PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 02: Bara Di Atas Singgasana Jilid 06
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 02: Bara Di Atas Singgasana Jilid 06
Karya Singgih Hadi Mintardja
TETAPI agaknya dengan demikian Sri Rajasa menjadi marah bukan buatan. Ia sendiri tidak pernah mempelajari dan mengembangkan ilmu apapun dengan teratur. Tetapi seakan-akan semua simpul-simpul syaraf dan urat yang ada di dalam dirinya, dengan sendirinya terpengaruh oleh kehendaknya. Apabila kemarahan telah membakar dadanya, maka semua bagian tubuhnya telah mengembangkan kekuatan di luar sadarnya.
Itulah sebabnya, maka pada puncak pertempuran itu, Mahisa Walungan yang kemudian terkejut bukan buatan. Hampir ia tidak dapat mempercayai tangkapan matanya sendiri. Di dalam cahaya matahari yang semakin tinggi, ia melihat bayangan yang kemerah-merahan membara di atas kepala Ken Arok. yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Dalam kemarahan yang memuncak, maka warna merah itu-pun menjadi semakin nyata, meskipun hanya dapat ditangkap oleh orang-orang tertentu yang mempunyai sentuhan indera yang lebih baik dari orang-orang kebanyakan, seperti Mahisa Walungan.
Namun akhirnya, Mahisa Walungan yang mempunyai pandangan yang jauh dan matang terhadap dunia raya di sekitarnya dan dunia kecil pada dirinya, segera dapat menanggapi keadaan. Sebenarnyalah bahwa lawannya bukannya manusia kebanyakan. Di sini ia melihat siapakah yang sebenarnya kekasih Yang Maha Agung. Bukan karena lawannya Sri Rajasa adalah Sang Amurwabumi adalah orang yang paling dikasihi oleh dewa-dewa. Tetapi orang itu, hanya sekedar alat untuk menumbangkan ketamakan yang selama ini telah mencengkam Kediri.
“Bukan kakanda Sri Kertajaya,” berkata Mahisa Walungan di dalam hatinya, “agaknya Kakanda Sri Kertajaya justru telah dikutuk oleh dewa dengan perantaraan orang ini.”
Namun meskipun demikian, Mahisa Walungan tidak menghentikan perlawanannya. Tetapi mata hatinya seolah-olah telah melihat akhir dari peperangan ini. Karena itulah maka ia justru menjadi tenang. Dihadapinya lawannya dengan penuh kesungguhan namun pasrah kepada penciptanya Yang Maha Agung. Siapapun yng telah menggerakkan Sri Rajasa, lahiriah maupun batiniah, namun semua itu pasti merupakan pengejawantahan dari kehendak Yang Maha Tunggal, pusar dari semua perputaran langit dan bumi, yang besar yang meliputi alam raya dan yang kecil di dalam dirinya, namun juga yang menjadi sumber dari segala gerak dan kehendak dewa-dawa di langit yang
menjadi peraganya dalam segala susunan dan kejadian. Dalam pada itu, Gubar Baleman-pun telah bertempur dengan sekuat tenaganya. Sebagai seorang Senapati tertinggi di samping Mahisa Walungan, maka Gubar Baleman-pun adalah seorang yang pilih tanding. Berpuluh tahun ia berguru di samping latihan-keprajuritan yang matang, sehingga di dalam dirinya telah tersimpan bekal yang rangkap untuk melakukan tugasnya. Dan kini ternyata bahwa ia adalah Senapati yang mumpuni.
Di dalam peperangan ini ternyata ia menjumpai seorang Senapati Singasari yang tidak disangkanya. Sebelumnya, sebagai seorang Senapati tertinggi di kerajaan Kediri, ia mengenal beberapa orang pemimpin Tumapel pada saat-saat Tunggul Ametung memegang kekuasaan, karena Tumapel termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Kediri yang besar. Tetapi Gubar Baleman belum pernah mengenal orang ini. Bersamaan dengan timbulnya Ken Arok di dalam tampuk pimpinan pemerintahan Tumapel yang kemudian menyebut dirinya Kerajaan Singasari, ternyata telah timbul pula beberapa orang perwira yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Gubar Baleman telah mendengar pula, bahwa Witantra telah tersisihkan. Namun ia tidak menyangka, bahwa telah lahir seorang Senapati yang melampui kemampuan Witantra yang saat itu merupakan orang yang paling disegani di Tumapel di samping Tunggul Ametung sendiri. Tetapi kini yang dihadapinya adalah seorang Senapati yang bernama Mahisa Agni, yang pasti agak lebih muda dari Witantra sendiri. Namun menurut penilaian Gubar Baleman, orang yang bernama Mahisa Agni ini telah memiliki kemampuan puncak di dalam olah kanuragan.
Dengan demikian maka perang di antara kedua pasukan yang dipimpin oleh Senapati-senapati yang tangguh itu menjadi semakin sengit. Hanya karena jumlahnya yang tidak seimbang sajalah yang membuat pasukan Kediri selalu terdesak.
Sementara, api peperangan membakar medan di sebelah Utara Ganter, pasukan yang berada di pinggir kota, yang ditinggalkan oleh Pujang Warit menjadi gelisah. Mereka mengerti bahwa Kediri terancam oleh bahaya yang benar-benar mencemaskan. Tetapi kini mereka dibiarkan duduk bertopang dagu sambil menunggu.
“Apakah yang dilakukan oleh Pujang Warit di istana?” bertanya salah seorang dari para prajurit itu.
“Tidur. Mungkin ia tertidur.”
“Lalu apa yang dapat kami lakukan di sini.”
“Juga tidur.”
Mereka-pun terdiam. Beberapa orang Senapati berjalan hilir mudik tidak menentu. Sekali-kali dipandanginya sepasukan prajurit yang bertebaran di jalan-jalan dan di halaman-halaman rumah. Sedang para penghuninya hanya berani mengintip dari celah-celah daun pintu yang merenggang. Mereka menjadi sangat cemas karena mereka mendengar bahwa api peperangan telah berkobar di sebelah Utara Ganter.
“Apa kerja mereka di sini?” bertanya seorang perempuan kepada suaminya yang telah sama-sama tua.
Suaminya menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Dahulu ketika aku muda, sepengetahuanku, prajurit-prajurit itu berada di medan perang. Tetapi kini prajurit-prajurit berada di jalan-jalan dan di halaman-halaman sambil bertiduran.”
Tetapi mereka tidak berani bertanya, kenapa prajurit-prajurit itu tidak berada di medan.
“Aku akan menyusul,” berkata seorang Senapati di antara para prajurit yang gelisah itu, “sejak semula aku sudah tidak setuju, bahwa pasukan ini ditarik dari medan. Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Kalau kita harus menyusun pertahanan terakhir, kenapa kita dibiarkan saja tanpa perintah apapun?”
“Jangan,” kawannya memperingatkan, “lebih baik kita ambil alih pimpinan selama Pujang Warit tidak ada. Kita susun sendiri pertahanan di dalam dinding kota. Kita siapkan semua kekuatan yang sekarang ada, sambil menunggu pasukan cadangan yang masih akan berkumpul.”
“Aku tidak tahu, apakah kita telah melakukan sesuatu yang benar dipandang dari sudut keprajuritan. Menurut penilaianku, kalau kita gabungkan kekuatan kita dengan pasukan Adinda Sri Baginda, maka kita pasti akan dapat membendung pasukan Singasari itu.”
“Itu bukan persoalan kita.” jawab kawannya, “marilah kita manfaatkan waktu yang tersia-sia ini.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Siapakah yang tertua di antara kita, kami akan tunduk pada pimpinannya.
Para prajurit yang dibawa oleh Pujang Warit masuk ke kota itu-pun kemudian mengatur diri mereka sendiri di bawah pimpinan seorang Senapati yang mereka anggap tertua. Bagaimana-pun juga, namun jiwa prajurit Kediri yang mengalir di dalam dada mereka telah memaksa mereka untuk berbuat sesuatu, justru pada saat Kediri terancam.
Sementara itu, Pujang Warit yang berada di istana sedang melakukan perang tanding melawan Sri Baginda Kertajaya. Meskipun ia tidak pernah berangan-angan bahwa pada suatu ketika ia medapat kehormatan untuk melakukannya namun di saat-saat ia tersudut di dalam suatu keharusan, maka ia-pun benar-benar telah bertekad untuk melakukan perang tanding sebaik-baiknya. Kalau ia kalah, ia pasti benar-benar akan mati. Tetapi kalau ia mendapat kesempatan memenangkan perang tanding itu, maka sudah tentu janji yang dibuat Sri Baginda akan ditaati oleh para Senapati bawahan yang ada di lingkaran perang tanding itu.
Demikianlah, maka perang tanding itu-pun segera dimulai. Sri Baginda Kertajaya dengan pedang prajuritnya, melawan Pujang Warit yang mempergunakan pedang pusakanya sendiri. Mula-mula memang terasa canggung bagi Pujang Warit untuk berkelahi melawan Sri Baginda. Tetapi Sri Baginda yang melihat kecanggungan itu-pun berkata,
“Perang tanding ini harus adil. Karena itu jangan segan, sebab kalau pedangku menusuk dadamu, kau akan benar-benar mati. Bukan sekedar berpura-pura mati.”
Pujang Warit menggeretakkan giginya untuk mendapatkan keberanian sepenuhnya. Sejenak ia berusaha menghilangkan segala macam kesan dan anggapannya terhadap Sri Baginda, “Ia manusia biasa seperti aku.” geramnya di dalam hati. Dengan demikian maka perlahan-lahan Pujang Warit dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang mengungkungnya.
Perang tanding itu-pun semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata Sri Baginda telah berusaha membangkitkan nafsu pada lawannya untuk melawannya dengan sungguh-sungguh. Ketika tangan Pujang Warit telah mulai dibasahi oleh keringat maka tandangnya-pun menjadi semakin bebas. Ternyata bahwa Pujang Warit memang seorang Senapati muda yang mempunyai beberapa kelebihan. Gerakannya yang lincah dan tangguh, ayunan senjatanya yang mantap dan serangannya yang cepat, telah meyakinkan para prajurit yang melihat perang tanding itu, bahwa Pujang Warit bukanlah seorang prajurit yang hampa.
Sri Baginda-pun semakin lama semakin menyadari, bahwa lawannya memang mempunyai beberapa kelebihan dari para Senapatinya yang lain. Dan kelebihan-kelebihan inilah agaknya yang telah membuat Pujang Warit menjadi congkak, sehingga kehilangan keseimbangan. Senapati muda ini merasa bahwa ia mempunyai kemampuan yang cukup untuk memegang jabatan tertinggi di dalam tata keprajuritan di Kediri.
Tetapi Sri Baginda Kertajaya adalah seorang raja yang perkasa. Itulah sebabnya, maka betapapun Pujang Warit berusaha menekan Sri Baginda dengan serangan-serangan yang mengalir seperti banjir, namun serangan-serangan itu hampir tidak berpengaruh sama sekali atas kedudukan Sri Baginda.
Setelah perang tanding itu berjalan beberapa lama, maka tampaklah perbandingan dari keduanya. Betapapun juga Pujang Warit mengerahkan kekuatan dan kemampuannya, namun ia sama sekali tidak akan darat menembus pertahanan Sri Baginda yang serapat perisai baja. Debar di dada Pujang Warit semakin lama menjadi semakin cepat. Ternyata bahwa Sri Baginda benar-benar seorang raja yang tidak saja pandai memerintah, tetapi juga memiliki kemampuan untuk memaksakan perintahnya.
“Jangan sekedar bermain-main Pujang Warit. Aku bersungguh-sungguh. Anggaplah bahwa aku adalah pemangku jabatan penglima tertinggi pasukan Kediri yang kau inginkan itu, karena sebenarnyalah bahwa Mahisa Walungan tidak ada bedanya dengan aku sendiri. Kami adalah saudara kandung dan saudara seperguruan. Ilmuku sama dengan ilmu Mahisa Walungan. Kemampuannya sama dengan kemampuanku. Bahkan ia agak lebih muda daripadaku, sehingga kekuatan jasmaniahnya masih lebih baik daripadaku.”
Pujang Warit menggeram. Kelincahannya tidak berhasil menembus putaran pedang Sri Baginda. “Aku tidak akan dapat mengalahkannya dengan wantah,” katanya di dalam hati.
Sekilas terlintas di angan-angannya kekuatan yang oleh gurunya diturunkannya kepadanya. Kekuatan yang melampaui kekuatan jasmaniah yang tampak. Gurunya telah memberikan ilmu kepadanya, untuk membangunkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Tenaga cadangan yang tersimpan, yang tidak pada setiap orang dapat dikuasai dan dipergunakan, pada Pujang Warit kekuatan itu sudah dapat dibangunkannya. Itulah sebabnya, maka ketika ia merasa bahwa ia tidak lagi berpengharapan untuk memenangkan perang tanding itu dengan cara yang wajar, maka ia-pun telah bertekad untuk membangunkan ilmu yang dimilikinya dari perguruannya.
“Aku tidak mau mati,” katanya di dalam hati, “seandainya setelah memenangkan perang tanding ini para Senapati pengawal tidak mentaati taruhan Sri Baginda, apa boleh buat. Tetapi tanpa berbuat begitu-pun aku akan mati pula di arena ini. Sedang mati itu tidak akan dapat terulang sampai dua kali.”
Dengan demikian, maka Pujang Warit-pun berketetapan hati untuk mengakhiri perang tanding itu dengan ilmunya yang dahsyat. Sejenak kemudian Pujang Warit itu-pun melangkah surut. Sekejap ia memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya, sehingga tampaklah seakan-akan dari ubun-ubunnya mengepul uap yang putih. Demikian mapannya ia menguasai ilmunya, sehingga ia sama sekali tidak membuang waktu terlampau banyak. Ketika kemudian ia menggeretakkan giginya. maka kekuatan pamungkasnya itu-pun sudah terbangun dan mengulir di seluruh tubuhnya.
Sri Baginda yang memiliki ilmu hampir sempurna segera melihat, bahwa lawannya telah membangunkan ilmunya yang tertinggi. Ungkapan segenap kekuatan yang ada di dalam diri, agaknya benar-benar akan merupakan kekuatan yang luar biasa, sehingga dengan demikian Sri Baginda tidak akan dapat melawannya dengan kekuatan wajarnya. Tetapi Sri Baginda Kertajaya, Maharaja di Kediri, yang bahkan pernah merasa dirinya titisan dewa itu-pun memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan manusia kebanyakan, di saat-saat ia merasa bahwa ia tidak akan mungkin melawan puncak kekuatan dan ilmu lawannya dengan tenaga wajarnya itulah maka Sri Baginda-pun segera membangunkan ilmunya yang dirasanya akan dapat melindungi dirinya.
Sri Baginda Kertajaya masih belum tahu dengan pasti, betapa jauh Pujang Warit sudah berhasil menguasai dirinya sendiri. menguasai segala kekuatan yang ada pada dirinya. Karena itu, maka Sri Baginda tidak akan mau menjadi korban penjajagannya. Itulah sebabnya, maka Sri Baginda Kertajaya-pun segera mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada di dalam dirinya.
Apalagi Sri Baginda yang telah berperang tanding beberapa waktu itu kemudian berkata kepada diri sendiri, “Memang aku harus segera mengakhiri perang tanding ini, agar aku mendapat kesempatan untuk memikirkan medan di sebelah Utara Ganter itu. Pujang Warit ternyata memang sudah tidak dapat diharapkan lagi. Supaya anak ini tidak akan menjadi penghalang untuk seterusnya, maka sebaiknya anak ini harus segera disingkirkan.”
Pada saat itulah, Pujang Warit yang kini sudah menyandang aji pamungkasnya itu-pun meloncat sambil berteriak nyaring. Pedangnya terayun deras sekali langsung mengarah kepundak Sri Baginda Kertajaya. Ayunan pedang yang dilambari oleh kekuatan yang hampir tidak terkatakan, betapa besarnya.
Sri Baginda Kertajaya melihat serangan yang datang dengan kekuatan raksasa itu. Karena itu, maka ia-pun segera bergeser selangkah. Untuk mengetahui kekuatan Pujang Warit, maka Sri Baginda-pun mengajunkan pedangnya pula, membentur pedang Pujang Warit.
Sekejap kemudian terjadilah benturan itu. Benturan antara dua kekuatan raksasa yang dahsyat. Para Senapati dan prajurit yang melingkari arena itu berdiri dengan mulut ternganga menyaksikan apa yang telah terjadi. Para Senapati yang menjadi saksi utama dari perang tanding itu-pun tegak mematung dengan tatapan mata yang tidak berkedip. Benturan itu ternyata telah menaburkan bunga api yang memercik dari kedua senjata yang sedang beradu itu.
Namun ternyatalah kemudian bahwa kedua bilah pedang itu memang berbeda. Pujang Warit yang kemudian meloncat setapak surut sambil menyeringai karena sengatan yang pedih di tangannya, masih berhasil mempertahankan pedangnya. Dengan wajah yang tegang ia melihat Sri Baginda Kertajaya berdiri termangu-mangu sambil memandangi senjatanya. Ternyata pedang yang ada di dalam genggaman Sri Baginda itu telah patah di tengah.
Pedang yang patah itu agaknya telah mengejutkan semua orang yang ada di sekitar arena. Para Senapati yang menjadi saksi dari perang-tanding itu tiba-tiba menjadi pucat. Mereka menyadari ketentuan yang berlaku, bahwa seseorang yang kehilangan senjatanya di dalam perang tanding, tidak akan mendapatkan senjata pengganti. Dan kini ternyata pedang Sri Baginda Kertajaya itu telah patah.
Pujang Warit memandangi pedang yang patah itu sejenak. Sekilas tumbuh pengakuan di dalam dirinya, bahwa seandainya pedang Sri Baginda itu tidak patah, maka pedangnya sendirilah yang akan terloncat dari genggaman karena benturan kekuatan itu. Bagaimana-pun juga Pujang Warit harus mengakui, bahwa kekuatan Sri Baginda masih belum dapat diimbanginya. Meskipun ia telah mengerahkan segenap kekuatan dan kekuatan cadangan yang telah dikuasainya, namun ternyata Sri Baginda masih jauh lebih perkasa. Tetapi kini pedang Sri Baginda itu telah patah.
Bersamaan waktunya dengan patahnya pedang Sri Baginda, pasukan Kediri di medan perang Ganter telah terdesak jauh kebelakang. Betapa para prajurit Kediri berjuang tanpa mengenal menyerah, tetapi semakin lama semakin tampak, bahwa Singasari mempunyai cukup kemampuan untuk mendesak dan perlahan-lahan tetapi pasti menghancurkan pasukan Kediri.
Mahisa Walungan yang ada di ujung pasukan, dan sedang bertempur melawan Sri Rajasa, menjadi sangat berprihatin atas korban yang berjatuhan tak terhitung lagi. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena lawannya sendiri adalah seorang yang aneh. Bahkan Gubar Baleman-pun kemudian menjadi cemas. Apakah pasukan Kediri benar-benar akan pecah?
Sebagai seorang prajurit Gubar Baleman telah berbuat sebaik-baiknya. Seorang melawan seorang Gubar Baleman ternyata dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Agni yang perkasa. Mahisa Agni yang telah berhasil menempatkan dirinya, sejajar dengan gurunya dan dengan orang-orang yang berada di dalam lapisan tertinggi dari ilmu olah kanuragan.
Tetapi ternyata Senapati Kediri itu-pun memiliki kemampuan yang seimbang. Sehingga dengan demikian pertempuran itu-pun menjadi semakin lama semakin seru. Darah menjadi semakin banyak mengalir, membasahi tanah yang berdebu. Panas yang semakin terik telah membakar padang yang merah oleh darah. Tetapi keringat yang membasahi tubuh para prajurit itu bagaikan minyak yang menitik ke dalam api, dan membuat nafsu mereka semakin menyala-nyala. Hanya ada dua kemungkinan di dalam peperangan, membunuh atau dibunuh.
Sri Baginda Kertajaya. meskipun tidak menyaksikan peperangan itu, namun ia dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Karena itu ia merasa wajib untuk segera membantu. Tetapi kini pedangnya justru patah. Pujang Warit yang melihat pedang Sri Baginda patah, dan setelah pedih di tangannya oleh benturan kedua senjata itu menjadi berkurang, tiba-tiba saja merasa bahwa ia sudah berdiri di ambang pintu kemenangan. Selangkah lagi ia maju maka ia akan dapat memenangkan perang tanding ini. Perang tanding yang mempertaruhkan segala-galanya yang paling berharga di Kediri.
Karena itu oleh perasaannya yang meluap-luap, tiba-tiba Pujang Warit kehilangan pengamatan diri. Ia merasa seolah-olah ia sudah menggenggam taruhan yang disediakan oleh Sri Baginda. Karena itu, maka Senapati muda itu mengacungkan pedangnya dengan tangan kanan ke arah Sri Baginda, sedang tangan kirinya bertolak pinggang sambil tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya ia berkata,
“Nah. Sri Baginda Kertajaya. Jangan menyesal bahwa hari-hari akhirmu sudah tiba. Kau ternyata telah ditelan oleh ketamakanmu sendiri. Kau yang merasa dirimu titisan dewa tertinggi, kini harus bersimpuh di hadapanku. Sebagai seorang Maharaja kau tidak dapat mengingkari apa yang sudah kau katakan. Taruhan dari perang tanding ini bukan saja nyawa kita, tetapi juga kekuasaan Tunggal di Kediri.”
Sri Baginda Kertajaya sejenak diam mematung melihat sikap Pujang Warit. Dengan penuh keheranan ia menyaksikannya tertawa terbahak-bahak sambil bertolak-pinggang. “Apakah anak ini sudah menjadi gila?” bertanya Sri Baginda di dalam hatinya.
“Kertajaya,” Pujang Warit berteriak, “sebaiknya kau menyerah. Aku tidak akan membunuhmu dengan sewenang-wenang. Aku akan melaksanakan hukuman matimu dengan cara yang paling terhormat. Sedang saudara-saudara perempuanmu tidak akan menjadi tersia-sia. Tetapi kalau kau tetap berkeras hati melawan aku dan melanjutkan perang tanding ini, maka kau akan mati di tengah-tengah arena sebagai seekor ayam yang kalah dalam aduan.”
Keheranan Sri Bagmda kemudian telah memuncak. Perlahan-lahan perasaan heran itu telah berubah menjadi kemarahan yang semakin membakar dadanya. Sikap Pujang Warit tiba-tiba menjadi degsura. Tidak lagi sebagai sikap seorang Senapati terhadap rajanya.
“Apa katamu Kertajaya?”
Sri Baginda memandang berkeliling sesaat. Dilihatnya wajah-wajah yang tegang dan cemas menyaksikan perang-tanding itu. “Aku tidak tahu. kenapa kau tiba-tiba saja mengigau Pujang Warit?” berkata Sri Baginda kemudian, “kenapa tiba-tiba saja kau menganggap bahwa perang tanding ini sudah selesai, sedang aku masih berdiri tegak di sini? Kalau karena pedangku patah, kau mengambil kesimpulan bahwa aku tidak akan mampu melawanmu lagi, agaknya kau keliru. Bukankah pedangku masih separo? Tentu yang separo ini justru menjadi lebih kuat. Karena daun pedang ini lebih pendek, maka ia pasti tidak akan patah lagi. Nah, daripada kau mengigau, marilah, kita lanjutkan saja perang tanding ini.”
“He,” Pujang Warit yang sedang dicengkam oleh mabuk kemenangan itu menyahut, “kenapa kau tidak mau melihat kenyataan ini? Dengan pedang yang utuh kau tidak dapat memenangkan perang tanding ini. Apalagi dengan pedang buntungmu itu.”
“Jangan banyak bicara,” Sri Baginda akhirnya kehilangan kesabaran, “marilah kita lihat akhir dari perang tanding ini. Aku tidak mempunyai banyak kesempatan lagi melayani orang yang sedang mabuk seperti kau ini. Sementara ini aku harus segera pergi ke Utara Ganter untuk menolong Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Ia tidak melihat kecemasan membayang di wajah Sri Baginda. Dan para Senapati serta para prajurit-pun menjadi heran. Sri Baginda masih tetap tenang dan sama sekali tidak terpengaruh oleh pedangnya yang patah.
“Apakah kau akan berbuat curang?” bertanya Pujang Warit, “apakah kau berhasrat mengganti senjatamu? Itu tidak dibenarkan oleh ketentuan perang tanding bagi para kesatria.”
“Siapa yang bilang bahwa aku akan mengganti senjataku? Aku akan mempergunakan senjataku yang patah ini. Ini justru akan lebih baik bagiku,” jawab Sri Baginda.
Mata Pujang Warit yang kemerah-merahan menjadi semakin merah dibakar oleh kemarahan di dalam dadanya. Sri Baginda Kertajaya yang sudah kehilangan senjatanya itu masih juga berani menengadahkan dadanya. Karena itu, maka sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Maharaja Kertajaya yang sudah kehilangan wahyu. Kau sudah tidak berhak lagi untuk menengadahkan wajahmu di hadapan rakyat Kediri. Sudah sampai waktunya kau berlutut sambil menundukkan kepalamu. Akulah yang akan memotong lehermu di hadapan para Senapati dan prajurit pengawal.”
Kemarahan Sri Baginda-pun hampir-hampir tidak tertahankan lagi. Tetapi sebagai seorang Maharaja, ia tidak dapat berbuat sekasar Pujang Warit. Karena itu maka ia hanya dapat menjawab, “Marilah kita buktikan.”
Pujang Warit yang masih berdiri bertolak pinggang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia-pun terpaksa berkepanjangan untuk melepaskan kemarahannya yang menyesak, “kau memang seorang raja yang paling bodoh yang pernah aku kenal.”
Sri Baginda tidak menyahut. Tetapi justru karena kemarahan yang memuncak, maka seluruh kekuatan yang ada di dalam dirinya telah terungkat. Dengan tangan gemetar menggenggam pedangnya yang patah Sri Baginda melangkah setapak demi setapak maju. Ditatapnya Pujang Warit dengan tajamnya. Namun kemudian ia membentak, “Pujang Warit. Jangan lengah.”
Suara Pujang Warit-pun segera terputus. Ia melihat Sri Baginda menjadi semakin dekat. Kini Pujang Warit menghadap kepada Sri Baginda. Wajahnya menjadi semakin menyala, sedang pedangnya kini terjulur lurus ke depan. Sejenak ia memandang Sri Baginda, namun sejenak kemudian ia-pun meloncat maju menyerang dengan garangnya.
Sri Baginda menyadari bahwa Pujang Warit masih berada di dalam puncak kekuatannya. Ia masih mempergunakan aji pamungkasnya. Karena itu, maka Sri Baginda-pun harus menyesuaikan dirinya pula. Ternyata kemudian, bahwa meskipun pedang Sri Baginda tinggal sepotong, namun Sri Baginda masih dapat mempergunakannya dengan baik. Sambil memiringkan tubuhnya Sri Baginda memukul ujung pedang Pujang Warit kesamping.
Sekali lagi sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi. Sekali lagi bunga-api memercik keudara. Namun pedang yang tinggal sepotong itu memang tidak patah lagi. Pujang Warit yang merasa senjatanya masih utuh, segera melakukan serangan beruntun. Kalau ia ingin menang, maka ia harus segera mengakhiri perang-tanding itu, selagi Sri Bnginda masih dicengkam oleh keadaan yang mengecilkan hati itu.
Namun ternyata bahwa pedang yang patah itu sama sekali tidak berpengaruh apapun kepadanya. Maka sejenak kemudian perang tanding itu-pun berlangsung semakin sengit. Kini mereka mempergunakan puncak-puncak dari ilmu mereka sehingga setiap gerak dan ayunan senjata mereka, tampak menjadi lebih garang dan lebih dahsyat.
Tidak seorang-pun berani mendekati arena. Sebenarnya bukan hanya Pujang Warit sajalah yang mampu menampakkan ilmu yang dahsyat yang tersimpan pada diri mereka. Tetapi ternyata bahwa Pujang Warit mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan di dalam dirinya itulah yang telah membuatnya menjadi sombong.
Dengan demikian, kini di arena itu sedang bertempur dua orang yang telah dicengkam oleh ketamakannya masing-masing. Sri Baginda Kertajaya, meskipun di saat-saat terakhir ia menyadarinya, betapa ia telah kehilangan pegangan, melawan Pujang Warit. Namun bagi mereka yang memiliki pengamatan yang tajam, segera dapat melihat, bahwa meskipun Sri Baginda mempergunakan pedang yang patah, namun kemampuan Pujang Warit masih belum dapat menyamainya. Apalagi apabila keduanya mempergunakan senjata yang seimbang. Maka Pujang Warit akan segera merasai kesulitan dari perang tanding itu.
Sri Baginda yang mempergunakan pedang yang patah itu-pun kemudian telah berusaha untuk segera mengakhiri perang tanding. Geraknya menjadi semakin cepat, dan serangannya menjadi semakin garang. Pujang Warit mengumpat-umpat di dalam hati. Meskipun lawannya hanya mempergunakan pedang yang patah, namun ia masih mampu bertempur seperti seekor burung garuda.
Betapa Pujang Warit mempergunakan aji pamungkasnya namun kekuatan manusia memang terbatas. Demikian pula kekuatan yang ada di dalam dirinya. Setelah beberapa saat ia memeras segenap tenaga yang ada di dalam dirinya, bahkan segenap tenaga cadangannya, namun masih belum juga berhasil mengalahkan lawannya, tampaklah bahwa kekuatan yang ada di dalam dirinya menjadi semakin lama semakin surut.
Dengan demikian maka Pujang Warit-pun menjadi semakin terdesak pula karenanya, sehingga pada suatu saat Pujang Warit merasa bahwa kemenangan yang sudah terbayang itu-pun menjadi semakin kabur kembali, sejalan dengan nalarnya yang menjadi semakin kabur pula, sehingga susunan tata perkelahiannya-pun menjadi semakin kehilangan arah.
Sejenak kemudian Sri Baginda merasa bahwa saatnya telah tiba. Apalagi ingatannya tentang pasukan di sebelah Utara Ganter yang pasti memerlukan bantuan. Karena itulah, maki betapa beratnya hati Sri Baginda, namun ia harus mengakhiri perang tanding itu. Maka dengan garangnya Sri Baginda-pun menyerang lawannya dengan segenap kemampuannya yang meskipun sudah susut pula, namun masih jauh melampaui kekuatan Pujang Warit.
Kedua senjata yang masih saja tetap berbenturan itu, menjadi semakin nyata bahwa Pujang Warit hampir-hampir tidak berdaya lagi melawan kekuatan Sri Baginda, meskipun pedang Sri Baginda patah dan tajamnya telah kikis. namun di saat-saat terakhir senjata itu bagaikan paruh burung rajawali yang mengitari dahi Pujang Warit.
Ketika Pujang Warit terdorong oleh benturan kedua senjata itu dan terhuyung-huyung beberapa langkah surut Sri Baginda meloncat maju. Pujang Warit tidak dapat berbuat lain karena keseimbangannya terganggu. Yang dilakukan kemudian adalah menjulurkan pedangnya lurus-lurus. Ia merasa bahwa senjatanya itu lebih panjang dari senjata Sri Baginda, sehingga Sri Baginda tidak akan dapat mencapainya dengan senjata patah itu.
Tetapi Sri Baginda berhasil menggeliat dan mengekang diri. Dengan daun pedangnya yang separo itu ia memukul Pedang Pujang Warit yang belum berhasil menguasai keseimbangannya sepenuhnya itu, sehingga Pujang Warit berputar setengah lingkaran. Sri Baginda tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sebuah loncatan panjang ia menjulurkan pangkal pedangnya ke atas lambung lawannya.
Namun Pujang Warit tidak menyerah begitu saja. Ia tidak membiarkan lambungnya berlubang oleh pangkal pedang. Karena itu, justru ia membanting dirinya untuk menghindari tusukan lawannya. Sri Baginda terkejut melihat cara Pujang Warit menghindar. Dengan tangkasnya Sri Baginda meloncat memburu Pujang Warit yang sedang berguling. Tetapi langkahnya-pun tertegun karena sambil berbaring Pujang Warit mengayunkan pedangnya mendatar.
Sri Baginda yang berdiri selangkah dari Pujang Warit terpaksa meloncat menghindari sambaran pedang pada mata kakinya itu. Ternyata bahwa Pujang Warit masih berusaha melawan sekuat-kuat tenaganya. Serangan itu agaknya telah memberi kesempatan Pujang Warit untuk sekali lagi berguling kemudian melenting dengan tangkasnya, berdiri di atas kedua kakinya. Namun begitu kedua kakinya menjejak tanah, maka terasalah sesuatu menyengat lambungnya, sehingga ia-pun menyeringai karenanya.
Pujang Warit tidak sempat berbuat apapun ketika pedang Sri Baginda yang tinggal separo itu menghunjam di lambungnya. Geraknya yang terlampau cepat, telah berhasil menembus pertahanan Senapati muda yang masih menggenggam pedang. Tetapi Pujang Warit tidak sempat lagi mengayunkan pedangnya yang masih belum cacad sama sekali itu. Ketika Sri Baginda menarik pedangnya yang patah itu, darah menyembur dari luka di lambung Pujang Warit.
Senapati muda itu masih mencoba untuk berdiri. Tetapi kekuatannya serasa telah larut. Namun demikian justru di saat-saat terakhir itu ia benar-benar telah menjadi mabuk. Pujang Warit sama sekali tidak mau melihat kenyataan yang terjadi atas dirinya. Selama ini ia sudah merasa menggenggam kemenangan, bahkan seakan-akan ia sudah menerima taruhan yang dijanjikan oleh Sri Baginda, kekuasaan tertinggi di Kediri.
Kalau tiba-tiba pedang Sri Baginda menembus lambungnya, itu adalah suatu kejutan yang tidak masuk di akalnya, sehingga meskipun kekuatannya telah lenyap, namun ia sama sekali tidak mau menerima kenyataan itu. Di saat-saat tubuhnya sudah demikian lemahnya, sehingga ia jatuh berjongkok di atas lututnya dan bersandar pada ke dua belah tangannya, ia masih berteriak, “He, Kertajaya, menyerahlah. Akulah yang akan menjadi Maharaja di Kediri. Ayo kalian prajurit, berlutut. Berlutut.”
Para prajurit yang berdiri mengitari arena itu diam mematung. Mereka memandang mata Pujang Warit yang merah dan liar. Namun demikian, tumbuhlah perasaan iba dan kasihan di hati mereka melihat akhir yang sama sekali tidak dikehendaki dan tidak diduga-duga sama sekali.
Perlahan-lahan Sri Baginda maju selangkah. Ditatapnya wajah Pujang Warit yang kian menjadi pucat. Tubuhnya-pun kemudian menjadi semakin menggigil. Sehingga sejenak kemudian ia sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk berjongkok pada lututnya. Perlahan-lahan tubuh Pujang Warit itu-pun terkulai di tanah. Darah yang merah masih saja mengalir dari lambungnya.
“He. He,” ia masih mencoba berteriak, “akulah Maharaja Kediri sekarang.”
