Pedang Kayu Harum Jilid 27
KIRANYA tidak percuma Keng Hong memberitahukan tempat ini kepadanya. Apakah Cui Im lari ke Phu-niu-san dan akan berada di antara banyak tamu? Ataukah musuh besar itu mempunyai hubungan dengan Phu-niu Sancu? Dia harus bisa mendapatkan keterangan yang jelas untuk dapat mengatur sikap, dan dia pun sama sekali tidak boleh bertindak sembrono karena kalau benar dugaan bahwa Cui Im memiliki hubungan dengan Phu-niu Sancu, tentu perempuan itu akan dibantu banyak orang di situ.
"Entahlah," jawab si tahi lalat yang memang doyan mengobrol. "Hal itu masih merupakan rahasia besar karena kami semua baru sekarang mendengar berita dan undangan bahwa Sancu hendak menikah. Hanya ada berita yang membocor, berita desas-desus bahwa Sancu akan menikah dengan seorang wanita yang kecantikannya laksana bidadari, dan yang kabarnya pun bukan orang sembarangan."
Jantung Cong San berdebar. Agaknya mempelai wanita itulah yang dikejarnya! Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang berbondong naik ke puncak dan diam-diam hatinya agak khawatir.
Agaknya tiga orang yang sombong dan membanggakan diri sebagai Bun-bu Sam-taihiap ini hanya lagaknya saja yang hebat, tentulah bukan lawan yang perlu diperhatikan. Akan tetapi di antara mereka yang berjalan naik itu dia juga sempat melihat beberapa orang yang membayangkan kepandaian tinggi.
Terutama sekali seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang berjenggot panjang dan di pinggangnya terdapat sebatang golok bergagang emas, yang berjalan bersama seorang tosu tua. Mereka berdua itu berjalan tanpa bercakap-cakap, akan tetapi dari langkah kaki dan sikap kedua orang itu, Cong San dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai.
Selain dua orang ini, dia melihat pula seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, membawa sebatang tongkat butut dan pakaiannya butut dan kotor pula, rambutnya kusut dan mukanya penuh kerut merut berwarna kotor kehitaman. Keadaan kakek ini pun kotor menjijikan, akan tetapi anehnya dia bergandeng tangan dengan seorang kakek lain yang berpakaian seperti sastrawan yang bersih dan mewah, yang menggandeng pula seorang kakek berpakaian pendeta. Sikap tiga orang kakek ini menarik perhatian, mereka nampak tertawa-tawa dan si kakek jembel beberapa kali berkata,
"Ha-ha-ha-ha, tuan pengantin, berjalanlah lebih gagah supaya tidak membikin malu nona pengantin!"
Si kakek pendeta tersenyum-senyum dan si kakek sastrawan berjalan digagah-gagahkan. Semua orang memandang dengan muka khawatir. Apakah tiga orang kakek ini sengaja bermain-main dan hendak mengejek Phu-niu Sancu? Akan tetapi karena keadaan mereka yang aneh, melihat usia mereka yang sudah amat tinggi, tidak ada yang berani menegur, bahkan ketiga orang Bun-bun Sam-taihiap terus memandang sambil menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek yang bersikap seperti anak-anak kecil itu.
Rombongan tamu yang bersamaan dengan Cong San terdiri dari dua puluh orang lebih. Setelah tiba di puncak bukit, Cong San melihat bahwa di atas puncak itu, dari bawah tidak tampak karena tersembunyi di antara pohon-pohon, terdapat bangunan-bangunan mewah merupakan suatu perkampungan.
Para tamu disambut oleh orang-orang yang berpakaian seragam biru bersikap gagah, lalu dipersilakan duduk di dalam ruangan gedung terbesar di mana telah tersedia ratusan buah bangku dan di situ telah menanti pula dua orang tuan rumah yang menerima para tamu dengan senyum ramah, akan tetapi hanya terhadap beberapa orang tamu saja mereka bangkit berdiri dan balas menghormat. Terhadap tamu-tamu yang tidak dikenal, termasuk pula Cong San, kedua orang tuan rumah itu hanya mengangguk sedikit untuk membalas penghormatan mereka.
Cong San melihat betapa dua orang itu pun tidak bangkit berdiri pada waktu membalas penghormatan tiga orang Bun-bu Sam-taihiap tadi, akan tetapi tiga orang itu tidak terlihat kurang senang sehingga diam-diam hati Cong San menjadi geli. Ia pun lalu mengambil tempat duduk di antara para tamu, dekat dengan tiga orang sastrawan sombong itu. Dari tepat duduknya dia memandang ke arah dua orang tuan rumah penuh perhatian.
Mereka itu adalah dua orang laki-laki yang gagah dan bersikap angkuh penuh wibawa. Melihat wajah mereka dia dapat menduga yang mana suheng-nya dan mana sute-nya. Dia tadi sempat mendengar bahwa yang menjadi ‘majikan gunung’ adalah yang muda, yang disebut Lian Ci Sengjin atau juga Phu-niu Sancu, ada pun suheng-nya adalah Sian Ti Sengjin.
Tentu lelaki bertubuh tegap, bermuka gagah dan angkuh, berusia empat puluh tahun lebih itu yang menjadi ketua atau majikan Gunung Phu-niu-san. Laki-laki di sebelah kanannya yang lebih tua beberapa tahun, yang berwajah pendiam dan seram itu tentu suheng-nya. Dia tidak mengenal mereka, maka sesudah memandang sejenak Cong San mencari-cari dengan pandang matanya, namun yang dicarinya tidak tampak.
Baik Cui Im mau pun Keng Hong tidak tampak bayangannya di antara tamu-tamu yang sudah puluhan orang banyaknya itu. Dia mulai ragu-ragu apakah dia tidak salah sangka, jangan-jangan yang dimaksudkan Keng Hong bukan tempat pesta ini!
"Ssttt, Hiante, engkau tentu mencari pengantin wanita, bukan?" Tiba-tiba si tahi lalat yang duduk di belakangnya berbisik lirih. "Sabarlah, benda berharga tentu disimpan baik-baik, wanita cantik tentu tidak diobral untuk ditonton banyak orang, melainkan dikeram dalam kamar. Nanti tentu diperkenalkan..."
Wajah Cong San menjadi merah, akan tetapi dia sengaja tersenyum dan mengangguk. Ia lebih tertarik ketika melihat betapa kedua orang tuan rumah itu menyambut kedatangan tiga orang kakek aneh. Dua orang itu cepat-cepat bangkit dan dengan wajah berseri lalu memberi hormat sambil membungkuk. Bahkan Phu-niu Sancu segera berkata,
"Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe betul-betul sudi datang mengunjungi kami. Harap banyak maaf bahwa kami tidak mengetahui lebih dulu sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya!"
Semua orang, termasuk Cong San dan juga tiga orang ‘pendekar’ yang duduk di belakang Cong San, menjadi amat terkejut melihat sikap tuan rumah dan mendengar ucapan sancu itu. Semua orang tidak ada yang mengenal kakek itu, tetapi melihat penghormatan yang demikian besar, sebutan ‘locianpwe’ dari majikan gunung, mereka semua menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek tua renta yang aneh itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kakek berpakaian jembel yang merupakan orang paling suka ketawa dan bicara di antara mereka bertiga, kini tertawa bergelak. "Kami tiga setan tua paling tak tahu diri! Di mana ada pesta pengantin dan arak wangi, tentu kami akan datang. Sancu, kami harus memberi selamat dengan tiga cawan arak sebelum menikmati hidanganmu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian kakek jembel itu menggerakkan tangan tiga kali ke arah meja yang berada di deretan terdepan dan...
"Wuuut-wuuut-wuuuttt...!"
Tiga buah guci arak yang berada di meja-meja itu terbang ke arahnya, diterima oleh tiga orang kakek itu dan terus ditenggak isinya setelah mereka berkata, "Selamat menikah!" Sungguh cara pemberian selamat yang aneh sekali.
"Eh-eh... ke mana arak... arakku...?" Seorang di antara tamu-tamu yang duduk di depan meja dan yang telah kehilangan guci araknya tiba-tiba berseru keras.
Para tamu tertawa, akan tetapi jantung Cong San berdebar mendengar suara itu. Itulah suara Keng Hong! Dia cepat ikut berdiri seperti tamu lain yang hendak melihat tingkah Keng Hong yang bersikap seperti seorang tamu tolol yang kehilangan guci araknya.
Cong San terbelalak kaget dan heran melihat bahwa orang itu adalah seorang lelaki muda bermuka hitam totol-totol seperti muka orang bopeng, sama sekali tidak ada bekas-bekas muka Keng Hong yang tampan. Pakaiannya pun bagai seorang pertapa, berwarna kuning dan terlalu besar, kepalanya dibungkus kain kuning.
Kalau saja tadi tidak mendengar suaranya, Cong San tentu tidak akan mengenali orang ini. Akan tetapi pada waktu orang itu mencari-cari guci araknya sambil memutar tubuh dan bertemu pandang mata dengan Cong San, murid Siauw-lim-pai ini yakin bahwa orang itu memang Keng Hong! Maka dia menjadi girang dan legalah hatinya.
Sambil tertawa-tawa seperti yang lain menyaksikan sikap tamu yang berpakaian pendeta akan tetapi kehilangan guci arak menjadi bingung seperti ini, seorang pelayan kemudian menyediakan guci arak lain sedangkan tiga orang kakek itu sambil tertawa dipersilakan duduk di kursi kehormatan yang berada di sebelah tempat duduk tuan rumah, agak tinggi tempatnya, tidak seperti ruangan duduk para tamu biasa yang berhadapan dengan tuan rumah.
Dua orang laki-laki gagah yang di tengah jalan tadi sudah diperhatikan Cong San, yaitu laki-laki tinggi besar berjengot panjang dan bergolok emas yang bersama tosu tua, juga diterima penuh hormat dan diberi tempat duduk di tempat kehormatan bersama tiga orang kakek aneh tadi. Masih ada belasan orang lain yang diperlakukan sebagai tamu terhormat dan diberi tempat duduk pada tempat kehormatan pula.
Biar pun hatinya lega ketika mendapat kenyataan bahwa Keng Hong berada di tempat itu, namun Cong San diam-diam merasa khawatir. Mereka hanya berdua, dan di situ terdapat banyak orang lihai. Cui Im sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat dan kakek-kakek yang tiga orang itu tentulah merupakan lawan berat. Baru demonstrasi yang diperlihatkan kakek jembel ketika dengan sinkang-nya dapat mengambil tiga guci arak tanpa sedikit pun menyentuhnya sudah membuktikan kekuatan sinkang yang dahsyat.
"Heee, mana mempelai wanitanya? Ehh, Phu-niu Sancu, harap jangan terlalu pelit untuk memperlihatkan mempelai wanita kepada kami. Mulut serta perut kami sudah mendapat hidangan cukup, tapi mata kami pun perlu hidangan memandang wajah cantik, ha-ha-ha!" Kakek jembel itu tertawa dan dua orang temannya pun tertawa bergelak.
Tentu saja ucapan itu terdengar amat kurang ajar, dan baru sesudah melihat pihak tuan rumah tidak marah, para tamu lainnya pun tertawa karena diam-diam mereka menyetujui ucapan kakek itu sebab mereka semua ingin sekali menyaksikan calon isteri Sancu yang selama ini dirahasiakan.
Mempelai pria tertawa dan berkata kepada kakek itu, "Harap Locianpwe suka bersabar karena dia sedang berhias. Sambil menanti munculnya pengantin wanita, lebih baik kalau kami memperkenalkan para tamu kehormatan kepada tamu-tamu lain sambil minum arak dan menikmati hidangan. Untuk hidangan mata, kami pun sudah mempersiapkan sebuah rombongan pemain musik, nyanyi dan tari."
Tuan rumah memberi isyarat dan muncullah belasan orang wanita cantik yang bersikap genit memikat, berlari dengan gerakan tubuh lemah gemulai. Mereka adalah penari-penari dan penyanyi-penyanyi, juga pemain musik yang terdiri dari yang-khim, tambur, suling dan lain-lain. Para tamu menjadi gembira dan puluhan pasang mata yang lapar lalu melahap wajah-wajah mereka yang cantik dan tubuh-tubuh mereka yang jelas membayang di balik pakaian sutera tipis.
"Ha-ha-ha-ha, nanti dulu, Sancu!" kata si kakek jembel ketika melihat tuan rumah hendak memperkenalkan mereka bertiga. "Sebelum tamu-tamu diperkenalkan, tentu lebih dahulu tuan rumah diperkenalkan." Kakek itu bangkit berdiri dan berkata menghadap para tamu. "Mungkin semua orang hanya mengenal Lian Ci Sengjin sebagai Sancu dari Phu-niu-san, dan Sian Ti Sengjin sebagai suheng dan penasehatnya. Akan tetapi agaknya jarang ada yang tahu bahwa mereka berdua kakak beradik seperguruan ini adalah tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai!'
Cong San terkejut sekali. Sungguh dia tidak menyangka bahwa dua orang tuan rumah itu adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai. Tentu saja Cong San tidak tahu bahwa kedua orang itu adalah dua tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng atau memberontak dan melarikan diri dari Kun-lun-pai.
Mereka itu bukan lain adalah Lian Ci Tojin yang kini tidak lagi menjadi tosu dan mengubah sebutan ‘tojin’ menjadi ‘sengjin’, dan suheng-nya, Sian Ti Tojin yang kini menjadi Sian Ti Sengjin. Sesudah mereka meninggalkan Kun-lun-pai dengan hati sakit, keduanya segera menghimpun tenaga dan mempunyai banyak anak murid, bermarkas di Phu-niu-san.
Akan tetapi pada saat Cong San mendengar bahwa pihak tuan rumah adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, hatinya pun menjadi lega. Dia sudah mendengar banyak tentang Kun-lun-pai sebagai perkumpulan besar yang terkenal dan murid-murid Kun-lun-pai dikenal sebagai pendekar-pendekar yang berjiwa gagah perkasa, pengabdi kebenaran.
Maka dia lalu memandang dua orang tuan rumah itu sebagai orang-orang segolongan yang dapat dia harapkan dalam menghadapi Cui Im nanti. Pula, kalau benar Cui Im yang dikawini oleh tokoh Kun-lun-pai itu, tentu terjadi karena tokoh itu belum mengenal siapa adanya Cui Im. Kalau tahu bahwa Cui Im adalah seorang iblis wanita yang jahat, tentu tokoh Kun-lun-pai itu tidak akan sudi!
Phu-niu Sancu yang berdiri itu tersenyum mendengar ucapan kakek jembel, lalu berkata lantang, "Memang tidak perlu kami pungkiri lagi bahwa dahulu kami kakak beradik adalah murid-murid Kun-lun-pai. Akan tetapi sayang bahwa sekarang ini Kun-lun-pai kemasukan pengacau sehingga terpaksa kami berdua meninggalkannya untuk sementara. Di dalam jaman kacau ini, tidak hanya Kun-lun-pai yang dikacau orang-orang. Juga Tiat-ciang-pang yang namanya tersohor di seluruh dunia kang-ouw, yang menjadi tetangga kami, kini juga dikacau orang sehingga tokoh-tokohnya yang berjiwa gagah lebih suka meninggalkannya. Kami memperkenalkan tokoh besar Tiat-ciang-pang yang kebetulan sudah hadir di sini, ialah Kim-to Lai Ban. Lai-sicu ini terkenal dengan ilmu goloknya dan ilmu Tiat-ciang-kang yang lihai!"
Cong San tercengang lagi. Dia sudah mendengar pula akan nama besar Tiat-ciang-kang sebagai perkumpulan orang-orang gagah. Kiranya laki-laki gagah yang membawa golok emas tadi adalah seorang tokoh Tiat-ciang-pang, jadi segolongan pula dengan dia dan boleh diharapkan bantuannya!
"Heh-heh-heh, tuan rumah yang tidak adil! Kenapa kami tidak diperkenalkan? Ha-ha-ha!" Kakek jembel tadi menegur sambil terkekeh.
Phu-niu Sancu tertawa. "Locianpwe adalah golongan teratas yang sudah terkenal sekali. Saya kira semua orang sudah mengenal Sam-wi Locianpwe." Kemudian tuan rumah itu menghadapi para tamu dan berkata lantang, "Siapa orang yang belum mengenal Thian-te Sam-locianpwe?"
Kakek yang berpakaian sastrawan cepat berkata, "Sancu tidak perlu mengubah julukan kami. Katakan saja bahwa kami adalah Thian-te Sam-lo-mo! Kami tidak malu disebut Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua)!"
Banyak di antara para tamu yang menjadi pucat mukanya. Thian-te Sam-lo-mo? Nama ini telah banyak dikenal orang, akan tetapi karena sudah puluhan tahun Thian-te Sam-lo-mo tidak pernah muncul di dunia ramai, maka nama mereka itu dianggap dongeng. Siapa kira, kini tahu-tahu di situ muncul tiga iblis tua yang dahulu dianggap sebagai datuk-datuk dunia penjahat!
Juga Cong San menjadi bengong. Alangkah anehnya keadaan di sana. Gurunya pernah memberi tahu, juga dua suheng-nya, bahwa sebelum muncul Bu-tek Su-kwi yang menjadi datuk-datuk kaum sesat, nama Thian-te Sam-lo-mo sangat terkenal sebagai datuk dunia penjahat. Sesudah Bu-tek Su-kwi muncul, tiga orang Thian-te Sam-lo-mo itu menghilang. Jika kini muncul lagi, Cong San tidak akan merasa heran. Akan tetapi yang membuatnya merasa heran adalah bahwa datuk-datuk penjahat itu dapat menjadi sahabat tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan menjadi satu dalam pesta bersama tokoh-tokoh golongan putih.
