Bara Di Atas Singgasana Jilid 12

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Bara Di Atas Singgasana Jilid 12 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 02: Bara Di Atas Singgasana Jilid 12
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“AKU tidak perduli,” teriak Anusapati yang sudah benar-benar kehilangan kesabaran. “Aku akan membunuh siapapun. Dan kini aku akan membunuhmu.”

“Tuanku keliru.”

“Aku tidak peduli, “Anusapati menggeram sambil melangkah maju. Ia sudah siap untuk bertempur dengan orang yang tidak dikenalnya itu.

Orang itu mundur selangkah. Tetapi agaknya ia sudah mempersiapkan dirinya pula. Di dalam keremangan malam keduanya-pun kemudian berdiri tegak di dalam kesiagaan tertinggi.

“Tuanku benar-benar akan melakukan kekerasan.” berkata orang itu.

“Jangan menganggap aku anak-anak lagi,” sahut Anusapati, “kau memang datang untuk memancing persoalan. Untuk memancing kekerasan. Jadi kau tidak usah menilai tindakanku lagi. Aku yakin inilah yang kau ingini.”

Orang itu terdiam sejenak. Namun tampaklah bahwa ia menjadi semakin tegang. Bahkan tiba-tiba ia berkata lantang, “Memang, inilah yang aku kehendaki. Aku ingin tahu apakah benar Putera Mahkota Singasari yang pernah membunuh pelatihnya sendiri itu benar-benar seorang yang tidak ada duanya di seluruh jagad. Aku adalah saudara laki-laki dari orang yang terbunuh itu. Dan kini aku akan menuntut balas.”

Belum lagi orang itu mengatupkan mulutnya. Anusapati telah memotong, “bersiaplah. Aku akan mulai.”

Orang itu terdiam. Ketika Anusapati melangkah maju, ia tetap berdiri di tempatnya. “Jadi kau adalah saudara orang yang terbunuh itu,” desis Anusapati, “aku tidak akan ingkar. Akulah yang membunuhnya.”

Orang itu tidak menjawab namun tiba-tiba saja ia melangkah maju dan dengan lincahnya ia meloncat menyerang Anusapati. Tangannya terjulur lurus ke depan, sedang tangannya yang lain bersilang didadanya. Tetapi Anusapati-pun sudah siap menghadapi serangan itu. Dengan tangkas pula ia meloncat ke samping menghindari serangan yang mengarah ke lehernya.

Tetapi lawannya yang kehilangan sasaran itu tidak membiarkannya menghindar. Ketika kakinya berpijak di atas pasir, maka ia telah melingkar. Badannya terbungkuk kedepan sedang kakinya yang lain terjulur lurus dengan tubuhnya, menyambar Anusapati.

Anusapati terpaksa meloncat surut. Namun ketika telapak kaki lawannya lewat menyambar di hadapannya, ia telah membalas serangan itu. Sebuah serangan mendatar dengan telapak kakinya yang mengarah ke lambung lawannya yang masih bergerak oleh kekuatannya sendiri. Serangan itu dalang begitu cepatnya, sehingga lawannya yang berdiri pada satu kakinya itu tidak sempat menghindar. Yang dapat dilakukan adalah justru menjatuhkan dirinya dan berguling menjauh.

Demikianlah perkelahian itu segera meningkat menjadi perkelahian yang seru. Anusapati ternyata sudah memiliki kemampuan yang cukup untuk menghadapi lawan yang tangguh. Selama ini Anusapati seakan-akan hanya sekedar berlatih dengan Mahisa Agni, dengan Sumekar dan dengan batu-batu. Sekali ia pernah berkelahi melawan pelatihnya sendiri. Tetapi pelatihnya itu tidak dapat memberi perlawanan yang seimbang, sehingga perkelahian itu tidak dapat dinilai sepenuhnya.

Kini Anusapati mendapat lawan yang tangguh. Orang yang menyebut dirinya saudara laki-laki gurunya yang terbunuh itu ternyata memiliki kemampuan yang tinggi, jauh lebih tinggi dari kemampuan prajurit yang terbunuh itu sendiri. Dengan demikian maka perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Mereka berloncatan dengan cepatnya di atas pasir di dalam gelapnya malam. Bahkan mereka meloncat dari batu ke batu. Serang menyerang, seperti sepasang garuda yang berlaga di udara.

Sumekar yang masih bersembunyi ditempatnya, menyaksikan perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba saja ia memang ingin melihat apa yang dapat dilakukan oleh Putera Mahkota itu menghadapi lawan yang tangguh. Kadang-kadang Sumekar terpaksa menahan nafasnya apabila Anusapati terdesak. Bahkan pernah Anusapati yang gagal menghindari serangan lawannya telah terlempar beberapa langkah. Hampir saja ia terbanting di atas batu sebesar punggung kerbau. Tetapi Putera Mahkota itu cukup lincah. Karena ia menggeliat, maka ia tidak menyentuh batu itu sama sekali. Tetapi ia terjatuh pada pundaknya di atas pasir ditepian.

Demikianlah keduanya serang menyerang, desak mendesak. Sekali-sekali terjadi benturan yang dahsyat dari dua kekuatan yang besar itu. Meski-pun nampaknya orang itu memiliki pengalaman yang lebih banyak dari Anusapati, tetapi ternyata Anusapati cukup lincah untuk mengimbanginya. Memang kadang-kadang Anusapati harus berloncatan mundur, tetapi ia segera menemukan keseimbangannya kembali, sehingga dengan garangnya ia segera membalas menyerang.

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya di saat Anusapati mampu menunjukkan kelebihannya dari lawannya, Kadang-kadang lawannya memang terdesak beberapa langkah. Namun seperti Anusapati sendiri, lawannya-pun segera mampu menemukan keseimbangan. Dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin sengit, seakan-akan keduanya memang disiapkan untuk bertempur ilmu mereka dan bahkan kekuatan mereka hampir tidak ada bedanya. Setiap benturan yang terjadi, keduanya pasti terdorong selangkah dua langkah surut. Namun sampai begitu jauh. Sumekar sama sekali tidak mau mencampurinya. Dibiarkannya saja Anusapati melawan orang itu sendiri seutuhnya.

Setelah beberapa lama keduanya bertempur memeras segenap kekuatan, maka tampaklah bahwa mereka justru menjadi semakin mapan. Mereka, tidak lagi memberatkan perkelahian itu pada kekuatan tenaga melulu. Dengan demikian tampaknya mereka justru menjadi semakin lincah dan bergerak semakin cepat. Serangan-angan mereka menjadi semakin terarah, karena mereka tidak mau kehabisan tenaga.

Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian timbullah kecemasan di dalam hatinya. Kalau keduanya tetap berkelahi semacam itu, dan Anusapati tidak dapat menyadari keadaannya sendirinya, maka ia akan melupakan waktu. Ia tidak akan ingat lagi, kapan ia harus keanbali ke istana, karena perkelahian yang demikian akan dapat berlangsung sampai sehari semalam, bahkan lebih dari itu. karena keduanya memang orang-orang yang pilih tanding.

Meskipun demikian Sumekar tidak mau mengganggu perkelahian itu, ia masih juga bersembunyi di balik sebuah batu. menyaksikan perkelahian yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing tidak sekedar dikejar oleh nafsu. Tetapi masing-masing benar-benar berkelahi dengan segenap perhitungan.

Demikianlah pasir ditepian itu menjadi seperti telah dibajak karena kaki-kaki mereka yang bertempur itu. Batu-batu berserakan dan berloncatan di udara, tersentuh oleh serangan-angan yang tidak mengenai sasaran. Ternyata malam berjalan terus, sehingga semakin lama semakin mendekati fajar. Dan kedua orang yang berkelahi itu masih juga terus berkelahi.

“Apakah keduanya tidak dapat mengenal waktu lagi?” desis Sumekar, “jika fajar menyingsing dan Putera Mahkota masih berkelahi saja, maka ia akan terlambat masuk ke halaman istana. Dan itu akan sangat berhahaya baginya.”

Tetapi agaknya Anusapati tidak melupakan waktu. Ia sadar, bahwa malam tetah jauh melampaui pusatnya. Karena itu, apabila ia tidak segera berhasil menyelesaikan perkelahian itu, maka ia akan kehabisan waktu. Karena itu. Anusapati yang sudah tersudut pada suatu kesulitan yang tidak dapat dihindarinya itu, tidak melihat jalan dari pada kemampuan puncaknya. Ia sadar, bahwa orang itu-pun memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tetapi dengan demikian akhir dari perkelahian itu akan segera dicapainya.

Entah siapa yang harus menang dan siapa yang harus kalah. Apakah orang itu atau dirinya sendiri yang akan terkapar di atas pasir tanpa diketahui oleh oleh seorang-pun juga. Bahkan mungkin nasib yang akan dialami oleh siapa-pun yang akan kalah itu akan lebih jelek lagi dari prajurit yang terbunuh di jurang ini, karena tidak ada orang yang akan menemukan mayatnya atau mayatnya akan menjadi mangsa binatang buas yang kehausan atau menjadi makan burung gagak yang beterbangan di langit.

“Kalau aku tidak dapat membunuh orang itu, biarlah aku yang terbunuh. Berita tentang prajurit yang mati itu akan membuat ayahanda Sri Rajasa murka, dan aku-pun tidak akan dapat lari dari hukumannya. Bahkan mungkin aku akan menjadi pangewan-pangewan di alun-alun Singasari,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “Jika demikian, bagiku, bagi Putera Mahkota, akan lehih baik jika aku mati saja di sini dan tidak seorang-pun yang akan menemukan mayatku dan tidak seorang-pun yang tahu, kenapa aku mati. Mungkin orang-orang di istana akan menyangka bahwa aku melarikan diri dari istana dan pergi jauh sekali. Atau mereka akan mencari aku ke Kediri.”

Tetapi ketika terkilas wajah ibunya yang suram, dada Anusapati berdesir. Kadang-kadang ia merasa kasihan juga kepada ibunya, karena ia tahu, bahwa Sri Rajasa lebih senang tinggal di bangsal ibunya tirinya daripada di bangsal ibunya. Ken Umang memang lebih muda dan lebih banyak berbuat sesuatu untuk mencambil hati Sri Rajasa daripada ibunya yang lebih banyak diam dan menahan perasaan di dalam dada. Karena Anusapati berangan-angan, maka hampir saja kepalanya tersambar oleh serangan lawan. Untunglah bahwa ia masih mampu menghindar, meskipun ia harus berguling-guling di atas pasir yang basah.

“Aku tidak mempunyai pilihan lagi,” desisnya, “aku harus memilih di dalam saat serupa ini. meskipun bukan niatku membunuh atau dibunuh. Waktunya sudah semakin sempit. Kalau aku terlambat kembali keistana, maka berarti aku harus mati saja di pinggir sungai ini.”

Dengan demkian maka Anusapati-pun berkelahi semakin dahsyat. Serangannya semakin keras dan kuat. Segala macam ilmunya telah dikerahkannya untuk mengatasi lawannya, semua ilmu puncaknya. Tetapi di saat-saat terakhir, ilmu puncaknya pulalah agaknya yang harus dipergunakannya. Demikianlah, maka sampai juga Anusapati pada puncak kemampuannya. Ketika ia mendapat kesempatan maka ia-pun segera justru meloncat menjauh. Sejenak dibangunkannya ilmu yang diterimanya dari Mahisa Agni Gundala Sasra.

Lawannya terperanjat melihat ia membangun ilmu punyaknya. Karena itu, ia-pun segera mempersiapkan dirinya pula, sehingga orang itu-pun telah mempersiapkan kemampuannya pula untuk melawan aji Gundala Sasra. Sejenak kemudian maka Anusapati telah siap untuk melepaskan ilmunya itu. Karena itu dengan sorot mata yang membara perlahan-lahan ia maju mendekati lawannya. Tiba-tiba saja ia meloncat dengan kecepatan yang seolah-olah tidak dapat diikuti dengan mata telanjang, menyerang lawannya dengan aji yang dahsyat itu.

Ternyata lawannya-pun cukup tangkas pula. Ia tidak membenturkan ilmunya melawan ilmu Anusapati. Dengan sigapnya ia meloncat menghindar, sehingga tangan Anusapati yang terayun itu tidak mengenai sasarannya. Tetapi Anusapati tidak dapat menahan ayunan tangannya yang dilandasi dengan ilmu tertinggi itu, agar tidak merusak tubuhnya sendiri. Sehingga dengan demikian ketika ayunan tangannya itu menyentuh batu-batu padas yang berserakan, maka batu itu seolah-olah meledak karenanya.

Tetapi Anusapati, tidak boleh tinggal diam. Ketika batu padas yang tersentuh tangannya itu meledak, lawannya telah melonyat pula menyerangnya. Meski-pun Anusapati tetap dalam ilmunya yang tertinggi, namun ia tidak dapat menangkis serangan itu, yang Anusapati sadar, bahwa serangan itu adalah serangan yang dilambari dengan kekuatan yang dahsyat pula. Karena itu, maka Anusapati-pun segera meloncat menghindar dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan serangan lawannya.

Seperti serangan Anusapati, maka serangan lawannya-pun tidak mengenai sasarannya pula. Tetapi ketika tangan orang itu menyentuh batu pula, maka batu itu-pun pecah berserakan. Anusapati tidak membiarkan kesempatan itu, selagi lawannya sedang melepaskan pukulannya. Dengan cepatnya pula ia menyerang dengan ayunan tangannya yang dilandasinya dengan aji Gundala Sasra.

Tetapi keduanya memang orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Serangan-angan mereka yang dilandasi dengan ilmu yang hampir tidak terlawan itu tidak segera dapat mengenai sasarannya, sehingga batu-batuan ditanah itulah yang menjadi sasaran tangan mereka. Batu-batu padas dan batu-batu hitam. Bahkan kadang-kadang tangan mereka mencapai seonggok pasir, yang seolah-olah dilontarkan memencar ke sekitarnya.

Sumekar menjadi berdebar-debar didalam hati. Perkelahian itu benar-benar suatu perkelahian yang dahsyat. Tangan-angan yang terayun-ayun di dalam arena perkelahian itu bagaikan sayap-sayap maut dan sepasang raksasa yang berlaga di udara. Loncatan dan serangan mereka hampir tidak dapat diikuti dengan tatapan mata biasa. Di dalam keremangan malam, keduanya bagaikan angin pusaran yang kelam berputar mengerikan.

Demikianlah yang terjadi untuk beberapa saat lamanya. Sumekar justru menjadi semakin cemas melihat perkelahian yang sengit itu. Ternyata kekuatan aji Gundala Sasra di dalam hal ini tidak segera dapat mengakhiiri perkelahian itu, bahkan dengan demikian keduanya semakin tenggelam di dalam perkelahian yang semakin dahsyat, seolah-olah tidak akan ada akhirnya.

“Apakah aku harus menunggu sampai fajar menyingsing dan Putera Mahkota itu akan terlambat?” Sumekar berkata di dalam hatinya.

Tetapi agaknya Anusapati-pun menyadari akan hal itu. Ternyata tandangnya menjadi semakin garang di dalam kemampuan tertingginya, sehingga perkelahian itu menjadi mengerikan. Batu berserakan dan pasir berhamburan di udara. Seolah-olah tanah di sekitar perkelahian itu telah dilanda oleh gempa bumi yang paling dahsyat yang pernah terjadi.

Namun pada akhirnya, perkelahian itu-pun sampai kepada puncaknya. Akhirnya mereka tidak sabar lagi membiarkan diri mereka meloncat berputaran serang menyerang dan sambar menyambar tidak berketentuan. Keduanya akhirnya memaksa diri mereka untuk segera melihat siapakah sebenarnya di antara mereka yang berhak memenangkan perkelahian itu. Itulah sebabnya, maka tanpa berjanji seakan-akan keduanya telah bersepakat untuk membenturkan kekuatan mereka masing-masing.

