Pedang Kayu Harum Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Jilid 04 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pedang Kayu Harum Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KENG HONG terbelalak, lebih merasa heran dari pada terkejut dan jengah, melihat betapa bagian atas baju itu terbuka memperlihatkan pakaian dalam yang berwarna merah muda dan sebagian dada yang mencuat. Gadis itu merogoh ke balik baju yang menutup dada lalu mengeluarkan sebuah bungkusan merah. Pada waktu dibuka, ternyata bungkusan itu berisi belasan butir pil merah.

Ia mengambil dua butir dan segera menelannya. Ia lalu mengembalikan bungkusan itu ke balik bajunya, kemudian seakan terlupa, gadis itu tidak mengancingkan kembali bagian atas bajunya terbuka itu. Keng Hong terpaksa menundukkan muka agar matanya jangan melihat tonjolan dada yang berkulit putih halus itu.

"Keng Hong, lihatlah kepadaku!"

Terpaksa pemuda itu mengangkat mukanya memandang, berupaya mengusir ketegangan dan kebingungan hatinya. Gadis jelita ini jelas berusaha hendak meracun dirinya. Apakah maksudnya? Kenapa hendak membunuhnya? Ia tahu bahwa racun itu dapat membunuh seorang lawan yang betapa pun kuatnya.

"Lihat baik-baik, Keng Hong. Tidak indahkah rambutku? Tidak cantikkah wajahku? Cantik sekali, bukan?" Gadis itu tersenyum-senyum dan mengerlingkan matanya, bergaya sambil menggerak-gerakkan mukanya supaya dapat terpandang oleh pemuda itu dari depan, kiri dan kanan.

"Hemm, begitulah...," jawab Keng Hong yang masih mencari-cari sebab perbuatan gadis itu. Dia kini dapat menduga bahwa pil merah tadi merupakan obat pemunah racun karena si gadis tadi pun minum air beracun.

"Lihatlah baik-baik dan pandanglah…, apakah kulitku tidak halus dan putih bersih, Keng Hong?" Suaranya kini sangat halus merdu, penuh nada merayu dan tangannya sengaja menyingkap baju atasnya agar belahan dada itu tampak makin nyata.

Keng Hong menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang dan dia cepat-cepat menekan dengan kekuatan batinnya. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami hal seperti ini, dalam mimpi pun belum!

Gadis yang bernama Bhe Cui Im itu kini bangkit berdiri, gerakannya lemah gemulai, leher, pinggang dan lututnya melenggak-lenggok mengingatkan Keng Hong akan gerakan tubuh seekor ular.

"Pandanglah baik-baik, orang muda remaja! Tak indahkah bentuk tubuhku? Lihat dadaku, pinggangku, pinggulku..."

"Hemm, agaknya begitulah...!" hanya demikian Keng Hong dapat berkata karena tiba-tiba kerongkongannya seperti menjadi kering kembali, seperti orang kehausan.

"Aku masih muda, cantik jelita, bertubuh menggiurkan! Aku seorang gadis yang sangat menarik hati, bukan?"

"Hemm…, begitulah!"

Tiba-tiba saja Cui Im menghentikan gayanya dan dengan kasar dia duduk di depan Keng Hong. Senyum manis dan kerling mata tajam kini telah lenyap dan gadis itu mengerutkan keningnya dengan bayangan hati kesal.

"Begitulah! Begitulah! Begitulah! Apakah tidak bisa berkata lain, hai orang dungu? Sin-jiu Kiam-ong kabarnya adalah pria tukang merayu wanita nomor satu di dunia, ahli merayu dan mencumbu wanita. Apakah gurumu yang... terkutuk itu tak mengajarkan kepandaian merayu wanita kepadamu, heh, bocah tolol?"

Keng Hong tersenyum. Kini dia mulai mengenal wanita ini. Wanita yang cantik jelita, akan tetapi sekaligus wanita yang sangat berbahaya, seperti seekor ular berbisa. Timbul pula kegembiraan hatinya karena terhadap seorang wanita seperti ini, dia tidak perlu bersikap canggung, malu-malu atau takut-takut. Ia menggeleng kepala dan tersenyum mengejek.

"Kau sudah mau mampus, tahukah? Kau calon bangkai makanan cacing! Hendak kulihat ke mana perginya wajahmu yang tampan itu jika nanti sudah digerogoti cacing. Kau tahu bahwa kau sudah minum racun? Di dalam air tadi, tolol, terdapat racun yang mematikan. Racun bunga Siang-tok-hwa (Bunga Racun Wangi) yang kini sudah memasuki perutmu dan segera akan menghancurkan ususmu, membuat isi perutmu menjadi busuk. Tahukah engkau? Dan obat pemunahnya hanya berada padaku, obat pemunah pil merah seperti yang kutelan tadi. Kalau kau tidak kutolong, nyawamu pasti akan melayang dalam waktu dua puluh empat jam! Nyawamu berada di tanganku sekarang, mengerti?"

Keng Hong mengangguk-angguk. Mengertilah dia sekarang, teringatlah dia bahwa racun yang tak asing baginya itu adalah Siang-tok-hwa. Tentu saja dia mengenalnya baik-baik, dan tadi dia terlupa karena terpesona oleh sikap dan gaya gadis luar biasa ini.

"Cui Im, apakah kehendakmu? Apakah maksudnya semua ini? Kenapa kau meracuniku?"

"Karena tolol engkau menjadi menyebalkan. Segala apa tidak mengerti. Otakmu tumpul benar dan perlu dicuci! Tentu saja nyawamu kucengkeram untuk ditukar dengan rahasia barang pusaka gurumu yang... terkutuk!"

"Diam dan jangan memaki mendiang suhu atau... aku tidak akan sudi melayanimu bicara lagi!"

Terbelalak mata gadis itu mendengar bentakan yang tak disangka-sangkanya akan dapat dikeluarkan oleh mulut pemuda tolol itu. Akan tetapi hanya sebentar karena dia mengira bahwa hal itu timbul karena kebaktian bocah ini terhadap mendiang gurunya.

"Engkau sudah menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau Kun-lun-pai. Akan tetapi pedang itu tidak ada artinya bagiku. Belum tentu dapat menangkan pedangku ini!" Gadis itu meraba pinggangnya dan...

"Swingggg...!"

Tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan. Kiranya pedang itu amat tipis, terbuat dari pada baja lemas sehingga dapat dipergunakan sebagai sabuk! Kini gadis itu menodongkan ujung pedangnya ke depan dada Keng Hong.

"Aku tak butuh Siang-bhok-kiam! Yang kubutuhkan adalah semua kitab-kitab pusaka dan barang-barang mustika peninggalan suhu-mu. Engkau turun dari Kiam-kok-san dengan hanya membawa pedang, berarti bahwa pusaka-pusaka warisan itu masih belum kau bawa turun. Kau antar aku ke sana, berikan semua itu kepadaku, tunjukkan rahasianya, dan mungkin nyawamu akan kubebaskan, dan selain itu... hemmm, kalau kau tidak terlalu tolol, kita dapat menjadi sahabat baik!"

Keng Hong bukan seorang bodoh sungguh pun kelihatannya dia ketolol-tololan. Dia telah diracun, akan tetapi racun yang ada obat pemunahnya pada gadis itu. Berarti bahwa dia tak akan dibunuh. Gadis ini menghendaki barang-barang pusaka gurunya, tentu saja tak akan membunuhnya, melainkan hendak memaksanya dengan jalan meracuninya.

Benar-benar seorang gadis yang berhati kejam! Mengapa ada seorang gadis cantik jelita seperti ini berhati sekejam itu? Dia merasa sangat penasaran dan perasaan inilah yang mendorongnya hendak menyaksikan lebih lanjut sampai di mana kekejaman gadis ini dan apa yang akan dilakukan atas dirinya.

"Aku tidak pernah menerima warisan pusaka-pusaka yang kau maksudkan, dan aku pun tidak tahu rahasianya."

"Kau masih berani menyangkal dan menolak permintaanku? Kau murid tunggalnya, tidak mungkin kau tidak mewarisi pusaka-pusaka itu, apa lagi Siang-bhok-kiam telah diberikan kepadamu. Ingat, nyawamu berada di tanganku, tahu? Andai kata engkau memberontak, engkau pun tidak akan mampu menandingi pedangku. Andai kata kau mempergunakan ilmu mukjijatmu dan berhasil melarikan diri, dalam waktu sehari semalam ususmu sudah hancur berantakan dan nyawamu pun takkan tertolong. Jangan bodoh, Keng Hong. Lebih baik engkau menuruti permintaanku agar engkau tetap hidup dan menikmati kesenangan bersama aku."

"Cui Im, engkaulah yang bodoh dan mengecewakan hati. Mengapa engkau menurutkan nafsu buruk hendak menginginkan barang milik orang lain? Apa bila engkau suka menurut nasehatku, insyaflah dan sadarlah bahwa engkau terseret oleh nafsumu menuju ke jurang kesesatan. Urungkan niatmu yang buruk itu karena sesungguhnya aku benar-benar tidak pernah melihat di mana adanya pusaka-pusaka peninggalan suhu-ku. Aku tidak berhasil mencarinya dan aku tidak berbohong."

"Kalau begitu, biar aku melihat engkau mampus dengan isi perut berantakan!" bentak Cui Im dengan suara marah dan kecewa sekali.