Akan tetapi dia segera memperhatikan kembali karena tuan rumah telah memperkenalkan para tamu yang duduk di kursi-kursi kehormatan. Tosu yang tadi datang bersama Kim-to Lai Ban diperkenalkan sebagai Thian It Tosu, dan masih belasan orang lagi diperkenalkan kepada para tamu. Semuanya adalah orang-orang ternama yang tinggal di perbatasan kedua propinsi.
Setelah semua tamu kehormatan diperkenalkan, terdengarlah tetabuhan dibunyikan dan para wanita penari mulai menari sambil menyanyi. Tamu-tamu menikmati hidangan dan tertawa-tawa melihat para penari itu mengerling genit sambil tersenyum-senyum ke arah mereka.
Seorang pelayan datang menghadap Sancu dan berkata dengan suara bisik-bisik. Sancu bangkit berdiri, lalu menoleh kepada tamu kehormatan dan berkata, "Maaf, saya hendak menjemput mempelai wanita."
Mendengar ini, kakek jembel orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo bertepuk tangan dan berkata nyaring, "Bagus, bagus...! Pengantin wanita datang! Tentu lebih menyenangkan dipandang dari pada penari-penari yang genit itu!" Semua orang tertawa dan ketika para penari itu melotot dan cemberut kepadanya, kakek ini mengambil aksi ketakutan sambil berseru, "Idiiihhh...! Seram...!"
Sikap kakek ini membuat orang tertawa bergelak dan diam-diam Cong San menjadi heran kenapa seorang tokoh dunia hitam yang telah amat terkenal sebagai Thian-te Sam-lo-mo itu sikapnya bagaikan kanak-kanak atau badut yang tidak lucu. Memang dunia kang-ouw banyak mempunyai orang-orang aneh, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitamnya.
"Mempelai datang...!" Terdengar seruan orang-orang dan semua tamu mengangkat muka memandang ke arah sepasang mempelai yang muncul dari pintu dalam.
Dengan sikap bangga dan wajah berseri-seri, Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu yang sudah berusia empat puluh lima tahun itu menuntun seorang wanita yang mengenakan pakaian pengantin yang mewah, gemerlapan dengan hiasan emas berlian, dan wajahnya tertutup tirai terbuat dari pada benang-benang emas yang berkeredepan. Tak dapat dilihat dengan jelas wajah di balik tirai itu, hanya tampak bayangannya saja. Akan tetapi bentuk tubuhnya yang tersembunyi di balik pakaian pengantin yang longgar dapat dibayangkan sebagai tubuh yang ramping padat dan tinggi semampai yang kadang-kadang tersembul dari balik lengan baju ketika jalan melenggang, amat putih dan halus.
Sepasang pengantin duduk di atas kursi yang sudah dipersiapkan, kemudian para penari melanjutkan pertunjukkan mereka yang terganggu sebentar dengan munculnya sepasang mempelai. Akan tetapi baru saja mereka membuka mulut dan belum juga suara nyanyian keluar, tiba-tiba kakek jembel meloncat bangun dan menggoyang-goyangkan tangannya ke arah penari itu.
"Stop! Jangan membikin bising dulu, mempelai wanita belum diperkenalkan!"
Para penari itu melotot dan terpaksa duduk kembali, ditertawai oleh banyak tamu, ada pun kakek jembel sudah menghadapi sepasang mempelai, berkata nyaring,
"Tuan rumah tidak adil! Mengapa pengantin wanita dibungkus seperti ini sehingga kami tidak dapat memandang wajahnya? Apakah hidungnya pesek? Atau bibirnya sumbing dan barang kali matanya juling?"
Tamu-tamu tertawa bergelak. Menghadapi ucapan seperti itu, pihak tuan rumah terpaksa tersenyum.
"Tadi setiap orang diperkenalkan, kenapa mempelai wanita tidak diperkenalkan kepada tamu-tamu? Ini tidak adil!" Kakek jembel mencela.
Sambil tertawa mempelai pria hanya menggelengkan kepala, sedangkan Sian Ti Sengjin yang hendak menolong sute-nya lalu berkata, "Locianpwe, yang diperkenalkan hanyalah tamu-tamu kehormatan..."
"Wah-wah-wah, apakah Sicu hendak menghina adik iparmu? Pada saat ini, siapakah yang lebih terhormat dari pada mempelai wanita? Hayo, katakan! Aku menuntut supaya mempelai wanita segera diperkenalkan, tidak hanya wajahnya, akan tetapi juga nama dan julukannya. Aku mendengar desas-desus bahwa mempelai wanita tak kalah terkenal dari mempelai pria!" Kakek jembel itu mendesak terus.
Karena ucapan ini menarik perhatian, maka para tamu juga ingin tahu dan mengangguk-angguk membenarkan. Bahkan diam-diam Cong San sendiri juga ingin sekali melihat, karena dalam keadaan tertutup tirai seperti itu sukar bagi Cong San untuk mengenal Cui Im.
Phu-niu-san tampak berbisik-bisik dengan mempelai wanita yang mengangguk perlahan, kemudian mempelai pria ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya ke atas sebagai isyarat agar tamu tidak berisik. Setelah semua orang diam, dia lalu berkata,
"Terima kasih atas perhatian Cu-wi sekalian yang ingin mengenal wajah sekaligus nama isteriku. Dan memang sudah sepatutnya kalau isteriku memperkenalkan diri, sungguh pun tadinya kami berniat untuk memenuhi tuntutan upacara bagi seorang mempelai wanita untuk menutupi wajahnya. Akan tetapi, mengingat bahwa sekarang kita berada di antara teman-teman segolongan dan isteriku pun bukan seorang yang tidak terkenal, maka saya mempersilakan isteri saya untuk memperkenalkan diri sendiri kepada Cu-wi!"
Dia menoleh kepada isterinya yang segera bangkit berdiri. Perlahan-lahan tangan yang berkulit halus putih itu menyingkap tirai benang-benang emas ke atas kepala dan terus ke belakang sehingga wajahnya tampak jelas.
Semua tamu memandang dengan melongo saking kagumnya melihat wajah yang sangat cantik jelita itu, dengan mulut tersenyum manis sekali. Semua orang terdiam menahan napas dan tidak mengeluarkan suara ketika mempelai wanita berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring,
"Di antara Cu-wi sekalian mungkin ada yang sudah pernah mendengar nama atau julukan saya. Sebelum menjadi isteri Sancu sekarang ini, saya dikenal sebagai Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek!"
Para tamu menjadi terkejut dan terdengarlah suara bisik-bisik sehingga keadaan menjadi berisik sekali. Pada saat itu mendadak tampak berkelebat bayangan hijau dan tahu-tahu Yap Cong San sudah berdiri di ruang kehormatan menghadapi tuan rumah dan para tamu kehormatan, sikapnya tenang namun pandang matanya penuh semangat dan keberanian.
"Harap Sancu dan para tamu suka memaafkan saya, akan tetapi saya mempunyai urusan pribadi dengan mempelai wanita ini. Karena saya tidak ingin menodai nama orang lain di tempat terhormat ini, saya persilakan kepada Ang-kiam Bu-tek agar memenuhi tantangan saya untuk membereskan perhitungan di luar ruangan ini!" Sambil berkata demikian Cong San menghadapi Cui Im dan memandang dengan sinar mata tajam.
Cui Im membelalakkan mata, mengangkat alis dan tersenyum, diam-diam timbul kembali gairah hatinya. Pemuda yang disangkanya seorang yang lemah itu ternyata adalah murid Siauw-lim-pai yang amat gagah perkasa. Tentu saja dia tidak takut akan tetapi dia diam saja, ingin melihat reaksi suaminya dan para tamu.
Karena dia tidak melihat Keng Hong datang bersama Cong San, dia tenang-tenang saja. Hanya Keng Hong yang dia takuti, dan karena takut kepada Keng Hong-lah maka ia lalu menggabungkan diri di Phu-niu-san bahkan rela menjadi isteri Lian Ci Sengjin.
Sementara itu Lian Ci Sengjin sudah melompat bangun, kemudian dengan mata melotot menghadapi Cong San, menudingkan telunjuknya dan memaki,
"Keparat jahanam bermulut kotor! Siapakah engkau berani bersikap seperti ini, menghina isteriku?"
Cong San tersenyum. "Sancu, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak ingin menodai nama baikmu dan nama baik orang lain. Akan tetapi karena engkau bersikap begini, apakah aku harus menceritakan urusanku dengan Ang-kiam Bu-tek?"
"Seorang laki-laki gagah tidak akan menyembunyikan sesuatu! Jika memang ada urusan ayo lekas katakan saja, siapa hendak menyimpan rahasia?" Lian Ci Sengjin membentak, mukanya merah sekali, kedua tangan mengepal seolah-olah dia sudah ingin menghantam remuk kepala pemuda itu.
Semua tamu memandang heran dan khawatir. Apakah ada hubungan antara pemuda tampan baju hijau dengan mempelai wanita? Jangan-jangan bekas kekasihnya. Bisa ribut kalau begitu!
Biar pun di hatinya Lian Ci Sengjin ada dugaan seperti ini pula melihat ketampanan wajah pemuda itu, namun dia tidak merasa khawatir andai kata rahasia itu dibuka, karena dia sendiri adalah seorang yang jauh lebih tua dari pada isterinya sehingga hal-hal mengenai percintaan isterinya dengan pria lain yang telah lewat tidak dipedulikannya.
Cong San menghela napas, lalu berkata, "Sancu, saya bernama Yap Cong San, seorang anak murid Siauw-lim-pai. Saya tidak tahu bagaimana Sancu sebagai tokoh Kun-lun-pai yang terkenal, juga para enghiong dari Tiat-ciang-pang dan tamu terhormat, sampai bisa kemasukan seorang seperti dia ini!" Dia lalu menuding ke arah Cui Im yang masih duduk tersenyum-senyum, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im adalah seorang wanita iblis, dan aku sengaja datang mencarinya untuk membalas kematian murid Siauw-lim-pai yang dibunuh olehnya!"
Mendengar bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-lim-pai, keadaan makin tegang. Nama besar Siauw-lim-pai sangat dikenal, bahkan sebagai tokoh atau bekas tokoh Kun-lun-pai Lian Ci Sengjin sendiri mengetahui pengaruh Siauw-lim-pai dan dapat melihat gawatnya persoalan, sehingga dia merasa ragu-ragu untuk berlaku lancang, bahkan lalu menoleh kepada isterinya seolah hendak menyerahkan keputusan tentang diri pemuda ini kepada isterinya.
"Harap kau duduk," kata Cui Im lirih kepada suaminya, kemudian ia memandang ke arah tamu-tamu dengan wajah yang cerah, senyum yang manis dan sikap yang amat tenang seolah-olah dia menganggap kehadiran Cong San seperti gangguan seorang bocah nakal yang tidak banyak artinya.
"Cu-wi sekalian maklum bahwa bocah ini datang untuk mencari penyakit, datang-datang menghina orang. Karena saat ini aku sedang menjadi nona pengantin, akan memalukan sekali kalau turun tangan sendiri. Siapakah di antara Cu-wi sekalian yang sudi mewakili aku memberi hajaran dan mengusir bocah lancang ini dari sini?"
"Kami sanggup..."
"Biarkan kami mengusir anjing itu!"
Semua orang memandang ke arah suara itu dan ternyata yang maju adalah tiga orang berpakaian sastrawan yang tadi datang bersama Cong San, Bun-bu Sam-taihiap (Tiga Orang Pendekar Ahli Sastra)! Dengan langkah dibuat-buat agar tampak gagah tiga orang itu naik ke ruangan besar dan mereka menjura ke arah Cui Im. Si tahi lalat lalu berkata mewakili dua orang saudaranya,
"Kami Siangkoan Sam-heng-te yang dijuluki orang Bun-bu Sam-taihiap mengharap agar Toanio tidak mencapekkan diri dan duduk saja menonton kami mewakili Toanio memberi hajaran kepada bocah lancang mulut ini!"
Cui Im diam-diam merasa geli hatinya dan memandang rendah tiga orang ini, akan tetapi ia memberikan senyum manis yang semanis-manisnya kepada tiga orang itu dan berkata merdu,
"Siangkoan taihiap bertiga sudi membantuku, sungguh besar budi yang kuterima. Untuk itu sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih."
Melihat bibir merah basah merekah disertai kerling mata menyambar dan senyum yang memperlihatkan kilatan gigi bersih berderet rapi, tiga orang itu menjadi bengong sehingga sampai lupa sejenak untuk apa mereka berdiri di situ, hanya memandang ke arah wajah yang mempesona itu! Akhirnya mereka sadar dan cepat membalikkan tubuh menghadapi Cong San yang masih berdiri tenang.
"Ehh, engkau she Yap! Kalau tahu bahwa engkau ternyata seorang manusia jahat yang datang-datang menghina nyonya rumah, tentu tadi-tadi telah kami hajar!" kata si tahi lalat sambil menudingkan telunjuknya ke muka Cong San.
Cong San tersenyum dan menjawab, "Harap Sam-wi tidak mencampuri urusan ini. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk bermusuhan dengan siapa pun juga. Kedatanganku ke sini memang khusus untuk membuat perhitungan dengan Ang-kiam Bu-tek yang telah membunuh suheng-ku, seorang murid Siauw-lim-pai. Harap Sam-wi suka minggir, karena aku tidak bermusuhan dengan Sam-wi."
"Pengecut!" Si mata sipit memaki. "Beraninya menantang seorang wanita. Kalau memang kau jantan, hayo lawan aku!"
Diam-diam Cong San mendongkol. "Aku tidak mau menyerang Sam-wi, akan tetapi kalau Sam-wi memaksa hendak menyerangku, silakan, tak usah satu-satu, boleh maju bertiga."
Panas rasa perut tiga orang itu. Dengan gerakan penuh aksi mereka memasang bhesi. Lalu menggeser-geser kedua kaki dan mainkan tangan seperti orang menari. Hati Cong San menjadi sebal karena tiga orang ini jelas masih rendah kepandaiannya dan hanya pandai berlagak sambil mainkan ilmu silat kembang yang hanya indah dipandang namun sebetulnya kosong dan tidak berarti kalau dipakai bertanding.
Dia sengaja berdiri seenaknya, bahkan matanya sama sekali tidak memandang mereka melainkan memandang kepada Cui Im dengan sinar penuh kebencian. Ia melihat Cui Im tersenyum mengejek, dan tiba-tiba saja Cong San yang tadinya marah dan mendongkol kepada tiga orang itu menjadi kasihan.
Mereka ini menjadi korban senyuman manis Cui Im sehingga tanpa mengenal diri mereka rela terjun mewakili wanita itu. Padahal, sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi tentu saja Cui Im maklum bahwa tiga orang ini dangkal ilmunya, tapi mengapa wanita itu demikian kejam membiarkan mereka itu menghadapi bahaya dan bahkan menjadi buah tertawaan? Padahal tentu saja Cui Im bisa mencegah mereka turun tangan mewakilinya! Betapa pun Cong San ingin pula menundukkan tiga orang yang sombong ini.
"Heeeiiiiiittttt!!"
"Hyyyaaatttttt!!"
Tiga orang itu dengan lagak hebat sudah menyerang Cong San dengan pukulan-pukulan mereka. Cong San dengan tetap tidak bergerak, hanya menggerakkan sinkang menerima pukulan-pukulan ke arah dada, punggung dan lambung kanan itu.
"Bukkk! Bukkk! Bukkk!”
"Hayaaaaaa..!"
Tiga orang itu menjerit kesakitan. Ternyata tangan mereka yang memukul telah menjadi bengkak karena Cong San mempergunakan sinkang untuk melawan secara keras sama keras sehingga mereka seperti memukul tubuh yang terbuat dari pada baja!
Tiga orang sastrawan konyol itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi Cong San yang tak memberi kesempatan mereka memperpanjang aksi mereka di situ, sudah menggerakkan kaki dan tiga kali ia menendang membuat tubuh mereka terlempar turun dari ruangan itu, jatuh terbanting menabrak meja kursi, mengaduh-aduh, merayap bangun dan... lari keluar tanpa pamit lagi.
"Huah-ha-ha-ha-ha-ha! Lian Ci Sengjin, kenapa tamumu begitu konyol? Apakah memang engkau mengundang tiga orang badut itu untuk melawak di sini? Huah-ha-ha-ha!" Kakek jembel, orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo, tertawa bergelak.
Lian Ci Sengjin terkejut menyaksikan kelihaian pemuda baju hijau tadi, dan maklumlah dia bahwa untuk menghadapi pemuda itu harus dia sendiri yang maju. Ia sudah bangkit dan berkata, "Biar kuhajar sendiri dia!"
Akan tetapi Cui Im sudah menahan lengan suaminya, lantas memandang kakek jembel sambil berkata, "Sudah lama aku mendengar akan nama besar Thian-te Sam-lo-mo yang berjumlah tiga orang pula. Jangan-jangan tak ada bedanya dengan tiga orang badut tadi? Locianpwe, pemuda baju hijau yang bernama Yap Cong San ini adalah murid Tiong Pek Hosiang, apakah Sam-wi Locianpwe berani menghadapinya?"
Kakek jembel itu tertawa lagi. "Waduh-waduh, ternyata nona pengantin adalah seorang yang begini cerdik, hendak menyeret kami masuk ke dalam api permusuhan yang panas! Kami tidak takut kepada siapa-siapa, akan tetapi kami sudah bosan bermusuhan. Kami hanya mau bertanding untuk mengukur kepandaian. Pemuda ini tidak ada nama besar, tidak seperti nona pengantin yang julukannya menjulang tinggi sampai ke langit. Jika telah berani menggunakan julukan Bu-tek (Tanpa Tanding), tentunya sudah dapat menandingi Bu-tek Su-kwi!"
