Pedang Kayu Harum Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Jilid 15 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pedang Kayu Harum Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA SAAT yang hampir bersamaan tadi, Lian Ci Tojin juga sudah melayang naik sambil membawa pedangnya yang telah dia cabut dari atas tanah. Ia pun menggunakan pedang itu menyerang Keng Hong dengan bacokan dahsyat, tepat pada saat Keng Hong habis menendang roboh Sian Ti Tojin.

"Ngo-sute (adik kelima), sungguh keterlaluan engkau!" Kiang Tojin berkata dan sebelum Keng Hong bergerak menyambut serangan Lian Ci Tojin, Kiang Tojin sudah mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu dan menyambut sambaran pedang itu.

"Cring-tranggggg..! Auhhh…!"

Tubuh Lian Ci Tojin juga terlempar ke bawah gentang, pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dua kali dengan baja belenggu dan dia roboh oleh tendangan Kiang Tojin yang gerakannya sama dengan gerakan Keng Hong merobohkan Sian Ti Tojin tadi!

"Cia Keng Hong, bagaimana engkau dapat mengenal Hek-liong Lo-hai tadi dan mampu mainkan jurus Hui-eng Coan-in (Garuda Terbang Menerjang Awan) tadi? Kedua jurus itu merupakan jurus-jurus simpanan tingkat tinggi dari Kun-lun-pai!" tegur Kiang Tojin, lebih banyak merasa kagum akan kesempurnaan gerakan Keng Hong yang bahkan melebihi gerakannya sendiri itu dari pada marah dan penasaran.

Dengan dua tangannya Keng Hong kembali menyodorkan kitab pusaka itu kepada Kiang Tojin. "Maaf, Totiang, saya bukan sengaja mencuri dan tidak akan saya berani membuka rahasia ilmu-ilmu itu kepada orang lain. Saya mendapatkannya dari sini, dan terimalah pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu ini! Dan karena Sian Ti Tojin telah begitu baik hati untuk menyerahkan tongkat ketua kepada Totiang, sebaiknya Totiang menerima tongkat itu sekalian!"

Kiang Tojin tertegun, bagaikan orang terpesona dia memandang ke arah kitab, suaranya gemetar dan kedua kakinya menggigil saat dia bertanya lirih, "Keng Hong, bersumpahlah. Benarkah kitab itu peninggalan Couwsu?"

"Saya bersumpah demi kehormatan saya, Totiang."

Mendengar ini, Kiang Tojin lalu menerima kitab dengan kedua tangan, membukanya dan membaca huruf-huruf indah di halaman pertama: THAI-KEK SIN-KUN INI DICIPTAKAN UNTUK CALON-CALON KETUA KUN-LUN-PAI. Wajah Kiang Tojin makin berseri ketika dia membuka-buka kitab itu, lantas mengangkat tinggi-tinggi kitab itu di atas kepalanya, menghadapi semua tosu di bawah genteng dan berteriak,

"Para murid Kun-lun-pai! Ternyata kitab ini benar-benar peninggalan Couwsu kita! Marilah kita menghaturkan terima kasih kepada Couwsu!" Kiang Tojin, menjatuhkan diri berlutut dan semua tosu di bawah genteng pun lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah!

"Teecu sekalian menghaturkan syukur dan terima kasih atas budi kecintaan Couwsu yang sudah meninggalkan kitab ini kepada teecu sekalian. Teecu bersumpah untuk menjunjung tinggi peninggalan Couwsu dan mencamkan semua ajaran Couwsu!"

Wajah Kiang Tojin berseri-seri dan matanya bersinar saat dia bangkit berdiri lagi. Dengan lantang dia berkata, "Engkau benar, Keng Hong. Kesulitan-kesulitan dan urusan-urusan pribadi harus disingkirkan dan dikesampingkan ketika menghadapi urusan perkumpulan! Kun-lun-pai perlu dibangun, perlu diperkuat dan karena couwsu berkenan meninggalkan pusaka ini kepada pinto, maka pinto berhak menjadi ketua! Juga tongkat ketua, berkat ketangkasanmu, sudah berhasil dirampas kembali. Siapakah di antara para saudara yang tidak setuju kalau pinto menjadi ketua Kun-lun-pai?"

Tiada seorang pun di antara para tosu berani mengeluarkan suara, bahkan empat orang tosu yang menjadi adik-adik seperguruan Kiang Tojin, sekarang memandang pada kakak seperguruan tertua itu dengan sinar mata penuh harapan. Kemudian semua tosu-tosu itu mengerling ke arah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin yang berdiri dengan muka pucat.

"Cia Keng Hong, selama hidup pinto takkan melupakan perbuatanmu ini dan sekali waktu pinto akan membalas dendam ini!" bentak Lian Ci Tojin sambil mengertakkan giginya.

"Cia Keng Hong, kau telah berani merampas tongkat ketua dan menggunakan kekerasan untuk mencampuri urusan Kun-lun-pai. Selamanya Kun-lun-pai akan mengutukmu, selalu menganggapmu sebagai musuh besar!" kata pula Sian Ti Tojin.

Keng Hong tertawa, "Pemutar balikan fakta merupakan fitnah keji, Ji-wi Totiang. Aku tidak mencampuri urusan Kun-lun-pai dan tentang tongkat, siapakah yang bergerak lebih dulu melakukan serangan? Aku hanya membela diri dan salahmu sendiri mengapa sebagai ketua kurang sempurna ilmumu, dan mengapa pula engkau meninggalkan tongkatmu ke tanganku. Bukankah seorang ketua Kun-lun-pai harus selalu menjaga tongkatnya seperti menjaga nyawa sendiri? Sekarang terserah padamu. Lawanlah Kiang Tojin jika memang kau merasa lebih berhak dan lebih pandai. Ada pun aku..., hemmm, aku hanya menjadi saksi dan aku yang akan turun tangan menghadapinya kalau kau minta bantuan kepada tokoh-tokoh kaum sesat!"

Melihat betapa kedua orang tosu itu diam saja, hanya memandang kepada Keng Hong dengan pandang mata melotot penuh kebencian, Kiang Tojin lalu menggerakkan kedua tangannya dan terdengarlah suara berkerotokan ketika belenggu pergelangan tangannya patah-patah.

"Ji-sute dan Ngo-sute, kalian juga mengerti sendiri kenapa dulu pinto mengalah. Pertama untuk memenuhi janji bahwa siapa yang kalah harus memberikan kedudukan ketua. Pinto telah kalah oleh Ang-kiam Bu-tek yang mewakilimu, dan tongkat ketua juga sudah dapat dirampas dari tangan pinto. Hanya karena pinto tidak menghendaki perpecahan di tubuh Kun-lun-pai sesuai dengan pesan suhu, maka pinto mengalah, suka diperlakukan sebagai orang hukuman. Andai kata pinto tidak mau menerima dan melawan setelah Ang-kiam Bu-tek pergi tentu kalian berdua tak akan mampu melawan dan mengalahkan pinto. Kini pinto sadar bahwa sesungguhnya kalian telah menyelewengkan Kun-lun-pai dan bahwa sikap mengalah dari pinto bukan hal benar, bahkan merupakan pengkhianatan terhadap Kun-lun-pai, terhadap suhu yang telah menaruh kepercayaan kepada pinto. Dulu tongkat ini dirampas dari tangan pinto oleh Ang-kiam Bu-tek, kini kembali ke tangan pinto atas bantuan Cia Keng Hong. Hal ini sudah sewajarnya maka pinto suka menerima kembali ini. Apa lagi setelah pinto harus memimpin anak murid Kun-lun-pai seperti yang dikehendaki pendirinya, yaitu Couwsu kita!"

"Kiang Tojin, kelak kita akan saling berjumpa kembali!" Terdengar suara Sian Ti Tojin penuh kemarahan dan dendam. "Mulai detik ini, aku bukan lagi tosu Kun-lun-pai!"

"Sute...!" Kiang Tojin berseru.

Akan tetapi Sian Ti Tojin sudah menoleh kepada Lian Ci Tojin dan berkata singkat, "Hayo kita pergi!"

Dua orang tosu itu sudah meloncat pergi. Keng Hong bergerak hendak mengejar sambil berkata lirih, "Dia harus dibasmi...!"

Kiang Tojin mengira bahwa Keng Hong hendak membunuh mereka karena sikap mereka sebagai murid-murid Kun-lu-pai yang murtad, maka dia cepat-cepat mencegah, "Jangan, biarkan mereka pergi... ini urusan Kun-lun-paii..."

Sebetulnya Keng Hong berniat membunuh Lian Ci Tojin atas perbuatannya terhadap Tan Hun Bwee dulu, akan tetapi mendengar cegahan ini, dia menjadi tidak enak hati terhadap Kiang Tojin dan mengurungkan niatnya. Sikap kedua orang tokoh Kun-lun-pai itu sudah cukup menghancurkan hati Kiang Tojin.

