Pedang Kayu Harum Jilid 31

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Jilid 31 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pedang Kayu Harum Jilid 31

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEPERTI sudah dituturkan pada bagian depan, secara kebetulan saja Biauw Eng bertemu dengan Hun Bwee dan Go-bi Thai-houw, kemudian dia diambil murid dan digembleng secara aneh dan hebat oleh nenek yang gila namun luar biasa lihainya itu, bersama Hun Bwee yang menjadi suci-nya. Biar pun Hun Bwee sudah lebih dulu menjadi murid Go-bi Thai-houw dan menjadi suci Biauw Eng, akan tetapi karena dasar kepandaiannya jauh kalah tinggi oleh Biauw Eng, maka setelah Biauw Eng digembleng oleh Go-bi Thai-houw, dalam waktu beberapa bulan saja Biauw Eng sudah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga melampaui tingkat suci-nya!

Biar pun Go-bi Thai-houw otaknya miring, akan tetapi dalam hal silat, dia sangat lihai dan awas sekali sehingga dia dapat melihat bahwa murid barunya ini paling boleh diandalkan. Setelah menggembleng dua orang muridnya secara tekun dan luar biasa, pada suatu hari ia memanggil mereka menghadap dan dengan suara tegas nenek gila ini berkata,

"Hun Bwee dan Biauw Eng, sekarang juga kalian harus pergi mencari Sin-jiu Kiam-ong dan membunuhnya mewakili aku!"

Hun Bwee dan Biauw Eng yang sedang berlutut di hadapan nenek gila ini saling pandang dan diam-diam mereka terkejut karena baru sekarang mereka mendengar suara nenek itu seperti orang normal.

"Subo, Sin-jiu Kiam-ong telah mati," jawab Hun Bwee.

"Betul, Subo. Sin-jiu Kiam-ong telah mati," Biauw Eng membantu suci-nya.

"Kalau begitu, kalian berdua pergi sana mencari kuburannya dan bawa tengkoraknya ke sini!"

Kembali dua orang gadis itu saling lirik. Mereka berdua sudah mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia di puncak Kiam-kok-san dan kabarnya jenazah kakek raja pedang itu telah di perabukan, dibakar oleh muridnya.

"Subo, semua orang di dunia kang-ouw mengatakan bahwa jenazah Sin-jiu Kiam-ong tidak dikubur, melainkan di perabukan," kata pula Biauw Eng.

"Bukkk!" Kaki kiri nenek itu dibanting ke atas tanah sehingga dua orang gadis itu merasa betapa tanah di bawah mereka tergetar, seperti ada gempa bumi!

"Kau tidak bohong? Berani mempertaruhkan apa kalau bohong?"

"Teecu berani mempertaruhkan kepala teecu bila teecu membohong, Subo," jawab Biauw Eng.

"Teecu juga sudah mendengar urusan itu sebelum teecu tiba di sini dan menjadi murid Subo," kata pula Hun Bwee.

"Hoahhh, sial dangkalan! Siapa yang berani lancang membakar mayatnya sehingga aku tidak membalas orangnya, tidak mampu pula membalas tulangnya? Hayo katakan, siapa yang berani lancang demikian?"

Kedua orang gadis itu sudah biasa menyaksikan watak yang aneh dan edan-edanan ini, maka mereka pula melayani terus. "Menurut kabar di dunia kang-ouw, yang membakar jenazahnya adalah murid tunggalnya," berkata pula Biauw Eng dan jantungnya berdebar keras karena percakapan ini tanpa disengaja telah menyinggung diri Keng Hong!

"Hayaaaah-ha-ha-ha! Murid tunggalnya? Dia punya murid? Yahuuuu! Bagus sekali! Siapa nama muridnya itu? Siapa yang tahu?"

"Cia Keng Hong..!" Dua orang gadis itu saling lirik dengan heran karena nama itu mereka sebutkan dengan berbareng!

"Baik, sekarang kuperintah kalian pergi dan lekas tangkap muridnya yang bernama Cia Keng Hong itu. Seret dia ke sini! Mengerti?"

"Baik, Subo!" kata Hun Bwee penuh gairah.

"Baik, Subo!" Biauw Eng juga menjawab, pikirannya melayang jauh.

"Awas, jangan sampai gagal. Kalau kalian pulang tidak membawa Cia Keng Hong, kalian berdua akan kubunuh!"

"Sumoi, mari kita berangkat!"

Demikianlah, kedua orang gadis itu meninggalkan guru mereka dan turun gunung, mulai dengan perjalanan mereka untuk mencari dan menangkap Cia Keng Hong.

"Ke mana kita akan mencari dia?" tanya Biauw Eng setelah mereka tiba di kaki gunung.

"Aku pun tidak tahu. Kita nanti tanya-tanya kepada orang-orang kang-ouw."

"Kurasa sebaiknya mencari ke kota raja, di sana tentu kita dapat mendengar banyak."

Di pagi hari itu mereka melanjutkan perjalanan dengan naik perahu di sepanjang sungai Huang-ho. Mereka tentu tidak akan bertemu Siauw Lek kalau tidak melihat mayat tukang perahu terapung-apung.

Meski pun kedua orang gadis ini tidak peduli, akan tetapi sedikit banyak mereka tertarik. Maka, ketika mereka melihat perahu kosong di tempat sunyi itu, Biauw Eng mendayung perahu dan meloncat ke darat. Kedua orang gadis ini tiba pada saat puteri bangsawan yang diperkosa itu menggigit leher Siauw Lek sehingga dipukul mati oleh penjahat keji itu. Demikianlah kenapa Biauw Eng dan Hun Bwee dapat tiba di tempat sunyi itu.

Biauw Eng kini mendayung perahu meninggalkan tempat itu dengan cepat. Jantungnya berdebar keras, teringat dia akan teriakan Hun Bwee yang menyiksa Siauw Lek. Dahulu di depan Go-bi Thai-houw dia tidak merasa terlalu heran mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang amat terkenal dan diketahui oleh semua tokoh kang-ouw karena memang menjadi perhatian sehubungan dengan adanya Siang-bhok-kiam yang dijadikan rebutan.

Akan tetapi, ketika menyiksa Siauw Lek, mengapa suci-nya menyebut nama Keng Hong? Apakah karena pikirannya yang sudah tidak waras itu tanpa disadarinya telah mencampur adukkan nama-nama orang?

"...Cia Keng Hong... kubunuh kau... ahhh...!"

