Pedang Kayu Harum Jilid 44
Telaga kecil yang berada di tengah hutan, tersembunyi antara pohon-pohon pek raksasa, memiliki air yang sangat jernih sehingga nampak dasarnya, nampak ikan-ikan beraneka macam berenang di dalamnya. Tepi telaga ditumbuhi rumput-rumput hijau yang tebal dan lunak laksana permadani hijau. Sunyi sekali kecuali suara air anak sungai yang dibentuk karena air telaga yang meluap, diselingi kicau burung-burung di pepohonan. Benar-benar merupakan sorga kecil.
Mereka bersenda gurau, menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing semenjak kecil, diseling pelukan, ciuman dan cubitan manja. Ketika perut telah kenyang oleh daging kelinci yang ditangkap Cong San dan dipanggang Yan Cu, Cong San mengajak isterinya mandi. Yan Cu menggelengkan kepala dengan muka merah.
"Tak tahu malu!" Ia pura-pura marah membentak. "Kalau kau mau mandi, sana jangan dekat-dekat. Mana boleh laki-laki dan wanita mandi bersama, bertelanjang bulat di sini tak mengenal malu? Sungguh tidak sopan!"
"Eh! Eh! Eh! Kita memang laki-laki dan wanita, akan tetapi kita pun suami isteri! Mengapa tidak boleh? Dan malu terhadap siapa? Tidak ada yang melihat kita. Masa tidak sopan? Hayolah, bukankah engkau isteriku dan aku suamimu? Enak sekali mandi di sini, bila kau tidak pandai renang, di pinggir dangkal, hanya setinggi perut. Dan biar aku yang mengajar kau berenang!" Cong San mulai menanggalkan bajunya.
Melihat dada suaminya yang bertelanjang, semakin merah muka Yan Cu dan jantungnya berdebar tidak karuan.
"Ehh, mengapa kau masih belum membuka pakaian?" Cong San menegur setelah selesai menanggalkan pakaian atasnya.
Yan Cu menunduk dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak mandi...!"
"Wah, aku yang celaka! Punya isteri tidak pernah mau mandi!"
Yan Cu tertawa dan tangannya bergerak mencubit.
“Aduhh! Ampun! Aku menarik kembali kata-kataku, kau isteri yang selalu mandi sehingga kulitmu bersih, putih halus seperti salju, keringatmu berbau harum seperti bunga setaman. Nah, hayolah!"
"Aku akan mandi dengan berpakaian!"
"Mana bisa? Kita tidak membawa bekal, kalau pakaianmu basah, kau masuk angin, wah, aku yang repot! Ehhh, Yan Cu, setelah menjadi isteriku, kenapa engkau masih sungkan dan malu?"
"Tidak...! Tidak mau...!"
"Kupaksa!"
Sambil tertawa Yan Cu lalu meloncat dan lari, dikejar oleh Cong San. Sejenak mereka berlarian memutari pohon-pohon seperti dua orang anak kecil bermain-main, tertawa-tawa dan akhirnya Yan Cu yang sengaja membiarkan dirinya ditangkap itu hanya menutup kedua matanya, napasnya terengah-engah ketika suaminya membantunya menanggalkan semua pakaiannya, kemudian dia memekik manja ketika suaminya memondongnya dan membawanya terjun ke dalam telaga!
Mereka berenang, bersenda gurau, bergelut di dalam air, saling bersiram-siraman sambil tertawa-tawa atau kadang kala hanya berdiri di air setinggi perut sambil saling pandang, terpesona oleh keindahan tubuh masing-masing, tubuh manusia lain kelamin yang baru pertama kali itu selama hidup mereka lihat.
Cong San mentertawakan Yan Cu yang dengan malu-malu berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan, dengan rambut. Ikan-ikan di dalam telaga berenang cepat melarikan diri, terkejut ketakutan menyaksikan dua makhuk besar itu berdekapan, berciuman, agaknya mereka merasa iri hati dan ikan-ikan jantan mulai mengejar-ngejar ikan betina!
Benar-benar bahagia, penuh madu asmara kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan dan dinikmati oleh sepasang pengantin baru. Pertemuan antara dua makhluk lawan kelamin, pertemuan lahir batin, badan dan jiwa, bebas lepas tidak ada rasa bersalah, tak ada rasa malu karena di antara mereka tidak terdapat pelanggaran suatu hukum atau larangan.
Pertemuan asyik masyuk seperti ini hanya dirasakan oleh laki-laki dan wanita yang sudah disyahkan oleh hukum manusia. Kasihanlah mereka yang mengadakan pertemuan lahir batin seperti ini dengan melanggar larangan susila, yang melakukan hubungan di luar hukum berupa pernikahan syah. Karena, biar pun badan mereka bertemu, batin mereka merasa bersalah, merasa berdosa dan melakukan pelanggaran sehingga kebahagiaan sesaat mereka itu tak sepenuhnya, bahkan sesudahnya akan menimbulkan penyesalan, ketakutan dan kecewa. Hanya sepasang suami isteri yang sudah sah pernikahannya saja yang akan dapat menikmati pertemuan pertama antara dua badan dan jiwa itu.
Setelah cuaca menjadi remang-remang karena matahari mulai surut ke barat, Cong San meloncat ke darat memondong tubuh isterinya. Yan Cu tak menolak, hanya memejamkan mata setengah pingsan akibat ketegangan, kebahagiaan, dan rasa malu namun dengan penuh pemasrahan ia menyerahkan badan dan jiwanya kepada pria yang dicintainya, pria yang menjadi suaminya dan yang berhak penuh atas dirinya.
Hanya pohon-pohon raksasa yang melindungi atas kepala mereka yang menjadi saksi, bersama bulan yang muncul mengintai dari balik awan, air telaga yang sunyi, rumput hijau tebal halus yang menjadi tilam tubuh mereka, diiringi bunyi-bunyi merdu gemerciknya air anak sungai dan desau angin mempermainkan pohon-pohon rumput, dan rambut Yan Cu yang panjang dan menyelimuti tubuh mereka berdua.
Yan Cu mengerang lirih penuh kelegaan hati, menggerakkan bulu matanya akan tetapi merasa terlalu malas untuk membuka mata. Tubuhnya terasa nyaman dan nikmat, lega, dan puas seperti hanya dirasakan oleh orang yang dapat tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi. Belum pernah dia merasa begitu lega dan nikmat, begitu kenyang tidur seperti ketika dia terbangun di pagi hari itu. Ia teringat dan bibirnya tersenyum, mukanya tiba-tiba terasa panas terdorong rasa malu dan jengah bercampur bahagia.
"Koko...!" Ia berbisik dan tanpa membuka mata lengannya merangkul ke sebelah kirinya.
Kosong! Tangannya meraba-raba akan tetapi hanya rumput tebal yang terasa oleh jari-jari tangannya. Dia membuka matanya, mengejap-ngejapkan mata, kemudian membukanya lebar-lebar. Rumput di sisinya masih rebah bekas tertindih tubuh Cong San, akan tetapi suaminya tidak ada di situ.
Suaminya! Betapa mesra sebutan ini sekarang di hatinya. Cong San adalah suaminya, suami dalam arti kata sepenuhnya. Bukan hanya sebutan seperti beberapa hari yang lalu, semenjak mereka menikah lalu tertimpa peristiwa yang hebat. Sekarang Cong San adalah suaminya sepenuhnya. Akan tetapi ke manakah dia? Tumpukan pakaian suaminya tidak ada.
Yan Cu menggigil, terasa dingin dan baru sadar bahwa tubuhnya tidak berpakaian, bahwa api unggun hanya tinggal asapnya saja. Cepat dia meloncat bangun, menyambar lantas mengenakan pakaiannya, matanya mencari-cari. Cong San tidak berada di tempat itu!
"Ah, tentu dia mencari bahan sarapan," pikirnya dan Yan Cu duduk melamun dengan bibir tersenyum-senyum bahagia.
Cinta kasihnya terhadap Cong San makin mendalam setelah orang muda itu kini menjadi suami sepenuhnya semenjak malam tadi. Teringat ia akan senda gurau mereka di telaga dan Yan Cu memandang ke arah air telaga dengan pandang mata mesra, seolah-olah ia berterima kasih kepada telaga itu.
Terkenang ia akan semua yang terjadi kemarin, mereka berkejaran, ia berusaha menolak harus menanggalkan pakaian untuk mandi bersama, kemudian betapa mereka saling menggoda di air, dan akhirnya betapa dua lengan yang kuat dari suaminya memondong tubuhnya keluar dari telaga, betapa di atas tilam rumput yang halus bagaikan permadani, mengalahkan segala kasur yang termewah di dunia ini, mereka memadu asmara suami isteri yang syah. Yan cu menarik napas panjang, penuh bahagia dan tiba-tiba ia terkejut.
Dia belum mencuci muka, rambutnya terlepas. Aihhh! Suaminya tidak boleh melihat dia seperti ini! Tergesa-gesa karena khawatir kalau-kalau suaminya datang kembali sebelum ia siap, isteri muda ini lalu lari ke pinggir telaga dan mencuci mukanya, membasahi sedikit rambutnya dan membereskan rambutnya, digelung rapi, membereskan pakaian kemudian dia bercermin di air telaga yang jernih.
Baru sekarang dia sibuk mempersolek diri, membasahi dan menggosok bibirnya sampai menjadi merah sekali, menggosok kedua pipinya, menata rambut di dahinya, anak rambut halus yang melingkar menghias dahi dan depan sepasang telinga. Dengan ujung lidahnya yang kecil merah dibasahinya bibirnya sehingga bibir itu nampak merah basah seperti buah anggur merah.
Ahhh, lama benar suaminya. Ke manakah perginya? Yan Cu melihat gerakan di balik tetumbuhan dan melihat beberapa ekor kelinci berlari. Mengapa suaminya pergi begitu jauh dan lama untuk mencari bahan sarapan kalau di depan mata terdapat banyak kelinci gemuk? Yan Cu tertawa dan tangannya sudah bergerak hendak menyambar batu dan merobohkan beberapa ekor kelinci, akan tetapi segera ditahannya dan dibatalkan niatnya.
Aihhh, hampir saja aku lancang, pikirnya. Suami sedang pergi mencari bahan sarapan, kalau nanti datang membawa binatang buruan lalu melihat bahwa dia sudah menangkap beberapa ekor kelinci, bukankah akan membikin suaminya kecewa sekali? Biarlah, dia akan menanti, menanti dengan sabar. Bukankah termasuk kewajiban seorang isteri untuk menanti suaminya dengan penuh kesabaran, kesetiaan dan cinta kasih?
Yan Cu tersenyum lagi dan melanjutkan mempersolek diri, menata rambut dan merapikan pakaian, mereka-reka bagaimana dia harus bersikap dan berbicara nanti kalau suaminya kembali. Dia merasa malu sekali setelah malam tadi dan membayangkan betapa pandang mata suaminya tentu akan berbicara banyak, betapa tanpa kata-kata pun pandang mata suaminya akan dapat menggodanya. Jantungnya berdebar penuh kebahagiaan, penuh ketegangan dan rasa malu.
Kalau saja Yan Cu tahu! Kalau saja isteri muda yang menunggu penuh kebahagiaan ini mengetahui bahwa suaminya sama sekali bukan pergi mencari bahan sarapan. Aihhh…, akan tetapi, bagaimana dia bisa tahu…..?
Pagi itu Cong San meninggalkan isterinya, setelah mengenakan pakaian dia berlari cepat seperti gila menuju ke kuil Siauw-lim-si. Wajahnya keruh sekali, pandang matanya muram dan rambutnya awut-awutan, kadang-kadang pandangan matanya liar penuh kemarahan dan rasa penasaran. Pandang mata ini diiringi kepalan kedua tangan sampai otot-ototnya berbunyi dan giginya yang menggigit-gigit berkerot.
"Ah, Yap-sicu... masih pagi seperti ini datang berkunjung, ada keperluan apakah?" Hwesio penjaga pintu depan kuil menyambut kedatangan Cong San dengan pandang mata yang terheran-heran.
"Aku ingin bertemu dengan suhu!"
Hwesio itu merangkap kedua tangannya di depan dada. "Seingat siauwceng, Sicu tidak mempunyai suhu di Siauw-lim-si..."
"Persetan dengan segala kepura-puraan ini! Aku minta menghadap Tiong Pek Hosiang! Ada keperluan yang amat penting sekali!"
