Pedang Kayu Harum Jilid 25
SABUK suteranya telah lenyap ketika ia bertanding melawan nona baju merah tadi, maka ia teringat akan tambang yang tadi mengikat dirinya. Tambang itu pun merupakan benda lemas, maka dapat dia gunakan sebagai senjatanya. Begitu ia meraba tambang, ia cepat meloncat ke arah tubuh nenek itu, sekaligus ujung tambang menotok ketiga belas jalan darah yang mematikan pada bagian depan tubuh.
"Heh-heh-heh, engkau memiliki dasar yang lebih baik dari pada Hun Bwe...!"
Dengan matanya sendiri Biauw Eng melihat betapa semua totokannya yang bertubi-tubi itu mengenai sasaran, akan tetapi nenek itu tidak apa-apa, malah akhirnya ujung tambang itu membalik dan menotok dadanya sendiri. Dia cepat menyendal tambang itu sehingga ujung tambang lewat di atas kepalanya.
Keringat dingin mulai keluar dari wajah Biauw Eng. Tahulah dia bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Nenek ini memiliki kepandaian yang amat luar biasa seperti siluman saja.
"Sumoi, Subo sudah mengambilmu sebagai murid, kenapa engkau masih melawan terus? Hi-hi-hik, Subo, sudah kukatakan bahwa dia ini memang gila. Betul tidak?"
Mendengar ucapan gadis pakaian merah ini. Biauw Eng terkejut. Dia diambil murid? Sejak kapan?
"Subo sudah menyebutmu dewi, berarti engkau telah menjadi muridnya," kata lagi wanita itu dan setiap kali bicara dengannya, suara wanita baju merah itu tenang dan wajar. Akan tetapi begitu bicara kepada nenek itu atau kepada pasukan baju kuning, gadis baju merah itu lalu ketularan gila!
Giranglah hati Biauw Eng. Bukankah dia mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi supaya kelak dapat menghadapi Cui Im? Tempat mana yang lebih tepat untuk mengasingkan diri dari dunia ramai dari pada tempat aneh di samping sekumpulan orang gila ini? Dan guru mana yang akan mampu menggemblengnya lebih hebat dari pada nenek gila yang mempunyai kepandaian tidak lumrah manusia ini?
Segera dia dapat mengambil keputusan dan cepat Biauw Eng menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata, "Subo...!"
"Heh-heh-heh, muridku yang manis, engkau tidak lekas memberi hormat?"
Biauw Eng tercengang. Dia sudah berlutut namun masih disuruh lekas memberi hormat. Penghormatan apa lagi yang harus ia lakukan? Cepat ia melakukan pai-kui (menyembah) sampai delapan kali. Akan tetapi betapa kagetnya ketika nenek itu berkata lagi,
"Lekas engkau memberi hormat pada gurumu. Apakah kau tidak suka menjadi muridku?"
Biauw Eng menjadi bingung dan wanita berpakaian merah di dekatnya berbisik, "Lekas kau mencium ujung kedua sepatunya." Kemudian nona baju merah itu tertawa. "Hi-hi-hik, Subo. Bukankah Sumoi ini masih gila dan belum sembuh benar? Tetapi teecu percaya dia akan sembuh."
Biauw Eng sangat terkejut dan hampir saja dia meloncat berdiri untuk memaki-maki nenek itu. Aturan mana ini kalau bukan aturan orang gila? Masa untuk menjadi murid saja harus merendahkan diri melebihi budak belian, harus mencium kedua ujung sepatu gurunya!
Akan tetapi kesadarannya membuat dia segera mempertimbangkan. Kalau ia bangkit dan menentang, tentu ia akan mati. Ia tidak takut mati, akan tetapi bukankah kematiannya itu akan sia-sia saja dan bagaimana ia akan dapat membalas dendamnya terhadap Cui Im? Apakah dibiarkan enak-enak tanpa dihukum setelah melakukan kekejian terhadap dirinya dan terhadap ibunya?
Dia mengeraskan hatinya, lalu menghampiri nenek itu, berlutut dan mencium kedua ujung sepatunya.
"Heh-heh-heh, bagus, bagus, engkau mulai sembuh dari penyakit gilamu! Ehh, siapakah namamu?"
"Nama teecu Sie Biauw Eng," jawab Biauw Eng, diam-diam mengharap agar nenek itu tidak mengeluarkan perintah yang gila-gila lagi.
"Dukkk...!" Tubuh Biauw Eng terpental dan bergulingan sampai lima meter jauhnya.
Kembali nafsu amarah hampir membuat Biauw Eng meloncat bangun, memaki-maki dan melawan. Meski pun tendangan itu tidak melukainya karena ia sebetulnya hanya didorong pada pundaknya dengan ujung kaki, namun penghinaan itu terlampau berat baginya. Untung bahwa sebelum ia melakukan sesuatu yang tentunya akan berakibat hebat bagi dirinya, nenek itu sudah membentak,
"Engkau she Sie? Apa hubunganmu dengan Sie Cun Hong?!"
Saking herannya mendengar nama mendiang ayahnya disebut-sebut nenek itu. Biauw Eng lupa akan kemarahannya. Nenek ini gila, semua orang yang berada di situ gila. Apa salahnya kalau dia membohong? Semua ucapan mereka pun kacau balau dan tidak ada yang benar!
"Teecu tidak mengenalnya. Mengapa Subo menyebut-nyebut nama itu? Siapakah dia?"
"Dia? Heh-heh-heh, dialah laki-laki yang paling tampan, paling gagah perkasa di dunia ini! Dia laki-laki satu-satunya yang kucinta, akan tetapi... si keparat gila itu menolakku dengan mengatakan aku berotak miring! Heh-heh-heh!"
Mendengar ini dan melihat nenek itu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian mendengar pula nona baju merah itu tertawa diikuti gelak tawa ketiga belas orang pasukan kuning, Biauw Eng lalu ikut tertawa pula. Tertawa bergelak, lebih nyaring dari yang lain karena gadis ini tertawa sewajarnya, timbul dari hati yang girang bahwa ayahnya dahulu menolak nenek ini yang semenjak mudanya sudah gila! Melihat sikap Biauw Eng ini, nenek itu kelihatan senang.
"Heh-heh-heh, muridku yang baik, Biauw Eng dewi manis, ternyata engkau telah sembuh, tidak gila seperti Sie Cun Hong. Biarlah, biar she-mu Sie akan tetapi engkau tidak ada hubungan dengan dia. Kalau masih keluarga, tentu kubunuh sekarang juga engkau. Dan ibumu, di mana ibumu?"
"Ibu sudah meninggal dunia, dibunuh orang. Ayah pun sudah meninggal dunia!"
"He-he-he-ha-ha! Orang tuamu sudah mati, orang tuaku pun sudah mati. Orang tua Hun Bwe juga sudah mati semua. Ha-ha-ha, betapa sengsara hidup kita, merana sebatang kara... Heh-heh-heh!"
"Hi-hi-hik, sungguh sengsara kita!" Hun Bwe si nona baju merah juga terkekeh.
Biauw Eng menjadi bingung, memandang nenek dan ‘suci-nya’ itu yang tertawa-tawa. Mereka bilang hidup sebatang kara ditinggal mati orang tua akan tetapi mengapa mereka tertawa-tawa? Benar-benar gila!
Tiba-tiba nenek itu menghentikan ketawanya dan memandang Biauw Eng. "Ehh, kenapa engkau tidak tertawa? Apakah engkau tidak berduka ditinggal mati orang tuamu?"
Biauw Eng terkejut. Ia memang berduka saat diingatkan bahwa ibunya telah mati dengan mengenaskan. Akan tetapi mengapa dia disuruh tertawa? Karena tidak dapat menyelami isi hati gurunya ia tertawa, akan tetapi tidak seperti tertawa, melainkan menyeringai pahit.
"Wah, ketawamu sama sekali tidak sedap! Mulutmu bau kalau tertawa seperti itu!" Nenek itu membentak.
"Subo, Sumoi masih belum sembuh dari gilanya," Hun Bwee mengingatkan gurunya yang mengangguk-angguk.
"Benar, hampir saja aku lupa. Mari kita rayakan kedatanganmu, Biauw Eng. Kita rayakan datangnya muridku yang baru!"
Tangan Biauw Eng digandeng oleh Hun Bwe, kemudian diajak memasuki gedung aneh mengikuti guru mereka. Ternyata di sebelah dalam gedang itu sabfat luas dan biar pun lantainya tidak rata, namun di dalam gedung itu hawanya dingin dan sejuk.
Celaka bagi Biauw Eng, semua perabot dalam rumah itu aneh-aneh. Bangku-bangkunya diletakkan terbalik, alas tempat duduknya di bawah dan empat kakinya mencuat ke atas. Mereka duduk di atas kaki-kaki bangku itu. Tentu saja amat tidak enak, akan tetapi Biauw Eng mulai dapat menyesuaikan diri. Bagi orang yang mempunyai kepandaian seperti dia, duduk di atas bangku atau di atas ujung tombak sekali pun, sama saja.
Mejanya juga aneh, bentuknya segi tiga pletat-pletot tidak rata dan letaknya miring hingga kalau meletakkan benda di atas meja itu tentu akan tergelincir jatuh! Akan tetapi melihat permukaan meja yang miring itu kasar dan banyak lubang-lubangnya, mengertilah Biauw Eng bahwa menaruh benda di situ harus mempergunakan sinkang sehingga bendanya ditekan menancap pada permukaan meja!
Ketika dia melirik ke arah dinding, di situ terdapat gambar-gambar yang aneh. Warnanya menyolok beraneka macam sehingga menyakitkan mata, dan bentuk lukisan itu sendiri aneh sekali. Ada orang yang matanya hanya satu, hidungnya dua, bahkan ada lukisan orang yang kepalanya di bawah kakinya di atas, matanya berada di kuku jempol kaki!
Banyak pula lukisan yang membuat Biauw Eng menjadi pening kepalanya hanya dengan memandanginya saja. Sampai hampir pecah rasa kepalanya ketika dia berusaha untuk mengerti lukisan apa sebenarnya yang tergantung itu. Namun tetap saja ia tidak mengerti!
Bayangkan saja. Lukisan itu merupakan coretan-coretan halus, malang melintang dan saling membelit seperti lima macam benang ruwet menjadi satu! Ada pula lukisan yang merupakan titik-titik hitam di atas putih, dan yang lebih gila lagi adalah lukisan yang hanya hitam saja tidak berbentuk, tak tentu garisnya, akan tetapi lukisan-lukisan aneh ini di taruh di tempat tertinggi dan ada yang diberi bingkai emas!
"Indah, ya?" tiba-tiba saja nenek itu bertanya kepada Biauw Eng ketika melihat gadis ini memandangi lukisan-lukisan yang menghias dinding.
Biauw Eng terpaksa mengangguk-angguk, akan tetapi dia tak dapat lagi menahan keingin tahuannya dan bertanya, "Subo, lukisan apakah itu? Apakah lukisan benang lima warna yang ruwet dan awut-awutan?"
"Wah, celaka...! Dasar engkau masih gila, belum sembuh benar, karena itu tidak bisa mengerti. Itu adalah lukisan yang bernama kecerdasan!"
Biauw Eng menelan ludah bersama sumpah serapah yang sudah berada di ujung lidah. Lukisan berjudul ‘Kecerdasan’? Kecerdasan orang gila!
"Karena engkau gila maka engkau tidak bisa menikmati keindahannya. Lihat saja, betapa goresan si pelukis sangat menjiwai lukisannya. Betapa jelas menggambarkan kecerdasan manusia, seperti benang-benang sutera halusnya, dapat menyusuri setiap liku-liku hidup dan seisi alam mayapada. Hemmm, betapa hebatnya si pelukis!" Nenek itu mengangguk-angguk.
"Dan yang hitam semua itu, Subo. Apakah itu lukisan keindahan waktu malam gelap tiada bulan?"
"Wah-wah, dasar gila! Itu namanya lukisan Ketenangan! Dan yang titik-titik hitam di atas putih itu namanya lukisan Titik-titik Dosa."
Bukan main! Biauw Eng tidak berani memandang atau bertanya lagi, bukan takut disebut gila oleh gurunya, melainkan takut kalau-kalau ia akan betul-betul gila jika ia dapat mengerti lukisan-lukisan seperti itu!
Para anak buah pasukan baju kuning yang kemudian ternyata adalah pelayan-pelayan dan juga murid-murid si nenek, datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Semua mangkok dan panci yang berisi hidangan itu mereka taruh di atas meja sambil mengerahkan sinkang sehingga mangkok-mangkok itu tertekan di dalam permukaan meja dan tidak jatuh biar pun permukaan itu miring.
"Mari kita pesta, hayo makan, Biauw Eng!"
Biauw Eng lantas mengambil mangkok dan sumpit, akan tetapi begitu sumpitnya menjepit sepotong daging di dalam panci, dia hampir menjerit karena yang disumpitnya itu adalah buntut seekor kadal! Tiba-tiba, sebelum dia membuang buntut itu sambil menggigil jijik, kakinya diinjak orang dan ia tahu bahwa yang menyentuh kakinya itu kaki Hun Bwee yang duduk di sebelah kirinya. Ia menoleh dan melihat sedetik mata yang indah dari gadis baju merah itu berkedip.
Biauw Eng melihat Hun Bwee sengaja menyumpit sebutir kepala kadal yang matanya melotot, lalu memasukkan kepala ini ke mulutnya yang merah dan mengunyah, kelihatan enak sekali! Biauw Eng menelan ludah, hampir muntah. Akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia menolak hidangan itu, gurunya yang gila tentu akan marah.
Dan suci-nya itu sudah memberi isyarat. Mengapa tadi suci-nya memberi isyarat? Sambil memejamkan mata seperti orang makan jamu pahit, dia lalu memasukkan buntut itu ke mulutnya dan... ternyata rasanya enak gurih dan baunya sedap. Entah bumbu apa yang digunakan, akan tetapi buktinya enak! Rasa enak ini mengurangi kemuakannya sehingga mulailah dia ikut makan.
Dapat dibayangkan betapa mual rasa perut Biauw Eng pada waktu mendapat kenyataan bahwa yang dimasak itu adalah binatang yang tidak biasa dimakan orang waras. Ada sop cacing, ada tim cecak, goreng kecoa kering, cah ular berbisa dan kadal godok!
"Hayo makan yang kenyang, ini rasakan sopnya, wah lezat sekali!" Nenek itu berkata dan sekali sumpitnya bergerak seonggok cacing memasuki mangkok Biauw Eng!
Gadis ini membelalakkan matanya, hampir saja menjerit, akan tetapi kembali Hun Bwee berkedip padanya! Biauw Eng meramkan mata, menyumpit cacing dan memasukkan ke mulutnya. Ihhhh, memang enak rasanya, akan tetapi licin dan seolah-olah cacing-cacing itu masih hidup, langsung saja meluncur memasuki tenggorokannya terus ke perut. Perut Biauw Eng mual dan hampir ia muntah, dan hanya dengan kekuatan kemauannya saja ia dapat bertahan.
Sesudah pesta makan, nenek itu lalu menari dan semua orang menari, termasuk Biauw Eng. Gadis ini selalu berusaha mencontoh Hun Bwee, akan tetapi melihat suci-nya itu mengegal-egolkan pantatnya yang bulat membusung, dia menjadi geli kemudian tertawa bergelak.
"Ehh, kenapa engkau berduka? Mari bergembira!" Nenek itu mencela melihat Biauw Eng tertawa dan... Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil menari.
Biauw Eng terbelalak heran, lebih lagi kaget dan herannya melihat Hun Bwee juga turut menangis sambil menari. Juga tiga belas pelayan wanita itu menangis semua, ada yang meraung-raung, ada yang sesenggukan, ada yang mengguguk, ada yang terisak-isak. Mereka menangis sambil menari, menggoyangkan pinggul, meliak-liukkan pinggang yang ramping! Benar-benar lucu dan aneh dan... gila!
Terpaksa Biauw Eng juga ikut menangis dan karena ia teringat akan nasibnya, betapa ia sampai tersesat di dunia gila dan terpaksa ikut-ikutan gila, tangisnya paling menyedihkan! Hal ini malah menyenangkan hati nenek itu. Ia menepuk-nepuk pundak Biauw Eng sambil menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus,
"Aahhh... Muridku yang baik... engkau paling gembira... Ah, hu-hu-huuu, bagus... Engkau menikmati pesta ini... Hu-hu-huuukkk!"
Biauw Eng merasa pening kepalanya, tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis. Akan tetapi hatinya penuh duka, dan dia sengaja mengenangkan ibunya, mengenangkan Keng Hong sehingga hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin mengguguk.
Akhirnya pesta pun berakhir dan Biauw Eng disuruh mengaso, tidur bersama Hun Bwee. Kamar tidurnya juga membuat dia menarik napas panjang. Bukan dipan dengan kasur empuk, melainkan dipan kasar dengan ‘kasur’ batu-batu karang yang runcing dan tajam. Ini bukan beristirahat namanya, melainkan menyiksa diri! Melihat wajah sumoi-nya muram Hun Bwee berbisik,
"Sumoi, kau harus pandai menyesuaikan diri. Pilihlah, tidur di atas dipan, atau tidur bersila di lantai atau tidur... berdiri."
Biauw Eng kehilangan kesabarannya. Disambarnya tangan suci-nya dan ia berkata, "Suci, apa artinya ini semua? Aku tahu betul, engkau tidak gila!"
"Sssttttt...!" Hun Bwee menarik tangan sumoi-nya, diajak duduk di atas lantai kemudian ia berbisik lirih sekali di dekat telinga sumoi-nya. "Kalau subo tahu, kita berdua tentu akan dibunuhnya. Engkau ingin memperdalam ilmu silat, bukan?"
Biauw Eng mengangguk.
"Sudah kuduga, maka engkau mau menjadi murid. Aku pun begitu, hanya subo-lah yang akan dapat menggembleng kita. Aku baru setahun di sini, akan tetapi ilmuku maju pesat secara luar biasa. Demi tercapainya cita-cita kita harus berani berkorban dan di sini kita hanya berkorban menyesuaikan diri ke dalam dunia yang tidak normal. Akan tetapi kau tunggu saja, hal ini bahkan akan dapat memberi kemajuan kepada ilmu silatmu. Setahun yang lalu, ketika aku tiba di sini, kepandaianku masih jauh di bawah tingkatmu sekarang."
