PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 02: Bara Di Atas Singgasana Jilid 03
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 02: Bara Di Atas Singgasana Jilid 03
Karya Singgih Hadi Mintardja
ANUSAPATI memandang wajah Mahisa Agni dengan sorot mata sayu. Baginya Mahisa Agni adalah orang yang paling dekat sesudah ibunya. Namun ibunya tidak dapat memberinya permainan seperti yang diberikan oleh Mahisa Agni kepadanya. Dan tiba-tiba anak itu bertanya, “Apakah paman akan pergi berperang?”
“Aku seorang prajurit Anusapati,” jawab Mahisa Agni, “seorang prajurit kadang-kadang memang harus pergi ke medan perang. Mendung yang mengambang di atas perbatasan Singasari dan Kediri sudah menjadi semakin kelam, sehingga agaknya perang tidak akan dapat dihindarinya lagi.”
“Tetapi bukankah paman akan kembali?”
“Aku mengharap untuk kembali ke istana ini. Karena itu, kau harus berdoa untuk paman, untuk Singasari dan untuk kesejahteraan seluruh rakyatmu.” Mahisa Agni berhenti sejenak, “ingat, kau adalah Putera Mahkota. Kau tidak boleh menjadi acuh tidak acuh atas jabatan yang sejak kecil sudah kau sandang itu.”
“Aku tidak senang dengan jabatan itu paman.”
“Kenapa?“ Mahisa Agni menjadi heran.
“Apabila ayah marah, ayah selalu membawa-bawa jabatan itu, seperti juga orang-orang lain. Emban itu sering juga marah, dan menyebut-nyebut bahwa aku tidak kuat untuk memangku jabatan ini.”
“Emban itu?”
“Ya paman. Tetapi kadang-kadang ia terlalu baik. Dan ia sering menangis sendiri tanpa sebab.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. “Itu semua merupakan latihan. Latihan kejiwaan. Kau sedang diuji apakah kau dapat mengatasi semua godaan itu. Kalau kau berhasil, kau kelak akan menjadi seorang raja yang paling mengagumkan.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Apakah setiap raja, seperti ayahanda Sri Rajasa, juga terlampau sering marah?”
Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab pertanyaan anak itu. Apalagi ketika Anusapati melanjutkannya, “Dan apakah apabila kelak aku menjadi raja, aku juga harus selalu marah-marah seperti Ajahanda itu?”
Mahisa Agni tersenyum. Jawabnya, “Sebenarnya Ayahanda tidak marah. Tetapi Ayahanda ingin agar kau menjadi seorang anak yang terlampau baik.”
Anusapati tidak dapat mengerti keterangan itu, meskipun ia tidak bertanya lagi.
“Tetapi yang harus kau sadari Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “seorang raja haruslah seorang yang kuat lahir dan batin. Itulah sebabnya kau harus tekun. Tetapi ingatlah, jangan kau perlihatkan kepada siapapun kalau kau mempunyai beberapa macam permainan yang pasti mereka anggap aneh.”
“Permainan yang mana paman?”
“Hampir seluruh parmainanmu yang paman berikan adalah permainan yang tidak lajim. Mereka akan heran dan akan terlampau banyak bertanya tentang permainan-permainan itu. Ingat hal itu.”
“Jadi aku harus bermain-main dengan permainam yang diberikan oleh bibi emban saja?”
“Ya, dihadapan orang lain. Apakah permainan itu?”
“Golek dan beberapa helai selendang yang bagus sekali.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sering melihat Anusapati bermain dengan anak-anakan. Kadang-kadang bermain pasaran seperti yang sering dilakukan oleh anak-anak perempuan. “Ini pasti suatu kesengajaan untuk membentuk jiwa anak itu menjadi lemah,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. “Apakah permainan Tohjaya yang pernah kau lihat?”
“Pedang-pedangan dan sebuah kuda kayu yang bagus, meskipun tidak sebagus golekku.”
“Baiklah, bermainlah dengan golekmu bersama emban. Tetapi kalau kau sempat, tidak seorang-pun yang melihat, lakukanlah permainan yang paman berikan.”
Anusapati mengerutkan kening. Tetapi kemudian kepalanya terangguk-angguk. Agaknya ia dapat mengerti maksud pamannya meskipun tidak seluruhnya. Ternyata Anusapati adalah anak yang patuh. Sebelum Mahisa Agni berangkat ke medan perang yang semakin mendekat, anak itu masih sempat mendapat beberapa macam petunjuk. Bahkan Anusapati kini tahu benar-benar mencari kesempatan itu. Setiap ia terlepas dari pengawasan embannya ia selalu berlari ke bangsal belakang. Kemudian ke kebun yang sepi di bagian belakang istana.
“Pada suatu ketika,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “apabila latihan-latihan ini sudah menginjak pada olah kanuragan yang sesungguhnya, pasti tidak dapat dilakukan di halaman istana yang mana-pun.”
Dan sejak saat itu Mahisa Agni sudah berusaha untuk mendapatkan tempat yang baik, dan kesempatan yang memungkinkan bagi Anusapati.
Dalam pada itu, hubungan antara Singasari dengan Kediri menjadi semakin memburuk. Keduanya sudah saling memutuskan untuk tidak mengadakan pembicaraan apapun, sehingga di perbatasan, ke dua belah pihak telah menyiapkan pasukan mereka. Namun agaknya Baginda di Kediri masih saja menganggap Singasari tidak lebih baik dari Tumapel, sehingga Baginda agaknya masih acuh tidak acuh saja melihat seekor harimau yang menjadi dewasa di dalam biliknya.
Dengan demikian maka persiapan-persiapan yang dilakukan tidaklah sesempurna persiapan yang dilakukan oleh Ken Arok. Baik di perbatasan maupun di seluruh negeri. Rakyat Kediri sibuk dengan persoalan mereka masing-masing. Ketidak puasan semakin lama menjadi semakin merajalela, terutama dari para pendeta di padepokan-padepokan.
Pengungsi-pengungsi-pun mengalir semakin banyak menyeberangi perbatasan Singasari, sehingga tugas penampungan bagi mereka-pun menjadi semakin banyak. Demikian juga tugas Mahisa Agni. Ia mengumpulkan juga orang-orang baru dalam kelompok-kelompok yang digabungkannya dengan pasukannya yang sudah terbentuk. Demikianlah maka pasukan Mahisa Agni menjadi semakin besar. Namun dengan demikian pekerjaannya-pun menjadi semakin banyak. Setiap hari ia harus turun ke alun-alun untuk memberikan bimbingan langsung kepada mereka yang sama sekali belum pernah mengenal senjata.
Karena itu, maka hubungannya dengan Anusapati-pun seakan-akan menjadi semakin renggang. Tetapi Mahisa Agni telah memberitahukan kepada anak itu, bahwa tugasnya memang menjadi semakin banyak, dan menyuruhnya untuk bermain-main sendiri di halaman yang sepi. Agaknya Anusapati-pun cukup cerdas. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Agni, sehingga tidak seorang-pun yang pernah melihat permainan apa yang telah dilakukan.
Ternyata Anusapati semakin lama menjadi semakin terampil. Ia sudah pandai memanjat seperti tupai. Kemudian bergayutan dengan tangannya sebelah menyebelah. Berputar balik pada dahan-dahan yang rendah, kemudian berloncatan dari cabang ke cabang. Kalau ia jemu bermain-main di pepohonan, maka ia-pun kemudian bermain-main dengan pasir. Dimasukkannya onggokan-onggokan pasir ke dalam kantong-kantong pandan, dan dijinjingnya kantong-kantong pandan itu berkeliling halaman. Kemudian diayunkannya berputar.
Dan apabila ia sudah menjadi lelah, maka dituangkannya pasir itu beronggok-onggok. Kemudian dibenamkannya jari-jari tangannya kiri kanan berganti-ganti. Terus-menerus. Seperti petunjuk Mahisa Agni, ditusuk-tusuknya onggokan pasir itu dengan sebuah jari, kemudian dua buah dan yang terakhir kelima-limanya diulurkannya dalam suatu himpitan rapat. Demikian bersungguh-sungguh, sehingga kadang-kadang jari-jari tangannya itu menjadi lecet dan berdarah. Tetapi anak itu tidak menghiraukannya.
Permainannya yang lain adalah memukul onggokan pasir itu dengan sisi telapak tangannya. Semakin lama semakin keras, sehingga sisi telapak tangannya menjadi keras. Selagi Mahisa Agni masih sempat, meskipun hanya sejenak, ia menyaksikan ke manakannya itu bermain sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Anak ini memang mewarisi kemampuan seperti ayahnya, Tunggul Ametung. Kekuatannya berkembang dengan pesatnya, ketrampilan dan kemampuan. Tetapi apabila setiap kali Mahisa Agni melihat air mata mengambang di mata anak itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Kekerdilan jiwanya yang masih belum dapat di atasi oleh Mahisa Agni.
“Lambat laun ia mencoba untuk tidak berputus-asa. Dan agaknya kemampuan jasmaniah anak itu memang memberinya harapan.”
Emban pemomong Anusapati yang setiap hari bergaul dengannya itu-pun sama sekali tidak mengetahui, bahwa momongannya itu memiliki kemampuan yang sama sekali tidak disangkanya. Setiap kali Anusapati bertemu dengan Tohjaya, maka setiap kali Anusapati selalu menjauhinya. Apabila pada suatu saat keduanya bertengkar, maka Anusapati sama sekali tidak berdaya menghadapi adiknya seayah. Kalau Anusapati didorong, oleh Tohjaya, anak itu selalu jatuh tertelentang, atau terjerembab. Tertatih-tatih ia bangun dan dengan tergesa-gesa menyingkir jauh-jauh. Kalau Tohjaya tidak berhasil menyakiti Anusapati, maka anak itu menjadi marah dan kadang-kadang menangis, mengadukan masalahnya kepada ayahanda. Baginda yang langsung marah kepada Anusapati.
“Ajari anak itu baik-baik,” berkata Kem Arok kepada emban pemomong Anusapati, “aku sudah memberi kau petunjuk. Anak itu harus menjadi anak yang rendah diri, lemah dan tidak mempunyai gairah bagi hari depannya. Kau tahu maksudku? Ia adalah keturunan Tunggul Ametung. Bukan maksudku untuk membedakan dengan anakku sendiri. Tetapi kekuasaan Singasari jangan sampai jatuh ke tangannya. Kau mengerti?”
Emban itu mengangguk.
“Kau bukan emban kebanyakan. Kau terpilih dari puluhan perempuan di Singasari yang aku percaya untuk menyelesaikan rencanaku. Meskipun sekarang kau berlaku seperti seorang emban pemomong, tetapi kau sudah ikut membangunkan Singasari di hari-hari mendatang. Kau mengerti?”
Emban itu mengangguk pula.
“Aku yakin kau akan berhasil. Anusapati tidak boleh mengembalikan kenangan nama Tunggul Ametung. Ia sudah mati. Mati untuk selama-lamanya? Rakyat Singasari tidak boleh mengenangnya lagi. Apalagi Ken Dedes. Ia sekarang adalah isteriku. Ia harus melupakan suaminya yang lama. Tetapi wajah Tunggul Ametung itu seakan-akan tercermin di wajah Anusapati.”
Emban itu tidak menjawab.
“Karena itu, aku tidak memberikan pemomong lain kepada Anusapati. Aku serahkan anak itu sepenuhnya kepadamu. Berhasil atau tidak, tergantung sekali kepadamu pula.” Sri Rajasa yang sudah matang dengan rencananya itu berhenti sejenak, kemudian, “sebentar lagi, seluruh isi istana, bahkan seluruh rakyat Singasari akan disibukkan oleh peperangan yang agaknya tidak dapat dihindari lagi. Nah, tugasmu menjadi semakin berat. Bentuk anak itu menurut petunjukku. Jangan sampai diketahui oleh ibunya atau oleh siapapun juga.”
“Hamba Tuanku,” jawab emban itu kemudian.
“Kalau kau gagal, kau akan menyesal.”
Emban itu mengerutkan keningnya. Ternyata tugas yang dibebankan kepadanya terlampau berat untuk dilaksanakan. Semula, ketika Ken Umang menyerahkannya kepada Sri Rajasa, ia merasa bahwa ia akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Tetapi ketika ia sudah berada di sisi anak itu, terasa bahwa tugas itu bukan sekedar dapat dilakukannya dengan sambil lalu. Membentuk seseorang menjadi seorang yang terlampau berkecil hati, lemah dan tidak mempunyai gairah apapun bagi masa depannya.
“Aku lebih senang untuk mengasuh Tohjaya, dan membentuknya menjadi seorang anak laki-laki,” katanya di dalam hati.
Namun tugas itu sudah dibebankan kepadanya. Tanpa orang lain. Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia merenungi dirinya sendiri, menjadi semakin jelas kepadanya, bahwa tugas yang dibebankan kepadanya adalah tugas yang hampir tidak dapat dilakukannya.
Sementara itu kemelut di perbatasan menjadi semakin panas. Pasukan Singasari mengalir seperti arus sungai dari segala jurusan ke perbatasan. Pada suatu saat Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi merasa, bahwa waktunya memang sudah tiba untuk menyatukan Kediri dan Singasari.
Namun agaknya Kediri yang merasa dirinya terlampau besar, tidak mudah untuk merasa cemas menghadapi persiapan Singasari yang menurut penilaian orang-orang Kediri tidak lebih dari Tumapel. Sehingga dengan demikian, Kediri masih saja tidak mempertinggi persiapan mereka. Mereka menganggap bahwa kekuatan yang diletakkan di perbatasan sudah cukup besar untuk menghadapi kekuatan Singasari.
Dalam pada itu, Sri Rajasa benar-benar telah bertekad untuk tidak gagal. Semua pasukan telah berada di perbatasan, selain pasukan keamanan yang masih tersebar di seluruh Singasari. Bahkan pasukan khusus yang dipimpin oleh Mahisa Agni-pun telah berada di pusat kekuatan Singasari. Pasukan itulah yang akan memasuki Kediri bersama-sama dengan pasukan inti dari Singasari. Dengan demikian maka Mahisa Agni harus segera meninggalkan istana dan Anusapati.
Dalam kesempatan terakhir Mahisa Agni berkata kepada Anusapati, “Paman akan segera berangkat Anusapati. Jangan nakal. Kau harus selalu ingat pesan paman.”
Anusapati menganggukkan kepala.
“Jangan lalai melakukan permainanmu kalau kau benar-benar ingin menjadi seorang Pangeran Pati yang baik. Tetapi ingat, jangan diketahui oleh orang lain.”
“Bagaimana dengan bibi emban?” bertanya Anusapati.
“Untuk sementara jangan. Kau mengerti?”
Anusapati menganggukkan kepalanya.
“Bahkan ibu-pun jangan.”
Anusapati mengerutkan keningnya, “Kenapa?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Memang sulit baginya untuk memberi tahukan apakah alasan yang sebenarnya. Yang dapat di katakannya adalah, “Anusapati. Banyak sekali orang yang ingin menjadi Putera Mahkota. Mungkin mereka iri kepadamu dan akan berusaha mengganggu kau, agar kau tidak dapat menjadi seorang anak yang kuat dan pantas untuk tetap menjadi seorang Putera Mahkota, yang ingat, kelak akan menjadi raja, menggantikan ayahanda Sri Rajasa. Bukankah kau lihat, Ayahanda Sri Rajasa adalah seorang kuat dan cerdas. Seorang yang berwibawa dan tidak lemah hati.”
“Kenapa banyak orang yang ingin menjadi Putera Mahkota? Siapakah yang sebenarnya boleh menjadi Putera Mahkota?”
“Kau, hanya kau Anusapati. Karena itu, kau dapat menumbuhkan iri hati. Itulah sebabnya kau harus menjaga dirimu. Kau harus tetap nampak lemah dan bodoh. Dengan demikian mereka menganggap bahwa kau kelak tidak pantas menjadi seorang raja.” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “mungkin terlampau sulit bagimu. Tetapi kelak kau akan mengetahuinya. Sekarang turuti saja nasehat paman.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Demi keselamatanmu dan masa depanmu Anusapati. Kau harus tetap menjadi Pangeran Pati.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, paman besok sudah pergi ke perbatasan. Ingat semua pesan paman.”
“Apakah paman lama pergi?”
“Aku tidak tahu Anusapati. Mudah-mudahan tidak.”
Anusapati terdiam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Seolah-olah ia merasakan betapa sepinya istana ini tanpa Mahisa Agni.
“Marilah, aku antar kau ke embanmu. Tetapi ingat, embanmu itu-pun harus tidak tahu apa yang kau lakukan dan terjadi.”
Anusapati mengangguk pula. Kemudian mereka berdua pergi ke bangsal tengah untuk mencari emban pemomong Anusapati. Seperti biasanya Anusapati selalu memanggil-manggilnya. Dan emban itu selalu keluar dari bilik itu-itu juga. Namun kali ini Mahisa Agni melihat emban itu berwajah terlampau suram. Matanya merah dan ujung kainnya basah oleh air mata.
“Apakah kau menangis bibi?” bertanya Anusapati.
Dipeluknya anak itu, dan diciumnya di keningnya, “Tidak angger. Bibi tidak menangis. Marilah tuan mandi. Nanti tuan segera tidur.”
“Emban,” berkata Mahisa Agni kemudian, “besok aku sudah harus meninggalkan istana. Aku tidak dapat lagi membantu mengawasi dan bermain-main dengan anak itu. Meskipun Baginda Sri Rajasa sudah mempercayakannya kepadamu, tetapi aku sebagai seorang paman, menitipkan anak itu pula. Kau tentu sadar, apakah artinya seorang Pangeran Pati.”
“Ya tuan.” perempuan itu masih akan menjawab, tetapi bibirnya serasa menjadi terlampau berat, dan matanya menjadi semakin basah.
Mahisa Agni menjadi heran melihat tingkah laku emban itu. Ia tidak dapat meraba sama sekali, apakah yang ada di dalam angan-angannya. Bagaimanakah sebenarnya tanggapannya terhadap Anusapati. Karena itu berbagai masalah bergulat di dalam hatinya. Bahkan kadang-kadang ia dicengkam oleh kecurigaan yang luar biasa. Apakah emban itu mendapat tugas sampai pada puncak kelicikan dengan menyingkirkan Anusapati perlahan-lahan?
Tetapi kadang-kadang tumbuh kepercayaannya kepada emban itu. Bahwa emban itu menaruh kasih kepada Anusapati. Ternyata setiap kali anak itu diciumnya, dibelainya dan dimandikannya baik-baik sebelum dibawa ke pembaringan. Bahkan kadang-kadang, seperti yang dikatakan oleh Anusapati, emban itu sering menangis tanpa sebab.
Dalam keragu-raguan itu Mahisa Agni menjadi semakin heran. Perlahan-lahan emban itu berkata, “Tuan, apakah aku dapat mengatakan sesuatu kepada tuan, sebelum tuan berangkat?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Tentu,” jawabnya.
“Tetapi tidak didengar oleh orang lain?”
Sejenak Mahisa Agni berdiam diri. Namun kemudian ia mengangguk pula, “Tentu.”
Emban itu mengusap matanya yang basah. Kemudian, katanya, “Aku akan memandikan tuanku Pangeran Pati.”
Mahisa Agni mengangguk, “Ya, mandikanlah.”
“Tuan dapat datang setelah angger Anusapati tertidur.”
“Baik.”
Emban itu mengusap kepala Anusapati, katanya, “Kau harus cepat tidur tuan kecil.”
Anusapati tidak menjawab. Tetapi berbagai pertanyaan tumbuh di dalam kepalanya.
Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bangsal itu. Perlahan-lahan ia kembali ke biliknya. Dari kejauhan dipandanginya bangsal tempat Permaisuri dan putera-puteranya yang kecil tinggal. Emban pemomong Ken Dedes, ibunya sendiri yang semakin tua masih sibuk membantu emban-emban yang lain melayani putera Ken Dedes yang didapatkannya dari Sri Rajasa.
“Anusapati, sebagai seorang Pangeran Pati harus mendapat pendidikan khusus,” berkata Sri Rajasa kepada Ken Dedes. Dengan alasan itulah maka Anusapati tidak tinggal bersama-sama di dalam satu bangsal dengan ibu dan adik-adiknya.
Mahisa Agni tiba-tiba tertegun sejenak. Tetapi kemudian ia melangkah lagi. Katanya di dalam hati, “Aku memang harus minta diri kepada ibu dan Ken Dedes. Tetapi biarlah nanti setelah aku bertemu dengan pemomong Anusapati itu.”
Demikianlah dengan gelisah Mahisa Agni duduk di dalam biliknya, di bagian belakang istana. Sekali-sekali ia memandang juga regol dinding yang memisahkan dua bagian dari istana Singasari. Istana yang lama, dan sebuah bangunan baru tempat tinggal Ken Umang. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak berani mendekati regol itu, kalau ia tidak ingin membuat persoalan yang dapat mengganggu usahanya membina Anusapati untuk selanjutnya. Ken Umang baginya tidak kurang dari sesosok hantu betina yang siap menerkamnya dan menyeretnya ke dalam jurang bencana yang paling dalam.
Sejenak, Mahisa Agni duduk sambil merenung di dalam biliknya, menunggu sampai Anusapati kira-kira sudah tertidur. Ia ingin kembali ke bangsal itu dan menemui emban pemomong kemenakannya itu. Sebagai seorang paman tidak seorang-pun yang menaruh keberatan apabila ia memasuki halaman di sekitar bangsal tengah itu. Tidak pula ada yang menaruh keberatan apabila ia bermain-main dengan Anusapati, yang sudah tentu permainan yang wajar bagi kanak-anak.
Tetapi Mahisa Agni menyadari, apabila seseorang melihat permainan yang khusus bersama Anusapati, maka pasti akan tumbuh masalah karenanya. Ketika Mahisa Agni mendekati bilik Anusapati, ternyata Anusapati memang sudah tertidur. Karena itu, maka Mahisa Agni-pun segera masuk ke dalam bilik itu.
“Silahkan tuan,” emban itu mempersilahkannya, “aku memang ingin mengatakan sesuatu kepada tuan. Aku kira tidak ada seorang-pun di sekitar bilik ini. Para prajurit berada di regol halaman atau di luar sama sekali.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tuan,” berkata emban itu, “apakah tuan bersedia untuk merahasiakan ceriteraku nanti demi keselamatanku?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Apakah ceriteramu mengandung bahaya bagimu?”
Emban itu mengangguk, “Ya tuan. Bahaya yang berat bagiku.”
“Aku berjanji.”
“Aku memang yakin kalau tuan mempunyai belas kasihan kepadaku. Bukan saja untuk kepentingan keselamatanku, tetapi juga kemanakan tuan, Tuanku Pangeran Pati.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Tuan,” berkata emban itu perlahan-lahan, “sebenarnya aku menjadi heran melihat perkembangan angger Anusapati.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata itu. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya. “Sama sekali di luar nalarku, bahwa Pangeran Pati itu mampu melakukan hal-hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka.”
“Apakah yang dilakukannya?” bertanya Mahisa Agni dengan serta-merta.
Emban itu menarik nafas dalam-dalam.
“Apa?”
“Tuan. Kadang-kadang angger Anusapati mengigau. Bukan saja mengigau, tetapi bergerak dan menyentak-nyentak. Agaknya ia sedang bermimpi melakukan permainan yang aneh. Yang tidak aku mengerti. Padahal ia tidak pernah bermain-main demikian.”
Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Apakah rahasia yang selama ini ditutupinya rapat-rapat itu disadarinya sudah diketahui oleh orang lain meskipun tidak seluruhnya?
“Tuan,” berkata emban itu pula, “pada suatu saat yang lain, permainan tuanku Pangeran Pati tersangkut di langit-langit bilik ini. Semula aku akan mencari kayu untuk mengambilnya. Tetapi ternyata anak itu dapat mengambilnya sendiri.”
“Bagaimana ia mengambil?”
“Aku tidak tahu Tuan. Yang aku ketahui, sebelum aku menemukan kayu penggalah, angger Anusapati sudah berlari-lari kepadaku sambil membawa mainannya itu.”
“Ah, mungkin Anusapati tidak mengambilnya. Mungkin oleh angin atau apapun sehingga permainan itu jatuh sendiri.”
Emban itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia menunjuk ke satu sudut di dalam bilik itu, “Lihatlah Tuan.”
Ketika Mahisa Agni melihat ke arah yang ditunjuk oleh emban itu, hatinya berdesir. Ia melihat tapak kaki pada dinding bilik itu.
“Tapak kaki itu belum lama melekat pada dinding itu. Belum ada sepekan. Ketika angger Anusapati mengambil mainannya yang tersangkut di langit-langit. Nah, apakah kata Tuan tentang anak yang dapat berbuat demikian itu?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Suatu kecerobohan yang dapat menumbuhkan rintangan. “Tetapi Anusapati masih belum cukup dewasa untuk mengerti bahaya yang selalu mengancamnya,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Tetapi ia bertanya, “Apakah kau yakin bahwa tapak kaki itu tapak kaki Anusapati?”
Siapa lagi Tuan. Apakah aku? Atau orang lain yang berani masuk ke dalam bilik ini?”
Mahisa Agni menarik nafas. Memang di dalam hati ia tidak dapat ingkar lagi. Telapak kaki itu pasti telapak kaki Anusapati. Namun demikian, kecurigaan Mahisa Agni terhadap emban itu-pun kian bertambah-tambah. Kalau emban itu seorang emban kebanyakan, apakah ia dapat berpikir secermat itu?
“Tuan, semuanya itu telah menumbuhkan keheranan dan pertanyaan yang selalu menggangguku.”
“Biarlah aku hapus bekas telapak kaki itu.”
“Bukan bekas itu yang penting Tuan. Tetapi perkembangan apakah yang sudah terjadi di dalam diri angger Anusapati?”
“Kau pasti lebih tahu daripadaku. Aku hanya sempat bermain-main beberapa saat saja setiap hari. Kalau aku pulang dari barak dan latihan, aku memang kadang-kadang menjumpainya bermain-main sendiri. Tetapi bermain-main anak-anakan. Gateng, dan yang paling baik yang pernah dilakukan adalah jirak.”
“Ya. Itulah sebabnya aku menjadi bingung.”
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Ia harus mengerti dahulu arah pembicaraan emban ini, supaya itu tidak terjerumus dalam kekeliruan yang berakibat parah.
“Tuan,” berkata emban itu kemudian, “sebenarnya aku ingin minta Tuan membantu aku, atau Tuan akan mengutuk aku.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Apa maksudmu?”
“Lebih baik Tuan menghapus bekas kaki itu dahulu. Kalau Sri Baginda melihat dan bertanya kepadaku, aku tidak akan dapat menjawab.”
“Kenapa kau tidak mengatakan, bahwa itu telapak kaki Putera Mahkota yang bermain kejar-kejaran dengan seekor cicak?”
“Oh,” emban itu memegangi keningnya.
“Bukankah dengan demikian Baginda akan bangga dan berterima kasih kepadamu, karena kau sudah mengasuhnya sebaiknya.”
“Itulah yang akan aku katakan kepada Tuan.” potong emban itu, “tetapi aku minta Tuan melindungi namaku.”
“Kenapa?”
“Tuan akan tahu.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
“Sebenarnya aku memang mempunyai tugas khusus Tuan,” berkata emban itu.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Tugas yang semakin lama semakin tidak aku mengerti.”
Mahisa Agni masih tetap membisu, tetapi perlahan-lahan ia mulai mengambil kesimpulan, bahwa memang ada yang tidak wajar di dalam bilik ini.
“Tetapi ternyata perkembangan angger Anusapati membuat aku menjadi bingung. Aku tidak akan dapat mempertanggung jawabkan tugasku lagi.”
“Apakah sebenarnya tugasmu?”
“Tuan, apakah yang sebenarnya Tuan kehendaki atas angger Anusapati?”
“Apakah yang aku kehendaki? Pertanyaanmu aneh emban. Aku tidak menghendaki apapun. Sebagai seorang paman, aku pasti ikut mengharap agar kemurahan hati Sri Rajasa, mengangkat Anusapati menjadi Putera Mahkota, dapat tanggapan yang sewajarnya dari Anusapati sendiri. Ia tidak boleh mengecewakan hati ayahandanya, sehingga ia kelak akan menjadi seorang raja yang besar, yang alangkah senang hati Baginda, apabila Anusapati dapat menyempurnakan apa yang sudah dirintis oleh Sri Rajasa kali ini.”
Emban itu tidak segera menyahut. Tetapi kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam.
“Apakah ada yang salah?” bertanya Mahisa Agni.
Emban itu tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Dengan demikian maka ruangan itu menjadi hening sejenak. Yang terdengar adalah desah nafas Anusapati yang sedang tertidur nyenyak.
Untuk menghilangkan kekakuan, Mahisa Agni berdiri sejenak, dan melangkah ke sudut bilik itu. Ditatapnya bekas telapak kaki yang masih tampak jelas melekat di dinding. Memang bekas telapak kaki itu harus dihapus, supaya tidak memumbuhkan bermacam-macam pertanyaan yang tidak akan dapat dijawab oleh emban itu.
Mahisa Agni-pun kemudian meloncat sambil mengusap bekas telapak kaki itu dengan tangannya, sehingga yang masih tampak melekat di dinding itu tidak lagi berkesan seperti telapak kaki, tetapi sekedar debu biasa.
“Tuan sudah menghapusnya?” terdengar emban itu bertanya lirih.
“Ya. Aku sudah menghapusnya. Setidak-tidaknya, tidak akan lagi menimbulkan pertanyaan, telapak kaki siapakah yang ada di dinding itu.”
“Terima kasih tuan.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia kembali duduk di tempatnya.
“Bilik ini semakin lama semakin menyiksaku tuan,” desis emban itu kemudian.
“Kenapa?”
“Tuanku Pangeran Pati itu,” jawabnya sambil memandang Anusapati yang tidur nyenyak.
“Kenapa dengan Anusapati?”
Emban itu masih saja ragu-ragu, sehingga Mahisa Agni menjadi hampir tidak sabar lagi. Anusapati biasanya tidak terlampau lama tidur siang, sehingga apabila anak itu nanti terbangun, maka emban itu tidak akan sempat mengatakan apa-apa. Padahal besok ia harus sudah membawa pasukannya ke perbatasan.
“Tuan,” berkata emban itu selanjutnya, “tugasku ternyata terlampau berat bagiku. Terus-terang, aku bukan orang yang baik. Bukan orang berbudi. Justru karena itulah maka aku telah dipilih oleh Ken Umang dan diserahkannya kepada Tuanku Sri Rajasa untuk mengasuh angger Anusapati.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Sebagai seseorang yang memang kurang berbudi, aku menyanggupi tugas itu. Aku mendapat upah yang cukup, yang tidak akan aku dapatkan, meskipun aku bekerja di mana-pun juga.”
“Apakah tugas itu,” Mahisa Agni menjadi tidak sabar.
“Tugas itu tampaknya sederhana sekali.”
“Ya, tetapi apa?”
“Sekedar membuat angger Anusapati menjadi jinak. Jinak sekali.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Kini semua kecurigaannya itu terbukti, bahwa memang ada usaha untuk membuat Anusapati tidak berdaya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, tanpa sesadarnya ia berdesis, “Aku sudah menyangka?”
Emban itu terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya, “Apa yang sudah tuan sangka?”
Kini Mahisa Agni lah yang terkejut. Sejenak ia berdiam diri, namun kemudian ia menjawab, “Aku sudah menyangka, bahwa Anusapati tidak mendapat tuntunan sewajarnya.”
“Kenapa tuan menyangka demikian?” emban itu bertanya pula, “Agaknya tuan memang sudah mencurigai Sri Rajasa.”
Mahisa Agni menarik nafas. Katanya kemudian, “Aku tidak memandangnya sebagai seorang raja yang memberikan kebanggaan bagi rakyat Singasari. Tetapi aku memandangnya sebagai seorang manusia biasa. Bukankah kau tahu, bahwa Anusapati itu bukan putra Sri Rajasa.”
Emban itu mengangguk kecil.
“Bukankah prasangka itu masuk akal?”
Sekali lagi emban itu mengangguk kecil.
“Dan kau melakukannya?” Mahisa Agni bertanya pula.
Emban itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku memang sudah mencoba melakukannya.”
“Aku juga sudah menyangka. Sejak semula aku tidak dapat melepaskan diri dari kecurigaan, kenapa justru hanya seorang emban yang diserahi untuk menuntun, mengawasi, memelihara segala-galanya. Hanya kadang-kadang saja ada orang lain yang membantu. Itu-pun khusus untuk kepentingan-kepentingan yang tidak langsung berhubungan dengan Anusapati. Berbeda dengan Tohjaya. Ada dua tiga orang emban yang selalu mengawaninya setiap-saat. Dua orang pengawal khusus dan permainan yang memadai sebagai seorang anak laki-laki.”
“Memang tuan. Di sini tampaknya ada juga beberapa orang emban. Tetapi adalah tugasku untuk mengasingkan Anusapati. Dan aku agaknya sudah berhasil. Emban-emban yang lain sama sekali tidak dapat berbuat apapun atas Putera Mahkota. Dan agaknya mereka-pun senang pula karenanya, selain pekerjaan mereka menjadi jauh lebih ringan, mereka justru mendapat pemberian-pemberian khusus. Tugas mereka tidak lebih dari membersihkan bilik ini nanti di sore hari dan pagi hari. Menjediakan makan dan minumnya. Mencuci pakaiannya dan duduk-duduk di halaman ini menjelang senja.”
“Ya, aku mengerti.”
“Agaknya tuan terlampau banyak memperhatikan karena itulah agaknya tuan sering marah kepadaku.”
“Tidak sering, hanya mungkin pernah aku berbuat demikian di luar sadarku.”
“Tetapi kini aku tahu, bahwa tuan melakukannya karena tuan memang sudah berprasangka.”
“Ya, Lalu apa yang sudah kau lakukan kemudian?”
“Tetapi, akhirnya aku terjerat oleh perasaanku sendiri. Hubungan yang setiap hari antara aku dan Tuanku Anusapati telah menumbuhkan sesuatu yang tidak aku mengerti. Akhirnya aku merasa, bahwa aku telah mencintai anak itu seperti anakku sendiri.”
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Terasa getaran kata-kata emban itu memancar dari dasar hatinya, sehingga tumbuhlah kepercayaan Mahisa Agni kepadanya dengan perlahan-lahan. Sejenak Mahisa Agni tidak menyahut. Kini ia melihat titik-titik air mata itu lagi. Menetes satu-satu di lantai bilik Anusapati yang seakan-akan terpisah itu.
“Tuan,” berkata perempuan itu, “sebagai seorang yang tidak pantas lagi berada di dalam lingkungan pergaulan yang wajar, aku sama sekali tidak menyangka bahwa aku justru akan terlempar ke dalam istana, apalagi sebagai seorang pengasuh Pangeran Pati. Meskipun aku banyak bergaul dengan para bangsawan di masa mudaku, tetapi itu sebagai mimpi yang datang sekilas berganti-gantian.” perempuan itu menundukkan kepalanya, “memang kadang-kadang aku menyimpan dendam kepada mereka yang menemukan kebahagiaan hidup. Aku menjadi iri kepada Tuanku Permaisuri Ken Dedes, karena ia hanya berasal dari padepokan yang melonjak ke singgasana seorang Permaisuri. Tetapi aku iri juga kepada Ken Umang, yang kini perlahan-lahan nampaknya akan berhasil merebut keturunan Ken Dedes untuk merajai Tanah ini.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Tuan, aku sendiri tidak mempunyai seorang anak-pun. Aku belum pernah merasa betapa bahagianya seorang perempuan yang mengandung dan kemudian melahirkan seorang anak. Apakah anak laki-laki apakah anak perempuan. Aku tidak tahu, betapa bersihnya hati kanak-anak. Dan aku tidak tahu, betapa jahatnya merusak hari depan anak-anak yang sama sekali tidak menyadari, apakah yang akan terjadi atas dirinya itu. Ternyata setelah aku bergaul dengan Tuanku Pangeran Pati, aku mengerti, bahwa aku sebenarnya telah terjerumus terlampau jauh.“
Mahisa Agni tidak dapat menyahut, dan bahkan mengucapkan kata-kata apapun, selain mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ken Umang yang mempunyai anak-anaknya itu seharusnya lebih merasakan kasih terhadap anak-anak. Tetapi mata hatinya telah dilapisi oleh pamrih, sehingga ia sampai hati mengorbankan hari depan Anusapati untuk kepentingannya sendiri dan keturunannya.”
Terasa dada Mahisa Agni bergejolak. Dengan susah payah ia mencoba menguasai perasaannya. Tanpa menyadari keadaan Anusapati, ia pasti sudah mengambil suatu keputusan. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat mempergunakan nalarnya. Anusapati harus tumbuh sesuai dengan rencananya. Rencananya yang bertentangan sama sekali dengan rencana Sri Rajasa bersama Ken Umang yang agaknya telah berhasil mempengaruhi Baginda lebih jauh lagi.