Para tosu yang tadinya bersekutu dengan Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin menjadi amat ketakutan sendiri dan mereka segera menerima dengan penuh kerelaan hati ketika Kiang Tojin mengatakan bahwa siapa yang merasa bersalah dipersilakan untuk menghukum diri sendiri di dalam ruang ‘pencuci dosa’ dan kamar-kamar ‘penyesalan diri’. Para tosu yang merasa bersalah, hampir dua puluh orang banyaknya, segera berbondong-bondong pergi memasuki tempat-tempat yang khusus diadakan oleh Kun-lun-pai bagi anak-anak murid Kun-lun-pai untuk menyesali perbuatan sendiri yang tersesat.

Diam-diam Keng Hong menjadi gembira dan juga kagum sekali. Ternyata bahwa Kiang Tojin masih cukup berwibawa dan dia ingat pada para tosu yang bermain asmara dengan wanita dusun di lereng gunung dan dia tersenyum sendiri. Salahkah tosu itu? Tidak! Tidak salah, hanya lemah terhadap pantangan yang memang diadakan oleh golongan mereka dan yang sudah diakui olehnya sendiri! Bersalah kiranya orang yang melanggar larangan yang sudah diakuinya sendiri bahwa larangan itu tak boleh dilanggar.

"Keng Hong, kedatanganmu seperti datangnya dewa yang menyadarkan pinto dari mimpi buruk. Dan besar sekali budimu terhadap Kun-lun-pai dan terhadap Couwsu kami. Tidak percuma kiranya ketika Thian dahulu menggerakkan hati pinto untuk membawamu ke sini, Keng Hong. Sekarang ceritakanlah, bagaimana engkau bisa menemukan tempat bertapa mendiang Couwsu, dan bagaimana pula semua pusaka gurumu sampai dapat tercuri oleh Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang menjadi begitu lihai dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek?"

Keng Hong yang kini diajak duduk di ruangan dalam oleh Kiang Tojin yang sudah menjadi ketua Kun-lun-pai, segera menceritakan pengalamannya semenjak dia dikejar-kejar dan naik ke puncak batu pedang. Di antara seluruh manusia di dunia ini, hanya kepada Kiang Tojin-lah satu-satunya tokoh kang-ouw yang boleh dipercaya dan yang sama sekali tidak memiliki niat buruk terhadap dirinya, tidak pula menginginkan harta pusaka dan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.

Ia menceritakan betapa akhirnya dia berhasil mendapatkan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya, akan tetapi betapa terpaksa dia mengajak Cui Im karena selain gadis itu sudah menolongnya, juga kalau tidak dia ajak, tentu gadis itu terancam keselamatannya oleh para tokoh kang-ouw yang mengejarnya. Diceritakan selanjutnya betapa dia tertipu oleh Cui Im itu, terjebak di ujung seberang jurang akan tetapi akhirnya kekejian Bui Im itu bahkan membuat dia berhasil menemukan tempat rahasia di mana terdapat rangka dan kitab peninggalan Thai Kek Couwsu!

Akhirnya dia menceritakan perjalanannya keluar dari tempat rahasia itu. Ia menceritakan hanya secara singkat, melewatkan saja keterangan tentang tempat itu sendiri, dan tidak menyebut-nyebut hal lainnya, misalnya pengetahuannya mengenai kekejian Lian Ci Tojin terhadap Tan Hun Bwee, mau pun tosu Kun-lun-pai yang bermain cinta dengan wanita dusun.

Kiang Tojin mengelus jenggotnya yang panjang dan menarik napas panjang. "Aaah, baru empat tahun mempelajari kitab-kitab peninggalan suhu-mu, gadis itu sudah sedemikian lihainya sehingga aku roboh di tangannya! Dan kitab-kitab itu dibawanya semua!"

"Saya pun merasa menyesal sekali, Totiang. Semua itu akibat kelalaian saya, merupakan kesalahan dan tanggung jawab saya. Saya sudah mengambil keputusan untuk mencari Cui Im hingga dapat, merampas semua kitab-kitab peninggalan suhu yang telah dicurinya, lalu saya hendak mengembalikan semua kitab dan pedang-pedang pusaka kepada orang yang berhak."

"Baik sekali pendirianmu itu, Keng Hong. Gurumu Sie Cun Hong bukanlah seorang yang jahat atau berdasarkan watak yang buruk. Tidak sama sekali, dia adalah seorang taihiap, seorang pendekar besar yang di samping lihai sekali, juga selalu siap menentang segala kejahatan dan mempertaruhkan jiwa untuk membela kebenaran, keadilan dan kebajikan. Akan tetapi dia berwatak aneh, tidak mengindahkan hukum-hukum yang dibuat manusia, bertindak seenak hatinya sendiri asal bersandar kebenaran menurut penilaiannya. Boleh jadi gurumu telah menolong ribuan orang, telah menentang ribuan kejahatan, akan tetapi karena wataknya yang ugal-ugalan ini, sukanya akan wanita cantik tanpa mempedulikan apakah wanita itu isteri orang ataukah gadis, asal suka kepadanya tentu akan dia layani, kemudian ditambah dengan kesukaannya akan benda-benda pusaka yang tak segan lalu dicurinya dari tangan orang lain menggunakan kepandaiannya, maka segala kebaikannya itu dilupakan orang dan dia pun dimusuhi. Karena itu, pendirianmu untuk mengembalikan benda-benda pusaka yang dulu dicuri atau dirampas oleh suhu-mu, merupakan kebaktian pada gurumu, mencuci noda pada namanya. Dan engkau tidak perlu menjadi penasaran menghadapi kenyataan bahwa benda-benda pusaka itu dicuri orang, karena benda yang mudah didapat akan mudah lenyap pula, benda yang didapat dengan mencuri tentu akan lenyap tercuri, siapa menanam pohonnya dia memetik buahnya."

Keng Hong mengangguk-angguk lantas berkata. "Saya mengenal watak mendiang suhu, Totiang, dan saya juga tidak dapat menyalahkannya. Memang, selagi masih hidup tidak menikmatinya, lalu apa gunanya segala anugerah yang diberikan Thian kepada manusia? Menikmati kesenangan hidup adalah hak manusia, asalkan si manusia dapat mengekang diri, dapat mengendalikan hawa nafsu yang mendorongnya untuk menikmati kesenangan duniawi sehingga tidak sampai mabuk, tidak sampai melupakan kebajikan dan melakukan kejahatan hanya untuk pemuasan nafsu. Pemuasan nafsu dilakukan dengan wajar tanpa merugikan orang lain adalah kenikmatan yang menjadi anugerah Thian, mengapa ditolak? Maaf, Totiang, tentu saja pendirian seorang pendeta seperti Totiang akan lain lagi. Hanya sebaiknya diingat bahwa suhu bukanlah pendeta, melainkan manusia biasa."

Kiang Tojin mengerutkan alis dan menghela napas panjang. "Pinto tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Ada baik ada buruk, hal itu sudah wajar. Ada senang ada susah, memang saudara kembarnya yang takkan dapat dipisahkan. Yang mencari senang akan bertemu susah, itu memang resikonya dan juga sudah semestinya. Pengertian saja belum cukup. Oleh karena itu, engkau yang masih muda memang baru akan dapat mengerti dengan sempurna setelah digodok oleh pengalaman dan sudah menjadi hakmu untuk mengalami segala hal di dunia ini. Hanya pesanku Keng Hong, pengalaman pahit jauh lebih berharga dari pada pengalaman manis, dan ingat pula bahwa sesal kemudian sama sekali tiada gunanya. Ingat bahwa kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati sendiri belum tentu kebenaran yang sejati. Kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati orang lain itu pun hanya lebih dekat dengan yang sejati, Engkau bebas untuk bergerak dalam hidup, dan guru yang paling dapat kau andalkan adalah Guru Sejati yang berada di dalam dirimu pribadi."

Setelah banyak menerima wejangan Kiang Tojin, akhirnya Keng Hong pergi meninggalkan Kun-lun-pai dengan dada lapang bahwa dia telah dapat membantu memulihkan keadaan Kun-lun-pai dan biar pun sedikit dapat pula menebus budi kebaikan Kiang Tojin.

********************

"Aaauuuuuuhhhh... toloooooonggg...!"

Jerit melengking wanita ini tiba-tiba terdiam. Memang leher yang dicekik tentu saja tidak akan dapat menjerit lagi. Jerit itu keluar dari sebuah kamar yang indah dan diterangi sinar lilin terbungkus sutera merah, remang-remang romantis sehingga menambah keindahan kamar yang berbau harum itu.

Akan tetapi apa yang terjadi di dalam kamar pada malam hari itu? Seorang gadis remaja, puteri hartawan dan bangsawan yang menjadi kembang kota itu, tertimpa mala petaka. Ketika dia sedang tidur pulas tadi, tiba-tiba dia terbangun dan hampir dia pingsan ketika melihat betapa seorang laki-laki yang berpakaian mewah serta berwajah tampan sedang memeluk dan menciumi mukanya sambil jari-jari tangan laki-laki ini merenggut-renggutkan pakaiannya sehingga robek-robek.

Sejenak gadis itu tak dapat menjerit saking kaget dan juga karena mulutnya tertutup oleh ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuatnya bernapas pun sukar, apa lagi menjerit. Ia hanya dapat membelalakkan mata dan meronta-ronta, akan tetapi gerakannya meronta ini agaknya malah menambah berkobarnya nafsu jalang laki-laki itu.