Demikianlah dengan berdebar-debar Sumekar melihat keduanya menjadi, semakin cepat bergerak, menyerang, dan bahkan sekali-sekali mereka telah menyentuhkan kekuatan mereka. Seakan-akan mereka sedang menilai ilmu masing-masing. Sumekar masih tetap bersembunyi di tempatnya. Betapapun ia menjadi berdebar-debar, tetapi ia sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dengan kagum ia melihat bagaimana Anusapati telah mengungkapkan ilmu yang diterimanya dari Mahisa Agni. Meskipun Putera Mahkota itu belum berpengalaman namun ia dapat mengetrapkan ilmunya dengan mapan.

Bertempur yang sebenarnya memang berbeda dengan, sekedar latihan saja. Di dalam latihan, masing-masing pihak sadar, bahwa serangan yang dilancarkan oleh lawan berlatih, bukanlah serangan yang berbahaya. Karena itu sama sekali tidak akan ada kekhawatiran, seandainya karena lengah, pihak yang lain tidak dapat menghindarkan diri. Kini Sumekar telah melihat dengan mata kepala sendiri, Anusapati telah melakukan perkelahian. Perkelahian yang tidak berpura-pura dan terkendali. Ia sudah mencoba mempergunakan segala macam ilmu yang ada padanya.

Sekali-sekali terbayang di dalam rongga mata Sumekar, adik Anusapati yang bernama Tohjaya. Meskipun ia berguru rangkap, tetapi ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Anusapati untuk waktu yang sangat panjang. Meskipun seandainya Mahisa Agni sendiri yang mengajar Tohjaya, namun keadaannya yang lain dan Anusapati yang prihatin itu pasti tidak akan dapat membuatnya seperti Anusapati pula, dalam waktu yang singkat.

Tanpa sesadarnya Sumekar menengadahkan wajahnya. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun Tohjaya dan Ayahanda Sri Rajasa tidak ada, tetapi berbahaya juga bagi Anusaptai apabila ia terlambat masuk ke halaman. Setiap kali Sumekar hanya dapat menelan ludahnya. Ia tidak dapat memperingatkan Anusapatyi, bahwa warna semburat langit telah memerah. Sebentar lagi fajar pasti akan segera muncul.

Tetapi ia tidak akan menunggu terlalu lama. Menilik tanda-tanda yang dilihatnya, maka perkelahian itu benar-benar telah sampai pada akhirnya. Apalagi ketika Sumekar melihat Anusapati sendiri telah memperhatikan wajahnya sekilas. Sumekar menyangka bahwa Anusapati-pun telah menyadari bahwa waktunya tinggal sedikit. Demikianlah maka akhirnya Anusapati tidak ingin lagi menghindarkan diri dari serangan lawannya. Apapun yang akan terjadi ia akan membenturkan aji Gundala Sasra yang belum matang itu untuk melawan ilmu lawannya. Hidup atau mati, perkelahian itu harus segera berakhir.

Karena itu dengan berdebar-debar Sumekar melihat Anusapati bersiap dengan mengerahkan segenap kekuatannya melawan serangan lawannya yang kemudian meluncur seperti petir yang menyambar dilangit. Sejenak kemudian maka terjadilah sebuah benturan yang dahsyat dari kekuatan. Sumekar yang melihat benturan itu mbeku di tempatnya. Darahnya seolah-olah berhenti mengalir oleh ketegangan yang membakar jantungnya.

Sejenak kemudian ia melihat Anusapati terlempar beberapa langkah, dan jatuh terbanting di atas pasir. Beberapa kali Anusapati terguling. Namun kemudian ia menggeliat sekali, lalu diam. Anusapati telah pingsan. Benturan itu ternyata telah mengguncang seluruh isi dadanya. Jantungnya seakan-akan telah rontok bersama iga-iganya. Matanya menjadi kabur dan malam yang gelap menjadi semakin gelap, sehingga semuanya menjadi hitam pekat. Ternyata kekuatan lawannya adalah kekuatan yang sangat besar melampaui kekuatan aji Gundala Sasra yang telah dimilikinya, aji Gundala Sasra yang belum masak.

Dalam pada itu didalam keremangan malam, Sumekar melihat lawan Anusapati masih berdiri tetegak. Ia hanya terdorong selangkah surut. Namun kemudian seakan-akan tidak terjadi lagi sesuatu atasnya. Perlahan-lahan orang itu melangkah maju mendekati Anusapati yang terbaring di atas pasir, di pinggir sungai yang mengalirkan air gemericik berloncatan di sela-sela batu. Sumekar melihat orang itu berjongkok di samping Anusapati. Kemudian meraba kening dan dahinya.

Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan pula ia berdiri. Selangkah ia maju sambil berkata, “Dahsyat sekali. Perkelahian yang dahsyat sekali.”

Orang itu berpaling. Tetapi ia sama sekali tidak terkejut melihat kehadiran Sumekar. Bahkan perlahan-lahan ia berkata, “Aku melihat Ki Sanak mengikuti Putera Mahkota. Tetapi kemudian Ki Sanak seakan-akan telah hilang di dalam jurang ini.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi kau melihat aku juga?”

“Ya.”

Sumekar berdiri mematung sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia melangkah maju.

“Tuanku Anusapati telah pingsan.”

“Apakah keadaannya berbahaya?”

“Tidak. Tidak berbahaya. Ia akan segera menjadi baik.”

Sumekar-pun kemudian mendekatinya. Ia masih mendengar nafas Anusapati yang tersendat-sendat.

“Lepaskan ikat pinggangnya,” desis orang yang telah melukai Anusapati itu.

Sumekar kemudian melepas ikat pinggang Anusapati. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya dan perlahan-lahan pula memijit lambungnya. Sejenak kemudian Anusapati menjadi semakin teratur. Sejuk udara dimalam hari yang menyentuh keningnya membuatnya perlahan-lahan menyadari dirinya. Ketika ia membuka matanya, maka yang pertama-tama dilihatnya adalah bintang-bintang yang kabur dilangit. Kemudian bayangan yang suram dan dua orang yang berjongkok di sampingnya.

Perlahan-lahan Anusapati mulai teringat kembali apa yang telah terjadi atasnya. Karena itu tiba-tiba saja ia berusaha bangun. Namun keadaannya masih terlampau lemah, sehingga kepalanya kembali terkulai di atas pasir.

“Berbaringlah dahulu tuanku,” Sumekar berbisik di telinga Anusapati.

“Siapa kau?” bertanya Anusapati. Suaranya serasa pernah ia dengar.

“Hamba Sumekar tuanku.”

“Paman Sumekar, paman ada disini pula.”

“Ya. Tuanku. Hamba mengikuti tuanku keluar dari istana.”

“Paman datang ketempat ini bersamaan dengan kedatanganku?”

“Hamba tuanku.”

“Paman melihat aku bertempur?”

“Hamha tuanku. Hamba melihat tuanku membenturkan kekuatan aji Gundala Sasra.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya, “Dimanakah lawanku tadi?”

Sumekar tidak menjawab. Tetapi ia berpaling dan memandang awan. Anusapati yang juga berjongkok disampingnya, “Ampun tuanku. Hambalah yang telah melawan tuanku.”

“Kau. kau?” sekali lagi Anusapati berusaha bangkit. Kali ini tubuhnya sudah menjadi semakin kuat, sehingga ia berhasil duduk di atas pasir.

“Kenapa kau tidak membunuh aku sama sekali. Apakah paman Sumekar telah mencegahmu dengan aji Kala Bama?”

“Tidak tuanku.” Sumekarlah yang menyahut, “hamba tidak melibatkan diri didalam perkelahian ini. Hamba hanya sekedar melihat, betapa aji Gundala Sasra berbenturan dengan aji Braja Pati.”

“Braja Pati?” bertanya Anusapati.

“Hamba tuanku.”

Anusapati-pun kemudian berdiri tertatih-tatih. Tetapi ia segera mempersiapkan dirinya kembali untuk bertempur apabila lawannya mulai menyerang.

“Hamba tidak akan bertempur lagi tuanku,” berkata lawannya yang kemudian berdiri pula. Tetapi tiba-tiba saja ia membungkukkan badannya dalam-dalam.

“Siapakah kau sebenarnya dan apakah maksudmu?”

“Ampun tuanku. Hamba hanya ingin sekali bertempur melawan aji Gundala Sasra.”

“Kau akan menunjukkan kelebihan aji Braja Patimu?”

“Sama sekali tidak. Aji Gundala Sasra tidak kalah dahsyatnya dari aji Braja Pati. Apalagi aji Gundala Sasra yang hampir sempurna pada Mahisa Agni sekarang.”

Dada Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata orang itu mengetahui tentang banyak hal dari dirinya. Bahkan mengenal Mahisa Agni. Karena itu maka sekali lagi ia bertanya, “Siapakah kau sebenarnya?”

“Ampun tuanku, hamba adalah orang dari padepokan yang jauh terpencil. Padepokan yang sepi, meskipun hamba pernah juga tinggal di kota ini.”

“Ya. siapa namamu?”

“Nama hamba Witantra.”

“Witantra,” Anusapati mengulang. Tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk kecil, “Kau kenal paman Mahisa Agni?”

“Apakah Mahisa Agni tidak pernah menyebut nama hamba?”

Anusapati mengerutkan keningnya. “Mungkin paman Mahisa Agni pernah menyebut nama Witantra dan pernah pula menyebut aji Bajra Pati, aji Sura Pati dan aji Bajra Kumala.”

“Tidak semuanya hamba miliki,” jawab Witantra.

“Tetapi, kenapa kau tiba-tiba saja menjumpai aku disini dan sengaja memancing perkelahian?”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya sambil menengadahkan wajahnya ke langit, “Sebentar lagi Fajar akan menyingsing. Sebaiknya tuanku segera kembali ke istana. Biarlah Ki Sumekar menjelaskan kepada tuanku kenapa hamba berbuat begitu?”

Anusapati mengerutkan dahinya pula. Katanya, “Jadi paman Sumekar mengetahui apa yang terjadi?”

“Secara kebetulan tuanku. Tetapi hamba akan mencoba mengerti apakah sebabnya Ki Witantra telah berbuat demikian. Tetapi adalah benar sekali katanya, bahwa sebentar lagi fajar akan menyingsing. Tuanku harus sudah berada di istana. Waktu kini sudah sempit sekali.”

Anusapati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Aku akan segera kembali ke istana.”

Setelah minta diri kepada Witantra, maka Anusapati dan Sumekar-pun segera meninggalkan jurang itu kembali ke istana. Langkahnya yang masih gontai memaksanya untuk berpegangan kepada Sumekar ketika ia memanjat tebing. Tetapi kemudian Anusapati berjalan lebih dahulu beberapa puluh langkah dari Sumekar. Witantra yang mereka tinggalkan di barah, di antara tebing yang curam, memandang Putera Mahkota itu dengan hati yang berdebar-debar.

“Ternyata darah Tunggul Ametung mengalir pula di dalam tubuhnya. Anak itu agak terlampau cepat marah. Apalagi lingkungannya yang tidak menguntungkannya. Sehari-hari ia harus menekan perasaannya, menyimpan kemarahan dan merendam kata hati. Dalam kesempatan tertentu, semuanya itu akan meledak. Witantra bergumam kepada diri sendiri, “tetapi juga kemampuannya menakjubkan. Hanya anak Tunggul Ametung, dibawah asuhan Mahisa Agni sajalah, seorang anak yang semuda itu mampu melepaskan aji Gundala Sasra demikian kuatnya, sehingga aku terloncat selangkah surut.”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Witantra memandang Anusapati yang memanjat tebing bersama Sumekar itu sampai mereka hilang dibalik tanggul.

“Hampir saja aku salah menghitung. Kalau aku terlampau sedikit melepaskan tenaga aji Bajra Pati, maka akulah yang pasti akan pingsan. Kalau tidak ada orang lain, aku pasti akan dibunuhnya.”

Sekali lagi Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan ia-pun segera bergerak meninggalkan jurang itu, sementara langit menjadi semakin merah. Dan Witantra masih bergumam, “Mudah-mudahan Mahisa Agni berhasil membentuk Putera Mahkota menjadi seorang yang pantas menduduki takhta kelak. Meskipun Mahisa Agni kini berada di Kediri, tetapi hadirnya Sumekar di istana akan dapat melanjutkan usahanya.”

Dalam pada itu, Anusapati berjalan dengan tergesa-gesa kembali ke istana. Meskipun tubuhnya masih terlampau lemah, namun ia berusaha untuk berjalan secepat-cepatnya, karena fajar telah menjadi semakin merah. Untunglah bahwa Anusapati masih dapat mencapai istana sebelum terang tanah. Dengan tergesa-gesa ia meloncati dinding dan berjalan tersuruk-suruk di antara pepohonan di halaman, di antara batang-batang perdu dan pohon bunga-bungaan.

Dengan hati-hati sekali Anusapati melintasi halaman bangsalnya, ketika tidak ada peronda yang sedang lewat, dan dengan diam-diam memasuki biliknya. Secepat-cepatnya Anusapati segera berganti pakaian meski ia tidak cemas apabila karena sesuatu harus segera keluar dari bangsal dengan pakaian itu dan dilihat oleh orang lain, maka hal itu pasti akan membahayakannya.

Demikianlah, baru saja ia selesai, maka istana itu seolah-olah telah terbangun karenanya. Para juru taman, juru masak di dapur dan para emban yang akan membersihkan bangsal-bangsal bersama juru tebah, telah terbangun. Api di dapur telah menyala dan sejenak kemudian telah terdengar derik sapu lidi di halaman, di bawah pohon sawo kecik.

Anusapati yang sudah menyembunyikan pakaiannya yang kotor dan basah itu-pun segera keluar pula dari biliknya dan duduk di serambi bangsalnya. Dilihatnya di dalam keremangan cahaya fajar, hamba istana berjalan hilir mudik menuju ke tempat kerja mereka masing-masing, sedang para prajurit peronda-pun telah kembali kegardu pula.

“Hampir saja aku terlambat,” desis Anusapati. Namun terasa badannya masih terlampau letih. Benturan aji Gundala Sasra dengan ilmu Witantra itu telah membuat Anusapati seolah-olah kehilangan semua kekuatannya.

Namun udara pagi yang segar telah mengusap wajahnya, sehingga perlahan-lahan kekuatannya-pun seakan-akan pulih kembali. Tetapi, dengan demikian Anusapati mengharap dapat segera menemui Sumekar untuk mendengar keterangannya tentang orang yang bernama Witantra.

Ketika embannya datang membawa minuman hangat, Anusapati berdiri dan pergi ke ruang dalam. Sambil duduk di atas sebuah papan kayu cendana yang terukir di sudut ruangan, ia menggeliat dan berkata, “Alangkah segarnya pagi ini. Hampir semalam suntuk aku tidak terbangun sama sekali.”

Embannya tersenyum. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika tiba-tiba Anusapati menguap. “Tuanku nampaknya letih sekali, justru letih sekali.” berkata embannya.

“Tidak. Aku merasa segar sekali.”

Embannya yang kemudian memandanginya sejenak. Lalu katanya, “Ya, tuanku nampak segar sekali.”

Tetapi Anusapati menyadari, bahwa embannya yang sudah sekian lama merawatnya itu tidak dapat ditipunya. Embannya mengenalnya seperti mengenal anaknya sendiri.

“Tuanku, silahkanlah tuanku minum agar tuanku menjadi semakin segar, mumpung minuman masih hangat, berkata embannya kemudian.

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Masih terlampau panas,” katanya.

Embannya yang kemudian duduk. Di depannya tidak menyahut. Tetapi dengan kerut-merut di keningnya ia memandangi saja wajah Anusapati. Bahkan seperti tidak disadarinya ia berkata, “Apakah tuanku sakit?”

“Tidak, aku sehat sekali,” berkata Anusapati sambil mengangkat kedua tangannya.

“Tetapi tuanku pucat sekali, dan tampak terlampau letih.”

Anusapati tersenyum, “Aku tidak apa-apa bibi. Aku tidak apa-apa. Mungkin aku justru terlampau banyak tidur. Aku tidak biasa tidur sampai semalam suntuk.”

Embannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia hanya mempersilahkan Anusapati minum minuman yang masih hangat itu. “Silahkanlah tuanku. Hamba akan membersihkan bilik tuanku dan menunggui para hamba istana membersihkan ruangan-angan lain.”

