Pedang Kayu Harum Jilid 41

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Jilid 41 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pedang Kayu Harum Jilid 41

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Mo-kiam Siauw-ong memang bukan orang sembarangan. Dia merupakan murid dari tiga orang datuk hitam yang amat terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Mereka itu berjuluk Kai-ong Lo-mo, Bun-ong Lo-mo dan Thian-te Lo-mo, tiga orang yang berilmu tinggi sekali. Ketika Thian-te Sam-lo-mo ini akhirnya tewas di dalam tangan pendekar sakti Cia Keng Hong, kepandaian mereka sudah diwarisi oleh Mo-kiam Siauw-ong inilah.

Dapat dibayangkan betapa marah Mo-kiam Siauw-ong ketika dia mendengar dari kacung restoran tentang tewasnya Fen-ho Chit-kwi yang ia tahu tentu datang untuk menyerahkan hasil pembajakan. Fen-ho Chit-kwi merupakan anak buahnya yang paling kuat dan boleh diandalkan. Kini mendengar bahwa mereka itu roboh di tangan seorang wanita cantik, dia menjadi penasaran dan marah sekali.

Namun, di samping kepandaiannya yang tinggi dan yang membuatnya jumawa, Mo-kiam Siauw-ong adalah seorang yang cerdik dan hati-hati. Oleh karena itu, dia tidak sembrono turun tangan seorang diri menurutkan kemarahannya, akan tetapi meminta kepada ayah mertuanya supaya membawa sepasukan penjaga kota untuk menangkap penjahat yang mengacau kota Sun-ke-bun! Dengan bantuan lima puluh orang pasukan, apa sukarnya menangkap seorang wanita?

Dia mendengar bahwa wanita itu cantik sekali, maka sudah dia bayangkan betapa akan senangnya menangkap wanita itu hidup-hidup dan sebelum membunuhnya, lebih dahulu dia akan mempermainkan sepuasnya. Dengan demikian, baru impaslah kematian Fen-ho Chit-kwi yang merupakan sebuah pukulan dan kerugian baginya.

Banyak penduduk yang datang melihat dari kejauhan. Restoran itu telah ditinggalkan oleh pemiliknya, dan kini di dalam restoran yang kelihatan kosong itu hanya tinggal si wanita bersama laki-laki tampan, seorang di antara Fen-ho Chit-kwi yang menjadi ‘tawanannya’!

"Siluman betina! Keluarlah menghadap Mo-kiam Siauw-ong!" Mo-kiam Siauw-ong sudah tiga kali berteriak dari pintu restoran, menantang wanita yang lukanya sedang dibalut oleh tawanannya.

"Celaka... dia... dia datang..." Laki-laki tampan yang selesai membalut pundak yang sudah diobati itu berkata dengan muka pucat.

"Ihhh... takutkah engkau, Tampan?" Wanita ini merangkul dan menciumi pipinya.

Akan tetapi laki-laki itu kini tidak membalas ciumannya seperti tadi, bahkan tidak tampak lagi gairahnya. "Dia.. dia berbahaya sekali, amat lihai.., celakalah kita..."

Wanita itu mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan melengkung panjang, kemudian menghentikan belaiannya. "Siapakah dia?"

"Dia... Mo-kiam Siauw-ong, kiam-hoatnya (ilmu pedangnya) luar biasa lihainya... dan tentu membawa pasukan yang banyak jumlahnya."

"Hi-hi-hik! Tikus-tikus busuk macam itu perlu apa ditakuti? Jangan hiraukan mereka, kita mempunyai urusan yang lebih penting, hi-hi-hik! Ayolah!"

Wanita itu merangkul lagi dan membawa muka laki-laki itu ke dadanya. Akan tetapi, tubuh atas yang tak berpakaian itu, yang tadi membuat pria itu bergelora darahnya oleh gairah dan nafsu birahi, kini agaknya tidak menarik lagi, tertutup oleh rasa takutnya.

Melihat betapa laki-laki itu sama sekali tidak terangsang, wanita itu menghentikan usaha menggumulinya, bangkit duduk, menggelung rambutnya dan wajahnya keruh.

"Apa kau lebih senang kubunuh?"

Laki-laki itu menggigil dan berusaha memeluk wanita itu, berusaha membangkitkan lagi gairahnya, akan tetapi sia-sia sehingga akhirnya dia terisak seperti orang akan menangis, "Maafkan aku... aku... takut sekali..."

"Pengecut!"

Pada saat itu, Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak sabar lagi, menggapai dan menyuruh sepuluh orang anggota pasukan menyerbu ke dalam. Sepuluh orang itu mencabut golok lantas memasuki restoran, kemudian mereka menyerbu kamar karena sudah mendapat keterangan dari si gendut pemilik restoran bahwa ‘siluman rase’ itu berada dalam kamar bersama laki-laki tampan salah seorang di antara Fen-ho Chit-kwi.

Pada saat laki-laki tampan melihat sepuluh orang anggota pasukan menyerbu, dia tidak berani bergerak karena maklum bahwa mereka adalah anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang amat ditakutinya. Akan tetapi, dia melihat wanita itu menggerakkan tangan kiri.

Tampaklah sinar merah berkelebat dan terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya sepuluh orang itu bertumpang tindih di pintu kamar. Tepat di dahi mereka, di antara kedua mata, ditembusi jarum merah yang dilepas oleh wanita itu!

"Hi-hi-hik-hik! Engkau masih takut? Lempar-lemparkan bangkai mereka keluar!" Wanita itu terkekeh.

Bukan main terkejutnya hati laki-laki tampan menyaksikan kelihaian si wanita melepaskan jarum merah yang dia tahu merupakan jarum-jarum beracun yang amat lihai. Ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya dia melihat orang dapat melepas jarum setepat itu, sekali gerak merobohkan sepuluh orang dan semua jarum tepat mengenai dahi di antara kedua mata!

