Bara Di Atas Singgasana Jilid 16

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Bara Di Atas Singgasana Jilid 16 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa

Bara Di Atas Singgasana Jilid 16

DENGAN kecepatan yang luar biasa, maka ia-pun segera meloncat langsung menyerang Witantra yang masih berdiri di atas dinding itu. Ia masih tetap menyangka, bahwa Witantra tidak mengetahui, bahwa ia sudah melihatnya. Tetapi benar-benar di luar dugaan pelatih Tohjaya itu.

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja
Ketika tangannya hampir menyentuh bayangan itu, tiba-tiba bayangan itu menghindar dan bahkan mendorongnya sekali. Dengan demikian maka pelatih Tohjaya itu justru terlempar dengan derasnya, terdorong oleh daya loncatnya sendiri ditambah oleh dorongan Witantra. Dengan derasnya pula ia terbanting di tanah di sebelah dinding yang cukup tinggi itu.

Tohjaya yang menyaksikan hal itu terbelalak sejenak. Ia tidak menyangka, bahwa gurunya dapat dengan mudahnya terperdaya. “Mungkin guru kurang berhati-hati,” katanya di dalam hati. Dan agaknya Tohjaya-pun tidak mau membiarkan bayangan itu pergi begitu saja. Karena itu, maka ia-pun segera bangkit. Dengan senjata di tangan ia meloncat pula ke atas dinding beberapa langkah dari bayangan hitam itu. Kemudian dengan senjata di tangan ia siap untuk menyerang.

Dalam pada itu, suara kentongan mulai bergema di halaman istana itu. Suara itu merayap dari gardu yang satu ke gardu yang lain, sehingga setiap orang yang ada di dalam halaman itu-pun terbangun karenanya.

Mahisa Agni yang belum tertidur menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menekan kecemasannya. Sri Rajasa adalah seorang yang seakan-akan tidak dapat dinilai tingkat kemampuannya, karena ia seolah-olah dilahirkan menjadi seorang manusia yang ajaib. Namun demikian, Witantra yang sekarang pasti bukan Witantra yang dahulu pernah dikalahkannya.

Ketika suara tanda bahaya itu sudah bergeletar memenuhi halaman istana, maka Mahisa Agni-pun segera membenahi diri, bangkit dari pembaringannya dan dengan tergesa-gesa pergi ke gardu induk di sisi regol depan halaman istana. Hampir berbareng dengan kedatangannya adalah Anusapati dan Mahisa-wonga-teleng.

“Orang itu kini tidak akan dapat lolos,” berkata Panglima pengawal, “Tuanku Sri Rajasa dan tuan Mahisa Agni ada di istana.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya kemudian, “Apakah pasukanmu sudah mengawasi setiap jengkal dinding istana?”

“Mereka sudah menyebar. Aku harap, mereka dapat menahan orang yang sombong itu untuk tetap berada di dalam, sehingga kita dapat menangkapnya.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kegelisahannya kadang-kadang masih menghentak-hentak dadanya. “Aku akan mengelilingi halaman ini,” berkata Mahisa Agni, “marilah, ikutlah aku.”

Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tidak sendiri. Panglima dari kesatuan yang lain-pun ada pula digardu itu. Karena itu, maka diserahkannya pimpinan kepada seorang kawannya, dan ia sendiri mengikuti Mahisa Agni mengelilingi halaman istana. Agaknya Anusapati dan Mahisa-wonga-teleng-pun tidak mau ketinggalan, sehingga sebuah kelompok kecil itu kemudian meninggalkan gardu induk.

Dalam pada itu, selagi Tohjaya menjulurkan pedangnya kepada bayangan hitam itu, ternyata suara tanda bahaya telah tersebar ke segenap sudut. Namun bayangan hitam itu tampaknya masih tetap tenang. Bahkan sambil tertawa pendek bayangan itu berkata, “Selamat malam tuanku Tohjaya. Hamba datang menghadap lagi. Tetapi kali ini hamba datang sendiri, tidak bersama dengan dua orang kawan hamba seperti beberapa hari yang lalu.”

“Persetan,” geram Tohjaya, “kau tidak akan dapat lolos kali ini.”

“Maaf tuanku. Guru tuanku yang kasar itu agaknya terlampau tergesa-gesa.” Witantra berhenti sejenak. Ketika ia memandang orang itu sekilas, ternyata ia sedang berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya punggungnya terasa terlampau sakit.

“Jangan mengigau,” bentak Tohjaya.

“Jangan menyerang tuanku. Dinding ini terlampau tipis bagi kaki tuanku. Nanti tuanku terjatuh seperti guru tuanku itu.”

“Ya,” terdengar suara yang lain dari bawah dinding, sehingga keduanya berpaling.

Bagaimana-pun juga, dada Witantra berdesir juga melihat Sri Rajasa berdiri tegak dengan tangan bertolak pinggang. Tatapan matanya yang tajam, bagaikan tatapan mata seekor kucing Candramawa yang melihat seekor tikus diatas atap. Sekali Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bukan seekor tikus. Witantra kini adalah Witantra yang seakan-akan telah mencapai taraf tertinggi dari ilmu olah kanuragan dan telah menemukan kemantapan dari penguasaan rohaniah.

Karena itu, maka dengan tenang Witantra menyapa Sri Rajasa yang masih berdiri tegak, “Ampun tuanku, bahwa hamba telah berani mengunjungi halaman istana tuanku tanpa seijin tuanku. Beberapa hari yang lampau hamba pernah datang pula kemari, melihat bagaimana putera tuanku berlatih. Kini hamba datang kembali karena hamba sangat tertarik melihat latihan-latihan itu. Latihan-latihan yang sama sekali tidak mendasar dan sama sekali tidak mempertimbangkan jalur ilmu yang sewajarnya.”

Sri Rajasa masih berdiri di tempatnya tanpa bergeser sedikitpun.

“Latihan-latihan itulah yang telah menarik hamba untuk sekali lagi datang kemari.”

“Terima kasih atas kunjungan itu,” jawab Sri Rajasa kemudian, “tetapi apakah tidak lebih baik kalau aku mempersilahkan tamuku turun dan masuk kedalam bangsal? Dari sana kau akan dapat melihat latihan itu dengan lebih baik lagi.”

“Terima kasih tuanku. Sebenarnya hamba tidak ingin mengganggu tuanku. Hamba merasa cukup menonton dari tempat ini.”

“Seorang tamu yang sopan, akan dengan senang hati dipersilahkan oleh tuan rumahnya. Kenapa kau tidak?”

“Hamba bukan seorang tamu yang sopan. Kedatangan hamba-pun tidak mempergunakan cara yang sopan pula. Karena itulah agaknya di halaman istana ini telah bergema tanda bahaya.”

“Ya. Kau mengerti juga agaknya.” Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu, “tetapi siapakah kau sebenarnya? Mungkin kau merasa perlu memperkenalkan dirimu lebih dahulu.”

Bayangan hitam yang bertengger di atas dinding batu itu termenung sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Hamba kira tidak perlu tuanku, karena hamba memang tidak, mempunyai pertanda apa-pun juga yang dapat dianggap penting.”

“Tetapi kau tentu punya nama dan tempat tinggal.”

“Hamba tidak punya nama tuanku, dan tempat tinggal hamba-pun bukanlah tempat tinggal yang sewajarnya. Hamba berkeliaran di sepanjang Padang Karautan, sehingga orang memberi nama kepada hamba Hantu Karautan.”

Dada Sri Rajasa berdesir karenanya. Sejenak ia berdiri tegak bagaikan patung. Memang sekilas angan-angannya lari kepada Mahisa Agni. Tetapi menilik bentuk tubuhnya, orang itu memang bukan Mahisa Agni. Mahisa Agni adalah orang yang paling mengetahui tentang keadaannya semasa kanak-anak, semasa ia masih berkeliaran dengan sebutan Hantu Karautan. Selama ia masih sering merampok, memperkosa dan masih menjadi buruan yang tidak pernah dapat tertangkap.

“Mahisa Agni kebetulan ada di Kediri saat ini,” katanya di dalam hati.

“Tuanku,” Sri Rajasa tersentak mendengar panggilan ini, “sekarang perkenankan hamba pergi. Hamba ingin melihat latihan yang kasar itu. Tetapi agaknya guru tuanku Tohjaya mengetahui kehadiran hamba dan ia berkeberatan untuk meneruskan latihannya. Bahkan dengan serta-merta ia mencoba menyerang hamba dan memaksa hamba membela diri. Kepada putera Tuanku hamba sudah memperingatkan, agar tidak menyerang hamba di atas dinding batu yang sempit ini.”

“Tentu,” jawab Sri Rajasa, “Tohjaya sebaiknya tidak menyerangmu, karena gurunya tidak berhasil menangkapmu. Apalagi muridnya.” Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu, “tetapi apakah kau keberatan kalau aku yang melakukannya?”

“Tentu tuanku, hamba berkeberatan pula. Tuanku adalah seseorang yang tidak terkalahkan. Itulah keberatan hamba.”

“Bagaimana kalau kau menyerah?”

“Hamba juga berkeberatan.”

“Baiklah. Sekarang aku akan membuat pertimbangan dari segi kepentinganku. Aku memerlukan kau.”

Witantra mengerutkan keningnya. Sudah sampai saatnya ia mempersiapkan diri. Ia sadar, bahwa suara tanda bahaya itu sudah merata, dan kini setiap sudut dan setiap jengkal tanah sudah dijaga dengan rapat. “Sudah waktunya aku melarikan diri,” berkata Witantra.

Tetapi ia tidak sempat merenung lebih lama. Tiba-tiba saja Sri Rajasa telah berada di atas dinding itu pula, di hadapan Tohjaya.

“O,” desis orang berkerudung, “apakah tuanku juga ingin bermain-main.”

“Sudahlah. Aku tahu bahwa kau ingin mencoba, apakah Sri Rajasa mampu menangkapmu.”

“Ya tuanku. Tetapi Hantu Karautan tidak pernah dapat tertangkap. Apakah tuanku percaya?”

Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang Hantu Karautan tidak pernah dapat tertangkap, karena Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi belum pernah mencobanya.”

Tiba-tiba Witantra tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, “Apakah sekarang Batara Sang Amurwabuma akan mencoba menangkapnya?”

Dada Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya mata Ken Arok yang masih saja tetap menyala seperti pertama-tama ia melihat. “Baiklah tuanku. Kalau begitu, biarlah hamba mencoba melarikan diri, dan tuanku mencoba mengejarnya. Hamba tahu, istana ini sudah terkepung. Tetapi hamba-pun tahu, bahwa hamba akan dapat meloloskan diri. Hanya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi sajalah yang mungkin mengejarku. Itu-pun baru suatu kemungkinan.”

Tetapi Sri Rajasa ternyata tidak membiarkan Witantra untuk melarikan diri. Tiba-tiba saja Sri Rajasa telah menyerangnya dengan garangnya. Dengan ilmu yang tidak dimengertinya sendiri, Sri Rajasa langsung berusaha melumpuhkan lawannya.

Ternyata Witantra memang bukan Witantra yang dahulu. Agaknya setelah sekian lama ia menyepi, terbentuklah kekuatan ilmu yang ajaib dari dirinya, seperti luluhnya ilmu Gundala Sasra dan Kala Bama di dalam diri Mahisa Agni, dibumbui oleh tata gerak yang cepat kekasar-kasaran yang ditemuinya di antara sarang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Karena itu, maka sejenak kemudian terjadilah sebuah perkelahian yang sengit di atas dinding yang sempit. Benturan antara dua puncak ilmu yang dahsyat.

Dalam pada itu para prajurit-pun segera melihat apa yang terjadi, sehingga berlari-larian mereka pergi kelongkangan di belakang istana, termasuk Mahisa Agni dan Anusapati. Tetapi demikian mereka memasuki longkangan itu, maka Witantra-pun segera meloncat ke dinding di sebelah pada batas silang dengan dinding yang langsung bertemu dengan dinding sekeliling halaman itu. Beberapa orang menjadi bingung karenanya. Mereka tidak dapat dengan mudah meloncat keatas dinding yang sempit itu. Karena itu, beberapa orang menjadi termangu-mangu karenanya.

Ketika Anusapati melihat Tohjaya ada di atas dinding itu, hampir saja ia menyusulnya meloncat pula. Tetapi Mahisa Agni sempat menggamitnya dan berbisik, “Kau tidak mampu meloncat setinggi itu dengan begitu mudahnya.”

“O,” Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir saja ia melupakannya.

“Tinggallah di sini. Adalah janggal sekali kalau aku tetap berada dilongkangan ini.”

Dalam pada itu, Mahisa Agni-pun segera meloncat naik ke atas dinding itu pula. Sejenak ia mencari, namun segera dilihatnya dua buah bayangan yang sedang bertempur di atas dinding yang menyilang. Seperti bayangan hantu Mahisa Agni meluncur mendekati kedua orang yang sedang berkelahi di atas dinding batu. Tohjaya-pun kemudian mengikutinya pula. Tetapi ia sama sekali tidak mampu berbuat seperti Mahisa Agni, sehingga terbersit di dalam hatinya,

“Paman Mahisa Agni memang luar biasa. Ia adalah satu-satunya orang yang dapat menyamai ayahanda di seluruh Singasari. Kalau saja Kakanda Anusapati bukan seorang pemalas. Ia mempunyai seorang paman yang luar biasa. Kalau aku menjadi Kakanda Anusapati, maka aku pasti akan berguru kepada paman Mahisa Agni tanpa diketahui oleh orang lain.”

Sejenak kemudian maka Mahisa Agni-pun sudah berhasil mendekati perkelahian itu. Namun ia justru menjadi termangu-mangu. Ia tahu benar bahwa orang berkerudung itu adalah Witantra. Tetapi kalau ia membiarkan Witantra itu lolos, maka pasti ada dugaan yang aneh dari Sri Rajasa, atau orang-orang yang menyaksikannya. Mahisa Agni yang kemudian berdiri membeku itu berusaha menemukan jalan. Bagaimana ia dapat melepaskan diri dari segala macam kecurigaan.

Sementara itu, para prajurit Singasari telah berkumpul di bawah tempat perkelahian yang dahsyat itu. Semua mata memandang keduanya hampir tanpa berkedip. Sri Rajasa adalah seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa tanpa berguru kepada siapapun, sedang Witantra telah ditempa oleh keprihatinan yang sangat mendalam sampai kedasar dadanya, setelah ia dikalahkan oleh Mahisa Agni di arena ketika ia berusaha membersihkan nama adik seperguruannya. Kebo Ijo, yang saat itu, ia yakin bahwa Kebo Ijo memang tidak bersalah. Dan demikianlah agaknya yang sebenarnya.

Mahisa Agni itu-pun kemudian menemukan akal pula. Ia sudah melihat beberapa pasang mata memandangnya dengan heran, karena ia masih belum berbuat apa-apa. Perlahan-lahan Mahisa Agni-pun melangkah setapak demi setapak mendekat. Tampaklah ia menjadi ragu-ragu. Kadang-kadang ia ingin maju lagi, tetapi kadang-kadang ia bahkan surut selangkah.

Tiba-tiba saja maka terdengar suaranya, “Tuanku, apakah hamba diperkenankan membantu tuanku menangkap orang itu?”

Sejenak tidak ada jawaban. Namun kemudian terdengar suara Sri Rajasa menggeram, “Jangan sombong Agni. Kau sangka aku seorang diri tidak mampu menangkap orang ini.”

“Ampun tuanku, maksud hamba, apakah hamba diperkenankan sekedar mencegatnya apabila ia berusaha melarikan diri.”

“Aku dapat melakukannya sendiri. Tidak boleh seorang-pun yang menggangguku.”

Mahisa Agni berdiri termangu-mangu. Tetapi ia kemudian menarik nafas. Dadanya menjadi lapang. Kini ia tidak akan disangka apa-pun juga oleh siapa-pun juga. Sebenarnyalah para prajurit, perwira dan para Panglima yang menyaksikan perkelahian itu menganggukkan kepala mereka. Ternyata Mahisa Agni cukup bijaksana. Sebelum bertindak ia sudah bertindak dengan sangat berhati-hati. Ternyata Sri Rajasa sama sekali tidak ingin merasa terganggu, sehingga karena itu, maka Mahisa Agni tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu yang dapat membuat Sri Rajasa menjadi justru marah kepadanya.

