya yang sekarang. Agaknya kini ia telah benar-benar kehilangan arah hidupnya. Ia merasa bahwa hidupnya sama sekali sudah tidak mempunyai arti lagi.”
“Ya Empu” sahut Empu Purwa, “ia telah didorong oleh keadaan, apalagi ternyata Kuda Sempana kemudian kehilangan keseimbangan berpikir, sehingga ia telah kehilangan arah dan kehilangan tempat berpijak.”
Empu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dan terdengar ia bergumam, “Akulah yang seharusnya meluruskan jalannya pada waktu itu. Tetapi aku justru ikut menjerumuskannya.” Orang tua itu berhenti sejenak. Wajahnya menjadi muram. Lalu sejenak kemudian ia berkata, “Agni. Bagaimanakah kira-kira dengan Kuda Sempana itu? Apakah ia masih mendendammu?”
“Aku tidak tahu Empu. Tetapi aku melihat keanehan itu.”
Empu Sada mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Agni. Apakah kau dapat menunda perasaan muakmu terhadap Kebo Sindet sehari dua hari? Meskipun kini kau telah siap menghadapinya, tetapi aku masih ingin menganjurkan kau menundanya. Kalau kau sempat melakukan keinginan Kebo Sindet, kau akan mengetatui perasaan Kuda Sempana yang sesungguhnya. Apakah ia masih tetap mendendammu ataukah ia telah benar-benar kehilangan nafsunya itu karena hidupnya sendiri yang seolah-olah sudah tidak berarti apa-apa lagi. Kalau ia masih saja mendendammu seperti dahulu Agni, aku serahkan ia kepadamu. Apa saja yang akan kau lakukan. Tetapi kalau ia telah kehilangan nafsunya itu karena alasan apapun, apakah kau mau memberinya sedikit saja peluang.”
Kening Mahisa Agni menjadi berkerut, “Maksud Empu?” bertanya Mahisa Agni itu.
Empu Sada menjadi ragu-ragu. Dipandangnya Empu Purwa sejenak seolah-olah ingin mendapat pertimbangan dari padanya, “Maksudku ngger, apabila Kuda Sempana itu sudah tidak lagi mendendammu karena alasan apapun, mungkin bukan karena kesadaran tentang kekeliruannya, sebab mungkin ia hanya sekedar didera oleh keputusasaan dan tidak tahu arah hidupnya lagi, namun aku ingin minta maaf kepadamu untuknya. Aku ingin mencoba memperbaiki tingkah lakunya sebagai tebusan dari kesalahan-kesalahan yang aku buat selama ini.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Seperti Empu Sada maka sekilas ditatapnya wajah Empu Purwa untuk mendapatkan pertimbangannya. Dan didengarnya gurunya berkata, “Itu adalah wajar sekali Empu. Kalau Kuda Sempana sudah kehilangan nafsunya untuk membalas dendam, maka Agni pun harus melenyapkan segala macam permusuhan yang ada di antara mereka. Mahisa Agni memang seharusnya berbuat sesuatu tanpa dilandaskan pada perasaan dendam dan kebencian. Yang dilakukannya atas Kebo Sindet pun seharusnya tidak diberatkan kepada dendam dan kebencian. Tetapi kecintaannya kepada kebebasan diri, kepada adiknya Ken Dedes kepada orang-orang Panawijen di Padang Karautan, kepada semua orang yang mungkin akan mengalami bencana karena tingkah laku Kebo Sindet. Itulah yang harus menjadi landasan perbuatannya. Sehingga aku kira Mahisa Agni tidak akan berkeberatan apa pun untuk melepaskan sikap permusuhannya terhadap Kuda Sempana. Apalagi Kuda Sempana, seandainya, ya hanya sekedar seandainya, Kebo Sindet dapat merubah dirinya, tingkah laku dan angan-angannya, maka tidak ada manfaatnya untuk membunuhnya. Tetapi itu hanya dapat terjadi di dalam mimpi saja.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang wajah Mahisa Agni, ia melihat pengertian memancar dari wajah anak muda itu, sehingga dengan serta-merta Empu Sada berkata, “Terima kasih. Agaknya Mahisa Agni pun berpendirian demikian pula. Kemana air menitik, maka demikian pula agaknya sifat-sifat gurunya melimpah kepadanya.”
“Ah” desah Empu Purwa, “kau memuji. Terima kasih.”
Empu Sada tersenyum. Lalu katanya, “Bagaimana Mahisa Agni?”
“Aku tidak berkeberatan, Empu. Aku memang melihat sesuatu pada dirinya. Mungkin ia mendapatkan kesadarannya. Atau mungkin seperti yang Empu katakan” jawab Mahisa Agni. Meskipun demikian masih juga terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Adalah terlampau sulit untuk melupakan begitu saja semua persoalan yang pernah timbul di antara dirinya dengan Kuda Sempana. Adalah terlampau sulit untuk dengan sebuah senyuman berkata, “Kau telah aku maafkan Kuda Sempana.”
Tetapi kedua orang tua-tua yang selama ini telah menempanya berpendapat demikian. Mereka, apalagi Empu Sada, telah dengan terang, minta maaf untuk bekas muridnya itu. Apakah dengan demikian ia akan berkeras pada pendiriannya. Dan terngiang ditelinganya kata-kata gurunya, “Kalau Kuda Sempana sudah kehilangan nafsunya untuk membalas dendam maka Mahisa Agni pun harus melenyapkan segala macam permusuhan yang ada diantara mereka.”
Mahisa Agni itu pun kemudian mencoba untuk dapat melakukannya. Untuk dapat memaafkan Kuda Sempana. Ia merasa bahwa seharusnya hal itu memang dilakukannya. Hanya kadang-kadang saja perasaannya masih juga melonjak. Namun dengan penuh pengertian ia berkata didalam hatinya, “Aku memang harus melupakan segala permusuhan itu. Empu Sada telah banyak berjasa kepadaku di samping guru. Orang tua itu telah dengan suka rela memberikan dasar-dasar dan kemudian dengan berbagai pancarannya Aji yang selama ini menjadi puncak kekuatannya. Ia telah bersedia pula bersama-sama gurunya mencari bentuk keserasian dari kedua Aji yang ada pada orang tua-tua itu. Dan hasilnya adalah dahsyat sekali.”
Mahisa Agni itu tersadar ketika ia mendengar gurunya berkata, “Kembalilah kepada Kebo Sindet. Mungkin ia telah selesai makan, kau harus berbuat seperti biasa. Dan kau harus menunggu saat yang sebaik-baiknya. Ingat, kau harus mempersiapkan dirimu lahir dan batin. Aku sudah tidak mencemaskan ilmumu lagi. Kau telah menjadi seorang yang akan mampu menghadapinya. Ilmumu sudah cukup.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Tanpa disengaja ia menengadahkan wajahnya menatap langit. Memang kadang-kadang mendung telah mengalir semakin sering. Bahkan gerimis-gerimis kecil kadang-kadang telah jatuh pula.
“Belum terlampau tergesa-gesa Agni” berkata gurunya, “di Padang Karautan masih ada Ki Buyut Panawijen dan masih ada pula Ken Arok dan pasukannya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Agaknya gurunya mengerti apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Dan ia mendengar gurunya itu berkata pula, “Kembalilah kepada Kebo Sindet dan Kuda Sempana.”
“Baik guru” jawab Mahisa Agni, yang kemudian minta diri kepada gurunya dan Empu Sada.
Ketika ia telah berada didekat sarang iblis itu, ia mendengar namanya dipanggil. Dangan tergesa-gesa ia berlari, masuk ke dalam, langsung mendapatkan Kebo Sindet dan Kuda Sempana yang masih duduk menghadapi sisa-sisa makanannya.
“He, kemana kau tikus malas?” bentak Kebo Sindet.
“Aku sedang mengambil kail yang tadi pagi sudah aku siapkan dipinggir rawa-rawa.”
“Setan alas, kenapa kau tinggalkan kami yang sedang makan? Apakah tidak dapat kau ambil nanti sesudah kami selesai?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkannya.
“Bawalah sisa-sisa ini pergi. Ambilkan air. Cepat.”
Segera Mahisa Agni memutar tubuhnya. Tetapi ketika ia baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendengar Kebo Sindet berteriak, “Kenapa barang-barang ini tidak kau bawa sama sekali he? Kau memang terlampau bodoh.”
Dengan ragu-ragu Mahisa Agni mendekat. Tetapi beberapa langkah dari amben tempat duduk Kebo Sindet, ia tertegun. Kemudian terasa matanya menjadi panas. Kebo Sindet telah melemparkan sisa-sisa nasinya kewajah Mahia Agni. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Segera ia berjongkok untuk memunguti gumpalan-gumpalan nasi dan mangkuk tanah yang pecah terbanting dilantai.
“Ambil. Ambil semua itu. Kau harus memakannya. Mengerti?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menenangkan gelora di dadanya. Hampir-hampir ia tidak dapat menahan diri lagi untuk bersabar. Hampir saja ia meloncat menerkam wajah Kebo Sindet yang beku seperti mayat. Tetapi ia masih selalu ingat pesan gurunya. Ia harus mencari saat yang sebaik-baiknya. Apalagi kini ia mendapat pesan baru dari Empu Sada, untuk meyakinkan, apakah Kuda Sempana benar-benar sudah tidak mendendamnya. Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan ruangan itu, membawa mangkuk-mangkuk tanah dan sisa-sisa makanan ke belakang, namun ia masih harus segera kembali membawa air untuk Kebo Sindet.
“Setan” geram Kebo Sindet, “kau memang terlampau malas. Untuk mengambil air semangkuk kecil saja, kau memerlukan waktu hampir seujung pagi” Hampir saja mangkuk itu melayang ke wajah Mahisa Agni. Tetapi Kebo Sindet mengurungkan niatnya. Ditatapnya wajah Mahisa Agni lama-lama. Kemudian pandangan matanya berkisar kepada Kuda Sempana.
Tiba-tiba saja ia berteriak, “Sekarang. Aku ingin melihat kalian berkelahi sekarang. Nah Kuda Sempana. Aku minta tolong kepadamu. Ajarilah anak ini supaya tidak terlampau malas. Cepat. Kalian harus berkelahi. Aku akan melihat. Cepat.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah Kuda Sempana. Tampaklah wajah itu pun menegang, agaknya Kuda Sempana menjadi terkejut juga mendengarnya. Justru karena itu maka untuk sejenak ia diam mematung.
“Apakah kalian tidak mendengar”, sekali lagi Kebo Sindet berteriak, “Ayo, cepat ke halaman.”
Kebo Sindet lah yang segera meloncat berdiri. Didorongnya Mahisa Agni sehingga anak muda itu hampir-hampir saja jatuh terjerembab, kemudian Kebo Sindet itu berpaling kepada Kuda Sempana, “Ayo mulailah. Memang kau dahulu dapat dikalahkan oleh Mahisa Agni. Tetapi kau sudah mendapat beberapa tambahan Ilmu dari Kemundungan. Seharusnya kau kini menjadi jauh lebih kuat dari Mahisa Agni. Tetapi justru karena itu aku harus selalu mengawasi perkelahian itu, supaya kau tidak terdorong untuk membunuhnya.”
Kuda Sempana menjadi berdebar-debar. Tetapi kemudian tumbuhlah sikap acuh tidak acuhnya itu lagi. Dengan kepala kosong ia berdiri dan melangkah mengikuti Kebo Sindet kehalaman.
“Kemari kalian berdua”, Kebo Sindet masih saja berteriak-teriak.
Keduanya segera mendekat. Tetapi ada perbedaan perasaan yang berkecamuk di dalam dada keduanya. Kuda Sempana hampir acuh tidak acuh saja atas apa yang akan terjadi. Kalau kemudian ia bersiap untuk berkelahi, bukan lagi karena didorong oleh nafsunya untuk berkelahi. Ia hanya sekedar melakukan perintah Kebo Sindet seperti ia melakukan perintah-perintahnya yang lain dengan hati yang kosong. Tanpa maksud, tanpa tujuan dan tanpa pertimbangan-pertimbangan lain. Sedang di dalam dada Mahisa Agni bergolak suatu perasaan ingin tahu, seperti juga Empu Sada ingin tahu, apakah Kuda Sempana masih memiliki nafsu-nafsu dan dendamnya terhadap Mahisa Agni. Namun bahwa sekarang juga ia harus berkelahi, itu telah mengejutkannya.
“Tidak ada bedanya”, berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “sekarang atau nanti atau besuk. Semakin cepat semakin baik. Aku segera mendapat keputusan. Dengan demikian aku akan segera dapat menyelesaikan tugas ini. Menyingkirkan Kebo Sindet, sebelum aku kembali ke Padang Karautan.”
Kini keduanya telah berdiri berhadapan. Tetapi wajah-wajah mereka yang sama sekali tidak memancarkan gairah untuk berkelahi, telah sangat mengecewakan Kebo Sindet. Sehingga tiba-tiba ia berteriak pula, “Ayo, cepat. Bersiaplah untuk berkelahi. Aku ingin melihat keseimbangan yang sebenarnya di antara kalian. Kalau kalian tidak sungguh-sungguh berkelahi, maka aku akan memaksa kalian dengan caraku.”
Tiba-tiba saja Kebo Sindet itu meloncat meraih ranting sebesar ibu jari. Katanya kemudian, “Tubuh kalian akan dibekasi oleh jalur-jalur dari cambukku ini. Aku akan dapat memperlakukau kalian seperti seekor cengkerik, tetapi juga dapat memperlakukan kalian seperti seekor lembu penarik pedati. Aku dapat sekedar menggelitik kalian, tetapi aku juga dapat memukul kalian sampai pingsan sekalipun. Nah, sekarang bersiaplah.”
Tidak ada pilihan lain bagi keduanya. Mereka melihat Kebo Sindet mengacung-acungkan ranting di tangannya. Sekali-sekali disentuhnya Mahisa Agni dan sekali-sekali Kuda Sempana. Dengan tongkat kecil itu didorongnya kedua anak-anak muda itu maju semakin dekat.
“Tetapi supaya perkelahian ini adil” berkata Kebo Sindet itu, “serahkanlah pedangmu.”
Kuda Sempana yang sudah menjadi semakin acuh tidak acuh lagi kepada dirinya sendiri, dengan tanpa menjawab sepatah kata pun menarik pedangnya dan diberikannya kepada Kebo Sindet.
“Bagus” berkata Kebo Sindet sambil menerima pedang itu, “sekarang bersiaplah untuk mulai.”
Kini kedua anak-anak muda itu telah berdiri berhadapan. Tetapi keduanya sama sekali tidak memberi kepuasan kepada Kebo Sindet. Wajah Kuda Sempana kosong dan beku, sedang wajah Mahisa Agni diwarnai oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
“Jangan membuat aku kecewa. Kalian tahu, akibat dari kekecewaanku.”
Kedua anak muda itu tidak menjawab.
“Ayo cepat, mulailah.”
Ketika keduanya masih berdiri saja mematung, maka Kebo Sindet hampir-hampir kehilangan kesabarannya. Disentuhnya sekali lagi tubuh anak-anak muda itu dengan ranting ditangannya, tetapi kali ini agak lebih keras sedikit. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia sedang berjuang untuk menahan perasaannya. Ia sedang berusaha keras untuk tidak segera meloncat menyerang Kebo Sindet sendiri. Justru karena itu maka tampaklah ia selalu dicengkam oleh kebimbangan. Namun dalam tangkapan Kebo Sindet, Mahisa Agni kini benar-benar sudah kehilangan keberarian untuk berbuat sesuatu.
“Ayo Agni. Aku menghendaki kau berkelahi, jangan takut. Kau harus benar-benar berkelahi membela dirimu. Kalau kau kalah, maka kau akan menyesal nanti, sebab tubuhmu akan menjadi merah biru. Aku akan memukuli kau dengan ranting ini. Sebaliknya demikian juga Kuda Sempana. Tegasnya, siapa yang kalah, akan mendapat hukumannya. Cepat sebelum aku kehilangan kesabaran.”
Sentuhan-sentuhan tongkat Kebo Sindet yang sebesar ibu jari itu, telah berhasil mendorong keduanya menjadi semakin dekat. Jarak mereka tinggal beberapa langkah saja. Keduanya kini benar-benar telah bersiap untuk memulai dengan sebuah permainan gila-gilaan yang sangat memuakkan. Tetapi tidak seorang pun di antara keduanya yang bernafsu untuk memulainya.
“He, apakah kalian telah bersama-sama menjadi banci he?” terdengar suara itu lagi.
Ketika keduanya masih saja berdiri di tempatnya, Kebo Sindet menjadi semakin marah. Maka kini ia tidak hanya sekedar menyentuh tubuh-tubuh yang berdiri kaku itu, tetapi kini ia mengayunkan ranting itu, mendera punggung Mahisa Agni, “Ayo, kau harus segera mulai.”
Terasa sengatan ranting kecil itu seperti menyobek kulit. Tetapi Mahisa Agni yang sekarang, bukan Mahisa Agni yang dahulu. Ketahanan tubuhnya telah berkembang melampaui kebanyakan orang. Hanya sesaat kemudian ia sudah berhasil melenyapkan perasaan pedih dan nyeri. Namun Mahisa Agni masih juga menyeringai sambil meraba-raba punggungnya. Bahkan terdengar ia berdesis dan mengeluh pendek.
“Ayo, cepat. Kalau kau tidak mau mulai, maka aku akan mengulanginya semakin lama semakin keras. Mungkin kau akan pingsan karenanya, atau bahkan kalau aku benar-benar kehilangan kesabaranku, umurmu akan berakhir hari ini” teriak Kebo Sindet.
Mahisa Agni segera memperbaiki sikapnya. Ia tidak ingin mendapat pukulan-pukulan lagi. Bukan karena ia tidak akan dapat menahan sakit, tetapi ia takut kalau ia kehilangan kesabarannya pula seperti Kebo Sindet. Karena itu maka segera ia melangkah maju semakin dekat dengan Kuda Sempana. Dengan demikian maka Kuda Sempana pun telah bersiap pula menerima serangan Mahisa Agni.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Agni pun telah meloncat menyerang Kuda Sempana. Tangannya terayun langsung mengarah dada lawannya. Tetapi Kuda Sempana telah siap menunggunya. Karena itu maka dengan gerakan yang sederhana ia berhasil menghindari serangan itu.
“Oh, kau benar-benar sudah gila Mahisa Agni” teriak Kebo Sindet. Ia menjadi marah melihat cara Mahisa Agni menyerang. Seperti anak-anak yang berkelahi berebut makanan. Tanpa perhitungan dan tanpa unsur-unsur gerak ilmunya yang terkenal.
“Ingat” berkata Kebo Sindet kemudian, “kalau kau tidak berkelahi bersungguh-sungguh, maka kau akan kecewa.”
Terdengar Mahisa Agni berdesis, ia mengalami kesulitan dalam perkelahian ini. Ia harus berusaha untuk membuat dirinya tidak lebih baik dari Kuda Sempana. Ketika ia mencoba menyederhanakan geraknya, ternyata gerak itu terlampau sederhana sehingga Kebo Sindet menjadi kecewa karenanya. Namun dalam gerak selanjutnya, Mahisa Agni lah yang menyesuaikan dirinya dengan Kuda Sempana. Meskipun Kuda Sempana juga berkelahi tanpa nafsu, namun tata geraknya dapat menuntun Mahisa Agni untuk menemukan tingkatan yang harus dilakukan.
“Oh, kalian memang sudah gila” Kebo Sindet mengumpat-umpat. Tiba-tiba ia meloncat maju. Dengan cepatnya ranting kecil ditangannya telah melecut punggung Mahisa Agni dan Kuda Sempana sehingga keduanya mengeluh bersama-sama. “Kalau kalian masih saja bermain-main, maka kalian akan menjadi korban kebodohan kalian.”
Tidak ada pilihan lain bagi Kuda Sempana dari pada berkelahi terus. Meskipun hatinya kosong, namun ia kini menjadi semakin cepat bergerak. Serangan-serangannya menjadi semakin mantap dan mapan. Perlahan-lahan dalam ketiadaan tujuan, selain sekedar meghindarkan diri dari lecutan tongkat Kebo Sindet. Kuda Sempana menjadi semakin garang.
Dengan demikian maka perkelahian itu pun menjadi semakin cepat pula. Lambat laun, setelah Kuda Sempana dibasahi oleh keringatnya, maka ia pun menjadi semakin bersungguh-sungguh. Namun dalam pada itu, terasa oleh Mahisa Agni, bahwa sebenarnya Kuda Sempana sama sekali tidak bernafsu untuk berbuat sesuatu. Terasa oleh Mahisa Agni, bahwa Kuda Sempana hanya sekedar terdorong oleh hasratnya untuk menghindari pukulan Kebo Sindet. Tersirat sepercik pertanyaan di dalam dada Mahisa Agni tentang lawannya itu. Kenapa Kuda Sempana menjadi seakan-akan telah melupakan dendamnya.
“Tentu pengaruh keadaannya sendiri yang telah mengajarnya untuk mengerti” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “tetapi seandainya ada penyesalan di dalam dadanya, namun penyesalan itu datang terlampau lambat. Meskipun demikian, meskipun terlambat, tetapi baik juga penyesalan itu mengekang segala kegilaannya. Gurunya yang telah menyadari kesalahannya pula, mudah-mudahan akan dapat menuntunnya ke jalan yang lebih baik.”
Mahisa Agni terkejut ketika sekali lagi tongkat kecil Kebo Sindet hinggap di punggungnya. Sekali lagi ia menyeringai dan berdesis. Ternyata angan-angannya telah mengekang geraknya sehingga tampaklah bahwa ia tidak berkelahi bersungguh-sungguh.
“Aku memperingatkan kau sekali lagi, Agni.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi wajahnya kini tampak bersungguh-sungguh. Sekali-sekali ia menggeram, kemudian melontar dengan cepatnya menyerang lawannya. Kuda Sempana terkejut mendapat serangan yang tidak terduga-duga itu. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia meloncat menjauh, namun kemudian dengan cepatnya pula, ia membalas serangan itu dengan serangan kaki yang mengarah ke lambung Mahisa Agni. Mahisa Agni sengaja tidak menghindarkan dirinya. Ia ingin tahu, sampai dimana kekuatan serangan Kuda Sempana kini setelah ia mendapat tuntunan ilmu Kemundungan yang kasar itu.
Ketika kaki Kuda Sempana mengenai lambung Mahisa Agni yang seakan-akan tidak sempat menghindarkan dirinya, maka terasa kaki itu bergetar. Kuda Sempana merasakan kakinya membentur suatu kekuatan yang tidak terduga sebelumnya. Karena itu, maka ia terdorong oleh kekuatan serangannya sendiri beberapa langkah surut. Sedang Mahisa Agni terlempar beberapa langkah. Kemudian terbanting jatuh di tanah. Beberapa kali ia berguling-guling, Ketika ia berusaha untuk meloncat bangun maka kakinya pun terperosok ke dalam sebuah lubang kecil, sehingga sekali lagi ia terjatuh di tanah. Dan sekali lagi ia tertatih-tatih untuk mencoba bangkit dan berdiri di atas kedua kakinya.
Namun waktu yang sesaat itu telah dapat dipergunakannya untuk mengetahui kekuatan Kuda Sempana. Meskipun ia tahu bahwa Kuda Sempana pun tidak mempergunakan seluruh kekuatannya. Tetapi ia menjadi heran sendiri. Sebagian kecil dari daya tahannya ternyata telah berhasil melemparkan Kuda Sempana beberapa langkah surut. Untunglah bahwa ia tidak mempergunakan kekuatan yang lebih besar, sehingga Kuda Sempana tidak mendapat cidera karenanya. Tetapi dengan demikian ia harus memainkan peranannya sebaik-baiknya. Kebo Sindet harus menyangka bahwa ia pun mengalami kejutan yang telah membantingnya.
Kini keduanya berdiri dalam jarak yang agak jauh. Tetapi menurut pengamatan Kebo Sindet. keduanya telah terpengaruh oleh benturan itu. Apalagi Mahisa Agni. Menurut penglihatan Kebo Sindet Mahisa Agni masih belum dapat mengimbangi kekuatan Kuda Sempana meskipun selisih kekuatan itu tidak seberapa. Namun dengan demikian justru menyenangkannya. Ia akan dapat membuat keduanya menjadi seimbang dan untuk kali lain memaksa mereka berkelahi lebih baik.
Perkelahian yang disaksikannya kali ini sama sekali tidak memuaskannya. Tetapi ia dapat mengerti. Mahisa Agni yang selama ini jiwanya selalu diguncang oleh ketakutan dan kecemasan pasti tidak segera dapat menemukan kekuatannya kembali. Terutama kekuatan hati untuk melawan Kuda Sempana dengan sempurna. Karena itu, maka ia mempunyai harapan yang baik dimasa yang akan datang. Ketika Kebo Sindet masih melihat kedua anak-anak muda itu berdiri dengan tegangnya, maka dengan serta-merta ia melangkah maju dan memukul keduanya berganti-ganti dengan tongkatnya sambil berteriak,
“Nah, kali ini kalian sama sekali mengecewakan aku. Kalian berkelahi seperti ayam-ayam cengeng. Tetapi biarlah. Lain kali kalian harus berkelahi lebih baik. Kalian harus bersungguh-sungguh supaya yang menyaksikan perkelahian kalian menjadi puas.”
Kebo Sindet berhenti sejenak, dipandanginya wajah Mahisa Agni dan Kuda Sempana yang sedang menyeringai kesakitan itu berganti-ganti. Tetapi sejenak kemudian, ketika rasa sakit dipunggung mereka telah berkurang, wajah Kuda Sempana menjadi acuh tidak acuh lagi, dan wajah Mahisa Agni diselimuti oleh ketegangan dan ketakutan.
“Setan” desis Kebo Sindet, “kalian harus bersungguh-sungguh.” Dan di dalam hatinya ia berkata, “Pada saatnya mereka akan menjadi ayam aduan yang baik. Aku dapat membuat mereka seimbang. Pertunjukan ini akan menjadi pertunjukan baru dilingkungan orang-orang gila.” Dan Kebo Sindet yang berwajah mayat itu tertawa di dalam hati.
“Sekarang kalian boleh pergi” berkata Kebo Sindet itu bemudian., “Kalian harus tetap berada dalam kehidupan kalian sehari-hari. Apakah kalian mengerti?”
Keduanya sama sekali tidak menjawab. Mahisa Agni memandangi wajah Kebo Sindet sorot mata penuh kebimbangan. Sedang Kuda Sempana masih saja bersikap acuh tidak acuh.
“Apa lagi yang kalian tunggu” teriak Kebo Sindet, “ayo pergi sebelum aku berubah pendirian. Sebelum aku menyuruhmu berkelahi untuk kedua kalinya hari ini.”
Kedua anak-anak muda itu masih tetap membisu. Tetapi Mahisa Agni dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu dan pergi ke belakang sarang iblis itu, sedang Kuda Sempana berjalan perlahan-lahan masuk ke dalamnya. Di belakangnya Kebo Sindet berjalan sambil mengawasi punggung anak muda itu yang berjalur-jalur merah biru bekas pukulanya.
“Hem” Kebo Sindet bergumam, “aku terpaksa memukulmu. Kau tidak memuaskan hatiku karena kau tidak mau bersungguh-sungguh melawan Mahisa Agni. Aneh, kau yang selama ini mendendamnya, ketika aku memberi kesempatan, kau sama sekali tidak mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Berpaling pun tidak. Ia berjalan saja dengan wajah tunduk, seolah-olah ingin melihat setiap butir batu yang akan dilangkahinya.
“Lain kali kau harus berkelahi lebih baik” Kebo Sindet menyambung., “Kau berada di atas Mahisa Agni di dalam segala hal, kecekatan, kekuatan dan kemantapan. Hatimu harus lebih besar dan lebih gairah daripada Mahisa Agni, lain kali ia harus kau lumpuhkan sehingga kau menjadi puas. Tetapi jangan kau bunuh, supaya kau mendapat kepuasan lagi di lain kali.”
Kuda Sempana tidak menjawab, ia duduk saja di atas amben kayu tua yang kotor. Pandangan matanya yang kosong menembus mulut sarang iblis itu, hinggap di daunan yang hijau di luar.
“Ini pedangmu” berkata Kebo Sindet sambil memberikan pedang Kuda Sempana.
Kuda Sempana menerima pedangnya dengan sikap yang acuh tak acuh saja. Kini ia benar-benar telah terbenam dalam keputus-asaan yang dalam. Hampir-hampir tidak mungkin lagi baginya untuk bangkit dan melihat dirinya sendiri dan kediriannya. Ia merasa bahwa kini adanya sama sekali sudah tidak dapat dihayati. Ia merasa ada dalam ketiadaan.
“Nah, sekarang beristirahatlah. Besok kau harus mencoba sekali lagi. Tetapi kau jangan mengecewakan aku”, Kebo Sindet berhenti sejenak, lalu, “Untuk seterusnya kau akan berlatih dan berkelahi setiap waktu aku kehendaki. Kalian harus bersama-sama meningkat, supaya setiap perkelahian yang terjadi akan menjadi lebih sengit, lebih seru dan menarik.”
Kuda Sempana masih tetap berdiam. Sorot matanya yang kosong masih saja hinggap di dedaunan di luar. Sinar matahari yang putih satu-satu jatuh di atas tanah yang lembab.
Di belakang sarang itu Mahisa Agni duduk terpekur. Sekali-sekali dirabanya punggung yang dijaluri oleh warna hitam kemerah-merahan. Tetapi ia sudah tidak merasakan lagi, kadang-kadang masih juga terasa tusukan pedih yang ringan.