Mendengar ini, Biauw Eng cepat menengok dan ia melihat Hun Bwee sudah siuman dan suci-nya itu menangis sambil menyebut nama Keng Hong berkali-kali! Jantung Biauw Eng berdebar keras. Cepat dia mendayung perahunya ke pinggir, lalu mengikat tali perahu ke batang pohon kemudian ia cepat merangkul suci-nya yang masih menangis sedih.

"Suci... sadarlah... engkau kenapakah, Suci?"

"Ahhh, Cia Keng Hong… betapa kejamnya engkau...!" Kembali Biauw Eng terkejut sekali.

"Suci, ingatlah. Kita sedang berada di perahu dan yang kau bunuh tadi adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek."

Hun Bwee mengangkat muka memandang sumoi-nya dan Biauw Eng makin heran sebab pandang mata suci-nya wajar, sama sekali tidak membayangkan keruwetan batin. Hun Bwee memegang lengan Biauw Eng dan berkata perlahan sambil menyusut air matanya.

"Jangan khawatir, Sumoi. Aku tidak apa-apa dan aku sadar. Aku tahu bahwa anjing yang kusiksa itu adalah Siauw Lek. Akan tetapi semua kejadian itu membuat aku teringat akan pengalamanku dahulu, teringat akan... Cia Keng Hong dan hatiku sakit sekali."

"Cia Keng Hong..?" Biauw Eng mengulang nama ini penuh pertanyaan.

Tan Hun Bwee menghela napas panjang dan mengangguk. "Di luar kesadaranku, karena hati sakit, aku sudah menyebut namanya. Tadinya hendak kurahasiakan dari siapa pun juga, Sumoi, bahkan Subo sendiri tidak tahu. Akan tetapi... biarlah, karena engkau sudah tahu sekarang. Dan memang Cia Keng Hong itulah, orang yang akan kita tangkap atas perintah Subo, murid Sin-jiu Kiam-ong itulah yang telah memperkosaku.." Dan kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Hun Bwee. "Ah, sungguh tidak kusangka... betapa sakit hatiku memikirkan hal itu... hu-hu-huuuuukkk...!"

Hun Bwee tersedu-sedu dan Biauw Eng cepat merangkulnya. Sepasang mata Biauw Eng sendiri menitikkan dua butir air mata dan gadis ini menggigit bibir bawahnya. Lagi-lagi Keng Hong!

"Pemuda yang begitu tampan... begitu gagah perkasa... begitu halus budi... mengapa...? Mengapa…? Ahhh...!" Hun Bwee terisak-isak sambil mencengkeram pundak Biauw Eng, menangis di atas dada sumoi-nya.

"Sudahlah, Suci, tenangkan hatimu. Tak perlu kau ceritakan kalau memang hal itu hanya membangkitkan kenangan pahit..."

"Biar kau dengar, Sumoi, supaya kau betapa buruknya nasib Suci-mu ini...!" Hun Bwee mengangkat mukanya dan Biauw Eng segera mengusap air matanya sendiri kemudian mendengar sambil menundukkan mukanya.

"Ayah bundaku mengandung dendam terhadap Sin-jiu Kiam-ong karena dahulu pernah diganggu ketika ayah bundaku mengawal seorang puteri. Akan tetapi ayah bundaku tidak pernah berhasil membalas dendam, sehingga ayah bundaku meninggal dalam keadaan mengenaskan, menanggung dendam. Aku yang ditinggal mati dan hidup sebatang kara lalu berusaha membalas dendam, atau paling tidak merampas kembali barang-barang berharga yang dulu dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kemudian aku bertemu dengan Cia Keng Hong! Tutur sapanya yang manis, nasehat-nasehatnya yang amat berharga menyentuh sanubariku, membuat aku insyaf dan dapat menerima nasehatnya untuk menghapuskan permusuhan." Ia berhenti sebentar dan Biauw Eng mendengarkan dengan hati berdebar.

Terbayang di depan matanya wajah Keng Hong, terngiang suara yang selalu tak pernah ia lupakan. Kalau suci-nya tahu akan semua pengalamannya, akan kekecewaan dan akan penghinaan-penghinaan yang dideritanya, akan cintanya kepada Keng Hong, kemudian betapa cintanya dihancur leburkan, ahhh, pengalaman suci-nya itu masih belum apa-apa, masih terlampau ringan!

"Malah aku... aku tertarik... dan ketika itu muncul dua orang tosu Kun-lun-pai yang hendak menangkapnya. Aku mati-matian membelanya, malah aku sendiri sampai dirobohkan oleh tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi... apa yang dia lakukan sebagai balas jasa...? Aku dalam keadaan pingsan... dan agaknya dia berhasil mengusir dua orang tosu Kun-lun-pai itu... ketika aku sadar... aku telah diperkosa...!"

"Hemmm...!!" Biauw Eng menggigit bibirnya. Awas engkau, Keng Hong! Demikian hatinya berbisik.

"Kalau saja dia berterus terang... Ahh, aku sudah seperti gila... masih dapat diselesaikan dengan baik... akan tetapi dia... si pengecut itu... Dia menyangkalnya...!" Hun Bwee kelihatan berduka sekali, menghapus air matanya lalu berkata, "Itulah sebabnya mengapa ketika Subo menyuruh kita pergi mencari Keng Hong, aku bersemangat sekali. Ketika tadi aku menyiksa dan membunuh Siauw Lek, terbayang olehku bahwa yang kusiksa itu ialah Keng Hong dan... dan aku... uhu-hu-huuuh... aku... tidak tega... Sumoi...!"

Biauw Eng memeluk pundak suci-nya dan termenung. Hemmmmmm, betapa besar rasa cinta kasih yang berakar di dalam hati suci-nya ini terhadap Keng Hong! Biar pun sudah diperkosa dan disangkal pula, sekarang rasa cinta kasih itu masih belum lenyap sehingga membayangkan betapa dia akan membalas dendam kepada pemuda itu saja membuat ia berduka dan tidak tega!

"Suci, katakanlah terus terang. Aku mohon kepadamu, katakanlah terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Cia Keng Hong?"

Hun Bwee mengangguk. "Semenjak dia menasehati aku untuk menghapus permusuhan, aku kagum kepadanya, aku tertarik dan aku sudah jatuh cinta kepadanya. Walau pun dia telah memperkosaku, jika dia mau mengakui perbuatannya, sejak dulu pun aku bersedia mengampuninya... tapi dia... dia menyangkal..."

"Suci, katakanlah lagi secara terus terang. Andai kata dia suka mengakui perbuatannya terhadap dirimu, lalu mohon ampun kepadamu, apakah... apakah Suci suka mengampuni dia dan suka pula menerimanya sebagai... sebagai suamimu?"