Dengan demikian, maka tidak seorang-pun yang mencoba mengganggu perkelahian itu. Dengan heran mereka hanya dapat menyaksikan. Tetapi yang lebih mengherankan lagi, bahwa ada juga seseorang yang berani bertempur melawan Sri Rajasa, Maharaja Singasari yang tidak terkalahkan. Bukan saja orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu, tetapi Sri Rajasa sendiri menjadi heran. Ia belum pernah menjumpai seseorang yang memiliki kemampuan begitu tinggi dan bahkan dapat mengimbanginya. Ia pernah mengalahkan Maharaja di Kediri yang pilih tanding. Ia dapat menguasai seluruh Kerajaan Singasari dan sekitarnya. Selain Mahisa Agni, menurut dugaannya, tidak ada orang yang dapat bertempur segarang itu.

Karena itulah, maka kemarahan Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu bagaikan membakar dadanya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai lawannya. Tetapi usahanya itu tidak segera dapat berhasil. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Witantra menjadi berdebar-debar karenanya. Ternyata bahwa Sri Rajasa benar-benar seorang yang pilih tanding. Semakin lama semakin terasa pada Witantra, bahwa Ken Arok memang memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kekuatan yang tidak bersumber pada kekuatan yang dicapai dengan latihan yang betapa-pun beratnya.

“Kekuatan inilah yang membuatnya melampaui kemampuan manusia biasa,” berkata Witantra di dalam hatinya. Dengan demikian maka Witantra yang telah menyepi bertahun-tahun dan mendekatkan diri dalam pencahariannya kepada Yang Maha Agung, sumber segala kekuatan, juga yang mengalir pada Sri Rajasa, dapat mencoba untuk menyesuaikan dirinya sebaiknya. Namun demikian ia sadar, sesadar-sadarnya, bahwa ia tidak boleh terlambat menghindarkan diri dari perkelahian itu.

Dalam pada itu, Witantra-pun berterima kasih pula kepada Mahisa Agni, yang telah menghindarkan dirinya dari kemungkinan lain. Apabila Sri Rajasa memerintahkan para Panglima dan termasuk Mahisa Agni dan Sri Rajasa sendiri mengepungnya, maka ia akan mengalami kesulitan untuk melarikan diri dari halaman ini. Tetapi kini Mahisa Agni telah berhasil memancing perintah Sri Rajasa, tidak boleh seorang-pun yang boleh mengganggunya.

“Betapa-pun besar kemampuan dan betapa-pun tinggi ilmunya, namun aku pasti masih berkesempatan untuk sekedar melarikan diri. Dan itu adalah tugasku yang terakhir malam ini,” berkata Witantra.

Namun demikian, tiba-tiba dadanya berdesir. Ia melihat Sri Rajasa tiba-tiba saja telah sampai ke puncak kemarahannya. Meskipun tidak ada orang lain yang melihatnya, selain mereka yang memiliki ketajaman pandangan rohaniah, namun Witantra melihat, cahaya yang kemerah-merahan di atas ubun-ubun Sri Rajasa yang marah itu.

Mahisa Agni yang melihat cahaya yang kemerah-merahan di atas kepala Sri Rajasa itu-pun menjadi berdebar-debar pula. Ia sadar, bahwa cahaya itu adalah suatu pertanda, bahwa Sri Rajasa telah sampai ke puncak ilmunya. Ilmu yang tidak dimengertinya sendiri.

Ternyata bukan saja Mahisa Agni, tetapi agak jauh dari tempat itu, Sumekar menekan dadanya dengan telapak tangannya. Seperti Witantra dan Mahisa Agni, ia-pun melihat bayangan yang kemerah-merahan itu. Meskipun Sumekar seakan-akan tidak ikut terlibat di dalam benturan jasmaniahnya, tetapi ada hubungan rohaniah atas peristiwa yang terjadi di atas dinding itu, sehingga sentuhan getaran yang memancar dari pusat kekuatan Ken Arok-pun telah menyentuhnya, sehingga ia melihat pula bayangan kemerah-merahan itu.

Baik Mahisa Agni dan Sumekar menjadi berdebar-debar. Namun kemudian mereka-pun yakin, bahwa pandangan mata rohaniah Witantra-pun pasti cukup tajam, sehingga ia pasti sudah melihat pula bayangan kemerah-merahan itu. Namun demikian, jantung mereka-pun menjadi semakin cepat berdetak oleh kecemasan yang semakin mencengkam. Sumekar yang sedang terpukau melihat perkelahian itu terkejut ketika tiba-tiba saja seseorang membentaknya dibelakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya dua orang prajurit yang sedang membawa senjata telanjang.

“Apa kerjamu disini juru taman?”

“O,” Sumekar tergagap, “aku, aku sedang melihat perkelahian itu.”

“Gila. Kau sangka apakah perkelahian itu semacam tontonan yang pantas kau lihat? Ayo kembali ke pondokmu. Kalau terjadi sesuatu adalah salahmu sendiri.”

“Baik, baik,” Sumekar terdiam sejenak. Lalu, “tetapi bukankah Sri Rajasa sudah ada disana pula sehingga tidak seorang-pun perlu mencemaskan keadaan halaman istana ini lagi? Bukankah Sri Rajasa adalah seseorang yang tidak terkalahkan?”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk. Jawabnya, “Ya, Sri Rajasa tidak akan terkalahkan oleh siapa-pun juga.”

Prajurit itu-pun kemudian meninggalkan Sumekar yang masih belum beranjak dari tempatnya. Kedua prajurit atu tidak lagi menyuruh siapa-pun bersembunyi di dalam pondok masing-masing karena mereka-pun yakin, bahwa Sri Rajasa tidak akan terkalahkan.

Ternyata bukan saja Sumekar yang menonton perkelahian itu selain para prajurit. Beberapa orang juru taman yang lain-pun melihat perkelahian itu pula dari kejauhan, meskipun sambil tersembunyi dibalik pepohonan. Dan kedua prajurit yang melihat Sumekar itu-pun tidak menghiraukan mereka itu lagi.

Diatas dinding yang sempit itu, Witantra masih melakukan perlawanan terakhir. Tetapi ia-pun mengetahui pula, bahwa Ken Arok sudah sampai pada batas tertinggi dari ilmunya. Tanpa menunjuk tanda-tanda tertentu, Sri Rajasa sudah dapat melepaskan kekuatan yang tidak terduga-duga besarnya. Karena itu, semuanya itu menjadi pertanda bagi Witantra, bahwa ia harus meninggalkan medan sebelum ia mengalami cidera apa-pun juga.

Dengan demikian maka Witantra-pun berusaha untuk mendapat kesempatan menghindarkan dirinya, setelah terasa olehnya bahwa tekanan Ken Arok menjadi semakin berat. Bahkan hampir tidak tertahan. Sehingga karena itu, maka dengan kemampuannya yang hampir sempurna, Witantra-pun kemudian membangunkan ilmu tertingginya. Aji pamungkas yang jarang sekali dipergunakan selain dalam keadaan tertentu.

Namun kali ini ia sama sekali tidak ingin membinasakan lawannya. Ia tahu pasti, bahwa kekuatan jasmaniah Ken Arok jauh melampaui kekuatan manusia biasa. Karena itulah, meskipun ia tidak mempergunakan seluruh kekuatan aji pamungkasnya, namun ia mencoba melontarkannya juga, sekedar untuk mendapat kesempatan melarikan diri.

Mahisa Agni yang sudah mengenal bentuk aji pamungkas itu menjadi berdebar-debar. Demikian juga Sumekar yang berada agak jauh daripadanya. Tanpa mereka sadari, mereka-pun telah menahan nafas ketika mereka melihat Witantra mengangkat tangannya melepaskan kekuatan tertingginya, meskipun tidak dilontarkannya sepenuh tenaga.

Ken Arok yang tidak mempelajari bentuk-bentuk ilmu kanuragan itu-pun merasakannya pula, bahwa ia akan menghadapi suatu pukulan yang sangat dahsyat. Itulah sebabnya, maka ia-pun mengerahkan daya tahan yang ada padanya, tanpa diketahuinya sendiri, bagaimana kekuatan itu dapat terbangun di dalam dirinya, seperti pada saat-saat ia menghadapi Maharaja di Kediri.

Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan yang dahsyat di atas dinding batu di halaman istana itu, dinding yang menyekat bagian dari istana yang lama dengan halaman yang baru, yang dibangun karena hadirnya Ken Umang di dalam istana itu.

Akibat dari benturan itu ternyata dahsyat pula. Witantra memang tidak mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi Ken Arok-pun tidak berusaha membentur kekuatan itu. Ia hanya mengerahkan daya tahannya, karena ia memang tidak ingin membunuh orang yang berkerudung hitam itu. Ia ingin menangkapnya hidup-hidup, agar dari padanya ia mendapatkan keterangan yang diperlukannya mengenai perbuatan gila-gilaan itu.

Namun demikian, akibatnya cukup berat bagi Witantra. Meskipun hal itu sudah diperhitungkannya, namun untunglah, bahwa Ken Arok memang tidak ingin membunuhnya. Witantra yang telah membentur daya tahan Ken Arok itu-pun terdorong oleh pantulan kekuatannya sendiri. Namun demikian, Witantra justru mempergunakan pantulan kekuatan itu. Bahkan sekali lagi ia menjejak dinding batu itu, sehingga ia-pun terlempar beberapa langkah seperti yang dikehendakinya sendiri.

Mahisa Agni dan Sumekar terperanjat melihat benturan itu. Mereka tidak segera mengetahui akibatnya pada Witantra. Mereka hanya melihat Witantra terlempar beberapa langkah, melampaui lingkaran para prajurit yang mengepungnya di bawah dinding batu itu.

Beberapa orang prajurit dan perwira dengan gerak naluriah meloncat mengejarnya. Namun kemudian terdengar Sri Rajasa berkata lantang, “Tidak seorang-pun yang dapat mengganggu perang tanding ini.”

Witantra yang sudah berdiri di atas tanah memandang Sri Rajasa sejenak. Sekilas tersirat kekagumannya atas Maharaja Singasari itu. Namun kemudian terdengar suara tertawanya, “Terima kasih tuanku. Namun agaknya hamba sudah cukup untuk hari ini. Hamba sudah dapat menjajagi kemampuan tuanku, Maharaja Singasari yang perkasa. Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”

Sri Rajasa tidak menjawab. Tetapi bagaikan terbang ia meloncat dari atas dinding batu itu kearah Witantra. Adalah benar-benar diluar dugaan, bahwa Witantra sama sekali tidak menyambutnya. Namun bahkan seperti terbang pula ia meninggalkan arena perkelahian. Yang terdengar adalah suara tertawanya menggetarkan setiap dada orang yang mendengarnya.

“He, apakah kau akan lari? “ teriak Sri Rajasa.

Witantra tidak menyahut. Tetapi tubuhnya seperti terhembus angin malam yang kencang melintasi halaman dalam istana Singasari. Tetapi Sri Rajasa tidak membiarkannya. Secepat Witantra ia-pun segera menyusul menyusup ke dalam gelapnya malam.

Tidak seorang-pun yang mampu menyusul mereka berdua selain Mahisa Agni. Karena itu, belum lagi debar jantung mereka mereda, mereka melihat bayangan ketiga menyusul Witantra yang berkerudung hitam itu, dengan Sri Rajasa. Orang itu adalah Mahisa Agni.

Di kejauhan Sumekar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat melihat lagi apa yang sedang terjadi. Dan ia-pun tidak dapat berbuat seperti Mahisa Agni, karena ia adalah seorang juru taman. Yang dapat dilakukannya hanyalah menarik nafas dalam-dalam.

Beberapa saat kemudian para prajurit dan perwira, bahkan para Panglima-pun menyusul ketiga bayangan itu. Para panglima yang memiliki kemampuan melampaui yang lain, tidak juga berhasil mengikuti ketiga bayangan yang bagaikan terbang itu.

Di antara mereka yang kemudian berlari-lari keregol depan adalah Tohjaya, Anusapati dan Mahisa-wonga-teleng. Dengan senjata di tangan Tohjaya meloncat-loncat dipaling depan bersama para Panglima, seolah-olah ia akan dapat berbuat banyak di dalam persoalan itu. Namun demikian kelincahan Tohjaya-pun telah menimbulkan kekaguman, bahwa tampaknya ia tidak kalah tangkas dari para perwira prajurit Singasari, dan hanya sedikit di bawah kemampuan para Panglima.

Tetapi mereka tidak lagi dapat menemukan ketiga bayangan yang seakan-akan telah menghilang. Para prajurit yang mengawasi dinding batu yang melingkari istana itu-pun hanya sempat melihat tiga orang yang bagaikan terbang meloncati dinding dan kemudian hilang di dalam kegelapan sebelum para prajurit itu sempat menyapanya.

“Kemana mereka berkejaran?” desis Panglima pengawal.

Tidak seorang-pun yang dapat memberikan jawaban.

“Kita harus menyusulnya,” berkata Tohjaya.

“Kemana?” bertanya salah seorang perwira.

Tohjaya menjadi termangu-mangu karenanya. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandang Anusapati yang berada ditempat itu.

“Kita menunggu disini,” berkata Anusapati.

“Apa yang dapat kita lakukan di sini?” bertanya Tohjaya.

“Kita menunggu di sini.”

“Tetapi, apakah kita yakin, bahwa tidak akan terjadi sesuatu atas Ayahanda Sri Rajasa?”

“Paman Mahisa Agni ada besertanya. Juga Ayahanda Sri Rajasa sudah menjatuhkan perintah. Tidak seorang-pun boleh mengganggunya.”

Tohjaya menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi ia-pun kemudian berkata, “Kita akan mencarinya,” lalu katanya kepada Panglima pengawal, “siapkan pasukan. Kita akan menyusul.”

“Kita tidak akan pergi kemanapun,” potong Anusapati, “kita tetap berada di regol istana, siapa tahu, orang itu tidak sendiri. Kekosongan halaman istana ini akan sangat berbahaya.” Anusapati berhenti sejenak. Lalu, “Kita percaya kepada kemampuan Ayahanda Sri Rajasa dan paman Mahisa Agni. Dan kita tidak akan berani melanggar perintahnya.”

Tetapi Tohjaya merasa lebih mantap untuk membawa sepasukan prajurit pilihan keluar dari regol istana. Karena itu maka ia-pun berkata pula, “Kita tidak akan tinggal diam. Ikuti aku. Bawa pasukan pengawal pilihan.”

Panglima pengawal itu-pun menjadi termangu-mangu. Namun, kemudian terdengar kata-kata Anusapati tegas, “Dengar perintah Putera Mahkota. Kita tetap disini. Tidak seorang-pun yang akan pergi, seolah-olah kita tidak percaya kepada Ayahanda Sri Rajasa dan Pamanda Mahisa Agni. Dan tidak seorang-pun yang boleh melanggar perintah Ayahanda Sri Rajasa, karena ayahanda pasti tidak akan menjatuhkan perintah tanpa maksud dan pertimbangan.”

Terdengar Tohjaya menggeram. Ia tahu benar, bahwa Sri Rajasa pasti tidak akan menganggapnya bersalah. Bahkan Ayahanda Sri Rajasa akan membenarkan sikapnya, apa-pun yang dilakukannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-pun juga dihadapan para prajurit Singasari, karena Anusapati menyebut dirinya sebagai Putera Mahkota. Setiap prajurit pasti akan mengerti makna dari sebutan itu, selagi Sri Rajasa sendiri tidak ada di tempat. Karena itu, Tohjaya hanya dapat menggeram sambil menghentakkan kakinya. Dipandanginya kedua pengawalnya yang berdiri disampingnya. Namun tidak sepatah kata-pun yang diucapkannya.

Tetapi dengan demikian, semakin terasa olehnya, betapa besar arti kedudukan Anusapati. Betapa besar kekuasaan Putera Mahkota apabila diterapkan pada tempat yang sewajarnya. Kalau selama ini Anusapati seolah-olah tidak berarti sama sekali bagi Singasari, itu bukan karena kedudukan Putera Mahkota di Singasari sama sekali tidak berarti. Tetapi karena Anusapati selama ini tidak pernah berbuat apa-apa. Namun sekali ia menjatuhkan perintah atas nama Putera Mahkota, maka sadarlah setiap orang, terutama Tohjaya, bahwa sebenarnyalah Anusapati itu seorang Putera Mahkota.