Cui Im adalah seorang cerdik dan tadi ia berusaha memanaskan hati Thian-te Sam-lo-mo untuk menghadapi Cong San. Siapa kira, kakek jembel itu kiranya lebih cerdik dan lebih berpengalaman sehingga bukan dia yang berhasil membakar, malah dia sendiri yang kini di bakar hatinya. Cui Im tersenyum mengejek dan mendengus dengan menghina,
"Bu-tek Su-kwi? Huh, apa sih mereka? Tokoh utamanya, Lam-hai Sin-ni dengan mudah tewas di tanganku!"
Thian-te Sam-lo-mo terkejut. Memang mereka sudah mendengar pula berita itu, akan tetapi setelah melihat Cui Im, mereka mengira berita itu dilebih-lebihkan. Akan tetapi kalau wanita ini berani mengakuinya, agaknya wanita muda ini memiliki kepandaian hebat, hal yang benar-benar tak dapat mereka percaya.
"Bhe Cui Im, mengapa banyak cakap dan hendak sembunyi di balik punggung orang lain? Majulah dan ayo kita membuat perhitungan!' Cong San membentak, suaranya kereng dan penuh semangat. Cong San yang maklum bahwa Keng Hong berada di situ, dan karena di situ hadir pula orang-orang gagah, merasa mendapat angin.
Kembali Cui Im tersenyum. "Kalau aku yang maju sendiri, berarti aku tidak mengindahkan kepandaian para tamuku. Adakah lagi para enghiong yang hadir di sini sudi mewakili aku memberi hajaran kepada bocah ini?"
Sunyi saja, agaknya para tamu menjadi ragu-ragu sesudah melihat kelihaian Cong San yang dalam segebrakan saja merobohkan tiga orang lawan tadi. Juga para tamu yang duduk di tempat kehormatan merasa ragu-ragu untuk turut menerjunkan diri ke dalam permusuhan pribadi, apa lagi mengingat bahwa pemuda itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Sebagai orang-orang berilmu mereka tidak takut menghadapi pemuda itu, akan tetapi segan menanam bibit permusuhan dengan Siauw-lim-pai.
"Biar aku sendiri yang maju menghajarnya!" Lian Ci Sengjin sudah bangkit dari kursinya, akan tetapi Sian Ti Sengjin menahannya dengan menyentuh lengannya.
"Sute, engkau duduk sajalah. Karena saat ini engkau adalah seorang mempelai, tidak pantas kalau engkau harus turun tangan sendiri, demikian pula isterimu. Kalau pemuda ini berkeras, biarlah aku yang menghadapinya." Sian Ti Sengjin bangkit berdiri.
"Tidak baik tuan rumah turun tangan sendiri! Biarlah aku yang mencobanya!" Teriakan ini keluar dari mulut Kim-to Lai Ban yang sudah mencelat dari kursinya dan berdiri di depan Cong San.
Kim-to Lai Ban sedang mencari sekutu untuk diajak menghadapi Tiat-ciang-pang karena dia masih merasa sakit hati terhadap Ouw Kian yang kini menjadi ketua Tiat-ciang-pang. Karena itu, dia yang menganggap bahwa murid Siauw-lim-pai yang muda itu tidak berapa mengkhawatirkan, ingin memberi jasa.
Cong San terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa seorang tokoh Tiat-ciang-pang akan turun tangan membantu Cui Im. Juga tadi dia heran menyaksikan sikap dua orang tuan rumah. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, tapi mengapa setelah dia membuka rahasia Cui Im mereka itu masih hendak melindunginya?
Akan tetapi dia masih dapat mengerti sikap mereka ini karena kalau Sancu itu hendak menikah dengan Cui Im, memang sepantasnya dia membela isterinya, dan suheng-nya pun sudah selayaknya membela sute-nya, sungguh pun mereka itu sebenarnya harus insyaf bahwa mereka sudah bersekutu dengan seorang wanita tokoh sesat. Akan tetapi tokoh Tiat-ciang-pang yang menjadi tamu? Kini hendak turun tangan pula melindungi Cui Im!
Cepat Cong San menjura ke arah Lai Ban dan berkata, "Lo-enghiong! Kalau Lo-enghiong seorang tokoh Tiat-ciang-pang, mengapa..."
Tiba-tiba ucapannya disambung suara lain yang datangnya dari atas genteng. "Dia bekas pengurus Tiat-ciang-pang yang murtad dan melarikan diri!"
Cui Im menggerakkan tangan ke atas.
"Brakkk…!"
Beberapa buah genteng berikut langit-langit dari mana suara itu datang pecah berantakan, akan tetapi tidak ada apa-apa di sana! Semua orang dan terutama Thian-te Sam-lo-mo, merasa terkejut bukan main menyaksikan kehebatan pukulan nona pengantin ini yang membuktikan sinkang yang amat kuat!
Sebetulnya yang mengeluarkan suara tadi adalah Keng Hong, akan tetapi pemuda sakti ini menggunakan khikang sehingga suaranya bagai terdengar dari atas padahal dia masih berada di antara tamu yang tingkatnya rendahan. Dia menggunakan kesempatan selagi semua mata dan perhatian tertuju kepada Lai Ban dan Cong San untuk mengeluarkan suara itu.
Kini Cong San mengerti mengapa Lai Ban seorang tokoh Tiat-ciang-pang membantu Cui Im. Kiranya orang ini adalah seorang pelarian dari Tiat-ciang-pang! Dia mengerti adanya bahaya. Kini dia telah berada di antara musuh-musuh lihai yang akan membantu Cui Im. Dia merasa menyesal bahwa dia sudah teburu nafsu turun tangan. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata,
"Aku datang untuk membuat perhitungan dengan perempuan iblis Ang-kiam Bu-tek. Siapa yang hendak membelanya, boleh maju!"
Lai Ban marah mendengar dibukanya rahasia tadi, dan dia sudah mencengkeram ke arah Cong San dengan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Tiat-ciang-kang! Cong San mengenal serangan ampuh. Ternyata bekas tokoh Tiat-ciang-pang ini lihai juga dan tak boleh disamakan dengan tiga orang sastrawan konyol tadi, maka dia cepat menangkis dengan tangan kanan.
"Desssss..!"
"Aaahhhhh..!"
Lai Ban terhuyung ke belakang dan berseru kaget. Sungguh jauh di luar persangkaannya bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang begitu kuat sehingga dapat menangkis serangannya yang mengandung tenaga sakti Tiat-ciang-kang sehingga dia terhuyung ke belakang. Tahulah dia kini mengapa pemuda itu berani mengacau tempat itu, ternyata memang memiliki kepandaian tinggi.
Mengingat bahwa pemuda itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai dan apa bila seorang tokoh Siauw-lim-pai sudah mempunyai tenaga sinkang seperti itu, tentulah seorang yang benar-benar lihai, Lai Ban lalu mencabut goloknya.
"Singgggg,..!" Sinar berkelebat menyilaukan mata ketika golok besar bergagang emas itu keluar dari sarungnya.
"Keluarkan senjatamu!" Kim-to Lai Ban yang masih mempunyai sifat kegagahan seorang pendekar, berseru menantang.
Cong San masih tenang saja dan menjawab, "Lai-lo-enghiong, kenapa engkau tidak mau sadar bahwa sebagai seorang gagah tidak layak mencampuri urusan pribadi orang lain dan lebih tidak baik lagi membantu seorang iblis betina seperti Ang-kiam Bu-tek?"
"Keluarkan senjatamu, atau... engkau akan mati konyol!" Lai Ban yang wataknya memang berangasan, apa lagi dia sudah marah dan penasaran karena dalam segebrakan saja dia terhuyung, membentak dan mengancam.
"Mau serang, seranglah!" Cong San masih bersikap tenang karena pemuda ini maklum bahwa tanpa senjata pun dia masih akan dapat mengatasi orang pemarah ini, apa lagi dia memang tidak ingin memindahkan permusuhannya dengan Cui Im ke pundak orang lain, maka tidak ingin melukai lawan ini.
"Sombong, makan golokku!" Golok itu berkelebat, berubah menjadi sinar menyambar ke arah leher Cong San.
Dengan tenang namun cepat pemuda ini mengelak dengan menggeser kaki mengubah pasangan kuda-kuda. Tubuhnya miring, dan saat golok yang menyambar sudah melewati tubuhnya, dia membarengi dengan hantaman tangan miring ke arah pergelangan tangan yang memegang golok.
Lai Ban kaget dan cepat dia melompat ke depan sambil memutar golok menyambar ke belakang tubuhnya, menusuk perut lawan. Cong San dengan mudah mengelak, kemudian menendang dari pinggir ke arah lutut lawan. Lai Ban meloncat mundur sambil goloknya membabat ke arah kaki yang menendang.
Tetapi Cong San sudah memperhitungkan gerakan balasan lawan ini. Ia menarik kakinya dan tangan kirinya sudah menusuk ke atas mata Lai Ban dengan gerakan diperlambat. Pancingan ini berhasil karena Lai Ban berseru girang, lalu mengelebatkan goloknya untuk membacok putus lengan Cong San. Secepat kilat Cong San menotok pergelangan tangan lawan yang sedang membabat lengannya. Perhitungannya tepat sekali, kalau tidak, ada bahayanya dia kalah cepat dan lengannya akan putus tersambar golok!
"Aduhhh...!" Golok terlepas dari pegangan tangan Lai Ban yang tiba-tiba menjadi lumpuh, tapi tangan kirinya masih memukul dengan cepat, menggunakan tenaga Tiat-ciang-kang!
Inilah kesalahannya. Kalau dia tidak nekat, tentu dia akan melepaskan golok dan tidak menderita nyeri. Kini pukulannya itu diterima oleh Cong San yang melihat pukulan keji lalu menangkis dengan pukulan telapak sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Desssss…!"
Tubuh Lai Ban mencelat ke belakang kemudian terbanting ke atas lantai, dari mulutnya tersembur darah segar! Cepat Lai Ban duduk bersila untuk mengobati luka pada sebelah dalam dadanya yang terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik.
Cong San menggunakan kakinya mencongkel golok ke atas dan sekali kakinya bergerak, golok itu melayang dan menancap pada lantai tepat di depan Lai Ban!
"Bagus sekali...!" Wah, murid Siauw-lim-pai lihai.. Ha-ha-ha!" Kakek jembel tertawa-tawa gembira.
Memang kakek ini dan dua orang saudaranya paling suka menonton pertandingan silat, akan tetapi kalau ada lawan tanggung-tanggung saja mereka tidak sudi turun tangan. Kini menyaksikan kelihaian Cong San, tangan mereka sudah gatal-gatal!
"Uh-uh-uh, bocah jahat!" Seruan ini halus perlahan, akan tetapi Cong San cepat mencelat ke belakang untuk mengelak.
Tampak sinar berkeredepan ketika golok di tangan Thian It Tosu menyambar, dan begitu golok itu luput mengenai sasaran lalu membalik dan sudah menyambar lagi. Suara golok merobek udara sampai mengeluarkan suara mengaung tiada hentinya dan sinar golok itu bergulung-gulung mengurung tubuh Cong San. Pemuda ini terkejut, maklum bahwa ilmu golok Thian It Tosu amat hebat. Terpaksa dia lalu mengeluarkan senjatanya Im-yang-pit.
"Trang-trang-trang-cringgg...!"
Bunga api berhamburan saat berkali-kali golok bertemu sepasang pensil yang digerakkan secara istimewa oleh Cong San. Memang ilmu silat memainkan sepasang pensil pemuda ini amat lihai. Setiap kali menangkis, senjata yang kecil ringan ini tentu terus meleset dan menotok pergelangan lawan, malah disusul oleh pensil ke dua yang melakukan totokan ke arah jalan darah yang berlawanan.
Thian It Tosu terpaksa mengelak ke sana ke mari dan goloknya diputar melindungi tubuh. Akan tetapi sepasang pensil itu bagaikan dua ekor burung yang amat gesit, selalu dapat menyusup di antara sinar golok lantas mencari sasaran jalan darah secara bertubi-tubi dan susul-menyusul! Hanya dalam belasan jurus saja Thian It Tosu sudah terdesak hebat dan hanya main mundur.
"Wah-wah-wah, bocah itu hebat...!" Si kakek jembel berjingkrak-jingkrak gembira sekali. "Tosu tukang sembelih babi dengan goloknya itu takkan menang!"
Diam-diam Lian Ci Sengjin menjadi mendongkol juga kepada Thian-te Sam-lo-mo, apa lagi kepada si kakek jembel itu. Mereka adalah golongan cianpwe yang berkedudukan tinggi dan dia harapkan akan turun tangan meredakan kekacauan, akan tetapi kakek itu malah berjingkrak-jingkrak memuji si pemuda Siauw-lim-pai, seolah-olah merasa girang melihat pihak yang membelanya menderita kekalahan.
Sambil mengeluarkan seruan keras, bekas tokoh Kun-lun-pai ini lalu meloncat ke depan. Pedangnya telah terhunus, ada pun terjangannya hebat ketika dia menusuk ke arah dada Cong San.
"Cringgg…!"
Pedang itu terpental ketika tertangkis pensil hitam. Thian It Tosu telah menerjang kembali dengan goloknya dan sekarang Cong San dikeroyok dua.
Pemuda ini menjadi mendongkol sekali. Tak disangkanya bahwa dalam mengejar musuh besarnya, dia malah bentrok dengan tokoh-tokoh dari partai besar seperti Kun-lun-pai dan Tiat-ciang-pang, padahal menurut patut, tokoh-tokoh partai besar itu mestinya membantu dia menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang jahat.
Dengan marah dia lalu menggerakkan kedua pensilnya sedemikian rupa sehingga Lian Ci Sengjin dan Thian It Tosu yang diserang totokan maut pada jalan darah mereka berseru keras dan meloncat mundur. Sementara itu, Sian Ti Sengjin juga sudah melompat maju.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan halus berwibawa dari Cui Im, "Mundur semua! Biar aku memberi hajaran kepada bocah ini!"
Bayangan merah berkelebat didahului angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Cong San pada waktu tiga orang pengeroyoknya termasuk Sian Ti Sengjin mundur dan minggir mendengar seruan Cui Im. Pukulan sinkang yang dilontarkan Cui Im hebat bukan main.
Cong San yang belum pernah bertanding mati-matian melawan wanita itu menangkis dan dia terjengkang! Untung dia segera menekan lantai dengan sikunya dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi sambil menggerakkan kedua pensilnya.
"Cring-cring-cring..!"
Sinar merah dari jarum-jarum merah Cui Im semuanya runtuh terpukul sepasang pensil. Pemuda itu sudah meloncat bangun dan memandang Cui Im dengan marah. Ia maklum akan kelihaian wanita itu dan tadi pun hampir saja dia celaka.
"Wah, kiranya nona pengantin benar-benar hebat! Sekarang baru ramai!" Kakek jembel itu berseru.
Sekali ini dia benar-benar memuji karena maklum bahwa tingkat kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat. Kalau tadinya tiga orang iblis tua ini kepingin sekali menantang dan menggempur Cong San untuk menguji kepandaian tokoh muda Siauw-lim-pai yang lihai itu, kini mereka pun ingin sekali mencoba kesaktian Cui Im.
Tiba-tiba terdengar pekik seorang pelayan wanita berlari keluar, "Celaka... Toanio... kamar Toanio sudah dibongkar orang…!"
"Apa..?!" Mendengar ini, Cui Im langsung membalikkan tubuh dan lari meninggalkan Cong San untuk memeriksa kamarnya.
Melihat ini, Lian Ci Sengjin, Sian Ti Sengjin dan Thian It Tosu telah maju lagi mengeroyok Cong San. Sementara itu, kakek jembel yang sudah tidak dapat menahan nafsunya ingin bertanding, tiba-tiba tertawa bergelak, tubuhnya melayang ke udara dan bagaikan seekor burung dia menerkam kepala Cong San.
"Dukkkkkk! Ayaaaaa...!"
Tubuh kakek itu mencelat kembali ke belakang di mana dia hinggap di atas lantai dengan kedua mata terbelalak memandang pada seorang pemuda bermuka hitam bopeng yang berpakaian longgar seperti pakaian pendeta yang tadi menyambut tubuhnya di udara dan mendorongnya kembali ke tempatnya. Hampir ia tidak percaya bahwa yang telah menolak tubuhnya tadi adalah pemuda bopeng itu! Kakek yang tadinya banyak bicara dan suka ketawa itu kini hanya terbelalak memandang dengan muka melongo.
"Apakah kita sedang mimpi...?" Ia berkata kepada dua orang saudaranya. "Muncul tokoh Siauw-lim-pai, dan nona pengantin yang hebat, kemudian bocah bopeng ini. Bagaimana dunia sekarang bisa penuh dengan orang-orang muda sakti yang berkeliaran?"
Pemuda muka bopeng itu melayang turun. Begitu kaki tangannya bergerak, golok Thian It Tosu terlempar, pedang Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin terpental ke belakang, ada pun tubuh mereka terhuyung-huyung.
"Lian Ci Sengjin, apakah engkau masih belum sadar dari kesesatanmu?" berkata pemuda muka bopeng sambil meraba mukanya sehingga terbukalah kedok karet tipis dan tampak mukanya yang asli.
"Keng Hong...! Keparat, kau pemuda busuk, di mana-mana menimbulkan kekacauan...!" Lian Ci Sengjin berseru memaki.
"Hemmm, ingatlah akan perbuatanmu sendiri! Lupakah kau akan nona Tan Hun Bwee yang kau perkosa di dalam hutan?"
"Apa...?!" Lian Ci Sengjin menjadi pucat wajahnya.
"Sute, benarkah itu...?" Sian Ti Sengjin memandang sute-nya dengan mata tajam.
"Tidak... Ehh, aku..." Lian Ci Sengjin tergagap.
"Lian Ci Sengjin, sesudah engkau berani menjadi Sancu di Phu-niu-san, apakah engkau tetap menjadi pengecut? Seorang jantan telah berani berbuat tentu berani pula mengakui perbuatannya. Engkau memperkosa nona Tan!"
