Pedang Kayu Harum Jilid 46
Beberapa bulan lewat tanpa peristiwa yang penting, baik dalam kehidupan Keng Hong dan Biauw Eng mau pun dalam kehidupan Cong San dan Yan Cu. Hanya bedanya, suami isteri Cong San dan Yan Cu kini kebahagiaannya terselubung awan hitam, dan hal ini bisa dirasakan oleh Yan Cu.
Sikap suaminya menjadi berubah sama sekali sejak suaminya mimpi buruk itu. Sikapnya kadang-kadang dingin, kadang-kadang suaminya kelihatan berduka mengerutkan kening dan tidak pernah mau mengaku, hanya memberi alasan yang tidak masuk akal.
Yan Cu maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya, akan tetapi dia hanya mengira bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Agaknya suaminya masih belum dapat menghilangkan rasa penyesalan dan dukanya mengingat akan nasib gurunya, Tiong Pek Hosiang, dan juga mengingat bahwa dia telah dikeluarkan dari Siauw-lim-pai.
Lahirnya seorang anak laki-laki memang membahagiakan Yan Cu dan Cong San. Akan tetapi pandang mata Yan Cu yang awas itu dapat melihat bahwa kadang-kadang Cong San yang memondong dan menimang bayinya itu kelihatan seperti orang melamun dan ada bayangan ragu-ragu di wajahnya yang tampan. Hal ini benar-benar membuat hati Yan Cu prihatin sekali.
Akhir-akhir ini Cong San sudah tidak mengurus toko obatnya lagi, bahkan sering kali pergi meninggalkan rumah dengan alasan ingin berjalan-jalan ke luar kota mencari hawa segar. Yan Cu yang ingin melihat suaminya terhibur, tidak mencegah dan diam-diam dia prihatin sekali. Kemudian dia melimpahkan cinta kasihnya lebih dari pada yang sudah-sudah dan ada kalanya suaminya menyambutnya dengan kehangatan cintanya, akan tetapi kadang-kadang suaminya menyambutnya dengan dingin dan tidak sewajarnya!
Pada suatu hari, Cong San pergi berjalan-jalan. Sementara itu, sehabis menyusui bayinya lalu menyerahkannya kepada Chie-ma, inang pengasuh yang membantu dirinya merawat bayi, Yan Cu lantas duduk menjaga toko obat sambil termenung memikirkan suaminya. Jantungnya kadang-kadang berdebar tidak enak.
Apakah cinta kasih suaminya sudah luntur bersama lahirnya putera mereka? Aihhh, tidak mungkin! Cong San kelihatan bahagia dan bangga dengan kelahiran anak yang mereka beri nama Yap Kun Liong, seorang bayi yang tangisnya sangat nyaring, mungil dan telah memperlihatkan tanda bahwa anak itu memiliki kesehatan luar biasa dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, seorang calon manusia yang bertulang kuat berdarah bersih.
Akan tetapi mengapa suaminya kadang-kadang melamun bagaikan orang hilang ingatan, kadang-kadang melihat bayinya seperti orang ragu-ragu, ada kalanya mengeluh di dalam tidurnya seperti orang berduka dan menyesal, dan ada kalanya pula seperti orang yang dibakar api kemarahan hebat?
Yan Cu menghela napas dan merasa gelisah sendiri. Terkenang dia kepada suheng-nya, Keng Hong, dan Biauw Eng, maka timbullah rasa rindunya. Kenapa mereka tidak datang berkunjung atau memberi kabar? Kalau mereka datang berkunjung, agaknya suheng-nya yang dianggap seperti kakak kandung sendiri itu tentu akan dapat memecahkan rahasia yang mengganggu perasaannya ini. Ya, terhadap Keng Hong dia tak akan ragu-ragu lagi untuk menceritakan keadaan suaminya itu, dan tentu Keng Hong akan dapat membantu dirinya.
Agaknya mereka itu sangat sibuk! Bagaimana kalau dia mengajak suaminya untuk pergi mengunjungi Keng Hong dan Biauw Eng? Akan tetapi Kun Liong masih terlalu kecil untuk dibawa pergi. Kalau ditinggalkan, ahhh, mana hatinya tega?
Yan Cu menjadi semakin gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Berkali-kali dia mendesak suaminya, dengan bujuk rayu, dengan halus sampai kasar, supaya suaminya suka menceritakan apa yang mengganjal hatinya, akan tetapi selalu Cong San menjawab tidak apa-apa!
Seorang laki-laki tua yang muncul di pintu toko mengagetkan Yan Cu dan menariknya kembali dari dunia lamunan.
"Ada keperluan apa, Lopek?" tanyanya halus.
"Apakah Yap-sinshe ada? Saya hendak berjumpa dengannya."
"Ahh, dia sedang keluar. Ada keperluan apakah? Memeriksa orang sakit? Atau hendak membeli obat? Aku dapat melayani dan membantumu, Lopek."
"Benarkah Toanio dapat menolong saya? Saya datang dari kota Koan-ciu, dahulu saya pernah diberi resep obat oleh Yap-sinshe untuk dibelikan di kota saya kalau obatnya telah habis, karena kota saya cukup jauh dari sini. Akan tetapi resep itu hilang! Saya ingin minta dibuatkan resep baru."
"Hemmmm, obat apa saja yang ditulisnya?"
"Mana saya tahu, Toanio! Maka saya harus bertemu dengan Yap-sinshe sendiri."
"Hemmmm, begini saja. Siapa yang sakit dan apa penyakitnya?"
"Yang sakit isteri saya, kakinya suka pegal-pegal kalau hawa sedang dingin sampai sukar dibuat jalan, kepalanya pening dan pandang matanya kabur. Sesudah makan obat dari Yap-sinshe, agak mendingan, akan tetapi sekarang obatnya habis dan resepnya hilang."
Penyakit biasa saja, pikir yan Cu. "Baiklah, saya akan membuatkan resep untuk isterimu."
Setelah berkata demikian, Yan Cu lalu mengambil alat tulis dan menuliskan resep di atas kertas dengan huruf-huruf tulisannya yang rapi dan kecil indah. Setelah selesai, kemudian dia memberikan resep itu kepada orang tadi sambil berkata,
"Nah, ini obatnya ada tiga macam. Aturannya sudah kutulis di sini, tentu toko obat akan memberi tahu. Ataukah engkau hendak membeli obat di sini?"
"Nanti di kota saya saja, Toanio, karena... ehh, saya tidak membawa uang."
"Terserah kepadamu, Lopek."
"Berapa saya harus bayar, Toanio?"
"Tidak usah, itu hanya pengganti resep yang hilang."
Kakek itu membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih, lalu pergi dengan wajah girang. Sebentar kemudian Yan Cu sudah melupakan kakek itu karena telah tenggelam lagi dalam lamunannya.
Kegelisahan hatinya menjadi keperihan dan kedukaan kalau ia ingat betapa suaminya kini sering kali menghibur diri di telaga tak jauh dari kota, dan pernah ia menyelidikinya sendiri dan melihat suaminya itu duduk menghadapi telaga sambil minum arak dan menulis sajak atau membaca buku! Makin yakinlah hatinya bahwa ada sesuatu yang mengganjal hati suaminya, yang tidak diceritakan kepadanya bahkan dirahasiakan, dan ganjalan hati itu tentu amat hebat sehingga suaminya perlu menghibur hati bersunyi diri di tepi telaga. Apa gerangan rahasia itu? Bagaimana ia akan dapat memecahkannya?
Beberapa hari kemudian, pada saat wajah suaminya tidak sekeruh biasanya dan mereka berdua menghadapi meja makan siang, Yan Cu mempergunakan kesempatan ini untuk berkata dengan suara halus,
"San-koko, ingin aku mengatakan sesuatu kepadamu."
Cong San memandang isterinya, pandang mata yang penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh kedukaan. Sinar mata suaminya itu seakan-akan mencegah Yan Cu bicara tentang sikap suaminya, karena toh tak akan dijawabnya.
"San-koko, aku ingin sekali pergi mengunjungi Cin-ling-san. Sudah hampir setahun..."
Tiba-tiba saja Cong San bangkit berdiri, mukanya berubah dan kata-katanya singkat ketus ketika dia memotong, "Sudah sangat rindukah engkau?"
Yan Cu heran menyaksikan sikap suaminya, akan tetapi ia berkata dengan wajah berseri, "Benar, suamiku. Aku sudah sangat rindu kepada mereka! Marilah kita pergi berkunjung ke sana, sekalian kita berpesiar. Kita singgah di dalam hutan pek yang ada telaganya, milik Siauw-lim-si itu dan..."
"Tidak! Aku tidak mau pergi!" Tiba-tiba Cong San membalikkan tubuhnya dan keluar dari rumah.
"San-koko...!" Teriakan Yan Cu ini mengandung rasa kaget, heran dan juga marah. Akan tetapi suaminya sudah pergi dan ketika ia mengejar keluar, Cong San sudah lenyap dari depan toko.
Yan Cu masuk kembali untuk menyembunyikan air matanya yang bercucuran agar tidak tampak orang lain. Ia menjatuhkan diri di atas kursi, bersembunyi di belakang lemari toko dan menangis terisak-isak. Hanya ketika ia mendengar tangis bayinya saja ia cepat-cepat menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan menekan batinnya, lalu memanggil Chie-ma untuk membawa puteranya.
Chie-ma datang menggendong anak kecil itu. "Toanio, puteramu lapar, sudah waktunya minum susu."
Tanpa menjawab karena takut suaranya akan terisak, Yan Cu menerima puteranya yang menangis itu. Tangis anak itu segera berhenti dan mulutnya mulai mengisap susu ibunya. Keadaan menjadi sunyi sekali setelah anak itu berhenti menangis.
"Toanio..." Chie-ma berkata lirih sambil duduk berlutut di atas lantai, di hadapan nyonya majikannya yang sedang menyusui Kun Liong. Yan Cu mengangkat muka memandang pelayannya.
"Toanio, maafkan hamba, bukan sekali-kali hamba hendak berlancang mulut mencampuri urusan Toanio. Akan tetapi hamba merasa kasihan dan sebagai seorang tua yang lebih berpengalaman dalam hal kekeluargaan, maka hamba ingin memberi nasehat."
Tanpa terasa lagi dua titik air mata menitik turun ke atas pipi Yan Cu. Tidak ada gunanya disembunyikan, pelayan tua ini sudah tahu. "Bicaralah, Chie-ma."
"Tanpa disengaja hamba melihat majikan lari keluar dengan muka penuh kemarahan, dan hamba melihat Toanio habis menangis. Tentu Toanio bertengkar dengan majikan. Aihhh, Toanio, apakah Toanio tidak melihat betapa majikan mengandung penderitaan batin yang amat hebat? Kasihan sekali dia, Toanio, dalam keadaan seperti itu, seorang suami amat membutuhkan kebijaksanan isterinya untuk bisa menghiburnya, untuk ikut memikul beban yang memberatkan hatinya. Sungguh pun hamba tidak tahu apa urusannya, akan tetapi dengan jelas dapat hamba lihat bahwa majikan menderita batin yang menyedihkan."
"Chie-ma, aku pun bukan seorang yang buta. Aku tahu, akan tetapi… ahhh, soalnya dia tidak mau menceritakan apa yang sedang menyusahkan hatinya itu. Kalau aku tidak tahu persoalannya, bagaimana aku dapat membantu? Dia sering berduka, marah-marah, dan tiap hari pergi minum arak di telaga. Aku cinta kepadanya, Chie-ma, dan aku ingin sekali menanggung penderitaannya, akan tetapi dia tidak pernah mau berterus-terang."
Chie-ma menarik napas panjang. "Apa bila majikan tidak pernah mau berterus terang, itu hanya berarti bahwa ia sengaja hendak merahasiakan urusan itu, sebab merasa khawatir kalau-kalau Toanio menjadi berduka pula. Seorang suami yang sangat mencinta isterinya memang kadang-kadang menyembunyikan hal-hal yang tak menyenangkan dari isterinya, supaya isterinya tidak ikut menderita."
"Ahhh, sikap demikian itu salah sama sekali, Chie-ma. Justru karena dia diam saja tidak menceritakan persoalannya, membuat hatiku tertindih dan lebih sengsara dari pada kalau tahu persoalannya. Menghadapi persoalan, kita bisa menggunakan akal bagaimana untuk mengatasinya, akan tetapi menghadapi rahasia begini, benar-benar membuat hati gelisah tidak karuan, menduga yang bukan-bukan."
"Aihhh... persoalan orang-orang muda. Dulu ketika suami hamba masih hidup sering kali hamba cekcok dengannya. Cekcok kecil-kecilan dalam rumah tangga merupakan bumbu penyedap kehidupan suami-isteri, kadang-kadang bahkan bisa menjadi pembangkit cinta. Akan tetapi kalau terjadi pertengkaran besar, hemmm, tidak ada kesengsaraan yang lebih berat dirasakan dari pada pertengkaran antara suami isteri. Sikap majikan mengingatkan hamba dulu pada waktu suami hamba mencemburukan hamba dengan seorang tetangga. Aihhh, gila dia...!"
Yan Cu tersentak kaget. "Cemburu...?" Dia berkata lirih.
Selanjutnya dia sudah tidak mendengar suara Chie-ma yang bercerita tentang cemburu suaminya itu. Otaknya diputar, mengingat-ingat. Itukah yang mengganggu hati suaminya? Cemburu? Akan tetapi, apa yang dicemburukan dan mengapa?
Tiba-tiba ia teringat percakapan mereka tadi. Cong San marah sekali ketika ia mengajak pergi ke Cin-ling-san. Begitulah kiranya? Mencemburukan ia dengan suheng-nya? Wajah Yan Cu tiba-tiba menjadi merah.
Tak mungkin! Ini timbul dari hatinya sendiri yang harus mengaku bahwa dahulu, sebelum bertemu dengan Cong San, memang ada perasaan cinta di hatinya terhadap Keng Hong. Akan tetapi cintanya berubah sesudah dia bertemu dengan Cong San, berubah menjadi cinta saudara.
Tidak mungkin suaminya cemburu, karena semenjak menikah dia tidak pernah berjumpa dengan Keng Hong, bahkan tak pernah berkirim berita. Tidak ada alasan sedikit juga bagi Cong San untuk mencemburukan dia dengan Keng Hong atau dengan laki-laki lain yang mana pun juga.
"Jika sudah cemburu, lelaki memang seperti gila," dia mendengar lagi omongan Chie-ma, "seperti mendiang suami hamba dahulu. Dia hanya menyangka tanpa bukti, dan karena tak ada bukti maka dia tidak berani menuduh terang-terangan kepada hamba. Akan tetapi semenjak itu sikapnya minta ampun! Kelihatan marah, berduka, dan sinar matanya penuh penghinaan. Bila malam, minta ampun, dia manjanya setengah mampus, inginnya hamba bersikap seperti di waktu malam pertama pengantin! Kalau hamba bersikap dingin sedikit saja, seolah-olah hatinya yang dibakar cemburu itu disiram minyak dan dia marah-marah kepada diri sendiri tidak karuan! Baru setelah terbukti bahwa cemburunya itu kosong, dia minta-minta ampun sampai berlutut di depan kaki hamba! Coba, siapa tidak mendongkol? Untung tidak ada palang pintu dekat dengan hamba, kalau ada tentu akan hamba gecek kepalanya!"
Yan Cu tersenyum juga mendengar cerita pelayannya. Hatinya sedikit lega. Setidaknya, ada bahan baru baginya untuk berusaha menyingkap tabir rahasia sikap suaminya. Siapa tahu, mungkin suaminya cemburu kepadanya. Dan kalau hal ini benar, dia akan bertanya terus terang. Sekali suaminya terpancing dan suka bicara terus terang, dia yakin bahwa semua persoalan akan dapat ia atasi dan bereskan, karena suaminya bukanlah seorang yang tidak memiliki kecerdikan dan kebijaksanaan.
Sementara itu, dengan dada panas seperti akan meledak dan kepala berdenyut pusing, Cong San lari cepat menuju ke pinggir telaga. Tempat ini telah menjadi tempat di mana dia sering kali termenung seorang diri dan menumpahkan segala perasaan yang tertekan sambil memandangi air telaga.
