Pedang Kayu Harum Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Jilid 13 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pedang Kayu Harum Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai juga maklum akan rasa sayang Kiang Tojin terhadap Keng Hong. Hal yang tidak aneh apa bila diingat bahwa Kiang Tojin adalah tosu yang dulu telah menyelamatkan nyawa Keng Hong kemudian membawa Keng Hong ke Kun-lun-pai. Maka dia lalu berkata halus,

"Semua tosu di Kun-lun-pai menyayang Keng Hong. Dahulu dia seorang anak yang baik dan penurut, akan tetapi setelah menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong… ahh, sudahlah. Bu-tek Sam-kwi dan sahabat sekalian, apa bila mau mendaki Kiam-kok-san mencari Cia Keng Hong dan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, silakan, kami menanti di bawah!"

Mendengar ijin yang diberikan ketua Kun-lun-pai ini, bagaikan serombongan kanak-kanak yang dituruti kemauannya, orang-orang kang-ouw itu berebutan mendaki Kiam-kok-san yang terjal dan tak mudah didaki. Mereka terpaksa harus mendaki seorang demi seorang dan tentu saja Bu-tek Sam-kwi berada paling depan.

"Suhu, mengapa kita tidak ikut? Bolehkah teecu ikut naik...?"

"Tidak! Kita harus menanti di sini. Apakah kita akan melanggar pantangan kita sendiri?!" Thian Seng Cinjin membentak Lian Ci Tojin dengan suara marah.

Memang, setelah melihat perkembangan urusan itu, ketua Kun-lun-pai sudah tidak dapat lagi mempertahankan ketenangannya sehingga dia marah sekali dalam hatinya. Sekali ini Kun-lun-pai benar-benar menerima penghinaan dan tak dipandang mata oleh para tokoh kang-ouw itu, hanya karena di situ dapat Bu-tek Su-kwi yang memelopori mereka. Kakek ini diam-diam mengancam untuk sewaktu-waktu membuat pembalasan terhadap Bu-tek Sam-kwi.

Biar pun amat lambat, akhirnya semua tokoh kang-ouw dapat juga menembus awan atau halimun yang menutupi puncak batu pedang dan betapa kagum rasa hati mereka ketika menyaksikan keindahan tamasya alam dari puncak batu pedang yang bagian atasnya ternyata datar dan cukup luas itu.

Akan tetapi hanya sebentar saja mereka mengagumi pemandangan alam ini karena hati mereka berdebar ingin cepat menangkap Keng Hong dan terutama sekali menemukan simpanan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang selama bertahun-tahun ini menjadi rebutan di antara tokoh-tokoh kang-ouw.

Mereka memandang ke kanan kiri mencari-cari sambil mengelilingi seluruh permukaan tanah datar di puncak Kiam-kok-san, akan tetapi mereka tidak menemukan Keng Hong. Bayangannya pun tidak ada, jejaknya juga tidak ada! Sunyi sepi di puncak Kiam-kok-san! Semua orang menjadi penasaran sekali.

"Jangan-jangan pada waktu melihat kita mendaki naik, bocah setan itu lalu terjun dari atas membunuh diri!" kata Kiu-bwe Toanio dan semua orang juga membenarkan kemungkinan ini dengan hati kecewa.

"Tidak mungkin!" kata Ang-bin Kwi-bo, mukanya yang biasanya memang sudah merah itu menjadi agak hitam saking marahnya. "Bocah itu cerdik sekali, tentu dia bersembunyi. Akan tetapi, biar pun dia terbang ke langit, tentu akan dapat kutemukan dia!"

Mereka mencari terus tanpa hasil. Kemanakah perginya Keng Hong? Betapa mungkin dia dapat melarikan diri, sedangkan ketika mendaki tadi dia sedang menderita luka parah?

Memang Keng Hong terluka hebat ketika mendaki tadi, luka di sebelah dalam tubuhnya oleh pukulan-pukulan sakti. Kalau sinkang-nya tidak hebat tentu dia sudah tewas setelah berkali-kali ia terkena pukulan-pukulan sakti seperti Tiat-ciang dari ketua Tiat-ciang-pang, pukulan Ang-liong Jiauw-kang dari para tokoh Kong-thong-pai, bahkan juga totokan ujung bambu Kok Sian Cu yang lihai.

Biar pun hawa sakti di tubuhnya melindunginya, namun tetap saja guncangan-guncangan pukulan sakti yang berkali-kali itu membuat dadanya sesak dan kepalanya pening. Ia tadi mendaki dengan setengah merangkak, walau pun gerakannya masih cukup cepat berkat tambahan sinkang dari tokoh-tokoh Kong-thong-pai, namun sering kali kakinya menggigil dan tangannya kurang tetap ketika memegang ujung-ujung batu karang untuk mendaki.

Akhirnya, pada sebuah tanjakan yang sangat sukar, dekat tempat yang digelapi halimun, kakinya tergelincir menyebabkan kepalanya tertumbuk batu karang. Tentu dia akan jatuh terjengkang ke bawah kalau tidak ada sebuah lengan yang berkulit halus merangkulnya, kemudian menarik tubuhnya ke tempat yang agak lebar. Untung kejadian ini berlangsung setelah Keng Hong mendaki jauh ke atas, terlalu tinggi sehingga tidak tampak dari bawah.

"Cui Im..." Keng Hong berkata lemah ketika membuka mata dan melihat wajah cantik itu tersenyum-senyum.

Gadis berpakaian merah ini agaknya sudah lama menanti di situ dan kini Cui Im berbisik, "Keng Hong, tenanglah. Agaknya engkau terluka di sebelah dalam tubuh. Aku membawa obat... nih, telanlah!" Ia memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulut Keng Hong.

Pemuda ini sudah sering diracuni oleh gadis ini, akan tetapi karena dia kebal terhadap racun, apa lagi dalam keadaan payah seperti itu dia tidak peduli apakah yang ditelannya itu racun, dia lalu menelan tiga butir pil kecil itu.

"Wah, obatmu hebat...!"

Dalam belasan detik saja Keng Hong merasa dirinya segar kembali. Memang pil-pil merah itu bukanlah sembarangan obat, melainkan obat simpanan Lam-hai Sin-ni yang dicuri Cui Im. Obat merah ini adalah obat yang mukjijat, dapat menyembuhkan segala macam luka di dalam tubuh. Dan karena Keng Hong sendiri memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, maka khasiat obat itu pun berlipat ganda, karena tugasnya hanya menyembuhkan luka akibat guncangan hawa pukulan saja.

"Cui Im... mengapa kau di sini…?"

"Aku menunggumu, melihat kau dikejar-kejar, tak dapat membantu, terpaksa lari ke sini. Akan tetapi aku tidak dapat naik terus, terlalu sukar memanjat ke atas melalui karang licin dan rata ini!"

"Cui Im, sebenarnya engkau tidak boleh ke sini. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan untuk kembali tentu engkau akan celaka di tangan mereka, selain itu engkau juga sudah menyelamatkan aku, mari, pegang erat-erat pinggangku dengan kedua tanganmu!"

Cui Im girang sekali, segera memeluk pinggang Keng Hong dari belakang. Mulailah Keng Hong mendaki dengan cepat sekali. Setelah kini napasnya tidak sesak lagi dan kepalanya pun tidak pening, tentu saja sangat mudah baginya mendaki tempat yang dahulu menjadi tempat tinggalnya ini.

"Iiiihhhh, ngeri melihat ke bawah..!" Cu Im mengeluh dan mempererat pelukannya, bahkan menciumi punggung yang bajunya basah oleh keringat itu.

"Hushhh, diamlah dan jangan memandang ke bawah!" Keng Hong menegur dan mendaki makin cepat.

Setelah tiba di atas, Cu Im menahan napas saking kagumnya. "Bukan main indahnya di sini…"

"Cui Im, bukan waktunya bersenang-senang. Mereka tentu akan mengejar ke sini. Maka sebelum kulanjutkan rencanaku, bersumpahlah lebih dahulu bahwa engkau akan bersetia kepada mendiang suhu, bahwa engkau tak akan menyia-nyiakan pusaka suhu yang akan kita lihat..."

"Pusaka? Apakah akan kita dapatkan...?"

"Bersumpahlah!"

Cui Im lalu berlutut dan bersumpah bahwa dia akan tunduk akan segala kata-kata Keng Hong. Sesudah itu Keng Hong menarik tangannya dan cepat berlari mengambil pedang Siang-bhok-kiam tulen yang dia sembunyikan di balik batu karang yang berlubang.

"Wah, ini adalah Siang-bhok-kiam tulen! Baunya saja sudah begini wangi…!"

"Sudah, diamlah dan jangan mengganggu, jangan pula bicara. Lihat saja dan ikuti aku!" Keng Hong membentak karena dia maklum bahwa dia tidak mempunyai banyak waktu. Ia membawa pedang itu ke tempat penampungan air di mana air itu mengalir turun menjadi kali kecil, air yang merupakan sumber kecil akan tetapi tidak pernah kering.

Ia menggunakan pedang itu untuk mengukur, sambil mengukur dia terus mengikuti aliran air yang menuju ke bawah melalui celah-celah batu karang, terus turun ke dinding bagian belakang yang luar biasa curamnya.

"Aku takut turun...!" Cui Im berbisik.

Boleh jadi Cui Im adalah seorang gadis yang mempunyai kepandaian, akan tetapi melihat dinding karang yang luar biasa curamnya, sampai tidak tampak dasarnya akibat terhalang halimun, benar-benar membuat dia menggigil.