Biauw Eng terkejut. Kalau begitu jelas bahwa kemajuan yang diperoleh suci-nya memang hebat sekali. "Suci, siapakah subo itu?"
"Mari kita berbaring di atas dipan batu-batu karang itu. Baik sekali untuk latihan ginkang. Aku dapat menempelkan mulut ke telingamu dan kita dapat mengobrol dengan leluasa tanpa khawatir terdengar orang lain."
Hati Biauw Eng girang sekali. Kenyataan bahwa suci-nya bukanlah orang gila seperti guru mereka dan para pelayan, memberi hiburan yang amat besar dan berpengaruh sehingga rasa mual di perutnya seketika lenyap. Apa bila dia harus berpura-pura gila dan makan masakan yang menjijikan itu, kini dia tahu bahwa dia tidak menderita sendirian, ada Hun Bwee yang juga sama dengan dia nasibnya!
Kedua dara ini lalu membaringkan diri di atas dipan berkasur batu karang, dan melihat betapa suci-nya dapat berbaring dengan enak, Biauw Eng menjadi kagum akan ginkang suci-nya. Ia pun lalu mengerahkan ginkang-nya dan berbaring di sebelah suci-nya yang kini dia tahu sengaja mengajak dia untuk dijadikan teman agar penderitaaannya menjadi ringan.
Tahulah dia kini kenapa suci-nya ini tadi sengaja memaki-maki dia gila akan tetapi dapat disembuhkan. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hun Bwee dan merasa suka kepada suci-nya ini.
Mereka berbisik-bisik dan Hun Bwee lalu menceritakan pengalamannya lebih dahulu. Kini mereka bicara sewajarnya seperti orang waras dan Hun Bwee kelihatan berduka sekali, bercerita sambil bercucuran air mata. "Namaku Tan Hun Bwee, orang tuaku meninggal dunia karena tekanan batin, tidak berhasil membalas dendam kepada musuh besarnya. Aku berusaha melanjutkan cita-cita mereka membalas dendam, akan tetapi musuh besar itu sudah tewas. Aku bertemu dengan murid musuh itu, hendak kubalas dendam kepada muridnya, akan tetapi... aku... aku... malah diperkosanya...!" Gadis itu menutupi mukanya dan menangis tanpa suara.
Biauw Eng memeluknya. "Aduh, sungguh buruk nasibmu, Suci. Siapakah nama jahanam itu? Biar kelak aku membantumu menghancurkan kepalanya!"
Hun Bwee menggeleng kepala. "Marilah kita berjanji Sumoi. Kita tidak akan mencampuri urusan kita masing-masing. Urusan pribadi kita harus kita selesaikan sendiri dan marilah kita di sini saling melatih supaya dapat cepat memperoleh hasil, yaitu kepandaian tinggi untuk membalas dendam."
Biauw Eng menarik napas panjang. Ada benarnya kata-kata suci-nya ini. Urusan pribadi memang tidak baik kalau dicampuri orang lain, walau pun yang mencampuri itu saudara seperguruan sendiri. "Baiklah, Suci."
Tentu saja Biauw Eng sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa musuh besar yang dimaksudkan oleh Hun Bwee adalah ayahnya sendiri, yakni Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan bahwa murid musuh besar yang dikatakan memperkosa dirinya itu bukan lain adalah... Keng Hong.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Hun Bwee, puteri mendiang Hek-houw Tan Kai Sek atau Tan-piauwsu yang bersama isterinya mati karena tekanan batin tak mampu membalas dendam terhadap Sin-jiu Kiam-ong, sudah bertemu dengan Keng Hong dan betapa dia telah diperkosa oleh Lian Ci Tojin tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng dan menjadi hamba nafsu birahi, kemudian betapa Hun Bwee ditolong oleh Keng Hong akan tetapi menyangka pemuda itu telah memperkosanya.
"Sumoi, sekarang ceritakanlah pengalamanmu. Tentu pengalamanmu hebat pula, tidak kalah sengsara dari pengalamanku, maka engkau kelihatan seperti orang yang putus asa. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah pengalamanmu kepadaku, Sumoi."
Diam-diam Biauw Eng merasa terharu mendengar ucapan Hun Bwee yang terdengar penuh kasih sayang. Suara seperti ini belum pernah dia dengar, dari mulut ibunya yang bersuara dingin pun belum pernah. Hanya pernah dari suara Keng Hong... Akan tetapi, pemuda itu hanya menjual madu di bibir!
Merasa betapa dia seakan-akan mendapat seorang kakak, dia lalu merangkul leher Hun Bwee dan menangis terisak-isak di dada gadis itu. Hun Bwee mengelus-elus rambut yang hitam berombak itu dan gadis itu pun menangis. Keduanya bertangisan, tangis karena terharu, tangis yang wajar dan tulen, tidak dibuat-buat seperti tangis ketika mereka berdua menari-nari tadi.
"Kalau berat hatimu, tak usah kau ceritakan, Sumoi."
"Tidak, Suci... Engkau kuanggap enci-ku sendiri... akan tetapi karena janjimu tadi, biarlah kuceritakan tanpa menyebut nama pula. Namaku memang Sie Biauw Eng, Ayahku sudah meninggal dunia dan ibuku dibunuh secara keji sekali oleh suci-ku sendiri, murid ibuku! Aku telah mencarinya, akan tetapi dia telah memperdalam ilmunya dan sekarang menjadi seorang yang sangat lihai, aku bukan tandingannya sehingga aku hampir putus harapan untuk dapat mengalahkannya. Selain itu aku... aku, ah... aku mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia ternyata berhati palsu, hanya mencinta jasmaniku dan aku tidak sudi... Ahhh..."
"Sudahlah, Sumoi. Aku dapat mengerti kesengsaraan hatimu. Aku pun mencinta seorang pria, cinta yang baru bersemi karena melihat dia tampan dan gagah perkasa, akan tetapi dia... dialah yang memperkosa aku..."
Kedua orang gadis itu segera menjadi akrab, merasa senasib sependeritaan, terutama sekali sependeritaan dalam menyesuaikan diri di tempat itu, di antara sekumpulan orang gila!
"Suci, siapakah sebenarnya subo? Benarkah dia amat lihai?"
"Untuk masa sekarang agaknya sukar dicari orang yang lebih lihai dari dia. Engkau tahu, itu Go-bi Chit-kwi yang disohorkan sangat lihai, pernah dihajar habis-habisan oleh subo sehingga mereka bertujuh merangkak-rangkak minta ampun, baru dibebaskan oleh subo. Kiraku hanya ada satu orang yang mungkin sanggup menandinginya, yaitu laki-laki yang pernah mematahkan hatinya, Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong!"
"Ohhhhh...!" Biauw Eng terkejut.
"Kenapa, Sumoi? Pernahkah engkau mendengar nama Sin-jiu Kiam-ong?"
"Tentu saja, siapakah yang tidak mendengar namanya?" Diam-diam Biauw Eng merasa lega bahwa suci-nya ini belum pernah mendengar nama julukannya sehingga tidak tahu bahwa dia adalah puteri Lam-hai Sin-ni, sungguh pun andai kata tahu sekali pun, tidak ada halangannya.
Demikianlah, semenjak hari itu Biauw Eng menjadi murid nenek itu yang namanya tidak dikenal oleh seorang pun di situ. Bahkan Tan Hun Bwee pun hanya mengenalnya sebagai Go-bi Thai-houw (Ratu Go-bi). Biauw Eng dilatih bersama Hun Bwee, akan tetapi latihan mereka tidak sama. Hal ini adalah karena dasar ilmu silat yang mereka miliki berbeda jauh.
Nenek itu memiliki cara mengajar yang sangat lucu dan aneh, disesuaikan dengan dasar kepandaian mereka, akan tetapi tampaknya ilmu silat murid-muridnya itu malah ‘dirusak’ karena semua variasinya diubah, diisi gerakan-gerakan seperti orang gila, sungguh pun dasarnya tetap tidak diubah.
Dan Biauw Eng mendapat penjelasan dari suci-nya yang membuat ia mulai bisa mengerti kenapa pelajaran nenek itu bisa mendatangkan kemajuan yang cepat luar biasa. Kiranya, keadaan nenek yang gila ini serba terbalik dari orang waras, sehingga kalau bergembira dia menangis, sebaliknya kalau berduka dia tertawa. Justru orang yang dapat menguasai perasaan ini menimbulkan kekuatan batin yang hebat, yaitu dapat tertawa di dalam duka dan dapat menangis di dalam suka!
Sikap seperti ini biasa saja bagi orang gila, akan tetapi kalau dilaksanakan oleh orang waras, merupakan latihan batin yang amat berat dan hasilnya pun bukan main besarnya, karena orang yang dapat melakukannya, berarti dapat mengatasi perasaan dan semua nafsunya.
Orang yang tidak dikuasai oleh nafsu, berarti selalu berada dalam keadaan ‘tiong-yong’ (lurus, tegak, tidak berat sebelah). Apa bila datang nafsu-nafsu seperti suka-duka, marah dan lain-lain, maka perimbangannya menjadi tidak lurus lagi, menjadi miring dan tentu saja hal ini membayangkan kelemahan batin yang dapat mendorong orang lupa diri dan melakukan hal-hal yang menyeleweng. Dalam hal ilmu silat pun perlu sekali orang dapat mengatasi semua nafsu, karena dia akan menjadi kuat batinnya dan dengan cepat tenaga sakti (sinkang) di tubuh yang terbenam dalam pusar akan menjadi makin kuat.
Karena pada dasarnya ilmu kepandaian Biauw Eng memang lebih tinggi dari pada tingkat Hun Bwee, setelah belajar selama setahun saja, tingkat kepandaian Biauw Eng sudah melampaui tingkat Hun Bwee. Melihat ini, diam-diam Hun Bwee menjadi amat kagum dan menduga-duga siapakah tadinya guru sumoi-nya ini.
Akan tetapi dia tidak menjadi iri hati karena selama setahun ini dia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng adalah seorang dara yang amat baik budi sehingga hubungan di antara mereka bagaikan kakak beradik saja. Mereka berdua tekun belajar dan terus berlatih di bawah pengawasan Go-bi Thai-houw yang biar pun gila, akan tetapi ternyata amat tekun mengajar dan banyak macam ilmu aneh dia turunkan kedua muridnya.
Kita tinggalkan dulu Hun Bwee dan Biauw Eng yang belajar dengan tekun sekali karena keduanya mempunyai cita-cita. Mari kita mengikuti perjalanan Keng Hong yang telah lama kita tinggalkan.
Sejak pertemuannya dengan Siauw-bin Kuncu, mulailah Keng Hong dengan sabar sekali melakukan pengintaian untuk dapat bertemu dengan Cui Im di luar kota sehingga ia akan dapat menyergap dan memaksa wanita itu mengembalikan semua pusaka peninggalan gurunya. Akan tetapi sampai tiga bulan lebih dia mengintai dan menunggu, tidak pernah Cui Im mendatangi pondok merah di luar kota raja yang ditunjukkan oleh Siauw-bin Kuncu itu.
Ternyata bahwa Cui Im amat cerdik dan sudah dapat menduga bahwa Keng Hong tentu tak akan tinggal diam dan akan berusaha menemuinya di luar istana atau luar kota raja sehingga gadis yang cerdik ini jarang sekali meninggalkan istana. Selain itu, juga Cui Im menyebar banyak mata-mata untuk menyelidiki sehingga akhirnya dia malah tahu bahwa Keng Hong mengintai dan menantinya di luar kota raja, menunggu dia datang ke pondok merahnya!
Tentu saja diam-diam Cui Im menetertawakan Keng Hong, bahkan gadis ini lalu mencari akal muslihat bagaimana caranya bisa melenyapkan Keng Hong dari muka bumi karena selama pemuda itu masih hidup, tentu dia tak akan merasa aman. Cui Im mengerti bahwa dia sendiri takkan dapat mengalahkan Keng Hong, bahkan biar pun ia dibantu oleh Siauw Lek sekali pun, belum tentu akan dapat menandingi Keng Hong.
Dia merasa ngeri ketika menyaksikan pertandingan antara Hok Gwan dan Keng Hong, apa lagi melihat betapa Keng Hong telah menguasai Thi-khi I-beng sedemikian mahirnya, tidak seperti dulu. Tidak ada jalan lain baginya untuk dapat menandingi Keng Hong selain dengan bantuan Siauw Lek.
Dia harus mendapat bantuan orang-orang pandai seperti Pak-san Kwi-ong dan beberapa orang rekannya pengawal rahasia yang berilmu tinggi. Jumlah mereka ada tujuh orang. Tentu saja tugas mereka tak mungkin dapat ditinggalkan. Sedikitnya harus ada tiga orang yang menjaga keselamatan kaisar. Kalau ia dibantu Pak-san Kwi-ong dan Kemutani saja, datuk persilatan peranakan Mongol itu, bersama Siauw Lek, agaknya mereka berempat akan dapat menandingi Keng Hong.
Mendengar dari para penyelidiknya bahwa Keng Hong selalu menunggu di luar kota raja sebelah barat, tidak jauh dari sebuah pondok kecil mungil warna merah yang sudah lama selalu kosong seperti kosongnya hati Keng Hong yang mengintai dengan sabar sampai berbulan-bulan, Cui Im lalu mengajak Pak-san Kwi-ong berunding.
"Engkau telah menyaksikan sendiri, Kwi-ong, ketika Keng Hong melawan Tio Hok Gwan. Dia sudah menguasai Thi-khi I-beng (Mencuru Hawa Pindahkan Nyawa). Kalau dia tidak dilenyapkan dari muka bumi, bukankah kelak nama kita akan hancur olehnya?"
"Ha-ha-ha-ha! Nama siapa yang akan hancur, Ang-kiam?" Pak-san Kwi-ong seperti biasa tertawa bergelak.
Dan dia memang tidak pernah mau menyebut Cui Im dengan julukan lengkapnya, yaitu Ang-kiam Bu-tek. Dia tidak mau menyebut gadis itu Bu-tek (Tanpa lawan) karena hal ini akan membuat dia seperti mengakui bahwa gadis itu tidak ada lawannya, dan berarti dia sendiri pun menyatakan takluk! Maka ia hanya menyebut Ang-kiam (Pedang Merah) saja.
"Antara dia dan aku tidak ada suatu urusan apa pun, yang dicarinya bukan aku melainkan engkau. Urusan pribadimu dengan dia boleh kau bereskan sendiri saja kalau kau mampu menghadapinya, ha-ha-ha! Mengapa harus aku mencampuri urusanmu?"
Diam-diam Cui Im menyumpah kakek tinggi besar hitam ini. Akan tetapi biar pun dia jauh lebih muda, patut menjadi cucu kakek itu, dalam hal kecerdikan, Cui Im menang jauh. Ia hanya tersenyum manis, bukan untuk memikat hati Pak-san Kwi-ong.
Dia tahu bahwa kecantikan wajahnya dan keranuman tubuh mudanya tidak akan dapat menggerakkan hati kakek itu. Andai kata demikian halnya, pasti dia takkan segan-segan untuk menggunakan umpan lain.
"Kwi-ong, jangan engkau membohong. Bukankah dahulu engkau adalah salah seorang di antara mereka yang memperebutkan Sian-bhok-kiam untuk mendapatkan pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong? Keng Hong adalah murid Sin-jiu Kiam-ong!"
Kembali kakek hitam itu tertawa bergelak. "Aku bukan orang bodoh, Ang-kiam. Aku tahu bahwa bocah itu murid Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi kalau dulu kita semua tidak berhasil membujuk dan mengepung gurunya, bagaimana sekarang akan dapat berhasil memaksa muridnya? Kulihat bocah itu lihai sekali, belum tentu kalah oleh mendiang gurunya, dan juga dalam kekerasan hati, dia tidak kalah. Tidak, aku sudah tua dan kedudukanku di sini sudah amat baik, mau apa lagi? Aku tidak akan mencari penyakit memusuhi murid Sin-jiu Kiam-ong, membahayakan keselamatan sendiri tanpa tujuan yang jelas selain... ha-ha-ha, menolong dan membantumu!"
Cui Im tersenyum mengejek, "Hmm, tertawalah, Kwi-ong karena engkau belum tahu, nanti ketawamu akan lain bunyinya. Sekarang katakan, pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang manakah yang dahulu amat kau inginkan?"
Pak-san Kwi-ong menghentikan tawanya dan memandang wajah cantik itu dengan sinar mata tajam menyelidik. "Hemmm, apa artinya kuberitahukan kepadamu? Akan tetapi tidak apalah kuceritakan juga. Di antara semua kitab yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, ada sebuah kitab yang amat kubutuhkan, yaitu kitab Siauw-lim-pai..."
"Seng-to Cin-keng? Ataukah kitab I-kiong Hoan-hiat?" Cui Im memotong.
Mata kakek hitam itu terbelalak. "Eh, engkau sudah tahu pula? Kitab ke dua itulah, I-kiong Hoan-hiat. Kitab itu amat kubutuhkan karena ilmu dalam kitab itulah yang akan membantu sempurnanya ilmu yang sedang kuciptakan."
"Sekarang bagaimana? Masih inginkah? Apa bila engkau membantuku menghadapi Keng Hong, aku tanggung engkau akan memiliki kitab itu."
Kakek itu membelalakkan mata. "Hmm, jangan main-main. Andai kata aku membantumu dan kita berhasil mengalahkan Keng Hong, dari mana aku akan bisa mendapatkan kitab itu? Aku sangsi apakah dia akan suka menyerahkan kitab itu, dia seorang yang keras hati dan tak mungkin dapat dipaksa dengan siksaan yang bagaimana pun."
"Hi-hi-hik, ternyata biar pun sudah tua engkau masih tetap bodoh, Kwi-ong."
"Apa maksudmu?" Kening tebal Pak-san Kwi-ong berkerut dan sinar mata datuk dari utara itu membayangkan kemarahan.
"Kau kira dari manakah aku mendapat kepandaian sehingga kini bisa menjadi Ang-kiam Bu-tek, tokoh nomor satu tak terkalahkan? Kau kira bagaimanakah aku sampai mampu mengalahkan bekas guruku, Lam-hai Sin-ni yang menjadi tokoh terkuat dari Bu-tek Su-kwi dan membunuhnya? Dari mana aku mendapatkan kepandaian untuk merobohkan semua jagoan yang berani menentangku, membunuh Sin-to Gi-hiap serta yang lain-lain? Akulah orangnya yang sudah berhasil mewarisi semua pusaka Sin-jiu Kiam-ong dan termasuk kitab I-kiong Hoan-hiat. Kalau engkau mau membantuku menghadapi Keng Hong sampai dia tewas, aku akan memberi kitab pusaka Siauw-lim-pai itu kepadamu."