“Kenapa ayahanda mengambil ibunda Ken Dedes sebagai seorang Permaisuri. Kenapa bukan Ibunda Ken Umang,” ia menggeram di dalam hatinya. Tetapi Tohjaya tidak berwenang untuk melakukan perubahan itu. Ia hanya dapat menggeram dan marah-marah di dalam hatinya. Namun Anusapati tetap sebagai Putera Mahkota beserta semua hak yang ada padanya.

Dalam pada itu, orang yang berkerudung hitam itu terus saja berlari di dalam kegelapan. Dibelakangnya Sri Rajasa, Maharaja di Kediri yang merasa sangat terhina atas kehadiran orang itu di halaman istana masih saja mengejarnya. Beberapa langkah di belakang keduanya adalah Mahisa Agni yang selalu mengikuti Sri Rajasa. Ternyata bahwa Witantra benar-benar memiliki kemampuan berlari yang cukup cepat. Meskipun mereka sudah berkejaran di dalam gelapnya malam beberapa ratus langkah, namun tidak ada tanda-tanda bahwa Sri Rajasa akan dapat menangkapnya.

“Tuanku,” tiba-tiba terdengar suara Mahisa Agni di belakangnya.

Sri Rajasa yang darahnya masih mendidih itu tidak menghiraukannya, ia masih berlari dengan kemampuan yang luar biasa, mengikuti jejak Witantra. Tetapi Witantra mampu berlari lebih cepat.

“Pengecut,” geram Sri Rajasa, “kenapa kau tidak berani bertempur sampai akhir?”

Orang berkerudung hitam itu tidak menjawab. Tetapi langkahnya menjadi semakin cepat.

“Tuanku,” berkata Mahisa Agni, “kita tidak akan dapat mengejar terus.”

“Berhentilah dan kembalilah,” geram Sri Rajasa.

“Masalahnya bukan hamba. Tetapi tuanku.”

“Kenapa dengan aku?”

“Hamba menasehatkan agar tuanku berhenti. Hamba akan memberikan alasannya. Tuanku yang sedang marah pasti tidak akan melihat banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Apalagi tuanku adalah Maharaja Singasari.”

“Tetapi orang gila itu tidak boleh lepas.”

“Kita harus melihat kenyataan tuanku. Hamba ingin berbicara dengan jelas.”

Sri Rajasa menjadi termangu-mangu sejenak. Namun dengan demikian, jarak antara Sri Rajasa dan Witantra menjadi semakin jauh. “Kau sengaja melindungi orang itu?” tiba-tiba saja Ken Arok bertanya.

Mahisa Agni berdesir. Tetapi segera menjawab, “Apa hubungan hamba dengan persoalan ini? Apakah tuanku menyangka demikian?”

Sri Rajasa tidak menjawab. Tetapi langkahnya menjadi semakin lambat sehingga akhirnya ia berhenti. “Kenapa kau menahan aku?” bertanya Sri Rajasa.

“Tuanku. Kita tidak mengetahui, apakah yang ada dibalik kegelapan ini. Kita tidak mengetahui, sampai berapa jauh orang itu membuat rencana atas istana dan tuanku Sri Rajasa. Bagaimanakah yang mungkin terjadi, seandainya orang itu benar-benar orang yang curang dan licik, sehingga dengan sengaja menjebak tuanku.”

“Kalau kau takut, kembalilah di antara sepasukan prajurit pilihan yang akan melindungimu.”

“Bukan begitu tuanku. Apakah tuanku belum mengenal Mahisa Agni. Hambalah yang ikut bersama tuanku menyerang Kediri. Hamba bukan anak kecil yang ketakutan melihat seekor kucing belang. Tetapi justru karena perintah tuanku, bahwa hamba tidak boleh ikut campur itulah yang mencemaskan hamba.”

“Aku sendiri memang dapat menyelesaikan apa-pun juga.”

“Tetapi kita tidak tahu, apakah orang itu hanya sekedar sendiri. Mungkin ia sudah menyiapkan sepasukan prajurit pilihan. Bukan karena hamba takut. Seandainya jatuh perintah tuanku, hamba sendirilah yang harus menghadapi mereka, hamba akan melakukannya. Berpuluh-puluh tahun hamba berguru. Hamba telah diajari oleh guru hamba, bagaimana seorang laki-laki menghadapi tantangan yang paling berat. Tetapi hamba bukan Maharaja di Kediri. Seandainya hamba mati dengan luka arang kranjang oleh seribu ujung senjata, hamba hanyalah seorang hamba Singasari. Tetapi bagaimana kalau hal itu terjadi atas Maharaja Singasari itu sendiri?”

“Itu adalah sikap laki-laki. Mati jantan.”

“Tetapi tidak bagi seorang Maharaja. Perintah tuanku, tidak seorang-pun yang boleh menganggu, adalah perintah yang tergesa-gesa di dalam keadaan ini. Karena kita tidak tahu, apakah benar ia, maksudku orang yang berkerudung itu hanya seorang diri?”

“Kalian benar-benar berhati batu. Apakah kalian tahu arti perintah itu. Jangan mengganggu aku selagi aku melakukan perang tanding. Tetapi kalau nalar kalian hidup, sudah tentu perintah itu tidak akan berlaku, seandainya aku harus menghadapi sepasukan lawan.”

“Itulah yang hamba cemaskan tuanku. Apabila kita berangkat sepasukan, atau di saat-saat terakhir tuanku memerintahkan untuk mengejar dan mengepung orang itu, keadaan akan berbeda.”

“Kau menyalahkan aku?”

“Bukan begitu tuanku. Tetapi hamba mencoba memperingatkan bahaya yang dapat tuanku temui seandainya tuanku masih terus melakukan pengejaran. Katakanlah, kita berdua. Tetapi dihadapan kita berbaris sepasukan orang-orang pilihan seperti orang itu.”

Sejenak Sri Rajasa termenung. Betapa-pun kemarahan memuncak dihatinya, namun ia dapat mengerti keterangan Mahisa Agni. Kalau ia bertemu dengan sekelompok orang yang memang sengaja menjebaknya, maka ia pasti akan mengalami kesulitan. Meskipun ia tidak pernah mengenal takut menghadapi bahaya apa-pun namun pada suatu saat, kenyataan yang demikian tidak akan dapat dihindarinya. Tiba-tiba saja terbayang disaat-saat ia mengembara di padang Karautan. Meskipun setiap orang dengan gemetar menyebutnya Hantu Karautan, namun ketika ia dikejar-kejar oleh orang-orang padukuhan di sekitar padang itu, ia menjadi bingung juga dan berlari-lari tidak tentu arah.

Apalagi kini ia adalah seorang Maharaja. Adalah tidak sepantasnya apabila ia berlari-lari dikejar-kejar oleh sekelompok orang-orang yang tidak dikenal. Tetapi untuk mati ditangan mereka-pun agaknya tidak menyenangkan sekali. Bahkan mungkin mayatnya akan menjadi pangewan-ewan di suatu tempat yang tidak dikenalnya.

“Tuanku,” berkata Mahisa Agni kemudian, “kita sebaiknya tidak melayani perbuatan licik. Perbuatan yang memang tidak bernilai untuk kita layani. Kalau kita berhadapan dengan musuh yang seimbang seperti Maharaja di Kediri, maka apa-pun yang akan terjadi atas diri kita, bukanlah soal yang perlu dipertimbangkan lagi. Tetapi melawan orang-orang licik itu, bukanlah pekerjaan tuanku. Kecuali apabila tuanku memerintah hamba membawa beberapa orang untuk mencarinya apabila masih dapat hamba temukan.”

Sri Rajasa masih merenung sejenak. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil, “Aku mengerti Agni. Tetapi aku kira, kau-pun tidak perlu mencarinya. Orang itu pasti sudah meninggalkan kota Singasari.”

“Meskipun demikian ada baiknya hamba meronda setelah kita kembali ke istana.”

“Terserahlah kepadamu. Aku akan kembali. Tetapi yang terjadi merupakan peringatan bagi kita, bahwa selama ini kita telah terbius oleh kemenangan-kemenangan yang pernah kita capai. Ternyata bahwa kita bukanlah orang yang paling kuat di Singasari. Di padesan-padesan masih tersembunyi Pendeta-pendeta dan Brahmana-brahmana yang bukan saja menekuni olah kerohanian, tetapi juga olah kanuragan seperti Empu Purwa di Panawijen lama.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Terserahlah kepadamu Agni, apakah kau akan meronda? Namun yang penting, pengamatan atas daerah Singasari ternyata penting untuk dilakukan secara terus-menerus dan teliti. Kita harus mengetahui, siapa sajakah yang ternyata memiliki kemampuan yang mengagumkan seperti orang berkerudung hitam itu. Sudah barang tentu, kalau orang-orang lain di istana ini tidak dapat berbuat apa-apa, selagi aku pergi berburu dan kau tidak ada di istana. Apalagi orang-orang berkerudung itu datang bertiga sekaligus.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Marilah kita kembali ke istana,” berkata Sri Rajasa kemudian. “kita harus memberikan penjelasan kepada para prajurit, agar mereka mendapat gambaran yang sebenarnya, dan tidak menimbulkan berbagai macam ceritera yang kabur.”

Keduanya-pun kemudian dengan tergesa-gesa berjalan kembali ke istana. Ternyata mereka telah jauh berlari mengejar orang yang berkerudung hitam itu melalui jalan-jalan kota dan celah-celah padukuhan. Ternyata baru kemudian keduanya melihat, bahwa hampir setiap gardu telah penuh dengan anak-anak muda yang meronda. Mereka-pun agaknya mendengar tanda bahaya yang bergema di dalam istana. Di dalam keremangan malam Sri Rajasa dan Mahisa Agni terpaksa beberapa kali dihentikan oleh para peronda yang tidak segera mengenalnya.

“Siapa he?” bentak salah seorang anak muda.

“Kami prajurit pengawal.”

“Dari mana atau kemana?”

“Kami akan pergi keistana. Tugas kami menggantikan para peronda di istana menjelang fajar.”

“Apakah kalian tidak mendengar tanda bahaya?”

“Ya. Itulah yang mempercepat kedatangan kami. Sebenarnya kami masih dapat tidur nyenyak dirumah.”

“Tetapi kalian tidak berpakaian prajurit pengawal.”

“Kami sangat tergesa-gesa.”

“Kalian harus dapat menunjukkan bukti bahwa kalian adalah prajurit-prajurit.”

“Apakah yang harus aku tunjukkan?” jawab Mahisa Agni.

“Apa-pun sebagai bukti.”

Mahisa Agni menjadi termangu-mangu sejenak. Pada saat ia berpaling memandang Sri Rajasa, maka Sri Rajasa-pun tidak mengenakan pakaian keprajuritan.

“Cepat. Kalau kalian tidak dapat menunjukkan bukti bahwa kalian prajurit-prajurit istana, maka kami terpaksa menahan kalian. Tetapi kalau ternyata kalian prajurit, kami akan minta maaf karena kami sekedar berhati-hati. Biasanya kami tidak pernah mengganggu orang lewat. Tetapi tanda bahaya yang mula-mula bergema di istana, membuat kami berhati-hati.”

“Sangat sulit bagi kami untuk menunjukkan bukti itu, karena kami benar-benar tergesa-gesa, sehingga kami tidak dapat berpakaian lengkap.”

“Apakah kalian akan bertugas di istana dengan pakaian semacam itu?”

“Kami mempunyai pakaian keprajuritan lengkap di istana.”

Para peronda itu menjadi ragu-ragu.

“Kalau kalian tidak percaya,” berkata Mahisa Agni, “marilah, ikuti kami. Bukankah regol istana sudah dekat?”

Para peronda itu berpikir sejenak. Kemudian salah seorang berkata, “Ikutilah. Dua orang. Berilah tanda kalau orang-orang itu mencurigakan. Beberapa puluh langkah kalian akan sampai di gardu berikutnya.”

Kedua orang yang ditunjuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya adalah anak-anak muda yang bertubuh tinggi dan bertangan kuat. Di lambung mereka tergantung pedang yang besar.

“Aku akan membawanya sampai ke regol istana,” berkata salah seorang dari mereka, “kalau keduanya memang prajurit, keduanya pasti tidak akan berbuat apa-apa, sampai saatnya mereka berada di regol istana, dan kami akan minta maaf kepada mereka. Tetapi kalau keduanya ingin berbuat sesuatu, itu pertanda bahwa keduanya bukan prajurit yang sebenarnya.”

“Kalau keduanya bukan prajurit, maka kami berdua akan menangkapnya.”

Baik Mahisa Agni mau-pun Sri Rajasa, merasa bangga juga didalam hati. Ternyata bukan saja prajurit Singasari yang selalu bersiap menghadapi setiap kemungkinan, meskipun di masa damai, tetapi juga anak-anak muda di padukuhan-padukuhan.

“Baiklah,” berkata Mahisa Agni kemudian, “kalian akan mengetahui tentang kami berdua apabila kami sudah sampai di regol istana.”

Mereka-pun kemudian melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan Mahisa Agni tidak lagi berbicara sesuatu, supaya tidak menimbulkan kesan yang aneh pada kedua anak-anak muda yang mengikutinya. Di gardu berikutnya, mereka-pun terpaksa berhenti. Beberapa orang anak muda berloncatan dari gardu sambil menyapa, “Siapa kalian?”

Dua orang anak muda yang mengawal Mahisa Agni dan Sri Rajasa maju beberapa langkah. Katanya, “Aku.”

“Siapa yang dua itu?”

“Tidak kami kenal. Kami akan membuktikannya, apakah benar keduanya prajurit istana.”

“Apa katanya?”

Salah seorang dari kedua anak muda itu-pun mengatakan pengakuan yang diucapkan oleh Mahisa Agni.

“Apakah kami perlu ikut?”

“Terserahlah.”

“Baik. Kami akan mengirimkan seorang untuk ikut serta membuktikan apakah keduanya memang prajurit pengawal.”

Mereka-pun kemudian berjalan berlima. Mereka masih melalui dua buah gardu berikutnya, sebelum mereka sampai ke pinggir alun-alun Singasari.

“Sampai disini?” bertanya Mahisa Agni.

“Tidak. Kami akan membawa kalian sampai ke regol. Di sini kalian masih mempunyai kesempatan untuk pergi tidak ke regol istana.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Tetapi apakah itu perlu sekali. Kalian dapat mengawasi dari kejauhan.”

“Apakah kalian akan lari?”

“Tidak. Tentu tidak.”

“Kalau begitu, marilah.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah Sri Rajasa. Tetapi wajah itu sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun, sehingga Mahisa Agni tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa daripadanya. Demikianlah maka mereka-pun berjalan melintasi alun-alun pergi ke regol depan halaman istana. Dari kejauhan tampak obor yang menyala dengan terangnya. Bahkan sudah tampak pula beberapa orang prajurit yang bersiaga dengan senjata telanjang.

“Mereka-pun telah bersiaga sepenuhnya,” desis salah seorang dari ketiga orang yang mengantar Mahisa Agni dan Sri Rajasa itu.

“Tentu. Lihat, di gerbang depan-pun para prajurit telah bersiaga.” mereka berhenti sejenak. Lalu, “agaknya para perwira ada juga di sana.”

“Ya. Para perwira pasti sudah siap disana.”

“Kenapa kalian masih belum berada di sana bersama mereka?”

“Kami terlambat.”

“Apakah kalian benar-benar prajurit?”

“Ya, kami benar-benar prajurit,” jawab Mahisa Agni.

“Kami akan minta maaf. Tetapi kami ingin meyakinkan.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Selangkah demi selangkah mereka-pun menjadi semakin dekat pintu gerbang induk itu. Beberapa orang prajurit yang bertugas di luar gerbang-pun segera melihat kehadiran mereka berlima. Dari kejauhan mereka tidak segera melihat, siapa saja yang ada diantara mereka. Karena itu, mereka-pun segera bersiaga. Keadaan yang tidak terduga-duga dapat saja terjadi, apalagi Sri Rajasa dan Mahisa Agni tidak berada di istana. Seperti yang dicemaskan oleh Putera Mahkota, selagi Sri Rajasa terpancing keluar, maka datanglah orang-orang yang sebenarnya ingin berbuat sesuatu di istana ini. Namun semakin dekat, para prajurit itu-pun menjadi semakin jelas, siapakah yang berjalan dipaling depan. Mereka adalah Sri Rajasa dan Mahisa Agni.