"Panjangkah ikat pinggangmu?"

"Panjang. Mengapa?"

"Berikan ujungnya, kau ikatkan pada lenganku dan ujung di situ ikatkan pada lenganmu. Dengan demikian andai kata engkau jatuh ke bawah, aku masih bisa menahanmu. Cepat! Apakah kau tidak taat?"

Cui Im teringat akan sumpahnya dan dia segera mengangguk, lalu memberikan ujung ikat pinggangnya. Sesudah keduanya mengikat lengan dengan ujung ikat pinggang merah itu, Keng Hong melanjutkan pekerjaannya mengukur jalan air dengan menggunakan pedang Siang-bhok-kiam sambil menghitung. Seratus dua puluh tujuh!

Dia masih ingat akan pemecahan Siauw-bin Kuncu atas deretan sajak yang terukir pada gagang pedang. Sesudah mengukur sampai seratus dua puluh tujuh, yang berarti dia sudah turun dari puncak melalui belakang batu pedang itu sejauh kurang lebih dua ratus kaki, air itu lenyap masuk ke dalam celah batu dan agaknya mengalir ke sebelah dalam batu pedang. Akan tetapi di situ terdapat sebuah padas batu yang agak rata dan lubang ini jelas bukan lubang biasa, melainkan buatan.

Keng Hong berdebar memandang lubang yang bentuknya panjang sempit seperti lubang sarung pedang. Dia memang cerdik, maka tanpa ragu-ragu lagi dia cepat memasukkan Siang-bhok-kiam pada lubang itu dan ternyata pas sekali. Siang-bhok-kiam masuk hingga ke gagangnya dan Keng Hong lalu memutar-mutarnya ke kiri kanan.

Terdengar suara gemuruh di sebelah dalam batu pedang seolah-olah terjadi gempa bumi.

"Ihhhhh, aku takut..!" Cui Im merangkulnya.

Gadis ini dengan susah payah juga mengikuti Keng Hong. Sesungguhnya, dengan tingkat kepandaian dan ginkang-nya, Cui Im akan mampu menuruni batu karang terjal itu. Akan tetapi karena melihat tempat securam itu, jantungnya bergetar sehingga timbul rasa takut.

Sesudah dengan ikat pinggang lengannya terikat dan terjaga oleh lengan Keng Hong, hal ini mengusir sedikit rasa takutnya dan mendatangkan rasa aman, karena itu dia pun dapat mengikuti Keng Hong tanpa banyak kesulitan lagi. Ternyata tadi Keng Hong menyuruh dia mengikat tangan memang dengan niat untuk mengusir rasa takut itulah seperti yang dulu pernah dilakukan oleh suhu-nya kepadanya!

Tiba-tiba terdengar bunyi batu pecah dan... terbukalah sebuah goa di depan Keng Hong, di sebelah kiri dari ‘lubang kunci’ tadi. Keng Hong cepat mencabut Siang-bhok-kiam, lalu berbisik,

"Suhu hebat sekali!" Suaranya memuji penuh kekaguman. "Mari ikut masuk!"

Kedua orang itu kemudian merangkak masuk karena goa itu hanya satu meter tingginya, merupakan terowongan yang dingin gelap. Akan tetapi Keng Hong percaya penuh dengan kepandaian suhu-nya, dan dia terus merangkak masuk. Beberapa kali dia dipegang dan didorong dari belakang oleh Cui Im yang masih merasa ngeri.

Kurang lebih seratus meter jauhnya mereka merangkak, tiba-tiba terowongan itu menjadi terang dan lebar sekali. Mereka bangkit berdiri dan tertegun! Kiranya ruang itu merupakan sebuah ‘kamar’ batu yang berdinding licin dan penuh ukiran-ukiran huruf yang indah!

"Nanti dulu, aku lupa menutupkan kembali pintu terowongan!"

Tiba-tiba Keng Hong teringat bahwa para pengejarnya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sungguh pun tidak mungkin mereka akan dapat mengukur tempat penyimpanan pusaka dari puncak Kiam-kok-san tanpa bantuan pedang Siang-bhok-kiam, namun siapa tahu kalau-kalau orang-orang sakti itu mencari di setiap tebingnya dan jika mereka lewat di depan itu pasti mereka akan memasukinya. Kalau pintu terowongan yang merupakan dinding batu biasa itu tertutup, tanpa memiliki ‘kuncinya’ yang berupa pedang Siang-bhok-kiam, tak mungkin pula mereka dapat masuk atau menyangka bahwa lubang kecil itu adalah kunci rahasia untuk menuju ke tempat penyimpanan pusaka.

Tanpa menanti jawaban gadis itu yang masih terpesona memandangi keadaan ruangan tadi, Keng Hong merangkak lagi keluar terowongan sambil membawa Siang-bhok-kiam. Setelah tiba di mulut terowongan, dia melihat dan meneliti.

Ternyata bahwa mulut terowongan itu terbuka dengan cara bergesernya sebuah batu besar ke kiri yang tentu digerakkan oleh alat rahasia. Kini batu sebesar gajah itu berdiri di dekat pintu terowongan yang menganga seperti mulut seekor ular raksasa.

Keng Hong memeriksa dan akhirnya dia menemukan lubang ‘kunci’ dari sebelah dalam. Tanpa ragu-ragu lagi dia segera menusukkan Siang-bhok-kiam ke dalam lubang ini yang ternyata seperti lubang di luar, pas menerima masuknya Pedang Kayu Harum. Tiga kali Keng Hong memutar ke kanan dan terdengar suara hiruk pikuk ketika batu sebesar gajah itu tiba-tiba bergerak menggelinding dan menutupi mulut terowongan sehingga kelihatan wajar. Dari luar tak akan ada manusia yang menyangka bahwa sebagian batu kasar yang tampak beserta sebuah lubang itu adalah batu ‘daun pintu’ yang amat besar dan dapat bergerak sendiri.

Puaslah hati Keng Hong. Biar pun keadaan kini amat gelap setelah lubang itu tertutup, namun hatinya lega dan dia merangkak kembali ke dalam. Ia tersenyum geli memikirkan Cui Im. Betapa akan takutnya gadis itu dia tinggal sendirian di dalam ruangan tadi.

Akan tetapi ada pula hal yang menggelisahkan hatinya. Tidak bersalahkah dia terhadap gurunya bahwa dia membawa Cui Im masuk ke tempat ini?

Ah, tentu tidak. Dia tidak sengaja membawa Cui Im ke sini. Adalah gadis itu yang tadinya mencari dan menantinya di lereng Kiam-kok-san, lagi pula gadis itu telah menyelamatkan nyawanya.

Andai kata dia tidak sedang dikejar banyak orang sakti, tentu dia akan mengusir Cui Im dan tidak akan memperkenankan gadis itu ikut. Akan tetapi, dia tahu betul bahwa apa bila dia melakukan hal itu, Cui Im tentu akan terbunuh oleh orang-orang sakti yang sedang mengejarnya, apa lagi Cui Im dikenal sebagai tokoh golongan sesat dan sekarang sudah melanggar larangan Kun-lun-pai dengan mendatangi bahkan mendaki Kiam-kok-san yang dianggap keramat oleh para tosu Kun-lun-pai.

Tiba tiba dia teringat betapa gadis berpakaian merah itu pun dahulu amat menginginkan pusaka gurunya! Ah, kalau sampai Cui Im mempelajari segala ilmu peninggalan gurunya dan menjadi seorang yang memiliki kesaktian hebat, bukankah dunia ini akan bertambah seorang tokoh kaum sesat yang berbahaya sekali? Bagaimana dia mengajak seorang gadis yang sedemikian jahat dan kejamnya ke tempat suci ini? Tidak! Dia harus menyuruh pergi Cui Im, setidaknya menanti sampai keadaan aman.

Biarlah dia akan memberi benda-benda berharga peninggalan suhu-nya, sebab bukankah wanita paling suka akan benda-benda perhiasan yang serba indah dan mahal? Atau kalau gadis itu masih belum puas, boleh dia bagi sebuah kitab pelajaran ilmu yang tidak terlalu berbahaya.

Teringat akan ini, Keng Hong mempercepat gerakannya merangkak dan begitu sampai di ruangan penuh ukiran-ukiran huruf itu, dia meloncat berdiri dan memanggil.

"Cui Im...!"

Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab. Cui Im tidak tampak di dalam ruangan itu!

"Cui Im...!" Keng Hong memanggil sambil memandang ke arah pintu yang terbuka menuju ke ruangan sebelah dalam.

Tentu gadis itu yang mengagumi keadaan ruangan ini telah masuk ke sana dan sekarang sedang melihat-lihat ruangan lainnya. Dan sekarang dia baru teringat betapa menggelikan keadaannya ketika tadi dia mentertawakan Cui Im yang disangkanya takut dia tinggalkan seorang diri. Cui Im takut? Ahh, alangkah bodohnya pendapat ini.

Cui Im adalah seorang tokoh kang-ouw, seorang tokoh golongan sesat atau hitam yang berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah) yang amat ditakuti orang melebihi seorang iblis betina! Seorang tokoh seperti itu mana bisa merasa takut berada sendirian dalam ruangan di sebelah dalam batu pedang di puncak Kiam-kok-san itu? Bila tadi ketika mendaki Cui Im takut-takut adalah karena rasa ngeri seorang wanita yang tidak biasa mendaki tempat-tempat curam seperti itu.

"Cui Im...!"