“Bukan main” geramnya. "Tetapi aku sudah tahu, bahwa sebenarnya Kuda Sempana telah kehilangan dirinya sendiri. Ia kini seolah-olah telah menjadi orang baru. Orang, yang kosong tanpa kehendak, tujuan dan cita-cita. Seperti anak-anak yang baru mengenal dunia di sekitarnya sebagai benda-benda asing yang tidak dimengertinya. Tetapi dengan demikian, maka Empu Sada akan dapat mengisinya dengan kehidupan baru di dalam dirinya. Sebagai kelenting yang dipenuhi oleh cairan yang kotor, kini agaknya telah tertumpah sama sekali. Keadaan telah membuatnya demikian. Mudah-mudahan Empu Sada mampu mengisinya dengan cairan yang baru, bening."
Mahisa Agni mengangguk-angguk seorang diri. Namun tiba-tiba ia bangkit dan berguman ”Aku harus segera mendapat kesempatan itu, menyingkirkan Kebo Sindet.”
Mahisa Agni kini berdiri tegak dengan dada tengadah. Lenyaplah segala macam keragu-raguan dan kebimbangan yang selama ini membayangi wajahnya dalam peranannya. Mahisa Agni sama sekali sudah tidak mengesankan ketakutannya lagi. Tiba-tiba ia menjadi garang. Tangannya yang selama ini terkulai dengan lemahnya, tiba-tiba menjadi tegang. Jari-jarinya mengepal dan giginya gemeretak. Terdengar ia berdesis,
“Aku kira sudah tiba waktunya. Aku sudah memenuhi pesan Empu Sada. Aku kini sudah yakin, bahwa Kuda Sempana sudah kehilangan nafsunya untuk membalas dendam, bahkan seluruh gairah kehidupan telah menjauh dari padanya." Mahisa Agni terdiam sejenak. Ditebarkannya pandangan matanya disekitarnya. Tetapi ia tidak melihat seorang pun, Kuda Sempana atau Kebo Sindet. Yang ada disampingnya adalah perapian, periuk tanah dan beberapa macam alat-alat yang selama ini dipergunakannya untuk memasak.
“Hem” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam., “Aku sudah cukup lama berada di tempat ini. Aku kira sudah cukup bersabar. Bukan sekedar ingin segera membinasakan Kebo Sindet. Tetapi yang lebih penting bagiku adalah keluar dari tempat ini dan pergi ke Padang Karautan.”
Gelora di dada Mahisa Agni menjadi semakin dahsyat. Darahnya serasa semakin cepat mengalir, tetapi ia tidak dapat berbuat begitn saja tanpa setahu gurunya dan Empu Sada yang selama ini ikut serta mengasuhnya. Karena itu, maka timbullah niatnya untuk segera pergi menemui mereka.
“Mereka pasti masih berada di tempat itu” katanya didalam hati, “kalau mereka sudah pergi ke luar daerah ini, maka aku harus menunggu sampai besok. Pada saat menunggu itu perasaanku akan tersiksa jauh lebih sakit dari pada tubuhku.”
Kini Mahisa Agni tidak perlu ragu-ragu lagi. Biarlah Kebo Sindet dan Kuda Sempana mencarinya apabila mereka memerlukan. Ia tidak perlu lagi bermain-main dan mengorbankan tubuh dan perasaannya. Maka dengan langkah yang tetap Mahisa Agni pergi meninggalkan perapian itu untuk menemui gurunya dan Empu Sada. Ia berhadap bahwa mereka masih belum meninggalkan tempat itu. Mahisa Agni menarik nafas lega ketika ia melihat kedua orang itu masih saja duduk di tempatnya, Mereka masih belum berkisar sejengkal pun. Agaknya mereka sedang asyik bercakap-cakap sehingga mereka menjadi betah duduk di tempat itu.
“He” sapa Empu Purwa, “begitu cepat kau kembali kemari Agni.”
“Punggungku sudah cukup dijalari oleh jalur-jalur merah biru ini guru” sahut mahisa Agni sambil menunjukkan punggungnya.
“Kenapa?”
“Aku harus berkelahi melawan Kuda Sempana. Agaknya Kebo Sindet kurang puas melihat perkelahian kami sehingga ia merasa perlu untuk memukuli kami berdua.”
Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Sejenak kemudian Empu Purwa berkata, “Kalian berdua dipukulnya?”
“Ya guru. Meskipun hanya dengan ranting basah sebesar ibu jari, tetapi yang mengayunkannya adalah Kebo Sindet.”
Empu Purwa mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya pula, “Apakah daya tahanmu tidak cukup mampu untuk melawan rasa sakit itu?”
“Ya guru. Agaknya aku berhasil menguasai rasa sakitku.”
“Bagus. Tetapi ingat, bahwa pukulan itu hanya dilepaskan dengan sebagian kecil saja dari kekuatannya. Meskipun hanya dengan ranting kecil tetapi apabila dilepaskan dengan seluruh kekuatannya, maka dalam keadaan yang wajar, seseorang akan rontok iganya. Kau harus menyadari, bahwa kekuatan tenaga iblis itu memang luar biasa.”
Mahisa Agni menganggukan kepalanya. Jawabnya “Ya guru. Aku akan mengingat-ingat.”
“Lalu bagaimana dengan Kuda Sempana?” bertanya Empu Sada kemudian.
“Aku melihat perubahan padanya” jawab Mahisa Agni, yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya pada Kuda Sempana.
“Ia telah menjadi bayi kembali” guman Empu Sada, “bayi dalam takaran nalar dan perasaan. Perhitungan dan angan-angan. Tetapi apabila demikian, ia mempunyai harapan untuk menjadi baik kembali, meskipun masih harus dilakukan pengawasan yang cukup.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Mungkin sekali Empu.”
“Apakah Kebo Sindet juga memukul Kuda Sempana seperti ia memukulmu?”
“Ya Empu.”
“Kalau begitu aku dapat meyakini pula seperti kau, bahwa sebenarnya Kuda Sempana telah kehilangan dirinya. Jantung dan hatinya seakan-akan telah tercuci bersih, sehingga mudah-mudahan aku dapat mengisinya sebaik-baiknya.”
“Mudah-mudahan Empu” sahut Mahisa Agni. Namun kemudian ia terdiam. Kepalanya ditundukkannya dalam-dalam. Ia ingin segera mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Tetapi ia segan untuk mengatakannya.
Agaknya Empu Purwa dan Empu Sada melihat keinginan yang tersirat dari dalam dada anak muda itu. Keinginan untuk melepaskan diri, keinginan untuk segera menyingkirkan orang yang bernama Kebo Sindet itu supaya untuk seterusnya ia tidak akan dapat mengganggu lagi.
“Mahisa Agni” berkata Empu Purwa, “agaknya kau sudah tidak sabar lagi. Baiklah. Aku memperhitungkan, bahwa kekuatanmu sudah cukup untuk menandingi Kebo Sindet. Bahkan kau mempunyai beberapa kelebihan dengan kekuasan Aji Pamungkasmu. Tetapi kau masih harus tetap berhati-hati. Kebo Sindet mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dari pada pengalamamnu sendiri.”
Tiba-tiba wajah Mahisa Agni menjadi cerah, secerah matahari di langit. Ia akan segera dapat mengobati kejemuannya. Namun ia masih bertanya, “Kapan aku boleh melakukan?”
“Terserah kepadamu Agni.”
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Kalau saja ia mendapat kesempatan, maka ia sudah tidak ingin menundanya lagi. Sekarang. Hari ini. Terasa darah Mahisa Agni menjadi semakin hangat. Waktu yang dipergunakan untuk menunggu kesempatan seperti ini terasa sudah terlampau panjang baginya. Waktunya sudah banyak terbuang di neraka yang menjemukan ini.
“Tidak” tiba-tiba Mahisa Agni itu berdesis di dalam hatinya sendiri, “waktuku tidak terbuang. Aku di sini mendapat ilmu yang tidak aku sangka-sangka sebelumnya. Aku sama sekali tidak bermimpi bahwa guru bersama-sama dengan Empu Sada akan memberikan ilmu mereka seluruhnya. Dan aku sekarang sudah mereka lepaskan untuk berhadapan dengan Kebo Sindet itu sendiri.”
Ketika Mahisa Agni itu sedang berangan-angan, terdengarlah gurunya berkata, “Bagaimana menurut pertimbanganmu? Apakah kau akan segera melakukannya?”
“Ya guru, Segera. Sekarang juga.”
Empu Purwa dan Empu Sada tersenyum. Terdengar gurunya berkata, “Kau terlampau tergesa-gesa. Justru karena itu Agni, aku nasehatkan padamu, jangan kau lakukan hari ini.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu maksud gurunya. Semula gurunya menyerahkan semuanya kepadanya, kapan saja ia kehendaki. Tetapi tiba-tiba gurunya mencegahnya untuk melakukannya sekarang. “Kenapa tidak sekarang guru?” bertanya Mahisa Agni.
“Nafsunya untuk berkelahi terlampau besar Agni. Dengan demikian maka nalarmu sudah tidak bening lagi. Yang ada di dalam angan-anganmu sekarang adalah barkelahi untuk segera memenangkannya dan membinasakan lawan. Nah, kalau demikian, maka apakah bedanya kau dengan Kebo Sindet?”
Kening Mahisa Agni menjadi semakin berkerut-merut.
“Tundalah sampai hatimu bening. Tunggulah sampai kau tidak lagi dibakar oleh nafsu. Mungkin nanti malam, mungkin besok pagi setelah kau sempat menenangkan dan mengendapkan hatimu. Kalau kau masih dikuasai oleh nafsumu yang melonjak-lonjak, maka kau akan mudah tergelincir ke dalam arus kebencian, dedam dan kehilangan kewaspadaan. Ingat, jangan dibakar oleh nafsu tanpa kendali dalam segala persoalan.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kini kepalanya tertunduk rendah. Terasa sepercik penyesalan di dalam dadanya. Ia menjadi malu sendiri, seolah-olah ia telah kehilangan pertimbangan yang bening. Seperti anak-anak nakal ia menjadi gembira ketika ia mendapat kesempatan untuk berkelahi.
“Apakah kau dapat mengerti?”
Mahisa Agni mengangguk lemah, “Ya guru. Aku dapat mengerti.”
“Dengan beberapa kelebihan, kau jangan mudah dihanyutkan oleh arus darah mudamu. Kau sudah harus menjadi cukup dewasa, Jadikanlah hal ini peringatan untuk saat-saat mendatang.”
“Ya guru.”
“Bagus” berkata gurunya, “sekarang pergilah kepada Kebo Sindet. Persiapkan dirimu. Kau akan mendapat kesempatan itu. Tidak usah hari ini. Pada saatnya aku akan berada di dekatmu untuk melihat apa yang dapat kau lakukan menghadapi iblis dari Kemundungan itu. Kau sudah tidak perlu minta ijin lagi kepadaku, lakukanlah apabila kau merasa bahwa kau telah siap. Tanpa perasaan dendam dan kebencian yang meluap-luap. Lakukanlah seperti kau sedang melakukan kuwajiban yang tidak dapat kau hindarkan. Dengan perasaan wajib, bukan dengan perasaan dendam.”
“Ya guru” berkata Mahisa Agni dengan nada yang dalam, “aku minta ijin kepada guru dan kepada Empu Sada. Mudah-mudahan aku berhasil.”
“Berhasil menunaikan kuwajibanmu” sambung gurunya.
“Ya guru.”
“Nah, pergilah” berkata Empu Purwa, “aku akan keluar dahulu dari sarang iblis ini. Aku memerlukan beberapa ekor ikan basah. Aku belum makan.”
Empu Sada tersenyum. Tetapi ia berkata kepada Mahisa Agni, “Jangan kau ikut sertakan Kuda Sempana. Kalau kau mau memaafkannya, biarkanlah aku kelak yang mengurusnya.”
“Ya Empu.”
“Bukankah kau bersedia?”
“Ya, ya Empu. Aku sama sekali tidak berkeberatan, seperti Empu tidak berkeberatan memberikan ilmu yang dahsyat itu kepadaku.”
“Terima kasih Mahisa Agni. Nah, mudah-mudahan kau berhasil. Aku berdoa seperti gurumu berdoa.”
“Ya Empu.”
Dan gurunya pun kemudian berkata, “Tetapi kau harus selalu ingat, bahwa akhir dari semua persoalan terletak ditangan Nya. Ditangan Yang Maha Agung.”
“Ya guru.”
Ketika sepercik awan terbang di langit, maka Mahisa Agni menengadahkan wajahnya Hatinya berdesir ketika dikejauhan ia melihat segumpal awan yang kelabu berkisar perlahan-lahan ke utara. Mendung di kejauhan itu berjalan lambat sekali. Sejenak kemudian maka Mahisa Agni itu pun segera minta diri kepada gurunya dan kepada Empu Sada. Ia kini menjadi lebih tenang. Tidak lagi gelisah dan tergesa-gesa. Meskipun mendung di langit selalu mengingatkannya kepada Padang Karautan, namun Mahisa Agni berusaha untuk tidak hangus di bakar oleh nafsunya sendiri yang membara di dalam dada,
“Aku tidak boleh kehilangan akal. Meskipun ilmuku lebih baik dari Kebo Sindet, tetapi kalau aku kehilangan akal, maka aku akan diterkamnya dan diseretnya ke dalam rawa-rawa itu.”
Ketika Mahisa Agni sampai di sarang iblis itu, ia masih belum melihat seorang pun. Agaknya Kebo Sindet dan Kuda Sempana sedang beristirahat di dalamnya.
“Mungkin mereka sedang tidur” gumam Mahisa Agni. Tetapi ia tidak mempedulikannya lagi. Ia langsung pergi ke tempatnya, di samping perapian. Tiba-tiba saja timbullah laparnya. Karena itu maka kemudian dibuatnya api. Ia kini menanak nasi untuk dirinya sendiri karena sisa nasi Kebo Sindet telah dilemparkannya dan ditumpahkannya.
“Nasi hangat dengan ikan kering” desisnya. Namun tiba-tiba ia bergumam, “Hari ini mungkin adalah hari terakhirku di sini.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
Terasa hari itu panjang sekali bagi Mahisa Agni. Namun dalam kesempatan itu dipenuhilah pesan gurunya. Mempersiapkan dirinya baik-baik. Lahir dan batin. Karena itulah maka ia tidak lagi menjadi gelisah, cemas dan berdebar-debar. Meskipun kadang-kadang juga dadanya berdesir, tetapi bukan karena nafsunya untuk segera membalas dendam. Pada sisa-sisa hari yang terakhir itu, Mahisa Agni masih juga melayani Kebo Sindet seperti biasa. Ia masih juga menyediakan makan dan minum. Masih juga didorong dan dibanting. Dimaki-maki dan bahkan disiram dengan air.
“Ternyata aku memang memerlukan persiapan ini” desis Mahisa Agni di dalam hatinya yang sudah mengendap. Hari ini dipergunakannya baik-baik untuk mengenal tabiat Kebo Sindet. Kebiasaan serta sikapnya.
“Memang menarik sekali” katanya di dalam hati, “meskipun sukar dimengerti, bahwa ada seseorang yang memiliki sifat dan tabiat seperti itu. Aku hampir tidak dapat membayangkan, dorongan apakah yang telah membuatnya lain dari watak dan tabiat orang-orang biasa yang lain.”
Ketika malam datang, maka Mahisa Agni pun menjadi semakin dalam mempersiapkan dirinya. Diheningkannya hatinya, supaya ia tidak terdorong ke dalam suatu keadaan yang tidak dikehendakinya dan apalagi tidak dikehendaki oleh gurunya. Namun dengan demikian malam itu Mahisa Agni hampir tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Dan malam itu pun terasa betapa panjangnya. Dadanya berdesir apabila dilihatnya kilat memancar dilangit. Apalagi ketika ia menengadahkan wajahnya ke langit. Dilihatnya langit yang gelap. Mendung. Namun ketika fajar di timur memerahi langit, terasa hatinya menjadi berdebar-debar kembali. Kadang-kadang timbul juga keragu-raguan di dalam hatinya, apakah kuwajibannya itu akan dapat diselesaikannya dengan baik.
“Aku mohon kepada Yang Maha Agung, semoga aku dituntun Nya. Semoga dibenarkan Nya, bahwa manusia semacam Kebo Sindet memang harus disingkirkan.”
Ketika sinar matahari jatuh di atas wajah rawa-rawa yang buram, Mahisa Agni sudah sampai pada kesiagaan tertinggi. Ia tinggal menunggu kesempatan yang terbuka baginya untuk berbuat sesuatu. Namun meskipun demikian, ia masih juga menyiapkan makanan dan minuman bagi Kebo Sindet dan Kuda Sempana untuk pagi itu.
Tetapi benar-benar di luar dugaannya ketika pagi itu ia mendengar Kebo Sindet berkata kepadanya, “Kemarilah Agni. Marilah kita makan bersama-sama.”
Mahisa Agni justru terdiam beku di tempatnya. Ia tidak segera dapat menangkap maksud hantu dari Kemundungan itu, apalagi ketika ia melihat apa yang selama ini belum pernah dilihatnya, wajah yang beku itu tiba-tiba tersenyum. “Oh,” Mahisa Agni berdesah di dalam hatinya, “mengerikan sekali. Seolah-olah aku melihat mayat yang sudah membeku itu tersenyum kepadaku." Tanpa disadarinya, Mahisa Agni mengusap matanya seakan-akan ia tidak yakin pada penglihatannya.
Karena Mahisa Agni tidak menjawab, maka Kebo Sindet itu mengulanginya, “Kemarilah Mahisa Agni. Kau makan pula bersama dengan kami. Jangan takut.”
Seperti kena pesona yang tidak dapat dihindarinya Mahisa Agni melangkah maju. Sekilas dilihat wajah Kuda Sempana yang acuh tidak acuh, bahkan seolah-olah tidak melihatnya berdiri di situ.
“Duduklah” terdengar suara Kebo Sindet.
Mahisa Agni kemudian duduk bersama mereka di atas sebuah amben kayu tua.
“Marilah kita makan bersama-sama” ajak Kebo Sindet.
Mahisa Agni masih dicengkam oleh kebimbangannya. Tetapi segera ia dapat meraba, apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh Kebo Sindet ketika kemudian Kebo Sindet berkata, “Makanlah. Kalian harus berada dalam keadaan yang baik dan seimbang. Kuda Sempana dan Mahisa Agni akan merupakan dua kekuatan yang dahsyat. Kalau kalian berhasil memberi aku kepuasan, maka aku tidak akan berkeberatan apabila memberikan kesempatan kepada kalian untuk menjadi kawan yang sebenarnya di dalam perjuanganku. Seperti adikku Wong Sarimpat.”
Kuda Sempana masih bersikap acuh tidak acuh saja. Kata-kata itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa atasnya. Namun bagi Mahisa Agni kata-kata itu menimbulkan pertanyaan di dalam hati. “Apakah sebenarnya yang sedang diperjuangkan oleh Kebo Sindet?”
Tetapi, akhirnya Mahisa Agni pun mengerti pula arah pembicarakan itu, berkata Kebo Sindet itu, “Hidup adalah perjuangan. Perjuangan yang tidak akan mengenal selesai selama kita masih tetap menyadari hidup kita masing-masing. Itulah sebabnya aku bekerja dan berjuang terus.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Kebo Sindet telah terjerumus ke dalam suatu sikap hidup yang keliru. Perjuangan selamanya harus mengenal landasan dan arah, mengenal titik tujuan. Kalau kita berjuang dengan sekuat tenaga, bekerja tidak mengenal jemu dan lelah, tetapi tanpa tujuan dan arah, maka kita akan tersesat ke dalam suatu lingkaran tanpa ujung dan pangkal. Bahkan mungkin kita akan sampai pada suatu jalan hidup yang paling gelap. Perjuangan yang tanpa dasar, arah dan tujuan ternyata telah menjeret Kebo Sindet ke dalam tindakan-tindakan yang kasar, ganas dan kejam. Sebab Kebo Sindet sendiri tidak tahu, apakah yang diperjuangkan dan apakah dasar perjuangannya.
Tetapi Mahisa Agni tidak mendapat kesempatan untuk memikirkannya. Begitu mereka mulai makan, maka terdengar Kebo Sindet itu berkata, “Makanlah sebanyak-banyaknya. Kalian berdua harus segera berlatih. Aku ingin melihat, apakah ada kemajuan pada diri kalian musing-masing. Apalagi Mahisa Agni yang barangkali sudah sempat membentuk dirinya lagi.”
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Namun kemudian timbul ingatan didalam hatinya, “Ini adalah kesempatan yang baik. Aku harus dapat mempergunakan kesempatan ini. Jangan tertunda lagi. Kalau aku berhasil membuatnya marah maka akan sampailah saatnya aku berhadapan dengan Kebo Sindet sendiri.”
Dan tiba-tiba saja tumbuhlah seleranya untuk makan sebanyak-banyaknya. Mungkin ia harus bertempur melawan Kebo Sindet untuk waktu yang lama. Bahkan mungkin ia masih harus berkelahi sampai malam hari. Kalau kekuatannya berimbang, maka pasti diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Mahisa Agni tahu benar, bahwa Kebo Sindet adalah seorang yang memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa. Ketahanan tubuh itulah yang harus diperhitungkannya pula. Kebo Sindet dapat menahan sakit, menahan lapar dan lelah. Kalau ia tidak mau mati dalam perkelahian itu, maka ia pun harus dapat mengimbanginya. Harus dapat menahan sakit, lapar dan lelah, meskipun seandainya ia harus bertempur sehari semalam, bahkan sepekan sekalipun.
Ternyata cara Mahisa Agni menyuap dirinya sangat menarik perhatian Kebo Sindet. Sama sekali tidak berkesan di dalam sikap itu, bahwa Mahisa Agni menjadi cemas dan gelisah. Sikap itu adalah sikap yang selama ini tidak pernah dilihatnya pada anak muda itu. Yang biasa dilihatnya adalah kegelisahan, kecemasan dan ketakutan membayang di wajahnya. Tetapi kini anak itu makan dengan lahapnya tanpa menghiraukan apa pun juga. Dan ini adalah kelalaian Mahisa Agni. Ia lupa pada peranan yang masih dilakukannya.
Tetapi untunglah, bahwa kelalaian itu terjadi disaat-saat terakhir dari permainannya, sehingga karena itu, maka kelalaian ini tidak akan terlampau banyak mempengaruhinya, justru ia sudah memutuskan untuk membuat perhitungan hari ini. Ketika mereka sudah selesai makan, maka Kebo Sindet itu berkata,
“Nah, kalian harus beristirahat sebentar supaya lambung kalian tidak sakit. Sebentar kemudian aku ingin melihat, apa yang dapat kalian lakukan.”
Acuh tidak acuh Kuda Sempana berdiri dan melangkah keluar. Di belakangnya berjalan Mahisa Agni dengan kepala tunduk. Berbagai macam masalah bergolak di kepalanya. Kadang-kadang terasa jantungnya berdebar-debar, tetapi kadang-kadang hatinya menjadi tentram. Meskipun ilmunya sudah tidak kalah menurut penilaian gurunya dari ilmu Kebo Sindet, masih cukup mempunyai perbawa. Umur dan pengalamannya, serta hubungan mereka selama ini, ternyata berpengaruh juga atas Mahisa Agni.
Kali ini Mahisa Agni sudah tidak ingat lagi untuk membersihkan sisa-sisa makan mereka. Membawa mangkuk-mangkuk kebelakang dan menyisihkan alat-alat makan mereka yang lain. Pikirannya sama sekali sudah tidak pada permainan yang harus diperankan tetapi ia sedang mereka-reka kemungkinan yang akan terjadi. Sikap Mahisa Agni itu memang menumbuhkan kecurigaan pada Kebo Sindet. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Ia ingin melihat sikap-sikap Mahisa Agni selanjutnya.
Mahisa Agni kemudian melihat Kuda Sempana berdiri saja memandang ke arah wajah rawa-rawa di kejauhan. Kadang-kadang pandangan matanya dilontarkannya ke sudut yang lain dari pulau iblis ini. Rerungkutan, pepohonan yang liar, gerumbul-gerumbul dan rumput-rumput ilalang setinggi tubuhnya. Seakan-akan anak muda itu ingin melihat, apakah yang tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan itu.
Ketika Mahisa Agni berpaling, dilihatnya Kebo Sindet berdiri beberapa langkah di belakangnya. Matanya yang seolah-olah mati di wajahnya yang beku, memandanginya dan Kuda Sempana berganti-ganti. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Bahkan ia berkata,
“Beristirahatlah sejenak. Kali ini kalian tidak boleh mengecewakan. Meskipun ilmu kalian sama sekali tidak sepadan dari yang aku kehendaki, tetapi apabila kalian berkelahi dengan sungguh-sungguh, aku sudah menjadi puas. Aku tidak akan menyakiti kalian, dan bahkan aku berjanji untuk meningkatkan ilmu kalian bersama-sama, supaya setiap perkelahian di antara kalian menjadi semakin seru. Kalian tidak perlu takut menyakiti lawan. Aku sudah menyediakan berbagai macam obat untuk menyembuhkannya, meskipun salah seorang dari kalian terpaksa muntah darah. Apakah kalian mengerti?”
Mahisa Agni mengangguk kosong. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak mengacuhkannya. Bahkan berpaling pun tidak. Namun demikian Kebo Sindet pun membiarkannya saja. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Kebo Sindet berjalan hilir mudik di halaman sarang hantu itu. Kuda Sempana masih berdiri diam sambil memandangi hijaunya dedaunan. Tetapi pandangan matanya sama sekali tidak memancarkan perasaan apapun. Kosong seperti hatinya yang kosong.
Kediaman itu ternyata membuat Mahisa Agni menjadi tegang. Seakan-akan ia telah dicengkam oleh waktu yang tidak terbatas. Hampir-hampir ia tidak sabar lagi, dan langsung membuat persoalan untuk memulai perlawanannya atas Kebo Sindet. Tetapi sejenak kemudian ia mendengar Kebo Sindet berkata,
“Nah, aku kira kalian telah cukup lama beristirahat setelah makan. Sekarang kalian harus mulai. Ingat, jangan mengecewakan aku.” Lalu kepada Kuda Sempana ia berkata, “Berikan pedangmu.”
Sikap Kuda Sempana benar-benar membayangkan kekosongan perasaannya. Dan ini agaknya telah menjemukan Kebo Sindet, sehingga ketika ia menerima pedang dari anak muda itu, ia membentak, “Jangan seperti orang pikun. Bangunlah dan berkelahilah.”
Kuda Sempana tidak menyahut. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat Kebo Sindet melepas ikat pinggangnya yang dibuat dari sehelai kulit yang tebal, “Aku tidak memerlukan ranting atau tongkat lagi” desisnya, lalu, “Ayo, segeralah bersiap.”
Sekali lagi Kebo Sindet menjadi heran melihat Mahisa Agni yang segera meloncat maju. Wajahnya sudah tidak sesuram kemarin. Kini ia melihat kesegaran yang walaupun hanya tipis menyaput wajah anak muda itu.
“Ternyata dendam yang tersimpan di dalam dada Mahisa Agni masih jauh lebih panas dari dendam yang mengeram di hati Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet di dalam hatinya. Tetapi itu justru menggembirakannya, selama dendam masih ada di dalam diri kedua anak-anak muda itu, maka mereka akan menjadi ayam aduan yang menyenangkan.
“Cepat, bersiaplah” teriak Kebo Sindet., “Aku sudah tidak sabar lagi. Aku ingin melihat kesungguhan kalian. Kalian tidak usah berpikir siapakah yang menang dan kalah. Kalian berkelahi saja bersungguh-sungguh.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Tetapi ia tahu benar bahwa ikat pinggang yang dibuat dari kulit itu setiap saat dapat menyentuh tubuhnya. Sentuhan ikat pinggang itu pasti akan terasa lebih sakit dari sepotong ranting kecil. Karena itu, maka ia tidak akan dapat menghindar lagi, bahwa ia harus berkelahi melawan Mahisa Agni bersungguh-sungguh. Kuda Sempana menganggap bahwa lecutan ikat pinggang Kebo Sindet itu akan terasa jauh lebih sakit dari pukulan Mahisa Agni. Sakit pada tubuhnya dan sakit di hatinya.
Karena itu maka Kuda Sempana pun segera bersiap, wajahnya yang kosong masih saja tidak memancarkan perasaan apapun. Meskipun demikian tampak dalam sikapnya, bahwa ia pun telah bersiap untuk berkelahi bersungguh-sungguh, sekedar untuk menghindarkan diri dari ikat pinggang Kebo Sindet. Agaknya Mahisa Agni dapat mengerti perasaan itu. Setelah ia melihat dan merasakan beberapa keanehan sikapnya. Juga pada perkelahian yang kemarin mereka lakukan.
“Kasihan” desis Mahisa Agni di dalam hatinya. Kini ia sama sekali sudah mencoba untuk melenyapkan segala macam kebencian dan dendam yang masih tersisa dihatinya. Meskipun yang mendorongnya terperosok masuk ke dalam sarang iblis ini adalah Kuda Sempana, namun ternyata Kuda Sempana sendiri telah terseret pula ke dalam keadaan yang menyiksanya. Keadaan yang seakan-akan telah menutup hari-hari depannya yang sebenarnya masih panjang.
“Nah, kalian telah bersiap” terdengar suara Kebo Sindet menggelegar, “ayo, segera mulai. Jangan menunggu aku mencambuk kulit kalian.”
