Pedang Kayu Harum Jilid 37
Pintu kamarnya terbuka dan dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hatinya ketika ia melihat bahwa yang memasuki kamarnya adalah raksasa gendut Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang kaki tangannya masih terbelenggu, kemudian melempar tubuh Yan Cu ke atas pembaringan yang berada di dalam kamar itu, tepat di depannya.
"Ha-ha-ha!" Thai-lek Sin-mo tertawa bergelak dan bertolak pinggang menghadapi Cong San. Pemuda ini bersikap tenang dan sudah siap untuk melawan kalau si raksasa gendut ini hendak melakukan kekejian terhadap Yan Cu.
"Ang-kiam Bu-tek benar-benar aneh sekali! Memberikan si jelita ini memakai syarat pula, harus kulakukan di kamar ini dan di hadapan matamu, orang muda! Ha-ha-ha! Entah apa kehendaknya, akan tetapi di depanmu atau di mana saja, apa bedanya? Hanya kuharap engkau akan cukup sopan untuk meramkan matamu dan hanya menikmati pertunjukkan ini dengan telingamu saja. Ha-ha-ha! Gadis yang manis seperti bidadari, kau bersiaplah menerima aku!"
Thai-lek Sin-mo membalikkan tubuhnya dan hendak menerkam tubuh Yan Cu yang rebah terlentang di atas pembaringan. Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa dia sedang terancam bahaya hebat, maka mengambil keputusan untuk melawan mati-matian biar pun tangan kakinya terbelenggu.
Sebagai murid tersayang dari Tung Sun Nio, ia memiliki ginkang yang hebat. Kini melihat raksasa gendut itu melangkah maju dengan kedua lengan berbulu dipentang lebar, baju bagian atas terbuka memperlihatkan dada yang berbulu lebat, muka yang menyeringai mengerikan, Yan Cu menggerakkan tangan dan kaki yang terbelenggu ke atas dipan dan sekali mengenjot tubuh, ia telah menendangkan kedua kaki yang terbelenggu itu ke arah pusar Thai-lek Sin-mo!
"Blukkk!"
Serangan ini sama sekali tak disangka-sangka oleh Thai-lek Sin-mo yang tengah dimabuk nafsu birahi, maka mengenai perutnya dengan keras. Namun ternyata raksasa gendut berbangsa Kerait ini memiliki kekebalan sehingga tendangan yang sangat kuat itu hanya membuat dia terhuyung dan mengerutkan kening dengan perut terasa agak mulas.
Sebaliknya, karena kaki tangannya terbelenggu, pada saat kedua kaki Yan Cu bertemu dengan perut yang gendut dan keras itu, tubuhnya sendiri langsung terbanting kembali ke atas pembaringan dengan keras.
"Ha-ha-ha, engkau benar-benar liar! Aku senang... Aku senang sekali... Makin hebat kau melakukan perlawanan, makin menyenangkan, Manis!" Cou Seng sudah melangkah maju lagi mendekati pembaringan sambil tertawa terkekeh-kekeh, dari sudut mulutnya yang lebar menetes air liur seperti seekor anjing melihat daging.
"Thai-lek Sin-mo, tahan!" tiba-tiba Cong San berseru.
Sudah gatal-gatal tangan pemuda ini hendak menerjang raksasa gendut itu. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang tenang dan cerdik. Kalau dia menerjang raksasa gendut itu di dalam kamar tahanan, mungkin dia akan berhasil membunuh lawan ini, akan tetapi tidak mungkin akan dapat membebaskan diri dan menolong Yan Cu.
Apa bila terjadi perkelahian di situ, tentu tokoh-tokoh pihak lawan akan datang dan mana mungkin dia dapat melawan mereka? Pihak musuh sangat banyak dan banyak di antara mereka yang memiliki kepandaian amat tinggi.
Thai-lek Sin-mo memutar tubuh seperti singa menoleh. "Mengapa banyak cerewet? Kalau kau tidak suka menonton, pejamkan matamu!" bentaknya.
"Thai-lek Sin-mo, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi dan gagah perkasa, siapa kira ternyata engkau hanya seorang pengecut dan penakut!"
Thai-lek Sin-mo mendelik marah dan inilah yang diharapkan Cong San. Lengan yang besar itu bergerak.
"Plakkk!"
Pipi Cong San ditamparnya keras sekali sehingga pemuda ini merasa kepalanya pening dan ujung bibirnya berdarah. Akan tetapi ia menahan sabar dan melajutkan kata-katanya,
"Engkau hendak menikmati tubuh gadis ini adalah hal yang wajar dan tidak aneh, akan tetapi ke mana perginya sifat gagahmu, sifat laki-lakimu hingga engkau begitu merendah diri untuk melakukannya di sini, terlihat oleh orang lain? Hal itu akan membuat engkau malu dan hina! Apakah kalau engkau membawa dia itu ke hutan lantas menikmatinya di tempat sunyi sepuas hatimu, engkau tidak berani? Takut kalau-kalau gadis yang sudah terbelenggu itu melawanmu? Begitu penakutnya engkau yang berjuluk Thai-lek Sin-mo?"
"Yap-twako...! Kau... Kau...!” Yan Cu terbelalak marah.
Saking marahnya, Yan Cu kembali meloncat dan menerjang Thai-lek Sin-mo dengan dua kakinya. Akan tetapi sekali ini, raksasa gendut itu cepat menyambar lantas mengempit pinggangnya. Kemudian sambil menyeringai ke arah Cong San dia berkata,
"Kalau dipikir, omonganmu benar juga. Tempat ini terlalu sempit untuk menaklukkan kuda betina liar macam ini, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian Thai-lek Sin-mo lalu membawa Yan Cu keluar dari tempat tahanan sambil tertawa-tawa.
Yan Cu berteriak-teriak memaki, "Yap Cong San, ternyata engkau hanya seorang yang berwatak pengecut dan rendah!"
Tentu saja tidak ada penjaga yang merintangi larinya Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang masih berteriak-teriak memaki sambil meronta-ronta itu. Ia memasuki sebuah hutan lebat yang sunyi, kemudian sambil tertawa-tawa dia merenggut pakaian Yan Cu, menelanjangi gadis itu yang menyepak-nyepak dan meronta-ronta tanpa hasil.
Melihat tubuh yang menggairahkan itu di bawah sinar bulan, nafsu birahi bernyala-nyala di dalam hatinya. Dia kemudian melemparkan tubuh Yan Cu ke atas rumput, lalu sambil menyeringai dia tergesa-gesa melepas bajunya sendiri dan akhirnya dia mendekati tubuh Yan Cu.
Yan Cu menggulingkan tubuhnya, berusaha menjauhi orang yang mengerikan itu. Tentu saja usahanya sia-sia belaka karena sambil tertawa-tawa seenaknya raksasa gendut itu melangkah lebar mengikuti ke mana tubuh gadis itu bergulingan, lagaknya seperti seekor kucing mempermainkan tikus dan hendak mempermainkan dulu sepuas hatinya sebelum akhirnya menerkamnya.
Yan Cu mengerti bahwa dia tak mungkin dapat membebaskan diri. Maka ketika melihat tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah jurang, tiba-tiba ia menggerakkan tenaga dengan kaki dan tangan menekan tanah dan tubuhnya sudah meloncat untuk terjun ke jurang. Dia memilih hancur ke dalam jurang dari pada menjadi korban perkosaan Thai-lek Sin-mo. Akan tetapi, lengan raksasa itu sudah menyambarnya.
"Ha-ha-ha, tidak boleh, Manis!" kata raksasa itu dan membawa tubuh Yan Cu ke tempat tadi, merebahkan di atas rumput dan dia sendiri berlutut. Yan Cu memejamkan mata, tak tertahan lagi dia terisak menghadapi saat yang mengerikan itu.
"Keparat, lepaskan dia!" Tiba-tiba Cong San muncul dan mengirim pukulan dari belakang.
"Aihhh…!"
Thai-lek Sin-mo terkejut dan cepat meloncat bangun sambil menangkis. Ke dua lengan mereka bertemu dan keduanya segera terhuyung ke belakang. Ternyata tenaga raksasa itu benar-benar hebat sekali.
Untung bahwa Cong San tidak terlambat datangnya dan bahwa Thai-lek Sin-mo hendak mempermainkan dulu korbannya sehingga gadis itu terhindar dari pada perkosaan. Ketika tadi melihat Thai-lek Sin-mo melarikan Yan Cu, Cong San cepat berkelebat keluar, kaki tangannya lantas bergerak cepat merobohkan empat orang penjaga di depan pintu kamar tahanan sehingga mereka roboh tanpa sempat berteriak lagi.
Kemudian Cong San menyelinap keluar, mempergunakan ginkang-nya yang tinggi untuk meloncat-loncat dan menyelinap di antara pohon-pohon mengejar Thai-lek Sin-mo. Kalau saja dia tidak mendengar suara Thai-lek Sin-mo tertawa-tawa, agaknya akan sulit baginya untuk dapat menyusul dengan cepat.
Ketika melihat raksasa itu berlutut dan Yan Cu menangis, kemarahan membuat dada Cong San bagaikan hendak meledak, maka dia langsung mengirim pukulan yang dapat ditangkis oleh raksasa gendut itu.
"Tar-tar-tarrr...!"
Thai-lek Sin-mo sudah melolos cambuk bajanya menyerang Cong San. Raksasa gendut ini marah bukan main karena dalam saat terakhir ketika dia hendak menikmati korbannya muncul pemuda ini yang sama sekali tidak disangkanya. Dia tidak sempat lagi menyelidiki bagaimana pemuda itu dapat terlepas dan muncul, kemarahan membuat dia gelap mata dan langsung menyerang kalang kabut dengan sambaran pecut bajanya yang lihai.
Cong San hanya bertangan kosong. Kedua macam senjatanya, yakni senjata rahasia Touw-kut-chi (Uang logam Penebus Tulang) dan sepasang Im-yang-pit sudah dirampas musuh. Namun pemuda gemblengan ketua Siauw-lim-pai ini bersikap tenang dan tabah. Melihat gulungan sinar hitam dari pecut baja lawan yang menyambar-nyambar, dia lalu mengerahkan ginkang-nya, melesat ke kanan dan kiri sambil berusaha membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan dekat.
"Yap Cong San manusia hina! Aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Terdengar Yan Cu memaki, menahan isak.
Hatinya masih panas sekali mengingat akan sikap Cong San dalam kamar tahanan tadi yang seolah-olah tidak mempedulikan nasibnya malah memberi nasehat kepada raksasa gendut untuk melarikannya dan memperkosanya di dalam hutan.
Sambil meloncat tinggi dan mengelak dari sambaran pecut yang menyerampang kakinya, Cong San membela diri atas makian gadis yang menjatuhkan hatinya itu, "Harap jangan salah sangka, Moi-moi. Aku sengaja memancing dia ke tempat sunyi ini agar aku dapat menolongmu tanpa gangguan musuh-musuh yang lain!"
"Oohhhh... maaf... maaf...!" Yan Cu kini terisak lagi seperti tadi, hanya bedanya, kini dia terisak karena menyesal akan dugaannya yang keliru sehingga dia memaki pemuda itu, dan karena girang mengharapkan pertolongan.
Mendengar isak tangis gadis itu, Cong San mendapat semangat baru dan gerakannya semakin lincah. Pada saat cambuk itu dengan suara bercuitan menyambar lehernya, dia mengerahkan sinkang, membiarkan ujung cambuk baja membelit leher, namun secepat kilat dia menangkap cambuk dan kedua kakinya mengirim tendangan berantai ke arah pusar dan tangan lawan yang memegang cabuk. Gerakannya cepat sekali, juga sangat kuatnya.
Dalam hal ilmu silat, memang pemuda ini masih menang setingkat kalau dibandingkan lawannya, menang cepat dan ilmu silatnya lebih murni, gerakannya lebih teratur, hanya dalam hal tenaga dia kalah sedikit.
Menghadapi tendangan yang susul-menyusul amat cepatnya ini, Cou Seng terkejut dan mengeluarkan gerengan dahsyat ketika dia terpaksa melepaskan gagang cambuk untuk menyelamatkan pergelangan tangannya dari sebuah tendangan kilat. Cong San cepat melepaskan cambuk dan melempar cambuk itu jauh dari tempat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba lawannya yang bertubuh gemuk bundar itu sudah menubruknya dan tahu-tahu kedua lengan yang berbulu dan besar telah memeluk pinggangnya. Betapa pun Cong San mengerahkan tenaga, tetap saja tubuhnya terangkat ke atas dan di banting!