Air yang bening dan tenang itu dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi sekali ini, hatinya tidak dapat tenang, bahkan makin dipikir makin panaslah hatinya. Ucapan isterinya masih terngiang di telinganya dan yang terdengar hanyalah kata-kata ‘rindu’ yang keluar dari mulut Yan Cu. Tentu rindu kepada Keng Hong! Kepada siapa lagi? Tak mungkin isterinya rindu kepada Biauw Eng, dan kalau isterinya menyebut ‘rindu kepada mereka’, tentu yang dimaksudkan rindu kepada Keng Hong!
"Bresss!" Cong San memukul tanah di depannya dengan tinju, giginya berkerot menahan kemarahan.
Cemburu adalah bahaya yang amat besar bagi hati orang mencinta. Seperti tetumbuhan yang hidup di dahan pohon lain, makin lama makin membesar menghisap sari kehidupan pohon itu, makin lama makin mengakar dan berkembang mengancam kebahagiaan hidup orang yang dihinggapi penyakit ini. Cemburu merupakan sebuah penyakit dalam tubuh cinta kasih, menunggangi nafsu birahi dan nafsu mementingkan diri sendiri (egoism).
Cinta murni timbul dari perasaan hati ke hati, menimbulkan bermacam keinginan untuk memiliki dan dimiliki, membela dan dibela serta dorongan hasrat untuk bersatu lahir batin. Di sinilah nafsu cemburu menyelinap dan mengotorkan cinta dengan menunggang birahi dan mempergunakan sifat ingin mementingkan diri sendiri dari si manusia yang digodakan sehingga menimbulkan lemah kepercayaan terhadap orang yang dicinta.
Kalau kekasih yang dicemburukan itu ternyata memang melakukan penyelewangan cinta, maka hal itu segera dapat mengakhiri keadaan dari siksa cemburu dan persoalannya pun selesai, keputusannya tergantung dari kebijaksanaan kedua pihak. Akan tetapi, sangatlah berbahaya kalau tidak ada bukti penyelewengan seperti halnya kecemburuan Cong San kepada isterinya, hal ini benar-benar menyiksa batin. Makin dipikir, makin dicurigakan dan diragukan, maka semakin menyiksa karena kelemahan kepercayaan terhadap isterinya ini merupakan pupuk yang paling baik bagi nafsu cemburu sehingga dapat tumbuh dengan suburnya, setiap detik mengusik pikiran menggerogoti hati.
Cong San menyiksa hatinya sendiri. Sejauh ini, yang terbukti hanyalah penyelewengan di pihak Keng Hong yang jelas sudah menulis surat kepada Yan Cu dan surat itu selalu ada di saku bajunya. Tidak ada bukti sama sekali bahwa isterinya masih mencinta Keng Hong. Akan tetapi pandangannya yang sudah dicengkeram nafsu cemburu, melihat gerak-gerik dan kata-kata Yan Cu seakan-akan merupakan gambaran bahwa isterinya itu mencinta Keng Hong dan rindu kepada bekas kekasihnya itu.
Hal ini mendorong khayal di benaknya, khayal yang memanaskan dada, membayangkan betapa dahulu isterinya berkasih-kasihan dengan Keng Hong, betapa isterinya sebetulnya lebih mencinta Keng Hong dari pada dia. Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah dugaan yang tak dapat dia tekan-tekan dan dilenyapkan bahwa anak mereka, Kun Liong, belum tentu keturunannya, mungkin keturunan Keng Hong! Kalau teringat akan hal yang satu ini, sering kali Cong San menangis di tepi telaga.
Bagi orang yang belum pernah merasakan betapa hebat kekuasaan nafsu cemburu, tentu akan mencela kelemahan hati Cong San dan akan menyalahkannya. Akan tetapi, orang muda ini patut dikasihani. Cemburu memang merupakan siksaan hebat, dan bagaimana Cong San tidak akan merasa cemburu sesudah segala yang dia hadapi semenjak dia menikah dengan Yan cu?
Dia mencinta Yan Cu lahir batin, mencinta sampai di setiap detik darah dan peluhnya, sampai menempel di setiap helai bulu badannya. Akan tetapi, kenyataan yang menyolok matanya sungguh hebat! Ucapan-ucapan keji dari Cui Im dan Go-bi Thai-houw, kemudian kenyataan bahwa isterinya bukan perawan lagi, ditambah pula surat dari Keng Hong, dan tadi isterinya merengek minta pergi mengunjungi Cin-ling-san karena rindu!
Sesudah kenyataan semua itu, betapa mungkin dia dapat bertemu muka dengan Keng Hong? Kalau dia tidak ingat bahwa di pihak isterinya belum ada bukti penyelewengan dan mencinta Keng Hong, tentu surat dari Keng Hong itu sudah cukup baginya untuk datang ke Cin-ling-san dan menantang Keng Hong bertanding mengadu nyawa!
Dia tidak pernah menegur isterinya, tidak pernah membencinya, melainkan berkorban diri dengan menyiksa hati sendiri. Hal ini dia lakukan karena dia tidak ingin menyinggung hati isterinya yang sangat dia cinta, sama sekali dia tidak sadar bahwa sikapnya ini bahkan menimbulkan kegelisahan dan kedukaan di hati isterinya.
"Ya Tuhan, apa yang harus hamba lakukan?" Berkali-kali Cong San mengeluh di dalam hatinya pada saat dia duduk seperti arca memandang air telaga tanpa melihat apa yang dipandangnya.
Tekanan batin ini membuat dia seperti buta dan tuli, sehingga dia yang sudah memiliki pendengaran tajam terlatih tidak tahu bahwa ada orang menghampirinya dan kini berdiri sekitar tiga meter di belakangnya. Baru dia kaget lalu meloncat bangun dan membalikkan diri ketika terdengar suara orang itu tertawa,
"Hi-hi-hik, orang muda yang tampan dan bodoh! Apakah baru sekarang engkau melihat kebodohanmu?"
"Iblis betina!" Cong San memaki ketika mengenal bahwa yang berdiri di depannya adalah Cui Im, orang yang dibencinya!
"Tahan!" Cui Im cepat mengangkat tangan ke atas ketika melihat Cong San sudah akan menyerangnya. "Aku datang bukan untuk bertanding denganmu. Engkau tak tahu betapa aku kasihan kepadamu, melihat engkau dipermainkan orang! Engkau seperti buta, tidak tahu betapa engkau dipermainkan isterimu dan Keng Hong!"
"Mulut busuk!" Cong San menerjang dan mengirim pukulan keras ke arah dada Cui Im. Dengan gerakan lincah Cui Im meloncat ke samping lalu mundur.
"Tahan, dengar dulu omonganku! Aku hanya ingin menolongmu, membuka matamu yang buta. Kalau kau menghadapi Keng Hong, mana kau mampu menangkan dia? Aku akan membantumu membalas penghinaan yang dilakukan olehnya kepadamu."
"Aku tidak percaya mulutmu yang beracun, iblis betina!" Cong San menyerang lagi.
Cui Im meloncat jauh, lalu melemparkan sehelai kertas. "Nah, bacalah ini dan apakah kau tidak mengenal tulisan isterimu sendiri? Hi-hi-hik! Selama engkau menyiksa hati di pinggir telaga setiap hari, apa kerjanya isterimu? Berjumpa dengan kekasihnya di hutan sebelah utara telaga. Sekarang pun aku berani bertaruh mereka sedang berkasih-kasihan di sana. Suami tolol!"
"Keparat, kubunuh engkau!" Cong San menerjang lagi.
Akan tetapi Cui Im sudah menggerakkan kaki tangannya melawan dengan jurus In-keng Hong-wi (Awan menggetarkan angin dan hujan). Jurus ini hebat sekali karena inilah ilmu Silat San-in Kun-hoat peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang sudah dipelajarinya.
Angin pukulan yang dahsyat ini tak akan dapat dihadapi orang yang tingkatnya setinggi Cong San sekali pun sehingga orang muda itu terhuyung ke belakang. Apa bila Cui Im menghendaki, tentu dia telah roboh oleh hantaman ini, namun Cui Im tidak menghendaki demikian dan ketika Cong San meloncat lagi, wanita itu telah lenyap, cepat bukan main gerakannya. Cong San mengejar, akan tetapi kehilangan jejak musuhnya.
Dengan alis berkerut dia kembali ke tempat tadi, memandang kertas yang menggeletak di atas tanah. Hari telah mulai senja, cuaca sudah agak gelap maka dari tempat dia berdiri, dia hanya melihat kertas yang ada tulisannya. Hatinya berkeras tidak mau percaya pada Cui Im, tetapi nafsu cemburu membuat dia membungkuk dan seperti di luar kehendaknya, tangannya menyambar kertas.
Begitu melihat huruf-huruf itu, jantungnya langsung berdebar dan kepalanya pening. Tidak dapat disangkal lagi, itulah huruf-huruf tulisan Yan Cu! Betapa dia tidak mengenal tulisan isterinya yang setiap hari sering kali membuat resep obat, huruf-huruf yang indah dan kecil, rapi seperti bunga-bunga diatur dalam sebuah taman! Matanya terbelalak dan entah beberapa kali dia membaca isi surat itu.
Suheng, kekasihku.
Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.
Baru membaca dua baris ini saja naik hawa kemarahan dari perut Cong San dan matanya berkunang-kunang. Sesudah menggosok matanya, baru dia dapat melanjutkan, peluhnya memenuhi muka dan lehernya, kedua tangannya menggigil.
Cong San roboh lemas, surat dikepalnya, napas terengah-engah. Di tempat biasa! Ahhh, iblis betina itu sengaja ingin menghancurkan kehidupannya, akan tetapi tidak berbohong! Isterinya masih melanjutkan hubungan terkutuk itu bersama Keng Hong. Di tempat biasa! Di hutan sebelah utara telaga!
Cong San seperti gila. Melompat berdiri, memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk berlari cepat menuju ke utara. Matahari telah tenggelam di barat, dia mempercepat kedua kakinya berlari, takut terlambat untuk memergoki isterinya. Menangkap basah!
Ya Tuhan, mengapa sampai terjadi begini? Surat dimasukan ke dalam saku baju, menjadi satu dengan surat dari Keng Hong dahulu, giginya berkerot dan dia tidak tahu apa yang akan dilakukan kalau berjumpa dengan Keng Hong dan isterinya.
Setelah memasuki hutan yang agak gelap, dia melihat ada dua bayangan manusia dan otomatis dia menghentikan larinya, lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati dengan berhati-hati. Jantungnya berdebar sehingga kedua telinganya mendengar denyut jantungnya seperti tambur dipukul.
Tidak salah lagi, laki-laki itu tentu Keng Hong! Dia mengenal bentuk tubuh dan potongan wajahnya, walau pun agak gelap. Pakaiannya, gerakannya, siapa lagi kalau bukan Keng Hong si keparat? Dan wanita itu, masa dia tidak mengenal isterinya?
Memang mereka sedang membelakanginya, akan tetapi sanggul rambut itu, pakaian itu, dia mengenal betul. Isterinya! Berjalan perlahan, berbisik-bisik dengan Keng Hong yang merangkul pinggang isterinya! Lalu mereka berhenti melangkah sebentar dan... hampir saja Cong San pingsan menyaksikan betapa Keng Hong mencium bibir isterinya. Mereka berciuman, bibir dengan bibir, lama sekali dan melihat betapa lengan isterinya merayap naik melingkari leher Keng Hong, melihat betapa kedua tangan Keng Hong mendekap pinggang dan pinggul isterinya!
"Ya Tuhan...!" keluhnya.
Agaknya kedua orang terkutuk itu mendengar suaranya karena mereka itu menengok dan tiba-tiba mereka berkelebat lari dari tempat itu, cepat sekali.
"Keng Hong, manusia hina, tunggu!" Cong San meloncat, mengejar, akan tetapi karena gerakan kedua orang itu cepat sekali dan hutan itu pun gelap, dia tidak dapat menyusul dan kehilangan mereka.
Dengan marah seperti gila dia berteriak-teriak, memaki-maki dan mencari ubek-ubekan di dalam hutan itu sampai akhirnya dia menjatuhkan diri di atas tanah, memegangi kepala dengan kedua tangan, terengah-engah seperti akan putus napasnya, bukan karena lelah berlari-lari sejak tadi, melainkan terengah-engah karena kemarahannya.
Kemudian dia teringat. Apa pun yang akan dia lakukan terhadap Keng Hong, dia harus berjumpa dengan isterinya lebih dulu! Dia harus membikin perhitungan dengan isterinya, membereskan persoalan ini. Maka dia lalu meloncat lagi, berlari menuju ke rumahnya.
Tokonya masih tutup dan kedatangannya disambut oleh Chie-ma yang menggendong Kun liong. Ketika pelayan itu melihat wajah Cong San, hampir dia berteriak kaget. Wajah itu sangat menakutkan, matanya merah dan melotot, rambut awut-awutan, pakaiannya kotor terkena lumpur dan debu, giginya berkerot, napasnya terengah.
"Di mana Toanio?" Cong San bertanya dan kalau saja pelayan ini tidak mengenal betul wajah majikannya, tentu dia akan mengira bahwa yang bicara ini adalah orang lain. Suara majikannya demikian berubah!
"Toanio... baru saja pergi, tergesa-gesa, entah ke mana akan tetapi kelihatannya sangat bingung..."
"Lekas siapkan pakaian Kun Liong, bantal yang baik dan siapkan di kamar!"
Menyaksikan sikap majikannya dan mendengar suaranya, pelayan itu tidak berani banyak cakap lagi, dan meski pun terheran-heran namun dia melakukan perintah itu. Cong San menyalakan lampu besar di toko, tidak membuka tokonya lalu duduk terhenyak di kursi, menanti kedatangan isterinya.
Ke manakah perginya Yan Cu kalau tidak mengadakan pertemuan hina dan berjinah dengan Keng Hong, pikirnya. Keparat, wanita berhati palsu, berkelakuan hina dan rendah!
"Brakkkkk...!"
Pintu terbuka dari luar dan muncullah Yan Cu dengan muka pucat. Ketika melihat Cong San duduk di atas kursi, Yan Cu berseru,
"San-koko...!" Ia menubruk dan memeluk suaminya.
"Jangan sentuh aku!" Cong San menangkis dan Yan Cu hampir roboh terguling kalau dia tidak cepat meloncat ke kiri, berdiri memandang suaminya dengan mata terbelalak kaget seperti melihat setan.
"Kau... kau... ada apakah...? Apakah terluka? Apakah yang terjadi...?" Yan Cu bertanya gugup dan bingung.
Cong San mendelik. "Perempuan..."
Dia tidak melanjutkan makiannya dan sedu-sedannya naik dari dadanya yang mencekik kerongkongannya. Tidak, dia tidak mungkin dapat mengutuk isterinya, tidak sanggup dia memaki isterinya. Melihat wajah itu, wajah yang terbelalak pucat sambil membayangkan ketakutan hebat, dia merasa kasihan. Ahhhh, dia mencinta isterinya betapa mungkin dia menyakitinya, baik tubuh mau pun jiwanya.
"Yan Cu, engkau masih bertanya apa yang terjadi? Aihh, begitu kejamkah hatimu? Begitu palsukah? Apa yang terjadi? Sepatutnya engkau yang menceritakan kepadaku, apa yang terjadi..." Ia terisak dan memejamkan matanya.
Yan Cu berlutut. "Suamiku... apa yang terjadi? Aku diberitahu orang, entah siapa, bahwa engkau bertanding dengan seorang wanita... aku khawatir sekali, menduga bahwa tentu iblis betina Cui Im yang menyerangmu. Aku berlari cepat menyusulmu ke telaga, akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Aku cepat pulang dan..."
"Cukuplah!" Cong San berteriak, menjerit karena suara itu adalah jeritan hatinya.
Jika isterinya menangis dan menyatakan penyesalannya, minta ampun dan menceritakan dengan terus terang, agaknya dia akan dapat memaafkan isterinya yang dia cinta. Ia siap melakukan pengorbanan apa pun juga. Akan tetapi isterinya malah membohong! Isterinya yang dia lihat tadi berciuman mesra dengan Keng Hong... pakaian itu, rambut itu... tidak, tidak salah lagi, kini malah membohong seolah-olah matanya buta!