“Baiklah bibi. Aku menunggu minuman ini agak dingin.”

Embannya-pun kemudian meninggalkan ruangan itu masuk ke dalam bilik Anusapati. Ia mengerutkan keningnya ketika dilihatnya di lantai bilik itu pasir yang berhamburan. Agaknya pasir yang melekat di pakaian Anusapati telah mengotori lantai biliknya. Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia membersihkan lantai bilik itu. Bukan juru panebah atau hamba istana yang lain yang membersihkannya tetapi ia sendiri. Emban itu mengetahui serba sedikit apakah sebenarnya yang sering dilakukan oleh Putera Mahkota. Seperti yang dilihatnya hari ini bahwa Putera Mahkota pasti telah melakukan latihan olah kanuragan.

Tetapi emban itu segan bertanya lebih banyak lagi. Ia tidak mau mengganggu Putera Mahkota yang sedang digelisahkan oleh keadaan yang tidak serasi di dalam keluarganya. Hubungan yang pincang antara ayahanda dan puteranya. Sebenarnya bagi emban itu agaknya sudah jelas, apa yang terjadi dengan Anusapati. Hadirnya Ken Umang di dalam keluarga utama sebenarnya telah membuat hubungan keluarga di dalam istana itu menjadi buram.

Dalam pada itu, ketika Anusapati kemudian meninggalkan ruangan setelah minum beberapa teguk dan memasuki biliknya yang sedang dibersihkan, ia menjadi terkejut sendiri ketika dilihatnya seonggok pasir di sudut ruangan. Dengan dada yang berdebar-debar ia mencoba untuk tidak menghiraukannya, seolah-olah hal itu sama sekali bukannya hal yang tidak wajar terjadi di dalam bilik sebuah bangsal Putera Mahkota.

Tetapi embannyalah yang kemudian berkata, “Tuanku, bilik ini terlampau kotor oleh pasir yang berserakan.”

“Mungkin aku lupa mencuci kakiku semalam. Aku langsung pergi ke dalam bilik ini setelah aku berjalan semalaman. Pasir yang melekat di kakiku agaknya terlampau banyak, karena kakiku agak basah.”

"Pasir di halaman adalah pasir yang putih tuanku. Tetapi pasir ini adalah pasir yang hitam, pasir di tepian sungai.”

Anusppati terperanjat. Tetapi embannya segera menyambung, “Jangan gelisah. Hamba tidak akan mempersoalkannya dengan siapapun. Dan bukankah hamba pernah membantu tuanku memanasi sebakul pasir. Meskipun tuanku sudah dewasa agaknya tuanku masih senang bermain-main dengan pasir. Dimana-pun dan kapan-pun juga.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam, ia tidak perlu ingkar. Embannya memang sudah mengetahui serba sedikit. “Tolonglah bibi, bersihkan pasir itu. Aku juga menyembunyikun pakaianku yang kotor oleh pasir serupa itu.”

Embannya tersenyum. Jawabnya, “Jangan cemas terhadap hamba tuanku. Kalau hamba melakukan tugas hamba sebaiknya di dalam bangsal Putera Mahkota ini mungkin keadaannya sudah berbeda.”

“Ya. Ya. Aku tahu, dan aku berterima kasih sekali kepada bibi.”

“Ah sudahlah, silahkan tuanku berada di luar dahulu. Hamba belum selesai membersihkan bilik ini.”

Anusapati-pun kemudian pergi keluar dan memutari tangga bangsalnya. Suasana istana ini masih terlampau sepi. Bukan saja karena masih terlampau pagi, tetapi karena Sri Rajasa memang tidak ada di istana bersama para panglima beberapa orang Senapati dan puteranya Tohjaya. Dengan lemahnya Anusapati melangkah satu-satu di halaman. Tanpa sesadarnya ia sudah berada di depan regol petamanan. Dilihatnya di dalam petamanan itu beberapa orang juru taman sedang membersihkannya dengan sapu lidi.

Ketika salah seorang dari mereka melihat Anusapati, segera membengkokkan kepalanya sambil berkata, “Masih sepagi ini tuanku sudah ada di petanaman.”

Anusapati memandang juru taman itu dengan tatapan mata yang letih. Tetapi ia mencoba untuk tersenyum dan berkata, “Alangkah segarnya pagi ini. Aku bingung terlampau pagi. Aku sudah berjalan-jalan mengelilingi halaman istana.”

Juru taman itu mengerutkan keningnya ia melihat Anusapati pucat dan lelah. Sama sekali ia tidak melihat Putera Mahkota menjadi segar. Terapi juru taman itu tidak mengatakannya. Anusapati sendiri tidak begitu menyadari keadaannya, ia tidak melihat wajahnya sendiri. Betapa ia mencoba melenyapkan semua kesan itu dari dirinya, tetapi ia tidak sepenuhnya berhasil.

Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Sumekar ada di petamanan itu juga. Ia hampir tidak sabar lagi untuk mendengar ceriteranya tentang orang yang bernama Witantra itu. Ia ingin segera tahu apakah alasan Witantra memancing perkelahian selain ingin mengetahui betapa jauh kemampuan aji Gundala Sasra. Tetapi Anusapati tidak dapat begitu saja dengan serta merta mendekatinya dan langsung bertanya kepadanya. Bagaimana-pun juga ia harus bersabar, sampai kesempatan yang baik datang.

Karena itu maka sejenak Anusapati mondar-mandir di petanaman. Dilihatnya berbagai macam bunga yang sedang berkembang. Kadang-kadang ia memetik setangkai. Tetapi kemudian ditaruhnya bunga itu di sisi regol. Ketika Anusapati sedang asyik melihat setangkai kembang menur yang memancarkan warnanya yang putih. Sumekar menghampirinya. Kemudian sambil berjongkok di samping Anusapati ia berbisik, “Pagi-pagi benar tuan sudah datang ke petamanan?”

“Ya. Aku ingin paman segera berceritera."

“Tetapi keadaan tuanku menumbuhkan pertanyaan. Tuanku nampak letih dan pucat.”

“Begitu? Emban juga berkata begitu.”

“Sebenarnyalah tuanku. Sebaiknya tuanku pergi beristirahat di bangsal. Nanti hamba akan menghadap.”

“Kau akan menghadap aku di bangsal?”

“Tidak. Hamba akan memelihara tanaman di halaman bangsal di hampir tengah hari. Tuanku sempat tidur sejenak, supaya keadaan tuanku menjadi bertambah baik. Kalau saat ini ayahanda tuanku melihat keadaan tuanku pasti segera tumbuh pertanyaan apa saja yang sudah tuanku lakukan semalam atau seandainya ibunda Permaisuri yang melihatnya tuanku pasti disangkanya sakit. Agaknya benturan kekuatan yang terjadi itu terlampau berat bagi tuanku. Masih tampak di wajah tuanku, keadaan tuanku yang sangat lemah.”

Anusapati mengangguk-anggukan kepalanya. Jawabnya, “Baiklah paman. Sebenarnya aku ingin segera tahu, siapakah sebenarnya paman Witantra itu.”

“Tetapi tuanku harus menjaga agar tuanku tidak menumbuhkan pertanyaan di kalangan istana. Mungkin para prajurit atau siapa-pun yang melihat keadaan tuanku.”

Anusapati-pun menurut nasehat Sumekar. Sejenak kemudian ia-pun segera meninggalkan taman itu dan kembali ke bangsalnya.

Ketika ia memasuki bangsalnya dilihatnya Embannya masih membenahi biliknya. Beberapa orang hamba istana masih juga sibuk membersihkan bangsalnya. Mencuci ukiran umpak tiang dan membersihkan dinding-dinding kayu.

“Dari mana tuanku sepagi ini?” bertanya embannya.

“Dari taman bibi. Aku mencoba untuk membuat diriku menjadi segar. Tetapi seorang juru taman berkata pula kepadaku bahwa aku pucat dan letih.”

“Sebenarnyalah begitu tuanku,” jawab embannya, “seperti yang sudah hamba katakan, tuanku memang letih dan pucat.”

“Aku akan beristirahat bibi. Aku akan tidur. Kalau ibunda memanggil katakanlah bahwa hamba agak pening sedikit. Tetapi apabila tidak ada utusan ibunda jangan kau katakan apapun. Nanti siang aku akan menghadap ibunda.”

Memenuhi nasehat Sumekar, Anusapati-pun kemudian terbaring di pembaringannya. Ia dapat tidur dengan tenang, karena Ayahanda Sri Rajasa dan Adinda Tohjaya tidak ada di istana, sehingga ia merasa tidak terganggu karenanya. Hampir tengah hari Anusapati baru terbangun. Kini ia benar-benar merasa tubuhnya menjadi segar. Kekuatannya sudah pulih kembali meskipun ia menjadi agak pening. Ternyata benturan kekuatannya dengan kekuatan Witantra telah menggoncangkan sendi-sendinya.

“Apakah paman Sumekar sudah berada di halaman?” bertanya kepada diri sendiri.

Karena itu, Anusapati-pun segera bangkit. Setelah membenahi diri, ia-pun segera keluar dari biliknya. Ternyata bangsal itu sudah menjadi sepi. Hamba istana yang membersihkannya sudah tidak ada lagi. Bahkan embannya-pun sudah pergi pula. Namun di depan bangsal itu Anusapati melihat seorang juru taman yang sedang asyik membersihkan pohon bunga-bungaan.

“Paman Sumekar,” Anusapati berdesis.

Sumekar berpaling. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Tuanku kini benar-benar sudah menjadi segar.”

Anusapati-pun tersenyum pula. Perlahan-lahan ia mendekati Sumekar yang sedang sibuk. “Apakah paman dapat menceriterakannya sekarang?”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baiklah tuanku, tetapi di sini sajalah sambil menyiangi pepohonan.”

“Ya disini saja.”

Anusapati kemudian berjongkok di samping Sumekar yang nampaknya sedang sibuk. Ketika dua orang prajurit lewat di depan bangsal itu terkejut karenanya ketika tiba-tiba mereka melihat Putera Mahkota berjongkok di halaman. Prajurit itu-pun kemudian berhenti sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Anusapati berpaling. Baru setelah ia mengangguk pula maka kedua prajurit itu-pun berjalan lewat.

“Apa kerja Putera Mahkota itu?” bertanya salah seorang dari kedua prajurit itu.

“Mungkin ia memang tidak mempunyai pekerjaan lagi daripada mengurus masalah-masalah yang sama sekali tidak penting,” jawab yang lain.

“Itu tidak sesuai dengan kedudukannya.”

“Memang agaknya Putera Mahkota tidak mempunyai cukup wibawa. Adalah tidak pantas, ia berjongkok bersama seorang juru taman di halaman.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ia telah merendahkan dirinya sendiri. Adalah salahnya sendiri kalau hambanya tidak menghormatinya kelak, apabila ia benar-benar menggantikan Sri Rajasa apabila sampai waktunya.”

Kawannya masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau hanya mengangguk-angguk saja. Apakah tanggapanmu tentang hal ini?”

“Aku mempunyai pendirian lain,” jawab kawannya, “aku memandangnya dari sudut yang berbeda.”

“Apa menurut katamu?”

“Tuanku Putera Mahkota sama sekali tidak merendahkan dirinya tetapi ia memang seorang yang rendah hati.”

“Omong kosong. Kau lihat adiknya, Tuanku Tohjaya? Ia adalah gambaran seorang putera Maharaja yang besar seperti Sri Rajasa.”

Kawannya tidak menjawab.

“Banyak orang yang berceritera tentang Putera Mahkota. Apakah kau belum pernah mendengar tentang dirinya?”

“Ya bukankah umurku lebih banyak dari umurmu? Ketika kau lahir aku sudah dapat mengejar burung gelatik muda.”

“Nah, apakah kau tahu siapakah sebenarnya Anusapati itu?”

“Hus... kau merendahkannya. Ia adalah Putera Mahkota.”

“Aku melihat perbedaan yang besar dari Akuwu Tunggul Ametung dan Sri Rajasa sekarang.”

“Kau mengenal Akuwu Tunggul Ametung? Berapa umurmu ketika Akuwu terbunuh?”

Kawannya itu tidak menyahut.

“Aku mempunyai pandangan yang berbeda dengan kau. Tuanku Putera Mahkota adalah seorang yang rendah hati. Berbeda dengan tuanku Tohjaya. Ia adalah gambaran dari seorang yang paling sombong yang pernah menghuni istana ini.”

“Ah.”

“Itu anggapanku. Dan mudah-mudahan aku keliru. Tetapi aku justru hormat kepada Tuanku Putera Mahkota yang tidak membeda-bedakan siapa saja dari hamba-hambanya. Ia mau duduk di sisi seorang juru taman di sisi embannya dan bahkan kadang-kadang di gardu peronda.”

“Tidak pantas bagi seorang Putera Mahkota.”

“Itu tanggapan yang salah. Agaknya kesombongan memang sudah menjalar di seluruh isi istana.”

Prajurit yang muda itu tidak menyahut 1agi. Tetapi keningnya tampak berkerut-merut. Mereka kemudian berjalan saja sambil membisu sampai ke gardu mereka. Kawan-kawannya yang melihat wajah keduanya menjadi heran.

Seorang yang lebih tua lagi dari mereka bertanya, “Apakah kalian bertengkar? Berebut sawo yang jatuh di halaman belakang?”

“Tidak Kami tidak apa-apa. Kami hanya sekedar berbicara tentang Putera Mahkota.”

Prajurit yang bertanya itu tidak meneruskan pertanyaannya. Ternyata ia cukup bijaksana, karena ia tahu, bahwa masalah Putera Mahkota adalah masalah yang paling rawan untuk dibicarakan.

Dalam pada itu. Anusapati masih tetap berjongkok di samping Sumekar yang sedang menyiangi pepohonan. Sambil mencabut rerumputan, Sumekar berkata, “Witantra adalah sahabat kakang Mahisa Agni.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi kenapa ia memancing perkelahian? Kemudian bahkan melawan aji Gundala Sasra dengan kekuatan ajinya pula.”

“Itulah yang menarik. Ia tidak sempat mengatakan alasan itu kepada hamba. Tetapi menilik sikap dan pembicaraan hamba dengan Ki Witantra sebelumnya, maka hamba menduga, bahwa Ki Witantra sekedar ingin tahu sampai di mana kemampuau tuanku.”

“Ya. itu aku sudah menduga. Tetapi apakah maksudnya? Baik atau sebaliknya.”

“Aku kira maksudnya baik, ia sependapat dengan kakang Mahisa Agni, bahkan tuanku kelak harus menjadi seorang Raja yang besar. Kalau mungkin melampaui kebesaran Ayahanda Sri Rajasa.”

“Apakah hubungan antara Witantra dengan urusan ini?”

“Ki Witantra ingin melihat Singasari yang besar. Ia adalah seorang yang pernah mengalami hidup di dalam istana ini.”

“Di istana ini?”

“Ia adalah bekas Panglima. Pasukan Pengawal.”

“O,” Anusapati mengerutkan keningnya maka, “Aku ingat. Witantra. Panglima Pengawal Istana. Maksudnya pada jaman Akuwu Tunggul Ametung memerintah Tumapel yang kecil, yang masih termasuk salah satu wilayah Kediri.”

“Hamba tuanku.”

“Apakah ia saudara seperguruan orang yang bernama Kebo Ijo, juga dari pasukan Pengawal?”

“Ya. Tuankn benar.”

“O, jadi ia adalah seorang yang pernah naik ke arena melawan paman Mahisa Agni?”

“Dari mana tuanku tahu?”

“Pelatihku yang terbunuh itu pernah bercerita. Mahisa Agni pernah mengatakannya meskipun tidak lengkap. Adinda Tohjaya pernah juga mengatakannya.”

Sumekar menganggukkan kepalanya. Kalau Tohjaya pernah berceritera tentang Witantra, Kebo Ijo dan peristiwa yang menyangkut keduanya, maka kemungkinan terbesar adalah justru Sri Rajasa sendirilah yang berceritera kepadanya. Dan ternyata dugaannya itu benar karena Tohjaya mengatakan pula kepada Anusapati bahwa ia mendengarnya dari Ayahanda Sri Rajasa.