"Brukkk!”
Tubuh Cong San terguling-guling dan kembali raksasa gendut itu menubruk. Akan tetapi sekali ini Cong San yang merasa sakit-sakit pada pinggul dan punggungnya, sudah siap dan kakinya segera menendang dari bawah.
"Desssss!"
Tubuh Thai-Lek Sin-mo yang sedang menubruk maju itu kena ditendang dadanya hingga raksasa itu terbatuk-batuk dan napasnya terasa seperti akan putus. Tapi kiranya dia kuat sekali karena pada saat Cong San meloncat bangun dan memukul ke arah ulu hatinya dengan pukulan keras, raksasa itu masih dapat mengelak miring dan tahu-tahu lengan kanan Cong San sudah ditangkapnya.
Dengan jurus ilmu gulat yang tidak dikenal Cong San, tahu-tahu lengan itu dipelintir dan tubuh Cong San sudah ditelikung, hendak dipatahkan sambungan lengan dari pundaknya! Cong San merasa betapa pundaknya nyeri sekali. Segera dia membalik, mengendorkan lengan kanan yang hendak dipatahkan, lalu jari tangan kirinya menyambar dan menotok pinggang lawan karena keadaan tubuhnya sudah dihimpit ke bawah.
Sedetik saja dia terlambat tentu sambungan lengannya sudah lepas dari pundak! Totokan itu membuat tubuh Cou Seng tiba-tiba lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cong San untuk merenggut lengannya terlepas, lantas secepat kilat dia menamparkan tangan kirinya ke arah kepala lawan yang masih lemas dan belum pulih kekuatannya itu.
Kalau tamparan itu mengenai sasaran, betapa pun kebal tubuh Cou Seng, tentu akan pecah kepalanya. Akan tetapi, Cou Seng bukanlah seorang yang lemah dan dia sudah mengalami banyak perkelahian mati-matian. Walau pun kepalanya pening dan tubuhnya lemas akibat totokan di pinggangnya tadi, melihat datangnya tamparan, dia masih sempat melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan sehingga jalan darahnya pulih kembali.
Saat Cong San meloncat mengejar dan mengirim tendangan, tangan kirinya menyambar. Dia memang ahli dalam ilmu gulat yang menggunakan kecepatan gerak jari tangan untuk menangkap bagian tubuh lawan. Kini jari-jari tangan kirinya berhasil menangkap tumit kaki Cong San yang menendang, lalu menggunakan tenaga sentakan sebab untuk memegang terlalu lama pun berbahaya baginya.
Cong San mengeluarkan seruan kaget. Untuk menjaga kakinya yang bisa saja terkilir atau bahkan patah, dia sama sekali tidak melawan, bahkan mengikuti gerak putaran lawannya sehingga tubuhnya terbanting ke kiri, terbanting keras akan tetapi cepat dia melanjutkan bantingan itu dengan loncatan ke atas berjungkir balik beberapa kali.
Setelah dia meloncat turun, dia melihat Cou Seng sudah lari. Celaka, pikirnya, kalau setan itu memanggil kawan-kawannya, maka dia dan Yan Cu akan tertawan kembali! Cepat dia mengambil sebuah batu dan dengan kepandaiannya menyambitkan senjata rahasianya, batu itu melayang ke arah tubuh Cou Seng.
"Aduhhh...!" Tubuh raksasa itu terguling.
Cong San cepat-cepat loncat mendekat dan hampir saja dia menjadi korban tipu muslihat Thai-lek Sin-mo. Ketika pemuda ini membungkuk, tiba-tiba saja kedua tangan raksasa itu menyambar ke atas hendak mencekik lehar.
"Aihhhhh...!"
Cong San cepat menggunakan tangannya, bukan menangkis karena dia sudah maklum akan kekuatan kedua tangan yang sudah menyentuh kulit lehernya sehingga tangkisan mungkin tidak akan menyelamatkan lehernya yang tentu akan remuk oleh cengkeraman lawan. Sebaliknya dia menggunakan jari untuk menotok kedua lengan lawan dekat siku.
Pemuda murid Siauw-lim-pai ini memang seorang ahli totok jalan darah karena sepasang senjatanya, yaitu Im-yang-pit, memang merupakan senjata untuk menotok. Maka tentu saja totokannya tepat mengenai sasaran sehingga kedua lengan lawan menjadi lumpuh dan cekikan itu pun terlepas.
Cou Seng memang hebat sekali ilmu gulatnya. Kedua lengannya sudah lumpuh untuk sementara, akan tetapi kedua kakinya tidak dan sebelum Cong San tahu apa yang akan dilakukan oleh jago gulat yang lihai ini, tahu-tahu kedua kaki raksasa gendut itu sudah membelit dan ‘menggunting’ dua kakinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, tubuhnya terguling menindih tubuh Cou Seng.
Hebatnya, raksasa gendut ini biar pun perutnya gendut seperti kerbau, ternyata gerakan tubuhnya di atas tanah cepat bukan main sebab begitu lawan roboh karena dia ‘sengkelit’ kakinya, dia sudah menggulingkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya sendiri yang besar dan berat sudah menindih memalang pada tubuh Cong San!
Dalam keadaan rebah tertelungkup ditindih tubuh sebesar Thai-lek Sin-mo yang masih menggunakan tenaga itu sama saja dengan ditindih tubuh seekor gajah sehingga Cong San sampai tak mampu berkutik! Masih untung bagi murid Siauw-lim-pai itu bahwa kedua tangan lawannya masih setengah lumpuh, karena kalau kedua tangan lawannya sudah pulih tenaganya, dalam keadaan tertelungkup dan terhimpit itu tentu saja lawannya akan dapat mengirim pukulan maut dengan amat mudahnya!
Cong San cepat menjangkau untuk meraih dan memukul. Akan tetapi jago gulat itu sudah memperhitungkan ini dan karenanya dia menghimpit tubuh bagian bawah lawan sehingga kedua tangan Cong San tidak dapat memukulnya. Dalam keadaan amat berbahaya ini, Cong San tidak mempedulikan lagi akan peraturan kaum persilatan karena lawannya pun menggunakan ilmu gulat. Ia lalu mencengkeram ke atas dan berhasil menjambak rambut lawan yang terurai lepas, terus menarik rambut itu sekuatnya.
"Wadouuhhh...!"
Kulit Thai-lek Sin-mo boleh jadi kebal, tetapi kalau akar-akar rambutnya hendak tercabut, sakitnya bukan kepalang dan terpaksa dia menjulurkan kepalanya agar tidak terlalu keras tertarik. Namun gerakannya inilah yang mencelakakannya karena kini tangan Cong San dapat bergerak cepat, melepas rambut kemudian jari tangannya ditusukkan ke ubun-ubun lawan.
"Crokkk!" Tiga buah jari tangan pemuda itu amblas memasuki batok kepala kurang lebih lima senti dalamnya, menembus otak.
Teriakan dahsyat keluar dari mulut Cou Seng, tubuhnya berkelojotan kemudian nyawanya melayang. Cong San keluar dari himpitan tubuh berat itu, sejenak matanya memandang dan setelah merasa pasti bahwa lawannya tewas, dia baru lari menghampiri Yan Cu.
Melihat keadaan gadis yang telanjang bulat, Cong San cepat menyambar pakaian gadis itu dan dengan menahan debaran jantungnya serta menahan agar matanya tidak terlalu liar memandang tubuh itu, dia mengenakan pakaian pada tubuh Yan Cu sedapatnya. Yan Cu membantu sebisanya dengan gerakan tubuh karena kedua tangannya terbelenggu ke belakang sedangkan kedua kakinya masih terbelenggu pula.
"Kita harus cepat membuka belenggumu," bisik Cong San.
"Twako, maafkan aku..."
"Hushhh... sudahlah, aku yang salah, menggunakan akal hingga kau keliru menduga...!"
"Dan terima kasih atas pertolonganmu yang tak ternilai besarnya..."
"Sstttt..., jangan ucapkan itu, Moi-moi. Sekarang yang paling penting bagaimana kita bisa mematahkan belenggu."
"Kau sendiri, bagaimana dapat meloloskan diri?"
"Dengan Ilmu Sia-kut Sin-hoat, akan tetapi terlalu lama dan... ahhh..."
"Ehh, kau terluka, Twako?" Yan Cu bertanya kaget.
Cong San mengusap bibirnya yang berdarah. Memang dia terluka, luka di sebelah dalam tubuh yang dia derita dalam perkelahian mati-matian tadi. Di samping luka dalam akibat bantingan dan pukulan, juga lehernya masih terasa nyeri bekas libatan ujung cambuk baja dan pundaknya agaknya terkilir pada saat lengannya hendak dilepaskan dari pundak oleh lawan tadi.
"Luka tidak berarti, yang penting mematahkan belenggumu. Sayang kita tidak membawa senjata..."
Cong San kemudian pergi mengambil dua buah batu besar. Sebuah batu yang terbesar dia letakkan di atas tanah, kemudian dia minta supaya Yan Cu merebahkan tubuh miring sehingga kedua tangannya berada di dekat batu. Setelah mengatur agar belenggu tangan itu berada di atas batu, dia berbisik,
"Tahankanlah, Moi-moi, aku akan mencoba untuk mematahkan belenggu dengan batu ini!"
Yan Cu mengangguk dan mulailah secara bertubi-tubi Cong San menggempur belenggu itu dengan batu yang dipegangnya kuat-kuat. Tentu saja tak mungkin dapat mematahkan belenggu besi dengan batu tanpa menggunakan tenaga sinkang dan untuk perkerjaan ini, Cong San mengerahkan seluruh tenaganya. Rasa sakit-sakit di tubuhnya bertambah dan keringat sudah membasahi seluruh muka dan lehernya ketika akhirnya dia berhasil juga mematahkan belenggu kedua tangan Yan Cu.
Gadis ini pun bukannya tidak menderita. Tiap kali belenggu tangannya dipukul, rasa pedih dan panas menjalar dari pergelangan tangan bagai menusuk jantung. Maka begitu kedua tangannya terlepas, dia lalu merangkul leher pemuda itu dan dia membenamkan mukanya di dada yang basah oleh keringat.
"Ehhh...! Ahhh...! Belenggu kakimu, Moi-moi...!" Cong San tidak tahu mana yang lebih membingungkan hatinya, rangkulan kedua lengan itu ataukah belenggu kaki Yan Cu yang belum patah!
Untuk menyembunyikan kebingungannya, Cong San segera mulai hendak mematahkan belenggu kaki dengan batu tadi sungguh pun tenaganya sudah hampir habis dan dadanya terasa sasak. Karena kaki gadis itu agak jauh dari batu yang dipakai landasan, maka Cong San memegang pergelangan kaki gadis itu untuk di dekatkan dengan batu.
"Plakkk!"
Cong San terkejut sekali karena tangannya yang memegangi kaki itu ditampar. Lebih kaget lagi ketika dia menengok, dia melihat pandang mata gadis itu penuh kemarahan.
"Yap-twako, apakah engkau juga menjadi kurang ajar?!"
Cong San terbelalak kaget, "Apa...?!"
"Kau meraba-raba kaki, mau apa?"
"Ehh... ohhh ... aku... aku hendak mematahkan belenggu kakimu..."
Sejenak pandang mata gadis itu menatapnya tajam penuh selidik, kemudian tersenyum dan merangkul pundak pemuda itu, melonjorkan kakinya, dan berkata lirih,
"Maafkan aku... ah. Aku selalu berprasangka buruk terhadap dirimu, Twako. Lakukanlah... dan... terima kasih."
Hemmm, sungguh gadis yang aneh dan... menggemaskan, pikir Cong San. Bukan gemas marah, melainkan gemas mengkal membuat orang ingin mencubitnya!
Gadis itu merangkul lehernya, kini merangkul pundaknya dan meletakkan pipinya di atas pundaknya, semua itu dilakukan dan boleh-boleh saja. Sedangkan dia, baru meraba kaki karena hendak mematahkan belenggu saja, tangannya ditampar dan disangka kurang ajar! Aturan mana ini? Mau menang sendiri saja!
Dengan hati gemas Cong San lalu memukuli batu yang dipegangnya pada belenggu kaki dan karena besi belenggu itu lebih besar dari pada belenggu tangan, tentu saja lebih sukar dipatahkan. Tetapi dia bekerja terus, tidak sadar betapa gadis itu terus memandangnya dengan sinar mata sayu, tidak merasa betapa peluh bercucuran dari dagu dan lehernya.