Sri Baginda berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Ya, kaulah Sri Maharaja di Kediri.”
“Ayo berjongkok di hadapanku.”
“Aku sudah berjongkok.”
Pujang Warit mencoba mengangkat wajahnya dan membuka matanya yang semakin merah. Dilihatnya Sri Baginda berjongkok di sampingnya. Setiap dada berdesir karenanya, ketika mereka melihat Pujang Warit itu tersenyum. Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk. Namun kemudian kepala itu-pun menjadi semakin lemah. Perlahan-lahan Pujang Warit meletakkan kepalanya yang sudah tidak terangkat lagi oleh lehernya. Dan sekejap kemudian, maka terdengarlah tarikan nafasnya yang terakhir. Pujang Warit telah terbunuh di arena perang tanding oleh ketamakannya sendiri.
Sri Baginda Kertajaya-pun kemudian berdiri perlahan-lahan. Untuk pertama kalinya ia melakukan perang tanding melawan seorang Senapatinya sendiri, karena hukuman yang dijatuhkannya kepada dirinya sendiri. “Singkirkan orang ini,” berkata Sri Baginda, “kuburkan ia baik-baik. Nafsunya telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh Kediri.”
Ketika Sri Baginda kemudian memalingkan wajahnya dan memandang dua orang penasehatnya yang telah memberi kesempatan kepada Pujang Warit untuk merampas kedudukan keprajuritan yang tertinggi dengan nasehat-nasehatnya yang menyesatkan, maka kedua orang itu merasa, seolah-olah seluruh tulang belulangnya telah dicopoti. Keduanya sama sekali tidak mempunyai perisai apapun juga selain Pujang Warit. Dan kini Pujang Warit telah terbunuh.
Sambil berlutut mereka merayap ke hadapan Sri Baginda sambil menyembah, “Ampun Tuanku. Ampunkan kami. Kami telah menyadari segala kesalahan kami.”
Sri Baginda memandang keduanya dengan sorot mata yang seakan-akan membara. Dengan suara yang parau Sri Baginda berkata, “Kalian adalah pengecut yang paling licik, masih lebih menghargai Pujang Warit yang berani mempertanggung jawabkan kesalahannya sebagai seorang jantan. Tetapi kalian?”
“Ampun Tuanku. Yang dapat hamba lakukan hanyalah mohon kasihan Tuanku.”
Sri Baginda termenung sejenak. Kemudian katanya kepada penasehatnya yang lain, “Apakah kata paman tentang kedua orang kawan paman ini?”
Penasehat yang tertua menganggukkan kepalanya dalam-dalam, “Tuanku keduanya telah mencemarkan nama baik para penasehat Tuanku.”
“Hukuman apakah yang pantas dijatuhkan atas mereka?”
Penasehat itu tidak menyahut. Sejenak kemudian Sri Baginda berpaling kepada Senapati yang menjadi saksi utama dalam perang tanding ini. Katanya, “Keduanya adalah pengkhianat. Akibatnya terasa oleh seluruh rakyat Kediri.”
Senapati itu menganggukkan kepalanya.
“Hukuman apakah yang pantas bagi keduanya aku serahkan kepada kalian.”
“Ampun Tuanku. Ampun,” keduanya berteriak hampir berbareng.
Tetapi Sri Baginda tidak menghiraukannya. Karena tiba-tiba saja Sri Baginda berkata lantang, “Sediakan kudaku. Ambillah pusakaku. Aku akan menangani sendiri pasukan yang telah diracuni oleh Pujang Warit. Aku akan membawa mereka ke sebelah Utara Ganter. Akulah yang paling pantas untuk melawan Akuwu Tumapel yang telah memberontak dan menamakan dirinya Sri Rajasa Batara Sang Amurwa-bumi itu.”
Beberapa orang Senapati saling berpandangan. Tetapi tidak seorang-pun yang beranjak dari tempatnya, sehingga Sri Baginda harus mengulanginya, “Ambil kudaku.”
“Tetapi tuanku,” seorang Senapati memberanikan diri untuk bertanya, “apakah Tuanku sendiri akan maju ke medan perang?”
“Ya,” jawab Sri Baginda.
“Tuanku. Kami masih ada di halaman istana ini. Apakah Tuanku tidak memerintahkan saja kepada kami, agar kami berangkat ke peperangan?”
“Aku sendiri akan menguasai lebih dahulu orang-orang Pujang Warit supaya tidak timbul persoalan baru.”
“Tuanku dapat memerintah kami.“
“Kali ini aku sendiri akan pergi. Cepat. Ambil kudaku.”
Para Senapati itu tidak dapat membantah lagi. Namun demikian salah seorang yang lain berkata, “Apakah Tuanku berkenan, kami ikut serta bersama dengan Tuanku?”
Sri Baginda berpikir sejenak. Lalu, “Baiklah. Tetapi kalian harus mengatur diri, sehingga sebagian dari kalian tetap berada di dalam halaman istana ini.”
“Hamba Tuanku. Kalau begitu perkenankanlah kami mempersiapkan diri.”
Sejenak kemudian halaman istana itu-pun segera menjadi sibuk. Beberapa orang pengawal telah mempersiapkan diri mereka untuk mengikuti Sri Baginda kepinggir kota. Ketika mereka sudah siap dengan kuda masing-masing, maka Sri Baginda-pun segera berkata, “Marilah, kita tidak mau terlambat.”
Maka Sri Baginda-pun segera meloncat ke punggung kudanya. Dengan sebuah sentuhan cemeti, maka kuda itu-pun segera meloncat berlari sekencang-kencangnya diikuti oleh para Senapati dan prajurit pengawal istana. Derap kuda-kuda itu-pun segera menggema di jalan-jalan raya. Sri Baginda kali ini hampir tidak ditandai oleh kelengkapan kebesarannya, selain pusakanya yang berbentuk tombak dengan sehelai panji-panji kecil, sebuah panji-panji yang terikat pada tunggul yang berwarna keemasan, berbentuk seekor gajah dengan belalainya yang mencuat keatas dan sebuah payung pusaka, yang juga berwarna kuning keemasan, masing-masing dibawa oleh seorang Senapati pengiring.
Beberapa orang yang melihat-lihat iring-iringan itu menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Ciri-ciri itu adalah ciri kebesaran Sri Baginda meskipun tidak lengkap.
“Apakah Sri Baginda sendiri turun ke medan perang?” mereka menjadi saling bertanya.
“Ya. Aku pasti. Yang paling depan adalah Sri Baginda.”
“Bukan. Bukan yang paling depan,” bantah yang lain, “yang paling depan adalah seorang Senapati pengiring. Sri Baginda memang ada di dalam pasukan berkuda itu, tetapi yang nomor dua dari depan. Bukan yang paling depan.”
“Yang membawa tombak.” sahut yang lain.
“Pasti bukan, yang membawa tombak, panji-panji dan sosong itu adalah Senapati pengiring.”
“Oh, kita tidak akan dapat melihat Sri Baginda,” berkata yang lain, “Baginda adalah titisan dewa-dewa. Kita pasti akan selalu berselisih pendapat, karena sebenarnya Sri Baginda tidak dapat kita ketahui dengan pasti, karena Sri Baginda mampu mengaburkan dirinya sendiri dalam segala bentuk.”
Yang lain tidak menyahut lagi. Sebagian dari mereka percaya bahwa Sri Baginda adalah titisan dewa, sehingga ia dapat menyamar dirinya dalam bentuk apapun yang dikehendaki. Demikianlah maka kuda-kuda itu-pun kemudian berderap dengan cepatnya di atas tanah berbatu-batu melemparkan debu yang putih, mengepul di belakang kaki-kaki kuda yang sedang berpacu itu.
Di pinggir kota pasukan yang ditinggalkan Pujang Warit telah benar-benar dicengkam oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Mereka kini sudah tidak tahu lagi. apa yang harus mereka kerjakan. Padahal mereka tahu pasti, bahwa sebagian prajurit Kediri sedang bertempur mati-matian melawan prajurit, Singasari yang lebih besar jumlahnya. Yang dapat mereka lakukan adalah membangun pertahanan sementara sambil menunggu kedatangan Pujang Warit.
Ketika seorang pengawas melihat beberapa ekor kuda berderap mendekati pasukan, maka segera ia berteriak, “Mungkin yang datang itulah Senapati Pujang Warit.”
Senapati tertua di antara mereka, bersama beberapa orang Senapati yang lain segera berlari-lari untuk melihat mereka yang baru datang. Namun tiba-tiba salah seorang berkata, “Kau lihat songsong pusaka yang berwarna kuning emas?”
“Ya,” desis kawannya, “baru saja aku akan melihatnya.”
“Apakah Sri Baginda sendiri?”
“Atau Pujang Warit sudah mendapat wewenang? Kalau demikian maka songsong pusaka itu bernilai lebih tinggi dari songsong kebesaran yang dipergunakan oleh Mahisa Walungan, sehingga Pujang Warit berhak memimpin segenap pasukan Kediri. Mahisa Walungan dan Gubar Baleman harus tunduk di bawah perintahnya.”
“Tetapi kau lihat panji-panji kecil pada tombak pusaka itu, dan sekaligus panji-panji pada tunggul Kiai Gajah?”
“Itu adalah kelengkapannya.”
“Tetapi itu sama sekali bukan Pujang Warit,” berkata seorang prajurit.
“Sri Baginda, Sri Baginda sendiri,” berkata seseorang hampir berteriak.
Semua-pun segera terdiam. Mereka kini melihat, bahwa orang yang berkuda di paling depan, didampingi oleh Senapati pengapit itu adalah Sri Baginda Kertajaya sendiri. Darah para prajurit itu-pun serasa hampir membeku. Ada beberapa persoalan yang bergolak di dada mereka. Namun salah seorang dari mereka bergumam, “Apakah Pujang Warit dianggap bersalah dan Sri Baginda sendiri datang kemari?“
“Atau Pujang Warit ada juga di dalam pasukan kecil itu?”
Sejenak kemudian semua orang justru terdiam. Meleka melihat iring-iringan itu menjadi semakin dekat. Ketika kuda-kuda itu berhenti beberapa langkah dari mereka, maka para Senapati itu-pun menganggukkan kepala mereka dalam-dalam. Salah seorang yang dianggap tertua dari mereka berkata sambil menundukkan kepalanya, “Sri Baginda sendiri berkenan datang ke tempat ini.”
“Ya,” jawab Sri Baginda, “aku ingin melihat apa yang telah terjadi.”
Senapati itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian diberani-beranikan dirinya untuk bertanya dengan hati-hati, “Ampun Tuanku. Beberapa saat yang lampau, Tuanku telah memanggil Pujang Warit untuk menghadap.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya, “Ya. Aku telah memanggil Pujang Warit. Tetapi jangan hiraukan dia. Aku sendiri akan memimpin pasukan Kediri. Nah, siapa yang tetap setia kepadaku akan serta bersamaku.”
Senapati yang ada di tempat itu-pun mulai meraba apa yang telah terjadi dengan Pujang Warit. Tetapi mereka tidak sempat untuk berpikir terlampau lama karena Sri Baginda segera berkata lantang, “Siapa yang menolak kehadiranku sebagai pemimpin dan Senapati tertinggi dari pasukan Kediri sekarang, aku beri kesempatan untuk menyingkir?”
Dada para Senapati itu terguncang karenanya. Namun tidak seorang-pun yang menolak kepemimpinan Sri Baginda Kertajaya sendiri.
“Nah, kalau kalian menerima kehadiranku sebagai pemimpin kalian, maka kalian harus bersiap. Kita tidak akan menunggu di sini. Kita akan berangkat ke sebelah Utara Ganter. Hari ini kita harus menggabungkan diri ke dalam pasukan itu. sebelum Tumapel berhasil memecah pasukan Kediri yang lemah karena kalian berada di sini.”
“Kami berada di sini atas perintah Pujang Warit Tuanku.”
“Aku tahu. Cepat. Kalian persiapkan prajurit-prajurit kalian masing-masing.”
Para Senapati itu-pun segera berlari ke pasukannya masing-masing. Mereka dengan singkat telah menyampaikan perintah Sri Baginda, bahwa mereka akan segera pergi ke medan di bawah pimpinan Sri Baginda sendiri. Terasa darah para prajurit itu semakin cepat mengalir. Mereka telah mendapat kehormatan, bertempur di bawah pimpinan Sri Baginda sendiri.
Dengan penuh kesungguhan mereka-pun kemudian mempersiapkan diri mereka. Pertahanan yang sudah mereka susun sementara itu-pun segera terurai. Pasukan-pasukan yang sudah menebar di sepanjang dinding kota di sekitar regol induk itu-pun kemudian berkumpul kembali untuk segera berangkat kegaris perang di sebelah Utara Ganter.
Setelah semua persiapan selesai, maka Senapati tertua itu-pun segera menghadap Sri Baginda sambil berkata, “Ampun Tuanku. Seluruh pasukan telah siap menjalankan perintah Tuanku.”
“Bagus, kita akan segera berangkat.”
“Kami sudah bersedia.”
Sri Baginda-pun kemudian menempatkan dirinya di ujung barisan, bersama para Senapati pengiring dan para Senapati yang membawa tanda-tanda kebesarannya yang tidak lengkap. Sebuah songsong pusaka, tombak pusaka dan sebuah panji pada tunggul Kiai Gajah.
“Kita berangkat,” teriak Sri Baginda Kertajaya itu sejenak kemudian yang disambut oleh para Senapati dengan memberikan aba-aba kepada pasukan masing-masing.
Namun ketika pasukan itu mulai bergerak, Sri Baginda Kertajaya mengangkat tangannya sehingga dengan tiba-tiba pasukan itu-pun tertegun. “Kau lihat debu itu?” bertanya Sri Baginda kepada Senapati pengapit yang ada di sampingnya.
“Hamba Tuanku.”
“Seekor kuda.”
“Hamba Tuanku.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya. “Seorang penghubung dari medan.”
“Hamba Baginda. Seorang penghubung dari medan.”
“Kita tunggu sebentar. Mungkin ia membawa berita penting tentang peperangan.”
Sejenak kemudian maka kuda yang berderap itu-pun semakin lama menjadi semakin dekat. Para Senapati yang melihat penghubung itu menjadi berdebar-debar. Apalagi Sri Baginda sendiri. Darahnya serasa berhenti mengalir ketika ia melihat penghubung yang berlumuran darah itu membawa payung kebesaran Mahisa Walungan yang tangkainya telah patah di tengah.
“He, kemarilah,” teriak Sri Baginda tidak sabar.
Penghubung itu mengerutkan keningnya. Agaknya ia-pun terkejut ketika dilihatnya Sri Baginda sendiri yang ada di ujung barisan. “Ampun Tuanku,” penghubung itu-pun segera menarik kendali kudanya dan meloncat turun. Dengan serta-merta ia berjongkok di sisi kuda Sri Baginda.
“Berdirilah, cepat katakan apa yang terjadi.”
“Ampun Tuanku,” dengan ragu-ragu orang itu berdiri terhuyung-huyung. Dari seluruh tubuhnya yang terluka parah, mengalir darah yang merah hitam. Seorang Senapati segera menghampirinya dan membantunya berdiri.
“Cepat, katakan apa yang terjadi,” teriak Sri Baginda.
“Tuanku. Hamba membawa songsong kebesaran Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan yang telah patah.”
“Ya. aku sudah melihat.”
“Ampun Tuanku. Adinda Sri Baginda telah gugur di medan peperangan.”
“He. Mahisa Walungan telah gugur?” suara Sri Baginda melengking tinggi menggetarkan udara yang sedang dibakar oleh terik matahari.
Setiap dada tergetar mendengar berita gugurnya Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan. Meskipun orang-orang Pujang Warit sebelumnya menganggap bahwa Adinda Sri Baginda itu telah berkhianat seperti yang pernah dikatakan oleh Pujang Warit, namun kini mereka-pun menyadari, siapakah sebenarnya yang telah berkhianat.
Sejenak Sri Baginda Kertajaya merenung. Sri Baginda adalah seorang prajurit yang berhati jantan. Sebagai seorang Maharaja ia berhati sekeras baja. Tetapi ketika ia mendengar adik kandungnya gugur di peperangan setelah ia sendiri melukai hati adiknya itu, terasa kerongkongannya menjadi panas.
“Siapa yang telah membunuh Mahisa Walungan?” suara Sri Baginda hampir tidak terdengar.
Penongsong yang telah membawa payung kebesaran Mahisa Walungan itu menjawab dengan suara yang tersendat-sendat, “Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”
Terdengar Sri Baginda menggeretakkan giginya. Kemudian terdengar suaranya lantang, “Aku sendiri aku melawannya di peperangan.”
Dengan kedua kakinya Sri Baginda menyentuh perut kudanya. Namun sebelum kuda itu meloncat maju, penongsong yang sudah terlampau lemah itu masih berusaha meloncat memegang tali kendali kuda Sri Baginda sambil berkata, “Ampun Tuanku. Jangan pergi sekarang.”
Kuda Sri Baginda melonjak karena kejutan di perut dan tali kendalinya, sehingga penongsong yang terluka itu terseret beberapa langkah. Senapati yang menolongnya berdiri tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi, sehingga dengan tergesa-gesa ia berlari-lari menolong orang yang terlempar itu, sedang Senapati yang lain memegangi tali kuda Sri Baginda yang melonjak-lonjak dan berusaha menenteramkannya.
“Kenapa kau halangi aku, he?” teriak Sri Baginda.
“Ampun Tuanku,” penongsong itu menjadi semakin lemah, sedang darah masih mengalir dari luka-luka di tubuhnya, “ampun Tuanku. Pasukan Kediri sedang terdesak. Sebaiknya Sri Baginda sendiri tidak pergi ke peperangan tanpa pasukan yang lengkap.”
“Di sini ada pasukan segelar sepapan.”
“Kalau Sri Baginda pergi bersama pasukan ini, hamba akan ikut pula. Tetapi kalau Sri Baginda mendahului di atas punggung kuda ini, maka Sri Baginda akan berada dalam bahaya.”
Sri Baginda Kertajaya merenung sejenak. Namun ia kemudian berkata, “Justru pasukan itu ada dalam kesulitan. Aku harus secepatnya pergi ke medan.”
“Tetapi medan terlampau berbahaya saat ini.”
Tiba-tiba seorang Senapati maju sambil membungkukkan kepalanya, “Biarlah kami yang saat ini berada di atas punggung kuda pergi mendahului. Meskipun kami tidak terlampau banyak, tetapi kami akan dapat sekedar membantu, sementara Sri Baginda membawa pasukan segelar sepapan ini ke medan.”
Sri Baginda merenung sejenak, dan Senapati itu mendesaknya, “Waktu terlampau sempit Sri Baginda.”
Sri Baginda Kertajaya tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya. Isyarat itu tidak usah diulanginya. Senapati itu mengangguk dalam-dalam kemudian ia-pun segera berlari meloncat keatas punggung kudanya sambil berteriak, “Kita yang berada di punggung kuda diperkenankan mendahului pasukan. Keadaan sangat gawat di medan perang.”
Senapati itu segera memacu kudanya tanpa menunggu kawan-kawannya. Namun sejenak kemudian setiap kuda-pun segera berlari menyusulnya berderap di atas jalan berbatu-batu. Maka kemudian debu yang kelabu-pun berhamburan di atas jalan yang menuju ke Ganter.
Bukan saja pasukan pengawal yang telah memacu kudanya ke medan perang. Prajurit-prajurit yang ada di pinggir kota sebagian telah berusaha mendapatkan kuda-kuda yang ada di dalam pasukan itu. Kuda-kuda penghubung dan kuda-kuda bagi para pimpinan. Bahkan satu dua di antara mereka telah masuk ke padukuhan terdekat. Membuka kandang-kandang kuda yang mereka ketemukan, dan memakainya untuk menyusul para prajurit yang sudah terdahulu.
Sri Baginda Kertajaya menarik nafas dalam-dalam. Baru kali ini pasukan Kediri menghadapi lawan dalam keadaan tercerai berai, seolah-olah bukan lagi sebuah pasukan dari negara yang besar. Dengan hati yang pedih Sri Baginda melihat beberapa ekor kuda masih saja berlari-larian saling menyusul. Lima ekor, tiga, dua dan bahkan seekor kuda berderap ke medan. Namun dengan demikian Sri Baginda melihat kesetiaan yang sebenar-benarnya dari prajurit-prajuritnya kepada Kediri.
Setelah kuda yang terakhir hilang di balik kepulan debu. barulah Sri Baginda berkata, “Siapkan prajurit yang tersisa. Kita akan menyusul ke medan perang.”
Senapati pengapit yang masih tinggal, segera memimpin pasukan yang masih ada. Beberapa kelompok telah kehilangan Senapatinya, yang dengan tidak tersusun telah pergi ke medan oleh luapan perasaan yang tidak tertahankan setelah mereka mendengar bahwa Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan telah gugur. Namun sejenak Sri Baginda tertegun ketika ia melihat penongsong Mahisa Walungan yang hampir tidak mampu berdiri lagi, dilayani oleh seorang prajurit.
“Luka-lukanya parah,” desis Sri Baginda, “bawalah ia ke rumah yang terdekat. Usahakan pertolongan sementara.”
Tetapi orang itu menggeleng lemah, “Ampun Sri Baginda,” suaranya sudah hampir tidak terdengar, “biarlah aku mati di antara para prajurit ini.”
“Kau akan hidup.”
Sekali lagi orang itu menggeleng lemah. Nafasnya semakin deras mengalir. Hampir tidak dapat didengar lagi apa yang dikatakannya, “Hati-hatilah Sri Baginda. Lawan datang seperti banjir bandang.”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang wajar, Sri Baginda Kertajaya sudah tentu akan membentak prajurit yang mencoba mengajari dan memperingatkannya atas suatu keadaan. Tetapi kini Sri Baginda merasa bahwa prajurit itu benar-benar mengucapkannya dari dasar hatinya, di saat-saat nyawanya sendiri sudah di ambang pintu. Hanya didorong oleh kesetiaan yang tulus, maka penongsong itu berani mengatakan, apa yang sebenarnya telah terjadi di medan.
Ketika Sri Baginda akan memerintahkan sekali lagi untuk merawat penongsong itu, maka setiap kepala-pun kemudian ditundukkan. Prajurit itu telah menarik nafas yang terakhir di hadapan Sri Baginda dipapah oleh seorang prajurit yang lain.
“Serahkan kepada prajurit penjaga gerbang ini, supaya orang ini mendapat perawatan sebaik-baiknya,” berkata Sri Baginda, “ia telah gugur dalam menunaikan tugasnya, seperti juga Mahisa Walungan telah gugur pula.”
Demikianlah maka pasukan Kediri itu-pun segera bersiap untuk berangkat ke medan perang, dipimpin oleh Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Dalam pada itu. di medan perang di sebelah Utara Ganter, pasukan Kediri benar-benar telah hampir tercerai berai. Beberapa orang Senapati dengan tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, berusaha menyingkirkan jenazah Mahisa Walungan yang telah gugur di peperangan melawan Sri Rajasa.
Pada saat senjata Sri Rajasa mengenai dada kiri Mahisa Walungan, sebuah tombak telah menyerang penongsongnya. Tanpa dapat berbuat sesuatu dengan gerak naluriah penongsong itu menangkis ujung tombak itu dengan tangkai payung yang dibawanya. Tetapi ternyata tangkai payung itu-pun patah di tengah.
Sorak prajurit Singasari serasa akan memecahkan selaput telinga. Mereka meneriakkan kemenangan Sri Rajasa, dan meneriakkan kematian Adinda Sri Baginda Kertajaya. Namun pada saat itu Sri Rajasa sendiri berdiri termangu-mangu memandang Mahisa Walungan yang terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
“Kau memang seorang Raja yang sakti,” desis Mahisa Walungan, “aku akui kemenanganmu. Tidak seorang-pun yang mampu melawan Aji Sangga Langit dan Aji Songkok Sari sekaligus. Tetapi kau sama sekali tidak terguncang oleh kedua Aji pamungkasku. Itu pertanda bahwa Sri Rajasa memang kekasih dewa-dewa.”
Sri Rajasa tidak menjawab. Direnunginya Mahisa Walungan yang menjadi semakin lemah. Ia sama sekali tidak berbuat apa-apa ketika beberapa orang Senapati Kediri berusaha menyelamatkan Mahisa Walungan. Tetapi mereka hanya dapat mengangkat tubuhnya yang sudah tidak bernafas.
Ketika beberapa orang prajurit Singasari mencoba menghalang-halangi prajurit Kediri yang berusaha menyingkirkan Jenasah itu. Sri Rajasa membentak mereka dengan marahnya, “Biarkan jenazah itu. Ia pantas mendapat penghormatan, sehingga jenazahnya pantas mendapat perawatan yang sebaik-baiknya. Ia adalah seorang pahlawan besar. Pahlawan terbesar di saat ini.”
Tidak seorang-pun yang kemudian mengganggu para Senopati Kediri membawa jenazah itu pergi. Tetapi Sri Rajasa tidak sempat memperhatikan, penongsong Mahisa Walungan yang menjadi luka parah oleh senjata orang-orang Singasari. Tetapi prajurit yang membawa payung kebesaran itu-pun berhasil menyingkir dan mendapatkan seekor kuda dari para penghubung.
Sri Rajasa seolah-olah tersadar ketika sorak para prajurit Singasari semakin membelah langit. Mereka berhasil semakin mendesak pasukan Kediri yang telah kehilangan agul-agul. Yang ada kini tinggallah Gubar Baleman.
Berita gugurnya Mahisa Walungan telah memukul dada Gubar Baleman, sehingga sejenak ia kehilangan pengamatan diri. Tetapi karena senjata Mahisa Agni yang menyentuh pundaknya, maka Gubar Baleman-pun menyadari, bahwa kini justru seluruh tanggung jawab ada di atas pundaknya. Karena itu, maka Gubar Baleman-pun menggeretakkan giginya. Dengan lantang suaranya mengatasi sorak sorai prajurit Singasari, “Adinda Sri Baginda telah gugur sebagai seorang pahlawan. He. prajurit Kediri, apa yang dapat kalian serahkan kepada Tanahmu ini?”
Prajurit Kediri yang terguncang karena kematian Mahisa Walungan tiba-tiba seperti yang bangkit dari tidur yang diganggu oleh mimpi yang menakutkan. Serentak prajurit Kediri menyambut teriakan Menteri Gubar Baleman dengan gemeretak gigi dan nyala di dalam dada. Sambil berteriak nyaring, mereka segera menemukan gairah perjuangan mereka kembali.
Tetapi pasukan Singasari ternyata semakin mendesak mereka. Jumlah yang besar, dan nafsu yang melonjak karena gugurnya Mahisa Walungan membuat pasukan Singasari berhasil menguasai segala bagian medan yang dahsyat itu. Gubar Baleman-pun akhirnya melihat, betapa korban berjatuhan tanpa dapat dihitung lagi. Sebagai seorang pemimpin ia merasa kematian yang tidak terbilang masih akan terjadi.
Tetapi seperti Mahisa Walungan, maka Gubar Baleman-pun seorang Senapati jantan. Itulah sebabnya maka ia sendiri telah berusaha untuk bertempur sekuat-kuat tenaganya. Semua kemampuan. Aji dan ilmunya telah dicurahkannya. Namun ternyata bahwa Mahisa Agni yang memiliki Aji Gundala Sasra dan Kala Bama sekaligus itu mampu melawan setiap ilmu yang dilontarkan oleh Gubar Baleman.
Namun ada sesuatu yang telah mengganggu segenap pemusatan kekuatan lahir dan batin dari Menteri Gubar Baleman yang berani itu. Ia tidak dapat menutup mata dan telinga, bahwa keadaan pasukannya telah menjadi semakin terdesak. Terbayang sekilas di kepalanya, bahwa pasukan Kediri sebentar lagi pasti akan pecah, dan akan lenyaplah Kerajaan Kediri yang besar itu. Dan keprihatinan Gubar Baleman itu telah dicurahkan dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan Gubar Baleman sama sekali sudah tidak menghiraukan keselamatan dirinya lagi.
Ketika pasukannya semakin lama menjadi semakin terdesak, maka Gubar Baleman tidak dapat lagi menahan hati. Kalau ia tidak berbuat sesuatu, maka semua prajurit Kediri yang ada di peperangan ini pasti akan tumpas. Tidak seorang-pun yang akan berusaha atau berniat menyelamatkan dirinya, sedang Kediri yang dipertahankan pasti juga akan runtuh. Gubar Baleman memang terharu melihat kesetiaan prajurit Kediri kepada Tanah Kelahiran. Tetapi Gubar Baleman masih mencoba mempergunakan nalarnya. Karena itu, maka kepada kedua Senapati pengapitnya ia memberikan perintahnya sebagai Senapati Tertinggi,
“Tarik pasukan. Hubungi Pujang Warit di dalam kota. Apapun yang dikehendaki, kita harus menyerahkannya. Tetapi Kediri harus dipertahankan sekuat tenaga. Aku masih berpengharapan, bahwa Pujang Warit akan bersedia menjadi Senapati Agung pasukan Kediri. Namun dengan demikian kekuatan yang ada padanya dapat dikerahkan bagi medan.”
Senapati pengapitnya mengerutkan keningnya. Tetapi ia mendengar perintah itu dengan jelas, seperti juga Mahisa Agni mendengarnya. Sekilas terbersit pertanyaan di hati Mahisa Agni, “Apakah yang sebenarnya terjadi atas prajurit-prajurit Kediri? Agaknya Kediri benar-benar telah dihancurkan oleh perpecahannya sendiri.”
Ketika salah seorang Senapati pengapit yang menerima perintah itu mundur dari medan. Mahisa Agni menjadi termangu-mangu sejenak. Apakah yang sebaiknya dilakukan? Agaknya Kediri masih menyimpan tenaga cadangan. Tetapi tenaga cadangan itu sama sekali tidak dapat dikuasai, baik oleh Mahisa Walungan maupun oleh Gubar Baleman. Namun ternyata bahwa Gubar Baleman sama sekali belum mendengar berita kematian Pujang Warit oleh tangan Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Senapati pengapit yang mendapat perintah dari Gubar Baleman itu-pun segera berusaha mendapatkan seekor kuda untuk meninggalkan medan. Betapa berat hatinya, namun ia tidak dapat berbuat lain. Ia harus menghubungi Pujang Warit. Sedang Senapati pengapit yang lain masih belum menemukan jalan, bagaimana ia akan menarik pasukan yang sedang bertempur demikian dahsyatnya. Karena Senapati pengapitnya masih belum berbuat apa-apa, maka Gubar Baleman mengulangi perintahnya,
“Tarik pasukan. Kalau hubungan dengan Pujang Warit dapat diadakan, maka pertahanan yang kuat akan disusun. Kita akan mundur sampai pertahanan yang sudah tersusun itu.”
Senapati itu kini mengerti. Pasukannya harus berusaha untuk mengundurkan diri sampai pertahanan berikutnya yang akan disusun oleh Pujang Warit. “Tetapi bagaimana kalau Pujang Warit benar-benar telah menjadi gila?” pertanyaan itu sekilas melontar di dada Senapati itu.
Namun memang tidak ada jalan lain. Itu adalah jalan satu-satunya. Pasukan Kediri tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi menghadapi pasukan Singasari yang besar ini. Karena itu. maka Senapati itu-pun segera berusaha mengatur sisa-sisa pasukannya. Bersama beberapa orang penghubung, Senapati itu memerintahkan setiap pimpinan kelompok mengikat pasukannya, betapapun kecilnya yang tersisa, untuk menarik diri. Pasukan yang sudah parah ini tidak boleh pecah. Meskipun mereka harus menghindari peperangan, tetapi dengan teratur mereka harus dapat menempatkan diri pada pertahanan berikutnya. Apabila Pujang Warit tidak bersedia melakukannya, maka jalan terakhir adalah musna bersama-dengan musnanya Kediri.
Demikianlah maka kini pasukan Kediri berada di dalam keadaan yang sangat gawat. Menarik pasukan dari medan yang demikian dahsyatnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi pasukan yang akan mengadakan pertahanan di belakang garis perang ini-pun masih belum dapat diperhitungkan dengan pasti.
Dalam gerakan inilah Gubar Baleman menunjukkan dirinya, sebagai seorang Senapati yang benar-benar bertanggung jawab. Ia sama sekali tidak berkisar dari tempatnya, selama para Senapati bawahannya mengatur diri. Sebagai seorang prajurit yang mumpuni ia tetap bertahan di tempatnya. sehingga Mahisa Agni tidak segera dapat mengatur pasukannya untuk mendesak maju. Dalam keadaan yang demikian, maka beberapa orang Senapati yang lain segera mengambil sikap, mendesak dan mencegah gerakan mundur pasukan Kediri.
Tetapi selain Mahisa Agni, ternyata di barisan Singasari masih ada Sri Rajasa sendiri yang kini tidak mempunyai lawan lagi yang seimbang. Namun demikian ternyata Sri Rajasa bukanlah seorang yang terlalu kejam. Ia tidak melawan orang-orang Kediri seperti menebas daun ilalang, meskipun ia dapat melakukannya apabila dikehendakinya. Dalam keadaan yang demikian Sri Rajasa kini benar-benar berdiri sebagai seorang panglima. Ia hanya meneriakkan aba-aba untuk mengatur pasukannya.
Mahisa Agni yang melihat kehadiran Sri Rajasa sebagai panglima yang berdiri tanpa lawan itu-pun segera dapat memusatkan perhatiannya pada perang yang sedang dilakukan, melawan Gubar Baleman. Sekali lagi Sri Rajasa menjadi kagum melihat sikap Gubar Baleman, seperti juga Mahisa Agni mengaguminya. Senapati-senapati Kediri yang demikian inilah yang agaknya membuat Kediri pada saatnya menjadi sebuah negara yang besar.
Ketika pasukan Kediri mengalami kesulitan untuk menarik diri itulah, terdengar derap kaki-kaki kuda yang berpacu menuju ke medan peperangan. Mereka adalah pasukan pengawal berkuda yang telah mendahului Sri Baginda Kertajaya maju ke peperangan. Kedatangan pasukan berkuda yang tidak merupakan suatu barisan yang teratur itu telah mengejutkan prajurit-prajurit di peperangan itu. Sebagai seorang Senapati yang berpengalaman, maka Gubar Baleman segera mengetahui, bahwa pasukan itu telah menyusul ke medan dengan sangat tergesa-gesa, sehingga mereka tidak sempat menyusun barisan yang teratur.
Tetapi bagaimana-pun juga kehadiran pasukan berkuda itu telah memberi harapan bagi Gubar Baleman. Bukan suatu harapan untuk mengusir pasukan Singasari yang ternyata terlampau kuat. Tetapi pasukan berkuda itu akan dapat membantu melindungi pasukannya yang sedang bergerak mundur. Dengan demikian maka melalui penghubungnya Gubar Baleman-pun segera menyampaikan perintah itu kepada seorang Senapati yang datang paling depan.
Senapati itu mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa pasukan Kediri sudah menjadi sedemikian parahnya. Apalagi sepeninggal Mahisa Walungan. Karena itu, maka Senapati itu-pun segera menyampaikan perintah Gubar Baleman lewat mulut kemulut, sehingga akhirnya perintah itu-pun merata di antara para pengawal berkuda itu.