"Yan Cu, tidak perlu membohong dan tidak perlu kiranya bicara lebih panjang kalau hal itu menyakitkan hatimu. Kalau engkau memang benar mencintanya, biarlah aku mengalah, aku mundur..."
"Suamiku! Ucapan apa yang kau keluarkan ini? Apa... apa maksudmu? Demi Tuhan, apa maksudmu?" Yan Cu berteriak-teriak, tidak peduli lagi apakah teriakannya akan terdengar tetangga.
Cong San hampir hilang kesabarannya. Yan Cu masih bermain sandiwara! Ini melampaui batas! Mengapa tidak berterus terang saja? Bukti-bukti sudah cukup. Dia bangkit berdiri, merogoh sakunya mengeluarkan dua buah surat yang selama ini mengganjal hatinya.
"Tulisan siapa ini?" Ia membeberkan surat kecil yang diterimanya dari Cui Im tadi.
Yan Cu memandang pucat, dari tempat ia berlutut ia tidak dapat membaca isi surat, akan tetapi ia mengenal tulisannya sendiri.
"Seperti tulisanku... surat apakah itu?"
Cong San membanting kakinya dengan pengerahan sinkang sehingga kakinya langsung amblas sampai beberapa senti meter di lantai. Tangannya bergerak dan surat Keng Hong melayang ke bawah. "Lihat surat kekasihmu ini! Utusannya datang untuk memberikannya padamu, akan tetapi aku merampasnya. Apakah masih perlu banyak membohong lagi?"
Dengan muka pucat dan mata terbelalak Yan Cu mengambil dua surat itu, membacanya dan wanita itu demikian heran, bingung, dan marahnya sehingga dia mengeluarkan jerit aneh dan terkulai lemas, roboh pingsan!
Hampir saja Cong San menubruk dan memeluk isterinya. Melihat wanita yang dicintainya itu roboh pingsan, hatinya tidak kuat. Akan tetapi, dia tahu bahwa tanpa sepatah pun kata Yan Cu telah mengaku, maka isterinya itu pingsan. Ia menguatkan hatinya, lalu meloncat bangun dan berlari ke dalam menyambar Kun Liong dari gendongan Chie-ma yang berdiri menggigil dan memandang dengan kedua mata terbelalak, menyambar buntalan pakaian anaknya kemudian melesat keluar dari kamar. Chie-ma menjerit dan berlari keluar, hampir menginjak tubuh Yan Cu yang menggeletak di lantai.
"Toanio...! Aihhhh... Toanio, apa yang terjadi ini...?" Chie-ma memeluk tubuh majikannya yang pingsan dan melolong-lolong, merasa seakan-akan dunia kiamat karena dia tidak tahu apa yang menyebabkan semua kejadian hebat ini.
Yan Cu siuman, mengeluh dan teringat. Cepat dia meloncat bangun sehingga Chie-ma terpelanting. "Mana suamiku...?"
"Ahhhh, Toanio... dia... dia membawa Kun Liong, lari..."
"San-koko...! Suamiku...! Semua ini adalah fitnah..!" Ia menjerit-jerit, lari masuk ke kamar, mencari-cari, lari keluar sehingga para tetangga yang kaget mendengar jeritan-jeritan itu keluar rumah. Mereka melihat Yan Cu berlari-larian cepat sekali, ke sana ke mari, tidak tahu hendak mengejar ke mana, kemudian nyonya muda itu terguling roboh, pingsan lagi di pinggir jalan!
Dengan bantuan para tetangga, Chie-ma menggotong tubuh Yan Cu kembali memasuki toko. Setelah siuman, Yan Cu menangis, mengguguk. Kemudian ia turun, mengambil dua surat dan menyimpannya. Ia masih bercucuran air mata, akan tetapi tidak menangis lagi, wajahnya membayangkan sikap dingin yang mengerikan.
"Chie-ma, kau jaga baik-baik rumahku. Aku harus pergi mengejar suamiku," katanya dan tanpa banyak cakap lagi malam-malam itu Yan Cu berlari keluar, mencari dan mengejar suaminya.
Chie-ma yang dikerumuni para tetangga hanya melolong-lolong, tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka karena sesungguhnya dia sendiri pun tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Setelah para tetangga pulang, Chie-ma masih menangis. Cemburu! Tentu itu sebabnya. Cemburu. "Ya Tuhan, lindungilah mereka... aduhh, kebahagiaan mereka hancur oleh hati cemburu..." Dia menangis lagi hingga semalam suntuk.
"Nih, kau pondong Giok Keng..."
Biauw Eng cemberut, cemberut buatan, menerima bayi yang baru berusia sebulan itu dari pondongan suaminya. "Ihhh, baru sebentar saja sudah diberikan kepadaku. Apakah kau kecewa mempunyai anak perempuan? Kau mengharapkan anak laki-laki, ya?"
"Wah-wah-wah, omongan apa itu?" Keng Hong lalu mencium pipi anaknya yang montok kemerahan di pondongan Biauw Eng. "Biauw Eng isteriku yang jelita, aku bukan seperti ayah berpendirian usang yang mengutamakan anak laki-laki saja yang kelak akan dapat menjamin kehidupan orang tua pada hari tuanya, hanya anak laki-laki saja yang mampu menyenangkan hati orang tuanya. Pendirian macam itu sungguh pandir dan picik, menilai anak seperti orang menilai barang dagangan saja, diperhitungkan rugi untung dalam soal benda! Betapa keji pandangan itu. Tidak, isteriku, aku sangat sayang kepada anak kita, tiada bedanya andai kata dia laki-laki. Dan aku tidak ingin anak laki-laki saja!"
"Akan tetapi, semua orang tua berharap mendapatkan anak laki-laki, bukan hanya karena dianggap sebagai jaminan di hari tua, melainkan juga sebagai penyambung keturunan!" Biauw Eng memancing, untuk yakin akan pendirian suaminya yang sudah sangat ia kenal kebijaksanaannya itu.
"Phuhhh! Apa artinya keturunan? Apakah keturunan dari anak perempuan bukan menjadi keturunan kita pula? Pandangan orang yang pikirannya picik itu terlalu melekat soal she (nama keturunan). Bagiku, sama saja. Laki-laki atau perempuan tetap anak kita, bukan kelaminnya yang membahagiakan orang tua, akan tetapi kelakuan anak itu sendiri. Meski pun perempuan jika menjadi seorang manusia utama yang mengutamakan kebijaksanan, tentu akan menjunjung tinggi nama orang tua dan mendatangkan kebahagiaan lahir batin, sebaliknya walau pun anak laki-laki, kalau menjadi orang rendah (siauw-jin) hanya akan menyeret nama orang tua ke dalam lumpur kehinaan!"
"Wah, wah, wah…! Kau bicara begitu karena kebetulan anakmu perempuan! Apakah kau tidak ingin mempunyai anak laki-laki?"
"Wah, tentu saja! Akan tetapi, usia kita masih muda dan engkau... hemmm, begini cantik, makin jelita setelah mempunyai anak!" Keng Hong merangkul dan mencium bibir isterinya yang dibalas dengan mesra dan bangga oleh Biauw Eng.
"Kalau benar begitu, mengapa kau tidak pernah lama memondongnya?"
Keng Hong memegang dan mempermainkan tangan-tangan kecil anaknya dengan penuh rasa sayang. "Ahhh, aku... takut dan ngeri."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Dia begini kecil, kelihatannya begini... ahhh, aku gemetar kalau memondongnya, takut kalau-kalau dekapanku akan menyakitkannya, takut kalau-kalau dia jatuh."
Biauw Eng tertawa. "Engkau canggung sekali dan kaku kalau memondong."
"Lihat, dia tersenyum! Ahhh, senyumnya sudah memikat seperti senyum ibunya. Mulutnya seperti mulutmu, Eng-moi, dan hidungnya juga, dagunya juga, persis kau!"
"Akan tetapi matanya seperti matamu, Hong-ko dan lihat jari-jari tangannya, dan jari-jari kakinya, hi-hi-hik, pendek-pendek seperti jari-jarimu!"
"Wah, sejak kapan kau memperhatikan jari-jari kakiku?" Keng Hong melotot.
"Sejak... ihhh, sejak..."
Mereka tertawa penuh bahagia.
"Eng-moi, berjanjilah."
"Janji apa?"
"Janji bahwa engkau akan memberiku tiga lagi! Tiga orang adik Giok Keng, dua laki-laki dan seorang perempuan lagi, jadi dua laki-laki dua perempuan. Cukup, bukan?"
Biauw Eng menggelengkan kepala. "Tidak cukup. Biar selosin!"
"Hushhh...!"
"Biar kau repot kelak kalau mereka semua merengek minta baju baru dan sepatu baru. Baru tahu rasa kau!"
Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri di atas bangku di taman belakang rumah mereka, lengan kiri menekan siku di atas lutut, telapak tangan kiri menunjang dagu, tangan kanan memijit-mijit pelipis, alisnya berkerut.
"Waduh, anak selosin... dan aku hanya menjadi petani di gunung ini. Mana cukup? Dan mereka semua perlu pendidikan. Kalau kita tidak tinggal di kota dan aku tidak mempunyai penghasilan yang cukup besar, wah, kasihan sekali mereka...! Aihh, kita harus berusaha, isteriku, kalau tidak, kasihan dong mereka."
Biauw Eng memandang dengan mata terbelalak, mulutnya menahan tawa. "Benar sekali, suamiku, tidak sedikit biayanya."
"Dua belas pasang sepatu baru, dua belas pasang pakaian, selosin perut di tambah kita berdua yang setiap hari harus diberi makan, wahh, kalau aku tidak bekerja keras, aduhhh, kasihan sekali mereka...!"
"Stop! Mereka siapa yang kau kasihani itu?"
"Siapa lagi? Anak-anak kita yang selosin itu..."
"Ehh, mabuk atau mimpi kau? Anak kita cuman satu!"
Keng Hong bengong dan akhirnya tertawa, lalu menampar kepalanya sendiri. "Aihhh, aku tidak sadar, merasa seolah-olah kita telah mempunyai selosin orang anak! Wah-wah-wah, kalau begitu jangan membalap, isteriku."
"Membalap apa?"
"Produksi anak itu lho! Lambat-lambat saja."
"Hushhh! Cabul kau, ya?"
Kembali mereka tertawa-tawa. Memang, tak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan dalam hubungan suami isteri yang penuh cinta, penuh kasih sayang, penuh pengertian, penuh kepercayaan dan kesetiaan. Apa lagi kalau suami isteri itu sudah dikaruniai anak!
"Cia Keng Hong!"
Keng Hong dan isterinya yang sedang bersenda gurau sambil menimang-nimang anak mereka itu terkejut dan menoleh.
"Cong San...!" Keng Hong melompat dan lari menghampiri Cong San dengan dua tangan dilonjorkan untuk memeluk sahabat baiknya itu, wajahnya berseri-seri dan hatinya girang bukan main.
Tiba-tiba saja dia berhenti dan memandang keadaan sahabatnya dengan mata terbelalak. Wajah Cong San pucat sekali, matanya merah, rambutnya mawut dan pakaiannya tidak karuan.
"Cong San... apa... yang terjadi?"
Saking marahnya, sangat sukar bagi Cong San untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia membentak, "Manusia berhati palsu! Aku datang untuk mengadu nyawa denganmu!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cong San menerjang dengan pukulan hebat ke arah Keng Hong. Pendekar ini terkejut bukan main. Gerak refleks dari tubuhnya yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu membuat dia otomatis menangkis, akan tetapi karena dia tidak merasa sedang berhadapan dengan musuh, tangkisan itu dilakukan sama sekali tanpa pengerahan tenaga.
"Desss…!"
Tubuh Keng Hong terlempar sehingga dia jatuh menggulingkan diri, lalu meloncat bangun sambil berseru, "Heiiiiii! Cong San, mengapa...?"
Akan tetapi Cong San telah menerjang lagi, kini dengan tendangan ke arah bawah pusar, tendangan maut! Keng Hong yang masih bingung itu cepat mengelak, akan tetapi kembali dadanya kena dihantam.
"Bukkk!" Tubuhnya terguling-guling untuk kedua kalinya.
"Engkau atau aku yang harus mampus!" Cong San membentak dan meloncat ke depan, mengirim pukulan hebat yang dimaksudkan untuk membunuh.
"Plak-plak-plak-plak-plak!" Bertubi-tubi datangnya pukulan Cong San yang selalu ditangkis oleh Keng Hong.
Kalau Keng Hong menggunakan sinkang-nya, tentu tangkisan itu sudah cukup membuat penyerangnya terjengkang. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu, maka meski pun dia bergerak cepat menangkis terus, karena tidak sungguh-sungguh melawan, kembali sebuah tendangan Cong San mengenai perutnya.
"Desss…!"
Tendangan ini hebat bukan main karena yang dimainkan adalah ilmu menendang dari Siauw-lim-pai yang amat kuat dan cepat. Apa bila orang lain yang terkena tendangan ini, andai kata orang itu memiliki kekebalan juga, tentu isi perutnya mengalami getaran hebat dan akan menderita luka di sebelah dalam. Akan tetapi Keng Hong hanya terlempar dan terbanting lalu bergulingan tanpa menderita luka, luar mau pun dalam.
Pada detik berikutnya, tubuh Cong San sudah meloncat ke depan dan kakinya siap untuk menginjak kepala Keng Hong dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Jangan lagi hanya kepala orang, batu pun akan pecah terkena injakan dahsyat ini.
Dan biar pun Keng Hong seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Cong San, namun dia tidak berani menerima injakan pada kepalanya itu. Dia menjadi sangat penasaran, cepat tangannya menyambar, menangkap kaki Cong San dan sekali ia mengerahkan tenaga mendorong, tubuh Cong San terlempar dan terbanting ke atas tanah!
"Cong San sahabatku yang baik, apakah engkau telah gila?" Keng Hong cepat melompat bangun.
Cong San sudah bangkit lagi dan mencabut senjatanya, sepasang Im-yang-pit hitam dan putih. "Memang aku telah gila! Aku tahu, kepandaianku masih terlalu rendah untuk dapat melawanmu, akan tetapi aku tidak takut. Engkau atau aku yang harus mampus!" Setelah berkata demikian, Cong San menerjang maju lagi dengan sepasang senjatanya, menotok ke arah jalan darah yang mematikan.
Keng Hong cepat mengelak dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Peristiwa ini sangat mengejutkan dan membuat hatinya berduka sekali sehingga dia tak begitu mementingkan keselamatan dirinya sendiri. Desakan Cong San yang sudah amat marah itu membuatnya membuatnya terhuyung dan melihat ini, Cong San semakin beringas, mengirim serangan maut tanpa memperhatikan penjagaan diri sendiri.
"Cong San...!" Keng Hong berteriak.
Dia merasa terkejut bukan main karena maklum bahwa jurus serangan itu tidak mungkin dielakkan lagi, juga sangat berbahaya dan satu-satunya jalan baginya hanya ‘mendahului’ lawan dengan pukulan atau tendangan. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini.
Keadaannya amat berbahaya. Biar pun dia memiliki sinkang kuat, tetapi masih diragukan apakah kekebalannya akan dapat menahan sepasang Im-yang-pit yang amat lihai itu.
Cong San yang wajahnya seperti telah berubah menjadi iblis itu menggerakkan sepasang Im-yang-pit, yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menusuk ke arah ulu hati.
"Trang-trangggggg...!"
Cong San terhuyung ke belakang, sepasang Im-yang-pitnya terpental dan hampir terlepas dari tangannya. Ternyata Biauw Eng telah berdiri di depannya dengan muka merah dan mata terbelalak seperti menyinarkan api. Dua buah senjata rahasianya, bola-bola berduri, tadi sudah menyambar dan menangkis sepasang Im-yang-pit, dan kini sabuk suteranya yang putih sudah bergerak melayang-layang di atas kepala penuh ancaman.