Hatinya menjadi besar. Kalau berteman dengan seorang wanita secantik dan selihai ini, agaknya memang tidak perlu lagi takut terhadap Mo-kiam Siauw-ong! Ia melangkah maju dan kedua tangannya yang kuat sekaligus menyeret empat orang yang sudah menjadi mayat, kemudian dia melemparkan mereka itu keluar. Tiga kali dia melemparkan sepuluh buah mayat itu melayang keluar rumah makan!

Kemudian dia membalik dan matanya terbelalak melihat bahwa wanita itu telah membuka semua pakaiannya dan sedang mengembangkan kedua lengan yang berkulit putih halus. Ia mengeluarkan suara seperti gerengan harimau, lalu menubruk maju dan disambut oleh wanita itu yang tertawa cekikikan.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka yang melihat sepuluh buah mayat orang melayang keluar. Mo-kiam Siauw-ong cepat menghampiri dan mengerutkan alisnya ketika melihat luka di dahi para anak buahnya, luka merah sekali dan masih tampak ujung merah yang menancap sampai hampir tidak kelihatan lagi.

"Ong-ya, biarkan saya membawa semua pasukan menyerbu ke dalam!" Salah seorang pembantunya mengajukan usul. Marah melihat betapa anak buahnya tewas sedemikian mudahnya.

Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong mengenal bekas tangan orang pandai dan mengangkat tangan kiri mencegah.

"Pergunakan api, bakar restoran ini agar siluman itu terpaksa keluar!"

Si gendut pemilik restoran sampai jatuh berlutut hampir pingsan ketika dia melihat betapa restorannya dikelilingi pasukan yang membawa minyak, kemudian dia benar-benar roboh pingsan dirangkul isterinya pada waktu restorannya mulai terbakar. Para penduduk yang menyaksikan menjadi makin tegang dan ngeri, diam-dia mereka sudah bersiap-siap untuk mengangkat langkah seribu kalau siluman rase yang muncul itu mengamuk!

"Restoran terbakar...!" Lelaki tampan itu bangkit duduk dan terbelalak memandang asap yang memasuki kamar.

"Sialan!" Si wanita menyumpah. "Tikus-tikus itu ingin mampus semua!" Dengan tenang namun jelas memperlihatkan wajah kecewa karena merasa kesenangannya terganggu, ia mengenakan pakaiannya lagi yang didahului oleh si lelaki tampan yang kembali menjadi ketakutan.

"Hayo ikuti aku keluar!"

Mengandalkan kepandaian wanita itu, laki-laki ini terpaksa mengikutinya keluar dengan jantung berdebar-debar tegang. Kini dia harus berhadapan dengan datuk golongan hitam yang ditakutinya itu sebagai lawan! Bagaimana pun juga, dia tidak dapat mundur karena melawan wanita ini berarti mati, kalau bersekutu dengannya masih ada harapan si wanita lihai ini akan menyelamatkannya dan pada masa depan tampak harapan yang sungguh menyenangkan dapat menjadi sahabat dan terutama kekasihnya!

Namun dia bersikap cerdik, tidak mau memperlihatkan sikap bermusuh kepada Mo-kiam Siauw-ong dan akan melihat gelagat dahulu. Kalau wanita ini tewas di tangan Mo-kiam Siauw-ong, dia masih dapat menggunakan alasan bahwa dia dipaksa dan tidak berdaya menjadi tawanan si wanita lihai! Maka dia mengikuti wanita itu dari belakang, menuju ke pintu rumah makan yang sudah terbakar.

"Jangan bergerak, aku akan membawamu keluar melalui api!" Wanita itu berkata.

Tiba-tiba laki-laki tampan itu merasa pinggangnya dipeluk dan tubuhnya melayang keluar. Dia makin kagum dan terheran-heran. Manusia ataukah iblis wanita ini? Kepandaiannya benar-benar luar biasa sekali. Bagaimana orang selihai ini sampai terluka pundaknya?

Dia hanya merasa sedikit panas ketika tubuhnya meluncur cepat menerjang api di luar restoran, dan tahu-tahu dia sudah berdiri di samping wanita itu yang tersenyum-senyum memandang Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya yang sudah siap mengepungnya.

Mo-kiam Siauw-ong tercengang. Tak pernah diduganya bahwa orang yang amat lihai itu hanyalah seorang muda yang amat cantik, melebihi isterinya sendiri cantiknya dan berdiri tersenyum tenang tanpa ada senjata menempel di tubuh! Para pasukan juga bengong, demikian pula para penonton, hampir tidak percaya karena siluman rase itu ternyata tidak menggiriskan, hanya seorang wanita yang cantik dan agaknya seorang manusia biasa! Ataukah memang penjelmaan siluman?

Biar pun hatinya marah sekali, Mo-kiam Siauw-ong terpesona dan tertarik, merasa sayang kalau sampai wanita itu dibunuh begitu saja. "Wanita siluman, menyerahlah sebelum aku turun tangan!" bentaknya.

"Hi-hi-hik-hik, aku keluar bukan untuk menyerah, melainkan untuk membunuh kalian yang sudah mengganggu kesenanganku!"

"Serbu...!" Pembantu Mo-kiam Siauw-ong tak sabar lagi dan menyerbulah pasukan yang tinggal empat puluh orang itu.

Akan tetapi tiba-tiba tubuh wanita itu berkelebat lenyap, lantas terdengar jerit di sana-sini disusul robohnya enam orang pasukan sendiri. Gerakan wanita itu sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata. Yang menusuknya, tahu-tahu goloknya membalik dan menusuk perutnya sendiri. Yang membacoknya pun demikian dan tahu-tahu wanita itu telah berada di depan Mo-kiam Siauw-ong!

Datuk golongan hitam itu dapat mengikuti gerakan si wanita itu yang benar-benar memiliki ginkang yang dia sendiri tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli dia tidak takut dan pedangnya menyambar ganas.

"Bagus! Kiam-hoat lumayan juga!" Wanita itu mengejek sambil mengelak, tangan kirinya tahu-tahu menyambar ke depan, mengirim pukulan dengan telapak tangan terbuka pada lawannya.