“Ayahanda hanya mengatakannya kepada Adinda Tohjaya. Tetapi tidak kepadaku. Aku tidak mengerti kenapa ayahanda tidak mau mengatakannya kepadaku. Apakah aku memang tidak berhak, atau kalau dianggap oleh ayahanda sama sekali tidak penting bagiku.”

“Mungkin ayahanda tidak sengaja,” sahut Sumekar, “ayahanda barangkali lupa, kepada siapa ayahanda pernah berceritera. Mungkin ayahanda menganggap bahwa Ayahanda Sri Rajasa pernah berceritera pula kepada tuanku.”

“Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi?”

“Ayahada mempunyai banyak sekali kewajiban, sehingga Ayahanda Sri Rajasa tidak akan sempat mengingat-ingat apakah yang pernah diceriterakan kepada putera-puteranya.”

Anusapati menganggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia sesuai dengan keterangan Sumekar itu. Meskipun demikian Anusapati tidak membantah.

“Tetapi apakah yang dikatakan oleh Tuanku Tohjaya?”

“Seperti yang Kau katakan. Witantra telah mencoba membela Kebo Ijo. Adinda Tohjaya mengatakan bahwa Witantra kakak seperguruan Kebo Ijo tidak mau melihat kenyataan bahwa Kebo Ijo telah bersalah karena membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Ia mencoba mempergunakan pengaruhnya untuk membebaskan adik seperguruannya. Tetapi ketika Keho Ijo berusaha melarikan diri, ayahanda Sri Rajasa yang saat itu bernama Ken Arok, berhasil menangkap dan membunuhnya.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ceritera itulah yang sampai saat ini masih dikenal oleh rakyat Singasari. Kepahlawanan Ken Arok yang membuatnya disegani. Tetapi Sumekar-pun telah pernah mendengar serba sedikit, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tidak pada tempatnya apabila ia mengatakannya kepada Anusapati. Dengan demikian pasti akan dapat timbul persoalan-persoalan baru yang gawat bagi Singasari.

“Kenapa paman diam saja? Bukankah memang demikian yang telah terjadi?”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya tuanku. Demikianlah yang hamba ketahui.”

“Dan sekarang paman Witantra telah muncul kembali. Apakah maksudnya yang sebenarnya? Aku tidak mengerti, dimanakah sebenarnya ia berdiri. SebaGai seorang pengawal setia dari Akuwu ia pasti tidak akan memaafkan kesalahan siapa-pun yang telah membunuhnya meskipun ia adik seperguruannya. Tetapi ternyata Ia tidak berbuat demikian. Ia sama sekali tidak menunjukkan kesetiaannya kepada Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan ia mencoba untuk mencuci kesalahan adik seperguruannya itu. Dan seandainya ia tidak senang lagi kepada pemerintahan yang dipimpin oleh Akuwu Tunggul Ametung ia pasti akan menerima dengan senang hati perubahan yang terjadi di Tumapel. Tetapi ia-pun justru telah mengundurkan diri.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Pikiran itu memang masuk akal. Pada saat itu Witantra memang tidak menunjukkan sikap yang tegas menghadapi keadaan.

“Ia adalah seseorang yang mencoba berdiri di atas kebenaran,” terdengar suara Mahisa Agni mengiang didalam rongga jantung Sumekar. Mahisa Agni-pun pernah berceritera kepadanya, bagaimana Witantra menolak untuk ikut serta mengambil Ken Dedes dari padepokannya ketika Akuwu telah dapat terpancing oleh niat Kuda Sempana saat itu.

“Meskipun Witantra tahu Akuwu akan dapat menghukumnya. Tetapi, ia tetap pada pendiriannya,” berkata Mahisa Agni lebih lanjut. Dan Mahisa Agni-pun pernah berceritera bagaimana Witantra melawan kehendak Mahendra antuk mengambil Ken Dedes kemudian menantang Mahisa Agni berperang tanding ketika ia mengetahui bahwa yang bernama Wiraprana bukanlah Mahisa Agni.

Tetapi Sumekar masih juga belum menjelaskannya. Ia masih juga harus meyakinkan pendengarannya tentang orang yang bernama Witantra itu sendiri, karena seperti juga Anusapati. Sumekar mengenal ceritera tentang Witantra sebelum kakak seperguruannya Kuda Sempana dan bahkan dari gurunya Empu Sada dan baru kemudian sebagian dari Witantra sendiri.

“Paman,” bertanya Anusapati kemudian, “bagaimanakah menurut paman tentang paman Witantra? Apakah kita dapat mempercayainya atau tidak?“

“Ampun tuanku. Hamba tidak tahu dengan pasti. Tetapi perasaan hamba mempercayainya.”

“Tetapi, apakah ia mempunyai maksud-maksud tertentu untuk kepentingannya sendiri? Aku sama sekali tidak mengerti. Mungkin ia memang mempunyai perhitungan tersendiri. Mungkin ia tidak sesuai dengan Ayahanda Sri Rajasa. Sejak Ayahada Sri Rajasa mempunyai pengaruh di Tumapel saat itu pengaruh Witantra semakin berkurang. Dan kini ia melihat keadaan yang kurang serasi di dalam istana ini. Apakah agaknya ia akan memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingannya. Meskipun ia tidak mempunyai pamrih yang langsung untuk maksud sendiri secara lahiriah, tetapi kekeruhan yang dapat terjadi memberinya kepuasan.”

“Tuanku jangan terlampau berprasangka. Hamba akan berusaha menemui kakang Mahisa Agni. Hamba akan mendapat penjelasan yang lebih pasti daripadanya.”

“Kapan kau akan pergi?”

“Hamba akan mencari waktu. Hamba akan minta ijin dahulu.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sumekar memang tidak dapat pergi begitu saja. Sebagai seorang juru taman maka ia harus mendapat ijin lebih dahulu dari pemimpinnya.

“Baiklah paman,” berkata Anusapati, “kita sebaiknya minta nasehat paman Mahisa Agni untuk menilai paman Witantra. Mungkin paman Witantra bermaksud haik. Tetapi memang ada kemungkinan bahwa paman Witantra ingin berbuat sesuatu atas Ayahanda Sri Rajasa, tetapi ia ingin meminjam tangan orang lain. Dan ia melihat hubungan yang kurang serasi di dalam istana ini.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Tuanku mempunyai pertimbangan yang cukup jauh. Ternyata bahwa tuanku sudah benar-benar menjadi dewasa.”

“Aku hanya ingin berhati-hati paman. Aku merasa bahwa pengetahuanku sebenarnya sangat picik. Tetapi bagaimana juga aku adalah seorang anak yang harus berbakti kepada ayahandanya apa-pun dan bagainana sikap ayahanda terhadap anaknya.”

“Pendirian tuanku memang terpuji. Itu adalah sikap seorang satria. Apalagi seorang Putera Mahkota.”

“Karena itu kalau paman Sumekar mendapat kesempatan alangkah baiknya kalau paman dapat menemui paman Mahisa Agni. Sudah tentu paman tidak boleh menarik perhatian.”

“Ya. Hamba akan minta ijin untuk menengok kampung halaman selama sepekan.”

“Tetapi kalau ada seseorang yang mengetahui kau menemui paman Mahisa Agni di Kediri, kemudian disampaikannya kepada Ayahanda Sri Rajasa, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan.”

“Ya, hamba mengerti.”

Anusapati-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia-pun berdiri dan berjalan menjauhi Sumekar melihat pepohonan yang lain di halaman bangsalnya. “Sudahlah tuanku,” berkata Sumekar kemudian, “hamba akan kembali ke petamanan.”

“Ya. Kembalilah supaya kawan-kawanmu tidak menunggu.”

“Apabila sampai waktunya hamba akan mengatakannya kepada tuanku.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut. Dipandanginya saja Sumekar yang kemudian meninggalkan halaman. Sekali-sekali Sumekar masih juga berhenti berjongkok mencabut beberapa rumput liar yang tumbuh di dekat batang-batang bunga-bungaan.

“He, aku kira kau tertidur di depan bangsal Putera Mahkota itu,” bertanya kawannya ketika ia melihat Sumekar kembali ke petamanan.

“Tuanku Putera Mahkota minta memindahkan sebatang pohon Arum dalu.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak memperhatikan Sumekar lagi yang kemudian mulai memotong daun pohon-pohon bunga yang kuning.

Di hari berikutnya maka istana Singasari itu nampaknya telah mulai terbangun kembali karena Sri Rajasa bersama rombongannya telah kembali. Namun pada saat yang bersamaan, Sumekar telah menghadap pemimpinnya tetua para juru taman untuk minta ijin mengunjungi keluarganya di padukuhannya selama sepekan.

“Begitu lama?” bertanya pemimpinnya.

“Ya Ki Lurah bukankah aku datang dari tempat yang jauh? Kalau aku mempergunakan waktu kurang dari itu, maka perjalanan pulang dan kembali ke istana tidak seimbang dengan hari-hari istirahat di tengah-engah keluarga.”

Pemimpinnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi agaknya Putera Mahkota menaruh perhatian khusus terhadapmu. Karena itu kau harus mohon diri kepada Tuanku Patera Mahkota.”

Dada Sumekar berdesir karenanya. Ternyata menurut pengamatan pemimpinnya ia mendapat perhatian dari Purera Mahkota. Hal ini tidak menguntungkan baginya dan bagi Anusapati. Karena itu maka ia-pun segera berkata, “Ah bukankah itu salah Ki Lurah. Akulah kemudian yang mendapat banyak sekali tugas yang tidak aku mengerti.”

“Kenapa salahku?”

“Ki Lurahlah yang pertama-tama mengatakan kepada Putera Mahkota bahwa aku memiliki kecakapan yang lebih baik dari yang lain. Padahal itu tidak benar.”

Pemimpinnya mengerutkan keningnya. “Apakah aku pernah mengatakan hal itu?”

“Ya.”

“Mungkin justru kepada tuanku Tohjaya aku memang pernah mengatakan ketika tuanku Tohjaya memerlukan seorang juru taman.”

“Sebelum itu Ki Lurah pernah mengatakan pula kepada tuanku Anusapati, sehingga akhirnya aku harus melayani kesukaannya kepada jenis-jenis bunga yang aneh.”

Pemimpinnya mengerutkan keningnya, ia tidak ingat lagi tentang hal itu, bahkan ia merasa bahwa ia tidak pernah berbuat demikian. Tetapi ia-pun kemudian tertawa, “Tetapi bukankah kau senang menerima hadiah?”

“Hadiah apa?”

“Kalau kau harus memberikan pelayanan khusus di halaman bangsalnya”

“Ah ada-ada saja Ki Lurah. Aku tidak pernah mendapat apa-apa.”

“Salah seorang embannya barangkali?”

“Rambutku sudah mulai ubanan.”

“Emban yang ubanan pula.”

“Ah,” Sumekar mengerutkan keningnya tetapi ia-pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Jadi apakah aku mendapat ijin itu?”

Pemimpinnya berpikir sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Baiklah. Tetapi kau harus menepati waktu yang kau tentukan sendiri itu.”

Sumekar-pun kemudian menganggukkan kepalanya. Menurut perhitungannya waktu yang sepekan itu pasti sudah cukup. Ia dapat tinggal satu malam saja di Kediri. Dan waktu yang satu malam itu pasti sudah cukup untuk membicarakan banyak sekali masalah mengenai Putera Mahkota, Witantra dan bahkan mengenai Singasari.

Seperti pesan pemimpinnya Sumekar masih juga mohon diri kepada Putera Mahkota ketika akan berangkat. Sambil berbisik ia berpesan, “Hati-hatilah tuanku. Sebentar lagi tuanku pasti harus mulai lagi dengan latihan itu. Apabila ada sesuatu yang tidak berkenan dihati tuanku sebaiknya tuanku menahankannya. Kalau tuanku tidak dapat mengendalikan diri, maka keadaannya tidak akan menjadi semakin jernih. Adinda tuanku ternyata dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya.”

Anusapati-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Di lepaskannya Sumekar pergi meninggalkan istana untuk sepekan. Terasa betapa hari-hari berikutnya akan menjadi sangat sepi bagi Anusapati. Jauh lebih sepi dari pada ketika Sri Rajasa pergi berburu bersama Adinda Tohjaya.

Seperti yang dikatakan oleh Sumekar maka Anusapati segera mulai lagi dengan latihan-latihannya bersama Tohjaya dan yang semakin lama menjadi semakin berat. Tetapi gurunya yang baru ini tidak begitu menyakitkan hatinya seperti gurunya yang pertama. Bahkan kadang-kadang guru ini memandangnya dengan sorot mata yang aneh.

“Paman,” berkata Tohjaya pada suatu saat, “seperti yang pernah terjadi pada suatu waktu kita harus melakukan latihan di arena terbuka.”

“Ya,” jawab gurunya, “tetapi waktunya masih lama.”

“Kenapa? Kami pernah melakukan sebelumnya. Dan ayahanda memang berpendapat bahwa sebaiknya kami mengadakan latihan dalam waktu-waktu tertentu.”

“Hamba sependapat tuanku. Tetapi keadaan tuanku berdua harus menjadi mapan lebih dahulu.”

“Jadi maksud paman kami berdua masih belum mapan?”

“Ya. Masih belum mapan. Aku sedang membongkar bangunan lama yang aku anggap tidak berguna sama sekali dari tuanku berdua. Yang masih mungkin dipergunakan tetap akan hamba pergunakan. Barulah setelah bangunan baru nanti berbentuk tuanku akan mengadakan latihan terbuka.”

“Tetapi tidak ada seorang Senapati-pun yang mencela ilmu kami sebelumnya. Kenapa paman menganggap bangunan itu tidak berarti.”

“Mereka hanya melihat sepintas lalu. Hamba-pun tidak akan melihat kesalahan-lahan itu apabila hamba hanya sekedar melihat tuanku berdua berlatih satu dua kali. Dan hamba-pun tidak akan berkeberatan apa-pun seandainya hamba tidak harus menjadi guru tuanku, sehingga hamba harus menyesuaikan keadaan tuanku berdua dengan dasar-dasar dari ilmu hamba.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Ia merasa gurunya yang baru ini mempunyai sikap tersendiri. Gurunya yang lama tidak pernah berpikir sampai dua tiga kali. Apa yang dikehendakinya pasti disetujuinya. Meskipun demikian Tohjaya tidak dapat menolak. Gurunya yang baru ini adalah saudara sepupu ibunya yang harusnya lebih banyak memberikan kesempatan daripada orang lain.

Dalam pada itu, Sumekar dengan tergesa-gesa kembali kepadepokan yang telah lama ditinggalkannya. Tetapi penghuni-penghuninya masih tetap mengenalnya karena setiap kali ia menengoknya, dan memberikan seekor kuda kepadanya. Selelah menyiapkan bekal secukupnya, maka Sumekar-pun segera pergi ke Kediri untuk menemui Mahisa Agni. Namun ia sempat Singgah ke Panawijen lama, kesebuah padepokan baru, yang dihuni oleh Kuda Sempana.

Dari Kuda Sempana ia mendapatkan beberapa keterangan yang lebih memantapkan dugaannya, bahwa Witantra adalah orang yang jujur dan tidak mempunyai pamrih yang berlebih-lebihan apalagi pamrih pribadi.

“Aku pernah membencinya sampai ke ujung rambut seperti aku pernah membenci Mahisa Agni,” berkata Kuda sempana, “tetapi ternyata akulah yang salah.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi baiklah kau menemui Mahisa Agni.”

Demikianlah maka setelah bermalam semalam. Sumekar melanjutkan perjalanannya menuju ke Kediri, ia berusaha untuk tidak menarik perhatian. Karena itu ia memasuki kota di senja hari, ketika gelap mulai menyelubungi kota. Sumekar dengan hati-hati memasuki halaman rumah Mahisa Agni. Sebuah halaman yang luas dan berdinding tinggi. Dua prajurit berada digardu didepan regol.

“Siapa?” bertanya salah seorang prajurit.

“Aku datang dari Panawijen,” jawab Sumekar sambil meloncat turun dari punggung kudanya, “kawannya bermain di masa kanak-kanak.”

“Kawan siapa?”

“Mahisa Agni.”