“Tetapi siapakah pengiringnya?” bertanya para prajurit itu di dalam hatinya.

Tetapi tidak seorang-pun yang dapat menjawab. Bahkan mereka-pun saling bertanya satu kepada yang lain. Anusapati dan Tohjaya yang segera diberi tahu kehadiran Sri Rajasa itu-pun kemudian menyambutnya di muka pintu. Di belakang keduanya Mahisa-wonga-teleng berdiri termangu-mangu.

Dari kejauhan Mahisa Agni melihat ketiga putera Sri Rajasa itu. Tanpa sesadarnya ia-pun berkata di dalam hati, “Mahisa-wonga-teleng memang sudah menginjak masa dewasanya, meskipun belum sepenuhnya.”

Semakin dekat dengan regol depan itu, tiga orang yang mengantar Mahisa Agni dan Sri Rajasa menjadi semakin berdebar-debar. Tidak biasa seorang prajurit memasuki istana lewat regol ini. Biasanya mereka melalui regol samping. Meskipun demikian, mereka ingin juga membuktikan, siapakah sebenarnya kedua orang ini. Sri Rajasa dan Mahisa Agni-pun menjadi semakin dekat dengan regol istana. Sekali-sekali mereka berpaling, dan ketiga anak-anak muda itu-pun masih mengikutinya.

“Apakah kalian akan singgah di rumah kami sebentar?” bertanya Mahisa Agni.

“Dimana rumahmu?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Disitu. Didalam halaman istana.”

“He,” sahut yang lain, “tadi kau berkata bahwa kau dengan tergesa-gesa pergi dari rumah ke istana karena tanda bahaya.”

“O, ya. Tetapi aku juga mempunyai pondok di dalam. Bukankah aku berkata, bahwa aku akan berganti dengan pakaian keprajuritan setelah aku sampai di istana? Nah, apakah kalian ingin singgah?”

Ketiga anak-anak muda itu menjadi termangu-mangu. Semakin dekat dengan regol istana, maka wajah-wajah kedua orang yang mereka ikuti-pun menjadi semakin jelas, oleh cahaya obor yang terang benderang di sisi gerbang. Dengan demikian maka kedua orang itu-pun menjadi semakin nyata bagi anak-anak muda yang mengikutinya. Bahkan salah seorang dari mereka berbisik, “He, aku pernah melihat kedua orang itu.”

“Dimana?”

“Aku lupa, dimana.”

“Mungkin keduanya memang prajurit.”

Ketiganya mencoba mengingat-ingat, dimana mereka pernah melihat kedua orang yang diikutinya. Apalagi ketika wajah-wajah mereka menjadi semakin jelas, dan pakaian mereka yang agak…? Demikianlah akhirnya mereka sampai di muka gerbang. Anusapati dan kedua adiknya-pun segera menyongsongnya diikuti oleh beberapa orang perwira.

Yang pertama-tama bertanya adalah Tohjaya, “Bagaimana dengan ayahanda?”

Sri Rajasa menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku gagal.”

Tohjaya tercenung sejenak. Demikian pula para perwira dan prajurit yang ada di gerbang itu. Namun mereka masing-masing juga bertanya-tanya, siapakah orang-orang yang mengikutinya.

Mahisa Agni lah yang kemudian berpaling sambil berkata kepada anak-anak muda yang mengikutinya itu, “Nah. Kami sudah sampai di rumah kami. Terima kasih atas kesiagaan kalian. Kalau kalian belum pernah mengenal, inilah yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”

“He?” ketiga orang itu serasa membeku di tempatnya.

Dan Sri Rajasa-pun tiba-tiba berkata, “Dan inilah seorang Senapati Singasari yang terbesar, Mahisa Agni.”

Tiba-tiba saja ketiganya berlutut hampir berbareng. Salah seorang menundukkan kepalanya sampai ke tanah sambil berkata, “Ampun tuanku. Hamba tidak tahu, siapakah sebenarnya tuanku berdua ini.”

“Pulanglah, kalian sudah melakukan tugas kalian dengan baik. Teruskan kesiagaan kalian menghadapi bahaya mendatang.”

“Hamba tuanku. Tetapi, tetapi hamba tidak tahu, bahwa yang lewat hanya berdua adalah tuanku.”

“Sudahlah. Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik.”

Ketiga orang itu-pun kemudian mengundurkan diri dan kembali ke gardu mereka. Di sepanjang jalan tidak habis-habisnya mereka berbicara tentang kedua orang yang aneh itu.

“Aku tidak menyangka, bahwa Sri Rajasa berjalan hanya berdua saja justru ketika ada tanda bahaya,” berkata yang seorang.

“Tidak ada orang yang akan menyangka demikian,” sahut kawannya.

Di gardu, mereka berceritera tidak habis-habisnya, apa yang mereka alami selama mereka mengikuti dua orang yang mereka anggap asing itu.

Di istana, Sri Rajasa-pun kemudian memberikan sedikit keterangan tentang orang yang dikejarnya itu. Sri Rajasa pun memperingatkan kepada setiap prajurit, bahwa mereka tidak boleh lengah selagi Singasari tampaknya berada dipuncak kejayaan.

“Ternyata ada juga kekuatan di luar istana ini yang perlu diperhitungkan,” berkata Sri Rajasa, “meskipun tidak sampai pada batas yang membahayakan. Tetapi orang berkerudung itu pasti tidak berdiri sendiri.”

Namun dengan demikian, Tohjaya tidak lagi mencari-cari orang di dalam istana Singasari. Ia tidak mencari tempat untuk meletakkan tuduhannya. Bahkan dengan demikian, perwira yang menjadi guru bersama dari Tohjaya dan Anusapati itu-pun dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia-pun tidak habis berpikir siapakah orang-orang aneh yang juga berkerudung hitam itu. Seandainya Mahisa Agni tidak ada di istana saat itu, maka semua sorotan pasti akan diarahkan kepadanya. Tetapi saat itu Mahisa Agni ada di istana, bahkan bersama-sama dengan Sri Rajasa mengikuti bayangan yang kehitam-hitaman.

Beberapa waktu, ceritera tentang orang berkerudung hitam itu masih saja membayangi Singasari. Namun lambat laun, ceritera itu-pun menjadi semakin pudar, dan akhirnya tidak lagi banyak dibicarakan orang. Meskipun demikian, Sri Rajasa sudah memerintahkan, agar setiap prajurit bersiaga menghadapi setiap kemungkinan.

“Peristiwa itu pasti tidak berdiri sendiri,” berkata Sri Rajasa kepada para Panglima dan Senapati serta para perwira prajurit Singasari, “dan peristiwa berikutnyalah yang perlu mendapat pengamatan saksama. Kalian harus mendapat gambaran di seluruh Singasari, kekuatan yang tersembunyi, yang selama ini seolah-olah tidak pernah kita perhatikan.”

Demikianlah, pembicaraan di dalam istana Singasari-pun segera beralih kepada persoalan Anusapati. Tiba-tiba saja terbetik berita, bahwa Putera Mahkota akan segera kawin. Berita itu telah disambut oleh rakyat Singasari sebagai suatu berita yang besar. Apalagi ketika kemudian disusul berita, bahwa bukan saja Anusapati, tetapi telah dibicarakan pula saat perkawanan Putera Sri Rajasa yang lain, tetapi bukan Tohjaya, justru Mahisa-wonga-teleng.

Anusapati sendiri tidak pernah mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapatnya kepada Ayahanda Sri Rajasa. Segala keputusan sidang para pemimpin pemerintahan yang mengatur tata kehidupan Putera Mahkota, yang sudah disyahkan oleh Sri Rajasa menjadi keharusan yang mengikat.

Demikianlah, maka kini Putera Mahkota telah menjadi pokok pembicaraan dalam sidang-sidang pimpinan pemerintahan di Singasari. Tidak seorang-pun yang menolak pendapat Sri Rajasa, bahwa sebaiknya Putera Mahkota segera kawin, dan hidup sebagai seorang yang sudah berkeluarga, seorang yang sudah masak untuk berdiri sendiri. Dalam hubungannya dengan jabatannya, maka Putera Mahkota akan mendapat tugas-tugas tertentu dari Ayahanda Sri Rajasa. Yang pada umumnya seorang Putera Mahkota akan diangkat menjadi Senapati Perang, sebelum pada saatnya ia akan menjabat sebagai seorang Raja apabila ayahanda tidak lagi dapat menjalankan kuwajibannya.

Namun bagaimana-pun juga memang terasa pada Anusapati, bahwa saat perkawinannya itu ditentukan oleh ayahanda bukan tanpa bayangan maksud tertentu. Meskipun demikian, ia wajib patuh dan harus menjalani tanpa menyanggah apabila ia tidak ingin mengalami kesulitan di dalam istana Singasari yang semakin lama menjadi semakin megah itu.

Hanya kepada Pamanda Mahisa Agni sajalah Anusapati dapat menyampaikan seluruh hatinya. Kepedihan yang selama ini tersimpan di dalam dadanya, lambat laun mengalir pula sampai tuntas. Bahkan sebagian dari beban yang berat itu, apabila sudah tidak tertahankan lagi, Anusapati selalu pergi ke taman menemui juru taman yang bernama Sumekar. Sebelum ia sempat menemui Mahisa Agni, maka Sumekar lah orang yang pertama-tama mendapat pengaduan daripadanya, meskipun tidak sebanyak yang disampaikannya kepada Mahisa Agni. Namun yang sedikit itu ternyata telah dapat mengurangi beban yang sangat berat di dalam hatinya, sehingga hampir tidak tertanggungkan lagi.

“Paman,” berkata Anusapati kepada Sumekar, “aku tidak tahu apa yang akan terjadi kelak, sesudah aku menjalani saat-saat perkawinan yang telah ditentukan itu.”

Sumekar tidak dapat segera menyahut. Tetapi ia dapat mengerti, betapa berat beban yang ditanggungkan oleh Putera Mahkota itu.

Dan Anusapati-pun berkata selanjutnya, “Tetapi agaknya paman Mahisa Agni-pun berkeras hati, agar aku tidak berusaha untuk mengelakkan tugas ini, meskipun aku sudah menyampaikannya kepada paman Mahisa Agni, akibat dari perkawinan itu.”

“Hamba juga sudah menduga tuanku, bahwa sulitlah bagi tuanku, untuk tetap bersembunyi seperti sekarang ini. Sebab sebagai seorang Senapati tuanku akan langsung bersentuhan dengan pedang dan prajurit. Tuanku pasti akan menjadi seorang Senapati perang. Di jaman yang tenteram seperti saat-saat ini, maka musuh utama bagi para Senapati adalah kejahatan. Dan kajahatan itu kadang-kadang ada di dalam lingkungan kita sendiri, bahkan kadang-kadang ada di dalam hati kita.”

“Ya. Itulah yang aku bingungkan. Pada suatu saat aku pasti harus menjalani tugas-tugas pendadaran. Mungkin aku harus datang ke telatah-telatah yang kurang tenteram. Ke telatah-telatah yang banyak diganggu oleh penjahat. Berat atau ringan nilai dari pendadaran itu tergantung dari Ayahanda Sri Rajasa sendiri.”

“Hamba tuanku. Dan di dalam pendadaran banyak hal yang dapat terjadi. Mungkin tuanku harus menjalani pendadaran yang terlampau berat dengan pamrih-pamrih tertentu. Tetapi mungkin juga tidak. Namun di dalam dada ini, kita sudah menyimpan berbagai macam tanggapan yang buram, yang barangkali tidak akan pernah terjadi.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak gentar sama sekali seandainya ia harus mengalami pendadaran yang betapa-pun beratnya. Mungkin ia akan dikirimkan ke seberang lautan untuk meyakinkan hubungan kesatuan antara daerah-daerah seberang lautan dengan daerah yang ada di dalam lingkungan kebulatan kepulauan ini. Bahkan untuk datang kenegeri tetangga dalam hubungan apa-pun juga. Atau menumpas segala macam penjahat yang ada di lingkungan Singasari dan daerah-daerah di dalam lingkungan kesatuannya.

Tetapi yang masih membingungkannya, bagaimana mungkin ia masih harus tetap menjalankan peranannya sebagai seorang Putera Mahkota yang bodoh dan malas. Kalau ia benar-benar menemui bahaya di dalam pendadarannya, apakah ia harus berpangku tangan, atau berpura-pura tidak mampu melawan atau mengatasi kesulitan. Bagaimana apabila ia melihat ujung tombak meluncur kedadanya? Apakah ia harus membiarkannya dan berpura-pura tidak mampu mengelak, tetapi yang karena itu, akibatnya nyawanya benar-benar terbang? Pertanyaan itulah yang selalu memberati hatinya. Ketika ia mengemukakannya kepada Sumekar, maka Sumekar-pun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

Akhirnya datanglah kesempatan Anusapati bertemu dengan pamandanya Mahisa Agni. Seperti apa yang dikatakannya kepada Sumekar. meskipun pernah juga dikatakannya kepada Mahisa Agni, namun kali ini Anusapati mohon, agar pamannya memperhitungkan hal itu pula.

“Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “jika kau sudah berdiri sendiri, dan pada saatnya kau harus melakukan kewajiban keprajuritan sebagai lajimnya Putera Mahkota dimasa penempaan diri menjelang masa penobatan menggantikan ayahanda, maka kau tidak perlu menyembunyikan kemampuanmu. Kau dapat mencari dalih apa-pun untuk mendapatkan waktu seolah-olah kau sedang mesu diri dalam olah kanuragan, sebelum kau menjalani pendadaran. Kau mengerti? Dan dalam masa-masa itu Tohjaya akan terus berlatih di bawah bimbingan gurunya yang kasar itu. Pada saatnya Tohjaya-pun akan menjadi seorang yang perkasa, tetapi dalam keadaan yang agak berbeda.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud baik pamannya. Ternyata pamannya-pun telah memperhitungkan, apa yang dapat terjadi atas dirinya kelak. Namun agaknya bukan saja Mahisa Agni, tetapi juga Sri Rajasa pasti telah memperhitungkan apa yang akan terjadi. Sri Rajasa pasti mempertimbangkan, bahwa pada suatu saat akan datang masanya, Tohjaya menjadi seorang prajurit linuwih. Setelah itu, tidak seorang-pun tahu, apa yang akan dilakukan atas putera-puteranya. Apakah akan datang suatu kemungkinan yang jarang sekali terjadi, bahwa seorang Putera Mahkota akan diganti oleh saudaranya?

Namun bagi Mahisa Agni, hal serupa itu tidak akan dapat terjadi. Anusapati adalah putera yang lahir dari Permaisuri. Terlebih-lebih lagi, warisan atas Singasari didapatkannya dari Ken Dedes yang mewarisi tahta suaminya, meskipun saat itu masih berpangkat Akuwu. Apabila Sri Rajasa akan memaksakannya di saat-saat ini, maka sudah tentu ia tidak akan dapat tinggal diam.

“Tetapi kenapa aku ikut dibingungkan oleh hal ini,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Tetapi Mahisa Agni tidak berani mencari jawabnya. Sebagai seorang kesatria ia memang harus menegakkan kebenaran dan kelurusan. Tetapi bagi Mahisa Agni soalnya bukan hanya sekedar tugas kekesatriaannya. Ada sesuatu yang lebih dalam mendorongnya untuk berdiri di belakang putera Ken Dedes ini.

Akhirnya, maka hari-hari yang dinanti-nantikan oleh rakyat Singasari itu-pun datang. Sri Rajasa menyelenggarakan peralatan perkawinan bagi Putera Mahkota. Seluruh negeri Singasari menyambut hari yang telah menentukan satu titik dari perjalanan hidup Anusapati. Saat ia meninggalkan suatu masa menginjak pada masa berikutnya. Untuk sepekan Singasari dimandikan oleh kemeriahan suasana perkawinan Putera Mahkota. Hampir setiap pintu gerbang padukuhan dan regol-regol halaman dihiasi janur kuning. Dedaunan yang berwarna hijau, merah dan kuning. Rontek, umbul-umbul dan panji-panji berkibaran disetiap penjuru.

“Apakah perkawinan puteranda Mahisa-wonga-teleng diurungkan?” bertanya seseorang kepada kawannya digardu yang terang benderang.