Mo-kiam Siauw-ong cepat miringkan tubuh, akan tetapi hawa pukulan tangan itu tetap saja menyambar dan menyerempetnya. Dia terhuyung dan merasa pundaknya bagaikan dilanggar benda yang panas. Makin terkejutlah dia. Ginkang wanita ini juga hebatnya luar biasa. Dia mengerahkan kepandaiannya sehingga pedang di tangannya berubah menjadi segulungan sinar yang berkilauan dan yang mengurung tubuh wanita itu.

Para pasukan berbesar hati melihat pimpinan mereka telah turun tangan, maka mereka pun cepat mengurung dan menyerbu. Wanita itu berada dalam keadaan terluka, lengan kanannya tidak dapat digunakan untuk bertanding sehingga dia hanya melawan dengan gerakan tangan kiri saja.

Akan tetapi, dia cepat meloncat menjauhi Mo-kiam Siauw-ong yang benar-benar lihai ilmu pedangnya itu, dan dengan mudah tangan kirinya merobohkan setiap anak buah pasukan yang menyerangnya. Apa lagi kini tangan kirinya mulai menyebar jarum-jarumnya hingga kembali ada lima orang pasukan roboh dan tewas!

"Heh-heh-heh-hi-hi-hik! Ang-kiam Bu-tek sungguh-sungguh tidak boleh dipandang ringan!" Tiba-tiba terdengar suara yang lembut dan muncullah seorang nenek tua sekali berdiri di barisan depan para penonton.

Wanita itu terkejut, merobohkan dua orang lagi dengan dua kali tendangan kaki yang menghancurkan anggota rahasia tubuh mereka, menoleh ke arah nenek itu dan dia cepat berkata, "Go-bi Thai-houw, harap kau orang tua tidak mencampuri urusan ini. Tikus-tikus ini tidak ada gunanya. Biarlah lain kali aku Ang-kiam Bu-tek menghaturkan terima kasih dan mengangkat guru kepadamu!"

"Heh-heh-hi-hi-hik! Punya murid macam engkau ini akan menyenangkan juga!" Nenek itu menjawab kemudian tiba-tiba saja ia lenyap dari situ.

Mendengar disebutnya nama Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong seperti mendengar halilintar menyambar di atas kepalanya dan cepat-cepat dia berseru,

"Pasukan mundur semua...!"

Pasukan yang sudah merasa gentar sekali cepat lari mundur dan kini Mo-kiam Siauw-ong melangkah maju, menekuk sebelah lututnya dan mengangkat kedua tangan depan dada ke arah wanita itu sambil berkata, "Mohon kebijaksanaan Sianli untuk mengampunkan saya yang bermata akan tetapi seperti buta tidak mengenal Sianli, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata."

Melihat sikap Mo-kiam Siauw-ong, anak buah pasukan menjadi terkejut dan mereka yang belum pernah mendengar nama Ang-kiam Bu-tek, cepat-cepat mengikuti mereka yang mengenalnya dan yang sudah menjatuhkan diri berlutut. Sebagian besar mengenal nama itu dengan hati penuh rasa takut.

Wanita yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa Tandingan) itu tersenyum mengejek, memandang kepada Mo-kiam Siauw-ong dan bertanya, "Hemmm..., siapakah engkau sebenarnya?"

"Harap Sianli suka memandang kepada mendiang ketiga orang suhu saya, yaitu Thian-te Sam-lo-mo" kata pula laki-laki berpakaian mewah itu.

Ang-kiam Bu-tek mengangguk-angguk dan otaknya yang amat cerdik itu segera membuat perhitungan. Pada waktu itu dia membutuhkan sekutu, dan setelah lawan menyerah dan ternyata adalah murid tokoh yang merupakan orang segolongan dengannya, memang tak perlu lagi membunuh mereka.

"Ternyata engkau adalah murid ketiga orang iblis tua itu? Baiklah, aku mengampunkan engkau dan anak buahmu."

"Terima kasih, Sianli!" Mo-kiam Siauw-ong menjadi girang sekali dan meloncat bangun.

Bersahabat dengan Ang-kiam Bu-tek merupakan hal yang amat menguntungkan, pula dia maklum bila pertandingan dilanjutkan, jangankan baru dia dan pasukannya, biar ditambah tiga orang gurunya yang sudah meninggal sekali pun takkan sanggup menang!

"Karena saya melihat Sianli terluka dan perlu beristirahat, saya persilakan Sianli untuk beristirahat di dalam rumah saya."

"Baiklah, Ehh, Tampan, kau gendong aku ke rumah Mo-kiam Siauw-ong!" kata Ang-kiam Bu-tek sambil tersenyum kepada kekasihnya.

Laki-laki tampan, seorang di antara ketujuh Fen-ho Chit-kwi yang sebenarnya bernama Ma Kiat Su itu menjadi girang dan lega bukan main. Tanpa malu-malu lagi, ditonton begitu banyak orang, dia lalu memondong tubuh Ang-kiam bu-tek yang merangkul lehernya.

Mo-kiam Siauw-ong cepat menyerahkan seekor kuda. Ma Kiat Su membungkuk dengan hormat kepada Mo-kiam Siauw-ong kemudian melompat ke atas punggung kuda sambil memondong tubuh wanita cantik itu, kemudian mereka diiringi oleh Mo-kiam Siauw-ong sendiri menuju ke gedung kepala daerah.

Para pasukan sibuk mengurus mayat-mayat para kawan mereka dan para penonton kini ikut sibuk memadamkan api yang membakar restoran.

Siapakah wanita cantik itu dan mengapa seorang datuk golongan hitam seperti Mo-kiam Siauw-ong sampai begitu ketakutan mendengar namanya? Dan siapa pula nenek tua renta yang agaknya lebih aneh dan menyeramkan lagi sehingga Ang-kiam Bu-tek sendiri sampai bersikap hormat, bahkan berjanji untuk berguru kepadanya?

Mereka berdua adalah tokoh-tokoh besar, bahkan Ang-kiam Bu-tek merupakan seorang tokoh penting. Semenjak kecil, wanita cantik ini yang bernama Bhe Cui Im, adalah murid nenek Lam-hai Sin-ni, seorang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang puluhan tahun lamanya menjadi tokoh-tokoh utama kaum sesat.