"Akan tetapi, Tiong Pek Hosiang sedang bersemedhi, beliau sudah memasuki Ruangan Kesadaran, tidak boleh diganggu."
"Aku tidak akan mengganggunya, hanya ingin menyampaikan sesuatu. Sudahlah, harap jangan mempersulit aku. Biarlah aku pergi sendiri dan mencarinya di Ruang Kesadaran!" Cong San lalu melangkah maju, akan tetapi hwesio penjaga pintu itu berdiri menghalang dengan pandang mata heran.
"Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai apakah Sicu tidak tahu akan peraturan di sini? Orang luar tidak boleh memasuki kuil begitu saja tanpa seijin para pimpinan!"
Cong San mengerutkan kening. "Aku tidak berniat buruk dan aku perlu sekali menghadap suhu... ehh, Tiong Pek Hosiang. Kepentingan ini akan kupertaruhkan dengan nyawa dan apa bila terpaksa aku akan mempergunakan kekerasan memasuki kuil untuk menghadap beliau!"
Mendadak terdengar suara yang kereng dan nyaring, "Hemmmm, ada apakah ribut-ribut sepagi ini?"
Yang muncul adalah Thian Kek Hwesio, hwesio tua tinggi besar yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu, sikapnya tenang namun kereng dan penuh wibawa, membuat Cong San serta merta menjatuhkan diri berlutut.
"Suheng... ahh, maaf... Losuhu... mohon perkenan agar supaya teecu boleh menghadap Locianpwe Tiong Pek Hosiang..., penting sekali... mohon perkenan sekali ini saja."
Sejenak kedua mata hwesio tua itu memandang penuh perhatian, lalu dia menggerakkan tangan menggapai. "Mari masuklah, Yap-sicu, kita bicara di dalam."
Cong San tidak berani membantah, bangkit dan mengikuti hwesio tua itu memasuki ruang tamu di mana tidak terdapat hwesio lainnya. Sesudah dipersilakan duduk, hwesio tua itu bertanya,
"Nah, sekarang katakanlah. Ada keperluan apakah Sicu pagi-pagi mendatangi kami?"
"Suheng... ahh, Losuhu, teecu sedang bingung sekali. Teecu ingin menghadap Tiong Pek Hosiang, ingin mohon nasehatnya... ah, perkenankanlah, sekali ini saja karena urusan ini menyangkut penghidupan teecu..."
"Yap-sicu, pinceng ingin sekali mengabulkan permintaanmu, namun tidak mungkin karena suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa di sana sampai saat terakhir tiba. Beliau tidak boleh dan tidak dapat diganggu karena andai kata Sicu menghadapnya juga, suhu tidak akan dapat melayanimu. Suhu sudah melepaskan diri dari segala urusan dan ikatan dunia, dan urusan suhu itu pun sangat penting bagi jiwanya. Apakah dengan urusanmu ini Sicu tega mengganggu dan menggagalkannya?"
"Tapi... tapi..."
"Yap-sicu. Engkau adalah orang muda yang gagah perkasa dan sudah pernah menerima gembelengan lahir batin yang cukup, mengapa begini lemah? Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tidak dapat di atasi manusia, asalkan si manusia itu mempunyai dasar ikhtikad baik. Apa lagi kalau diingat bahwa segala kesulitan adalah akibat dari perbuatan sendiri, maka untuk mengatasinya harus pula dicari sebab di dalam diri sendiri. Yap-sicu, pinceng melihat awan gelap menyelubungi dirimu, penyesalan, kemarahan, kekecewaan nampak menggelapkan nuranimu. Keadaanmu ini amat berbahaya, Sicu, dan bisa menjadi sebab timbulnya perbuatan-perbuatan yang penuh penyelewengan. Pinceng prihatin sekali kalau sampai Sicu melakukan perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran karena Sicu adalah... sahabat baik kami. Karena itu, cobalah ceritakan kepada pinceng apa yang telah mengeruhkan hati Sicu, semoga saja Tuhan memberi kekuatan kepada pinceng untuk memasukan penerangan dalam hatimu, mengusir kekeruhan dan kegelapan."
Cong San menjadi bingung dan ragu-ragu. Ia maklum bahwa gurunya tak dapat diganggu lagi, apa lagi mendengar bahwa gurunya akan bersemedhi hingga datang kematian kelak, bagaimana dia tega mengganggu gurunya dengan segala urusan duniawi yang hanya menyangkut kepentingan pribadi?
"Tetapi... urusan ini... tidak boleh diketahui oleh siapa pun... maka teecu lari ke... suhu... ahhhh..." Dia menjadi bingung dan menundukkan muka, keningnya berkerut dan matanya dipejamkan.
Biar pun wataknya kasar, polos, jujur dan tenang, namun hati Thian Kek Hwesio merasa kasihan juga kepada sute-nya ini, yang sudah kehilangan keanggotaan dari Siauw-lim-pai bukan oleh kesalahannya, tetapi oleh keadaan. Di dalam hatinya, dia masih menganggap pemuda itu sebagai sute-nya sendiri yang dikasihinya.
"Yap-sicu, pandanglah pinceng. Pinceng adalah seorang kakek yang pantas pula menjadi kakekmu. Dalam menanggapi dan memandang persoalan dunia, mata batin pinceng telah terbuka lebar, mengapa Sicu merasa segan menyampaikan kepada pinceng kalau Sicu tak segan-segan menyampaikannya kepada suhu? Nah, orang muda, engkau perlu sekali mendapat penerangan, maka ceritakanlah peristiwa apa yang mendatangkan kegelapan hebat seperti hawa siluman itu di hatimu."
Lenyaplah keraguan di hati Cong San. Apa bila dia tidak dapat menumpahkan perasaan hatinya yang membuatnya seperti gila itu, tentu dia akan menjadi gila dan benar seperti ucapan bekas suheng-nya ini, dia akan melakukan hal-hal yang mengerikan. Suhu-nya tidak dapat diharapkan, maka satu-satunya orang yang kiranya akan dapat menolongnya dengan nasehat adalah pendeta tua inilah. Serta merta dia segera turun dari kursi dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Kek Hwesio.
Pendeta ini memandang pada bekas sute-nya sambil tersenyum tenang, membiarkannya saja tidak membangunkannya karena maklum bahwa pemuda itu harus menumpahkan seluruh perasaan yang menghimpitnya.
"Losuhu, teecu... bersama isteri teecu... memakai hutan pohon pek untuk melewatkan malam..."
"Pinceng sudah tahu akan hal itu Sicu. Hwesio peronda telah melaporkan dan pinceng juga sudah memerintahkan supaya mereka membiarkan kalian berdua dan meninggalkan kalian, karena sebagai sahabat baik, kalian berdua berhak menggunakan tempat itu untuk berbulan madu. Lalu, apakah yang terjadi?"
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya Cong San bisa juga mengeluarkan perasaan melalui mulutnya, "Losuhu, mala petaka hebat menimpa diri teecu... malam tadi... ah, bagaimana teecu harus menceritakan? Malam tadi... adalah merupakan malam pertama bagi teecu berdua sebagai suami isteri... semenjak pernikahan kami yang tergangu di Cin-ling-san..."
"Hemmmm, dapat pinceng maklumi. Selamat atas kebahagiaan kalian suami isteri, Sicu."
"Losuhu! Harap jangan memberi selamat kepada teecu yang celaka ini! Malam tadi... baru teecu ketahui dan... ah, Losuhu... ternyata banwa isteri teecu itu bukanlah perawan lagi!"
Tadinya Cong San merasa betapa hatinya amat terhimpit, akan tetapi setelah dia berhasil mengeluarkan hal yang menjadi racun di hatinya itu, dia merasa agak lega, menyangka bahwa tentu bekas suheng-nya itu akan terkejut sekali, lalu mengucapkan doa dan ikut merasa penasaran dan marah karena dia maklum betapa besar kasih sayang suheng-nya ini kepadanya. Akan tetapi, tidak ada akibat apa-apa, bahkan tidak ada suara keluar dari mulut suheng-nya.
Ia tercengang dan cepat mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Ternyata kakek itu tetap tenang, duduk dengan muka cerah dan mulut tersenyum. Sejenak mata mereka berpandangan dan ketika Cong San kelihatan semakin terheran-heran, kakek itu berkata halus,
"Yap Cong San, bangkit dan duduklah!"
Seperti orang kehilangan semangat, Cong San bangkit dan duduk menghadapi Thian Kek Hwesio. Sampai beberapa lama hwesio itu tidak berbicara sehingga mereka hanya saling pandang, Cong San masih merasa tertekan dan bercampur heran, sedangkan hwesio tua itu memandang penuh selidik, sinar matanya seakan-akan menembus ke dalam untuk menjenguk isi hati Cong San.
"Yap-sicu, sekarang dengarlah semua ucapan pinceng dan jawablah segala pertanyaan pinceng sesuai dengan isi hatimu." Cong San hanya mengangguk, seluruh perhatiannya dicurahkan.
"Yap-sicu, apakah engkau benar-benar mencintai Gui Yan Cu yang kini sudah menjadi isterimu?"
Pertanyaan yang aneh! Mengapa mesti ditanya lagi? Kenyataan bahwa dia suka menjadi suami gadis itu tentu saja sudah cukup membuktikan bahwa dia mencinta Yan Cu!
Akan tetapi dia harus menjawab semua pertanyaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjawab, "Tentu saja, Losuhu! Teecu mencinta Yan Cu dengan sepenuh hati dan jiwa teecu!"
"Engkau mencintanya semenjak sebelum kalian menjadi suami isteri dan dikawinkan di Cin-ling-san?"
"Benar, Losuhu. Teecu jatuh cinta kepadanya semenjak pertemuan kami yang pertama kali."
"Cinta lahir batin?"
"Benar!" Cong San menjadi semakin tidak mengerti dan menatap wajah tua itu penuh pertanyaan.
"Dan sekarang, setelah mendapat kenyataan bahwa dia bukan perawan lagi, perasaan bagaimanakah yang terdapat di hatimu?"
"Teecu marah, teecu benci, menyesal, kecewa dan dendam tercampur aduk menjadi satu. Teecu... ah, teecu tidak tahu lagi apa yang teecu rasakan! Teecu ingin... bunuh diri saja!"
Senyum di wajah tua itu melebar. "Yap Cong San, kalau engkau benar mencinta Gui Yap Cu, maka yang baru saja mengucapkan kata-kata itu bukanlah hatimu, bukanlah dirimu yang sejati, melainkan nafsu-nafsumu. Kalau pinceng percaya akan kata-katamu yang terakhir tadi, kalau betul kata-katamu keluar dari hatimu yang sejati, maka berarti bahwa selama ini engkau bukanlah mencinta Gui Yan Cu, melainkan hanya mencinta... tanda keperawanannya!"
Cong San terlongo, matanya terbelalak. "Apa... apa yang Suheng maksudkan?" Saking kaget dan bingung, dia sampai lupa dan menyebut suheng kepada hwesio itu. Thian Kek Hwesio tidak mencela, melainkan berkata, suaranya jelas dan penuh ketenangan.
"Apa bila engkau mencinta Gui Yan Cu, tentu pribadinya yang kau cinta, lahir batinnya, segala pada dirinya termasuk kebaikan dan cacad yang ada pada dirinya. Kalau engkau kehilangan dia, barulah engkau akan berduka dan menyesal. Akan tetapi karena yang kau cinta adalah tanda keperawanannya, maka begitu engkau kehilangan tanda itu, engkau menjadi berduka dan menyesal. Betapa picik dan rendahnya cintamu, Yap-sicu. Cinta berada di dalam hati, bukan pada kulit dan daging! Cinta yang hanya sedalam kulit daging hanyalah cinta birahi! Tanda keperawanan hanyalah merupakan persoalan kulit daging belaka. Jika betul engkau mengaku cinta kepada isterimu, maka cintamu itu adalah palsu, cintamu itu hanyalah cinta birahi kalau kini engkau meributkan soal perawan atau bukan! Memilih seorang isteri bukanlah seperti memilih seekor ayam yang hendak disembelih, kemudian merasa kecewa dan menyesal setelah mendapat kenyataan bahwa ayam itu sakit! Sama sekali bukan! Memilih seorang isteri berarti memilih jodoh, memilih teman hidup selamanya berdasarkan cinta kasih yang murni dan siap untuk hidup berdampingan selamanya, senang sama dinikmati, susah sama diderita. Tetapi kalau kenyataan bahwa isterimu bukan perawan lagi bisa melenyapkan cintamu, maka cintamu itu bukanlah cinta murni, melainkan cita yang semata-mata didasarkan pada hubungan jasmaniah saja!"