"Yap Cong San! Kalau engkau sudah gila, aku masih dapat mengampunimu, akan tetapi kalau engkau tidak gila, jangan kira engkau boleh menghina suamiku begitu saja! Apakah engkau sudah demikian jagoan sehingga hendak menjual lagak di sini?" Sikap Biauw Eng seperti seekor singa betina diganggu anaknya, wajahnya yang cantik itu mangar-mangar kemerahan dan sinar matanya berapi-api.
Cong San masih memandang kepada Keng Hong penuh kebencian. Tanpa menoleh ke arah Biauw Eng dia berkata, suaranya dingin, "Sie Biauw Eng, aku tidak memusuhimu, tidak ada urusan sesuatu denganmu. Aku bahkan merasa kasihan padamu. Akan tetapi, aku harus membunuh manusia hina Cia Keng Hong ini, atau aku sendiri yang akan mati di tangannya!" Kembali dia menerjang ke depan, menyerang Keng Hong dengan senjatanya yang digerakkan cepat, menggunakan jurus nekat yang hendak mengadu nyawa.
"Kalau begitu, engkaulah yang mampus!" bentak Biauw Eng.
Dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih menyambar dan tahu-tahu sepasang Im-yang-pit sudah terbang karena terlepas dari kedua tangan Cong San, terampas oleh ujung sabuk yang sangat lihai. Dalam kemarahannya, Biauw Eng kembali menggerakkan tangan dan kedua batang pit yang terlilit ujung sabuknya itu kini meluncur bagaikan dua batang anak panah ke arah tubuh Cong San!
"Eng-moi... jangan...!" Keng Hong berseru, namun terlambat karena sudah tampak sinar hitam dan putih sepasang pit itu meluncur cepat sekali ke arah Cong San.
Keng Hong melempar diri ke depan dan berhasil menyambar pit hitam, akan tetapi karena jaraknya terlampau dekat dan posisinya juga miring, pula dia tidak mengira isterinya akan membunuh Cong San, pendekar ini tidak dapat meloloskan diri dari pit putih yang cepat menyambar kemudian menancap pada pundaknya.
Keng Hong berdiri tenang, lalu mencabut pit putih dari pundaknya. Dia membiarkan darah muncrat dari lukanya dan menyerahkan kedua pit itu kepada Cong San sambil berkata, "Cong San, ada persoalan dapat dibicarakan. Kalau memang aku bersalah, sesudah kita bicara, masih belum terlambat bagimu untuk membunuhku. Dan percayalah, kalau aku bersalah, aku akan menyerahkan nyawa dengan suka rela."
Cong San menyambar sepasang pit-nya kemudian membentak, "Mau berbicara apa lagi? Kepura-puraanmu ini saja sudah menjadi jawaban, sudah menjadi bukti akan kerendahan budi dan kekotoran watakmu. Hayo, kau bunuh saja aku!"
Biauw Eng menarik tangan suaminya dengan kasar ke belakang, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Cong San sampai dekat sekali. Telunjuk kirinya menuding hampir menyentuh hidung Cong San dan suaranya melengking nyaring tanda bahwa nyonya muda ini sudah kehilangan kesabarannya.
"Yap Cong San, kalau begitu tidak usah banyak bicara lagi! Aku pun muak mendengarkan omonganmu. Bila engkau tidak gila, tentu engkau sudah dibutakan oleh cemburu, engkau manusia tolol. Memang tidak perlu bicara lagi, aku Sie Biauw Eng, saat ini menantangmu untuk mengadu nyawa! Hayo, keluarkan semua kepandaianmu, dan kalau aku tidak bisa membunuh engkau yang telah menghina suamiku, jangan sebut aku Sie Biauw Eng lagi," dadanya bergelombang dan tangannya yang memegang sabuk sutera menggigil, kakinya melakukan gerakan dibanting-banting ke arah tanah.
Wajah Keng Hong menjadi pucat. Celaka, pikirnya, kalau isterinya sudah seperti itu, biar setan pun takkan mampu menahannya dan kalau Cong San melawan, dia sendiri belum tentu akan dapat menyelamatkan Cong San dari tangan maut isterinya.
Akan tetapi Cong San tidak marah, malah menggeleng kepalanya dan suaranya penuh duka, "Sie Biauw Eng, sudah kukatakan tadi, aku tidak memusuhimu, aku malah kasihan kepadamu. Kita berdua menjadi korban, menderita nasib yang sama, bagaimana aku bisa memusuhimu? Aku pun tidak dapat bicara karena aku tak mau merusak kebahagiaanmu. Biarlah karena memandang mukamu, kali ini aku mengundurkan diri. Akan tetapi jagalah engkau, Cia Keng Hong, sekali waktu aku akan menemuimu sendiri, tanpa campur tangan isterimu, dan saat itu aku akan membunuhmu atau engkau terpaksa harus membunuhku. Sampai jumpa!" Cong San membalikkan tubuhnya kemudian lari dari situ. Keng Hong dan Biauw Eng mendengar suara sesenggukan keluar dari mulut orang yang lari itu.
"Kasihan dia... sungguh heran, apakah yang terjadi...?" Keng Hong berkata lirih.
Biauw Eng membalikkan tubuh menghadapi suaminya, matanya masih merah sekali dan dia berkata keras, "Cia Keng Hong, mengapa engkau begini pengecut?"
Keng Hong terbelalak memandang isterinya. "Ahhh? Aku... pengecut? Apa maksudmu?"
Biauw Eng membanting-banting kakinya. "Sungguh memalukan sekali, mempunyai suami seorang yang lemah, seorang pengecut! Engkau dihina orang, engkau diserang, engkau dimaki, dan engkau tak membalas malah menaruh kasihan kepadanya! Ke mana perginya kegagahanmu?"
Keng Hong menghela napas. "Isteriku yang manis, sabarlah..." Keng Hong melangkah maju dan hendak merangkul isterinya, akan tetapi Biauw Eng menggerakkan pundaknya mengelak dan mulutnya cemberut.
"Sabar apa? Aku dapat menduga bahwa dia itu tentulah cemburu kepadamu!"
"Dia menjadi marah karena mengira yang tidak-tidak, dia menuduh dan hatinya dikacau oleh dugaan yang keliru."
"Akan tetapi engkau yang dituduh, engkau difitnah. Kalau orang tidak bersalah, dia harus melawan! Kalau engkau diam saja dan mengalah, rela dihina, dimaki dan dipukul, hal itu berarti engkau memang bersalah!"
"Wah-wah-wah, apakah engkau pun menuduh aku pula?"
"Sikapmu sendiri yang membuat orang curiga! Kalau memang engkau bersih, mengapa engkau membiarkan dirimu dihina oleh Cong San?"
"Eng-moi, isteriku yang manis..."
"Bukan saatnya merayu! Hatiku sedang panas, tahu? Bicara seperlunya saja!"
Pada saat itu terdengar suara anak menangis dan Biauw Eng sadar dari keadaan marah luar biasa itu. Dia cepat-cepat membalik, meloncat dan memondong anaknya yang tadi ia letakkan di atas rumput ketika dia turun tangan membela suaminya. Sambil memondong anaknya, dia membalik menghadapi suaminya dan biar pun sikapnya masih marah, tetapi matanya tidak lagi berapi-api, kedua lengannya menimang-nimang anaknya yang segera berhenti menangis.
Melihat ini Keng Hong menjadi terharu dan terasa benar olehnya betapa isterinya amat mencintainya, membelanya dan tadi bahkan hendak mengadu nyawa dengan Cong San untuk membelanya.
"Eng-moi, maafkan aku kalau aku mendatangkan penasaran di hatimu. Ketahuilah, aku tadi memang mengalah. Akan tetapi bukan mengalah karena salah bukan pula mengalah karena takut, melainkan mengalah karena sadar, isteriku. Engkau sendiri tahu bahwa dia dalam keadaan tidak normal, seperti gila oleh kemarahannya, mungkin karena cemburu yang tidak berdasar. Nah, setelah aku sadar bahwa dia itu seperti gila, apakah aku pun harus menjadi gila seperti dia dan melayaninya?"
Mata Biauw Eng melotot, dan mata itu bertambah indah dalam pandangan Keng Hong yang tahu bahwa akan ada badai mengamuk dari mata melotot itu. "Apa?!" Badai itu mulai menyerangnya. "Engkau...! Engkau menganggap aku gila...?"
"Lhohhh! Ehhhh... apa lagi ini...?"
"Masih pura-pura lagi! Kau bilang dia gila, yang melawannya sama gilanya, dan aku tadi melawannya, jadi sama saja kau memaki aku gila! Ceraikan saja kalau begitu!" Biauw Eng mengusap air matanya yang menetes turun.
Pucat wajah Keng Hong. Belum pernah dia melihat isterinya menitikkan air mata seperti ini, apa lagi menantang dicerai! Dia menyesal sekali dan maklum bahwa urusan tidaklah sekecil yang dianggapnya semula. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata penuh penyesalan dan permohonan.
"Eng-moi, isteriku yang terkasih, ibu anakku yang tersayang. Ampunkan mulut suamimu yang lancang dan pandangan yang dangkal ini..."
Tiba-tiba Biauw Eng juga berlutut, menggunakan lengan kiri merangkul pundak dan ia pun terisak di atas pundak suaminya. "Engkau yang harus mengampuniku, suamiku..."
Bukan main besar dan bahagianya rasa hati Keng Hong, tetapi juga dia terheran-heran. "Biauw Eng, aku tadi merasa gelisah sekali. Bayangkan saja, engkau begitu marah dan minta cerai!"
"Aku hanya main-main, mengancam karena hatiku jengkel sekali melihat Cong San yang menghinamu. Engkau benar, suamiku. Dia gila dan aku pun tadi hampir gila karena telah melayani seorang gila."
Begitu girangnya hati Keng Hong sehingga dia menghadiahkan ciuman mesra pada mulut yang mengeluarkan kata-kata itu, kemudian dia menciumi kepala puterinya.
"Apa bila aku tadi ketularan kegilaanmu dan aku membalas, benar-benar menceraikanmu bagaimana?"
"Aku akan mati!" jawab Biauw Eng tegas. "Aku hanya mau bercerai darimu kalau mati!"
"Isteriku...!" Keng Hong langsung merangkul isteri dan puterinya dengan kedua lengan, kegelisahannya mengenai Cong San lenyap terselubung kebahagiaan yang dirasakan di saat itu.
"Ehh, pundakmu... harus segera diobati."
Keng Hong menjamah pundaknya yang tadi tertusuk pit. "Tidak apa-apa, lukanya hanya kecil, darahnya telah mengering, sebentar pun sembuh. Pit milik Cong San tidak beracun, tidak berbahaya."
Disebutnya nama ini membuat mereka menjadi termenung, teringat kembali. Keng Hong mengerutkan keningnya, teringat dia akan Yan Cu. "Sungguh heran aku, apakah yang telah menimpa keluarga Cong San dan sumoi?"
Biauw Eng juga termenung. "Cong San telah menjadi seperti gila, bagaimana dengan Yan Cu? Aihhh, aku pun khawatir sekali, suamiku. Tentu terjadi hal yang amat hebat menimpa mereka, dan aku khawatir... hemmmmm... siapa lagi kalau bukan dia yang mengacau..."
Keng Hong mengerti karena dugaannya pun menuju ke sana, "Cui Im?"
Isterinya mengangguk dan mereka berpandangan. Melihat pandang mata isterinya, Keng Hong maklum bahwa isterinya menyesalkan pengampunannya terhadap Cui Im, maka dia berkata perlahan, "Aku tidak akan sudi mengampuninya lagi kalau benar dia masih belum bertobat dan masih mengacau dan merusak kebahagiaan sumoi dan suaminya."
"Suheng...!"
Keng Hong dan Biauw Eng meloncat lantas membalikkan tubuh, memandang terbelalak kepada Yan Cu yang sedang datang berlari-lari. Kalau saja Yan Cu tidak mengeluarkan suara memanggil tadi, tentu mereka berdua akan pangling.
Wajah yang dulunya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar, cantik jelita dan selalu riang gembira serta berseri-seri itu kini kotor dan muram, matanya membendul dan merah kebanyakan menangis, air mata di pipi tidak dibersihkan, terkena debu membuat wajah itu cemang-cemong, rambutnya sangat kusut tak disisir, pakaiannya pun kusut dan matanya membayangkan kedukaan hebat.
"Yan Cu...!" Biauw Eng berkata lirih, penuh iba dan kaget.
"Sumoi, kau kenapakah...?” Keng Hong cepat melangkah maju menyambut.
"Jangan dekat! Jangan sentuh aku!" Yan Cu tiba-tiba berhenti ketika melihat Keng Hong melangkah maju menyambutnya.
Keng Hong kaget bukan main dan sejenak timbul kekhawatirannya bahwa jangan-jangan sumoi-nya ini pun menjadi gila!
"Sumoi, ada apakah? Engkau seperti marah dan membenciku, apakah salahku?"
"Suheng, engkau satu-satunya orang yang kumuliakan, satu-satunya orang yang kucinta seperti kakak, seperti pengganti orang tuaku. Mengapa engkau begitu kejam? Mengapa engkau tega merusak kebahagiaan hidupku? Kenapa engkau memisahkan aku dari suami dan anakku? Suheng, jawablah. Di hadapan enci Biauw Eng. Katakanlah terus terang, siapakah yang kau cinta dengan cinta kasih pria terhadap wanita, aku ataukah enci Biauw Eng?"
Apa bila ada halilintar menyambarnya di saat itu, belum tentu Keng Hong akan sekaget ketika mendengar kata-kata sumoi-nya ini. "Sumoi..., Yan Cu... apa artinya semua ini? Aku sungguh tidak mengerti!"
Sambil memondong anaknya Biauw Eng sudah datang mendekat dan berkata, suaranya tegas, dingin dan amat berwibawa, "Yan Cu, tenanglah sebentar, tekan perasaanmu yang meluap-luap dan dilanda kedukaan itu. Kami dapat menduga bahwa tentu telah terjadi mala petaka hebat menimpa keluargamu, akan tetapi kami sama sekali tidak tahu maka ceritakanlah yang jelas. Atau, marilah kita masuk ke rumah di mana kita dapat bicara dengan tenang."
Yan Cu memandang Biauw Eng dan sungguh heran sekali hati Biauw Eng mengapa sinar mata wanita itu penuh iba ketika memandangnya. "Enci Biauw Eng, maafkan aku yang terpaksa melukai hatimu. Aku tidak bisa berbicara banyak, akan tetapi karena perbuatan Suheng yang ternyata dia tak ada bedanya dengan watak gurunya, mendatangkan mala petaka hebat kepada diriku maka terpaksa aku menghancurkan hatimu. Enci Biauw Eng, kau ampunkanlah aku!"
"Sumoi, katakanlah, tidak perlu disembunyikan. Katakan semua, apa yang telah terjadi? Dosa hebat apakah yang telah kulakukan sehingga mala petaka menimpa keluargamu?" Keng Hong yang biasanya dapat menahan kesabaran itu, kini berseru keras karena dia gelisah sekali, menduga-duga apa gerangan yang terjadi sehingga dia dibenci Cong San dan kini dipersalahkan sumoi-nya sendiri.
Dengan muka pucat dan mulut terisak menahan tangis, Yan Cu mengeluarkan dua buah surat dari balik bajunya, dua buah surat yang dahulu dilemparkan suaminya kepadanya. Kini dia melemparkan dua buah surat itu kepada Keng Hong sambil berkata penuh duka,
"Mengapa engkau menulis surat macam itu kepadaku? Dan apa pula artinya pemalsuan surat dariku itu?" Yan Cu lalu menangis tersedu-sedu, kedua kakinya terasa lemas dan ia terjatuh, duduk di atas tanah sambil menangis.
Keng Hong menyambar kedua lembar surat itu. Matanya segera tertarik oleh tulisannya sendiri dan cepat dibacanya. Biauw Eng yang melihat betapa mata suaminya terbelalak dan mukanya berubah merah penuh kemarahan, cepat menghampiri dan ikut membaca. Matanya pun terbelalak ketika bibirnya bergerak-gerak membaca surat itu.
Yan Cu sumoi yang tercinta,
Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-Ling-san.
Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali, berdua seperti dahulu memadu kasih?
Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.
Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.