"Twako...!"
Suara itu terdengar dekat sekali dengan telinga, bisikan yang menghembuskan napas halus ke kuduknya.
"Hemmm...?" Cong San tidak menghentikan usahanya mematahkan belenggu, dia terus menghantam sampai telapak tangannya lecet-lecet berdarah.
"Kenapa engkau begini baik terhadapku, Twako?"
"Hemmmm...?" Sekarang Cong San menghentikan hantamannya pada belenggu kaki itu dan melirik ke kanan, ke arah pundaknya di mana gadis itu meletakkan pipinya. Tiba-tiba jantung pemuda ini berdebar keras. Wajah itu begitu dekat sehingga dia dapat merasakan hembusan napas hangat di pipinya, dan pandang mata itu begitu lembut, jari-jari tangan yang halus itu kini mengusap peluh dari lehernya, begitu mesra!
"Moi-moi, mengapa kau masih bertanya lagi? Aku bersedia membela dan melindungimu dengan taruhan nyawaku."
"Aku tidak menanyakan hal itu, Twako. Yang aku ingin ketahui adalah mengapa engkau amat baik terhadap aku?'
Benar-benar gadis yang aneh. Apa bedanya? Jawaban tadi bukankah sudah menjelaskan isi hatinya? Diam-diam Cong San tersenyum di dalam hatinya. Hemmm, agaknya gadis ini menghendaki jawaban yang langsung. Baiklah!
"Aku akan selalu bersikap baik terhadap dirimu, Moi-moi, untuk selama hidupku, karena aku cinta padamu, Moi-moi."
"Benarkah Twako? Benarkah engkau mencintaku? Sungguh-sungguh?"
Hemmm! Betapa mengemaskan! Cong San menarik napas panjang. "Tentu saja, Moi-moi, tentu saja sungguh-sungguh. Aku berani bersumpah!" Ketika dia memberanikan diri untuk bertanya, "Dan bagaimana tanggapanmu, Moi-moi?"
"Apa? Tanggapan bagaimana?"
Hemmm, bocah ini! Ingin sekali Cong San mencubit bibir yang bertanya seperti orang yang pura-pura tidak mengerti itu.
"Bagaimana dengan hatimu? Dapatkah kau menerima cinta kasihku? Apakah... apakah mungkin seorang gadis jelita seperti engkau mencintaku?"
Yan Cu membelalakkan matanya dan merenggangkan matanya dari atas pundak Cong San, tidak tahu betapa gerakan itu amat mengecewakan hati pemuda itu. "Cinta? Apa sih cinta itu, Twako?"
"Cinta ya cinta! Bagaimana, Moi-moi? Bagaimana perasaan hatimu terhadap diriku? Apa engkau juga cinta kepadaku?"
Yan Cu menggeleng-gelengkan kepala, membuat hati Cong San laksana tertindih anak gunung. "Sampai kini pun aku belum mengerti jelas bagaimana cinta itu sesungguhnya, Twako. Karena belum mengerti, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu itu?"
Cong San menarik napas panjang, hatinya tidak seberat tadi akan tetapi tetap saja dia masih belum puas, merasa seperti tergantung di awang-awang, tenggelam tidak terapung pun belum! Kemudian dia teringat akan pekerjaannya dan tanpa berkata apa-apa dia lalu melanjutkan menghantam belenggu kaki dengan batu sekuat tenaga.
"Yap-twako, kau marah?"
"Hemmm? Tidak.." Akan tetapi hantamannya makin keras saja.
"Biar kugantikan kau, Twako. Lihat tanganmu sudah lecet-lecet. Kasihan engkau, Twako." Suara lembut ini merupakan kompres yang mendinginkan hati Cong San.
Akan tetapi, pada saat dia hendak menyerahkan batu itu kepada Yan Cu, mendadak dia meloncat bangun dengan kaget. Yan Cu juga meloncat berdiri, lupa bahwa kakinya masih terbelenggu sehingga dia hampir terguling bila lengannya tidak disambar oleh Cong San. Ternyata di depan mereka telah berdiri Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, dua orang di antara Empat Datuk Golongan Sesat yang sakti!
Namun, melihat dua orang musuh ini, Cong San berteriak keras dan menyerang dengan nekat ke arah Pat-jiu Sian-ong, menggunakan batu yang dipegangnya. Pat-jiu Sian-ong menangkis dengan tangan kiri. Batu ini hancur bertemu dengan tangan Pat-jiu Sian-ong dan Cong San yang sudah kehabisan tenaga itu terhuyung, kemudian roboh terkena tepukan tangan kakek kecil itu pada pundaknya.
Yan Cu yang kakinya masih terbelenggu akan tetapi kedua tangannya sudah bebas itu pun secara nekat telah meloncat ke depan dan memukul dengan kedua tangannya. Hebat pukulan gadis ini, akan tetapi yang diserangnya adalah seorang tokoh yang menjadi datuk hitam.
Kalau saja kakinya tidak terbelenggu, mungkin dengan kepandaiannya yang sudah amat tinggi itu Yan Cu masih mampu melawan. Akan tetapi kini gerakannya kaku dan sebuah tamparan dari samping oleh kakek seperti raksasa dengan kulit hitam arang itu membuat Yan Cu terlempar dan terbanting di dekat Cong San. Sebelum dua orang muda itu sempat bergerak, ujung jari tangan kedua kakek itu sudah menotok mereka lumpuh dan dengan mudah kedua orang kakek itu mengempit tubuh mereka untuk dibawa kembali ke dalam benteng!
Demikianlah keadaan dua orang muda itu yang sekarang sudah berada di dalam kamar tahanannya kembali. Mereka dilemparkan ke dalam kamar tahanan dan setelah Yan Cu dapat bergerak lagi, biar pun kedua tangannya kini telah dipasangi belenggu baru, gadis ini cepat menghampiri Cong San yang masih pingsan dan menggunakan pengertiannya tentang ilmu pengobatan untuk merawat pemuda itu memulihkan tenaga serta mengobati luka-luka di dalam tubuh yang tidak membahayakan nyawanya akan tetapi memerlukan perawatan yang teliti.
Peristiwa itu terjadi sehari sebelum Cui Im mengunjungi kamar tahanan Keng Hong dan membawa Biauw Eng ke kamar pemuda itu. Dia sengaja membohong dan menceritakan bahwa dia sudah menghadiahkan Yan Cu kepada Thai-lek Sin-mo, tapi tidak mengatakan bahwa kawannya itu sudah tewas di tangan Cong San. Setelah membuat Keng Hong dan Biauw Eng menjadi gelisah memikirkan keselamatan Yan Cu dan Cong San, Cui Im lalu bertepuk tangan lagi dan muncullah kedua orang murid Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to.
"Panggil dua ekor babi itu ke sini!"
Dua orang murid Pat-jiu Sian-ong itu saling pandang. Jelas mereka merasa kecewa dan ragu-ragu dan memang sayang sekali kalau Biauw Eng yang demikian cantik jelita hanya diberikan kepada dua orang anggota anak buah benteng yang tingkatnya paling rendah! Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah dan cepat pergi.
Tidak lama kemudian muncullah dua orang laki-laki bangsa Mongol yang setengah liar. Tubuh mereka tinggi besar dengan otot-otot menonjol pada kaki tangan dan dada mereka yang telanjang. Hanya sehelai cawat yang kecil kotor saja menutup tubuh mereka, tubuh yang kulitnya retak-retak seperti kulit buaya, kering keras dan kasar. Muka mereka buruk sekali, dengan mata sipit yang dilebar-lebarkan, serta mulut yang tak dapat tertutup rapat. Kedatangan mereka berdua ke dalam kamar itu membawa bau yang apek dan tidak enak.
Agaknya sebelum ke sini mereka itu telah diberi tahu akan tugas mereka, karena begitu memasuki kamar, mereka langsung memandang ke arah Biauw Eng sambil tertawa-tawa ha-ha he-he bagaikan sikap orang yang pikirannya tidak normal. Akan tetapi, betapa pun bodohnya, kedua orang liar kasar ini agaknya sangat takut kepada Cui Im dan mereka hanya berdiri menghadapi Cui Im sambil menanti perintah.
Cui Im menoleh kepada Keng Hong dan hatinya yang penuh kebencian itu menjadi girang menyaksikan betapa wajah Keng Hong yang biasanya tenang itu kini berubah, menatap ke arah dua orang pria itu dengan penuh kengerian dan kebencian, juga ia gembira sekali melihat betapa wajah Biauw Eng pucat ketika pandang mata gadis itu tertuju kepada dua orang laki-laki setengah telanjang itu.
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, boleh jadi engkau tahan siksaan dan tidak takut mati, tetapi kuat dan beranikah engkau menghadapi kedua ekor babi hutan ini yang akan memperkosamu sampai mati di depan pandang mata kekasihmu, Keng Hong?"
Biauw Eng menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat dan bibirnya mengeluarkan suara gemetar.
Cui Im tertawa terkekeh-kekeh. "Ha-ha-ha-heh-heh, Sie Biauw Eng yang terkenal sebagai seorang wanita tanpa pernah mengenal takut, yang berwatak dan berdarah dingin seperti mayat hidup, sekarang baru mengenai artinya takut dan baru ngeri hatinya. Hi-hi-hik-hik, alangkah lucunya!"
"Bhe Cui Im!" Suara bentakan Biauw Eng terdengar melengking dan mengandung hawa dingin yang mengejutkan Cui Im. Suara ini mengingatkan dia akan masa dahulu ketika ia masih menjadi suci dari gadis itu dan ketika tingkat kepandaiannya masih jauh berada di bawah Biauw Eng sehingga dia tunduk kepada sumoi-nya. Dia memandang dan melihat sinar mata Biauw Eng yang mengandung keberanian luar biasa seperti dahulu.
"Cui Im, jangan kira bahwa aku merasa takut atau ngeri menghadapi rencanamu yang keji. Engkau tahu bahwa dengan kepandaianku, aku dapat membuat tubuhku seperti mati dan apa pun yang akan dilakukan orang terhadap tubuhku, tidak akan dapat menyentuh perasaan hatiku. Akan tetapi, aku kasihan pada Keng Hong yang akan menyaksikannya. Cui Im, apa sih untungmu menyiksa kami seperti ini? Kalau memang sudah tidak ada jalan lain, kau bunuh saja kami."
Diam-diam Cui Im menjadi makin marah dan habislah harapannya untuk dapat memaksa Keng Hong agar memberikan ilmu yang diinginkannya. Maka dia melambaikan tangannya kepada dua orang raksasa telanjang itu.
Dua orang Mongol ini saling pandang, menyeringai seperti dua ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang. Melihat ini, Cui Im cepat berkata, "Bedebah! Jangan berebut, lakukan berdua dengan kerja sama yang baik!"
Dua orang raksasa itu menjadi takut dan mereka bergerak perlahan-lahan menghampiri pembaringan di mana tubuh Biauw Eng sudah rebah terlentang. Setelah dekat dengan pembaringan dan Biauw Eng yang sudah putus asa itu sudah memejamkan mata sambil menggunakan kepandaiannya untuk mematikan segala panca indera, dua pasang lengan yang panjang serta jari-jari tangan yang besar dan kasar itu bergerak hendak menjamah tubuh Biauw Eng, hendak merenggut lepas pakaian gadis itu sebagai langkah pertama kedua orang laki-laki liar yang melaksanakan tugas penuh gairah itu.
"Tahan! Kalau tangan-tanganmu yang kotor menyentuh gadis itu, kalian akan mampus!" bentak Keng Hong yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan sepasang matanya memandang bagai mengeluarkan api bernyala-nyala kepada dua orang raksasa Mongol.
Kedua orang itu terkejut mendengar suara yang mengandung khikang kuat dan sangat berwibawa itu. Akan tetapi pada saat mereka menoleh dan melihat betapa Cui Im hanya tertawa mengejek, mereka pun tertawa kemudian melanjutkan gerakannya yang tertunda. Seorang meraih baju, seorang lagi meraih celana.
"Krakkkkk-krakkkkk!"
Tiba-tiba terdengar suara keras, belenggu tangan dan kaki Keng Hong hancur berantakan dan tubuhnya sudah mencelat ke depan. Saking kagetnya menyaksikan hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu, Cui Im hanya memandang terbelalak melihat betapa tubuh Keng Hong sudah berkelebat maju, kedua tangannya menjambak rambut kepala kedua orang raksasa itu dan sekali gerak, dia sudah membenturkan dua buah kepala itu satu sama lain sehingga terdengarlah suara keras sekali dan dua buah kepala itu pecah berhamburan!