Mendadak terdengar suara bentakan keras "Tidak boleh dibunuh begitu saja, Tok-sian-li (Dewi Beracun)!" Dan tampak bayangan orang berkelebat.

"Benar sekali, tidak boleh dibunuh sebelum menyerahkan pusaka peninggalan Kiam-ong kepadaku!" berkelebat pula bayangan lain.

Kiranya yang muncul ini adalah dua orang tua yang pernah dilihat Keng Hong pada lima tahun yang lalu. Mereka berdua itu adalah dua di antara sembilan orang sakti yang dulu pernah menyerbu Sin-jiu Kiam-ong.

Yang pertama adalah nenek tua renta yang dia ingat bernama Lu Sian Cu dan berjuluk Kiu-bwe Toanio. Gurunya pernah bercerita kepadanya tentang nenek ini. Menurut cerita itu, Kiu-bwe Toanio dulunya adalah seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai, namun yang jatuh cinta kepada gurunya yang tampan dan gagah.

Akan tetapi ternyata wanita ini dikecewakan oleh Sin-jiu Kiam-ong. Kiam-ong tidak pernah membiarkan hatinya jatuh cinta dan hubungannya dengan Lu Sian Cu hanya dianggapnya sebagai permainan cinta petualangan biasa saja. Sebaliknya, cinta kasih wanita itu amat mendalam sehingga hatinya menjadi hancur dan patah pada saat Kiam-ong meninggalkan dirinya.

Ada pun orang ke dua adalah si kakek tua Sin-to Gi-hiap, Pendekar Budiman Bergolok Sakti yang juga mengandung dendam sakit hati terhadap Kiam-ong untuk urusan pribadi. Isterinya yang sebenarnya adalah hasil rampasan dari seorang kepala rampok, isterinya yang cantik jelita dan amat dicintanya, sudah ‘dicuri’ oleh Kiam-ong yang terkenal pandai merayu wanita sehingga di antara isterinya dan Kiam-ong terjadi perhubungan rahasia.

Melihat dua orang tua yang datang ini, Bhe Cui Im tersenyum mengejek, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi mereka sambil memandang tajam dan melintangkan pedang merah itu di depan dadanya, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.

"Hemm, Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap, bukan? Kalian sudah lari terkencing-kencing diusir oleh tosu-tosu bau Kun-lun-pai, dan sekarang muncul lagi di depanku dengan niat apakah?"

Keng Hong memandang dengan heran. Semakin tidak mengertilah dia akan keadaan Cui Im. Gadis cantik jelita yang amat menarik hati ini, yang tadinya amat galak dan kadang kala juga amat halus memikat, kemudian terbukti berhati palsu dan keji, kini menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang tua seperti menghadapi dua orang biasa saja!

Tokoh macam apakah gadis yang aneh ini di dalam dunia persilatan? Sampai-sampai dua orang locianpwe (orang tua tingkat tinggi) tidak dipandang mata olehnya, dan yang lebih mengherankan lagi, dua orang tua itu pun agaknya tidak menganggapnya sebagai gadis muda.

"Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Racun Berpedang Merah), lekas kau keluarkan pil pemunah racun. Orang muda ini tidak boleh dibunuh," kata Sin-to Gi-hiap.

"Benar sekali, Tok-sian-li. Siang-bhok-kiam telah dirampas oleh Kun-lun-pai, bila pemuda ini dibunuh, sungguh sayang sekali. Kasihan murid Sin-jiu Kiam-ong yang tidak bersalah apa-apa...," sambung Kiu-bwe Toanio.

Tiba-tiba Cui Im tertawa bergelak, tanpa menutupi mulutnya, sikapnya kasar sekali. Keng Hong semakin terheran-heran. Kiranya Bhe Cui Kim mempunyai julukan yang demikian menyeramkan. Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah)! Tentu seorang tokoh besar dari golongan sesat! Pantas saja Kiang Tojin menyatakan bahwa gadis cantik itu dari dunia hitam, seorang tokoh kaum sesat. Akan tetapi masih begitu muda! Masa memiliki tingkat kedudukan yang sejajar dengan Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap?

"Hi-hi-hi-hi! Kiu-bwe Toanio, alangkah lucunya melihat lagakmu. Semenjak muda engkau terkenal sebagai pendekar wanita, akan tetapi ternyata engkau pun hanya seorang yang pada lahirnya saja pendekar padahal sebenarnya di dalam hatimu mengandung maksud-maksud yang tidak lebih bersih dari pada maksud hatiku. Kau pura-pura merasa kasihan dan ingin menolong pemuda ini, padahal yang kau inginkan adalah benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Aku pun menghendaki benda-benda itu tetapi aku berterus terang, tidak pura-pura seperti engkau!"

"Hemm, Tok-sian-li. Hanya karena mengingat akan nama gurumu maka aku seorang tua masih mau berlaku hormat padamu. Jangan engkau membuka mulut sembarangan saja! Memang aku menghendaki barang-barang pusaka Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi hal itu adalah karena dosa-dosa Kiam-ong kepadaku yang harus dia bayar lunas dengan semua benda pusaka peninggalannya! Tidak seperti engkau yang hendak merampok begitu saja dengan menekan muridnya."

"Hi-hik-hik, nenek tua yang tak tahu malu! Engkau sendiri yang dahulu tergila-gila kepada Kiam-ong, kau sendiri yang mengejar-ngejarnya, ingin selalu berada dalam pelukannya, menikmati cumbu rayu dan belaiannya! Kiam-ong tak sudi menjadi suamimu, kenapa kau katakan hal ini dosa? Hi-hi-hik, sungguh menjemukan!"

"Tok-sian-li, biar pun engkau menggunakan nama besar gurumu, penghinaanmu ini harus dibayar dengan nyawa!" Kiu-bwe Toanio marah sekali dan dia menggerakkan pecutnya yang berekor sembilan itu di udara sehingga terdengar suara ledakan-ledakan.

"Tar-tar-tar...!"

"Huh, pecutmu itu hanya dapat untuk menakut-nakuti anjing dan anak-anak kecil!" Cui Im mengejek dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.

Sinar-sinar merah yang kecil-kecil lantas menyambar ke arah nenek itu dengan kecepatan laksana kilat menyambar. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang sangat dahsyat dan berbahaya, sekali sambit, secara beruntun ada dua puluh satu buah jarum halus yang menyambar lawan.

Setiap batang jarum merupakan tangan maut karena racun yang dikandungnya lebih dari cukup untuk merenggut nyawa orang. Kini dua puluh satu buah jarum menyambar dan mengarah jalan-jalan darah yang penting, dapat dibayangkan betapa hebatnya!

"Perempuan keji!" Kiu-bwe Toanio memaki.

Akan tetapi dia sibuk juga memutar senjata cambuknya untuk melindungi tubuh. Hanya dengan memutar cambuk itu cepat-cepat maka ia baru dapat menghindarkan jarum-jarum yang tak berani ia anggap ringan itu.

"Nenek tua mampuslah!"

Cui Im sudah melesat ke depan dan pedangnya berubah menjadi cahaya merah yang bergulung-gulung pada saat ia menerjang lawannya sebagai serangan lanjutan dari pada jarum-jarumnya. Gadis ini selain pandai dalam melepas jarum, ternyata juga amat cerdik.

Dia maklum bahwa Kiu-bwe Toanio tak mungkin dapat secara mudah dirobohkan dengan jarum-jarumnya, maka serangan jarumnya tadi hanyalah untuk mengacau lawan, dan kini selagi lawannya memutar cambuk menghindarkan diri dari pada ancaman jarum-jarum, ia telah menerjang dengan pedangnya yang gerakannya amat cepat dan kuat.

Keng Hong yang melihat gerakan gadis ini diam-diam merasa kagum dan terkejut sekali. Dilihat dari gerakannya, ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai bukan main dan agaknya tidak berada di sebelah bawah tingkat sembilan orang sakti yang dulu pernah menyerbu suhu-nya.

"Tar-tar-tar... wuuuuutttttt... trang-tranggg...!"

Sembilan ekor ujung cambuk yang dimainkan di tangan Kiu-bwe Toanio seolah-olah telah menjadi sembilan ekor ular yang bergerak hidup, sebagian menangkis pedang lawan dan sebagian lagi membalas dengan totokan-totokan kilat yang disusul oleh gerakan mengait!

Betapa pun hebat gerakan pedang di tangan Cui Im, namun dihadapi oleh sembilan ujung cambuk yang menangkis dan balas menyerang itu dia terkejut sekali. Pedangnya diputar sambil ia mengeluarkan pekik nyaring, disusul jerit kaget Kiu-bwe Toanio. Sejenak kedua orang ini lenyap menjadi bayangan yang berputar-putaran di antara sinar merah dan sinar hitam cambuk itu, kemudian keduanya mencelat ke belakang didahului oleh Cui Im yang terpaksa melompat jauh untuk menghindarkan serangan enam buah kaitan.

Ia turun dan melintangkan pedangnya dengan wajah agak berubah karena ia kini maklum betapa lihai nenek itu dan yang ternyata merupakan lawan yang berat juga. Di lain pihak, nenek itu mengeluarkan suara gerengan marah karena tiga buah kaitan berikut tiga ujung cambuknya telah buntung oleh pedang yang amat lihai di tangan Cui Im.