“Tuan,” berkata emban itu selanjutnya, “aku sudah mengatakan keadaanku sekarang di sini. Terserahlah kepada tuan, apakah tuan percaya kepadaku atau tidak. Sudah lama aku memang tidak lagi dapat dipercaya. Tetapi kini aku mencoba untuk mencari jalan agar aku tidak terlanjur kehilangan sifat-sifat kemanusiaanku. Aku akan mempertahankan sifat-sifat itu yang masih tersisa di dalam diriku.” emban itu terdiam sejenak. Lalu, “Tetapi bagaimana dengan Pangeran Pati itu? Kalau kemudian diketahui, bahwa aku sudah berkhianat, maka aku pasti akan mendapat hukuman. Tetapi itu tidak penting, meskipun aku ngeri juga. Yang penting adalah nasib angger Anusapati. Ken Umang pasti akan mencari orang lain untuk menggantikan aku. Dan Sri Baginda akan segera mengambil keputusan, mengganti pengasuh Anusapati dengan orang lain yang jauh lebih baik. Sri Baginda akan dapat saja mengatakan, bahwa selama ini Putera Mahkota itu sama sekali tidak mendapat kemajuan. Dan aku-pun akan segera hilang dari pergaulan.”
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Aku tidak tahu emban, apakah aku dapat mempercayai ceriteramu atau tidak. Tetapi aku melihat kejujuran yang memancar dari hatimu. Mudah-mudahan kau berkata sebenarnya.” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “Memang benar katamu, bahwa nasib Anusapati lah yang paling penting sekarang.”
“Begitulah Tuan.”
“Emban,” berkata Mahisa Agni kemudian, “besok aku harus sudah pergi. Menurut pendapatku, sementara ini berlakulah seperti biasanya apa yang kau lakukan. Jangan kau rubah sikapmu dan caramu mengasuh Anusapati. Ia harus tetap terpisah dari orang-orang lain yang dapat mempengaruhinya, seperti pesan Ken Umang. Ia harus tetap bermain-main dengan anak-anakan kayu, pasaran dan sebagainya seperti yang selalu dilakukannya. Biarlah ia berkeliaran sendiri di kebun-kebun seperti anak-anak liar tidak terurus, mencari buah-buahan dan bermain-main dengan tanah dan pasir. Kemudian pada saatnya ia mencarimu, mandikanlah dan bawa ia tidur. Barangkali yang dapat kau lakukan, selain seperti kebiasaanmu, berilah anak itu ceritera-ceritera kepahlawanan. Ceritera tentang Sri Baginda raja-raja yang pernah ada. Kau tahu maksudku?”
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalamya.
“Nah, kita masih mempunyai waktu yang cukup. Mudah-mudahan aku kembali dari peperangan dengan selamat. Kediri adalah suatu negeri yang besar, yang penuh dengan senapati-senapati yang mumpuni.”
“Tetapi tuan adalah seorang yang luar biasa.”
“Siapa yang mengatakannya?”
“Tuan berhasil mengalahkan Tuan Witantra.”
“Darimana kau tahu?”
“Semua orang mengetahuinya.”
“Sudahlah. Jagalah anak itu baik-baik. Mudah-mudahan ia kelak dapat memenuhi tugasnya sebagai seorang raja. Kau masih harus bermain dalam dua peran yang sulit. Tetapi aku percaya bahwa kau akan berhasil. Kau akan tetap mendapat kepercayaan dari Sri Baginda dan Ken Umang. Jangan sampai anak itu jatuh ke tangan orang lain yang akan dapat berbuat jauh lebih jahat dari yang pernah dialaminya.”
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Agni, karena itu maka jawabnya, “Mudah-mudahan aku dapat berbuat seperti yang tuan maksud.”
“Aku percaya kepadamu. Anak itu-pun agaknya sudah dapat kau ajak berbicara serba sedikit.”
“Ya tuan. Mudah-mudahan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Anusapati yang masih tertidur nyenyak. Memang di wajahnya seolah-olah terbayang wajah Tunggul Ametung, sehingga tidak mengherankan apabila Ken Arok yang berusaha melupakan kekuasaan Akuwu Tumapel itu merasa tersinggung setiap kali. “Sudahlah,” berkata Mahisa Agni kemudian, “aku masih mempunyai tugas yang harus aku selesaikan hari ini. Kalau aku tidak sempat menemuimu lagi, aku minta diri. Jagalah anak itu baik-baik. Dan aku akan sangat berterima kasih apabila kau menganggapnya seperti anakmu sendiri.”
“Ya tuan. Aku akan menjaganya meskipun aku masih harus berpura-pura. Tetapi aku mengharap tuan mengerti perasaanku.”
“Aku mengerti,” sahut Mahisa Agni, kemudian, “sudahlah, aku minta diri. Aku akan menjumpai ibunya. Tuanku Permaisuri.”
“Silahkan tuan. Selama ini aku-pun sudah berhasil memenuhi tugas yang dibebankan kepadaku. Memisahkan anak itu jauh-jauh dari ibunya. Dari adik-adiknya dan emban pemomong Tuanku Permaisuri.”
“Begitukah pesan Sri Rajasa?”
“Pesan, ken Umang. Tetapi agaknya Sri Rajasa juga tidak berkeberatan.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Di kepalanya terbayang suatu pemberontakan yang perlahan-lahan dilakukan oleh Ken Umang merebut keturunan untuk menguasai takhta Singasari. Tetapi bahwa emban itu justru telah tergelincir ke dalam kasih seorang perempuan terhadap anak-anak, adalah menguntungkan sekali. Itu adalah suatu kurnia dari Yang Maha Agung, bahwa Anusapati masih mungkin sekali diselamatkan.
Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bilik itu. Meskipun ia mempercayai emban itu. tetapi ia sama sekali belum berani mengatakan bahwa Anusapati telah mendapat beberapa macam petunjuk daripadanya, untuk membuat Anusapati menjadi seorang Pangeran Pati yang pantas. Bagaimana-pun juga masih ada selapis kecurigaannya terhadap emban itu. Mungkin sekali bahwa pada suatu saat gemerincingnya emas dan permata akan membuatnya berubah pendirian.
Dari bilik Anusapati. Mahisa Agni masih sempat mengunjungi bilik Ken Dedes. Ia minta diri pula kepada adik angkatnya dan kepada emban pemomongnya, yang tidak lain adalah ibunya itu. Bagaimana-pun juga, namun emban itu terlampau sulit berusaha menyembunyikan perasaan seorang ibu. Tiba-tiba saja matanya menjadi basah. Tetapi ia tidak berbuat lebih dari seorang emban.
Demikianlah maka Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan istana Singasari pergi kebarak. Ia harus mempersiapkan pasukannya yang besok akan berangkat ke medan. Pasukan Mahisa Agni adalah pasukan yang memang sangat khusus. Dengan susah payah Mahisa Agni telah membentuk serombongan pengungsi menjadi sepasukan prajurit yang siap maju ke medan perang.
Tetapi usahanya selama ini agaknya tidak sia-sia. Latihan yang tidak mengenal lelah, yang diutamakan untuk membuat setiap orang di dalam pasukannya mampu mempergunakan senjata, ternyata dapat memadai pula. Meskipun ada di antara mereka yang sama sekali belum pernah meraba hulu pedang, kini dengan tangkasnya ia dapat memutar pedang dan menyandang perisai.
Mahisa Agni bersama-sama beberapa orang prajurit yang diperbantukan kepadanya, merasa bahwa pasukannya kini tidak lagi terlampau lunak untuk digilas oleh pasukan lawan yang betapapun kuatnya. Di setiap kelompok Mahisa Agni berusaha menempatkan kekuatan-kekuatan yang dapat dibanggakan, setidak-tidaknya untuk menuntun kawan-kawannya yang lain apabila mereka berada di peperangan.
Tetapi, meskipun pasukan itu tidak sekuat pasukan-pasukan yang memang terdiri dari prajurit yang sudah terlatih, namun Mahisa Agni sama sekali tidak kecewa apabila ia melihat tekad yang benar-benar menyala di setiap dada orang-orang Kediri. Mereka bertekad untuk kembali ke kampung halaman. Meskipun seandainya ada di antara mereka yang harus jatuh menjadi korban, tetapi korban itu sama sekali tidak sia-sia. Mereka telah berjuang untuk melepaskan Kediri dari kericuhan dan tindak yang mereka anggap sewenang-wenang, terutama di bidang keagamaan.
Demikianlah Mahisa Agni telah berhasil menyiapkan seluruh pasukannya. Mereka telah bersiap untuk berangkat besok, menyusul pasukan-pasukan lain yang sudah lebih dahulu berada di perbatasan. Keberangkatan pasukan itu sejalan dengan rencana Ken Arok bahwa tidak ada gunanya lagi menunda-nunda benturan yang pasti akan terjadi antara Singasari dan Kediri.
“Jangan menunggu mereka bersiap lebih jauh. Selagi mereka masih tenggelam di dalam mimpi, bahwa Kediri tidak terkalahkan, maka pada saat yang demikian kalian harus menerobos memasuki batas negara itu, langsung menusuk ke jantung pemerintahan.” perintah Ken Arok yang memangku kekuasaan Singasari yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Maka para Panglima. Pandega dan Senapati-pun segera menyesuaikan diri dengan perintah itu. Mereka segera menempatkan diri mereka sesuai dengan rencana. Setiap pasukan telah bersiap di mulut jalan-jalan raya yang menuju ke Kediri. Pasukan Mahisa Agni-pun harus mengambil bagian pula dalam persiapan yang sudah matang itu.
Beberapa orang pengawas perbatasan dari Kediri melihat persiapan Singasari yang telah matang. Dengan cemas mereka menyampaikan laporan itu kepada atasan mereka, sehingga akhirnya berita itu-pun sampai juga ke hadapan Sri Baginda Kertajaya.
“Apakah yang akan dapat dilakukan oleh Tumapel?” Barinda bertanya kepada para Senapati.
“Mereka sudah bersiaga di perbatasan Tuanku.” jawab para Senapati.
Baginda Kertajaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku adalah Maharaja yang dikasihi oleh dewa-dewa. Bahkan aku adalah Batara Guru itu sendiri yang turun ke bumi. Apakah kalian masih sangsi?”
Para Senapati tidak ada yang menyahut. Akan tetapi adalah suatu kenyataan bahwa para pendeta dan pemimpin agama beserta keluarganya dan lingkungannya telah mengungsi ke Singasari. Tetapi Sri Baginda Kertajaya terlampau mengagumi keagungannya sendiri. Sama sekali ia tidak memperhatikan laporan-laporan yang sampai di telinganya sehingga pada suatu saat adik Baginda sendiri Mahisa Walungan telah menghadap dan berkata,
“Kakanda Baginda, apakah Kakanda Baginda masih belum merasa yakin bahwa kita seolah-olah telah berdiri di ujung tanduk? Pasukan Singasari sudah siap di perbatasan. seperti air yang tertahan oleh bendungan. Setiap saat air itu akan melimpah dan membanjiri tanah Kediri. Apakah kita akan tetap berdiam diri menghadapi bahaya yang sudah di ambang pintu?”
Sri Baginda Kertajaya mengerutkan keningnya. Katanya. “He, apakah kita tidak memiliki pengawal perbatasan?”
“Ada kakanda. Tetapi pengawal itu terlalu sedikit untuk menghadapi pasukan Singasari.”
“Uh,” Sri Baginda menghentakkan kakinya, “apakah yang dapat diperbuat oleh Tumapel?”
“Kakanda. Tumapel kini sudah berkembang menjadi sebuah negeri. Bukankah setiap kali para Senanati, para Menteri dan hamba sendiri selalu mengatakan, bahwa Tumapel kini sudah bernama Singasari dan seorang yang bernama Ken Arok telah mengangkat dirinya menjadi seorang Raja yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?”
“Itu suatu pemberontakan terhadap Kediri.”
“Bukankah hamba telah mengatakannya pula bahwa itu memang suatu pemberontakan?”
“Tetapi kalian menjadi ketakutan seperti melihat kerajaan hantu.”
“Kakanda. Kita kini harus bertindak. Kalau kita tidak menganggap Singasari sebagai suatu bahaya, tetapi kita-pun harus bertindak terhadap negeri yang memberontak itu. Kalau kita tidak merasa bahwa pasukan mereka akan mampu menembus pertahanan kita, namun kita harus bertindak terhadap pemberontakan itu. Kalau tidak maka daerah-daerah lain akan melakukan perbuatan yang serupa.”
Kertajaya yang merasa dirinya seorang Maharaja yang Agung itu mengangguk-anggukkan kepala. Katanya, “Aku sependapat dengan kau Mahisa Walungan. Kau dapat menindas pemberontakan itu. Akan tetapi kita sama sekali tidak sedang berperang. Perang berarti benturan kekuatan antara dua negara. Tapi yang kita hadapi adalah Tumapel yang kecil, yang diperintah hanya oleh seorang Akuwu.”
Adik Baginda yang bernama Mahisa Walungan itu menarik nafas dalam-dalam. Kebesaran Kediri telah membuat kakaknya kehilangan pengamatan diri. Bahkan ia merasa bahwa kekuasaannya sudah menyamai kekuasaan dewa-dewa. “Kakanda,” berkata Mahisa Walungan kemudian, “untuk menumpas pemberontakan itu, perkenankanlah hamba membawa segenap pasukan yang ada selain pasukan keamanan.”
“He,” Baginda terkejut mendengar permintaan Mahisa Walungan itu, “apakah kau sedang diterkam oleh mimpi yang dahsyat? Kenapa kau memerlukan pasukan yang begitu besar sekedar untuk menumpas Tumapel?”
“Tumapel telah memperkuat dirinya kakanda.”
“Betapapun kekuatan Tumapel sama sekali tidak memadai kekuatan Kediri. Aku ijinkan kau mempergunakan pasukan perbatasan. Kemudian pasukan yang lain akan menggantikan pasukan yang bertugas di perbatasan itu.”
“Oh,” Mahisa Walungan berdesah. Tetapi ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Katanya, “Baikkah Kakanda Baginda. Pasukan yang akan menggantikan pasukan perhatasan itu akan hamba bawa bersama hamba. Sementara hamba mohon kekuasaan dari Kakanda Baginda untuk masuk langsung ke daerah Tumapel.”
“Baik. Tangkaplah Ken Arok yang menyebut dirinya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi itu.”
“Hamba Kakanda Baginda.”
Maka dengan sepasukan kecil sekedar untuk menggantikan pasukan di perbatasan Mahisa Walungan meninggalkan kota Kerajaan. Tetapi ia sama sekali tidak menusuk masuk ke Singasari. Sebagai seorang Senapati yang mengenal medan dengan baik. Mahisa Walungan menyadari, bahwa, dengan demikian ia akan membunuh dirinya bersama seluruh pasukannya.
Tetapi Mahisa Walungan tidak berhenti sampai sekian. Ia sudah berpesan kepada sahabatnya, seorang menteri yang terpercaya untuk menyusulnya ke perbatasan dengan membawa pasukan yang lain, sehingga meskipun sedikit tetapi pasukan di perbatasan sudah bertambah jumlahnya.
“Aku akan segera kembali,” berkata Mahisa Walungan. “Aku akan menyiapkan pasukan yang dapat bergerak setiap saat meskipun tidak dapat aku bawa ke perbatasan.”
Mahisa Walungan-pun pergilah meninggalkan sahabatnya, seorang menteri yang bernama Gubar Baleman, yang ikut berprihatin atas keadaan Kediri. Seperti para Senopati beberapa kali Gubar Baleman-pun pernah menyampaikan kesulitan yang, dialami Kediri, apabila Kediri masih acuh tidak acuh saja menanggapi keadaan. Karena itu, maka sekali lagi Gubar Baleman mencoba menyampaikan kepada Sri Baginda untuk meyakinkan Sri Baginda Kertajaya bahwa keadaan Kediri benar-benar gawat.
“Kau tahu bahwa Mahisa Walungan baru saja pergi ke Tumapel untuk menumpas pemberontakan di sana.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hamba mengerti Tuanku, tetapi apakah pasukan yang dibawa oleh Adinda Mahisa Walungan mencukupi?”
“Gila kau? Sepasukan prajurit pilihan itu masih belum memadai untuk menumpas Tumapel?”
“Ampun Tuanku. Tumapel telah mengerahkan setiap laki-laki untuk maju ke perbatasan. Setiap laki-laki. Seandainya mereka maju bersama-sama tanpa membawa senjata sekali-pun, maka prajurit Kediri yang ada di perbatasan tidak cukup banyak untuk membunuh mereka sampai orang-orang terakhir mencapai kota Kediri.”
“Bohong. Bohong kau pengecut,” bentak Sri Baginda, “inilah gambaran pemimpin-pemimpin Kediri sekarang?”
“Tuanku, pasukan Kediri adalah pasukan yang pilih tanding. Pasukan Kediri tidak akan pernah mengenal mundur. Tetapi mereka memerlukan waktu yang tidak terbatas untuk menaklukkan Tumapel apabila pasukan di perbatasan itu tidak bertambah. Soalnya sama sekali bukan karena keberanian dan ketangguhan orang-orang Tumapel berkelahi. Tetapi jumlah mereka jauh lebih banyak dari pasukan yang sudah ada. Setiap kali Adinda Mahisa Walungan menghancurkan sepasukan prajurit, maka muncullah pasukan Tumapel berikutnya. Demikian seterusnya, seolah-olah peperangan itu tidak akan pernah selesai. Tetapi dengan pasukan yang lebih banyak, maka waktu yang diperlukan akan menjadi semakin pendek.”
Sri Baginda merenung sejenak. Dan Gubar Baleman berdebar-debar menunggu keputusan. “Kediri benar-benar berada di ambang pintu bahaya,” katanya di dalam hati, “tetapi aku tidak dapat mengatakannya. Baginda kini menjadi lain sekali dengan Baginda pada saat Kediri mulai tumbuh. Kini Baginda merasa dirinya sudah sempurna. Kalau saja Baginda masih seperti dahulu, maka Baginda akan segera berada di punggung kudanya, menyaksikan keadaan di perbatasan.”
“Baleman,” titah Sri Baginda Kertajaya, “baiklah, aku ijinkan kau membawa sepasukan yang akan bergabung dengan Mahisa Walungan. Tetapi tugas kalian harus segera selesai. Kalian harus segera membawa Ken Arok menghadap hidup atau mati.”
Gubar Baleman menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Hamba Tuhanku. Hamba akan memimpin pasukan itu sendiri bersama beberapa orang senapati.”
“He, kau memang benar-benar seorang pengecut sekarang.” geram Sri Baginda, “kenapa dengan beberapa senapati. Setiap senapati mempunyai pasukannya sendiri-sendiri. Berapa pasukan yang akan kau bawa?”
“Sri Baginda,” sembah Gubar Baleman, “soalnya sama sekali bukan karena hamba dan pasukan Kediri tidak berani menghadapi orang-orang Tumapel, tetapi semata-mata atas pertimbangan waktu. Semakin cepat akan menjadi semakin baik. sedang beayanya-pun akan menjadi semakin murah. Peperangan yang berlarut-larut dapat menumbuhkan banyak akibat. Pasukan yang tarlampau lama barada di peperangan akan sangat berpengaruh pada setiap orang di dalamnya.”
“Kau sedang menggurui aku Baleman. Apakah kau sangka aku tidak pernah berada di peperangan he?” potong Sri Baginda.
“Ampun Tuanku. Sama sekali bukan maksud hamba,”
Sri Baginda Kertajaya terdiam sejenak. Namun kemudian Baginda itu berkata, “Bawalah sepasukan prajurit. Tidak lebih.”
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi sangat kecewa. Tetapi itu sudah jauh lebih baik dari pada tidak sama sekali. Setidak-tidaknya ia akan menambah pasukan di perbatasan bersama pasukan yang sudah dibawa oleh Mahisa Walungan. Demikianlah maka Gubar Baleman pun berangkat pula ke perbatasan, menggabungkan dirinya dengan Mahisa Walungan. Tetapi ketika mereka berada di perbatasan, mereka justru menjadi semakin cemas. Pasukan Singasari tersebar di perbatasan dan siap membanjiri Kediri dari beberapa jurusan.
Mahisa Walungan hampir tidak melihat kemungkinan lagi untuk menyelamatkan perbatasan. Demikian juga Gubar Baleman. Sedang Sri Baginda Kertajaya benar-benar seperti orang yang sedang mabuk kebesaran.
“Apakah sudah menjadi pertanda,” Mahisa Walungan berdesis, “bahwa kebesaran yang lepas dari keseimbangan, akan menjerumuskan seseorang ke dalam kesulitan. Bahkan lebih daripada itu. Apakah memang sudah menjadi keharusan dari Yang Maha Agung, bahwa Kediri sudah sampai ke puncaknya dan harus meluncur turun tenggelam di bawah cakrawala.”
Gubar Baleman hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Mahisa Walungan, adik Sri Baginda Kertajaya itu berkata seterusnya, “Kakanda Baginda merasa dirinya melampaui kewajaran manusia biasa. Kakanda Baginda telah melupakan sumber adanya. Seakan-akan ia mampu melakukan semuanya atas kekuatan dan kemampuannya sendiri. Itulah agaknya sumber dari bencana yang kini mengancam Kediri. Bahkan Kakanda Baginda merasa dirinya mencapai kesempurnaan yang tidak tergoyahkan lagi.”
Gubar Baleman masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata, “Tetapi bagaimana-pun juga, kita harus mencoba bertahan. Kita masih harus tetap berusaha.”
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak akan ingkar. Sebagai adik seorang raja besar, dan sebagai seorang prajurit ia harus bersiap melakukan perlawanan apabila negerinya dilanda oleh lawan. Dengan kekuatan yang ada, betapapun kecilnya, ia tidak dapat melepaskan begitu saja negerinya dihancurkan oleh kekuatan Singasari yang sudah berada di hadapan pintu gerbang kerajaan Kediri.
“Kakang Gubar Baleman,” berkata Mahisa Walungan itu kemudian, “agaknya aku masih mempunyai waktu sedikit. Aku akan kembali ke kota untuk menyiapkan prajurit-prajurit Kediri. Kalau aku tidak mungkin membawa mereka ke perbatasan, maka aku akan menyusun garis pertahanan di luar kota tanpa setahu Kakanda Baginda. Menurut perhitunganku, perbatasan Kediri terlampau sulit untuk dipertahankan melihat kekuatan Singasari yang tidak ada taranya.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kalau terjadi perang, kita akan segera menarik pasukan perbatasan ke pertahanan yang sudah aku siapkan.”
“Kalau rencana adinda itu dapat dilaksanakan, aku kira itu adalah kemungkinan yang sebaik-baiknya.”
“Aku akan menghubungi para Senapati.”
Gubar Baleman mengerutkan keningnya, “Kenapa Adinda Mahisa Walungan tidak memerintahkan saja mereka ke perbatasan?”
“Tidak mungkin. Apabila setiap saat Kakanda Baginda memerlukan salah seorang dari mereka, dan kebetulan yang dicarinya itu tidak ada, maka Kakanda Baginda tentu akan murka. Tidak kepada Senapati itu saja, tetapi juga kepadaku, sebagai Panglima prajurit Kediri yang berada di bawah perintah Sri Maharaja.”
“Hem,” Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam, “apakah yang telah menutup perhatian Baginda atas Tanah yang selama ini telah kita perjuangan dan kita kembangkan.”
Mahisa Walungan tidak menyahut. Tetapi ia mulai merenungkan rencananya untuk menyusun kekuatan tidak di perbatasan antara Singasari dan Kediri, tetapi di perbatasan kota. Setiap kali Sri Baginda memerlukan para Senapati, mereka masih dapat langsung menghadap, sementara pasukan mereka bersiap dalam kubu-kubu pertahanan.
Akhirnya, setelah dibicarakan sekali lagi dan sekali lagi, Mahisa Walungan kembali ke kota meninggalkan Gubar Baleman untuk memimpin pasukan yang ada di perbatasan. Tetapi Mahisa Walungan tidak menghadap Sri Baginda. Dengan diam-diam ia menemui para Senapati dan memberitahukan rencananya.
“Demi negeri ini,” katanya, “aku terpaksa melanggar tata perintah keprajuritan.”
Para Senapati mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahkan ada satu dua orang yang berpikir, sebaiknya Mahisa Walungan sajalah yang kini memegang pemerintahan di Kediri. Tetapi mereka-pun sadar, bahwa Mahisa Walungan tidak akan bersedia. Mahisa Walungan adalah seorang ksatria yang berbuat tanpa pamrih untuk negerinya, yang kadang-kadang telah melepaskan segala kepentingan pribadinya.
“Bagaimana menurut pendapat kalian?” bertanya Mahisa Walungan. “Kami sependapat tuan,” jawab salah seorang Senapati, “kami sadar, bahwa semuanya ini semata-mata untuk kebaikan negeri ini.”
“Bagus. Apakah kalian dapat mengerti?”
“Tentu,” hampir bersamaan beberapa orang menyahut.
“Tetapi jangan salah mengerti,” berkata Mahisa Walungan, “apa yang kita kerjakan ini sama sekali bukan suatu pemberontakan terhadap Kakanda Baginda Sri Maharaja Kertajaya. Tidak. Betapapun juga aku tetap setia kepadanya. Justru kesetiaankulah yang mendorong aku untuk berbuat seperti ini, untuk dengan terpaksa melanggar tertib keprajuritan yang ditentukan oleh Kakanda Baginda, demi kelangsungan pemerintah Baginda Kertajaya atas Kediri.”
Para Senapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kesetiaan bagiku bukan sekedar menundukkan kepala dan melakukan segala, perintahnya, meskipun kita tahu bahwa kita bersama-sama sedang menuju ke dalam jurang kehancuran. Kalau perlu kesetiaan harus diwujudkan dalam bentuk perlawanan dengan kebiasaan. Tetapi dengan garis tujuan yang jelas. Bukan sekedar melakukan sesuatu yang tanpa arti.”
Sekali lagi para Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau kalian setuju, maka sedikit demi sedikit, kalian, harus memusatkan sebagian dari pasukan masing-masing di jalan raya induk kota Kediri yang menghadap ke Singasari. Tetapi pengawasan di setiap arah tidak boleh dilengahkan.”
Para Senapati itu merenung sejenak. Memang tidak ada jalan lain daripada itu.
“Aku akan segera melakukannya,” berkata salah seorang Senapati, “sebagian besar dari pasukanku akan aku kirim ke pusat pertahanan itu.”
“Ya. aku akan segera melakukannya pula.”
Demikianlah maka keputusan-pun bulat. Kediri akan dipertahankan tidak di perbatasan kedua negeri yang semaki lama menjadi semakin tegang. Tetapi Kediri akan membangun pusat pertahanannya di dalam negerinya. Rencana yang disiapkan oleh Mahisa Walungan, Kediri harus menghancurkan musuh di mana-pun mereka bertemu. Pasukan Singasari itu adalah sebagian terbesar dari seluruh kekuatannya. Kalau pasukan itu berhasil dihancurkan, maka kekuatan Singasari pasti sudah akan menjadi lumpuh.
Mahisa Walungan-pun kemudian mengirimkan seorang penghubung kepada Gubar Baleman, bahwa rencana yang dibicarakannya agaknya dapat dilakukannya. Karena itu, maka pertahanan di perbatasan bukanlah pertahanan yang mutlak.
“Tuanku Mahisa Walungan menetapkan pertahanan induk pasukan Kediri di sebelah Utara Ganter,” berkata penghubung itu kepada menteri Gubar Baleman.
Gubar Baleman yang telah mendengar rencana itu lebih dahulu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baik, Aku menyesuaikan diri. Rencana Adinda Mahisa Walungan adalah rencana yang sebaik-baiknya dapat kita lakukan dalam keadaan ini.”
Dengan demikian maka Gubar Baleman-pun mengatur pertahanannya sesuai dengan pertahanan terakhir pasukan Kediri. Apabila pasukan perbatasan itu terdesak, maka ia harus mundur lewat jalan raya yang akan melalui Ganter. Gubar Baleman mengharap bahwa Mahisa Walungan telah siap dengan pasukannya untuk membinasakan pasukan Singasari.
Di pinggir kota Kediri, pertahanan telah disusun meskipun Mahisa Walungan berusaha untuk tidak menimbulkan kecemasan pada rakyat Kediri. Mahisa Walungan-pun menjaga agar berita tentang pemusatan pasukan itu tidak sampai kepada Sri Baginda Kertajaya, bahkan mengenai kehadirannya sendiri. Setiap orang yang mungkin berhubungan dengan Sri Baginda telah dihubunginya agar tidak seorang-pun yang menyampaikan berita itu.
Dengan perlahan-lahan Mahisa Walungan menyusun kekuatan. Sekelompok demi sekelompok. Namun dengan demikian usaha Mahisa Walungan itu berlangsung lambat sekali. Tetapi pada suatu saat Mahisa Walungan dapat menarik nafas panjang. Pasukannya telah siap di sepanjang jalan raya di sebelah Utara Ganter. Meskipun pasukan itu masih belum memadai dibanding dengan pasukan Singasari. tetapi Mahisa Walungan berharap, bahwa ia akan dapat menahan pasukan Sri Rajasa di sebelah Ganter menunggu pasukan-pasukan lain yang pasti akan dapat dikerahkannya dengan alasan yang kuat.
Dengan usahanya sendiri Mahisa Walungan berhasil menghimpun bahan makanan untuk pasukan yang telah di pusatkannya itu. Hampir setiap saat ia berada di antara mereka, memberikan petunjuk-petunjuk dan membakar tekad mereka untuk mempertahankan Kediri dengan segala kekuatan yang ada pada mereka.
Akhirnya Mahisa Wahingan menjadi semakin dekat dengan hati setiap prajurit. Bagi mereka, Mahsa Walungan lah pemimpin tertinggi yang dapat memberikan pegangan bagi mereka, sehingga lambat laun, para prajurit itu seakan-akan sama sekali tidak memerlukan orang lain, selain Mahisa Walungan. Mereka sama sekali tidak memerlukan lagi Baginda Kertajaya, meskipun Baginda Kertajaya menyatakan dirinya sebagai Dewa tertinggi sekali-pun.
Demikian dengan tekun Mahisa Walungan dan beberapa orang Senapati yang sependapat dengan pendiriannya, membangunkan kekuatan di sebelah Utara Ganter. Semakin lama semakin tambah dengan kelompok-kelompok baru yang masih berdatangan. Adalah sesuai dengan pertimbangannya, bahwa kedatangan pasukan yang tiba-tiba dan bersamaan akan dapat menumbuhkan kegoncangan dalam tata kehidupan sehari-hari yang memang sudah diliputi oleh ketegangan dan ketidak pastian.
Tetapi adalah mengejutkan sekali, bahwa pada suatu saat seorang utusan datang kepada Mahisa Walungan dengan tergesa-gesa. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Ampun tuan. Aku adalah utusan Sri Baginda Kertajaya.”
Mahisa Walungan mengerutkan keningnya.
“Aku mendapat perintah Sri. Baginda untuk menghadap tuan.”
“Bagaimana bunyi perintah itu?”
“Aku harus menemui tuan di sebelah Utara Ganter.”
“He,” Mahisa Walungan terkejut, “apakah Kakanda Baginda mengetahui bahwa, aku berada di sebelah Utara Ganter?”
“Ya tuan. Sri Baginda mengetahui,”
“Darimana Kakanda Baginda mengetahui?”
Utusan itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mengerti.”
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa tidak semua orang sependapat dengan rencananya. Tidak semua orang mengerti dan sejalan dengan caranya. Juga tidak semua orang menyerahkan dirinya untuk kepentingan Tanah yang akan dipertahankannya mati-matian. Ketika ia mengatakannya kepada beberapa orang Senapati, mereka-pun menjadi tegang.
“Apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Kakanda Baginda?”
“Tuan,” berkata utusan itu, “sebaiknya tuan bersiap-siap untuk menerima kemarahan Sri Baginda. Baginda menjadi murka ketika Baginda mendengar tuan tidak berada di Tumapel.
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan kepalanya. Pasti ada seseorang yang menyampaikan hal ini kepada Baginda. Menurut pengamatannya. Baginda yang merasa dirinya melampaui kewajaran manusia biasa itu, tenggelam dalam sanggar yang dibuatnya untuk membesarkan dirinya sendiri di dalam alam angan-angan, seolah-olah ia sudah berada di ujung langit, tempat dewa-dewa bersemayam. Adalah tidak mungkin Baginda mengetahui keadaannya tanpa seorang-pun yang memberitahukan kepadanya.
Tetapi Mahisa Walungan tidak akan ingkar dari tanggung jawabnya. Katanya, “Aku akan menghadap Kakanda Baginda.”
“Silahkan tuan.”
Mahisa Walungan-pun kemudian menyerahkan pimpinan pasukannya kepada seorang Senapati tertua. Dengan dada yang berdebar-debar maka ia-pun berpacu di atas punggung kuda tanpa seorang-pun yang mengawalnya kembali ke istana, selain utusan Sri Baginda itu.
Mahisa Walungan menjadi semakin berdebar-debar ketika ia memasuki gerbang dalam. Ia melihat beberapa orang prajurit pilihan yang berjaga-jaga. Jauh lebih banyak dari kebiasaannya. Dengan pandangan aneh mereka memandang Mahisa Walungan yang berjalan di halaman istana itu menuju ke bangsal tengah, setelah meninggalkan kudanya di halaman depan.
“Hem,” Mahisa Walungan menarik nafas, “aku kira ada ketidak wajaran yang akan terjadi.”
Setelah menunggu sejenak, maka Mahisa Walungan langsung dipanggil menghadap oleh Sri Baginda Kertajaya. Di ruang dalam bangsal tengah. Sekali lagi ia menjadi heran, bahwa di pintu masuk ruang itu-pun ia melihat dua orang Senapati dari pasukan pengawal istana seolah-olah memang sudah menunggunya.
“Ha, kau Walungan,” desis Baginda ketika adiknya sudah menghadap.
Mahisa Walungan tidak segera menjawab. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian dengan dada berdebar-debar ia duduk di muka singgasana Baginda Kertajaya. Namun Mahisa Walungan masih sempat melihat beberapa orang pengawal istana berada di dalam ruangan itu pula, sedang beberapa orang penasehat Baginda dan para menteri seolah-olah memang telah dipersiapkan menunggu kedatangannya.
“Majulah Walungan,” tampaknya Baginda terlampau ramah kepada adiknya. Tetapi Mahisa Walungan menyadari, bahwa seakan-akan ia kini akan dihadapkan ke depan sidang yang akan membicarakan nasibnya.
Mahisa Walungan bergeser beberapa jengkal maju. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dadanya berdesir. Dilihatnya seorang Senapati muda yang dikenalnya dengan baik duduk di antara para menteri di sisi Baginda. Kini sadarlah Mahisa Walungan, bahwa senapati muda yang bernama Pujang Warit itulah agaknya yang telah memberitahukan segala masalahnya kepada Baginda.
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Pujang Warit adalah salah seorang Senapati yang tampaknya ikut .di dalam penyusunan pasukan di luar kota Kediri. Tetapi ternyata ia telah menyampaikan hal itu kepada Baginda.
“Mahisa Walungan,” bertanya Baginda, “sekian lama aku menunggu kedatanganmu. Aku ingin mendengar, bagaimanakah hasil perjalananmu ke Tumapel? Apakah kau sudah berhasil menangkap pemberontak yang bernama Ken Arok itu?”
“Ampun Kakanda Baginda,” sembah Mahisa Walungan, namun sekali ia mencoba memandang wajah Senapati, muda itu. Kemudian katanya selanjutnya, “Hamba tidak dapat masuk ke wilayah Tumapel karena pertahanan yang rapat.”
Baginda Kertajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bukankah kau Mahisa Walungan yang dahulu juga?”
Mahisa Walungan tidak menyahut.
“Aku tidak pernah mendengar laporan, bahwa Mahisa Walungan pernah gagal.”
Mahisa Walungan masih tetap berdiam diri.
“Walungan,” berkata Baginda Kertajaya selanjutnya, “Gubar Baleman telah membawa sepusukan prajurit yang akan bergabung, dengan prajurit-prajurit yang kau pimpin. Di manakah Gubar Baleman sekarang?”
“Kakang Gubar Baleman masih berada di perbatasan.”
“Tetapi kenapa kau berada di Ganter?”
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak akan dapat berbohong lagi. Senapati muda itu pasti sudah mengatakan apa saja yang telah dilakukannya. “Apa salahnya,” katanya di dalam hati, “maksudku baik. Dan aku mengharap, Kakanda Baginda dapat mengerti.” Mahisa Walungan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja tumbuh pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah maksud Senapati muda itu? Apakah ia merasa berkeberatan atas persiapan itu? Atau bahkan ia merasa iri hati? Sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat berusaha dengan cara apapun untuk mendesak kedudukanku sebagai Adinda Baginda Kertajaya. Apapun yang dilakukan, Mahisa Walungan tetap adinda Sri Baginda. Dan orang lain tidak akan dengan serta merta menjadi saudara muda Baginda. Tetapi kalau ia inginkan kedudukanku sebagai Panglima prajurit Kediri, masih juga masuk akal. Namun sudah tentu bukan anak itu yang akan menggantikan aku seandainya dengan caranya ia dapat menyingkirkan aku.”