Sepasang mata yang lebar dan tampak putih sekali karena mukanya hitam itu terbelalak, telinga yang lebar bagai telinga gajah itu bergerak-gerak. Memang Pak-san Kwi-ong telah maklum akan kelihaian bekas murid Lam-hai Sin-ni itu, akan tetapi mendengar pengakuan bahwa gadis inilah yang berhasil mewarisi pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong, benar-benar merupakan hal yang tak disangka-sangkanya. Ia masih belum mau percaya benar, maka dia berkata,
"Ang-kiam, bagaimana aku bisa tahu bahwa engkau tidak membohong?"
"Pak-san Kwi-ong, apakah kepandaianku masih belum meyakinkan hatimu? Apakah lebih dulu engkau perlu untuk mencobanya?" Cui Im meraba gagang pedang merahnya.
"Ha-ha-ha! Kita berdua tentu akan dihukum mati oleh kaisar kalau membuat ribut di sini. Tentang engkau pandai sampai setinggi langit, aku tidak peduli. Akan tetapi bagaimana aku bisa percaya bahwa kitab I-kiong Hoan-hiat berada padamu kalau aku belum melihat buktinya?"
"Bagus! Aku akan memperlihatkan kitab itu kepadamu. Dan jika memang benar, maukah engkau membantuku menghadapi Keng Hong dan kalau dia tewas aku akan memberikan kitab itu kepadamu sebagai balas jasa?"
Kakek hitam yang amat membutuhkan kitab itu mengangguk-angguk.
"Kau tunggulah sebentar!" Cui Im lalu berkelebat pergi dan tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Siauw Lek yang tersenyum-senyum.
"Lihatlah baik-baik, bukankah ini adalah kitab yang kau inginkan itu?" Cui Im memegang sebuah kitab yang tadinya terbungkus kain kuning, memperlihatkan sampulnya kemudian membuka-buka lembarannya.
Sepasang mata kakek hitam itu makin melebar dan wajahnya berseri-seri. Dia mengenal kitab itu yang pernah dilihatnya dahulu di Siauw-lim-si akan tetapi yang tak pernah dapat dia miliki. Dahulu, dia siap mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan kitab ini. Dan sekarang, dia akan dapat memilikinya dengan mudah! Syaratnya hanya membantu Cui Im menewaskan Keng Hong!
Kalau dia sendiri disuruh menandingi Keng Hong, sesudah dia melihat kelihaian pemuda itu bertanding melawan Tio Hok Gwan, agaknya akan amat sukar mengalahkan pemuda itu. Akan tetapi bila bersama-sama Cui Im dan Siauw Lek yang benar-benar lihai, hal itu tidaklah amat sukar.
"Baiklah, Ang-kiam Bu-tek. Aku terima permintaanmu!" jawabnya penuh gairah.
Cui Im lalu menyimpan kitabnya di balik baju dengan hati girang. Yang penting adalah menundukkan kakek ini supaya ikut membantunya. Yang terpenting adalah menewaskan Keng Hong. Apa bila hal itu telah terlaksana, tentang pemberian kitab adalah merupakan urusan belakang! Mereka bertiga duduk melakukan perundingan.
"Aku tidak mau bertindak sembrono," berkata Cui Im. "Menghadapi lawan yang demikian lihai, kita tidak boleh terlalu mengandalkan kepandaian sendiri agar jangan sampai gagal. Terus terang saja, ilmu kepandaian yang kini dimiliki Keng Hong juga didapatkannya dari kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Sesungguhnya, aku pun tak akan kalah menghadapinya karena kepandaian kami berdua setingkat dan sesumber. Akan tetapi..." Cui Im menarik napas panjang karena dia benar-benar merasa penasaran dan kecewa, "dia telah dapat menguasai Thi-khi I-beng yang entah dia dapatkan dengan cara bagai mana. Bahkan dahulu sebelum kami menemukan kitab-kitab itu, dia sudah memiliki ilmu mukjijat itu. Akan tetapi, kalau kita maju bersama, kurasa kita akan dapat mengatasinya."
Pak-san Kwi-ong yang sekarang menjadi sangat bersemangat oleh karena dia ingin sekali segera dapat memiliki kitab I-kiong Hoan-hiat, berkata,
"Kurasa bukan hanya ilmu menyedot sinkang lawan itu saja yang perlu kita perhatikan. Apakah engkau juga mengenal ilmu silatnya ketika dia melawan Tio Hok Gwan?"
Cui Im menggelengkan kepala. "Belum pernah aku melihat dia mempergunakan ilmu silat aneh itu."
"Ha-ha-ha! Apa sih anehnya ilmu silatnya itu?" Tiba-tiba Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek berkata dengan suara menghina. "Melihat gerakan tangannya, ilmu silatnya itu bukankah mengambil dari Pat-kwa Kun-hoat dan melihat gerak kakinya, tentu itulah Ngo-heng-kun. Mungkin merupakan penyatuan dua ilmu silat itu."
Pak-san Kwi-ong yang tentu saja lebih banyak pengalamannya, menggeleng kepala dan berkata serius, "Bukan! Gerakan lengan yang membentuk lingkaran-lingkaran itu sangat aneh dan kurasa merupakan ilmu silat simpanan yang tidak terkenal. Kita harus waspada menghadapi ilmu silatnya itu dan ilmu sedotnya yang lihai!"
"Aku percaya kita bertiga akan dapat mengalahkannya!" kata Siauw Lek.
Pak-san Kwi-ong mengangguk. "Kurasa pun begitu. Sungguh pun dia lihai, mustahil kita bertiga tak akan dapat mengalahkannya."
Cui Im mengerutkan alisnya. "Aku ingin sekali turun tangan tidak sampai gagal. Kalau kita bertiga maju, kita hanya merasa unggul, akan tetapi aku belum yakin. Sebaiknya kalau kita bisa mengajak salah seorang lagi di antara rekan kita. Kurasa Kemutani paling boleh diandalkan, dengan hui-to (pisau terbang) dia akan dapat mengacaukan lawan."
"Hemmm, akan tetapi wataknya yang keras mana mungkin dapat kita bujuk?" Siauw Lek meragu.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Kesukaan Kemutani hanya ada satu dan pandang matanya kepadamu Ang-kiam..."
Cui Im mengangguk. "Aku mengerti dan aku siap membalas budinya."
"Akan tetapi dia... mengingatkan aku akan kuda Mongol..."
"Hushh, Siauw Lek. Jangan bicara begitu. Harap engkau suka memanggil dia ke sini." Cui Im mencela dan pandang matanya membuat Siauw Lek tak berani membantah lagi.
Dia adalah kekasih Cui Im, dan dia tidak menjadi cemburu, bahkan tidak peduli kalau Cui Im berpesta pora membagi cinta birahinya kepada pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, membayangkan Cui Im dengan tubuhnya yang ranum dan menggairahkan, kulitnya yang halus putih kemerahan itu, harus melayani Kemutani?
Dia bergidik. Teringat dia akan cerita orang betapa sudah ada tiga orang pelayan istana yang dihadiahkan kepada Kemutani, semuanya mati setelah selama tiga malam berada di kamar peranakan Mongol itu! Kemutani yang memiliki tenaga Iweekang yang amat kuat, bermuka pucat seperti mayat dan bertubuh tinggi kurus itu mengingatkan dia akan seekor kuda jantan Mongol yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita!
Kemutani muncul bersama Siauw Lek dan segera duduk menghadapi Cui Im. Pandangan matanya tanpa disembunyikan lagi melihat belahan dada yang membusung di atas meja di hadapannya itu, wajahnya pucat berseri dan dia berkata dengan suara yang agak kaku karena dia lebih mahir berbahasa Mongol dari pada bahasa Han,
"Nona, engkau memanggil aku? Ada urusan apakah?"
"Kemutani, aku ingin minta pertolonganmu dalam urusan pribadiku."
Kemutani tersenyum dan matanya berkedip-kedip sebelum menjawab. "Ahh, tentu saja aku bersedia menolong, bukankah kita harus saling menolong? Siapa tahu sekali waktu aku pun ingin minta pertolongan darimu, Nona."
Cui Im mengangguk-angguk dan semua maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu. "Memang kita harus saling menolong dan aku berjanji jika engkau suka membantuku dalam urusan ini, setelah berhasil aku pun akan suka membalas dengan membantumu."
"Heh-heh-heh, betulkah? Katakan dulu, apakah urusan itu?"
"Engkau sudah melihat sendiri bahwa ada seorang musuh besarku yang datang hendak mencelakakan aku. Karena dia lihai, maka aku hendak minta bantuanmu menghadapinya bersama Pak-san Kwi-ong dan Jai-hwa-ong..."
"Ahh, pemuda yang lihai bukan main itu?" Kemutani tampak kaget karena dia pun telah menyaksikan sepak terjang Keng Hong ketika menghadapi Hok Gwan dan diam-diam dia pun telah dapat menilai bahwa dia bukanlah lawan pemuda hebat itu.
"Boleh jadi dia lihai, akan tetapi kalau kita berempat maju, aku yakin dia akan dapat kita tewaskan," jawab Cui Im dengan suara pasti.
"Akan tetapi... Apakah kita tidak akan mendapat teguran kalau melakukan pembunuhan di kota raja? Padahal The-taiciangkun sendiri sudah mengetahui duduknya perkara dan sudah pula mengenal pemuda itu."
"Kita harus cerdik. Aku akan memancingnya di luar kota raja dan kita habiskan nyawanya di sana. Pendeknya, kau tidak usah khawatir hal itu, aku yang akan mengaturnya. Yang penting, maukah engkau membantuku menghadapi dia?"
Kemutani tampak meragu. Akan tetapi pada saat itu, di depannya tampak senyum manis sekali di bibir setengah terbuka penuh tantangan, pandang mata yang indah, dada yang agak dibusungkan, memberi janji yang menggetarkan nafsu birahinya.
"Nona, apakah balas jasamu untuk membantuku?"
"Sudah kukatakan, kalau kau suka membantuku, aku pun bersedia membantu, apa saja yang kau minta dariku. Kalau engkau membantuku dan kita berhasil menewaskan dia, boleh kau terima balas jasa itu."
"Betul? He-heh-heh, engkau bersedia... ehh… menemani aku semalam suntuk?" Ucapan kasar serta terang-terangan di hadapan orang-orang lain ini tentu akan membikin merah telinga orang, terutama telinga wanita yang bersangkutan.
Akan tetapi Cui Im sudah kebal dan dia malah tersenyum. Juga Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong mendengar ucapan ini dengan sikap biasa saja.
Cui Im mengangguk. "Dengan senang hati aku akan menemanimu, Kemutani, sesudah engkau membantu kami menewaskan Keng Hong."
"Wah, aku tidak mau kalau syaratnya harus menewaskan. Bagaimana kalau usaha kita gagal dan dia tidak sampai tewas? Padahal aku sudah membantumu! Bukankah aku akan membantu dengan sia-sia belaka? Tidak, Nona. Janjinya harus diubah begini. Aku akan membantumu menghadapi pemuda sakti itu dan akan kuusahakan sekuat tenagaku agar engkau menang dan dia tewas. Akan tetapi, tidak peduli dia terbunuh atau tidak, setelah aku membantumu dan kita kembali ke istana, engkau harus memenuhi permintaanku, yaitu menemaniku berenang di lautan asmara selama semalam suntuk. Aku selalu rindu untuk mendapat teman yang akan mampu mengimbangiku dan kurasa hanya engkaulah orangnya, Nona. Bagaimana? Berhasil atau tidak membunuh Keng Hong, engkau harus menemani aku!"
Cui Im mengangguk dan tersenyum, mengerjapkan mata kirinya dengan gaya yang manis memikat, lalu berkata, "Baiklah, Kemutani. Aku pun ingin sekali menguji sampai di mana kekuatanmu berenang di lautan seperti yang disohorkan orang!" Ucapan Cui Im ini pun tentunya akan terasa menggatalkan telinga orang-orang biasa, akan tetapi mereka yang mendengarkan hanya tertawa.
Mereka lalu berunding mengatur siasat di dalam kamar itu, atau tepatnya, Cui Im yang menjelaskan siasatnya kepada tiga orang pembantunya. "Menurut penyelidikanku, Keng Hong masih terus menanti di luar kota raja. Kalau kita langsung datang ke sana, tentu dia akan mendapat kesempatan melarikan diri apa bila dia melihat akan dikeroyok. Lebih baik kita pura-pura tidak tahu bahwa dia mengintai di sana, biar dia menganggap aku sudah merasa aman dan aku akan bersenang-senang di sana bersama seorang pemuda. Tentu dia muncul dan kalian bertiga yang sudah bersembunyi lebih dulu, lalu menyergap. Kalau dia terjebak memasuki pondok, tidak akan ada jalan keluar lagi baginya."
Tiga orang itu mengangguk-angguk dan akhirnya Siauw Lek bertanya, "Dengan pemuda mana engkau akan ke sana dan kapan akan dilakukan siasat ini?"
Pertanyaan itu sama sekali tak mengandung nada suara cemburu, dan Cui Im menjawab, "Aku belum tahu. Harus kucari lebih dulu, kemudian setelah dapat baru akan kutentukan waktunya."
Berakhirlah perundingan gelap ini dan Cui Im lalu keluar dan seperti biasa pada waktu dia bebas tugas, dia lalu menunggang kuda dan mengelilingi kota sambil memasang matanya mencari-cari pemuda yang mencocoki hatinya, seperti mata seekor burung elang mencari anak ayam atau burung kecil yang berdaging penuh. Yang montok.
Biar pun baru kurang lebih setahun Cui Im menjadi pengawal istana, akan tetapi ia sudah sangat terkenal di kota raja. Hampir semua orang tahu siapakah gerangan gadis cantik jelita yang berpakaian mewah dan indah serta menunggang seekor kuda yang besar itu. Mereka maklum pula bahwa di samping mempunyai kepandaian yang disohorkan orang seperti kepandaian seorang dewi dari langit, juga bahwa wanita cantik menggairahkan ini memiliki hobby mencari pemuda tampan untuk diajak bersenang-senang.
Bagi pemuda yang dipilih, tentu saja hal itu merupakan pengalaman yang tak akan dapat terlupakan, merasa beruntung seperti kejatuhan bulan. Maka tidaklah mengherankan bila mana Cui Im sedang menunggang kuda keliling kota, para pemudanya keluar dari dalam rumah lantas memasang gaya masing-masing di depan pintu. Siapa tahu mereka akan terpilih!
Akan tetapi sekali ini, Cui Im tidak mau memilih pemuda sembarangan saja. Sudah terlalu lama, hampir tiga bulan dia terpaksa menahan nafsunya karena tidak berani keluar dari istana, apa lagi pergi bersenang-senang di pondoknya di luar kota. Karena itu dia ingin memilih seorang pemuda yang benar-benar memenuhi syarat selera hatinya, untuk diajak bersenang-senang sampai sepuasnya sekaligus juga untuk dipergunakan sebagai umpan memancing keluarnya Keng Hong. Jadi, untuk malam istimewa yang direncanakan itu dia harus mendapatkan seorang pemuda yang betul-betul istimewa! Yang montok…..
Hatinya kesal karena dia tidak melihat pemuda yang baru. Dia telah bosan melihat para pemuda yang itu-itu juga berlomba gaya di depan pintu, memasang aksi dan tersenyum-senyum kepadanya. Akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara para pemuda itu yang berani untuk bersikap kurang ajar. Mereka semua sudah mengenal siapa Cui Im, seorang wanita yang di satu saat dapat menjadi seorang bidadari dengan jari-jari tangan halus mesra membelai, akan tetapi di saat lain dapat menjadi iblis yang akan membunuh orang tanpa berkedip mata!
Dengan hati kesal Cui Im menghentikan kudanya di depan sebuah restoran yang paling terkenal di kota raja. Seorang pelayan cepat menuruni anak tangga depan restoran dan sambil terbongkok-bongkok lalu menerima kendali kuda untuk menuntun kuda nona itu ke kandang kuda yang tersedia di belakang restoran. Cui Im melangkahkan kaki dengan sigap dan sikap angkuh memasuki restoran, tak begitu mengacuhkan para pelayan yang menyambutnya dengan senyum-senyum menjilat dan tubuh terbongkok-bongkok.
"Sediakan meja di sudut dalam yang menghadap keluar. Aku ingin makan masakan yang paling enak!" kata Cui Im singkat.
Pengurus rumah makan itu dengan ramah lalu mempersilakan nona ini duduk di meja sudut sebelah dalam. Cui Im duduk dan memandang keluar. Dari tempat duduknya dia tidak hanya dapat melihat semua tamu yang memasuki restoran, bahkan dapat melihat orang-orang yang lewat di jalan besar depan restoran itu.
Dia tidak peduli akan pandangan semua tamu yang menoleh ke arahnya semenjak dia memasuki restoran sampai dia duduk. Di antara mereka ada beberapa orang pria muda yang cukup ganteng, akan tetapi tidak ada yang memenuhi seleranya. Hal ini agaknya disebabkan oleh sikap orang-orang muda itu sendiri yang memandangnya penuh gairah.
Cui Im terlalu sering melihat pandang mata seperti itu sehingga dia menjadi kebal dan terbiasa. Pandangan laki-laki penuh gairah dan kagum kepadanya malah membosankan, bahkan menjemukan hatinya. Dia ingin mencari seorang pria yang betul-betul istimewa, muda atau tua tidak menjadi soal baginya.
Tiba-tiba pandang mata Cui Im berkilat dan seluruh tubuhnya menegang penuh getaran. Semangatnya bangkit hingga setiap urat syaraf pada tubuhnya berdenyut, terbawa oleh jantungnya yang berdebar. Pandang matanya seperti lekat kepada seorang pemuda yang memasuki restoran itu. Begitu melihat wajah pemuda ini, melihat tubuhnya yang sedang dan berpakaian hijau, bertemu pandang dengan sepasang mata tajam di bawah alis yang hitam tebal, nafsu birahinya bangkit, menyala dan berkobar.
Pemuda itu usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya membayangkan kejantanan, akan tetapi gerak-geriknya halus. Alisnya tebal hitam, matanya sangat tajam, hidungnya mancung, dan bibirnya merah membayangkan kesehatan. Sungguh wajah yang tampan dan membayangkan kehalusan budi. Melihat bentuk pakaiannya yang kehijauan mudah diketahui bahwa dia adalah seorang pemuda terpelajar, seperti pakaian sastrawan pada masa itu, serba longgar dengan lengan baju lebar.