Pada saat itu, Sin-to Gi-hiap yang melihat kesempatan baik, sudah meloncat mendekati Keng Hong dan berkata, "Orang muda, kau harus ikut denganku sebagai wakil suhu-mu!"

Dengan golok telanjang di tangan kanannya, kakek itu menyambar Keng Hong dengan tangan kirinya, hendak mencengkram pundak pemuda itu. Sebelum Keng Hong sempat mengelak, sinar merah berkelebat dan kakek itu cepat menarik kembali tangannya sebab kalau dilanjutkan, tentu akan buntung terbabat oleh pedang yang dibacokkan Cu Im.

"Kakek tua bangka, jangan sentuh pemuda ini!"

Sin-to Gi-hiap menghela napas panjang. "Nona, mengingat gurumu, biarlah kami orang tua mengalah. Marilah kita berunding baik-baik. Benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong amatlah banyaknya, dan kalau kita bertiga membagi rata, masih amat banyak bagian kita masing-masing. Kurasa Kiu-bwe Toanio juga tidak keberatan."

Kiu-bwe Toanio menggerak-gerakkan cambuknya. Dia maklum bahwa ilmu pedang gadis itu amat lihai, apa lagi kalau dia mengingat guru gadis itu, benar-benar tak boleh dijadikan lawan dan jauh lebih baik dijadikan kawan. Maka ia mengangguk dan menggumam, "Asal orang muda tidak kurang ajar terhadap orang tua, aku pun bukan seorang serakah yang ingin memiliki seluruh pusaka."

Cu Im melangkah maju mendekati Keng Hong lalu memegang tangan pemuda itu dengan tangan kanannya yang menyembunyikan pedang di balik lengan.

"Uhh, kalian hanya mau enaknya saja! Siapa yang lebih dulu mendapatkan murid Sin-jiu Kiam-ong ini? Aku! Kalau kalian semua lari terbirit-birit diusir tosu-tosu Kun-lun-pai, aku malah membiarkan diriku dijadikan seorang tawanan! Setelah aku berhasil mendapatkan pemuda ini, kalian masing-masing mau minta bagian! Benar-benar tak tahu malu!"

Tiba-tiba gadis itu menggerakkan tangan kiri, membanting sesuatu di hadapan dua orang lawan itu dan terdengarlah ledakan keras diikuti asap hitam mengebul. Dua orang tua itu adalah orang-orang sakti yang sudah berpengalaman. Cepat mereka melompat mundur menjauhkan diri, maklum betapa berbahaya asap hitam yang timbul dari ledakan itu.

Dan memang tepat sekali dugaan mereka karena kalau keduanya tidak menjauhkan diri dan sampai menghisap asap hitam itu, nyawa mereka terancam maut yang disebar oleh asap hitam yang amat beracun itu! Ketika mereka meloncat dengan jalan memutari asap itu, ternyata Cui Im dan Keng Hong sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.

"Kurang ajar! Mari kita kejar!" Kiu-bwe Toanio berseru dan menggerak-gerakan pecutnya yang tinggal berekor enam itu.

"Tar-tar-tarrr…!"

Dua orang tokoh lihai ini segera melesat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi karena mereka berdua tidak melihat ke jurusan mana larinya Cui Im, mereka mengejar secara ngawur dan ternyata mereka menuju ke jurusan yang berlawanan. Apa bila Cui Im yang mengempit tubuh Keng Hong lari ke selatan, mereka malah mengejar ke barat.

********************

"Keng Hong, kita beristirahat dan bermalam di sini!" Kata Cui Im sambil melempar tubuh Keng Hong di atas rumput hijau dalam sebuah hutan.

Senja telah berlalu dan keadaan cuaca di dalam hutan sudah remang-remang. Cui Im lalu menyalakan api dan membuat api unggun sehingga selain hangat dan tak terganggu oleh nyamuk, tempat itu juga menjadi agak terang. Kemudian gadis cantik itu duduk mendekati Keng Hong yang bersandar pada batang pohon.

"Keng Hong, waktumu sudah terlewat sehari, tinggal malam ini saja. Jika kau tidak kuberi obat penawar, besok pagi engkau mampus."

Keng Hong menarik napas panjang memperlihatkan muka duka padahal di dalam hatinya dia menjadi geli. "Mampus ya biarlah, malah tidak repot menjadi rebutan seperti sekarang ini!"

"Eh, ehh, ehh! kau masih muda remaja, baru tujuh belas tahun usiamu, belum mengecap kenikmatan hidup, mengapa ingin mati?"

"Ingin mati sih tidak, akan tetapi kalau engkau meracuniku sampai mati, aku bisa berbuat apakah?"

"Engkau tidak ngeri? Tidak takut mati?"

"Mengapa takut? Apakah engkau takut mati, Cui Im?"

Gadis itu mengangguk, memandang wajah tampan itu dengan heran dan kagum.

"Hemmm, alangkah anehnya kalau ada orang takut mati. Mati itu apa sih? Siapa yang pernah mengalaminya? Siapa yang mengetahuinya bagaimana bila sudah mati? Apakah menakutkan? Kalau belum tahu, perlu apa takut? Aku tidak takut mati karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana, seperti juga dahulu aku tidak takut lahir karena ketika itu pun aku tidak tahu bagaimana itu yang disebut hidup!"

"Wah, engkau ini selain tolol dan bandel, juga aneh!"

"Engkau lebih aneh lagi. Pada waktu berada di Kun-lun-san, engkau membiarkan dirimu menjadi tawanan, berpura-pura seperti orang yang tidak mempunyai kepandaian, padahal tadi ketika menghadapi Kiu-bwe Toanio, engkau lihai sekali."

Cui Im tertawa, giginya berkilauan disentuh sinar api unggun. "Kalau tosu-tosu bau dari Kun-lun-pai itu mengetahui bahwa aku adalah aku, tentu mereka tidak akan mudah untuk melepaskan aku pergi, biar pun engkau yang memintanya."

"Engkau siapa sih? Aku dengar tadi mereka menyebutmu Ang-kiam Tok-sian-li. Julukan yang bagus sekaligus juga mengerikan! Ang-kiam (Pedang Merah) dan Sian-li (Bidadari) memang bagus, akan tetapi terselip kata-kata Tok (Racun), sayang sekali. Dan buktinya engkau memang tukang meracuni orang! Mengapa seorang gadis muda jelita semacam engkau begini ganas, sungguh sukar dimengerti."

Cui Im tertawa lagi dan memegang lengan pemuda itu dengan sikap mesra.

"Kau bilang aku jelita? Benarkah?"

"Kalau aku tidak bilang kau jelita, berarti aku membohongi diri sendiri. Engkau memang jelita, Cui Im."

Gadis itu semakin girang hatinya. "Aduh, kalau kau selalu bersikap manis kepadaku, aku menjadi tak tega membunuhmu, Keng Hong. Kau tampan sekali, dan banyak gadis akan kehilangan hatinya kelak kalau berhadapan denganmu."

Jantung Keng Hong berdebar, dia selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita muda dan cantik, belum pernah dipuji dan di rayu. Cepat dia menekan perasaannya dan mengalihkan percakapan.

"Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap merupakan dua orang locianpwe yang berilmu tinggi, akan tetapi terhadapmu seperti orang jeri, dan selalu menyebut-nyebut gurumu. Siapa sih gurumu yang agaknya amat mereka takuti itu, Cui Im?"

"Guruku ialah orang yang terpandai di kolong langit ini! Agaknya hanya Sin-jiu Kiam-ong saja yang bisa menandinginya, akan tetapi setelah Kiam-ong meninggal, guruku menjadi jago nomor satu di dunia! Dia adalah orang pertama dari keempat Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang menguasai daerah selatan dan berjuluk Lam-hai Sin-ni (Dewi Laut Selatan). Tapi... ah, Keng Hong, marilah bawa aku ke tempat rahasia penyimpanan kitab-kitab rahasia suhu-mu, kita mempelajari bersama dan... kita berdua akan menjadi sepasang jago nomor satu di dunia. Guruku sendiri takan mampu melawan kita. Marilah, kekasih...!" Cui Im merangkul leher Keng Hong.

Tercium keharuman yang sangat sedap dari muka dan rambut gadis itu, membuat Keng Hong menjadi makin berdebar jantungnya dan terpaksa dia memejamkan matanya.

"Bagaimana, Keng Hong? Engkau kuberi obat pemunah, ya? Kemudian... kemudian kita bersenang-senang malam ini dan besok kita pergi ke Kun-lun-san, ke Kiam-kok-san dan mengambil semua pusaka peninggalan suhu-mu... ya?"

Keng Hong sudah memejamkan mata dan sudah pula mengumpulkan seluruh panca indra untuk menekan batinnya yang bagaikan air tenang yang mulai diguncang oleh nafsu. Dia menggelengkan kepala dan berbisik, "Aku tidak tahu di mana tempatnya itu."

Cui Im melepaskan rangkulannya dan seketika lenyap pula kemesraannya. Ia mendengus kemudian menjauhkan diri, duduk merenung di depan api unggun. Keng Hong membuka matanya dan memandang punggung gadis itu yang menggunakan sepuluh jari tangannya menekuk-nekuk batang rumput, berkali-kali menarik napas panjang dan nampak jengkel sekali.