“He,” desak Baginda Kertajaya, “kenapa kau diam saja?”
Mahisa Walungan kemudian mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Baginda sekilas. Hanya sekilas. Kemudian tatapan matanya beredar kepada para tertua, penasehat dan para menteri. Ketika matanya memandang wajah Senapati muda itu, maka Pujang Warit-pun segera menundukkan kepalanya.
“Ampun Kakanda Baginda,” berkata Mahisa Walungan kemudian, “Hamba memang sudah berada di perbatasan. Tetapi menurut perhitungan hamba, maka seandainya hamba masuk ke daerah Tumapel yang sekarang menyebut dirinya Singasari itu, hamba pasti akan terjebak. Jumlah prajurit Singasari tidak terhitung lagi. Itulah sebabnya hamba memutuskan untuk mengambil cara lain. Hamba akan menjebak pasukan Singasari itu di sebelah Utara kota Ganter. Seandainya mereka berhasil mendesak pasukan kakang Gubar Baleman yang memang sudah bersedia untuk menyesuaikan diri dengan persiapan hamba.”
Sri Baginda Kertajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia tertawa. Dan suara tertawanya menumbuhkan keheranan di hati Mahisa Walungan.
“Kau memang seorang Panglima yang cakap,” desis Baginda di sela suara tertawanya, “tetapi apakah kau merasa bahwa kau memegang kekuasaan tertinggi di Kediri?” tiba-tiba suara Baginda berubah. Derai tertawanya-pun patah dengan tiba-tiba. Dengan wajah yang tegang dipandanginya Mahisa Walungan yang menundukkan kepala, “He, Mahisa Walungan. Jangan kau sangka bahwa aku tidak tahu apa yang kau lakukan.”
Mahisa Walungan tidak menjawab. Ia sama sekali tidak berkeberatan kalau Baginda mengetahuinya, karena hal itu memang sudah dikatakannya. Karena itu maka ia menunggu saja apa yang akan dikatakan oleh Baginda Kertajaya seterusnya.
“Walungan,” berkata Baginda, “tetapi aku sama sekali tidak menyangka, bahwa kau, adikku sendiri, ternyata tidak setia kepadaku.”
Kata-kata itu ternyata benar-benar telah mengejutkan Mahisa Walungan sehingga ia terhenyak sejenak. Ia memang melanggar perintah Sri Baginda. Tetapi itu bukan pertanda bahwa ia sama sekali tidak setia.
“Adikku,” bertanya Baginda, “apakah maksudmu sebenarnya dengan menghimpun prajurit di hadapan gerbang kota Kediri? Apakah benar, bahwa kau sedang menarik garis pertahanan menghadap ke Singasari?”
Pertanyaan itu benar-benar telah mengguncangkan dada Mahisa Walungan. Sejenak ia duduk mematung. Ia tidak mengerti apakah pendengarannya itu tidak keliru, atau sekedar karena gelora di dalam dadanya sendiri. Tetapi keragu-raguan itu-pun lenyap ketika Sri Baginda bertanya pula,
“Bagaimana Mahisa Walungan? Benarkah begitu? Atau itu semuanya bukan sekedar sebuah topeng untuk maksud-maksudmu yang lain?”
Alangkah pedih hati Mahisa Walungan mendengar tuduhan itu. Benar-benar pedih, sehingga sejenak ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sekali-sekali ia menarik nafas sambil berdesah perlahan-lahan. Beberapa orang yang mengenal Mahisa Walungan dengan baik, menjadi beriba hati. Mereka yakin bahwa tidak akan timbul sama sekali niat Mahisa Walungan untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kesetiaannya kepada Kakanda Baginda dan kepada Tanah Kediri.
Mahisa Walungan dan semua yang ada di ruangan itu tiba-tiba terkejut ketika Baginda membentak dengan kerasnya, “He Walungan. Jawablah.”
Mahisa Walungan beringsut setapak. Sambil menundukkan kepalanya ia menjawab perlahan-lahan, “Ampun Kakanda Baginda. Sebenarnyalah hamba mempersiapkan pertahanan itu untuk menghadapi Singasari.”
“Bohong. Bohong,” teriak Sri Baginda, “Walungan. Kau adalah adikku. Satu-satunya adikku. Tetapi ternyata bahwa justru kau adalah orang yang pertama-tama mengkhianati aku.”
Mahisa Walungan tidak menjawab.
“Kau memang mempersiapkan pertahanan itu untuk dua maksud. Aku mengerti bahwa kau dapat menyusun jebakan bagi pasukan Tumapel di sebelah Utara Ganter. Tetapi yang utama, pasukan itu sama sekali tidak kau hadapkan kepada lawan, kepada pemberontakan Ken Arok. Tetapi pasukan itu terutama kau hadapkan kepadaku. Kau telah bersepakat dengan Gubar Baleman untuk menguasai Kediri. Gubar Baleman kau tempatkan di perbatasan untuk menghentikan setiap gerakan Tumapel. Sedang kau mempunyai kesempatan untuk melakukan rencanamu. Kau telah menipu banyak sekali Senapati dan prajurit. Mereka tidak tahu, untuk apa mereka harus berada di Ganter.”
Terasa getaran yang dahsyat telah melanda dada Mahisa Walungan. Ia tidak menyangka bahwa ia akan dihadapkan pada suatu tuduhan yang paling keji. Ia menyangka bahwa Kakanda Baginda Kertajaya itu hanya akan murka karena ia telah melanggar perintahnya. Tetapi agaknya kemarahan itu sudah melonjak demikian parahnya. Agaknya Sri Baginda Kertajaya telah menuduhnya menyiapkan sebuah pemberontakan atas takhta Kediri.
“Walungan,” Kertajaya berteriak, “kenapa kau masih ingkar he?”
“Ampun Kakanda Baginda,” Mahisa Walungan mencoba menjelaskan maksudnya, “hamba sama sekali tidak bermaksud jahat. Hamba hanya mencoba menurut kemampuan hamba mempertahankan Tanah Kediri. Karena Kakanda Baginda tidak mengijinkan hamba membawa pasukan ke perbatasan, maka hamba telah menyusun pasukan itu di sebelah Utara Ganter.”
“Memang kau benar-benar adikku yang cerdas,” sahut Baginda. Meskipun Baginda tersenyum, tetapi senyumnya terasa mendirikan bulu-bulu tengkuk Mahisa Walungan, “kau sudah menyusun jawaban terhadap setiap kemungkinan yang akan ditanyakan kepadamu. Tetapi kau tidak akan dapat berbohong. Kau harus mengakui, bahwa kau sudah siap melakukan pemberontakan. Aku tahu bahwa agaknya kau tidak akan menyerahkan Kediri kepada orang-orang Tumapel, tetapi pasti ada terlintas di kepalamu, bahwa aku tidak memberimu kepuasan karena niatmu tidak terpenuhi. Kau akan memberontak, menyingkirkan aku, dan sebagai satu-satunya saudara muda, kau akan dengan sendirinya naik takhta.”
Kata-kata Sri Baginda Kertajaya itu bagaikan duri yang langsung menusuk ulu hati Mahisa Walungan. Karena itu, maka ia tidak dapat berbuat lain kecuali menundukkan kepala semakin dalam. Kini ia sadar, kenapa di setiap sudut ruangan, di setiap pintu, pengawal istana siap berjaga-jaga. Dan ia-pun sadar, bahwa ia tidak akan dapat kembali ke pasukannya yang telah disiapkannya itu.
“Mahisa Walungan,” berkata Sri Baginda, “aku tidak perlu mendengar keteranganmu lebih banyak lagi. Karena kau adikku, maka untuk sementara kau masih akan tetap hidup. Aku masih ingin tahu, sampai di mana dosa-dosa yang telah kau perbuat atasku dan atas Kediri. Tetapi, pada suatu saat kau pasti akan menerima hukuman itu.” Sri Baginda berhenti sejenak, “sekarang kau terpaksa ditahan. Kau dapat menghitung hari di dalam bilik yang sempit, sambil menyesali dosa-dosamu. Tetapi semuanya itu sudah terlambat. Kau tinggal menunggu, hukuman apa yang akan aku jatuhkan kepadamu atas pengkhianatanmu itu. Meskipun kau adikku, atau justru karena kau adikku, maka hukuman itu akan menjadi jauh lebih berat.”
Mahisa Walungan sama sekali sudah tidak melihat kemungkinan lain. Ia harus menerima keadaannya. Sekali ia memandang wajah Senapati muda yang agaknya telah menyampaikan laporan palsu itu. Tetapi Senapati itu tidak sedang memandang wajahnya. Yang membuatnya sangat berprihatin justru bukan dirinya sendiri. Tetapi apakah yang akan terjadi atas Kediri? Justru pada saat banjir bandang itu siap melanda negerinya, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Terasa darah Mahisa Walungan seakan-akan bergolak. Kemarahan di dalam hatinya tertuju kepada Senapati muda itu. Senapati muda yang telah mengorbankan segala-galanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Tanpa disadarinya, bahwa ia telah mengorbankan Kediri dalam keseluruhan ini pula. Harapan satu-satunya bagi Mahisa Walungan terletak pada Gubar Baleman. Tetapi hampir pasti bahwa Gubar Baleman-pun akan mengalami nasib serupa dengan nasibnya. Gubar Baleman itu akan dipanggil pula oleh Sri Baginda, kemudian seperti dirinya sendiri, ia tidak akan keluar lagi dari paseban dalam ini.
Demikianlah Mahisa Walungan tidak dapat mengelak lagi ketika dua orang Senapati pengawal istana kemudian membawanya dari hadapan Sri Baginda. Dan Mahisa Walungan itu masih melihat wajah Baginda yang merah menahan marah sambil berkata, “Aku akan memberikan contoh yang sebaik-baiknya bahwa aku tetap berpegang pada keadilan. Meskipun kau adikku, tetapi pengkhianatanmu akan medapat imbalan yang wajar.”
Mahisa Walungan tidak menjawab. Sambil menundukkan kepalanya ia melangkah meninggalkan bangsal itu. Sekilas ia melihat para pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu. Kedua Senapati yang mengapitnya itu-pun sama sekali tidak berbicara apapun. Sekali-sekali Mahisa Walungan mencoba memandangi wajah keduanya berganti-ganti. Tetapi sangatlah sulit untuk menangkap kesan pada wajah-wajah itu.
Ketika Mahisa Walungan sempat menebarkan pandangan matanya, maka terasa kesiagaan yang luar biasa di halaman istana itu. Di setiap regol ia melihat beberapa orang prajurit pengawal. Bahkan di sudut-sudut longkangan dan di sudut-sudut bangsal dijaga pula oleh prajurit-prajurit pilihan pengawal istana. Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam.
“Kakanda Baginda benar-benar menganggap bahwa aku akan memberontak. Dipersiapkannya prajurit pengawal sekian banyaknya, agar aku tidak dapat lolos lagi, seandainya aku berniat demikian,” katanya di dalam hati.
Namun Mahisa Walungan saat itu sama sekali tidak ingin lari. Ia tidak merasa bersalah sama sekali, sehingga karena itu, ia akan menghadapi setiap keadaan dengan dada tengadah. Bahkan mungkin ia masih mendapat kesempatan untuk membela diri dan memberikan bukti bahwa ia memang tidak bersalah. Tetapi seandainya Mahisa Walungan berhasrat untuk melakukannya, maka masih banyak jalan yang dapat ditempuh. Meskipun hampir di setiap jengkal ada seorang prajurit yang berdiri dengan senjata telanjang, namun Mahisa Walungan adalah orang yang luar biasa.
Demikianlah maka Mahisa Walungan dimasukkan ke dalam sebuah bilik kayu yang kuat. Sebuah bilik yang sempit dan gelap. Di sudut bilik itu terdapat sebuah pembaringan kayu yang keras. Tanpa alas sama sekali. Mahisa Walungan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bilik itu sama sekali tidak pantas untuknya. Betapapun besar kesalahannya, tetapi ada tempat yang khusus untuk menahan para bangsawan. Apalagi seorang adik raja yang besar seperti Mahisa Walungan.
“Agaknya kesalahanku dianggap terlampau besar, dan tidak akan dapat dipersoalkan lagi. Agaknya Kakanda Baginda menganggap bahwa aku tidak pantas lagi mendapat perlakuan sebagai manusia sewajarnya. Bagaimanapun juga, tumbuh juga kekecewaan di hati Mahisa Walungan. Kekecewaan yang perlahan-lahan telah menusuk jantungnya atas perlakuan yang dialaminya.”
Ketika pintu bilik yang sempit itu kemudian tertutup rapat, maka Mahisa Walungan-pun mencoba untuk melihat seluruh sudut ruangan. Diraba-rabanya dinding kayu yang membatasi ruangan yang. sempit itu. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Mahisa Walungan kemudian duduk di atas pembaringan kayu yang keras dan tidak beralas itu.
“Terlalu. Aku harus menanggung penghinaan seberat ini,” desisnya.
Telinga Mahisa Walungan yang mendengar langkah beberapa orang prajurit di luar pintu. Ia yakin bahwa di depan pintu biliknya itu pasti di tempatkan beberapa prajurit pilihan, dan bahkan mungkin dengan seorang atau dua orang senapati. Tiba-tiba Mahisa Walungan itu berdiri. Ia melangkah mendekati pintu sambil bertanya, “Siapa di luar?”
Tidak segera ada jawaban.
“Siapa di luar? “ Mahisa Walungan mengulangi.
“Aku. Prajurit yang bertugas,” terdengar seseorang menjawab.
“Ruangan ini terlampau Pengab. Aku hampir tidak dapat bernafas.”
Tidak ada jawaban.
“Apakah tidak dapat dibuat satu lubang agar ada udara yang dapat masuk?”
“Bagaimana dapat dibuat lubang itu?” prajurit yang bertugas itu bertanya.
“Ambil sebuah papan dinding bilik ini, kemudian setelah diberi beberapa buah lubang, pasang kembali.”
Prajurit yang ada di luar pintu itu tidak segera menjawab. Agaknya ia sedang berbincang dengan kawan-kawannya. Namun prajurit itu lalu menjawab, “Itu bukan wewenangku.”
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa hal itu sama sekali bukan wewenangnya. Tetapi udara di bilik yang sempit itu serasa semakin mencekiknya. “Bagaimana kalau aku membuat sendiri?” bertanya Mahisa Walungan.
Prajurit yang bertugas menjaganya menjadi heran. Bagaimana ia dapat membuat sendiri.
“Bagaimana? “ Mahisa Walungan mendesak.
“Tetapi apakah tuan dapat membuat sendiri?” beritanya prajurit itu.
“Aku akan membuatnya. Aku tidak dapat bernafas lagi.” Sebelum prajurit itu menjawab, Mahisa Walungan telah mulai meraba-raba dinding kayu yang tebal itu. Kemudian ia mengatupkan giginya rapat-rapat. Sejenak ia memusatkan segenap kemampuannya, dan sejenak kemudian, maka tangannya-pun seakan-akan meremas sesuatu.
Prajurit-prajurit yang bertugas di luar bilik itu terkejut ketika mereka melihat lima buah jari yang tiba-tiba saja seakan-akan menembus dinding kayu yang tebal itu. Kemudian dengan suatu remasan yang menghentak, terjadilah sebuah lubang pada dinding kayu itu. Prajurit-prajurit yang melihat hal itu justru diam mematung. Terasa seakan-akan darah mereka berhenti mengalir. Sebelum mereka menyadari keadaan masing-masing, maka mereka melihat tangan itu telah membuat lubang yang lain.
Ketika pada dinding bilik itu telah terjadi lima buah lubang maka terdengar suara dari dalamnya, “Aku kira sudah cukup.”
Ternyata suara itu telah membangunkan para penjaga. Mereka segera berloncatan mendekati lubang-lubang itu. Tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Seorang Senapati yang melihat kegelisahan itu tanpa mengerti sebabnya dari kejauhan, segera mendekatinya.
“He, kenapa kalian berloncatan?”
“Lihat,” jawab salah seorang prajurit.
“Apa?”
“Lubang itu.”
Senapati itu tidak segera mengerti. Dipandanginya lubang itu dengan tajamnya. “Ya lubang itu,” katanya di dalam hati, “tentu bukan lubang yang memang sudah ada. Lubang-lubang itu tidak berbentuk bulat atau persegi atau bentuk-bentuk ukiran. Lubang itu sama sekali tidak berbentuk dan bahkan telah memecahkan serat-erat kaya di sekitarnya.
“Kenapa dengan lubang itu?” tiba-tiba senapati itu bertanya.
Prajurit itu-pun kemudian mengatakannya bahwa Mahisa Walungan yang telah membuatnya dengan jari-jarinya. Terasa dada Senapati itu tergetar. Ia sama sekali tidak membantah, bahwa sebenarnyalah Mahisa Walungan pasti mampu melakukannya.
“Maaf,” tiba-tiba terdengar suara Mahisa Walungan. “aku terpaksa membuat lubang itu karena aku hampir mati tercekik oleh kepepatan udara di dalam bilik sempit ini.”
Senapati itu tidak menjawab.
“Tetapi percayalah bahwa aku tidak akan lari,” sambung Mahisa Walungan.
Tidak ada jawaban. Senapati itu berdiri saja mematung. Tapi tiba-tiba ia menganggukkan kepalanya sambil berkata di dalam hatinya, “Memang luar biasa. Kalau Baginda benar-benar marah dan melakukan hukuman atasnya, aku tidak tahu, apakah yang akan terjadi atas Kediri.”
Tanpa berkata sesuatu maka Senapati itu-pun meninggalkan bilik sempit yang mengurung Mahisa Walungan di dalamnya. Para prajurit menjadi terheran-heran. Senapati itu tidak memberikan perintah apapun. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian salah seorang berbisik, “Apakah yang akan kita lakukan sekarang?”
Kawannya menggelengkan kepalanya, “Tidak ada. Tidak ada perintah apapun. Biar saja dinding itu berlubang. Asal yang ada di dalamnya tidak lepas.”
Tetapi kawannya ragu-ragu. Kalau Mahisa Walungan mampu melubangi dinding kayu yang tebal itu, apakah sulitnya baginya memecahkan pintu bilik kemudian dengan sekali pukul membuat setiap prajurit pingsan. Tetapi prajurit itu tidak mengatakannya. Namun dadanya yang berdebaran serasa menjadi semakin bergetar.
“Kita harus berhati-hati,” berkata prajurit yang lain, “kalau tahanan yang satu ini lepas, kita akan mengalami nasib yang paling pahit.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berbisik, “He, apakah kalian percaya bahwa Adinda Baginda ini akan memberontak?”
Sejenak para prajurit itu saling berpandangan. Tetapi tidak seorang-pun yang memberikan jawaban. Bahkan prajurit yang bertanya itu-pun kemudian terdiam.
Dalam pada itu. Baginda Kertajaya telah memerintahkan Senapati muda yang bernama Pujang Warit itu untuk mengatasi keadaan. Ia harus berusaha membubarkan pemusatan pasukan, di sebelah Utara Ganter dan memberinya kekuasaan untuk menyalurkan ketegangan mereka ke perbatasan.
“Kau bertanggung jawab atas mereka,” sabda Baginda, “supaya mereka tidak kehilangan gelora perjuangan mereka yang telah terlanjur membakar dada mereka.”
“Hamba Baginda. Mereka akan hamba bawa, tidak saja ke perbatasan. Tetapi supaya gelora jantung mereka tersalurkan, hamba akan memasuki Tumapel.”
“Kau harus dapat membawa Ken Arok itu,” perintah Baginda kemudian, “tetapi sebelumnya Gubar Baleman harus menghadap lebih dahulu.”
“Hamba tuanku.”
“Kalau kali ini kau berhasil, maka meskipun ada orang-orang lain yang lebih tua daripadamu, maka kau akan menepati tempat yang baik. Kau akan menjadi Panglima pasukan tempur. Tetapi aku akan membagi kekuasaan Mahisa Walungan. Aku akan memisahkan garis kepemimpinan pasukan keamanan dan pengawal. Dengan demikian maka jabatannya akan dipegang oleh tiga orang.”
Senapati muda itu mengerutkan keningnya. Ia menjadi agak kecewa karena kekuasaan Mahisa Walungan tidak mutlak dapat dipegangnya. Tetapi ia menyadari kemudaannya. Mungkin kekuasaan itu akan dapat berkembang di waktu yang mendatang.
“Tetapi sebelum itu, kau harus membuktikan lebih dahulu apa yang pernah kau sanggupkan. Menumpas pemberontakan Tumapel dan menggagalkan pemberontakan Mahisa Walungan,” berkata Baginda Kertajaya kemudian, “selanjutnya, aku sendirilah yang akan menjatuhkan hukuman atas Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
“Hamba tuanku. Hamba akan segera melakukan perintah Tuanku.”
Senapati itu-pun kemudian meninggalkan istana. Di depan regol ia bertemu dengan dua orang penasehat Baginda. Sambil tersenyum kedua orang tua itu berbisik, “Mudah-mudahan kau berhasil. Agaknya Baginda mempercayai kita. Kau jangan mengecewakan kami. Dengan demikian kami tidak selamanya menjadi penasehat saja, karena kami ingin kekuasaan yang lebih besar dari seorang penasehat.”
Pujang Warit-pun tersenyum pula. Bahkan terasa detak jantungnya menjadi semakin cepat, dan dadanya seakan-akan mengembang. Meskipun demikian ia menjawab, “Tetapi Baginda masih belum mempercayai kita sepenuhnya. Ternyata Baginda tidak berhasrat untuk mengangkat seorang Panglima yang menyeluruh. Agaknya Baginda masih ragu-ragu juga.”
“Bukan karena Baginda tidak mempercayai kita. Tetapi sudah tentu Baginda masih meragukan kemampuanmu. Kalau kau kelak dapat membuktikan bahwa kau mampu menandingi kemampuan Mahisa Walungan, maka meskipun kau bukan Adinda Baginda, namun Kediri memerlukan orang kuat yang dapat memimpin pasukannya untuk melawan pemberontakan Tumapel dan mungkin juga para pengikut Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
Senapati muda itu tertawa. Sekilas ia memandang para prajurit yang sedang bertugas di luar regol. Kemudian sambil mengangkat dadanya ia berkata, “Jangan ragu-ragu. Aku tahu kemampuan Mahisa Walungan. Tetapi aku tidak mau kalah daripadanya. Kalau ada kesempatan aku memang ingin membuktikannya dalam perang tanding.”
“Kau tidak akan mendapat kesempatan itu,” jawab, salah seorang penasehat raja itu, “Mahisa Walungan pasti akan mendapat hukuman mati setelah Gubar Baleman tertangkap pula. Keduanya akan menjadi pengewan-pangewan di alun-alun dan bahkan mungkin akan diarak di sepanjang jalan-jalan besar sekota.”
“Sayang,” berkata Senapati muda itu, “tetapi bagaimana-pun juga aku akan membuktikan bahwa aku tidak kalah dari Mahisa Walungan.”
“Baiklah. Lakukanlah tugas yang diberikan kepadamu baik-baik.”
“Terima kasih. Aku akan segera pergi ke Ganter atas nama Baginda Kertajaya. Pasukanku sudah ada di sebelah pemusatan pertahanan yang dibuat oleh Mahisa Walungan. Kalau ada beberapa orang Senapati yang tidak mau tunduk kepada keputusan Sri Baginda, maka aku akan menumpas mereka dengan kekuatan. Tiga orang Senapati bersama pasukannya telah berpihak kepadaku. Sepasukan prajurit pengawal dengan dua orang Senapatinya telah diperbantukan kepadaku pula apabila aku perlukan. Selebihnya tiga Senapati dari pasukan pengaman telah berada di tempat itu pula. Aku yakin bahwa di antara mereka yang sudah ada di sebelah Utara Ganter itu-pun tidak seluruhnya setia kepada Mahisa Walungan apabila mereka telah mengerti apa yang sebenarnya terjadi.”
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku percaya kepadamu. Jangan sampai gagal supaya leher kita tidak harus kita korbankan untuk keinginan yang tidak begitu banyak ini.”
“Jangan cemas. Aku bukan anak-anak lagi.”
“Selamat berjuang.”
Senapati muda itu-pun kemudian meninggalkan kedua penasehat raja yang memandanginya sambil termangu-mangu. Namun kemudian keduanya tersenyum dan meninggalkan halaman istana itu sambil berangan-angan, bahwa mereka kelak akan mungkin mendapat kedudukan yang lebih baik apabila terjadi perubahan di dalam tata pemerintahan. Senapati muda itu kelak pasti akan berusaha untuk menempatkan kedua penasehat itu ke dalam kedudukan yang mempunyai arti kekuasaan langsung.
Mereka akan lebih senang memegang jabatan apapun di luar istana, daripada sekedar penasehat, meskipun kedudukan seorang penasehat raja sangat terhormat, seperti juga kedudukan seorang pemimpin pemerintahan yang lain. Tetapi mereka tidak mempunyai wewenang lain kecuali memberikan pertimbangan-pertimbangan saja.
Betapa kecilnya kedudukan seorang Akuwu, tetapi Akuwu memiliki wewenang langsung untuk melakukan suatu tindakan atas suatu daerah yang dipercayakan kepadanya. Dan mereka mengharap bahwa Pujang Warit berhasil menangkap atau membinasakan Ken Arok, sehingga Tumapel tidak lagi mempunyai pemimpin pemerintahan.
Meskipun di dalam hati kedua orang itu tumbuh juga pertanyaan yang menegangkan syaraf mereka, siapakah yang akan mendapat kedudukan itu di antara mereka berdua, namun sementara mereka dapat bekerja bersama. Kalau yang seorang akan mendapat kedudukan Akuwu, mungkin yang seorang akan dapat menggantikan Gubar Baleman. Seorang menteri yang langsung berkuasa atas suatu segi pemerintahan di Kediri, meskipun masih berada di bawah perintah Sri Baginda.
“Tetapi kedudukan Gubar Baleman tidak dapat dijabat oleh setiap orang,” berkata mereka di dalam hati, “karena Gubar Baleman adalah seorang menteri yang bertanggung jawab atas keselamatan negeri, yang bekerja bersama-sama dengan Panglima dari segenap kekuatan keprajuritan Kediri yang semula dipegang oleh Mahisa Walungan. Hanya karena Mahisa Walungan itu adik Sri Baginda Kertajaya lah maka kekuasaan Mahisa Walungan tampaknya menjadi lebih besar dari Gubar Baleman.”
Namun keduanya tidak memikirkan hal itu lebih jauh. Kesempatan yang lain pasti masih terbuka. Apapun. Dengan demikian, maka di dalam pimpinan pemerintahan Kediri sendiri telah terjadi pusaran yang hampir tidak terbendung. Setiap orang pada dasarnya hanya memikirkan kemungkinan yang paling baik bagi diri mereka masing-masing. Mereka menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan, bahwa di perbatasan pasukan Singasari yang kuat telah siap menerkam mereka.
Pada saat Senapati muda itu singgah sejenak di rumahnya, kemudian di atas punggung kuda dikawani oleh dua orang pengawal yang paling dipercayanya pergi ke pemusatan pasukannya di sebelah pasukan yang telah dipersiapkan lebih dahulu, maka seorang penunggang kuda berpacu seperti angin ke perbatasan. Orang itu adalah utusan beberapa orang Senapati yang mendengar penangkapan Mahisa Walungan atas tuduhan yang keji itu. Utusan itu seorang Senapati pula, harus segera menghubungi Gubar Baleman dan memberitahukan apa yang telah terjadi atas Mahisa Walungan dan apa yang sebentar lagi akan terjadi atasnya.
Gubar Beleman yang belum mendengar apa yang telah terjadi di istana, menyambut urusan itu dengan wajah yang cerah. Ia menyangka bahwa utusan itu pasti utusan Mahisa Walungan yang akan memberitahukan perkembangan terakhir dari persiapannya.
“Aku hampir tidak sabar menunggu,” sambut Gubar Baleman yang pertama-tama, “marilah. Kau dapat melihat sendiri apa yang terjadi di perbatasan, dan kau dapat memberitahukan nanti kepada Adinda Mahisa Walungan.”
Utusan yang baru saja turun dari kuda itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak Pamanda Menteri. Keadaan sudah jauh berubah dari yang kita gambarkan semula.”
“He?” Gubar Galeman terkejut. Lalu, “Tetapi marilah kita duduk di gubugku. Kau dapat berbicara dengan tenang.”
Keduanya-pun kemudian masuk ke dalam sebuah gubug di perkemahan pasukan Kediri yang sengaja tidak mempergunakan rumah-rumah rakyat yang sedang diombang-ambingkan oleh ketidak tentuan.
“Apakah yang sudah terjadi?” bertanya Gubar Baleman.
Senapati muda yang menjadi utusan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana dengan perbatasan ini Pamanda Menteri?”
“Keadaannya sudah menjadi semakin baik, meskipun masih banyak pengungsi yang menyeberang ke Tumapel. Tetapi aku sudah menghentikan perburuan manusia seperti yang terjadi sebelumnya. Aku membiarkan saja mereka yang menyeberang ke Tumapel. Aku justru mencoba memberikan bantuan yang mereka perlukan. Juga bekal di perjalanan mereka.”
“Kenapa?”
“Ternyata banyak di antara mereka yang mengurungkan niatnya, justru karena mereka tidak diburu-buru lagi. Tidak dibantai dan tidak dirampok segala milik yang sempat dibawanya.”
Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kau belum mengatakan, kenapa keadaan sudah jauh berubah?”
Utusan itu termenung sejenak. Namun kemudian ia mulai menceriterakan apa yang sudah terjadi atas Mahisa Walungan.
“He? Kenapa dapat terjadi demikian? Apakah tidak ada seorang-pun yang dapat mengatakan, bahwa hal itu sama sekali tidak benar? Itu adalah fitnah semata-mata. Aku tahu benar siapakah Adinda Mahisa Walungan. Ia adalah Adinda Baginda yang terlampau setia.”
“Baginda sudah menjadi mata gelap. Menurut dugaanku pasti ada orang-orang istana yang sengaja memutar balik keadaan. Kini Baginda memercayakan pimpinan keprajuritan kepada Pujang Warit, dengan mempertaruhkan segenap keselamatan negeri ini.”
“Pujang Warit, kenapa Pujang Warit? Bukankah Pujang Warit tidak jauh lebih tua diri padamu?”
“Ya. Umur kami berselisih tiga tahun saja.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Memang Pujang Warit mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya. Apalagi yang lebih muda dari padanya. Tetapi ia pasti belum mempunyai cukup kebijaksanaan untuk memimpin pasukan Kediri.”
“Apalagi dalam keadaan seperti sekarang.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung. Dicobanya untuk mengerti, apakah kira-kira yang sudah terjadi di istana.
“Pamanda Menteri,” berkata Senapati itu pula, “tugas Pujang Warit sependengaran kami adalah, menumpas pemberontakan Tumapel, membubarkan pemusatan pasukan Adinda Mahisa Walungan dan memanggil Pamanda Menteri Gubar Baleman ke istana.”
Gubar Baleman sama sekali tidak terkejut. Ia mempunyai tanggapan yang tajam terhadap keadaan. “Aku akan dipanggil dan tidak akan keluar lagi dari istana itu. Begitu agaknya.”
Utusan para Senapati itu tidak menyahut.
“Aku sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi aku mencemaskan nasib perbatasan ini dan bahkan seluruh Kediri.”
“Itulah yang kami pikirkan, sehingga aku tergesa-gesa menemui Pamanda Menteri.”
“Kalau aku memenuhi panggilan itu, aku adalah seorang Menteri yang paling setia kepada Baginda. Tetapi dengan demikian aku sudah melepaskan kesetiaanku kepada Kediri, karena kini ternyata bahwa Baginda sudah terpisah dari Kediri dalam keseluruhan.”
“Jadi?”
“Aku menjadi bingung. Tetapi bagiku Kediri adalah wadah yang harus diselamatkan. Meskipun tampaknya kini aku tidak mematuhi perintah Baginda, namun apabila keadaan memungkinkan nanti, setelah Kediri diselamatkan, Baginda akan mengerti, bahwa perbuatan kami dilandasi oleh kejujuran hati.”
Senapati muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan mempertimbangkan, apakah yang akan aku lakukan dalam keadaan yang semakin kalut ini. Di perbatasan pasukan Singasari menjadi semakin kuat, di dalam istana para pemimpin saling berdesakan untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri. Benar-benar suatu keadaan yang membuat kita semui harus berprihatin.”
Senapati itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya, “Begitulah Pamanda Menteri. Karena itu, terserahlah kepada pamanda. Tidak ada lagi orang tua yang pantas melindungi Kediri dan isinya selain Pamanda Menteri Gubar Baleman. Kami, para Senapati, sudah kehilangan kepercayaan kepada siapapun. Juga kepada Pujang Warit. Kami justru menjadi curiga kepadanya.”
“Baiklah, aku akan mengambil sikap. Beri kesempatan aku berpikir hari ini.”
“Aku akan menunggu. Petang nanti aku akan kembali ke Ganter. Aku menyangka, bahwa perkembangan keadaan pasti masih akan terjadi. Mungkin lebih cepat dari yang kita duga.”
“Baiklah,” sahut Gubar Baleman. Kemudian, “Aku akan melihat perbatasan. Mungkin aku dapat meninggalkan se hari dua hari. Aku ingin melihat apa yang sudah terjadi di istana. Tetapi tidak sebagai seorang pesakitan.”
Gubar Baleman-pun kemudian menyiapkan kudanya untuk melihat-lihat daerah perbatasan. Dibawanya tiga orang pengawal kepercayaannya dan Senapati muda itu, agar ia dapat melihat sendiri, betapa ringkihnya pasukan Kediri di perbatasan.
Demikianlah maka Gubar Baleman itu kemudian mendatangi setiap pasukan yang ada. Ditemuinya para Senapati yang memimpin pasukan-pasukan mereka dengan sepenuh hati. Mereka memang sudah bertekad mempertahankan Kediri mati-matiam. Namun mereka-pun telah mengetahui rencana Mahisa Walungan. Mereka tidak akan mempertahankan perbatasan ini. Tetapi mereka akan menarik pasukan Tumapel jauh memasuki wilajah Kediri. Sampai di sebelah Ganter, mereka akan bergabung dengan pertahanan yang sudah disiapkan oleh Mahisa Walungan. Di sebelah Utara Ganter itulah nanti mereka akan menghancurkan pasukan Tumapel.
Para Senapati itu-pun kemudian melaporkan bahwa tidak ada gerakan-akan yang mencurigakan di pihak lawan. Pasukan sandi yang sempat menyusup mendekati pemusatan pasukan Singasari melaporkan, bahwa mereka-pun masih dalam sikap bertahan.
“Sepasukan prajurit khusus telah berada di perbatasan pula,” lapor seorang Senapati.
“Apakah yang kau maksud dengan pasukan khusus?”
“Pasukan yang cukup besar, yang terdiri dari beberapa kelompok. Menurut keterangan yang didengar oleh beberapa orang petugas sandi, pasukan itu justru dibentuk dari orang-orang Kediri sendiri yang telah mengungsi ke Singasari.”
“Bukan main,” geram Gubar Baleman, “itulah kelebihan Ken Arok yang sekarang menyebut dirinya Sri Rajasa.”
“Pasukan itu dipimpin sendiri oleh kakanda permaisuri Singasari.”
“Siapa?”
“Mahisa Agni.”
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian, orang yang paling dapat diharapkan oleh Kediri, Mahisa Walungan, kini berada di dalam tahanan Sri Baginda sendiri. Karena itu, dalam waktu yang singkat, Gubar Baleman mengumpulkan beberapa orang Sanapati yang memang tidak banyak jumlahnya itu. Kepada Senapati yang tertua, Gubar Baleman menyerahkan kepercayaan untuk memimpin seluruh pasukan di perbatasan.
“Aku akan melihat apa yang telah terjadi di Kediri. Aku ingin membuktikan sendiri, kenapa Adinda Mahisa Walungan harus berada di dalam bilik tahanan.”
“Baiklah,” jawab Senapati tertua itu, “aku akan berusaha untuk melakukan tugas ini sebaik-baiknya.”
“Seandainya keadaan meruncing, dan kau tidak dapat menunggu aku, sebelum ada perubahan apapun, lakukanlah rencana yang telah kita susun. Aku mengharap bahwa kekuatan di Ganter itu masih memadai.”
“Baiklah.”