Akan tetapi pakaian itu kelihatan kotor serta berdebu, tanda bahwa dia adalah seorang pendatang dari luar kota raja dan agaknya baru saja datang dari perjalanan jauh. Ada kelelahan karena perjalanan, tampak dari keadaan pakaian dan sepatunya yang berdebu.
Sebuah buntalan kain kuning yang cukup besar, yang agaknya berisi bekal pakaian dan lain-lain, diletakkan pemuda itu di atas bangku dekat meja. Kemudian ia duduk dan tidak mengacuhkan keadaan sekelilingnya. Dia bukan seorang yang bersikap tinggi hati, akan tetapi jelas tidak merasa rendah berada di restoran, di antara tamu-tamu yang berpakaian mewah bersih itu. Dengan suara tenang dan halus dia lalu memesan makanan kepada pelayan.
Kebetulan sekali pemuda itu duduknya menghadap ke arah dalam sehingga Cui Im dapat melihat wajahnya dari depan. Debar jantung wanita ini semakin mengencang. Ia merasa amat tertarik. Inilah pemuda yang dicarinya!
Agaknya pandang mata Cui Im yang tajam penuh perasaan itu terasa getarannya oleh pemuda itu karena dia mengangkat muka dan beberapa detik pandang mata mereka bertaut. Pemuda itu cepat menunduk dan Cui Im semakin tersiksa hatinya dan tergugah nafsunya.
Pemuda itu memandang dengan heran, seakan-akan mengherankan kehadiran seorang wanita muda sendirian dalam restoran besar itu. Sama sekali tidak ada pandang mata gairah dan kagum seperti yang didapatkan Cui Im di dalam sinar mata setiap orang pria yang memandangnya. Dia menjadi makin tertarik dan juga penasaran. Begitu angkuhkah pemuda ini sehingga tidak tertarik kepadanya?
Hemm, aku harus mendapatkan engkau. Kau akan kubikin mabuk dengan kecantikanku, dengan sifat kewanitaanku, hingga engkau akan suka bertekuk lutut dan mencium telapak kakiku, demikian bisik hati Cui Im yang menjadi sangat penasaran dan gemas karena baru pertama kali ini dia tidak dipedulikan oleh seorang pria!
Memang watak yang aneh dan juga sukar sekali yang dimiliki Cui Im. Tadi dia merasa jemu melihat semua pemuda memandang dirinya penuh kagum dan gairah. Kini bertemu dengan seorang pria yang tidak memandangnya dengan kagum dan gairah, dia menjadi penasaran dan mendongkol!
Pesanan makanan Cui Im datang lebih dulu dan dengan sikap amat hormat dan ramah, dua orang pelayan mengatur hidangan itu di atas meja di depan Cui Im. Pemuda baju hijau itu terpaksa memandang, bukan untuk mengagumi wajah Cui Im, melainkan karena bau sedap masakan yang mengepul itu menambah perih perutnya yang amat lapar, dan sikap dua orang pelayan yang menjilat-jilat, juga banyaknya hidangan yang sampai tujuh macam di piring dan mangkok besar itulah.
Akan tetapi Cui Im memandang wajah pemuda itu dan ketika dua orang pelayan sudah meninggalkan meja dan kebetulan pandang mata mereka bertemu, Cui Im memandang mesra penuh daya pikat, bibirnya yang manis tersenyum dan kepalanya mengangguk sedikit memberi isyarat menawarkan.
Merah wajah pemuda itu, Ia merasa telah melakukan hal tidak pantas, memandang orang yang hendak makan. Melihat isyarat itu dia lalu menggerakkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai ucapan terima kasih dan sekaligus minta maaf, kemudian menundukkan muka tidak berani memandang lagi.
Sampai lama jari-jari tangan Cui Im menjepit tanpa mulai makan. Dia terus memandang pemuda itu, hatinya tertarik sekali. Sikap pemuda itu begitu lemah lembut, begitu sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa kagum atau tertarik. Betapa sulitnya mencari pemuda seperti ini, sedangkan pemuda yang memang telah mengaguminya, kadang kala membosankan.
Belum pernah dia mendapatkan penyerahan diri seorang pria yang tadinya memandang rendah kepadanya. Betapa akan mesranya kalau saja pemuda sopan dan tak acuh atas kecantikannya seperti pemuda di depannya itu akhirnya menyerah ke dalam pelukannya! Betapa akan terasa bangga hatinya.
Seorang pelayan datang membawa bak terisi makanan yang dipesan pemuda itu. Cukup seorang saja yang melayaninya karena yang dipesannya pun hanya nasi, bakmi dan satu macam masakan bersama seguci arak. Sesudah hidangan di atur di meja dan pelayan mempersilakannya makan, pemuda itu agaknya teringat kepada Cui Im yang tadi sudah menawarinya.
Hatinya merasa tidak enak kalau dia diam saja, maka lebih dulu mengerling ke arah meja gadis cantik itu yang tentu tengah asyik makan sehingga ia mendapat alasan untuk tidak menawarkan. Akan tetapi mukanya menjadi merah sekali ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya memegang sumpit dan belum mulai makan, bahkan sedang memandanginya sambil tersenyum ketika pandang mata mereka bertemu! Dengan sikap canggung dan tersipu pemuda itu mengangguk untuk menawarkan, dibalas oleh Cui Im yang tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih.
Tiba-tiba pemuda itu melihat Cui Im mengambil sebuah di antara mangkok-mangkok terisi masakan, lalu sekali menggerakkan tangan, mangkok itu melayang di udara, berputaran dan hinggap di atas meja depan pemuda itu, sedikit pun tidak tumpah kuahnya! Pemuda itu terbelalak kaget dan memandang Cui Im penuh pertanyaan, juga penuh keheranan.
Cui Im tersenyum lalu berkata lirih, "Silakan, Siangkong (Tuan Muda), masakan-masakan yang dihidangkan untukku terlalu banyak."
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali, akan tetapi dia hanya mengangguk kemudian menjawab lirih, "Terima kasih."
Kemudian dia mulai makan dengan lambat, tidak berani memandang ke kanan kiri karena merasa bahwa para tamu lainnya tentu melihat semua kejadian tadi sehingga dia menjadi malu sekali. Akan tetapi pemuda ini diam-diam merasa heran sekali mengapa tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, padahal apa yang dilakukan wanita itu adalah hal yang tentu akan menimbulkan keheranan banyak orang.
Melempar semangkok masakan seperti itu sungguh merupakan perbuatan aneh yang tak akan dapat dilakukan oleh sembarangan orang! Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa wanita cantik itu adalah pengawal rahasia kaisar, dan tidak tahu bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencampuri urusan wanita itu, apa pun yang dilakukannya!
Cui Im sudah mengambil keputusan tetap di hatinya. Pemuda inilah pilihannya! Pemuda tampan yang merupakan pendatang baru, yang begitu sopan, begitu halus serta lemah lembut, yang masih begitu murni sehingga tidak mengacuhkan kecantikan dan pandang matanya yang penuh pancaran kasih.
Apakah pemuda itu masih begitu bodoh? Usianya tidaklah muda lagi, akan tetapi agaknya ia masih jejaka dan besar kemungkinan belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat Cui Im makin terangsang dan ia menelan ludah. Ia mengilar seperti seorang wanita mengandung melihat buah muda yang masam! Ia harus mendapatkan pemuda itu, untuk menemaninya sepuasnya dan untuk memancing Keng Hong.
Setelah menghabiskan beberapa potong daging dan minum beberapa teguk arak, dia lalu bangkit berdiri dan keluar dari rumah makan itu diikuti para pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat. Cui Im meloncat ke atas punggung kuda. Setiap rumah makan atau kedai apa saja takkan ada yang berani menerima uang pembayaran Cui Im, apa lagi memintanya!
Melihat betapa pelayan-pelayan begitu menghormat, bahkan melihat pula betapa gadis itu pergi begitu saja tanpa membayar, pemuda itu menjadi semakin heran. Dia tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu, kecantikan yang dia tahu menyembunyikan sifat yang amat tak menyenangkan, sungguh pun dia tidak tahu sifat apakah itu, hanya dia dapat menangkap sikap tercela dari sinar mata dan senyum memikat gadis itu. Akan tetapi dia amat tertarik melihat betapa gadis itu amat dihormat, dan melihat kepandaian hebat gadis itu yang tadi melempar mangkok secara luar biasa.
Karena tertarik, ketika ia selesai makan dan memanggil pelayan untuk membayar, sambil lalu dengan suara tak acuh dia bertanya,
"Lopek, tahukah Lopek (Paman) siapa nona yang duduk di situ tadi?"
Mendengar pertanyaan ini, pelayan itu memandang pemuda berpakaian hijau itu dengan mata lebar, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki, kemudian menggelengkan kepala!
"Ah, tentu Kongcu seorang pendatang dari jauh maka tidak mengenalnya. Dan sebetulnya Kongcu amatlah bahagia mendapatkan perhatiannya. Hemm... sungguh aneh dunia ini... Yang mengharapkan tidak mendapat, yang sama sekali tidak sengaja malah menemukan! Dia itu adalah Bhe-siocia yang terkenal sebagai pengawal istana dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek.."
Pelayan itu bergegas menerima pembayaran dan pergi, seakan-akan merasa ketakutan telah berani menyebut nama julukan itu. Karena bergegas pergi, pelayan itu tidak melihat wajah pemuda pelajar itu berubah ketika mendengar nama julukan Ang-kiam Bu-tek.
Pemuda itu segera mengambil buntalannya, memanggulnya dan dengan langkah tenang keluar dari restoran, tidak peduli betapa dia menjadi pusat perhatian para tamu lainnya yang merasa iri hati melihat sikap Cui Im tadi kepada pemuda itu dan juga merasa amat heran mengapa ada pemuda yang menerima keuntungan seperti itu sama sekali tidak mengacuhkannya.
Pemuda yang sedang melihat-lihat keramaian kota raja, tiba-tiba mendengar derap kaki kuda yang berhenti berlari setelah tiba di belakangnya, kemudian terdengar suara halus merdu menegurnya, "Siangkong, harap berhenti dulu...!"
Pemuda itu dapat menduga siapa yang menegurnya meski pun di dalam hati dia merasa terheran. Maka, ketika dia berhenti dan memutar tubuh, melihat Cui Im duduk dengan gaya indah menarik di atas kudanya yang besar, dia tidak menjadi terkejut. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat dan berkata,
"Ahh, saya menghaturkan terima kasih atas keramahan Nona di restoran tadi. Tidak tahu apakah yang dapat saya lakukan untukmu maka Nona menghentikan saya?"
Kembali Cui Im merasa kagum. Pemuda ini benar-benar amat halus dan sopan santun. Kesopanan yang kemudian menimbulkan keraguan di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini jasmaninya selemah sikapnya yang halus.
Akan tetapi dia mengusir keraguannya lantas tersenyum manis sekali, kemudian dengan gerakan lemas, dengan gerak pinggang ramping yang lemah gemulai, dia turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda mendekati pemuda itu. Dengan tali kendali kuda di tangan ia cepat membalas penghormatan pemuda itu, bersoja (mengangkat kedua tangan depan dada) dan berkata,
"Tak perlu berterima kasih, Siangkong. Aku tertarik melihat engkau yang agaknya adalah seorang pendatang baru di kota raja, dan ingin sekali berkenalan. Kalau sudi Siangkong berkenalan dengan seorang bodoh seperti aku..." Cui Im menutupi mukanya untuk dapat menyembunyikan senyum lebarnya, "aku bernama Bhe Cui Im..."
"Nona terlalu merendahkan diri. Kalau seorang seperti Nona menyebut diri bodoh, tentu saya merupakan seorang setolol-tololnya. Tentu saja saya merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan Nona. Nama saya Yap Cong San."
"Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya...," kata Cui Im dan ia menahan ketawanya ketika melihat betapa wajah pemuda itu menjadi merah sampai ke leher! Untuk menolong Cong San dari rasa malu, Cui Im cepat berkata lagi, "Yap-siangkong datang ke kota raja tentu hendak mengikuti ujian bukan?"
"Hemm..., ya, benar. Mengikuti ujian, akan tetapi saya adalah orang yang amat bodoh..."
"Ehh, Siangkong terlalu merendahkan diri. Siangkong tentu seorang terpelajar, aku yakin benar akan hal ini... ehh, tidak enak bicara di tengah jalan begini. Di manakah Siangkong bermalam?"
"Saya baru saja datang, karena lapar terus makan di restoran tadi belum sempat mencari rumah penginapan."
"Ah, kalau begitu saya bisa menolong Siangkong…"
"Jangan merepotkan diri, Nona. Sebetulnya saya... saya merasa amat malu mengganggu Nona. Apa lagi, Nona yang terhormat di kota raja ini, kalau dilihat orang berbicara dengan seorang sastrawan miskin seperti saya..."
"Hemmm... hendak kulihat siapa yang berani mencela aku..!" Cui Im sengaja menengok sekelilingnya.
Cong San melihat dengan heran betapa semua orang yang tadinya memandang ke arah mereka, segera menundukkan muka dan melanjutkan perjalanan dengan secepatnya dan tergesa-gesa, seolah-olah dari pandang mata Cui Im memancar api panas yang membuat mereka tidak betah memandang lebih lama.
"Hemmm, Nona tentu seorang yang amat berkuasa di sini."
"Benar, Yap-siangkong. Karena itu, marilah kau ikut denganku dan akan kucarikan tempat penginapan yang patut untukmu. Marilah!"
Pemuda pelajar itu kelihatan canggung dan malu, akan tetapi dia melangkah dan berjalan di samping nona itu yang bicara dengan senyum-senyum, "Percayalah, Siangkong, saya tidak mempunyai niat buruk terhadap Siangkong, saya tahu bahwa Siangkong seorang yang pandai dan terpelajar. Sebagai seorang asing di sini, kasihan kalau Siangkong tidak mendapatkan tempat yang layak."
Cui Im membawa Cong San ke sebuah hotel terbesar di kota raja. Melihat pakaian para pelayan di situ dan melihat tempat penginapan yang besar, tamu-tamu yang berpakaian mewah, Cong San dapat menduga bahwa kalau dia muncul sendirian di situ agaknya dia akan dipandang rendah dan tentu biaya penginapan di situ amat mahal. Diam-diam dia menghitung bekalnya yang tidak banyak.
Akan tetapi karena dia datang bersama Cui Im, para pelayan sibuk menyambut mereka berdua, bahkan kuasa hotel itu sendiri menyambut sambil membongkok-bongkok hingga pinggangnya hampir patah.
"Selamat datang, selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita)! Sungguh merupakan sebuah kehormatan besar mendapat kunjungan dari Lihiap. Apakah Lihiap hendak menggunakan kamar? Ataukah ada perintah lain yang harus kami lakukan?" kata kuasa hotel itu sambil tersenyum-senyum dan juga tidak lupa menyoja dengan hormat kepada Cong San.
Cui Im tersenyum dan melirik ke arah Cong San seperti hendak membanggakan diri atas sikap kuasa hotel dan para pelayan itu. "Tidak, bukan aku yang membutuhkan kamar, melainkan sahabat baikku, Yap-siangkong ini. Harap engkau suka memberi kamar terbaik untuknya dan melayaninya dengan baik pula."
"Tentu... Tentu, Lihiap. Marilah, Yap-siangkong!" Kuasa hotel itu menjura kepada Cong San.
Pemuda ini cepat berkata kepada Cui Im, "Banyak terima kasih, Nona."
"Ahhh, di antara sahabat mengapa banyak sungkan, Siangkong?" bantah Cui Im, "Saya mengharap Siangkong akan memenuhi undanganku untuk minum arak malam nanti."
Cong San hendak membantah, akan tetapi nona itu sudah melangkah keluar. Di ruangan depan ia kembali menengok sambil tersenyum dan berkata, "Saya akan mengirim utusan mengundangmu, Siangkong." Kemudian dengan langkah ringan dan lincah, Cui Im keluar, meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda pergi dari sana, meninggalkan debu mengepul di halaman hotel.
"Yap-siangkong amat beruntung menjadi sahabat baik Bhe-lihiap," kuasa hotel itu berkata sambil tertawa, "Silakan, Siangkong."
Terpaksa Yap Cong San mengikuti kuasa hotel itu, dipandang oleh para pelayan yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk. Setelah mereka memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap dengan perabotan dan amat bersih, Cong San menjadi khawatir dan berkata,
"Twako, terus terang saja, sahabatku nona Bhe Cui Im itu agak berlebihan. Aku seorang miskin, bagaimana sanggup menyewa sebuah kamar sebesar dan semewah ini? Berikan padaku sebuah kamar yang kecil saja, yang paling murah."
"Aiiihhhhh, mana bisa begitu? Saya masih sayang kepada nyawa saya, Siangkong. Lihiap sudah menentukan kamar yang terbaik untukmu, mana berani saya melanggar perintah dari Lihiap? Harap Siangkong tidak merendahkan diri. Sebagai sahabat baik lihiap, saat ini Siangkong menjadi tamu agung bagi kami."
"Tapi... tapi..." Cong San memegang lengan kuasa hotel yang hendak pergi meninggalkan kamar itu. "Saya... tak akan kuat membayar! Berapa sewanya sehari semalam, Twako?"
"Ha-ha-ha-ha! Siangkong suka berkelakar! Mana berani saya menerima uang sewa dari Siangkong? Tidak usah bayar, biar sampai sebulan sekali pun. Nah, selamat beristirahat, Siangkong. Pelayan akan siap menjaga di luar dan menanti segala perintah Siangkong."
Cong San berdiri tertegun di tengah kamar, kemudian dia menghela napas panjang dan menutup daun pintu, meletakkan buntalan besarnya di atas meja kemudian dia tertawa seorang diri mengingat segala peristiwa yang sama sekali tidak pernah diduganya!
Benar saja, para pelayan hotel itu bersikap amat hormat kepadanya dan melayani segala keperluan. Cong San juga tidak sungkan-sungkan lagi, malah minta disediakan air panas untuk mandi dan pada sore hari itu dia memesan makanan yang cepat sekali diantar ke kamarnya.