Muka Lian Ci Sengjin menjadi merah dan matanya melotot. "Benar! Habis engkau mau apa?"
"Mau menghajarmu!" Keng Hong berteriak.
Tangan kirinya langsung memukul dengan jari tangan terbuka ke arah perut ketua atau kepala di Phu-niu-san itu. Kalau pukulan ini mengenai sasaran tentu perut itu akan pecah dan agaknya Lian Ci Sengjin tak dapat mengelak lagi.
"Desssss…!"
Pukulan sinkang tangan kiri Keng Hong tertangkis oleh tangan Cui Im yang melesat dari dalam. Muka wanita itu merah sekali dan pandang matanya menyinarkan maut ketika dia saling bertatapan dengan Keng Hong.
"Cia Keng Hong! Kembalikan pusaka-pusaka itu!" jeritnya, setelah itu dia menangis saking marah dan bencinya.
Keng Hong tertawa, lantas bersedakap seperti hendak melindungi pusaka-pusaka yang sudah dapat dia rampas kembali dan kini dia sembunyikan di dalam baju yang longgar itu.
"Enak saja! Susah payah aku mencari. Engkau asyik menjadi pengantin, maka lengah. Salahmu sendiri!"
"Kau... pencuri laknat!"
"Husshhhhh, engkau sendiri mencurinya dari aku, dan sekarang aku mencurinya kembali. Adil, bukan?"
"Bangsat!" Pedang merah di tangan Cui Im menyambar, akan tetapi Keng Hong sudah mengelak.
"Cringgggg...!" Pensil putih di tangan Cong San yang menangkis pedang itu.
"Iblis betina, sekarang nyawamu harus kuambil!" bentak pemuda ini.
Cong San masih hendak menyerang lagi, akan tetapi Keng Hong memegang pundaknya dan mendorongnya keras sekali sehingga tubuh pemuda murid Siauw-lim-pai terlempar.
"Mari kita pergi, Yap-twako.."
"Tetapi...!"
"Nanti bicara, sekarang lari!" Keng Hong juga sudah meloncat, kemudian sekali lagi dia mendorong dengan tenaga sepenuhnya hingga tubuh Cong San seperti dilontarkan keluar dari gedung itu, diikuti bayangan Keng Hong.
"Berhenti, Keng Hong manusia keparat!" Cui Im mengejar.
"Eh-eh-ehh, murid Siauw-lim-pai, bocah bopeng, tunggu, mari kita mengadu kepandaian. Coba kalian kalahkan Thian-te Sam-lo-mo!" Si jembel dan kedua orang saudaranya juga mengejar keluar. "Kalau mereka tidak mau, engkau saja, nona pengantin. Engkau pun cukup lihai!" Teriak pula si jembel dari belakang Cui Im.
Cui Im sudah menyambitkan jarum-jarum merahnya ke arah pungung Keng Hong. Akan tetapi Keng Hong mengulurkan tangan dan dari samping dia menangkap jarum-jarum itu, kemudian sambil tertawa dia berseru, "Lian Ci Sengjin, kutitipkan nyawamu kepadamu. Ini untuk peringatan, terimalah!"
Tangan Keng Hong bergerak dan jarum-jarum merah itu menyambar laksana sinar-sinar merah ke arah Cui Im, tiga orang kakek iblis dan ke arah Lian Ci Sengjin! Dengan mudah Cui Im dan ketiga orang kakek iblis mengelak, akan tetapi Lian Ci Sengjin memaki marah karena daun telinganya ditembus sebatang jarum merah isterinya!
Cui Im kembali meloncat hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba di belakangnya terdengar suara. "Jangan pergi semua! Layani dulu kami beberapa jurus, nona pengantin!"
Cui Im terkejut karena ada angin menyambar dari belakang. Cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan ternyata ketiga orang Thian-te Sam-lo-mo sudah menyerangnya dan memaksanya untuk menguji kepandaiannya.
"Apakah kalian gila?" Cui Im memaki dengan mendongkol sekali.
Ia cepat mengelebatkan pedang merahnya. Demikian hebat sambaran pedangnya hingga tiga orang kakek iblis itu terpaksa meloncat ke belakang. Ketika Cui Im menoleh ternyata bayangan Keng Hong dan Cong San telah lenyap. Pintu depan penuh dengan para tamu yang kacau balau lari ke sana ke mari.
Cui Im marah bukan main, dan karena yang menghalanginya adalah Thian-te Sam-lo-mo, maka sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring dia segera menerjang tiga orang kakek itu dengan pedangnya!
"Aduh, ganas..!" Teriak si kakek jembel.
"Kiam-sut yang hebat!" Si sasatrawan juga berseru sambil mengelak.
"Bukan main!" Seru pula orang ketiga yang berpakaian tosu.
Cui Im tidak peduli lagi, kemarahannya memuncak dan ia menerjang tiga orang itu kalang kabut. Tiga orang kakek itu mula-mula hanya mengelak ke sana ke mari, menganggap Cui Im main-main dan ingin menguji kepandaian. Akan tetapi pedang itu semakin ganas, bahkan dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung sinkang sangat kuat. Mereka terkejut dan mencabut pedang masing-masing yang tersembunyi di balik jubah mereka.
"Trang-trang-trang...!"
Bunga api berhamburan dan tiga orang kakek itu terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Cui Im hanya mundur selangkah. Tiga orang kakek iblis tua itu benar-benat kaget dan kagum bukan main, akan tetapi mereka menjadi makin gembira. Bagi mereka ini, semakin tangguh lawan, makin menggembirakan, maka mereka sudah bergerak maju pula.
"Tahan...!" Teriak Lian Ci Sengjin.
"Harap berhenti...!" teriak pula Sian Ti Sengjin.
"Tidak perlu bertanding antara teman sendiri!" ucapan ini keluar dari mulut Lai Ban.
Mereka semua, golongan tamu-tamu kehormatan, sudah tiba di situ dan melerai Cui Im serta ketiga orang kakek iblis itu. Tiga orang kakek iblis itu mundur dan si kakek jembel memuji sambil mengacungkan jempolnya.
"Engkau hebat, nona pengantin. Aku si tua benar-benar kagum sekali!"
Cui Im cemberut, akan tetapi diam-diam dia pun berpikir bahwa dia tadi hanya mengejar sendirian, dia tidak akan mampu memenangkan Keng Hong. Kalau saja tiga orang kakek iblis itu tidak seperti anak kecil dan suka membantunya, agaknya mereka berempat masih ada harapan untuk merampas pusaka-pusaka itu kembali. Pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Tadinya semua disimpan di dalam kamarnya dan kini semuanya lenyap dicuri Keng Hong. Gemas bukan main hatinya.
"Mari kita kembali dan mari kita rundingkan bersama untuk menghadapi musuh-musuh itu karena tanpa direncanakan, akan sukar menghadapi mereka yang lihai. Keng Hong itu memang seorang pengacau besar dan…"
"Sudahlah!" Cui Im memotong ucapan calon suaminya. "Aku suka menjadi isterimu sebab mengharapkan kalian semua dengan teman-teman kalian akan membantuku menghadapi Keng Hong dan aku berjanji akan membantu kalian membalas dendam kalian. Akan tetapi siapa kira, kalian adalah manusia-manusia tolol sehingga begitu Keng Hong tiba, semua barangku sudah digondolnya! Kalian bodoh dan tolol, terutama Thian-te Sam-lo-mo ini!" Setelah berkata demikian, Cui Im mencengkeram pakaian pengantin yang dipakainya.
"Brettt! Brettt!"
Pakaian itu telah direnggut dan dirobek-robeknya. Ternyata di sebelah dalamnya dia telah mengenakan pakaian merahnya yang biasa!
"Eh-ehh... Niocu... ehh...!" Lian Ci Sengjin berseru kaget dan menghampiri calon isterinya.
"Plak! Plak! Plak!" Pipinya ditampar oleh Cui Im.
"Kau boleh mencari gadis Tan yang dulu kau perkosa!" Setelah berkata demikian, Cui Im melesat pergi dengan cepat sekali, meninggalkan bekas calon suaminya yang melongo.
Sepasang pipinya merah bekas ditampar dan daun telinganya berdarah karena tertembus jarum merah. Untung bahwa dia telah diberi obat yang ditinggalkan Cui Im di kamarnya, kalau tidak dia bisa mati terluka jarum itu.
"Hayaaaa... sial dangkalan!" Kakek jembel membanting-banting kaki. "Lama tidak bertemu tanding, sekarang muncul tiga orang muda sakti dan mereka pergi semua tanpa menguji kami!"
Akan tetapi Lian Ci Sengjin yang sudah marah dan makin malu, tidak mempedulikannya. Dia bahkan lari memasuki rumahnya di mana dia mengeram diri di dalam kamar. Ingin dia menangis saking marah dan malunya. Kebenciannya pada Keng Hong makin menghebat akan tetapi dia pun teringat akan Tan Hun Bwee dan diam-diam dia bergidik. Bagaimana Keng Hong tahu akan perbuatannya itu? Dan di manakah Tan Hun Bwee sekarang? Dia menjadi ngeri jika membayangkan betapa gadis itu akan mendendam sakit hati padanya.
Sementara itu secara bijaksana Sian Ti Sengjin membubarkan pesta dengan pernyataan maaf. Para tamu tidak terlalu kecewa. Meski pun mereka kehilangan barang sumbangan untuk pengantin yang tidak jadi menikah, akan tetapi mereka diberi suguhan pertandingan tingkat tinggi serta peristiwa-peristiwa lucu dan aneh yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka.
"Cia-taihiap, kenapa engkau melarangku membunuh iblis betina itu?" Cong San menegur Keng Hong setelah mereka melarikan diri selama setengah hari dan baru berhenti di tepi Sungai Han-sui di sebelah selatan Pegunungan Phu-niu-san.
Keng Hong menarik napas. Hatinya lega bahwa dia sudah berhasil merampas kembali semua pusaka selengkapnya. Hari telah menjelang malam dan mereka beristirahat sambil duduk di dekat api unggun yang mereka buat untuk mengusir nyamuk.
"Yap-twako, kalau aku tidak memaksa engkau pergi, belum tentu kita akan dapat hidup sampai saat ini. Engkau tidak tahu, tiga orang kakek itu adalah Thian-te Sam-lo-mo yang berkepandaian hebat bukan main. Kalau mereka membantu Cui Im, ditambah bantuan para tamu yang agaknya semua berpihak mereka, dan dikeroyok anak buah Phu-niu-san yang seratus orang lebih jumlahnya, mana mungkin kita dapat menang, apa lagi dapat keluar dari Phu-niu-san dengan selamat?"
"Aku tidak gentar menghadapi kematian di dalam usahaku melaksanakan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai!"
Keng Hong menghela napas dan berkata, nada suaranya sedih karena dia teringat akan semua pengalamannya dahulu ketika dikejar-kejar di mana tokoh-tokoh Siauw-lim-pai juga turut mengejarnya. Teringat pula betapa dia pernah bentrok akhir-akhir ini dengan Thian Kek Hwesio dan lima hwesio Siauw-lim-pai yang hendak membunuh Biauw Eng.
"Yap-twako, di dunia ini kiranya tidak ada orang yang pernah meragukan kegagahan dan kejantanan jago-jago dari Siauw-lim-pai. Akan tetapi sesungguhnya, hanya mengandalkan keberanian dan kekerasan saja, selain hidup ini tidak akan menjadi aman, juga sering kali menimbulkan hal-hal yang meruwetkan. Pernah aku sendiri dikejar-kejar Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio tanpa bersalah hanya karena aku adalah murid Sin-jiu Kiam-ong! Pernah pula belum lama ini nona Sie Biauw Eng diserang oleh tokoh tokoh Siauw-lim-pai di bawah pimpinan Thian Kek Hwesio hanya karena nona itu adalah sumoi dari Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Padahal antara nona Sie Biauw Eng sudah tiada hubungan apa pun, berbeda jauh seperti bumi dengan langit, bahkan ibu nona Sie Biauw Eng yaitu Lam-hai Sin-ni sendiri telah dibunuh oleh Cui Im, ada pun nona Sie Biauw Eng hampir saja mati di tangan bekas suci-nya. Inilah buruknya watak keras dan kaku, hanya mengandalkan asal berani dan benar terus merunduk saja tanpa wawasan dan pertimbangan lagi."
Wajah pemuda baju hijau yang tampan itu menjadi merah. Dia tidak senang mendengar pemuda itu mencela tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi karena celaan itu sebenarnya menurut kenyataan dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghina, dia pun tidak dapat membantah dan berkata,
"Habis, jika menurut pendapatmu bagaimana, Cia-taihiap? Apakah karena kedudukannya yang sedemikian kuatnya itu aku lalu harus lari ketakutan dan melapor kepada suhu di Siauw-lim-si bahwa aku tidak sanggup melaksanakan perintah suhu?"
Keng Hong tersenyum sabar, maklum bahwa hati pemuda yang gagah perkasa ini agak tersinggung.
"Bukan begitu, Twako. Tugas dari guru merupakan tugas suci yang harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa, akan tetapi kalau tugas itu gagal karena kecerobohan, dan hal itu tentu terjadi kalau kau nekat melawannya, bukankah akan berarti kau menyia-nyiakan dan menggagalkan tugasmu pula? Melawan dengan nekat sampai mati padahal sudah tahu bahwa melawan hanya berarti akan mengantarkan nyawa sendiri sama sekali bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan perbuatan orang bodoh yang nekat. Terus terang aku memberitahu padamu, Yap-twako, bahwa dengan tingkat kepandaianmu yang sekarang, engkau tidak akan sanggup menangkan Cui Im. Ketahuilah, dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dalam kitab-kitab pusaka peninggalan guruku Sin-jiu Kiam-ong dan agaknya tokoh Siauw-lim-pai yang akan dapat menundukkan dia hanya gurumu sendiri!"
Yap Cong San termenung dan di hatinya dia betul-betul terkejut mendengar ini. Memang tadi dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian wanita itu, akan tetapi tidak mengira bahwa Keng Hong akan menyatakan seperti itu. Dia menjadi bingung dan bertanya, suaranya mengandung penasaran.
"Mohon petunjuk dari Cia-taihiap. Bagaimanakah saya harus bersikap sekarang? Apakah yang harus saya lakukan?"
Keng Hong lalu mengeluarkan dua buah kitab yang sudah kuning dan menyerahkannya kepada pemuda itu. Yap Cong San menerima dua kitab itu dan begitu melirik ke atas judul yang tertulis di kulit sampul, dia berseru,
"Ahhh…! Kitab I-kiong Hoan-hiat dan kitab Seng-to Cin-keng! Bukankah ini dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dikabarkan hilang…?"
"Benar. Itulah dua buah kitab yang dahulu sudah dipinjam oleh mendiang guruku, Sin-jiu Kiam-ong dan yang pernah kujanjikan kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai untuk kucari dan kukembalikan kepada Siauw-lim-pai. Baru sekarang aku berhasil merampasnya kembali dari Cui Im. Nah, dua buah kitab ini kuserahkan kepadamu, Yap-twako, agar kau bawa ke Siauw-lim-pai, disertai hormat dan permohonan maaf dariku demi nama mendiang guruku. Walau pun kau tidak berhasil membunuh Cui Im, namun dengan membawa kembali dua buah kitab yang amat penting ini, berarti perjalananmu tidak sia-sia belaka. Ada pun untuk membalas dendam kepada Cui Im, sekarang ini percuma. Dia tentu tidak lagi berada di Phu-niu-san sesudah melihat aku mencarinya, dan engkau pun perlu memperdalam ilmu kepandaianmu untuk menghadapinya kelak, Twako. Lebih baik kau ceritakan terus terang semua pemberitahuanku tentang kelihaian Ang-kiam Bu-tek kepada suhu-mu agar beliau dapat pula mempertimbangkan dan mempertinggi tingkat kepandaianmu sebelum engkau ditugaskan lagi untuk menandingi Cui Im."
Yap Cong San mengangguk-angguk hatinya terharu melihat dua buah kitab itu. Dia tahu sebab pernah mendengar penuturan suhu-nya tentang dua buah kitab pusaka yang hilang dibawa Sin-jiu Kiam-ong, dan selain hal itu merupakan pukulan memalukan bagi Siauw-lim-pai, juga merupakan kehilangan yang amat besar. Sekarang dua buah kitab itu telah diberikan kepadanya, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya.
Pemuda Siauw-lim-pai itu cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Banyak terima kasih, Cia-taihiap. Bukan hanya atas pengembalian dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai ini, akan tetapi juga atau nasehat-nasehat Taihiap yang kini dapat kulihat dan kurasakan kebenarannya. Baiklah, aku akan menghadap suhu, Mempersembahkan dua buah kitab ini dan menceritakan keadaan musuh besar itu yang sekarang menjadi amat lihai. Tentu dia sudah pula mempelajari ilmu dari kedua buah kitab ini."
Keng Hong menghela napas panjang. "Memang benar demikianlah, sebab itu dia menjadi begitu lihai."
Yap Cong San mengangguk-angguk dan berkata dengan suara tegas, "Betapa pun juga, aku hendak mohon kemurahan hati suhu untuk memberi gemblengan supaya aku dapat memperdalam ilmu sehingga akan mampu menandingi wanita iblis itu! Sekali lagi terima kasih, Taihiap, dan selamat berpisah sampai jumpa pula."
"Selamat jalan dan berhati-hatilah. Dua buah kitab yang kau bawa itu kalau saja sampai terlihat tokoh-tokoh kang-ouw tentu akan mendatangkan bahaya dan gangguan hebat."
Yap Cong San menyimpan dua buah kitab itu di sebelah dalam bajunya dan mengangguk, "Aku mengerti, Taihiap, dan karena dua buah kitab ini merupakan benda-benda pusaka Siauw-lim-pai, aku akan melindunginya dengan nyawaku!”