Tanpa bersambat lagi dua orang raksasa Mongol itu tewas seketika. Gerakan Keng Hong demikian cepat sehingga kedua orang itu sama sekali tidak sempat untuk membela diri.
Keng Hong meraba belenggu kaki tangan Biauw Eng. Dengan beberapa kali renggutan sambil mengerahkan sinkang-nya yang sudah mencapai tingkat sangat tinggi, belenggu pada kaki tangan Biauw Eng patah-patah.
"Lekas engkau pergi menolong mereka..." Keng Hong berkata sambil cepat membalikkan tubuh menghadapi Cui Im.
Biauw Eng mengerti apa yang dimaksudkan Keng Hong, maka dia lalu meloncat keluar melalui pintu kamar tahanan itu, membiarkan Keng Hong yang dia percaya penuh akan kelihaiannya untuk menghadapi Cui Im yang merupakan lawan terkuat. Biauw Eng juga maklum bahwa saatnya untuk memberontak dan melawan mati-matian telah tiba, maka ia pun tidak mau ragu-ragu lagi.
Begitu tiba di luar pintu kamar itu, empat orang penjaga yang baru datang karena kaget mendengar suara ribut-ribut, langsung dirobohkan oleh Biauw Eng dalam sekejap mata. Bahkan gadis itu segera menyambar sebatang pedang yang dirampasnya dari seorang di antara mereka yang dirobohkannya.
Cui Im telah dapat menguasai hatinya yang sejenak tadi mengalami guncangan saking kagetnya melihat Keng Hong tiba-tiba saja dapat membebaskan diri dari belenggu itu. Kini mengertilah dia bahwa selama ini Keng Hong hanya berpura-pura menjadi tawanan dan bahwa jika memang dikehendaki, pemuda luar biasa itu setiap saat dapat membebaskan diri sendiri.
Akan tetapi Cui Im tidak menjadi takut. Cepat dia mencabut pedang Siang-bhok-kiam, pedang kayu milik Keng Hong yang telah dirampasnya dan dia telah siap melawan Keng Hong dengan pedang itu.
"Hemm... kiranya engkau telah mengatur semua rencana untuk menyelamatkan diri, Keng Hong. Jangan kira akan mudah saja!" Ia tertawa dan memandang Pedang Kayu Harum di tangannya lalu menyambung, "Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa akhirnya Cia Keng Hong, pewaris utama Siang-bhok-kiam, justru akan mati di ujung Siang-bhok-kiam sendiri!"
Setelah berkata demikian, Cui Im lalu menerjang maju dengan pedang digerakkan cepat sekali, mengirim serangan kilat ke arah tenggorokan Keng Hong dengan ujung digetarkan dan siap melanjutkan serangan dengan goresan ke bawah untuk membelah dada! Hebat sekali penyerangan Cui Im ini, selain cepat, juga mengandung sinkang yang kuat sekali.
Keng Hong meraba ke arah pusarnya. Ketika tangan itu diangkat ke atas, berkelebatlah sinar kehijauan menangkis pedang kayu di tangan Cui Im.
"Krekkkkkk!"
"Aihhhhh...!"
Cui Im terkejut bukan main melihat Pedang Kayu Harum di tangannya itu sudah hancur berkeping-keping ketika bertemu dengan pedang di tangan Keng Hong. Pada waktu dia memandang, hatinya makin terkejut melihat bahwa pemuda itu ternyata juga memegang sebatang pedang kayu yang serupa benar dengan pedangnya tadi.
Teringatlah dia akan akal Keng Hong dahulu mengelabui para pimpinan Kun-lun-pai, dan tahulah dia bahwa pedang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong dan yang tadi dia gunakan itu ternyata pun hanya sebatang Siang-bhok-kiam palsu saja, sedangkan Pedang Kayu Harum yang aslinya masih berada di tangan Keng Hong, disembunyikan di dalam celananya!
"Keparat, penipu busuk!" Cui Im menjerit penuh kemangkalan.
Ia membuang gagang pedang kayu palsu, kemudian sekali tangannya bergerak, tampak sinar merah menyilaukan mata dan kini pedang merahnya yang terkenal telah berada di tangannya, kemudian langsung dia mengirim tusukan dengan pedang merahnya.
Keng Hong cepat-cepat menangkis, bahkan dia melanjutkan tangkisan dengan tusukan Siang-bhok-kiam dengan gerakan melengkung, mengarah ke ubun-ubun lawan.
"Cringgggg...!"
Cui Im maklum akan bahaya maut ini maka cepat menangkis sekuat tenaga. Namun tetap saja dia merasa betapa tangan kanannya kesemutan sampai dia cepat-cepat meloncat mundur. Pada saat itu, dari pintu muncullah Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong. Tanpa banyak cakap lagi, dua orang kakek yang sudah maklum akan kelihaian Keng Hong, maju menerjang pemuda itu dengan senjata mereka.
Keng Hong tahu akan bahayanya dikeroyok tiga orang sakti ini, apa lagi di tempat yang sempit. Sebenarnya, dia tidak merasa takut dan merasa yakin akan sanggup menandingi mereka, namun hatinya penuh kekhawatiran akan nasib tiga orang temannya, terutama sekali tentu saja nasib Biauw Eng.
Karena itu, tiba-tiba saja dia mengeluarkan bentakan nyaring, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak cepat menangkis kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong beserta pedang merah di tangan Cui Im yang menyerangnya. Sekaligus dia telah menangkis dua senjata lawan ini.
Akan tetapi dia pun waspada terhadap serangan Pak-san Kwi-ong, maka tubuhnya cepat sekali bagaikan burung terbang melesat di antara dua buah tengkorak manusia yang menyambar-nyambar di ujung rantai yang dipegang oleh kedua tangan kakek tinggi besar hitam itu. Sambil melesat di antara dua buah buah tengkorak itu, Keng Hong memutar pedang dibantu tangan kirinya yang mendorong dengan pukulan sinkang sehingga angin bercuitan menyambar tiga orang lawan dibarengi sinar kehijauan Siang-bhok-kiam.
Tiga orang lawannya yang memiliki ilmu tinggi cukup waspada, maka mereka melangkah mundur dan memutar senjata melindungi tubuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat keluar pintu kamar tahanan.
Suara hiruk-pikuk beradu senjata menarik perhatiannya dan ke tempat itulah Keng Hong meloncat secepat kilat. Dugaannya benar. Di dalam sebuah kamar tahanan lain, dia melihat Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengamuk dikeroyok banyak tokoh musuh. Biauw Eng bersenjatakan pedang, Yan Cu agaknya sudah berhasil merampas pedang pula sehingga kini gadis perkasa ini juga mengamuk menggunakan kaki tangannya.
Ketika tadi dibebaskan Keng Hong, Biauw Eng berhasil menemukan Yan Cu yang sedang merawat Cong San di dalam kamar tahanan. Biauw Eng merobohkan beberapa orang penjaga dan dengan senjata rampasannya dia berhasil pula mematahkan belenggu kaki tangan kedua orang teman itu.
Akan tetapi mereka segera dikurung dan dikeroyok oleh Gu Coan Kok, Hok Ku, keempat Pak-san Su-liong yaitu murid-murid Pak-san Kwi-ong yang bersenjata rantai tengkorak, dan kemudian datang pula Thian-te Siang-to bersama tokoh-tokoh lain anak buah Pat-jiu Sian-ong sehingga di dalam kamar tahanan itu terjadi pertempuran yang amat hebat dan mati-matian.
Melihat keadaan tiga orang kawannya yang masih selamat biar pun telah terdesak hebat, Keng Hong menjadi lega hatinya. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi dan tubuhnya menerjang maju. Bobollah kepungan itu dan beberapa orang terpelanting oleh terjangan pemuda sakti ini yang terus melompat ke dalam sambil berseru,
"Kita terjang keluar! Cepat...!"
Namun pada saat itu Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong sudah datang, dalam pengejarannya terhadap Keng Hong sehingga jalan keluar melalui pintu sudah terhalang oleh tiga orang yang lihai ini. Pat-jiu Sian-ong menggeluarkan suara bersuit nyaring dan semua orang yang mengeroyok berloncatan keluar dari kamar itu.
"Awas jebakan...!" Keng Hong memperingatkan teman-temannya.
Akan tetapi mereka berada di dalam kamar yang dipagari musuh dengan senjata siap menyerang kalau mereka keluar, maka jalan keluar pada saat itu sama sekali tertutup. Terdengar suara keras dan tiba-tiba lantai kamar tahanan itu turun ke bawah!
Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu terkejut sekali, namun betapa pun tinggi kepandaian empat orang muda ini, mereka sama sekali tidak berdaya menyelamatkan diri dan terpaksa tubuh mereka ikut terbawa turun oleh lantai kamar itu. Pada saat mereka memandang ke atas, ternyata lubang di atas telah tertutup dan mereka terjebak ke dalam sumur yang amat dalam dan gelap!
Cui Im membanting-banting kaki. "Sialan! Mereka sudah menimbulkan kekacauan besar sehingga kita telah kehilangan tiga orang pembantu!"
"Hanya dua orang, Lian Ci Sengjin dan Thai-lek Sin-mo, bukan tiga orang," kata Pat-jiu Sian-ong menghibur. "Kita masih cukup kuat."
"Tiga orang," bantah Cui Im. "Yang dua orang tewas, yang seorang, yaitu Sian Ti Sengjin tenggelam dalam kedukaan seperti orang kehilangan semangat."
"Kedukaannya akan dapat di atasinya," kata Pak-san Kwi-ong. "Yang patut disayangkan adalah terlepasnya harapan kita mendapat bantuan Go-bi Thai-houw."
"Lebih baik sekarang juga kita bergerak ke puncak. Siapa tahu akan terjadi perubahan yang merugikan mereka. Pat-jiu Sian-ong, harap dipersiapkan barisan sekarang juga. Kita gempur mereka di puncak!"
"Mereka itu, bagaimana?" Tanya tuan rumah yang menudingkan telunjuknya ke arah sumur jebakan di bawah kamar tahanan di mana empat orang muda itu terjeblos.
"Bunuh mereka! Hujani anak panah!" kata Pak-san Kwi-ong.
Cui Im menggeleng kepala. "Percuma. Mereka adalah orang-orang lihai. Mana mungkin anak-anak panah membunuh mereka? Sian-ong, apakah di dalam lubang itu tidak ada alat rahasia yang dapat membunuh mereka?”
Pat-jiu Siang-ong menggelengkan kepala. "Tempat itu dibuat khusus untuk menjebloskan tawanan, bukan dimaksudkan untuk membunuh."
"Hemmm, kalau begitu kita pergunakan cara yang paling menyakitkan, biar pun agak lama akan tetapi pasti Keng Hong tidak mampu melawannya, yaitu membiarkan mereka mati kelaparan dan kehausan. Akan tetapi, tempat ini harus diteliti supaya tidak sampai mereka bobol."
Pat-jiu Sian-ong tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Jangankan manusia, biar gajah sekali pun kalau sudah terjeblos di situ takkan mampu lolos. Dindingnya terbuat dari baja, dan tidak ada cara untuk meloncat ke atas karena bagian atas tertutup pula oleh lapisan baja yang tebal."
Demikianlah, setelah mengadakan perundingan Cui Im bersama teman-temannya segera memimpin pasukan untuk menyerang ke puncak Tai-hangsan di mana sedang berkumpul tokoh-tokoh partai besar yang menentang mereka. Sian Ti Sengjin memerintahkan anak buah Phu-niu-san yang ikut bersama dia dan mendiang sute-nya, akan tetapi dia sendiri tetap tinggal di benteng itu, pertama untuk mengabungi kematian sute-nya, ke dua untuk membantu penjagaan kalau-kalau para tawanan akan meloloskan diri.
Cui Im menyetujui permintaannya, pertama karena kepandaian bekas tokoh Kun-lun-pai ini pun baginya tidaklah amat dibutuhkan, ke dua karena memang perlu ada orang pandai yang membenci Keng Hong ikut pula menjaga agar tawanan tidak sampai lolos. Dan dia tahu betapa bencinya bekas tokoh Kun-lun-pai ini kepada Keng Hong, karena bukankah pemuda itu yang telah menyeret jatuh kedudukannya yang tinggi di Kun-lun-pai?