Hun Bwee memandang sumoi-nya dengan mata terbelalak. "Mungkinkah...? Mungkinkah dia... mau... melakukan hal itu?"

"Aku akan memaksa dia, Suci! Akulah orangnya yang akan memaksa dia supaya jangan bersikap pengecut, supaya suka mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu, dan supaya minta maaf kepadamu dan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu dengan mengawinimu!" Biauw Eng berkata penuh semangat dengan sepasang mata bersinar dan kedua tangan dikepal.

"Aaahhhh, Sumoi...!" Hun Bwee merangkulnya sambil menangis. "Aku... aku lemah. Aku cinta padanya...! Hi-hi-hi-hi-hik! Aku... aku cinta Keng Hong, ha-ha-ha-ha-ha-hah-hah!"

Biauw Eng bergidik. Hatinya penuh keharuan. Keng Hong benar-benar manusia keparat, pikirnya. Sudah merusak hatinya, merusak cintanya, sekarang menyebabkan Hun Bwee menjadi gila seperti ini! Ia terus menghibur dan akhirnya Hun Bwee yang kadang-kadang menangis kadang-kadang tertawa itu dapat tidur pulas di dalam perahu.

Biauw Eng melanjutkan perjalanan itu, mendayung kembali perahu itu perlahan-lahan. Wajahnya yang cantik itu sekarang kelihatan keruh, pandang matanya sayu dan muram. Batinnya makin tertekan dan kalau ia mengenangkan wajah Keng Hong, tak mungkin dia melenyapkan cinta kasihnya itu yang bersemi semenjak pertama kali dia bertemu Keng Hong.

Bahkan ketika dia mengira bahwa Keng Hong sudah mati sekali pun, bertahun-tahun dia menyembahyangi arwahnya dengan hati masih penuh cinta kasih! Siapa mengira, Keng Hong telah menghancurkan hatinya, memandang rendah dan hina kepadanya ketika dia mencoba hati pemuda itu dengan mengatakan bahwa tubuhnya sudah dimiliki Sim Lai Sek.

Ternyata bahwa cinta Keng Hong kepadanya tiada bedanya dengan cinta pemuda itu kepada perempuan-perempuan lain, kepada Cui Im misalnya, hanya mencinta tubuhnya dan wajahnya yang cantik! Dan kini, ternyata Keng Hong bukan hanya mata keranjang seperti... gurunya atau ayahnya sendiri, akan tetapi bahkan lebih jahat lagi, dia sudah memperkosa Hun Bwee!

"Aahhhh... Keng Hong, mengapa engkau menjadi begitu...?" hatinya mengeluh dan hidup ini serasa kosong melompong baginya.

Betapa senangnya kalau dia menjadi air Sungai Huang-ho ini saja, tidak mengenal susah tidak mengenal kecewa! Akan tetapi, dia masih mempunyai kewajiban yaitu mencari Cui Im dan membalas dendam atas kematian ibunya! Dia sudah berhasil membalas kepada Siauw Lek, tinggal Cui Im dan... dan... memaksa Keng Hong mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Hun Bwee. Ia percaya bahwa suci-nya ini akan sembuh dari pada serangan kegilaan itu kalau Keng Hong yang dicintanya itu suka menerimanya sebagai isteri.

Perahu yang didayung Biauw Eng meluncur cepat, tetapi lebih cepat lagi pikiran Biauw Eng yang hanyut mendahului perahu berlomba dengan riak air Sungai Huang-ho.

********************

Ternyata peristiwa menyiksa Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek di tepi Sungai Huang-ho itu mendatangkan pengaruh yang hebat atas jiwa Hun Bwee. Pada saat masih belajar silat dibawah asuhan nenek gila Go-bi Thai-houw, Hun Bwee hanya berpura-pura gila kalau berada di antara anak buah gurunya atau di depan gurunya, namun kalau sedang bicara berbisik-bisik di dalam kamar bersama Biauw Eng, dia amat waras. Akan tetapi sekarang, setelah penyiksaan atas diri penjahat cabul itu, Hun Bwee benar-benar sudah mengalami perubahan dan hal ini amat kentara oleh Biauw Eng.

Di sepanjang jalan, Hun Bwee kadang-kadang merenung, tertawa atau menangis sendiri, akan tetapi ada kalanya pula dia sembuh dan normal. Kalau sedang normal Hun Bwee mudah diajak berbicara dan memang dasar watak Hun Bwee peramah, halus dan cerdik. Akan tetapi kalau sudah kumat, Biauw Eng kewalahan dan satu-satunya cara adalah ikut menggila!

Sesudah melewati Cin-an, Biauw Eng yang kini selalu menjadi pelopor, mengajak Hun Bwee melanjutkan perjalanan ke utara, ke arah kota raja. Di setiap tempat yang mereka lalui, dua orang wanita muda yang cantik ini tentu saja menarik perhatian orang, terutama mata kaum pria. Akan tetapi sikap mereka yang gagah perkasa, terutama sekali pandang mata Hun Bwee yang liar serta wajah Biauw Eng yang dingin, membuat hati pria yang terbakar menjadi padam kembali.

Hari sudah menjelang tengah hari, matahari sangat panasnya ketika dua orang gadis ini melalui jalan yang lengang. Tak nampak seorang pun manusia di tengah hari yang panas di sekitar tempat itu. Akan tetapi selagi mereka berdua jalan cepat agar segera sampai di hutan yang tampak di depan di mana perjalanan dapat dilakukan dalam keadaan tidak begitu panas terbakar matahari, tiba-tiba ada derap kaki kuda dari belakang mereka.

Setelah Biauw Eng dan Hun Bwee berjalan minggir, lewatlah seorang penunggang kuda. Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki setengah tua. Pada saat kudanya lewat dia menengok dan sejenak pandang matanya bertemu dengan wajah Biauw Eng.

"Aihh...!" Demikian terdengar penunggang kuda itu bersuara, akan tetapi kudanya dibedal makin cepat, meninggalkan debu mengebul di sepanjang jalan.

"Siapakah orang itu, Sumoi?" Hun Bwee bertanya. Suaranya normal.

Hati Biauw Eng lega karena sudah tiga hari ini Hun Bwee tidak kumat gilanya! Apa bila sudah kumat, dia merasa cemas dan bingung.

"Entahlah, Suci. Aku merasa seperti pernah melihatnya, akan tetapi lupa lagi di mana."

"Hemmm, dia mencurigakan. Ketika melihatmu, dia seperti melihat setan, kelihatan takut dan terkejut sekali."

