Pedang Kayu Harum Jilid 24

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Jilid 24 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pedang Kayu Harum Jilid 24

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
BAYANGAN putih itu berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata manusia biasa saking cepatnya. Kalau ada orang melihat bayangan putih itu berkelebat di dalam hutan itu, mendengar isak tangisnya, tentu orang itu akan mengira bahwa yang berkelebatan itu adalah iblis penghuni hutan!

Bayangan putih itu adalah Biauw Eng. Sesudah melarikan diri dari kota raja, dara ini lalu berlari ke utara. Di sepanjang jalan ia menangis, menangis dengan hati pilu. Ibunya telah dibunuh bekas suci-nya dan dendam ini bukan hanya tidak dapat dia balas, bahkan dia kehilangan Lai Sek, pemuda yang amat mencintanya. Dua peristiwa ini, kematian ibunya dan Lai Sek, merupakan malapetaka hebat yang amat melukai hatinya, akan tetapi lebih hebat lagi adalah luka di hatinya karena pertemuannya dengan Keng Hong.

Ia harus mengakui bahwa cinta kasihnya terhadap Keng Hong tidak lenyap, bahkan makin mendalam. Akan tetapi setelah dia menguji hati Keng Hong, ternyata bahwa cinta Keng Hong tidak setulus cintanya. Keng Hong hanya mencinta tubuhnya, mencinta kecantikan wajahnya sehingga saat ia mencoba dan membohonginya, mengatakan bahwa tubuhnya telah dimiliki Lai Sek, pemuda itu menjadi marah dan menghinanya!

Ahh, betapa dangkal cinta kasih Keng Hong terhadap dirinya, kiranya sama saja dengan cinta kasih pemuda itu terhadap Cui Im atau terhadap wanita-wanita lain yang pernah dilayaninya bermain cinta. Cinta pemuda itu sifatnya hanyalah badani belaka, cinta nafsu, cinta birahi! Buktinya, begitu mendengar bahwa tubuhnya sudah dijamah pria lain, Keng Hong menjadi marah.

Padahal, cinta kasihnya terhadap Keng Hong amatlah murni. Dia sudah memaafkan Keng Hong walau pun dia tahu bahwa pemuda itu sudah bermain cinta dengan Cui Im dan dengan beberapa gadis lainnya. Cintanya amat mendalam dan dia telah berkabung untuk pemuda itu selama bertahun-tahun. Biar pun tadinya menyangka bahwa pemuda itu telah tewas, namun dia tetap mencinta Keng Hong. Dan kini, setelah bertemu dengan pemuda yang ternyata masih hidup itu, dia dikecewakan!

Makin diingat, makin sakit hatinya dan dengan tubuh lemas Biauw Eng menjatuhkan diri di atas rumput dalam hutan itu. "Ahhh, Keng Hong... alangkah kejam hatimu...!"

Tentu saja ia melarikan diri dari Keng Hong karena maklum bahwa kalau ia mengikatkan diri dengan pemuda itu, akhirnya dia hanya akan dianggap sebagai sebuah benda indah, dijadikan benda permainannya. Tentu saja dia tak sudi. Lebih baik berpisah! Akan tetapi, betapa sengsaranya perasaan hatinya terpisah dari pria yang dicintanya!

"Aduhhh..., dari pada menderita siksa batin seperti ini, lebih baik aku mati saja...! Mati menyusul ibu... menyusul ayah..."

Makin terisak dia menangis ketika teringat bahwa dia adalah puteri Sin-jiu Kiam-ong. Dia belum pernah bertemu dengan ayahnya. Dan Keng Hong adalah murid ayahnya, murid satu-satunya yang terkasih! Kalau saja dia dapat bersanding dengan Keng Hong, akan terobatilah rindunya kepada ayahnya. Akan tetapi Keng Hong...!

"Lebih baik aku mati...!" Dan gadis itu menangis sesenggukan, air matanya seperti air sungai meluap, membasahi kedua pipinya, terus menurun ke dagu dan menetes ke dada.

Akan tetapi Biauw Eng adalah seorang gadis yang semenjak kecil digembleng kegagahan oleh mendiang ibunya. Semenjak kecil dia diajar menghadapi segala apa pun di dunia ini penuh ketahanan, penuh keberanian dan kepercayaan kepada diri sendiri. Kini, pikiran ingin mati hanya terucapkan di mulut karena dorongan rasa duka yang amat mendalam.

Di dalam hatinya, tidak seujung rambut pun keinginan untuk mati, apa lagi bunuh diri yang dianggapnya perbuatan seorang pengecut. Dia tidak takut apa pun juga, mengapa takut melanjutkan hidup? Pula, kematian ibunya belum terbalas! Pada saat itu, tidak mungkin bagi dia untuk membalas dendam karena jelaslah bahwa menghadapi Cui Im, dia tidak dapat berbuat apa-apa.

Bekas suci-nya itu, yang dahulu bekas kawannya dan akan dapat dia kalahkan dengan mudah, kini telah menjadi seorang wanita yang amat lihai, memiliki kepandaian yang jauh mengatasinya. Apa lagi di sebelah Cui Im terdapat Siauw Lek yang juga amat lihai. Kalau saja ada Keng Hong di sampingnya, tentu mereka berdua akan dapat mengalahkan Cui Im dan Siauw Lek. Keng Hong...!

Ahhh, tak dapat diharapkan dan ia pun tidak sudi minta pertolongan pemuda berhati palsu itu! Dia tidak takut mati, akan tetapi dia pun bukanlah seorang tolol yang menyerahkan kematian begitu saja dengan nekat menyerang Cui Im. Ibunya dulu memberi tahu bahwa dengan nekat menyerang lawan yang jauh lebih kuat sehingga diri sendiri dirobohkan, itu bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan perbuatan seorang tolol!

Habis, apa yang akan dia lakukan?

"Aduh, ibu...!" Biauw Eng menangis lagi.

Baru pertama kali ini selama hidupnya dia merasa tidak berdaya, kehabisan akal dan kehabisan semangat. Luka di hati karena asmara memang sangat pedih, apa lagi kalau dirasakan dan dikenang.

Memang sebenarnya hal itu bukan apa-apa, karena luka seperti itu akan lenyap dengan sendirinya, akan sembuh tanpa diobati. Obatnya hanya jangan memikirkannya lagi dan mencurahkan pikiran untuk hal-hal lain yang banyak terdapat dalam hidup. Akhirnya tentu akan lenyap dan kemudian orang yang tadinya terluka asmara akan tertawa geli kalau mengenang kelakuannya sendiri. Akan tetapi kalau dikenang dan dirasakan, memang tidak ada luka lebih pedih dari pada luka asmara, tidak ada penyakit yang lebih parah dan berat dari pada penyakit asmara!

Tidak, dia tidak akan mati! Dia tidak boleh putus asa! Ia teringat akan ibunya. Dahulu hati Ibunya juga pernah disakiti oleh Sin-jiu Kiam-ong! Ayahnya, atau guru Keng Hong sudah menggoda ibunya, bahkan perbuatan Sin-jiu Kiam-ong lebih jauh, yaitu sudah melakukan hubungan cinta dengan ibunya hingga ibunya mengandung! Dan ayahnya itu tidak pernah kembali kepada ibunya.

Meski pun demikian, ibunya tidak putus asa, bahkan lalu mengasingkan diri dan berhasil memiliki ilmu kepandaian tinggi, menjadi Lam-hai Sin-ni, tokoh pertama dari semua datuk hitam! Mengapa dia tidak meniru perbuatan ibunya?

Ia akan pergi jauh, jauh dari tempat ramai, menggembleng diri dengan ilmu sehingga ia akan bisa memiliki ilmu kepandaian yang akan dapat mengatasi Cui Im! Dia lebih memiliki alasan untuk hidup dari pada ibunya dahulu! Dia akan menggembleng diri dan kelak akan membalas dendamnya kepada Cui Im!

Pikiran ini mendatangkan semangat baru di dalam hati Biauw Eng. Tidak, dia tidak akan putus asa. Sedikitnya, hubungannya dengan Keng Hong belum sejauh hubungan antara ibunya dengan Sin-jiu Kiam-ong! Dia masih gadis.

Lai Sek sekali pun, Lai Sek yang amat mencintanya, yang selalu siap berkorban apa saja untuknya, bahkan yang telah dia serahi seluruh tubuhnya, namun Lai Sek pun tak pernah menyentuhnya! Sungguh seorang pemuda yang hebat! Cinta kasihnya demikian murni! Kalau saja Keng Hong memiliki cinta kasih seperti Lai Sek. Ahhh, tidak perlu memikirkan Keng Hong lagi.

"Aku tidak boleh memikirkannya lagi. Dia adalah laki-laki yang tidak berharga! Aku... benci kepadanya!" Biauw Eng melompat bangun lalu lari secepatnya ke utara.

Dia lari seperti dikejar setan, dan memang dia melarikan diri untuk lari dari bisikan yang mengejarnya, bisikan bahwa tidak mungkin dia dapat melupakan Keng Hong, bahwa tidak mungkin dia sanggup membencinya. Betapa pun cepat dia berlari, suara bisikan ini terus mengejarnya, terus terdengar oleh telinganya karena yang berbisik adalah hatinya sendiri.

