Pedang Kayu Harum Jilid 21
Sepasang Pedang Sakti dari Hoa-san-pai melangkah maju menghadapi Keng Hong, dan Coa Kiu berkata, "Cia Keng Hong, engkau telah berjanji untuk mencari Ang-kiam Bu-tek, merampas kembali pedang pusaka Hoa-san-pai dan menggembalikan kepada kami, juga menghukum Ang-kiam Bu-tek atas semua perbuatannya. Benarkah itu?"
"Betul, Locianpwe. Dan sekali lagi saya bersumpah untuk melakukan hal yang Locianpwe sebutkan tadi."
"Cia Keng Hong, apakah engkau cukup mempunyai ilmu kepandaian untuk mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong tersenyum. Dia adalah seorang yang amat cerdik dan pertanyaan ini sudah cukup baginya untuk mengetahui apa yang dikehendaki Hoa-san Siang-sin-kiam, maka ia menjawab tanpa ragu-ragu, "Saya merasa yakin bahwa saya akan sanggup mengalahkan dia, Locianpwe."
"Bocah sombong! Apa bila engkau tidak sanggup membuktikan sekarang juga di depan Hoa-san-pai, maka jelas bahwa engkau tadi sudah menipu kami dengan kata-kata manis, muluk-muluk dan kosong belaka!" berkata pula Coa Kiu, di dalam suaranya mengandung kemenangan.
Keng Hong mengerti, akan tetapi pura-pura tidak mengerti dan bertanya, "Apakah yang Locianpwe maksudkan?"
"Nama Ang-kiam Bu-tek menjadi buah percakapan di dunia kang-ouw. Ia telah membunuh Thian Ti Hwesio dan Sin-to Gi-hiap, juga merobohkan banyak sekali tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi…"
"Saya dapat menambah lagi, Locianpwe," kata Keng Hong memotong kata-kata Coa Kiu, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im itu bahkan telah membunuh bekas gurunya sendiri, Lam-hai Sin-ni."
Semua orang kaget, bahkan Bun Hoat Tosu sendiri nampak tercengang. Coa Kiu segera melanjutkan ucapannya, "Nah, hal itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat dan jelas tingkat kepandaiannya melebihi tingkat kepandaian Hoa-san Siang-sin-kiam. Kami sendiri agaknya tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi engkau telah menyatakan keyakinanmu untuk mengalahkannya. Dapatkah engkau membuktikan kata-katamu itu sekarang juga?"
Keng Hong masih berpura-pura tidak mengerti. "Membuktikan dengan cara bagaimana, Locianpwe?"
"Dengan cara mengalahkan Hoa-san Siang-sin-kiam! Sudah jelas bahwa kepandaian kami masih lebih rendah dari pada Ang-kiam Bu-tek, maka kalau engkau sudah merasa yakin akan mampu mengalahkan dia, tentu saja engkau pun harus sanggup mengalahkan kami. Sebaliknya, bila terhadap kami saja engkau tidak dapat menang, apakah salah jika kami menganggap engkau sudah berani membohongi guru kami bahwa engkau akan dapat mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong pura-pura kaget dan bingung, kemudian dia menghadap ketua Hoa-san-pai sambil berkata, "Mohon pertimbangan dari Locianpwe yang bijaksana tentang tantangan Hoa-san Siang-sin-kiam ini. Locianpwe, saya datang menghadap Locianpwe dengan niat untuk menghabiskan segala permusuhan dan kesalah pahaman yang ada di antara kita, bagaimana mungkin saya berani menghadapi dua orang tokoh besar Hoa-san-pai dalam pertandingan? Bukankah hal ini akan membuat usaha dan maksud baik boanpwe menjadi sia-sia belaka?"
Bun Hoat Tosu tersenyum, kemudian berkata, "Tidak mengapa, orang muda. Apa yang diusulkan oleh kedua orang muridku memang benar, bukan sekali-kali untuk mengujimu karena tidak percaya. Engkau adalah murid tunggal Sin-jiu Kiam-ong, tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi sepeninggalmu, bagaimana hati kami akan dapat tenang dan yakin bahwa pusaka Hoa-san-pai akan dapat dikembalikan kalau kami tidak menyaksikan kelihaianmu lebih dahulu. Harap engkau jangan sungkan dan perlihatkanlah kepandaianmu dan keampuhan Siang-bhok-kiam kepada kami."
Keng Hong menjadi kagum. Ketua Hoa-san-pai ini benar-benar bijaksana. Jawabannya sekaligus menyadarkan kedua orang muridnya bahwa pertandingan ini hanya merupakan ujian dan sekaligus menarik kesempatan untuk menyaksikan kehebatan Siang-bhok-kiam dan ilmu pedangnya.
Ia pun kagum bahwa kakek tua renta ini sudah tahu bahwa dia membawa Pedang Kayu Harum itu, padahal pedang itu dia sembunyikan di balik jubahnya. Dia cepat memberi hormat dan berkata, "Baiklah kalau begitu, Locianpwe Ji-wi Hoa-san Siang-sin-kiam, saya telah siap menerima pelajaran Ji-wi!"
Lega hati kedua tokoh Hoa-san-pai itu. Mereka selalu merasa penasaran dan hal ini akan mengganggu hati mereka kalau mereka belum mencoba kelihaian murid tunggal Sin-jiu Kiam-ong yang selama beberapa tahun ini membuat mereka, seperti juga tokoh-tokoh lain di dunia kang-ouw, menjadi lelah badan dan kesal pikiran.
Sudah bertahun-tahun mereka ikut mengejar Keng Hong tanpa hasil, kini setelah pemuda itu muncul sendiri, malah demikian mudahnya dibebaskan. Mereka tentu akan penasaran dan gelisah kalau belum menguji kepandaian pemuda ini yang oleh guru mereka kini tidak dianggap musuh lagi, melainkan sahabat yang akan mencarikan kembali pedang pusaka Hoa-san-pai!
Kedua orang kakek itu melangkah ke tengah ruangan, diikuti oleh pandang mata ketua Hoa-san-pai serta tujuh orang murid kepala lainnya yang menjadi adik-adik seperguruan Hoa-san Siang-sin-kiam. Juga para murid yang berkumpul mengelilingi ruangan itu turut memandang dengan hati tegang, akan tetapi juga ada rasa gembira di hati mereka karena seperti semua ahli silat di dunia ini, pertandingan yang paling menarik ialah pertandingan silat, apa lagi bagi mereka yang sekarang disuguhi pertandingan hebat dengan majunya Hoa-san Siang-sin-kiam melawan seorang pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong yang terkenal.
Karena merasa bahwa mereka berdua maju untuk menguji, apa lagi karena maklum atau dapat menduga akan kelihaian pemuda ini, maka Siang-sin-kiam mengusir rasa sungkan di hati akan kenyataan bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh besar Hoa-san-pai kini hendak mengeroyok seorang pemuda yang patut menjadi cucu murid mereka!
"Singgg…! Singgg…!"
Tampak sinar berkilat menyilauan mata saat kakak beradik ini mencabut pedang mereka. Kini mereka sudah berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda yang sama, dengan pedang pada tangan kanan melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari-jari disatukan menuding ke langit, lutut kaki kanan ditekuk di depan kaki kiri, mata mereka menatap tajam kepada Keng Hong.
Keng Hong maklum bahwa dua orang kakek ini sangat lihai ilmu pedangnya. Kalau tidak demikian masa mereka mendapat julukan Hoa-san Siang-sin-kiam? Mereka merupakan murid-murid utama dari Hoa-san-pai dan berkedudukan tinggi. Untuk dapat menimbulkan kesan baik dan membuktikan kesanggupannya, dia harus dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi mengalahkan mereka tanpa melukai, karena kalau hal ini terjadi tentu akan menimbulkan lagi perasaan bermusuh.
Dia mengerti pula bahwa sekali ini, dia bertanding melawan dua orang lihai di bawah pengawasan mata yang tajam dari ketua Hoa-san-pai dan tujuh orang murid kepala yang lain, maka sudah tentu saja dia tidak berani main-main dan berpura-pura karena hal ini kalau sampai ketahuan tentu menimbulkan kesan seakan-akan dia memandang rendah Hoa-san-pai. Jalan satu-satunya harus mengalahkan mereka dengan ilmu pedang yang lebih tinggi, dan hanya Siang-bhok-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menundukkan Sepasang Pedang Sakti ini.
"Maafkan saya!" katanya dan tangannya meraba ke dalam jubahnya. Pada lain saat dia telah mencabut Siang-bhok-kiam dan yang tampak hanya sinar hijau berkelebat berbareng tercium bau yang harum.
"Siang-bhok-kiam...!" Terdengar bisikan-bisikan yang hampir berbareng keluar dari mulut murid-murid Hoa-san-pai sehingga bisikan yang dilakukan banyak mulut murid-murid itu menjadi tidak lirih lagi.
Sesudah sinar hijau lenyap, yang nampak hanya sebatang pedang kayu di tangan Keng Hong, dan sebagus-bagusnya pedang kayu, tentu tidaklah seindah dan segagah pedang baja. Akan tetapi, begitu melihat pedang itu terpegang di tangan Keng Hong dan melihat pemuda itu membuat gerakan kuda-kuda pembukaan, Siang-sin-kiam mengikuti dengan pandang mata tajam dan penuh kewaspadaan.
Gerakan kuda-kuda Keng Hong merupakan gerakan pembukaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang luar biasa. Sepasang kaki pemuda itu terpentang dengan lutut ditekuk ke depan, Pedang Kayu Harum mula-mula menuding ke langit lalu perlahan-lahan dari atas kepala melingkari leher terus turun menuding bumi di depan kaki, sedangkan tangan kiri membentuk lingkaran yang berakhir di depan dada dengan sikap menyembah, telapak tangan miring dengan jari terbuka rapat.
"Cia Keng Hong, jaga serangan kami!" Coa Kiu berseru keras dan tiba-tiba saja dia dan Coa Bu sudah menerjang maju, pedangnya menusuk leher dan pedang adiknya menusuk pusar.
"Trang-tranggg...!"
Pedang Kayu Harum sudah menangkis kedua pedang itu sekaligus hingga kedua pedang itu terpental. Namun kakak beradik Coa itu adalah ahli-ahli pedang yang kenamaan dan banyak pengalaman. Sungguh pun dari getaran yang melewati pedang mereka itu jelas membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda ini seperti yang sudah mereka ketahui amat kuat, namun pedang mereka yang terpental itu mereka ikuti dengan tubuh, dan mereka kini berpencar ke kanan kiri. Cepat sekali datangnya penyerangannya itu, pedang Coa Kiu membabat kaki sedangkan pedang Coa Bu menusuk lambung.
"Sing-singggg...!"
Keng Hong tetap tenang, kakinya meloncat ke depan, tubuhnya membalik, cahaya hijau Siang-bhok-kiam membabat ke kanan kiri menangkis.
"Cring-cringgg...!"
Kembali dua kakek itu memutar tubuh karena pedang mereka terpental. Sekarang mereka berdiri saling berdekatan, pedang mereka diputar membentuk dua gulungan sinar yang menyilaukan, makin lama semakin cepat dan dua gulungan sinar itu lalu bersatu, menjadi segulung sinar yang tebal dan kuat, kemudian tubuh mereka berkelebat lenyap dan yang tampak hanyalah sinar pedang tebal meluncur ke arah Keng Hong.