Keng Hong melangkah maju melalui pintu yang terbuka. Ternyata di balik pintu ini ada ruangan lain yang amat luas dan dindingnya amat indah karena batu karang di sebelah dalam batu pedang ini kiranya berupa batu yang berkilauan! Ruangan luas ini mempunyai lubang-lubang pada sebelah atas dan begitu dia memasuki ruangan ini, selain udaranya segar, juga terdengar suara angin memasuki lubang-lubang itu yang menimbulkan suara seperti suling ditiup, amat aneh namun halus dan merdu.

Di sebelah atas tampak ukiran-ukiran huruf besar yang amat indah, berbunyi:

MENDIRIKAN KUN-LUN-PAI UNTUK MENEGAKKAN KEADILAN DI DUNIA.

Keng Hong tertarik sekali sehingga sejenak dia melupakan Cui Im. Apakah artinya ukiran-ukiran huruf itu? Tak mungkin suhu-nya yang membuat ukiran itu.

Mendirikan Kun-lun-pai? Ahh, pengukirnya tentu orang yang dulu mendirikan Kun-lun-pai. Sucouw dari Kun-lun-pai. Benar! Bukankah tempat ini merupakan tempat yang keramat dari partai Kun-lun?

Pernah ketika dia masih menjadi kacung di Kun-lun-pai, seorang tosu tua mendongeng kepadanya tentang pendiri partai Kun-lun-pai yang mereka sebut sucouw, yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa. Dan kabarnya setelah menyerahkan Kun-lun-pai kepada murid-muridnya, sucouw ini lalu naik ke batu pedang dan bertapa di sana sampai lenyap kemudian oleh semua anak murid Kun-lun-pai dianggap telah naik ke alam baka bersama raganya!

Itulah sebabnya mengapa Kiam-kok-san lalu dianggap sebagai tempat keramat, sebagai ‘kuburan’ sucouw mereka yang terhitung kakek buyut guru dari Thian Seng Cinjin! Tentu di sinilah tempat sucouw itu bertapa dan mungkin sekali tempat ini adalah ciptaan atau buatan sucouw itu yang kemudian juga digunakan oleh Sin-jiu Kiam-ong sebagai tempat bertapa dan tempat menyimpan pusakanya.

Siapa pula nama sucouw itu? Kalau tidak salah dia mendengar dari tosu tua itu bahwa nama sucouw ini adalah Thai Kek Couwsu.

Tiba-tiba dia terkejut karena teringat akan Cui Im. Kembali dia memandang ke sekeliling setelah beberapa lamanya termenung karena membaca huruf-huruf terukir itu. Dia melihat bahwa ruangan lebar itu mempunyai empat buah pintu. Sebuah menuju ke ruangan luar tadi dan yang tiga buah lagi daun pintunya yang terbuat dari pada kayu tebal tertutup.

"Cui Im..!" Dia mengerahkan khikang sebagai suaranya bergema keras. Namun tidak ada jawaban.

Keng Hong kemudian menghampiri pintu di sebelah kiri dan membukanya. Daun pintu itu terbuka dengan mudah. Dia terpesona dan silau melihat benda-benda berharga teratur rapi di atas sebuah meja dan dinding penuh dengan lukisan dan tulisan indah yang serba mahal.

Benda berharga di atas meja ini terbuat dari emas, perak, dan batu-batu permata yang serba indah. Kendi dan cawan-cawan emas, peti-peti kecil dari emas serta perak diukir indah dan dihiasi batu-batu permata. Perhiasan-perhiasan wanita yang halus buatannya. Mainan berupa segala macam binatang yang terbuat dari emas dan perak pula, dengan mata intan yang besar. Bahkan terdapat ukiran dari emas yang menggambarkan pelbagai pasangan binatang yang tengah bercumbuan dan di satu sudut, yang terindah dari segala yang berada di situ, terdapat ukiran emas yang menggambarkan sepasang manusia yang sedang bermain cinta!

Keng Hong tersenyum melihat ini, teringat akan watak suhu-nya. Kemudian dia ingat lagi kepada Cui Im. Benda-benda di kamar ini agaknya masih tersusun rapi dan tidak terusik. Kemudian dia menutup daun pintu kamar kiri dan melangkah menghampiri pintu kanan yang lalu dia dorong terbuka daun pintunya.

Sekali lagi dia terpesona dan jantungnya berdebar kencang. Benda-benda di dalam inilah yang membuat tokoh-tokoh kang-ouw mengejar-ngejar dirinya, membuat mereka laksana berebutan tulang.

Di dekat dinding berjajar senjata-senjata pusaka yang amat indah. Pedang-pedang, golok, tombak serta beberapa macam senjata lagi. Kalau tidak salah, senjata-senjata ini adalah senjata pusaka tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang dirampas oleh gurunya dan kembali Keng Hong tersenyum. Gurunya merampas senjata-senjata ini sama sekali bukan karena tamak menginginkan senjata-senjata ini untuk dipergunakan, melainkan dirampas untuk dijadikan koleksi senjata, atau sebagai tanda kemenangannya karena lawan yang belum kalah tidak mungkin dapat dirampas senjatanya! Gurunya memang nakal, romantis dan berandalan!

Akan tetapi yang paling menarik hati Keng Hong adalah sebuah rak batu di mana berdiri jajaran kitab-kitab yang telah lapuk. Inilah kitab-kitab ilmu silat peninggalan gurunya. Akan tetapi hatinya berdebar keras pada saat dia melihat betapa keadaan tempat kitab-kitab ini tidak rapi susunannya, bahkan kacau-balau dan ada beberapa buah kitab tercecer di atas lantai. Melihat betapa senjata-senjata itu masih rapi seperti juga keadaan benda-benda berharga, maka kitab-kitab itu pasti ada yang mengusik dan mengganggu.

Cui Im! Tidak salah lagi, tentu gadis itu yang mendahuluinya mendapatkan kamar ini telah mengambil kitab-kitab yang pilihnya! Celaka, pikir Keng Hong.

Terjadilah apa yang tadinya dia khawatirkan. Di antara segala benda berharga, perhiasan-perhiasan indah dan senjata-senjata pusaka, justru yang diambil Cui Im adalah kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian! Dia tidak tahu kitab-kitab apa yang diambil Cui Im, akan tetapi melihat bekas-bekasnya, tentu tidak sedikit yang diambil.

"Cui Im ...!" Ia memanggil lebih keras sambil berlari keluar dari kamar itu.

Dia harus minta kembali kitab-kitab yang diambil Cui Im! Kalau gadis itu ingin mempelajari satu dua macam ilmu di situ, harus dia yang memilihkannya karena selain dia seoranglah yang berhak mewarisi pusaka gurunya, juga dia harus dapat mengekang watak kejam gadis itu, atau sedikitnya menjaga supaya jangan sampai gadis itu memperoleh ilmu-ilmu yang sakti sehingga kelak akan menjadi seekor harimau buas yang tumbuh sayap!

"Cui Im...!"

Keng Hong berlari dan membuka daun pintu terakhir yang ternyata merupakan sebuah terowongan sebelah depan yang kecil sehingga hanya dapat dilalui dengan merangkak. Terowongan sebelah belakang ini cukup tinggi, ada dua meter dan lebarnya semeter sehingga dia dapat berjalan dan mencari Cui Im. Dia merasa yakin bahwa gadis itu pasti melarikan kitab-kitab yang diambilnya melalui terowongan dari ruangan itu.

Pada saat itu, Keng Hong mendengar suara hiruk-pikuk seperti ada gempa bumi terjadi di puncak Kiam-kok-san. Ia lalu menghentikan langkahnya dan mendengarkan dengan teliti. Terdengar suara batu-batu pecah dan batu-batu menggelinding turun. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi.

Suara itu sesungguhnya adalah suara yang ditimbulkan oleh kemarahan para tokoh yang naik ke puncak batu pedang. Dengan dipelopori oleh Bu-tek Su-kwi, para tokoh itu mulai membongkar batu-batu di puncak, merobohkan pohon-pohon dan bahkan menggunakan kesaktian mereka menghantami puncak batu-batu karang sehingga ambrol dan batu-batu besar lalu bergulingan jatuh ke bawah menimbulkan suara hiruk-pikuk yang sampai terasa getarannya dan terdengar suaranya oleh Keng Hong yang berada di sebelah dalam batu pedang! Batu-batu yang terguling itu sebagian ada pula yang menguruk tempat di mana terdapat goa rahasia terowongan sehingga tertimbun dan kini tidak mungkin ada orang mampu mendapatkan tempat rahasia yang mereka cari-cari itu.

Betapa pun Bu-tek Su-kwi bersama para tokoh kang-ouw mengamuk di atas puncak batu pedang, mereka tidak dapat menemukan Keng Hong dan tidak dapat menemukan tempat penyimpanan pusaka Sin-jiu Kiam-ong. Akhirnya sambil memaki-maki Bu-tek Su-kwi pergi meninggalkan tempat itu dan mendaki turun, diikuti pula oleh para tokoh kang-ouw yang merasa kecewa sekali.

Thian Seng Cinjin, Kiang Tojin dan para tosu Kun-lun-pai memandang ke atas dengan kaget dan heran. Mereka mendengar suara hiruk-pikuk itu dan melihat pula sebagian batu gunung yang runtuh dan menggelinding turun dari batu pedang sehingga mereka cepat mencari tempat yang aman agar tidak sampai tertimpa hujan batu itu.

Mereka ingin sekali tahu apa yang sedang terjadi di puncak batu pedang itu. Akan tetapi selain tidak diperkenankan naik oleh ketua mereka, juga mendaki pada saat dari puncak turun hujan batu itu amatlah berbahaya bagi keselamatan mereka.