Sejenak kemudian maka kuda-kuda itu-pun segera terjun ke peperangan. Mereka mencoba untuk menyesuaikan diri dengan perintah Gubar Baleman. Salah seorang dari mereka berhasil mendekati pemimpin tertinggi pasukan Kediri itu dan mengatakan bahwa pasukan yang lebih besar akan segera datang dipimpin oleh Sri Baginda Kertajaya sendiri.
“Bagus,” sambut Gubar Baleman. Namun ia masih berpikir, berapa besarnya pasukan yang akan datang itu. Apakah mereka dapat menahan arus pasukan Singasari yang demikian dahsyatnya. Apabila pasukan itu gagal, maka taruhannya adalah Sri Baginda Kertajaya sendiri dan Kediri seluruhnya.
Demikianlah maka kini gerakan mundur dari pasukan Kediri itu agak terlindung oleh pasukan berkuda yang kecil. Namun kuda-kuda yang menjadi seakan-akan liar itu berloncatan di medan perang, menghalau prajurit-prajurit Singasari yang berusaha mengejar prajurit Kediri.
Namun dengan kenyataan itu, para pemimpin prajurit Singasari terpaksa membuat perhitungan-perhitungan baru. Berita tentang pasukan yang dipimpin langsung oleh Sri Baginda Kertajaya itu segera sampai pula ke telinga Sri Rajasa, sehingga dengan demikian maka ia-pun segera mengambil sikap. Dengan lantangnya Sri Rajasa perintahkan seluruh prajuritnya untuk bertindak lebih cepat. Katanya, “Jangan menunggu kalian masuk perangkap. Hancurkan pasukan lawan.”
Perintah itu-pun segera mendapat tanggapan. Pasukan Singasari mendesak semakin maju. Selain pasukan berkuda yang kecil itu. Gubar Baleman sendiri berusaha untuk tetap bertahan. Bahkan seakan-akan ia-pun berusaha melindungi para prajurit yang sedang bergerak mundur. Dengan demikian maka sebagian perhatiannya kini dicurahkan kepada gerakan prajurit Kediri, selain lawannya yang tangguh, Mahisa Agni.
Namun dengan demikian, maka perlawanannya atas Mahisa Agni itu-pun tidak dapat dilakukan sepenuh kemampuannya, karena Gubar Baleman tidak dapat membiarkan pasukannya menjadi tercerai berai. Suasana peperangan itu-pun menjadi semakin kalut. Pasukan Singasari semakin mendesak maju, sedang korban di pihak Kediri menjadi semakin banyak meskipun pasukan berkuda yang kecil itu berusaha sekuat-kuat tenaga mereka untuk melindungi.
Mahisa Agni yang harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencoba mendesak lawannya, tetap mengaku, bahwa Gubar Baleman adalah seorang Senapati yang pilih tanding. Yang tidak saja menghiraukan dirinya sendiri. bahkan keselamatannya, namun baginya keselamatan prajurit-prajuritnyalah yang dianggapnya lebih penting.
Dalam saat yang demikian itulah Mahisa Agni justru merasa berdiri di persimpangan jalan. Dalam kekalutan itu ia melihat beberapa kesempatan untuk menembus pertahanan Gubar Baleman. Namun setiap kali ia tertegun. Kekagumamnya kepada Senapati Kediri itu membuatnya termangu-mangu. Setiap kali serasa ada sesuatu yang memberatkan perasaannya.
“Apakah aku harus melakukannya?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Namun ketika terngiang kembali laporan peghubung Kediri yang mengatakan bahwa pasukan Sri Baginda Kertajaya sudah berada di perjalanan maka Mahisa Agni-pun segera menggeletakkan giginya. Teringat pula olehnya putera Mahkota Singasari, Anusapati putera Ken Dedes dari Akuwu Tunggul Ametung. Kalau Kediri dapat di kalahkan maka hari depan Anusapati itu-pun akan menjadi semakin cemerlang. Ia akan menjadi seorang raja yang besar, yang tidak saja meliputi daerah Singasari sekarang tetapi kesatuan dari daerah-daerah yang lebih luas akan membuat kerajaan itu lebih kuat.
Akhirnya Mahisa Agni menghentakkan perasaannya. Ia sadar, bahwa ia memang harus berbuat sebagai seorang Senapati di peperangan, sehingga ia tidak boleh hanyut dalam arus perasaannya. Karena itu, ketika terbuka kesempatan padanya, ia segera mendesak lawannya. Gubar Baleman yang lagi terbelah perhatiannya oleh beberapa orang prajuritnya yang terdesak dan kehilangan sebagian dari kesempatan untuk melindungi diri, terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba saja menyentuh tubuhnya.
Senapati Kediri itu menggeram sambil meloncat surut. Sejenak ia memusatkan perhatiannya menghadapi Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian maka pertempuran di antara mereka-pun menjadi semakin dahsyat. Tetapi ketika terdengar pekik kesakitan dan lengking seekor kuda yang terbanting jatuh, perhatian Gubar Baleman kembali terbagi. Bahkan Gubar Baleman berusaha untuk sekali lagi meloncat surut menjauhi Mahisa Agni.
Pada saat itu Sri Baginda Kertajaya sedang berada di perjalanan menuju ke medan perang. Meskipun Prajurit Kediri sudah berjalan secepat-cepat dapat mereka lakukan, bahkan ada di antara mereka yang terloncat-loncat, namun terasa pasukan itu maju terlampau lamban. Di langit matahari merambat semakin ke Barat. Cahayanya yang terik serasa membakar kulit. Sekali-kali sehelai awan yang putih hanyut dibawa angin yang lambat.
Sri Baginda Kertajaya menengadahkan kepalanya. Terasa dadanya berdesir tajam. Tiba-tiba saja dari arah Tenggara segumpal awan yang hitam terbang dengan cepatnya, seakan-akan ingin mengejar matahari yang terik.
“Sri Baginda Kertajaya tidak pernah memperhatikan awan di langit. Tetapi tiba-tiba kini perhatiannya tertarik oleh awan yang hitam dan tebal. Selama ini langit tampak cerah kebiruan, sehingga awan yang tebal itu begitu tiba-tiba saja sudah ada di atas Kediri.
Awan yang hitam itu seakan-akan kemudian mekar memenuhi udara. Semakin lama semakin rata. sehingga sejenak kemudian maka matahari-pun telah ditelannya. Langit yang biru kini menjadi berangsur gelap. Begitu cepatnya. Apalagi sejenak kemudian terdengar guruh yang lamat-amat mengumandang di sepanjang cakrawala. Sri Baginda merasakan sesuatu yang aneh. Tetapi Sri Baginda Kertajaya tidak mengatakannya kepada siapapun juga.
Namun tiba-tiba langkah pasukan Kediri itu tertegun. Dari kejauhan mereka melihat kuda berderap seperti angin. Belum lagi Sri Baginda melihat siapakah yang datang itu, namun sesuatu sudah terasa melonjak di hatinya. Sejenak, kemudian kuda itu-pun menjadi semakin dekat. Dan hati setiap prajurit Kediri-pun menjadi semakin berdebar-debar.
“Apa yang sudah terjadi?” belum lagi kuda itu berhenti Sri Baginda sudah tidak sabar lagi.
Dengan nafas terengah-engah Senapati penghubung itu meloncat dari kudanya. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam Kemudian katanya, “Ampun Sri Baginda. Menteri Gubar Baleman telah gugur pula?”
“Gubar Baleman,” Sri Baginda berteriak sambil membelalakkan matanya.
“Hamba Tuanku.”
Sejenak Sri Baginda justru terbungkam. Pasukan Kediri itu sama sekali sudah tidak mempunyai pengikat lagi. Namun tiba-tiba Sri Baginda Kertajaya itu menggeretakkan giginya. “Cepat,” geramnya, “kita harus segera mencapai medan.”
“Tuanku,” berkata Senapati penghubung itu, “pasukan Kediri sedang dalam gerakan mundur. Itu-pun dalam keadaan yang payah. Sebaiknya Tuanku tidak maju ke medan. Tetapi justru mempersiapkan pertahanan yang lebih baik di batas kota.”
“Gila,” teriak Sri Baginda, “apakah aku akan membiarkan prajurit yang sedang berada di medan itu tumpas dibantai oleh orang-orang Singasari.”
“Tuanku, kita berharap bahwa mereka akan dapat mencapai batas kota. Tetapi di gapura itu, kita dapat mengerahkan semua tenaga. Setiap prajurit akan kita tarik ke medan.”
“Kapan akan kau lakukan itu?”
“Sekarang Tuanku. Selagi Tuanku kembali surut ke dinding kota, hamba akan mempersiapkan pertahanan itu. Setiap laki-laki yang dapat dikerahkan harus dikerahkan.”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam.
“Tuanku, waktu terlampau sempit. Sebenarnyalah keadaan medan sudah sangat parah.”
Tanpa sesadarnya Sri Baginda menengadahkan wajahnya ke langit. Awan yang hitam kelam kini sudah memenuhi udara. Sekali-kali guruh terdengar meledak di kejauhan.
“Apakah Tuanku memperkenankan hamba melakukannya? Itulah pesan terakhir dari Menteri Gubar Baleman, karena hambalah yang telah berusaha menyingkirkan jenazahnya.”
Sri Baginda masih termenung sejenak. Namun akhirnya Sri Baginda menganggukkan kepalanya, “Apa boleh buat.”
Senapati penghubung itu-pun segera memacu kudanya ke dinding kota, sedang Sri Baginda menarik pasukannya mundur kembali memasuki regol. Kotaraja Kediri segera berada di dalam keadaan yang gawat. Suara tengara telah bergema di seluruh kota. Setiap laki-laki yang merasa dirinya memiliki kemampuan sekedarnya untuk bertempur, segera menyambar senjata mereka apa saja yang dapat mereka pergunakan. Tombak, pedang, canggah, bindi, parang, keris dan lain-lain yang dapat mereka ketemukan. Dengan hati yang berdebar-debar mereka-pun segera berlari-lari ke dinding kota. Mereka tahu benar, bahwa pasukan lawan pasti akan memasuki kota lewat regol itu.
Sejenak kemudian di sepanjang dinding kota itu telah bertebaran laki-laki bersenjata dari segala penjuru kota. Mereka sama sekali bukan prajurit. Tetapi mereka yang memiliki keberanian, telah terjun di gelanggang untuk mempertahankan Kotaraja. Di antara mereka terdapat beberapa orang prajurit penjaga regol. Kemudian berdatangan beberapa orang prajurit yang lain dari setiap sudut kota mereka. Mereka adalah para pengawal yang tinggal untuk mengamankan kota mereka.
Tetapi kini mereka telah ditarik seluruhnya untuk melawan pasukan Singasari. Sejenak kemudian pasukan Sri Baginda Kertajaya-pun telah berada di tempat itu pula. Mereka telah mempersiapkan diri untuk menyongsong kedatangan pasukan Singasari yang melanda Kediri seperti banjir bandang. Dengan dada yang berdebar-debar Sri Baginda yang telah turun dari kudanya, berdiri tegak di tengah-engah regol. Ditatapnya jalan yang membujur panjang di bawah kakinya. Seolah-olah jalan itu adalah jalan yang langsung memanjat sampai ke batas langit.
Sekilas terbayang kedua orang yang selama ini telah menjadi sapu kawat kerajaannya yang sedang goncang. Mahisa Walungan dan Guber Baleman. Kini keduanya telah gugur di peperangan oleh kesetiaan mereka terhadap Kediri, meskipun keduanya hampir saja mati terbunuh oleh pengkhianatan Pujang Warit.
“Keduanya tidak melihat, bahwa Pujang Warit telah terbunuh,” desisnya didalam hati, “meskipun barangkali Gubar Baleman sempat mendengarnya.”
Dada Sri Baginda serasa menjadi sesak. Namun kemudian tumbuh suatu pertanyaan di dalam hatinya, “Betapa saktinya para Senapati Singasari itu. Mereka mampu membunuh Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Kalau Mahisa Walungan terbunuh oleh Sri Rajasa, maka pastilah bahwa Sri Rajasa adalah seorang yang pilih tanding. Sedang Senapati yang mampu membunuh Gubar Baleman-pun pasti Senapati yang mumpuni.
“Dengan Senapati-senapati yang tangguh itulah agaknya Singasari akan merambat ke puncak kejayaannya, sementara Kediri akan menjadi semakin surut.” gumamnya di dalam hati.
Meskipun melonjak pula penyesalan di dalam hati, tetapi ada semacam perasaan pasrah pula pada diri Sri Baginda Kertajaya. Namun demikian, ia masih tetap berdiri di ujung pasukan, menggenggam senjata sebagai seorang Senapati. Pada saat itu, dengan susah payah pasukan Kediri berusaha menarik diri dari medan. Dengan korban yang tidak terhitung lagi pasukan itu berusaha untuk mencapai dinding kota. Mereka sudah mendapat kabar, bahwa Sri Baginda sendiri telah menyusun pasukan, untuk mempertahankan Kediri di batas Kotaraja.
Karena itu maka gairah perjuangan mereka-pun semakin melonjak pula. Dengan sepenuh hati, mereka berusaha menarik pasukannya, bukan karena mereka takut mati terbunuh di peperangan. Tetapi sebagai seorang prajurit mereka memperhitungkan, bahwa masih ada kesempatan untuk memperbaiki kekalahan.
“Kita tidak boleh mati sia-sia,” teriak seorang Senapati, “karena itu atur dirimu baik-baik.”
Sementara beberapa orang yang masih berada di punggung kudanya selalu berusaha melindungi gerakan mundur yang banyak menemui kesulitan itu. Betapapun sulitnya, namun akhirnya pasukan Kediri itu berhasil mendekati dinding kota. Dari kejauhan mereka sudah melihat, sebuah songsong pusaka, tombak, dan umbul-umbul yang merekat pada tunggul Kiai Gajah.
“Sri Baginda ada di dinding kota,” teriak salah seorang Senapati.
Setiap hati prajurit Kediri-pun tergetar. Betapapun mereka menjadi lemah, tetapi tekad mereka telah menyala kembali. Sepeninggal Mahisa Walungan dan kemudian Gubar Baleman, pasukan Kediri seakan-akan sudah tidak bertenaga sama sekali. Namun kini, pada tubuh yang lemah itu, seakan-akan telah tersiram air yang sejuk, menyegarkan.
Sri Baginda yang melihat pasukan terdesak, hatinya serasa telah menyala. Hampir tidak sabar lagi ia menunggu pasukannya sampai ke batas. Tetapi ia tidak dapai maju menyongsong pasukan Singasari dalam keadaan serupa itu. Menurut perhitungan nalar ia harus memanfaatkan dinding kota itu untuk bertahan. Tetapi, Sri Baginda yang mempunyai pengalaman yang cukup itu, setelah melihat perimbangan kedua pasukan, berkata di dalam hati.
“Pasukan Singasari memang tidak akan dapat dibendung. Akulah orang yang paling bodoh di antara para prajurit Kediri.” dan penyesalan itu datang lagi, “kalau aku mendengarkan nasehat Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. aku tidak akan terjerumus ke dalam kesulitan seperti ini. Tetapi kini keduanya telah gugur. Maka tidak ada penyelesaian yang lebih baik bagiku. Mengusir prajurit Singasari, atau gugur sama sekali di medan ini.”
Sejenak kemudian, maka Sri Baginda-pun segera mengirimkan sepasukan yang akan menjadi mulut regol kotanya. Pasukan yang akan membantu pasukan Kediri yang sedang bergerak mundur. Sementara pasukan yang akan menjadi penutup regol-pun telah siap pula. Apabila pasukan Kediri yang mundur itu sudah memasuki regol, maka pasukan yang telah disediakan itulah yang akan menahan pasukan lawan, sedangkan para prajurit yang telah menyiapkan senjata jarak jauh. telah siap di atas dinding dengan busur di tangan.
“Pertempuran ini akan menjadi pertempuran yang paling dahsyat di sepanjang sejarah perkembangan Kediri,” berkata Sri Baginda kepada Senapati pengapitnya.
“Hamba Tuanku,” sahut Senapati itu.
Sejenak kemudian maka barisan Kediri yang mundur itu berhasil mencapai regol. Bahwa pasukan itu tidak pecah dan tercerai berai itu adalah karena ikatan yang kuat dan keberanian yang tiada taranya dari para prajurit Kediri itu. Laju pasukan Singasari-pun kemudian tertahan oleh anak panah yang bagaikan hujan yang jatuh dari langit. Mereka yang berperisai, segera mempergunakan perisai mereka untuk melindungi bukan saja dirinya sendiri, tetapi juga melindungi kawan-kawannya yang sedang mendesak maju.
Sejenak kemudian kedua pasukan itu telah bergulat di depan regol dinding istana. Pasukan Kediri yang parah, dengan susah payah menyusup di antara prajurit Kediri yang masih segar masuk ke dalam dinding, sedang pasukan yang memang sudah dipersiapkan telah mencoba menahan pasukan Singasari. Sri Rajasa dan Mahisa Agni yang tidak mempunyai lawan itu-pun kini sempat berdiri berdampingan sambil membicarakan kemungkinan yang mereka hadapi.
“Kita pecah dinding kota,” berkata Sri Baginda.
“Dinding ini terlampau tebal Tuanku,” sahut Mahisa Agni.
“Kita akan memanjat.”
“Berbahaya sekali.”
“Beberapa orang akan saling menyusun diri bersama. Sementara yang lain mecoba melindungi mereka.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi cara yang disebut oleh Sri Rajasa itu adalah cara yang berbahaya sekali. Dengan mudah sekali orang yang berada di atas dinding kota yang tebal itu dapat menyerang mereka yang sedang mencoba memanjat naik. Tetapi cara lain memang sulit sekali diketemukan. Masuk melalui gerbang adalah hampir tidak mungkin.
Gerbang yang tidak terlampau lebar itu telah tersumbat oleh pertempuran yang sengit. Prajurit yang sudah terlanjur bertempur di mulut regol itu, pasti tidak akan lagi dapat keluar. Maju mereka akan berhadapan dengan ujung senjata prajurit Kediri, sedang prajurit Singasari yang lain mendesak dari belakang, sementara prajurit Kediri-pun mempertahankan jalan masuk itu mati-matian. Akhirnya perintah Sri Rajasa-pun segera mengumandang di seluruh medan, dan segera pula ditanggapi oleh para Senapati.
Dengan cepatnya pasukan Singasari itu-pun menebar dan berloncatan melekat dinding. Setiap jengkal seorang prajurit berdiri bertelekan pada dinding kota. Seorang kawannya yang lain memanjat di pundaknya dan kawan yang lain lagi harus meloncat pula naik. Kalau prajurit yang paling bawah merasa terlampau berat, maka seorang yang lain membantunya menahan berat tubuh orang yang ada di atasnya.
Orang yang ketiga sudah akan dapat meloncat dinding apabila ia dapat mengatasi serangan yang datang bertubi-tubi dari para prajurit Kediri yang berada di atas dinding. Sehingga, karena itulah maka orang ketiga yang akan naik adalah para prajurit yang mengenakan perisai atau yang bersenjata tombak panjang, sedang prajurit yang lain melindunginya dengan panah atau tombak-tombak pendek yang dilontarkan dari luar.
Demikian banyaknya prajurit Singasari yang melekat dinding kota itu, sehingga pada suatu saat terdapat juga bagian-bagian yang lemah dari para prajurit Kediri yang berada di atas dinding, sehingga ketika beberapa orang Singasari sempat naik keatas dinding, maka seolah-olah mereka telah membukakan pintu bagi kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian maka lambat laun, beberapa orang prajurit Singasari-pun segera berhasil meloncat memasuki bagian dalam Kotaraja yang sedang dipertahankan.
Dalam kekalutan itu seorang Senapati bertanya kepada Mahisa Agni, “Apakah sebagian dari kita diperkenankan memasuki Kotaraja dari pintu-pintu gerbang yang lain.?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Kita pusatkan seluruh kekuatan di sini. Gerbang-gerbang itu pasti juga sudah ditutup, dan beberapa orang prajurit pasti sedang menjaganya. Tanda-tandanya di sini kita akan segera dapat menyelesaikan pekerjaan ini.”
Perhitungan Mahisa Agni itu-pun ternyata tidak jauh meleset. Selagi ke dua belah pihak bertempur dengan dahsyatnya di regol kota, maka beberapa kelompok pasukan Singasari berturut-turut telah berhasil meloncati dinding. Ternyata bahwa beberapa kelompok prajurit itu mempunyai pengaruh yang besar bagi pertempuran yang terjadi di mulut regol. Kehadiran pasukan Singasari dari arah samping telah mengejutkan prajurit-prajurit Kediri yang berada di dalam dinding.
Dengan demikian maka pertempuran-pun menjadi semakin meluas. Pasukan Kediri tertarik untuk melawan prajurit Singasari yang masuk meloncati dinding, sehingga pertahanan di mulut regol-pun menjadi semakin berkurang, sedang prajurit Singasari yang memasuki dinding semakin lama menjadi semakin banyak.
Sementara itu langit yang kelam oleh mendung yang tebal menjadi semakin kelam. Sekali-sekali guntur meledak di langit. Semakin lama menjadi semakin sering. Sementara matahari di balik mendung yang tebal itu-pun merayap terus semakin ke Barat. Sebenarnyalah bahwa pasukan Kediri yang terakhir itu-pun tidak mampu lagi membendung pasukan Singasari. Kemenangan demi kemenangan membuat seiap prajurit Singasari menjadi semakin berbesar hati.
Kematian Mahisa Walungan dan Gubar Baleman, dua pahlawan yang gagah berani itu, membuat para prajurit Singasari menemukan kejakinan, bahwa Kediri pasti akan dapat ditundukkan. Di pertahanan yang terakhir inilah pasukan Kediri dan rakyat yang tetap setia kepada Kotanya, telah berjuang dengan sekuat tenaga mereka. Peperangan ini tidak hanya sekedar menentukan nasib Kotaraja Kediri itu sendiri, tetapi apa yang terjadi di pusat pemerintahan Kerajaan Kediri yang Agung ini, akan menentukan suatu bentuk pemerintahan dari sebuah wilayah yang luas sekali.
Perang yang semakin lama menjadi semakin dahsyat itu ternyata telah mendesak prajurit Kediri mundur semakin dalam memasuki Kotaraja. Prajurit-prajurit yang berjuang di regol-regol kota-pun sudah tidak mampu lagi bertahan, sehingga sejenak kemudian, pasukan Singasari yang masih ada di luar regol berhasil mendorong pasukan Kediri dan menguasai pintu gerbang. Dengan demikian maka pecahlah bendungan yang menahan arus banjir bandang dari Singasari itu.
Dengan demikian, maka medan perang kini telah berada di dalam kota. Sri Baginda Kertajaya sendirilah yang memimpin sisa-sisa dari pasukannya. Luka yang parah pada pasukannya, telah membuat Sri Baginda Kertajaya menjadi semakin garang, seperti seekor harimau yang terluka di bagian tubuhnya sendiri.
Mahisa Agni yang berada di pusat pasukan Singasari melihat Sri Baginda Kertajaya mengamuk. Pusakanya berputar seperti angin pusaran. Setiap sentuhan dari ujung senjata itu, pasti akan berakibat maut. “Kemarahan Sri Baginda Kertajaya harus mendapat pelayanan,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “kalau tidak, maka prajurit Singasari akan menjadi bosah-baseh.”
Tetapi ketika Mahisa Agni meloncat maju untuk menyongsong Sri Baginda Kertajaya, terasa punggungnya digamit seseorang. Ternyata Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, dibayangi oleh songsong kebesarannya telah siap pula maju melawan Sri Baginda di Kediri. Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Di medan ini akan bertemu dua orang raja yang besar, yang memiliki kelebihan yang sukar dicari tandingnya. Sri Baginda Kertajaya dan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
“Apakah Tuanku akan menghadapi Sri Baginda Kertajaya sendiri?” bertanya Mahisa Agni di luar sadarnya.
Sri Rajasa menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku akan melawannya. Menurut pendengaranku, Sri Baginda Kertajaya adalah seorang Raja yang besar, yang sakti dan tidak ada duanya.”
Mahisa Agni tidak menjawab.
“Aku akan mencoba melawannya.”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri.
“Agni,” desis Sri Rajasa kemudian, “kalau aku gagal, maka kau adalah orang yang paling terpercaya di seluruh Singasari. Kau adalah kakak Permaisuriku. Karena itu, seandainya aku tidak dapat keluar dari peperangan ini karena Sri Baginda Kertajaya, maka kaulah yang wajib mengatur pemerintahan sampai Pangeran Pati dapat mengemudikan Kerajaan.”
“Siapakah Pangeran Pati itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Bukankah aku sudah menentukan?”
“Anusapati?”
“Ya. Tidak ada orang lain.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia melihat kesungguhan memancar di wajah Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu. Sekilas terbayang sikap Sri Rajasa yang tidak adil atas kedua puteranya, Anusapati dan Tohjaya. Kedua putera yang lahir dari ibu yang berbeda dan sebenarnyalah dari ayah yang berbeda pula, karena Anusapati adalah putera Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi dalam saat yang genting ini Sri Rajasa telah, menyebut nama Anusapati.
Sejenak Mahisa Agni diam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia terperanjat ketika Sri Rajasa berkata, “Aku akan mulai.”
“O,” Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Selama itu pasukan Singasari berhasil mendesak terus. Tetapi tidak seorang-pun dari para Senapati yang berani mendekati Sri Baginda Kertajaya seorang diri. Di dalam kelompok yang terdiri dari Senapati pilihan, prajurit Singasari mencoba membendung kemarahan Sri Baginda Kertajaya. Tetapi korban masih berjatuhan terus.
Sejenak, kemudian maka Sri Rajasa-pun melangkah maju di bawah songsong kebesarannya. Selangkah demi selangkah. Ditatapnya Sri Baginda Kertajaya yang mengamuk sebagai harimau luka. Siapa yang mendekat pasti akan tersobek dadanya oleh ujung pusakanya. Tetapi Ken Arok tidak menjadi gentar. Sejak kecil ia sudah ditempa untuk menghadapi bermacam-macam bahaya. Sekilas terngiang di telinganya sebuah suara yang memancar dari ketiadaan, selagi ia memanjat pohon tal ketika ia dikejar-kejar orang.
“Kalau aku memang akan binasa, binasalah aku saat itu. Tetapi Yang Agung masih melindungi aku,” berkata Ken Arok di hatinya. “Meskipun pada saat itu ia tidak tahu sama sekali, siapakah yang telah menunjukkan jalan pelepasan itu. Namun dari Empu Purwa ia mendengar untuk pertama kali, bahwa Yang Agung adalah sumber dari segala bentuk kehidupan.”
Kini Ken Arok telah menerjunkan dirinya kekancah peperangan melawan Sri Baginda Kertajaya. Para prajurit dan Senapati, seakan-akan telah menyibak ketika mereka melihat Sri Rajasa sendiri maju menghadapi Sri Baginda Kertajaya, sehingga di sekitar mereka berdua, para prajurit seakan-akan tidak sempat lagi untuk saling bertempur. Mereka menjadi ternganga-nganga melihat kedua Raja besar itu bertemu di peperangan.
Dalam kancah peperangan yang riuh, di mana pasukan Singasari berhasil mendesak pasukan Kediri yang parah maka kedua rajanya sedang berhadapan untuk menentukan, siapakah di antara mereka yang akan menguasai telatah yang besar ini, telatah yang sampai saat itu masih bernama Kerajaan Kediri. Kerajaan yang diperintah oleh seorang Maharaja yang bernama Kertajaya. Sejenak kedua raja itu saling berhadapan. Tetapi mereka agaknya tidak perlu untuk saling bertanya, karena mereka masing-masing telah mengetahui, dengan siapa mereka berhadapan.
Dengan demikian, maka keduanya segera menggerakkan senjata masing-masing. Sri Baginda Kertajaya dengan pusakanya, sebatang tombak dan Sri Rajasa mempergunakan sehelai pedang dan sebuah perisai kecil memanjang, terbuat dari kepingan baja yang tipis. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perang yang dahsyat, senjata mereka saling beradu, memancarkan bunga api di udara, sedang guntur di langit masih juga meledak-ledak tidak hentinya.
Selagi keduanya terlibat dalam perang tanding yang dahsyat, maka pasukan Singasari berhasil mendesak pasukan Kediri, sehingga mereka perlahan-lahan semakin terdesak mundur ke dalam kota. Karena itulah maka Sri Baginda Kertajaya-pun kadang-kadang terganggu pula karenanya. Meskipun gerakan maju pasukan Singasari masih juga tidak dapat secepat di saat-saat pasukan Kediri kehilangan Gubar Baleman setelah mereka kehilangan Mahisa Walungan, namun untuk dapat bertahan di dalam kota, agaknya akan terlampau sulit.
Dalam keadaan yang kalut itulah Sri Rajasa berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk mendesak Sri Baginda Kertajaya. Namun ternyata Sri Baginda Kertajaya memiliki kemampuan yang lebih matang dari Mahisa Walungan. Meskipun pada dasarnya ilmu mereka didasari oleh bahan yang sama, tetapi umur Sri Baginda yang lebih tua, ternyata berpengaruh pula atas kematangan ilmu pada kedua kakak beradik itu. Itulah sebabnya, maka menghadapi Sri Baginda Kertajaya, Sri Rajasa mengalami beberapa kesulitan.
Namun ketika Mahisa Agni mendekati arena pergulatan dari dua orang yang berilmu raksasa itu, Sri Rajasa berteriak, “Menyingkir kau Agni.”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni surut selangkah. Dengan hampir tidak berkedip ia memandang pertempuran yang semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Agni sendiri adalah seorang raksasa di dalam olah kanuragan, sehingga dengan demikian ia dapat melihat imbangan kekuatan antara kedua Raja yang sedang bertempur itu.
Dalam pada itu, maka pertempuran antara ke dua belah pihak semakin dahsyat pula. Prajurit Singasari mendesak lawannya semakin jauh. Dengan demikian maka timbullah jarak antara prajurit-prajurit Kediri itu dengan rajanya, sehingga pada suatu saat, Sri Baginda Kertajaya itu-pun terpisahlah dari para prajuritnya.
Beberapa orang Senapati yang tetap berusaha mengitari Sri Baginda, seorang demi seorang telah tersingkir. Bahkan penongsong Sri Baginda Kertajaya-pun telah menjadi terluka parah dan tidak mampu lagi untuk tetap mengangkat payung pusaka Sri Baginda. Dengan tenaganya yang terakhir, penongsong itu telah mencoba menancapkan tangkai bendera itu di tanah. Kemudian perlahan-lahan ia jatuh terduduk.
Tanpa disadarinya, kini Sri Baginda Kertajaya telah terkepung di dalam lingkungan pasukan Singasari. Namun demikian Sri Baginda Kertajaya sama sekali tidak menjadi berkecil hati. Dengan tekad yang bulat ia tetap bertempur dengan gigihnya. Yang masih tetap mendampinginya meskipun tubuhnya telah basah oleh darah adalah Senapati Kediri yang memanggul panji-panji yang terikat pada sebuah tunggul yang bernama Kiai Gajah.
Ketika Sri Rajasa melihat, bahwa lawannya telah terpisah dari pasukannya, serta beberapa orang Senapati Singasari telah mengepung arena, maka Sri Rajasa itu-pun kemudian berteriak, “Jangan ganggu kami. Kami akan menyelesaikan peperangan ini sebagai laki-laki.”
Seperti Mahisa Agni. maka para Senapati itu-pun kemudian melangkah surut, membentuk suatu lingkaran yang membatasi arena perang tanding antara dua orang raja yang besar.
Ketika Sri Kertajaya menyadari keadaannya, maka ia-pun kemudian berkata, “Kau memang seorang Raja yang besar dan jantan. Dengan sebuah perintah yang pendek, maka Sanapatimu dapat beramai-ramai membunuhku. Tetapi kau bermaksud untuk menyelesaikan pertempuran ini dengan perang tanding.”
“Ya,” sahut Sri Rajasa, “aku ingin menyelesaikan pertempuran ini dengan perang tanding. Apapun yang akan mengakhirinya.”
Tantangan Sri Rajasa itu telah membuat dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia, sebagai seorang yang memiliki ilmu yang hampir mumpuni itu-pun dapat menilai, bahwa Sri Rajasa memang berada di dalam kesulitan. Meskipun demikian Mahisa Agni masih belum dapat mengatakan bahwa Sri Rajasa akan dapat di kalahkan oleh Sri Baginda Kertajaya.
Perang yang berkecamuk antara prajurit Kediri dan prajurit Singasari masih berlangsung terus. Prajurit Kediri semakin jauh terdesak masuk ke dalam kota. Sementara itu prajurit Kediri menjadi cemas ketika mereka menyadari bahwa Sri Baginda Kertajaya tidak mau menarik diri bersama pasukan yang bergerak mundur itu. Beberapa orang Senapati Kediri yang setia segera berusaha menembus jaringan gelar pasukan Singasari. Tetapi sampai orang yang terakhir, mereka tidak dapat mencapai Sri Baginda Kertajaya.
Sedang prajurit-prajurit Singasari sendiri tidak kalah cemasnya menyaksikan perang tanding yang menjadi semakin seru itu. Namun setiap Senapati Singasari yang sempat menyaksikan perang tanding itu merasa bahwa kemampuan ilmu Sri Baginda Kartajaya agak lebih tinggi dari Sri Rajasa. Ketangkasan Sri Kertajaya benar mengagumkan. Sri Baginda mampu melontarkan tubuhnya dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan pandangan mata wadag. Bukan saja ketangguhan ilmu seperti Mahisa Walungan. tetapi kematangan dan ketetapan penggunaan setiap unsur dari ilmunya itu.
Dengan demikian semakin lama menjadi semakin jelas bahwa ilmu Sri Baginda Kertajaya memiliki beberapa kelebihan dari Sri Rajasa yang sulit untuk dimengerti, ilmu apakah yang telah dipergunakannya. Setiap kali Sri Rajasa selalu terdesak. Meskipun Sri rajasa masih selalu sempat menangkis setiap serangan ujung tombak Sri Kertajaya, tetapi kecepatan gerak Sri Kertajaya kadang-kadang telah membingungkannya.
Namun demikian, Sri Rajasa masih tetap segar seperti permulaan dari perang tanding itu. Meskipun ia harus memeras segenap tanaganya, tetapi tenaganya sama sekali tidak menjadi susut. Dengan tabah ia menghadapi setiap serangan lawannya. Dengan memutar pedangnya dan perisai kecilnya, Sri Rajasa masih selalu sempat menghindarkan dirinya dari ujung tombak lawannya.
Dalam pada itu, Sri Baginda Kertajaya menjadi heran. Menurut perhitungannya, setiap kali Sri Rajasa kehilangan kesempatan untuk menghindar atau menangkis serangannya, karena geraknya yang cepat tidak dapat diikuti oleh lawannya. Tetapi apabila Sri Baginda Kertajaya hampir memastikan bahwa serangannya akan berhasil menembus dada Sri Rajasa, tiba-tiba saja, ujung tombaknya itu telah menyentuh perisai lawannya atau tersentuh oleh pedangnya ke samping.