Sampai beberapa kali Keng Hong serta Biauw Eng membaca surat itu. Sekilas terasa bahwa amarah yang amat hebat membakar dada Biauw Eng karena dia mengenal betul tulisan suaminya! Akan tetapi melihat sikap suaminya, dia dapat menekan kemarahannya dan mengerti bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.
Sikap suaminya menjadi berubah sama sekali sejak suaminya mimpi buruk itu. Sikapnya kadang-kadang dingin, kadang-kadang suaminya kelihatan berduka mengerutkan kening dan tidak pernah mau mengaku, hanya memberi alasan yang tidak masuk akal.
Yan Cu maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya, akan tetapi dia hanya mengira bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Agaknya suaminya masih belum dapat menghilangkan rasa penyesalan dan dukanya mengingat akan nasib gurunya, Tiong Pek Hosiang, dan juga mengingat bahwa dia telah dikeluarkan dari Siauw-lim-pai.
Lahirnya seorang anak laki-laki memang membahagiakan Yan Cu dan Cong San. Akan tetapi pandang mata Yan Cu yang awas itu dapat melihat bahwa kadang-kadang Cong San yang memondong dan menimang bayinya itu kelihatan seperti orang melamun dan ada bayangan ragu-ragu di wajahnya yang tampan. Hal ini benar-benar membuat hati Yan Cu prihatin sekali.
Akhir-akhir ini Cong San sudah tidak mengurus toko obatnya lagi, bahkan sering kali pergi meninggalkan rumah dengan alasan ingin berjalan-jalan ke luar kota mencari hawa segar. Yan Cu yang ingin melihat suaminya terhibur, tidak mencegah dan diam-diam dia prihatin sekali. Kemudian dia melimpahkan cinta kasihnya lebih dari pada yang sudah-sudah dan ada kalanya suaminya menyambutnya dengan kehangatan cintanya, akan tetapi kadang-kadang suaminya menyambutnya dengan dingin dan tidak sewajarnya!
Pada suatu hari, Cong San pergi berjalan-jalan. Sementara itu, sehabis menyusui bayinya lalu menyerahkannya kepada Chie-ma, inang pengasuh yang membantu dirinya merawat bayi, Yan Cu lantas duduk menjaga toko obat sambil termenung memikirkan suaminya. Jantungnya kadang-kadang berdebar tidak enak.
Apakah cinta kasih suaminya sudah luntur bersama lahirnya putera mereka? Aihhh, tidak mungkin! Cong San kelihatan bahagia dan bangga dengan kelahiran anak yang mereka beri nama Yap Kun Liong, seorang bayi yang tangisnya sangat nyaring, mungil dan telah memperlihatkan tanda bahwa anak itu memiliki kesehatan luar biasa dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, seorang calon manusia yang bertulang kuat berdarah bersih.
Akan tetapi mengapa suaminya kadang-kadang melamun bagaikan orang hilang ingatan, kadang-kadang melihat bayinya seperti orang ragu-ragu, ada kalanya mengeluh di dalam tidurnya seperti orang berduka dan menyesal, dan ada kalanya pula seperti orang yang dibakar api kemarahan hebat?
Yan Cu menghela napas dan merasa gelisah sendiri. Terkenang dia kepada suheng-nya, Keng Hong, dan Biauw Eng, maka timbullah rasa rindunya. Kenapa mereka tidak datang berkunjung atau memberi kabar? Kalau mereka datang berkunjung, agaknya suheng-nya yang dianggap seperti kakak kandung sendiri itu tentu akan dapat memecahkan rahasia yang mengganggu perasaannya ini. Ya, terhadap Keng Hong dia tak akan ragu-ragu lagi untuk menceritakan keadaan suaminya itu, dan tentu Keng Hong akan dapat membantu dirinya.
Agaknya mereka itu sangat sibuk! Bagaimana kalau dia mengajak suaminya untuk pergi mengunjungi Keng Hong dan Biauw Eng? Akan tetapi Kun Liong masih terlalu kecil untuk dibawa pergi. Kalau ditinggalkan, ahhh, mana hatinya tega?
Yan Cu menjadi semakin gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Berkali-kali dia mendesak suaminya, dengan bujuk rayu, dengan halus sampai kasar, supaya suaminya suka menceritakan apa yang mengganjal hatinya, akan tetapi selalu Cong San menjawab tidak apa-apa!
Seorang laki-laki tua yang muncul di pintu toko mengagetkan Yan Cu dan menariknya kembali dari dunia lamunan.
"Ada keperluan apa, Lopek?" tanyanya halus.
"Apakah Yap-sinshe ada? Saya hendak berjumpa dengannya."
"Ahh, dia sedang keluar. Ada keperluan apakah? Memeriksa orang sakit? Atau hendak membeli obat? Aku dapat melayani dan membantumu, Lopek."
"Benarkah Toanio dapat menolong saya? Saya datang dari kota Koan-ciu, dahulu saya pernah diberi resep obat oleh Yap-sinshe untuk dibelikan di kota saya kalau obatnya telah habis, karena kota saya cukup jauh dari sini. Akan tetapi resep itu hilang! Saya ingin minta dibuatkan resep baru."
"Hemmmm, obat apa saja yang ditulisnya?"
"Mana saya tahu, Toanio! Maka saya harus bertemu dengan Yap-sinshe sendiri."
"Hemmmm, begini saja. Siapa yang sakit dan apa penyakitnya?"
"Yang sakit isteri saya, kakinya suka pegal-pegal kalau hawa sedang dingin sampai sukar dibuat jalan, kepalanya pening dan pandang matanya kabur. Sesudah makan obat dari Yap-sinshe, agak mendingan, akan tetapi sekarang obatnya habis dan resepnya hilang."
Penyakit biasa saja, pikir yan Cu. "Baiklah, saya akan membuatkan resep untuk isterimu."
Setelah berkata demikian, Yan Cu lalu mengambil alat tulis dan menuliskan resep di atas kertas dengan huruf-huruf tulisannya yang rapi dan kecil indah. Setelah selesai, kemudian dia memberikan resep itu kepada orang tadi sambil berkata,
"Nah, ini obatnya ada tiga macam. Aturannya sudah kutulis di sini, tentu toko obat akan memberi tahu. Ataukah engkau hendak membeli obat di sini?"
"Nanti di kota saya saja, Toanio, karena... ehh, saya tidak membawa uang."
"Terserah kepadamu, Lopek."
"Berapa saya harus bayar, Toanio?"
"Tidak usah, itu hanya pengganti resep yang hilang."
Kakek itu membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih, lalu pergi dengan wajah girang. Sebentar kemudian Yan Cu sudah melupakan kakek itu karena telah tenggelam lagi dalam lamunannya.
Kegelisahan hatinya menjadi keperihan dan kedukaan kalau ia ingat betapa suaminya kini sering kali menghibur diri di telaga tak jauh dari kota, dan pernah ia menyelidikinya sendiri dan melihat suaminya itu duduk menghadapi telaga sambil minum arak dan menulis sajak atau membaca buku! Makin yakinlah hatinya bahwa ada sesuatu yang mengganjal hati suaminya, yang tidak diceritakan kepadanya bahkan dirahasiakan, dan ganjalan hati itu tentu amat hebat sehingga suaminya perlu menghibur hati bersunyi diri di tepi telaga. Apa gerangan rahasia itu? Bagaimana ia akan dapat memecahkannya?
Beberapa hari kemudian, pada saat wajah suaminya tidak sekeruh biasanya dan mereka berdua menghadapi meja makan siang, Yan Cu mempergunakan kesempatan ini untuk berkata dengan suara halus,
"San-koko, ingin aku mengatakan sesuatu kepadamu."
Cong San memandang isterinya, pandang mata yang penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh kedukaan. Sinar mata suaminya itu seakan-akan mencegah Yan Cu bicara tentang sikap suaminya, karena toh tak akan dijawabnya.
"San-koko, aku ingin sekali pergi mengunjungi Cin-ling-san. Sudah hampir setahun..."
Tiba-tiba saja Cong San bangkit berdiri, mukanya berubah dan kata-katanya singkat ketus ketika dia memotong, "Sudah sangat rindukah engkau?"
Yan Cu heran menyaksikan sikap suaminya, akan tetapi ia berkata dengan wajah berseri, "Benar, suamiku. Aku sudah sangat rindu kepada mereka! Marilah kita pergi berkunjung ke sana, sekalian kita berpesiar. Kita singgah di dalam hutan pek yang ada telaganya, milik Siauw-lim-si itu dan..."
"Tidak! Aku tidak mau pergi!" Tiba-tiba Cong San membalikkan tubuhnya dan keluar dari rumah.
"San-koko...!" Teriakan Yan Cu ini mengandung rasa kaget, heran dan juga marah. Akan tetapi suaminya sudah pergi dan ketika ia mengejar keluar, Cong San sudah lenyap dari depan toko.
Yan Cu masuk kembali untuk menyembunyikan air matanya yang bercucuran agar tidak tampak orang lain. Ia menjatuhkan diri di atas kursi, bersembunyi di belakang lemari toko dan menangis terisak-isak. Hanya ketika ia mendengar tangis bayinya saja ia cepat-cepat menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan menekan batinnya, lalu memanggil Chie-ma untuk membawa puteranya.
Chie-ma datang menggendong anak kecil itu. "Toanio, puteramu lapar, sudah waktunya minum susu."
Tanpa menjawab karena takut suaranya akan terisak, Yan Cu menerima puteranya yang menangis itu. Tangis anak itu segera berhenti dan mulutnya mulai mengisap susu ibunya. Keadaan menjadi sunyi sekali setelah anak itu berhenti menangis.
"Toanio..." Chie-ma berkata lirih sambil duduk berlutut di atas lantai, di hadapan nyonya majikannya yang sedang menyusui Kun Liong. Yan Cu mengangkat muka memandang pelayannya.
"Toanio, maafkan hamba, bukan sekali-kali hamba hendak berlancang mulut mencampuri urusan Toanio. Akan tetapi hamba merasa kasihan dan sebagai seorang tua yang lebih berpengalaman dalam hal kekeluargaan, maka hamba ingin memberi nasehat."
Tanpa terasa lagi dua titik air mata menitik turun ke atas pipi Yan Cu. Tidak ada gunanya disembunyikan, pelayan tua ini sudah tahu. "Bicaralah, Chie-ma."
"Tanpa disengaja hamba melihat majikan lari keluar dengan muka penuh kemarahan, dan hamba melihat Toanio habis menangis. Tentu Toanio bertengkar dengan majikan. Aihhh, Toanio, apakah Toanio tidak melihat betapa majikan mengandung penderitaan batin yang amat hebat? Kasihan sekali dia, Toanio, dalam keadaan seperti itu, seorang suami amat membutuhkan kebijaksanan isterinya untuk bisa menghiburnya, untuk ikut memikul beban yang memberatkan hatinya. Sungguh pun hamba tidak tahu apa urusannya, akan tetapi dengan jelas dapat hamba lihat bahwa majikan menderita batin yang menyedihkan."
"Chie-ma, aku pun bukan seorang yang buta. Aku tahu, akan tetapi… ahhh, soalnya dia tidak mau menceritakan apa yang sedang menyusahkan hatinya itu. Kalau aku tidak tahu persoalannya, bagaimana aku dapat membantu? Dia sering berduka, marah-marah, dan tiap hari pergi minum arak di telaga. Aku cinta kepadanya, Chie-ma, dan aku ingin sekali menanggung penderitaannya, akan tetapi dia tidak pernah mau berterus-terang."
Chie-ma menarik napas panjang. "Apa bila majikan tidak pernah mau berterus terang, itu hanya berarti bahwa ia sengaja hendak merahasiakan urusan itu, sebab merasa khawatir kalau-kalau Toanio menjadi berduka pula. Seorang suami yang sangat mencinta isterinya memang kadang-kadang menyembunyikan hal-hal yang tak menyenangkan dari isterinya, supaya isterinya tidak ikut menderita."
"Ahhh, sikap demikian itu salah sama sekali, Chie-ma. Justru karena dia diam saja tidak menceritakan persoalannya, membuat hatiku tertindih dan lebih sengsara dari pada kalau tahu persoalannya. Menghadapi persoalan, kita bisa menggunakan akal bagaimana untuk mengatasinya, akan tetapi menghadapi rahasia begini, benar-benar membuat hati gelisah tidak karuan, menduga yang bukan-bukan."
"Aihhh... persoalan orang-orang muda. Dulu ketika suami hamba masih hidup sering kali hamba cekcok dengannya. Cekcok kecil-kecilan dalam rumah tangga merupakan bumbu penyedap kehidupan suami-isteri, kadang-kadang bahkan bisa menjadi pembangkit cinta. Akan tetapi kalau terjadi pertengkaran besar, hemmm, tidak ada kesengsaraan yang lebih berat dirasakan dari pada pertengkaran antara suami isteri. Sikap majikan mengingatkan hamba dulu pada waktu suami hamba mencemburukan hamba dengan seorang tetangga. Aihhh, gila dia...!"
Yan Cu tersentak kaget. "Cemburu...?" Dia berkata lirih.
Selanjutnya dia sudah tidak mendengar suara Chie-ma yang bercerita tentang cemburu suaminya itu. Otaknya diputar, mengingat-ingat. Itukah yang mengganggu hati suaminya? Cemburu? Akan tetapi, apa yang dicemburukan dan mengapa?
Tiba-tiba ia teringat percakapan mereka tadi. Cong San marah sekali ketika ia mengajak pergi ke Cin-ling-san. Begitulah kiranya? Mencemburukan ia dengan suheng-nya? Wajah Yan Cu tiba-tiba menjadi merah.
Tak mungkin! Ini timbul dari hatinya sendiri yang harus mengaku bahwa dahulu, sebelum bertemu dengan Cong San, memang ada perasaan cinta di hatinya terhadap Keng Hong. Akan tetapi cintanya berubah sesudah dia bertemu dengan Cong San, berubah menjadi cinta saudara.
Tidak mungkin suaminya cemburu, karena semenjak menikah dia tidak pernah berjumpa dengan Keng Hong, bahkan tak pernah berkirim berita. Tidak ada alasan sedikit juga bagi Cong San untuk mencemburukan dia dengan Keng Hong atau dengan laki-laki lain yang mana pun juga.
"Jika sudah cemburu, lelaki memang seperti gila," dia mendengar lagi omongan Chie-ma, "seperti mendiang suami hamba dahulu. Dia hanya menyangka tanpa bukti, dan karena tak ada bukti maka dia tidak berani menuduh terang-terangan kepada hamba. Akan tetapi semenjak itu sikapnya minta ampun! Kelihatan marah, berduka, dan sinar matanya penuh penghinaan. Bila malam, minta ampun, dia manjanya setengah mampus, inginnya hamba bersikap seperti di waktu malam pertama pengantin! Kalau hamba bersikap dingin sedikit saja, seolah-olah hatinya yang dibakar cemburu itu disiram minyak dan dia marah-marah kepada diri sendiri tidak karuan! Baru setelah terbukti bahwa cemburunya itu kosong, dia minta-minta ampun sampai berlutut di depan kaki hamba! Coba, siapa tidak mendongkol? Untung tidak ada palang pintu dekat dengan hamba, kalau ada tentu akan hamba gecek kepalanya!"
Yan Cu tersenyum juga mendengar cerita pelayannya. Hatinya sedikit lega. Setidaknya, ada bahan baru baginya untuk berusaha menyingkap tabir rahasia sikap suaminya. Siapa tahu, mungkin suaminya cemburu kepadanya. Dan kalau hal ini benar, dia akan bertanya terus terang. Sekali suaminya terpancing dan suka bicara terus terang, dia yakin bahwa semua persoalan akan dapat ia atasi dan bereskan, karena suaminya bukanlah seorang yang tidak memiliki kecerdikan dan kebijaksanaan.
********************
Sementara itu, dengan dada panas seperti akan meledak dan kepala berdenyut pusing, Cong San lari cepat menuju ke pinggir telaga. Tempat ini telah menjadi tempat di mana dia sering kali termenung seorang diri dan menumpahkan segala perasaan yang tertekan sambil memandangi air telaga.