Sekali lagi ia memberi hormat, kemudian tubuh pemuda Siauw-lim-pai ini berkelebat cepat dan pergi meninggalkan Keng Hong yang memandang kagum. Pemuda itu benar-benar tampan dan gagah perkasa, keberaniannya pun luar biasa membuat dia kagum dan suka sekali...
"Entahlah," jawab si tahi lalat yang memang doyan mengobrol. "Hal itu masih merupakan rahasia besar karena kami semua baru sekarang mendengar berita dan undangan bahwa Sancu hendak menikah. Hanya ada berita yang membocor, berita desas-desus bahwa Sancu akan menikah dengan seorang wanita yang kecantikannya laksana bidadari, dan yang kabarnya pun bukan orang sembarangan."
Jantung Cong San berdebar. Agaknya mempelai wanita itulah yang dikejarnya! Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang berbondong naik ke puncak dan diam-diam hatinya agak khawatir.
Agaknya tiga orang yang sombong dan membanggakan diri sebagai Bun-bu Sam-taihiap ini hanya lagaknya saja yang hebat, tentulah bukan lawan yang perlu diperhatikan. Akan tetapi di antara mereka yang berjalan naik itu dia juga sempat melihat beberapa orang yang membayangkan kepandaian tinggi.
Terutama sekali seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang berjenggot panjang dan di pinggangnya terdapat sebatang golok bergagang emas, yang berjalan bersama seorang tosu tua. Mereka berdua itu berjalan tanpa bercakap-cakap, akan tetapi dari langkah kaki dan sikap kedua orang itu, Cong San dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai.
Selain dua orang ini, dia melihat pula seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, membawa sebatang tongkat butut dan pakaiannya butut dan kotor pula, rambutnya kusut dan mukanya penuh kerut merut berwarna kotor kehitaman. Keadaan kakek ini pun kotor menjijikan, akan tetapi anehnya dia bergandeng tangan dengan seorang kakek lain yang berpakaian seperti sastrawan yang bersih dan mewah, yang menggandeng pula seorang kakek berpakaian pendeta. Sikap tiga orang kakek ini menarik perhatian, mereka nampak tertawa-tawa dan si kakek jembel beberapa kali berkata,
"Ha-ha-ha-ha, tuan pengantin, berjalanlah lebih gagah supaya tidak membikin malu nona pengantin!"
Si kakek pendeta tersenyum-senyum dan si kakek sastrawan berjalan digagah-gagahkan. Semua orang memandang dengan muka khawatir. Apakah tiga orang kakek ini sengaja bermain-main dan hendak mengejek Phu-niu Sancu? Akan tetapi karena keadaan mereka yang aneh, melihat usia mereka yang sudah amat tinggi, tidak ada yang berani menegur, bahkan ketiga orang Bun-bun Sam-taihiap terus memandang sambil menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek yang bersikap seperti anak-anak kecil itu.
Rombongan tamu yang bersamaan dengan Cong San terdiri dari dua puluh orang lebih. Setelah tiba di puncak bukit, Cong San melihat bahwa di atas puncak itu, dari bawah tidak tampak karena tersembunyi di antara pohon-pohon, terdapat bangunan-bangunan mewah merupakan suatu perkampungan.
Para tamu disambut oleh orang-orang yang berpakaian seragam biru bersikap gagah, lalu dipersilakan duduk di dalam ruangan gedung terbesar di mana telah tersedia ratusan buah bangku dan di situ telah menanti pula dua orang tuan rumah yang menerima para tamu dengan senyum ramah, akan tetapi hanya terhadap beberapa orang tamu saja mereka bangkit berdiri dan balas menghormat. Terhadap tamu-tamu yang tidak dikenal, termasuk pula Cong San, kedua orang tuan rumah itu hanya mengangguk sedikit untuk membalas penghormatan mereka.
Cong San melihat betapa dua orang itu pun tidak bangkit berdiri pada waktu membalas penghormatan tiga orang Bun-bu Sam-taihiap tadi, akan tetapi tiga orang itu tidak terlihat kurang senang sehingga diam-diam hati Cong San menjadi geli. Ia pun lalu mengambil tempat duduk di antara para tamu, dekat dengan tiga orang sastrawan sombong itu. Dari tepat duduknya dia memandang ke arah dua orang tuan rumah penuh perhatian.
Mereka itu adalah dua orang laki-laki yang gagah dan bersikap angkuh penuh wibawa. Melihat wajah mereka dia dapat menduga yang mana suheng-nya dan mana sute-nya. Dia tadi sempat mendengar bahwa yang menjadi ‘majikan gunung’ adalah yang muda, yang disebut Lian Ci Sengjin atau juga Phu-niu Sancu, ada pun suheng-nya adalah Sian Ti Sengjin.
Tentu lelaki bertubuh tegap, bermuka gagah dan angkuh, berusia empat puluh tahun lebih itu yang menjadi ketua atau majikan Gunung Phu-niu-san. Laki-laki di sebelah kanannya yang lebih tua beberapa tahun, yang berwajah pendiam dan seram itu tentu suheng-nya. Dia tidak mengenal mereka, maka sesudah memandang sejenak Cong San mencari-cari dengan pandang matanya, namun yang dicarinya tidak tampak.
Baik Cui Im mau pun Keng Hong tidak tampak bayangannya di antara tamu-tamu yang sudah puluhan orang banyaknya itu. Dia mulai ragu-ragu apakah dia tidak salah sangka, jangan-jangan yang dimaksudkan Keng Hong bukan tempat pesta ini!
"Ssttt, Hiante, engkau tentu mencari pengantin wanita, bukan?" Tiba-tiba si tahi lalat yang duduk di belakangnya berbisik lirih. "Sabarlah, benda berharga tentu disimpan baik-baik, wanita cantik tentu tidak diobral untuk ditonton banyak orang, melainkan dikeram dalam kamar. Nanti tentu diperkenalkan..."
Wajah Cong San menjadi merah, akan tetapi dia sengaja tersenyum dan mengangguk. Ia lebih tertarik ketika melihat betapa kedua orang tuan rumah itu menyambut kedatangan tiga orang kakek aneh. Dua orang itu cepat-cepat bangkit dan dengan wajah berseri lalu memberi hormat sambil membungkuk. Bahkan Phu-niu Sancu segera berkata,
"Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe betul-betul sudi datang mengunjungi kami. Harap banyak maaf bahwa kami tidak mengetahui lebih dulu sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya!"
Semua orang, termasuk Cong San dan juga tiga orang ‘pendekar’ yang duduk di belakang Cong San, menjadi amat terkejut melihat sikap tuan rumah dan mendengar ucapan sancu itu. Semua orang tidak ada yang mengenal kakek itu, tetapi melihat penghormatan yang demikian besar, sebutan ‘locianpwe’ dari majikan gunung, mereka semua menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek tua renta yang aneh itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kakek berpakaian jembel yang merupakan orang paling suka ketawa dan bicara di antara mereka bertiga, kini tertawa bergelak. "Kami tiga setan tua paling tak tahu diri! Di mana ada pesta pengantin dan arak wangi, tentu kami akan datang. Sancu, kami harus memberi selamat dengan tiga cawan arak sebelum menikmati hidanganmu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian kakek jembel itu menggerakkan tangan tiga kali ke arah meja yang berada di deretan terdepan dan...
"Wuuut-wuuut-wuuuttt...!"
Tiga buah guci arak yang berada di meja-meja itu terbang ke arahnya, diterima oleh tiga orang kakek itu dan terus ditenggak isinya setelah mereka berkata, "Selamat menikah!" Sungguh cara pemberian selamat yang aneh sekali.
"Eh-eh... ke mana arak... arakku...?" Seorang di antara tamu-tamu yang duduk di depan meja dan yang telah kehilangan guci araknya tiba-tiba berseru keras.
Para tamu tertawa, akan tetapi jantung Cong San berdebar mendengar suara itu. Itulah suara Keng Hong! Dia cepat ikut berdiri seperti tamu lain yang hendak melihat tingkah Keng Hong yang bersikap seperti seorang tamu tolol yang kehilangan guci araknya.
Cong San terbelalak kaget dan heran melihat bahwa orang itu adalah seorang lelaki muda bermuka hitam totol-totol seperti muka orang bopeng, sama sekali tidak ada bekas-bekas muka Keng Hong yang tampan. Pakaiannya pun bagai seorang pertapa, berwarna kuning dan terlalu besar, kepalanya dibungkus kain kuning.
Kalau saja tadi tidak mendengar suaranya, Cong San tentu tidak akan mengenali orang ini. Akan tetapi pada waktu orang itu mencari-cari guci araknya sambil memutar tubuh dan bertemu pandang mata dengan Cong San, murid Siauw-lim-pai ini yakin bahwa orang itu memang Keng Hong! Maka dia menjadi girang dan legalah hatinya.
Sambil tertawa-tawa seperti yang lain menyaksikan sikap tamu yang berpakaian pendeta akan tetapi kehilangan guci arak menjadi bingung seperti ini, seorang pelayan kemudian menyediakan guci arak lain sedangkan tiga orang kakek itu sambil tertawa dipersilakan duduk di kursi kehormatan yang berada di sebelah tempat duduk tuan rumah, agak tinggi tempatnya, tidak seperti ruangan duduk para tamu biasa yang berhadapan dengan tuan rumah.
Dua orang laki-laki gagah yang di tengah jalan tadi sudah diperhatikan Cong San, yaitu laki-laki tinggi besar berjengot panjang dan bergolok emas yang bersama tosu tua, juga diterima penuh hormat dan diberi tempat duduk di tempat kehormatan bersama tiga orang kakek aneh tadi. Masih ada belasan orang lain yang diperlakukan sebagai tamu terhormat dan diberi tempat duduk pada tempat kehormatan pula.
Biar pun hatinya lega ketika mendapat kenyataan bahwa Keng Hong berada di tempat itu, namun Cong San diam-diam merasa khawatir. Mereka hanya berdua, dan di situ terdapat banyak orang lihai. Cui Im sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat dan kakek-kakek yang tiga orang itu tentulah merupakan lawan berat. Baru demonstrasi yang diperlihatkan kakek jembel ketika dengan sinkang-nya dapat mengambil tiga guci arak tanpa sedikit pun menyentuhnya sudah membuktikan kekuatan sinkang yang dahsyat.
"Heee, mana mempelai wanitanya? Ehh, Phu-niu Sancu, harap jangan terlalu pelit untuk memperlihatkan mempelai wanita kepada kami. Mulut serta perut kami sudah mendapat hidangan cukup, tapi mata kami pun perlu hidangan memandang wajah cantik, ha-ha-ha!" Kakek jembel itu tertawa dan dua orang temannya pun tertawa bergelak.
Tentu saja ucapan itu terdengar amat kurang ajar, dan baru sesudah melihat pihak tuan rumah tidak marah, para tamu lainnya pun tertawa karena diam-diam mereka menyetujui ucapan kakek itu sebab mereka semua ingin sekali menyaksikan calon isteri Sancu yang selama ini dirahasiakan.
Mempelai pria tertawa dan berkata kepada kakek itu, "Harap Locianpwe suka bersabar karena dia sedang berhias. Sambil menanti munculnya pengantin wanita, lebih baik kalau kami memperkenalkan para tamu kehormatan kepada tamu-tamu lain sambil minum arak dan menikmati hidangan. Untuk hidangan mata, kami pun sudah mempersiapkan sebuah rombongan pemain musik, nyanyi dan tari."
Tuan rumah memberi isyarat dan muncullah belasan orang wanita cantik yang bersikap genit memikat, berlari dengan gerakan tubuh lemah gemulai. Mereka adalah penari-penari dan penyanyi-penyanyi, juga pemain musik yang terdiri dari yang-khim, tambur, suling dan lain-lain. Para tamu menjadi gembira dan puluhan pasang mata yang lapar lalu melahap wajah-wajah mereka yang cantik dan tubuh-tubuh mereka yang jelas membayang di balik pakaian sutera tipis.
"Ha-ha-ha-ha, nanti dulu, Sancu!" kata si kakek jembel ketika melihat tuan rumah hendak memperkenalkan mereka bertiga. "Sebelum tamu-tamu diperkenalkan, tentu lebih dahulu tuan rumah diperkenalkan." Kakek itu bangkit berdiri dan berkata menghadap para tamu. "Mungkin semua orang hanya mengenal Lian Ci Sengjin sebagai Sancu dari Phu-niu-san, dan Sian Ti Sengjin sebagai suheng dan penasehatnya. Akan tetapi agaknya jarang ada yang tahu bahwa mereka berdua kakak beradik seperguruan ini adalah tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai!'
Cong San terkejut sekali. Sungguh dia tidak menyangka bahwa dua orang tuan rumah itu adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai. Tentu saja Cong San tidak tahu bahwa kedua orang itu adalah dua tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng atau memberontak dan melarikan diri dari Kun-lun-pai.
Mereka itu bukan lain adalah Lian Ci Tojin yang kini tidak lagi menjadi tosu dan mengubah sebutan ‘tojin’ menjadi ‘sengjin’, dan suheng-nya, Sian Ti Tojin yang kini menjadi Sian Ti Sengjin. Sesudah mereka meninggalkan Kun-lun-pai dengan hati sakit, keduanya segera menghimpun tenaga dan mempunyai banyak anak murid, bermarkas di Phu-niu-san.
Akan tetapi pada saat Cong San mendengar bahwa pihak tuan rumah adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, hatinya pun menjadi lega. Dia sudah mendengar banyak tentang Kun-lun-pai sebagai perkumpulan besar yang terkenal dan murid-murid Kun-lun-pai dikenal sebagai pendekar-pendekar yang berjiwa gagah perkasa, pengabdi kebenaran.
Maka dia lalu memandang dua orang tuan rumah itu sebagai orang-orang segolongan yang dapat dia harapkan dalam menghadapi Cui Im nanti. Pula, kalau benar Cui Im yang dikawini oleh tokoh Kun-lun-pai itu, tentu terjadi karena tokoh itu belum mengenal siapa adanya Cui Im. Kalau tahu bahwa Cui Im adalah seorang iblis wanita yang jahat, tentu tokoh Kun-lun-pai itu tidak akan sudi!
Phu-niu Sancu yang berdiri itu tersenyum mendengar ucapan kakek jembel, lalu berkata lantang, "Memang tidak perlu kami pungkiri lagi bahwa dahulu kami kakak beradik adalah murid-murid Kun-lun-pai. Akan tetapi sayang bahwa sekarang ini Kun-lun-pai kemasukan pengacau sehingga terpaksa kami berdua meninggalkannya untuk sementara. Di dalam jaman kacau ini, tidak hanya Kun-lun-pai yang dikacau orang-orang. Juga Tiat-ciang-pang yang namanya tersohor di seluruh dunia kang-ouw, yang menjadi tetangga kami, kini juga dikacau orang sehingga tokoh-tokohnya yang berjiwa gagah lebih suka meninggalkannya. Kami memperkenalkan tokoh besar Tiat-ciang-pang yang kebetulan sudah hadir di sini, ialah Kim-to Lai Ban. Lai-sicu ini terkenal dengan ilmu goloknya dan ilmu Tiat-ciang-kang yang lihai!"
Cong San tercengang lagi. Dia sudah mendengar pula akan nama besar Tiat-ciang-kang sebagai perkumpulan orang-orang gagah. Kiranya laki-laki gagah yang membawa golok emas tadi adalah seorang tokoh Tiat-ciang-pang, jadi segolongan pula dengan dia dan boleh diharapkan bantuannya!
"Heh-heh-heh, tuan rumah yang tidak adil! Kenapa kami tidak diperkenalkan? Ha-ha-ha!" Kakek jembel tadi menegur sambil terkekeh.
Phu-niu Sancu tertawa. "Locianpwe adalah golongan teratas yang sudah terkenal sekali. Saya kira semua orang sudah mengenal Sam-wi Locianpwe." Kemudian tuan rumah itu menghadapi para tamu dan berkata lantang, "Siapa orang yang belum mengenal Thian-te Sam-locianpwe?"
Kakek yang berpakaian sastrawan cepat berkata, "Sancu tidak perlu mengubah julukan kami. Katakan saja bahwa kami adalah Thian-te Sam-lo-mo! Kami tidak malu disebut Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua)!"
Banyak di antara para tamu yang menjadi pucat mukanya. Thian-te Sam-lo-mo? Nama ini telah banyak dikenal orang, akan tetapi karena sudah puluhan tahun Thian-te Sam-lo-mo tidak pernah muncul di dunia ramai, maka nama mereka itu dianggap dongeng. Siapa kira, kini tahu-tahu di situ muncul tiga iblis tua yang dahulu dianggap sebagai datuk-datuk dunia penjahat!
Juga Cong San menjadi bengong. Alangkah anehnya keadaan di sana. Gurunya pernah memberi tahu, juga dua suheng-nya, bahwa sebelum muncul Bu-tek Su-kwi yang menjadi datuk-datuk kaum sesat, nama Thian-te Sam-lo-mo sangat terkenal sebagai datuk dunia penjahat. Sesudah Bu-tek Su-kwi muncul, tiga orang Thian-te Sam-lo-mo itu menghilang. Jika kini muncul lagi, Cong San tidak akan merasa heran. Akan tetapi yang membuatnya merasa heran adalah bahwa datuk-datuk penjahat itu dapat menjadi sahabat tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan menjadi satu dalam pesta bersama tokoh-tokoh golongan putih.
Akan tetapi dia segera memperhatikan kembali karena tuan rumah telah memperkenalkan para tamu yang duduk di kursi-kursi kehormatan. Tosu yang tadi datang bersama Kim-to Lai Ban diperkenalkan sebagai Thian It Tosu, dan masih belasan orang lagi diperkenalkan kepada para tamu. Semuanya adalah orang-orang ternama yang tinggal di perbatasan kedua propinsi.