Gubar Baleman-pun kemudian kembali ke gubugnya untuk segera mempersiapkan dirinya dan berkemas-kemas. Ia ingin pergi ke Kediri bersama Senapati muda itu hari itu juga. Tetapi sebelum Gubar Baleman sampai ke gubugnya, seorang pengawalnya telah menemuinya sambil berkata, “Aku sedang menyusul tuan di sepanjang perbatasan.”
“Kenapa?“
“Ada utusan dari Sri Baginda.”
Gubar Baleman mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia berpaling kepada Senapati muda di sampingnya sambil berkata, “Begitu cepatnya Pujang Warit mengambil tindakan. Aku memuji kelincahannya.”
Senapati itu menganggukkan kepalanya. “Tetapi ia masih kurang cepat dari kau.”
Senapati itu masih sempat tersenyum ketika Gubar Baleman-pun tersenyum. Kemudian kepada pengawal yang menyusulnya itu ia berkata, “Baiklah. Aku akan menemuinya. Berapa orang jumlah utusan itu?”
“Enam orang.”
Sekali lagi Gubar Baleman tersenyum. “Jumlah yang besar.”
“Tidak,” sahut Senapati muda di sampingnya, “jumlah yang pantas dalam keadaan serupa ini.”
Gubar Baleman kini benar-benar tertawa, meskipun terasa aneh. “Katakan kepada utusan itu, sebentar lagi aku akan menemui mereka.”
“Baiklah.”
Sepeninggal pengawal itu Gubar Baleman kemudian berkata, “Kau jangan menampakkan dirimu supaya mereka tidak tahu, bahwa berita tentang Adinda Mahisa Walungan telah sampai kepadaku.”
“Baiklah.”
“Tetapi cobalah mendengarkan, apa yang mereka bicarakan. Kalau ada kesempatan, berusahalah mendekat.”
“Sulit. Gubug itu terlampau kecil. Di sekitarnya tidak ada tempat untuk bersembunyi.”
Gubar Baleman tersenyum, “Kalau mungkin. Kalau tidak, biarlah nanti aku ceriterakan apa yang mereka katakan kepadaku.”
Gubar Baleman-pun kemudian mendahului Senapati muda itu langsung pergi ke gubugnya. Di luar gubug itu ia melihat beberapa ekor kuda yang tertambat, sedang tamu-tamunya sudah duduk di atas tikar di dalam gubugnya yang sempit. Ketika mereka melihat Gubar Baleman, maka mereka-pun segera membungkukkan kepala mereka dengan hormatnya.
“Kami datang untuk menghadap Pamanda Menteri Gubar Baleman,” berkata salah seorang dari para utusan itu, juga seorang Senapati yang masih muda.
“Baiklah,” Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku sudah mendengar dari seorang pengawal, bahwa ada enam orang tamu dari kota, utusan Sri Baginda.” Gubar Baleman berhenti sejenak, “Apakah kalian membawa sepasukan prajurit untuk memperkuat pertahanan di perbatasan? Atau membawa perbekalan atau apapun yang dapat memperkuat ketahanan pasukan kita di sini?”
Sejenak para utusan itu saling berpandangan. Pertanyaan itu agaknya telah membuat mereka menjadi termangu-mangu. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa pertanyaan itulah yang akan diucapkan oleh Gubar Baleman. Tidak seperti lajimnya, sesuai dengan tata cara, yang ditanyakan lebih dahulu bagi tamu-tamu adalah keselamatan.
Baru sejenak kemudian Senapati muda yang memimpin utusan itu dapat menjawab, “Pamanda Menteri, mungkin Baginda ingin mendengar laporan tentang penumpasan pemberontakan Tumapel. Sampai saat ini, Adinda Baginda Mahisa Walungan sama sekali belum memberikan laporan apapun juga.”
“Lalu?”
“Aku mendapat perintah untuk memanggil Pamanda Menteri menghadap Tuanku Sri Baginda.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi Tuanku Sri Baginda memanggil aku?”
“Ya.”
“Baiklah,” jawab Gubar Baleman, “aku akan menghadap. Tetapi tidak hari ini. Aku harus mengatur pasukan di perbatasan ini, sehingga apabila setiap saat pasukan Singasari menyerang, sedang aku tidak ada, prajurit-prajurit kita tidak kehilangan pegangan.”
“Tetapi Baginda memerintahkan Pamanda Menteri untuk menghadap segera.”
“Ya, segera. Tetapi segera itu kapan? Aku tidak sedang bertamasya di perbatasan, sehingga setiap saat aku dapat meninggalkan tempat ini tanpa pertanggungan jawab apapun.”
“Aku hanya mengemban perintah.”
“Perintah itu sudah aku terima dan akan aku jalankan sebaik-baiknya. Baginda-pun pasti mengerti, bahwa, segera bagi seorang pimpinan pasukan yang sudah siap untuk bertempur, bukanlah berarti sekarang. Kau adalah seorang Senapati. Kalau kau tidak mengerti akan hal itu, maka kau agak terdorong langkah. Seharusnya pangkatmu diturunkan dua atau tiga tingkat lagi.”
Wajah Senapati muda itu menjadi merah padam. Sekilas dipandanginya wajah kawan-kawannya. Namun ia masih menahan diri untuk tetap bersikap baik. “Pamanda Menteri,” berkata Senapati itu, “perintah Baginda sebenarnya lebih jelas lagi. Pamanda diperintahkan menghadap bersamaku.”
“Boleh, boleh saja. Kalau begitu tunggulah. Hari ini aku akan menjelesaikan pekerjaanku di sini. Kalau besok semuanya sudah tidak mencemaskan lagi, kita akan pergi bersama-sama.”
“Bukan, bukan begitu,” sahut Senapati muda itu, “maksud Sri Baginda, Pamanda Menteri diperintahkan menghadap sekarang bersama kami.”
“Jangan membuat lelucon di sini,” berkata Gubar Baleman, “Kau telah memperbodoh Sri Baginda. Ingat, kalau aku menyampaikan kepada Sri Baginda, maka kalian akan di hukum. Sri Baginda adalah seorang Maha Senapati, seorang Panglima perang yang tiada taranya di dunia ini. Meskipun Sri Baginda tidak di medan ini. tetapi Sri Baginda mengetahui apakah yang telah terjadi di sini. Dan kau, yang sempat melihat dengan mata kepala sendiri. masih saja bersikap begitu bodoh, mencoba memaksa aku meninggalkan tanggung jawab yang begini besar begitu saja. Sekarang, sekarang. Seperti anak kelaparan minta makan.”
Sekali lagi warna merah menjalar ke wajah Senapati muda itu. Dan ia masih harus mendengar Gubar Baleman berkata, “Kalau kau ingin mendapat pujian anak-anak, pakailah cara yang lain. Kau harus menyadari, bahwa cara yang kau tempuh ini keliru. Sri Baginda pasti akan marah sekali karena sikap kalian. Apalagi kalau besok perbatasan ini pecah, dan pasukan Singasari mengalir seperti banjir bandang melanda daerah Kediri. Nah. apakah kau sadar, bahwa kau akan digantung karena kesalahanmu itu. Bukan hanya kau. tetapi aku juga akan digantung, karena aku telah meninggalkan tanggung jawabku.”
Senapati itu menjadi bingung. Ternyata Menteri Gubar Baleman tidak mempercayainya, bahwa Sri Baginda benar-benar telah memanggilnya. Sekarang, seperti istilah yang dipergunakan oleh Baginda itu juga. Dalam kebingungan itu, Senapati muda itu tidak segera dapat mengatakan apa-apa. Sejenak ia duduk dengan gelisah dan dada yang berdebar-debar.
“Jangan gelisah,” berkata Gubar Baleman, “tunggulah di sini. Aku akan menjelesaikan pekerjaan. Syukurlah kalau tugas ini dapat aku selesaikan hari ini. Nanti malam kita dapat berangkat bersama-sama.”
Senapati itu masih terdiam.
“Kenapa kau menjadi bingung? Ingat, kau adalah seorang Senapati. Bukan anak-anak lagi.”
“Pamanda Menteri,” berkata Senapati itu, “aku memang menjadi bingung. Perintah Baginda memang berbunyi demikian. Aku harus membawa Pamanda Menteri menghadap sekarang.”
“He,” potong Gubar Baleman, “kau sangka apa aku ini he? Kenapa kau harus membawa aku? Apakah aku tidak dapat menghadap sendiri?”
“Maksudku, pamanda diperintahkan untuk menghadap sekarang. Aku tidak mempergunakan kata-kataku sendiri, tetapi aku mempergunakan istilah Sri Baginda. Sekarang.”
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. “Kau memang bodoh. Kau tangkap arti kata seperti katanya itu sendiri. Tetapi baiklah. Kalau kau berkeras. Tunggulah aku di sini. Aku akan menghubungi para pemimpin kelompok dan para Senapati. Aku harus menyerahkan pimpinan kepada salah seorang dari mereka. Mudah-mudahan kita akan segera dapat berangkat. Segera, apakah segera itu sama dengan sekarang yang kau maksud aku tidak tahu.”
Senapati itu terdiam sejenak. Tetapi itu akan lebih baik dari besok atau kapan-pun. Ia dapat mengatakan bahwa selama itu ia menunggu Menteri Gubar Baleman yang sedang berkeliling, atau mencari alasan apapun. Meskipun demikian Senapati muda itu tidak segera menjawab. Sekali-sekali ditatapnya wajah Gubar Baleman yang menumbuhkan kesan yang lain padanya, kemudian dipandanginya wajah kawan-kawannya. Tetapi hampir setiap wajah rasanya menjadi asing baginya.
“Baiklah,” akhirnya Senapati muda itu menjawab, “aku akan menunggu sampai tugas Pamanda Menteri selesai. Mungkin benar juga kata pamanda Gubar Baleman, bahwa sebaiknya aku melihat persiapan yang sudah pamanda lakukan dengan mata kepala sendiri.”
“Buat apa kau melihat?” bertanya Gubar Baleman, “Kalau kau pemimpinanku, atasanku, misalnya Kau ini Adinda Mahisa Walungan atau Sri Baginda sendiri, pantaslah kau melihat-lihat untuk menilai pekerjaanku. Tetapi kau adalah bawahanku.”
Dada Senapati muda itu serasa akan retak. Kalau ia tidak mendapat tugas membawa Gubar Baleman menghadap, maka ia pasti sudah mengambil tindakan lain. Kalau saja perintah itu berbunyi, tangkap ia hidup atau mati.
“Tetapi apakah Pamanda Menteri Gubar Baleman atau justru aku sendiri yang akan mati,” geramnya di dalam hati, ia sadar bahwa Gubar Baleman adalah seorang Menteri yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan Kediri. Gubar Baleman adalah seorang prajurit yang pilih tanding. Tetapi untuk menerima penghinaan yang demikian, justru pada saat ia mengemban perintah Pujang Warit atas nama Sri Baginda, adalah sangat menyakitkan hati.
“Kalau aku datang atas namaku sendiri, aku menganggap bahwa kata-katanya wajar sekali. Tetapi aku adalah seorang utusan.” ia masih menggerutu di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tidak mengatakan sesuatu.
“Tunggulah di sini,” berkata Gubar Baleman kemudian, “aku akan menemui para Senapati yang bertugas untuk menjerahkan pimpinan pada salah seorang di antara mereka.”
Sekali lagi Senapati muda itu tidak mempunyai pilihan lain. Maka jawabnya, “Baik Pamanda Menteri, tetapi kami mengharap agar Pamanda Menteri menyadari, bahwa istilah yang aku pakai di dalam penyampaian perintah ini adalah istilah Sri Baginda sendiri.”
“Aku sudah mendengar dan aku bukan anak-anak. Jangan kau ulangi lagi pesan itu.”
Senapati muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan dada yang pepat ia menyaksikan Gubar Baleman keluar dari gubug itu, mengambil kudanya, kemudian meninggalkan tempat itu bersama tiga orang pengawal kepercayaannya. Tidak begitu jauh dari gubugnya, muncullah seorang penunggang kuda yang lain. Senapati yang menyampaikan berita penangkapan Mahisa Walungan, yang agaknya telah siap pula di atas punggung kuda.
“Ikuti aku sebentar,” perintah Gubar Baleman.
Ternyata mereka segera berpacu menemui Senapati yang telah mendapat kepercayaan Gubar Baleman untuk menggantikan pimpinan sementara di perbatasan.
“Aku mempunyai tamu,” berkata Gubar Baleman kepada Senapati itu.
“Siapa?”
“Seorang Senapati muda. Aku dipanggil oleh Sri Baginda seperti yang sudah aku duga. Aku akan pergi ke kota.”
“Bersama utusan itu?”
“Tidak. Aku justru akan mendahului mereka. Kalau jarak yang aku tempuh sudah cukup panjang, barulah kau memberitahukan kepada mereka, bahwa aku telah mendahului. Sebaiknya lewat senja nanti. Aku mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu di kota nanti.”
Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Utusan itu pasti akan marah. Tetapi kau harus menahan diri. Apapun yang kalian lakukan di sini atasnya, tetapi kalian harus memberi kesempatan Senapati itu kembali ke kota.”
“Baiklah. Aku akan melakukan semuanya.”
Gubar Baleman itu-pun kemudian membawa beberapa orang pengawal bersama Senapati yang telah menghubunginya untuk kembali ke kota. Ia sudah mempunyai rencana yang barangkali dapat dilakukannya. Tetapi untuk meringkuk di dalam tahanan selagi Kediri terancam bahaya adalah tidak menyenangkan sekali. Bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seluruh Kediri dan untuk Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Senapati muda utusan Sri Baginda itu-pun menjadi semakin gelisah. Gubar Baleman masih belum datang ke gubugnya kembali. “Meskipun malam, kita akan berjalan,” berkata Senapati itu kepada pengawalnya.
“Ya. kalau tidak, Pujang Warit dan bahkan mungkin Sri Baginda sendiri akan langsung marah kepada kita.”
Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi Gubar Baleman tidak juga kunjung datang. “Aku hampir tidak sabar lagi. Apakah kita harus mencarinya di sepanjang perbatasan yang menghadap ke Singasari ini?”
“Agaknya hal itu akan lebih baik dari pada kita duduk saja di sini tanpa berbuat sesuatu.”
Senapati muda itu-pun bangkit dan melangkah keluar. Di luar gubug itu ia melihat dua orang penjaga yang berjalan hilir mudik dengan tombak di tangan. “He,” panggil Senapati itu, “di mana Pamanda Menteri Gubar Baleman?”
Kedua prajurit yang sedang bertugas mengawal gubug perkemahan Gubar Baleman itu saling berpandangan. Kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Kami tidak tahu.”
“Gila,” Senapati itu menggerutu, “aku memang bawahan Pamanda Menteri. Tetapi sebagai utusan Sri Baginda aku berhak berbuat atas namanya apabila keadaan memaksa.”
Kemudian kepada pengawapnya ia berkata, “Marilah kita cari, di mana saja Pamanda Menteri itu bersembunyi.”
Para pengawalnya-pun kemudian keluar pula dari dalam gubug itu. Masing-masing pergi ke kudanya yang terikat di halaman perkemahan. Namun sebelum mereka meninggalkan perkemahan itu, mereka tertegun karena mereka melihat beberapa penunggang kuda mendekati mereka. Senapati muda yang memimpin utusan dari kota itu menyongsong beberapa orang penunggang kuda itu.
Namun sebelum ia bertanya sesuatu, salah seorang dari penunggang kuda yang mendekatinya itu berkata, “Akulah yang kini memegang pimpinan di perbatasan selagi Menteri Gubar Baleman pergi ke kota.”
Senapati muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kaulah yang menjadi utusan Sri Baginda memanggil Menteri Gubar Baleman?”
“Ya,” jawab Senapati muda itu.
“Kenapa kau masih berada di sini?”
“Kenapa?” Senapati muda itu heran mendengar pertanyaan penunggang kuda itu.
“Ya kenapa? Yang kau jemput sudah lama berangkat. Dan kau masih menunggui gubug ini.”
Wajah Senapati muda itu menegang. Kemudian ia maju selangkah sambil berkata, “Jangan bergurau. Aku adalah utusan Sri Baginda.”
Penunggang kuda itulah yang tampaknya menjadi heran. Katanya, “Aku sudah lama berada di perbatasan. Di daerah yang tegang dan panas ini. Aku sudah tidak sempat bergurau lagi.”
Senapati itu menjadi semakin tegang. Katanya, “katakan, di mana Pamanda Menteri Gubar Baleman.”
“Sudah aku katakan. Menteri Gubar Baleman sudah kembali ke kota bersama beberapa orang pengawalnya.”
“Bohong.”
“He, kenapa aku berbohong? Apakah gunanya? Kalau kau mencari seseorang, apakah gunanya aku menyembunyikannya? Apalagi seorang Menteri.”
Senapati muda itu menjadi marah karenanya. Disangkanya penunggang kuda itu mempermainkannya. “Cepat, tunjukkan aku di mana Pamanda Menteri Gubar Baleman sebelum aku mengambil tindakan atas nama Sri Baginda.”
Tetapi penunggang kuda itu justru tertawa. Katanya, “Kau seorang Senapati, aku juga seorang Senapati. Umurmu dan umurku terpaut cukup banyak, sehingga menurut tata kesopanan seorang prajurit, kau harus menghormati aku. Apalagi kini aku telah diserahi oleh Menteri Gubar Baleman kekuasaan atas perbatasan ini. Karena itu kau jangan merasa dirimu berkuasa di sini.”
“Aku memang tidak, tetapi kekuasaan Sri Baginda merata sampai ke ujung bumi.”
“Setiap orang dapat berkata demikian. Tetapi kau tidak mempunyai kekuasaan apa-apa selain memanggil Menteri Gubar Baleman. Dan aku sendiri mengetahui ketika ia berangkat meninggalkan daerah ini. Katanya, “Baginda memanggil aku sekarang. Sekarang.”
Darah Senapati muda itu serasa mengalir seluruhnya ke kepala. Dengan suara lantang ia berkata, “Agaknya Pamanda Menteri Gubar Baleman telah bersepakat dengan kau untuk mengadakan lelucon ini. Jangan menunggu aku kehilangan kesabaran. Aku adalah utusan Sri Baginda yang mempunyai kekuasaan atas namanya, seperti kekuasaan Sri Baginda sendiri.”
Alangkah sakit hati Senapati muda itu ketika penunggang kuda itu justru tertawa, “Jangan terlampau besar kepala anak muda. Memang kadang-kadang Senapati yang masih sangat muda, mudah kehilangan keseimbangan. Kau pasti mempunyai beberapa kelebihan sehingga dalam umurmu yang masih semuda itu, kau sudah sampai kepada jabatan seorang Senapati yang memimpin sepasukan prajurit. Tetapi kau sama sekali masih belum mempunyai kebijaksanaan sama sekali. Kau sangka bahwa seorang utusan mempunyai wewenang yang mengutusnya? Bagaimanakah apabila dua orang utusan atau penguasa atas nama Sri Baginda berbeda pendirian? Siapakah yang lebih kuasa dari keduanya?”
“Tetapi aku mendapat kekuasaan itu.”
“Aku juga. Sebagai seorang Senapati yang mendapat perintah pelimpahan yang berjalur dari Sri Baginda, aku menjadi pimpinan tertinggi dari seluruh pasukan Kediri di perbatasan. Setiap prajurit yang datang di perbatasan langsung di bawah perintahku, kecuali mereka yang memang berkedudukan lebih tinggi dari padaku.”
“Aku bukan pasukan perbatasan.”
“Tetapi kau berada di daerah kuasaku, sedang kau tidak berkedudukan lebih tinggi dari padaku. Karena itu jangan berbuat sesuatu yang dapat mencemarkan nama prajurit Kediri. Setiap prajurit harus mengerti urutan kekuasaan yang ada dalam tata keprajuritan.”
“Cukup. Aku bukan anak kemarin sore di dalam lingkungan keprajuritan Kediri. Tetapi yang penting sekarang tunjukkan di mana Pamanda Menteri Gubar Baleman. Apa lagi seorang Senapati dalam jabatan apapun. Seorang Menteri-pun harus tunduk kepadaku saat ini, sebagai pengemban tugas dari kekuasaan tunggal tertinggi di Kediri.”
“Menteri Gubar Baleman telah kembali ke kota.”
“Bohong,” bentak Senapati muda itu, “Ia harus pergi bersamaku.”
“Bagaimana mungkin kau dapat ketinggalan?”
“Tunjukkan di mana ia sekarang.”
“Di perjalanan.”
“Bohong. Bohong.”
“Jangan membentak-bentak. Di sini adalah beberapa pasukan prajurit di bawah perintahku. Kalau kau masih berkeras kepala, aku akan menangkapmu dan melaporkan tindakanmu yang bodoh itu kepada Panglima, adinda Sri Baginda, Mahisa Walungan.”
“Mahisa Walungan sudah tidak mempunyai kekuasaan apa-apa lagi. Ia sudah ditangkap karena ia memberontak.”
“O, kau sudah berceritera tentang suatu hal yang ngayawara. Kau agaknya memang sedang mengigau.”
Senapati muda itu hampir tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi ia masih sadar, bahwa ia tidak akan dapat melakukan kekerasan. Di belakang Senapati yang kini memegang pimpinan atas pasukan di perbatasan itu, beberapa orang prajurit agaknya sudah siap pula menghadapi setiap kemungkinan.
“O, aku berhadapan dengan orang-orang gila,” katanya di dalam hati, “agaknya orang-orang di perbatasan ini sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi kekuasaan Sri Baginda.”
Dan Senapati yang memimpin pasukan di perbatasan itu berkata seterusnya, “He. apakah kau tidak tahu bahwa Mahisa Walungan itu adalah Adinda Baginda? Siapakah yang berani menangkap Mahisa Walungan?”
“Sri Baginda,” sahut Senapati muda itu.
“O,” Senapati yang masih berada di punggung kuda itu menarik nafas dalam-dalam. “kau sudah bermimpi. Aku menjadi cemas, bahwa perintah Baginda kepada Menteri Gubar Baleman itu-pun hanya sekedar mimpi.”
Senapati muda itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
“Nah. daripada kau ribut di sini,” berkata pimpinan pasukan perbatasan itu, “agaknya lebih baik bagimu untuk menyusul Menteri Gubar Baleman yang dengan tergesa-gesa meninggalkan perbatasan kembali ke kota. Ia tidak sempat makan lebih dahulu meskipun sehari penuh ia belum makan, ia datang kepadaku sekedar memberikan kekuasaan atas pasukan di perbatasan, kemudian dengan tergesa-gesa memacu kudanya.”
“Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Buat apa aku menipumu?”
“Aku akan pergi ke kota menyusul Pamanda Menteri Gubar Baleman. Tetapi apabila kau berbohong, maka kau akan menyesal. Sri Baginda tidak akan dapat kau ajak bergurau dengan cara yang bodoh ini.”
“Jangan kau ulangi supaya aku tidak menjadi bertambah marah. Sudah aku katakan, pasukan di perbatasan tidak sempat bergurau. Mungkin kau yang ada di kota masih juga sempat berbuat apa saja. Tetapi kami tidak. Kami setiap hari hanya bergurau dengan senjata-senjata kami.”
Senapati muda itu meniadi semakin tegang. Tetapi ia tidak mau terlibat dalam kesulitan. Agaknya orang-orang di perbatasan itu benar-benar sudah menjadi asing. Sejenak Senapati muda itu merenung. Namun kemudian ia berkata kepada pengawalnya,
“Kita kembali ke kota. Kita akan melihat apakah Pamanda Menteri Gubar Baleman sudah menghadap. Kalau tidak, maka kita akan mengambil tindakan kepada orang-orang yang bersalah, meskipun di perbatasan ini. Karena pasukan di perbatasan ini-pun harus tunduk kepada perintah Sri Baginda atau yang mendapat pelimpahan kekuasaannya.”
Senapati itu tidak menunggu jawaban. Ia-pun segera meloncat ke punggung kudanya diikuti oleh pengawalnya. “Ingat,” katanya pula, “kekuasaan Sri Baginda tidak terbatas.”
Tetapi tidak ada yang menyahut. Para prajurit perbatasan itu hanya memandang mereka dengan tajam. Bahkan terdengar pemimpin pasukan perbatasan itu kemudian tertawa.
“Gila,” Senapati muda itu mengumpat sambil menghentakkan kendali kudanya, sehingga kuda itu-pun kemudian meloncat berlari sekencang angin.
Pengawalnya-pun kemudian menyusulnya pula, seakan-akan mereka sedang berpacu. Sejenak kemudian mereka-pun telah hilang di baliknya dedaunan liar di seputar perkemahan itu.
Senapati yang mendapat kekuasaan untuk memimpin pasukan perbatasan itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesis, “Agaknya keadaan Kediri akan menjadi terlampau gelap.”
Tidak seorang-pun yang menjawab. Dalam pada itu, Senapati yang sudah cukup lama menjadi prajurit Kediri itu duduk termangu-mangu di atas punggung kudanya. Dengan pandangan yang dalam, ditatapnya warna-warna merah di langit sebelah Barat. Rasa-rasanya ia sedang menatap Kediri yang berada di ujung senja.
“Apakah sudah sampai saatnya Kediri akan tenggelam?” desisnya di dalam hati, “para pemimpinnya sudah saling bertengkar sendiri. Sri Baginda sudah kehilangan kebijaksanaannya. sehingga Mahisa Walungan, orang yang paling mungkin untuk memimpin perlawanan bersama Menteri Gubar Baleman sudah di sisihkan, meskipun ia Adinda Baginda sendiri. Sementara Singasari semakin memperkuat perbatasan.”
Senopati itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kepada prajurit-prajuritnya ia berkata, “Kita kembali ke tempat tugas kita masing-masing. Kita akan segera dapat mengatasi kesulitan yang tidak berarti ini. Aku percaya kepada Menteri Gubar Baleman. Dan kepercayaan yang diberikan kepada kita-pun harus kita junjung tinggi-tinggi. Kita akan mempertahankan perbatasan ini, meskipun kita mendapat perintah untuk menarik pasukan lawan sampai ke Ganter. Tetapi apabila kita dapat membendung Singasari di perbatasan, itu pasti akan lebih dari rencana kedua.”
Para prajuritnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita lanjutkan rencana Menteri Gubar Baleman. Kita tidak tergantung kepada kekuatan prajurit saja. Rakyat yang dengan suka rela menyediakan dirinya, sudah kita tampung dalam suatu tempat latihan. Mereka harus kita persenjatai sebaik-baiknya, supaya mereka dapat membantu kita dalam keadaan yang sulit.”
Demikianlah maka Senapati itu meneruskan semua hal yang sudah dilakukan oleh Gubar Baleman. Justru ia semakin rajin membagi tugas para prajuritnya, termasuk latihan-latihan yang mereka berikan kepada rakyat Kediri yang dengan suka rela bergabung dengan para prajurit di perbatasan, tanpa mengenal waktu.
Sementara itu Gubar Baleman-pun telah sampai ke sebelah Utara Ganter, ketika malam telah menjadi semakin kelam. Kedatangannya telah menimbulkan harapan baru bagi pasukan yang hampir kehilangan pegangan itu. Dalam waktu yang singkat Gubar Baleman telah dapat mengumpulkan para Senapati yang berada di sebelah Utara Ganter untuk membicarakan masalah yang kini mereka hadapi.
“Kami akan tetap setia kepada Sri Baginda Kertajaya dan kepada Tanah kami,” berkata Gubar Baleman, “tetapi dengan cara kami sendiri.”
Para Senapati itu-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa di antara mereka yang menangkap berita-berita tentang keadaan terakhir segera menyampaikannya kepada Gubar Baleman.”
“Pujang Waritlah yang mendapat tugas untuk membubarkan pemusatan pasukan ini.”
“Cara apakah yang akan ditempuhnya? Kekerasan?”
“Mungkin tidak. Ia akan datang atas nama Sri Baginda dan memberikan tugas-tugas baru kepada setiap Senapati yang ada di sini, sehingga pemusatan pasukan ini akan tercerai-berai.”
Gubar Baleman menarik napas dalam-dalam. Sekilas terbayang bencana yang akan melanda Kediri, jika dalam saat yang demikian pasukan Singasari bagaikan banjir bandang menempur negeri ini.
“Apakah menurut perhitungan Pujang Warit ia akan berhasil?”
“Aku kira demikian. Ia mengharap kami tetap setia kepada Sri Baginda. Mahisa Walungan telah dituduh mempergunakan kesempatan ini untuk merebut takhta. Kami di sini, sebagian terbesar dianggap tidak tahu, untuk apa kami melakukan pemusatan pasukan. Sri Baginda menganggap bahwa Mahisa Walungan telah menipu kami untuk kepentingannya.”
“Adakah yang pantas kita curigai?“
Para Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tampak di dalam pandangan mata mereka. sesuatu yang rasa-rasanya tertahan di kerongkongan.
“Kalian memang cukup berhati-hati” berkata Gubar Baleman, “tetapi bagaimana kalau aku yang mulai? Aku mencurigai Pujang Warit.”
Tiba-tiba setiap kepala terangguk-angguk mengiakan. Bahkan terdengar beberapa orang bergumam, “Ya, kami-pun demikian. Ia berada di lingkungan ini pada mulanya.”
“Pasti ada sesuatu yang tidak wajar. Baginda pasti telah mendengar pengaduan palsu tentang Adinda Baginda. Sedang Adinda Baginda benar-benar seorang adik yang patuh dan tunduk. Ia tidak mau melakukan perlawanan langsung terhadap kakanda, meskipun maksudnya baik. Selain ia terikat oleh tingkat kekuasaan, ia adalah saudara muda yang sangat menghormati saudara tuanya yang dianggapnya sebagai pengganti ibu-bapa.”
“Tetapi apakah Kediri harus dikorbankan?” bertanya salah seorang Senapati.
“Tidak. Kita akan berbuat sesuatu meskipun barangkali tidak akan disetujui oleh Adinda Mahisa Walungan sendiri.”
“Apakah yang dapat kita lakukan?”
“Aku akan menghadap Sri Baginda?”
“Kapan?”
Gubar Baleman berpikir sejenak. Ditatapnya setiap wajah yang ada di sekitarnya. “Apakah kalian dapat dipercaya?”
“Kami berjanji,” hampir berbarengan para Senapati itu menjawab.
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. “Di mana Pujang Warit kini berada bersama pasukannya?”
“Ia juga mengadakan pemusatan pasukan tidak jauh dari tempat ini. Kami memperhitungkan, bahwa apabila ia gagal dengan caranya, memang mungkin sekali ia akan mempergunakan kekerasan.”
“Tetapi sebagian terbesar pasukan sudah berkumpul di tempat ini.”
“Ia masih mengharap pengaruh nama Sri Baginda, sehingga tidak semua Senapati di dalam pasukan ini akan berpihak kepada Mahisa Walungan. Sedang Pujang Warit telah mempergunakan pasukan pengawal istana dan pasukan pilihan yang lain. selain pasukan keamanan.”
“Tetapi itu tidak mencemaskan, seandainya ia akan mempergunakan kekerasan. Terpaksa sekali justru ketika Singasari sudah di ambang pintu. Tetapi aku akan mencari jalan lain untuk mencegah benturan yang mungkin dapat terjadi.”
“Kami mengharap itu akan berhasil.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Yang pertama-tama harus kalian lakukan adalah menahan Senapati muda yang pasti akan mencari aku kemari. Mudah-mudahan ia tidak berbuat sesuatu di pertahanan, sehingga tidak memungkinkannya meninggalkan daerah perbatasan itu.”
“Apakah kami harus menangkapnya?”
“Ya. Ia datang bersama beberapa pengawalnya. Besok aku akan menghadap Sri Baginda tanpa orang itu.”
“Jadi?”
“Dengar, siapakah yang sudah memahami segala sudut istana? Aku sendiri sudah. Tetapi aku memerlukan beberapa orang kawan.”
Beberapa orang Senapati segera menyatakan dirinya.
“Memang terpaksa sekali. Malam ini kalian harus memasuki istana bersama beberapa orang pilihan dengan diam-diam."
Para Senapati itu saling berpandangan sejenak.
“Aku akan menghadap Sri Baginda besok pagi. Tetapi aku sadar, bahwa aku akan ditangkap. Nah. tugas kalian adalah melindungi aku.”
“Suatu perlawanan langsung terhadap Sri Baginda,” desis salah seorang Senapati.
“Tidak. Kita hanya ingin mendapat kesempatan untuk meyakinkan Baginda, bahwa kami tidak akan memberontak. Adinda Mahisa Walungan harus dapat keluar dari bilik tahanannya. Kita bersama akan membuktikan bahwa kita tidak bersalah. Hanya itu. Tanpa menyentuh takhta Baginda sama sekali. Justru dengan demikian kita akan menyelamatkan kedudukan Baginda. Bukan saja dari orang yang membuat fitnah ini. tetapi juga dari kehancuran akibat benturan dengan Singasari.”
Para Senapati itu terdiam sejenak. Mereka mengerti maksud Gubar Baleman. Tetapi untuk melakukannya dengan berterus terang di hadapan Baginda, adalah terlampau berat bagi mereka.
“Bagaimana?” bertanya Gubar Baleman.
“Kalau Baginda salah paham, maka kita dapat dianggap memberontak,” berkata salah seorang Kediri.
“Memang,” jawab Gubar Baleman, “tetapi kita tidak memberontak. Kalau kita dituduh sebagai seorang pengkhianatan, dan seandainya usaha kita gagal, dan kita akan dihukum sebagai pengkhianat bersama-sama dengan Adinda Mahisa Walungan. Maka ini adalah pengorbanan kita yang terbesar. Jauh lebih besar daripada apabila kita mati di peperangan. Sebab mati di peperangan kita masih akan disanjung sebagai pahlawan. Tetapi mati dalam usaha kita kali ini untuk menyelamatkan Kediri, mayat kita masih akan dicemarkan.”
Gubar Baleman berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi kalau seharusnya demikian, aku rela. Aku rela mati dan dihinakan untuk kepentingan Kediri dan kesetiaanku kepada Sri Baginda. Niat ini adalah niat yang jujur. Bukan niat yang harus kita perlihatkan kepada setiap orang dengan dada tengadah, bahwa kita telah berjuang. Kita telah berjuang untuk Kediri.” sekali lagi Gubar Baleman berhenti. Matanya menjadi menyala-nyala, “Perjuangan kita mungkin tidak akan dikenal untuk selama-lamanya, bahkan kita akan dituduh sebaliknya. Siapa yang rela mengalaminya, marilah kita selamatkan Kediri. Siapa yang tidak berani menanggung akibat itu, aku persilahkan minggir.”
Pertemuan itu menjadi hening untuk sejenak. Setiap wajah menjadi tegang dan berkerut-merut. Namun akhirnya seorang Senapati yang sudah mendekati tengah abad berkata. “Baiklah. Aku mengerti maksud ini. Aku ikut.”
“Ya, aku turut serta.”
“Aku. Aku. Aku…“ akhirnya hampir setiap orang menyatakan kesediaannya.
“Terima kasih,” sambut Gubar Baleman. “jika demikian, marilah kita mulai. Kita harus mengatur diri kita supaya usaha ini tidak gagal.”
Para Senapati-pun kemudian seakan-akan merapatkan dirinya. Dengan tajamnya mereka memandangi Gubar Baleman.
“Nah, aku lanjutkan rencana yang sudah aku katakan. Sebagian dari kalian harus memasuki istana bersama beberapa orang prajurit pilihan,” berkata Gubar Baleman, “kalian harus berusaha untuk membuat para Senapati dan prajurit yang sudah berada di halaman istana tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kalian tidak usah melakukan kekerasan jika tidak terpaksa sekali. Jika sampai saatnya Baginda memerintahkan menangkap aku, maka kalian akan mengerti apa yang kalian lakukan. Penangkapan itu harus gagal, karena tidak ada seorang prajurit-pun yang akan melakukannya. Dalam kesempatan itulah Adinda Mahisa Walungan harus menghadap Sri Baginda. Adinda Mahisa Walungan dan aku sendiri akan memberikan penjelasan kepada Sri Baginda, bahwa Kediri sudah benar-benar berada di ujung bahaya. Dalam keadaan ini, masih juga ada orang-orang yang mempergunakan kesempatan untuk kepentingan diri sendiri.”
“Baiklah,” jawab para Senapati itu, “kami akan melakukannya.”
“Sebagian dari kalian tetap berada di sini. Ada dua tugas harus dilakukan. Kalau bahaya dari Singasari itu datang sewaktu-waktu, kalian yang tinggal di sini harus mencoba mengatasinya sebelum kami datang. Sedang kemungkinan yang lain, yang sama sekali tidak kita harapkan adalah apabila Pujang Warit mempergunakan kekerasan. Entah karena ia yakin dapat menguasai kita, atau justru karena ia menjadi berputus-asa.”
“Baik,” jawab mereka hampir serentak.