Sebagai murid Lam-hai Sin-ni, kepandaiannya sudah amat tinggi dan karena semenjak muda dia merupakan seorang wanita yang haus akan laki-laki dan besar nafsu, lihai ilmu pedangnya dan lihai pula senjata rahasianya yang beracun, dia terkenal dengan julukan Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah). Akan tetapi, setelah dia bersama Cia Keng Hong dapat menemukan tempat rahasia penyimpanan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan mempelajari kitab-kitab itu selama bertahun-tahun, dia keluar dari goa rahasia sebagai seorang wanita yang sukar dicari tandingannya lagi.

Dia bahkan membunuh bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni, juga membunuh banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw sehingga julukannya yang dia ubah menjadi Ang-kiam Bu-tek menjulang tinggi di dunia kang-ouw dan dikenal oleh semua tokoh dengan hati penuh rasa ngeri dan takut.

Itulah dia wanita cantik yang pagi hari itu menimbulkan keributan di dalam restoran di kota kecil Sun-ke-bun, menyebar maut seperti menyebar pasir saja! Bhe Cui Im, berusia dua puluh sembilan tahun, cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat kuat, membuat hati pria terangsang apa bila melihatnya, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

Ketika ia terhuyung-huyung dalam keadaan terluka pundaknya, baru saja dia melarikan diri dari puncak Tai-hang-san di mana terjadi pertemuan puncak antara tokoh-tokoh besar yang dilanjutkan dengan pertandingan-pertandingan hebat, di mana dia terluka oleh Cia Keng Hong, si pendekar sakti yang biar pun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dapat disebut adalah suheng-nya, karena Cia Keng Hong merupakan murid langsung dan tunggal dari mendiang Sin-jiu Kiam-ong.

Oleh karena kekalahannya terhadap Cia Keng Hong inilah yang membuat Cui Im tidak membunuh Mo-kiam Siauw-ong. Dia tak membutuhkan bantuan orang-orang pandai, tapi lebih membutuhkan bantuan tokoh yang banyak anak buahnya itu.

Dan karena cintanya yang berubah kebencian amat mendalam terhadap Cia Keng Hong pulalah yang membuat dia berjanji untuk berguru kepada nenek Go-bi Thai-houw karena ia maklum bahwa nenek itu memiliki kesaktian yang luar biasa, memiliki banyak ilmu yang dapat dia pelajari untuk kelak dipergunakan menghadapi Keng Hong dan terutama sekali, untuk dapat mengajak nenek itu bersama-sama menghancurkan kehidupan Keng Hong yang amat dibencinya!

Ketika Coa-taijin, yaitu kepala daerah kota Sun-ke-bun mendengar dari menantunya akan kesaktian Ang-kiam bu-tek, dia menyambut dengan ramah, malah mempersilakan Cui Im menempati sebuah kamar kehormatan di dalam gedungnya, sebuah kamar yang mewah sekali. Kepala daerah yang cerdik ini paham bahwa semakin banyak orang pandai yang membantunya, makin kuatlah kedudukannya!

Cui Im merasa girang bukan main. Dia langsung mengajak Ma Kiat Su memasuki kamar mewah itu, menutupkan daun pintunya dan tenggelamlah dia dengan Ma Kiat Su dalam lautan nafsu yang membuat lelaki itu mabuk dan merasa beruntung sekali karena selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang wanita hebat seperti Cui Im!

Selama tiga hari tiga malam Cui Im tidak membolehkan kekasihnya pergi meninggalkan kamar, tidak membolehkan keluar pula. Mereka dilayani oleh pelayan-pelayan Coa-taijin seperti sepasang pengantin baru, seperti tamu-tamu terhormat.

Pada malam hari ke tiga, tiba-tiba pintu kamar itu dibuka orang dari luar, daun pintunya tertolak perlahan dan muncullah seorang pemuda di ambang pintu. Cui Im yang sedang membelai tubuh Ma Kiat Su yang tidur kelelahan, cepat mengangkat muka dan seketika wajahnya menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang pemuda yang juga berdiri bagai terpesona menyaksikan wanita cantik setengah telanjang yang rebah menelungkup di atas pebaringan itu.

Pemuda itu tampan sekali, pakaiannya indah dan sikapnya tenang. Yang membuat Cui Im terkejut adalah wajah pemuda ini, sehingga tanpa terasa lagi bibirnya lantas bergerak dan terdengar suaranya lirih, "Cia Keng Hong...!"

Pemuda itu tidak mendengar suara lirih ini, dianggapnya Cui Im menegur dan mencela dirinya, maka dia cepat menjura dan berkata, suaranya halus sekali dan sopan, "Harap Sianli sudi memaafkan saya karena kesalahan masuk ke kamar ini…"

Cui Im menarik napas lega, cepat ia bangkit duduk, menurunkan kedua kakinya dari atas pembaringan tanpa mempedulikan baju dalamnya yang tidak lengkap menutupi bagian atas tubuh, tersenyum manis dan bertanya, "Kongcu siapakah..."

Dia masih memandang heran akan persamaan wajah pemuda itu dengan wajah Keng Hong, bahkan bentuk tubuhnya hampir sama besarnya.

Kembali pemuda itu menjura. "Saya Coa Kun, putera dari Coa-taijin pemilik rumah ini. Saya baru datang dari luar kota, sudah mendengar bahwa Sianli bertamu di sini, sudah mendengar akan nama Sianli yang sakti dan mulia. Akan tetapi saya mengira Sianli berada di kamar tamu sebelah, tidak menyangka bahwa kamar saya yang diberikan oleh ayah untuk Sianli, karena itu saya lancang membuka pintu kamar ini. Maafkan, saya..." Pemuda itu menjura, lalu membalikkan tubuh dan hendak pergi.

"Coa-kongcu, tunggu...!"

Cui Im sudah meloncat turun, kakinya telanjang dan ia melangkah menghampiri pemuda yang sudah membalikkan tubuh lagi memandang dengan kedua pipi kemerahan karena keadaan Cui Im benar-benar membuat dia merasa jengah dan kikuk. Wanita cantik itu lebih banyak telanjang dari pada berpakaian!