Ucapan itu bagaikan halilintar di siang hari menyambar kepala Cong San. Dia terbelalak, matanya tak pernah berkedip memandang wajah hwesio yang tenang dan mulutnya tetap tersenyum, akan tetapi sinar matanya amat tajam berpengaruh itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan membantah.
"Akan tetapi, Losuhu. Cinta yang murni harusnya disertai kesetiaan, tidak boleh dikotori dengan perjinahan! Sudah terang bahwa dia sudah berjinah dengan orang lain, dan ini merupakan penipuan terhadap teecu. Sebuah penipuan yang amat kotor menjijikkan!" Berkata demikian, terbayanglah wajah Cia Keng Hong di depan mata Cong San, dadanya menjadi panas penuh dendam dan kemarahan, napasnya menjadi terengah-engah.
Thian Kek Hwesio mengangkat tangan ke atas, seolah-olah hendak mencegah pemuda itu berlarut-larut kemudian terdengar dia berkata,
"Kata-katamu itu memang benar dan tepat, Yap-sicu. Namun, kesetiaan itu hanya berlaku kepada mereka yang telah saling mengikat dengan cinta kasih, terutama dengan sebuah pernikahan. Kalau dahulu, pada saat kalian saling bercinta, kemudian ternyata bahwa dia melakukan hubungan baik perjinahan mau pun cinta kasih dengan pria lain, itu berarti bahwa dia menyeleweng dan mengingkari hubungan cinta yang sudah merupakan ikatan janji dan tentu saja kalau terjadi demikian, engkau berhak, bahkan sebaiknya bila engkau memutuskan hubungan cinta itu. Kalau setelah menjadi suami isteri, isterimu melakukan penyelewengan dan berjinah dengan pria lain, maka engkau pun berhak untuk merasa menyesal dan marah, berhak untuk menceraikannya. Akan tetapi, dalam hal ini, tidak terjadi pelanggaran seperti itu. Apa bila isterimu itu dahulu, sebelum bertemu denganmu, melakukan hubungan dengan pria lain, hal ini bukanlah berarti dia menipumu, dia tidak bersalah kepadamu atau melanggar ikatan apa-apa denganmu. Waspadalah, Yap-sicu dan berpikirlah secara bijaksana. Kalau benar kenyataan bahwa isterimu bukan perawan itu berarti dia pernah melakukan hubungan badani dengan pria lain, maka hal itu terjadi dahulu dan merupakan peristiwa yang sudah lalu, sama sekali tidak ada sangkut-paut dengan hubungan cinta kasih di antara kalian."
Agak dingin rasa panas di hati Cong San. Sampai lama dia diam saja, otaknya diperas, terjadi perang di hatinya. Terbuka mata hatinya bahwa memang dia tidak adil sekali kalau harus membenci Yan Cu karena isterinya bukan perawan lagi. Sejak pertemuan pertama Yan Cu sudah bukan perawan lagi, dan sekarang hanyalah pembukaan rahasia itu. Akan tetapi mengapa gadis itu tidak berterus terang? Itu berarti menipunya!
Ah, mana mungkin seorang gadis mengaku dan bicara tentang keperawanannya? Akan tetapi mengapa bersikap seakan-akan masih perawan, masih belum pernah melakukan hubungan jasmani dengan pria lain? Habis, apakah ia harus berteriak-teriak memamerkan ketidak perawanannya?
Terjadi perbantahan di hati Cong San. Akan tetapi tiba-tiba terngiang di telinganya semua ucapan Cui Im ketika mereka bertanding di Cin-ling-san dulu. "Yan Cu bukan perawan lagi, dia adalah bekas Keng Hong, hi-hi-hik! Tan Cong San, engkau pemuda tolol!"
Panas lagi hati Cong San, panas oleh cemburu! Matanya melotot, mukanya merah sekali. Dia akan membunuh Keng Hong! Dia juga akan membunuh Yan Cu! Kemudian dia akan membunuh diri sendiri!
"Yap-sicu, tenanglah dan kalahkan nafsu di hatimu sendiri," tiba-tiba saja terdengar suara Thian Kek Hwesio yang tenang, sabar dan penuh wibawa.
Cong San dapat mengendalikan hatinya kembali, akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya lagi, "Losuhu! Apakah Losuhu hendak mengatakan bahwa seorang gadis yang melakukan hubungan badani dengan seorang pria di luar pernikahan bukan merupakan perbuatan kotor, hina, menjijikkan dan terkutuk?"
"Semua perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran adalah hal terkutuk, Sicu, terkutuk oleh kesadarannya sendiri melahirkan hukum karma. Kalau benar bahwa isterimu pernah melakukan pelanggaran itu, maka sama saja dengan dia menanam benih yang kelak setelah bersemi, buahnya akan dia petik sendiri. Sama sekali tak ada hubungannya dengan dirimu, dan... hemmm, andai kata Sicu melakukan perbuatan yang bukan-bukan menurutkan nafsu marah dan bertindak terhadapnya, nah…, hal itu dapat saja dianggap sebagai karma atau akibat perbuatannya yang sesat. Mengertikah engkau, Sicu? Akan tetapi, jangan lupa pula bahwa kalau Sicu melakukan sesuatu yang mengerikan terhadap urusan ini, sicu juga tersesat, tidak berbeda dengan yang telah dilakukan isteri Sicu, dan kesesatan ini pun kelak akan berbuah."
"Akan tetapi, Losuhu. Kalau saja seorang perempuan telah begitu merendahkan dirinya, sebagai seorang gadis berjinah di luar nikah, perempuan seperti itu apakah masih dapat dipercaya akan menjadi seorang isteri yang baik?"
"Sicu bicara hanya menurutkan nafsu iba diri yang mempergunakan kemarahan untuk membakar hati Sicu! Berjinah adalah satu dari sekian banyaknya perbuatan menyeleweng dari manusia, akan tetapi janganlah Sicu menempelkan sebuah perbuatan menyeleweng pada diri seseorang dan selanjutnya memastikan sebagai penyeleweng seumur hidupnya! Yap-sicu, manusia di dunia ini siapakah yang tidak pernah menyimpang dari kebenaran? Macam-macam penyelewengannya, hanya kebetulan sekali perjinahan dianggap sebagai penyelewengan terbesar untuk kaum wanita, akan tetapi tiap penyelewengan adalah hal manusiawi, timbul dari kelemahan batin manusia. Betapa pun juga, tidak boleh menilai seseorang dari perbuatan sesaat untuk dijadikan tanda selama hidupnya! Contohnya, maaf, suhu, terpaksa teecu membawa nama suhu untuk menyadarkan Yap-sicu, adalah suhu kita sendiri. Beliau pernah melakukan penyelewengan yang itu, akan tetapi apakah selanjutnya beliau juga hidup sebagai seorang yang menyeleweng dari kebenaran? Sama sekali tidak, sungguh pun hukum karma masih selalu mengikuti beliau! Sama saja dengan isterimu, Sicu. Seorang yang melakukan penyelewengan dari kebenaran, adalah seorang yang sedang sakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya! Dan harus diingat bahwa yang sakit dapat sembuh! Sebaliknya harus selalu menjadi ingatan kita bahwa yang sesat dapat saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Maka, selagi dalam sehat lahir batin, janganlah kita menekan terlalu berat kepada mereka yang sedang sakit lahir batinya, karena mereka itu dapat sembuh dan kita dapat jatuh sakit. Mengertikah, Sicu?"
Cong San menunduk. Semua wejangan itu meresap di hatinya dan dapat dia mengerti sepenuhnya. Hanya hati yang panas itu, betapa sukarnya menindas hati sendiri!
"Mohon petunjuk, Losuhu. Bagaimana teecu harus bersikap terhadap isteriku itu? Betapa teecu dapat melupakan perbuatannya, melupakan kenyataan bahwa isteri teecu bukan perawan lagi!"
"Cinta kasih yang murni akan dapat melenyapkan semua kekecewaan hati, Sicu. Cinta kasih yang murni akan memperbesar kesabaran dan memperkaya maaf di hati dengan kesadaran bahwa tak ada manusia tanpa cacad, maka segala cacad orang yang dicinta tentu akan mudah dimaafkan. Menerima seseorang harus dengan mata terbuka, dengan kesadaran sehingga akan mudah menerima orang itu berikut semua cacad-cacadnya dan kelemahan-kelemahannya karena tahu bahwa diri sendiri pun bukanlah orang yang tanpa cacad."
"Akan tetapi, bagaimana teecu akan bisa melupakan tekanan batin ini? Apakah sebaiknya teecu secara terus terang menanyakan hal itu dan menuntut supaya dia menceritakan penyelewengannya yang lalu?'
Hwesio itu menggeleng kepala. "Tidak bijaksana kalau Sicu berbuat demikian. Seorang wanita memiliki perasaan yang sangat peka, mudah tersinggung. Kalau Sicu mengajukan pertanyaan itu, apa pun kenyataannya, Sicu akan menderita akibatnya. Kalau ternyata dia tidak berdosa, dia akan tersinggung dan menganggap Sicu tidak percaya kepadanya dan hal ini mengakibatkan dia pun berkurang kepercayaannya kepada Sicu. Sebaliknya, andai kata dia berdosa, dia akan mengambil dua macam sikap, pertama dia bisa merasa malu dan rendah diri, bahkan luka di hatinya itu, setiap penyelewengan tentu membekas dan menimbulkan luka penyesalan di dalam hati, akan terbuka dan kambuh kembali, dia akan menganggap Sicu memandang rendah dan tidak menghargai, dia dan hal ini hanya akan mengingatkan dia akan pria pertama yang pernah merebut hati dan tubuhnya. Kedua, kalau dia seorang yang tinggi hati, dia akan nekat dan malah menantang Sicu dengan perbuatan yang seolah-olah tidak peduli dan tak mengindahkan lagi ikatan pernikahannya dengan Sicu karena dia menganggapnya toh sudah rusak. Sebaiknya, Sicu menenangkan diri, mengubur diri dengan cinta kasih dan penuh maaf, didasari perasaan iba kepada isteri yang pernah menyeleweng dari kebenaran hingga harus menanti datangnya hukum karma."
"Losuhu berkata bahwa kalau dia tidak berdosa. Mungkinkah itu? Sudah jelas semalam... bahwa..."
"Pinceng sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, sudah tahu apa yang Sicu maksudkan. Yap-sicu, tanda keperawanan seorang wanita bukan hanya dapat dibuktikan pada waktu malam pengantin pertama. Banyak hal yang dapat terjadi, yang memungkinkan wanita kehilangan tanda itu diluar hubungan jasmani dengan pria, misalnya karena sakit, karena jatuh dan sebagainya. Terutama sekali harus diingat bahwa isterimu itu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi, yang sejak kecil telah digembleng dengan ilmu silat, dengan gerakan-gerakan ketangkasan, maka kehilangan tanda keperawanannya bukanlah hal yang aneh lagi. Sekali lagi, kalau memang Sicu mencintanya, mengapa ribut-ribut urusan tanda keperawanan yang tidak berarti? Jangan lupa, cinta kasih tempatnya di hati, bukan di... ehhh…, maaf, bukan di situ!"
Wajah Cong San menjadi terang kini. Sejak tadi dia mengalami perdebatan dan perang di hatinya, dan wejangan-wejangan itu sudah membantunya sehingga akhirnya kesadaran memperoleh kemenangan. Sekarang seperti baru terbuka mata hatinya betapa tolol dia tadi, betapa gobloknya, hendak mengorbankan ikatan cinta kasih murni antara dia dan Yan Cu hanya oleh soal sepele saja. Soal perawan atau bukan! Aihhh terlalu lama dia meninggalkan Yan Cu!
"Losuhu..., Suheng ... terima kasih... terima kasih...!" Karena teringat akan isterinya, Cong San berkelebat dan sekali meloncat telah lenyap dari ruangan itu.
Thian Kek Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul sambil tertawa, kemudian dia merangkap tangan di depan dada, memejamkan mata dan mengerutkan keningnya.
"Omitohud... semoga Yap-sute mendapatkan penerangan di hatinya dan dapat menyingkir dari bahaya kegelapan."