Selangkah Mahisa Agni maju, dan hampir bersamaan pula Kuda Sempana pun melangkah pula. Mereka benar-benar tidak ingin mendapat lecutan sebelum mereka berkelahi. Sebab mereka, terutama Kuda Sempana, mengetahui benar, bahwa kali ini Kebo Sindet tidak bermain-main seperti kemarin. Kalau ia menjadi kecewa, maka punggungnya pasti akan terkelupas.
“Aku menghitung sampai hitungan kelima” berkata Kebo Sindet yang hampir kehilangan kesabaran pula, “kalau sampai hitungan kelima kalian belum mulai, maka jangan menyalahkan aku lagi kalau aku memaksa kalian.”
Dada kedua anak-anak muda itu bergetar, meskipun dalam nada yang berbeda. Kuda Sempana menjadi berdebar-debar karena ancaman itu, sedang Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karena kemungkinan-kemungkinan yang akan diambilnya untuk membuat Kebo Sindet marah. Baru sampai pada hitungan ketiga, ternyata Mahisa Agni sudah mulai dengan serangannya. Serangan yang cepat dan berbahaya. Tetapi Kuda Sempana yang sudah siap itu pun sama sekali tidak terperanjat. Serangan itu dengan mudahnya dapat dihindarinya, bahkan kini dengan sungguh-sungguh ia telah menyerang Mahisa Agni yang masih belum berjejak kuat-kuat di atas tanah.
“Hem” Mahisa Agni berdesir di dalam hatinya, “agaknya Kuda Sempana tidak dapat berbuat lain.”
Tetapi Mahisa Agni masih ingin berbuat sesuatu. Karena itu maka ia pun masih juga melayani serangan Kuda Sempana itu. Ia masih saja melakukan permainannya. Ketika menghindari serangan Kuda Sempana itu, agaknya dilakukannya dengan sangat tergesa-gesa sehingga tubuhnya kurang mendapat keseimbangan. Karena itu, maka tubuh itu pun kemudian berguling di atas tanah untuk kemudian dengan tergesa-gesa meloncat bangkit. Namun Kuda Sempana yang benar-benar telah berkelahi bersungguh-sungguh, tidak memberinya kesempatan. Sebelum Mahisa Agni siap untuk menerima serangannya, Kuda Sempana telah menerjangnya dengan kekuatan yang penuh.
“Lincah juga anak ini” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Ia memang melihat kemajuan pada Kuda Sempana. Geraknya bertambah cepat, tetapi juga bertambah kasar.
Sekali lagi Mahisa Agni tidak sempat menghindar dengan sempurna. Dan sekali lagi ia terdorong beberapa langkah dan jatuh berguling di atas tanah. Namun agaknya ia tidak mau mendapat serangan terus-menerus. Setelah berguling beberapa kali, maka ia melontarkan diri agak jauh dari lawannya untuk mendapat kesempatan mempersiapkan diri. Ketika kemudian Kuda Sempana menyerangnya lagi, maka Mahisa Agni itu sudah berhasil memperbaiki kedudukannya. Kini dapat menghindar dan bahkan ia pun menyerangnya pula dengan kakinya. Serangan Mahisa Agni yang mendatar itu mengejutkan Kuda Sempana, sehingga ia tidak sempat untuk menghindarinya. Yang dapat dilakukannya adalah membentur serangan itu.
Karena itu maka dikerahkannya segenap kekuatannya untuk melawan serangan Mahisa Agni. Tetapi tanpa dimengertinya sendiri, maka ia terdorong beberapa langkah maju. Hampir-hampir ia jatuh terjerembab. Ternyata dengan tiba-tiba dan tanpa diketahuinya, Mahisa Agni telah menarik serangannya, pada saat ia membenturkan kekuatannya untuk melawan serangan itu. Pada saat yang demikian itulah maka serangan Mahisa Agni datang pula menyambarnya. Ia melihat Mahisa Agni itu menyeringai dengan wajah yang tegang.
Tak ada kesempatan bagi Kuda Sernpana. Tetapi ia tidak membiarkan tengkuknya dihantam oleh sisi telapak tangan Mahisa Agni, sehingga tengkuknya itu mungkin akan patah. Karena itu, maka Kuda Sempana justru menyatuhkan dirinya, berguling sekali untuk menterlentangkan diri. Pada saat itu ia melihat tubuh Mahisa Agni berada di atasnya hampir menimpanya, dengan sekuat tenaganya, maka diayunkannya kakinya menghatam dada Mahisa Agni. Kuda Sempana sempat melihat Mahisa Agni itu terlempar. Ia melihat anak muda itu sekali berputar di udara. Sekejap kemudian ia mendengar tubuh itu terbanting jatuh.
Ketika Kuda Sempana meloncat berdiri ia mendengar suara Kebo Sindet hampir berteriak, “Bagus Kuda Sempana.”
Kuda Sempana kemudian melihat Mahisa Agni meloncat pula bangkit. Ia melihat Mahisa Agni menjadi semakin tegang. Sekali dilihatnya anak muda itu mengusap dadanya. Tetapi Kuda Sempana bahkan Kebo Sindet sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa Mahisa Agni tersenyum di dalam hati, “Hebat juga Kuda Sempana itu.”
Sementara itu Kuda Sempana telah meloncat menyerangnya pula. Tata geraknya menjadi semakin cepat dan kasar. Unsur-unsur gerak yang pernah dipelajarinya dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat agaknya berpengaruh pula kepadanya, namun dasar-dasar ilmu yang diterimanya dari Empu Sada lah yang nampak lebih jelas di dalam setiap geraknya.
Tiba-tiba timbullah keinginan Mahisa Agni untuk bermain-main lebih baik lagi dengan Kuda Sempana. Ia pun pernah menerima ilmu dan pengetahuan dari Empu Sada. Ia mengenal unsur-unsur gerak pokok dan bahkan seluruh ilmu yang ada pada Empu Sada seakan-akan telah dikuasainya. Karena itu, maka meskipun tidak sebaik Empu Sada, namun Mahisa Agni segera dapat mengenal dan memperhitungkan tata gerak Kuda Sempana. Maka ketika Kuda Sempana menyerangnya, segera Mahisa Agni menghindar dengan lincahnya. Kini ia sepenuhnya mempergunakan unsur gerak khusus yang diterima dari Empu Sada, sehingga seakan-akan keduanya yang sedang bertempur itu adalah dua orang saudara seperguruan.
Beberapa saat Kuda Sempana sama sekali tidak memperhatikan bagaimana cara Mahisa Agni menghindar dan menyerangnya. Hanya beberapa kali ia dikejutkan oleh tata gerak lawannya, yang seakan-akan mampu memotong serangannya sebelum ia melepaskannya. Bahkan dalam beberapa hal, serangan-serangannya selalu didahului saja oleh Mahisa Agni dalam kemungkinan yang diperhitungkannya. Namun lambat laun, perasaannya tergerak juga untuk lebih memperhatikan, bagaimana cara lawannya itu menahan dan menghindari serangannya, bahkan bagaimanakah cara Mahisa Agni menyerang.
Ketika perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru, maka dada Kuda Sempana pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun lambat, namun ia menjadi semakin jelas ilmu apakah yang dipergunakan oleh Mahisa Agni itu. Semula ia menyangka, bahwa hanya kebetulan saja Mahisa Agni mengenal unsur-unsur gerak yang khusus dimiliki oleh perguruannya. Mungkin Mahisa Agni pernah melihat ia mempergunakan, kemudian di waktu-waktu terluangnya di sarang hantu ini, ia mencoba mempelajarinya bersama ilmunya sendiri.
Dihubung-hubungkannya dan diolahnya menurut kemampuannya. Tetapi lambat laun, dugaan itu pun meragukannya. Ternyata Mahisa Agni dapat mempergunakan ilmu seperti ilmunya, tidak hanya sekedar kebetulan. Hampir semua unsur gerak yang dimengertinya sudah dikuasai pula oleh Mahisa Agni. Bahkan unsur-unsur yang belum dipahaminya benar-benar, telah dapat dimiliki pula oleh Mahisa Agni.
“Apakah aku sudah menjadi gila, sehingga aku tidak dapat melihat perbedaan antara unsur-unsur gerak yang khusus dari perguruanku dan tata gerak Mahisa Agni?” pertanyaan itu telah membelit hatinya. Namun ia masih saja menyaksikan keanehan yang tidak segera dapat dimengertinya. “Apakah di dalam neraka ini ada hantu yang mengajarinya untuk menirukan tata gerak dari perguruan Empu Sada?”
Bagaimana pun juga namun pertanyaan itu selalu membelit hatinya disetiap saat. Semakin lama mereka bertempur, maka penglihatannya menjadi semakin jelas, bahwa Mahisa Agni telah mempergunakan di dalam tata geraknya, unsur-unsur gerak yang khusus dari perguruannya. Bahkan beberapa kali ia mencoba mempergunakan ilmu yang paling tinggi yang dimilikinya, dan unsur gerak yang paling sulit. Tetapi ternyata Mahisa Agni mampu menanggapinya, bahkan membalas menyerangnya dengan unsur-unsur yang serupa.
“Agaknya aku telah benar-benar menjadi gila” berkata Kuda Sempana di dalam hatinya.
Meskipun demikian, Kuda Sempana tidak ingin bertanya sesuatu kepada Mahisa Agni. Akhirnya ia terlempar kembali ke dalam keadaannya. Acuh tidak acuh. Bahkan ia berkata di dalam hatinya., “Aku tidak peduli, ilmu apa saja yang akan dipakai oleh Mahisa Agni. Tugasku saat ini hanya berkelahi sungguh-sungguh. Kalau aku sudah berkelahi dengan sungguh-sungguh maka aku sudah memenuhi tugasku.”
Tanpa memperhatikan apa pun lagi Kuda Sempana kemudian berkelahi semakin bersungguh-sungguh. Keringatnya mengalir seperti diperas dari dalam tubuhnya. Sekali-sekali ia berhasil melemparkan Mahisa Agni, dan disaat lain ialah yang terlempar jatuh berguling-guling.
Kebo Sindet menyaksikan perkelahian itu dengan sepenuh hati. Semula ia tertarik kepada kesungguhan kedua anak-anak muda yang dijadikannya ayam aduan itu. Keduanya tampaknya telah bertempur bersungguh-sungguh. Apalagi setelah punggung mereka basah karena keringat dan kemudian menjadi kotor oleh tanah liat yang kemerah-merahan. Tandang mereka menjadi semakin garang. Namun lambat laun, Kebo Sindet yang memiliki pengalaman dan pengetahuan ilmu tata berkelahi yang cukup masak itu melihat kejanggalan di dalam perkelahian itu. Ia melihat sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.
Seperti Kuda Sempana, ia pun semula tidak memperhatikan unsur-unsur gerak yang mereka pakai di dalam perkelahian itu. Namun kemudian tampaklah, meskipun perkelahian itu menjadi semakin cepat dan sengit, tetapi perkelahian itu seolah-olah telah dipersiapkan dan diatur lebih dahulu. Seolah-olah telah ditentukan pada saat tertentu siapakah yang harus menyerang, dan siapakah yang menghindar. Dan disaat-saat yang lain terjadi benturan-benturan yang tidak berbahaya, disusul dengan gerakan-gerakan yang lebih condong pada pameran kecepatan bergerak dari pada sebuah perkelahian.
“Aneh” berkata Kebo Sindet di dalam hatinya. Tetapi mata hantu yang tajam itu segera melilat, beberapa persamaan dari tata gerak keduanya. Ketika ia memperhatikan lebih saksama lagi, maka terdengar ia mengumpat, “Setan iblis. Permainan ini benar-benar gila.”
Namun demikian, Kebo Sindet itu telah dicengkam oleh keheranan yang luar biasa. Seperti Kuda Sempana ia bertanya di dalam hati, “Dari mana setan kecil ini sempat mempelajari ilmu Empu Sada?”
Hampir tanpa berkedip Kebo Sindet itu menyaksikan bagaimana Mahisa Agni melayani Kuda Sempana dengan ilmu yang serupa, meskipun tampak bahwa pada keduanya mendapat pengaruh yang berbeda, namun pada dasarnya, di antara keduanya hampir tidak terdapat perbedaan-perbedaan. Semakin lama maka Kebo Sindet itu menjadi semakin tertarik pada keanehan itu. Bahkan semakin lama ia menjadi semakin heran. Dengan demikian ia menjadi semakin tajam memperhatikan setiap gerak dari kedua anak-anak muda itu.
“Tidak mungkin kalau Kuda Sempana memberi kesempatan kepada Mahisa Agni selama ini untuk memperhatikan ilmunya” katanya di dalam hati, “dan Mahisa Agni pun tidak akan sempat berbuat demikian. Ia tidak akan dapat, meskipun hanya sekedar mengintip, pada saat Kuda Sempana melatih diri. Sedang kesempatan melatih dirinya sendiri itu pun hampir tidak pernah dilakukan oleh Kuda Sempana.”
Namun lambat laun Kebo Sindet yang memiliki pengamatan yang tajam itu melihat, bahwa Mahisa Agni tidak hanya sekedar dapat mempergunakan ilmu yang serupa dengan Kuda Sempana dan dapat mengimbanginya pula, tetapi Kebo Sindet melihat bahwa Mahisa Agni dapat melakukan lebih dari pada itu. Lambat laun Kebo Sindet melihat, bahwa ternyata Mahisa Agni memiliki beberapa kelebihan dari lawannya. Tetapi jarak antara keduanya tidak segera dapat diketahuinya.
Sementara itu perkelahian antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni menjadi semakin lama semakin seru. Kuda Sempana akhirnya mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk mencoba mengalahkan Mahisa Agni. Ia mengharap bahwa dengan demikian, ia tidak akan mendapat perlakuan yang kasar dari Kebo Sindet. Bukankah dengan demikian, ia boleh untuk seterusnya tidak perlu bekerja terlampau keras, sedang Mahisa Agni masih harus selalu berusaha meningkatkan dirinya agar kemampuan mereka berimbang?
Kuda Sempana sama sekali tidak berpikir lagi tentang hal-hal yang lain. Ia tidak peduli apapun yang nanti akan diperbuat oleh Kebo Sindet. Tetapi ia ingin dalam waktu yang dekat, ia mendapat kesempatan untuk tidak berbuat apa-apa. Itu saja. Tidak lebih dari pada itu. Tetapi Kuda Sempana menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Kebo Sindet melangkah mendekati arena perkelahian itu. Ditangannya masih digenggamnya ikat pinggang kulitnya. Sekali-sekali dilihatnya Kuda Sempana dan sekali-sekali Mahisa Agni.
“Aku sudah berkelahi bersungguh-sungguh” pikir Kuda Sempana. Namun pikiran itu telah membuatnya bertanya-tanya pula, “Kenapa selama ini perkelahian itu seolah-olah tidak menggetarkan dadanya?” Meskipun perkelahian itu terasa bersungguh-sungguh, tetapi seakan-akan tubuh-tubuh mereka hampir tidak pernah tersentuh oleh serangan-serangan lawan. Masing-masing selalu saja dapat menghindari setiap serangan betapapun cepat dan garangnya.
“Kami telah dapat mengerti apa yang akan dilakukan oleh masing-masing pihak” berkata Kuda Sempana di dalam hatinya. Namun kemudian ia mengumpat, “Tetapi Kero Sindet pasti menyangka kami tidak bersungguh-sungguh.”
Kebo Sindet kini telah berdiri semakin dekat. Ia memperhatikan tata gerak keduanya dengan lebih saksama lagi. Setiap loncatan, setiap pukulan dan setiap langkah mereka menghindari serangan lawan.
Mahisa Agni pun kemudian menjadi berdebar-debar pula. Ia menyadari bahwa Kebo Sindet kini melihat ketidak wajaran di dalam perkelahian itu. Meskipun Mahisa Agni masih tetap melakukan permainannya, namun ia harus mempersiapkan dirinya lebih baik lagi. Sebab setiap saat lawannya dapat berganti. Dan bahkan mungkin ia harus melawan keduanya bersama-sama.
“Ah tidak. Kebo Sindet pasti akan tersinggung karenanya” katanya di dalam hati. Namun ia tidak mengurangi kewaspadaannya terhadap iblis dari Kemundungan itu.
Sebenarnyalah bahwa Kebo Sindet semakin lama semakin melihat kelebihan Mahisa Agni, betapapun anak muda itu ingin menyembunyikan. Mungkin Kuda Sempana sendiri yang baru dicengkam oleh ketegangan tidak segera dapat melihat kelebihan Mahisa Agni yang semakin lama menjadi semakin nyata bagi Kebo Sindet.
“Aneh sekali” berkata Kebo Sindet di dalam hatinya, “ternyata Mahisa Agni telah mendapat kemajuan yang baik selama ia berada di tempat ini. Mungkin karena aku kurang memperhatikannya sehingga ia mampu membuat ilmunya semakin masak dan mapan. Tetapi yang tidak dapat aku mengerti, bagaimana ia dapat memiliki unsur-unsur gerak yang khusus dari perguruan Kuda Sempana.”
Tetapi Kebo Sindet masih belum berbuat sesuatu. Ia masih ingin meyakinkan dirinya, apakah yang dilihat itu memang benar-benar demikian. Apakah memang Mahisa Agni bukan saja secara kebetulan berbuat seperti itu.
“Ia memang banyak mempunyai kesempatan” berkata Kebo Sindet pula di dalam hatinya, “selama ia berada di tempat ini seorang diri, ia dapat berlatih terus menerus.”
Tiba-tiba dada Kebo Sindet itu menjadi berdebar-debar. Ia mempunyai penggraita yang tajam atas persoalan yang dihadapinya. Dan tiba-tiba hatinya berkata, “Aku agaknya selama ini telah dikelabui oleh sikap Mahisa Agni. Aku menganggapnya semakin lama ia menjadi semakin jinak. He, apakah tidak demikian yang sebenarnya?”
Akhirnya Kebo Sindet yakin, bahwa memang telah terjadi sesuatu di luar kehendaknya, bahkan di luar dugaannya. Menurut pengamatannya Mahisa Agni yang sedang berkelahi itu sama sekali bukanlah Mahisa Agni dalam keadaannya sehari-hari. Yang selalu menundukkan kepalnya dengan wajah yang cemas dan gelisah. Bukan Mahisa Agni yang ketakutan dan gemetar apabila ia membentaknya.
“Setan” Kebo Sindet itu mengumpat, “apakah maksudnya anak itu berani menunjukkan kelebihannya kepadaku? Apakah ia merasa bahwa dengan begitu akan menguntungkan dia? Apakah hanya karena terdorong oleh perkelahian itu sehingga ia sudah tidak dapat menyembunyikan diri lagi? Tetapi bagaimanapun juga keadaan itu harus dihentikan, sebelum aku terlambat...”
Ternyata lemparan Akuwu Tunggul Ametung itu tepat mengenai sasarannya. Bambu itu meluncur tepat dimuka kaki Jajar yang gemuk, yang sudah dicengkam oleh kegilaannya. Bambu itu begitu cepat dan tiba-tiba sudah berada dimuka kakinya, sehingga Jajar itu tidak sempat untuk menghindar. Dengan demikian maka kakinya terantuk bambu itu dengan kerasnya.
Sejenak kemudian terdengar Jajar itu memekik tinggi, dan tubuhnya yang lemah terbanting di atas tanah, beberapa langkah saja dari lidah api yang memerah menari-nari dalam belaian angin yang lembut. Dengan tangkasnya para Prajurit Tumapel segera mengerumuninya dan mengangkatnya menjauhi api yang terasa sangat panas itu. Terdengar Akuwu Tunggul Ametung berdesis. Sebenarnya ia sudah tidak ingin mempedulikan apa yang terjadi atas Jajar itu. Namun perasaannya telah memaksanya untuk melangkahkan kakinya mendekatinya.
Perlahan-lahan Jajar yang gemuk itu dibaringkan di atas tanah. Sedang para prajurit itu pun segera berjongkok di sampingnya. Ketika Akuwu tiba pula di tempat itu, dan berdiri diarah kepalanya, maka tiba-tiba seorang prajurit berdesis, “Ia telah pergi Tuanku.”
“He” Akuwu itu terperanjat, “apa katamu?”
“Juru taman ini telah meninggal.”
“Mati?” hampir tidak percaya Akuwu atas telinganya.
“Hamba Tuanku. Suatu hentakan yang sangat mengejutkan telah menghentikan sama sekali detak jantungnya yang lemah.”
Wajah Akuwu tiba-tiba menegang. Sejenak kemudian terdengar ia berdesis, “Bukan maksudku membunuhnya. Aku hanya ingin mencegah supaya ia tidak meloncat ke dalam api, dan membakar dirinya sendiri hidup-hidup.”
“Hamba Tuanku.”
“Tetapi orang itu mati.”
“Bukan karena sebab terakhir itu Tuanku. Memang tubuhnya telah terlampau lemah.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bergumam, “Aku kehilangan kesempatan untuk menangkap Kebo Sindet. Kalau Kebo Sindet berusaha menghubungi aku atau Ken Dedes lagi, maka kesempatan itu betapapun kecilnya akan aku dapatkan. Tetapi bagaimana kalau Kebo Sindet menjadi mata gelap dan langsung berbuat sesuatu atas Mahisa Agni?”
Tidak seorang pun dari para prajurit yang dapat menjawabnya. Mereka seolah-olah terbungkam. Hanya mata mereka sajalah yang berkeredipan, memandangi mayat Jajar yang gemuk yang masih terbujur di hadapan mereka. Para prajurit itu terkejut ketika mereka mendengar tiba-tiba saja Akuwu itu berkata lantang, “Bodoh. Juru taman itu memang bodoh.” Lalu, “Kebo Sindet itu harus binasa supaya daerah Tumapel menjadi aman.”
Dan sebelum para prajurit itu menyadari keadaan mereka, Akuwu itu berkata, “Kita kembali ke istana. Kita siapkan sepasukan prajurit pilihan. Kita akan mencari Kebo Sindet di sarangnya.”
Beberapa orang prajurit saling berpandangan. Namun salah seorang dari mereka masih sempat bertanya, “Lalu bagaimana dengan mayat Jajar ini, Tuanku?”
Akuwu Tunggul Ametung tertegun sejenak. Lalu katanya, “Bawalah. Uruslah dan besok kuburkanlah.”
Prajurit itu tidak menyahut lagi. Mayat Jajar yang gemuk itu segera diangkatnya dan kemudian diletakkannya di atas punggung kudanya. Ketika para prajurit itu melihat Akuwu sudah meloncat ke atas punggung kudanya, maka mereka pun menjadi bergegas-gegas pula berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing.
Tetapi ketika kuda-kuda itu sudah mulai bergerak, seorang prajurit berkata, “He, aku tidak mempunyai tunggangan.” Prajurit itu adalah prajurit yang bertugas mengintai perkelahian antara Kebo Sindet dan anak-anak muda yang menjebaknya.
“Marilah, kita berdua” sahut salah seorang prajurit yang sudah berada di atas punggung kuda.
Prajurit itu pun segera meloncat pula. Tubuhnya yang tersentuh api masih terasa pedih. Namun ia sudah tidak sempat lagi mengeluh. Kuda yang dinaikinya itu pun segera berlari pula di belakang kuda-kuda yang telah mendahuluinya. Ternyata Akuwu yang sedang dibakar oleh kekecewaan itu telah jauh mendahului mereka. Kedua pengawal utamanya dengan susah payah mengejarnya dan berpacu dekat di belakangnya. Ketika prajurit yang membawa mayat Jajar yang gemuk itu berpaling, maka masih dilihatnya warna merah tersangkut di ujung pepohonan. Tetapi api sudah menjadi semakin surut.
Sementara itu, dua orang lain sedang berpacu pula keluar kota Tumapel. Setelah mereka mengambil kuda mereka dari tempat persembunyiannya, maka segera mereka melarikannya sekencang angin. Derap kakinya terdengar gemeretak memecah sepi malam. Semakin lama semakin jauh, langsung menyusup ke dalam gelapnya malam menyusur jalan persawahan.
Meskipun angin malam yang basah menyentuh tubuh mereka, tetapi keringat mereka seolah-olah terperas dari seluruh tubuh. Di lambung mereka tersangkut senjata-senjata mereka yang masih basah oleh darah yang berwarna merah segar. Bukan saja senjata mereka, tetapi juga pakaian mereka, dan bahkan tubuh mereka. Bukan darah yang mengalir dari luka mereka sendiri, tetapi darah yang terpercik dari lawan-lawan mereka yang sudah mereka binasakan.
Kedua orang itu adalah Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Hampir tanpa berpaling mereka berpacu meninggalkan kota Tumapel, kembali ke sarang mereka ditengah-tengah rawa-rawa Kemundungan. Wajah-wajah mereka masih membayangkan ketegangan hati dan kejemuan yang hampir meledak. Sekali-sekali masih terdengar Kebo Sindet menggeram. Namun Kuda Sempana mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
“Setan itu terlampau licik” terdengar kemudian suara Kebo Sindet memecah sepinya malam.
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Dengan sudut matanya ia memandangi wajah Kebo Sindet. Tetapi wajah itu hampir seperti yang setiap hari dilihatnya. Beku. Namun ketika kilat meloncat di langit, Kuda Sempana melihat di dahinya masih membayang beberapa goresan yang bagi Kebo Sindet telah cukup jelas membayangkan hatinya yang bergolak dalam ketegangan.
Ternyata loncatan kilat itu telah menyentuh hati Kebo Sindet yang keras, sekeras batu akik. Kilat itu telah mengingatkannya kepada bendungan yang tengah diselesaikan oleh Ken Arok, orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel. Kemudian ingatannya segera hinggap kepada orang yang selama ini disimpannya, Mahisa Agni.
“Nasibnya memang terlampau jelek” desis Kebo Sindet itu tiba-tiba.
Kini Kuda Sempana benar-benar berpaling memandanginya. Ia masih menganggap Kebo Sindet itu berkata tentang Jajar yang gemuk, yang telah diikatnya pada tiang rumahnya yang sedang terbakar, tetapi ternyata Kebo Sindet meneruskan, “Aku hampir kehilangan kesabaran. Aku kira aku sudah tidak perlu lagi memeliharanya terlampau lama seperti memelihara seekor kucing yang tidak berarti apa-apa bagiku.”
Baru Kuda Sempana tahu, bahwa yang dimaksud itu adalah Mahisa Agni. Tetapi Kuda Sempana masih tetap membisu. Sesaat kemudian ia mendengar Kebo Sindet itu berkata pula, “Apakah kau masih akan mencoba lagi Kuda Sempana, setelah kita dihinakan sedemikian menyakitkan hati oleh seorang Jajar yang paling sombong di seluruh dunia?” Kebo Sindet berhenti sejenak, “Seorang yang merasa mampu melawan Kebo Sindet hanya bersama dengan sembilan atau sepuluh orang saja. Sebenarnya hukuman Jajar itu masih terlampau ringan. Aku seharusnya membuatnya menjadi tepung. Mencincangnya dan membiarkan mayatnya di perapatan.”
Terasa bulu tengkuk Kuda Sempana meremang. Anak muda itu tidak dapat mengerti, perasaan apa yang telah tergores di dinding hatinya. Ia sama sekali bukan seorang yang cengeng. Tetapi mendengar kata-kata Kebo Sindet itu terasa kengerian menyentuh perasaannya.
“Bagaimana?” Kebu Sindet mendesak.
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya. Ia sudah tidak ingin lagi menyeret seseorang ke dalam bencana dengan kesempatan-kesempatan yang dapat diberikannya untuk memeras Ken Dedes. Jajar gemuk itu pun ternyata telah ditelan oleh pamrihnya yang berlebih-lebihan seperti orang-orang yang lain. Bahkan Jajar ini telah berbuat terlampau gila, melampaui semua orang yang telah pernah dihubunginya.
“Apakah kau sudah kehabisan akal?” bertanya Kebo Sindet pula.
Dengan suara parau akhirnya Kuda Sempana menjawab, “Ya. Aku sudah tidak tahu lagi jalan yang dapat kita tempuh.”
Kebo Sindet menggeram, “Bagus. Kalau demikian maka hanya ada satu cara. Langsung menemui Permaisuri itu, atau membinasakan saja Mahisa Agni. Tidak ada gunanya lagi membiarkannya hidup. Tetapi Permaisuri yang terlampau kikir itu harus dapat mengetahui apa yang telah terjadi atas kakaknya. Biarlah ia tersiksa seperti Mahisa Agni pula meskipun bukan tubuhnya.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Terasa sebuah desir yang tajam di dalam dadanya. Semakin cepat Kebo Sindet menyelesaikan Mahisa Agni, maka ia pun akan semakin cepat tidak diperlukannya lagi. Kuda Sempana sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi atasnya apabila ia sudah tidak diperlukan lagi. Mungkin ia akan di bunuh bersama-sama Mahisa Agni, atau mungkin dengan cara lain.
“Tetapi” Kuda Sempana masih mendengar Kebo Sindet itu berkata, “hampir sudah tidak ada harapan lagi untuk dapat menghubungi Permaisuri. Aku tidak mau terjebak untuk yang ke sekian kalinya. Aku sudah terlampau bermurah hati untuk menunda kematian Mahisa Agni” Kebo Sindet berhenti sejenak, lalu, “He, Kuda Sempana. Bukankah kau telah banyak menyadap ilmu dari Kemundungan di samping ilmu gurumu sendiri. Kau seharusnya telah menjadi lebih perkasa. Aku mengharap kau akan mampu membunuh Mahisa Agni dalam suatu perkelahian yang menentukan. Apalagi Mahisa Agni kini sudah menjadi semakin lemah. Kau akan mendapat banyak kesempatan untuk membalas sakit hatimu. Apakah kau ingin berbuat demikian?”