Setelah suara hiruk-pikuk itu lenyap, tampak Bu-tek Su-kwi dan para tokoh lain menuruni batu pedang dengan wajah keruh. Para tosu Kun-lun-pai memperhatikan dan dengan hati lega mereka melihat tidak ada tokoh membawa sesuatu turun dari puncak. Hal ini menjadi tanda bahwa usaha mereka tidak berhasil untuk menemukan pusaka Sin-jiu Kiam-ong.

Ada pun Kiang Tojin yang tak melihat mereka membawa Keng Hong sebagai tangkapan, menjadi terheran-heran dan hatinya diliputi dua macam perasaan. Ia girang sekali bahwa mereka tidak dapat menangkap Keng Hong akan tetapi juga khawatir kalau-kalau pemuda itu dibunuh oleh mereka di atas puncak karena pemuda itu tidak mau mengaku di mana adanya pusaka peninggalan Sin-jiu- Kiam-ong.

"Pinto harap cu-wi sekalian tak melanggar pantangan melakukan pembunuhan di puncak Kiam-kok san yang amat kami hormati," kata Kiang Tojin, suaranya tenang saja padahal hatinya berdebar keras.

"Membunuh apa? Seekor semut pun tidak ada di puncak itu. Bocah itu kembali sudah mengakali kita! Tidak saja Kun-lun-pai yang ditipu dengan pedang kayu palsu, juga kali ini kita semua ditipunya. Dia tidak berada di puncak!” berkata Ang-bin Kwi-bo dengan muka cemberut.

"Apa bila nanti kudapatkan bocah itu, akan kuganyang dagingnya, kuminum darahnya dan kuhancurkan kepalanya!" Pak-san Kwi-ong berkata dengan nada marah sekali.

Pat-jiu Sian-ong juga marah dan kecewa, akan tetapi sesuai dengan sifatnya, dia hanya tersenyum dan berkata halus, "Sayang sekali, kembali Kun-lun-pai yang menjadi korban. Bila mana dunia kang-ouw mendengar akan hal ini, hati siapakah yang tidak akan timbul persangkaan bahwa bocah itu sengaja disembunyikan oleh Kun-lun-pai?"

"Pat-jiu Sian-ong, hati-hati sedikit kalau bicara!" Kiang Tojin membentak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

Pat-jiu Sian -ong tersenyum menyeringai dan matanya mengerling ke kanan kiri.

"Ehh, apakah yang telah kukatakan? Aku tidak menuduh Kun-lun-pai, hanya menyatakan betapa mengherankan melihat bocah yang sudah terluka itu mendaki batu pedang lantas lenyap tanpa berbekas sama sekali dari puncak sana. Kemanakah perginya? Terbangkah dia? Atau menghilang? Siapa dapat menjawab? Batu pedang bukanlah milik kami, bukan wilayah kami, tentu saja hanya Kun-lun-pai yang dapat mengetahui rahasianya. Sudahlah, selamat berpisah! Kwi-bo dan Kwi-ong, tidak pergi dari sini atau menunggu apa lagi sih?" Sambil tertawa Pat-jiu Sian-ong berkelebat pergi, diikuti oleh Ang-bin Kwi-bo dan Pak-san Kwi-ong.

Begitu pula dengan para tokoh kang-ouw itu, seorang demi seorang pergi meninggalkan puncak Kiam-kok-san dengan hati kecewa. Melihat sikap mereka itu, Kiang Tojin maklum bahwa omongan Pat-jiu Sian-ong tadi mendapatkan sasaran dan para tokoh itu biar pun sedikit, ada menaruh kecurigaan kepada Kun-lun-pai dan hal ini pasti akan tersiar luas!

Setelah mereka semua pergi, Kiang Tojin berkata kepada gurunya, "Suhu, mengherankan sekali bagaimana Keng Hong dapat lenyap dari puncak sana. Dapatkah Suhu memberi ijin kalau teecu meninjau ke puncak dan melihat apakah sebetulnya yang terjadi di sana?"

"Suhu, teecu juga hendak ikut!" kata Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin hampir berbareng.

Thian Seng Cinjin menghela napas panjang. "Semoga arwah sucouw sudi mengampuni kita yang membiarkan orang mengotori Kiam-kok-san. Pergi dan lihatlah, apa yang sudah terjadi dan ke mana perginya murid Sin-jiu Kiam-ong. Ah, Sie-taihiap, masih belum cukup banyakkah kami membalas budi kebaikanmu terhadap Kun-lun-pai?"

Kiang Tojin beserta dua orang sute-nya itu cepat menggunakan ginkang mereka mendaki batu pedang. Mereka yang belum pernah mendaki batu tinggi ini, melakukannya dengan hati-hati sekali dan dengan perasaan penuh hormat kepada tempat yang mereka anggap keramat ini.

Kiang Tojin terheran-heran setelah tiba di atas dan menyaksikan permukaan batu pedang yang kini sudah rata dan rusak bekas amukan tokoh kang-ouw tadi, terheran memikirkan bagaimana Keng Hong dapat melepaskan diri dari ancaman orang-orang sakti tadi? Tidak ada jalan keluar kecuali dari tempat yang dinaikinya tadi.

Dari atas tampak jelas betapa sisi-sisi lain dari batu pedang itu tak mungkin dapat dituruni orang karena tegak lurus dan licin. Jangan-jangan anak itu putus harapan dan meloncat turun, pikirnya.

Kiang Tojin adalah seorang tokoh besar yang sudah mengalami segala macam peristiwa, akan tetapi saat memikirkan kemungkinan bahwa Keng Hong meloncat turun dari tempat setinggi itu, dia pun bergidik. Kalau hal mengerikan ini dilakukan Keng Hong dan tubuh pemuda itu terbanting ke bawah, kiranya tidak akan ada sisanya lagi akibat hancur lebur sebelum mencapai tanah, dihunjam dan dikerat permukaaan batu yang amat runcing dan tajam.

Betapa pun ketiga orang tosu itu mencari-cari, tidak ada bekas-bekas Keng Hong dan terpaksa mereka lalu turun kembali melaporkan kepada Thian Seng Cinjin yang menghela napas dan berkata,

"Hanya Thian yang mengetahui apa yang telah terjadi dengan murid Sin-jiu Kiam-ong itu. Masih bagus bahwa tidak terjadi pertempuran dan banjir darah. Mudah-mudahan semua urusan mengenai peninggalan Sin-jiu Kiam-ong akan habis sampai di sini saja."

Akan tetapi benarkah akan terjadi seperti yang diharapkan ketua Kun-lun-pai? Jauh dari pada itu. Cia Keng Hong masih hidup dan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ternyata masih utuh dan dapat ditemukan oleh Keng Hong.

Yang lebih hebat lagi, tanpa dikehendakinya, Keng Hong terpaksa mengajak Ang-kiam Tok-sian-li memasuki tempat rahasia penyimpanan pusaka-pusaka itu dan kini Bhe Cui Im, gadis murid lam-hai Sin-ni itu telah melarikan beberapa buah kitab yang dipilihnya dari kumpulan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!

"Cui Im..!" Keng Hong berteriak-teriak sambil berjalan terus setelah menunggu beberapa lama mendengarkan suara batu-batu pecah dan gempur tanpa dapat menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi. Terowongan itu amat panjang dan makin lama makin gelap.

"Cui Im!"

Akhirnya tampak cahaya terang dan terowongan itu pun berakhir, akan tetapi Keng Hong berdiri terbelalak di ujung terowongan memandang ke depan. Ternyata jalan terowongan itu berakhir di pinggir sebuah celah yang amat lebar, dan di seberang celah atau jurang itu tampak Cui Im berdiri sambil tersenyum menertawakannya!

"Cui Im...!" Keng Hong berseru memanggil dengan nada suara marah. "Apa yang sudah kau lakukan? Kembalikan kitab-kitab peninggalan suhu yang kau curi!"

"Hi-hik-hik, Keng Hong yang ganteng, kau pikirkan dulu baik-baik sebelum memaki orang karena ucapanmu itu sama saja dengan maling teriak maling!" Gadis berpakaian merah itu mengangkat tinggi-tinggi lima buah kitab kuno dengan dua tangannya lalu melanjutkan kata-katanya.

"Tahukah engkau kitab-kitab apa yang kupegang ini? Yang dua buah adalah kitab-kitab Seng-to Cin-keng dan I-kiong Hoan-hiat dari Siauw-lim-pai untuk pelajaran Iweekang dan menghimpun sinkang. Yang sebuah adalah kitab pelajaran ilmu pedang dari Go-bi-pai. Sebuah lagi kitab pelajaran ilmu ginkang, dan yang sebuah terakhir adalah kitab pelajaran ilmu silat tangan kosong yang hebat dan kalau tak salah adalah gubahan Sin-jiu Kiam-ong sendiri. Nah, di antara lima buah kitab, yang tiga buah jelas adalah kitab curian. Sin-jiu Kiam-ong mencuri kitab, kalau sekarang kitabnya dicuri orang lain, bukankah sudah adil itu namanya?"

"Cui Im, jangan gila kau! Engkau sudah kuajak masuk ke sini, kalau mau mempelajari ilmu boleh saja, akan pergi jangan mencuri!"

Dengan pandang matanya, Keng Hong mengukur dan dia terkejut sekali mendapatkan kenyataan bahwa tidaklah mungkin bagi seorang manusia untuk meloncati jarak antara dia dan Cui Im. Akan tetapi bagaimanakah gadis itu dapat berada di seberang?