Dia berkemak-kemik membaca doa karena hatinya prihatin sekali. Dengan mata batinnya yang waspada, dia pun dapat melihat awan gelap menyelubungi diri sute-nya itu.
Hati Yan Cu mulai menjadi gelisah ketika sampai hampir tengah hari dia tidak melihat Cong San datang. Ke mana perginya suaminya itu? Suaminya! Suaminya yang tercinta dan mengenangkan Cong San, dada wanita muda ini terasa hangat dan penuh. Ah, tentu ada sesuatu hal yang penting maka Cong San sampai meningalkannya tanpa pamit. Dia harus menanti dengan sabar.
Tiba-tiba Yan Cu melompat bangun, wajahnya pucat. Sesuatu! Jangan-jangan suaminya tertimpa bahaya! Siapa tahu. Bhe Cui Im, iblis betina itu masih berkeliaran. Dan Go-bi Thai-houw! Aihhh, kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya!
"Bhe Cui Im, kalau sampai engkau berani mengganggu suamiku, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu!" Dia mengepal tinju. Akan tetapi kembali dia menjadi gelisah. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya yang tercinta?
"Ahhh, Tuhan, semoga dia selamat. Koko, ke manakah engkau pergi?" Hampir Yan Cu menangis kalau saja dia tidak ingat bahwa betapa memalukan kalau suaminya datang melihat dia menangis, atau habis menangis, seperti anak kecil saja, ditinggalkan sebentar juga menangis. Seperti wanita lemah yang manja dan cengeng, sedikit-sedikit merengek!
Yan Cu merasa heran menyaksikan perubahan hatinya sendiri. Ia adalah seorang wanita gemblengan, seorang pendekar wanita yang semenjak kecil menghadapi kekerasan tanpa berkedip mata, kini menjadi seorang wanita lemah, penakut serta mudah sekali gelisah. Beginikah cinta? Aihhh, betapa hebat kekuasaan cinta. Dia tersenyum bila teringat betapa dahulu bersama suheng-nya, Cia Keng Hong, dia bicara tentang cinta!
Uihhh, betapa jauh bedanya pelajaran kosong mengenai cinta itu dengan kenyataannya. Bumi dengan langit! Kiranya tidak semudah itu cinta dipelajari dengan kata-kata, tidak semudah itu untuk dapat diikuti dengan pikiran, tidak mungkin diselami oleh akal budi manusia. Cinta hanya dapat DIRASA, titik! Percuma saja bicara tentang dasar laut dari permukaannya! Seperti bicara tentang isi langit dari atas bumi!
Tiba-tiba lamunannya membuyar saat pendengarannya yang tajam terlatih itu mendengar suara gerakan orang. Ia cepat-cepat membalikkan tubuh dan seketika wajahnya berseri, matanya terbelalak bersinar-sinar, bibirnya terbuka, "Koko...!"
"Yan Cu... ohhh, Yan Cu...!"
Bagaikan berlomba lari Cong San dan Yan Cu saling menghampiri, saling menubruk dan saling peluk dengan penuh kerinduan seakan-akan mereka sudah bertahun-tahun saling berpisah! Kalau masih ada bekas-bekas kemarahan di hatinya, kini tersapu bersihlah dari hati Cong San dan diam-diam dia mengutuk diri sendiri.
Isterinya begitu mencintanya, jelas terasa oleh hatinya getaran kasih sayang yang keluar dari tubuh Yan Cu, dari setiap ujung jari-jari tangannya, dari dengus napasnya, dari sinar matanya, dari senyum manisnya. Aihhh, cinta kasih isterinya bersembunyi di balik setiap gerak-geriknya, di balik setiap suara yang keluar dari mulutnya, menempel di setiap bulu badannya, mengapa dia masih menyangsikan!
Ia mencium isterinya penuh kasih sayang dan kegelisahan mereka berdua lenyap ditelan dalam ciuman yang lama dan mesra itu. Dan akhirnya Yan Cu melepaskan diri, napasnya terengah-engah, tersenyum dan mengerling manja dengan mulutnya dibikin cemberut.
"San-koko, engkau sungguh keterlaluan, pagi-pagi buta sudah meninggalkan orang pergi tanpa pamit!"
Cong San yang melihat isterinya cemberut, matanya melerok, kakinya dibanting seperti seorang anak kecil ngambek ini, tersenyum geli dan dia pun lantas menjura dalam-dalam seperti orang memberi hormat kepada seorang ratu, "Mohon beribu ampun, ratuku pujaan hati! Melihat engkau tidur demikian nyenyak, kelihatan lelah sekali, hati kakanda mana mungkin tega membangunkanmu?"
"Ihhh! Siapa yang bikin orang lelah!" Yan Cu mendengus, akan tetapi ia merangkul leher suaminya ketika pinggangnya dipeluk, lalu bertanya dengan suara sungguh-sungguh,
"Suamiku, hatiku tadi benar-benar gelisah sekali. Tadinya kukira engkau mencari bahan santapan, akan tetapi sampai hampir siang engkau belum juga kembali. Apakah terjadi sesuatu, Koko? Tadi aku khawatir kalau-kalau engkau tertimpa mala petaka!"
Aduh, kekasihku, engkau tidak tahu betapa mala petaka hebat hampir saja merusak cinta kasih kita, di dalam hatinya Cong San mengeluh. Akan tetapi mulutnya berkata, "Kau maafkan aku. Aku... aku tadi teringat kepada suhu. Tadinya aku hanya ingin menengok sebentar selagi kau tidur dan sekalian menangkap kijang atau kelinci. Siapa kira, ketika sampai di sana, suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa hingga mati kelak. Hatiku terharu sekali sehingga aku sampai lama membujuk-bujuk agar suhu suka bicara untuk terakhir kalinya dengan aku, akan tetapi sia-sia. Ketika aku kembali, hatiku demikian penuh rindu kepadamu sampai aku lupa untuk menangkap bahan makanan dan perutku lapar bukan main!"
"Apa kau kira aku pun tidak lapar sekali? Heran sekali, baru sekarang terasa setelah kau kembali!"
"Ha-ha-ha, memang cinta membuat orang selalu merasa lapar dan haus!"
"Aaahh, masa! Apa engkau selalu lapar dan haus setelah jatuh cinta kepadaku?"
"Tentu saja, kelaparan dan kehausan. Hanya kerling matamu dan senyum bibirmu yang akan dapat mengobati lapar dan dahagaku yang tak kunjung puas. Hemmm, siapa suruh engkau memiliki mata dan bibir yang seindah ini?" Cong San mencium mata dan bibir itu sampai Yan Cu terengah-engah.
"Eh-eh-eh, engkau benar-benar buas tak kenal kenyang! Kalau begini terus, kita berdua benar-benar kelaparan, lapar perut bukan lapar itu, hi-hi-hik!" Yan Cu meronta kemudian melepaskan pelukan Cong San, lalu melarikan diri dikejar oleh suaminya.
"Hayo kita berlomba menangkap kelinci. Berlomba menangkap yang termuda dan paling gemuk. Yang kalah harus menguliti kemudian memanggang dagingnya, melayani yang menang!" Yan Cu terkekeh menantang.
Mereka lalu berlari-lari seperti dua orang kanak-kanak mencari kelinci. Karena Cong San memang mengalah, Yan Cu mendapatkan kelinci yang muda dan gemuk sekali, sedang Cong San mendapatkan kelinci kurus yang terlepas kembali, ditertawakan Yan Cu.
Akan tetapi Yan Cu bukan tidak tahu bahwa suaminya mengalah, maka dia membantu menguliti kelinci, memanggang dagingnya berdua, lalu makan berdua, mencari buah dan makan buah berdua pula. Tidak ada kesenangan lain yang lebih mengharukan hati dari pada segala-galanya dilakukan berdua oleh suami isteri ini.
Selama dua pekan mereka berdua berbulan madu di tempat itu dan biar pun kadang-kadang Cong San merasa seperti ada jarum menusuk hatinya dan telinganya mendengar bisikan suara fitnah dan maki-makian Cui Im mengenai diri isterinya, namun dia sudah dapat melenyapkannya kembali semua itu dan cintanya terhadap Yan Cu bersih dari pada prasangka buruk.
Soal malam pertama itu pun sudah dia buang jauh-jauh dari dalam hatinya dan dia telah mengambil keputusan untuk melupakannya dan tidak bertanya apa-apa kepada Yan Cu. Untuk menghilangkannya sama sekali, ketika suatu siang mereka berdua duduk di tepi telaga di bawah pohon yang teduh, sambil memangku isterinya dan membelai rambutnya, Cong San bertanya lirih,
"Isteriku..."
"Hemmm..."
"Yan Cu moi-moi, apakah engkau cinta padaku?"
Yan Cu terbelalak, lalu membalikkan tubuhnya, memandang wajah suaminya dan segera dia tertawa terpingkal-pingkal!
Cong San mengerutkan alisnya dan mukanya tiba-tiba berubah pucat tapi Yan Cu tidak melihat perubahan muka ini karena dia sedang tertawa dan kedua matanya terpejam.
"Yan Cu, mengapa kau tertawa? Apakah yang lucu tentang pengakuan cintamu?"
Baru Yan Cu terkejut ketika pundaknya diguncang oleh suaminya. Ia berhenti tertawa dan memandang dengan kedua mata terbelalak. Juga Cong San baru sadar bahwa dia telah bersikap kasar, maka dia memeluk isterinya dan berbisik, "Maaf... ahh, aku telah menjadi gila!"
Yan Cu merangkul leher suaminya. "Akulah yang minta maaf, suamiku. Sama sekali tidak kumaksudkan untuk menyinggung hatimu. Aku memang merasa geli oleh pertanyaanmu yang kuanggap aneh. Masih belum dapat melihatkah engkau betapa cintaku kepadamu amat besar, dengan seluruh hati dan jiwaku? Aihhh, suamiku, pertanyaanmu benar aneh. Aku cinta padamu! Aku cinta padamu! Nah, kalau kau belum puas boleh kuulangi sampai seribu kali, aku cinta padamu, aku cinta padamu, aku cinta..." Terpaksa Yan Cu tak dapat melanjutkannya karena bibirnya telah dicium oleh Cong San dan dia merasa betapa bibir suaminya menggigil dan ada terasa olehnya sedu sedan yang naik dari dada suaminya ke mulutnya.
Dengan pengakuan itu, tersapu bersihlah segala keraguan hati Cong San. Tidak mungkin isterinya pernah berhubungan dengan pria lain. Tentu benar seperti yang dikatakan Thian Kek Hwesio, isterinya kehilangan tanda keperawanannya karena latihan ilmu silat yang berat. Atau... andai kata... semoga tidak demikian jika Tuhan menghendaki, andai kata benar Yan Cu pernah melakukan penyelewengan, dia sudah memaafkannya karena yang terpenting sekarang dan selama hidupnya, Yan Cu adalah miliknya, tubuh serta hatinya, dan terutama sekali cintanya!
Mereka meninggalkan tempat yang menjadi sorga pertama bagi mereka itu, menuju ke kota Leng-kok. Paman Cong San adalah kakak mendiang ibunya, menerima kedatangan mereka dengan gembira dan ramah, kemudian berkat bantuan pamannya ini, Cong San dan isterinya dapat membuka sebuah toko obat-obatan di kota itu, hidup dalam keadaan sederhana namun cukup, dan kaya dengan cinta yang membuat mereka seakan tidak membutuhkan benda-benda duniawi lainnya lagi.
Suami isteri muda ini sama sekali tidak tahu bahwa kadang-kadang ada sepasang mata yang indah tetapi berkilat penuh kebencian mengintai mereka. Tidak tahu bahwa ada otak kepala beberapa orang manusia yang mencari-cari kesempatan untuk melakukan pukulan maut yang akan membuat kebahagiaan mereka hancur berantakan. Tidak tahu bahwa Bhe Cui Im, wanita yang diperhamba nafsu iblis itu tidak pernah melepaskan mereka dari intaiannya, hendak menjadikan mereka sebagai jalan untuk memuaskan nafsu kebencian dan dendamnya!
Selama setengah tahun suami isteri muda ini tinggal di kota Leng-kok dan Yan Cu telah mengandung enam bulan! Tentu saja hal ini memperlengkap kebahagiaan mereka dan membuat mereka selalu bersyukur kepada Tuhan yang sudah melimpahkan berkah dan kebahagiaan kepada mereka.