Gubar Baleman-pun segera memilih para Senapati yang sudah memahami benar-benar segala sudut istana. Mereka harus memasuki istana itu dengan diam-diam, dan dengan diam-diam pula berada di setiap penjagaan, mendampingi para petugas yang sudah ada. Mereka harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan jujur. Kalau ada di antara para prajurit itu yang menolak, maka mereka harus segera bertindak tanpa ribut-ribut...”
“Aku seorang prajurit Anusapati,” jawab Mahisa Agni, “seorang prajurit kadang-kadang memang harus pergi ke medan perang. Mendung yang mengambang di atas perbatasan Singasari dan Kediri sudah menjadi semakin kelam, sehingga agaknya perang tidak akan dapat dihindarinya lagi.”
“Tetapi bukankah paman akan kembali?”
“Aku mengharap untuk kembali ke istana ini. Karena itu, kau harus berdoa untuk paman, untuk Singasari dan untuk kesejahteraan seluruh rakyatmu.” Mahisa Agni berhenti sejenak, “ingat, kau adalah Putera Mahkota. Kau tidak boleh menjadi acuh tidak acuh atas jabatan yang sejak kecil sudah kau sandang itu.”
“Aku tidak senang dengan jabatan itu paman.”
“Kenapa?“ Mahisa Agni menjadi heran.
“Apabila ayah marah, ayah selalu membawa-bawa jabatan itu, seperti juga orang-orang lain. Emban itu sering juga marah, dan menyebut-nyebut bahwa aku tidak kuat untuk memangku jabatan ini.”
“Emban itu?”
“Ya paman. Tetapi kadang-kadang ia terlalu baik. Dan ia sering menangis sendiri tanpa sebab.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. “Itu semua merupakan latihan. Latihan kejiwaan. Kau sedang diuji apakah kau dapat mengatasi semua godaan itu. Kalau kau berhasil, kau kelak akan menjadi seorang raja yang paling mengagumkan.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Apakah setiap raja, seperti ayahanda Sri Rajasa, juga terlampau sering marah?”
Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab pertanyaan anak itu. Apalagi ketika Anusapati melanjutkannya, “Dan apakah apabila kelak aku menjadi raja, aku juga harus selalu marah-marah seperti Ajahanda itu?”
Mahisa Agni tersenyum. Jawabnya, “Sebenarnya Ayahanda tidak marah. Tetapi Ayahanda ingin agar kau menjadi seorang anak yang terlampau baik.”
Anusapati tidak dapat mengerti keterangan itu, meskipun ia tidak bertanya lagi.
“Tetapi yang harus kau sadari Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “seorang raja haruslah seorang yang kuat lahir dan batin. Itulah sebabnya kau harus tekun. Tetapi ingatlah, jangan kau perlihatkan kepada siapapun kalau kau mempunyai beberapa macam permainan yang pasti mereka anggap aneh.”
“Permainan yang mana paman?”
“Hampir seluruh parmainanmu yang paman berikan adalah permainan yang tidak lajim. Mereka akan heran dan akan terlampau banyak bertanya tentang permainan-permainan itu. Ingat hal itu.”
“Jadi aku harus bermain-main dengan permainam yang diberikan oleh bibi emban saja?”
“Ya, dihadapan orang lain. Apakah permainan itu?”
“Golek dan beberapa helai selendang yang bagus sekali.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sering melihat Anusapati bermain dengan anak-anakan. Kadang-kadang bermain pasaran seperti yang sering dilakukan oleh anak-anak perempuan. “Ini pasti suatu kesengajaan untuk membentuk jiwa anak itu menjadi lemah,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. “Apakah permainan Tohjaya yang pernah kau lihat?”
“Pedang-pedangan dan sebuah kuda kayu yang bagus, meskipun tidak sebagus golekku.”
“Baiklah, bermainlah dengan golekmu bersama emban. Tetapi kalau kau sempat, tidak seorang-pun yang melihat, lakukanlah permainan yang paman berikan.”
Anusapati mengerutkan kening. Tetapi kemudian kepalanya terangguk-angguk. Agaknya ia dapat mengerti maksud pamannya meskipun tidak seluruhnya. Ternyata Anusapati adalah anak yang patuh. Sebelum Mahisa Agni berangkat ke medan perang yang semakin mendekat, anak itu masih sempat mendapat beberapa macam petunjuk. Bahkan Anusapati kini tahu benar-benar mencari kesempatan itu. Setiap ia terlepas dari pengawasan embannya ia selalu berlari ke bangsal belakang. Kemudian ke kebun yang sepi di bagian belakang istana.
“Pada suatu ketika,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “apabila latihan-latihan ini sudah menginjak pada olah kanuragan yang sesungguhnya, pasti tidak dapat dilakukan di halaman istana yang mana-pun.”
Dan sejak saat itu Mahisa Agni sudah berusaha untuk mendapatkan tempat yang baik, dan kesempatan yang memungkinkan bagi Anusapati.
Dalam pada itu, hubungan antara Singasari dengan Kediri menjadi semakin memburuk. Keduanya sudah saling memutuskan untuk tidak mengadakan pembicaraan apapun, sehingga di perbatasan, ke dua belah pihak telah menyiapkan pasukan mereka. Namun agaknya Baginda di Kediri masih saja menganggap Singasari tidak lebih baik dari Tumapel, sehingga Baginda agaknya masih acuh tidak acuh saja melihat seekor harimau yang menjadi dewasa di dalam biliknya.
Dengan demikian maka persiapan-persiapan yang dilakukan tidaklah sesempurna persiapan yang dilakukan oleh Ken Arok. Baik di perbatasan maupun di seluruh negeri. Rakyat Kediri sibuk dengan persoalan mereka masing-masing. Ketidak puasan semakin lama menjadi semakin merajalela, terutama dari para pendeta di padepokan-padepokan.
Pengungsi-pengungsi-pun mengalir semakin banyak menyeberangi perbatasan Singasari, sehingga tugas penampungan bagi mereka-pun menjadi semakin banyak. Demikian juga tugas Mahisa Agni. Ia mengumpulkan juga orang-orang baru dalam kelompok-kelompok yang digabungkannya dengan pasukannya yang sudah terbentuk. Demikianlah maka pasukan Mahisa Agni menjadi semakin besar. Namun dengan demikian pekerjaannya-pun menjadi semakin banyak. Setiap hari ia harus turun ke alun-alun untuk memberikan bimbingan langsung kepada mereka yang sama sekali belum pernah mengenal senjata.
Karena itu, maka hubungannya dengan Anusapati-pun seakan-akan menjadi semakin renggang. Tetapi Mahisa Agni telah memberitahukan kepada anak itu, bahwa tugasnya memang menjadi semakin banyak, dan menyuruhnya untuk bermain-main sendiri di halaman yang sepi. Agaknya Anusapati-pun cukup cerdas. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Agni, sehingga tidak seorang-pun yang pernah melihat permainan apa yang telah dilakukan.
Ternyata Anusapati semakin lama menjadi semakin terampil. Ia sudah pandai memanjat seperti tupai. Kemudian bergayutan dengan tangannya sebelah menyebelah. Berputar balik pada dahan-dahan yang rendah, kemudian berloncatan dari cabang ke cabang. Kalau ia jemu bermain-main di pepohonan, maka ia-pun kemudian bermain-main dengan pasir. Dimasukkannya onggokan-onggokan pasir ke dalam kantong-kantong pandan, dan dijinjingnya kantong-kantong pandan itu berkeliling halaman. Kemudian diayunkannya berputar.
Dan apabila ia sudah menjadi lelah, maka dituangkannya pasir itu beronggok-onggok. Kemudian dibenamkannya jari-jari tangannya kiri kanan berganti-ganti. Terus-menerus. Seperti petunjuk Mahisa Agni, ditusuk-tusuknya onggokan pasir itu dengan sebuah jari, kemudian dua buah dan yang terakhir kelima-limanya diulurkannya dalam suatu himpitan rapat. Demikian bersungguh-sungguh, sehingga kadang-kadang jari-jari tangannya itu menjadi lecet dan berdarah. Tetapi anak itu tidak menghiraukannya.
Permainannya yang lain adalah memukul onggokan pasir itu dengan sisi telapak tangannya. Semakin lama semakin keras, sehingga sisi telapak tangannya menjadi keras. Selagi Mahisa Agni masih sempat, meskipun hanya sejenak, ia menyaksikan ke manakannya itu bermain sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Anak ini memang mewarisi kemampuan seperti ayahnya, Tunggul Ametung. Kekuatannya berkembang dengan pesatnya, ketrampilan dan kemampuan. Tetapi apabila setiap kali Mahisa Agni melihat air mata mengambang di mata anak itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Kekerdilan jiwanya yang masih belum dapat di atasi oleh Mahisa Agni.
“Lambat laun ia mencoba untuk tidak berputus-asa. Dan agaknya kemampuan jasmaniah anak itu memang memberinya harapan.”
Emban pemomong Anusapati yang setiap hari bergaul dengannya itu-pun sama sekali tidak mengetahui, bahwa momongannya itu memiliki kemampuan yang sama sekali tidak disangkanya. Setiap kali Anusapati bertemu dengan Tohjaya, maka setiap kali Anusapati selalu menjauhinya. Apabila pada suatu saat keduanya bertengkar, maka Anusapati sama sekali tidak berdaya menghadapi adiknya seayah. Kalau Anusapati didorong, oleh Tohjaya, anak itu selalu jatuh tertelentang, atau terjerembab. Tertatih-tatih ia bangun dan dengan tergesa-gesa menyingkir jauh-jauh. Kalau Tohjaya tidak berhasil menyakiti Anusapati, maka anak itu menjadi marah dan kadang-kadang menangis, mengadukan masalahnya kepada ayahanda. Baginda yang langsung marah kepada Anusapati.
“Ajari anak itu baik-baik,” berkata Kem Arok kepada emban pemomong Anusapati, “aku sudah memberi kau petunjuk. Anak itu harus menjadi anak yang rendah diri, lemah dan tidak mempunyai gairah bagi hari depannya. Kau tahu maksudku? Ia adalah keturunan Tunggul Ametung. Bukan maksudku untuk membedakan dengan anakku sendiri. Tetapi kekuasaan Singasari jangan sampai jatuh ke tangannya. Kau mengerti?”
Emban itu mengangguk.
“Kau bukan emban kebanyakan. Kau terpilih dari puluhan perempuan di Singasari yang aku percaya untuk menyelesaikan rencanaku. Meskipun sekarang kau berlaku seperti seorang emban pemomong, tetapi kau sudah ikut membangunkan Singasari di hari-hari mendatang. Kau mengerti?”
Emban itu mengangguk pula.
“Aku yakin kau akan berhasil. Anusapati tidak boleh mengembalikan kenangan nama Tunggul Ametung. Ia sudah mati. Mati untuk selama-lamanya? Rakyat Singasari tidak boleh mengenangnya lagi. Apalagi Ken Dedes. Ia sekarang adalah isteriku. Ia harus melupakan suaminya yang lama. Tetapi wajah Tunggul Ametung itu seakan-akan tercermin di wajah Anusapati.”
Emban itu tidak menjawab.
“Karena itu, aku tidak memberikan pemomong lain kepada Anusapati. Aku serahkan anak itu sepenuhnya kepadamu. Berhasil atau tidak, tergantung sekali kepadamu pula.” Sri Rajasa yang sudah matang dengan rencananya itu berhenti sejenak, kemudian, “sebentar lagi, seluruh isi istana, bahkan seluruh rakyat Singasari akan disibukkan oleh peperangan yang agaknya tidak dapat dihindari lagi. Nah, tugasmu menjadi semakin berat. Bentuk anak itu menurut petunjukku. Jangan sampai diketahui oleh ibunya atau oleh siapapun juga.”
“Hamba Tuanku,” jawab emban itu kemudian.
“Kalau kau gagal, kau akan menyesal.”
Emban itu mengerutkan keningnya. Ternyata tugas yang dibebankan kepadanya terlampau berat untuk dilaksanakan. Semula, ketika Ken Umang menyerahkannya kepada Sri Rajasa, ia merasa bahwa ia akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Tetapi ketika ia sudah berada di sisi anak itu, terasa bahwa tugas itu bukan sekedar dapat dilakukannya dengan sambil lalu. Membentuk seseorang menjadi seorang yang terlampau berkecil hati, lemah dan tidak mempunyai gairah apapun bagi masa depannya.
“Aku lebih senang untuk mengasuh Tohjaya, dan membentuknya menjadi seorang anak laki-laki,” katanya di dalam hati.
Namun tugas itu sudah dibebankan kepadanya. Tanpa orang lain. Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia merenungi dirinya sendiri, menjadi semakin jelas kepadanya, bahwa tugas yang dibebankan kepadanya adalah tugas yang hampir tidak dapat dilakukannya.
Sementara itu kemelut di perbatasan menjadi semakin panas. Pasukan Singasari mengalir seperti arus sungai dari segala jurusan ke perbatasan. Pada suatu saat Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi merasa, bahwa waktunya memang sudah tiba untuk menyatukan Kediri dan Singasari.
Namun agaknya Kediri yang merasa dirinya terlampau besar, tidak mudah untuk merasa cemas menghadapi persiapan Singasari yang menurut penilaian orang-orang Kediri tidak lebih dari Tumapel. Sehingga dengan demikian, Kediri masih saja tidak mempertinggi persiapan mereka. Mereka menganggap bahwa kekuatan yang diletakkan di perbatasan sudah cukup besar untuk menghadapi kekuatan Singasari.
Dalam pada itu, Sri Rajasa benar-benar telah bertekad untuk tidak gagal. Semua pasukan telah berada di perbatasan, selain pasukan keamanan yang masih tersebar di seluruh Singasari. Bahkan pasukan khusus yang dipimpin oleh Mahisa Agni-pun telah berada di pusat kekuatan Singasari. Pasukan itulah yang akan memasuki Kediri bersama-sama dengan pasukan inti dari Singasari. Dengan demikian maka Mahisa Agni harus segera meninggalkan istana dan Anusapati.
Dalam kesempatan terakhir Mahisa Agni berkata kepada Anusapati, “Paman akan segera berangkat Anusapati. Jangan nakal. Kau harus selalu ingat pesan paman.”
Anusapati menganggukkan kepala.
“Jangan lalai melakukan permainanmu kalau kau benar-benar ingin menjadi seorang Pangeran Pati yang baik. Tetapi ingat, jangan diketahui oleh orang lain.”
“Bagaimana dengan bibi emban?” bertanya Anusapati.
“Untuk sementara jangan. Kau mengerti?”
Anusapati menganggukkan kepalanya.
“Bahkan ibu-pun jangan.”
Anusapati mengerutkan keningnya, “Kenapa?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Memang sulit baginya untuk memberi tahukan apakah alasan yang sebenarnya. Yang dapat di katakannya adalah, “Anusapati. Banyak sekali orang yang ingin menjadi Putera Mahkota. Mungkin mereka iri kepadamu dan akan berusaha mengganggu kau, agar kau tidak dapat menjadi seorang anak yang kuat dan pantas untuk tetap menjadi seorang Putera Mahkota, yang ingat, kelak akan menjadi raja, menggantikan ayahanda Sri Rajasa. Bukankah kau lihat, Ayahanda Sri Rajasa adalah seorang kuat dan cerdas. Seorang yang berwibawa dan tidak lemah hati.”
“Kenapa banyak orang yang ingin menjadi Putera Mahkota? Siapakah yang sebenarnya boleh menjadi Putera Mahkota?”
“Kau, hanya kau Anusapati. Karena itu, kau dapat menumbuhkan iri hati. Itulah sebabnya kau harus menjaga dirimu. Kau harus tetap nampak lemah dan bodoh. Dengan demikian mereka menganggap bahwa kau kelak tidak pantas menjadi seorang raja.” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “mungkin terlampau sulit bagimu. Tetapi kelak kau akan mengetahuinya. Sekarang turuti saja nasehat paman.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Demi keselamatanmu dan masa depanmu Anusapati. Kau harus tetap menjadi Pangeran Pati.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, paman besok sudah pergi ke perbatasan. Ingat semua pesan paman.”
“Apakah paman lama pergi?”
“Aku tidak tahu Anusapati. Mudah-mudahan tidak.”
Anusapati terdiam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Seolah-olah ia merasakan betapa sepinya istana ini tanpa Mahisa Agni.
“Marilah, aku antar kau ke embanmu. Tetapi ingat, embanmu itu-pun harus tidak tahu apa yang kau lakukan dan terjadi.”
Anusapati mengangguk pula. Kemudian mereka berdua pergi ke bangsal tengah untuk mencari emban pemomong Anusapati. Seperti biasanya Anusapati selalu memanggil-manggilnya. Dan emban itu selalu keluar dari bilik itu-itu juga. Namun kali ini Mahisa Agni melihat emban itu berwajah terlampau suram. Matanya merah dan ujung kainnya basah oleh air mata.
“Apakah kau menangis bibi?” bertanya Anusapati.
Dipeluknya anak itu, dan diciumnya di keningnya, “Tidak angger. Bibi tidak menangis. Marilah tuan mandi. Nanti tuan segera tidur.”
“Emban,” berkata Mahisa Agni kemudian, “besok aku sudah harus meninggalkan istana. Aku tidak dapat lagi membantu mengawasi dan bermain-main dengan anak itu. Meskipun Baginda Sri Rajasa sudah mempercayakannya kepadamu, tetapi aku sebagai seorang paman, menitipkan anak itu pula. Kau tentu sadar, apakah artinya seorang Pangeran Pati.”
“Ya tuan.” perempuan itu masih akan menjawab, tetapi bibirnya serasa menjadi terlampau berat, dan matanya menjadi semakin basah.
Mahisa Agni menjadi heran melihat tingkah laku emban itu. Ia tidak dapat meraba sama sekali, apakah yang ada di dalam angan-angannya. Bagaimanakah sebenarnya tanggapannya terhadap Anusapati. Karena itu berbagai masalah bergulat di dalam hatinya. Bahkan kadang-kadang ia dicengkam oleh kecurigaan yang luar biasa. Apakah emban itu mendapat tugas sampai pada puncak kelicikan dengan menyingkirkan Anusapati perlahan-lahan?
Tetapi kadang-kadang tumbuh kepercayaannya kepada emban itu. Bahwa emban itu menaruh kasih kepada Anusapati. Ternyata setiap kali anak itu diciumnya, dibelainya dan dimandikannya baik-baik sebelum dibawa ke pembaringan. Bahkan kadang-kadang, seperti yang dikatakan oleh Anusapati, emban itu sering menangis tanpa sebab.
Dalam keragu-raguan itu Mahisa Agni menjadi semakin heran. Perlahan-lahan emban itu berkata, “Tuan, apakah aku dapat mengatakan sesuatu kepada tuan, sebelum tuan berangkat?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Tentu,” jawabnya.
“Tetapi tidak didengar oleh orang lain?”
Sejenak Mahisa Agni berdiam diri. Namun kemudian ia mengangguk pula, “Tentu.”
Emban itu mengusap matanya yang basah. Kemudian, katanya, “Aku akan memandikan tuanku Pangeran Pati.”
Mahisa Agni mengangguk, “Ya, mandikanlah.”
“Tuan dapat datang setelah angger Anusapati tertidur.”
“Baik.”
Emban itu mengusap kepala Anusapati, katanya, “Kau harus cepat tidur tuan kecil.”
Anusapati tidak menjawab. Tetapi berbagai pertanyaan tumbuh di dalam kepalanya.
Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bangsal itu. Perlahan-lahan ia kembali ke biliknya. Dari kejauhan dipandanginya bangsal tempat Permaisuri dan putera-puteranya yang kecil tinggal. Emban pemomong Ken Dedes, ibunya sendiri yang semakin tua masih sibuk membantu emban-emban yang lain melayani putera Ken Dedes yang didapatkannya dari Sri Rajasa.
“Anusapati, sebagai seorang Pangeran Pati harus mendapat pendidikan khusus,” berkata Sri Rajasa kepada Ken Dedes. Dengan alasan itulah maka Anusapati tidak tinggal bersama-sama di dalam satu bangsal dengan ibu dan adik-adiknya.
Mahisa Agni tiba-tiba tertegun sejenak. Tetapi kemudian ia melangkah lagi. Katanya di dalam hati, “Aku memang harus minta diri kepada ibu dan Ken Dedes. Tetapi biarlah nanti setelah aku bertemu dengan pemomong Anusapati itu.”
Demikianlah dengan gelisah Mahisa Agni duduk di dalam biliknya, di bagian belakang istana. Sekali-sekali ia memandang juga regol dinding yang memisahkan dua bagian dari istana Singasari. Istana yang lama, dan sebuah bangunan baru tempat tinggal Ken Umang. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak berani mendekati regol itu, kalau ia tidak ingin membuat persoalan yang dapat mengganggu usahanya membina Anusapati untuk selanjutnya. Ken Umang baginya tidak kurang dari sesosok hantu betina yang siap menerkamnya dan menyeretnya ke dalam jurang bencana yang paling dalam.
Sejenak, Mahisa Agni duduk sambil merenung di dalam biliknya, menunggu sampai Anusapati kira-kira sudah tertidur. Ia ingin kembali ke bangsal itu dan menemui emban pemomong kemenakannya itu. Sebagai seorang paman tidak seorang-pun yang menaruh keberatan apabila ia memasuki halaman di sekitar bangsal tengah itu. Tidak pula ada yang menaruh keberatan apabila ia bermain-main dengan Anusapati, yang sudah tentu permainan yang wajar bagi kanak-anak.
Tetapi Mahisa Agni menyadari, apabila seseorang melihat permainan yang khusus bersama Anusapati, maka pasti akan tumbuh masalah karenanya. Ketika Mahisa Agni mendekati bilik Anusapati, ternyata Anusapati memang sudah tertidur. Karena itu, maka Mahisa Agni-pun segera masuk ke dalam bilik itu.
“Silahkan tuan,” emban itu mempersilahkannya, “aku memang ingin mengatakan sesuatu kepada tuan. Aku kira tidak ada seorang-pun di sekitar bilik ini. Para prajurit berada di regol halaman atau di luar sama sekali.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tuan,” berkata emban itu, “apakah tuan bersedia untuk merahasiakan ceriteraku nanti demi keselamatanku?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Apakah ceriteramu mengandung bahaya bagimu?”
Emban itu mengangguk, “Ya tuan. Bahaya yang berat bagiku.”
“Aku berjanji.”
“Aku memang yakin kalau tuan mempunyai belas kasihan kepadaku. Bukan saja untuk kepentingan keselamatanku, tetapi juga kemanakan tuan, Tuanku Pangeran Pati.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Tuan,” berkata emban itu perlahan-lahan, “sebenarnya aku menjadi heran melihat perkembangan angger Anusapati.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata itu. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya. “Sama sekali di luar nalarku, bahwa Pangeran Pati itu mampu melakukan hal-hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka.”
“Apakah yang dilakukannya?” bertanya Mahisa Agni dengan serta-merta.
Emban itu menarik nafas dalam-dalam.
“Apa?”
“Tuan. Kadang-kadang angger Anusapati mengigau. Bukan saja mengigau, tetapi bergerak dan menyentak-nyentak. Agaknya ia sedang bermimpi melakukan permainan yang aneh. Yang tidak aku mengerti. Padahal ia tidak pernah bermain-main demikian.”
Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Apakah rahasia yang selama ini ditutupinya rapat-rapat itu disadarinya sudah diketahui oleh orang lain meskipun tidak seluruhnya?
“Tuan,” berkata emban itu pula, “pada suatu saat yang lain, permainan tuanku Pangeran Pati tersangkut di langit-langit bilik ini. Semula aku akan mencari kayu untuk mengambilnya. Tetapi ternyata anak itu dapat mengambilnya sendiri.”
“Bagaimana ia mengambil?”
“Aku tidak tahu Tuan. Yang aku ketahui, sebelum aku menemukan kayu penggalah, angger Anusapati sudah berlari-lari kepadaku sambil membawa mainannya itu.”
“Ah, mungkin Anusapati tidak mengambilnya. Mungkin oleh angin atau apapun sehingga permainan itu jatuh sendiri.”
Emban itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia menunjuk ke satu sudut di dalam bilik itu, “Lihatlah Tuan.”
Ketika Mahisa Agni melihat ke arah yang ditunjuk oleh emban itu, hatinya berdesir. Ia melihat tapak kaki pada dinding bilik itu.
“Tapak kaki itu belum lama melekat pada dinding itu. Belum ada sepekan. Ketika angger Anusapati mengambil mainannya yang tersangkut di langit-langit. Nah, apakah kata Tuan tentang anak yang dapat berbuat demikian itu?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Suatu kecerobohan yang dapat menumbuhkan rintangan. “Tetapi Anusapati masih belum cukup dewasa untuk mengerti bahaya yang selalu mengancamnya,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Tetapi ia bertanya, “Apakah kau yakin bahwa tapak kaki itu tapak kaki Anusapati?”
Siapa lagi Tuan. Apakah aku? Atau orang lain yang berani masuk ke dalam bilik ini?”
Mahisa Agni menarik nafas. Memang di dalam hati ia tidak dapat ingkar lagi. Telapak kaki itu pasti telapak kaki Anusapati. Namun demikian, kecurigaan Mahisa Agni terhadap emban itu-pun kian bertambah-tambah. Kalau emban itu seorang emban kebanyakan, apakah ia dapat berpikir secermat itu?
“Tuan, semuanya itu telah menumbuhkan keheranan dan pertanyaan yang selalu menggangguku.”
“Biarlah aku hapus bekas telapak kaki itu.”
“Bukan bekas itu yang penting Tuan. Tetapi perkembangan apakah yang sudah terjadi di dalam diri angger Anusapati?”
“Kau pasti lebih tahu daripadaku. Aku hanya sempat bermain-main beberapa saat saja setiap hari. Kalau aku pulang dari barak dan latihan, aku memang kadang-kadang menjumpainya bermain-main sendiri. Tetapi bermain-main anak-anakan. Gateng, dan yang paling baik yang pernah dilakukan adalah jirak.”
“Ya. Itulah sebabnya aku menjadi bingung.”
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Ia harus mengerti dahulu arah pembicaraan emban ini, supaya itu tidak terjerumus dalam kekeliruan yang berakibat parah.
“Tuan,” berkata emban itu kemudian, “sebenarnya aku ingin minta Tuan membantu aku, atau Tuan akan mengutuk aku.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Apa maksudmu?”
“Lebih baik Tuan menghapus bekas kaki itu dahulu. Kalau Sri Baginda melihat dan bertanya kepadaku, aku tidak akan dapat menjawab.”
“Kenapa kau tidak mengatakan, bahwa itu telapak kaki Putera Mahkota yang bermain kejar-kejaran dengan seekor cicak?”
“Oh,” emban itu memegangi keningnya.
“Bukankah dengan demikian Baginda akan bangga dan berterima kasih kepadamu, karena kau sudah mengasuhnya sebaiknya.”
“Itulah yang akan aku katakan kepada Tuan.” potong emban itu, “tetapi aku minta Tuan melindungi namaku.”
“Kenapa?”
“Tuan akan tahu.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
“Sebenarnya aku memang mempunyai tugas khusus Tuan,” berkata emban itu.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Tugas yang semakin lama semakin tidak aku mengerti.”
Mahisa Agni masih tetap membisu, tetapi perlahan-lahan ia mulai mengambil kesimpulan, bahwa memang ada yang tidak wajar di dalam bilik ini.
“Tetapi ternyata perkembangan angger Anusapati membuat aku menjadi bingung. Aku tidak akan dapat mempertanggung jawabkan tugasku lagi.”
“Apakah sebenarnya tugasmu?”
“Tuan, apakah yang sebenarnya Tuan kehendaki atas angger Anusapati?”
“Apakah yang aku kehendaki? Pertanyaanmu aneh emban. Aku tidak menghendaki apapun. Sebagai seorang paman, aku pasti ikut mengharap agar kemurahan hati Sri Rajasa, mengangkat Anusapati menjadi Putera Mahkota, dapat tanggapan yang sewajarnya dari Anusapati sendiri. Ia tidak boleh mengecewakan hati ayahandanya, sehingga ia kelak akan menjadi seorang raja yang besar, yang alangkah senang hati Baginda, apabila Anusapati dapat menyempurnakan apa yang sudah dirintis oleh Sri Rajasa kali ini.”
Emban itu tidak segera menyahut. Tetapi kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam.
“Apakah ada yang salah?” bertanya Mahisa Agni.
Emban itu tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Dengan demikian maka ruangan itu menjadi hening sejenak. Yang terdengar adalah desah nafas Anusapati yang sedang tertidur nyenyak.
Untuk menghilangkan kekakuan, Mahisa Agni berdiri sejenak, dan melangkah ke sudut bilik itu. Ditatapnya bekas telapak kaki yang masih tampak jelas melekat di dinding. Memang bekas telapak kaki itu harus dihapus, supaya tidak memumbuhkan bermacam-macam pertanyaan yang tidak akan dapat dijawab oleh emban itu.
Mahisa Agni-pun kemudian meloncat sambil mengusap bekas telapak kaki itu dengan tangannya, sehingga yang masih tampak melekat di dinding itu tidak lagi berkesan seperti telapak kaki, tetapi sekedar debu biasa.
“Tuan sudah menghapusnya?” terdengar emban itu bertanya lirih.
“Ya. Aku sudah menghapusnya. Setidak-tidaknya, tidak akan lagi menimbulkan pertanyaan, telapak kaki siapakah yang ada di dinding itu.”
“Terima kasih tuan.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia kembali duduk di tempatnya.
“Bilik ini semakin lama semakin menyiksaku tuan,” desis emban itu kemudian.
“Kenapa?”
“Tuanku Pangeran Pati itu,” jawabnya sambil memandang Anusapati yang tidur nyenyak.
“Kenapa dengan Anusapati?”
Emban itu masih saja ragu-ragu, sehingga Mahisa Agni menjadi hampir tidak sabar lagi. Anusapati biasanya tidak terlampau lama tidur siang, sehingga apabila anak itu nanti terbangun, maka emban itu tidak akan sempat mengatakan apa-apa. Padahal besok ia harus sudah membawa pasukannya ke perbatasan.
“Tuan,” berkata emban itu selanjutnya, “tugasku ternyata terlampau berat bagiku. Terus-terang, aku bukan orang yang baik. Bukan orang berbudi. Justru karena itulah maka aku telah dipilih oleh Ken Umang dan diserahkannya kepada Tuanku Sri Rajasa untuk mengasuh angger Anusapati.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Sebagai seseorang yang memang kurang berbudi, aku menyanggupi tugas itu. Aku mendapat upah yang cukup, yang tidak akan aku dapatkan, meskipun aku bekerja di mana-pun juga.”
“Apakah tugas itu,” Mahisa Agni menjadi tidak sabar.
“Tugas itu tampaknya sederhana sekali.”
“Ya, tetapi apa?”
“Sekedar membuat angger Anusapati menjadi jinak. Jinak sekali.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Kini semua kecurigaannya itu terbukti, bahwa memang ada usaha untuk membuat Anusapati tidak berdaya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, tanpa sesadarnya ia berdesis, “Aku sudah menyangka?”
Emban itu terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya, “Apa yang sudah tuan sangka?”
Kini Mahisa Agni lah yang terkejut. Sejenak ia berdiam diri, namun kemudian ia menjawab, “Aku sudah menyangka, bahwa Anusapati tidak mendapat tuntunan sewajarnya.”
“Kenapa tuan menyangka demikian?” emban itu bertanya pula, “Agaknya tuan memang sudah mencurigai Sri Rajasa.”
Mahisa Agni menarik nafas. Katanya kemudian, “Aku tidak memandangnya sebagai seorang raja yang memberikan kebanggaan bagi rakyat Singasari. Tetapi aku memandangnya sebagai seorang manusia biasa. Bukankah kau tahu, bahwa Anusapati itu bukan putra Sri Rajasa.”
Emban itu mengangguk kecil.
“Bukankah prasangka itu masuk akal?”
Sekali lagi emban itu mengangguk kecil.
“Dan kau melakukannya?” Mahisa Agni bertanya pula.
Emban itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku memang sudah mencoba melakukannya.”
“Aku juga sudah menyangka. Sejak semula aku tidak dapat melepaskan diri dari kecurigaan, kenapa justru hanya seorang emban yang diserahi untuk menuntun, mengawasi, memelihara segala-galanya. Hanya kadang-kadang saja ada orang lain yang membantu. Itu-pun khusus untuk kepentingan-kepentingan yang tidak langsung berhubungan dengan Anusapati. Berbeda dengan Tohjaya. Ada dua tiga orang emban yang selalu mengawaninya setiap-saat. Dua orang pengawal khusus dan permainan yang memadai sebagai seorang anak laki-laki.”
“Memang tuan. Di sini tampaknya ada juga beberapa orang emban. Tetapi adalah tugasku untuk mengasingkan Anusapati. Dan aku agaknya sudah berhasil. Emban-emban yang lain sama sekali tidak dapat berbuat apapun atas Putera Mahkota. Dan agaknya mereka-pun senang pula karenanya, selain pekerjaan mereka menjadi jauh lebih ringan, mereka justru mendapat pemberian-pemberian khusus. Tugas mereka tidak lebih dari membersihkan bilik ini nanti di sore hari dan pagi hari. Menjediakan makan dan minumnya. Mencuci pakaiannya dan duduk-duduk di halaman ini menjelang senja.”
“Ya, aku mengerti.”
“Agaknya tuan terlampau banyak memperhatikan karena itulah agaknya tuan sering marah kepadaku.”
“Tidak sering, hanya mungkin pernah aku berbuat demikian di luar sadarku.”
“Tetapi kini aku tahu, bahwa tuan melakukannya karena tuan memang sudah berprasangka.”
“Ya, Lalu apa yang sudah kau lakukan kemudian?”
“Tetapi, akhirnya aku terjerat oleh perasaanku sendiri. Hubungan yang setiap hari antara aku dan Tuanku Anusapati telah menumbuhkan sesuatu yang tidak aku mengerti. Akhirnya aku merasa, bahwa aku telah mencintai anak itu seperti anakku sendiri.”
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Terasa getaran kata-kata emban itu memancar dari dasar hatinya, sehingga tumbuhlah kepercayaan Mahisa Agni kepadanya dengan perlahan-lahan. Sejenak Mahisa Agni tidak menyahut. Kini ia melihat titik-titik air mata itu lagi. Menetes satu-satu di lantai bilik Anusapati yang seakan-akan terpisah itu.
“Tuan,” berkata perempuan itu, “sebagai seorang yang tidak pantas lagi berada di dalam lingkungan pergaulan yang wajar, aku sama sekali tidak menyangka bahwa aku justru akan terlempar ke dalam istana, apalagi sebagai seorang pengasuh Pangeran Pati. Meskipun aku banyak bergaul dengan para bangsawan di masa mudaku, tetapi itu sebagai mimpi yang datang sekilas berganti-gantian.” perempuan itu menundukkan kepalanya, “memang kadang-kadang aku menyimpan dendam kepada mereka yang menemukan kebahagiaan hidup. Aku menjadi iri kepada Tuanku Permaisuri Ken Dedes, karena ia hanya berasal dari padepokan yang melonjak ke singgasana seorang Permaisuri. Tetapi aku iri juga kepada Ken Umang, yang kini perlahan-lahan nampaknya akan berhasil merebut keturunan Ken Dedes untuk merajai Tanah ini.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Tuan, aku sendiri tidak mempunyai seorang anak-pun. Aku belum pernah merasa betapa bahagianya seorang perempuan yang mengandung dan kemudian melahirkan seorang anak. Apakah anak laki-laki apakah anak perempuan. Aku tidak tahu, betapa bersihnya hati kanak-anak. Dan aku tidak tahu, betapa jahatnya merusak hari depan anak-anak yang sama sekali tidak menyadari, apakah yang akan terjadi atas dirinya itu. Ternyata setelah aku bergaul dengan Tuanku Pangeran Pati, aku mengerti, bahwa aku sebenarnya telah terjerumus terlampau jauh.“
Mahisa Agni tidak dapat menyahut, dan bahkan mengucapkan kata-kata apapun, selain mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ken Umang yang mempunyai anak-anaknya itu seharusnya lebih merasakan kasih terhadap anak-anak. Tetapi mata hatinya telah dilapisi oleh pamrih, sehingga ia sampai hati mengorbankan hari depan Anusapati untuk kepentingannya sendiri dan keturunannya.”
Terasa dada Mahisa Agni bergejolak. Dengan susah payah ia mencoba menguasai perasaannya. Tanpa menyadari keadaan Anusapati, ia pasti sudah mengambil suatu keputusan. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat mempergunakan nalarnya. Anusapati harus tumbuh sesuai dengan rencananya. Rencananya yang bertentangan sama sekali dengan rencana Sri Rajasa bersama Ken Umang yang agaknya telah berhasil mempengaruhi Baginda lebih jauh lagi.