Menjelang pagi, rombongan ini berangkat dan mereka yang ditinggalkan di benteng lantas melakukan penjagaan di sekitar benteng. Sian Ti Sengjin sendiri tak pernah meninggalkan bekas kamar tahanan yang kini sudah menjadi sumur atau kuburan bagi empat orang muda yang terjeblos.
"Ha-ha-ha!" Thai-lek Sin-mo tertawa bergelak dan bertolak pinggang menghadapi Cong San. Pemuda ini bersikap tenang dan sudah siap untuk melawan kalau si raksasa gendut ini hendak melakukan kekejian terhadap Yan Cu.
"Ang-kiam Bu-tek benar-benar aneh sekali! Memberikan si jelita ini memakai syarat pula, harus kulakukan di kamar ini dan di hadapan matamu, orang muda! Ha-ha-ha! Entah apa kehendaknya, akan tetapi di depanmu atau di mana saja, apa bedanya? Hanya kuharap engkau akan cukup sopan untuk meramkan matamu dan hanya menikmati pertunjukkan ini dengan telingamu saja. Ha-ha-ha! Gadis yang manis seperti bidadari, kau bersiaplah menerima aku!"
Thai-lek Sin-mo membalikkan tubuhnya dan hendak menerkam tubuh Yan Cu yang rebah terlentang di atas pembaringan. Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa dia sedang terancam bahaya hebat, maka mengambil keputusan untuk melawan mati-matian biar pun tangan kakinya terbelenggu.
Sebagai murid tersayang dari Tung Sun Nio, ia memiliki ginkang yang hebat. Kini melihat raksasa gendut itu melangkah maju dengan kedua lengan berbulu dipentang lebar, baju bagian atas terbuka memperlihatkan dada yang berbulu lebat, muka yang menyeringai mengerikan, Yan Cu menggerakkan tangan dan kaki yang terbelenggu ke atas dipan dan sekali mengenjot tubuh, ia telah menendangkan kedua kaki yang terbelenggu itu ke arah pusar Thai-lek Sin-mo!
"Blukkk!"
Serangan ini sama sekali tak disangka-sangka oleh Thai-lek Sin-mo yang tengah dimabuk nafsu birahi, maka mengenai perutnya dengan keras. Namun ternyata raksasa gendut berbangsa Kerait ini memiliki kekebalan sehingga tendangan yang sangat kuat itu hanya membuat dia terhuyung dan mengerutkan kening dengan perut terasa agak mulas.
Sebaliknya, karena kaki tangannya terbelenggu, pada saat kedua kaki Yan Cu bertemu dengan perut yang gendut dan keras itu, tubuhnya sendiri langsung terbanting kembali ke atas pembaringan dengan keras.
"Ha-ha-ha, engkau benar-benar liar! Aku senang... Aku senang sekali... Makin hebat kau melakukan perlawanan, makin menyenangkan, Manis!" Cou Seng sudah melangkah maju lagi mendekati pembaringan sambil tertawa terkekeh-kekeh, dari sudut mulutnya yang lebar menetes air liur seperti seekor anjing melihat daging.
"Thai-lek Sin-mo, tahan!" tiba-tiba Cong San berseru.
Sudah gatal-gatal tangan pemuda ini hendak menerjang raksasa gendut itu. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang tenang dan cerdik. Kalau dia menerjang raksasa gendut itu di dalam kamar tahanan, mungkin dia akan berhasil membunuh lawan ini, akan tetapi tidak mungkin akan dapat membebaskan diri dan menolong Yan Cu.
Apa bila terjadi perkelahian di situ, tentu tokoh-tokoh pihak lawan akan datang dan mana mungkin dia dapat melawan mereka? Pihak musuh sangat banyak dan banyak di antara mereka yang memiliki kepandaian amat tinggi.
Thai-lek Sin-mo memutar tubuh seperti singa menoleh. "Mengapa banyak cerewet? Kalau kau tidak suka menonton, pejamkan matamu!" bentaknya.
"Thai-lek Sin-mo, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi dan gagah perkasa, siapa kira ternyata engkau hanya seorang pengecut dan penakut!"
Thai-lek Sin-mo mendelik marah dan inilah yang diharapkan Cong San. Lengan yang besar itu bergerak.
"Plakkk!"
Pipi Cong San ditamparnya keras sekali sehingga pemuda ini merasa kepalanya pening dan ujung bibirnya berdarah. Akan tetapi ia menahan sabar dan melajutkan kata-katanya,
"Engkau hendak menikmati tubuh gadis ini adalah hal yang wajar dan tidak aneh, akan tetapi ke mana perginya sifat gagahmu, sifat laki-lakimu hingga engkau begitu merendah diri untuk melakukannya di sini, terlihat oleh orang lain? Hal itu akan membuat engkau malu dan hina! Apakah kalau engkau membawa dia itu ke hutan lantas menikmatinya di tempat sunyi sepuas hatimu, engkau tidak berani? Takut kalau-kalau gadis yang sudah terbelenggu itu melawanmu? Begitu penakutnya engkau yang berjuluk Thai-lek Sin-mo?"
"Yap-twako...! Kau... Kau...!” Yan Cu terbelalak marah.
Saking marahnya, Yan Cu kembali meloncat dan menerjang Thai-lek Sin-mo dengan dua kakinya. Akan tetapi sekali ini, raksasa gendut itu cepat menyambar lantas mengempit pinggangnya. Kemudian sambil menyeringai ke arah Cong San dia berkata,
"Kalau dipikir, omonganmu benar juga. Tempat ini terlalu sempit untuk menaklukkan kuda betina liar macam ini, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian Thai-lek Sin-mo lalu membawa Yan Cu keluar dari tempat tahanan sambil tertawa-tawa.
Yan Cu berteriak-teriak memaki, "Yap Cong San, ternyata engkau hanya seorang yang berwatak pengecut dan rendah!"
Tentu saja tidak ada penjaga yang merintangi larinya Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang masih berteriak-teriak memaki sambil meronta-ronta itu. Ia memasuki sebuah hutan lebat yang sunyi, kemudian sambil tertawa-tawa dia merenggut pakaian Yan Cu, menelanjangi gadis itu yang menyepak-nyepak dan meronta-ronta tanpa hasil.
Melihat tubuh yang menggairahkan itu di bawah sinar bulan, nafsu birahi bernyala-nyala di dalam hatinya. Dia kemudian melemparkan tubuh Yan Cu ke atas rumput, lalu sambil menyeringai dia tergesa-gesa melepas bajunya sendiri dan akhirnya dia mendekati tubuh Yan Cu.
Yan Cu menggulingkan tubuhnya, berusaha menjauhi orang yang mengerikan itu. Tentu saja usahanya sia-sia belaka karena sambil tertawa-tawa seenaknya raksasa gendut itu melangkah lebar mengikuti ke mana tubuh gadis itu bergulingan, lagaknya seperti seekor kucing mempermainkan tikus dan hendak mempermainkan dulu sepuas hatinya sebelum akhirnya menerkamnya.
Yan Cu mengerti bahwa dia tak mungkin dapat membebaskan diri. Maka ketika melihat tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah jurang, tiba-tiba ia menggerakkan tenaga dengan kaki dan tangan menekan tanah dan tubuhnya sudah meloncat untuk terjun ke jurang. Dia memilih hancur ke dalam jurang dari pada menjadi korban perkosaan Thai-lek Sin-mo. Akan tetapi, lengan raksasa itu sudah menyambarnya.
"Ha-ha-ha, tidak boleh, Manis!" kata raksasa itu dan membawa tubuh Yan Cu ke tempat tadi, merebahkan di atas rumput dan dia sendiri berlutut. Yan Cu memejamkan mata, tak tertahan lagi dia terisak menghadapi saat yang mengerikan itu.
"Keparat, lepaskan dia!" Tiba-tiba Cong San muncul dan mengirim pukulan dari belakang.
"Aihhh…!"
Thai-lek Sin-mo terkejut dan cepat meloncat bangun sambil menangkis. Ke dua lengan mereka bertemu dan keduanya segera terhuyung ke belakang. Ternyata tenaga raksasa itu benar-benar hebat sekali.
Untung bahwa Cong San tidak terlambat datangnya dan bahwa Thai-lek Sin-mo hendak mempermainkan dulu korbannya sehingga gadis itu terhindar dari pada perkosaan. Ketika tadi melihat Thai-lek Sin-mo melarikan Yan Cu, Cong San cepat berkelebat keluar, kaki tangannya lantas bergerak cepat merobohkan empat orang penjaga di depan pintu kamar tahanan sehingga mereka roboh tanpa sempat berteriak lagi.
Kemudian Cong San menyelinap keluar, mempergunakan ginkang-nya yang tinggi untuk meloncat-loncat dan menyelinap di antara pohon-pohon mengejar Thai-lek Sin-mo. Kalau saja dia tidak mendengar suara Thai-lek Sin-mo tertawa-tawa, agaknya akan sulit baginya untuk dapat menyusul dengan cepat.
Ketika melihat raksasa itu berlutut dan Yan Cu menangis, kemarahan membuat dada Cong San bagaikan hendak meledak, maka dia langsung mengirim pukulan yang dapat ditangkis oleh raksasa gendut itu.
"Tar-tar-tarrr...!"
Thai-lek Sin-mo sudah melolos cambuk bajanya menyerang Cong San. Raksasa gendut ini marah bukan main karena dalam saat terakhir ketika dia hendak menikmati korbannya muncul pemuda ini yang sama sekali tidak disangkanya. Dia tidak sempat lagi menyelidiki bagaimana pemuda itu dapat terlepas dan muncul, kemarahan membuat dia gelap mata dan langsung menyerang kalang kabut dengan sambaran pecut bajanya yang lihai.
Cong San hanya bertangan kosong. Kedua macam senjatanya, yakni senjata rahasia Touw-kut-chi (Uang logam Penebus Tulang) dan sepasang Im-yang-pit sudah dirampas musuh. Namun pemuda gemblengan ketua Siauw-lim-pai ini bersikap tenang dan tabah. Melihat gulungan sinar hitam dari pecut baja lawan yang menyambar-nyambar, dia lalu mengerahkan ginkang-nya, melesat ke kanan dan kiri sambil berusaha membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan dekat.
"Yap Cong San manusia hina! Aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Terdengar Yan Cu memaki, menahan isak.
Hatinya masih panas sekali mengingat akan sikap Cong San dalam kamar tahanan tadi yang seolah-olah tidak mempedulikan nasibnya malah memberi nasehat kepada raksasa gendut untuk melarikannya dan memperkosanya di dalam hutan.
Sambil meloncat tinggi dan mengelak dari sambaran pecut yang menyerampang kakinya, Cong San membela diri atas makian gadis yang menjatuhkan hatinya itu, "Harap jangan salah sangka, Moi-moi. Aku sengaja memancing dia ke tempat sunyi ini agar aku dapat menolongmu tanpa gangguan musuh-musuh yang lain!"
"Oohhhh... maaf... maaf...!" Yan Cu kini terisak lagi seperti tadi, hanya bedanya, kini dia terisak karena menyesal akan dugaannya yang keliru sehingga dia memaki pemuda itu, dan karena girang mengharapkan pertolongan.
Mendengar isak tangis gadis itu, Cong San mendapat semangat baru dan gerakannya semakin lincah. Pada saat cambuk itu dengan suara bercuitan menyambar lehernya, dia mengerahkan sinkang, membiarkan ujung cambuk baja membelit leher, namun secepat kilat dia menangkap cambuk dan kedua kakinya mengirim tendangan berantai ke arah pusar dan tangan lawan yang memegang cabuk. Gerakannya cepat sekali, juga sangat kuatnya.
Dalam hal ilmu silat, memang pemuda ini masih menang setingkat kalau dibandingkan lawannya, menang cepat dan ilmu silatnya lebih murni, gerakannya lebih teratur, hanya dalam hal tenaga dia kalah sedikit.
Menghadapi tendangan yang susul-menyusul amat cepatnya ini, Cou Seng terkejut dan mengeluarkan gerengan dahsyat ketika dia terpaksa melepaskan gagang cambuk untuk menyelamatkan pergelangan tangannya dari sebuah tendangan kilat. Cong San cepat melepaskan cambuk dan melempar cambuk itu jauh dari tempat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba lawannya yang bertubuh gemuk bundar itu sudah menubruknya dan tahu-tahu kedua lengan yang berbulu dan besar telah memeluk pinggangnya. Betapa pun Cong San mengerahkan tenaga, tetap saja tubuhnya terangkat ke atas dan di banting!
"Brukkk!”