Ahh, cinta! Sungguh engkau dapat berubah dari seorang dewi pembawa bahagia menjadi seorang iblis yang kejam pembawa derita sengsara! Dan betapa bodohya orang muda yang sudah dicengkeram kuku-kuku beracun dari asmara! Lebih lagi, betapa bodohnya seorang pemuda seperti Keng Hong yang tadinya tidak dapat membedakan antara cinta kasih seorang gadis seperti Biauw Eng dari cinta nafsu seorang wanita macam Cui Im.

********************

Biauw Eng melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah. Hanya kalau kakinya sudah mogok saking lelahnya, barulah dia beristirahat. Kalau matanya sudah hampir tidak dapat dibuka saking kantuknya, barulah dia tidur dan kalau perutnya sudah tak dapat menahan laparnya, barulah dia mencari makanan pengisi perut. Berbulan-bulan dara yang merana karena asmara ini melakukan perjalanan ke utara dan pada suatu pagi dia memasuki sebuah hutan di lereng Pegunungan Go-bi-san.

Pakaiannya yang berwarna putih itu masih bersih karena sering kali dia berhenti dan mencucinya di sungai atau danau, akan tetapi pakaian itu sudah banyak yang robek, juga sepatunya sudah bolong-bolong. Kulit mukanya yang biasanya halus putih itu kini agak hitam karena setiap hari dibakar terik matahari.

Hanya ada perubahan yang amat menyolok, yaitu pada pandang mata gadis ini. Dahulu, ketika masih bersama ibunya, pada saat namanya terkenal sebagai Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) pandang mata, sikap dan bicaranya dingin seperti sebuah gunung es, dingin akan tetapi amat ganas, bahkan ia dapat membunuh lawannya dengan mata tanpa berkedip.

Akan tetapi kini pandang matanya bersinar-sinar penuh api dan semangat, tanda bahwa di dalam hatinya terkandung cita-cita yang amat besar. Selain pandang matanya berubah panas, juga nampak kematangan dalam sikap dan suaranya. Kematangan seorang dara muda yang tergembleng oleh tekanan-tekanan batin yang hebat.

Keadaan di hutan itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Banyak tetumbuhan yang aneh dan tidak pernah dijumpainya di selatan. Juga banyak terdapat burung-burung indah yang beraneka warna bulunya. Banyak pula kembang-kembang yang indah bentuk mau pun warnanya.

Biauw Eng duduk beristirahat di bawah sebatang pohon, memperhatikan kembang kuning yang tumbuh di dekatnya. Bunga itu aneh bentuknya, bahkan dapat dikatakan buruk dan tidak berbau wangi. Tidak jauh dari bunga kuning ini tumbuh bunga lain yang warnanya merah, bentuknya indah seperti bunga kiok-hwa (seruni) dan berbau harum sekali. Bunga ini dikelilingi beberapa ekor kumbang yang seolah-olah berebut hendak memasuki kelopak bunga merah dan menghisap madunya. Sedangkan kembang kuning yang buruk itu tidak dihiraukan kumbang.

Biauw Eng menarik napas panjang. Dia mengulur lengan dan menyentuh bunga kuning dengan ujung jari-jari tangannya, sentuhan halus penuh kasih sayang dan rasa iba.

"Jangan berduka, bunga kuning," bisiknya menghibur. "Dalam kesepianmu, engkau lebih bahagia dari pada bunga merah itu.”

Biauw Eng memperhatikan bunga-bunga itu dan menghela napas panjang. Betapa sama nasib bunga-bunga ini dengan nasib para wanita. Di mana-mana, seperti bunga-bunga ini, wanita menjadi permainan kaum pria. Hanya wanita-wanita cantik yang dikejar-kejar oleh kumbang. Pria dan kumbang sama saja.

Pria tertarik dengan kecantikan wanita bagaikan kumbang tertarik oleh keharuman madu kembang. Kembang-kembang yang tidak harum, seperti kaum wanita yang tidak cantik, tidak dipedulikan dan menjadi tersia-sia. Akan tetapi, kembang-kembang tidak harum dan wanita-wanita tidak cantik belum tentu lebih sengsara dari pada nasib kembang-kembang harum atau wanita-wanita cantik.

Sesudah madunya habis dihisap kumbang, kembang bermadu lalu ditinggal pergi tanpa pamit oleh si kumbang. Sesudah dipermainkan oleh pria, wanita cantik seperti kembang habis madunya, seperti tebu habis manisnya, lalu disia-siakan dan ditinggal begitu saja! Seperti ibunya! Dan dia tak mau dijadikan seperti ibunya, seperti kembang bermadu yang harum namun kelak akan disia-siakan.

Tidak, lebih baik menjadi kembang kuning yang tak dipedulikan oleh kumbang, akan lebih segar dan dapat bertahan lama, tidak mudah layu! Persetan dengan kumbang-kumbang palsu itu! Persetan dengan segala cinta kasih pria-pria palsu yang hanya membutuhkan kecantikan wajah dan keindahan tubuh!

Tiba-tiba rasa bencinya kepada kaum pria yang mempunyai cinta kasih palsu melimpah dan membuat Biauw Eng marah kepada kumbang-kumbang itu. Tangan kirinya bergerak menampar dan empat ekor kumbang besar terkena tamparan tangannya, lalu terbanting hancur di atas tanah, di bawah kembang kuning. Biauw Eng memandang puas.

"Tersenyumlah, kembang kuning. Tertawalah, dan lihat kumbang-kumbang palsu itu kini menjadi bangkai, sebentar lagi membusuk dan dimakan semut!" Saking gembiranya dan puas hatinya melihat ‘kumbang-kumbang berhati palsu’ itu telah tewas, Biauw Eng bicara dengan keras, seakan-akan kembang kuning merupakan seorang wanita lain yang perlu dihibur hatinya.

Tiba-tiba saja, agaknya terkejut oleh suaranya, dua ekor kijang berbulu coklat berkuningan seperti emas meloncat keluar dari balik semak-semak. Biauw Eng terkejut dan segera memandang, ketawa senang dan dia merasa kagum sekali menyaksikan dua ekor kijang jantan betina yang berkejaran itu. Saking gembiranya, Biauw Eng lupa diri dan seperti seorang anak kecil yang nakal, dia pun lalu mengerahkan ginkang-nya dan meloncat pula, lari mengikuti dua ekor kijang yang berlari naik ke bukit.

Dua ekor kijang itu berlari makin cepat dan kelihatan ketakutan, mengira bahwa manusia yang dapat berlari cepat di belakang mereka itu sedang mengejar mereka dan hendak menangkap mereka. Mereka mengeluarkan suara ketakutan dan lari kacau balau.

Melihat ini, Biauw Eng menjadi kasihan dan mengikuti dari jauh agar dua ekor kijang itu tidak menjadi ketakutan. Dia berniat untuk mendekati mereka secara sembunyi agar dia dapat memandang mereka sepuas hatinya.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang nyaring bukan main, yang menggetarkan seluruh permukaan bukit. Gerengan ini disusul suara mengembik yang menyayat hati, dua kali beruntun. Biauw Eng terkejut bukan main dan cepat dia meloncat, tubuhnya berkelebat mengejar ke arah suara. Ketika ia tiba di tempat itu, dara ini memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali saking marahnya.

Dua ekor kijang jantan dan betina yang berkejaran tadi kini telah menjadi bangkai, leher mereka terluka dan robek, darah mereka menjadi satu membasahi rumput dan di antara kedua bangkai kijang itu berdiri seekor harimau besar yang mengaum perlahan, kemudian mencium-cium darah serta tubuh kijang, agaknya hendak menikmati baunya yang sedap dan gurih sebelum mengganyangnya. Harimau itu besar seukuran anak lembu, bulunya kehitaman, ekornya panjang melingkar dan yang aneh sekali adalah sebuah tanduk yang tumbuh di antara kedua telinganya yang kecil!

Akan tetapi Biauw Eng tidak mempedulikan keanehan binatang ini. Hatinya telah dikuasai nafsu amarah dan sambil mengeluarkan jerit melengking dia melompat ke depan, segera menerjang harimau bertanduk satu itu. Dalam kemarahannya, Biauw Eng menubruk maju dan menghantam dengan tenaga sekuatnya ke arah kepala harimau yang ada tanduknya itu.

"Siuuuuuuttt... werrrrrrr…!"

"Aihhhhh…!"

Biauw Eng berseru kaget karena pukulannya yang cepat dan kuat itu mengenai tempat kosong! Ternyata harimau bertanduk itu sudah dapat mengelakkan pukulannya. Padahal pukulan tadi tidak akan mudah dielakkan begitu saja oleh seorang ahli silat yang belum mempunyai kepandaian tinggi! Tentu saja merupakan hal yang sangat aneh kalau seekor binatang dapat mengelak dengan gerakan yang begitu cepat akan tetapi juga seenaknya saja karena dengan jelas Biauw Eng melihat betapa harimau itu mengelak secara tenang tidak tergesa-gesa, hanya dengan miringkan kepala ke kiri!

