Pedang Kayu Harum Jilid 16
Siauw Lek merasa betapa tangannya kesemutan dan dia menjadi penasaran, menyerang dengan dahsyat sekali mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Dua macam sinar pedang merah dan hitam itu segera saling libat dan saling himpit, membentuk lingkaran-lingkaran menyilaukan mata.
Dua orang yang lihai ini bertanding pedang tanpa berbicara, hanya terdengar dencingan-dencingan senjata mereka seolah-olah menjadi musik yang mengiringi tangisan ibu muda yang tak mempedulikan pertandingan itu oleh karena seluruh perhatiannya tertuju kepada mayat-mayat suami dan anaknya.
"Tranggg... Cringgg..!"
Suara bertemunya pedang lalu saling tempel dan saling ditarik iitu disusul keluhan Siauw Lek yang mencelat mundur dengan baju bagian depan robek lebar! Mukanya pucat sekali dan tangan kirinya bergerak.
"Srat-sratt-srattt...!" Sinar-sinar hitam menyambar ke depan dan tahu-tahu ada sembilan batang paku menyambar ke arah sembilan bagian tubuh depan Cui Im.
Nona ini tersenyum saja, hanya menggerakkan pedang di depan muka untuk menyampok runtuh tiga batang paku yang menyerang sepasang mata dan dahinya, ada pun enam batang paku lain yang menyerangnya dari dada ke bawah, dia diamkan saja. Paku-paku itu mengenai tubuhnya, dan… runtuh! Sedikit pun tidak melukainya.
Siauw Lek melongo dan tiba-tiba dia harus memutar pedangnya melindungi tubuh ketika ada titik-titik sinar merah meluncur ke arah tubuhnya. Semua jarum dapat dia runtuhkan dengan pedangnya, akan tetapi dia maklum bahwa serangan jarum-jarum itu bila disusul oleh serangan pedang gadis itu, maka dia tentu akan menghadapi bahaya maut.
Untung baginya dan legalah hatinya ketika dia melihat bahwa gadis itu tidak melanjutkan serangannya, bahkan sudah menyimpan kembali pedang merahnya dan kini hanya berdiri sambil tersenyum-senyum. Kini mengertilah Siauw Lek bahwa gadis itu betul-betul hanya ingin menguji kepandaiannya, sama sekali bukan ingin membalas dendam terhadap dia sebagai murid Go-bi Chit-kwi. Maka dia lalu menjura dengan hormat setelah menyimpan pedangnya dan berkata,
“Aku Siauw Lek mengaku kalah. Nona betul-betul amat lihai, baik dalam ilmu silat tangan kosong, ilmu pedang dan senjata rahasia. Belum pernah aku bertemu dengan lawan sehebat Nona. Aku mengaku kalah!”
“Tak usah penasaran bahwa engkau kalah dariku, karena aku ingin mengalahkan seluruh jago silat di dunia kang-ouw ini, termasuk Bu-tek Su-kwi! Aku akan suka sekali memiliki seorang pembantu seperti engkau, Siauw-twako (kakak Siauw), asal saja engkau suka tunduk kepadaku dan menuruti segala kata-kataku. Bagaimana, maukah engkau menjadi pembantuku?”
Siauw Lek tersenyum. Nona ini lihai bukan main, dan juga amat cantik, serta pandai pula mengambil hati, buktinya kini memanggilnya twako! Dia harus bersikap cerdik, tidak menentang orang yang lebih pandai dari padanya, lebih baik pura-pura tunduk dan melihat perkembangan selanjutnya.
“Baiklah, aku suka membantumu, Nona.”
“Dan kau akan mentaati segala perintahku?”
Hemmm, tadi disuruh menuruti kata-katanya, sekarang berubah menjadi mentaati segala perintahnya!
"Baik, saya akan taat."
"Kalau begitu, kenapa engkau belum juga turun tangan memenuhi janjimu? Engkau telah kalah, Siauw-twako, apanyakah pada diri wanita ini yang membuatmu tergila-gila tadi?"
Siauw Lek lantas menoleh ke arah ibu muda yang masih terisak-isak menangis. Dalam kedukaannya, wanita ini lupa akan keadaan tubuhnya yang telanjang bagian atasnya. Dia menangis hingga buah dadanya bergoyang-goyang. Air mata mengalir keluar membasahi mukanya.
Melihat dada wanita itu, Siauw Lek tersenyum. Tak salah lagi, dada itulah yang mula-mula menarik hatinya, yang menimbulkan gairahnya. Ia lalu menggerakkan tangan, pedangnya segera berubah menjadi sinar hitam menyambar ke depan. Ibu muda itu menjerit, darah memancar keluar dari sepasang buah dadanya yang terbelah, dia roboh menindih mayat anaknya dan tewas dalam genangan darahnya sendiri!
"Hi-hi-hik, bagus sekali, engkau memenuhi janjimu, Siauw-twako. Engkau ternyata seorang laki-laki sejati!"
Siauw Lek menyimpan pedangnya dan memandang Cui Im dengan mulut tersenyum dan pandang mata memikat. "Tentu saja aku seorang laki-laki sejati dan cukup jantan untuk menandingimu dalam apa pun juga, Nona. Akan tetapi bukankah kini telah tiba waktunya bagimu untuk memperkenalkan diri? Julukanmu Ang-kiam Bu-tek, dan memang pedang merahmu sukar dicari bandingnya, akan tetapi siapakah namamu, Nona?"
Cui Im tersenyum. "Belum tiba waktunya engkau mengenal namaku. Ilmu kepandaianmu cukup bagiku, cukup memenuhi syarat, akan tetapi apakah engkau benar seorang jantan dalam hal lain, masih harus keselidiki dan uji lebih dulu."
"Maksudmu...?"
Siauw Lek membelalakkan matanya melihat betapa wanita cantik itu dengan gerakan genit menarik mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Selama petualangannya baru satu kali inilah Siauw Lek mengalami hal yang luar biasa ini, akan tetapi sama sekali bukanlah hal yang tidak menyenangkan hatinya!
Dia pun bersiap-siap, namun sambil melirik ke arah tiga mayat keluarga yang dibunuhnya itu, tak urung mulutnya berbisik, "Di... di sini…?"
"Mengapa? Engkau ngeri?" Cui Im bertanya tertawa, lalu melangkah maju menghampiri pembaringan, kaki kanannya yang sudah tidak tertutup lagi digerakkan ke atas, ibu jari kakinya bergerak-gerak dibantu jari-jari yang lain yang menyambak rambut kepala suami ibu muda dan melontarkan mayat itu dari atas dipan yang masih bernoda darah.
"Aku? Ngeri? Ahhh, dewi cantik jelita, selama bersamamu aku akan sanggup menikmati tempat yang bagaimana buruk pun berubah menjadi sorga!" Siauw Lek menubruk dan merangkul, disambut Cui Im yang tertawa-tawa.
Iblis sendiri akan merasa ngeri dan muak menyaksikan sepasang manusia luar biasa ini, yang memiliki kekejaman tidak lumrah, keji dan jahat tiada taranya! Dan sekali ini Cui Im merasa betul-betul bertemu tanding yang amat menyenangkan dan memuaskan hatinya. Ternyata dalam segala hal, Siauw Lek benar-benar merupakan seorang laki-laki yang cukup boleh diandalkan, dapat menjadi seorang pembantu yang setia, seorang pengawal yang cukup lihai, dan seorang kekasih yang tidak mengecewakan hatinya!
Sementara itu, Siauw Lek diam-diam merasa kagum, akan tetapi juga sangat penasaran. Dia merasa betapa di dalam segala hal, dia selalu kalah oleh Cui Im. Dalam ilmu silat, dalam ginkang dan sinkang dalam kepandaian merayu dan bercinta.
Kekalahan-kekalahan ini membuat dia penasaran. Masa dia, Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang belum pernah bertemu tanding dalam segala hal, kini harus tunduk dan taat akan segala perintah seorang gadis muda? Betapa pun menyenangkan wanita ini, aku harus dapat menundukkan wanita ini, kalau tidak, maka akan rendah dan hinalah namaku, demikian dia berpikir.
Menjelang pagi, ketika dia yang berpura-pura tidur itu mendengar pernapasan yang halus dan tenang dari Cui Im dan menganggap wanita itu sedang tertidur nyenyak, Siauw Lek perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Cahaya lilin yang sudah mulai remang-remang itu menerangi wajah yang cantik. Hemmm, sungguh seorang wanita pilihan, pikirnya. Betapa pun juga aku harus memaksa dia menjadi pembantuku, bukan aku menjadi pembantunya, demikian Siauw Lek mengambil keputusan.
Cepat tangannya bergerak, hendak menotok pundak yang telanjang itu untuk membuat tubuh Cui Im lemas dan tak berdaya. Dalam keadaan tidak berdaya, dia akan melakukan apa saja untuk memaksa Cui Im menjadi pembantunya.
Akan tetapi Siauw Lek tidak melanjutkan gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya seperti kaku karena ada jari-jari tangan halus yang mencengkeramnya di bawah selimut! Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan totokannya, sebelum jari tangannya menyentuh pundak lawan, terlebih dahulu nyawanya sendiri akan melayang meninggalkan raganya! Mukanya menjadi pucat dan keringat dingin memenuhi dahinya.
"Hemm, apakah engkau masih juga belum mau takluk kepadaku, Siauw-twako? Ataukah engkau benar-benar lebih senang mampus?"
"Aku... Aku hanya mencoba..."
"Ehh, tidak bisa engkau membohongiku, Engkau ingin menguasai aku, bukan?"
"Ba... bagaimana engkau bisa tahu?"
"Hi-hi-hik, aku tahu bahwa engkau tadi masih penasaran, belum tunduk kepadaku. Dalam hal kecurangan dan tipu muslihat, engkau pun takkan menang dariku, Twako. Akulah jago wanita nomor satu di seluruh dunia dan sebagai pembantuku, engkau tidak akan menjadi rendah, bahkan namamu akan turut meningkat. Nah, bagaimana sekarang? Engkau tahu bahwa dengan tidak membunuhmu saat ini berarti aku sayang kepadamu, akan tetapi lain kali, sekali saja engkau berani main-main aku pasti akan membunuhmu."
Siauw Lek menghela napas, bukan karena menyesal, melainkan karena kagum sekali. Ia merangkul dan mencium, dan saat itu pula Cui Im sudah yakin benar bahwa dia berhasil menundukkan pria ini. Dia tertawa-tawa dan berkata,
“Aku Ang-kiam Bu-tek, namaku Bhe Cui Im. Apa bila aku tidak sayang kepadamu, begitu mendengar bahwa engkau adalah murid Go-bi Chit-kwi, tentu aku sudah turun tangan membunuhmu. Akan tetapi, aku kini bukan murid Lam-hai Sin-ni, aku tak menganggapmu sebagai musuh, melainkan sebagai pembantu dan kekasih. Bagaimana, apakah engkau belum takluk?”
Siauw Lek memejamkan matanya dan berbisik, “Aku takluk, engkau hebat dalam segala. Mulai detik ini, aku akan mentaati segala perintahmu. Aku bersumpah…”
“Hi-hi-hik, kau tidak perlu bersumpah!” Cui Im mencubit dagu yang melekuk tengahnya itu. “Sumpah seorang pria tak ada harganya, tak dapat dipercaya. Akan tetapi tanpa sumpah pun aku tahu saatnya laki-laki dapat dipercaya atau tidak. Sekarang ini aku yakin bahwa engkau betul-betul sudah takluk kepadaku.”
Demikianlah, sepasang manusia yang berwatak iblis itu berkecimpung dalam lautan nafsu dan baru pada keesokan harinya mereka meninggalkan pondok itu sambil bergandengan tangan dan berlari cepat. Kini dunia terancam oleh munculnya sepasang makhluk ini, dan dunia kang-ouw pasti akan menjadi geger!
Pada waktu itu, perang saudara telah berhenti setelah berkobar hebat selama beberapa tahun, atau tepatnya empat tahun lamanya semenjak Kaisar Hui Ti naik tahta Kerajaan Beng-tiauw. Raja Muda Yung Lo, paman sendiri dari Kaisar Hui Ti dan yang pada waktu Hui Ti dinobatkan bertugas di utara, menyerbu ke selatan dan keluar sebagai pemenang dalam perang saudara saling memperebutkan tahta kerajaan ini.
Yung Lo menjadi kaisar Kerajaan Beng-tiauw dan melihat betapa kedudukan kerajaan yang dipegangnya itu menjadi lemah karena pengaruh pembesar-pembesar penjilat dan lalim, kaisar baru ini segera mengadakan perubahan besar-besaran. Dia memilih sendiri para pembantunya, menunjuk orang-orang yang cakap, mengangkat menteri-menteri dan ponggawa-ponggawa, bahkan tidak hanya sampai di situ perubahan yang dilakukannya.
Ia merasa khawatir bahwa kalau dia melanjutkan pemerintahan berpusat di istana lama, tentu para pembantunya itu lambat laun akan terpengaruh pula oleh kaum penjilat. Maka dia mengambil keputusan yang sangat penting dan bersejarah, yaitu dia memindahkan ibukota atau kota raja dari selatan ke utara, yaitu dari Nanking ke Peking!
Mulailah kaisar baru ini membangun di Peking hingga tercipta bangunan-bangunan yang sangat indah dan penuh dengan daya seni yang mengagumkan. Istana yang besar-besar, megah dan indah dibangun oleh para tenaga ahli yang didatangkan dari segenap penjuru negeri. Sedemikian hebatnya pembangunan di kota raja kerajaan Beng-tiauw ini sehingga tercatat dalam sejarah bahwa pada masa itu, Kota Raja Peking menjadi kota yang gilang gemilang, yang di seluruh dunia tiada taranya dalam keindahannya hingga mengagumkan setiap orang musafir yang datang dari segala penjuru dunia.
Bukan hanya istana-istana besar dan megah di kota raja yang dibangun oleh kaisar baru ini, melainkan juga memulai pekerjaan-pekerjaan besar yang lain. Tembok Besar Ban-li Tiang-shia yang panjangnya lebih dari dua ribu li itu, bangunan ajaib yang dibangun untuk menjadi benteng pertahanan Tiongkok dan melindungi pedalaman dari serbuan banyak suku asing di utara, yang pembangunannya dimulai pada abad ke dua sebelum Tarikh Masehi, kini dilanjutkan lagi, diperbaiki dan diperkuat. Bukan hanya tembok besar ini saja, juga terusan yang menghubungkan Sungai Yang-ce-kiang dengan Sungai Huangho, yang penggaliannya sudah dimulai pada jaman penjajah Mongol, kini dilanjutkan, diperbaiki dan diperlebar.