Keng Hong terheran mengapa ada seorang gadis secantik itu, sehalus itu, berhati kejam dan jahat, mengejar kepandaian secara membuta. Dia merasa sayang sekali. Kalau dia terbayang akan belaian dan bujuk rayu tadi, kakinya menggigil. Apa yang akan diperbuat gurunya, andai kata Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi dia? Dia tidak takut akan racun yang memasuki perutnya tadi. Selama dia berguru kepada Sin-jiu Kiam-ong, gurunya itu setiap hari memberinya minum segala macam racun, sedikit demi sedikit!

"Kaki tangan seorang lawan dapat kau hadapi dengan kaki tangan pula, muridku," begitu gurunya memberi keterangan, "akan tetapi lawan yang licik suka mempergunakan racun yang dicampur dalam makanan atau minuman. Banyak terdapat racun yang jahat sekali dan yang tidak berbau apa-apa, tidak terasa apa-apa. Namun dengan kebiasaan minum sedikit racun setiap hari, lidahmu akan menjadi biasa dan dapat mengenal setiap racun yang dicampur makanan atau minuman. Juga, dengan cara sedikit demi sedikit, semakin lama makin bertambah takarannya, dengan memasukan racun-racun itu ke perut, engkau akan menjadi kebal terhadap segala macam racun."

Demikianlah, ketika dia minum air yang dicampur racun, dia segera mengenal racun itu, akan tetapi dengan mengandalkan kekebalan perutnya dia tidak khawatir dan minum terus sampai habis. Dengan sinkang yang disalurkan ke perutnya, dia tadi telah mengumpulkan racun di perutnya dan dalam perjalanan tadi ketika dia dipanggul Cui Im, diam-diam dia telah memuntahkan kembali racun itu sehingga kini perutnya bersih dari pada racun.

Kembali Keng Hong memperhatikan Cui Im. Kini gadis itu agak miring duduknya hingga wajah yang cantik itu tampak dari samping. Wajah yang disinari dengan api merah, sedikit tertutup juntaian rambut hitam, benar-benar sangat mempesonakan.

Ketika tiba-tiba gadis itu menoleh ke arahnya, seolah-olah terasa pandang matanya yang penuh harap, Keng Hong cepat meramkan matanya. Dia memang lelah dan mengantuk, maka sekarang dia mengambil ketetapan hati untuk meram terus dan tidur, tidak mau lagi mempedulikan gadis itu.

"Keng Hong...!"

Pemuda itu membuka matanya dan memandang gadis yang bersimpuh di depannya.

"Enak saja kau tidur!"

"Habis mau apa lagi? Mengapa kau mengganggu orang tidur?"

Gadis itu makin gemas. Orang ini sudah terkena racun, sudah menghadapi kematian, tapi masih enak-enak saja. Meski pun seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw macam mereka yang disebut locianpwe, kiranya akan menjadi gelisah dan akan berdaya sebisa mungkin untuk menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi pemuda ini enak-enak saja tidur.

Selain heran dan penasaran, juga dia menjadi kagum dan makin tertarik karena sukarlah mencari seorang pemuda setenang ini. Ataukah memang karena tololnya?

Memang dia tidak menghendaki kematian Keng Hong, karena kematian pemuda ini tidak saja akan membuyarkan cita-citanya untuk mendapatkan kitab-kitab simpanan Kiam-ong, juga gurunya pasti akan menjadi marah sekali padanya. Apa yang ia harus lakukan untuk dapat membujuk pemuda ini?

"Keng Hong, apakah kau tidak merasa sakit?"

Keng Hong menggeleng kepala.

"Perutmu tidak mulas? Racun itu tentu telah mulai bekerja."

Kembali pemuda itu hanya menggeleng.

"Kau memang orang yang aneh. Karena umurmu tinggal malam ini saja, biarlah kuhadiahi engkau dengan arak wangi yang kubawa. Jarang ada orang yang kuberi arak ini, kalau bukan orang yang kusenangi."

"Hemm…, engkau senang kepadaku?"

Cui Im memandang dan melempar kerling memikat, senyumnya kini manis sekali. "Ahhh, betapa bodohnya engkau Keng Hong. Tentu aku senang kepadamu, aku cinta kepadamu, masih butakah matamu? Aku tidak ingin melihat engkau mati besok."

"Engkau ingin memaksa aku mencari pusaka suhu, bukan tidak ingin melihat aku mati."

"Betul juga, akan tetapi aku cinta padamu. Kau seorang pemuda yang jantan, tabah dan luar biasa. Mari, kuhadiahi engkau arak wangi."

Cui Im mengeluarkan sebuah guci arak kecil dari balik bajunya, membuka tutupnya dan terciumlah bau yang sangat wangi, seperti puluhan macam bunga wangi dikumpulkan di dalam guci arak itu. Keng Hong tidak banyak cakap lagi, namun dia haus dan bau arak itu amat sedap. Ia menerima guci itu dan menodongkan ke mulutnya.

"Racun atau obat penawar?" tanyanya sebelum minum.

Cui Im makin kagum. Di dunia ini tak mungkin menjumpai orang seperti pemuda ini, yang sedemikian tenang dan dinginnya menghadapi ancaman racun, padahal pemuda itu telah mengenal namanya sebagai Tok-sianli (Dewi Beracun)! Hebat bukan main!

"Kalau arak ini beracun, bagaimana?" Ia bertanya, memancing.

"Racun pun boleh, asal enak diminum. Aku sudah diracuni, bila ditambah lagi sedikit atau banyak apa bedanya?" Jawab Keng Hong lalu meminum arak itu dari guci.

Lidahnya segera dapat merasa bahwa di dalam arak ada racunnya, akan tetapi racun ini berbeda dengan racun tadi. Racun yang berada di dalam arak ini racun yang amat halus, bahkan bukan racun cair karena begitu diminum, racun itu menjadi segumpal hawa yang harum.

Dia tidak tahu racun apa ini, akan tetapi dia mengerahkan sinkang-nya menerima racun itu dan membiarkan gumpalan hawa wangi itu berkumpul di dalam dadanya. Setelah guci kecil itu kosong, baru dia mengembalikannya kepada Cui Im, kemudian mengusap mulut dengan ujung lengan bajunya.

Cui Im memandang dengan mata terbelalak, kemudian tersenyum-senyum ketika melihat pemuda itu menyandarkan diri di batang pohon dan meramkan mata seperti orang sangat mengantuk. Dia percaya penuh akan kemanjuran racun araknya dan mengharapkan hasil sekali ini.

Arak yang dicampur racun itu amatlah kuatnya dan merupakan arak buatan gurunya yang ampuh sekali. Bukan racun untuk membunuh, melainkan racun untuk pembangkit birahi, racun perangsang yang dibuat dari beberapa macam lalat dan semut kemudian dicampur sari bunga-bunga wangi.

Dengan cara pembuatan yang sederhana, penduduk di kepulauan selatan menggunakan sebagian kecil saja untuk meracuni kuda yang hendak dikawinkan. Tanpa racun ini, sukar sekali untuk mengawinkan kuda betina. Kini, yang diminumkan oleh Cui Im kepada Keng Hong merupakan inti sarinya, kerasnya bukan main dan kiranya cukup untuk pembangkit nafsu birahi dua puluh ekor kuda! Mantap…!

Keng Hong yang meramkan mata itu sebenarnya tidak tidur. Dia mendengarkan semua gerak-gerik Cui Im yang menurut pendengarannya seperti orang gelisah. Akan tetapi dia tidak peduli dan meramkan mata, mengheningkan cipta dan mengerahkan sinkang untuk menahan gumpalan hawa beracun yang aneh itu.

Ia tahu bahwa racun ini amat berbahaya, biar pun dia tidak tahu bagaimana bahayanya. Tubuhnya menjadi panas, padahal racun itu masih tertahan olehnya. Ia menanti saat baik untuk menghembuskan keluar racun itu di luar tahu Cui Im, karena dia pun hanya ingin melihat apa yang akan dilakukan gadis itu selanjutnya.

Akan tetapi, apa yang akan dihadapinya sungguh di luar dugaannya sama sekali. Lewat tengah malam, Keng Hong yang mengantuk itu tiba-tiba saja mendengar panggilan yang mesra dan halus, dibisikkan dekat telinganya.

"Keng Hong..., ahhh, Keng Hong...!"

Dia membuka matanya. Api unggun masih menyala dan di antara sinar merah api itu, dia melihat Cui Im merangkul dan membelainya, lengan yang telanjang membelit lehernya seperti ular, dada yang tidak ditutupi apa-apa membusung dan menekan dadanya sendiri. Gadis itu memeluk dan membelainya dalam keadaan telanjang bulat.

Keng Hong membelalakkan matanya, mulutnya ternganga dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika pada saat itu Cui Im mencium mulutnya yang sedang ternganga itu sehingga mulut mereka bertemu seperti guci arak dengan sumbatnya.

Karena kaget, Keng Hong mengeluarkan suara dari dadanya, "Ahhh…!"

Dan... segumpal hawa racun wangi yang telah dia kumpulkan dan tahan dengan kekuatan sinkang kini sudah terhembus keluar, memasuki mulut Cui Im yang terbuka dan langsung ke dalam dada gadis itu.