Pekerjaan mereka pun maju dan nama Cong San kini terkenal sebagai Yap-sinshe ahli pengobatan, padahal yang sesbenarnya ahli dalam hal pengobatan adalah isterinya! Toko obat mereka makin besar dan mereka hidup tidak kekurangan lagi.
Mereka bersenda gurau, menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing semenjak kecil, diseling pelukan, ciuman dan cubitan manja. Ketika perut telah kenyang oleh daging kelinci yang ditangkap Cong San dan dipanggang Yan Cu, Cong San mengajak isterinya mandi. Yan Cu menggelengkan kepala dengan muka merah.
"Tak tahu malu!" Ia pura-pura marah membentak. "Kalau kau mau mandi, sana jangan dekat-dekat. Mana boleh laki-laki dan wanita mandi bersama, bertelanjang bulat di sini tak mengenal malu? Sungguh tidak sopan!"
"Eh! Eh! Eh! Kita memang laki-laki dan wanita, akan tetapi kita pun suami isteri! Mengapa tidak boleh? Dan malu terhadap siapa? Tidak ada yang melihat kita. Masa tidak sopan? Hayolah, bukankah engkau isteriku dan aku suamimu? Enak sekali mandi di sini, bila kau tidak pandai renang, di pinggir dangkal, hanya setinggi perut. Dan biar aku yang mengajar kau berenang!" Cong San mulai menanggalkan bajunya.
Melihat dada suaminya yang bertelanjang, semakin merah muka Yan Cu dan jantungnya berdebar tidak karuan.
"Ehh, mengapa kau masih belum membuka pakaian?" Cong San menegur setelah selesai menanggalkan pakaian atasnya.
Yan Cu menunduk dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak mandi...!"
"Wah, aku yang celaka! Punya isteri tidak pernah mau mandi!"
Yan Cu tertawa dan tangannya bergerak mencubit.
“Aduhh! Ampun! Aku menarik kembali kata-kataku, kau isteri yang selalu mandi sehingga kulitmu bersih, putih halus seperti salju, keringatmu berbau harum seperti bunga setaman. Nah, hayolah!"
"Aku akan mandi dengan berpakaian!"
"Mana bisa? Kita tidak membawa bekal, kalau pakaianmu basah, kau masuk angin, wah, aku yang repot! Ehhh, Yan Cu, setelah menjadi isteriku, kenapa engkau masih sungkan dan malu?"
"Tidak...! Tidak mau...!"
"Kupaksa!"
Sambil tertawa Yan Cu lalu meloncat dan lari, dikejar oleh Cong San. Sejenak mereka berlarian memutari pohon-pohon seperti dua orang anak kecil bermain-main, tertawa-tawa dan akhirnya Yan Cu yang sengaja membiarkan dirinya ditangkap itu hanya menutup kedua matanya, napasnya terengah-engah ketika suaminya membantunya menanggalkan semua pakaiannya, kemudian dia memekik manja ketika suaminya memondongnya dan membawanya terjun ke dalam telaga!
Mereka berenang, bersenda gurau, bergelut di dalam air, saling bersiram-siraman sambil tertawa-tawa atau kadang kala hanya berdiri di air setinggi perut sambil saling pandang, terpesona oleh keindahan tubuh masing-masing, tubuh manusia lain kelamin yang baru pertama kali itu selama hidup mereka lihat.
Cong San mentertawakan Yan Cu yang dengan malu-malu berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan, dengan rambut. Ikan-ikan di dalam telaga berenang cepat melarikan diri, terkejut ketakutan menyaksikan dua makhuk besar itu berdekapan, berciuman, agaknya mereka merasa iri hati dan ikan-ikan jantan mulai mengejar-ngejar ikan betina!
Benar-benar bahagia, penuh madu asmara kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan dan dinikmati oleh sepasang pengantin baru. Pertemuan antara dua makhluk lawan kelamin, pertemuan lahir batin, badan dan jiwa, bebas lepas tidak ada rasa bersalah, tak ada rasa malu karena di antara mereka tidak terdapat pelanggaran suatu hukum atau larangan.
Pertemuan asyik masyuk seperti ini hanya dirasakan oleh laki-laki dan wanita yang sudah disyahkan oleh hukum manusia. Kasihanlah mereka yang mengadakan pertemuan lahir batin seperti ini dengan melanggar larangan susila, yang melakukan hubungan di luar hukum berupa pernikahan syah. Karena, biar pun badan mereka bertemu, batin mereka merasa bersalah, merasa berdosa dan melakukan pelanggaran sehingga kebahagiaan sesaat mereka itu tak sepenuhnya, bahkan sesudahnya akan menimbulkan penyesalan, ketakutan dan kecewa. Hanya sepasang suami isteri yang sudah sah pernikahannya saja yang akan dapat menikmati pertemuan pertama antara dua badan dan jiwa itu.
Setelah cuaca menjadi remang-remang karena matahari mulai surut ke barat, Cong San meloncat ke darat memondong tubuh isterinya. Yan Cu tak menolak, hanya memejamkan mata setengah pingsan akibat ketegangan, kebahagiaan, dan rasa malu namun dengan penuh pemasrahan ia menyerahkan badan dan jiwanya kepada pria yang dicintainya, pria yang menjadi suaminya dan yang berhak penuh atas dirinya.
Hanya pohon-pohon raksasa yang melindungi atas kepala mereka yang menjadi saksi, bersama bulan yang muncul mengintai dari balik awan, air telaga yang sunyi, rumput hijau tebal halus yang menjadi tilam tubuh mereka, diiringi bunyi-bunyi merdu gemerciknya air anak sungai dan desau angin mempermainkan pohon-pohon rumput, dan rambut Yan Cu yang panjang dan menyelimuti tubuh mereka berdua.
Yan Cu mengerang lirih penuh kelegaan hati, menggerakkan bulu matanya akan tetapi merasa terlalu malas untuk membuka mata. Tubuhnya terasa nyaman dan nikmat, lega, dan puas seperti hanya dirasakan oleh orang yang dapat tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi. Belum pernah dia merasa begitu lega dan nikmat, begitu kenyang tidur seperti ketika dia terbangun di pagi hari itu. Ia teringat dan bibirnya tersenyum, mukanya tiba-tiba terasa panas terdorong rasa malu dan jengah bercampur bahagia.
"Koko...!" Ia berbisik dan tanpa membuka mata lengannya merangkul ke sebelah kirinya.
Kosong! Tangannya meraba-raba akan tetapi hanya rumput tebal yang terasa oleh jari-jari tangannya. Dia membuka matanya, mengejap-ngejapkan mata, kemudian membukanya lebar-lebar. Rumput di sisinya masih rebah bekas tertindih tubuh Cong San, akan tetapi suaminya tidak ada di situ.
Suaminya! Betapa mesra sebutan ini sekarang di hatinya. Cong San adalah suaminya, suami dalam arti kata sepenuhnya. Bukan hanya sebutan seperti beberapa hari yang lalu, semenjak mereka menikah lalu tertimpa peristiwa yang hebat. Sekarang Cong San adalah suaminya sepenuhnya. Akan tetapi ke manakah dia? Tumpukan pakaian suaminya tidak ada.
Yan Cu menggigil, terasa dingin dan baru sadar bahwa tubuhnya tidak berpakaian, bahwa api unggun hanya tinggal asapnya saja. Cepat dia meloncat bangun, menyambar lantas mengenakan pakaiannya, matanya mencari-cari. Cong San tidak berada di tempat itu!
"Ah, tentu dia mencari bahan sarapan," pikirnya dan Yan Cu duduk melamun dengan bibir tersenyum-senyum bahagia.
Cinta kasihnya terhadap Cong San makin mendalam setelah orang muda itu kini menjadi suami sepenuhnya semenjak malam tadi. Teringat ia akan senda gurau mereka di telaga dan Yan Cu memandang ke arah air telaga dengan pandang mata mesra, seolah-olah ia berterima kasih kepada telaga itu.
Terkenang ia akan semua yang terjadi kemarin, mereka berkejaran, ia berusaha menolak harus menanggalkan pakaian untuk mandi bersama, kemudian betapa mereka saling menggoda di air, dan akhirnya betapa dua lengan yang kuat dari suaminya memondong tubuhnya keluar dari telaga, betapa di atas tilam rumput yang halus bagaikan permadani, mengalahkan segala kasur yang termewah di dunia ini, mereka memadu asmara suami isteri yang syah. Yan cu menarik napas panjang, penuh bahagia dan tiba-tiba ia terkejut.
Dia belum mencuci muka, rambutnya terlepas. Aihhh! Suaminya tidak boleh melihat dia seperti ini! Tergesa-gesa karena khawatir kalau-kalau suaminya datang kembali sebelum ia siap, isteri muda ini lalu lari ke pinggir telaga dan mencuci mukanya, membasahi sedikit rambutnya dan membereskan rambutnya, digelung rapi, membereskan pakaian kemudian dia bercermin di air telaga yang jernih.
Baru sekarang dia sibuk mempersolek diri, membasahi dan menggosok bibirnya sampai menjadi merah sekali, menggosok kedua pipinya, menata rambut di dahinya, anak rambut halus yang melingkar menghias dahi dan depan sepasang telinga. Dengan ujung lidahnya yang kecil merah dibasahinya bibirnya sehingga bibir itu nampak merah basah seperti buah anggur merah.
Ahhh, lama benar suaminya. Ke manakah perginya? Yan Cu melihat gerakan di balik tetumbuhan dan melihat beberapa ekor kelinci berlari. Mengapa suaminya pergi begitu jauh dan lama untuk mencari bahan sarapan kalau di depan mata terdapat banyak kelinci gemuk? Yan Cu tertawa dan tangannya sudah bergerak hendak menyambar batu dan merobohkan beberapa ekor kelinci, akan tetapi segera ditahannya dan dibatalkan niatnya.
Aihhh, hampir saja aku lancang, pikirnya. Suami sedang pergi mencari bahan sarapan, kalau nanti datang membawa binatang buruan lalu melihat bahwa dia sudah menangkap beberapa ekor kelinci, bukankah akan membikin suaminya kecewa sekali? Biarlah, dia akan menanti, menanti dengan sabar. Bukankah termasuk kewajiban seorang isteri untuk menanti suaminya dengan penuh kesabaran, kesetiaan dan cinta kasih?
Yan Cu tersenyum lagi dan melanjutkan mempersolek diri, menata rambut dan merapikan pakaian, mereka-reka bagaimana dia harus bersikap dan berbicara nanti kalau suaminya kembali. Dia merasa malu sekali setelah malam tadi dan membayangkan betapa pandang mata suaminya tentu akan berbicara banyak, betapa tanpa kata-kata pun pandang mata suaminya akan dapat menggodanya. Jantungnya berdebar penuh kebahagiaan, penuh ketegangan dan rasa malu.
Kalau saja Yan Cu tahu! Kalau saja isteri muda yang menunggu penuh kebahagiaan ini mengetahui bahwa suaminya sama sekali bukan pergi mencari bahan sarapan. Aihhh…, akan tetapi, bagaimana dia bisa tahu…..?
********************
Pagi itu Cong San meninggalkan isterinya, setelah mengenakan pakaian dia berlari cepat seperti gila menuju ke kuil Siauw-lim-si. Wajahnya keruh sekali, pandang matanya muram dan rambutnya awut-awutan, kadang-kadang pandangan matanya liar penuh kemarahan dan rasa penasaran. Pandang mata ini diiringi kepalan kedua tangan sampai otot-ototnya berbunyi dan giginya yang menggigit-gigit berkerot.
"Ah, Yap-sicu... masih pagi seperti ini datang berkunjung, ada keperluan apakah?" Hwesio penjaga pintu depan kuil menyambut kedatangan Cong San dengan pandang mata yang terheran-heran.
"Aku ingin bertemu dengan suhu!"
Hwesio itu merangkap kedua tangannya di depan dada. "Seingat siauwceng, Sicu tidak mempunyai suhu di Siauw-lim-si..."
"Persetan dengan segala kepura-puraan ini! Aku minta menghadap Tiong Pek Hosiang! Ada keperluan yang amat penting sekali!"
"Akan tetapi, Tiong Pek Hosiang sedang bersemedhi, beliau sudah memasuki Ruangan Kesadaran, tidak boleh diganggu."