Biauw Eng tersenyum. "Mungkin dia seorang di antara mereka yang pernah mengalami hajaranku dahulu, Suci."

"Mungkin, akan tetapi betapa pun juga, kita harus hati-hati, Sumoi."

Biauw Eng mengangguk.

Hari itu tidak terjadi apa-apa dan mereka bermalam pada sebuah rumah penginapan di dusun dekat perbatasan Propinsi Shan-tung dan Hopak. Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke utara.

Matahari belum naik tinggi ketika mereka tiba di perbatasan. Di sebuah jalan hutan yang sunyi Biauw Eng melihat empat orang kakek yang tua berdiri menghadang perjalanan! Melihat bahwa mereka itu adalah tosu-tosu tua sedangkan sikap mereka membayangkan kewibawaan, Biauw Eng lantas maklum bahwa mereka bukan orang-orang sembarangan dan dia lalu menduga-duga sambil meneliti dari jauh.

Seorang di antara mereka, yang paling tua dan rambutnya yang jarang itu sudah putih semua, memegang sebatang tongkat bambu dan mata kirinya buta. Dia inilah agaknya yang menjadi pemimpin karena kelihatan dia menggerakkan tangan kiri memberi isyarat kepada tiga orang kakek lain yang kelihatannya marah ketika mereka memandang Biauw Eng.

Biauw Eng dan Hun Bwee hendak melewati saja empat orang tosu tua itu, akan tetapi tiba-tiba saja tongkat bambu di tangan kakek setengah buta dilonjorkan ke depan hingga merintangi jalan.

"Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng, tibalah saatnya orang berdosa menebus kedosaannya dan menerima hukuman. Engkau sudah membunuh sute-ku yang termuda, Kok Cin Cu, dan sekarang engkau harus menyerahkan nyawamu kepada kami supaya roh sute kami tidak selalu penasaran!"

Biauw Eng terkejut. Mendengar disebutnya nama Kok Cin Cu, dia dapat menduga siapa mereka ini. Terbayang di depan matanya peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia membantu Keng Hong menghadapi orang-orang Kong-thong-pai ini. Karena Keng Hong terancam bahaya dia turun tangan membantu dan dalam pertandingan itu dia berhasil menotok Kok Cin Cu dengan sabuknya yang mengakibatkan tewasnya tosu itu.

Kalau ia kenangkan hal itu ia merasa menyesal. Kok Cin Cu adalah tokoh Kong-thong-pai yang terkenal sebagai salah seorang di antara kelima Kong-thong Ngo-lo-jin (Lima Kakek Kong-thong-pai) dan dia telah kesalahan tangan membunuhnya untuk membela seorang seperti Keng Hong! Sedangkan orang yang dibelanya itu akhirnya hanya menghancurkan perasaannya!

"Ahh, kiranya Su-wi adalah tokoh-tokoh Kong-thong Lo-jin? Aku Sie Biauw Eng merasa menyesal bahwa dahulu telah kesalahan tangan menewaskan Kok Cin Cu Totiang. Akan tetapi apakah anehnya kalah menang, terluka atau tewas di dalam sebuah pertandingan? Yang jelas, dahulu sampai sekarang, aku tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Kong-thong-pai. Karena itu harap Locianpwe berempat suka menghabiskan saja urusan ini dan membiarkan aku bersama Suci lewat dengan aman."

"Hemmm...! Suci-mu kau bilang?" Kok Kim Cu, tosu ke tiga dari Kong-thong Ngo-lo-jin, berkata sambil memandang Hun Bwee dengan penuh selidik. "Song-bun Siu-li! Siapakah yang tidak tahu bahwa engkau adalah puteri Lam-hai Sin-ni dan sumoi dari si iblis betina Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang berjuluk Ang-kiam Bu-tek? Dan nona ini sama sekali bukanlah Ang-kiam Bu-tek!"

"Sumoi, siapakah empat orang kakek tua bangka yang usianya sudah tidak seberapa lagi akan tetapi suka sekali mencari urusan ini? Dan mengapa mereka ini menghadangmu di sini?"

Biauw Eng lega bahwa saat ini suci-nya benar-benar waras. Apa bila sedang kumat dan menghadapi halangan seperti ini, bisa berabe sekali!

"Suci, empat orang Locianpwe ini adalah tokoh-tokoh besar Kong-thong-pai. Dulu dalam sebuah pertandingan yang terjadi tanpa dasar permusuhan pribadi, aku sudah kesalahan tangan membunuh salah seorang di antara mereka, maka sekarang mereka ini hendak menghukum aku."

Hun Bwee mengarahkan pandang matanya pada empat orang tosu itu, kemudian berkata, "Kalian empat orang tosu ini benar-benar memiliki pandangan yang sangat dangkal dan cupat! Di antara kaum persilatan, sudah lumrah bila terjadi kematian dalam pertandingan mengadu ilmu. Kalau setiap orang yang tewas dalam pertandingan lalu dijadikan urusan dendam, tentu dunia ini akan penuh dengan orang yang saling dendam! Sumoi-ku sudah mengatakan bahwa ketika dia bertanding sampai berakhir dengan tewasnya temanmu, tidak ada dasar urusan pribadi, tidak ada permusuhan. Kenapa kalian tak mau mengerti? Bagaimana kalau dalam pertandingan itu kebetulan Sumoi-ku yang kalah lihai dan tewas, lalu apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian juga mengharapkan balas dendam dari keluarga Sumoi?"

Keempat orang tosu itu menjadi merah mukanya. Memang mereka juga maklum bahwa antara Kong-thong-pai dan puteri Lam-hai Sin-ni tidak ada permusuhan pribadi dan yang mereka musuhi adalah Cia Keng Hong, yaitu murid Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi musuh Kong-thong-pai. Akan tetapi puteri Lam-hai Sin-ni itu dulu membela Keng Hong sehingga mengakibatkan tewasnya salah seorang di antara Lima Kakek Kong-thong-pai. Sekarang, kebetulan sekali ada seorang anak murid Kong-thong-pai melihat Biauw Eng di jalan dan melapor, masa mereka harus tinggal diam saja?

"Song-bun Siu-li! Kami berempat datang menemuimu di sini bukan untuk mengobrol dan berdebat! Lekas kau membunuh diri di hadapan kami, atau terpaksa kami yang akan mengantar nyawamu menghadap sute kami!" Kembali si buta sebelah menghardik dan tongkat bambunya ditodongkan ke arah Biauw Eng.