Agaknya dari jarak sejauh itu, Cui Im dapat menduga apa yang dipikirkan Keng Hong. Dia tertawa, kemudian duduk di tepi jurang itu dengan suara mengejek.

"Hi-hi-hik, mau meloncat ke sini? Jangan mimpi, Keng Hong. Selain terlampau jauh, sekali kau terjatuh ke bawah, tubuhmu akan hancur lebur. Apakah tidak mengerikan? Sayang tubuhmu yang muda dan perkasa, wajahmu yang tampan. Hanya ada satu cara untuk menyeberang melewati jurang ini, yaitu melalui jembatan, dan jembatannya kini berada di tanganku!"

Keng Hong mendengus marah. Gadis ini terang membual. Mana mungkin jembatan bisa disimpan?

"Kau tidak percaya? Inilah jembatannya, berada di tanganku. Bila kuhendaki mudah saja aku menyeberang ke situ, akan tetapi engkau? Kecuali kalau di pundakmu keluar sayap dan dapat terbang, tak mungkin engkau dapat menyeberang ke sini!"

"Hemmm, engkau jahat dan curang, Cui Im! Akan tetapi, jangan kau mengira bahwa aku akan membiarkan saja engkau melarikan kitab-kitab itu," kata Keng Hong dan mengertilah ia bahwa di antara kedua tempat ini tadinya memang terdapat jembatan yang merupakan penghubung, yaitu yang terbuat dari pada sehelai tambang yang kini sudah tergulung dan berada di tangan Cui Im.

Tentu tambang itu tadinya terpasang melintang di atas jurang. Dan setelah menyeberang mempergunakan ginkang-nya yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, yaitu berjalan di atas tambang, gadis itu kemudian melepaskannya dan menggulungnya. Tentu ada cara melepaskan yang mudah dari seberang, mungkin juga kedua ujung tambang itu dipasangi kaitan dan karena kedua tempat itu terdiri dari batu-batu yang kasar dan runcing, maka mudahlah melemparkan kaitan ke seberang sehingga dapat tercipta jembatan tambang dan dengan menyendal-nyendal dapat pula kaitan di seberang dilepaskan.

"Hi-hi-hik, engkau mimpi, Keng Hong. Andai kata kelak engkau dapat mencariku, setelah aku mempelajari lima buah kitab ini, engkau akan bisa berbuat apakah terhadap aku? Pula, engkau tidak akan dapat bertahan lama bertahan di situ, tidak ada bahan makanan, tidak ada air dan belum lagi diingat bahwa tokoh-tokoh itu tentu akan mencarimu. Aku akan pergi meninggalkanmu di situ dan membawa kitab-kitab ini. Sudah kuperiksa isinya dan kalau dapat berlatih selama lima tahun saja, di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu melawanku!"

Keng Hong bukan seorang yang bodoh. Tidak, sebaliknya malah. Dia cerdik sekali dan pikirannya dapat dikerjakan secara cepat menarik kesimpulan-kesimpulan. Mengapa Cui Im setelah mengambil jembatan tambang itu tidak lekas pergi malah menantinya di situ? Hanya untuk mengejek? Tak mungkin!

Seorang yang sudah mendapatkan pusaka kitab-kitab yang diinginkan oleh seluruh tokoh kang-ouw tentu merasa terlalu tegang untuk main-main dan mengejek, tentu akan terus pergi melarikan diri dan cepat-cepat mempelajari isi kitab. Akan tetapi Cui Im menantinya di situ. Membual! Ya, gadis itu tentu sengaja membual untuk menutupi kelemahannya. Ia mengangguk-angguk dan berkata,

"Cui Im, siapa percaya bualanmu? Engkau menemui jalan buntu, tak dapat meninggalkan tempat itu. Jalan keluar hanya melalui lorong ini dan kau terjebak di situ, tidak dapat terus dan tidak dapat kembali. Nah, katakan, apa kehendakmu dariku?"

Cui Im terperanjat sekali hingga meloncat berdiri. "Eh, eh, eh, bagaimana kau bisa tahu?" Saking kaget dan herannya dia sampai tidak dapat menyimpan rahasianya lagi.

Keng Hong tersenyum. "Kalau ada jalan keluar di sebelah sana, tentu engkau tidak akan menunggu hanya untuk berbicara denganku. Engkau sudah mencuri lima buah kitab dan mungkin dapat kau pelajari di situ hingga engkau menjadi seorang sakti. Akan tetapi apa gunanya kalau kau tak dapat keluar, menjadi nenek-nenek dan mati kering di situ?"

"Aku akan menanti kesempatan. Setelah kepandaianku meningkat tinggi, maka aku akan menggunakan jembatan tambang ini menyeberang ke situ dan membunuhmu!"

"Ha-ha-ha, bicara sih mudah. Akan tetapi boleh kau coba. Aku tidak bodoh, nona manis. Aku akan selalu waspada dan sekali saja tambang itu kau lontarkan ke sini, akan kunanti sampai kau menyeberang di tengah-tengah, kemudian tambang itu akan kubikin putus di sebelah sini. Wah, tentu lucu sekali melihat kau terbang ke bawah sana."

Cui Im lalu membanting-banting kakinya. "Keng Hong engkau manusia kejam!" Kemudian suaranya mengandung isak ketika dia berkata lagi, "Engkau laki-laki yang tidak mengenal budi, tidak tahu dicinta orang! Sesudah dengan susah payah aku selalu membayangimu, melindungimu, menyatakan cinta kasihku dengan perbuatan, membiarkan diriku terancam bahaya, membebaskanmu dari tangan musuh-musuhmu, kau… kau..." Akan tetapi Cui Im segera teringat bahwa dia kelepas bicara, akan tetapi terlambat karena Keng Hong sudah meloncat berdiri dan muka pemuda itu menjadi merah sekali.

"Cui Im! Jadi... engkaukah orangnya...? Engkaukah yang selama ini terus membayangiku, membunuh murid wanita Hoa-san-pai lalu membunuh murid-murid Kong-thong-pai dengan racun? Engkaukah gerangan orangnya?"

Cui Im tidak dapat mundur kembali dan baginya sudah kepalang. Kini dia tidak perlu lagi merahasiakan perbuatannya.

"Benar! Akulah orangnya yang melakukan itu semua! Demi cintaku padamu, Keng Hong, dengarkah engkau? Demi cintaku kepadamu, bukan cinta seperti yang pernah kurasakan terhadap pria mana pun juga. Aku cinta kepadamu, akan tetapi engkau buta!"

Jantung Keng Hong berdebar keras. "Jadi engkaukah yang membunuh Sim Ciang Bi dan membunuh murid-murid wanita Kong-thong-pai pula? Mengapa?"

"Tentu saja! Mereka itu berani merayumu, bermain cinta denganmu. Ahhh, betapa sakit hatiku, hampir gila oleh cemburu. Kalau tidak sebesar ini cintaku kepadamu, tentu engkau pun sudah kubunuh pula!"

"Dan... ketika malam gelap itu... yang datang kepadaku, merayuku penuh cinta kasih... Engkau pulakah itu?"

Cui Im tertawa genit. "Hi-hik-hik, benar aku! Masa engkau tidak mengenal aku? Biar pun aku tidak bicara banyak, apakah engkau tak mengenal suaraku, tak mengenal kesedapan keringatku? Hi-hi-hik!"

"Cui Im...! Kenapa kau lakukan itu?"

"Kenapa? Sebab kau selalu menolakku dan aku sudah amat cinta kepadamu. Hatiku perih sekali harus berpura-pura seperti itu..."

"Bukan itu maksudku! Kenapa engkau mengenakan pakaian putih, menggunakan senjata rahasia dan senjata-senjata Biauw Eng? Kenapa engkau menyamar sebagai Biauw Eng?"

"Kenapa? Ahh… biar dia rasakan! Sumoi berani sekali merampas engkau dari tanganku! Berani dia berlancang mulut menyatakan cinta kasihnya kepadamu, padahal biasanya sumoi menganggap cinta sebagai sebuah pantangan besar! Panas hatiku, dan biar dia tahu rasa, berani merebut cinta kasih kasih suci-nya!"

Kedua telinga Keng Hong terasa panas dan andai kata Cui Im berada di depannya tentu sudah ditamparnya perempuan itu. Akan tetapi dia menekan kemarahannya dan hatinya menjadi girang sekali. Girang, terharu dan menyesal.

Girang karena sekarang ia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng bukanlah wanita jahat seperti yang dikiranya. Biauw Eng suci dan bersih. Terharu karena teringat betapa Biauw Eng melindungi dirinya mati-matian, bahkan mengakui segala perbuatan yang dituduhkan olehnya dengan dasar membela dan melindunginya. Betapa besar dan murni cinta kasih gadis itu kepadanya!

Cinta yang amat mengharukan, apa lagi kalau dia teringat bahwa gadis itu adalah puteri suhu-nya! Dan dia menyesal, dia menyesal kepada diri sendiri sehingga mau rasanya dia menampari mukanya sendiri bila teringat betapa dia sudah menjatuhkan fitnah-fitnah keji terhadap gadis itu, bahkan menangkapnya untuk dibunuh oleh para tokoh kang-ouw.

"Cui Im... mengapa engkau bisa sekeji itu?" tanyanya dengan suara perlahan.

"Keji apa? Mereka yang keji, dan sumoi yang bersalah kepadaku. Demi cintaku padamu, aku rela melakukan apa juga. Bahkan sekarang ini aku rela pula mengalah padamu, aku ingin berdamai denganmu, Keng Hong."