Pemuda ini maklum bahwa ‘penyatuan’ sinar pedang dua kakek ini amat berbahaya dan inilah agaknya yang membuat nama Sepasang Pedang Sakti sangat terkenal. Ia pun lalu mengerahkan tenaganya dan mempercepat pemutaran pedang Siang-bhok-kiam hingga bayangan tubuhnya terbungkus sinar hijau yang meluncur dan menyambut sinar pedang putih yang mengeluarkan suara bercuitan itu.
Terjadilah pertandingan ilmu pedang sakti, yang tampak hanya gulungan putih dan hijau, suara bercuitan dan berdesing-desing diselingi suara ‘crang-cring-trang-tring!’ dan tampak pula bunga api kadang-kadang muncrat berhamburan.
Sesudah bertanding selama empat lima puluh jurus, Keng Hong maklum bahwa kalau dia menghendaki, dengan mudah dia akan mampu merobohkan kedua orang kakek ini. Akan tetapi dia tidak mau menyakitkan hati atau membuat malu dua orang kakek yang sudah memiliki nama besar di dunia kang-ouw ini.
Maka dia bersuit nyaring dan gerakannya dipercepat. Gulungan cahaya pedang berwarna hijau menjadi terang dan lebih panjang, membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan terus menghimpit serta membelit gulungan sinar putih dari pedang kedua kakek itu.
Kini tampak betapa Hoa-san Siang-sin-kiam mulai terdesak hebat dan hal ini dapat diikuti dengan pandang mata dan jelas oleh Bun Hoat Tosu dan para muridnya sehingga mereka menjadi kagum sekali. Akan tetapi para murid Hoa-san-pai yang berdiri di luar ruangan itu, yang ilmu kepandaiannya belum mencapai tingkat setinggi itu dan belum mempunyai ketajaman penglihatan sehingga sanggup mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat melihat tiga orang yang bertanding, hanya melihat gulungan-gulungan sinar pedang.
Bagi mereka, pertandingan ini hanya merupakan pertandingan hebat yang menegangkan di mana mereka melihat betapa gulungan cahaya pedang putih tidak sehebat tadi bahkan ada kalanya terpecah menjadi dua lalu bersatu lagi dan kemudian terpecah lagi, bahkan kadang-kadang terpisah makin jauh, dan keduanya digulung oleh sinar pedang hijau.
"Ji-wi Locianpwe, maafkan saya!" Tiba-tiba terdengar seruan Keng Hong.
Dan tampaklah dua orang kakek itu meloncat ke kanan kiri dengan muka pucat dan tanpa memegang pedang lagi, sedangkan Keng Hong berdiri di tengah-tengah dengan pedang Siang-bhok-kiam diputar-putar sedangkan dua batang pedang milik kakek itu menempel dan ikut berputaran pada ujung Siang-bhok-kiam. Kemudian, tiba-tiba dua batang pedang itu mencelat lantas meluncur ke arah pemiliknya masing-masing!
Coa Kiu dan Coa Bu menyambut pedang mereka dan menyimpannya kembali, kemudian menjura ke arah Keng Hong dan berkata,
"Kepandaianmu hebat, orang muda. Kami Hoa-san Siang-sin-kiam mengaku kalah."
Keng Hong sudah lebih dulu menjura dan dia cepat berkata, "Ahh, Ji-wi Locianpwe terlalu mengalah dan sungkan. Terima kasih atas pelajaran yang sudah diberikan kepada saya dan biarlah saya anggap bahwa saya telah lulus ujian."
Bun Hoat Tosu berkata, "Engkau telah lulus ujian, Cia-taihiap. Ilmu pedangmu memang benar-benar menakjubkan!"
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali mendengar dia disebut ‘taihiap’ (pendekar besar) oleh ketua Hoa-san-pai. Benar-benar penghormatan yang berlebihan! Cepat dia memberi hormat dan berkata,
"Locianpwe, harap jangan menyebut boanpwe dengan sebutan taihiap. Sebutan itu bukan didasarkan atas kepandaian, melainkan atas sepak terjang dan perbuatan seseorang, ada pun boanpwe adalah seorang yang sama sekali belum melakukan sesuatu yang penting. Selamat tinggal dan mudah-mudahan boanpwe akan dapat segera mengantarkan pedang pusaka Hoa-san-pai yang dahulu dipinjam oleh mendiang suhu. Ji-wi Siang-sin-kiam, ilmu pedang Ji-wi hebat bukan main, saya menyatakan kagum yang sedalam-dalamnya dan maafkan saya." Sesudah berkata demikian, Keng Hong melangkah keluar meninggalkan Hoa-san-pai diikuti pandang mata mereka. Keadaan di ruangan itu menjadi sunyi sekali.
Terdengar helaan napas Bun Hoat Tosu memecah kesunyian. "Ahhh, hebat sekali ilmu kepandaian bocah itu, benar-benar dia mewarisi ilmu dan kelihaian Sie Cun Hong taihiap. Kalian berdua tidak usah merasa penasaran dikalahkan olehnya, karena pinto sendiri pun mungkin tidak akan dapat mengalahkan dia dengan mudah."
Mendengar pengakuan ketua Hoa-san-pai ini, para anak murid Hoa-san-pai makin kagum kepada Keng Hong dan keadaan pemuda itu memberi dorongan kepada mereka supaya berlatih lebih giat lagi.
Sejak Kaisar Yung Lo mengalahkan keponakannya sendiri dalam perebutan kekuasaan dan naik tahta Kerajaan Beng pada tahun 1403, terjadilah perubahan besar yang menuju perbaikan keadaan pemerintah. Kaisar Yung Lo yang tadinya adalah seorang panglima perang, memegang tampuk kerajaan dengan tangan besi sesuai dengan jiwanya sebagai prajurit.
Segala macam bentuk korupsi dan penyalah gunaan wewenang diberantas, dan untuk menghindarkan pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh buruk tuan-tuan tanah yang ada pada masa lalu seolah-olah mencengkeram semua alat pemerintah dengan kekuasan uang sogokan dan suapan, maka Kaisar Yung Lo memindahkan ibu kota dari Nanking ke Peking di utara.
Ibu kota utara ini memang tempat di mana dia bertugas ketika masih menjadi panglima, memimpin barisan pertahanan di utara, maka tentu saja Kaisar Yung Lo lebih merasa ‘di tempat sendiri’ kalau berada di utara. Pembangunan besar-besaran dilakukan di ibu kota atau kota raja ini, pembangunan yang dikerjakan oleh banyak ahli seni bangunan yang didatangkan dari segenap penjuru tanah air. Istana yang besar-besar dan sangat indah dibangun sehingga Kota Raja Peking menjadi kota yang hebat dan indah luar biasa pada masa itu, dan terkenal di luar negeri sebagai kota terindah dan menakjubkan para musafir kelana yang datang dari segala penjuru dunia.
Tembok besar yang melintang di utara, yang menjadi keajaiban dunia dan membuktikan kehebatan hasil tenaga manusia (panjangnya ± 22500 mil), diperbaiki dan diperkuat. Juga Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Yang-tse-kiang dengan Sungai Huang-ho, yang belum selesai dibangun oleh beberapa kaisar Mongol, kini diteruskan dan diperbaiki kemudian diselesaikan pembangunannya.
Selain mengadakan pembangunan besar-besaran, juga Kaisar Yung Lo berusaha keras untuk meningkatkan kecerdasan kaum petani yang menjadi sebagian besar dari rakyat dengan jalan memerintahkan penyebar luasan kesusastraan dengan mencetak kitab-kitab pusaka lama dan ajaran-ajaran Khong-hu-cu sehingga kitab-kitab itu menjadi murah dan mudah didapatkan serta mudah dipelajari oleh rakyat, tidak seperti jaman sebelum itu di mana kitab-kitab hanya dapat dimiliki dan dipelajari oleh kaum ningrat dan hartawan saja.
Maka muncullah sastrawan-sastrawan dari kalangan rakyat miskin, dan mereka itu diberi kesempatan untuk meningkatkan hidup dengan jalan menempuh ujian-ujian yang setiap tahun diadakan di kota raja dan bagi siapa yang lulus akan diberi gelar siucai serta diberi kesempatan menduduki jabatan.
Kaisar Yung Lo memang bijaksana, tidak hanya di dalam hal kesusastraan di mana dia mencurahkan perhatiannya. Dia juga mempersilakan kaum terpelajar dan para sastrawan yang dahulu banyak yang dikejar-kejar sebagai pemberontak bila ada di antara mereka yang berani mengeritik istana, untuk datang membantu pemerintahannya dan memberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.
Di samping usaha memajukan kesusastraan dan kesenian, sebagai seorang kaisar bekas panglima, tentu saja kaisar ini tidak mengabaikan pertahanan dan dapat pula menghargai bantuan kaum persilatan. Maka Kaisar Yung Lo mengumumkan untuk membuka tangan kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang suka untuk membantunya, untuk diuji kepandaiannya dan diberi kedudukan pula, dari pengawal-pengawal istana sampai komandan-komandan pasukan, yang disesuaikan dengan tingkat kepandaian dan pengalaman masing-masing.
Dengan janji kedudukan tinggi, apa lagi waktu itu menjadi pengawal istana merupakan pangkat yang sangat besar kekuasaannya (biasanya pengawal lebih galak dan merasa lebih kuasa dari pada yang dikawal), banyaklah para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi datang ke kota raja untuk menghambakan diri kepada kaisar baru Kerajaan Beng ini.
Akan tetapi, tidaklah mudah untuk dapat diterima menjadi pengawal kaisar atau pengawal istana. Ujiannya terlampau berat. Ada tiga tingkat pengawal istana kaisar, yaitu tingkat pengawal istana kaisar yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi, tingkat kedua adalah pengawal istana bagian dalam, dan tingkat ke tiga adalah tingkat istana bagian luar. Agar bisa diterima menjadi pengawal-pengawal ini, para calon harus membuktikan kelihaiannya dengan mengalahkan penguji dari tiga tingkatan. Ternyata tidak mudah dan jarang sekali terdapat tokoh kang-ouw yang dapat mengalahkan atau menandingi para penguji ketiga tingkatan itu, apa lagi tingkat pertamanya!
Kaisar Yung Lo merasa perlu sekali menghimpun tenaga tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai untuk memperkuat barisannya karena dia memiliki cita-cita mengembangkan kekuasaan negara sampai jauh ke luar negeri, untuk menundukkan daerah-daerah barat dan selatan yang semenjak jatuhnya Kerajaan Mongol tak mau mengakui lagi kekuasaan pemerintah pusat.
Bahkan Kaisar Yung Lo bercita-cita lebih jauh lagi, yaitu mengirim pasukan-pasukan jauh menyeberangi lautan selatan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat mendatangkan keuntungan dan kebaikan bagi negaranya, karena dia mendengar selatan amat kaya akan rempah-rempah dan hasil buminya yang subur.
Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, datanglah dua orang muda yang amat menarik perhatian ke kota raja. Mereka ini menarik perhatian orang karena merupakan pasangan orang muda yang cantik jelita dan tampan perkasa.
Seorang wanita muda yang sukar ditaksir usianya, antara dua puluh dan tiga puluh tahun, berpakaian serba jambon, rambutnya yang hitam digelung ke atas dengan dihias burung hong kecil dari emas permata yang amat indah, di punggungnya terdapat sarung pedang dari emas pula, yang terukir indah sehingga hiasan ini mendatangkan sifat gagah pada kecantikannya.