Sekali lagi dada Kuda Sempana berdesir. Kali ini menjadi semakin tajam. Ia tahu benar maksud Kebo Sindet dengan kata-katanya itu. Ia akan menjadi tontonan yang sangat menarik bagi Kebo Sindet itu. Ia harus berkelahi melawan Mahisa Agni. Tetapi ia menyadari apakah yang akan terjadi pada akhir dari perkelahian itu. Siapa pun yang menang dan siapa pun yang kalah.
“Bagaimana?”
Kuda Sempana masih berdiam diri.
“Kau tidak perlu takut lagi kepada kelinci cengeng itu. Ia akan segera dapat kau jatuhkan. Kemudian kau dapat berbuat apa saja atasnya. Bukankah itu menyenangkan bagimu?”
Kuda Sempana masih belum menjawab. Namun tiba-tiba ia menjadi semakin muak kepada orang yang berwajah beku seperti mayat itu. Tetapi ia masih harus tetap menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apapun atas iblis yang mengerikan itu. Terbayang diruang matanya apa yang baru saja terjadi atas Jajar yang gemuk itu. Kuda Sempana rnenyangka bahwa Jajar itu kini telah menjadi abu, setelah ia memekik-mekik dan berteriak-teriak ketakutan dan kepanasan. Terasa bulu-bulu tengkuk Kuda Sempana meremang. Jajar yang gemuk itu benar-benar bernasib malang. Ia telah hancur karena pamrihnya yang berlebih-lebihan.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Kini langkah kuda-kuda mereka menjadi semakin surut. Mereka telah berada di luar kota Tumapel, di antara pategalan yang hijau kehitam-hitaman di malam hari. Ketika tanpa dikehendakinya sendiri Kuda Sempana mengangkat wajahnya menengadah ke langit, maka dilihatnya awan yang hitam melapisi cahaya bintang yang bergayutan di udara.
Kuda Sempana itu berpaling ketika ia mendengar Kebo Sindet berkata, “Kau harus melakukannya Kuda Sempana. Kau harus melepaskan dendammu supaya tidak membara di dada dan membakar jantungmu sendiri. Kau akan mendapatkan gairah hidupmu kembali apabila kau telah berhasil melepaskan sakit hatimu. Selama ini aku melarangmu untuk membunuhnya karena aku mengharap Mahisa Agni akan dapat mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit. Tetapi ternyata Permaisuri itu terlampau kikir, dan orang-orang yang telah menghubunginya adalah orang-orang yang terlampau tamak. Karena itu apabila aku tidak merubah pikiranku karena aku menemukan jalan yang baik dengan tiba-tiba, maka kau harus melakukannya. Kita bawa Mahisa Agni itu ke Tumapel. Dan kau dapat membunuhnya di tempat yang pasti akan diketemukan oleh prajurit-prajurit Tumapel, sehingga dengan demikian berita kematiannya akan menyiksa perasaan Permaisuri.”
Kuda Sempana masih membisu. Namun dadanya menjadi semakin berdentangan dilanda oleh kebencian yang tiba-tiba saja memuncak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
“Apakah kau sedang memikirkan cara yang sebaik-baiknya untuk membunuhnya?” bertanya Kebo Sindet karena Kuda Sempana masih saja berdiam diri, “pikirkanlah cara itu.”
Kuda Sempana tetap dalam kediamannya.
“Apakah kau takut?” bertanya Kebo Sindet kemudian, “Benar? Kau sedang ketakutan?”
Kuda Sempana tidak dapat terus menerus berdiam diri. Karena itu maka ia menjawab, “Tidak. Aku tidak pernah merasa takut kepada siapapun.”
Wajah Kebo Sindet yang beku masih tetap membeku. Tetapi jawaban Kuda Sempana itu tidak menyenangkannya. Meskipun demikian dibiarkannya saja Kuda Sempana melepaskan segala macam perasaannya seandainya diingininya. Di dalam hati Kebo Sindet berkata, “Kau memang sudah tidak berguna lagi bagiku. Memang sebaiknya kau sajalah yang membunuh Mahisa Agni. Kemudian kau pun akan mati pula seperti orang-orang lain yang sudah tidak dapat memberikan arti apa-apa lagi bagiku.”
Kini mereka sekali lagi terbenam ke dalam kediaman. Masing-masing sedang menjelajahi angan-angan sendiri. Kuda Sempana yang sedang diganggu oleh perasaan muak dan benci itu hampir tidak dapat berpikir lagi, apa yang sebaiknya dilakukan. Tetapi Kebo Sindet sedang memikirkan hal yang sangat baik baginya. Ia akan dapat mengadu kedua anak muda itu seperti menyabung ayam. Keduanya pasti menyimpan dendam yang membara di dalam dada masing-masing. Perkelahian di antara keduanya pasti akan merupakan perkelahian yang sangat menyenangkan.
“Sayang, Wong Sarimpat tidak dapat ikut melihat tontonan yang sangat menarik ini” katanya di dalam hatinya, “kalau ia masih sempat, maka ia akan menjadi sangat bersenang hati. Mungkin ia akan melihat perkelahian ini dengan cambuk di tangan.” Kebo Sindet berpaling ke arah Kuda Sempana. Dilihatnya wajah anak muda itu pun seakan-akan telah membeku pula.
“Ia harus diajar untuk menyadari dirinya” gumam Kebo Sindet di dalam hati pula lalu tiba-tiba, seolah-olah terlonjak di dalam dadanya. “Aku pun harus menggenggam cambuk. Aku harus melihat seolah-olah dua ekor cengkerik sedang beradu. Aku harus menjaga keseimbangan mereka, sehingga perkelahian itu akan menjadi sangat ramai.” Ia kini menemukan suatu permainan yang baginya akan sangat menjenangkan, “Mereka tidak perlu segera mati. Mereka harus tetap dipelihara. Mungkin aku dapat mempertontonkannya di rumah-rumah perjudian.”
Kebo Sindet itu tertawa di dalam hatinya, meskipun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun. Sekali-sekali ia masih berpaling memandangi wajah Kuda Sempana yang acuh tidak acuh. Namun Kebo Sindet itu sudah tidak terlampau sering berbicara lagi. Ia lebih senang berangan-angan tentang perkelahian antara kedua anak muda yang akan dipakainya sebagai ayam sabungan.
Sementara itu Akuwu Tunggul Ametung yang berada di istananya duduk tepekur dihadap oleh Permaisurinya. Ken Dedes yang telah mendengar tentang sikap Jajar yang licik itu menjadi kian cemas. Ia cemas akan nasib Mahisa Agni. Mungkin dalam kekesalan dan kemarahannya Kebo Sindet akan dapat berbuat apa saja untuk melepaskan perasaan yang menyesak dadanya.
“Aku sudah berusaha” berkata Akuwu Tunggul Ametung.
“Hamba Tuanku” sahut Ken Dedes perlahan sekali. Namun sekali dadanya dirayapi oleh kekecewaan yang mendalam. Ia menganggap bahwa Akuwu Tunggul Ametung terlambat berbuat sesuatu sehingga keadaan Mahisa Agni menjadi semakin sulit. Terbayang di dalam angan-angannya penderitaan yang terjadi atas kakaknya itu. Bahkan kini terbayang sesosok mayat yang terbujur di tengah-tengah hutan tanpa seorang pun yang mengurusnya. Mayat itu semakin lama menjadi semakin jelas. Mahisa Agni. Tiba-tiba Ken Dedes itu menjadi terisak-isak.
Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin pepat. Ia baru saja dibakar oleh kemarahan yang hampir menghanguskan jantungnya. Kini ia melihat Ken Dedes itu menangis penuh penyesalan, sehingga tanpa sesadarnya Akuwu Tunggul Ametung itu menggeram, “Bukan salahku Ken Dedes, Aku sudah berusaha dan aku sendiri telah melakukannya. Tetapi keadaan memang tidak dapat teratasi. Kau jangan menyalahkan aku atau menyesali kegagalan ini.”
Ken Dedes terkejut mendengar kata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu Sehingga justru tangisnya terputus. Dipandanginya wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tegang dan berkeringat. Akuwu itu masih dalam pakaian keprajuritan, dan bahkan senjata pusakanya yang ngedab-edabi masih tergantung di lambungnya.
Tetapi Akuwu yang hatinya sedang gelap itu berkata seterusnya, “Kalau Kebo Sindet kemudian berhasil melepaskan dirinya, kalau aku terlambat datang ke rumah Jajar yang gemuk itu, sama sekali bukan maksudku. Bahkan seandainya Kebo Sindet itu kemudian menjadi gila dan membunuh Mahisa Agni itu pun bukan salahku.”
“Hamba Tuanku” tiba-tiba tanpa dikehendakinya sendiri Ken Dedes memotong, “hamba tahu, bahwa Tuanku memang tidak bersalah. Hamba sama sekali tidak menyesali Tuanku. Hamba memang sedang menyesali keadaan yang pahit bagi hamba dan kakang Mahisa Agni.”
“Tetapi kau menyesal bahwa semuanya itu terjadi justru dihadapanku. Justru dengan sengaja kau tunjukkan kepadaku, seolah-olah kau sedang mengalami bencana karena kesalahanku. Mungkin kau menganggap bahwa aku tidak bersungguh-sungguh atau karena aku tidak segera berbuat sesuatu.”
“Tidak Tuanku. Sama sekali tidak. Hamba memang sedang menelan kepahitan yang tiada taranya, seperti apa yang selalu terjadi pada diri hamba.”
“Kau mengutuki nasibmu sendiri. Kau anggap bahwa aku seolah-olah tidak pernah berusaha membuatmu bahagia?”
“Bukan maksud hamba. Sudah hamba katakan bahwa tidak ada orang lain yang bersalah. Keadaan yang datang berurutan telah menjadikan apa yang telah terjadi tanpa kesengajaan seorang pun.”
“Kau hanya mengatakannya, tetapi hatimu tidak menerimanya sebagai suatu keadaan yang harus kita lampaui bersama.”
“Aku telah menyerahkan diriku kepada nasib Tuanku. Aku tahu bahwa tuanku telah berusaha sebagai seharusnya dilakukan oleh manusia. Tetapi kekuasaan Yang Maha Agung lah yang menentukan akhir dari setiap persoalan.”
“Bohong” bantah Akuwu Tunggul Ametung, kau tidak ikhlas menerima peritiwa itu suatu keharusan. Kau tidak ikhlas menerima putusan terakhir dari Yang Maha Agung. Ternyata kau menangis. Ternyata kau menyesali keadaanmu. Kalau kau menerima persoalan ini sebagai keharusan yang tidak dapat diingkari lagi, sebagaimana manusia tidak dapat mengingkari keharusan yang datang dari Yang Maha Agung, maka kau tidak akan menangis. Kau akan berkata dengan wajah tengadah, demikianlah kehendak Yang Maha Agung.”
Mata Ken Dedes masih berkaca-kaca. Tetapi ia sudah terisak lagi. Kini ia benar-benar menengadahkan wajahnya. Dan dengan lantang ia berkata, “Tuanku, kita adalah manusia yang lemah. Manusia yang jauh dari sifat-sifat sempurna. Hamba pun dapat mengatakan seperti yang Tuanku katakan. Hamba pun dapat menyebut apa yang sebaiknya hamba lakukan. Tetapi apakah hamba mampu? Apakah hamba sebagai manusia yang lemah memiliki kekuatan untuk melakukannya?”
Wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tegang menjadi semakin tegang. Bahkan dari sepasang matanya seolah-olah memancarkan pergolakan di dalam dadanya. Dan ia masih mendengar Ken Dedes berkata seterusnya, “Tuanku. Bukan saja hamba yang bodoh ini yang tidak mampu untuk melawan perasaan hamba sendiri dan menempatkannya ke dalam keikhlasan sepenuhnya. Bukankah Akuwu sendiri juga telah dibakar oleh kemarahan dan penyesalan, bahwa Tuanku tidak berhasil menangkap Kebo Sindet.”
“Tetapi aku berdiri dalam persoalan yang berbeda” nada suara Akuwu Tunggul Ametung meninggi, “aku sama sekali tidak menyesali orang lain, tidak menyesali apapun. Aku hanya menyesal. Hanya menyesal saja karena usahaku tidak berhasil. Usahaku sendiri, kekuatanku sendiri. Tetapi sesudah itu aku pun tidak menganggap orang lain bersalah.”
“Dan Tuanku dapat menumpahkan kepepatan hati kepada hamba?” dengan beraninya Ken Dedes memotong kata-kata Akuwu Tunggul Ametung, “Sebab Tuanku adalah seorang Akuwu. Seorang laki-laki yang mempunyai cara sendiri untuk melepaskan penyesalan hati. Tetapi hamba adalah seorang perempuan. Yang ada di dalam bilik ini selain hamba adalah Tuanku, Akuwu Tumapel yang memegang segenap kekuasaan di tangannya. Apakah hamba dapat melepaskan kekesalan dan penyesalan kepada Akuwu dan membentak-bentak sekehendak hamba? Tidak. Hamba hanya dapat menangis. Hamba hanya dapat melepaskan penyesalan itu dalam butiran-butiran air mata. Kalau itu tidak menyenangkan hati Akuwu Tunggul Ametung, sama sekali bukan maksud hamba minta maaf.” Ken Dedes berhenti sejenak, tetapi wajahnya masih tetap tangadah dan bibirnya menjadi gemetar. Dan kata-kata yang meluncur lewat bibirnya menjadi gemetar pula, “Hamba minta maaf Tuanku. Tetapi dengan demikian hamba tahu, bahwa Tuanku ternyata tidak menerima hamba seluruhnya dalam keadaan hamba. Tuanku hanya ingin melihat hamba tertawa dan bergembira. Tuanku hanya ingin melihat hamba dapat menyenangkan hati Akuwu. Tetapi Tuanku tidak ingin melihat apabila hamba sedang dalam keadaan seperti ini.” Ken Dedes berhenti sejenak. Dan kata-katanya menjadi semakin bergelar, “Tetapi Tuanku, seharusnya hamba tidak perlu mengatakannya atau lebih-lebih lagi mengajari Tuanku bahwa demikianlah hamba seutuhnya. Di dalam diri hamba tersimpan suka dan duka. Tawa dan air mata. Hamba tidak dapat menyembunyikannya sebelah dari padanya. Sekali-sekali hamba tertawa, dan sekali-sekali hamba menangis, di dalam pengaruh keadaan yang berbeda-beda.”
Ken Dedes tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba dadanya menjadi sesak dan napasnya seolah tersumbat dikerongkongan. Sejenak ia diam membeku. Namun kemudian, seperti sebuah bendungan yang pecah tertimpa banjir bandang, maka meledaklah tangis Permaisuri itu. Tangis yang masih belum tuntas, tetapi terpaksa ditahankannya. Yang kemudian tanpa dapat dikendalikan lagi membanjir dengan derasnya.
Akuwu Tunggul Ametung kini berdiri mematung. Terasa dadanya akan pecah oleh perasaannya yang bergolak dengan dahsyatnya. Tetapi ia sudah tidak kuasa lagi untuk berkata sepatah katapun. Ia tidak dapat mengucapkan perasaannya yang bergelora. Akuwu itu berdiri tegak seperti tiang-tiang yang mati.
Sejenak mereka terbenam dalam keadaan masing-masing. Ken Dedes menangis sepuas-puasnya, dan Akuwu Tunggul Ametung berdiri membeku. Hanya kadang-kadang saja Akuwu mencoba melepaskan ketegangan yang menyesak di dadanya dengan berjalan hilir mudik di dalam bilik itu. Namun sejenak kemudian ia telah berdiri lagi ditempatnya.
Tetapi Akuwu tidak dapat membiarkan dirinya ditelan oleh kegelisahan yang membuatnya pening. Ketika tangis Ken Dedes sudah mereda, maka Akuwu itu tiba-tiba berkata, “Baiklah Ken Dedes. Aku akan menyiapkan prajurit. Aku akan menangkap Kebo Sindet di sarangnya. Aku tidak dapat membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Aku tidak dapat melihat kau menangis setiap saat. Kepalaku akan menjadi pecah karenanya. Lebih baik aku turun ke medan perang dari pada aku berada terus-menerus dalam keadaan ini.”
Ken Dedes terkejut mendengar kata-kata itu. Ketika ia menengadahkan kepalanya ia melihat Akuwu itu melangkah pergi. Namun ia masih mendengar Akuwu itu berkata, “Besok aku akan membawa orang-orang terkuat. Tidak terlalu banyak, tidak lebih dari sepuluh orang. Termasuk Witantra dan mungkin aku akan mengambil Ken Arok dari Padang Karautan untuk pergi bersamaku ke Kemundungan.”
“Tuanku. Aku tidak bermaksud demikian.”
“Aku tidak tahu maksudmu sebenarnya. Kau tidak berkata apapun tentang sesuatu yang sebaiknya aku lakukan. Aku harus memilih cara sendiri. Mungkin cara itu tidak seperti yang kau ingini. Tetapi besok aku akan pergi. Cara ini adalah cara yang sebaik-baiknya bagiku. Apakah aku akan berhasil atau tidak, itu bukan soal lagi bagiku.”
“Tuanku” Tetapi Ken Dedes tidak sempat mencegahnya. Akuwu Tunggul Ametung telah hilang dibalik pintu. Dengan tergesa-gesa Akuwu itu memerintahkan seorang prajurit untuk memanggil orang-orang terpenting. Termasuk Senapati pengawal istana, Witantra.
“Sekarang semua harus menghadap” perintah Akuwu.
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Hari telah terlampau jauh malam. Namun prajurit itu terkejut ketika Akuwu membentaknya, “Pergi, pergi. Cepat. Apakah yang kau tunggu lagi? Apakah kau menunggu matahari terbit? Atau kau menunggu aku memenggal lehermu?”
“Ampun Tuanku“ sembah prajurit itu yang kemudian dengan tergesa-gesa pula pergi meninggalkan Tunggul Ametung seorang diri dalam kekesalan yang hampir-hampir memecahkan dadanya. Namun sebelum prajurit itu hilang, tiba-tiba Akuwu itu berteriak lagi, “He, kemari kau.”
Prajurit itu menjadi cemas. Apakah Akuwu sudah menjadi sedemikian marahnya, sehingga ia harus mengalami perlakuan yang tidak diingininya? Tetapi prajurit itu tertegun ketika ia mendengar Akuwu Tunggul Ametung berteriak, “Cepat, panggil dahulu Daksina. Ia harus datang kemari dengan Kakawin Bharatayuda.”
“Oh“ prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi justru ia tidak segera pergi. Namun alangkah terkejutnya prajurit itu ketika tiba-tiba saja sebuah mangkuk tanah telah menghantam lututnya. Sekejap kemudian mangkuk itu pun terjatuh di lantai, pecah berserakan. Prajurit itu hampir-hampir saja terjatuh. Betapa sakit lututnya yang terkena mangkuk yang dilemparkan oleh Akuwu Tunggul Ametung itu.
Tetapi dengan sigapnya prajurit itu meloncat turun ke halaman. Ia sadar, apabila ia terlambat lagi, mangkuk berikutnya akan menyambar kepalanya. Ketika ia telah turun ke halaman, baru terasa bahwa lutut itu tidak mampu dipergunakan dengan wajar. Karena itu, maka ia berlari-lari menyeret sebelah kakinya sambil mengumpat tidak habis-habisnya di dalam hati. Kejengkelan prajurit itu dibawanya sampai kemuka pintu bilik Daksina. Diketuknya pintu itu sekuat tenaga sehingga seisi bilik itu terkejut.
“Siapa?” terdengar suara Daksina.
“Cepat bangun pemalas. Akuwu memanggilmu. Bawalah Kakawin Baratayuda.”
“Hari sudah hampir pagi” jawab Daksina sambil menguap.
“Cepat. Aku lempar lututmu dengan mangkuk kala-kala kau tidak segera berangkat. Akuwu menunggumu. Atau kau ingin Akuwu datang kemari sambil membawa pedangnya untuk memenggal lebermu.”
“Apakah Akuwu sedang marah.”
“Mungkin. Tetapi cepat. Cepat” prajurit yang marah itu berteriak. Tetapi ia mendengar Daksina tertawa di dalam biliknya,
“Baik, baik, “ katanya.
“Kau mentertawakan aku?” geram prajurit itu, “awas, aku pukul kepalamu sampai retak.”
“Lakukanlah” jawab Daksina, “tetapi dengan demikian aku tidak dapat menghadap Akuwu malam ini. Dan kaulah yang menyebabkan.”
“Oh anak gila. Ayo cepat keluar.”
Sejenak kemudian Daksina membuka pintu biliknya sambil menjinjing sebuah kitab rontal yang tebal dilapisi dengan sehelai kulit. Sebelum prajurit itu berkata sepatah kata pun, Daksina sudah berlari melintasi halaman menuju ke bilik Akuwu Tunggul Ametung, “Untunglah kitab rontal ini aku simpan di rumahku” berkata anak itu di dalam hatinya, “sehingga aku tidak perlu mencari di bilik penyimpanan.”
Prajurit itu masih berdiri dengan mulut ternganga. Ia terkejut ketika ia mendengar derak pintu itu ditutup dari dalam. Namun segera ia meloncat dan menyeret sebelah kakinya ke gardunya, “Aku harus menghubungi beberapa orang Senapati terpenting malam ini juga.”
Beberapa orang perwira dan pemimpin prajurit pilihan menjadi terkejut ketika rumah-rumah mereka diketuk oleh beberapa orang prajurit. Sebagian dari mereka, masih belum tidur kembali setelah mereka terbangun karena beberapa orang menjadi ribut oleh api yang menyala dikejauhan, yang ternyata telah membakar rumah Jajar yang gemuk. Tetapi para perwira dan pemimpin prajurit pilihan itu menyangka, bahwa yang terjadi hanyalah sekedar kecelakaan. Mereka menyangka bahwa seseorang kurang berhati-hati atas api pelita yang mereka pasang, sehingga menyentuh dinding dan membakar rumah mereka. Namun naluri mereka sebagai seorang prajurit segera dapat menghubungkan kebakaran yang baru saja terjadi, dengan ketukan yang tergesa-gesa di pintu-pintu mereka.
“Siapa diluar?” bertanya seorang perwira yang pintu rumahnya diketuk oleh seorang prajurit.
“Aku, prajurit yang mengemban perintah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”
Dada perwira itu menjadi berdebar-debar. Yang pertama-tama dilakukan adalah menyisipkan kerisnya di lambung. Perlahan-lahan ia berjalan ke luar biliknya dan berkata kepada isterinya, “Tidak ada apa-apa tenanglah. Diluar ada dua orang peronda.”
Tetapi isteri perwira itu menjadi cemas, dan berbisik, “Hati-hatilah kakang.”
Perwira itu tersenyum. Namun tangannya telah mendorong hulu kerisnya ke dadanya. Ketika dengan hati-hati ia membuka pintu, maka ia melihat dua bayangan berdiri di pendapa rumahnya, dan dua orang lagi di halaman.
“Aku Ki Lurah” prajurit yang berdiri di pendapa berdesis.
“Oh” perwira itu menarik nafas, “ada apa?”
“Ki Lurah dipanggil oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Sekarang?”
Prajurit itu mengangguk, sambil menjawab, “Ya.”
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal betul tabiat Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu maka ia tidak membantah. Sambil mengerutkan dahinya ia menjawab, “Aku akan menghadap.”
“Baiklah. Aku mohon diri.”
Prajurit itu segera turun dari pendapa diikuti oleh seorang peronda di rumah perwira itu. Kemudian bersama seorang temannya yang berdiri di halaman segera minta diri kepada para peronda untuk meneruskan perjalanan mereka. Di regol mereka mengambil kuda-kuda mereka, dan sejenak kemudian terdengar gemeretak di sepanjang jalan berbatu.
“Kenapa kakang harus menghadap di malam begini?”
Perwira itu menggeleng. Namun ia menjawab, “Mungkin ada hubungannya dengan kebakaran itu. Tetapi entahlah, demikianlah kebiasaan Akuwu Tunggul Ametung. Ia berbuat apa saja yang diingini pada suatu saat tanpa mempertimbangkan masalah-masalah lain.”
Sebagai seorang isteri prajurit, maka isteri perwira itu pun melepaskan suaminya dengan hati yang berdebar-debar. Tetapi sedikit banyak ia pernah mendengar tabiat Akuwu Tunggul Ametung itu. Memang kadang-kadang suaminya harus mengharap pada saat-saat yang tidak wajar seperti saat ini. Tetapi pada saat fajar menjingsing, suaminya itu sudah pulang tanpa mendapat perintah apapun. Mungkin malam ini Akuwu tidak dapat tidur, sehingga ia memerlukan kawan untuk berbicara.
Di rumah yang lain, rumah Witantra, suasana yang demikian itu telah terjadi pula. Dengan hati yang bertanya-tanya isteri Witantra melepaskan suaminya sampai di tangga pendapa. Ia sadar, bahwa suaminya adalah Senapati pengawal yang paling dipercaya. Setiap saat suaminya diperlukan. Ketika Witantra telah hilang dibalik regol rumahnya, di atas punggung kuda yang berlari kencang, maka terdengar suara lembut di belakang isteri perwira itu, suara adik perempuannya,
“Sejak gadis padesan itu tinggal di istana, jarang-jarang hal serupa ini terjadi. Tetapi kini tiba-tiba hal ini terulang seperti pada saat-saat gadis desa yang cengeng itu belum tinggal di istana.”
“Ah” desah isteri Witantra, “kau terlampau lancang dengan kata-katamu Umang.”
Ken Umang tertawa. Tetapi ia tidak menyahut. Dengan langkahnya yang cekatan ia berjalan meninggalkan kakak perempuannya. Ketika ia hampir sampai di muka pintu, terdengar suara tertawanya berkepanjangan.
“He, Ken Umang. Apakah kau sudah kepanjingan setan? suara tertawamu terlampau menakutkan.”
Ken Umang berhenti. Ketika ia berpaling dilihatnya kakaknya berdiri membeku di tempatnya. “Apakah suaraku telah berobah?” bertanya Ken Umang itu masih diantara derai tertawanya.
Isteri Witantra tidak segera menjawab. Dalam remang-reman cahaya pelita yang redup dikegelapan malam ia hanya melihat sosok tubuh adiknya. Seorang gadis yang baru saja meningkat dewasa. Seorang gadis yang bertubuh ramping, lincah dan cantik. Tetapi dalam kegelapan malam yang tampak hanyalah sebuah bayangan hitam. Wajah gadis itu pun seolah-olah menjadi hitam pekat. Hitam. Terasa bulu-bulu tengkuk Nyai Witantra meremang. Tetapi dipaksanya perasaannya untuk tunduk kepada nalarnya. Gadis itu adalah adiknya.
Perlahan-lahan ia melangkah maju. Dipaksanya dirinya untuk mendekat. Tetapi sebelum Nyai Witantra itu dekat benar dengan adiknya, maka Ken Umang telah memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ketika sinar pelita yang cukup terang jatuh di wajah gadis itu, maka Nyai Witantra menarik nafas dalam-dalam. Wajah itu sama sekali tidak berubah.
Sementara itu di Istana Tumapel, Akuwu Tunggul Ametung dengan gelisahnya menunggu para Senapati yang dipanggilnya. Hampir-hampir ia tidak sabar menunggu mereka satu demi satu berdatangan. Sedang di sudut bilik Daksina yang terkantuk-kantuk sama sekali tidak diacuhkannya.
Ketika para perwira kemudian telah lengkap terkumpul, maka Akuwu sama sekali tidak membawa mereka untuk berbincang. Yang dilakukan hanyalah mengucapkan perintah, hanya beberapa kata, “Besok, pada saat matahari terbit, kalian harus sudah berada di halaman ini. Lengkap dalam kesiagaan tempur. Kita akan pergi ke Kemundungan untuk menangkap iblis yang bernama Kebo Sindet.”
Para perwira itu mengerutkan keningnya. Sebagian besar dari mereka memang pernah mendengar nama Kebo Sindet, bahkan sebagian lagi telah dapat mengetahui pula, sampai dimana kesaktian orang yang buas itu. Witantra yang duduk diantara para perwira itu mengerutkan keningnya. Ia menyadari benar-benar siapakah yang sedang mereka hadapi. Kebo Sindet adalah orang yang memiliki ilmu setingkat dengan gurunya. Tetapi Kebo Sindet mempunyai sifat-sifat iblis yang mengerikan.
Ketika para perwira tidak ada yang mengucapkan sepatah katapun, maka Akuwu Tunggul Ametung bertanya lantang, “Kenapa kalian diam saja dan menjadi pucat? Apakah kalian takut, he?”
Para perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu terasa menggelitik hati. Seandainya bukan Akuwu Tunggul Ametung yang rnengucapkannya, maka akan dapat menimbulkan salah paham di antara mereka. Tetapi mereka telah mengenal betul tabiat dan sifat-sifat dari Akuwu Tumapel, sehingga pertanyaan itu sama sekali tidak mereka telan bulat-bulat.
“Kita bersama-sama akan berangkat besok. Kita tidak perlu membawa prajurit-prajurit. Tidak ada gunanya.”
Sekali lagi para perwira saling berpandangan. Hampir tidak pernah terjadi, bahwa dalam suatu tindakan atas seseorang atau segerombolan Akuwu membawa begitu banyak perwira tanpa prajurit dari tingkat yang lebih rendah.
“Kita berangkat dua belas orang” berkata Akuwu itu kemudian.