Sesudah perang saudara berhenti, mulailah rakyat sibuk membangun kembali di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo yang ternyata tidak hanya pandai memimpin bala tentara, tetapi pandai pula membangun negara. Pada jaman pemerintahan kaisar inilah kebudayaan dan kesenian berkembang luas.
Semenjak jaman itu pulalah pelajaran-pelajaran Nabi Khong-hu-cu berkembang, bahkan dicetak menjadi kitab-kitab dan lebih dari pada itu, juga dijadikan pedoman bagi mereka yang menempuh ujian negara! Pengetahuan tentang pelajaran-pelajaran filsafat dari Nabi Khong-hu-cu ini dijadikan ukuran terpelajar atau tidaknya seseorang, bahkan pengetahuan itu merupakan kunci untuk membuka pintu kedudukan bagi para pelajar.
Bila dibandingkan dengan jaman yang sudah-sudah, keadaan rakyat mengalami perbaikan sesudah Kaisar Yung Lo memegang kekuasaan. Pemerintah mulai mengatur kehidupan rakyat dan ketenteraman mulai terasa di mana-mana.
Tentu saja, keadaan pemerintahan yang baik hanya merupakan sebuah di antara banyak syarat kebahagiaan hidup manusia, bukan merupakan syarat mutlak karena bagi manusia yang belum mengerti, hidup ini hanya merupakan siksa dan derita saja. Terlalu banyak hal-hal yang mengurangi atau melenyapkan kebahagiaan hidup. Memang jarang terdapat manusia yang mengerti akan ujar-ujar kuno yang berbunyi:
Siapa mendekati nikmat menjauhi derita, atau pun sebaliknya, dia takkan dapat merasai bahagia!
Begitu pula dengan kehidupan Song-bin Siu-li Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni. Semenjak dibebaskan dari kematian oleh ibunya sendiri dan dibawa kembali ke selatan, dara jelita ini hidup merana dan menderita sengsara dalam batinnya. Apa lagi ketika dia mendengar akan lenyapnya Keng Hong yang oleh semua orang dianggap sudah mati ketika para tokoh tidak dapat menemukan pemuda itu di puncak batu pedang. Biauw Eng menangis setiap hari, menangisi kematian Keng Hong, satu-satunya pria di dunia ini yang dicintainya.
"Ihhh, kenapa engkau begini lemah? Sungguh tidak patut menjadi anakku! Menangis saja kerjanya tiap hari. Sungguh memalukan!" Berkali-kali Lam-hai Sin-ni memarahi puterinya.
Sesungguhnya hanya pada lahirnya saja nenek ini marah-marah dan mencela, padahal di dalam hatinya ia merasa berduka, kecewa, menyesal dan marah sekali. Berduka karena menyaksikan penderitaan batin puterinya yang terkasih. Kecewa mengapa puterinya ini mewarisi wataknya yang teguh mencinta seorang pria saja dengan kesetiaan cinta kasih yang merugikan diri sendiri. Menyesal mengapa dia tidak menahan dan memaksa Keng Hong ketika bertemu dahulu supaya pemuda itu tidak pernah berpisah dari puterinya, dan juga marah kepada Keng Hong yang dianggapnya menjadi biang keladi penderitaan batin puterinya!
Biauw Eng menahan isaknya dan menatap ibunya dengan wajah yang kurus dan pucat. Matanya yang lebar tampak lebih lebar lagi karena wajahnya kurus, dan cahaya matanya suram-muram seperti lampu kehabisan minyak.
"Ibu, salahkah kalau hati ini mencinta Keng Hong? Salahkah kalau hati ini berduka karena kehilangan satu-satunya pria yang kucinta? Aku tidak sengaja, Ibu, aku sama sekali tidak lemah. Hanya... apakah artinya hidup ini kalau Keng Hong tidak berada di sampingku? Kalau dia mati, aku pun ingin mati saja, Ibu!"
Lam-hai Sin-ni merasa seolah-olah jantungnya ditusuk, dan bulu tengkuknya meremang. Anaknya ini sama sekali tidak lemah, bahkan terlalu keras hati! Bila saja dia tidak pandai mengemukakan alasan, tentu Biauw Eng sudah membunuh diri begitu mendengar bahwa Keng Hong lenyap tanpa meninggalkan bekas.
"Anak bodoh! Cinta ya cinta, masa begitu nekat?" Ia mengomel, terkenang kepada dirinya sendiri ketika ia tergila-gila kepada Sie Cun Hong si Raja pedang.
Dia pun dahulu nekat mencinta Sie Cun Hong semenjak pendekar itu menolongnya dari tangan Go-bi Chit-kwi, mencinta dengan nekat dan membuta sehingga dia menyerahkan jiwa raganya, menyerahkan kehormatannya padahal ia tahu manusia dan laki-laki macam apa adanya Sie Cun Hong. Sesal kemudian tak berguna. Dia mengandung. Sie Cun Hong meninggalkannya. Selama hidup dia merana, merindu dan menderita sengsara.
Padahal ketika itu ia tidak muda lagi. Begitu kuatnya dia mempertahankan kegadisannya, bahkan pernah dia mengambil keputusan untuk tidak berhubungan dengan pria selama hidupnya. Keputusan yang membuat dia dapat meraih ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi akhirnya ia jatuh oleh Sin-jiu Kiam-ong, jatuh sampai ke lubuk hatinya yang mencinta pria itu. Ia menjadi korban cinta kasihnya sendiri. Dan sekarang puterinya juga mengalami hal yang sama!
"Biauw Eng, biar pun engkau sudah buta oleh cinta, akan tetapi janganlah buta terhadap kenyataan! Siapa bilang bahwa Keng Hong mati? Aku tidak percaya! Bocah seperti setan neraka itu mana mungkin mati begitu mudah? Kalau dia mati, mana mayatnya? Jangan engkau bodoh, dia belum mati, percayalah kepadaku!"
Sinar mata yang layu itu menjadi agak segar kebali. "Benarkah, Ibu? Kalau masih hidup, di manakah dia?"
"Siapa tahu kemana larinya bocah setan neraka itu? Akan tetapi jelas dia belum mampus. Kita sendiri sudah mencari sekeliling Kiam-kok-san, kalau dia sudah mampus tentu ada mayatnya, tak mungkin mayatnya bisa lenyap begitu saja. Dia belum mampus dan kalau engkau sekarang mati dan dia muncul, bagaimana?"
"Ahh, kuharap dia lekas muncul, Ibu...!"
"Tentu saja dia akan segera muncul jika engkau mau sabar menunggu. Dari pada engkau susah setiap hari, lebih baik engkau selalu bersembahyang supaya kalau dia sudah mati cepat-cepat ditemukan mayatnya dan kalau hidup cepat-cepat muncul di depanmu!"
Demikianlah, Biauw Eng masih hidup, tidak membunuh diri. Tetapi dia seperti membunuh diri sekerat demi sekerat, menyiksa tubuhnya sendiri yang kian hari menjadi makin kurus dan pucat. Kadang-kadang dia termenung seperti orang linglung.
Yang membuat dia masih tetap hidup hanyalah harapannya yang tidak kunjung padam, seperti ujung hio (dupa) menyala, berkelap-kelip kecil namun tak pernah padam. Dia terus menanti, terus menanti dengan hati penuh rindu. Tiap malam Biauw Eng bersembahyang, bahkan kini dia benar-benar berkabung, berkabung untuk Keng Hong yang dianggapnya tentu telah mati, akan tetapi karena belum terbukti ia masih selalu menanti kemunculan pemuda itu.
Melihat keadaan puterinya ini, Lam-hai Sin-ni menjadi marah dan juga malu. Ia mengajak puterinya kembali ke pantai selatan dan bersembunyi di pantai yang sunyi dan indah, di mana dia mempunyai sebuah gedung yang mungil, hidup sebagai seorang nenek yang diam-diam batinnya amat menderita menyaksikan keadaan puterinya. Pernah ia berusaha membujuk puterinya untuk menikah, bahkan memberi kesempatan pada puterinya untuk memilih pria mana yang disukainya.
"Pergilah ke kota raja, pilihlah pangeran, atau bangsawan lain, hartawan atau sastrawan yang muda dan tampan. Ataukah engkau lebih suka pada seorang pemuda ahli silat yang pandai dan gagah perkasa? Pilihlah di dunia kang-ouw, kalau ada yang kau setujui aku yang menanggung bahwa dia akan suka menjadi suamimu. Meski dia seorang pangeran sekali pun, apa bila berani menolak, istananya akan kuhancur leburkan!" Demikian nenek yang menjadi tokoh pertama dari Bu-tek Su-kwi itu membujuk puterinya.
Akan tetapi Biauw Eng menggeleng kepalanya dan menjawab lirih, "Apakah Ibu tidak tahu bahwa aku tak membutuhkan suami? Aku hanya membutuhkan Keng Hong yang kucinta, membutuhkan kehadirannya. Sudah lima tahun, namun belum ada berita mengenai Keng Hong, entah hidup entah mati..."
Lam-hai Sin-ni tak dapat lagi menahan hatinya pada waktu melihat wajah puterinya ketika mengucapkan kata-kata terakhir itu. Ah, sama saja seperti engkau, bisik hatinya, engkau pun dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak. Anakku...!
Demikianlah, di tempat sunyi dan jauh dari dunia ramai, di pantai laut selatan itu, seorang nenek sakti hidup merana dan sengsara hatinya menyaksikan keadaan puterinya yang patah hati dan gagal dalam asmara itu.
Biauw Eng sudah berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun dan gadis ini tetap tidak mau menikah dengan orang lain, tetap setia menanti munculnya Cia Keng Hong yang mungkin sekali sudah mati dalam dugaan Lam-hai Sin-ni. Andai kata masih hidup sekali pun, bagai mana kalau Keng Hong tidak suka membalas cinta kasih Biauw Eng? Bagaimana kalau pemuda itu kelak bahkan menikah dengan lain wanita?
Pada saat di Kun-lun-san pun pemuda itu sama sekali tak mempedulikan sikap mencinta puterinya, malah sebaliknya, pemuda itu menjatuhkan fitnah yang bukan-bukan! Aku akan memaksanya! Demikian Lam-hai Sin-ni mengambil keputusan dalam hatinya. Kalau benar bocah setan itu masih hidup, kelak aku akan menyeretnya ke sini dan akan memaksanya menjadi suami Biauw Eng!
Sungguh pun hatinya selalu berduka memikirkan Keng Hong, akan tetapi Biauw Eng yang sejak kecil digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu tidak pernah melalaikan latihannya. Selama bersunyi diri bersama ibunya di pantai selatan, setiap hari gadis ini melatih ilmu silatnya dan kepahitan hidup membuat ilmunya menjadi lebih matang lagi, pandangannya terhadap ilmu yang dimilikinya lebih mendalam hingga ia dapat menyempurnakan semua gerakannya dan memperkuat sinkang-nya.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Lam-hai Sin-ni sudah pergi meninggalkan Biauw Eng seperti biasanya untuk berjalan-jalan di sepanjang pantai. Nenek ini sudah amat tua dan kepahitan hidup akibat kekecewaannya melihat puterinya membuat dia seperti pikun dan kadang-kadang tak peduli, berjalan-jalan setengah hari di sepanjang pantai, membiarkan ombak laut membasahi pakaiannya, atau kemudian dia duduk bersila di atas batu karang yang jauh dari tempat itu, seakan-akan tubuhnya sudah berubah menjadi batu karang sendiri.
Biauw Eng melatih ilmu silatnya di pinggir pantai, di bawah sinar matahari yang baru saja muncul dari permukaan laut sebelah timur. Tubuh gadis yang kini berusia dua puluh tiga tahun ini masih kurus, akan tetapi mukanya tidak pucat lagi, karena latihan-latihan setiap hari membuat badannya sebenarnya sangat sehat. Mukanya kelihatan segar, akan tetapi sinar matanya sayu dan muram seolah-olah dalam hidupnya tidak ada kegembiraan lagi.
Asyik sekali Biauw Eng berlatih silat dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sabuk sutera putih. Gerakannya kelihatan lambat namun sabuk sutera itu seolah-olah berubah menjadi seekor naga putih yang bermain-main dengan ombak. Nampak sangat indah, seolah-olah gadis itu seorang dewi lautan yang sedang menari-nari. Namun sesungguhnya di dalam keindahan ‘tarian’ ini tersembunyi tenaga sinkang yang menyambar-nyambar dahsyat, dan sabuk sutera itu sendiri merupakan jangkauan tangan-tangan maut yang mengerikan.
Saking tekun dan asyiknya, Biauw Eng yang biasanya amat waspada itu kini tidak tahu bahwa ada dua pasang mata semenjak tadi memandangnya. Dua pasang dari dua orang yang menghampiri tempat itu dan bersembunyi di balik batu karang. Dua orang itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dan Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek!
Setelah memesan kepada Siauw Lek yang memandang bengong penuh kekaguman pada gadis yang menari-nari indah itu agar laki-laki ini tetap bersembunyi, Cui Im lalu meloncat keluar dari belakang batu karang, menjauhi batu karang itu, kemudian memanggil dengan suara yang penuh kerinduan, penuh keramahan dan amat manis.
"Sumoi...!"
Dengan sikap tenang Biauw Eng segera menghentikan silatnya dan menengok. Sebelum menengok dia sudah mengenal suara suci-nya, karena itu dia tidak terkejut begitu melihat suci-nya berdiri tidak jauh dari situ.
Pertama-tama yang membuatnya terheran-heran adalah kenyataan bahwa ia sama sekali tidak tahu dan tidak mendengar akan kedatangan suci-nya sampai begitu dekat! Sudah sedemikian jauhkah kemajuan suci-nya ataukah dia yang kehilangan kewaspadaannya?
"Suci... kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini...?" Dia menegur, suaranya juga mengandung kegembiraan karena betapa pun juga, selain menjadi suci-nya, Cui Im juga menjadi teman bermain semenjak kecil sehingga di antara mereka ada perasaan kasih sayang seperti kakak dan adik.
"Sumoi..., ahhh, betapa rinduku kepadamu, Sumoi...!"
Cui Im lari menghampiri adik seperguruan ini dan Biauw Eng melihat bahwa ketika berlari, gerakan Cui Im sama seperti dulu, tidak kelihatan ada kemajuan. Hal ini memang karena kecerdikan Cui Im yang pada saat itu ingin membunyikan kepandaiannya dari sumoi-nya.