Setelah semua tamu kehormatan diperkenalkan, terdengarlah tetabuhan dibunyikan dan para wanita penari mulai menari sambil menyanyi. Tamu-tamu menikmati hidangan dan tertawa-tawa melihat para penari itu mengerling genit sambil tersenyum-senyum ke arah mereka.
Seorang pelayan datang menghadap Sancu dan berkata dengan suara bisik-bisik. Sancu bangkit berdiri, lalu menoleh kepada tamu kehormatan dan berkata, "Maaf, saya hendak menjemput mempelai wanita."
Mendengar ini, kakek jembel orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo bertepuk tangan dan berkata nyaring, "Bagus, bagus...! Pengantin wanita datang! Tentu lebih menyenangkan dipandang dari pada penari-penari yang genit itu!" Semua orang tertawa dan ketika para penari itu melotot dan cemberut kepadanya, kakek ini mengambil aksi ketakutan sambil berseru, "Idiiihhh...! Seram...!"
Sikap kakek ini membuat orang tertawa bergelak dan diam-diam Cong San menjadi heran kenapa seorang tokoh dunia hitam yang telah amat terkenal sebagai Thian-te Sam-lo-mo itu sikapnya bagaikan kanak-kanak atau badut yang tidak lucu. Memang dunia kang-ouw banyak mempunyai orang-orang aneh, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitamnya.
"Mempelai datang...!" Terdengar seruan orang-orang dan semua tamu mengangkat muka memandang ke arah sepasang mempelai yang muncul dari pintu dalam.
Dengan sikap bangga dan wajah berseri-seri, Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu yang sudah berusia empat puluh lima tahun itu menuntun seorang wanita yang mengenakan pakaian pengantin yang mewah, gemerlapan dengan hiasan emas berlian, dan wajahnya tertutup tirai terbuat dari pada benang-benang emas yang berkeredepan. Tak dapat dilihat dengan jelas wajah di balik tirai itu, hanya tampak bayangannya saja. Akan tetapi bentuk tubuhnya yang tersembunyi di balik pakaian pengantin yang longgar dapat dibayangkan sebagai tubuh yang ramping padat dan tinggi semampai yang kadang-kadang tersembul dari balik lengan baju ketika jalan melenggang, amat putih dan halus.
Sepasang pengantin duduk di atas kursi yang sudah dipersiapkan, kemudian para penari melanjutkan pertunjukkan mereka yang terganggu sebentar dengan munculnya sepasang mempelai. Akan tetapi baru saja mereka membuka mulut dan belum juga suara nyanyian keluar, tiba-tiba kakek jembel meloncat bangun dan menggoyang-goyangkan tangannya ke arah penari itu.
"Stop! Jangan membikin bising dulu, mempelai wanita belum diperkenalkan!"
Para penari itu melotot dan terpaksa duduk kembali, ditertawai oleh banyak tamu, ada pun kakek jembel sudah menghadapi sepasang mempelai, berkata nyaring,
"Tuan rumah tidak adil! Mengapa pengantin wanita dibungkus seperti ini sehingga kami tidak dapat memandang wajahnya? Apakah hidungnya pesek? Atau bibirnya sumbing dan barang kali matanya juling?"
Tamu-tamu tertawa bergelak. Menghadapi ucapan seperti itu, pihak tuan rumah terpaksa tersenyum.
"Tadi setiap orang diperkenalkan, kenapa mempelai wanita tidak diperkenalkan kepada tamu-tamu? Ini tidak adil!" Kakek jembel mencela.
Sambil tertawa mempelai pria hanya menggelengkan kepala, sedangkan Sian Ti Sengjin yang hendak menolong sute-nya lalu berkata, "Locianpwe, yang diperkenalkan hanyalah tamu-tamu kehormatan..."
"Wah-wah-wah, apakah Sicu hendak menghina adik iparmu? Pada saat ini, siapakah yang lebih terhormat dari pada mempelai wanita? Hayo, katakan! Aku menuntut supaya mempelai wanita segera diperkenalkan, tidak hanya wajahnya, akan tetapi juga nama dan julukannya. Aku mendengar desas-desus bahwa mempelai wanita tak kalah terkenal dari mempelai pria!" Kakek jembel itu mendesak terus.
Karena ucapan ini menarik perhatian, maka para tamu juga ingin tahu dan mengangguk-angguk membenarkan. Bahkan diam-diam Cong San sendiri juga ingin sekali melihat, karena dalam keadaan tertutup tirai seperti itu sukar bagi Cong San untuk mengenal Cui Im.
Phu-niu-san tampak berbisik-bisik dengan mempelai wanita yang mengangguk perlahan, kemudian mempelai pria ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya ke atas sebagai isyarat agar tamu tidak berisik. Setelah semua orang diam, dia lalu berkata,
"Terima kasih atas perhatian Cu-wi sekalian yang ingin mengenal wajah sekaligus nama isteriku. Dan memang sudah sepatutnya kalau isteriku memperkenalkan diri, sungguh pun tadinya kami berniat untuk memenuhi tuntutan upacara bagi seorang mempelai wanita untuk menutupi wajahnya. Akan tetapi, mengingat bahwa sekarang kita berada di antara teman-teman segolongan dan isteriku pun bukan seorang yang tidak terkenal, maka saya mempersilakan isteri saya untuk memperkenalkan diri sendiri kepada Cu-wi!"
Dia menoleh kepada isterinya yang segera bangkit berdiri. Perlahan-lahan tangan yang berkulit halus putih itu menyingkap tirai benang-benang emas ke atas kepala dan terus ke belakang sehingga wajahnya tampak jelas.
Semua tamu memandang dengan melongo saking kagumnya melihat wajah yang sangat cantik jelita itu, dengan mulut tersenyum manis sekali. Semua orang terdiam menahan napas dan tidak mengeluarkan suara ketika mempelai wanita berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring,
"Di antara Cu-wi sekalian mungkin ada yang sudah pernah mendengar nama atau julukan saya. Sebelum menjadi isteri Sancu sekarang ini, saya dikenal sebagai Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek!"
Para tamu menjadi terkejut dan terdengarlah suara bisik-bisik sehingga keadaan menjadi berisik sekali. Pada saat itu mendadak tampak berkelebat bayangan hijau dan tahu-tahu Yap Cong San sudah berdiri di ruang kehormatan menghadapi tuan rumah dan para tamu kehormatan, sikapnya tenang namun pandang matanya penuh semangat dan keberanian.
"Harap Sancu dan para tamu suka memaafkan saya, akan tetapi saya mempunyai urusan pribadi dengan mempelai wanita ini. Karena saya tidak ingin menodai nama orang lain di tempat terhormat ini, saya persilakan kepada Ang-kiam Bu-tek agar memenuhi tantangan saya untuk membereskan perhitungan di luar ruangan ini!" Sambil berkata demikian Cong San menghadapi Cui Im dan memandang dengan sinar mata tajam.
Cui Im membelalakkan mata, mengangkat alis dan tersenyum, diam-diam timbul kembali gairah hatinya. Pemuda yang disangkanya seorang yang lemah itu ternyata adalah murid Siauw-lim-pai yang amat gagah perkasa. Tentu saja dia tidak takut akan tetapi dia diam saja, ingin melihat reaksi suaminya dan para tamu.
Karena dia tidak melihat Keng Hong datang bersama Cong San, dia tenang-tenang saja. Hanya Keng Hong yang dia takuti, dan karena takut kepada Keng Hong-lah maka ia lalu menggabungkan diri di Phu-niu-san bahkan rela menjadi isteri Lian Ci Sengjin.
Sementara itu Lian Ci Sengjin sudah melompat bangun, kemudian dengan mata melotot menghadapi Cong San, menudingkan telunjuknya dan memaki,
"Keparat jahanam bermulut kotor! Siapakah engkau berani bersikap seperti ini, menghina isteriku?"
Cong San tersenyum. "Sancu, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak ingin menodai nama baikmu dan nama baik orang lain. Akan tetapi karena engkau bersikap begini, apakah aku harus menceritakan urusanku dengan Ang-kiam Bu-tek?"
"Seorang laki-laki gagah tidak akan menyembunyikan sesuatu! Jika memang ada urusan ayo lekas katakan saja, siapa hendak menyimpan rahasia?" Lian Ci Sengjin membentak, mukanya merah sekali, kedua tangan mengepal seolah-olah dia sudah ingin menghantam remuk kepala pemuda itu.
Semua tamu memandang heran dan khawatir. Apakah ada hubungan antara pemuda tampan baju hijau dengan mempelai wanita? Jangan-jangan bekas kekasihnya. Bisa ribut kalau begitu!
Biar pun di hatinya Lian Ci Sengjin ada dugaan seperti ini pula melihat ketampanan wajah pemuda itu, namun dia tidak merasa khawatir andai kata rahasia itu dibuka, karena dia sendiri adalah seorang yang jauh lebih tua dari pada isterinya sehingga hal-hal mengenai percintaan isterinya dengan pria lain yang telah lewat tidak dipedulikannya.
Cong San menghela napas, lalu berkata, "Sancu, saya bernama Yap Cong San, seorang anak murid Siauw-lim-pai. Saya tidak tahu bagaimana Sancu sebagai tokoh Kun-lun-pai yang terkenal, juga para enghiong dari Tiat-ciang-pang dan tamu terhormat, sampai bisa kemasukan seorang seperti dia ini!" Dia lalu menuding ke arah Cui Im yang masih duduk tersenyum-senyum, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im adalah seorang wanita iblis, dan aku sengaja datang mencarinya untuk membalas kematian murid Siauw-lim-pai yang dibunuh olehnya!"
Mendengar bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-lim-pai, keadaan makin tegang. Nama besar Siauw-lim-pai sangat dikenal, bahkan sebagai tokoh atau bekas tokoh Kun-lun-pai Lian Ci Sengjin sendiri mengetahui pengaruh Siauw-lim-pai dan dapat melihat gawatnya persoalan, sehingga dia merasa ragu-ragu untuk berlaku lancang, bahkan lalu menoleh kepada isterinya seolah hendak menyerahkan keputusan tentang diri pemuda ini kepada isterinya.
"Harap kau duduk," kata Cui Im lirih kepada suaminya, kemudian ia memandang ke arah tamu-tamu dengan wajah yang cerah, senyum yang manis dan sikap yang amat tenang seolah-olah dia menganggap kehadiran Cong San seperti gangguan seorang bocah nakal yang tidak banyak artinya.
"Cu-wi sekalian maklum bahwa bocah ini datang untuk mencari penyakit, datang-datang menghina orang. Karena saat ini aku sedang menjadi nona pengantin, akan memalukan sekali kalau turun tangan sendiri. Siapakah di antara Cu-wi sekalian yang sudi mewakili aku memberi hajaran dan mengusir bocah lancang ini dari sini?"
"Kami sanggup..."
"Biarkan kami mengusir anjing itu!"
Semua orang memandang ke arah suara itu dan ternyata yang maju adalah tiga orang berpakaian sastrawan yang tadi datang bersama Cong San, Bun-bu Sam-taihiap (Tiga Orang Pendekar Ahli Sastra)! Dengan langkah dibuat-buat agar tampak gagah tiga orang itu naik ke ruangan besar dan mereka menjura ke arah Cui Im. Si tahi lalat lalu berkata mewakili dua orang saudaranya,
"Kami Siangkoan Sam-heng-te yang dijuluki orang Bun-bu Sam-taihiap mengharap agar Toanio tidak mencapekkan diri dan duduk saja menonton kami mewakili Toanio memberi hajaran kepada bocah lancang mulut ini!"
Cui Im diam-diam merasa geli hatinya dan memandang rendah tiga orang ini, akan tetapi ia memberikan senyum manis yang semanis-manisnya kepada tiga orang itu dan berkata merdu,
"Siangkoan taihiap bertiga sudi membantuku, sungguh besar budi yang kuterima. Untuk itu sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih."
Melihat bibir merah basah merekah disertai kerling mata menyambar dan senyum yang memperlihatkan kilatan gigi bersih berderet rapi, tiga orang itu menjadi bengong sehingga sampai lupa sejenak untuk apa mereka berdiri di situ, hanya memandang ke arah wajah yang mempesona itu! Akhirnya mereka sadar dan cepat membalikkan tubuh menghadapi Cong San yang masih berdiri tenang.
"Ehh, engkau she Yap! Kalau tahu bahwa engkau ternyata seorang manusia jahat yang datang-datang menghina nyonya rumah, tentu tadi-tadi telah kami hajar!" kata si tahi lalat sambil menudingkan telunjuknya ke muka Cong San.
Cong San tersenyum dan menjawab, "Harap Sam-wi tidak mencampuri urusan ini. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk bermusuhan dengan siapa pun juga. Kedatanganku ke sini memang khusus untuk membuat perhitungan dengan Ang-kiam Bu-tek yang telah membunuh suheng-ku, seorang murid Siauw-lim-pai. Harap Sam-wi suka minggir, karena aku tidak bermusuhan dengan Sam-wi."
"Pengecut!" Si mata sipit memaki. "Beraninya menantang seorang wanita. Kalau memang kau jantan, hayo lawan aku!"
Diam-diam Cong San mendongkol. "Aku tidak mau menyerang Sam-wi, akan tetapi kalau Sam-wi memaksa hendak menyerangku, silakan, tak usah satu-satu, boleh maju bertiga."
Panas rasa perut tiga orang itu. Dengan gerakan penuh aksi mereka memasang bhesi. Lalu menggeser-geser kedua kaki dan mainkan tangan seperti orang menari. Hati Cong San menjadi sebal karena tiga orang ini jelas masih rendah kepandaiannya dan hanya pandai berlagak sambil mainkan ilmu silat kembang yang hanya indah dipandang namun sebetulnya kosong dan tidak berarti kalau dipakai bertanding.
Dia sengaja berdiri seenaknya, bahkan matanya sama sekali tidak memandang mereka melainkan memandang kepada Cui Im dengan sinar penuh kebencian. Ia melihat Cui Im tersenyum mengejek, dan tiba-tiba saja Cong San yang tadinya marah dan mendongkol kepada tiga orang itu menjadi kasihan.
Mereka ini menjadi korban senyuman manis Cui Im sehingga tanpa mengenal diri mereka rela terjun mewakili wanita itu. Padahal, sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi tentu saja Cui Im maklum bahwa tiga orang ini dangkal ilmunya, tapi mengapa wanita itu demikian kejam membiarkan mereka itu menghadapi bahaya dan bahkan menjadi buah tertawaan? Padahal tentu saja Cui Im bisa mencegah mereka turun tangan mewakilinya! Betapa pun Cong San ingin pula menundukkan tiga orang yang sombong ini.
"Heeeiiiiiittttt!!"
"Hyyyaaatttttt!!"
Tiga orang itu dengan lagak hebat sudah menyerang Cong San dengan pukulan-pukulan mereka. Cong San dengan tetap tidak bergerak, hanya menggerakkan sinkang menerima pukulan-pukulan ke arah dada, punggung dan lambung kanan itu.
"Bukkk! Bukkk! Bukkk!”
"Hayaaaaaa..!"
Tiga orang itu menjerit kesakitan. Ternyata tangan mereka yang memukul telah menjadi bengkak karena Cong San mempergunakan sinkang untuk melawan secara keras sama keras sehingga mereka seperti memukul tubuh yang terbuat dari pada baja!
Tiga orang sastrawan konyol itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi Cong San yang tak memberi kesempatan mereka memperpanjang aksi mereka di situ, sudah menggerakkan kaki dan tiga kali ia menendang membuat tubuh mereka terlempar turun dari ruangan itu, jatuh terbanting menabrak meja kursi, mengaduh-aduh, merayap bangun dan... lari keluar tanpa pamit lagi.
"Huah-ha-ha-ha-ha-ha! Lian Ci Sengjin, kenapa tamumu begitu konyol? Apakah memang engkau mengundang tiga orang badut itu untuk melawak di sini? Huah-ha-ha-ha!" Kakek jembel, orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo, tertawa bergelak.
Lian Ci Sengjin terkejut menyaksikan kelihaian pemuda baju hijau tadi, dan maklumlah dia bahwa untuk menghadapi pemuda itu harus dia sendiri yang maju. Ia sudah bangkit dan berkata, "Biar kuhajar sendiri dia!"
Akan tetapi Cui Im sudah menahan lengan suaminya, lantas memandang kakek jembel sambil berkata, "Sudah lama aku mendengar akan nama besar Thian-te Sam-lo-mo yang berjumlah tiga orang pula. Jangan-jangan tak ada bedanya dengan tiga orang badut tadi? Locianpwe, pemuda baju hijau yang bernama Yap Cong San ini adalah murid Tiong Pek Hosiang, apakah Sam-wi Locianpwe berani menghadapinya?"
Kakek jembel itu tertawa lagi. "Waduh-waduh, ternyata nona pengantin adalah seorang yang begini cerdik, hendak menyeret kami masuk ke dalam api permusuhan yang panas! Kami tidak takut kepada siapa-siapa, akan tetapi kami sudah bosan bermusuhan. Kami hanya mau bertanding untuk mengukur kepandaian. Pemuda ini tidak ada nama besar, tidak seperti nona pengantin yang julukannya menjulang tinggi sampai ke langit. Jika telah berani menggunakan julukan Bu-tek (Tanpa Tanding), tentunya sudah dapat menandingi Bu-tek Su-kwi!"
Cui Im adalah seorang cerdik dan tadi ia berusaha memanaskan hati Thian-te Sam-lo-mo untuk menghadapi Cong San. Siapa kira, kakek jembel itu kiranya lebih cerdik dan lebih berpengalaman sehingga bukan dia yang berhasil membakar, malah dia sendiri yang kini di bakar hatinya. Cui Im tersenyum mengejek dan mendengus dengan menghina,
"Bu-tek Su-kwi? Huh, apa sih mereka? Tokoh utamanya, Lam-hai Sin-ni dengan mudah tewas di tanganku!"