"Aku tidak akan mengganggunya, hanya ingin menyampaikan sesuatu. Sudahlah, harap jangan mempersulit aku. Biarlah aku pergi sendiri dan mencarinya di Ruang Kesadaran!" Cong San lalu melangkah maju, akan tetapi hwesio penjaga pintu itu berdiri menghalang dengan pandang mata heran.
"Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai apakah Sicu tidak tahu akan peraturan di sini? Orang luar tidak boleh memasuki kuil begitu saja tanpa seijin para pimpinan!"
Cong San mengerutkan kening. "Aku tidak berniat buruk dan aku perlu sekali menghadap suhu... ehh, Tiong Pek Hosiang. Kepentingan ini akan kupertaruhkan dengan nyawa dan apa bila terpaksa aku akan mempergunakan kekerasan memasuki kuil untuk menghadap beliau!"
Mendadak terdengar suara yang kereng dan nyaring, "Hemmmm, ada apakah ribut-ribut sepagi ini?"
Yang muncul adalah Thian Kek Hwesio, hwesio tua tinggi besar yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu, sikapnya tenang namun kereng dan penuh wibawa, membuat Cong San serta merta menjatuhkan diri berlutut.
"Suheng... ahh, maaf... Losuhu... mohon perkenan agar supaya teecu boleh menghadap Locianpwe Tiong Pek Hosiang..., penting sekali... mohon perkenan sekali ini saja."
Sejenak kedua mata hwesio tua itu memandang penuh perhatian, lalu dia menggerakkan tangan menggapai. "Mari masuklah, Yap-sicu, kita bicara di dalam."
Cong San tidak berani membantah, bangkit dan mengikuti hwesio tua itu memasuki ruang tamu di mana tidak terdapat hwesio lainnya. Sesudah dipersilakan duduk, hwesio tua itu bertanya,
"Nah, sekarang katakanlah. Ada keperluan apakah Sicu pagi-pagi mendatangi kami?"
"Suheng... ahh, Losuhu, teecu sedang bingung sekali. Teecu ingin menghadap Tiong Pek Hosiang, ingin mohon nasehatnya... ah, perkenankanlah, sekali ini saja karena urusan ini menyangkut penghidupan teecu..."
"Yap-sicu, pinceng ingin sekali mengabulkan permintaanmu, namun tidak mungkin karena suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa di sana sampai saat terakhir tiba. Beliau tidak boleh dan tidak dapat diganggu karena andai kata Sicu menghadapnya juga, suhu tidak akan dapat melayanimu. Suhu sudah melepaskan diri dari segala urusan dan ikatan dunia, dan urusan suhu itu pun sangat penting bagi jiwanya. Apakah dengan urusanmu ini Sicu tega mengganggu dan menggagalkannya?"
"Tapi... tapi..."
"Yap-sicu. Engkau adalah orang muda yang gagah perkasa dan sudah pernah menerima gembelengan lahir batin yang cukup, mengapa begini lemah? Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tidak dapat di atasi manusia, asalkan si manusia itu mempunyai dasar ikhtikad baik. Apa lagi kalau diingat bahwa segala kesulitan adalah akibat dari perbuatan sendiri, maka untuk mengatasinya harus pula dicari sebab di dalam diri sendiri. Yap-sicu, pinceng melihat awan gelap menyelubungi dirimu, penyesalan, kemarahan, kekecewaan nampak menggelapkan nuranimu. Keadaanmu ini amat berbahaya, Sicu, dan bisa menjadi sebab timbulnya perbuatan-perbuatan yang penuh penyelewengan. Pinceng prihatin sekali kalau sampai Sicu melakukan perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran karena Sicu adalah... sahabat baik kami. Karena itu, cobalah ceritakan kepada pinceng apa yang telah mengeruhkan hati Sicu, semoga saja Tuhan memberi kekuatan kepada pinceng untuk memasukan penerangan dalam hatimu, mengusir kekeruhan dan kegelapan."
Cong San menjadi bingung dan ragu-ragu. Ia maklum bahwa gurunya tak dapat diganggu lagi, apa lagi mendengar bahwa gurunya akan bersemedhi hingga datang kematian kelak, bagaimana dia tega mengganggu gurunya dengan segala urusan duniawi yang hanya menyangkut kepentingan pribadi?
"Tetapi... urusan ini... tidak boleh diketahui oleh siapa pun... maka teecu lari ke... suhu... ahhhh..." Dia menjadi bingung dan menundukkan muka, keningnya berkerut dan matanya dipejamkan.
Biar pun wataknya kasar, polos, jujur dan tenang, namun hati Thian Kek Hwesio merasa kasihan juga kepada sute-nya ini, yang sudah kehilangan keanggotaan dari Siauw-lim-pai bukan oleh kesalahannya, tetapi oleh keadaan. Di dalam hatinya, dia masih menganggap pemuda itu sebagai sute-nya sendiri yang dikasihinya.
"Yap-sicu, pandanglah pinceng. Pinceng adalah seorang kakek yang pantas pula menjadi kakekmu. Dalam menanggapi dan memandang persoalan dunia, mata batin pinceng telah terbuka lebar, mengapa Sicu merasa segan menyampaikan kepada pinceng kalau Sicu tak segan-segan menyampaikannya kepada suhu? Nah, orang muda, engkau perlu sekali mendapat penerangan, maka ceritakanlah peristiwa apa yang mendatangkan kegelapan hebat seperti hawa siluman itu di hatimu."
Lenyaplah keraguan di hati Cong San. Apa bila dia tidak dapat menumpahkan perasaan hatinya yang membuatnya seperti gila itu, tentu dia akan menjadi gila dan benar seperti ucapan bekas suheng-nya ini, dia akan melakukan hal-hal yang mengerikan. Suhu-nya tidak dapat diharapkan, maka satu-satunya orang yang kiranya akan dapat menolongnya dengan nasehat adalah pendeta tua inilah. Serta merta dia segera turun dari kursi dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Kek Hwesio.
Pendeta ini memandang pada bekas sute-nya sambil tersenyum tenang, membiarkannya saja tidak membangunkannya karena maklum bahwa pemuda itu harus menumpahkan seluruh perasaan yang menghimpitnya.
"Losuhu, teecu... bersama isteri teecu... memakai hutan pohon pek untuk melewatkan malam..."
"Pinceng sudah tahu akan hal itu Sicu. Hwesio peronda telah melaporkan dan pinceng juga sudah memerintahkan supaya mereka membiarkan kalian berdua dan meninggalkan kalian, karena sebagai sahabat baik, kalian berdua berhak menggunakan tempat itu untuk berbulan madu. Lalu, apakah yang terjadi?"
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya Cong San bisa juga mengeluarkan perasaan melalui mulutnya, "Losuhu, mala petaka hebat menimpa diri teecu... malam tadi... ah, bagaimana teecu harus menceritakan? Malam tadi... adalah merupakan malam pertama bagi teecu berdua sebagai suami isteri... semenjak pernikahan kami yang tergangu di Cin-ling-san..."
"Hemmmm, dapat pinceng maklumi. Selamat atas kebahagiaan kalian suami isteri, Sicu."
"Losuhu! Harap jangan memberi selamat kepada teecu yang celaka ini! Malam tadi... baru teecu ketahui dan... ah, Losuhu... ternyata banwa isteri teecu itu bukanlah perawan lagi!"
Tadinya Cong San merasa betapa hatinya amat terhimpit, akan tetapi setelah dia berhasil mengeluarkan hal yang menjadi racun di hatinya itu, dia merasa agak lega, menyangka bahwa tentu bekas suheng-nya itu akan terkejut sekali, lalu mengucapkan doa dan ikut merasa penasaran dan marah karena dia maklum betapa besar kasih sayang suheng-nya ini kepadanya. Akan tetapi, tidak ada akibat apa-apa, bahkan tidak ada suara keluar dari mulut suheng-nya.
Ia tercengang dan cepat mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Ternyata kakek itu tetap tenang, duduk dengan muka cerah dan mulut tersenyum. Sejenak mata mereka berpandangan dan ketika Cong San kelihatan semakin terheran-heran, kakek itu berkata halus,
"Yap Cong San, bangkit dan duduklah!"
Seperti orang kehilangan semangat, Cong San bangkit dan duduk menghadapi Thian Kek Hwesio. Sampai beberapa lama hwesio itu tidak berbicara sehingga mereka hanya saling pandang, Cong San masih merasa tertekan dan bercampur heran, sedangkan hwesio tua itu memandang penuh selidik, sinar matanya seakan-akan menembus ke dalam untuk menjenguk isi hati Cong San.
"Yap-sicu, sekarang dengarlah semua ucapan pinceng dan jawablah segala pertanyaan pinceng sesuai dengan isi hatimu." Cong San hanya mengangguk, seluruh perhatiannya dicurahkan.
"Yap-sicu, apakah engkau benar-benar mencintai Gui Yan Cu yang kini sudah menjadi isterimu?"
Pertanyaan yang aneh! Mengapa mesti ditanya lagi? Kenyataan bahwa dia suka menjadi suami gadis itu tentu saja sudah cukup membuktikan bahwa dia mencinta Yan Cu!
Akan tetapi dia harus menjawab semua pertanyaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjawab, "Tentu saja, Losuhu! Teecu mencinta Yan Cu dengan sepenuh hati dan jiwa teecu!"
"Engkau mencintanya semenjak sebelum kalian menjadi suami isteri dan dikawinkan di Cin-ling-san?"
"Benar, Losuhu. Teecu jatuh cinta kepadanya semenjak pertemuan kami yang pertama kali."
"Cinta lahir batin?"
"Benar!" Cong San menjadi semakin tidak mengerti dan menatap wajah tua itu penuh pertanyaan.
"Dan sekarang, setelah mendapat kenyataan bahwa dia bukan perawan lagi, perasaan bagaimanakah yang terdapat di hatimu?"
"Teecu marah, teecu benci, menyesal, kecewa dan dendam tercampur aduk menjadi satu. Teecu... ah, teecu tidak tahu lagi apa yang teecu rasakan! Teecu ingin... bunuh diri saja!"
Senyum di wajah tua itu melebar. "Yap Cong San, kalau engkau benar mencinta Gui Yap Cu, maka yang baru saja mengucapkan kata-kata itu bukanlah hatimu, bukanlah dirimu yang sejati, melainkan nafsu-nafsumu. Kalau pinceng percaya akan kata-katamu yang terakhir tadi, kalau betul kata-katamu keluar dari hatimu yang sejati, maka berarti bahwa selama ini engkau bukanlah mencinta Gui Yan Cu, melainkan hanya mencinta... tanda keperawanannya!"
Cong San terlongo, matanya terbelalak. "Apa... apa yang Suheng maksudkan?" Saking kaget dan bingung, dia sampai lupa dan menyebut suheng kepada hwesio itu. Thian Kek Hwesio tidak mencela, melainkan berkata, suaranya jelas dan penuh ketenangan.
"Apa bila engkau mencinta Gui Yan Cu, tentu pribadinya yang kau cinta, lahir batinnya, segala pada dirinya termasuk kebaikan dan cacad yang ada pada dirinya. Kalau engkau kehilangan dia, barulah engkau akan berduka dan menyesal. Akan tetapi karena yang kau cinta adalah tanda keperawanannya, maka begitu engkau kehilangan tanda itu, engkau menjadi berduka dan menyesal. Betapa picik dan rendahnya cintamu, Yap-sicu. Cinta berada di dalam hati, bukan pada kulit dan daging! Cinta yang hanya sedalam kulit daging hanyalah cinta birahi! Tanda keperawanan hanyalah merupakan persoalan kulit daging belaka. Jika betul engkau mengaku cinta kepada isterimu, maka cintamu itu adalah palsu, cintamu itu hanyalah cinta birahi kalau kini engkau meributkan soal perawan atau bukan! Memilih seorang isteri bukanlah seperti memilih seekor ayam yang hendak disembelih, kemudian merasa kecewa dan menyesal setelah mendapat kenyataan bahwa ayam itu sakit! Sama sekali bukan! Memilih seorang isteri berarti memilih jodoh, memilih teman hidup selamanya berdasarkan cinta kasih yang murni dan siap untuk hidup berdampingan selamanya, senang sama dinikmati, susah sama diderita. Tetapi kalau kenyataan bahwa isterimu bukan perawan lagi bisa melenyapkan cintamu, maka cintamu itu bukanlah cinta murni, melainkan cita yang semata-mata didasarkan pada hubungan jasmaniah saja!"