“Tuanku Mahisa Agni yang kau maksud?”

“Ya, ya.”

“Siapa namamu?”

“Sada seorang cantrik dari padepokan Panawijen.”

“Tunggulah di sini. Salah seorang dari kami akan menyampaikannya kepada seorang pelayan dalam.”

Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Agni adalah seorang yang penting di Kediri, meskipun kedudukan itu tidak menarik bagi Mahisa Agni sendiri. Ia lebih senang bebas seperti burung elang di udara tanpa ikatan yang sangat menjemukan itu. Tetapi ia tidak dapat menentang perintah Sri Rajasa yang berkuasa di Singasari dan Kediri.

Demikianlah maka salah seorang dari para pengawal halaman itu masuk ke dalam dan menyampaikannya kepada para pelayan dalam. Seorang pelayan dalam kemudian menunggu kesempatan untuk dapat menyampaikannya kepada Mahisa Agni di ruang dalam.

“Siapa yang mencari aku?” bertanya Mahisa Agni.

“Ampun tuan. Seorang cantrik dari padepokan Panawijen,” pelayan itu membungkukkan kepalanya.

“Cantrik dari Panawijen?” Mahisa Agni bergumam, “siapakah namanya?”

“Sada tuan.”

“Sada? Cantrik bernama Sada?”

“Ya tuan.”

“Apakah ia sudah sangat tua?”

“Tidak tuan ia masih belum tua benar, ia baru separoh baya.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia masih belum jelas siapakah yang datang dan menyebut dirinya bernama Sada itu, namun ia berkata kepada pelayannya, “Suruhlah ia masuk.”

Namun demikian Mahisa Agni menjadi berdebar-debar juga. Ia belum pernah mendengar nama seorang cantrik yang bernama Sada. Satu-satunya orang yang dikenalnya bernama Sada adalah Empu Sada. Guru Kuda Sempana. Karena itu maka Mahisa Agni-pun harus berhati-hati menerima tamunya. Mungkin seseorang dengan niat yang tersembunyi. Tetapi mungkin juga seseorang yang memang pernah dikenalnya sehingga karena itu tidak menolaknya.

Sejenak kemudian maka perintah Mahisa Agni itu-pun telah sampai kepada prajurit yang berjaga di regol halaman. Karena itu maka mereka-pun segera mempersilahkan Sumekar masuk. Diantar oleh seorang pelayan dalam, maka Sumekar-pun kemudian dibawa ke ruang depan gandok sebelah Timur. Di situlah biasanya Mahisa Agni menerima tamunya apabila tamu itu bukan seorang tamu resmi.

Ketika kemudian Mahisa Agni keluar dari dalam gandok sebelah Timur dan dilihatnya Sumekar duduk di atas sebuah tikar pandan rangkap yang bersulam benang-benang pandan berwarna ia-pun menarik nafas sambil berkata, “Aku kira aku menerima tamu seorang Empu yang sudah sangat tua.”

Sumekar-pun tertawa. Ketika Mahisa Agni sudah duduk disampingnya, maka Sumekar-pun berkata, “Aku takut kalau berita kedatangan Sumekar sampai ketelinga Sri Rajasa di Singasari.”

“Ya kau memang seorang yang bijaksana. Kau menyebut suatu nama yang memang pernah aku kenal. Karena itu aku menjadi ragu-ragu. Tetapi aku memang sudah menduga bahwa yang datang pasti ada hubungan atau sangkut pautnya dengan orang yang bernama Sada. Ternyata yang datang adalah muridnya yang terkasih.”

Sumekar tersenyum.

“Tetapi,” tiba-tiba Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “apakah ada sesuatu yang akan kau sampaikan sesuatu yang mendesak?”

Sumekar mengelengkan kepalanya, “Tidak kakang. Tidak ada sesuatu yang mendesak.”

“Kalau begitu baiklah. Kita tidak usah berbicara tentang keperluanmu dahulu. Kau bermalam disini?”

“Tentu kakang. Aku tidak mempunyai keluarga lain di sini. Tetapi seperti aku datang maka besok sebelum siang aku akan sudah meninggalkan rumah ini. Tidak sepantasnya seorang juru taman Singasari berada di rumah ini sebagai seorang tamu.”

Mahisa Agni tersenyum. Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing maka katanya, “Rumah ini adalah rumah yang besar dan dilayani oleh orang-orang yang sudah berpengalaman melayani pembesar pemerintahan di Kediri. Rumah ini adalah rumah yang paling besar di luar istana Raja dan istana Kepatihan. Rumah ini adalah istana Ratu Angabaya pada suatu jaman pemerintahan sebelum Tuanku Sri Baginda Kertajaya. Tetapi beberapa lama istana ini pernah kosong. Sehingga ketika aku masuk kedalamnya, rasa-rasanya aku memasuki sebuah kuburan.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, “Rumah ini memang besar sekali. Aku menjadi bingung karenanya. Pantaslah kalau rumah ini pernah menjadi istana Ratu Angabaya. Bangsal yang besar di belakang gandok kiri dan kanan yang dibatasi oleh longkangan-longkangan yang luas. Pohon Sawo kecik yang rindang dan pendapa yang besar dengan tiang dan umpak berukir. Dua orang prajurit di regol depan dan beberapa orang di gandok Kulon beserta beberapai orang pelayan dalam, semakin meyakinkan bahwa sebenarnyalah aku berada di dalam istana Ratu Angabaya.”

“Tetapi semuanya ini bagaikan sebuah sangkar yang menjemukan bagiku,” desis Mahisa Agni, “kadang-kadang aku menjadi rindu kepada padang dan sawah di Panawijen. Bahkan baru terasa kini, kebebasan yang segar apabila kita berkeliaran di Padang Karautan. Di sendang buatan yang manis atau berkejaran dengan binatang buruan.”

“Itu pulalah agaknya bahwa Sri Rajasa terlampau sering pergi berburu. Kadang-kadang dengan para pengiring yang lengkap, tetapi kadang-kadang hanya beberapa orang pengawal pilihan.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi,” berkata Sumekar, “karena di dalam istana Singasari ada Ken Dedes dan Ken Umang maka Sri Rajasa masih selalu kembali ke istana pula.”

“Ah,” Mahisa Agni tersenyum.

“Istana ini pasti akan terasa kering. Apakah sampai pada saat akhir kakang Mahisa Agni tetap seorang diri?”

“Ah, kita akan berbicara tentang masalah yang lain.”

“Baik, baik. Apakah aku boleh mengatakan maksud kedatanganku sekarang?”

“Nanti sajalah. Kau dapat mandi dahulu. Kau adalah tamuku. Nanti malam kita punya banyak waktu meskipun besok pagi-pagi kau akan meninggalkan rumah ini. Aku tahu, bahwa hal itu memang harus kau lakukan meskipun bukan maksudku untuk mengusirmu.”

Sumekar tersenyum. Agaknya Mahisa Agni-pun menyadari bahaya yang dapat timbul apabila seseorang dapat menyampaikan kepada Sri Rajasa, bahwa Sumekar seorang juru taman telah datang menjadi tamu Mahisa Agni di Kediri.

“Ya,” jawab Sumekar, “besok pagi-pagi benar.”

“Sekarang kalau kau ingin membersihkan dirimu pergilah ke pakiwan.”

“Dimanakah pakiwan itu? Meskipun aku seorang hamba istana tetapi aku jarang sekali masuk ke dalam, apa lagi sampai ke bagian yang paling belakang karena aku seorang juru taman yang pekerjaanku setiap hari di petamanan. Berbeda dengan seorang prajurit pengawal istana, seorang pelayan dalam atau hamba-hamba istana yang tugasnya di dalam istana, seperti juru panebah.”

Mahisa Agni tertawa. Jawabnya, “Jangan sakit hati, kalau aku tidak dapat mengantarkan kau. Sebenarnya aku ingin berbuat demikian, tetapi hal itu akan menimbulkan pertanyaan pada pelayan-pelayan dalam dan para hamba yang lain.”

“Jadi aku harus mencari sendiri?”

“Tidak. Aku terpaksa bertepuk tiga kali. Seorang pelayan akan masuk dan aku akan menyuruhnya mengantarkan kau.”

Sumekar mengerutkan keningnya. Namun ia kemudian tersenyum sambil berkata, “Ya, aku lupa bahwa aku berhadapan dengan wakil Sri Paduka Maharaja Singasari.”

“Bersikaplah sebagai seorang tamu di dalam istana ini, bukan seorang juru taman. Aku cemas bahwa besok demikian kau terbangun kau akan turun ke halaman dan menyiangi pepohonan.”

Keduanya-pun tertawa. Sumekar-pun kemudian pergi ke pakiwan diantar oleh seorang pelayan yang datang ketika Mahisa Agni bertepuk tiga kali.

“Kau benar-benar seorang wakil raja kakang,” desis Sumekar.

Mahisa Agni hanya tersenyum saja. Terasa alangkah sejuknya air dipakiwan istana Ratu Angabaya yang kini dihuni oleh Mahisa Agni. Apalagi setelah sehari-harian Sumekar berpacu di atas punggung kuda dari Panawijen. Seolah-olah tidak berhenti sama sekali sejak fajar menyingsing. Setelah makan malam dan berkelakar sejenak, maka mulailah Sumekar menyatakan maksud kedatangannya.

“Aku telah minta ijin sepekan kepada pemimpin juru taman untuk pulang ke padukuhanku. Tetapi aku telah mempergunakan waktu itu untuk melawat ke Kediri, agar aku dapat menyampaikan ceritera tentang tuanku Putera Mahkota kepada kakang Mahisa Agni.”

“Apakah ada sesuatu yang menyimpang pada tuanku Pangeran Pati?” bertanya Mahisa Agni.

“Tidak. Semua berjalan dengan wajar dan baik. Tuanku Putera Mahkota masih dapat melakukan peranannya dengan baik. Seandainya di dalam istana Singasari dibentuk sebuah kelompok penari maka tuanku Pangeran Pati pasti akan dapat berperan dengan bagus sekali.”

“Maksudmu?”

“Ia dapat memainkan lakon yang betapa-pun sulitnya.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia-pun tersenyum. Katanya, “Aku hampir menjadi bingung. Apakah hubungannya antara Putera Mahkota dan sekelompok penari? Tetapi akhirnya aku mengerti juga.”

Sumekar-pun tersenyum pula. Lalu dilanjutkannya ceriteranya, “Betapa-pun berat peranan yang harus di bawakan. Memang kadang-kadang, Tuanku Anusapati hampir tidak dapat lagi menahan hati. Untunglah bahwa sampai saat ini, semuanya masih tetap merupakan suatu rahasia bagi Sri Rajasa.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan Anusapati dapat selamat sampai, ke Singgasana. Bukan niat kami berbuat jahat. Bukan maksud kami untuk menumbangkan kekuasaan yang ada sekarang. Tetapi kami ingin yang bakal datang tidak memuramkan tahta Singasari. Lebih dari itu, takhta Singasari akan jatuh ketangan orang yang memang berhak atasnya. Keturunan Ken Dedes bukan keturunan Ken Umang.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Begitu pulalah yang dikatakannya.”

“Siapa? Siapa yang berkata begitu juga?”

“O, aku masih belum mengatakan bahwa aku telah bertemu dengan seseorang.”

Mahisa Agni memandang wajah dengan penuh pertanyaan di sorot matanya.

“Aku bertemu dengan seorang yang pernah memegang jabatan penting di jaman Tumapel.”

“Siapa?”

“Panglima Pengawal istana.”

“Witantra maksudmu?”

“Ya.”

“Dimana?”

“Witantra sengaja menemui aku.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sementara itu Sumekar-pun segera berceritera tentang bekas Panglima pasukan pengawal Akuwu Tunggul Ametung itu. Di ceriterakannya pula bagaimana ia menemui Anusapati di jurang yang terasing tempat Putera Mahkota melatih diri. Dan bahkan Witantra telah memancing benturan antara dua kekuatan yang dahsyat.

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Tetapi aku yakin maksudnya-pun pasti baik pula.”

“Aku juga mengharap demikian. Tetapi karena aku belum begitu mengenalnya maka aku memerlukan menemui kakang Mahisa Agni untuk meyakinkannya.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku kira Witantra ingin melihat betapa jauh Anusapati mendalami ilmunya. Bukankah dengan demikian Anusapati akan mendapat kesempatan untuk menambah pengalamannya?”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, ia sependapat dengan Mahisa Agni dan bahkan Putera Mahkota-pun berpendapat demikian. Tetapi apa yang ada dibalik keinginannya untuk mengetahui tingkat ilmu Putera Mahkota itu? Dan apabila ia berusaha memperkaya pengalaman Putera Mahkota apakah pamrihnya?

Meskipun pertanyaan-pertanyaan itu tidak diucapkan, namun Mahisa Agni seakan-akan dapat menangkap dari siratan pandangan mata Sumekar. Karena itu maka katanya, “Adi Sumekar. Aku tidak tahu pasti apa yang ada di dalam hati seseorang. Tetapi aku kira Witantra sama sekali tidak bermaksud jelek. Ia tidak ingin sekedar mendorong pertentangan atau katakanlah hubungan yang kurang sewajarnya antara Putera Mahkota dan Sri Rajasa. Meskipun Witantra banyak mengetahui mengenai latar belakang kehidupan Sri Rajasa di masa mudanya dan usahanya untuk mendapatkan kedudukannya yang sekarang, tetapi Witantra tidak akan mengguncang kebesaran Singasari sekarang. Hal itu disadarinya, tidak akan ada gunanya. Bahkan Witantra sebagai seorang pejuang di masa mudanya, pasti ingin melihat Singasari semakin berkembang. Tetapi sudah tentu Witantra tidak ingin pemerintahan Singasari itu jatuh ke tangan keturunan Ken Umang. Witantra adalah saudara iparnya yang mengetahui banyak tentang perempuan yang bernama Ken Umang itu. Perempuan yang jantung dan hatinya dibakar oleh ketamakan dan nafsu lahiriah yang berlebih-lebihan. Bahkan segala macam nafsu.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi,” katanya, “kesimpulan dari pendapat kakang Mahisa Agni adalah, bahwa kakang Mahisa Agni tidak berkeberatan sama sekali atas kehadiran Witantra di hari-hari mendatang dalam kehidupan Putera Mahkota!”

“Ya. Aku tidak berkeberatan sama sekali. Aku justru berharap, Putera Mahkota akan menjadi semakin mantap, dan akan menjadi Putera Mahkota yang penuh dengan bekal yang akan bermanfaat bagai masa depannya. Bahkan Witantrra bukan sekedar seseorang yang berilmu mumpuni, tetapi ia juga memiliki pengetahuan dan pengalaman di dalam ilmu pemerintahan. Bawalah Pangeran Pati itu kepada suatu keadaan yang sejauh-jauhnya dapat dicapainya. Jangan disangka bahwa Tohjaya-pun tidak mendapat bermacam-macam ilmu sebelum pada suatu saat ia akan diperbandingkan dengan Anusapati. Langsung atau tidak langsung.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Mudah-mudahan pada saatnya Anusapati dapat mempersiapkan dirinya,” berkata Mahisa Agni lebih lanjut. “Kumpulan dari pengetahuan atas ilmu yang mantap, aji Gundala Sasra, Kala Bama dan Bajra Pati akan dapat memberikan banyak manfaat bagi perkembangan ilmu dasarnya Gundala Sasra. Asal Anusapati mendapat tuntunan yang terarah ia tidak akan ditelan oleh benturan yang tidak mapan dari kedua ilmu itu, dan bahkan mungkin ilmu-ilmu yang lain kelak.”

Sumekar masih juga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kini ia sudah mendapat pegangan. Ia menjadi semakin yakin bahwa memang Witantra adalah seorang pejuang yang tidak diombang-ambingkan oleh perasaan dan sikap pribadi. Ia hanya mendambakan suatu negeri yang makmur dan berarti bagi rakyatnya. Karena itu, betapa-pun juga ia mempunyai persoalan pribadi, namun ia tidak mau mengguncang Singasari yang sedang mendaki ke puncak kejayaannya.

“Nah bagaimana pendapatmu,” bertanya Mahisa Agni.