"Diamlah manisku, diamlah nona... aduh, betapa cantik jelita engkau...," lelaki itu berbisik dengan napas mendengus-dengus.

Kesempatan ini dipergunakan oleh nona yang mulutnya bebas. Akan tetapi hanya satu kali saja dia dapat menjerit karena mulutnya segera tertutup kembali oleh mulut laki-laki itu dan lehernya dilingkari jari-jari tangan yang kuat.

"Kalau kau menjerit lagi, kucekik mampus kau!" laki-laki itu mendesiskan bisikan marah, akan tetapi gadis itu tidak dapat menjerit lagi karena saking ngeri dan takutnya dia telah kehilangan suara dan setengah pingsan.

Akan tetapi satu kali jeritannya tadi sudah cukup. Ayahnya adalah seorang bangsawan, seorang pembesar militer yang banyak berjasa dalam perang, sebagai seorang di antara panglima dari utara. Pada malam hari itu, ayahnya sedang menjamu banyak orang gagah yang dahulu membantu gerakan bala tentara dari utara yang dipimpin oleh Raja Muda Yung Lo yang gagah perkasa.

Malam hari itu ada lima orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi sedang dijamu oleh ayahnya. Karena ini, jerit melengking itu segera terdengar oleh mereka dan bersama panglima ayah gadis itu sendiri, mereka berenam sudah berkelebat cepat sekali menuju ke kamar si gadis.

"A-hwi...!" Panglima itu berseru memanggil puterinya, akan tetapi tidak ada jawaban.

Sambil menggereng penuh kekhawatiran, panglima yang tinggi besar itu menerjang daun pintu kamar puterinya. Daun pintu bobol dan roboh, disusul enam bayangan orang gagah itu berkelebat memasuki kamar.

"A-hwi…!"

Sekarang teriakan panglima itu adalah teriakan yang menyayat hati, teriakan setengah marah setengah menangis menyaksikan keadaan puterinya yang rebah terlentang dalam keadaan telanjang dan sepasang matanya mendelik, lidahnya keluar, tidak bernapas lagi! Jelas bahwa dia mati tercekik.

Lima orang gagah itu adalah orang-orang yang berpengalaman. Melihat keadaan kamar sekelebatan saja, mereka telah menemukan lubang di atas rumah, maka seperti berlomba mereka kemudian melayang naik melalui lubang itu menembus atap dan hinggap di atas genteng. Mereka melihat bayangan orang berjalan seenaknya di atas genteng hendak pergi meninggalkan tempat itu.

"Berhenti...!" Lima orang itu meloncat maju mengejar.

Bayangan yang melangkah seenaknya di atas genteng itu berhenti, lantas membalikkan tubuhnya menghadapi lima orang itu.

Mereka berlima tercegang pada saat melihat bahwa bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan sekali dan tubuhnya tinggi besar gagah. Pakaiannya indah dan mewah, muka dan rambutnya juga terpelihara baik-baik. Seorang laki-laki pesolek yang menambah halusnya wajah dengan bedak halus tipis bahkan kehitaman alis dan kemerahan bibir itu pun amat diragukan keasliannya.

Pada waktu lima orang kang-ouw yang tak mengenal laki-laki ini melihat perhiasan bunga teratai emas di atas dada laki-laki itu, mereka pun terkejut dan seorang di antara mereka segera berseru,

"Kim-lian Jai-hwa-ong…!"

Nama ini memang amat terkenal di dunia kang-ouw semenjak belasan tahun yang lalu. Semenjak lama dunia kang-ouw telah geger oleh munculnya nama ini, akan tetapi karena tokoh dunia hitam ini tak pernah mengganggu orang-orang kalangan kang-ouw dan selalu menjauhkan diri dari bentrokan, maka jarang ada yang mengenal orangnya.

Hal ini bukan saja karena tokoh ini jarang memperlihatkan muka. Juga hebatnya adalah bahwa setiap kali ada tokoh kang-ouw yang bertemu dengan dia, tentu tokoh kang-ouw itu kedapatan tewas. Dengan demikian orang kang-ouw yang pernah bertemu dengan dia tidak ada kesempatan lagi menceritakan kepada lain orang bagaimana macamnya tokoh ini.

Dia dijuluki Kim-lian (Teratai Emas) karena bajunya selalu dihiasi perhiasan bunga teratai dari emas. Dan julukannya Jai-hwa-hong (Raja Pemetik Bunga) sudah jelas menyatakan bagaimana macam ‘pekerjaan’ tokoh ini, yaitu memetik bunga atau pemerkosa wanita di samping menyambar perhiasan-perhiasan berharga yang berada di kamar wanita-wanita itu.

Itulah sebabnya mengapa lima orang kang-ouw itu terkejut setengah mati ketika melihat hiasan bunga teratai merah di dada laki-laki itu. Sudah menjadi kembang bibir di dunia kang-ouw bahwa bertemu Kim-lian Jai-hwa-ong berarti bertemu dengan maut sendiri!

Akan tetapi, mereka berlima adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja tidak menjadi gentar. Apa lagi kalau mengingat betapa penjahat ini telah membunuh puteri tuan rumah, membuat mereka marah sekali.

Jai-hwa-ong itu tersenyum dan sinar bulan yang menimpa wajahnya membuat wajah itu tampak semakin tampan, senyumnya memikat dan giginya berkilauan putih bersih. Kumis tipis di atas bibir itu bergerak-gerak ketika dia berkata lirih mengejek,

"Kalian berlima sudah mengenal aku, tahukah kalian apa jadinya dengan orang yang telah mengenalku?"

"Kim-lian Jai-hwa-ong, kau boleh saja terkenal sebagai pembunuh setiap orang kang-ouw yang bertemu denganmu. Akan tetapi jangan menyangka kami takut menghadapi seorang penjahat rendah semacam engkau! Kami Pak-san Ngo-houw (Lima Harimau Pegunungan Utara) sudah mengikuti penyerbuan tentara utara ke selatan, sudah menghadapi banyak penderitaan dan ribuan kali ancaman maut, dan entah telah berapa ratus penjahat macam engkau ini kami basmi!" bentak salah seorang di antara lima orang tokoh. Dengan ucapan ini, mereka berlima sudah mencabut golok masing-masing sehingga tampak sinar-sinar berkilat.

Namun laki-laki pesolek itu tidak keliatan marah, malah dia memperlebar senyumnya lalu berkata, "Aha, ternyata kalian adalah lima ekor tikus pegunungan utara? Bagus sekali! Biarlah kalian tidak akan mati penasaran dan kenalilah aku baik-baik. Aku bernama Siauw Lek dan aku adalah murid Go-bi Chit-kwi, maka kini sekali bertemu dengan aku jangan harap kalian akan dapat hidup lagi!"

Lima orang gagah itu sudah menerjang sambil membentak marah sekali. Golok mereka berkelebat seperti kilat menyambar ke arah tubuh laki-laki pesolek yang masih tersenyum itu.

Akan tetapi penjahat bernama Siauw Lek itu ternyata bukan bersikap sombong secara kosong belaka. Tubuhnya berkelebat dan semua serangan golok lima buah itu mengenai tempat kosong.

Cepat sekali gerakan penjahat itu dan ginkang-nya sudah mencapai tingkat sangat tinggi sehingga begitu diserang dia lenyap dan tahu-tahu telah berada di belakang lima orang itu sambil tertawa mengejek!

Lima orang itu cepat membalikkan tubuh sambil melintangkan golok, kemudian pemimpin mereka yang teringat bahwa mungkin penjahat ini merupakan utusan sisa-sisa musuh di selatan, segera menahan senjatanya dan bertanya dengan suara nyaring.

"Penjahat hina she Siauw! Sebelum engkau mampus di tangan kami, katakanlah kenapa engkau membunuh puteri The-ciangkun?"

Penjahat itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, kalian ingin tahu pula mengenai hal itu? Nah, dengarlah. Aku disebut sebagai Raja Pemetik Bunga dan memang aku suka sekali pada bunga-bunga harum bermadu. Aku seperti seorang kumbang yang mencari madu-madu bunga. Apa bila ada bunga dengan senang hati membuka kelopaknya dan menyerahkan madunya kepadaku, aku akan terbang pergi dengan kenang-kenangan manis. Akan tetapi kalau ada bunga tidak suka menyerahkan madunya, akan kurontokkan dia! Dara di bawah itu tak mau menyerah, bahkan menjerit, maka terpaksa kucekik dia sampai mati. Ada jalan hidup senang dia memilih mati konyol! Kalau tadi dia menyerah, aku akan puas, dia akan hidup dan senang dan... Ha-ha-ha, dasar nasib, kalian pun akan mampus!"

"Keparat hina!" Lima orang harimau gunung utara itu menjadi marah sekali dan kembali lima batang golok mereka menyambar.

Tiba-tiba tampak sinar hitam berkelebat dan disusul suara nyaring lima kali.

“Trang-trang-trang-trang-tranggg…!”