Ucapan itu bagaikan halilintar di siang hari menyambar kepala Cong San. Dia terbelalak, matanya tak pernah berkedip memandang wajah hwesio yang tenang dan mulutnya tetap tersenyum, akan tetapi sinar matanya amat tajam berpengaruh itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan membantah.
"Akan tetapi, Losuhu. Cinta yang murni harusnya disertai kesetiaan, tidak boleh dikotori dengan perjinahan! Sudah terang bahwa dia sudah berjinah dengan orang lain, dan ini merupakan penipuan terhadap teecu. Sebuah penipuan yang amat kotor menjijikkan!" Berkata demikian, terbayanglah wajah Cia Keng Hong di depan mata Cong San, dadanya menjadi panas penuh dendam dan kemarahan, napasnya menjadi terengah-engah.
Thian Kek Hwesio mengangkat tangan ke atas, seolah-olah hendak mencegah pemuda itu berlarut-larut kemudian terdengar dia berkata,
"Kata-katamu itu memang benar dan tepat, Yap-sicu. Namun, kesetiaan itu hanya berlaku kepada mereka yang telah saling mengikat dengan cinta kasih, terutama dengan sebuah pernikahan. Kalau dahulu, pada saat kalian saling bercinta, kemudian ternyata bahwa dia melakukan hubungan baik perjinahan mau pun cinta kasih dengan pria lain, itu berarti bahwa dia menyeleweng dan mengingkari hubungan cinta yang sudah merupakan ikatan janji dan tentu saja kalau terjadi demikian, engkau berhak, bahkan sebaiknya bila engkau memutuskan hubungan cinta itu. Kalau setelah menjadi suami isteri, isterimu melakukan penyelewengan dan berjinah dengan pria lain, maka engkau pun berhak untuk merasa menyesal dan marah, berhak untuk menceraikannya. Akan tetapi, dalam hal ini, tidak terjadi pelanggaran seperti itu. Apa bila isterimu itu dahulu, sebelum bertemu denganmu, melakukan hubungan dengan pria lain, hal ini bukanlah berarti dia menipumu, dia tidak bersalah kepadamu atau melanggar ikatan apa-apa denganmu. Waspadalah, Yap-sicu dan berpikirlah secara bijaksana. Kalau benar kenyataan bahwa isterimu bukan perawan itu berarti dia pernah melakukan hubungan badani dengan pria lain, maka hal itu terjadi dahulu dan merupakan peristiwa yang sudah lalu, sama sekali tidak ada sangkut-paut dengan hubungan cinta kasih di antara kalian."
Agak dingin rasa panas di hati Cong San. Sampai lama dia diam saja, otaknya diperas, terjadi perang di hatinya. Terbuka mata hatinya bahwa memang dia tidak adil sekali kalau harus membenci Yan Cu karena isterinya bukan perawan lagi. Sejak pertemuan pertama Yan Cu sudah bukan perawan lagi, dan sekarang hanyalah pembukaan rahasia itu. Akan tetapi mengapa gadis itu tidak berterus terang? Itu berarti menipunya!
Ah, mana mungkin seorang gadis mengaku dan bicara tentang keperawanannya? Akan tetapi mengapa bersikap seakan-akan masih perawan, masih belum pernah melakukan hubungan jasmani dengan pria lain? Habis, apakah ia harus berteriak-teriak memamerkan ketidak perawanannya?
Terjadi perbantahan di hati Cong San. Akan tetapi tiba-tiba terngiang di telinganya semua ucapan Cui Im ketika mereka bertanding di Cin-ling-san dulu. "Yan Cu bukan perawan lagi, dia adalah bekas Keng Hong, hi-hi-hik! Tan Cong San, engkau pemuda tolol!"
Panas lagi hati Cong San, panas oleh cemburu! Matanya melotot, mukanya merah sekali. Dia akan membunuh Keng Hong! Dia juga akan membunuh Yan Cu! Kemudian dia akan membunuh diri sendiri!
"Yap-sicu, tenanglah dan kalahkan nafsu di hatimu sendiri," tiba-tiba saja terdengar suara Thian Kek Hwesio yang tenang, sabar dan penuh wibawa.
Cong San dapat mengendalikan hatinya kembali, akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya lagi, "Losuhu! Apakah Losuhu hendak mengatakan bahwa seorang gadis yang melakukan hubungan badani dengan seorang pria di luar pernikahan bukan merupakan perbuatan kotor, hina, menjijikkan dan terkutuk?"
"Semua perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran adalah hal terkutuk, Sicu, terkutuk oleh kesadarannya sendiri melahirkan hukum karma. Kalau benar bahwa isterimu pernah melakukan pelanggaran itu, maka sama saja dengan dia menanam benih yang kelak setelah bersemi, buahnya akan dia petik sendiri. Sama sekali tak ada hubungannya dengan dirimu, dan... hemmm, andai kata Sicu melakukan perbuatan yang bukan-bukan menurutkan nafsu marah dan bertindak terhadapnya, nah…, hal itu dapat saja dianggap sebagai karma atau akibat perbuatannya yang sesat. Mengertikah engkau, Sicu? Akan tetapi, jangan lupa pula bahwa kalau Sicu melakukan sesuatu yang mengerikan terhadap urusan ini, sicu juga tersesat, tidak berbeda dengan yang telah dilakukan isteri Sicu, dan kesesatan ini pun kelak akan berbuah."
"Akan tetapi, Losuhu. Kalau saja seorang perempuan telah begitu merendahkan dirinya, sebagai seorang gadis berjinah di luar nikah, perempuan seperti itu apakah masih dapat dipercaya akan menjadi seorang isteri yang baik?"
"Sicu bicara hanya menurutkan nafsu iba diri yang mempergunakan kemarahan untuk membakar hati Sicu! Berjinah adalah satu dari sekian banyaknya perbuatan menyeleweng dari manusia, akan tetapi janganlah Sicu menempelkan sebuah perbuatan menyeleweng pada diri seseorang dan selanjutnya memastikan sebagai penyeleweng seumur hidupnya! Yap-sicu, manusia di dunia ini siapakah yang tidak pernah menyimpang dari kebenaran? Macam-macam penyelewengannya, hanya kebetulan sekali perjinahan dianggap sebagai penyelewengan terbesar untuk kaum wanita, akan tetapi tiap penyelewengan adalah hal manusiawi, timbul dari kelemahan batin manusia. Betapa pun juga, tidak boleh menilai seseorang dari perbuatan sesaat untuk dijadikan tanda selama hidupnya! Contohnya, maaf, suhu, terpaksa teecu membawa nama suhu untuk menyadarkan Yap-sicu, adalah suhu kita sendiri. Beliau pernah melakukan penyelewengan yang itu, akan tetapi apakah selanjutnya beliau juga hidup sebagai seorang yang menyeleweng dari kebenaran? Sama sekali tidak, sungguh pun hukum karma masih selalu mengikuti beliau! Sama saja dengan isterimu, Sicu. Seorang yang melakukan penyelewengan dari kebenaran, adalah seorang yang sedang sakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya! Dan harus diingat bahwa yang sakit dapat sembuh! Sebaliknya harus selalu menjadi ingatan kita bahwa yang sesat dapat saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Maka, selagi dalam sehat lahir batin, janganlah kita menekan terlalu berat kepada mereka yang sedang sakit lahir batinya, karena mereka itu dapat sembuh dan kita dapat jatuh sakit. Mengertikah, Sicu?"
Cong San menunduk. Semua wejangan itu meresap di hatinya dan dapat dia mengerti sepenuhnya. Hanya hati yang panas itu, betapa sukarnya menindas hati sendiri!
"Mohon petunjuk, Losuhu. Bagaimana teecu harus bersikap terhadap isteriku itu? Betapa teecu dapat melupakan perbuatannya, melupakan kenyataan bahwa isteri teecu bukan perawan lagi!"
"Cinta kasih yang murni akan dapat melenyapkan semua kekecewaan hati, Sicu. Cinta kasih yang murni akan memperbesar kesabaran dan memperkaya maaf di hati dengan kesadaran bahwa tak ada manusia tanpa cacad, maka segala cacad orang yang dicinta tentu akan mudah dimaafkan. Menerima seseorang harus dengan mata terbuka, dengan kesadaran sehingga akan mudah menerima orang itu berikut semua cacad-cacadnya dan kelemahan-kelemahannya karena tahu bahwa diri sendiri pun bukanlah orang yang tanpa cacad."
"Akan tetapi, bagaimana teecu akan bisa melupakan tekanan batin ini? Apakah sebaiknya teecu secara terus terang menanyakan hal itu dan menuntut supaya dia menceritakan penyelewengannya yang lalu?'
Hwesio itu menggeleng kepala. "Tidak bijaksana kalau Sicu berbuat demikian. Seorang wanita memiliki perasaan yang sangat peka, mudah tersinggung. Kalau Sicu mengajukan pertanyaan itu, apa pun kenyataannya, Sicu akan menderita akibatnya. Kalau ternyata dia tidak berdosa, dia akan tersinggung dan menganggap Sicu tidak percaya kepadanya dan hal ini mengakibatkan dia pun berkurang kepercayaannya kepada Sicu. Sebaliknya, andai kata dia berdosa, dia akan mengambil dua macam sikap, pertama dia bisa merasa malu dan rendah diri, bahkan luka di hatinya itu, setiap penyelewengan tentu membekas dan menimbulkan luka penyesalan di dalam hati, akan terbuka dan kambuh kembali, dia akan menganggap Sicu memandang rendah dan tidak menghargai, dia dan hal ini hanya akan mengingatkan dia akan pria pertama yang pernah merebut hati dan tubuhnya. Kedua, kalau dia seorang yang tinggi hati, dia akan nekat dan malah menantang Sicu dengan perbuatan yang seolah-olah tidak peduli dan tak mengindahkan lagi ikatan pernikahannya dengan Sicu karena dia menganggapnya toh sudah rusak. Sebaiknya, Sicu menenangkan diri, mengubur diri dengan cinta kasih dan penuh maaf, didasari perasaan iba kepada isteri yang pernah menyeleweng dari kebenaran hingga harus menanti datangnya hukum karma."
"Losuhu berkata bahwa kalau dia tidak berdosa. Mungkinkah itu? Sudah jelas semalam... bahwa..."
"Pinceng sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, sudah tahu apa yang Sicu maksudkan. Yap-sicu, tanda keperawanan seorang wanita bukan hanya dapat dibuktikan pada waktu malam pengantin pertama. Banyak hal yang dapat terjadi, yang memungkinkan wanita kehilangan tanda itu diluar hubungan jasmani dengan pria, misalnya karena sakit, karena jatuh dan sebagainya. Terutama sekali harus diingat bahwa isterimu itu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi, yang sejak kecil telah digembleng dengan ilmu silat, dengan gerakan-gerakan ketangkasan, maka kehilangan tanda keperawanannya bukanlah hal yang aneh lagi. Sekali lagi, kalau memang Sicu mencintanya, mengapa ribut-ribut urusan tanda keperawanan yang tidak berarti? Jangan lupa, cinta kasih tempatnya di hati, bukan di... ehhh…, maaf, bukan di situ!"
Wajah Cong San menjadi terang kini. Sejak tadi dia mengalami perdebatan dan perang di hatinya, dan wejangan-wejangan itu sudah membantunya sehingga akhirnya kesadaran memperoleh kemenangan. Sekarang seperti baru terbuka mata hatinya betapa tolol dia tadi, betapa gobloknya, hendak mengorbankan ikatan cinta kasih murni antara dia dan Yan Cu hanya oleh soal sepele saja. Soal perawan atau bukan! Aihhh terlalu lama dia meninggalkan Yan Cu!
"Losuhu..., Suheng ... terima kasih... terima kasih...!" Karena teringat akan isterinya, Cong San berkelebat dan sekali meloncat telah lenyap dari ruangan itu.
Thian Kek Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul sambil tertawa, kemudian dia merangkap tangan di depan dada, memejamkan mata dan mengerutkan keningnya.
"Omitohud... semoga Yap-sute mendapatkan penerangan di hatinya dan dapat menyingkir dari bahaya kegelapan."
Dia berkemak-kemik membaca doa karena hatinya prihatin sekali. Dengan mata batinnya yang waspada, dia pun dapat melihat awan gelap menyelubungi diri sute-nya itu.