Para perwira masih belum menjawab. Dan mereka mendengar Akuwu Tunggul Ametung meneruskan, “Hanya sebagian kecil saja yang akan tinggal di istana untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Sisa dari dua belas orang itu.”
Para perwira itu masih terdiam. Dan Akuwu berkata pula, “Nah, apakah kalian telah mendengar?”
Hampir bersamaan para perwira itu menyahut, “Hamba Tuanku.”
“Bagus. Kalian tidak perlu takut. Kita tidak berhadapan dengan sebuah gerombolan dengan ratusan anak buahnya. Menurut pendengaranku, Kebo Sindet adalah seorang penjahat yang berbuat seorang diri. Sebanyak-banyaknya dua atau tiga orang. Karena itu kita tidak perlu membawa pasukan.”
Sejenak para perwira saling berpandangan. Lalu salah seorang dari mereka, Witantra mencoba memberanikan diri berkata, “Ampun Tuanku. Kita tidak tahu pasti, siapakah yang berada disekeliling Kebo Sindet. Hamba pernah mengalami, dalam perjumpaan hamba diperjalanan ke Panawijen pada saat hamba mengantarkan Tuan Puteri Ken Dedes, dengan seorang yang bernama Empu Sada. Ternyata Empu Sada mempunyai pengikut dalam jumlah yang cukup banyak.
Para perwira itu terkejut ketika tiba-tiba saja Akuwu memotong kata-kata Witantra sambil berteriak, “He, aku tidak berbicara tentang Empu Sada. Aku berbicara tentang Kebo Sindet, kau dengar?”
Seandainya mereka belum tahu sifat dan tabiat Akuwu Tunggul Ametung, maka mereka pasti akan terbungkam. Tetapi Witantra yang sudah mengenal betul akan Akuwunya itu menjawab, “Ampun Tuanku. Hamba hanya ingin memberikan perbandingan. Mungkin Kebo Sindet juga mempunyai pengikut-pengikut yang tidak kita ketahui seperti Empu Sada pada waktu itu.”
“Jadi kau takut, he?”
“Ampun Akuwu. Hamba tidak pernah berpikir tentang hamba sendiri apabila hamba harus mengikuti Tuanku kemanapun. Tetapi hamba berpikir tentang Tuanku. Keselamatan Tuanku.”
“Aku bukan pengecut cengeng Witantra. Kalau kalian tidak berani, biar aku berangkat sendiri.”
“Tidak Tuanku. Bukan maksud hamba mengatakan bahwa Tuanku menjadi takut dan cemas. Tetapi justru Tuanku memiliki keberanian yang tidak kami mengerti. Dengan demikian menurut nalar kami, maka Tuanku agaknya terlampau berani. Kami hanya memikirkan bahaya yang dapat mengancam Tuanku, meskipun Tuanku sendiri sama sekali tidak takut menghadapi apapun.”
“Jadi menurut pertimbangan, aku harus mengerahkan seluruh pasukan Tumapel. Prajurit dari segala kesatuan.”
“Ampun Tuanku, bukan begitu. Tetapi hamba ingin keselamatan Tuanku benar-benar terjamin. Hamba berbicara sebagai Senapati pasukan pengawal Tuanku.”
“Setan kau Witantra. Kau memang seorang pengecut. Bawalah besok pasukan sesukamu menurut pertimbanganmu. Tetapi aku akan memilih duabelas orang diantara kalian. Yang lain harus tinggal di istana. Tanggung jawab ada pada kalian. Kalian akan menunggu perintah dari Permaisuriku. Mengerti?”
Hampir bersama para perwira itu mengangguk dan menjawab, “Hamba Tuanku.”
“Sekarang pergilah” berkata Akuwu Tunggul Ametung. Lalu disebutkan dua belas nama diantara para perwira yang akan dibawanya besok ke Kemundungan. Sedang yang lain harus tinggal di Tumapel untuk mengawasi keadaan pemerintahan sehari-hari disamping para pemimpin pemerintahan.
Tetapi sebelum para perwira itu beranjak dari tempatnya, Akuwu itu berkata, “Kita akan singgah di Padang Karautan. Ken Arok dan Kebo Ijo akan aku bawa pula.”
Para perwira itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menjawab. Yang kemudian mereka dengar adalah Akuwu itu berteriak, “Sekarang pergi. Pergi. Kalian boleh pergi.”
Dengan tergesa-gesa para perwira itu pulang ke rumahnya masing-masing. Apalagi mereka yang harus mengikuti perjalanan Akuwu Tunggul Ametung besok. Mereka harus segera berkemas dan menyiapkan perlengkapan perang mereka. Sisa malam itu sama sekali sudah tidak dapat mereka pergunakan lagi untuk melanjutkan mimpi mereka. Isteri-isteri mereka pun ikut pula menjadi sibuk. Mereka menyiapkan perlengkapan suaminya dan menyiapkan makan pagi, Sebagian dari mereka menjadi berdebar-debar, karena suami-suami mereka mengatakan, siapa yang akan dihadapinya sekarang.
Meskipun isteri-isteri prajurit itu telah terbiasa ditinggal oleh suaminya untuk melakukan tugas yang berbahaya, untuk pergi berperang, namun sebenarnya di hati mereka pun masih juga selalu diliputi oleh kecemasan. Setiap suaminya mempersiapkan diri mereka dengan alat-alat perangnya, pedang di lambung atau keris di punggung, maka jantung mereka pun menjadi semakin cepat berdetak.
Meskipun mereka sadar bahwa suami-suami mereka adalah seorang prajurit, tetapi sebenarnya mereka lebih senang apabila suami mereka tidak pergi berperang. Mereka lebih senang apabila suami-suami mereka ada di antara keluarganya. Menimang bayinya dan bermain-main dengan anak-anaknya yang lebih besar. Tetapi kali ini suami-suami mereka itu harus pergi meninggalkan keluarga masing-masing. Mereka kali ini akan menemui seorang yang namanya cukup mendebarkan jantung, Kebo Sindet.
Berbeda dengan para perwira itu, Witantra tidak hanya sekedar mengurusi dirinya sendiri. Ia masih harus menyiapkan sepasukan pengawal pilihan. Tidak terlampau banyak, hanya sepuluh orang. Tetapi yang sepuluh orang itu adalah pengawal-pengawal utama istana Tumapel. Pengawal-pengawal yang paling dipercaya oleh Witantra untuk menjaga keselamatan Akuwu Tunggul Ametung, meskipun yang sepuluh orang itu bagi Tunggul Ametung masih belum lebih berarti dari senjatanya yang dahsyat itu.
Tetapi Witantra telah berbuat sesuai dengan tugasnya. Ia tidak mau lengah karena dorongan perasaan. Ia tidak tahu benar, berapa jumlah orang-orang yang berada di bawah pengaruh Kebo Sindet, meskipun ia memang pernah mendengar bahwa semula Kebo Sindet hanya bergerak berdua saja dengan adiknya Wong Sarimpat. Tetapi berita terakhir yang sampai padanya adalah, Wong Sarimpat telah mati, dan kini Kebo Sindet berkawan dengan Kuda Sempana.
Pada saat yang dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung, maka para perwira sudah berkumpul di halaman istana. Mereka telah siap dalam kesiagaan tertinggi. Senjata-senjata mereka bergantungan di lambung, dan pusaka-pusaka sipat kandel mereka masing-masing tidak pula ketinggalan. Di sudut halaman itu telah bersiap pula sepuluh orang prajurit pilihan, pengawal istana. Mereka adalah orang-orang yang paling setia akan tugasnya, yang tidak pernah menilai hidup mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada tugasnya, sampai pengorbanan yang terakhir.
Di samping mereka, maka mereka akan mendapat tambahan kawan lagi di Padang Karautan. Ken Arok dan Kebo Ijo. Dengan demikian maka pasukan kecil itu merupakan sekelompok orang-orang yang pilih tanding, sehingga Akuwu Tunggul Ametung yang melihat kesiapan orang-orangnya berkata di dalam hati, “Jangankan seorang Kebo Sindet, sepuluh Kebo Sindet akan disapu oleh pasukan kecilku ini.”
Ketika pasukan itu kemudian berangkat, Permaisuri Tumapel berdiri di atas tangga paseban depan. Dipandanginya debu yang melontar dari belakang kaki-kaki kuda yang berlari kencang, menyusup keluar regol dan hilang dibalik dinding dalam istana.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia pun sebenarnya menjadi berdebar-debar seperti setiap isteri prajurit yang ikut di dalam rombongan kecil itu, Sebenarnya Ken Dades pun dirayapi oleh kecemasan tentang keselamatan suaminya. Meskipun setiap kali ia mencoba menghibur diri, bahwa kekuatan pasukan suaminya itu jauh berlipat ganda dari kekuatan lawannya, namun ia tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya.
Tetapi selain kegelisahan yang bergetar di dalam dadanya, Ken Dedes merasakan sesuatu yang aneh pula di dalam hatinya. Ia tidak merasakan kesungguhan pada sikap Akuwu Tunggul Ametung. Apa yang dilakukan ini adalah semata-mata didorong oleh kemarahannya. Bukan karena keinginannya yang tulus untuk melepaskan Mahisa Agni. Betapapun Ken Dedes mencoba menghilangkan perasaan itu, namun semakin lama justru semakin mencengkam hatinya.
Bahkan kekecewaannya terhadap Akuwu Tunggul Ametung, serasa semakin lama semakin tebal membalut jantungnya. Bagi ken Dedes, Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang meledak-ledak. Seorang yang memandang setiap persoalan dari seginya sendiri. Bahkan akhirnya Ken Dedes sampai pada kekecewaan dan keragu-raguan yang terbesar di dalam dunia perkawinannya. Sebuah pertanyaan tumbuh dihatinya,
“Apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung pada saat aku belum menjadi Permaisurinya? Apakah usahanya untuk membebaskan aku dari tangan Kuda Sempana itu benar tumbuh karena penyesalan, atau karena nafsu dan pamrih pribadinya, untuk merebut aku dari tangan Kuda Sempana itu?”
Ken Dedes terkejut dan seolah-olah tersedar dari sebuah mimpi yang menggelisahkan ketika ia mendengar seorang perwira yang berdiri di halaman, di bawah tangga, berkata, “Ampun Tuan Puteri, apakah perintah Tuan Puteri atas kami yang mendapat tugas menjaga istana dan kota Tumapel ini.”
“Oh,“ Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya satu-satu perwira yang berdiri berjajar di halaman, di samping beberapa orang-orang tua yang menjadi pembantu-pembantu Akuwu di dalam pemerintahan. Sesaat kemudian Ken Dedes berkata, “Lakukanlah pekerjaanmu sehari-hari. Tidak ada perintah khusus dari padaku saat ini.”
“Hamba Tuan Puteri.”
Ken Dedes itu pun kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang dalam istana diiringi oleh para emban. Namun kemudian ia langsung masuk ke dalam biliknya. Ketika ia melihat emban pemomongnya ikut masuk pula ke dalam bilik itu, hampir-hampir ia tidak kuasa lagi menahan air matanya. Tetapi ditabahkannya hatinya, dan dibiarkannya emban pemomongnya itu melepas dan mengganti pakaiannya dengan pakaian sehari-hari.
Emban tua itu dengan sepenuh hati telah melayani Ken Dedes seperti ia melayaninya di masa kanak-kanaknya. Ditolongnya Permaisuri itu membenahi pakaiannya dan mengenakan pakaian sehari-harinya. Kemudian mengurai sanggulnya dan menyanggulnya kembali seperti kebiasaannya menyanggul rambutnya tinggi-tinggi karena udara yang sering terasa terlampau panas. Emban itu telah terlalu biasa melayani Ken Dedes, sebelum dan setelah menjadi seorang Permaisuri. Emban itu sudah mengerti betul, apakah yang disukai dan apakah yang tidak. Karena itu, maka hampir tidak pernah ia berbuat kesalahan.
Ken Dedes yang kali ini sedang mencoba bertahan untuk tidak menangis itu masih saja berdiam diri. Dan ia terkejut ketika emban tua itu bertanya dekat sekali di belakang telinganya sambil menyanggul rambutnya, “Tuan Puteri. Apakah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung pergi ke Kemundungan?”
Ken Dedes berpaling. Ditatapnya wajah pemomongnya. Wajah yang telah dipenuhi kerut-merut umurnya itu tampak terlampau suram. “Ya bibi” jawab Ken Dedes, “Tuanku Akuwu Tunggul Ametung pergi ke Kemundungan.”
“Apakah Tuanku Akuwu ingin merebut Mahisa Agni dengan kekerasan?”
Ken Dedes diam sejenak. Tenggorokannya terasa menjadi semakin sesak. Jawabnya, “Yang penting bagi Tuanku Akuwu adalah menyingkirkan Kebo Sindet, yang dianggapnya selalu membuat kisruh di Tumapel.”
“Tetapi bukankah Akuwu juga berusaha membebaskan angger Mahisa Agni?”
“Aku tidak yakin, bahwa itu adalah tujuannya bibi. Seandainya ia dapat membinasakan Kebo Sindet, meskipun kakang Mahisa Agni tidak dapat dibebaskannya, ia telah menjadi puas. Sebaliknya, seandainya ia mendapat kesempatan membebaskan kakang Mahisa Agni, tetapi tidak berhasil melenyapkan Kebo Sindet, maka ia pasti masih merasa gagal.”
Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Begitukah Tuan Puteri?”
“Ya”
“Tetapi tanpa disangka-sangka oleh Ken Dedes, emban itu berkata, “Tuan Puteri. Tuanku Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang Akuwu. Ia memandang semua persoalan pasti dalam sangkutannya dengan kedudukannya. Kali ini pun ia berusaha untuk melakukan tugasnya sebagai seorang Akuwu dan sebagai seorang suami. Tetapi ia adalah seorang Akuwu sebelum menjadi seorang suami. Tanggung jawabnya cukup besar dan berat. karena itu Tuanku, hamba mengharap Tuan Puteri dapat mengerti.”
Ken Dedes menatap mata emban tua itu sejenak. Ia melihat mata itu basah. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun lagi. Nalarnya dapat mengerti kata-kata emban tua itu, tetapi perasaannya masih dicengkam oleh kekecewaan dan kecemasan. Ketika Ken Dedes selesai berkemas, maka emban tua itu pun segera mohon diri untuk pergi kebelakang sebentar. Untuk melayani permaisuri apabila ia memerlukan sesuatu, beberapa orang emban masih saja duduk dimuka bilik.
Tetapi, kemudian tidak seorang pun yang megetahuinya, bahwa emban tua itu segera masuk ke dalam biliknya sendiri dibelakang istana itu. Hampir ia tidak dapat menahan dirinya lagi. Dijatuhkannya tubuhnya yang tua itu di atas amben pembaringannya. Dan tangisnya sudah tidak dapa ditahannya. Ia tidak pernah akan dapat ingkar dari perasaan sendiri, bahwa Mahisa Agni adalah satu-satu anak laki-laki. Bahkan satu-satunya anak yang akan dapat menyambung keturunannya. Apabila bencana menimpa anak itu, justru karena ia dianggap saudara oleh Ken Dedes yang kini menjadi Permaisuri, alangkah malang nasibnya.
Sementara itu, Akuwu Tunggul Ametung berpacu dengan kencangnya ke Padang Karautan. Ia akan singgah di sana, untuk membawa Ken Arok dan Kebo Ijo serta. Disana ia akan dapat melihat pula apakah yang sudah dikerjakan oleh Ken Arok. Apakah taman yang dipesankannya sudah dikerjakan dengan baik. Taman yang akan dihadiahkannya kepada permaisurinya.
Jauh dari Padang Karautan, Kebo Sindet dan Kuda Sempana telah sampai di pinggir rawa-rawa yang menyekat tempat yang dipergunakannya untuk menyembunyikan Mahisa Agni dan dunia di seputarnya. Sejenak mereka berhenti di tepi rawa-rawa itu. Kebo Sindet dengan matanya yang tajam memandangi daerah di sekelilingnya. Tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakannya. Ia sama sekali tidak melihat perubahan-perubahan apapun dan tanda-tanda yang lain yang dapat membahayakan dirinya. Karena itu, maka perlahan-lahan didorongnya kudanya untuk turun ke dalam rawa-rawa.
Kebo Sindet mengenal betul daerah yang dilewatinya itu. Kecuali jalan yang harus dilalui, ia mengenal pula watak dan sifat-sifat dari rawa-rawa itu. Ia mengenal waktu-waktu yang paling baik untuk menyeberang. Dan ia mengenal saat-saat dimana ia harus menunggu apabila bahaya berada di perjalanan. Binatang-binatang air yang berbisa adalah lawan-lawan yang paling sulit untuk dilayaninya. Tetapi pengenalannya atas daerah itu benar-benar hampir sempurna.
Perlahan-lahan kudanya melangkah maju diikuti oleh Kuda Sempana. Selangkah demi selangkah. Dan setiap langkah mereka maju, maka setiap kali dada Kuda Sempana jadi semakin berdebar-debar. Selama ini ia hampir acuh tak acuh saja atas semua peristiwa iang terjadi atas dirinya dan atas Kebo Sindet. Tetapi kali ini ia telah diganggu oleh kegelisahan yang semakin mencengkam. Ia tahu benar bahwa beberapa saat lagi, ia akan dijadikan ayam aduan.
Ia harus berkelahi melawan Mahisa Agni. Mungkin sekali, mungkin dua kali bahkan mungkin beberapa kali. Adalah lebih baik apabila ia harus berkelahi sampai mati. Atau keduanya mati sama sekali. Tetapi tangkapannya atas maksud Kebo Sindet cukup tajam. Ia akan sekedar dijadikan tontonan, sebelum orang itu menjadi jemu dan membunuhnya. Mungkin sebulan, dua bulan, bahkan mungkin tetaunan.
Berbagai perasaan telah bergelora di dalam dada Kuda Sempana. Kadang-kadang ia mencoba untuk acuh tidak acuh saja atas apa yang akan terjadi. Kadang-kadang ia menjadi muak dan gelisah. Tetapi kadang-kadang ia masih menyangka bahwa Kebo Sindet belum melepaskan keinginannya untuk mempergunakan Mahisa Agni memeras permaisuri Tunggul Ametung. Kalau sekali-sekali ia harus berkelahi, maka Kebo Sindet masih menginginkan Mahisa Agni itu hidup terus, betapapun keadaannya.
Tiba-tiba Kuda Sempana mengumpat di dalam hatinya, “Iblis ini benar-benar buas dan licik”
Ketika mereka telah sampai di tengah-tengah rawa-rawa itu, maka terdengar Kebo Sindet bergumam, “Kuda Sempana. Sebentar lagi kita akan sampai. Kau harus mempersiapkan dirimu. Aku Aku ingin memberi kau kesempatan sekali-sekali melepaskan sakit hatimu. Tetapi aku masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain dari Mahisa Agni itu. Apakah ia masih berguna bagiku atau tidak.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Dan Kebo Sindet berkata terus, “Aku mengharap kau mengerti maksudku.”
Kebo Sindet itu berpaling ketika ia mendengar Kuda Sempana berdesis, “Aku tidak mengerti.”
Wajah Kebo Sindet yang beku itu masih saja membeku. Namun ia berkata, “Aku kira masih ada sisa-sisa kekuatan di dalam diri Mahisa Agni. Kau akan dapat mempergunakannya untuk berlatih sambil melepaskan sakit hatimu. Tetapi kau harus tahu, bahwa sulit bagimu untuk mencari orang seperti anak itu. Karena itu, maka biarlah untuk sementara ia hidup.”
“Maksudmu, kami, aku dan Mahisa Agni akan kau pergunakan sebagai tontonan. Sebagai ayam sabungan” tiba-tiba saja kejemuan yang tersimpan di dalam dada Kuda Sempana tidak dapat ditahannya lagi. Ia sama sekali tidak dapat berpikir apa saja yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet atasnya.
Tetapi tanpa disangka-sangka, Kebo Sindet itu menjawab sareh, “Jangan berprasangka. Aku ingin menjadikan kau seperti Wong Sarimpat. Aku sudah tidak punya kawan lagi. Bukankah Mahisa Agni yang sekarat itu dapat kau pergunakan.”
“Ia sudah tidak akan bermanfaat lagi bagiku. Aku akan membunuhnya. Lalu kau akan membunuhku juga karena aku pun sudah tidak bermanfaat lagi bagimu.”
“Kau salah” sahut Kebo Sindet. Selama itu kuda-kuda mereka masih saja berjalan di dalam rawa-rawa itu., “Aku tidak akan berbuat demikian. Kalau kau sekali-sekali berlatih dengan Mahisa Agni, maka kau akan menjadi semakin maju. Mungkin aku terpaksa menunggui latihan itu dengan cambuk di tangan, supaya salah seorang dari kalian tidak terdorong untuk membunuh lawan. Mungkin beberapa kawan-kawanku berjudi ingin melihat latihan itu. Atau mungkin beberapa orang prajurit Tumapel yang harus aku tangkap supaya mereka melihat apa yang terjadi atas Mahisa Agni, kemudian aku lepaskan lagi supaya ia dapat melaporkannya kepada Akuwu Tunggul Ametung, atau seribu macam rencana yang menyenangkan lainnya. Itu tergantung sama sekali kepadaku. Tidak kepadamu atau Mahisa Agni. Apakah kelak aku akan membunuhmu atau memeliharamu seperti memelihara kudaku ini, itu pun tergantung sekali kepadaku. Apakah kelak aku menjadi demikian percaya kepadamu dan memberikan seluruh ilmuku itu pun tergantung kepadaku juga. Tetapi mungkin juga justru Mahisa Agnilah yang akan menerima ilmuku dan kau akan mengalami nasib yang paling jelek.”
“Aku sudah siap untuk melakukan apa saja” geram Kuda Sempana. Dadanya sudah terlampau pepat. Dan lebih dari pada itu sebenarnya ia telah terlempar ke dalam keputus-asaan yang parah. Ia sudah tidak mempunyai harapan untuk lepas dari tangan Kebo Sindet dan menghindari cara-cara yang akan dilakukan atasnya dan atas Mahisa Agni. Dalam keputus-asaan itulah maka ia kehilangan segala nalarnya.
Tetapi Kebo Sindet masih tetap dalam sikapnya. Ia duduk tenang di atas kudanya yang berjalan selangkah demi selangkah maju. Di depan mereka seonggok tanah menjorok dari permukaan rawa-rawa yang masih berkabut. Remang-remang diantara sulur-sulur yang berjuntai dari pepohonan yang tumbuh di atas tanah berlumpur.
“Mungkin Mahisa Agni masih tidur” gumam Kebo Sindet. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak menyahut.
Sejenak kemudian, mereka telah memanjat pinggir rawa-rawa itu dan sesaat kemudian mereka telah berdiri di atas tanah yang lembab basah, tetapi sudah tidak digenangi oleh air yang keruh.
“Ayo, suruh Mahisa Agni menyediakan makan dan minum kita” berkata Kebo Sindet.
Kuda sempana tidak menjawab. Hal itu telah menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan itu pun kali ini dilakukannya dengan hati yang kosong. Kebo Sindet menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Kuda Sempana mendahuluinya. Tetapi ia pun kemudian mengikuti di belakangnya. Tiba-tiba ia menjadi cemas, apabila Kuda Sempana tanpa setahunya telah membunuh Mahisa Agni, supaya mereka tidak dapat diadu seperti ayam jantan atau seperti cengkerik yang ganas.
Tetapi Kuda Sempana tidak menjumpai Mahisa Agni di dalam sarang mereka. Itu pun tidak mengherankannya, karena mahisa Agni sedang berkeliaran di sektiar pulau di tengah-tengah rawa-rawa itu. Mungkin untuk mencari kayu, mungkin untuk mengail. Untuk memanggilnya, Kuda Sempana dapat membunyikan tanda yang tergantung di mulut sarang mereka. Tetapi, kali ini Kuda Sempana tidak berminat untuk memanggilnya. Tanpa diketahui sebab-sebabnya, ia ingin mencari saja Mahisa Agni di sekitar sarang mereka, namun langkahnya tertegun ketika ia mendengar Kebo Sindet bertanya,
“Kenapa tidak kau panggil saja anak setan itu dengan tanda.”
Kuda Sempana tidak segera dapat menjawab.
“Apakah kau akan mencarinya dan membunuhnya?”
“Tidak” jawab Kuda Sempana, “aku sama sekali tidak bernafsu untuk melakukannya.”
Kebo Sindet tidak menyahut, tetapi ia melangkah perlahan-lahan ke muka sarangnya. Ia akan membunyikan tengara sendiri untuk memanggil Mahisa Agni. Kuda Sempana berdiri saja mengawasinya. Tampaklah dahinya berkerut-merut, hal yang demikian itu hampir tidak pernah dilakukannya. Biasanya ia berteriak saja menyuruhnya membunyikan tanda itu. Tetapi kali ini, ia melakukannya sendiri. Tetapi sebelum tengara itu berbunyi, mereka berpaling bersama-sama. Mereka mendengar langkah berlari-lari dari balik dedaunan perdu. Dan sejenak kemudian mereka melihat Mahisa Agni muncul dengan nafas terengah-engah. Kebo Sindet berdiri tegak sambil memandangnya dengan tajam, perlahan-lahan Mahisa Agni kemudian berjalan mendekatinya. Sekali-sekali ia berpaling kearah Kuda Sempana dengan penuh kebimbangan.
Tetapi tiba-tiba tubuh anak muda itu terlempar ketika kaki Kebo Sindet menyentuh pahanya. Mahisa Agni jatuh berguling beberapa kali sambil menyeringai ia berkata, “Ampun tuan.”
“Setan” geram Kebo Sindet, “dari mana kau sepagi ini?”
“Aku sedang bersiap untuk mengail tuan.”
“Bohong, kau pasti masih tidur pemalas.”
“Tidak tuan. Aku sudah bangun sebelum fajar, aku sedang mengail.”
“Cepat, sediakan minum dan makan kami, jangan menunggu aku marah.”
“Ya tuan.” Mahisa Agni segera berlari-lari meninggalkan Kebo Sindet untuk menyiapkan makan dan minum mereka. Dengan tergesa-gesa dipungutnya seonggok kayu dan dimasukkannya ke dalam mulut perapian.
Sementara itu, Kebo Sindet masih berdiri tegak ditempatnya. Ketika ia melihat Mahisa Agni, maka bergeloralah isi dadanya. Ia menyadi sangat muak dan jemu. Hampir-hampir ia kehilangan pertimbangan dan memukulnya sampai pingsan. Tetapi ketika dilihatnya Kuda Sempana, maka teringatlah ia akan permainan yang dapat diselenggarakannya,
“Mudah-mudahan menyenangkan. Menilik keadaan Mahisa Agni sekarang, maka ia tidak akan dapat mengalahkan Kuda Sempana dengan segera dan sebaliknya, mereka akan dapat menjadi cengkerik aduan yang baik. Alangkah senangnya bila Permaisuri mengetahuinya, bahwa kakaknya di sini tidak lebih dari pada seekor cengkerik yang tidak dapat menghindarkan diri dari gelanggang pertarungan.”
Meskipun wajahnya sama sekali tidak berkesan apapun, tetapi Kebo Sindet itu tertawa di dalam hatinya. Tanpa dikehendakinya sendiri, dipandanginya Kuda Sempana dari ujung kaki sampai keujung kepalanya, Seolah-olah ia sedang menilai, apakah keduanya cukup seimbang. Namun dengan liciknya ia berkata,
“Kuda Sempana. Jangan mencari kesempatan untuk membunuh Mahisa Agni. Dengan demikian maka kita tidak dapat membalas sakit hati kita kepada Permaisuri itu sebaik-baiknya. Kita harus menemukan cara untuk membuat Permaisuri itu menyesal karena sikapnya dan kekikirannya. Ia harus disiksa oleh penyesalan sepanjang umurnya.”
Kuda Sempana tidak menyahut. Bahkan dilontarkan pandangan matanya jauh ke dalam semak-semak di pinggir rawa-rawa. sorot matanya benar-benar telah mencerminkan keputusasaan dan kegelapan hati. Hidup bagi Kuda Sempana kini telah tidak mempunyai arti apapun lagi.
“Ingat-ingatlah Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet yang tidak mempedulikan sama sekali perasaan anak muda itu, “jangan kau bunuh, bahkan jangan kau sakiti anak itu.”
Kuda Sempana masih saja berdiam diri, ia masih belum beranjak dari tempatnya ketika Kebo Sindet kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam sarangnya yang lembab dan gelap. Sesaat Kuda Sempana masih berdiri mematung. Sekilas tersirat di kepalanya peristiwa-peristiwa yang telah mendorongnya sampai ke tempat ini. Sepercik penyesalan menyentuh hatinya, tetapi yang ada kemudian adalah kegelapan.
Seperti kehilangan kesadarannya Kuda Sempana mengayunkan kakinya. Selangkah demi selangkah. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. ketika seberkas sorot matahari menyentuh wajahnya, maka ditengadahkannya kepalanya. Tetapi matahari itu seolah-olah sudah tidak lagi berarti lagi baginya sama sekali, tidak terasa gairah kehidupan yang terpancar lewat sinarnya yang putih.
Semuanya sudah tidak berarti lagi baginya. Kenangan masa lampaunya, hidup kini, dan mungkin umurnya yang masih akan dijalaninya, semuanya sudah tidak berarti. Bahkan penyesalan pun sama sekali sudah tidak berarti lagi baginya. Semuanya sudah terlambat. Ia sudah berada dalam dunia yang asing. Tiba-tiba, langkah Kuda Sempana itu terhenti. Ia melihat Mahisa Agni duduk di muka perapian. Di atas perapian itu terjerang sebuah belanga yang berisi air, dan sebuah lagi untuk menanak nasi.