"Aiiihhhh...!" Cui Im menjerit dan terjengkang ke belakang. Ia terbatuk-batuk, memegangi leher yang serasa tercekik, tubuhnya mengeliat-geliat seperti seekor ular terkena api.

Keng Hong memandang dengan mata terbelalak, setengah kasihan, setengah geli bahwa tanpa disengaja racun itu meracuni Cui Im sendiri, juga setengah kagum menyaksikan betapa tubuh yang indah itu mengeliat-geliat seperti itu.

Harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan keindahan tubuh seperti tubuh Cui Im. Dalam mimpi pun tidak pernah. Kini barulah dia mengerti mengapa mendiang Sin-jiu Kiam-ong, suhu-nya itu, dikatakan mata keranjang dan tukang memikat wanita.

Kiranya tubuh indah serta wajah cantik seperti yang dimiliki Cui Im inilah yang membuat suhu-nya menjadi seperti itu. Hati pria mana takkan tertarik? Bukankah keindahan wanita memang khusus diciptakan untuk menarik hati pria? Kerbau, kuda, burung dan segala macam binatang tentu akan tertarik dengan keindahan wajah dan tubuh seorang wanita!

"Tamasya alam yang indah memang minta kita pandang dan kagumi. Kembang-kembang cantik wangi memang minta kita pandang dan ciumi. Wanita-wanita cantik jelita memang minta kita cinta dengan kasih mesra. Engkau bahagia dalam hidupmu kalau tidak terjerat cinta kasih yang mendalam, muridku. Sekali terjerat, engkau akan menikah, dan sekali engkau menikah, berarti engkau memberikan kaki tanganmu untuk diikat selama-lamanya dengan kewajiban-kewajiban! Karena itu jauhkan dirimu dari pada ikatan cinta kasih yang mendalam, walau pun engkau telah berhubungan dengan banyak wanita. Kalau memang engkau suka, jangan menolak cinta wanita, hanya jangan berikan hatimu, jangan berikan cinta kasihmu, cukup kau berikan tubuhmu." Demikianlah pernah dia mendengar nasehat gurunya yang terkenal sebagai seorang pemikat wanita!

Tadinya wejangan seperti itu hanya lewat saja di hatinya sebab belum terpikirkan olehnya bahwa dia akan menghadapi hal-hal seperti itu, tidak terpikirkan olehnya bahwa dia akan bertemu dengan wanita-wanita hingga timbul persoalan cinta kasih. Akan tetapi sekarang, baru saja dia turun dari Kiam-kok-san, dia telah bertemu dengan hal yang dikatakan oleh suhu-nya itu!

Kini Cui Im sudah tidak menggeliat-geliat lagi laksana cacing kepanasan. Gadis itu masih terengah-engah dan memegangi lehernya, kemudian mengangkat mukanya memandang Keng Hong. Rambutnya yang terurai itu sebagian menutupi wajahnya. Mukanya merah sekali, bibir dan rongga mulutnya yang agak terbuka lebih merah lagi, matanya menatap penuh gairah, hidungnya berkembang-kempis seakan-akan liangnya terlalu sempit untuk jalan keluar pernapasan.

"Keng Hong... Ah-ahhh... Keng Hong..."

Cui Im yang tadinya berlutut itu kini merangkak maju menghampiri Keng Hong, kemudian menubruk pemuda itu, merangkul dan menciumi sambil membisikan kata-kata yang tidak ada artinya, kemudian tangannya meraba-raba ke arah kancing pakaian Keng Hong.

Keng Hong menjadi geli hatinya dan di luar kesadarannya sendiri, dia membiarkan semua perbuatan Cui Im. Dia teringat akan gurunya, teringat akan nasehat gurunya, dan timbul watak petualang yang memang terdapat di dalam sudut hati setiap orang manusia, yang membuat dia ingin mengalami segala macam hal.

Keng Hong tidak menolak segala keinginan Cui Im, dan membiarkan diri sendiri menjadi murid yang melayani segala kehendak Cui Im yang sedang diamuk oleh nafsu birahi yang dirangsang oleh hawa racunnya sendiri.

Cui Im sama sekali tak mengira bahwa akan menjadi begini urusannya. Bukan hanya dia sendiri menjadi korban racunnya, bahkan tanpa diketahui olehnya atau oleh Keng Hong sendiri, di dalam hubungan mereka itu pun timbul pula daya sedot mukjijat dalam tubuh Keng Hong sehingga setelah lewat malam itu, Cui Im terkulai bagaikan orang kehabisan tenaga, setengah pingsan di atas rumput.

Ada pun Keng Hong yang telah membereskan pakaiannya sendiri, enak-enak saja duduk nongkrong di bawah pohon dan membesarkan api unggun. Hanya wajahnya yang tampak kemerahan dan segar, serta pandang matanya berbeda dari kemarin karena kini pandang matanya menjadi ‘masak’. Mulai lewat tengah malam tadi Keng Hong telah berubah dari kanak-kanak menjadi seorang laki-laki dewasa. Agaknya benar seperti diramalkan Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai bahwa bocah ini akan lebih hebat dari Sin-jiu Kiam-ong!

"Keng Hong...!" Suara itu terdengar lemah namun penuh rayuan, penuh cinta kasih, dan keluar dari mulut Cui Im yang menggeliat seperti seekor kucing kekenyangan. Kemudian dia bergidik, merasa betapa dinginnya hawa pagi dan agaknya baru disadarinya bahwa ia bertelanjang.

Dengan malas Cui Im menyambar pakaiannya, mengenakan sejadinya, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat dengan pakaian kusut dan rambut masih terurai lepas, meloncat ke dekat Keng Hong yang masih enak-enak membesarkan api unggun.

"Keng Hong! Kau... kau... ah, lekas, kau telan pil pemunah racun itu...! Ahh, sudah pagi... celaka, terlambat sudah... aduh, Keng Hong, Keng Hong kekasihku...!" Cui Im menangis tersedu-sedu dan merangkul leher Keng Hong.

"Kau ini kenapa sih?" Keng Hong bertanya tak acuh.

"Kenapa? Kau masih enak-enakan saja? Racun itu... engkau berada di ambang maut dan obat pemunah tidak ada gunanya lagi. Kau akan mati, Keng Hong!"

Pemuda itu menoleh dan tampak olehnya betapa wajah itu tidaklah sejelita malam tadi! Ia kini tidak tertarik oleh kecantikan Cui Im, bahkan merasa tidak senang. Padahal wajah itu masih sama, dan mengertilah dia akan keterangan suhu-nya mengenai perbedaan antara cinta sejati dan cinta nafsu.

Cinta sejati tidak mengenal cantik atau tidak, juga tidak mengenal bosan karena cintanya mendalam dan ada kontak serta getaran antara jiwa dan batin kedua pihak. Sebaliknya, cinta nafsu hanyalah cinta yang timbul karena dorongan nafsu, karena kecantikan yang amat dangkal, hanya setebal kulit sehingga cinta nafsu ini sekali terpuaskan akan menjadi bosan.

"Aku tidak akan mati."

"Apa? Dan racun itu...? Racun ganas sekali!"

"Sudah kutumpahkan kembali. Aku tidak akan mati oleh racunmu, Cui Im."

Gadis itu terbelalak dan hatinya tidak senang melihat sikap Keng Hong yang begitu dingin, seolah-olah lenyap cinta kasihnya padanya. Padahal baru saja, selama setengah malam penuh, mereka bercinta kasih tak mengenal batas.

Ia menggelung rambutnya, memandang dengan kagum. Pemuda ini hebat! Hebat segala-galanya, pikirnya. Diracuni tidak mati, dan dari pengalamannya semalam harus dia akui pula bahwa belum pernah selamanya ia bertemu dengan seorang pria seperti Keng Hong ini. Dia segera menghampiri dan merangkul pundak Keng Hong.

"Syukurlah kalau begitu, kekasihku. Keng Hong, kita sudah... sudah menjadi suami isteri yang tidak sah! Engkau patut menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong. Ahh, kekasihku, kita saling mencintai, hidup berdua mati bersama, bukan? Mari kita pergi untuk mencari peninggalan suhu-mu yang sakti..."

"Tidak! Kau pergilah, Cui Im. Agaknya sudah cukup aku mengalah terus dan menuruti semua perintahmu. Aku tidak menyesal karena terus terang saja, aku senang kepadamu. Akan tetapi jangan harap untuk dapat membujuk atau memaksa aku agar mencari pusaka guruku karena selain aku tidak tahu tempatnya, juga aku tidak mau. Pergilah!"

"Ihhh...! Keparat!" Cui Im meloncat tinggi melepaskan pelukannya dan dia jatuh berdebuk di atas tanah. "Heeeee...? Ke... kenapa...?"

Gadis itu terbelalak matanya dan terheran-heran, juga menjadi gelisah sekali. Mengapa dia seolah-olah kehilangan tenaga sinkang-nya? Meloncat begitu saja ia terbanting roboh! Akan tetapi kemarahannya membuat dia melupakan keadaan yang aneh ini dan dia telah bangkit berdiri, lalu memaki.

"Kau laki-laki tak berbudi! Kau laki-laki pemikat! Sesudah menikmati tubuhku, kau lantas mengusir aku pergi begitu saja!"

"Ingat, bukan aku yang memikat, melainkan kau sendiri. Pergilah!"