Ada pun pria yang berjalan di sebelahnya juga sangat menarik perhatian orang. Pria ini usianya lebih kurang empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah. Pakaiannya mewah sekali, dari ujung rambut yang tersisir rapi dan licin mengkilap sampai ke ujung sepatunya yang baru dan mengkilap pula dapat diketahui bahwa dia adalah seorang pria pesolek yang amat menjaga diri dan pakaiannya agar selalu kelihatan tampan.
Dan memang pria itu berwajah tampan, berpandang mata penuh pikatan, senyumnya pun dapat meruntuhkan hati wanita yang batinnya kurang kuat. Seperti juga wanita muda di sebelahnya, di samping ketampanan serta kegantengannya, laki-laki ini kelihatan gagah dengan adanya pedang yang tergantung di pinggang, pedang yang sarungnya berwarna hitam dan terukir bunga-bunga teratai terbuat dari emas di gagang pedang dan sarungnya.
Wanita cantik jelita dan gagah itu bukan lain Bhe Cui Im, sedangkan pria di sebelahnya ini adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Cui Im yang mendengar pula akan pengumuman istana segera mempergunakan kesempatan ini untuk mengikuti ujian karena wanita yang haus kekuasaan ini menganggap bahwa cara yang paling tepat untuk menjadi nomor satu di dunia adalah menjadi jagoan nomor satu pula. Maka ia lalu mengajak sekutunya, Siauw Lek untuk datang ke kota raja.
Berbeda dengan sebagian tokoh kang-ouw di masa itu yang segan untuk memperlihatkan diri sehingga bisa terlibat dalam pertentangan, Cui Im dan Siauw Lek yang terlalu percaya kepada diri sendiri dan memandang rendah orang lain, secara terang-terangan bersikap sebagai ahli persilatan dengan lagak terbuka serta menantang! Maka tentu saja mereka lalu menarik banyak perhatian orang di kota raja dengan lagak mereka yang menginap di rumah penginapan terbesar, makan di rumah makan termewah dan hidup secara royal sekali.
Mereka berdua tidak tergesa-gesa mengunjungi tempat pendaftaran di istana, melainkan lebih dulu berpesiar di kota raja sampai tiga hari. Siauw Lek yang selalu taat dan tunduk kepada Cui Im, selama berada di kota raja tidak berani melakukan kebiasaannya, yaitu mengganggu wanita-wanita cantik.
"Kita menghendaki kedudukan tinggi sebagai pengawal kaisar, karena itu jangan merusak nama dengan perbuatan yang mengacaukan," kata Cui Im.
Siauw Lek tidak berani melanggar dan dia hanya menelan ludah saja setiap kali melihat puteri-puteri cantik yang banyak terdapat di kota raja, dan memuaskan nafsunya dengan berfoya-foya bersama wanita kelas satu di kota raja.
Tiga hari kemudian, barulah Cui Im dan Siauw Lek menghadap para petugas pendaftaran, yaitu perwira-perwira pengawal yang menerima semua pendaftaran dan kantornya berada di bangunan samping depan istana. Pagi itu tidak ada orang lain yang mendaftarkan diri, dan memang semakin lama makin berkuranglah para pendaftar sesudah terdengar berita betapa beratnya syarat-syarat ujian dan betapa sebagian besar para peserta gagal dalam menempuh ujian, tidak dapat menandingi kelihaian si penguji.
Belasan orang perwira yang bertugas di situ memandang Cui Im dengan mata terbelalak, penuh kekaguman dan keheranan. Apa bila yang datang mendaftarkan diri seorang pria seperti Siauw Lek, mereka tidak akan merasa heran, dan kalau seorang wanita tua yang banyak terdapat di kalangan tokoh kang-ouw mendaftarkan, mereka pun akan menerima hal ini sebagai hal wajar dan tidak aneh.
Akan tetapi seorang wanita muda dan cantik jelita seperti Cui Im datang mendaftarkan diri untuk menjadi pengawal! Sungguh hal ini membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi mereka adalah petugas-petugas yang langsung berada di bawah pengawasan istana dan berdisiplin, maka mereka menerima Siauw Lek dan Cui Im sebagaimana mestinya dan bertanya kepada dua orang ini hendak mendaftarkan untuk calon pengawal tingkat apa.
"Tentu saja tingkat pengawal kaisar, atau adakah tingkat yang lebih tinggi dari itu? Kalau ada, aku hendak mendaftar untuk tingkat yang lebih tinggi, tingkat yang paling tinggi," kata Cui Im dengan sikap sembarangan.
Para petugas yang sudah terheran-heran itu menjadi melongo saking herannya. Seorang di antara mereka yang bertugas menuliskan nama pendaftaran khawatir kalau dia salah dengar, maka kembali dia bertanya,
"Siapa yang mendaftar untuk tingkat pertama, sebagai calon pengawal kaisar, Saudara inikah?" Ia menuding ke arah Siauw Lek.
Siauw Lek tersenyum. "Kedua-duanya, Sobat. Kami berdua mendaftarkan untuk calon pengawal kaisar. Apakah tidak boleh?"
"Ah, boleh... boleh..., tentu saja boleh. Akan tetapi ujiannya amat berat dan salah-salah nyawa bisa melayang..."
"Kami sudah siap sedia untuk resiko itu," Cui Im menjawab, "dan harap catat bahwa aku mempunyai sebuah benda amat berharga yang hendak kupersembahkan kepada kaisar apa bila aku dapat lulus ujian dan menjadi pengawal kaisar."
"Di sini dilarang untuk menyuap dan menyogok, apa lagi terhadap kaisar!" Tiba-tiba saja perwira itu berkata tegas.
Cui Im bertolak pinggang, memandang tajam dan berkata lebih tegas lagi. "Siapa bicara tentang suap dan sogok? Aku akan memenangkan kedudukan pengawal kaisar dengan kepandaianku, akan kukalahkan pengujinya, dan tentang benda itu ketahuilah hai perwira yang lancang mulut, bahwa persembahanku itu adalah kitab Thai-yang Cin-keng. Orang berkedudukan rendah seperti engkau mungkin tak mengenalnya, akan tetapi aku merasa yakin bahwa kaisar akan mengenal kitab itu."
Para perwira itu diam-diam mendongkol akan tetapi terkejut juga. Dengan singkat dan tanpa banyak cakap supaya tidak menimbulkan keributan dengan orang-orang kang-ouw yang mereka tahu berwatak aneh-aneh itu, nama Siauw Lek dan Cui Im dicatat dan juga rumah penginapan mereka dicatat.
"Ji-wi (kalian berdua) akan dipanggil kalau saat ujian tiba."
Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan tempat itu dan sambil menanti panggilan itu mereka berdua lalu melihat-lihat pembangunan yang sedang dilakukan secara besar-besaran oleh kaisar. Tiada kunjung habis keheranan dan kekaguman mereka berdua akan kehebatan pembangunan itu sehingga mereka semakin bersemangat pula untuk mencari kedudukan menghambakan diri kepada kaisar yang luar biasa ini.
Para petugas memandang rendah karena Bhe Cui Im dan Siauw Lek mendaftarkan nama mereka tanpa julukan, akan tetapi pada waktu mereka menyebut tentang kitab Thai-yang Cin-keng, terkejutlah semua pegawai kaisar sehingga cepat-cepat mereka melaporkannya kepada kaisar.
Kaisar Yung Lo terkejut juga dan merasa girang sekali. Tentu saja dia sudah mengenal nama kitab Thai-yang Cin-keng ini, karena sejak dulu dia mencari-cari kitab ini. Thai-yang Cin-keng (Kitab Ilmu Barisan Matahari) adalah kitab pusaka ciptaan Raja Besar Jenghis Khan berisi ilmu dan siasat mengatur barisan. Mengingat akan hasil yang gilang gemilang dari bangsa Mongol di bawah bimbingan Jenghis Khan dahulu, dapat dibayangkan betapa pentingnya isi kitab ini bagi Kaisar Yung Lo yang berjiwa prajurit.
"Panggil mereka dan biar mereka diuji oleh pengawal nomor satu! Kami akan saksikan sendiri ujian ini!" berkata kaisar.
Dan sibuklah para pengawal mengatur untuk melaksanakan perintah ini. Dahulu memang kaisar sendiri sering menonton ujian kelihaian para calon pengawal, akan tetapi karena jarang sekali ada yang lulus, akhir-akhir ini kaisar jarang menonton. Hanya kalau ada calon yang namanya sudah terkenal, baru kaisar berkenan menonton karena memang menjadi sebuah di antara kesukaan Kaisar Yung Lo untuk menonton pertandingan silat, apa lagi dia sendiri adalah seorang ahli silat yang lihai. Kalau sekarang kaisar berkenan ingin menyaksikan sendiri ujian yang akan dilakukan terhadap Cui Im dan Siauw Lek, hal ini adalah karena kaisar amat tertarik mendengar bahwa wanita muda yang bernama Bhe Cui Im hendak mempersembahkan Thai-yang Cin-keng!
Pada waktu Cui Im dan Siauw Lek memenuhi panggilan menghadap ke istana, mereka memasuki halaman istana dengan sikap yang biasa saja, tidak kelihatan tegang sama sekali sehingga makin mengagumkan hati para pengawal yang menyambut mereka di pintu gerbang pertama.
Bhe Cui Im mengenakan pakaian berwarna merah muda yang ringkas dan ketat sehingga bentuk tubuhnya tampak membayang nyata. Rambutnya digelung ke atas dan diikat pita dengan erat, pinggangnya yang ramping memakai ikat pinggang dari sutera kuning yang panjang hingga ke depan jari kaki, pedangnya tergantung di punggung, dan dekat pedang itu tampak sebuah buntalan sutera kuning yang berisi kitab dan menempel di punggung.
Siauw Lek berpakaian gagah, pakaian seorang jago silat yang ringkas. Dua pergelangan tangannya dipasangi kulit hitam pelindung pergelangan, rambut kepalanya tertutup kain pengikat kepala yang dihias bunga teratai emas, pedangnya tergantung pada pinggang sebelah kiri, langkahnya tegap, dadanya bidang membusung ke depan, matanya berkilat dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir.
Cui Im dan Siauw Lek diantarkan masuk ke ruang sebelah samping kiri dan di sepanjang jalan memasuki ruangan itu, mereka berdua melihat barisan pengawal berdiri menjaga di kanan kiri. Para pengawal yang menjaga sebelah dalam istana ini merupakan pengawal-pengawal tingkat dua. Sikap mereka angker, dengan pandang mata penuh kewaspadaan menjaga segala kemungkinan untuk menjamin keamanan dalam istana.
Akan tetapi Cui Im dan Siauw Lek berjalan dengan sikap tenang, mengikuti petunjuk jalan yang kini berganti rombongan, yaitu rombongan pengawal dalam yang mengoper tugas dari pengawal luar yang tadi mengantar kedua orang itu. Rombongan pengawal dalam yang berjumlah enam orang ini terus membawa Cui Im dan Siauw Lek memasuki ruangan yang disediakan untuk menguji para calon pengawal tingkat satu atau pengawal pribadi kaisar.