Kelima orang kang-ouw itu terkejut karena pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tadi berkelebat telah menangkis golok-golok mereka dan begitu bertemu, golok mereka patah semua!

"Tangkap penjahat...!" Terdengar seruan dari arah bawah dan belasan orang pengawal The-ciangkun yang berkepandaian lumayan sudah melayang naik ke atas genteng.

Akan tetapi terdengar Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek tertawa, tangan kirinya bergerak dan belasan batang senjata berbentuk paku-paku yang disebut Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) meluncur cepat sekali, menyambut tubuh para pengawal yang sedang meloncat sehingga tubuh mereka terkena senjata rahasia dan jatuh kembali ke bawah didahului teriakan-teriakan mengerikan karena sebelum tubuh mereka terbanting ke tanah, mereka itu telah tewas oleh paku-paku yang mengandung racun jahat itu!

"Lima ekor tikus, rebahlah kalian!"

Kini Siauw Lek menggerakkan pedangnya yang berwarna hitam, cepat sekali gerakannya, pedangnya berubah menjadi cahaya panjang yang mengeluarkan suara bercuitan.

Lima orang gagah itu mencoba mengelak sambil menangkis dengan golok buntung, tapi sia-sia belaka karena sinar pedang itu menebas tangan yang memegang golok terus meluncur ke arah leher mereka. Lima orang gagah itu tidak sempat untuk berteriak pula. Tubuh mereka menggelundung dari atas genteng dengan kepala terpisah dari tubuh!

Panglima The yang menjadi marah sekali saat melihat belasan orang pengawalnya roboh binasa termakan oleh paku-paku beracun, sudah memimpin banyak sekali pengawal dan berbareng mereka lantas melompat naik ke atas genteng. Akan tetapi mereka tak melihat sesuatu di atas genteng. Sunyi saja dan tidak tampak bayangan seorang pun manusia.

Panglima ini menjadi marah bukan main melihat kelima orang sahabatnya tewas dengan leher putus, dan malam itu juga dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran untuk mencari si penjahat. Akan tetapi, mereka yang pernah melihat penjahat itu, Lima Harimau Pegunungan Utara dan para pengawal yang meloncat naik pertama kali, semuanya telah tewas. Tidak ada seorang pun di antara yang lain sempat melihatnya. Ke mana hendak mengejar dan mencari? Orangnya pun tidak dikenal!

Kembali dunia kang-ouw menjadi geger dengan terjadinya peristiwa mengerikan itu, dan meski pun tidak ada yang melihat penjahat itu, namun paku-paku hitam beracun itu sudah cukup menyatakan bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu tak lain adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek!

Apa lagi ketika di antara para pengawal yang malam itu masih berada di bawah genteng menyatakan bahwa mereka melihat berkelebatnya sinar pedang hitam, maka orang-orang di dunia kang-ouw tidak ragu-ragu lagi bahwa pedang itu tentulah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) senjata penjahat cabul itu.

Memang Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek amat lihai. Kelihaiannya tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa dia adalah murid tunggal Go-bi Chit-kwi yang sangat lihai itu. Go-bi Chit-kwi sebelum mengundurkan diri dari dunia ramai merupakan datuk-datuk hitam yang sangat ditakuti di seluruh dunia kang-ouw.

Bahkan Bu-tek Su-kwi si empat iblis yang kini menjagoi di antara golongan sesat, masih merupakan orang-orang muda yang belum begitu ternama ketika Go-bi Chit-kwi sudah amat terkenal. Ketika Bu-tek Su-kwi masih muda, mereka pun gentar menghadapi Tujuh Setan Go-bi, dan orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, yaitu Lam-hai Sin-ni, sudah pernah dirobohkan dan hampir diperkosa oleh ketujuh setan ini kalau saja tidak muncul mendiang Sin-jiu Kiam-ong yang menolong wanita itu.

Kini Go-bi Chit-kwi sudah meninggal dunia di sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san. Akan tetapi sebelum mereka meninggal dunia, mereka telah menurunkan semua ilmunya kepada murid mereka yang hanya seorang, yaitu Siauw Lek.

Untuk menamatkan pelajarannya pada tujuh orang guru itu, Siauw Lek belajar sampai dua puluh tahun. Setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, setelah dia berusia tiga puluh tahun, barulah ia turun gunung dan begitu turun gunung maka gegerlah dunia kang-ouw dengan kemunculan seorang jago yang mengumbar nafsunya dengan memperkosa wanita-wanita yang disukainya! Sejak itu muncullah julukan Kim-lian Jai-hwa-ong yang tak pernah dilihat orang, atau pernah pula dilihat orang-orang akan tetapi begitu bertemu dengannya tentu dibunuhnya!

Malam hari itu hati Siauw Lek murung dan tidak puas. Ia gagal bersenang-senang dengan puteri The-ciangkun yang tak mau melayani hasrat hatinya bahkan berani menjerit hingga terpaksa dibunuhnya.

Siauw Lek memang seorang Jai-hwa-ong (penjahat pemerkosa wanita), akan tetapi dia mempunyai kebiasaan aneh yang dia beritahukan kepada lima orang Pak-san Ngo-houw sebelum mereka dia bunuh, yaitu bahwa dia hanya mau memiliki wanita yang bersedia melayaninya! Kalau wanita itu menolak, tentu dibunuhnya!

Banyak wanita yang karena takut dibunuh, atau karena memang tertarik oleh wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang tinggi besar, suka melayaninya dan tentu saja setelah melayani hasrat nafsu penjahat ini, wanita-wanita itu lalu menyimpannya sebagai rahasia besar dan tidak berani menceritakan keadaan penjahat itu kepada orang lain karena hal itu sama saja mengakui bahwa dia telah dinodai penjahat itu! Mereka yang menolaknya pun tidak dapat menceritakan kepada orang lain karena mereka ini tentu sudah dibunuh oleh Siauw Lek.

Ada kalanya Siauw Lek berhasil mendapatkan pelayanan wanita yang memang tertarik kepadanya, akan tetapi ada pula yang harus dia dapatkan dengan cara mengancam dan dalam hal ini dia mempunyai banyak cara yang keji dan tidak mengenal peri kemanusian. Dalam mencengkeram nafsu birahinya sendiri, Siauw Lek kadang-kadang seperti bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang memasuki tubuhnya.

Malam itu dia murung. Dia hanya berhasil membunuh banyak orang, namun dia semakin ditekan serta dihimpit oleh nafsunya sendiri yang belum terpuaskan. Biasanya, sebelum mendatangi korbannya di malam hari, siangnya dia sudah melihat-lihat dan mencari-cari. Malam ini dia tidak ada tujuan tertentu karena siang tadi dia mencurahkan perhatiannya kepada puteri panglima itu. Amat sukat untuk mencari korban pada malam hari seperti itu, karena tidak mungkin pula dia harus mengintai setiap rumah untuk mencari wanita yang disukainya.

"Bedebah!" Ia menyumpahi nasibnya yang dianggapnya sial malam itu.

Penjahat yang berilmu tinggi ini sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang amat gesit gerakannya, yang seakan-akan terbang saja ketika mengikutinya dari jauh. Tiba-tiba saja Siauw Lek berhenti berlari dan bayangan di belakangnya pun cepat menyelinap dan bersembunyi di balik wuwungan rumah.

Kiranya Siauw Lek berhenti bukan akibat sudah mengetahui bahwa dia dibayangi orang, akan tetapi karena dia mendengar suara bayi menangis dari rumah di sebelah depan, sebuah rumah kecil terpencil. Hatinya tergerak.

Hemmm, ada bayinya tentu ada ibunya yang muda, pikir otaknya yang sudah terlalu kotor karena selalu dipenuhi nafsu birahi yang tidak wajar. Dia lalu melompat ke depan, ke atas genteng rumah di depan itu dan kini tangis bayi sudah tak terdengar lagi.

Dari atas genteng, Jai-hwa-ong ini mengintai dengan jalan membuka genteng. Di bawah tampak sebuah kamar yang sederhana namun bersih, diterangi lampu minyak yang cukup terang. Seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun tidur meringkuk di sudut ranjang dengan muka menghadap dinding. Di tepi ranjang itu sendiri, seorang wanita muda sedang duduk menyusui bayinya yang baru berusia beberapa bulan.

Ibu ini masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya dan karena ia menyusui bayinya di dalam kamar sendiri, wanita ini tidak ragu-ragu membuka penutup dadanya lepas-lepas sehingga tampaklah dua buah bukit dada yang berkulit putih halus dan penuh seperti yang biasa dimiliki ibu-ibu muda yang sedang menyusui anaknya.

Biasanya, biar mata laki-laki yang bagaimana jalang sekali pun, pemandangan ini, yaitu melihat seorang ibu sedang menyusui anaknya, akan mendatangkan pemandangan yang mengharukan, yang menyentuh perasaan sebab setiap orang pasti pernah menyusu pada ibunya, sebuah pemandangan yang sama sekali jauh dari pada daya perangsang nafsu. Namun tidaklah demikian bagi seorang hamba nafsu birahi yang sudah separah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek.