"Jahanam!" Cui Im melompat maju dan mengirim pukulan ke arah punggung Keng Hong.

"Bukkk! Aiiihhh...!"

Keng Hong masih duduk enak-enak, nongkrong di depan api unggun, sebaliknya tubuh Cui Im terlempar ke belakang dan gadis itu mengelus-elus tangan kanannya yang dipakai memukul tadi, matanya terbelalak. Dalam pukulannya tadi dia merasa betapa tangannya mendadak lemah sekali, sebaliknya punggung pemuda itu bagaikan dilindungi hawa yang amat kuat.

"Aku... aku… kenapa...?" Kembali Cui Im berseru heran, hatinya penuh kengerian. "Keng Hong... kau apakan aku...?"

Keng Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuh untuk menghadapi gadis itu. "Cui Im, kau tahu aku tidak melakukan apa-apa. Semenjak kemarin, justru engkaulah yang selalu menggangguku."

"Aku... tenaga sinkang-ku... kosong dan kering... tenagaku amat lemah..."

Keng Hong juga tidak mengerti kenapa, dan dia tak peduli sebab merasa bukan dia yang menyebabkan gadis itu demikian. Keng Hong tidak tahu, seperti dulu saat di Kun-lun-san dia juga tidak sadar bahwa dia sudah menyedot tenaga Kiang Tojin dan para tosu lain, semalam pun tanpa disadarinya, sebagian besar sinkang di tubuh Cui Im telah berpindah ke dalam dirinya.

Keanehan yang terjadi dalam tubuh Keng Hong adalah bahwa setiap kali dia menghadapi serangan sinkang yang kuat, secara otomatis tenaga sedotan itu bekerja tanpa disengaja dan tanpa dapat dia dicegah. Karena sinkang dari Cui Im tidaklah sekuat sinkang-sinkang Tojin dan tosu-tosu lainnya, maka Keng Hong tak terlalu merasakan perbedaannya, tidak seperti ketika berada di Kun-lun-san itu. Sekarang dia hanya merasa tubuhnya segar dan sehat, sama sekali tidak merasa lelah.

Sementara itu, Cui Im juga telah menekan keguncangan hatinya. Ia coba menghilangkan kebingungannya dengan menganggap bahwa sebagian besar sinkang-nya lenyap karena pengaruh hawa beracun, yaitu racun perangsang yang entah bagaimana telah berpindah ke dalam dadanya ketika dia mencium mulut Keng Hong semalam. Ia kini menjadi tenang kembali dan tidak menggunakan sinkang, tidak mengerahkan hawa dari pusar, melainkan mencabut pedang merahnya lalu menodong dan mengancam.

"Keng Hong, sungguh pun racun itu tidak dapat membunuhmu, pedangku ini masih dapat mengirim nyawamu ke neraka kalau kau menolak permintaanku!"

Keng Hong memandang ujung pedang yang menodong dadanya, lalu ia menghela napas panjang. "Sayang sekali, Cui Im. Engkau seorang gadis cantik jelita dan berkepandaian tinggi, akan tetapi semua itu tak ada artinya kalau hatimu sekotor ini. Kulihat sinkang-mu sudah sangat lemah, kalau aku mempergunakan tenaga mana mungkin pedangmu dapat mengusikku? Akan tetapi aku tidak akan mempergunakan tenaga, dan biarlah kujadikan engkau sebagai penguji karena selama turun gunung aku belum pernah menggunakan kiam-sut yang kupelajari dari suhu."

Cui Im membuat gerakan menusukkan pedangnya. Akan tetapi dengan tangan miring, jari-jari tangan Keng Hong yang disaluri tenaga sakti yang hebat itu dapat menangkis dan mengibas sehingga pedang merah itu hampir terlepas dari pegangan tangan Cui Im.

Keng Hong lalu membungkuk dan memunggut sebatang ranting kayu, sisa yang dijadikan umpan api unggun malam tadi, kemudian dia sudah siap dengan ranting ini di tangannya, memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut. Tentu saja ilmu pedang ini baru sempurna kalau dimainkan dengan pedang Siang-bhok-kiam, akan tetapi karena pedang itu tidak ada, ranting ini pun cukup baik, lebih baik dari pada dia menggunakan pedang logam karena sifat kayu ini dan ringannya agak cocok dengan Pedang Kayu Harum.

"Nah, marilah kita berlatih ilmu pedang," katanya.

Ranting dilonjorkan lurus ke atas seperti menuding langit, kemudian perlahan-lahan turun ke bawah melingkari lehernya sendiri terus turun dan ditudingkan ke atas tanah. Ini adalah kuda-kuda atau gerakan pembukaan Siang-bhok Kiam-sut. Dengan dua kakinya tegak di kanan kiri, tangan kirinya mengikuti gerakan pedang membentuk lingkaran di depan dada yang berhenti di depan ulu hati dalam keadaan miring seperti orang menyembah dengan satu tangan.

Cui Im maklum akan kelihaian pemuda ini dalam tenaga sinkang yang dapat menyedot tenaga lawan. Dia sendiri telah menyaksikan betapa Keng Hong merobohkan Kiang Tojin yang lihai bersama beberapa orang tosu Kun-lun-pai yang lain, maka dia merasa ngeri dan jeri untuk beradu kekuatan sinkang.

Akan tetapi ia pun telah melihat gerak-gerik Keng Hong yang masih kaku dalam ilmu silat. Karena itu dia pikir bahwa kalau bermain pedang, apa lagi pemuda itu hanya bersenjata ranting, pasti ia akan menang. Dia sudah menggunakan racun, sudah pula menggunakan rayuan bahkan menyerahkan raganya, namun semua itu tidak berhasil menundukkan hati Keng Hong. Jalan satu-satunya hanya membunuhnya!

Berpikir demikian, Cui Im lalu berteriak keras kemudian menerjang maju dengan dahsyat sekali, mengirim jurus serangan mematikan. Harus diakui bahwa tingkat ilmu kepandaian Cui Im sudah sangat tinggi, apa lagi ilmu pedangnya, karena merupakan murid terkasih dari Lam-hai Sin-ni, datuk nomor satu dari si empat besar Bu-tek Su-kwi. Selain memiliki ginkang yang luar biasa cepatnya, sungguh pun sekarang tidak dapat digunakan karena sinkang-nya sebagian besar telah ‘pindah’ ke tubuh Keng Hong, dia juga mempunyai ilmu pedang yang amat ganas.

Keng Hong bersikap hati-hati sekali. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian gadis ini dalam bermain pedang ketika melawan Kiu-bwe Toanio, maka sekarang ia cepat menggerakkan rantingnya, digetarkan ujungnya lantas menangkis dengan jurus-jurus ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut.

"Ayaaaa...!" Cui Im terkejut sekali.

Begitu pedangnya bertemu dengan ujung ranting yang bergetar, pedangnya ikut tergetar dan getaran itu terus menjalar ke tangan dan lengannya, membuat lengannya kesemutan dan hampir saja dia terpaksa melepaskan pedangnya kalau tidak cepat-cepat ia memutar pergelangan tangannya dan melangkah mundur.

Keng Hong tidak mengejar atau mendesak lawannya, dia hanya berdiri siap menghadapi serangan gadis itu. Sikapnya tenang dan timbul kepercayaan pada diri sendiri. Mungkin di dalam hal ilmu silat dia kalah pandai, akan tetapi ilmu pedangnya Siang-bhok Kiam-sut merupakan ciptaan gurunya, dan dalam kekuatan sinkang dia menang jauh. Asal dia bisa menjaga diri jangan sampai termakan pedang, dia tidak akan kalah.

"Kau... kau laki-laki keji!" Cui Im berteriak gemas lalu tubuhnya kembali menerjang maju mengirim tusukan dan bacokan bertubi-tubi.

Hebat sekali gerakan pedang gadis ini, perubahannya juga sangat sukar diduga sehingga pandang mata Keng Hong berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang merah itu bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuhnya.

Terpaksa Keng Hong menyalurkan sinkang pada rantingnya dan memutar-mutar ranting itu melindungi tubuhnya. Hawa sinkang yang disalurkan itu hebat sekali sehingga pedang yang ujungnya berubah menjadi puluhan banyaknya saking cepat dan tak terduga-duga gerakannya itu selalu tertumbuk dan mental kembali, kalau tidak tertangkis ranting tentu membalik oleh hawa pukulan yang amat dahsyat.

Akan tetapi, meski pun serangan Cui Im gagal semua, Keng Hong juga sama sekali tidak ada kesempatan untuk membalasnya. Hal ini adalah karena latihannya belum sempurna sama sekali, gerakannya masih amat kaku dan pedang Siang-bhok-kiam tidak berada di tangannya. Kalau ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut sudah dilatih baik dan pada saat itu dia memegang pedang pusaka itu, kirannya dalam beberapa jurus saja Cui Im yang lihai itu tentu tidak mampu bertahan terhadapnya!

Makin lama Cui Im makin marah. Dari mulut gadis ini keluar lengking panjang yang amat nyaring dan dengan nekat dia memutar pedang lebih cepat lagi. Namun, makin cepat dia menggerakkan pedang, juga makin banyak dia menambah tenaga, dan dia semakin lelah pula sehingga setiap kali terbentur ranting pedangnya segera membalik dan seperti akan menyerang tubuhnya sendiri.