Biauw Eng tersenyum mengejek. "Totiang, ucapanmu benar-benar takabur sekali. Dan kurasa karena kesombongan ini pula maka dahulu Kok Cin Cu tewas! Aku tidak bersalah, tidak membunuhnya dengan sengaja karena membencinya. Jika kalian tak menerimanya dan hendak membalas, silakan. Aku tidak takut menghadapi kalian dan kalau saja dalam pertandingan ini kalian nanti sampai tewas pula, hal itu terjadi bukan karena aku sengaja membunuh kalian. Tidak ada dendam dan benci di hatiku, seperti yang terdapat di hati kalian!"

"Hemmm... mendiang Sin-jiu Kiam-ong banyak dosanya terhadap kami, muridnya akan kami hukum, tetapi engkau membelanya! Engkau puteri Lam-hai Sin-ni, mana bisa bicara tentang sopan-santun kalangan kang-ouw? Engkau adalah tokoh golongan sesat!" Teriak Kok Liong Cu, tosu ke dua sambil menerjang maju dengan tangannya. Terdengar bunyi berkerotokan dan tangannya telah berubah merah, mencengkeram ke arah pundak Biauw Eng.

Biauw Eng maklum akan kelihaian empat orang tosu itu, maka cepat ia meloncat jauh ke belakang sambil melolos sabuk suteranya. Empat orang tosu itu memang lihai. Mereka ini adalah empat di antara Kong-thong Ngo-lo-jin yang sangat terkenal dengan ilmu pukulan mereka yang disebut Ang-liong Jiauw-kang (Cakar Naga Merah)!

Betapa pun lihainya mereka itu, kalau maju seorang demi seorang, tentu saja bukanlah lawan Biauw Eng! Dahulu pun, sebelum Biauw Eng digembleng oleh Go-bi Thai-houw, seorang di antara mereka, yaitu Kok Cin Cu, tewas di tangan dara perkasa ini. Apa lagi sekarang setelah ilmu kepandaian Biauw Eng menanjak dengan hebatnya. Akan tetapi, empat orang kakek itu tidak maju satu per satu, melainkan berbareng mereka menerjang Biauw Eng.

Kok Sian Cu yang tertua dan paling lihai sudah menggerakkan tongkat bambunya yang ternyata hebat sekali, cepat dan menjadi gulungan sinar dengan getaran yang amat kuat mengeluarkan suara mencicit. Kok Liong Cu, orang ke dua, mempergunakan pedang dan gerakannya pun hebat, berdesing-desing bunyi mata pedang memecah udara. Kok Kim Cu orang ke tiga juga menggunakan pedang, ada pun Kok Seng Cu lebih mengandalkan sepasang tangannya yang membentuk cakar naga!

Diserang oleh empat orang pandai ini, Biauw Eng mengeluarkan pekik melengking dan sabuk suteranya sudah bergulung-gulung begitu hebatnya, menyambut dengan tangkisan dan membalas dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya. Namun, pengeroyokan empat orang tokoh Kong-thong-pai yang lihai itu terlalu berat sehingga terpaksa Biauw Eng menggunakan ginkang-nya berkelebatan ke kanan kiri.

"Tosu-tosu tua yang tak tahu malu, mengeroyok seorang gadis muda!" Tiba-tiba saja Hun Bwee berseru keras dan tampaklah sinar pedang hitam bergulung-gulung menimbulkan angin yang dahsyat.

Empat orang kakek itu terkejut dan maklum bahwa suci Biauw Eng ini ternyata juga amat lihai. Karena itu dua orang di antara mereka, yaitu Kok Kim Cu dan Kok Seng Cu, sudah memisahkan diri dan menyambut terjangan wanita baju merah ini.

Biauw Eng juga terkejut melihat majunya Hun Bwee. Kalau dia teringat betapa Hun Bwee menyiksa Siauw Lek, dia masih merasa ngeri. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan suci-nya itu kalau sudah kumat. Sekarang, selagi masih waras, lebih baik dia cepat memberi peringatan.

"Suci, mereka ini bukan musuh. Harap kau tidak membunuh mereka!"

"Hemmm... baiklah, Sumoi."

Empat orang tosu itu marah bukan main. Kata-kata kedua orang gadis itu benar-benar merupakan tamparan bagi mereka. Merupakan penghinaan karena jelas bahwa kedua orang gadis ini memandang rendah! Seakan-akan kedua orang itu dapat mengatur untuk mengalahkan, untuk membunuh atau tidak membunuh, seenaknya saja!

Akan tetapi, ternyata dua orang gadis itu bukannya memandang rendah atau menghina, melainkan bicara sewajarnya. Hal ini terasa oleh empat orang kakek itu setelah mereka berempat dibikin pening dan bingung oleh sinar hitam pedang Hun Bwee dan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng! Benar-benar bingung mereka karena ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis itu benar-benar aneh dan gila!

Setelah lewat seratus jurus dan kepala Kok Sian Cu berdua Kok Liong Cu sudah pening oleh gulungan sinar putih yang seolah-olah berada di semua jurusan, tiba-tiba kedua tosu ini mengeluarkan seruan kaget melihat betapa kedua kaki Biauw Eng sudah terlibat oleh sabuknya sendiri sampai roboh terguling!

Tadinya kedua orang kakek yang sudah terdesak hebat itu hanya memutar senjata untuk melindungi tubuh. Akan tetapi kini melihat betapa sabuk yang bergulung-gulung aneh itu ternyata menjadi kacau-balau dan mejegal kaki gadis itu sendiri sampai terguling roboh, mereka terkejut dan otomatis menghentikan gerakan pedang dan siap menyerang lawan yang sudah roboh itu.

Akan tetapi tiba-tiba mereka berdua berteriak kaget dan tubuh mereka terguling karena kaki mereka sudah terbelit ujung sabuk yang mendekati kaki mereka ketika Biauw Eng roboh tadi dan kini seperti ular, tahu-tahu sudah melibat kaki mereka dan dibetot dengan tenaga kuat bukan main.

Biauw Eng melompat bangun dan cepat menggerakkan ujung sabuk yang tadi membelit kakinya, yang tentu saja dilakukan dengan sengaja, dan dua kali ujung sabuk itu menotok tepat di jalan darah yang membuat tubuh Kok Sian Cu dan Kok Liong Cu menjadi lumpuh!

Biauw Eng meloncat untuk membantu suci-nya. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Kok Kim Cu terguling, pedangnya terlepas karena pangkal lengannya tergores pedang Hek-sin-kiam. Kok Seng Cu pun tiba-tiba roboh terkena totokan ujung sabuk sutera Biauw Eng yang meluncur secara tiba-tiba lantas menotoknya selagi Kok Seng Cu sibuk memperhatikan nona baju merah yang sudah melukai suheng-nya. Dengan demikian, pertandingan itu selesai. Tiga orang tosu tertotok lumpuh, yang seorang terluka lengannya.