Biauw Eng yang marah sekali melihat sepasang kijang menjadi bangkai karena diterkam oleh harimau ganas ini, cepat-cepat memutar tubuh dan melanjutkan gerakannya dengan sebuah tendangan. Ujung sepatunya meluncur cepat menyambar bawah iga binatang itu. Akan tetapi, sambil mengaum harimau itu kini mengelak dengan loncatan ke belakang dan kaki depan kiri yang bercakar runcing tiba-tiba saja diangkat menampar ke arah kaki Biauw Eng!

"Ehhh...!" Biauw Eng terpaksa menarik kembali kakinya. Ia tidak takut dicakar, akan tetapi celana dan sepatunya bisa dirobek kalau terkait kuku-kuku yang kuat itu. Ia makin heran dan penasaran.

Dua kali dia menyerang dan dua kali pula binatang itu mampu mengelak, bahkan balas mencakar ke arah kakinya. Biauw Eng hampir tidak percaya. Cepat ia menerjang lagi, kini menggunakan seluruh kecepatan gerakannya, melambung dan saat tubuhnya menubruk dan menukik, tangan kirinya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah mata harimau itu, ada pun tangan kanannya dimiringkan menghantam ke arah tengkuk. Dua serangan ini ia lakukan sambil mengerahkan Iweekang.

Melihat gadis itu yang malah menerkamnya, harimau bertanduk satu mengangkat muka, agaknya terheran, akan tetapi begitu angin serangan yang dahsyat menyambar, harimau itu mengaum dan mendadak tubuhnya merendah serta diputar, lalu kaki depan kanannya membuat gerakan melingkar, menangkis tusukan jari ke arah matanya, sedangkan tangan kanan Biauw Eng yang menghantam tengkuknya itu ditangkisnya dengan ekornya yang panjang, yang dipergunakan seperti cambuk diayun dari belakang.

"Plakkk! Dukkk!"

"Hayaaaaaa...!"

Biauw Eng cepat melempar tubuh ke belakang. Tangkisan-tangkisan itu membuat kedua pukulannya tertahan. Tadi harimau yang agaknya menjadi marah itu sambil menangkis sudah menggerakkan kepala menggigit sehingga Biauw Eng terpaksa melempar tubuh ke belakang.

Akan tetapi baru saja meloncat turun, harimau yang marah itu sudah menerjangnya dan membalas dengan serangan yang dilakukan secara aneh, bukan menubruk seperti yang dilakukan oleh harimau-harimau biasa, melainkan menggerakkan dua kaki depan secara bertubi-tubi mencakarnya dari kanan kiri, sedangkan tubuhnya bergerak maju dengan kaki belakang saja, benar-benar seperti gerakan manusia!

Biauw Eng melangkah mundur lantas melolos sabuknya. Dalam keadaan biasa kiranya gadis ini akan merasa malu bila menggunakan senjatanya menghadapi seekor binatang hutan. Akan tetapi, dia sudah merasa amat marah melihat sepasang kijang yang dibunuh dan dia tahu bahwa harimau ini bukan sembarangan harimau, melainkan seekor harimau yang memiliki kelebihan dari pada harimau lain. Gerakannya selain cepat dan kuat, juga aneh, mirip gerakan yang terlatih, gerakan yang memiliki dasar ilmu silat!

"Binatang jahat dan kejam, mampuslah!" Biauw Eng membentak dan tangannya bergerak.

Sinar putih menyambar ke depan, sinar putih yang panjang dari sabuk suteranya. Dengan sabuk suteranya ini, dahulu Biauw Eng amat dikenal dan ditakuti lawan, karena memang hebat permainan sabuk suteranya yang dalam segebrakan saja dapat merampas senjata lawan, kalau perlu mampu merampas nyawa lawan!

Kini ujung sabuk sutera itu melayang ke arah kepala, tenggorokan dan lambung harimau dengan kecepatan yang menyilaukan mata. Ujung sabuk yang bergerak bertubi-tubi itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan ketika menyambar ke arah harimau mengeluarkan bunyi bercuitan mengerikan.

"Cuiiiiiittttt... dar-dar-dar...!"

Tiga kali ujung sabuk sutera yang tidak mengenai sasaran itu meledak di tempat kosong. Sekali ini Biauw Eng benar-benar terkejut. Binatang buas itu mampu mengelak serangan sabuk suteranya secara beruntun tiga kali dengan cara menggulingkan diri. Mana di dunia ini ada harimau yang mempunyai akal untuk mengelak sambil bergulingan?

Dan bukan sampai di situ saja karena tiba-tiba harimau itu mengaum dan tubuhnya yang tadi bergulingan itu kini berguling mendekat lantas secara mendadak sekali tubuh yang kehitaman itu mencelat ke atas dan sudah menubruk ke arah Biauw Eng dengan gerakan dahsyat.

Keempat kakinya bergerak hendak mencengkeram, akan tetapi dengan cakar-cakar yang digerak-gerakkan hingga sulit ditentukan ke mana keempat buah cakar yang mengerikan itu akan mencengkeram, dan serangan ini didahului oleh sebatang ‘cambuk’ yaitu ekornya yang digerakkan lebih dahulu, bukan menyabet seperti buntut harimau biasa, akan tetapi dari bawah ekor ini bagaikan menjadi sebatang toya lurus yang menyodok ke arah leher Biauw Eng.

Hebat bukan main serangan binatang itu karena sekali serang, buntutnya menotok leher, keempat cakar kakinya mencengkeram dan mulutnya yang terbuka menggigit kepala!

"Aihhhhh...!" Biauw Eng kaget, akan tetapi tidak menjadi gugup.

Dia merendahkan tubuh, tidak mengelak mundur, bahkan cepat dia menyusup ke bawah tubuh harimau yang sedang meloncat. Harimau menggereng, agaknya menjadi bingung dan merasa diakali oleh lawan karena selagi tubuhnya meloncat tidak mungkin membalik. Hanya buntutnya yang dapat digerakkan secara tidak terduga oleh Biauw Eng kemudian tiba-tiba menyabet ke bawah selagi gadis itu menyusup.

Hal ini sungguh tidak terduga oleh Biauw Eng sehingga pundaknya terpukul ekor harimau yang menyambar. Dan ternyata pukulan itu amat keras sehingga Biauw Eng terbanting ke kanan dan pundaknya terasa nyeri seperti dipukul toya oleh lawan yang bertenaga besar!

Sekarang Biauw Eng marah sekali. Dia tidak mempedulikan rasa nyeri pada pundaknya, cepat dia melompat bangun dan pada saat harimau itu melayang turun, sabuk suteranya sudah menyambar ganas, merupakan dua cahaya putih karena yang menyambar adalah kedua ujungnya sedangkan dara itu memegang bagian tengah. Kedua ujung sabuk itu dengan kecepatan kilat sudah menyambar dan membelit keempat kaki harimau itu, ujung pertama membelit kedua kaki belakang, ujung ke dua membelit dua kaki depan.

Harimau menggereng dan meronta, tetapi sia-sia saja karena tubuhnya tiba-tiba terangkat naik tanpa mampu ditahannya lagi. Harimau masih terus meronta-ronta ketika Biauw Eng mengerahkan tenaga menggerakkan tangan. Tubuh harimau yang sudah dibelenggu oleh kedua ujung sabuk itu kini terbanting ke bawah menghantam sebuah batu gunung.

"Desssss…!"

Batu itu remuk dan harimau itu mengerang-erang kesakitan. Kembali tubuhnya terangkat dan kini menghantam sebuah batu lainnya yang lebih besar, hanya kali ini dia terbanting dengan kepala lebih dulu.

"Prokkk!" Kembali batu yang pecah biar pun kepala harimau itu pun terluka dan berdarah.

Biauw Eng menjadi penasaran sekali. Alangkah kuatnya harimau itu. Saking marah dan penasaran, berkali-kali dia membanting tubuh harimau yang sudah tak berdaya itu sampai kepala harimau itu pecah-pecah. Sebelum tewas harimau itu sempat mengeluarkan suara mengaum yang amat dahsyat dan nyaring, menggetarkan gunung.

Biauw Eng lalu melontarkan bangkai harimau itu jauh memasuki jurang. Kemudian Biauw Eng menghampiri bangkai sepasang kijang, berjongkok dan menatap bangkai sepasang kijang itu dengan kening berkerut karena kasihan. Akan tetapi kemarahannya mereda dan sekarang, dalam keadaan tidak panas hatinya, baru ia teringat dan terheran-heran penuh kekaguman akan kelihaian harimau itu.

Baru keadaannya sudah aneh, kepalanya bertanduk, sungguh pun dalam perkelahian tadi dia melihat bahwa benda di kepalanya itu bukan tanduk keras macam lembu, melainkan segumpal daging yang tumbuh di antara kedua telinga. Selain keadaanya yang aneh, juga kini dia teringat betapa gerakan harimau tidak wajar. Gerakan-gerakannya mengandung teknik ilmu silat! Cara kaki depan menangkis dari samping dengan gerakan memutar dan membesut, cara buntut harimau itu menangkis dan menyerang, semua itu adalah gerakan ilmu silat!