Ruangan itu sangat luas dan ketika mereka memasuki ruangan itu, di sana kosong tidak tampak seorang pun manusia, kecuali beberapa orang pengawal dalam yang menjaga di setiap sudut dengan tombak di tangan seperti arca batu. Namun enam orang pengawal yang mengantar Cui Im dan Siauw Lek menjatuhkan diri berlutut menghadapi sebuah tirai yang berada di sebelah dalam.
Dari tempat itu dapat dilihat samar-samar bahwa di belakang tirai terdapat sebuah meja besar dan beberapa buah kursi. Akan tetapi di situ pun kosong.
"Harap Ji-wi suka berlutut untuk menghormat Sri Baginda Kaisar," bisik seorang di antara para pengawal kepada Cui Im dan Siauw Lek.
Tempat itu mendatangkan suasana angker dan penuh wibawa, maka mendengar bisikan ini Siauw Lek dan Cui Im menjatuhkan diri berlutut di samping enam orang pengawal itu menghadap ke arah tirai.
"Riiiiittt…!"
Tiba-tiba tirai itu terkuak ke kanan kiri sehingga tampaklah meja dan beberapa kursi di balik tirai, juga kini tempat itu menjadi terang sekali, agaknya ada bagian-bagian rahasia yang dibuka sehingga sinar matahari masuk memenuhi ruangan. Bagaikan setan-setan saja, tahu-tahu di kanan kiri meja itu sudah berdiri lima orang yang berpakaian pengawal, bertopi yang dihias bulu burung sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota Gi-lim-kun, pasukan pengawal pribadi kaisar!
Rata-rata mereka sudah berusia lima puluh tahun lebih, ada yang gemuk ada yang kurus, ada yang tinggi ada yang pendek sehingga mereka itu tidaklah kelihatan gagah perkasa seperti para pengawal istana dalam atau pengawal istana luar. Akan tetapi bagi pandang mata Cui Im dan Siauw Lek, mereka dapat melihat jelas bahwa lima anggota Gi-lim-kun itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Tiba-tiba terdengar aba-aba yang tidak jelas dari sebelah dalam, pintu terbuka dari dalam kemudian muncullah kaisar dikawal oleh tujuh orang anggota Gi-lim-kun. Kaisar Yung Lo berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya angker sekali. Sepasang alisnya yang tebal itu merupakan garis yang ujungnya naik ke atas, demikian pula kedua matanya yang tajam dan membayangkan kemauan keras. Hidungnya besar dan mulutnya yang juga membayangkan kekerasan hati itu terhias kumis yang dipotong pendek. Akan tetapi jenggotnya gemuk dan panjang sekali.
Wajah seorang gagah perkasa, seperti wajah pahlawan besar Kwan Kong! Akan tetapi pada saat itu kaisar tersenyum dan matanya memandang ramah ke arah kedua orang yang berlutut di atas lantai bersama enam orang pengawal.
"Kedua calon telah menghadap, Paduka Sri Baginda Kaisar yang mulia!" Salah seorang di antara pengawal dalam berkata, suaranya nyaring memecah kesunyian ruangan itu.
Kaisar memberi tanda dengan tangannya dan seorang di antara pengawal pribadi, yang tua berabut putih bertubuh tinggi kurus, berkata kepada para pengawal dalam,
"Para pengawal dalam boleh mundur!"
Enam orang pengawal itu meberi hormat, lalu bangkit dan mengundurkan diri, kembali ke pos mereka yang tadi. Pengawal berambut putih itu berkata lagi, kini ditujukan kepada Cui Im dan Siauw Lek,
"Kedua orang gagah diperkenankan bangkit berdiri oleh Sri Baginda Kaisar!"
Tempat, suasana, dan suara pengawal itu mendatangkan wibawa, dan Cui Im dan Siauw Lek segera memberi hormat sambil berlutut, kemudian bangkit berdiri menghadap ke arah kaisar. Betapa pun lihai mereka ini, merupakan petualang-petualang yang tidak pernah mengenal takut, akan tetapi wibawa yang keluar dari pribadi kaisar dan suasana tempat itu membuat denyut jantung mereka mengencang.
Sekarang mereka berdua dapat memandang jelas. Mereka tak berani memandang wajah kaisar secara langsung, akan tetapi diam-diam mereka memperhatikan dua belas orang pengawal kaisar itu. Ternyata tidak seorang pun di antara kedua belas orang pengawal ini memandang rendah, akan tetapi di hadapan kaisar yang mempunyai wibawa demikian hebat, tentu saja mereka berdua tidak berani banyak tingkah.
Setelah kaisar memandang wajah kedua orang itu, sebagai seorang yang bijaksana dan waspada, hati kaisar agak kecewa. Dia melihat sifat-sifat tidak baik pada diri kedua orang itu, akan tetapi juga dapat menangkap kelihaian yang terbayang pada tubuh dan wajah mereka.
Dia memerlukan tenaga mereka, dan soal sifat baik dan tidak baik, kekuasaannya akan dapat menundukkan mereka. Kuda-kuda yang liar memang berbahaya, akan tetapi sekali dapat menundukkan mereka, maka akan menjadi alat yang amat berguna karena tenaga mereka yang boleh diandalkan, demikian pikir kaisar yang cerdik ini.
"Siapa di antara kalian berdua yang kabarnya hendak mempersembahkan kitab Thai-yang Cin-keng kepada kami?" Kaisar bertanya, suaranya halus, akan tetapi mengandung dasar wibawa yang menggetarkan hati pendengarnya.
"Hamba Bhe Cui Im yang membawa persembahan itu untuk Paduka Sri Baginda," jawab Cui Im dengan muka tunduk.
Kaisar memandang tajam, tersenyum dan hatinya tidak percaya, akan tetapi ia berkata, "Wanita muda yang gagah, siapakah julukanmu di dunia kang-ouw?"
Biasanya, kalau ada orang menanyakan nama julukannya, Cui Im tentu akan memberi tahu dengan hati besar dan bangga. Akan tetapi sekali ini, ditanya langsung oleh kaisar sendiri, hatinya menjadi berdebar, dan suaranya tidak garang ketika menjawab, "Hamba... hamba... disebut Ang-kiam Bu-tek!"
"Pedang Merah Tanpa Tanding! Hemmm, tentu ilmu pedangmu hebat sekali. Bhe Cui Im, engkau berani menyebut kitab yang hendak kau persembahkan itu sebagai Thai-yang Cin-keng. Sudah yakin benarkah bahwa kitab itu tidak palsu?"
"Hamba bukan seorang ahli barisan, tentu saja hamba tidak dapat membedakan mana yang palsu dan mana yang tulen. Akan tetapi hamba dapat memperolehnya dari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."
"Ahhh! Kalau begitu, tentu saja tulen!" Kaisar berseru gembira.
Melihat kegembiraan kaisar, Cui Im cepat menurunkan buntalan kitab yang digendong di punggungnya dalam sutera kuning, lalu berlutut dan mengangkat tinggi-tinggi buntalan kitab itu sambil berkata,
"Hamba mempersembahkan kitab ini, mohon Paduka sudi menerima."
"Eh, Ang-kiam Bu-tek, bukankah engkau mengatakan pada para pengawal bahwa engkau akan mempersembahkan kitab itu kalau engkau telah berhasil lulus ujian?"
"Hamba yakin akan lulus," jawab Cui Im, sekarang dengan suara tegas, karena setelah bercakap-cakap dan mendengar suara kaisar itu ramah, kegentarannya agak berkurang.
Kaisar tersenyum lebar. "Engkau yakin? Pengawal tingkat mana yang hendak kau pilih?"
"Tingkat pertama, hamba ingin menjadi pengawal pribadi Paduka yang mulia."
"Ha-ha-ha! Engkau terlalu besar hati, Ang-kiam Bu-tek! Untuk menjadi pengawal pribadiku engkau harus mengalahkan pengawal kepala yang paling lihai di antara dua belas orang pengawal pribadiku ini. Dan engkau tak akan menang!"
"Mohon ampun, Sri Baginda. Hamba tidak sombong, akan tetapi hamba merasa yakin akan dapat mengalahkan pengawal Paduka yang mana pun juga."
"Wah, engkau benar-benar luar biasa. Hendak kulihat apakah kitab persembahanmu itu tidak palsu, kemudian akan kusaksikan pula apakah kesanggupanmu itupun bukan hanya kosong belaka!"
Kaisar memberi isyarat. Salah seorang di antara pengawalnya, yang berambut putih itu, lalu menuruni tangga, menghampiri Cui Im. Pengawal ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi yang sejak sebelum Kaisar Yung Lo menjadi kaisar telah menjadi pengawal pribadinya. Dia dahulunya adalah seorang tosu perantau yang sudah menjelajah di luar tembok besar daerah utara, mempelajari berbagai ilmu silat dari utara yang kemudian dia gabungkan dengan ilmu silat dari selatan.
Setelah menjadi pengawal Kaisar Yung Lo yang dahulu masih raja muda, dia melepaskan jubah tosu dan mempergunakan nama sendiri, yaitu Theng Kiu. Ilmu silat Theng Kiu ini tinggi dan sukar dicari bandingannya, akan tetapi karena dia tidak pernah terjun di dunia kang-ouw, melainkan menjadi pengawal setia, maka namanya tidak terkenal dalam dunia kang-ouw.
Ketika melihat sikap Cui Im yang sama sekali belum dikenalnya dan mendengar ucapan yang begitu yakin, dia menjadi tidak senang dan menganggap bahwa wanita ini sombong sekali. Di antara dua belas orang pengawal pribadi kaisar yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, orang-orang pilihan dari berbagai daerah yang sudah diuji kepandaian dan kesetiaannya, dia merupakan orang pertama dan boleh dibilang jago nomor satu kecuali lima orang ‘pengawal rahasia’ kaisar yang diangkat setelah junjungannya menjadi kaisar.
Kini ada seorang wanita muda, belum tiga puluh tahun usianya, menyatakan di hadapan kaisar bahwa wanita ini yakin akan dapat mengalahkan setiap orang pengawal pribadi kaisar. Alangkah sombongnya, dan dia menjadi penasaran sekali.
Ia merasa yakin bahwa dalam satu dua jurus saja dia akan mampu mengalahkan wanita itu! Maka ketika dia menerima isyarat kaisar untuk menerima persembahan kitab ilmu perang itu, dia langsung melangkah maju menghampiri Cui Im yang berlutut, kemudian menggerakkan tangan untuk menerima kitab yang terbungkus sutera kuning. Akan tetapi dalam melakukan gerakan ini dia telah mengerahkan tenaga sinkang-nya dengan maksud untuk membikin tergetar tangan Cui Im sehingga wanita itu akan melepaskan kitab jatuh ke lantai. Hal ini akan membuat malu wanita yang bersumbar akan mengalahkan semua pengawal pribadi kaisar.
Tadinya Cui Im akan menyerahkan kitab itu, akan tetapi begitu tangannya tergetar setelah kakek berambut putih itu menyetuh kitab, dia terkejut dan memandang tajam. Dilihatnya pengawal itu tersenyum mengejek, maka tahulah ia bahwa pengawal ini sengaja hendak ‘menguji’ dan membikin malu. Cui Im menjadi marah dan tanpa diketahui siapa pun dia mengerahkan sinkang-nya sambil mempererat pegangan jari tangannya pada kitab dalam bungkusan itu.