Hati serta pikirannya sudah dipenuhi dengan bayangan kecabulan. Sudah penuh dengan rangsangan-rangsangan nafsu birahi sehingga pemandangan seorang ibu muda menyusui anaknya itu mendatangkan nafsu yang menyala-nyala dalam dirinya.

Ibu muda yang memang cantik dan terutama sekali berkulit putih kuning dan halus itu, kini agaknya terbangun dari tidur, tampaknya demikian penuh sifat kelembutan seorang wanita. Seketika lenyaplah kemurungan dan kekecewaannya, lenyaplah bayangan puteri Panglima The yang tadi urung dia dapatkan dan terpaksa dia bunuh. Dengan gerakan tangannya yang kuat dia lantas membuka beberapa buah genteng, kemudian tubuhnya menyelinap turun melalui lubang itu dan meloncat ke dalam kamar.

"Aihhhh...!" Wanita itu berseru kaget ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki asing berdiri di depannya.

Akan tetapi dia tidak sempat menjerit lagi karena jari tangan Siauw Lek sudah bergerak cepat menotok leher wanita itu sehingga jeritannya tertahan di kerongkongan, tidak dapat berteriak lagi. Dengan muka pucat wanita itu lalu memeluk bayinya, dirapatkan ke dada, bukan hanya untuk melindungi bayinya, juga untuk menutupi buah dadanya yang polos telanjang.

"Manis, jangan takut. Aku telah melihatmu dan jatuh cinta kepadamu. Kalau engkau mau melayani aku dengan manis, engkau takkan kubunuh, akan tetapi kalau engkau menolak, suamimu ini akan kubunuh lebih dulu!"

Agaknya suami wanita itu mendengar suara ribut-ribut dan menggeliat lalu membalikkan tubuh, mengedipkan matanya yang menjadi terbelalak ketika dia melihat isterinya berdiri ketakutan dan ada seorang lelaki asing berdiri di situ. Akan tetapi dia tak dapat bergerak, hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan kekhawatiran karena pada saat itu pula jari tangan Siauw Lek secepat kilat telah menotok jalan darahnya yang membuat laki-laki di atas ranjang itu lemas dan tak dapat bergerak.

"Jangan kau berteriak, Manis, aku tidak akan menyusahkanmu, tak akan menyakitimu..." Kembali Siauw Lek merayu dan tangannya bergerak menotok leher membebaskan jalan darah wanita itu sehingga dapat mengeluarkan suara lagi.

"Ampunkan saya...," wanita itu berkata lemah.

Siauw Lek tersenyum penuh kemenangan. Dia lalu mengulur tangan menyentuh pundak yang setengah terbuka itu, pundak yang kecil berkulit putih halus. "Engkau tidak bersalah apa-apa, Manis, kenapa minta ampun? Aku hanya akan mencintaimu, kau layanilah aku baik-baik, balaslah cintaku dan aku tak akan mengganggu selembar pun rambutmu yang halus ini..."

"Ohhh, ampun… jangan..." Wanita itu mengeluh penuh kepanikan sambil melirik ke arah suaminya yang rebah miring tak dapat bergerak itu.

Siauw Lek mengikuti pandang mata wanita itu, menoleh ke arah laki-laki di atas ranjang lalu tersenyum. "Ahh, engkau takut kepada suamimu? Tidak usah takut, dia takkan dapat berbuat sesuatu kecuali menonton!"

"Tidak... lebih baik kau bunuh saja aku...!" Mendadak wanita itu menangis terisak-isak sambil mendekap tubuh anaknya. "Aku tidak bisa... aku tidak mau...!"

Sinar bengis dan marah membayangi wajah Siauw Lek. Haruskah dia mengalami dua kali kegagalan dalam semalam? Apakah dia kini sudah terlalu tua dan kurang pandai merayu sehingga dalam satu malam ada dua orang wanita yang menolak cintanya?

"Hemmm, haruskah kubunuh suamimu terlebih dahulu? Lihat, sekali tusuk suamimu akan mampus. Apakah engkau masih berani mengatakan tidak mau?"

Untuk menakut-nakuti, Siauw Lek sudah mencabut pedang hitamnya dan menodongkan pedang itu pada leher suami wanita itu yang segera terbelalak penuh kengerian. Wanita itu memandang dengan muka pucat, hatinya bimbang. Manakah yang harus dia pilih? Melihat suaminya dibunuh ataukah membiarkan dirinya diperkosa di depan pandang mata suaminya?

Ah, lebih baik mati, mati bersama suaminya. Ia tersedu menangis dan berkata. "Bunuhlah kami berdua... bunuhlah suamiku dan aku... aku tidak dapat menuruti kehendakmu... Aku tidak mau...!"

Kini wajah Siauw Lek menjadi merah. Kalau menurutkan nafsu kemarahan hatinya, ingin dia mengelebatkan pedangnya membunuh wanita itu, suaminya dan anaknya. Akan tetapi dia tak mau gagal untuk kedua kalinya malam ini, dan wanita yang baru tiga empat bulan melahirkan dan masih menyusui anaknya, telah menyentuh perasaan hatinya yang keruh oleh nafsu birahi.

Tiba-tiba saja Siauw Lek tertawa dan ketika tangannya bergerak, tahu-tahu dia sudah merampas bayi yang berada di dalam pelukan ibunya tadi. Anak itu menjerit, akan tetapi kalah oleh jeritan ibunya yang amat kaget melihat anaknya dirampas.

"Anakku... kembalikan anakku!"

"Hemm, kau ingin anakmu hidup? Nah, pilihlah. Engkau layani cintaku dengan baik-baik dan manis atau... melihat perut anakmu kubelek dengan ujung pedang ini!"

"Ouuuhhh... jangan... jangan...!" Wanita itu menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Siauw Lek sambil meratap-ratap minta agar anaknya jangan dibunuh.

"Manis, engkau ingin agar anakmu hidup dan tidak kubunuh?" Siauw Lek bertanya penuh nada kemenangan dalam suaranya, sambil menunduk dan memandang wajah ayu yang sedang menengadah penuh permohonan itu.

"Ya... ya..., mohon kau ampuni kami, jangan bunuh anakku..."

"Hemm, mudah saja, aku takkan membunuh anakmu akan tetapi engkau harus menuruti segala kehendakku!" Sambil berkata demikian, Siauw Lek mengangkat tinggi-tinggi tubuh bayi itu dan membuat gerakan seakan hendak membantingnya ke lantai.

Wanita itu tersedak, menelan ludah seperti ada sesuatu mengganjal di kerongkongannya, dan akhirnya mengangguk-angguk dengan mata terbelalak memandang anaknya.

"Ya... ya... ya, apa saja perintahmu... Akan tetapi lepaskan anakku..."

"Nah, Manis, sekarang bangkitlah." Siauw Lek menggunakan sebelah tangannya menarik tubuh wanita itu berdiri dengan bayi masih diangkat tinggi-tinggi di tangan yang lain.

Dan bagaikan tak sadar diri wanita itu bangkit berdiri, seakan-akan tidak merasa betapa tangan yang menariknya bangkit itu menggerayang serta meraba-raba tubuhnya, bahkan pada waktu tangan itu merangkul lehernya dan mulutnya yang masih setengah terisak itu dicium oleh bibir Siauw Lek dengan penuh nafsu, ia seperti tidak merasakannya, matanya masih terbelalak melirik ke arah anaknya yang diangkat tinggi oleh tangan kiri Siauw Lek. Baru setelah matanya mendapat kepastian bahwa anaknya tidak diapa-apakan, dia sadar betapa tubuhnya diremas-remas dan mulutnya dicium penuh nafsu sehingga dia tersedu dan meronta sedikit.

"Hemmm, kau melawan? Engkau tidak mau...?"

"…Tidak... ohhh, bukan... Aku... Aku tidak melawan..." Wanita itu menggagap, kepalanya pening, matanya berkunang dan kedua kakinya menggigil karena sesudah kepanikannya menghadapi ancaman terhadap anaknya lenyap, sekarang ia ngeri menghadapi hal yang mengancam dirinya sendiri.

"Bagus, engkau manis sekali. Nah, kini kau tanggalkan pakaianmu semuanya!" Siauw Lek memerintah, merasa girang sekali menyaksikan betapa korbannya menggigil dan bingung oleh rasa takut dan malu.

Wanita itu benar-benar bingung, kedua tangannya bukan menanggalkan pakaian, bahkan kini ia baru teringat betapa bajunya tadi dibukanya separuh ketika menyusui anaknya, dan kedua tangannya malah menutupkan baju ini. Mukanya sebentar pucat sebentar merah, pandang matanya jelalatan dan hanya lewat saja di muka suaminya, agaknya dia tidak berani bertemu pandang dengan suaminya.

"Ehh, engkau ragu-ragu lagi? Hendak membangkang perintahku?! Hemmm, kalau begitu, lebih baik kubunuh saja anakmu ini..."

"Tidak! Oh, jangan...!" Cepat sekali karena digerakkan oleh rasa ngeri dan khawatir akan keselamatan anaknya wanita itu merenggut lepas baju atasnya hingga ia berdiri setengah telanjang. "Jangan bunuh anakku..."