Tubuh Cong San terguling-guling dan kembali raksasa gendut itu menubruk. Akan tetapi sekali ini Cong San yang merasa sakit-sakit pada pinggul dan punggungnya, sudah siap dan kakinya segera menendang dari bawah.
"Desssss!"
Tubuh Thai-Lek Sin-mo yang sedang menubruk maju itu kena ditendang dadanya hingga raksasa itu terbatuk-batuk dan napasnya terasa seperti akan putus. Tapi kiranya dia kuat sekali karena pada saat Cong San meloncat bangun dan memukul ke arah ulu hatinya dengan pukulan keras, raksasa itu masih dapat mengelak miring dan tahu-tahu lengan kanan Cong San sudah ditangkapnya.
Dengan jurus ilmu gulat yang tidak dikenal Cong San, tahu-tahu lengan itu dipelintir dan tubuh Cong San sudah ditelikung, hendak dipatahkan sambungan lengan dari pundaknya! Cong San merasa betapa pundaknya nyeri sekali. Segera dia membalik, mengendorkan lengan kanan yang hendak dipatahkan, lalu jari tangan kirinya menyambar dan menotok pinggang lawan karena keadaan tubuhnya sudah dihimpit ke bawah.
Sedetik saja dia terlambat tentu sambungan lengannya sudah lepas dari pundak! Totokan itu membuat tubuh Cou Seng tiba-tiba lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cong San untuk merenggut lengannya terlepas, lantas secepat kilat dia menamparkan tangan kirinya ke arah kepala lawan yang masih lemas dan belum pulih kekuatannya itu.
Kalau tamparan itu mengenai sasaran, betapa pun kebal tubuh Cou Seng, tentu akan pecah kepalanya. Akan tetapi, Cou Seng bukanlah seorang yang lemah dan dia sudah mengalami banyak perkelahian mati-matian. Walau pun kepalanya pening dan tubuhnya lemas akibat totokan di pinggangnya tadi, melihat datangnya tamparan, dia masih sempat melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan sehingga jalan darahnya pulih kembali.
Saat Cong San meloncat mengejar dan mengirim tendangan, tangan kirinya menyambar. Dia memang ahli dalam ilmu gulat yang menggunakan kecepatan gerak jari tangan untuk menangkap bagian tubuh lawan. Kini jari-jari tangan kirinya berhasil menangkap tumit kaki Cong San yang menendang, lalu menggunakan tenaga sentakan sebab untuk memegang terlalu lama pun berbahaya baginya.
Cong San mengeluarkan seruan kaget. Untuk menjaga kakinya yang bisa saja terkilir atau bahkan patah, dia sama sekali tidak melawan, bahkan mengikuti gerak putaran lawannya sehingga tubuhnya terbanting ke kiri, terbanting keras akan tetapi cepat dia melanjutkan bantingan itu dengan loncatan ke atas berjungkir balik beberapa kali.
Setelah dia meloncat turun, dia melihat Cou Seng sudah lari. Celaka, pikirnya, kalau setan itu memanggil kawan-kawannya, maka dia dan Yan Cu akan tertawan kembali! Cepat dia mengambil sebuah batu dan dengan kepandaiannya menyambitkan senjata rahasianya, batu itu melayang ke arah tubuh Cou Seng.
"Aduhhh...!" Tubuh raksasa itu terguling.
Cong San cepat-cepat loncat mendekat dan hampir saja dia menjadi korban tipu muslihat Thai-lek Sin-mo. Ketika pemuda ini membungkuk, tiba-tiba saja kedua tangan raksasa itu menyambar ke atas hendak mencekik lehar.
"Aihhhhh...!"
Cong San cepat menggunakan tangannya, bukan menangkis karena dia sudah maklum akan kekuatan kedua tangan yang sudah menyentuh kulit lehernya sehingga tangkisan mungkin tidak akan menyelamatkan lehernya yang tentu akan remuk oleh cengkeraman lawan. Sebaliknya dia menggunakan jari untuk menotok kedua lengan lawan dekat siku.
Pemuda murid Siauw-lim-pai ini memang seorang ahli totok jalan darah karena sepasang senjatanya, yaitu Im-yang-pit, memang merupakan senjata untuk menotok. Maka tentu saja totokannya tepat mengenai sasaran sehingga kedua lengan lawan menjadi lumpuh dan cekikan itu pun terlepas.
Cou Seng memang hebat sekali ilmu gulatnya. Kedua lengannya sudah lumpuh untuk sementara, akan tetapi kedua kakinya tidak dan sebelum Cong San tahu apa yang akan dilakukan oleh jago gulat yang lihai ini, tahu-tahu kedua kaki raksasa gendut itu sudah membelit dan ‘menggunting’ dua kakinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, tubuhnya terguling menindih tubuh Cou Seng.
Hebatnya, raksasa gendut ini biar pun perutnya gendut seperti kerbau, ternyata gerakan tubuhnya di atas tanah cepat bukan main sebab begitu lawan roboh karena dia ‘sengkelit’ kakinya, dia sudah menggulingkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya sendiri yang besar dan berat sudah menindih memalang pada tubuh Cong San!
Dalam keadaan rebah tertelungkup ditindih tubuh sebesar Thai-lek Sin-mo yang masih menggunakan tenaga itu sama saja dengan ditindih tubuh seekor gajah sehingga Cong San sampai tak mampu berkutik! Masih untung bagi murid Siauw-lim-pai itu bahwa kedua tangan lawannya masih setengah lumpuh, karena kalau kedua tangan lawannya sudah pulih tenaganya, dalam keadaan tertelungkup dan terhimpit itu tentu saja lawannya akan dapat mengirim pukulan maut dengan amat mudahnya!
Cong San cepat menjangkau untuk meraih dan memukul. Akan tetapi jago gulat itu sudah memperhitungkan ini dan karenanya dia menghimpit tubuh bagian bawah lawan sehingga kedua tangan Cong San tidak dapat memukulnya. Dalam keadaan amat berbahaya ini, Cong San tidak mempedulikan lagi akan peraturan kaum persilatan karena lawannya pun menggunakan ilmu gulat. Ia lalu mencengkeram ke atas dan berhasil menjambak rambut lawan yang terurai lepas, terus menarik rambut itu sekuatnya.
"Wadouuhhh...!"
Kulit Thai-lek Sin-mo boleh jadi kebal, tetapi kalau akar-akar rambutnya hendak tercabut, sakitnya bukan kepalang dan terpaksa dia menjulurkan kepalanya agar tidak terlalu keras tertarik. Namun gerakannya inilah yang mencelakakannya karena kini tangan Cong San dapat bergerak cepat, melepas rambut kemudian jari tangannya ditusukkan ke ubun-ubun lawan.
"Crokkk!" Tiga buah jari tangan pemuda itu amblas memasuki batok kepala kurang lebih lima senti dalamnya, menembus otak.
Teriakan dahsyat keluar dari mulut Cou Seng, tubuhnya berkelojotan kemudian nyawanya melayang. Cong San keluar dari himpitan tubuh berat itu, sejenak matanya memandang dan setelah merasa pasti bahwa lawannya tewas, dia baru lari menghampiri Yan Cu.
Melihat keadaan gadis yang telanjang bulat, Cong San cepat menyambar pakaian gadis itu dan dengan menahan debaran jantungnya serta menahan agar matanya tidak terlalu liar memandang tubuh itu, dia mengenakan pakaian pada tubuh Yan Cu sedapatnya. Yan Cu membantu sebisanya dengan gerakan tubuh karena kedua tangannya terbelenggu ke belakang sedangkan kedua kakinya masih terbelenggu pula.
"Kita harus cepat membuka belenggumu," bisik Cong San.
"Twako, maafkan aku..."
"Hushhh... sudahlah, aku yang salah, menggunakan akal hingga kau keliru menduga...!"
"Dan terima kasih atas pertolonganmu yang tak ternilai besarnya..."
"Sstttt..., jangan ucapkan itu, Moi-moi. Sekarang yang paling penting bagaimana kita bisa mematahkan belenggu."
"Kau sendiri, bagaimana dapat meloloskan diri?"
"Dengan Ilmu Sia-kut Sin-hoat, akan tetapi terlalu lama dan... ahhh..."
"Ehh, kau terluka, Twako?" Yan Cu bertanya kaget.
Cong San mengusap bibirnya yang berdarah. Memang dia terluka, luka di sebelah dalam tubuh yang dia derita dalam perkelahian mati-matian tadi. Di samping luka dalam akibat bantingan dan pukulan, juga lehernya masih terasa nyeri bekas libatan ujung cambuk baja dan pundaknya agaknya terkilir pada saat lengannya hendak dilepaskan dari pundak oleh lawan tadi.
"Luka tidak berarti, yang penting mematahkan belenggumu. Sayang kita tidak membawa senjata..."
Cong San kemudian pergi mengambil dua buah batu besar. Sebuah batu yang terbesar dia letakkan di atas tanah, kemudian dia minta supaya Yan Cu merebahkan tubuh miring sehingga kedua tangannya berada di dekat batu. Setelah mengatur agar belenggu tangan itu berada di atas batu, dia berbisik,
"Tahankanlah, Moi-moi, aku akan mencoba untuk mematahkan belenggu dengan batu ini!"
Yan Cu mengangguk dan mulailah secara bertubi-tubi Cong San menggempur belenggu itu dengan batu yang dipegangnya kuat-kuat. Tentu saja tak mungkin dapat mematahkan belenggu besi dengan batu tanpa menggunakan tenaga sinkang dan untuk perkerjaan ini, Cong San mengerahkan seluruh tenaganya. Rasa sakit-sakit di tubuhnya bertambah dan keringat sudah membasahi seluruh muka dan lehernya ketika akhirnya dia berhasil juga mematahkan belenggu kedua tangan Yan Cu.
Gadis ini pun bukannya tidak menderita. Tiap kali belenggu tangannya dipukul, rasa pedih dan panas menjalar dari pergelangan tangan bagai menusuk jantung. Maka begitu kedua tangannya terlepas, dia lalu merangkul leher pemuda itu dan dia membenamkan mukanya di dada yang basah oleh keringat.
"Ehhh...! Ahhh...! Belenggu kakimu, Moi-moi...!" Cong San tidak tahu mana yang lebih membingungkan hatinya, rangkulan kedua lengan itu ataukah belenggu kaki Yan Cu yang belum patah!
Untuk menyembunyikan kebingungannya, Cong San segera mulai hendak mematahkan belenggu kaki dengan batu tadi sungguh pun tenaganya sudah hampir habis dan dadanya terasa sasak. Karena kaki gadis itu agak jauh dari batu yang dipakai landasan, maka Cong San memegang pergelangan kaki gadis itu untuk di dekatkan dengan batu.
"Plakkk!"
Cong San terkejut sekali karena tangannya yang memegangi kaki itu ditampar. Lebih kaget lagi ketika dia menengok, dia melihat pandang mata gadis itu penuh kemarahan.
"Yap-twako, apakah engkau juga menjadi kurang ajar?!"
Cong San terbelalak kaget, "Apa...?!"
"Kau meraba-raba kaki, mau apa?"
"Ehh... ohhh ... aku... aku hendak mematahkan belenggu kakimu..."
Sejenak pandang mata gadis itu menatapnya tajam penuh selidik, kemudian tersenyum dan merangkul pundak pemuda itu, melonjorkan kakinya, dan berkata lirih,
"Maafkan aku... ah. Aku selalu berprasangka buruk terhadap dirimu, Twako. Lakukanlah... dan... terima kasih."
Hemmm, sungguh gadis yang aneh dan... menggemaskan, pikir Cong San. Bukan gemas marah, melainkan gemas mengkal membuat orang ingin mencubitnya!
Gadis itu merangkul lehernya, kini merangkul pundaknya dan meletakkan pipinya di atas pundaknya, semua itu dilakukan dan boleh-boleh saja. Sedangkan dia, baru meraba kaki karena hendak mematahkan belenggu saja, tangannya ditampar dan disangka kurang ajar! Aturan mana ini? Mau menang sendiri saja!
Dengan hati gemas Cong San lalu memukuli batu yang dipegangnya pada belenggu kaki dan karena besi belenggu itu lebih besar dari pada belenggu tangan, tentu saja lebih sukar dipatahkan. Tetapi dia bekerja terus, tidak sadar betapa gadis itu terus memandangnya dengan sinar mata sayu, tidak merasa betapa peluh bercucuran dari dagu dan lehernya.
"Twako...!"
Suara itu terdengar dekat sekali dengan telinga, bisikan yang menghembuskan napas halus ke kuduknya.