Kini giliran Theng Kiu yang kaget setengah mati. Tangan wanita itu sama sekali tidak menjadi lumpuh seperti lajimnya orang yang terkena serangan sinkang-nya, dan buku itu sama sekali tidak terlepas, bahkan begitu erat terpegang pada saat dia mencoba untuk mengambilnya. Kitab dalam bungkusan itu seolah-olah melekat di tangan Cui Im.
"Betul, Locianpwe. Dan sekali lagi saya bersumpah untuk melakukan hal yang Locianpwe sebutkan tadi."
"Cia Keng Hong, apakah engkau cukup mempunyai ilmu kepandaian untuk mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong tersenyum. Dia adalah seorang yang amat cerdik dan pertanyaan ini sudah cukup baginya untuk mengetahui apa yang dikehendaki Hoa-san Siang-sin-kiam, maka ia menjawab tanpa ragu-ragu, "Saya merasa yakin bahwa saya akan sanggup mengalahkan dia, Locianpwe."
"Bocah sombong! Apa bila engkau tidak sanggup membuktikan sekarang juga di depan Hoa-san-pai, maka jelas bahwa engkau tadi sudah menipu kami dengan kata-kata manis, muluk-muluk dan kosong belaka!" berkata pula Coa Kiu, di dalam suaranya mengandung kemenangan.
Keng Hong mengerti, akan tetapi pura-pura tidak mengerti dan bertanya, "Apakah yang Locianpwe maksudkan?"
"Nama Ang-kiam Bu-tek menjadi buah percakapan di dunia kang-ouw. Ia telah membunuh Thian Ti Hwesio dan Sin-to Gi-hiap, juga merobohkan banyak sekali tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi…"
"Saya dapat menambah lagi, Locianpwe," kata Keng Hong memotong kata-kata Coa Kiu, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im itu bahkan telah membunuh bekas gurunya sendiri, Lam-hai Sin-ni."
Semua orang kaget, bahkan Bun Hoat Tosu sendiri nampak tercengang. Coa Kiu segera melanjutkan ucapannya, "Nah, hal itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat dan jelas tingkat kepandaiannya melebihi tingkat kepandaian Hoa-san Siang-sin-kiam. Kami sendiri agaknya tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi engkau telah menyatakan keyakinanmu untuk mengalahkannya. Dapatkah engkau membuktikan kata-katamu itu sekarang juga?"
Keng Hong masih berpura-pura tidak mengerti. "Membuktikan dengan cara bagaimana, Locianpwe?"
"Dengan cara mengalahkan Hoa-san Siang-sin-kiam! Sudah jelas bahwa kepandaian kami masih lebih rendah dari pada Ang-kiam Bu-tek, maka kalau engkau sudah merasa yakin akan mampu mengalahkan dia, tentu saja engkau pun harus sanggup mengalahkan kami. Sebaliknya, bila terhadap kami saja engkau tidak dapat menang, apakah salah jika kami menganggap engkau sudah berani membohongi guru kami bahwa engkau akan dapat mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong pura-pura kaget dan bingung, kemudian dia menghadap ketua Hoa-san-pai sambil berkata, "Mohon pertimbangan dari Locianpwe yang bijaksana tentang tantangan Hoa-san Siang-sin-kiam ini. Locianpwe, saya datang menghadap Locianpwe dengan niat untuk menghabiskan segala permusuhan dan kesalah pahaman yang ada di antara kita, bagaimana mungkin saya berani menghadapi dua orang tokoh besar Hoa-san-pai dalam pertandingan? Bukankah hal ini akan membuat usaha dan maksud baik boanpwe menjadi sia-sia belaka?"
Bun Hoat Tosu tersenyum, kemudian berkata, "Tidak mengapa, orang muda. Apa yang diusulkan oleh kedua orang muridku memang benar, bukan sekali-kali untuk mengujimu karena tidak percaya. Engkau adalah murid tunggal Sin-jiu Kiam-ong, tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi sepeninggalmu, bagaimana hati kami akan dapat tenang dan yakin bahwa pusaka Hoa-san-pai akan dapat dikembalikan kalau kami tidak menyaksikan kelihaianmu lebih dahulu. Harap engkau jangan sungkan dan perlihatkanlah kepandaianmu dan keampuhan Siang-bhok-kiam kepada kami."
Keng Hong menjadi kagum. Ketua Hoa-san-pai ini benar-benar bijaksana. Jawabannya sekaligus menyadarkan kedua orang muridnya bahwa pertandingan ini hanya merupakan ujian dan sekaligus menarik kesempatan untuk menyaksikan kehebatan Siang-bhok-kiam dan ilmu pedangnya.
Ia pun kagum bahwa kakek tua renta ini sudah tahu bahwa dia membawa Pedang Kayu Harum itu, padahal pedang itu dia sembunyikan di balik jubahnya. Dia cepat memberi hormat dan berkata, "Baiklah kalau begitu, Locianpwe Ji-wi Hoa-san Siang-sin-kiam, saya telah siap menerima pelajaran Ji-wi!"
Lega hati kedua tokoh Hoa-san-pai itu. Mereka selalu merasa penasaran dan hal ini akan mengganggu hati mereka kalau mereka belum mencoba kelihaian murid tunggal Sin-jiu Kiam-ong yang selama beberapa tahun ini membuat mereka, seperti juga tokoh-tokoh lain di dunia kang-ouw, menjadi lelah badan dan kesal pikiran.
Sudah bertahun-tahun mereka ikut mengejar Keng Hong tanpa hasil, kini setelah pemuda itu muncul sendiri, malah demikian mudahnya dibebaskan. Mereka tentu akan penasaran dan gelisah kalau belum menguji kepandaian pemuda ini yang oleh guru mereka kini tidak dianggap musuh lagi, melainkan sahabat yang akan mencarikan kembali pedang pusaka Hoa-san-pai!
Kedua orang kakek itu melangkah ke tengah ruangan, diikuti oleh pandang mata ketua Hoa-san-pai serta tujuh orang murid kepala lainnya yang menjadi adik-adik seperguruan Hoa-san Siang-sin-kiam. Juga para murid yang berkumpul mengelilingi ruangan itu turut memandang dengan hati tegang, akan tetapi juga ada rasa gembira di hati mereka karena seperti semua ahli silat di dunia ini, pertandingan yang paling menarik ialah pertandingan silat, apa lagi bagi mereka yang sekarang disuguhi pertandingan hebat dengan majunya Hoa-san Siang-sin-kiam melawan seorang pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong yang terkenal.
Karena merasa bahwa mereka berdua maju untuk menguji, apa lagi karena maklum atau dapat menduga akan kelihaian pemuda ini, maka Siang-sin-kiam mengusir rasa sungkan di hati akan kenyataan bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh besar Hoa-san-pai kini hendak mengeroyok seorang pemuda yang patut menjadi cucu murid mereka!
"Singgg…! Singgg…!"
Tampak sinar berkilat menyilauan mata saat kakak beradik ini mencabut pedang mereka. Kini mereka sudah berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda yang sama, dengan pedang pada tangan kanan melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari-jari disatukan menuding ke langit, lutut kaki kanan ditekuk di depan kaki kiri, mata mereka menatap tajam kepada Keng Hong.
Keng Hong maklum bahwa dua orang kakek ini sangat lihai ilmu pedangnya. Kalau tidak demikian masa mereka mendapat julukan Hoa-san Siang-sin-kiam? Mereka merupakan murid-murid utama dari Hoa-san-pai dan berkedudukan tinggi. Untuk dapat menimbulkan kesan baik dan membuktikan kesanggupannya, dia harus dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi mengalahkan mereka tanpa melukai, karena kalau hal ini terjadi tentu akan menimbulkan lagi perasaan bermusuh.
Dia mengerti pula bahwa sekali ini, dia bertanding melawan dua orang lihai di bawah pengawasan mata yang tajam dari ketua Hoa-san-pai dan tujuh orang murid kepala yang lain, maka sudah tentu saja dia tidak berani main-main dan berpura-pura karena hal ini kalau sampai ketahuan tentu menimbulkan kesan seakan-akan dia memandang rendah Hoa-san-pai. Jalan satu-satunya harus mengalahkan mereka dengan ilmu pedang yang lebih tinggi, dan hanya Siang-bhok-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menundukkan Sepasang Pedang Sakti ini.
"Maafkan saya!" katanya dan tangannya meraba ke dalam jubahnya. Pada lain saat dia telah mencabut Siang-bhok-kiam dan yang tampak hanya sinar hijau berkelebat berbareng tercium bau yang harum.
"Siang-bhok-kiam...!" Terdengar bisikan-bisikan yang hampir berbareng keluar dari mulut murid-murid Hoa-san-pai sehingga bisikan yang dilakukan banyak mulut murid-murid itu menjadi tidak lirih lagi.
Sesudah sinar hijau lenyap, yang nampak hanya sebatang pedang kayu di tangan Keng Hong, dan sebagus-bagusnya pedang kayu, tentu tidaklah seindah dan segagah pedang baja. Akan tetapi, begitu melihat pedang itu terpegang di tangan Keng Hong dan melihat pemuda itu membuat gerakan kuda-kuda pembukaan, Siang-sin-kiam mengikuti dengan pandang mata tajam dan penuh kewaspadaan.
Gerakan kuda-kuda Keng Hong merupakan gerakan pembukaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang luar biasa. Sepasang kaki pemuda itu terpentang dengan lutut ditekuk ke depan, Pedang Kayu Harum mula-mula menuding ke langit lalu perlahan-lahan dari atas kepala melingkari leher terus turun menuding bumi di depan kaki, sedangkan tangan kiri membentuk lingkaran yang berakhir di depan dada dengan sikap menyembah, telapak tangan miring dengan jari terbuka rapat.
"Cia Keng Hong, jaga serangan kami!" Coa Kiu berseru keras dan tiba-tiba saja dia dan Coa Bu sudah menerjang maju, pedangnya menusuk leher dan pedang adiknya menusuk pusar.
"Trang-tranggg...!"
Pedang Kayu Harum sudah menangkis kedua pedang itu sekaligus hingga kedua pedang itu terpental. Namun kakak beradik Coa itu adalah ahli-ahli pedang yang kenamaan dan banyak pengalaman. Sungguh pun dari getaran yang melewati pedang mereka itu jelas membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda ini seperti yang sudah mereka ketahui amat kuat, namun pedang mereka yang terpental itu mereka ikuti dengan tubuh, dan mereka kini berpencar ke kanan kiri. Cepat sekali datangnya penyerangannya itu, pedang Coa Kiu membabat kaki sedangkan pedang Coa Bu menusuk lambung.
"Sing-singggg...!"
Keng Hong tetap tenang, kakinya meloncat ke depan, tubuhnya membalik, cahaya hijau Siang-bhok-kiam membabat ke kanan kiri menangkis.
"Cring-cringgg...!"
Kembali dua kakek itu memutar tubuh karena pedang mereka terpental. Sekarang mereka berdiri saling berdekatan, pedang mereka diputar membentuk dua gulungan sinar yang menyilaukan, makin lama semakin cepat dan dua gulungan sinar itu lalu bersatu, menjadi segulung sinar yang tebal dan kuat, kemudian tubuh mereka berkelebat lenyap dan yang tampak hanyalah sinar pedang tebal meluncur ke arah Keng Hong.
Pemuda ini maklum bahwa ‘penyatuan’ sinar pedang dua kakek ini amat berbahaya dan inilah agaknya yang membuat nama Sepasang Pedang Sakti sangat terkenal. Ia pun lalu mengerahkan tenaganya dan mempercepat pemutaran pedang Siang-bhok-kiam hingga bayangan tubuhnya terbungkus sinar hijau yang meluncur dan menyambut sinar pedang putih yang mengeluarkan suara bercuitan itu.