Sesudah makan sore, dengan pakaian yang bersih, sedangkan pakaiannya yang kotor cepat-cepat dicucikan oleh para pelayan, dia duduk di kamarnya membaca buku. Melihat kitab yang dibacanya, yaitu kitab Susi Ngokeng, para pelayan maklum bahwa pemuda ini adalah seorang terpelajar yang datang dari jauh untuk mengikuti ujian negara...
"Heh-heh-heh, engkau memiliki dasar yang lebih baik dari pada Hun Bwe...!"
Dengan matanya sendiri Biauw Eng melihat betapa semua totokannya yang bertubi-tubi itu mengenai sasaran, akan tetapi nenek itu tidak apa-apa, malah akhirnya ujung tambang itu membalik dan menotok dadanya sendiri. Dia cepat menyendal tambang itu sehingga ujung tambang lewat di atas kepalanya.
Keringat dingin mulai keluar dari wajah Biauw Eng. Tahulah dia bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Nenek ini memiliki kepandaian yang amat luar biasa seperti siluman saja.
"Sumoi, Subo sudah mengambilmu sebagai murid, kenapa engkau masih melawan terus? Hi-hi-hik, Subo, sudah kukatakan bahwa dia ini memang gila. Betul tidak?"
Mendengar ucapan gadis pakaian merah ini. Biauw Eng terkejut. Dia diambil murid? Sejak kapan?
"Subo sudah menyebutmu dewi, berarti engkau telah menjadi muridnya," kata lagi wanita itu dan setiap kali bicara dengannya, suara wanita baju merah itu tenang dan wajar. Akan tetapi begitu bicara kepada nenek itu atau kepada pasukan baju kuning, gadis baju merah itu lalu ketularan gila!
Giranglah hati Biauw Eng. Bukankah dia mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi supaya kelak dapat menghadapi Cui Im? Tempat mana yang lebih tepat untuk mengasingkan diri dari dunia ramai dari pada tempat aneh di samping sekumpulan orang gila ini? Dan guru mana yang akan mampu menggemblengnya lebih hebat dari pada nenek gila yang mempunyai kepandaian tidak lumrah manusia ini?
Segera dia dapat mengambil keputusan dan cepat Biauw Eng menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata, "Subo...!"
"Heh-heh-heh, muridku yang manis, engkau tidak lekas memberi hormat?"
Biauw Eng tercengang. Dia sudah berlutut namun masih disuruh lekas memberi hormat. Penghormatan apa lagi yang harus ia lakukan? Cepat ia melakukan pai-kui (menyembah) sampai delapan kali. Akan tetapi betapa kagetnya ketika nenek itu berkata lagi,
"Lekas engkau memberi hormat pada gurumu. Apakah kau tidak suka menjadi muridku?"
Biauw Eng menjadi bingung dan wanita berpakaian merah di dekatnya berbisik, "Lekas kau mencium ujung kedua sepatunya." Kemudian nona baju merah itu tertawa. "Hi-hi-hik, Subo. Bukankah Sumoi ini masih gila dan belum sembuh benar? Tetapi teecu percaya dia akan sembuh."
Biauw Eng sangat terkejut dan hampir saja dia meloncat berdiri untuk memaki-maki nenek itu. Aturan mana ini kalau bukan aturan orang gila? Masa untuk menjadi murid saja harus merendahkan diri melebihi budak belian, harus mencium kedua ujung sepatu gurunya!
Akan tetapi kesadarannya membuat dia segera mempertimbangkan. Kalau ia bangkit dan menentang, tentu ia akan mati. Ia tidak takut mati, akan tetapi bukankah kematiannya itu akan sia-sia saja dan bagaimana ia akan dapat membalas dendamnya terhadap Cui Im? Apakah dibiarkan enak-enak tanpa dihukum setelah melakukan kekejian terhadap dirinya dan terhadap ibunya?
Dia mengeraskan hatinya, lalu menghampiri nenek itu, berlutut dan mencium kedua ujung sepatunya.
"Heh-heh-heh, bagus, bagus, engkau mulai sembuh dari penyakit gilamu! Ehh, siapakah namamu?"
"Nama teecu Sie Biauw Eng," jawab Biauw Eng, diam-diam mengharap agar nenek itu tidak mengeluarkan perintah yang gila-gila lagi.
"Dukkk...!" Tubuh Biauw Eng terpental dan bergulingan sampai lima meter jauhnya.
Kembali nafsu amarah hampir membuat Biauw Eng meloncat bangun, memaki-maki dan melawan. Meski pun tendangan itu tidak melukainya karena ia sebetulnya hanya didorong pada pundaknya dengan ujung kaki, namun penghinaan itu terlampau berat baginya. Untung bahwa sebelum ia melakukan sesuatu yang tentunya akan berakibat hebat bagi dirinya, nenek itu sudah membentak,
"Engkau she Sie? Apa hubunganmu dengan Sie Cun Hong?!"
Saking herannya mendengar nama mendiang ayahnya disebut-sebut nenek itu. Biauw Eng lupa akan kemarahannya. Nenek ini gila, semua orang yang berada di situ gila. Apa salahnya kalau dia membohong? Semua ucapan mereka pun kacau balau dan tidak ada yang benar!
"Teecu tidak mengenalnya. Mengapa Subo menyebut-nyebut nama itu? Siapakah dia?"
"Dia? Heh-heh-heh, dialah laki-laki yang paling tampan, paling gagah perkasa di dunia ini! Dia laki-laki satu-satunya yang kucinta, akan tetapi... si keparat gila itu menolakku dengan mengatakan aku berotak miring! Heh-heh-heh!"
Mendengar ini dan melihat nenek itu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian mendengar pula nona baju merah itu tertawa diikuti gelak tawa ketiga belas orang pasukan kuning, Biauw Eng lalu ikut tertawa pula. Tertawa bergelak, lebih nyaring dari yang lain karena gadis ini tertawa sewajarnya, timbul dari hati yang girang bahwa ayahnya dahulu menolak nenek ini yang semenjak mudanya sudah gila! Melihat sikap Biauw Eng ini, nenek itu kelihatan senang.
"Heh-heh-heh, muridku yang baik, Biauw Eng dewi manis, ternyata engkau telah sembuh, tidak gila seperti Sie Cun Hong. Biarlah, biar she-mu Sie akan tetapi engkau tidak ada hubungan dengan dia. Kalau masih keluarga, tentu kubunuh sekarang juga engkau. Dan ibumu, di mana ibumu?"
"Ibu sudah meninggal dunia, dibunuh orang. Ayah pun sudah meninggal dunia!"
"He-he-he-ha-ha! Orang tuamu sudah mati, orang tuaku pun sudah mati. Orang tua Hun Bwe juga sudah mati semua. Ha-ha-ha, betapa sengsara hidup kita, merana sebatang kara... Heh-heh-heh!"
"Hi-hi-hik, sungguh sengsara kita!" Hun Bwe si nona baju merah juga terkekeh.
Biauw Eng menjadi bingung, memandang nenek dan ‘suci-nya’ itu yang tertawa-tawa. Mereka bilang hidup sebatang kara ditinggal mati orang tua akan tetapi mengapa mereka tertawa-tawa? Benar-benar gila!
Tiba-tiba nenek itu menghentikan ketawanya dan memandang Biauw Eng. "Ehh, kenapa engkau tidak tertawa? Apakah engkau tidak berduka ditinggal mati orang tuamu?"
Biauw Eng terkejut. Ia memang berduka saat diingatkan bahwa ibunya telah mati dengan mengenaskan. Akan tetapi mengapa dia disuruh tertawa? Karena tidak dapat menyelami isi hati gurunya ia tertawa, akan tetapi tidak seperti tertawa, melainkan menyeringai pahit.
"Wah, ketawamu sama sekali tidak sedap! Mulutmu bau kalau tertawa seperti itu!" Nenek itu membentak.
"Subo, Sumoi masih belum sembuh dari gilanya," Hun Bwee mengingatkan gurunya yang mengangguk-angguk.
"Benar, hampir saja aku lupa. Mari kita rayakan kedatanganmu, Biauw Eng. Kita rayakan datangnya muridku yang baru!"
Tangan Biauw Eng digandeng oleh Hun Bwe, kemudian diajak memasuki gedung aneh mengikuti guru mereka. Ternyata di sebelah dalam gedang itu sabfat luas dan biar pun lantainya tidak rata, namun di dalam gedung itu hawanya dingin dan sejuk.
Celaka bagi Biauw Eng, semua perabot dalam rumah itu aneh-aneh. Bangku-bangkunya diletakkan terbalik, alas tempat duduknya di bawah dan empat kakinya mencuat ke atas. Mereka duduk di atas kaki-kaki bangku itu. Tentu saja amat tidak enak, akan tetapi Biauw Eng mulai dapat menyesuaikan diri. Bagi orang yang mempunyai kepandaian seperti dia, duduk di atas bangku atau di atas ujung tombak sekali pun, sama saja.
Mejanya juga aneh, bentuknya segi tiga pletat-pletot tidak rata dan letaknya miring hingga kalau meletakkan benda di atas meja itu tentu akan tergelincir jatuh! Akan tetapi melihat permukaan meja yang miring itu kasar dan banyak lubang-lubangnya, mengertilah Biauw Eng bahwa menaruh benda di situ harus mempergunakan sinkang sehingga bendanya ditekan menancap pada permukaan meja!
Ketika dia melirik ke arah dinding, di situ terdapat gambar-gambar yang aneh. Warnanya menyolok beraneka macam sehingga menyakitkan mata, dan bentuk lukisan itu sendiri aneh sekali. Ada orang yang matanya hanya satu, hidungnya dua, bahkan ada lukisan orang yang kepalanya di bawah kakinya di atas, matanya berada di kuku jempol kaki!
Banyak pula lukisan yang membuat Biauw Eng menjadi pening kepalanya hanya dengan memandanginya saja. Sampai hampir pecah rasa kepalanya ketika dia berusaha untuk mengerti lukisan apa sebenarnya yang tergantung itu. Namun tetap saja ia tidak mengerti!
Bayangkan saja. Lukisan itu merupakan coretan-coretan halus, malang melintang dan saling membelit seperti lima macam benang ruwet menjadi satu! Ada pula lukisan yang merupakan titik-titik hitam di atas putih, dan yang lebih gila lagi adalah lukisan yang hanya hitam saja tidak berbentuk, tak tentu garisnya, akan tetapi lukisan-lukisan aneh ini di taruh di tempat tertinggi dan ada yang diberi bingkai emas!
"Indah, ya?" tiba-tiba saja nenek itu bertanya kepada Biauw Eng ketika melihat gadis ini memandangi lukisan-lukisan yang menghias dinding.
Biauw Eng terpaksa mengangguk-angguk, akan tetapi dia tak dapat lagi menahan keingin tahuannya dan bertanya, "Subo, lukisan apakah itu? Apakah lukisan benang lima warna yang ruwet dan awut-awutan?"
"Wah, celaka...! Dasar engkau masih gila, belum sembuh benar, karena itu tidak bisa mengerti. Itu adalah lukisan yang bernama kecerdasan!"
Biauw Eng menelan ludah bersama sumpah serapah yang sudah berada di ujung lidah. Lukisan berjudul ‘Kecerdasan’? Kecerdasan orang gila!
"Karena engkau gila maka engkau tidak bisa menikmati keindahannya. Lihat saja, betapa goresan si pelukis sangat menjiwai lukisannya. Betapa jelas menggambarkan kecerdasan manusia, seperti benang-benang sutera halusnya, dapat menyusuri setiap liku-liku hidup dan seisi alam mayapada. Hemmm, betapa hebatnya si pelukis!" Nenek itu mengangguk-angguk.
"Dan yang hitam semua itu, Subo. Apakah itu lukisan keindahan waktu malam gelap tiada bulan?"
"Wah-wah, dasar gila! Itu namanya lukisan Ketenangan! Dan yang titik-titik hitam di atas putih itu namanya lukisan Titik-titik Dosa."
Bukan main! Biauw Eng tidak berani memandang atau bertanya lagi, bukan takut disebut gila oleh gurunya, melainkan takut kalau-kalau ia akan betul-betul gila jika ia dapat mengerti lukisan-lukisan seperti itu!
Para anak buah pasukan baju kuning yang kemudian ternyata adalah pelayan-pelayan dan juga murid-murid si nenek, datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Semua mangkok dan panci yang berisi hidangan itu mereka taruh di atas meja sambil mengerahkan sinkang sehingga mangkok-mangkok itu tertekan di dalam permukaan meja dan tidak jatuh biar pun permukaan itu miring.
"Mari kita pesta, hayo makan, Biauw Eng!"
Biauw Eng lantas mengambil mangkok dan sumpit, akan tetapi begitu sumpitnya menjepit sepotong daging di dalam panci, dia hampir menjerit karena yang disumpitnya itu adalah buntut seekor kadal! Tiba-tiba, sebelum dia membuang buntut itu sambil menggigil jijik, kakinya diinjak orang dan ia tahu bahwa yang menyentuh kakinya itu kaki Hun Bwee yang duduk di sebelah kirinya. Ia menoleh dan melihat sedetik mata yang indah dari gadis baju merah itu berkedip.
Biauw Eng melihat Hun Bwee sengaja menyumpit sebutir kepala kadal yang matanya melotot, lalu memasukkan kepala ini ke mulutnya yang merah dan mengunyah, kelihatan enak sekali! Biauw Eng menelan ludah, hampir muntah. Akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia menolak hidangan itu, gurunya yang gila tentu akan marah.
Dan suci-nya itu sudah memberi isyarat. Mengapa tadi suci-nya memberi isyarat? Sambil memejamkan mata seperti orang makan jamu pahit, dia lalu memasukkan buntut itu ke mulutnya dan... ternyata rasanya enak gurih dan baunya sedap. Entah bumbu apa yang digunakan, akan tetapi buktinya enak! Rasa enak ini mengurangi kemuakannya sehingga mulailah dia ikut makan.
Dapat dibayangkan betapa mual rasa perut Biauw Eng pada waktu mendapat kenyataan bahwa yang dimasak itu adalah binatang yang tidak biasa dimakan orang waras. Ada sop cacing, ada tim cecak, goreng kecoa kering, cah ular berbisa dan kadal godok!
"Hayo makan yang kenyang, ini rasakan sopnya, wah lezat sekali!" Nenek itu berkata dan sekali sumpitnya bergerak seonggok cacing memasuki mangkok Biauw Eng!
Gadis ini membelalakkan matanya, hampir saja menjerit, akan tetapi kembali Hun Bwee berkedip padanya! Biauw Eng meramkan mata, menyumpit cacing dan memasukkan ke mulutnya. Ihhhh, memang enak rasanya, akan tetapi licin dan seolah-olah cacing-cacing itu masih hidup, langsung saja meluncur memasuki tenggorokannya terus ke perut. Perut Biauw Eng mual dan hampir ia muntah, dan hanya dengan kekuatan kemauannya saja ia dapat bertahan.
Sesudah pesta makan, nenek itu lalu menari dan semua orang menari, termasuk Biauw Eng. Gadis ini selalu berusaha mencontoh Hun Bwee, akan tetapi melihat suci-nya itu mengegal-egolkan pantatnya yang bulat membusung, dia menjadi geli kemudian tertawa bergelak.
"Ehh, kenapa engkau berduka? Mari bergembira!" Nenek itu mencela melihat Biauw Eng tertawa dan... Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil menari.
Biauw Eng terbelalak heran, lebih lagi kaget dan herannya melihat Hun Bwee juga turut menangis sambil menari. Juga tiga belas pelayan wanita itu menangis semua, ada yang meraung-raung, ada yang sesenggukan, ada yang mengguguk, ada yang terisak-isak. Mereka menangis sambil menari, menggoyangkan pinggul, meliak-liukkan pinggang yang ramping! Benar-benar lucu dan aneh dan... gila!
Terpaksa Biauw Eng juga ikut menangis dan karena ia teringat akan nasibnya, betapa ia sampai tersesat di dunia gila dan terpaksa ikut-ikutan gila, tangisnya paling menyedihkan! Hal ini malah menyenangkan hati nenek itu. Ia menepuk-nepuk pundak Biauw Eng sambil menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus,
"Aahhh... Muridku yang baik... engkau paling gembira... Ah, hu-hu-huuu, bagus... Engkau menikmati pesta ini... Hu-hu-huuukkk!"
Biauw Eng merasa pening kepalanya, tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis. Akan tetapi hatinya penuh duka, dan dia sengaja mengenangkan ibunya, mengenangkan Keng Hong sehingga hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin mengguguk.
Akhirnya pesta pun berakhir dan Biauw Eng disuruh mengaso, tidur bersama Hun Bwee. Kamar tidurnya juga membuat dia menarik napas panjang. Bukan dipan dengan kasur empuk, melainkan dipan kasar dengan ‘kasur’ batu-batu karang yang runcing dan tajam. Ini bukan beristirahat namanya, melainkan menyiksa diri! Melihat wajah sumoi-nya muram Hun Bwee berbisik,
"Sumoi, kau harus pandai menyesuaikan diri. Pilihlah, tidur di atas dipan, atau tidur bersila di lantai atau tidur... berdiri."
Biauw Eng kehilangan kesabarannya. Disambarnya tangan suci-nya dan ia berkata, "Suci, apa artinya ini semua? Aku tahu betul, engkau tidak gila!"
"Sssttttt...!" Hun Bwee menarik tangan sumoi-nya, diajak duduk di atas lantai kemudian ia berbisik lirih sekali di dekat telinga sumoi-nya. "Kalau subo tahu, kita berdua tentu akan dibunuhnya. Engkau ingin memperdalam ilmu silat, bukan?"
Biauw Eng mengangguk.
"Sudah kuduga, maka engkau mau menjadi murid. Aku pun begitu, hanya subo-lah yang akan dapat menggembleng kita. Aku baru setahun di sini, akan tetapi ilmuku maju pesat secara luar biasa. Demi tercapainya cita-cita kita harus berani berkorban dan di sini kita hanya berkorban menyesuaikan diri ke dalam dunia yang tidak normal. Akan tetapi kau tunggu saja, hal ini bahkan akan dapat memberi kemajuan kepada ilmu silatmu. Setahun yang lalu, ketika aku tiba di sini, kepandaianku masih jauh di bawah tingkatmu sekarang."
Biauw Eng terkejut. Kalau begitu jelas bahwa kemajuan yang diperoleh suci-nya memang hebat sekali. "Suci, siapakah subo itu?"
"Mari kita berbaring di atas dipan batu-batu karang itu. Baik sekali untuk latihan ginkang. Aku dapat menempelkan mulut ke telingamu dan kita dapat mengobrol dengan leluasa tanpa khawatir terdengar orang lain."