"Hemmm...?" Cong San tidak menghentikan usahanya mematahkan belenggu, dia terus menghantam sampai telapak tangannya lecet-lecet berdarah.
"Kenapa engkau begini baik terhadapku, Twako?"
"Hemmmm...?" Sekarang Cong San menghentikan hantamannya pada belenggu kaki itu dan melirik ke kanan, ke arah pundaknya di mana gadis itu meletakkan pipinya. Tiba-tiba jantung pemuda ini berdebar keras. Wajah itu begitu dekat sehingga dia dapat merasakan hembusan napas hangat di pipinya, dan pandang mata itu begitu lembut, jari-jari tangan yang halus itu kini mengusap peluh dari lehernya, begitu mesra!
"Moi-moi, mengapa kau masih bertanya lagi? Aku bersedia membela dan melindungimu dengan taruhan nyawaku."
"Aku tidak menanyakan hal itu, Twako. Yang aku ingin ketahui adalah mengapa engkau amat baik terhadap aku?'
Benar-benar gadis yang aneh. Apa bedanya? Jawaban tadi bukankah sudah menjelaskan isi hatinya? Diam-diam Cong San tersenyum di dalam hatinya. Hemmm, agaknya gadis ini menghendaki jawaban yang langsung. Baiklah!
"Aku akan selalu bersikap baik terhadap dirimu, Moi-moi, untuk selama hidupku, karena aku cinta padamu, Moi-moi."
"Benarkah Twako? Benarkah engkau mencintaku? Sungguh-sungguh?"
Hemmm! Betapa mengemaskan! Cong San menarik napas panjang. "Tentu saja, Moi-moi, tentu saja sungguh-sungguh. Aku berani bersumpah!" Ketika dia memberanikan diri untuk bertanya, "Dan bagaimana tanggapanmu, Moi-moi?"
"Apa? Tanggapan bagaimana?"
Hemmm, bocah ini! Ingin sekali Cong San mencubit bibir yang bertanya seperti orang yang pura-pura tidak mengerti itu.
"Bagaimana dengan hatimu? Dapatkah kau menerima cinta kasihku? Apakah... apakah mungkin seorang gadis jelita seperti engkau mencintaku?"
Yan Cu membelalakkan matanya dan merenggangkan matanya dari atas pundak Cong San, tidak tahu betapa gerakan itu amat mengecewakan hati pemuda itu. "Cinta? Apa sih cinta itu, Twako?"
"Cinta ya cinta! Bagaimana, Moi-moi? Bagaimana perasaan hatimu terhadap diriku? Apa engkau juga cinta kepadaku?"
Yan Cu menggeleng-gelengkan kepala, membuat hati Cong San laksana tertindih anak gunung. "Sampai kini pun aku belum mengerti jelas bagaimana cinta itu sesungguhnya, Twako. Karena belum mengerti, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu itu?"
Cong San menarik napas panjang, hatinya tidak seberat tadi akan tetapi tetap saja dia masih belum puas, merasa seperti tergantung di awang-awang, tenggelam tidak terapung pun belum! Kemudian dia teringat akan pekerjaannya dan tanpa berkata apa-apa dia lalu melanjutkan menghantam belenggu kaki dengan batu sekuat tenaga.
"Yap-twako, kau marah?"
"Hemmm? Tidak.." Akan tetapi hantamannya makin keras saja.
"Biar kugantikan kau, Twako. Lihat tanganmu sudah lecet-lecet. Kasihan engkau, Twako." Suara lembut ini merupakan kompres yang mendinginkan hati Cong San.
Akan tetapi, pada saat dia hendak menyerahkan batu itu kepada Yan Cu, mendadak dia meloncat bangun dengan kaget. Yan Cu juga meloncat berdiri, lupa bahwa kakinya masih terbelenggu sehingga dia hampir terguling bila lengannya tidak disambar oleh Cong San. Ternyata di depan mereka telah berdiri Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, dua orang di antara Empat Datuk Golongan Sesat yang sakti!
Namun, melihat dua orang musuh ini, Cong San berteriak keras dan menyerang dengan nekat ke arah Pat-jiu Sian-ong, menggunakan batu yang dipegangnya. Pat-jiu Sian-ong menangkis dengan tangan kiri. Batu ini hancur bertemu dengan tangan Pat-jiu Sian-ong dan Cong San yang sudah kehabisan tenaga itu terhuyung, kemudian roboh terkena tepukan tangan kakek kecil itu pada pundaknya.
Yan Cu yang kakinya masih terbelenggu akan tetapi kedua tangannya sudah bebas itu pun secara nekat telah meloncat ke depan dan memukul dengan kedua tangannya. Hebat pukulan gadis ini, akan tetapi yang diserangnya adalah seorang tokoh yang menjadi datuk hitam.
Kalau saja kakinya tidak terbelenggu, mungkin dengan kepandaiannya yang sudah amat tinggi itu Yan Cu masih mampu melawan. Akan tetapi kini gerakannya kaku dan sebuah tamparan dari samping oleh kakek seperti raksasa dengan kulit hitam arang itu membuat Yan Cu terlempar dan terbanting di dekat Cong San. Sebelum dua orang muda itu sempat bergerak, ujung jari tangan kedua kakek itu sudah menotok mereka lumpuh dan dengan mudah kedua orang kakek itu mengempit tubuh mereka untuk dibawa kembali ke dalam benteng!
Demikianlah keadaan dua orang muda itu yang sekarang sudah berada di dalam kamar tahanannya kembali. Mereka dilemparkan ke dalam kamar tahanan dan setelah Yan Cu dapat bergerak lagi, biar pun kedua tangannya kini telah dipasangi belenggu baru, gadis ini cepat menghampiri Cong San yang masih pingsan dan menggunakan pengertiannya tentang ilmu pengobatan untuk merawat pemuda itu memulihkan tenaga serta mengobati luka-luka di dalam tubuh yang tidak membahayakan nyawanya akan tetapi memerlukan perawatan yang teliti.
Peristiwa itu terjadi sehari sebelum Cui Im mengunjungi kamar tahanan Keng Hong dan membawa Biauw Eng ke kamar pemuda itu. Dia sengaja membohong dan menceritakan bahwa dia sudah menghadiahkan Yan Cu kepada Thai-lek Sin-mo, tapi tidak mengatakan bahwa kawannya itu sudah tewas di tangan Cong San. Setelah membuat Keng Hong dan Biauw Eng menjadi gelisah memikirkan keselamatan Yan Cu dan Cong San, Cui Im lalu bertepuk tangan lagi dan muncullah kedua orang murid Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to.
"Panggil dua ekor babi itu ke sini!"
Dua orang murid Pat-jiu Sian-ong itu saling pandang. Jelas mereka merasa kecewa dan ragu-ragu dan memang sayang sekali kalau Biauw Eng yang demikian cantik jelita hanya diberikan kepada dua orang anggota anak buah benteng yang tingkatnya paling rendah! Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah dan cepat pergi.
Tidak lama kemudian muncullah dua orang laki-laki bangsa Mongol yang setengah liar. Tubuh mereka tinggi besar dengan otot-otot menonjol pada kaki tangan dan dada mereka yang telanjang. Hanya sehelai cawat yang kecil kotor saja menutup tubuh mereka, tubuh yang kulitnya retak-retak seperti kulit buaya, kering keras dan kasar. Muka mereka buruk sekali, dengan mata sipit yang dilebar-lebarkan, serta mulut yang tak dapat tertutup rapat. Kedatangan mereka berdua ke dalam kamar itu membawa bau yang apek dan tidak enak.
Agaknya sebelum ke sini mereka itu telah diberi tahu akan tugas mereka, karena begitu memasuki kamar, mereka langsung memandang ke arah Biauw Eng sambil tertawa-tawa ha-ha he-he bagaikan sikap orang yang pikirannya tidak normal. Akan tetapi, betapa pun bodohnya, kedua orang liar kasar ini agaknya sangat takut kepada Cui Im dan mereka hanya berdiri menghadapi Cui Im sambil menanti perintah.
Cui Im menoleh kepada Keng Hong dan hatinya yang penuh kebencian itu menjadi girang menyaksikan betapa wajah Keng Hong yang biasanya tenang itu kini berubah, menatap ke arah dua orang pria itu dengan penuh kengerian dan kebencian, juga ia gembira sekali melihat betapa wajah Biauw Eng pucat ketika pandang mata gadis itu tertuju kepada dua orang laki-laki setengah telanjang itu.
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, boleh jadi engkau tahan siksaan dan tidak takut mati, tetapi kuat dan beranikah engkau menghadapi kedua ekor babi hutan ini yang akan memperkosamu sampai mati di depan pandang mata kekasihmu, Keng Hong?"
Biauw Eng menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat dan bibirnya mengeluarkan suara gemetar.
Cui Im tertawa terkekeh-kekeh. "Ha-ha-ha-heh-heh, Sie Biauw Eng yang terkenal sebagai seorang wanita tanpa pernah mengenal takut, yang berwatak dan berdarah dingin seperti mayat hidup, sekarang baru mengenai artinya takut dan baru ngeri hatinya. Hi-hi-hik-hik, alangkah lucunya!"
"Bhe Cui Im!" Suara bentakan Biauw Eng terdengar melengking dan mengandung hawa dingin yang mengejutkan Cui Im. Suara ini mengingatkan dia akan masa dahulu ketika ia masih menjadi suci dari gadis itu dan ketika tingkat kepandaiannya masih jauh berada di bawah Biauw Eng sehingga dia tunduk kepada sumoi-nya. Dia memandang dan melihat sinar mata Biauw Eng yang mengandung keberanian luar biasa seperti dahulu.
"Cui Im, jangan kira bahwa aku merasa takut atau ngeri menghadapi rencanamu yang keji. Engkau tahu bahwa dengan kepandaianku, aku dapat membuat tubuhku seperti mati dan apa pun yang akan dilakukan orang terhadap tubuhku, tidak akan dapat menyentuh perasaan hatiku. Akan tetapi, aku kasihan pada Keng Hong yang akan menyaksikannya. Cui Im, apa sih untungmu menyiksa kami seperti ini? Kalau memang sudah tidak ada jalan lain, kau bunuh saja kami."
Diam-diam Cui Im menjadi makin marah dan habislah harapannya untuk dapat memaksa Keng Hong agar memberikan ilmu yang diinginkannya. Maka dia melambaikan tangannya kepada dua orang raksasa telanjang itu.
Dua orang Mongol ini saling pandang, menyeringai seperti dua ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang. Melihat ini, Cui Im cepat berkata, "Bedebah! Jangan berebut, lakukan berdua dengan kerja sama yang baik!"
Dua orang raksasa itu menjadi takut dan mereka bergerak perlahan-lahan menghampiri pembaringan di mana tubuh Biauw Eng sudah rebah terlentang. Setelah dekat dengan pembaringan dan Biauw Eng yang sudah putus asa itu sudah memejamkan mata sambil menggunakan kepandaiannya untuk mematikan segala panca indera, dua pasang lengan yang panjang serta jari-jari tangan yang besar dan kasar itu bergerak hendak menjamah tubuh Biauw Eng, hendak merenggut lepas pakaian gadis itu sebagai langkah pertama kedua orang laki-laki liar yang melaksanakan tugas penuh gairah itu.
"Tahan! Kalau tangan-tanganmu yang kotor menyentuh gadis itu, kalian akan mampus!" bentak Keng Hong yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan sepasang matanya memandang bagai mengeluarkan api bernyala-nyala kepada dua orang raksasa Mongol.
Kedua orang itu terkejut mendengar suara yang mengandung khikang kuat dan sangat berwibawa itu. Akan tetapi pada saat mereka menoleh dan melihat betapa Cui Im hanya tertawa mengejek, mereka pun tertawa kemudian melanjutkan gerakannya yang tertunda. Seorang meraih baju, seorang lagi meraih celana.
"Krakkkkk-krakkkkk!"
Tiba-tiba terdengar suara keras, belenggu tangan dan kaki Keng Hong hancur berantakan dan tubuhnya sudah mencelat ke depan. Saking kagetnya menyaksikan hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu, Cui Im hanya memandang terbelalak melihat betapa tubuh Keng Hong sudah berkelebat maju, kedua tangannya menjambak rambut kepala kedua orang raksasa itu dan sekali gerak, dia sudah membenturkan dua buah kepala itu satu sama lain sehingga terdengarlah suara keras sekali dan dua buah kepala itu pecah berhamburan!