“Aku tidak mengerti, ilmu apakah yang dipergunakannya,” desis Sri Kertajaya. Namun karena itulah maka Sri Baginda itu telah mengerahkan segenap ilmunya. Apalagi ketika ia sadar, bahwa ia tidak lagi berada di dalam lingkungan prajuritnya yang telah terdesak semakin jauh. Tetapi keheranan Sri Baginda Kertajaya itu-pun segera terjawab ketika Sri Rajasa-pun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula, meskipun ia sama sekali tidak dapat mengimbangi kecepatan bergerak Sri Baginda Kertajaya.
Ketika Sri Rajasa sudah sampai pada puncak pengerahan kekuatan lahir dan batinnya tanpa disadarinya sendiri, maka Sri Baginda Kertajaya-pun terkejut. Seperti Mahisa Walungan, ia-pun mampu menangkap sasmita yang memancar di atas kepala Sri Rajasa. Cahaya yang kemerah-merahan, yang hanya dapat ditangkap oleh indera seseorang yang berilmu mumpuni. Mahisa Agni yang berada di luar arena itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Itulah agaknya yang membuat Sri Rajasa mampu melakukan rencananya, karena ia mempunyai kelebihan yang tidak ada duanya. Dikasihi oleh dewa-dewa.
Demikianlah maka pertempuran itu-pun menjadi semakin seru. Tetapi juga seperti Mahisa Walungan Sri Baginda Kertajaya telah pasrah akan nasibnya kepada Yang Maha Agung. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal, seandainya ia tidak dapat keluar lagi dari perang tanding ini. Bahkan ada sepercik kebanggaan yang menyentuh perasaannya, bahwa dewa-dewa sendirilah yang telah mengatur akhir dari hidupnya. Namun demikian Sri Baginda Kertajaya tidak menjadi kendor. Ia masih bertempur dengan sekuat tenaga. Di saat terakhir ia berkeinginan untuk melihat, apakah yang ada di dalam diri Sri Rajasa itu selanjutnya.
Para Senapati yang tidak mempunyai indera setajam Sri Baginda Kertajaya dan Mahisa Agni, tidak dapat melihat cahaya yang kemerah-merahan itu. Karena itu, mereka-pun menjadi semakin cemas, bahwa Sri Rajasa seakan-akan menjadi semakin terdesak. Namun yang tidak dapat mereka mengerti, dalam keadaan yang betapapun sulitnya, Sri Rajasa pasti dapat menyelamatkan diri. Seolah-olah mereka telah menyaksikan peristiwa yang tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi yang tidak mungkin itu ternyata benar-benar telah mereka lihat.
Bahkan sekali-kali Sri Rajasa itu terdorong demikian kerasnya, sehingga terbanting jatuh. Namun demikian cepatnya pula ia meloncat bangkit. Tidak hanya sekali dua kali. Tetapi berkali-kali. Namun demikian, tenaga Sri Rajasa sama sekali tidak kelihatan susut. Bantingan yang keras, desakan-desakan serangan yang membingungkan, sama sekali tidak mempengaruhi. Ia masih saja bertempur dengan gigih dan mantap.
Para Senapati Singasari yang tidak ikut di dalam pengejaran pasukan Kediri itu menjadi heran, seperti juga pemandi panji-panji pusaka dari Kediri yang masih berdiri mematung menyaksikan pertempuran itu. Sejenak kemudian justru Sri Baginda Kertajaya lah yang tampak menjadi lelah. Keringatnya telah terperas dari seluruh wadah kulitnya, dan nafasnya-pun telah mulai menjadi semakin cepat mengalir.
Perang tanding itu memang hampir tidak dapat masuk di akal setiap orang yang menyaksikannya. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Semakin lama Sri Baginda Kertajayalah yang justru kehilangan sebagian dari tenaganya. Namun Sri Baginda Kertajaya-pun sama sekali tidak menjadi cemas. Ia menyadari dengan siapa ia berhadapan. Apapun yang akan terjadi atasnya adalah kehendak dari Yang Maha Agung.
Dalam pada itu langit-pun menjadi semakin lama semakin gelap. Matahari yang terlindung itu-pun menjadi semakin rendah di ujung Barat, sehingga sinarnya sama sekali tidak dapat lagi menembus lapisan awan yang gelap. Guntur dan guruh saling bersahutan di langit dan lidah api-pun meloncat-loncat dengan dahsyatnya.
Beberapa orang prajurit dan Senapati yang tanggap akan sasmita alam itu-pun mulai mereka-reka apa yang kira-kira akan terjadi. Karena itu maka prajurit Kediri-pun menjadi semakin berkecil hati. Apalagi pasukan Singasari benar-benar telah mendesak mereka tanpa memberi kesempatan untuk mengatur diri di dalam gerakan mundur. Para Senapati di ke dua belah pihak, kini sudah meyakini, bahwa pasukan Kediri pasti akan pecah.
Di saat-saat guntur meledak di langit, dan di saat titik-titik air hujan jatuh satu-satu, tampaklah, bahwa Sri Kertajaya seakan-akan telah kehabisan tenaga. Meskipun demikian wajahnya masih tetap bening dan segar, bahkan sorot matanya yang pasrah telah membuatnya menjadi semakin tenang.
Dan akhirnya yang sudah diperhitungkan itu terjadilah. Di saat-saat terakhir, justru Sri Baginda Kertajaya lah yang selalu terdesak. Bukan karena ilmu Sri Rajasa melampaui kematangan ilmu Sri Baginda Kertajaya. Tetapi kekuatan yang tersembunyi, yang hanya tampak oleh Sri Baginda sendiri dan Mahisa Agni itulah yang telah menentukan akhir dari pertempuran itu.
Sejenak Mahisa Agni teringat, bagaimana pertama-tama ia bertemu dengan Ken Arok di padang Karautan. Di saat itu hantu itu sama sekali masih belum mengenal ilmu apapun juga. Namun sebagai seorang murid Empu Purwa yang terpercaya, ia sama sekali tidak berhasil mengalahkannya. Tanpa disadarinya Mahisa Agni itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Agaknya saat itu guru-pun telah melihat cahaya yang kemerah-merahan itu,” katanya di dalam hati.
Di saat-saat itulah teringat olehnya pusaka yang diterimanya dari gurunnya. Sebuah Trisula kecil. Kecil saja. Namun di saat ia mempergunakan trisula itu, Ken Arok yang lebih dikenal dengan julukan Hantu Karautan, sama sekali tidak berdaya melawannya. Trisula yang menurut gurunya langsung diterima dari langit. Ternyata bahwa senjata kecil itu telah membuat orang yang dikasihi oleh dewa-dewa ini menjadi silau, sehingga ia sama sekali tidak dapat memberikan perlawanan.
Terngiang suara Hantu Karautan saat itu, “Kau curang.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba terbersit di hatinya, “Betapapun saktinya Sri Rajasa, namun aku memiliki sesuatu yang dapat mengimbanginya.”
Dalam pada itu, pertempuran yang dahsyat itu-pun sudah mendekati pada saat-saat terakhir. Sri Baginda Kertajaya adalah seseorang yang memiliki tenaga yang tidak terkirakan besarnya. Namun melawan Sri Rajasa, tenaga itu seakan-akan begitu cepatnya terhisap. Karena itulah maka sejenak kemudian, kekuatannya sama sekali sudah tidak berdaya lagi untuk melawan sambaran pedang Sri Rajasa. Dengan kekuatan yang tidak terduga-duga besarnya, maka pedang itu-pun terayun dengan derasnya.
Sri Baginda Kertajaya melihat juga ayunan senjata itu. Tetapi tangannya seakan-akan telah membeku, sehingga dengan pasrah ia sama sekali tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian, maka pedang itu-pun segera terhunjam di dadanya. Dada Sri Baginda Kertajaya. Terdengar Sri Baginda berdesis. Namun kemudian ia tersenyum sambil bertelekan pada tangkai tombaknya. Katanya,
“Kau adalah lantaran dewa-dewa untuk memusnakan ketamakan kerajaan Kediri. Kaulah yang akan menyaksikan Kediri yang di saat ini akan runtuh. Karena itu, ingat-ingatlah Sri Rajasa. Jangan mengulangi kesalahan Kerajaan Kediri. Ketamakan, keangkuhan dan lupa diri. Tidak ada manusia yang dapat menyamai Yang Maha Agung. Aku ternyata juga tidak. Kau-pun tidak Sri Rajasa.” Baginda Kertajaya berhenti sejenak. Tetapi tampaklah bahwa ia menjadi semakin lemah, “Karena itu, pergunakanlah kehidupan Kediri yang lampau sebagai cermin bagi pemerintahanmu yang bakal datang.”
Sri Baginda tidak dapat berdiri tegak lagi. Sejenak ia terhuyung-huyung. Senapati yang setia, yang masih memegang panji-panji pusaka pada tunggul Kiai Gajah, mencoba untuk melangkah maju. Tetapi ternyata bahwa tubuhnya sendiri telah terlampau lemah, karena darah yang terlampau banyak mengalir dari luka-lukanya yang arang kranjang.
“O,” desis Sri Baginda yang masih bertelekan pada tangkai tongkatnya sambil terhuyung-huyung, “kau masih di situ?”
“Ampun Tuanku, hamba tidak dapat berbuat apa-apa lagi.”
“Terima kasih atas kesetiaanmu,” desis Sri Baginda, “sebentar lagi aku akan mati, kembali ke alam asal mulaku.”
“Hamba juga akan serta tuanku.”
Sri Baginda tersenyum. Kemudian ia berpaling kepada Sri Rajasa, “Sri Rajasa. Di saat-saat terakhir aku mempunyai permintaan kepadamu, apakah kau mengijinkan?”
Sejenak Sri Rajasa terdiam. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Sebutkan permintaan itu Sri Baginda Kertajaya.”
“Apakah kau mau melepaskan orang ini?”
Sri Rajasa tidak segera menjawab.
“Biarlah ia menghadap adik-adikku di istana. Adik-adik perempuan. Biarlah ia memberikan kabar kepada mereka, bahwa aku telah mati di peperangan. Mati sebagai seorang prajurit.”
Dada Sri Rajasa tersentuh juga mendengar permintaan itu. Sebagai seseorang yang berjiwa besar maka Sri Rajasa-pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak berkeberatan. Tetapi apakah Senapati mu itu masih mampu mencapai istana?”
Sri Baginda Kertajaya ragu-ragu sejenak. Namun Senapati itu berkata, “Hamba akan mati bersama tuanku.”
“Terima kasih. Tetapi aku akan lebih berterima-kasih lagi kalau kau dapat mengatakan kepada adik-adikku, kepada Dewi Amisani, Dewi Hasin dan Dewi Paya.”
Senapati itu menundukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Kalau itu perintah Tuanku, hamba akan melakukannya. Sudah tentu apabila tuanku kehendaki, apapun yang akan terjadi, aku pasti akan sampai ke istana.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya. Katanya terputus-putus, “terima kasih. Pergilah.”
Namun sebelum orang itu beranjak dari tempatnya, Sri Rajasa berkata, “Kau akan melalui medan yang pasti masih gawat dan berbahaya. Karena itu, biarlah ia dikawal oleh dua orang Senapati Singasari.”
Sri Baginda Kertajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pantaslah bahwa kau akan dapat menjadi seorang Maharaja yang besar dan bijaksana. Aku sangat berterima kasih atas kesempatan ini.”
Senapati Kediri itu-pun kemudian menyerahkan tunggul Kiai Gajah kepada Sri Kertajaya yang sudah tidak dapat berdiri tegak lagi. Ternyata bahwa Sri Rajasa telah mengijinkan Senapati itu diantar dengan naik kuda penghubung, menuju ke istana Kediri. Ketika kuda-kuda itu berlari meninggalkan Sri Baginta Kertajaya. maka Sri Baginda itu sudah tidak kuat lagi berdiri. Hampir saja ia terjatuh, kalau Mahisa Agni tidak cepat menyambarnya.
“Terima kasih,” desis Sri Baginda Kertajaya, “aku sudah tidak kuat lagi.”
Perlahan-lahan Mahisa Agni-pun melayaninya dan dibaringkannya Sri Baginda itu di tanah, sedang kepalanya diletakkannya di atas lengannya.
“Ternyata orang-orang Singasari adalah orang-orang yang baik,” desisnya, “tetapi, kaukah yang bernama Mahisa Agni?”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
“Pantas, kau mampu membunuh Gubar Baleman,” suaranya menjadi semakin lambat, “tetapi kalian adalah kekasih dewa-dewa. Peliharalah kerajaan Singasari yang sudah kalian rintis itu dengan baik, supaya kalian tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang serupa seperti yang dialami oleh Kediri.”
Sri Rajasa-pun kemudian berjongkok pula di sampingnya. Sambil mengangguk ia berkata, “Ya. Aku akan menjaga Singasari dengan sebaik-baiknya.”
Sri Baginda tersenyum sejenak. Namun kemudian matanya-pun terkatub rapat-rapat. Tarikan nafasnya yang terakhir telah membuat kepala Mahisa Agni dan Sri Rajasa tertunduk dalam-dalam.
“Seorang Raja yang besar telah gugur,” desis Mahisa Agni.
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti pada saat gugurnya Mahisa Walungan, maka Sri Rajasa-pun memerintahkan agar jenazah Sri Baginda Kertajaya diselenggarakan sebaik-baiknya seperti lazimnya bagi para pahlawan yang mempertahankan keyakinannya.
Demikianlah maka Sri Baginda Kertajaya yang semula merasa dirinya sebagai pengejawantahan Dewa-dewa tertinggi di langit. pada saat-saat terakhirnya telah berhasil melihat ke dalam dirinya sendiri, bahwa bagaimana-pun juga kurnia yang diterimanya. namun ia tidak akan dapat menyamai Yang Maha Agung, yang melimpahkan kurnia itu kepada manusia.
Dalam pada itu. Senapati Kediri yang telah terluka itu-pun berpacu dilayani oleh seorang Senapati Singasari, dan dikawani oleh Senapati Singasari seorang lagi. Ketika di hadapan mereka tampak debu yang mengepul tinggi. Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Di medan itulah-prajurit di ke dua belah pihak sendang bertempur mati-matian.
Dalam pada itu ketika tiba-tiba hujan tercurahkan dari langit Senapati Kediri yang sudah lemah itu-pun berpaling. Perlahan-lahan ia berdesis, “Sri Baginda Kertajaya pasti telah gugur.”
“Darimana kau tahu?”
“Hujan yang tercurahkan dari langit bukan pada musimnya, guruh yang meledak-ledak dan awan yang hitam kelabu.”
Senapati Singasari itu-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak menjawab. Ketika kuda-kuda itu mendekati medan, tiba-tiba beberapa orang prajurit Singasari datang menyergap. Namun mereka tertegun ketika mereka melihat bahwa di antara mereka yang berkuda itu adalah Senapati Singasari sendiri. Bahkan ada di antara para prajurit itu yang sudah mengenalnya.
“Aku mengemban perintah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi,” teriak salah seorang Senapati itu, sehingga, para prajurit itu-pun kemudian menarik diri. Demikianlah setiap kali mereka harus menyatakan perintah itu, sehingga pada akhirnya mereka melampaui medan, yang dikuasai oleh pasukan Singasari.
Namun di seberang medan itu, prajurit Kediri yang terluka itulah yang setiap kali menghalau prajurit-prajurit Kediri yang mencoba menghalanginya, “Dengarlah,” katanya, “ini adalah perintah terakhir dari Sri Baginda Kertajaya.”
“Kenapa terakhir?”
Senapati itu merenung sejenak, namun kemudian ia memutuskan bahwa tidak ada gunanya lagi merahasiakan gugurnya Sri Baginda Kertajaya. Karena menilik medan yang semakin bergeser itu. keadaan prajurit Kediri sudah menjadi, semakin payah.
“Sri Baginda telah gugur.”
“He?”
Senapati itu tidak menyahut lagi. Tetapi dilanjutkannya perjalanannya menuju ke istana. Kedatangan Senapati yang luka parah, diantar oleh orang-orang Singasari itu menimbulkan persoalan pada para pengawal. Tetapi akhirnya mereka tidak dapat menolak, ketika dengan dada tengadah para Senapati Singasari itu melepaskan senjata mereka sambil berkata, “Kalau kalian meragukan niat baik kami.”
Dengan demikian, maka prajurit Kediri yang luka itu-pun dipapah oleh para prajurit Singasari sampai mereka masuk ke keputren. Beberapa orang hamba istana menyaksikan hal itu dengan herannya. Selagi di medan yang dahsyat ke dua belah pihak bertempur dengan dahsyatnya, bahkan saling membunuh, namun di sini kedua prajurit Singasari itu memapah orang-orang Kediri seperti melayani kawan mereka sendiri.
“Itulah buktinya, bahwa perang bukanlah tujuan para prajurit. Pada suatu saat, mereka akan mengenakan pribadi mereka masing-masing. Manusia dan kemanusiaan,” berkata salah seorang hamba istana yang berambut putih.
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Di sini mereka melihat dua dunia yang terpisah dari golongan yang sama. Prajurit yang berperang, dan prajurit yang berpelukan dan saling menyatakan sikap kemanusiaan mereka.
Adik-adik Sri Baginda terkejut melihat kedatangan prajurit itu. Sejenak mereka menjadi ketakutan. Tetapi akhirnya mereka mengenal bahwa yang seorang itu adalah seorang Senapati Kediri, pengawal Sri Baginda Kertajaya yang setia. Sebelum prajurit itu mengatakan sesuatu. Dewi Amisani telah berlari-lari kepadanya sambil bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“Ampun tuan Puteri, hamba mengemban perintah Sri Baginda.”
“O. jadi Kakanda Baginda masih selamat?”
Senapati itu tidak menjawab.
“Tetapi siapakah orang-orang ini?”
“Mereka adalah para Senapati dari Singasari.”
“He,” Dewi Amisani terkejut, “kenapa mereka kau bawa kemari?”
“Merekalah yang membawa hamba kemari Tuan Puteri, karena hamba sudah tidak berdaya lagi.”
Dewi Amisani dan adik-adiknya yang telah mendekat menjadi heran mendengar jawaban itu.
“Hamba sudah terluka parah. Dan hamba harus menyampaikan pesan kakanda Sri Baginda Kertajaya.”
“Tetapi, tetapi bukankah Kakanda Baginda selamat,” bertanya Dewi Paya, adik bungsu Sri Baginda.
“Di manakah sekarang Kakanda Baginda?” bertanya pula Dewi Hasin.
Senapati yang terluka itu menjadi termangu-mangu. Sejenak dipandanginya wajah Senapati-senapati dari Singasari itu. Tetapi, mereka menundukkan kepala mereka. Di peperangan mereka, selalu behadapan dengan mata sambil menengadahkan dadanya. Tetapi di sini mereka tidak berhadapan dengan maut itu, tetapi dengan kemanusiaan.
Baik para Senapati itu, maupun ketiga puteri Adinda Sri Baginda Kediri, sejenak dicengkam oleh kebekuan. Masing-masing saling berpandangan, tetapi seakan-akan mereka tidak dapat mengatakan sesuatu.
Baru sejenak kemudian justru salah seorang Senapati dari Singasarilah yang berkata sambil menundukkan kepalanya, “Ampun Tuan Puteri, sebenarnya bahwa Senapati ini membawa pesan terakhir Sri Baginda Kertajaya.”
“Kenapa terakhir?” hampir bersamaan ketiga puteri itu bertanya serentak. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan tegang.
“Berkatalah,” desis Senapati Singasari itu sambil mengguncang tubuh Senapati Kediri yang masih tergantung pada dua orang Singasari. Tetapi Senapati itu masih berdiam diri sambil menundukkan kepalanya dalam.
“Berbicaralah,” desis Senapati Singasari yang lain. Tetapi keduanya menjadi termangu-mangu sejenak. Tubuh itu serasa menjadi semakin berat tergantung di pundak mereka.
Ketika salah seorang dari mereka mencoba memandangi wajahnya yang pucat, maka Senapati Singasari itu terkejut. Prajurit Kediri sudah terlampau lemah.
“Berbicaralah,” desis Senapati Singasari itu. Dengan lemahnya ia menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih sekali, “Aku tidak sampai hati mengatakannya.”
“Tetapi harus. Kau harus mengatakan.”
“Ya. katakanlah,” sahut Dewi Amisani, “katakanlah apa yang sudah terjadi dengan Kakanda Baginda.”
“Tuan Puteri,” suara itu sudah hampir tidak terdengar, “hamba, hamba…”
“Ya, katakan,” desis Amisani yang mendekatinya sambil mendekatkan telinganya kemulut Senapati itu.
“Ampun Tuan Puteri. Sri Baginda telah gugur di peperangan.”
“Gugur?” dewi Amisani hampir menjerit.
Prajurit itu mengangguk dengan lemahnya. lalu lemah pulalah seluruh tubuhnya. “Prajurit ini-pun sudah meninggal,” desis salah seorang Senapati Singasari.
“O,” Dewi Amisani menutup mulutnya yang hampir berteriak. Tetapi tiba-tiba saja kedua adiknyalah yang berteriak serempak, sehingga para emban menjadi terkejut karenanya, dan berlari-lari mendekatinya. Kalau para emban tidak menangkapnya, maka kedua puteri itu pasti sudah jatuh di lantai. karena tubuh mereka menjadi lemah seperti tidak bertulang lagi.
“O,” Dewi Amisani kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, “Kakanda Baginda telah gugur.”
“Kalian pembunuh,” tiba-tiba Dewi Paya, adik Sri Baginda Kertajaya yang bungsu berteriak nyaring, “kalian, orang-orang Singasari telah membunuh Kakanda Baginda dan utusannya.”
Dada kedua Senapati itu berdesir tajam, tetapi mereka tidak menjawab sama sekali. Tiba-tiba saja puteri yang sudah hampir kehilangan kekuatannya itu meloncat berlari, menyambar tombak yang terpancang di sudut ruangan. “Kubunuh kau. Kubunuh kau yang telah membunuh Kakanda Baginda.”
Kedua Senapati terimangu-mangu sejenak. Untunglah para emban berhasil mencegahnya, dan Dewi Amisani mencoba menenteramkannya, “Paya. Sadarilah dirimu. Kakanda Baginda gugur di peperangan sebagai seorang pahlawan.”
“Tetapi orang-orang Singasari adalah pembunuh.”
Dewi Amisani mengusap dadanya. Ia sendiri menjadi sangat bersedih karena kematian Sri Baginda Kertajaya. Tetapi agaknya ia sudah lebih matang, menanggapi keadaan daripada kedua adik-adiknya. Karena itu. maka didapatkannya adiknya yang bungsu itu. Sambil membelai rambutnya yang ikal ia berkata, “Jangan menjadi bingung adikku. Adalah menjadi salah satu pilihan dari para prajurit. Menang atau gugur di peperangan. Kali ini kanda telah gugur sebagai seorang pahlawan. Jangan menyalahkan lawan.”
“Kakanda Puteri,” Dewi Paya meloncat memeluk Dewi Amisani seperti anak-anak, sambil meledakkan tangisnya yang tidak tertahan lagi.
Dewi Amisani masih membelai rambut adiknya yang kini ada di dalam pelukannya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Dewi Hasin-pun duduk sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. “Adik-adikku,” berkata Dewi Amisani, “marilah, ikutlah aku masuk keruang dalam.”
“Tetapi, bagaimana dengan kakanda Sri Baginda?” bertanya Dewi Hasin.
“Kakanda Baginda telah kembali kealam dewa-dewa.”
“Lalu. bagaimanakah dengan kita kakanda Puteri?”
“Marilah, ikutlah aku. Aku akan berbicara dengan kalian.”
Ketiga Puteri itu-pun pergi meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apapun kepada kedua prajurit Singasari yang masih berdiri termangu-mangu. Setelah kedua puteri itu hilang, maka diletakkannya prajurit Kediri yang telah gugur itu, dan dibaringkannya di lantai istana.
“Apakah yang akan dikerjakan oleh ketiga puteri itu?” desis salah seorang Senapati Singasari itu.
Senapati yang lain mengerutkan keningnya, “Mereka akan memuja untuk arwah Sri Baginda. Tetapi mungkin juga untuk keperluan yang lain.”
Senapati yang pertama mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Katanya, “Kita menunggu sejenak. Mungkin mereka memerlukan bantuan kita.”
“Ya,” sahut yang lain, “agaknya mereka menjadi sangat bersedih atas kematian Sri Baginda Kertajaya.”
“Sudah tentu. Mereka adalah adik-adik Sri Baginda.”
Senapati yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terasa sesuatu menyentuh jantungnya. Ia tidak merasakan getaran seperti saat itu, di dalam keadaan yang paling gawat sekali-pun. Sejenak kedua Senapati dari Singasari itu berdiri termangu-mangu. Namun adik-adik Sri Baginda Kertajaya itu tidak menampakkan diri lagi. Meskipun demikian, kedua Senapati itu tidak segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Dalam pada itu, ketiga puteri itu-pun segera memasuki ruang dalam istana. Setelah berbicara sejenak, maka mereka-pun segera pergi kepakiwan. “Waktu kita tinggal sedikit,” berkata Dewi Amisani, “kita harus segera selesai. Aku tidak sudi menerima siapapun masuk ke dalam istana ini, apalagi berhubungan dengan mereka dalam bentuk apapun.”
“Aku sependapat dengan keputusan itu,” hampir bersamaan kedua adik-adiknya menyahut.
“Marilah adik-adikku,” ajak Dewi Amisani.
“Marilah kakanda Puteri.”
Mereka-pun kemudian mengurai rambut-rambut mereka yang hitam dan panjang. Kemudian menyiramnya dengan air yang diberinya wewangian dan bunga-bunga.
“Tuan Puteri,” bertanya seorang emban yang melayani ketiga puteri itu, “apakah yang akan Tuanku lakukan?”
“Aku adalah Adinda Sri Baginda Kertajaya dan adinda kakanda Mahisa Walungan.”
“Ya. demikianlah yang hamba ketahui.”
“Keduanya telah gugur di medan peperangan.”
“Lalu?”
“Tidak ada yang pantas mengganti kedudukan mereka, sebagai Senapati Agung, selain kami bertiga.”
“Tuan Puteri. Tuanku adalah Puteri. Puteri yang tidak pernah mengenal tajamnya senjata.”
“Sudahlah emban. Sediakan apa yang aku perlukan.”
“Tuanku.”
Dewi Amisani tersenyum, meskipun senyumnya adalah senyum yang penuh dengan rahasia. Emban yang melayaninya tidak bertanya lagi meskipun masih juga selalu dibayangi oleh keheranan. Beberapa orang emban yang lain-pun menjadi bertanya-tanya di dalam hati, apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh ketiga puteri itu. Sejenak kemudian, setelah ketiganya selesai dengan membasahi rambut mereka dengan wewangian dan bunga-bungaan. Maka mereka-pun kemudian masuk ke dalam bilik mereka.
“Tunggulah di luar emban,” berkata Dewi Amisani.
Embannya menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak berani memaksa untuk ikut serta masuk ke dalam bilik itu. Di dalam bilik, ketiga puteri itu-pun kemudian mengemasi diri mereka. Mereka mengenakan pakaian mereka. Bukan pakaian yang gemerlapan dihiasi dan disulami dengan benang-benang emas. tetapi mereka telah mengenakan pakaian mereka yang serba putih.
Sejenak kemudian mereka-pun telah selesai berpakaian. Dengan tanpa ragu-ragu mereka-pun kemudian mengambil beberapa helai pusaka istana, dan mengenakan di lambung mereka. Masing-masing sebilah patrem. Ketika mereka keluar dari dalam bilik, maka para emban-pun menjadi semakin cemas.
Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk bertanya, “Tuan Puteri. apakah yang akan tuan Puteri lakukan?”
Dewi Amisanilah yang menjawab, “Sudah aku katakan bukan. Tidak ada orang lain yang wajib mengangkat diri menjadi Senapati Agung, selain kami bertiga.”
“Tetapi, tetapi…” Sekali lagi emban itu melihat senyum yang tersungging di bibir Dewi Amisani.
“Kami akan ke Sanggar Pamujan sejenak. Setelah itu, barulah kami akan melakukan kewajiban kami.”
Ketika ketiga Puteri itu berjalan ke Sanggar Pamujan, maka para emban itu-pun mengikutinya. Semakin lama semakin banyak. Bahkan hamba-hamba istana yang lain-pun mengikutinya pula di belakang. Sejenak kemudian maka keliga Puteri itu-pun telah memasuki Sanggar Pamujan. Dengan khusuk mereka mengheningkan cipta, mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung. Setelah mereka selesai dengan pemujaan itu, maka mereka-pun segera keluar pula dari dalam sanggar.
Di depan pintu sanggar ketiga puteri itu menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya emban-emban yang selama ini telah melayani mereka dengan baik. Mengawani mereka di dalam suka dan duka.
“Tuan Puteri,” seorang emban tiba-tiba saja telah memeluk kaki Dewi Amisani, “ke manakah Tuan Puteri akan pergi? Jangan tinggalkan kami. Peperangan bukanlah tempat Tuan Puteri bermain. Karena itu sebaiknya Tuan Puteri tinggal di istana ini saja bersama kami.”
“Emban,” jawab Dewi Amisani, “kedua kakak-kakak kami telah gugur di peperangan. Kakanda Kertajaya dan kakanda Mahisa Walungan. Sebentar lagi pasukan Singasari pasti akan memasuki telatah Kotaraja dan sudah tentu akan memasuki istana ini. Maka apakah pantas bagi kami bertiga, sepeninggal kakak-kakak kami, kemudian kami menerima orang-orang Singasari itu?”
“Jadi maksud Tuanku?”
“Apakah aku harus mengulangi keputusanku?”
“Tuanku,” emban itu-pun kemudian menangis sejadi-jadinya. Bahkan beberapa emban yang lain-pun telah menitikkan air mata pula. Apalagi ketika mereka memandang wajah puteri bungsu. Dewi Paya. Puteri yang masih terlampau muda. Sedang pada wajahnya seakan-akan terbayang kebeningan hati seorang gadis remaja yang sedang meningkat dewasa.
Seorang emban yang gemuk tidak dapat menahan hati lagi. Tiba-tiba saja berlari dan memeluk kedua Puteri terkecil. Dewi Paya dan Dewi Hasin. Dengan air mata yang berlinang-linang ia berkata, “Ampun Dewi. Hamba tidak sampai hati melihat Tuan Puteri berdua yang sedang bersedih.”
Kedua puteri itu-pun saling berpandangan. Pandangan dua orang gadis yang bersih seolah-olah tanpa cacat, sehingga justru sikapnya itu telah membuat emban yang gemuk itu semakin iba. Tetapi Dewi Amisani kemudian berkata,
“Marilah kita bersikap sebagai keluarga terdekat dari Maharaja Kediri, Jangan cengeng seperti anak-anak. Saat ini bukanlah waktunya,” Dewi Amisani berhenti sejenak, lalu, “sebentar lagi pasukan Singasari pasti sudah akan memasuki ruangan ini dan setiap ruangan di dalam istana. Kami bertiga akan menunggu mereka di paseban. dan akulah yang akan duduk di singgasana.”
“Dewi,” para emban itu berdesah.
Tetapi Dewi Amisani sudah berkeras hati untuk pergi keruang paseban dalam. Ruang yang selalu dipakai oleh Sri Baginda antuk berbincang dengan lingkungan yang agak terbatas. Ketika ketiga puteri itu memasuki paseban. maka beberapa orang emban akan mengikutinya. Namun Dewi Amisani berkata, “Biarlah kami bertiga saja yang akan menemui mereka apabila pemimpin mereka memasuki ruang ini.”
Tidak seorang emban dan hamba istana-pun yang berani memaksa. Mereka dengan gelisah menunggu di luar pintu bersama dua orang prajurit Kediri yang sedang bertugas. Sedang di ruangan lain dua orang Senapati Singasari berdiri termangu-mangu. Mereka tidak tahu apakah yang sebaiknya mereka lakukan atas ketiga puteri adik Sri Baginda Kertajaya itu. Yang dapat mereka perbuat hanyalah menunggu. Sebah mereka-pun yakin. bahwa pasukan Singasari pasti akan memasuki istana ini meskipun seandainya hari akan disaput oleh gelapnya malam.
Seisi istana itu menjadi berdebar-debar oleh guntur yang sahut menyahut di udara. Hujan yang lebat-pun kemudian seolah-olah tercurah dari langit, sehingga suasana di seputar istana itu menjadi suram, sesuram hati ketiga puteri yang kini sudah memasuki paseban dalam. Dalam curahan hujan yang deras, dan senja yang mendatang, maka pasukan Singasari telah merayap maju memasuki seluruh bagian kota. Para prajurit Kediri tidak dapat lagi bertahan setelah orang-orang kebanggaan mereka gugur di peperangan. Karena itu, maka suatu saat perlawanan para prajurit Kediri benar-benar telah patah.
Demikianlah, maka di saat-saat gelap malam mulai menyentuh bumi Kediri yang pernah menguasai daerah yang luas, pasukan Singasari telah memenuhi seluruh Kota Raja. Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi sendirilah yang memimpin induk pasukannya bersama dengan Mahisa Agni memasuki gerbang istana Kediri. Beberapa orang petugas di pintu-pintu gerbang tidak dapat berbuat apa-apa selain menyerahkan senjata-senjata mereka. Kedua Senapati Singasari yang telah berada di halaman istana itu-pun segera menyongsong pasukan Singasari yang basah kuyup namun memanggul kemenangan itu.
Sri Rajasa yang melihat kedua Senapati itu-pun segera bertanya, “He, apakah pesan Sri Baginda Kertajaya sudah disampaikan kepada adik-adiknya?”
“Hamba Tuanku,” jawab salah seorang dari kedua Senapati itu.
“Di mana Senapati Kediri itu sekarang?”
“Sayang, ia-pun telah menghembuskan nafasnya yang penghabisan.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya-pun terangguk-angguk. “Di mana keluarga Sri Kertajaya yang terdekat itu sekarang? Aku ingin menemui mereka. Aku harus menjelaskan, bahwa tidak ada permusuhan di antara kita. Bahwa Singasari terpaksa menyerang Kediri adalah karena cita-cita penyatuan dari daerah yang menjadi terpecah belah karena kekeliruan sikap dan tindakan Sri Kertajaya.”
“Mereka ada di dalam istana. Tuanku.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Bersama pimpinan tertinggi Singasari mereka-pun kemudian memasuki pusat bangunan istana setelah mereka melampaui beberapa longkangan dan gerbang-gerbang di setiap bagian. “Apakah mereka berada di Keputren?” bertanya Sri Rajasa.
“Mungkin Tuanku. Tetapi mungkin pula tidak. Mereka meninggalkan kami dan tidak muncul kembali.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak kemudian ia menunjuk kesuatu sudut yang agak terang, “Kau lihat beberapa orang emban yang berkumpul itu?”
“Hamba Tuanku.”
“Panggillah mereka.”