Hal ini membuat Cui Im penasaran dan gemas sekali. Dia memekik keras, lalu mencabut keluar sehelai sapu tangan merah dan menggunakan sapu tangan itu sebagai penyeling serangan pedangnya, mengebutkannya ke arah Keng Hong.

Keng Hong maklum akan bahayanya sapu tangan merah yang berbau harum ini. Teringat ia akan hawa racun yang tercampur pada arak. Menghadapi minuman, dia masih dapat bertahan karena lima tahun dia setiap hari diberi minuman racun. Akan tetapi terhadap racun yang berupa asap atau uap benar-benar amat berbahaya.

Melihat berkelebatnya sapu tangan merah yang wangi. Keng Hong cepat menghindarkan diri dengan menggeser kaki ke kiri dan memukulkan rantingnya pada sapu tangan itu. Ia berhasil merobek sapu tangan dengan ujung rantingnya, akan tetapi dia tidak tahu bahwa serangan sapu tangan itu hanya pancingan belaka karena pada detik berikutnya, Cui Im sudah membanting sebuah benda seperti bola yang tadinya disembunyikan di balik sapu tangan.

Bola itu mengeluarkan suara ledakan dan asap hitam mengelilingi Keng Hong. Pemuda itu terkejut sekali dan melompat, namun terlambat. Dia telah menghisap asap hitam yang berbau amis, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Ia terhuyung-huyung dan di dalam kegelapan asap itu pedang Cui Im menyambar dan menusuk lambungnya. Keng Hong masih sempat menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Tranggg...!" Pedang merah terlepas dari tangan Cui Im.

Akan tetapi pada saat itu Keng Hong terguling karena sebuah tendangan gadis itu tepat mengenai lutut kananya. Keng Hong terguling roboh, pandang matanya gelap, napasnya terengah-engah sehingga makin banyak asap hitam tersedot olehnya!

Cui Im menjadi girang sekali. Dia sudah menubruk ke depan setelah menyambar pedang merahnya, disabetkan ke arah leher pemuda yang sudah tak berdaya lagi itu.

"Singgggg... tranggg...!"

Cui Im menahan jeritnya ketika pedangnya yang sudah meluncur itu tiba-tiba tertahan di tengah udara, hanya beberapa senti meter lagi dari leher Keng Hong, dan terlepas dari tangannya kemudian terbang ke atas, terampas oleh segulung sinar putih yang datang menyambar secepat kilat.

"Suci (kakak perempuan seperguruan) apa yang hendak engkau lakukan itu?" Terdengar teguran halus dan ternyata di situ telah berdiri seorang gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, berpakaian sutera putih dengan garis-garis pinggir biru, memegang sehelai sabuk sutera putih panjang yang tadi dipergunakan secara luar biasa sekali untuk merampas pedang di tangan Cui Im.

"Sumoi (adik perempuan seperguruan)...! Engkau...??" teriak Cui Im dengan suara kaget dan jeri.

Memang aneh kelihatannya. Mengapa Cui Im seorang kakak seperguruan takut terhadap adik seperguruannya? Namun kenyataannya begitulah.

"Nih, kukembalikan pedangmu, Suci!" kata pula gadis baju putih itu.

Sekali menggerakkan pergelangan tangan yang memegang sabuk sutera putih, pedang merah itu meluncur ke arah Cui Im yang cepat menyambutnya dan menyimpannya. Gadis baju putih itu lalu menggerakkan sabuknya yang menyambar ke arah Keng Hong laksana seekor ular hidup, melibat-libat tubuh pemuda yang masih pening dan mabuk itu, lantas sekali betot, tubuh Keng Hong melayang ke dekat gadis itu.

Cui Im memandang dengan muka berubah merah karena penasaran ketika sumoi-nya mengeluarkan segulung sutera hitam, kemudian mengikat dua pergelangan tangan Keng Hong yang masih rebah terlentang kebingungan. Setelah mengikat dua tangan pemuda itu secara hati-hati, gadis baju putih ini lalu memakai kembali sabuknya, dilibat-libatkan di pinggangnya yang ramping.

"Sumoi mengapa kau tawan dia? Dia itu... punyaku! Aku yang menangkap dia, dan aku yang berhak atas dirinya. Dia itu kekasihku!" teriak Cui Im dengan nada penasaran dan marah, namun dia tetap tidak berani mengeluarkan ucapan kasar terhadap sumoi-nya ini.

"Hemmm, kulihat kau tadi hendak membunuhnya," kata si gadis baju putih dengan suara halus dan tenang.

"Karena dia adalah punyaku, aku berhak melakukan apa saja terhadapnya. Aku hendak membunuhnya karena dia tidak memenuhi permintaanku untuk mencari pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."

"Aku tahu semua itu, Suci. Hanya aku tak senang melihat engkau hendak membunuhnya. Ibu sendiri yang menyuruh aku menyusulmu dan mengawasi gerak-gerikmu. Dan harus kukatakan bahwa apa yang kulihat semalam tadi dan saat ini, sungguh mengecewakan sekali. Kau terlalu menurutkan nafsu, nafsu birahi dan nafsu kemarahanmu. Yang dicari belum didapat, mengapa hendak membunuh dia? Ibu yang menyuruh aku menangkapnya dan membawanya kepada ibu."

"Aahhhhh...!" Cui Im mengeluh dengan nada kecewa sekali. "Dahulu subo tidak tertarik dengan peninggalan Sin-jiu Kiam-ong... dan membiarkan aku pergi untuk merampasnya, untukku sendiri..."

"Sudahlah, Suci. Mari kita pergi menghadap ibu dan kau boleh bicara sendiri kepada ibu."

"Tapi subo (ibu guru)..."

"Sudahlah!" Gadis baju putih itu membentak sehingga suci-nya terdiam.

Kemudian gadis baju putih itu menggerakkan bibir diruncingkan dan terdengarlah suara suitan melengking yang amat nyaring. Tak lama kemudian terdengar suara roda gerobak yang dilarikan kuda cepat sekali menuju ke tempat itu.

Ternyata kemudian bahwa gerobak itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, dikusiri oleh seorang wanita muda yang cantik, ada pun di belakang gerobak itu masih ada tiga orang wanita setengah tua yang cantik-cantik dan bersikap garang. Empat wanita yang datang ini semuanya memakai pakaian kuning dan di punggung mereka tampak gagang pedang.

"Masukkan dia ke dalam kereta, aku sendiri yang akan menjaganya bersama suci," kata gadis itu memberi perintah kepada tiga orang wanita setengah tua yang sudah melompat turun dari kuda.

Tanpa bicara sesuatu, mereka lalu mengangkat tubuh Keng Hong dan memasukannya ke dalam kereta, didudukkan di atas bangku menghadap ke belakang. Keng Hong masih pening kepalanya, menyadarkan diri dan meramkan mata, mulai mengumpulkan hawa sakti untuk mengusir hawa beracun yang mengotorkan dada dan kepalanya.

"Kalian berempat berangkatlah lebih dulu memberi laporan kepada ibu bahwa orang yang dikehendaki sudah tertawan. Biar suci yang menggantikan menjadi kusir dan aku yang mengawal orang ini. Berangkatlah!"

Empat orang itu mengangguk. Wanita muda yang tadi menjadi kusir diboncengkan oleh seorang di antara mereka dan tiga ekor kuda itu lalu membalap ke sebelah depan. Cui Im menghela napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi tanpa banyak membantah dia lalu pindah duduk ke depan dan menjadi kusir. Ada pun gadis baju putih itu kini duduk berhadapan dengan Keng Hong.

Dengan gemas Cui Im mencambuk empat ekor kuda itu yang segera membedal sambil mengeluarkan suara meringkik keras. Roda-roda kereta menderu-deru di atas jalan yang berbatu, dan guncangan-guncangan ini membuat Keng Hong cepat sadar kembali.

Sejak tadi Keng Hong tidak pingsan, hanya pening dan pandangan matanya berkunang. Namun dia masih dapat mengikuti dengan jelas apa yang telah terjadi dan dapat mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh gadis baju putih yang membelenggunya dan kini duduk di depannya. Kalau tidak ada gadis ini, tentu lehernya telah putus dan nyawanya melayang oleh pedang merah Cui Im.

Ia merasa heran sekali mengapa sumoi dari Cui Im ini kelihatannya jauh lebih lihai dari pada Cui Im sendiri dan amat ditaati oleh suci-nya. Akan tetapi dia mengetahui semua itu sebagian besar hanya dari ketajaman pendengarannya saja karena tadi matanya masih berkunang dan kabur pandangannya.

Sekarang, sesudah dia mengusir sisa hawa beracun, dibantu guncangan kereta itu yang membuat pandangan matanya terang kembali, dia lalu membuka mata memandang nona yang duduk anteng di depannya. Mula-mula yang mempesona Keng Hong adalah kedua mata itu.

Sepasang mata yang amat luar biasa indahnya, mengingatkan Keng Hong akan bintang-bintang di langit, dengan cahaya hangat lembut seperti sinar matahari pagi, bening bagai air telaga, tajam melebihi pedang pusaka, akan tetapi di balik semua keindahan itu jelas tersembunyi sifat dingin yang sangat menyeramkan!