Terjadilah pertandingan ilmu pedang sakti, yang tampak hanya gulungan putih dan hijau, suara bercuitan dan berdesing-desing diselingi suara ‘crang-cring-trang-tring!’ dan tampak pula bunga api kadang-kadang muncrat berhamburan.
Sesudah bertanding selama empat lima puluh jurus, Keng Hong maklum bahwa kalau dia menghendaki, dengan mudah dia akan mampu merobohkan kedua orang kakek ini. Akan tetapi dia tidak mau menyakitkan hati atau membuat malu dua orang kakek yang sudah memiliki nama besar di dunia kang-ouw ini.
Maka dia bersuit nyaring dan gerakannya dipercepat. Gulungan cahaya pedang berwarna hijau menjadi terang dan lebih panjang, membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan terus menghimpit serta membelit gulungan sinar putih dari pedang kedua kakek itu.
Kini tampak betapa Hoa-san Siang-sin-kiam mulai terdesak hebat dan hal ini dapat diikuti dengan pandang mata dan jelas oleh Bun Hoat Tosu dan para muridnya sehingga mereka menjadi kagum sekali. Akan tetapi para murid Hoa-san-pai yang berdiri di luar ruangan itu, yang ilmu kepandaiannya belum mencapai tingkat setinggi itu dan belum mempunyai ketajaman penglihatan sehingga sanggup mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat melihat tiga orang yang bertanding, hanya melihat gulungan-gulungan sinar pedang.
Bagi mereka, pertandingan ini hanya merupakan pertandingan hebat yang menegangkan di mana mereka melihat betapa gulungan cahaya pedang putih tidak sehebat tadi bahkan ada kalanya terpecah menjadi dua lalu bersatu lagi dan kemudian terpecah lagi, bahkan kadang-kadang terpisah makin jauh, dan keduanya digulung oleh sinar pedang hijau.
"Ji-wi Locianpwe, maafkan saya!" Tiba-tiba terdengar seruan Keng Hong.
Dan tampaklah dua orang kakek itu meloncat ke kanan kiri dengan muka pucat dan tanpa memegang pedang lagi, sedangkan Keng Hong berdiri di tengah-tengah dengan pedang Siang-bhok-kiam diputar-putar sedangkan dua batang pedang milik kakek itu menempel dan ikut berputaran pada ujung Siang-bhok-kiam. Kemudian, tiba-tiba dua batang pedang itu mencelat lantas meluncur ke arah pemiliknya masing-masing!
Coa Kiu dan Coa Bu menyambut pedang mereka dan menyimpannya kembali, kemudian menjura ke arah Keng Hong dan berkata,
"Kepandaianmu hebat, orang muda. Kami Hoa-san Siang-sin-kiam mengaku kalah."
Keng Hong sudah lebih dulu menjura dan dia cepat berkata, "Ahh, Ji-wi Locianpwe terlalu mengalah dan sungkan. Terima kasih atas pelajaran yang sudah diberikan kepada saya dan biarlah saya anggap bahwa saya telah lulus ujian."
Bun Hoat Tosu berkata, "Engkau telah lulus ujian, Cia-taihiap. Ilmu pedangmu memang benar-benar menakjubkan!"
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali mendengar dia disebut ‘taihiap’ (pendekar besar) oleh ketua Hoa-san-pai. Benar-benar penghormatan yang berlebihan! Cepat dia memberi hormat dan berkata,
"Locianpwe, harap jangan menyebut boanpwe dengan sebutan taihiap. Sebutan itu bukan didasarkan atas kepandaian, melainkan atas sepak terjang dan perbuatan seseorang, ada pun boanpwe adalah seorang yang sama sekali belum melakukan sesuatu yang penting. Selamat tinggal dan mudah-mudahan boanpwe akan dapat segera mengantarkan pedang pusaka Hoa-san-pai yang dahulu dipinjam oleh mendiang suhu. Ji-wi Siang-sin-kiam, ilmu pedang Ji-wi hebat bukan main, saya menyatakan kagum yang sedalam-dalamnya dan maafkan saya." Sesudah berkata demikian, Keng Hong melangkah keluar meninggalkan Hoa-san-pai diikuti pandang mata mereka. Keadaan di ruangan itu menjadi sunyi sekali.
Terdengar helaan napas Bun Hoat Tosu memecah kesunyian. "Ahhh, hebat sekali ilmu kepandaian bocah itu, benar-benar dia mewarisi ilmu dan kelihaian Sie Cun Hong taihiap. Kalian berdua tidak usah merasa penasaran dikalahkan olehnya, karena pinto sendiri pun mungkin tidak akan dapat mengalahkan dia dengan mudah."
Mendengar pengakuan ketua Hoa-san-pai ini, para anak murid Hoa-san-pai makin kagum kepada Keng Hong dan keadaan pemuda itu memberi dorongan kepada mereka supaya berlatih lebih giat lagi.
********************
Sejak Kaisar Yung Lo mengalahkan keponakannya sendiri dalam perebutan kekuasaan dan naik tahta Kerajaan Beng pada tahun 1403, terjadilah perubahan besar yang menuju perbaikan keadaan pemerintah. Kaisar Yung Lo yang tadinya adalah seorang panglima perang, memegang tampuk kerajaan dengan tangan besi sesuai dengan jiwanya sebagai prajurit.
Segala macam bentuk korupsi dan penyalah gunaan wewenang diberantas, dan untuk menghindarkan pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh buruk tuan-tuan tanah yang ada pada masa lalu seolah-olah mencengkeram semua alat pemerintah dengan kekuasan uang sogokan dan suapan, maka Kaisar Yung Lo memindahkan ibu kota dari Nanking ke Peking di utara.
Ibu kota utara ini memang tempat di mana dia bertugas ketika masih menjadi panglima, memimpin barisan pertahanan di utara, maka tentu saja Kaisar Yung Lo lebih merasa ‘di tempat sendiri’ kalau berada di utara. Pembangunan besar-besaran dilakukan di ibu kota atau kota raja ini, pembangunan yang dikerjakan oleh banyak ahli seni bangunan yang didatangkan dari segenap penjuru tanah air. Istana yang besar-besar dan sangat indah dibangun sehingga Kota Raja Peking menjadi kota yang hebat dan indah luar biasa pada masa itu, dan terkenal di luar negeri sebagai kota terindah dan menakjubkan para musafir kelana yang datang dari segala penjuru dunia.
Tembok besar yang melintang di utara, yang menjadi keajaiban dunia dan membuktikan kehebatan hasil tenaga manusia (panjangnya ± 22500 mil), diperbaiki dan diperkuat. Juga Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Yang-tse-kiang dengan Sungai Huang-ho, yang belum selesai dibangun oleh beberapa kaisar Mongol, kini diteruskan dan diperbaiki kemudian diselesaikan pembangunannya.
Selain mengadakan pembangunan besar-besaran, juga Kaisar Yung Lo berusaha keras untuk meningkatkan kecerdasan kaum petani yang menjadi sebagian besar dari rakyat dengan jalan memerintahkan penyebar luasan kesusastraan dengan mencetak kitab-kitab pusaka lama dan ajaran-ajaran Khong-hu-cu sehingga kitab-kitab itu menjadi murah dan mudah didapatkan serta mudah dipelajari oleh rakyat, tidak seperti jaman sebelum itu di mana kitab-kitab hanya dapat dimiliki dan dipelajari oleh kaum ningrat dan hartawan saja.
Maka muncullah sastrawan-sastrawan dari kalangan rakyat miskin, dan mereka itu diberi kesempatan untuk meningkatkan hidup dengan jalan menempuh ujian-ujian yang setiap tahun diadakan di kota raja dan bagi siapa yang lulus akan diberi gelar siucai serta diberi kesempatan menduduki jabatan.
Kaisar Yung Lo memang bijaksana, tidak hanya di dalam hal kesusastraan di mana dia mencurahkan perhatiannya. Dia juga mempersilakan kaum terpelajar dan para sastrawan yang dahulu banyak yang dikejar-kejar sebagai pemberontak bila ada di antara mereka yang berani mengeritik istana, untuk datang membantu pemerintahannya dan memberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.
Di samping usaha memajukan kesusastraan dan kesenian, sebagai seorang kaisar bekas panglima, tentu saja kaisar ini tidak mengabaikan pertahanan dan dapat pula menghargai bantuan kaum persilatan. Maka Kaisar Yung Lo mengumumkan untuk membuka tangan kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang suka untuk membantunya, untuk diuji kepandaiannya dan diberi kedudukan pula, dari pengawal-pengawal istana sampai komandan-komandan pasukan, yang disesuaikan dengan tingkat kepandaian dan pengalaman masing-masing.
Dengan janji kedudukan tinggi, apa lagi waktu itu menjadi pengawal istana merupakan pangkat yang sangat besar kekuasaannya (biasanya pengawal lebih galak dan merasa lebih kuasa dari pada yang dikawal), banyaklah para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi datang ke kota raja untuk menghambakan diri kepada kaisar baru Kerajaan Beng ini.
Akan tetapi, tidaklah mudah untuk dapat diterima menjadi pengawal kaisar atau pengawal istana. Ujiannya terlampau berat. Ada tiga tingkat pengawal istana kaisar, yaitu tingkat pengawal istana kaisar yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi, tingkat kedua adalah pengawal istana bagian dalam, dan tingkat ke tiga adalah tingkat istana bagian luar. Agar bisa diterima menjadi pengawal-pengawal ini, para calon harus membuktikan kelihaiannya dengan mengalahkan penguji dari tiga tingkatan. Ternyata tidak mudah dan jarang sekali terdapat tokoh kang-ouw yang dapat mengalahkan atau menandingi para penguji ketiga tingkatan itu, apa lagi tingkat pertamanya!
Kaisar Yung Lo merasa perlu sekali menghimpun tenaga tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai untuk memperkuat barisannya karena dia memiliki cita-cita mengembangkan kekuasaan negara sampai jauh ke luar negeri, untuk menundukkan daerah-daerah barat dan selatan yang semenjak jatuhnya Kerajaan Mongol tak mau mengakui lagi kekuasaan pemerintah pusat.
Bahkan Kaisar Yung Lo bercita-cita lebih jauh lagi, yaitu mengirim pasukan-pasukan jauh menyeberangi lautan selatan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat mendatangkan keuntungan dan kebaikan bagi negaranya, karena dia mendengar selatan amat kaya akan rempah-rempah dan hasil buminya yang subur.
********************
Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, datanglah dua orang muda yang amat menarik perhatian ke kota raja. Mereka ini menarik perhatian orang karena merupakan pasangan orang muda yang cantik jelita dan tampan perkasa.
Seorang wanita muda yang sukar ditaksir usianya, antara dua puluh dan tiga puluh tahun, berpakaian serba jambon, rambutnya yang hitam digelung ke atas dengan dihias burung hong kecil dari emas permata yang amat indah, di punggungnya terdapat sarung pedang dari emas pula, yang terukir indah sehingga hiasan ini mendatangkan sifat gagah pada kecantikannya.