Senapati itu-pun kemudian memanggil beberapa emban yang berdesak-desakan karena ketakutan. Prajurit-prajurit lawan yang memasuki istana dengan membawa kemenangan kadang-kadang bertingkah laku kasar dan mengerikan. Tetapi justru yang memimpin para prajurit itu Sri Rajasa sendiri, maka para prajurit-pun tidak berani berbuat sekehendak hati mereka...
Itulah sebabnya, maka pada puncak pertempuran itu, Mahisa Walungan yang kemudian terkejut bukan buatan. Hampir ia tidak dapat mempercayai tangkapan matanya sendiri. Di dalam cahaya matahari yang semakin tinggi, ia melihat bayangan yang kemerah-merahan membara di atas kepala Ken Arok. yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Dalam kemarahan yang memuncak, maka warna merah itu-pun menjadi semakin nyata, meskipun hanya dapat ditangkap oleh orang-orang tertentu yang mempunyai sentuhan indera yang lebih baik dari orang-orang kebanyakan, seperti Mahisa Walungan.
Namun akhirnya, Mahisa Walungan yang mempunyai pandangan yang jauh dan matang terhadap dunia raya di sekitarnya dan dunia kecil pada dirinya, segera dapat menanggapi keadaan. Sebenarnyalah bahwa lawannya bukannya manusia kebanyakan. Di sini ia melihat siapakah yang sebenarnya kekasih Yang Maha Agung. Bukan karena lawannya Sri Rajasa adalah Sang Amurwabumi adalah orang yang paling dikasihi oleh dewa-dewa. Tetapi orang itu, hanya sekedar alat untuk menumbangkan ketamakan yang selama ini telah mencengkam Kediri.
“Bukan kakanda Sri Kertajaya,” berkata Mahisa Walungan di dalam hatinya, “agaknya Kakanda Sri Kertajaya justru telah dikutuk oleh dewa dengan perantaraan orang ini.”
Namun meskipun demikian, Mahisa Walungan tidak menghentikan perlawanannya. Tetapi mata hatinya seolah-olah telah melihat akhir dari peperangan ini. Karena itulah maka ia justru menjadi tenang. Dihadapinya lawannya dengan penuh kesungguhan namun pasrah kepada penciptanya Yang Maha Agung. Siapapun yng telah menggerakkan Sri Rajasa, lahiriah maupun batiniah, namun semua itu pasti merupakan pengejawantahan dari kehendak Yang Maha Tunggal, pusar dari semua perputaran langit dan bumi, yang besar yang meliputi alam raya dan yang kecil di dalam dirinya, namun juga yang menjadi sumber dari segala gerak dan kehendak dewa-dawa di langit yang
menjadi peraganya dalam segala susunan dan kejadian. Dalam pada itu, Gubar Baleman-pun telah bertempur dengan sekuat tenaganya. Sebagai seorang Senapati tertinggi di samping Mahisa Walungan, maka Gubar Baleman-pun adalah seorang yang pilih tanding. Berpuluh tahun ia berguru di samping latihan-keprajuritan yang matang, sehingga di dalam dirinya telah tersimpan bekal yang rangkap untuk melakukan tugasnya. Dan kini ternyata bahwa ia adalah Senapati yang mumpuni.
Di dalam peperangan ini ternyata ia menjumpai seorang Senapati Singasari yang tidak disangkanya. Sebelumnya, sebagai seorang Senapati tertinggi di kerajaan Kediri, ia mengenal beberapa orang pemimpin Tumapel pada saat-saat Tunggul Ametung memegang kekuasaan, karena Tumapel termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Kediri yang besar. Tetapi Gubar Baleman belum pernah mengenal orang ini. Bersamaan dengan timbulnya Ken Arok di dalam tampuk pimpinan pemerintahan Tumapel yang kemudian menyebut dirinya Kerajaan Singasari, ternyata telah timbul pula beberapa orang perwira yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Gubar Baleman telah mendengar pula, bahwa Witantra telah tersisihkan. Namun ia tidak menyangka, bahwa telah lahir seorang Senapati yang melampui kemampuan Witantra yang saat itu merupakan orang yang paling disegani di Tumapel di samping Tunggul Ametung sendiri. Tetapi kini yang dihadapinya adalah seorang Senapati yang bernama Mahisa Agni, yang pasti agak lebih muda dari Witantra sendiri. Namun menurut penilaian Gubar Baleman, orang yang bernama Mahisa Agni ini telah memiliki kemampuan puncak di dalam olah kanuragan.
Dengan demikian maka perang di antara kedua pasukan yang dipimpin oleh Senapati-senapati yang tangguh itu menjadi semakin sengit. Hanya karena jumlahnya yang tidak seimbang sajalah yang membuat pasukan Kediri selalu terdesak.
Sementara, api peperangan membakar medan di sebelah Utara Ganter, pasukan yang berada di pinggir kota, yang ditinggalkan oleh Pujang Warit menjadi gelisah. Mereka mengerti bahwa Kediri terancam oleh bahaya yang benar-benar mencemaskan. Tetapi kini mereka dibiarkan duduk bertopang dagu sambil menunggu.
“Apakah yang dilakukan oleh Pujang Warit di istana?” bertanya salah seorang dari para prajurit itu.
“Tidur. Mungkin ia tertidur.”
“Lalu apa yang dapat kami lakukan di sini.”
“Juga tidur.”
Mereka-pun terdiam. Beberapa orang Senapati berjalan hilir mudik tidak menentu. Sekali-kali dipandanginya sepasukan prajurit yang bertebaran di jalan-jalan dan di halaman-halaman rumah. Sedang para penghuninya hanya berani mengintip dari celah-celah daun pintu yang merenggang. Mereka menjadi sangat cemas karena mereka mendengar bahwa api peperangan telah berkobar di sebelah Utara Ganter.
“Apa kerja mereka di sini?” bertanya seorang perempuan kepada suaminya yang telah sama-sama tua.
Suaminya menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Dahulu ketika aku muda, sepengetahuanku, prajurit-prajurit itu berada di medan perang. Tetapi kini prajurit-prajurit berada di jalan-jalan dan di halaman-halaman sambil bertiduran.”
Tetapi mereka tidak berani bertanya, kenapa prajurit-prajurit itu tidak berada di medan.
“Aku akan menyusul,” berkata seorang Senapati di antara para prajurit yang gelisah itu, “sejak semula aku sudah tidak setuju, bahwa pasukan ini ditarik dari medan. Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Kalau kita harus menyusun pertahanan terakhir, kenapa kita dibiarkan saja tanpa perintah apapun?”
“Jangan,” kawannya memperingatkan, “lebih baik kita ambil alih pimpinan selama Pujang Warit tidak ada. Kita susun sendiri pertahanan di dalam dinding kota. Kita siapkan semua kekuatan yang sekarang ada, sambil menunggu pasukan cadangan yang masih akan berkumpul.”
“Aku tidak tahu, apakah kita telah melakukan sesuatu yang benar dipandang dari sudut keprajuritan. Menurut penilaianku, kalau kita gabungkan kekuatan kita dengan pasukan Adinda Sri Baginda, maka kita pasti akan dapat membendung pasukan Singasari itu.”
“Itu bukan persoalan kita.” jawab kawannya, “marilah kita manfaatkan waktu yang tersia-sia ini.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Siapakah yang tertua di antara kita, kami akan tunduk pada pimpinannya.
Para prajurit yang dibawa oleh Pujang Warit masuk ke kota itu-pun kemudian mengatur diri mereka sendiri di bawah pimpinan seorang Senapati yang mereka anggap tertua. Bagaimana-pun juga, namun jiwa prajurit Kediri yang mengalir di dalam dada mereka telah memaksa mereka untuk berbuat sesuatu, justru pada saat Kediri terancam.
Sementara itu, Pujang Warit yang berada di istana sedang melakukan perang tanding melawan Sri Baginda Kertajaya. Meskipun ia tidak pernah berangan-angan bahwa pada suatu ketika ia medapat kehormatan untuk melakukannya namun di saat-saat ia tersudut di dalam suatu keharusan, maka ia-pun benar-benar telah bertekad untuk melakukan perang tanding sebaik-baiknya. Kalau ia kalah, ia pasti benar-benar akan mati. Tetapi kalau ia mendapat kesempatan memenangkan perang tanding itu, maka sudah tentu janji yang dibuat Sri Baginda akan ditaati oleh para Senapati bawahan yang ada di lingkaran perang tanding itu.
Demikianlah, maka perang tanding itu-pun segera dimulai. Sri Baginda Kertajaya dengan pedang prajuritnya, melawan Pujang Warit yang mempergunakan pedang pusakanya sendiri. Mula-mula memang terasa canggung bagi Pujang Warit untuk berkelahi melawan Sri Baginda. Tetapi Sri Baginda yang melihat kecanggungan itu-pun berkata,
“Perang tanding ini harus adil. Karena itu jangan segan, sebab kalau pedangku menusuk dadamu, kau akan benar-benar mati. Bukan sekedar berpura-pura mati.”
Pujang Warit menggeretakkan giginya untuk mendapatkan keberanian sepenuhnya. Sejenak ia berusaha menghilangkan segala macam kesan dan anggapannya terhadap Sri Baginda, “Ia manusia biasa seperti aku.” geramnya di dalam hati. Dengan demikian maka perlahan-lahan Pujang Warit dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang mengungkungnya.
Perang tanding itu-pun semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata Sri Baginda telah berusaha membangkitkan nafsu pada lawannya untuk melawannya dengan sungguh-sungguh. Ketika tangan Pujang Warit telah mulai dibasahi oleh keringat maka tandangnya-pun menjadi semakin bebas. Ternyata bahwa Pujang Warit memang seorang Senapati muda yang mempunyai beberapa kelebihan. Gerakannya yang lincah dan tangguh, ayunan senjatanya yang mantap dan serangannya yang cepat, telah meyakinkan para prajurit yang melihat perang tanding itu, bahwa Pujang Warit bukanlah seorang prajurit yang hampa.
Sri Baginda-pun semakin lama semakin menyadari, bahwa lawannya memang mempunyai beberapa kelebihan dari para Senapatinya yang lain. Dan kelebihan-kelebihan inilah agaknya yang telah membuat Pujang Warit menjadi congkak, sehingga kehilangan keseimbangan. Senapati muda ini merasa bahwa ia mempunyai kemampuan yang cukup untuk memegang jabatan tertinggi di dalam tata keprajuritan di Kediri.
Tetapi Sri Baginda Kertajaya adalah seorang raja yang perkasa. Itulah sebabnya, maka betapapun Pujang Warit berusaha menekan Sri Baginda dengan serangan-serangan yang mengalir seperti banjir, namun serangan-serangan itu hampir tidak berpengaruh sama sekali atas kedudukan Sri Baginda.
Setelah perang tanding itu berjalan beberapa lama, maka tampaklah perbandingan dari keduanya. Betapapun juga Pujang Warit mengerahkan kekuatan dan kemampuannya, namun ia sama sekali tidak akan darat menembus pertahanan Sri Baginda yang serapat perisai baja. Debar di dada Pujang Warit semakin lama menjadi semakin cepat. Ternyata bahwa Sri Baginda benar-benar seorang raja yang tidak saja pandai memerintah, tetapi juga memiliki kemampuan untuk memaksakan perintahnya.
“Jangan sekedar bermain-main Pujang Warit. Aku bersungguh-sungguh. Anggaplah bahwa aku adalah pemangku jabatan penglima tertinggi pasukan Kediri yang kau inginkan itu, karena sebenarnyalah bahwa Mahisa Walungan tidak ada bedanya dengan aku sendiri. Kami adalah saudara kandung dan saudara seperguruan. Ilmuku sama dengan ilmu Mahisa Walungan. Kemampuannya sama dengan kemampuanku. Bahkan ia agak lebih muda daripadaku, sehingga kekuatan jasmaniahnya masih lebih baik daripadaku.”
Pujang Warit menggeram. Kelincahannya tidak berhasil menembus putaran pedang Sri Baginda. “Aku tidak akan dapat mengalahkannya dengan wantah,” katanya di dalam hati.
Sekilas terlintas di angan-angannya kekuatan yang oleh gurunya diturunkannya kepadanya. Kekuatan yang melampaui kekuatan jasmaniah yang tampak. Gurunya telah memberikan ilmu kepadanya, untuk membangunkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Tenaga cadangan yang tersimpan, yang tidak pada setiap orang dapat dikuasai dan dipergunakan, pada Pujang Warit kekuatan itu sudah dapat dibangunkannya. Itulah sebabnya, maka ketika ia merasa bahwa ia tidak lagi berpengharapan untuk memenangkan perang tanding itu dengan cara yang wajar, maka ia-pun telah bertekad untuk membangunkan ilmu yang dimilikinya dari perguruannya.
“Aku tidak mau mati,” katanya di dalam hati, “seandainya setelah memenangkan perang tanding ini para Senapati pengawal tidak mentaati taruhan Sri Baginda, apa boleh buat. Tetapi tanpa berbuat begitu-pun aku akan mati pula di arena ini. Sedang mati itu tidak akan dapat terulang sampai dua kali.”
Dengan demikian, maka Pujang Warit-pun berketetapan hati untuk mengakhiri perang tanding itu dengan ilmunya yang dahsyat. Sejenak kemudian Pujang Warit itu-pun melangkah surut. Sekejap ia memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya, sehingga tampaklah seakan-akan dari ubun-ubunnya mengepul uap yang putih. Demikian mapannya ia menguasai ilmunya, sehingga ia sama sekali tidak membuang waktu terlampau banyak. Ketika kemudian ia menggeretakkan giginya. maka kekuatan pamungkasnya itu-pun sudah terbangun dan mengulir di seluruh tubuhnya.
Sri Baginda yang memiliki ilmu hampir sempurna segera melihat, bahwa lawannya telah membangunkan ilmunya yang tertinggi. Ungkapan segenap kekuatan yang ada di dalam diri, agaknya benar-benar akan merupakan kekuatan yang luar biasa, sehingga dengan demikian Sri Baginda tidak akan dapat melawannya dengan kekuatan wajarnya. Tetapi Sri Baginda Kertajaya, Maharaja di Kediri, yang bahkan pernah merasa dirinya titisan dewa itu-pun memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan manusia kebanyakan, di saat-saat ia merasa bahwa ia tidak akan mungkin melawan puncak kekuatan dan ilmu lawannya dengan tenaga wajarnya itulah maka Sri Baginda-pun segera membangunkan ilmunya yang dirasanya akan dapat melindungi dirinya.
Sri Baginda Kertajaya masih belum tahu dengan pasti, betapa jauh Pujang Warit sudah berhasil menguasai dirinya sendiri. menguasai segala kekuatan yang ada pada dirinya. Karena itu, maka Sri Baginda tidak akan mau menjadi korban penjajagannya. Itulah sebabnya, maka Sri Baginda Kertajaya-pun segera mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada di dalam dirinya.
Apalagi Sri Baginda yang telah berperang tanding beberapa waktu itu kemudian berkata kepada diri sendiri, “Memang aku harus segera mengakhiri perang tanding ini, agar aku mendapat kesempatan untuk memikirkan medan di sebelah Utara Ganter itu. Pujang Warit ternyata memang sudah tidak dapat diharapkan lagi. Supaya anak ini tidak akan menjadi penghalang untuk seterusnya, maka sebaiknya anak ini harus segera disingkirkan.”
Pada saat itulah, Pujang Warit yang kini sudah menyandang aji pamungkasnya itu-pun meloncat sambil berteriak nyaring. Pedangnya terayun deras sekali langsung mengarah kepundak Sri Baginda Kertajaya. Ayunan pedang yang dilambari oleh kekuatan yang hampir tidak terkatakan, betapa besarnya.
Sri Baginda Kertajaya melihat serangan yang datang dengan kekuatan raksasa itu. Karena itu, maka ia-pun segera bergeser selangkah. Untuk mengetahui kekuatan Pujang Warit, maka Sri Baginda-pun mengajunkan pedangnya pula, membentur pedang Pujang Warit.
Sekejap kemudian terjadilah benturan itu. Benturan antara dua kekuatan raksasa yang dahsyat. Para Senapati dan prajurit yang melingkari arena itu berdiri dengan mulut ternganga menyaksikan apa yang telah terjadi. Para Senapati yang menjadi saksi utama dari perang tanding itu-pun tegak mematung dengan tatapan mata yang tidak berkedip. Benturan itu ternyata telah menaburkan bunga api yang memercik dari kedua senjata yang sedang beradu itu.
Namun ternyatalah kemudian bahwa kedua bilah pedang itu memang berbeda. Pujang Warit yang kemudian meloncat setapak surut sambil menyeringai karena sengatan yang pedih di tangannya, masih berhasil mempertahankan pedangnya. Dengan wajah yang tegang ia melihat Sri Baginda Kertajaya berdiri termangu-mangu sambil memandangi senjatanya. Ternyata pedang yang ada di dalam genggaman Sri Baginda itu telah patah di tengah.
Pedang yang patah itu agaknya telah mengejutkan semua orang yang ada di sekitar arena. Para Senapati yang menjadi saksi dari perang-tanding itu tiba-tiba menjadi pucat. Mereka menyadari ketentuan yang berlaku, bahwa seseorang yang kehilangan senjatanya di dalam perang tanding, tidak akan mendapatkan senjata pengganti. Dan kini ternyata pedang Sri Baginda Kertajaya itu telah patah.
Pujang Warit memandangi pedang yang patah itu sejenak. Sekilas tumbuh pengakuan di dalam dirinya, bahwa seandainya pedang Sri Baginda itu tidak patah, maka pedangnya sendirilah yang akan terloncat dari genggaman karena benturan kekuatan itu. Bagaimana-pun juga Pujang Warit harus mengakui, bahwa kekuatan Sri Baginda masih belum dapat diimbanginya. Meskipun ia telah mengerahkan segenap kekuatan dan kekuatan cadangan yang telah dikuasainya, namun ternyata Sri Baginda masih jauh lebih perkasa. Tetapi kini pedang Sri Baginda itu telah patah.
Bersamaan waktunya dengan patahnya pedang Sri Baginda, pasukan Kediri di medan perang Ganter telah terdesak jauh kebelakang. Betapa para prajurit Kediri berjuang tanpa mengenal menyerah, tetapi semakin lama semakin tampak, bahwa Singasari mempunyai cukup kemampuan untuk mendesak dan perlahan-lahan tetapi pasti menghancurkan pasukan Kediri.
Mahisa Walungan yang ada di ujung pasukan, dan sedang bertempur melawan Sri Rajasa, menjadi sangat berprihatin atas korban yang berjatuhan tak terhitung lagi. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena lawannya sendiri adalah seorang yang aneh. Bahkan Gubar Baleman-pun kemudian menjadi cemas. Apakah pasukan Kediri benar-benar akan pecah?
Sebagai seorang prajurit Gubar Baleman telah berbuat sebaik-baiknya. Seorang melawan seorang Gubar Baleman ternyata dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Agni yang perkasa. Mahisa Agni yang telah berhasil menempatkan dirinya, sejajar dengan gurunya dan dengan orang-orang yang berada di dalam lapisan tertinggi dari ilmu olah kanuragan.
Tetapi ternyata Senapati Kediri itu-pun memiliki kemampuan yang seimbang. Sehingga dengan demikian pertempuran itu-pun menjadi semakin lama semakin seru. Darah menjadi semakin banyak mengalir, membasahi tanah yang berdebu. Panas yang semakin terik telah membakar padang yang merah oleh darah. Tetapi keringat yang membasahi tubuh para prajurit itu bagaikan minyak yang menitik ke dalam api, dan membuat nafsu mereka semakin menyala-nyala. Hanya ada dua kemungkinan di dalam peperangan, membunuh atau dibunuh.
Sri Baginda Kertajaya. meskipun tidak menyaksikan peperangan itu, namun ia dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Karena itu ia merasa wajib untuk segera membantu. Tetapi kini pedangnya justru patah. Pujang Warit yang melihat pedang Sri Baginda patah, dan setelah pedih di tangannya oleh benturan kedua senjata itu menjadi berkurang, tiba-tiba saja merasa bahwa ia sudah berdiri di ambang pintu kemenangan. Selangkah lagi ia maju maka ia akan dapat memenangkan perang tanding ini. Perang tanding yang mempertaruhkan segala-galanya yang paling berharga di Kediri.
Karena itu oleh perasaannya yang meluap-luap, tiba-tiba Pujang Warit kehilangan pengamatan diri. Ia merasa seolah-olah ia sudah menggenggam taruhan yang disediakan oleh Sri Baginda. Karena itu, maka Senapati muda itu mengacungkan pedangnya dengan tangan kanan ke arah Sri Baginda, sedang tangan kirinya bertolak pinggang sambil tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya ia berkata,
“Nah. Sri Baginda Kertajaya. Jangan menyesal bahwa hari-hari akhirmu sudah tiba. Kau ternyata telah ditelan oleh ketamakanmu sendiri. Kau yang merasa dirimu titisan dewa tertinggi, kini harus bersimpuh di hadapanku. Sebagai seorang Maharaja kau tidak dapat mengingkari apa yang sudah kau katakan. Taruhan dari perang tanding ini bukan saja nyawa kita, tetapi juga kekuasaan Tunggal di Kediri.”
Sri Baginda Kertajaya sejenak diam mematung melihat sikap Pujang Warit. Dengan penuh keheranan ia menyaksikannya tertawa terbahak-bahak sambil bertolak-pinggang. “Apakah anak ini sudah menjadi gila?” bertanya Sri Baginda di dalam hatinya.
“Kertajaya,” Pujang Warit berteriak, “sebaiknya kau menyerah. Aku tidak akan membunuhmu dengan sewenang-wenang. Aku akan melaksanakan hukuman matimu dengan cara yang paling terhormat. Sedang saudara-saudara perempuanmu tidak akan menjadi tersia-sia. Tetapi kalau kau tetap berkeras hati melawan aku dan melanjutkan perang tanding ini, maka kau akan mati di tengah-tengah arena sebagai seekor ayam yang kalah dalam aduan.”
Keheranan Sri Bagmda kemudian telah memuncak. Perlahan-lahan perasaan heran itu telah berubah menjadi kemarahan yang semakin membakar dadanya. Sikap Pujang Warit tiba-tiba menjadi degsura. Tidak lagi sebagai sikap seorang Senapati terhadap rajanya.
“Apa katamu Kertajaya?”
Sri Baginda memandang berkeliling sesaat. Dilihatnya wajah-wajah yang tegang dan cemas menyaksikan perang-tanding itu. “Aku tidak tahu. kenapa kau tiba-tiba saja mengigau Pujang Warit?” berkata Sri Baginda kemudian, “kenapa tiba-tiba saja kau menganggap bahwa perang tanding ini sudah selesai, sedang aku masih berdiri tegak di sini? Kalau karena pedangku patah, kau mengambil kesimpulan bahwa aku tidak akan mampu melawanmu lagi, agaknya kau keliru. Bukankah pedangku masih separo? Tentu yang separo ini justru menjadi lebih kuat. Karena daun pedang ini lebih pendek, maka ia pasti tidak akan patah lagi. Nah, daripada kau mengigau, marilah, kita lanjutkan saja perang tanding ini.”
“He,” Pujang Warit yang sedang dicengkam oleh mabuk kemenangan itu menyahut, “kenapa kau tidak mau melihat kenyataan ini? Dengan pedang yang utuh kau tidak dapat memenangkan perang tanding ini. Apalagi dengan pedang buntungmu itu.”
“Jangan banyak bicara,” Sri Baginda akhirnya kehilangan kesabaran, “marilah kita lihat akhir dari perang tanding ini. Aku tidak mempunyai banyak kesempatan lagi melayani orang yang sedang mabuk seperti kau ini. Sementara ini aku harus segera pergi ke Utara Ganter untuk menolong Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Ia tidak melihat kecemasan membayang di wajah Sri Baginda. Dan para Senapati serta para prajurit-pun menjadi heran. Sri Baginda masih tetap tenang dan sama sekali tidak terpengaruh oleh pedangnya yang patah.
“Apakah kau akan berbuat curang?” bertanya Pujang Warit, “apakah kau berhasrat mengganti senjatamu? Itu tidak dibenarkan oleh ketentuan perang tanding bagi para kesatria.”
“Siapa yang bilang bahwa aku akan mengganti senjataku? Aku akan mempergunakan senjataku yang patah ini. Ini justru akan lebih baik bagiku,” jawab Sri Baginda.
Mata Pujang Warit yang kemerah-merahan menjadi semakin merah dibakar oleh kemarahan di dalam dadanya. Sri Baginda Kertajaya yang sudah kehilangan senjatanya itu masih juga berani menengadahkan dadanya. Karena itu, maka sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Maharaja Kertajaya yang sudah kehilangan wahyu. Kau sudah tidak berhak lagi untuk menengadahkan wajahmu di hadapan rakyat Kediri. Sudah sampai waktunya kau berlutut sambil menundukkan kepalamu. Akulah yang akan memotong lehermu di hadapan para Senapati dan prajurit pengawal.”
Kemarahan Sri Baginda-pun hampir-hampir tidak tertahankan lagi. Tetapi sebagai seorang Maharaja, ia tidak dapat berbuat sekasar Pujang Warit. Karena itu maka ia hanya dapat menjawab, “Marilah kita buktikan.”
Pujang Warit yang masih berdiri bertolak pinggang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia-pun terpaksa berkepanjangan untuk melepaskan kemarahannya yang menyesak, “kau memang seorang raja yang paling bodoh yang pernah aku kenal.”
Sri Baginda tidak menyahut. Tetapi justru karena kemarahan yang memuncak, maka seluruh kekuatan yang ada di dalam dirinya telah terungkat. Dengan tangan gemetar menggenggam pedangnya yang patah Sri Baginda melangkah setapak demi setapak maju. Ditatapnya Pujang Warit dengan tajamnya. Namun kemudian ia membentak, “Pujang Warit. Jangan lengah.”
Suara Pujang Warit-pun segera terputus. Ia melihat Sri Baginda menjadi semakin dekat. Kini Pujang Warit menghadap kepada Sri Baginda. Wajahnya menjadi semakin menyala, sedang pedangnya kini terjulur lurus ke depan. Sejenak ia memandang Sri Baginda, namun sejenak kemudian ia-pun meloncat maju menyerang dengan garangnya.
Sri Baginda menyadari bahwa Pujang Warit masih berada di dalam puncak kekuatannya. Ia masih mempergunakan aji pamungkasnya. Karena itu, maka Sri Baginda-pun harus menyesuaikan dirinya pula. Ternyata kemudian, bahwa meskipun pedang Sri Baginda tinggal sepotong, namun Sri Baginda masih dapat mempergunakannya dengan baik. Sambil memiringkan tubuhnya Sri Baginda memukul ujung pedang Pujang Warit kesamping.
Sekali lagi sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi. Sekali lagi bunga-api memercik keudara. Namun pedang yang tinggal sepotong itu memang tidak patah lagi. Pujang Warit yang merasa senjatanya masih utuh, segera melakukan serangan beruntun. Kalau ia ingin menang, maka ia harus segera mengakhiri perang-tanding itu, selagi Sri Bnginda masih dicengkam oleh keadaan yang mengecilkan hati itu.
Namun ternyata bahwa pedang yang patah itu sama sekali tidak berpengaruh apapun kepadanya. Maka sejenak kemudian perang tanding itu-pun berlangsung semakin sengit. Kini mereka mempergunakan puncak-puncak dari ilmu mereka sehingga setiap gerak dan ayunan senjata mereka, tampak menjadi lebih garang dan lebih dahsyat.
Tidak seorang-pun berani mendekati arena. Sebenarnya bukan hanya Pujang Warit sajalah yang mampu menampakkan ilmu yang dahsyat yang tersimpan pada diri mereka. Tetapi ternyata bahwa Pujang Warit mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan di dalam dirinya itulah yang telah membuatnya menjadi sombong.
Dengan demikian, kini di arena itu sedang bertempur dua orang yang telah dicengkam oleh ketamakannya masing-masing. Sri Baginda Kertajaya, meskipun di saat-saat terakhir ia menyadarinya, betapa ia telah kehilangan pegangan, melawan Pujang Warit. Namun bagi mereka yang memiliki pengamatan yang tajam, segera dapat melihat, bahwa meskipun Sri Baginda mempergunakan pedang yang patah, namun kemampuan Pujang Warit masih belum dapat menyamainya. Apalagi apabila keduanya mempergunakan senjata yang seimbang. Maka Pujang Warit akan segera merasai kesulitan dari perang tanding itu.
Sri Baginda yang mempergunakan pedang yang patah itu-pun kemudian telah berusaha untuk segera mengakhiri perang tanding. Geraknya menjadi semakin cepat, dan serangannya menjadi semakin garang. Pujang Warit mengumpat-umpat di dalam hati. Meskipun lawannya hanya mempergunakan pedang yang patah, namun ia masih mampu bertempur seperti seekor burung garuda.
Betapa Pujang Warit mempergunakan aji pamungkasnya namun kekuatan manusia memang terbatas. Demikian pula kekuatan yang ada di dalam dirinya. Setelah beberapa saat ia memeras segenap tenaga yang ada di dalam dirinya, bahkan segenap tenaga cadangannya, namun masih belum juga berhasil mengalahkan lawannya, tampaklah bahwa kekuatan yang ada di dalam dirinya menjadi semakin lama semakin surut.
Dengan demikian maka Pujang Warit-pun menjadi semakin terdesak pula karenanya, sehingga pada suatu saat Pujang Warit merasa bahwa kemenangan yang sudah terbayang itu-pun menjadi semakin kabur kembali, sejalan dengan nalarnya yang menjadi semakin kabur pula, sehingga susunan tata perkelahiannya-pun menjadi semakin kehilangan arah.
Sejenak kemudian Sri Baginda merasa bahwa saatnya telah tiba. Apalagi ingatannya tentang pasukan di sebelah Utara Ganter yang pasti memerlukan bantuan. Karena itulah, maki betapa beratnya hati Sri Baginda, namun ia harus mengakhiri perang tanding itu. Maka dengan garangnya Sri Baginda-pun menyerang lawannya dengan segenap kemampuannya yang meskipun sudah susut pula, namun masih jauh melampaui kekuatan Pujang Warit.
Kedua senjata yang masih saja tetap berbenturan itu, menjadi semakin nyata bahwa Pujang Warit hampir-hampir tidak berdaya lagi melawan kekuatan Sri Baginda, meskipun pedang Sri Baginda patah dan tajamnya telah kikis. namun di saat-saat terakhir senjata itu bagaikan paruh burung rajawali yang mengitari dahi Pujang Warit.
Ketika Pujang Warit terdorong oleh benturan kedua senjata itu dan terhuyung-huyung beberapa langkah surut Sri Baginda meloncat maju. Pujang Warit tidak dapat berbuat lain karena keseimbangannya terganggu. Yang dilakukan kemudian adalah menjulurkan pedangnya lurus-lurus. Ia merasa bahwa senjatanya itu lebih panjang dari senjata Sri Baginda, sehingga Sri Baginda tidak akan dapat mencapainya dengan senjata patah itu.
Tetapi Sri Baginda berhasil menggeliat dan mengekang diri. Dengan daun pedangnya yang separo itu ia memukul Pedang Pujang Warit yang belum berhasil menguasai keseimbangannya sepenuhnya itu, sehingga Pujang Warit berputar setengah lingkaran. Sri Baginda tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sebuah loncatan panjang ia menjulurkan pangkal pedangnya ke atas lambung lawannya.
Namun Pujang Warit tidak menyerah begitu saja. Ia tidak membiarkan lambungnya berlubang oleh pangkal pedang. Karena itu, justru ia membanting dirinya untuk menghindari tusukan lawannya. Sri Baginda terkejut melihat cara Pujang Warit menghindar. Dengan tangkasnya Sri Baginda meloncat memburu Pujang Warit yang sedang berguling. Tetapi langkahnya-pun tertegun karena sambil berbaring Pujang Warit mengayunkan pedangnya mendatar.
Sri Baginda yang berdiri selangkah dari Pujang Warit terpaksa meloncat menghindari sambaran pedang pada mata kakinya itu. Ternyata bahwa Pujang Warit masih berusaha melawan sekuat-kuat tenaganya. Serangan itu agaknya telah memberi kesempatan Pujang Warit untuk sekali lagi berguling kemudian melenting dengan tangkasnya, berdiri di atas kedua kakinya. Namun begitu kedua kakinya menjejak tanah, maka terasalah sesuatu menyengat lambungnya, sehingga ia-pun menyeringai karenanya.
Pujang Warit tidak sempat berbuat apapun ketika pedang Sri Baginda yang tinggal separo itu menghunjam di lambungnya. Geraknya yang terlampau cepat, telah berhasil menembus pertahanan Senapati muda yang masih menggenggam pedang. Tetapi Pujang Warit tidak sempat lagi mengayunkan pedangnya yang masih belum cacad sama sekali itu. Ketika Sri Baginda menarik pedangnya yang patah itu, darah menyembur dari luka di lambung Pujang Warit.
Senapati muda itu masih mencoba untuk berdiri. Tetapi kekuatannya serasa telah larut. Namun demikian justru di saat-saat terakhir itu ia benar-benar telah menjadi mabuk. Pujang Warit sama sekali tidak mau melihat kenyataan yang terjadi atas dirinya. Selama ini ia sudah merasa menggenggam kemenangan, bahkan seakan-akan ia sudah menerima taruhan yang dijanjikan oleh Sri Baginda, kekuasaan tertinggi di Kediri.
Kalau tiba-tiba pedang Sri Baginda menembus lambungnya, itu adalah suatu kejutan yang tidak masuk di akalnya, sehingga meskipun kekuatannya telah lenyap, namun ia sama sekali tidak mau menerima kenyataan itu. Di saat-saat tubuhnya sudah demikian lemahnya, sehingga ia jatuh berjongkok di atas lututnya dan bersandar pada ke dua belah tangannya, ia masih berteriak, “He, Kertajaya, menyerahlah. Akulah yang akan menjadi Maharaja di Kediri. Ayo kalian prajurit, berlutut. Berlutut.”
Para prajurit yang berdiri mengitari arena itu diam mematung. Mereka memandang mata Pujang Warit yang merah dan liar. Namun demikian, tumbuhlah perasaan iba dan kasihan di hati mereka melihat akhir yang sama sekali tidak dikehendaki dan tidak diduga-duga sama sekali.
Perlahan-lahan Sri Baginda maju selangkah. Ditatapnya wajah Pujang Warit yang kian menjadi pucat. Tubuhnya-pun kemudian menjadi semakin menggigil. Sehingga sejenak kemudian ia sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk berjongkok pada lututnya. Perlahan-lahan tubuh Pujang Warit itu-pun terkulai di tanah. Darah yang merah masih saja mengalir dari lambungnya.
“He. He,” ia masih mencoba berteriak, “akulah Maharaja Kediri sekarang.”
Sri Baginda berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Ya, kaulah Sri Maharaja di Kediri.”
“Ayo berjongkok di hadapanku.”
“Aku sudah berjongkok.”