Kuda Sempana sendiri tidak tahu, kenapa ia mendekatinya. Diperhatikannya Mahisa Agni itu dengan saksama. Dipandanginya api yang seolah-olah sedang meronta-ronta menjilat belanga-belanga yang terletak di atasnya. Perlahan-lahan Mahisa Agni berpaling. Tetapi ia masih saja duduk di muka perapian. Bahkan kemudian ditundukkannya kepalanya. Dipandanginya mulut perapiannya seperti baru sekali ini dilihatnya.
“Mahisa Agni” tiba-tiba ia mendengar Kuda Sempana berdesis perlahan sekali.
Mahisa Agni sekali lagi berpaling. Tetapi ia tidak juga beranjak dari tempatnya. Namun ia merasakan suatu keanehan pada nada suara Kuda Sempana. Suara itu sama sekali bukan pancaran dari perasaan dendam dan kebencian. Bahkan pada sikapnya pun Mahisa Agni tidak melihat lagi dendam yang membara di dalam dada Kuda Sempana.
Tetapi Kuda Sempana tidak meneruskan kata-katanya. Wajahnya tampak menjadi muram, namun sekali lagi Mahisa Agni menjadi heran. Kuda Sempana itu pergi meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Tetapi belum lagi Kuda Sempana itu beranyak lima langkah dari tempatnya, ia pun tertegun. Ketika ia berpaling, oleh suara gemersik disampingnya, ia melihat Kebo Sindet telah berdiri tidak jauh dari padanya. Kuda Sempana kemudian menjadi acuh tidak acuh saja. Ia melangkah terus meninggalkan tempat itu.
“Hem” terdengar suara Kebo Sindet, “aku sangka kau akan membunuhnya.”
“Sudah aku katakan, aku tidak bernafsu lagi” sahut Kuda Sempana.
“Bagaimana kalau aku tidak datang kemari?”
“Aku tidak tahu kalau paman ada di sini.”
Kebo Sindet tidak menjawab. Dibiarkannya Kuda Sempana pergi menjauh. Baru ketika Kuda Sempana telah hilang dibalik gerumbul Kebo Sindet itu berpaling kepada Mahisa Agni sambil menggeram, “Mahisa Agni. Nasibmu adalah nasib yang paling jelek dari setiap orang yang pernah aku temui. Adikmu ternyata terlampau kikir dan Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang paling gila di Tumapel. Sebenarnya aku tidak memerlukan kau lagi. Dan kau dapat menduga, apakah yang akan aku lakukan atasmu. Tatapi sebelum kau aku cincang-cincang di alun-alun Tumapel, maka kau akan menjadi permainan yang menyenangkan. Bukankah kau masih berani berkelahi melawan Kuda Sempana? He?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.
“Setiap kali kau harus berkelahi. Aku di sini tidak akan menjadi kesepian lagi. Mungkin kalian berdua akan aku bawa ke tempat-tempat perjudian. Kalian harus berkelahi. Bersungguh-sungguh. aku tahu apakah kalian bersungguh-sungguh atau tidak. Perkelahian yang demikian pasti akan menyenangkan orang-orang yang melihatnya.”
Mahisa Agni masih menundukkan kepalanya. Tetapi mengumpat di dalam hatinya. Kebenciannya kepada Kebo Sindet menjadi semakin meluap sampai diujung rambutnya. Tetapi ia masih belum berbuat sesuatu. Ia ingin tahu lebih banyak apa yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet. Namun sekali-sekali terpercik pula pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah aku sekarang telah mampu mengalahkannya, setidak-tidaknya mengimbanginya?”
Tetapi Mahisa Agni masih menahan diri. Kedua orang yang memberinya bekal olah kanuragan masih berpesan kepadanya, “Agni, kalau kau mempunyai waktu, jangan tergesa-gesa. Kau harus meyakinkan dirimu sendiri. Kecuali apabila kau telah disudutkan ke dalam suatu keadaan, bahwa kau harus melakukan perlawanan untuk keselamatanmu. Dan kadang-kadang Mahisa Agni hampir tidak bersabar lagi menunggu Kebo Sindet memaksanya untuk membela dirinya. Apalagi kini ia mendengar bahwa ia akan dijadikan semacam binatang aduan. Maka kesempatan yang ditunggunya itu pasti akan menjadi lebih lama lagi.
“Tetapi aku dapat mempercepat” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “Kalau aku tidak mau berkelahi melawan Kuda Sempana, maka aku akan mendapatkan kesempatan itu. Melawan Kebo Sindet sendiri.”
Tetapi Mahisa Agni masih juga menundukkan kepalanya. Ia mendengar Kebo Sindet mendekatinya dan berdiri dekat dibelakangnya. Di dalam hatinya ia berkata, “Kalau kau mulai lagi Kebo Sindet, mungkin aku akan kehilangan kesabaran untuk menunggu lebih lama lagi. Langit menjadi semakin suram, dan mendung menjadi semakin tebal. Aku harus segera berada di Padang Karautan.” Namun kemudian ia menggeram di dalam hatinya pula, “Ayolah Kebo Sindet. Aku sudah jemu menunggu di neraka ini.”
Tetapi Kebo Sindet tidak berbuat apa-apa. Ia masih berdiri saja dibelakang Mahisa Agni. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Kau harus berusaha memperpanjang hidupmu. Kau harus bersedia berkelahi. Kalau tidak, nasibmu benar-benar terlampau jelek. Tetapi kalau kau berhasil menyenangkan aku dan orang-orang lain yang melihat perkelahian itu, maka umurmu akan bertambah panjang.”
Mahisa Agni sama sekali tidak menjawab. Tetapi kemuakan dan kemarahan semakin membara didadanya.
“Nah, bekerjalah baik-baik. Kau akan mendapat kesempatan untuk melatih diri. Mengulang dan mempelajari unsur-unsur gerak yang telah kau lupakan. Kau akan langsung berada di bawah pengawasanku. Mungkin hari ini, atau besok atau kapan saja, aku ingin melihat kau berkelahi sebelum aku dapat menentukan keseimbangan diantara kalian.”
Hampir-hampir Mahisa Agni tidak dapat mengendalikan diri. Tetapi dengan sekuat-kuat tenaganya ia memaksa dirinya untuk duduk tepekur di muka perapian. Hanya kadang-kadang tangannya saja yang bergerak mendorong kayu bakarnya lebih dalam diperapian.
“Nah, bekerjalah” desis Kebo Sindet kemudian, “tetapi jangan mencoba untuk membunuh diri. Sama sekali tidak menyenangkan. Dalam waktu sehari rakyat Tumapel akan mendengar berita itu dan pasti akan selalu memperkatakan kau. Seorang yang dahulu disegani, kakak Permaisuri Ken Dedes, ternyata mati membunuh dirinya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan kemarahan di dalam dadanya. Tetapi ia belum berbuat apa-apa.
“Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Aku akan beristirahat. Ingat, kau pada saatnya akan mendapat kesempatan dan kedudukan yang sama dengan Kuda Sempana.”
Kebo Sindet itu pun kemudian melangkah pergi meninggalkan Mahisa Agni yang masih duduk di muka perapiannya. Ketika Mahisa Agni itu mengangkat wajahnya maka Kebo Sindet telah hilang dibalik pepohonan.
“Waktu itu tidak akan lama lagi”, desis Mahisa Agni perlahan-lahan. Ia masih berhasil menahan darahnya yang hampir mendidih.
Ketika air dan nasi yang dijerangnya telah masak, maka Mahisa Agnip un segera menghidangkannya seperti biasa. Ditaruhnya air panas itu ke dalam mangkuk dan nasinya pun telah disediakannya di dalam ceting bambu. Ia mengharap, bahwa pada saat Kebo Sindet makan ia mendapat kesempatan untuk menemui gurunya dan Empu Sada yang saat itu berada tidak jauh dari tempat itu pula.
Seperti biasanya, Kebo Sindet dan Kuda Sempana pun segera duduk di atas sebuah amben kayu yang kasar, menikmati hidangan yang telah disediakan oleh Mahisa Agni. Nasi yang hangat dengan ikan air yang telah dikeringkan dengan dibubuhi garam. Ketika Kebo Sindet dan Kuda Sempana sedang sibuk memilih dan menyisihkan duri ikan kering yang dimakannya, maka dengan tergesa-gesa Mahisa Agni menyelinap ke dalam gerumbul di belakang sarang iblis itu. Di tempat yang rimbun, ditemuinya gurunya dan Empu Sada memang sedang menunggunya.
“Agaknya Kebo Sindet kali ini gagal lagi guru” berkata Mahisa, “tetapi ia mempunyai suatu cara yang sangat licik. Ia ingin menjadikan aku dan Kuda Sempana ayam sabungan.”
Kedua orang tua-tua itu mengerutkan keningnya. Apalagi ketika Mahisa Agni menjelaskan apa yang telah didengarnya dari Kebo Sindet.
“Iblis itu benar-benar tidak berperasaan” desis Empu Purwa, “ia dapat berbuat apa saja di luar dugaan kita. Karena itu Agni, kau harus mempersiapkan dirimu sebaik-baiknya. Kau akan berhadapan dengan iblis itu. Meskipun, mungkin ilmumu sudah tidak kalah lagi dari ilmu Kebo Sindet menurut aliran masing-masing, tetapi dalam keadaan yang gawat maka Kebo Sindet dapat berbuat apa saja. Ia dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Mungkin kau akan terkejut dan kau akan kehilangan waktu sekejap. Yang sekejap itu mungkin akan dapat dipergunakan oleh iblis itu dengan buasnya. Apakah kau mengerti maksudku?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepala, “Ya, aku tahu guru.”
“Nalar dan perasaanmu harus kau kuasai sebaik-baiknya Agni” berkata Empu Sada, “kalau kau gagal hanya karena kekasaran dan kebuasan lawanmu, maka kau akan mengecewakan kami. Karena itu persiapkan dirimu. Bukan hanya kemampuan lahir, tetapi juga batinmu. Kau harus berdiri di atas landasan yang sudah kau letakkan. Iblis itu memang harus dilenyapkan karena pokalnya yang membahayakan sendi-sendi peradaban. Sehingga apa pun yang akan dilakukan, yang barangkali sama sekali tidak kau sangka-sangka sekalipun, jangan menggoyahkan nalar dan perasaanmu. Kau tidak boleh kehilangan akal.”
“Ya Empu” sahut Mahisa Agni sambil menundukkan kepalanya.
“Tetapi, bagaimana dengan Kuda Sempana?” bertanya Empu Sada tiba-tiba.
“Aku melihat beberapa keanehan padanya” jawab Mahisa Agni, yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya atas anak muda itu.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar Empu Sada berdesis, “Kasihan anak itu. Tidak semua kesalahan dapat dibebankan kepadanya. Sebenarnya ia bukan seorang yang terlampau jahat. Tetapi aku telah ikut mendorongnya ketempatnya yang sekarang. Agaknya kini ia telah benar-benar kehilangan arah hidupnya. Ia merasa bahwa hidupnya sama sekali sudah tidak mempunyai arti lagi.”
“Ya Empu” sahut Empu Purwa, “ia telah didorong oleh keadaan, apalagi ternyata Kuda Sempana kemudian kehilangan keseimbangan berpikir, sehingga ia telah kehilangan arah dan kehilangan tempat berpijak.”
Empu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dan terdengar ia bergumam, “Akulah yang seharusnya meluruskan jalannya pada waktu itu. Tetapi aku justru ikut menjerumuskannya.” Orang tua itu berhenti sejenak. Wajahnya menjadi muram. Lalu sejenak kemudian ia berkata, “Agni. Bagaimanakah kira-kira dengan Kuda Sempana itu? Apakah ia masih mendendammu?”
“Aku tidak tahu Empu. Tetapi aku melihat keanehan itu.”
Empu Sada mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Agni. Apakah kau dapat menunda perasaan muakmu terhadap Kebo Sindet sehari dua hari? Meskipun kini kau telah siap menghadapinya, tetapi aku masih ingin menganjurkan kau menundanya. Kalau kau sempat melakukan keinginan Kebo Sindet, kau akan mengetatui perasaan Kuda Sempana yang sesungguhnya. Apakah ia masih tetap mendendammu ataukah ia telah benar-benar kehilangan nafsunya itu karena hidupnya sendiri yang seolah-olah sudah tidak berarti apa-apa lagi. Kalau ia masih saja mendendammu seperti dahulu Agni, aku serahkan ia kepadamu. Apa saja yang akan kau lakukan. Tetapi kalau ia telah kehilangan nafsunya itu karena alasan apapun, apakah kau mau memberinya sedikit saja peluang.”
Kening Mahisa Agni menjadi berkerut, “Maksud Empu?” bertanya Mahisa Agni itu.
Empu Sada menjadi ragu-ragu. Dipandangnya Empu Purwa sejenak seolah-olah ingin mendapat pertimbangan dari padanya, “Maksudku ngger, apabila Kuda Sempana itu sudah tidak lagi mendendammu karena alasan apapun, mungkin bukan karena kesadaran tentang kekeliruannya, sebab mungkin ia hanya sekedar didera oleh keputusasaan dan tidak tahu arah hidupnya lagi, namun aku ingin minta maaf kepadamu untuknya. Aku ingin mencoba memperbaiki tingkah lakunya sebagai tebusan dari kesalahan-kesalahan yang aku buat selama ini.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Seperti Empu Sada maka sekilas ditatapnya wajah Empu Purwa untuk mendapatkan pertimbangannya. Dan didengarnya gurunya berkata, “Itu adalah wajar sekali Empu. Kalau Kuda Sempana sudah kehilangan nafsunya untuk membalas dendam, maka Agni pun harus melenyapkan segala macam permusuhan yang ada di antara mereka. Mahisa Agni memang seharusnya berbuat sesuatu tanpa dilandaskan pada perasaan dendam dan kebencian. Yang dilakukannya atas Kebo Sindet pun seharusnya tidak diberatkan kepada dendam dan kebencian. Tetapi kecintaannya kepada kebebasan diri, kepada adiknya Ken Dedes kepada orang-orang Panawijen di Padang Karautan, kepada semua orang yang mungkin akan mengalami bencana karena tingkah laku Kebo Sindet. Itulah yang harus menjadi landasan perbuatannya. Sehingga aku kira Mahisa Agni tidak akan berkeberatan apa pun untuk melepaskan sikap permusuhannya terhadap Kuda Sempana. Apalagi Kuda Sempana, seandainya, ya hanya sekedar seandainya, Kebo Sindet dapat merubah dirinya, tingkah laku dan angan-angannya, maka tidak ada manfaatnya untuk membunuhnya. Tetapi itu hanya dapat terjadi di dalam mimpi saja.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang wajah Mahisa Agni, ia melihat pengertian memancar dari wajah anak muda itu, sehingga dengan serta-merta Empu Sada berkata, “Terima kasih. Agaknya Mahisa Agni pun berpendirian demikian pula. Kemana air menitik, maka demikian pula agaknya sifat-sifat gurunya melimpah kepadanya.”
“Ah” desah Empu Purwa, “kau memuji. Terima kasih.”
Empu Sada tersenyum. Lalu katanya, “Bagaimana Mahisa Agni?”
“Aku tidak berkeberatan, Empu. Aku memang melihat sesuatu pada dirinya. Mungkin ia mendapatkan kesadarannya. Atau mungkin seperti yang Empu katakan” jawab Mahisa Agni. Meskipun demikian masih juga terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Adalah terlampau sulit untuk melupakan begitu saja semua persoalan yang pernah timbul di antara dirinya dengan Kuda Sempana. Adalah terlampau sulit untuk dengan sebuah senyuman berkata, “Kau telah aku maafkan Kuda Sempana.”
Tetapi kedua orang tua-tua yang selama ini telah menempanya berpendapat demikian. Mereka, apalagi Empu Sada, telah dengan terang, minta maaf untuk bekas muridnya itu. Apakah dengan demikian ia akan berkeras pada pendiriannya. Dan terngiang ditelinganya kata-kata gurunya, “Kalau Kuda Sempana sudah kehilangan nafsunya untuk membalas dendam maka Mahisa Agni pun harus melenyapkan segala macam permusuhan yang ada diantara mereka.”
Mahisa Agni itu pun kemudian mencoba untuk dapat melakukannya. Untuk dapat memaafkan Kuda Sempana. Ia merasa bahwa seharusnya hal itu memang dilakukannya. Hanya kadang-kadang saja perasaannya masih juga melonjak. Namun dengan penuh pengertian ia berkata didalam hatinya, “Aku memang harus melupakan segala permusuhan itu. Empu Sada telah banyak berjasa kepadaku di samping guru. Orang tua itu telah dengan suka rela memberikan dasar-dasar dan kemudian dengan berbagai pancarannya Aji yang selama ini menjadi puncak kekuatannya. Ia telah bersedia pula bersama-sama gurunya mencari bentuk keserasian dari kedua Aji yang ada pada orang tua-tua itu. Dan hasilnya adalah dahsyat sekali.”
Mahisa Agni itu tersadar ketika ia mendengar gurunya berkata, “Kembalilah kepada Kebo Sindet. Mungkin ia telah selesai makan, kau harus berbuat seperti biasa. Dan kau harus menunggu saat yang sebaik-baiknya. Ingat, kau harus mempersiapkan dirimu lahir dan batin. Aku sudah tidak mencemaskan ilmumu lagi. Kau telah menjadi seorang yang akan mampu menghadapinya. Ilmumu sudah cukup.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Tanpa disengaja ia menengadahkan wajahnya menatap langit. Memang kadang-kadang mendung telah mengalir semakin sering. Bahkan gerimis-gerimis kecil kadang-kadang telah jatuh pula.
“Belum terlampau tergesa-gesa Agni” berkata gurunya, “di Padang Karautan masih ada Ki Buyut Panawijen dan masih ada pula Ken Arok dan pasukannya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Agaknya gurunya mengerti apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Dan ia mendengar gurunya itu berkata pula, “Kembalilah kepada Kebo Sindet dan Kuda Sempana.”
“Baik guru” jawab Mahisa Agni, yang kemudian minta diri kepada gurunya dan Empu Sada.
Ketika ia telah berada didekat sarang iblis itu, ia mendengar namanya dipanggil. Dangan tergesa-gesa ia berlari, masuk ke dalam, langsung mendapatkan Kebo Sindet dan Kuda Sempana yang masih duduk menghadapi sisa-sisa makanannya.
“He, kemana kau tikus malas?” bentak Kebo Sindet.
“Aku sedang mengambil kail yang tadi pagi sudah aku siapkan dipinggir rawa-rawa.”
“Setan alas, kenapa kau tinggalkan kami yang sedang makan? Apakah tidak dapat kau ambil nanti sesudah kami selesai?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkannya.
“Bawalah sisa-sisa ini pergi. Ambilkan air. Cepat.”
Segera Mahisa Agni memutar tubuhnya. Tetapi ketika ia baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendengar Kebo Sindet berteriak, “Kenapa barang-barang ini tidak kau bawa sama sekali he? Kau memang terlampau bodoh.”
Dengan ragu-ragu Mahisa Agni mendekat. Tetapi beberapa langkah dari amben tempat duduk Kebo Sindet, ia tertegun. Kemudian terasa matanya menjadi panas. Kebo Sindet telah melemparkan sisa-sisa nasinya kewajah Mahia Agni. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Segera ia berjongkok untuk memunguti gumpalan-gumpalan nasi dan mangkuk tanah yang pecah terbanting dilantai.
“Ambil. Ambil semua itu. Kau harus memakannya. Mengerti?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menenangkan gelora di dadanya. Hampir-hampir ia tidak dapat menahan diri lagi untuk bersabar. Hampir saja ia meloncat menerkam wajah Kebo Sindet yang beku seperti mayat. Tetapi ia masih selalu ingat pesan gurunya. Ia harus mencari saat yang sebaik-baiknya. Apalagi kini ia mendapat pesan baru dari Empu Sada, untuk meyakinkan, apakah Kuda Sempana benar-benar sudah tidak mendendamnya. Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan ruangan itu, membawa mangkuk-mangkuk tanah dan sisa-sisa makanan ke belakang, namun ia masih harus segera kembali membawa air untuk Kebo Sindet.
“Setan” geram Kebo Sindet, “kau memang terlampau malas. Untuk mengambil air semangkuk kecil saja, kau memerlukan waktu hampir seujung pagi” Hampir saja mangkuk itu melayang ke wajah Mahisa Agni. Tetapi Kebo Sindet mengurungkan niatnya. Ditatapnya wajah Mahisa Agni lama-lama. Kemudian pandangan matanya berkisar kepada Kuda Sempana.
Tiba-tiba saja ia berteriak, “Sekarang. Aku ingin melihat kalian berkelahi sekarang. Nah Kuda Sempana. Aku minta tolong kepadamu. Ajarilah anak ini supaya tidak terlampau malas. Cepat. Kalian harus berkelahi. Aku akan melihat. Cepat.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah Kuda Sempana. Tampaklah wajah itu pun menegang, agaknya Kuda Sempana menjadi terkejut juga mendengarnya. Justru karena itu maka untuk sejenak ia diam mematung.
“Apakah kalian tidak mendengar”, sekali lagi Kebo Sindet berteriak, “Ayo, cepat ke halaman.”
Kebo Sindet lah yang segera meloncat berdiri. Didorongnya Mahisa Agni sehingga anak muda itu hampir-hampir saja jatuh terjerembab, kemudian Kebo Sindet itu berpaling kepada Kuda Sempana, “Ayo mulailah. Memang kau dahulu dapat dikalahkan oleh Mahisa Agni. Tetapi kau sudah mendapat beberapa tambahan Ilmu dari Kemundungan. Seharusnya kau kini menjadi jauh lebih kuat dari Mahisa Agni. Tetapi justru karena itu aku harus selalu mengawasi perkelahian itu, supaya kau tidak terdorong untuk membunuhnya.”
Kuda Sempana menjadi berdebar-debar. Tetapi kemudian tumbuhlah sikap acuh tidak acuhnya itu lagi. Dengan kepala kosong ia berdiri dan melangkah mengikuti Kebo Sindet kehalaman.
“Kemari kalian berdua”, Kebo Sindet masih saja berteriak-teriak.
Keduanya segera mendekat. Tetapi ada perbedaan perasaan yang berkecamuk di dalam dada keduanya. Kuda Sempana hampir acuh tidak acuh saja atas apa yang akan terjadi. Kalau kemudian ia bersiap untuk berkelahi, bukan lagi karena didorong oleh nafsunya untuk berkelahi. Ia hanya sekedar melakukan perintah Kebo Sindet seperti ia melakukan perintah-perintahnya yang lain dengan hati yang kosong. Tanpa maksud, tanpa tujuan dan tanpa pertimbangan-pertimbangan lain. Sedang di dalam dada Mahisa Agni bergolak suatu perasaan ingin tahu, seperti juga Empu Sada ingin tahu, apakah Kuda Sempana masih memiliki nafsu-nafsu dan dendamnya terhadap Mahisa Agni. Namun bahwa sekarang juga ia harus berkelahi, itu telah mengejutkannya.
“Tidak ada bedanya”, berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “sekarang atau nanti atau besuk. Semakin cepat semakin baik. Aku segera mendapat keputusan. Dengan demikian aku akan segera dapat menyelesaikan tugas ini. Menyingkirkan Kebo Sindet, sebelum aku kembali ke Padang Karautan.”
Kini keduanya telah berdiri berhadapan. Tetapi wajah-wajah mereka yang sama sekali tidak memancarkan gairah untuk berkelahi, telah sangat mengecewakan Kebo Sindet. Sehingga tiba-tiba ia berteriak pula, “Ayo, cepat. Bersiaplah untuk berkelahi. Aku ingin melihat keseimbangan yang sebenarnya di antara kalian. Kalau kalian tidak sungguh-sungguh berkelahi, maka aku akan memaksa kalian dengan caraku.”
Tiba-tiba saja Kebo Sindet itu meloncat meraih ranting sebesar ibu jari. Katanya kemudian, “Tubuh kalian akan dibekasi oleh jalur-jalur dari cambukku ini. Aku akan dapat memperlakukau kalian seperti seekor cengkerik, tetapi juga dapat memperlakukan kalian seperti seekor lembu penarik pedati. Aku dapat sekedar menggelitik kalian, tetapi aku juga dapat memukul kalian sampai pingsan sekalipun. Nah, sekarang bersiaplah.”
Tidak ada pilihan lain bagi keduanya. Mereka melihat Kebo Sindet mengacung-acungkan ranting di tangannya. Sekali-sekali disentuhnya Mahisa Agni dan sekali-sekali Kuda Sempana. Dengan tongkat kecil itu didorongnya kedua anak-anak muda itu maju semakin dekat.
“Tetapi supaya perkelahian ini adil” berkata Kebo Sindet itu, “serahkanlah pedangmu.”
Kuda Sempana yang sudah menjadi semakin acuh tidak acuh lagi kepada dirinya sendiri, dengan tanpa menjawab sepatah kata pun menarik pedangnya dan diberikannya kepada Kebo Sindet.
“Bagus” berkata Kebo Sindet sambil menerima pedang itu, “sekarang bersiaplah untuk mulai.”
Kini kedua anak-anak muda itu telah berdiri berhadapan. Tetapi keduanya sama sekali tidak memberi kepuasan kepada Kebo Sindet. Wajah Kuda Sempana kosong dan beku, sedang wajah Mahisa Agni diwarnai oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
“Jangan membuat aku kecewa. Kalian tahu, akibat dari kekecewaanku.”
Kedua anak muda itu tidak menjawab.
“Ayo cepat, mulailah.”
Ketika keduanya masih berdiri saja mematung, maka Kebo Sindet hampir-hampir kehilangan kesabarannya. Disentuhnya sekali lagi tubuh anak-anak muda itu dengan ranting ditangannya, tetapi kali ini agak lebih keras sedikit. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia sedang berjuang untuk menahan perasaannya. Ia sedang berusaha keras untuk tidak segera meloncat menyerang Kebo Sindet sendiri. Justru karena itu maka tampaklah ia selalu dicengkam oleh kebimbangan. Namun dalam tangkapan Kebo Sindet, Mahisa Agni kini benar-benar sudah kehilangan keberarian untuk berbuat sesuatu.
“Ayo Agni. Aku menghendaki kau berkelahi, jangan takut. Kau harus benar-benar berkelahi membela dirimu. Kalau kau kalah, maka kau akan menyesal nanti, sebab tubuhmu akan menjadi merah biru. Aku akan memukuli kau dengan ranting ini. Sebaliknya demikian juga Kuda Sempana. Tegasnya, siapa yang kalah, akan mendapat hukumannya. Cepat sebelum aku kehilangan kesabaran.”
Sentuhan-sentuhan tongkat Kebo Sindet yang sebesar ibu jari itu, telah berhasil mendorong keduanya menjadi semakin dekat. Jarak mereka tinggal beberapa langkah saja. Keduanya kini benar-benar telah bersiap untuk memulai dengan sebuah permainan gila-gilaan yang sangat memuakkan. Tetapi tidak seorang pun di antara keduanya yang bernafsu untuk memulainya.
“He, apakah kalian telah bersama-sama menjadi banci he?” terdengar suara itu lagi.
Ketika keduanya masih saja berdiri di tempatnya, Kebo Sindet menjadi semakin marah. Maka kini ia tidak hanya sekedar menyentuh tubuh-tubuh yang berdiri kaku itu, tetapi kini ia mengayunkan ranting itu, mendera punggung Mahisa Agni, “Ayo, kau harus segera mulai.”
Terasa sengatan ranting kecil itu seperti menyobek kulit. Tetapi Mahisa Agni yang sekarang, bukan Mahisa Agni yang dahulu. Ketahanan tubuhnya telah berkembang melampaui kebanyakan orang. Hanya sesaat kemudian ia sudah berhasil melenyapkan perasaan pedih dan nyeri. Namun Mahisa Agni masih juga menyeringai sambil meraba-raba punggungnya. Bahkan terdengar ia berdesis dan mengeluh pendek.
“Ayo, cepat. Kalau kau tidak mau mulai, maka aku akan mengulanginya semakin lama semakin keras. Mungkin kau akan pingsan karenanya, atau bahkan kalau aku benar-benar kehilangan kesabaranku, umurmu akan berakhir hari ini” teriak Kebo Sindet.
Mahisa Agni segera memperbaiki sikapnya. Ia tidak ingin mendapat pukulan-pukulan lagi. Bukan karena ia tidak akan dapat menahan sakit, tetapi ia takut kalau ia kehilangan kesabarannya pula seperti Kebo Sindet. Karena itu maka segera ia melangkah maju semakin dekat dengan Kuda Sempana. Dengan demikian maka Kuda Sempana pun telah bersiap pula menerima serangan Mahisa Agni.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Agni pun telah meloncat menyerang Kuda Sempana. Tangannya terayun langsung mengarah dada lawannya. Tetapi Kuda Sempana telah siap menunggunya. Karena itu maka dengan gerakan yang sederhana ia berhasil menghindari serangan itu.
“Oh, kau benar-benar sudah gila Mahisa Agni” teriak Kebo Sindet. Ia menjadi marah melihat cara Mahisa Agni menyerang. Seperti anak-anak yang berkelahi berebut makanan. Tanpa perhitungan dan tanpa unsur-unsur gerak ilmunya yang terkenal.
“Ingat” berkata Kebo Sindet kemudian, “kalau kau tidak berkelahi bersungguh-sungguh, maka kau akan kecewa.”