Ada pun pria yang berjalan di sebelahnya juga sangat menarik perhatian orang. Pria ini usianya lebih kurang empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah. Pakaiannya mewah sekali, dari ujung rambut yang tersisir rapi dan licin mengkilap sampai ke ujung sepatunya yang baru dan mengkilap pula dapat diketahui bahwa dia adalah seorang pria pesolek yang amat menjaga diri dan pakaiannya agar selalu kelihatan tampan.
Dan memang pria itu berwajah tampan, berpandang mata penuh pikatan, senyumnya pun dapat meruntuhkan hati wanita yang batinnya kurang kuat. Seperti juga wanita muda di sebelahnya, di samping ketampanan serta kegantengannya, laki-laki ini kelihatan gagah dengan adanya pedang yang tergantung di pinggang, pedang yang sarungnya berwarna hitam dan terukir bunga-bunga teratai terbuat dari emas di gagang pedang dan sarungnya.
Wanita cantik jelita dan gagah itu bukan lain Bhe Cui Im, sedangkan pria di sebelahnya ini adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Cui Im yang mendengar pula akan pengumuman istana segera mempergunakan kesempatan ini untuk mengikuti ujian karena wanita yang haus kekuasaan ini menganggap bahwa cara yang paling tepat untuk menjadi nomor satu di dunia adalah menjadi jagoan nomor satu pula. Maka ia lalu mengajak sekutunya, Siauw Lek untuk datang ke kota raja.
Berbeda dengan sebagian tokoh kang-ouw di masa itu yang segan untuk memperlihatkan diri sehingga bisa terlibat dalam pertentangan, Cui Im dan Siauw Lek yang terlalu percaya kepada diri sendiri dan memandang rendah orang lain, secara terang-terangan bersikap sebagai ahli persilatan dengan lagak terbuka serta menantang! Maka tentu saja mereka lalu menarik banyak perhatian orang di kota raja dengan lagak mereka yang menginap di rumah penginapan terbesar, makan di rumah makan termewah dan hidup secara royal sekali.
Mereka berdua tidak tergesa-gesa mengunjungi tempat pendaftaran di istana, melainkan lebih dulu berpesiar di kota raja sampai tiga hari. Siauw Lek yang selalu taat dan tunduk kepada Cui Im, selama berada di kota raja tidak berani melakukan kebiasaannya, yaitu mengganggu wanita-wanita cantik.
"Kita menghendaki kedudukan tinggi sebagai pengawal kaisar, karena itu jangan merusak nama dengan perbuatan yang mengacaukan," kata Cui Im.
Siauw Lek tidak berani melanggar dan dia hanya menelan ludah saja setiap kali melihat puteri-puteri cantik yang banyak terdapat di kota raja, dan memuaskan nafsunya dengan berfoya-foya bersama wanita kelas satu di kota raja.
Tiga hari kemudian, barulah Cui Im dan Siauw Lek menghadap para petugas pendaftaran, yaitu perwira-perwira pengawal yang menerima semua pendaftaran dan kantornya berada di bangunan samping depan istana. Pagi itu tidak ada orang lain yang mendaftarkan diri, dan memang semakin lama makin berkuranglah para pendaftar sesudah terdengar berita betapa beratnya syarat-syarat ujian dan betapa sebagian besar para peserta gagal dalam menempuh ujian, tidak dapat menandingi kelihaian si penguji.
Belasan orang perwira yang bertugas di situ memandang Cui Im dengan mata terbelalak, penuh kekaguman dan keheranan. Apa bila yang datang mendaftarkan diri seorang pria seperti Siauw Lek, mereka tidak akan merasa heran, dan kalau seorang wanita tua yang banyak terdapat di kalangan tokoh kang-ouw mendaftarkan, mereka pun akan menerima hal ini sebagai hal wajar dan tidak aneh.
Akan tetapi seorang wanita muda dan cantik jelita seperti Cui Im datang mendaftarkan diri untuk menjadi pengawal! Sungguh hal ini membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi mereka adalah petugas-petugas yang langsung berada di bawah pengawasan istana dan berdisiplin, maka mereka menerima Siauw Lek dan Cui Im sebagaimana mestinya dan bertanya kepada dua orang ini hendak mendaftarkan untuk calon pengawal tingkat apa.
"Tentu saja tingkat pengawal kaisar, atau adakah tingkat yang lebih tinggi dari itu? Kalau ada, aku hendak mendaftar untuk tingkat yang lebih tinggi, tingkat yang paling tinggi," kata Cui Im dengan sikap sembarangan.
Para petugas yang sudah terheran-heran itu menjadi melongo saking herannya. Seorang di antara mereka yang bertugas menuliskan nama pendaftaran khawatir kalau dia salah dengar, maka kembali dia bertanya,
"Siapa yang mendaftar untuk tingkat pertama, sebagai calon pengawal kaisar, Saudara inikah?" Ia menuding ke arah Siauw Lek.
Siauw Lek tersenyum. "Kedua-duanya, Sobat. Kami berdua mendaftarkan untuk calon pengawal kaisar. Apakah tidak boleh?"
"Ah, boleh... boleh..., tentu saja boleh. Akan tetapi ujiannya amat berat dan salah-salah nyawa bisa melayang..."
"Kami sudah siap sedia untuk resiko itu," Cui Im menjawab, "dan harap catat bahwa aku mempunyai sebuah benda amat berharga yang hendak kupersembahkan kepada kaisar apa bila aku dapat lulus ujian dan menjadi pengawal kaisar."
"Di sini dilarang untuk menyuap dan menyogok, apa lagi terhadap kaisar!" Tiba-tiba saja perwira itu berkata tegas.
Cui Im bertolak pinggang, memandang tajam dan berkata lebih tegas lagi. "Siapa bicara tentang suap dan sogok? Aku akan memenangkan kedudukan pengawal kaisar dengan kepandaianku, akan kukalahkan pengujinya, dan tentang benda itu ketahuilah hai perwira yang lancang mulut, bahwa persembahanku itu adalah kitab Thai-yang Cin-keng. Orang berkedudukan rendah seperti engkau mungkin tak mengenalnya, akan tetapi aku merasa yakin bahwa kaisar akan mengenal kitab itu."
Para perwira itu diam-diam mendongkol akan tetapi terkejut juga. Dengan singkat dan tanpa banyak cakap supaya tidak menimbulkan keributan dengan orang-orang kang-ouw yang mereka tahu berwatak aneh-aneh itu, nama Siauw Lek dan Cui Im dicatat dan juga rumah penginapan mereka dicatat.
"Ji-wi (kalian berdua) akan dipanggil kalau saat ujian tiba."
Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan tempat itu dan sambil menanti panggilan itu mereka berdua lalu melihat-lihat pembangunan yang sedang dilakukan secara besar-besaran oleh kaisar. Tiada kunjung habis keheranan dan kekaguman mereka berdua akan kehebatan pembangunan itu sehingga mereka semakin bersemangat pula untuk mencari kedudukan menghambakan diri kepada kaisar yang luar biasa ini.
Para petugas memandang rendah karena Bhe Cui Im dan Siauw Lek mendaftarkan nama mereka tanpa julukan, akan tetapi pada waktu mereka menyebut tentang kitab Thai-yang Cin-keng, terkejutlah semua pegawai kaisar sehingga cepat-cepat mereka melaporkannya kepada kaisar.
Kaisar Yung Lo terkejut juga dan merasa girang sekali. Tentu saja dia sudah mengenal nama kitab Thai-yang Cin-keng ini, karena sejak dulu dia mencari-cari kitab ini. Thai-yang Cin-keng (Kitab Ilmu Barisan Matahari) adalah kitab pusaka ciptaan Raja Besar Jenghis Khan berisi ilmu dan siasat mengatur barisan. Mengingat akan hasil yang gilang gemilang dari bangsa Mongol di bawah bimbingan Jenghis Khan dahulu, dapat dibayangkan betapa pentingnya isi kitab ini bagi Kaisar Yung Lo yang berjiwa prajurit.
"Panggil mereka dan biar mereka diuji oleh pengawal nomor satu! Kami akan saksikan sendiri ujian ini!" berkata kaisar.
Dan sibuklah para pengawal mengatur untuk melaksanakan perintah ini. Dahulu memang kaisar sendiri sering menonton ujian kelihaian para calon pengawal, akan tetapi karena jarang sekali ada yang lulus, akhir-akhir ini kaisar jarang menonton. Hanya kalau ada calon yang namanya sudah terkenal, baru kaisar berkenan menonton karena memang menjadi sebuah di antara kesukaan Kaisar Yung Lo untuk menonton pertandingan silat, apa lagi dia sendiri adalah seorang ahli silat yang lihai. Kalau sekarang kaisar berkenan ingin menyaksikan sendiri ujian yang akan dilakukan terhadap Cui Im dan Siauw Lek, hal ini adalah karena kaisar amat tertarik mendengar bahwa wanita muda yang bernama Bhe Cui Im hendak mempersembahkan Thai-yang Cin-keng!
Pada waktu Cui Im dan Siauw Lek memenuhi panggilan menghadap ke istana, mereka memasuki halaman istana dengan sikap yang biasa saja, tidak kelihatan tegang sama sekali sehingga makin mengagumkan hati para pengawal yang menyambut mereka di pintu gerbang pertama.
Bhe Cui Im mengenakan pakaian berwarna merah muda yang ringkas dan ketat sehingga bentuk tubuhnya tampak membayang nyata. Rambutnya digelung ke atas dan diikat pita dengan erat, pinggangnya yang ramping memakai ikat pinggang dari sutera kuning yang panjang hingga ke depan jari kaki, pedangnya tergantung di punggung, dan dekat pedang itu tampak sebuah buntalan sutera kuning yang berisi kitab dan menempel di punggung.
Siauw Lek berpakaian gagah, pakaian seorang jago silat yang ringkas. Dua pergelangan tangannya dipasangi kulit hitam pelindung pergelangan, rambut kepalanya tertutup kain pengikat kepala yang dihias bunga teratai emas, pedangnya tergantung pada pinggang sebelah kiri, langkahnya tegap, dadanya bidang membusung ke depan, matanya berkilat dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir.
Cui Im dan Siauw Lek diantarkan masuk ke ruang sebelah samping kiri dan di sepanjang jalan memasuki ruangan itu, mereka berdua melihat barisan pengawal berdiri menjaga di kanan kiri. Para pengawal yang menjaga sebelah dalam istana ini merupakan pengawal-pengawal tingkat dua. Sikap mereka angker, dengan pandang mata penuh kewaspadaan menjaga segala kemungkinan untuk menjamin keamanan dalam istana.
Akan tetapi Cui Im dan Siauw Lek berjalan dengan sikap tenang, mengikuti petunjuk jalan yang kini berganti rombongan, yaitu rombongan pengawal dalam yang mengoper tugas dari pengawal luar yang tadi mengantar kedua orang itu. Rombongan pengawal dalam yang berjumlah enam orang ini terus membawa Cui Im dan Siauw Lek memasuki ruangan yang disediakan untuk menguji para calon pengawal tingkat satu atau pengawal pribadi kaisar.
Ruangan itu sangat luas dan ketika mereka memasuki ruangan itu, di sana kosong tidak tampak seorang pun manusia, kecuali beberapa orang pengawal dalam yang menjaga di setiap sudut dengan tombak di tangan seperti arca batu. Namun enam orang pengawal yang mengantar Cui Im dan Siauw Lek menjatuhkan diri berlutut menghadapi sebuah tirai yang berada di sebelah dalam.