Mereka berangkulan sejenak, dan sesungguhnyalah bahwa pada detik itu, tidak hanya di hati Biauw Eng, juga di hati Cui Im terdapat keharuan dan kegirangan yang sejujurnya. Namun hanya beberapa detik saja bagi Cui Im karena dia segera dikuasai kembali oleh nafsu-nafsunya dan apa yang dia lakukan kembali menjadi palsu ketika dia melepaskan rangkulan dan berkata,
"Sumoi, bertahun-tahun kita tidak saling berjumpa. Di manakah subo? Aku tidak melihat beliau..."
"Ibu setiap hari berjalan-jalan mencari angin di sepanjang pantai. Suci, selama ini engkau kemana sajakah? Dan kini secara tiba-tiba engkau muncul di sini, apakah ada keperluan penting?"
Cui Im tersenyum dan memandang wajah sumoi-nya yang kurus. Di dalam lubuk hatinya dia tertawa, mentertawakan sumoi-nya itu karena dia dapat menduga kenapa sumoi-nya begini kurus. Akan tetapi senyum yang membayang di bibirnya adalah senyum ramah dan manis.
"Sumoi, aku datang karena amat rindu kepada subo, dan terutama sekali kepadamu. Tadi kulihat ilmu silatmu makin hebat saja, dari jauh aku tadi sempat melihat engkau berlatih. Sumoi, tentu engkau sudah mewarisi ilmu simpanan subo, bukan?"
"Ilmu simpanan yang manakah, Suci? Semua ilmu dari ibu sudah diturunkan kepada kita berdua, ilmu simpanan apa lagi yang belum kita pelajari, Suci? Soalnya hanya bakat dan ketekunan masing-masing yang menentukan kemajuan seseorang."
"Ahhh…, adikku yang manis, adikku yang budiman, terhadap suci-mu yang amat sayang kepadamu, tegakah engkau membohong? Yang kumaksudkan adalah ilmu rahasia subo, Thi-khi I-beng. Tentu engkau sudah mewarisinya, bukan?"
Wajah Biauw Eng kehilangan kegembiraannya yang tadi timbul ketika melihat munculnya Cui Im. "Ahh... itukah? Suci, engkau tentu masih ingat dan mengerti betapa ibu tidak suka kita berbicara tentang ilmu itu. Ilmu itu adalah satu-satunya ilmu yang membuat ibu tidak puas karena ibu hanya bisa menguasai kulitnya saja. Karena merasa bahwa ilmu itu sama sekali belum sempurna, maka ibu tidak mengajarkannya kepada kita. Mengapa sekarang engkau menyangka yang bukan-bukan, Suci? Selamanya Ibu tidak pernah mengajarkan ilmu itu kepadaku!"
"Hi-hi-hik, Sumoi, aku tidak tahu apakah engkau membohong atau tidak. Akan tetapi aku dapat membuktikan bohong tidaknya omonganmu ini."
Mendengar perubahan pada nada suara suci-nya, Biauw Eng cepat melangkah mundur, memandang tajam dan berkata dengan suara dingin, "Suci, apa yang kau maksudkan?"
Biasanya kalau dia sudah mengeluarkan suara dingin seperti itu, suci-nya selalu menjadi takut dan tunduk. Akan tetapi alangkah heran hati Biauw Eng ketika melihat suci-nya itu tertawa mengejek dan berkata,
"Aku akan menyerangmu sehingga engkau terpaksa mengeluarkan Thi-khi I-beng untuk menyelamatkan dirimu, Sumoi!"
Biauw Eng mengerutkan kening. "Hemmm, jangan berbuat yang tidak-tidak, Suci. Aku tak pernah mempelajari ilmu itu, dan andai kata aku memilikinya pun, untuk mengalahkanmu kiranya tidak perlu aku menggunakannya."
"Hi-hi-hik, begitukah pendapatmu, Sumoi? Alangkah lucunya! Kau kira aku masih berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li seperti dahulu? Mungkin engkau sanggup mengalahkan Ang-kiam Tok-sian-li, akan tetapi mana bisa engkau menang melawan Ang-kiam Bu-tek? Hi-hik-hik, Bu-tek Su-kwi sekali pun takkan menang melawanku, apa lagi engkau. Lihat seranganku!" Tiba-tiba tubuh Cui Im bergerak dan dia sudah mengirim pukulan yang dahsyat sekali ke dada sumoi-nya.
Biauw Eng terkejut melihat gerakan ini. Sekelebat saja dia mengerti betapa suci-nya telah memperoleh kemajuan yang amat luar biasa. Cepat ia mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang. Semenjak dahulu dia dapat mengatasi ginkang suci-nya dan mengandalkan ginkang ini saja dia dapat membuat suci-nya tidak berdaya.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tahu-tahu tubuh suci-nya sudah berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu ia telah diserang lagi sebelum ia sempat menurunkan kedua kakinya, dibarengi dengan suara ketawa mengejek dari mulut Cui Im.
"Aihhhh..!"
Biauw Eng terpaksa mengangkat tangan, mengerahkan sinkang-nya untuk menangkis. Dahulu, selain menang dalam hal ginkang, juga sinkang-nya jauh lebih kuat, maka sekali menangkis, dia langsung mengerahkan sinkang untuk membuat tubuh suci-nya terlempar ke belakang.
"Dukkk!" Dua lengan yang berkulit halus bertemu dan akibatnya bukan tubuh Cui Im yang terlempar, melainkan tubuh Biauw Eng yang terguling roboh didahului teriakan kagetnya!
Biauw Eng yang merasa betapa tubuhnya terdorong oleh tenaga mukjijat dan lengannya seperti lumpuh, bergulingan dan terus meloncat bangun, memandang suci-nya yang kini berdiri tertawa-tawa memandangnya.
"Hi-hi-hik, Sumoi, apakah engkau masih tidak mau cepat-cepat mengeluarkan ilmu Thi-khi I-beng untuk mengalahkan aku?"
Hampir Biauw Eng tak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Suci-nya ternyata lihai bukan main, tidak saja ginkang-nya menjadi luar biasa cepatnya, juga ilmu silatnya aneh dan tenaga sinkang-nya amat kuat! Mengertilah dia bahkan selama lima tahun tidak muncul ini, suci-nya telah mempelajari ilmu-ilmu lain yang amat hebat.
Dengan kemarahan Biauw Eng segera melolos sabuk suteranya, sabuk sutera putih yang dahulu amat ditakuti Cui Im karena gadis itu tak pernah dapat mengatasi sabuk sumoi-nya ini dalam latihan-latihan mereka. Akan tetapi kini Cui Im sama sekali tidak gentar melihat sabuk itu, malah tertawa mengejek.
"Sabuk suteramu itu hanya patut untuk dipakai menari, Sumoi, tiada gunanya kau pakai melawan aku. Kalau Thi-khi I-beng, mungkin baru dapat kau gunakan untuk melawanku."
"Suci, engkau jahat sekali. Percayalah, aku tidak memiliki ilmu itu dan buang jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu sebelum aku atau ibuku turun tangan menghajarmu."
"Hi-hik-hik, engkau hendak menghajarku? Lucu sekali! Sedangkan ibumu sekali pun tidak mungkin dapat mengganggu selembar rambutku!"
"Durhaka!" Biauw Eng membentak dan sabuk suteranya sudah berkelebatan menyambar dan menotok ke arah leher Cui Im. Namun gadis ini dengan mudahnya menyampok ujung sabuk itu dengan lengannya.
Pada saat Biauw Eng menggetarkan ujung sabuk untuk menangkap pergelangan tangan suci-nya dengan belitan, dia terkejut sekali karena tiba-tiba ujung sabuknya itu terpental begitu bertemu dengan lengan Cui Im. Dia pun maklum bahwa sekali ini dia tidak boleh main-main, apa lagi ketika Cui Im membalas dengan pukulan maut pada lambungnya!
Suci-nya tidak main-main dan agaknya benar-benar hendak memaksanya memberi tahu tentang Thi-khi I-beng yang sama sekali tidak dimengertinya! Tahulah dia bahwa kini dia harus melawan mati-matian dan bahwa yang bertanding dengan dia bukanlah suci-nya lagi, melainkan seorang musuh yang ganas dan sangat lihai! Biauw Eng lalu memainkan sabuknya dengan cepat, mengeluarkan serangan-serangan yang paling dahsyat.
Pertandingan mati-matian bagi Biauw Eng yang makin lama menjadi semakin kaget dan terheran-heran. Tidaklah mengherankan melihat suci-nya itu memperoleh kemajuan, akan tetapi kemajuan yang disaksikannya ini benar-benar sangat mustahil dan tak masuk akal. Kepandaian suci-nya tidak saja jauh melampauinya, bahkan Biauw Eng merasa ragu-ragu apakah ibunya sendiri akan mampu menandingi kepandaian Cui Im!
Dia sudah mengerahkan seluruh kecepatan dan tenaganya, juga sudah mainkan semua jurus-jurus paling hebat dari ilmu sabuknya, namun tetap saja dia tidak mampu mengenai tubuh Cui Im yang bersilat sambil terus tertawa-tawa mengejek, seolah-olah memamerkan kepandaiannya dan menggodanya.
"Lebih baik cepat serang aku dengan ilmu Thi-khi I-beng, mungkin saja berhasil!" Cui Im mengejek.
Memang itulah maksud kedatangan Cui Im, selain untuk menundukkan dan mengalahkan bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, juga wanita ini ingin sekali mendapatkan ilmu Thi-khi I-beng itu.
Segala ilmu silat di dunia ini tidak dia takuti setelah dia mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi karena di dalam kitab-kitab itu dia tidak menemukan ilmu Thi-khi I-beng, dan melihat betapa dahsyatnya ilmu yang dimiliki Keng Hong dan juga oleh Lam-hai Sin-ni, dia masih merasa gentar sebelum dapat memiliki ilmu dahsyat itu.
Andai kata Biauw Eng memang memiliki ilmu itu, tanpa diminta sekali pun tentu dia akan menggunakannya terhadap lawan yang amat tangguh itu. Akan tetapi dia sesungguhnya tidak pernah mempelajari ilmu ini. Karena itu sambil menggigit bibir saking penasaran, kini Biauw Eng menyerang terus dengan sabuk suteranya, mengambil keputusan untuk nekat mengadu nyawa.
Di lain pihak, Cui Im menjadi gemas karena bekas adik seperguruannya ini tetap tidak mengeluarkan ilmu sedot yang dia inginkan, maka dia lalu berteriak keras dan mulailah tubuhnya bergerak-gerak aneh pada waktu membalas dengan serangan-serangan hebat, dengan totokan-totokan jari tangannya, dengan cengkeraman-cengkeraman.
Biauw Eng menjadi makin kaget menyaksikan betapa hebatnya gerakan bekas suci-nya itu. Dia memutar sabuk suteranya melindungi diri dan karena memang bukan ilmu silat pasaran melainkan ilmu yang amat hebat, tidaklah begitu mudah bagi Cui Im untuk dapat merobohkannya dalam waktu singkat. Biauw Eng terdesak hebat terutama sekali karena suci-nya sudah mengenal inti dari pada semua ilmu silatnya, sebaliknya dia sama sekali tidak mengenal gerakan-gerakan Cui Im yang makin lama semakin aneh itu.
Tiba-tiba ketika untuk ke sekian kalinya Biauw Eng menggerakkan pergelangan tangan dan membuat sabuk suteranya meluncur seperti seekor naga mematuk ke depan, ke arah leher Cui Im, bekas suci-nya ini mengeluarkan pekik melengking dan tiba-tiba saja rambut yang panjang hitam di kepala Cui Im meluncur pula ke depan lantas menangkis sabuk sutera! Kiranya, setelah mempelajari banyak ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab pusaka, Cui Im telah pula mempelajari penggunaan rambut kepalanya dengan dasar tenaga Iweekang dan kini rambutnya telah menangkis dan selanjutnya melibat sabuk sutera itu. Biauw Eng terkejut dan berusaha melepaskan sabuknya dari libatan rambut, namun sia-sia.
"Pergunakanlah Thi-khi I-beng atau kau mampus!" Cui Im berkata dan tangannya kini bergerak dengan jari-jari tangan lurus menusuk leher Biauw Eng dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga takkan mungkin dapat ditangkis atau dielakkan lagi!
Dan memang, andai kata Biauw Eng mempunyai ilmu sedot itu, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawanya kecuali dia menerima tusukan ini dengan mengandalkan ilmu sedotnya. Akan tetapi, karena memang Biauw Eng tidak memiliki ilmu itu, gadis ini yang maklum bahwa nyawanya terancam bahaya, cepat melepaskan sabuknya dan membuang diri ke samping untuk menghindarkan diri. Namun gerakannya kalah cepat dan biar pun ia dapat menyelamatkan lehernya, dia tidak mungkin lagi menyelamatkan pundaknya yang kena dihajar.
“Krekkk!” terdengar suara dan tulang pundaknya yang kiri patah, tubuhnya terlempar dan roboh!
"Hemmm, menyebalkan! Kiranya kau benar-benar tidak mempelajari Thi-khi I-beng!" kata Cui Im sambil melangkah maju mendekati sumoi-nya yang rebah miring dan menggigit bibir menahan sakit itu. "Ataukah engkau agaknya sengaja menyembunyikannya karena melihat bahwa engkau tidak mampu mengalahkan aku, walau pun dengan Thi-khi I-beng sekali pun? Hemmm, kalau begitu, engkau tetap keras kepala, Sumoi?"
Sambil menahan rasa nyeri di pundaknya, Biauw Eng bangkit duduk dan menggunakan jari tangan kanan untuk menotok pundak dan iga kirinya sendiri agar dapat mengurangi rasa nyeri, kemudian memandang suci-nya penuh rasa kagum ketika bicara,
"Engkau hebat sekali, Suci! Benar-benar aku merasa kagum bukan main. Kepandaianmu luar biasa dan aku benar-benar mengaku kalah sekarang! Ibu sendiri tentu akan menjadi kagum sekali, Suci, siapakah gurumu yang tentu luar biasa sekali ilmu kepandaiannya? Dan sekarang setelah mempunyai ilmu kepandaian tinggi, mengapa Suci datang hendak memusuhi ibu dan aku?"