Air yang bening dan tenang itu dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi sekali ini, hatinya tidak dapat tenang, bahkan makin dipikir makin panaslah hatinya. Ucapan isterinya masih terngiang di telinganya dan yang terdengar hanyalah kata-kata ‘rindu’ yang keluar dari mulut Yan Cu. Tentu rindu kepada Keng Hong! Kepada siapa lagi? Tak mungkin isterinya rindu kepada Biauw Eng, dan kalau isterinya menyebut ‘rindu kepada mereka’, tentu yang dimaksudkan rindu kepada Keng Hong!
"Bresss!" Cong San memukul tanah di depannya dengan tinju, giginya berkerot menahan kemarahan.
Cemburu adalah bahaya yang amat besar bagi hati orang mencinta. Seperti tetumbuhan yang hidup di dahan pohon lain, makin lama makin membesar menghisap sari kehidupan pohon itu, makin lama makin mengakar dan berkembang mengancam kebahagiaan hidup orang yang dihinggapi penyakit ini. Cemburu merupakan sebuah penyakit dalam tubuh cinta kasih, menunggangi nafsu birahi dan nafsu mementingkan diri sendiri (egoism).
Cinta murni timbul dari perasaan hati ke hati, menimbulkan bermacam keinginan untuk memiliki dan dimiliki, membela dan dibela serta dorongan hasrat untuk bersatu lahir batin. Di sinilah nafsu cemburu menyelinap dan mengotorkan cinta dengan menunggang birahi dan mempergunakan sifat ingin mementingkan diri sendiri dari si manusia yang digodakan sehingga menimbulkan lemah kepercayaan terhadap orang yang dicinta.
Kalau kekasih yang dicemburukan itu ternyata memang melakukan penyelewangan cinta, maka hal itu segera dapat mengakhiri keadaan dari siksa cemburu dan persoalannya pun selesai, keputusannya tergantung dari kebijaksanaan kedua pihak. Akan tetapi, sangatlah berbahaya kalau tidak ada bukti penyelewengan seperti halnya kecemburuan Cong San kepada isterinya, hal ini benar-benar menyiksa batin. Makin dipikir, makin dicurigakan dan diragukan, maka semakin menyiksa karena kelemahan kepercayaan terhadap isterinya ini merupakan pupuk yang paling baik bagi nafsu cemburu sehingga dapat tumbuh dengan suburnya, setiap detik mengusik pikiran menggerogoti hati.
Cong San menyiksa hatinya sendiri. Sejauh ini, yang terbukti hanyalah penyelewengan di pihak Keng Hong yang jelas sudah menulis surat kepada Yan Cu dan surat itu selalu ada di saku bajunya. Tidak ada bukti sama sekali bahwa isterinya masih mencinta Keng Hong. Akan tetapi pandangannya yang sudah dicengkeram nafsu cemburu, melihat gerak-gerik dan kata-kata Yan Cu seakan-akan merupakan gambaran bahwa isterinya itu mencinta Keng Hong dan rindu kepada bekas kekasihnya itu.
Hal ini mendorong khayal di benaknya, khayal yang memanaskan dada, membayangkan betapa dahulu isterinya berkasih-kasihan dengan Keng Hong, betapa isterinya sebetulnya lebih mencinta Keng Hong dari pada dia. Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah dugaan yang tak dapat dia tekan-tekan dan dilenyapkan bahwa anak mereka, Kun Liong, belum tentu keturunannya, mungkin keturunan Keng Hong! Kalau teringat akan hal yang satu ini, sering kali Cong San menangis di tepi telaga.
Bagi orang yang belum pernah merasakan betapa hebat kekuasaan nafsu cemburu, tentu akan mencela kelemahan hati Cong San dan akan menyalahkannya. Akan tetapi, orang muda ini patut dikasihani. Cemburu memang merupakan siksaan hebat, dan bagaimana Cong San tidak akan merasa cemburu sesudah segala yang dia hadapi semenjak dia menikah dengan Yan cu?
Dia mencinta Yan Cu lahir batin, mencinta sampai di setiap detik darah dan peluhnya, sampai menempel di setiap helai bulu badannya. Akan tetapi, kenyataan yang menyolok matanya sungguh hebat! Ucapan-ucapan keji dari Cui Im dan Go-bi Thai-houw, kemudian kenyataan bahwa isterinya bukan perawan lagi, ditambah pula surat dari Keng Hong, dan tadi isterinya merengek minta pergi mengunjungi Cin-ling-san karena rindu!
Sesudah kenyataan semua itu, betapa mungkin dia dapat bertemu muka dengan Keng Hong? Kalau dia tidak ingat bahwa di pihak isterinya belum ada bukti penyelewengan dan mencinta Keng Hong, tentu surat dari Keng Hong itu sudah cukup baginya untuk datang ke Cin-ling-san dan menantang Keng Hong bertanding mengadu nyawa!
Dia tidak pernah menegur isterinya, tidak pernah membencinya, melainkan berkorban diri dengan menyiksa hati sendiri. Hal ini dia lakukan karena dia tidak ingin menyinggung hati isterinya yang sangat dia cinta, sama sekali dia tidak sadar bahwa sikapnya ini bahkan menimbulkan kegelisahan dan kedukaan di hati isterinya.
"Ya Tuhan, apa yang harus hamba lakukan?" Berkali-kali Cong San mengeluh di dalam hatinya pada saat dia duduk seperti arca memandang air telaga tanpa melihat apa yang dipandangnya.
Tekanan batin ini membuat dia seperti buta dan tuli, sehingga dia yang sudah memiliki pendengaran tajam terlatih tidak tahu bahwa ada orang menghampirinya dan kini berdiri sekitar tiga meter di belakangnya. Baru dia kaget lalu meloncat bangun dan membalikkan diri ketika terdengar suara orang itu tertawa,
"Hi-hi-hik, orang muda yang tampan dan bodoh! Apakah baru sekarang engkau melihat kebodohanmu?"
"Iblis betina!" Cong San memaki ketika mengenal bahwa yang berdiri di depannya adalah Cui Im, orang yang dibencinya!
"Tahan!" Cui Im cepat mengangkat tangan ke atas ketika melihat Cong San sudah akan menyerangnya. "Aku datang bukan untuk bertanding denganmu. Engkau tak tahu betapa aku kasihan kepadamu, melihat engkau dipermainkan orang! Engkau seperti buta, tidak tahu betapa engkau dipermainkan isterimu dan Keng Hong!"
"Mulut busuk!" Cong San menerjang dan mengirim pukulan keras ke arah dada Cui Im. Dengan gerakan lincah Cui Im meloncat ke samping lalu mundur.
"Tahan, dengar dulu omonganku! Aku hanya ingin menolongmu, membuka matamu yang buta. Kalau kau menghadapi Keng Hong, mana kau mampu menangkan dia? Aku akan membantumu membalas penghinaan yang dilakukan olehnya kepadamu."
"Aku tidak percaya mulutmu yang beracun, iblis betina!" Cong San menyerang lagi.
Cui Im meloncat jauh, lalu melemparkan sehelai kertas. "Nah, bacalah ini dan apakah kau tidak mengenal tulisan isterimu sendiri? Hi-hi-hik! Selama engkau menyiksa hati di pinggir telaga setiap hari, apa kerjanya isterimu? Berjumpa dengan kekasihnya di hutan sebelah utara telaga. Sekarang pun aku berani bertaruh mereka sedang berkasih-kasihan di sana. Suami tolol!"
"Keparat, kubunuh engkau!" Cong San menerjang lagi.
Akan tetapi Cui Im sudah menggerakkan kaki tangannya melawan dengan jurus In-keng Hong-wi (Awan menggetarkan angin dan hujan). Jurus ini hebat sekali karena inilah ilmu Silat San-in Kun-hoat peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang sudah dipelajarinya.
Angin pukulan yang dahsyat ini tak akan dapat dihadapi orang yang tingkatnya setinggi Cong San sekali pun sehingga orang muda itu terhuyung ke belakang. Apa bila Cui Im menghendaki, tentu dia telah roboh oleh hantaman ini, namun Cui Im tidak menghendaki demikian dan ketika Cong San meloncat lagi, wanita itu telah lenyap, cepat bukan main gerakannya. Cong San mengejar, akan tetapi kehilangan jejak musuhnya.
Dengan alis berkerut dia kembali ke tempat tadi, memandang kertas yang menggeletak di atas tanah. Hari telah mulai senja, cuaca sudah agak gelap maka dari tempat dia berdiri, dia hanya melihat kertas yang ada tulisannya. Hatinya berkeras tidak mau percaya pada Cui Im, tetapi nafsu cemburu membuat dia membungkuk dan seperti di luar kehendaknya, tangannya menyambar kertas.
Begitu melihat huruf-huruf itu, jantungnya langsung berdebar dan kepalanya pening. Tidak dapat disangkal lagi, itulah huruf-huruf tulisan Yan Cu! Betapa dia tidak mengenal tulisan isterinya yang setiap hari sering kali membuat resep obat, huruf-huruf yang indah dan kecil, rapi seperti bunga-bunga diatur dalam sebuah taman! Matanya terbelalak dan entah beberapa kali dia membaca isi surat itu.
Suheng, kekasihku.
Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.
Baru membaca dua baris ini saja naik hawa kemarahan dari perut Cong San dan matanya berkunang-kunang. Sesudah menggosok matanya, baru dia dapat melanjutkan, peluhnya memenuhi muka dan lehernya, kedua tangannya menggigil.
Cong San roboh lemas, surat dikepalnya, napas terengah-engah. Di tempat biasa! Ahhh, iblis betina itu sengaja ingin menghancurkan kehidupannya, akan tetapi tidak berbohong! Isterinya masih melanjutkan hubungan terkutuk itu bersama Keng Hong. Di tempat biasa! Di hutan sebelah utara telaga!
Cong San seperti gila. Melompat berdiri, memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk berlari cepat menuju ke utara. Matahari telah tenggelam di barat, dia mempercepat kedua kakinya berlari, takut terlambat untuk memergoki isterinya. Menangkap basah!
Ya Tuhan, mengapa sampai terjadi begini? Surat dimasukan ke dalam saku baju, menjadi satu dengan surat dari Keng Hong dahulu, giginya berkerot dan dia tidak tahu apa yang akan dilakukan kalau berjumpa dengan Keng Hong dan isterinya.
Setelah memasuki hutan yang agak gelap, dia melihat ada dua bayangan manusia dan otomatis dia menghentikan larinya, lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati dengan berhati-hati. Jantungnya berdebar sehingga kedua telinganya mendengar denyut jantungnya seperti tambur dipukul.
Tidak salah lagi, laki-laki itu tentu Keng Hong! Dia mengenal bentuk tubuh dan potongan wajahnya, walau pun agak gelap. Pakaiannya, gerakannya, siapa lagi kalau bukan Keng Hong si keparat? Dan wanita itu, masa dia tidak mengenal isterinya?
Memang mereka sedang membelakanginya, akan tetapi sanggul rambut itu, pakaian itu, dia mengenal betul. Isterinya! Berjalan perlahan, berbisik-bisik dengan Keng Hong yang merangkul pinggang isterinya! Lalu mereka berhenti melangkah sebentar dan... hampir saja Cong San pingsan menyaksikan betapa Keng Hong mencium bibir isterinya. Mereka berciuman, bibir dengan bibir, lama sekali dan melihat betapa lengan isterinya merayap naik melingkari leher Keng Hong, melihat betapa kedua tangan Keng Hong mendekap pinggang dan pinggul isterinya!
"Ya Tuhan...!" keluhnya.
Agaknya kedua orang terkutuk itu mendengar suaranya karena mereka itu menengok dan tiba-tiba mereka berkelebat lari dari tempat itu, cepat sekali.
"Keng Hong, manusia hina, tunggu!" Cong San meloncat, mengejar, akan tetapi karena gerakan kedua orang itu cepat sekali dan hutan itu pun gelap, dia tidak dapat menyusul dan kehilangan mereka.
Dengan marah seperti gila dia berteriak-teriak, memaki-maki dan mencari ubek-ubekan di dalam hutan itu sampai akhirnya dia menjatuhkan diri di atas tanah, memegangi kepala dengan kedua tangan, terengah-engah seperti akan putus napasnya, bukan karena lelah berlari-lari sejak tadi, melainkan terengah-engah karena kemarahannya.
Kemudian dia teringat. Apa pun yang akan dia lakukan terhadap Keng Hong, dia harus berjumpa dengan isterinya lebih dulu! Dia harus membikin perhitungan dengan isterinya, membereskan persoalan ini. Maka dia lalu meloncat lagi, berlari menuju ke rumahnya.
Tokonya masih tutup dan kedatangannya disambut oleh Chie-ma yang menggendong Kun liong. Ketika pelayan itu melihat wajah Cong San, hampir dia berteriak kaget. Wajah itu sangat menakutkan, matanya merah dan melotot, rambut awut-awutan, pakaiannya kotor terkena lumpur dan debu, giginya berkerot, napasnya terengah.
"Di mana Toanio?" Cong San bertanya dan kalau saja pelayan ini tidak mengenal betul wajah majikannya, tentu dia akan mengira bahwa yang bicara ini adalah orang lain. Suara majikannya demikian berubah!
"Toanio... baru saja pergi, tergesa-gesa, entah ke mana akan tetapi kelihatannya sangat bingung..."
"Lekas siapkan pakaian Kun Liong, bantal yang baik dan siapkan di kamar!"
Menyaksikan sikap majikannya dan mendengar suaranya, pelayan itu tidak berani banyak cakap lagi, dan meski pun terheran-heran namun dia melakukan perintah itu. Cong San menyalakan lampu besar di toko, tidak membuka tokonya lalu duduk terhenyak di kursi, menanti kedatangan isterinya.
Ke manakah perginya Yan Cu kalau tidak mengadakan pertemuan hina dan berjinah dengan Keng Hong, pikirnya. Keparat, wanita berhati palsu, berkelakuan hina dan rendah!
"Brakkkkk...!"
Pintu terbuka dari luar dan muncullah Yan Cu dengan muka pucat. Ketika melihat Cong San duduk di atas kursi, Yan Cu berseru,
"San-koko...!" Ia menubruk dan memeluk suaminya.
"Jangan sentuh aku!" Cong San menangkis dan Yan Cu hampir roboh terguling kalau dia tidak cepat meloncat ke kiri, berdiri memandang suaminya dengan mata terbelalak kaget seperti melihat setan.
"Kau... kau... ada apakah...? Apakah terluka? Apakah yang terjadi...?" Yan Cu bertanya gugup dan bingung.
Cong San mendelik. "Perempuan..."
Dia tidak melanjutkan makiannya dan sedu-sedannya naik dari dadanya yang mencekik kerongkongannya. Tidak, dia tidak mungkin dapat mengutuk isterinya, tidak sanggup dia memaki isterinya. Melihat wajah itu, wajah yang terbelalak pucat sambil membayangkan ketakutan hebat, dia merasa kasihan. Ahhhh, dia mencinta isterinya betapa mungkin dia menyakitinya, baik tubuh mau pun jiwanya.
"Yan Cu, engkau masih bertanya apa yang terjadi? Aihh, begitu kejamkah hatimu? Begitu palsukah? Apa yang terjadi? Sepatutnya engkau yang menceritakan kepadaku, apa yang terjadi..." Ia terisak dan memejamkan matanya.
Yan Cu berlutut. "Suamiku... apa yang terjadi? Aku diberitahu orang, entah siapa, bahwa engkau bertanding dengan seorang wanita... aku khawatir sekali, menduga bahwa tentu iblis betina Cui Im yang menyerangmu. Aku berlari cepat menyusulmu ke telaga, akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Aku cepat pulang dan..."
"Cukuplah!" Cong San berteriak, menjerit karena suara itu adalah jeritan hatinya.
Jika isterinya menangis dan menyatakan penyesalannya, minta ampun dan menceritakan dengan terus terang, agaknya dia akan dapat memaafkan isterinya yang dia cinta. Ia siap melakukan pengorbanan apa pun juga. Akan tetapi isterinya malah membohong! Isterinya yang dia lihat tadi berciuman mesra dengan Keng Hong... pakaian itu, rambut itu... tidak, tidak salah lagi, kini malah membohong seolah-olah matanya buta!