"Kongcu, masuklah dan mari kita bicara dahulu. Engkauah yang harus memaafkan aku karena kamarmu kupakai! Ahhh, aku mengganggu saja padamu. Kalau aku tahu bahwa aku akan mengganggu seorang yang begini... hemm... ganteng seperti engkau, aku lebih suka tidur di dapur!"

Coa Kun menjadi semakin merah mukanya. "Ahh, harap Sianli jangan berkata demikian. Dengan senang hati saya menyerahkan kamarku untukmu. Sudahlah, saya tidak berani mengganggu lebih lama...!" Kembali dia hendak pergi.

Cui Im melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. "Nanti dulu, Kongcu, mari duduklah, kita bicara dulu... Atau... engkau tidak sudi bicara dengan orang seperti aku?" dia tersenyum dan memandang penuh tantangan.

Pemuda itu semakin tersipu, akan tetapi dia tidak berani menarik tangannya yang kini dituntun oleh Cui Im. Dia terpaksa memasuki kamar dan dengan perasaan tidak sedap dia melirik ke arah tubuh Ma Kiat Su yang sedang tidur. Laki-laki itu pun tidak berpakaian, hanya berselimut pada sebagian tubuhnya yang kekar.

"Tidak baik, Sianli. Dia... dia..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena keadaan di tepat itu benar-benar membuatnya malu dan kikuk.

Cui Im tersenyum lebar, "Memang babi itu menganggu saja. Tunggu kulempar dia keluar!"

Tanpa menanti jawaban, sekali bergerak tubuh Cui Im sudah meloncat lalu hinggap di atas pembaringan dan sekali kakinya menendang, tubuh Ma Kiat Su terlempar ke bawah pembaringan.

"Aehhh.,. ada apa... apa yang terjadi...?" Ma Kiat Su terbangun, merangkak dan meloncat berdiri.

Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh ketika tangan kiri Cui Im bergerak dan dua buah jari tangannya menusuk serta mengenai pelipisnya. Dia roboh tak bernyawa lagi, pada pelipis kanannya terlihat bekas dua jari tangan yang membiru!

Cui Im kembali menendang dan... mayat laki-laki yang selama tiga tiga malam menjadi kekasih dan kawannya bermain cinta itu terlempar keluar melalui pintu kamar. Dia cepat menghampiri daun pintu dan ditutupnya, kemudian ia membalikkan tubuh dan seperti tak pernah terjadi sesuatu, dia melangkah maju menghampiri Coa Kun yang duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.

"Kenapa... kenapa kau membunuhnya...?"

"Ahh, aku sudah bosan dan jemu dengan dia. Apa lagi dia hanyalah seorang anak buah rendah saja, tidak tepat menjadi sahabatku. Coa-kongcu, engkaulah orang yang paling patut menjadi sahabat baikku dan kamar ini adalah kamarmu."

Sambil tersenyum manis sekali dan dengan pandang mata panas membakar hati, Cui Im menghampiri pemuda itu dengan langkah dan lenggang memikat, lalu merangkulkan dua lengannya pada leher pemuda itu.

Coa Kun memandang dengan dua mata terbelalak. Hidungnya mencium keharuman yang aneh dari tubuh wanita itu, jantungnya berdebar ketika merasa betapa hangat tubuh yang menempel rapat di dadanya.

"Eh, Sianli... Ah, apa artinya ini?" Ia tergagap, karena biar pun sebelum salah mamasuki kamar itu dia sudah mendengar cerita tentang Ang-kiam Bu-tek yang sakti seperti iblis dan cabul laksana siluman rase, namun tak mengira sama sekali bahwa wanita ini akan membunuh kekasihnya begitu saja kemudian mengalihkan cintanya kepadanya!

Tiba-tiba Cui Im meraih ke atas hingga memaksa muka pemuda itu tunduk, kemudian mencium mulut Coa Kun yang membuat pemuda itu makin mabuk kepayang dan makin terheran-heran. Setelah melepaskan ciumannya, Cui Im berbisik halus, "Kongcu, apakah engkau tidak suka aku menemanimu di kamarmu ini? Apakah engkau tidak suka menjadi sahabat baikku?"

Coa Kun dapat mendengar ancaman hebat yang tersembunyi di balik bisikan halus penuh getaran birahi itu dan dia bergidik. Ia mengangguk dan cepat menjawab, "Tentu saja aku suka sekali, Sianli, tapi..."

"Kongcu yang tampan dan halus, engkau mengingatkan aku terhadap seseorang.. Ahhh, jangan engkau khawatir, terhadap engkau, aku tidak akan mengganggu. Apa bila engkau memang suka, mengapa tidak memondongku ke ranjangmu?”

Coa Kun adalah seorang pemuda yang biar pun sudah berusia dua puluh tahun lebih dan sebagai putera kepala daerah, biar pun belum menikah namun sudah memiliki beberapa orang selir dan bukan tidak berpengalaman menghadapi wanita, akan tetapi dibandingkan dengan Cui Im dia hanyalah seorang pemuda yang masih hijau! Kini, berada di dalam cengkeraman Cui Im, menghadapi rayuan Cui Im yang merupakan seorang ahli dalam permainan cinta, mana mungkin dia sanggup bertahan? Menghadapi rayuan Cui Im yang luar biasa, dalam waktu singkat saja dia sudah bertekuk lutut dan menyambut serta melayani segala kehendak wanita itu!

Biar pun Cui Im memang seorang wanita yang haus akan cinta kasih laki-laki dan mata keranjang, selalu ingin memeluk pria tampan, pembosan dan ingin selalu berganti teman bercinta, namun Cui Im memilih Coa Kun bukan semata-mata karena pemuda ini tampan. Terutama sekali karena kemiripan wajah Coa Kun dengan wajah Keng Hong yang amat menarik hatinya, dan otaknya yang luar biasa cerdiknya segera mendapatkan siasat untuk sewaktu-waktu menggunakan pemuda ini agar membantunya menghancurkan kehidupan Keng Hong, satu-satunya laki-laki di dunia ini yang pernah meruntuhkan hatinya, pernah dicintanya dengan cinta murni, akan tetapi yang kini telah berubah menjadi satu-satunya orang yang paling dibencinya di dunia ini!