Pujang Warit mencoba mengangkat wajahnya dan membuka matanya yang semakin merah. Dilihatnya Sri Baginda berjongkok di sampingnya. Setiap dada berdesir karenanya, ketika mereka melihat Pujang Warit itu tersenyum. Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk. Namun kemudian kepala itu-pun menjadi semakin lemah. Perlahan-lahan Pujang Warit meletakkan kepalanya yang sudah tidak terangkat lagi oleh lehernya. Dan sekejap kemudian, maka terdengarlah tarikan nafasnya yang terakhir. Pujang Warit telah terbunuh di arena perang tanding oleh ketamakannya sendiri.
Sri Baginda Kertajaya-pun kemudian berdiri perlahan-lahan. Untuk pertama kalinya ia melakukan perang tanding melawan seorang Senapatinya sendiri, karena hukuman yang dijatuhkannya kepada dirinya sendiri. “Singkirkan orang ini,” berkata Sri Baginda, “kuburkan ia baik-baik. Nafsunya telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh Kediri.”
Ketika Sri Baginda kemudian memalingkan wajahnya dan memandang dua orang penasehatnya yang telah memberi kesempatan kepada Pujang Warit untuk merampas kedudukan keprajuritan yang tertinggi dengan nasehat-nasehatnya yang menyesatkan, maka kedua orang itu merasa, seolah-olah seluruh tulang belulangnya telah dicopoti. Keduanya sama sekali tidak mempunyai perisai apapun juga selain Pujang Warit. Dan kini Pujang Warit telah terbunuh.
Sambil berlutut mereka merayap ke hadapan Sri Baginda sambil menyembah, “Ampun Tuanku. Ampunkan kami. Kami telah menyadari segala kesalahan kami.”
Sri Baginda memandang keduanya dengan sorot mata yang seakan-akan membara. Dengan suara yang parau Sri Baginda berkata, “Kalian adalah pengecut yang paling licik, masih lebih menghargai Pujang Warit yang berani mempertanggung jawabkan kesalahannya sebagai seorang jantan. Tetapi kalian?”
“Ampun Tuanku. Yang dapat hamba lakukan hanyalah mohon kasihan Tuanku.”
Sri Baginda termenung sejenak. Kemudian katanya kepada penasehatnya yang lain, “Apakah kata paman tentang kedua orang kawan paman ini?”
Penasehat yang tertua menganggukkan kepalanya dalam-dalam, “Tuanku keduanya telah mencemarkan nama baik para penasehat Tuanku.”
“Hukuman apakah yang pantas dijatuhkan atas mereka?”
Penasehat itu tidak menyahut. Sejenak kemudian Sri Baginda berpaling kepada Senapati yang menjadi saksi utama dalam perang tanding ini. Katanya, “Keduanya adalah pengkhianat. Akibatnya terasa oleh seluruh rakyat Kediri.”
Senapati itu menganggukkan kepalanya.
“Hukuman apakah yang pantas bagi keduanya aku serahkan kepada kalian.”
“Ampun Tuanku. Ampun,” keduanya berteriak hampir berbareng.
Tetapi Sri Baginda tidak menghiraukannya. Karena tiba-tiba saja Sri Baginda berkata lantang, “Sediakan kudaku. Ambillah pusakaku. Aku akan menangani sendiri pasukan yang telah diracuni oleh Pujang Warit. Aku akan membawa mereka ke sebelah Utara Ganter. Akulah yang paling pantas untuk melawan Akuwu Tumapel yang telah memberontak dan menamakan dirinya Sri Rajasa Batara Sang Amurwa-bumi itu.”
Beberapa orang Senapati saling berpandangan. Tetapi tidak seorang-pun yang beranjak dari tempatnya, sehingga Sri Baginda harus mengulanginya, “Ambil kudaku.”
“Tetapi tuanku,” seorang Senapati memberanikan diri untuk bertanya, “apakah Tuanku sendiri akan maju ke medan perang?”
“Ya,” jawab Sri Baginda.
“Tuanku. Kami masih ada di halaman istana ini. Apakah Tuanku tidak memerintahkan saja kepada kami, agar kami berangkat ke peperangan?”
“Aku sendiri akan menguasai lebih dahulu orang-orang Pujang Warit supaya tidak timbul persoalan baru.”
“Tuanku dapat memerintah kami.“
“Kali ini aku sendiri akan pergi. Cepat. Ambil kudaku.”
Para Senapati itu tidak dapat membantah lagi. Namun demikian salah seorang yang lain berkata, “Apakah Tuanku berkenan, kami ikut serta bersama dengan Tuanku?”
Sri Baginda berpikir sejenak. Lalu, “Baiklah. Tetapi kalian harus mengatur diri, sehingga sebagian dari kalian tetap berada di dalam halaman istana ini.”
“Hamba Tuanku. Kalau begitu perkenankanlah kami mempersiapkan diri.”
Sejenak kemudian halaman istana itu-pun segera menjadi sibuk. Beberapa orang pengawal telah mempersiapkan diri mereka untuk mengikuti Sri Baginda kepinggir kota. Ketika mereka sudah siap dengan kuda masing-masing, maka Sri Baginda-pun segera berkata, “Marilah, kita tidak mau terlambat.”
Maka Sri Baginda-pun segera meloncat ke punggung kudanya. Dengan sebuah sentuhan cemeti, maka kuda itu-pun segera meloncat berlari sekencang-kencangnya diikuti oleh para Senapati dan prajurit pengawal istana. Derap kuda-kuda itu-pun segera menggema di jalan-jalan raya. Sri Baginda kali ini hampir tidak ditandai oleh kelengkapan kebesarannya, selain pusakanya yang berbentuk tombak dengan sehelai panji-panji kecil, sebuah panji-panji yang terikat pada tunggul yang berwarna keemasan, berbentuk seekor gajah dengan belalainya yang mencuat keatas dan sebuah payung pusaka, yang juga berwarna kuning keemasan, masing-masing dibawa oleh seorang Senapati pengiring.
Beberapa orang yang melihat-lihat iring-iringan itu menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Ciri-ciri itu adalah ciri kebesaran Sri Baginda meskipun tidak lengkap.
“Apakah Sri Baginda sendiri turun ke medan perang?” mereka menjadi saling bertanya.
“Ya. Aku pasti. Yang paling depan adalah Sri Baginda.”
“Bukan. Bukan yang paling depan,” bantah yang lain, “yang paling depan adalah seorang Senapati pengiring. Sri Baginda memang ada di dalam pasukan berkuda itu, tetapi yang nomor dua dari depan. Bukan yang paling depan.”
“Yang membawa tombak.” sahut yang lain.
“Pasti bukan, yang membawa tombak, panji-panji dan sosong itu adalah Senapati pengiring.”
“Oh, kita tidak akan dapat melihat Sri Baginda,” berkata yang lain, “Baginda adalah titisan dewa-dewa. Kita pasti akan selalu berselisih pendapat, karena sebenarnya Sri Baginda tidak dapat kita ketahui dengan pasti, karena Sri Baginda mampu mengaburkan dirinya sendiri dalam segala bentuk.”
Yang lain tidak menyahut lagi. Sebagian dari mereka percaya bahwa Sri Baginda adalah titisan dewa, sehingga ia dapat menyamar dirinya dalam bentuk apapun yang dikehendaki. Demikianlah maka kuda-kuda itu-pun kemudian berderap dengan cepatnya di atas tanah berbatu-batu melemparkan debu yang putih, mengepul di belakang kaki-kaki kuda yang sedang berpacu itu.
Di pinggir kota pasukan yang ditinggalkan Pujang Warit telah benar-benar dicengkam oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Mereka kini sudah tidak tahu lagi. apa yang harus mereka kerjakan. Padahal mereka tahu pasti, bahwa sebagian prajurit Kediri sedang bertempur mati-matian melawan prajurit, Singasari yang lebih besar jumlahnya. Yang dapat mereka lakukan adalah membangun pertahanan sementara sambil menunggu kedatangan Pujang Warit.
Ketika seorang pengawas melihat beberapa ekor kuda berderap mendekati pasukan, maka segera ia berteriak, “Mungkin yang datang itulah Senapati Pujang Warit.”
Senapati tertua di antara mereka, bersama beberapa orang Senapati yang lain segera berlari-lari untuk melihat mereka yang baru datang. Namun tiba-tiba salah seorang berkata, “Kau lihat songsong pusaka yang berwarna kuning emas?”
“Ya,” desis kawannya, “baru saja aku akan melihatnya.”
“Apakah Sri Baginda sendiri?”
“Atau Pujang Warit sudah mendapat wewenang? Kalau demikian maka songsong pusaka itu bernilai lebih tinggi dari songsong kebesaran yang dipergunakan oleh Mahisa Walungan, sehingga Pujang Warit berhak memimpin segenap pasukan Kediri. Mahisa Walungan dan Gubar Baleman harus tunduk di bawah perintahnya.”
“Tetapi kau lihat panji-panji kecil pada tombak pusaka itu, dan sekaligus panji-panji pada tunggul Kiai Gajah?”
“Itu adalah kelengkapannya.”
“Tetapi itu sama sekali bukan Pujang Warit,” berkata seorang prajurit.
“Sri Baginda, Sri Baginda sendiri,” berkata seseorang hampir berteriak.
Semua-pun segera terdiam. Mereka kini melihat, bahwa orang yang berkuda di paling depan, didampingi oleh Senapati pengapit itu adalah Sri Baginda Kertajaya sendiri. Darah para prajurit itu-pun serasa hampir membeku. Ada beberapa persoalan yang bergolak di dada mereka. Namun salah seorang dari mereka bergumam, “Apakah Pujang Warit dianggap bersalah dan Sri Baginda sendiri datang kemari?“
“Atau Pujang Warit ada juga di dalam pasukan kecil itu?”
Sejenak kemudian semua orang justru terdiam. Meleka melihat iring-iringan itu menjadi semakin dekat. Ketika kuda-kuda itu berhenti beberapa langkah dari mereka, maka para Senapati itu-pun menganggukkan kepala mereka dalam-dalam. Salah seorang yang dianggap tertua dari mereka berkata sambil menundukkan kepalanya, “Sri Baginda sendiri berkenan datang ke tempat ini.”
“Ya,” jawab Sri Baginda, “aku ingin melihat apa yang telah terjadi.”
Senapati itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian diberani-beranikan dirinya untuk bertanya dengan hati-hati, “Ampun Tuanku. Beberapa saat yang lampau, Tuanku telah memanggil Pujang Warit untuk menghadap.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya, “Ya. Aku telah memanggil Pujang Warit. Tetapi jangan hiraukan dia. Aku sendiri akan memimpin pasukan Kediri. Nah, siapa yang tetap setia kepadaku akan serta bersamaku.”
Senapati yang ada di tempat itu-pun mulai meraba apa yang telah terjadi dengan Pujang Warit. Tetapi mereka tidak sempat untuk berpikir terlampau lama karena Sri Baginda segera berkata lantang, “Siapa yang menolak kehadiranku sebagai pemimpin dan Senapati tertinggi dari pasukan Kediri sekarang, aku beri kesempatan untuk menyingkir?”
Dada para Senapati itu terguncang karenanya. Namun tidak seorang-pun yang menolak kepemimpinan Sri Baginda Kertajaya sendiri.
“Nah, kalau kalian menerima kehadiranku sebagai pemimpin kalian, maka kalian harus bersiap. Kita tidak akan menunggu di sini. Kita akan berangkat ke sebelah Utara Ganter. Hari ini kita harus menggabungkan diri ke dalam pasukan itu. sebelum Tumapel berhasil memecah pasukan Kediri yang lemah karena kalian berada di sini.”
“Kami berada di sini atas perintah Pujang Warit Tuanku.”
“Aku tahu. Cepat. Kalian persiapkan prajurit-prajurit kalian masing-masing.”
Para Senapati itu-pun segera berlari ke pasukannya masing-masing. Mereka dengan singkat telah menyampaikan perintah Sri Baginda, bahwa mereka akan segera pergi ke medan di bawah pimpinan Sri Baginda sendiri. Terasa darah para prajurit itu semakin cepat mengalir. Mereka telah mendapat kehormatan, bertempur di bawah pimpinan Sri Baginda sendiri.
Dengan penuh kesungguhan mereka-pun kemudian mempersiapkan diri mereka. Pertahanan yang sudah mereka susun sementara itu-pun segera terurai. Pasukan-pasukan yang sudah menebar di sepanjang dinding kota di sekitar regol induk itu-pun kemudian berkumpul kembali untuk segera berangkat kegaris perang di sebelah Utara Ganter.
Setelah semua persiapan selesai, maka Senapati tertua itu-pun segera menghadap Sri Baginda sambil berkata, “Ampun Tuanku. Seluruh pasukan telah siap menjalankan perintah Tuanku.”
“Bagus, kita akan segera berangkat.”
“Kami sudah bersedia.”
Sri Baginda-pun kemudian menempatkan dirinya di ujung barisan, bersama para Senapati pengiring dan para Senapati yang membawa tanda-tanda kebesarannya yang tidak lengkap. Sebuah songsong pusaka, tombak pusaka dan sebuah panji pada tunggul Kiai Gajah.
“Kita berangkat,” teriak Sri Baginda Kertajaya itu sejenak kemudian yang disambut oleh para Senapati dengan memberikan aba-aba kepada pasukan masing-masing.
Namun ketika pasukan itu mulai bergerak, Sri Baginda Kertajaya mengangkat tangannya sehingga dengan tiba-tiba pasukan itu-pun tertegun. “Kau lihat debu itu?” bertanya Sri Baginda kepada Senapati pengapit yang ada di sampingnya.
“Hamba Tuanku.”
“Seekor kuda.”
“Hamba Tuanku.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya. “Seorang penghubung dari medan.”
“Hamba Baginda. Seorang penghubung dari medan.”
“Kita tunggu sebentar. Mungkin ia membawa berita penting tentang peperangan.”
Sejenak kemudian maka kuda yang berderap itu-pun semakin lama menjadi semakin dekat. Para Senapati yang melihat penghubung itu menjadi berdebar-debar. Apalagi Sri Baginda sendiri. Darahnya serasa berhenti mengalir ketika ia melihat penghubung yang berlumuran darah itu membawa payung kebesaran Mahisa Walungan yang tangkainya telah patah di tengah.
“He, kemarilah,” teriak Sri Baginda tidak sabar.
Penghubung itu mengerutkan keningnya. Agaknya ia-pun terkejut ketika dilihatnya Sri Baginda sendiri yang ada di ujung barisan. “Ampun Tuanku,” penghubung itu-pun segera menarik kendali kudanya dan meloncat turun. Dengan serta-merta ia berjongkok di sisi kuda Sri Baginda.
“Berdirilah, cepat katakan apa yang terjadi.”
“Ampun Tuanku,” dengan ragu-ragu orang itu berdiri terhuyung-huyung. Dari seluruh tubuhnya yang terluka parah, mengalir darah yang merah hitam. Seorang Senapati segera menghampirinya dan membantunya berdiri.
“Cepat, katakan apa yang terjadi,” teriak Sri Baginda.
“Tuanku. Hamba membawa songsong kebesaran Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan yang telah patah.”
“Ya. aku sudah melihat.”
“Ampun Tuanku. Adinda Sri Baginda telah gugur di medan peperangan.”
“He. Mahisa Walungan telah gugur?” suara Sri Baginda melengking tinggi menggetarkan udara yang sedang dibakar oleh terik matahari.
Setiap dada tergetar mendengar berita gugurnya Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan. Meskipun orang-orang Pujang Warit sebelumnya menganggap bahwa Adinda Sri Baginda itu telah berkhianat seperti yang pernah dikatakan oleh Pujang Warit, namun kini mereka-pun menyadari, siapakah sebenarnya yang telah berkhianat.
Sejenak Sri Baginda Kertajaya merenung. Sri Baginda adalah seorang prajurit yang berhati jantan. Sebagai seorang Maharaja ia berhati sekeras baja. Tetapi ketika ia mendengar adik kandungnya gugur di peperangan setelah ia sendiri melukai hati adiknya itu, terasa kerongkongannya menjadi panas.
“Siapa yang telah membunuh Mahisa Walungan?” suara Sri Baginda hampir tidak terdengar.
Penongsong yang telah membawa payung kebesaran Mahisa Walungan itu menjawab dengan suara yang tersendat-sendat, “Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”
Terdengar Sri Baginda menggeretakkan giginya. Kemudian terdengar suaranya lantang, “Aku sendiri aku melawannya di peperangan.”
Dengan kedua kakinya Sri Baginda menyentuh perut kudanya. Namun sebelum kuda itu meloncat maju, penongsong yang sudah terlampau lemah itu masih berusaha meloncat memegang tali kendali kuda Sri Baginda sambil berkata, “Ampun Tuanku. Jangan pergi sekarang.”
Kuda Sri Baginda melonjak karena kejutan di perut dan tali kendalinya, sehingga penongsong yang terluka itu terseret beberapa langkah. Senapati yang menolongnya berdiri tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi, sehingga dengan tergesa-gesa ia berlari-lari menolong orang yang terlempar itu, sedang Senapati yang lain memegangi tali kuda Sri Baginda yang melonjak-lonjak dan berusaha menenteramkannya.
“Kenapa kau halangi aku, he?” teriak Sri Baginda.
“Ampun Tuanku,” penongsong itu menjadi semakin lemah, sedang darah masih mengalir dari luka-luka di tubuhnya, “ampun Tuanku. Pasukan Kediri sedang terdesak. Sebaiknya Sri Baginda sendiri tidak pergi ke peperangan tanpa pasukan yang lengkap.”
“Di sini ada pasukan segelar sepapan.”
“Kalau Sri Baginda pergi bersama pasukan ini, hamba akan ikut pula. Tetapi kalau Sri Baginda mendahului di atas punggung kuda ini, maka Sri Baginda akan berada dalam bahaya.”
Sri Baginda Kertajaya merenung sejenak. Namun ia kemudian berkata, “Justru pasukan itu ada dalam kesulitan. Aku harus secepatnya pergi ke medan.”
“Tetapi medan terlampau berbahaya saat ini.”
Tiba-tiba seorang Senapati maju sambil membungkukkan kepalanya, “Biarlah kami yang saat ini berada di atas punggung kuda pergi mendahului. Meskipun kami tidak terlampau banyak, tetapi kami akan dapat sekedar membantu, sementara Sri Baginda membawa pasukan segelar sepapan ini ke medan.”
Sri Baginda merenung sejenak, dan Senapati itu mendesaknya, “Waktu terlampau sempit Sri Baginda.”
Sri Baginda Kertajaya tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya. Isyarat itu tidak usah diulanginya. Senapati itu mengangguk dalam-dalam kemudian ia-pun segera berlari meloncat keatas punggung kudanya sambil berteriak, “Kita yang berada di punggung kuda diperkenankan mendahului pasukan. Keadaan sangat gawat di medan perang.”
Senapati itu segera memacu kudanya tanpa menunggu kawan-kawannya. Namun sejenak kemudian setiap kuda-pun segera berlari menyusulnya berderap di atas jalan berbatu-batu. Maka kemudian debu yang kelabu-pun berhamburan di atas jalan yang menuju ke Ganter.
Bukan saja pasukan pengawal yang telah memacu kudanya ke medan perang. Prajurit-prajurit yang ada di pinggir kota sebagian telah berusaha mendapatkan kuda-kuda yang ada di dalam pasukan itu. Kuda-kuda penghubung dan kuda-kuda bagi para pimpinan. Bahkan satu dua di antara mereka telah masuk ke padukuhan terdekat. Membuka kandang-kandang kuda yang mereka ketemukan, dan memakainya untuk menyusul para prajurit yang sudah terdahulu.
Sri Baginda Kertajaya menarik nafas dalam-dalam. Baru kali ini pasukan Kediri menghadapi lawan dalam keadaan tercerai berai, seolah-olah bukan lagi sebuah pasukan dari negara yang besar. Dengan hati yang pedih Sri Baginda melihat beberapa ekor kuda masih saja berlari-larian saling menyusul. Lima ekor, tiga, dua dan bahkan seekor kuda berderap ke medan. Namun dengan demikian Sri Baginda melihat kesetiaan yang sebenar-benarnya dari prajurit-prajuritnya kepada Kediri.
Setelah kuda yang terakhir hilang di balik kepulan debu. barulah Sri Baginda berkata, “Siapkan prajurit yang tersisa. Kita akan menyusul ke medan perang.”
Senapati pengapit yang masih tinggal, segera memimpin pasukan yang masih ada. Beberapa kelompok telah kehilangan Senapatinya, yang dengan tidak tersusun telah pergi ke medan oleh luapan perasaan yang tidak tertahankan setelah mereka mendengar bahwa Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan telah gugur. Namun sejenak Sri Baginda tertegun ketika ia melihat penongsong Mahisa Walungan yang hampir tidak mampu berdiri lagi, dilayani oleh seorang prajurit.
“Luka-lukanya parah,” desis Sri Baginda, “bawalah ia ke rumah yang terdekat. Usahakan pertolongan sementara.”
Tetapi orang itu menggeleng lemah, “Ampun Sri Baginda,” suaranya sudah hampir tidak terdengar, “biarlah aku mati di antara para prajurit ini.”
“Kau akan hidup.”
Sekali lagi orang itu menggeleng lemah. Nafasnya semakin deras mengalir. Hampir tidak dapat didengar lagi apa yang dikatakannya, “Hati-hatilah Sri Baginda. Lawan datang seperti banjir bandang.”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang wajar, Sri Baginda Kertajaya sudah tentu akan membentak prajurit yang mencoba mengajari dan memperingatkannya atas suatu keadaan. Tetapi kini Sri Baginda merasa bahwa prajurit itu benar-benar mengucapkannya dari dasar hatinya, di saat-saat nyawanya sendiri sudah di ambang pintu. Hanya didorong oleh kesetiaan yang tulus, maka penongsong itu berani mengatakan, apa yang sebenarnya telah terjadi di medan.
Ketika Sri Baginda akan memerintahkan sekali lagi untuk merawat penongsong itu, maka setiap kepala-pun kemudian ditundukkan. Prajurit itu telah menarik nafas yang terakhir di hadapan Sri Baginda dipapah oleh seorang prajurit yang lain.
“Serahkan kepada prajurit penjaga gerbang ini, supaya orang ini mendapat perawatan sebaik-baiknya,” berkata Sri Baginda, “ia telah gugur dalam menunaikan tugasnya, seperti juga Mahisa Walungan telah gugur pula.”
Demikianlah maka pasukan Kediri itu-pun segera bersiap untuk berangkat ke medan perang, dipimpin oleh Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Dalam pada itu. di medan perang di sebelah Utara Ganter, pasukan Kediri benar-benar telah hampir tercerai berai. Beberapa orang Senapati dengan tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, berusaha menyingkirkan jenazah Mahisa Walungan yang telah gugur di peperangan melawan Sri Rajasa.
Pada saat senjata Sri Rajasa mengenai dada kiri Mahisa Walungan, sebuah tombak telah menyerang penongsongnya. Tanpa dapat berbuat sesuatu dengan gerak naluriah penongsong itu menangkis ujung tombak itu dengan tangkai payung yang dibawanya. Tetapi ternyata tangkai payung itu-pun patah di tengah.
Sorak prajurit Singasari serasa akan memecahkan selaput telinga. Mereka meneriakkan kemenangan Sri Rajasa, dan meneriakkan kematian Adinda Sri Baginda Kertajaya. Namun pada saat itu Sri Rajasa sendiri berdiri termangu-mangu memandang Mahisa Walungan yang terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
“Kau memang seorang Raja yang sakti,” desis Mahisa Walungan, “aku akui kemenanganmu. Tidak seorang-pun yang mampu melawan Aji Sangga Langit dan Aji Songkok Sari sekaligus. Tetapi kau sama sekali tidak terguncang oleh kedua Aji pamungkasku. Itu pertanda bahwa Sri Rajasa memang kekasih dewa-dewa.”
Sri Rajasa tidak menjawab. Direnunginya Mahisa Walungan yang menjadi semakin lemah. Ia sama sekali tidak berbuat apa-apa ketika beberapa orang Senapati Kediri berusaha menyelamatkan Mahisa Walungan. Tetapi mereka hanya dapat mengangkat tubuhnya yang sudah tidak bernafas.
Ketika beberapa orang prajurit Singasari mencoba menghalang-halangi prajurit Kediri yang berusaha menyingkirkan Jenasah itu. Sri Rajasa membentak mereka dengan marahnya, “Biarkan jenazah itu. Ia pantas mendapat penghormatan, sehingga jenazahnya pantas mendapat perawatan yang sebaik-baiknya. Ia adalah seorang pahlawan besar. Pahlawan terbesar di saat ini.”
Tidak seorang-pun yang kemudian mengganggu para Senopati Kediri membawa jenazah itu pergi. Tetapi Sri Rajasa tidak sempat memperhatikan, penongsong Mahisa Walungan yang menjadi luka parah oleh senjata orang-orang Singasari. Tetapi prajurit yang membawa payung kebesaran itu-pun berhasil menyingkir dan mendapatkan seekor kuda dari para penghubung.
Sri Rajasa seolah-olah tersadar ketika sorak para prajurit Singasari semakin membelah langit. Mereka berhasil semakin mendesak pasukan Kediri yang telah kehilangan agul-agul. Yang ada kini tinggallah Gubar Baleman.
Berita gugurnya Mahisa Walungan telah memukul dada Gubar Baleman, sehingga sejenak ia kehilangan pengamatan diri. Tetapi karena senjata Mahisa Agni yang menyentuh pundaknya, maka Gubar Baleman-pun menyadari, bahwa kini justru seluruh tanggung jawab ada di atas pundaknya. Karena itu, maka Gubar Baleman-pun menggeretakkan giginya. Dengan lantang suaranya mengatasi sorak sorai prajurit Singasari, “Adinda Sri Baginda telah gugur sebagai seorang pahlawan. He. prajurit Kediri, apa yang dapat kalian serahkan kepada Tanahmu ini?”
Prajurit Kediri yang terguncang karena kematian Mahisa Walungan tiba-tiba seperti yang bangkit dari tidur yang diganggu oleh mimpi yang menakutkan. Serentak prajurit Kediri menyambut teriakan Menteri Gubar Baleman dengan gemeretak gigi dan nyala di dalam dada. Sambil berteriak nyaring, mereka segera menemukan gairah perjuangan mereka kembali.
Tetapi pasukan Singasari ternyata semakin mendesak mereka. Jumlah yang besar, dan nafsu yang melonjak karena gugurnya Mahisa Walungan membuat pasukan Singasari berhasil menguasai segala bagian medan yang dahsyat itu. Gubar Baleman-pun akhirnya melihat, betapa korban berjatuhan tanpa dapat dihitung lagi. Sebagai seorang pemimpin ia merasa kematian yang tidak terbilang masih akan terjadi.
Tetapi seperti Mahisa Walungan, maka Gubar Baleman-pun seorang Senapati jantan. Itulah sebabnya maka ia sendiri telah berusaha untuk bertempur sekuat-kuat tenaganya. Semua kemampuan. Aji dan ilmunya telah dicurahkannya. Namun ternyata bahwa Mahisa Agni yang memiliki Aji Gundala Sasra dan Kala Bama sekaligus itu mampu melawan setiap ilmu yang dilontarkan oleh Gubar Baleman.
Namun ada sesuatu yang telah mengganggu segenap pemusatan kekuatan lahir dan batin dari Menteri Gubar Baleman yang berani itu. Ia tidak dapat menutup mata dan telinga, bahwa keadaan pasukannya telah menjadi semakin terdesak. Terbayang sekilas di kepalanya, bahwa pasukan Kediri sebentar lagi pasti akan pecah, dan akan lenyaplah Kerajaan Kediri yang besar itu. Dan keprihatinan Gubar Baleman itu telah dicurahkan dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan Gubar Baleman sama sekali sudah tidak menghiraukan keselamatan dirinya lagi.
Ketika pasukannya semakin lama menjadi semakin terdesak, maka Gubar Baleman tidak dapat lagi menahan hati. Kalau ia tidak berbuat sesuatu, maka semua prajurit Kediri yang ada di peperangan ini pasti akan tumpas. Tidak seorang-pun yang akan berusaha atau berniat menyelamatkan dirinya, sedang Kediri yang dipertahankan pasti juga akan runtuh. Gubar Baleman memang terharu melihat kesetiaan prajurit Kediri kepada Tanah Kelahiran. Tetapi Gubar Baleman masih mencoba mempergunakan nalarnya. Karena itu, maka kepada kedua Senapati pengapitnya ia memberikan perintahnya sebagai Senapati Tertinggi,
“Tarik pasukan. Hubungi Pujang Warit di dalam kota. Apapun yang dikehendaki, kita harus menyerahkannya. Tetapi Kediri harus dipertahankan sekuat tenaga. Aku masih berpengharapan, bahwa Pujang Warit akan bersedia menjadi Senapati Agung pasukan Kediri. Namun dengan demikian kekuatan yang ada padanya dapat dikerahkan bagi medan.”
Senapati pengapitnya mengerutkan keningnya. Tetapi ia mendengar perintah itu dengan jelas, seperti juga Mahisa Agni mendengarnya. Sekilas terbersit pertanyaan di hati Mahisa Agni, “Apakah yang sebenarnya terjadi atas prajurit-prajurit Kediri? Agaknya Kediri benar-benar telah dihancurkan oleh perpecahannya sendiri.”
Ketika salah seorang Senapati pengapit yang menerima perintah itu mundur dari medan. Mahisa Agni menjadi termangu-mangu sejenak. Apakah yang sebaiknya dilakukan? Agaknya Kediri masih menyimpan tenaga cadangan. Tetapi tenaga cadangan itu sama sekali tidak dapat dikuasai, baik oleh Mahisa Walungan maupun oleh Gubar Baleman. Namun ternyata bahwa Gubar Baleman sama sekali belum mendengar berita kematian Pujang Warit oleh tangan Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Senapati pengapit yang mendapat perintah dari Gubar Baleman itu-pun segera berusaha mendapatkan seekor kuda untuk meninggalkan medan. Betapa berat hatinya, namun ia tidak dapat berbuat lain. Ia harus menghubungi Pujang Warit. Sedang Senapati pengapit yang lain masih belum menemukan jalan, bagaimana ia akan menarik pasukan yang sedang bertempur demikian dahsyatnya. Karena Senapati pengapitnya masih belum berbuat apa-apa, maka Gubar Baleman mengulangi perintahnya,
“Tarik pasukan. Kalau hubungan dengan Pujang Warit dapat diadakan, maka pertahanan yang kuat akan disusun. Kita akan mundur sampai pertahanan yang sudah tersusun itu.”
Senapati itu kini mengerti. Pasukannya harus berusaha untuk mengundurkan diri sampai pertahanan berikutnya yang akan disusun oleh Pujang Warit. “Tetapi bagaimana kalau Pujang Warit benar-benar telah menjadi gila?” pertanyaan itu sekilas melontar di dada Senapati itu.
Namun memang tidak ada jalan lain. Itu adalah jalan satu-satunya. Pasukan Kediri tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi menghadapi pasukan Singasari yang besar ini. Karena itu. maka Senapati itu-pun segera berusaha mengatur sisa-sisa pasukannya. Bersama beberapa orang penghubung, Senapati itu memerintahkan setiap pimpinan kelompok mengikat pasukannya, betapapun kecilnya yang tersisa, untuk menarik diri. Pasukan yang sudah parah ini tidak boleh pecah. Meskipun mereka harus menghindari peperangan, tetapi dengan teratur mereka harus dapat menempatkan diri pada pertahanan berikutnya. Apabila Pujang Warit tidak bersedia melakukannya, maka jalan terakhir adalah musna bersama-dengan musnanya Kediri.
Demikianlah maka kini pasukan Kediri berada di dalam keadaan yang sangat gawat. Menarik pasukan dari medan yang demikian dahsyatnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi pasukan yang akan mengadakan pertahanan di belakang garis perang ini-pun masih belum dapat diperhitungkan dengan pasti.
Dalam gerakan inilah Gubar Baleman menunjukkan dirinya, sebagai seorang Senapati yang benar-benar bertanggung jawab. Ia sama sekali tidak berkisar dari tempatnya, selama para Senapati bawahannya mengatur diri. Sebagai seorang prajurit yang mumpuni ia tetap bertahan di tempatnya. sehingga Mahisa Agni tidak segera dapat mengatur pasukannya untuk mendesak maju. Dalam keadaan yang demikian, maka beberapa orang Senapati yang lain segera mengambil sikap, mendesak dan mencegah gerakan mundur pasukan Kediri.
Tetapi selain Mahisa Agni, ternyata di barisan Singasari masih ada Sri Rajasa sendiri yang kini tidak mempunyai lawan lagi yang seimbang. Namun demikian ternyata Sri Rajasa bukanlah seorang yang terlalu kejam. Ia tidak melawan orang-orang Kediri seperti menebas daun ilalang, meskipun ia dapat melakukannya apabila dikehendakinya. Dalam keadaan yang demikian Sri Rajasa kini benar-benar berdiri sebagai seorang panglima. Ia hanya meneriakkan aba-aba untuk mengatur pasukannya.
Mahisa Agni yang melihat kehadiran Sri Rajasa sebagai panglima yang berdiri tanpa lawan itu-pun segera dapat memusatkan perhatiannya pada perang yang sedang dilakukan, melawan Gubar Baleman. Sekali lagi Sri Rajasa menjadi kagum melihat sikap Gubar Baleman, seperti juga Mahisa Agni mengaguminya. Senapati-senapati Kediri yang demikian inilah yang agaknya membuat Kediri pada saatnya menjadi sebuah negara yang besar.
Ketika pasukan Kediri mengalami kesulitan untuk menarik diri itulah, terdengar derap kaki-kaki kuda yang berpacu menuju ke medan peperangan. Mereka adalah pasukan pengawal berkuda yang telah mendahului Sri Baginda Kertajaya maju ke peperangan. Kedatangan pasukan berkuda yang tidak merupakan suatu barisan yang teratur itu telah mengejutkan prajurit-prajurit di peperangan itu. Sebagai seorang Senapati yang berpengalaman, maka Gubar Baleman segera mengetahui, bahwa pasukan itu telah menyusul ke medan dengan sangat tergesa-gesa, sehingga mereka tidak sempat menyusun barisan yang teratur.
Tetapi bagaimana-pun juga kehadiran pasukan berkuda itu telah memberi harapan bagi Gubar Baleman. Bukan suatu harapan untuk mengusir pasukan Singasari yang ternyata terlampau kuat. Tetapi pasukan berkuda itu akan dapat membantu melindungi pasukannya yang sedang bergerak mundur. Dengan demikian maka melalui penghubungnya Gubar Baleman-pun segera menyampaikan perintah itu kepada seorang Senapati yang datang paling depan.
Senapati itu mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa pasukan Kediri sudah menjadi sedemikian parahnya. Apalagi sepeninggal Mahisa Walungan. Karena itu, maka Senapati itu-pun segera menyampaikan perintah Gubar Baleman lewat mulut kemulut, sehingga akhirnya perintah itu-pun merata di antara para pengawal berkuda itu.
Sejenak kemudian maka kuda-kuda itu-pun segera terjun ke peperangan. Mereka mencoba untuk menyesuaikan diri dengan perintah Gubar Baleman. Salah seorang dari mereka berhasil mendekati pemimpin tertinggi pasukan Kediri itu dan mengatakan bahwa pasukan yang lebih besar akan segera datang dipimpin oleh Sri Baginda Kertajaya sendiri.