Terdengar Mahisa Agni berdesis, ia mengalami kesulitan dalam perkelahian ini. Ia harus berusaha untuk membuat dirinya tidak lebih baik dari Kuda Sempana. Ketika ia mencoba menyederhanakan geraknya, ternyata gerak itu terlampau sederhana sehingga Kebo Sindet menjadi kecewa karenanya. Namun dalam gerak selanjutnya, Mahisa Agni lah yang menyesuaikan dirinya dengan Kuda Sempana. Meskipun Kuda Sempana juga berkelahi tanpa nafsu, namun tata geraknya dapat menuntun Mahisa Agni untuk menemukan tingkatan yang harus dilakukan.
“Oh, kalian memang sudah gila” Kebo Sindet mengumpat-umpat. Tiba-tiba ia meloncat maju. Dengan cepatnya ranting kecil ditangannya telah melecut punggung Mahisa Agni dan Kuda Sempana sehingga keduanya mengeluh bersama-sama. “Kalau kalian masih saja bermain-main, maka kalian akan menjadi korban kebodohan kalian.”
Tidak ada pilihan lain bagi Kuda Sempana dari pada berkelahi terus. Meskipun hatinya kosong, namun ia kini menjadi semakin cepat bergerak. Serangan-serangannya menjadi semakin mantap dan mapan. Perlahan-lahan dalam ketiadaan tujuan, selain sekedar meghindarkan diri dari lecutan tongkat Kebo Sindet. Kuda Sempana menjadi semakin garang.
Dengan demikian maka perkelahian itu pun menjadi semakin cepat pula. Lambat laun, setelah Kuda Sempana dibasahi oleh keringatnya, maka ia pun menjadi semakin bersungguh-sungguh. Namun dalam pada itu, terasa oleh Mahisa Agni, bahwa sebenarnya Kuda Sempana sama sekali tidak bernafsu untuk berbuat sesuatu. Terasa oleh Mahisa Agni, bahwa Kuda Sempana hanya sekedar terdorong oleh hasratnya untuk menghindari pukulan Kebo Sindet. Tersirat sepercik pertanyaan di dalam dada Mahisa Agni tentang lawannya itu. Kenapa Kuda Sempana menjadi seakan-akan telah melupakan dendamnya.
“Tentu pengaruh keadaannya sendiri yang telah mengajarnya untuk mengerti” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “tetapi seandainya ada penyesalan di dalam dadanya, namun penyesalan itu datang terlampau lambat. Meskipun demikian, meskipun terlambat, tetapi baik juga penyesalan itu mengekang segala kegilaannya. Gurunya yang telah menyadari kesalahannya pula, mudah-mudahan akan dapat menuntunnya ke jalan yang lebih baik.”
Mahisa Agni terkejut ketika sekali lagi tongkat kecil Kebo Sindet hinggap di punggungnya. Sekali lagi ia menyeringai dan berdesis. Ternyata angan-angannya telah mengekang geraknya sehingga tampaklah bahwa ia tidak berkelahi bersungguh-sungguh.
“Aku memperingatkan kau sekali lagi, Agni.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi wajahnya kini tampak bersungguh-sungguh. Sekali-sekali ia menggeram, kemudian melontar dengan cepatnya menyerang lawannya. Kuda Sempana terkejut mendapat serangan yang tidak terduga-duga itu. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia meloncat menjauh, namun kemudian dengan cepatnya pula, ia membalas serangan itu dengan serangan kaki yang mengarah ke lambung Mahisa Agni. Mahisa Agni sengaja tidak menghindarkan dirinya. Ia ingin tahu, sampai dimana kekuatan serangan Kuda Sempana kini setelah ia mendapat tuntunan ilmu Kemundungan yang kasar itu.
Ketika kaki Kuda Sempana mengenai lambung Mahisa Agni yang seakan-akan tidak sempat menghindarkan dirinya, maka terasa kaki itu bergetar. Kuda Sempana merasakan kakinya membentur suatu kekuatan yang tidak terduga sebelumnya. Karena itu, maka ia terdorong oleh kekuatan serangannya sendiri beberapa langkah surut. Sedang Mahisa Agni terlempar beberapa langkah. Kemudian terbanting jatuh di tanah. Beberapa kali ia berguling-guling, Ketika ia berusaha untuk meloncat bangun maka kakinya pun terperosok ke dalam sebuah lubang kecil, sehingga sekali lagi ia terjatuh di tanah. Dan sekali lagi ia tertatih-tatih untuk mencoba bangkit dan berdiri di atas kedua kakinya.
Namun waktu yang sesaat itu telah dapat dipergunakannya untuk mengetahui kekuatan Kuda Sempana. Meskipun ia tahu bahwa Kuda Sempana pun tidak mempergunakan seluruh kekuatannya. Tetapi ia menjadi heran sendiri. Sebagian kecil dari daya tahannya ternyata telah berhasil melemparkan Kuda Sempana beberapa langkah surut. Untunglah bahwa ia tidak mempergunakan kekuatan yang lebih besar, sehingga Kuda Sempana tidak mendapat cidera karenanya. Tetapi dengan demikian ia harus memainkan peranannya sebaik-baiknya. Kebo Sindet harus menyangka bahwa ia pun mengalami kejutan yang telah membantingnya.
Kini keduanya berdiri dalam jarak yang agak jauh. Tetapi menurut pengamatan Kebo Sindet. keduanya telah terpengaruh oleh benturan itu. Apalagi Mahisa Agni. Menurut penglihatan Kebo Sindet Mahisa Agni masih belum dapat mengimbangi kekuatan Kuda Sempana meskipun selisih kekuatan itu tidak seberapa. Namun dengan demikian justru menyenangkannya. Ia akan dapat membuat keduanya menjadi seimbang dan untuk kali lain memaksa mereka berkelahi lebih baik.
Perkelahian yang disaksikannya kali ini sama sekali tidak memuaskannya. Tetapi ia dapat mengerti. Mahisa Agni yang selama ini jiwanya selalu diguncang oleh ketakutan dan kecemasan pasti tidak segera dapat menemukan kekuatannya kembali. Terutama kekuatan hati untuk melawan Kuda Sempana dengan sempurna. Karena itu, maka ia mempunyai harapan yang baik dimasa yang akan datang. Ketika Kebo Sindet masih melihat kedua anak-anak muda itu berdiri dengan tegangnya, maka dengan serta-merta ia melangkah maju dan memukul keduanya berganti-ganti dengan tongkatnya sambil berteriak,
“Nah, kali ini kalian sama sekali mengecewakan aku. Kalian berkelahi seperti ayam-ayam cengeng. Tetapi biarlah. Lain kali kalian harus berkelahi lebih baik. Kalian harus bersungguh-sungguh supaya yang menyaksikan perkelahian kalian menjadi puas.”
Kebo Sindet berhenti sejenak, dipandanginya wajah Mahisa Agni dan Kuda Sempana yang sedang menyeringai kesakitan itu berganti-ganti. Tetapi sejenak kemudian, ketika rasa sakit dipunggung mereka telah berkurang, wajah Kuda Sempana menjadi acuh tidak acuh lagi, dan wajah Mahisa Agni diselimuti oleh ketegangan dan ketakutan.
“Setan” desis Kebo Sindet, “kalian harus bersungguh-sungguh.” Dan di dalam hatinya ia berkata, “Pada saatnya mereka akan menjadi ayam aduan yang baik. Aku dapat membuat mereka seimbang. Pertunjukan ini akan menjadi pertunjukan baru dilingkungan orang-orang gila.” Dan Kebo Sindet yang berwajah mayat itu tertawa di dalam hati.
“Sekarang kalian boleh pergi” berkata Kebo Sindet itu bemudian., “Kalian harus tetap berada dalam kehidupan kalian sehari-hari. Apakah kalian mengerti?”
Keduanya sama sekali tidak menjawab. Mahisa Agni memandangi wajah Kebo Sindet sorot mata penuh kebimbangan. Sedang Kuda Sempana masih saja bersikap acuh tidak acuh.
“Apa lagi yang kalian tunggu” teriak Kebo Sindet, “ayo pergi sebelum aku berubah pendirian. Sebelum aku menyuruhmu berkelahi untuk kedua kalinya hari ini.”
Kedua anak-anak muda itu masih tetap membisu. Tetapi Mahisa Agni dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu dan pergi ke belakang sarang iblis itu, sedang Kuda Sempana berjalan perlahan-lahan masuk ke dalamnya. Di belakangnya Kebo Sindet berjalan sambil mengawasi punggung anak muda itu yang berjalur-jalur merah biru bekas pukulanya.
“Hem” Kebo Sindet bergumam, “aku terpaksa memukulmu. Kau tidak memuaskan hatiku karena kau tidak mau bersungguh-sungguh melawan Mahisa Agni. Aneh, kau yang selama ini mendendamnya, ketika aku memberi kesempatan, kau sama sekali tidak mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Berpaling pun tidak. Ia berjalan saja dengan wajah tunduk, seolah-olah ingin melihat setiap butir batu yang akan dilangkahinya.
“Lain kali kau harus berkelahi lebih baik” Kebo Sindet menyambung., “Kau berada di atas Mahisa Agni di dalam segala hal, kecekatan, kekuatan dan kemantapan. Hatimu harus lebih besar dan lebih gairah daripada Mahisa Agni, lain kali ia harus kau lumpuhkan sehingga kau menjadi puas. Tetapi jangan kau bunuh, supaya kau mendapat kepuasan lagi di lain kali.”
Kuda Sempana tidak menjawab, ia duduk saja di atas amben kayu tua yang kotor. Pandangan matanya yang kosong menembus mulut sarang iblis itu, hinggap di daunan yang hijau di luar.
“Ini pedangmu” berkata Kebo Sindet sambil memberikan pedang Kuda Sempana.
Kuda Sempana menerima pedangnya dengan sikap yang acuh tak acuh saja. Kini ia benar-benar telah terbenam dalam keputus-asaan yang dalam. Hampir-hampir tidak mungkin lagi baginya untuk bangkit dan melihat dirinya sendiri dan kediriannya. Ia merasa bahwa kini adanya sama sekali sudah tidak dapat dihayati. Ia merasa ada dalam ketiadaan.
“Nah, sekarang beristirahatlah. Besok kau harus mencoba sekali lagi. Tetapi kau jangan mengecewakan aku”, Kebo Sindet berhenti sejenak, lalu, “Untuk seterusnya kau akan berlatih dan berkelahi setiap waktu aku kehendaki. Kalian harus bersama-sama meningkat, supaya setiap perkelahian yang terjadi akan menjadi lebih sengit, lebih seru dan menarik.”
Kuda Sempana masih tetap berdiam. Sorot matanya yang kosong masih saja hinggap di dedaunan di luar. Sinar matahari yang putih satu-satu jatuh di atas tanah yang lembab.
Di belakang sarang itu Mahisa Agni duduk terpekur. Sekali-sekali dirabanya punggung yang dijaluri oleh warna hitam kemerah-merahan. Tetapi ia sudah tidak merasakan lagi, kadang-kadang masih juga terasa tusukan pedih yang ringan.
“Bukan main” geramnya. "Tetapi aku sudah tahu, bahwa sebenarnya Kuda Sempana telah kehilangan dirinya sendiri. Ia kini seolah-olah telah menjadi orang baru. Orang, yang kosong tanpa kehendak, tujuan dan cita-cita. Seperti anak-anak yang baru mengenal dunia di sekitarnya sebagai benda-benda asing yang tidak dimengertinya. Tetapi dengan demikian, maka Empu Sada akan dapat mengisinya dengan kehidupan baru di dalam dirinya. Sebagai kelenting yang dipenuhi oleh cairan yang kotor, kini agaknya telah tertumpah sama sekali. Keadaan telah membuatnya demikian. Mudah-mudahan Empu Sada mampu mengisinya dengan cairan yang baru, bening."
Mahisa Agni mengangguk-angguk seorang diri. Namun tiba-tiba ia bangkit dan berguman ”Aku harus segera mendapat kesempatan itu, menyingkirkan Kebo Sindet.”
Mahisa Agni kini berdiri tegak dengan dada tengadah. Lenyaplah segala macam keragu-raguan dan kebimbangan yang selama ini membayangi wajahnya dalam peranannya. Mahisa Agni sama sekali sudah tidak mengesankan ketakutannya lagi. Tiba-tiba ia menjadi garang. Tangannya yang selama ini terkulai dengan lemahnya, tiba-tiba menjadi tegang. Jari-jarinya mengepal dan giginya gemeretak. Terdengar ia berdesis,
“Aku kira sudah tiba waktunya. Aku sudah memenuhi pesan Empu Sada. Aku kini sudah yakin, bahwa Kuda Sempana sudah kehilangan nafsunya untuk membalas dendam, bahkan seluruh gairah kehidupan telah menjauh dari padanya." Mahisa Agni terdiam sejenak. Ditebarkannya pandangan matanya disekitarnya. Tetapi ia tidak melihat seorang pun, Kuda Sempana atau Kebo Sindet. Yang ada disampingnya adalah perapian, periuk tanah dan beberapa macam alat-alat yang selama ini dipergunakannya untuk memasak.
“Hem” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam., “Aku sudah cukup lama berada di tempat ini. Aku kira sudah cukup bersabar. Bukan sekedar ingin segera membinasakan Kebo Sindet. Tetapi yang lebih penting bagiku adalah keluar dari tempat ini dan pergi ke Padang Karautan.”
Gelora di dada Mahisa Agni menjadi semakin dahsyat. Darahnya serasa semakin cepat mengalir, tetapi ia tidak dapat berbuat begitn saja tanpa setahu gurunya dan Empu Sada yang selama ini ikut serta mengasuhnya. Karena itu, maka timbullah niatnya untuk segera pergi menemui mereka.
“Mereka pasti masih berada di tempat itu” katanya didalam hati, “kalau mereka sudah pergi ke luar daerah ini, maka aku harus menunggu sampai besok. Pada saat menunggu itu perasaanku akan tersiksa jauh lebih sakit dari pada tubuhku.”
Kini Mahisa Agni tidak perlu ragu-ragu lagi. Biarlah Kebo Sindet dan Kuda Sempana mencarinya apabila mereka memerlukan. Ia tidak perlu lagi bermain-main dan mengorbankan tubuh dan perasaannya. Maka dengan langkah yang tetap Mahisa Agni pergi meninggalkan perapian itu untuk menemui gurunya dan Empu Sada. Ia berhadap bahwa mereka masih belum meninggalkan tempat itu. Mahisa Agni menarik nafas lega ketika ia melihat kedua orang itu masih saja duduk di tempatnya, Mereka masih belum berkisar sejengkal pun. Agaknya mereka sedang asyik bercakap-cakap sehingga mereka menjadi betah duduk di tempat itu.
“He” sapa Empu Purwa, “begitu cepat kau kembali kemari Agni.”
“Punggungku sudah cukup dijalari oleh jalur-jalur merah biru ini guru” sahut mahisa Agni sambil menunjukkan punggungnya.
“Kenapa?”
“Aku harus berkelahi melawan Kuda Sempana. Agaknya Kebo Sindet kurang puas melihat perkelahian kami sehingga ia merasa perlu untuk memukuli kami berdua.”
Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Sejenak kemudian Empu Purwa berkata, “Kalian berdua dipukulnya?”
“Ya guru. Meskipun hanya dengan ranting basah sebesar ibu jari, tetapi yang mengayunkannya adalah Kebo Sindet.”
Empu Purwa mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya pula, “Apakah daya tahanmu tidak cukup mampu untuk melawan rasa sakit itu?”
“Ya guru. Agaknya aku berhasil menguasai rasa sakitku.”
“Bagus. Tetapi ingat, bahwa pukulan itu hanya dilepaskan dengan sebagian kecil saja dari kekuatannya. Meskipun hanya dengan ranting kecil tetapi apabila dilepaskan dengan seluruh kekuatannya, maka dalam keadaan yang wajar, seseorang akan rontok iganya. Kau harus menyadari, bahwa kekuatan tenaga iblis itu memang luar biasa.”
Mahisa Agni menganggukan kepalanya. Jawabnya “Ya guru. Aku akan mengingat-ingat.”
“Lalu bagaimana dengan Kuda Sempana?” bertanya Empu Sada kemudian.
“Aku melihat perubahan padanya” jawab Mahisa Agni, yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya pada Kuda Sempana.
“Ia telah menjadi bayi kembali” guman Empu Sada, “bayi dalam takaran nalar dan perasaan. Perhitungan dan angan-angan. Tetapi apabila demikian, ia mempunyai harapan untuk menjadi baik kembali, meskipun masih harus dilakukan pengawasan yang cukup.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Mungkin sekali Empu.”
“Apakah Kebo Sindet juga memukul Kuda Sempana seperti ia memukulmu?”
“Ya Empu.”
“Kalau begitu aku dapat meyakini pula seperti kau, bahwa sebenarnya Kuda Sempana telah kehilangan dirinya. Jantung dan hatinya seakan-akan telah tercuci bersih, sehingga mudah-mudahan aku dapat mengisinya sebaik-baiknya.”
“Mudah-mudahan Empu” sahut Mahisa Agni. Namun kemudian ia terdiam. Kepalanya ditundukkannya dalam-dalam. Ia ingin segera mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Tetapi ia segan untuk mengatakannya.
Agaknya Empu Purwa dan Empu Sada melihat keinginan yang tersirat dari dalam dada anak muda itu. Keinginan untuk melepaskan diri, keinginan untuk segera menyingkirkan orang yang bernama Kebo Sindet itu supaya untuk seterusnya ia tidak akan dapat mengganggu lagi.
“Mahisa Agni” berkata Empu Purwa, “agaknya kau sudah tidak sabar lagi. Baiklah. Aku memperhitungkan, bahwa kekuatanmu sudah cukup untuk menandingi Kebo Sindet. Bahkan kau mempunyai beberapa kelebihan dengan kekuasan Aji Pamungkasmu. Tetapi kau masih harus tetap berhati-hati. Kebo Sindet mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dari pada pengalamamnu sendiri.”
Tiba-tiba wajah Mahisa Agni menjadi cerah, secerah matahari di langit. Ia akan segera dapat mengobati kejemuannya. Namun ia masih bertanya, “Kapan aku boleh melakukan?”
“Terserah kepadamu Agni.”
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Kalau saja ia mendapat kesempatan, maka ia sudah tidak ingin menundanya lagi. Sekarang. Hari ini. Terasa darah Mahisa Agni menjadi semakin hangat. Waktu yang dipergunakan untuk menunggu kesempatan seperti ini terasa sudah terlampau panjang baginya. Waktunya sudah banyak terbuang di neraka yang menjemukan ini.
“Tidak” tiba-tiba Mahisa Agni itu berdesis di dalam hatinya sendiri, “waktuku tidak terbuang. Aku di sini mendapat ilmu yang tidak aku sangka-sangka sebelumnya. Aku sama sekali tidak bermimpi bahwa guru bersama-sama dengan Empu Sada akan memberikan ilmu mereka seluruhnya. Dan aku sekarang sudah mereka lepaskan untuk berhadapan dengan Kebo Sindet itu sendiri.”
Ketika Mahisa Agni itu sedang berangan-angan, terdengarlah gurunya berkata, “Bagaimana menurut pertimbanganmu? Apakah kau akan segera melakukannya?”
“Ya guru, Segera. Sekarang juga.”
Empu Purwa dan Empu Sada tersenyum. Terdengar gurunya berkata, “Kau terlampau tergesa-gesa. Justru karena itu Agni, aku nasehatkan padamu, jangan kau lakukan hari ini.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu maksud gurunya. Semula gurunya menyerahkan semuanya kepadanya, kapan saja ia kehendaki. Tetapi tiba-tiba gurunya mencegahnya untuk melakukannya sekarang. “Kenapa tidak sekarang guru?” bertanya Mahisa Agni.
“Nafsunya untuk berkelahi terlampau besar Agni. Dengan demikian maka nalarmu sudah tidak bening lagi. Yang ada di dalam angan-anganmu sekarang adalah barkelahi untuk segera memenangkannya dan membinasakan lawan. Nah, kalau demikian, maka apakah bedanya kau dengan Kebo Sindet?”
Kening Mahisa Agni menjadi semakin berkerut-merut.
“Tundalah sampai hatimu bening. Tunggulah sampai kau tidak lagi dibakar oleh nafsu. Mungkin nanti malam, mungkin besok pagi setelah kau sempat menenangkan dan mengendapkan hatimu. Kalau kau masih dikuasai oleh nafsumu yang melonjak-lonjak, maka kau akan mudah tergelincir ke dalam arus kebencian, dedam dan kehilangan kewaspadaan. Ingat, jangan dibakar oleh nafsu tanpa kendali dalam segala persoalan.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kini kepalanya tertunduk rendah. Terasa sepercik penyesalan di dalam dadanya. Ia menjadi malu sendiri, seolah-olah ia telah kehilangan pertimbangan yang bening. Seperti anak-anak nakal ia menjadi gembira ketika ia mendapat kesempatan untuk berkelahi.
“Apakah kau dapat mengerti?”
Mahisa Agni mengangguk lemah, “Ya guru. Aku dapat mengerti.”
“Dengan beberapa kelebihan, kau jangan mudah dihanyutkan oleh arus darah mudamu. Kau sudah harus menjadi cukup dewasa, Jadikanlah hal ini peringatan untuk saat-saat mendatang.”
“Ya guru.”
“Bagus” berkata gurunya, “sekarang pergilah kepada Kebo Sindet. Persiapkan dirimu. Kau akan mendapat kesempatan itu. Tidak usah hari ini. Pada saatnya aku akan berada di dekatmu untuk melihat apa yang dapat kau lakukan menghadapi iblis dari Kemundungan itu. Kau sudah tidak perlu minta ijin lagi kepadaku, lakukanlah apabila kau merasa bahwa kau telah siap. Tanpa perasaan dendam dan kebencian yang meluap-luap. Lakukanlah seperti kau sedang melakukan kuwajiban yang tidak dapat kau hindarkan. Dengan perasaan wajib, bukan dengan perasaan dendam.”
“Ya guru” berkata Mahisa Agni dengan nada yang dalam, “aku minta ijin kepada guru dan kepada Empu Sada. Mudah-mudahan aku berhasil.”
“Berhasil menunaikan kuwajibanmu” sambung gurunya.
“Ya guru.”
“Nah, pergilah” berkata Empu Purwa, “aku akan keluar dahulu dari sarang iblis ini. Aku memerlukan beberapa ekor ikan basah. Aku belum makan.”
Empu Sada tersenyum. Tetapi ia berkata kepada Mahisa Agni, “Jangan kau ikut sertakan Kuda Sempana. Kalau kau mau memaafkannya, biarkanlah aku kelak yang mengurusnya.”
“Ya Empu.”
“Bukankah kau bersedia?”
“Ya, ya Empu. Aku sama sekali tidak berkeberatan, seperti Empu tidak berkeberatan memberikan ilmu yang dahsyat itu kepadaku.”
“Terima kasih Mahisa Agni. Nah, mudah-mudahan kau berhasil. Aku berdoa seperti gurumu berdoa.”
“Ya Empu.”
Dan gurunya pun kemudian berkata, “Tetapi kau harus selalu ingat, bahwa akhir dari semua persoalan terletak ditangan Nya. Ditangan Yang Maha Agung.”
“Ya guru.”
Ketika sepercik awan terbang di langit, maka Mahisa Agni menengadahkan wajahnya Hatinya berdesir ketika dikejauhan ia melihat segumpal awan yang kelabu berkisar perlahan-lahan ke utara. Mendung di kejauhan itu berjalan lambat sekali. Sejenak kemudian maka Mahisa Agni itu pun segera minta diri kepada gurunya dan kepada Empu Sada. Ia kini menjadi lebih tenang. Tidak lagi gelisah dan tergesa-gesa. Meskipun mendung di langit selalu mengingatkannya kepada Padang Karautan, namun Mahisa Agni berusaha untuk tidak hangus di bakar oleh nafsunya sendiri yang membara di dalam dada,
“Aku tidak boleh kehilangan akal. Meskipun ilmuku lebih baik dari Kebo Sindet, tetapi kalau aku kehilangan akal, maka aku akan diterkamnya dan diseretnya ke dalam rawa-rawa itu.”
Ketika Mahisa Agni sampai di sarang iblis itu, ia masih belum melihat seorang pun. Agaknya Kebo Sindet dan Kuda Sempana sedang beristirahat di dalamnya.
“Mungkin mereka sedang tidur” gumam Mahisa Agni. Tetapi ia tidak mempedulikannya lagi. Ia langsung pergi ke tempatnya, di samping perapian. Tiba-tiba saja timbullah laparnya. Karena itu maka kemudian dibuatnya api. Ia kini menanak nasi untuk dirinya sendiri karena sisa nasi Kebo Sindet telah dilemparkannya dan ditumpahkannya.
“Nasi hangat dengan ikan kering” desisnya. Namun tiba-tiba ia bergumam, “Hari ini mungkin adalah hari terakhirku di sini.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
Terasa hari itu panjang sekali bagi Mahisa Agni. Namun dalam kesempatan itu dipenuhilah pesan gurunya. Mempersiapkan dirinya baik-baik. Lahir dan batin. Karena itulah maka ia tidak lagi menjadi gelisah, cemas dan berdebar-debar. Meskipun kadang-kadang juga dadanya berdesir, tetapi bukan karena nafsunya untuk segera membalas dendam. Pada sisa-sisa hari yang terakhir itu, Mahisa Agni masih juga melayani Kebo Sindet seperti biasa. Ia masih juga menyediakan makan dan minum. Masih juga didorong dan dibanting. Dimaki-maki dan bahkan disiram dengan air.
“Ternyata aku memang memerlukan persiapan ini” desis Mahisa Agni di dalam hatinya yang sudah mengendap. Hari ini dipergunakannya baik-baik untuk mengenal tabiat Kebo Sindet. Kebiasaan serta sikapnya.
“Memang menarik sekali” katanya di dalam hati, “meskipun sukar dimengerti, bahwa ada seseorang yang memiliki sifat dan tabiat seperti itu. Aku hampir tidak dapat membayangkan, dorongan apakah yang telah membuatnya lain dari watak dan tabiat orang-orang biasa yang lain.”
Ketika malam datang, maka Mahisa Agni pun menjadi semakin dalam mempersiapkan dirinya. Diheningkannya hatinya, supaya ia tidak terdorong ke dalam suatu keadaan yang tidak dikehendakinya dan apalagi tidak dikehendaki oleh gurunya. Namun dengan demikian malam itu Mahisa Agni hampir tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Dan malam itu pun terasa betapa panjangnya. Dadanya berdesir apabila dilihatnya kilat memancar dilangit. Apalagi ketika ia menengadahkan wajahnya ke langit. Dilihatnya langit yang gelap. Mendung. Namun ketika fajar di timur memerahi langit, terasa hatinya menjadi berdebar-debar kembali. Kadang-kadang timbul juga keragu-raguan di dalam hatinya, apakah kuwajibannya itu akan dapat diselesaikannya dengan baik.
“Aku mohon kepada Yang Maha Agung, semoga aku dituntun Nya. Semoga dibenarkan Nya, bahwa manusia semacam Kebo Sindet memang harus disingkirkan.”
Ketika sinar matahari jatuh di atas wajah rawa-rawa yang buram, Mahisa Agni sudah sampai pada kesiagaan tertinggi. Ia tinggal menunggu kesempatan yang terbuka baginya untuk berbuat sesuatu. Namun meskipun demikian, ia masih juga menyiapkan makanan dan minuman bagi Kebo Sindet dan Kuda Sempana untuk pagi itu.
Tetapi benar-benar di luar dugaannya ketika pagi itu ia mendengar Kebo Sindet berkata kepadanya, “Kemarilah Agni. Marilah kita makan bersama-sama.”
Mahisa Agni justru terdiam beku di tempatnya. Ia tidak segera dapat menangkap maksud hantu dari Kemundungan itu, apalagi ketika ia melihat apa yang selama ini belum pernah dilihatnya, wajah yang beku itu tiba-tiba tersenyum. “Oh,” Mahisa Agni berdesah di dalam hatinya, “mengerikan sekali. Seolah-olah aku melihat mayat yang sudah membeku itu tersenyum kepadaku." Tanpa disadarinya, Mahisa Agni mengusap matanya seakan-akan ia tidak yakin pada penglihatannya.
Karena Mahisa Agni tidak menjawab, maka Kebo Sindet itu mengulanginya, “Kemarilah Mahisa Agni. Kau makan pula bersama dengan kami. Jangan takut.”
Seperti kena pesona yang tidak dapat dihindarinya Mahisa Agni melangkah maju. Sekilas dilihat wajah Kuda Sempana yang acuh tidak acuh, bahkan seolah-olah tidak melihatnya berdiri di situ.
“Duduklah” terdengar suara Kebo Sindet.
Mahisa Agni kemudian duduk bersama mereka di atas sebuah amben kayu tua.
“Marilah kita makan bersama-sama” ajak Kebo Sindet.
Mahisa Agni masih dicengkam oleh kebimbangannya. Tetapi segera ia dapat meraba, apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh Kebo Sindet ketika kemudian Kebo Sindet berkata, “Makanlah. Kalian harus berada dalam keadaan yang baik dan seimbang. Kuda Sempana dan Mahisa Agni akan merupakan dua kekuatan yang dahsyat. Kalau kalian berhasil memberi aku kepuasan, maka aku tidak akan berkeberatan apabila memberikan kesempatan kepada kalian untuk menjadi kawan yang sebenarnya di dalam perjuanganku. Seperti adikku Wong Sarimpat.”