"Yan Cu, tidak perlu membohong dan tidak perlu kiranya bicara lebih panjang kalau hal itu menyakitkan hatimu. Kalau engkau memang benar mencintanya, biarlah aku mengalah, aku mundur..."
"Suamiku! Ucapan apa yang kau keluarkan ini? Apa... apa maksudmu? Demi Tuhan, apa maksudmu?" Yan Cu berteriak-teriak, tidak peduli lagi apakah teriakannya akan terdengar tetangga.
Cong San hampir hilang kesabarannya. Yan Cu masih bermain sandiwara! Ini melampaui batas! Mengapa tidak berterus terang saja? Bukti-bukti sudah cukup. Dia bangkit berdiri, merogoh sakunya mengeluarkan dua buah surat yang selama ini mengganjal hatinya.
"Tulisan siapa ini?" Ia membeberkan surat kecil yang diterimanya dari Cui Im tadi.
Yan Cu memandang pucat, dari tempat ia berlutut ia tidak dapat membaca isi surat, akan tetapi ia mengenal tulisannya sendiri.
"Seperti tulisanku... surat apakah itu?"
Cong San membanting kakinya dengan pengerahan sinkang sehingga kakinya langsung amblas sampai beberapa senti meter di lantai. Tangannya bergerak dan surat Keng Hong melayang ke bawah. "Lihat surat kekasihmu ini! Utusannya datang untuk memberikannya padamu, akan tetapi aku merampasnya. Apakah masih perlu banyak membohong lagi?"
Dengan muka pucat dan mata terbelalak Yan Cu mengambil dua surat itu, membacanya dan wanita itu demikian heran, bingung, dan marahnya sehingga dia mengeluarkan jerit aneh dan terkulai lemas, roboh pingsan!
Hampir saja Cong San menubruk dan memeluk isterinya. Melihat wanita yang dicintainya itu roboh pingsan, hatinya tidak kuat. Akan tetapi, dia tahu bahwa tanpa sepatah pun kata Yan Cu telah mengaku, maka isterinya itu pingsan. Ia menguatkan hatinya, lalu meloncat bangun dan berlari ke dalam menyambar Kun Liong dari gendongan Chie-ma yang berdiri menggigil dan memandang dengan kedua mata terbelalak, menyambar buntalan pakaian anaknya kemudian melesat keluar dari kamar. Chie-ma menjerit dan berlari keluar, hampir menginjak tubuh Yan Cu yang menggeletak di lantai.
"Toanio...! Aihhhh... Toanio, apa yang terjadi ini...?" Chie-ma memeluk tubuh majikannya yang pingsan dan melolong-lolong, merasa seakan-akan dunia kiamat karena dia tidak tahu apa yang menyebabkan semua kejadian hebat ini.
Yan Cu siuman, mengeluh dan teringat. Cepat dia meloncat bangun sehingga Chie-ma terpelanting. "Mana suamiku...?"
"Ahhhh, Toanio... dia... dia membawa Kun Liong, lari..."
"San-koko...! Suamiku...! Semua ini adalah fitnah..!" Ia menjerit-jerit, lari masuk ke kamar, mencari-cari, lari keluar sehingga para tetangga yang kaget mendengar jeritan-jeritan itu keluar rumah. Mereka melihat Yan Cu berlari-larian cepat sekali, ke sana ke mari, tidak tahu hendak mengejar ke mana, kemudian nyonya muda itu terguling roboh, pingsan lagi di pinggir jalan!
Dengan bantuan para tetangga, Chie-ma menggotong tubuh Yan Cu kembali memasuki toko. Setelah siuman, Yan Cu menangis, mengguguk. Kemudian ia turun, mengambil dua surat dan menyimpannya. Ia masih bercucuran air mata, akan tetapi tidak menangis lagi, wajahnya membayangkan sikap dingin yang mengerikan.
"Chie-ma, kau jaga baik-baik rumahku. Aku harus pergi mengejar suamiku," katanya dan tanpa banyak cakap lagi malam-malam itu Yan Cu berlari keluar, mencari dan mengejar suaminya.
Chie-ma yang dikerumuni para tetangga hanya melolong-lolong, tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka karena sesungguhnya dia sendiri pun tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Setelah para tetangga pulang, Chie-ma masih menangis. Cemburu! Tentu itu sebabnya. Cemburu. "Ya Tuhan, lindungilah mereka... aduhh, kebahagiaan mereka hancur oleh hati cemburu..." Dia menangis lagi hingga semalam suntuk.
********************
"Nih, kau pondong Giok Keng..."
Biauw Eng cemberut, cemberut buatan, menerima bayi yang baru berusia sebulan itu dari pondongan suaminya. "Ihhh, baru sebentar saja sudah diberikan kepadaku. Apakah kau kecewa mempunyai anak perempuan? Kau mengharapkan anak laki-laki, ya?"
"Wah-wah-wah, omongan apa itu?" Keng Hong lalu mencium pipi anaknya yang montok kemerahan di pondongan Biauw Eng. "Biauw Eng isteriku yang jelita, aku bukan seperti ayah berpendirian usang yang mengutamakan anak laki-laki saja yang kelak akan dapat menjamin kehidupan orang tua pada hari tuanya, hanya anak laki-laki saja yang mampu menyenangkan hati orang tuanya. Pendirian macam itu sungguh pandir dan picik, menilai anak seperti orang menilai barang dagangan saja, diperhitungkan rugi untung dalam soal benda! Betapa keji pandangan itu. Tidak, isteriku, aku sangat sayang kepada anak kita, tiada bedanya andai kata dia laki-laki. Dan aku tidak ingin anak laki-laki saja!"
"Akan tetapi, semua orang tua berharap mendapatkan anak laki-laki, bukan hanya karena dianggap sebagai jaminan di hari tua, melainkan juga sebagai penyambung keturunan!" Biauw Eng memancing, untuk yakin akan pendirian suaminya yang sudah sangat ia kenal kebijaksanaannya itu.
"Phuhhh! Apa artinya keturunan? Apakah keturunan dari anak perempuan bukan menjadi keturunan kita pula? Pandangan orang yang pikirannya picik itu terlalu melekat soal she (nama keturunan). Bagiku, sama saja. Laki-laki atau perempuan tetap anak kita, bukan kelaminnya yang membahagiakan orang tua, akan tetapi kelakuan anak itu sendiri. Meski pun perempuan jika menjadi seorang manusia utama yang mengutamakan kebijaksanan, tentu akan menjunjung tinggi nama orang tua dan mendatangkan kebahagiaan lahir batin, sebaliknya walau pun anak laki-laki, kalau menjadi orang rendah (siauw-jin) hanya akan menyeret nama orang tua ke dalam lumpur kehinaan!"
"Wah, wah, wah…! Kau bicara begitu karena kebetulan anakmu perempuan! Apakah kau tidak ingin mempunyai anak laki-laki?"
"Wah, tentu saja! Akan tetapi, usia kita masih muda dan engkau... hemmm, begini cantik, makin jelita setelah mempunyai anak!" Keng Hong merangkul dan mencium bibir isterinya yang dibalas dengan mesra dan bangga oleh Biauw Eng.
"Kalau benar begitu, mengapa kau tidak pernah lama memondongnya?"
Keng Hong memegang dan mempermainkan tangan-tangan kecil anaknya dengan penuh rasa sayang. "Ahhh, aku... takut dan ngeri."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Dia begini kecil, kelihatannya begini... ahhh, aku gemetar kalau memondongnya, takut kalau-kalau dekapanku akan menyakitkannya, takut kalau-kalau dia jatuh."
Biauw Eng tertawa. "Engkau canggung sekali dan kaku kalau memondong."
"Lihat, dia tersenyum! Ahhh, senyumnya sudah memikat seperti senyum ibunya. Mulutnya seperti mulutmu, Eng-moi, dan hidungnya juga, dagunya juga, persis kau!"
"Akan tetapi matanya seperti matamu, Hong-ko dan lihat jari-jari tangannya, dan jari-jari kakinya, hi-hi-hik, pendek-pendek seperti jari-jarimu!"
"Wah, sejak kapan kau memperhatikan jari-jari kakiku?" Keng Hong melotot.
"Sejak... ihhh, sejak..."
Mereka tertawa penuh bahagia.
"Eng-moi, berjanjilah."
"Janji apa?"
"Janji bahwa engkau akan memberiku tiga lagi! Tiga orang adik Giok Keng, dua laki-laki dan seorang perempuan lagi, jadi dua laki-laki dua perempuan. Cukup, bukan?"
Biauw Eng menggelengkan kepala. "Tidak cukup. Biar selosin!"
"Hushhh...!"
"Biar kau repot kelak kalau mereka semua merengek minta baju baru dan sepatu baru. Baru tahu rasa kau!"
Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri di atas bangku di taman belakang rumah mereka, lengan kiri menekan siku di atas lutut, telapak tangan kiri menunjang dagu, tangan kanan memijit-mijit pelipis, alisnya berkerut.
"Waduh, anak selosin... dan aku hanya menjadi petani di gunung ini. Mana cukup? Dan mereka semua perlu pendidikan. Kalau kita tidak tinggal di kota dan aku tidak mempunyai penghasilan yang cukup besar, wah, kasihan sekali mereka...! Aihh, kita harus berusaha, isteriku, kalau tidak, kasihan dong mereka."
Biauw Eng memandang dengan mata terbelalak, mulutnya menahan tawa. "Benar sekali, suamiku, tidak sedikit biayanya."
"Dua belas pasang sepatu baru, dua belas pasang pakaian, selosin perut di tambah kita berdua yang setiap hari harus diberi makan, wahh, kalau aku tidak bekerja keras, aduhhh, kasihan sekali mereka...!"
"Stop! Mereka siapa yang kau kasihani itu?"
"Siapa lagi? Anak-anak kita yang selosin itu..."
"Ehh, mabuk atau mimpi kau? Anak kita cuman satu!"
Keng Hong bengong dan akhirnya tertawa, lalu menampar kepalanya sendiri. "Aihhh, aku tidak sadar, merasa seolah-olah kita telah mempunyai selosin orang anak! Wah-wah-wah, kalau begitu jangan membalap, isteriku."
"Membalap apa?"
"Produksi anak itu lho! Lambat-lambat saja."
"Hushhh! Cabul kau, ya?"
Kembali mereka tertawa-tawa. Memang, tak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan dalam hubungan suami isteri yang penuh cinta, penuh kasih sayang, penuh pengertian, penuh kepercayaan dan kesetiaan. Apa lagi kalau suami isteri itu sudah dikaruniai anak!
"Cia Keng Hong!"
Keng Hong dan isterinya yang sedang bersenda gurau sambil menimang-nimang anak mereka itu terkejut dan menoleh.
"Cong San...!" Keng Hong melompat dan lari menghampiri Cong San dengan dua tangan dilonjorkan untuk memeluk sahabat baiknya itu, wajahnya berseri-seri dan hatinya girang bukan main.
Tiba-tiba saja dia berhenti dan memandang keadaan sahabatnya dengan mata terbelalak. Wajah Cong San pucat sekali, matanya merah, rambutnya mawut dan pakaiannya tidak karuan.
"Cong San... apa... yang terjadi?"
Saking marahnya, sangat sukar bagi Cong San untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia membentak, "Manusia berhati palsu! Aku datang untuk mengadu nyawa denganmu!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cong San menerjang dengan pukulan hebat ke arah Keng Hong. Pendekar ini terkejut bukan main. Gerak refleks dari tubuhnya yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu membuat dia otomatis menangkis, akan tetapi karena dia tidak merasa sedang berhadapan dengan musuh, tangkisan itu dilakukan sama sekali tanpa pengerahan tenaga.
"Desss…!"
Tubuh Keng Hong terlempar sehingga dia jatuh menggulingkan diri, lalu meloncat bangun sambil berseru, "Heiiiiii! Cong San, mengapa...?"
Akan tetapi Cong San telah menerjang lagi, kini dengan tendangan ke arah bawah pusar, tendangan maut! Keng Hong yang masih bingung itu cepat mengelak, akan tetapi kembali dadanya kena dihantam.
"Bukkk!" Tubuhnya terguling-guling untuk kedua kalinya.
"Engkau atau aku yang harus mampus!" Cong San membentak dan meloncat ke depan, mengirim pukulan hebat yang dimaksudkan untuk membunuh.
"Plak-plak-plak-plak-plak!" Bertubi-tubi datangnya pukulan Cong San yang selalu ditangkis oleh Keng Hong.
Kalau Keng Hong menggunakan sinkang-nya, tentu tangkisan itu sudah cukup membuat penyerangnya terjengkang. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu, maka meski pun dia bergerak cepat menangkis terus, karena tidak sungguh-sungguh melawan, kembali sebuah tendangan Cong San mengenai perutnya.
"Desss…!"
Tendangan ini hebat bukan main karena yang dimainkan adalah ilmu menendang dari Siauw-lim-pai yang amat kuat dan cepat. Apa bila orang lain yang terkena tendangan ini, andai kata orang itu memiliki kekebalan juga, tentu isi perutnya mengalami getaran hebat dan akan menderita luka di sebelah dalam. Akan tetapi Keng Hong hanya terlempar dan terbanting lalu bergulingan tanpa menderita luka, luar mau pun dalam.
Pada detik berikutnya, tubuh Cong San sudah meloncat ke depan dan kakinya siap untuk menginjak kepala Keng Hong dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Jangan lagi hanya kepala orang, batu pun akan pecah terkena injakan dahsyat ini.
Dan biar pun Keng Hong seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Cong San, namun dia tidak berani menerima injakan pada kepalanya itu. Dia menjadi sangat penasaran, cepat tangannya menyambar, menangkap kaki Cong San dan sekali ia mengerahkan tenaga mendorong, tubuh Cong San terlempar dan terbanting ke atas tanah!
"Cong San sahabatku yang baik, apakah engkau telah gila?" Keng Hong cepat melompat bangun.
Cong San sudah bangkit lagi dan mencabut senjatanya, sepasang Im-yang-pit hitam dan putih. "Memang aku telah gila! Aku tahu, kepandaianku masih terlalu rendah untuk dapat melawanmu, akan tetapi aku tidak takut. Engkau atau aku yang harus mampus!" Setelah berkata demikian, Cong San menerjang maju lagi dengan sepasang senjatanya, menotok ke arah jalan darah yang mematikan.
Keng Hong cepat mengelak dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Peristiwa ini sangat mengejutkan dan membuat hatinya berduka sekali sehingga dia tak begitu mementingkan keselamatan dirinya sendiri. Desakan Cong San yang sudah amat marah itu membuatnya membuatnya terhuyung dan melihat ini, Cong San semakin beringas, mengirim serangan maut tanpa memperhatikan penjagaan diri sendiri.
"Cong San...!" Keng Hong berteriak.
Dia merasa terkejut bukan main karena maklum bahwa jurus serangan itu tidak mungkin dielakkan lagi, juga sangat berbahaya dan satu-satunya jalan baginya hanya ‘mendahului’ lawan dengan pukulan atau tendangan. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini.
Keadaannya amat berbahaya. Biar pun dia memiliki sinkang kuat, tetapi masih diragukan apakah kekebalannya akan dapat menahan sepasang Im-yang-pit yang amat lihai itu.
Cong San yang wajahnya seperti telah berubah menjadi iblis itu menggerakkan sepasang Im-yang-pit, yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menusuk ke arah ulu hati.
"Trang-trangggggg...!"
Cong San terhuyung ke belakang, sepasang Im-yang-pitnya terpental dan hampir terlepas dari tangannya. Ternyata Biauw Eng telah berdiri di depannya dengan muka merah dan mata terbelalak seperti menyinarkan api. Dua buah senjata rahasianya, bola-bola berduri, tadi sudah menyambar dan menangkis sepasang Im-yang-pit, dan kini sabuk suteranya yang putih sudah bergerak melayang-layang di atas kepala penuh ancaman.
"Yap Cong San! Kalau engkau sudah gila, aku masih dapat mengampunimu, akan tetapi kalau engkau tidak gila, jangan kira engkau boleh menghina suamiku begitu saja! Apakah engkau sudah demikian jagoan sehingga hendak menjual lagak di sini?" Sikap Biauw Eng seperti seekor singa betina diganggu anaknya, wajahnya yang cantik itu mangar-mangar kemerahan dan sinar matanya berapi-api.