“Bagus,” sambut Gubar Baleman. Namun ia masih berpikir, berapa besarnya pasukan yang akan datang itu. Apakah mereka dapat menahan arus pasukan Singasari yang demikian dahsyatnya. Apabila pasukan itu gagal, maka taruhannya adalah Sri Baginda Kertajaya sendiri dan Kediri seluruhnya.
Demikianlah maka kini gerakan mundur dari pasukan Kediri itu agak terlindung oleh pasukan berkuda yang kecil. Namun kuda-kuda yang menjadi seakan-akan liar itu berloncatan di medan perang, menghalau prajurit-prajurit Singasari yang berusaha mengejar prajurit Kediri.
Namun dengan kenyataan itu, para pemimpin prajurit Singasari terpaksa membuat perhitungan-perhitungan baru. Berita tentang pasukan yang dipimpin langsung oleh Sri Baginda Kertajaya itu segera sampai pula ke telinga Sri Rajasa, sehingga dengan demikian maka ia-pun segera mengambil sikap. Dengan lantangnya Sri Rajasa perintahkan seluruh prajuritnya untuk bertindak lebih cepat. Katanya, “Jangan menunggu kalian masuk perangkap. Hancurkan pasukan lawan.”
Perintah itu-pun segera mendapat tanggapan. Pasukan Singasari mendesak semakin maju. Selain pasukan berkuda yang kecil itu. Gubar Baleman sendiri berusaha untuk tetap bertahan. Bahkan seakan-akan ia-pun berusaha melindungi para prajurit yang sedang bergerak mundur. Dengan demikian maka sebagian perhatiannya kini dicurahkan kepada gerakan prajurit Kediri, selain lawannya yang tangguh, Mahisa Agni.
Namun dengan demikian, maka perlawanannya atas Mahisa Agni itu-pun tidak dapat dilakukan sepenuh kemampuannya, karena Gubar Baleman tidak dapat membiarkan pasukannya menjadi tercerai berai. Suasana peperangan itu-pun menjadi semakin kalut. Pasukan Singasari semakin mendesak maju, sedang korban di pihak Kediri menjadi semakin banyak meskipun pasukan berkuda yang kecil itu berusaha sekuat-kuat tenaga mereka untuk melindungi.
Mahisa Agni yang harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencoba mendesak lawannya, tetap mengaku, bahwa Gubar Baleman adalah seorang Senapati yang pilih tanding. Yang tidak saja menghiraukan dirinya sendiri. bahkan keselamatannya, namun baginya keselamatan prajurit-prajuritnyalah yang dianggapnya lebih penting.
Dalam saat yang demikian itulah Mahisa Agni justru merasa berdiri di persimpangan jalan. Dalam kekalutan itu ia melihat beberapa kesempatan untuk menembus pertahanan Gubar Baleman. Namun setiap kali ia tertegun. Kekagumamnya kepada Senapati Kediri itu membuatnya termangu-mangu. Setiap kali serasa ada sesuatu yang memberatkan perasaannya.
“Apakah aku harus melakukannya?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Namun ketika terngiang kembali laporan peghubung Kediri yang mengatakan bahwa pasukan Sri Baginda Kertajaya sudah berada di perjalanan maka Mahisa Agni-pun segera menggeletakkan giginya. Teringat pula olehnya putera Mahkota Singasari, Anusapati putera Ken Dedes dari Akuwu Tunggul Ametung. Kalau Kediri dapat di kalahkan maka hari depan Anusapati itu-pun akan menjadi semakin cemerlang. Ia akan menjadi seorang raja yang besar, yang tidak saja meliputi daerah Singasari sekarang tetapi kesatuan dari daerah-daerah yang lebih luas akan membuat kerajaan itu lebih kuat.
Akhirnya Mahisa Agni menghentakkan perasaannya. Ia sadar, bahwa ia memang harus berbuat sebagai seorang Senapati di peperangan, sehingga ia tidak boleh hanyut dalam arus perasaannya. Karena itu, ketika terbuka kesempatan padanya, ia segera mendesak lawannya. Gubar Baleman yang lagi terbelah perhatiannya oleh beberapa orang prajuritnya yang terdesak dan kehilangan sebagian dari kesempatan untuk melindungi diri, terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba saja menyentuh tubuhnya.
Senapati Kediri itu menggeram sambil meloncat surut. Sejenak ia memusatkan perhatiannya menghadapi Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian maka pertempuran di antara mereka-pun menjadi semakin dahsyat. Tetapi ketika terdengar pekik kesakitan dan lengking seekor kuda yang terbanting jatuh, perhatian Gubar Baleman kembali terbagi. Bahkan Gubar Baleman berusaha untuk sekali lagi meloncat surut menjauhi Mahisa Agni.
Pada saat itu Sri Baginda Kertajaya sedang berada di perjalanan menuju ke medan perang. Meskipun Prajurit Kediri sudah berjalan secepat-cepat dapat mereka lakukan, bahkan ada di antara mereka yang terloncat-loncat, namun terasa pasukan itu maju terlampau lamban. Di langit matahari merambat semakin ke Barat. Cahayanya yang terik serasa membakar kulit. Sekali-kali sehelai awan yang putih hanyut dibawa angin yang lambat.
Sri Baginda Kertajaya menengadahkan kepalanya. Terasa dadanya berdesir tajam. Tiba-tiba saja dari arah Tenggara segumpal awan yang hitam terbang dengan cepatnya, seakan-akan ingin mengejar matahari yang terik.
“Sri Baginda Kertajaya tidak pernah memperhatikan awan di langit. Tetapi tiba-tiba kini perhatiannya tertarik oleh awan yang hitam dan tebal. Selama ini langit tampak cerah kebiruan, sehingga awan yang tebal itu begitu tiba-tiba saja sudah ada di atas Kediri.
Awan yang hitam itu seakan-akan kemudian mekar memenuhi udara. Semakin lama semakin rata. sehingga sejenak kemudian maka matahari-pun telah ditelannya. Langit yang biru kini menjadi berangsur gelap. Begitu cepatnya. Apalagi sejenak kemudian terdengar guruh yang lamat-amat mengumandang di sepanjang cakrawala. Sri Baginda merasakan sesuatu yang aneh. Tetapi Sri Baginda Kertajaya tidak mengatakannya kepada siapapun juga.
Namun tiba-tiba langkah pasukan Kediri itu tertegun. Dari kejauhan mereka melihat kuda berderap seperti angin. Belum lagi Sri Baginda melihat siapakah yang datang itu, namun sesuatu sudah terasa melonjak di hatinya. Sejenak, kemudian kuda itu-pun menjadi semakin dekat. Dan hati setiap prajurit Kediri-pun menjadi semakin berdebar-debar.
“Apa yang sudah terjadi?” belum lagi kuda itu berhenti Sri Baginda sudah tidak sabar lagi.
Dengan nafas terengah-engah Senapati penghubung itu meloncat dari kudanya. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam Kemudian katanya, “Ampun Sri Baginda. Menteri Gubar Baleman telah gugur pula?”
“Gubar Baleman,” Sri Baginda berteriak sambil membelalakkan matanya.
“Hamba Tuanku.”
Sejenak Sri Baginda justru terbungkam. Pasukan Kediri itu sama sekali sudah tidak mempunyai pengikat lagi. Namun tiba-tiba Sri Baginda Kertajaya itu menggeretakkan giginya. “Cepat,” geramnya, “kita harus segera mencapai medan.”
“Tuanku,” berkata Senapati penghubung itu, “pasukan Kediri sedang dalam gerakan mundur. Itu-pun dalam keadaan yang payah. Sebaiknya Tuanku tidak maju ke medan. Tetapi justru mempersiapkan pertahanan yang lebih baik di batas kota.”
“Gila,” teriak Sri Baginda, “apakah aku akan membiarkan prajurit yang sedang berada di medan itu tumpas dibantai oleh orang-orang Singasari.”
“Tuanku, kita berharap bahwa mereka akan dapat mencapai batas kota. Tetapi di gapura itu, kita dapat mengerahkan semua tenaga. Setiap prajurit akan kita tarik ke medan.”
“Kapan akan kau lakukan itu?”
“Sekarang Tuanku. Selagi Tuanku kembali surut ke dinding kota, hamba akan mempersiapkan pertahanan itu. Setiap laki-laki yang dapat dikerahkan harus dikerahkan.”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam.
“Tuanku, waktu terlampau sempit. Sebenarnyalah keadaan medan sudah sangat parah.”
Tanpa sesadarnya Sri Baginda menengadahkan wajahnya ke langit. Awan yang hitam kelam kini sudah memenuhi udara. Sekali-kali guruh terdengar meledak di kejauhan.
“Apakah Tuanku memperkenankan hamba melakukannya? Itulah pesan terakhir dari Menteri Gubar Baleman, karena hambalah yang telah berusaha menyingkirkan jenazahnya.”
Sri Baginda masih termenung sejenak. Namun akhirnya Sri Baginda menganggukkan kepalanya, “Apa boleh buat.”
Senapati penghubung itu-pun segera memacu kudanya ke dinding kota, sedang Sri Baginda menarik pasukannya mundur kembali memasuki regol. Kotaraja Kediri segera berada di dalam keadaan yang gawat. Suara tengara telah bergema di seluruh kota. Setiap laki-laki yang merasa dirinya memiliki kemampuan sekedarnya untuk bertempur, segera menyambar senjata mereka apa saja yang dapat mereka pergunakan. Tombak, pedang, canggah, bindi, parang, keris dan lain-lain yang dapat mereka ketemukan. Dengan hati yang berdebar-debar mereka-pun segera berlari-lari ke dinding kota. Mereka tahu benar, bahwa pasukan lawan pasti akan memasuki kota lewat regol itu.
Sejenak kemudian di sepanjang dinding kota itu telah bertebaran laki-laki bersenjata dari segala penjuru kota. Mereka sama sekali bukan prajurit. Tetapi mereka yang memiliki keberanian, telah terjun di gelanggang untuk mempertahankan Kotaraja. Di antara mereka terdapat beberapa orang prajurit penjaga regol. Kemudian berdatangan beberapa orang prajurit yang lain dari setiap sudut kota mereka. Mereka adalah para pengawal yang tinggal untuk mengamankan kota mereka.
Tetapi kini mereka telah ditarik seluruhnya untuk melawan pasukan Singasari. Sejenak kemudian pasukan Sri Baginda Kertajaya-pun telah berada di tempat itu pula. Mereka telah mempersiapkan diri untuk menyongsong kedatangan pasukan Singasari yang melanda Kediri seperti banjir bandang. Dengan dada yang berdebar-debar Sri Baginda yang telah turun dari kudanya, berdiri tegak di tengah-engah regol. Ditatapnya jalan yang membujur panjang di bawah kakinya. Seolah-olah jalan itu adalah jalan yang langsung memanjat sampai ke batas langit.
Sekilas terbayang kedua orang yang selama ini telah menjadi sapu kawat kerajaannya yang sedang goncang. Mahisa Walungan dan Guber Baleman. Kini keduanya telah gugur di peperangan oleh kesetiaan mereka terhadap Kediri, meskipun keduanya hampir saja mati terbunuh oleh pengkhianatan Pujang Warit.
“Keduanya tidak melihat, bahwa Pujang Warit telah terbunuh,” desisnya didalam hati, “meskipun barangkali Gubar Baleman sempat mendengarnya.”
Dada Sri Baginda serasa menjadi sesak. Namun kemudian tumbuh suatu pertanyaan di dalam hatinya, “Betapa saktinya para Senapati Singasari itu. Mereka mampu membunuh Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Kalau Mahisa Walungan terbunuh oleh Sri Rajasa, maka pastilah bahwa Sri Rajasa adalah seorang yang pilih tanding. Sedang Senapati yang mampu membunuh Gubar Baleman-pun pasti Senapati yang mumpuni.
“Dengan Senapati-senapati yang tangguh itulah agaknya Singasari akan merambat ke puncak kejayaannya, sementara Kediri akan menjadi semakin surut.” gumamnya di dalam hati.
Meskipun melonjak pula penyesalan di dalam hati, tetapi ada semacam perasaan pasrah pula pada diri Sri Baginda Kertajaya. Namun demikian, ia masih tetap berdiri di ujung pasukan, menggenggam senjata sebagai seorang Senapati. Pada saat itu, dengan susah payah pasukan Kediri berusaha menarik diri dari medan. Dengan korban yang tidak terhitung lagi pasukan itu berusaha untuk mencapai dinding kota. Mereka sudah mendapat kabar, bahwa Sri Baginda sendiri telah menyusun pasukan, untuk mempertahankan Kediri di batas Kotaraja.
Karena itu maka gairah perjuangan mereka-pun semakin melonjak pula. Dengan sepenuh hati, mereka berusaha menarik pasukannya, bukan karena mereka takut mati terbunuh di peperangan. Tetapi sebagai seorang prajurit mereka memperhitungkan, bahwa masih ada kesempatan untuk memperbaiki kekalahan.
“Kita tidak boleh mati sia-sia,” teriak seorang Senapati, “karena itu atur dirimu baik-baik.”
Sementara beberapa orang yang masih berada di punggung kudanya selalu berusaha melindungi gerakan mundur yang banyak menemui kesulitan itu. Betapapun sulitnya, namun akhirnya pasukan Kediri itu berhasil mendekati dinding kota. Dari kejauhan mereka sudah melihat, sebuah songsong pusaka, tombak, dan umbul-umbul yang merekat pada tunggul Kiai Gajah.
“Sri Baginda ada di dinding kota,” teriak salah seorang Senapati.
Setiap hati prajurit Kediri-pun tergetar. Betapapun mereka menjadi lemah, tetapi tekad mereka telah menyala kembali. Sepeninggal Mahisa Walungan dan kemudian Gubar Baleman, pasukan Kediri seakan-akan sudah tidak bertenaga sama sekali. Namun kini, pada tubuh yang lemah itu, seakan-akan telah tersiram air yang sejuk, menyegarkan.
Sri Baginda yang melihat pasukan terdesak, hatinya serasa telah menyala. Hampir tidak sabar lagi ia menunggu pasukannya sampai ke batas. Tetapi ia tidak dapai maju menyongsong pasukan Singasari dalam keadaan serupa itu. Menurut perhitungan nalar ia harus memanfaatkan dinding kota itu untuk bertahan. Tetapi, Sri Baginda yang mempunyai pengalaman yang cukup itu, setelah melihat perimbangan kedua pasukan, berkata di dalam hati.
“Pasukan Singasari memang tidak akan dapat dibendung. Akulah orang yang paling bodoh di antara para prajurit Kediri.” dan penyesalan itu datang lagi, “kalau aku mendengarkan nasehat Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. aku tidak akan terjerumus ke dalam kesulitan seperti ini. Tetapi kini keduanya telah gugur. Maka tidak ada penyelesaian yang lebih baik bagiku. Mengusir prajurit Singasari, atau gugur sama sekali di medan ini.”
Sejenak kemudian, maka Sri Baginda-pun segera mengirimkan sepasukan yang akan menjadi mulut regol kotanya. Pasukan yang akan membantu pasukan Kediri yang sedang bergerak mundur. Sementara pasukan yang akan menjadi penutup regol-pun telah siap pula. Apabila pasukan Kediri yang mundur itu sudah memasuki regol, maka pasukan yang telah disediakan itulah yang akan menahan pasukan lawan, sedangkan para prajurit yang telah menyiapkan senjata jarak jauh. telah siap di atas dinding dengan busur di tangan.
“Pertempuran ini akan menjadi pertempuran yang paling dahsyat di sepanjang sejarah perkembangan Kediri,” berkata Sri Baginda kepada Senapati pengapitnya.
“Hamba Tuanku,” sahut Senapati itu.
Sejenak kemudian maka barisan Kediri yang mundur itu berhasil mencapai regol. Bahwa pasukan itu tidak pecah dan tercerai berai itu adalah karena ikatan yang kuat dan keberanian yang tiada taranya dari para prajurit Kediri itu. Laju pasukan Singasari-pun kemudian tertahan oleh anak panah yang bagaikan hujan yang jatuh dari langit. Mereka yang berperisai, segera mempergunakan perisai mereka untuk melindungi bukan saja dirinya sendiri, tetapi juga melindungi kawan-kawannya yang sedang mendesak maju.
Sejenak kemudian kedua pasukan itu telah bergulat di depan regol dinding istana. Pasukan Kediri yang parah, dengan susah payah menyusup di antara prajurit Kediri yang masih segar masuk ke dalam dinding, sedang pasukan yang memang sudah dipersiapkan telah mencoba menahan pasukan Singasari. Sri Rajasa dan Mahisa Agni yang tidak mempunyai lawan itu-pun kini sempat berdiri berdampingan sambil membicarakan kemungkinan yang mereka hadapi.
“Kita pecah dinding kota,” berkata Sri Baginda.
“Dinding ini terlampau tebal Tuanku,” sahut Mahisa Agni.
“Kita akan memanjat.”
“Berbahaya sekali.”
“Beberapa orang akan saling menyusun diri bersama. Sementara yang lain mecoba melindungi mereka.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi cara yang disebut oleh Sri Rajasa itu adalah cara yang berbahaya sekali. Dengan mudah sekali orang yang berada di atas dinding kota yang tebal itu dapat menyerang mereka yang sedang mencoba memanjat naik. Tetapi cara lain memang sulit sekali diketemukan. Masuk melalui gerbang adalah hampir tidak mungkin.
Gerbang yang tidak terlampau lebar itu telah tersumbat oleh pertempuran yang sengit. Prajurit yang sudah terlanjur bertempur di mulut regol itu, pasti tidak akan lagi dapat keluar. Maju mereka akan berhadapan dengan ujung senjata prajurit Kediri, sedang prajurit Singasari yang lain mendesak dari belakang, sementara prajurit Kediri-pun mempertahankan jalan masuk itu mati-matian. Akhirnya perintah Sri Rajasa-pun segera mengumandang di seluruh medan, dan segera pula ditanggapi oleh para Senapati.
Dengan cepatnya pasukan Singasari itu-pun menebar dan berloncatan melekat dinding. Setiap jengkal seorang prajurit berdiri bertelekan pada dinding kota. Seorang kawannya yang lain memanjat di pundaknya dan kawan yang lain lagi harus meloncat pula naik. Kalau prajurit yang paling bawah merasa terlampau berat, maka seorang yang lain membantunya menahan berat tubuh orang yang ada di atasnya.
Orang yang ketiga sudah akan dapat meloncat dinding apabila ia dapat mengatasi serangan yang datang bertubi-tubi dari para prajurit Kediri yang berada di atas dinding. Sehingga, karena itulah maka orang ketiga yang akan naik adalah para prajurit yang mengenakan perisai atau yang bersenjata tombak panjang, sedang prajurit yang lain melindunginya dengan panah atau tombak-tombak pendek yang dilontarkan dari luar.
Demikian banyaknya prajurit Singasari yang melekat dinding kota itu, sehingga pada suatu saat terdapat juga bagian-bagian yang lemah dari para prajurit Kediri yang berada di atas dinding, sehingga ketika beberapa orang Singasari sempat naik keatas dinding, maka seolah-olah mereka telah membukakan pintu bagi kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian maka lambat laun, beberapa orang prajurit Singasari-pun segera berhasil meloncat memasuki bagian dalam Kotaraja yang sedang dipertahankan.
Dalam kekalutan itu seorang Senapati bertanya kepada Mahisa Agni, “Apakah sebagian dari kita diperkenankan memasuki Kotaraja dari pintu-pintu gerbang yang lain.?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Kita pusatkan seluruh kekuatan di sini. Gerbang-gerbang itu pasti juga sudah ditutup, dan beberapa orang prajurit pasti sedang menjaganya. Tanda-tandanya di sini kita akan segera dapat menyelesaikan pekerjaan ini.”
Perhitungan Mahisa Agni itu-pun ternyata tidak jauh meleset. Selagi ke dua belah pihak bertempur dengan dahsyatnya di regol kota, maka beberapa kelompok pasukan Singasari berturut-turut telah berhasil meloncati dinding. Ternyata bahwa beberapa kelompok prajurit itu mempunyai pengaruh yang besar bagi pertempuran yang terjadi di mulut regol. Kehadiran pasukan Singasari dari arah samping telah mengejutkan prajurit-prajurit Kediri yang berada di dalam dinding.
Dengan demikian maka pertempuran-pun menjadi semakin meluas. Pasukan Kediri tertarik untuk melawan prajurit Singasari yang masuk meloncati dinding, sehingga pertahanan di mulut regol-pun menjadi semakin berkurang, sedang prajurit Singasari yang memasuki dinding semakin lama menjadi semakin banyak.
Sementara itu langit yang kelam oleh mendung yang tebal menjadi semakin kelam. Sekali-sekali guntur meledak di langit. Semakin lama menjadi semakin sering. Sementara matahari di balik mendung yang tebal itu-pun merayap terus semakin ke Barat. Sebenarnyalah bahwa pasukan Kediri yang terakhir itu-pun tidak mampu lagi membendung pasukan Singasari. Kemenangan demi kemenangan membuat seiap prajurit Singasari menjadi semakin berbesar hati.
Kematian Mahisa Walungan dan Gubar Baleman, dua pahlawan yang gagah berani itu, membuat para prajurit Singasari menemukan kejakinan, bahwa Kediri pasti akan dapat ditundukkan. Di pertahanan yang terakhir inilah pasukan Kediri dan rakyat yang tetap setia kepada Kotanya, telah berjuang dengan sekuat tenaga mereka. Peperangan ini tidak hanya sekedar menentukan nasib Kotaraja Kediri itu sendiri, tetapi apa yang terjadi di pusat pemerintahan Kerajaan Kediri yang Agung ini, akan menentukan suatu bentuk pemerintahan dari sebuah wilayah yang luas sekali.
Perang yang semakin lama menjadi semakin dahsyat itu ternyata telah mendesak prajurit Kediri mundur semakin dalam memasuki Kotaraja. Prajurit-prajurit yang berjuang di regol-regol kota-pun sudah tidak mampu lagi bertahan, sehingga sejenak kemudian, pasukan Singasari yang masih ada di luar regol berhasil mendorong pasukan Kediri dan menguasai pintu gerbang. Dengan demikian maka pecahlah bendungan yang menahan arus banjir bandang dari Singasari itu.
Dengan demikian, maka medan perang kini telah berada di dalam kota. Sri Baginda Kertajaya sendirilah yang memimpin sisa-sisa dari pasukannya. Luka yang parah pada pasukannya, telah membuat Sri Baginda Kertajaya menjadi semakin garang, seperti seekor harimau yang terluka di bagian tubuhnya sendiri.
Mahisa Agni yang berada di pusat pasukan Singasari melihat Sri Baginda Kertajaya mengamuk. Pusakanya berputar seperti angin pusaran. Setiap sentuhan dari ujung senjata itu, pasti akan berakibat maut. “Kemarahan Sri Baginda Kertajaya harus mendapat pelayanan,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “kalau tidak, maka prajurit Singasari akan menjadi bosah-baseh.”
Tetapi ketika Mahisa Agni meloncat maju untuk menyongsong Sri Baginda Kertajaya, terasa punggungnya digamit seseorang. Ternyata Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, dibayangi oleh songsong kebesarannya telah siap pula maju melawan Sri Baginda di Kediri. Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Di medan ini akan bertemu dua orang raja yang besar, yang memiliki kelebihan yang sukar dicari tandingnya. Sri Baginda Kertajaya dan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
“Apakah Tuanku akan menghadapi Sri Baginda Kertajaya sendiri?” bertanya Mahisa Agni di luar sadarnya.
Sri Rajasa menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku akan melawannya. Menurut pendengaranku, Sri Baginda Kertajaya adalah seorang Raja yang besar, yang sakti dan tidak ada duanya.”
Mahisa Agni tidak menjawab.
“Aku akan mencoba melawannya.”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri.
“Agni,” desis Sri Rajasa kemudian, “kalau aku gagal, maka kau adalah orang yang paling terpercaya di seluruh Singasari. Kau adalah kakak Permaisuriku. Karena itu, seandainya aku tidak dapat keluar dari peperangan ini karena Sri Baginda Kertajaya, maka kaulah yang wajib mengatur pemerintahan sampai Pangeran Pati dapat mengemudikan Kerajaan.”
“Siapakah Pangeran Pati itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Bukankah aku sudah menentukan?”
“Anusapati?”
“Ya. Tidak ada orang lain.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia melihat kesungguhan memancar di wajah Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu. Sekilas terbayang sikap Sri Rajasa yang tidak adil atas kedua puteranya, Anusapati dan Tohjaya. Kedua putera yang lahir dari ibu yang berbeda dan sebenarnyalah dari ayah yang berbeda pula, karena Anusapati adalah putera Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi dalam saat yang genting ini Sri Rajasa telah, menyebut nama Anusapati.
Sejenak Mahisa Agni diam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia terperanjat ketika Sri Rajasa berkata, “Aku akan mulai.”
“O,” Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Selama itu pasukan Singasari berhasil mendesak terus. Tetapi tidak seorang-pun dari para Senapati yang berani mendekati Sri Baginda Kertajaya seorang diri. Di dalam kelompok yang terdiri dari Senapati pilihan, prajurit Singasari mencoba membendung kemarahan Sri Baginda Kertajaya. Tetapi korban masih berjatuhan terus.
Sejenak, kemudian maka Sri Rajasa-pun melangkah maju di bawah songsong kebesarannya. Selangkah demi selangkah. Ditatapnya Sri Baginda Kertajaya yang mengamuk sebagai harimau luka. Siapa yang mendekat pasti akan tersobek dadanya oleh ujung pusakanya. Tetapi Ken Arok tidak menjadi gentar. Sejak kecil ia sudah ditempa untuk menghadapi bermacam-macam bahaya. Sekilas terngiang di telinganya sebuah suara yang memancar dari ketiadaan, selagi ia memanjat pohon tal ketika ia dikejar-kejar orang.
“Kalau aku memang akan binasa, binasalah aku saat itu. Tetapi Yang Agung masih melindungi aku,” berkata Ken Arok di hatinya. “Meskipun pada saat itu ia tidak tahu sama sekali, siapakah yang telah menunjukkan jalan pelepasan itu. Namun dari Empu Purwa ia mendengar untuk pertama kali, bahwa Yang Agung adalah sumber dari segala bentuk kehidupan.”
Kini Ken Arok telah menerjunkan dirinya kekancah peperangan melawan Sri Baginda Kertajaya. Para prajurit dan Senapati, seakan-akan telah menyibak ketika mereka melihat Sri Rajasa sendiri maju menghadapi Sri Baginda Kertajaya, sehingga di sekitar mereka berdua, para prajurit seakan-akan tidak sempat lagi untuk saling bertempur. Mereka menjadi ternganga-nganga melihat kedua Raja besar itu bertemu di peperangan.
Dalam kancah peperangan yang riuh, di mana pasukan Singasari berhasil mendesak pasukan Kediri yang parah maka kedua rajanya sedang berhadapan untuk menentukan, siapakah di antara mereka yang akan menguasai telatah yang besar ini, telatah yang sampai saat itu masih bernama Kerajaan Kediri. Kerajaan yang diperintah oleh seorang Maharaja yang bernama Kertajaya. Sejenak kedua raja itu saling berhadapan. Tetapi mereka agaknya tidak perlu untuk saling bertanya, karena mereka masing-masing telah mengetahui, dengan siapa mereka berhadapan.
Dengan demikian, maka keduanya segera menggerakkan senjata masing-masing. Sri Baginda Kertajaya dengan pusakanya, sebatang tombak dan Sri Rajasa mempergunakan sehelai pedang dan sebuah perisai kecil memanjang, terbuat dari kepingan baja yang tipis. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perang yang dahsyat, senjata mereka saling beradu, memancarkan bunga api di udara, sedang guntur di langit masih juga meledak-ledak tidak hentinya.
Selagi keduanya terlibat dalam perang tanding yang dahsyat, maka pasukan Singasari berhasil mendesak pasukan Kediri, sehingga mereka perlahan-lahan semakin terdesak mundur ke dalam kota. Karena itulah maka Sri Baginda Kertajaya-pun kadang-kadang terganggu pula karenanya. Meskipun gerakan maju pasukan Singasari masih juga tidak dapat secepat di saat-saat pasukan Kediri kehilangan Gubar Baleman setelah mereka kehilangan Mahisa Walungan, namun untuk dapat bertahan di dalam kota, agaknya akan terlampau sulit.
Dalam keadaan yang kalut itulah Sri Rajasa berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk mendesak Sri Baginda Kertajaya. Namun ternyata Sri Baginda Kertajaya memiliki kemampuan yang lebih matang dari Mahisa Walungan. Meskipun pada dasarnya ilmu mereka didasari oleh bahan yang sama, tetapi umur Sri Baginda yang lebih tua, ternyata berpengaruh pula atas kematangan ilmu pada kedua kakak beradik itu. Itulah sebabnya, maka menghadapi Sri Baginda Kertajaya, Sri Rajasa mengalami beberapa kesulitan.
Namun ketika Mahisa Agni mendekati arena pergulatan dari dua orang yang berilmu raksasa itu, Sri Rajasa berteriak, “Menyingkir kau Agni.”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni surut selangkah. Dengan hampir tidak berkedip ia memandang pertempuran yang semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Agni sendiri adalah seorang raksasa di dalam olah kanuragan, sehingga dengan demikian ia dapat melihat imbangan kekuatan antara kedua Raja yang sedang bertempur itu.
Dalam pada itu, maka pertempuran antara ke dua belah pihak semakin dahsyat pula. Prajurit Singasari mendesak lawannya semakin jauh. Dengan demikian maka timbullah jarak antara prajurit-prajurit Kediri itu dengan rajanya, sehingga pada suatu saat, Sri Baginda Kertajaya itu-pun terpisahlah dari para prajuritnya.
Beberapa orang Senapati yang tetap berusaha mengitari Sri Baginda, seorang demi seorang telah tersingkir. Bahkan penongsong Sri Baginda Kertajaya-pun telah menjadi terluka parah dan tidak mampu lagi untuk tetap mengangkat payung pusaka Sri Baginda. Dengan tenaganya yang terakhir, penongsong itu telah mencoba menancapkan tangkai bendera itu di tanah. Kemudian perlahan-lahan ia jatuh terduduk.
Tanpa disadarinya, kini Sri Baginda Kertajaya telah terkepung di dalam lingkungan pasukan Singasari. Namun demikian Sri Baginda Kertajaya sama sekali tidak menjadi berkecil hati. Dengan tekad yang bulat ia tetap bertempur dengan gigihnya. Yang masih tetap mendampinginya meskipun tubuhnya telah basah oleh darah adalah Senapati Kediri yang memanggul panji-panji yang terikat pada sebuah tunggul yang bernama Kiai Gajah.
Ketika Sri Rajasa melihat, bahwa lawannya telah terpisah dari pasukannya, serta beberapa orang Senapati Singasari telah mengepung arena, maka Sri Rajasa itu-pun kemudian berteriak, “Jangan ganggu kami. Kami akan menyelesaikan peperangan ini sebagai laki-laki.”
Seperti Mahisa Agni. maka para Senapati itu-pun kemudian melangkah surut, membentuk suatu lingkaran yang membatasi arena perang tanding antara dua orang raja yang besar.
Ketika Sri Kertajaya menyadari keadaannya, maka ia-pun kemudian berkata, “Kau memang seorang Raja yang besar dan jantan. Dengan sebuah perintah yang pendek, maka Sanapatimu dapat beramai-ramai membunuhku. Tetapi kau bermaksud untuk menyelesaikan pertempuran ini dengan perang tanding.”
“Ya,” sahut Sri Rajasa, “aku ingin menyelesaikan pertempuran ini dengan perang tanding. Apapun yang akan mengakhirinya.”
Tantangan Sri Rajasa itu telah membuat dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia, sebagai seorang yang memiliki ilmu yang hampir mumpuni itu-pun dapat menilai, bahwa Sri Rajasa memang berada di dalam kesulitan. Meskipun demikian Mahisa Agni masih belum dapat mengatakan bahwa Sri Rajasa akan dapat di kalahkan oleh Sri Baginda Kertajaya.
Perang yang berkecamuk antara prajurit Kediri dan prajurit Singasari masih berlangsung terus. Prajurit Kediri semakin jauh terdesak masuk ke dalam kota. Sementara itu prajurit Kediri menjadi cemas ketika mereka menyadari bahwa Sri Baginda Kertajaya tidak mau menarik diri bersama pasukan yang bergerak mundur itu. Beberapa orang Senapati Kediri yang setia segera berusaha menembus jaringan gelar pasukan Singasari. Tetapi sampai orang yang terakhir, mereka tidak dapat mencapai Sri Baginda Kertajaya.
Sedang prajurit-prajurit Singasari sendiri tidak kalah cemasnya menyaksikan perang tanding yang menjadi semakin seru itu. Namun setiap Senapati Singasari yang sempat menyaksikan perang tanding itu merasa bahwa kemampuan ilmu Sri Baginda Kartajaya agak lebih tinggi dari Sri Rajasa. Ketangkasan Sri Kertajaya benar mengagumkan. Sri Baginda mampu melontarkan tubuhnya dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan pandangan mata wadag. Bukan saja ketangguhan ilmu seperti Mahisa Walungan. tetapi kematangan dan ketetapan penggunaan setiap unsur dari ilmunya itu.
Dengan demikian semakin lama menjadi semakin jelas bahwa ilmu Sri Baginda Kertajaya memiliki beberapa kelebihan dari Sri Rajasa yang sulit untuk dimengerti, ilmu apakah yang telah dipergunakannya. Setiap kali Sri Rajasa selalu terdesak. Meskipun Sri rajasa masih selalu sempat menangkis setiap serangan ujung tombak Sri Kertajaya, tetapi kecepatan gerak Sri Kertajaya kadang-kadang telah membingungkannya.
Namun demikian, Sri Rajasa masih tetap segar seperti permulaan dari perang tanding itu. Meskipun ia harus memeras segenap tanaganya, tetapi tenaganya sama sekali tidak menjadi susut. Dengan tabah ia menghadapi setiap serangan lawannya. Dengan memutar pedangnya dan perisai kecilnya, Sri Rajasa masih selalu sempat menghindarkan dirinya dari ujung tombak lawannya.
Dalam pada itu, Sri Baginda Kertajaya menjadi heran. Menurut perhitungannya, setiap kali Sri Rajasa kehilangan kesempatan untuk menghindar atau menangkis serangannya, karena geraknya yang cepat tidak dapat diikuti oleh lawannya. Tetapi apabila Sri Baginda Kertajaya hampir memastikan bahwa serangannya akan berhasil menembus dada Sri Rajasa, tiba-tiba saja, ujung tombaknya itu telah menyentuh perisai lawannya atau tersentuh oleh pedangnya ke samping.