Siauw Lek tersenyum, mengangguk-angguk puas. "Kalau kau menuruti semua hasratku, kalau kau suka melayani cinta kasihku kepadamu, tentu aku takkan menganggu anakmu, Manis. Hayo, kesinilah...!" Siauw Lek melangkah ke dekat ranjang.

Akan tetapi wanita itu tidak menggerakkan kakinya. Dengan muka pucat ia berkata lemah, "Tidak, harap... kasihani aku.., jangan di sini..."

Siauw Lek menggerakkan alisnya menoleh ke arah suami wanita itu yang rebah miring dengan mata melotot penuh kemarahan dan kebencian, lalu tersenyum. Sebenarnya, dia akan mendapatkan rangsangan lebih besar lagi, mendapat kepuasan lebih penuh bila dia dapat memiliki wanita itu di depan suaminya, di depan mata suaminya yang melotot itu. Alangkah akan senang dan lucunya!

Akan tetapi, kalau dia memaksa, tentu hal ini akan menjadi penghalang besar bagi si wanita untuk melayaninya dengan leluasa, dan kalau terjadi demikian dia pun tentu tidak akan merasa puas. Sambil tertawa dia lalu menghampiri wanita itu dengan bayi masih menangis dan diangkat tinggi-tinggi.

"Kalau begitu di mana?"

"Di kamar depan..." Wanita itu berkata sambil menundukkan muka, tak berani sama sekali melirik ke arah suaminya.

"Baiklah, Manis. Hayo kau tunjukkan di mana kamarnya," Siauw Lek berkata.

Tanpa menoleh ke arah suaminya, wanita itu segera membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari kamar dengan kaki gemetar dan lesu. Siauw Lek menggerakkan tangan dan sebatang paku hitam menyambar, kemudian menancap di antara sepasang mata yang terbelalak melotot memandangnya itu, membuat suami itu tewas dalam detik itu pun juga tanpa dapat mengeluh sedikit pun juga. Peristiwa ini terjadi cepat dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara hingga wanita itu pun tidak tahu sama sekali bahwa suaminya telah dibunuh orang.

Kamar depan itu pun sederhana sekali, hanya terisi sebuah dipan dan sebuah meja, di terangi lilin yang dinyalakan oleh wanita itu dengan tangan gemetar.

"Anakku... biar kususui dia supaya tidak menangis..." Akhirnya wanita itu berkata dengan suara pilu karena sejak tadi anaknya menangis saja.

Sambil tersenyum Siauw Lek memberikan bayi itu kepada ibunya, kemudian dia duduk di atas bangku menonton wanita itu yang kini tidak berbaju lagi menyusui anaknya. Laki-laki yang berwatak iblis ini menonton sambil kadang-kadang menelan ludah.

Melihat bayi itu menyusu dada ibunya menimbulkan birahi yang sangat besar baginya, seolah-olah dia sendiri dapat merasai kesegaran susu ibu muda itu. Akan tetapi, bayi itu selalu gelisah dan tidak mau diam, bahkan tidak dapat menyusu dengan tenang, diseling tangis.

"Dia sudah kenyang, memang rewel dia!" cela Siauw Lek. "Aku dapat menidurkannya. Kesinikan…"

Ibu itu mendekap anaknya. "Jangan... Jangan menganggunya..."

"Ihhh, Manis, mengapa kau tidak percaya kepadaku? Aku mencintaimu, dan aku memiliki ilmu untuk menenangkan bocah. Kuelus-elus kepalanya sebentar saja pasti ia akan tidur. Biarkan dia tidur agar tidak menganggu kita. Nah kesinikanlah, biar dia tidur di situ nanti, dan bantal itu... hemmm, kita tidak memerlukannya. Nah, marilah, Manis, jangan khawatir, anakmu akan pulas."

Ibu muda itu yang memang merasa bingung melihat anaknya menangis terus sehingga dia khawatir kalau-kalau laki-laki itu menjadi marah lantas membunuh anaknya, akhirnya menyerahkan bayinya yang masih menangis. Siauw Lek tersenyum dan mengelus-elus kepala bocah itu.

Benar saja, tidak lama kemudian anak itu tidak menangis lagi dan dengan gerakan halus Siauw Lek lalu menidurkan bocah itu di atas meja yang sudah ditilami kain dan disediakan bantal oleh si ibu muda yang tentu saja hatinya menjadi lega melihat bayinya tidur pulas. Akan tetapi segera rasa lega ini tersusul dengan rasa panik dan ngeri ketika Siauw Lek membalikkan tubuh dan menghadapinya dengan senyum penuh nafsu.

"Nah, bukankah benar sekali kata-kataku, Manis? Anakmu sudah tidur pulas dan kini kita dapat bersenang-senang tanpa ada yang mengganggu. Wah, engkau sungguh jelita dan montok. Marilah, Manis…"

Wanita itu terisak dan perlahan melangkah maju dengan muka tunduk. Patahlah seluruh pertahanannya sebagai wanita karena ia maklum bahwa kalau ia menolak, tentu anaknya akan dibunuh. Bagai orang yang kehilangan semangat, seperti mayat hidup, ia melangkah maju dan menyerah saja pada saat kedua tangan Siauw Lek memeluk dan mendekapnya, ketika mukanya yang basah oleh air mata dihujani ciuman-ciuman bernafsu.

Tiba-tiba saja Siauw Lek melepaskan tubuh wanita itu, bahkan meloncat bangun sambil berteriak kaget, "Setan...!"

Pada saat, nampak sesosok tubuh menerjang memasuki kamar dan langsung menubruk Siauw Lek. Tentu saja penjahat yang lihai ini dengan mudah mengelak ke kiri kemudian mengirim tendangan yang tepat mengenai dada orang yang menubruknya.

Orang itu terjengkang kemudian roboh terlentang di depan dipan, di dekat wanita yang terbelalak kaget. Ketika melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh suaminya yang sudah mati, yang mukanya penuh darah merah yang mengucur dari luka di antara kedua matanya, wanita itu menjerit kaget dan memeluk tubuh suaminya.

Sementara itu, Siauw Lek kaget setengah mati sampai mukanya pucat. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami kaget dan seram seperti saat itu. Dia sudah yakin benar bahwa suami wanita itu telah dibunuhnya, bahkan ketika orang itu menubruknya dan dia merobohkannya kembali dengan tendangan dia tahu bahwa yang menubruknya adalah sesosok mayat! Benarkah ada mayat orang bisa hidup kembali karena merasa sakit hati melihat isterinya diganggu orang lain?

Ah, tak mungkin ini! Dia tidak percaya dan tiba-tiba Siauw Lek tertawa. Yang sudah mati tetap mati, dan kalau ada gerakan-gerakan, hal ini pasti dilakukan oleh orang yang masih hidup. Dia menendang meja dan tubuh bayi itu pun mencelat jatuh ke atas lantai, akan tetapi sama sekali tidak bergerak, tidak terbangun biar pun terbanting karena sebetulnya bayi ini telah mati pula! Mati oleh jari tangan Siauw Lek yang ‘mengelus-elus’ ubun-ubun kepala anak itu tadi, mengelus-elus sambil menekan sehingga bayi itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara apa-apa dan disangka tidur oleh ibunya.

Ketika melihat bayinya terbanting dari atas meja, wanita muda itu menjerit keras, segera meninggalkan mayat suaminya dan cepat menubruk anaknya, terus diangkat, dipeluk dan didekapnya. Akan tetapi dia pun tersentak kaget, memandang muka bayinya dan tiba-tiba terdengar suaranya melengking tinggi menyayat hati dan akhirnya robohlah wanita muda itu dengan tubuh lemas, roboh pingsan dengan mayat bayinya masih didekap di dalam pondongannya!

Siauw Lek sudah meloncat bangun ke tengah kamar, tak mempedulikan keadaan wanita muda itu lagi. Pandang matanya berkilat ketika ditujukan ke arah pintu kamar dari mana tadi ‘mayat hidup’ itu menyerangnya.

"Siapakah berani bermain gila dengan aku?!" bentaknya, menyangka bahwa tentu ada orang pandai mengejarnya dari rumah gedung panglima she The yang dikacaunya tadi.

Akan tetapi mata yang menyinarkan kemarahan itu berubah terbelalak penuh keheranan dan kekaguman ketika tampak oleh Siauw Lek bahwa yang muncul dari pintu itu adalah seorang wanita yang sangat cantik jelita dan yang memasuki kamar itu dengan langkah lambat, dengan tubuh bergerak-gerak bagaikan menari ketika kedua kaki itu melangkah bergantian rapat-rapat, pinggul yang lebar melenggang-lenggok, pinggang yang ramping seperti patah-patah, wajah yang cantik itu tersenyum manis dengan dua mata menyambar penuh tantangan, akan tetapi di balik senyum itu tampak sikap memandang rendah.

Wanita itu mengenakan pakaian sutera berkembang yang ketat membungkus tubuh, pada punggungnya tampak gagang pedang yang beronce merah. Sukar menaksir usia wanita ini. Masih kelihatan amat muda seperti gadis remaja dua puluhan tahun, namun senyum bibir manis dan pandang mata tajam itu sudah amat masak sehingga patutnya dia berusia tiga puluh tahun kurang sedikit.