Wajah Cui Im kini menjadi bengis sekali. "Biauw Eng, bukalah baik-baik telinga beserta matamu. Kenalilah ini Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek! Baru tangan kosongku saja mampu mengalahkan sabuk suteramu, apa lagi pedang merahku! Hemmm, kau mau tahu mengapa aku memusuhi ibumu? Bukan lain karena aku harus mengalahkan Bu-tek Su-kwi, karena mereka tidak berhak lagi memakai julukan Bu-tek (Tanpa Tanding), karena akulah satu-satunya Bu-tek di dunia ini!"
"Suci, tidak ingatkah engkau bahwa ibu adalah gurumu yang mendidikmu sejak kecil? Ibu sudah tua, kalau kita beri tahu secara baik-baik tentu tanpa bertanding pun dia akan sudi mengalah kepadamu dan memberikan julukan kosong itu kepadamu."
"Huh, kalau dia mengalah berarti julukan itu benar kosong! Tidak, dia harus bertanding melawan aku, ingin aku merasai Thi-khi I-beng yang tersohor itu! Kecuali kalau dia mau memberikan ilmu itu kepadaku, hemm... baru akan kupikir-pikir untuk mengampuni nyawa anjingnya!"
"Cui Im...!" Biauw Eng berseru keras, membentak dengan marah. Pada saat itu, pandang mata Biauw Eng beralih pada seorang pria yang tiba-tiba muncul dan dengan loncatan ringan sekali menghampiri tempat itu sambil tersenyum-senyum.
"Ehh, inikah sumoi-nya itu, adik Cui Im? Hemmm, manis sekali, hampir semanis engkau tetapi sayang agak kurus."
"Hi-hi-hik, dia patah hati, Twako. Eh, Biauw Eng, tahukah engkau siapa pria yang ganteng ini?" Cui Im merangkul pundak Siauw Lek dengan sikap manja dan mesra sekali, bahkan lalu mencium pipi laki-laki itu sesudah dia berdiri di atas ujung kakinya karena tingginya hanya sampai ke pundak Siauw Lek.
Wajah Biauw Eng menjadi merah saking merasa malu dan jengah. "Hemmm, sejak dulu masih belum sembuh engkau dari watakmu yang gila laki-laki, Cui Im. Siapa lagi dia ini kalau bukan pacarmu yang berganti sampai ratusan kali?"
"Hi-hi-hi, benar sekali, entah ke berapa ratus kalinya. Hemm, sungguh sedap dan nikmat berganti-ganti pacar, sekali hidup pun sudah puas. Tidak seperti engkau yang baru sekali mempunyai pacar saja langsung gagal!"
"Cui Im...!" Biauw Eng menegur dengan hati terasa perih. Kini kedua orang wanita ini tidak lagi menyebut sumoi dan suci, melainkan menyebut nama masing-masing karena mereka sama-sama maklum bahwa sekarang tak mungkin lagi saling mengakui sebagai saudara seperguruan.
"Wah, Moi-moi, walau pun kurus, dia masih segar. Apa bila kau berikan kepadaku untuk selingan dan penyegar, aku pun tidak menolak!" Siauw Lek berkata sambil tertawa.
Cui Im juga tertawa genit. "Bagaimana, Biauw Eng. Dia tampan dan gagah juga, bukan? Biar pun tidak setampan Keng Hong, kurasa dia tidak kalah pandai dalam hal merayu..."
"Cui Im, tutup mulutmu yang kotor!" Biauw Eng membentak marah, menahan keinginan hatinya untuk bertanya apakah bekas suci-nya ini tahu di mana adanya Keng Hong dan yang paling penting apakah Keng Hong masih hidup. Akan tetapi mendengar Cui Im dan Siauw Lek bercakap-cakap seperti itu, ia pun menahan keinginan hatinya dan membuang muka.
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, apakah engkau masih alim seperti dahulu? Apakah engkau masih perawan seperti dahulu? Kalau begitu kebetulan, kau lihat ini baik-baik. Dia adalah murid Go-bi Chit-kwi..."
"Ohhh...?! Jadi engkau... Engkau malah bersekutu dengan musuh besar gurumu sendiri? Cui Im, engkau manusia rendah, murid durhaka!"
"Dia inilah yang bernama Siauw Lek, berjuluk Kim-lian Jai-hwa-ong! Dia malang melintang di dunia kang-ouw, dalam hal kekejaman dan kepandaian tidak usah malu dan kalah bila dibandingkan dengan Bu-tek Su-kwi, namun dia adalah pembantuku!"
"Bagus sekali! Kiranya engkau sudah bersekutu dengan murid musuh-musuhku, Cui Im? Hemmm, sungguh memalukan dan baiknya engkau datang mengantar kematian!" Suara ini keluar dari mulut Lam-hai Sin-ni.
Diam-diam Cui Im harus mengakui bahwa biar pun sudah tua bekas gurunya ini memiliki ginkang yang luar biasa sehingga kedatangannya tidak dia ketahui. Ia cepat membalikkan tubuhnya dan menekan perasaan hatinya yang berguncang. Meski pun dia sudah merasa yakin akan kepandaiannya, tetapi menghadapi nenek bekas gurunya yang menjadi tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, hati Cui Im gentar juga.
Akan tetapi selain merasa yakin akan kemampuannya sendiri, hatinya juga besar karena di sana ada Siauw Lek yang tentu akan membantunya, maka dia berkata dengan nada suara dingin,
"Lam-hai Sin-ni, aku datang bukan sebagai muridmu lagi, tetapi sebagai penantangmu! Aku adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, satu-satunya jago wanita tanpa tanding yang akan menjadi ratu di antara golongan hitam!"
"Phuahhh...! Cui Im, apakah engkau sudah menjadi gila?"
"Ibu, jangan lawan dia! Jika dia mengkehendaki julukan kosong sebagai Bu-tek, serahkan saja!"
Lam-hai Sin-ni mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu memandang puterinya. Sekali pandang saja maklumlah nenek ini bahwa puterinya terluka pundaknya, maka dia berkata, "Hemmm, engkau dikalahkan oleh dia dan murid Go-bi Chit-kwi itu, Eng-ji? Kalah karena dikeroyok tidak mengherankan."
"Tidak, Ibu. Dia... Cui Im, sekarang lihai bukan main..."
Wajah nenek itu tampak tercengang. Ia merasa heran mendengar ini. Benarkah puterinya dikalahkan oleh Cui Im? Hampir ia tidak dapat percaya karena dahulu tingkat kepandaian Cui Im jauh di bawah tingkat Biauw Eng. Dan selama ini puterinya itu setiap hari berlatih sehingga tingkatnya telah mencapai kemajuan pesat sekali.
Mungkinkah Cui Im sudah sedemikan lihainya sehingga mampu mengalahkan puterinya? Benarkah tidak dibantu oleh murid Go-bi Chit-kwi itu? Kini ia memandang bekas muridnya itu tajam-tajam lalu berkata,
"Cui Im, terus terang saja. Apa maksud kedatanganmu ini?"
"Lam-hai Sin-ni, sudah kukatakan bahwa aku hendak menjagoi dunia kang-ouw dan aku datang untuk menantangmu mengadu kepandaian. Hanya ada akibat dari pertandingan antara kita, yaitu engkau tewas di tanganku atau engkau dapat kuperingan dan tidak akan kubunuh akan tetapi engkau harus memenuhi permintaanku."
Biar pun dia sudah tua dan sudah pandai menguasai perasaanya, akan tetapi mendengar ucapan bekas muridnya ini, Lam-hai Sin-ni merasa betapa dadanya seperti akan meledak saking marahnya. Hanya dengan kekuatan batinnya saja ia masih mampu mengendalikan dirinya dan suaranya amat dingin ketika bertanya,
"Hemmm, Bhe Cui Im, permintaan apakah itu?"
Sambil mempermainkan mata serta bibirnya dengan sikap mengejek sekali Cui Im lantas menjawab, "Lam-hai Sin-ni, aku tidak takut menghadapi ilmu Thi-khi I-beng, akan tetapi aku tertarik sekali akan ilmu itu dan ingin aku mengetahui rahasianya. Kalau engkau mau mengajarkan ilmu itu aku pun akan mengingat hubungan lama di antara kita dan aku tidak akan membunuhmu, melainkan hanya mengalahkanmu tanpa membunuh!"
"Bhe Cui Im, bocah keparat!" Lam-hai Sin-ni tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. "Engkau sungguh takabur sekali! Belum juga mengalahkan aku tetapi sudah mengajukan syarat! Heh, Cui Im si sombong, jangan kira bahwa aku yang sudah tua ini akan mudah saja kau kalahkan. Bila mana engkau sanggup mengalahkan aku, jangankan baru Thi-khi I-beng, bahkan nyawaku pun akan kuberikan kepadamu!"
Baru saja habis ucapan nenek itu, tubuhnya sudah menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa sekali, bagaikan halilintar menyambar, dan dua buah pukulan beruntun menyambar ke arah ulu hati dan kepala Cui Im.
Meski pun Cui Im sudah yakin akan kepandaiannya, namun sikapnya tadi memang untuk memancing kemarahan sambil untuk menyesuaikan sikap seorang ‘ratu’ di dunia hitam, padahal dia sesungguhnya tidak berani memandang rendah bekas gurunya yang dia tahu lihai luar biasa itu. Kini, melihat berkelebatnya tubuh gurunya, cepat dia sudah bergerak pula, miringkan tubuh mengurangi lowongan dan kedua tangannya bergerak menangkis.
"Plak-plakk!"
Bagaikan disambar halilintar, tubuh dua orang wanita itu terpelanting ke belakang, namun dengan amat cepatnya keduanya sudah melompat lagi saling terjang dan dalam detik selanjutnya terdengar lagi suara ‘plak-plak’ bertemunya kedua lengan. Sampai lima kali mereka saling terjang dan beradu lengan, dan lima kali pula tubuh mereka terbanting ke belakang.
Lam-hai Sin-ni meloncat bangun, wajahnya merah sekali. Ia terheran-heran dan merasa penasaran. Dalam mengadu tenaga sinkang melalui kedua tangan tadi, bekas muridnya ini membuktikan bahwa tenaga Cui Im tidak kalah kuat olehnya!
Kalau nenek itu berdiri dengan muka merah dan tercengang, sebaliknya Cui Im berdiri dengan sikap tenang dan mulut tersenyum mengejek. Hatinya gembira karena dia dapat membuktikan bahwa seperti yang diduganya, kini dia dapat mengimbangi tenaga sinkang bekas gurunya.
Dia tidak takut jika gurunya menggunakan Thi-khi I-beng, karena selain dia tahu bahwa kepandaian gurunya dalam ilmu itu belum sempurna dan tidak sekuat tenaga sedot Keng Hong, juga dia sudah bersiap-siap dan tahu bagaimana caranya menghadapi ilmu yang belum kuat itu. Dia hendak mengandalkan rambutnya yang akan dapat dia pergunakan untuk menotok bagian tubuh gurunya yang menyedot sinkang-nya.
"Bagaimana, Lam-hai Sin-ni, apakah sedemikian saja kepandaiamu?"
Sepasang mata yang telah tua itu bagai mengeluarkan api. Biauw Eng yang menyaksikan pertandingan itu, sudah bangkit berdiri menahan rasa nyeri pada pundaknya, dan berkata, "Ibu, sudahlah, hendaknya ibu mengalah dan memberikan Thi-khi I-beng kepadanya. Ibu sudah tua, perlu apa memperebutkan ilmu itu? Berikan saja dan kita pergi dari sini, Ibu."
Ucapan puterinya ini menambah kemarahan di hati Lam-hai Sin-ni. "Pengecut! Apakah engkau sudah menjadi pengecut karena cinta? Lebih baik aku mati sekarang dari pada tunduk terhadap setan cilik ini!"
Ia lalu menghadapi bekas muridnya itu lagi sambil menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis berada di tangannya. "Bhe Cui Im, kenalkah engkau akan pedang ini? Ataukah matamu telah buta sehingga tidak lagi mengenal pedang ini?"
Cui Im menjebikan bibirnya mengejek. "Pedang Liong-jiauw-kiam (Pedang Cakar Naga)?" Hemmm, pedang itu tidak menakutkan hatiku, Lam-hai Sin-ni!" kata Cui Im.
Dan tangannya bergerak lebih cepat lagi dari pada gerakan nenek itu dan tampak sinar merah berkelebat. Pedang merahnya telah berada di tangannya.
"Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa pedang ini tidak pernah kupergunakan, karena memang pedang ini kusimpan untuk kupakai menghadapi Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi tujuh setan itu telah mampus dan kini muncul murid mereka yang menjadi sahabatmu. Nah, pedang ini sekarang akan membasmi engkau bersama murid Go-bi Chit-kwi!"
"Hi-hi-hik, engkau dengar nenek ini mengoceh, Twako. Katanya dia hendak menggunakan pedang itu untuk membunuh kita, hi-hi-hik!"
"Ha-ha-ha, sudah biasa itu, Moi-moi. Burung tua mau mampus ocehannya paling merdu dan nenek-nenek tua mau mati suaranya paling lantang, ha-ha-ha!" Tangan Siauw Lek bergerak pula dan sinar hitam berkelebat.
Melihat ini, Lam-hai Sin-ni memekik panjang lantas tubuhnya berkelebat, didahului oleh gulungan sinar pedangnya yang berwarna putih. Sinar pedang yang bergulung-gulung itu membentuk lingkaran-lingkaran lebar dan melayang ke arah kedua orang lawannya yang sudah siap.
Siauw Lek dan Cui Im tertawa dan tampaklah gulungan sinar pedang hitam dan merah yang amat lebar dan panjang yang segera membuat gerakan menggunting dan menjepit sinar pedang putih dari Lam-hai Sin-ni.
Walau pun pundak kirinya terluka dan tulangnya patah, akan tetapi begitu melihat ibunya dikeroyok oleh dua orang itu yang gerakan pedangnya hebat sekali, Biauw Eng menjadi khawatir dan dia cepat-cepat menggerakkan sabuk suteranya dengan tangan kanan dan menerjang maju untuk membantu ibunya. Ia disambut oleh sinar pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tertawa mengejek.
"Nona muda, engkau amat cantik jelita. Sayang engkau kurus merana dan dingin. Marilah dekat Siauw Lek dan aku akan membuat engkau hangat panas dan membuatmu gembira, ha-ha-ha!"
Biauw Eng maklum bahwa laki-laki murid Go-bi Chit-kwi itu lihai sekali dan dia tahu pula bahwa ucapannya itu adalah pancingan agar dia marah, maka dia menekan perasaannya dan tanpa menjawab tangan kanannya bergerak. Sinar-sinar putih berkerepan langsung menyambar ke depan pada waktu sembilan buah senjata rahasia bola-bola putih berduri menyerang sembilan jalan darah di tubuh Siauw Lek dengan kecepatan luar biasa...