Hati Biauw Eng girang sekali. Kenyataan bahwa suci-nya bukanlah orang gila seperti guru mereka dan para pelayan, memberi hiburan yang amat besar dan berpengaruh sehingga rasa mual di perutnya seketika lenyap. Apa bila dia harus berpura-pura gila dan makan masakan yang menjijikan itu, kini dia tahu bahwa dia tidak menderita sendirian, ada Hun Bwee yang juga sama dengan dia nasibnya!
Kedua dara ini lalu membaringkan diri di atas dipan berkasur batu karang, dan melihat betapa suci-nya dapat berbaring dengan enak, Biauw Eng menjadi kagum akan ginkang suci-nya. Ia pun lalu mengerahkan ginkang-nya dan berbaring di sebelah suci-nya yang kini dia tahu sengaja mengajak dia untuk dijadikan teman agar penderitaaannya menjadi ringan.
Tahulah dia kini kenapa suci-nya ini tadi sengaja memaki-maki dia gila akan tetapi dapat disembuhkan. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hun Bwee dan merasa suka kepada suci-nya ini.
Mereka berbisik-bisik dan Hun Bwee lalu menceritakan pengalamannya lebih dahulu. Kini mereka bicara sewajarnya seperti orang waras dan Hun Bwee kelihatan berduka sekali, bercerita sambil bercucuran air mata. "Namaku Tan Hun Bwee, orang tuaku meninggal dunia karena tekanan batin, tidak berhasil membalas dendam kepada musuh besarnya. Aku berusaha melanjutkan cita-cita mereka membalas dendam, akan tetapi musuh besar itu sudah tewas. Aku bertemu dengan murid musuh itu, hendak kubalas dendam kepada muridnya, akan tetapi... aku... aku... malah diperkosanya...!" Gadis itu menutupi mukanya dan menangis tanpa suara.
Biauw Eng memeluknya. "Aduh, sungguh buruk nasibmu, Suci. Siapakah nama jahanam itu? Biar kelak aku membantumu menghancurkan kepalanya!"
Hun Bwee menggeleng kepala. "Marilah kita berjanji Sumoi. Kita tidak akan mencampuri urusan kita masing-masing. Urusan pribadi kita harus kita selesaikan sendiri dan marilah kita di sini saling melatih supaya dapat cepat memperoleh hasil, yaitu kepandaian tinggi untuk membalas dendam."
Biauw Eng menarik napas panjang. Ada benarnya kata-kata suci-nya ini. Urusan pribadi memang tidak baik kalau dicampuri orang lain, walau pun yang mencampuri itu saudara seperguruan sendiri. "Baiklah, Suci."
Tentu saja Biauw Eng sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa musuh besar yang dimaksudkan oleh Hun Bwee adalah ayahnya sendiri, yakni Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan bahwa murid musuh besar yang dikatakan memperkosa dirinya itu bukan lain adalah... Keng Hong.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Hun Bwee, puteri mendiang Hek-houw Tan Kai Sek atau Tan-piauwsu yang bersama isterinya mati karena tekanan batin tak mampu membalas dendam terhadap Sin-jiu Kiam-ong, sudah bertemu dengan Keng Hong dan betapa dia telah diperkosa oleh Lian Ci Tojin tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng dan menjadi hamba nafsu birahi, kemudian betapa Hun Bwee ditolong oleh Keng Hong akan tetapi menyangka pemuda itu telah memperkosanya.
"Sumoi, sekarang ceritakanlah pengalamanmu. Tentu pengalamanmu hebat pula, tidak kalah sengsara dari pengalamanku, maka engkau kelihatan seperti orang yang putus asa. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah pengalamanmu kepadaku, Sumoi."
Diam-diam Biauw Eng merasa terharu mendengar ucapan Hun Bwee yang terdengar penuh kasih sayang. Suara seperti ini belum pernah dia dengar, dari mulut ibunya yang bersuara dingin pun belum pernah. Hanya pernah dari suara Keng Hong... Akan tetapi, pemuda itu hanya menjual madu di bibir!
Merasa betapa dia seakan-akan mendapat seorang kakak, dia lalu merangkul leher Hun Bwee dan menangis terisak-isak di dada gadis itu. Hun Bwee mengelus-elus rambut yang hitam berombak itu dan gadis itu pun menangis. Keduanya bertangisan, tangis karena terharu, tangis yang wajar dan tulen, tidak dibuat-buat seperti tangis ketika mereka berdua menari-nari tadi.
"Kalau berat hatimu, tak usah kau ceritakan, Sumoi."
"Tidak, Suci... Engkau kuanggap enci-ku sendiri... akan tetapi karena janjimu tadi, biarlah kuceritakan tanpa menyebut nama pula. Namaku memang Sie Biauw Eng, Ayahku sudah meninggal dunia dan ibuku dibunuh secara keji sekali oleh suci-ku sendiri, murid ibuku! Aku telah mencarinya, akan tetapi dia telah memperdalam ilmunya dan sekarang menjadi seorang yang sangat lihai, aku bukan tandingannya sehingga aku hampir putus harapan untuk dapat mengalahkannya. Selain itu aku... aku, ah... aku mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia ternyata berhati palsu, hanya mencinta jasmaniku dan aku tidak sudi... Ahhh..."
"Sudahlah, Sumoi. Aku dapat mengerti kesengsaraan hatimu. Aku pun mencinta seorang pria, cinta yang baru bersemi karena melihat dia tampan dan gagah perkasa, akan tetapi dia... dialah yang memperkosa aku..."
Kedua orang gadis itu segera menjadi akrab, merasa senasib sependeritaan, terutama sekali sependeritaan dalam menyesuaikan diri di tempat itu, di antara sekumpulan orang gila!
"Suci, siapakah sebenarnya subo? Benarkah dia amat lihai?"
"Untuk masa sekarang agaknya sukar dicari orang yang lebih lihai dari dia. Engkau tahu, itu Go-bi Chit-kwi yang disohorkan sangat lihai, pernah dihajar habis-habisan oleh subo sehingga mereka bertujuh merangkak-rangkak minta ampun, baru dibebaskan oleh subo. Kiraku hanya ada satu orang yang mungkin sanggup menandinginya, yaitu laki-laki yang pernah mematahkan hatinya, Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong!"
"Ohhhhh...!" Biauw Eng terkejut.
"Kenapa, Sumoi? Pernahkah engkau mendengar nama Sin-jiu Kiam-ong?"
"Tentu saja, siapakah yang tidak mendengar namanya?" Diam-diam Biauw Eng merasa lega bahwa suci-nya ini belum pernah mendengar nama julukannya sehingga tidak tahu bahwa dia adalah puteri Lam-hai Sin-ni, sungguh pun andai kata tahu sekali pun, tidak ada halangannya.
Demikianlah, semenjak hari itu Biauw Eng menjadi murid nenek itu yang namanya tidak dikenal oleh seorang pun di situ. Bahkan Tan Hun Bwee pun hanya mengenalnya sebagai Go-bi Thai-houw (Ratu Go-bi). Biauw Eng dilatih bersama Hun Bwee, akan tetapi latihan mereka tidak sama. Hal ini adalah karena dasar ilmu silat yang mereka miliki berbeda jauh.
Nenek itu memiliki cara mengajar yang sangat lucu dan aneh, disesuaikan dengan dasar kepandaian mereka, akan tetapi tampaknya ilmu silat murid-muridnya itu malah ‘dirusak’ karena semua variasinya diubah, diisi gerakan-gerakan seperti orang gila, sungguh pun dasarnya tetap tidak diubah.
Dan Biauw Eng mendapat penjelasan dari suci-nya yang membuat ia mulai bisa mengerti kenapa pelajaran nenek itu bisa mendatangkan kemajuan yang cepat luar biasa. Kiranya, keadaan nenek yang gila ini serba terbalik dari orang waras, sehingga kalau bergembira dia menangis, sebaliknya kalau berduka dia tertawa. Justru orang yang dapat menguasai perasaan ini menimbulkan kekuatan batin yang hebat, yaitu dapat tertawa di dalam duka dan dapat menangis di dalam suka!
Sikap seperti ini biasa saja bagi orang gila, akan tetapi kalau dilaksanakan oleh orang waras, merupakan latihan batin yang amat berat dan hasilnya pun bukan main besarnya, karena orang yang dapat melakukannya, berarti dapat mengatasi perasaan dan semua nafsunya.
Orang yang tidak dikuasai oleh nafsu, berarti selalu berada dalam keadaan ‘tiong-yong’ (lurus, tegak, tidak berat sebelah). Apa bila datang nafsu-nafsu seperti suka-duka, marah dan lain-lain, maka perimbangannya menjadi tidak lurus lagi, menjadi miring dan tentu saja hal ini membayangkan kelemahan batin yang dapat mendorong orang lupa diri dan melakukan hal-hal yang menyeleweng. Dalam hal ilmu silat pun perlu sekali orang dapat mengatasi semua nafsu, karena dia akan menjadi kuat batinnya dan dengan cepat tenaga sakti (sinkang) di tubuh yang terbenam dalam pusar akan menjadi makin kuat.
Karena pada dasarnya ilmu kepandaian Biauw Eng memang lebih tinggi dari pada tingkat Hun Bwee, setelah belajar selama setahun saja, tingkat kepandaian Biauw Eng sudah melampaui tingkat Hun Bwee. Melihat ini, diam-diam Hun Bwee menjadi amat kagum dan menduga-duga siapakah tadinya guru sumoi-nya ini.
Akan tetapi dia tidak menjadi iri hati karena selama setahun ini dia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng adalah seorang dara yang amat baik budi sehingga hubungan di antara mereka bagaikan kakak beradik saja. Mereka berdua tekun belajar dan terus berlatih di bawah pengawasan Go-bi Thai-houw yang biar pun gila, akan tetapi ternyata amat tekun mengajar dan banyak macam ilmu aneh dia turunkan kedua muridnya.
********************
Kita tinggalkan dulu Hun Bwee dan Biauw Eng yang belajar dengan tekun sekali karena keduanya mempunyai cita-cita. Mari kita mengikuti perjalanan Keng Hong yang telah lama kita tinggalkan.
Sejak pertemuannya dengan Siauw-bin Kuncu, mulailah Keng Hong dengan sabar sekali melakukan pengintaian untuk dapat bertemu dengan Cui Im di luar kota sehingga ia akan dapat menyergap dan memaksa wanita itu mengembalikan semua pusaka peninggalan gurunya. Akan tetapi sampai tiga bulan lebih dia mengintai dan menunggu, tidak pernah Cui Im mendatangi pondok merah di luar kota raja yang ditunjukkan oleh Siauw-bin Kuncu itu.
Ternyata bahwa Cui Im amat cerdik dan sudah dapat menduga bahwa Keng Hong tentu tak akan tinggal diam dan akan berusaha menemuinya di luar istana atau luar kota raja sehingga gadis yang cerdik ini jarang sekali meninggalkan istana. Selain itu, juga Cui Im menyebar banyak mata-mata untuk menyelidiki sehingga akhirnya dia malah tahu bahwa Keng Hong mengintai dan menantinya di luar kota raja, menunggu dia datang ke pondok merahnya!
Tentu saja diam-diam Cui Im menetertawakan Keng Hong, bahkan gadis ini lalu mencari akal muslihat bagaimana caranya bisa melenyapkan Keng Hong dari muka bumi karena selama pemuda itu masih hidup, tentu dia tak akan merasa aman. Cui Im mengerti bahwa dia sendiri takkan dapat mengalahkan Keng Hong, bahkan biar pun ia dibantu oleh Siauw Lek sekali pun, belum tentu akan dapat menandingi Keng Hong.
Dia merasa ngeri ketika menyaksikan pertandingan antara Hok Gwan dan Keng Hong, apa lagi melihat betapa Keng Hong telah menguasai Thi-khi I-beng sedemikian mahirnya, tidak seperti dulu. Tidak ada jalan lain baginya untuk dapat menandingi Keng Hong selain dengan bantuan Siauw Lek.
Dia harus mendapat bantuan orang-orang pandai seperti Pak-san Kwi-ong dan beberapa orang rekannya pengawal rahasia yang berilmu tinggi. Jumlah mereka ada tujuh orang. Tentu saja tugas mereka tak mungkin dapat ditinggalkan. Sedikitnya harus ada tiga orang yang menjaga keselamatan kaisar. Kalau ia dibantu Pak-san Kwi-ong dan Kemutani saja, datuk persilatan peranakan Mongol itu, bersama Siauw Lek, agaknya mereka berempat akan dapat menandingi Keng Hong.
Mendengar dari para penyelidiknya bahwa Keng Hong selalu menunggu di luar kota raja sebelah barat, tidak jauh dari sebuah pondok kecil mungil warna merah yang sudah lama selalu kosong seperti kosongnya hati Keng Hong yang mengintai dengan sabar sampai berbulan-bulan, Cui Im lalu mengajak Pak-san Kwi-ong berunding.
"Engkau telah menyaksikan sendiri, Kwi-ong, ketika Keng Hong melawan Tio Hok Gwan. Dia sudah menguasai Thi-khi I-beng (Mencuru Hawa Pindahkan Nyawa). Kalau dia tidak dilenyapkan dari muka bumi, bukankah kelak nama kita akan hancur olehnya?"
"Ha-ha-ha-ha! Nama siapa yang akan hancur, Ang-kiam?" Pak-san Kwi-ong seperti biasa tertawa bergelak.
Dan dia memang tidak pernah mau menyebut Cui Im dengan julukan lengkapnya, yaitu Ang-kiam Bu-tek. Dia tidak mau menyebut gadis itu Bu-tek (Tanpa lawan) karena hal ini akan membuat dia seperti mengakui bahwa gadis itu tidak ada lawannya, dan berarti dia sendiri pun menyatakan takluk! Maka ia hanya menyebut Ang-kiam (Pedang Merah) saja.
"Antara dia dan aku tidak ada suatu urusan apa pun, yang dicarinya bukan aku melainkan engkau. Urusan pribadimu dengan dia boleh kau bereskan sendiri saja kalau kau mampu menghadapinya, ha-ha-ha! Mengapa harus aku mencampuri urusanmu?"
Diam-diam Cui Im menyumpah kakek tinggi besar hitam ini. Akan tetapi biar pun dia jauh lebih muda, patut menjadi cucu kakek itu, dalam hal kecerdikan, Cui Im menang jauh. Ia hanya tersenyum manis, bukan untuk memikat hati Pak-san Kwi-ong.
Dia tahu bahwa kecantikan wajahnya dan keranuman tubuh mudanya tidak akan dapat menggerakkan hati kakek itu. Andai kata demikian halnya, pasti dia takkan segan-segan untuk menggunakan umpan lain.
"Kwi-ong, jangan engkau membohong. Bukankah dahulu engkau adalah salah seorang di antara mereka yang memperebutkan Sian-bhok-kiam untuk mendapatkan pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong? Keng Hong adalah murid Sin-jiu Kiam-ong!"
Kembali kakek hitam itu tertawa bergelak. "Aku bukan orang bodoh, Ang-kiam. Aku tahu bahwa bocah itu murid Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi kalau dulu kita semua tidak berhasil membujuk dan mengepung gurunya, bagaimana sekarang akan dapat berhasil memaksa muridnya? Kulihat bocah itu lihai sekali, belum tentu kalah oleh mendiang gurunya, dan juga dalam kekerasan hati, dia tidak kalah. Tidak, aku sudah tua dan kedudukanku di sini sudah amat baik, mau apa lagi? Aku tidak akan mencari penyakit memusuhi murid Sin-jiu Kiam-ong, membahayakan keselamatan sendiri tanpa tujuan yang jelas selain... ha-ha-ha, menolong dan membantumu!"
Cui Im tersenyum mengejek, "Hmm, tertawalah, Kwi-ong karena engkau belum tahu, nanti ketawamu akan lain bunyinya. Sekarang katakan, pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang manakah yang dahulu amat kau inginkan?"
Pak-san Kwi-ong menghentikan tawanya dan memandang wajah cantik itu dengan sinar mata tajam menyelidik. "Hemmm, apa artinya kuberitahukan kepadamu? Akan tetapi tidak apalah kuceritakan juga. Di antara semua kitab yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, ada sebuah kitab yang amat kubutuhkan, yaitu kitab Siauw-lim-pai..."
"Seng-to Cin-keng? Ataukah kitab I-kiong Hoan-hiat?" Cui Im memotong.
Mata kakek hitam itu terbelalak. "Eh, engkau sudah tahu pula? Kitab ke dua itulah, I-kiong Hoan-hiat. Kitab itu amat kubutuhkan karena ilmu dalam kitab itulah yang akan membantu sempurnanya ilmu yang sedang kuciptakan."
"Sekarang bagaimana? Masih inginkah? Apa bila engkau membantuku menghadapi Keng Hong, aku tanggung engkau akan memiliki kitab itu."
Kakek itu membelalakkan mata. "Hmm, jangan main-main. Andai kata aku membantumu dan kita berhasil mengalahkan Keng Hong, dari mana aku akan bisa mendapatkan kitab itu? Aku sangsi apakah dia akan suka menyerahkan kitab itu, dia seorang yang keras hati dan tak mungkin dapat dipaksa dengan siksaan yang bagaimana pun."
"Hi-hi-hik, ternyata biar pun sudah tua engkau masih tetap bodoh, Kwi-ong."
"Apa maksudmu?" Kening tebal Pak-san Kwi-ong berkerut dan sinar mata datuk dari utara itu membayangkan kemarahan.
"Kau kira dari manakah aku mendapat kepandaian sehingga kini bisa menjadi Ang-kiam Bu-tek, tokoh nomor satu tak terkalahkan? Kau kira bagaimanakah aku sampai mampu mengalahkan bekas guruku, Lam-hai Sin-ni yang menjadi tokoh terkuat dari Bu-tek Su-kwi dan membunuhnya? Dari mana aku mendapatkan kepandaian untuk merobohkan semua jagoan yang berani menentangku, membunuh Sin-to Gi-hiap serta yang lain-lain? Akulah orangnya yang sudah berhasil mewarisi semua pusaka Sin-jiu Kiam-ong dan termasuk kitab I-kiong Hoan-hiat. Kalau engkau mau membantuku menghadapi Keng Hong sampai dia tewas, aku akan memberi kitab pusaka Siauw-lim-pai itu kepadamu."