“Aku sependapat dengan kakang Mahisa Agni sudah jauh lebih banyak mengenal watak dan tabiatnya. Di dalam hubungan yang pendek aku juga sudah melihat sifat-sifat itu, sehingga aku-pun percaya kepadanya bahwa ia sama sekali tidak bermaksud buruk.”

“Aku akan berbicara pula dengan Witantra. Ia sering pula datang kemari. Kadang-kadang tanpa disangka-sangka ia sudah berdiri di ambang pintu, dalam pakaian seorang pratapu.”

“Oh.”

“Aku akan meyakinkan, apa yang sudah dikerjakannya.”

Sumekar masih juga mengangguk-angguk. Demikianlah maka mereka-pun telah menentukan suatu sikap yang serupa atas Witantra. Keduanya tidak berkeberatan apabila untuk seterusnya Witantra hadir di dalam dunia pertumbuhan Pangeran Pati Anusapati. Setelah berdiam diri sejenak maka Sumekar-pun kemudian berkata selanjutnya, “Kakang, selain Witantra masih ada yang akan aku bicarakan.”

“Tentang?”

“Tentang Putera Mahkota.”

Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi kerut merut dikeningnya menjadi semakin dalam.

“Di hari-hari terakhir tampaknya hati Putera Mahkota menjadi semakin sepi.”

Mahisa Agni tidak segera menyahut.

“Beberapa saat yang lampau. Putera Mahkota tidak pernah mempersoalkan apabila Sri Rajasa pergi berburu dan membawa serta tuanku Tohjaya. Tetapi sekarang, Tuanku Anusapati merasa dirinya menjadi semakin terasing. Saat ini aku masih dapat membujuknya dengan macam-macam cara. Tetapi aku mencemaskannya, bahwa pada suatu saat perasaan sepi dan terasing dari keluarganya itu akan meledak dalam bentuk yang tidak kita ketahui sebelumnya.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya.

“Yang menjadi persoalan bagi kita adalah bagaimana kita dapat mengisi kesepian dan kekosongan hati Putera Mahkota itu?”

“Bagaimana dengan ibunda Permaisuri?”

“Bukan maksud ibunda Permaisuri memisahkannya dari adik-adiknya. Tetapi kembali kepada sikap Sri Rajasa, maka perhatian ibunda Permaisuri seakan-akan telah terampas oleh putera-puteranya yang kemudian. Hanya kadang-kadang saja Putera Mahkota menghadap ibunda di bangsal Permaisuri.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya, terbayang kembali wajah Permaisuri Ken Dedes di rongga matanya, sejak ia masih seorang gadis di Panawijen. Meskipun bukan maksudnya sendiri, namun Ken Dedes adalah seorang perempuan yang mempunyai anugerah ciri kebesaran yang jarang bahkan hampir tidak pernah dijumpai pada perempuan yang lain.

Namun sebagai manusia biasa ia mempunyai kelemahan-kelemahan. Dan kini karena pengaruh lingkungannya, ia telah membiarkan puteranya yang sangat dikasihinya itu menjadi kesepian. Mungkin Ken Dedes sendiri akan menjadi sangat bersedih apabila ia mengetahui keadaan Anusapati yang sebenarnya. Mengetahui keadaan bukan saja lahiriahnya, tetapi juga isi jiwanya.

“Adi Sumekar,” berkata Mahisa Agni kemudian, “Putera Mahkota memerlukan perhatian ibunda lebih banyak lagi. Adik-adiknya memang lebih leluasa berhubungan dengan ayahanda dan ibunda, namun Permaisuri sendiri harus memberi lebih banyak peluang untuk putera sulungnya.”

“Itulah yang barangkali kurang mendapat perhatian. Mungkin tuanku Permaisuri sama sekali tidak bermaksud demikian. Namun keadaan lingkungannyalah yang telah menjadikannya seakan-akan agak terpisah dan putera sulungnya.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Tetapi kenapa kau menyinggung masalah itu? Atau barangkali kau telah membayangkan suatu cara yang paling baik untuk menolong keadaan Anusapati.”

“Kakang Mahisa Agni. Sekarang Tuanku Putera Mahkota telah dewasa penuh! Bahkan adik-adiknya-pun telah menjadi anak-anak muda yang gagah. Apalagi tuanku Tohjaya. Apakah tidak pada tempatnya apabila kakang Mahisa Agni sebagai pamannya memikirkan untuk mencari seorang perempuan yang dapat menjadi kawan hidup Tuanku Putera Mahkota itu?”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya.

“Kalau tidak ada seorang-pun yang memikirkannya maka hal itu pasti tidak akan segera menarik perhatian tuanku Anusapati sendiri. Sehingga apabila pada suatu saat, tuanku Tohjaya atau seorang adiknya yang lain, Putera Tuanku Sri Rajasa mendahuluinya, maka Tuanku Pangeran Pati akan merasa semakin kesepian.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah adik-adiknya sama sekali tidak pernah bergaul dengan Anusapati? Maksudku adik-adiknya yang lahir dari Permaisuri itu pula?”

“Jarang sekali. Sekali-kali mereka berkumpul juga. Tetapi itu hanya terjadi tidak lebih dari sepekan sekali. Yang paling sering datang berkunjung atau kadang-kadang mereka bertemu di bangsal ibunda Permaisuri adalah Adinda Mahisa Wongateleng.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Baik Anusapati maupun Mahisa-wonga-teleng adalah putera Ken Dedes. Juga putera-puteranya yang lain Panji Sabrang, Agnibaya dan adik-adiknya. Tetapi yang paling dikenalnya adalah Anusapati. Atas putera-putera Ken Dedes yang lain Mahisa Agni tidak begitu mengenalnya seorang demi seorang dengan baik. Ia hanya mengenal mereka itu sebagai kemanakannya. Tetapi ia tidak mengenalnya lebih dekat lagi. Hanya Anusapati lah yang dapat dikenalnya lahir dan batinnya, justru karena Anusapati seakan-akan terpisah dari lingkungannya di istana.

“Apakah Mahisa-wonga-teleng mengenal keadaan Anusapti dengan baik?”

“Tidak, tidak seorang-pun yang mengenal tuanku Putera Mahkota.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Perlahan-lahan ia berdesis, “Kau benar adi Sumekar. Aku kira jalan itu dapat ditempuh Anusapati akan melengkapi kekurangannya dengan hubungan yang akrab di dalam lingkungannya sendiri.”

“Tuanku Putera Mahkota akan dapat membagi kesepiannya.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Tetapi tidak mudah memilih seorang isteri buat Anusapati. Ia harus seorang yang sabar dan mengerti keadaan Anusapati sepenuhnya. Ia harus dapat menjadi tempat yang dapat memberikan kesejukan di hati Putera Mahkota yang gersang itu.”

“Tentu. Kita akan dapat membantunya. Kalau tuanku Anusapati mendapatkan seorang gadis yang hidup di dalam lingkungan yang prihatin pula mungkin ia akan dapat membagi duka. Tetapi kalau sebaliknya ia mendapatkan seorang gadis yang manja, maka hal itu hanya akan menambah duka hatinya menjadi semakin parah. Tuanku Anusapati memerlukan seorang perempuan dengan sifat keibuan yang sejuk. Selama ini ia merasa bahwa kasih ibunya telah dirampas oleh keadaan, oleh ayahandanya dan oleh adik-adiknya sendiri.”

Mahisa Agni tidak segera menyahut. Direnunginya nyala pelita yang bergetar disentuh angin malam yang dingin. Namun kemudian ia berkata, Ya, seorang gadis dari suatu lingkungan yang prihatin. Seorang gadis yang mempunyai sifat keibuan yang sejuk. Seorang gadis yang tidak mementingkan diri sendiri dan mengerti sepenuhnya keadaan Anusaputi. Tetapi selain daripada itu. ia harus seorang gadis yang cerdas dan berhati Agung dan berwibawa. Kelak ia adalah seorang Permaisuri. Itulah yang agak sulit. Tentu banyak gadis yang ingin menjadi seorang Permaisuri, tetapi jarang gadis yang mau mengalami prihatin dan tidak mementingkan dirinya sendiri.”

Sumekar-pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang terlampau sulit untuk mendapatkan seorang perempuan yang sekaligus memenuhi beberapa syarat. Syarat yang tidak dapat ditinggalkan pula gadis itu harus mempunyai darah seorang besar yang akan pantas menjadi seorang Permaisuri dan kelak menjadi Seorang ibu dari Puteri Mahkota berikutnya. Tetapi lebih-lebih dari semuanya itu baik Mahisa Agni mau-pun Sumekar sadar bahwa bukanlah mereka yang harus menentukan siapa yang akan menjadi isteri Anusapati kelak. Mereka hanya dapat mengusulkan. Tetapi yang akan menentukan kata terakhir adalah Sri Rajasa sebagai ayahandanya.

“Ken Arok dapat mencari siapa saja untuk dijadikan isterinya,” berkata Mahisa Agni seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri.

“Bahkan ia dapat berbuat lain sama sekali tidak ada seorang-pun perempuan-pun yang dipilihnya untuk dijadikan isrti Putera Mahkota,” berkata Sumekar.

“Ya, memang mungkin sekali Sri Rajasa dapat berbuat apa saja. Yang baik maupun yang tidak baik bagi Anusapati,” sahut Mahisa Agni, “tetapi aku mengharap bahwa Ken Dedes masih dapat berbuat sesuatu untuk anaknya. Aku kira kalau Ken Dedes berani mengusulkan sesuatu tentang Anusapati. Sri Rajasa-pun akan segan menolaknya justru karena keduanya tahu, siapakah Anusapati itu. Ken Arok pasti tidak akan dapat berbuat sewenang-wenang dengan berterus terang kepada Ken Dedes termasuk untuk mendapatkan seorang isteri bagi Pangeran Pati.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, “Memang mungkin sekali. Persoalan selanjutnya, bagaimana dengan tuanku Permaisuri. Kita berharap bahwa untuk masalah yang penting ini Tuanku Permaisuri akan bersedia berbuat sesuatu, betapapun berat perasaannya. Kalau tidak, maka Ken Umanglah yang akan menentukan segala-galanya, tuanku Pangeran Pati akan dijerumuskan kedalam perkawinan yang sama sekali tidak akan memberinya kebahagiaan. Apalagi memberikan kesejukan seorang ibu baginya.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Aku akan menghubungi Ken Dedes dalam waktu singkat. Kelak aku akan mempertaruhkan pengaruh pribadiku yang masih tersisa atas keduanya, baik Permaisuri maupun Ken Arok sendiri. Mudah-mudahan Sri Rajasa masih mempunyai sedikit rasa segan kepadaku. Didalam persoalan yang penting, aku kira suaraku tidak akan diabaikannya, ia pasti masih memperhitungkan banyak persoalan sebelum memutuskan untuk menyingkirkan aku sama sekali.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, “Cobalah kakang Mahisa Agni. Memang akibatnya akan dapat menyimpang dari keinginan kita. Tetapi kalau kita tidak berani berbuat apa-pun maka semua jalan pasti akan tertutup bagi Tuanku Anusapati.”

Demikianlah maka di dalam pembicaraan itu, mereka berkesimpulan bahwa mereka akan ikut serta mengambil peranan di dalam masalah yang penting itu, masalah seorang isteri bagi Anusapati. Selain pembicaraan yang penting maka Sumekar-pun menceriterakan pula serba sedikit tentang guru Anusapati yang baru. Meskipun ia kemanakan Ken Umang, namun sikapnya agak berbeda. Prajurit itu masih mempunyai harga diri yang cukup baik dibandingkan dengan guru mereka yang terbunuh di dalam jurang itu.

“Syukurlah,” gumam Mahisa Agni, “mudah-mudahan ia mendapatkan jalan yang lapang dihari-hari mendatang.”

“Kehadiran Witantra langsung di dalam kehidupannya merupakan masalah yang dapat membantunya,” berkata Sumekar.

“Tetapi Anusapati tidak boleh keliru ini hanyalah kesimpulan. Kita sama sekali bukan setuju kumpulan orang-orang sakit hati yang akan mempergunakannya untuk tujuan tertentu. Kita harus meyakinkannya, bahwa kita hanyalah sekedar akan membantunya, memberikan keberhasilan di dalam kedudukannya.” berkata Mahisa Agni. Kemudian, “Tetapi apabila ada orang lain yang mengetahui masalah ini maka akan dapat dengan sengaja berbuat demikian. Orang ini akan dapat menyebut beberapa nama yang memang dapat ditarik ke dalam suatu lingkaran orang-orang sakit hati. Mungkin aku, kau, Kuda Sempana, Witantra, Mahendra dan beberapa orang-orang lain. Hal ini harus kita hindarkan, karena kita sama sekali tidak ingin berbuat demikian. Kita hanya membantu untuk mengembangkan hati Putera Mahkota dan mengembangkan Singasari kelak.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, ia-pun menyadari bahaya itu. Bahaya yang dapat menyeret mereka kedalam kesulitan. Bahkan bersama Putera Mahkota. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Mahisa Agni-pun mempersilahkan tamunya untuk beristirahat. Pertemuan itu telah menuntun keduanya untuk bersikap, untuk ikut membantu perkembangan hari depan Anusapati dan Singasari. Singasari tidak boleh berkisar dari tujuannya. Singasari tidak boleh jatuh ketangan keturunan Ken Umang yang dibakar oleh nafsu yang menyala-nyala. Nafsu ketamakan untuk diri mereka sendiri.

Di pagi-pagi buta, sebelum matahari naik kepunggung bukit Mahisa Agni mengantar tamunya sampai ke regol halaman rumahnya yang luas. Halaman rumah yang pernah menjadi istana Ratu Angabaya. Para penjaga menjadi heran. Tamu itu datang setelah Kediri dibayangi oleh gelapnya malam, dan kini ia meninggalkan istana itu sebelum matahari terbit. Tetapi mereka tidak dapat mencurigainya karena Mahisa Agni sendiri mengantarkannya sampai ke gerbang.

“Salamku buat seluruh isi padepokan,” berkata Mahisa Agni di depan regol.

“Baiklah. Akan aku bawa salam yang akan memberikan kebanggaan bagi kami seluruh isi padepokan. Kau merupakan kebanggaan yang tiada taranya, bahwa Panawijen mendapat kehormatan melahirkan seorang anak yang kini menjadi seorang yang besar.”

Mahisa Agni tersenyum di dalam hati. Sumekar dapat juga bermain dengan baik. Ketika ia melambaikan tangannya, maka Sumekar-pun berpacu di atas punggung kudanya, semakin lama menjadi semakin jauh tenggelam di dalam keremangan pagi.

Sepeninggal Sumekar, Mahisa Agni masih berdiri sejenak diregol halaman. Dipandanginya para penjaga yang masih berdiri tegak ditempatnya. Tanpa ditanya oleh seorang-pun Mahisa Agni berkata, “Aku dilahirkan di Panawijen. Sehingga bagiku Panawijen merupakan kenangan yang menyenangkan dimasa kanak-anak.”

Para pengawalnya tidak menjawab. Sejenak, mereka berpandangan, namun kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala. Sedang Mahisa Agni masih terus berkata, “Ia masih tetap hidup sebagai seorang cantrik.”

Para pengawal itu-pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Siapakah di antara kalian yang datang dari padepokan para Pendeta?”

Para pengawal itu tidak menjawab, lalu Mahisa Agni-pun berkata terus, “Aku adalah keturunan Pendeta.”

Ketika Mahisa Agni kemudian masuk ke dalam istana, maka para pengawalnya berdesis, “Pantas kalau tuanku Mahisa Agni keturunan Pendeta. Sikap kependetaannya masih ada, ada padanya di samping sifat-sifatnya sebagai seorang ksatria. Ia tidak menggunakan kekuasaannya yang ada padanya. Ia seorang pemurah dan penuh dengan belas kasihan. Bukan seorang yang pendendam dan pemarah.”

Demikianlah maka Sumekar-pun kemudian berpacu kembali ke Singasari. Setelah menyimpm kudanya di padepokannya, maka ia-pun kemudian beristirahat semalam menikmati hidup di padepokan. Terasa alangkah tenangnya hidup di antara orang-orang yang berpikir sederhana jauh dari kepentingan diri sendiri. Orang-orang yang berhati terbuka tanpa menyimpan dendam dan kebencian dengan yang lain.