Dua orang yang lihai ini bertanding pedang tanpa berbicara, hanya terdengar dencingan-dencingan senjata mereka seolah-olah menjadi musik yang mengiringi tangisan ibu muda yang tak mempedulikan pertandingan itu oleh karena seluruh perhatiannya tertuju kepada mayat-mayat suami dan anaknya.
"Tranggg... Cringgg..!"
Suara bertemunya pedang lalu saling tempel dan saling ditarik iitu disusul keluhan Siauw Lek yang mencelat mundur dengan baju bagian depan robek lebar! Mukanya pucat sekali dan tangan kirinya bergerak.
"Srat-sratt-srattt...!" Sinar-sinar hitam menyambar ke depan dan tahu-tahu ada sembilan batang paku menyambar ke arah sembilan bagian tubuh depan Cui Im.
Nona ini tersenyum saja, hanya menggerakkan pedang di depan muka untuk menyampok runtuh tiga batang paku yang menyerang sepasang mata dan dahinya, ada pun enam batang paku lain yang menyerangnya dari dada ke bawah, dia diamkan saja. Paku-paku itu mengenai tubuhnya, dan… runtuh! Sedikit pun tidak melukainya.
Siauw Lek melongo dan tiba-tiba dia harus memutar pedangnya melindungi tubuh ketika ada titik-titik sinar merah meluncur ke arah tubuhnya. Semua jarum dapat dia runtuhkan dengan pedangnya, akan tetapi dia maklum bahwa serangan jarum-jarum itu bila disusul oleh serangan pedang gadis itu, maka dia tentu akan menghadapi bahaya maut.
Untung baginya dan legalah hatinya ketika dia melihat bahwa gadis itu tidak melanjutkan serangannya, bahkan sudah menyimpan kembali pedang merahnya dan kini hanya berdiri sambil tersenyum-senyum. Kini mengertilah Siauw Lek bahwa gadis itu betul-betul hanya ingin menguji kepandaiannya, sama sekali bukan ingin membalas dendam terhadap dia sebagai murid Go-bi Chit-kwi. Maka dia lalu menjura dengan hormat setelah menyimpan pedangnya dan berkata,
“Aku Siauw Lek mengaku kalah. Nona betul-betul amat lihai, baik dalam ilmu silat tangan kosong, ilmu pedang dan senjata rahasia. Belum pernah aku bertemu dengan lawan sehebat Nona. Aku mengaku kalah!”
“Tak usah penasaran bahwa engkau kalah dariku, karena aku ingin mengalahkan seluruh jago silat di dunia kang-ouw ini, termasuk Bu-tek Su-kwi! Aku akan suka sekali memiliki seorang pembantu seperti engkau, Siauw-twako (kakak Siauw), asal saja engkau suka tunduk kepadaku dan menuruti segala kata-kataku. Bagaimana, maukah engkau menjadi pembantuku?”
Siauw Lek tersenyum. Nona ini lihai bukan main, dan juga amat cantik, serta pandai pula mengambil hati, buktinya kini memanggilnya twako! Dia harus bersikap cerdik, tidak menentang orang yang lebih pandai dari padanya, lebih baik pura-pura tunduk dan melihat perkembangan selanjutnya.
“Baiklah, aku suka membantumu, Nona.”
“Dan kau akan mentaati segala perintahku?”
Hemmm, tadi disuruh menuruti kata-katanya, sekarang berubah menjadi mentaati segala perintahnya!
"Baik, saya akan taat."
"Kalau begitu, kenapa engkau belum juga turun tangan memenuhi janjimu? Engkau telah kalah, Siauw-twako, apanyakah pada diri wanita ini yang membuatmu tergila-gila tadi?"
Siauw Lek lantas menoleh ke arah ibu muda yang masih terisak-isak menangis. Dalam kedukaannya, wanita ini lupa akan keadaan tubuhnya yang telanjang bagian atasnya. Dia menangis hingga buah dadanya bergoyang-goyang. Air mata mengalir keluar membasahi mukanya.
Melihat dada wanita itu, Siauw Lek tersenyum. Tak salah lagi, dada itulah yang mula-mula menarik hatinya, yang menimbulkan gairahnya. Ia lalu menggerakkan tangan, pedangnya segera berubah menjadi sinar hitam menyambar ke depan. Ibu muda itu menjerit, darah memancar keluar dari sepasang buah dadanya yang terbelah, dia roboh menindih mayat anaknya dan tewas dalam genangan darahnya sendiri!
"Hi-hi-hik, bagus sekali, engkau memenuhi janjimu, Siauw-twako. Engkau ternyata seorang laki-laki sejati!"
Siauw Lek menyimpan pedangnya dan memandang Cui Im dengan mulut tersenyum dan pandang mata memikat. "Tentu saja aku seorang laki-laki sejati dan cukup jantan untuk menandingimu dalam apa pun juga, Nona. Akan tetapi bukankah kini telah tiba waktunya bagimu untuk memperkenalkan diri? Julukanmu Ang-kiam Bu-tek, dan memang pedang merahmu sukar dicari bandingnya, akan tetapi siapakah namamu, Nona?"
Cui Im tersenyum. "Belum tiba waktunya engkau mengenal namaku. Ilmu kepandaianmu cukup bagiku, cukup memenuhi syarat, akan tetapi apakah engkau benar seorang jantan dalam hal lain, masih harus keselidiki dan uji lebih dulu."
"Maksudmu...?"
Siauw Lek membelalakkan matanya melihat betapa wanita cantik itu dengan gerakan genit menarik mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Selama petualangannya baru satu kali inilah Siauw Lek mengalami hal yang luar biasa ini, akan tetapi sama sekali bukanlah hal yang tidak menyenangkan hatinya!
Dia pun bersiap-siap, namun sambil melirik ke arah tiga mayat keluarga yang dibunuhnya itu, tak urung mulutnya berbisik, "Di... di sini…?"
"Mengapa? Engkau ngeri?" Cui Im bertanya tertawa, lalu melangkah maju menghampiri pembaringan, kaki kanannya yang sudah tidak tertutup lagi digerakkan ke atas, ibu jari kakinya bergerak-gerak dibantu jari-jari yang lain yang menyambak rambut kepala suami ibu muda dan melontarkan mayat itu dari atas dipan yang masih bernoda darah.
"Aku? Ngeri? Ahhh, dewi cantik jelita, selama bersamamu aku akan sanggup menikmati tempat yang bagaimana buruk pun berubah menjadi sorga!" Siauw Lek menubruk dan merangkul, disambut Cui Im yang tertawa-tawa.
Iblis sendiri akan merasa ngeri dan muak menyaksikan sepasang manusia luar biasa ini, yang memiliki kekejaman tidak lumrah, keji dan jahat tiada taranya! Dan sekali ini Cui Im merasa betul-betul bertemu tanding yang amat menyenangkan dan memuaskan hatinya. Ternyata dalam segala hal, Siauw Lek benar-benar merupakan seorang laki-laki yang cukup boleh diandalkan, dapat menjadi seorang pembantu yang setia, seorang pengawal yang cukup lihai, dan seorang kekasih yang tidak mengecewakan hatinya!
Sementara itu, Siauw Lek diam-diam merasa kagum, akan tetapi juga sangat penasaran. Dia merasa betapa di dalam segala hal, dia selalu kalah oleh Cui Im. Dalam ilmu silat, dalam ginkang dan sinkang dalam kepandaian merayu dan bercinta.
Kekalahan-kekalahan ini membuat dia penasaran. Masa dia, Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang belum pernah bertemu tanding dalam segala hal, kini harus tunduk dan taat akan segala perintah seorang gadis muda? Betapa pun menyenangkan wanita ini, aku harus dapat menundukkan wanita ini, kalau tidak, maka akan rendah dan hinalah namaku, demikian dia berpikir.
Menjelang pagi, ketika dia yang berpura-pura tidur itu mendengar pernapasan yang halus dan tenang dari Cui Im dan menganggap wanita itu sedang tertidur nyenyak, Siauw Lek perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Cahaya lilin yang sudah mulai remang-remang itu menerangi wajah yang cantik. Hemmm, sungguh seorang wanita pilihan, pikirnya. Betapa pun juga aku harus memaksa dia menjadi pembantuku, bukan aku menjadi pembantunya, demikian Siauw Lek mengambil keputusan.
Cepat tangannya bergerak, hendak menotok pundak yang telanjang itu untuk membuat tubuh Cui Im lemas dan tak berdaya. Dalam keadaan tidak berdaya, dia akan melakukan apa saja untuk memaksa Cui Im menjadi pembantunya.
Akan tetapi Siauw Lek tidak melanjutkan gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya seperti kaku karena ada jari-jari tangan halus yang mencengkeramnya di bawah selimut! Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan totokannya, sebelum jari tangannya menyentuh pundak lawan, terlebih dahulu nyawanya sendiri akan melayang meninggalkan raganya! Mukanya menjadi pucat dan keringat dingin memenuhi dahinya.
"Hemm, apakah engkau masih juga belum mau takluk kepadaku, Siauw-twako? Ataukah engkau benar-benar lebih senang mampus?"
"Aku... Aku hanya mencoba..."
"Ehh, tidak bisa engkau membohongiku, Engkau ingin menguasai aku, bukan?"
"Ba... bagaimana engkau bisa tahu?"
"Hi-hi-hik, aku tahu bahwa engkau tadi masih penasaran, belum tunduk kepadaku. Dalam hal kecurangan dan tipu muslihat, engkau pun takkan menang dariku, Twako. Akulah jago wanita nomor satu di seluruh dunia dan sebagai pembantuku, engkau tidak akan menjadi rendah, bahkan namamu akan turut meningkat. Nah, bagaimana sekarang? Engkau tahu bahwa dengan tidak membunuhmu saat ini berarti aku sayang kepadamu, akan tetapi lain kali, sekali saja engkau berani main-main aku pasti akan membunuhmu."
Siauw Lek menghela napas, bukan karena menyesal, melainkan karena kagum sekali. Ia merangkul dan mencium, dan saat itu pula Cui Im sudah yakin benar bahwa dia berhasil menundukkan pria ini. Dia tertawa-tawa dan berkata,
“Aku Ang-kiam Bu-tek, namaku Bhe Cui Im. Apa bila aku tidak sayang kepadamu, begitu mendengar bahwa engkau adalah murid Go-bi Chit-kwi, tentu aku sudah turun tangan membunuhmu. Akan tetapi, aku kini bukan murid Lam-hai Sin-ni, aku tak menganggapmu sebagai musuh, melainkan sebagai pembantu dan kekasih. Bagaimana, apakah engkau belum takluk?”
Siauw Lek memejamkan matanya dan berbisik, “Aku takluk, engkau hebat dalam segala. Mulai detik ini, aku akan mentaati segala perintahmu. Aku bersumpah…”
“Hi-hi-hik, kau tidak perlu bersumpah!” Cui Im mencubit dagu yang melekuk tengahnya itu. “Sumpah seorang pria tak ada harganya, tak dapat dipercaya. Akan tetapi tanpa sumpah pun aku tahu saatnya laki-laki dapat dipercaya atau tidak. Sekarang ini aku yakin bahwa engkau betul-betul sudah takluk kepadaku.”
Demikianlah, sepasang manusia yang berwatak iblis itu berkecimpung dalam lautan nafsu dan baru pada keesokan harinya mereka meninggalkan pondok itu sambil bergandengan tangan dan berlari cepat. Kini dunia terancam oleh munculnya sepasang makhluk ini, dan dunia kang-ouw pasti akan menjadi geger!
********************
Pada waktu itu, perang saudara telah berhenti setelah berkobar hebat selama beberapa tahun, atau tepatnya empat tahun lamanya semenjak Kaisar Hui Ti naik tahta Kerajaan Beng-tiauw. Raja Muda Yung Lo, paman sendiri dari Kaisar Hui Ti dan yang pada waktu Hui Ti dinobatkan bertugas di utara, menyerbu ke selatan dan keluar sebagai pemenang dalam perang saudara saling memperebutkan tahta kerajaan ini.
Yung Lo menjadi kaisar Kerajaan Beng-tiauw dan melihat betapa kedudukan kerajaan yang dipegangnya itu menjadi lemah karena pengaruh pembesar-pembesar penjilat dan lalim, kaisar baru ini segera mengadakan perubahan besar-besaran. Dia memilih sendiri para pembantunya, menunjuk orang-orang yang cakap, mengangkat menteri-menteri dan ponggawa-ponggawa, bahkan tidak hanya sampai di situ perubahan yang dilakukannya.
Ia merasa khawatir bahwa kalau dia melanjutkan pemerintahan berpusat di istana lama, tentu para pembantunya itu lambat laun akan terpengaruh pula oleh kaum penjilat. Maka dia mengambil keputusan yang sangat penting dan bersejarah, yaitu dia memindahkan ibukota atau kota raja dari selatan ke utara, yaitu dari Nanking ke Peking!
Mulailah kaisar baru ini membangun di Peking hingga tercipta bangunan-bangunan yang sangat indah dan penuh dengan daya seni yang mengagumkan. Istana yang besar-besar, megah dan indah dibangun oleh para tenaga ahli yang didatangkan dari segenap penjuru negeri. Sedemikian hebatnya pembangunan di kota raja kerajaan Beng-tiauw ini sehingga tercatat dalam sejarah bahwa pada masa itu, Kota Raja Peking menjadi kota yang gilang gemilang, yang di seluruh dunia tiada taranya dalam keindahannya hingga mengagumkan setiap orang musafir yang datang dari segala penjuru dunia.
Bukan hanya istana-istana besar dan megah di kota raja yang dibangun oleh kaisar baru ini, melainkan juga memulai pekerjaan-pekerjaan besar yang lain. Tembok Besar Ban-li Tiang-shia yang panjangnya lebih dari dua ribu li itu, bangunan ajaib yang dibangun untuk menjadi benteng pertahanan Tiongkok dan melindungi pedalaman dari serbuan banyak suku asing di utara, yang pembangunannya dimulai pada abad ke dua sebelum Tarikh Masehi, kini dilanjutkan lagi, diperbaiki dan diperkuat. Bukan hanya tembok besar ini saja, juga terusan yang menghubungkan Sungai Yang-ce-kiang dengan Sungai Huangho, yang penggaliannya sudah dimulai pada jaman penjajah Mongol, kini dilanjutkan, diperbaiki dan diperlebar.