Kemudian Biauw Eng termenung memandangi bangkai dua ekor kijang itu dan ia merasa heran teringat akan kelakuannya sendiri. Harimau itu membunuh dua ekor kijang ini akibat lapar, karena kijang-kijang ini akan dijadikan mangsanya. Mengapa dia marah-marah dan membunuh harimau itu? Hal ini tidak biasa ia lakukan. Mengapa ia menjadi marah melihat harimau membunuh kijang? Bukankah hal itu sudah sewajarnya dan dahulu sudah sering kali dia melihat kejadian seperti ini tanpa terpengaruh sedikit pun? Ia memandang lagi dan tiba-tiba mengertilah dia, lalu menghela napas panjang.

Tadi dia melihat dua ekor kijang itu, sepasang kijang yang indah, jantan dan betina yang kelihatan rukun. Hatinya yang baru diobrak-abrik oleh asmara itu tadi merasa mesra dan penuh gairah menyaksikan pasangan kijang ini, mengingatkan dia terhadap Keng Hong. Betapa akan mesra dan bahagianya apa blia dia bersama Keng Hong dapat hidup rukun berdampingan seperti sepasang kijang itu.

Dan harimau itu kemudian muncul, menghancurkan kemesraan yang memenuhi dada. Melihat sepasang kijang rebah menjadi bangkai yang berlumuran darah, dia seolah-olah merasa bahwa si harimau juga menghancurkan kebahagiaannya bersama Keng Hong, maka bangkitlah kemarahannya yang luar biasa.

"Ahh, Keng Hong... engkau membuat aku tidak hanya menjadi merana, juga menjadi gila!" keluhnya dan kini hatinya mulai merasa menyesal mengapa dia membunuh harimau yang sesungguhnya tidak bersalah apa-apa terhadap dirinya itu.

Tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan keras, teriakan-teriakan yang makin lama makin mendekati tepat itu. Biauw Eng terkejut dan cepat meloncat bangun sambil melibatkan sabuk suteranya di pinggang.

Tidak lama kemudian muncullah tiga belas orang wanita. Mereka muncul dari berbagai jurusan, ada yang berlari-larian dari atas, ada yang meloncat keluar dari jurang. Gerakan mereka gesit-gesit dan mereka memakai pakaian seragam warna kuning. Tangan mereka memegang pedang dan gerakan mereka gesit bukan main. Sambil berteriak-teriak marah mereka mengurung Biauw Eng yang berdiri tegak dengan sikap tenang.

"Dia sudah membunuh tuan muda..!" Beberapa orang di antara mereka berteriak sambil menangis.

"Dia juga menyiksa tubuh tuan muda..., hi-hi-hik!" Beberapa orang lainya berseru sambil... tertawa-tawa.

Melihat sikap mereka, meremang bulu tengkuk Biauw Eng. Wajah tiga belas orang wanita yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun itu rata-rata cantik, akan tetapi sinar mata mereka liar seperti mata orang yang miring otaknya! Mereka menangis dan tertawa tidak karuan, meloncat-loncat seperti orang menari mengelilinginya.

"Kalian ini mau apakah?!" Biauw Eng membentak. "Siapa pula yang membunuh tuan muda?"

"Kau yang membunuh siauw-ya (tuan muda)!" salah seorang di antara mereka, yang membiarkan rambutnya terurai dan yang nampak paling tua di antara mereka, juga paling cantik, membentak dengan suara seperti orang menangis, akan tetapi bentakan marah itu disusul suara ketawa cekikikan!

"Aku? Tuan muda yang manakah yang telah kubunuh?" Biauw Eng bertanya, tengkuknya terasa dingin dan hatinya merasa seram.

Mudah diduganya bahwa wanita yang mengurai rambut ini tidak waras pikirannya. Akan tetapi kalau gila, masakah tiga belas orang wanita yang melihat pakaiannya merupakan pasukan berseragam ini gila semua?

"Ehh, engkau masih berpura-pura? Engkau sudah membunuh tuan muda Tok-kak-houw (Harimau Tanduk Satu)! Mayatnya kau lempar ke dalam jurang!" Sambil berkata demikian wanita itu menggerakkan pedangnya menyerang.

"Srattttt... Sing-sing...!" Cepat sekali gerakan pedangnya, sekaligus sudah membacok satu kali dan menusuk dua kali.

Biauw Eng mengelak tiga kali lalu meloncat mundur, akan tetapi tiga belas orang wanita itu sudah menerjangnya. Dia mempergunakan ginkang-nya mengelak ke sana-sini sambil berseru,

"Heeeee! Nanti dulu, apakah kalian sudah gila semua? Yang tadi kubunuh adalah seekor binatang! Seekor harimau berbulu hitam karena ia telah membunuh sepasang kijang. Aku tidak membunuh seorang manusia, bagaimana kalian menuduhku membunuh tuan muda kalian?"

Tiba-tiba tiga belas wanita itu tertawa semua, tertawa dan dengan telunjuk kiri menuding ke arah hidung Biauw Eng, lalu tertawa lagi terpingkal-pingkal. Melihat ini, Biauw Eng makin terheran-heran dan seram, bahkan otomatis dia meraba hidungnya sendiri. Kenapa hidungnya ditunjuk dan ditertawakan?

Ternyata hidungnya tidak apa-apa, dan gerakannya itu agaknya memancing kegelian hati mereka karena meledaklah suara ketawa mereka makin keras, bahkan ada yang sambil memegangi perut menahan ketawa.

"Hi-hik-hik, heh-heh, engkau sendiri gila mengatakan kami gila! Engkau sudah membunuh tuan muda Tok-kak-houw dan masih berani menyangkal? Hayo lekas berlutut untuk kami belenggu dan kami bawa menghadap Thai-houw (Ratu)!" kata pemimpin pasukan itu dan kembali Biauw Eng terkejut.

Apakah di tempat seperti itu ada ratunya? Kalau harimau mereka sebut tuan muda, lalu bagaimana macamnya ratu mereka? Tentu mereka ini sekawanan manusia jahat yang sengaja hendak mempermainkannya, dan marahlah Biauw Eng. Dia tadi melihat gerakan mereka amat gesit dan lihai, maka dia segera meloloskan sabuk suteranya dan berkata dengan suara nyaring,

"Kalian ini kumpulan orang-orang gila jangan main-main dengan aku! Pergilah atau kalian akan mampus seperti harimau siluman itu!"

Tiga belas orang wanita itu tertawa cekikikan, tetapi di antara suara ketawa ini terdengar oleh Biauw Eng suara tangis, sehingga keadaan amat menyeramkan. Gadis ini menjadi seram karena baru saja dia mengeluh dan merasa menyesal bahwa dia telah membunuh harimau, merasa bahwa Keng Hong membuatnya menjadi gila. Kini, tiga belas orang wanita itu sikapnya begitu aneh dan dia menganggap mereka seperti gila.

Benar gilakah mereka ini? Ataukah... dia sendiri yang sebetulnya gila sehingga hal yang wajar tampak olehnya sebagai tak wajar? Ia mengkirik dan kemarahan memenuhi hatinya. Ia merasa ditertawakan dan dihina, maka sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring ia lalu menerjang maju, menggerakkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung.

Tiga belas orang wanita baju kuning itu berteriak-teriak dan mengeroyoknya. Walau pun mereka cekikikan seperti orang gila, namun ternyata gerakan mereka selain ringan, cepat dan kuat, juga teratur baik sekali sebagai pasukan yang terlatih.

Gulungan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng selalu bertemu dengan sambaran-sambaran pedang yang datang bagaikan hujan. Terpaksa Biauw Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ternyata olehnya bahwa tiga belas orang itu benar-benat amat lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Gerakan pedang mereka aneh, kadang-kadang membacok atau menusuk secara kasar seperti gerakan tukang menebang pohon saja, akan tetapi kadang kala gerakan mereka melingkar-lingkar dan sukar sekali diduga ke mana hendak menyerang. Tetapi Biauw Eng adalah seorang wanita yang sejak kecil telah dilatih dengan ilmu silat tinggi, maka dengan tenang dia dapat menangkis semua serangan dengan membuat benteng dari sinar putih yang mengelilingi tubuhnya secara rapat sekali.

Yang membingungkan adalah gerakan tubuh dan kaki para pengeroyoknya. Mereka itu bergerak-gerak aneh, kadang-kadang seperti monyet menggoda, dan ada kalanya seperti tarian manusia-manusia yang liar. Mereka meloncat-loncat, berjongkok, bahkan ada yang bergulingan di atas tanah, menyerang dengan pedang membabat ke arah kaki. Ada pula yang meloncat tinggi dan seperti burung mematuk, pedangnya menusuk-nusuk ke arah kepala Biauw Eng!

Biauw Eng sangat terheran-heran. Ilmu silat apakah yang mereka mainkan itu? Dalam hal ginkang dan tenaga sinkang, dia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi menghadapi ilmu silat edan-edanan yang selama hidupnya belum pernah dia saksikan itu, benar-benar dia tak berani bersikap sembrono dan melawan dengan hati-hati sekali.

Setelah melawan dengan pertahanan ketat hingga lima puluh jurus sambil memperhatikan gerakan mereka, Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa di balik semua gerakan yang aneh-aneh dan edan-edanan itu sebetulnya bersembunyi ilmu silat yang dasarnya tinggi dan indah sekali. Semua gerakan aneh-aneh itu hanya terbawa oleh sifat mereka dan juga dipergunakan untuk mengacau lawan!