Biauw Eng cepat menggerakkan lagi sabuknya dan ujung sabuk itu berkelebat ke kanan kiri, menotok ke arah tubuh Kok Sian Cu, Kok Liong Cu dan Kok Seng Cu dengan tepat sehingga di lain saat ketiga orang tosu ini sudah dapat bergerak kembali. Mereka bangkit berdiri dan menarik napas panjang, wajah mereka menjadi pucat.

Mereka berempat benar-benar merasa malu sekali karena sebagai tokoh-tokoh terkenal Kong-thong-pai mereka terpaksa harus mengakui keunggulan dua orang muda! Biar pun kekalahan yang amat memalukan ini tidak disaksikan oleh orang lain, akan tetapi mereka maklum bahwa dengan kekalahan mutlak ini mereka tidak ada muka lagi untuk muncul di dunia kang-ouw sebagai jago-jago tua yang sukar dikalahkan!

Biauw Eng maklum akan perasaan mereka. Maka dia lalu menjura dan berkata, "Harap Su-wi suka memaafkan kami. Adalah Su-wi sendiri yang terlalu mendesak. Akan tetapi, harap Su-wi tidak kecil hati karena Su-wi tidaklah kalah di tangan musuh. Kuulangi lagi, aku bukanlah musuh Su-wi. Kalau dahulu aku kelepasan tangan membunuh Kok Cin Cu, hal itu adalah gara-gara Keng Hong. Dan sekarang, kami berdua sedang mencari Keng Hong untuk menangkapnya kemudian menghukumnya! Dengan demikian, akan lenyaplah rasa penasaran Su-wi. Agar memudahkan usaha kami berdua menemukan Keng Hong, sukalah kiranya Su-wi memberitahukan, di mana kami dapat mencarinya."

Kok Sian Cu menghela napas panjang. "Mungkin engkau benar, Nona. Apa bila engkau musuh kami, tentunya engkau sudah membunuh kami dan sikapmu tidak seperti ini. Dan memang semula penasaran hati kami tertuju kepada Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong. Nona hanya terbawa-bawa karena dahulu membantunya. Apa bila sekarang Nona sendiri memusuhinya, biarlah pinto sekalian tahu diri dan menghabiskan persoalan kami dengan Nona. Akan tetapi kami sendiri pun tidak tahu di mana adanya murid Sin-jiu Kiam-ong itu."

Biauw Eng kecewa, akan tetapi dia teringat akan tugasnya ke dua, yaitu mencari Cui Im untuk membalas kematian ibunya. Oleh karena itu, setelah bertemu dengan tokoh-tokoh Kong-thong-pai ini, mengapa tidak sekalian bertanya?

"Locianpwe, dapatkah Locianpwe mengatakan kepadaku apakah Locianpwe tahu di mana adanya Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im?"

Mendengar disebutnya nama tokoh wanita iblis yang dibenci dan ditakuti ini, wajah empat orang tosu itu membayangkan hati tidak senang dan kembali mereka merasa menyesal mengapa mereka kini berbaik dengan adik seperguruan wanita iblis Ang-kiam Bu-tek itu. Biauw Eng cerdik sekali dan dia dapat menduga isi hati mereka, maka dia cepat berkata,

"Locianpwe, aku sedang mencari dia untuk membalas dendam atas kematian ibuku di tangannya."

"Ahhhhh...!" Kok Sian Cu berseru. "Pinto teringat sekarang, menurut kabar, dia menjadi pengawal di istana kaisar. Kalau Nona pergi ke kota raja, agaknya tentu akan mendengar tentang iblis betina itu."

Girang hati Biauw Eng. Ia lalu berpamit kepada empat orang tosu itu kemudian mengajak suci-nya untuk melanjutkan perjalanan. Empat orang tosu tua itu memandang kagum dan berulang kali menghela napas panjang. Benar-benar mereka tidak menyangka bahwa di dunia kang-ouw kini bermunculan tokoh-tokoh muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa.

"Lihiap...! Tunggu dulu...!" Mendadak Kok Sian Cu berseru sambil mengerahkan khikang sehingga kedua orang gadis itu terkejut, segera menghentikan langkah dan cepat mereka itu kembali menghampiri empat orang tosu tua itu.

"Ada apakah, Locianpwe?" tanya Biauw Eng sambil memandang tajam.

"Sesudah menyaksikan sepak terjangmu, kami menyesali kekasaran sendiri dan maklum bahwa Lam-hai Sin-ni ternyata telah melahirkan seorang wanita gagah perkasa yang tidak tergolong kaum sesat! Lihiap, pinto nasehatkan agar engkau tidak membuat keributan di istana, karena hal itu membuat Lihiap dianggap sebagai pengacau atau pemberontak. Di istana terdapat banyak sekali orang sakti..."

"Terima kasih, Locianpwe. Akan tetapi aku tidak takut. Biar dia bersembunyi di neraka, aku akan mencari dan membunuh Cui Im!"

"Jangan salah mengerti, Nona. Kini kaisar sudah melakukan hal yang menyusahkan hati para tokoh kang-ouw, yaitu karena Kaisar telah menerima tenaga-tenaga dari kaum sesat untuk menjadi pengawal. Hal itu berbahaya sekali. Apa lagi sesudah mendengar bahwa orang-orang semacam Ang-kiam Bu-tek, Pak-san Kwi-ong, dan banyak lainnya dijadikan pengawal pribadi. Orang-orang macam itu tidak bisa dipercaya. Karena itu, akan diadakan pertemuan antara partai-partai besar dan tokoh-tokoh terkemuka di puncak Tai-hang-san, semua tokohnya, bahkan ketua-ketua partai, akan hadir untuk membicarakan urusan itu, kemudian akan mengajukan permohonan dan peringatan kepada Kaisar akan bahayanya tenaga dari kaum sesat yang dipergunakan itu. Karena itu, untuk menghadapi Ang-kiam Bu-tek, tidakkah sebaiknya Nona hadir di pertemuan itu? Jika bertindak sendiri, memang pinto percaya akan kemampuanmu, akan tetapi pinto khawatir kalau-kalau iblis betina itu berlindung di balik kekuasaan Kaisar sehingga Nona akan dicap sebagai pemberontak!"

Biauw Eng mengangguk-angguk, maklum akan pentingnya ucapan kakek itu.