“Sebenarnya lebih senang hidup di sini, berkata Sumekar-pun kepada diri sendiri, “kalau tidak ada kepentingan yang lebih besar dan kepentingan diriku sendiri aku sama sekali tidak ingin kembali ke istana. Tempat yang penuh dengan bayang-bayang yang semu. Wajah-wajah yang membayangkan sikap yang lain dari perasaan yang disembunyikan di dalam dada. Senyum yang sekedar menghias bibir yang kemudian mengumpat-umpat. Dan segala jenis kepalsuan yang lain.”

Tetapi Sumekar harus kembali ke Istana Singasari. Dengan pakaian yang kusut oleh debu dan keringat yang membasahi kening dan punggung ia memasuki gerbang istana di bagian belakang sambil menjinjing sebungkus pakaiannya yang sederhana.

Seorang pengawal yang melihatnya di pintu gerbang bertanya, “He juru taman. Dari mana kau?”

“Aku mendapat waktu untuk beristirahat di padukuhan. Selama sepekan.”

“Jadi kau baru kembali dari waktu-waktu istirahatmu?”

“Ya.”

“Dan kau menjadi semakin hitam seperti terbakar dan menjadi semakin kurus?”

“Ternyata di padukuhanku sedang dilanda oleh paceklik panjang. Banyak tanaman yang tidak tumbuh sewajarnya. Dan bahkan ada orang yang menabur sampai tiga kali tetapi yang tumbuh adalah batang ilalang.”

“He bagaimana mungkin?”

“Kekurangan air dan hama bilalang yang dahsyat, apalagi tikus-tikus yang memusnakan benih yang sedang ditabur itu.”

“Dan kau dengan tergesa-gesa kembali sebelum masa istirahat yang kau mohon itu habis?”

“Aku mempergunakannya seluruhnya.”

Prajurit pengawal itu tidak bertanya lagi. Dibiarkannya saja Sumekar melalui regol halaman. Seorang pengawal yang lain yang berdiri di dalam memandangnya dengan kening yang berkerut-merut. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.

Demikianlah maka kehadiran Sumekar kembali telah menumbuhkan debar di dada Putera Mahkota. Sehari kemudian barulah ia mendengar dari Sumekar hasil pembicaraannya dengan Mahisa Agni meskipun tidak seluruhnya dikatakan terutama yang menyangkut Witantra.

Sumekar berkata, “Tuanku Putera Mahkota tidak usah mencemaskannya. Menurut kakang Mahisa Agni, Witantra dapat dipercaya sepenuhnya. Meskipun demikian kita tidak boleh kehilangan sikap.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku mengerti paman.”

Tetapi Sumekar tidak mengatakan tentang sebuah pembicaraan mengenai kemungkinan Putera Mahkota untuk segera mendapatkan seorang isteri. Seandainya Anusapati boleh mendengarnya, biarlah Mahisa Agni sendiri yang mengatakannya kepadanya.

Dihari-hari berikutnya, kehidupan di istana Singasari berjalan seperti sediakala. Latihan-latihan yang sering dilakukkan oleh Anusapati bersama Tohjaya. Gurunya yang baru ternyata berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membuat kedua muridnya menjadi anak-anak muda yang berilmu di dalam olah kanuragan. Bukan sekedar berloncat-loncatan seperti tupai yang tidak mengerti arti gerakannya sendiri.

Tetapi di samping latihan-latihan itu Anusapati sendiri menjadi semakin sering pula keluar dari istana. Kini ia medapat teman berlatih yang baru. Ternyata Witantra sering juga hadir di dalam latihan-latihan yang diadakan didalam jurang yang dalam itu. Ilmu Anusapati ternyata berkembang dengan suburnya. Semakin lama menjadi semakin matang, seperti juga jiwanya yang menjadi semakin matang pula.

Tetapi, kehidupannya di istana Singasari hampir tidak mengalami perubahan. Ia masih tetap merasa sepi. Kadang-kadang saja ia menghadap ibunya dan bertemu dengan saudara-saudaranya seibu. Dengan saudaranya yang lahir dari Ken Umang, Anusapati memang tidak begitu sering bertemu. Apalagi dengan penuh kesadaran Ken Arok menganggap hahwa mereka tidak mempunyai sangkutan darah sama sekali. Anusapati lahir dari Ken Dedes karena titisan darah Akuwu Tunggul Ametung, sedang Tohjaya dan adik-adiknya yang lahir dari Ken Umang adalah anak-anaknya.

Bahkan saudara-saudara seibunya-pun hampir tidak menghiraukannya lagi, selain adiknya yang tertua Mahisa Wongateleng. Kadang-kadang adiknya yang juga sudah meningkat dewasa itu datang kepadanya. Tetapi itu-pun jarang sekali dilakukannya.

Dengan iramanya sendiri istana Singasari meloncat dari hari ke hari. Demikian pula setiap umur dari orang-orang yang ada didalamnya. Sri Rajasa, Ken Dedes, Ken Umang, Anusapati, Tohjaya, adik-adiknya dan semua orang. Yang tua menjadi semakin tua, yang kecil meningkat semakin besar. Demikian pula Anusapati telah menjadi seorang yang dewasa sepenuh. Bahkan adiknya Mahisa Wongateleng-pun telah menjadi seorang anak muda yang tegap.

“Kakanda Putera Mahkota,” bertanya Mahisa-wonga-teleng pada suatu hari kepada Anusapati, “sudah lama aku menyimpan pertanyaan ini. Sebenarnya aku takut menyampaikannya kepada Kakanda Putera Mahkota. Tetapi aku-pun tidak tahan menyimpannya saja di dalam hati.” Mahisa-wonga-teleng berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Anusapati yang sedikit berubah.

“Apa yang akan kau tanyakan Adinda Mahisa Wongateleng?”

“Aku melihat sesuatu yang lain pada kakanda. Aku tahu bahwa kakanda adalah Putera Sulung dari kedua ibunda, sehingga kakanda diangkat menjadi Putera Mahkota seperti kakanda terima. Tetapi aku tidak tahu, kenapa justru hubungan yang paling akrab dengan ayahanda Sri Rajasa bukannya kakanda Putera Mahkota, tetapi justru Kakanda Tohjaya.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jangan kita bicarakan masalah ini. Kau tahu bawa aku tidak akan dapat memberikan jawaban.”

Mahisa-wonga-teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih berkata, “Kakanda Anusapati. Kita adalah saudara seibu. Bagaimana-pun juga terasa di hatiku, bahwa ibunda Ken Dedes seharusnya mempunyai kedudukan yang lebih haik dari ibunda Ken Umang, karena ibunda Ken Dedes adalah Permaisuri Ayahanda Sri Rajasa. Tetapi di dalam hubungan sehari-hari rasa-rasanya Ibunda Ken Umang mendapat tempat yang lebih dekat di hati ayahanda Sri Rajasa. Apakah kakanda Anusapati yang lebih tua dari padaku dapat mengatakannya?”

Anusapati menggelengkan kepalanya, “Tidak adinda. Aku tidak tahu.”

“Kenapa bukan ibunda Ken Umang sajalah yang semula diangkat menjadi Permaisuri, kalau memang Ayahanda Sri Rajasa lebih mapan beristerikan ibunda Ken Umang?”

Putera Mahkota itu-pun hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia bertanya, “Apakah kau merasakan perbedaan itu?”

“Tentu kakanda. Bagi kami sehari-hari perbedaan itu tidak begitu terasa. Tetapi setiap kali aku mendapatkan nasehat, petunjuk dan petuah Ibunda Permaisuri terasa bahwa ada sesuatu tersembunyi di dalam hatinya. Semula aku tidak merasakannya, seperti adik-adik kita sekarang yang masih terlampau muda. Tetapi bagiku, semakin aku menjadi dewasa, aku merasakannya, bahwa Ibunda Permaisuri agaknya memang menahan hati.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Kaulah yang seharusnya lebih banyak mengetahui daripada aku. Karena sikap ayahanda terhadapku, aku benar-benar seorang yang terasing di dalam istana yang ramai ini. Apakah kau dapat mengerti?”

“Itulah yang aku tanyakan sejak semula. Kenapa kakanda menjadi terasing, terutama dari Ayahanda Sri Rajasa?”

Anusapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Aku juga bertanya seperti itu Adinda Mahisa Wongateleng. Aku juga selalu bertanya kesalahan apakah yang telah aku lakukan sejak aku masih terlampau muda. Bukankah sikap itu sudah berjalan bertahun-tahun. Semakin lama semakin nyata. Semakin aku bertambah dewasa, sikap Ayahanda Sri Rajasa menjadi semakin jelas, bahkan hampir tidak tertahankan lagi sehingga semua hamba istana aku kira menyimpan pertanyaan seperti itu pula.”

“Apakah kakanda pernah bertanya kepada Ibunda Pemaisuri?”

“Aku pernah bertanya. Tapi pertanyaan itu membuat ibunda semakin muram dan bersedih. Ketika aku agak memaksa ibunda menangis. Karena itu aku tidak menanyakannya lagi. Aku tidak mau membuat Ibunda Permaisuri semakin bersedih.”

Mahisa-wonga-teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang keaadaanku agak lebih baik dari Kakanda Anusapati. Aku dan adik-adikku dari kedua ibunda dapat berhubungan lebih rapat dengan Ayahanda Sri Rajasa. Tetapi tidak dapat membiarkan suasana yang tidak seimbang itu menjadi berkepanjangan. Aku masih juga memikirkan ibuku sendiri. Ibunda Permaisuri yang berada dalam suasanan jauh berbeda dengan Ibunda Ken Umang.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku-pun tidak begitu rapat dengan ibunda Permaisuri. Aku tidak begitu rapat dengan setiap orang di dalam istana ini. Mudah-mudahan kau dapat selalu membuat hati ibunda agak sejuk. Ajaklah adik-adikmu seibu untuk berbuat demikian.”

“Aku akan mencoba kakanda. Tetapi adik-adik kita yang masih sangat muda itu masih belum dapat membedakan, apa yang baik bagi Ibunda Permaisuri dan apa yang justru membuatnya bersedih.”

“Itu juga bukan salah mereka. Mereka masih terlampau muda.”

Mahisa-wonga-teleng mengangguk-anggukan kepalanya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Tetapi bagaimana dengan ilmu bela diri yang kakanda pelajari dari guru yang sama dengan kakanda Tohjaya itu?”

Anusapati mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Baik. Semuanya berjalan dengan baik.”

“Aku juga mendapat seorang guru yang lain. Aku harus berlatih bersama Adinda Panji Saprang, Adinda Panji Sudatu, dan Adinda Agnibaya sudah harus selalu mengikutinya pula, meskipun belum sepenuhnya. Mungkin ia kelak harus berlatih bersama Adinda Wregola, dari seorang guru yang lain pula.”

Anusapati tidak segera menyahut. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia mencoba membayangkan, bagaimana adik-adiknya itu berlatih bersama-sama. Adik-adiknya yang lahir dari dua orang ibu. Agaknya Sri Rajasa memang ingin membuat anak-anaknya merasa satu sebagai saudara kandung. Namun ternyata Sri Rajasa tidak berhasil. Mahisa-wonga-teleng yang sudah meningkat dewasa itu segera merasakan perbedaan sikap. Meskipun bukan atas anak-anaknya yang lahir dari dua orang ibu. Tetapi justru atas ibu mereka masing-masing.

“Adinda Mahisa-wonga-teleng,” berkata Anusapati selanjutnya, “ternyata bahwa kau memiliki kesempatan yang berbeda dari aku. Karena itu, pergunakanlah kesempatanmu itu sebaik-baiknya. Kalau bukan aku, kau adalah putera yang wajib menjunjung nama ibu kita dan keluarga kita semuanya. Kau tidak boleh kalah dari Tohjaya. Aku tidak tahu nasib apakah yang besok atau lusa akan menerkam aku. Jika nasibku terlampau jelek adinda, maka kau adalah anak tertua di antara adik-adikmu.”

“Kenapa kakanda Anusapati berkata demikian?”

“Kau sendiri dapat melihat, bagaimana aku semakin lama menjadi semakin terasing di istana ini, meskipun aku seorang Putera Mahkota. Kalau ada usaha menggeser tahta pada keturunan Ken Umang, maka aku benar-benar tidak akan rela. Karena itu, seandainya pada suatu saat jatuh keputusan ayahanda untuk benar-benar menyingkirkan aku karena kesalahan yang tidak aku ketahui, maka kau adalah Putera Mahkota. Kau dan bukan Tohjaya.”

“Kita tidak dapat menentukan kakanda.”

“Memang. Hanya ayahandalah yang dapat menentukan. Tetapi ayahanda tidak akan dapat meninggalkan tata kesopanan kerajaan. Karena itu kita harus meyakinkan diri, bahwa takhta kerajaan Kediri adalah untuk keturunan Sri Rajasa yang lahir dari Permaisurinya. Bukan orang lain. Putera pertama adalah aku. Tetapi agaknya aku sangat tidak disukai oleh ayahanda Sri Rajasa. Maka kalau bukan aku, kaulah yang harus menjadi Putera Mahkota karena kau adalah Putera Permaisuri.”

Mahisa-wonga-teleng tidak menyahut. Sebenarnya ia sama sekali tidak pernah menginginkan jabatan apa-pun di dalam istana Singasari. Tetapi kata-kata Anusapati itu agaknya telah menyentuh hatinya. Keturunan Ken Dedes sebagai seorang Permaisurilah yang pantas untuk mewarisi tahta. Bukan orang lain meskipun ia putera Sri Rajasa pula. Tanpa disadarinya, jarak antara Mahisa-wonga-teleng dan Tohjaya serasa menjadi semakin jauh. Demikian juga dengan putera-putera Sri Rajasa yang lain. Serasa jarak yang terbentang di antara mereka menjadi semakin lebar dan dalam.

Namun Anusapati masih berkata, “Tetapi kau jangan ditelan oleh perasaanmu sehingga kau kehilangan pengamatan diri. Berlakulah seperti biasa. Bersikaplah baik terhadap saudara-saudaramu meskipun yang lahir dari ibu Ken Umang.”

Mahisa-wonga-teleng menangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar sepenuhnya, apakah yang akan dihadapinya kini.

“Kalau kau memang sudah mendapat seorang guru adinda, maka belatihlah dengan tekun. Kau akan mencapai suatu tingkat yang pantas bagi Putera Maghkota seorang raja yang besar.”

“Apakah kakanda Anusapati ingin melihat bagaimana kami berlatih?”

“Apakah aku diperkenankan?”

“Kakanda Tohjaya sering juga melihat.”

“Keadaan kami, maksudku aku dan Adinda Tohjaya sangat berbeda.”

“Kalau kakanda Anusapati ingin melihat, biarlah aku menjemput kakanda di bangsal ini.”

“Apakah saat kita berlatih tidak bersamaan?”

“Tentu ada saat-saat yang tidak bersamaan, karena kanda Tohjaya pernah juga menyaksikan latihan itu.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku akan mencari kesempatan untuk menyaksikannya.”

“Kalau pada suatu saat Kakanda Tohjaya ada di arena latihan kami, maka aku akan menjemput Kakanda Anusapati.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Aku akan sangat berterima kasih atas perhatianmu adinda. Tetapi hal itu pasti tidak akan menguntungkan kau sendiri. Kalau kau terlampau sering datang kepadaku, maka pada suatu saat kau akan terpercik oleh kesalahanku yang tidak aku ketahui itu, sehingga mungkin sekali Ayahanda Sri Rajasa-pun akan menghukummu seperti aku. Terasing di dalam keributan istana.”

Mahisa wonga-teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, sebelum ia menjawab Anusapati sudah mendahuluinya, “Mungkin kau tidak berkeberatan. Tetapi kau harus melindungi nama baik Ibunda Permaisuri dan adik kita. Kau tahu maksudku!”

“Ya, aku tahu kakanda. Tetapi kalau hanya sekali atau dua kali, aku kira tidak akan ada dugaan yang tidak baik atas kita.”