“Tentu tidak. Tetapi tidak pantas apabila tuanku Mahisa-wonga-teleng dikawinkannya sekarang juga. Umurnya masih terlampau muda. Aku dengar, setahun lagi Sri Baginda akan menyelenggarakan peralatan pula. Tuanku Mahisa-wonga-teleng.”

“Setahun lagi?” kawannya bergumam, “Setahun adalah waktu yang singkat bagi umur manusia. Kalau saat ini umur tuanku Mahisa-wonga-teleng masih terlampau muda, maka setahun lagi umur itu baru bertambah satu.”

“Tetapi yang satu itu telah membuatnya bertambah tua, eh, maksudku bertambah dewasa.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang mendengar juga, bahwa dua putera Sri Rajasa yang akan menginjak saat-saat perkawinannya adalah putera Permaisuri, meskipun ada juga putera dari isterinya yang lain yang juga sudah menginjak usia dewasa.

Demikianlah segenap rakyat Singasari menyambut hari-hari perkawinan Putera Mahkota itu dengan riang gembira, meskipun para prajurit tidak lengah mengawasi segala kesibukan peralatan di segenap penjuru. Bayangan tentang orang-orang berkerudung hitam masih selalu tergores di setiap dada para perwira dan Panglima kesatuan-kesatuan yang ada di Singasari.

Kehormatan dihari perkawinannya, membuat Anusapati justru semakin bertanya-tanya. Apakah sebenarnya yang telah terjadi atas dirinya itu seperti sebuah ceritera di dalam mimpi saja? Mimpi yang kadang-kadang menakutkan, mengerikan tetapi juga menggembirakan. Mimpi yang kadang-kadang tanpa disadari telah menitikkan air mata, tetapi kadang-kadang juga melukiskan senyum dibibir untuk sesaat.

Setelah hari-hari perkawinan selesai, dan setelah janur-janur kuning menjadi layu, maka mulailah kehidupan yang wajar kembali menyelubungi Singasari. Regol-regol dan gerbang-gerbang padukuhan telah mulai gelap dan jalan-jalan-pun menjadi sunyi dimalam hari, seperti kehidupan yang telah berlangsung sebelumnya.

Namun bangsal Anusapati di dalam halaman istana tidak lagi sesunyi sebelumnya. Kini Anusapati mempunyai kawan untuk berbincang. Bukan sekedar seorang emban yang baik hati, seorang emban yang sebenarnya mendapat tugas yang sebaliknya dari yang dilakukannya. Tetapi Anusapati tidak akan lama tinggal di bangsal itu. Sebuah bangsal yang baru telah dibangun dengan halaman dan dinding tersendiri, tepat di sisi istana. Bangsal yang terpisah itu bagaikan istana kecil yang berdiri sendiri dengan segala kelengkapannya.

“Tuanku terlampau memanjakan anak itu,” Ken Umang bergumam di bangsalnya ketika Sri Rajasa berkunjung kepadanya.

“Kenapa?”

“Tuanku telah membangun istana yang lebih indah dari istana hamba ini. Ukiran yang disungging halus, serta permadani yang berwarna cemerlang. Apakah kelebihan anak itu dari anak-anak hamba? Dan apakah tuanku sudah melupakannya, bahwa sebenarnya anak itu…”

“Cukup, cukup.” potong Sri Rajasa sambil bangkit berdiri.

“Tuanku. Apakah tuanku tidak lagi menghiraukan kata-kata hamba? Apakah kini Permaisuri itu telah berhasil membujuk tuanku dengan rayuan sedihnya?”

“Sudahlah Ken Umang, aku tidak pernah berbuat lebih dari yang seharusnya aku lakukan atas Anusapati yang kini menjadi Putera Mahkota. Adalah tidak pantas sama sekali, bahwa rumah baginya itu sekedar sebuah gubug yang miring. Meskipun seandainya aku tidak ingin berbuat demikian, tetapi keharusan sikap seorang Maharaja harus aku lakukan untuk meniadakan prasangka orang banyak. Semakin keras tindakan-akan kita atas anak itu, maka ia akan menjadi semakin dekat dengan hati rakyat.”

Ken Umang menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangkat alisnya ia memandang Sri Rajasa yang duduk di atas permadani yang berwarna cerah. Permadani yang tidak didapatkan di bangsal-bangsal yang lain di dalam istana itu.

“Tuanku,” berkata Ken Umang kemudian, “tuanku memang sudah sewajarnya berbuat sebagai seorang Maharaja yang adil. Justru karena itu tuanku harus berbuat adil pula terhadap putera-putera tuanku. Kalau hamba bukan seorang Permaisuri itu adalah karena hamba barangkali tidak secantik tuanku Permaisuri atau tidak sepandai tuanku Permaisuri melayani tuanku. Tetapi itu bukan kesalahan Tohjaya atau anak-anak hamba yang lain.”

“Aku sudah tahu Ken Umang. Tetapi apakah sebenarnya yang kau inginkan? Apakah sudah waktunya kita akan mengawinkan Tohjaya seperti Anusapati dan sebentar lagi Mahisa-wonga-teleng? Bukankah kau mengerti, kenapa aku tidak melakukan hal itu, dan justru untuk kepentingan Tohjaya? Setelah Anusapati kawin maka sampailah saatnya ia mempersiapkan dirinya dengan tugas-tugas keprajuritan, meskipun hal itu dapat dilakukan sebelumnya. Tetapi karena setiap orang menganggap ia belum siap, maka hal itu belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun setelah ia kawin, maka tidak akan ada alasan lagi untuk menunda setiap pendadaran baginya, karena ia sudah cukup dewasa, dan sampai pula pada batasnya, bahwa seseorang yang sudah berumah tangga, harus mempunyai tanggung jawab atas dirinya dan keluarganya. Dengan demikian Anusapati tidak akan mengingkari lagi tugas-tugas keprajuritan sebagai lajimnya Putera Mahkota. Bahkan ada juga seorang Putera Mahkota yang sudah membuktikan keperwiraannya sebelum ia melakukan perkawinan.” Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu, “Nah, kemudian apabila Anusapati melakukan kegagalan-kegagalan, akan datanglah saat-saat yang kita harapkan. Kita tidak akan dapat dengan begitu saja menggantinya dengan orang lain. Apalagi ia mempunyai saudara laki-laki yang lahir dari Permaisuriku.”

“Tuanku selalu menyebut Permaisuri.”

“Bukan aku saja. Tetapi setiap orang akan menyebutnya.”

“Tetapi juga setiap orang tahu siapakah Anusapati itu? Apakah sudah sepantasnya tuanku menurunkan warisan kepada orang lain bagi tuanku.”

“Akulah yang paling sakit apabila aku mengenangnya, bahwa Anusapati itu bukan anakku. Tetapi aku tidak berdiri sendiri. Aku adalah seorang Maharaja. Dan Singasari mempunyai ratusan ribu orang yang akan memperhatikan setiap tingkah lakuku.”

Ken Umang menundukkan kepalanya.

“Aku akan berbuat sebaik-baiknya, tetapi dengan hati-hati seperti apa yang pernah aku lakukan sehingga aku dapat sampai ketingkat yang sekarang.”

“Apa yang sudah tuanku lakukan?”

“Berbuat dengan hati-hati dan sabar.”

Ken Umang tidak menyahut lagi. Dibiarkannya Sri Rajasa duduk termenung sejenak, sebelum dipersilahkannya Maharaja Singasari itu bersantap di bangsalnya. Demikianlah pengharapan memang telah membakar hati Ken Umang. Semula ia hanya sekedar ingin menjadi seorang yang malampaui kedudukan orang biasa, dapat melepaskan sakit hatinya karena Mahisa Agni telah tidak mengacuhkannya. Dengan mengorbankan segalanya, ia berhasil menjadi isteri Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, dan bahkan melahirkan putera-putera laki-laki dari perkawinan itu.

Tetapi keinginan-keinginan yang melambung tinggi tidak terbatas sampai pada tingkat yang semula dikehendaki. Akhirnya ia ingin memiliki segala-galanya. Memiliki Ken Arok sepenuhnya dan lebih dari itu, ia ingin memiliki Singasari. Itulah sebabnya ia berharap bahwa Tohjaya memiliki kelebihan yang dapat memikat hati rakyat. Apabila antara Anusapati dan Tohjaya terdapat banyak sekali perbedaan tingkat ilmu dan kemampuan kanuragan dan kecerdasan, maka akan datang saat itu dengan sendirinya, karena rakyat Singasari akan pandai memilih siapakah yang paling pantas untuk menjadi pelindungnya.

Tetapi Ken Umang tidak mengetahui kegelisahan yang selalu membayangi Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Meskipun Ken Arok merasa selalu mendapat perlindungan dan pertolongan dari kekuasaan yang tidak kasat mata, namun ia tidak dapat mengingkari bahwa sesuatu yang melampaui kekuasaan lahiriah ada pula di dalam diri Ken Dedes. Meskipun Ken Dedes, Permaisurinya, seorang yang lebih banyak diam dan menurut, namun apabila pada suatu saat ia bersikap, datanglah pengaruh pribadinya yang tiada taranya.

Ken Arok pernah melihat cahaya yang memancar dari tubuh Permaisuri itu. Bukan sekedar sekali dua kali. Sejak pertama kali ia melihat, di taman yang dibangunkannya di Padang Karautan, sejak masih berkuasa Akuwu Tunggul Ametung, maka kemudian berkali-kali ia melihat cahaya serupa itu. Disaat-saat ketegangan memuncak dihati Ken Dedes, di saat-saat dadanya sudah penuh dengan endapan-endapan persoalan yang tidak dapat diungkatnya, seperti juga disaat-saat kegembiraan yang memuncak, maka cahaya itu seakan-akan tampak pada mata hatinya. Tentu tidak pada mata wadagnya, karena tidak setiap orang dapat melihatnya.

Ken Arok pernah mendengar dari seorang Brahmana yang sakti, perempuan yang demikian adalah perempuan yang akan menjadi lantaran menurunkan pimpinan atas tanah ini. “Dan perempuan itu adalah Ken Dedes, bukan Ken Umang,” desis Ken Arok kepada diri sendiri.

Meskipun kadang-kadang Ken Arok mencari kebesaran pada dirinya sendiri, dan mencoba berkata di dalam hatinya, “Apakah kebesaranku tidak dapat mengatasi kebesaran Ken Dedes untuk merampas kekuasaan pada tanah ini?”

Tetapi Ken Arok selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Meskipun ia tidak pernah mengatakan kepada Ken Umang, namun selalu terngiang-ngiang ditelinganya kata-kata Brahmana itu. Dan ia-pun selalu bertanya kepada diri sendiri, “Apakah Tohjaya cukup besar untuk mengusir keturunan Ken Dedes itu?”

Demikianlah, meskipun Ken Umang tidak selalu mengatakan tuntutannya, tetapi terasa juga pada Ken Arok, bahwa setiap kali cahaya matanya memohon kepadanya, janji yang meskipun juga tidak pernah diucapkan berterus-terang atas tanah Singasari. Meskipun demikian, Ken Arok masih juga selalu mencoba untuk mengatasi guratan kekuasaan yang tidak kasat mata, apabila mungkin mencari peluang-peluang yang dapat membelokkan garis yang telah tergores atas tanah ini.

“Kenapa harus Ken Dedes,” setiap kali ia berdesis.

Dan itulah kelemahan kemanusiaan Ken Arok menanggapi gerak alam yang besar. Ia ingin membuat yang kecil untuk menentukan yang besar dan ia akan mulai dari dirinya, keluarganya dan kekuatan yang tersimpan padanya. Tetapi Ken Arok melupakan, bahwa kekuatan yang ada pada dirinya bersumber pada kekuatan tunggal yang menggerakkan semesta yang besar. Nafsu kemanusiaannya yang terbakar oleh kehangatan nafas perempuan yang bernama Ken Umanglah yang membuat Ken Arok yang memiliki pancaran kekuatan dalam alam kecilnya, merasa berhak untuk menentukan gerak alam yang besar.

Dan ia melupakan bahwa yang kecil hanyalah merupakan bagian yang besar, karena ia ingin menempatkan dirinya pada pusat gerak semesta ini. Tetapi Ken Arok sebagai manusia memang sangat kerdil. Pengetahuannya tentang semesta tidak lebih dari hitamnya kuku. Apalagi pengetahuannya tentang sumber kekuatan dan kekuasaan yang tunggal atas semesta itu.

Demikianlah, maka dari hari kehari, Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi itu selalu dipengaruhi oleh bayangan masa depan Singasari menurut seleranya. Anusapati yang diketahuinya dengan pasti sebagai keturunan Akuwu Tunggul Ametung itu memang sama sekali tidak menarik baginya. Tetapi ia tidak mempunyai cara yang tepat untuk menyingkirkannya. Apalagi ia sadar, bahwa di Singasari masih ada Mahisa Agni yang akan dapat menjadi pelindung Putera Mahkota itu.

“Tetapi saat itu akan datang,” berkata Ken Arok di dalam hatinya. Meskipun demikian, disimpannya semua rencana itu didalam hatinya rapat-rapat.

Ketika isteri Anusapati mulai mengandung, maka datanglah saat Anusapati menempuh kehidupan sebagai seorang yang sudah berkeluarga. Seorang yang bakal menjadi ayah. Yang sedikit demi sedikit harus mempertanggung jawabkan kehidupan keluarganya, di dalam kesatuan kewajibannya sebagai seorang Putera Mahkota. Karena itu, sedikit demi sedikit, Anusapati mulai memasuki lapangan kewajibannya. Sebagai calon Maharaja, Anusapati mula-mula menempatkan dirinya pada kesatuan prajurit yang dipilih untuknya oleh para pemimpin pemerintahan dan para Panglima.

“Aku titipkan Anusapati kepadamu,” berkata Sri Rajasa kepada Panglima pasukan yang bertugas di medan. “Ia kelak bukan saja akan menjadi Senapati dari sepasukan segelar sepapan, tetapi akan menjadi Senapati dari seluruh rakyat Singasari. Karena itu, ia harus mulai melatih dirinya dalam tanggung jawab yang sebenarnya.” Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu, “seharusnya Anusapati harus mulai lebih awal dari saat ini. Tetapi kelemahan hati dan wadagnya, memberikan pertimbangan-pertimbangan lain kepadaku, sehingga sampailah pada suatu batas yang tidak dapat ditunda lagi.”

Panglima pasukan tempur Singasari menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun sekilas ia memandang wajah Panglima pasukan Pengawal yang duduk di sampingnya. Sebenarnya sangat berat bagi Panglima itu untuk menerima Anusapati di dalam pasukannya. Putera Mahkota yang masih terlampau hijau dan mentah itu akan menjadi beban yang sangat berat baginya. Sudah tentu bahwa ia harus mempertanggung jawabkan keselamatannya di dalam setiap tugas yang dilakukannya.

Panglima pasukan pengawal. Panglima pasukan Pelayan Dalam dan para perwira pasukan dari kesatuan yang lain menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak terbebani perlindungan bagi Putera Mahkota, yang bagi sebuah kerajaan besar seperti Singasari, bukannya pekerjaan yang mudah.

“Perlakukan ia sebagai seorang prajurit,” berkata Sri Rajasa kemudian, “agar ia dapat merasakan pahit getirnya kehidupan seorang prajurit. Setingkat demi setingkat ia akan mengalami menjadi Senapati perang dalam suatu pertempuran yang sebenarnya. Ia harus mengalami berbagai macam suasana kehidupan di medan, dan Anusapati pulalah yang pada suatu saat akan bertindak sendiri bersama pasukan yang dipimpinnya,” Sri Rajasa berhenti sejenak. Dilihatnya Anusapati yang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian ditatapnya mata Tohjaya yang berkilat-kilat.

“Pada saatnya,” berkata Sri Rajasa, “bukan saja Anusapati. Meskipun Putera Mahkota tidak ada duanya, namun setiap putera Sri Rajasa akan mengalaminya. Pada suatu saat Tohjaya, Mahisa-wonga-teleng dan adik-adiknya. Mereka kini sedang mengalami penempaan olah kanuragan sebaik-baiknya.”

“Bahkan pada suatu saat, Anusapati harus ada di tengah-engah armada laut yang kini sedang dibangun sebaik-baiknya. Disaat lain, ia harus menjelajahi hutan dan gunung di seluruh daerah Singasari untuk mengenal daerah yang akan diperintah kelak.” Sambil memandang Anusapati yang tunduk, Sri Rajasa bertanya, “Kau mengerti Anusapati?”