"Terima kasih, Locianpwe. Nasehat Locianpwe tentu akan kuperhatikan. Aku akan ke kota raja lebih dulu mencari Keng Hong dan kalau mungkin menghadapi Cui Im di luar istana. Akan tetapi andai kata aku menemui kesulitan, tentu aku akan ingat pesan Locianpwe untuk berkunjung ke Puncak Tai-hang-san bekerja sama dengan para Locianpwe."

Biauw Eng dan Hun Bwee lalu memberi hormat dan pergi menuju ke utara. Sedangkan keempat orang tosu itu melanjutkan perjalanan menuju ke Tai-hang-san karena memang mereka bermaksud hendak menghadiri pertemuan puncak antara tokoh-tokoh persilatan itu, mewakili ketua Kong-thong-pai yang sedang sakit sehingga berhalangan hadir.

Empat orang tosu Kong-thong-pai itu melakukan perjalanan perlahan karena waktu untuk pertemuan itu masih cukup lama. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap membicarakan kelihaian Biauw Eng juga keanehan bahwa puteri seorang tokoh utama datuk hitam yang dikenal sebagai iblis betina Lam-hai Sin-ni, kini bersikap baik sekali dan agaknya tidak akan melanjutkan jejak ibunya.

Belum lama empat orang kakek Kong-thong-pai ini melanjutkan perjalanan, tiba-tiba saja mereka berhenti kemudian memandang dua orang yang datang dari depan dengan mata terbelalak. Kok Seng Cu berbisik,

"Cia Keng Hong...!"

Kok Sian Cu si kakek setengah buta sudah berkelebat bersama putaran tongkatnya ke depan Keng Hong yang berjalan bersama Yan Cu, menodongkan tongkatnya kemudian membentak,

"Cia Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong, pengacau muda yang jahat! Sekali ini kami tak akan melepaskan engkau!"

Melihat tosu tua itu menerjang dengan tongkatnya yang berubah menjadi sinar kehijauan bergulung-gulung, Yan Cu cepat melangkah maju dan berkata,

"Eiiitt, eittttt..., sabar dulu, Totiang!" gadis ini melihat bahwa tiga orang tosu tua yang lain juga sudah melesat ke depan dan mereka berempat itu memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh kemarahan. "Kalian ini empat orang tosu yang sudah tua, mengapa bersikap begini pemarah? Ada urusan boleh dibicarakan, mengapa begitu bertemu terus hendak menggunakan kekerasan seperti sikap rombongan tukang pukul yang brengsek?"

Dengan matanya yang tinggal satu, Kok Sian Cu memandang Yan Cu. Karena Yan Cu hanyalah seorang gadis muda yang cantik dan tosu itu belum pernah melihatnya, tentu saja Kok Sian Cu merasa tidak perlu melayani gadis itu, karena merasa bahwa gadis itu hanya akan menjadi penghalang saja dan tidak ingin kalau ada orang lain yang terseret dalam urusan Kong-thong-pai menghadapi musuh besar murid Sin-jiu Kiam-ong.

"Nona, jangan ikut campur. Minggirlah!"

Sambil berkata demikian, orang pertama dari Kong-thong-pai mendorong ke arah pundak Yan Cu. Dorongan itu bukan merupakan serangan berat, karena maksudnya pun hanya ingin mendorong tubuh nona itu agar terdorong ke pinggir.

"Wusssss…!"

Dorongan tongkat itu mengenai tempat kosong karena dengan gerakan mudah saja Yan Cu dapat mengelak tanpa menggerakkan kedua kakinya.

Kok Sian Cu terkejut. Dia adalah seorang tokoh yang lihai dari Kong-thong-pai. Biar pun dia tidak ingin melukai nona muda ini, namun dorongan tongkatnya tadi tidak akan dapat dielakkan oleh sembarang orang! Dan bocah ini hanya mengelak dengan sikap begitu tenang, tanpa menggerakkan kaki seolah-olah memandang rendah serangan itu. Hal ini tentu saja membuatnya menjadi penasaran sekali.

"Bagus, biarlah pinto membuat engkau tak mampu bergerak untuk sementara agar jangan mengganggu!" Setelah berkata demikian, kembali tongkatnya bergerak.

Akan tetapi sekali ini bukan bergerak sekedar untuk mendorong, melainkan melakukan totokan untuk menotok jalan darah Yan Cu agar tidak mampu bergerak. Karena dia tidak mau gagal lagi seperti tadi, maka sekali ini totokannya bukan hanya berhenti pada sekali totokan saja, melainkan ada lanjutannya untuk menyusul totokan pertama apa bila gagal, bahkan merupakan rangkaian totokan dengan ujung tongkatnya sampai beruntun lima kali.

"Wuuuuuuttt…! Cus-cus-cus-cus-cus...!"

Merah bukan main muka Kok Sian Cu karena serangannya yang amat hebat itu, totokan beruntun selama lima kali susul menyusul, amat cepat dan mengarah jalan darah di tubuh bagian depan gadis itu, semuanya dapat dielakkan oleh Yun Cu tanpa gugup sedikit pun juga. Bahkan gadis ini melakukan elakan-elakan itu sambil tersenyum mengejek dan berkata,

"Aihhh... aiiiihhhhh... benar-benar galak sekali tosu ini! Ehh, Totiang, apa sih kesalahanku engkau datang-datang terus saja mainkan tongkatmu yang buruk dan bau itu?"

Kok Sian Cu yang tadi terkejut itu kini dapat menduga bahwa gadis ini ternyata bukanlah orang sembarangan. Ia makin penasaran. Baru beberapa jam yang lalu dia dan tiga orang sute-nya bertemu dengan Biauw Eng dan Hun Bwee, dua orang gadis muda yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga mereka berempat tidak mampu menandingi dua orang gadis itu. Kini, lagi-lagi muncul seorang gadis yang sama sekali tidak terkenal dan yang ternyata mampu menghadapi totokan-totokannya secara memandang rendah sekali!

Mukanya menjadi merah, ada pun mata tunggalnya itu memancarkan cahaya kemarahan, tongkat di tangannya tergetar dan dia sudah siap menerjang dengan sungguh-sungguh, mengirim terjangan maut.

"Totiang, tahan dulu!" Keng Hong cepat berkata dan menarik lengan Yan Cu ke belakang sambil berkata, "Sumoi, kau mundurlah. Mereka ini adalah keempat orang Locianpwe dari Kong-thong Ngo-lojin dan memang benar, mereka tidak ada urusan denganmu, Sumoi. Biarkan aku menghadapi meeka."