Kuda Sempana masih bersikap acuh tidak acuh saja. Kata-kata itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa atasnya. Namun bagi Mahisa Agni kata-kata itu menimbulkan pertanyaan di dalam hati. “Apakah sebenarnya yang sedang diperjuangkan oleh Kebo Sindet?”
Tetapi, akhirnya Mahisa Agni pun mengerti pula arah pembicarakan itu, berkata Kebo Sindet itu, “Hidup adalah perjuangan. Perjuangan yang tidak akan mengenal selesai selama kita masih tetap menyadari hidup kita masing-masing. Itulah sebabnya aku bekerja dan berjuang terus.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Kebo Sindet telah terjerumus ke dalam suatu sikap hidup yang keliru. Perjuangan selamanya harus mengenal landasan dan arah, mengenal titik tujuan. Kalau kita berjuang dengan sekuat tenaga, bekerja tidak mengenal jemu dan lelah, tetapi tanpa tujuan dan arah, maka kita akan tersesat ke dalam suatu lingkaran tanpa ujung dan pangkal. Bahkan mungkin kita akan sampai pada suatu jalan hidup yang paling gelap. Perjuangan yang tanpa dasar, arah dan tujuan ternyata telah menjeret Kebo Sindet ke dalam tindakan-tindakan yang kasar, ganas dan kejam. Sebab Kebo Sindet sendiri tidak tahu, apakah yang diperjuangkan dan apakah dasar perjuangannya.
Tetapi Mahisa Agni tidak mendapat kesempatan untuk memikirkannya. Begitu mereka mulai makan, maka terdengar Kebo Sindet itu berkata, “Makanlah sebanyak-banyaknya. Kalian berdua harus segera berlatih. Aku ingin melihat, apakah ada kemajuan pada diri kalian musing-masing. Apalagi Mahisa Agni yang barangkali sudah sempat membentuk dirinya lagi.”
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Namun kemudian timbul ingatan didalam hatinya, “Ini adalah kesempatan yang baik. Aku harus dapat mempergunakan kesempatan ini. Jangan tertunda lagi. Kalau aku berhasil membuatnya marah maka akan sampailah saatnya aku berhadapan dengan Kebo Sindet sendiri.”
Dan tiba-tiba saja tumbuhlah seleranya untuk makan sebanyak-banyaknya. Mungkin ia harus bertempur melawan Kebo Sindet untuk waktu yang lama. Bahkan mungkin ia masih harus berkelahi sampai malam hari. Kalau kekuatannya berimbang, maka pasti diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Mahisa Agni tahu benar, bahwa Kebo Sindet adalah seorang yang memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa. Ketahanan tubuh itulah yang harus diperhitungkannya pula. Kebo Sindet dapat menahan sakit, menahan lapar dan lelah. Kalau ia tidak mau mati dalam perkelahian itu, maka ia pun harus dapat mengimbanginya. Harus dapat menahan sakit, lapar dan lelah, meskipun seandainya ia harus bertempur sehari semalam, bahkan sepekan sekalipun.
Ternyata cara Mahisa Agni menyuap dirinya sangat menarik perhatian Kebo Sindet. Sama sekali tidak berkesan di dalam sikap itu, bahwa Mahisa Agni menjadi cemas dan gelisah. Sikap itu adalah sikap yang selama ini tidak pernah dilihatnya pada anak muda itu. Yang biasa dilihatnya adalah kegelisahan, kecemasan dan ketakutan membayang di wajahnya. Tetapi kini anak itu makan dengan lahapnya tanpa menghiraukan apa pun juga. Dan ini adalah kelalaian Mahisa Agni. Ia lupa pada peranan yang masih dilakukannya.
Tetapi untunglah, bahwa kelalaian itu terjadi disaat-saat terakhir dari permainannya, sehingga karena itu, maka kelalaian ini tidak akan terlampau banyak mempengaruhinya, justru ia sudah memutuskan untuk membuat perhitungan hari ini. Ketika mereka sudah selesai makan, maka Kebo Sindet itu berkata,
“Nah, kalian harus beristirahat sebentar supaya lambung kalian tidak sakit. Sebentar kemudian aku ingin melihat, apa yang dapat kalian lakukan.”
Acuh tidak acuh Kuda Sempana berdiri dan melangkah keluar. Di belakangnya berjalan Mahisa Agni dengan kepala tunduk. Berbagai macam masalah bergolak di kepalanya. Kadang-kadang terasa jantungnya berdebar-debar, tetapi kadang-kadang hatinya menjadi tentram. Meskipun ilmunya sudah tidak kalah menurut penilaian gurunya dari ilmu Kebo Sindet, masih cukup mempunyai perbawa. Umur dan pengalamannya, serta hubungan mereka selama ini, ternyata berpengaruh juga atas Mahisa Agni.
Kali ini Mahisa Agni sudah tidak ingat lagi untuk membersihkan sisa-sisa makan mereka. Membawa mangkuk-mangkuk kebelakang dan menyisihkan alat-alat makan mereka yang lain. Pikirannya sama sekali sudah tidak pada permainan yang harus diperankan tetapi ia sedang mereka-reka kemungkinan yang akan terjadi. Sikap Mahisa Agni itu memang menumbuhkan kecurigaan pada Kebo Sindet. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Ia ingin melihat sikap-sikap Mahisa Agni selanjutnya.
Mahisa Agni kemudian melihat Kuda Sempana berdiri saja memandang ke arah wajah rawa-rawa di kejauhan. Kadang-kadang pandangan matanya dilontarkannya ke sudut yang lain dari pulau iblis ini. Rerungkutan, pepohonan yang liar, gerumbul-gerumbul dan rumput-rumput ilalang setinggi tubuhnya. Seakan-akan anak muda itu ingin melihat, apakah yang tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan itu.
Ketika Mahisa Agni berpaling, dilihatnya Kebo Sindet berdiri beberapa langkah di belakangnya. Matanya yang seolah-olah mati di wajahnya yang beku, memandanginya dan Kuda Sempana berganti-ganti. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Bahkan ia berkata,
“Beristirahatlah sejenak. Kali ini kalian tidak boleh mengecewakan. Meskipun ilmu kalian sama sekali tidak sepadan dari yang aku kehendaki, tetapi apabila kalian berkelahi dengan sungguh-sungguh, aku sudah menjadi puas. Aku tidak akan menyakiti kalian, dan bahkan aku berjanji untuk meningkatkan ilmu kalian bersama-sama, supaya setiap perkelahian di antara kalian menjadi semakin seru. Kalian tidak perlu takut menyakiti lawan. Aku sudah menyediakan berbagai macam obat untuk menyembuhkannya, meskipun salah seorang dari kalian terpaksa muntah darah. Apakah kalian mengerti?”
Mahisa Agni mengangguk kosong. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak mengacuhkannya. Bahkan berpaling pun tidak. Namun demikian Kebo Sindet pun membiarkannya saja. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Kebo Sindet berjalan hilir mudik di halaman sarang hantu itu. Kuda Sempana masih berdiri diam sambil memandangi hijaunya dedaunan. Tetapi pandangan matanya sama sekali tidak memancarkan perasaan apapun. Kosong seperti hatinya yang kosong.
Kediaman itu ternyata membuat Mahisa Agni menjadi tegang. Seakan-akan ia telah dicengkam oleh waktu yang tidak terbatas. Hampir-hampir ia tidak sabar lagi, dan langsung membuat persoalan untuk memulai perlawanannya atas Kebo Sindet. Tetapi sejenak kemudian ia mendengar Kebo Sindet berkata,
“Nah, aku kira kalian telah cukup lama beristirahat setelah makan. Sekarang kalian harus mulai. Ingat, jangan mengecewakan aku.” Lalu kepada Kuda Sempana ia berkata, “Berikan pedangmu.”
Sikap Kuda Sempana benar-benar membayangkan kekosongan perasaannya. Dan ini agaknya telah menjemukan Kebo Sindet, sehingga ketika ia menerima pedang dari anak muda itu, ia membentak, “Jangan seperti orang pikun. Bangunlah dan berkelahilah.”
Kuda Sempana tidak menyahut. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat Kebo Sindet melepas ikat pinggangnya yang dibuat dari sehelai kulit yang tebal, “Aku tidak memerlukan ranting atau tongkat lagi” desisnya, lalu, “Ayo, segeralah bersiap.”
Sekali lagi Kebo Sindet menjadi heran melihat Mahisa Agni yang segera meloncat maju. Wajahnya sudah tidak sesuram kemarin. Kini ia melihat kesegaran yang walaupun hanya tipis menyaput wajah anak muda itu.
“Ternyata dendam yang tersimpan di dalam dada Mahisa Agni masih jauh lebih panas dari dendam yang mengeram di hati Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet di dalam hatinya. Tetapi itu justru menggembirakannya, selama dendam masih ada di dalam diri kedua anak-anak muda itu, maka mereka akan menjadi ayam aduan yang menyenangkan.
“Cepat, bersiaplah” teriak Kebo Sindet., “Aku sudah tidak sabar lagi. Aku ingin melihat kesungguhan kalian. Kalian tidak usah berpikir siapakah yang menang dan kalah. Kalian berkelahi saja bersungguh-sungguh.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Tetapi ia tahu benar bahwa ikat pinggang yang dibuat dari kulit itu setiap saat dapat menyentuh tubuhnya. Sentuhan ikat pinggang itu pasti akan terasa lebih sakit dari sepotong ranting kecil. Karena itu, maka ia tidak akan dapat menghindar lagi, bahwa ia harus berkelahi melawan Mahisa Agni bersungguh-sungguh. Kuda Sempana menganggap bahwa lecutan ikat pinggang Kebo Sindet itu akan terasa jauh lebih sakit dari pukulan Mahisa Agni. Sakit pada tubuhnya dan sakit di hatinya.
Karena itu maka Kuda Sempana pun segera bersiap, wajahnya yang kosong masih saja tidak memancarkan perasaan apapun. Meskipun demikian tampak dalam sikapnya, bahwa ia pun telah bersiap untuk berkelahi bersungguh-sungguh, sekedar untuk menghindarkan diri dari ikat pinggang Kebo Sindet. Agaknya Mahisa Agni dapat mengerti perasaan itu. Setelah ia melihat dan merasakan beberapa keanehan sikapnya. Juga pada perkelahian yang kemarin mereka lakukan.
“Kasihan” desis Mahisa Agni di dalam hatinya. Kini ia sama sekali sudah mencoba untuk melenyapkan segala macam kebencian dan dendam yang masih tersisa dihatinya. Meskipun yang mendorongnya terperosok masuk ke dalam sarang iblis ini adalah Kuda Sempana, namun ternyata Kuda Sempana sendiri telah terseret pula ke dalam keadaan yang menyiksanya. Keadaan yang seakan-akan telah menutup hari-hari depannya yang sebenarnya masih panjang.
“Nah, kalian telah bersiap” terdengar suara Kebo Sindet menggelegar, “ayo, segera mulai. Jangan menunggu aku mencambuk kulit kalian.”
Selangkah Mahisa Agni maju, dan hampir bersamaan pula Kuda Sempana pun melangkah pula. Mereka benar-benar tidak ingin mendapat lecutan sebelum mereka berkelahi. Sebab mereka, terutama Kuda Sempana, mengetahui benar, bahwa kali ini Kebo Sindet tidak bermain-main seperti kemarin. Kalau ia menjadi kecewa, maka punggungnya pasti akan terkelupas.
“Aku menghitung sampai hitungan kelima” berkata Kebo Sindet yang hampir kehilangan kesabaran pula, “kalau sampai hitungan kelima kalian belum mulai, maka jangan menyalahkan aku lagi kalau aku memaksa kalian.”
Dada kedua anak-anak muda itu bergetar, meskipun dalam nada yang berbeda. Kuda Sempana menjadi berdebar-debar karena ancaman itu, sedang Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karena kemungkinan-kemungkinan yang akan diambilnya untuk membuat Kebo Sindet marah. Baru sampai pada hitungan ketiga, ternyata Mahisa Agni sudah mulai dengan serangannya. Serangan yang cepat dan berbahaya. Tetapi Kuda Sempana yang sudah siap itu pun sama sekali tidak terperanjat. Serangan itu dengan mudahnya dapat dihindarinya, bahkan kini dengan sungguh-sungguh ia telah menyerang Mahisa Agni yang masih belum berjejak kuat-kuat di atas tanah.
“Hem” Mahisa Agni berdesir di dalam hatinya, “agaknya Kuda Sempana tidak dapat berbuat lain.”
Tetapi Mahisa Agni masih ingin berbuat sesuatu. Karena itu maka ia pun masih juga melayani serangan Kuda Sempana itu. Ia masih saja melakukan permainannya. Ketika menghindari serangan Kuda Sempana itu, agaknya dilakukannya dengan sangat tergesa-gesa sehingga tubuhnya kurang mendapat keseimbangan. Karena itu, maka tubuh itu pun kemudian berguling di atas tanah untuk kemudian dengan tergesa-gesa meloncat bangkit. Namun Kuda Sempana yang benar-benar telah berkelahi bersungguh-sungguh, tidak memberinya kesempatan. Sebelum Mahisa Agni siap untuk menerima serangannya, Kuda Sempana telah menerjangnya dengan kekuatan yang penuh.
“Lincah juga anak ini” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Ia memang melihat kemajuan pada Kuda Sempana. Geraknya bertambah cepat, tetapi juga bertambah kasar.
Sekali lagi Mahisa Agni tidak sempat menghindar dengan sempurna. Dan sekali lagi ia terdorong beberapa langkah dan jatuh berguling di atas tanah. Namun agaknya ia tidak mau mendapat serangan terus-menerus. Setelah berguling beberapa kali, maka ia melontarkan diri agak jauh dari lawannya untuk mendapat kesempatan mempersiapkan diri. Ketika kemudian Kuda Sempana menyerangnya lagi, maka Mahisa Agni itu sudah berhasil memperbaiki kedudukannya. Kini dapat menghindar dan bahkan ia pun menyerangnya pula dengan kakinya. Serangan Mahisa Agni yang mendatar itu mengejutkan Kuda Sempana, sehingga ia tidak sempat untuk menghindarinya. Yang dapat dilakukannya adalah membentur serangan itu.
Karena itu maka dikerahkannya segenap kekuatannya untuk melawan serangan Mahisa Agni. Tetapi tanpa dimengertinya sendiri, maka ia terdorong beberapa langkah maju. Hampir-hampir ia jatuh terjerembab. Ternyata dengan tiba-tiba dan tanpa diketahuinya, Mahisa Agni telah menarik serangannya, pada saat ia membenturkan kekuatannya untuk melawan serangan itu. Pada saat yang demikian itulah maka serangan Mahisa Agni datang pula menyambarnya. Ia melihat Mahisa Agni itu menyeringai dengan wajah yang tegang.
Tak ada kesempatan bagi Kuda Sernpana. Tetapi ia tidak membiarkan tengkuknya dihantam oleh sisi telapak tangan Mahisa Agni, sehingga tengkuknya itu mungkin akan patah. Karena itu, maka Kuda Sempana justru menyatuhkan dirinya, berguling sekali untuk menterlentangkan diri. Pada saat itu ia melihat tubuh Mahisa Agni berada di atasnya hampir menimpanya, dengan sekuat tenaganya, maka diayunkannya kakinya menghatam dada Mahisa Agni. Kuda Sempana sempat melihat Mahisa Agni itu terlempar. Ia melihat anak muda itu sekali berputar di udara. Sekejap kemudian ia mendengar tubuh itu terbanting jatuh.
Ketika Kuda Sempana meloncat berdiri ia mendengar suara Kebo Sindet hampir berteriak, “Bagus Kuda Sempana.”
Kuda Sempana kemudian melihat Mahisa Agni meloncat pula bangkit. Ia melihat Mahisa Agni menjadi semakin tegang. Sekali dilihatnya anak muda itu mengusap dadanya. Tetapi Kuda Sempana bahkan Kebo Sindet sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa Mahisa Agni tersenyum di dalam hati, “Hebat juga Kuda Sempana itu.”
Sementara itu Kuda Sempana telah meloncat menyerangnya pula. Tata geraknya menjadi semakin cepat dan kasar. Unsur-unsur gerak yang pernah dipelajarinya dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat agaknya berpengaruh pula kepadanya, namun dasar-dasar ilmu yang diterimanya dari Empu Sada lah yang nampak lebih jelas di dalam setiap geraknya.
Tiba-tiba timbullah keinginan Mahisa Agni untuk bermain-main lebih baik lagi dengan Kuda Sempana. Ia pun pernah menerima ilmu dan pengetahuan dari Empu Sada. Ia mengenal unsur-unsur gerak pokok dan bahkan seluruh ilmu yang ada pada Empu Sada seakan-akan telah dikuasainya. Karena itu, maka meskipun tidak sebaik Empu Sada, namun Mahisa Agni segera dapat mengenal dan memperhitungkan tata gerak Kuda Sempana. Maka ketika Kuda Sempana menyerangnya, segera Mahisa Agni menghindar dengan lincahnya. Kini ia sepenuhnya mempergunakan unsur gerak khusus yang diterima dari Empu Sada, sehingga seakan-akan keduanya yang sedang bertempur itu adalah dua orang saudara seperguruan.
Beberapa saat Kuda Sempana sama sekali tidak memperhatikan bagaimana cara Mahisa Agni menghindar dan menyerangnya. Hanya beberapa kali ia dikejutkan oleh tata gerak lawannya, yang seakan-akan mampu memotong serangannya sebelum ia melepaskannya. Bahkan dalam beberapa hal, serangan-serangannya selalu didahului saja oleh Mahisa Agni dalam kemungkinan yang diperhitungkannya. Namun lambat laun, perasaannya tergerak juga untuk lebih memperhatikan, bagaimana cara lawannya itu menahan dan menghindari serangannya, bahkan bagaimanakah cara Mahisa Agni menyerang.
Ketika perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru, maka dada Kuda Sempana pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun lambat, namun ia menjadi semakin jelas ilmu apakah yang dipergunakan oleh Mahisa Agni itu. Semula ia menyangka, bahwa hanya kebetulan saja Mahisa Agni mengenal unsur-unsur gerak yang khusus dimiliki oleh perguruannya. Mungkin Mahisa Agni pernah melihat ia mempergunakan, kemudian di waktu-waktu terluangnya di sarang hantu ini, ia mencoba mempelajarinya bersama ilmunya sendiri.
Dihubung-hubungkannya dan diolahnya menurut kemampuannya. Tetapi lambat laun, dugaan itu pun meragukannya. Ternyata Mahisa Agni dapat mempergunakan ilmu seperti ilmunya, tidak hanya sekedar kebetulan. Hampir semua unsur gerak yang dimengertinya sudah dikuasai pula oleh Mahisa Agni. Bahkan unsur-unsur yang belum dipahaminya benar-benar, telah dapat dimiliki pula oleh Mahisa Agni.
“Apakah aku sudah menjadi gila, sehingga aku tidak dapat melihat perbedaan antara unsur-unsur gerak yang khusus dari perguruanku dan tata gerak Mahisa Agni?” pertanyaan itu telah membelit hatinya. Namun ia masih saja menyaksikan keanehan yang tidak segera dapat dimengertinya. “Apakah di dalam neraka ini ada hantu yang mengajarinya untuk menirukan tata gerak dari perguruan Empu Sada?”
Bagaimana pun juga namun pertanyaan itu selalu membelit hatinya disetiap saat. Semakin lama mereka bertempur, maka penglihatannya menjadi semakin jelas, bahwa Mahisa Agni telah mempergunakan di dalam tata geraknya, unsur-unsur gerak yang khusus dari perguruannya. Bahkan beberapa kali ia mencoba mempergunakan ilmu yang paling tinggi yang dimilikinya, dan unsur gerak yang paling sulit. Tetapi ternyata Mahisa Agni mampu menanggapinya, bahkan membalas menyerangnya dengan unsur-unsur yang serupa.
“Agaknya aku telah benar-benar menjadi gila” berkata Kuda Sempana di dalam hatinya.
Meskipun demikian, Kuda Sempana tidak ingin bertanya sesuatu kepada Mahisa Agni. Akhirnya ia terlempar kembali ke dalam keadaannya. Acuh tidak acuh. Bahkan ia berkata di dalam hatinya., “Aku tidak peduli, ilmu apa saja yang akan dipakai oleh Mahisa Agni. Tugasku saat ini hanya berkelahi sungguh-sungguh. Kalau aku sudah berkelahi dengan sungguh-sungguh maka aku sudah memenuhi tugasku.”
Tanpa memperhatikan apa pun lagi Kuda Sempana kemudian berkelahi semakin bersungguh-sungguh. Keringatnya mengalir seperti diperas dari dalam tubuhnya. Sekali-sekali ia berhasil melemparkan Mahisa Agni, dan disaat lain ialah yang terlempar jatuh berguling-guling.
Kebo Sindet menyaksikan perkelahian itu dengan sepenuh hati. Semula ia tertarik kepada kesungguhan kedua anak-anak muda yang dijadikannya ayam aduan itu. Keduanya tampaknya telah bertempur bersungguh-sungguh. Apalagi setelah punggung mereka basah karena keringat dan kemudian menjadi kotor oleh tanah liat yang kemerah-merahan. Tandang mereka menjadi semakin garang. Namun lambat laun, Kebo Sindet yang memiliki pengalaman dan pengetahuan ilmu tata berkelahi yang cukup masak itu melihat kejanggalan di dalam perkelahian itu. Ia melihat sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.
Seperti Kuda Sempana, ia pun semula tidak memperhatikan unsur-unsur gerak yang mereka pakai di dalam perkelahian itu. Namun kemudian tampaklah, meskipun perkelahian itu menjadi semakin cepat dan sengit, tetapi perkelahian itu seolah-olah telah dipersiapkan dan diatur lebih dahulu. Seolah-olah telah ditentukan pada saat tertentu siapakah yang harus menyerang, dan siapakah yang menghindar. Dan disaat-saat yang lain terjadi benturan-benturan yang tidak berbahaya, disusul dengan gerakan-gerakan yang lebih condong pada pameran kecepatan bergerak dari pada sebuah perkelahian.
“Aneh” berkata Kebo Sindet di dalam hatinya. Tetapi mata hantu yang tajam itu segera melilat, beberapa persamaan dari tata gerak keduanya. Ketika ia memperhatikan lebih saksama lagi, maka terdengar ia mengumpat, “Setan iblis. Permainan ini benar-benar gila.”
Namun demikian, Kebo Sindet itu telah dicengkam oleh keheranan yang luar biasa. Seperti Kuda Sempana ia bertanya di dalam hati, “Dari mana setan kecil ini sempat mempelajari ilmu Empu Sada?”
Hampir tanpa berkedip Kebo Sindet itu menyaksikan bagaimana Mahisa Agni melayani Kuda Sempana dengan ilmu yang serupa, meskipun tampak bahwa pada keduanya mendapat pengaruh yang berbeda, namun pada dasarnya, di antara keduanya hampir tidak terdapat perbedaan-perbedaan. Semakin lama maka Kebo Sindet itu menjadi semakin tertarik pada keanehan itu. Bahkan semakin lama ia menjadi semakin heran. Dengan demikian ia menjadi semakin tajam memperhatikan setiap gerak dari kedua anak-anak muda itu.
“Tidak mungkin kalau Kuda Sempana memberi kesempatan kepada Mahisa Agni selama ini untuk memperhatikan ilmunya” katanya di dalam hati, “dan Mahisa Agni pun tidak akan sempat berbuat demikian. Ia tidak akan dapat, meskipun hanya sekedar mengintip, pada saat Kuda Sempana melatih diri. Sedang kesempatan melatih dirinya sendiri itu pun hampir tidak pernah dilakukan oleh Kuda Sempana.”
Namun lambat laun Kebo Sindet yang memiliki pengamatan yang tajam itu melihat, bahwa Mahisa Agni tidak hanya sekedar dapat mempergunakan ilmu yang serupa dengan Kuda Sempana dan dapat mengimbanginya pula, tetapi Kebo Sindet melihat bahwa Mahisa Agni dapat melakukan lebih dari pada itu. Lambat laun Kebo Sindet melihat, bahwa ternyata Mahisa Agni memiliki beberapa kelebihan dari lawannya. Tetapi jarak antara keduanya tidak segera dapat diketahuinya.
Sementara itu perkelahian antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni menjadi semakin lama semakin seru. Kuda Sempana akhirnya mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk mencoba mengalahkan Mahisa Agni. Ia mengharap bahwa dengan demikian, ia tidak akan mendapat perlakuan yang kasar dari Kebo Sindet. Bukankah dengan demikian, ia boleh untuk seterusnya tidak perlu bekerja terlampau keras, sedang Mahisa Agni masih harus selalu berusaha meningkatkan dirinya agar kemampuan mereka berimbang?
Kuda Sempana sama sekali tidak berpikir lagi tentang hal-hal yang lain. Ia tidak peduli apapun yang nanti akan diperbuat oleh Kebo Sindet. Tetapi ia ingin dalam waktu yang dekat, ia mendapat kesempatan untuk tidak berbuat apa-apa. Itu saja. Tidak lebih dari pada itu. Tetapi Kuda Sempana menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Kebo Sindet melangkah mendekati arena perkelahian itu. Ditangannya masih digenggamnya ikat pinggang kulitnya. Sekali-sekali dilihatnya Kuda Sempana dan sekali-sekali Mahisa Agni.
“Aku sudah berkelahi bersungguh-sungguh” pikir Kuda Sempana. Namun pikiran itu telah membuatnya bertanya-tanya pula, “Kenapa selama ini perkelahian itu seolah-olah tidak menggetarkan dadanya?” Meskipun perkelahian itu terasa bersungguh-sungguh, tetapi seakan-akan tubuh-tubuh mereka hampir tidak pernah tersentuh oleh serangan-serangan lawan. Masing-masing selalu saja dapat menghindari setiap serangan betapapun cepat dan garangnya.
“Kami telah dapat mengerti apa yang akan dilakukan oleh masing-masing pihak” berkata Kuda Sempana di dalam hatinya. Namun kemudian ia mengumpat, “Tetapi Kero Sindet pasti menyangka kami tidak bersungguh-sungguh.”
Kebo Sindet kini telah berdiri semakin dekat. Ia memperhatikan tata gerak keduanya dengan lebih saksama lagi. Setiap loncatan, setiap pukulan dan setiap langkah mereka menghindari serangan lawan.
Mahisa Agni pun kemudian menjadi berdebar-debar pula. Ia menyadari bahwa Kebo Sindet kini melihat ketidak wajaran di dalam perkelahian itu. Meskipun Mahisa Agni masih tetap melakukan permainannya, namun ia harus mempersiapkan dirinya lebih baik lagi. Sebab setiap saat lawannya dapat berganti. Dan bahkan mungkin ia harus melawan keduanya bersama-sama.
“Ah tidak. Kebo Sindet pasti akan tersinggung karenanya” katanya di dalam hati. Namun ia tidak mengurangi kewaspadaannya terhadap iblis dari Kemundungan itu.
Sebenarnyalah bahwa Kebo Sindet semakin lama semakin melihat kelebihan Mahisa Agni, betapapun anak muda itu ingin menyembunyikan. Mungkin Kuda Sempana sendiri yang baru dicengkam oleh ketegangan tidak segera dapat melihat kelebihan Mahisa Agni yang semakin lama menjadi semakin nyata bagi Kebo Sindet.
“Aneh sekali” berkata Kebo Sindet di dalam hatinya, “ternyata Mahisa Agni telah mendapat kemajuan yang baik selama ia berada di tempat ini. Mungkin karena aku kurang memperhatikannya sehingga ia mampu membuat ilmunya semakin masak dan mapan. Tetapi yang tidak dapat aku mengerti, bagaimana ia dapat memiliki unsur-unsur gerak yang khusus dari perguruan Kuda Sempana.”
Tetapi Kebo Sindet masih belum berbuat sesuatu. Ia masih ingin meyakinkan dirinya, apakah yang dilihat itu memang benar-benar demikian. Apakah memang Mahisa Agni bukan saja secara kebetulan berbuat seperti itu.
“Ia memang banyak mempunyai kesempatan” berkata Kebo Sindet pula di dalam hatinya, “selama ia berada di tempat ini seorang diri, ia dapat berlatih terus menerus.”
Tiba-tiba dada Kebo Sindet itu menjadi berdebar-debar. Ia mempunyai penggraita yang tajam atas persoalan yang dihadapinya. Dan tiba-tiba hatinya berkata, “Aku agaknya selama ini telah dikelabui oleh sikap Mahisa Agni. Aku menganggapnya semakin lama ia menjadi semakin jinak. He, apakah tidak demikian yang sebenarnya?”
Akhirnya Kebo Sindet yakin, bahwa memang telah terjadi sesuatu di luar kehendaknya, bahkan di luar dugaannya. Menurut pengamatannya Mahisa Agni yang sedang berkelahi itu sama sekali bukanlah Mahisa Agni dalam keadaannya sehari-hari. Yang selalu menundukkan kepalnya dengan wajah yang cemas dan gelisah. Bukan Mahisa Agni yang ketakutan dan gemetar apabila ia membentaknya.
“Setan” Kebo Sindet itu mengumpat, “apakah maksudnya anak itu berani menunjukkan kelebihannya kepadaku? Apakah ia merasa bahwa dengan begitu akan menguntungkan dia? Apakah hanya karena terdorong oleh perkelahian itu sehingga ia sudah tidak dapat menyembunyikan diri lagi? Tetapi bagaimanapun juga keadaan itu harus dihentikan, sebelum aku terlambat...”