Sebagai seorang ahli silat tinggi, begitu mengenal dasar ilmu mereka, Biauw Eng dapat melihat gerakan-gerakan yang mengandung kelemahan dari mereka yang lebih rendah. Maka sekali ia berseru keras, secara tiba-tiba ia merebahkan tubuh terlentang akan tetapi berbarengan sabuk suteranya menyambar dengan lingkaran lebar ke arah kaki tiga belas orang yang mengurungnya!

Terdengar jerit-jerit dan tertawa-tawa dan dua orang yang terjungkal roboh karena terlibat sabuk sutera kakinya. Akan tetapi Biauw Eng cepat menarik kembali sabuknya kemudian menggunakan kedua tangan menekan tanah sehingga tubuhnya sudah mencelat berdiri di atas tanah.

Dan tepat seperti dugaannya, sebelas orang yang berhasil mengelak dari serampangan sabuknya sekarang menusuk atau membacok pinggangnya. Ia berseru keras, tubuhnya meloncat tinggi. Ia maklum bahwa pedang-pedang itu akan mengejarnya, maka cepat ia menggunakan kedua kakinya membarengi ketika semua pedang menyambar, menginjak pedang-pedang itu, meminjam tenaga mereka mengenjot tubuhnya ke atas.

Sebelas batang pedang yang kena dienjot itu tertekan ke bawah sehingga memperlambat gerakan mereka. Dan pada saat itu, tubuh Biauw Eng yang telah melayang ke atas cepat membuat gerakan membalik, kepalanya menukik ke bawah, kemudian sinar putih sabuk suteranya menyambar dari atas ke arah kepala orang-orang itu.

"Wuuuttt... Trang-trang-cringggg...!"

Beberapa batang pedang yang menangkisnya terlempar, beberapa orang lagi meloncat jauh menghindar, akan tetapi masih ada tiga orang yang kurang cepat mengelak sehingga pundak mereka terkena totokan ujung sabuk. Mereka lantas terguling roboh dan... tertawa cekikikan, padahal yang kena ditotok ujung sabuk adalah jalan darah Kin-ceng Hiat-to dan Tiong-ca Hiat-to. Mestinya mereka yang tertotok ini mengalami penderitaan karena nyeri, akan tetapi mereka tak mengeluh dan tidak menangis malah tertawa sambil meraba-raba pundak!

Dua orang sudah roboh karena kaki mereka terkilir uratnya, tak dapat bangun, tiga orang lagi tertotok roboh, tinggal delapan orang yang kini mulai mengurung lagi. Mata mereka makin liar berputaran, mulut menyeringai, ada yang menjilat-jilat bibir basah dengan ujung lidah merah kecil meruncing. Sungguh sikap mereka amat menyeramkan.

Akan tetapi ada perasaan kasihan timbul di hati Biauw Eng. Dara ini sekarang merasa yakin bahwa yang mengeroyoknya adalah pasukan wanita yang miring otaknya alias gila! Ia pikir lebih baik melarikan diri dari situ meninggalkan orang-orang gila yang sebetulnya tidak berdosa ini.

Akan tetapi, selagi dia berpikir hendak pergi meninggalkan mereka, tiba-tiba terdengarlah suara ketawa nyaring melengking, ketawa merdu sekali, akan tetapi ternyata mengandung wibawa hebat bagi delapan wanita berseragam kuning yang belum roboh dan serta merta mereka itu menjatuhkan diri berlutut sambil berseru,

"Sian-li datang...!"

Biauw Eng cepat menoleh ke arah wanita-wanita itu menghadap. Dia terkejut mendengar mereka menyebut sian-li (dewi) kepada wanita yang tertawa merdu tadi. Ia makin terheran dan terkejut ketika melihat seorang wanita muda berpakaian serba merah.

Wanita itu masih muda, hanya sekitar dua tiga tahun lebih tua dari padanya, berwajah cantik manis dan bersikap gagah. Matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi, akan tetapi di balik kemanisan wajahnya ini terbayang kebengisan dan kekerasan hati. Pakaian berwarna merah dan pada pinggangnya juga tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir kembang-kembang merah pula.

Dua orang gadis jelita itu berdiri berhadapan dan saling pandang. Diam-diam Biauw Eng bergidik. Kalau para pelayannya yang tiga belas orang itu gila, apakah majikannya tidak lebih gila? Akan tetapi, pelayan-pelayannya saja sudah begitu lihai, tentu majikannya lebih lihai! Maka dia langsung bersikap waspada, menggulung sabuk sutera dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.

"Apa yang terjadi di sini?" Suara wanita baju merah itu halus dan merdu, sikapnya tenang sekali sehingga Biauw Eng menjadi kagum dan lebih berhati-hati lagi. Sikap ini saja sudah menimbulkan dugaan bahwa wanita ini tentu amat lihai.

"Tanpa sebab aku dikeroyok oleh pasukan ini, terpaksa aku membela diri," kata Biauw Eng mendahului orang-orang gila itu.

"Hi-hi-hik, orang gila ini bicaranya tidak karuan, Sian-li. Dia sudah melakukan tiga macam kesalahan besar. Pertama, dia membikin marah Thai-houw, kedua, dia membikin sakit hati Sian-li, dan ke tiga, dia menyerang kami!" kata wanita gila berambut riap-riapan.

"Bohong!" Biauw Eng berteriak marah dan penasaran. "Mereka itulah yang gila dan miring otaknya!"

"Kau yang gila!" Teriak tiga belas orang itu berbarengan.

"Kalian yang gila!" Biauw Eng balas berteriak, tak kalah nyaring.

"Kau...!" Tiga belas orang itu membalas.

"Kalian!" Biauw Eng berseru pula. Beberapa kali tiga belas orang itu dan Biauw Eng saling mengatakan gila.

Dara baju merah mengangkat tangan dan tiga belas orang wanita itu diam, maka terpaksa Biauw Eng juga diam. "Hemmm, ternyata kalian semua ini gila. Eh, orang berbaju putih dekil kotor. Benarkah engkau telah melakukan tiga dosa besar itu?"

"Tidak! Bohong semua. Coba buktikan, orang-orang gila. Tiga dosa apakah yang sudah aku lakukan? Mengapa aku membikin marah Thai-houw kalian sedangkan bertemu pun belum?"

Wanita berurai rambut bangkit berdiri dan menuding ke arah hidung Biauw Eng.

"Tentu saja engkau membikin marah Thai-houw. Engkau memasuki wilayah kekuasaan Thai-houw tanpa ijin, bukankah hal itu berarti engkau membikin marah Thai-houw?"

Biauw Eng meraba-raba dagunya. Biar pun alasan yang dikemukakan alasan gila, namun tidak dapat disangkal, memang akibatnya akan memarahkan orang yang berkuasa di situ, walau pun dia tidak sengaja melanggar wilayah orang. Ia masih penasaran dan bertanya,

"Kenapa kalian katakan aku menyakitkan hati Sian-li dan menyerang kalian?"

"Dosamu ke dua adalah, engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw yang menjadi kesayangan Sian-li, bukankah berarti engkau sudah menyakitkan hati Sianli? Dan engkau menyerang kami, kalau tidak menyerang, bagaimana lima orang teman kami bisa roboh? Hayo sangkal kalau bisa, orang gila!"

Biauw Eng mengerutkan alis. Mereka itu gila, akan tetapi agaknya memiliki kepandaian berdebat melebihi pokrol bambu! (Pengacara yang tidak memiliki pendidikan resmi. Istilah ini dikiaskan bagi orang yang suka ngotot tanpa dasar, keras kepala dan tidak mau mengalah). Sia-sia saja berdebat dengan orang gila, pikirnya. Maka dia lalu menghadapi gadis baju merah yang agaknya tidak gila itu lalu berkata,

"Aku kebetulan lewat di tempat ini, tidak tahu bahwa aku telah melanggar wilayah orang. Kemudian aku melihat seekor harimau yang membunuh dua ekor kijang, maka aku lantas membunuh binatang ganas itu. Tiba-tiba mereka ini muncul dan mengeroyokku, terpaksa aku membela diri dan kalau di antara mereka ada yang roboh, hal itu sudah wajar dalam pertandingan."

"Siapa namamu?" Tiba-tiba gadis berpakaian merah itu bertanya.

"Namaku Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng," Biauw Eng memperkenalkan nama julukannya karena bermaksud agar wanita itu tidak akan memandang rendah kapadanya.

Akan tetapi ia kecelik, karena wanita itu seolah-olah tidak kaget mendengar nama julukan yang amat terkenal di dunia kang-ouw itu, bahkan bertanya,

"Julukanmu Gadis Berkabung? Untuk kematian siapa engkau berkabung?"

Pertanyaan ini membuat Biauw Eng tertegun sejenak. Semenjak kecil ia suka berpakaian putih, bukan untuk berkabung dan dia mendapat julukan ‘berkabung’ karena pakaiannya yang selalu putih itu. Sekarang pertanyaan itu membuatnya berpikir dan tanpa ragu-ragu dia pun menjawab,

"Aku berkabung untuk ayah bundaku yang sudah tiada."

"Kenapa engkau memakai pakaian putih?"