Thian-te Sam-lo-mo terkejut. Memang mereka sudah mendengar pula berita itu, akan tetapi setelah melihat Cui Im, mereka mengira berita itu dilebih-lebihkan. Akan tetapi kalau wanita ini berani mengakuinya, agaknya wanita muda ini memiliki kepandaian hebat, hal yang benar-benar tak dapat mereka percaya.
"Bhe Cui Im, mengapa banyak cakap dan hendak sembunyi di balik punggung orang lain? Majulah dan ayo kita membuat perhitungan!' Cong San membentak, suaranya kereng dan penuh semangat. Cong San yang maklum bahwa Keng Hong berada di situ, dan karena di situ hadir pula orang-orang gagah, merasa mendapat angin.
Kembali Cui Im tersenyum. "Kalau aku yang maju sendiri, berarti aku tidak mengindahkan kepandaian para tamuku. Adakah lagi para enghiong yang hadir di sini sudi mewakili aku memberi hajaran kepada bocah ini?"
Sunyi saja, agaknya para tamu menjadi ragu-ragu sesudah melihat kelihaian Cong San yang dalam segebrakan saja merobohkan tiga orang lawan tadi. Juga para tamu yang duduk di tempat kehormatan merasa ragu-ragu untuk turut menerjunkan diri ke dalam permusuhan pribadi, apa lagi mengingat bahwa pemuda itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Sebagai orang-orang berilmu mereka tidak takut menghadapi pemuda itu, akan tetapi segan menanam bibit permusuhan dengan Siauw-lim-pai.
"Biar aku sendiri yang maju menghajarnya!" Lian Ci Sengjin sudah bangkit dari kursinya, akan tetapi Sian Ti Sengjin menahannya dengan menyentuh lengannya.
"Sute, engkau duduk sajalah. Karena saat ini engkau adalah seorang mempelai, tidak pantas kalau engkau harus turun tangan sendiri, demikian pula isterimu. Kalau pemuda ini berkeras, biarlah aku yang menghadapinya." Sian Ti Sengjin bangkit berdiri.
"Tidak baik tuan rumah turun tangan sendiri! Biarlah aku yang mencobanya!" Teriakan ini keluar dari mulut Kim-to Lai Ban yang sudah mencelat dari kursinya dan berdiri di depan Cong San.
Kim-to Lai Ban sedang mencari sekutu untuk diajak menghadapi Tiat-ciang-pang karena dia masih merasa sakit hati terhadap Ouw Kian yang kini menjadi ketua Tiat-ciang-pang. Karena itu, dia yang menganggap bahwa murid Siauw-lim-pai yang muda itu tidak berapa mengkhawatirkan, ingin memberi jasa.
Cong San terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa seorang tokoh Tiat-ciang-pang akan turun tangan membantu Cui Im. Juga tadi dia heran menyaksikan sikap dua orang tuan rumah. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, tapi mengapa setelah dia membuka rahasia Cui Im mereka itu masih hendak melindunginya?
Akan tetapi dia masih dapat mengerti sikap mereka ini karena kalau Sancu itu hendak menikah dengan Cui Im, memang sepantasnya dia membela isterinya, dan suheng-nya pun sudah selayaknya membela sute-nya, sungguh pun mereka itu sebenarnya harus insyaf bahwa mereka sudah bersekutu dengan seorang wanita tokoh sesat. Akan tetapi tokoh Tiat-ciang-pang yang menjadi tamu? Kini hendak turun tangan pula melindungi Cui Im!
Cepat Cong San menjura ke arah Lai Ban dan berkata, "Lo-enghiong! Kalau Lo-enghiong seorang tokoh Tiat-ciang-pang, mengapa..."
Tiba-tiba ucapannya disambung suara lain yang datangnya dari atas genteng. "Dia bekas pengurus Tiat-ciang-pang yang murtad dan melarikan diri!"
Cui Im menggerakkan tangan ke atas.
"Brakkk…!"
Beberapa buah genteng berikut langit-langit dari mana suara itu datang pecah berantakan, akan tetapi tidak ada apa-apa di sana! Semua orang dan terutama Thian-te Sam-lo-mo, merasa terkejut bukan main menyaksikan kehebatan pukulan nona pengantin ini yang membuktikan sinkang yang amat kuat!
Sebetulnya yang mengeluarkan suara tadi adalah Keng Hong, akan tetapi pemuda sakti ini menggunakan khikang sehingga suaranya bagai terdengar dari atas padahal dia masih berada di antara tamu yang tingkatnya rendahan. Dia menggunakan kesempatan selagi semua mata dan perhatian tertuju kepada Lai Ban dan Cong San untuk mengeluarkan suara itu.
Kini Cong San mengerti mengapa Lai Ban seorang tokoh Tiat-ciang-pang membantu Cui Im. Kiranya orang ini adalah seorang pelarian dari Tiat-ciang-pang! Dia mengerti adanya bahaya. Kini dia telah berada di antara musuh-musuh lihai yang akan membantu Cui Im. Dia merasa menyesal bahwa dia sudah teburu nafsu turun tangan. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata,
"Aku datang untuk membuat perhitungan dengan perempuan iblis Ang-kiam Bu-tek. Siapa yang hendak membelanya, boleh maju!"
Lai Ban marah mendengar dibukanya rahasia tadi, dan dia sudah mencengkeram ke arah Cong San dengan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Tiat-ciang-kang! Cong San mengenal serangan ampuh. Ternyata bekas tokoh Tiat-ciang-pang ini lihai juga dan tak boleh disamakan dengan tiga orang sastrawan konyol tadi, maka dia cepat menangkis dengan tangan kanan.
"Desssss..!"
"Aaahhhhh..!"
Lai Ban terhuyung ke belakang dan berseru kaget. Sungguh jauh di luar persangkaannya bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang begitu kuat sehingga dapat menangkis serangannya yang mengandung tenaga sakti Tiat-ciang-kang sehingga dia terhuyung ke belakang. Tahulah dia kini mengapa pemuda itu berani mengacau tempat itu, ternyata memang memiliki kepandaian tinggi.
Mengingat bahwa pemuda itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai dan apa bila seorang tokoh Siauw-lim-pai sudah mempunyai tenaga sinkang seperti itu, tentulah seorang yang benar-benar lihai, Lai Ban lalu mencabut goloknya.
"Singgggg,..!" Sinar berkelebat menyilaukan mata ketika golok besar bergagang emas itu keluar dari sarungnya.
"Keluarkan senjatamu!" Kim-to Lai Ban yang masih mempunyai sifat kegagahan seorang pendekar, berseru menantang.
Cong San masih tenang saja dan menjawab, "Lai-lo-enghiong, kenapa engkau tidak mau sadar bahwa sebagai seorang gagah tidak layak mencampuri urusan pribadi orang lain dan lebih tidak baik lagi membantu seorang iblis betina seperti Ang-kiam Bu-tek?"
"Keluarkan senjatamu, atau... engkau akan mati konyol!" Lai Ban yang wataknya memang berangasan, apa lagi dia sudah marah dan penasaran karena dalam segebrakan saja dia terhuyung, membentak dan mengancam.
"Mau serang, seranglah!" Cong San masih bersikap tenang karena pemuda ini maklum bahwa tanpa senjata pun dia masih akan dapat mengatasi orang pemarah ini, apa lagi dia memang tidak ingin memindahkan permusuhannya dengan Cui Im ke pundak orang lain, maka tidak ingin melukai lawan ini.
"Sombong, makan golokku!" Golok itu berkelebat, berubah menjadi sinar menyambar ke arah leher Cong San.
Dengan tenang namun cepat pemuda ini mengelak dengan menggeser kaki mengubah pasangan kuda-kuda. Tubuhnya miring, dan saat golok yang menyambar sudah melewati tubuhnya, dia membarengi dengan hantaman tangan miring ke arah pergelangan tangan yang memegang golok.
Lai Ban kaget dan cepat dia melompat ke depan sambil memutar golok menyambar ke belakang tubuhnya, menusuk perut lawan. Cong San dengan mudah mengelak, kemudian menendang dari pinggir ke arah lutut lawan. Lai Ban meloncat mundur sambil goloknya membabat ke arah kaki yang menendang.
Tetapi Cong San sudah memperhitungkan gerakan balasan lawan ini. Ia menarik kakinya dan tangan kirinya sudah menusuk ke atas mata Lai Ban dengan gerakan diperlambat. Pancingan ini berhasil karena Lai Ban berseru girang, lalu mengelebatkan goloknya untuk membacok putus lengan Cong San. Secepat kilat Cong San menotok pergelangan tangan lawan yang sedang membabat lengannya. Perhitungannya tepat sekali, kalau tidak, ada bahayanya dia kalah cepat dan lengannya akan putus tersambar golok!
"Aduhhh...!" Golok terlepas dari pegangan tangan Lai Ban yang tiba-tiba menjadi lumpuh, tapi tangan kirinya masih memukul dengan cepat, menggunakan tenaga Tiat-ciang-kang!
Inilah kesalahannya. Kalau dia tidak nekat, tentu dia akan melepaskan golok dan tidak menderita nyeri. Kini pukulannya itu diterima oleh Cong San yang melihat pukulan keji lalu menangkis dengan pukulan telapak sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Desssss…!"
Tubuh Lai Ban mencelat ke belakang kemudian terbanting ke atas lantai, dari mulutnya tersembur darah segar! Cepat Lai Ban duduk bersila untuk mengobati luka pada sebelah dalam dadanya yang terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik.
Cong San menggunakan kakinya mencongkel golok ke atas dan sekali kakinya bergerak, golok itu melayang dan menancap pada lantai tepat di depan Lai Ban!
"Bagus sekali...!" Wah, murid Siauw-lim-pai lihai.. Ha-ha-ha!" Kakek jembel tertawa-tawa gembira.
Memang kakek ini dan dua orang saudaranya paling suka menonton pertandingan silat, akan tetapi kalau ada lawan tanggung-tanggung saja mereka tidak sudi turun tangan. Kini menyaksikan kelihaian Cong San, tangan mereka sudah gatal-gatal!
"Uh-uh-uh, bocah jahat!" Seruan ini halus perlahan, akan tetapi Cong San cepat mencelat ke belakang untuk mengelak.
Tampak sinar berkeredepan ketika golok di tangan Thian It Tosu menyambar, dan begitu golok itu luput mengenai sasaran lalu membalik dan sudah menyambar lagi. Suara golok merobek udara sampai mengeluarkan suara mengaung tiada hentinya dan sinar golok itu bergulung-gulung mengurung tubuh Cong San. Pemuda ini terkejut, maklum bahwa ilmu golok Thian It Tosu amat hebat. Terpaksa dia lalu mengeluarkan senjatanya Im-yang-pit.
"Trang-trang-trang-cringgg...!"
Bunga api berhamburan saat berkali-kali golok bertemu sepasang pensil yang digerakkan secara istimewa oleh Cong San. Memang ilmu silat memainkan sepasang pensil pemuda ini amat lihai. Setiap kali menangkis, senjata yang kecil ringan ini tentu terus meleset dan menotok pergelangan lawan, malah disusul oleh pensil ke dua yang melakukan totokan ke arah jalan darah yang berlawanan.
Thian It Tosu terpaksa mengelak ke sana ke mari dan goloknya diputar melindungi tubuh. Akan tetapi sepasang pensil itu bagaikan dua ekor burung yang amat gesit, selalu dapat menyusup di antara sinar golok lantas mencari sasaran jalan darah secara bertubi-tubi dan susul-menyusul! Hanya dalam belasan jurus saja Thian It Tosu sudah terdesak hebat dan hanya main mundur.
"Wah-wah-wah, bocah itu hebat...!" Si kakek jembel berjingkrak-jingkrak gembira sekali. "Tosu tukang sembelih babi dengan goloknya itu takkan menang!"
Diam-diam Lian Ci Sengjin menjadi mendongkol juga kepada Thian-te Sam-lo-mo, apa lagi kepada si kakek jembel itu. Mereka adalah golongan cianpwe yang berkedudukan tinggi dan dia harapkan akan turun tangan meredakan kekacauan, akan tetapi kakek itu malah berjingkrak-jingkrak memuji si pemuda Siauw-lim-pai, seolah-olah merasa girang melihat pihak yang membelanya menderita kekalahan.
Sambil mengeluarkan seruan keras, bekas tokoh Kun-lun-pai ini lalu meloncat ke depan. Pedangnya telah terhunus, ada pun terjangannya hebat ketika dia menusuk ke arah dada Cong San.
"Cringgg…!"
Pedang itu terpental ketika tertangkis pensil hitam. Thian It Tosu telah menerjang kembali dengan goloknya dan sekarang Cong San dikeroyok dua.
Pemuda ini menjadi mendongkol sekali. Tak disangkanya bahwa dalam mengejar musuh besarnya, dia malah bentrok dengan tokoh-tokoh dari partai besar seperti Kun-lun-pai dan Tiat-ciang-pang, padahal menurut patut, tokoh-tokoh partai besar itu mestinya membantu dia menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang jahat.
Dengan marah dia lalu menggerakkan kedua pensilnya sedemikian rupa sehingga Lian Ci Sengjin dan Thian It Tosu yang diserang totokan maut pada jalan darah mereka berseru keras dan meloncat mundur. Sementara itu, Sian Ti Sengjin juga sudah melompat maju.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan halus berwibawa dari Cui Im, "Mundur semua! Biar aku memberi hajaran kepada bocah ini!"
Bayangan merah berkelebat didahului angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Cong San pada waktu tiga orang pengeroyoknya termasuk Sian Ti Sengjin mundur dan minggir mendengar seruan Cui Im. Pukulan sinkang yang dilontarkan Cui Im hebat bukan main.
Cong San yang belum pernah bertanding mati-matian melawan wanita itu menangkis dan dia terjengkang! Untung dia segera menekan lantai dengan sikunya dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi sambil menggerakkan kedua pensilnya.
"Cring-cring-cring..!"
Sinar merah dari jarum-jarum merah Cui Im semuanya runtuh terpukul sepasang pensil. Pemuda itu sudah meloncat bangun dan memandang Cui Im dengan marah. Ia maklum akan kelihaian wanita itu dan tadi pun hampir saja dia celaka.
"Wah, kiranya nona pengantin benar-benar hebat! Sekarang baru ramai!" Kakek jembel itu berseru.
Sekali ini dia benar-benar memuji karena maklum bahwa tingkat kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat. Kalau tadinya tiga orang iblis tua ini kepingin sekali menantang dan menggempur Cong San untuk menguji kepandaian tokoh muda Siauw-lim-pai yang lihai itu, kini mereka pun ingin sekali mencoba kesaktian Cui Im.
Tiba-tiba terdengar pekik seorang pelayan wanita berlari keluar, "Celaka... Toanio... kamar Toanio sudah dibongkar orang…!"
"Apa..?!" Mendengar ini, Cui Im langsung membalikkan tubuh dan lari meninggalkan Cong San untuk memeriksa kamarnya.
Melihat ini, Lian Ci Sengjin, Sian Ti Sengjin dan Thian It Tosu telah maju lagi mengeroyok Cong San. Sementara itu, kakek jembel yang sudah tidak dapat menahan nafsunya ingin bertanding, tiba-tiba tertawa bergelak, tubuhnya melayang ke udara dan bagaikan seekor burung dia menerkam kepala Cong San.
"Dukkkkkk! Ayaaaaa...!"
Tubuh kakek itu mencelat kembali ke belakang di mana dia hinggap di atas lantai dengan kedua mata terbelalak memandang pada seorang pemuda bermuka hitam bopeng yang berpakaian longgar seperti pakaian pendeta yang tadi menyambut tubuhnya di udara dan mendorongnya kembali ke tempatnya. Hampir ia tidak percaya bahwa yang telah menolak tubuhnya tadi adalah pemuda bopeng itu! Kakek yang tadinya banyak bicara dan suka ketawa itu kini hanya terbelalak memandang dengan muka melongo.
"Apakah kita sedang mimpi...?" Ia berkata kepada dua orang saudaranya. "Muncul tokoh Siauw-lim-pai, dan nona pengantin yang hebat, kemudian bocah bopeng ini. Bagaimana dunia sekarang bisa penuh dengan orang-orang muda sakti yang berkeliaran?"
Pemuda muka bopeng itu melayang turun. Begitu kaki tangannya bergerak, golok Thian It Tosu terlempar, pedang Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin terpental ke belakang, ada pun tubuh mereka terhuyung-huyung.
"Lian Ci Sengjin, apakah engkau masih belum sadar dari kesesatanmu?" berkata pemuda muka bopeng sambil meraba mukanya sehingga terbukalah kedok karet tipis dan tampak mukanya yang asli.
"Keng Hong...! Keparat, kau pemuda busuk, di mana-mana menimbulkan kekacauan...!" Lian Ci Sengjin berseru memaki.
"Hemmm, ingatlah akan perbuatanmu sendiri! Lupakah kau akan nona Tan Hun Bwee yang kau perkosa di dalam hutan?"
"Apa...?!" Lian Ci Sengjin menjadi pucat wajahnya.
"Sute, benarkah itu...?" Sian Ti Sengjin memandang sute-nya dengan mata tajam.
"Tidak... Ehh, aku..." Lian Ci Sengjin tergagap.
"Lian Ci Sengjin, sesudah engkau berani menjadi Sancu di Phu-niu-san, apakah engkau tetap menjadi pengecut? Seorang jantan telah berani berbuat tentu berani pula mengakui perbuatannya. Engkau memperkosa nona Tan!"
Muka Lian Ci Sengjin menjadi merah dan matanya melotot. "Benar! Habis engkau mau apa?"
"Mau menghajarmu!" Keng Hong berteriak.
Tangan kirinya langsung memukul dengan jari tangan terbuka ke arah perut ketua atau kepala di Phu-niu-san itu. Kalau pukulan ini mengenai sasaran tentu perut itu akan pecah dan agaknya Lian Ci Sengjin tak dapat mengelak lagi.