Wanita itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im! Secara kebetulan saja dia melihat Siauw Lek menimbulkan kekacauan di rumah Panglima The pada malam hari itu ketika dalam perjalanan malamnya Cui Im lewat di kota itu. Ia merasa amat tertarik ketika mendengar bahwa lelaki tampan gagah itulah yang bernama julukan Kim-lian Jai-hwa-ong, julukan yang sudah banyak dia mendengarnya.

Jadi inikah murid Go-bi Chit-kwi yang dulu menjadi musuh besar gurunya, karena dahulu gurunya Lam-hai Sin-ni pernah hampir diperkosa tujuh orang setan Go-bi itu. Ia menjadi kagum ketika menyaksikan cara Siauw Lek merobohkan lawan-lawannya, maka secara diam-diam dia membayangi penjahat cabul itu. Ia ingin mencoba kepandaian murid Go-bi Chit-kwi dan juga sikap serta kepribadian Siauw Lek yang penuh kejantanan itu sangat menarik hatinya, menyentuh kewanitaannya dan membangkitkan birahinya.

Ketika dia membayangi laki-laki itu, Cui Im dapat menduga bahwa dalam hal kelincahan dan keringanan tubuh, dia sendiri hanya menang sedikit saja, dan bahkan kiranya tingkat kepandaian ginkang Siauw Lek tidak kalah jika dibandingkan dengan seorang di antara Bu-tek Su-kwi! Ia menjadi makin kagum dan membayangi terus.

Pada saat Cui Im yang mengintai perbuatan Siauw Lek di dalam pondok sederhana itu melihat kekejaman Siauw Lek membunuh suami beserta bayi dari wanita yang hendak diperkosanya itu, ia pun tersenyum. Bukan main pria ini, pikirnya. Cerdik dan pandai, juga amat gagah perkasa, tidak gentar melakukan pembunuhan betapa pun kejamnya! Orang seperti ini amat ia butuhkan.

Dia perlu mempunyai seorang pembantu seperti ini, yang berilmu tinggi, yang berwatak keras dan dingin. Dengan seorang pembantu seperti itu, barulah dia akan dapat menjagoi dunia sebagai tokoh nomor satu! Hanya ada satu hal yang masih ia ragukan, apakah pria ini patut menjadi temannya dalam petualangan cintanya?

Sementara itu, Siauw Lek yang biasanya memandang rendah orang lain, yang biasanya tidak gentar menghadapi siapa pun juga, kini merasa bulu tengkuknya bangun berdiri. Sungguh dia tidak pernah bermimpi bahwa dia akan berhadapan dengan seorang wanita secantik ini, yang bisa ‘menghidupkan’ mayat, dan agaknya sejak tadi telah membayangi dirinya tanpa dia ketahui sama sekali, yang begitu cantik akan tetapi juga mendatangkan sikap dingin yang mengerikan dan tersembunyi di balik kehangatan dan kegairahan yang panas membakar dan menantang!

"Eh.. siapakah engkau...?" Siauw Lek merasa heran sendiri mengapa dia tiba-tiba menjadi gugup dan kehilangan ketenangannya. Mengapa biar pun gairahnya terhadap ibu muda itu lenyap tapi sama sekali tak kecewa melihat kenyataan bahwa kembali kesenangannya terganggu?

Cui Im tersenyum dan mempergunakan senyum memikat yang sudah terlatih, setengah senyum setengah tawa hingga cukup lebar untuk memperlihatkan deretan gigi putih bagai mutiara dan sekilas pandang ujung lidahnya yang merah mencuat keluar di antara deretan gigi mutiara.

"Engkau Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, engkau murid Go-bi Chit-kwi bukan? Hemmm, bagus sekali semua perbuatan yang kau lakukan malam ini, sejak dari gedung panglima sampai pondok ini. Ehh, orang she Siauw, apakah engkau tidak takut akan dosa dan tidak ngeri memikirkan neraka yang kelak akan menyiksamu?"

Melihat sikap dan mendengar ucapan wanita cantik ini, perlahan-lahan lenyap ketegangan di hati Siauw Lek. Kini dapatlah dia menduga bahwa wanita cantik ini bukanlah seorang anggota golongan lawan, melainkan agaknya juga seorang petualang, seorang yang tidak asing akan dunia hitam, dan mulailah pandang matanya penuh nafsu birahi menjelajahi bentuk tubuh yang ramping padat dan menjanjikan kemesraan yang lebih merangsang dari pada ibu muda tadi.

"Nona, engkau sungguh nakal sekali, membikin aku kaget setengah mati. Kenapa engkau main-main dengan mayat itu? Tadi kusangka betul-betul ada mayat hidup! Engkau sudah mengenal namaku, itu baik sekali. Sekarang tinggal aku yang belum mengenalmu. Kalau nona suka memperkenalkan diri, agaknya kita dapat menjadi sahabat-sahabat yang baik sekali. Bukankah begitu pendapatmu, nona yang cantik seperti bidadari?"

Cui Im mengangguk-angguk senang. Suara pria ini mendatangkan kesan baik, suaranya merdu dan mengandung rayuan yang sama mesranya dengan kata-katanya, laki-laki yang pandai bicara, pandai menyenangkan hati wanita. Akan tetapi ia hanya tersenyum, tidak menjawab memperkenalkan diri, bahkan berkata dengan sikap memandang rendah,

"Aku harus melihat lebih dulu apakah engkau pantas menjadi kawanku, Jai-hwa-ong. Kita tunda dulu tentang namaku karena aku ingin melihat apakah engkau memiliki kepandaian seperti yang terkenal di dunia kang-ouw, ataukah hanya nama kosong belaka."

Sepasang mata Siauw Lek berkilau penuh kegembiraan. Ia tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan wanita seperti ini. "Aha, hebat sekali kesombonganmu ini, Nona. Engkau masih belum percaya akan nama besarku dan hendak mencoba kepandaianku, begitukah yang kau maksudkan?"

Cui Im mengangguk. "Bukan mencoba, hanya ingin membuktikan isi dari nama besarmu."

Siauw Lek tertawa tergelak, kegembiraannya timbul dan kini kepercayaannya kepada diri sendiri pulih. Tentu saja seorang gadis cantik jelita semuda ini merupakan lawan yang sangat lunak dan dia sudah dapat memastikan bahwa dengan mudah dia akan sanggup menundukkan nona manis ini.

"Bagus! Biarlah kita saling menguji kepandaian dan kalau sampai aku menang, aku minta hadiah!"

"Hadiah apa?"

"Peluk-cium!" Siauw Lek tertawa dan sudah siap menghadapi kemarahan gadis itu.

Sengaja dia hendak membangkitkan kemarahan wanita itu karena di dalam pertandingan, siapa yang dirangsang kemarahan berarti telah kehilangan kewaspadaan dan kalau gadis ini ternyata lihai, maka kemarahannya akan mengurangi kelihaiannya.

Akan tetapi, kembali Siauw Lek tertegun karena gadis itu hanya tersenyum manis sekali dan menjawab, "Hemm, itu sudah sepatutnya. Akan tetapi bila aku yang menang engkau harus membunuh wanita yang membuatmu tergila-gila ini. Bagaimana?"

Siauw Lek menoleh ke arah tubuh ibu muda yang masih pingsan, dan dia mengangguk.

"Kalau aku kalah olehmu, memang tidak berharga sekali aku untuk menikmati wanita ini. Baiklah, aku memenuhi permintaanmu itu."

Cui Im sudah berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang. "Nah, aku telah siap. Majulah!"

Sekali lagi Siauw Lek tertegun. "Di sini? Kamar ini sangat sempit untuk dipakai tempat mengadu silat!"

Cui Im tersenyum mengejek. "Tidak ada tempat sempit mau pun luas bagi seorang yang benar-benar ahli. Apakah engkau takut?"

"Siapa yang takut? Lihat, kutangkap engkau, nona yang menggemaskan hati!" Siauw Lek tertawa.

Akan tetapi tiba-tiba sekali tubuhnya telah menubruk maju, jari-jari tangan kirinya terbuka, mencengkeram ke arah dada Cui Im adapun yang kanan secepat kilat menerkam pundak. Serangan tangan kosong ini hebat dan cepat sekali, juga sebelum kedua tangan datang, angin pukulannya telah terasa oleh Cui Im.

Gadis ini diam-diam menjadi kagum. Kiranya orang ini juga memiliki sinkang yang amat kuat. Pantas menjadi murid Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi dia tak menjadi gentar. Andai kata serangan macam ini ditujukan kepadanya lima tahun yang lalu sebelum ia menggembleng diri dengan ilmu-ilmu tinggi dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena selain gerakannya tentu jauh kalah cepat oleh Siauw Lek, juga tenaga sinkang-nya tentu kalah jauh.

Kini Cui Im dengan tenang saja mendoyongkan tubuh atasnya ke belakang dan sepasang tangannya segera menyambar dari bawah, sekaligus menangkis serangan lawan sambil mengerahkan tenaganya. Pertemuan dua pasang lengan itu membuat Siauw Lek berseru kaget karena dia merasa betapa kedua lengannya tergetar dan panas. Pada saat itu pula kaki Cui Im bergerak menendang ke bawah pusarnya.