Pertanyaan tolol, ataukah gila? Biauw Eng mengerutkan keningnya dan menjawab tak sabar, "Tentu saja berpakaian putih, kan sudah jelas aku berkabung?"

Tiba-tiba saja wanita cantik berpakaian merah itu tertawa, suara ketawanya seperti tadi, nyaring dan merdu sekali. Akan tetapi anehnya, seperti juga tadi, wanita-wanita gila yang mendengar suara ketawa ini segera menundukkan muka seperti orang ketakutan. Apakah suara ketawa itu merupakan tanda bahwa gadis itu sedang marah?

"Mengapa engkau tertawa?" Biauw Eng bertanya, suaranya dingin dan marah.

Gadis baju merah itu tertawa makin nyaring. "Siapa tidak akan tertawa kalau mendengar engkau berkabung memakai pakaian putih? Lihat, aku pun berkabung karena kematian ayah bundaku, dan aku memakai pakaian serba merah. Ini baru benar-benar berkabung!"

Biauw Eng mengangkat muka, kemudian memandang wajah yang cantik manis itu penuh perhatian. Celaka, pikirnya. Agaknya gadis cantik yang tampaknya waras ini pun ternyata tidak kalah gilanya dengan ketiga belas orang pelayannya!

"Hemmm, seluruh dunia mengakui bahwa warna berkabung adalah putih yang berarti suci dan warna duka. Kalau engkau berkabung memakai pakaian merah, terserah kepadamu," jawab Biauw Eng yang menganggap bahwa tidak akan ada gunanya berdebat dengan orang berotak miring.

"Hi-hi-hi-hik-hik, alangkah lucunya! Siapa bilang warna putih itu suci? Apanya yang suci? Mengapa warna putih dianggap sebagai warna berkabung dan duka? Yang berkabung itu hatinya ataukah pakaiannya dan warna pakaiannya?"

Diam-diam Biauw Eng mendongkol karena betapa pun gilanya bantahan itu, memang sulit untuk dijawab. Memang harus ia akui bahwa yang menentukan berkabung atau tidaknya, berduka atau tidaknya, bukanlah warna pakaian melainkan hati orangnya.

"Sesukamulah, aku tidak ada waktu untuk mengobrol lagi. Aku hendak pergi dari sini!"

Biauw Eng lalu meloncat hendak pergi, gerakannya cepat sekali. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan merah melesat cepat bagaikan kilat menyambar dan tahu-tahu gadis pakaian merah itu sudah berdiri menghadang di depannya.

"Engkau mau apa?!" Bentaknya marah, tidak takut sedikit pun meski dia tahu bahwa gadis itu ternyata memiliki ginkang yang luar biasa.

"Mau apa? Mau membunuhmu! Apakah sepasang kijang itu milikmu?"

"Bukan."

"Nah, engkau telah membunuh kesayanganku, karena itu sekarang engkau harus menjadi penggantinya, menjadi kesayangan dan teman mainku. Jika engkau tidak mau, aku akan membunuhmu."

"Gila! Kau kira aku takut kepadamu?" Biauw Eng tak dapat menahan marahnya lagi dan ia sudah menubruk serta memukul ke arah muka wanita baju merah itu. Gadis itu tertawa, mengangkat tangan dan menangkis.

"Dukkk!"

Dua buah lengan yang berkulit putih halus bertemu dan dua tenaga dahsyat dari sinkang yang kuat bertumbuk. Akibatnya, Biauw Eng terhuyung ke belakang dan tubuh gadis baju merah itu bergoyang-goyang.

"Hi-hi-hik, tenagamu boleh juga!" Gadis berpakaian merah itu tertawa. "Engkau lebih kuat dari pada Tok-kak-houw, pantas dia kalah. Engkau akan menjadi teman main yang lebih menyenangkan."

"Tidak sudi!" Biauw Eng membentak.

Tentu saja dia marah sekali. Masa dia hendak disamakan seekor harimau yang menjadi binatang peliharaan? Karena maklum akan kelihaian lawan, Biauw Eng sudah meloloskan sabuk suteranya dan ia menggerakkan pergelangan tangan.

"Hi-hi-hik, bagus sekali! Mari kita main-main!" Si nona berpakaian merah tertawa dan sinar hitam berkelebat ketika ia mencabut pedangnya.

"Wuuuttt.. wirrrr... cringgg...!"

Sinar putih dan sinar hitam itu pecah membuyar, dan masing-masing menarik kembali senjatanya setelah ujung sabuk sutera bertemu pedang hitam, membuat tangan mereka tergetar. Biauw Eng terkejut bukan main. Gila atau tidak, ternyata gadis baju merah itu benar-benar mempunyai sinkang yang kuat, ginkang yang tinggi dan senjata pedang yang ampuh!

"Bagus, engkau lihai juga, Sie Biauw Eng! Jagalah pedangku ini!"

Gadis baju merah itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking ketawa yang sangat aneh sehingga Biauw Eng merasa jantungnya berdebar dan sinar bergulung-gulung berwarna hitam datang menyambar seperti badai datang mengamuk. Biauw Eng kaget sekali, cepat memutar sabuk suteranya dan bertandinglah dua orang gadis cantik itu dengan seru.

Tiga belas orang wanita yang sikapnya seperti gila itu ternyata sangat senang menonton pertandingan silat. Kini mereka bangkit berdiri dan menonton, bahkan yang tadi sudah dirobohkan Biauw Eng juga menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Mata yang tadinya liar berputar itu kini kehilangan sifat liarnya, seperti mata orang waras dan memang hanya dalam hal ilmu silat saja mereka ini dapat mengerahkan perhatian maka dapat mempelajari ilmu silat sampai mencapai tingkat tinggi.

Betapa pun juga, kini menyaksikan pertandingan hebat itu pandang mata mereka menjadi kabur dan kepala mereka terasa pening. Yang tampak oleh mereka hanyalah sinar hitam dan putih bergulung-gulung dan mereka mendengar suara ketawa merdu dari wanita baju merah diselingi pujian-pujian akan kelihaian Biauw Eng.

Puteri Lam-hai Sin-ni makin lama menjadi makin kaget dan juga kagum sekali. Memang banyak sudah ia bertemu tanding yang lihai, akan tetapi selain bekas suci-nya yang kini amat lihai, belum pernah ia bertemu dengan wanita sebaya yang mempunyai kepandaian seperti wanita baju merah ini.

Hatinya panas mendengar pujian-pujian dan suara tawa yang keluar dari mulut lawannya. Dia sudah mandi keringat dan harus mengerahkan semua tenaga serta mengeluarkan semua kepandaiannya, juga tak berani memecah perhatian. Akan tetapi lawannya masih dapat tertawa-tawa sambil memujinya. Pujian itu bagi telinganya merupakan ejekan yang memanaskan hati.

Maka ia melengking nyaring dan mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in Sin-pian (Ilmu Cambuk Awan Putih). Ilmu silat ini sebenarnya diperuntukkan bagi senjata joan-pian, yaitu ruyung lemas atau senjata seperti cambuk. Akan tetapi karena senjata Biauw Eng yang istimewa adalah sabuk sutera, maka kini ilmu itu dimainkannya dengan sabuk dan ibunya dahulu sengaja menciptakan ilmu yang khusus untuk sabuknya diambil dari dasar-dasar Pek-in Sin-pian itu. Segera sabuknya mengeluarkan suara bercuitan dan diakhiri dengan ledakan-ledakan yang keluar dari ujung sabuk yang dilepas kemudian ditarik tiba-tiba seperti orang membunyikan cambuk.

"Hi-hi-hik, ilmu cambuk yang luar biasa!" Wanita baju merah itu berseru keras.

Akan tetapi seruannya itu segera disusul pekik kaget ketika tiba-tiba pedangnya terlibat ujung sabuk dan tanpa dapat ia tahan lagi, pedang itu terlepas dari tangannya direnggut sabuk dan terlempar ke atas tanah! Pada detik berikutnya, wanita baju merah itu sudah menyambar ujung sabuk sutera dan terjadillah perebutan ketika mereka saling membetot sabuk sutera.

Biauw Eng maklum bahwa jika mereka berdua berkeras mengeluarkan tenaga, sabuknya akan putus dan hal ini tak akan menguntungkannya. Maka tiba-tiba ia melepas sabuknya sehingga ujung yang tadi dipegangnya melecut ke arah muka lawan.

Tetapi wanita itu lihai sekali. Dia melepaskan ujung sabuk sambil menggulingkan tubuh di atas tanah. Sabuk sutera itu melayang ke belakangnya dan dia tidak mau mengambilnya. Bahkan dia lalu tertawa-tawa dan meloncat maju menghadapi Biauw Eng dengan tangan kosong.

"Hi-hi-hik, bagus sekali. Engkau teman main yang menyenangkan. Mari kita main-main dengan tangan kosong!"

Melihat datangnya pukulan, Biauw Eng mengelak dan balas menendang, tetapi lawannya sudah meloncat ke belakang sambil terkekeh. Biauw Eng kini merasa ragu-ragu. Agaknya lawan yang dianggapnya gila dan jahat ini belum tentu benar-benar jahat, karena siapa tahu maksud kata-katanya teman main adalah teman berlatih.