Sepasang mata yang lebar dan tampak putih sekali karena mukanya hitam itu terbelalak, telinga yang lebar bagai telinga gajah itu bergerak-gerak. Memang Pak-san Kwi-ong telah maklum akan kelihaian bekas murid Lam-hai Sin-ni itu, akan tetapi mendengar pengakuan bahwa gadis inilah yang berhasil mewarisi pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong, benar-benar merupakan hal yang tak disangka-sangkanya. Ia masih belum mau percaya benar, maka dia berkata,
"Ang-kiam, bagaimana aku bisa tahu bahwa engkau tidak membohong?"
"Pak-san Kwi-ong, apakah kepandaianku masih belum meyakinkan hatimu? Apakah lebih dulu engkau perlu untuk mencobanya?" Cui Im meraba gagang pedang merahnya.
"Ha-ha-ha! Kita berdua tentu akan dihukum mati oleh kaisar kalau membuat ribut di sini. Tentang engkau pandai sampai setinggi langit, aku tidak peduli. Akan tetapi bagaimana aku bisa percaya bahwa kitab I-kiong Hoan-hiat berada padamu kalau aku belum melihat buktinya?"
"Bagus! Aku akan memperlihatkan kitab itu kepadamu. Dan jika memang benar, maukah engkau membantuku menghadapi Keng Hong dan kalau dia tewas aku akan memberikan kitab itu kepadamu sebagai balas jasa?"
Kakek hitam yang amat membutuhkan kitab itu mengangguk-angguk.
"Kau tunggulah sebentar!" Cui Im lalu berkelebat pergi dan tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Siauw Lek yang tersenyum-senyum.
"Lihatlah baik-baik, bukankah ini adalah kitab yang kau inginkan itu?" Cui Im memegang sebuah kitab yang tadinya terbungkus kain kuning, memperlihatkan sampulnya kemudian membuka-buka lembarannya.
Sepasang mata kakek hitam itu makin melebar dan wajahnya berseri-seri. Dia mengenal kitab itu yang pernah dilihatnya dahulu di Siauw-lim-si akan tetapi yang tak pernah dapat dia miliki. Dahulu, dia siap mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan kitab ini. Dan sekarang, dia akan dapat memilikinya dengan mudah! Syaratnya hanya membantu Cui Im menewaskan Keng Hong!
Kalau dia sendiri disuruh menandingi Keng Hong, sesudah dia melihat kelihaian pemuda itu bertanding melawan Tio Hok Gwan, agaknya akan amat sukar mengalahkan pemuda itu. Akan tetapi bila bersama-sama Cui Im dan Siauw Lek yang benar-benar lihai, hal itu tidaklah amat sukar.
"Baiklah, Ang-kiam Bu-tek. Aku terima permintaanmu!" jawabnya penuh gairah.
Cui Im lalu menyimpan kitabnya di balik baju dengan hati girang. Yang penting adalah menundukkan kakek ini supaya ikut membantunya. Yang terpenting adalah menewaskan Keng Hong. Apa bila hal itu telah terlaksana, tentang pemberian kitab adalah merupakan urusan belakang! Mereka bertiga duduk melakukan perundingan.
"Aku tidak mau bertindak sembrono," berkata Cui Im. "Menghadapi lawan yang demikian lihai, kita tidak boleh terlalu mengandalkan kepandaian sendiri agar jangan sampai gagal. Terus terang saja, ilmu kepandaian yang kini dimiliki Keng Hong juga didapatkannya dari kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Sesungguhnya, aku pun tak akan kalah menghadapinya karena kepandaian kami berdua setingkat dan sesumber. Akan tetapi..." Cui Im menarik napas panjang karena dia benar-benar merasa penasaran dan kecewa, "dia telah dapat menguasai Thi-khi I-beng yang entah dia dapatkan dengan cara bagai mana. Bahkan dahulu sebelum kami menemukan kitab-kitab itu, dia sudah memiliki ilmu mukjijat itu. Akan tetapi, kalau kita maju bersama, kurasa kita akan dapat mengatasinya."
Pak-san Kwi-ong yang sekarang menjadi sangat bersemangat oleh karena dia ingin sekali segera dapat memiliki kitab I-kiong Hoan-hiat, berkata,
"Kurasa bukan hanya ilmu menyedot sinkang lawan itu saja yang perlu kita perhatikan. Apakah engkau juga mengenal ilmu silatnya ketika dia melawan Tio Hok Gwan?"
Cui Im menggelengkan kepala. "Belum pernah aku melihat dia mempergunakan ilmu silat aneh itu."
"Ha-ha-ha! Apa sih anehnya ilmu silatnya itu?" Tiba-tiba Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek berkata dengan suara menghina. "Melihat gerakan tangannya, ilmu silatnya itu bukankah mengambil dari Pat-kwa Kun-hoat dan melihat gerak kakinya, tentu itulah Ngo-heng-kun. Mungkin merupakan penyatuan dua ilmu silat itu."
Pak-san Kwi-ong yang tentu saja lebih banyak pengalamannya, menggeleng kepala dan berkata serius, "Bukan! Gerakan lengan yang membentuk lingkaran-lingkaran itu sangat aneh dan kurasa merupakan ilmu silat simpanan yang tidak terkenal. Kita harus waspada menghadapi ilmu silatnya itu dan ilmu sedotnya yang lihai!"
"Aku percaya kita bertiga akan dapat mengalahkannya!" kata Siauw Lek.
Pak-san Kwi-ong mengangguk. "Kurasa pun begitu. Sungguh pun dia lihai, mustahil kita bertiga tak akan dapat mengalahkannya."
Cui Im mengerutkan alisnya. "Aku ingin sekali turun tangan tidak sampai gagal. Kalau kita bertiga maju, kita hanya merasa unggul, akan tetapi aku belum yakin. Sebaiknya kalau kita bisa mengajak salah seorang lagi di antara rekan kita. Kurasa Kemutani paling boleh diandalkan, dengan hui-to (pisau terbang) dia akan dapat mengacaukan lawan."
"Hemmm, akan tetapi wataknya yang keras mana mungkin dapat kita bujuk?" Siauw Lek meragu.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Kesukaan Kemutani hanya ada satu dan pandang matanya kepadamu Ang-kiam..."
Cui Im mengangguk. "Aku mengerti dan aku siap membalas budinya."
"Akan tetapi dia... mengingatkan aku akan kuda Mongol..."
"Hushh, Siauw Lek. Jangan bicara begitu. Harap engkau suka memanggil dia ke sini." Cui Im mencela dan pandang matanya membuat Siauw Lek tak berani membantah lagi.
Dia adalah kekasih Cui Im, dan dia tidak menjadi cemburu, bahkan tidak peduli kalau Cui Im berpesta pora membagi cinta birahinya kepada pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, membayangkan Cui Im dengan tubuhnya yang ranum dan menggairahkan, kulitnya yang halus putih kemerahan itu, harus melayani Kemutani?
Dia bergidik. Teringat dia akan cerita orang betapa sudah ada tiga orang pelayan istana yang dihadiahkan kepada Kemutani, semuanya mati setelah selama tiga malam berada di kamar peranakan Mongol itu! Kemutani yang memiliki tenaga Iweekang yang amat kuat, bermuka pucat seperti mayat dan bertubuh tinggi kurus itu mengingatkan dia akan seekor kuda jantan Mongol yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita!
Kemutani muncul bersama Siauw Lek dan segera duduk menghadapi Cui Im. Pandangan matanya tanpa disembunyikan lagi melihat belahan dada yang membusung di atas meja di hadapannya itu, wajahnya pucat berseri dan dia berkata dengan suara yang agak kaku karena dia lebih mahir berbahasa Mongol dari pada bahasa Han,
"Nona, engkau memanggil aku? Ada urusan apakah?"
"Kemutani, aku ingin minta pertolonganmu dalam urusan pribadiku."
Kemutani tersenyum dan matanya berkedip-kedip sebelum menjawab. "Ahh, tentu saja aku bersedia menolong, bukankah kita harus saling menolong? Siapa tahu sekali waktu aku pun ingin minta pertolongan darimu, Nona."
Cui Im mengangguk-angguk dan semua maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu. "Memang kita harus saling menolong dan aku berjanji jika engkau suka membantuku dalam urusan ini, setelah berhasil aku pun akan suka membalas dengan membantumu."
"Heh-heh-heh, betulkah? Katakan dulu, apakah urusan itu?"
"Engkau sudah melihat sendiri bahwa ada seorang musuh besarku yang datang hendak mencelakakan aku. Karena dia lihai, maka aku hendak minta bantuanmu menghadapinya bersama Pak-san Kwi-ong dan Jai-hwa-ong..."
"Ahh, pemuda yang lihai bukan main itu?" Kemutani tampak kaget karena dia pun telah menyaksikan sepak terjang Keng Hong ketika menghadapi Hok Gwan dan diam-diam dia pun telah dapat menilai bahwa dia bukanlah lawan pemuda hebat itu.
"Boleh jadi dia lihai, akan tetapi kalau kita berempat maju, aku yakin dia akan dapat kita tewaskan," jawab Cui Im dengan suara pasti.
"Akan tetapi... Apakah kita tidak akan mendapat teguran kalau melakukan pembunuhan di kota raja? Padahal The-taiciangkun sendiri sudah mengetahui duduknya perkara dan sudah pula mengenal pemuda itu."
"Kita harus cerdik. Aku akan memancingnya di luar kota raja dan kita habiskan nyawanya di sana. Pendeknya, kau tidak usah khawatir hal itu, aku yang akan mengaturnya. Yang penting, maukah engkau membantuku menghadapi dia?"
Kemutani tampak meragu. Akan tetapi pada saat itu, di depannya tampak senyum manis sekali di bibir setengah terbuka penuh tantangan, pandang mata yang indah, dada yang agak dibusungkan, memberi janji yang menggetarkan nafsu birahinya.
"Nona, apakah balas jasamu untuk membantuku?"
"Sudah kukatakan, kalau kau suka membantuku, aku pun bersedia membantu, apa saja yang kau minta dariku. Kalau engkau membantuku dan kita berhasil menewaskan dia, boleh kau terima balas jasa itu."
"Betul? He-heh-heh, engkau bersedia... ehh… menemani aku semalam suntuk?" Ucapan kasar serta terang-terangan di hadapan orang-orang lain ini tentu akan membikin merah telinga orang, terutama telinga wanita yang bersangkutan.
Akan tetapi Cui Im sudah kebal dan dia malah tersenyum. Juga Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong mendengar ucapan ini dengan sikap biasa saja.
Cui Im mengangguk. "Dengan senang hati aku akan menemanimu, Kemutani, sesudah engkau membantu kami menewaskan Keng Hong."
"Wah, aku tidak mau kalau syaratnya harus menewaskan. Bagaimana kalau usaha kita gagal dan dia tidak sampai tewas? Padahal aku sudah membantumu! Bukankah aku akan membantu dengan sia-sia belaka? Tidak, Nona. Janjinya harus diubah begini. Aku akan membantumu menghadapi pemuda sakti itu dan akan kuusahakan sekuat tenagaku agar engkau menang dan dia tewas. Akan tetapi, tidak peduli dia terbunuh atau tidak, setelah aku membantumu dan kita kembali ke istana, engkau harus memenuhi permintaanku, yaitu menemaniku berenang di lautan asmara selama semalam suntuk. Aku selalu rindu untuk mendapat teman yang akan mampu mengimbangiku dan kurasa hanya engkaulah orangnya, Nona. Bagaimana? Berhasil atau tidak membunuh Keng Hong, engkau harus menemani aku!"
Cui Im mengangguk dan tersenyum, mengerjapkan mata kirinya dengan gaya yang manis memikat, lalu berkata, "Baiklah, Kemutani. Aku pun ingin sekali menguji sampai di mana kekuatanmu berenang di lautan seperti yang disohorkan orang!" Ucapan Cui Im ini pun tentunya akan terasa menggatalkan telinga orang-orang biasa, akan tetapi mereka yang mendengarkan hanya tertawa.
Mereka lalu berunding mengatur siasat di dalam kamar itu, atau tepatnya, Cui Im yang menjelaskan siasatnya kepada tiga orang pembantunya. "Menurut penyelidikanku, Keng Hong masih terus menanti di luar kota raja. Kalau kita langsung datang ke sana, tentu dia akan mendapat kesempatan melarikan diri apa bila dia melihat akan dikeroyok. Lebih baik kita pura-pura tidak tahu bahwa dia mengintai di sana, biar dia menganggap aku sudah merasa aman dan aku akan bersenang-senang di sana bersama seorang pemuda. Tentu dia muncul dan kalian bertiga yang sudah bersembunyi lebih dulu, lalu menyergap. Kalau dia terjebak memasuki pondok, tidak akan ada jalan keluar lagi baginya."
Tiga orang itu mengangguk-angguk dan akhirnya Siauw Lek bertanya, "Dengan pemuda mana engkau akan ke sana dan kapan akan dilakukan siasat ini?"
Pertanyaan itu sama sekali tak mengandung nada suara cemburu, dan Cui Im menjawab, "Aku belum tahu. Harus kucari lebih dulu, kemudian setelah dapat baru akan kutentukan waktunya."
Berakhirlah perundingan gelap ini dan Cui Im lalu keluar dan seperti biasa pada waktu dia bebas tugas, dia lalu menunggang kuda dan mengelilingi kota sambil memasang matanya mencari-cari pemuda yang mencocoki hatinya, seperti mata seekor burung elang mencari anak ayam atau burung kecil yang berdaging penuh. Yang montok.
Biar pun baru kurang lebih setahun Cui Im menjadi pengawal istana, akan tetapi ia sudah sangat terkenal di kota raja. Hampir semua orang tahu siapakah gerangan gadis cantik jelita yang berpakaian mewah dan indah serta menunggang seekor kuda yang besar itu. Mereka maklum pula bahwa di samping mempunyai kepandaian yang disohorkan orang seperti kepandaian seorang dewi dari langit, juga bahwa wanita cantik menggairahkan ini memiliki hobby mencari pemuda tampan untuk diajak bersenang-senang.
Bagi pemuda yang dipilih, tentu saja hal itu merupakan pengalaman yang tak akan dapat terlupakan, merasa beruntung seperti kejatuhan bulan. Maka tidaklah mengherankan bila mana Cui Im sedang menunggang kuda keliling kota, para pemudanya keluar dari dalam rumah lantas memasang gaya masing-masing di depan pintu. Siapa tahu mereka akan terpilih!
Akan tetapi sekali ini, Cui Im tidak mau memilih pemuda sembarangan saja. Sudah terlalu lama, hampir tiga bulan dia terpaksa menahan nafsunya karena tidak berani keluar dari istana, apa lagi pergi bersenang-senang di pondoknya di luar kota. Karena itu dia ingin memilih seorang pemuda yang benar-benar memenuhi syarat selera hatinya, untuk diajak bersenang-senang sampai sepuasnya sekaligus juga untuk dipergunakan sebagai umpan memancing keluarnya Keng Hong. Jadi, untuk malam istimewa yang direncanakan itu dia harus mendapatkan seorang pemuda yang betul-betul istimewa! Yang montok…..
Hatinya kesal karena dia tidak melihat pemuda yang baru. Dia telah bosan melihat para pemuda yang itu-itu juga berlomba gaya di depan pintu, memasang aksi dan tersenyum-senyum kepadanya. Akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara para pemuda itu yang berani untuk bersikap kurang ajar. Mereka semua sudah mengenal siapa Cui Im, seorang wanita yang di satu saat dapat menjadi seorang bidadari dengan jari-jari tangan halus mesra membelai, akan tetapi di saat lain dapat menjadi iblis yang akan membunuh orang tanpa berkedip mata!
Dengan hati kesal Cui Im menghentikan kudanya di depan sebuah restoran yang paling terkenal di kota raja. Seorang pelayan cepat menuruni anak tangga depan restoran dan sambil terbongkok-bongkok lalu menerima kendali kuda untuk menuntun kuda nona itu ke kandang kuda yang tersedia di belakang restoran. Cui Im melangkahkan kaki dengan sigap dan sikap angkuh memasuki restoran, tak begitu mengacuhkan para pelayan yang menyambutnya dengan senyum-senyum menjilat dan tubuh terbongkok-bongkok.
"Sediakan meja di sudut dalam yang menghadap keluar. Aku ingin makan masakan yang paling enak!" kata Cui Im singkat.
Pengurus rumah makan itu dengan ramah lalu mempersilakan nona ini duduk di meja sudut sebelah dalam. Cui Im duduk dan memandang keluar. Dari tempat duduknya dia tidak hanya dapat melihat semua tamu yang memasuki restoran, bahkan dapat melihat orang-orang yang lewat di jalan besar depan restoran itu.
Dia tidak peduli akan pandangan semua tamu yang menoleh ke arahnya semenjak dia memasuki restoran sampai dia duduk. Di antara mereka ada beberapa orang pria muda yang cukup ganteng, akan tetapi tidak ada yang memenuhi seleranya. Hal ini agaknya disebabkan oleh sikap orang-orang muda itu sendiri yang memandangnya penuh gairah.
Cui Im terlalu sering melihat pandang mata seperti itu sehingga dia menjadi kebal dan terbiasa. Pandangan laki-laki penuh gairah dan kagum kepadanya malah membosankan, bahkan menjemukan hatinya. Dia ingin mencari seorang pria yang betul-betul istimewa, muda atau tua tidak menjadi soal baginya.
Tiba-tiba pandang mata Cui Im berkilat dan seluruh tubuhnya menegang penuh getaran. Semangatnya bangkit hingga setiap urat syaraf pada tubuhnya berdenyut, terbawa oleh jantungnya yang berdebar. Pandang matanya seperti lekat kepada seorang pemuda yang memasuki restoran itu. Begitu melihat wajah pemuda ini, melihat tubuhnya yang sedang dan berpakaian hijau, bertemu pandang dengan sepasang mata tajam di bawah alis yang hitam tebal, nafsu birahinya bangkit, menyala dan berkobar.
Pemuda itu usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya membayangkan kejantanan, akan tetapi gerak-geriknya halus. Alisnya tebal hitam, matanya sangat tajam, hidungnya mancung, dan bibirnya merah membayangkan kesehatan. Sungguh wajah yang tampan dan membayangkan kehalusan budi. Melihat bentuk pakaiannya yang kehijauan mudah diketahui bahwa dia adalah seorang pemuda terpelajar, seperti pakaian sastrawan pada masa itu, serba longgar dengan lengan baju lebar.