Keng Hong menahan kemarahannya. Di dalam keadaan seperti ini, dia harus bersabar. Wanita ini berbahaya sekali, selain lihai ilmunya, juga amat cerdik dan banyak akalnya.

"Cui Im, engkau pandai membual. Engkau sudah terjebak di tempat itu, maka engkau sengaja hendak membujukku, bukan?"

"Manusia sombong, keras kepala engkau! Memang di sini tidak ada jalan keluarnya, akan tetapi setelah kepandaianku meningkat, kiranya tak sulit bagiku mencari jalan keluar, atau kalau perlu menyerbumu ke situ! Bukan karena itu, dan jangan mengira kalau aku akan minta-minta kepadamu. Tidak, biar pun aku terjebak di sini, engkau pun terjebak di sana dan keadaanmu lebih buruk lagi. Engkau tahu? Di sini terdapat persediaan makanan yang akan cukup dimakan sampai bertahun-tahun. Terdapat roti-roti gandum kering yang asin, yang tidak rusak disimpan bertahun-tahun, apa lagi disimpan di dalam kamar yang rapat sekali. Di sini terdapat air jernih karena air kali kecil itu lewat di bagian sini. Dan di akhir terowongan menjadi tempat bersarangnya ratusan ribu burung sehingga aku dapat makan telur burung atau menangkap dan makan dagingnya. Sedangkan engkau di sana akan makan dan minum apa? Untuk mencari makan dengan menuruni batu pedang sama saja dengan menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai. Nah, katakan, siapa yang sudah terjebak? Engkau amat membutuhkan aku, atau lebih tepat, tempat ini dan aku. Aku amat membutuhkan engkau untuk membacakan dan menuntunku mempelajari kitab-kitab ilmu silat..."

"Heeeee? Engkau buta huruf?"

Merah wajah Cui Im. "Buta sama sekali sih tidak. Kalau hanya membaca atau menulis surat-surat cinta saja aku bisa. Akan tetapi, kitab-kitab ini... terutama sekali kitab dari Siauw-lim-pai, tulisannya seperti cakar bebek dan bahasanya amat kuno, menggunakan sajak-sajak yang amat sukar dimengerti. Marilah kita berdamai dan saling membantu. Kita berdua dapat dapat hidup di sini mempelajari ilmu dan kelak kita menjadi jago-jago nomor satu di dunia ini, apakah tidak senang dan nikmat?"

Keng Hong mengerutkan keningnya. Biar pun amat menggemaskan hatinya, akan tetapi harus dia akui bahwa ucapan Cui Im ada benarnya. Kalau memang ransum makanan dan air minum berada di seberang sana, sudah tentu dia amat membutuhkannya. Dan gadis itu juga membutuhkan dia untuk membaca kitab-kitab ilu. Hemmmmm, dengan demikian, tentu saja dalam mempelajari ilmu-ilmu berdua, dia akan lebih menang karena lebih dulu membaca dan mudah saja untuk melewati bagian-bagian penting sehingga tingkat Cui Im akan tetap berada di bawahnya. Dengan demikian, kelak akan mudahlah menundukkan gadis ini kalau menjadi liar dan jahat. Tidak ada jalan lain pada saat seperti ini.

"Baiklah Cui Im, Tidak ada jalan lain bagi kita berdua selain berdamai dan bekerja sama. Nah, lontarkan ujung tambang itu agar jembatan tambang selalu terbentang!"

"Hi-hi-hik, nanti dulu Keng Hong."

"Ada apa lagi? Jangan engkau main-main, Cui Im."

"Bukan aku yang main-main, melainkan aku khawatir kalau engkau yang akan main-main. Lebih dahulu bersumpahlah engkau, Keng Hong, baru aku mau bekerja sama denganmu. Siapa tahu engkau menipuku seperti ketika engkau memberikan Siang-bhok-kiam palsu, hi-hi-hik!"

Keng Hong mendongkol sekali. Gadis ini terlalu cerdik, dia harus berhati-hati. Hanya ada satu harapannya, yaitu bahwa Cui Im agaknya benar-benar mencintainya sehingga dia tidak khawatir gadis itu akan tega mencelakainya. Pula, kalau dipikir secara mendalam, sangatlah merugikan kalau kitab-kitab peninggalan suhu-nya itu dibawa pergi oleh Cui Im yang tentu minta bantuan orang-orang lain untuk membacakannya. Dengan demikian, isi kitab-kitab itu akan diketahui orang ke tiga. Lebih baik dia sendiri yang membacakannya dari pada orang lain!

"Baiklah, Cui Im. Apa bila engkau kurang percaya kepadaku, aku akan bersumpah. Harus bersumpah bagaimana?"

"Berlututlah dan bersumpahlah demi nama suhu-mu, Sin-jiu Kiam-ong!"

Keng Hong terkejut dan ingin membantah, akan tetapi dia sudah mengenal watak Cui Im yang keras dan dalam persoalan mereka sekarang ini kedudukan dialah yang lebih lemah dan tak menguntungkan. Ia hanya menghela napas panjang. Untuk bersumpah saja, asal dia memegang sumpahnya, menggunakan nama suhu-nya juga tidak mengapa. Maka dia lalu berlutut dan mengucapkan kata-kata yang dikehendaki Cui Im.

"Teecu bersumpah demi nama suhu Sin-jiu kiam-ong.."

"Pertama, engkau tidak akan membunuhku!"

"Bahwa teecu tidak akan membunuh Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im."

"Kedua, bahwa engkau akan membacakan kitab-kitab ilmu silat dengan sebenarnya dan tidak menipuku!"

Celaka, pikir Keng Hong dalam hatinya. Gadis ini cerdik bukan main!

Terpaksa dia mengucapkan kata-kata menurut kehendak Cui Im, "...Bahwa teecu akan membacakan kitab-kitab ilmu silat dengan sebenarnya dan tidak menipunya..."

"Ke tiga, bahwa engkau akan menerima aku belajar hingga selesai dan tidak menghalangi bila sewaktu-waktu aku menghentikan pelajaran dan keluar dari tempat ini!"

Keng Hong meniru ucapan itu dan hatinya lega ketika Cui Im menyatakan sudah cukup puas. Cepat dia bangkit berdiri dan berkata dengan wajah dan berseri, "Cui Im, lontarkan tambang itu dan aku ingin meninjau tempat di seberang situ!"

Cui Im menjadi heran kenapa Keng Hong kelihatan demikian gembira setelah bersumpah. Akan tetapi dia percaya bahwa seorang pemuda seperti Keng Hong ini sekali bersumpah, apa lagi demi nama gurunya, sampai mati pun tidak akan sudi melanggar sumpahnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu melontarkan ujung tambang yang ada besi kaitannya ke seberang.

Tepat seperti dugaannya tadi, besi kaitan itu melayang dan mengait batu. Di seberang sana Cui Im mengait ujung yang satu lagi pada batu di sana. Akan tetapi Keng Hong memeriksa lagi kaitannya, dan setelah mendapat kenyataan bahwa besi itu mengait baik dan kuat-kuat, dia lalu meloncat ke atas tambang dan berlari di atas tambang menuju ke seberang.

Diam-diam dia kagum kepada Cui Im. Tadinya gadis itu merasa ngeri ketika mendaki batu pedang, akan tetapi begitu mendapat kitab-kitab itu, gadis itu tidak merasa ngeri untuk berjalan di atas jembatan tambang yang lebih mengerikan lagi.

Begitu dia meloncat di daratan seberang, Cui Im cepat-cepat menyambutnya dengan bibir mencari-cari bibirnya. Akan tetapi Keng Hong menghindarkan mukanya dan dengan halus mendorong pundak Cui Im.

"Keng Hong, mengapa? Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik?"

"Cui Im, kita bersahabat untuk saling membantu dalam mengejar ilmu di sini, dan tentang cinta, ingat, tidak ada disebut-sebut dalam sumpahku tadi!"

Kini mengertilah Cui Im mengapa tadi sehabis bersumpah pemuda itu kelihatan lega dan girang. Kiranya dia lupa untuk memasukkan ‘acara’ dan syarat ini ke dalam sumpah itu. Ia menyesal sekali dan mukanya cemberut.

Keng Hong merasa tidak baik kalau kerja sama itu dimulai dengan tidak menyenangkan hati Cui Im, maka katanya cepat,

"Cui Im, engkau akan tahu dari ilmu-ilmu dalam kitab-kitab ini bahwa selagi mempelajari ilmu tinggi, hubungan antara pria dan wanita merupakan pantangan paling besar. Hal itu akan menghambat kemajuan! Tunggu dan lihat sendiri saja nanti kalau kita sudah mulai belajar."

Ucapan ini menyenangkan hati Cui Im karena ia menganggap bahwa adanya Keng Hong menolak cintanya adalah disebabkan pemuda ini menganggap hal itu sebagai pantangan dalam belajar, jadi bukan karena pemuda itu mambencinya atau tidak membalas cintanya! Masih banyak kesempatan baginya untuk kelak menjatuhkan hati pemuda ini. Dia adalah seorang ahli dalam hal itu.

Keng Hong bersama Cui Im lalu memeriksa keadaan di situ dan memang Cui Im tidak membohong. Di situ terdapat bahan-bahan makan-minum seperti yang diceritakan Cui Im tadi dan tidak ada jalan untuk keluar karena ujung terowongan yang dihuni ratusan ribu ekor burung walet itu merupakan dinding yang curam dan tegak lurus, pula amat licin.

Demikianlah, mulai hari itu juga, Keng Hong dan Cui Im mulai membalik-balik lembaran kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi, dan memang tepat pemberitahuan Keng Hong tadi, karena di dalam kitab pertama, yaitu kitab I-kiong Hoan-hiat dari Siauw-li-pai, terang disebutkan bahwa pantangan utama dalam belajar silat adalah hubungan antara pria dan wanita!