********************
Hati Yan Cu mulai menjadi gelisah ketika sampai hampir tengah hari dia tidak melihat Cong San datang. Ke mana perginya suaminya itu? Suaminya! Suaminya yang tercinta dan mengenangkan Cong San, dada wanita muda ini terasa hangat dan penuh. Ah, tentu ada sesuatu hal yang penting maka Cong San sampai meningalkannya tanpa pamit. Dia harus menanti dengan sabar.
Tiba-tiba Yan Cu melompat bangun, wajahnya pucat. Sesuatu! Jangan-jangan suaminya tertimpa bahaya! Siapa tahu. Bhe Cui Im, iblis betina itu masih berkeliaran. Dan Go-bi Thai-houw! Aihhh, kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya!
"Bhe Cui Im, kalau sampai engkau berani mengganggu suamiku, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu!" Dia mengepal tinju. Akan tetapi kembali dia menjadi gelisah. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya yang tercinta?
"Ahhh, Tuhan, semoga dia selamat. Koko, ke manakah engkau pergi?" Hampir Yan Cu menangis kalau saja dia tidak ingat bahwa betapa memalukan kalau suaminya datang melihat dia menangis, atau habis menangis, seperti anak kecil saja, ditinggalkan sebentar juga menangis. Seperti wanita lemah yang manja dan cengeng, sedikit-sedikit merengek!
Yan Cu merasa heran menyaksikan perubahan hatinya sendiri. Ia adalah seorang wanita gemblengan, seorang pendekar wanita yang semenjak kecil menghadapi kekerasan tanpa berkedip mata, kini menjadi seorang wanita lemah, penakut serta mudah sekali gelisah. Beginikah cinta? Aihhh, betapa hebat kekuasaan cinta. Dia tersenyum bila teringat betapa dahulu bersama suheng-nya, Cia Keng Hong, dia bicara tentang cinta!
Uihhh, betapa jauh bedanya pelajaran kosong mengenai cinta itu dengan kenyataannya. Bumi dengan langit! Kiranya tidak semudah itu cinta dipelajari dengan kata-kata, tidak semudah itu untuk dapat diikuti dengan pikiran, tidak mungkin diselami oleh akal budi manusia. Cinta hanya dapat DIRASA, titik! Percuma saja bicara tentang dasar laut dari permukaannya! Seperti bicara tentang isi langit dari atas bumi!
Tiba-tiba lamunannya membuyar saat pendengarannya yang tajam terlatih itu mendengar suara gerakan orang. Ia cepat-cepat membalikkan tubuh dan seketika wajahnya berseri, matanya terbelalak bersinar-sinar, bibirnya terbuka, "Koko...!"
"Yan Cu... ohhh, Yan Cu...!"
Bagaikan berlomba lari Cong San dan Yan Cu saling menghampiri, saling menubruk dan saling peluk dengan penuh kerinduan seakan-akan mereka sudah bertahun-tahun saling berpisah! Kalau masih ada bekas-bekas kemarahan di hatinya, kini tersapu bersihlah dari hati Cong San dan diam-diam dia mengutuk diri sendiri.
Isterinya begitu mencintanya, jelas terasa oleh hatinya getaran kasih sayang yang keluar dari tubuh Yan Cu, dari setiap ujung jari-jari tangannya, dari dengus napasnya, dari sinar matanya, dari senyum manisnya. Aihhh, cinta kasih isterinya bersembunyi di balik setiap gerak-geriknya, di balik setiap suara yang keluar dari mulutnya, menempel di setiap bulu badannya, mengapa dia masih menyangsikan!
Ia mencium isterinya penuh kasih sayang dan kegelisahan mereka berdua lenyap ditelan dalam ciuman yang lama dan mesra itu. Dan akhirnya Yan Cu melepaskan diri, napasnya terengah-engah, tersenyum dan mengerling manja dengan mulutnya dibikin cemberut.
"San-koko, engkau sungguh keterlaluan, pagi-pagi buta sudah meninggalkan orang pergi tanpa pamit!"
Cong San yang melihat isterinya cemberut, matanya melerok, kakinya dibanting seperti seorang anak kecil ngambek ini, tersenyum geli dan dia pun lantas menjura dalam-dalam seperti orang memberi hormat kepada seorang ratu, "Mohon beribu ampun, ratuku pujaan hati! Melihat engkau tidur demikian nyenyak, kelihatan lelah sekali, hati kakanda mana mungkin tega membangunkanmu?"
"Ihhh! Siapa yang bikin orang lelah!" Yan Cu mendengus, akan tetapi ia merangkul leher suaminya ketika pinggangnya dipeluk, lalu bertanya dengan suara sungguh-sungguh,
"Suamiku, hatiku tadi benar-benar gelisah sekali. Tadinya kukira engkau mencari bahan santapan, akan tetapi sampai hampir siang engkau belum juga kembali. Apakah terjadi sesuatu, Koko? Tadi aku khawatir kalau-kalau engkau tertimpa mala petaka!"
Aduh, kekasihku, engkau tidak tahu betapa mala petaka hebat hampir saja merusak cinta kasih kita, di dalam hatinya Cong San mengeluh. Akan tetapi mulutnya berkata, "Kau maafkan aku. Aku... aku tadi teringat kepada suhu. Tadinya aku hanya ingin menengok sebentar selagi kau tidur dan sekalian menangkap kijang atau kelinci. Siapa kira, ketika sampai di sana, suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa hingga mati kelak. Hatiku terharu sekali sehingga aku sampai lama membujuk-bujuk agar suhu suka bicara untuk terakhir kalinya dengan aku, akan tetapi sia-sia. Ketika aku kembali, hatiku demikian penuh rindu kepadamu sampai aku lupa untuk menangkap bahan makanan dan perutku lapar bukan main!"
"Apa kau kira aku pun tidak lapar sekali? Heran sekali, baru sekarang terasa setelah kau kembali!"
"Ha-ha-ha, memang cinta membuat orang selalu merasa lapar dan haus!"
"Aaahh, masa! Apa engkau selalu lapar dan haus setelah jatuh cinta kepadaku?"
"Tentu saja, kelaparan dan kehausan. Hanya kerling matamu dan senyum bibirmu yang akan dapat mengobati lapar dan dahagaku yang tak kunjung puas. Hemmm, siapa suruh engkau memiliki mata dan bibir yang seindah ini?" Cong San mencium mata dan bibir itu sampai Yan Cu terengah-engah.
"Eh-eh-eh, engkau benar-benar buas tak kenal kenyang! Kalau begini terus, kita berdua benar-benar kelaparan, lapar perut bukan lapar itu, hi-hi-hik!" Yan Cu meronta kemudian melepaskan pelukan Cong San, lalu melarikan diri dikejar oleh suaminya.
"Hayo kita berlomba menangkap kelinci. Berlomba menangkap yang termuda dan paling gemuk. Yang kalah harus menguliti kemudian memanggang dagingnya, melayani yang menang!" Yan Cu terkekeh menantang.
Mereka lalu berlari-lari seperti dua orang kanak-kanak mencari kelinci. Karena Cong San memang mengalah, Yan Cu mendapatkan kelinci yang muda dan gemuk sekali, sedang Cong San mendapatkan kelinci kurus yang terlepas kembali, ditertawakan Yan Cu.
Akan tetapi Yan Cu bukan tidak tahu bahwa suaminya mengalah, maka dia membantu menguliti kelinci, memanggang dagingnya berdua, lalu makan berdua, mencari buah dan makan buah berdua pula. Tidak ada kesenangan lain yang lebih mengharukan hati dari pada segala-galanya dilakukan berdua oleh suami isteri ini.
********************
Selama dua pekan mereka berdua berbulan madu di tempat itu dan biar pun kadang-kadang Cong San merasa seperti ada jarum menusuk hatinya dan telinganya mendengar bisikan suara fitnah dan maki-makian Cui Im mengenai diri isterinya, namun dia sudah dapat melenyapkannya kembali semua itu dan cintanya terhadap Yan Cu bersih dari pada prasangka buruk.
Soal malam pertama itu pun sudah dia buang jauh-jauh dari dalam hatinya dan dia telah mengambil keputusan untuk melupakannya dan tidak bertanya apa-apa kepada Yan Cu. Untuk menghilangkannya sama sekali, ketika suatu siang mereka berdua duduk di tepi telaga di bawah pohon yang teduh, sambil memangku isterinya dan membelai rambutnya, Cong San bertanya lirih,
"Isteriku..."
"Hemmm..."
"Yan Cu moi-moi, apakah engkau cinta padaku?"
Yan Cu terbelalak, lalu membalikkan tubuhnya, memandang wajah suaminya dan segera dia tertawa terpingkal-pingkal!
Cong San mengerutkan alisnya dan mukanya tiba-tiba berubah pucat tapi Yan Cu tidak melihat perubahan muka ini karena dia sedang tertawa dan kedua matanya terpejam.
"Yan Cu, mengapa kau tertawa? Apakah yang lucu tentang pengakuan cintamu?"
Baru Yan Cu terkejut ketika pundaknya diguncang oleh suaminya. Ia berhenti tertawa dan memandang dengan kedua mata terbelalak. Juga Cong San baru sadar bahwa dia telah bersikap kasar, maka dia memeluk isterinya dan berbisik, "Maaf... ahh, aku telah menjadi gila!"
Yan Cu merangkul leher suaminya. "Akulah yang minta maaf, suamiku. Sama sekali tidak kumaksudkan untuk menyinggung hatimu. Aku memang merasa geli oleh pertanyaanmu yang kuanggap aneh. Masih belum dapat melihatkah engkau betapa cintaku kepadamu amat besar, dengan seluruh hati dan jiwaku? Aihhh, suamiku, pertanyaanmu benar aneh. Aku cinta padamu! Aku cinta padamu! Nah, kalau kau belum puas boleh kuulangi sampai seribu kali, aku cinta padamu, aku cinta padamu, aku cinta..." Terpaksa Yan Cu tak dapat melanjutkannya karena bibirnya telah dicium oleh Cong San dan dia merasa betapa bibir suaminya menggigil dan ada terasa olehnya sedu sedan yang naik dari dada suaminya ke mulutnya.
Dengan pengakuan itu, tersapu bersihlah segala keraguan hati Cong San. Tidak mungkin isterinya pernah berhubungan dengan pria lain. Tentu benar seperti yang dikatakan Thian Kek Hwesio, isterinya kehilangan tanda keperawanannya karena latihan ilmu silat yang berat. Atau... andai kata... semoga tidak demikian jika Tuhan menghendaki, andai kata benar Yan Cu pernah melakukan penyelewengan, dia sudah memaafkannya karena yang terpenting sekarang dan selama hidupnya, Yan Cu adalah miliknya, tubuh serta hatinya, dan terutama sekali cintanya!
Mereka meninggalkan tempat yang menjadi sorga pertama bagi mereka itu, menuju ke kota Leng-kok. Paman Cong San adalah kakak mendiang ibunya, menerima kedatangan mereka dengan gembira dan ramah, kemudian berkat bantuan pamannya ini, Cong San dan isterinya dapat membuka sebuah toko obat-obatan di kota itu, hidup dalam keadaan sederhana namun cukup, dan kaya dengan cinta yang membuat mereka seakan tidak membutuhkan benda-benda duniawi lainnya lagi.
Suami isteri muda ini sama sekali tidak tahu bahwa kadang-kadang ada sepasang mata yang indah tetapi berkilat penuh kebencian mengintai mereka. Tidak tahu bahwa ada otak kepala beberapa orang manusia yang mencari-cari kesempatan untuk melakukan pukulan maut yang akan membuat kebahagiaan mereka hancur berantakan. Tidak tahu bahwa Bhe Cui Im, wanita yang diperhamba nafsu iblis itu tidak pernah melepaskan mereka dari intaiannya, hendak menjadikan mereka sebagai jalan untuk memuaskan nafsu kebencian dan dendamnya!
Selama setengah tahun suami isteri muda ini tinggal di kota Leng-kok dan Yan Cu telah mengandung enam bulan! Tentu saja hal ini memperlengkap kebahagiaan mereka dan membuat mereka selalu bersyukur kepada Tuhan yang sudah melimpahkan berkah dan kebahagiaan kepada mereka.
Pekerjaan mereka pun maju dan nama Cong San kini terkenal sebagai Yap-sinshe ahli pengobatan, padahal yang sesbenarnya ahli dalam hal pengobatan adalah isterinya! Toko obat mereka makin besar dan mereka hidup tidak kekurangan lagi.
Selanjutnya,