“Tuan,” berkata emban itu selanjutnya, “aku sudah mengatakan keadaanku sekarang di sini. Terserahlah kepada tuan, apakah tuan percaya kepadaku atau tidak. Sudah lama aku memang tidak lagi dapat dipercaya. Tetapi kini aku mencoba untuk mencari jalan agar aku tidak terlanjur kehilangan sifat-sifat kemanusiaanku. Aku akan mempertahankan sifat-sifat itu yang masih tersisa di dalam diriku.” emban itu terdiam sejenak. Lalu, “Tetapi bagaimana dengan Pangeran Pati itu? Kalau kemudian diketahui, bahwa aku sudah berkhianat, maka aku pasti akan mendapat hukuman. Tetapi itu tidak penting, meskipun aku ngeri juga. Yang penting adalah nasib angger Anusapati. Ken Umang pasti akan mencari orang lain untuk menggantikan aku. Dan Sri Baginda akan segera mengambil keputusan, mengganti pengasuh Anusapati dengan orang lain yang jauh lebih baik. Sri Baginda akan dapat saja mengatakan, bahwa selama ini Putera Mahkota itu sama sekali tidak mendapat kemajuan. Dan aku-pun akan segera hilang dari pergaulan.”
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Aku tidak tahu emban, apakah aku dapat mempercayai ceriteramu atau tidak. Tetapi aku melihat kejujuran yang memancar dari hatimu. Mudah-mudahan kau berkata sebenarnya.” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “Memang benar katamu, bahwa nasib Anusapati lah yang paling penting sekarang.”
“Begitulah Tuan.”
“Emban,” berkata Mahisa Agni kemudian, “besok aku harus sudah pergi. Menurut pendapatku, sementara ini berlakulah seperti biasanya apa yang kau lakukan. Jangan kau rubah sikapmu dan caramu mengasuh Anusapati. Ia harus tetap terpisah dari orang-orang lain yang dapat mempengaruhinya, seperti pesan Ken Umang. Ia harus tetap bermain-main dengan anak-anakan kayu, pasaran dan sebagainya seperti yang selalu dilakukannya. Biarlah ia berkeliaran sendiri di kebun-kebun seperti anak-anak liar tidak terurus, mencari buah-buahan dan bermain-main dengan tanah dan pasir. Kemudian pada saatnya ia mencarimu, mandikanlah dan bawa ia tidur. Barangkali yang dapat kau lakukan, selain seperti kebiasaanmu, berilah anak itu ceritera-ceritera kepahlawanan. Ceritera tentang Sri Baginda raja-raja yang pernah ada. Kau tahu maksudku?”
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalamya.
“Nah, kita masih mempunyai waktu yang cukup. Mudah-mudahan aku kembali dari peperangan dengan selamat. Kediri adalah suatu negeri yang besar, yang penuh dengan senapati-senapati yang mumpuni.”
“Tetapi tuan adalah seorang yang luar biasa.”
“Siapa yang mengatakannya?”
“Tuan berhasil mengalahkan Tuan Witantra.”
“Darimana kau tahu?”
“Semua orang mengetahuinya.”
“Sudahlah. Jagalah anak itu baik-baik. Mudah-mudahan ia kelak dapat memenuhi tugasnya sebagai seorang raja. Kau masih harus bermain dalam dua peran yang sulit. Tetapi aku percaya bahwa kau akan berhasil. Kau akan tetap mendapat kepercayaan dari Sri Baginda dan Ken Umang. Jangan sampai anak itu jatuh ke tangan orang lain yang akan dapat berbuat jauh lebih jahat dari yang pernah dialaminya.”
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Agni, karena itu maka jawabnya, “Mudah-mudahan aku dapat berbuat seperti yang tuan maksud.”
“Aku percaya kepadamu. Anak itu-pun agaknya sudah dapat kau ajak berbicara serba sedikit.”
“Ya tuan. Mudah-mudahan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Anusapati yang masih tertidur nyenyak. Memang di wajahnya seolah-olah terbayang wajah Tunggul Ametung, sehingga tidak mengherankan apabila Ken Arok yang berusaha melupakan kekuasaan Akuwu Tumapel itu merasa tersinggung setiap kali. “Sudahlah,” berkata Mahisa Agni kemudian, “aku masih mempunyai tugas yang harus aku selesaikan hari ini. Kalau aku tidak sempat menemuimu lagi, aku minta diri. Jagalah anak itu baik-baik. Dan aku akan sangat berterima kasih apabila kau menganggapnya seperti anakmu sendiri.”
“Ya tuan. Aku akan menjaganya meskipun aku masih harus berpura-pura. Tetapi aku mengharap tuan mengerti perasaanku.”
“Aku mengerti,” sahut Mahisa Agni, kemudian, “sudahlah, aku minta diri. Aku akan menjumpai ibunya. Tuanku Permaisuri.”
“Silahkan tuan. Selama ini aku-pun sudah berhasil memenuhi tugas yang dibebankan kepadaku. Memisahkan anak itu jauh-jauh dari ibunya. Dari adik-adiknya dan emban pemomong Tuanku Permaisuri.”
“Begitukah pesan Sri Rajasa?”
“Pesan, ken Umang. Tetapi agaknya Sri Rajasa juga tidak berkeberatan.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Di kepalanya terbayang suatu pemberontakan yang perlahan-lahan dilakukan oleh Ken Umang merebut keturunan untuk menguasai takhta Singasari. Tetapi bahwa emban itu justru telah tergelincir ke dalam kasih seorang perempuan terhadap anak-anak, adalah menguntungkan sekali. Itu adalah suatu kurnia dari Yang Maha Agung, bahwa Anusapati masih mungkin sekali diselamatkan.
Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bilik itu. Meskipun ia mempercayai emban itu. tetapi ia sama sekali belum berani mengatakan bahwa Anusapati telah mendapat beberapa macam petunjuk daripadanya, untuk membuat Anusapati menjadi seorang Pangeran Pati yang pantas. Bagaimana-pun juga masih ada selapis kecurigaannya terhadap emban itu. Mungkin sekali bahwa pada suatu saat gemerincingnya emas dan permata akan membuatnya berubah pendirian.
Dari bilik Anusapati. Mahisa Agni masih sempat mengunjungi bilik Ken Dedes. Ia minta diri pula kepada adik angkatnya dan kepada emban pemomongnya, yang tidak lain adalah ibunya itu. Bagaimana-pun juga, namun emban itu terlampau sulit berusaha menyembunyikan perasaan seorang ibu. Tiba-tiba saja matanya menjadi basah. Tetapi ia tidak berbuat lebih dari seorang emban.
Demikianlah maka Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan istana Singasari pergi kebarak. Ia harus mempersiapkan pasukannya yang besok akan berangkat ke medan. Pasukan Mahisa Agni adalah pasukan yang memang sangat khusus. Dengan susah payah Mahisa Agni telah membentuk serombongan pengungsi menjadi sepasukan prajurit yang siap maju ke medan perang.
Tetapi usahanya selama ini agaknya tidak sia-sia. Latihan yang tidak mengenal lelah, yang diutamakan untuk membuat setiap orang di dalam pasukannya mampu mempergunakan senjata, ternyata dapat memadai pula. Meskipun ada di antara mereka yang sama sekali belum pernah meraba hulu pedang, kini dengan tangkasnya ia dapat memutar pedang dan menyandang perisai.
Mahisa Agni bersama-sama beberapa orang prajurit yang diperbantukan kepadanya, merasa bahwa pasukannya kini tidak lagi terlampau lunak untuk digilas oleh pasukan lawan yang betapapun kuatnya. Di setiap kelompok Mahisa Agni berusaha menempatkan kekuatan-kekuatan yang dapat dibanggakan, setidak-tidaknya untuk menuntun kawan-kawannya yang lain apabila mereka berada di peperangan.
Tetapi, meskipun pasukan itu tidak sekuat pasukan-pasukan yang memang terdiri dari prajurit yang sudah terlatih, namun Mahisa Agni sama sekali tidak kecewa apabila ia melihat tekad yang benar-benar menyala di setiap dada orang-orang Kediri. Mereka bertekad untuk kembali ke kampung halaman. Meskipun seandainya ada di antara mereka yang harus jatuh menjadi korban, tetapi korban itu sama sekali tidak sia-sia. Mereka telah berjuang untuk melepaskan Kediri dari kericuhan dan tindak yang mereka anggap sewenang-wenang, terutama di bidang keagamaan.
Demikianlah Mahisa Agni telah berhasil menyiapkan seluruh pasukannya. Mereka telah bersiap untuk berangkat besok, menyusul pasukan-pasukan lain yang sudah lebih dahulu berada di perbatasan. Keberangkatan pasukan itu sejalan dengan rencana Ken Arok bahwa tidak ada gunanya lagi menunda-nunda benturan yang pasti akan terjadi antara Singasari dan Kediri.
“Jangan menunggu mereka bersiap lebih jauh. Selagi mereka masih tenggelam di dalam mimpi, bahwa Kediri tidak terkalahkan, maka pada saat yang demikian kalian harus menerobos memasuki batas negara itu, langsung menusuk ke jantung pemerintahan.” perintah Ken Arok yang memangku kekuasaan Singasari yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Maka para Panglima. Pandega dan Senapati-pun segera menyesuaikan diri dengan perintah itu. Mereka segera menempatkan diri mereka sesuai dengan rencana. Setiap pasukan telah bersiap di mulut jalan-jalan raya yang menuju ke Kediri. Pasukan Mahisa Agni-pun harus mengambil bagian pula dalam persiapan yang sudah matang itu.
Beberapa orang pengawas perbatasan dari Kediri melihat persiapan Singasari yang telah matang. Dengan cemas mereka menyampaikan laporan itu kepada atasan mereka, sehingga akhirnya berita itu-pun sampai juga ke hadapan Sri Baginda Kertajaya.
“Apakah yang akan dapat dilakukan oleh Tumapel?” Barinda bertanya kepada para Senapati.
“Mereka sudah bersiaga di perbatasan Tuanku.” jawab para Senapati.
Baginda Kertajaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku adalah Maharaja yang dikasihi oleh dewa-dewa. Bahkan aku adalah Batara Guru itu sendiri yang turun ke bumi. Apakah kalian masih sangsi?”
Para Senapati tidak ada yang menyahut. Akan tetapi adalah suatu kenyataan bahwa para pendeta dan pemimpin agama beserta keluarganya dan lingkungannya telah mengungsi ke Singasari. Tetapi Sri Baginda Kertajaya terlampau mengagumi keagungannya sendiri. Sama sekali ia tidak memperhatikan laporan-laporan yang sampai di telinganya sehingga pada suatu saat adik Baginda sendiri Mahisa Walungan telah menghadap dan berkata,
“Kakanda Baginda, apakah Kakanda Baginda masih belum merasa yakin bahwa kita seolah-olah telah berdiri di ujung tanduk? Pasukan Singasari sudah siap di perbatasan. seperti air yang tertahan oleh bendungan. Setiap saat air itu akan melimpah dan membanjiri tanah Kediri. Apakah kita akan tetap berdiam diri menghadapi bahaya yang sudah di ambang pintu?”
Sri Baginda Kertajaya mengerutkan keningnya. Katanya. “He, apakah kita tidak memiliki pengawal perbatasan?”
“Ada kakanda. Tetapi pengawal itu terlalu sedikit untuk menghadapi pasukan Singasari.”
“Uh,” Sri Baginda menghentakkan kakinya, “apakah yang dapat diperbuat oleh Tumapel?”
“Kakanda. Tumapel kini sudah berkembang menjadi sebuah negeri. Bukankah setiap kali para Senanati, para Menteri dan hamba sendiri selalu mengatakan, bahwa Tumapel kini sudah bernama Singasari dan seorang yang bernama Ken Arok telah mengangkat dirinya menjadi seorang Raja yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?”
“Itu suatu pemberontakan terhadap Kediri.”
“Bukankah hamba telah mengatakannya pula bahwa itu memang suatu pemberontakan?”
“Tetapi kalian menjadi ketakutan seperti melihat kerajaan hantu.”
“Kakanda. Kita kini harus bertindak. Kalau kita tidak menganggap Singasari sebagai suatu bahaya, tetapi kita-pun harus bertindak terhadap negeri yang memberontak itu. Kalau kita tidak merasa bahwa pasukan mereka akan mampu menembus pertahanan kita, namun kita harus bertindak terhadap pemberontakan itu. Kalau tidak maka daerah-daerah lain akan melakukan perbuatan yang serupa.”
Kertajaya yang merasa dirinya seorang Maharaja yang Agung itu mengangguk-anggukkan kepala. Katanya, “Aku sependapat dengan kau Mahisa Walungan. Kau dapat menindas pemberontakan itu. Akan tetapi kita sama sekali tidak sedang berperang. Perang berarti benturan kekuatan antara dua negara. Tapi yang kita hadapi adalah Tumapel yang kecil, yang diperintah hanya oleh seorang Akuwu.”
Adik Baginda yang bernama Mahisa Walungan itu menarik nafas dalam-dalam. Kebesaran Kediri telah membuat kakaknya kehilangan pengamatan diri. Bahkan ia merasa bahwa kekuasaannya sudah menyamai kekuasaan dewa-dewa. “Kakanda,” berkata Mahisa Walungan kemudian, “untuk menumpas pemberontakan itu, perkenankanlah hamba membawa segenap pasukan yang ada selain pasukan keamanan.”
“He,” Baginda terkejut mendengar permintaan Mahisa Walungan itu, “apakah kau sedang diterkam oleh mimpi yang dahsyat? Kenapa kau memerlukan pasukan yang begitu besar sekedar untuk menumpas Tumapel?”
“Tumapel telah memperkuat dirinya kakanda.”
“Betapapun kekuatan Tumapel sama sekali tidak memadai kekuatan Kediri. Aku ijinkan kau mempergunakan pasukan perbatasan. Kemudian pasukan yang lain akan menggantikan pasukan yang bertugas di perbatasan itu.”
“Oh,” Mahisa Walungan berdesah. Tetapi ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Katanya, “Baikkah Kakanda Baginda. Pasukan yang akan menggantikan pasukan perhatasan itu akan hamba bawa bersama hamba. Sementara hamba mohon kekuasaan dari Kakanda Baginda untuk masuk langsung ke daerah Tumapel.”
“Baik. Tangkaplah Ken Arok yang menyebut dirinya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi itu.”
“Hamba Kakanda Baginda.”
Maka dengan sepasukan kecil sekedar untuk menggantikan pasukan di perbatasan Mahisa Walungan meninggalkan kota Kerajaan. Tetapi ia sama sekali tidak menusuk masuk ke Singasari. Sebagai seorang Senapati yang mengenal medan dengan baik. Mahisa Walungan menyadari, bahwa, dengan demikian ia akan membunuh dirinya bersama seluruh pasukannya.
Tetapi Mahisa Walungan tidak berhenti sampai sekian. Ia sudah berpesan kepada sahabatnya, seorang menteri yang terpercaya untuk menyusulnya ke perbatasan dengan membawa pasukan yang lain, sehingga meskipun sedikit tetapi pasukan di perbatasan sudah bertambah jumlahnya.
“Aku akan segera kembali,” berkata Mahisa Walungan. “Aku akan menyiapkan pasukan yang dapat bergerak setiap saat meskipun tidak dapat aku bawa ke perbatasan.”
Mahisa Walungan-pun pergilah meninggalkan sahabatnya, seorang menteri yang bernama Gubar Baleman, yang ikut berprihatin atas keadaan Kediri. Seperti para Senopati beberapa kali Gubar Baleman-pun pernah menyampaikan kesulitan yang, dialami Kediri, apabila Kediri masih acuh tidak acuh saja menanggapi keadaan. Karena itu, maka sekali lagi Gubar Baleman mencoba menyampaikan kepada Sri Baginda untuk meyakinkan Sri Baginda Kertajaya bahwa keadaan Kediri benar-benar gawat.
“Kau tahu bahwa Mahisa Walungan baru saja pergi ke Tumapel untuk menumpas pemberontakan di sana.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hamba mengerti Tuanku, tetapi apakah pasukan yang dibawa oleh Adinda Mahisa Walungan mencukupi?”
“Gila kau? Sepasukan prajurit pilihan itu masih belum memadai untuk menumpas Tumapel?”
“Ampun Tuanku. Tumapel telah mengerahkan setiap laki-laki untuk maju ke perbatasan. Setiap laki-laki. Seandainya mereka maju bersama-sama tanpa membawa senjata sekali-pun, maka prajurit Kediri yang ada di perbatasan tidak cukup banyak untuk membunuh mereka sampai orang-orang terakhir mencapai kota Kediri.”
“Bohong. Bohong kau pengecut,” bentak Sri Baginda, “inilah gambaran pemimpin-pemimpin Kediri sekarang?”
“Tuanku, pasukan Kediri adalah pasukan yang pilih tanding. Pasukan Kediri tidak akan pernah mengenal mundur. Tetapi mereka memerlukan waktu yang tidak terbatas untuk menaklukkan Tumapel apabila pasukan di perbatasan itu tidak bertambah. Soalnya sama sekali bukan karena keberanian dan ketangguhan orang-orang Tumapel berkelahi. Tetapi jumlah mereka jauh lebih banyak dari pasukan yang sudah ada. Setiap kali Adinda Mahisa Walungan menghancurkan sepasukan prajurit, maka muncullah pasukan Tumapel berikutnya. Demikian seterusnya, seolah-olah peperangan itu tidak akan pernah selesai. Tetapi dengan pasukan yang lebih banyak, maka waktu yang diperlukan akan menjadi semakin pendek.”
Sri Baginda merenung sejenak. Dan Gubar Baleman berdebar-debar menunggu keputusan. “Kediri benar-benar berada di ambang pintu bahaya,” katanya di dalam hati, “tetapi aku tidak dapat mengatakannya. Baginda kini menjadi lain sekali dengan Baginda pada saat Kediri mulai tumbuh. Kini Baginda merasa dirinya sudah sempurna. Kalau saja Baginda masih seperti dahulu, maka Baginda akan segera berada di punggung kudanya, menyaksikan keadaan di perbatasan.”
“Baleman,” titah Sri Baginda Kertajaya, “baiklah, aku ijinkan kau membawa sepasukan yang akan bergabung dengan Mahisa Walungan. Tetapi tugas kalian harus segera selesai. Kalian harus segera membawa Ken Arok menghadap hidup atau mati.”
Gubar Baleman menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Hamba Tuhanku. Hamba akan memimpin pasukan itu sendiri bersama beberapa orang senapati.”
“He, kau memang benar-benar seorang pengecut sekarang.” geram Sri Baginda, “kenapa dengan beberapa senapati. Setiap senapati mempunyai pasukannya sendiri-sendiri. Berapa pasukan yang akan kau bawa?”
“Sri Baginda,” sembah Gubar Baleman, “soalnya sama sekali bukan karena hamba dan pasukan Kediri tidak berani menghadapi orang-orang Tumapel, tetapi semata-mata atas pertimbangan waktu. Semakin cepat akan menjadi semakin baik. sedang beayanya-pun akan menjadi semakin murah. Peperangan yang berlarut-larut dapat menumbuhkan banyak akibat. Pasukan yang tarlampau lama barada di peperangan akan sangat berpengaruh pada setiap orang di dalamnya.”
“Kau sedang menggurui aku Baleman. Apakah kau sangka aku tidak pernah berada di peperangan he?” potong Sri Baginda.
“Ampun Tuanku. Sama sekali bukan maksud hamba,”
Sri Baginda Kertajaya terdiam sejenak. Namun kemudian Baginda itu berkata, “Bawalah sepasukan prajurit. Tidak lebih.”
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi sangat kecewa. Tetapi itu sudah jauh lebih baik dari pada tidak sama sekali. Setidak-tidaknya ia akan menambah pasukan di perbatasan bersama pasukan yang sudah dibawa oleh Mahisa Walungan. Demikianlah maka Gubar Baleman pun berangkat pula ke perbatasan, menggabungkan dirinya dengan Mahisa Walungan. Tetapi ketika mereka berada di perbatasan, mereka justru menjadi semakin cemas. Pasukan Singasari tersebar di perbatasan dan siap membanjiri Kediri dari beberapa jurusan.
Mahisa Walungan hampir tidak melihat kemungkinan lagi untuk menyelamatkan perbatasan. Demikian juga Gubar Baleman. Sedang Sri Baginda Kertajaya benar-benar seperti orang yang sedang mabuk kebesaran.
“Apakah sudah menjadi pertanda,” Mahisa Walungan berdesis, “bahwa kebesaran yang lepas dari keseimbangan, akan menjerumuskan seseorang ke dalam kesulitan. Bahkan lebih daripada itu. Apakah memang sudah menjadi keharusan dari Yang Maha Agung, bahwa Kediri sudah sampai ke puncaknya dan harus meluncur turun tenggelam di bawah cakrawala.”
Gubar Baleman hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Mahisa Walungan, adik Sri Baginda Kertajaya itu berkata seterusnya, “Kakanda Baginda merasa dirinya melampaui kewajaran manusia biasa. Kakanda Baginda telah melupakan sumber adanya. Seakan-akan ia mampu melakukan semuanya atas kekuatan dan kemampuannya sendiri. Itulah agaknya sumber dari bencana yang kini mengancam Kediri. Bahkan Kakanda Baginda merasa dirinya mencapai kesempurnaan yang tidak tergoyahkan lagi.”
Gubar Baleman masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata, “Tetapi bagaimana-pun juga, kita harus mencoba bertahan. Kita masih harus tetap berusaha.”
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak akan ingkar. Sebagai adik seorang raja besar, dan sebagai seorang prajurit ia harus bersiap melakukan perlawanan apabila negerinya dilanda oleh lawan. Dengan kekuatan yang ada, betapapun kecilnya, ia tidak dapat melepaskan begitu saja negerinya dihancurkan oleh kekuatan Singasari yang sudah berada di hadapan pintu gerbang kerajaan Kediri.
“Kakang Gubar Baleman,” berkata Mahisa Walungan itu kemudian, “agaknya aku masih mempunyai waktu sedikit. Aku akan kembali ke kota untuk menyiapkan prajurit-prajurit Kediri. Kalau aku tidak mungkin membawa mereka ke perbatasan, maka aku akan menyusun garis pertahanan di luar kota tanpa setahu Kakanda Baginda. Menurut perhitunganku, perbatasan Kediri terlampau sulit untuk dipertahankan melihat kekuatan Singasari yang tidak ada taranya.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kalau terjadi perang, kita akan segera menarik pasukan perbatasan ke pertahanan yang sudah aku siapkan.”
“Kalau rencana adinda itu dapat dilaksanakan, aku kira itu adalah kemungkinan yang sebaik-baiknya.”
“Aku akan menghubungi para Senapati.”
Gubar Baleman mengerutkan keningnya, “Kenapa Adinda Mahisa Walungan tidak memerintahkan saja mereka ke perbatasan?”
“Tidak mungkin. Apabila setiap saat Kakanda Baginda memerlukan salah seorang dari mereka, dan kebetulan yang dicarinya itu tidak ada, maka Kakanda Baginda tentu akan murka. Tidak kepada Senapati itu saja, tetapi juga kepadaku, sebagai Panglima prajurit Kediri yang berada di bawah perintah Sri Maharaja.”
“Hem,” Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam, “apakah yang telah menutup perhatian Baginda atas Tanah yang selama ini telah kita perjuangan dan kita kembangkan.”
Mahisa Walungan tidak menyahut. Tetapi ia mulai merenungkan rencananya untuk menyusun kekuatan tidak di perbatasan antara Singasari dan Kediri, tetapi di perbatasan kota. Setiap kali Sri Baginda memerlukan para Senapati, mereka masih dapat langsung menghadap, sementara pasukan mereka bersiap dalam kubu-kubu pertahanan.
Akhirnya, setelah dibicarakan sekali lagi dan sekali lagi, Mahisa Walungan kembali ke kota meninggalkan Gubar Baleman untuk memimpin pasukan yang ada di perbatasan. Tetapi Mahisa Walungan tidak menghadap Sri Baginda. Dengan diam-diam ia menemui para Senapati dan memberitahukan rencananya.
“Demi negeri ini,” katanya, “aku terpaksa melanggar tata perintah keprajuritan.”
Para Senapati mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahkan ada satu dua orang yang berpikir, sebaiknya Mahisa Walungan sajalah yang kini memegang pemerintahan di Kediri. Tetapi mereka-pun sadar, bahwa Mahisa Walungan tidak akan bersedia. Mahisa Walungan adalah seorang ksatria yang berbuat tanpa pamrih untuk negerinya, yang kadang-kadang telah melepaskan segala kepentingan pribadinya.
“Bagaimana menurut pendapat kalian?” bertanya Mahisa Walungan. “Kami sependapat tuan,” jawab salah seorang Senapati, “kami sadar, bahwa semuanya ini semata-mata untuk kebaikan negeri ini.”
“Bagus. Apakah kalian dapat mengerti?”
“Tentu,” hampir bersamaan beberapa orang menyahut.
“Tetapi jangan salah mengerti,” berkata Mahisa Walungan, “apa yang kita kerjakan ini sama sekali bukan suatu pemberontakan terhadap Kakanda Baginda Sri Maharaja Kertajaya. Tidak. Betapapun juga aku tetap setia kepadanya. Justru kesetiaankulah yang mendorong aku untuk berbuat seperti ini, untuk dengan terpaksa melanggar tertib keprajuritan yang ditentukan oleh Kakanda Baginda, demi kelangsungan pemerintah Baginda Kertajaya atas Kediri.”
Para Senapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kesetiaan bagiku bukan sekedar menundukkan kepala dan melakukan segala, perintahnya, meskipun kita tahu bahwa kita bersama-sama sedang menuju ke dalam jurang kehancuran. Kalau perlu kesetiaan harus diwujudkan dalam bentuk perlawanan dengan kebiasaan. Tetapi dengan garis tujuan yang jelas. Bukan sekedar melakukan sesuatu yang tanpa arti.”
Sekali lagi para Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau kalian setuju, maka sedikit demi sedikit, kalian, harus memusatkan sebagian dari pasukan masing-masing di jalan raya induk kota Kediri yang menghadap ke Singasari. Tetapi pengawasan di setiap arah tidak boleh dilengahkan.”
Para Senapati itu merenung sejenak. Memang tidak ada jalan lain daripada itu.
“Aku akan segera melakukannya,” berkata salah seorang Senapati, “sebagian besar dari pasukanku akan aku kirim ke pusat pertahanan itu.”
“Ya. aku akan segera melakukannya pula.”
Demikianlah maka keputusan-pun bulat. Kediri akan dipertahankan tidak di perbatasan kedua negeri yang semaki lama menjadi semakin tegang. Tetapi Kediri akan membangun pusat pertahanannya di dalam negerinya. Rencana yang disiapkan oleh Mahisa Walungan, Kediri harus menghancurkan musuh di mana-pun mereka bertemu. Pasukan Singasari itu adalah sebagian terbesar dari seluruh kekuatannya. Kalau pasukan itu berhasil dihancurkan, maka kekuatan Singasari pasti sudah akan menjadi lumpuh.
Mahisa Walungan-pun kemudian mengirimkan seorang penghubung kepada Gubar Baleman, bahwa rencana yang dibicarakannya agaknya dapat dilakukannya. Karena itu, maka pertahanan di perbatasan bukanlah pertahanan yang mutlak.
“Tuanku Mahisa Walungan menetapkan pertahanan induk pasukan Kediri di sebelah Utara Ganter,” berkata penghubung itu kepada menteri Gubar Baleman.
Gubar Baleman yang telah mendengar rencana itu lebih dahulu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baik, Aku menyesuaikan diri. Rencana Adinda Mahisa Walungan adalah rencana yang sebaik-baiknya dapat kita lakukan dalam keadaan ini.”
Dengan demikian maka Gubar Baleman-pun mengatur pertahanannya sesuai dengan pertahanan terakhir pasukan Kediri. Apabila pasukan perbatasan itu terdesak, maka ia harus mundur lewat jalan raya yang akan melalui Ganter. Gubar Baleman mengharap bahwa Mahisa Walungan telah siap dengan pasukannya untuk membinasakan pasukan Singasari.
Di pinggir kota Kediri, pertahanan telah disusun meskipun Mahisa Walungan berusaha untuk tidak menimbulkan kecemasan pada rakyat Kediri. Mahisa Walungan-pun menjaga agar berita tentang pemusatan pasukan itu tidak sampai kepada Sri Baginda Kertajaya, bahkan mengenai kehadirannya sendiri. Setiap orang yang mungkin berhubungan dengan Sri Baginda telah dihubunginya agar tidak seorang-pun yang menyampaikan berita itu.
Dengan perlahan-lahan Mahisa Walungan menyusun kekuatan. Sekelompok demi sekelompok. Namun dengan demikian usaha Mahisa Walungan itu berlangsung lambat sekali. Tetapi pada suatu saat Mahisa Walungan dapat menarik nafas panjang. Pasukannya telah siap di sepanjang jalan raya di sebelah Utara Ganter. Meskipun pasukan itu masih belum memadai dibanding dengan pasukan Singasari. tetapi Mahisa Walungan berharap, bahwa ia akan dapat menahan pasukan Sri Rajasa di sebelah Ganter menunggu pasukan-pasukan lain yang pasti akan dapat dikerahkannya dengan alasan yang kuat.
Dengan usahanya sendiri Mahisa Walungan berhasil menghimpun bahan makanan untuk pasukan yang telah di pusatkannya itu. Hampir setiap saat ia berada di antara mereka, memberikan petunjuk-petunjuk dan membakar tekad mereka untuk mempertahankan Kediri dengan segala kekuatan yang ada pada mereka.
Akhirnya Mahisa Wahingan menjadi semakin dekat dengan hati setiap prajurit. Bagi mereka, Mahsa Walungan lah pemimpin tertinggi yang dapat memberikan pegangan bagi mereka, sehingga lambat laun, para prajurit itu seakan-akan sama sekali tidak memerlukan orang lain, selain Mahisa Walungan. Mereka sama sekali tidak memerlukan lagi Baginda Kertajaya, meskipun Baginda Kertajaya menyatakan dirinya sebagai Dewa tertinggi sekali-pun.
Demikian dengan tekun Mahisa Walungan dan beberapa orang Senapati yang sependapat dengan pendiriannya, membangunkan kekuatan di sebelah Utara Ganter. Semakin lama semakin tambah dengan kelompok-kelompok baru yang masih berdatangan. Adalah sesuai dengan pertimbangannya, bahwa kedatangan pasukan yang tiba-tiba dan bersamaan akan dapat menumbuhkan kegoncangan dalam tata kehidupan sehari-hari yang memang sudah diliputi oleh ketegangan dan ketidak pastian.
Tetapi adalah mengejutkan sekali, bahwa pada suatu saat seorang utusan datang kepada Mahisa Walungan dengan tergesa-gesa. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Ampun tuan. Aku adalah utusan Sri Baginda Kertajaya.”
Mahisa Walungan mengerutkan keningnya.
“Aku mendapat perintah Sri. Baginda untuk menghadap tuan.”
“Bagaimana bunyi perintah itu?”
“Aku harus menemui tuan di sebelah Utara Ganter.”
“He,” Mahisa Walungan terkejut, “apakah Kakanda Baginda mengetahui bahwa, aku berada di sebelah Utara Ganter?”
“Ya tuan. Sri Baginda mengetahui,”
“Darimana Kakanda Baginda mengetahui?”
Utusan itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mengerti.”
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa tidak semua orang sependapat dengan rencananya. Tidak semua orang mengerti dan sejalan dengan caranya. Juga tidak semua orang menyerahkan dirinya untuk kepentingan Tanah yang akan dipertahankannya mati-matian. Ketika ia mengatakannya kepada beberapa orang Senapati, mereka-pun menjadi tegang.
“Apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Kakanda Baginda?”
“Tuan,” berkata utusan itu, “sebaiknya tuan bersiap-siap untuk menerima kemarahan Sri Baginda. Baginda menjadi murka ketika Baginda mendengar tuan tidak berada di Tumapel.
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan kepalanya. Pasti ada seseorang yang menyampaikan hal ini kepada Baginda. Menurut pengamatannya. Baginda yang merasa dirinya melampaui kewajaran manusia biasa itu, tenggelam dalam sanggar yang dibuatnya untuk membesarkan dirinya sendiri di dalam alam angan-angan, seolah-olah ia sudah berada di ujung langit, tempat dewa-dewa bersemayam. Adalah tidak mungkin Baginda mengetahui keadaannya tanpa seorang-pun yang memberitahukan kepadanya.
Tetapi Mahisa Walungan tidak akan ingkar dari tanggung jawabnya. Katanya, “Aku akan menghadap Kakanda Baginda.”
“Silahkan tuan.”
Mahisa Walungan-pun kemudian menyerahkan pimpinan pasukannya kepada seorang Senapati tertua. Dengan dada yang berdebar-debar maka ia-pun berpacu di atas punggung kuda tanpa seorang-pun yang mengawalnya kembali ke istana, selain utusan Sri Baginda itu.
Mahisa Walungan menjadi semakin berdebar-debar ketika ia memasuki gerbang dalam. Ia melihat beberapa orang prajurit pilihan yang berjaga-jaga. Jauh lebih banyak dari kebiasaannya. Dengan pandangan aneh mereka memandang Mahisa Walungan yang berjalan di halaman istana itu menuju ke bangsal tengah, setelah meninggalkan kudanya di halaman depan.
“Hem,” Mahisa Walungan menarik nafas, “aku kira ada ketidak wajaran yang akan terjadi.”
Setelah menunggu sejenak, maka Mahisa Walungan langsung dipanggil menghadap oleh Sri Baginda Kertajaya. Di ruang dalam bangsal tengah. Sekali lagi ia menjadi heran, bahwa di pintu masuk ruang itu-pun ia melihat dua orang Senapati dari pasukan pengawal istana seolah-olah memang sudah menunggunya.
“Ha, kau Walungan,” desis Baginda ketika adiknya sudah menghadap.
Mahisa Walungan tidak segera menjawab. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian dengan dada berdebar-debar ia duduk di muka singgasana Baginda Kertajaya. Namun Mahisa Walungan masih sempat melihat beberapa orang pengawal istana berada di dalam ruangan itu pula, sedang beberapa orang penasehat Baginda dan para menteri seolah-olah memang telah dipersiapkan menunggu kedatangannya.
“Majulah Walungan,” tampaknya Baginda terlampau ramah kepada adiknya. Tetapi Mahisa Walungan menyadari, bahwa seakan-akan ia kini akan dihadapkan ke depan sidang yang akan membicarakan nasibnya.
Mahisa Walungan bergeser beberapa jengkal maju. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dadanya berdesir. Dilihatnya seorang Senapati muda yang dikenalnya dengan baik duduk di antara para menteri di sisi Baginda. Kini sadarlah Mahisa Walungan, bahwa senapati muda yang bernama Pujang Warit itulah agaknya yang telah memberitahukan segala masalahnya kepada Baginda.
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Pujang Warit adalah salah seorang Senapati yang tampaknya ikut .di dalam penyusunan pasukan di luar kota Kediri. Tetapi ternyata ia telah menyampaikan hal itu kepada Baginda.
“Mahisa Walungan,” bertanya Baginda, “sekian lama aku menunggu kedatanganmu. Aku ingin mendengar, bagaimanakah hasil perjalananmu ke Tumapel? Apakah kau sudah berhasil menangkap pemberontak yang bernama Ken Arok itu?”
“Ampun Kakanda Baginda,” sembah Mahisa Walungan, namun sekali ia mencoba memandang wajah Senapati, muda itu. Kemudian katanya selanjutnya, “Hamba tidak dapat masuk ke wilayah Tumapel karena pertahanan yang rapat.”
Baginda Kertajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bukankah kau Mahisa Walungan yang dahulu juga?”
Mahisa Walungan tidak menyahut.
“Aku tidak pernah mendengar laporan, bahwa Mahisa Walungan pernah gagal.”
Mahisa Walungan masih tetap berdiam diri.
“Walungan,” berkata Baginda Kertajaya selanjutnya, “Gubar Baleman telah membawa sepusukan prajurit yang akan bergabung, dengan prajurit-prajurit yang kau pimpin. Di manakah Gubar Baleman sekarang?”
“Kakang Gubar Baleman masih berada di perbatasan.”
“Tetapi kenapa kau berada di Ganter?”
Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak akan dapat berbohong lagi. Senapati muda itu pasti sudah mengatakan apa saja yang telah dilakukannya. “Apa salahnya,” katanya di dalam hati, “maksudku baik. Dan aku mengharap, Kakanda Baginda dapat mengerti.” Mahisa Walungan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja tumbuh pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah maksud Senapati muda itu? Apakah ia merasa berkeberatan atas persiapan itu? Atau bahkan ia merasa iri hati? Sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat berusaha dengan cara apapun untuk mendesak kedudukanku sebagai Adinda Baginda Kertajaya. Apapun yang dilakukan, Mahisa Walungan tetap adinda Sri Baginda. Dan orang lain tidak akan dengan serta merta menjadi saudara muda Baginda. Tetapi kalau ia inginkan kedudukanku sebagai Panglima prajurit Kediri, masih juga masuk akal. Namun sudah tentu bukan anak itu yang akan menggantikan aku seandainya dengan caranya ia dapat menyingkirkan aku.”