“Aku tidak mengerti, ilmu apakah yang dipergunakannya,” desis Sri Kertajaya. Namun karena itulah maka Sri Baginda itu telah mengerahkan segenap ilmunya. Apalagi ketika ia sadar, bahwa ia tidak lagi berada di dalam lingkungan prajuritnya yang telah terdesak semakin jauh. Tetapi keheranan Sri Baginda Kertajaya itu-pun segera terjawab ketika Sri Rajasa-pun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula, meskipun ia sama sekali tidak dapat mengimbangi kecepatan bergerak Sri Baginda Kertajaya.
Ketika Sri Rajasa sudah sampai pada puncak pengerahan kekuatan lahir dan batinnya tanpa disadarinya sendiri, maka Sri Baginda Kertajaya-pun terkejut. Seperti Mahisa Walungan, ia-pun mampu menangkap sasmita yang memancar di atas kepala Sri Rajasa. Cahaya yang kemerah-merahan, yang hanya dapat ditangkap oleh indera seseorang yang berilmu mumpuni. Mahisa Agni yang berada di luar arena itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Itulah agaknya yang membuat Sri Rajasa mampu melakukan rencananya, karena ia mempunyai kelebihan yang tidak ada duanya. Dikasihi oleh dewa-dewa.
Demikianlah maka pertempuran itu-pun menjadi semakin seru. Tetapi juga seperti Mahisa Walungan Sri Baginda Kertajaya telah pasrah akan nasibnya kepada Yang Maha Agung. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal, seandainya ia tidak dapat keluar lagi dari perang tanding ini. Bahkan ada sepercik kebanggaan yang menyentuh perasaannya, bahwa dewa-dewa sendirilah yang telah mengatur akhir dari hidupnya. Namun demikian Sri Baginda Kertajaya tidak menjadi kendor. Ia masih bertempur dengan sekuat tenaga. Di saat terakhir ia berkeinginan untuk melihat, apakah yang ada di dalam diri Sri Rajasa itu selanjutnya.
Para Senapati yang tidak mempunyai indera setajam Sri Baginda Kertajaya dan Mahisa Agni, tidak dapat melihat cahaya yang kemerah-merahan itu. Karena itu, mereka-pun menjadi semakin cemas, bahwa Sri Rajasa seakan-akan menjadi semakin terdesak. Namun yang tidak dapat mereka mengerti, dalam keadaan yang betapapun sulitnya, Sri Rajasa pasti dapat menyelamatkan diri. Seolah-olah mereka telah menyaksikan peristiwa yang tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi yang tidak mungkin itu ternyata benar-benar telah mereka lihat.
Bahkan sekali-kali Sri Rajasa itu terdorong demikian kerasnya, sehingga terbanting jatuh. Namun demikian cepatnya pula ia meloncat bangkit. Tidak hanya sekali dua kali. Tetapi berkali-kali. Namun demikian, tenaga Sri Rajasa sama sekali tidak kelihatan susut. Bantingan yang keras, desakan-desakan serangan yang membingungkan, sama sekali tidak mempengaruhi. Ia masih saja bertempur dengan gigih dan mantap.
Para Senapati Singasari yang tidak ikut di dalam pengejaran pasukan Kediri itu menjadi heran, seperti juga pemandi panji-panji pusaka dari Kediri yang masih berdiri mematung menyaksikan pertempuran itu. Sejenak kemudian justru Sri Baginda Kertajaya lah yang tampak menjadi lelah. Keringatnya telah terperas dari seluruh wadah kulitnya, dan nafasnya-pun telah mulai menjadi semakin cepat mengalir.
Perang tanding itu memang hampir tidak dapat masuk di akal setiap orang yang menyaksikannya. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Semakin lama Sri Baginda Kertajayalah yang justru kehilangan sebagian dari tenaganya. Namun Sri Baginda Kertajaya-pun sama sekali tidak menjadi cemas. Ia menyadari dengan siapa ia berhadapan. Apapun yang akan terjadi atasnya adalah kehendak dari Yang Maha Agung.
Dalam pada itu langit-pun menjadi semakin lama semakin gelap. Matahari yang terlindung itu-pun menjadi semakin rendah di ujung Barat, sehingga sinarnya sama sekali tidak dapat lagi menembus lapisan awan yang gelap. Guntur dan guruh saling bersahutan di langit dan lidah api-pun meloncat-loncat dengan dahsyatnya.
Beberapa orang prajurit dan Senapati yang tanggap akan sasmita alam itu-pun mulai mereka-reka apa yang kira-kira akan terjadi. Karena itu maka prajurit Kediri-pun menjadi semakin berkecil hati. Apalagi pasukan Singasari benar-benar telah mendesak mereka tanpa memberi kesempatan untuk mengatur diri di dalam gerakan mundur. Para Senapati di ke dua belah pihak, kini sudah meyakini, bahwa pasukan Kediri pasti akan pecah.
Di saat-saat guntur meledak di langit, dan di saat titik-titik air hujan jatuh satu-satu, tampaklah, bahwa Sri Kertajaya seakan-akan telah kehabisan tenaga. Meskipun demikian wajahnya masih tetap bening dan segar, bahkan sorot matanya yang pasrah telah membuatnya menjadi semakin tenang.
Dan akhirnya yang sudah diperhitungkan itu terjadilah. Di saat-saat terakhir, justru Sri Baginda Kertajaya lah yang selalu terdesak. Bukan karena ilmu Sri Rajasa melampaui kematangan ilmu Sri Baginda Kertajaya. Tetapi kekuatan yang tersembunyi, yang hanya tampak oleh Sri Baginda sendiri dan Mahisa Agni itulah yang telah menentukan akhir dari pertempuran itu.
Sejenak Mahisa Agni teringat, bagaimana pertama-tama ia bertemu dengan Ken Arok di padang Karautan. Di saat itu hantu itu sama sekali masih belum mengenal ilmu apapun juga. Namun sebagai seorang murid Empu Purwa yang terpercaya, ia sama sekali tidak berhasil mengalahkannya. Tanpa disadarinya Mahisa Agni itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Agaknya saat itu guru-pun telah melihat cahaya yang kemerah-merahan itu,” katanya di dalam hati.
Di saat-saat itulah teringat olehnya pusaka yang diterimanya dari gurunnya. Sebuah Trisula kecil. Kecil saja. Namun di saat ia mempergunakan trisula itu, Ken Arok yang lebih dikenal dengan julukan Hantu Karautan, sama sekali tidak berdaya melawannya. Trisula yang menurut gurunya langsung diterima dari langit. Ternyata bahwa senjata kecil itu telah membuat orang yang dikasihi oleh dewa-dewa ini menjadi silau, sehingga ia sama sekali tidak dapat memberikan perlawanan.
Terngiang suara Hantu Karautan saat itu, “Kau curang.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba terbersit di hatinya, “Betapapun saktinya Sri Rajasa, namun aku memiliki sesuatu yang dapat mengimbanginya.”
Dalam pada itu, pertempuran yang dahsyat itu-pun sudah mendekati pada saat-saat terakhir. Sri Baginda Kertajaya adalah seseorang yang memiliki tenaga yang tidak terkirakan besarnya. Namun melawan Sri Rajasa, tenaga itu seakan-akan begitu cepatnya terhisap. Karena itulah maka sejenak kemudian, kekuatannya sama sekali sudah tidak berdaya lagi untuk melawan sambaran pedang Sri Rajasa. Dengan kekuatan yang tidak terduga-duga besarnya, maka pedang itu-pun terayun dengan derasnya.
Sri Baginda Kertajaya melihat juga ayunan senjata itu. Tetapi tangannya seakan-akan telah membeku, sehingga dengan pasrah ia sama sekali tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian, maka pedang itu-pun segera terhunjam di dadanya. Dada Sri Baginda Kertajaya. Terdengar Sri Baginda berdesis. Namun kemudian ia tersenyum sambil bertelekan pada tangkai tombaknya. Katanya,
“Kau adalah lantaran dewa-dewa untuk memusnakan ketamakan kerajaan Kediri. Kaulah yang akan menyaksikan Kediri yang di saat ini akan runtuh. Karena itu, ingat-ingatlah Sri Rajasa. Jangan mengulangi kesalahan Kerajaan Kediri. Ketamakan, keangkuhan dan lupa diri. Tidak ada manusia yang dapat menyamai Yang Maha Agung. Aku ternyata juga tidak. Kau-pun tidak Sri Rajasa.” Baginda Kertajaya berhenti sejenak. Tetapi tampaklah bahwa ia menjadi semakin lemah, “Karena itu, pergunakanlah kehidupan Kediri yang lampau sebagai cermin bagi pemerintahanmu yang bakal datang.”
Sri Baginda tidak dapat berdiri tegak lagi. Sejenak ia terhuyung-huyung. Senapati yang setia, yang masih memegang panji-panji pusaka pada tunggul Kiai Gajah, mencoba untuk melangkah maju. Tetapi ternyata bahwa tubuhnya sendiri telah terlampau lemah, karena darah yang terlampau banyak mengalir dari luka-lukanya yang arang kranjang.
“O,” desis Sri Baginda yang masih bertelekan pada tangkai tongkatnya sambil terhuyung-huyung, “kau masih di situ?”
“Ampun Tuanku, hamba tidak dapat berbuat apa-apa lagi.”
“Terima kasih atas kesetiaanmu,” desis Sri Baginda, “sebentar lagi aku akan mati, kembali ke alam asal mulaku.”
“Hamba juga akan serta tuanku.”
Sri Baginda tersenyum. Kemudian ia berpaling kepada Sri Rajasa, “Sri Rajasa. Di saat-saat terakhir aku mempunyai permintaan kepadamu, apakah kau mengijinkan?”
Sejenak Sri Rajasa terdiam. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Sebutkan permintaan itu Sri Baginda Kertajaya.”
“Apakah kau mau melepaskan orang ini?”
Sri Rajasa tidak segera menjawab.
“Biarlah ia menghadap adik-adikku di istana. Adik-adik perempuan. Biarlah ia memberikan kabar kepada mereka, bahwa aku telah mati di peperangan. Mati sebagai seorang prajurit.”
Dada Sri Rajasa tersentuh juga mendengar permintaan itu. Sebagai seseorang yang berjiwa besar maka Sri Rajasa-pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak berkeberatan. Tetapi apakah Senapati mu itu masih mampu mencapai istana?”
Sri Baginda Kertajaya ragu-ragu sejenak. Namun Senapati itu berkata, “Hamba akan mati bersama tuanku.”
“Terima kasih. Tetapi aku akan lebih berterima-kasih lagi kalau kau dapat mengatakan kepada adik-adikku, kepada Dewi Amisani, Dewi Hasin dan Dewi Paya.”
Senapati itu menundukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Kalau itu perintah Tuanku, hamba akan melakukannya. Sudah tentu apabila tuanku kehendaki, apapun yang akan terjadi, aku pasti akan sampai ke istana.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya. Katanya terputus-putus, “terima kasih. Pergilah.”
Namun sebelum orang itu beranjak dari tempatnya, Sri Rajasa berkata, “Kau akan melalui medan yang pasti masih gawat dan berbahaya. Karena itu, biarlah ia dikawal oleh dua orang Senapati Singasari.”
Sri Baginda Kertajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pantaslah bahwa kau akan dapat menjadi seorang Maharaja yang besar dan bijaksana. Aku sangat berterima kasih atas kesempatan ini.”
Senapati Kediri itu-pun kemudian menyerahkan tunggul Kiai Gajah kepada Sri Kertajaya yang sudah tidak dapat berdiri tegak lagi. Ternyata bahwa Sri Rajasa telah mengijinkan Senapati itu diantar dengan naik kuda penghubung, menuju ke istana Kediri. Ketika kuda-kuda itu berlari meninggalkan Sri Baginta Kertajaya. maka Sri Baginda itu sudah tidak kuat lagi berdiri. Hampir saja ia terjatuh, kalau Mahisa Agni tidak cepat menyambarnya.
“Terima kasih,” desis Sri Baginda Kertajaya, “aku sudah tidak kuat lagi.”
Perlahan-lahan Mahisa Agni-pun melayaninya dan dibaringkannya Sri Baginda itu di tanah, sedang kepalanya diletakkannya di atas lengannya.
“Ternyata orang-orang Singasari adalah orang-orang yang baik,” desisnya, “tetapi, kaukah yang bernama Mahisa Agni?”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
“Pantas, kau mampu membunuh Gubar Baleman,” suaranya menjadi semakin lambat, “tetapi kalian adalah kekasih dewa-dewa. Peliharalah kerajaan Singasari yang sudah kalian rintis itu dengan baik, supaya kalian tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang serupa seperti yang dialami oleh Kediri.”
Sri Rajasa-pun kemudian berjongkok pula di sampingnya. Sambil mengangguk ia berkata, “Ya. Aku akan menjaga Singasari dengan sebaik-baiknya.”
Sri Baginda tersenyum sejenak. Namun kemudian matanya-pun terkatub rapat-rapat. Tarikan nafasnya yang terakhir telah membuat kepala Mahisa Agni dan Sri Rajasa tertunduk dalam-dalam.
“Seorang Raja yang besar telah gugur,” desis Mahisa Agni.
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti pada saat gugurnya Mahisa Walungan, maka Sri Rajasa-pun memerintahkan agar jenazah Sri Baginda Kertajaya diselenggarakan sebaik-baiknya seperti lazimnya bagi para pahlawan yang mempertahankan keyakinannya.
Demikianlah maka Sri Baginda Kertajaya yang semula merasa dirinya sebagai pengejawantahan Dewa-dewa tertinggi di langit. pada saat-saat terakhirnya telah berhasil melihat ke dalam dirinya sendiri, bahwa bagaimana-pun juga kurnia yang diterimanya. namun ia tidak akan dapat menyamai Yang Maha Agung, yang melimpahkan kurnia itu kepada manusia.
Dalam pada itu. Senapati Kediri yang telah terluka itu-pun berpacu dilayani oleh seorang Senapati Singasari, dan dikawani oleh Senapati Singasari seorang lagi. Ketika di hadapan mereka tampak debu yang mengepul tinggi. Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Di medan itulah-prajurit di ke dua belah pihak sendang bertempur mati-matian.
Dalam pada itu ketika tiba-tiba hujan tercurahkan dari langit Senapati Kediri yang sudah lemah itu-pun berpaling. Perlahan-lahan ia berdesis, “Sri Baginda Kertajaya pasti telah gugur.”
“Darimana kau tahu?”
“Hujan yang tercurahkan dari langit bukan pada musimnya, guruh yang meledak-ledak dan awan yang hitam kelabu.”
Senapati Singasari itu-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak menjawab. Ketika kuda-kuda itu mendekati medan, tiba-tiba beberapa orang prajurit Singasari datang menyergap. Namun mereka tertegun ketika mereka melihat bahwa di antara mereka yang berkuda itu adalah Senapati Singasari sendiri. Bahkan ada di antara para prajurit itu yang sudah mengenalnya.
“Aku mengemban perintah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi,” teriak salah seorang Senapati itu, sehingga, para prajurit itu-pun kemudian menarik diri. Demikianlah setiap kali mereka harus menyatakan perintah itu, sehingga pada akhirnya mereka melampaui medan, yang dikuasai oleh pasukan Singasari.
Namun di seberang medan itu, prajurit Kediri yang terluka itulah yang setiap kali menghalau prajurit-prajurit Kediri yang mencoba menghalanginya, “Dengarlah,” katanya, “ini adalah perintah terakhir dari Sri Baginda Kertajaya.”
“Kenapa terakhir?”
Senapati itu merenung sejenak, namun kemudian ia memutuskan bahwa tidak ada gunanya lagi merahasiakan gugurnya Sri Baginda Kertajaya. Karena menilik medan yang semakin bergeser itu. keadaan prajurit Kediri sudah menjadi, semakin payah.
“Sri Baginda telah gugur.”
“He?”
Senapati itu tidak menyahut lagi. Tetapi dilanjutkannya perjalanannya menuju ke istana. Kedatangan Senapati yang luka parah, diantar oleh orang-orang Singasari itu menimbulkan persoalan pada para pengawal. Tetapi akhirnya mereka tidak dapat menolak, ketika dengan dada tengadah para Senapati Singasari itu melepaskan senjata mereka sambil berkata, “Kalau kalian meragukan niat baik kami.”
Dengan demikian, maka prajurit Kediri yang luka itu-pun dipapah oleh para prajurit Singasari sampai mereka masuk ke keputren. Beberapa orang hamba istana menyaksikan hal itu dengan herannya. Selagi di medan yang dahsyat ke dua belah pihak bertempur dengan dahsyatnya, bahkan saling membunuh, namun di sini kedua prajurit Singasari itu memapah orang-orang Kediri seperti melayani kawan mereka sendiri.
“Itulah buktinya, bahwa perang bukanlah tujuan para prajurit. Pada suatu saat, mereka akan mengenakan pribadi mereka masing-masing. Manusia dan kemanusiaan,” berkata salah seorang hamba istana yang berambut putih.
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Di sini mereka melihat dua dunia yang terpisah dari golongan yang sama. Prajurit yang berperang, dan prajurit yang berpelukan dan saling menyatakan sikap kemanusiaan mereka.
Adik-adik Sri Baginda terkejut melihat kedatangan prajurit itu. Sejenak mereka menjadi ketakutan. Tetapi akhirnya mereka mengenal bahwa yang seorang itu adalah seorang Senapati Kediri, pengawal Sri Baginda Kertajaya yang setia. Sebelum prajurit itu mengatakan sesuatu. Dewi Amisani telah berlari-lari kepadanya sambil bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“Ampun tuan Puteri, hamba mengemban perintah Sri Baginda.”
“O. jadi Kakanda Baginda masih selamat?”
Senapati itu tidak menjawab.
“Tetapi siapakah orang-orang ini?”
“Mereka adalah para Senapati dari Singasari.”
“He,” Dewi Amisani terkejut, “kenapa mereka kau bawa kemari?”
“Merekalah yang membawa hamba kemari Tuan Puteri, karena hamba sudah tidak berdaya lagi.”
Dewi Amisani dan adik-adiknya yang telah mendekat menjadi heran mendengar jawaban itu.
“Hamba sudah terluka parah. Dan hamba harus menyampaikan pesan kakanda Sri Baginda Kertajaya.”
“Tetapi, tetapi bukankah Kakanda Baginda selamat,” bertanya Dewi Paya, adik bungsu Sri Baginda.
“Di manakah sekarang Kakanda Baginda?” bertanya pula Dewi Hasin.
Senapati yang terluka itu menjadi termangu-mangu. Sejenak dipandanginya wajah Senapati-senapati dari Singasari itu. Tetapi, mereka menundukkan kepala mereka. Di peperangan mereka, selalu behadapan dengan mata sambil menengadahkan dadanya. Tetapi di sini mereka tidak berhadapan dengan maut itu, tetapi dengan kemanusiaan.
Baik para Senapati itu, maupun ketiga puteri Adinda Sri Baginda Kediri, sejenak dicengkam oleh kebekuan. Masing-masing saling berpandangan, tetapi seakan-akan mereka tidak dapat mengatakan sesuatu.
Baru sejenak kemudian justru salah seorang Senapati dari Singasarilah yang berkata sambil menundukkan kepalanya, “Ampun Tuan Puteri, sebenarnya bahwa Senapati ini membawa pesan terakhir Sri Baginda Kertajaya.”
“Kenapa terakhir?” hampir bersamaan ketiga puteri itu bertanya serentak. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan tegang.
“Berkatalah,” desis Senapati Singasari itu sambil mengguncang tubuh Senapati Kediri yang masih tergantung pada dua orang Singasari. Tetapi Senapati itu masih berdiam diri sambil menundukkan kepalanya dalam.
“Berbicaralah,” desis Senapati Singasari yang lain. Tetapi keduanya menjadi termangu-mangu sejenak. Tubuh itu serasa menjadi semakin berat tergantung di pundak mereka.
Ketika salah seorang dari mereka mencoba memandangi wajahnya yang pucat, maka Senapati Singasari itu terkejut. Prajurit Kediri sudah terlampau lemah.
“Berbicaralah,” desis Senapati Singasari itu. Dengan lemahnya ia menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih sekali, “Aku tidak sampai hati mengatakannya.”
“Tetapi harus. Kau harus mengatakan.”
“Ya. katakanlah,” sahut Dewi Amisani, “katakanlah apa yang sudah terjadi dengan Kakanda Baginda.”
“Tuan Puteri,” suara itu sudah hampir tidak terdengar, “hamba, hamba…”
“Ya, katakan,” desis Amisani yang mendekatinya sambil mendekatkan telinganya kemulut Senapati itu.
“Ampun Tuan Puteri. Sri Baginda telah gugur di peperangan.”
“Gugur?” dewi Amisani hampir menjerit.
Prajurit itu mengangguk dengan lemahnya. lalu lemah pulalah seluruh tubuhnya. “Prajurit ini-pun sudah meninggal,” desis salah seorang Senapati Singasari.
“O,” Dewi Amisani menutup mulutnya yang hampir berteriak. Tetapi tiba-tiba saja kedua adiknyalah yang berteriak serempak, sehingga para emban menjadi terkejut karenanya, dan berlari-lari mendekatinya. Kalau para emban tidak menangkapnya, maka kedua puteri itu pasti sudah jatuh di lantai. karena tubuh mereka menjadi lemah seperti tidak bertulang lagi.
“O,” Dewi Amisani kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, “Kakanda Baginda telah gugur.”
“Kalian pembunuh,” tiba-tiba Dewi Paya, adik Sri Baginda Kertajaya yang bungsu berteriak nyaring, “kalian, orang-orang Singasari telah membunuh Kakanda Baginda dan utusannya.”
Dada kedua Senapati itu berdesir tajam, tetapi mereka tidak menjawab sama sekali. Tiba-tiba saja puteri yang sudah hampir kehilangan kekuatannya itu meloncat berlari, menyambar tombak yang terpancang di sudut ruangan. “Kubunuh kau. Kubunuh kau yang telah membunuh Kakanda Baginda.”
Kedua Senapati terimangu-mangu sejenak. Untunglah para emban berhasil mencegahnya, dan Dewi Amisani mencoba menenteramkannya, “Paya. Sadarilah dirimu. Kakanda Baginda gugur di peperangan sebagai seorang pahlawan.”
“Tetapi orang-orang Singasari adalah pembunuh.”
Dewi Amisani mengusap dadanya. Ia sendiri menjadi sangat bersedih karena kematian Sri Baginda Kertajaya. Tetapi agaknya ia sudah lebih matang, menanggapi keadaan daripada kedua adik-adiknya. Karena itu. maka didapatkannya adiknya yang bungsu itu. Sambil membelai rambutnya yang ikal ia berkata, “Jangan menjadi bingung adikku. Adalah menjadi salah satu pilihan dari para prajurit. Menang atau gugur di peperangan. Kali ini kanda telah gugur sebagai seorang pahlawan. Jangan menyalahkan lawan.”
“Kakanda Puteri,” Dewi Paya meloncat memeluk Dewi Amisani seperti anak-anak, sambil meledakkan tangisnya yang tidak tertahan lagi.
Dewi Amisani masih membelai rambut adiknya yang kini ada di dalam pelukannya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Dewi Hasin-pun duduk sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. “Adik-adikku,” berkata Dewi Amisani, “marilah, ikutlah aku masuk keruang dalam.”
“Tetapi, bagaimana dengan kakanda Sri Baginda?” bertanya Dewi Hasin.
“Kakanda Baginda telah kembali kealam dewa-dewa.”
“Lalu. bagaimanakah dengan kita kakanda Puteri?”
“Marilah, ikutlah aku. Aku akan berbicara dengan kalian.”
Ketiga Puteri itu-pun pergi meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apapun kepada kedua prajurit Singasari yang masih berdiri termangu-mangu. Setelah kedua puteri itu hilang, maka diletakkannya prajurit Kediri yang telah gugur itu, dan dibaringkannya di lantai istana.
“Apakah yang akan dikerjakan oleh ketiga puteri itu?” desis salah seorang Senapati Singasari itu.
Senapati yang lain mengerutkan keningnya, “Mereka akan memuja untuk arwah Sri Baginda. Tetapi mungkin juga untuk keperluan yang lain.”
Senapati yang pertama mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Katanya, “Kita menunggu sejenak. Mungkin mereka memerlukan bantuan kita.”
“Ya,” sahut yang lain, “agaknya mereka menjadi sangat bersedih atas kematian Sri Baginda Kertajaya.”
“Sudah tentu. Mereka adalah adik-adik Sri Baginda.”
Senapati yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terasa sesuatu menyentuh jantungnya. Ia tidak merasakan getaran seperti saat itu, di dalam keadaan yang paling gawat sekali-pun. Sejenak kedua Senapati dari Singasari itu berdiri termangu-mangu. Namun adik-adik Sri Baginda Kertajaya itu tidak menampakkan diri lagi. Meskipun demikian, kedua Senapati itu tidak segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Dalam pada itu, ketiga puteri itu-pun segera memasuki ruang dalam istana. Setelah berbicara sejenak, maka mereka-pun segera pergi kepakiwan. “Waktu kita tinggal sedikit,” berkata Dewi Amisani, “kita harus segera selesai. Aku tidak sudi menerima siapapun masuk ke dalam istana ini, apalagi berhubungan dengan mereka dalam bentuk apapun.”
“Aku sependapat dengan keputusan itu,” hampir bersamaan kedua adik-adiknya menyahut.
“Marilah adik-adikku,” ajak Dewi Amisani.
“Marilah kakanda Puteri.”
Mereka-pun kemudian mengurai rambut-rambut mereka yang hitam dan panjang. Kemudian menyiramnya dengan air yang diberinya wewangian dan bunga-bunga.
“Tuan Puteri,” bertanya seorang emban yang melayani ketiga puteri itu, “apakah yang akan Tuanku lakukan?”
“Aku adalah Adinda Sri Baginda Kertajaya dan adinda kakanda Mahisa Walungan.”
“Ya. demikianlah yang hamba ketahui.”
“Keduanya telah gugur di medan peperangan.”
“Lalu?”
“Tidak ada yang pantas mengganti kedudukan mereka, sebagai Senapati Agung, selain kami bertiga.”
“Tuan Puteri. Tuanku adalah Puteri. Puteri yang tidak pernah mengenal tajamnya senjata.”
“Sudahlah emban. Sediakan apa yang aku perlukan.”
“Tuanku.”
Dewi Amisani tersenyum, meskipun senyumnya adalah senyum yang penuh dengan rahasia. Emban yang melayaninya tidak bertanya lagi meskipun masih juga selalu dibayangi oleh keheranan. Beberapa orang emban yang lain-pun menjadi bertanya-tanya di dalam hati, apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh ketiga puteri itu. Sejenak kemudian, setelah ketiganya selesai dengan membasahi rambut mereka dengan wewangian dan bunga-bungaan. Maka mereka-pun kemudian masuk ke dalam bilik mereka.
“Tunggulah di luar emban,” berkata Dewi Amisani.
Embannya menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak berani memaksa untuk ikut serta masuk ke dalam bilik itu. Di dalam bilik, ketiga puteri itu-pun kemudian mengemasi diri mereka. Mereka mengenakan pakaian mereka. Bukan pakaian yang gemerlapan dihiasi dan disulami dengan benang-benang emas. tetapi mereka telah mengenakan pakaian mereka yang serba putih.
Sejenak kemudian mereka-pun telah selesai berpakaian. Dengan tanpa ragu-ragu mereka-pun kemudian mengambil beberapa helai pusaka istana, dan mengenakan di lambung mereka. Masing-masing sebilah patrem. Ketika mereka keluar dari dalam bilik, maka para emban-pun menjadi semakin cemas.
Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk bertanya, “Tuan Puteri. apakah yang akan tuan Puteri lakukan?”
Dewi Amisanilah yang menjawab, “Sudah aku katakan bukan. Tidak ada orang lain yang wajib mengangkat diri menjadi Senapati Agung, selain kami bertiga.”
“Tetapi, tetapi…” Sekali lagi emban itu melihat senyum yang tersungging di bibir Dewi Amisani.
“Kami akan ke Sanggar Pamujan sejenak. Setelah itu, barulah kami akan melakukan kewajiban kami.”
Ketika ketiga Puteri itu berjalan ke Sanggar Pamujan, maka para emban itu-pun mengikutinya. Semakin lama semakin banyak. Bahkan hamba-hamba istana yang lain-pun mengikutinya pula di belakang. Sejenak kemudian maka keliga Puteri itu-pun telah memasuki Sanggar Pamujan. Dengan khusuk mereka mengheningkan cipta, mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung. Setelah mereka selesai dengan pemujaan itu, maka mereka-pun segera keluar pula dari dalam sanggar.
Di depan pintu sanggar ketiga puteri itu menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya emban-emban yang selama ini telah melayani mereka dengan baik. Mengawani mereka di dalam suka dan duka.
“Tuan Puteri,” seorang emban tiba-tiba saja telah memeluk kaki Dewi Amisani, “ke manakah Tuan Puteri akan pergi? Jangan tinggalkan kami. Peperangan bukanlah tempat Tuan Puteri bermain. Karena itu sebaiknya Tuan Puteri tinggal di istana ini saja bersama kami.”
“Emban,” jawab Dewi Amisani, “kedua kakak-kakak kami telah gugur di peperangan. Kakanda Kertajaya dan kakanda Mahisa Walungan. Sebentar lagi pasukan Singasari pasti akan memasuki telatah Kotaraja dan sudah tentu akan memasuki istana ini. Maka apakah pantas bagi kami bertiga, sepeninggal kakak-kakak kami, kemudian kami menerima orang-orang Singasari itu?”
“Jadi maksud Tuanku?”
“Apakah aku harus mengulangi keputusanku?”
“Tuanku,” emban itu-pun kemudian menangis sejadi-jadinya. Bahkan beberapa emban yang lain-pun telah menitikkan air mata pula. Apalagi ketika mereka memandang wajah puteri bungsu. Dewi Paya. Puteri yang masih terlampau muda. Sedang pada wajahnya seakan-akan terbayang kebeningan hati seorang gadis remaja yang sedang meningkat dewasa.
Seorang emban yang gemuk tidak dapat menahan hati lagi. Tiba-tiba saja berlari dan memeluk kedua Puteri terkecil. Dewi Paya dan Dewi Hasin. Dengan air mata yang berlinang-linang ia berkata, “Ampun Dewi. Hamba tidak sampai hati melihat Tuan Puteri berdua yang sedang bersedih.”
Kedua puteri itu-pun saling berpandangan. Pandangan dua orang gadis yang bersih seolah-olah tanpa cacat, sehingga justru sikapnya itu telah membuat emban yang gemuk itu semakin iba. Tetapi Dewi Amisani kemudian berkata,
“Marilah kita bersikap sebagai keluarga terdekat dari Maharaja Kediri, Jangan cengeng seperti anak-anak. Saat ini bukanlah waktunya,” Dewi Amisani berhenti sejenak, lalu, “sebentar lagi pasukan Singasari pasti sudah akan memasuki ruangan ini dan setiap ruangan di dalam istana. Kami bertiga akan menunggu mereka di paseban. dan akulah yang akan duduk di singgasana.”
“Dewi,” para emban itu berdesah.
Tetapi Dewi Amisani sudah berkeras hati untuk pergi keruang paseban dalam. Ruang yang selalu dipakai oleh Sri Baginda antuk berbincang dengan lingkungan yang agak terbatas. Ketika ketiga puteri itu memasuki paseban. maka beberapa orang emban akan mengikutinya. Namun Dewi Amisani berkata, “Biarlah kami bertiga saja yang akan menemui mereka apabila pemimpin mereka memasuki ruang ini.”
Tidak seorang emban dan hamba istana-pun yang berani memaksa. Mereka dengan gelisah menunggu di luar pintu bersama dua orang prajurit Kediri yang sedang bertugas. Sedang di ruangan lain dua orang Senapati Singasari berdiri termangu-mangu. Mereka tidak tahu apakah yang sebaiknya mereka lakukan atas ketiga puteri adik Sri Baginda Kertajaya itu. Yang dapat mereka perbuat hanyalah menunggu. Sebah mereka-pun yakin. bahwa pasukan Singasari pasti akan memasuki istana ini meskipun seandainya hari akan disaput oleh gelapnya malam.
Seisi istana itu menjadi berdebar-debar oleh guntur yang sahut menyahut di udara. Hujan yang lebat-pun kemudian seolah-olah tercurah dari langit, sehingga suasana di seputar istana itu menjadi suram, sesuram hati ketiga puteri yang kini sudah memasuki paseban dalam. Dalam curahan hujan yang deras, dan senja yang mendatang, maka pasukan Singasari telah merayap maju memasuki seluruh bagian kota. Para prajurit Kediri tidak dapat lagi bertahan setelah orang-orang kebanggaan mereka gugur di peperangan. Karena itu, maka suatu saat perlawanan para prajurit Kediri benar-benar telah patah.
Demikianlah, maka di saat-saat gelap malam mulai menyentuh bumi Kediri yang pernah menguasai daerah yang luas, pasukan Singasari telah memenuhi seluruh Kota Raja. Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi sendirilah yang memimpin induk pasukannya bersama dengan Mahisa Agni memasuki gerbang istana Kediri. Beberapa orang petugas di pintu-pintu gerbang tidak dapat berbuat apa-apa selain menyerahkan senjata-senjata mereka. Kedua Senapati Singasari yang telah berada di halaman istana itu-pun segera menyongsong pasukan Singasari yang basah kuyup namun memanggul kemenangan itu.
Sri Rajasa yang melihat kedua Senapati itu-pun segera bertanya, “He, apakah pesan Sri Baginda Kertajaya sudah disampaikan kepada adik-adiknya?”
“Hamba Tuanku,” jawab salah seorang dari kedua Senapati itu.
“Di mana Senapati Kediri itu sekarang?”
“Sayang, ia-pun telah menghembuskan nafasnya yang penghabisan.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya-pun terangguk-angguk. “Di mana keluarga Sri Kertajaya yang terdekat itu sekarang? Aku ingin menemui mereka. Aku harus menjelaskan, bahwa tidak ada permusuhan di antara kita. Bahwa Singasari terpaksa menyerang Kediri adalah karena cita-cita penyatuan dari daerah yang menjadi terpecah belah karena kekeliruan sikap dan tindakan Sri Kertajaya.”
“Mereka ada di dalam istana. Tuanku.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Bersama pimpinan tertinggi Singasari mereka-pun kemudian memasuki pusat bangunan istana setelah mereka melampaui beberapa longkangan dan gerbang-gerbang di setiap bagian. “Apakah mereka berada di Keputren?” bertanya Sri Rajasa.
“Mungkin Tuanku. Tetapi mungkin pula tidak. Mereka meninggalkan kami dan tidak muncul kembali.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak kemudian ia menunjuk kesuatu sudut yang agak terang, “Kau lihat beberapa orang emban yang berkumpul itu?”
“Hamba Tuanku.”
“Panggillah mereka.”
Senapati itu-pun kemudian memanggil beberapa emban yang berdesak-desakan karena ketakutan. Prajurit-prajurit lawan yang memasuki istana dengan membawa kemenangan kadang-kadang bertingkah laku kasar dan mengerikan. Tetapi justru yang memimpin para prajurit itu Sri Rajasa sendiri, maka para prajurit-pun tidak berani berbuat sekehendak hati mereka...