"Desssss…!"
Pukulan sinkang tangan kiri Keng Hong tertangkis oleh tangan Cui Im yang melesat dari dalam. Muka wanita itu merah sekali dan pandang matanya menyinarkan maut ketika dia saling bertatapan dengan Keng Hong.
"Cia Keng Hong! Kembalikan pusaka-pusaka itu!" jeritnya, setelah itu dia menangis saking marah dan bencinya.
Keng Hong tertawa, lantas bersedakap seperti hendak melindungi pusaka-pusaka yang sudah dapat dia rampas kembali dan kini dia sembunyikan di dalam baju yang longgar itu.
"Enak saja! Susah payah aku mencari. Engkau asyik menjadi pengantin, maka lengah. Salahmu sendiri!"
"Kau... pencuri laknat!"
"Husshhhhh, engkau sendiri mencurinya dari aku, dan sekarang aku mencurinya kembali. Adil, bukan?"
"Bangsat!" Pedang merah di tangan Cui Im menyambar, akan tetapi Keng Hong sudah mengelak.
"Cringgggg...!" Pensil putih di tangan Cong San yang menangkis pedang itu.
"Iblis betina, sekarang nyawamu harus kuambil!" bentak pemuda ini.
Cong San masih hendak menyerang lagi, akan tetapi Keng Hong memegang pundaknya dan mendorongnya keras sekali sehingga tubuh pemuda murid Siauw-lim-pai terlempar.
"Mari kita pergi, Yap-twako.."
"Tetapi...!"
"Nanti bicara, sekarang lari!" Keng Hong juga sudah meloncat, kemudian sekali lagi dia mendorong dengan tenaga sepenuhnya hingga tubuh Cong San seperti dilontarkan keluar dari gedung itu, diikuti bayangan Keng Hong.
"Berhenti, Keng Hong manusia keparat!" Cui Im mengejar.
"Eh-eh-ehh, murid Siauw-lim-pai, bocah bopeng, tunggu, mari kita mengadu kepandaian. Coba kalian kalahkan Thian-te Sam-lo-mo!" Si jembel dan kedua orang saudaranya juga mengejar keluar. "Kalau mereka tidak mau, engkau saja, nona pengantin. Engkau pun cukup lihai!" Teriak pula si jembel dari belakang Cui Im.
Cui Im sudah menyambitkan jarum-jarum merahnya ke arah pungung Keng Hong. Akan tetapi Keng Hong mengulurkan tangan dan dari samping dia menangkap jarum-jarum itu, kemudian sambil tertawa dia berseru, "Lian Ci Sengjin, kutitipkan nyawamu kepadamu. Ini untuk peringatan, terimalah!"
Tangan Keng Hong bergerak dan jarum-jarum merah itu menyambar laksana sinar-sinar merah ke arah Cui Im, tiga orang kakek iblis dan ke arah Lian Ci Sengjin! Dengan mudah Cui Im dan ketiga orang kakek iblis mengelak, akan tetapi Lian Ci Sengjin memaki marah karena daun telinganya ditembus sebatang jarum merah isterinya!
Cui Im kembali meloncat hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba di belakangnya terdengar suara. "Jangan pergi semua! Layani dulu kami beberapa jurus, nona pengantin!"
Cui Im terkejut karena ada angin menyambar dari belakang. Cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan ternyata ketiga orang Thian-te Sam-lo-mo sudah menyerangnya dan memaksanya untuk menguji kepandaiannya.
"Apakah kalian gila?" Cui Im memaki dengan mendongkol sekali.
Ia cepat mengelebatkan pedang merahnya. Demikian hebat sambaran pedangnya hingga tiga orang kakek iblis itu terpaksa meloncat ke belakang. Ketika Cui Im menoleh ternyata bayangan Keng Hong dan Cong San telah lenyap. Pintu depan penuh dengan para tamu yang kacau balau lari ke sana ke mari.
Cui Im marah bukan main, dan karena yang menghalanginya adalah Thian-te Sam-lo-mo, maka sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring dia segera menerjang tiga orang kakek itu dengan pedangnya!
"Aduh, ganas..!" Teriak si kakek jembel.
"Kiam-sut yang hebat!" Si sasatrawan juga berseru sambil mengelak.
"Bukan main!" Seru pula orang ketiga yang berpakaian tosu.
Cui Im tidak peduli lagi, kemarahannya memuncak dan ia menerjang tiga orang itu kalang kabut. Tiga orang kakek itu mula-mula hanya mengelak ke sana ke mari, menganggap Cui Im main-main dan ingin menguji kepandaian. Akan tetapi pedang itu semakin ganas, bahkan dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung sinkang sangat kuat. Mereka terkejut dan mencabut pedang masing-masing yang tersembunyi di balik jubah mereka.
"Trang-trang-trang...!"
Bunga api berhamburan dan tiga orang kakek itu terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Cui Im hanya mundur selangkah. Tiga orang kakek iblis tua itu benar-benat kaget dan kagum bukan main, akan tetapi mereka menjadi makin gembira. Bagi mereka ini, semakin tangguh lawan, makin menggembirakan, maka mereka sudah bergerak maju pula.
"Tahan...!" Teriak Lian Ci Sengjin.
"Harap berhenti...!" teriak pula Sian Ti Sengjin.
"Tidak perlu bertanding antara teman sendiri!" ucapan ini keluar dari mulut Lai Ban.
Mereka semua, golongan tamu-tamu kehormatan, sudah tiba di situ dan melerai Cui Im serta ketiga orang kakek iblis itu. Tiga orang kakek iblis itu mundur dan si kakek jembel memuji sambil mengacungkan jempolnya.
"Engkau hebat, nona pengantin. Aku si tua benar-benar kagum sekali!"
Cui Im cemberut, akan tetapi diam-diam dia pun berpikir bahwa dia tadi hanya mengejar sendirian, dia tidak akan mampu memenangkan Keng Hong. Kalau saja tiga orang kakek iblis itu tidak seperti anak kecil dan suka membantunya, agaknya mereka berempat masih ada harapan untuk merampas pusaka-pusaka itu kembali. Pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Tadinya semua disimpan di dalam kamarnya dan kini semuanya lenyap dicuri Keng Hong. Gemas bukan main hatinya.
"Mari kita kembali dan mari kita rundingkan bersama untuk menghadapi musuh-musuh itu karena tanpa direncanakan, akan sukar menghadapi mereka yang lihai. Keng Hong itu memang seorang pengacau besar dan…"
"Sudahlah!" Cui Im memotong ucapan calon suaminya. "Aku suka menjadi isterimu sebab mengharapkan kalian semua dengan teman-teman kalian akan membantuku menghadapi Keng Hong dan aku berjanji akan membantu kalian membalas dendam kalian. Akan tetapi siapa kira, kalian adalah manusia-manusia tolol sehingga begitu Keng Hong tiba, semua barangku sudah digondolnya! Kalian bodoh dan tolol, terutama Thian-te Sam-lo-mo ini!" Setelah berkata demikian, Cui Im mencengkeram pakaian pengantin yang dipakainya.
"Brettt! Brettt!"
Pakaian itu telah direnggut dan dirobek-robeknya. Ternyata di sebelah dalamnya dia telah mengenakan pakaian merahnya yang biasa!
"Eh-ehh... Niocu... ehh...!" Lian Ci Sengjin berseru kaget dan menghampiri calon isterinya.
"Plak! Plak! Plak!" Pipinya ditampar oleh Cui Im.
"Kau boleh mencari gadis Tan yang dulu kau perkosa!" Setelah berkata demikian, Cui Im melesat pergi dengan cepat sekali, meninggalkan bekas calon suaminya yang melongo.
Sepasang pipinya merah bekas ditampar dan daun telinganya berdarah karena tertembus jarum merah. Untung bahwa dia telah diberi obat yang ditinggalkan Cui Im di kamarnya, kalau tidak dia bisa mati terluka jarum itu.
"Hayaaaa... sial dangkalan!" Kakek jembel membanting-banting kaki. "Lama tidak bertemu tanding, sekarang muncul tiga orang muda sakti dan mereka pergi semua tanpa menguji kami!"
Akan tetapi Lian Ci Sengjin yang sudah marah dan makin malu, tidak mempedulikannya. Dia bahkan lari memasuki rumahnya di mana dia mengeram diri di dalam kamar. Ingin dia menangis saking marah dan malunya. Kebenciannya pada Keng Hong makin menghebat akan tetapi dia pun teringat akan Tan Hun Bwee dan diam-diam dia bergidik. Bagaimana Keng Hong tahu akan perbuatannya itu? Dan di manakah Tan Hun Bwee sekarang? Dia menjadi ngeri jika membayangkan betapa gadis itu akan mendendam sakit hati padanya.
Sementara itu secara bijaksana Sian Ti Sengjin membubarkan pesta dengan pernyataan maaf. Para tamu tidak terlalu kecewa. Meski pun mereka kehilangan barang sumbangan untuk pengantin yang tidak jadi menikah, akan tetapi mereka diberi suguhan pertandingan tingkat tinggi serta peristiwa-peristiwa lucu dan aneh yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka.
"Cia-taihiap, kenapa engkau melarangku membunuh iblis betina itu?" Cong San menegur Keng Hong setelah mereka melarikan diri selama setengah hari dan baru berhenti di tepi Sungai Han-sui di sebelah selatan Pegunungan Phu-niu-san.
Keng Hong menarik napas. Hatinya lega bahwa dia sudah berhasil merampas kembali semua pusaka selengkapnya. Hari telah menjelang malam dan mereka beristirahat sambil duduk di dekat api unggun yang mereka buat untuk mengusir nyamuk.
"Yap-twako, kalau aku tidak memaksa engkau pergi, belum tentu kita akan dapat hidup sampai saat ini. Engkau tidak tahu, tiga orang kakek itu adalah Thian-te Sam-lo-mo yang berkepandaian hebat bukan main. Kalau mereka membantu Cui Im, ditambah bantuan para tamu yang agaknya semua berpihak mereka, dan dikeroyok anak buah Phu-niu-san yang seratus orang lebih jumlahnya, mana mungkin kita dapat menang, apa lagi dapat keluar dari Phu-niu-san dengan selamat?"
"Aku tidak gentar menghadapi kematian di dalam usahaku melaksanakan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai!"
Keng Hong menghela napas dan berkata, nada suaranya sedih karena dia teringat akan semua pengalamannya dahulu ketika dikejar-kejar di mana tokoh-tokoh Siauw-lim-pai juga turut mengejarnya. Teringat pula betapa dia pernah bentrok akhir-akhir ini dengan Thian Kek Hwesio dan lima hwesio Siauw-lim-pai yang hendak membunuh Biauw Eng.
"Yap-twako, di dunia ini kiranya tidak ada orang yang pernah meragukan kegagahan dan kejantanan jago-jago dari Siauw-lim-pai. Akan tetapi sesungguhnya, hanya mengandalkan keberanian dan kekerasan saja, selain hidup ini tidak akan menjadi aman, juga sering kali menimbulkan hal-hal yang meruwetkan. Pernah aku sendiri dikejar-kejar Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio tanpa bersalah hanya karena aku adalah murid Sin-jiu Kiam-ong! Pernah pula belum lama ini nona Sie Biauw Eng diserang oleh tokoh tokoh Siauw-lim-pai di bawah pimpinan Thian Kek Hwesio hanya karena nona itu adalah sumoi dari Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Padahal antara nona Sie Biauw Eng sudah tiada hubungan apa pun, berbeda jauh seperti bumi dengan langit, bahkan ibu nona Sie Biauw Eng yaitu Lam-hai Sin-ni sendiri telah dibunuh oleh Cui Im, ada pun nona Sie Biauw Eng hampir saja mati di tangan bekas suci-nya. Inilah buruknya watak keras dan kaku, hanya mengandalkan asal berani dan benar terus merunduk saja tanpa wawasan dan pertimbangan lagi."
Wajah pemuda baju hijau yang tampan itu menjadi merah. Dia tidak senang mendengar pemuda itu mencela tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi karena celaan itu sebenarnya menurut kenyataan dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghina, dia pun tidak dapat membantah dan berkata,
"Habis, jika menurut pendapatmu bagaimana, Cia-taihiap? Apakah karena kedudukannya yang sedemikian kuatnya itu aku lalu harus lari ketakutan dan melapor kepada suhu di Siauw-lim-si bahwa aku tidak sanggup melaksanakan perintah suhu?"
Keng Hong tersenyum sabar, maklum bahwa hati pemuda yang gagah perkasa ini agak tersinggung.
"Bukan begitu, Twako. Tugas dari guru merupakan tugas suci yang harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa, akan tetapi kalau tugas itu gagal karena kecerobohan, dan hal itu tentu terjadi kalau kau nekat melawannya, bukankah akan berarti kau menyia-nyiakan dan menggagalkan tugasmu pula? Melawan dengan nekat sampai mati padahal sudah tahu bahwa melawan hanya berarti akan mengantarkan nyawa sendiri sama sekali bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan perbuatan orang bodoh yang nekat. Terus terang aku memberitahu padamu, Yap-twako, bahwa dengan tingkat kepandaianmu yang sekarang, engkau tidak akan sanggup menangkan Cui Im. Ketahuilah, dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dalam kitab-kitab pusaka peninggalan guruku Sin-jiu Kiam-ong dan agaknya tokoh Siauw-lim-pai yang akan dapat menundukkan dia hanya gurumu sendiri!"
Yap Cong San termenung dan di hatinya dia betul-betul terkejut mendengar ini. Memang tadi dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian wanita itu, akan tetapi tidak mengira bahwa Keng Hong akan menyatakan seperti itu. Dia menjadi bingung dan bertanya, suaranya mengandung penasaran.
"Mohon petunjuk dari Cia-taihiap. Bagaimanakah saya harus bersikap sekarang? Apakah yang harus saya lakukan?"
Keng Hong lalu mengeluarkan dua buah kitab yang sudah kuning dan menyerahkannya kepada pemuda itu. Yap Cong San menerima dua kitab itu dan begitu melirik ke atas judul yang tertulis di kulit sampul, dia berseru,
"Ahhh…! Kitab I-kiong Hoan-hiat dan kitab Seng-to Cin-keng! Bukankah ini dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dikabarkan hilang…?"
"Benar. Itulah dua buah kitab yang dahulu sudah dipinjam oleh mendiang guruku, Sin-jiu Kiam-ong dan yang pernah kujanjikan kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai untuk kucari dan kukembalikan kepada Siauw-lim-pai. Baru sekarang aku berhasil merampasnya kembali dari Cui Im. Nah, dua buah kitab ini kuserahkan kepadamu, Yap-twako, agar kau bawa ke Siauw-lim-pai, disertai hormat dan permohonan maaf dariku demi nama mendiang guruku. Walau pun kau tidak berhasil membunuh Cui Im, namun dengan membawa kembali dua buah kitab yang amat penting ini, berarti perjalananmu tidak sia-sia belaka. Ada pun untuk membalas dendam kepada Cui Im, sekarang ini percuma. Dia tentu tidak lagi berada di Phu-niu-san sesudah melihat aku mencarinya, dan engkau pun perlu memperdalam ilmu kepandaianmu untuk menghadapinya kelak, Twako. Lebih baik kau ceritakan terus terang semua pemberitahuanku tentang kelihaian Ang-kiam Bu-tek kepada suhu-mu agar beliau dapat pula mempertimbangkan dan mempertinggi tingkat kepandaianmu sebelum engkau ditugaskan lagi untuk menandingi Cui Im."
Yap Cong San mengangguk-angguk hatinya terharu melihat dua buah kitab itu. Dia tahu sebab pernah mendengar penuturan suhu-nya tentang dua buah kitab pusaka yang hilang dibawa Sin-jiu Kiam-ong, dan selain hal itu merupakan pukulan memalukan bagi Siauw-lim-pai, juga merupakan kehilangan yang amat besar. Sekarang dua buah kitab itu telah diberikan kepadanya, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya.
Pemuda Siauw-lim-pai itu cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Banyak terima kasih, Cia-taihiap. Bukan hanya atas pengembalian dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai ini, akan tetapi juga atau nasehat-nasehat Taihiap yang kini dapat kulihat dan kurasakan kebenarannya. Baiklah, aku akan menghadap suhu, Mempersembahkan dua buah kitab ini dan menceritakan keadaan musuh besar itu yang sekarang menjadi amat lihai. Tentu dia sudah pula mempelajari ilmu dari kedua buah kitab ini."
Keng Hong menghela napas panjang. "Memang benar demikianlah, sebab itu dia menjadi begitu lihai."
Yap Cong San mengangguk-angguk dan berkata dengan suara tegas, "Betapa pun juga, aku hendak mohon kemurahan hati suhu untuk memberi gemblengan supaya aku dapat memperdalam ilmu sehingga akan mampu menandingi wanita iblis itu! Sekali lagi terima kasih, Taihiap, dan selamat berpisah sampai jumpa pula."
"Selamat jalan dan berhati-hatilah. Dua buah kitab yang kau bawa itu kalau saja sampai terlihat tokoh-tokoh kang-ouw tentu akan mendatangkan bahaya dan gangguan hebat."
Yap Cong San menyimpan dua buah kitab itu di sebelah dalam bajunya dan mengangguk, "Aku mengerti, Taihiap, dan karena dua buah kitab ini merupakan benda-benda pusaka Siauw-lim-pai, aku akan melindunginya dengan nyawaku!”
Sekali lagi ia memberi hormat, kemudian tubuh pemuda Siauw-lim-pai ini berkelebat cepat dan pergi meninggalkan Keng Hong yang memandang kagum. Pemuda itu benar-benar tampan dan gagah perkasa, keberaniannya pun luar biasa membuat dia kagum dan suka sekali...
Selanjutnya,