Akan tetapi pakaian itu kelihatan kotor serta berdebu, tanda bahwa dia adalah seorang pendatang dari luar kota raja dan agaknya baru saja datang dari perjalanan jauh. Ada kelelahan karena perjalanan, tampak dari keadaan pakaian dan sepatunya yang berdebu.
Sebuah buntalan kain kuning yang cukup besar, yang agaknya berisi bekal pakaian dan lain-lain, diletakkan pemuda itu di atas bangku dekat meja. Kemudian ia duduk dan tidak mengacuhkan keadaan sekelilingnya. Dia bukan seorang yang bersikap tinggi hati, akan tetapi jelas tidak merasa rendah berada di restoran, di antara tamu-tamu yang berpakaian mewah bersih itu. Dengan suara tenang dan halus dia lalu memesan makanan kepada pelayan.
Kebetulan sekali pemuda itu duduknya menghadap ke arah dalam sehingga Cui Im dapat melihat wajahnya dari depan. Debar jantung wanita ini semakin mengencang. Ia merasa amat tertarik. Inilah pemuda yang dicarinya!
Agaknya pandang mata Cui Im yang tajam penuh perasaan itu terasa getarannya oleh pemuda itu karena dia mengangkat muka dan beberapa detik pandang mata mereka bertaut. Pemuda itu cepat menunduk dan Cui Im semakin tersiksa hatinya dan tergugah nafsunya.
Pemuda itu memandang dengan heran, seakan-akan mengherankan kehadiran seorang wanita muda sendirian dalam restoran besar itu. Sama sekali tidak ada pandang mata gairah dan kagum seperti yang didapatkan Cui Im di dalam sinar mata setiap orang pria yang memandangnya. Dia menjadi makin tertarik dan juga penasaran. Begitu angkuhkah pemuda ini sehingga tidak tertarik kepadanya?
Hemm, aku harus mendapatkan engkau. Kau akan kubikin mabuk dengan kecantikanku, dengan sifat kewanitaanku, hingga engkau akan suka bertekuk lutut dan mencium telapak kakiku, demikian bisik hati Cui Im yang menjadi sangat penasaran dan gemas karena baru pertama kali ini dia tidak dipedulikan oleh seorang pria!
Memang watak yang aneh dan juga sukar sekali yang dimiliki Cui Im. Tadi dia merasa jemu melihat semua pemuda memandang dirinya penuh kagum dan gairah. Kini bertemu dengan seorang pria yang tidak memandangnya dengan kagum dan gairah, dia menjadi penasaran dan mendongkol!
Pesanan makanan Cui Im datang lebih dulu dan dengan sikap amat hormat dan ramah, dua orang pelayan mengatur hidangan itu di atas meja di depan Cui Im. Pemuda baju hijau itu terpaksa memandang, bukan untuk mengagumi wajah Cui Im, melainkan karena bau sedap masakan yang mengepul itu menambah perih perutnya yang amat lapar, dan sikap dua orang pelayan yang menjilat-jilat, juga banyaknya hidangan yang sampai tujuh macam di piring dan mangkok besar itulah.
Akan tetapi Cui Im memandang wajah pemuda itu dan ketika dua orang pelayan sudah meninggalkan meja dan kebetulan pandang mata mereka bertemu, Cui Im memandang mesra penuh daya pikat, bibirnya yang manis tersenyum dan kepalanya mengangguk sedikit memberi isyarat menawarkan.
Merah wajah pemuda itu, Ia merasa telah melakukan hal tidak pantas, memandang orang yang hendak makan. Melihat isyarat itu dia lalu menggerakkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai ucapan terima kasih dan sekaligus minta maaf, kemudian menundukkan muka tidak berani memandang lagi.
Sampai lama jari-jari tangan Cui Im menjepit tanpa mulai makan. Dia terus memandang pemuda itu, hatinya tertarik sekali. Sikap pemuda itu begitu lemah lembut, begitu sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa kagum atau tertarik. Betapa sulitnya mencari pemuda seperti ini, sedangkan pemuda yang memang telah mengaguminya, kadang kala membosankan.
Belum pernah dia mendapatkan penyerahan diri seorang pria yang tadinya memandang rendah kepadanya. Betapa akan mesranya kalau saja pemuda sopan dan tak acuh atas kecantikannya seperti pemuda di depannya itu akhirnya menyerah ke dalam pelukannya! Betapa akan terasa bangga hatinya.
Seorang pelayan datang membawa bak terisi makanan yang dipesan pemuda itu. Cukup seorang saja yang melayaninya karena yang dipesannya pun hanya nasi, bakmi dan satu macam masakan bersama seguci arak. Sesudah hidangan di atur di meja dan pelayan mempersilakannya makan, pemuda itu agaknya teringat kepada Cui Im yang tadi sudah menawarinya.
Hatinya merasa tidak enak kalau dia diam saja, maka lebih dulu mengerling ke arah meja gadis cantik itu yang tentu tengah asyik makan sehingga ia mendapat alasan untuk tidak menawarkan. Akan tetapi mukanya menjadi merah sekali ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya memegang sumpit dan belum mulai makan, bahkan sedang memandanginya sambil tersenyum ketika pandang mata mereka bertemu! Dengan sikap canggung dan tersipu pemuda itu mengangguk untuk menawarkan, dibalas oleh Cui Im yang tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih.
Tiba-tiba pemuda itu melihat Cui Im mengambil sebuah di antara mangkok-mangkok terisi masakan, lalu sekali menggerakkan tangan, mangkok itu melayang di udara, berputaran dan hinggap di atas meja depan pemuda itu, sedikit pun tidak tumpah kuahnya! Pemuda itu terbelalak kaget dan memandang Cui Im penuh pertanyaan, juga penuh keheranan.
Cui Im tersenyum lalu berkata lirih, "Silakan, Siangkong (Tuan Muda), masakan-masakan yang dihidangkan untukku terlalu banyak."
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali, akan tetapi dia hanya mengangguk kemudian menjawab lirih, "Terima kasih."
Kemudian dia mulai makan dengan lambat, tidak berani memandang ke kanan kiri karena merasa bahwa para tamu lainnya tentu melihat semua kejadian tadi sehingga dia menjadi malu sekali. Akan tetapi pemuda ini diam-diam merasa heran sekali mengapa tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, padahal apa yang dilakukan wanita itu adalah hal yang tentu akan menimbulkan keheranan banyak orang.
Melempar semangkok masakan seperti itu sungguh merupakan perbuatan aneh yang tak akan dapat dilakukan oleh sembarangan orang! Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa wanita cantik itu adalah pengawal rahasia kaisar, dan tidak tahu bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencampuri urusan wanita itu, apa pun yang dilakukannya!
Cui Im sudah mengambil keputusan tetap di hatinya. Pemuda inilah pilihannya! Pemuda tampan yang merupakan pendatang baru, yang begitu sopan, begitu halus serta lemah lembut, yang masih begitu murni sehingga tidak mengacuhkan kecantikan dan pandang matanya yang penuh pancaran kasih.
Apakah pemuda itu masih begitu bodoh? Usianya tidaklah muda lagi, akan tetapi agaknya ia masih jejaka dan besar kemungkinan belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat Cui Im makin terangsang dan ia menelan ludah. Ia mengilar seperti seorang wanita mengandung melihat buah muda yang masam! Ia harus mendapatkan pemuda itu, untuk menemaninya sepuasnya dan untuk memancing Keng Hong.
Setelah menghabiskan beberapa potong daging dan minum beberapa teguk arak, dia lalu bangkit berdiri dan keluar dari rumah makan itu diikuti para pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat. Cui Im meloncat ke atas punggung kuda. Setiap rumah makan atau kedai apa saja takkan ada yang berani menerima uang pembayaran Cui Im, apa lagi memintanya!
Melihat betapa pelayan-pelayan begitu menghormat, bahkan melihat pula betapa gadis itu pergi begitu saja tanpa membayar, pemuda itu menjadi semakin heran. Dia tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu, kecantikan yang dia tahu menyembunyikan sifat yang amat tak menyenangkan, sungguh pun dia tidak tahu sifat apakah itu, hanya dia dapat menangkap sikap tercela dari sinar mata dan senyum memikat gadis itu. Akan tetapi dia amat tertarik melihat betapa gadis itu amat dihormat, dan melihat kepandaian hebat gadis itu yang tadi melempar mangkok secara luar biasa.
Karena tertarik, ketika ia selesai makan dan memanggil pelayan untuk membayar, sambil lalu dengan suara tak acuh dia bertanya,
"Lopek, tahukah Lopek (Paman) siapa nona yang duduk di situ tadi?"
Mendengar pertanyaan ini, pelayan itu memandang pemuda berpakaian hijau itu dengan mata lebar, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki, kemudian menggelengkan kepala!
"Ah, tentu Kongcu seorang pendatang dari jauh maka tidak mengenalnya. Dan sebetulnya Kongcu amatlah bahagia mendapatkan perhatiannya. Hemm... sungguh aneh dunia ini... Yang mengharapkan tidak mendapat, yang sama sekali tidak sengaja malah menemukan! Dia itu adalah Bhe-siocia yang terkenal sebagai pengawal istana dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek.."
Pelayan itu bergegas menerima pembayaran dan pergi, seakan-akan merasa ketakutan telah berani menyebut nama julukan itu. Karena bergegas pergi, pelayan itu tidak melihat wajah pemuda pelajar itu berubah ketika mendengar nama julukan Ang-kiam Bu-tek.
Pemuda itu segera mengambil buntalannya, memanggulnya dan dengan langkah tenang keluar dari restoran, tidak peduli betapa dia menjadi pusat perhatian para tamu lainnya yang merasa iri hati melihat sikap Cui Im tadi kepada pemuda itu dan juga merasa amat heran mengapa ada pemuda yang menerima keuntungan seperti itu sama sekali tidak mengacuhkannya.
********************
Pemuda yang sedang melihat-lihat keramaian kota raja, tiba-tiba mendengar derap kaki kuda yang berhenti berlari setelah tiba di belakangnya, kemudian terdengar suara halus merdu menegurnya, "Siangkong, harap berhenti dulu...!"
Pemuda itu dapat menduga siapa yang menegurnya meski pun di dalam hati dia merasa terheran. Maka, ketika dia berhenti dan memutar tubuh, melihat Cui Im duduk dengan gaya indah menarik di atas kudanya yang besar, dia tidak menjadi terkejut. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat dan berkata,
"Ahh, saya menghaturkan terima kasih atas keramahan Nona di restoran tadi. Tidak tahu apakah yang dapat saya lakukan untukmu maka Nona menghentikan saya?"
Kembali Cui Im merasa kagum. Pemuda ini benar-benar amat halus dan sopan santun. Kesopanan yang kemudian menimbulkan keraguan di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini jasmaninya selemah sikapnya yang halus.
Akan tetapi dia mengusir keraguannya lantas tersenyum manis sekali, kemudian dengan gerakan lemas, dengan gerak pinggang ramping yang lemah gemulai, dia turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda mendekati pemuda itu. Dengan tali kendali kuda di tangan ia cepat membalas penghormatan pemuda itu, bersoja (mengangkat kedua tangan depan dada) dan berkata,
"Tak perlu berterima kasih, Siangkong. Aku tertarik melihat engkau yang agaknya adalah seorang pendatang baru di kota raja, dan ingin sekali berkenalan. Kalau sudi Siangkong berkenalan dengan seorang bodoh seperti aku..." Cui Im menutupi mukanya untuk dapat menyembunyikan senyum lebarnya, "aku bernama Bhe Cui Im..."
"Nona terlalu merendahkan diri. Kalau seorang seperti Nona menyebut diri bodoh, tentu saya merupakan seorang setolol-tololnya. Tentu saja saya merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan Nona. Nama saya Yap Cong San."
"Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya...," kata Cui Im dan ia menahan ketawanya ketika melihat betapa wajah pemuda itu menjadi merah sampai ke leher! Untuk menolong Cong San dari rasa malu, Cui Im cepat berkata lagi, "Yap-siangkong datang ke kota raja tentu hendak mengikuti ujian bukan?"
"Hemm..., ya, benar. Mengikuti ujian, akan tetapi saya adalah orang yang amat bodoh..."
"Ehh, Siangkong terlalu merendahkan diri. Siangkong tentu seorang terpelajar, aku yakin benar akan hal ini... ehh, tidak enak bicara di tengah jalan begini. Di manakah Siangkong bermalam?"
"Saya baru saja datang, karena lapar terus makan di restoran tadi belum sempat mencari rumah penginapan."
"Ah, kalau begitu saya bisa menolong Siangkong…"
"Jangan merepotkan diri, Nona. Sebetulnya saya... saya merasa amat malu mengganggu Nona. Apa lagi, Nona yang terhormat di kota raja ini, kalau dilihat orang berbicara dengan seorang sastrawan miskin seperti saya..."
"Hemmm... hendak kulihat siapa yang berani mencela aku..!" Cui Im sengaja menengok sekelilingnya.
Cong San melihat dengan heran betapa semua orang yang tadinya memandang ke arah mereka, segera menundukkan muka dan melanjutkan perjalanan dengan secepatnya dan tergesa-gesa, seolah-olah dari pandang mata Cui Im memancar api panas yang membuat mereka tidak betah memandang lebih lama.
"Hemmm, Nona tentu seorang yang amat berkuasa di sini."
"Benar, Yap-siangkong. Karena itu, marilah kau ikut denganku dan akan kucarikan tempat penginapan yang patut untukmu. Marilah!"
Pemuda pelajar itu kelihatan canggung dan malu, akan tetapi dia melangkah dan berjalan di samping nona itu yang bicara dengan senyum-senyum, "Percayalah, Siangkong, saya tidak mempunyai niat buruk terhadap Siangkong, saya tahu bahwa Siangkong seorang yang pandai dan terpelajar. Sebagai seorang asing di sini, kasihan kalau Siangkong tidak mendapatkan tempat yang layak."
Cui Im membawa Cong San ke sebuah hotel terbesar di kota raja. Melihat pakaian para pelayan di situ dan melihat tempat penginapan yang besar, tamu-tamu yang berpakaian mewah, Cong San dapat menduga bahwa kalau dia muncul sendirian di situ agaknya dia akan dipandang rendah dan tentu biaya penginapan di situ amat mahal. Diam-diam dia menghitung bekalnya yang tidak banyak.
Akan tetapi karena dia datang bersama Cui Im, para pelayan sibuk menyambut mereka berdua, bahkan kuasa hotel itu sendiri menyambut sambil membongkok-bongkok hingga pinggangnya hampir patah.
"Selamat datang, selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita)! Sungguh merupakan sebuah kehormatan besar mendapat kunjungan dari Lihiap. Apakah Lihiap hendak menggunakan kamar? Ataukah ada perintah lain yang harus kami lakukan?" kata kuasa hotel itu sambil tersenyum-senyum dan juga tidak lupa menyoja dengan hormat kepada Cong San.
Cui Im tersenyum dan melirik ke arah Cong San seperti hendak membanggakan diri atas sikap kuasa hotel dan para pelayan itu. "Tidak, bukan aku yang membutuhkan kamar, melainkan sahabat baikku, Yap-siangkong ini. Harap engkau suka memberi kamar terbaik untuknya dan melayaninya dengan baik pula."
"Tentu... Tentu, Lihiap. Marilah, Yap-siangkong!" Kuasa hotel itu menjura kepada Cong San.
Pemuda ini cepat berkata kepada Cui Im, "Banyak terima kasih, Nona."
"Ahhh, di antara sahabat mengapa banyak sungkan, Siangkong?" bantah Cui Im, "Saya mengharap Siangkong akan memenuhi undanganku untuk minum arak malam nanti."
Cong San hendak membantah, akan tetapi nona itu sudah melangkah keluar. Di ruangan depan ia kembali menengok sambil tersenyum dan berkata, "Saya akan mengirim utusan mengundangmu, Siangkong." Kemudian dengan langkah ringan dan lincah, Cui Im keluar, meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda pergi dari sana, meninggalkan debu mengepul di halaman hotel.
"Yap-siangkong amat beruntung menjadi sahabat baik Bhe-lihiap," kuasa hotel itu berkata sambil tertawa, "Silakan, Siangkong."
Terpaksa Yap Cong San mengikuti kuasa hotel itu, dipandang oleh para pelayan yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk. Setelah mereka memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap dengan perabotan dan amat bersih, Cong San menjadi khawatir dan berkata,
"Twako, terus terang saja, sahabatku nona Bhe Cui Im itu agak berlebihan. Aku seorang miskin, bagaimana sanggup menyewa sebuah kamar sebesar dan semewah ini? Berikan padaku sebuah kamar yang kecil saja, yang paling murah."
"Aiiihhhhh, mana bisa begitu? Saya masih sayang kepada nyawa saya, Siangkong. Lihiap sudah menentukan kamar yang terbaik untukmu, mana berani saya melanggar perintah dari Lihiap? Harap Siangkong tidak merendahkan diri. Sebagai sahabat baik lihiap, saat ini Siangkong menjadi tamu agung bagi kami."
"Tapi... tapi..." Cong San memegang lengan kuasa hotel yang hendak pergi meninggalkan kamar itu. "Saya... tak akan kuat membayar! Berapa sewanya sehari semalam, Twako?"
"Ha-ha-ha-ha! Siangkong suka berkelakar! Mana berani saya menerima uang sewa dari Siangkong? Tidak usah bayar, biar sampai sebulan sekali pun. Nah, selamat beristirahat, Siangkong. Pelayan akan siap menjaga di luar dan menanti segala perintah Siangkong."
Cong San berdiri tertegun di tengah kamar, kemudian dia menghela napas panjang dan menutup daun pintu, meletakkan buntalan besarnya di atas meja kemudian dia tertawa seorang diri mengingat segala peristiwa yang sama sekali tidak pernah diduganya!
Benar saja, para pelayan hotel itu bersikap amat hormat kepadanya dan melayani segala keperluan. Cong San juga tidak sungkan-sungkan lagi, malah minta disediakan air panas untuk mandi dan pada sore hari itu dia memesan makanan yang cepat sekali diantar ke kamarnya.
Sesudah makan sore, dengan pakaian yang bersih, sedangkan pakaiannya yang kotor cepat-cepat dicucikan oleh para pelayan, dia duduk di kamarnya membaca buku. Melihat kitab yang dibacanya, yaitu kitab Susi Ngokeng, para pelayan maklum bahwa pemuda ini adalah seorang terpelajar yang datang dari jauh untuk mengikuti ujian negara...