Dari tempat itu dapat dilihat samar-samar bahwa di belakang tirai terdapat sebuah meja besar dan beberapa buah kursi. Akan tetapi di situ pun kosong.
"Harap Ji-wi suka berlutut untuk menghormat Sri Baginda Kaisar," bisik seorang di antara para pengawal kepada Cui Im dan Siauw Lek.
Tempat itu mendatangkan suasana angker dan penuh wibawa, maka mendengar bisikan ini Siauw Lek dan Cui Im menjatuhkan diri berlutut di samping enam orang pengawal itu menghadap ke arah tirai.
"Riiiiittt…!"
Tiba-tiba tirai itu terkuak ke kanan kiri sehingga tampaklah meja dan beberapa kursi di balik tirai, juga kini tempat itu menjadi terang sekali, agaknya ada bagian-bagian rahasia yang dibuka sehingga sinar matahari masuk memenuhi ruangan. Bagaikan setan-setan saja, tahu-tahu di kanan kiri meja itu sudah berdiri lima orang yang berpakaian pengawal, bertopi yang dihias bulu burung sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota Gi-lim-kun, pasukan pengawal pribadi kaisar!
Rata-rata mereka sudah berusia lima puluh tahun lebih, ada yang gemuk ada yang kurus, ada yang tinggi ada yang pendek sehingga mereka itu tidaklah kelihatan gagah perkasa seperti para pengawal istana dalam atau pengawal istana luar. Akan tetapi bagi pandang mata Cui Im dan Siauw Lek, mereka dapat melihat jelas bahwa lima anggota Gi-lim-kun itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Tiba-tiba terdengar aba-aba yang tidak jelas dari sebelah dalam, pintu terbuka dari dalam kemudian muncullah kaisar dikawal oleh tujuh orang anggota Gi-lim-kun. Kaisar Yung Lo berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya angker sekali. Sepasang alisnya yang tebal itu merupakan garis yang ujungnya naik ke atas, demikian pula kedua matanya yang tajam dan membayangkan kemauan keras. Hidungnya besar dan mulutnya yang juga membayangkan kekerasan hati itu terhias kumis yang dipotong pendek. Akan tetapi jenggotnya gemuk dan panjang sekali.
Wajah seorang gagah perkasa, seperti wajah pahlawan besar Kwan Kong! Akan tetapi pada saat itu kaisar tersenyum dan matanya memandang ramah ke arah kedua orang yang berlutut di atas lantai bersama enam orang pengawal.
"Kedua calon telah menghadap, Paduka Sri Baginda Kaisar yang mulia!" Salah seorang di antara pengawal dalam berkata, suaranya nyaring memecah kesunyian ruangan itu.
Kaisar memberi tanda dengan tangannya dan seorang di antara pengawal pribadi, yang tua berabut putih bertubuh tinggi kurus, berkata kepada para pengawal dalam,
"Para pengawal dalam boleh mundur!"
Enam orang pengawal itu meberi hormat, lalu bangkit dan mengundurkan diri, kembali ke pos mereka yang tadi. Pengawal berambut putih itu berkata lagi, kini ditujukan kepada Cui Im dan Siauw Lek,
"Kedua orang gagah diperkenankan bangkit berdiri oleh Sri Baginda Kaisar!"
Tempat, suasana, dan suara pengawal itu mendatangkan wibawa, dan Cui Im dan Siauw Lek segera memberi hormat sambil berlutut, kemudian bangkit berdiri menghadap ke arah kaisar. Betapa pun lihai mereka ini, merupakan petualang-petualang yang tidak pernah mengenal takut, akan tetapi wibawa yang keluar dari pribadi kaisar dan suasana tempat itu membuat denyut jantung mereka mengencang.
Sekarang mereka berdua dapat memandang jelas. Mereka tak berani memandang wajah kaisar secara langsung, akan tetapi diam-diam mereka memperhatikan dua belas orang pengawal kaisar itu. Ternyata tidak seorang pun di antara kedua belas orang pengawal ini memandang rendah, akan tetapi di hadapan kaisar yang mempunyai wibawa demikian hebat, tentu saja mereka berdua tidak berani banyak tingkah.
Setelah kaisar memandang wajah kedua orang itu, sebagai seorang yang bijaksana dan waspada, hati kaisar agak kecewa. Dia melihat sifat-sifat tidak baik pada diri kedua orang itu, akan tetapi juga dapat menangkap kelihaian yang terbayang pada tubuh dan wajah mereka.
Dia memerlukan tenaga mereka, dan soal sifat baik dan tidak baik, kekuasaannya akan dapat menundukkan mereka. Kuda-kuda yang liar memang berbahaya, akan tetapi sekali dapat menundukkan mereka, maka akan menjadi alat yang amat berguna karena tenaga mereka yang boleh diandalkan, demikian pikir kaisar yang cerdik ini.
"Siapa di antara kalian berdua yang kabarnya hendak mempersembahkan kitab Thai-yang Cin-keng kepada kami?" Kaisar bertanya, suaranya halus, akan tetapi mengandung dasar wibawa yang menggetarkan hati pendengarnya.
"Hamba Bhe Cui Im yang membawa persembahan itu untuk Paduka Sri Baginda," jawab Cui Im dengan muka tunduk.
Kaisar memandang tajam, tersenyum dan hatinya tidak percaya, akan tetapi ia berkata, "Wanita muda yang gagah, siapakah julukanmu di dunia kang-ouw?"
Biasanya, kalau ada orang menanyakan nama julukannya, Cui Im tentu akan memberi tahu dengan hati besar dan bangga. Akan tetapi sekali ini, ditanya langsung oleh kaisar sendiri, hatinya menjadi berdebar, dan suaranya tidak garang ketika menjawab, "Hamba... hamba... disebut Ang-kiam Bu-tek!"
"Pedang Merah Tanpa Tanding! Hemmm, tentu ilmu pedangmu hebat sekali. Bhe Cui Im, engkau berani menyebut kitab yang hendak kau persembahkan itu sebagai Thai-yang Cin-keng. Sudah yakin benarkah bahwa kitab itu tidak palsu?"
"Hamba bukan seorang ahli barisan, tentu saja hamba tidak dapat membedakan mana yang palsu dan mana yang tulen. Akan tetapi hamba dapat memperolehnya dari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."
"Ahhh! Kalau begitu, tentu saja tulen!" Kaisar berseru gembira.
Melihat kegembiraan kaisar, Cui Im cepat menurunkan buntalan kitab yang digendong di punggungnya dalam sutera kuning, lalu berlutut dan mengangkat tinggi-tinggi buntalan kitab itu sambil berkata,
"Hamba mempersembahkan kitab ini, mohon Paduka sudi menerima."
"Eh, Ang-kiam Bu-tek, bukankah engkau mengatakan pada para pengawal bahwa engkau akan mempersembahkan kitab itu kalau engkau telah berhasil lulus ujian?"
"Hamba yakin akan lulus," jawab Cui Im, sekarang dengan suara tegas, karena setelah bercakap-cakap dan mendengar suara kaisar itu ramah, kegentarannya agak berkurang.
Kaisar tersenyum lebar. "Engkau yakin? Pengawal tingkat mana yang hendak kau pilih?"
"Tingkat pertama, hamba ingin menjadi pengawal pribadi Paduka yang mulia."
"Ha-ha-ha! Engkau terlalu besar hati, Ang-kiam Bu-tek! Untuk menjadi pengawal pribadiku engkau harus mengalahkan pengawal kepala yang paling lihai di antara dua belas orang pengawal pribadiku ini. Dan engkau tak akan menang!"
"Mohon ampun, Sri Baginda. Hamba tidak sombong, akan tetapi hamba merasa yakin akan dapat mengalahkan pengawal Paduka yang mana pun juga."
"Wah, engkau benar-benar luar biasa. Hendak kulihat apakah kitab persembahanmu itu tidak palsu, kemudian akan kusaksikan pula apakah kesanggupanmu itupun bukan hanya kosong belaka!"
Kaisar memberi isyarat. Salah seorang di antara pengawalnya, yang berambut putih itu, lalu menuruni tangga, menghampiri Cui Im. Pengawal ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi yang sejak sebelum Kaisar Yung Lo menjadi kaisar telah menjadi pengawal pribadinya. Dia dahulunya adalah seorang tosu perantau yang sudah menjelajah di luar tembok besar daerah utara, mempelajari berbagai ilmu silat dari utara yang kemudian dia gabungkan dengan ilmu silat dari selatan.
Setelah menjadi pengawal Kaisar Yung Lo yang dahulu masih raja muda, dia melepaskan jubah tosu dan mempergunakan nama sendiri, yaitu Theng Kiu. Ilmu silat Theng Kiu ini tinggi dan sukar dicari bandingannya, akan tetapi karena dia tidak pernah terjun di dunia kang-ouw, melainkan menjadi pengawal setia, maka namanya tidak terkenal dalam dunia kang-ouw.
Ketika melihat sikap Cui Im yang sama sekali belum dikenalnya dan mendengar ucapan yang begitu yakin, dia menjadi tidak senang dan menganggap bahwa wanita ini sombong sekali. Di antara dua belas orang pengawal pribadi kaisar yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, orang-orang pilihan dari berbagai daerah yang sudah diuji kepandaian dan kesetiaannya, dia merupakan orang pertama dan boleh dibilang jago nomor satu kecuali lima orang ‘pengawal rahasia’ kaisar yang diangkat setelah junjungannya menjadi kaisar.
Kini ada seorang wanita muda, belum tiga puluh tahun usianya, menyatakan di hadapan kaisar bahwa wanita ini yakin akan dapat mengalahkan setiap orang pengawal pribadi kaisar. Alangkah sombongnya, dan dia menjadi penasaran sekali.
Ia merasa yakin bahwa dalam satu dua jurus saja dia akan mampu mengalahkan wanita itu! Maka ketika dia menerima isyarat kaisar untuk menerima persembahan kitab ilmu perang itu, dia langsung melangkah maju menghampiri Cui Im yang berlutut, kemudian menggerakkan tangan untuk menerima kitab yang terbungkus sutera kuning. Akan tetapi dalam melakukan gerakan ini dia telah mengerahkan tenaga sinkang-nya dengan maksud untuk membikin tergetar tangan Cui Im sehingga wanita itu akan melepaskan kitab jatuh ke lantai. Hal ini akan membuat malu wanita yang bersumbar akan mengalahkan semua pengawal pribadi kaisar.
Tadinya Cui Im akan menyerahkan kitab itu, akan tetapi begitu tangannya tergetar setelah kakek berambut putih itu menyetuh kitab, dia terkejut dan memandang tajam. Dilihatnya pengawal itu tersenyum mengejek, maka tahulah ia bahwa pengawal ini sengaja hendak ‘menguji’ dan membikin malu. Cui Im menjadi marah dan tanpa diketahui siapa pun dia mengerahkan sinkang-nya sambil mempererat pegangan jari tangannya pada kitab dalam bungkusan itu.
Kini giliran Theng Kiu yang kaget setengah mati. Tangan wanita itu sama sekali tidak menjadi lumpuh seperti lajimnya orang yang terkena serangan sinkang-nya, dan buku itu sama sekali tidak terlepas, bahkan begitu erat terpegang pada saat dia mencoba untuk mengambilnya. Kitab dalam bungkusan itu seolah-olah melekat di tangan Cui Im.
Selanjutnya,