Sementara itu, ketika Mo-kiam Siauw-ong mendengar pelaporan dari para penjaga akan adanya mayat Ma Kiat Su di depan pintu kamar tidur, hanya tersenyum dan dia menyuruh anak buahnya membawa pergi mayat itu dan menguburnya. Ia mengangguk-angguk dan menggosok kedua tangannya. Kalau Ang-kiam Bu-tek jatuh hati kepada Coa-kongcu, hal itu amat baik sekali. Lebih baik lagi apa bila Ang-kiam Bu-tek suka menjadi isteri putera kepala daerah itu, pikirnya.

Hati Cui Im gembira sekali karena pemuda putera Coa-jin itu sebentar saja benar-benar sudah jatuh hati kepadanya dan dapat memuaskan hatinya. Dia merasa senang tinggal di gedung itu, selain menerima penghormatan berlebihan dan menerima pelayanan yang menyenangkan, ditemani seorang kongcu yang halus dan tampan mirip Cia Keng Hong, juga ternyata luka pada pundaknya oleh pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong tidaklah merupakan luka parah dan dalam beberapa hari saja tentu akan sembuh.

Akan tetapi pada malam hari itu, selagi ia asyik bercumbu dengan kekasihnya yang baru, tiba-tiba terdengar suara terkekeh dari arah jendela kamarnya. Mendengar dan mengenal suara ini, Cui Im lantas melompat turun dari atas pembaringan, secepat kilat menyambar pakaiannya dan ketika ia membalik dengan pakaian yang belum lengkap, ia melihat Go-bi Thai-houw telah melayang masuk dari jendela yang dibuka dari luar dan berada di kamar itu sambil tertawa-tawa.

Bukan main kagetnya Coa Kun melihat munculnya seorang nenek yang sangat tua dan menyeramkan itu. Dia cepat-cepat menutupi tubuhnya dengan selimut dan hanya berani mengintai dari balik selimut.

Cui Im cepat maju dan berlutut menyambut Go-bi Thai-houw. "Subo telah datang..."

"Heh-heh-hi-hik-hik! Benar-benarkah engkau mengangkat aku sebagai gurumu, Ang-kiam Bu-tek?"

"Subo adalah seorang yang paling sakti di dunia ini, tentu saja teecu (murid) akan senang sekali menjadi murid Subo. Apa lagi dengan adanya Subo. Kita dapat bekerja sama untuk membalas sakit hati terhadap Cia Keng Hong."

"Hemmmm..!" Nenek itu mendengus, keningnya yang sudah putih itu mengkerut, dahinya yang sudah penuh keriput itu makin mendalam garis-garisnya. "Cia Keng Hong manusia busuk! Aku harus membunuh dia... Akan tetapi... di sana ada isteri Sin-jiu Kiam-ong…"

"Takut apa, Subo? Kalau kita bekerja sama, dibantu oleh Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya, tentu kita akan dapat membasmi mereka! Mo-kiam Siauw-ong adalah murid dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo, masih golongan sendiri. Marilah teecu perkenalkan Subo dengan Mo-kiam Siauw-ong dan mertuanya, Coa-taijin kepala daerah Sun-ke-bun, pemilik gedung ini."

Nenek itu melirik ke arah Coa Kun yang masih memandang dengan ketakutan dari atas pembaringan, kemudian tertawa lebar memperlihatkan mulut yang tiada giginya lagi.

"Ha-ha-ha, engkau cocok sekali dengan aku muridku. Dahulu ketika muda aku pun seperti engkau, suka mengejar kesenangan setelah cintaku ditolak oleh Sie Cun Hong si keparat! Besok saja aku berkenalan dengan mereka. Kau lanjutkan permainanmu dengan Kongcu ini, aku ingin menonton."

"Subo..!"

"Hi-hi-hi-hik! Aku sudah terlampau tua, tidak bisa lagi main sendiri, akan tetapi menonton menimbulkan kesenangan yang amat besar pula. Hayolah, anggap saja aku tidak berada di sini!" Nenek itu lalu duduk di atas sebuah bangku, duduk tegak tanpa bergerak seperti arca.

Sejak dia bertemu dengan bekas majikan wanitanya, yaitu Tung Sun Nio isteri mendiang Sin-jiu Kiam-ong, tiba-tiba gilanya menjadi sembuh karena pertemuan itu mendatangkan guncangan batin yang hebat. Dia tidak gila lagi, akan tetapi setelah menjadi waras, timbul kembali wataknya yang seperti iblis, watak yang sama dengan watak Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im pada waktu dia masih muda. Watak yang amat cabul dan keji!

Dan terjadilah perbuatan maksiat yang tiada keduanya di dunia ini, yang dapat dilakukan oleh wanita. Cui Im melanjutkan permainan cintanya dengan Coa Kun yang makin lama semakin hilang rasa ngerinya terhadap nenek itu, ditonton oleh nenek itu! Bagi manusia-manusia yang mengenal kesusilaan, yang sudah hidup di dalam jaman yang beradab, perbuatan mereka bertiga itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat cabul tanpa mengenal susila dan rasa malu lagi!

Coa Kun, putera seorang pembesar yang terpelajar, yang sejak kecil sudah membaca kitab-kitab dan tahu akan tata susila dan sopan santun, sedikit banyak mengenal pula ilmu silat, sekarang terseret dan terguling ke dalam jurang kehinaan, terseret melakukan perbuatan yang patutnya hanya bisa dilakukan oleh golongan hitam tingkat paling rendah!

Dan pada keesokan harinya, setelah ketiga orang ini merasa puas, Coa Kun merasa puas karena merasa diayun ke sorga oleh cumbu rayuan serta permainan cinta Cui Im yang merupakan seorang ahli berpengalaman dalam hal itu, Cui Im merasa puas karena selain mendapatkan seorang kekasih baru yang tampan juga dia diterima menjadi murid Go-bi Thai-houw dan nenek itu puas karena sudah lama ia kehilangan seperti yang dinikmatinya semalam dengan menoton pertunjukan yang menggairahkan hati tuanya, maka diadakan pertemuan yang disambung dengan perundingan. Sebuah perundingan yang tujuannya hanya satu, yaitu menghancurkan kehidupan Cia Keng Hong!