“He,” desak Baginda Kertajaya, “kenapa kau diam saja?”
Mahisa Walungan kemudian mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Baginda sekilas. Hanya sekilas. Kemudian tatapan matanya beredar kepada para tertua, penasehat dan para menteri. Ketika matanya memandang wajah Senapati muda itu, maka Pujang Warit-pun segera menundukkan kepalanya.
“Ampun Kakanda Baginda,” berkata Mahisa Walungan kemudian, “Hamba memang sudah berada di perbatasan. Tetapi menurut perhitungan hamba, maka seandainya hamba masuk ke daerah Tumapel yang sekarang menyebut dirinya Singasari itu, hamba pasti akan terjebak. Jumlah prajurit Singasari tidak terhitung lagi. Itulah sebabnya hamba memutuskan untuk mengambil cara lain. Hamba akan menjebak pasukan Singasari itu di sebelah Utara kota Ganter. Seandainya mereka berhasil mendesak pasukan kakang Gubar Baleman yang memang sudah bersedia untuk menyesuaikan diri dengan persiapan hamba.”
Sri Baginda Kertajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia tertawa. Dan suara tertawanya menumbuhkan keheranan di hati Mahisa Walungan.
“Kau memang seorang Panglima yang cakap,” desis Baginda di sela suara tertawanya, “tetapi apakah kau merasa bahwa kau memegang kekuasaan tertinggi di Kediri?” tiba-tiba suara Baginda berubah. Derai tertawanya-pun patah dengan tiba-tiba. Dengan wajah yang tegang dipandanginya Mahisa Walungan yang menundukkan kepala, “He, Mahisa Walungan. Jangan kau sangka bahwa aku tidak tahu apa yang kau lakukan.”
Mahisa Walungan tidak menjawab. Ia sama sekali tidak berkeberatan kalau Baginda mengetahuinya, karena hal itu memang sudah dikatakannya. Karena itu maka ia menunggu saja apa yang akan dikatakan oleh Baginda Kertajaya seterusnya.
“Walungan,” berkata Baginda, “tetapi aku sama sekali tidak menyangka, bahwa kau, adikku sendiri, ternyata tidak setia kepadaku.”
Kata-kata itu ternyata benar-benar telah mengejutkan Mahisa Walungan sehingga ia terhenyak sejenak. Ia memang melanggar perintah Sri Baginda. Tetapi itu bukan pertanda bahwa ia sama sekali tidak setia.
“Adikku,” bertanya Baginda, “apakah maksudmu sebenarnya dengan menghimpun prajurit di hadapan gerbang kota Kediri? Apakah benar, bahwa kau sedang menarik garis pertahanan menghadap ke Singasari?”
Pertanyaan itu benar-benar telah mengguncangkan dada Mahisa Walungan. Sejenak ia duduk mematung. Ia tidak mengerti apakah pendengarannya itu tidak keliru, atau sekedar karena gelora di dalam dadanya sendiri. Tetapi keragu-raguan itu-pun lenyap ketika Sri Baginda bertanya pula,
“Bagaimana Mahisa Walungan? Benarkah begitu? Atau itu semuanya bukan sekedar sebuah topeng untuk maksud-maksudmu yang lain?”
Alangkah pedih hati Mahisa Walungan mendengar tuduhan itu. Benar-benar pedih, sehingga sejenak ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sekali-sekali ia menarik nafas sambil berdesah perlahan-lahan. Beberapa orang yang mengenal Mahisa Walungan dengan baik, menjadi beriba hati. Mereka yakin bahwa tidak akan timbul sama sekali niat Mahisa Walungan untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kesetiaannya kepada Kakanda Baginda dan kepada Tanah Kediri.
Mahisa Walungan dan semua yang ada di ruangan itu tiba-tiba terkejut ketika Baginda membentak dengan kerasnya, “He Walungan. Jawablah.”
Mahisa Walungan beringsut setapak. Sambil menundukkan kepalanya ia menjawab perlahan-lahan, “Ampun Kakanda Baginda. Sebenarnyalah hamba mempersiapkan pertahanan itu untuk menghadapi Singasari.”
“Bohong. Bohong,” teriak Sri Baginda, “Walungan. Kau adalah adikku. Satu-satunya adikku. Tetapi ternyata bahwa justru kau adalah orang yang pertama-tama mengkhianati aku.”
Mahisa Walungan tidak menjawab.
“Kau memang mempersiapkan pertahanan itu untuk dua maksud. Aku mengerti bahwa kau dapat menyusun jebakan bagi pasukan Tumapel di sebelah Utara Ganter. Tetapi yang utama, pasukan itu sama sekali tidak kau hadapkan kepada lawan, kepada pemberontakan Ken Arok. Tetapi pasukan itu terutama kau hadapkan kepadaku. Kau telah bersepakat dengan Gubar Baleman untuk menguasai Kediri. Gubar Baleman kau tempatkan di perbatasan untuk menghentikan setiap gerakan Tumapel. Sedang kau mempunyai kesempatan untuk melakukan rencanamu. Kau telah menipu banyak sekali Senapati dan prajurit. Mereka tidak tahu, untuk apa mereka harus berada di Ganter.”
Terasa getaran yang dahsyat telah melanda dada Mahisa Walungan. Ia tidak menyangka bahwa ia akan dihadapkan pada suatu tuduhan yang paling keji. Ia menyangka bahwa Kakanda Baginda Kertajaya itu hanya akan murka karena ia telah melanggar perintahnya. Tetapi agaknya kemarahan itu sudah melonjak demikian parahnya. Agaknya Sri Baginda Kertajaya telah menuduhnya menyiapkan sebuah pemberontakan atas takhta Kediri.
“Walungan,” Kertajaya berteriak, “kenapa kau masih ingkar he?”
“Ampun Kakanda Baginda,” Mahisa Walungan mencoba menjelaskan maksudnya, “hamba sama sekali tidak bermaksud jahat. Hamba hanya mencoba menurut kemampuan hamba mempertahankan Tanah Kediri. Karena Kakanda Baginda tidak mengijinkan hamba membawa pasukan ke perbatasan, maka hamba telah menyusun pasukan itu di sebelah Utara Ganter.”
“Memang kau benar-benar adikku yang cerdas,” sahut Baginda. Meskipun Baginda tersenyum, tetapi senyumnya terasa mendirikan bulu-bulu tengkuk Mahisa Walungan, “kau sudah menyusun jawaban terhadap setiap kemungkinan yang akan ditanyakan kepadamu. Tetapi kau tidak akan dapat berbohong. Kau harus mengakui, bahwa kau sudah siap melakukan pemberontakan. Aku tahu bahwa agaknya kau tidak akan menyerahkan Kediri kepada orang-orang Tumapel, tetapi pasti ada terlintas di kepalamu, bahwa aku tidak memberimu kepuasan karena niatmu tidak terpenuhi. Kau akan memberontak, menyingkirkan aku, dan sebagai satu-satunya saudara muda, kau akan dengan sendirinya naik takhta.”
Kata-kata Sri Baginda Kertajaya itu bagaikan duri yang langsung menusuk ulu hati Mahisa Walungan. Karena itu, maka ia tidak dapat berbuat lain kecuali menundukkan kepala semakin dalam. Kini ia sadar, kenapa di setiap sudut ruangan, di setiap pintu, pengawal istana siap berjaga-jaga. Dan ia-pun sadar, bahwa ia tidak akan dapat kembali ke pasukannya yang telah disiapkannya itu.
“Mahisa Walungan,” berkata Sri Baginda, “aku tidak perlu mendengar keteranganmu lebih banyak lagi. Karena kau adikku, maka untuk sementara kau masih akan tetap hidup. Aku masih ingin tahu, sampai di mana dosa-dosa yang telah kau perbuat atasku dan atas Kediri. Tetapi, pada suatu saat kau pasti akan menerima hukuman itu.” Sri Baginda berhenti sejenak, “sekarang kau terpaksa ditahan. Kau dapat menghitung hari di dalam bilik yang sempit, sambil menyesali dosa-dosamu. Tetapi semuanya itu sudah terlambat. Kau tinggal menunggu, hukuman apa yang akan aku jatuhkan kepadamu atas pengkhianatanmu itu. Meskipun kau adikku, atau justru karena kau adikku, maka hukuman itu akan menjadi jauh lebih berat.”
Mahisa Walungan sama sekali sudah tidak melihat kemungkinan lain. Ia harus menerima keadaannya. Sekali ia memandang wajah Senapati muda yang agaknya telah menyampaikan laporan palsu itu. Tetapi Senapati itu tidak sedang memandang wajahnya. Yang membuatnya sangat berprihatin justru bukan dirinya sendiri. Tetapi apakah yang akan terjadi atas Kediri? Justru pada saat banjir bandang itu siap melanda negerinya, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Terasa darah Mahisa Walungan seakan-akan bergolak. Kemarahan di dalam hatinya tertuju kepada Senapati muda itu. Senapati muda yang telah mengorbankan segala-galanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Tanpa disadarinya, bahwa ia telah mengorbankan Kediri dalam keseluruhan ini pula. Harapan satu-satunya bagi Mahisa Walungan terletak pada Gubar Baleman. Tetapi hampir pasti bahwa Gubar Baleman-pun akan mengalami nasib serupa dengan nasibnya. Gubar Baleman itu akan dipanggil pula oleh Sri Baginda, kemudian seperti dirinya sendiri, ia tidak akan keluar lagi dari paseban dalam ini.
Demikianlah Mahisa Walungan tidak dapat mengelak lagi ketika dua orang Senapati pengawal istana kemudian membawanya dari hadapan Sri Baginda. Dan Mahisa Walungan itu masih melihat wajah Baginda yang merah menahan marah sambil berkata, “Aku akan memberikan contoh yang sebaik-baiknya bahwa aku tetap berpegang pada keadilan. Meskipun kau adikku, tetapi pengkhianatanmu akan medapat imbalan yang wajar.”
Mahisa Walungan tidak menjawab. Sambil menundukkan kepalanya ia melangkah meninggalkan bangsal itu. Sekilas ia melihat para pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu. Kedua Senapati yang mengapitnya itu-pun sama sekali tidak berbicara apapun. Sekali-sekali Mahisa Walungan mencoba memandangi wajah keduanya berganti-ganti. Tetapi sangatlah sulit untuk menangkap kesan pada wajah-wajah itu.
Ketika Mahisa Walungan sempat menebarkan pandangan matanya, maka terasa kesiagaan yang luar biasa di halaman istana itu. Di setiap regol ia melihat beberapa orang prajurit pengawal. Bahkan di sudut-sudut longkangan dan di sudut-sudut bangsal dijaga pula oleh prajurit-prajurit pilihan pengawal istana. Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam.
“Kakanda Baginda benar-benar menganggap bahwa aku akan memberontak. Dipersiapkannya prajurit pengawal sekian banyaknya, agar aku tidak dapat lolos lagi, seandainya aku berniat demikian,” katanya di dalam hati.
Namun Mahisa Walungan saat itu sama sekali tidak ingin lari. Ia tidak merasa bersalah sama sekali, sehingga karena itu, ia akan menghadapi setiap keadaan dengan dada tengadah. Bahkan mungkin ia masih mendapat kesempatan untuk membela diri dan memberikan bukti bahwa ia memang tidak bersalah. Tetapi seandainya Mahisa Walungan berhasrat untuk melakukannya, maka masih banyak jalan yang dapat ditempuh. Meskipun hampir di setiap jengkal ada seorang prajurit yang berdiri dengan senjata telanjang, namun Mahisa Walungan adalah orang yang luar biasa.
Demikianlah maka Mahisa Walungan dimasukkan ke dalam sebuah bilik kayu yang kuat. Sebuah bilik yang sempit dan gelap. Di sudut bilik itu terdapat sebuah pembaringan kayu yang keras. Tanpa alas sama sekali. Mahisa Walungan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bilik itu sama sekali tidak pantas untuknya. Betapapun besar kesalahannya, tetapi ada tempat yang khusus untuk menahan para bangsawan. Apalagi seorang adik raja yang besar seperti Mahisa Walungan.
“Agaknya kesalahanku dianggap terlampau besar, dan tidak akan dapat dipersoalkan lagi. Agaknya Kakanda Baginda menganggap bahwa aku tidak pantas lagi mendapat perlakuan sebagai manusia sewajarnya. Bagaimanapun juga, tumbuh juga kekecewaan di hati Mahisa Walungan. Kekecewaan yang perlahan-lahan telah menusuk jantungnya atas perlakuan yang dialaminya.”
Ketika pintu bilik yang sempit itu kemudian tertutup rapat, maka Mahisa Walungan-pun mencoba untuk melihat seluruh sudut ruangan. Diraba-rabanya dinding kayu yang membatasi ruangan yang. sempit itu. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Mahisa Walungan kemudian duduk di atas pembaringan kayu yang keras dan tidak beralas itu.
“Terlalu. Aku harus menanggung penghinaan seberat ini,” desisnya.
Telinga Mahisa Walungan yang mendengar langkah beberapa orang prajurit di luar pintu. Ia yakin bahwa di depan pintu biliknya itu pasti di tempatkan beberapa prajurit pilihan, dan bahkan mungkin dengan seorang atau dua orang senapati. Tiba-tiba Mahisa Walungan itu berdiri. Ia melangkah mendekati pintu sambil bertanya, “Siapa di luar?”
Tidak segera ada jawaban.
“Siapa di luar? “ Mahisa Walungan mengulangi.
“Aku. Prajurit yang bertugas,” terdengar seseorang menjawab.
“Ruangan ini terlampau Pengab. Aku hampir tidak dapat bernafas.”
Tidak ada jawaban.
“Apakah tidak dapat dibuat satu lubang agar ada udara yang dapat masuk?”
“Bagaimana dapat dibuat lubang itu?” prajurit yang bertugas itu bertanya.
“Ambil sebuah papan dinding bilik ini, kemudian setelah diberi beberapa buah lubang, pasang kembali.”
Prajurit yang ada di luar pintu itu tidak segera menjawab. Agaknya ia sedang berbincang dengan kawan-kawannya. Namun prajurit itu lalu menjawab, “Itu bukan wewenangku.”
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa hal itu sama sekali bukan wewenangnya. Tetapi udara di bilik yang sempit itu serasa semakin mencekiknya. “Bagaimana kalau aku membuat sendiri?” bertanya Mahisa Walungan.
Prajurit yang bertugas menjaganya menjadi heran. Bagaimana ia dapat membuat sendiri.
“Bagaimana? “ Mahisa Walungan mendesak.
“Tetapi apakah tuan dapat membuat sendiri?” beritanya prajurit itu.
“Aku akan membuatnya. Aku tidak dapat bernafas lagi.” Sebelum prajurit itu menjawab, Mahisa Walungan telah mulai meraba-raba dinding kayu yang tebal itu. Kemudian ia mengatupkan giginya rapat-rapat. Sejenak ia memusatkan segenap kemampuannya, dan sejenak kemudian, maka tangannya-pun seakan-akan meremas sesuatu.
Prajurit-prajurit yang bertugas di luar bilik itu terkejut ketika mereka melihat lima buah jari yang tiba-tiba saja seakan-akan menembus dinding kayu yang tebal itu. Kemudian dengan suatu remasan yang menghentak, terjadilah sebuah lubang pada dinding kayu itu. Prajurit-prajurit yang melihat hal itu justru diam mematung. Terasa seakan-akan darah mereka berhenti mengalir. Sebelum mereka menyadari keadaan masing-masing, maka mereka melihat tangan itu telah membuat lubang yang lain.
Ketika pada dinding bilik itu telah terjadi lima buah lubang maka terdengar suara dari dalamnya, “Aku kira sudah cukup.”
Ternyata suara itu telah membangunkan para penjaga. Mereka segera berloncatan mendekati lubang-lubang itu. Tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Seorang Senapati yang melihat kegelisahan itu tanpa mengerti sebabnya dari kejauhan, segera mendekatinya.
“He, kenapa kalian berloncatan?”
“Lihat,” jawab salah seorang prajurit.
“Apa?”
“Lubang itu.”
Senapati itu tidak segera mengerti. Dipandanginya lubang itu dengan tajamnya. “Ya lubang itu,” katanya di dalam hati, “tentu bukan lubang yang memang sudah ada. Lubang-lubang itu tidak berbentuk bulat atau persegi atau bentuk-bentuk ukiran. Lubang itu sama sekali tidak berbentuk dan bahkan telah memecahkan serat-erat kaya di sekitarnya.
“Kenapa dengan lubang itu?” tiba-tiba senapati itu bertanya.
Prajurit itu-pun kemudian mengatakannya bahwa Mahisa Walungan yang telah membuatnya dengan jari-jarinya. Terasa dada Senapati itu tergetar. Ia sama sekali tidak membantah, bahwa sebenarnyalah Mahisa Walungan pasti mampu melakukannya.
“Maaf,” tiba-tiba terdengar suara Mahisa Walungan. “aku terpaksa membuat lubang itu karena aku hampir mati tercekik oleh kepepatan udara di dalam bilik sempit ini.”
Senapati itu tidak menjawab.
“Tetapi percayalah bahwa aku tidak akan lari,” sambung Mahisa Walungan.
Tidak ada jawaban. Senapati itu berdiri saja mematung. Tapi tiba-tiba ia menganggukkan kepalanya sambil berkata di dalam hatinya, “Memang luar biasa. Kalau Baginda benar-benar marah dan melakukan hukuman atasnya, aku tidak tahu, apakah yang akan terjadi atas Kediri.”
Tanpa berkata sesuatu maka Senapati itu-pun meninggalkan bilik sempit yang mengurung Mahisa Walungan di dalamnya. Para prajurit menjadi terheran-heran. Senapati itu tidak memberikan perintah apapun. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian salah seorang berbisik, “Apakah yang akan kita lakukan sekarang?”
Kawannya menggelengkan kepalanya, “Tidak ada. Tidak ada perintah apapun. Biar saja dinding itu berlubang. Asal yang ada di dalamnya tidak lepas.”
Tetapi kawannya ragu-ragu. Kalau Mahisa Walungan mampu melubangi dinding kayu yang tebal itu, apakah sulitnya baginya memecahkan pintu bilik kemudian dengan sekali pukul membuat setiap prajurit pingsan. Tetapi prajurit itu tidak mengatakannya. Namun dadanya yang berdebaran serasa menjadi semakin bergetar.
“Kita harus berhati-hati,” berkata prajurit yang lain, “kalau tahanan yang satu ini lepas, kita akan mengalami nasib yang paling pahit.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berbisik, “He, apakah kalian percaya bahwa Adinda Baginda ini akan memberontak?”
Sejenak para prajurit itu saling berpandangan. Tetapi tidak seorang-pun yang memberikan jawaban. Bahkan prajurit yang bertanya itu-pun kemudian terdiam.
Dalam pada itu. Baginda Kertajaya telah memerintahkan Senapati muda yang bernama Pujang Warit itu untuk mengatasi keadaan. Ia harus berusaha membubarkan pemusatan pasukan, di sebelah Utara Ganter dan memberinya kekuasaan untuk menyalurkan ketegangan mereka ke perbatasan.
“Kau bertanggung jawab atas mereka,” sabda Baginda, “supaya mereka tidak kehilangan gelora perjuangan mereka yang telah terlanjur membakar dada mereka.”
“Hamba Baginda. Mereka akan hamba bawa, tidak saja ke perbatasan. Tetapi supaya gelora jantung mereka tersalurkan, hamba akan memasuki Tumapel.”
“Kau harus dapat membawa Ken Arok itu,” perintah Baginda kemudian, “tetapi sebelumnya Gubar Baleman harus menghadap lebih dahulu.”
“Hamba tuanku.”
“Kalau kali ini kau berhasil, maka meskipun ada orang-orang lain yang lebih tua daripadamu, maka kau akan menepati tempat yang baik. Kau akan menjadi Panglima pasukan tempur. Tetapi aku akan membagi kekuasaan Mahisa Walungan. Aku akan memisahkan garis kepemimpinan pasukan keamanan dan pengawal. Dengan demikian maka jabatannya akan dipegang oleh tiga orang.”
Senapati muda itu mengerutkan keningnya. Ia menjadi agak kecewa karena kekuasaan Mahisa Walungan tidak mutlak dapat dipegangnya. Tetapi ia menyadari kemudaannya. Mungkin kekuasaan itu akan dapat berkembang di waktu yang mendatang.
“Tetapi sebelum itu, kau harus membuktikan lebih dahulu apa yang pernah kau sanggupkan. Menumpas pemberontakan Tumapel dan menggagalkan pemberontakan Mahisa Walungan,” berkata Baginda Kertajaya kemudian, “selanjutnya, aku sendirilah yang akan menjatuhkan hukuman atas Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
“Hamba tuanku. Hamba akan segera melakukan perintah Tuanku.”
Senapati itu-pun kemudian meninggalkan istana. Di depan regol ia bertemu dengan dua orang penasehat Baginda. Sambil tersenyum kedua orang tua itu berbisik, “Mudah-mudahan kau berhasil. Agaknya Baginda mempercayai kita. Kau jangan mengecewakan kami. Dengan demikian kami tidak selamanya menjadi penasehat saja, karena kami ingin kekuasaan yang lebih besar dari seorang penasehat.”
Pujang Warit-pun tersenyum pula. Bahkan terasa detak jantungnya menjadi semakin cepat, dan dadanya seakan-akan mengembang. Meskipun demikian ia menjawab, “Tetapi Baginda masih belum mempercayai kita sepenuhnya. Ternyata Baginda tidak berhasrat untuk mengangkat seorang Panglima yang menyeluruh. Agaknya Baginda masih ragu-ragu juga.”
“Bukan karena Baginda tidak mempercayai kita. Tetapi sudah tentu Baginda masih meragukan kemampuanmu. Kalau kau kelak dapat membuktikan bahwa kau mampu menandingi kemampuan Mahisa Walungan, maka meskipun kau bukan Adinda Baginda, namun Kediri memerlukan orang kuat yang dapat memimpin pasukannya untuk melawan pemberontakan Tumapel dan mungkin juga para pengikut Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
Senapati muda itu tertawa. Sekilas ia memandang para prajurit yang sedang bertugas di luar regol. Kemudian sambil mengangkat dadanya ia berkata, “Jangan ragu-ragu. Aku tahu kemampuan Mahisa Walungan. Tetapi aku tidak mau kalah daripadanya. Kalau ada kesempatan aku memang ingin membuktikannya dalam perang tanding.”
“Kau tidak akan mendapat kesempatan itu,” jawab, salah seorang penasehat raja itu, “Mahisa Walungan pasti akan mendapat hukuman mati setelah Gubar Baleman tertangkap pula. Keduanya akan menjadi pengewan-pangewan di alun-alun dan bahkan mungkin akan diarak di sepanjang jalan-jalan besar sekota.”
“Sayang,” berkata Senapati muda itu, “tetapi bagaimana-pun juga aku akan membuktikan bahwa aku tidak kalah dari Mahisa Walungan.”
“Baiklah. Lakukanlah tugas yang diberikan kepadamu baik-baik.”
“Terima kasih. Aku akan segera pergi ke Ganter atas nama Baginda Kertajaya. Pasukanku sudah ada di sebelah pemusatan pertahanan yang dibuat oleh Mahisa Walungan. Kalau ada beberapa orang Senapati yang tidak mau tunduk kepada keputusan Sri Baginda, maka aku akan menumpas mereka dengan kekuatan. Tiga orang Senapati bersama pasukannya telah berpihak kepadaku. Sepasukan prajurit pengawal dengan dua orang Senapatinya telah diperbantukan kepadaku pula apabila aku perlukan. Selebihnya tiga Senapati dari pasukan pengaman telah berada di tempat itu pula. Aku yakin bahwa di antara mereka yang sudah ada di sebelah Utara Ganter itu-pun tidak seluruhnya setia kepada Mahisa Walungan apabila mereka telah mengerti apa yang sebenarnya terjadi.”
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku percaya kepadamu. Jangan sampai gagal supaya leher kita tidak harus kita korbankan untuk keinginan yang tidak begitu banyak ini.”
“Jangan cemas. Aku bukan anak-anak lagi.”
“Selamat berjuang.”
Senapati muda itu-pun kemudian meninggalkan kedua penasehat raja yang memandanginya sambil termangu-mangu. Namun kemudian keduanya tersenyum dan meninggalkan halaman istana itu sambil berangan-angan, bahwa mereka kelak akan mungkin mendapat kedudukan yang lebih baik apabila terjadi perubahan di dalam tata pemerintahan. Senapati muda itu kelak pasti akan berusaha untuk menempatkan kedua penasehat itu ke dalam kedudukan yang mempunyai arti kekuasaan langsung.
Mereka akan lebih senang memegang jabatan apapun di luar istana, daripada sekedar penasehat, meskipun kedudukan seorang penasehat raja sangat terhormat, seperti juga kedudukan seorang pemimpin pemerintahan yang lain. Tetapi mereka tidak mempunyai wewenang lain kecuali memberikan pertimbangan-pertimbangan saja.
Betapa kecilnya kedudukan seorang Akuwu, tetapi Akuwu memiliki wewenang langsung untuk melakukan suatu tindakan atas suatu daerah yang dipercayakan kepadanya. Dan mereka mengharap bahwa Pujang Warit berhasil menangkap atau membinasakan Ken Arok, sehingga Tumapel tidak lagi mempunyai pemimpin pemerintahan.
Meskipun di dalam hati kedua orang itu tumbuh juga pertanyaan yang menegangkan syaraf mereka, siapakah yang akan mendapat kedudukan itu di antara mereka berdua, namun sementara mereka dapat bekerja bersama. Kalau yang seorang akan mendapat kedudukan Akuwu, mungkin yang seorang akan dapat menggantikan Gubar Baleman. Seorang menteri yang langsung berkuasa atas suatu segi pemerintahan di Kediri, meskipun masih berada di bawah perintah Sri Baginda.
“Tetapi kedudukan Gubar Baleman tidak dapat dijabat oleh setiap orang,” berkata mereka di dalam hati, “karena Gubar Baleman adalah seorang menteri yang bertanggung jawab atas keselamatan negeri, yang bekerja bersama-sama dengan Panglima dari segenap kekuatan keprajuritan Kediri yang semula dipegang oleh Mahisa Walungan. Hanya karena Mahisa Walungan itu adik Sri Baginda Kertajaya lah maka kekuasaan Mahisa Walungan tampaknya menjadi lebih besar dari Gubar Baleman.”
Namun keduanya tidak memikirkan hal itu lebih jauh. Kesempatan yang lain pasti masih terbuka. Apapun. Dengan demikian, maka di dalam pimpinan pemerintahan Kediri sendiri telah terjadi pusaran yang hampir tidak terbendung. Setiap orang pada dasarnya hanya memikirkan kemungkinan yang paling baik bagi diri mereka masing-masing. Mereka menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan, bahwa di perbatasan pasukan Singasari yang kuat telah siap menerkam mereka.
Pada saat Senapati muda itu singgah sejenak di rumahnya, kemudian di atas punggung kuda dikawani oleh dua orang pengawal yang paling dipercayanya pergi ke pemusatan pasukannya di sebelah pasukan yang telah dipersiapkan lebih dahulu, maka seorang penunggang kuda berpacu seperti angin ke perbatasan. Orang itu adalah utusan beberapa orang Senapati yang mendengar penangkapan Mahisa Walungan atas tuduhan yang keji itu. Utusan itu seorang Senapati pula, harus segera menghubungi Gubar Baleman dan memberitahukan apa yang telah terjadi atas Mahisa Walungan dan apa yang sebentar lagi akan terjadi atasnya.
Gubar Beleman yang belum mendengar apa yang telah terjadi di istana, menyambut urusan itu dengan wajah yang cerah. Ia menyangka bahwa utusan itu pasti utusan Mahisa Walungan yang akan memberitahukan perkembangan terakhir dari persiapannya.
“Aku hampir tidak sabar menunggu,” sambut Gubar Baleman yang pertama-tama, “marilah. Kau dapat melihat sendiri apa yang terjadi di perbatasan, dan kau dapat memberitahukan nanti kepada Adinda Mahisa Walungan.”
Utusan yang baru saja turun dari kuda itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak Pamanda Menteri. Keadaan sudah jauh berubah dari yang kita gambarkan semula.”
“He?” Gubar Galeman terkejut. Lalu, “Tetapi marilah kita duduk di gubugku. Kau dapat berbicara dengan tenang.”
Keduanya-pun kemudian masuk ke dalam sebuah gubug di perkemahan pasukan Kediri yang sengaja tidak mempergunakan rumah-rumah rakyat yang sedang diombang-ambingkan oleh ketidak tentuan.
“Apakah yang sudah terjadi?” bertanya Gubar Baleman.
Senapati muda yang menjadi utusan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana dengan perbatasan ini Pamanda Menteri?”
“Keadaannya sudah menjadi semakin baik, meskipun masih banyak pengungsi yang menyeberang ke Tumapel. Tetapi aku sudah menghentikan perburuan manusia seperti yang terjadi sebelumnya. Aku membiarkan saja mereka yang menyeberang ke Tumapel. Aku justru mencoba memberikan bantuan yang mereka perlukan. Juga bekal di perjalanan mereka.”
“Kenapa?”
“Ternyata banyak di antara mereka yang mengurungkan niatnya, justru karena mereka tidak diburu-buru lagi. Tidak dibantai dan tidak dirampok segala milik yang sempat dibawanya.”
Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kau belum mengatakan, kenapa keadaan sudah jauh berubah?”
Utusan itu termenung sejenak. Namun kemudian ia mulai menceriterakan apa yang sudah terjadi atas Mahisa Walungan.
“He? Kenapa dapat terjadi demikian? Apakah tidak ada seorang-pun yang dapat mengatakan, bahwa hal itu sama sekali tidak benar? Itu adalah fitnah semata-mata. Aku tahu benar siapakah Adinda Mahisa Walungan. Ia adalah Adinda Baginda yang terlampau setia.”
“Baginda sudah menjadi mata gelap. Menurut dugaanku pasti ada orang-orang istana yang sengaja memutar balik keadaan. Kini Baginda memercayakan pimpinan keprajuritan kepada Pujang Warit, dengan mempertaruhkan segenap keselamatan negeri ini.”
“Pujang Warit, kenapa Pujang Warit? Bukankah Pujang Warit tidak jauh lebih tua diri padamu?”
“Ya. Umur kami berselisih tiga tahun saja.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Memang Pujang Warit mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya. Apalagi yang lebih muda dari padanya. Tetapi ia pasti belum mempunyai cukup kebijaksanaan untuk memimpin pasukan Kediri.”
“Apalagi dalam keadaan seperti sekarang.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung. Dicobanya untuk mengerti, apakah kira-kira yang sudah terjadi di istana.
“Pamanda Menteri,” berkata Senapati itu pula, “tugas Pujang Warit sependengaran kami adalah, menumpas pemberontakan Tumapel, membubarkan pemusatan pasukan Adinda Mahisa Walungan dan memanggil Pamanda Menteri Gubar Baleman ke istana.”
Gubar Baleman sama sekali tidak terkejut. Ia mempunyai tanggapan yang tajam terhadap keadaan. “Aku akan dipanggil dan tidak akan keluar lagi dari istana itu. Begitu agaknya.”
Utusan para Senapati itu tidak menyahut.
“Aku sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi aku mencemaskan nasib perbatasan ini dan bahkan seluruh Kediri.”
“Itulah yang kami pikirkan, sehingga aku tergesa-gesa menemui Pamanda Menteri.”
“Kalau aku memenuhi panggilan itu, aku adalah seorang Menteri yang paling setia kepada Baginda. Tetapi dengan demikian aku sudah melepaskan kesetiaanku kepada Kediri, karena kini ternyata bahwa Baginda sudah terpisah dari Kediri dalam keseluruhan.”
“Jadi?”
“Aku menjadi bingung. Tetapi bagiku Kediri adalah wadah yang harus diselamatkan. Meskipun tampaknya kini aku tidak mematuhi perintah Baginda, namun apabila keadaan memungkinkan nanti, setelah Kediri diselamatkan, Baginda akan mengerti, bahwa perbuatan kami dilandasi oleh kejujuran hati.”
Senapati muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan mempertimbangkan, apakah yang akan aku lakukan dalam keadaan yang semakin kalut ini. Di perbatasan pasukan Singasari menjadi semakin kuat, di dalam istana para pemimpin saling berdesakan untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri. Benar-benar suatu keadaan yang membuat kita semui harus berprihatin.”
Senapati itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya, “Begitulah Pamanda Menteri. Karena itu, terserahlah kepada pamanda. Tidak ada lagi orang tua yang pantas melindungi Kediri dan isinya selain Pamanda Menteri Gubar Baleman. Kami, para Senapati, sudah kehilangan kepercayaan kepada siapapun. Juga kepada Pujang Warit. Kami justru menjadi curiga kepadanya.”
“Baiklah, aku akan mengambil sikap. Beri kesempatan aku berpikir hari ini.”
“Aku akan menunggu. Petang nanti aku akan kembali ke Ganter. Aku menyangka, bahwa perkembangan keadaan pasti masih akan terjadi. Mungkin lebih cepat dari yang kita duga.”
“Baiklah,” sahut Gubar Baleman. Kemudian, “Aku akan melihat perbatasan. Mungkin aku dapat meninggalkan se hari dua hari. Aku ingin melihat apa yang sudah terjadi di istana. Tetapi tidak sebagai seorang pesakitan.”
Gubar Baleman-pun kemudian menyiapkan kudanya untuk melihat-lihat daerah perbatasan. Dibawanya tiga orang pengawal kepercayaannya dan Senapati muda itu, agar ia dapat melihat sendiri, betapa ringkihnya pasukan Kediri di perbatasan.
Demikianlah maka Gubar Baleman itu kemudian mendatangi setiap pasukan yang ada. Ditemuinya para Senapati yang memimpin pasukan-pasukan mereka dengan sepenuh hati. Mereka memang sudah bertekad mempertahankan Kediri mati-matiam. Namun mereka-pun telah mengetahui rencana Mahisa Walungan. Mereka tidak akan mempertahankan perbatasan ini. Tetapi mereka akan menarik pasukan Tumapel jauh memasuki wilajah Kediri. Sampai di sebelah Ganter, mereka akan bergabung dengan pertahanan yang sudah disiapkan oleh Mahisa Walungan. Di sebelah Utara Ganter itulah nanti mereka akan menghancurkan pasukan Tumapel.
Para Senapati itu-pun kemudian melaporkan bahwa tidak ada gerakan-akan yang mencurigakan di pihak lawan. Pasukan sandi yang sempat menyusup mendekati pemusatan pasukan Singasari melaporkan, bahwa mereka-pun masih dalam sikap bertahan.
“Sepasukan prajurit khusus telah berada di perbatasan pula,” lapor seorang Senapati.
“Apakah yang kau maksud dengan pasukan khusus?”
“Pasukan yang cukup besar, yang terdiri dari beberapa kelompok. Menurut keterangan yang didengar oleh beberapa orang petugas sandi, pasukan itu justru dibentuk dari orang-orang Kediri sendiri yang telah mengungsi ke Singasari.”
“Bukan main,” geram Gubar Baleman, “itulah kelebihan Ken Arok yang sekarang menyebut dirinya Sri Rajasa.”
“Pasukan itu dipimpin sendiri oleh kakanda permaisuri Singasari.”
“Siapa?”
“Mahisa Agni.”
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian, orang yang paling dapat diharapkan oleh Kediri, Mahisa Walungan, kini berada di dalam tahanan Sri Baginda sendiri. Karena itu, dalam waktu yang singkat, Gubar Baleman mengumpulkan beberapa orang Sanapati yang memang tidak banyak jumlahnya itu. Kepada Senapati yang tertua, Gubar Baleman menyerahkan kepercayaan untuk memimpin seluruh pasukan di perbatasan.
“Aku akan melihat apa yang telah terjadi di Kediri. Aku ingin membuktikan sendiri, kenapa Adinda Mahisa Walungan harus berada di dalam bilik tahanan.”
“Baiklah,” jawab Senapati tertua itu, “aku akan berusaha untuk melakukan tugas ini sebaik-baiknya.”
“Seandainya keadaan meruncing, dan kau tidak dapat menunggu aku, sebelum ada perubahan apapun, lakukanlah rencana yang telah kita susun. Aku mengharap bahwa kekuatan di Ganter itu masih memadai.”
“Baiklah.”
Gubar Baleman-pun kemudian kembali ke gubugnya untuk segera mempersiapkan dirinya dan berkemas-kemas. Ia ingin pergi ke Kediri bersama Senapati muda itu hari itu juga. Tetapi sebelum Gubar Baleman sampai ke gubugnya, seorang pengawalnya telah menemuinya sambil berkata, “Aku sedang menyusul tuan di sepanjang perbatasan.”