Mungkin sekali harimau tanduk satu yang juga lihai itu selain menjadi binatang peliharaan, juga menjadi temannya berlatih silat! Agaknya dia bukan dihina, bukan hendak dijadikan binatang peliharaan teman bermain-main, tapi dijadikan teman berlatih silat. Berkuranglah kemarahannya, akan tetapi dia pun merasa amat penasaran.

Dalam pertandingan tadi, dialah yang sesungguhnya terdesak karena ilmu pedang wanita itu benar-benar luar biasa sekali. Kalau ia tadi berhasil merampas pedang, hal itu mungkin karena lawannya merasa terkejut dan bingung menyaksikan perubahan permainan sabuk suteranya, atau mungkin juga lawannya sengaja menyerahkan pedang untuk merampas sabuk sutera! Dan hasil pertandingan mengadu senjata tadi masih sama kuat, belum ada yang kalah karena keduanya sama-sama kehilangan senjata.

Dalam hal ilmu silat tangan kosong, Biauw Eng juga amat lihai, maka ia tidak menjadi jeri dan menghadapi lawannya penuh semangat. Akan tetapi, sesudah lewat tiga puluh jurus saling menyerang, saling mengelak dan menangkis, tiba-tiba Biauw Eng terkejut sekali menyaksikan perubahan luar biasa pada permainan silat lawan.

Kini lawannya itu bersilat dengan aneh bukan main, gerakan-gerakannya kadang-kadang lemas dan indah melebihi keindahan orang menari, kadang-kadang amat kaku dan buruk seperti monyet pincang menari! Dan kadang-kadang bahkan secara tiba-tiba menjatuhkan diri duduk dan membanting-banting kedua kaki sambil menangis laksana seorang bocah nakal sedang ngambek! Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ketika diserang tiba-tiba dia mencelat dan membalas serangan dengan lebih hebat! Makin aneh gerakan wanita baju merah itu, makin sukar pula dilawan karena Biauw Eng menjadi bingung sekali.

Lima puluh jurus telah lewat dan beberapa kali Biauw Eng tertegun dan berhenti setengah jalan dalam penyerangannya sebab melihat gerakan lawan yang terlalu aneh. Ia mencoba untuk menyatukan pikiran dan tidak mempedulikan lagi sikap lawan yang luar biasa itu. Sambil berteriak dia menerjang maju, memukul ke arah perut lawan.

Nona baju merah menangkis dan karena posisinya miring dia lalu terhuyung. Biauw Eng terus mendesak, akan tetapi tiba-tiba lawannya itu berteriak keras sekali. Biauw Eng siap menghadapi terjangan balasan lawan karena teriakan itu biasanya mendahului serangan yang dahsyat. Karena ia tidak berani memandang rendah lawan yang ia tahu amat lihai, mendengar teriakan itu ia siap membela diri.

Wanita baju merah itu benar saja menggerakkan kedua tangan, yang kiri ditudingkan ke depan, ke arah hidung Biauw Eng, mulutnya tertawa dan tangan kanannya dikepal, terus dihantamkan ke arah... mukanya sendiri!

Gerakan Biauw Eng terhenti, matanya terbelalak lebar saking herannya. Meski pun hanya sedetik dua detik dia terpesona dan terheran, akan tetapi yang sedetik dua detik ini sudah cukup mendatangkan bencana baginya karena tahu-tahu kaki lawan sudah ‘menyelonong’ dan ujung sepatu merah menyentuh lututnya. Tanpa dapat dielakkannya lagi, tubuh Biauw Eng roboh miring dan sebuah totokan di pundak dan punggung membuat dia tidak dapat berkutik lagi!

Sambil tertawa-tawa lima orang anggota pasukan baju kuning menubruk lantas mengikat tubuh Biauw Eng seperti orang mengikat seekor domba yang hendak disembelih, lalu beramai-ramai mereka mengangkat dan menggotong tubuh Biauw Eng, dibawa naik ke atas sebuah puncak sambil tertawa-tawa gembira.

Sikap mereka mengingatkan Biauw Eng akan sikap serombongan pemburu yang pulang membawa seekor harimau hasil buruan. Dia pun bergidik. Akan diapakankah dia? Segala kemungkinan bisa saja terjadi atas dirinya di tangan orang-orang gila ini. Apakah mereka nanti akan memanggangnya seperti orang memanggang domba di atas api sampai kulit dagingnya menjadi setengah matang untuk diganyang dengan teman arak wangi?

Kembali ia bergidik dan meramkan matanya, tidak tahan memandangi wajah yang semua cantik-cantik akan tetapi yang menyeringai seperti muka kuda sakit gigi itu!

Akan tetapi, setelah rombongan aneh ini membawanya tiba di puncak, mata Biauw Eng terbelalak memandang ke depan dan kembali ia meragukan apakah mereka itu yang gila ataukah dia sendiri yang sudah berubah pandang mata dan pikirannya sehingga hal-hal yang sebenarnya biasa dan wajar dia anggap aneh dan gila. Jangan-jangan dia sendiri yang telah gila. Ingin ia menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi tidak dapat karena kedua tangan dan kedua kakinya dibelenggu pada kayu pikulan di mana ia digotong bagai seekor domba.

Yang membuat ia terbelalak keheranan adalah ketika ia melihat adanya bangunan besar di puncak itu. Bangunan itu besar dan megah, akan tetapi bentuknya sungguh tak lumrah bangunan manusia. bentuknya pletat-pletot, bulat bukan persegi pun bukan. Tiang rumah yang biasanya dan seharusnya lurus itu berbentuk bengkang-bengkong tidak karuan, tembok yang biasanya rata itu brenjal-brenjol tinggi-rendah tidak karuan pula.

Lantainya tidak rata, namun penuh lekuk-lengkung sehingga jika tidak hati-hati berjalan di situ bisa tersandung atau terjeblos! Pintunya sekecil jendela, sebaliknya jendelanya malah selebar pintu. Daun pintu bangunan itu tidak dibuka dengan engsel pada kanan kiri, atau terbuka dengan mengangkat daun pintu ke atas, melainkan daun pintunya justru amblas ke dalam lantai.

Pendeknya, selama hidup belum pernah dia melihat rumah seperti itu. Agaknya pembuat bangunan itu adalah orang-orang dengan pikiran kanak-kanak atau pikiran tidak waras! Ataukah... pikirannya sendiri dan pandang matanya yang kini telah berubah sehingga dia melihat sesuatu yang wajar akan tetapi kelihatan aneh?

Para pemikulnya melemparkannya di depan pintu gedung aneh itu, dan mereka semua, termasuk gadis pakaian merah berdiri di pinggiran. Tiga belas orang pelayan itu berlutut dan menyembah dengan muka mencium tanah, sedangkan gadis berpakaian merah itu berlutut dengan sebelah kaki.

Tak lama kemudian terdengar suara ketawa dari dalam gedung. Suara ketawa terkekeh aneh dan menyeramkan, seperti suara ketawa kuntilanak. Tubuh ketiga belas orang anak buah pasukan baju kuning tidak ada yang bergerak, muka mereka tetap menempel tanah, sedangkan gadis baju merah yang berlutut dengan kaki kiri itu menunduk, sikapnya penuh hormat.

Hati Biauw Eng berdebar-debar tidak karuan. Makhluk apakah yang tertawa seperti itu? Mengingatkan dia akan suara burung hantu yang berbunyi pada tengah malam di tengah tanah kuburan. Apakah dia akan diserahkan kepada makhluk ajaib yang kemudian akan mengganyangnya mentah-mentah? Ia bergidik lagi dan membuka mata lebar-lebar penuh perhatian ke arah lubang pintu yang hitam gelap.

Suara ketawa disusul suara batuk-batuk serak dan agak lega hati Biauw Eng. Betapa pun juga, yang dapat batuk-batuk seperti itu tentulah seorang manusia. Akan tetapi manusia macam apakah? Terdengar bunyi kaki diseret dan ketukan tongkat, tidak rata bunyinya. Biauw Eng mengerti bahwa orang yang berjalan di atas lantai berlekuk-lengkung seperti itu, mana bisa rata langkahnya? Tentu sambil berloncatan kalau tidak mau tertelungkup.

Kini muncullah orang yang tertawa dan batuk-batuk itu. Kiranya seorang nenek yang tua sekali, mukanya sudah kempot peyot dan karena ia tertawa lebar, tampak mulutnya tidak bergigi sama sekali. Matanya sipit hampir tertutup keriput, rambutnya sudah putih semua, muntel seperti kapas basah, seluruh kulit tubuhnya yang tampak, dari muka, leher dan tangan, penuh keriput karena kelebihan kulit kekurangan daging.

Biar pun nenek itu sudah kelihatan tua sekali, akan tetapi pakaiannya amat mewah dan indah, terbuat dari pada sutera halus dari barat dan berkembang-kembang lima macam warna, kuning merah biru hitam dan putih!

Sepatunya sulaman dan rambut yang putih tinggal sedikit itu dihias dengan burung hong emas bertabur mutiara! Nenek ini memegang tongkat dan tongkatnya pun terbuat dari pada gading yang kepalanya diukir indah merupakan kepala liong. Sukar ditaksir berapa usia nenek ini, tentu sedikitnya ada seratus tahun.