Yan Cu cemberut dan memandang empat orang kakek itu dengan matanya yang lebar dan bening, lalu mengomel, "Aku pun tidak ingin berurusan dengan orang-orang tua yang begini galak, akan tetapi mendengar kau disebut pengacau jahat, mana bisa aku diam saja?"

Keng Hong tersenyum lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada empat orang tosu itu. "Su-wi Locianpwe, saya mengerti akan kemarahan Locianpwe sekalian terhadap diriku. Tentu karena peristiwa-peristiwa yang lalu yang berhubungan dengan mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi, seperti yang telah para Locianpwe dengar dahulu di Kun-lun-pai, semua peristiwa yang terjadi itu adalah kesalah pahaman belaka, dan sejak dahulu pun saya tidak ingin melanjutkan permusuhan yang timbul antara Kong-thong-pai dengan mendiang suhu. Bahkan sebaliknya saya ingin memperbaiki hubungan dan kalau sampai terjadi korban-korban roboh di antara anak murid Kong-thong-pai, hal itu terjadi dalam pertandingan dan bukan kehendak saya. Dulu, di puncak Kun-lun-pai saya pernah menuduhkan perbuatan itu sebagai perbuatan nona Sie Biauw Eng, akan tetapi baru-baru kemudian saya tahu bahwa pembunuhan terhadap anak-anak murid Kong-thong-pai yang diracun adalah perbuatan keji dari Bhe Cui Im!"

Kok Sian Cu menggerakkan tongkat di depan dada dan berkata mewakili para sute-nya yang memandang marah, "Orang muda, betapa pun pandai engkau berputar lidah untuk membela diri, tapi kenyataannya baik gurumu mau pun engkau adalah orang yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak benar, dan di antaranya telah berkali-kali menghina Kong-thong-pai dengan hebat. Gurumu menewaskan lima orang murid Kong-thong-pai dalam pertandingan, engkau sendiri sudah menyebabkan kematian sute-ku Kok Cin Cu dan empat orang muridnya..."

"Maaf, hal itu terjadi karena Kok Cin Cu Totiang dan murid-muridnya mendesakku dan muncul orang yang membantuku sehingga mereka tewas..."

"Hemmmm, kami pun sudah tahu bahwa nona Sie Biauw Eng melakukannya demi untuk membantu dan menolongmu. Akan tetapi tetap saja kematian murid-murid Kong-thong-pai terjadi karena engkau! Kemudian, karena engkau pula yang tak tahu malu merayu dua orang murid wanita Kong-thong-pai, enam orang murid Kong-thong-pai mati keracunan!"

"Totiang! Hal itu adalah perbuatan busuk Bhe Cui Im!"

Kok Sian Cu melotot. "Kau kira kami begitu bodoh tidak mengetahui hal itu? Kami telah menyelidiki ke dusun dan kami tahu semuanya. Akan tetapi, semua itu tidak terjadi kalau engkau tidak menjadi biang keladinya, menjadi sebab timbulnya urusan-urusan itu. Pula, engkau sudah bersekutu dengan Ang-kiam Bu-tek, engkau pemuda yang tidak berakhlak, engkau menjadi kekasih iblis betina itu, siapakah yang tidak tahu? Engkau malah sudah membiarkan semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong jatuh ke tangan iblis betina itu sehingga dia menjadi amat lihai, dan semua pusaka milik partai-partai besar telah terjatuh di tangannya! Ahhh, dosamu terlalu besar, Cia Keng Hong! Semua korban yang jatuh di pihak kami, memang benar bukan terjadi karena sengaja engkau yang membunuhnya dan mengingat akan dasar itu, boleh saja kami meniadakan tuntutan. Akan tetapi, engkau penyebab segala bencana dan yang paling hebat adalah turut lenyapnya pula pusaka Kong-thong-pai yang selama ini memang kami rahasiakan supaya tidak diketahui orang bahwa pusaka kami pun terjatuh ke tangan Sin-jiu Kiam-ong!" Setelah berkata demikian, Kok Sian Cu menggerakkan tongkatnya menotok ke arah dada Keng Hong.

Pemuda ini sama sekali tidak mengelak seperti yang dilakukan Yan Cu tadi, melainkan memasang dadanya untuk ditotok ujung tongkat yang menjadi cahaya kehijauan saking cepatnya gerakan kakek itu.

"Tukkk!"

Totokan ujung tongkat itu tepat mengenai jalan darah di dada Keng Hong, akan tetapi yang ditotok tidak apa-apa, sebaliknya tongkat itu membalik dan Kok Sian Cu merasa betapa tangannya tergetar dan lengannya hampir lumpuh! Ia terkejut sekali dan meloncat mundur.

Tiga orang sute-nya sudah siap menerjang. Akan tetapi Keng Hong cepat mengangkat ke dua tangan ke atas sambil berkata,

"Sabarlah, para Locianpwe dari Kong-thong-pai yang terhormat! Dengarlah dulu kata-kata keteranganku. Tidak benar kalau dikatakan bahwa saya bersekutu dengan Bhe Cui Im si wanita jahat! Sebaliknya malah! Pusaka-pusaka peninggalan guruku itu tidak saya berikan kepadanya, melainkan dicurinya dariku! Kemudian dengan susah payah aku telah berhasil merampasnya kembali."

Empat orang tosu itu memandang penuh harapan dan Keng Hong cepat menghampiri Kok Sian Cu sambil bertanya, "Totiang, yang dimaksudkan dengan pusaka Kong-thong-pai yang telah diambil suhu dan dirahasiakan itu bukankah sepasang golok emas yang amat indah?"

Kok Sian Cu mengangguk-angguk, menelan ludah untuk menekan ketegangan hatinya sambil berkata, "Betul... betul..."

Keng Hong merogoh baju dalamnya kemudian mengeluarkan sepasang golok emas dan menyerahkan kedua golok indah itu kepada Kok Sian Cu sambil berkata, "Inikah pusaka Kong-thong-pai? Kalau benar, nah, terimalah disertai permohonan maaf sebesarnya dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong!"

Empat orang tosu Kong-thong-pai terbelalak begitu melihat sepasang golok emas itu. Kok Sian Cu menerima dengan dua tangan gemetar, tongkatnya terlepas dan begitu sepasang golok emas itu sudah dipegangnya, kedua lututnya lalu ditekuk dan tiga orang sute-nya pun menjatuhkan diri berlutut pula.

"Kong-thong Siang-sin-to (Sepasang Golok Sakti Kong-thong-pai)..." Terdengarlah mulut empat orang tosu itu berkata penuh keharuan sambil memandang sepasang golok emas yang dipegang Kok Sian Cu dan diangkat tinggi-tinggi.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.