Ilmu I-kiong Hoan-hiat adalah semacam ilmu memindahkan jalan darah dari partai Siauw-lim-pai, juga kitab ke dua Siauw-lim-pai, Seng-to Cin-keng berisikan ilmu yang khas yang mengajarkan Iweekang, bersemedhi mengatur pernapasan untuk menghimpun sinkang.

Setelah melihat sendiri bahwa memang ada pantangan hubungan antara pria dan wanita pada waktu melatih dri dengan ilmu-ilmu itu, Cui Im tidak banyak rewel lagi dan tidak mau mengganggu Keng Hong, biar pun kadang-kadang dia kelihatan seperti cacing kepanasan dan menderita sekali. Bhe Cui Im yang tadinya selalu menghambakan diri pada dorongan nafsu tentu menjadi sangat terganggu, akan tetapi nafsunya ingin menjadi jagoan wanita nomor satu di dunia ini mengalahkan nafsu birahinya sehingga dia tekun berlatih.

Keng Hong sendiri secara diam-diam membaca semua kitab yang berada di sana. Akan tetapi karena dia menganggap bahwa apa yang dahulu dia pelajari dari gurunya mutunya tidak kalah, dia hanya membaca kitab-kitab milik partai lain hanya untuk dimengerti isinya dan dikenal sifatnya, pula dia mempunyai rasa segan untuk mencuri ilmu partai lain.

Dia hanya membaca dan mengenal, akan tetapi tidak melatih dirinya dengan ilmu-ilmu itu. Kecuali kitab tulisan gurunya sendiri yang ternyata merupakan inti sari dari pada ilmu silat Siang-bhok Kiam-sut dan Ilmu silat San-in Kun-hoat sehingga dia menjadi girang sekali. Ia dapat memperdalam ilmu silatnya yang masih mentah itu dan melatih diri dengan rajin.

Biar pun Cui Im juga minta agar dia membacakan kitab ciptaan gurunya, namun dia yakin bahwa tanpa memiliki sinkang seperti yang dia ‘oper’ dari gurunya, dan tanpa mempunyai dasar-dasar yang dulu dia pelajari dari Sin-jiu Kiam-ong, kepandaian yang didapat oleh Cui Im hanyalah permukaannya atau kulitnya belaka.

Namun tentu saja dia tidak mau bicara tentang hal ini, bahkan setiap kali ada kesempatan dia memuji kemajuan-kemajuan yang diperoleh gadis itu sehingga Cui Im menjadi girang sekali. Memang harus diakui bahwa Cui Im yang memiliki bakat baik sekali itu kini telah memperoleh kemajuan pesat.

Keng Hong menjadi matang ilmunya. Biar pun yang dia matangkan hanya ilmu silat yang dua macam saja itu, yaitu San-in Kun-hoat yang terdiri dari delapan jurus pukulan tangan kosong dan Siang-bhok Kiam-sut yang terdiri dari tiga puluh enam jurus, tapi kematangan dan keistimewaan kedua ilmu ini mencakup seluruh dasar dan inti ilmu silat yang dikuasai Sin-jiu Kiam-ong, maka kini dia dapat memainkan ilmu silat itu secara dahsyat.

Biar pun hanya delapan jurus, namun ilmu silat San-in Kun-hoat ini cukup untuk membuat ia patut dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Ada pun Siang-bhok Kiam-sut adalah ilmu pedang istimewa yang bisa dikatakan menjadi rajanya segala ilmu pedang sehingga dia patut pula dijuluki Kiam-ong (Raja Pedang) seperti gurunya!

Sesudah dia membaca kitab peninggalan suhu-nya, barulah dia sadar bahwa Ilmu Silat San-in Kun-hoat memiliki segi-segi yang sangat hebat, dengan perkembangan yang tidak terhitung banyaknya tergantung dari keadaan dan daya khayalnya sendiri sehingga meski pun pada dasarnya hanya mempunyai delapan jurus, akan tetapi apa bila dikembangkan menjadi jumlah jurus yang tak terhitung banyaknya!

Tadinya ia hanya menguasai dasarnya yang dia gerakkan dengan mengandalkan sinkang kuat belaka. Kini dia dapat memainkan setiap jurus dengan kembangan yang tak terhitung banyaknya. Demikian pula dengan Ilmu Pedang Siang-bhok-Kiam-sut, kalau sebelum ini dia hanya menghafal gerakan-gerakan yang tiga puluh enam jurus mengandalkan sinkang dan kecepatan, namun kini dia dapat menangkap inti sarinya dan dapat mempergunakan Siang-bhok-kiam sedemikian rupa hingga sinar kehijauan pedang itu sudah cukup untuk merobohkan lawan.

Secara diam-diam dia selalu memperhatikan latihan-latihan yang dilakukan Cui Im dan dia menjadi kagum bukan main. Gadis itu benar-benar hebat, berbakat dan karena tadinya sebagai murid Lam-hai Sin-ni dia sudah memiliki tingkat tinggi, kini dengan mudahnya dia melahap semua isi kitab yang berada di sana dan sudah hafal akan semua isinya, sudah pandai pula memainkan semua ilmu itu termasuk ilmu silat yang diciptakan oleh Sin-jiu Kiam-ong sendiri!

Sunggguh cemas hati Keng Hong kalau melihat hal ini karena dia maklum bahwa Cui Im sekarang, sesudah tiga empat tahun berlatih dengan tekun, jauh bedanya dengan Cui Im dahulu, sungguh pun orangnya masih tetap cantik manis genit. Ilmu kepandaiannya telah meningkat secara hebat sekali.

Melihat kemajuan Cui Im yang mencemaskan itu, hanya ada satu hal yang melegakan hati Keng Hong, ialah betapa pun gadis itu berlatih dan mencari-cari dalam semua kitab yang berada di situ, gadis itu tidak dapat menemukan ilmu Thi-khi I-beng, dan dalam hal tenaga sinkang, betapa pun gadis itu menghimpun dan berlatih, tidak mampu menandingi tenaga sinkang-nya sendiri yang dulu dia terima secara langsung dipindahkan dari tubuh gurunya.

Empat tahun telah berlalu dengan cepat sekali karena kedua orang ini tekun belajar dan berlatih sehingga waktu berlalu tanpa terasa oleh mereka. Kini semua kitab sudah habis dipelajari Cui Im! Gadis ini sudah menjadi seorang wanita berusia dua puluh enam tahun yang matang segala-galanya! Cantik jelita, dan di dalam pandang matanya kini terdapat sinar berapi yang dulunya tidak ada, sinar berapi yang timbul dari kekuatan sinkang-nya ditambah kepercayaannya kepada diri sendiri.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali saat Keng Hong bangun dari tidurnya, dia mendapatkan Cui Im tersenyum-senyum di dekatnya. Dia heran melihat gadis itu mengenakan pakaian yang bersih, agaknya baru kemarin atau malam tadi dicuci, rambutnya digelung indah, wajahnya berseri-seri dan mulutnya tersenyum-senyum. Akan tetapi dengan terkejut Keng Hong melihat adanya pandang mata yang aneh, pandang mata yang jelas membayangkan nafsu birahi!

Kekhawatirannya terbukti ketika Keng Hong bangun duduk. Tiba-tiba Cui Im menjatuhkan diri dan duduk di dekatnya, memandang penuh kemesraan dan tertawa-tawa kecil penuh nafsu.

"Ehhh, Cui Im, apa-apaan ini? Engkau mau apa?" Keng Hong merenggutkan lengannya yang mulai dipegang dengan sentuhan halus mesra oleh gadis itu.

"Hi-hi-hik-hik, Keng Hong, betapa rinduku kepadamu. Hampir mati aku menanggung rindu kepadamu, kekasihku. Hampir gila aku mengekang diri, setiap malam bila engkau sudah tidur aku memandangimu, teringat masa lalu!"

"Cui Im, tidak boleh..." Keng Hong membuang muka menghindarkan ciuman gadis itu dan dia mulai terangsang.

Akan tetapi dia teringat betapa gadis ini sudah melakukan hal-hal keji, yang menjatuhkan fitnah kepada Biauw Eng. Selama empat tahun ini, ingatan itu selalu menyiksa dirinya dan membuat dia semakin menyesal di samping merasa rindu kepada Biauw Eng. Perasaan ini menimbulkan rasa muak dan bencinya kepada Cui Im sehingga begitu teringat kepada Biauw Eng, lantas lenyaplah rangsangan birahinya terhadap gadis yang tengah membelai dan membujuk rayu dirinya itu.

"Jangan berpura-pura alim Keng Hong. Dahulu engkau begitu mencintaiku! Dan sekarang aku tak lagi berlatih menghimpun sinkang, sudah cukup kuat aku, hi-hi-hik, lebih kuat dari guruku sendiri. Ya, sekarang aku dapat menjagoi di seluruh dunia dan cintaku kepadamu menjadi lebih kuat dari pada dulu karena engkau telah membantuku, kekasihku. Layanilah aku, Keng Hong, dan kita nanti keluar dari sini, menjadi sepasang kekasih, juga sepasang jagoan nomor satu di dunia. Mungkin engkau tidak mendapatkan banyak kemajuan, akan tetapi jangan khawatir, kepandaianku telah meningkat secara hebat, dan aku selalu siap melindungimu, kekasihku. Marilah...!” Cui Im menubruk, merangkul dan menggelutinya.