Sesudah perang saudara berhenti, mulailah rakyat sibuk membangun kembali di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo yang ternyata tidak hanya pandai memimpin bala tentara, tetapi pandai pula membangun negara. Pada jaman pemerintahan kaisar inilah kebudayaan dan kesenian berkembang luas.
Semenjak jaman itu pulalah pelajaran-pelajaran Nabi Khong-hu-cu berkembang, bahkan dicetak menjadi kitab-kitab dan lebih dari pada itu, juga dijadikan pedoman bagi mereka yang menempuh ujian negara! Pengetahuan tentang pelajaran-pelajaran filsafat dari Nabi Khong-hu-cu ini dijadikan ukuran terpelajar atau tidaknya seseorang, bahkan pengetahuan itu merupakan kunci untuk membuka pintu kedudukan bagi para pelajar.
Bila dibandingkan dengan jaman yang sudah-sudah, keadaan rakyat mengalami perbaikan sesudah Kaisar Yung Lo memegang kekuasaan. Pemerintah mulai mengatur kehidupan rakyat dan ketenteraman mulai terasa di mana-mana.
Tentu saja, keadaan pemerintahan yang baik hanya merupakan sebuah di antara banyak syarat kebahagiaan hidup manusia, bukan merupakan syarat mutlak karena bagi manusia yang belum mengerti, hidup ini hanya merupakan siksa dan derita saja. Terlalu banyak hal-hal yang mengurangi atau melenyapkan kebahagiaan hidup. Memang jarang terdapat manusia yang mengerti akan ujar-ujar kuno yang berbunyi:
Siapa mendekati nikmat menjauhi derita, atau pun sebaliknya, dia takkan dapat merasai bahagia!
Begitu pula dengan kehidupan Song-bin Siu-li Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni. Semenjak dibebaskan dari kematian oleh ibunya sendiri dan dibawa kembali ke selatan, dara jelita ini hidup merana dan menderita sengsara dalam batinnya. Apa lagi ketika dia mendengar akan lenyapnya Keng Hong yang oleh semua orang dianggap sudah mati ketika para tokoh tidak dapat menemukan pemuda itu di puncak batu pedang. Biauw Eng menangis setiap hari, menangisi kematian Keng Hong, satu-satunya pria di dunia ini yang dicintainya.
"Ihhh, kenapa engkau begini lemah? Sungguh tidak patut menjadi anakku! Menangis saja kerjanya tiap hari. Sungguh memalukan!" Berkali-kali Lam-hai Sin-ni memarahi puterinya.
Sesungguhnya hanya pada lahirnya saja nenek ini marah-marah dan mencela, padahal di dalam hatinya ia merasa berduka, kecewa, menyesal dan marah sekali. Berduka karena menyaksikan penderitaan batin puterinya yang terkasih. Kecewa mengapa puterinya ini mewarisi wataknya yang teguh mencinta seorang pria saja dengan kesetiaan cinta kasih yang merugikan diri sendiri. Menyesal mengapa dia tidak menahan dan memaksa Keng Hong ketika bertemu dahulu supaya pemuda itu tidak pernah berpisah dari puterinya, dan juga marah kepada Keng Hong yang dianggapnya menjadi biang keladi penderitaan batin puterinya!
Biauw Eng menahan isaknya dan menatap ibunya dengan wajah yang kurus dan pucat. Matanya yang lebar tampak lebih lebar lagi karena wajahnya kurus, dan cahaya matanya suram-muram seperti lampu kehabisan minyak.
"Ibu, salahkah kalau hati ini mencinta Keng Hong? Salahkah kalau hati ini berduka karena kehilangan satu-satunya pria yang kucinta? Aku tidak sengaja, Ibu, aku sama sekali tidak lemah. Hanya... apakah artinya hidup ini kalau Keng Hong tidak berada di sampingku? Kalau dia mati, aku pun ingin mati saja, Ibu!"
Lam-hai Sin-ni merasa seolah-olah jantungnya ditusuk, dan bulu tengkuknya meremang. Anaknya ini sama sekali tidak lemah, bahkan terlalu keras hati! Bila saja dia tidak pandai mengemukakan alasan, tentu Biauw Eng sudah membunuh diri begitu mendengar bahwa Keng Hong lenyap tanpa meninggalkan bekas.
"Anak bodoh! Cinta ya cinta, masa begitu nekat?" Ia mengomel, terkenang kepada dirinya sendiri ketika ia tergila-gila kepada Sie Cun Hong si Raja pedang.
Dia pun dahulu nekat mencinta Sie Cun Hong semenjak pendekar itu menolongnya dari tangan Go-bi Chit-kwi, mencinta dengan nekat dan membuta sehingga dia menyerahkan jiwa raganya, menyerahkan kehormatannya padahal ia tahu manusia dan laki-laki macam apa adanya Sie Cun Hong. Sesal kemudian tak berguna. Dia mengandung. Sie Cun Hong meninggalkannya. Selama hidup dia merana, merindu dan menderita sengsara.
Padahal ketika itu ia tidak muda lagi. Begitu kuatnya dia mempertahankan kegadisannya, bahkan pernah dia mengambil keputusan untuk tidak berhubungan dengan pria selama hidupnya. Keputusan yang membuat dia dapat meraih ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi akhirnya ia jatuh oleh Sin-jiu Kiam-ong, jatuh sampai ke lubuk hatinya yang mencinta pria itu. Ia menjadi korban cinta kasihnya sendiri. Dan sekarang puterinya juga mengalami hal yang sama!
"Biauw Eng, biar pun engkau sudah buta oleh cinta, akan tetapi janganlah buta terhadap kenyataan! Siapa bilang bahwa Keng Hong mati? Aku tidak percaya! Bocah seperti setan neraka itu mana mungkin mati begitu mudah? Kalau dia mati, mana mayatnya? Jangan engkau bodoh, dia belum mati, percayalah kepadaku!"
Sinar mata yang layu itu menjadi agak segar kebali. "Benarkah, Ibu? Kalau masih hidup, di manakah dia?"
"Siapa tahu kemana larinya bocah setan neraka itu? Akan tetapi jelas dia belum mampus. Kita sendiri sudah mencari sekeliling Kiam-kok-san, kalau dia sudah mampus tentu ada mayatnya, tak mungkin mayatnya bisa lenyap begitu saja. Dia belum mampus dan kalau engkau sekarang mati dan dia muncul, bagaimana?"
"Ahh, kuharap dia lekas muncul, Ibu...!"
"Tentu saja dia akan segera muncul jika engkau mau sabar menunggu. Dari pada engkau susah setiap hari, lebih baik engkau selalu bersembahyang supaya kalau dia sudah mati cepat-cepat ditemukan mayatnya dan kalau hidup cepat-cepat muncul di depanmu!"
Demikianlah, Biauw Eng masih hidup, tidak membunuh diri. Tetapi dia seperti membunuh diri sekerat demi sekerat, menyiksa tubuhnya sendiri yang kian hari menjadi makin kurus dan pucat. Kadang-kadang dia termenung seperti orang linglung.
Yang membuat dia masih tetap hidup hanyalah harapannya yang tidak kunjung padam, seperti ujung hio (dupa) menyala, berkelap-kelip kecil namun tak pernah padam. Dia terus menanti, terus menanti dengan hati penuh rindu. Tiap malam Biauw Eng bersembahyang, bahkan kini dia benar-benar berkabung, berkabung untuk Keng Hong yang dianggapnya tentu telah mati, akan tetapi karena belum terbukti ia masih selalu menanti kemunculan pemuda itu.
Melihat keadaan puterinya ini, Lam-hai Sin-ni menjadi marah dan juga malu. Ia mengajak puterinya kembali ke pantai selatan dan bersembunyi di pantai yang sunyi dan indah, di mana dia mempunyai sebuah gedung yang mungil, hidup sebagai seorang nenek yang diam-diam batinnya amat menderita menyaksikan keadaan puterinya. Pernah ia berusaha membujuk puterinya untuk menikah, bahkan memberi kesempatan pada puterinya untuk memilih pria mana yang disukainya.
"Pergilah ke kota raja, pilihlah pangeran, atau bangsawan lain, hartawan atau sastrawan yang muda dan tampan. Ataukah engkau lebih suka pada seorang pemuda ahli silat yang pandai dan gagah perkasa? Pilihlah di dunia kang-ouw, kalau ada yang kau setujui aku yang menanggung bahwa dia akan suka menjadi suamimu. Meski dia seorang pangeran sekali pun, apa bila berani menolak, istananya akan kuhancur leburkan!" Demikian nenek yang menjadi tokoh pertama dari Bu-tek Su-kwi itu membujuk puterinya.
Akan tetapi Biauw Eng menggeleng kepalanya dan menjawab lirih, "Apakah Ibu tidak tahu bahwa aku tak membutuhkan suami? Aku hanya membutuhkan Keng Hong yang kucinta, membutuhkan kehadirannya. Sudah lima tahun, namun belum ada berita mengenai Keng Hong, entah hidup entah mati..."
Lam-hai Sin-ni tak dapat lagi menahan hatinya pada waktu melihat wajah puterinya ketika mengucapkan kata-kata terakhir itu. Ah, sama saja seperti engkau, bisik hatinya, engkau pun dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak. Anakku...!
Demikianlah, di tempat sunyi dan jauh dari dunia ramai, di pantai laut selatan itu, seorang nenek sakti hidup merana dan sengsara hatinya menyaksikan keadaan puterinya yang patah hati dan gagal dalam asmara itu.
Biauw Eng sudah berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun dan gadis ini tetap tidak mau menikah dengan orang lain, tetap setia menanti munculnya Cia Keng Hong yang mungkin sekali sudah mati dalam dugaan Lam-hai Sin-ni. Andai kata masih hidup sekali pun, bagai mana kalau Keng Hong tidak suka membalas cinta kasih Biauw Eng? Bagaimana kalau pemuda itu kelak bahkan menikah dengan lain wanita?
Pada saat di Kun-lun-san pun pemuda itu sama sekali tak mempedulikan sikap mencinta puterinya, malah sebaliknya, pemuda itu menjatuhkan fitnah yang bukan-bukan! Aku akan memaksanya! Demikian Lam-hai Sin-ni mengambil keputusan dalam hatinya. Kalau benar bocah setan itu masih hidup, kelak aku akan menyeretnya ke sini dan akan memaksanya menjadi suami Biauw Eng!
Sungguh pun hatinya selalu berduka memikirkan Keng Hong, akan tetapi Biauw Eng yang sejak kecil digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu tidak pernah melalaikan latihannya. Selama bersunyi diri bersama ibunya di pantai selatan, setiap hari gadis ini melatih ilmu silatnya dan kepahitan hidup membuat ilmunya menjadi lebih matang lagi, pandangannya terhadap ilmu yang dimilikinya lebih mendalam hingga ia dapat menyempurnakan semua gerakannya dan memperkuat sinkang-nya.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Lam-hai Sin-ni sudah pergi meninggalkan Biauw Eng seperti biasanya untuk berjalan-jalan di sepanjang pantai. Nenek ini sudah amat tua dan kepahitan hidup akibat kekecewaannya melihat puterinya membuat dia seperti pikun dan kadang-kadang tak peduli, berjalan-jalan setengah hari di sepanjang pantai, membiarkan ombak laut membasahi pakaiannya, atau kemudian dia duduk bersila di atas batu karang yang jauh dari tempat itu, seakan-akan tubuhnya sudah berubah menjadi batu karang sendiri.
Biauw Eng melatih ilmu silatnya di pinggir pantai, di bawah sinar matahari yang baru saja muncul dari permukaan laut sebelah timur. Tubuh gadis yang kini berusia dua puluh tiga tahun ini masih kurus, akan tetapi mukanya tidak pucat lagi, karena latihan-latihan setiap hari membuat badannya sebenarnya sangat sehat. Mukanya kelihatan segar, akan tetapi sinar matanya sayu dan muram seolah-olah dalam hidupnya tidak ada kegembiraan lagi.
Asyik sekali Biauw Eng berlatih silat dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sabuk sutera putih. Gerakannya kelihatan lambat namun sabuk sutera itu seolah-olah berubah menjadi seekor naga putih yang bermain-main dengan ombak. Nampak sangat indah, seolah-olah gadis itu seorang dewi lautan yang sedang menari-nari. Namun sesungguhnya di dalam keindahan ‘tarian’ ini tersembunyi tenaga sinkang yang menyambar-nyambar dahsyat, dan sabuk sutera itu sendiri merupakan jangkauan tangan-tangan maut yang mengerikan.
Saking tekun dan asyiknya, Biauw Eng yang biasanya amat waspada itu kini tidak tahu bahwa ada dua pasang mata semenjak tadi memandangnya. Dua pasang dari dua orang yang menghampiri tempat itu dan bersembunyi di balik batu karang. Dua orang itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dan Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek!
Setelah memesan kepada Siauw Lek yang memandang bengong penuh kekaguman pada gadis yang menari-nari indah itu agar laki-laki ini tetap bersembunyi, Cui Im lalu meloncat keluar dari belakang batu karang, menjauhi batu karang itu, kemudian memanggil dengan suara yang penuh kerinduan, penuh keramahan dan amat manis.
"Sumoi...!"
Dengan sikap tenang Biauw Eng segera menghentikan silatnya dan menengok. Sebelum menengok dia sudah mengenal suara suci-nya, karena itu dia tidak terkejut begitu melihat suci-nya berdiri tidak jauh dari situ.
Pertama-tama yang membuatnya terheran-heran adalah kenyataan bahwa ia sama sekali tidak tahu dan tidak mendengar akan kedatangan suci-nya sampai begitu dekat! Sudah sedemikian jauhkah kemajuan suci-nya ataukah dia yang kehilangan kewaspadaannya?
"Suci... kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini...?" Dia menegur, suaranya juga mengandung kegembiraan karena betapa pun juga, selain menjadi suci-nya, Cui Im juga menjadi teman bermain semenjak kecil sehingga di antara mereka ada perasaan kasih sayang seperti kakak dan adik.
"Sumoi..., ahhh, betapa rinduku kepadamu, Sumoi...!"
Cui Im lari menghampiri adik seperguruan ini dan Biauw Eng melihat bahwa ketika berlari, gerakan Cui Im sama seperti dulu, tidak kelihatan ada kemajuan. Hal ini memang karena kecerdikan Cui Im yang pada saat itu ingin membunyikan kepandaiannya dari sumoi-nya.