Tanpa bersambat lagi dua orang raksasa Mongol itu tewas seketika. Gerakan Keng Hong demikian cepat sehingga kedua orang itu sama sekali tidak sempat untuk membela diri.
Keng Hong meraba belenggu kaki tangan Biauw Eng. Dengan beberapa kali renggutan sambil mengerahkan sinkang-nya yang sudah mencapai tingkat sangat tinggi, belenggu pada kaki tangan Biauw Eng patah-patah.
"Lekas engkau pergi menolong mereka..." Keng Hong berkata sambil cepat membalikkan tubuh menghadapi Cui Im.
Biauw Eng mengerti apa yang dimaksudkan Keng Hong, maka dia lalu meloncat keluar melalui pintu kamar tahanan itu, membiarkan Keng Hong yang dia percaya penuh akan kelihaiannya untuk menghadapi Cui Im yang merupakan lawan terkuat. Biauw Eng juga maklum bahwa saatnya untuk memberontak dan melawan mati-matian telah tiba, maka ia pun tidak mau ragu-ragu lagi.
Begitu tiba di luar pintu kamar itu, empat orang penjaga yang baru datang karena kaget mendengar suara ribut-ribut, langsung dirobohkan oleh Biauw Eng dalam sekejap mata. Bahkan gadis itu segera menyambar sebatang pedang yang dirampasnya dari seorang di antara mereka yang dirobohkannya.
Cui Im telah dapat menguasai hatinya yang sejenak tadi mengalami guncangan saking kagetnya melihat Keng Hong tiba-tiba saja dapat membebaskan diri dari belenggu itu. Kini mengertilah dia bahwa selama ini Keng Hong hanya berpura-pura menjadi tawanan dan bahwa jika memang dikehendaki, pemuda luar biasa itu setiap saat dapat membebaskan diri sendiri.
Akan tetapi Cui Im tidak menjadi takut. Cepat dia mencabut pedang Siang-bhok-kiam, pedang kayu milik Keng Hong yang telah dirampasnya dan dia telah siap melawan Keng Hong dengan pedang itu.
"Hemm... kiranya engkau telah mengatur semua rencana untuk menyelamatkan diri, Keng Hong. Jangan kira akan mudah saja!" Ia tertawa dan memandang Pedang Kayu Harum di tangannya lalu menyambung, "Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa akhirnya Cia Keng Hong, pewaris utama Siang-bhok-kiam, justru akan mati di ujung Siang-bhok-kiam sendiri!"
Setelah berkata demikian, Cui Im lalu menerjang maju dengan pedang digerakkan cepat sekali, mengirim serangan kilat ke arah tenggorokan Keng Hong dengan ujung digetarkan dan siap melanjutkan serangan dengan goresan ke bawah untuk membelah dada! Hebat sekali penyerangan Cui Im ini, selain cepat, juga mengandung sinkang yang kuat sekali.
Keng Hong meraba ke arah pusarnya. Ketika tangan itu diangkat ke atas, berkelebatlah sinar kehijauan menangkis pedang kayu di tangan Cui Im.
"Krekkkkkk!"
"Aihhhhh...!"
Cui Im terkejut bukan main melihat Pedang Kayu Harum di tangannya itu sudah hancur berkeping-keping ketika bertemu dengan pedang di tangan Keng Hong. Pada waktu dia memandang, hatinya makin terkejut melihat bahwa pemuda itu ternyata juga memegang sebatang pedang kayu yang serupa benar dengan pedangnya tadi.
Teringatlah dia akan akal Keng Hong dahulu mengelabui para pimpinan Kun-lun-pai, dan tahulah dia bahwa pedang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong dan yang tadi dia gunakan itu ternyata pun hanya sebatang Siang-bhok-kiam palsu saja, sedangkan Pedang Kayu Harum yang aslinya masih berada di tangan Keng Hong, disembunyikan di dalam celananya!
"Keparat, penipu busuk!" Cui Im menjerit penuh kemangkalan.
Ia membuang gagang pedang kayu palsu, kemudian sekali tangannya bergerak, tampak sinar merah menyilaukan mata dan kini pedang merahnya yang terkenal telah berada di tangannya, kemudian langsung dia mengirim tusukan dengan pedang merahnya.
Keng Hong cepat-cepat menangkis, bahkan dia melanjutkan tangkisan dengan tusukan Siang-bhok-kiam dengan gerakan melengkung, mengarah ke ubun-ubun lawan.
"Cringgggg...!"
Cui Im maklum akan bahaya maut ini maka cepat menangkis sekuat tenaga. Namun tetap saja dia merasa betapa tangan kanannya kesemutan sampai dia cepat-cepat meloncat mundur. Pada saat itu, dari pintu muncullah Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong. Tanpa banyak cakap lagi, dua orang kakek yang sudah maklum akan kelihaian Keng Hong, maju menerjang pemuda itu dengan senjata mereka.
Keng Hong tahu akan bahayanya dikeroyok tiga orang sakti ini, apa lagi di tempat yang sempit. Sebenarnya, dia tidak merasa takut dan merasa yakin akan sanggup menandingi mereka, namun hatinya penuh kekhawatiran akan nasib tiga orang temannya, terutama sekali tentu saja nasib Biauw Eng.
Karena itu, tiba-tiba saja dia mengeluarkan bentakan nyaring, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak cepat menangkis kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong beserta pedang merah di tangan Cui Im yang menyerangnya. Sekaligus dia telah menangkis dua senjata lawan ini.
Akan tetapi dia pun waspada terhadap serangan Pak-san Kwi-ong, maka tubuhnya cepat sekali bagaikan burung terbang melesat di antara dua buah tengkorak manusia yang menyambar-nyambar di ujung rantai yang dipegang oleh kedua tangan kakek tinggi besar hitam itu. Sambil melesat di antara dua buah buah tengkorak itu, Keng Hong memutar pedang dibantu tangan kirinya yang mendorong dengan pukulan sinkang sehingga angin bercuitan menyambar tiga orang lawan dibarengi sinar kehijauan Siang-bhok-kiam.
Tiga orang lawannya yang memiliki ilmu tinggi cukup waspada, maka mereka melangkah mundur dan memutar senjata melindungi tubuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat keluar pintu kamar tahanan.
Suara hiruk-pikuk beradu senjata menarik perhatiannya dan ke tempat itulah Keng Hong meloncat secepat kilat. Dugaannya benar. Di dalam sebuah kamar tahanan lain, dia melihat Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengamuk dikeroyok banyak tokoh musuh. Biauw Eng bersenjatakan pedang, Yan Cu agaknya sudah berhasil merampas pedang pula sehingga kini gadis perkasa ini juga mengamuk menggunakan kaki tangannya.
Ketika tadi dibebaskan Keng Hong, Biauw Eng berhasil menemukan Yan Cu yang sedang merawat Cong San di dalam kamar tahanan. Biauw Eng merobohkan beberapa orang penjaga dan dengan senjata rampasannya dia berhasil pula mematahkan belenggu kaki tangan kedua orang teman itu.
Akan tetapi mereka segera dikurung dan dikeroyok oleh Gu Coan Kok, Hok Ku, keempat Pak-san Su-liong yaitu murid-murid Pak-san Kwi-ong yang bersenjata rantai tengkorak, dan kemudian datang pula Thian-te Siang-to bersama tokoh-tokoh lain anak buah Pat-jiu Sian-ong sehingga di dalam kamar tahanan itu terjadi pertempuran yang amat hebat dan mati-matian.
Melihat keadaan tiga orang kawannya yang masih selamat biar pun telah terdesak hebat, Keng Hong menjadi lega hatinya. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi dan tubuhnya menerjang maju. Bobollah kepungan itu dan beberapa orang terpelanting oleh terjangan pemuda sakti ini yang terus melompat ke dalam sambil berseru,
"Kita terjang keluar! Cepat...!"
Namun pada saat itu Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong sudah datang, dalam pengejarannya terhadap Keng Hong sehingga jalan keluar melalui pintu sudah terhalang oleh tiga orang yang lihai ini. Pat-jiu Sian-ong menggeluarkan suara bersuit nyaring dan semua orang yang mengeroyok berloncatan keluar dari kamar itu.
"Awas jebakan...!" Keng Hong memperingatkan teman-temannya.
Akan tetapi mereka berada di dalam kamar yang dipagari musuh dengan senjata siap menyerang kalau mereka keluar, maka jalan keluar pada saat itu sama sekali tertutup. Terdengar suara keras dan tiba-tiba lantai kamar tahanan itu turun ke bawah!
Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu terkejut sekali, namun betapa pun tinggi kepandaian empat orang muda ini, mereka sama sekali tidak berdaya menyelamatkan diri dan terpaksa tubuh mereka ikut terbawa turun oleh lantai kamar itu. Pada saat mereka memandang ke atas, ternyata lubang di atas telah tertutup dan mereka terjebak ke dalam sumur yang amat dalam dan gelap!
Cui Im membanting-banting kaki. "Sialan! Mereka sudah menimbulkan kekacauan besar sehingga kita telah kehilangan tiga orang pembantu!"
"Hanya dua orang, Lian Ci Sengjin dan Thai-lek Sin-mo, bukan tiga orang," kata Pat-jiu Sian-ong menghibur. "Kita masih cukup kuat."
"Tiga orang," bantah Cui Im. "Yang dua orang tewas, yang seorang, yaitu Sian Ti Sengjin tenggelam dalam kedukaan seperti orang kehilangan semangat."
"Kedukaannya akan dapat di atasinya," kata Pak-san Kwi-ong. "Yang patut disayangkan adalah terlepasnya harapan kita mendapat bantuan Go-bi Thai-houw."
"Lebih baik sekarang juga kita bergerak ke puncak. Siapa tahu akan terjadi perubahan yang merugikan mereka. Pat-jiu Sian-ong, harap dipersiapkan barisan sekarang juga. Kita gempur mereka di puncak!"
"Mereka itu, bagaimana?" Tanya tuan rumah yang menudingkan telunjuknya ke arah sumur jebakan di bawah kamar tahanan di mana empat orang muda itu terjeblos.
"Bunuh mereka! Hujani anak panah!" kata Pak-san Kwi-ong.
Cui Im menggeleng kepala. "Percuma. Mereka adalah orang-orang lihai. Mana mungkin anak-anak panah membunuh mereka? Sian-ong, apakah di dalam lubang itu tidak ada alat rahasia yang dapat membunuh mereka?”
Pat-jiu Siang-ong menggelengkan kepala. "Tempat itu dibuat khusus untuk menjebloskan tawanan, bukan dimaksudkan untuk membunuh."
"Hemmm, kalau begitu kita pergunakan cara yang paling menyakitkan, biar pun agak lama akan tetapi pasti Keng Hong tidak mampu melawannya, yaitu membiarkan mereka mati kelaparan dan kehausan. Akan tetapi, tempat ini harus diteliti supaya tidak sampai mereka bobol."
Pat-jiu Sian-ong tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Jangankan manusia, biar gajah sekali pun kalau sudah terjeblos di situ takkan mampu lolos. Dindingnya terbuat dari baja, dan tidak ada cara untuk meloncat ke atas karena bagian atas tertutup pula oleh lapisan baja yang tebal."
Demikianlah, setelah mengadakan perundingan Cui Im bersama teman-temannya segera memimpin pasukan untuk menyerang ke puncak Tai-hangsan di mana sedang berkumpul tokoh-tokoh partai besar yang menentang mereka. Sian Ti Sengjin memerintahkan anak buah Phu-niu-san yang ikut bersama dia dan mendiang sute-nya, akan tetapi dia sendiri tetap tinggal di benteng itu, pertama untuk mengabungi kematian sute-nya, ke dua untuk membantu penjagaan kalau-kalau para tawanan akan meloloskan diri.
Cui Im menyetujui permintaannya, pertama karena kepandaian bekas tokoh Kun-lun-pai ini pun baginya tidaklah amat dibutuhkan, ke dua karena memang perlu ada orang pandai yang membenci Keng Hong ikut pula menjaga agar tawanan tidak sampai lolos. Dan dia tahu betapa bencinya bekas tokoh Kun-lun-pai ini kepada Keng Hong, karena bukankah pemuda itu yang telah menyeret jatuh kedudukannya yang tinggi di Kun-lun-pai?
Menjelang pagi, rombongan ini berangkat dan mereka yang ditinggalkan di benteng lantas melakukan penjagaan di sekitar benteng. Sian Ti Sengjin sendiri tak pernah meninggalkan bekas kamar tahanan yang kini sudah menjadi sumur atau kuburan bagi empat orang muda yang terjeblos.
Selanjutnya,