Go-bi Thai-houw membenci Keng Hong karena dianggap sebagai biang keladi sehingga dia kehilangan dua orang muridnya yang tercinta, yaitu mendiang Hek-sin-kiam Tan Hun Bwee dan Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng. Cui Im juga membenci Keng Hong, benci yang timbul karena cinta yang tidak terbalas dan karena banyak hal lagi. Mo-kiam Siauw-ong juga membenci Keng Hong karena pendekar sakti itu sudah membunuh ketiga orang gurunya, Thian-te Sam-lo-mo.

Hanya Coa-taijin dan Coa Kun yang turut hadir dalam perundingan itu saja yang tidak membenci Keng Hong karena mengenal pun tidak, akan tetapi mereka terbawa karena hubungan mereka dengan Mo-kiam Siauw-ong dan dengan Cui Im.

Benci! Perasaan ini merupakan nafsu manusia yang menjadi pokok penyebab utama dari pada timbulnya segala kekacauan di dunia ini oleh manusia. Penyebab timbulnya nafsu kebencian bersumber kepada rasa sayang diri dan iba diri (egoisme), terdorong oleh iri hati.

Kalau merasa diri dirugikan, maka timbullah bibit yang menjadi benih nafsu kebencian. Kalau sudah bertunas bibit kebencian di dalam hati, maka si manusia yang dicengkeram kebencian itu akan tertutup mata batinnya dan muncul perbuatan-perbuatan kekejaman.

Kebencian menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Kebencian menciptakan tindakan yang merugikan dan merusak, akan tetapi sebenarnya yang paling dirugikan dan dirusak adalah diri si pembenci sendiri. Kebencian merupakan sifat yang paling buruk yang harus dijauhi oleh setiap orang manusia, karena kebencian ini bertentangan dengan sifat alam.

Tak ada sifat benci pada alam yang hanya mempunyai satu sifat, yaitu Kasih! Yang tidak mau menyadari akan hal ini, yang tidak mau berusaha sekuat tenaga kemauan untuk mengenyahkan sifat benci dari hatinya, merupakan orang yang sungguh patut dikasihani, karena perasaan benci akan menyeretnya ke dalam segala macam kesengsaraan batin.

Orang yang percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih, tentu akan mudah melenyapkan dan menjatuhkan perasaan benci terhadap siapa pun juga. Karena orang ini akan menyadari bahwa segala yang menimpa dirinya, tidak terkecuali apakah hal itu menguntungkan atau merugikan, adalah hal yang sudah dikehendaki oleh Tuhan! Di luar kehendak Tuhan, segalanya tidak akan terjadi! Tuhan Maha Kuasa, kuasa untuk memberi, kuasa untuk mengambil.

Kalau hanya merasa senang apa bila diberi, akan tetapi mengomel apa bila diambil, dia adalah seorang yang kurang tebal kepercayaannya terhadap kekuasaan Tuhan. Di dalam memberi mau pun mengambil tentu saja ada yang menjadi lantarannya. Bila kepercayaan akan kekuasaan Tuhan sudah menjadi keyakinan bijaksana ini, tentu tak akan membenci yang menjadi lantarannya, karena lantaran itu hanyalah digunakan atau dipilih oleh Tuhan untuk pelaksanaan kehendak-Nya.

Misalnya, seseorang kehilangan seorang anaknya yang tercinta. Anak itu tidak akan mati kalau tidak dikehendaki oleh Tuhan untuk pelaksanaan kehendak-Nya ini, tentu saja ada lantarannya. Bermacam-macamlah yang dapat menjadi sebab, karena terbunuh, karena penyakit, karena kecelakaan dan sebagainya. Maka kelirulah jika orang yang kehilangan anaknya itu menimpakan kesalahan dan timbul kebencian terhadap penyebab atau yang menjadi lantaran, karena kejadian itu baru saja bisa terjadi oleh kehendak Tuhan! Tanpa dikendaki Tuhan biar segala iblis dan setan di dunia ini tentu tidak akan mampu mencabut nyawa anak itu! Demikian pula dengan kerugian dan kehilangan lainnya, atau sebaliknya, demikian pula dengan keuntungan dan hal yang menyenangkan lainnya.

Segala yang dikehendaki oleh Tuhan, akan terjadilah! Hal ini mutlak, tak ada kekuasaan yang dapat menentangnya semenjak dahulu, sekarang dan kemudian. Yang penting bagi manusia hanyalah berikhtiar, selalu berusaha yang sudah merupakan kewajibannya untuk menghindarkan diri dari pada hal-hal yang tidak dikehendaki hatinya.

Namun, bukanlah ikhtiar yang menentukan melainkan kehendak Tuhan juga! Berikhtiar dengan kesungguhan hati sebagai kewajiban, berlandaskan penyerahan akan kekuasaan Tuhan, dengan pasrah, dengan penerimaan, maka orang ini akan selalu merasa tenang dan dapat mengatasi segala hal yang menimpanya tanpa terseret nafsu kebencian yang akan menjadi awal rantai panjang tak berkeputusan yang berupa kesengsaraan batin
.

Orang-orang semacam Mo-kiam Siauw-ong, Go-bi Thai-houw dan terutama Bhe Cui Im adalah orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu dan tidaklah amat mengherankan kalau mereka itu mabuk oleh kebencian sehingga mereka berunding, mengatur rencana dan siasat untuk menghancurkan hidup orang yang mereka benci, yaitu Cia Keng Hong.

"Mereka itu tentu akan segera melangsungkan pernikahan. Aku akan menyelidikinya dan perayaan pernikahan mereka merupakan kesempatan baik bagi kita. Kita serbu mereka, kita kacaukan perayaan itu dan kalau dapat kita bunuh Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan kawan-kawan mereka. Dalam hal ini aku mengharapkan bantuan Mo-kiam Siauw-ong untuk mengerahkan pasukan yang kuat dan banyak." Cui Im berkata.