Bukan main, pikir Biauw Eng, setengah geli akan tetapi juga heran dan hatinya merasa ngeri. Inilah agaknya sang ratu yang menjadi peran utama di tempat ini!

Ia mengingat-ingat akan penuturan ibunya dulu tentang nama tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw bagian utara. Akan tetapi seingatnya ibunya belum pernah menyebut-nyebut seorang nenek yang masih pesolek seperti ini, yang tinggal di rumah gila dan mempunyai pasukan wanita gila pula! Seingatnya, seorang di antara Bu-tek Su-kwi atau empat iblis tanpa tanding yang disebut pula empat datuk hitam, yang menguasai daerah utara adalah Pat-jiu Sian-ong, di timur Ang-bin Kwi-bo dan di selatan adalah ibunya sendiri.

Ada pun tokoh-tokoh di Go-bi-san, yang ia dengar adalah Go-bi-pai atau partai persilatan Go-bi-san yang ilmu pedangnya amat tersohor akan tetapi termasuk golongan putih dan pimpinannya adalah hwesio-hwesio dari barat. Di samping Pak-san Kwi-ong, memang ada tokoh-tokoh Go-bi-san yang tergolong tokoh sesat, yaitu Go-bi Chit-kwi (Tujuh Iblis Go-bi) yang dulu pernah hampir memperkosa ibunya akan tetapi mereka dipukul mundur oleh Sin-jiu Kiam-ong, sehingga ibunya yang masih gadis menjadi tergila-gila kepada pendekar itu. Akan tetapi Go-bi Chit-kwi sudah mati dan kini yang ada hanya muridnya, yaitu Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang menjadi sahabat bekas suci-nya. Akan tetapi nenek gila dan aneh ini? Dia belum pernah mendengarnya!

"Heh-heh-heh-heh! Hun Bwe muridku yang hebat, dewiku yang cantik, untuk apa engkau membawa pula hasil buruan seperti ini? Hi-hi-hi, dagingnya tentu tidak enak dan kalau dipelihara, dia ini gila, bukan?"

"Dia gila segila-gilanya, Thai-houw...!" Tiga belas orang anak buah pasukan baju kuning menjawab serentak.

"Dia mengatakan hamba semua gila, hi-hi-hik, ha-ha!" Perempuan dengan rambut berurai berkata sambil tertawa.

"Hush, aku tidak tanya kamu! Mengapa mulutmu terbuka? Bau!" Sang ratu itu memencet hidungnya.

Melihat ini hampir saja Biauw Eng tidak dapat menahan ketawanya. Benar-benar dia telah memasuki dunianya orang gila.

"Apa engkau pagi tadi menyikat gigimu?" Tiba-tiba nenek itu bertanya kepada si rambut riap-riapan.

"Sudah, Thai-houw."

"Perlihatkan gigimu!"

Wanita itu meringis sehingga deretan giginya yang putih bagai mutiara itu tampak semua. Nenek itu menggangguk-angguk.

"Baik, akan tetapi awas, kalau gigimu kotor dan bau, akan kucabuti semua. Gigiku dahulu tinggal sebuah, kuning dan bau maka kucabut sekalian. Sekarang bersih. Nah, lihat, bagus dan tidak bau, kan?" Nenek itu meringis hingga tampak gusinya yang kemerahan dan gundul tanpa gigi.

Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya. Biar pun kaki tangannya masih terbelenggu, gadis ini cekikikan, tidak dapat menahan kegelian hatinya. Melihat ini, nenek itu mencela muridnya yang berpakaian merah.

"Hun Bwe, bagaimana ini? Kulihat dia waras! Dapat tertawa sehat!"

Gadis berpakaian merah itu cepat menjawab, "Dia memang gila, Subo, akan tetapi bisa disembuhkan."

"Hemmm, begitukah? Eh, kenapa dia dibelenggu? Bila mau dipelihara, harus dibebaskan agar dia senang."

"Dia lihai sekali subo. Teecu khawatir dia memberontak."

"Di depanku mana bisa memberontak?" Nenek itu menggerakkan tongkatnya.

Biauw Eng terkejut bukan main. Tongkat itu menyambar bagaikan kilat ke arah tubuhnya. Dia cepat memejamkan mata, siap menerima datangnya pukulan maut. Ia maklum bahwa menghadapi pukulan tongkat yang anginnya mendatangkan rasa dingin sekali itu, dia tak akan dapat menyelamatkan diri.

Akan tetapi betapa herannya ketika tiba-tiba kaki tangannya sudah terbebas dari pada belenggu! Ia kagum bukan main, membuka matanya dan melihat betapa tali-tali kuat yang tadi mengikatnya sudah putus seperti dibabat pedang tajam. Padahal tongkat di tangan nenek itu runcing pun tidak, melainkan tumpul. Cepat ia meloncat bangun dengan sigap, siap untuk mempertahankan diri dan membela diri mati-matian sebelum menyerah.

"Heh, di depan ratumu engkau berani berdiri? Hayo berlutut!" Nenek itu membentak.

Biauw Eng adalah seorang gadis yang berhati keras dan tabah, tentu saja dia tidak sudi berlutut di depan nenek gila ini, biar pun nenek ini menamakan dirinya seorang ratu. Akan tetapi sebelum dia membantah, tampak sinar kuning berkelebat ke arah kakinya.

Biauw Eng hanya melihat sinar tapi dapat menduga bahwa dia diserang, maka cepat dia meloncat untuk mengelak. Akan tetapi sinar yang ternyata adalah tongkat nenek itu lalu mengejar ke atas, lantas kakinya ditotok dan dia pun roboh kembali ke atas tanah!

"Heh-heh-heh, berlutut... rebahlah...!" Nenek itu berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Merah seluruh wajah Biauw Eng, merah saking malu dan marahnya. Ia meloncat bangun lagi, akan tetapi kali ini bukan sinar kuning tongkat nenek itu yang menyambar, melainkan tangan kiri nenek yang kurus itu mendorong ke depan. Biauw Eng cepat-cepat mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi seperti juga tadi, percuma saja dia meloncat ke kiri karena pukulan jarak jauh itu tetap saja mengenai tubuhnya dan sekali lagi dia roboh terguling!

"Nenek iblis!" Biauw Eng memaki sambil meloncat bangun lagi karena biar pun dia roboh, ternyata hawa pukulan nenek itu tidak melukainya, hanya membuatnya terjengkang saja karena hawa pukulan itu amat kuat.

"Bagus, terima kasih, nona manis! Aku memang nenek iblis, juga nenek ratu! Pujianmu kuterima dengan hati terbuka!" Nenek itu berjingkrak kegirangan bagaikan seorang anak kecil mendapat pujian.

Melihat ini, Biauw Eng tercengang. Benar-benar nenek yang miring otaknya dan agaknya nenek ini lihai sekali. Bila ia tidak cepat merobohkan nenek ini, tentu takkan ada harapan lagi baginya terlepas dari tangan orang-orang gila ini. Pasukan baju kuning dapat ia atasi, sedangkan gadis baju merah biar pun lihai, dapat pula ia tahan karena tidak selihai nenek ini.

Dia menggunakan kesempatan selagi nenek itu menari-nari dan memutar tubuh. Secepat kilat ia menghantam punggung nenek itu dari belakang.

"Wuuuuuuttt... bleggg!"

Pukulan Biauw Eng tepat mengenai punggung nenek itu, dan sekali ini dia mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dilatih sambil merendam tangan dalam godokan lima macam racun karenanya dinamai Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Tadi dalam pertandingan melawan gadis baju merah dia tidak tega menggunakan tangan beracun itu, akan tetapi kini menghadapi nenek yang demikian lihainya, yang perlu ia pukul mati supaya ia dapat bebas, ia terpaksa mengeluarkan pukulan ini, bahkan memukul dari belakang.

Pukulannya mengenai punggung dengan tepat. Nenek itu mengeluh dan terguling miring, dari mulutnya mengeluarkan darah hitam, tanda bahwa pukulan itu mengenai sasaran dan jantung nenek itu telah keracunan. Namun anehnya, baik nona baju merah mau pun tiga belas orang perempuan baju kuning diam saja seperti patung.

Kesempatan ini segera digunakan oleh Biauw Eng untuk memutar tubuh dan hendak lari meninggalkan puncak. Akan tetapi baru dia melangkah beberapa tindak, terdengar suara ketawa,

"Heh-heh-heh, dewiku yang manis, kau hendak terbang ke mana?"

Biauw Eng terkejut mengenal suara nenek itu dan pada saat itu pun dia terguling roboh karena kedua kakinya kena diserampang tongkat gading. Biauw Eng menggulingkan diri mendekati tambang yang tadi dipergunakan mengikat tubuhnya. Ia melihat nenek yang tadinya roboh mati oleh pukulannya itu kini telah berdiri lagi dan terkekeh-kekeh.

Kiranya nenek itu tidak apa-apa dan tadi hanya mempermainkan dirinya saja. Akan tetapi mengapa mulutnya keluar darah hitam? Biauw Eng bergidik, maklum bahwa nenek ini luar biasa lihainya, memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia, mungkin lebih lihai dari pada ibunya sendiri...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.