"Aihhh..!" Siauw Lek yang tadinya memandang rendah, kaget bukan main.

Tendangan itu tidak keras akan tetapi kalau tidak cepat dia hindarkan, tentu dia akan mati karena yang ditendang adalah kelemahan setiap orang laki-laki. Sambil berteriak kaget Siauw Lek sudah meloncat ke belakang, terhindar dari tendangan dan tubuhnya sekarang sudah berada di atas dipan, menginjak tubuh suami ibu muda yang tadi sudah menjadi ‘mayat hidup’.

"Engkau hebat sekali...!" Dia memuji, lebih penasaran dari pada kagum. Memuji karena penasaran dan untuk menutupi rasa malunya. Masa dalam segebrakan saja dia hampir saja celaka di tangan wanita cantik ini?

"Hi-hi-hik, baru begitu saja hebat? Kau lihat dan jaga seranganku sekarang!"

Cui Im tertawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, meluncur ke depan seperti seekor burung walet menyambar, sambil meloncat ke depan ia sudah menyerang dengan dua tangan terbuka, melakukan totokan dengan sepuluh jari tangannya ke bagian-bagian tubuh lawan, mencari jalan darah yang mematikan!

"Hayaaa..!" Siauw Lek terkejut sekali karena bertubi-tubi dia diserang dan setiap serangan gadis itu adalah serangan yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan maut!

Dia cepat mengelak, berloncatan ke sana-sini di dalam kamar sempit itu. Tetapi bagaikan bayangan setan gadis itu terus mengejar sambil menghujankan serangan dengan totokan-totokan dan pukulan-pukulan yang amat aneh, yang belum pernah dilihat sebelumnya dan mengandung hawa sinkang amat kuat.

"Celaka...!" Tak terasa lagi seruan ini keluar dari mulut Siauw Lek.

Baru kini terbuka matanya, betapa salahnya tadi memandang rendah gadis ini. Kiranya gadis ini benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga biar dalam ginkang mau pun sinkang, gadis ini melebihi dia sendiri!

Kini berubah pendiriannya dan sambil mengerahkan seluruh tenaga serta mengeluarkan seluruh kepandaian yang dia warisi dari Go-bi Chit-kwi, dia lantas melakukan perlawanan, membalas serangan dengan serangan maut pula, oleh karena dia maklum bahwa tanpa perlawanan mati-matian, nyawanya akan terancam bahaya maut!

Kini dia tak memandang gadis cantik ini sebagai calon korban, sama sekali jauh dari pada itu, namun menganggapnya sebagai seorang musuh yang harus dikalahkannya, sebagai seorang lawan yang paling berat di antara semua lawan yang pernah ditandinginya!

Sesudah laki-laki itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian yang di warisinya dari Go-bi Chit-kwi, memang dia amat hebat dan barulah dia dapat mengimbangi kedahsyatan gerakan Cui Im. Diam-diam Cui Im menjadi makin kagum dan girang.

Laki-laki ini benar-benar boleh dijadikan pembantu. Ilmu kepandaiannya hebat, agaknya akan dapat menandingi Bu-tek Su-kwi dan tidak akan kalah menghadapi Cia Keng Hong, kalau bocah itu masih hidup, pikirnya sambil tersenyum.

Menyaksikan gadis yang dilawannya mati-matian itu masih bisa tersenyum-senyum, leher Siauw Lek mulai berkeringat. Ia telah mati-matian, sampai napasnya terengah-engah dan kepalanya pening, tetapi gadis itu masih enak-enak saja tersenyum-senyum. Benar-benar mengerikan sekali!

"Robohlah...!" Tiba-tiba Siauw Lek membentak.

Dan dia langsung menyerang dengan jurus pukulannya yang paling ampuh, yaitu dengan mendorongkan kedua tepak tangan ke depan. Pukulan ini mengandung dorongan tenaga sinkang yang amat kuat, cukup untuk merobohkan lawan dari jarak jauh, apa lagi kini dia menyerang dari jarak dekat. Dapat dibayangkan betapa hebat kekuatan dorongannya itu.

Tetapi Cui Im terkekeh mengejek, tubuhnya mencelat mumbul ke atas, dari atas menukik ke bawah, kedua tangannya bergerak memukul ke bawah, yang kiri menimpa dua lengan lawan yang bagian atas dan yang kanan sudah menampar pundak Siauw Lek.

"Buuukk...! Plakkk..!"

Tanpa dapat dipertahankannya lagi, tubuh Siauw Lek langsung tergelimpang dan dia pun roboh menimpa tubuh ibu muda yang hendak dipaksanya melayani hasrat nafsu birahinya tadi!

"Hi-hi-hik, kepandaianmu lumayan juga, orang she Siauw!" Cui Im berkata, bukan dengan nada mengejek, melainkan dengan ketulusannya hati.

Siauw Lek mengoyang-goyang kepalanya yang terasa pening, kemudian bangkit berdiri dan memandang Cui Im dengan mata terbelalak, hampir tidak dapat percaya. Seorang gadis begitu cantik dan muda, mempunyai kepandaian yang sedemikian hebatnya? Ahhh, mimpi pun tak pernah dia akan dikalahkan oleh seorang gadis jelita.

Tiba-tiba terdengar suara jerit melengking dan disusul tangis. Kiranya ketika dijatuhi tubuh Siauw Lek tadi, ibu muda teringat akan suami dan anaknya. Dia menjerit dan menangis, memeluk mayat anaknya.

Siauw Lek menjadi amat gemas. Ia memang sudah merasa penasaran dan marah karena kekalahkannya dan tidak menemukan sasaran untuk melampiaskan kemarahannya, kini hendak dia tumpahkan kepada ibu muda itu. Ia mengangkat tangan hendak menampar kepala yang tadinya ingin dia dekap dan ciumi, untuk membunuh wanita itu.

"Eiiit! Mengapa tergesa-gesa? Apakah engkau sudah mengaku kalah?" Cui Im mencegah dengan suara mencela.

Siauw Lek tak jadi memukul, menoleh ke arah Cui Im sambil meraba gagang pedangnya. "Nona, boleh jadi dalam hal ilmu silat tangan kosong aku sudah kalah olehmu, akan tetapi selama Hek-liong-kiam masih ada padaku, aku belum mengaku kalah!"

"Bagus, aku ingin pula menyaksikan ilmu pedangmu, boleh ditambah senjata rahasiamu, bukankah kau amat mahir mempergunakan Hek-tok-ting?" kata pula Cui Im dengan sikap memandang rendah.

Hati Siauw Lek makin penasaran dan sekali bergerak, tangan kanannya sudah mencabut pedangnya yang bersinar hitam dan tangan kirinya sudah merogoh keluar belasan buah senjata rahasia berbentuk paku-paku hitam.

"Nona, bersiaplah menghadapi senjata-senjataku!"

Cui Im tersenyum, tangan kanannya bergerak ke belakang dan tiba-tiba pandang mata Siauw Lek silau oleh sinar merah ketika pedang wanita itu tercabut keluar dan dia melihat tangan kiri wanita sakti ini juga telah menggenggam senjata rahasianya, yaitu jarum-jarum merah yang amat halus. Melihat pedang merah ini, Siauw Lek mengerutkan alisnya.

"Ang-kiam (Pedang Merah)...! Rasanya pernah aku mendengar tentang pedang merah..., pernah disebut-sebut di dunia kang-ouw... Ah, benar! Bukankah engkau adalah Ang-kiam Tok-sian-li, murid Lam-hai Sin-ni?"

Lam-Hai Sin-ni adalah musuh besar mendiang guru-gurunya, maka bukan hal aneh kalau murid Lam-hai Sin-ni memusuhinya. Tentu itu sebabnya kenapa wanita ini memusuhinya dan kalau memang karena permusuhan itu, dia harus dapat membunuh wanita ini!

Akan tetapi Cui Im mengeleng-geleng kepala dan senyumnya melebar. "Dahulu memang benar demikian, akan tetapi sekarang julukanku adalah Ang-kiam Bu-tek ada pun Lam-hai Sin-ni bukan guruku lagi karena tingkatku jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya. Tak perlu bicara tentang aku sebelum engkau dapat lulus dari ujianku. Nah, gerakkanlah senjatamu, Siauw Lek!"

Ucapan Cui Im itu amat sombong dan takabur, akan tetapi juga mengejutkan hati Siauw Lek di samping menggemaskan karena sikap nona itu benar-benar seperti menganggap dia seorang anak kecil saja!

Sambil mengeluarkan bentakan keras dia menerjang maju. Pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing ketika meluncur dan menyambar ke arah tubuh Cui Im. Namun wanita ini dengan gerakan seenaknya mengangkat pedangnya, lalu memutarnya. Tampaklah sinar bagaikan payung yang menangkis sinar hitam itu sehingga tampak bunga-bunga api diiringi suara berdencing nyaring, lantas sinar hitam terpental ke belakang...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.