Mereka berangkulan sejenak, dan sesungguhnyalah bahwa pada detik itu, tidak hanya di hati Biauw Eng, juga di hati Cui Im terdapat keharuan dan kegirangan yang sejujurnya. Namun hanya beberapa detik saja bagi Cui Im karena dia segera dikuasai kembali oleh nafsu-nafsunya dan apa yang dia lakukan kembali menjadi palsu ketika dia melepaskan rangkulan dan berkata,
"Sumoi, bertahun-tahun kita tidak saling berjumpa. Di manakah subo? Aku tidak melihat beliau..."
"Ibu setiap hari berjalan-jalan mencari angin di sepanjang pantai. Suci, selama ini engkau kemana sajakah? Dan kini secara tiba-tiba engkau muncul di sini, apakah ada keperluan penting?"
Cui Im tersenyum dan memandang wajah sumoi-nya yang kurus. Di dalam lubuk hatinya dia tertawa, mentertawakan sumoi-nya itu karena dia dapat menduga kenapa sumoi-nya begini kurus. Akan tetapi senyum yang membayang di bibirnya adalah senyum ramah dan manis.
"Sumoi, aku datang karena amat rindu kepada subo, dan terutama sekali kepadamu. Tadi kulihat ilmu silatmu makin hebat saja, dari jauh aku tadi sempat melihat engkau berlatih. Sumoi, tentu engkau sudah mewarisi ilmu simpanan subo, bukan?"
"Ilmu simpanan yang manakah, Suci? Semua ilmu dari ibu sudah diturunkan kepada kita berdua, ilmu simpanan apa lagi yang belum kita pelajari, Suci? Soalnya hanya bakat dan ketekunan masing-masing yang menentukan kemajuan seseorang."
"Ahhh…, adikku yang manis, adikku yang budiman, terhadap suci-mu yang amat sayang kepadamu, tegakah engkau membohong? Yang kumaksudkan adalah ilmu rahasia subo, Thi-khi I-beng. Tentu engkau sudah mewarisinya, bukan?"
Wajah Biauw Eng kehilangan kegembiraannya yang tadi timbul ketika melihat munculnya Cui Im. "Ahh... itukah? Suci, engkau tentu masih ingat dan mengerti betapa ibu tidak suka kita berbicara tentang ilmu itu. Ilmu itu adalah satu-satunya ilmu yang membuat ibu tidak puas karena ibu hanya bisa menguasai kulitnya saja. Karena merasa bahwa ilmu itu sama sekali belum sempurna, maka ibu tidak mengajarkannya kepada kita. Mengapa sekarang engkau menyangka yang bukan-bukan, Suci? Selamanya Ibu tidak pernah mengajarkan ilmu itu kepadaku!"
"Hi-hi-hik, Sumoi, aku tidak tahu apakah engkau membohong atau tidak. Akan tetapi aku dapat membuktikan bohong tidaknya omonganmu ini."
Mendengar perubahan pada nada suara suci-nya, Biauw Eng cepat melangkah mundur, memandang tajam dan berkata dengan suara dingin, "Suci, apa yang kau maksudkan?"
Biasanya kalau dia sudah mengeluarkan suara dingin seperti itu, suci-nya selalu menjadi takut dan tunduk. Akan tetapi alangkah heran hati Biauw Eng ketika melihat suci-nya itu tertawa mengejek dan berkata,
"Aku akan menyerangmu sehingga engkau terpaksa mengeluarkan Thi-khi I-beng untuk menyelamatkan dirimu, Sumoi!"
Biauw Eng mengerutkan kening. "Hemmm, jangan berbuat yang tidak-tidak, Suci. Aku tak pernah mempelajari ilmu itu, dan andai kata aku memilikinya pun, untuk mengalahkanmu kiranya tidak perlu aku menggunakannya."
"Hi-hi-hik, begitukah pendapatmu, Sumoi? Alangkah lucunya! Kau kira aku masih berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li seperti dahulu? Mungkin engkau sanggup mengalahkan Ang-kiam Tok-sian-li, akan tetapi mana bisa engkau menang melawan Ang-kiam Bu-tek? Hi-hik-hik, Bu-tek Su-kwi sekali pun takkan menang melawanku, apa lagi engkau. Lihat seranganku!" Tiba-tiba tubuh Cui Im bergerak dan dia sudah mengirim pukulan yang dahsyat sekali ke dada sumoi-nya.
Biauw Eng terkejut melihat gerakan ini. Sekelebat saja dia mengerti betapa suci-nya telah memperoleh kemajuan yang amat luar biasa. Cepat ia mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang. Semenjak dahulu dia dapat mengatasi ginkang suci-nya dan mengandalkan ginkang ini saja dia dapat membuat suci-nya tidak berdaya.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tahu-tahu tubuh suci-nya sudah berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu ia telah diserang lagi sebelum ia sempat menurunkan kedua kakinya, dibarengi dengan suara ketawa mengejek dari mulut Cui Im.
"Aihhhh..!"
Biauw Eng terpaksa mengangkat tangan, mengerahkan sinkang-nya untuk menangkis. Dahulu, selain menang dalam hal ginkang, juga sinkang-nya jauh lebih kuat, maka sekali menangkis, dia langsung mengerahkan sinkang untuk membuat tubuh suci-nya terlempar ke belakang.
"Dukkk!" Dua lengan yang berkulit halus bertemu dan akibatnya bukan tubuh Cui Im yang terlempar, melainkan tubuh Biauw Eng yang terguling roboh didahului teriakan kagetnya!
Biauw Eng yang merasa betapa tubuhnya terdorong oleh tenaga mukjijat dan lengannya seperti lumpuh, bergulingan dan terus meloncat bangun, memandang suci-nya yang kini berdiri tertawa-tawa memandangnya.
"Hi-hi-hik, Sumoi, apakah engkau masih tidak mau cepat-cepat mengeluarkan ilmu Thi-khi I-beng untuk mengalahkan aku?"
Hampir Biauw Eng tak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Suci-nya ternyata lihai bukan main, tidak saja ginkang-nya menjadi luar biasa cepatnya, juga ilmu silatnya aneh dan tenaga sinkang-nya amat kuat! Mengertilah dia bahkan selama lima tahun tidak muncul ini, suci-nya telah mempelajari ilmu-ilmu lain yang amat hebat.
Dengan kemarahan Biauw Eng segera melolos sabuk suteranya, sabuk sutera putih yang dahulu amat ditakuti Cui Im karena gadis itu tak pernah dapat mengatasi sabuk sumoi-nya ini dalam latihan-latihan mereka. Akan tetapi kini Cui Im sama sekali tidak gentar melihat sabuk itu, malah tertawa mengejek.
"Sabuk suteramu itu hanya patut untuk dipakai menari, Sumoi, tiada gunanya kau pakai melawan aku. Kalau Thi-khi I-beng, mungkin baru dapat kau gunakan untuk melawanku."
"Suci, engkau jahat sekali. Percayalah, aku tidak memiliki ilmu itu dan buang jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu sebelum aku atau ibuku turun tangan menghajarmu."
"Hi-hik-hik, engkau hendak menghajarku? Lucu sekali! Sedangkan ibumu sekali pun tidak mungkin dapat mengganggu selembar rambutku!"
"Durhaka!" Biauw Eng membentak dan sabuk suteranya sudah berkelebatan menyambar dan menotok ke arah leher Cui Im. Namun gadis ini dengan mudahnya menyampok ujung sabuk itu dengan lengannya.
Pada saat Biauw Eng menggetarkan ujung sabuk untuk menangkap pergelangan tangan suci-nya dengan belitan, dia terkejut sekali karena tiba-tiba ujung sabuknya itu terpental begitu bertemu dengan lengan Cui Im. Dia pun maklum bahwa sekali ini dia tidak boleh main-main, apa lagi ketika Cui Im membalas dengan pukulan maut pada lambungnya!
Suci-nya tidak main-main dan agaknya benar-benar hendak memaksanya memberi tahu tentang Thi-khi I-beng yang sama sekali tidak dimengertinya! Tahulah dia bahwa kini dia harus melawan mati-matian dan bahwa yang bertanding dengan dia bukanlah suci-nya lagi, melainkan seorang musuh yang ganas dan sangat lihai! Biauw Eng lalu memainkan sabuknya dengan cepat, mengeluarkan serangan-serangan yang paling dahsyat.
Pertandingan mati-matian bagi Biauw Eng yang makin lama menjadi semakin kaget dan terheran-heran. Tidaklah mengherankan melihat suci-nya itu memperoleh kemajuan, akan tetapi kemajuan yang disaksikannya ini benar-benar sangat mustahil dan tak masuk akal. Kepandaian suci-nya tidak saja jauh melampauinya, bahkan Biauw Eng merasa ragu-ragu apakah ibunya sendiri akan mampu menandingi kepandaian Cui Im!
Dia sudah mengerahkan seluruh kecepatan dan tenaganya, juga sudah mainkan semua jurus-jurus paling hebat dari ilmu sabuknya, namun tetap saja dia tidak mampu mengenai tubuh Cui Im yang bersilat sambil terus tertawa-tawa mengejek, seolah-olah memamerkan kepandaiannya dan menggodanya.
"Lebih baik cepat serang aku dengan ilmu Thi-khi I-beng, mungkin saja berhasil!" Cui Im mengejek.
Memang itulah maksud kedatangan Cui Im, selain untuk menundukkan dan mengalahkan bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, juga wanita ini ingin sekali mendapatkan ilmu Thi-khi I-beng itu.
Segala ilmu silat di dunia ini tidak dia takuti setelah dia mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi karena di dalam kitab-kitab itu dia tidak menemukan ilmu Thi-khi I-beng, dan melihat betapa dahsyatnya ilmu yang dimiliki Keng Hong dan juga oleh Lam-hai Sin-ni, dia masih merasa gentar sebelum dapat memiliki ilmu dahsyat itu.
Andai kata Biauw Eng memang memiliki ilmu itu, tanpa diminta sekali pun tentu dia akan menggunakannya terhadap lawan yang amat tangguh itu. Akan tetapi dia sesungguhnya tidak pernah mempelajari ilmu ini. Karena itu sambil menggigit bibir saking penasaran, kini Biauw Eng menyerang terus dengan sabuk suteranya, mengambil keputusan untuk nekat mengadu nyawa.
Di lain pihak, Cui Im menjadi gemas karena bekas adik seperguruannya ini tetap tidak mengeluarkan ilmu sedot yang dia inginkan, maka dia lalu berteriak keras dan mulailah tubuhnya bergerak-gerak aneh pada waktu membalas dengan serangan-serangan hebat, dengan totokan-totokan jari tangannya, dengan cengkeraman-cengkeraman.
Biauw Eng menjadi makin kaget menyaksikan betapa hebatnya gerakan bekas suci-nya itu. Dia memutar sabuk suteranya melindungi diri dan karena memang bukan ilmu silat pasaran melainkan ilmu yang amat hebat, tidaklah begitu mudah bagi Cui Im untuk dapat merobohkannya dalam waktu singkat. Biauw Eng terdesak hebat terutama sekali karena suci-nya sudah mengenal inti dari pada semua ilmu silatnya, sebaliknya dia sama sekali tidak mengenal gerakan-gerakan Cui Im yang makin lama semakin aneh itu.
Tiba-tiba ketika untuk ke sekian kalinya Biauw Eng menggerakkan pergelangan tangan dan membuat sabuk suteranya meluncur seperti seekor naga mematuk ke depan, ke arah leher Cui Im, bekas suci-nya ini mengeluarkan pekik melengking dan tiba-tiba saja rambut yang panjang hitam di kepala Cui Im meluncur pula ke depan lantas menangkis sabuk sutera! Kiranya, setelah mempelajari banyak ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab pusaka, Cui Im telah pula mempelajari penggunaan rambut kepalanya dengan dasar tenaga Iweekang dan kini rambutnya telah menangkis dan selanjutnya melibat sabuk sutera itu. Biauw Eng terkejut dan berusaha melepaskan sabuknya dari libatan rambut, namun sia-sia.
"Pergunakanlah Thi-khi I-beng atau kau mampus!" Cui Im berkata dan tangannya kini bergerak dengan jari-jari tangan lurus menusuk leher Biauw Eng dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga takkan mungkin dapat ditangkis atau dielakkan lagi!
Dan memang, andai kata Biauw Eng mempunyai ilmu sedot itu, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawanya kecuali dia menerima tusukan ini dengan mengandalkan ilmu sedotnya. Akan tetapi, karena memang Biauw Eng tidak memiliki ilmu itu, gadis ini yang maklum bahwa nyawanya terancam bahaya, cepat melepaskan sabuknya dan membuang diri ke samping untuk menghindarkan diri. Namun gerakannya kalah cepat dan biar pun ia dapat menyelamatkan lehernya, dia tidak mungkin lagi menyelamatkan pundaknya yang kena dihajar.
“Krekkk!” terdengar suara dan tulang pundaknya yang kiri patah, tubuhnya terlempar dan roboh!
"Hemmm, menyebalkan! Kiranya kau benar-benar tidak mempelajari Thi-khi I-beng!" kata Cui Im sambil melangkah maju mendekati sumoi-nya yang rebah miring dan menggigit bibir menahan sakit itu. "Ataukah engkau agaknya sengaja menyembunyikannya karena melihat bahwa engkau tidak mampu mengalahkan aku, walau pun dengan Thi-khi I-beng sekali pun? Hemmm, kalau begitu, engkau tetap keras kepala, Sumoi?"
Sambil menahan rasa nyeri di pundaknya, Biauw Eng bangkit duduk dan menggunakan jari tangan kanan untuk menotok pundak dan iga kirinya sendiri agar dapat mengurangi rasa nyeri, kemudian memandang suci-nya penuh rasa kagum ketika bicara,
"Engkau hebat sekali, Suci! Benar-benar aku merasa kagum bukan main. Kepandaianmu luar biasa dan aku benar-benar mengaku kalah sekarang! Ibu sendiri tentu akan menjadi kagum sekali, Suci, siapakah gurumu yang tentu luar biasa sekali ilmu kepandaiannya? Dan sekarang setelah mempunyai ilmu kepandaian tinggi, mengapa Suci datang hendak memusuhi ibu dan aku?"
Wajah Cui Im kini menjadi bengis sekali. "Biauw Eng, bukalah baik-baik telinga beserta matamu. Kenalilah ini Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek! Baru tangan kosongku saja mampu mengalahkan sabuk suteramu, apa lagi pedang merahku! Hemmm, kau mau tahu mengapa aku memusuhi ibumu? Bukan lain karena aku harus mengalahkan Bu-tek Su-kwi, karena mereka tidak berhak lagi memakai julukan Bu-tek (Tanpa Tanding), karena akulah satu-satunya Bu-tek di dunia ini!"