Mata itu agaknya bisa menangkap kesadarannya akan tetapi hanya sekilas saja menyapu wajahnya, kemudian mata itu memandang lagi ke depan, seakan-akan dapat menembus segala yang berada di depannya.

Kemudian pandang mata Keng Hong merayapi wajah itu dan dia makin terpesona. Gadis yang jauh lebih muda dari Cui Im ini, yang usianya ditaksir tak akan lebih tua dari dirinya sendiri, memiliki wajah yang amat cantik jelita.

Bentuk wajahnya bulat telur, dengan kulit muka yang halus putih kemerahan tanpa bedak dan gincu. Rambutnya hitam sekali dan sangat halus seperti benang sutera, gemuk subur menghias dahi dan kedua pipi, menyembulkan dua buah telinga yang hanya kelihatan sedikit dan terhias dua buah anting-anting bermata merah. Alis itu sangat hitam dan kecil memanjang seperti dilukis saja padahal tak ada bekas-bekas goresan pensil dan agaknya alis ini beserta bulu mata yang panjang melengkung itulah yang menambah keindahan matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menantang ke atas, diapit oleh sepasang pipi yang kemerahan dan halus seperti buah tomat meranum.

Ketika pandang mata Keng Hong menurun lagi, pandang matanya seolah-olah menempel dan melekat pada sepasang bibir itu. Sukar dikatakan mana yang lebih indah antara mata dan bibir itu. Bentuknya laksana gendewa dipentang, dan warnanya merah membasah, segar dan membuat Keng Hong tanpa disadarinya sendiri menelan ludah seperti seorang kehausan melihat buah yang segar.

Kemudian sinar mata Keng Hong makin liar memandang lebih ke bawah dan apa yang dilihatnya benar-benar membuat dia terpesona. Gadis ini sangat cantik jelita, sikapnya agung dan pendiam, dan bentuk tubuhnya... sukar dilukiskan dengan kata-kata sungguh pun pakaian sutera putih itu membungkusnya. Pendeknya, kalau Cui Im merupakan gadis yang luar biasa cantiknya dan yang tidak pernah sebelumnya dia temukan atau impikan, kini gadis baju putih ini merupakan seorang gadis yang tak pernah dia sangka terdapat di dalam dunia!

"Hidung belang, sudah puaskah engkau meneliti dan menaksir diriku?"

Pertanyaan ini halus dan merdu terdengar oleh telinga, namun bagaikan pisau berkarat menggores jantung! Keng Hong belum tentu akan menjadi semerah itu kedua pipinya apa bila dia menerima tamparan keras.

"Ehhh... ohhh... aku..." Dia menggagap, berusaha mengelak dari pandangan mata yang begitu halus namun tajam menembus dada.

"Aku tahu, engkau hidung belang seperti gurumu, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa aku bukanlah seorang wanita murahan seperti dia itu." Dengan dagunya yang meruncing halus, gadis itu menuding ke arah depan, ke arah Cui Im yang mengemudikan kereta.

Keng Hong menghela napas panjang dan tidak terasa lagi dia mengangkat kedua tangan yang terbelenggu itu untuk mengosok-gosok hidungnya yang dua kali dikatakan belang! Ketika kedua tangannya mengosok-gosok hidung ini, seolah-olah baru tampak olehnya bahwa pergelangan kedua tangannya dibelenggu, terikat oleh sehelai tali sutera hitam yang amat kuat. Ia menaksir-naksir berapa kekuatan belenggu ini.

"Jangan mencoba-coba untuk mematahkan belenggu," gadis itu seakan dapat membaca pikirannya. "Selain kau tak akan berhasil, juga aku akan menyeretmu di belakang kereta kalau kau banyak tingkah."

Wah-wah, kiranya si jelita ini malah lebih galak dari pada Cui Im, pikir Keng Hong. Dia kembali menatap wajah itu dan melihat betapa gadis itu tenang laksana air telaga, dan matanya merenung jauh ke depan. Dia dianggap seperti lalat saja, atau bahkan tidak ada.

Keng Hong penasaran. Dia bukanlah seorang yang tidak mengenal budi. Gadis ini sudah menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dia yang sudah diselamatkan nyawanya diam saja seperti seorang yang tidak mengenal budi.

"Nona..." Akan tetapi dia tidak melanjutkan karena gadis itu sama sekali tidak bergerak, sama sekali tidak memperhatikan tanda-tanda bahwa dia mendengar panggilannya.

Keng Hong bergidik. Gadis ini bagaikan arca saja. Arca dari batu pualam yang halus dan dingin. Akan tetapi melihat bibirnya yang begitu merah membasah, melihat kemerahan pada rongga mulutnya ketika tadi bicara, kilatan giginya yang kecil rata dan putih, semua ini membayangkan darah muda yang panas. Setelah gadis itu kini berdiam diri, sikapnya benar-benar luar biasa dinginnya, sedingin salju di utara!

"Nona...!" Ia tidak putus asa dan memanggil lagi lebih keras. Namun gadis itu tetap diam, jangankan bergerak melirik pun tidak.

"Bledak... dak... dorrr...!" kereta melalui jalan yang berbatu, rodanya menumbuk batu-batu yang besar sehingga kereta itu terguncang hebat, bahkan hampir roboh miring.

"Heiiiii... ehhh...!" Keng Hong mengatur keseimbangan tubuhnya dan kaget sekali.

Akan tetapi kereta berjalan terus dan amatlah kagumnya menyaksikan betapa gadis baju putih di depannya itu masih tetap seperti tadi, tidak bergerak, tidak berguncang, juga tidak kaget. Wah seperti orang mati saja!

Keng Hong tertegun sendiri. Jangan-jangan dia sudah mati! Matanya terbuka akan tetapi manik mata itu sama sekali tidak bergerak, napasnya pun seolah-olah berhenti.

"Nona...!"

Kembali tiada jawaban. Keng Hong mulai khawatir, maka mendekatkan kedua tangannya yang terbelenggu itu ke depan hidung kecil mancung itu. Dia hendak memastikan apakah napas nona itu masih ada. Dan tangannya tidak merasakan sesuatu! Gadis ini telah mati. Ia menjadi panik dan menurunkan tangan hendak menyentuh urat nadi lengan nona itu.

"Plakkk!" Kedua tangannya ditampar dan nona itu membuka mulut, "Kau mau apa? Ingin diseret di belakang keretakah?"

Keng Hong kaget setengah mati sampai pantatnya terloncat dari tempat duduknya.

"Walah...! Kau bikin kaget aku saja, Nona. Hampir saja aku mati karena kaget! Kusangka kau... kau tidak bernapas lagi..."

"Begini goblokkah murid Sin-jiu Kiam-ong sehingga tidak tahu orang sedang melakukan latihan Pi-khi Hoan-hiat (Menutup Hawa Mengatur Jalan Darah)?"

"Ohhh...!" Keng Hong hanya dapat mengeluarkan suara ah-eh-oh saja karena semakin lama dia merasa semakin kagum dan heran.

Dia pernah mendengar dari suhu-nya akan ilmu Pi-khi Hoan-hiat ini, semacam ilmu untuk selalu mengadakan pengendalian terhadap jalan darah dan berhubungan dengan tenaga sinkang. Akan tetapi ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah tinggi tingkat kepandaiannya. Dan nona cilik ini telah melatih ilmu itu di dalam kereta yang berguncang-guncang!

Meski pun semenjak tadi hanya mengeluarkan suara ah-eh-oh, akan tetapi suara ini jelas membayangkan kekaguman. Hal ini agaknya terasa oleh gadis itu yang sebagai seorang manusia normal, terutama wanita, tentu saja amat senang hatinya mendapat pujian.

"Kau mau apa sih, panggil-panggil orang terus?"

"Nona, aku Cia Keng Hong bukanlah orang yang tak mengenal budi. Aku telah berhutang nyawa kepadamu..."

"Aku tidak pernah menghutangkan nyawa!"

"Ehh, aku... aku telah Nona selamatkan dari pedang Cui Im..."

"Hmm, hubunganmu dengan suci sudah begitu jauh ya sehingga kau menyebut namanya begitu saja?"

Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Nona ini boleh jadi pendiam, akan tetapi seperti biasanya orang pendiam, sekali mengeluarkan kata-kata selalu akan menusuk jantung!

"Kumaksudkan... nona Bhe Cui Im... aku sudah kau tolong dan selain pernyataan terima kasihku, aku pun selamanya tidak akan melupakan budi pertolongan itu. Tetapi, sesudah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga ini, mengapa Nona malah menawan aku?"

"Heii, awas Sumoi! Dia itu laki-laki yang pandai sekali merayu, melebihi gurunya. Jangan-jangan kau nanti dirobohkan rayuannya yang manis seperti madu. Hi-hik-hik!" dari depan Cui Im berkata dengan suara mengejek.

Gadis baju putih itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Huh! Sejak kapan aku dapat dirobohkan rayuan orang? Aku tidak seperti engkau yang begitu mudah dapat dipikat oleh rayuan bocah ini, Suci!"

"Heh-heh-heh, bocah ya? Dia itu bocah? Hi-hi-hik, tunggu saja kau, Sumoi, kalau sudah berada dalam pelukan dan belaiannya, nanti..."

"Suci, diam!" Gadis itu membentak, alisnya yang hitam panjang itu melengkung indah.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.