Anusapati, mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasai terharu juga melihat sikap adiknya. Ternyata ikatan yang membelit dihati mereka karena mereka dilahirkan dari ibu yang sama cukup kuat untuk merangkai perasaan kedua saudara seibu itu. Apalagi mereka berdua merasa, bahwa mereka adalah anak yang seayah pula.

Demikianlah, maka pada suatu saat ketika Anusapati sedang tidak berlatih bersama guru dan adiknya, tiba-tiba Mahis-wonga-teleng berlari-lari ke bangsalnya. Belum lagi ia sampai ditangga, anak muda itu sudah berkata, “Buknnkah kakanda tidak berlatih saat ini. Kakanda Tohjaya juga sudah berada di arena latihan kami.”

“Ya. kami memang tidak berlatih disaat ini. Kami akan berlatih senja nanti.”

“Marilah Kakanda menyaksikan latihan kami. Kakanda Anusapati akan dapat memberikan banyak petunjuk.”

“Ah, kau sangka aku mempunyai kelebihan darimu?”

“Tentu, Kakang Tohjaya ternyata juga mempunyai banyak kelebihan dari kami”

Anusapati mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa-wonga-teleng sejenak. Namun hatinya masih disaput oleh keragu-raguan. Apakah ia juga boleh masuk keluar arena yang dipergunakan oleh Mahisa-wonga-teleng untuk berlatih.

“Marilah Kakanda Anusapati,” ajak Mahisa-wonga-teleng mendesak.

“Aku menjadi ragu-ragu,” jawab Anusapati.

“Kakanda selalu ragu-ragu. Kenapa Kakanda Tohjaya tidak ragu-ragu? Justru Kakanda Tohjaya berbuat lebih hanyak dari pelatihku.”

“Apa yang sudah dilakukan?”

“Marilah.”

Anusapati, tidak membantah lagi, ketika Mahisa-wonga-teleng menarik tangannya. Ketika ia berjalan terseret-seret mengikuti tarikan adiknya ia melihat seorang juru taman muncul di halaman. Juru taman itu adalah Sumekar.

“Tunggu. Tunggu sebentar adinda.” minta Anusapati.

“Apalagi yang harus ditunggu, latihan itu harus segera dimulai.”

“Aku akan menemui juru taman itu. Aku sudah terlanjur menyuruhnya datang. Aku ingin memindahkan batang Soka Merah itu ke sudut.”

Mahisa-wonga-teleng mengerutkan keningnya. Tetapi dilepaskannya Anusapati yang kemudian menemui Sumekar. Sumekar mengangguk dalam-dalam sambil bertanya, “Apakah tuanku akan pergi bersama tuanku Mahisa-wonga-teleng?”

“Ya. Pindahkan pohon Soka merah itu kesudut,” namun kemudian Anusapati berbisik, “adinda Mahisa-wonga-teleng minta aku melihat latihannya bersama adik-adik yang lain. Adinda Tohjaya sudah lebih dahulu disana.”

“Kenapa tuanku pergi pula kesana?” bertanya Sumekar.

“Aku tidak dapat menolak, adinda Mahisa-wonga-teleng menarikku.”

“Baiklah tuanku. Seandainya tuanku harus pergi juga tuanku harus berhati-hati. Tuanku harus menahan hati seandanya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan justru karena tuanku Tohjaya ada di sana.”

Anusapati menganggukkan kepalanya.

“Ingat, peranan Tuanku adalah peranan yang berat, di dalam lakon ini Tuanku harus selalu menyadari. Justru untuk tuanku di masa depan.”

“Baiklah paman.”

“Ingat akan keadaan tuanku. Jika demikian, tuanku tidak akan terdorong dalam suatu tindakan yang tidak menguntungkan.”

Anusapati-pun kemudian meninggalkan Sumekar yang berdiri termangu-mangu. Bersama Mahisa-wonga-teleng. Anusapati berjalan tergesa-gesa menuju ke longkangan dalam di belakang bangsal Tuanku Sri Rajasa, di atas tanah yang telah dilaburi dengan pasir yang tebal. Ketika Mahisa-wonga-teleng memasuki pintu samping yang langsung sampai, kelongkangan dalam semua orang berpaling kepadanya. Pelatihnya dengan serta merta berkata, “Kami di sini tinggal menunggu tuanku Mahisa-wonga-teleng.”

Namun Tohjaya yang hadir juga disitu menyambung, “Nah ternyata Kakanda Anusapati juga berkenan hadir di dalam latihan ini.”

Longkangan itu menjadi hening sejenak. Semua orang memandang Anusapati yang masih berdiri di depan pintu regol samping itu. Namun yang menyahut adalah Mahisa-wonga-teleng “Akulah yang telah menjemputnya. Aku mengajak Kakanda Putera Mahkota untuk memberikan pendapatnya tentang kami adik-adiknya.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Kepalanya-pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Memang sebaiknya kau minta Kakanda Anusapati untuk menyaksikan latihan ini. Kakanda Anusapati pasti akan dapat memberikan pendapatnya.”

“Kakanda benar,” sahut Mahisa-wonga-teleng, “kami memang ingin mendapatkan beberapa petunjuk, selain dari Kakanda Tohjaya, juga dari Kakanda Anusapati.”

Tohjaya berpaling sejenak. Ditatapnya wajah Anusapati yang dipenuhi oleh kebimbangan. Namun kemudian ia tersenyum dan mempersilahkan Anusapati, “Marilah Kakanda Pangeran Pati. Latihan bagi adik-adik kita akan segera dimulai.”

Anusapati-pun kemudian melangkah mendekati Tohjaya dan kemudian duduk di sampingnya, di atas sebuah tikar yang tebal. Sejenak kemudian maka Mahisa-wonga-teleng-pun telah siap pula bersama adik-adiknya, putera dari kedua isteri Sri Rajasa. Agnibaya yang masih terlampau muda, masih belum mengikuti latihan itu sepenuhnya.

Tohjaya dan Anusapati yang duduk di pinggir arena itu segera terikat pada latihan-latihan yang diberikan oleh seorang guru, juga seorang perwira pengawal kepada adik-adiknya itu. Setiap kali Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang vang berilmu tinggi Anusapati segera dapat melihat, betapa jauh adik-adiknya sudah menerima ilmu tata bela diri.

“Ternyata Mahisa-wonga-teleng mempunyai kemampuan yang cukup. Kalau ia mengikuti latihan-latihan yang lebih khusus, ia akan dapat menjadi seorang anak muda yang perkasa,” Berkata Anusapati di dalam hatinya. Secara umum ia tiba-tiba mengambil kesimpulan bahwa keturunan Ken Dedes agak lebih baik dari keturunan Ken Umang di dalam dasar kemampuan menerima pendidikan dan pengetahuan olah kanuragan.

Tanpa disadari Anusapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya, ia pernah mendengar bahwa ayahanda Ibunda Permaisuri selain seorang Pendeta, adalah seorang guru yang memumpuni, yang telah menurunkan ilmunya kepada murid tunggalnya Mnhisa Agni. Sehingga darah keturunan kakeknya itu ada pula pada cucu-cucunya. Begitu asyik Anusapati menyaksikan latihan itu, sehingga ia tidak merasa bahwa Tohjaya telah memperhatikannya. Bahkan ia tidak menyadari sama sekali bahwa Tohjaya memandangnya dengan tatapan mata yang aneh.

Ia baru berpaling ketika ia mendengar Tohjaya bertanya, “Kenapa kakanda mengangguk-angguk?”

Anusapati agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Bukan saja karena Tohjaya tiba-tiba saja bertanya, tetapi juga isi pertanyaannya. Karena itu untuk sesaat Anusapati tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

Karena Anusapati tidak segera menjawab, maka Tohjaya mendesaknya, “Kenapa kakanda Anusapati mengangguk-angguk?”

Anusapati menarik nafas. Kemudian jawabnya, “Aku senang sekali melihat adik-adik kita cepat sekali maju. Aku belum pernah menyaksikan mereka berlatih dengan sungguh-sungguh. Tetapi kini aku melihat mereka telah agak jauh mendalami olah kanuragan.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Kini perhatiannya kembali kepada adik-adiknya yang sedang berlatih itu. Mereka harus menirukan beberapa unsur gerak dari gurunya. Gerak-gerak dasar ilmu tata beli diri yang mapan.

Namun selagi mereka asyik berlatih, tiba-tiba mereka terhenti ketika mereka mendengar Tohjaya tiba-tiba berteriak, “Tidak. Tidak begitu. Kau selalu membuat kesalahan serupa Adinda Sudatu. Juga Adinda Mahisa-wonga-teleng, tidak pernah memahami tata gerak yang dilakukannya.”

Anusapati mengerutkan keningnya, ketika ia melihat Tohjaya kemudian berdiri dan melangkah ke arena. Seperti guru adiknya, Tohjaya mulai memberikan contoh sambil berkata, “Begini seharusnya. Lihat. Untuk memberikan tekanan pada ujung tangan kanan harus meletakkan berat tubuh kalian ke arah gerak tangan kalian. Tetapi kalian tidak boleh melepaskan keseimbangan apabila tangan kalian tidak menemui sasaran. Kalian tidak harus meloncat maju selangkah penuh. Justru karena kalian terlepas dari sandaran kaki kalian pada tanah, maka kalian tidak dapat memberikan dorongan kekuatan sepenuhnya. Apalagi, apabila kelak kalian mempelajari ilmu olah kanuragan yang bersumber pada tenaga cadangan yang sekarang tidak kalian kenal maka kalian akan mengalami banyak kesulitan.”

Mahisa-wonga-teleng dan adik-adiknya yang sedang berlatih berdiri menepi sejenak. Mereka menyaksikan Tohjaya memberikan beberapa contoh kepada mereka.

“Nah, apakah kalian melihat kesalahan kalian? Di dalam perkelahian yang sesungguknya, kalian harus berusaha agar jarak di antara kalian dan musuh kalian tidak terlampau jauh. Apakah kalian mengerti? Dan kalian harus sadar sepenuhnya di dalam perkelahian yang demikian unsur ketrampilan gerak memegang peranan yang penting di samping kekuatan dan penguasaan gerak-gerak dasar dari ilmu kalian.”

Adik-adik Tohjaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya, bahkan guru mereka-pun mengangguk-anggukkan pula. Namun Anusapati segera dapat menangkap siratan perasaan perwira pengawal itu. Ia sebenarnya tidak senang melihat sikap Tohjaya. Tetapi karena ia sadar, bahwa Tohjaya adalah putera terdekat dari tuanku Sri Rajasa maka pengawal itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, meskipun dengan demikian Tohjaya sudah mengganggu usahanya melatih putera-putera Sri Rajasa menurut caranya.

“Sekarang,” berkata Tohjaya kemudian, “coba kalian ulangi lagi. Lalu katanya kepada pelatih adik-adiknya itu, “Ulangilah. Anak-anak itu memang harus mendapat latihan yang agak berat supaya sepadan dengan keadaan mereka. Sebagai putera Sri Rajasa, mereka harus menjadi anak-anak yang kuat dan cekatan.”

Betapa-pun beratnya, namun perwira pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah tuanku.”

Dengan demikian maka latihan-latihan itu-pun mulai diulangi kembali. Adik-adik Tohjaya harus mengulangi unsur-unsur gerak yang sedang mereka pelajari. Tetapi agaknya Tohjaya tidak juga menjadi puas. Meskipun demikian ia berkata,

“Baiklah. Tetapi kalian harus selalu mengulangi latihan-latihan yang sudah kalian dapat. Sekarang kalian dapat meneruskan latihan ini, meskipun latihan ini sama sekali tidak memuaskan. Kalian harus belajar bersungguh-sungguh. Kalau kalian malas, maka kalian tidak akan dapat menguasai ilmu kalian dengan baik.” tanpa sesadarnya ia berpaling kepada Anusapati, seakan-akan memberikan contoh kepada adiknya bahwa apabila mereka tidak berlatih dengan sungguh, maka mereka tidak akan menjadi lebih baik dari Anusapati.

Adik-adiknya hanya memandanginya dengan kerut-merut di keningnya. Bahkan pelatihnya-pun hanya berdiri saja termangu-mangu.

“Teruskan, teruskan,” berkata Tohjaya kemudian.

“Baiklah tuanku,” jawab pelatih Mahisa-wonga-teleng itu.

Mereka-pun kemudian melanjutkan latihan mereka. Mereka mulai diajari menyusun gerak-gerak yang lebih sulit. Gerak-gerak rangkap dan gerak-gerak dasar yang sudah mereka sadari.

“Didalam perkelahian yang sebenarnya,” berkata pelatihnya, “jarang sekali tuanku mempergunakan unsur gerak murni dari tata gerak dasar. Tuanku pasti harus menggabungkan setiap unsur tata gerak dengan unsur ynng lain untuk menanggapi keadaan. Setiap keadaan harus ditanggapi dengan gerak rangkap yang khusus. Apakah hal ini dapat tuanku mengerti?”

Mahisa-wonga-teleng dan adik-adiknya mengangguk-anggukkan keplanya.

“Sudah beberapa kali tuanku mencobanya. Marilah kita sekarang mencobanya pula.”

“Apakah mereka harus berlatih berpasangan?” bertanya Tohjaya.

“Hamba tuanku,” jawab perwira itu.

“Baiklah. Aku ingin melihat latihan itu.”

Sejenak kemudian maka putera-putera Sri Rajasa itu telah menyiapkan diri. Mahisa-wonga-teleng, Saprang dan Sudatu. Agnijaya justru hanya berdiri saja di tepi arena.

“Tuanku Mahisa-wonga-teleng akan berlatih bersama tuanku Panji Saprang, Tuanku Panji Sudatu akan berlatih bersama hamba.”

Demikianlah maka dua pasang lingkaran latihan itu-pun segera dimulai. Pasangan Sudatu dan pelatihnya sama sekali tidak menarik perhatian karena garunya selalu menyesuaikan dirinya. Yang menerik perhatian adalah latihan yang dilakukan oleh kedua adiknya yang lain.

Mahisa-wonga-teleng dan Panji Saprang berusaha berlatih sebaik-baiknya. Kadang-kadang mereka terlibat dalam sikap yang keras. Namun meskipun gurunya sendiri sedang melayani Panji Sudatu, tetapi ia masih juga sempat mengawasi latihan yang dilakukan oleh kedua muridnya yang lain, sehingga kadang-kadang pelatihnya harus bergerak menyesuaikan diri dengan lawan latihannya sambil berbicara keras-keras untuk mengekang latihan Mahisa-wonga-teleng dan Panji Saprang.

Anusapati menyaksikan latihan itu sambil mengangguk-angguk pula. Kedua adiknya. Mahisa-wonga-teleng dan Punji Saprang memang sangat menarik perhatian. Ternyata keduannya mempunyai bekal yang cukup baik, sehingga pada tataran yang masih rendah, keduanya sudah menunjukkan beberapa sikap yang mengagumkan. Lincah dan kuat. Kadang-kadang meskipun tidak disadari, kedua menunjukkan tata gerak yang mengejutkan.

“Mudah-mudahan mereka mendapat kesempatan seterusnya,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “mudah-mudahan mereka tidak mengalami nasib seperti aku. Jika demikian maka keduanya pasti akan sangat terhambat.”

Dengan bangga Anusapati menyaksikan latihan itu berlangsung terus. Sekali-sekali ia mencoba untuk melihat adiknya yang lain, panji Sudatu. Seperti yang lain, maka Sudatu juga dapat diharapkan untuk menjadi seorang yang perkasa kelak. Bahkan mungkin lebih baik dari Tohjaya apabila ia berlatih terus dan tekun.

“Bukan saja anak-anak itu mempunyai bekal yang baik tetapi agaknya gurunya-pun cukup baik. Caranya membimbing murid-muridnya tidak dilakukan tanpa perhitungan seperti guruku yang telah meninggal itu, justru karena ia bersikap berat sebelah.”

Anusapati yang sedang berangan-angan itu tiba-tiba terkejut. Tiba-tiba saja Tohjaya berdiri sambil berkata, “Berhenti. Berhenti dahulu...!”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.