"Suci, tidak ingatkah engkau bahwa ibu adalah gurumu yang mendidikmu sejak kecil? Ibu sudah tua, kalau kita beri tahu secara baik-baik tentu tanpa bertanding pun dia akan sudi mengalah kepadamu dan memberikan julukan kosong itu kepadamu."
"Huh, kalau dia mengalah berarti julukan itu benar kosong! Tidak, dia harus bertanding melawan aku, ingin aku merasai Thi-khi I-beng yang tersohor itu! Kecuali kalau dia mau memberikan ilmu itu kepadaku, hemm... baru akan kupikir-pikir untuk mengampuni nyawa anjingnya!"
"Cui Im...!" Biauw Eng berseru keras, membentak dengan marah. Pada saat itu, pandang mata Biauw Eng beralih pada seorang pria yang tiba-tiba muncul dan dengan loncatan ringan sekali menghampiri tempat itu sambil tersenyum-senyum.
"Ehh, inikah sumoi-nya itu, adik Cui Im? Hemmm, manis sekali, hampir semanis engkau tetapi sayang agak kurus."
"Hi-hi-hik, dia patah hati, Twako. Eh, Biauw Eng, tahukah engkau siapa pria yang ganteng ini?" Cui Im merangkul pundak Siauw Lek dengan sikap manja dan mesra sekali, bahkan lalu mencium pipi laki-laki itu sesudah dia berdiri di atas ujung kakinya karena tingginya hanya sampai ke pundak Siauw Lek.
Wajah Biauw Eng menjadi merah saking merasa malu dan jengah. "Hemmm, sejak dulu masih belum sembuh engkau dari watakmu yang gila laki-laki, Cui Im. Siapa lagi dia ini kalau bukan pacarmu yang berganti sampai ratusan kali?"
"Hi-hi-hi, benar sekali, entah ke berapa ratus kalinya. Hemm, sungguh sedap dan nikmat berganti-ganti pacar, sekali hidup pun sudah puas. Tidak seperti engkau yang baru sekali mempunyai pacar saja langsung gagal!"
"Cui Im...!" Biauw Eng menegur dengan hati terasa perih. Kini kedua orang wanita ini tidak lagi menyebut sumoi dan suci, melainkan menyebut nama masing-masing karena mereka sama-sama maklum bahwa sekarang tak mungkin lagi saling mengakui sebagai saudara seperguruan.
"Wah, Moi-moi, walau pun kurus, dia masih segar. Apa bila kau berikan kepadaku untuk selingan dan penyegar, aku pun tidak menolak!" Siauw Lek berkata sambil tertawa.
Cui Im juga tertawa genit. "Bagaimana, Biauw Eng. Dia tampan dan gagah juga, bukan? Biar pun tidak setampan Keng Hong, kurasa dia tidak kalah pandai dalam hal merayu..."
"Cui Im, tutup mulutmu yang kotor!" Biauw Eng membentak marah, menahan keinginan hatinya untuk bertanya apakah bekas suci-nya ini tahu di mana adanya Keng Hong dan yang paling penting apakah Keng Hong masih hidup. Akan tetapi mendengar Cui Im dan Siauw Lek bercakap-cakap seperti itu, ia pun menahan keinginan hatinya dan membuang muka.
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, apakah engkau masih alim seperti dahulu? Apakah engkau masih perawan seperti dahulu? Kalau begitu kebetulan, kau lihat ini baik-baik. Dia adalah murid Go-bi Chit-kwi..."
"Ohhh...?! Jadi engkau... Engkau malah bersekutu dengan musuh besar gurumu sendiri? Cui Im, engkau manusia rendah, murid durhaka!"
"Dia inilah yang bernama Siauw Lek, berjuluk Kim-lian Jai-hwa-ong! Dia malang melintang di dunia kang-ouw, dalam hal kekejaman dan kepandaian tidak usah malu dan kalah bila dibandingkan dengan Bu-tek Su-kwi, namun dia adalah pembantuku!"
"Bagus sekali! Kiranya engkau sudah bersekutu dengan murid musuh-musuhku, Cui Im? Hemmm, sungguh memalukan dan baiknya engkau datang mengantar kematian!" Suara ini keluar dari mulut Lam-hai Sin-ni.
Diam-diam Cui Im harus mengakui bahwa biar pun sudah tua bekas gurunya ini memiliki ginkang yang luar biasa sehingga kedatangannya tidak dia ketahui. Ia cepat membalikkan tubuhnya dan menekan perasaan hatinya yang berguncang. Meski pun dia sudah merasa yakin akan kepandaiannya, tetapi menghadapi nenek bekas gurunya yang menjadi tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, hati Cui Im gentar juga.
Akan tetapi selain merasa yakin akan kemampuannya sendiri, hatinya juga besar karena di sana ada Siauw Lek yang tentu akan membantunya, maka dia berkata dengan nada suara dingin,
"Lam-hai Sin-ni, aku datang bukan sebagai muridmu lagi, tetapi sebagai penantangmu! Aku adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, satu-satunya jago wanita tanpa tanding yang akan menjadi ratu di antara golongan hitam!"
"Phuahhh...! Cui Im, apakah engkau sudah menjadi gila?"
"Ibu, jangan lawan dia! Jika dia mengkehendaki julukan kosong sebagai Bu-tek, serahkan saja!"
Lam-hai Sin-ni mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu memandang puterinya. Sekali pandang saja maklumlah nenek ini bahwa puterinya terluka pundaknya, maka dia berkata, "Hemmm, engkau dikalahkan oleh dia dan murid Go-bi Chit-kwi itu, Eng-ji? Kalah karena dikeroyok tidak mengherankan."
"Tidak, Ibu. Dia... Cui Im, sekarang lihai bukan main..."
Wajah nenek itu tampak tercengang. Ia merasa heran mendengar ini. Benarkah puterinya dikalahkan oleh Cui Im? Hampir ia tidak dapat percaya karena dahulu tingkat kepandaian Cui Im jauh di bawah tingkat Biauw Eng. Dan selama ini puterinya itu setiap hari berlatih sehingga tingkatnya telah mencapai kemajuan pesat sekali.
Mungkinkah Cui Im sudah sedemikan lihainya sehingga mampu mengalahkan puterinya? Benarkah tidak dibantu oleh murid Go-bi Chit-kwi itu? Kini ia memandang bekas muridnya itu tajam-tajam lalu berkata,
"Cui Im, terus terang saja. Apa maksud kedatanganmu ini?"
"Lam-hai Sin-ni, sudah kukatakan bahwa aku hendak menjagoi dunia kang-ouw dan aku datang untuk menantangmu mengadu kepandaian. Hanya ada akibat dari pertandingan antara kita, yaitu engkau tewas di tanganku atau engkau dapat kuperingan dan tidak akan kubunuh akan tetapi engkau harus memenuhi permintaanku."
Biar pun dia sudah tua dan sudah pandai menguasai perasaanya, akan tetapi mendengar ucapan bekas muridnya ini, Lam-hai Sin-ni merasa betapa dadanya seperti akan meledak saking marahnya. Hanya dengan kekuatan batinnya saja ia masih mampu mengendalikan dirinya dan suaranya amat dingin ketika bertanya,
"Hemmm, Bhe Cui Im, permintaan apakah itu?"
Sambil mempermainkan mata serta bibirnya dengan sikap mengejek sekali Cui Im lantas menjawab, "Lam-hai Sin-ni, aku tidak takut menghadapi ilmu Thi-khi I-beng, akan tetapi aku tertarik sekali akan ilmu itu dan ingin aku mengetahui rahasianya. Kalau engkau mau mengajarkan ilmu itu aku pun akan mengingat hubungan lama di antara kita dan aku tidak akan membunuhmu, melainkan hanya mengalahkanmu tanpa membunuh!"
"Bhe Cui Im, bocah keparat!" Lam-hai Sin-ni tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. "Engkau sungguh takabur sekali! Belum juga mengalahkan aku tetapi sudah mengajukan syarat! Heh, Cui Im si sombong, jangan kira bahwa aku yang sudah tua ini akan mudah saja kau kalahkan. Bila mana engkau sanggup mengalahkan aku, jangankan baru Thi-khi I-beng, bahkan nyawaku pun akan kuberikan kepadamu!"
Baru saja habis ucapan nenek itu, tubuhnya sudah menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa sekali, bagaikan halilintar menyambar, dan dua buah pukulan beruntun menyambar ke arah ulu hati dan kepala Cui Im.
Meski pun Cui Im sudah yakin akan kepandaiannya, namun sikapnya tadi memang untuk memancing kemarahan sambil untuk menyesuaikan sikap seorang ‘ratu’ di dunia hitam, padahal dia sesungguhnya tidak berani memandang rendah bekas gurunya yang dia tahu lihai luar biasa itu. Kini, melihat berkelebatnya tubuh gurunya, cepat dia sudah bergerak pula, miringkan tubuh mengurangi lowongan dan kedua tangannya bergerak menangkis.
"Plak-plakk!"
Bagaikan disambar halilintar, tubuh dua orang wanita itu terpelanting ke belakang, namun dengan amat cepatnya keduanya sudah melompat lagi saling terjang dan dalam detik selanjutnya terdengar lagi suara ‘plak-plak’ bertemunya kedua lengan. Sampai lima kali mereka saling terjang dan beradu lengan, dan lima kali pula tubuh mereka terbanting ke belakang.
Lam-hai Sin-ni meloncat bangun, wajahnya merah sekali. Ia terheran-heran dan merasa penasaran. Dalam mengadu tenaga sinkang melalui kedua tangan tadi, bekas muridnya ini membuktikan bahwa tenaga Cui Im tidak kalah kuat olehnya!
Kalau nenek itu berdiri dengan muka merah dan tercengang, sebaliknya Cui Im berdiri dengan sikap tenang dan mulut tersenyum mengejek. Hatinya gembira karena dia dapat membuktikan bahwa seperti yang diduganya, kini dia dapat mengimbangi tenaga sinkang bekas gurunya.
Dia tidak takut jika gurunya menggunakan Thi-khi I-beng, karena selain dia tahu bahwa kepandaian gurunya dalam ilmu itu belum sempurna dan tidak sekuat tenaga sedot Keng Hong, juga dia sudah bersiap-siap dan tahu bagaimana caranya menghadapi ilmu yang belum kuat itu. Dia hendak mengandalkan rambutnya yang akan dapat dia pergunakan untuk menotok bagian tubuh gurunya yang menyedot sinkang-nya.
"Bagaimana, Lam-hai Sin-ni, apakah sedemikian saja kepandaiamu?"
Sepasang mata yang telah tua itu bagai mengeluarkan api. Biauw Eng yang menyaksikan pertandingan itu, sudah bangkit berdiri menahan rasa nyeri pada pundaknya, dan berkata, "Ibu, sudahlah, hendaknya ibu mengalah dan memberikan Thi-khi I-beng kepadanya. Ibu sudah tua, perlu apa memperebutkan ilmu itu? Berikan saja dan kita pergi dari sini, Ibu."
Ucapan puterinya ini menambah kemarahan di hati Lam-hai Sin-ni. "Pengecut! Apakah engkau sudah menjadi pengecut karena cinta? Lebih baik aku mati sekarang dari pada tunduk terhadap setan cilik ini!"
Ia lalu menghadapi bekas muridnya itu lagi sambil menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis berada di tangannya. "Bhe Cui Im, kenalkah engkau akan pedang ini? Ataukah matamu telah buta sehingga tidak lagi mengenal pedang ini?"
Cui Im menjebikan bibirnya mengejek. "Pedang Liong-jiauw-kiam (Pedang Cakar Naga)?" Hemmm, pedang itu tidak menakutkan hatiku, Lam-hai Sin-ni!" kata Cui Im.
Dan tangannya bergerak lebih cepat lagi dari pada gerakan nenek itu dan tampak sinar merah berkelebat. Pedang merahnya telah berada di tangannya.
"Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa pedang ini tidak pernah kupergunakan, karena memang pedang ini kusimpan untuk kupakai menghadapi Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi tujuh setan itu telah mampus dan kini muncul murid mereka yang menjadi sahabatmu. Nah, pedang ini sekarang akan membasmi engkau bersama murid Go-bi Chit-kwi!"
"Hi-hi-hik, engkau dengar nenek ini mengoceh, Twako. Katanya dia hendak menggunakan pedang itu untuk membunuh kita, hi-hi-hik!"
"Ha-ha-ha, sudah biasa itu, Moi-moi. Burung tua mau mampus ocehannya paling merdu dan nenek-nenek tua mau mati suaranya paling lantang, ha-ha-ha!" Tangan Siauw Lek bergerak pula dan sinar hitam berkelebat.
Melihat ini, Lam-hai Sin-ni memekik panjang lantas tubuhnya berkelebat, didahului oleh gulungan sinar pedangnya yang berwarna putih. Sinar pedang yang bergulung-gulung itu membentuk lingkaran-lingkaran lebar dan melayang ke arah kedua orang lawannya yang sudah siap.
Siauw Lek dan Cui Im tertawa dan tampaklah gulungan sinar pedang hitam dan merah yang amat lebar dan panjang yang segera membuat gerakan menggunting dan menjepit sinar pedang putih dari Lam-hai Sin-ni.
Walau pun pundak kirinya terluka dan tulangnya patah, akan tetapi begitu melihat ibunya dikeroyok oleh dua orang itu yang gerakan pedangnya hebat sekali, Biauw Eng menjadi khawatir dan dia cepat-cepat menggerakkan sabuk suteranya dengan tangan kanan dan menerjang maju untuk membantu ibunya. Ia disambut oleh sinar pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tertawa mengejek.
"Nona muda, engkau amat cantik jelita. Sayang engkau kurus merana dan dingin. Marilah dekat Siauw Lek dan aku akan membuat engkau hangat panas dan membuatmu gembira, ha-ha-ha!"
Biauw Eng maklum bahwa laki-laki murid Go-bi Chit-kwi itu lihai sekali dan dia tahu pula bahwa ucapannya itu adalah pancingan agar dia marah, maka dia menekan perasaannya dan tanpa menjawab tangan kanannya bergerak. Sinar-sinar putih berkerepan langsung menyambar ke depan pada waktu sembilan buah senjata rahasia bola-bola putih berduri menyerang sembilan jalan darah di tubuh Siauw Lek dengan kecepatan luar biasa...
Selanjutnya,