Cong San masih memandang kepada Keng Hong penuh kebencian. Tanpa menoleh ke arah Biauw Eng dia berkata, suaranya dingin, "Sie Biauw Eng, aku tidak memusuhimu, tidak ada urusan sesuatu denganmu. Aku bahkan merasa kasihan padamu. Akan tetapi, aku harus membunuh manusia hina Cia Keng Hong ini, atau aku sendiri yang akan mati di tangannya!" Kembali dia menerjang ke depan, menyerang Keng Hong dengan senjatanya yang digerakkan cepat, menggunakan jurus nekat yang hendak mengadu nyawa.
"Kalau begitu, engkaulah yang mampus!" bentak Biauw Eng.
Dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih menyambar dan tahu-tahu sepasang Im-yang-pit sudah terbang karena terlepas dari kedua tangan Cong San, terampas oleh ujung sabuk yang sangat lihai. Dalam kemarahannya, Biauw Eng kembali menggerakkan tangan dan kedua batang pit yang terlilit ujung sabuknya itu kini meluncur bagaikan dua batang anak panah ke arah tubuh Cong San!
"Eng-moi... jangan...!" Keng Hong berseru, namun terlambat karena sudah tampak sinar hitam dan putih sepasang pit itu meluncur cepat sekali ke arah Cong San.
Keng Hong melempar diri ke depan dan berhasil menyambar pit hitam, akan tetapi karena jaraknya terlampau dekat dan posisinya juga miring, pula dia tidak mengira isterinya akan membunuh Cong San, pendekar ini tidak dapat meloloskan diri dari pit putih yang cepat menyambar kemudian menancap pada pundaknya.
Keng Hong berdiri tenang, lalu mencabut pit putih dari pundaknya. Dia membiarkan darah muncrat dari lukanya dan menyerahkan kedua pit itu kepada Cong San sambil berkata, "Cong San, ada persoalan dapat dibicarakan. Kalau memang aku bersalah, sesudah kita bicara, masih belum terlambat bagimu untuk membunuhku. Dan percayalah, kalau aku bersalah, aku akan menyerahkan nyawa dengan suka rela."
Cong San menyambar sepasang pit-nya kemudian membentak, "Mau berbicara apa lagi? Kepura-puraanmu ini saja sudah menjadi jawaban, sudah menjadi bukti akan kerendahan budi dan kekotoran watakmu. Hayo, kau bunuh saja aku!"
Biauw Eng menarik tangan suaminya dengan kasar ke belakang, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Cong San sampai dekat sekali. Telunjuk kirinya menuding hampir menyentuh hidung Cong San dan suaranya melengking nyaring tanda bahwa nyonya muda ini sudah kehilangan kesabarannya.
"Yap Cong San, kalau begitu tidak usah banyak bicara lagi! Aku pun muak mendengarkan omonganmu. Bila engkau tidak gila, tentu engkau sudah dibutakan oleh cemburu, engkau manusia tolol. Memang tidak perlu bicara lagi, aku Sie Biauw Eng, saat ini menantangmu untuk mengadu nyawa! Hayo, keluarkan semua kepandaianmu, dan kalau aku tidak bisa membunuh engkau yang telah menghina suamiku, jangan sebut aku Sie Biauw Eng lagi," dadanya bergelombang dan tangannya yang memegang sabuk sutera menggigil, kakinya melakukan gerakan dibanting-banting ke arah tanah.
Wajah Keng Hong menjadi pucat. Celaka, pikirnya, kalau isterinya sudah seperti itu, biar setan pun takkan mampu menahannya dan kalau Cong San melawan, dia sendiri belum tentu akan dapat menyelamatkan Cong San dari tangan maut isterinya.
Akan tetapi Cong San tidak marah, malah menggeleng kepalanya dan suaranya penuh duka, "Sie Biauw Eng, sudah kukatakan tadi, aku tidak memusuhimu, aku malah kasihan kepadamu. Kita berdua menjadi korban, menderita nasib yang sama, bagaimana aku bisa memusuhimu? Aku pun tidak dapat bicara karena aku tak mau merusak kebahagiaanmu. Biarlah karena memandang mukamu, kali ini aku mengundurkan diri. Akan tetapi jagalah engkau, Cia Keng Hong, sekali waktu aku akan menemuimu sendiri, tanpa campur tangan isterimu, dan saat itu aku akan membunuhmu atau engkau terpaksa harus membunuhku. Sampai jumpa!" Cong San membalikkan tubuhnya kemudian lari dari situ. Keng Hong dan Biauw Eng mendengar suara sesenggukan keluar dari mulut orang yang lari itu.
"Kasihan dia... sungguh heran, apakah yang terjadi...?" Keng Hong berkata lirih.
Biauw Eng membalikkan tubuh menghadapi suaminya, matanya masih merah sekali dan dia berkata keras, "Cia Keng Hong, mengapa engkau begini pengecut?"
Keng Hong terbelalak memandang isterinya. "Ahhh? Aku... pengecut? Apa maksudmu?"
Biauw Eng membanting-banting kakinya. "Sungguh memalukan sekali, mempunyai suami seorang yang lemah, seorang pengecut! Engkau dihina orang, engkau diserang, engkau dimaki, dan engkau tak membalas malah menaruh kasihan kepadanya! Ke mana perginya kegagahanmu?"
Keng Hong menghela napas. "Isteriku yang manis, sabarlah..." Keng Hong melangkah maju dan hendak merangkul isterinya, akan tetapi Biauw Eng menggerakkan pundaknya mengelak dan mulutnya cemberut.
"Sabar apa? Aku dapat menduga bahwa dia itu tentulah cemburu kepadamu!"
"Dia menjadi marah karena mengira yang tidak-tidak, dia menuduh dan hatinya dikacau oleh dugaan yang keliru."
"Akan tetapi engkau yang dituduh, engkau difitnah. Kalau orang tidak bersalah, dia harus melawan! Kalau engkau diam saja dan mengalah, rela dihina, dimaki dan dipukul, hal itu berarti engkau memang bersalah!"
"Wah-wah-wah, apakah engkau pun menuduh aku pula?"
"Sikapmu sendiri yang membuat orang curiga! Kalau memang engkau bersih, mengapa engkau membiarkan dirimu dihina oleh Cong San?"
"Eng-moi, isteriku yang manis..."
"Bukan saatnya merayu! Hatiku sedang panas, tahu? Bicara seperlunya saja!"
Pada saat itu terdengar suara anak menangis dan Biauw Eng sadar dari keadaan marah luar biasa itu. Dia cepat-cepat membalik, meloncat dan memondong anaknya yang tadi ia letakkan di atas rumput ketika dia turun tangan membela suaminya. Sambil memondong anaknya, dia membalik menghadapi suaminya dan biar pun sikapnya masih marah, tetapi matanya tidak lagi berapi-api, kedua lengannya menimang-nimang anaknya yang segera berhenti menangis.
Melihat ini Keng Hong menjadi terharu dan terasa benar olehnya betapa isterinya amat mencintainya, membelanya dan tadi bahkan hendak mengadu nyawa dengan Cong San untuk membelanya.
"Eng-moi, maafkan aku kalau aku mendatangkan penasaran di hatimu. Ketahuilah, aku tadi memang mengalah. Akan tetapi bukan mengalah karena salah bukan pula mengalah karena takut, melainkan mengalah karena sadar, isteriku. Engkau sendiri tahu bahwa dia dalam keadaan tidak normal, seperti gila oleh kemarahannya, mungkin karena cemburu yang tidak berdasar. Nah, setelah aku sadar bahwa dia itu seperti gila, apakah aku pun harus menjadi gila seperti dia dan melayaninya?"
Mata Biauw Eng melotot, dan mata itu bertambah indah dalam pandangan Keng Hong yang tahu bahwa akan ada badai mengamuk dari mata melotot itu. "Apa?!" Badai itu mulai menyerangnya. "Engkau...! Engkau menganggap aku gila...?"
"Lhohhh! Ehhhh... apa lagi ini...?"
"Masih pura-pura lagi! Kau bilang dia gila, yang melawannya sama gilanya, dan aku tadi melawannya, jadi sama saja kau memaki aku gila! Ceraikan saja kalau begitu!" Biauw Eng mengusap air matanya yang menetes turun.
Pucat wajah Keng Hong. Belum pernah dia melihat isterinya menitikkan air mata seperti ini, apa lagi menantang dicerai! Dia menyesal sekali dan maklum bahwa urusan tidaklah sekecil yang dianggapnya semula. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata penuh penyesalan dan permohonan.
"Eng-moi, isteriku yang terkasih, ibu anakku yang tersayang. Ampunkan mulut suamimu yang lancang dan pandangan yang dangkal ini..."
Tiba-tiba Biauw Eng juga berlutut, menggunakan lengan kiri merangkul pundak dan ia pun terisak di atas pundak suaminya. "Engkau yang harus mengampuniku, suamiku..."
Bukan main besar dan bahagianya rasa hati Keng Hong, tetapi juga dia terheran-heran. "Biauw Eng, aku tadi merasa gelisah sekali. Bayangkan saja, engkau begitu marah dan minta cerai!"
"Aku hanya main-main, mengancam karena hatiku jengkel sekali melihat Cong San yang menghinamu. Engkau benar, suamiku. Dia gila dan aku pun tadi hampir gila karena telah melayani seorang gila."
Begitu girangnya hati Keng Hong sehingga dia menghadiahkan ciuman mesra pada mulut yang mengeluarkan kata-kata itu, kemudian dia menciumi kepala puterinya.
"Apa bila aku tadi ketularan kegilaanmu dan aku membalas, benar-benar menceraikanmu bagaimana?"
"Aku akan mati!" jawab Biauw Eng tegas. "Aku hanya mau bercerai darimu kalau mati!"
"Isteriku...!" Keng Hong langsung merangkul isteri dan puterinya dengan kedua lengan, kegelisahannya mengenai Cong San lenyap terselubung kebahagiaan yang dirasakan di saat itu.
"Ehh, pundakmu... harus segera diobati."
Keng Hong menjamah pundaknya yang tadi tertusuk pit. "Tidak apa-apa, lukanya hanya kecil, darahnya telah mengering, sebentar pun sembuh. Pit milik Cong San tidak beracun, tidak berbahaya."
Disebutnya nama ini membuat mereka menjadi termenung, teringat kembali. Keng Hong mengerutkan keningnya, teringat dia akan Yan Cu. "Sungguh heran aku, apakah yang telah menimpa keluarga Cong San dan sumoi?"
Biauw Eng juga termenung. "Cong San telah menjadi seperti gila, bagaimana dengan Yan Cu? Aihhh, aku pun khawatir sekali, suamiku. Tentu terjadi hal yang amat hebat menimpa mereka, dan aku khawatir... hemmmmm... siapa lagi kalau bukan dia yang mengacau..."
Keng Hong mengerti karena dugaannya pun menuju ke sana, "Cui Im?"
Isterinya mengangguk dan mereka berpandangan. Melihat pandang mata isterinya, Keng Hong maklum bahwa isterinya menyesalkan pengampunannya terhadap Cui Im, maka dia berkata perlahan, "Aku tidak akan sudi mengampuninya lagi kalau benar dia masih belum bertobat dan masih mengacau dan merusak kebahagiaan sumoi dan suaminya."
"Suheng...!"
Keng Hong dan Biauw Eng meloncat lantas membalikkan tubuh, memandang terbelalak kepada Yan Cu yang sedang datang berlari-lari. Kalau saja Yan Cu tidak mengeluarkan suara memanggil tadi, tentu mereka berdua akan pangling.
Wajah yang dulunya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar, cantik jelita dan selalu riang gembira serta berseri-seri itu kini kotor dan muram, matanya membendul dan merah kebanyakan menangis, air mata di pipi tidak dibersihkan, terkena debu membuat wajah itu cemang-cemong, rambutnya sangat kusut tak disisir, pakaiannya pun kusut dan matanya membayangkan kedukaan hebat.
"Yan Cu...!" Biauw Eng berkata lirih, penuh iba dan kaget.
"Sumoi, kau kenapakah...?” Keng Hong cepat melangkah maju menyambut.
"Jangan dekat! Jangan sentuh aku!" Yan Cu tiba-tiba berhenti ketika melihat Keng Hong melangkah maju menyambutnya.
Keng Hong kaget bukan main dan sejenak timbul kekhawatirannya bahwa jangan-jangan sumoi-nya ini pun menjadi gila!
"Sumoi, ada apakah? Engkau seperti marah dan membenciku, apakah salahku?"
"Suheng, engkau satu-satunya orang yang kumuliakan, satu-satunya orang yang kucinta seperti kakak, seperti pengganti orang tuaku. Mengapa engkau begitu kejam? Mengapa engkau tega merusak kebahagiaan hidupku? Kenapa engkau memisahkan aku dari suami dan anakku? Suheng, jawablah. Di hadapan enci Biauw Eng. Katakanlah terus terang, siapakah yang kau cinta dengan cinta kasih pria terhadap wanita, aku ataukah enci Biauw Eng?"
Apa bila ada halilintar menyambarnya di saat itu, belum tentu Keng Hong akan sekaget ketika mendengar kata-kata sumoi-nya ini. "Sumoi..., Yan Cu... apa artinya semua ini? Aku sungguh tidak mengerti!"
Sambil memondong anaknya Biauw Eng sudah datang mendekat dan berkata, suaranya tegas, dingin dan amat berwibawa, "Yan Cu, tenanglah sebentar, tekan perasaanmu yang meluap-luap dan dilanda kedukaan itu. Kami dapat menduga bahwa tentu telah terjadi mala petaka hebat menimpa keluargamu, akan tetapi kami sama sekali tidak tahu maka ceritakanlah yang jelas. Atau, marilah kita masuk ke rumah di mana kita dapat bicara dengan tenang."
Yan Cu memandang Biauw Eng dan sungguh heran sekali hati Biauw Eng mengapa sinar mata wanita itu penuh iba ketika memandangnya. "Enci Biauw Eng, maafkan aku yang terpaksa melukai hatimu. Aku tidak bisa berbicara banyak, akan tetapi karena perbuatan Suheng yang ternyata dia tak ada bedanya dengan watak gurunya, mendatangkan mala petaka hebat kepada diriku maka terpaksa aku menghancurkan hatimu. Enci Biauw Eng, kau ampunkanlah aku!"
"Sumoi, katakanlah, tidak perlu disembunyikan. Katakan semua, apa yang telah terjadi? Dosa hebat apakah yang telah kulakukan sehingga mala petaka menimpa keluargamu?" Keng Hong yang biasanya dapat menahan kesabaran itu, kini berseru keras karena dia gelisah sekali, menduga-duga apa gerangan yang terjadi sehingga dia dibenci Cong San dan kini dipersalahkan sumoi-nya sendiri.
Dengan muka pucat dan mulut terisak menahan tangis, Yan Cu mengeluarkan dua buah surat dari balik bajunya, dua buah surat yang dahulu dilemparkan suaminya kepadanya. Kini dia melemparkan dua buah surat itu kepada Keng Hong sambil berkata penuh duka,
"Mengapa engkau menulis surat macam itu kepadaku? Dan apa pula artinya pemalsuan surat dariku itu?" Yan Cu lalu menangis tersedu-sedu, kedua kakinya terasa lemas dan ia terjatuh, duduk di atas tanah sambil menangis.
Keng Hong menyambar kedua lembar surat itu. Matanya segera tertarik oleh tulisannya sendiri dan cepat dibacanya. Biauw Eng yang melihat betapa mata suaminya terbelalak dan mukanya berubah merah penuh kemarahan, cepat menghampiri dan ikut membaca. Matanya pun terbelalak ketika bibirnya bergerak-gerak membaca surat itu.
Yan Cu sumoi yang tercinta,
Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-Ling-san.
Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali, berdua seperti dahulu memadu kasih?
Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.
Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.
Sampai beberapa kali Keng Hong serta Biauw Eng membaca surat itu. Sekilas terasa bahwa amarah yang amat hebat membakar dada Biauw Eng karena dia mengenal betul tulisan suaminya! Akan tetapi melihat sikap suaminya, dia dapat menekan kemarahannya dan mengerti bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.
Selanjutnya,