Keng Hong hampir tidak dapat menahan gelora darah mudanya ketika digeluti oleh Cui Im yang merayu dan yang makin cantik jelita ini. Akan tetapi dia cepat menekan perasaannya dan berkata,

"Engkau telah berlaku keji terhadap Biauw Eng..."

Jari-jari tangan yang sedang membelainya itu tiba-tiba saja berhenti, akan tetapi hanya sebentar, kemudian mengelus-elus lagi, malah mulut itu menciuminya sekerasnya. "Aiiiih, kekasihku, hal itu kulakukan karena cintaku kepadamu..."

Keng Hong sudah menjadi dingin lagi begitu dia teringat Biauw Eng. Ingin dia meronta menggunakan sinkang-nya, akan tetapi dia tak mau memancing keributan dengan Cui Im. Maka dia lalu berkata,

"Baiklah, Cui Im. Siapa yang bisa bertahan menghadapi kecantikan dan rayuanmu? Akan tetapi, aku... aku hendak mandi dulu..."

"Hi-hi-hi, tak usahlah...".

"Tidak, nanti saja. Aku perlu mandi dulu!" Keng Hong merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan gadis itu kemudian dia melompat dan lari menuju ke jembatan tambang.

Dia menoleh dan melihat Cui Im memandangnya dengan mata penuh gairah nafsu birahi. Dia perlu mencari waktu untuk menenteramkan hatinya yang yang terangsang.

"Kau tunggulah, aku hendak mandi..!" katanya dan Cui Im tertawa aneh.

Cui Im mengertak gigi saking gemasnya ketika melihat Keng Hong lari. Ia maklum bahwa dia sudah kehilangan cinta pemuda itu karena Biauw Eng. Hemmm, orang yang tak tahu dicinta, gerutunya dan ia pun bangkit perlahan mengikuti Keng Hong.

Dilihatnya pemuda itu meloncat ke atas jembatan tambang dan berlari cepat. Cui Im terus memperhatikan dan ia dapat melihat bahwa ginkang dari pemuda itu makin hebat saja. Ia pun dapat secara mudah berlari cepat melalui tambang itu, akan tetapi tambang itu masih bergetar dan bergoyang sedikit.

Kini melihat Keng Hong berlari cepat dan sedikit pun tambang itu tidak bergoyang, hatinya menjadi khawatir sekali. Dia mencinta Keng Hong, akan tetapi kalau pemuda itu memiliki kepandaian yang lebih hebat dan membahayakan dirinya sendiri, pemuda itu tidak berhak hidup lagi.

"Keng Hong, berhentilah!"

Nada suara panggilan yang mengandung kemarahan ini membuat Keng Hong terkejut dan cepat berhenti di tengah-tengah tambang, kemudian membalikkan tubuhnya menoleh ke arah Cui Im. Gadis itu berdiri di tepi jurang, dekat pada ujung tambang dan sikapnya membayangkan kemarahan yang amat besar. Akan tetapi kemarahannya itu ditutup oleh senyumnya yang lebar.

"Keng Hong, engkau bersumpahlah!"

"Heeeee?! Apa? Tidak ada alasan bagiku untuk bersumpah!"

"Keng Hong, bersumpahlah bahwa engkau mencintaiku dan akan melayani hasrat cinta kasihku!"

Keng Hong menggelengkan kepalanya, "Cui Im, sebenarnya engkau seorang gadis yang cantik jelita dan sekiranya engkau tidak begitu keji, sudah menjadi biang keladi terjadinya semua kekacauan bahkan merusak hati seorang gadis seperti Biauw Eng, dan sekiranya engkau tak begitu curang dan tidak menimbulkan rasa muak dan benci di hatiku, agaknya aku akan menerima cintamu dengan penuh kegembiraan."

"Keparat, laki-laki tak tahu dicinta! Kalau begitu mampuslah kau!"

Tiba-tiba saja gadis itu menggerakkan kedua tangannya ke depan dan segera tampaklah sinar-sinar merah kecil berkeredepan menyambar ke arah tujuh jalan darah pada bagian depan tubuh Keng Hong! Itulah jarum-jarum merah senjata rahasia Cui Im, dan karena selama empat tahun ini ia telah mencapai kemajuan pesat dan tenaga sinkang-nya sudah hebat sekali, maka sambitan jarum-jarumnya juga cepat sekali seperti kilat menyambar.

Keng Hong cepat menggerakkan tangan kirinya ke depan dan angin pukulan tangannya sedemikian kuatnya sehingga jarum-jarum itu dalam jarak dua meter sebelum menyentuh tubuhnya sudah runtuh semua ke bawah, ke dasar jurang yang tidak tampak dari atas.

"Cui Im, apa yang kau lakukan ini…?!"

Akan tetapi Keng Hong tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu sambil tertawa Cui Im sudah menggerakkan tangan lagi dan kini sinar putih berkilau menyambar bukan ke arah Keng Hong, melainkan ke bawah, ke arah tambang yang diinjak pemuda itu.

Keng Hong terkejut sekali, tak berdaya menghindarkan ancaman bahaya ini karena sekali kena disambar senjata rahasia bola putih berduri, senjata rahasia Biauw Eng yang telah dicuri Cui Im, tambang itu putus di tengah-tengah dan tentu saja tubuh Keng Hong jatuh ke bawah!

Pada detik itu Keng Hong maklum bahwa nyawanya sedang terancam bahaya maut yang mengerikan. Cepat dia menyambar ujung tambang dan ketika tubuhnya meluncur deras ke bawah, dia menggerak-gerakkan tangan kakinya memukul dan menendang ke bawah sambil mengerahkan ginkang sehingga tenaga luncuran itu banyak berkurang. Hal ini dia lakukan untuk mencegah tambang itu putus di bagian atas.

Ketika tubuhnya diayun tambang ke arah dinding jurang, dia menggunakan tangan kirinya sehingga dia tidak terbanting keras dan tambang itu untungnya tidak putus, akan tetapi bajunya sudah robek-robek dan kulitnya lecet-lecet mengeluarkan darah. Keng Hong tidak kekurangan akal, segera perlahan-lahan dia memanjat naik melalui tambang yang tinggal sepotong karena putus pada tengah-tengah tadi.

Ia berhasil mencapai tepi jurang di seberang dan begitu dia meloncat dan berdiri dengan baju robek-robek berdarah, muka pucat berkeringat serta napas agak terengah karena baru saja dia terlepas dari bahaya maut mengerikan, dia melihat Cui Im di seberang sana tertawa terkekeh, membuat dia menjadi makin marah dan membenci wanita curang dan kejam itu.

"Hi-hi-hik-hik, diberi jalan sorga kau memilih neraka! Ditawari kesenangan engkau memilih penderitaan. Engkau tak mau menyambut cintaku, ya? Baiklah, jika begitu engkau boleh bermain cinta dengan bayanganmu sendiri di situ sampai engkau mati tua karena engkau tak mungkin akan dapat meninggalkan tempat itu. Hi-hi-hik! Ada pun kitab-kitab, pusaka-pusaka dan benda-benda berharga sekarang menjadi milikku semua dan akan kubawa pergi. Nah, selamat berpisah, Cia Keng Hong bekas kekasihku. Aku akan hidup sebagai wanita tersakti di dunia ini, menikmati pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan engkau boleh mampus sebagai pertapa kesunyian di situ. Hi-hi-hik!"

Cui Im membalikkan tubuhnya dan menghilang, meninggalkan Keng Hong di seberang yang berdiri mengepal tinju akan tetapi tidak dapat berbuat sesuatu.

Keadaan Keng Hong amatlah buruknya dan kalau saja orang lain yang mengalami mala petaka seperti dia, tentu akan menjadi bingung, gelisah dan putus asa. Tetapi pemuda ini masih dapat mempertahankan ketenangannya.

Ia memandang pada sepotong tambang yang sudah dia gulung naik. Tambang itu hanya setengah panjang jarak jurang antara kedua tepi. Walau pun tergesa-gesa mencari akal, tak akan mungkin dapat mencegah Cui Im melarikan semua pusaka itu. Akan terlambat. Pula, bagaimana akalnya untuk dapat menyeberang?

Dia lalu berjalan perlahan memasuki lorong, dan untuk menghilangkan rasa panas karena kemarahannya terhadap Cui Im, dia lantas pergi ke sumber air untuk mencuci muka dan tubuhnya yang lecet-lecet. Biasanya, dia datang ke bagian ini hanya kalau membutuhkan makan minum, karena di seberang lebih enak ditinggali. Kini dia mendapat kesempatan sangat luas untuk menyelidiki keadaan di situ sampai habis, dan dengan teliti mulailah dia melakukan penyelidikan.

Di mulut lorong sebelah sana, tempat yang dihuni oleh burung-burung walet, mempunyai dinding yang tidak mungkin dituruni. Siapa tahu kalau-kalau ada jalan atau lorong rahasia di bagian ini. Hasil karya seorang sakti seperti gurunya tak dapat diduga lebih dulu.

Dengan membawa Siang-bhok-kiam yang tidak pernah terpisah dari tubuhnya sehingga tidak sampai terampas Cui Im, dia lalu mulai melakukan pemeriksaan dengan teliti sekali. Karena dia melakukan sangat teliti, setiap dinding dan lantai batu dia periksa, sejengkal demi sejengkal, maka Keng Hong harus menggunakan waktu sampai tiga hari untuk bisa memeriksa tempat itu seluruhnya, dari tepi jurang sampai sepanjang lorong, kamar berisi makanan, sampai ujung lorong yang dihuni burung-burung walet...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.