Anusapati menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Jawabnya, “Hamba ayahanda.”

“Nah, mulailah sejak sekarang. Kau bukan lagi anak-anak yang hanya sekedar bermain-main di petamanan atau berlatih diarena perguruan. Kini kau akan terjun ke dalam dunia yang sebenarnya. Dunia yang memiliki aneka ragam bentuk dan warna supaya kau menemukan pengalaman daripadanya setelah kau mempelajari gambarnya di dalam batas-batas dinding istana.”

Anusapati mengangguk dalam-dalam. Ia sama sekali tidak terkejut mendengar perintah itu. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, bahwa pada suatu saat ia harus terjun sebenarnya di kalangan keprajuritan. Di kalangan itu memang sukarlah baginya untuk menyembunyikan kemampuan yang ada padanya apabila ia benar-benar menghadapi bahaya.

“Tetapi aku akan berada di antara para prajurit,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “aku dapat menyejajarkan diri dengan para prajurit itu. Kecuali apabila terpaksa aku harus berbuat lebih banyak daripadanya.”

Demikianlah maka dihari-hari berikutnya Anusapati sudah tidak berada lagi di istana. Dengan berat hati ia mohon diri kepada ibunda Permaisuri dan kepada isterinya yang sedang mengandung.

“Kapan kakanda pulang?” bertanya isterinya.

“Aku tidak dapat mengatakan, kapan aku akan pulang. Tetapi setiap kesempatan yang ada, aku akan datang ke bangsal ini. Aku sudah menitipkan kau kepada ibunda Permaisuri. Katakan kepada ibunda apa yang ingin kau katakan. Ibunda mengerti keadaan kita berdua sebaik-baiknya.”

“Hamba kakanda. Adinda akan selalu menunggu.”

“Dan kau harus mengerti bahwa kau adalah isteri seorang prajurit. Aku sekarang seorang prajurit, meskipun aku Putera Mahkota.”

“Hamba kakanda.”

“Adinda Mahisa-wonga-teleng akan banyak membantu. Kalau kau memerlukan sesuatu, katakan kepadanya. Ia akan membantumu. Tetapi kalau ia tidak dapat melakukannya, adinda Mahisa-wonga-teleng akan menyampaikannya kepada paman Mahisa Agni.”

“Kenapa paman Mahisa Agni?” bertanya isterinya.

Anusapi menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk mengatakan. Kenapa Mahisa Agni, bukan Ayahanda Sri Rajasa. Tetapi Anusapati tidak mau membuat gambaran yang salah kepada isterinya sehingga karena itu ia berkata, “Ada perbedaan yang harus kau ketahui. Paman Mahisa Agni akan melakukan semua permintaan ibunda Permaisuri sebagai saudara laki-laki satu-satunya. Meskipun sekedar saudara angkat, tetapi Ayahanda Sri Rajasa mempunyai banyak hal yang harus dilakukan. Karena itu, setiap persoalan kau wajib menghubungi saudaraku yang lahir dari ibunda Permaisuri. Kau mengerti?”

Isterinya menganggukkan kepalanya. Dengan penuh pengertian isteri Anusapati melepaskan suaminya pergi. Ia sadar, bahwa bukan saja Anusapati yang mengalami pendadaran, tetapi juga dirinya sendiri yang kelak akan menjadi Permaisuri di atas Tanah Singasari.

Kepada Mahisa-wonga-teleng Anusapati telah menyerahkan kepercayaan sepenuhnya. Meskipun demikian, Anusapati telah mempertemukan Mahisa-wonga-teleng dengan Sumekar. Bahkan untuk kepentingannya dan kepentingan Singasari, seperti yang pernah dilakukan Mahisa Agni. Anusapati minta agar Sumekar mau menuntun anak muda itu didalam olah kanuragan.

“Tidak ada yang dapat memimpinnya paman,” berkata Anusapati, “paman Mahisa Agni berada di Kediri. Gurunya yang sekarang masih belum mencapai tingkat yang dituntuti oleh seorang guru. Karena itu, paman dapat melakukannya.”

Sumekar menarik nafas dalam-dalam.

“Memang tidak senang berbuat sesuatu sambil bersembunyi. Tetapi untuk kepentingan yang baik hal itu dapat saja kita lakukan. Mahisa-wonga-teleng harus tidak kalah dari Tohjaya.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baiklah tuanku. Hamba akan berusaha sejauh dapat hamba lakukan.”

Mahisa-wonga-teleng yang sebelumnya tidak tahu sama sekali bahwa ada kekuatan yang tersimpan di petamanan menjadi sangat heran. Seakan-akan ia tidak percaya melihat Sumekar yang sedang berjongkok menyiangi tanaman.

“Patuhilah petunjuknya adinda. Ia adalah kepercayaan paman Mahisa Agni.”

Mahisa-wonga-teleng mengangguk-angguk. Tetapi kesan ragu-ragu masih terbayang.

“Memang orang itu tidak sekuat paman Mahisa Agni. Tetapi ia jauh lebih baik dari guru Tohjaya yang sebenarnya.”

“Guru yang sebenarnya?”

“Sudahlah. Kau sudah cukup dewasa. Sebentar lagi kau akan melintasi masa kedewasaanmu, karena ayahanda mengambil keputusan bahwa kau dahulu yang harus kawin dari Adinda Tohjaya.”

Mahisa-wonga-teleng mengangguk-angguk.

“Selebihnya aku percayakan semua isi bangsal Pangeran Pati kepadamu. Dan jagalah ibunda baik-baik. Jasmaniahnya tetapi juga perasaannya.”

“Baiklah kakanda. Aku akan patuh kepada semua petunjuk.”

“Kita tidak dapat mempercayai ibunda Ken Umang. Aku tidak berprasangka. Tetapi menilik sikap Tohjaya, sudah tentu bahwa ibunda Ken Umang bersikap serupa. Apalagi dengan latihan-latihan yang tersembunyi dan banyak persoalan yang tidak berterus terang. Kerena itu, kau dapat berbuat serupa. Kalau Pamanda Mahisa Agni datang kemari, katakan apa yang sudah kau kerjakan.”

“Baiklah. Aku akan melakukan semuanya.”

Demikianlah, datang saatnya Pangeran Pati meninggalkan istana dan bangsalnya yang baru. Sebagai seorang prajurit yang berada di dalam pasukannya, ia berangkat kedaerah Timur. Daerah yang menurut laporan telah diganggu oleh beterapa orang yang menyebut dirinya pemimpin-pemimpin dari suatu lingkungan yang tidak begitu luas.

Kekuatan dari gerombolan itu memang tidak begitu besar. Mereka tidak akan dapat bertahan lama. Karena tindakan mereka yang keras terhadap penduduk di padukuhan-padukuhan sekitarnya, dan mereka selalu melakukan perampasan dan perampokan, maka mereka seakan-akan hidup dalam suatu lingkungan yang terasing.

Senapati yang memimpin prajurit Singasari itu berkata kepada prajuritnya, “Pekerjaan ini memang tidak terlampau berat. Suatu latihan pertama bagi tuanku Putera Mahkota.”

“Aku kini seorang prajurit,” sahut Anusapati.

Senapati yang memimpin pasukan kecil itu tersenyum. Ia melihat kesungguhan membayang di wajah Anusapati. Sehingga karena itu ia berkata, “Tuanku agaknya bersungguh-sungguh. Bagaimana-pun juga pengalaman akan menjadi guru yang baik bagi tuanku.”

“Ya. Aku bersungguh-sungguh. Dan bukankah itu sudah menjadi kuwajibanku.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun didalam hati ia berkata, “Kami, para prajuritlah yang mendapat beban karenanya. Putera Mahkota yang tidak setangkas tuanku Tohjaya ini akan memerlukan perlindungan. Untunglah bahwa tugas ini tidak terlampau berat.”

Tetapi Senapati itu tidak mengatakan sesuatu. Namun dalam pada itu, ia sudah menugaskan tiga orang prajurit pilihan untuk selalu melindungi Anusapati tanpa setahu Putera Mahkota itu, supaya ia tetap berhati-hati. Apabila ia mengetahui, bahwa ia mendapat perlindungan khusus, maka ia akan kurang berprihatin didalam penempaan diri itu. Meskipun lawan mereka bukan lawan yang berat, namun perjalanan merekalah yang termasuk perjalanan yang berat. Mereka harus melintasi hutan-hutan pepat dan lebat, jurang yang curam dan bukit-bukit padas yang gersang, sehingga di siang hari matahari bagaikan membakar kepala.

“Apakah sarang mereka terlampau jauh?” bertanya Anusapati kepada Senapatinya.

“Tidak tuanku. Kita hanya memerlukan waktu perjalanan tiga hari tiga malam. Kemudian kita akan mengenal daerah mereka selama sehari semalam sebelum kita menyerangnya.”

“Apakah kita belum mendapatkan gambaran yang pasti tentang gerombolan itu?”

“Gambaran keseluruhan sudah tuanku. Tetapi bagian-bagian yang kecil masih harus kita selidiki setelah kita berada di dekat sarang mereka.”

“Apakah kita sudah tahu pasti kekuatan mereka?”

“Gambaran tentang kekuatan mereka sudah kami terima. Tetapi kita masih harus menyelidikinya lagi.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Banyak tanggapan didalam hati para prajurit atas pertanyaan Putera Mahkota itu. Ada yang menganggap bahwa Anusapati sudah mulai cemas. Ada yang menganggap bahwa Putera Mahkota itu akan menjadi seorang prajurit yang cermat.

Demikianlah maka perjalanan itu maju terus dari waktu kewaktu. Mereka merayap menaiki tebing-tebing curam, tetapi juga menyeberangi sungai yang besar. Tiga orang prajurit pilihan yang mendapat tugas melindungi Putera Mankota berjalan beriringan. Mereka selalu berusaha untuk berada dekat dengan Anusapati di setiap keadaan yang berbahaya. Selagi mereka memanjat tebing atau menuruni jurang. Juga selagi mereka berada di tengah-engah sungai yang deras.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Anusapati bukan seorang anak muda yang berotak tumpul seperti yang diduga oleh kebanyakan orang. Ternyata Anusapati dapat mengerti, bahwa tiga orang prajurit telah ditunjuk oleh pimpinan pasukan itu untuk membayanginya. Untuk melindunginya apabila ia terancam bahaya. Namun demikian Anusapati masih saja berpura-pura tidak tahu, bahwa tiga orang prajurit pilihan selalu berusaha menjaga keselamatannya.

Tetapi ternyata bahwa perjalanan itu sendiri memberikan kegembiraan di dalam hati Anusapati. Bahwa selama ini ia selalu berada di dalam halaman istana, maka perjalanan itu sangat menggembirakannya. Bagaimana-pun juga ia benar-benar mendapat pengalaman baru. Mendaki gunung, menuruni tebing, menyeberangi sungai yang deras dan menjelajahi hutan. Meskipun ia sudah berlatih olah kanuragan, mendaki tebing sungai yang curam yang kadang-kadang dengan sengaja dipilihnya bagian-bagian yang hampir tidak mungkin didaki, namun pengenalan atas alam yang bebas dan luas itu memberikan kesegaran baru kepadanya.

Yang paling kurang dikenalnya adalah hutan-hutan yang lebat, Anusapati hampir tidak pernah mendapat kesempatan ikut berburu, sehingga hutan yang lebat, yang lembab dan digayuti oleh sulur kayu dan tumbuh-tumbuhan merambat, bahkan yang berduri, merupakan kenalan baru baginya. Namun bekal yang sudah cukup banyak di dalam dirinya, segera dapat dipergunakannya untuk menyesuaikan dirinya.

Meskipun demikian sekali-sekali ia harus menunjukkan kesulitan yang kadang-kadang hampir tidak dapat diatasi, ia menurut anggapan para prajurit adalah seorang yang masih sangat hijau didalam olah kanuragan. Apalagi pengenalan daerah-daerah yang berat seperti yang dilaluinya.

“Latihan pertama ini agaknya memang terlampau berat bagi Putera Mahkota,” Senapati yang memimpin pasukan itu berbisik kepada prajurit-prajurit yang diserahi untuk melindungi Anusapati.

“Perjalanan inilah yang berat. Tetapi apabila kita sudah mendekati sarang gerombolan penjahat itu, pekerjaan kita tidak akan banyak lagi. Justru tidak ada separo dari kesulitan yang kita alami diperjalanan.”

“Memang itulah yang dimaksud. Latihan pertama ditekankan pada kesulitan medan. Baru kemudian tuanku Putera Mahkota akan diperkenalkan dengan kekuatan lawan yang sebenarnya.”

Prajurit-prajurit itu menganggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sebenarnya Singasari tidak perlu mengirimkan prajurit khusus untuk menumpas gerombolan kecil itu. Semuanya ini sekedar untuk kepentingan penempaan diri tuanku Putera Mahkota.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Ia-pun menyadari hal itu, sehingga karena itulah maka tugas yang ringan itu justru terasa menjadi beban yang cukup berat. “Mudah-mudahan tuanku Putera Mahkota mendapat pengalaman yang berguna bagi dirinya.” desis Senapati itu.

Prajurit-prajurit yang mendapat tugas melindunginya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka merasa bahwa mereka telah mendapat kepercayaan untuk memberikan dasar pengalaman yang pertama kepada Putera Mahkota, sehingga karena itu. maka tugas itu-pun mereka lakukan sebaik-baiknya.

Tetapi mereka sama sekali tidak tahu bahwa pengalaman yang pertama, yang justru didaerah medan yang terlampau berat itu memang sengaja diberikan oleh Sri Rajasa atas petunjuk dari penasehatnya. Dengan demikian mereka mengharap bahwa hati Anusapati yang kerdil akan menjadi semakin kerdil. Medan yag amat sulit itu akan menghancurkan semua gairah pendadaran seterusnya. Meskipun musuh tidak terlampau berat, tetapi perjalanannyalah yang sangat berat bagi orang yang pertama kali mengalami.

Bahkan beberapa orang prajurit yang sudah beringas beberapa lama-pun merasa, betapa beratnya perjalanan itu. Beberapa orang sudah mulai mengeluh, dan bahkan ada yang berkata, “Lebih baik aku harus berkelahi melawan gerombolan yang kekuatannya lima kali lipat daripada berjalan di daerah yang gila ini.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berdesis, “Apakah Putera Mahkota akan dapat sampai ke tujuan?”

Prajurit yang pertama mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpaling. Dilihatnya Putera Mahkota berjalan tertatih-tatih diapit oleh prajurit yang diserahi melindunginya. Yang seorang lagi dari mereka berjalan di belakangnya. “Tuanku Anusapati sudah lelah sekali.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kita tidak akan dapat mencapai tempat itu sesuai dengan waktu yang diperhitungkan. Kita pasti akan mengalami kemunduran paling sedikit satu hari satu malam. Agaknya Putera Mahkota tidak akan dapat dipaksa untuk menyelesaikan perjalanan ini sesuai dengan waktunya.”

“Jika demikian, agaknya memang lebih baik. Kita tidak akan terlampau lelah diperjalanan, sehingga kita dapat melakukan tugas kita dengan baik.”

Namun mereka terperanjat ketika tiba-tiba saja Senapati yang tanpa mereka ketahui berjalan di belakang mereka berkata, “Kita harus menyelesaikan tugas ini seperti waktu yang sudah diperhitungkan. Itu juga merupakan ujian bagi kalian, terutama bagi Tuanku Putera Mahkota. Perhitungan waktu perjalanan prajurit adalah tiga hari tiga malam ditambah waktu pengamatan dan istirahat satu hari satu malam.”

Prajurit-prajurit yang bercakap-cakap itu tidak menyahut. Mereka hanya menarik alis mereka tinggi-tinggi. Namun di dalam hati mereka berkata, “Kami pasti lebih berpengalaman dari tuanku Putera Mahkota. Kalau saja tuanku Putera Mahkota masih dapat berjalan, aku-pun masih dapat berjalan pula.”

Sebenarnyalah dihari kedua, Anusapati sudah tampak sangat lelah. Tetapi Anusapati sama sekali tidak mengeluh. Ia berjalan terus tertatih-tatih. Namun ia selalu mencoba berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang prajurit. Para prajurit yang bertugas mengawasinya menjadi kasihan juga melihatnya. Sekali-sekali mereka memandang Senapati yang berjalan tidak jauh dari mereka, seakan-akan mereka ingin bertanya, “Apakah tuanku Putera Mahkota tidak sebaiknya diberi kesempatan untuk beristirahat?”