"Saya siap membantu, Sianli, harap jangan khawatir!" Mo-kiam Siauw-ong cepat berkata.

Coa-taijin mengerutkan alisnya dan berkata, "Maaf, Sianli. Saya percaya penuh bahwa Cia Keng Hong itu tentulah bukan manusia baik maka Sianli memusuhinya dan di dalam hati, saya memihak Sianli sepenuhnya dan andai kata saya memilliki kepandaian, tentu saya akan ikut pergi membantu untuk membasmi Cia Keng Hong dan kawan-kawannya yang telah merugikan dan melukai Sianli dan juga yang dimusuhi oleh Locianpwe ini…"

"Thai-houw, sebut aku Thai-houw, aku adalah ratu di Go-bi, tahu?" Tiba-tiba saja Go-bi Thai-houw berkata.

Coa-taijin terkejut dan cepat berkata, "Maaf, Thai-houw, maaf."

"Lanjutkan kata-katamu, Taijin. Apa yang hendak kau usulkan?"

"Sianli tentu maklum akan kedudukan saya sebagai kepala daerah, maka saya dan para pasukan penjaga kota ini adalah orang-orang dari pemerintah. Maka, kalau pasukan saya dipergunakan untuk urusan pribadi, hal itu tentu amat tidak baik bagi saya, karena tentu akan ada teguran dari pemerintah pusat."

Cui Im mengerutkan alisnya sambil memandang Mo-kiam Siauw-ong. Orang ini cepat berkata, "Apa yang dikatakan oleh mertua saya memang benar, Sianli. Akan tetapi harap Sianli tidak usah khawatir. Aku tidak begitu bodoh untuk menggunakan pasukan penjaga kota Sun-ke-bun karena pasukan penjaga itu biar pun banyak, tidaklah boleh diandalkan. Aku akan mengerahkan semua anak buah kaum liok-lim dan kang-ouw di daerah lembah Fen-ho dan percayalah, aku akan dapat mengumpulkan pasukan yang sudah jauh lebih kuat dan lebih banyak jumlahnya dari pada pasukan penjaga kota."

Wajah Cui Im berseri lagi mendengar ini. Dia mengangguk-angguk dan berkata dengan senyum manis, "Bantuan Taijin dan Siauw-ong yang amat berharga tentu tidak akan aku lupakan."

"Aihhh, Niocu, setelah kita menjadi orang sendiri, mengapa masih sungkan? Katakanlah, apa yang dapat aku kulakukan untuk membantumu? Aku siap membantu dengan taruhan nyawa!" Mendadak Coa Kun berkata. Pemuda ini sekarang tidak lagi menyebut ‘sianli’ melainkan menyebut niocu kepada kekasihnya itu.

Dengan kepandaiannya yang tinggi Cui Im dapat membuat sepaang pipinya kemerahan seperti wanita biasa kalau merasa malu dan jengah, kemudian dia mengerling ke arah kekasihnya itu sambil berkata, "Terima kasih, Kongcu. Memang aku amat membutuhkan bantuanmu, akan tetapi kelak bila mana usahaku yang pertama ini tidak berhasil. Engkau bersiap-siap sajalah, dan dalam penyerbuan yang kita rencanakan ini, harap kau tidak ikut..."

"Ah, mana bisa? Mana bisa aku berpisah darimu? Aku akan ikut, Niocu!" Biar pun berada di depan banyak orang, bahkan di depan ayahnya sendiri, namun pemuda yang sudah tergila-gila ini tidak malu-malu lagi menyatakan perasaannya yang tidak mau berpisah dari wanita yang membuatnya mabuk itu.

Cui Im tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak boleh ikut menyertai penyerbuan. Kalau engkau terluka atau tewas, aku yang kehilangan! Keng Hong adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, aku sendiri tidak kuat menandinginya."

"Hi-hi-hik, jangan takut, muridku. Aku pernah membuat dia dan bekas muridku Sie Baiuw Eng, dibantu dua orang temannya, jungkir-balik dan kalau saja tidak muncul isteri Sin-jiu Kiam-ong, mereka sudah mati di tanganku!" kata Go-bi Thai-houw.

Diam-diam Cui Im terkejut. Dia mengenal siapa kedua orang teman itu, tentulah Yap Song Can murid ketua Siauw-lim-pai yang lihai dan Gui Yan Cu. Kedua orang muda itu lihai bukan main, ditambah lagi dengan Sie Biauw Eng yang kini memiliki ilmu kepandaian hebat di samping Keng Hong. Benarkah nenek ini dapat mempermainkan mereka seperti ceritanya barusan? Diam-diam dia pun girang karena orang seperti nenek ini tentu tidak perlu membohong dan menyombongkan diri.

"Dan aku dapat mencari bantuan orang-orang pandai di lembah Fen-ho," berkata pula Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bertekad bulat, mempergunakan kesempatan baik itu, selagi dia dibantu dua orang sakti seperti Go-bi Thai-houw dan Ang-kiam Bu-tek, untuk membalas kematian ketiga orang gurunya di tangan Cia Keng Hong.

Sampai jauh malam mereka melakukan perundingan dan mengatur siasat, perundingan yang diseling dengan makan minum yang serba mahal dan mewah. Mo-kiam Siauw-ong, atas petunjuk Cui Im, pada hari itu juga lalu mengirim kaki tangannya untuk melakukan penyelidikan ke Siauw-lim-pai dan ke tempat tinggal Tung Sun Nio atau isteri dari Sin-jiu Kiam-ong, yaitu di lereng Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur.

Mereka mengadakan persiapan dan tinggal menunggu berita dari para penyelidik yang melakukan perjalanan cepat dengan berkuda. Sambil menanti, Cui Im tidak membuang waktu dengan sia-sia, melainkan dia mempererat hubungan cintanya dengan Coa Kun sehingga semua penduduk kota itu kini tahu bahwa wanita cantik yang sakti seperti dewi itu adalah kekasih atau selir baru putera kepala daerah, bahkan didesas-desuskan akan menjadi calon isteri Coa-kongcu.

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.