“Kenapa?“
“Ada utusan dari Sri Baginda.”
Gubar Baleman mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia berpaling kepada Senapati muda di sampingnya sambil berkata, “Begitu cepatnya Pujang Warit mengambil tindakan. Aku memuji kelincahannya.”
Senapati itu menganggukkan kepalanya. “Tetapi ia masih kurang cepat dari kau.”
Senapati itu masih sempat tersenyum ketika Gubar Baleman-pun tersenyum. Kemudian kepada pengawal yang menyusulnya itu ia berkata, “Baiklah. Aku akan menemuinya. Berapa orang jumlah utusan itu?”
“Enam orang.”
Sekali lagi Gubar Baleman tersenyum. “Jumlah yang besar.”
“Tidak,” sahut Senapati muda di sampingnya, “jumlah yang pantas dalam keadaan serupa ini.”
Gubar Baleman kini benar-benar tertawa, meskipun terasa aneh. “Katakan kepada utusan itu, sebentar lagi aku akan menemui mereka.”
“Baiklah.”
Sepeninggal pengawal itu Gubar Baleman kemudian berkata, “Kau jangan menampakkan dirimu supaya mereka tidak tahu, bahwa berita tentang Adinda Mahisa Walungan telah sampai kepadaku.”
“Baiklah.”
“Tetapi cobalah mendengarkan, apa yang mereka bicarakan. Kalau ada kesempatan, berusahalah mendekat.”
“Sulit. Gubug itu terlampau kecil. Di sekitarnya tidak ada tempat untuk bersembunyi.”
Gubar Baleman tersenyum, “Kalau mungkin. Kalau tidak, biarlah nanti aku ceriterakan apa yang mereka katakan kepadaku.”
Gubar Baleman-pun kemudian mendahului Senapati muda itu langsung pergi ke gubugnya. Di luar gubug itu ia melihat beberapa ekor kuda yang tertambat, sedang tamu-tamunya sudah duduk di atas tikar di dalam gubugnya yang sempit. Ketika mereka melihat Gubar Baleman, maka mereka-pun segera membungkukkan kepala mereka dengan hormatnya.
“Kami datang untuk menghadap Pamanda Menteri Gubar Baleman,” berkata salah seorang dari para utusan itu, juga seorang Senapati yang masih muda.
“Baiklah,” Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku sudah mendengar dari seorang pengawal, bahwa ada enam orang tamu dari kota, utusan Sri Baginda.” Gubar Baleman berhenti sejenak, “Apakah kalian membawa sepasukan prajurit untuk memperkuat pertahanan di perbatasan? Atau membawa perbekalan atau apapun yang dapat memperkuat ketahanan pasukan kita di sini?”
Sejenak para utusan itu saling berpandangan. Pertanyaan itu agaknya telah membuat mereka menjadi termangu-mangu. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa pertanyaan itulah yang akan diucapkan oleh Gubar Baleman. Tidak seperti lajimnya, sesuai dengan tata cara, yang ditanyakan lebih dahulu bagi tamu-tamu adalah keselamatan.
Baru sejenak kemudian Senapati muda yang memimpin utusan itu dapat menjawab, “Pamanda Menteri, mungkin Baginda ingin mendengar laporan tentang penumpasan pemberontakan Tumapel. Sampai saat ini, Adinda Baginda Mahisa Walungan sama sekali belum memberikan laporan apapun juga.”
“Lalu?”
“Aku mendapat perintah untuk memanggil Pamanda Menteri menghadap Tuanku Sri Baginda.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi Tuanku Sri Baginda memanggil aku?”
“Ya.”
“Baiklah,” jawab Gubar Baleman, “aku akan menghadap. Tetapi tidak hari ini. Aku harus mengatur pasukan di perbatasan ini, sehingga apabila setiap saat pasukan Singasari menyerang, sedang aku tidak ada, prajurit-prajurit kita tidak kehilangan pegangan.”
“Tetapi Baginda memerintahkan Pamanda Menteri untuk menghadap segera.”
“Ya, segera. Tetapi segera itu kapan? Aku tidak sedang bertamasya di perbatasan, sehingga setiap saat aku dapat meninggalkan tempat ini tanpa pertanggungan jawab apapun.”
“Aku hanya mengemban perintah.”
“Perintah itu sudah aku terima dan akan aku jalankan sebaik-baiknya. Baginda-pun pasti mengerti, bahwa, segera bagi seorang pimpinan pasukan yang sudah siap untuk bertempur, bukanlah berarti sekarang. Kau adalah seorang Senapati. Kalau kau tidak mengerti akan hal itu, maka kau agak terdorong langkah. Seharusnya pangkatmu diturunkan dua atau tiga tingkat lagi.”
Wajah Senapati muda itu menjadi merah padam. Sekilas dipandanginya wajah kawan-kawannya. Namun ia masih menahan diri untuk tetap bersikap baik. “Pamanda Menteri,” berkata Senapati itu, “perintah Baginda sebenarnya lebih jelas lagi. Pamanda diperintahkan menghadap bersamaku.”
“Boleh, boleh saja. Kalau begitu tunggulah. Hari ini aku akan menjelesaikan pekerjaanku di sini. Kalau besok semuanya sudah tidak mencemaskan lagi, kita akan pergi bersama-sama.”
“Bukan, bukan begitu,” sahut Senapati muda itu, “maksud Sri Baginda, Pamanda Menteri diperintahkan menghadap sekarang bersama kami.”
“Jangan membuat lelucon di sini,” berkata Gubar Baleman, “Kau telah memperbodoh Sri Baginda. Ingat, kalau aku menyampaikan kepada Sri Baginda, maka kalian akan di hukum. Sri Baginda adalah seorang Maha Senapati, seorang Panglima perang yang tiada taranya di dunia ini. Meskipun Sri Baginda tidak di medan ini. tetapi Sri Baginda mengetahui apakah yang telah terjadi di sini. Dan kau, yang sempat melihat dengan mata kepala sendiri. masih saja bersikap begitu bodoh, mencoba memaksa aku meninggalkan tanggung jawab yang begini besar begitu saja. Sekarang, sekarang. Seperti anak kelaparan minta makan.”
Sekali lagi warna merah menjalar ke wajah Senapati muda itu. Dan ia masih harus mendengar Gubar Baleman berkata, “Kalau kau ingin mendapat pujian anak-anak, pakailah cara yang lain. Kau harus menyadari, bahwa cara yang kau tempuh ini keliru. Sri Baginda pasti akan marah sekali karena sikap kalian. Apalagi kalau besok perbatasan ini pecah, dan pasukan Singasari mengalir seperti banjir bandang melanda daerah Kediri. Nah. apakah kau sadar, bahwa kau akan digantung karena kesalahanmu itu. Bukan hanya kau. tetapi aku juga akan digantung, karena aku telah meninggalkan tanggung jawabku.”
Senapati itu menjadi bingung. Ternyata Menteri Gubar Baleman tidak mempercayainya, bahwa Sri Baginda benar-benar telah memanggilnya. Sekarang, seperti istilah yang dipergunakan oleh Baginda itu juga. Dalam kebingungan itu, Senapati muda itu tidak segera dapat mengatakan apa-apa. Sejenak ia duduk dengan gelisah dan dada yang berdebar-debar.
“Jangan gelisah,” berkata Gubar Baleman, “tunggulah di sini. Aku akan menjelesaikan pekerjaan. Syukurlah kalau tugas ini dapat aku selesaikan hari ini. Nanti malam kita dapat berangkat bersama-sama.”
Senapati itu masih terdiam.
“Kenapa kau menjadi bingung? Ingat, kau adalah seorang Senapati. Bukan anak-anak lagi.”
“Pamanda Menteri,” berkata Senapati itu, “aku memang menjadi bingung. Perintah Baginda memang berbunyi demikian. Aku harus membawa Pamanda Menteri menghadap sekarang.”
“He,” potong Gubar Baleman, “kau sangka apa aku ini he? Kenapa kau harus membawa aku? Apakah aku tidak dapat menghadap sendiri?”
“Maksudku, pamanda diperintahkan untuk menghadap sekarang. Aku tidak mempergunakan kata-kataku sendiri, tetapi aku mempergunakan istilah Sri Baginda. Sekarang.”
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. “Kau memang bodoh. Kau tangkap arti kata seperti katanya itu sendiri. Tetapi baiklah. Kalau kau berkeras. Tunggulah aku di sini. Aku akan menghubungi para pemimpin kelompok dan para Senapati. Aku harus menyerahkan pimpinan kepada salah seorang dari mereka. Mudah-mudahan kita akan segera dapat berangkat. Segera, apakah segera itu sama dengan sekarang yang kau maksud aku tidak tahu.”
Senapati itu terdiam sejenak. Tetapi itu akan lebih baik dari besok atau kapan-pun. Ia dapat mengatakan bahwa selama itu ia menunggu Menteri Gubar Baleman yang sedang berkeliling, atau mencari alasan apapun. Meskipun demikian Senapati muda itu tidak segera menjawab. Sekali-sekali ditatapnya wajah Gubar Baleman yang menumbuhkan kesan yang lain padanya, kemudian dipandanginya wajah kawan-kawannya. Tetapi hampir setiap wajah rasanya menjadi asing baginya.
“Baiklah,” akhirnya Senapati muda itu menjawab, “aku akan menunggu sampai tugas Pamanda Menteri selesai. Mungkin benar juga kata pamanda Gubar Baleman, bahwa sebaiknya aku melihat persiapan yang sudah pamanda lakukan dengan mata kepala sendiri.”
“Buat apa kau melihat?” bertanya Gubar Baleman, “Kalau kau pemimpinanku, atasanku, misalnya Kau ini Adinda Mahisa Walungan atau Sri Baginda sendiri, pantaslah kau melihat-lihat untuk menilai pekerjaanku. Tetapi kau adalah bawahanku.”
Dada Senapati muda itu serasa akan retak. Kalau ia tidak mendapat tugas membawa Gubar Baleman menghadap, maka ia pasti sudah mengambil tindakan lain. Kalau saja perintah itu berbunyi, tangkap ia hidup atau mati.
“Tetapi apakah Pamanda Menteri Gubar Baleman atau justru aku sendiri yang akan mati,” geramnya di dalam hati, ia sadar bahwa Gubar Baleman adalah seorang Menteri yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan Kediri. Gubar Baleman adalah seorang prajurit yang pilih tanding. Tetapi untuk menerima penghinaan yang demikian, justru pada saat ia mengemban perintah Pujang Warit atas nama Sri Baginda, adalah sangat menyakitkan hati.
“Kalau aku datang atas namaku sendiri, aku menganggap bahwa kata-katanya wajar sekali. Tetapi aku adalah seorang utusan.” ia masih menggerutu di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tidak mengatakan sesuatu.
“Tunggulah di sini,” berkata Gubar Baleman kemudian, “aku akan menemui para Senapati yang bertugas untuk menjerahkan pimpinan pada salah seorang di antara mereka.”
Sekali lagi Senapati muda itu tidak mempunyai pilihan lain. Maka jawabnya, “Baik Pamanda Menteri, tetapi kami mengharap agar Pamanda Menteri menyadari, bahwa istilah yang aku pakai di dalam penyampaian perintah ini adalah istilah Sri Baginda sendiri.”
“Aku sudah mendengar dan aku bukan anak-anak. Jangan kau ulangi lagi pesan itu.”
Senapati muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan dada yang pepat ia menyaksikan Gubar Baleman keluar dari gubug itu, mengambil kudanya, kemudian meninggalkan tempat itu bersama tiga orang pengawal kepercayaannya. Tidak begitu jauh dari gubugnya, muncullah seorang penunggang kuda yang lain. Senapati yang menyampaikan berita penangkapan Mahisa Walungan, yang agaknya telah siap pula di atas punggung kuda.
“Ikuti aku sebentar,” perintah Gubar Baleman.
Ternyata mereka segera berpacu menemui Senapati yang telah mendapat kepercayaan Gubar Baleman untuk menggantikan pimpinan sementara di perbatasan.
“Aku mempunyai tamu,” berkata Gubar Baleman kepada Senapati itu.
“Siapa?”
“Seorang Senapati muda. Aku dipanggil oleh Sri Baginda seperti yang sudah aku duga. Aku akan pergi ke kota.”
“Bersama utusan itu?”
“Tidak. Aku justru akan mendahului mereka. Kalau jarak yang aku tempuh sudah cukup panjang, barulah kau memberitahukan kepada mereka, bahwa aku telah mendahului. Sebaiknya lewat senja nanti. Aku mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu di kota nanti.”
Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Utusan itu pasti akan marah. Tetapi kau harus menahan diri. Apapun yang kalian lakukan di sini atasnya, tetapi kalian harus memberi kesempatan Senapati itu kembali ke kota.”
“Baiklah. Aku akan melakukan semuanya.”
Gubar Baleman itu-pun kemudian membawa beberapa orang pengawal bersama Senapati yang telah menghubunginya untuk kembali ke kota. Ia sudah mempunyai rencana yang barangkali dapat dilakukannya. Tetapi untuk meringkuk di dalam tahanan selagi Kediri terancam bahaya adalah tidak menyenangkan sekali. Bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seluruh Kediri dan untuk Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Senapati muda utusan Sri Baginda itu-pun menjadi semakin gelisah. Gubar Baleman masih belum datang ke gubugnya kembali. “Meskipun malam, kita akan berjalan,” berkata Senapati itu kepada pengawalnya.
“Ya. kalau tidak, Pujang Warit dan bahkan mungkin Sri Baginda sendiri akan langsung marah kepada kita.”
Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi Gubar Baleman tidak juga kunjung datang. “Aku hampir tidak sabar lagi. Apakah kita harus mencarinya di sepanjang perbatasan yang menghadap ke Singasari ini?”
“Agaknya hal itu akan lebih baik dari pada kita duduk saja di sini tanpa berbuat sesuatu.”
Senapati muda itu-pun bangkit dan melangkah keluar. Di luar gubug itu ia melihat dua orang penjaga yang berjalan hilir mudik dengan tombak di tangan. “He,” panggil Senapati itu, “di mana Pamanda Menteri Gubar Baleman?”
Kedua prajurit yang sedang bertugas mengawal gubug perkemahan Gubar Baleman itu saling berpandangan. Kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Kami tidak tahu.”
“Gila,” Senapati itu menggerutu, “aku memang bawahan Pamanda Menteri. Tetapi sebagai utusan Sri Baginda aku berhak berbuat atas namanya apabila keadaan memaksa.”
Kemudian kepada pengawapnya ia berkata, “Marilah kita cari, di mana saja Pamanda Menteri itu bersembunyi.”
Para pengawalnya-pun kemudian keluar pula dari dalam gubug itu. Masing-masing pergi ke kudanya yang terikat di halaman perkemahan. Namun sebelum mereka meninggalkan perkemahan itu, mereka tertegun karena mereka melihat beberapa penunggang kuda mendekati mereka. Senapati muda yang memimpin utusan dari kota itu menyongsong beberapa orang penunggang kuda itu.
Namun sebelum ia bertanya sesuatu, salah seorang dari penunggang kuda yang mendekatinya itu berkata, “Akulah yang kini memegang pimpinan di perbatasan selagi Menteri Gubar Baleman pergi ke kota.”
Senapati muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kaulah yang menjadi utusan Sri Baginda memanggil Menteri Gubar Baleman?”
“Ya,” jawab Senapati muda itu.
“Kenapa kau masih berada di sini?”
“Kenapa?” Senapati muda itu heran mendengar pertanyaan penunggang kuda itu.
“Ya kenapa? Yang kau jemput sudah lama berangkat. Dan kau masih menunggui gubug ini.”
Wajah Senapati muda itu menegang. Kemudian ia maju selangkah sambil berkata, “Jangan bergurau. Aku adalah utusan Sri Baginda.”
Penunggang kuda itulah yang tampaknya menjadi heran. Katanya, “Aku sudah lama berada di perbatasan. Di daerah yang tegang dan panas ini. Aku sudah tidak sempat bergurau lagi.”
Senapati itu menjadi semakin tegang. Katanya, “katakan, di mana Pamanda Menteri Gubar Baleman.”
“Sudah aku katakan. Menteri Gubar Baleman sudah kembali ke kota bersama beberapa orang pengawalnya.”
“Bohong.”
“He, kenapa aku berbohong? Apakah gunanya? Kalau kau mencari seseorang, apakah gunanya aku menyembunyikannya? Apalagi seorang Menteri.”
Senapati muda itu menjadi marah karenanya. Disangkanya penunggang kuda itu mempermainkannya. “Cepat, tunjukkan aku di mana Pamanda Menteri Gubar Baleman sebelum aku mengambil tindakan atas nama Sri Baginda.”
Tetapi penunggang kuda itu justru tertawa. Katanya, “Kau seorang Senapati, aku juga seorang Senapati. Umurmu dan umurku terpaut cukup banyak, sehingga menurut tata kesopanan seorang prajurit, kau harus menghormati aku. Apalagi kini aku telah diserahi oleh Menteri Gubar Baleman kekuasaan atas perbatasan ini. Karena itu kau jangan merasa dirimu berkuasa di sini.”
“Aku memang tidak, tetapi kekuasaan Sri Baginda merata sampai ke ujung bumi.”
“Setiap orang dapat berkata demikian. Tetapi kau tidak mempunyai kekuasaan apa-apa selain memanggil Menteri Gubar Baleman. Dan aku sendiri mengetahui ketika ia berangkat meninggalkan daerah ini. Katanya, “Baginda memanggil aku sekarang. Sekarang.”
Darah Senapati muda itu serasa mengalir seluruhnya ke kepala. Dengan suara lantang ia berkata, “Agaknya Pamanda Menteri Gubar Baleman telah bersepakat dengan kau untuk mengadakan lelucon ini. Jangan menunggu aku kehilangan kesabaran. Aku adalah utusan Sri Baginda yang mempunyai kekuasaan atas namanya, seperti kekuasaan Sri Baginda sendiri.”
Alangkah sakit hati Senapati muda itu ketika penunggang kuda itu justru tertawa, “Jangan terlampau besar kepala anak muda. Memang kadang-kadang Senapati yang masih sangat muda, mudah kehilangan keseimbangan. Kau pasti mempunyai beberapa kelebihan sehingga dalam umurmu yang masih semuda itu, kau sudah sampai kepada jabatan seorang Senapati yang memimpin sepasukan prajurit. Tetapi kau sama sekali masih belum mempunyai kebijaksanaan sama sekali. Kau sangka bahwa seorang utusan mempunyai wewenang yang mengutusnya? Bagaimanakah apabila dua orang utusan atau penguasa atas nama Sri Baginda berbeda pendirian? Siapakah yang lebih kuasa dari keduanya?”
“Tetapi aku mendapat kekuasaan itu.”
“Aku juga. Sebagai seorang Senapati yang mendapat perintah pelimpahan yang berjalur dari Sri Baginda, aku menjadi pimpinan tertinggi dari seluruh pasukan Kediri di perbatasan. Setiap prajurit yang datang di perbatasan langsung di bawah perintahku, kecuali mereka yang memang berkedudukan lebih tinggi dari padaku.”
“Aku bukan pasukan perbatasan.”
“Tetapi kau berada di daerah kuasaku, sedang kau tidak berkedudukan lebih tinggi dari padaku. Karena itu jangan berbuat sesuatu yang dapat mencemarkan nama prajurit Kediri. Setiap prajurit harus mengerti urutan kekuasaan yang ada dalam tata keprajuritan.”
“Cukup. Aku bukan anak kemarin sore di dalam lingkungan keprajuritan Kediri. Tetapi yang penting sekarang tunjukkan di mana Pamanda Menteri Gubar Baleman. Apa lagi seorang Senapati dalam jabatan apapun. Seorang Menteri-pun harus tunduk kepadaku saat ini, sebagai pengemban tugas dari kekuasaan tunggal tertinggi di Kediri.”
“Menteri Gubar Baleman telah kembali ke kota.”
“Bohong,” bentak Senapati muda itu, “Ia harus pergi bersamaku.”
“Bagaimana mungkin kau dapat ketinggalan?”
“Tunjukkan di mana ia sekarang.”
“Di perjalanan.”
“Bohong. Bohong.”
“Jangan membentak-bentak. Di sini adalah beberapa pasukan prajurit di bawah perintahku. Kalau kau masih berkeras kepala, aku akan menangkapmu dan melaporkan tindakanmu yang bodoh itu kepada Panglima, adinda Sri Baginda, Mahisa Walungan.”
“Mahisa Walungan sudah tidak mempunyai kekuasaan apa-apa lagi. Ia sudah ditangkap karena ia memberontak.”
“O, kau sudah berceritera tentang suatu hal yang ngayawara. Kau agaknya memang sedang mengigau.”
Senapati muda itu hampir tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi ia masih sadar, bahwa ia tidak akan dapat melakukan kekerasan. Di belakang Senapati yang kini memegang pimpinan atas pasukan di perbatasan itu, beberapa orang prajurit agaknya sudah siap pula menghadapi setiap kemungkinan.
“O, aku berhadapan dengan orang-orang gila,” katanya di dalam hati, “agaknya orang-orang di perbatasan ini sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi kekuasaan Sri Baginda.”
Dan Senapati yang memimpin pasukan di perbatasan itu berkata seterusnya, “He. apakah kau tidak tahu bahwa Mahisa Walungan itu adalah Adinda Baginda? Siapakah yang berani menangkap Mahisa Walungan?”
“Sri Baginda,” sahut Senapati muda itu.
“O,” Senapati yang masih berada di punggung kuda itu menarik nafas dalam-dalam. “kau sudah bermimpi. Aku menjadi cemas, bahwa perintah Baginda kepada Menteri Gubar Baleman itu-pun hanya sekedar mimpi.”
Senapati muda itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
“Nah. daripada kau ribut di sini,” berkata pimpinan pasukan perbatasan itu, “agaknya lebih baik bagimu untuk menyusul Menteri Gubar Baleman yang dengan tergesa-gesa meninggalkan perbatasan kembali ke kota. Ia tidak sempat makan lebih dahulu meskipun sehari penuh ia belum makan, ia datang kepadaku sekedar memberikan kekuasaan atas pasukan di perbatasan, kemudian dengan tergesa-gesa memacu kudanya.”
“Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Buat apa aku menipumu?”
“Aku akan pergi ke kota menyusul Pamanda Menteri Gubar Baleman. Tetapi apabila kau berbohong, maka kau akan menyesal. Sri Baginda tidak akan dapat kau ajak bergurau dengan cara yang bodoh ini.”
“Jangan kau ulangi supaya aku tidak menjadi bertambah marah. Sudah aku katakan, pasukan di perbatasan tidak sempat bergurau. Mungkin kau yang ada di kota masih juga sempat berbuat apa saja. Tetapi kami tidak. Kami setiap hari hanya bergurau dengan senjata-senjata kami.”
Senapati muda itu meniadi semakin tegang. Tetapi ia tidak mau terlibat dalam kesulitan. Agaknya orang-orang di perbatasan itu benar-benar sudah menjadi asing. Sejenak Senapati muda itu merenung. Namun kemudian ia berkata kepada pengawalnya,
“Kita kembali ke kota. Kita akan melihat apakah Pamanda Menteri Gubar Baleman sudah menghadap. Kalau tidak, maka kita akan mengambil tindakan kepada orang-orang yang bersalah, meskipun di perbatasan ini. Karena pasukan di perbatasan ini-pun harus tunduk kepada perintah Sri Baginda atau yang mendapat pelimpahan kekuasaannya.”
Senapati itu tidak menunggu jawaban. Ia-pun segera meloncat ke punggung kudanya diikuti oleh pengawalnya. “Ingat,” katanya pula, “kekuasaan Sri Baginda tidak terbatas.”
Tetapi tidak ada yang menyahut. Para prajurit perbatasan itu hanya memandang mereka dengan tajam. Bahkan terdengar pemimpin pasukan perbatasan itu kemudian tertawa.
“Gila,” Senapati muda itu mengumpat sambil menghentakkan kendali kudanya, sehingga kuda itu-pun kemudian meloncat berlari sekencang angin.
Pengawalnya-pun kemudian menyusulnya pula, seakan-akan mereka sedang berpacu. Sejenak kemudian mereka-pun telah hilang di baliknya dedaunan liar di seputar perkemahan itu.
Senapati yang mendapat kekuasaan untuk memimpin pasukan perbatasan itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesis, “Agaknya keadaan Kediri akan menjadi terlampau gelap.”
Tidak seorang-pun yang menjawab. Dalam pada itu, Senapati yang sudah cukup lama menjadi prajurit Kediri itu duduk termangu-mangu di atas punggung kudanya. Dengan pandangan yang dalam, ditatapnya warna-warna merah di langit sebelah Barat. Rasa-rasanya ia sedang menatap Kediri yang berada di ujung senja.
“Apakah sudah sampai saatnya Kediri akan tenggelam?” desisnya di dalam hati, “para pemimpinnya sudah saling bertengkar sendiri. Sri Baginda sudah kehilangan kebijaksanaannya. sehingga Mahisa Walungan, orang yang paling mungkin untuk memimpin perlawanan bersama Menteri Gubar Baleman sudah di sisihkan, meskipun ia Adinda Baginda sendiri. Sementara Singasari semakin memperkuat perbatasan.”
Senopati itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kepada prajurit-prajuritnya ia berkata, “Kita kembali ke tempat tugas kita masing-masing. Kita akan segera dapat mengatasi kesulitan yang tidak berarti ini. Aku percaya kepada Menteri Gubar Baleman. Dan kepercayaan yang diberikan kepada kita-pun harus kita junjung tinggi-tinggi. Kita akan mempertahankan perbatasan ini, meskipun kita mendapat perintah untuk menarik pasukan lawan sampai ke Ganter. Tetapi apabila kita dapat membendung Singasari di perbatasan, itu pasti akan lebih dari rencana kedua.”
Para prajuritnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita lanjutkan rencana Menteri Gubar Baleman. Kita tidak tergantung kepada kekuatan prajurit saja. Rakyat yang dengan suka rela menyediakan dirinya, sudah kita tampung dalam suatu tempat latihan. Mereka harus kita persenjatai sebaik-baiknya, supaya mereka dapat membantu kita dalam keadaan yang sulit.”
Demikianlah maka Senapati itu meneruskan semua hal yang sudah dilakukan oleh Gubar Baleman. Justru ia semakin rajin membagi tugas para prajuritnya, termasuk latihan-latihan yang mereka berikan kepada rakyat Kediri yang dengan suka rela bergabung dengan para prajurit di perbatasan, tanpa mengenal waktu.
Sementara itu Gubar Baleman-pun telah sampai ke sebelah Utara Ganter, ketika malam telah menjadi semakin kelam. Kedatangannya telah menimbulkan harapan baru bagi pasukan yang hampir kehilangan pegangan itu. Dalam waktu yang singkat Gubar Baleman telah dapat mengumpulkan para Senapati yang berada di sebelah Utara Ganter untuk membicarakan masalah yang kini mereka hadapi.
“Kami akan tetap setia kepada Sri Baginda Kertajaya dan kepada Tanah kami,” berkata Gubar Baleman, “tetapi dengan cara kami sendiri.”
Para Senapati itu-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa di antara mereka yang menangkap berita-berita tentang keadaan terakhir segera menyampaikannya kepada Gubar Baleman.”
“Pujang Waritlah yang mendapat tugas untuk membubarkan pemusatan pasukan ini.”
“Cara apakah yang akan ditempuhnya? Kekerasan?”
“Mungkin tidak. Ia akan datang atas nama Sri Baginda dan memberikan tugas-tugas baru kepada setiap Senapati yang ada di sini, sehingga pemusatan pasukan ini akan tercerai-berai.”
Gubar Baleman menarik napas dalam-dalam. Sekilas terbayang bencana yang akan melanda Kediri, jika dalam saat yang demikian pasukan Singasari bagaikan banjir bandang menempur negeri ini.
“Apakah menurut perhitungan Pujang Warit ia akan berhasil?”
“Aku kira demikian. Ia mengharap kami tetap setia kepada Sri Baginda. Mahisa Walungan telah dituduh mempergunakan kesempatan ini untuk merebut takhta. Kami di sini, sebagian terbesar dianggap tidak tahu, untuk apa kami melakukan pemusatan pasukan. Sri Baginda menganggap bahwa Mahisa Walungan telah menipu kami untuk kepentingannya.”
“Adakah yang pantas kita curigai?“
Para Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tampak di dalam pandangan mata mereka. sesuatu yang rasa-rasanya tertahan di kerongkongan.
“Kalian memang cukup berhati-hati” berkata Gubar Baleman, “tetapi bagaimana kalau aku yang mulai? Aku mencurigai Pujang Warit.”
Tiba-tiba setiap kepala terangguk-angguk mengiakan. Bahkan terdengar beberapa orang bergumam, “Ya, kami-pun demikian. Ia berada di lingkungan ini pada mulanya.”
“Pasti ada sesuatu yang tidak wajar. Baginda pasti telah mendengar pengaduan palsu tentang Adinda Baginda. Sedang Adinda Baginda benar-benar seorang adik yang patuh dan tunduk. Ia tidak mau melakukan perlawanan langsung terhadap kakanda, meskipun maksudnya baik. Selain ia terikat oleh tingkat kekuasaan, ia adalah saudara muda yang sangat menghormati saudara tuanya yang dianggapnya sebagai pengganti ibu-bapa.”
“Tetapi apakah Kediri harus dikorbankan?” bertanya salah seorang Senapati.
“Tidak. Kita akan berbuat sesuatu meskipun barangkali tidak akan disetujui oleh Adinda Mahisa Walungan sendiri.”
“Apakah yang dapat kita lakukan?”
“Aku akan menghadap Sri Baginda?”
“Kapan?”
Gubar Baleman berpikir sejenak. Ditatapnya setiap wajah yang ada di sekitarnya. “Apakah kalian dapat dipercaya?”
“Kami berjanji,” hampir berbarengan para Senapati itu menjawab.
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. “Di mana Pujang Warit kini berada bersama pasukannya?”
“Ia juga mengadakan pemusatan pasukan tidak jauh dari tempat ini. Kami memperhitungkan, bahwa apabila ia gagal dengan caranya, memang mungkin sekali ia akan mempergunakan kekerasan.”
“Tetapi sebagian terbesar pasukan sudah berkumpul di tempat ini.”
“Ia masih mengharap pengaruh nama Sri Baginda, sehingga tidak semua Senapati di dalam pasukan ini akan berpihak kepada Mahisa Walungan. Sedang Pujang Warit telah mempergunakan pasukan pengawal istana dan pasukan pilihan yang lain. selain pasukan keamanan.”
“Tetapi itu tidak mencemaskan, seandainya ia akan mempergunakan kekerasan. Terpaksa sekali justru ketika Singasari sudah di ambang pintu. Tetapi aku akan mencari jalan lain untuk mencegah benturan yang mungkin dapat terjadi.”
“Kami mengharap itu akan berhasil.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Yang pertama-tama harus kalian lakukan adalah menahan Senapati muda yang pasti akan mencari aku kemari. Mudah-mudahan ia tidak berbuat sesuatu di pertahanan, sehingga tidak memungkinkannya meninggalkan daerah perbatasan itu.”
“Apakah kami harus menangkapnya?”
“Ya. Ia datang bersama beberapa pengawalnya. Besok aku akan menghadap Sri Baginda tanpa orang itu.”
“Jadi?”
“Dengar, siapakah yang sudah memahami segala sudut istana? Aku sendiri sudah. Tetapi aku memerlukan beberapa orang kawan.”
Beberapa orang Senapati segera menyatakan dirinya.
“Memang terpaksa sekali. Malam ini kalian harus memasuki istana bersama beberapa orang pilihan dengan diam-diam."
Para Senapati itu saling berpandangan sejenak.
“Aku akan menghadap Sri Baginda besok pagi. Tetapi aku sadar, bahwa aku akan ditangkap. Nah. tugas kalian adalah melindungi aku.”
“Suatu perlawanan langsung terhadap Sri Baginda,” desis salah seorang Senapati.
“Tidak. Kita hanya ingin mendapat kesempatan untuk meyakinkan Baginda, bahwa kami tidak akan memberontak. Adinda Mahisa Walungan harus dapat keluar dari bilik tahanannya. Kita bersama akan membuktikan bahwa kita tidak bersalah. Hanya itu. Tanpa menyentuh takhta Baginda sama sekali. Justru dengan demikian kita akan menyelamatkan kedudukan Baginda. Bukan saja dari orang yang membuat fitnah ini. tetapi juga dari kehancuran akibat benturan dengan Singasari.”
Para Senapati itu terdiam sejenak. Mereka mengerti maksud Gubar Baleman. Tetapi untuk melakukannya dengan berterus terang di hadapan Baginda, adalah terlampau berat bagi mereka.
“Bagaimana?” bertanya Gubar Baleman.
“Kalau Baginda salah paham, maka kita dapat dianggap memberontak,” berkata salah seorang Kediri.
“Memang,” jawab Gubar Baleman, “tetapi kita tidak memberontak. Kalau kita dituduh sebagai seorang pengkhianatan, dan seandainya usaha kita gagal, dan kita akan dihukum sebagai pengkhianat bersama-sama dengan Adinda Mahisa Walungan. Maka ini adalah pengorbanan kita yang terbesar. Jauh lebih besar daripada apabila kita mati di peperangan. Sebab mati di peperangan kita masih akan disanjung sebagai pahlawan. Tetapi mati dalam usaha kita kali ini untuk menyelamatkan Kediri, mayat kita masih akan dicemarkan.”
Gubar Baleman berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi kalau seharusnya demikian, aku rela. Aku rela mati dan dihinakan untuk kepentingan Kediri dan kesetiaanku kepada Sri Baginda. Niat ini adalah niat yang jujur. Bukan niat yang harus kita perlihatkan kepada setiap orang dengan dada tengadah, bahwa kita telah berjuang. Kita telah berjuang untuk Kediri.” sekali lagi Gubar Baleman berhenti. Matanya menjadi menyala-nyala, “Perjuangan kita mungkin tidak akan dikenal untuk selama-lamanya, bahkan kita akan dituduh sebaliknya. Siapa yang rela mengalaminya, marilah kita selamatkan Kediri. Siapa yang tidak berani menanggung akibat itu, aku persilahkan minggir.”
Pertemuan itu menjadi hening untuk sejenak. Setiap wajah menjadi tegang dan berkerut-merut. Namun akhirnya seorang Senapati yang sudah mendekati tengah abad berkata. “Baiklah. Aku mengerti maksud ini. Aku ikut.”
“Ya, aku turut serta.”
“Aku. Aku. Aku…“ akhirnya hampir setiap orang menyatakan kesediaannya.
“Terima kasih,” sambut Gubar Baleman. “jika demikian, marilah kita mulai. Kita harus mengatur diri kita supaya usaha ini tidak gagal.”
Para Senapati-pun kemudian seakan-akan merapatkan dirinya. Dengan tajamnya mereka memandangi Gubar Baleman.
“Nah, aku lanjutkan rencana yang sudah aku katakan. Sebagian dari kalian harus memasuki istana bersama beberapa orang prajurit pilihan,” berkata Gubar Baleman, “kalian harus berusaha untuk membuat para Senapati dan prajurit yang sudah berada di halaman istana tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kalian tidak usah melakukan kekerasan jika tidak terpaksa sekali. Jika sampai saatnya Baginda memerintahkan menangkap aku, maka kalian akan mengerti apa yang kalian lakukan. Penangkapan itu harus gagal, karena tidak ada seorang prajurit-pun yang akan melakukannya. Dalam kesempatan itulah Adinda Mahisa Walungan harus menghadap Sri Baginda. Adinda Mahisa Walungan dan aku sendiri akan memberikan penjelasan kepada Sri Baginda, bahwa Kediri sudah benar-benar berada di ujung bahaya. Dalam keadaan ini, masih juga ada orang-orang yang mempergunakan kesempatan untuk kepentingan diri sendiri.”
“Baiklah,” jawab para Senapati itu, “kami akan melakukannya.”
“Sebagian dari kalian tetap berada di sini. Ada dua tugas harus dilakukan. Kalau bahaya dari Singasari itu datang sewaktu-waktu, kalian yang tinggal di sini harus mencoba mengatasinya sebelum kami datang. Sedang kemungkinan yang lain, yang sama sekali tidak kita harapkan adalah apabila Pujang Warit mempergunakan kekerasan. Entah karena ia yakin dapat menguasai kita, atau justru karena ia menjadi berputus-asa.”
“Baik,” jawab mereka hampir serentak.
Gubar Baleman-pun segera memilih para Senapati yang sudah memahami benar-benar segala sudut istana. Mereka harus memasuki istana itu dengan diam-diam, dan dengan diam-diam pula berada di setiap penjagaan, mendampingi para petugas yang sudah ada. Mereka harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan jujur. Kalau ada di antara para prajurit itu yang menolak, maka mereka harus segera bertindak tanpa ribut-ribut...”