Tetapi tidak seorang dari para pelindung itu yang mengucapkannya. Mereka sadar, bahwa Putera Mahkota kini harus diperlakukan sebagai prajurit-prajurit yang lain. Namun demikian, para prajurit itu menjadi heran melihat kesungguhan hati Anusapati. Betapa-pun tampak lelah, tetapi ia berjalan terus. Seperti prajurit-prajurit yang lain ia membawa perlengkapan yang cukup berat. Senjata dan sekedar bekal diperjalanan. Di malam kedua, ketika mereka menaiki sebuah tebing yang curam, sampailah mereka di padang rumput yang agak datar. Udara yang sejuk menyapu langit yang penuh dengan bintang gemintang yang mulai bermunculan.

“Kita bermalam di sini,” berkata Senapati yang memimpin pasukan itu.

Demikianlah, maka pasukan kecil itu mulai mencari tempat bagi mereka untuk beristirahat. Rumput-rumput kering dan batu-batu besar merupakan tempat yang paling baik untuk duduk dan merebahkan diri. Anusapati-pun harus berbuat seperti prajurit-prajurit yang lain. Ia mendapatkan sebuah batu besar yang baik untuk berbaring. Kepalanya dialasinya dengan telapak tangannya. Dipandanginya langit yang jernih terbentang di atasnya.

“Tuanku Putera Mahkota lelah sekali,” desis seorang prajurit.

Kawannya tidak menyahut. Ia hanya menganggukkan kepalanya. Keduanya-pun kemudian diam. Mereka mencoba menyadari tugas yang dibebankan kepada Putera Mahkota oleh Ayahanda Sri Rajasa. Ia harus mengalami pahit getirnya seorang prajurit agar ia dapat membuat penilaian yang tepat bagi sebuah pasukan apabila kelak ia menjadi Senapati Agung di peperangan yang besar. Tetapi sebenarnya Anusapati sendiri tersenyum di dalam hati. Ketahanan jasmaniahnya jauh lebih besar dari para prajurit yang berjalan bersamanya. Meskipun pendalaman perjalanan itu baru pertama kali baginya, tetapi tubuhnya sudah terlatih mengalami tugas yang sangat berat.

“Kita mengadakan pembagian tugas pengamatan di malam hari,” berkata Senapati itu kemudian.

Tanpa perkecualian, setiap orang mengalami tugas sepertiga malam. Kelompok yang pertama bertugas sampai tengah malam. Kemudian sisanya dibagi menjadi dua kelompok.

“Kenalilah bintang Gubug Penceng. Kalian akan dapat menentukan waktu.”

Dalam tugas pengamatan di malam hari itu, Putera Mahkota mendapat kesempatan yang terakhir. Di dalam kelompok itu pula terdapat tiga orang prajurit yang mendapat tugas khusus untuk mengawasinya. Seperti prajurit-prajurit yang lain. Anusapati-pun melakukan tugasnya dengan baik. Meskipun ia hampir belum tertidur sama sekali, namun ia tidak mengelakkan tugas itu. Dengan senjata ditangan ia duduk di atas batu mengawasi keadaan di sekitarnya bersama beberapa orang prajurit yang lain.

Anusapati mengerutkan keningnya ketika ia mendengar dikejauhan suara aum harimau. Bukan hanya seekor, tetapi dua ekor. Sejenak Anusapati memperhatikan para prajurit yang lain. Mereka-pun agaknya tertarik mendengar suara harimau itu. Dua orang di antara mereka bangkit dan berjalan hilir mudik di antara mereka yang tertidur nyenyak diatas batu-batu dan rerumputan kering.

“Suara itu menjadi semakin dekat,” desis salah seorang dari dua orang prajurit yang berjalan hilir mudik itu.

“Ya,” sahut yang lain, “agaknya mereka mencium bau yang asing. Arah angin telah membawa bau keringatmu ke hidung harimau itu.”

Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih saja berjalan hilir mudik.

“Kenapa kau ributkan suara harimau itu?” bertanya kawannya yang lain yang duduk di atas sebuah batu yang besar sekali.

“Sudah lama aku ingin memiliki kulit harimau.”

“O,” kawannya itu tidak mempedulikannya lagi. Tetapi dilayangkannya juga pandangan matanya kejauhan, menyusup kedalam gelapnya malam. Ternyata tidak ada yang dilihatnya selain kepekatan malam dan cahaya kunang-kunang yang satu dua beterbangan diatas rerumputan.

Ketika suara harimau itu terdengar lagi, maka bukan saja kedua orang yang berjalan hilir mudik itu sajalah yang mengangkat wajah mereka, tetapi semua orang yang bertugas dalam kelompok terakhir itu-pun tergerak pula hatinya.

“Mudah-mudahan sepasang harimau itu mendekat.”

“Siapa yang dahulu diantara kita,” desis yang lain.

“Jangan dibunuh dengan senjata tajam.”

“Kenapa?”

“Kulitnya akan cacat. Sobek oleh hunjaman senjata kita.”

“Lalu, dengan apa kita akan membunuh?”

“Kita cekik.”

“Dan wajah kita akan dicakarnya. Bukan kulit harimau itu yang cacat, tetapi kulit wajah kita.”

Yang lain tertawa. Tetapi prajurit yang berniat membunuh tanpa senjata itu tetap diam membeku. Sejenak mereka menunggu. Tetapi mereka tidak melihat sepasang harimau mendekat. Mereka tidak melihat sesuatu.

“Harimau itu takut,” desis salah seorang dari mereka.

Tidak seorang-pun yang menyahut. Tetapi tanpa sesadarnya, prajurit-prajurit itu berpaling kearah Anusapati. Ternyata Putera Mahkota itu masih duduk di tempatnya memeluk lutut.

“Apakah Putera Mahkota menjadi ketakutan?” mereka bertanya di dalam hati.

Tetapi tidak seorang-pun yang berani mengucapkan pertanyaan itu. Bahkan mereka menganggap bahwa hal itu adalah hal yang wajar sekali, karena selama ini Putera Mahkota tidak pernah pergi ke luar halaman istana. Bahkan mungkin selain kulit-kulit harimau dan harimau-harimau mati hasil buruan Sri Rajasa, Anusapati belum pernah melihat harimau yang besar yang sesungguhnya, yang berkeliaran di padang rumput ditepi-tepi hutan yang lebat.

Ketika langit menjadi semakin merah maka para prajurit itu-pun mulai berkemas. Mereka yang tertidur-pun sudah mulai bangun seorang demi seorang. Senapati yang memimpin pasukan itu-pun telah terbangun pula dan duduk di samping Putera Mahkota.

“Apakah tuanku mengantuk?” bertanya Senopati itu, “masih ada waktu sampai matahari terbit.”

Anusapati tidak segera menjawab.

“Mungkin tuanku masih dapat tidur sekejap. Tugas tuanku berjaga sudah selesai. Di antara para prajurit telah banyak yang terbangun. Apalagi mereka yang bertugas di kesempatan pertama sampai menjelang tengah malam.”

“Baiklah,” desis Anusapati, “tetapi tentu tidak tidur. Aku hanya ingin berbaring.”

Demikianlah Anusapati dan beberapa orang prajurit yang bertugas terakhir, masih sempat berbaring barang sejenak. Beberapa orang kawan mereka telah terbangun dan membenahi diri. Di antara mereka ada yang sempat mencari kayu-kayu kecil dan membuat perapian untuk mengusir udara fajar yang dingin. Embun yang basah turun menyentuh kulit dan bebatuan sehingga membuat pagi menjadi bertambah dingin.

Meskipun hanya sekejap, ternyata ada juga di antara mereka yang bertugas terakhir sempat tertidur. Tetapi mereka-pun harus segera bangun pula. Sejenak, setelah matahari terbit, mereka akan bersiap meneruskan perjalanan mereka yang sulit. Demikianlah, maka sejenak kemudian, ketika langit menjadi semakin cerah, pasukan kecil itu-pun telah dipersiapkan kembali. Mereka harus menjalani perjalanan mereka di hari ketiga. Hari terakhir.

Ketika cahaya matahari mulai menyentuh daun rerumputan, maka pasukan kecil itu-pun meneruskan langkah mereka. Beberapa orang sempat memanasi tubuh mereka sehingga menjadi hangat. Beberapa orang yang lain, masih harus berjalan sambil, mendekap telapak tangan masing-masing. Namun cahaya matahari pagi, segera membuat mereka bertambah segar. Sinar matahari yang kekuning-kuningan itu telah membuat perjalanan pasukan kecil itu seakan-akan menemukan kekuatan mereka kembali. Kicau burung-burung liar dan desah angin didedaunan, membuat pagi bertambah cerah.

Demikianlah maka pasukan kecil itu meneruskan perjalanan mereka yang sulit. Kesegaran yang meresapi tubuh mereka-pun segera hanyut disapu oleh terik matahari yang menjadi semakin panas. Ketika keringat mereka mulai membasahi tubuh, maka mulailah mereka dicengkam kembali oleh kelelahan.

“Marilah kita selesaikan rencana perjalanan kita,” berkata Senapati yang memimpin pasukan itu, “hari ini adalah hari yang terakhir. Besok kita akan mulai dengan penyelidikan kita atas sarang lawan.”

Tidak ada seorang-pun yang menyahut. Namun sekali-sekali mereka harus mengusap keringat yang membasah di wajah.

Dihari terakhir itu, tampaklah bahwa prajurit-prajurit yang sudah cukup berpengalaman itu-pun menjadi sangat letih. Bahkan Senapati yang memimpin perjalanan itu-pun berjalan tertatih-tatih dan kadang-kadang harus bersandar dengan tangannya pada pepohonan. Tetapi ia berjalan terus. Kelelahan dan keletihan itu sama sekali tidak dihiraukannya. Ketika pasukan kecil itu harus menuruni tebing, maka mereka bagaikan siput yang merayap. Perlahan-lahan sekali. Tangan-tangan mereka yang basah oleh keringat menjadi licin dan tenaga mereka-pun telah jauh susut.

Prajurit-prajurit pilihan yang harus mengawasi Anusapati menjadi cemas. Mereka sudah mengalami kesulitan membawa diri mereka sendiri. Apalagi apabila mereka harus menolong Anusapati apabila diperlukan. Tetapi ternyata Anusapati masih sanggup merayap sendiri meskipun harus menumbuhkan senyum pada beberapa orang prajurit. Prajurit yang kelelahan itu masih juga harus menahan tertawanya ketika mereka melihat Anusapati yang merayap turun. Kadang-kadang ia harus berbaring menelungkup, dan bergerak setapak demi setapak. Meluncur perlahan-lahan dan sekali-sekali sambil duduk ia beringsut maju.

Namun demikian setiap prajurit telah memuji kesungguhannya dalam pendadaran itu. Meskipun selama di istana Putera Mahkota itu disebut sebagai seorang anak muda yang malas, yang kurang cepat menangkap latihan-latihan olah kanuragan dan bahkan Tohjaya pernah menyebutnya sebagai seorang anak muda yang dungu, namun ternyata hati Anusapati keras seperti batu-batu padas dipegunungan yang mereka lewati.

Dengan tubuh dan pakaian yang kusut dan kotor. Anusapati berhasil juga melampaui tebing itu seperti prajurit-prajurit yang lain. Bahkan ketika seorang prajurit tidak dapat menahan senyumnya dihadapan Anusapati melihat wajah yang berdebu, Anusapati sendiri ikut tertawa pula.

“Nah, bukankah aku juga berhasil,” berkata Anusapati.

“Ya. Tuanku juga berhasil,” sahut Senapati yang memimpin pasukan itu sambil tersenyum juga.

“Tunggu. Jangan berjalan dahulu. Aku akan membersihkan diri.”

Para prajurit-pun menunggunya sambil tertawa. Tetapi kesempatan itu merupakan kesempatan beristirahat pula bagi mereka. Beberapa orang telah membantunya mengibaskan kain panjangnya. Yang lain menepuk-nepuk punggungnya yang dilekati oleh debu yang kemerahan. Tetapi dengan demikian, debu itu justru menjadi semakin merata di tubuh Putera Mahkota, sehingga beberapa orang prajurit yang lain justru mentertawakannya.

“Marilah,” berkata pemimpin pasukan itu, “kita meneruskan perjalanan.”

Dan pasukan itu mulai bergerak lagi. Mereka masih harus melalui lapangan perdu yang panjang di bawah terik matahari yang membakar. Namun mereka harus berjalan terus. Selangkah demi selangkah. Dengan lemahnya Anusapati menyeret kakinya satu demi satu langkah. Tetapi ia masih tetap tidak mengeluh. Ia tidak pernah mengajukan permintaan apa-pun untuk menunda perjalanan.

“Ia akan menjadi prajurit yang baik,” desis Senapatinya kepada salah seorang prajurit pilihan yang mengawasi Putera Mahkota.

Prajurit itu menganggukkan kepalanya, “benar-benar diluar dugaan. Aku kira, bahwa aku akan mengalami kesulitan melayaninya. Bahkan mungkin mendukungnya. Tetapi ia tetap berjalan sendiri betapa-pun lelahnya.”

“Sama sekali berbeda dari anggapan orang terhadapnya,” sahut Senapati itu. “Putera Mahkota itu sama sekali bukan orang yang malas, bukan orang bodoh apalagi dungu. Memang mungkin ia agak lambat menerima ilmu dari gurunya. Tetapi itu bukan berarti malas atau bodoh. Mungkin cara gurunya tidak sesuai baginya, sehingga ia tidak berminat untuk belajar dengan sungguh-sungguh.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Mereka kini melihat sendiri, betapa Anusapati menjalani tugas yang dibebankan kepadanya dengan bersungguh-sungguh, sehingga prajurit yang lain menjadi segan untuk bermalas-malas, karena justru Anusapati yang baru pertama kali mengalami itu melakukannya dengan bersungguh-sungguh.

“Kalau yang ada dipasukan ini Tuanku Tohjaya, mungkin kita akan medapat kesulitan,” berkata prajurit itu tiba-tiba.

“Kenapa?” bertanya pemimpinnya.

“Kadang-kadang tuanku Tohjaya berbuat terlampau berani.”

“Sombong maksudmu?”

Prajurit itu tersenyum.

“Katakanlah begitu. Aku tidak akan melaporkannya. Aku juga menganggapnya begitu.”

“Ya. Dengan demikian perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang sangat berbahaya baginya. Mungkin tuanku Tohjaya menjadi kurang berhati-hati dan merasa berkemampuan melampaui kita semuanya.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi pada suatu saat, tuanku Anusapati akan menyamainya, justru karena Putera Mahkota merasa dirinya kurang berpengetahuan dan bersedia menerima petunjuk dari siapa-pun juga.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjahut lagi karena nafasnya yang mulai memburu dilubang hidungnya. Senapati yang memimpin pasukan itu-pun terdiam pula, ia sendiri juga merasa kaki-kakinya menjadi lemah karena lelah. Tetapi ia tidak mau berhenti. Perjalanan hari itu adalah perjalanan yang terakhir menjelang sarang penjahat yang mereka datangi.

Ternyata perjalanan dihari terakhir itu benar-benar terasa berat sekali. Beberapa orang prajurit sudah hampir tidak dapat maju lagi. Namun setiap kali mereka melihat Anusapati yang dengan nafas terengah-engah berjalan terus, mereka-pun tidak juga mau berhenti. Namun demikian hampir setiap orang mulai mengeluh didalam hati. Bahkan pemimpin pasukan itu-pun mengeluh pula. Tetapi ia tidak mau memerintahkan pasukannya menunda perjalanan.

Di sebuah semak-semak yang rimbun, Anusapati yang menyeret kakinya itu-pun berhenti sejenak. Setiap orang memandanginya dengan heran ketika ia menarik pedangnya dari sarungnya.

“Apakah yang akan dilakukannya?” bertanya salah seorang prajurit kepada kawannya.

Prajurit itu menggeleng. “Entahlah.”

Dan mereka-pun kemudian melihat Anusapati memotong sebatang dahan dan sambil tersenyum ia bertanya kepada pemimpin pasukan kecil itu. “Apakah aku boleh berjalan dengan tongkat seperti seorang kakek-kakek?”

Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Boleh tuanku. Tidak ada keberatan apa-pun kalau itu dapat membantu tuanku.”

“Terima kasih,” sahut Anusapati sambil menyarungkan pedangnya. “Aku akan bertongkat seperti orang tua.”

Anusapati itu-pun kemudian berjalan sambil bertumpu pada tongkatnya. Tetapi ternyata beberapa orang telah menirunya, dan pemimpin pasukan itu-pun tidak melarang mereka. Sebenarnya pemimpin pasukan itu merasa iba juga melihat Anusapati yang setiap kali hampir saja terjatuh apabila kakinya sedikit saja tersentuh bebatuan, bahkan tersentuh serumpun rumput kering. Tetapi Putera Mahkota itu berjalan terus. Betapapun ia tampak kelelahan, tetapi wajahnya tetap cerah, dan setiap kali bibirnya masih juga selalu tersenyum.

“Bukan main,” berkata Senapati itu di dalam hatinya.

Semakin rendah matahari, pasukan kecil itu berjalan semakin lambat. Namun demikian pemimpin pasukan itu tidak dapat memaksa anak buahnya untuk mempercepat langkahnya. Bahwa mereka masih tetap maju itu-pun merupakan suatu keteguhan hati para prajurit, terutama Putera Mahkota. Namun demikian, karena mereka hanya sekedar merayap seperti siput, ternyata ketika matahari terbenam, mereka masih belum sampai ke tempat yang mereka tuju. Tempat yang digambarkan oleh seorang petugas sandi yang pernah mendahului perjalanan mereka menyelidiki tempat itu.

Karena itu, maka pemimpin pasukan itu berkata, “Kita akan berjalan terus sampai ketempat tujuan meskipun hari menjadi gelap. Kalau kita tidak dapat menyelesaikan perjalanan hari ini, mungkin kita akan berselisih jalan.”

“Berselisih jalan dengan siapa?” bertanya Anusapati.

“Kita telah mengirim dua orang pasukan sandi mendahului perjalanan ini. Mereka telah menentukan tempat dimana kita harus menunggu mereka untuk mendapat keterangan-angan. Besok kita bersama-sama akan melihat medan, dan menentukan cara untuk menghancurkan mereka.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Para prajurit yang melihat dan mendengar percakapan itu berharap, agar Putera Mahkota yang tampak sangat lelah itu minta untuk menunda perjalanan. Agaknya bagaimana-pun juga pemimpin pasukan itu akan mendengarnya juga. Tetapi mereka menjadi kecewa karena Anusapati justru mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Tetapi apakah tempat itu masih jauh?”

“Tidak. Menurut tanda-tanda yang kita lihat disini, kita sudah dekat.”

Demikianlah maka pasukan kecil itu berjalan terus, tersuruk-suruk dimalam yang semakin gelap. Tanpa obor dan tanpa tuntunan apapun. Mereka harus mengenali tanda-tanda diperjalanan dan isyarat-isyarat yang pernah mereka terima sebelum mereka berangkat. Sambil mengumpat-umpat di dalam hati mereka berjalan terus. Anusapati-pun berjalan terus. Seluruh pasukan itu menjadi lelah seperti tidak bertenaga lagi.

Beberapa lama kemudian barulah Senapati itu berkata, “Berhenti. Marilah kita lihat tempat ini.”

Pasukan itu-pun segera berhenti. Sejenak mereka mengamat-amati keadaan.

“Pohon nyamplung sekembaran ini merupakan pertanda,” desis pemimpin pasukan itu.

“Apakah pohon ini pohon nyamplung?” bertanya salah seorang prajurit, “aku tidak dapat melihat daunnya di dalam kegelapan.”

“Jangan tengadahkan kepalamu. Jangan mencoba melihat ciri pohon ini di bagian atas. Kau tidak akan dapat melihatnya di kegelapan.”

“Darimana kita mengetahui kalau kedua batang raksasa ini pohon nyamplung?” bertanya prajurit itu.

“Lihatlah kebawah. Daun-daun yang jatuh dan terutama buah-buahnya yang tercecer oleh angin ini.”

“O,” prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipungutnya sehelai daun kuning, dan kemudian sebutir buah nyamplung yang tergolek dibawah kakinya.

“Ya. Kita telah sampai di bawah pohon nyamplung sepasang itu.”

“Dan tentu batu inilah yang dimaksud dengan batu berkilat itu.”

“Ya. Kita berhenti disini,” sela prajurit yang lain.

“Ya. Kita sudah sampai. Kita dapat beristirahat sejenak,” berkata Senapati itu.

Tanpa perintah berikutnya, hampir setiap prajurit segera menjatuhkan dirinya duduk bersandar pokok-pokok kayu tanpa menghiraukan tanah yang agak lembab dan kotor. Bahkan ada di antara mereka yang menjelujurkan kakinya sambil menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah mereka telah terlepas dari suatu tugas yang sangat berat.

Senapati yang memimpin pasukan itu-pun sebenarnya telah lelah sekali pula. Tetapi ia tidak dapat berbuat seperti prajuritnya. Ia masih berjalan hilir mudik sejenak, memperhatikan setiap orang di dalam pasukan itu. Baru kemudian ia meletakkan dirinya di atas sebuah batu dan bersandar pada sebatang pohon perdu. Disampingnya Anusapati-pun telah duduk pula lebih dahulu dengan nafas yang terengah-engah.

“Perjalanan yang berat tuanku?” bertanya Senapati itu.

Anusapati tersenyum. Diusapnya keringat yang membasah dikening. Kemudian di sela-sela tarikan nafasnya yang memburu ia menjawab, “Ya. Perjalanan yang berat, tetapi menyenangkan. Aku melihat sesuatu yang baru dalam perjalanan ini. Bukan sekedar petamanan di halaman istana yang dibatasi dinding-dinding batu yang tinggi. Disini aku dapat melihat hijaunya hutan. Dari hutan yang rindang, sampai hutan belukar yang lebat. Aku dapat melihat tebing-tebing batu padas yang kemerah-merahan, dan aku dapat melihat jurang yang curam di tepi-tepi sungai.”

Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya pula, “Tuanku pasti lelah sekali.”

“Ya lelah sekali. Sebenarnya aku sudah ingin berhenti di separuh perjalanan hari ini. Tetapi aku tidak berani melanggar ketentuan yang sudah digariskan, bahwa hari ini kita harus sampai di sini.”

Senapati itu tersenyum.

“Semua orang kelelahan,” berkata Anusapati kemudian.

“Ya, semua orang menjadi sangat lelah.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia beringsut mendekat sambil berbisik, “Aku akan bertanya sesuatu.”

“Silahkan tuanku.”

“Aku belum berpengalaman di dalam olah keprajuritan. Karena itu aku tidak mengerti cara yang kau pergunakan di dalam tugas kita kali ini. Kalau memang sudah ditentukan bahwa hari ini kita harus sampai disini, barangkali memang tidak dapat dipertimbangkan cara lain. Tetapi seandainya dalam keadaan seperti ini, selagi semua prajurit kelelahan dan hampir tidak mampu berdiri lagi, tiba-tiba datang sebuah serangan lawan yang mengetahui kehadiran kita dari petugas-petugas sandinya, bagaimana kira-kira yang akan terjadi?”

Senapati itu mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu sangat sederhana, tetapi mengandung kebenaran yang tidak dapat diingkari. Untuk memenuhi rencana yang sudah diatur sebelumnya, Senapati itu telah memaksa prajuritnya berjalan terus betapa-pun lelahnya. Tetapi seperti yang ditanyakan oleh Anusapati, apabila dalam keadaan seperti ini, segerombolan musuh datang menyerang, maka apakah yang kira-kira akan terjadi?

Karena itu, untuk sesaat prajurit itu merenung. Tanpa sesadarnya dipandanginya setiap orang yang duduk dengan lelahnya bersandar batang-batang pohon. Bahkan ada yang begitu saja berbaring di tanah beralaskan daun-daun kering. Seakan-akan mereka sama sekali sudah tidak bertenaga lagi.

“Tetapi tuanku,” berkata prajurit itu, “kita berhadapan dengan segerombolan penjahat yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup di dalam olah keprajuritan, meskipun mereka adalah penjahat-penjahat yang menggetarkan daerah di sekitar tempat tinggal mereka. Namun mereka tidak akan mempunyai pikiran untuk menempatkan beberapa petugas sandi di sekeliling sarang mereka itu.”

“Ya. Kali ini. Tetapi kalau hal ini terulang, selagi kita menyerang gerombolan-gerombolan yang lebih teratur dan lebih besar, maka kita akan mengalami kesulitan.”

Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata, “Tuanku benar. Kita memang terlampau memaksa diri. Mudah-mudahan mereka tidak mengetahui kehadiran kita dan tidak menyerang kita selagi kita kehabisan tenaga. Mudah-mudahan besok, selagi kita beristirahat sambil mengenal medan, kekuatan kita telah pula kembali.”

“Mudah-mudahan. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa malam ini.”

Senapati itu-pun terdiam. Sedang Anusapati kemudian beringsut menjauh. Disandarkannya tubuhnya pada sebatang pohon yang besar sambil memandang berkeliling. Didalam hati ia berdesis, “Kalau tempat ini banyak ularnya, mungkin akan timbul korban karenanya. Apakah obat yang dibawa itu cukup kuat melawan bisa ular yang tajam?”

Tetapi ia-pun kemudian menggelengkan kepalanya, “Mudah-mudahan tidak ada ular disini, atau ular-ular itu menjadi ketakutan dan pergi.”

Dalam pada itu, hampir setiap orang didalam pasukan itu tidak sempat lagi membagi tugas. Hampir semuanya duduk terkantuk-kantuk, bahkan mereka yang terlampau lelah dan berbaring di atas dedaunan kering, ada pula yang telah tertidur. Sehingga dengan demikian, Sanapatinya-pun agaknya segan juga untuk memaksa mereka berjaga-jaga meskipun berganti-gantian.

Karena itu, maka didatanginya dua orang prajurit yang masih agak segar dibandingkan dengan kawan-kawannya. Keduanya adalah prajurit yang mendapat tugas untuk mengawal Putera Mahkota. Sedang yang seorang dari mereka, agaknya telah kelelahan pula.

“Kita bertiga bertugas sekarang,” berkata Senapati itu, “kita mengawasi keadaan. Nanti, sebentar lagi, kita akan menerima para petugas sandi yang mendahului kita.”

“Semalam suntuk?” bertanya salah seorang dari keduanya.

“Tentu tidak. Kita akan membangunkan beberapa orang yang akan bertugas menjelang pagi. Aku akan minta kedua petugas sandi yang tentu tidak kelelahan seperti kita untuk membantu mengawasi keadaan dibagian terakhir malam ini.”

Keduanya-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa-pun lelahnya mereka harus menerima tugas itu. Demikianlah maka para prajurit itu-pun sejenak kemudian telah jatuh tertidur dibawah rimbunnya sepasang pohon nyamplung yang besar di pinggir hutan yang rindang. Mereka tidak dapat lagi menahan kelelahan yang serasa telah mencengkam seluruh tubuh mereka. Dari ujung kaki sampai keujung ubun-ubun. Yang masih tetap berjaga-jaga tinggal pemimpin pasukan kecil itu bersama dua orang prajurit yang betapa-pun perasaan kantuk mencengkamnya, namun keduanya berusaha untuk tetap terjaga.

Demikianlah maka malam-pun berjalan terus. Bintang-bintang dilangit bergeser pula perlahan-lahan. Semakin lama semakin rendah di ujung Barat. Anusapati yang bersandar sebatang pohon-pun telah memejamkan matanya pula. Tetapi sebenarnya ia tidak segera tertidur. Sekali-sekali di sela-sela pelupuk matanya, ia masih melihat pemimpin pasukan yang kelelahan itu berdiri dan berjalan tertatih-tatih di antara anak buahnya yang sedang tidur nyenyak.

“Seorang pemimpin yang baik,” desis Anusapati di dalam hatinya. Namun sejenak kemudian dada Anusapati menjadi berdebar-debar, ia mendengar desir langkah mendekati tempat itu. Semakin lama semakin dekat.

Baru sejenak kemudian pemimpin pasukan itu mendengarnya pula. Karena itu, ia-pun segera mendekati kedua prajurit yang bertugas bersamanya, “Kau mendengar?“ bisiknya.

“Ya. Agaknya petugas sandi kita yang telah mendahului perjalanan ini.”

Pemimpinnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya. itulah mereka.”

Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. Dikejauhan didengarnya suara burung prenjak. Memang tidak lajim seekor burung prenjak bersiul di malam hari. Tetapi itulah pertanda yang sudah mereka bicarakan sebelum mereka meninggalkan Singasari beberapa waktu yang lampau mendahului pasukan ini. Sejenak kemudian maka muncullah dua orang dari kegelapan. Dua orang yang telah menirukan suara burung prenjak meskipun di malam hari.

“Marilah. Kami sudah menunggu,” berkata Senapati itu.

“Kamilah yang menunggu,” sahut salah seorang dari kedua petugas sandi itu.

“O, ya. Kalianlah yang telah menunggu. Marilah, duduklah.”

Keduanya-pun segera mendekati pemimpin pasukan itu dan duduk di atas selembar daun nyamplung yang kering.

“Kau terlambat beberapa saat.”

“Tidak,” jawab Senapati itu, “kami datang pada waktunya.”

“Kami mengharap kalian datang sebelum senja. Tetapi kalian datang hampir tengah malam.”

“O. Tetapi masih dihari yang ditentukan.”

“Ya. Dan kita masih mempunyai waktu sehari semalam untuk melihat-lihat keadaan sambil beristirahat.”

Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Desisnya, “Ya, kita masih dapat beristirahat. Sekarang kau dapat melihat sendiri, prajuritku tidur seperti orang mati karena kelelahan.”

Kedua prajurit sandi itu tersenyum. Katanya, “Memang perjalanan yang sangat berat. Aku memerlukan waktu empat hari empat malam untuk mencapai tempat ini.”

“Ya. Aku tidak tahu, kenapa untuk pasukanku direncanakan hanya tiga hari tiga malam?”

“Suatu latihan ketangkasan bagi prajurit-prajurit Singasari.”

“Tetapi kalau dalam keadaan ini kita berhadapan dengan musuh kita akan digulung habis-habisan.” pemimpin itu berhenti sejenak. Lalu, “pertanyaan itu datang dari tuanku Putera Mahkota, apakah yang dapat kita lakukan seandainya sekarang kedatangan kita diketahui oleh musuh-musuh kita itu, lalu kita diserang saat ini juga.”

Kedua prajurit sandi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi salah seorang menyahut, “Jika demikian, maka kita akan habis dibantai. Dan seandainya kami berdua masih hidup, maka kami akan digantung juga, karena hal itu pasti dianggap kesalahan kami.”

Senapati itu tersenyum. Katanya, “Tetapi agaknya tidak terjadi demikian.”

“Kali ini tidak. Aku selalu mengawasi mereka.”

“Bagaimana dengan mereka?”

Kedua prajurit itu terdiam. Namun salah seorang berbisik, “Dimanakah tuanku Patera Mahkota?”

“Tidur, itu bersandar sebatang pohon.”

Prajurit itu berpaling sejenak. Didalam keremangan malam ia melihat Anusapati bersandar pohon, tetapi ia tidak begitu jelas menangkap keredip matanya. Karena itu, maka disangkanya Anusapati benar-benar sedang tidur nyenyak. “Bukan pekerjaan yang berat bagi kita,” berkata prajurit sandi itu.

“Kita sudah menyangka.”

“Yang penting, justru latihan menempuh jarak dan medan yang paling buruk.”

“Tetapi latihan ini terlampau berat. Berat sekali. Untunglah tuanku Putera Mahkota seorang yang berhati baja.”

“Bagaimana dengan Putera Mahkota?”

“Seperti Kau lihat. Ia berjalan terus tanpa mengeluh, ia dapat berbuat seperti prajurit-prajurit yang sudah berpengalaman, meskipun kadang-kadang kita harus tersenyum karenanya.”

“Kenapa?”

“Sekali-sekali tuanku Anusapati merayap seperti seekor kadal dijurang-jurang yang terjal, disaat lain menuruni tebing sambil duduk menjelujurkan kakinya...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.